Anda di halaman 1dari 199

Effendi Tri Bahtiar

Effendi Tri Bahtiar


Kekuatan
Material
(Teori, Contoh Kasus, dan Penyelesaian)

Kekuatan Material
Kekuatan
(Teori, Contoh Kasus, dan Penyelesaian)
Material
(Teori, Contoh Kasus, dan Penyelesaian)

Kehutanan
PT Penerbit IPB Press ISBN : 978-602-440-576-2
Jalan Taman Kencana No. 3, Bogor 16128
Telp. 0251 - 8355 158 E-mail: ipbpress@ymail.com
Penerbit IPB Press @IPBpress ipbpress
ii
Penulis
Effendi Tri Bahtiar

C.01/10.2018

iii
Judul Buku:
KEKUATAN MATERIAL (Teori, Contoh Kasus, dan Penyelesaian)
Penulis:
Effendi Tri Bahtiar
Editor:
Aditya Dwi Gumelar
Desain Sampul dan Penata Isi:
Andreas Levi Aladin
Korektor:
Fatrisia Ratnasari
Jumlah Halaman:
190 + 8 halaman romawi
Edisi/Cetakan:
Cetakan 1, Oktober 2018

PT Penerbit IPB Press


Anggota IKAPI
Jalan Taman Kencana No. 3, Bogor 16128
Telp. 0251 - 8355 158 E-mail: ipbpress@ymail.com

ISBN: 978-602-440-576-2

Dicetak oleh Percetakan IPB, Bogor - Indonesia


Isi di Luar Tanggung Jawab Percetakan

© 2018, HAK CIPTA DILINDUNGI OLEH UNDANG-UNDANG


Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh
isi buku tanpa izin tertulis dari penerbit

iv
Mata Kuliah Kekuatan Material bertujuan untuk mengajarkan materi dasar-dasar teknik sebagai
landasan untuk mengembangkan kemampuan analitis dalam menyelesaikan masalah-masalah
teknik. Materi kuliah ini menekankan pada konsep-konsep dasar dan metode menganalisis sistem-
sistem mekanis dan struktural. Kreativitas mahasiswa sangat diperlukan dalam mengikuti mata
kuliah ini terutama untuk menyelesaikan contoh-contoh kasus yang membutuhkan pemahaman
yang cukup komprehensif. Mahasiswa juga dituntut memahami materi Matematika terutama
Kalkulus dan Geometri Analitis yang cukup memadai agar dapat mengikuti mata kuliah Kekuatan
Material ini dengan baik.
Buku ini mencakup ringkasan topik standar dalam statika dan pengetahuan material dan disajikan
secara sederhana agar dapat dipelajari oleh mahasiswa teknik tingkat satu atau dua. Jilid pertama
buku ini meliputi komponen-komponen utama struktur yaitu batang tekan dan tarik, batang geser
langsung, balok lentur, dan kolom. Teori dan fakta-fakta disajikan secara ringkas dan sederhana
yang selanjutnya dilengkapi dengan soal-soal dan penyelesaian sehingga buku ini dapat berfungsi
sebagai buku ajar maupun buku referensi. Sebagian besar buku ini merupakan terjemahan dari
buku Schaum’s Outline of Theory dan Problems of Strength of Materials yang ditulis oleh William
A Nash dan CEN Sturgess.
Penulis berupaya sekuat tenaga agar buku ini memiliki kualitas tinggi, namun tidaklah mungkin
mengharapkan sepenuhnya bebas dari kesalahan. Oleh karena itu, kritik, saran, dan masukan dari
berbagai pihak akan diterima dengan terbuka demi perbaikan buku ini.
Penulis

v
vi
Kata Pengantar .......................................................................................................................v
Daftar Isi .............................................................................................................................. vii
Bab I Tekan dan Tarik .....................................................................................................1
Bab II Tegangan Geser Langsung ..................................................................................33
Bab III Gaya Geser dan Momen Lentur ...........................................................................41
Bab IV Centroid, Momen Kedua Bidang, dan Momen Hasil Kali Bidang Datar ............55
Bab V Tegangan dalam Balok ........................................................................................77
Bab VI Defleksi Elastis pada Balok: Metode Integral Ganda ........................................107
Bab VII Kolom ................................................................................................................145
Bab VIII Contoh Kasus Terpilih dan Penyelesaian ..........................................................155
Daftar Pustaka ....................................................................................................................189

vii
viii
Buku ini mendiskusikan pengaruh internal pada benda akibat gaya yang diterimanya. Pada mata
kuliah statika, topik-topik yang dibahas umumnya terjadi pada benda tegar (rigid) sempurna yaitu
benda yang tidak mengalami perubahan bentuk ketika menerima beban (nondeformable bodies).
Sementara itu pada mata kuliah mekanika bahan ini, benda yang dibicarakan merupakan benda
yang dapat berubah bentuk akibat menerima gaya (deformable bodies) sehingga perhitungan
perubahan bentuk pada benda-benda yang menerima beraneka macam gaya merupakan topik
bahasan yang menjadi salah satu perhatian utama.

Pembelajaran mata kuliah mekanika bahan dimulai dari kasus yang paling sederhana yaitu
sebatang logam lurus berpenampang konstan lalu pada kedua ujungnya diberi sepasang beban
yang sama besar dan berlawanan arah. Beban diberikan di titik centroid penampang batang searah
dengan sumbu longitudinal. Agar benda berada pada posisi keseimbangan maka besar gaya harus
sama. Jika sepasang gaya tersebut menuju arah menjauh dari batang maka benda mengalami tarik;
sebaliknya jika sepasang gaya menuju ke arah batang maka benda tersebut mengalami tekan
(Gambar 1.1).
Akibat aksi dari sepasang gaya yang diberikan tersebut, gaya tahanan internal akan timbul di dalam
batang. Kharakteristik gaya tahanan internal dapat dipelajari dengan menggambarkan sebuah
bidang tegak lurus dengan sumbu longitudinal batang pada posisi tertentu di sepanjang batang.
Bidang tersebut digambarkan sebagai bidang a-a (Gambar 1.2a). Untuk alasan yang akan kita
diskusikan kemudian, bidang a-a tersebut tidak boleh terlalu dekat dengan kedua ujung batang.
Untuk tujuan analisa batang bagian sebelah kiri, maka bagian di sebelah kanan bidang a-a
dianggap tidak ada dan diganti dengan suatu efek tertentu yang berpengaruh sama terhadap bagian
batang sebelah kiri (Gambar 1.2b). Teknik analisa ini dikenal dengan teknik bidang potongan.
Gaya internal pada bagian batang di sebelah kanan bidang potongan a-a sekarang telah berganti
menjadi gaya eksternal yang berpengaruh terhadap batang yang tersisa (batang di sebelah kiri
bidang a-a). Agar bagian batang di sebelah kiri berada dalam posisi keseimbangan, maka pengaruh
ini haruslah berupa gaya horizontal sebesar P. Namun, gaya P ini bekerja normal pada semua titik
di bidang a-a sehingga gaya P merupakan resultan gaya normal yang terdistribusi pada seluruh
penampang a-a.
P P P P
Batang tarik Batang tekan

Gambar 1.1

a a
P P P P
a a
(a) (b)

Gambar 1.2

Beberapa asumsi sangat diperlukan berkaitan dengan variasi penyebaran gaya-gaya, yaitu jika
gaya P bekerja melalui centroid maka umumnya diasumsikan bahwa penyebaran gayanya adalah
merata di seluruh penampang melintang batang. Penyebaran gaya tersebut faktanya tidak benar-
benar tepat karena terdapat pengaruh variasi orientasi serat-serat penyusun batang tersebut. Nilai
eksak dari gaya yang bekerja pada elemen penampang lintang yang sangat kecil merupakan fungsi
dari sifat-sifat alami dan orientasi struktur serat pada titik tersebut. Namun, variasi di seluruh
penampang lintang dapat disederhanakan melalui asumsi penyebaran yang merata untuk tingkat
akurasi teknik masih dapat diterima.

Sebagai pengganti istilah gaya internal yang bekerja pada suatu elemen penampang yang sangat
kecil, maka untuk tujuan kesetaraan lebih lazim digunakan istilah gaya normal yang bekerja pada
satu unit luas penampang lintang. Intensitas gaya normal per satu unit luas penampang lintang
disebut dengan tegangan normal dan dinyatakan dengan satuan gaya per unit luas yaitu Nm-2
(“Pascal”). Frasa tegangan total kadang-kadang digunakan untuk menyatakan resultan dari gaya-
gaya aksial. Jika gaya diberikan di ujung batang seperti pada batang tarik maka tegangan tarik
terjadi dalam batang; jika batang diberi gaya tekan maka terjadi tegangan tekan dalam batang.
Sangat penting untuk menyatakan bahwa garis tindak dari gaya yang diberikan adalah selalu
melewati centroid setiap penampang lintang di sepanjang batang.

Pembebanan arah aksial seperti pada Gambar 1.2a sering terjadi pada perekayasaan struktur
maupun mesin. Untuk mensimulasikan pembebanan ini di laboratorium, sebuah contoh uji
dipegang dengan grip lalu ditarik dengan mesin uji hidrolik atau mesin tipe gigi (gear) yang
digerakkan tenaga listrik. Kedua jenis mesin uji tersebut pada umumnya terdapat di laboratorium
pengujian material untuk melakukan uji tarik aksial.
Untuk menjalankan teknik pengujian material yang terstandardisasi, beberapa badan nasional telah
menetapkan peraturan yang digunakan secara umum di negara-negara tersebut. Bermacam-macam
bentuk dan ukuran contoh uji telah ditetapkan dalam standar-standar untuk material logam maupun
non logam. Bentuk dan ukuran contoh uji kuat tarik kayu pada arah sejajar serat disajikan pada
Gambar 1.3 (a). Tata cara pengujian kuat tarik kayu tersebut mengikuti prosedur American Society

2
for Testing and Materials (ASTM) D143. Ujung contoh uji dapat dibuat berbeda sedemikian rupa
untuk menyesuaikan dengan grip pada mesin uji. Sebagaimana terlihat pada Gambar 1.3, bagian
tengah contoh uji digentingkan yaitu dibuat lebih kecil daripada bagian ujung sehingga kerusakan
tidak terjadi pada kayu yang dipegang oleh grip, tetapi pada daerah yang digentingkan tersebut.
Besarnya beban diukur secara periodik dengan menggunakan load cell, sedangkan besarnya
perpanjangan diukur dengan extensometer mekanis atau optik. Besarnya perpanjangan juga dapat
diukur dengan menempelkan strain gage tipe tahanan listrik di permukaan contoh uji. Strain gage
ini berisi sejumlah kabel halus yang dipasang sejajar dengan arah aksial batang. Ketika batang
memanjang tahanan listrik pada kabel halus tersebut berubah dan perubahan tahanan listrik
tersebut dideteksi dengan sebuah jembatan Wheatstone dan diinterpretasikan sebagai
perpanjangan. Pengujian tarik kayu sejajar serat diilustrasikan pada Gambar 1.4.

Gambar 1.3 Gambar 1.4

Jika sebatang contoh uji tarik telah dipasang di mesin uji tarik–tekan, lalu gaya tarik diberikan
secara gradual pada ujung-ujungnya, maka contoh uji akan memanjang. Perpanjangan batang yaitu
sebesar pertambahan panjang gage dapat diukur untuk setiap penambahan beban aksial. Dari
pengukuran tersebut dapat diperoleh pertambahan panjang per unit panjang mula-mula yaitu
pertambahan panjang dibagi dengan panjang gage mula-mula. Pertambahan panjang () per
panjang mula-mula (L) disebut dengan regangan normal dan dinotasikan dengan. Regangan
normal diperoleh dari rumus:

3


L
sehingga regangan normal tidak memiliki dimensi dan satuan.

Ketika beban yang diberikan meningkat secara gradual, total perpanjangan pada gage juga
meningkat. Pembebanan ini dilanjutkan hingga contoh uji patah. Tegangan normal pada batang,
dinotasikan dengan , dapat dihitung berdasarkan:
P

A,

di mana P adalah beban yang dinyatakan dalam satuan Newton dan A adalah luas penampang
mula-mula. Tegangan dapat dihitung untuk setiap penambahan beban. Setelah memiliki sejumlah
pasang tegangan normal () dan regangan normal (), data eksperimental tersebut diplotkan pada
diagram Kartesius sebagai ordinat dan absis. Titik-titik data pada plot tersebut adalah diagram atau
kurva tegangan–regangan material yang menerima tipe pembebanan tersebut. Kurva tegangan–
regangan bervariasi untuk berbagai macam material. Gambar 1.5 merupakan kurva tegangan–
regangan untuk baja medium-karbon struktural, Gambar 1.6 untuk baja alloy, Gambar 1.7 untuk
baja keras dan alloy non baja tertentu. Untuk alloy baja pada umumnya dan besi cetakan, kurva
tegangan–regangan adalah Gambar 1.8, sedangkan untuk karet adalah Gambar 1.9.

  
Y
U

U U
B
B P
Y 
B
P P
O 1 O’
Gambar 1.8

 
O O O 
Gambar 1.5 Gambar 1.6 Gambar 1.7 O

Gambar 1.9

4
Material rekayasa umumnya diklasifikasikan menjadi material yang daktil (ductile) atau getas
(brittle). Material daktil memiliki regangan tarik yang tinggi hingga titik patah (contohnya baja
dan aluminium struktural), sedangkan material yang getas hanya memiliki regangan yang kecil
hingga titik patah. Nilai perkiraan yaitu regangan sebesar 0.05 sering diambil sebagai pembatas
antara kedua kategori material tersebut. Besi cetakan dan beton merupakan contoh dari material
getas.

Untuk setiap material yang memiliki kurva tegangan regangan seperti pada Gambar 1.5, 1.6, atau
1.7, hubungan antara tegangan dan regangan adalah linier untuk nilai regangan yang cukup kecil.
Hal ini disebabkan oleh hubungan linier antara perpanjangan dan beban aksial. Rasio antara
tegangan dan regangan pada wilayah sempit dari kurva ini adalah konstan, dan pertama kali
diamati oleh Sir Robert Hooke pada tahun 1678 sehingga kejadian ini disebut dengan hukum
Hooke. Sesuai dengan hukum Hooke, untuk regangan yang cukup kecil, hubungan antara tegangan
dan regangan dapat dinyatakan dengan:
  E
di mana E adalah kemiringan (slope) dari kurva tegangan–regangan pada bagian yang lurus (OP)
pada kurva pada Gambar 1.5, 1.6, dan 1.7.

Kuantitas E, yaitu rasio antara unit tegangan dengan unit regangan disebut modulus elastisitas
material yang mengalami tarik, sering pula disebut modulus Young. Karena unit regangan adalah
angka murni tanpa satuan, maka E memiliki satuan yang sama seperti tegangan yaitu Nm-2 atau
Pascal. Untuk material yang umum digunakan pada rekayasa, besarnya modulus elastisitas
material pada uji tekan memiliki nilai yang hampir sama dengan nilai yang diperoleh pada uji tarik.
Perlu ditegaskan bahwa perilaku material yang diberi beban yang didiskusikan pada buku ini
adalah dibatasi pada wilayah linier kurva tegangan–regangan (kecuali jika dinyatakan secara
khusus).
Nilai E yang digunakan pada kasus ini merupakan pendekatan untuk menghindari perhitungan
yang tidak perlu, meskipun faktanya hal ini hanya berlaku untuk regangan yang relatif kecil yaitu
kurang dari 5% regangan patah. Nilai E yang sebenarnya dari tiap material dapat diperoleh pada
buku referensi atau lebih tepatnya katalog pabrikan dan penyedia barang. Pada hampir seluruh
situasi aktual, usaha yang lebih keras diperlukan untuk mendapatkan data material secara akurat.

Kurva tegangan–regangan pada Gambar 1.5 dapat digunakan untuk menandai beberapa
karakteristik kekuatan material, yaitu:

5
Ordinat titik P dikenal dengan batas proporsi, yaitu tegangan maksimum yang terjadi selama
pengujian tarik ketika tegangan masih merupakan fungsi linier dari regangan. Untuk material yang
memiliki kurva tegangan–regangan pada Gambar 1.8, batas proporsi tidak dapat ditemukan.

Batas elastis adalah tegangan maksimum yang terjadi pada pengujian tarik sedemikian rupa
sehingga tidak ada deformasi permanen maupun deformasi sisa yang terjadi ketika beban
dilepaskan sepenuhnya. Batas elastis ini umumnya adalah ordinat dari titik yang hampir berimpit
dengan batas proporsi (P). Pada banyak material, nilai numerik batas elastis dan batas proporsi ini
hampir identik sehingga kadang-kadang kedua istilah tersebut dianggap sinonim yang saling
menggantikan. Pada kasus-kasus tertentu ketika ditemukan nilai yang berbeda antara batas elastis
dan batas proporsi, maka batas elastis selalu lebih besar daripada batas proporsi.

Wilayah kurva tegangan–regangan dari titik awal hingga batas proporsi disebut wilayah elastis;
sedangkan wilayah kurva tegangan–regangan dari batas proporsi hingga titik rusak disebut
wilayah plastis.

Ordinat (y) dari titik Y, yaitu tegangan ketika terjadi peningkatan regangan, namun tegangan tidak
meningkat disebut titik luluh (yield point) dari material. Tegangan luluh dinotasikan dengan yp.
Setelah pembebanan mencapai titik Y maka material berada dalam keadaan plastis sempurna
sehingga peristiwa luluh dapat dikatakan telah terjadi. Beberapa material memperlihatkan dua titik
pada kurva tegangan–regangan di mana terjadi peningkatan regangan tanpa peningkatan tegangan.
Dua titik luluh ini disebut titik luluh atas (upper) dan bawah (lower).

Ordinat (y) titik U, yaitu ordinat maksimum dari kurva, dikenal dengan istilah kekuatan ultimat
atau kekuatan tarik material.

Ordinat (y) titik B disebut kekuatan patah material.

Usaha yang dilakukan pada satu unit volume material, yaitu usaha yang dilakukan oleh gaya tarik
sederhana yang meningkat gradual dari 0 (nol) hingga tercapainya batas proporsi, disebut dengan
modulus resilience. Modulus resilience dapat dihitung sebagai luas area di bawah kurva tegangan–
regangan dari titik awal hingga batas proporsi, yaitu ditunjukkan oleh luas area yang diarsir pada
Gambar 1.5. Satuan dari modulus resilience adalah N m m-3. Berdasarkan definisi tersebut maka

6
resilience suatu materal adalah kemampuan material tersebut untuk mengabsorbsi energi di
sepanjang wilayah elastis.

Usaha yang dilakukan pada satu unit volume material, yaitu usaha yang dilakukan oleh gaya tarik
sederhana yang meningkat gradual dari 0 (nol) hingga terjadinya kerusakan disebut modulus
toughness. Modulus toughness dapat dihitung sebagai seluruh luas area kurva tegangan–regangan
dari titik awal hingga titik rusak. Toughness dari material yaitu kemampuan material untuk
mengabsorbsi energi hingga wilayah plastis.

Penurunan luas penampang lintang saat kerusakan dibagi dengan area awalnya lalu dikalikan
100% dikenal dengan persen reduksi penampang. Perlu dicatat bahwa ketika gaya tarik terjadi
pada batang, luas penampang lintangnya menurun, tetapi perhitungan tegangan normal selalu
dibuat berdasar luas area mula-mula. Kasus ini ditunjukkan pada kurva Gambar 1.5. Ketika
regangan meningkat cukup besar, maka penting untuk mempertimbangkan nilai sesaat dari luas
penampang aktual yang semakin menurun tersebut. Jika hal tersebut dilakukan maka kurva
tegangan–regangan aktual dapat diperoleh. Kurva tegangan–regangan aktual tersebut ditunjukkan
sebagai garis putus-putus pada Gambar 1.5.

Peningkatan panjang gage saat contoh uji patah dibagi dengan panjang mula-mula lalu dikalikan
100% disebut dengan persentase perpanjangan. Baik persentase reduksi penampang maupun
persentase perpanjangan dipertimbangkan sebagai ukuran daktilitas material.

Tegangan kerja didefinisikan sebagai tegangan di titik luluh atau tegangan ultimat dibagi dengan
sebuah nilai faktor keamanan. Nilai tegangan kerja umumnya berada di wilayah elastis material.
Pemilihan besarnya nilai faktor keamanan didasarkan pertimbangan desainer berdasarkan keahlian
dan pengalamannya. Faktor keamanan yang spesifik sering kali telah ditetapkan pada peraturan
perencanaan bangunan.

Material daktil dapat diberi beban hingga tegangannya cukup jauh di atas titik luluh tanpa
mengalami kerusakan. Peristiwa ini disebut dengan strain hardening. Kasus ini terjadi pada
banyak logam struktural.
Kurva tegangan–regangan nonlinier dari material yang getas, diperlihatkan pada Gambar 1.8,
memiliki ciri-ciri ukuran kekuatan khusus yang tidak dapat diperkenalkan jika kurva tegangan–
regangan memiliki wilayah linier. Ciri-ciri ukuran kekuatan khusus bagi material yang getas
tersebut adalah kekuatan luluh (Yield Strength) dan Modulus Tangent.

7
Ordinat kurva tegangan–regangan ketika material mengalami deformasi permanen (permanent set)
meskipun beban telah dilepaskan disebut dengan kekuatan luluh. Permanent set sering terjadi
ketika regangannya adalah 0.002 atau 0.0035, nilai ini tentu berupa perkiraan saja. Pada Gambar
1.8 sebuah titik 1 pada sumbu regangan dan garis O’Y digambar sejajar dengan tangen kurva
mula-mula. Ordinat Y menunjukkan kekuatan luluh (yield strength) material, kadang-kadang
disebut juga dengan proof stress.

Laju perubahan tegangan dibagi dengan laju perubahan regangan disebut dengan modulus tangent.
Modulus tangent (Et) dinyatakan dengan rumus:
d
Et 
d .

Selain ukuran sifat-sifat material yang diuraikan di atas, terdapat beberapa sifat material yang juga
sangat penting untuk pertimbangan desain, yaitu:

Koefisien ekspansi linier menyatakan besarnya perubahan panjang dari batang lurus akibat
peningkatan suhu sebesar satu derajat Kelvin (1K). Nilai koefisien ini tidak bergantung pada unit
satuan panjang namun sangat bergantung pada skala temperatur yang digunakan. Umumnya
digunakan skala Kelvin di mana nilai koefisien ekspansi linier dinotasikan dengan . Untuk baja,
nilai  adalah 12  10-6 K-1. Perubahan suhu pada struktur meningkatkan tegangan internal serupa
dengan pemberian beban.

Ketika batang diberi beban tarik sederhana, terjadi pemanjangan batang pada arah beban, tetapi
dimensi lateral pada arah tegak lurus beban menjadi lebih kecil. Rasio regangan pada arah lateral
dengan regangan arah aksial disebut dengan rasio Poisson, pada buku ini dinotasikan dengan .
Untuk sebagian besar logam, nilai rasio Poisson berkisar 0.25 hingga 0.35.

Bentuk sederhana hukum Hooke telah diberikan untuk batang tarik aksial ketika beban bekerja
hanya pada satu garis lurus (beban uniaksial). Untuk kasus tersebut, hanya deformasi pada arah
beban yang dipertimbangkan sehingga diperoleh rumus:


E
Untuk kasus yang lebih umum, setiap elemen material merupakan subjek dari tiga tegangan normal
yang saling tegak lurus yaitu x, y, z; dan diikuti pula dengan regangan pada tiga arah yaitu x,

8
y, z. Dengan melakukan superposisi komponen regangan yang timbul akibat kontraksi lateral
oleh pengaruh Poisson, maka dapat diperoleh rumus umum dari hukum Hooke, yaitu:

x 
1
E
  1
E
  1
E

 x    y   z   y   y    x   z   z   z    x   y 
; ; .

Tegangan dan regangan pada wilayah plastis suatu material sering 


diijinkan untuk struktur khusus tertentu. Beberapa peraturan desain
mengizinkan suatu komponen struktural tertentu untuk mengalami
deformasi plastis, contohnya komponen tertentu dari struktur pesawat 
yp
udara dan senjata secara sengaja didesain agar bekerja pada wilayah
plastis untuk mengurangi beratnya. Lebih lanjut, banyak proses
pembentukan metal melibatkan tindakan plastis dari material. Untuk
regangan plastis yang kecil pada low and medium carbon structural
steel kurva tegangan–regangan pada Gambar 1.5 diidealisasi menjadi 
O
dua garis lurus: satu garis dengan kemiringan E yang menunjukkan Gambar 1.10
wilayah elastis, dan satu garis mendatar yang menunjukkan wilayah
plastis. Plot ini diperlihatkan pada Gambar 1.10 yang menunjukkan material elastis dan plastis
sempurna. Hal ini tidak memperhitungkan regangan plastis yang masih lebih lebar di wilayah
strain hardening seperti diperlihatkan pada bagian kanan kurva tegangan–regangan di Gambar
1.5.

Diskusi dalam buku ini berasumsi bahwa material adalah homogen dan isotropis.

Material homogen memiliki sifat-sifat elastis (E dan ) yang masing-masing bernilai sama pada
setiap titik pada batang.

Material isotropis memiliki nilai sifat-sifat elastis yang sama pada semua arah di setiap titik batang
tersebut. Jika material tidak memiliki simetri elastis maka material disebut anisotropis. Berbeda
dengan material isotropis yang hanya memiliki dua nilai konstanta elastis (E dan ), material
anisotropis memiliki 21 konstanta elastis. Jika material memiliki tiga bidang simetri elastis yang
saling tegak lurus, maka material tersebut disebut orthotropis. Jumlah konstanta elastis
independent pada material orthotropis adalah 9. Buku ini hanya membahas analisa material
isotropis.

9
Pada pengukuran sifat mekanis material melalui uji tarik atau tekan, kecepatan pembebanan yang
diberikan dapat berpengaruh nyata pada hasilnya. Secara umum, material yang daktil lebih sensitif
terhadap variasi kecepatan pembebanan, sedangkan pengaruh kecepatan pembebanan pada
material yang getas seperti besi cetakan dapat diabaikan. Pada kasus baja ringan, yaitu material
yang daktil, ditemukan bahwa titik luluh dapat meningkat hingga 170% jika kecepatan
pembebanan sangat tinggi. Perlu dicatat bahwa pada kasus tersebut, perpanjangan total tidak
berubah dan bernilai sama dengan perpanjangan pada pembebanan yang lebih lambat.

1.1. Tentukan perpanjangan total dari batang tarik sepanjang L, luas penampang A, dan modulus
elastisitas E jika beban tarik P bekerja di ujung-ujung batang.
P P

L 

Gambar 1.11
Unit tegangan pada arah beban P merupakan beban dibagi dengan luas penampang:   P
A
Unit regangan merupakan total perpanjangan dibagi dengan panjang mula-mula:    .
L
Menurut definisi, modulus elastisitas (E) adalah rasio tegangan () dan regangan ()
sehingga:

 P A PL sehingga   PL .
E  
  A AE
L

Perlu dicatat bahwa perpanjangan () memiliki unit satuan panjang.


1.2. Sebuah pita ukur surveyor sepanjang 30 m terbuat dari baja dengan luas penampang lintang
6 mm  1 mm. Hitunglah panjang pita ukur tersebut jika ditarik dengan gaya 50 N. Modulus
elastisitasnya adalah 200 GN m-2.

Perpanjangan :  
PL


50  30  10 3 
 1.25 mm

AE 6  1 200  10 9  10  6 
1.3. Sebatang baja dengan luas penampang 500 mm2 diberi beban seperti Gambar 1.12(a).
Hitunglah total perpanjangan batang tersebut. Nilai E baja adalah 200 GN m-2.
A B C D A B
50 kN 10 kN 45 kN 50 kN 50 kN
15 kN
500 mm 1m 1.5 m (b)
(a)
B C C D
35 kN 35 kN 45 kN 45 kN

(c) (d)

Gambar 1.12

10
Seluruh batang berada dalam posisi kesetimbangan, sehingga setiap bagiannya juga berada
dalam kesetimbangan. Bagian batang di antara A – B memiliki resultan sebesar 50 kN yang
bekerja di setiap bidang lintang di sepanjang bagian batang A – B, sehingga diagram bebas
batang (free-body diagram) dari batang sepanjang 500 mm disajikan pada Gambar 1.12(b).
Gaya di ujung kanan batang A – B harus 50 kN agar seimbang dengan beban tarik di ujung
kiri. Perpanjangan pada batang A – B adalah:

1 
PL


50  10 3 500  
 0.25 mm

AE 500  200  10 9  10 6 
Gaya yang bekerja pada bagian batang B – C diperoleh dari penjumlahan aljabar gaya pada
sisi kiri B – C, sehingga diperoleh nilai (50 – 15 = 35 kN) ke arah kiri. Jadi di bagian batang
B – C bekerja gaya tarik dari sebelah kiri sebesar 35 kN. Nilai yang sama juga akan diperoleh
jika penjumlahan aljabar dilakukan untuk semua gaya di sebelah kanan. Oleh karena itu
diagram bebas batang untuk bagian batang B – C disajikan pada Gambar 1.12(c).
Perpanjangan pada batang B – C adalah:

2 
PL


35  10 3 1 10 3  
 0.35 mm

AE 500  200  10 9  10 6 
Gaya yang bekerja pada setiap bidang lintang di sepanjang batang C – D adalah 45 kN untuk
mendapatkan keseimbangan akibat gaya aksi di titik D. Diagram bebas batang untuk bagian
batang C- D adalah Gambar 1.12(d). Perpanjangan pada batang C – D adalah:

3 
PL


45  10 3 1.5  10 3  
 0.675 mm

AE 500  200  10 9  10 6 
Total perpanjangan untuk batang A – D adalah jumlah seluruh perpanjangan tiap bagian:
  1   2  3  0.25  0.35  0.675  1.275 mm

1.4. Sebuah kuda-kuda Howe diperlihatkan pada Gambar 1.13(a) mendukung beban tunggal
sebesar 480 kN. Jika tegangan kerja material pada beban tarik harus 200 MPa, tentukan luas
penampang yang dibutuhkan untuk batang DE dan AC. Hitung perpanjangan pada batang
DE yang panjang mula-mulanya 6 m. Asumsikan bahwa nilai pembatas dari tegangan kerja
pada tarik merupakan satu-satunya faktor yang perlu dipertimbangkan pada penentuan luas
penampang. Ambillah nilai modulus elastisitas batang adalah 200 GN m-2.
Rangka batang berada dalam kondisi statis tertentu sehingga reaksi tumpuan dapat diperoleh
melalui persamaan-persamaan kesetimbangan statis dan gaya aksial di tiap batang dapat
diperoleh melalui analisis statis sederhana.

11
D
B F
(a)

6m

4.5 4.5 E 4.5 m 4.5 m H


A
m m
C G
480 kN

(b) AB (c) ED

AC EC EG
A E
240 kN
480 kN

Gambar 1.13

Pertama-tama reaksi vertikal di tumpuan A dan H harus dihitung. Karena seluruh rangka
batang dan beban yang diterima adalah simetris maka gaya reaksi vertikal di titik A dan H
masing-masing adalah 240 kN. Diagram bebas batang pada buhul A adalah Gambar 1.13(b)
di mana gaya yang belum diketahui dinotasikan dengan AB dan AC, pada arah gaya yang
sama dengan arah setiap batang tersebut. Gaya AB dan AC diasumsikan berupa gaya tarik.
Pada kasus ini, jika hasil perhitungan bernilai positif maka gayanya adalah tarik, sedangkan
bila hasilnya negatif maka arah gaya dibalik dan gayanya adalah gaya tekan. Pada umumnya
disepakati bahwa gaya tarik diberi tanda positif dan gaya tekan diberi tanda negatif. Dengan
menerapkan persamaan keseimbangan statis untuk diagram bebas batang tersebut, maka
diperoleh:

F v  240 
4
 AB   0 sehingga AB  300 kN
5

F h 
3
 300   AC  0 sehingga AC  180 kN
5
Diagram bebas batang di titik E diperlihatkan pada Gambar 1.13(c). Dari persamaan statis
diperoleh:

F v  ED  480  0 sehingga ED  480 kN

Perhitungan sederhana untuk rangka batang selalu berasumsi bahwa seluruh batang
merupakan komponen yang menerima dua beban baik berupa beban tarik maupun tekan dan
tidak ada gaya yang lain.
Untuk pembebanan aksial, tegangan () dinyatakan dengan   P , di mana P adalah beban
A
aksial, dan A adalah luas penampang lintang batang. Pada kasus ini tegangan yang diterima
batang ditetapkan sebesar 200 MPa di tiap batang sehingga luas area yang dibutuhkan
adalah:
480  10 3 180  10 3
AED   2400 mm 2
dan A   900 mm 2
200  10 6  10  6 200  10 6  10  6
AC

12
Perpanjangan pada batang ED akibat gaya tarik yaitu:

 ED 
PL


480  10 3 6  10 3 
 6 mm


AE 2400  200  10 9  10  6 
1.5. Hitung total perpanjangan batang yang digantung vertikal dan menerima beban berupa
beratnya sendiri. Batang tersebut lurus dan penampangnya konstan.
Tegangan normal (tarik) pada setiap bidang penampang horizontal
terjadi akibat berat material di bawah bidang penampang tersebut.
Perpanjangan dari elemen batang sebesar dy adalah d:

d 
Ay dy   ydy dy
AE E L

A adalah luas penampang, dan  berat jenis (berat/volume).


Perpanjangan total diperoleh dengan mengintegralkan persamaan
itu untuk 0 hingga L: y

   2 L2
L L

 ydy   y  
0
E  2E  0 2E
Gambar 1.14
Pengukuran berat (W) lebih disukai daripada berat jenis (), maka:

L2 AL2 WL
  
2E 2 AE 2 AE
Persamaan di atas membuktikan bahwa besarnya perpanjangan akibat berat sendiri pada
batang lurus dan berpenampang konstan adalah sama dengan perpanjangan akibat gaya
sebesar setengah dari beratnya sendiri yang diberikan di ujung batang.
1.6. Sebuah kawat baja berdiameter 6 mm digunakan sebagai gantungan pada konstruksi
bangunan. Jika 150 m kawat digantung vertikal dan beban sebesar 1 kN diberikan di
ujungnya, tentukan total perpanjangan kawat tersebut. Berat jenis () kawat baja adalah 7.7
 104 N m-3 dan modulus elastisitas (E) adalah 200 GN m-2.
Perpanjangan total tali disebabkan oleh 2 (dua) hal yaitu beban luar sebesar 1 kN, dan berat
sendiri. Perpanjangan akibat beban luar adalah:

1 
PL

1 10 150  10 
3 3

AE   6 200  10  10   26.5 mm

4
2 9 6

Sedangkan perpanjangan akibat berat sendiri dapat diperoleh dari rumus pada soal 1.5.

2 
L2

7.7  10  10 150  10 
4 9 3 2
 4.33 mm
2E 2200  10  10  9 6

Sehingga total perpanjangan () adalah:


  1  2  26.5  4.33  30.83 mm
1.7. Seutas kawat aluminium lurus sepanjang 30 m menerima tegangan tarik sebesar 70 MPa.
Hitunglah total perpanjangan kawat tersebut. Perubahan suhu sebesar berapa yang dapat

13
mengakibatkan perpanjangan yang sama dengan beban tersebut? Nilai E=70 GN m-2 dan
koefisien ekspansi linier () = 25  10-6 K-1.
Total perpanjangan akibat beban 70 MPa adalah:


PL
AE
L

   70  10 6  10 6
E
 
30  10 3
70  10 9  10 6

 30 mm

Perpanjangan yang sama yaitu 30 mm dapat diperoleh dari peningkatan suhu (T):
  L T
 30
T    40 K

L 25 10 30 10 3
6
 

1.8. Dua batang prismatik disambung menyatu dan mendukung beban vertikal sebesar 50 kN
seperti pada Gambar 1.15. Batang bagian atas adalah baja dengan berat jenis 7.7  104 N m-
3
, panjang 10 m, dan luas penampang lintangnya 6000 mm2. Batang bagian bawah adalah
kuningan (brass) dengan berat jenis 8.25  104 N m-3, panjang 6 m, dan luas penampang
lintangnya 5000 mm2. Untuk baja E = 200 GN m-2 dan untuk kuningan E = 90 GN m-2.
Hitunglah tegangan maksimum di tiap batang.
Tegangan maksimum kuningan terjadi tepat di bawah bidang B –
A A
B. Tegangan yang terjadi merupakan resultan dari beban luar 50 kN
dan berat sendiri kuningan di bawah bidang B – B. Berat kuningan
10 m
(Wbr) adalah:
  
Wbr  8.25  10 4  10 9 6  10 3 5000   2475 N
B B
Tegangan pada bidang B – B adalah:
6m
 br  

P 2475  50  10 3
 10 .5 MPa

A 
5000  10  6  C C

Tegangan maksimum baja terjadi tepat di bidang A – A. Beban yang 50 kN


bekerja adalah resultan dari berat baja, berat kuningan, dan beban
luar. Berat besi (Wst) adalah: Gambar 1.15

  
Wst  7.7  10 4  10 9 10  10 3 6000   4620 N

Tegangan pada bidang A – A adalah:

 st 
P 4620  2475  50  10 3


 9.5 MPa

A 
6000  10  6 
1.9. Sebuah batang berbentuk kerucut terpancung memiki taper yang seragam yaitu berdiameter
d di ujung kecil dan diameter D di ujung besar. Panjang batang adalah L. Hitunglah
perpanjangan akibat beban aksial P yang diberikan di ujung-ujungnya. Lihat Gambar 1.6.
Koordinat x menunjukkan jarak elemen dari ujung terkecil batang. Elemen tersebut
berbentuk disk sangat tipis yaitu setebal dx dengan bentuk penampang lingkaran. Jari-jari

14
penampang lingkaran disk tersebut adalah r yang dapat diperoleh melalui prinsip
kesebangunan segitiga.
d D d
r  d x D  d 
2  2 2 r 
x L sehingga 2 L 2

L
x dx

P P
d/2 D/2

Gambar 1.16

Perpanjangan elemen disk tersebut dapat diperoleh melalui persamaan umum   PL yang
AE
disesuaikan untuk kasus tersebut menjadi:
Pdx
d 
 d x D  d  
2

   E
2 L 2 

Perpanjangan seluruh batang dapat diperoleh dengan menjumlahkan d sepanjang batang


yaitu dengan cara mengintegralkannya dari 0 hingga L.
L L L
Pdx 4P 1
   d     dx
 d x D  d   E 0   D  d 
2 2
0 0
   E d  x
2 L 2   L 

dd 
D  d  x 
 Jadi
4P
L
1  L  4 PL
L
1   D  d 
E 0  E D  d  0 
  dd  x
 D  d 
2
D  d   D  d  
2
L 
d  x L d  x
 L   L 
L
 
4 PL  1  4 PL  1 1  4 PL  D  d  4 PL
         
E D  d   d   D  d  x E D  d   D d  E D  d   Dd  EDd
 L 0

perpanjangan seluruh batang () adalah:


4 PL

EDd
1.10. Sebuah batang berbentuk perputaran solid menerima beban P seperti pada Gambar 1.17.
Jari-jari ujung atas batang tersebut adalah r0 dan berat jenis material adalah  N m-3.
Tentukan bagaimana variasi jari-jari terhadap ketinggian (y) agar tegangan tekan di seluruh
penampang di setiap ketinggian adalah konstan. Berat sendiri material tidak boleh diabaikan.

15
Jarak y diukur dari ujung atas batang tersebut, dan Q P r0
adalah berat benda setinggi y. dQ menunjukkan berat
benda setebal dy di ketinggian y. Notasi r dan r+dr Berat=Q
masing-masing menunjukkan jari-jari penampang disk y
di bagian atas dan bawah, sehingga A dan A+dA r Berat=dQ
merupakan luas area penampang disk di bagian atas dan dy
bawah. Agar seluruh benda mengalami tegangan yang r+dr
sama, maka tegangan di setiap disk di bagian atas dan
bawah juga harus sama. Besarnya tegangan di atas dan
di bawah disk dinyatakan dengan:
Gambar 1.17
P  Q P  Q  dQ
   konstan
A A  dA

Tegangan pada tiap elemen pertambahan luas (dA) juga harus konstan sehingga:
dQ P  Q P  Q  dQ
    konstan
dA A A  dA

Elemen pertambahan luas (dA) adalah dA   r  dr 2  r 2  2rdr  dr 2 . Nilai dr2 sangat
kecil dibandingkan 2rdr sehingga dr2 diabaikan dan dianggap nol. Maka:
dA   r  dr   r 2  2rdr
2

Pertambahan berat (dQ) adalah dQ  r 2 dy sehingga:

dQ r 2 dy rdy
  
dA 2rdr 2dr
1 
dr  dy
r 2
1 
 r dr   2 dy
y
ln r    C1
2

Seperti terlihat pada Gambar 1.17, ketika y=0, nilai r=r0, sehingga C1  ln r0  , sehingga:

y
ln r    ln r0 
2

Tegangan di puncak benda adalah:   P  P2 , sehingga:


A r0

r02 y
ln r    ln r0 
2P

r02 y
ln r   ln r0  
2P

16
 r  r02 y
ln   
 r0  2P

r02 y
r
e 2P
r0
Agar benda mengalami tegangan tekan yang sama besar di semua lapisannya, maka jari-jari
benda harus bervariasi pada berbagai ketinggian mengikuti rumus:
r02 y
r  r0 e 2P

1.11. Dua kawat baja identik disambung dengan pin dan mendukung beban sebesar 475 kN seperti
pada Gambar 1.18(a). Hitung luas penampang lintang kawat yang dibutuhkan sehingga
tegangan normalnya tidak lebih besar daripada 200 MPa. Hitung juga jarak perpindahan titik
B. Nilai E = 200 GN m-2.
FAB FBC
A C A C
L=3m L=3m
=90 =90 B
B B
D
P=475 kN P=475 kN
B’
(a) (b) (c)
Gambar 1.18

Diagram bebas batang pada titik B diperlihatkan pada Gambar 1.18(b), di mana FAB dan FBC
menunjukkan gaya di titik pada batang AB dan BC.
Dari statika diperoleh:

F h    
  FAB cos 45   FBC cos 45   0 sehingga FAB  FBC

F    
FAB sin 45   FBC sin 45   475  0 sehingga FAB  FBC 
475

475
2 sin 45 
v 
kN
2

Luas penampang yang dibutuhkan adalah:


475
 10 3
P 2
A   1679 .38  1680 mm 2
 200  10 6  10 6
Perpindahan titik B ke B’ ditunjukkan pada sketsa Gambar 1.18(c). Perpanjangan batang AB
dan BC adalah:
 475


 10 3  3  10 3  
  
PL 2
  3 mm

AE 1680 200  10 9  10  6 

17
Posisi awal titik B dari titik A adalah (xB,yB):

   
xB  3  10 3 cos 45 
3000
 2121.32 mm
2

   
yB  3  10 3 sin 45  
3000
 2121.32 mm
2
Posisi titik B’ (xB’, yB’) dari titik A adalah:
xB’ masih sama dengan xB, sedangkan titik B turun ke titik B’ yaitu sebesar y:
2

yB '   L   
2
x  2
B   
 3000 
3  10  3  
3 2
  2125.56 mm
 2 

 y  2125 .56  2121.32  4.24 mm

1.12. Dua batang baja AB dan BC disambung dengan pin di tiap ujungnya dan mendukung beban
sebesar 250 kN seperti Gambar 1.19(a). Baja tersebut adalah annealed cast steel, yang
memiliki yield point (titik luluh) sebesar 350 MPa. Faktor keamanan untuk komponen tarik
adalah 2 dan untuk tekan adalah 3.5. Tentukan luas penampang batang AB dan BC yang
dibutuhkan, lalu hitung perpindahan titik B. Nilai E = 200 GN m-2.

P=250 kN
A B A B A B
30
60 y
B’
5m 5m
C
y’ x
60 60
C (a) (b) C (c)

Gambar 1.19
Diagram bebas batang pada titik B disajikan pada Gambar 1.19(b). Dari statika diperoleh:

F v  250  BC  sin 30   0 sehingga BC  500 kN

3
F h   AB  BC  cos 30   0 sehingga AB  500 
2
 433 kN

Tegangan kerja untuk tarik adalah titik luluh dibagi dengan faktor keamanan sehingga
nilainya adalah 350/2=175 MPa untuk tarik dan 350/3.5=100 MPa untuk tekan. Luas
penampang (A) yang dibutuhkan untuk batang AB dan BC adalah:
433 10 3 10 6 500 10 3 10 6
AAB   2475 mm 2
dan A   5000 mm 2
175 10 6 BC
100 10 6
Untuk menghitung perpindahan titik B ke B’ maka diperlukan perhitungan perpanjangan
batang AB akibat tarik dan perpendekan batang BC akibat tekan. Panjang AB adalah
5000sin60= 4330 mm, sehingga besarnya perpanjangan dan perpendekan diperoleh dari
rumus pada soal 1.1.

18
 AB 
PL


433  10 3 4330   3.8 mm

AE 2475  200  10 9  10  6 
 BC 
PL


500  10 3 5  10 3  
 2.5 mm

AE 5000  200  10 9  10 6 
Panjang AC adalah 5  10 3  sin 30   2500 mm , panjang AB’ menjadi 4330+3.8=4333.8 mm,
sedangkan B’C menjadi 5000-2.5=4997.5 mm, sehingga dari rumus Pythagoras diperoleh:
y'2  B' C 2  x'2 dan  AC  y '2  AB '2  x'2

sehingga x'2  B' C 2  y'2  AB '2  AC  y '2 .


B' C 2  y'2  AB'2  AC 2  2 ACy ' y'2 , 
Persamaan di atas deselesaikan untuk y’, dan dimasukkan nilai-nilainya, maka:
B' C 2  AB '2  AC 2 4997 .52  4333 .82  2500 2
y'    2488 .64 mm
2 AC 2  2500
dan besarnya x’ dihitung dengan:
x'  B' C 2  y'2  4997 .52  2488 .64 2  4333 .79 mm

Sehingga perpindahan titik B ke B’ adalah sebesar x ke kanan dan y ke bawah yaitu:


 x  4333 .79  4330  3.79 mm , dan

 y  2500  2488 .64  11 .36 mm

dan jarak titik B ke B’ adalah 3.79 2  11 .36 2  11 .98 mm .

