Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH BAHASA BELANDA DI SEKOLAH-SEKOLAH

AMBTENAAR DAN DOKTER DJAWA PADA ABAD XIX

Kelas Hubungan Indonesia Belanda A

Kelompok 1

1. Annisa Izzatul Y. (1606890486)


2. Evilia Miftahuljanah (1606822573)
3. Nony Amanda A. (1606893241)

Makalah untuk Mata Kuliah


Hubungan Indonesia A

FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA

UNIVERSITAS INDONESIA

2018
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sepanjang sejarah masa pemerintahan VOC maupun masa pemerintahan Hindia
Belanda, penyebaran bahasa Belanda di daerah Hindia Belanda selalu dikesampingkan. Baru
pertengahan abad XIX pengajaran bahasa Belanda mulai ditingkatkan, tidak hanya untuk
kaum-kaum Eropa saja tetapi untuk kaum bumiputra juga. Kesadaran akan pentingnya
pendidikan bahasa Belanda ini dinilai lambat jika dibandingkan dengan negara kolonial
lainnya seperti Inggris dan Perancis yang telah menanamkan pengaruh bahasa ibu mereka di
daerah jajahannya.
“Djelas Belanda tidak mau ketinggalan! Maka bahasa Belanda mulai diadjarkan di
H.I.S. sekolah dasar untuk bumiputra jang dibuka tahun 1914, menjusul dibukanja H.C.S.,
sekolah dasar untuk kalangan Tionghoa pada 1908. Djelas ini langkah jang terlambat lagi
setengah hati.” tulis Joss Wibisono dalam kolom opini di media elektronik Tirto mengenai
tindakan pemerintah Belanda terkait kebijakan yang menunjang penggunaan bahasa Belanda
di Hindia Belanda.
Sepanjang abad XIX telah didirikan berbagai macam sekolah di Hindia Belanda,
tetapi penggunaan dan pengaruh bahasa Belanda dari pendirian sekolah-sekolah tersebut
sangat minim. Hal inilah yang membuat kami tertarik untuk mengamati perkembangan
bahasa Belanda di sekolah-sekolah ambtenaar dan dokter djawa pada abad XIX.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana peran bahasa Belanda dalam proses pengajaran di sekolah-sekolah
Ambtenaar dan Dokter Djawa pada abad XIX?
2. Bagaimana perkembangan penggunaan bahasa Belanda dalam proses pengajaran di
sekolah-sekolah Ambtenaar dan Dokter Djawa pada abad XIX?
3. Apa dampak pengajaran bahasa Belanda di sekolah-sekolah Ambtenaar dan Dokter
Djawa?

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Bahasa Belanda di Sekolah Ambtenaar di Hindia Belanda pada Abad XIX
Abad XIX merupakan titik awal berkembangnya pendidikan yang merata bagi rakyat
Hindia Belanda. Pada masa ini, pemerintah kolonial mulai menyadari betapa pentingnya
bahasa bagi persatuan dan kesetiaan penduduk untuk takluk pada pemerintah kolonial1.

2.1.1 Pemerintah Hindia Belanda dan Pengajaran Bahasa Belanda


Politik bahasa eksplisit yang diwujudkan dengan pengajaran bahasa Belanda kepada
masyarakat bumiputra dilarang di sekolah-sekolah pada awal abad XIX, karena pemerintah
khawatir dengan semakin banyaknya ilmu pengetahuan yang masuk dan pada akhirnya akan
menyebabkan masyarakat bumiputra semakin berpikiran terbuka. Barulah ketika pertengahan
abad XIX pengajaran bahasa Belanda digalakkan kepada anak-anak golongan Eropa maupun
bumiputra. Keputusan pemerintah ini dilatarbelakangi oleh (1) penghilangan tanam paksa
atau ​cultuurstelsel dan (2) dibukannya Hindia Belanda untuk pihak swasta berinvestasi.
Kedua keputusan tersebut kemudian menimbulkan suatu kebutuhan baru di Hindia Belanda,
yaitu tenaga terdidik. Orang-orang hasil didikan inilah yang kelak menduduki posisi penting
sebagai ​ambtenaar​ (pegawai negeri), dokter dan pekerjaan lainnya.
Perdebatan mengenai bahasa pengantar di sekolah-sekolah Hindia Belanda pada abad
XIX tidak akan pernah usai. Hingga satu abad selanjutnya bahasa Melayu masih dijadikan
bahasa pengantar dan pergaulan atau ​lingua franca ​di Hindia Belanda. Anak-anak Indo lebih
sering menggunakan bahasa Melayu untuk berkomunikasi dengan keluarga atau
lingkungannya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa bahasa Belanda menjadi opsi
kedua dalam berkomunikasi atau dalam hal ini disebut sebagai ‘bahasa ayah’2. Selain
rendahnya dukungan dari penutur bahasa, pemerintah Hindia Belanda juga tidak begitu
antusias dalam mengajarkan bahasa Belanda. Mereka lebih menghendaki calon pegawai
pemerintahnya untuk mahir dalam berbahasa Melayu.

