Anda di halaman 1dari 45

NASKAH AKADEMIK

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN TENTANG


KEAMANAN DAN KETERTIBAN MASYARAKAT

BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berkaitan dengan ketertiban umum dalam kehidupan bermasyarakat, hal tersebut
sesungguhnya merupakan perwujudan dari hak asasi manusia yang dijamin dalam
UUD NRI Tahun 1945 yang secara khusus dimuat dalam Pasal 28G ayat (1), Pasal
28I ayat (4) dan Pasal 28J ayat (1) UUD NRI 1945. Dalam Pasal 28J ayat (1) dan ayat
(2) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa setiap orang wajib menghormati hak
asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara, dan dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan
orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral,
nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis.
Ketertiban Umum adalah suatu ukuran dalam suatu lingkungan kehidupan yang
terwujud oleh adanya perilaku manusia baik pribadi maupun sebagai anggota
masyarakat yang mematuhi kaidah hukum, norma agama, sosial, dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Terkait dengan Otonomi daerah, maka kewajiban
penyelenggaraan ketertiban umum menjadi kewajiban Pemerintah Daerah dalam
rangka melindungi keamanan dan kenyamanan masyarakatnya. Kewenangan ini
selanjutnya akan berkaitan erat dengan kewenangan Satuan Polisi Pamong Praja
sebagai perangkat daerah dalam rangka penegakan peraturan daerah dan
penyelenggaraan ketertiban umum di daerah.

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang


Pemerintahan Daerah Pasal 255 ayat (1) menyatakan untuk membantu Kepala Daerah
dalam menegakkan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah, penyelenggaraan
ketertiban umum dan ketentraman masyarakat dibentuk Satuan Polisi Pamong Praja.
Penyelenggaraan pemerintah umum dan pembangunan di daerah dapat berjalan baik
dan lancar apabila terjaga ketentraman dan ketertiban, yaitu suatu kondisi masyarakat
dan pemerintah yang dinamis sehingga dapat melaksanakan kegiatan dengan aman,
tentram, tertib dan teratur.
Keberadaan Satuan Polisi Pamong Praja sebagai perangkat daerah mempunyai peran
yang strategis dalam membantu Kepala Daerah di bidang penyelenggaraan
pemerintahan umum, khususnya dalam rangka membina ketentraman dan ketertiban
di wilayah serta penegakan atas pelaksanaan peraturan daerah dan keputusan kepala
daerah.
Namun begitu, Upaya untuk mencapai kondisi yang tentram dan tertib bukan
semata-mata menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah saja tetapi justru
diharapkan peran serta seluruh lapisan masyarakat untuk ikut menumbuhkan dan
memelihara ketentraman dan ketertiban. Pengaturan ketertiban umum di Kabupaten
Kebumen selama ini diatur oleh Peraturan Daerah Kota Madiun Nomor 8 Tahun 2010
Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Madiun Nomor 4 Tahun 2006
Kebersihan, Keindahan dan Kesehatan Lingkungan Kabupaten Daerah Tingkat II
Surakarta. Peraturan sebagaimana dimaksud diatas saat ini sudah tidak sesuai dengan
perkembangan dan kebutuhan masyarakat dan perkembangan peraturan
perundang-undangan, sehingga seringkali terdapat ketidakpastian dalam penegakan
hukum terkait dengan ketertiban umum.
hal ini dapat dilihat dengan masih tingginya angka permasalahan sosial di kota
madiun. hal ini dapat dilihat dalam dinamika manusia dalam kehidupan
bermasyarakat yang terus bersinergi dan berinteraksi. meskipun begitu, adanya
interaksi ini kemudian juga menimbulkan konsekuensi timbulnya friksi-friksi tertentu
yang memunculkan berbagai macam permasalahan sosial. adanya persinggungan
kepentingan individu yang tidak mungkin dihindarkan dan akan terus ada
menimbulkan adanya perilaku kontradiktif segolongan masyarakat tertentu, perilaku
inilah yang kemudian menimbulkan dampak negatif yang luas bagi masyarakat
sekitar.
Berdasarkan hukum positif di Indonesia pengaturan mengenai yuridiksi penegakan
hukum mengenai pengaturan masalah sosial selain diselenggarakan oleh Pemerintah
Pusat juga diselenggarakan secara otonom pengaturannya kepada Pemerintah Daerah.
Peraturan daerah adalah salah satu bentuk kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah
Daerah untuk mengatur ketentuan-ketentuan tertentu di daerah dapat memuat
sanksi-sanksi sebagaimana layaknya undang-undang namun sanksi tersebut bersifat
limitatif. Beberapa pengaturan daerah tersebut berwenang untuk membuat peraturan
daerah untuk mengatasi persoalan sosial di daerah masing-masing.
Dekadensi moral yang terjadi di Indonesia pada dasarnya merupakan suatu respon
imparsial dari masyarakat yang kurang merasakan pemerataan hasil pembangunan.
Tentu saja ekspektasi tersebut secara apriori lahir akibat ketidakberdayaan pemerintah
dalam mewujudkan apa yang menjadi salah satu tujuan negara sebagaimana termuat
dalam preambule Undang-Undang Dasar 1945 yaitu mewujudkan masyarakat yang
adil dan makmur. Pluralisme permasalahan yang terjadi dapat menimbulkan beberapa
dampak negatif yang dapat merugikan masyarakat, baik materiil, fisik maupun
psikologis.
Perlu disadari bahwa kondisi yang demikian sesungguhnya menjadi permasalahan
awal munculnya masalah-masalah lain. Apabila ingin penyelenggaraan ketertiban
umum, ketentraman dan perlindungan masyarakat dapat berjalan sebagaimana
diinginkan, dibutuhkan suatu regulasi organik yang secara rigid mengatur mengenai
hal tersebut. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, maka perlu disusun Naskah
Akademik Rancangan Peraturan Daerah Tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum,
Ketentraman dan Perlindungan Masyarakat.