1.13. Rangka batang yang tiap buhulnya disambung dengan pin B


(Gambar 1.20) ditumpu di titik A dengan tumpuan rol
sehingga tidak memungkinkan terjadinya perpindahan
vertikal tetapi masih mungkin terjadi perpindahan
horizontal. Kedua batang tersebut adalah baja dengan
30
luas penampang 1000 mm2. Batang AB dipanaskan pada A 3m C
suhu 30 K di atas temperatur referensi. Temperatur
referensi diukur ketika sistem terbebas dari tegangan. Gambar 1.20
Batang AC dijaga agar tetap berada dalam temperatur
referensi. Jika diasumsikan bahwa kedua batang tetap lurus maka tentukan tegangan yang
terjadi di batang AB dan AC. Nilai koefisien ekspansi linier () adalah 12  10-6 K-1 dan
modulus elastisitas (E) adalah 200 GN m-2.
Untuk keperluan analisis, pertama-tama diasumsikan bahwa tidak ada sambungan di titik
buhul A, sehingga akibat dari peningkatan temperatur sebesar 30 K, terjadi perpanjangan
sebesar:

19
 3  10 3 

  TL  12  10 6 30     1.25 mm
 cos 30  

Akibat perpanjangan tersebut, batang AB berotasi di titik B, F1


sehingga titik A akan berpindah ke titik A’ yang berada di sebelah
kiri A. Batang-batang tersebut tersambung di ujung sebelah kiri,
30 F2
sehingga terjadi gaya tarik F2 di titik AC yang menarik titik A
batang horizontal ke kiri, dan agar berada dalam posisi
F
kesetimbangan harus ada gaya tekan F1 di batang AB. Diagram
bebas batang di titik A diperlihatkan pada Gambar 1.21. Gambar 1.21
Untuk alasan kesetimbangan, maka:
F2  F1 cos30  0 atau F2  F1 cos30
Gambar 1.22 menunjukkan bahwa batang AB menerima beban kombinasi akibat
perpanjangan thermal dan gaya tekan aksial, dapat diperhitungkan sebagai batang tegar
(rigid) yang berotasi di titik B sedemikian rupa sehingga titik A berpindah ke A’.
Perpanjangan total pada batang AB adalah
B
perpanjangan akibat suhu dikurangi dengan
perpendekan akibat beban tekan, yaitu:
F1 3  10 3 
 AB  1.25 
AE cos 30 
A’ 30
sehingga panjang batang A’B adalah: A 3m C
A' B  AB   AB


3  10   1.25 
3

F1 3  10 3  Gambar 1.22
cos 30  AE cos 30 

A’C dihitung dengan Phytagoras:

A' C  A' B 2  BC 2  

 3  10 3 
F 3  10 3
 1.25  1
    3  10  tan 30
2
3 2

 cos 30  AE cos 30  

Panjang A’C merupakan panjang AC mula-mula ditambah dengan perpanjangan AC.


F2 3  10 3 
A' C  AC   AC  3  10 3  
AE

Substitusi dua persamaan di atas diperoleh:

 F 3  10 3
3  10  2 3
  

 3  10 3  
F 3  10 3
 1.25  1
     3  10  tan 30
2
3 2

AE  cos 30  AE cos 30  

F2 disubstitusi dengan F2  F1 cos 30 , sehingga:


 F cos 30  3  10 3
 3  10 3  1    
 
2
 3  10 3 1.25 
 
F1 3  10 3   2

 2
  3  10 3 tan 30  ;  
  cos 30  AE cos 30  
 AE  

20
       yang
2
  
2 2
3  10 3 3  10 3 2   3  10 3
 
F 3
 3  10 3  1

A 2 200  10 9  10  6    
   3  10 3
2
 1 .25 
F1

 

A 200  10 9  10  6 3   
   3 3 
dapat disederhanakan menjadi persamaan kuadrat, yaitu:

  
2 3
 
  21  F1   12  10  4502 .5 3  F1  
 2
   
2


  A   12  10   3  10  1.25   0
6 3

 160000  A   100   3  

Persamaan kuadrat tersebut di atas dapat diselesaikan dengan rumus abc yaitu:
 b  b 2  4ac , di mana:
x1 , x2 
2a

a
 21
; b
 
12  10 3  4502 .5 3 

; dan c  12  10 6   3  10 3
2
 
 1.25  
2

160000 100  3 

dan menghasilkan dua solusi yaitu:


F1 F
 43 .75 MPa atau 1  1508418 MPa
A A
Solusi yang rasional dan masuk akal adalah solusi yang pertama yaitu 43.75 MPa, sehingga
tegangan tekan pada batang AB (AB) adalah :
 AB  43.75 MPa

Sedangkan tegangan tarik di batang AC (AC) adalah:

F2 F1 3
 AC   cos 30    AB cos 30   43 .75  37 .89 MPa
A A 2
1.14. Dua kawat baja dipasang seperti Gambar 1.23(a). Pada titik A, B, dan C disambung dengan
pin. Kawat tersebut mula-mula berada dalam posisi lurus horizontal dengan panjang L ketika
tidak ada beban yang diberikan. Berat sendiri kawat diabaikan. Gaya sebesar Q kemudian
diberikan secara gradual pada titik B. Tentukan besarnya Q untuk menghasilkan defleksi
vertikal sebesar  pada titik B.

Tiap batang memenuhi hubungan   PL , sehingga:


AE
PL
L ' L  ........................................................................................................................... (1)
AE
A L B L C P P

 
L’ L’ B’
B’ Q

Q (a) (b)
Gambar 1.23

21
Diagram bebas batang pada pin B diperlihatkan pada Gambar 1.13(b). Dari statika diperoleh:

F v  2 P sin   Q  0

Q  2P sin 


Q  2P
L'
Menggunakan (1) diperoleh:

Q2
L' L AE 

2AE  L
1   ......................................................................................... (2)
L L' L  L' 

Sesuai rumus Pythagoras diperoleh:


L'2  L2   2 ......................................................................................................................... (3)

sehingga dari (2) dan (3) diperoleh:

2AE   L
Q 1   ...................................................................................................... (4)
L  L  
2 2

 
 
 
2AE  1  ....................................................................................................... (5)
Q 1
L  1

 1   
2 2

  L2  
  
1

Nilai 1   2  dapat diselesaikan melalui teorema binomial yaitu:


2 2

 L 

1
 12  1   2   12  1 12  2   2   12  1 12  2 12  3   2 
2 3 4
  2 2 1  2  1 1 1
1  2   1   2   2
 L2  
2
 L2  
2
 L2   ...
 L  2 L  2!   3!   4!  
1
  2 2 2 4 3  6 15  8
1  2   1  2  4    ...
 L  2 L 4 L 48 L6 384 L8

Untuk  cukup kecil, nilai suku-suku ketiga dan seterusnya dapat diabaikan karena
L
dianggap sangat kecil dibandingkan dua suku di depannya. Maka:
   2 
   
2AE  1  atau Q  2AE  2 L
2
Q 1  ................................................................... (6)
L  2  L  2 
 1 2  1 2 
 2L   2L 

2
sangat kecil dibandingkan 1 (satu) sehingga nilai faktor pembagi yaitu 1   2
2
Nilai
2L2 2L
dianggap bernilai 1 (satu). Berkaitan dengan hal tersebut maka hubungan antara beban dan
defleksi pada sistem Gambar 1.23 dapat didekati dengan rumus:

22
2AE  2 AE 3
Q  3 . ...................................................................................................... (7)
L 2 L2 L
Persamaan (4) merupakan rumus eksak dari defleksi pada sistem Gambar 1.23, sedangkan
Persamaan (7) merupakan rumus pendekatannya. Seperti terlihat pada Persamaan (4) dan
(7), beban (Q) pada sistem Gambar 1.23 tidak berbanding lurus dengan defleksi (),
meskipun hukum Hooke berlaku untuk tiap-tiap batangnya. Pada sistem tersebut, besarnya
tegangan dan perpindahan tidak mengikuti fungsi linier dari besarnya beban yang diberikan.
Ini merupakan contoh yang menarik dari suatu sistem di mana perpanjangan dari setiap
komponen memenuhi hukum Hooke, namun karena alasan geometri maka besarnya defleksi
tidak proporsional terhadap gaya.
1.15. Untuk sistem yang didiskusikan pada soal 1.14, diketahui bahwa kawat AB dan BC masing-
masing panjangnya 200 mm, luas penampang 50 mm2, dan modulus elastisitas 200 GN m-2.
Jika beban (Q) yang diberikan adalah 100 N, tentukan defleksi pada tengah bentang (titik
B). Hitunglah dengan rumus eksak dan rumus pendekatan.
Rumus eksak untuk defleksi pada kasus soal 1.14 adalah:
2AE  
L
Q 1  
L  L  
2 2

Substitusi dengan nilai-nilai pada soal 1.15 diperoleh:

100 

2 50  200  10 9  10 6  1  200 

200   
 200   
2 2

Dengan cara trial dan error menggunakan goal seek pada MS Excel nilai  yang dihitung
dari rumus eksak di atas adalah 4.30937 mm.
1
AE 3
Rumus pendekatannya adalah: Q  3 atau    Q  L sehingga:
3

L  AE 
1

  
100  3
  200  4.30887 mm

 50  200  10  10
9 6
 

Defleksi () yang dihitung dari rumus pendekatan, sedikit lebih kecil daripada rumus eksak.
Selisih perhitungan yaitu 0.0005 mm, hampir tidak berarti dibanding nilai defleksi ()-nya
yang mencapai 4.3 mm.
1.16. Batang baja sepanjang 1 m menerima beban tarik aksial sebesar 250 kN. Batang tersebut
berpenampang bujursangkar dengan sisi-sisinya sebesar 50 mm. Hitung penurunan dimensi
lateral akibat beban tersebut. Diketahui modulus elastisitas (E) 200 GN m-2 dan rasio Poisson
() 0.3.
Regangan arah aksial akibat pembebanan dapat dihitung dari:
  P
E atau  aksial  
 aksial E AE

23
Rasio Poisson adalah rasio antara regangan lateral  lateral dengan regangan aksial  aksial 

 lateral P
 sehingga  lateral   aksial  
 aksial AE

Regangan lateral merupakan perubahan dimensi lateral (s) dibagi dimensi mula-mula (s):
s P
 lateral  
s AE

Perubahan dimensi lateral (s) adalah


P
 s  s
AE
Dengan memasukkan nilai-nilainya diperoleh

 s  s
P
 (0.3)(50 )

250  10 3   0.0075 mm
AE 
50  50  200  10 9  10  6 
1.17. Perhatikan tegangan yang terjadi pada sebuah elemen yang menerima tegangan pada satu
arah. Perpanjangan/perpendekan lateral dapat terjadi dengan bebas pada arah z, tetapi
ditahan sempurna pada arah y. Temukan rasio tegangan pada arah x dibandingkan dengan
regangan pada arah tersebut. Juga temukan rasio antara regangan arah z terhadap regangan
pada arah x.
Pertama-tama pergunakan rumusan umum hukum Hooke. Nilai tegangan pada arah z (z)
adalah bernilai 0 (nol) karena perpanjangan/perpendekan pada arah tersebut dapat terjadi
dengan bebas. Perpanjangan/perpendekan pada arah y ditahan sempurna sehingga tidak
terjadi perpanjangan/perpendekan pada arah tersebut. Oleh karena itu, regangan pada arah y
(y) juga bernilai 0 (nol). Sesuai dengan kondisi tersebut maka rumus hukum Hooke menjadi:

x 
1
 x    y  0 .........................................................................................................(a)
E

y 
1
 y    x  0  0 ...................................................................................................(b)
E

z 
1
0    x   y  ......................................................................................................... (c)
E
Dari (b) diperoleh:
 y   x

Konsekuensinya dari (a):


1 2
1
E
2

x  x   x 
E

 x sehingga:

E  E
x   atau x 
1  2 x
x 1 2

24
E
Nilai merupakan modulus elastisitas efektif dan sering kali berguna untuk teori
1 2
lembaran tipis (thin plate dan shells) .
Substitusi persamaan x ke dalam (c), dapat diperoleh:

z 
1
0    x   x 
E

1  E E 
z   0       
2 x 

1  1 
2 x
E 

 x
z   1   
1 2
 x
z   1   
1   1   
 x
z  
1   
z 
 
 x 1   

Rasio  disebut nilai efektif rasio Poisson.


1   
1.18. Sebuah blok elementer menerima beban tarik uniaksial (Gambar 1.24). Turunkan rumus
pendekatan untuk perubahan volume per unit volume akibat pembebanan tersebut.
Regangan pada arah gaya dinotasikan dengan x sehingga
y
regangan pada dua arah lain (y dan z) yang nilainya
masing-masing adalah -x. Jika dimensi mula-mula blok
elementer tersebut adalah dx, dy, dan dz, maka dimensi dy
dz x
akhir saat pembebanan adalah: z z
1   x dx , 1   x dy , dan 1   x dz . dx
z
Volume saat deformasi (V’) adalah:
Gambar 1.24
V '  1   x dx  1   x dy  1   x dz  1   x 1   x 1   x dxdydz
 
 1   x  2  x  2  x2   2 x2   2 x3 dxdydz

Nilai regangan () sangat kecil sehingga kuadrat regangan (2) maupun regangan pangkat 3
(3) dianggap tidak berarti dibandingkan dengan regangan () itu sendiri, sehingga 2 dan 3
diabaikan. Konsekuensinya, rumus pendekatan volume saat deformasi adalah:
V '  1   x  2 x dxdydz

Oleh karena volume mula-mula (V) adalah:


V  dxdydz ,

25
maka rumus pendekatan perubahan volume (V) per unit volume adalah:
 v V 'V 1   x  2  x dxdydz  dxdydz
 
V V dxdydz
 1   x  2  x   1
  x 1  2  

Sedangkan rumus eksaknya adalah:


 v V 'V 1   x 1   x 1   x dxdydz  dxdydz
 
V V dxdydz
 1   x 1   x 1   x   1

 1   x  2  x  2  x2   2 x2   2 x3  1 
  x  2  x  2       
2
x
2 2
x
2 3
x

1.19. Batang alumunium berpenampang bujur sangkar dengan sisi 50 mm. Panjang batang
tersebut adalah 250 mm. Pembebanan diberikan berupa beban tarik di ujung batang.
Pengujian eksperimental menunjukkan bahwa regangan pada arah beban (aksial) adalah
0.001. Hitunglah perubahan volume batang ketika beban diberikan. Nilai rasio Poisson ()
adalah 0.33.
Dari soal 1.19 diperoleh rumus pendekatan untuk perubahan volume saat pembebanan
adalah:
v
  x 1 2  atau  v   x 1 2 V , sehingga:
V

 v  0.0011  2  0.33 50  50  250   212 .5 mm 3

Jika dihitung dengan rumus eksak yaitu:  v   x  2 x  2 x2   2 x2   2 x3 V , maka:


 v  0.001  2  0.33  0.001  2  0.33  0.001 2  0.33 2  0.001 2  0.33 2  0.0013 
 50  50  250 
 212 .156 mm 3

1.20. Bentuk umum hukum Hooke pada arah tiga dimensi di mana komponen regangan
dinyatakan sebagai fungsi komponen tegangan telah disajikan di awal modul ini. Kadang-
kadang diperlukan pula suatu rumus untuk menyatakan komponen tegangan sebagai fungsi
dari komponen regangan. Turunkan rumus yang menyatakan komponen tegangan sebagai
fungsi dari komponen regangan.
Telah diketahui bahwa rumus umum hukum Hooke pada arah tiga dimensi adalah:

x 
1
 x    y   z  ........................................................................................................(1)
E

y 
1
 y    x   z  ........................................................................................................(2)
E

26
z 
1
 z    x   y  ...................................................................................................... (3)
E
Persamaan 1, 2, dan 3 dapat dinyatakan dalam bentuk Persamaan Matriks yaitu:
x   1      x 
   1 M   , atau   y   1    1
 
    y 
E   E
 z    1   z 

Jika diinginkan untuk membuat tegangan sebagai suatu fungsi dari regangan, maka matriks
tersebut dibalik menjadi:
1
 x   1    x 
   EM  1
  , atau  y   E  
 
1 
  
 y 
     1   
 z   z

M 1 merupakan invers dari M  dan dapat diperoleh melalui cara klasik yaitu:

M 1  1
adjM 
det M 

Determinan M  yang dinotasikan dengan detM  adalah:


det M   1  1  1                      1         1         1       
    
 11 2      2   2    Adjoint
 1  3  2 
2 3

  
 1   2  2  2  2  3  1   2  2  2 1     1   1     2  2 1     1    1    2  2 
 1    1  2  
2

matriks [M] yang dinotasikan dengan adjM  merupakan transpose dari matriks kofaktor
[M]. Matriks kofaktor [M] adalah:
1 2   2   2
 
kofaktor M       2 1 2   2
   2   2 1   2 

Transpose kofaktor [M] adalah sama dengan kofaktor [M] karena matriks tersebut simetris.
1 2   2   2
 
adj M   transpose kofaktor M       2 1 2   2
   2   2 1   2 

27
Invers matriks [M] adalah:

M 1  1
adjM 
det M 
1 2   2   2
1  
    2 1 2   2
1    1  2  
2

     
2 2
1   2 
1     

1   1   
1   1  2  
   2 1   

 x  1       x 
     
   y 
sehingga   y   E
1 
   1   1  2   

 z   2 1     z 

atau

x 
E
1   1  2 
1    x   y   z 

y 
E
  1    y   z 
1   1  2  x

z 
E
   y  1    z 
1   1  2  x
atau dapat pula dinyatakan dengan:

x 
E
     x   y   z 
1   1  2  x

y 
E
    x   y   z 
1   1  2  y

z 
E
    x   y   z 
1   1  2  z
Jika diperkenalkan suatu notasi baru yaitu e, di mana:

e   x   y   z ............................................................................................................... (4)
maka rumus tegangan sebagai fungsi regangan dapat pula dituliskan menjadi:

x 
E
 x   e  2 x   E
 x 1  2   e   E x  Ee 

1   1  2  1   1  2   1    1   1  2  

y 
E
   e  2 y  
E
 1  2   e   E  Ee 
y

1   1  2  y
1   1  2  y
 1    1   1  2  
E z Ee
z 
E
 z   e  2 z   E
 z 1  2   e   
 Tiga

1   1  2  1   1  2   1    1   1  2  
persamaan di atas lazim dikenal sebagai rumus tegangan sebagai fungsi regangan pada arah
tiga dimensi.

28
Jika diperkenalkan suatu notasi baru lagi yaitu , di mana:
   x   y   z .................................................................................................................. (5)

Maka dapat diperoleh hubungan antara e dan , yaitu:

e
1
 x    y   z   1  y    x   z   1  z    x   y 
E E E

eE   x   y   z  2  y   z   x     2   1  2 



eE
atau e  1 2   .
1 2  E
Rumus di atas seringkali berguna untuk menentukan tegangan dan regangan benda solid
yang menerima tekanan hidrostatik yang sama pada semua arah. Pada kasus khusus tersebut,
di mana tegangan hidrostatik adalah –p, maka tegangan pada ketiga arah adalah sama besar
yaitu  x   y   z   p , atau   3 p . Oleh karena itu:

p E
e
3p
1  2  atau  
E e 31  2 
E
Nilai sering dinotasikan dengan K, dan disebut bulk modulus, atau modulus
31  2 
ekspansi volume. Menurut definisi, bulk modulus (K) adalah ukuran kemampuan material
untuk menahan perubahan volume agar tidak terjadi perubahan bentuk.
Volume akhir (V’) suatu elemen berdimensi dx, dy, dan dz yang menerima beban sehingga
mengalami regangan x, y, dan z adalah:
V '  1   x dx1   y dy1   z dz  1   x 1   y 1   z dxdydz

Volume awal (V)-nya adalah V  dxdydz , sehingga perubahan volume (V)-nya adalah:
V  V 'V  1   x 1   y 1   z dxdydz  dxdydz  1   x 1   y 1   z   1dxdydz
 1   x   y   z   x y   x  z   y  z   x  y  z   1dxdydz
  x   y   z   x y   x  z   y  z   x  y  z dxdydz

Oleh karena itu rasio perubahan volume terhadap volume mula-mula adalah:
V
  x   y   z   x y   x z   y  z   x y  z 
V
Untuk regangan yang bernilai cukup kecil, perkalian antar regangan tersebut menjadi sangat
kecil dan dapat diabaikan, sehingga rasio perubahan volume terhadap volume mula-mula
dinyatakan dengan rumus pendekatan, yaitu:
V
 x y z  e
V

29
Nilai e yaitu  x   y   z merupakan perubahan volume per unit volume, dan disebut
dilatasi.
1.21. Sebuah batang lurus yang homogen berpenampang lingkaran dengan diameter 50 mm
dibebani dengan gaya aksial 500 kN seperti pada Gambar 1.25(a). Batang tersebut
dikencangkan pada ujung-ujungnya sehingga kedua ujungnya tidak dapat bergerak dan total
panjang selalu konstan. Pergunakan kurva tegangan–regangan pada Gambar 1.10 dengan
tegangan pada titik luluh (yp) sebesar 200 MPa untuk menentukan tegangan di kedua
wilayah batang tersebut (AB dan BC).
Pertama-tama tegangan di sepanjang batang AB dan BC masing-masing dinotasikan dengan
AB dan BC. Diagram bebas batang pada titik B untuk kasus tersebut disajikan pada Gambar
1.25(b). Agar batang berada dalam posisi kesetimbangan maka:

F v 0
A FA=r AB
2

0  FA  Fc  500 10  
3

d= 50 mm
 r  AB  r  BC
2 2
 500 10 
3

500 kN
3m B

500 kN
d 2 AB d 2 BC
   500 10  3
B
4 4
 50  AB   BC
 
2 2 300 mm
50 FC=r BC
2
   500 10 3 C
4 4
(a) (b)
yang dapat dapat disederhanakan menjadi:
Gambar 1.25
800
 AB   BC 

Titik B yang menerima beban sebesar 500 kN akan bergerak ke bawah. Perpanjangan batang
AB (AB) dan perpendekan batang BC (BC) harus sama besar karena total panjang batang
tidak berubah.
 AB   BC  0 atau  AB   BC

Jika dianggap bahwa batang AB dan batang BC masih berada di bawah batas elastis, maka
perpanjangan dan perpendekan mengikuti rumus pada soal 1.1, yaitu:
PL

AE

  50 2  AB 
 
 3 10 3 
 50 2  BC
300 
 4   4 ,
  50 
2
  50 
2
  E   E
 4   4 

sehingga 10 AB   BC .

30
Substitusi persamaan di atas ke dalam persamaan kesetimbangan, maka diperoleh:
800
 AB  10 AB 

800 8000
 AB   23 .15 MPa dan  BC  10 AB   231 .5 MPa
11 11

Nilai tegangan sepanjang AB dan BC masing-masing sebesar 23.15 MPa dan 231.5 MPa
tersebut, hanya berlaku ketika tegangan masih berada di bawah batas elastis. Oleh karena
titik luluh pada batang terjadi ketika tegangannya adalah 200 MPa, maka tegangan pada
batang BC adalah 200 MPa. Pada titik luluh, regangan dapat meningkat tanpa terjadi
perubahan tegangan, sehingga rumus pada soal 1.1 tidak berlaku untuk tegangan di titik
luluh.
Perhitungan yang benar untuk tegangan pada kasus ini adalah:
 BC   yp  200 MPa

Agar batang berada dalam posisi kesetimbangan maka:


800
 AB  200 

800
 AB   200  54 .65 MPa

Jadi tegangan pada batang AB dan BC berturut-turut adalah 54.65 MPa dan 200 MPa.
1.22. Pada mesin pembuatan kawat, sebuah kawat pelan-pelan ditarik melalui sebuah cetakan
yang berbentuk kerucut terpancung. Pada cetakan ini diameter berkurang dari D1 menjadi
D2 seperti terlihat pada Gambar 1.26. Set cetakan berupa dua batang yang terbelah pada
diameternya namun dikencangkan sehingga tidak dapat terpisah. Jika koefisien geser antara
kawat dengan cetakan adalah v, tentukan gaya normal qn yang terjadi pada kawat akibat
proses pencetakan tersebut.

qn
vqn 
D1 D2
vqn P

qn

Gambar 1.26
Gaya yang diterima oleh kawat akibat pencetakannya diperlihatkan pada Gambar 1.26. Luas
area yang kontak langsung dengan cetakan adalah  A1  A2  di mana A1 adalah luas
sin 
penampang kawat yang berdiameter D1 dan A2 adalah luas penampang kawat berdiameter
D2. Agar terjadi kesetimbangan horizontal maka jumlah gaya arah horizontal harus 0, yaitu:

31
P
 A1  A2  q sin   vqn cos    0 , atau
sin 
n

P sin  cos 
qn 
 A1  A2 tan   v 
P sin 2

2 A1  A2 tan   v 

Diagram bebas batang untuk potongan bagian atas cetakan disajikan pada Gambar 1.27, di
mana S merupakan gaya yang berupaya memisahkan dua bagian cetakan tersebut.
Keseimbangan vertikal pada setengah bagian cetakan ini dihitung dengan cara
memproyeksikan gaya radial qn kawat pada cetakan menjadi gaya pada penampang
horizontal. Bidang penampang horizontal tersebut berbentuk trapesium yang dihasilkan dari
proyeksi permukaan kerucut bidang kontak kawat dengan cetakan. Akibat kesetimbangan
vertikal pada Gambar 1.27, maka:
S S  D  D2   D  D2 
   qn cos   1  L  qn  1  Lv sin   0
2 2  2   2 
S
qn S
2 S sin  D2
qn  2 2
LD1  D1 cot   v  D1
Gambar 1.27
Karena sin   D1  D2  , maka:
L

2S
qn 
L cot   v 
2

Gaya S biasanya diukur dengan memasang strain gage tipe tahanan listrik di penampang
luar cetakan. Hubungan antara S dan P, dapat dinyatakan dengan:
2S P sin 2
qn   , atau
L cot   v  2 A1  A2 tan   v 
2

PL2 sin 2 cot   v 


S .
 A1  A2  tan   v 

32
Gaya yang bertindak pada arah sejajar dengan suatu bidang yang menembus batang disebut gaya
geser. Gaya geser dinotasikan dengan Fs.

Gaya geser (Fs) dibagi dengan luas area (A) di mana gaya tersebut bekerja disebut dengan tegangan
geser. Tegangan geser dinotasikan , dan dirumuskan:
Fs

A

Seperti terlihat pada Gambar 2.1, sebuah batang dipotong 


oleh penampang a-a tegak lurus dengan sumbunya. a
Tegangan normal () bertindak pada arah tegak lurus

dengan bidang a-a, sedangkan tegangan geser bertindak
sepanjang bidang a-a sejajar dengan bidang a-a tersebut. a
Jadi perbedaan yang jelas antara tegangan geser dan Gambar 2.1
tegangan normal adalah pada arahnya.

Sangat penting untuk membuat asumsi mengenai distribusi tegangan geser. Pada bab ini, tegangan
F
geser diasumsikan menyebar merata pada seluruh bidang geser. Rumus tegangan geser   s
A
menunjukkan rata-rata tegangan geser di seluruh bidang geser.

Sambungan baut (bolted joint) (Soal 2.1), pembolong kertas, pembolong pelat (Soal 2.3), spesimen
uji geser kayu (Soal 2.4), sambungan pasak (rivet joints) (Soal 2.6), sambungan las (welded joints)
(Soal 2.7), dan pengunci puli-puli dengan sumbunya (Soal 2.8) merupakan contoh lazim suatu
sistem dimana terjadi tegangan geser.
Jika suatu potongan bidang persegi panjang ABCD menerima tegangan geser sebesar  pada arah
horizontal seperti pada Gambar 2.2(a), maka akan terjadi perpindahan titik B ke B’ dan C ke C’.
Jika elemen tersebut menerima tegangan geser saja, dan dianggap tidak ada tegangan normal yang
terjadi, maka B’C’ adalah tetap sama panjang dengan BC. Perubahan bentuk (deformasi) yang
terjadi berupa perubahan sudut dari mula-mula siku-siku (90) menjadi sudut lancip sebesar .
Ketika tegangan geser terjadi, bidang elemen persegi panjang berubah bentuk menjadi jajaran
genjang yang diilustrasikan sebagai titik-titik pada Gambar 2.2(b).

B C B B’ C C’
Perubahan sudut di ujung bidang elemen

yang mula-mula berbentuk persegi A D A D
panjang disebut dengan regangan geser.
Regangan geser dinyatakan dengan notasi (a) (b)
 dan harus diukur dengan satuan radian. Gambar 2.2

Rasio antara tegangan geser () dengan regangan geser (), disebut modulus rigiditas (modulus of
rigidity) atau modulus geser (shear modulus) dan dinotasikan dengan G, sehingga:

G
.

Satuan modulus geser (G) adalah sama dengan satuan tegangan geser yaitu N m-2, karena regangan
geser tidak memiliki dimensi. Kurva tegangan – regangan untuk bermacam-macam material yang
menerima beban geser dapat digambar serupa halnya dengan beban normal pada Bab I Tarik dan
Tekan. Kurva tegangan – regangan geser memiliki bentuk yang serupa dengan kurva tegangan –
regangan normal, namun nilai numeriknya tentu saja berbeda.

2.1. Sambungan baut seperti pada Gambar 2.3 menerima beban P sebesar 30 kN. Diameter baut
adalah 10 mm. Tentukan rata-rata nilai tegangan geser yang terjadi pada bidang a-a dan b-
b.
Tanpa informasi tambahan yang tersedia, kita dapat
a a
mengasumsikan bahwa gaya P terdistribusi merata P P
pada dua bidang yaitu a-a dan b-b. Konsekuensinya, b b
gaya (Fs) yang bekerja pada bidang a-a dan b-b Gambar 2.3
masing-masing adalah:

Fs 
1
2
 
30 10 3  15  10 3 N .

34
Bidang a-a dan b-b berbentuk lingkaran, sehingga luas bidang geser (A) adalah:
1 1
A  d 2   10 2  78 .6 mm 2 .
4 4
Tegangan geser () yang terjadi pada bidang a-a dan b-b, adalah:

Fs 15 10 3
   192 MPa .
A 78 .6
2.2. Mengacu pada Gambar 2.4, gaya P bertindak untuk menggeser
P
stopper pada bidang a-a. Jika P=30 kN, tentukan rata-rata a 45
tegangan geser pada bidang a-a.
a
200 mm
Hanya komponen horizontal dari gaya P yang efektif
menghasilkan geseran, sehingga gaya geser (Fs) adalah: Gambar 2.4

Fs  P cos 45

Luas bidang geser (A) adalah luas bidang a-a, maka tegangan geser () adalah:

Fs P cos 45 

30 10 3
2

2  0.35 MPa
  
A A 300  200 10 6
2.3. Baja struktural berkarbon rendah (low carbon structural steel) memiliki kekuatan geser
ultimat sekitar 300 MPa. Tentukan gaya P yang dibutuhkan untuk membolongi pelat tersebut
hingga membentuk lubang lingkaran dengan diameter 25 mm (Gambar 2.5). Tebal pelat
tersebut 10 mm. Jika modulus elastisitas geser (G) material tersebut adalah 85 GN m-2,
tentukan regangan geser di tepi lubang ketika tegangan gesernya adalah 150 MPa.
P

P
25 mm 25 mm
10 mm 10 mm
(a) (b) 25 mm
(c)
Gambar 2.5
Sesuai dengan asumsi, gaya geser yang terjadi disebarkan merata pada selubung silinder
sesuai Gambar 2.5(c). Luas selubung silinder (A) adalah keliling lingkaran berdiameter 25
mm dikalikan tebal (t)-nya, sehingga:
A  dt    25 10  250  mm 2
Gaya P yang dibutuhkan untuk membolongi pelat tersebut adalah:

 
P  A  300 10 6 10 6  250   235619 .45 N  235 .62 kN
Untuk menentukan regangan geser () saat tegangan geser ()=150 MPa, perhitungan
dilakukan sesuai dengan definisi, yaitu:

35

G

Sehingga regangan geser () adalah:

 150 10 6
   0.00176 rad
G 85 10 9

2.4. Pada industri kayu, sepotong kayu berbentuk blok miring kadang-kadang digunakan untuk
mengukur kekuatan geser – tekan sambungan perekat. Jika sepasang blok miring kayu A dan
B setebal 40 mm pada arah tegak lurus bidang kertas ini, direkatkan dengan lebar bidang
rekat 50 mm, lalu diuji geser – tekan seperti Gambar 4.6 tentukan kekuatan geser rekat
ultimat jika gaya vertikal sebesar 40 kN dibutuhkan untuk merusakkan sambungan perekat
tersebut. Perlu diketahui pula bahwa perekat yang baik ditunjukkan oleh proporsi kerusakan
kayu yang lebih luas pada bidang rekat.
P

B    
A
50 mm

75 75
P P
P
(a) (b) (c)

Gambar 4.6

Analisa dilakukan pada kesetimbangan blok A. Reaksi pada blok mengandung tegangan
normal  dan tegangan geser  seperti pada Gambar 4.6(b) dan (c). Mengacu pada Gambar
4.6(c), keseimbangan pada arah horizontal diperoleh dari :

F h   cos 75   50  40   sin 75   50  40  0 ,

Sehingga
   cot 75
Dari keseimbangan arah vertikal, dapat diperoleh:

 F  40 10    sin 75   50  40    cos 75   50  40   0


v
3

Tegangan normal () disubstitusi sehingga menjadi:

40 10   sin 75  50  40    cot 75 cos 75  50  40   0


3

  sin 2 75   50  40   cos 2 75  

sin 75 
   
 50  40   40 10 3 
   sin 75  

36

   50  40  sin 2 75   cos 2 75 

   40 10 
3

sin 75  
 

   50  40  1 



  40  10
3

 sin 75 


40 10  sin 75
3

50  40
  20  sin 75  19.32 MPa
Tegangan geser () saat rusak adalah 19.32 MPa, maka kekuatan geser ultimat adalah 19.32
MPa.
2.5. Tegangan geser sebatang baja struktural adalah 100 MPa. Jika modulus gesernya adalah 85
GN m-2, tentukan regangan gesernya.

Sesuai dengan definisi G  , maka regangan geser () adalah:

 100 10 6
   0.00117 rad .
G 85 10 9
2.6. Sebuah pasak (rivet) tunggal digunakan untuk menyambung dua pelat seperti pada Gambar
2.7. Diameter pasak adalah 20 mm dan beban P adalah 30 kN. Berapakah rata-rata tegangan
geser yang terjadi pada pasak?

Gambar 2.7

Pada kasus ini, tegangan geser () yang terjadi adalah P/A di mana A adalah luas penampang
pasak (rivet). Namun diameter lubang rivet biasanya 1.5 mm lebih besar daripada diameter
penampang rivetnya. Dalam proses pemasangannya, rivet ditekan sehingga diameter rivet
membesar dan mengisi penuh lubang rivet sehingga tegangan geser dapat dinyatakan
dengan:
P 30 10 3
   82 .6 MPa
A  20  1.52
4
2.7. Salah satu tipe umum pengelasan untuk menyambung dua buah pelat adalah pengelasan
fillet. Sambungan dengan pengelasan fillet ini dapat menerima beban geser, tarik, tekan, dan
sering kali beban lentur. Untuk dua pelat pada Gambar 4.8, tentukan beban izin tarik P yang
dapat diterima jika tegangan kerja izin adalah 80 MPa. Hitung hanya berdasarkan tegangan
geser pada pengelasan. Beban diberikan tepat di tengah-tengah di antara kedua pengelasan.

37
P
10 mm 10 mm
45
150 mm 10 mm 10 mm
10 mm
P 10 mm
(a) (b)
Gambar 2.8

Dimensi minimum dari penampang pengelasan disebut dengan throat (Gambar 2.8(b)). Pada
kasus ini besarnya throat adalah 10 sin 45=7.07 mm. Luas area efektif pengelasan yang
menahan geser adalah throat dikalikan dengan panjang pengelasan, yaitu 175  7.07 = 1237
mm2 untuk tiap-tiap pengelasan pada kedua sisi. Maka beban izin yang dapat diberikan pada
sambungan pengelasan tersebut dihitung dengan cara:
P

A
 
P  A  80 10 6 10 6  2 1237   197920 N  197.92 kN

2.8. Puli-puli dan sumbunya biasanya dikencangkan dengan sebuah kunci seperti Gambar 2.9(a).
Suatu puli-puli menerima beban berupa momen puntir T sebesar 1 kN m. Puli-puli tersebut
dikunci pada sumbunya menggunakan kunci berukuran 10 mm  10 mm  75 mm. Sumbu
berdiameter 50 mm. Hitunglah tegangan geser pada penampang horizontal kunci tersebut.
T
1 kN m

10 mm
F
10 mm
r
O

50 mm 50 mm

(a) (b)
Gambar 2.9

Diagram bebas batang untuk puli-puli dan sumbunya disajikan pada Gambar 2.9(b). Sesuai
dengan diagram bebas batang tersebut, beban berupa momen perputaran sebesar 1 kN
dilawan oleh gaya F ke arah horizontal tangensial yang ditimbulkan oleh kunci. Agar momen
di pusat puli-puli berada dalam posisi keseimbangan, maka:

M 0  
 T  rF  1 10 3  10 3  25 F  0 .

Sehingga: F  40 kN
Gaya F sebesar 40 kN tersebut ditahan oleh kunci, sehingga pada kunci dapat diilustrasikan
dalam diagram bebas batang seperti Gambar 4.10.

38
F
a a
F

10 mm
a a

F
a a

5 mm
10 mm 10 mm
F
F
(a)
(b)
Gambar 2.10
Diagram bebas batang pada Gambar 2.10(b) menunjukkan keseimbangan pada bidang a-a.
Keseimbangan pada arah horizontal diperoleh ketika:

 F  40 10    75 10   0


h
3

Sehingga tegangan geser () pada kunci adalah:


  53.3 MPa

39
40
Batang yang menerima gaya atau kopel yang bekerja pada suatu bidang yang berisikan sumbu
longitudinal batang tersebut disebut sebuah balok. Gaya-gaya tersebut dipahami bertindak pada
arah tegak lurus sumbu longitudinal.

Jika suatu balok ditumpu hanya pada salah satu ujungnya sedemikian rupa sehingga sumbu balok
tidak dapat berotasi pada titik tumpuan, maka balok tersebut disebut balok kantilever. Tipe balok
ini diilustrasikan pada Gambar 3.1. Ujung kiri batang dapat melendut, namun ujung lainnya dijepit
kaku (rigid). Reaksi pada dinding tumpuan terdiri atas gaya vertikal dan kopel yang bekerja
bersama-sama pada bidang yang menerima beban tersebut.

Balok yang ditumpu dengan bebas di kedua ujungnya disebut


P
dengan balok sederhana. Istilah “ditumpu dengan bebas” artinya wNm
-1

artinya setiap ujung tumpuan hanya mampu menahan gaya dan


tidak mampu menahan momen. Oleh karena itu tidak ada
tahanan yang mencegah perputaran sudut (angular rotation)
pada titik tumpuan di ujung batang meskipun batang mengalami
lendutan akibat beban. Dua contoh balok sederhana disketsa Gambar 2.1
pada Gambar 3.2.
P -1
wNm

M
(a) (b)
Gambar 3.2

Pada balok sederhana, sekurang-kurangnya salah satu tumpuan harus mampu meneruskan
perpindahan horizontal sehingga tidak ada gaya yang terjadi pada arah sumbu longitudinal balok.
Jika kedua tumpuan di ujung balok mampu menahan perpindahan horizontal maka gaya aksial
akan timbul pada balok dan menyebabkan terjadinya tambahan deformasi akibat beban aksial
tersebut. Balok yang kedua ujungnya ditumpu dengan tumpuan yang mampu menahan
perpindahan horizontal merupakan topik lanjut yang tidak dibahas dalam Bab ini.
Balok pada Gambar 3.2(a) disebut menerima beban terpusat, sedangkan balok pada Gambar 3.2(b)
menerima beban merata dan sebuah kopel.

Sebuah balok yang ditumpu dengan bebas di dua titik dan salah satu atau kedua ujung memanjang
melebihi tumpuan disebut dengan balok overhanging. Dua contoh balok overhanging disajikan
pada Gambar 3.3
P1 P2 P3 -1 P
wNm

(a) (b)

Gambar 3.3

Untuk setiap balok kantilever, balok sederhana, dan balok overhanging, besaran reaksi tumpuan
dapat diselesaikan hanya dengan menggunakan persamaan-persamaan keseimbangan statis. Nilai
besaran reaksi tumpuan ini tidak dipengaruhi deformasi pada balok. Balok yang berada dalam
kondisi demikian disebut balok statis tertentu.

Jika jumlah reaksi yang timbul pada balok melebihi jumlah persamaan keseimbangan statis, maka
persamaan keseimbangan statis harus dilengkapi dengan persamaan-persamaan yang diperoleh
dari deformasi balok. Balok seperti ini disebut dengan balok statis tak tentu.
Balok kantilever yang ditumpu di ujung lainnya (Gambar 3.4(a)), balok yang dijepit kaku (rigid)
di kedua ujungnya (Gambar 3.4(b)), dan sebuah balok menerus yang ditumpu di lebih dari dua
tumpuan (Gambar 3.4(c)) merupakan contoh balok tak tentu.
P -1 P1 P2
wNm

(a) (b) (c)

Gambar 3.4

Beban yang diberikan pada balok dapat berupa salah satu atau kombinasi beberapa beban terpusat,
beban merata yang tersebar seragam, dan beban merata yang tersebar secara bervariasi. Beban
terpusat bekerja di satu titik. Beban merata tersebar seragam bekerja dengan nilai besaran beban
yang sama besar per satuan panjang dan dinyatakan dengan satuan Newton per meter panjang

42
balok. Beban merata tersebar secara bervariasi yaitu nilai
-1
besaran beban tidak sama per meter panjang balok. Contoh wNm
beban merata secara bervariasi disajikan di Gambar 3.5.
Balok dapat menerima beban berupa kopel. Satuan kopel
adalah N m. Gambar 3.5

Ketika balok diberi beban berupa gaya atau kopel, tegangan internal terjadi dalam balok.
Umumnya tegangan normal dan tegangan geser akan terjadi. Untuk menentukan besarnya kedua
tegangan normal dan tegangan geser di setiap potongan tertentu dari balok, besarnya resultan gaya
dan momen yang bekerja pada potongan tersebut harus diketahui. Besarnya resultan tersebut bisa
diperoleh dengan menerapkan persamaan-persamaan keseimbangan statis. Sebagai contoh adalah
beberapa gaya terpusat yang bekerja pada balok sederhana Gambar 3.6(a).
P1 P2 P3 P4 P1 P2 M
A B C D A B C D

x x V
RA RB RA
(a) (b)
Gambar 3.6

Tegangan internal di setiap titik di sebelah kiri titik D akan diamati. Titik D terletak sejauh x dari
ujung balok sebelah kiri. Untuk mempelajari hal ini, pertimbangkan suatu balok yang dipotong di
titik D dan potongan yang ada di sebelah kanan titik D dibuang. Potongan yang dibuang tersebut
harus diganti dengan pengaruh yang timbul akibat adanya seluruh gaya di sebelah kiri titik D.
Pengaruh tersebut berupa gaya geser V dan kopel M yang diilustrasikan sebagai vektor pada
diagram bebas batang di Gambar 3.6(b). Gaya V dan kopel M menahan potongan sebelah kiri balok
agar berada dalam posisi keseimbangan dengan gaya-gaya yang terjadi yaitu R1, P1, dan P2. Nilai
besaran V dan M bertanda positif jika arahnya seperti Gambar 3.6(b).

Kopel M pada Gambar 3.6(b) disebut momen tahanan di potongan D. Besarnya M dapat diperoleh
melalui persamaan-persamaan statis yang menyatakan bahwa jumlah momen semua gaya pada
sumbu yang melalui titik D dan tegak lurus dengan bidang adalah 0 (nol). Maka:

M D  M  R1 x  P1  x  a   P2  x  b   0 ; atau M  R1 x  P1 x  a  P2 x  b

Jadi momen tahanan M merupakan momen di titik D yang terjadi akibat gaya reaksi di A, gaya
aksi P1 sejauh (x-a), dan gaya aksi P2 sejauh (x-b). Momen tahanan M adalah resultan kopel
tegangan yang terdistribusi menyebar pada bidang vertikal di D. Tegangan ini bekerja pada arah
horizontal yaitu berupa tegangan tarik pada sebagian tertentu penampang dan berupa tegangan
tekan pada sebagian penampang yang lain. Distribusi tegangan seperti itu akan didiskusikan lebih
lanjut di Bab berikutnya.

43
Gaya vertikal V seperti diperlihatkan pada Gambar 3.6(b) disebut dengan geser tahanan di
potongan D. Untuk alasan keseimbangan maka resultan semua gaya pada arah vertikal harus sama
dengan 0 (nol):

F v  R1  P1  P2  V  0 atau V  R1  P1  P2

Gaya V ini sebenarnya merupakan resultan tegangan geser yang didistribusikan menyebar pada
bidang vertikal di titik D. Diskusi lebih lanjut mengenai tegangan geser ini akan dilakukan di Bab
berikutnya.

Penjumlahan aljabar dari momen-momen yang timbul akibat gaya luar pada satu sisi di sebelah
potongan D terhadap sumbu yang melewati titik D disebut dengan momen lentur di titik D. Momen
lentur dinotasikan pula dengan M, dan untuk kasus beban-beban pada Gambar 3.6(b) dinyatakan
dengan:

M  R1x  P1 x  a  P2 x  b
Aplikasi besaran momen lentur ini disajikan pada soal 3.1 – 3.6. Momen lentur memiliki arah
berlawanan dengan momen tahanan, tetapi besarnya sama. Notasinya juga sama-sama M. Momen
lentur lebih sering dipakai dalam perhitungan daripada momen tahanan karena momen lentur dapat
langsung merepresentasikan beban-beban eksternal yang terjadi pada balok.

Penjumlahan aljabar gaya-gaya vertikal di salah satu sisi, misalkan di sebelah kiri dari potongan
D disebut gaya geser pada potongan tersebut. Gaya geser dinotasikan pula dengan V dan untuk
kasus pada Gambar 3.6(b) dinyatakan dengan:
V  R1  P1  P2
Gaya geser terjadi pada arah yang berlawanan dengan geser tahanan, namun besarnya sama. Gaya
geser lebih umum dipakai dalam perhitungan daripada geser tahanan. Besaran gaya geser
dicontohkan pada soal 3.1–3.6.

Penandaan yang disepakati untuk gaya geser dan momen lentur disajikan pada Gambar 3.7. Gaya
yang menyebabkan balok melengkung sehingga berbentuk cekung ke atas dikatakan menghasilkan
momen lentur positif. Gaya yang menyebabkan pergeseran bagian kiri balok menjadi lebih tinggi
dibandingkan bagian kanan disebut gaya geser positif. Cara mudah untuk menentukan penandaan
aljabar dari momen lentur di sembarang potongan tertentu adalah gaya luar ke arah atas
menyebabkan momen lentur positif, sedangkan gaya luar ke arah bawah menyebabkan momen
lentur negatif.

44
Lentur positif (+) Lentur negatif (-)

Geser positif (+) Geser negatif (-)

Gambar 3.7

Balok lenturnya umumnya diilustrasikan dengan cukup memadai menggunakan suatu sistem
koordinat sepanjang balok dengan titik pusat koordinat berada di salah satu ujung balok. Dengan
menggunakan sistem koordinat tersebut dapat diperhitungkan gaya geser (V) dan momen lentur
(M) di setiap potongan tertentu sejauh x dari ujung balok. Jadi dalam suatu sistem koordinat, V
merupakan fungsi dari x, dan M juga merupakan fungsi dari x.

