Status Asmatikus PDF
Status Asmatikus PDF
Prevalensi
Dalam tiga puluh tahun terakhir terjadi peningkatan prevalensi (kekerapan
penyakit) asma terutama di negara-negara maju. Kenaikan prevalensi asma di
Asia seperti Singapura, Taiwan, Jepang, atau Korea Selatan juga mencolok. Kasus
asma meningkat insidennya secara dramatis selama lebih dari lima belas tahun,
baik di negara berkembang maupun di negara maju. Beban global untuk penyakit
ini semakin meningkat. Dampak buruk asma meliputi penurunan kualitas hidup,
produktivitas yang menurun, ketidakhadiran di sekolah, peningkatan biaya
kesehatan, risiko perawatan di rumah sakit dan bahkan kematian.
Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di
Indonesia, hal ini tergambar dari data studi survei kesehatan rumah tangga
(SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia. Survey Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) tahun 1986 menunjukkan asma menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab
kesakitan (morbiditas) bersama-sama dengan bronkitis kronik dan emfisema. Pada
SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan emfisema sebagai penyebab kematian ke-
4 di Indonesia atau sebesar 5,6 %. Tahun 1995, prevalensi asma di seluruh
Indonesia sebesar 13/1000, dibandingkan bronkitis kronik 11/1000 dan obstruksi
paru 2/1000. Studi pada anak usia SLTP di Semarang dengan menggunakan
kuesioner International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC),
didapatkan prevalensi asma (gejala asma 12 bulan terakhir/recent asthma) 6,2 %
yang 64 % diantaranya mempunyai gejala klasik.
Diagnosis
Gambaran klinis Status Asmatikus :
Penderita tampak sakit berat dan sianosis.
Sesak nafas, bicara terputus-putus.
Banyak berkeringat, bila kulit kering menunjukkan kegawatan sebab
penderita sudah jatuh dalam dehidrasi berat.
Pada keadaan awal kesadaran penderita mungkin masih cukup baik, tetapi
lambat laun dapat memburuk yang diawali dengan rasa cemas, gelisah
kemudian jatuh ke dalam koma.
Merencanakan pengobatan asma akut
Serangan asma ditandai dengan gejala sesak nafas, batuk, mengi ataupun
kombinasi dari gejal diatas. Derajat serangan dapat ringan sampai dengan berat
yang mengancam nyawa. Serangan bersifat akut.
Tujuan pengobatan asma untuk :
1. menghilangkan obstruksi dengan segera.
2. mengatasi hipoksia
3. mengembalikan fungsi paru ke normal secepat mungkin
4. mencegah serangan berikutnya
5. memberikan edukasi agar penderita dan keluarga dapat mengatasi pada awal
sebelum dibawa ke dokter.
Klasifikasi derajat beratnya asma
Tindak lanjut
Bila terjadi kegagalan terapi
a. Asidosis respiratorik
Ventilasi diperbaiki
Pemberian Nabic
b. Hipoksia berat ( PaO2 < 50 mmHg )
Pemberian O2 4- 6 L/m dengan venturi mask
c. Gagal napas akut
alat bantu napas ( ventilator mekanik )
syarat :
apneu
kenaikan PaCO2 > 5 mmHg / jam disertai asidosis . respiratorik
akut
Nilai absolut PaCO2 > 50 mmHg disertai asidosis . respiratorik
akut
Hipoksia refrakter walau sudah diberi O2
Algoritma penatalaksanaan asma di rumah sakit
Penilaian awal
Riwayat dan pemeriksaan fisik (auskultasi, otot bantu napas, denyut
jantung, frekuensi napas) dan bila mungkin faal paru (APE atau VEP1,
saturasi O2). AGD dan pemeriksaan lain atas indikasi
Serangan asma ringan Serangan asma sedang/ berat Serangan asma mengancm jiwa
Pengobatan awal
oksigenasi dengan kanul nasal
inhalasi agonis beta 2 kerja singkat (nebulisasi setiap 20 menit
dalam satu jam) atau agonis beta2 injeksi ( terbutalin 0,5 cc
subkutan atau adrenalin 1/1000 0,3 cc subkutan)
kortikosteroid sistemik :
- serangan asma berat
- tidak responsegera dengan bronkodilator
- dalam pengobatan kortikosteroid oral
METHILXANTHINES
Theofilin dan ethylenediamine salt aminnophyline sangat berguna dalam
terapi asma akut. Mekanisme aksi dijelaskan dengan inhibitor cytoplasmic enzyme
phosphodiesterase yang mengkatalisis metabolisme cAMP. Efek utama theofilin
adalah relaksasi otot polos bronkhial . efek lain memperbaiki kontraksi diafragma,
meningkatkan transport mucociliar, menghambat pelepasan mediator
hipersensitivitas dan menurunkan tekanan arteri pulmonal.