B. Identifikasi Masalah
Permasalahan ketentraman dan ketertiban umum harus diimbangi dengan kebijakan
dan peraturan yang sesuai dengan keadaan saat ini. Permasalahan akan timbul jika
tidak ada keteraturan antar bagian yang mengatur. Bagian-bagian yang dimaksud
meliputi substansi, struktur, dan kultur. Dalam hal ini, substansi adalah peraturan,
struktur adalah aparat penegak peraturan, sedangkan kultur adalah budaya masyarakat
untuk mematuhi suatu peraturan. Jelas bahwa masing-masing bagian harus ada
keteraturan untuk mencapai satu tujuan. Substansi hukum yang dimaksud disini
adalah peraturan daerah, perangkat hukum adalah Satuan Polisi Pamong Praja, dan
kultur hukum adalah budaya hukum masyarakat.
Dari gambaran diatas dapat diidentifikasi permasalahan sebagai berikut:
a. Dasar Hukum penegakan peraturan di bidang ketentraman dan ketertiban
umum di Kota Madiun selama ini adalah Peraturan Daerah Kota Madiun
Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Madiun
Nomor 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan Ketentraman dan Ketertiban
Umum, dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan peraturan
yang ada saat ini, sehingga akan menjadi kendala bagi aparatur hukum dalam
penegakannya.
b. Masih tingginya perilaku tidak tertib di tengah masyarakat. Satuan Polisi
Pamong Praja berwenang melakukan penegakan hukum atas pelaksanaan
peraturan daerah sebagai salah satu upaya untuk menciptakan ketertiban
umum. Hal ini sesuai dengan yang tertuang di dalam Permendagri Nomor 26
Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman
Masyarakat Serta Perlindungan Masyarakat.
c. Pengawasan dan penegakan hukum dalam peraturan daerah dapat
menimbulkan konflik, sehingga diperlukan suatu landasan hukum yang jelas
dan tegas agar potensi terjadinya konflik dapat diperkecil.
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah diatas, maka identifikasi masalah
yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut:
1. Apa permasalahan yang dihadapi dalam penyelenggaraan ketentraman dan
ketertiban umum dalam masyarakat di Kota Madiun?
2. Mengapa perlu dibentuk rancangan Peraturan Daerah tentang Ketentraman
dan Ketertiban Umum dalam masyarakat?
3. Apa yang menjadi pertimbangan filosofis, sosiologis, dan yuridis
pembentukan rancangan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan
Ketentraman dan Ketertiban dalam Masyarakat?
4. Apa sasaran yang akan diwujudkan, jangkauan, arah pengaturan dan ruang
lingkup rancangan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Ketentraman
dan Ketertiban Umum dalam masyarakat?

C. Tujuan dan Kegunaan Naskah Akademik


Peraturan Perundang-undangan merupakan hal yang sangat penting di dalam
negara. Instrumen ini ditujukan kepada pemerintahan untuk menyelesaikan
permasalahan dalam kehidupan bernegara. Peranan peraturan perundang-undangan ini
untuk menciptakan kepastian hukum bagi pemerintah daerah dan juga masyarakat
yang terlibat. Penyusunannya pun tidak bisa dilakukan begitu saja, perlu adanya
penelitian dan kajian-kajian terlebih dahulu untuk menyesuaikan lingkungan dan
kondisi masyarakat yang terlibat.
Naskah Akademik disusun sebagai tahapan awal dalam rangkaian proses
penyusunan suatu peraturan perundang-undangan yang selain menjadi landasan
ilmiah bagi penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan. Kegunaan
penyusunan naskah akademik rancangan peraturan daerah tentang ketentraman dan
ketertiban masyarakat Kota Madiun. Serta memberikan arah dan menetapkan ruang
lingkup proses perancangan peraturan perundang-undangan dan memberikan solusi
terhadap suatu konsepsi permasalahan yang sedang dihadapi. Naskah Akademik
berguna bukan hanya sebagai bahan masukan bagi pembuat Rancangan Peraturan
Perundang-undangan yang akan dibahas bersama antara eksekutif dengan legislatif.
Tujuan penelitian naskah akademik tentang ketentraman dan ketertiban masyarakat
Kota Madiun antara lain adalah:
1. Mengkaji dan meneliti kondisi pemerintahan dan masyarakat yang ada dilihat
dari ilmu hukum yang ada, seperti dasar hukum, asas-asas hukum.
2. Mengkaji pokok-pokok pikiran dengan peraturan perundang-undangan
lainnya, sehingga bisa dilihat dari kedudukan dan ketentuan yang diaturnya.
Sasaran yang hendak dicapai dalam penyusunan naskah yaitu tersusunnya
Rancangan Peraturan Daerah tentang ketentraman dan ketertiban umum
masyarakat Kota Madiun.
3. Merumuskan permasalahan yang dihadapi dalam penyelenggaraan
ketentraman dan ketertiban umum dalam perlindungan masyarakat di Kota
Madiun.
4. Merumuskan alasan perlunya rancangan Peraturan Daerah tentang
Penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum dalam masyarakat.
5. Merumuskan pertimbangan alasan filosofis, sosiologis, dan yuridis
pembentukan rancangan Peraturan Daerah tentang ketentraman dan ketertiban
umum dalam masyarakat.
6. Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, jangkauan, arah pengaturan dan
ruang lingkup rancangan Peraturan Daerah tentang ketentraman dan ketertiban
umum dalam masyarakat.

D. Metode
Metode yang digunakan dalam penyusunan naskah akademik menggunakan metode
normatif, pengumpulan data, dan analisis data. Metode normatif memiliki
karakteristik sebagai metode kepustakaan atau literature research. Metode normatif
adalah metode dengan menelaah ilmu hukum yang ada yaitu peraturan
perundang-undangan dalam hal ini disusun yang dapat menunjang pengambilan
definisi-definisi operasional.
1) Sumber Data
Adapun sumber data yang digunakan dalam menyusun naskah akademik ini
adalah berupa:
a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang utama, sebagai bahan
hukum yang bersifat autoritatif, yakni bahan hukum yang mempunyai
otoritas. Bahan hukum primer meliputi peraturan perundang-undangan
dan segala dokumen resmi yang memuat ketentuan hukum. Bahan
hukum primer dalam penyusunan naskah akademik ini adalah:
1) Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945
2) Undang - Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia
3) Undang - Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan
Gedung
4) Undang - Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan
5) Undang - Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang
6) Undang - Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan
Sampah
7) Undang - Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan
Sosial
8) Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
9) Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang - undangan
10) Undang - Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan Undang -
Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas
Undang - Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan
11) Undang - Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang - Undang Nomor 9 Tahun 2015
Tentang Perubahan Kedua Atas 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah
12) Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2018 tentang Satuan
Polisi Pamong Praja
13) Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 1982 tentang
Perubahan Batas Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II
Madiun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982
Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3244)
14) Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1980 tentang
Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1980 Nomor 51, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3177)
15) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 92 tahun
2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah
Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana
16) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1988 tentang Koordinasi
Kegiatan Instansi Vertikal di Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1988 Nomor 10, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3373);
17) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Satuan
Polisi Pamong Praja (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2010 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5094);
18) Peraturan Daerah Kota Madiun Nomor 02 Tahun 2008 tentang
Urusan Pemerintahan yang Menjadi Kewenangan
Pemerintahan Kota Madiun;
19) Peraturan Daerah Kota Madiun Nomor 06 Tahun 2008 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Satuan Polisi Pamong Praja;
20) Peraturan Daerah Kota Madiun Nomor 02 Tahun 2009 tentang
Penyidik Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Kota
Madiun;
b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan
penjelasan terhadap bahan hukum primer seperti buku-buku, artikel,
jurnal, hasil penelitian, makalah dan lain sebagainya yang relevan
dengan permasalahan yang akan dibahas.
c. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk
dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti
kamus, maupun ensiklopedia.
2) Teknik Pengumpulan Data
Penyusunan naskah akademik ini menggunakan teknik pengumpulan data
studi kepustakaan (library research), yaitu mempelajari data pustaka berupa
peraturan perundang-undangan, buku - buku literatur, jurnal, majalah dan
dokumen resmi pemerintah daerah di tingkat kabupaten/kota, serta informasi
elektronik (internet) perihal penyelenggaraan ketertiban umum, ketentraman
dan perlindungan masyarakat dan melakukan inventarisasi. Selain itu, naskah
akademik ini melakukan wawancara dengan tujuan agar penelitian ini
sistematis dan objektif dapat mengetahui pentingnya menyelenggarakan
ketertiban umum, ketentraman dan perlindungan masyarakat.
3) Metode Pendekatan
Dalam penyusunan naskah akademik ini menggunakan metode pendekatan
sebagai berikut:
a. Pendekatan Perundang-undangan (statute approach)
Pendekatan perundangan-undangan adalah pendekatan yang dilakukan
dengan cara menganalisa aturan dan regulasi yang berkaitan dengan
isu hukum yang akan dibahas pada naskah akademik ini. Pendekatan
perundang-undangan (statute approach) merupakan penelitian yang
mengutamakan bahan hukum yang berupa peraturan
perundang-undangan sebagai bahan acuan dasar dalam melakukan
penelitian. Pendekatan perundang-undangan (statute approach)
biasanya digunakan untuk meneliti peraturan perundang-undangan
yang dalam penormaannya masih terdapat kekurangan atau malah
menyuburkan praktek penyimpangan baik dalam tataran teknis atau
dalam pelaksanaannya di lapangan.
b. Pendekatan konseptual (conceptual approach)
Pendekatan konseptual (conceptual approach) merupakan jenis
pendekatan yang memberikan sudut pandang analisis penyelesaian
permasalahan dalam penelitian hukum dilihat dari aspek
konsep-konsep hukum yang melatarbelakanginya, atau bahkan dapat
dilihat dari nilai-nilai yang terkandung dalam penormaan sebuah
peraturan kaitannya dengan konsep-konsep yang digunakan. Sebagian
besar jenis pendekatan ini dipakai untuk memahami konsep-konsep
yang berkaitan dengan penormaan dalam suatu perundang-undangan
apakah telah sesuai dengan ruh yang terkandung dalam konsep-konsep
hukum yang mendasarinya.