Kurva yang berisikan plot persamaan V dikenal dengan diagram gaya geser, sedangkan plot
persamaan M dikenal dengan diagram momen lentur. Pada plot tersebut sumbu horizontal (absis)
menunjukkan posisi potongan sepanjang balok, sedangkan sumbu vertikal (ordinat) menunjukkan
nilai gaya geser atau momen lentur.
Diagram gaya geser dan momen lentur menunjukkan variasi nilai kedua besaran tersebut pada
sembarang potongan sepanjang batang. Nilai maksimum kedua besaran tersebut dapat diperoleh
dengan mudah dengan membaca plot di diagram tersebut.

Balok sederhana yang diberi beban bervariasi w(x)


disketsa pada Gambar 3.8 sebagai suatu sistem y w(x)
koordinat dengan titik pusat di ujung kiri balok (A).
Jarak sembarang potongan di sepanjang balok x
dx
x
dinotasikan dengan variabel x. Untuk sembarang nilai
x, hubungan beban w(x) dengan gaya geser V, serta Gambar 3.8
hubungan gaya geser V dengan momen lentur M yaitu:
dV
w
dx
dM
V
dx
Hubungan ini diturunkan pada soal 3.1. Untuk aplikasi lihat soal 3.4.

45
3.1. Turunkan hubungan antara besar beban, gaya geser, dan momen lentur pada sembarang titik
dalam balok.
y w(x) -1
wNm
x M M+dM
dx O
x
V V+dV
R1 R2
(a) (b)
Gambar 3.9

Suatu balok yang menerima sembarang beban transversal seperti Gambar 3.9(a). Gambar
3.9(a) mengilustrasikan tumpuan sederhana pada balok, namun sebenarnya pertimbangan
ini dapat berlaku untuk semua jenis konfigurasi balok seperti kantilever maupun
overhanging. Pada sembarang titik di balok tersebut suatu komponen elementer sepanjang
dx dipotong dan diagram bebas batang komponen elementer dx tersebut disketsa pada
Gambar 3.9(b). Gaya geser V bekerja di sisi kiri komponen elementer, sedangkan gaya geser
sebesar V+dV bekerja di sisi kanan komponen elementer tersebut. Momen lentur M juga
bekerja di sisi kiri, dan di sebelah kanan bekerja momen lentur sebesar M+dM. Oleh karena
dx sangat kecil, maka beban yang terjadi sepanjang dx dapat dianggap sebagai beban merata
w yang tersebar seragam. Diagram bebas batang yang menggambarkan gaya dan momen di
elemen dx tersebut disajikan pada Gambar 3.9(b). Suatu titik O terletak di sisi kanan elemen
dx. Titik O berada dalam posisi keseimbangan, sehingga jumlah semua momen yang bekerja
di titik tersebut adalah nol.
 dx 
 M  M  dM   Vdx  wdx   V  dV   0  0 atau dM  Vdx  dx 
w
M O
 2 2
2

Oleh karena dx merupakan jarak yang sangat kecil, maka nilai (dx)2 tidak berarti
dibandingkan dx sehingga (dx)2 diabaikan. Oleh karena itu:
dM
dM  Vdx atau V
dx

Sesuai dengan persamaan di atas, gaya geser V merupakan laju perubahan momen lentur
setiap jarak x tertentu. Persamaan di atas telah terbukti mempermudah penggambaran
diagram gaya geser dan momen lentur untuk kasus yang lebih rumit. Sebagai contoh, jika
gaya geser bernilai positif di suatu potongan tertentu dari balok, maka kemiringan (slope)
diagram momen lentur juga positif di titik tersebut. Demikian juga, perubahan tiba-tiba pada
gaya geser akibat adanya beban terpusat di suatu titik akan menyebabkan perubahan tiba-
tiba pada momen lentur di titik tersebut.
Lebih lanjut, pada suatu titik di mana gaya geser bernilai nol, diagram momen lentur akan
mendatar karena kemiringannya juga bernilai nol. Di titik tersebut di mana tangen diagram
momen mendatar horizontal, momen lentur dapat berada dalam kondisi maksimum atau
minimum. Hal ini sesuai dengan teknik kalkulus untuk menentukan nilai maksimum atau

46
minimum suatu fungsi yaitu dengan menghitung suatu titik di mana turunan pertamanya
bernilai nol.
Untuk menentukan arah kecekungan pada suatu titik A atau B, maka perhitungan turunan
kedua dari M yaitu d2M/dx2 dapat dilakukan. Jika nilai turunan kedua bernilai positif maka
diagram momen lentur berbentuk cekung ke atas seperti pada titik A. (Gambar 3.10)
Sebaliknya jika nilai turunan kedua bernilai negatif maka diagram momen lentur berbentuk
cekung ke bawah seperti pada titik B. Namun perlu dicatat bahwa penentuan nilai kritis
(maksimum dan minimum) dengan cara turunan pertama tidak dapat dilakukan untuk kasus
perubahan tiba-tiba seperti di titik C dan D. Jika titik B D
seperti C dan D terjadi maka momen pada titik Momen lentur
tersebut harus dihitung secara numerik lalu A C
dibandingkan dengan titik-titik lain yang mungkin
bernilai kritis. Gambar 3.10

Pada akhirnya, untuk keseimbangan vertikal pada


elemen dx maka diperoleh:

wdx  V  V  dV   0
dV
atau w .
dx

Hubungan di atas dapat digunakan untuk menggambar diagram gaya geser.


3.2. Balok kantilever yang menerima beban merata yang terdistribusi seragam sebesar w N m-1
di seluruh panjang bentang (Gambar 3.11(a)). Tentukan suatu persamaan yang menunjukkan
besarnya gaya geser dan momen lentur di sembarang titik di sepanjang bentang balok
kantilever tersebut. Gambarkan pula diagram gaya geser dan momen lenturnya.
-1 wx N -1
wNm x wNm
2
A
x x
x x
L L
(a) (b)
Gambar 3.11

Pada kasus ini, balok kantilever tidak memiliki tumpuan di ujung sebelah kiri, sehingga jika
kita memilih sistem koordinat dengan titik pusat O tepat melalui ujung sebelah kiri balok
maka reaksi tumpuan tidak perlu dihitung lebih dahulu. Untuk menentukan besarnya gaya
geser dan momen lentur di sembarang potongan sejauh x dari ujung bebas, maka gaya yang
tersebar merata yang dari titik O hingga potongan x diganti dengan resultannya (Gambar
3.11(b)). Resultan gaya tersebut merupakan vektor sebesar wx yang berupaya menggeser
balok di sebelah kiri titik A menjadi lebih rendah daripada sebelah kanannya. Sesuai dengan
perjanjian penandaan sebelumnya, gaya geser seperti itu diberi tanda negatif.
Gaya geser pada potongan sejauh x merupakan penjumlahan semua gaya di sebelah kiri
potongan x tersebut. Pada kasus ini jumlah gayanya adalah wx dengan arah ke bawah, maka:
V  wx

47
Persamaan di atas menunjukkan bahwa gaya geser V =0 saat x=0, dan gaya geser V bernilai
–wL saat x=L. Oleh karena V merupakan fungsi turunan pertama dari x, maka gaya geser
diplotkan sebagai garis lurus yang menghubungkan kedua titik tersebut. Sketsa diagram gaya
geser disajikan pada Gambar 3.12(a).
x x

wL wL2
Gaya geser Momen lentur 2
(a) (b)
Gambar 3.12

Momen lentur pada potongan x yang sama, merupakan jumlah semua momen di sebelah kiri
potongan terhadap sumbu yang melalui titik A dan tegak lurus dengan permukaan kertas ini.
Jumlah momen M ini adalah momen akibat resultan gaya sebesar wx yang bekerja sejauh x/2
dari titik A, sehingga:
x wx 2
M   wx   .
2 2

Tanda minus diperlukan karena beban ke arah bawah dan di sebelah kiri titik tindak A
menghasilkan momen lentur negatif. Sesuai dengan persamaan di atas, momen lentur M
bernilai nol (M=0) saat x=0, dan momen lentur M bernilai –wL2/2 saat x=L. Variasi momen
lentur sepanjang balok membentuk kurva parabola yang disketsa pada Gambar 3.12(b). Nilai
ordinat kurva parabola di sembarang titik menunjukkan nilai momen lentur di titik tersebut.
Perlu dicatat bahwa beban merata yang tersebar seragam ke arah bawah menghasilkan
diagram momen yang cekung ke bawah. Hal ini dapat dibuktikan dengan turunan kedua M
terhadap x yang menghasilkan nilai sebesar –w. Karena turunan kedua bernilai negatif, maka
sesuai dengan aturan kalkulus, kurva berbentuk cekung ke bawah.
3.3. Suatu balok dengan tumpuan sederhana menerima beban merata yang tersebar seragam
sepanjang bentang. Panjang balok 4 m dan besar beban 1.5 kN m-1. Sketsa balok tersebut
digambar pada Gambar 3.15(a). Gambarkan diagram gaya geser dan momen lentur balok
tersebut.

-1 -1
1.5 kN m 1.5x kN x 1.5 kN m
2
A
x x
x x
4m 4m
3 kN 3 kN 3 kN 3 kN
(a) (b)

Gambar 3.13

Resultan seluruh beban pada balok adalah 1.5  4 = 6 kN. Karena pembebanan balok
simetris, maka beban 6 kN tersebut didistribusikan dengan sama besar di kedua tumpuan
yaitu masing-masing 3 kN. Setelah reaksi tumpuan diketahui, selanjutnya diamati setiap
potongan di sembarang titik sejauh x dari ujung sebelah kiri. Gaya geser pada potongan

48
tersebut merupakan penjumlahan aljabar dari semua gaya di sebelah kiri titik A yaitu terdiri
atas 3 kN gaya reaksi di tumpuan dan beban merata terdistribusi seragam sebesar 1.5 kN
m-1 sepanjang x. Beban merata diganti dengan resultannya yaitu 1.5x kN yang bertindak ke
arah bawah pada titik sejauh x dari A; resultan tersebut digambarkan sebagai vektor dengan
2
garis putus-putus pada Gambar 3.13(b). Tidak ada satu pun gaya di sebelah kanan titik A
yang diperhitungkan sebagai resultan. Gaya geser pada sembarang titik sejauh x dari ujung
sebelah kiri (V) adalah:
V  3  10 3  1.5  10 3 x .

Oleh karena tidak ada beban terpusat yang bekerja pada balok tersebut, maka persamaan di
atas valid untuk semua titik di sepanjang bentang. Sesuai dengan persamaan di atas, gaya
geser bervariasi secara linier dari titik O hingga L. Pada x=0 m  V = 3103 kN; dan pada
x=4 m  V= -3103 kN. Di tengah-tengah bentang yaitu saat x=2 m, nilai gaya geser V
adalah 0 kN. Diagram gaya geser disajikan pada Gambar 3.14(a).

2m 2m
3 kN 3 kN m
x
2m 2m x
-3 kN
Gaya geser Momen lentur
(a) (b)
Gambar 3.14
Momen lentur di potongan x merupakan penjumlahan aljabar dari momen akibat gaya reaksi
dan momen akibat beban merata. Momen akibat reaksi di tumpuan adalah 3x kN m sebagai
akibat gaya reaksi sebesar 3 kN dan jarak lengan momen sebesar x m. Momen akibat beban
merata yaitu 1.5 x  x kN sebagai akibat resultan beban sebesar 1.5x kN dan jarak lengan
2
x
momen sebesar m. Mengingat gaya ke atas menyebabkan momen lentur bernilai positif
2
maka:

    x  3 10 x   1.5 10 


3
M  3  10 3 x  1.5  10 3 x 3
x 2 
2  2 

Persamaan momen lentur di atas dapat digambarkan sebagai sebuah kurva parabola
berbentuk cekung ke bawah (Gambar 3.14(b)). Saat x=0 m dan x=4 m, nilai M adalah 0. Saat
x=2 m, nilai M adalah 3 kN dan ordinat titik tersebut merupakan puncak parabola yang
sekaligus menjadi nilai momen lentur maksimum.
3.4. Balok sederhana Gambar 3.15(a) menerima beban merata yang meningkat konstan dari nol
di ujung kiri hingga mencapai maksimum sebesar 9 kN m-1 di ujung kanan. Gambarkan
diagram gaya geser dan momen lenturnya.

49
Untuk mendapat besarnya reaksi di tumpuan R1 6m
dan R2, maka seluruh beban merata diganti
9 kN m-1
dengan resultannya dan titik tindaknya terletak
di centroid diagram pembebanan yang
berbentuk segitiga. Oleh karena beban di titik O (a)
27 kN
adalah nol dan di ujung kanan adalah 9 kN m-1, 4m 2m
maka rata-rata intensitas beban adalah 4.5 kN m-
1
yang bekerja di sepanjang bentang balok 6 m.
R1 (b) R2
Maka total beban sebesar 27 kN bekerja di
1 x  C
potongan x yaitu sejauh 4 m dari ujung kiri (O).    9 x
2 6  B
Diagram bebas batang kasus tersebut w
O A D
diilustrasikan di Gambar 3.15(b). Dengan
menerapkan persamaan keseimbangan statis, 2x x
diperoleh R1 adalah 9 kN dan R2 adalah 18 kN. 9 kN 3
x
3 18 kN
Persamaan keseimbangan statis yang dimaksud (c)
adalah:
Gambar 3.15
F v  R1  R2  27  0 atau R1  27  R2

M O  R1  0  R2  6  27  4  0 atau R2  18 kN

Dari kedua persamaan keseimbangan tersebut diperoleh:


R2  18 kN dan R1  27  18  9 kN

Meskipun nilai reaksi tumpuan R1 dan R2 telah dapat diperoleh melalui resultan seluruh
beban, resultan tersebut belum dapat digunakan untuk menggambarkan diagram gaya geser
dan momen lentur. Penyebaran beban harus diperhitungkan untuk menentukan gaya geser
dan momen lentur di sembarang titik sejauh x dari titik O di sepanjang balok. Ilustrasi
penyebaran beban ini digambarkan pada Gambar 3.15(c). Pada potongan x ini, intensitas
beban w dapat diperoleh dari prinsip kesebangunan segitiga OAB dan OCD sbb:
w 9
 atau w   9 x  kN m -1 .
x 6 6 

Karena intensitas beban di ujung kiri adalah nol, maka rata-rata intensitas beban pada
potongan sejauh x dari ujung balok adalah:
19 
 x  kN m
-1

26 

Total beban yang bekerja di sepanjang potongan dari titik O hingga x adalah rata-rata beban
dikalikan jaraknya yaitu:
19 
 x  x kN .
26 

50
Total beban itu bertindak pada centroid pembebanan, yaitu sejauh 2x dari titik O atau x
3 3
dari titik A. Tidak ada bagian beban di sebelah kanan titik A yang ditambahkan dalam
resultan ini. Selanjutnya gaya geser V dan momen lentur M telah siap digambarkan yaitu:
19   3x 2 
V  9   x  x   9   kN
26   4 

19   1   x3 
M  9 x    x  x  x    9 x   kN m .
26   3   4

Kedua persamaan di atas adalah benar untuk seluruh bentang balok. Gaya geser memiliki
plot parabola yang bernilai 9 kN saat x = 0, -18 kN saat x = 6 m, dan nol saat
x  2 3  3.4641 m . Persamaan momen lentur merupakan persamaan polinomial berderajat
tiga. Momen lentur bernilai nol saat x = 0 m dan x = 6 m. Nilai momen lentur maksimum
terjadi saat gaya geser bernilai nol yaitu ketika x  2 3  3.4641 m . Nilai momen lentur
maksimum adalah:

M max


 9  2 3 
 
2 3 
3

 12 3  20.7846 kN m .
 4 
 

Diagram gaya geser dan momen lentur disajikan pada Gambar 6.16.
9 21
Gaya Geser Momen Lentur
Momen lentur (kN m)

6 18
3
Gaya Geser (kN)

15
0 12
-3 0 1 2 3 4 5 6
9
-6
6
-9
-12 3
-15 0
-18 0 1 2 3 4 5 6

Gambar 6.16.

3.5. Suatu balok horizontal AD dibebani dengan beban 10 kN


-1
merata yang tersebar seragam sebesar 5 kN per meter 5 kN m
panjang dan juga menerima beban terpusat sebesar
A B C D
10 kN seperti diperlihatkan Gambar 3.17. x
Gambarkan diagram gaya geser dan diagram momen 2m 1m 1m
lentur balok tersebut: RA RC
Gambar 3.17
Dari persamaan statis, diperoleh:

M A   
 3RC  10  10 3 2   5  10 3 4 2   0  atau RC  20 kN

F A 
 RA  Rc  10  10 3  5  10 3 4   0    atau RA  30  10   Rc  10 kN
3

Sebuah sumbu absis x diperkenalkan dengan titik pusat O berimpit dengan A. Gaya geser di
tiga wilayah yaitu AB, BC, dan CD harus diperhitungkan masing-masing yaitu:

Untuk 0  x  2 m : V  10 10   5 10 x ,


3 3

51
Untuk 2  x  3 m : V  10 10   5 10 x  10 10   5 10 x  , dan
3 3 3 3

Untuk 3  x  4 m : V  10 10   5 10 x  10 10   20 10   20 10   5 10 x
3 3 3 3 3 3

Ketiga persamaan gaya geser di atas menunjukkan kurva yang linier di ketiga wilayah.
Diagram gaya geser adalah Gambar 3.18.
Persamaan momen lentur dihitung untuk tiga wilayah AB, BC, dan CD:

Untuk 0  x  2 m : M  10  10 3 x  5  10 3 x x   10  10 3 x   5  10  x 2 ,


3

 
2  2 

Untuk 2  x  3 m : M  10  10 3 x  5  10 3 x x   10  10 3 x  2 , atau


2

 5  10 3  2
M   
 x  20  10 3 , dan 
 2 

Untuk 3  x  4 m : M  10  10 3 x  5  10 3 x x   10  10 3 x  2  20  10 3 x  3 ,


2

 5  10 3  2
M     
 x  20  10 3 x  40  10 3 
 2 

Diagram momen lentur disajikan pada Gambar 3.19.


9 Gaya Geser 10
Momen Lentur
6
Momen lentur (kN m)

7.5
Gaya Geser (kN)

3
0 5
-3 0 1 2 3 4
-6 2.5
-9
0
-12 0 1 2 3 4
-15 -2.5

Gambar 3.18 Gambar 3.19


3.6. Suatu balok AE ditumpu dengan tumpuan sederhana di titik B dan D dan di kedua ujungnya
terjadi overhanging (Gambar 3.20). Balok itu menerima beban merata terdistribusi seragam
sebesar 4 kN m-1 dan sebuah kopel dengan besar 8 kN m di titik C. Gambarkan diagram gaya
geser dan momen lenturnya.
-1
4 kN m

A B C D E
x
8 kN m
1m 2m 2m 1m
RB RD

Gambar 3.20

52
Reaksi tumpuan dapat diperoleh melalui persamaan keseimbangan statis:
5 1
M B  4 RD  8   45   41  0 atau RD  14 kN
2 2

F v  RB  RD  4  6  0 atau RB  4  6 14  10 kN

Sumbu x dibuat dengan titik pusatnya di titik A. Pada wilayah AB, gaya geser pada
sembarang potongan sejauh x di sebelah kanan titik A merupakan resultan dari beban merata
dari potongan x tersebut hingga titik A. Resultan ini merupakan gaya sebesar 4x kN
mengarah ke bawah:
Untuk 0  x  1 m : V  4x kN ,
Selanjutnya di wilayah BC, terdapat dua gaya yaitu beban merata sebesar 4x kN mengarah
ke bawah dan reaksi tumpuan RB sebesar 10 kN:
Untuk 1  x  3 m : V  4x  10 kN ,
Di wilayah CD terdapat dua gaya dan satu momen yaitu beban merata 4x kN, reaksi tumpuan
10 kN, dan momen 8 kN m. Namun momen tidak mempunyai pengaruh gaya geser sehingga
momen sebesar 8 kN m tidak masuk dalam persamaan. Oleh karena itu, pada persamaan
gaya geser pada wilayah CD sama dengan pada wilayah BC yaitu:
Untuk 3  x  5 m : V  4x  10 kN ,
Di wilayah DE:
Untuk 5  x  6 m : V  4x 10 14 kN  4x  24 kN ,
Titik-titik kritis pada diagram gaya geser adalah:
wilayah AB BC CD DE
x 0 1 1 3 3 5 5 6
V 0 -4 6 -2 -2 -10 4 0

Sedangkan persamaan momen lenturnya adalah:

Untuk 0  x  1 m : M  4 x x   2 x 2 kN m ,
2

Untuk 1  x  3 m : M   4 x x   10 x  1  2 x 2  10 x  10 kN m ,


2

Untuk 3  x  5 m : M   4 x x   10 x  1  8  2 x 2  10 x  2 kN m ,


2

Untuk 5  x  6 m : M   4 x x   10 x  1  8  14 x  5  2 x 2  24 x  72 kN m .


2

53
Titik-titik kritis pada diagram momen lentur adalah:
wilayah AB BC CD DE
x 0 1 1 2.5 3 3 5 5 6
M 0 -2 -2 2.5 2 10 -2 -2 0

Diagram gaya geser adalah Gambar 3.21 dan momen lentur adalah Gambar 3.22.
6 10
Gaya Geser Momen Lentur
4

Momen lentur (kN m)


8
Gaya Geser (kN)

2
6
0
-2 0 1 2 3 4 5 6 4
-4 2
-6
0
-8
0 1 2 3 4 5 6
-10 -2

Gambar 3.21 Gambar 3.22

54
Momen pertama bidang elementer yang berjarak tertentu dari y
sembarang sumbu pada bidang datar diperoleh dengan cara
da
mengalikan luas bidang elementer dan jarak tegak lurus bidang x
elementer terhadap sumbu tersebut. Sebagai contoh pada Gambar
4.1, momen pertama dQx dari suatu bidang elementer da pada y
sumbu x diberikan dengan rumus:
dQx  yda O
x
Momen pertama dQy suatu bidang elementer da pada sumbu y Gambar 4.1
diberikan dengan rumus:
dQy  xda

Aplikasi rumus tersebut dapat dilihat pada Soal 4.1.

Momen pertama bidang tertentu sejauh jarak tertentu dari sembarang sumbu pada bidang datar
diperoleh dengan cara menjumlahkan momen pertama pada sumbu yang sama semua bidang
elementer yang membentuk bidang tertentu tersebut. Penjumlahan ini biasanya dilakukan dengan
cara mengintegralkan momen pertama bidang elementer untuk semua wilayah bidang tertentu
tersebut. Jika momen pertama bidang tertentu dinotasikan dengan Qx, maka:

Qx   dQx Qy   dQy
, dan
Untuk aplikasi, lihat soal 4.1, 4.2, dan 4.3. Momen pertama bidang sering pula disebut dengan
momen statis bidang.

Centroid suatu bidang didefinisikan dengan Persamaan:

x
 xda  Q y
y
 yda  Q x

A A ; dan A A
di mana A menunjukkan luas area bidang tersebut. Untuk aplikasinya lihat soal 4.1, 4.2, 4.3, 4.10,
4.12, 4.13, 4.14, dan 4.18. Centroid suatu bidang adalah suatu titik tertentu di mana area
diasumsikan dapat terkonsentrasi dan momen pertama bidang bernilai tetap (tidak berubah
nilainya) meskipun sumbu acuannya adalah sembarang garis yang melalui centroid tersebut.
Sebagai contoh adalah pelat logam tipis akan tetap seimbang pada posisi horizontal jika ditumpu
tepat pada titik pusat gravitasinya.
Centroid suatu bidang geometri tertentu sudah cukup dikenal. Pada bentuk simetris seperti
lingkaran, bujur sangkar dan persegi panjang, maka centroid berimpit dengan titik pusat
geometrinya. Sudah menjadi praktik yang lazim untuk menunjukkan jarak centroid menggunakan
suatu garis pada jarak koordinat, sehingga x menunjukkan koordinat x centroid.

Momen kedua suatu bidang elementer yang berjarak sejauh tertentu dari sembarang sumbu
diperoleh dengan cara mengalikan luas bidang elementer dan kuadrat jarak antara bidang
elementer dengan sumbu tersebut. Jarak yang dimaksud harus tegak lurus dengan sumbu. Sesuai
dengan deskripsi tersebut, momen kedua bidang elementer (dIx) pada sumbu x adalah:

dI x  y 2 da ,

dan momen kedua bidang elementer pada sumbu y adalah:


dI y  x 2 da

Momen kedua suatu bidang tertentu dapat diperoleh dengan cara menjumlahkan momen kedua
pada sumbu acuan yang sama dari semua bidang elementer yang tercakup dalam bidang tertentu
tersebut. Momen kedua bidang tertentu dapat dihitung dengan cara integral. Jika momen kedua
bidang tertentu dinotasikan dengan Ix, maka:

I x   dI x   y 2 da ; dan I y   dI y   x 2 da

Untuk aplikasinya, lihat soal 4.4, 4.6, 4.7, dan 4.9. Momen kedua bidang sering disebut dengan
momen inersia bidang.

Satuan momen kedua bidang adalah pangkat empat dari satuan panjang, yaitu mm4 atau m4.

56
Teorema sumbu sejajar untuk momen kedua bidang tertentu
menyatakan bahwa momen kedua bidang pada sembarang sumbu y
x1
yang sejajar dengan sumbu yang melewati centroid adalah momen
kedua bidang pada centroid ditambah dengan hasil kali luas bidang
dengan kuadrat jarak antara sumbu tersebut dengan centroid. Jarak G
yang dimaksud adalah jarak yang diukur tegak lurus dengan kedua
y1
sumbu. Untuk bidang yang diperlihatkan pada Gambar 4.2, sumbu xG
dan yG melewati centroid bidang datar. Sumbu x dan y sejajar sejauh O
x
x1 dan y1 dari sumbu centroid (xG, yG). Misalkan momen kedua bidang
Gambar 4.2
Gambar 4.2 pada centroidnya adalah IxG dan IyG, sedangkan Ix dan Iy
adalah momen kedua bidang pada sumbu sejajar sejauh x1 dan y1 dari
centroid tersebut, maka:

I x  I xG  y12 A ; dan I y  I yG  x12 A

Teorema sumbu sejajar ini diturunkan pada Soal 4.5. Untuk aplikasinya lihat soal 4.6, 4.8, 4.10,
4.11, 4.12, 4.13, 4.14, dan 4.20.

Momen kedua bidang komposit merupakan penjumlahan semua momen kedua bidang komponen
penyusun seluruh bidang. Hal ini sering menghapuskan kebutuhan pengintegralan, yaitu ketika
bidang komposit dapat dipecah-pecah menjadi bidang-bidang segitiga, persegi panjang, lingkaran,
dan sebagainya yang momen kedua bidangnya sudah diketahui. Sebagai contoh lihat soal 4.10
sampai 4.14.

Jika momen kedua bidang A pada sumbu x dinotasikan dengan Ix, maka jari-jari girasi rx
didefinisikan dengan:

Ix
rx  .
A
Serupa dengan itu, jari-jari girasi pada sumbu y dinotasikan dengan ry adalah:

Iy
ry 
A
Oleh karena I memiliki satuan panjang pangkat 4 dan satuan A adalah panjang pangkat 2, maka
jari-jari girasi (r) memiliki satuan panjang yaitu mm atau m. Lihat soal 4.12 dan 4.13.

57
Momen hasil kali suatu bidang elementer pada sumbu x – y (dIxy) di suatu bidang datar adalah:
dI xy  xyda

di mana x dan y adalah koordinat bidang elementer tersebut seperti Gambar 4.1.

Momen hasil kali suatu bidang tertentu pada sumbu x – y merupakan jumlah semua momen hasil
kali bidang elementer yang menyusunnya pada sumbu x – y yang sama. Momen hasil kali suatu
bidang tertentu dinotasikan dengan Ixy dan diperoleh dari:

I xy   dI xy   xyda

Sesuai dengan rumus definisi di atas, momen hasil kali suatu bidang tertentu dapat bernilai posisif,
nol, atau negatif. Untuk aplikasinya lihat soal 4.15 dan 4.17.

Satuan momen hasil kali suatu bidang adalah satuan panjang berpangkat 4, yaitu mm4 atau m4.

Teorema sumbu sejajar untuk momen hasil kali suatu bidang tertentu menyatakan bahwa: momen
hasil kali suatu bidang pada sumbu x – y adalah sama dengan momen hasil kali pada satu set sumbu
sejajar yang melalui centroid bidang ditambah hasil kali luas bidang dengan dua buah jarak sumbu
x – y yang saling tegak lurus dengan centroid. Untuk area pada Gambar 4.2, sumbu xG dan yG
melewati centroid bidang datar, sumbu x dan y sejajar dengan xG dan yG sejauh x1 dan y1. Jika A
menunjukkan luas bidang pada Gambar dan IxGyG adalah momen hasil kali pada sumbu di centroid,
maka:
I xy  I xGyG  x1 y1 A

Hubungan ini diturunkan pada soal 7.16. Untuk aplikasi lebih lanjut lihat soal 4.17, 4.18, dan 4.20.

Momen hasil kali bidang komposit adalah jumlah momen hasil kali semua komponen yang
menyusun seluruh bidang tersebut. Pemecahan bidang komposit menjadi bidang-bidang segitiga,
persegi panjang, atau lingkaran dapat menghilangkan kebutuhan pengintegralan. Lihat soal No
4.17, 4.18, dan 4.20.

58
Pada sembarang titik di bidang datar, terdapat dua sumbu saling tegak lurus di mana momen kedua
bidang pada titik tersebut berada dalam kondisi maksimum dan minimum. Nilai maksimum dan
minimum tersebut disebut momen kedua penampang prinsipal, dan diperoleh dengan rumus:
2
I I   Ix  I y 
I x1 max   x y      I xy 2
 2   2 
2
I I   Ix  I y 
I x1 min   x y      I xy 2
 2   2 
Kedua rumus di atas diturunkan di soal 4.19. Untuk aplikasinya lihat soal 4.20.

Sepasang sumbu saling tegak lurus yang melewati titik tertentu di mana momen kedua bidang
bernilai maksimum dan minimum disebut dengan sumbu prinsipal. Untuk aplikasinya, lihat soal
4.20.
Momen hasil kali bidang menjadi lenyap (bernilai nol) jika sumbunya adalah sumbu prinsipal.
Dari integral yang mendefinisikan momen hasil kali bidang tertentu, dapat juga dibuktikan bahwa:
jika sumbu-x, atau sumbu-y, atau keduanya, merupakan sumbu simetri, maka momen hasil kali
bidang menjadi lenyap (bernilai nol) pula. Oleh karena itu, sumbu simetri juga merupakan sumbu
prinsipal.

4.1. Tentukan lokasi centroid bidang segi tiga.


Suatu bidang segitiga digambarkan dalam sistem
y
koordinat seperti pada Gambar 4.3. Koordinat y
centroid dinotasikan dengan y dapat diperoleh
melalui rumus:

y
 yda s
h
A da dy
Jika suatu bidang elementer yang sangat kecil yaitu
y
da, dipilih bidang yang diarsir pada Gambar 4.3,
O
maka da merupakan luas bidang yang memiliki b x
panjang s dan tebal dy. Oleh karena itu, da
dinyatakan dengan: Gambar 4.3

da  sdy

59
Dari prinsip kesebangunan segitiga dapat diperoleh:
s h y
 ; atau s
h  y b
b h h

da 
h  y b dy
Maka: h

h  y b dy
y h
y
Selanjutnya: A , yang diselesaikan untuk y dari 0 hingga h menjadi:

 
h
b
hA 0
y hy  y 2 dy ,

h
b  hy 2 y 3 
y   
hA  2 3 0
b   hh 2 h 3   h  0 2 0 3  
 1        
h 2 bh    2 3  2 3 
1
 h
3
4.2. Tentukan posisi centroid bidang setengah lingkaran.
Sistem koordinat polar ditunjukkan pada Gambar 4.4 dapat menjadi pilihan yang logis untuk
menyelesaikan kasus ini. Bidang elementer yang diarsir pada Gambar 4.4 merupakan bidang
sangat kecil yang berbentuk menyerupai persegi panjang dengan sisi-sisinya adalah rd dan
dr. Maka luas bidang elementer tersebut (da) adalah:
da  rddr y

Koordinat y centroid ( y ) diperoleh dari:


r0 d dr y=rsin
y
yda  r sin rddr 

 da  rddr O x

Diintegralkan untuk wilayah 0 < r < r0 dan 0<<, Gambar 4.4


maka:
r  r  
r  r03
0
r03 r03
 r sin rddr  3   sin d
3 0  sin d
3
 cos  
0
3
 cos   cos 0
y 0 0
r 
 0 0
r0 
   
r  r02 r02  r02
 rddr  2   d  d  0   0
0 0 0 0
2 0
2 2
4r0

3

Sedangkan koordinat x centroid ( x ) adalah di titik pusat (O) karena bentuknya yang simetris.

60
4.3. Tentukan posisi centroid bidang trapesium jika sebagian potongan berbentuk setengah
lingkaran dibuang (Gambar 4.5).
Bagian yang diarsir pada Gambar 4.5 dapat dianggap sebagai
y 75 75 100 50
persegi panjang yang dikurangi di dua bagian, yaitu satu
mm mm mm mm
bagian segitiga dan satu bagian setengah lingkaran. Ukuran
persegi panjang adalah 150 mm  300 mm, segitiga 150 mm
150 mm
x 75 mm, dan setengah lingkaran berdiameter 100 mm. Oleh
karena rumus centroid bidang persegi panjang, segitiga, dan O
x
setengah lingkaran telah diketahui, maka pengintegralan tidak Gambar 4.5
diperlukan lagi. Secara umum dapat dituliskan bahwa:

y y A i i
, dan x x A i i

A i A i

Untuk kasus pada Gambar 7.5, maka:

 
75   150  300   150  150    150  75   150  4  50      50
2

 3   2   3   2 
y
 
150  300    150  75      50 
2

 2   2 
 65 .08 mm
dan
 
150   150  300    75    150  75   200      50
2

 3  2   2   164 .3 mm
x
 
150  300    150  75      50 
2

 2   2 

Sehingga koordinat centroid adalah (164.3 mm, 65.08 mm).


4.4. Tentukan momen kedua bidang persegi panjang pada sumbu yang melewati centroid dan
sejajar dengan sisi bawahnya.
Kasus ini diperlihatkan pada sistem koordinat Gambar 4.6. Jika dipilih
bidang elementer da, maka luas da adalah bdy, sehingga momen kedua da dy
h/2
bidang yang melalui centroid (IxG) dinyatakan dengan: y
h xG
h h

     
2 2
bh3
 h  h 
b 3 h b 3 3
I xG   y da   y 2bdy 
2 2
y h/2
h h
3 h
2 3  2 2  12
2 2
b
Seperti terlihat pada rumus di atas besaran momen kedua bidang Gambar 4.6
memiliki satuan panjang pangkat 4, bisa mm4 atau m4.

61
4.5. Bukti rumus teorema sumbu sejajar momen kedua bidang datar.
Pembuktian rumus teorema sumbu sejajar dilakukan mengacu pada Gambar 4.7 yang
menunjukkan suatu bidang datar A dengan centroid di titik G. Titik G pada koordinat (x1,y1).
Jika suatu bidang elementer da adalah sejauh x’ dan y’ dari centroid, maka momen kedua
bidang datar bidang elementer da tersebut terhadap sumbu x adalah:
dI x   y1  y ' da
2

y
x1 x’
Momen kedua bidang A terhadap sumbu x diperoleh dengan
mengintegralkannya: h
da
y’
I x    y1  y ' da
2 G
l

  y1  2 y1 y ' y ' da
2 2
 y1

O
  y1 da   2 y1 y ' da   y ' 2 da
2
x
Gambar 4.7
Nilai y1 adalah konstan, maka:

y da  y1  da  y
2 2 2
1 1 A.

y 'h
Karena y’ diukur dari garis yang melalui centroid bidang, nilai  y' da  0
y ' l
sehingga

 2 y y' da  2 y  y' da  2 y  0  0 ,


1 1 1

Karena y’ adalah jarak bidang elementer dari sumbu yang melalui centroid, maka sesuai
dengan definisi:  y '2 da  I xG .

Oleh karena itu, maka: I x  y12 A  0  I xG  I xG  y12 A .

Dengan cara yang sama dapat juga diperoleh: I y  I yG  x12 A .

4.6. Tentukan momen kedua bidang persegi panjang terhadap sumbu yang berimpit dengan sisi
bawahnya.
Sistem koordinat pada Gambar 4.8 cukup baik menjelaskan kasus ini.
y
Momen kedua bidang terhadap sumbu x yang berimpit dengan sisi
bawah bidang persegi panjang adalah: da dy

 
h h h
1 1 h
I x   y 2 da   y 2 bdy b  y 2 dy  b y 3
h
0  bh 3 . y
0 0 0
3 3
h/2
Jika menggunakan teorema sumbu sejajar dapat juga diperoleh: x
b
2
1 3 h 1 1 1
I x  I xG  y1 A  bh    bh  bh3  bh3  bh3 . Gambar 4.8
2

12 2 12 4 3

Kedua cara menghasilkan nilai yang sama untuk momen kedua bidang persegi panjang
1
terhadap sumbu x yang berimpit dengan sisi bawahnya yaitu I x  bh3 .
3

62
4.7. Tentukan momen kedua bidang segitiga terhadap
y
sumbu yang berimpit dengan alasnya.
Koordinat sistem seperti Gambar 4.9 menjelaskan
kasus tersebut. Sesuai definisi, momen kedua bidang
segitiga yang berimpit dengan alasnya adalah: h
s
h h da dy
I x   y da   y sdy
2 2

0 0 y
O
Sifat kesebangunan segitiga menghasilkan:
b x

s
h  y b , sehingga:
Gambar 4.9
h
h
Ix   y
h  y b dy  b h hy 2  y 3 dy
h 0
2

0
h
h
b 1 3 1 4  1
  hy  y   bh3
h 3 4  0 12

4.8. Tentukan momen kedua bidang segitiga terhadap


y
sumbu yang melalui centroid dan sejajar dengan
alasnya.
Kasus ini bisa diselesaikan dengan teorema sumbu
sejajar yaitu: h
I x  I xG  y1 A atau I xG  I x  y1 A
2 2
G

I xG  I x  y1 A
2
h/3
2
1 3 h 1  O
 bh     bh  x
12 3 2  b
1 1 1 Gambar 4.10
 bh 3  bh 3  bh 3
12 18 36
4.9. Tentukan momen kedua bidang lingkaran terhadap y
sumbu yang melalui pusatnya. Tentukan pula momen
kedua bidang setengah lingkaran dan bidang seperempat
lingkaran terhadap sumbu yang berimpit dengan r0 d dr y=rsin
alasnya. 
O x
Sesuai definisi: I x   y 2 da .

Luas bidang elementer (da) pada bidang lingkaran


Gambar 4.11 adalah da  rddr , sedangkan y  r sin  ,
sehingga: Gambar 4.11

63
r0 2 r0 2
 2 2 4 2
r0
 4

 r sin   rddr    r sin ddr  


r r0
I x   y 2 da         sin 2 d
2 3 2
sin d
0 0 0 0  4 0 0 4 0

Dari fungsi identitas trigonometri, diperoleh:


sin 2   cos 2   1 dan cos 2  cos 2   sin 2  .

Substitusi fungsi identitas kedua dengan yang pertama diperoleh:


 
cos 2  1  sin 2   sin 2   1  2 sin 2  , atau:

sin 2  
1  cos 2  , maka:
2

r
4 2
r
4 2
1  cos 2  d
Ix  0 0 sin d  40 
2

4 0
2

r
4 2
1  cos 2  d  r0 4 2  1  cos 2 d  r0 4   1   2  1 2 cos 2d 
Ix  0
4  2 4   2 2

 4   2  0 2  
0 0 0 
  1  2 1 2 d 2   r0   1 
2
4 4 2

r
 0  
  2  0 2 
 cos 2
 4   2  0 4 
  
1
cos 2d 2  

4  0
2   0 
4
  1  2 1  r0 4  1  r0
4
 sin 2 0 
r   2

 0    0 
4   2  0 4  4  4  4
 

Oleh karena itu, momen kedua bidang lingkaran terhadap sumbu yang melalui pusatnya
r0
4
adalah: I x 
4
Jika diameter (D) lebih disukai daripada jari-jari (r) maka dapat juga ditulis:
4
D
 
D 4
Ix    
2
4 64
Momen kedua bidang setengah lingkaran terhadap sumbu yang berimpit dengan alasnya
1 D 4 D 4
adalah: I x   
2 64 128
Dan momen kedua bidang seperempat lingkaran terhadap sumbu yang berimpit dengan
1 D 4 D 4
alasnya adalah: I x   
2 128 256

64
4.10. Tentukan momen kedua bidang T seperti Gambar 4.12 terhadap sumbu horizontal yang
melewati centroid.
Pertama-tama bidang T tersebut dibagi menjadi 3 75 mm 50 mm 75 mm
bidang yaitu (1), (2), dan (3). Luas (A) dan posisi

50 mm
centroid (y1) setiap bidang diukur dari sumbu x adalah: (1) (3)
(2)

(1): A  50  75 mm , y1  150 mm
2

G
xG
(2): A  175  50 mm , y1 
175 2
mm

125 mm
2
y1
(3): A  50  75 mm , y1  150 mm
2

x
Centroid ( y ) bidang T terhadap sumbu x adalah: Gambar 4.12

y y A i i

A i

150  50  75    175  50   150  50  75 


175
y 2  116 .35 mm
50  75   175  50   50  75 
Jadi centroid bidang T tersebut berada sejauh 116.35 mm di atas sumbu x.
Momen kedua setiap bidang (1), (2), dan (3) terhadap centroid bersama (G) adalah:

(1) : I xG 
1
12
 
 75  50 3  150  116 .35   75  50   5028430 mm 4
2

2
(2) : I xG  1  50 175 3    175  116 .35   50 175   29611609 mm 4
12  2 

(3) : I xG 
1
12
 
 75  50 3  150  116 .35   75  50   5028430 mm 4
2

Maka momen kedua bidang T pada centroid ( I xG ) merupakan penjumlahan momen kedua
semua bidang yaitu :
I xG  5028430  29611609  5028430  39668470 mm 4  40 10 6 mm 4

4.11. Tentukan momen kedua bidang T (Gambar 4.12) terhadap sumbu horizontal yang berimpit
dengan sisi paling bawah (sumbu x).
Lokasi sumbu x berada pada jarak 116.35 mm di bawah centroid, sehingga:
I x  I xG  y1 A  39668470  116 .35 2  50  75  175  50  50  75 
2

 259635417 mm 4  260 10 6 mm 4


Perlu dicatat bahwa rumus teorema sumbu sejajar hanya berlaku jika salah satu sumbu yang
diamati adalah melewati centroidnya.

65
4.12. Tentukan momen kedua bidang dan juga jari-jari girasi bidang seperti Gambar 4.13 terhadap
sumbu horizontal yang melalui centroid.
25 mm 125 mm 125 mm 25 mm
y

100 mm xG
(1) G (3)
25 mm

(2)
x
Gambar 4.13

Bidang tersebut dibagi menjadi tiga bagian yaitu (1), (2), dan (3), yang masing-masing luas
dan posisi centroidnya adalah:

(1) : A  125  25 mm , y1  62.5 mm


2

(2) : A  25  250 mm , y1  12.5 mm


2

(3) : A  125  25 mm , y1  62.5 mm


2

Maka posisi centroid ( y ) bidang tersebut adalah:

y
y Ai i

A i

y
62.5 125  25   12.5  25  250   62.5 125  25   37.5 mm
125  25   25  250   125  25 
Sumbu horizontal yang melewati centroid digambarkan dengan notasi xG pada Gambar 4.13.
Lebih mudah untuk mencari momen kedua penampang terhadap sumbu x terlebih dahulu,
yaitu:
1  1  1 
I x    25  125 3     250  25 3     25  125 3 
3  3  3 
 33854167 mm  34  10 mm
4 6 4

Selanjutnya dari teorema sumbu sejajar:


I x  I xG  y1 A atau I xG  I x  y1 A
2 2

I xG  33854167  37 .52  125  25   25  250   125  25 


 16276041 mm 4  16 10 6 mm 4
Jari-jari girasi diperoleh dari:

I xG 16276041
rxG    36.08 mm
A 125  25   25  250   125  25 

66
4.13. Tentukan momen kedua bidang dan juga jari-jari girasi 75 mm y 75 mm

50 mm
bidang I seperti Gambar 4.14 terhadap sumbu horizontal
(4) (5)
yang melalui centroid.
Sesuai dengan Gambar 4.14, bidang I dibagi menjadi lima
bagian yaitu: (1), (2), (3), (4), dan (5). Luas area (A) dan

275 mm
centroid masing-masing bidang terhadap sumbu x: xG
G
(1): A  50  100  5000 mm 2 , y1  25 mm (2)
y

50 mm
(2): A  325  50  16250 mm , y1  162.5 mm
2

(1) (3)
(3): A  50  100  5000 mm , y1  25 mm
2
100 mm 50 mm 100 mm x
Gambar 4.14
(4): A  50  75  3750 mm 2 , y1  300 mm

(5): A  50  75  3750 mm 2 , y1  300 mm

Luas seluruh area bidang I adalah:


A  5000  16250  5000  3750  3750  33750 mm 2

Untuk menentukan lokasi centroid y : 


y
y Ai i

25  5000  162 .5  16250  25  5000  300  3750  300  3750
A i 33750
 152.32 mm


Centroid y berada sejauh 152.32 mm di atas sumbu x.