1
Kees Groeneboer dalam tulisannya ​Weg tot het Westen; Het Nederlands voor Indie 1600-1950; Een
taalpolitiek geschiedenis​ pada tahun 1993 yang diterjemahkan oleh Drs. Christina Suprihatin
2
Sebutan untuk bahasa ibu dari ayah yang berasal dari Belanda.
2
Setelah ELS didirikan, pemerintah memegang peran aktif untuk menyusun buku
pelajaran. Pemerintah Hindia Belanda menetapkan dua metode utama pengajaran bahasa
Belanda, yaitu Metode Prinsen3 yang diciptakan oleh PJ. Prinsen dan Metode Bouman4 yang
diciptakan oleh H. Bouman. Dalam proses belajar mengajar, pembelajaran Metode Prinsen
sangat populer pada paruh awal abad XIX. Sementara itu, di paruh akhir abad XIX, Metode
Bouman lebih mendominasi walaupun Metode Prinsen juga masih diminati. Beberapa buku
paket juga diterbitkan untuk mendukung pengajaran kedua metode ini. ​Leefels ten dienste der
scholen in Nederlandsche Indie (Buku-buku pelajaran membaca untuk keperluan
sekolah-sekolah di Hindia Belanda) karya A.C. Oediman yang terbit pada tahun 1839 itu
merupakan salah satu contoh buku paket yang bersumber pada Metode Prinsen.

2.1.2 Pengajaran Bahasa Belanda di Masa Transisi Pemerintahan


Pendidikan di Hindia Belanda pada awal abad XIX dilanda gejolak ketidakpastian
seiring dengan pergantian pemerintah dari Belanda ke Inggris pada 1811 yang kemudian
kembali lagi ke Belanda pada 1816. Daendels dan Raffles merupakan dua orang pemimpin
yang cukup hebat dan memiliki prinsip-prinsip tersendiri dalam mengatur sebuah negara.
Pada masa Daendels, pendidikan yang pada mulanya berbasis Kristen beralih ke pendidikan
yang bersumber dari adat masyarakat Indonesia, khususnya di wilayah Jawa. Salah satu
kebijakan Daendels terkait pendidikan berbasis adat ini adalah pendirian tiga buah sekolah
tari di daerah Cirebon, yaitu “Sekolah Ronggeng”5. Meski tujuan utama Daendels mendirikan
sekolah ini adalah untuk mengalihkan perhatian rakyat terhadap agitasi politik dan
menjauhkan semangat heroisme dan patriotisme rakyat Indonesia6, hal penting yang dapat
digarisbawahi dari era pemerintahan Daendels adalah kesadaran mengenai pendidikan
sebagai tugas dan kewajiban dari pemerintah7. Kesadaran pemerintah tersebut terkait dengan
paham ​aufklarung8 yang kemudian memunculkan pendidikan sekolah oleh negara dan pada
akhirnya melahirkan Sekolah Negeri. Sementara itu, pendidikan di Hindia Belanda tidak

3
Metode pendidikan yang mengganti pembacaan ejaan lama dengan bunyi atau suara.
4
Metode pendidikan yang mempelajari bunyi melalui pengamatan.
5
Sekolah yang dikelola oleh bekas sultan Cirebon dan diperuntukkan bagi gadis dari keluarga tidak mampu
berusia di bawah 12 tahun. Sekolah dengan lama belajar selama 4 tahun ini mengajarkan tata cara membaca dan
menulis secara sederhana dalam bahasa Melayu dan menari serta menyanyi.
6
Makmur, Djohan, dkk. Sejarah Pendidikan di Indonesia Zaman Penjajahan. Jakarta: CV. Manggala Bakti,
1993, hal. 58.
7
​idem​, hal. 58.
8
Artinya pencerahan dalam bahasa Jerman. Paham ini bercirikan dengan kepercayaan pada nalar, akal sehat,
sifat baik manusia dan perikemanusiaan.
3
mengalami perkembangan yang signifikan ketika berada di bawah kekuasaan Raffles. Pada
akhirnya, masa peralihan dua kekuasaan pemerintah itu berimbas besar pada perkembangan
pendidikan dan bahasa Belanda di Hindia Belanda. Keduanya berjalan lambat dan
dikesampingkan untuk memenuhi agenda kerja pemerintah lainnya.

