Anda di halaman 1dari 10

TUGAS INDIVIDU

ANALISIS KASUS
PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA
TERHADAP KAUM MUSLIM ROHINGYA DI MYANMAR

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hak Asasi Manusia


Dosen Pengampu: Mariatul Kiptiah, S.Pd., M.Pd

Disusun Oleh:

ARIANI (A1A213071)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
2015
KRONOLOGIS KEJADIAN
“Pembantaian Etnis Rohingya di Myanmar”

Pada tahun 2012, masyarakat dunia dibuat terkejut dengan terjadinya


pembunuhan besar-besaran terhadap sebuah etnis untuk dimusnahkan dari sebuah
bangsa. Dilansir dari berita Seputar Indonesia RCTI pada tanggal 30 Juli 2012 bahwa
penindasan dan pembantaian terhadap masyarakat etnis Rohingya di Provinsi
Rakhine, Myanmar terus terjadi. Mereka semakin terhempas haknya sebagai
manusia. Mereka kehilangan keluarga, saudara bahkan diusir dari tanah
kelahirannya. Dari 7 juta jiwa kini tinggal 800 ribu warga muslim Rohingya di
Myanmar, anak balita pun turut menjadi korban.
Selain itu, Human Rights Watch (HRW) Asia menemukan pelanggaran Hak
Asasi Manusia berat dalam pembantaian warga muslim di Rohingya, Myanmar.
HRW mendokumentasikan video berisi dahsyatnya kebakaran yang dilakukan
pemerintah Myanmar terhadap perkampungan warga Rohingya. Sisa-sisa kebakaran
hingga kini masih terlihat di sepanjang Dusun Rakhine. HRW bahkan menemukan
wanita dan anak-anak yang diculik, dibantai, dan diperkosa oleh militer Myanmar.
Sebenarnya kasus kekerasan dan pembantaian berdasarkan etnis dan agama
sudah lama terjadi di Myanmar sejak zaman penjajahan Inggris di Burma (Myanmar)
dahulu. Hanya saja media pers tidak banyak memberitakan tentang hal itu, karena
pemerintah Myanmar sangat tertutup kepada pers internasional.
Kisah Rohingya menambah panjang sejarah kelam pelanggaran HAM di
dunia pada umumnya dan Myanmar pada khususnya. Sudah lama junta militer
menerapkan peraturan ketat terhadap perkembangan agama-agama selain Budha,
agama resmi Negara Myanmar. Ini membuat implementasi hak kebebasan beragama
bagi agama minoritas di negara itu terbatas.
Puncak penindasan dan diskriminasi terhadap etnis Rohingya terjadi pada
tahun 2012 dimana konflik Rohingya bermula dari sebuah pembunuhan pada 28 Mei
2012 terhadap seorang gadis Budha bernama Ma Thida Htwe yang berumur 27
tahun, hidup di sebuah desa bernama Thabyechaung, Kyauknimaw, daerah Yanbye.
Setelah Kasus ini dibawa ke pihak kepolisian setempat dan setelah penyelidikan
ditetapkan beberapa tersangka. Mereka adalah Rawshi, Rawphi, dan Khochi.
Ketiganya adalah pemuda Bengali Muslim, etnis Rohingya di Myanmar.