Momen inersia masing-masing bidang terhadap sumbu xG adalah:

 100  50 3  152.32  25   5000  82086977 mm 4


1
(1) : I xG 
2

12

 50  325 3  152.32  162 .5  16250  144719597 mm 4


1
(2) : I xG 
2

12

 100  50 3  152.32  62 .5  5000  82086977 mm 4


1
(3) : I xG 
2

12

 75  50 3  152.32  300   3750  82572177 mm 4


1
(4) : I xG 
2

12

 75  50 3  152.32  300   3750  82572177 mm 4


1
(5) : I xG 
2

12
Momen kedua bidang untuk seluruh bidang I terhadap sumbu horizontal yang melalui
centroid adalah jumlah seluruhnya:
I xG  82086977  144719597  82086977  82572177  82572177
 474037905 mm 4  474  10 6 mm 4

67
Dan jari-jari girasinya adalah:
I xG 474037905
rxG   118.51 mm
A 33750

4.14. Tentukan momen kedua bidang persegi panjang berongga (Gambar 4.15) terhadap sumbu
horizontal yang melalui centroid.
y
Centroid dihitung dengan cara:

75 mm 50 mm
y y A i i

A i

 75  xG
125  200  250   125    50  75  G
  2
200  250   50  75 

125mm
mm
y
 121.9595 mm
Posisi centroid adalah 122 mm di atas sumbu x. x
75 mm 50 mm 75 mm
Momen kedua bidang persegi panjang berongga tersebut Gambar 4.15
adalah:
 200  250 3   50  753 
I xG    121 .96  125  200  250     121 .96  162 .5 50  75 
2 2

 12   12 
 252957841 mm  253  10 mm
4 6 4

4.15. Tentukan momen hasil kali bidang persegi panjang pada sumbu y x dx
x – y seperti pada Gambar 4.16.
Mengacu pada bidang elementer da di Gambar 4.16: da dy
y  h x b y h b y h
 x2  b2
I xy   xyda    xydxdy  y 0  2  ydy  y 0 2 ydy h
y 0 x 0 0
h
y
b2  y 2  b2h2
   
2  2 0 4
b x
Gambar 4.16
4.16. Turunkan rumus teorema sumbu sejajar untuk momen hasil kali
bidang datar.
Mengacu pada Gambar 4.17, sebuah bidang elementer da y
x1 x’
memiliki momen hasil kali terhadap sumbu x-y:
dI xy  x1  x' y1  y 'dxdy da
y’
 x1 y1  x1 y ' x' y1  x' y'dxdy
G

y1

O
x
Gambar 4.17

68
Sehingga momen hasil kali bidang tertentu terhadap sumbu x-y adalah:
I xy     x1 y1  x1 y ' x' y1  x' y 'dxdy

   x1 y1dxdy    x1 y ' dxdy    x' y1dxdy    x' y 'dxdy

Oleh karena x1 dan y1 konstan maka:

 x y dxdy  x y A
1 1 1 1

  x y' dxdy  x   y' dxdy  x  0  0


1 1 1

  x' y dxdy  y   x' dxdy  y  0  0 ,


1 1 1

 x' y'dxdy  I xGyG

Oleh karena itu:


I xy  I xGyG  x1 y1 A

4.17. Tentukan Ixy untuk bidang L Gambar 4.18. y 10 mm


Bidang L dibagi menjadi dua bidang persegi panjang (1)
dan (2). Momen hasil kali bidang (1) adalah:
b2h2 10 2  125 2
(1): I xy    390625 mm 4  39  10 4 mm 4
4 4 115
(1)
mm
Ixy bidang persegi panjang (2) dipergunakan teorema
sumbu sejajar pada soal 4.16: I xy  I xGyG  x1 y1 A

Untuk bidang persegi panjang, centroid sekaligus


merupakan sumbu simetrinya sehingga nilai IxGyG adalah 0 (2) 10 mm
(nol). Oleh karena itu, momen hasil kali bidang (2) adalah: 75 mm x

(2): Gambar 4.18


I xy  0  x1 y1 A  0  10  32 .5  5  65  10  138125 mm 4  13 .8  10 4 mm 4

Momen hasil kali (Ixy) seluruh bidang L terhadap sumbu x – y adalah:


I xy  390625  138125  528750 mm 4  52 .9  10 4 mm 4 .

69
4.18. Tentukan momen hasil kali bidang L di soal 4.17 terhadap x
sumbu x dan y yang melewati centroid (IxGyG). y 10 mm
Pertama-tama diperlukan lokasi centroid yaitu:
5  10  125   10  32 .5  65  10 
x  17.8 mm
10 125   65 10 
62 .5  10  125   5  65  10 
115
(1)
y  42.8 mm mm
10 125   65 10 
G
Selanjutnya diterapkan teorema sumbu sejajar, yaitu:
y
I xGyG  I xy  x1 y1 A
(2) 10 mm
Pada soal 7.17 diketahui I xy  528750 mm , maka: 4 75 mm x
Gambar 4.19
I xGyG  528750  17 .8  42 .8  10  125   65  10   -922081 mm  -92  10 4 mm 4 .
4

4.19. Suatu bidang datar A memiliki Ix, Iy, dan Ixy yang telah
y
diketahui. Tentukan momen kedua bidang (Ix dan Iy), serta y1
momen hasil kali bidang (Ixy) terhadap sumbu ortogonal x1
– y1. Sumbu x1 – y1 membentuk sudut  terhadap sumbu x x
– y seperti diperlihatkan di Gambar 4.20. 
x1
 y
Momen kedua bidang A terhadap sumbu x1: 

I x1   y1 da    y cos   x sin   da
2 2 x

 
  y 2 cos 2   2 xy sin  cos   x 2 sin 2  da Gambar 4.20

Dari identitas trigronometri diperoleh:

sin 2   cos 2   1; cos 2  cos 2   sin 2  .


maka:
1  cos 2
 
cos 2  cos 2   1  cos 2   1  2 cos 2  atau cos 2  
2
;

1  cos 2
 
cos 2  1  sin 2   sin 2   1  2 sin 2  atau sin 2  
2
;

Sedangkan:
2 sin  cos   sin 2 .
Oleh karena itu:

70
  1  cos 2  2  1  cos 2  
I x1    y 2    xy sin 2  x   da
  2   2 
 1  cos 2  2  1  cos 2  2
   y da   sin 2xyda     x da
 2   2 
 1  cos 2  2  1  cos 2  2
   y da  sin 2  xyda     x da
 2   2 
 1  cos 2   1  cos 2 
  I x  sin 2  I xy   I y
 2   2 
 I  Iy   Ix  Iy 
  x     cos 2  I xy sin 2
 2   2 

Sumbu y1 berimpit dengan sumbu x yang diputar dengan sudut +/2. Dianalogikan dengan
Ix1, maka Iy1 dapat diperoleh dengan menggunakan persamaan di atas yaitu dengan cara
mengganti nilai  dengan +/2, sehingga:
 I  Iy   Ix  Iy     
I y1   x     cos 2    I xy sin 2  
 2   2   2  2
 I  Iy   Ix  Iy 
  x     cos 2     I xy sin 2   
 2   2 
 I  Iy   Ix  Iy 
  x     cos 2  I xy sin 2
 2   2 

Nilai Ix1 mencapai maksimum atau minimum ketika turunan pertama Ix1 bernilai 0 (nol):
 I  I y   Ix  I y  
d   x     cos 2  I xy sin 2 
 2   2 
   0
dI x1
d d

 I  Iy   Ix  I y  
d  x  d    cos 2 
 2    2    d I xy sin 2   0
d d d

 I  I y  
2d   x  cos 2 
0 
 2    2d I xy sin 2   0 
d 2 d 2

 I x  I y sin 2  2 I xy cos 2   0

sin 2 I xy
atau tan 2   I xy

cos 2  Ix  I y   Ix  Iy 
   
 2   2 

71
Berkaitan dengan persamaan di atas, nilai cos 2 dan sin 2 saat Ix1 berada dalam kondisi
maksimum atau minimum mungkin dapat terjadi dalam dua kasus, yaitu:
 Ix  Iy 
 
 I xy  2 
(1): sin 2  dan cos 2  , atau
2
 Ix  Iy 
2
 Ix  Iy 
   I xy 2    I xy 2
 2   2 

 I  Iy 
  x 
I xy  2 
(2): sin 2  dan cos 2 
2
 Ix  Iy 
2
 Ix  Iy 
   I xy 2    I xy 2
 2   2 
Kembali ke persamaan dasar:
 I  Iy   Ix  Iy 
I x1   x     cos 2  I xy sin 2
 2   2 

lalu cos 2 dan sin 2 disubstitusi dengan masing-masing pasangan pada kasus (1) dan (2),
maka nilai Ix1 maksimum dan minimum diperoleh dari rumus:
 
  Ix  Iy  
 
 I  I y   Ix  I y   2  I xy 
I x1 min,max    x       I xy 
 2   2   Ix  Iy 
2
 Ix  Iy 
2

    I xy 2    I xy 2 
  2   2  
 
2
 Ix  Iy 
   I xy 2
 I x  I y   2 
I x1 min,max     
 2   Ix  Iy 
2

   I xy 2
 2 
2
I I   Ix  Iy 
I x1 min,max    x y      I xy 2
 2   2 

Jadi nilai momen kedua bidang terhadap sembarang sumbu yang melewati titik pusat
koordinat O dapat bernilai maksimum dan minimum menurut persamaan:
2
 I  Iy   Ix  Iy 
I x1 min,max    x      I xy 2
 2   2 

Nilai maksimum dan minimum momen kedua bidang disebut dengan momen kedua prinsipal
bidang, sedangkan sumbunya disebut dengan sumbu prinsipal.

72
Momen hasil kali bidang terhadap sumbu x1 – y1 dihitung sbb:
Sesuai dengan Gambar 4.20 nilai x1 dan y1 adalah:
x1  x cos  y sin 

y1  y cos  x sin 
Sesuai dengan definisi, momen hasil kali bidang terhadap sumbu x1 – y1 adalah:

I x1 y1   x1 y1da ,

maka:

I x1 y1    x cos   y sin   y cos   x sin  da

  
  xy cos 2   y 2 sin  cos   x 2 sin  cos   xy sin 2  da 
  xycos 2
  sin 2     y 2  x 2 sin  cos  da

   
I x1 y1   xy cos 2   sin 2  da   y 2  x 2 sin  cos da


 cos 2   sin 2   xyda  sin  cos   y 2

 x 2 da

 I xy cos 2 
sin 2
2  
y 2 da   x 2 da 
I I 
 I xy cos 2   x y  sin 2
 2 
Maka momen hasil kali bidang terhadap sumbu x1-y1 (di mana sumbu x1-y1 merupakan
sumbu x-y yang diputar pada titik O sejauh sudut ) adalah:
 I  Iy 
I x1 y1  I xy cos 2   x  sin 2
 2 

Jika Ix1y1 bernilai 0 (nol), maka:


 I  Iy 
I xy cos 2   x  sin 2  0
 2 

Sehingga Ix1y1 bernilai 0 (nol) ketika:


sin 2 I xy
atau tan 2   I xy

cos 2  Ix  Iy   Ix  I y 
   
 2   2 

73
Sudut  ini identik dengan kondisi ketika Ix1
y
berada dalam kondisi maksimum dan minimum 10 mm 80 mm
atau disebut momen kedua prinsipal. Hal ini 10 mm (1)
berarti nilai momen hasil kali bidang (Ix1y1)
bernilai 0 (nol) ketika sumbunya adalah sumbu
prinsipal.
4.20. Suatu bidang memiliki dimensi seperti Gambar
4.22. Tentukan nilai Ix, Iy, dan Ixy bidang tersebut. 130 mm O x
Tentukan pula nilai maksimum dan minimum (2)
momen kedua bidang terhadap sembarang sumbu
yang melalui titik pusat koordinat O.
Bidang tersebut dapat dibagi menjadi tiga bagian (3) 10 mm
yaitu (1), (2), dan (3). Momen kedua bidang 90 mm
adalah: Gambar 4.22
10 150  80 10
3 3

Ix   2  75  5 80  10   10652500 mm 4  10.7 10 6 mm 4
2

12  12 

150 10 3  10  80 3 
Iy   2  40  5 80 10   4105833 mm 4  4.1 10 6 mm 4
2

12  12 

Momen hasil kali bidang dapat diperoleh dari teorema sumbu sejajar yaitu:
I xy  I xGyG  x1 y1 A

IxGyG setiap komponen bernilai nol karena sifat kesimetrisannya, sehingga:


I xy  x1 y1 A  45  70  80 10   0  0  10 150   45  70  80 10 
 5040000 mm 4  5.04 10 6 mm 4
Nilai maksimum dan minimum momen kedua bidang diperoleh melalui rumus:
2
 I  Iy   Ix  Iy 
I x1 min,max    x      I xy 2
 2   2 

2
 10652500  4105833   10652500  4105833 
I x1 min,max       5040000
2

 2   2 
 7379167  6009685
Maka nilai Ix1 minimum adalah:
I x1 min   7379167  6009685  1369482 mm 4  1.37  10 6 mm 4

dan nilai Ix1 maksimum adalah:


I x1 max   7379167  6009685  13388851 mm 4  13.39  10 6 mm 4

74
Orientasi momen kedua prinsipal bidang adalah:
5040000
tan 2    -1.53971
 10652500  4105833 
 
 2 
y
2  tan 1 - 1.53971   -56.9974  10 mm y1
90 mm
- 56.9974  (1)
  -28.4987  10 mm
2
Oleh karena itu sumbu x prinsipal adalah sumbu
yang melalui titik O dan diputar dengan sudut -
28.4987, dan sumbu y prinsipal adalah sumbu
yang melalui titik O dan diputar dengan sudut: 130 mm O x
-28.4987-90=-118.4987. (2)
x1
Posisi sumbu prinsipal digambarkan pada
Gambar 4.23.
(3) 10 mm
90 mm
Gambar 4.23

75
76
Balok dapat menerima gaya dan/atau kopel yang bekerja pada bidang yang mengandung sumbu
longitudinal. Gaya bekerja tegak lurus dengan sumbu longitudinal dan bidang yang mengandung
gaya tersebut diasumsikan sebagai bidang simetri balok.

Pengaruh beban berupa gaya dan/atau kopel terhadap sebuah balok yaitu: (a) menyebabkan
defleksi (lendutan) pada arah tegak lurus sumbu longitudinal dan (b) menghasilkan tegangan
normal dan tegangan geser di setiap penampang lintang balok. Penampang lintang yaitu
penampang tegak lurus dengan sumbu longitudinal balok.

Jika kopel diberikan di ujung-ujung balok dan tidak ada gaya yang bekerja pada batang, maka
terjadi lentur murni (pure bending). Salah satu contoh lentur murni adalah bagian balok sederhana
yang berada di antara dua beban sama besar dan simetris ke arah bawah (Gambar 5.1). Lentur yang
terjadi akibat gaya yang tidak membentuk kopel disebut lentur biasa (ordinary bending). Sebuah
balok lentur murni hanya menghasilkan tegangan normal tanpa ada tegangan geser, sedangkan
balok lentur biasa menghasilkan tegangan normal dan tegangan geser sekaligus.

Cukup memadai untuk mengilustrasikan sebuah balok P P


sebagai batang yang tersusun sejumlah tak hingga serat- a a
serat longitudinal. Setiap serat longitudinal diasumsikan
bekerja saling bebas (independent), antara lain tidak ada
tekanan lateral atau tegangan geser antar serat-serat. Balok Gambar 5.1
pada Gambar 5.1, sebagai contoh, akan melendut
(berdefleksi) ke arah bawah, sehingga serat-serat bagian bawah akan memanjang dan serat-serat
bagian atas memendek. Perubahan panjang (perpanjangan dan perpendekan) tersebut
menghasilkan tegangan ke arah longitudinal di setiap serat. Serat yang memanjang mengalami
tegangan tarik, sedangkan serat yang memendek mengalami tegangan tekan.
Selalu terdapat satu bidang pada balok yang mengandung serat-serat yang tidak mengalami
pemanjangan atau pemendekan sehingga serat-serat pada bidang tersebut tidak mengalami
tegangan tarik maupun tekan. Bidang ini disebut dengan bidang netral balok.

Irisan antara bidang netral dengan sembarang penampang melintang balok tegak lurus dengan
sumbu longitudinal disebut dengan sumbu netral. Seluruh serat pada satu sisi garis netral menerima
tarik, sedangkan sisi sebaliknya menerima tekan.

Jumlah aljabar semua momen akibat gaya luar di salah satu sisi di sebelah sembarang potongan
balok terhadap sumbu yang melewati potongan itu disebut momen lentur di potongan tersebut.
Momen lentur bekerja tegak lurus terhadap penampang lintang balok. Konsep momen lentur telah
didiskusikan pada Bab III.

Catatan-catatan berikut ini dapat berlaku hanya jika seluruh serat bekerja dalam wilayah elastis
material.

Untuk sembarang balok yang memiliki suatu bidang simetri longitudinal tertentu dan menerima
momen lentur M pada suatu bidang lintang tertentu, maka tegangan normal yang terjadi pada serat
yang berada sejauh y dari sumbu netral balok (lihat Gambar 4.2) dapat dinyatakan dengan:
My

I
Di mana I adalah momen kedua bidang lintang pada
sumbu netral. Momen kedua suatu bidang (I) telah
dibahas di Bab IV. Penurunan rumus tegangan normal ini
disajikan secara detail pada Soal 5.1, sedangkan
aplikasinya dicontohkan pada Soal 5.2 – 5.16. Tegangan 

normal bervariasi nilainya yaitu dari nol di garis netral


y
hingga maksimum di tepi atas atau bawah balok.
Tegangan normal yang terjadi berupa tegangan tarik pada Gambar 5.2
salah satu sisi dari garis netral, sebaliknya berupa tegangan tekan di sisi sebaliknya. Tegangan
normal ini sering juga disebut tegangan lentur (bending stress, flexural stress) atau tegangan serat
(fiber stress).

78
Jika aksi suatu balok seluruhnya masih berada dalam batas elastis, maka sumbu netral tepat
melewati centroid bidang lintang. Oleh karena itu momen kedua (I) bidang pada persamaan
tegangan normal di atas merupakan momen inersia bidang lintang terhadap sumbu yang melalui
centroid bidang lintang balok.

Nilai ordinat y di serat terluar balok sering kali dinotasikan dengan c. Pada kasus tersebut tegangan
normal maksimum adalah:
Mc M
 atau 
I I
c
Rasio I/c disebut dengan section modulus dan sering dinotasikan dengan simbol Z. Satuan section
modulus adalah mm3 atau m3. Oleh karena itu, tegangan normal maksimum dapat dinyatakan
dengan:
M

Z .

Persamaan terakhir di atas cukup nyaman dipakai karena nilai-nilai Z biasanya tersedia untuk
sejumlah besar baja struktural dengan berbagai bentuk penampang.

Penurunan rumus tegangan normal di atas dilakukan dengan asumsi bahwa bidang penampang
lintang adalah tetap datar saat gaya atau kopel diberikan pada balok. Lebih lanjut juga diasumsikan
bahwa balok adalah lurus dan penampang lintangnya adalah sama dan seragam sepanjang balok.
Modulus elastisitas tekan balok juga diasumsikan sama dengan modulus elastisitas tarik. Perlu
dipahami pula bahwa tidak ada serat-serat yang bekerja di luar batas proporsi.

Penjumlahan aljabar dari semua gaya vertikal di salah satu sisi di sebelah sembarang bidang
lintang disebut gaya geser di potongan tersebut. Konsep ini telah didiskusikan pada Bab III.

Untuk sembarang balok yang menerima gaya geser V (dalam satuan Newton) pada suatu bidang
lintang tertentu, tegangan geser vertikal dan horizontal  juga terjadi. Besarnya tegangan geser
vertikal pada sembarang penampang lintang merupakan tegangan-tegangan yang memiliki gaya
geser V sebagai resultannya. Pada penampang lintang balok di Gambar 4.3, bidang simetri vertikal
mengandung gaya yang diberikan serta sumbu netral melalui centroid bidang potongan tersebut.
Koordinat y diukur dari sumbu netral. Momen kedua bidang penampang lintang terhadap sumbu
netral dinotasikan dengan I. Tegangan geser pada semua serat di posisi sejauh y0 dari sumbu netral
dinyatakan dengan rumus:

79
c
V
Ib y0
 yda .................................................................................................................................. (1)

b adalah lebar balok di mana tegangan geser diperhitungkan. Rumus di atas


diturunkan pada Soal 5.17, dan aplikasinya pada soal 5.18-5.21. Integral pada
c
Persamaan 1 di atas merupakan momen pertama bidang bagian yang diarsir y
Sumbu 0
pada penampang lintang terhadap sumbu netral (Gambar 5.3). Besaran momen netral
pertama bidang telah dibahas pada Bab IV. Integral tersebut selalu
menunjukkan momen pertama bidang arsiran tersebut yaitu bidang dari serat
terluar hingga posisi di mana gaya geser dihitung, contohnya bidang di antara b
serat terluar (c) dan serat di y0 di mana gaya geser dihitung pada Gambar 5.3. Gambar 5.3
Momen pertama dihitung terhadap sumbu netral.
Dari Persamaan (1) tampak bahwa tegangan geser maksimum terjadi di garis netral balok,
sedangkan di serat terluar selalu bernilai nol. Sebaliknya tegangan normal bervariasi dari nol di
garis netral hingga maksimum di serat terluar.
Jika balok memiliki penampang lintang berbentuk persegi maka persamaan tegangan geser di atas
menjadi:

V  h2 
   y0 2 
2I  4 
yaitu  menunjukkan tegangan geser pada serat sejauh y0 dari sumbu netral, dan h menunjukkan
tinggi balok. Sesuai dengan rumus di atas maka penyebaran vertikal gaya geser di sepanjang
bidang lintang adalah berupa parabola, bervariasi dari nol di serat terluar hingga maksimum di
garis netral. Rumus tersebut diperoleh dari soal 5.18, sedangkan aplikasinya di soal 5.19. Kedua
persamaan di atas memberikan gaya geser vertikal dan horizontal di suatu titik sebagaimana
didiskusikan pada soal 5.17 karena intensitas gaya geser pada kedua arah selalu sama.

Pembahasan berikut ini berlaku untuk balok di mana sebagian atau seluruh serat-serat
penyusunnya mengalami tegangan hingga titik luluh (yield point) material.
Kurva tegangan regangan yang disederhanakan menjadi Gambar 5.4 perlu dipertimbangkan
kembali. Gambar 5.4 menunjukkan kurva tegangan regangan di mana batas proporsi dan titik luluh
berimpit. Wilayah luluh yaitu garis datar horizontal dari kurva diasumsikan memanjang hingga
tak hingga. Penggambaran konvensional dari perilaku material daktil seperti itu disebut dengan
sifat elastis – plastis sempurna (perfectly plastic). Notasi yp menunjukkan titik luluh material, dan
yp menunjukkan regangan di titik luluhnya. Pada kasus ini diasumsikan bahwa sifat material
adalah identik pada kondisi tarik maupun tekan.

80

yp
Untuk momen lentur yang cukup besar pada balok, maka
serat-serat bagian dalam masih berada dalam wilayah elastis
material sedangkan serat-serat di bagian luar telah berada
dalam wilayah plastis. Distribusi tegangan ketika aksi elasto- yp
O 
plastis terjadi pada balok adalah Gambar 5.5.
Gambar 5.4

Ketika momen lentur terus meningkat, pada suatu saat suatu kasus
khusus dapat terjadi yaitu ketika seluruh serat mengalami tegangan di Sumbu
titik luluh material. Distribusi tegangan saat aksi plastis penuh netral
disajikan di Gambar 5.6.

Gambar 5.5
Ketika aksi balok seluruhnya elastis, garis netral melewati centroid
bidang lintang. Namun ketika aksi plastis terjadi di serat terluar hingga
semakin ke dalam, maka lokasi sumbu netral berpindah dari satu
lokasi ke lokasi lainnya. Hal ini dapat dipahami bahwa resultan gaya
Sumbu
normal di sembarang penampang lintang telah lenyap. Khusus pada netral
aksi plastis penuh, garis netral diasumsikan sebagai suatu posisi di
mana total luas penampang lintang dibagi menjadi dua bagian yang
sama luas.

Gambar 5.6

Momen lentur di mana aksi plastis penuh terjadi, disebut dengan momen plastis penuh dan
dinotasikan dengan Mp. Untuk diagram tegangan – regangan, momen yang lebih besar tidak akan
terjadi.
Untuk balok berpenampang persegi, rumus momen plastis penuh adalah:
bh 2 yp
Mp 
4
di mana b dan h berturut-turut menunjukkan lebar dan tinggi balok.

81
5.1. Turunkan rumus yang menyatakan hubungan antara momen lentur yang bekerja di sembarang
potongan pada balok dan tegangan lentur di sembarang titik di potongan yang sama.
Asumsikan bahwa Hukum Hooke berlaku.

M M M M

(a) (b)
Gambar 5.7

Balok pada Gambar 5.7(a) dibebani oleh dua kopel M dan konsekuensinya berada dalam
posisi keseimbangan. Oleh karena momen lentur memiliki nilai yang sama sepanjang balok,
maka balok tersebut dapat dikatakan berada dalam kondisi lentur murni. Untuk mengetahui
distribusi tegangan lentur dalam balok, balok dipotong oleh sebuah bidang tegak lurus dengan
sumbu geometris balok. Pada kondisi ini, gaya yang diamati berubah menjadi gaya luar yang
bekerja pada potongan batang yang baru terbentuk tersebut, meskipun sesungguhnya gaya
tersebut merupakan pengaruh internal yang terkait dengan batang asli yang belum terpotong.
Diagram gaya batang bagian balok di sebelah kiri bidang ditampilkan pada Gambar 5.7(b).
Sebuah momen M harus bertindak pada potongan penampang lintang sedemikian rupa
sehingga potongan di sebelah kiri balok berada dalam keadaan seimbang. Bagian kanan
dibuang dan diganti dengan pengaruhnya terhadap potongan sebelah kiri. Pengaruh bagian
kanan tersebut ditunjukkan dengan momen M. Momen M ini merupakan resultan dari momen-
momen yang bekerja tegak lurus terhadap potongan bidang lintang dan berada dalam bidang
tegak lurus dengan halaman kertas ini. Kini menjadi penting untuk membuat asumsi tertentu
untuk mendapatkan bentuk variasi penyebaran gaya-gaya di seluruh penampang lintang.
Cukup nyaman untuk mempertimbangkan sebuah balok yang tersusun oleh sejumlah tak
hingga serat-serat longitudinal. Diasumsikan pula bahwa setiap serat longitudinal bekerja
saling bebas, antara lain tidak ada tekanan lateral atau gaya geser antar serat yang berdekatan.
Dengan demikian setiap serat merupakan subjek yang hanya menerima tarik atau tekan aksial.
Lebih lanjut diasumsikan pula bahwa penampang lintang balok adalah bidang datar normal
pada sumbunya sebelum beban diberikan serta tetap datar dan normal pada sumbunya saat
diberikan beban. Akhirnya material diasumsikan mengikuti hukum Hooke dan nilai modulus
elastisitas pada tarik dan tekan adalah sama.

82
Selanjutnya, Gambar 5.8 dipertimbangkan. Dua bidang penampang lintang yaitu aa dan bb
ditandai pada sisi-sisi balok. Sebelum pembebanan, kedua bidang aa dan bb saling sejajar.
Setelah balok diberi beban berupa momen lentur, maka kedua bidang tersebut tetap datar
tetapi berotasi membentuk sudut seperti pada posisi di Gambar 5.8. Akibatnya serat-serat di
permukaan atas memendek dan terjadi tekan, sedangkan serat-serat di permukaan bawah
memanjang dan terjadi tarik. Garis cd merupakan permukaan di mana serat-serat tidak
mengalami regangan selama pelenturan. Serat-serat pada permukaan ini tidak mengalami
perpanjangan maupun perpendekan. Permukaan ini
O
disebut bidang netral. Irisan antara bidang netral
dengan sembarang penampang lintang disebut garis
netral. Perpanjangan serat longitudinal pada jarak y
R
(diukur positif ke arah bawah) dapat ditemukan
M M
dengan menggambar garis de sejajar dengan aa. Jika
a b
R adalah jari-jari kelengkungan kurva (radius of
c d
curvature) balok terlentur, maka regangan pada serat
a e f
dapat diperoleh melalui kesebangunan segitiga, b
yaitu: Gambar 5.8
ef df y
   ...................................................................................................................... (1)
cd dO R
Regangan serat longitudinal proporsional terhadap jarak y dari sumbu netral. Karena
berlakunya hukum Hooke, E=/ atau =E., maka tegangan pada serat longitudinal adalah:
Ey ........................................................................................................................... (2)
  E 
R

Selanjutnya balok dengan penampang lintang persegi


dipertimbangkan, meskipun penurunan ini berlaku juga
untuk semua bentuk geometri penampang yang memiliki
bidang simetri longitudinal. Pada kasus ini tegangan lentur

yang terjadi diperlihatkan pada Gambar 5.9. Notasi da da
y
menunjukkan luas sebuah elemen penampang lintang pada
jarak y dari sumbu netral. Tegangan yang bekerja pada da Gambar 5.9
diberikan oleh persamaan (2) dan konsekuensinya gaya pada
elemen ini (dF) merupakan hasil kali tegangan dengan luas area da yaitu:
Ey
dF  da  da ................................................................................................................... (3)
R

Namun, resultan semua gaya di seluruh penampang lintang adalah nol (untuk kasus lentur
murni) dan kondisi ini ditunjukkan dengan penjumlahan semua gaya dF di seluruh bidang
penampang lintang. Proses ini dilakukan melalui integral yaitu:
Ey E
F  da   yda  0 ............................................................................................................................... (4)
R R
Akibatnya  yda  0 . Integral tersebut merepresentasikan momen pertama bidang penampang
lintang terhadap sumbu netral karena y diukur dari sumbu netral. Namun pada Bab IV telah

83
diketahui bahwa  yda  y A di mana y merupakan jarak dari sumbu netral ke centroid

penampang lintang. Dari y A  0 maka dapat diketahui bahwa y  0 karena A tidak mungkin
nol. Terbukti bahwa garis netral selalu melalui centroid bidang penampang lintang, jika
hukum Hooke diasumsikan berlaku.

Momen yang dibentuk oleh gaya elementer dF terhadap sumbu netral diberikan oleh:
Ey ................................................................................................................. (5)
dM  ydF  y da
R

Resultan momen dari semua semua gaya elementer di seluruh penampang lintang adalah:
Ey 2 E
M  da   y 2 da ............................................................................................................. (6)
R R

Tetapi  y 2 da  I , sehingga:

EI ................................................................................................................................... (7)
M
R

Perlu dicatat bahwa momen kedua bidang penampang lintang dihitung terhadap sumbu yang
melalui centroid penampang lintang, namun sebelumnya telah diketahui bahwa:
Ey
 ..................................................................................................................................... (8)
R

Mengeliminasi R pada Persamaan 7 dan 8 maka diperoleh:


My
 .................................................................................................................................... (9)
I

Persamaan 9 di atas merupakan rumus umum untuk tegangan lentur dalam balok. Dalam
rumus tersebut M merupakan momen lentur pada sembarang potongan, I adalah momen kedua
bidang penampang lintang, dan y adalah jarak sumbu netral dari serat di mana pengamatan
tegangan lentur  diperhitungkan.
Nilai y di serat terluar dinotasikan dengan c. Pada serat terluar tersebut tegangan lentur
mencapai maksimum dan dituliskan dengan:
Mc
 .................................................................................................................................. (10)
I

5.2. Sebuah balok diberi beban berupa kopel sebesar 1 kN m di setiap ujungnya seperti
diperlihatkan pada Gambar 5.10. Balok tersebut adalah baja berpenampang persegi berukuran
lebar 25 mm dan tinggi 50 mm. Tentukan tegangan lentur maksimum dalam balok dan
nyatakan variasi tegangan lentur sepanjang tinggi balok.

84
1 kN m 1 kN m Sumbu
Sumbu netral
50 mm y
netral
25 mm

Gambar 5.10 Gambar 5.11

Dari soal 5.1, lenturan terjadi pada sumbu netral horizontal. Sumbu ini melalui centroid
penampang lintang. Momen kedua bidang persegi pada sumbu netral telah didiskusikan pada
soal 5.4 yaitu:
bh3 25  50 3
I   260416.7 mm 4  2.6 10 5 mm 4
12 12

Juga dari soal 5.1 diketahui bahwa tegangan lentur pada jarak y dari garis netral diberikan
dengan rumus   My , di mana y diilustrasikan pada Gambar 5.11. Maka seluruh serat
I
longitudinal pada jarak y dari sumbu netral merupakan subjek yang mengalami tegangan
lentur sama dengan rumus tersebut. Oleh karena M dan I pada kasus ini adalah konstan
sepanjang balok, maka nilai tegangan lentur maksimum terjadi pada serat terluar yaitu ketika
y mencapai maksimum pula. Untuk serat paling bawah nilai y adalah 25 mm maka tegangan
lentur maksimum adalah:

 
 
My 1  10 3  10 3 25 
 96 MPa
I 260416.7

Jadi pada serat terbawah, terjadi tegangan tarik sebesar 96 MPa.


96 MPa
Sedangkan pada serat bagian atas, terjadi tegangan tekan dengan nilai
maksimum sebesar:
My 1 10 3  10 3  25  Sumbu
   96 MPa netral
I 260416.7

Gambar 5.12 menunjukkan variasi nilai tegangan lentur di berbagai


posisi vertikal di penampang lintang. Sesuai dengan Gambar 5.12, 96 MPa
tegangan lentur bervariasi dari nilai nol di garis netral, tegangan tarik
sebesar 96 MPa di serat paling bawah, dan tegangan tekan sebesar 96 Gambar 5.12
MPa di serat paling atas.
5.3. Sebuah balok berpenampang lintang lingkaran diameter 200 mm. Balok tersebut ditumpu
dengan tumpuan sederhana di ujung-ujungnya dan dibebani dengan dua beban terpusat
masing-masing 100 kN. Beban diberikan masing-masing sejauh 250 mm dari ujung balok.
Tentukan tegangan lentur maksimum pada balok.

85
Berbeda dengan soal 5.2, pada kasus ini momen tidak konstan sepanjang balok. Pembebanan
diilustrasikan di Gambar 5.13 dilanjutkan dengan Gambar diagram momen lentur yang telah
dipelajari di Bab III. Perlu dicatat bahwa bagian balok yang berada di antara dua beban 100
kN berada dalam kondisi lentur murni. Oleh karena itu (a) 100 kN 100 kN
momen lentur di sembarang potongan di antara dua beban 250 mm 250 mm
A
tersebut adalah konstan yaitu 100(0.25)=25 kN m.
B
Dari soal 4.9 momen kedua bidang penampang berbentuk (b) Diagram momen lentur
lingkaran terhadap sumbu netral yang melalui centroid 25 kN m
lingkaran adalah:
D 4   200 4 Gambar 5.13
I   78539816  78 .5  10 6 mm 4
64 64

Tegangan lentur pada jarak y dari sumbu netral horizontal diperoleh dari rumus =My/I,
sehingga tegangan lentur maksimum terjadi di serat terluar yaitu di titik A dan B. Pada titik B,
nilai y adalah 100 mm, maka tegangan lentur maksimum:


My


25  10 3  10 3 100  
 31.83 MPa
I 78539816

Tegangan lentur di B adalah 31.83 MPa tarik, dan di A adalah 31.83 MPa tekan.
5.4. Sebuah balok kantilever baja panjangnya 5 m menerima beban terpusat 1 kN di ujung bebas
batang. Balok berpenampang lintang persegi, lebar 50 mm dan tinggi 75 mm. Tentukan besar
dan lokasi tegangan lentur tarik dan tekan maksimum pada balok.
1 kN Diagram momen lentur
5m
75 mm

Sumbu
5 kN m Netral y
(a) (b)
(c)
50 mm
Gambar 5.14
Tegangan lentur pada jarak y dari garis netral yang melewati centroid penampang lintang
adalah   My , di mana y diilustrasikan pada Gambar 5.14(c). Dalam rumus tersebut I
I
merupakan momen kedua bidang penampang lintang berbentuk persegi terhadap sumbu
netralnya dan dapat diperoleh dari:
bh3 50  75 3
I   1757812.5  1.76 10 6 mm 4
12 12

Puncak tegangan lentur tarik terjadi pada serat paling atas balok karena defleksi ke arah bawah
dan serat bagian atas yang memanjang. Selanjutnya pada dinding tumpuan, momen lentur
mencapai maksimum, maka besarnya tegangan lentur tarik maksimum yaitu:

My 5 10  10
3
3 75
 
2  106.67 MPa
 
I 1757812.5

86
Sedangkan puncak tegangan lentur tekan terjadi di serat paling bawah karena bagian bawah
memendek. Nilai tegangan lentur tekan maksimum adalah 106.67 MPa.
5.5. Kasus balok kantilever seperti soal 5.4, baloknya diganti dengan baja komersial
berpenampang lintang I (Gambar 5.15). Tentukan tegangan lentur tarik dan tekan
maksimumnya.
Balok berpenampang lintang simetris (Gambar 5.15), dan lenturan terjadi di sumbu netral
horizontal yang melewati centroid. Momen kedua bidang penampang lintang terhadap sumbu
netral adalah:
100  150 3  45 130 3 
I  2     11647500  11.6  10 6 mm 4 100 mm
12  12  10 mm

75 mm
10 mm
Tegangan lentur pada jarak y dari sumbu netral adalah   My , dan
I
di serat terluar y=c, maka:  . Nilai Z adalah section modulus Sumbu
M
Z Netral

75 mm
dan merupakan rasio I/c, maka nilai Z adalah:
Z  11647500  155300  1.55  10 mm
5 3 . Tegangan lentur maksimum
75
10 mm
terjadi di ujung balok yang dijepit dinding, yaitu:
Gambar 5.15
M 5 10 3 10 3 
   32.2 MPa
Z 155300

Sekali lagi, akibat defleksi ke arah bawah, sisi balok bagian atas memanjang sehingga terjadi
tegangan lentur tarik, sebaliknya sisi bawah memendek sehingga terjadi tegangan lentur tekan.
Nilai maksimum tegangan lentur tarik dan tekan adalah sama besar yaitu 32.2 MPa.
5.6. Balok sepanjang 3 m diberi tumpuan sederhana di tiap ujungnya. Balok tersebut menerima
beban merata tersebar seragam sebesar 10 kN m-1. Penampang lintang balok adalah persegi
75150 mm. Tentukan besar dan lokasi tegangan lentur maksimum dalam balok. Tentukan
juga tegangan lentur pada titik sejauh 25 mm di bawah permukaan teratas balok pada potongan
tepat di tengah bentang.
Balok sederhana yang diberi beban merata (a) -1
10 kN m
tersebar seragam, diagram momen lenturnya
150 mm

Sumbu
berupa parabola yang nilainya bervariasi dari netral
x
nol di ujung-ujungnya hingga maksimum di 3m
tengah bentang. Kasus ini telah dibahas pada 15 kN 15 kN
75 mm
soal 3.3. Nilai maksimum momen lentur di (b)
tengah bentang yaitu: 11.25 kN m
M x 1.5  15 1.5  10 1.5  0.75  11.25 kN m . 1.5 m 1.5 m x
Momen lentur
Diagram momen lentur disajikan pada
Gambar 5.16(b). Oleh karena momen lentur Gambar 5.16
maksimum terjadi di tengah bentang, maka
tegangan lentur maksimum juga terjadi di tengah bentang, yaitu saat x=1.5 m. Momen kedua
bidang penampang lintang telah diperoleh pada soal 4.4 yaitu:

87
bh3 75  150 3
I   21093750  21.1 10 6 mm 4 ,
12 12

Sehingga tegangan lentur di potongan di tengah bentang:


My 11 .25  10 3  10 3 y
  MPa
I 21.1 10 6

Maka tegangan lentur maksimum, terjadi di serat paling atas dan paling bawah yaitu:

 
 
My 11 .25  10 3  10 3  75
 40 MPa .
I 21.1 10 6

Sesuai dengan pengamatan, defleksi mengarah ke bawah sehingga serat di atas garis netral
mengalami tekan dan serat bagian bawah mengalami tarik. Serat-serat pada jarak 25 mm di
bawah permukaan atas, atau 50 mm di atas garis netral akan mengalami tegangan lentur tekan
sebesar:


My

 
11 .25  10 3  10 3  50
 - 26.67 MPa .
I 21.1 10 6

Jadi pada serat sejauh 25 mm di bawah permukaan atas akan mengalami tegangan lentur tekan
sebesar 26.67 MPa. Tegangan lentur tekan diberi tanda negatif.
5.7. Kasus serupa dengan soal 5.6, tetapi berat sendiri balok diperhitungkan sebagai beban
tambahan. Berat jenis baja adalah 7.7104 N m-3.
Oleh karena penampang lintang balok adalah 75150 mm, volume balok baja sepanjang 1 m
adalah 751501000=11250000 mm3. Berat balok baja adalah (7.710410-9)(11250000)=
866.25 N per 1 meter panjang. Untuk keperluan desain berat sendiri dikenal dengan beban
mati (dead load) dan disingkat D.L. Berat sendiri bekerja menambah beban merata sehingga
resultan beban merata menjadi 10+0.86625= 10.86625 kN m-1. Total beban di sepanjang balok
adalah 310.86625=32.59875 kN sehingga reaksi tumpuan di tiap-tiap ujung balok adalah
16.3 kN. Maka momen lentur di tengah bentang adalah:
M x 1.5  16.3 1.5 - 10.86625 1.5  0.75  12.22 kN m

Diagram momen lentur berbentuk sama dengan Soal 5.6, tetapi nilai maksimum ordinat di
tengah bentang adalah 12.22 kN m. Tegangan lentur maksimum terletak di tengah bentang
pada serat di permukaan paling atas dan paling bawah balok, yaitu:


My

 
12 .22  10 3  10 3  75
 43.465 MPa
I 21.1 10 6

Hasil perhitungan dengan mengabaikan berat sendiri pada soal 5.6 mendapatkan nilai 40 MPa,
8% lebih rendah daripada hasil yang memperhitungkan berat sendiri. Dalam praktik aktual,
besarnya berat sendiri balok harus selalu diperhitungkan.
5.8. Sebuah balok kantilever 3 m panjang menerima beban merata tersebar seragam sebesar 30 kN
per meter panjang. Tegangan kerja izin tarik maupun tekan dianggap sama yaitu 150 MPa.
Penampang lintang balok berbentuk persegi yang tingginya dua kali lebarnya, tentukan
dimensi yang diperlukan.

88
Kasus momen lentur pada balok kantilever yang (a) 30 kN m
-1

diberi beban merata tersebar seragam telah dibahas Sumbu

h=2b
pada soal 3.2. Diagram momen lenturnya 3m
Netral y
berbentuk parabola, yang nilainya bervariasi dari (b)

135 kN m
nol di ujung bebas hingga maksimum di ujung yang Diagram
momen lentur b
dijepit (Gambar 5.17(b)). Maksimum momen
lentur di ujung yang dijepit adalah: Gambar 5.17 Gambar 5.18

   
M x3   30  10 3  10 3 3  10 3 1.5  10 3  - 135000000 N mm  - 135 kN m
3
Penampang balok berbentuk persegi, maka: I  bh ; dan c  h .
12 2

Tinggi penampang balok adalah dua kali lebarnya (h=2b) (Gambar 8.18)
4
maka: I  h ; dan c  h .
24 2

Untuk keperluan desain, maka harus diperhitungkan agar dimensi yang direncanakan mampu
menahan tegangan kerja izin sebesar 150 MPa. Agar desainnya efisien maka nilai 150 MPa
ini merupakan nilai tegangan lentur maksimum pada balok. Nilai tegangan maksimum pada
balok diperoleh dari σ  Mc , di mana I adalah momen kedua bidang penampang lintang, dan
I
Mc
c adalah jarak serat terjauh dari centroid, maka: σ atau
I
135  10 3

 10 3 h 
2  12 135  10  10 ;
3 3

150  4 3
h h
24

Tinggi balok yang dibutuhkan: h  3 12 135  10  10   221.041889 918423 mm .


3 3

150

Dan lebarnya: b  h  221.041889 918423  -110.52094 4959212 mm


2 2

Oleh karena tegangan yang terjadi tidak boleh lebih tinggi daripada tegangan kerja izin, tetapi
boleh sedikit lebih rendah, maka pembulatan dimensi yang dibutuhkan harus ke atas.
Pembulatan dimensi ke atas ini meningkatkan keamanan struktur. Pembulatan dimensi ke
bawah berbahaya karena struktur dapat runtuh ketika beban rencana tercapai. Dimensi yang
dibutuhkan adalah 111  222 mm.
Pilihlah baja I (wide flange section) yang dibutuhkan untuk balok kantilever di soal 5.8.
Tegangan kerja izin tarik dan tekan bernilai sama yaitu 150 MPa.

89
Diagram momen lentur sama dengan Gambar 5.17. Maksimum momen lentur adalah 135 kN
m. Tegangan lentur pada sembarang serat yang terletak sejauh y dari sumbu netral adalah
=My/I. Tegangan lentur maksimum adalah =Mc/I, yang dapat dituliskan
sebagai:
Mc M ; atau M .
σ  Z
I Z σ Sumbu
Netral
Seperti dibicarakan pada soal 5.8, tegangan yang terjadi harus sama atau
sedikit lebih kecil daripada tegangan kerja izin maka:
135  10 3  10 3
Z  9  10 5 mm 3 . Gambar 5.19
150

Nilai-nilai section modulus (Z) biasanya telah terdaftar pada spesifikasi baja I yang
dikeluarkan pabrikan. Untuk kasus ini desainer dapat memilih baja I yang memiliki section
modulus 9105 mm3 atau sedikit lebih besar. Section modulus baja I terpilih tidak boleh lebih
rendah dari itu karena dapat berakibat runtuhnya struktur.
5.9. Sebuah kawat baja diameter 0.5 mm digunakan sebagai koil mengelilingi puli-puli
berdiameter 400 mm. Tentukan tegangan lentur maksimum pada kawat baja tersebut jika nilai
modulus elastisitas (E)-nya adalah 200 GN m-2.
Jari-jari kelengkungan kurva kawat baja adalah konstan, yaitu 200 mm, maka terbukti pada
Persamaan 7 soal 5.1 bahwa momen lentur M adalah M=EI/R. Rumus tersebut membuktikan
bahwa momen lentur M adalah konstan di setiap sembarang titik di sepanjang kawat, sehingga
kawat berada dalam kondisi lentur murni. Potongan kawat tersebut disketsa pada Gambar
5.20. Untuk sembarang serat dalam kawat pada posisi sejauh y dari sumbu netral, regangan
normal  adalah =y/R (persamaan 1 soal 5.1), di mana R O
adalah jari-jari kelengkungan kurva pada titik tersebut.
Regangan maksimum terjadi pada serat y di titik terjauh
dari garis netral yaitu setengah diameter (y=0.25 mm).
Jari-jari kelengkungan kurva di garis netral kawat adalah
200+0.25= 200.25 mm. Sesuai rumus regangan:
y 0.25
   0.001248
R 200 .25
Gambar 5.20
Tegangan mengikuti hukum Hooke yaitu:
  E  200 10 9 10 6  0.001248  249.69 MPa .

Tegangan maksimum kawat adalah 249.69 MPa.


5.10. Balok lentur dengan tumpuan sederhana diperlihatkan di Gambar 5.21(a). Balok tersebut
menerima beban merata tersebar bervariasi dengan maksimum intensitas adalah w N per
peter panjang di ujung kanan batang. Balok itu adalah balok I komersial dengan dimensi
seperti Gambar 5.21(b). Tentukan intensitas beban maksimum w yang boleh diberikan pada
balok jika tegangan kerja izin tarik dan tekannya masing-masing 125 MPa. Berat sendiri
diabaikan.