2.1.3 Pengajaran Bahasa Belanda di Sekolah-sekolah Golongan Eropa


Hingga pertengahan awal abad XIX, hanya anak-anak dari golongan Eropa yang 80%
diantaranya merupakan keturunan Indo yang mampu mengenyam bangku pendidikan.
Sementara itu, golongan bumiputra yang diberi kesempatan untuk belajar adalah anak-anak
kaum elit bumiputra dan yang bertempat tinggal di wilayah penyebaran agama Kristen.
Pendidikan yang berpusat pada awal abad XIX sangatlah berpusat pada golongan Eropa.
Pernyataan ini didukung dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah pada tahun 1818 yang
mengatur tentang pengawasan dan sedikit masalah penyelenggaraan pengajaran. Peraturan
yang dibuat oleh CGC. Reindwardt, pendiri Kebun Raya Bogor, tidak menyinggung
pendidikan untuk anak bumiputra.
Bahasa Belanda menjadi syarat utama dan wajib yang harus dimiliki calon anak didik
di sekolah Eropa. Sekolah-sekolah yang ditujukan untuk kaum Eropa ini memiliki kesamaan
dengan sekolah di Belanda pada umumnya. Sehingga diharapkan lulusan sekolah-sekolah ini
tidak kalah bersaing dengan lulusan dari Belanda, tetapi fakta lapangan membuktikan bahwa
lulusan sekolah-sekolah ini tidak lebih baik daripada tamatan sekolah di Belanda. Baik dalam
kecakapan berbahasa Belanda atau kemampuan dalam melakukan kerja kantor. Berikut ini
sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah Belanda:
1. Europeesche Lagere School​ (ELS) / Pendidikan Dasar
Merupakan sekolah yang mencontoh sekolah dasar di Belanda dan didirikan pada
tahun 1817 di Batavia. Sekolah ini dikhususkan untuk anak-anak golongan Eropa dan
beberapa murid dari golongan elit bumiputra. Prasyarat utama agar dapat memasuki ELS
adalah kemahiran berbahasa Belanda yang cukup. Pada tahun 1864, ELS mengadakan tes
masuk sederhana mengenai kecakapan bahasa Belanda. Sehingga tidak mengherankan jika
golongan elit bumiputra yang notabenenya lebih mudah memahami bahasa Belanda yang
dapat menikmati pembelajaran di ELS daripada rakyat biasa. Walaupun kebanyakan para
murid ELS mampu berbahasa Belanda, bahasa Melayu masih menjadi bahasa pengantar di
sekolah ini. Menulis, membaca, berhitung, sejarah, ilmu bumi dan bahasa Belanda diajarkan

4
pada murid-murid ELS untuk mempersiapkan mereka menjadi pegawai rendahan atau
melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi.

2. Hogere Burger School​ (HBS) / Pendidikan Menengah atau Lanjutan


Merupakan sekolah lanjutan ELS yang didirikan karena semakin banyak anak Eropa
yang lulus dari sekolah dasar dan mempersiapkan lulusan ELS ke tingkat universitas atau
setidaknya bekerja sebagai pegawai dengan tingkatan yang lebih baik daripada pegawai
tamatan ELS. Sistem pendidikannya hampir sama dengan ELS dan masih mengharuskan
anak didiknya untuk mampu menguasai bahasa Melayu untuk berkomunikasi dengan
penduduk dan bahasa Belanda untuk berkomunikasi dengan atasan di kantor pemerintahan
yang pada umumnya berasal dari Belanda dan belum begitu fasih berbahasa Melayu. Pertama
kalididirikan dengan nama ​Gymnasium Willem pada 1860 dan pada 1867 dikategorikan
berdasarkan lama pendidikan yaitu 5 dan 3 tahun9 yang kemudian disamakan menjadi 5 tahun
proses belajar mengajar.

2.1.4 Pengajaran Bahasa Belanda di Sekolah-sekolah Golongan Bumiputra


Tidak banyak berbeda dengan kebijakan pemerintah Belanda yang sudah-sudah,
pemberian pendidikan bagi kaum bumiputra diselubungi oleh kepentingan ekonomi Belanda,
tenaga kerja terdidik yang murah dan penghematan dalam pembangunan ekonomi. Semntara
itu, Fransen de Putte, pencetus pendidikan liberal bagi bumiputra, mengusulkan pendidikan
yang merata untuk semua lapisan masyarakat agar ilmu itu kelak tidak hanya dijadikan bekal
menjadi pegawai saja tapi juga dapat memajukan dan membuka pemikiran mereka. Selain itu,
pendirian sekolah-sekolah negeri untuk kaum bumiputra ini pada akhirnya akan
memunculkan berdirinya sekolah kejuruan. Sekolah-sekolah negeri yang didirikan pada masa
ini diantaranya:
1. Indlansch School​ / Sekolah Dasar
Sekolah ini didirikan untuk mempersiapkan pegawai negeri dari kaum bumiputra,
tetapi pada kenyataannya anak-anak keturunan Indo yang diprioritaskan. Berbeda dengan
ELS yang mewajibkan anak didiknya memahami bahasa Belanda sebagai syarat masuk,