1
Warga Myanmar yang mayoritas beragama Buddha sangat mengecam
kejadian pembunuhan wanita beragama Buddha, Ma Thida Htwe tersebut. Apalagi
media Myanmar setempat memberikan penekanan bahwa massa Muslim telah
membunuh dan memperkosa dengan keji wanita Rakhine.
Kemudian pada 4 Juni 2012 terjadilah pembunuhan terhadap muslim etnis
Rohingya di dalam bus tujuan Yangoon dimana 10 orang muslim Rohingya
ditemukan tewas. Sejak insiden itu, terjadi kerusuhan di Rakhine pada Juni 2012
yang berakhir pembakaran rumah, pemukulan, pemerkosaan dan pembantaian
terhadap etnis Rohingya secara terus menerus di Arakan, Myanmar, dimana muslim
Rohingya menjadi sasaran.
Selain itu, etnis Rohingya tidak mendapat pengakuan oleh pemerintah
setempat. Hal ini dilatarbelakangi oleh dihapuskannya etnis ini dari undang-undang
kewarganegaraan Myanmar pada tahun 1982. Undang-undang kewarganegaraan ini
mencatat 135 etnis yang diakui secara otomatis menjadi warga Negara Myanmar dan
etnis Rohingya tidak termaksud kedalam 135 etnis tersebut. Akibat dari penghapusan
ini, etnis Rohingya tidak mendapat hak-hak dasar sebagai waarga Negara Myanmar.
Dengan diundangkannya UU Kewarganegaraan tahun 1982 etnis Rohingya
disebut sebagai warga non-kebangsaan atau warga asing. Muslim Rohingya pun
resmi dideklarasikan sebagai warga yang pantas untuk dimusnahkan. Rezim junta
militer mempraktekkan dua kebijakan de-Islamisasi di Myanmar: pemusnahan fisik
melalui genosida dan pembersihan etnis Muslim Rohingya di Arakan, serta asimilasi
budaya bagi umat Islam yang tinggal dibagian Myanmar.
Menurut pemerintah Myanmar etnis Rohingya adalah "pendatang haram" dari
Bangladesh, walau fakta sejarahnya etnis Rohingya telah ada di tanah itu (Rakhine
state) selama ratusan tahun berdampingan dengan burmanese lainnya. Oleh karena
itu terjadi banyak sekali penindasan, diskriminasi dan pembantaian terhadap muslim
etnis Rohingya.
Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan Junta Militer Myanmar
antara lain kasus pemusnahan fisik melalui genosida dan pembersihan etnis Muslim
Rohingya yang terjadi di Arakan, adalah banyaknya Muslim Rohingya yang ditahan
dengan cara sewenang-wenang, disiksa, dieksekusi dengan cepat, dan dibunuh.
Muslim Rohingya dipaksa menjadi buruh pagi-siang-malam. Sawah-sawah dirampas
dan rumah mereka diakuisisi warga baru Budha. Masjid dan madrasah diledakkan

2
lalu diganti dengan pembangunan pagoda dan kuil Buddha. Muslimah Rohingya
diperkosa dan tidak diperlakukan dengan hormat. Mereka dipaksa untuk menikah
dengan pria-pria Budha, dilarang mengenakan hijab, dan dilarang menikah dengan
sesama Muslim Rohingya. Muslim Rohingya juga dilarang bepergian dari satu desa
ke desa lain meski dalam satu kecamatan, baik itu untuk urusan kemasyarakatan,
keagamaan, perdagangan, maupun bisnis.
Berdasarkan keterangan dari Amnesty Internasional, orang-orang Rohingya
mengalami berbagai penindasan hak asasi manusia oleh Junta Militer Burma sejak
1978. Junta militer menganggap etnis Rohingya bukanlah warga negara Myanmar.
Menurutnya etnis Rohingya merupakan pendatang yang ditempatkan oleh penjajah
Inggris dari Bangladesh.
Untuk saat ini, orang-orang Rohingya dan orang-orang dari etnis-etnis
minoritas lainnya yang berasal dari wilayah Myanmar bisa dikatakan sebagai
“stateless-citizen”, maksudnya adalah penduduk yang kehilangan status
kewarganegaraan karena alasan-alasan politik. Yang lebih menyedihkan adalah
perlakuan diskriminasi ini tidak hanya dilakukan oleh pemeintah tetapi juga oleh
warga Negara Myanmar yang pro pemerintah, yang mempunyai keyakinan bahwa
etnis Rohingya bukanlah bagian dari Myanmar. Oleh karena itu, secara terus-
menerus terjadi perlakuan diskriminatif yang diterima oleh etnis Rohingya dari
pemerintahan Myanmar. Perlakuan ini dinilai sangat mengganggu kehidupan
masyarakat Rohingya sebagai warga dunia.
Akhirnya para Etnis Rohingya mengarungi lautan demi kebebasan. Mereka
terpaksa mengungsi dan menjadi “Manusia Perahu” (People Boat), mencari negeri
aman yang mau menerima mereka di Asia Tenggara atau di negeri manapun
diseluruh dunia. Mereka terusir dari negara Myanmar dan terpaksa mengungsi ke
negara-negara sekitar Myanmar, seperti Bangladesh, Thailand, Malaysia, dan juga
Indonesia.
Berita terbaru dari Tv One pada tanggal 10 Mei 2015 mengabarkan bahwa
ratusan etnis Rohinya ditemukan nelayan Aceh terombang-ambing di lautan dengan
keadaan yang sangat memprihatinkan. Saat ditemukan nelayan di lautan Aceh
mereka dalam keadaan sangat lemah, banyak yang mengalami dehidrasi, kelaparan
dan terjangkit berbagai macam penyakit.