90
(a) (b) 150 (c) 3w
mm 20 mm
-1
wNm 4m 2m

250 mm
6m
6m 20 mm R1 R2

20 mm
Gambar 5.21

Reaksi tumpuan R1 dan R2 dapat diperoleh dengan mengganti beban merata dengan
resultannya sebesar 3w di titik pusat beban yaitu 4 m di kanan R1. Resultan tersebut disketsa
pada Gambar 5.21(c). Dari persamaan keseimbangan statis dapat diperoleh bahwa R1=w dan
R2=2w.
Diagram gaya geser dan momen lentur untuk balok seperti ini telah dibahas pada soal 3.4.
Sumbu x dibuat berimpitan dengan balok dan memiliki titik pusat O di ujung kiri balok.
Intensitas beban pada jarak x dari titik O dapat diperoleh melalui kesebangunan segitiga yaitu
1
6
xw . Sesuai dengan prosedur yang dijelaskan pada soal 3.4, gaya geser V pada potongan
sejauh x dari tumpuan ujung kiri adalah:
1x  2
V  w   w  x   w 
wx
26  12

Persamaan gaya geser untuk semua x tersebut bervariasi dari w hingga -2w. Gaya geser
bernilai nol saat diagram gaya geser memotong sumbu x, yaitu ketika:
wx 2  x2 
w 0 atau w1    0
12  12 

Nilai w tidak nol sehingga gaya geser harus bernilai nol saat:
 x2 
1    0 atau x  2 3  3.46 m
 12 

Diagram gaya geser V disajikan pada Gambar 5.22(b).


(a) (b) (c) Momen
Gaya Geser
w Lentur
x w
w 3.46 m
O 6 2.31w
0 1 2 3 4 5 6

x 2w 3.46 m
R2=2w
R1=w 0 1 2 3 4 5 6

Gambar 5.22

Momen lentur M pada sembarang potongan sejauh x dari tumpuan kiri adalah:
1 x   x wx 3  x3 
M  wx   w  x    wx   w x   .
26  3 36  36 

91
Sesuai dengan persamaan di atas, momen lentur bervariasi dari nol di titik x=0 m dan x=6
m, hingga mencapai maksimum di saat turunan pertama bernilai nol. Turunan pertama
persamaan momen lentur M adalah persamaan gaya geser V, sehingga nilai M maksimum
terjadi ketika V=0, yaitu ketika x=3.46 m. Pada titik maksimumnya, nilai momen lentur
adalah:
 3.46 3 
M  w 3.46    2.3094 w N m
 36 
Diagram momen lentur disajikan pada Gambar 5.22(c).
Tegangan lentur pada balok diperoleh dari rumus =My/I. Momen kedua bidang penampang
lintang balok I di Gambar 5.21(b) adalah:

I
150 250 3  2 65 210 3   94985000  95 10 6 mm 4 .
12  
 12 

Tegangan lentur tarik maksimum terjadi di serat yang paling bawah yaitu saat y=125 mm,
maka:


Mc

 125 10 6   
2.3094 w 125 10 3 ; 
I 95 10 6 10 12

maka w  125  10  95  10 6  10 12 


6
 41129.71 N m -1  41 kN m -1
125 10 2.3094 
3

Jadi intensitas beban maksimum yang masih mampu diterima balok tersebut adalah 41 kN
per meter panjang balok.
5.11. Turunkan rumus section modulus untuk balok berpenampang persegi.
b
Tinggi balok dinyatakan dengan h dan lebarnya adalah b. Lenturan
diasumsikan terjadi di garis netral yang melalui centroid penampang Sumbu
lintang. Momen kedua bidang di sumbu netral adalah I=bh3/12. h netral

Pada serat terluar, jarak dari sumbu netral adalah h/2, dan ini biasanya
dinotasikan dengan c. Tegangan lentur maksimum dinyatakan dengan: Gambar 5.23
Mc M M .
 max   
I I Z
c

Rasio I/c disebut section modulus dan umumnya dinotasikan dengan Z. Untuk bidang
penampang persegi, nilai Z adalah:
I 1
bh3 bh 2
Z  12
1
 .
c 2h 6
Satuan section modulus adalah mm3 atau m3.
5.12. Balok berpenampang persegi diperoleh dari penggergajian kayu bulat (log) berdiameter D.
Tentukan rasio antara tinggi balok terhadap lebarnya agar balok tersebut memiliki kekuatan
maksimum menahan lentur murni.

92
Sketsa balok yang digergaji dari log berdiameter D disajikan di Gambar 5.24: h
menunjukkan tinggi penampang lintang balok dan b adalah lebarnya. Lenturan diasumsikan
terjadi di sumbu netral. Tegangan lentur maksimum terjadi di serat terluar balok yaitu pada
jarak h/2 di bawah atau di atas sumbu netral. Setiap sembarang serat pada jarak y dari sumbu
netral menerima tegangan lentur sebesar =My/I di mana I adalah momen kedua bidang
penampang persegi yaitu I=bh3/12. Pada serat terluar nilai y adalah h/2. Sesuai dengan
deskripsi tersebut maka tegangan maksimum adalah:

Mymax M  2 6M
h  max bh 2
 max    2 atau M  .................................................................................... (1)
I bh3 bh 6
12
Momen lentur maksimum yang bisa diterima oleh balok
tersebut dapat diperoleh ketika bh2 maksimum yaitu ketika
turunan pertamanya bernilai nol. Hubungan antara b dan h
dicari sesuai dengan Gambar 5.24:
Sumbu
netral hD
b h  D
2 2 2
atau h  D b
2 2 2

Sesuai dengan hubungan itu, bh2 dituliskan:


 
bh2  b D 2  b 2  bD2  b3 .
b
dan turunan pertamanya (dy/db) adalah: Gambar 5.24
  
d bh 2 d bD 2  b 3


 D 2  3b 2 .
db db
Momen maksimum dapat terjadi ketika D2-3b2 bernilai nol yaitu saat 3b 2  D 2

Oleh karena b2  h2  D2 , maka: 3b 2  b 2  h 2 , atau 2b 2  h 2 , atau h  2 .


b

Sesuai dengan perhitungan di atas, untuk mendapatkan kekuatan lentur maksimum balok
kayu persegi yang dipotong dari log berdiameter D maka rasio antara tinggi penampang
lintang balok h dan lebarnya b adalah 2 .
Perlu dicatat bahwa bh2/6 pada Persamaan (1) merupakan section modulus penampang
lintang sehingga section modulus merupakan besaran yang harus dimaksimumkan agar
diperoleh balok yang memiliki kekuatan lentur terbesar.
5.13. Suatu balok dibebani sebuah kopel di setiap ujungnya. Besar kopel masing-masing adalah 5
kN m. Balok tersebut adalah baja berpenampang lintang berbentuk T dengan dimensi seperti
Gambar 5.25. Tentukan tegangan tarik maksimum dan tegangan tekan maksimum beserta
lokasinya.

93
Centroid penampang lintang perlu dicari karena sumbu netral (a)
5 kN m 5 kN m
diketahui melalui centroid. Sistem koordinat x – y diperlukan
untuk melakukan ini.
Bidang T dapat dibagi menjadi tiga bidang yaitu satu persegi
y
berukuran 25125 mm dan dua persegi berukuran 5025 mm.
Maka centroidnya adalah: (b)
c2
y A

mm
100
y
i i

A i
xG


62 .525  125   212 .550  25   40.28 mm
25  125   250  25  25 mm c1
x
Centroid terletak 40.28 mm di atas sumbu x. Garis sejajar 50 mm25 mm50 mm

sumbu x yang melalui centroid digambarkan sebagai xG pada Gambar 5.25


Gambar 8.25(b).
Momen kedua bidang di sumbu x (Ix) diperoleh melalui teorema sumbu sejajar yaitu:
 25  125 3   50  25 3 
I x    62 .52 25  125   2  12 .52 50  25   16796875 mm 4
 12   12 

Selanjutnya momen inersia penampang lintang terhadap centroidnya diperoleh melalui


teorema sumbu sejajar yaitu:
I xG  16796875  40.28 2 25  125   250  25   7671440.97 mm 4

Sesui dengan kondisi pembebanan di atas maka serat-serat di bawah sumbu netral xG
mengalami tarik sebaliknya serat di atas xG mengalami tekan. Maka tegangan tarik
maksimum terjadi pada serat sejauh c1=40.28 mm di bawah xG dan tegangan tekan
maksimum terjadi pada serat sejauh c2=125-40.28=84.72 mm di atas xG. Besarnya tegangan
tarik maksimum yaitu:

 
 
Mc 5  10 3  10 3 40 .28 
 26.25 MPa
I 7671440 .97

Dan tegangan tekan maksimum yaitu:

 
 
Mc 5  10 3  10 3 84 .72 
 55.22 MPa
I 7671440 .97

Tegangan tarik maksimum sebesar 26.25 MPa terjadi di serat permukaan bawah balok, dan
tegangan tekan maksimum sebesar 55.22 MPa terjadi di permukaan atas.
5.14. Suatu balok sederhana bertipe channel U dibebani kopel 3 kN seperti Gambar 5.26.
Tentukan tegangan tarik dan tekan maksimum beserta lokasinya.

(a) 25 mm 250 25 mm
(b)
mmy
2m 1m 100 c2
A B C xG
mm
3 kN m 25 mm c1 x

Gambar 5.26

94
Reaksi tumpuan di balok Gambar 5.26(a) diperoleh dari persamaan keseimbangan:

M A  3  3RC  0  RC  1 kN dan F v  R A  RC  0  RA  1 kN

Reaksi tumpuan di A adalah 1 kN ke arah bawah,


1
sedangkan di C 1 kN ke arah atas.
0.5

Momen lentur (kN m)


Persamaan momen lenturnya adalah: 0
-0.5 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3
untuk 0  x  2000 mm ;
 
M   110 3  x   x 10 3 N mm
-1
-1.5
untuk 2000  x  3000 mm ; -2
   
M   1  10 3 x  3  10 3  10 3
Gambar 5.27
 3  10   x  10  N mm
6 3

Diagram momen lenturnya adalah Gambar 5.27. Centroid penampang lintang balok:

y
 y A  12.5250  25   262.525  125   37.5
i i
mm
A i 250  25   225  125 
Momen inersia terhadap sumbu x adalah:
 250  25 3   25  125 3 
I x    12 .5 2 250  25   2  62 .5 2 25  125   33854166.6 7 mm 4
 12   12 

Dan momen inersia terhadap centroid adalah:


I xG  33854166.6 7  37 .52 250  25   225  125   16276041.6 7 mm 4

Untuk kasus ini penandaan lentur positif atau lentur negatif perlu diperhatikan karena di
sepanjang AB terjadi lentur negatif, sedangkan di sepanjang BC terjadi lentur positif. Oleh
karena itu untuk bentang AB, serat-serat di atas garis netral mengalami tarik, sedangkan serat
di bawah garis netral mengalami tekan. Tegangan tarik maksimum di sepanjang AB terjadi
di serat permukaan atas yaitu sejauh c2=125-37.5 =87.5 mm di atas garis netral, sedangkan
tegangan tekan maksimum terjadi di serat permukaan bawah yaitu 37.5 mm di bawah garis
netral. Maka tegangan tarik maksimum di sepanjang AB adalah:

 

Mc 2  10 3  10 3 87 .5 
 10.752 MPa
I 16276041.6 7

Dan tegangan tekan maksimum sepanjang AB diperoleh sebesar:

 

Mc 2  10 3  10 3 37 .5 
 4.608 MPa
I 16276041.6 7

Untuk batang sepanjang BC, terjadi lenturan positif sehingga bagian di bawah sumbu netral
mengalami tarik, sedangkan bagian di atas sumbu netral mengalami tekan. Maka tegangan
tarik maksimum sepanjang BC adalah:

 

Mc 1  10 3  10 3 37 .5 
 2.304 MPa
I 16276041.6 7

95
Dan tegangan tekan maksimum sepanjang BC diperoleh sebesar:
Mc 1 10 3  10 3 87 .5
   5.376 MPa
I 16276041.6 7

Tegangan tarik maksimum dan tegangan tekan maksimum di sepanjang bentang AC harus
dipilih dari keempat nilai di atas. Tegangan tarik maksimum sepanjang bentang AC adalah
10.752 MPa terjadi di serat permukaan bagian atas, dan tegangan tekan maksimum adalah
5.376 MPa di serat permukaan bagian atas juga. Baik tegangan tarik maksimum maupun
tegangan tekan maksimum, keduanya terjadi di titik B di serat permukaan paling atas balok.
5.15. Balok overhanging diberi tiga beban terpusat (Gambar 5.28) dan ditumpu dengan tumpuan
sederhana. Balok tersebut berpenampang lintang bentuk T dan terbuat dari besi cetak yang
memiliki tegangan izin tarik 35 MPa dan tegangan izin tekan 150 MPa. Tentukan nilai beban
maksimum P yang diizinkan diterima balok tersebut.
P 75 mm 50 mm 75 mm
P 2 P
4 4
2.5 m 2.5 m
A D E 125 mm
B C
Sumbu netral
1m 3m 1m
50 mm 58.7 mm
R R

Gambar 5.28

Pertama-tama harus dicari besarnya reaksi di tumpuan B dan D. Pembebanan pada balok
sederhana tersebut simetris sehingga reaksi di titik B dan D adalah sama besar yaitu P/2.
Persamaan momen untuk tiap-tiap wilayah (AB, BC, CD, dan DE) adalah:
 P
 4
x untuk 0  x  1 m

 P
x
P
x  1 untuk 1  x  2.5 m
 4 2
Mx  
 P
x
P
x  1  P
 x  2 .5  untuk 2.5  x  4 m
 4 2 2


P
x
P
x  1  P
 x  2 .5   P  x  4  untuk 4  x  5 m
 4 2 2 2

dan disederhanakan menjadi:


P
 P 8
Momen lentur (N m)

 4 x untuk 0  x  1 m

 Px  P 0 1 2 3 4 5
untuk 1  x  2.5 m
4 2
Mx   P
 Px  1.5 P untuk 2.5  x  4 m
4
 4 2
 Px 2.5 P
  untuk 4  x  5 m
4 2
Gambar 5.29

96
Persamaan momen lentur tersebut digambarkan dalam bentuk diagram momen lentur pada
Gambar 5.29. Sesuai dengan Gambar 5.29, momen lentur negatif maksimum sebesar P/4
terjadi di titik tumpuan B dan D, dan momen lentur positif maksimum sebesar P/8 terjadi di
titik C.
Sifat-sifat penampang bidang T telah dibahas di soal 4.10. Sesuai dengan pembahasan
sebelumnya, centroid bidang T tersebut di atas adalah:

y
 y A  87 .5 175  50   225  50  75   58.65385
i i
mm
A i 175  50   250  75 
Dan momen kedua bidang T terhadap sumbu netralnya adalah:
 50  175 3   75  50 3 
I    87 .5  58 .65  50  175   2    25  58 .65  25  50 
2 2

 12   12 
 39668470  40  10 mm 6 4

Cara termudah untuk memperoleh nilai maksimum P yang diizinkan untuk diberikan pada
balok adalah dengan menghitung 4 empat nilai tegangan lentur maksimum, baik tarik
ataupun tekan, di titik B dan C dan memilih nilai P terkecil dari keempat hasil yang
diperoleh.
Pemeriksaan di titik B dilakukan berikut ini:
Nilai momen lentur di titik B adalah negatif sehingga balok berbentuk cekung ke atas
(Gambar 5.30). Oleh karena itu bagian atas balok mengalami tarik dan bagian bawah
mengalami tekan. Tegangan lentur maksimum di bagian atas balok tidak boleh melebihi
tegangan izin tarik, dan di bagian bawah tidak boleh melebihi tegangan izin tekan, sehingga
beban izin (P) maksimum di titik B dapat dihitung.
Permukaan atas di titik B mengalami tarik:


Mc
 35  10 6 
P 4  175  58.65 10 3

, atau P  47733.3 N  47.7 kN


I 39668470  10 -12

Permukaan bawah di titik B mengalami tekan:


Mc
 150  10  4
6
 
P  58 .65  10 3
, atau

P  405788.9 N  405.78 kN .
I 39668470  10 -12
tarik
tekan

tekan
tarik

Gambar 5.30 Gambar 5.31

Pengamatan selanjutnya dilakukan di titik C. Nilai momen lenturnya adalah positif yaitu P/8,
sehingga balok di titik C berbentuk cekung ke bawah (Gambar 5.31). Maka bagian atas
mengalami tekan, dan bagian bawah mengalami tarik.

97
Permukaan atas di titik C mengalami tekan, yaitu:


Mc
 150  10 6 
P 8  175  58.65 10 3

atau P  409142.562 N  409.14 kN


I 39668470  10 -12

Permukaan bawah di titik C mengalami tarik, yaitu:


Mc  
P  58 .65  10 3
 35  10 6  8
 atau P  189368.169 4 N  189.36 kN
I 39668470  10 -12

Nilai P terkecil dari keempat hasil yang diperoleh adalah 47.7 kN, sehingga balok tersebut
hanya mampu menahan beban P maksimum sebesar 47.7 kN. Titik lemah yang menjadi
penentu kekuatan balok adalah tegangan tarik di titik B.

5.16. Balok yang diberi beban transversal tegak lurus sumbu balok selain menimbulkan tegangan
normal juga menimbulkan tegangan geser. Nyatakan tegangan geser sebagai fungsi gaya
geser dan sifat penampang.
Teori berikut ini dibangun untuk balok berpenampang lintang persegi, namun hasil analisis
berlaku pula untuk semua balok berpenampang lintang sembarang asalkan memiliki sebuah
bidang simetri.
Sebuah panjang elementer dx dipotong dari M M+dM
a b
sebuah balok seperti pada Gambar 5.32. Momen c  d
c
y0
lentur di sebelah kiri elemen tersebut Sumbu
Netral
dinotasikan dengan M dan momen di sebelah
kanannya adalah M+dM. Jika y di ukur ke atas a b
dx b
dari sumbu netral, maka momen lentur di kiri a-
Gambar 5.32
a adalah:
My

I

Momen lentur di kanan b-b adalah:

 '
M  dM  y
I

Keseimbangan pada bidang yang diarsir abdc (Gambar 5.32) perlu diperhitungkan. Gaya dF
adalah tegangan  dikalikan dengan luas bidang elementer da.
My
dF  da  da
I

Jumlah seluruh gaya di sebelah kiri ac adalah:


c
My
F 
y0
I
da

98
Analisis yang sama juga dilakukan pada gaya di sebelah kanan bd, yaitu:
c
M  dM y da .
F' 
y0
I

Kedua integral di atas tidak sama besar sehingga harus ada tambahan gaya horizontal yang
bekerja pada bidang yang diarsir untuk mempertahankan keseimbangannya. Karena
permukaan ab terbebas dari gaya luar horizontal maka satu-satunya kemungkinan adalah
bahwa terdapat gaya geser horizontal di bagian bawah permukaan cd. Gaya horizontal di
permukaan bawah cd ini merepresentasikan aksi balok bagian yang lebih bawah terhadap
elemen yang diarsir. Tegangan geser horizontal ini dinotasikan dengan  dan b menunjukkan
lebar balok pada posisi di mana tegangan geser  terjadi, maka gaya geser horizontal
sepanjang permukaan cd adalah bdx. Untuk mempertahankan keseimbangannya maka:
c
My
c
M  dM  y da  bdx  0 c
My
c
M yc
dM  y
 Fh  y I da  y I y I da  y I da  y I da  bdx  0
0 0 0 0 0


c
dM  y da  bdx  0
y0
I

c
1 dM

Ib dx  yda
y0

Selanjutnya dari soal 3.1 telah diketahui bahwa gaya geser V merupakan turunan pertama
dari momen M, dan dapat dinyatakan dengan:
dM .
V
dx

Maka tegangan geser pada potongan a-a adalah:


c
V
Ib y0
 yda

Integral pada persamaan terakhir di atas merupakan momen pertama bidang yang diarsir
terhadap sumbu netral balok. Luas area yang diarsir ini selalu merupakan potongan bidang
lintang di atas permukaan bidang geser yang diamati. Momen pertama bidang umumnya
dinotasikan dengan Q dan satuannya adalah mm3 atau m3, sehingga tegangan geser dapat
dinyatakan dengan:
VQ

Ib

Tegangan geser  yang dibahas di atas bertindak pada arah 1


horizontal seperti diperlihatkan Gambar 5.32. Meskipun m n
demikian, analisis gaya pada suatu elemen setebal t dapat c 2
 dx
dilakukan untuk menunjukkan bahwa tegangan geser tidak 2
dy
hanya terjadi pada arah horizontal, tetapi juga pada arah
p o
vertikal. Keseimbangan pada elemen tipis mnop setebal t 1
yang dipotong dari sembarang batang dan mendapat Gambar 5.33

99
tegangan geser horizontal 1 di permukaan bawah diperlihatkan pada Gambar 5.33. Gaya
horizontal di permukaan bawah adalah 1tdx ke arah kanan. Agar terjadi keseimbangan arah
horizontal maka gaya tersebut harus dilawan dengan besar yang sama yaitu 1tdx ke arah
kiri. Pasangan gaya sebesar 1tdx di permukaan atas dan bawah tersebut membentuk kopel
dengan lengan kopel sebesar dy sehingga besarnya kopel di titik pusat c akibat pasangan
gaya tersebut adalah 1tdx dy ke arah berlawanan putaran jarum jam. Untuk mempertahankan
keseimbangan momen di titik pusat c, maka satu-satunya kemungkinan adalah terdapat
kopel momen yang arahnya searah jarum jam. Kopel tersebut terjadi akibat gaya geser
sebesar 2tdy dengan lengan kopel sepanjang dx, sehingga besarnya kopel momen di titik
pusat c akibat tegangan 2 adalah 2tdydx. Keseimbangan momen di titik pusat c dapat ditulis:
1tdxdy 2tdydx  0 atau 1   2

Jadi kesimpulan yang menarik dapat diambil yaitu: tegangan geser pada sembarang bidang
yang saling tegak lurus yang melewati satu titik pada batang adalah sama besar. Akibatnya
tidak hanya tegangan geser  horizontal terjadi di sembarang titik pada balok tetapi juga
tegangan geser ke arah vertikal juga terjadi dengan intensitas yang sama di titik tersebut.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa ketika balok dibebani beban transversal tegangan
geser terjadi pada arah horizontal dan vertikal. Gaya geser vertikal memiliki besar tertentu
sehingga resultannya di sembarang bidang lintang adalah sama dengan gaya geser V pada
potongan yang sama.

5.17. Gunakan rumus tegangan geser yang telah diturunkan pada soal 5.17 untuk menentukan
distribusi tegangan geser pada balok berpenampang lintang persegi. Tentukan juga tegangan
geser maksimum pada balok berpenampang lintang persegi tersebut.
Pada soal 5.17 telah diperoleh rumus
tegangan geser  pada jarak y0 dari sumbu y max
da dy
netral yaitu:
h/2 y0 h/2
c
V Sumbu
Ib y0
 yda h h
netral
x

di mana V adalah gaya geser pada


penampang lintang, I momen inersia, dan b b b
lebar balok di posisi di mana tegangan geser Gambar 5.34 Gambar 5.35
 bertindak. Sesuai dengan Gambar 5.34, maka besar tegangan geser pada jarak sejauh y0
dari sumbu netral adalah:
V  h2 
 
c c h
V V V 2
Ib y0  ydy 
 ybdy  y 2
y0    y0 2 
I y0
2I 2I  4 

Dari persamaan tersebut diketahui bahwa tegangan geser bernilai nol ketika y0=h/2. atau
berada di permukaan balok atas dan bawah. Variasi tegangan geser tersebut terdistribusi
parabola dengan nilai maksimum di saat y0=0 atau di sumbu netral. Distribusi tegangan geser

100
pada balok berpenampang lintang persegi diilustrasikan pada Gambar 5.35. Tegangan geser
maksimum terjadi di sumbu netral yaitu:
V  h2  3 V
 max    
2I  4  2 bh

Rumus di atas menunjukkan bahwa nilai tegangan geser maksimum lebih tinggi sebesar 50%
dibanding rata-rata tegangan geser. Rata-rata tegangan geser merupakan gaya geser V dibagi
dengan luas bidang geser bh.
5.18. Balok berpenampang persegi ditumpu dengan tumpuan sederhana di ujung-ujungnya dan
menerima beban terpusat seperti Gambar 5.36(a). Tentukan nilai tegangan geser maksimum
dalam balok. Tentukan pula tegangan geser pada titik sejauh 25 mm di bawah permukaan
atas balok pada potongan sejauh 1 m di sebelah kanan reaksi kiri.
Diagram gaya geser
20 kN
1.5 m 5 kN
100 mm
0.5 m

5 kN 15 kN
15 kN 50 mm
(a) (b)
Gambar 5.36

Reaksi di tumpuan dapat diperoleh melalui persamaan keseimbangan statis yaitu:

M A  20  1.5  RB  2  0 atau RB  15 kN

F v  RA  20  RB  0 atau RA  20  15  0 atau RA  5 kN

Gaya geser V diperoleh untuk 2 wilayah yaitu 5 kN untuk 0x1.5 m, dan -15 kN untuk
1.5x2 m. Diagram gaya geser disajikan pada Gambar 8.38(b).
Rumus tegangan geser maksimum untuk balok dengan penampang lintang persegi telah
diperoleh pada soal 5.18 yaitu:
3V
 max 
2 bh

Untuk wilayah 0x1.5 m, tegangan geser maksimum adalah:


3 5  10 3
 max   1.5 MPa
2 50  100

Untuk wilayah 1.5x2 m, tegangan geser maksimum adalah:


3 15  10 3
 max   4.5 MPa
2 50  100

Maka tegangan geser maksimum sepanjang balok adalah 4.5 MPa.


Nilai tegangan geser maksimum ini 50% lebih tinggi daripada rata-rata tegangan geser yang
diperoleh dengan cara membagi gaya geser V per luas bidang geser bh.

101
Untuk wilayah 0x1.5 m, tegangan geser rata-rata adalah:
5  10 3
 rataan   1 MPa
50  100

Untuk wilayah 1.5x2 m, tegangan geser rata-rata adalah:


15  10 3
 rataan   3 MPa
50  100

Untuk menjawab pertanyaan mengenai tegangan geser pada titik sejauh 25 mm di bawah
permukaan atas balok pada potongan sejauh 1 m di sebelah kanan reaksi kiri, maka
diperlukan gaya geser di potongan tersebut. Gaya geser pada potongan sejauh 1 m di sebelah
kanan reaksi kiri adalah 5 kN. Distribusi tegangan geser telah diperoleh rumusnya pada soal
8.18, sehingga tegangan geser pada titik sejauh 25 mm di bawah permukaan atas balok
adalah:
 h2  5  10 3  100 2 2
 50  25    1.125 MPa
V
   y0 2   3 

2I  4  2 50  100   4 
 12 
 

5.19. Balok kantilever menerima beban terpusat seperti Gambar 5.37. Penampang lintang balok
berbentuk T. Tentukan tegangan geser maksimum dalam balok dan tentukan juga tegangan
geser pada titik sejauh 25 mm dari permukaan atas balok pada potongan tepat yang dijepit
dinding.

75 mm 50 mm 75 mm 75 mm 50 mm 75 mm
50 kN
2m
125 mm 116.3 mm
Sumbu netral
50 mm 58.7 mm 58.7 mm

Gambar 5.37 Gambar 5.38


Untuk kasus ini, gaya geser adalah konstan sebesar 50 kN sepanjang balok sehingga diagram
gaya geser tidak diperlukan. Lebih lanjut lokasi centroid and momen kedua bidang
penampang lintang telah dihitung pada saoal 4.10 dan 5.16. Centroid diketahui 58.65 mm di
atas permukaan terbawah balok dan momen kedua bidang penampang lintang adalah 40106
mm4.
Gaya geser pada jarak y0 dari sumbu netral telah ditemukan pada soal 5.17 yaitu:
c
V
Ib y0
 yda .

Solusi dengan cara integral dapat dilakukan untuk mendapatkan tegangan geser maksimum.
Tegangan geser maksimum terjadi di sumbu netral yaitu:

  50 10 3
 
116.3
V V 2
  ybdy 
116.3
 116 .32  0 2  8.45 MPa
Ib 0
2I
y 0
 
2 40 10 6

102
Selain dengan cara integral, cara berikut ini juga dapat dilakukan:

   50 10 3
c
V V
58 .15 116 .3  50   8.45 MPa
Ib y0
  
yda
Ib
y A
40 10 6 50  
Pada rumus di atas nilai b diambil 50 mm karena titik yang diamati terletak pada balok yang
lebarnya adalah 50 mm.
Sesuai dengan hasil di atas, tegangan geser maksimum terjadi 75 mm 50 mm 75 mm
di sumbu netral dengan nilai sebesar 8.45 MPa. Nilai ini 25 mm
konstan di sumbu netral di sepanjang balok karena nilai gaya 116.3 mm
geser V konstan pada kasus ini. Sumbu
netral
58.7 mm
Selanjutnya tegangan geser pada titik sejauh 25 mm di bawah
permukaan atas (Gambar 5.39) dapat dihitung dengan rumus Gambar 5.39
integral:

  50  10 3
 
116.3
V V 2
Ib 116.3 25

116.3
ybdy   116 .32  91 .32  3.24 MPa
2I
y 116.3  25

2 40  10 6

Bila dicoba tanpa menggunakan integral, maka:

   50 10 3
c
V V
116 .3  12 .5 25  50   3.24 MPa
Ib y0
  
yda
Ib
y A
40 10 6 50  

5.20. Suatu balok berpenampang I seperti Gambar 5.40 menerima gaya geser V sebesar 150 kN
konstan di sepanjang bentang. Tentukan nilai tegangan geser maksimum dan minimum pada
web vertikal di sembarang potongan balok.
Tegangan geser  di sembarang titik di suatu bidang lintang dapat diperoleh melalui rumus:
c
V
Ib y0
 yda

103
sebagaimana diturunkan pada soal 5.17. Di sini y0 25 mm
merepresentasikan lokasi potongan di mana tegangan geser 
terjadi dan diukur dari sumbu netral. I dalam rumus di atas
menunjukkan momen kedua bidang penampang lintang terhadap
sumbu netral. Sumbu netral melewati centroid bidang. I dapat
175 mm
dihitung dengan membagi balok I menjadi bidang-bidang persegi
seperti diperlihatkan sebagai garis putus-putus pada Gambar
5.40. Momen kedua bidang penampang lintang balok adalah:
10  400 3  45  25 3  Sumbu
I  4  175  12 .5 45  25   211.8  10 6 mm 4
2
netral
12  12 

Analisa sebelumnya pada rumus umum tegangan geser


menunjukkan bahwa nilai maksimum tegangan geser terjadi di
175 mm
sumbu netral yaitu ketika y0=0 karena pada titik itulah hasil
integral mencapai nilai terbesar. Oleh karena sumbu netral telah
diketahui lokasinya dan bentuk potongan penampang dapat
dibagi menjadi bidang-bidang persegi maka metode integral 45 mm 45 mm

untuk menghitung momen statis penampang dapat diganti dengan 25 mm


cara berikut: 100 mm
200 Gambar 5.40
 yda   y i Ai  87 .510  175   187 .5100  25   621875 mm .
3

Momen statis penampang di atas dihitung untuk titik di sumbu netral, yaitu pada bidang yang
diarsir di Gambar 5.41, sehingga nilai tegangan geser maksimum dapat diperoleh:
150  10 3
 max   621875  44.05 MPa
 
211 .8  10 6  10

Sementara itu nilai tegangan geser minimum terjadi pada web tepat di bawah flange yaitu
bidang b-b pada Gambar 5.42. Sekali lagi, metode integral untuk memperoleh momen
pertama bidang dapat dicari dengan cara:
200

 yda   y A  187 .5100  25   468750 mm


3
i i
175

Lebar web tepat di bawah flange (b-b) adalah tetap 10 mm, sehingga tegangan geser
minimum adalah:
150  10 3
 min   468750  33.20 MPa

211 .8  10 6  10 
Dapat dicatat bahwa tidak banyak perbedaan antara nilai tegangan geser maksimum dan
minimum pada web vertikal balok I. Untuk aplikasi di lapangan, tegangan geser pada balok
I semacam itu sering kali hanya didekati dengan nilai rata-rata tegangan geser yaitu gaya
geser V dibagi dengan luas bidang web saja. Pada kasus di atas, nilai rata-rata tegangan geser
adalah:

104
150  10 3
 rataan   37.5 MPa 25 mm
400  10 25 mm
b b b b
Analisis lebih lanjut pada tegangan geser
dalam balok I menunjukkan bahwa web
vertikal menahan hampir seluruh gaya
geser V dan flange horizontal hanya 175 mm 175 mm
menahan sedikit sekali bagian gaya geser
V. Tegangan geser izin bermacam-
macam balok I telah tersedia di peraturan
konstruksi. Sumbu netral Sumbu netral
10 mm 10 mm

Gambar 5.41 Gambar 5.42

105
106
Pada Bab V telah disampaikan bahwa beban lateral yang diberikan pada balok tidak hanya
menimbulkan tegangan lentur dan tegangan geser internal, tetapi juga menyebabkan balok
melendut (defleksi) pada arah tegak lurus sumbu longitudinalnya. Tegangan-tegangan tersebut
telah dipelajari pada Bab V, sedangkan BAB VI ini mendiskusikan metode untuk menghitung
lendutan (defleksi).

Perubahan bentuk sebuah balok paling mudah diekspresikan sebagai lendutan (defleksi) balok dari
posisi mula-mula sebelum dibebani. Defleksi ini diukur dari bidang netral mula-mula ke bidang
netral balok saat perubahan bentuk. Bentuk konfigurasi bidang netral saat perubahan bentuk
tersebut dikenal dengan kurva elastis balok. Gambar 6.1 menunjukkan balok dalam kondisi mula-
mula dan Gambar 6.2 menunjukkan balok saat perubahan bentuk terjadi akibat beban lentur.
P
x
P
O
y

Gambar 6.1 Gambar 6.2

Jarak perpindahan y dikenal dengan defleksi pada balok. Umumnya diperlukan nilai defleksi y
untuk setiap posisi x di sepanjang balok. Hubungan antara defleksi y dan posisi x dapat ditulis
dalam bentuk persamaan yang sering disebut sebagai persamaan kurva defleksi (atau kurva elastis)
balok.

Spesifikasi desain balok sering memberi batasan besarnya defleksi dan tegangan. Konsekuensinya,
selain perhitungan tegangan yang telah dibahas pada Bab V, sangat penting bagi desainer untuk
mampu menentukan besaran defleksi. Sebagai contoh, dalam banyak peraturan bangunan
disebutkan bahwa defleksi izin maksimum pada balok tidak boleh melebihi 1/300 bentang balok.
Komponen pesawat udara selalu didesain sehingga defleksi tidak melebihi nilai yang ditetapkan
karena aerodinamis pesawat dapat berubah drastis akibat perubahan bentuk. Jadi balok yang
didesain dengan baik tidak hanya harus mampu menahan beban rencana, tetapi juga harus mampu
menahan besar defleksi yang tidak dikehendaki. Juga evaluasi reaksi pada balok statis tak tentu
akan melibatkan penggunaan hubungan antara bermacam-macam deformasi (perubahan bentuk).
Banyak cara tersedia untuk menentukan defleksi pada balok. Cara yang paling umum digunakan
antara lain:
a. Metode integral ganda
b. Metode momen area
c. Metode fungsi singularitas
d. Metode energi elastis
Bab ini membahas metode yang pertama yaitu integral ganda. Perlu dicatat bahwa semua metode
di atas hanya berlaku jika seluruh bagian balok bertindak dalam wilayah elastis.

Persamaan diferensial kurva defleksi balok terlentur adalah:

d2y
EI  M ................................................................................................................................. (1)
dx 2
di mana x dan y merupakan koordinat yang ditunjukkan Gambar 6.2, yaitu y adalah defleksi pada
balok. Persamaan di atas diturunkan pada soal 6.1. Pada persamaan di atas E adalah modulus
elastisitas balok dan I adalah momen kedua bidang penampang lintang terhadap sumbu netral. M
menunjukkan momen lentur pada jarak x dari salah satu ujung balok. Nilai M telah didefinisikan
pada Bab III sebagai penjumlahan aljabar dari semua momen akibat gaya luar di sebelah kiri
potongan x terhadap sumbu yang melalui potongan x tersebut. M selalu merupakan fungsi dari x
dan persamaan kurva defleksi balok terlentur harus diintegralkan dua kali untuk memperoleh
persamaan aljabar yang menyatakan defleksi y sebagai fungsi jarak x dari salah satu ujung balok.
Persamaan 1 di atas merupakan persamaan diferensial mendasar yang menunjukkan defleksi
elastis balok dan berlaku untuk bermacam-macam tipe pembebanan. Aplikasi Persamaan 1
tersebut dicontohkan pada soal 6.2, 6.5, 6.6, 6.8, 6.10, 6.12, 6.14, 6.15, 6.16, dan 6.19.

Metode integral ganda untuk menghitung defleksi pada balok dilakukan dengan mengintegralkan
Persamaan 1. Pengintegralan yang pertama menghasilkan kemiringan (slope) dy/dx pada
sembarang titik di sepanjang balok, dan pengintegralan yang kedua menghasilkan nilai defleksi y
untuk sembarang nilai x. Momen lentur M, tentu saja harus dinyatakan sebagai fungsi koordinat x
sebelum persamaan dapat diintegralkan. Modul ini dibuat untuk kasus-kasus pengintegralan yang
sangat sederhana.
Oleh karena persamaan differensial pada persamaan defleksi balok adalah berderajat dua, maka
solusinya harus mengandung dua konstanta integral. Kedua konstanta tersebut dievaluasi dari
kondisi yang diketahui pada kemiringan atau defleksi di titik tertentu balok. Sebagai contoh pada
balok kantilever, konstanta integral diperoleh dari kondisi tidak ada perubahan kemiringan dan
tidak ada perubahan defleksi di ujung balok yang dijepit. Pada titik itu kemiringan dy/dx bernilai
nol dan defleksi y juga bernilai nol.

108
Sering kali dua atau lebih persamaan diperlukan untuk menyatakan momen lentur di seluruh
bagian wilayah di sepanjang balok. Hal ini telah ditegaskan pada Bab III. Pada kasus tersebut,
Persamaan 1 harus ditulis untuk setiap wilayah bagian balok dan integral persamaan-persamaan
tersebut menghasilkan dua konstanta untuk setiap wilayah. Konstanta-konstanta tersebut harus
dihitung sedemikian rupa sehingga menghasilkan kondisi defleksi y dan kemiringan dy/dx yang
menerus (kontinu) pada titik pertemuan kedua wilayah yang berturutan. Lihat soal 6.12, 6.14, 6.16,
dan 6.17.

Perjanjian penandaan pada Bab III juga berlaku di sini. Besar E dan I selalu positif. Oleh karena
itu, jika momen M positif untuk nilai tertentu x, maka d2y/dx2 juga positif. Perjanjian penandaan
sangat diperlukan untuk menunjukkan koordinat x sepanjang bentang balok, yaitu x bernilai positif
dari titik pusat ke sebelah kanan dan defleksi y bernilai positif dari posisi mula-mula ke arah atas.
Hal ini diperjelas pada soal 6.1. Dengan penandaan aljabar ini, pengintegralan persamaan 1
menghasilkan defleksi y sebagai fungsi x, yang dapat dipahami bahwa defleksi ke atas bernilai
positif dan defleksi ke bawah bernilai negatif.

Persamaan 1 diperoleh dengan asumsi bahwa defleksi akibat gaya geser dapat diabaikan karena
dianggap sangat kecil dibandingkan defleksi akibat momen lentur. Diasumsikan pula bahwa
besarnya defleksi adalah cukup kecil dibandingkan dimensi bidang lintang balok dan seluruh
bagian balok masih bertindak di wilayah elastis. Persamaan 1 diperoleh berdasarkan kondisi
bahwa balok adalah lurus sebelum pembebanan. Balok yang sedikit menyimpang dari kondisi
lurus dapat diperlakukan dengan memodifikasi Persamaan 1 sebagaimana ditunjukkan dalam soal
6.23.

6.1 Turunkan persamaan differensial untuk kurva defleksi balok yang diberi beban lateral.
Pada soal 5.1 telah diperoleh hubungan:
EI .......................................................................................................................................................... (1)
M 
R

Pada persamaan di atas, M adalah momen lentur yang bertindak pada suatu penampang
lintang balok, R jari-jari kelengkungan bidang netral balok pada potongan yang sama, E
modulus elastisitas, dan I momen kedua bidang penampang lintang terhadap sumbu netral
yang melalui centroid. Pada modul ini nilai E dan I dianggap konstan sepanjang bentang dan
nilai M dan R merupakan fungsi jarak x dari salah satu ujung balok.
Persamaan 1 dapat ditulis ulang menjadi:
1 M ......................................................................................................................................................... (2)

R EI

109
Sisi kiri persamaan 2 menunjukkan kelengkungan bidang netral balok. Karena M bervariasi
sepanjang bentang balok, maka kurva defleksi akan memiliki kelengkungan yang bervariasi
pula.
Garis lengkung di Gambar 6.3 menunjukkan bidang
netral yang terdeformasi pada balok terlentur. Sebelum
y R
pembebanan, bidang netral balok berimpit dengan
O
sumbu x dan sistem koordinat x-y pada Gambar 6.3 x
cukup memadai untuk menggambarkan kasus ini.
Defleksi y bernilai positif ke arah atas dan negatif ke Gambar 6.3
arah bawah. Pada Gambar 6.3 defleksi y bernilai
negatif.
Rumus kelengkungan suatu kurva pada sembarang titik di sepanjang kurva telah tersedia
dalam materi kalkulus diferensial. Rumus eksak bagi kelengkungan kurva adalah:
d2y
1 dx 2 .......................................................................................................................................... (3)
 3
R
  dy  2  2
1    
  dx  
 

Rumus kelengkungan kurva tersebut dapat merepresentasikan kelengkungan kurva defleksi


balok terlentur. Pada persamaan 3 di atas, dy/dx menunjukkan kemiringan (slope) kurva di
sembarang titik, dan untuk defleksi yang cukup kecil besaran kemiringan dan kuadratnya
tentu cukup kecil dibandingkan jumlah total fraksi penyebut. Oleh karena itu dy/dx
diabaikan, dan persamaan 3 diubah menjadi:
1 d 2 y ........................................................................................................................................................ (4)

R dx2
Untuk defleksi yang cukup kecil persamaan 2 dapat digabung dengan persamaan 4 menjadi:
M d 2 y atau d2y
 2 EI 2  M ....................................................................................................................... (5)
EI dx dx
Persamaan 5 di atas merupakan persamaan diferensial yang menunjukkan kurva defleksi
sebuah balok yang dibebani gaya lateral. Persamaan tersebut ditemukan oleh dua orang yaitu
Euler dan Bernoulli sehingga sering disebut persamaan Euler-Bernoulli sebagai
penghormatan bagi keduanya. Pada banyak kasus, diperlukan pengintegralan untuk
memperoleh hubungan aljabar antara defleksi y dan koordinat x di sepanjang bentang balok.
6.2 Tentukan defleksi pada setiap titik sepanjang balok kantilever yang menerima beban P
terpusat di ujung bebas seperti diperlihatkan Gambar 6.4.

110
(a) P (b)
y P
x
PL
P PL
Gambar 6.4 Gambar 6.5

Sistem koordinat pada Gambar 6.4(b) diperlihatkan, di mana sumbu x berimpit dengan
sumbu netral balok mula-mula sebelum dibebani. Setelah dibebani, sumbu netral balok
berubah melengkung menjadi seperti garis di Gambar 6.4(b). Pertama-tama diperlukan
perhitungan reaksi di tumpuan jepit, sebagaimana dibahas pada soal 6.1. Dari persamaan
keseimbangan statis diperoleh reaksi di tumpuan jepit adalah:

F v  RA  P  0 atau RA  P

M B  M A  PL  0 atau M A   PL

Maka pada balok kantilever tepat di titik tumpuan jepit, terdapat dua reaksi yaitu gaya
vertikal ke atas sebesar P dan kopel sebesar PL ke arah berlawanan jarum jam.
Momen lentur sepanjang bentang balok merupakan resultan dari kedua reaksi tersebut yaitu:
M  PL  Px

Persamaan differensial untuk balok terlentur adalah:


d2y
EI M
dx 2

Di mana E menunjukkan modulus elastisitas material, dan I momen kedua bidang


penampang lintang terhadap sumbu netral. Substitusi M pada persamaan kurva defleksi
dengan persamaan momen diperoleh:
d2y
EI   PL  Px
dx 2

Hasil integralnya adalah:


dy 1
EI   PLx  Px 2  c1
dx 2

Notasi dy/dx menunjukkan kemiringan (slope) kurva defleksi sedangkan c1 menunjukkan


konstanta integral. Konstanta integral dapat diperoleh dari batasan bahwa kemiringan kurva
(dy/dx) bernilai nol pada titik ujung balok yang dijepit karena di situ balok tidak dapat
bergerak sama sekali, maka:

EI 0    PL 0   P0   c1
1 2
atau c1  0
2

Sehingga persamaan kemiringan balok kantilever yang dibebani sesuai Gambar 6.4:
dy 1
EI   PLx  Px 2
dx 2

Pengintegralan berikutnya diperoleh:

111
1 1
EIy   PLx 2  Px 3  c2
2 6

di mana c2 merupakan konstanta integral kedua. Lagi-lagi, titik ujung balok yang dijepit
merupakan posisi yang mudah untuk dijadikan pilihan evaluasi karena di titik tersebut tidak
terjadi defleksi. Di ujung jepit balok defleksi bernilai nol, maka:

EI 0    PL 0   P 0   c2
1 2 1 3
atau c2  0
2 6

Persamaan kurva defleksi balok kantilever ditulis ulang menjadi:


1 1
EIy   PLx 2  Px 3
2 6

Jika diinginkan besaran defleksi maksimum, maka dapat dihitung berikut ini. Defleksi
maksimum (ymax) balok kantilever terjadi di ujung bebas yaitu sejauh L dari ujung jepit,
maka:
1 1 PL3 3
EIy max   PLL2  PL3   , atau ymax   PL
2 6 3 3EI

Tanda negatif pada persamaan di atas menunjukkan bahwa defleksi terjadi ke arah bawah.
Jika hanya dikehendaki besarnya defleksi maksimum (max) maka dapat dituliskan:
PL3
 max 
3EI

6.3 Balok kantilever pada Gambar 6.4 memiliki panjang 3 m dan dibebani gaya P sebesar 50
kN. Balok tersebut terbuat dari baja setebal 450 mm yang memiliki momen kedua
penampang lintang di sumbu netral 300106 mm4. Tentukan defleksi maksimum balok. Nilai
E adalah 200 GN mm-2.
Defleksi maksimum balok kantilever terjadi di ujung bebas. Rumus defleksi untuk balok
kantilever yang menerima beban terpusat di ujung bebas telah diperoleh dari soal 9.2, maka:

 max 
PL3

 
50  10 3 3  10 3 3

 7.5 mm
 
3EI 3 200  10 9  10 6 300  10 6 
Arah defleksi ke bawah seperti ditunjukkan Gambar 6.4.
Penurunan rumus defleksi balok terlentur dilakukan di bawah asumsi bahwa material balok
masih berada di bawah batas proporsi dan karena itu hukum Hooke berlaku. Sayangnya
perhitungan dengan rumus di atas tidak menggaransi bahwa balok masih bekerja di bawah
batas proporsi. Jika balok berada di atas batas proporsi maka persamaan defleksi kurva
d2y
EI  M tidak berlaku lagi sehingga nilai numerik hasil perhitungannya menjadi tidak
dx 2
berarti. Sebagai konsekuensinya, di setiap permasalahan defleksi harus selalu dilakukan
pengecekan apakah balok masih bekerja di bawah batas proporsi material. Pengecekan ini
dapat dilakukan melalui rumus tegangan lentur yang telah dibahas di Bab VIII, yaitu:
Mc
 
I

112
Di mana  menunjukkan tegangan lentur, M momen lentur, dan c jarak serat permukaan
terluar diukur dari sumbu netral, dan I adalah momen kedua penampang lintang terhadap
sumbu netral. Besarnya momen lentur maksimum pada kasus ini terjadi di ujung balok yang
dijepit yaitu sebesar:
 
M max  PL  50 10 3 3  150 kN m .

