Anda di halaman 1dari 25

KARYA ILMIAH

SEJARAH CAGAR BUDAYA KOTA TEGAL TAHUN 2019

MENGENBALIKAN INGATAN TENTANG


KARDINAH ZIEKENHUIS

Oleh:

1. AGUNG PRASETIO NIS 4397


2. INSANI LAKSMI S. NIS 4468

DIPERGUNAKAN DALAM RANGKA LOMBA KARYA ILMIAH


DINAS PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
SMP N 19 KOTA TEGAL
Jl. S.A. Tirtayasa Kel. Bandung Tegal Selatan Telp. (0283) 352767

i
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan syukur Alhamdulillah, penulis panjatkan kehadirat


ALLAH SWT atas rahmat dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan Karya Tulis yang berjudul “Mengenbalikan Ingatan Tentang
Kardinah Ziekenhuis”. Walaupun tidak sedikit hambatan dan kesulitan yang kami
hadapi, tiada daya dan upaya kecuali atas pertolongan Allah SWT.

Walaupun demikian, sudah barang tentu Karya Tulis ini masih terdapat
kekurangan dan belum sempurna karena keterbatasan kemampuan kami. Oleh
karena itu saran dan kritik yang bersifat membangun dari semua pihak kami
harapkan agar dalam pembuatan makalah di waktu yang akan datang bisa lebih baik
lagi . Besar harapan kami semoga makalah ini dapat berguna bagi siapa saja yang
membacanya.

Tegal, 25 Februari 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i


KATA PENGANTAR ........................................................................................ ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
A. Rumusan Masalah ................................................................................... 1
B. Tujuan Penelitian .................................................................................... 1
C. Manfaat Penelitian .................................................................................. 5
1. Manfaat Teoretis ................................................................................. 5
2. Manfaat Praktis ................................................................................... 5
D. Metode Penulisan .................................................................................... 5
E. Sistematika Penulisan ............................................................................. 6
BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................... 7
A. Riwayat Hidup Raden Ajeng Kardinah ................................................... 7
B. Profil dan Sejarah RSUD Kardinah ...................................................... 11
1. Profil RSUD Kardinah ..................................................................... 11
2. Sejarah RSUD Kardinah ................................................................... 14
BAB III PENUTUP ............................................................................................ 15
A. Simpulan ...................................................................................................15
B. Saran ..........................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Merupakan suatu hal yang begitu indah dan mulia apabila para pelajar

Indonesia dapat menikmati harta warisan cagar budaya bangsa yang telah

diturunkan oleh leluhur bangsa. Dengan mewarisi cagar budaya bangsa melalui

kegiatan belajar (mengetahui, melihat, memahami, mengerti dan menelusuri serta

melindungi) secara tidak langsung juga ikut membantu melestarikan warisan cagar

budaya bangsa yang sangat beragam, sehingga pada diri pelajar Indonesia akan

tercipta dan terbentuk rasa ikut memiliki (handarbeni). Rasa ikut memiliki disini,

bukan berarti memiliki benda cagar budaya bagi kelompok atau pribadi seseorang

tertentu, namun yang dimaksud adalah timbul-nya empati dan rasa memiliki

terhadap cagar budaya bangsa dengan tetap menyadari keberadaan serta mau

melindungi cagar budaya tersebut. Dengan kesadaran dan rasa empati yang timbul

dari diri pribadi terhadap budaya luhur bangsa, maka akan ikut pula menumbuhkan

rasa toleransi terhadap sesama individu atau kelompok di dalam masyarakat multi

kultural.

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010

dijelaskan bahwa Cagar budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa

Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs

Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya didarat dan/atau di air yang perlu

dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu

pengetahuan, pendidikan, agama, dan kebudayaan melalui proses penetapan. Cagar

1
Budaya pada hakikatnya merupakan kekayaan budaya bangsa Indonesia sebagai

hasil pemikiran dan perilaku kehidupan manusia yang memiliki arti penting bagi

pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan dalam

kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Cagar budaya juga dapat

dikatakan sebagai artefak yang memiliki nilai sebagai wujud infomasi bagi

perkembangan sebuah kota atau lingkungan terdekatnya cagar budaya dapat

dianggap juga memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan

kebudayaan. Oleh karena hal tersebut maka Cagar Budaya yang merupakan warisan

luhur bangsa Indonesia, perlu dilestarikan melalui langkah pelindungan,

pengembangan, dan pemanfaatan dalam rangka melindungi kebudayaan nasional

untuk kemakmuran rakyat.