3
Maka tidak mengherankan jika faktor-faktor tersebut menjadi pendorong
orang-orang Rohingya untuk mengungsi dan mencari perlindungan ke negara-negara
tetangga seperti Indonesia dan Thailand. Dengan harapan mereka mendapatkan
perlindungan kemanusiaan dari negara-negara yang mereka singgahi.
Namun pada kenyataannya, harapan mereka untuk mendapatkan
perlindungan dari negara-negara tetangga seperti Indonesia dan Thailand tidak selalu
mendapatkan respon yang positif. Sebagai contoh saat mereka berada di Thailand,
orang-orang Rohingya sempat mendapat perlakuan yang tidak manusiawi. Saat
ditangkap otoritas keamanan Thailand dan kemudian dibawa ketengah laut, disatukan
dengan warga Myanmar lainnya yang sudah lebih dahulu ditangkap. Ditengah laut
mereka disiksa selama tiga bulan, mereka dipukuli oleh pasukan keamanan yang
datang silih berganti, diberi minum hanya seteguk air putih dalam sehari, diberi
makan beras yang tidak dimasak, dan dilepaskan ketengah samudera hanya
menggunakan perahu reyot tak bermesin tanpa bekal makanan yang cukup. Di lautan
mereka mendapatkan banyak kendala, mulai dari kehabisan bahan makanan dan
minuman, penyitaan mesin perahu dan bahan bakarnya.
Di Indonesia sendiri perlakuannya sedikit lebih baik dibandingkan dengan di
negara Thailand. Meskipun sedikit menuai pro dan kontra. Bagi masyarakat yang
pro, mereka sepantasnya mendapatkan kepedulian dari masyarakat internasional
karena menyangkut perlindungan HAM. Sedangkan bagi masyarakat yang kontra
mereka dianggap hanya sebagai pengungsi yang sejauh ini diketahui motif mereka
hanya mencari kehidupan yang lebih baik atau bisa digolongkan sebagai migran
bermotif ekonomi. Oleh karena itu Indonesia tidak membuka diri bagi migran
bermotif ekonomi, mereka harus dipulangkan ke negara asal. Diluar pro dan kontra
tentang pengungsi Rohingya, atas dasar asas kemanusiaan pemerintah Indonesia saat
ini membuat kebijakan untuk menampung etnis Rohingya asal Myanmar selama
setahun dengan bekerjasama dengan lembaga pengungsi dari PBB, yaitu UNHCR
(United Nations High Commissioner for Refugees).
Media Internasional dan organisasi internasional termasuk PBB (Perserikatan
Bangsa-Bangsa) menyebut etnis Rohingya adalah etnis paling menderita di dunia.

HASIL ANALISIS

4
“Adanya Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Pada Kasus Pembantaian Etnis
Rohingya di Myanmar”

 Pembersihan Etnis Sebagai Kejahatan Genosida berdasarkan Konvensi


tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida (Konvensi
Genosida)
Dalam dunia Internasional, masalah Genosida sudah ada aturan bakunya di
mana pada tanggal 09 Desember 1948, satu hari sebelum The Universal Declaration
of Human Righ (UDHR) diumumkan, sidang umum PBB secara mutlak menerima
Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida, sebagai
Instrumen Internasional Hak Asasi Manusia yang pertama.
Genosida tergolong sebagai kejahatan Internasional (Internasional Crime),
seperti halnya kejahatan perang (war crime), kejahatan terhadap Kemanusiaan
(Crime Against Humanity); kejahatan Agresi (Crime of Agression). Merupakan
kewajiban seluruh masyarakat Internasional untuk mengadili ataupun menghukum
pelakunya. Tujuan Konvensi Genosida dirumuskan dengan kehendak untuk melawan
dan mencegah terulangnya Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat (gross
violence of human rights), yang terjadi pada perang dunia II.
Dalam pasal 6 Konvensi Genosida menyebutkan bahwa orang yang melakukan
Genosida atau tindakan lain akan diadili oleh Pengadilan yang berkompeten oleh
Negara dimana Pengadilan pidana internasional yang berwenang dan yuridiksinya
diterima oleh Negara Pihak.
Dalam Pasal 2 Konvensi Genosida menyatakan: genosida berarti setiap dari
perbuatan-perbuatan berikut yang dilakukan dengan tujuan merusak begitu saja,
dalam keseluruhan ataupun sebagian, suatu kelompok bangsa, etnis, rasial, atau
agama seperti:
a. Membunuh para anggota kelompok;
b. Menyebabkan luka-luka pada tubuh atau mental para anggota kelompok;
c. Dengan sengaja menimbulkan pada kelompok itu kondisi hidup yang
menyebabkan kerusakan fisiknya dalam keseluruhan atau sebagian;
d. Mengenakan upaya-upaya yang dimaksudkan untuk mencegah didalam
kelompok itu;
e. Dengan paksa mengalihkan anak-anak dari kelompok itu ke kelompok lain.