9
Pendidikan HBS yang memakan waktu selama 5 tahun diperuntukkan anak didik yang ingin melanjutkan ke
tingkat universitas, sementara 3 tahun untuk melanjutkan ke sekolah Pendidikan Perwira, Pegawai Negeri atau
Akademi Perdagangan.
5
Indlansch School memang dikhususkan untuk anak-anak golongan bumiputra yang memiliki
pengetahuan minim mengenai bahasa Belanda. Sehingga kegiatan belajar mengajar
menggunakan bahasa Melayu sebagai pengantarnya dan bahasa Belanda sebagai pelajaran
bahasa asing yang wajib dikuasai. Sekolah ini terbagi menjadi dua kelas sekolah berdasarkan
lokasi sekolah, lama pendidikan, anak didik dan sasaran pekerjaan tamatannya. Pembagian
sekolah ini, yaitu:
a. Indlansch School der Eerste Klasse
Sekolah kelas ini didirikan di pusat kota dengan lama waktu pendidikan selama tiga
tahun. Anak didik sekolah ini terdiri dari anak-anak golongan elit setempat yang kemudian
setelah lulus diharapkan menjadi seorang pegawai administrasi.
b. Indlansch School der Tweede Klasse
Sekolah ini didirikan di daerah terpencil atau kota-kota di pelosok dan kebanyakan
muridnya berasal dari kalangan rakyat biasa. Mereka harus menempuh waktu pendidikan
selama 5 tahun agar kelak ketika lulus, dapat bekerja di kantor pemerintahan dan menjabat
sebagai pegawai rendahan.

2. Hoofdenschool ​/ Sekolah Raja


Sekolah ini didirikan dan ditujukan untuk mendidik anak-anak kepala pemerintah
setempat atau raja. Van der Chijs, yang terinspirasi oleh Van der Putte, memiliki peran besar
dalam pembentukan sekolah ini. Tujuan terselubung dari pembentukan sekolah ini adalah
konsolidasi Indonesia10. Lulusan dari sekolah ini akan ditempatkan di pos-pos yang layak dan
menjadi pegawai untuk kepentingan administrasi di wilayahnya. Dengan menggunakan
bahasa Melayu, sekolah ini mewajibkan pengajaran bahasa Belanda sebagai bekal mereka
untuk berkomunikasi dengan pihak Belanda.

2.1.4 Pengajaran Bahasa Belanda di Sekolah Kejuruan


Perkembangan pengajaran bahasa Belanda di sekolah kejuruan sangatlah pesat.
Sekolah-sekolah kejuruan di Hindia Belanda dibangun sekitar akhir abad XIX dan dari waktu
tersebut hingga abad selanjutnya, bahasa Belanda berkembang dari bahasa yang diajarkan
dan wajib dipahami oleh peserta didik menjadi bahasa pengantar yang harus dipelajari dan

Lulusan ​Hoofdenschool d​ iharapkan mampu dan mau menjalin kerja sama dengan pemerintah kolonial di
10

waktu yang akan datang.


6
dipergunakan dalam proses belajar mengajar. Faktor penting yang mendukung perkembangan
ini adalah (1) pekerjaan-pekerjaan yang harus ditempuh dengan belajar di sekolah kejuruan
ini adalah pekerjaan-pekerjaan yang sering melakukan kontak dengan orang Belanda, (2)
pekerjaan ini membutuhkan banyak acuan dan referensi ilmu yang pada saat itu
menggunakan bahasa Belanda, serta (3) keharusan dari lingkungan sekolah itu sendiri.
Beberapa sekolah kejuruan yang ada pada abad XIX, diantaranya:
1. Ambachtschool​/ Sekolah Pertukangan
2. Hollands Indlandsche Kweekschool/​ Sekolah Pendidikan Guru
3. Artsen School​/ Sekolah Dokter

2.2 Bahasa Belanda di Sekolah Dokter Djawa di Hindia Belanda pada Abad XIX
Pada paruh abad XIX, wabah penyakit cacar dan kolera menyerang masyarakat di
daerah Banyumas dengan tenaga kedokteran yang masih sangat kurang. Kejadian yang cukup
membahayakan ini menggugah semangat dari salah satu dokter Hindia Belanda, dokter
Willem Bosch11, untuk mengadakan kegiatan mengenai pendidikan kesehatan bagi seluruh
masyarakat di Banyumas. Namun, keinginannya harus kandas akibat hambatan yang sangat
berpengaruh, yaitu berbahasa. Kemampuan sebagian besar masyarakat Banyumas masih
kurang dalam memahami bahasa Jawa, terlebih bahasa Belanda. Oleh karena itu, dokter W.
Bosch mengusulkan pertemuan untuk membahas tentang rencana pengajaran kesehatan bagi
para pemuda bumiputra yang nantinya akan menjadi ​vaccinateur12. Pemerintah Belanda
kemudian menyetujui karena mendidik tenaga lokal akan jauh lebih efektif dan murah
daripada mendatangkan dokter-dokter dari Belanda.
Pada 2 Januari 1849, Surat Keputusan Gubernemen No. 22 dikeluarkan dan berisi
tentang pendirian Sekolah Dokter Djawa yang kemudian dibuka dua tahun setelahnya pada
tahun 1951. Sekolah ini merupakan sekolah pendidikan kedokteran pertama Hindia Belanda
yang pengajarannya dilakukan di Rumah Sakit Militer yang terletak di Weltevreden13. Tujuan
pengajaran dari Sekolah Dokter Djawa adalah untuk mendidik para pemuda14 dari kalangan
priyayi yang akan dipekerjakan sebagai vaksinator juga asisten dokter Belanda. Peraturan