Theofilin ataupun aminofilin pada akut asma dapat diberikan bolus
intravena kemudian dilanjutkan dalam drip. Konsentrasi dalam plasma harus
dipertahankan pada 10 sampai 20 ug/ml, toksikasi akan uncul bila konsentrasi
dalam plasma melebihi 20 ug/ml. tanda toksikasi meliputi CNS dan GI termasuk
gelisah, nyeri kepala, mual dan muntah, diare. Pada konsentrasi aminofilin yang
sangat tinggi pada plasam dapat menyebabkan aritmia, gangguan kesadaran dan
akhirnya meninggal.
Distribusi aminofilin sangat cepat melalui kompartemen extraceluler.
Dosis aminofilin 1 mg/kgBB menaikan konsentrasi dalam serum plasma sebesar 2
ug/ml. Sekitar 85% dari dosis theofilin di degradasi di hepar oleh Cytokrom P450
dan selebihnya diekresikan melalui urine. Hal yang dapat menurunkan
metabolisme adalah usia tua, congestive heart failure, dan gangguan fungsi hepar
sedangkan obat-obatan yang dapat menurunkan metabolisme aminofilin adalah
propranolol, erytromisin dan cimetidin. Yang meningkatkan metabolisme adalah
kebiasaan merokok, dan barbiturat.
KORTIKOSTEROID
Kortikosteroid saat ini digunakan secara luas pada asma bila beta agonis
dan methyl xanthin telah tak mampu. Mekanisme aksi melibatkan efek anti
inflamasi, inhibisi asam arakhidonat meningkatkan efek beta agonis dan
menurunkan permeabilitas endotel vaskular sehingga mencegah terjadinya edema.
Dosis terapi kortikosteroid pada asma kontroversial dan sampai saat ini belum ada
kesepakatan. Fanta dkk 1 mendemonstrasikan bahwa kortikosteroid infus
(hydrocortison, bolus 2 mg/kg bb dilanjutkan drip 0,5 mg/kg jam infus) bersama
dengan penggunaan bolus aminofilin dan beta 2 agonis menghasilkan perbaikan
yang bermakna dengan pengukuran FEV1 dalam 12 jam perawatan.
Haskell dkk melakukan penelitian bahwa penggunaan Methylprednisolone
15 mg setiap 6 jam tidak menunjukkan keefektifan tetapi pasien yang mendapat
40mg menunjukkan perbaikan yang bermakna pada perawatan hari kedua dan
pada pasien yang mendapat 125 mg mendapat perbaikan sejak hari pertama.
Efek samping dari penggunaan kortikosteroid intravena dosis tinggi adalah
hiperglikemia dan akut psikosis sehingga dihindarkan penggunaan pada penderita
diabetes mellitus, perdarahan GI track, presdisposisi untuk terjadinya infeksi.
Pada terapi jangka lama penggunaan kortikosteroid adalah meningkatkan
katabolisme, retensi garam dan air, cushing sindroma, osteoporosis dan pernah
dilaporkan adanya fraktur patologis vertebra dan necrosis kaput femur.
Olehkarena komplikasi sistemik yang begitu berat maka saat ini mulai
dikembangkan preparat inhaler ataupun nebuliser untuk menggantikan preparat
kortikosteroid sistemik.
ANTIKHOLINERGIK
Atropin dan preparat antikolinergik lain mempunyai efek bronkodilator
yang rendah. Mekanisme yang disuga kuat adalah inhibitor vagal
bronkoconstriction. Pak dan rekan meneliti pada penderita kronik obstruksi bahwa
0,025-0,05 mg/kg BB atropin inhalasi via nebuliser menghasilkan perbaikan jalan
nafas tetapi efek samping yang dihasilkan sangatlah besar berupa : pengeringan
membran mukosa, dysphoria, tachycardia, nyeri kepala dan gangguan buang air
kencing. Oleh karena efek samping yang begitu besar saat ini dikembangkan
Ipatropin bromida nebuliser menggantikan atropin karena preparat Ipatropin
bromida mempunyai efek samping yang lebih kecil.
CHROMOLIN
Cromolin adalah sel mast stabiliser yang berguna untuk profilaksis asma.
Biasanya digunakan pada asma dengan faktor pencetusnya olahraga. Cromolin
tidak efektif pada serangan asma yang bersifat akut karena pada penggunaan
inhaler pernah dilaporkan terjadi bronkhokontriksi.
ANTIBIOTIK
Antibiotik tidak rutin digunakan pada serangan asma akut, karena
antibiotik tidak dapat mengurangi efek bronkokonstriksi. Tetapi setelah serangan
asma apabila dijumpai sputum yang purulent haruslah diperiksa secara teliti
karena bisa jadi inducer dari serangan asma adalah adanya fokus infeksi saluran
nafas.
ALFA-ADRENERGIK ANTAGONIS
Walaupun alfa-adrenergik antagonis mempunyai efek bronkodilator tetapi
efek samping adanya hipotensi sangatlah besar sehingga jarang digunakan pada
serangan akut.
IMUNOTERAPI
Imunoterapi sangat membantu pada asma dengan trigger jelas atau asma
dengan causa alergi, terutama pada anak meskipun pada orang dewasa penelitian
yang dilakukan tidak menujukkan hasil yang signifikan. Imunoterapi tidak
mempunyai peranan dalam manajemen asma akut tetapi berperan untuk mencegah
reaksi anfilaksis.