4) Analisis Bahan Hukum


Penyusunan naskah akademik ini dikelola dengan mengumpulkan
bahan-bahan hukum kemudian dianalisis secara kualitatif. Pengolahan data
pada hakikatnya merupakan kegiatan untuk mengadakan sistematis terhadap
bahan-bahan hukum yang berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan
hukum tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi. Metode
analisis kualitatif yaitu dengan menganalisis, menguraikan dan menjelaskan
data yang diperoleh secara sistematis dan terperinci, kemudian dilakukan
interpretasi data yaitu dengan menelaah data yang telah tersusun dan
membuatnya dalam suatu kalimat kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat
deduktif yang merupakan jawaban permasalahan berdasarkan hasil penelitian.
Analisis secara kualitatif dapat diartikan sebagai cara yang lebih menekankan
pada aspek pemahaman secara mendalam terhadap suatu masalah, sehingga
memunculkan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif secara
mendalam (in-depth analysis), yaitu mengkaji masalah secara kasus per kasus
untuk kemudian dapat menghasilkan kajian yang menyeluruh, rinci, dalam,
dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Analisis dilakukan dengan
cara pengelompokan dan penyesuaian data-data yang diperoleh dari suatu
gambaran sistematis yang didasarkan pada teori dan pengertian hukum yang
terdapat dalam ilmu hukum untuk mendapatkan kesimpulan yang signifikan
dan ilmiah. Bahan hukum yang diperoleh dari penelitian disajikan dan diolah
secara kualitatif dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Bahan hukum yang diperoleh dari penelitian diklasifikasikan sesuai dengan
permasalahan dalam penelitian;
2. Hasil klasifikasi bahan hukum selanjutnya disistematisasikan;
3. Bahan hukum yang telah disistematisasikan kemudian dianalisis untuk
dijadikan sebagai dasar dalam pengambilan kesimpulan nantinya

BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

A. Kajian Teoritis

Ketertiban umum dalam penafsiran sempit yaitu ketertiban yang hanya


ditentukan oleh hukum yang berlaku. Dengan demikian yang dimaksud dengan
pelanggar/bertentangan dengan ketertiban umum, hanya terbatas pada pelanggaran
terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan saja. Jadi masyarakat yang
bertentangan dengan ketertiban umum sesuai peraturan perundangan-undangan juga
berhak menerima sanksi yang sudah ditentukan oleh undang-undang yang berlaku.

Sedangkan ketertiban umum dalam penafsiran luas yaitu tidak membatasi


lingkup dan makna ketertiban umum pada ketentuan hukum positif saja, tetapi
meliputi segala nilai-nilai dan prinsip-prinsip hukum yang hidup dan tumbuh dalam
kesadaran masyarakat. Prinsip hukum yang berkembang tidak hanya berketentuan
dengan hukum yang berlaku saat ini akan tetapi ditambah juga dengan hukum yang
berkembang dalam masyarakat. Jadi masyarakat yang bertentangan dengan ketertiban
umum sesuai peraturan perundang-undangan dan juga prinsip hukum yang hidup
dalam kesadaran masyarakat juga berhak menerima sanksi sesuai undang-undang dan
juga menerima sanksi dari masyarakat itu sendiri.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2020 tentang


Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat serta Perlindungan
Masyarakat pasal 3 ayat (4), menyatakan bahwa penyelenggaraan ketertiban umum
dan ketentraman masyarakat sebagaimana dimaksud dengan ayat (1) dan ayat (2),
meliputi kegiatan: deteksi dan cegah dini; pembinaan dan penyuluhan; patroli;
pengawasan; pengawalan; penertiban; dan penanganan unjuk rasa dan kerusuhan
massa.

Dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1
ayat (3) dinyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Ketentuan ini
merupakan pernyataan dalam pelaksanaan kenegaraan serta segala ketentuan di negeri
ini harus diatur dengan hukum. Hukum ini sebagai landasan hidup dalam bernegara
dan bermasyarakat. Hukum dalam peraturan perundang-undangan berfungsi untuk
mengatasi terjadinya kepentingan secara bersamaan dengan memilih dan mengakui
kepentingan yang lebih utama. Akibatnya, hak dan kepentingan perorangan dapat
dikorbankan demi ketentraman dan kesejahteraan umum.

Hukum sebagai aturan berkehidupan masyarakat diharapkan mampu menjadi


alat untuk menuju kesejahteraan sosial, sehingga keberadaannya mampu mengubah
kondisi suatu masyarakat tertentu. Terdapat konsep rekayasa sosial yang
dilatarbelakangi pada ketidakmungkinan untuk memenuhi semua keinginan dari
kemauan setiap individu. Oleh karena itu, untuk memenuhi keinginan manusia secara
maksimal akan tetapi dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat maka
diperlukan adanya rekayasa sosial. Rekayasa sosial didasarkan pada anggapan bahwa
hukum digunakan sebagai sarana membentuk masyarakat dan mengatur tingkah laku
masyarakat.

Peraturan daerah sebagai hukum juga dapat dilihat dari fungsinya dalam
masyarakat dengan mengamati berbagai sudut pandang di dalam masyarakat tersebut.
Hukum pada peraturan daerah sebagai pengontrol dan pengawas di dalam masyarakat,
serta sebagai sarana untuk menciptakan kesejahteraan dan ketertiban umum.
Kehadiran peraturan daerah ini juga sebagai alat untuk melakukan perubahan
menjadikan Kota Madiun sebagai kota yang menjamin ketentraman dan ketertiban
masyarakatnya.

Hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan peraturan


perundang-undangan adalah mengenai daya laku dan daya guna serta keabsahan
organ pembentuknya. Apabila dibentuk oleh lembaga yang berwenang dan sesuai
dengan norma hukum yang berlaku dan sah, maka norma seperti ini memiliki
legitimasi dan dapat ditaati masyarakat.

Keinginan adanya perubahan tersebut jika dikontekskan ke daerah khususnya


terkait dengan adanya gagasan peraturan daerah mengenai kepemudaan mempunyai
tujuan untuk melakukan perubahan terhadap pemuda sebagai objek pengaturan yaitu
melalui penyadaran, pengembangan, dan pemberdayaan.

B. Kajian Terhadap Asas/Prinsip yang Terkait dengan Penyelenggaraan


Ketertiban, Ketentraman, dan Perlindungan Masyarakat
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pada
pasal 18 disebutkan bahwa Pemerintahan Daerah memprioritaskan pelaksanaan
Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar. Kemudian
dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
dimuat bahwa dalam pelaksanaan pelayanan Dasar pada Urusan Pemerintahan Wajib,
berpedoman pada standar pelayanan minimal (SPM) yang ditetapkan oleh Pemerintah
Pusat. Adapun urusan wajib sebagaimana dimuat dalam Pasal 12 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan, urusan wajib
pelayanan dasar meliputi:
1. Pendidikan;
2. Kesehatan;
3. Pekerjaan umum dan penataan ruang;
4. Perumahan rakyat dan kawasan permukiman;
5. Ketentraman, ketertiban umum, dan perlindungan masyarakat;
6. Sosial.
Untuk itu, dalam urusan wajib pelayanan dasar, maka
keenam hal diatas perlu diprioritaskan dalam pembiayaan, sumber daya manusia,
maupun sarana dan prasarana agar dapat diwujudkan. Termasuk dalam ketertiban
umum, ketentraman dan perlindungan masyarakat di pemerintah provinsi maupun
kabupaten/kota perlu membentuk suatu norma hukum dalam format peraturan daerah.
Dalam pembentukan peraturan daerah dalam hal ini peraturan daerah tentang
ketertiban umum, ketentraman dan perlindungan masyarakat harus memenuhi
asas/prinsip sebagaimana tertuang dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah, meliputi:
1. Asas Kepastian Hukum
dalam negara hukum seperti di Indonesia asas ini menjadi prioritas sebagai
basis utama landasan ketentuan peraturan perundang-undangan dan setiap
kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Dalam hal ini, pembuatan produk
hukum peraturan daerah diharapkan mampu memberikan kepastian hukum
bagi penyelenggara pemerintahan daerah maupun bagi masyarakat pada
umumnya. Tujuannya adalah, pemerintah daerah selaku pelaksana ketertiban
umum wajib mendasarkan pada aturan yang berlaku, sehingga tidak terjadi
kesewenang-wenangan dalam menegakkan ketertiban umum dan ketentraman
bagi masyarakat maupun pemerintahan. Masyarakat juga diharapkan
berpedoman kepada norma atau aturan yang berlaku.
2. Asas Tertib Penyelenggara Negara
yaitu asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan
dalam pengendalian penyelenggara negara.
3. Asas Kepentingan Umum
asas ini mendahulukan tujuan kesejahteraan umum dengan cara aspiratif,
akomodatif, dan selektif. Selaras dengan maksud dibentuknya peraturan
daerah ini, tujuan asas ini untuk mewujudkan ketertiban dan keamanan seluruh
lapisan masyarakat. Asas ini juga dapat dimaknai sebagai suatu asas yang
mendahulukan kebutuhan masyarakat umum dibandingkan dengan kebutuhan
masyarakat atau golongan tertentu. Maka, dalam penyelenggaraan ketertiban
umum dan ketenteraman masyarakat, asas ini sangat diperlukan guna menjaga
maksud dibentuknya peraturan daerah tentang ketertiban umum dan
ketenteraman masyarakat yaitu menjaga arah pembangunan daerah agar tidak
diselewengkan oleh pihak manapun.
4. Asas Keterbukaan
yaitu asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh
informasi yang valid, jujur, akuntabel dan tidak diskriminatif tentang
penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak
asasi pribadi, golongan, maupun rahasia negara.
5. Asas Proporsionalitas
asas ini lebih menonjolkan keseimbangan antara hak dan kewajiban
penyelenggara negara.
6. Asas Profesionalitas
yaitu asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
7. Asas Akuntabilitas
asas ini menghendaki setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan
penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat
atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
8. Asas Efisiensi
asas yang berorientasi pada minimalisasi penggunaan sumber daya dalam
penyelenggaraan negara untuk mencapai hasil kerja yang terbaik.
9. Asas Efektivitas
asas yang berorientasi pada tujuan yang tepat guna dan berdaya guna.
10. Asas Keadilan
setiap tindakan dalam urusan penyelenggaraan negara harus mencerminkan
keadilan yang proporsional bagi setiap warga negara. Dalam hal,
penyelenggaraan ketertiban umum harus mendasarkan asas keadilan dengan
tidak membedakan strata masyarakat atau jabatan penyelenggara negara.
Satpol PP sebagai lembaga pembau urusan pemerintah daerah dalam
penegakan perda dan peraturan kepala daerah harus mampu menjadi lembaga
yang adil dan tidak tebang pilih terhadap seluruh lapisan masyarakat dengan
membuka diri bagi setiap komponen masyarakat termasuk terhadap aparatur
pemerintahan.

C. Kajian Terhadap Praktik Empiris


1. Kondisi Geografis
Kota Madiun merupakan kota yang berada dalam wilayah Provinsi Jawa
Timur. Secara geografis, Kota Madiun terletak pada 111° BT – 112° BT dan 7°
LS – 8°LS.;
Secara administrasi wilayah Kota Madiun berbatasan dengan wilayah
Kabupaten Madiun dan Magetan dengan batas-batas sebagai berikut :
a. Sebelah Utara Kecamatan Madiun;
b. Sebelah Timur Kecamatan Wungu;
c. Sebelah Selatan Kecamatan Geger;
d. Sebelah Barat Kecamatan Jiwan.