Seiring dengan perkembangan zaman, kegiatan pemanfaatan cagar budaya

dalam rangka melindungi kebudayaan nasional untuk kemakmuran rakyat justru

banyak yang disalah artikan. Misalkan saja upaya pelestarian bangunan maupun

kawasan cagar budaya dewasa ini, terlalu banyak diprioritaskan untuk merenofasi

bangunan cagar budaya secara fisik saja, akibatnya dalam beberapa tahun terakhir

banyak bangunan dan kawasan bersejarah yang mengalami penurunan kualitas dan

terdegradasi, hal ini dikarenakan masyarakat yang belum mengenal nilai historis

dari bangunan sebagai cagar budaya yang ada di lingkungannya. Pemanfaatan

benda-benda cagar budaya yang seharusnya mengutamakan unsur sejarah, ilmu

pengetahuan, dan kebudayaan, jutru sebagian besar telah bergeser untuk menunjang

sarana ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan lain sebagainya. Hal ini secara tidak

langsung akan ikut membentuk pola pikir yang keliru bagi pelajar dan masyarakat

2
Indonesia dalam melihat benda-benda cagar budaya. Mereka hanya akan

mengetahui fungsi bangunan cagar budaya hanya sebagai penunjang sarana-sarana

tersebut, tanpa mengetahui nilai historis dan budaya yang terkandung dalam benda-

benda cagar budaya tersebut.

Contoh kejadian di atas, sama seperti yang terjadi pada bangunan RSUD

Kardinah Kota Tegal. RSUD Kardinah sejatinya merupakan salah satu dari puluhan

bangunan cagar budaya yang ada di Kota Tegal. RSUD Kardinah dibangun pada

tahun 1927 atas prakarsa RA. Kardinah adik kandung dari Pahlawan Pergerakan

Wanita RA. Kartini. Pada awalnya pembangunan RSUD Kardinah dilatar belakangi

oleh keprihatinan RA. Kardinah melihat kondisi kesehatan masyarakat Tegal waktu

itu yang banyak terserang penyakit tetapi tanpa perawatan dan fasilitas kesehatan

yang memadai pada masa itu. Namun setelah 92 tahun berdiri RSUD Kardinah

justru mulai kehilangan jati dirinya. Dengan kegiatan pembugaran besar-besaran

yang telah dilakukan beberapa tahun belakangan, justru membuat unsur historis dan

budaya RSUD Kardinah semakin terkikis dan mulai kehilangan ingatan tentang

masa lalunya. Hal ini dibuktikan dengan sedikitnya generasi muda sekarang ini,

baik para pelajar maupun masyarakat umum di Kota Tegal yang tidak mengetahui

nilai historis dari RSUD Kardinah sebagai salah satu cagar budaya di Kota Tegal.

Kebanyakan dari mereka hanya mengetahui bahwa RSUD Kardinah hanyalah

bangunan penunjang fungsi kesehatan yang dibangun oleh pemerintah kota Tegal,

tanpa mengetahui siapa itu RA. Kardinah dan bagaimana perjuangan beliau dalam

mendirikan RSUD Kardinahpada tahun 1927. Maka dari itu berdasarkan latar

belakang di atas, penulis membuat Karya Tulis mengenai pelestarian cagar budaya

3
di Kota Tegal dengan judul “MENGENBALIKAN INGATAN TENTANG

KARDINAH ZIEKENHUIS”, agar pelajar dan masyarakat Kota tegal dapat

mengetahui fungsi historis dari RSUD Kardinah.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan dari uraian latar belakang di atas, penulis merumuskan

beberapa permasalahan yang menjadi pokok pembahasan dalam Karya Tulis,

sebagai berikut.

1. Bagaimanakan riwayat hidup Raden Ajeng Kardinah, sebagai penggagas

berdirinya RSUD Kardinah Kota Tegal?

2. Bagaimanakah profil dan sejarah berdirinya RSUD Kardinah yang merupakan

salah satu warisan cagar budaya di Kota Tegal?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah di atas, penulis mengungkapkan beberapa

tujuan dari penulisan Karya Tulis ini, sebagai berikut.

1. Untuk mengetahui riwayat hidup Raden Ajeng Kardinah, sebagai penggagas

berdirinya RSUD Kardinah Kota Tegal.