11
​Dokter Willem Bosch merupakan Kepala Jawatan Kesehatan pada masanya.
12
Diambil dari Bahasa Belanda. Memiliki arti mantri cacar dalam konteks ini.
13
Weltevreden merupakan sebuah nama tempat yang terletak di Batavia. Weltevreden ditetapkan menjadi
satu-satunya tempat Sekolah Dokter Djawa setelah menghilangkan dua sekolah di Semarang dan Surabaya.
14
Pemuda asal Jawa dengan kisaran umur 14 sampai dengan 18 tahun.
7
sekolah yang masih diskriminatif terhadap masyarakat bumiputra membatasi siswa yang
terpilih untuk mendapatkan pendidikan di sekolah15. Syarat masuk hanya sebatas berasal dari
kalangan elit dari suku Jawa dan yang bisa berbahasa Melayu saja. Pengajaran ini dilakukan
oleh pimpinan yayasan Rumah Sakit Militer, yaitu dokter P. Bleeker, dengan masa
pendidikan selama dua tahun dengan tujuh belas mata pelajaran, di antaranya ilmu hitung,
ilmu ukur, ilmu faal, ilmu pengetahuan mengenai bedah dan bahasa Belanda. Lalu pada 5
Juni 1853, keluar Surat Keputusan Gubernemen No. 10 yang menetapkan bahwa lulusan dari
sekolah ini akan mendapatkan gelar “Dokter Jawa”.
Para lulusan hasil dari pendidikan selama dua tahun masih dianggap tidak mumpuni
untuk dijadikan ​vaccinateur ​menurut pemerintah Hindia Belanda. Masa pendidikan dianggap
terlalu cepat, kemampuan di bidang kesehatan juga komunikasi menjadi bukti dari
ketidaksiapan mereka. Oleh karena itu, siswa yang mendaftar di Sekolah Dokter Djawa pada
tahun-tahun berikutnya mendapatkan masa pendidikan yang jauh lebih lama menjadi tujuh
tahun. Syarat masuk pun menjadi berat karena siswa yang diterima sudah harus bisa
membaca dan menulis bahasa Melayu dalam aksara latin. Mata pelajaran ditambah menjadi
dua puluh tujuh dengan bahasa Belanda yang dijadikan bahasa pengantar pada tahun 1875.
Masa pendidikan yang berlangsung selama tujuh tahun ini terbagi menjadi dua bagian, dua
tahun pertama untuk persiapan belajar bahasa Belanda dan lima tahun berikutnya untuk
memfokuskan keahlian sebagai dokter. Perubahan ini menyebabkan banyaknya siswa yang
terpaksa harus dikeluarkan karena ketidakmampuannya berbahasa Belanda, sehingga hanya
tamatan ​Europeesche Lagere School​ yang diterima di sekolah ini.
Sekolah Dokter Djawa kemudian mengalami reorganisasi dan beberapa kali
mengubah kurikulumnya. Hingga pada tahun 1889, Sekolah Dokter Djawa berakhir ditandai
dengan munculnya ​School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA atau Sekolah
Dokter Pribumi). Sekolah dokter yang baru ini menerima siswa dari seluruh Hindia Belanda
dengan surat perjanjian yang berisi kesediaan untuk bekerja bersama pemerintah selama
sepuluh tahun ketika telah lulus. Masa pendidikan bertambah menjadi sepuluh tahun dengan
tiga tahun persiapan bahasa Belanda dan tujuh tahun mempelajari berbagai mata pelajaran
yang berhubungan dengan ilmu kedokteran dan menggunakan bahasa Belanda sebagai
pengantarnya. Akan tetapi, mereka juga diizinkan untuk menolak dengan syarat membayar
ganti rugi biaya selama sepuluh tahun pendidikannya. Lulusan dari STOVIA akan