Kota Madiun terletak pada daratan dengan ketinggian 63 meter hingga 67


meter dari permukaan air laut. Daratan dengan ketinggian 63 meter dari
permukaan air laut terletak di tengah, sedangkan daratan dengan ketinggian 67
meter dari permukaan air laut terletak di sebelah di selatan. Rentang
temperatur udara antara 20 °C hingga 35 °C.
Posisinya yang cukup strategis menjadikan Madiun berada di jalur utama
Surabaya-Yogyakarta. Kota ini juga menjadi persimpangan jalur menuju
Ponorogo dan Pacitan ke arah selatan. Akan direncanakan oleh pemerintah
Jawa Timur untuk membangun jalan bebas hambatan dari Kota Surakarta
(tanpa lewat Kota Sragen dan Ngawi) lurus ke barat laut sampai Maospati,
Magetan kemudian diteruskan sampai Kota Madiun dan di teruskan lurus ke
timur laut melewati Kota Nganjuk sampai di Waru, Sidoarjo (Berhubung
dengan Tol Surabaya-Gempol). Hal ini bertujuan untuk membangun Kota
Madiun sebagai kota metropolitan atau kota singgah yang diharapkan dapat
membantu permasalahan Kota Surabaya. Oleh karena itu, Kota Madiun
ditetapkan sebagai wilayah hinterland atau pusat ekonomi untuk daerah
sekitarnya dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah (Perda No 6/2007).
Wilayah Kota Madiun mempunyai luas 33,23 Km² dan terbagi menjadi 3
(tiga) kecamatan yaitu Kecamatan Manguharjo, Kecamatan Taman, dan
Kecamatan Kartoharjo. Dengan luas masing-masing Kecamatan Manguharjo
12,54 Km², Kecamatan Taman 13,46 Km², dan Kecamatan Kartoharjo 11,73
Km². Masing-masing kecamatan tersebut terdiri atas 9 kelurahan sehingga
semuanya terdapat 27 kelurahan di Kota Madiun.
2. Jumlah Penduduk Kota Madiun
a. Kependudukan
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022, jumlah penduduk
Kota Madiun pada pertengahan tahun 2022 sebesar 196.917 jiwa. Komposisi
penduduk Kota Madiun pada pertengahan tahun 2022 terdiri atas laki-laki
96.277 jiwa dan perempuan 100.640 jiwa. Selama tiga tahun terakhir, dari data
yang ada dapat diketahui bahwa jumlah penduduk perempuan lebih besar
dibandingkan dengan jumlah penduduk laki-laki.

Sumber : 2017-2019 Proyeksi Penduduk Pertengahan Tahun Hasil SP2010


2020 Hasil Perapihan Umur dari Data Administratif dan SP2020 2021-2022
Proyeksi Penduduk Ad Interim dari Hasil SP2020
Berdasarkan dari data dalam tabel di atas, dapat diketahui jika penduduk Kota
Madiun didominasi oleh penduduk usia produktif atau usia muda. Adapun,
laju pertumbuhan penduduk Kota Madiun, ditunjukkan laju pertumbuhan
penduduk dari kecamatan yang ada di Kota Madiun.

Berdasarkan data dalam tabel di atas, diketahui kepadatan penduduk Kota


Madiun, dengan ditunjukkannya kepadatan penduduk di
kecamatan-kecamatan yang ada di Kota Madiun. Kepadatan terbesar ada di
Kecamatan Taman, dengan jumlah penduduk 7.171 per kilometer persegi,
dengan kepadatan penduduk 42,5.
3. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah terkait Ketertiban
Umum, Ketentraman dan Perlindungan Masyarakat
Kebijakan dalam pengembangan Kota Madiun tidak dapat dilepaskan dari
struktur keruangan wilayah Kota Madiun. Tinjauan terhadap Rencana Tata
Ruang Wilayah dengan mengacu pada Rencana Daerah Tata Ruang Kota
(RDTRK) Kota Madiun Tahun 2010-2030 akan menguraikan tentang arahan
rencana struktur ruang, rencana pola ruang dan kawasan strategis kota di Kota
Madiun terkait dengan arahan pengembangan di masing-masing kecamatan.
a. Kecamatan Mangunharjo
1) Sistem dan Fungsi Wilayah
Kelurahan Mangunharjo menjadi sub pusat pelayanan I, yang memiliki
fungsi sebagai pusat pelayanan pemerintahan skala kecamatan, pusat
pelayanan industri skala regional, pusat pelayanan perhubungan, pusat
pelayanan kesehatan skala regional, pusat pelayanan kegiatan
pertahanan dan keamanan, pusat pelayanan pendidikan skala regional;
2) Hierarki Pusat Pelayanan
Rencana pusat pelayanan kota dikembangkan pada:
a. Jalan Panglima Sudirman;
b. Jalan Kolonel Marhadi;
c. Jalan Cokroaminoto;
d. Jalan Pahlawan; dan
e. Jalan H. Agus Salim
Fungsi pusat pelayanan kota meliputi pusat perdagangan dan jasa skala
regional dan pusat pelayanan umum. Untuk itu, diperlukan
pengembangan perdagangan modern, juga pengembangan pusat
perkantoran pemerintah kota skala kota dan pengembangan kantor
pemerintahan pendukung dan pelayanan publik lainnya.
Kelurahan Mangunharjo menjadi sub pusat pelayanan I, yang melayani
Kecamatan Mangunharjo. Sub pusat pelayanan I memiliki fungsi
sebagai:
a. pusat pelayanan pemerintahan skala kecamatan;
b. pusat pelayanan industri skala regional;
c. pusat pelayanan perhubungan;
d. pusat pelayanan kesehatan skala regional;
e. pusat pelayanan kegiatan pertahanan dan keamanan;
f. pusat pelayanan pendidikan skala regional;
Untuk itu, diperlukan pengembangan perkantoran pendukung
pemerintahan, kawasan industri, rumah sakit baik umum maupun
swasta, fasilitas perguruan tinggi negeri dan Sekolah Menengah Atas
Standar Internasional (SNBI), juga fasilitas umum dan fasilitas sosial.
3) Sistem Jaringan Prasarana Wilayah Kota
Pengembangan sistem jaringan listrik SUTT yang melintasi Kelurahan
Mangunharjo. Rencana sistem jaringan sumber daya air minum dari
mata air Sidomakmur di Kelurahan Mangunharjo. Rencana sistem
drainase kota, meliputi saluran sekunder subsistem drainase Madiun
Wilayah Barat. Rencana kawasan lindung, kawasan perlindungan
setempat, yang meliputi kawasan sempadan mata air Sidomakmur di
Kelurahan Mangunharjo. Pengembangan RTH (Ruang Terbuka Hijau)
publik, meliputi taman lingkungan dan taman kota di wilayah
Kecamatan Manguharjo dan hutan kota di Kecamatan Manguharjo.
b. Kecamatan Taman
1) Sistem dan Fungsi Wilayah
Kelurahan Taman menjadi sub pusat pelayanan III, yang memiliki
fungsi sebagai pusat pelayanan pemerintahan skala kota, pusat
pelayanan perdagangan dan jasa, pusat pelayanan pendidikan skala
regional, pusat pelayanan industri kecil dan rumah tangga, pusat
pelayanan perumahan berkepadatan tinggi-sedang; dan pusat
pelayanan kegiatan pertahanan dan keamanan.
2) Hierarki Pusat Pelayanan
Kelurahan Taman menjadi sub pusat pelayanan III, yang melayani
Kecamatan Kartoharjo. Sub pusat pelayanan III memiliki fungsi
sebagai:
a. pusat pelayanan pemerintahan skala kota;
b. pusat pelayanan perdagangan dan jasa;
c. pusat pelayanan pendidikan skala regional;
d. pusat pelayanan industri kecil dan rumah tangga;
e. pusat pelayanan perumahan berkepadatan tinggi-sedang; dan
f. pusat pelayanan kegiatan pertahanan dan keamanan.
Untuk itu, diperlukan pengembangan fasilitas kantor Kecamatan
Taman, fasilitas pertokoan modern, fasilitas perguruan tinggi negeri,
juga dilengkapi dengan IPAL komunal.
3) Sistem Jaringan Prasarana Wilayah Kota
Rencana sistem jaringan sumber daya air, meliputi jaringan baku untuk
air minum dari mata air Kapuas di Kelurahan Taman. Rencana
kawasan lindung, kawasan perlindungan setempat, yang meliputi
kawasan sempadan mata air di mata air Kapuas di Kelurahan Taman.
Pengembangan RTH (Ruang Terbuka Hijau) publik, meliputi taman
lingkungan dan taman kota di wilayah Kecamatan Taman dan hutan
kota di Kecamatan Taman. Kawasan cagar budaya makam Taman yang
berada di Kelurahan Taman Kecamatan Taman merupakan makam
para penguasa terdahulu Kadipaten Madiun.
c. Kecamatan Kartoharjo
1) Sistem dan Fungsi Wilayah
Kelurahan Kartoharjo menjadi sub pusat pelayanan II, yang melayani
Kecamatan Kartoharjo. Sub pusat pelayanan II memiliki fungsi sebagai
pusat pelayanan pemerintahan skala kecamatan, pusat pelayanan
perdagangan dan jasa skala regional, pusat pelayanan kegiatan wisata,
pusat pelayanan kesehatan skala regional, pusat pelayanan pendidikan
skala regional, pusat pelayanan kegiatan pertahanan dan keamanan;
dan pusat pelayanan perumahan berkepadatan sedang.
2) Hierarki Pusat Pelayanan
Kelurahan Kartoharjo menjadi sub pusat pelayanan II, yang melayani
Kecamatan Kartoharjo. Sub pusat pelayanan II memiliki fungsi
sebagai:
a. pusat pelayanan pemerintahan skala kecamatan;
b. pusat pelayanan perdagangan dan jasa skala regional;
c. pusat pelayanan kegiatan wisata;
d. pusat pelayanan kesehatan skala regional;
e. pusat pelayanan pendidikan skala regional;
f. pusat pelayanan kegiatan pertahanan dan keamanan; dan
g. pusat pelayanan perumahan berkepadatan sedang.
Untuk itu, diperlukan pengembangan perkantoran pendukung
pemerintahan di Kecamatan Kartoharjo, fasilitas pasar modern,
pertokoan modern, mall, bank, hotel, dan toko souvenir, fasilitas
stadion dan gedung olahraga, juga fasilitas pendidikan menengah dan
dasar serta perguruan tinggi.
3) Sistem Jaringan Prasarana Wilayah Kota
Rencana sistem jaringan infrastruktur kota, yang meliputi rencana jalur
evakuasi bencana yang memanfaatkan lapangan atau balai di
Kecamatan Kartoharjo. Pengembangan RTH (Ruang Terbuka Hijau)
publik, meliputi taman lingkungan dan taman kota di wilayah
Kecamatan Kartoharjo dan hutan kota di Kecamatan Kartoharjo.