5
Dalam Konvensi genosida menegaskan siapa-siapa saja yang dapat dikatakan
melakukan tindakan genosida sebagaimana diatur pasal 4 Konvensi yang
menyatakan orang-orang yang melakukan genosida atau setiap perbuatan lain yang
disebut dalam pasal 3 harus dihukum, apakah mereka para penguasa yang
bertanggung jawab secara Konstitusional, para pejabat Negara, atau individu-
individu biasa.
Maka sudah saatnya dunia Internasional terlibat aktif dalam menangani
pembersihan etnis yang mengarah kepada Kejahatan Genosida di Myanmar yang
semakin lama semakin meluas. Apabila dunia Internasional tidak menyikapi
kedukaan etnis Rohingya ini secara serius, bukan tidak mungkin suatu waktu etnis
Rohingya tidak akan dijumpai lagi dalam peta dunia, karena mereka stateless (tidak
diakui kewarganegaraannya) dan forgetten (dilupakan).

 Pelanggaran Hak Asasi Manusia terhadap Etnis Rohingya oleh Junta


Militer Myanmar dikaitkan dengan International Covenant on Civil and
Political Rights (ICCPR) atau Kovenan Internasional tentang Hak-Hak
Sipil dan Politik
Miriam Budiarjo (2012, 121) menegaskan bahwa hak asasi manusia bersifat
universal, artinya dimiliki semua manusia tanpa pembedaan berdasarkan bangsa,
ras, agama, atau jender. Kasus pembantaian etnis rohingya merupakan pelanggaran
HAM Berat dimana terjadi berbagai macam kekerasan, pembantaian dan
diskriminasi yang dialami etnis Rohingya yang notabene beragama Islam.
Melihat kasus di atas, pelanggaran yang dilakukan oleh Junta Militer
Myanmar terhadap Etnis Rohingya dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM
berat karena telah melanggar Hak asasi manusia (HAM) yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apapun (non-derogable rights), seperti. Dalam hal ini dapat terlihat
dalam hal:
- Pemusnahan fisik melalui genosida dan pembersihan etnis Muslim Rohingya
yang terjadi di Arakan, telah melanggar Pasal 6 ayat (1) ICCPR yang berbunyi
“setiap manusia berhak atas hak untuk hidup yang melekat pada dirinya. Hak ini
wajib dilindungi oleh hukum. Tidak seorang pun dapat dirampas hak hidupnya
secara sewenang-wenang”