15
Siswa yang mendapat pendidikan kesehatan di Sekolah Dokter Djawa hanya berjumlah 30 orang.
8
mendapatkan gelar ​Indlandsche Artsen (Dokter Pribumi), dengan wewenang untuk
mempraktekkan ilmu kedokteran secara keseluruhan termasuk kebidanan. Penyempurnaan
terakhir yang dilakukan pada tahun 1913 membuat gelar ikut berubah menjadi ​Indische
Artsen​ (Dokter Hindia Belanda).
Pada tahun yang sama, sekolah dokter ke-dua didirikan di Surabaya dengan nama
Nederlansch Indische Artsen School (NIAS) ​dengan tujuan agar dapat langsung menghasilkan
lulusan yang dapat bekerja di desa dengan pengetahuan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam melakukan proses belajar mengajar, kurikulum NIAS disamakan dengan kurikulum
STOVIA dengan masa pendidikan yang juga selama sepuluh tahun. Siswa yang diterima
NIAS lebih luas lagi karena selain hanya lulusan ELS16, terbuka juga untuk semua etnis dan
golongan, seperti pribumi, Arab dan Tionghoa.
Tahun 1919, dokter Hulskoff memimpin rumah sakit yang baru didirikan dengan
nama ​Centrale Burgerlijke Ziekeninrichting di wilayah Weltevreden17. Rumah sakit ini
dijadikan tempat praktek bagi para siswa STOVIA dengan fasilitas yang lebih baik dan
lengkap. Setelah mengganti namanya beberapa kali, sejak 17 Agustus 1964, rumah sakit ini
resmi ditetapkan menjadi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM).
Penerapan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah tinggi
memberikan pengaruh yang baik pada kalangan bumiputra. Setelah fasih dalam berbahasa,
mereka juga dapat bekerja sesuai dengan prosedur atau bahkan melanjutkan sekolahnya di
negeri Belanda. Namun, hal ini juga menjadi bumerang bagi pemerintah Belanda. Pemuda
bumiputra memiliki semangat juang yang tinggi sehingga pembekalan mengenai bahasa
Belanda yang diterimanya digunakan sebagai alat untuk melakukan perlawanan terhadap
Belanda sebagai penjajahnya.

2.3 Dampak Berdirinya Sekolah-sekolah Ambtenaar dan Dokter Djawa di Hindia Belanda
pada Abad XIX
2.3.1 Bahasa Belanda
Bahasa Belanda pada saat itu belum begitu berkembang dengan luas, dikarenakan
hanya kaum-kaum tertentu saja yang bisa mempelajari bahasa Belanda seperti kaum

16
adalah singkatan dari ​Europeesche Lagere School, y​ ang merupakan sekolah dasar bagi
​ELS
para anak keturunan Belanda.
17
​Kawasan ini sekarang berada di sekitar Pasar Baru, Senen dan Salemba.
9
bangsawan atau kaum elite yang dapat mempelajarinya. Pada saat itu rata-rata sekolah
menggunakan bahasa pengantar, yaitu Belanda. Sedangkan untuk sekolah kaum bumiputra
tidak menggunakan bahasa Belanda, namun sekolah untuk kaum bumiputra menggunakan
bahasa Melayu. Pada saat itu juga bahasa Belanda dianggap sebagai alat untuk dapat meraih
kedudukan yang lebih tinggi dan alat untuk mendapat jalan ke peradaban Barat.

2.3.2 Lulusan sekolah Dokter Jawa


Lulusan-lulusan inilah yang memainkan peranan penting dalam pergerkan nasional.
Mula-mula yang tampil adalah murid-murid sekolah seperti STOVIA, dikarenakan
murid-murid STOVIA mempelajari bahasa Belanda. Berangsur-angsur mahasiswa sekolah
tingggipun mengambil bagian. Lulusan-lulusan sekolah tinggi dan menengah itulah yang
merupakan pendorong utama perkembangan bangsa Indonesia dan pergerakan emansispasi
kemerdekaanya.Tokoh-tokoh lulusan STOVIA, yaitu:
1.Abdul Rivai
Abdul Rivai merupakan siswa lulusan dari STOVIA. Abdul Rivai mahir berbahasa
belanda, dengan kemahirannya tersebut Abdul Rivai melanjutkan studi kedokterannya di
Universitas Utrecht, dengan kemahiran berbahasa Belanda Rivai juga menulis artikel yang
dimuat di koran berbahasa Belanda ​Algemeen Handelsblad,​ Rivai menulis mengenai
pentingnya pendidikan untuk kaum bumiputra di Indonesia. Kendati sangat mahir berbahasa
Belanda, namun Rivai tetap menjunjung tinggi bahasa Melayu di era kolonial itu.
Pulang ke Indonesia, Abdul Rivai sempat bekerja sama dengan Henri Constant
Claude Clockener Brousson, mantan tentara Belanda yang merupakan seorang jurnalis,
​ ak sampai setengah tahun Rivai dan Brousson
mereka menerbitkan ​Bandera Wolanda. T
terpaksa mundur dari keredaksian ​Bandera Wolanda. Tak hanya sampai situ, berkat
banyaknya relasi yang terjalin baik dengan orang-orang berpengaruh di Belanda, terutama
dari kalangan pendukung politik etis, Rivai memperoleh dana dari Kementerian Urusan
Jajahan Hindia belanda untuk menerbitkan koran baru bernama ​Bintang Hindia.​
Bersama dengan ​Bintang Hindia,​ Rivai kini berperan seperti agen ganda. Walaupun
didanai oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda, Rivai menggunakan koran itu untuk
mencerahkan kaum bumiputra. Rivai ingin menjadikan ​Bintang Hindia sebagai media untuk
menyuarakan ide tentang kemajuan moral dan sosial orang-orang setanah airnya. Rivai juga

10
mengambil bagian di kancah pergerakan nasional, Rivai merupakan perintis pembentukan
Indische Partij di wilayah Sumatera.