4. Problematika Penyelenggaraan Ketertiban Umum, Ketentraman dan


Perlindungan Masyarakat
Kota Madiun merupakan salah satu daerah otonomi di Provinsi Jawa
Timur yang memiliki perkembangan yang cukup pesat. Kota Madiun jika
dapat disebut sebagai kota industri. Di Kota Madiun terdapat Industri kereta
api (INKA) dan memiliki sekolah tinggi perkeretaapian, yakni salah satunya
Politeknik Perkeretaapian Indonesia. Oleh karena itu, Kota Madiun yang
disebut kota industri tersebut menjadi salah satu daya tarik sekaligus penyebab
pertumbuhan jumlah penduduk di Kota Madiun. Seiring dengan itu, maka
Kota Madiun memerlukan penataan yang terencana dengan baik agar tidak
menjadi kota yang berantakan. Salah satu penataan yang dimaksud adalah
yang berkaitan dengan ketertiban umum dan ketenteraman. Ditambah dengan
Kota Madiun saat ini dikenal sebagai kota pesilat karena banyak perguruan
silat yang ada di kota Madiun. Kurang lebih ada 14 perguruan pencak silat
yang ada di kota ini sehingga sangat memungkinkan terjadinya keributan dan
kerusuhan antar perguruan pencak silat.
Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketenteraman Masyarakat
tidak dapat hanya diserahkan kepada Pemerintah saja, namun membutuhkan
keterlibatan dan peran serta dari semua pihak termasuk masyarakat. Kesadaran
masyarakat menjadi sangat penting untuk mendukung keberhasilan
penyelenggaraan ketertiban umum, ketentraman dan perlindungan masyarakat
dalam suatu daerah, tidak terkecuali Kota Madiun. Sebagai warga negara dan
masyarakat yang baik, setiap orang harus mengetahui apa yang menjadi hak
dan kewajiban maupun larangan terhadap lingkungan sekitarnya khususnya
untuk menciptakan dan menjaga lingkungan yang tertib.
Pembangunan suatu daerah akan terwujud dan dapat dirasakan oleh segenap
lapisan masyarakat jika disertai dengan terciptanya kondisi yang tertib,
tentram dan aman. Cerminan adanya ketertiban, ketentraman dan keamanan
bagi masyarakat merupakan modal bagi pembangunan daerah. Secara fisik
pembangunan Kota Madiun telah dilaksanakan, namun sejauh ini masih
terdapat pesoalan mengenai penyelenggaraan ketertiban umum, ketentraman
dan perlindungan masyarakat. Menurut data terakhir, pelanggaran terhadap
peraturan daerah maupun peraturan kepala daerah mencapai sekitar 288.000
kasus. Jumlah pelanggar yang membuang sampah di Kota Madiun meningkat
sekitar 40 - 50 ton rata rata perhari. Satlantas Polres Madiun Kota mencatat
selama bulan Juni hingga bulan Juli 2021 terdapat lebih dari 20 kecelakaan
lalu lintas.

BAB III

EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN TERHADAP

PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT

Evaluasi dan analisis peraturan perundang-undang terkait ini merupakan


penjelasan tentang argumentasi pembentukan suatu UU. Evaluasi dan analisis ini
bertujuan untuk mengetahui kondisi hukum atau peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang keadaan dan kondisi yang ada di Kota Madiun. Evaluasi dan
analisis ini juga bertujuan untuk menghindari agar peraturan perundang-undangan
tidak saling bertentangan dan tumpang tindih, sehingga dapat memberikan kepastian
hukum.
1. Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Sesuai dengan tujuan bangsa Indonesia yang terletak dalam alinea keempat
pembukaan UUD 1945. Berdasarkan alinea keempat di atas, tujuan Negara Republik
Indonesia adalah meliputi:
a. melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
b. memajukan kesejahteraan umum
c. mencerdaskan kehidupan bangsa
d. ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Upaya untuk menciptakan ketertiban umum demi mewujudkan ketentraman
umum merupakan salah satu bentuk upaya mencapai tujuan Negara Republik
Indonesia yakni melindungi segenap bangsa dan memajukan kesejahteraan umum.
Oleh karena itu, Pemerintah Daerah sebagai bagian dari penyelenggaraan urusan
pemerintahan perlu membuat instrumen hukum untuk menciptakan ketertiban umum
di wilayahnya.