Substitusi nilai Mmax ke dalam persamaan tegangan lentur, dapat diperoleh:

 

Mc 150  10 3  10 3 225  
 112 .5 MPa .
I 
300  10 6 
Karena nilai tegangan yang terjadi yaitu 112.5 MPa masih berada di bawah batas proporsi
baja (210 MPa) maka penggunaan rumus defleksi dapat dibenarkan.

6.4 Tentukan kemiringan di ujung kanan balok kantilever yang dibebani seperti Gambar 6.4.
Untuk balok yang dideskripsikan pada soal 6.3 hitunglah nilai kemiringannya.
Pada soal 6.2. persamaan kemiringan kurva telah diperoleh yaitu:
dy 1
EI   PLx  Px 2
dx 2

Pada ujung bebas, yaitu di ujung kanan balok, x=L sehingga:


2
EI
dy 1 1
  PLL  PL2   PL2 atau dy   PL
dx 2 2 dx 2 EI

Untuk balok yang dideskripsikan pada soal 6.3, kemiringan di ujung bebas balok kantilever
adalah:
dy

PL2


50  10 3 3  10 3 
2

 0.00375 rad
dx 2 EI  
2 200  10 9  10 6 300  10 6 

6.5 Tentukan defleksi di sembarang titik pada balok kantilever yang menerima beban merata
terdistribusi seragam sebesar w N per satu satuan panjang seperti diperlihatkan Gambar
9.6(a).

(a) w N per satuan panjang (b) y

x
wL2/2
wL
x
L
Gambar 6.6

113
Sistem koordinat pada Gambar 6.6(b) dapat dipergunakan untuk menyelesaikan
permasalahan ini. Sumbu absis x berupa garis putus-putus menggambarkan posisi balok
mula-mula sebelum dibebani.
Beban terdistribusi seragam sebesar w N per satu satuan panjang diterima oleh balok
sehingga total beban adalah wL N yang bekerja vertikal ke bawah. Karena alasan
keseimbangan, maka reaksi tumpuan dapat dihitung dengan persamaan keseimbangan yaitu:

F v  R A  wL  0 atau RA  wL

L wL2 wL2
M B  M A  wL
2
 MA 
2
 0 atau M A  
2

Maka momen yang terjadi di sembarang potongan x di sepanjang balok adalah:


wL2 wx 2
M   wLx 
2 2

Persamaan diferensial yang menunjukkan defleksi balok adalah:


d2y wL2 wx 2
EI 2
  wLx 
dx 2 2

Integral persamaan differensial di atas menghasilkan persamaan kemiringan defleksi yaitu:


dy wL2 wLx 2 wx 3
EI  x   c1 .
dx 2 2 6

Titik di ujung kiri (x=0) dijepit rigid sehingga kemiringannya juga 0. Jadi untuk x=0,
dy/dx=0, sehingga c1 juga bernilai 0. Persamaan kemiringan defleksi menjadi:
dy wL2 wLx 2 wx 3
EI  x 
dx 2 2 6

Pengintegralan berikutnya diperoleh persamaan kurva defleksi yaitu:


wL2 2 wLx 3 wx 4
EIy   x    c2
4 6 24

Seperti pengintegralan sebelumnya, nilai c2 diperiksa untuk ujung kiri balok yang dijepit.
Pada x=0, tidak terjadi defleksi karena di titik tersebut balok terjepit rigid. Dengan
memasukkan nilai y=0 untuk x=0, maka diperoleh c2=0 juga, sehingga persamaan kurva
defleksinya adalah:
wL2 2 wLx 3 wx 4
EIy   x  
4 6 24

Jika dikehendaki nilai defleksi maksimum, maka dihitung defleksi untuk x=L:
wL4 wL4 wL4  1 1 1  4 wL4
EIy max           wL  
4 6 24  4 6 24  8

Tanda negatif menunjukkan bahwa defleksinya mengarah ke bawah. Jika hanya dikehendaki
besarnya defleksi, maka:

114
wL4 atau  max  wL
4
EI max 
8 8EI

6.6 Tentukan defleksi di sembarang titik pada balok yang ditumpu dengan tumpuan sederhana
dan menerima beban merata terdistribusi seragam sebesar w N per satu satuan panjang
seperti diperlihatkan Gambar 6.7(a).

(a) w N per satuan panjang (b)y


L
x

x
wL/2 wL/2

Gambar 6.7
Sistem koordinat x-y pada Gambar 6.7(b) dapat merepresentasikan defleksi yang terjadi
akibat beban merata yang terdistribusi seragam yang diberikan pada balok dengan tumpuan
sederhana seperti Gambar 6.7(a). Total beban yang terjadi pada balok adalah wL, sehingga
setiap tumpuan memberikan reaksi sebesar wL/2 karena balok simetris terhadap tengah-
tengah bentang.
Persamaan momen lentur untuk sembarang potongan di sepanjang bentang balok yang diberi
tumpuan sederhana telah didiskusikan pada soal 3.3. Persamaan momen lenturnya adalah:
wL wx 2
M x
2 2

dan persamaan diferensial bagi lendutannya adalah:


d 2 y wL wx 2
EI  x 
dx 2 2 2

Integral yang pertama menghasilkan persamaan slope (kemiringan) yaitu:


dy wLx 2 wx 3
EI    c1
dx 4 6

Oleh karena bentuknya yang simetris, tepat di tengah-tengah bentang (saat x=L/2) balok
tetap mendatar sehingga nilai slope (dy/dx) di titik tersebut adalah nol. Sehingga c1 dapat
dihitung sebagai berikut:
2 3 3
wL  L  w L atau c1   wL
0       c1
4 2 62 24

Persamaan slope ditulis ulang menjadi:


dy wLx 2 wx 3 wL3
EI   
dx 4 6 24

Integral berikutnya menghasilkan persamaan defleksi yaitu:


wLx 3 wx 4 wL3 x
EIy     c2
12 24 24

115
Nilai c2 dapat diperoleh dengan melakukan pemeriksaan di titik O yaitu ketika x=0. Di ujung
balok, tidak terjadi defleksi karena ujung tersebut ditumpu. Karena saat x=0, nilai y=0 maka
c2=0 juga. Akhirnya persamaan defleksi untuk sembarang potongan sejauh x dari ujung
balok adalah:
wLx 3 wx 4 wL3 x
EIy   
12 24 24

Jika dikehendaki defleksi maksimum yaitu di tengah bentang, maka dihitung besarnya
defleksi saat x=L/2:
3 4
wL  L  w L wL3  L  wL4 wL4 wL4 5
EIy max             wL4
12  2  24  2  24  2  96 384 48 384

5 wL4
ymax  
384 EI

Tanda negatif menunjukkan arah defleksi ke bawah. Bila hanya dikehendaki besarnya
defleksi maka:
5 wL4
 max 
384 EI

6.7 Balok dengan tumpuan sederhana memiliki panjang 3 m dan berpenampang persegi 25  75
mm. Balok tersebut menerima beban merata terdistribusi seragam sebesar 2.5 kN m-1. Balok
tersebut terbuat dari titanium tipe Ti-5AL-2.5 Sn, memiliki kekuatan luluh 800 MPa dan
E=100 GN m-2. Tentukan defleksi maksimum pada balok.
Pemeriksaan pertama dilakukan untuk mencek apakah balok masih bekerja di wilayah elastis
atau telah berada di wilayah plastis. Sesuai dengan soal 6.7, persamaan momen lenturnya
adalah:
wL wx 2 ,
M x
2 2

Dan momen lentur maksimum terjadi saat:


dM wL atau x  L
0  wx
dx 2 2

yaitu dengan nilai momen lentur sebesar:


2
wL  L  w  L  wL2
M     
2 2 22 8

Maka tegangan lentur maksimum yang terjadi pada balok adalah:


 wL2  h 
  
 max    
 
Mc  8  2  3wL2 3 2.5  10 3  10 3 3  10 3 
2

 120 MPa
 bh3  425 75 
2
I 4bh 2
 
 12 

Tegangan lentur maksimum yang terjadi pada balok yaitu 120 MPa jauh lebih rendah
daripada tegangan kerja izin yaitu 800 MPa sehingga balok dapat dikatakan masih bekerja

116
di bawah batas elastis. Oleh karena itu perhitungan defleksi dapat dilakukan dengan
persamaan yang diturunkan pada soal 9.6:

 max 
5 wL4

5  
2.5  10 3  10 3 3  10 3 
4

 30 mm
384 EI  
384 100  10 9  10 6 121  25  75 3 
Jadi defleksi maksimum yang terjadi pada balok tersebut adalah 30 mm.
6.8 Temukan rumus kurva defleksi pada balok yang ditumpu dengan tumpuan sederhana dan
menerima beban P terpusat di tengah bentang (Gambar 6.8(a)).
(a) P (b) P
y
O
y x
P/2 x P/2
L

Gambar 6.8

Sistem koordinat pada Gambar 6.8(b) dipergunakan untuk merepresentasikan defleksi pada
balok dengan tumpuan sederhana yang diberi beban terpusat di tengah bentang. Sumbu x
merupakan posisi balok sebelum dibebani. Persamaan momen lentur untuk balok di atas
dilakukan untuk dua wilayah yaitu 0xL/2 dan L/2xL. Namun karena bentuknya yang
simetris, biasanya hanya wilayah 0xL/2 yang dihitung, sedangkan wilayah lainnya
merupakan cerminannya dengan sumbu simetri di L/2.

Untuk 0xL/2: M  Px
2

Persamaan diferensial untuk balok terlentur adalah:


d 2 y Px
EI 
dx 2 2

Integral persamaan di atas menghasilkan persamaan slope defleksi yaitu:


dy Px 2
EI   c1
dx 4

Untuk mendapatkan nilai c1 maka ditentukan wilayah yang kemiringannya adalah nol, yaitu
titik di mana kurva defleksi mendatar. Karena sumbu simetrinya adalah di tengah-tengah
bentang, yaitu ketika x=L/2 maka kemiringan defleksi di titik tersebut adalah nol. Maka:
2 2
PL atau c1   PL
EI 0     c1
42 16

Persamaan kemiringan defleksi ditulis ulang menjadi:


dy Px 2 PL2
EI  
dx 4 16

Integral berikutnya menghasilkan persamaan defleksi yaitu:


Px 3 PL2
EIy   x  c2
12 16

117
Nilai c2 diperoleh dengan titik bantu yaitu ketika x=0 maka y=0 karena tidak ada penurunan
balok di tumpuan. Pada kasus ini, tidak boleh digunakan titik bantu x=L meskipun di titik
tersebut defleksi juga bernilai nol. Larangan ini terjadi karena persamaan momen yang
digunakan dibatasi untuk wilayah 0xL/2. Nilai x=L berada di luar wilayah persamaan
momen. Titik bantu x=L bisa digunakan jika persamaan momen juga dihitung untuk wilayah
L/2xL.
Saat x=0, y=0, maka dengan substitusi diperoleh c2=0. Persamaan defleksi ditulis ulang
menjadi:
Px 3 PL2
EIy   x
12 16

Nilai defleksi maksimum diperoleh di tengah-tengah bentang yaitu saat x=L/2:


3 3
P  L  PL2  L  PL3 atau ymax   PL
EIy max      
12  2  16  2  48 48 EI

Tanda negatif menunjukkan arah ke bawah sehingga jika dibutuhkan besarnya defleksi saja,
maka persamaan tersebut dapat ditulis ulang menjadi:
PL3 .
 max 
48 EI

6.9 Balok sederhana seperti pada soal 6.8 memiliki panjang 5 m dan berpenampang lingkaran
dengan diameter 100 mm. Jika defleksi izin maksimum adalah 5 mm, tentukan nilai beban
P maksimum yang diizinkan diberikan pada balok. Balok terbuat dari baja dengan nilai
E=200 GN m-2.
Defleksi maksimum pada balok dengan tumpuan sederhana dan menerima beban terpusat di
tengah bentang dapat dihitung dengan rumus yang telah diperoleh pada soal 6.8, yaitu:
PL3
 max 
48 EI

Momen kedua bidang penampang lintang yang berbentuk lingkaran telah diperoleh pada
soal 4.9 yaitu:
D 4
I
64

Maka:
64 PL3 4 PL3 4 PL3 atau 3ED 4  max
 max    

48 E D 4 
3ED 4 3ED 4
P
4 L3

Dengan mensubstitusikan nilai-nilainya, maka diperoleh nilai beban P maksimum yang


diizinkan diterima oleh balok adalah:

P

3 200 10 9 10 6 100  5  4
 1884.956 N  1.88 kN .

4 5 10 3 
3

118
Beban maksimum yang diizinkan diterima balok berdasarkan batasan defleksinya adalah
1.88 kN. Namun perlu diingat bahwa rumus di atas hanya berlaku jika balok bekerja di
bawah batas proporsinya. Perlu dilakukan pengecekan apakah dengan beban 1.88 kN,
tegangan dalam balok masih berada di bawah batas proporsinya.
Tegangan lentur maksimum yang terjadi pada balok jika bebannya 1.88 kN adalah:
 PL  D
 max  
 
Mc  4  2 8 PL 81884 .956  5  10 3
 

 24 MPa .

I D 4 D 3  100 3
64

Nilai tegangan yang terjadi yaitu 24 MPa masih berada di bawah batas proporsi sehingga
nilai beban P maksimum yang diizinkan yaitu sebesar 1.88 kN adalah cukup beralasan.
6.10 Turunkan persamaan kurva defleksi untuk balok dengan tumpuan sederhana yang menerima
kopel M1 di ujung kanan balok seperti Gambar 6.9(a).
(a) M1 (b) y M1
O
x
R R
L

Gambar 6.9
Pertama-tama reaksi tumpuan pada balok perlu dicari. Beban kopel yang diberikan yaitu M1,
hanya bisa dilawan oleh kopel juga agar berada dalam posisi keseimbangan maka reaksi
tumpuan R di ujung kiri balok arahnya harus ke atas, sedangkan di reaksi tumpuan R di
ujung kanan balok arahnya ke bawah. Persamaan keseimbangan di titik O adalah:

M O   M 1  RB L  0 atau RB  M 1
L

F v  R A  RB  0 atau R A  RB  R  M 1
L

Reaksi tumpuan RA dan RB sama besar yaitu R, namun berlawanan arah.


Sesuai dengan sistem koordinat x-y di Gambar 6.9, persamaan momen lentur M untuk semua
potongan sejauh x dari ujung kiri balok dapat dituliskan:
M1
M  Rx  x
L

Persamaan diferensial untuk balok terlentur adalah:


d 2 y M1
EI  x
dx2 L

Integral yang pertama menghasilkan:


dy M 1 2
EI  x  c1
dx 2 L

Tidak ada informasi yang tersedia mengenai slope balok terlentur sehingga tidak
memungkinkan untuk menghitung c1 pada tahap ini. Perlu dicatat bahwa pembebanan tidak

119
simetris sehingga tidak cukup beralasan untuk mengasumsikan bahwa slope balok adalah
nol di tengah bentang. Oleh karena itu c1 dimasukkan tetap sebagai c1 pada pengintegralan
berikutnya. Hasil integral berikutnya adalah:
M1 3
EIy  x  c1 x  c2
6L

Pada tahapan ini nilai c1 dan c2 dapat diperoleh yaitu dengan menggunakan batasan bahwa
defleksi tidak terjadi di tumpuan, sehingga defleksi y bernilai nol saat x=0 dan saat x=L,
maka:

EI 0   0  c1 0  c2
M1 3 atau c2  0
6L

Karena c2 bernilai nol, persamaan kurva defleksi ditulis ulang menjadi:


M1 3
EIy  x  c1 x
6L

Saat x=L, nilai y juga bernilai nol sehingga:

EI 0  
M1 3 atau c1   M 1L
L  c1 L
6L 6

Akhirnya persamaan kurva defleksi dapat ditulis ulang menjadi:


M 1 3 M 1L
EIy  x  x
6L 6

Dan persamaan slope balok terlentur dapat ditulis ulang menjadi:


dy M 1 2 M 1 L
EI  x 
dx 2 L 6

Defleksi maksimum terjadi di suatu titik ketika balok mendatar yaitu ketika slope (dy/dx)
bernilai nol.

EI 0  
M 1 2 M 1L
x  atau x  L  L 3
2L 6 3 3

Sesuai dengan perhitungan di atas, defleksi maksimum terjadi untuk potongan x sejauh 13 L 3
dari tumpuan di ujung kiri balok. Besarnya nilai defleksi ini diperoleh dengan cara
mensubstitusi nilai x pada persamaan kurva defleksi:
3
M 1  L  M 1L L M L2 3
EIy max      1  M 1 L2
6L  3  6 3 9 3 27

6.11 Balok dengan tumpuan sederhana menerima kopel M1 di ujung kanan balok seperti Gambar
6.9(a). Balok tersebut memiliki panjang 2 m dan penampang lintang bujursangkar 5050
mm. Defleksi maksimum yang diizinkan dibatasi sebesar 5 mm dan tegangan izin lentur 150
MPa. Tentukan beban kopel M1 maksimum yang boleh diterima oleh balok tersebut. Nilai
E=200 GN m-2.

120
Cara termudah untuk menyelesaikan kasus ini adalah dengan mencari kopel maksimum M1
saat defleksi maksimum y yang diizinkan tercapai dan saat tegangan izin lentur  tercapai,
lalu mengambil nilai terkecil dari keduanya.
Pemeriksaan pertama dilakukan untuk defleksi maksimum izin y sebesar 5 mm:
3 9 3EI max
EI max  M 1 L2 atau M 1 
27 L2

M1 

9 3 200  10 9  10 6 1
12 
 50  50 3 5
 2029747 N mm  2.0297 kN m
2 10  3 2

Pemeriksaan kedua dilakukan ketika tegangan izin lentur sebesar 150 MPa tercapai:
Tegangan lentur maksimum terjadi di serat-serat permukaan atas atau bawah balok dan
dihitung dengan rumus:

 
Mc atau M  I
I c

Sesuai dengan persamaan momen lentur, nilai momen lentur M maksimum terjadi di ujung
kanan balok yaitu ketika x=L:
M1 M
M  x  1 L  M1 .
L L

Maka tegangan izin lentur 150 tercapai ketika nilai M1 adalah:

M1 
150 121  50  50 3   3125000 N mm  3.1250 kN m .
25

Batasan defleksi sebesar 5 mm terjadi ketika beban kopel M1 bernilai 2.0297 kN m, lebih
kecil daripada M1 ketika tegangan izin lentur tercapai. Oleh karena itu, beban kopel
maksimum yang boleh diberikan adalah 2.0297 kN m.

6.12 Tentukan rumus kurva defleksi untuk balok dengan tumpuan sederhana yang menerima
beban terpusat P sesuai Gambar 6.10 (a).
(a) P (b) P
y
a b
O
x
RA RB
L

Gambar 6.10
Sistem koordinat x-y disajikan pada Gambar 6.10(b) untuk merepresentasikan kasus ini.
Garis putus-putus menunjukkan posisi balok mula-mula sebelum dibebani, sekaligus
merupakan sumbu absis x. Garis melengkung menunjukkan posisi balok terlentur saat
dibebani sebesar P.
Pertama, reaksi di tumpuan A (RA) dan tumpuan B (RB) dicari dengan persamaan statis:

M A  Pa  RB L  0 atau RB  Pa
L

121
F v  RA  P  RB  0 atau F v  RA  P 
Pa
L
0 atau RA  P  Pa  P L  a   Pb
L L L

Kasus ini agak berbeda dengan kasus-kasus yang telah dibahas sebelumnya karena momen
lentur untuk kedua wilayah (0xa dan axL) berbeda dan pembebanan tidak simetris.
Oleh karena itu persamaan differensial untuk balok terlentur harus dihitung di kedua
wilayah. Satu persamaan hanya sesuai untuk potongan balok di sebelah kiri beban P,
sedangkan satu persamaan lainnya sesuai untuk potongan di sebelah kanan.
Integral ganda untuk masing-masing persamaan menghasilkan dua konstanta sehingga total
terdapat empat konstanta. Pada kasus-kasus sebelumnya, jumlah konstanta yang muncul
sebanyak-banyaknya adalah dua buah.
Untuk wilayah di sebelah kiri beban P, persamaan momen lenturnya adalah:
Pb untuk 0  x  a
M  x
L

Persamaan diferensial untuk balok terlentur wilayah di sebelah kiri beban P adalah:
d 2 y Pb untuk
EI  x 0 xa
dx 2 L

Dan untuk wilayah di sebelah kanan:

x  Px  a 
Pb untuk a  x  L
M 
L

Persamaan diferensial untuk balok terlentur untuk potongan di sebelah kiri P adalah:
d 2 y Pb untuk
EI  x 0 xa
dx 2 L

Integralnya menghasilkan:
dy Pb 2 untuk 0  x  a
EI  x  c1
dx 2 L

Untuk kasus ini, belum ada informasi yang cukup untuk memperoleh c1 karena pembebanan
tidak simetris sehingga posisi x di mana slope kurva defleksi bernilai nol belum dapat
ditentukan. Integral berikutnya menghasilkan persamaan defleksi yaitu:
Pb 3 untuk 0  x  a
EIy  x  c1 x  c2
6L

Pada kasus ini, terdapat titik bantu di tumpuan ujung kiri di mana tidak terdapat defleksi,
atau dapat dinyatakan saat x=0 maka y=0.

EI 0   0  c1 0  c2
Pb 3 atau c2  0
6L

Persamaan defleksi untuk wilayah di sebelah kiri beban P dapat ditulis ulang menjadi:
Pb 3 untuk 0  x  a
EIy  x  c1 x
6L

122
Pemeriksaan selanjutnya dilakukan untuk wilayah di sebelah kanan beban P, yaitu:
d 2 y Pb
EI  x  Px  a  untuk a  x  L
dx 2 L

Integralnya menghasilkan:
dy Pb 2 Px  a 
2
EI  x   c3 untuk a  x  L
dx 2 L 2

Integral selanjutnya menghasilkan persamaan defleksi yaitu:


Pb 3 P x  a 
3
EIy  x   c3 x  c4 untuk a  x  L
6L 6

Agar kurva defleksi kontinu maka persamaan slope di titik temu (x=a) harus bernilai sama
besar dihitung dengan persamaan di kedua wilayah:
 dy  Pb 2 Pa  a 
2
Pb 2 atau c1  c3
 EI   a  c1  a   c3
 dx  xa 2 L 2L 2

Agar kurva defleksi kontinu, nilai defleksi di titik temu kedua persamaan defleksi (x=a) juga
harus memiliki nilai yang sama yaitu:

EIy xa  Pb a 3  c1a  Pb a 3  Pa  a 


3
 c3a  c4
6L 6L 6

Karena c1=c3 maka:


Pb 3 Pa  a 
3
Pb 3
a  c1a  a   c1a  c4 atau c4  0
6L 6L 6

Maka persamaan kurva defleksi untuk wilayah axL ditulis ulang menjadi:
Pb 3 Px  a 
3
EIy  x   c3 x untuk a  x  L
6L 6

Selanjutnya diketahui untuk x=L nilai defleksi y=0 karena tidak terjadi defleksi di tumpuan:
Pb 3 PL  a 
b  L2 
3
Pb 2 Pb 3
EI 0  
Pb 2
L   c3 L atau L   c3 L  0 atau c3 
6L 6 6 6 6L

Dengan demikian keempat konstanta integral telah diperoleh yaitu:

c1  c3 
6L

Pb 2
b  L2 , c2  0 , dan c4  0

Akhirnya persamaan kurva defleksi untuk kedua wilayah di sebelah kiri dan sebelah kanan
beban P dapat ditulis ulang menjadi:

EIy 
Pb 3 Pb 2
6L
x 
6L

b  L2 x 
Pbx 2
6L

x  L2  b 2    untuk 0  x  a

dan
Pb 3 Px  a  Pb 2 2

Pbx  2 L
 2 
 
3
EIy  x   b L x   x  x  a   L  b  untuk a  x  L
3 2

6L 6 6L 6L  bx 

123
Dua persamaan di atas diperlukan untuk menentukan defleksi pada balok yang menerima
beban terpusat. Masing-masing persamaan hanya valid untuk wilayah yang ditetapkan.
6.13 Balok dengan tumpuan sederhana yang dideskripsikan pada soal 6.12 memiliki panjang 1.5
m dan berpenampang lintang persegi dengan dimensi 50100 mm. Balok tersebut menerima
beban terpusat P=20 kN pada jarak sejauh 1 m dari tumpuan A. Tentukan defleksi maksimum
pada balok. Balok tersebut terbuat dari baja dengan nilai E=200 GN m-2.
Karena a > b, maka defleksi maksimum akan berada di sebelah kiri beban P sehingga
persamaan defleksi yang digunakan adalah persamaan yang valid untuk wilayah 0xa.

EIy 
Pbx 2
6L

x  L2  b 2   untuk 0  x  a

Defleksi maksimum terjadi ketika kurva defleksi mendatar atau slopenya bernilai nol.
Turunan pertama kurva defleksi adalah kurva kemiringan slope yang telah diperoleh pada
soal 6.12:

EI
dy Pb 2 Pb 2

dx 2 L
x 
6L
b  L2  
Agar mencapai defleksi mencapai maksimum, slope bernilai nol, yaitu:

EI 0  
Pb 2 Pb 2
x  b  L2   atau x2  
b 2
 L2  atau x  L  b 
2 2

2L 6L 3 3

Maka defleksi maksimum adalah:

L  b2
2

Pb  L   L 
2
 b2
  
2
  b2   
3
3 3Pb 2 untuk 0  x  a
EIy max  2
L  b2 2
6L  3  27 L
 

Defleksi maksimum terjadi ke arah bawah, dengan nilai sebesar:

 
3
3Pb 2
 max  L  b2 2
27 LEI
  
  
3 20  10 3 0.5  10 3
3


 
6 1
27 1.5  10 200  10  10 12  50  100
3 9 3
2
1.5  10 3  0.5  10 3
   2 2

 1.451549 mm

Pengecekan lebih lanjut perlu dilakukan pada tegangan lentur yang terjadi, karena
persamaan kurva defleksi di atas hanya berlaku untuk balok yang seluruh seratnya bekerja
di bawah batas elastis. Tegangan lentur maksimum terjadi tepat di bawah pembebanan yaitu
ketika x=a.



 20 10 3 0.5 10 3
110 3
   100 


Mc 

1.5  10 3
   2 
 80 N mm 2  80 MPa
12 50 100 
3
I 1

Tegangan lentur maksimum yang terjadi yaitu 80 MPa sangat kecil dibanding batas
proporsinya sehingga hasil perhitungan defleksi sebesar 1.45 mm adalah valid.

124
6.14 Tentukan persamaan kurva defleksi untuk balok kantilever yang diberi beban merata
terdistribusi seragam sebesar w N per satu satuan panjang. Beban tersebut diberikan
sepanjang a dari ujung balok yang dijepit seperti pada Gambar 6.11(a).
(a) w N per satuan panjang (b) y

2
wa /2 x
a b wa
L a b
L
Gambar 6.11
Reaksi tumpuan perlu dicari dengan persamaan keseimbangan statis yaitu:
2
a atau M O   wa
M O  M O  wa
2
0
2

F v  RO  wa  0 atau F v  RO  wa

Selanjutnya persamaan momen dibangun untuk dua wilayah yaitu:


wa 2 x2 untuk 0  x  a
M   wax  w
2 2

wa 2  a
M   wax  wa  x    0 untuk a  x  L
2  2

Pemeriksaan persamaan diferensial untuk balok terlentur dilakukan untuk wilayah 0  x  a


terlebih dahulu, yaitu:
d2y wa 2 x 2 untuk 0  x  a
EI 2
  wax  w
dx 2 2

Integral persamaan diferensial tersebut menghasilkan persamaan slope yaitu:


dy wa 2 wa 2 w 3
EI  x x  x  c1 untuk 0  x  a
dx 2 2 6

Oleh karena balok dijepit di ujung kiri, maka kemiringan (slope) di ujung kiri adalah tetap
mendatar, atau dapat dikatakan dy/dx=0 saat x=0. Maka:
wa 2
EI 0   0  wa 02  w 03  c1 atau c1  0
2 2 6

Persamaan slope ditulis ulang menjadi:


dy wa 2 wa 2 w 3 untuk 0  x  a
EI  x x  x
dx 2 2 6

Integral berikutnya menghasilkan persamaan kurva defleksi, yaitu:


wa 2 2 wa 3 w 4 untuk 0  x  a
EIy   x  x  x  c2
4 6 24

125
Nilai c2 dapat diperoleh dengan melihat bahwa di ujung kiri yang dijepit tidak terjadi defleksi
sehingga y=0 ketika x=0. Maka:
wa 2 2 wa 3 w
EI 0   0  0  04  c2 atau c2  0
4 6 24

Persamaan kurva defleksi ditulis ulang menjadi:


wa 2 2 wa 3 w 4 untuk 0  x  a
EIy   x  x  x
4 6 24

Pemeriksaan persamaan diferensial selanjutnya dilakukan untuk wilayah a  x  L , yaitu:


d2y
EI  0 untuk a  x  L
dx 2

Integral persamaan diferensial di atas menghasilkan persamaan kemiringan balok yaitu:


dy untuk a  x  L
EI  c3
dx

Seperti terlihat pada persamaan di atas maka kemiringan balok adalah konstan sebesar c3
untuk sembarang titik sejauh x dari ujung kiri balok (wilayah a  x  L ). Artinya potongan
balok antara a  x  L adalah lurus. Nilai c3 dapat diperiksa dengan batasan bahwa
kemiringan kurva pada titik temu (x=a) adalah sama agar kurva kontinu. Maka:
 dy  wa 2 wa 2 w 3 w
 EI   a a  a  c3 atau c3   a 3
 dx  xa 2 2 6 6

Persamaan slope balok ditulis ulang menjadi:


dy w untuk a  x  L
EI   a3
dx 6

Integral berikutnya diperoleh persamaan defleksi yaitu:


w 3 untuk a  x  L
EIy   a x  c4
6

Nilai c4 dapat dihitung dengan batasan bahwa di titik temu kedua persamaan (x=a), besarnya
defleksi adalah sama agar kurva defleksi kontinyu. Maka:
2 4
EIy xa   wa a2 
wa 3 w 4
a 
w
a   a 3a  c4 atau c4  wa
4 6 24 6 24

Maka persamaan defleksi dapat ditulis ulang menjadi:


w 3 wa 4 untuk a  x  L
EIy   a x
6 24

Jadi terdapat dua persamaan kurva defleksi untuk balok kantilever yang diberi beban merata
terdistribusi seragam sepanjang a, yaitu:
wa 2 2 wa 3 w 4 untuk 0  x  a , dan
EIy   x  x  x
4 6 24

w 3 wa 4 untuk a  x  L
EIy   a x
6 24

126
Masing-masing persamaan di atas valid untuk wilayah yang telah ditentukan.
6.15 Tentukan persamaan kurva defleksi untuk balok kantilever yang menerima beban merata
terdistribusi seragam sebesar w N per satu satuan panjang sepanjang bentang L dan beban
terpusat sebesar P di ujung bebasnya. Lihat Gambar 6.12(a).
(a) P (b) y
w N per satuan panjang
P
x

x
L
Gambar 6.12
Cara yang logis untuk menyelesaikan kasus ini adalah dengan melalui tahapan:
1. Menentukan reaksi tumpuan di ujung balok yang dijepit
2. Menyusun persamaan differensial balok terlentur lalu mengintegralkannya dua kali
3. Menentukan konstanta dengan bantuan kondisi kemiringan bernilai nol dan defleksi
bernilai nol di ujung jepit.
Prosedur tersebut di atas telah dilakukan pada soal 6.2 khusus untuk beban terpusat di ujung
bebas dan pada soal 6.5 untuk beban merata terdistribusi seragam. Untuk beban terpusat di
ujung bebas telah diperoleh persamaan kurva defleksi sesuai dengan hasil penyelesaian soal
6.2, yaitu:
PLx 2 Px 3
EIy   
2 6

Untuk beban merata terdistribusi seragam, diperoleh persamaan kurva defleksi sesuai
dengan penyelesaian soal 6.5, yaitu:
wL2 2 wLx 3 wx 4
EIy   x  
4 6 24

Pada banyak kasus, di mana pengaruh resultan dua beban atau lebih bekerja secara simultan
pada balok, maka metode superposisi dapat dilakukan. Metode superposisi menjumlahkan
total defleksi yang disebabkan oleh masing-masing beban di setiap titik amatan. Metode
superposisi ini sangat membantu untuk menyelesaikan kasus-kasus balok yang menerima
beberapa beban. Sesuai dengan metode superposisi maka defleksi pada balok Gambar 6.13
dapat diperoleh melalui persamaan:
PLx 2 Px 3 wL2 2 wLx 3 wx 4
EIy     x  
2 6 4 6 24

Sedangkan persamaan kemiringannya dapat diperoleh dengan membuat turunan pertama


persamaan defleksi tersebut, yaitu:
Px 2 wL2 wLx 2 x2  wL 
 P  wL    P 
dy
EI   PLx   x  Lx
dx 2 2 2 2  2 

127
Metode superposisi valid untuk semua kasus di mana terdapat hubungan linier antara
beberapa beban saling bebas dengan defleksi yang dihasilkan oleh masing-masing beban
tersebut.
6.16 Tentukan persamaan kurva defleksi untuk balok dengan tumpuan sederhana yang menerima
kopel sebesar M1 pada posisi sejauh a dari ujung kiri balok (Gambar 6.13).
M1 y M1
a b a b
A B C A B C x
RA
RC
(a) (b)
Gambar 6.13

Persamaan reaksi di tumpuan dan momen lentur untuk tipe pembebanan ini telah
didiskusikan pada soal 3.11. Sebagaimana ditunjukkan pada penyelesaian soal 3.11 reaksi
harus merupakan kopel seperti diperlihatkan Gambar 6.14(b). Dari keseimbangan statis
dapat diperoleh:

M A  M 1  RC L  0 atau RC  M .
L
M atau RA  M  RC  R .
F v  RC  RA 
L
 RA  0
L

Sebuah sistem koordinat digunakan seperti Gambar 6.14(b). Sumbu x dibuat berimpit
dengan sumbu horizontal balok mula-mula sebelum diberi beban. Kondisi balok setelah
terdeformasi disketsa sebagai kurva melengkung pada Gambar 6.14(b). Momen lentur di
sebelah kiri beban M1 dapat dituliskan:
M1
M  x 0 xa
L

Dan untuk wilayah di sebelah kanan M1, dapat dituliskan:


M1
M  x  M1 axL
L

Persamaan diferensial untuk wilayah di sebelah kiri beban M1 adalah:


d2y M
EI  1 x 0 xa
dx2 L
Integral pertama menghasilkan:
dy M
EI   1 x 2  c1 0 xa
dx 2L

Sampai saat ini belum ada informasi yang cukup mengenai kemiringan defleksi di wilayah
0  x  a sehingga c1 belum dapat dihitung. Meskipun demikian, kemiringan defleksi di titik
x=a dapat dituliskan:
 dy  M 2
 EI    1 a  c1
 dx  x  a 2L

128
Integral persamaan 4 diperoleh:
M1 3
EIy   x  c1 x  c2 0 xa
6L

Terlihat pada Gambar 6.14(b) bahwa defleksi di tumpuan (saat x=0) adalah bernilai 0. Maka
sesuai dengan persamaan 6, saat x=0 y=0 sehingga c2=0.
Pengamatan selanjutnya dilakukan untuk wilayah di sebelah kanan M1. Persamaan
diferensial untuk wilayah tersebut adalah:
d2y M
EI   1 x  M1 axL
dx2 L
Integral pertama menghasilkan:
dy M
EI   1 x 2  M 1 x  c3 axL
dx 2L

Sekali lagi, belum ada informasi yang cukup mengenai kemiringan defleksi pada wilayah
tersebut sehingga nilai c3 belum dapat dihitung. Namun saat x=a dapat dituliskan:
 dy  M 2
 EI    1 a  M 1a  c3
 dx  x  a 2L

Kemiringan defleksi pada satu titik hanya memiliki satu nilai, sehingga kemiringan di titik
x=a harus bernilai sama bila dihitung dengan persamaan 9 maupun persamaan 5. Maka nilai
defleksi saat x=a pada persamaan 5 dan persamaan 9 dapat disubstitusikan menjadi:
M1 2 M
 a  c1   1 a 2  M 1a  c3 c1  M1a  c3
2L 2L

Integral persamaan 8 diperoleh:


M1 3 M1 2
EIy   x  x  c3 x  c4 axL
6L 2

EI 0   
M1 3 M1 2 M1 2
L  L  c3 L  c4 0 L  c3 L  c4
6L 2 3

Sebuah hubungan tambahan diperlukan untuk dapat menghitung semua konstanta.


Hubungan tersebut adalah: saat x=a defleksi yang dihitung dengan persamaan 11 atau
persamaan 6 harus menghasilkan nilai yang sama. Maka:
M1 3 M M M1 2
 a  c1a   1 a 3  1 a 2  c3a  c4 c1a  a  c3a  c4
6L 6L 2 2

Penyelesaian persamaan 10, 12, dan 13 secara simultan diperoleh:

M 1a  c3 a  M 1 a 2  c3a  c4
2
 M
M 1a 2  c3a  1 a 2  c3a  c4
2
M M
c4  M 1a 2  1 a 2  1 a 2
2 2

129
M1 2 M
0 L  c3 L  1 a 2
3 2
M1 2 M1 2
c3 L   L  a
3 2
M M
c3   1 L  1 a 2
3 2L

M1 M
c1  M 1a  L  1 a2
3 2L

Sesuai dengan uraian di atas, semua nilai konstanta integral telah diketahui, yaitu:
M1 M M M M
c1  M 1a  L  1 a 2 , c2  0 , c3   1 L  1 a 2 , dan c4  1 a 2 .
3 2L 3 2L 2

Substitusi semua konstanta ke dalam persamaan defleksi diperoleh kurva defleksi di


sepanjang bentang balok yaitu:
M1 3 M1 2 M
EIy   x  a x  M 1a  1 L untuk 0  x  a ............................................................ (14)
6L 2L 3

M1 3 M1 2 ML M a2 M
EIy   x  x   1 x  1 x  1 a 2 untuk a  x  L ......................................... (15)
6L 2 3 2L 2

Penyelesaian kasus defleksi seperti di atas dapat diringkas sebagai berikut:


a. 2 (dua) persamaan diperlukan untuk menentukan momen lentur di sepanjang bentang
balok.
b. 2 (dua) persamaan diferensial berderajat dua yang kemudian diintegralkan dua kali
menghasilkan dua konstanta untuk penyelesaian masing-masing integral sehingga
diperoleh 4 (empat) konstanta integral.
c. 4 (empat) konstanta integral dapat diselesaikan dengan menggunakan 4 (empat) kondisi
pembatas yaitu:
1. y=0 ketika x=0
2. y=0 ketika x=L
3. ketika x=a maka defleksi yang dihitung dari persamaan sebelah kiri maupun kanan
a harus bernilai sama.
4. ketika x=a maka kemiringan (slope) defleksi yang dihitung dari persamaan sebelah
kiri maupun kanan a harus bernilai sama.
6.17. Tentukan kurva defleksi balok over hanging yang menerima beban merata terdistribusi
seragam w N per satuan panjang dan ditumpu seperti Gambar 6.14.

130
Kondisi balok terdeformasi pada kasus ini disketsa pada
w N per satuan panjang
Gambar 6.15. Gambar tersebut menunjukkan sistem
koordinat di mana sumbu x berimpit dengan sumbu
horizontal balok mula-mula sebelum pembebanan. R1
dan R2 diperoleh dari keseimbangan statis: a b
Gambar 6.14
L wL2 y
 M 2  wL 2   R1b  0 atau R1  2b L

wL2
F v   wL  R1  R2  0 atau R2  wL 
2b R1 R2
x
a b
Persamaan momen lentur di sebelah kiri R1: Gambar 6.15
w 2 untuk
M  x 0 xa
2

Maka persamaan diferensialnya adalah:


d2y w
EI 2
  x2 0 xa
dx 2

Dua buah integralnya menghasilkan:


dy w
EI   x 3  c1 0 xa
dx 6
w 4
EIy   x  c1 x  c2 0 xa
24

Sedangkan persamaan momen lentur untuk wilayah di antara dua tumpuan adalah:
wL2
x  R1 x  a    x 2  x  a  untuk a  x  L
w 2 w
M 
2 2 2b

Dan persamaan diferensialnya adalah:


d2y wL2
EI 2
w
  x2  x  a  axL
dx 2 2b
Dua buah integralnya menghasilkan:
wL2
EI
dy w
  x3  x  a 2  c3 axL
dx 6 4b

w 4 wL2
EIy   x  x  a 3  c3 x  c4 axL
24 12b
Oleh karena perhitungan dimulai dari persamaan diferensial berderajat 2 (persamaan 1 & 4),
maka muncul dua konstanta integral dari masing-masing persamaan. Total konstanta integral
ada 4 buah yaitu c1, c2, c3, dan c4. Konstanta tersebut dapat dihitung dengan
mempertimbangkan kondisi pembatas yang telah diketahui yaitu:

131
a. ketika x=a, y=0 di wilayah 0  x  a
b. ketika x=a, y=0 di wilayah a  x  L
c. ketika x=L, y=0 di wilayah a  x  L
d. ketika x=a kemiringan (slope) defleksi dihitung dengan persamaan 2 dan 5 harus
bernilai sama.
Dengan mensubstitusikan kondisi (a) ke dalam persamaan 3, diperoleh:

EI 0   
w 4 w 4
a  c1a  c2 0 a  c1a  c2
24 24

Substitusi kondisi (b) ke dalam persamaan 6 diperoleh:


w 4 wL2
EI 0   a  a 3  c3a  c4 w 4
a  0 a  c3a  c4
24 12b 24

Substitusi kondisi (c) ke dalam persamaan 6 diperoleh:


w 4 wL2 w 4 wL2b 2
EI 0   L  L  a 3  c3 L  c4 0 L   c3 L  c4
24 12b 24 12

Selanjutnya substitusi kondisi (d) ke persamaan 2 dan 5, dan mengeliminasi EI dy/dx untuk
x=a diperoleh:
wL2
EI
dy w w
  a3  c1   a3  a  a 2  c3 c1  c3
dx 6 6 4b
Tidak ada cukup alasan untuk mengasumsikan bahwa slope defleksi di titik x=a bernilai nol.
Dari keempat persamaan terakhir (7, 8, 9, 10) keempat konstanta integral dapat diperoleh,
yaitu:
w 4 w 4 wL2b2
c4  a  c3a  L   c3 L
24 24 12

c3 

w L4  a 4


wL2b 2


w L4  a 4 wL2b


24 L  a  12 L  a  24 b 12

c4  a   

w 4  w L4  a 4 wL2b  
a 
wa 4 wa L4  a 4 wL2 ab
 
 
24  24 b 12  24 24 b 12

c1  c3 

w L4  a 4 wL2b


24b 12

c2 
wa 4
 c1a  c2  

wa 4 wa L4  a 4 wL2ab


 c4
24 24 24b 12

Dengan demikian keempat konstanta integral telah diperoleh, yaitu:

c1  c3 

w L4  a 4 wL2b

 4 4 4

, c2  c4  wa  wa L  a  wL ab
2

24b 12 24 24b 12

132
Substitusi konstanta integral ke persamaan defleksi masing-masing wilayah diperoleh:
wx 4 wL4  a 4 x wL2bx wa 4 wa L4  a 4  wL2 ab 0 xa
EIy       
24 24b 12 24 24b 12

EIy    
 
   

wx 4 wL2 x  a  w L4  a 4 x wL2bx wa 4 wa L4  a 4 wL2 ab
3
 axL
24 12b 24b 12 24 24b 12

6.18. Untuk balok overhanging seperti soal 6.17, beban merata terdistribusi seragam sebesar 1.5
kN m-1, a = 1 m, dan b = 4 m. Balok memiliki penampang persegi 75  100 mm. Tentukan
defleksi maksimum balok. Nilai E = 200 GN m-2.
Sketsa pendekatan kurva defleksi untuk kasus ini telah disajikan pada Gambar 6.15. Posisi
di mana defleksi maksimum terjadi mungkin ada di salah satu dari dua wilayah yaitu (1) di
antara dua tumpuan (axL) atau (2) di bagian overhanging di sebelah kiri tumpuan R1
(0xa).
Pemeriksaan pertama dilakukan untuk posisi di antara dua tumpuan. Pada kasus ini, titik
puncak kurva defleksi terjadi ketika kurva mendatar yaitu ketika kemiringannya bernilai nol.
Maka dari substitusi nilai c3 ke dalam persamaan 5 lalu diambil nilai dy/dx=0, a=1 m, b=4
m, L=5 m, dan w=1500 N m-1 akan diperoleh:

0
1500 3 1500  52
x 
4 4
 2

x  12  1500 5  1  1500  5  4
6 4 4 24  4 12

0  250 x3  2343.75 x 2  4687.5 x - 406.25

Solusi persamaan pangkat tiga di atas dapat diperoleh menggunakan kalkulator elektrik dan
menghasilkan nilai:
x1  6.410628m , x2  -0.00832m , dan x3  3.047549 m .

Dari ketiga nilai x tersebut, hanya x3 yaitu 3.047549 m yang berada dalam wilayah di antara
dua tumpuan sehingga titik puncak hanya terjadi di satu titik yaitu saat x=3.047549 m.
Persamaan defleksi untuk wilayah axL adalah:

EIy    
  

wx 4 wL2 x  a  w L4  a 4 x wL2bx wa 4 wa L4  a 4 wL2 ab
3
 
 
24 12b 24b 12 24 24b 12

Dengan memasukkan semua nilai yang diketahui untuk x=3.047549 m diperoleh:


1500  52  3.0475  1
200 10   0.07512 0.1   y   1500 243.0475
3 4 3
9

  12  4


 
1500  54  14  3.0475 1500  52  4  3.0475

24  4 12


1500  1 1500  1  5  1
4

4 4

 
1500  52  1  4
24 24  4 12

atau y  0.0034 m  3.40238 mm

Jadi defleksi maksimum yang terjadi di antara tumpuan (axL) adalah 3.40238 mm ke arah
bawah.
Pemeriksaan selanjutnya dilakukan untuk wilayah overhanging di sebelah kiri R1 (0xa).