2. Untuk mengetahui profil dan sejarah berdirinya RSUD Kardinah yang

merupakan salah satu warisan cagar budaya di Kota Tegal.

4
D. Manfaat Penulisan

Manfaat yang penulis harapkan dari Karya Tulis mengenai RSUD Kardinah

sebagai cagar budaya ini adalah sebagai berikut.

1. Manfaat teoretis

Karya Tulis ini diharapkan dapat dijadikan sebagai tambahan referensi

ilmu pengetahuan khususnya mengenai sejarah bangunan cagar budaya di

Kota Tegal, serta dapat memperkaya wawasan dan pengetahuan kepada

pelajar dan masyarakat Kota Tegal, dalam rangka menjunjung tinggi nilai

nasionalisme terhadap bangsanya.

2. Manfaat praktis.

Karya Tulis ini dapat dijadikan sebagai motor pembangkit kesadaran

pelajar dan masyarakat Kota Tegal, mengenai rasa empati, menghargai dan

mengetahui peran Raden Ajeng Kardinah dalam menjaga serta memelihara

sebagai warisan sejarah Tegal.

E. Metode Penulisan

Metode yang penulis gunakan dalam karya tulis ini dalam mengumpulkan

data-data penelitian adalah metode kepustakaan dan metode observasi. Metode

kepustakaan yang penulis lakukan yaitu, dengan mencari dan mengambil data dari

bahan pustaka yang relevan dengan penelitian penulis. Selain metode kepustakaan,

penulis juga menggunakan lainnya yaitu metode observasi. Metode observasi yang

penulis lakukan yaitu pengumpulan data dengan menggunakan indra secara

langsung di lingkungan cagar budaya yang menjadi objek penelitian penulis yaitu

RSUD Kardinah Kota Tegal.

5
F. Sistematika Penulisan

Penulis menyusun karya tulis ini, dengan susunan sebagai berikut. Bagian

pertama dalam karya tulis ini adalah bab pendahuluan. Pada bab ini dijelaskan

mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat

penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan. Pada bab kedua, penulis

akan memaparkan dan membahas data penelitian yang telah terkumpul, dari hasil

metode kepustakaan dan observasi, mengenai RSUD Kardinah sebagai salah satu

cagar budaya di Kota Tegal. Bab ketiga dalam karya tulis ini, merupakan bab

penutup, pada bagian ini penulis menyimpulkan uraian dan memberikan saran

mengenai upaya pelestarian RSUD Kardinah sebagai aset cagar budaya di Kota

Tegal.

6
BAB II

PEMBAHASAN

A. Riwayat Hidup Raden Ajeng Kardinah

Perjuangan untuk memerdekakan kaum perempuan dari belenggu adat

feodal (bangsawan) tidak hanya dilakukan oleh Raden Ajeng Kartini, sosok yang

dikenal sebagai pelopor pergerakan perempuan, tetapi juga dilakukan oleh adiknya

yaitu Raden Ajeng Kardinah. Meskipun namanya hampir selalu di bawah bayang-

bayang nama besar kakaknya Kartini, akan tetapi perjuangan Kardinah untuk

mewujudkan pendidikan bagi kaum perempuan tidak dapat diabaikan begitu saja.

Kardinah merupakan salah satu putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat yang

menjabat sebagai Bupati Jepara sejak tahun 1881.

Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat lahir pada 26 April 1845 dan menjadi

Bupati Jepara setelah sebelumnya menjabat sebagai wedana di Mayong.

Sosroningrat mempunyai dua istri yaitu Mas Ajeng Ngasirah sebagai garwa ampil

dan Raden Ayu Moerjam sebagai garwa padmi. Berdasarkan adat Jawa, garwa

ampil biasa disebut juga dengan “selir”, sedangkan garwa padmi adalah sebutan

untuk istri utama yang mendampingi suami pada upacara-upacara resmi.

Pada 1 Maret 1881 atau hari Selasa pahing, Ngasirah melahirkan seorang

putri yang diberi nama Kardinah, (Anri. 1964: 1). Selayaknya putri bupati lainnya

yang juga berdarah biru membuat Kardinah menyandang gelar Raden Ajeng.