6
- Terdapat Etnis Rohingya yang disiksa, yang mana melanggar pasal 7 ICCPR yang
berbunyi “Tidak seorang pun yang dapat dikenakan penyiksaan atau perlakuan
atau hukuman lain yang keji, tidak manusiawi atau merendahkan martabat. Pada
khususnya, tidak seorang pun dapat dijadikan obyek eksperimen medis atau
ilmiah tanpa persetujuan yang diberikan secara bebas”
- Terdapat Muslim Rohingya yang dipaksa menjadi buruh pagi-siang-malam yang
mana melanggar Pasal 8 ayat (3)a ICCPR yang berbunyi “Tidak seorang pun
dapat diwajibkan untuk melakukan kerja paksa atau kerja wajib”
- Terdapat Etnis Rohingya yang ditahan secara sewenang-wenang yang mana
melanggar Pasal 9 ayat (1) ICCPR yang berbunyi “Setiap orang berhak atas
kebebasan dan keamanan pribadi. Tidak seorang pun dapat ditangkap atau
ditahan secara sewenang-wenang. Tidak seorang pun dapat dirampas
kebebasannya kecuali berdasarkan alasan-alasan yang sah, sesuai dengan
prosedur yang ditetapkan oleh hukum”
- Muslim Rohingya juga dilarang bepergian dari satu desa ke desa lain meski dalam
satu kecamatan, baik itu untuk urusan kemasyarakatan, keagamaan, perdagangan,
maupun bisnis yang mana dalam hal ini melanggar Pasal 12 ayat (1) ICCPR yang
berbunyi “Setiap orang yang secara sah berada dalam wilayah suatu Negara,
berhak atas kebebasan untuk bergerak dan kebebasan untuk memilih tempat
tinggalnya dalam wilayah tersebut”
- Muslim Rohingya juga dilarang untuk melaksanakan ibadah sesuai agamanya dan
Masjid serta madrasah diledakkan lalu diganti dengan pembangunan pagoda dan
kuil Buddha yang mana dalam hal ini melanggar Pasal 18 ayat (1) ICCPR yang
berbunyi “Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan
beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menetapkan agama atau
kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun
bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk
menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan,
pengamalan, dan pengajaran”
- Muslimah Rohingya dipaksa untuk menikah dengan pria-pria Budha dan dilarang
menikah dengan sesama Muslim Rohingya yang mana melanggar Pasal 23 ayat
(3) yang berbunyi “Tidak ada satu pun perkawinan yang dapat dilakukan tanpa
persetujuan yang bebas dan penuh dari para pihak yang hendak menikah”
- Pelanggaran yang dilakukan oleh Junta Militer Myanmar terhadap Etnis minoritas
Rohingya melanggar pasal 27 ICCPR yang berbunyi “Di negara-negara yang

7
memiliki kelompok minoritas berdasarkan suku bangsa, agama atau bahasa,
orang-orang yang tergolong dalam kelompok minoritas tersebut tidak boleh
diingkari haknya dalam masyarakat, bersama-sama anggota kelompoknya yang
lain, untuk menikmati budaya mereka sendiri, untuk menjalankan dan
mengamalkan agamanya sendiri, atau menggunakan bahasa mereka sendiri”.

KESIMPULAN DAN SARAN

Dari analisa tentang kasus Rohingya diatas saya dapat menarik kesimpulan

bahwa kasus pembantaian etnis muslim Rohingya ini adalah kasus pelanggaran

HAM berat. Dengan begitu banyaknya pelanggaran HAM yang telah dilakukan

sudah seharusnya masyarakat internasional, khususnya organisasi PBB untuk

menyelesaikan dengan cepat agar tidak terjadi pelanggaran HAM yang lainnya.

Indonesia sebagai salah satu negara yang menjujung tinggi ditegakannya HAM dan

sebagai penduduk terbesar beragama Islam juga berkewajiban dalam menyelesaikan

masalah tersebut.

8
DAFTAR RUJUKAN

Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.
Liputan 6. 2012. Ada Pelanggaran HAM Berat di Rohingya Myanmar. (online)
tersedia di: http://news.liputan6.com/read/429057/ada-pelanggaran-ham-berat-
di-rohingya-myanmar , diakses 10 Juli 2015 jam 16.12 WITA.

Nugraha, Sendhy. 2013. Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan
oleh Pemerintah Militer Myanmar terhadap Etnis Rohingya dikaitkan dengan
ICCPR. (Online) tersedia di: http://sendhynugraha.blogspot.com/2013/04/kasus
-pelanggaran-hak-asasi-manusia.html, diakses 10 Juli 2015 jam 16.00 WITA.

Susanti, Hera. 2014. Analisis terhadap Kasus Rohingya. (Online) tersedia di:
http://mutiarabidadarisurga.blogspot.com/2014/05/analisa-terhadap-kasus-
rohingya.html, diakses 10 Juli 2015 jam 20.00 WITA.

Video. 2015. Eksklusif Laporan dari SELAT MALAKA Memantau Kedatangan


Pengungsi ROHINGYA Myanmar. (Online) tersedia di https://www.youtube.co
m/watch?v=qVnMv9pcfPk, diakses 10 Juli 2015 jam 21.15 WITA.

Video. 2012. Dokumentasi ACT Warga Muslim Rohingya Diusir Dari Myanmar -
RCTI.mpg. (Online) tersedia di: https://www.youtube.com/watch?
v=RAeitI0hlyY, diakses 28 Juli 2015 jam 10.00 WITA.

Anda mungkin juga menyukai