2. Undang - Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia


Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara,
hukum dan pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat
martabat manusia. Hak Asasi Manusia diatur dalam Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999. Hak-hak yang diatur dalam hak asasi manusia antara lain haknya untuk
hidup, keamanan, tidak diganggu, kebebasan dari perbudakan serta penyiksaan.
Ada beberapa faktor penyebab terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia antara lain:
a. Adanya kesenjangan sosial antara masyarakat
b. Rendahnya toleransi dan tenggang rasa antar masyarakat
c. Kurangnya pemahaman dan penegakan mengenai hak asasi manusia
d. Lembaga penegak hukum kurang bekerja secara maksimal untuk mengusut
pelanggaran HAM
Prinsip-prinsip penegakkan hukum meliputi :
a. aparat penegak hukum dalam melakukan tindakan harus selalu melihat koridor
hukum yang berlaku dan nilai HAM.
b. aparat penegak hukum memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan
pemenuhan HAM dan memahami tindakannya berdampak pada organisasi
penegak hukum secara keseluruhan.
Standar HAM meliputi :
a. Menurut Deklarasi Universal HAM (DUHAM)
- Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keamanan sebagai
individu.
- Tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam,
dihukum secara tidak manusiawi atau dihina.
- Semua orang sama didepan hukum dan berhak atas perlindungan
hukum yang sama tanpa diskriminasi.
- Tidak seorang pun boleh ditangkap, ditahan atau dibuang dengan
sewenang-wenang.
- Setiap orang yang dituntut karena disangka melakukan suatu tindak
pidana dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya
menurut hukum dalam suatu pengadilan yang terbuka, dimana dia
memperoleh semua jaminan yang diperlukan untuk pembelaannya.
- Semua orang berhak atas kebebasan berpendapat, menyatakan
pendapat dan berekspresi.
- Setiap orang mempunyai hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat
tanpa kekerasan. Tidak seorang pun boleh dipaksa untuk memasuki
suatu perkumpulan.
b. Standar HAM Nasional
- UU No. 39/1999 Tentang HAM. Psl. 28 Hak atas pekerjaan yang
halal.
- UU No. 12/2005 Tentang Hak Ekonomi Sosial Budaya.

3. Undang - Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung


Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung mengatur
fungsi bangunan gedung, persyaratan bangunan gedung, penyelenggaraan bangunan
gedung, termasuk hak dan kewajiban pemilik dan pengguna bangunan gedung pada
setiap tahap penyelenggaraan bangunan gedung, ketentuan tentang peran masyarakat
dan pembinaan oleh pemerintah, sanksi, ketentuan peralihan, dan ketentuan penutup.
Persyaratan administratif dan teknis untuk bangunan gedung adat, bangunan gedung
semi permanen, bangunan gedung darurat, dan bangunan gedung yang dibangun pada
daerah lokasi bencana ditetapkan oleh Pemerintah Daerah sesuai kondisi sosial dan
budaya setempat. Hal ini sebagaimana yang diatur dalam pasal 7 ayat (5). Selanjutnya
Pasal 8 ayat (3) ditegaskan bahwa Pemerintah Daerah wajib mendata bangunan
gedung untuk keperluan tertib pembangunan dan pemanfaatan.
Dalam penyelenggaraan bangunan gedung, pemilik bangunan gedung mempunyai
hak:
a. mendapatkan pengesahan dari Pemerintah Daerah atas rencana teknis
bangunan gedung yang telah memenuhi persyaratan;
b. melaksanakan pembangunan bangunan gedung sesuai dengan perizinan yang
telah ditetapkan oleh Pemerintah Daerah;
c. mendapatkan surat ketetapan bangunan gedung dan/atau lingkungan yang
dilindungi dan dilestarikan dari Pemerintah Daerah;
d. mendapatkan insentif sesuai dengan peraturan perundang undangan dari
Pemerintah Daerah karena bangunannya ditetapkan sebagai bangunan yang
harus dilindungi dan dilestarikan; mengubah fungsi bangunan setelah
mendapat izin tertulis dari Pemerintah Daerah;
e. mendapatkan ganti rugi sesuai dengan peraturan perundang undangan apabila
bangunannya dibongkar oleh Pemerintah Daerah atau pihak lain yang bukan
diakibatkan oleh kesalahannya. Penyelenggaraan bangunan gedung, pemilik
bangunan gedung mempunyai kewajiban meminta pengesahan dari Pemerintah
Daerah atas perubahan rencana teknis bangunan gedung yang terjadi pada
tahap pelaksanaan bangunan.

4. Undang - Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan


Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan merupakan landasan
hukum dalam upaya terpenuhinya peranan jalan sebagaimana mestinya. Penjelasan
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan yang menjelaskan Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa
tujuan Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia, antara lain, adalah
memajukan kesejahteraan umum. Jalan sebagai bagian sistem transportasi nasional
mempunyai peranan penting terutama dalam mendukung bidang ekonomi, sosial dan
budaya serta lingkungan dan dikembangkan melalui pendekatan pengembangan
wilayah agar tercapai keseimbangan dan pemerataan pembangunan antar daerah,
membentuk dan memperkokoh kesatuan nasional untuk memantapkan pertahanan dan
keamanan nasional, serta membentuk struktur ruang dalam rangka mewujudkan
sasaran pembangunan nasional. Untuk terpenuhinya peranan jalan sebagaimana
mestinya, pemerintah mempunyai hak dan kewajiban menyelenggarakan jalan. Agar
penyelenggaraan jalan dapat dilaksanakan secara berdaya guna dan berhasil guna,
diperlukan keterlibatan masyarakat. Kehadiran undang-undang ini bertujuan
mewujudkan ketertiban dan kepastian hukum dalam penyelenggaraan jalan,
mewujudkan peran masyarakat dalam penyelenggaraan jalan, mewujudkan peran
penyelenggara jalan secara optimal dalam pemberian layanan kepada masyarakat,
mewujudkan pelayanan jalan yang andal dan prima serta berpihak pada kepentingan
masyarakat, mewujudkan sistem jaringan jalan yang berdaya guna dan berhasil guna
untuk mendukung terselenggaranya sistem transportasi yang terpadu dan mewujudkan
pengusahaan jalan yang transparan dan terbuka. Adapun lingkup jalan yang diatur
dalam undang-undang ini diantaranya:
1. Jalan umum yang meliputi pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan
pengawasan;
2. Jalan tol yang meliputi pengaturan, pembinaan, pengusahaan, dan
pengawasan; dan
3. Jalan khusus merupakan jalan yang dibangun oleh instansi, badan usaha,
perseorangan, atau kelompok masyarakat untuk kepentingan sendiri.
Dalam BAB IV yang mengatur jalan umum dalam Pasal 13 dikatakan bahwa
penguasaanya diberikan kepada negara. Penguasaan oleh negara kemudian dapat
diberikan wewenang kepada Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk melaksanakan
penyelenggaraan jalan. Pemberian wewenang tersebut juga diberikan kepada Pemda
kabupaten/kota yang diatur dalam Pasal 16 secara rinci dapat dilihat sebagai berikut:
Pasal 16
(1) Wewenang pemerintah kabupaten dalam penyelenggaraan jalan meliputi
penyelenggaraan jalan kabupaten dan jalan desa.
(2) Wewenang pemerintah kota dalam penyelenggaraan jalan meliputi
penyelenggaraan jalan kota.
(3) Wewenang penyelenggaraan jalan kabupaten, jalan kota, dan jalan desa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) meliputi pengaturan, pembinaan,
pembangunan, dan pengawasan.
(4) Dalam hal pemerintah kabupaten/kota belum dapat melaksanakan sebagian
wewenangnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), pemerintah
kabupaten/kota dapat menyerahkan wewenang tersebut kepada pemerintah provinsi
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai wewenang penyelenggaraan jalan kabupaten
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wewenang penyelenggaraan jalan kota
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dan penyerahan wewenang sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Dalam kaitanya untuk menyelenggarakan wewenang di bidang jalan sebagaimana
yang telah diatur dalam Pasal 16 ayat (3) wewenang tersebut meliputi pengaturan,
pembinaan, pengembagan, dan pengawasan sejalan juga dengan upaya mewujudkan
ketentraman, ketertiban umum dan perlindungan masyarakat di lingkup pemerintahan
daerah khususnya tertib jalan dan angkutan jalan. Melalui kewenangan tersebut
Pemda dapat melakukan rekayasa yuridis di bidang jalan dan angkutan jalan agar
terwujud visi ketertiban lebih khusus tertib bidang jalan dan angkutan. Dengan
demikian keberadaan undang-undang ini sangat relevan sebagai rujukan hukum dalam
melakukan pengaturan di bidang ketentraman, ketertiban umum dan perlindungan
masyarakat.