Kardinah adalah anak ketujuh dari 11 bersaudara yang dilahirkan dari dua orang

ibu. Moerjam sebagai garwa padmi memiliki tiga orang putri yaitu Raden Ajeng

Soelastri, Raden Ajeng Roekmini, dan Raden Ajeng Kartinah. Sedangkan Ngasirah,

7
sebagai garwa ampil memiliki 8 orang putra dan putri. Mereka terdiri dari lima

orang putra yakni Raden Mas Slamet, Raden Mas Boesono, Raden Mas Panji

Sosrokartono, Raden Mas Muljono, Raden Mas Rawito dan tiga orang putri yaitu

Raden Ajeng Kartini, Raden Ajeng Kardinah, serta Raden Ajeng Soematri.

Kardinah dengan kedua kakaknya, Kartini dan Roekmini, tumbuh besar

bersama di dalam kadipaten dan sangat akrab satu sama lainnya. Mereka selalu

bermain bersama dan tidak terpisahkan. Oleh karena itu, kemudian mereka disebut

sebagai Tiga Saudara (Het Klaverblad van Jepara). Selama masa pertumbuhan

anak-anaknya, Sosroningrat selalu mengawasi perkembangan jiwa mereka.

Sosroningrat memperlakukan ketiga putrinya tanpa perbedaan, ia selalu mendidik

mereka dengan lemah lembut dan sabar serta menanamkan nilai-nilai kebaikan di

setiap harinya.

Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat merupakan sosok orang tua yang

memiliki pandangan yang telah maju. Setelah putri-putrinya cukup umur,

Sosroningrat menyekolahkan mereka ke sekolah Belanda dengan nama Tweede

Klasse Holandsche School di Jepara. Sekolah ini hanya menerima anak- anak

Belanda dan Indo-Belanda serta anak-anak bupati, (Rembang: 13). Walaupun

bersifat progresif dengan menyekolahkan anak-anaknya, akan tetapi Sosroningrat

masih menjunjung tinggi adat istiadat yang berlaku saat itu. Sosroningrat tidak

mengizinkan putri-putrinya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih

tinggi setelah mereka lulus dari sekolah Belanda (Tweede Klasse Holandsche

School). Anak- anak gadisnya hanya dibolehkan menikmati pendidikan di sekolah

Belanda hingga usia 12 tahun saja. Sesudah itu, mereka akan dipingit dan bersiap

8
untuk menjadi ibu rumah tangga. Seperti halnya anak-anak perempuan lain,

Kardinah juga harus merasakan pingitan. Kardinah memasuki masa pingitan di

tahun 1896.

Selain harus masuk dalam pingitan, para anak perempuan Raden Mas

Adipati Ario Sosroningrat, juga tidak diperkenankan untuk memiliki impian dan

bertindak sesuai keinginan mereka. Kaum perempuan hanya dipersiapkan menjadi

calon pelayan suami yang harus bekerja di dalam rumah (Mayling Oey Hardine,

1996, hlm.293). Dalam konsep budaya Jawa masa lampau, kegiatan perempuan

khususnya yang telah menjadi istri hanya berkisar seputar dapur (memasak), sumur

(mencuci), dan kasur (melayani kebutuhan biologis suami). Hal tersebut

menunjukkan sempitnya ruang gerak dan pemikiran bagi kaum perempuan

sehingga perempuan tidak memiliki cakrawala di luar tugas-tugas domestiknya,

(Sri Suharjadi. 2001: 6).

Berbeda halnya dengan kaum laki-laki yang sejak semula diperbolehkan

untuk menempuh pendidikan hingga jenjang tertinggi sampai ke luar negeri. Kaum

laki-laki yang mendapatkan kesempatan bersekolah menjadi lebih pintar

dibandingkan dengan kaum perempuan yang tidak disekolahkan. Adat istiadat

feodal membuat kedudukan antara kaum laki-laki dan kaum perempuan

mempunyai garis pemisah yang tegas. Peraturan adat yang berlaku pada masa itu

sangat merugikan bagi kaum perempuan.