133
Di wilayah ini, ada dua kemungkinan defleksi maksimum yaitu di ujung kiri (x=0) atau di
sembarang titik ketika kemiringan (slope)-nya bernilai nol (dy/dx=0). Persamaan kemiringan
kurva defleksi untuk wilayah 0xa adalah Persamaan 2. Dengan memasukkan nilai c1,
dy/dx=0, w=1500, L=5 m, a=1 m, dan b=4, maka:

0 x  
 
1500 3 1500 54  14 1500  52  4
, atau x3  11 , atau x  -2.22398 .
6 244 12

Nilai x=-2.22 berada di luar selang 0x1 m sehingga tidak ada titik puncak kurva defleksi
pada selang 0x1 m. Defleksi maksimum untuk wilayah 0x1 m terjadi di ujung kiri balok
(x=0) yaitu:

200 10   0.07512 0.1


9
3

  y  
 

1500  14 1500  1 54  14 1500  52  1 4
  24 24  4 12

Atau y  0.00225 m  2.25 mm

Defleksi maksimum pada wilayah 0x1 m terjadi saat x=0 yaitu sebesar 2.25 mm ke arah
atas.
Defleksi di antara dua tumpuan lebih besar daripada defleksi di sebelah kiri R1, sehingga
defleksi maksimum adalah 3.40238 mm ke arah bawah yang terjadi pada titik sejauh
3.047549 m di sebelah kanan ujung kiri balok.
Cara perhitungan defleksi sebagaimana diuraikan 3000 Diagram Momen Lentur
di atas adalah valid jika seluruh bagian balok 2500
Momen lentur (N m)

masih berada di bawah batas elastis. Maka 2000

pengecekan tegangan dalam balok harus 1500


1000
dilakukan. Seperti ditunjukkan pada Gambar
500
6.16, persamaan momen lentur untuk kasus ini 0
adalah: -500 0 1 2 3 4 5

-1000
w
M   x 2 untuk 0  x  a
2 3000 Diagram Gaya Geser

w 2 wL2 2000
M  x  x  a  untuk a  x  L
Gaya Geser (N)

2 2b 1000

0
Turunan pertama persamaan momen lentur 0 1 2 3 4 5
-1000
menghasilkan persamaan gaya geser, yaitu:
-2000
V  wx untuk 0  x  a
-3000
2
Gambar 6.16
wL
V   wx  untuk a  x  L
2b

Tampak pada diagram gaya geser dan momen lentur, momen lentur maksimum (Mmax)
terjadi pada titik x=3.125 mm, yaitu ketika gaya geser bernilai nol. Nilai Mmax adalah
2636.71875 Nm, sehingga tegangan lentur maksimum dapat dihitung:

 

Mc 2636.71875  10 3  50 
 21.0938 N mm - 2  21.0938 MPa
I 1
12
 75  100 3

134
Nilai tegangan yang terjadi yaitu 21.0938 MPa masih berada di bawah batas elastis sehingga
perhitungan defleksi di atas dapat dipertanggungjawabkan.
Hasil perhitungan juga menunjukkan bahwa tegangan maksimum tidak selalu berada pada
titik yang sama dengan defleksi maksimum.
6.19. Tampak atas sebuah balok kantilever berbentuk segitiga seperti Gambar 6.17(a). Ketebalan
balok konstan seperti terlihat pada tampak samping Gambar 9.17(b). Tentukan defleksi
akibat beban terpusat P di ujung balok.

z y
L
L
b
u
x x
x
P (b)
(a)
Gambar 6.17

Dari prinsip kesebangunan segitiga, diperoleh lebar u adalah:


x
u b
L

Maka momen kedua penampang lintang (I) untuk posisi sejauh x dari ujung adalah:
uh3 xbh3
Ix  
12 12 L

Maka persamaan diferensial untuk defleksi adalah:


d2y xbh3 d 2 y d2y 12 PL
EI  E   Px atau 
dx2 12 L dx2 dx2 Ebh3

Dua buah integralnya adalah:


dy 12 PL
 x  c1
dx Ebh 3

6 PL 2
y x  c1 x  c2
Ebh3

Karena ujung kanan dijepit maka saat x=L nilai kemiringan (dy/dx) dan defleksi (y) adalah
nol. Maka nilai c1 dan c2 dapat dihitung:
12 PL2
c1  ,
Ebh 3

6 PL3 12 PL3 6 PL3


0   c2
atau c2  
Ebh3 Ebh3 Ebh3

Substitusi c1 dan c2 menghasilkan persamaan:


dy 12 PL 12 PL2
 x 
dx Ebh3 Ebh3

135
6 PL 2 12 PL2 6 PL3
y 3
x  3
x
Ebh Ebh Ebh3

Defleksi maksimum terjadi di ujung kiri, yaitu saat x=0 dengan nilai sebesar:
6 PL3
ymax  
Ebh3

6.20. Amati defleksi suatu balok kantilever yang ditahan oleh permukaan silindris yang rigid.
Tangen balok kantilever tersebut adalah horizontal di titik A seperti pada Gambar 6.18.
Tentukan defleksi di ujung B akibat beban P.
Jika kelengkungan (curvature) balok kantilever di titik A kurang dari kelengkungan
permukaan silindris, maka kantilever bersentuhan dengan permukaan silinder hanya di titik
A dan defleksinya masih sama dengan kasus pada soal 6.2. Sesuai soal 6.1 kelengkungan
balok di titik A diberikan oleh:
1 M PL
 
R EI EI

Nilai kelengkungan (1/R) lebih kecil atau sama P


L
dengan permukaan silindris (1/r). Seandainya x
kelengkungan defleksi sama dengan muka silindris A
B 1
yaitu 1  1  PL , dan nilai P saat hal itu terjadi adalah C
R r EI
P* maka nilai P* adalah:
EI .
P*  D
Lr
r 
Untuk nilai P>P*, pada suatu wilayah AC balok
kantilever akan berimpit dengan permukaan silindris Gambar 6.18
dan pada titik C kelengkungan permukaan silindris
1/r adalah sama dengan kelengkungan kurva. Kondisi
ini dapat dinyatakan:
1 Px atau x  EI .

r EI rP

Sesuai dengan uraian di atas, defleksi di ujung B dapat diperoleh dengan menjumlahkan
semua defleksi, yaitu:
a. Defleksi C dari tangent A, dinotasikan dengan 1. Berdasar Gambar 6.18 nilai 1
diperoleh berdasarkan hubungan:
r  1 2  r 2  L  x 2
r 2  2r1  1  r 2  L  x 
2 2

12  2r1  L  x 2  0

136
Persamaan kuadrat tersebut di atas dapat diselesaikan untuk 1 dengan rumus abc:
2r  4r 2  4L  x 
2

1(1, 2)   r  r 2  L  x 
2

2r  4r 2  4L  x 
2 2
 EI 
1(1, 2)   r  r2   L  
2  rP 

Untuk alasan kesederhanaan, jika 1 sangat kecil, 12 pada persamaan kuadrat di atas
dapat diabaikan sehingga diperoleh rumus pendekatannya yaitu:

1 
L  x 2 atau 1  EI 
2

1  L  
2r 2r  rP 

b. Defleksi pada sebagian balok yang tidak bersinggungan dengan permukaan silindris
(2). Terlihat pada Gambar 6.18 bagian balok kantilever yang tidak bersinggungan
dengan permukaan silindris adalah sepanjang x. Defleksi bagian balok kantilever ini
telah dibahas pada soal 6.2 yaitu
Px 3
2 
3EI

Padahal x  EI , sehingga:
rP
3
 EI 
P 
E 2I 2
2     2 3
rP
3EI 3P r

c. Defleksi akibat rotasi pada titik C (3). Sudut yang dibentuk oleh AOC adalah :
Lx
sin  
r

Nilai 3 adalah:
x L  x 
 3  x sin  
r

Substitusi x dengan EI/(rP), diperoleh:


xL  x  EI  EI 
3   2 L  
r r P rP 

Maka rumus pendekatan untuk total defleksi pada kasus ini adalah:
2
1  EI  E2I 2 EI  EI 
  1   2   3  L    2 3  2 L  
2r  rP  3P r r P rP 

L2 E2I 2
  3 2
2r 6r P

137
6.21. Sebuah termostat terbuat dari dua lapisan material yang berbeda yang direkatkan menjadi
satu di permukaanya. Kedua material tersebut sama tebal yaitu h. Termostat biasanya
dipasang dengan konfigurasi balok kantilever seperti Gambar 6.19. Jika E1 dan E2
menunjukkan modulus Young serta 1 dan 2 adalah koefisien ekspansi linier dari kedua
material, tunjukkan besarnya defleksi di ujung bebas balok akibat peningkatan suhu
sebesar T.
L
MA MA
E1, 1 h F E1, 1 F
E2, 2 h F E2, 2 F
MB MB
Gambar 6.19 Gambar 6.20

Lebar balok adalah b. Seperti pada soal 5.1, diasumsikan pula bahwa bidang lintang akan
tetap datar sebelum dan sesudah pembebanan. Resultan gaya normal F bertindak pada setiap
strip harus sama karena tidak ada gaya luar yang terjadi di sepanjang balok. Maka sebuah
penampang lintang di sembarang potongan di sepanjang bentang memiliki diagram bebas
batang seperti di Gambar 6.20.
Regangan normal pada serat terbawah strip atas merupakan penjumlahan dari:

 F
 
E1 bhE1

h
MA
 6M
  1 32  2 A
E1 
12 bh E1 bh E1 

  1T

Jumlah regangan pada serat terbawah strip atas, harus sama dengan jumlah regangan pada
serat teratas strip bawah.
F 6M F 6M
 2 A  1T    2 B   2T
bhE1 bh E1 bhE2 bh E2

Kelengkungan pada garis rekat harus sama, sehingga dari soal 6.1:
1 MA 1 MB
 
R1 E1 I R2 E2 I

Karena R1=R2, maka:


E1 I
MA  MB
E2 I

138
Karena dimensi penampang strip atas sama dengan strip bawah maka nilai I adalah sama:
E1
MA  MB
E2

Dari keseimbangan statis (sesuai Gambar 6.20) diperoleh:


M A  M B  Fh M B  Fh  M A

Sehingga dapat dibuktikan bahwa:

MA 
E1
Fh  M A   E1 Fh  E1 M A
E2 E2 E2

E1 E
MA  M A  1 Fh
E2 E2

 E  E
1  1  M A  1 Fh
 E2  E2

E1 E1 Fh
MA  Fh  Fh 
 E1  E1  E2   E2 
1   E2 1  
 E2   E1 

Dan MB adalah:
 E2   E  E 
1   Fh  Fh  Fh  2 Fh   Fh  2 Fh 
 E1     1 
Fh E E Fh
M B  Fh    1

 E2   E2   E2   E2   E 
1   1   1   1   1  1 
 E1   E1   E1   E1   E2 

Maka MA dan MB telah diperoleh, yaitu:


Fh Fh
MA  MB 
 E2   E 
1   1  1 
 E1   E 2 

Substitusi persamaan 5 ke dalam persamaan 1 diperoleh:


F 6 Fh F 6 Fh
  1T      2T
bhE1  E2  2 bhE2  E1  2
1  bh E1 1  bh E2
 E1   E2 

F  E2  E1 
   2  1 T
12
 
bh  E1 E2 E1  E2  

F  E1  E2   12 E1 E2 
2
    2  1 T
bh  E1 E2 E1  E2  

F
 2  1 TbhE1 E2 E1  E2    2  1 TbhE1 E2 E1  E2 
E1  E2 2  12 E1 E2 E12  2E1E2  E2 2  12 E1E2
F
 2  1 TbhE1 E2 E1  E2 
E1  E2  14 E1 E2
2 2

139
Maka MA dapat diperoleh dari persamaan 5 dan 6:

MA 
 2  1 TbhE1E2 E1  E2  h    TbhE1E2 E1  E2 
 2 21
h
E1  E2  14 E1 E2
2 2
 E2  E1  E2  14 E1 E2
2
 E1  E2 
1    
 E1   E1 

MA 
 2  1 Tbh 2 E12 E2
E1  E2  14 E1 E2
2 2

Pada kasus ini, balok mengalami lentur murni sehingga kurva defleksinya menyerupai
lingkaran sesuai soal 6.1. Bentuk defleksi berupa lingkaran ini telah didekati pada soal 6.20,
yaitu:
R   2  R 2  L2
R 2  2 R   2  R 2  L2

 2  2 R  L2  0

Persamaan kuadrat tersebut dapat diselesaikan dengan rumus abc yaitu:


2 R  4 R 2  4 L2
1, 2   R  R 2  L2
2

Substitusi R dengan persamaan 2 diperoleh:


2
E1 I EI
1, 2    1   L2
MA MA 

Substitusi MA dengan Persamaan 7 diperoleh:


2
 
 
E1 I  E1 I 
1, 2    L
2

 2  1 Tbh 2 E12 E2   2  1 Tbh 2 E12 E2 


E1  E2  14 E1 E2
2 2  E 2  E 2  14 E E 
 1 2 1 2 

 1, 2 

I E1  E2  14 E1 E 2
2 2

 
 
 I E12  E2 2  14 E1 E2  2

 L
2

 2  1 Tbh 2 E1 E2     Tbh 2 E E
 2 1 1 2 

dan substitusi I dengan bh3/12 menghasilkan:

 1, 2 

h E1  E 2  14 E1 E 2
2 2

 

 h E12  E 2 2  14 E1 E 2  2

 L
2

12  2   1 TE1 E 2  12  2   1 TE1 E 2 

Persamaan 9 merupakan persamaan eksak untuk kasus ini. Sering kali engineer memilih
untuk menggunakan persamaan pendekatannya untuk memudahkan perhitungan. Persamaan
pendekatan untuk kasus ini diperoleh sebagai berikut:

140
Pada persamaan kuadrat defleksi yaitu  2  2 R  L2  0 , nilai  2 diabaikan karena  sangat
kecil. Maka:
L2

2R
Substitusi R dengan persamaan 2 diperoleh:
M A L2

2 E1 I

Substitusi MA dengan persamaan 7 diperoleh:


 2  1 Tbh 2 E12 E2 L2 
 2  1 Tbh 2 E1 E2 L2

2 E1 I E1  E2  14 E1 E2
2 2
 
2 I E1  E2  14 E1 E2
2 2

Dan substitusi I dengan bh3/12 diperoleh:
6 2  1 TE1 E2 L2


h E1  E2  14 E1 E2
2 2

Jadi defleksi pada kasus ini dapat diselesaikan dengan rumus eksak pada Persamaan 9 atau
rumus pendekatan pada persamaan 13.
6.22. Sebuah balok kantilever mula-mula sedikit y P
melengkung. Ketika bebas dari tegangan, kelengkungan
balok tersebut adalah y0  Kx 3 . Balok dijepit rigid di Kondisi tanpa beban
ujung kiri dan menerima beban terpusat P di ujung Kondisi terbebani

bebas (Gambar 6.21). Ketika beban meningkat balok O


A x
kantilever mengalami defleksi ke arah bawah sehingga x
a
sebagian balok bersinggungan dengan batang penahan Gambar 6.21
yang dipasang horizontal. Jika beban sebesar P,
a P
tentukan panjang balok yang bersinggungan dengan R
batang penahan dan hitung pula jarak vertikal ujung Z=0

bebas balok kantilever dari batang penahan tersebut. O Pa


A z
b
P  6 EIK Q
Kurva kelengkungan balok mula-mula sebelum
Gambar 6.22
dibebani adalah:
y0  Kx 3

Maka kemiringan balok sebelum dibebani:


dy0
 3Kx 2
dx

Dan turunan keduanya adalah:


d 2 y0
 6 Kx
dx 2

141
Ketika diberi beban sebesar P di ujung bebas, bagian balok di dekat tumpuan jepit akan
berdefleksi ke bawah dan bersinggungan dengan balok penahan. Jika ujung balok yang
bersentuhan dengan batang penahan adalah sejauh x dari O, maka defleksi maksimum pada
titik x adalah sama dengan jarak vertikal mula-mula titik x dari batang penahan. Momen
yang terjadi pada titik sejauh x adalah dari O adalah:
M   Pa  Px   P(a  x)

Dan persamaan differensial untuk defleksinya adalah:


d 2 y0
EI  6 EIKx   P(a  x)
dx 2

Nilai x yaitu titik kontak balok kantilever dengan batang penahan dapat dihitung:
Pa Pa
x 
6 EIK  P P  6 EIK

Berat balok diabaikan, sehingga tidak terdapat gaya normal antara balok dan batang penahan
horizontal yang rigid pada titik O dan titik ujung pertemuan A. Bagian balok di antara O dan
A adalah lurus sehingga diagram bebas batang untuk balok terdeformasi disketsa sebagai
Gambar 6.22.

M A  Rx  Pa  x   0

Pa  Pa 
R  P a  0
P  6 EIK  P  6 EIK 

R  6EIK

Persamaan keseimbangan statis di titik A menunjukkan bahwa terdapat gaya terpusat ke arah
bawah berupa reaksi R sebesar 6EIK di titik jepit. Gaya reaksi R adalah sebesar 6EIK ke arah
atas.
Selanjutnya gaya reaksi Q yaitu di titik temu A diperoleh melalui keseimbangan gaya
vertikal:

F v  6 EIK  Q  P  0 atau Q  P  6 EIK

Selanjutnya perhitungan defleksi dilakukan untuk wilayah di sebelah kanan titik A. Di soal
6.1 Persamaan 5 telah ditunjukkan bahwa momen lentur M adalah proporsional terhadap
kelengkungan, d2y/dx2. Namun pada kasus ini, perlu untuk memodifikasi Persamaan 5 soal
9.1 tersebut karena balok mula-mula sudah melengkung.
 d 2 y d 2z 
EI  2  2   M
 dx dx 

d2y d2y
EI  2  2   R x  z   Qz
 dx dz 

142
Padahal telah diketahui bahwa d2y/dx2=6Kx, R  6EIK , dan Q  P  6 EIK sehingga:

 d2y
EI  6 Kx  2   6 EIK  x  z   P  6 EIK z
 dz 

d2y
EI   Pz
dz 2

Integral pertamanya menghasilkan:


dy Pz 2
EI   c1
dz 2

Saat z=0, dy/dz=0, maka c1=0


dy Pz 2
EI 
dz 2

Integral berikutnya menghasilkan:


Pz 3
EIy    c2
6

Saat z=0, y=0, maka c2=0


Pz 3
EIy  
6

Defleksi maksimum terjadi saat z=b, maka:


Pb 3
EIy max  
6

Nilai b adalah a-x, yaitu:


Pa a P  6 EIK   Pa Pa  6 EIKa   Pa  6 EIKa
ba   
P  6 EIK P  6 EIK P  6 EIK P  6 EIK

Maka defleksi maksimum dapat dihitung dengan cara:


3 3
P   6 EIKa   EIKa  atau 36 PE 2 I 2 K 3 a 3
EIy max      36 P  y max 
6  P  6 EIK   P  6 EIK  P  6 EIK 3

143
144
Batang berukuran panjang dan langsing yang menerima beban tekan aksial disebut kolom. Istilah
kolom sering digunakan untuk menyatakan komponen struktur yang berdiri vertikal, sebagaimana
istilah strut sering digunakan untuk batang miring. Contoh kolom antara lain tiang, batang tekan
pada kuda-kuda jembatan, dan komponen struktural yang berdiri vertikal pada rangka bangunan
gedung.

Kegagalan pada sebatang kolom umumnya terjadi akibat peristiwa tekuk yaitu akibat defleksi
lateral pada batang. Sebagai perbandingan, perlu dicatat bahwa kerusakan pada batang tekan
pendek terjadi akibat material mengalami luluh. Peristiwa tekuk yang diikuti dengan kerusakan
pada sebatang kolom dapat terjadi meskipun tegangan maksimum pada batang masih lebih rendah
daripada titik luluh material.

Beban kritis pada batang panjang yang menerima tekan aksial adalah besarnya gaya tekan aksial
yang cukup besar untuk menyebabkan batang sedikit melendut saja. Gambar 7.1 menunjukkan
batang yang kedua ujungnya bertumpuan sendi dan mengalami peristiwa tekuk akibat beban
kritis Pcr.

P P

Gambar 7.1
P P P P
Panjang kolom efektif sangat tergantung pada
tumpuan di ujung-ujung kolom. Kolom yang kedua
ujungnya diberi tumpuan sendi, maka panjang

L
kolom efektif (Le)-nya sama dengan panjang kolom
aktual (L). Kasus-kasus kolom dengan bermacam

Le=0.5L

2
𝐿
L

𝐿𝑒 =
L
Le=L
tumpuan ini diperlihatkan pada Gambar 7.2.

Le=2L
Rasio antara panjang kolom efektif dengan jari-jari
girasi (radius of gyration) minimum penampang Gambar 7.2
kolom disebut angka kelangsingan (slenderness
ratio). Angka kelangsingan tidak memiliki dimensi dan satuan. Metode untuk menentukan jari-
jari girasi suatu penampang telah didiskusikan pada BAB IV.
Jika kolom dapat berotasi dengan bebas di setiap ujungnya, maka peristiwa tekuk terjadi pada
sumbu di mana jari-jari girasi bernilai minimum.

Jika sebatang kolom yang panjang, langsing, memiliki penampang yang sama sepanjang batang,
kedua ujungnya diberi tumpuan sendi, dan menerima beban tekan aksial sebesar Pcr maka besarnya
tekuk yang terjadi mengikuti formula:
𝜋 2 𝐸𝐼
𝑃𝑐𝑟 =
𝐿2
di mana E merupakan modulus elastisitas, I adalah nilai momen inersia minimum dari penampang
pada sumbu yang melewati centroid, dan L adalah panjang batang. Rumus tersebut dibuktikan
pada soal 7.1.
Rumus tersebut pertama kali diperoleh oleh seorang ahli matematika berkebangsaan Swiss
Leonhard Euler (1707-1783) dan beban kritis Pcr sering disebut beban tekuk Euler. Sebagaimana
didiskusikan pada soal 15.2, rumus tekuk Euler tidak langsung dapat diterapkan jika tegangan
aksial melampaui batas proporsi material. Tegangan aksial adalah cr=Pcr/A, di mana A
menunjukkan luas penampang batang. Sebagai contoh pada sebatang baja yang memiliki batas
proporsi sebesar 210 MPa, rumus di atas hanya tepat jika nilai angka kelangsingan kolom lebih
dari 100. Nilai tegangan kritis Pcr pada rumus tersebut merupakan beban patah; konsekuensinya;
sebuah nilai faktor keamanan harus diberikan untuk mendapatkan nilai beban rencana (design
load). Aplikasi kasus ini dibicarakan pada soal 7.5 – 7.9.

146
Proses penurunan matematis yang menghasilkan rumus beban tekuk Euler (Pcr) mengasumsikan
bahwa kolom diberi beban konsentris sempurna sedemikian rupa sehingga resultannya tepat
berada di garis netral. Jika gaya aksial P diberikan dengan sebuah eksentrisitas e, maka puncak
tegangan tekan di dalam batang terjadi pada posisi serat yang lebih luar daripada titik pusat, dan
besarnya tegangan maksimum dihitung dengan rumus:

𝑃 𝑒𝑐 𝐿 𝑃
𝜎𝑚𝑎𝑥 = [1 + 2 sec ( √ )]
𝐴 𝑟 2𝑟 𝐴𝐸

di mana c adalah jarak dari sumbu netral ke serat terluar, r jari-jari girasi, L panjang kolom, dan A
luas penampang lintang. Rumus ini disebut formula secant sebatang kolom.

Rumus beban tekuk Euler dapat diperpanjang hingga wilayah inelastis dengan menggantikan
modulus Young (E) dengan modulus tangent (Et) sehingga diperoleh rumus modulus tangent
yaitu:
𝜋 2 𝐸𝑡 𝐼
𝑃𝑐𝑟 =
𝐿2

Desain batang tekan yang memiliki nilai angka kelangsingan tinggi dapat dihitung dengan
menggunakan rumus tekuk Euler di atas, bersamaan dengan diberikan faktor-faktor keamanan
yang diperlukan. Untuk desain kolom yang lebih pendek diwajibkan untuk menggunakan salah
satu dari banyak rumus empiris yang menunjukkan hubungan antara tegangan kritis dan angka
kelangsingan batang. Umumnya rumus tekuk kolom batang sedang menunjukkan nilai tegangan
kerja ijin sebagai fungsi dari angka kelangsingan di mana faktor keamanan telah diperhitungkan
dalam rumus tersebut. Dua rumus empiris dari banyak rumus empiris lainnya disajikan dalam Bab
ini, yaitu:
1. Rumus linier yang dipublikasikan pada Chicago Building Code yang menyatakan bahwa
tegangan kerja ijin pada sebatang kolom dihitung dengan rumus:

σw =112-0.49(L⁄r) MPa
Di mana L/r menunjukkan angka kelangsingan batang. Standar spesifikasi ini disarankan
hanya digunakan untuk wilayah angka kelangsingan 30<L/r<120 untuk komponen utama
dan maksimal L/r=150 untuk komponen secondary. Komponen secondary antara lain
batang yang digunakan sebagai pengaku (bracing) di antara kuda-kuda atap atau batang
yang digunakan untuk mengurangi angka kelangsingan sebatang kolom panjang dengan
cara menambahkan pengaku (bracing) pada beberapa titik antara.

147
2. Rumus parabola yang dipublikasikan dalam The Specifications of American Institute of
Steel Construction (AISC) yang menyatakan bahwa tegangan kerja ijin pada sebatang
kolom dihitung dengan rumus:
2
σw =119-0.0034(L⁄r) MPa
yang berlaku untuk angka kelangsingan kurang dari 120.
Kedua rumus empiris di atas menunjukkan penurunan nilai tegangan kerja ijin sebatang kolom
jika angka kelangsingannya meningkat.

Batang yang menerima gaya tekan aksial dan beban lateral secara bersamaan disebut balok-kolom.

Bentuk kurva defleksi dari sebatang batang yang tertekuk dapat diperoleh secara eksak
menggunakan persamaan diferensial.

Jika sebuah batang di beri beban yang selalu bertindak pada arah tangensial batang yang telah
terdeformasi, maka sistem tersebut sudah tidak lagi konservatif dan tidak valid lagi dihitung secara
menggunakan rumus beban tekuk Euler. Pada kasus seperti itu analisis dinamis diperlukan untuk
menentukan hubungan antara beban dan defleksi.

7.1. Tentukan beban kritis sebatang kolong yang


panjang dan langsing yang menerima beban y

aksial tekan di ujung-ujungnya. Garis tindak


gaya yang bekerja melalui centroid penampang
x A
batang. (Gambar 7.3) P y P
L x
Beban kritis merupakan gaya aksial yang
cukup menyebabkan kolom mengalami Gambar 7.3
perubahan bentuk. Perubahan bentuk pada
kolom akibat beban tekan sebesar P
diilustrasikan pada Gambar 7.3.
Tentu saja salah satu ujung batang harus mampu bergerak aksial relatif terhadap ujung
lainnya agar lateral defleksi dapat terjadi. Persamaan diferensial dari kurva defleksi adalah
sama seperti pada balok lentur yaitu:
d2 y
EI =M ........................................................................................................................... (1)
dx2

Dipilih titik A yang memiliki koordinat (x,y). Momen lentur pada titik A diakibatkan oleh
gaya P di ujung kiri batang pada sumbu yang melalui titik A dan tegak lurus dengan

148
permukaan halaman buku ini. Perlu dicatat bahwa gaya tersebut menyebabkan lengkungan
yang cekung ke arah bawah sehingga sesuai dengan perjanjian penandaan menunjukkan
lentur negatif. Oleh karena itu momen lenturnya adalah M=-Py dan Persamaan 1 diubah
menjadi:
d2 y
EI =-Py .......................................................................................................................... (2)
dx2

Jika ditetapkan:
P
=k2 .................................................................................................................................. (3)
EI

Maka:
d2 y
+k2 y=0 ........................................................................................................................... (4)
dx2

Persamaan 4 dapat diselesaikan dengan teknik standar pada persamaan differensial, namun
solusinya hampir segera tampak. Kita perlu mencari sebuah fungsi yang jika dua kali
diturunkan lalu ditambahkan pada dirinya sendiri (dikalikan suatu konstanta) adalah bernilai
nol. Terbukti bahwa sin kx maupun cos kx merupakan fungsi yang memiliki sifat-sifat
tersebut, maka persamaan 5 dapat dipilih sebagai penyelesaian persamaan 4.
y=C sin kx + D cos kx ........................................................................................................ (5)
Bukti penyelesaian dapat dicek dengan mensubstitusikan nilai y pada persamaan 5 ke dalam
persamaan 4.
Nilai y diambil dari bentuk persamaan 5, selanjutnya perlu menentukan nilai C dan D. Pada
ujung kiri batang y=0 ketika x=0, dan dengan mensubstitusikan nilai tersebut ke persamaan
5 diperoleh:
0=0+D atau D=0
Pada ujung kanan batang, y=0 ketika x=L sehingga dengan mensubsitusikan nilai tersebut
ke persamaan 5 dan ditetapkan nilai D=0 maka:
0=C sin kL ......................................................................................................................... (6)
Terbukti penyelesaian persamaan 6 dapat diperoleh jika C=0 atau sin kL=0, namun jika C=0
maka nilai y di seluruh batang adalah nol sehingga penyelesaian yang dipilih adalah sin
kL=0. Agar persamaan 6 bernilai benar, maka:
kL = n radian; (n=1, 2, 3, …) .......................................................................................... (7)
Dengan mensubstitusikan kembali k2=P/(EI) ke dalam persamaan 7 diperoleh:
𝑃 𝑛2 2 𝐸𝐼
√ 𝐿 = 𝑛 atau 𝑃 = ............................................................................................. (8)
𝐸𝐼 𝐿2

Nilai terkecil bagi beban P dari persamaan 8 terjadi saat n=1 sehingga mode pertama tekuk
pada saat beban kritis Pcr adalah:
2 𝐸𝐼
𝑃𝑐𝑟 = ........................................................................................................................... (9)
𝐿2

149
Persamaan 9 disebut dengan beban tekuk Euler untuk sebatang kolom yang ujung-ujungnya
bertumpuan sendi. Bentuk defleksi yang terjadi pada beban ini adalah:

𝑃
𝑦 = 𝐶 sin (√ 𝑥) ............................................................................................................ (10)
𝐸𝐼

Substitusi persamaan 9 ke dalam persamaan 10 diperoleh:


𝑥
𝑦 = 𝐶 sin ...................................................................................................................... (11)
𝐿

Sesuai dengan Persamaan 11, kurva defleksi pada kolom tekuk merupakan kurva sinus.
Namun oleh karena pendekatan sebagaimana diperkenalkan pada persamaan 1, maka tidak
mungkin untuk mendapatkan amplitudo bentuk kolom tekuk yang dinyatakan dengan notasi
C pada persamaan 11. Sebagaimana dilihat pada persamaan 9, tekuk pada batang akan terjadi
pada arah sumbu di mana nilai momen inersia (I) memiliki nilai minimum.
7.2. Tentukan tegangan aksial pada kolom sebagaimana pada soal 7.1.
Pada rumus EI/(d2y/dx2) = M yang digunakan untuk menentukan beban kritis pada Soal 7.1
terdapat asumsi hubungan linier (proporsional) antara tegangan dan regangan sehingga nilai
tegangan kritis pada persamaan 9 kasus 7.1 hanya benar untuk kondisi batas proporsi
material belum terlampaui.
Tegangan aksial pada batang ketika kolom menerima beban kritis adalah:
𝑃𝑐𝑟
𝜎𝑐𝑟 = .............................................................................................................................. (1)
𝐴

di mana A merupakan luas penampang batang. Dengan mensubstitusi nilai Pcr dengan
Persamaan 9 pada soal 7.1 diperoleh:
𝜋2 𝐸𝐼
𝜎𝑐𝑟 = ............................................................................................................................ (2)
𝐴𝐿2

Nilai momen inersia (I) dapat dinyatakan dengan:


𝐼 = 𝐴𝑟 2 ................................................................................................................................ (3)
di mana r menunjukkan jari-jari girasi dari penampang batang. Substitusi persamaan 3 ke
dalam persamaan 2 diperoleh:
𝜋2 𝐸𝑟 2
𝜎𝑐𝑟 = .......................................................................................................................... (4)
𝐿2

𝜋2 𝐸
𝜎𝑐𝑟 = (𝐿⁄ .......................................................................................................................... (5)
𝑟 )2

Rasio antara panjang (L) dan jari-jari girasi (r) disebut dengan slenderness ratio (angka
kelangsingan) batang.
Sebagai contoh adalah sebatang kolom baja memiliki nilai batas proporsi 210 MPa dan E =
200 GNm-2. Maka batas tegangan kritis di mana rumus tekuk (persamaan 9 soal 7.1) berlaku
adalah:
𝜋2 200109 𝐿
210104 = (𝐿⁄𝑟 )2
atau ≈ 100 ................................................................................ (6)
𝑟

150
Sehingga untuk material baja tersebut, rumus tekuk Euler berlaku untuk angka kelangsingan
lebih dari 100.
7.3. Tentukan beban kritis untuk kolom panjang dan langsing yang kedua ujungnya dijepit dan
diberi beban tekan aksial.
Beban kritis yang cukup memadai untuk menyebabkan benda mengalami sedikit perubahan
bentuk disajikan pada Gambar 7.4.
Moment M0 di setiap ujung muncul akibat reaksi y
tumpuan. Moment tersebut mencegah terjadinya M0 L/4 L/4 L/4 L/4
A B M0
rotasi angular batang di setiap ujung. P P x
Pengamatan pada Gambar 7.4 menunjukkan L

bahwa bagian tengah dari kolom yaitu yang Gambar 7.4


berada di antara titik A dan B serupa dengan
kurva defleksi kolom bertumpuan sendi-sendi yang didiskusikan pada soal 7.1. Oleh karena
itu, untuk kolom bertumpuan jepit-jepit sepanjang L/2 membentuk kurva deformasi yang
serupa dengan kolom bertumpuan sendi-sendi dengan panjang L. Sesuai dengan alasan
tersebut maka beban kritis untuk kolom bertumpuan jepit-jepit dapat dihitung dengan rumus:
𝜋 2 𝐸𝐼 4𝜋 2 𝐸𝐼
𝑃𝑐𝑟 = =
(𝐿⁄2) 2 𝐿2
Lagi-lagi rumus di atas berlaku untuk kolom yang diberi beban aksial yang tidak melebihi
batas proporsi material. Rumus tersebut di atas diturunkan berdasarkan intuisi saja,
sedangkan penyelesaian eksak yang lebih tepat menggunakan persamaan differensial
disajikan pada soal 7.4.

7.4. Tentukan beban kritis untuk kolom panjang dan langsing yang ujung-ujungnya dijepit
sebagaimana Soal 7.3. Lakukan penyelesaian eksak dengan menggunakan persamaan
differensial.
Sistem koordinat x-y sebagaimana disajikan pada Gambar 7.4 dapat digunakan untuk
menunjukkan koordinat titik-titik pada batang. Momen lentur pada suatu titik merupakan
jumlah momen dari gaya-gaya di sebelah kiri dari titik tersebut terhadap sumbu yang melalui
titik tersebut dan tegak lurus dengan halaman buku ini. Maka pada suatu titik tertentu dapat
diperoleh M=-Py+M0. Persamaan diferensial untuk lentur pada batang menjadi EI(d2y/dx2)
= -Py+M0 atau:
𝑑2𝑦 𝑃 𝑀0
+ 𝑦= ................................................................................................................... (1)
𝑑𝑥 2 𝐸𝐼 𝐸𝐼

Sesuai dengan pembahasan pada teks-teks persamaan differensial, solusi persamaan 1 terdiri
atas dua bagian. Bagian pertama adalah solusi persamaan homogen yang diperoleh dengan
menetapkan sisi kanan persamaan 1 bernilai nol yaitu:
𝑑2𝑦 𝑃
+ 𝑦 = 0 ..................................................................................................................... (2)
𝑑𝑥 2 𝐸𝐼

151
Dan solusi persamaan 2 telah dibahas pada soal 7.1 yaitu:

𝑃 𝑃
𝑦 = 𝐴1 cos (√ 𝑥) + 𝐵1 sin (√ 𝑥) ................................................................................ (3)
𝐸𝐼 𝐸𝐼

Bagian kedua dari solusi persamaan 1 disebut solusi tertentu (particular solution), yaitu
sembarang fungsi yang memenuhi kriteria persamaan 1. Salah satu dari fungsi tersebut
adalah
y=M0/P (=konstan) .............................................................................................................. (4)
Solusi umum untuk persamaan 1 merupakan jumlah dari persamaan 3 dan 4, yaitu: .............

𝑃 𝑃 𝑀0
𝑦 = 𝐴1 cos (√ 𝑥) + 𝐵1 sin (√ 𝑥) + ....................................................................... (5)
𝐸𝐼 𝐸𝐼 𝑃

Akibatnya:

𝑑𝑦 𝑃 𝑃 𝑃 𝑃
= −𝐴1 √ sin (√ 𝑥) + 𝐵1 √ cos (√ 𝑥) ............................................................... (6)
𝑑𝑥 𝐸𝐼 𝐸𝐼 𝐸𝐼 𝐸𝐼

Pada ujung kiri batang y=0 ketika x=0 sehingga substitusinya ke persamaan 5 diperoleh:
0=A1+M0/P. Di ujung kiri batang juga diperoleh nilai dy/dx=0 saat x=0 karena tepat pada
posisi tersebut batang masih mendatar. Substitusi nilai tersebut ke dalam Persamaan 6
diperoleh 0 = 0 + 𝐵1 √𝑃⁄(𝐸𝐼) atau B1=0.
Pada ujung kanan batang diketahui dy/dx=0 ketika x=L; dan dengan mensubstitusikannya ke
dalam persamaan 6 dan B1=0, diperoleh:

𝑃 𝑃
0 = −𝐴1 √ sin (√ 𝐿)
𝐸𝐼 𝐸𝐼

Namun A1=-M0/P dan karena rasio tidak bernilai 0 maka sin (√𝑃⁄(𝐸𝐼) 𝐿) = 0. Hal ini
hanya terjadi jika √𝑃⁄(𝐸𝐼) 𝐿 = 𝑛 untuk n=1, 2, 3, …. Akibatnya:
𝑛2 𝜋2 𝐸𝐼
𝑃𝑐𝑟 = ......................................................................................................................... (7)
𝐿2

Untuk kasus mode pertama tekuk sebagaimana diilustrasikan pada soal 7.1 kurva defleksi
batang terlentur memiliki kemiringan (slope) horizontal pada saat x=L/2 sehingga dy/dx=0
pada posisi tersebut sehingga Persamaan 6 sekarang berbentuk:
𝑑𝑦 𝑀0 𝑛𝜋 𝑛𝜋𝑥
= sin .............................................................................................................. (6’)
𝑑𝑥 𝑃 𝐿 𝐿

Dan karena dy/dx=0 pada x=L/2, diperoleh:


𝑀0 𝑛𝜋 𝑛𝜋
0= sin
𝑃 𝐿 2
Yang hanya dapat dipenuhi jika n bernilai genap yaitu n=2, 4, 6, ….

152
Untuk nilai minimum yang mungkin yaitu n=2 maka Persamaan 7 menjadi:
4𝜋 2 𝐸𝐼
𝑃𝑐𝑟 =
𝐿2
Persamaan di atas berlaku untuk beban kritis pada kolom yang ujung-ujungnya dijepit dan
menerima beban aksial tekan. Hasil ini mengonfirmasi persamaan yang diperoleh dengan
penurunan berdasar intuisi seperti pada soal 7.3.
7.5. Tentukan beban kritis untuk sebatang kolom panjang dan langsing yang salah satu ujungnya
dijepit dan ujung lainnya bebas, serta dibebani gaya tekan aksial di ujung bebas.
Gambar 7.5 mengilustrasikan kasus pada soal ini.
Pengamatan pada Gambar 7.5 menunjukkan
P bahwa seluruh batang mengindikasikan bentuk
M0
yang serupa dengan setengah panjang dari kolom
P sendi-sendi yang dibahas pada Soal 7.1. Dengan
pertimbangan tersebut, panjang 2L pada kolom
L
jepit-bebas adalah setara dengan panjang L pada
Gambar 7.5
kolom sendi-sendi, maka:
𝜋 2 𝐸𝐼 4𝜋 2 𝐸𝐼
𝑃𝑐𝑟 = =
(2𝐿)2 𝐿2
7.6. Tentukan angka kelangsingan sebatang kolom kayu berukuran penampang 200250 mm dan
panjang 8 m.
Sebagaimana dijelaskan pada Soal 7.1 tekuk pada kolom akan terjadi pada sumbu di mana
nilai Momen Inersia (I)-nya bernilai paling kecil. Pada soal 7.6 ini momen inersia
penampang kayu berbentuk persegi panjang adalah:
𝑏ℎ3 2502003 𝑏3 ℎ 2503 200
𝐼= = = 166.67106 mm4 dan 𝐼 = = = 260.42 106 mm4
12 12 12 12

Dari kedua nilai tersebut, momen inersia minimum adalah 166.67 mm4, maka jari-jari girasi
minimum adalah:

𝑟 = √𝐼 ⁄𝐴 = √166.67106 ⁄(250200) = 57.73 mm


Dan angka kelangsingannya adalah:
𝐿 8000
= = 138.56
𝑟 57.73
7.7. Sebatang baja berpenampang persegi empat 40 mm  50 mm dan berpenumpu sendi di kedua
ujungnya menerima beban tekan aksial. Bila diketahui batas proporsi material adalah 230
MPa dan E=200 GNm-2, tentukan panjang minimum kolom agar rumus tekuk Euler dapat
dipergunakan.
𝑏ℎ3 50403
Momen inersia minimum penampang adalah 𝐼 = = = 266.67103 mm4
12 12
sehingga jari-jari girasi minimum adalah:

𝑟 = √𝐼 ⁄𝐴 = √266.67103 ⁄(5040) = 11.54 mm

153
Tegangan aksial pada batang sudah dibahas pada soal 15.2 yaitu:
2 𝐸
𝜎𝑐𝑟 =
(𝐿⁄𝑟)2
Panjang minimum di mana rumus tekuk Euler berlaku dapat diperoleh dengan
mensubstitusikan tegangan kritis 230 MPa sehingga diperoleh:
2 ×200×109 ×10−6
230 = (𝐿⁄11.54)2
atau L=1065 mm=1.065 m.

7.8. Pertimbangkan lagi sebatang baja berukuran penampang 50 mm  40 mm, ujung-ujungnya


diberi tumpuan sendi dan menerima beban aksial tekan. Panjang batang 2 m dan E=200
GNm-2. Tentukan beban tekan kritis menggunakan rumus tekuk Euler.
𝜋 2 𝐸𝐼 𝜋 2 × 200 × 109 × 10−6 × 266.67103
𝑃𝑐𝑟 = 2 = = 131596 N = 131.6 kN
𝐿 20002
Besarnya tegangan pada beban kritis tersebut adalah:
𝑃𝑐𝑟 131596
𝜎𝑐𝑟 = = = 65.8 MPa
𝐴 50 × 40
7.9. Tentukan beban kritis untuk sebatang baja WF ketebalan 250 mm yang memiliki momen
inersia Ixx=4106 mm4 dan Iyy=4108 mm4, dan bertindak sebagai kolom yang ujungnya
sendi-sendi. Panjang kolom adalah 4 m dan E=200 GNm-2. Gunakan teori Euler.
Nilai momen inersia minimum adalah 4106 mm4 sehingga nilai ini yang digunakan dalam
perhitungan:
𝜋 2 𝐸𝐼 𝜋 2 × 200 × 109 × 10−6 × 4106
𝑃𝑐𝑟 = 2 = = 493480 N = 493.5 kN
𝐿 40002

154
1. Sebuah balok kayu berukuran 150 mm x 300 mm x 3000 mm, menerima beban seperti
Gambar 8.1. Tentukan perpanjangan total kayu tersebut jika diketahui modulus elastisitas
(E)-nya adalah 9 GNm-2.

45 kN 60 kN 9 kN 6 kN

500 mm 1m 1.5 m

Gambar 8.1.

Jawab:
15 kN 15 kN
45 kN 45 kN

500 mm 1000 mm

A B

6 kN 6 kN

1500 mm

 P A PL PL
E    
  A EA
L

PL 45  10 3  500
Potongan A:  A  
EA  
9  10 9  10 6 150  300 

PL 15  10 3  1000
Potongan B:  B  
EA  
9  10 9  10 6 150  300 

PL 6  10 3  1500
Potongan C:  C  
EA  
9  10 9  10 6 150  300 
Total deformasi:

45  10 3  500  15  10 3  1000  6  10 3  1500


   A   B  c   3  10 3 mm
 
9  10  10 150  300 
9 6

Kesimpulan: terjadi pemendekan batang sebesar 3  10 3 mm .

2. Buktikan bahwa perpanjangan () akibat berat sendiri () pada kerucut yang digantung
L2
pada alasnya (Gambar 2) adalah   , di mana L adalah tinggi kerucut, dan E adalah
6E
modulus elastisitas.

r y
dy
L L

Gambar 8.2

Besarnya jari-jari (r) pada jarak sejauh y dari alas kerucut adalah:
r L y
 r  L  y 
R

R L L
Luas penampang alas kerucut pada jarak sejauh y dari alas kerucut adalah:
2
R  R2
A  r    L  y    2 L  y 
2 2

L  L

Beban yang diterima oleh potongan dy adalah:


2
R
 L  y  L  y 
r 2 L  y  L  R 2
W  V     L  y 3
3 3 3L2
Berdasarkan hukum Hooke, maka perpanjangan yang terjadi pada potongan dy :
R 2
Wdy 2
L  y  dy  L  y 
3

d   3L 2  dy
E 2 L  y 
EA R 2 3E
L

156
3. Pada praktik struktur, klip baja siku-siku sering digunakan untuk meneruskan beban dari
balok horizontal ke kolom vertikal. Jika reaksi tumpuan di klip baja tersebut berupa gaya
sebesar 40 kN (Gambar 8.3), dan dua buah rivet masing-masing berdiameter 20 mm
digunakan untuk menahan gaya tersebut, tentukan rata-rata tegangan geser di tiap-tiap
rivet. Asumsikan bahwa rivet mengisi lubang, dan diameter lubang 1.5 mm lebih besar
daripada diameter rivet.

 L  y 
L
 L y   L y 2   L L2   L  02 
L L
 dy     dy   y   L  0 
0
3E 0
3E 3E   3E 6 E  0  3E 6 E   3E 6 E 
 L L2  L2
  L  
 3 E 6 E  6E

Gambar 8.3.

