Dosen :
Dr. Antono D., Ir., MMBAT.
Disusun Oleh :
Gabriel Rapidin Mangampa (2411151042)
Nurman Sopian (2411151048)
Boy Raja Agustinus Sihotang (2411151049)
Perbandingan antara UU No.18 tahun 1999 dengan UU No.2 tahun 2017 yaitu
dalam hal :
1. UU No.18/1999 hanya mencakup jasa yang yang terkait dengan
pengguna dan penyedia jasa; sedangkan UU No.2/2017 mencakup selain
pengguna dan penyedia jasa, juga mencakup penyediaan bangunan
(investasi) dan pelaku rantai pasok.
2. Pembinaan tidak lagi bersifat sentralisasi namun sudah bersifat
desentralisasi, seperti yang tercantum dalam BAB III Tanggung Jawab
dan Kewenangan Pasal 7 dan 8 tentang kewenangan daerah; lingkup
pembinaan yang sebelumnya hanya mencakup pengaturan,
pemberdayaan, dan pengawasan, namun juga mencakup jasa usaha
penyediaan bangunan.
3. Hal lainnya yang menjadi perbandingan yaitu klasifikasi usaha yang
sebelumnya berdasarkan arsitektur, sipil, mekanikal, kelistrikan, dan tata
lingkungan (ASMET), menjadi didasarkan pada Central Product
Clasification (CPC) seperti Bangunan Gedung dan Bangunan Sipil.
4. Selain hal diatas, di dalam UU ini juga mengatur upaya pemerintah
mendorong pengembangan tenaga kerja indonesia melalui penetapan
standar remunerasi minimal tenaga kerja ahli dan peningkatan peran
masyarakat yang lebih nyata dengan cara misalnya bisa mengakses
informasi dan keterangan terkait kegiatan konstruksi yang berdampak
pada kepentingan masyarakat, masyarakat juga dapat memberikan
masukan kepada pemerintah dalam perumusan kebijakan jasa konstruksi.
Sumber :
http://kalimantan.bisnis.com/read/20170517/437/654304/sengketa-
konstruksi-bani-gandeng-korea-hindari-kriminalisasi
2.7 Contoh Kasus Terkait Keamanan, Keselamatan, Kesehatan dan
Keberlanjutan Konstruksi
Kemudian, pada hari libur dan tengah malam harus benar-benar diawasi,
apalagi proyek-proyek pembangunan dilakukan 7 hari selama 24 jam
dengan 3 shift.
Kompetensi setiap shift ini harus diperhatikan apakah mereka punya standar
kompetensi yang sama. Orang yang kerja pada shift sore sampai pagi pun
beda fisiknya dengan yang bekerja pagi hingga sore.
Ini memang harus mencari tahu penyebabnya. Memang perlu ada prosedur
khusus bagaimana pengangkatan girder yang dalam hal ini siapa yang
bertanggung jawab. Ini perlu proses perencanaan, tidak hanya ahli K3.
Kalau risikonya masih rendah bisa diserahkan kepada ahli K3. Namun, ya,
dilihat bagaimana kompetensinya. Kalau risikonya tinggi harus ada peranan
engineering, pimpinan proyek, dan ahli K3.
Kompetensi K3 ini ada tiga macam yakni muda, madya, dan utama. Yang
kami beri sertifikasi muda sudah 6.000 orang, kalau madya dan utama
kurang lebih baru 100 orang.
Dalam UU Jasa Konstruksi Nomor 2/2017 memang tidak ada amanat untuk
membentuk komite keselamatan konstruksi. Di dalam UU ini hanya ada
standar terkait keamanan, keselamatan, kesehatan, dan keberlanjutan.
Memang PUPR setiap ada kecelakaan kerja membuat tim investigasi, tetapi
hanya dilakukan saat kecelakaan itu terjadi. Hasil investigasi pun tidak
pernah di-publish kepada masyarakat apa yang menjadi penyebab
kecelakaan itu terjadi.
Kami pun tidak pernah melihat rilis penyebabnya maupun turut serta dalam
investigasi itu. Kami berharap kecelakaan kerja ini tidak berulang.
Dalam Pasal 59 ayat 1 dan Pasal 96 disebutkan bahwa setiap penyedia jasa
dan/atau pengguna jasa yang tidak memenuhi standar keamanan,
keselamatan, kesehatan, dan keberlanjutan dalam penyelenggaraan jasa
konstruksi dapat dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis,
denda administratif, penghentian sementara konstruksi/kegiatan layanan
jasa, pencantuman dalam daftar hitam, pembekuan izin, dan/atau
pencabutan izin.
Sumber :
http://kalimantan.bisnis.com/read/20180126/437/730631/kesehatan-
keselamatan-kerja-hasil-investigasi-tidak-pernah-di-publish
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
Dalam upaya meningkatkan mutu konstruksi di Indonesia, Undang-Undang
Jasa Konstruksi No.2 tahun 2017 memiliki keunggulan yaitu mengatur secara
spesifik mengenai Keamanan, Keselamatan, Kesehatan dan Keberlanjutan
Konstruksi sehingga tercipta keselamatan publik dan kenyamanan lingkungan,
dan tercipta integrasi nilai tambah. Dengan aturan baru yang lebih spesifik
mengenai standar aturan mutu bahan, peralatan, hasil pekerjaan sehingga
meningkatkan mutu dari konstruksi. Terdapat beberapa penambahan dari tujuan
penyelenggaran jasa konstruksi, hal ini bertujuan untuk terciptanya kesatuan
yang utuh dalam proses penyelenggaran konstruksi. Namun pengaplikasian di
lapangan dirasa belum optimal.
3.2 Saran
Dengan pengaturan yang komprehensif yang melingkupi berbagai aspek
dalam sektor jasa konstruksi, maka UU ini diharapkan memenuhi kebutuhan
kebutuhan masyarakat dalam upaya peningkatan mutu di Indonesia, khususnya
kepada masyarakat jasa konstruksi dan masyarakat secara keseluruhan.