Akhirnya pada tanggal 2 Mei 1898, Tiga Saudara secara resmi ke luar dari

pingitan. Setelah ke luar dari pingitan, Kardinah dan kedua kakaknya diizinkan

mengelilingi kampung untuk mengetahui kehidupan masyarakat umum. Mereka

9
ingin mengenal masyarakat lebih dekat, dan tak sungkan jika secara langsung

membantu untuk memperbaiki kehidupan masyarakat. Setelah cukup lama

melakukan pengamatan terhadap lingkungan sekitarnya, Tiga Saudara akhirnya

memperoleh kesimpulan bahwa untuk memajukan kehidupan ekonomi, sosial, dan

moral perempuan ialah melalui jalan pendidikan. Pendidikan akan dapat

menumbuhkan kesadaran perempuan dan mengembangkan kemampuan mereka

agar berguna bagi kemajuan masyarakat (Medyana Reskarani. 2018: 96).

Sistem adat feodal (bangsawan) yang mengekang hak-hak kaum perempuan

yang hanya diorientasikan untuk memberi keuntungan bagi kaum laki-laki,

membuat Kardinah, Kartini, dan Roekmini (tiga saudara) bertekad untuk

memberontak terhadap sistem yang tidak berkeadilan bagi kaum perempuan yang

telah diwariskan secara turun- temurun tersebut. Kardinah dan kedua kakaknya

menuntut agar para perempuan diizinkan untuk memperoleh pendidikan, baik yang

bersifat pengetahuan umum maupun pendidikan kejuruan, hal ini dimaksudkan agar

kaum perempuan memperoleh keterampilan yang dapat digunakan untuk mencari

nafkah sendiri dan tidak hanya bergantung kepada suami. Selain itu, diutamakan

pula untuk memperoleh pendidikan mental agar para perempuan mampu memiliki

watak yang luhur, sopan santun yang baik, serta bertanggungjawab sehingga

mereka dapat mengangkat derajat kaum perempuan dan meruntuhkan adat

feodalisme jawa lama (Medyana Reskarani. 2018: 96).

Pendidikan bagi kaum perempuan yang diusahakan oleh Kardinah

merupakan sebuah usaha demi membantu kaum perempuan untuk berani

mengambil suatu keputusan. Melalui pendidikan akan membuat perempuan

10
memperoleh keahlian sehingga nantinya dapat berdiri sendiri dan menentukan

nasibnya sendiri. Kaum perempuan sebagai pengembang peradaban perlu

mendapatkan pendidikan agar kelak anak- anaknya dapat dididik dengan baik.

Pendidikan yang dimaksud tidak hanya pendidikan formal untuk memperoleh

pengetahuan umum saja, tetapi juga pendidikan di lingkungan keluarga dan

masyarakat. Bagi perempuan, pendidikan moral memiliki peran yang sangat

penting, hal ini karena dengan baiknya pendidikan moral perempuan, maka akan

berdampak pula bagu kepribadian anak-anak mereka kelak (Medyana Reskarani.

2018: 96).

B. Profil dan Sejarah RSUD Kardinah

1. Profil RSUD Kardinah

Rumah Sakit Umum Daerah Kardinah kota Tegal merupakan salah

satu lembaga teknis daerah, yakni sebagai unsur pendukung walikota Tegal

yang bertugas melaksanakan kebijakan daerah dibidang pelayanan

kesehatan. Sebagai unsur pendukung, RSUD Kardinah berkewajiban

mendukung dan mewujudkan visi dan misi walikota Tegal periode 2014-

2019, yaitu terwujudnya kota Tegal yang sejahtera dan bermartabat

berbasis pelayanan prima. Dalam mewujudkan dukungan tersebut RSUD

Kardinah memiliki peran strategis dalam meningkatkan derajat kesehatan

masyarakat melalui upaya pelayanan kesehatan perorangan secara

paripurna (Tohari, 2015: 1).

Dalam implementasi kegiatan RSUD Kardinah menetapkan visi,

misi, motto, falsafah, dan nilai serta program kegiatan yang menjadi

11
pijakan dalam mendukung visi dan misi walikota Tegal sebagai kepala

daerah. Arah pengembangan pelayanan rumah sakit, yaitu

memprioritaskan pelayanan kepada pasien secara terpadu, peningkatan

kesehatan lingkungan, peningkatan mutu, pelayanan pendidikan dan

penelitian sebagai pengembangan riset ilmu pengetahuan kesehatan

masyartakat, dan ilmu pengetahuan secara umum serta peningkatan

kompetensi petugas. Pengembangan ini selaras dengan tujuan masa depan

rumah sakit bertaraf nasional dan kelas dunia (Tohari, 2015 : 1).