Tegangan geser dinyatakan dengan:


P

A
Pada kasus ini beban (P) sebesar 40000 kN.
Oleh karena rivet dipress sehingga mengisi penuh lubang bor maka luas penampang (A)
adalah:

  D   D 2    20  1.52 
A  2     2
 


 4   4 
Maka tegangan geser yang terjadi adalah:
40  10 3 2  40  10 3
   55 .1167 Nmm - 2  55 .1167 MPa
  20  1.52 
2   
 
 20  1.52
4 
 

157
4. Sebuah benda berbentuk kerucut terpancung digantung pada permukaan D
yang rigid (Gambar 8.4). Diameter alas kerucut terpancung adalah D,
diameter ujung d, dan tinggi L. Berat jenis benda tersebut , dan modulus
elastisitasnya E. Berat sendiri tidak diabaikan.
, E L
a. Jika benda tersebut menerima beban tarik sebesar P, tentukan
berapakah perpanjangan benda tersebut.
b. Diketahui =8104 N m-3, D=100 mm, d=20 mm, L =1 m, E=100
GN m-2, dan tegangan kerja izinnya 200 MPa. Tentukan berapakah d
beban P maksimum yang masih dapat diterima oleh benda tersebut
P
dengan aman. Berapa perpanjangan yang terjadi pada beban
maksimum tersebut. Gambar 8.4
Jawab:
a. Pertama-tama diperlukan rumus volume kerucut terpancung. y
Volume kerucut terpancung dengan radius atas R dan bawah r dapat R
dihitung dengan cara berikut:
Sesuai dengan Gambar 8.5, besarnya x’ dapat dihitung dari prinsip
kesebangunan segitiga yaitu: r x’
dy L

 atau x'  R  r 
x' y y y
Rr L L
Sehingga x adalah:
r x

x  r  x'  r 
y
R  r  P
L
Sesuai dengan Gambar 2, jika dy sangat tipis maka volume dV Gambar 8.5
adalah:

 2 y 
2
 
2
dV  x dy    r  R  r  dy    r 2  2r R  r   R  r  2 dy
2 y y
 L   L L 

Sehingga volume kerucut terpancung adalah:

 
d   r  R  r  
y
2 2
     
L L L
V   x 2 dy     r  R  r  dy     r  R  r  
y y L
0 
L  0 
L   Rr 
0
 
 L 
L
L   
3
L  
3
   
3

  r 
y
 R  r      r 
L
 R  r    r 
0
 R  r   
3R  r   L   0 3R  r    L   L  


L
3R  r 
r  R  r   r    L R
3 3

3R  r 
3
 r3 

158
Diketahui bahwa:

R  r 3  R3  3rR 2  3r 2 R  r 3 atau R 3  r 3  R  r   3rR 2  3r 2 R


3

Sehingga rumus umum volume kerucut terpancung adalah:

L  R  r 3
V
L
3R  r 
R 3

 r3 
3  R  r 

3rR 2  3r 2 R  L
R  r   3

 
R  r 2  3rR 
L 2 L 2

3

R  2rR  r 2  3rR 
3
 
R  rR  r 2  
Perpanjangan yang terjadi pada benda akibat beban tarik dihitung dengan rumus:

 PA PL
E  atau  
  AE
L
Besarnya beban total yang diterima oleh setiap lapisan dy pada benda tersebut adalah
beban P ditambah berat benda W di bawah lapisan dy tersebut. Berat benda W di bawah
lapisan dy adalah berat jenis dikalikan volume kerucut terpancung dengan diameter
jari-jari atas sebesar x, jari-jari bawah sebesar r, dan tinggi y:
y
W 
3
x 2
 rx  r 2 
Substitusi x, maka:

y   
2
  
r   R  r   r  r   R  r   r 2 
y y
W  
3   L   L  

Luas bidang tarik A juga mengalami perubahan yaitu:


2
 
A  x 2    r  R  r 
y
 L 
Perpanjangan yang terjadi di setiap lapisan dy adalah:

  
 P   y   r  y R  r   r  r  y R  r   r 2  dy
2


 3   L   L  

d  2
 
  r   R  r  E
y
 L 

159
 y   2

    r  y R  r   r  r  y R  r   r 2  
 3  L   L  
P   
d  2
dy  2
dy
   
  r  R  r  E   r   R  r  E
y y
 L   L 
  2

 y  r  y R  r   r  r  y R  r   r 2  
  L   L  
P   
 2
dy  2
dy
   
  r  R  r  E 3 r  R  r  E
y y
 L   L 
 
 
P y  r r 2

 dy   1  2 
dy
 
2
   
  r   R  r   r   R  r  
3E y
E  r  R  r 
y y
  L   
 L   L  
 
 
P y  1 1 
 dy  1 

2   R  r    2 
dy
R  r   
y 3E R r
E  r   1 y 1  y  
 Lr
 L    Lr  
P y y y
 dy  dy  dy  dy
 
2
3E  R  r       
2

E  r  R  r 
y 3 E 1  y R r
3 E 1  y
 L   Lr   Lr 
Total perpanjangan () adalah integral persamaan di atas untuk 0yL, yaitu:
L
P
L
y L
y L
y
 dy   dy   dy   dy
  3E 2
 R  r    R  r  
2

E  r  R  r 
y 0 3E 1 
0 0
 y 0
3 E 1  y
 L   Lr   Lr 
Penyelesaian suku-suku persamaan integral tersebut dapat dilakukan satu per satu:
 
d  r   R  r 
y
L L
1  
P
dy  P 
1  L 
 
2
0  
2
 R  r 
E  r  R  r   r   R  r 
0 y y
Suku I:  L   L  L

 
L
d  r   R  r 
PL 1 y
 
E R  r  0   
2
L 
 r   R  r 
y
 L 

160
L
   
PL  1  PL  1 1 
1         
E R  r   r  y R  r   E R  r   r  L R  r  r  0 R  r  
 
 L 0  L L 
PL  1 1 PL 1 1  LP  R r 
            Suku II:
E R  r   r  R  r  r  E R  r   r R  E R  r   rR rR 


PL
R  r   PL
ErR R  r  ErR
y  L2
y 
L
2   dy  2 L
0 
0
3E 6E 6E

L
y  L
y
Suku III:  3  
3E   R  r  
dy  dy
 R  r  
0 3 E 1  y 1 0 y
 Lr   Lr 
L
y y
Persamaan   R  r   dy merupakan integral bentuk rasional  a  by  dy yang
0
1  y
 Lr 
tersedia penyelesaiannya dalam buku-buku kalkulus yaitu:

 a  by  dy  b a  by  a ln a  by   C
y 1
2

R  r 
di mana a=1 dan b 
Lr
Dengan mensubstitusikan nilai a dan b untuk kasus ini, diperoleh:

 R  r   R  r   
L
 L
y  1
3  
3E 0  R  r  
dy 
3E  R  r   2 1  Lr y  ln 1  Lr y 
   0
1  y  
 Lr   Lr 
L2 r 2    R  r   R  r     R  r   R  r    
  1 
2 
L  ln 1  L    1  0  ln 1  0   
3E R  r    Lr  Lr   Lr  Lr 
L2 r 2    R  r   R  r    
  1 
2 
 ln 1     1  ln 1
3E R  r    r  r  
L2 r 2   R  r   R  r   
3  
2 
 ln 1  
3E R  r   r  r  
L2 r 2   R  R 
   1  ln   
2 
3E R  r   r  r 
L
y  L
y
Suku IV:  4  
3E   R  r  
dy  dy
 R  r  
2 2
0
3 E 1  y 1 
0
y
 Lr   Lr 

161
y
Persamaan di atas juga merupakan integral bentuk rasional  a  by 
2
dy dengan nilai

a=1 dan b 
R  r  . Penyelesaian integral bentuk rasional seperti di atas:
Lr

 a 
 ln a  by   C
y 1
 a  by  2
dy 
b2

 a  by 

Dan setelah dimasukkan nilai a dan b pada integral tertentu untuk wilayah 0yL:
L
 
    R  r  
L
y 1 1
3E 0  R  r   2
4  dy    ln 1  y 
3E  R  r   2 1  R  r  y  Lr 
1  y    Lr 0
 Lr   Lr 
   
   
Lr   R  r      R  r    
2 2
 1 1
  ln 1  L   ln 1  0
3E R  r 
2
  R  r   Lr    1  R  r  0  Lr 
 1  L   
 Lr   Lr 
  
  
Lr   R  r     1 
2 2

    ln 1
 1
  ln 1 
3E R  r 
2
  R  r   r  1 
1  
 r  
  
  
L2 r 2   
 ln 1   1   1  0 
 1 R

3E R  r     
2
R r
  1  1  
 r  
L2 r 2  r R 
   ln    1
3E R  r  r 
2
R

162
Total perpanjangan () adalah penjumlahan semua suku yaitu:
  1   2   3   4
PL L2 L2 r 2  R  R  L2 r 2  r R 
     1  ln       ln    1
ErR 6 E 3E R  r 2 r  r   3E R  r 
2
R r 
PL L2 L2 r 2  R R r R 
     1  ln     ln    1
ErR 6 E 3E R  r 2 r r R r 
PL L2 L2 r 2   R r 
   2 
 1   1
ErR 6 E 3E R  r   r R 
PL L2 L2 r 2   R2  r2 
     2 
ErR 6 E 3E R  r 2  Rr 
PL L2 L2 r 2   R 2  r 2  2 Rr 
    
ErR 6 E 3E R  r 2  Rr 
L2 L2 r 2  R  r 
2
PL
  
ErR 6 E 3E R  r 2 Rr
PL L2 L2 r
  
ErR 6 E 3ER
PL  L2 R 2 L2 r 
    
ErR  6 ER 6 ER 
L2

PL
 R  2r 
ErR 6 ER
Selanjutnya, karena radius adalah setengah diameter, maka rumus perpanjangan untuk
kerucut terpancung yang digantung pada permukaan rigid yang menerima beban
sebesar P dan berat sendiri (Gambar 8.5) adalah:
L2

4 PL
  D  2d 
EdD 6 ED
4 PL
Pada rumus perpanjangan di atas, merupakan perpanjangan akibat beban P,
EdD
L2
dan D  2d  merupakan perpanjangan akibat berat sendiri. Oleh karena itu,
6 ED
perpanjangan total adalah superposisi perpanjangan dari masing-masing beban.

b. Secara umum, tegangan tarik yang terjadi pada batang dinyatakan dengan:
P
 
A
Pada kasus ini, beban total yang diterima batang adalah beban P ditambah dengan berat
sendiri W. Nilai A juga bervariasi. Maka tegangan yang terjadi di sembarang posisi y
adalah:

163
y   
2
  
r   R  r   r  r   R  r   r 2 
y y
P 
P W 3   L   L  

  2
A  
  r   R  r 
y
 L 
Persamaan tegangan diubah menjadi persamaan beban, yaitu:

y   
2 2
    
P    r  R  r      r  R  r   r  r  R  r   r 2 
y y y
 L  3   L   L  

Tegangan maksimum dapat terjadi di salah satu dari tiga lokasi yaitu saat y=0, y=L,
atau ketika turunan pertama bernilai nol (titik stasioner).

Pemeriksaan pertama dilakukan pada y=0

 0   
2
  
r   R  r   r  r   R  r   r 2 
0 0
P 
3   L   L  
 P
 

2
r 2
r 
0
R  r 
 L 
atau
P  r 2
Dan dengan memasukkan nilai-nilainya diperoleh:

 
P  r 2  200   10 2  62831.85 N  62.83 kN

Pemeriksaan berikutnya pada y=L

L   
2
  
r   R  r   r  r   R  r   r 2 
L L
P 
3   L   L  

 2
 
  r   R  r 
L
 L 
L 2
P
3

R  rR  r 2 

R 2
atau
L
P  R 2  
3
R 2
 rR  r 2 

164
Dan dengan memasukkan nilai-nilainya diperoleh:
  1000

P  200    50 2  8  10 4  10 9   3

 50 2  10  50  10 2 
 1570537 N  1570 kN
Pemeriksaan berikutnya pada titik stasioner yaitu ketika turunan pertama persamaan
beban bernilai nol.

y   
2 2
    
P    r  R  r    r   R  r   r  r   R  r   r 2 
y y y

 L  3   L   L  

 y2 2
P    r 2  2r R  r   2 R  r  
y
 L L 
y   y2 2  2 y  2 
  r 2
 2 r
y
 R  r    R  r     r  r  R  r  r 
3   L L2 
  L  
 y2 2
  r 2  2r R  r    2 R  r  
y
 L L 
  r  R  r  2 
  2 R  r  y 3  2    y  r 2 y 
2

 3L 3L 



R  r 2 y 3    R  r   2    r  R  r  y 2   2 R  r   r ry  r 2
   
2
3L L 3 L L
dP  
  2 R  r  y 2   
2 R  r   2    r  2R  r  y   2 R  r   r r
  
dy L  L 3  L  L 
Titik stasioner diperoleh ketika turunan pertama bernilai nol.

0

R  r 2 y 2   R  r   2    r  2R  r  y   2 R  r   r r
   
2
L L 3 L L
Persamaan di atas merupakan persamaan kuadrat:

0  ay 2  by  c
Yang dapat diselesaikan dengan rumus abc:

 b  b 2  4ac
y1, 2 
2a
Di mana :

a R  r 2
L2


b   
R  r   2    r  2R  r 

 L 3  L


c   2
R  r   r r

 L 

165
Maka solusi bagi y adalah


  
R  r   2    r     R  r   2    r    2 r  2 R  r   r 
2

    
 L 3   L 3   L 
y1, 2 

 R  r 
L
y1  -249.988639 mm dan y2  4999977.22mm
Nilai y1 dan y2 berada di luar selang 0y1000 mm sehingga tidak ada titik stasioner
dalam selang tersebut. Oleh karena itu, beban maksimum diambil nilai terkecil dari
dua pemeriksaan yang telah dilakukan. Beban P maksimum yang dapat diterima
dengan aman oleh batang tersebut adalah 62.83 kN.

Perpanjangan yang terjadi pada beban maksimum tersebut adalah:

L2

4 PL
  D  2d 
EdD 6 ED


4  62831.85  1000


8  10 4  10 9  1000 2 
100  2  20 
  
  100  10 9  10 6  20  100 6  100  10 9  10 6  100 
 0.400187 mm
5. Sebuah benda berbentuk kerucut terpancung digantung pada d
permukaan yang rigid (Gambar 8.6). Diameter alas kerucut terpancung
adalah D, diameter ujung d, dan tinggi L. Berat jenis benda tersebut ,
dan modulus elastisitasnya E.
, E L
a. Tentukan perpanjangan akibat berat sendiri
b. Jika selain berat sendiri benda tersebut juga menerima beban tarik
sebesar P, tentukan berapakah total perpanjangannya.
c. Diketahui  = 4107 N m-3, D = 100 mm, d = 50 mm, L = 1.5 m, D
E = 6 GN m-2, dan tegangan kerja izinnya 75 MPa. Tentukan P
berapakah beban P maksimum yang masih dapat diterima oleh Gambar 8.6
benda tersebut dengan aman.
d. Berapa perpanjangan yang terjadi pada benda akibat beban maksimum sebagaimana
pada soal c tersebut.

166
Jawab: y
Volume kerucut terpancung adalah: r

L
V
3
R 2
 rR  r 2 
r x’
Jika sebuah benda elementer setebal dy dipilih pada jarak sejauh y dari dy L
sumbu x, maka radiusnya adalah x yaitu:
y
x  r  x'
Sedangkan x’ dapat diperoleh dari prinsip kesebangunan segitiga:
R x
x'

L y
atau x' 
L  y  R  r  P
Rr L L Gambar 8.7
Maka:

xr
L  y  R  r 
L
Volume kerucut di bawah bidang dy adalah:
y
V
3
R 2
 xR  x 2 

V
y  
R  r 
 L  y   R  r  R   r   L  y   R  r  2


  
2

3   L   L  

a. Perpanjangan pada umumnya dinyatakan dengan:
 PL PL
E  
 A atau AE

Perpanjangan akibat berat sendiri pada bangun elementer setebal dy, dapat diperoleh
dengan mensubstitusikan berat sendiri (W) menggantikan P dan luas bidang elementer
menggantikan A.
Berat sendiri (W) kerucut di bawah bidang elementer dy adalah:

W  V  
y  
R2   r 
 L  y   R  r  R   r   L  y   R  r  2


  
3   L   L  

Sedangkan luas bidang elementer (A) adalah:


A  x    r 
 L  y   R  r  2


2

 L 

167
Maka perpanjangan akibat berat sendiri pada bangun elementer sebesar dy adalah:


y 
R  r 
 L  y   R  r  R   r   L  y   R  r  2


  
2

Wdy 3   L   L  
 dy
d  
AE 
r 
L  y  R  r  E 2


 L 

 
 
y  R 2
R 
d     1dy
  r  L  y  R  r   r 
3E  2
  L  y   R  r  
  
 L   L  

Perpanjangan total diperoleh dengan mengintegralkan d untuk wilayah 0 hingga L.

 
 
y 
L
R 2
R 
    1dy
  r  L  y  R  r 
3E  2
  L  y   R  r  
0
 r   
 L   L  
 
 
L
  R2 y Ry 
    y dy
3E     R  r
2
 
 r   R  r   y
 R  r 
  r   R  r   y L  
0

  L  
  

 
 
L
  R2 y Ry 
    y dy
  R  y R  r    R  y
3E  2
 R  r   
0
  
 L   L  

 
 
L
  y y 
    y dy
   y R  r     y
3E  R 2
R R  r   
0
 R  
 RL   R RL  

 
 
L
  y y 
    y dy
3E  R  r    R  r  
2
0  1 
 y  1  y 

  RL   RL  
Penyelesaian dilakukan untuk masing-masing suku:

168
Suku I:

 
 
 
L
y y
0   R  r   2 dy  adalah integral bentuk rasional  a  by  2
dy di mana a  1
 1  y 
 
 RL  

b
R  r 
dan RL .

Penyelesaian integral bentuk rasional tersebut adalah:


1  a 
 ln a  by   C
y
 a  by 2
dy  2 
b  a  by 
Maka

   
L
 
    R  r   
L
y 1 1
0   R  r   2 dy    R  r   2  R  r   ln 1 
 RL
y 

 1  y    1  y
   RL 0
 RL    RL 
   
   

1  1



 R  r     
1



 R  r   
ln  1 L  ln  1 0 
 R  r     1 
2
  R  r   RL    1   R  r   RL   
   L 0 
 RL  RL   RL 
  
  

1  1



 R  r   

1
   
ln  1   ln 1 
 R  r     1  R  r   R  1 
2

    
 RL  R  
  
  
   r 
  ln 1  1     1
1 1
 2 
 R  r    1  1  
r   R  
    
 RL     R   

R 2 L2   R  r   R 2 L2  R r  r 
    ln     1      ln  
R  r    r  R    R  r   r r  R  
2   2 

R 2 L2  R  r  r 
 
2 
 ln   
R  r   r  R 

169
Suku II:

 
L  
0   R  r   dy juga merupakan integral bentuk rasional
 y y
 a  by  dy di mana
 1  y 
 RL 

b
R  r 
a  1 dan RL .
Integral bentuk rasional tersebut dapat diselesaikan dengan:

 a  by  dy  b a  by  a ln a  by   C
y 1
2

Subsitusi a dan b untuk kasus ini menjadi:


 
 
 R  r   R  r   
L L

0   R  r   dy   R  r   2
 y 1
1  RL y  ln 1  RL y 
   0
 1  y   
 RL   RL 
1   R  r   R  r     R  r   R  r    
  1  L  ln 1  L    1  0  ln 1  0   

 R  r         
2
RL RL RL RL
 
 RL 
R 2 L2   R  r   R  r     R 2 L2    r   r  
 
2 
1   ln 1     1  ln 1 
 
2    ln     1
R  r    R  R   R  r     R   R  
R 2 L2   r  R   r  R 2 L2   r  R   r 
 
2    ln     
2    ln   
R  r    R   R   R  r    R   R  
Suku III:

 
L
1 2 L2
0 ydy  2 y
L
0 
2

Maka pertambahan panjang akibat berat sendiri adalah:

 
 
 
L
y y 
    y dy
3E  R  r   2
 R  r  
0  1  y 1  y 
   
 RL  RL 

170
  R 2 L2  R  r  r  R 2 L2   r  R   r   L 
2
    ln         ln    
3E  R  r 2  r 2 
 R   R  r    R 

 R   2 
  R 2 L2   R  r  r   r  R   r  L 
2
   ln         ln      
3E  R  r 2   r  R   R   R  2 
  R 2 L2  R 2  2 Rr  r 2  L2  L2  R 1  L2  2 R  r 
          
3E  R  r 2  Rr 
 2  3E  r 2  3E  2r 
L2
2 R  r   L  D  d   L 2 D  d 
2 2

6 Er 3Ed  2  6 Ed

Jadi rumus perpanjangan akibat berat sendiri pada kerucut terpancung yang digantung
pada posisi Gambar 8.7 adalah:

L2
 2 D  d 
6 Ed

b. Perpanjangan akibat beban P pada bangun elementer dy:


P P
d  dy  dy
  L  y   R  r  E 2
  y 
2

r     r   1   R  r   E
 L    L 
P P
 2
dy  2
dy
   
  r   R  r    R  r  E   R   R  r  E
y y
 L   L 

 
d  R   R  r 
y
L L

P P 1  L 
 
2
dy  
E 0  
2
 R  r 
  R  R  r  E  R  R  r 
0 y y 
 L   L  L
L
 
L
   
PL 1 y
  PL 1
E R  r  0 
 d  R  R  r      
 
2
 E R  r    
R   R  r 
L y
 R   R  r 
y
    0
 L  L
   
   
PL   1    1 
 
E R  r          
   R   R  r     R   R  r   
L 0
  L    L  
PL  1 1   r R
   
PL
  
PL
r  R 
E R  r   R r  E R  r   rR rR  ErR R  r 

171

PL
R  r   PL  4PL
ErR R  r  ErR EdD

Perpanjangan total merupakan superposisi dari perpanjangan akibat beban dan berat
sendiri. Perpanjangan akibat beban P adalah:
4 PL
1 
EdD
dan perpanjangan akibat berat sendiri (W) adalah:
L2
2  2 D  d 
6 Ed
Maka perpanjangan total adalah:
L2
 total  1   2 
4 PL
 2D  d 
EdD 6 Ed

c. Tegangan tarik merupakan beban per satuan luas. Pada kasus ini bebannya adalah
beban P ditambah berat sendiri W. Bagian ujung atas kerucut terpancung yang
digantung dengan posisi seperti Gambar 8.7 menerima beban paling besar yang
meliputi semua berat sendiri ditambah beban P. Bagian ujung atas juga memiliki luas
bidang tarik yang paling kecil. Maka tegangan tarik maksimum pasti terjadi di ujung
atas, yaitu sebesar:

 L 2
P W
P    
R  rR  r 2  
   3 
A r 2

 L 2
r 2  P    
R  rR  r 2 
 3 
 L 2
P  r 2    
R  rR  r 2 
 3 

Dengan memasukkan nilai-nilainya diperoleh:


P  75    25  4  10  10
2 7 9
 


  1.5  10 3
50 2  25  50  25 2 
 3 
 123386 N  123 kN

Jadi beban tarik maksimum yang masih dapat diterima dengan aman oleh benda
tersebut adalah 123 kN.

172
d. Sebagaimana hasil pada soal b, besarnya perpanjangan total dapat dihitung dengan
rumus:

L2
 total 
4 PL
 2 D  d 
EdD 6 Ed

Dengan memasukkan nilai-nilainya diperoleh:

 total 

4  123386  1.5  10 3 
  
4  10 7  10 9  1.5  10 3  2  100  50 
2

 
  6  10 9  10 6  50  100  
6  6  10 9  10  6  50
 20.355 mm
Jadi besarnya perpanjangan akibat beban maksimum adalah 20.36 mm.

6. Sebuah contoh uji terbuat dari kayu dengan dimensi seperti P


Gambar 8.8. Lebar contoh uji ke arah dalam kertas ini adalah

10 mm
50 mm. Contoh uji tersebut dijepit rigid dengan baja dan diberi
beban P hingga rusak (Gambar 8.8). Jika beban P yang
diberikan adalah 150 N, berapakah tegangan kerja izin geser

40 mm
kayu tersebut. Ditetapkan bahwa faktor keamanan geser adalah
1.3.
Jawab:
Luas bidang geser (A) adalah:
10 mm 10 mm
A  50  40  2000 mm 2
Gambar 8.8
Tegangan geser maksimum terjadi saat rusak yaitu:
P 150
   75 10 3 N mm - 2  75 kPa
A 2000
Tegangan kerja izin geser adalah kekuatan saat patah dibagi dengan faktor keamanan, yaitu:
75
  57.69 kPa
1 .3
Tegangan kerja izin geser kayu tersebut adalah 57.69 kPa.

Sebuah contoh uji dibuat dari kayu lapis (plywood) dengan dimensi 74  10  8 mm. Pada sisi
muka kayu lapis digergaji sehingga terbentuk celah selebar 2 mm hingga mencapai garis rekat.
Di sisi belakang digergaji pula pada jarak sejauh 20 mm dari gergajian sisi muka. Jarak

173
gergajian dari ujung-ujung contoh uji adalah 25 mm. Lebar Tampak Tampak Tampak
contoh uji 10 mm. (Gambar 8.9). Contoh uji dijepit di kedua Samping Depan Belakang
P P P
ujungnya dan ditarik dengan beban P hingga rusak. Beban P saat
rusak adalah 24 N. Berapakah kuat geser rekat kayu lapis
tersebut. Jika ditetapkan faktor keamanan geser adalah 1.3,
25 mm
tentukan tegangan kerja izin geser rekatnya.
2 mm
Jawab:
Kuat geser rekat merupakan tegangan geser rekat saat contoh uji 20 mm

rusak. Tegangan geser dapat dinyatakan dengan: 2 mm

P 25 mm

A
4 mm 4 mm 10 mm 10mm
Nilai beban P saat rusak adalah 24 N, dan A merupakan luas P P P

bidang rekat. Luas bidang rekat yang menerima beban geser pada Gambar 8.9
kasus Gambar 6 adalah:
A  20 10  200 mm
Maka kuat geser rekatnya adalah:
24
  0.12 N mm -2  0.12 MPa
200
Tegangan kerja izin merupakan kekuatan dibagi dengan faktor keamanan, maka tegangan
kerja izin geser rekat adalah:
0.12
  0.09231 N mm - 2  0.09 MPa
1 .3

7. Sebuah balok kayu diuji lentur dengan konfigurasi two point loading seperti Gambar 8.10.
P/2 P/2

a Lb a
h

b
L
Gambar 8.10

(a) Tentukan besarnya defleksi maksimum yang terjadi jika modulus elastisitas kayu tersebut
adalah E.
(b) Dari hasil pengukuran diketahui kayu patah saat pembebanan P 3 kN. Penampang lintang
balok 2525 mm. Jarak antar tumpuan 360 mm. Jarak beban terhadap tumpuan terdekat
140 mm. Tentukan tegangan lentur patah kayu tersebut. Tegangan lentur patah disebut juga
dengan modulus of rupture (MOR).

174
Jawab:
a. Pertama-tama perlu diketahui besarnya reaksi tumpuan. Persamaan keseimbangan
dapat digunakan untuk memperoleh besarnya reaksi tumpuan. Namun oleh karena
konfigurasinya yang simetris, besarnya reaksi di kedua tumpuan adalah sama besar
yaitu masing-masing P/2 ke arah atas.
Persamaan momen lentur bagi balok yang dibebani lentur dengan konfigurasi dua
beban terpusat di tengah bentang adalah:
P
Untuk 0xa  M  x
2

x  x  a   a
P P P
Untuk ax(L-a)  M 
2 2 2

x   x  a    x  L  a   L  x 
P P P P
Untuk (L-a) x L  M 
2 2 2 2
Persamaan diferensial diselesaikan untuk masing-masing wilayah:
Untuk 0xa

d2y P
EI  x
dx 2 2
dy P 2
EI  x  c1
dx 4
P 3
EIy  x  c1 x  c2
12
Saat x=0, nilai y=0 karena defleksi tidak terjadi di tumpuan. Maka nilai c2=0 dan
persamaan defleksi ditulis ulang menjadi:
P 3
EIy  x  c1 x
12
Untuk ax(L-a)

d2y P
EI  a
dx 2 2
dy P
EI  ax  c3
dx 2
Tepat di tengah bentang, yaitu ketika x=L/2, kurva defleksi mendatar (stasioner)
sehingga kemiringannya (dy/dx) adalah nol.
P L P
EI 0  a   c3 atau c3   La
2 2 4

175
Persamaan kemiringan kurva defleksi ditulis ulang menjadi:
dy P P
EI  ax  La
dx 2 4
Integral selanjutnya menghasilkan persamaan kurva defleksi:
P 2 P
EIy  ax  Lax  c4
4 4
Pada titik x=a, kemiringan kurva (dy/dx) dihitung dari sebelah kiri harus sama dengan
sebelah kanan.
 dy 
  a  c1  aa  La atau c1   a L  a 
P 2 P P P
 EI
 dx  x  a 4 2 4 4

Demikian pula defleksinya (y) juga harus sama jika dihitung dari sebelah kiri maupun
kanan.

EIy x  a  P 3 P P
a  c1a  aa 2  Laa  c4
12 4 4
P 3
EIy x  a  a  a L  a   a 3  La 2  c4 atau c4  a
P 3 P 2 P P
12 4 4 4 12
Persamaan defleksi untuk ax(L-a) ditulis ulang menjadi:
P 2 P P
EIy  ax  Lax  a 3
4 4 12
Defleksi maksimum terjadi di tengah bentang, yaitu saat x=L/2. Maka:
2

EIy max 
P L P L P 3
a   La    a  
4 2 4  2  12
Pa
48

3L2  4a 2 atau 
y max  
Pa
48 EI

3L2  4a 2 
Oleh karena bentuk penampangnya persegi dengan tinggi h dan lebar b, maka momen
inersianya (I) adalah:

bh 3
I
12
Dan defleksi maksimumnya dapat ditulis ulang menjadi:

y max  
Pa

3L2  4a 2 
4 Ebh 3
Tanda negatif menunjukkan defleksi ke arah bawah.

176
b. Secara umum, tegangan lentur () dinyatakan dengan:
Mc

I
Di mana M adalah momen, c adalah jarak dari centroid, dan I adalah momen kedua
penampang. Seperti telah didiskusikan sebelumnya, persamaan momen untuk kasus
ini adalah:
P
M  x
Untuk 0xa  2

P
M  a
Untuk ax(L-a)  2

M 
P
L  x 
Untuk (L-a) x L  2

Sehingga momen maksimum (Mmax) adalah sebesar Pa/2 yang terjadi di wilayah antara
dua beban.
Jarak dari centroid (c) adalah h/2, dan momen inersia (I) adalah bh3/12. Maka tegangan
maksimum yang terjadi saat patah (MOR) pada uji lentur dapat dinyatakan dengan:
M max c Pa h 12 3Pa
MOR   max   
I 2 2 bh3 bh 2
Dengan memasukkan nilai-nilainya, keteguhan lentur patah (MOR) dapat dihitung
yaitu:

3Pa 3  3 10 3 140


MOR    80.64 N mm -2  80.64 MPa
bh 2
25  25 2

8. Sebuah balok kayu diuji lentur dengan konfigurasi seperti Gambar 8.11.
P

a b
h

b
L
Gambar 8.11
(a) Tentukan besarnya defleksi maksimum yang terjadi jika modulus elastisitas kayu tersebut
adalah E.
(b) Jika dari hasil pengukuran diketahui kayu patah saat P adalah 2 kN. Penampang lintang
balok 2020 mm. Jarak antar tumpuan 360 mm. Jarak beban terhadap tumpuan terdekat
140 mm. Tentukan tegangan lentur patah (MOR) kayu tersebut.

177
Jawab:
P

a L-a

L
RA RB
Gambar 8.12

Untuk menyelesaikan kasus ini, reaksi tumpuan harus diperoleh terlebih dahulu. Reaksi
tumpuan diperoleh dari persamaan keseimbangan yaitu:
Pa
M A  0  Pa  RB L atau RB 
L

 L  a 
Pa P
F v  0  R A  P  RB atau R A  P  RB  P 
L L

Persamaan momen dibuat pada dua wilayah yaitu:

Untuk 0  x  a ; M  R A x 
P
L  a x
L
Untuk a  x  L ;

M  R A x  P x  a  
P
L  a x  Px  a    Px  P ax   Px  Pa 
L  L 
 P   x  Pa
  ax   Pa  Pa    1  L  x   Pa  Pa x
 L   L  L L

a. Defleksi diperoleh melalui persamaan diferensial:


Untuk 0  x  a ;

d2y P
EI  L  a x
dx 2 L

EI
dy P
 L  a x 2  c1
dx 2 L

EIy 
P
L  a x 3  c1 x  c2
6L
Saat x=0 tidak terjadi defleksi karena titik tersebut tepat di atas tumpuan.

178
EI 0 
P
L  a 03  c1 0  c2  c2  0
6L

EIy 
P
L  a x 3  c1 x
6L

Untuk a  x  L ;

d2y Pa
EI 2  Pa  x
dx L
dy Pa 2
EI  Pax  x  c3
dx 2L

Pax 2 Pa 3
EIy   x  c3 x  c4
2 6L
Saat x=L, defleksi juga bernilai 0 karena tepat di atas tumpuan:

PaL2 Pa 3
EI 0   L  c3 L  c4
2 6L

PaL2
c4    c3 L
3

Pax 2 Pa 3 PaL2 Pax 2 Pa 3 PaL2


EIy   x  c3 x   c3 L    
x  c3 L  x 
2 6L 3 2 6L 3
Saat x=a, defleksi dan slope dihitung dari sisi kiri harus sama nilainya jika dihitung
dari sisi kanan karena bentuk kurva defleksi adalah menerus (kontinu).
2 2
EIy x  a 
P
L  a x 3  c1 x  Pax  Pa x 3  c3 L  x   PaL
6L 2 6L 3
2 2
P
L  a a 3  c1a  Paa  Pa a 3  c3 L  a   PaL
6L 2 6L 3
3 4
PaL  P 3 P 4 
2
 c3  L  a  
Pa Pa
c1a    a  a 
2 6L 3 6 6L 
Pa 3 PaL2
c1a   c3  L  a  
3 3

c1 
Pa 2
 c3
 L  a  PL2

3 a 3

EI
dy

P
L  a x 2  c1  Pax  Pa x 2  c3
dx x a 2 L 2L

L  a a 2   Pa  c3 L  a   PL   Paa  Pa a 2  c3
P  2 2

2L  3 a 3  2L

179
L  a a 2   Pa  c3 L  a   PL   Pa 2  Pa  c3
P  2 2
 3

2L  3 a 3  2L

P
L  a a 
2 Pa 2 PL2
  Pa 
2 Pa 3
 c3  c3
L  a 
2L 3 3 2L a

 L  a  
2
Pa PL2
   c3 1  
6 3  a 

 a L  a  
2
Pa PL2 L
   c3     c3
6 3 a a  a
3
Pa PLa
c3   
6L 3

PaL2  Pa PLa 
3 3
Pa
c4       L 
3  6L 3  6

c1 
Pa 2
 c3
 L  a  PL2

3 a 3

Pa 2  Pa PLa  L  a  PL2
3

c1       
3  6L 3  a 3
3
Pa Pa 2 PLa
c1    
6L 2 3

Semua konstanta integral (c1, c2, c3, dan c4) telah diketahui, sehingga persamaan
defleksi ditulis ulang menjadi:
Untuk 0  x  a ;

d2y P
EI  L  a x
dx 2 L
2 3
EI
dy P
 L  a x 2  Pa  Pa  PLa
dx 2 L 6L 2 3

 3 2

EIy 
P
L  a x 3    Pa  Pa  PLa  x
6L  6L 2 3 

EIy 
P
6L
  
L  a x 3   a 3  3a 2 L  2 L2 a x

EIy 
P
6L
 
L  a x 3  a 2  2aL  L2  L2  aL ax  

180
EIy 
P
6L
 
L  a x 3  L  a 2  L  a L ax  
EIy 
P
6L

L  a x 3  L  a   L L  a ax 
P L  a  3
EIy 
6L

x  2 L  a ax 
P L  a  3
EIy 
6L
 
x  L2  L  a  x
2

Untuk a  x  L ;

d2y Pa
EI 2  Pa  x
dx L

Pa 2  Pa PLa 
3 3
dy Pa 2 Pa PLa
EI  Pax  x       Pax  x  
dx 2L  6L 3  2L 6L 3

Pax 2 Pa 3  Pa PLa 
3 3
Pa
EIy   x     x 
2 6L  6L 3  6

Pax 2 Pa 3  Pa PLa 
3 3
Pa
EIy   x    x 
2 6L  6L 3  6

Jika a merupakan jarak beban ke tumpuan terdekat, maka defleksi maksimum pasti
terjadi di suatu titik tertentu di wilayah a  x  L . Nilai defleksi maksimum terjadi di
di titik stasioner. Pemeriksaan dilakukan di titik stasioner, yaitu ketika kemiringan
kurva defleksi adalah mendatar (dy/dx=0):
3
Pa 2 Pa PLa
0  Pax  x  
2L 6L 3

Pa 2  Pa 3 PLa 
0 x  Pax    
2L  6L 3 

Pa  2  a 2  2 L2  
0   x  2 Lx    
2 L   
 3 

 a 2  2 L2 
0   x 2  2 Lx   
 3 

181
maka nilai x adalah:

  2
 2 L2  
 2L  2 L 2  4   1     a  
  3 
x1, 2 
2

x1, 2  L 

3L2  a 2  2 L2 
3

L2  a 2
x1, 2 L
3

L2  a 2 L2  a 2
x1  L  atau x2  L 
3 3
2 3
Pa  L2  a 2  Pa 
  L  L2  a 2 

EIy max  L
2  3  6L 
  3 

 Pa 3 PLa  L2  a 2  Pa 3
    L  
6 L 3  3  6
  

Pa  2 L2  a 2 L2  a 2 
EIy max  L  2L 
2  3 3 
 2 2 
3

Pa 3 L a
2 2
 L a
2 2
  L a
2
 
  L  3L
2
 3L     
6L  3  3   3  
 
 Pa 3 PLa  L2  a 2  Pa 3
    L  
  6
 6 L 3  3 
3
L2  a 2  PaL Pa  Pa  L2  a 2  2 Pa L2  a 2  2  L2  a 2  
 
3
     L  a2   
EIy max 
3  6
  6L  3   6L 3   3  
6L     

    Pa  L  
3
Pa L2  a 2  L2  a 2 2
 a2 2
 
3L 3  3 
 3L  3 

Maka salah satu solusi rumus umum untuk defleksi maksimum pada kasus di atas
adalah:
3
Pa  L2  a 2  2
y max   
3EIL  3 

182
Solusi yang kedua dari persamaan kuadrat adalah:
2 3
Pa  L2  a 2  Pa 
  L  L a
2 2 

EIy  L
2  3  6L 
  3 

 Pa 3 PLa  L2  a 2  Pa 3
    L  
 6L 3  3  6

Pa  2 L2  a 2  L2  a 2  
EIy  L  2L   
2  3  3  
 2 2 
3

Pa 3 L a
2 2
 L a
2 2
  L a
2
 
  L  3L
2
 3L     
6L  3  3   3  
 
  Pa 3 PLa   Pa 3 PLa  L2  a 2  Pa 3
  L  
  6L  3 
 
 6L  6
  3    3 

 3

Pa  2 L2 L2  a 2 1  L2  a 2  2  a 2 L2   a 2 2 L  L2  a 2 a 2 
2
EIy   L            
2  3 3 3L  3   3 3   3L 3  3 3
 
 3

Pa  L a
2 2
1  L  a   a 2 2 L  L2  a 2
2 2 2

EIy   L       
2  3 3L  3   3L 3  3 
 

L2  a 2 
EIy 
Pa  L2  a 2 
  3L2  
  
  a 2  2 L2 
6L 3   3  

Pa L2  a 2  2a 2  2 L2 
EIy   
6L 3  3 

Pa L2  a 2  L2  a 2 
EIy    
3L 3  3 
3
Pa  L2  a 2  2
EIy    
3L  3 

Jadi ada dua kemungkinan persamaan defleksi maksimum untuk kasus seperti di atas
yaitu:
3 3
Pa  L2  a 2  2 Pa  L2  a 2  2
y max    atau y max    
3EIL  3  3EIL  3 

183
Dari kedua solusi di atas, rumus defleksi maksimum yang terpilih adalah:
3
Pa  L2  a 2  2
y max   
3EIL  3 

karena diperoleh pada nilai x yang masih berada di dalam selang pengamatan. Nilai
L2  a 2
x2  L  masih berada dalam selang a  x  L . Sedangkan solusi pertama
3
diperoleh untuk nilai x yang telah berada di luar selang pengamatan sehingga hasilnya
L2  a 2
tidak dapat dipergunakan. Nilai x1  L  pasti berada di luar selang
3
axL.

b. Tegangan lentur dinyatakan dengan:


Mc

I
Sebagaimana diuraikan di atas, persamaan momen untuk kasus ini adalah:

M
P
L  a x
Untuk 0  x  a ; L

Pa
M  Pa  x
Untuk a  x  L ; L

sehingga momen maksimum (Mmax) terjadi ketika x=a. Nilai momen maksimumnya
adalah:

M max 
Pa
L  a 
L
Karena bentuk penampang balok adalah persegi maka jarak permukaan terjauh dari
centroid (c) adalah:
h
c
2
Momen inersia (I) penampang persegi adalah:

bh3
I
12
Maka tegangan lentur maksimum (max) dapat ditulis:

 max 
Pa
L  a  h  123  6 Pa2 L  a 
L 2 bh Lbh

184
Jadi rumus MOR untuk kasus pembebanan seperti Gambar 8 adalah:

MOR   max 
6 Pa
L  a 
Lbh 2
Dengan mensubstitusikan nilai-nilainya diperoleh:

6  2  10 3  140
MOR  360  140   128.3333 N mm -2  128.33 MPa
360  20  20 2

Jadi MOR kayu tersebut adalah 128.33 MPa.

9. Sebuah balok kayu berbentuk T menerima beban merata dengan distribusi seperti Gambar
8.13.
50mm 50 mm 50 mm

120 mm
800 kg/m
(2) (3)
(1)
100 mm
0.75 m 2.5 m 0.75 m

Gambar 8.13
(a) Tentukan tegangan lentur maksimum
(b) Tentukan tegangan geser maksimum
Jawab:
Untuk kasus ini, sifat-sifat penampang balok perlu diperhitungkan terlebih dahulu.
Centroid:
Jika suatu garis bantu y=0 dibuat berimpit dengan sisi bawah (alas) balok, maka posisi
centroid dapat dihitung sebagai berikut:

y
 y A  110  220  50   2160 120  50   136.087 mm  13.6087 cm
i i

A i 220  50   2120  50 
Momen inersia diperoleh melalui teorema sumbu sejajar:
 50  220 3   50 120 3 
I    110  136.087  50  220   2  160  136.087  50 120 
2 2

 12   12 
 73114493 mm  7311.4493 cm
4 4

Beban terdistribusi segitiga dengan puncaknya adalah 800 kg/m=8 kg/cm.


Reaksi tumpuan di B (RB) dan di D (RD) adalah sama besar karena simetris, yaitu:
200  8
R B  RD   800 kg
2

185
Gaya geser (gaya lintang) V dan momen lentur M dihitung untuk 4 wilayah:
Untuk 0x750 cm:

 8 1 1
V   x  x     x2
 200 2 50

x  8 1 x3
M    x x   
3  200 2 150

Untuk 75x200 cm:

 8 1 1
V   x  x    800   x 2  800
 200 2 50

x  8 1 x3
M    x  x    800  x  75     800 x  60000
3  200 2 150

Untuk 200x325 cm:


 1 8
8
400  x  
 x  200   12  x  x  200 
1
V   8  200    800   200
 2  2   50 
 
 
1 2
 x  16 x  2400
50
 
 1  
8
8
400  x  
M   8  200   x   200   800  x  75      x  200 
2 200
 2  3   2 
 
 
 
 
 
  200  8  200   400  x  400  x 8 

 200   x  400  x  
 x   3  2   3  2 200 

 
 8
8
400  x   
  200  x  200  
  2  
   
   
1 3 500000
 x  8 x 2  2400 x 
150 3

Untuk 325x400 cm:



 1  8
8
400  x  
V   8  200    800   200  x  200   800
 2  2 
 
 
1 2
 x  16 x  3200
50

186
 1  
M   8  200   x   200   800  x  75   800  x  325 
2
 2  3 
 
8
8
400  x  
 200   x  200 
 2 
 
 
 
 
 
  200  8  200   400  x  400  x 8 
  200   x  400  x  
x  
3  2   3  2 200 


 8
8
400  x   
  200  x  200  
  2  
   
   
1 3 500000
 x  8 x 2  3200 x   260000
150 3
800 Diagram Gaya Lintang 50000
700 Diagram
45000 Momen Lentur
600
500 40000
400 35000
300
200 30000
100 25000
0
20000
25
50
75
0

100
125
150
175
200
225
250
275
300
325
350
375
400

-100
-200 15000
-300
-400 10000
-500 5000
-600
-700 0
25
50
75
0

100
125
150
175
200
225
250
275
300
325
350
375
400
-800 -5000

a. Tegangan lentur dapat dinyatakan dengan:


Mc

I
Tegangan lentur maksimum terjadi di tengah bentang, yaitu ketika nilai momen
lenturnya adalah:

x3 200 3
M   800 x  60000    800  200  60000  46666.667 kg cm
150 150
Nilai jarak dari centroid (c) diambil pada permukaan terjauh. Permukaan bawah adalah
13.6087 cm dari centroid, sedangkan permukaan atas adalah 22 -13.6087  8.3913
cm. Maka nilai c adalah 13.6087 cm.
Tegangan lentur maksimum yang terjadi pada balok tersebut adalah:
M max c 46666.667 13.6087
 max    86.86 kg cm -2
I 7311.4493

187
b. Tegangan geser horizontal dapat dinyatakan dengan:
𝑉
𝜏= 𝑄
𝐼𝑏
Sehingga tegangan geser horizontal maksimum adalah:
𝑉𝑚𝑎𝑥
𝜏𝑚𝑎𝑥 = 𝑄
𝐼𝑏
Vmax terjadi pada saat x=75 cm, yaitu:
1
𝑉𝑚𝑎𝑥 = − × 752 + 800 = 687.5
50
Sedangkan momen pertama penampang (Q) diperoleh dari:

𝑄 = 𝑦̅ ∑ 𝐴 = ∑ 𝑦̅𝑖 𝐴𝑖 = (110 × 220 × 50) + 2(160 × 120 × 50)


= 3130000 mm3 = 3130 𝑐𝑚3
Oleh karena posisi centroid terjadi pada posisi b=15 cm, maka:
687.5
𝜏𝑚𝑎𝑥 = × 3130 = 19.62 kgf/cm2
7311.45 × 15

188
Nash WA, Sturgess CEN. 1977. Schaum Outline of Theory and Problems of Strength of Materials.
2nd Ed. Mc Graw-Hill Book Company.

189
190

Anda mungkin juga menyukai