2. Dr. Goenawan Mangoenkoesoemo


Dr. Goenawan Mangoenkoesoemo merupakan dokter lulusan STOVIA. Saat muda
Dr. Goenawan sudah menulis di koran ​Java Bode. Ia sering mengkritik kemapanan dalam
kalangan priyayi, sehingga membuat priyayi dan pejabat Hindia Belanda cemas. Dr.
Goenawan mahir berbahasa Belanda, setelah lulus dari STOVIA. Dr. Goenamawan
melanjutkan pendidikan dokternya di Belanda, di Belanda Dr. Goenawan dengan leluasa bisa
melanjutkan pendidikanya sambil memperjuangkan cita-cita bangsa Indonesia.
Di Belanda Dr. Goenawan didaulat menjadi wakil ketua organisasi ​Indische
Vereeniging ​pada tahun1917-1919. Indische Vereeniging merupakan organisasi pergerakan
nasional yang berdiri di Belanda, yang dibentuk sebagai sebuah perhimpunan yang bersifat
sosial. Organisasi ini sebagai ajang pertemuan dan komunikasi antar mahasiswa Indonesia
yang belajar di Belanda.
Pada 20 Mei 1918 Dr. Goenawan memimpin perayaan Sepuluh Tahun Boedi Oetomo
di Den Haag, Belanda. Perayaan tersebut dihadiri oleh masyarakat Hindia-Belanda yang ada
di Belanda, ditandai dengan peluncuran buku Soembangsih yang berisi artikelnya, Dr.
Goenawan menegaskan sumbangan Boedi Oetomo bagi bangsa. Menurutnya Boedi Oetomo
merupakan langkah awal dari proses terbentuknya nasionalisme Indonesia. Setelah
memperoleh diploma doktor, Dr. Goenawan kembali ke Indonesia, kemudian ia aktif terlibat
kembali dalam dunia pergerakan.

2.3.3 Lulusan sekolah Ambtenaar


1. Abdul Muis
Abdul Muis merupakan lulusan dari sekolah ELS. Ia juga pernah belajar di STOVIA
selama 3.5 tahun, namun karena sakit ia keluar dari sekolah kedokteran itu. Meskipun hanya
berijazah ujian ambtenar dan ELS, Abdul Muis juga memiliki kemampuan bahasa Belanda
yang bagus. Bahkan, menurut orang Belanda kemampuan dalam berbahasa Belanda melebihi
rata-rata orang Belanda.
Abdul Muis bekerja di ​De Prianger Bode,​ yang merupakan surat kabar harian
Belanda yang terbit di Bandung. Setelah 3 bulan ia diangkat menjadi ​hoofdcorrector

11
(korektor kepala) karena memiliki kemampuan bahasa Belanda yang baik. Pada tahun 1913,
ia keluar dari ​De Prianger Bode ​dan mulai tertarik dengan hal politik, kemudian ia masuk ke
Serikat Islam (SI). Pada tahun 1917, ia dipercaya sebagai utusan SI ke negeri Belanda untuk
mempropagandakan ​Comite Indie Weerbaar​ (Panitia Pertahanan Hindia).
Di Belanda dia membicarakan masalah pertahanan bagi Indonesia sehubungan dengan
terjadinya Perang Dunia I. Selain itu, ia mempengaruhi tokoh-tokoh Belanda agar di
Indonesia didirikan sekolah teknik. Beberapa tahun kemudian di Bandung didirikan
Technische Hooge School (sekarang merupakan Institut Teknologi Bandung).

2. Soewardi Soerjaningrat
Soewardi Soerjaningrat merupakan lulusan dari s pernah bersekolah di STOVIA,
tetapi tidak sampai selesai dikarenakan soewardi sakit. Soewardi mahir berbahasa Belanda
dibuktikan dengan menulis karangan berbahasa Belanda “​Als ik eens Nederlander was”​
(Seandainya saya seorang Belanda). Tulisan ini sangat tajam dan menyindir kolonial
Belanda, pemerintah kolonial terhina oleh kefasihan intelektual bumiputra memamerkan
bahasa Belanda, namun mengandung politik di negeri jajahan.
Soewardi dan Tjipto berpendapat bahwa bahasa milik penjajah bisa digunakan untuk
menghina penjajah. Pesona itu terus berlanjut melalui pengajaran bahasa Belanda di
sekolah-sekolah. Kaum bumiputra perlahan menggandrungi bahasa Belanda, mempelajari
dan menggunakannya dalam urusan politik, ekonomi, pendidikan dan seni. Bahasa Belanda
turut mengantar kaum bumiputra menjadi modernitas.
Soewardi juga terlibat aktif dalam Kongres Pengajaran Kolonial yang diadakan di
Den Haag. Ia ikut menjadi salah satu pembicara dalam kongres yang membahas soal
pengajaran di Hindia untuk bumiputra. Soewardi menyatakan untuk menjadikan bahasa
Melayu sebagai bahasa pergaulan dan pengajaran di tingkat dasar. Sedangkan bahasa Belanda
digunakan pada tingkat sekolah lanjutan. Soewardi mengatakan bahwa berjuang di negeri
Belanda tidak efisien, pendidikan di negeri Belanda harus dimanfaatkan untuk
mempersiapkan senjata bagi perjuangan di tanah air.