RSUD Kardinah kota Tegal bermula dari balai pengobatan yang

didirikan pada tahun 1927 oleh Raden Ajeng Kardinah, beliau merupakan

adik kandung dari Raden Ajeng Kartini tokoh nasional perintis emansipasi

wanita, yang sangat peduli dengan nasib rakyat, khususnya dalam hal

pengobatan yang masih sangat tradisional. Pada tahun 1971 setelah Raden

Ajeng Kardinah wafat, balai pengobatan yang sudah mengalami berbagai

peningkatan sarana dan prasarana diserahkan kepada pemerintah daerah

tingkat II kota madya Tegal dan kemudian berubah menjadi rumah sakit

yang kemudian diberi nama rumah sakit umum Kardinah. Pada tahun

1983, dengan surat keputusan walikota madya dati II Tegal nomor :

61/1/1004/1983, ditetapkan sebagai rumah sakit umum Kardinah tipe C,

selanjutnya pada tahun 1995 dengan surat keputusan menteri kesehatan

nomor : 92/MENKES/SK/1995, ditetapkan sebagai rumah sakit umum

daerah kelas B non pendidikan. Lulus akreditasi dengan sertifikasi

akreditasi rumah sakit 5 (lima) pelayanan dasar pada tahun 1998, dan pada

12
tahun 2005 lulus akreditasi dengan 12 pelayanan. pada tahun 2008 dengan

surat keputusan walikota Tegal nomor : 445/244/2008, tanggal 31

Desember 2008 ditetapkan sebagai rumah sakit umum daerah yang

menerapkan pola pengelolaan keuangan badan layanan umum daerah

secara penuh meraih sertifikasi ISO 9001 : 2008, certificate of registration

no. D.0023.1.1023.12.11 tentang manajemen mutu. Pada tanggal 16

Desember 2011. Rumah sakit umum daerah Kardinah kota Tegal banyak

mendapatkan penghargaan serta rekomendasi umum, yaitu (1) berdasarkan

surat keputusan menteri kesehatan republik Indonesia nomor

451/MENKES/SK/XII/2012 tanggal 28 Desember 2012 RSUD Kardinah

menjadi rumah sakit rujukan bagi orang terkena HIV dan AIDS, (2)

berdasarkan surat keputusan gubernur Jawa Tengah nomor 440/110 tahun

2013, tanggal 23 Agustus 2013 RSUD Kardinah ditetapkan sebagai selah

satu rumah sakit rujukan regional provinsi Jawa Tengah, (3) Pada tahun

2015 mendapat sertifikat sistem management mutu ISO 9001 : 2015,

(4) lulus akreditasi rumah sakit versi 2012 kars tingkat utama pada tahun

2015. Hal ini merupakan upaya yang ditujukan untuk meningkatkan

pelayanan kepada para pengguna jasa (Tohari, 2015 : 2-3).

Letak RSUD Kardinah berada di kelurahan Kejambon kecamatan

Tegal Timur berbatasan dengan wilayah kelurahan Debong Tengah dan

Randugunting kecamatan Tegal Selatan kota Tegal dan kelurahan

Dukuturi kabupaten Tegal. Posisinya yang strategis berada di

persimpangan jalan utama antara kota Tegal dan Purwokerto, sekaligus

13
menjadi pintu masuk tempat sarana pelayanan kesehatan wilayah pantura

pulau Jawa, jika berasal dari wilayah selatan. Hal ini menjadi akses untuk

menuju RSUD Kardinah mudah dijangkau, karena letaknya yang sangat

strategis tersebut, itu juga salah satu yang mendukung sebagaian besar

pasien di luar kota Tegal lebih memilih RSUD Kardinah dari pada RSU

yang ada di wilayahnya (Tohari, 2015 : 3).

2. Sejarah RSUD Kardinah

Raden Ajeng Kardinah, tidak kalah gigih usahanya dalam

meningkatkan derajat kaum wanita. Sejak kecil dia mengabdikan diri demi

kemajuan wanita dan bangsa. Bersama saudara kandungnya, Kartini dan

Roekmini, mereka yang juga dikenal dengan tiga serangkai, berusaha

mewujudkan cita-cita; mendobrak adat kuno. Komunikasi tiga serangkai

mengalami jeda,tahun 1902, saat Kardinah menikah dengan RM

Reksoharjono. Kardinah mengikuti suaminya ke Pemalang dan Tegal,

sedangkan Kartini dan Roekmini menetap di Jepara. Namun Kardinah

selalu ingat dan taat akan cita-cita tiga serangkai ( Daryono.2014 : 126).

Saat suaminya menjadi patih di Pemalang, di lingkungan

Kepatihan, Kardinah pun mengajari anak-anak belajar menulis dan

menjahit. Cara mendidiknya menarik perhatian kaum priayi karena itu

banyak di antara mereka menitipkan anak-anaknya. Setelah enam tahun di

Pemalang, pada 1908 suami Kardinah diangkat menjadi Bupati Tegal

bergelar Reksonegoro X. Di Tegal, Kardinah semakin bergairah untuk

mencerdaskan perempuan pribumi. Dia membangun sekolah kepandaian

14
putri bagi gadis pribumi bernama Wismo Pranowo. Selain mengelola

sekolah itu, dia mengajarkan anak didiknya membatik dan memasak (

Daryono.2014 : 126).

Karya pengabdiannya yang paling besar adalah Rumah Sakit

Umum Kardinah di Jalan Karel Sasuit Tubun Tegal, yang dikenal dengan

daerah Kejambon. Sampai sekarang rumah sakit itu makin berkembang.

Awalnya bernama Kardinah Ziekenhuis, dan peletakan batu pertamanya

pada tahun 1927 dilakukan oleh adik Kardinah, Soematri

Sosrohadikoesoemo. Saat itu Kardinah sakit dan harus dirawat di

Semarang. Perancangan dan pelaksanaan pembangunan rumah sakit itu

diserahkan kepada temannya yang berkebangsaan Belanda, B Hommes (

Daryono.2014 : 126).

Rumah sakit itu ternyata dibangun dari uang hasil penjualan buku

dan kompensasi sekolah kepandaian putri Wismo Pranomo, yang diambil

alih Pemerintah Belanda. Waktu itu Kardinah berhasil mengumpulkan

uang 16.000 gulden (F 16.000), jumlah yang sangat besar pada waktu itu..

Buku karya Kardinah yang dijual pada Pemerintah Belanda adalah buku

penuntun memasak dan membatik. Semula Kardinah berharap ada subsidi

dari pemerintah. Namun subsidi yang dia tunggu untuk membantu

pembiayaan sekolah yang dia bangun, tidak kunjung datang. Keadaan ini

menghidupkan kembali semangat untuk mewujudkan apa yang belum

terlaksana dan apa yang berguna untuk bangsa ( Daryono.2014 : 126).

15
Sejak kecil Kardinah memang bercita-cita membangun rumah sakit

untuk umum. Cita-cita itu berawal dari seringnya dia melihat ketidakadilan

dalam pelayanan kesehatan. Apabila sakit, ia berbaring di tempat tidur

dengan memakai selimut, dan obatnya dari dokter. Tetapi bila pelayan

yang sakit, hanya berbaring di balai-balai, dan obatnya sekehendak sendiri,

sedangkan selimutnya hanya kain tipis. Prinsip egaliter yang diterima sejak

kecil membuat Kardinah tidak puas dengan keadaan demikian. Apalagi

bila melihat murid-murid perempuannya melahirkan tanpa dukungan

tenaga dan fasilitas medis yang memadai. Dia mendengar murid-muridnya

yang akan bersalin gembira bila Kardinah mau menungguinya walau

sebentar. Kejadian itu makin menguatkan niatnya membuat rumah sakit (

Daryono.2014 : 126).

Semula dia bermaksud mendirikan sebuah rumah sakit kecil untuk

bersalin. Kardinah dan adiknya Soematri, yang pada waktu itu bekerja di

Tegal, bersama-sama pergi ke Cirebon untuk melihat Rumah Sakit Dokter

Toha, sebagai pembanding. Tetapi apa yang dia lihat di Cirebon tidak

sesuai dengan kehendaknya. Dalam pikiran Kardinah, meskipun kecil,

harus sebuah rumah sakit umum. Kardinah lalu pergi ke Pekalongan

menemui Schilling, Residen Pekalongan untuk membicarakan sebuah

rencana pembangunan rumah sakit. Residen menyatakan sangat setuju

dengan gagasan Kardinah dan menyanggupi akan memberi bantuan,

dengan catatan rumah sakit itu harus diberi nama Kardinah ( Daryono.2014

: 126).