2.3.4 Dampak berdirinya sekolah Ambtenaar dan Dokter Jawa bagi Rakyat Indonesia:
Dampak dari diberdirikannya sekolah Ambtenaar dan Dokter Jawa adalah Rakyat
Indonesia mendapatkan kesempatan untuk mengenyam bangku pendidikan, walaupun hanya

12
dikalangan tertentu saja. Banyak munculnya kaum terpelajar atau kaum cendikiawan, banyak
para pemuda yang mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan sekolah ke negeri Belanda,
setelah pulang dari Belanda mereka mendirikan perkumpulan-perkumpulan yang menuntut
tercapainya kemerdekaan. Munculnya pergerakan nasional seperti Budi Utomo, ​Indische
Vereeniging ​(Perhimpunan Indonesia), dan Serikat Islam. Wakil-wakil dari pergerakan inilah
yang kemudian akan tampil dikancah politik Hindia-Belanda, serta menempatkan fungsinya
untuk menyalurkan aspirasi seluruh rakyat Indonesia.

13
BAB III
KESIMPULAN

1. Dalam proses pengajaran di sekolah-sekolah Ambtenaar dan Dokter Jawa pada abad
XIX bahasa Belanda memegang peranan penting sebagai sebuah penghubung ilmu
pengetahuan terhadap dunia Barat. Ilmu-ilmu kejuruan yang dibutuhkan untuk
mendidik kaum bumiputra disalurkan ke Indonesia menggunakan bahasa Belanda.

2. Bahasia Belanda berkembang dengan cukup baik di sekolah-sekolah Ambtenaar dan


Dokter Jawa. Persiapan mempelajari bahasa Belanda di dua dan tiga tahun pertama
membuat siswa lebih kuat menyerap bahasa. Akan tetapi, kecakapan para pemuda
bumiputra menjadi bumerang bagi pemerintah Belanda karena digunakan sebagai alat
perlawanan.

3. Bahasa Belanda pada saat itu banyak dipelajari oleh kaum terpelajar. Pada saat itu
juga bahasa Belanda dianggap sebagai alat untuk dapat meraih kedudukan yang lebih
tinggi dan alat untuk mendapat jalan ke peradaban Barat. Bagi para pemuda bahasa
Belanda merupakan taktik, strategi dan bahkan menjadi senjata itu sendiri untuk
melawan Belanda.

14
DAFTAR PUSTAKA

Dzulfia, Z. (2017, Mei 02). ​Soewardi Soerjaningrat dan Esai yang Membakar Pembesar
Kolonial​. Retrieved September 26, 2018, from
https://www.goodnewsfromindonesia.id/2017/05/02/soewardi-dan-esai-yang-membakar-pem
besar-kolonial

Groeneboer, Kees. Politik Bahasa pada Masa Hindia Belanda volume 1 No. 1 tahun 1999.

Juniawandahlan. (2016, November 2). ​Goenawan Mangoenkoesoemo.​ Retrieved September


26, 2018, from https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/mkn/goenawan-mangoenkoesoemo-2/

Makmur, Djohan, dkk. Sejarah Pendidikan di Indonesia Zaman Penjajahan. Jakarta: CV.
Manggala Bakti, 1993.

Raditya, I. N. (2017, Oktober 20). ​Abdul Rivai, Agen Ganda Pribumi-Belanda.​ Retrieved
September 26, 2018, from Tirto: www.tirto.id/abdul-rivai-agen-ganda0pribumi-belanda-cyEZ

Raditya, I. N. (2017, Juni 17). ​Sepak Terjang Abdoel Moeis yang Anti-komunis​. Retrieved
September 27, 2018, from
https;//tirto.id/sepak-terjang-abdoel-moeis-yang-anti-komunis-cqTB

Wibisono, Joss. ​Keminggris dan Bahasa Belanda di Indonesia.​


/://tirto.id/keminggris-dan-bahasa-belanda-di-indonesia-cNuf/. 8 Juli 2018. Diakses pada 1
Oktober 2018.

15

Anda mungkin juga menyukai