16
Tahun 1927, rumah sakit yang diidam-idamkan Kardinah berdiri,

rumah sakit baru yang disediakan Untuk masyarakat umum ini diberi

nama Kardinah Ziekenhuis. Dari hasil penjualan buku-bukunya itu,

Kardinah masih dapat mendirikan sebuah rumah penampungan bagi orang-

orang miskin yang terletak tidak jauh dari rumah sakit. Ia pun sangat aktif

dalam berbagai lapangan sosial lain yang berhubungan dengan

kedudukannya sebagai istri bupati. Kardinah telah berhasil membuat karier

sendiri yang cukup gemilang dan sampai sekarang masih besar manfaatnya

bagi masyarakat Tegal. Tahun 1969, pemerintah mengakui jasa-jasa besar

Kardinah dengan menganugerahkan Lencana Kebaktian Sosial Republik

Indonesia. Penyematan anugerah dilakukan Gubernur Jawa Tengah (waktu

itu) Mayjen Moenadi ( Daryono.2014 : 126).

17
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

RSUD Kardinah didirikan pada tahun 1927 oleh gagasan Raden Ajeng

Kardinah adik dari Raden Ajeng Kartini tokoh perjuangan hak-hak perempuan.

Perancangan dan pelaksanaan pembangunan rumah sakit itu diserahkan kepada

temannya yang berkebangsaan Belanda, B Hommes. Pada awalnya RSUD

Kardinah bernama Kardinah Ziekenhuis, yang diresmikan pertama kali oleh adik

Kardinah, Soematri Sosrohadikoesoemo. RSUD Kardinah dibangun dari uang hasil

penjualan buku karya Raden Ajeng Kardinah yang dijual pada Pemerintah Belanda

dan kompensasi sekolah kepandaian putri Wismo Pranomo, yang diambil alih

Pemerintah Belanda. Warisan cagar budaya yang sudah puluhan tahun

diperjuangkan oleh Raden Ajeng Kardinah, sudah selayaknya kita terus

perjuangkan nilai sejarahnya.

B. Saran

Kiranya merupakan sebuah tindakan yang tepat apabila pelajar dan

masyarakat Indonesia secara umumnya dan pelajar Sekolah Menengah Pertama di

Kota Tegal secara khusus, bisa menunjukkan pribadi yang berbudaya bangsa

Indonesia melalui pemahaman mengenai sejarah benda cagar budaya. Seperti

halnya pemahaman mengenai aspek historis yang dimiliki oleh RSUD Kardinah,

sebagai salah satu bangunan cagar budaya di Kota Tegal. Hal ini merupakan salah

satu kiat untuk menumbuh kembangkan serta membentuk jiwa nasional

(caracterbuilding) pelajar Indonesia untuk dapat menyaring, mengolah, dan

18
menangkal unsur-unsur budaya luar yang sengaja atau tidak sengaja akan merusak

bahkan memusnahkan ragam budaya Indonesia termasuk mengubah pola pikir dan

pandangan pelajar dan masyarakat mengenai cagar budaya Indnesia.

19
DAFTAR PUSTAKA

ANRI. 1964. “Kartini” (Tiga Sudara) saking Ibu Kardinah Reksonegoro


ing Salatiga tahun 17 Agustus 1964, surat 16 Djuli.

Daryono, Yono. 2009. Kutil, Kardinah, dan Bu Sarjoe (Online),


https://infotegal.com/2009/01/ diunduh pada tanggal 20 Februari
2019.

Daryono, Yono. 2011. Raden Ajeng Kardinah (Online),


https://infotegal.com/2011/01/ diunduh pada tanggal 25 Februari
2019.

Kardinah Reksonegoro, Tiga Saudara, Rembang: Pemerintah Kabupaten


Dati II Rembang, 1958.

Medyana Reskarani. 2018. Peran Raden Ajeng Kardinah Dalam Sekolah


Wisma Pranawa Tegal 1916 – 1924. E-Jurnal Universitas Negeri
Yogyakarta.

Mayling Oey Hardine. 1996. Perempuan Indonesia Dulu dan Kini. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama. hlm. 293.

Sri Raharjo. 1988. Berdirinya Kota Tegal, Tegal: t.p.

Tohari. Hakim. 2015. Profik RSUD Karnidah Kota Tegal. Jawa Tengah :
Dinas Kesehatan Kota Tegal.

1
Lampiran

2
3

Anda mungkin juga menyukai