5. Undang - Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang


Penataan ruang merupakan salah satu aspek ketertiban umum yang meliputi
perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Penataan ruang yang baik dapat menciptakan keamanan dan kenyamanan hidup.
Kebijakan otonomi daerah memberikan kewenangan semakin besar kepada
pemerintah daerah dalam penyelenggaraan penataan ruang yang meliputi pengaturan,
pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang.
Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
menyebutkan bahwa wewenang Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam konteks
penataan ruang meliputi:
a. pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang
wilayah kabupaten/kota dan kawasan kawasan strategis kabupaten/kota;
b. pelaksanaan penataan ruang wilayah Kabupaten/Kota;
c. pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis Kabupaten/Kota; dan
d. kerja sama penataan ruang antarprovinsi antar kabupaten/kota.
Adapun wewenang pemerintah daerah Kabupaten/Kota dalam pelaksanaan penataan
ruang wilayah Kabupaten/Kota meliputi:
a. perencanaan tata ruang wilayah Kabupaten/Kota;
b. pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten/Kota; dan
c. pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten/Kota.
Dalam penataan ruang kawasan strategis Kabupaten/Kota, Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota melaksanakan:
a. penetapan kawasan strategis Kabupaten/Kota;
b. perencanaan tata ruang kawasan strategis Kabupaten/Kota;
c. pemanfaatan ruang kawasan strategis Kabupaten/Kota; dan
d. pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis Kabupaten/Kota. Aspek
pelaksanaan penataan ruang yang berkaitan erat dengan ketertiban umum adalah
pengendalian pemanfaatan ruang.
Dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 disebutkan bahwa
pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang.
Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui penetapan peraturan zonasi,
perizinan, pemberian insentif dan disintensif, serta pengenaan sanksi (Pasal 35).
Pengenaan sanksi merupakan tindakan penertiban yang dilakukan terhadap
pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang dan peraturan zonasi.

6. Undang - Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah


Pasal 28H Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 memberikan hak kepada setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup
yang baik dan sehat. Pemerintah merupakan pihak yang berwenang dan bertanggung
jawab di bidang pengelolaan sampah meskipun secara operasional pengelolaannya
dapat bermitra dengan badan usaha. Dalam rangka menyelenggarakan pengelolaan
sampah secara terpadu, pemenuhan hak dan kewajiban masyarakat serta tugas dan
wewenang pemerintahan daerah untuk melaksanakan pelayanan publik, diperlukan
payung hukum dalam bentuk Peraturan Daerah. Dalam pembentukan undang-undang
ini diperlukan rangka:
a. Kepastian hukum bagi rakyat untuk mendapatkan pelayanan pengelolaan
sampah yang baik dan berwawasan lingkungan
b. Ketertiban dalam penyelenggaraan pengelolaan sampah
c. Kejelasan, tugas, wewenang, dan tanggung jawab pemerintahan daerah dalam
pengelolaan sampah
d. Kejelasan antara pengertian sampah yang diatur dalam undang-undang

7. Undang - Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial


Kesejahteraan Sosial merupakan suatu kondisi yang harus diwujudkan bagi
seluruh warga negara di dalam pemenuhan kebutuhan material, spiritual, dan sosial
agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat
melaksanakan fungsi sosialnya. Hal ini merupakan salah satu amanat pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945 alinea keempat
yang menyatakan bahwa negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial. Adapun penyelenggaraan kesejahteraan sosial
tersebut meliputi:
a) Rehabilitasi sosial
b) Jaminan sosial
c) Pemberdayaan sosial; dan
d) Perlindungan sosial.
Selain pemerintah pusat, penyelenggaran kesejahteraan sosial ini juga merupakan
tanggung jawab dan wewenang dari pemerintah daerah, baik Provinsi maupun
Kabupaten/Kota. Khusus bagi Kabupaten/Kota, wewenang terkait penyelenggaraan
kesejahteraan sosial diatur dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009
tentang Kesejahteraan Sosial sebagaimana berikut:
Wewenang pemerintah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial
meliputi:
a. penetapan kebijakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang bersifat lokal
selaras dengan kebijakan pembangunan nasional dan provinsi di bidang kesejahteraan
sosial;
b. koordinasi pelaksanaan program penyelenggaraan kesejahteraan sosial di
wilayahnya;
c. pemberian izin dan pengawasan pengumpulan sumbangan dan penyaluran bantuan
sosial sesuai dengan kewenangannya;
d. pemeliharaan taman makam pahlawan; dan
e. pelestarian nilai kepahlawanan, keperintisan, dan kesetiakawanan sosial

8. Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan


Pengelolaan Lingkungan Hidup
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) menurut UU no 32
tahun 2009 pasal 1 ayat (2) adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk
melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian,
pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.
Dalam Undang-Undang ini tercantum jelas dalam Bab X bagian 3 pasal 69 mengenai
larangan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang meliputi
larangan melakukan pencemaran, memasukkan benda berbahaya dan beracun (B3),
memasukkan limbah ke media lingkungan hidup, melakukan pembukaan lahan
dengan cara membakar, dan lain sebagainya.
Larangan-larangan tersebut diikuti dengan sanksi yang tegas dan jelas tercantum pada
Bab XV tentang ketentuan pidana pasal 97-123. Salah satunya adalah dalam pasal 103
yang berbunyi: Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan
pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga
miliar rupiah).

9. Undang - Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan


Perundang - undangan
Pembentukan peraturan perundang-undangan, termasuk Peraturan Daerah,
baik Daerah provinsi maupun Daerah kabupaten/kota harus didasarkan pada asas-asas
pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Asas Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan yang baik berdasarkan Pasal 5 Undang Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yaitu:
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; (d) dapat dilaksanakan;
d. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
e. kejelasan rumusan; dan
f. keterbukaan.
Sedangkan menyangkut materi muatan Peraturan Perundang Undangan, harus
mencerminkan asas-asas sebagai berikut:
a. pengayoman;
b. kemanusiaan;
c. kebangsaan;
d. kekeluargaan;
e. kenusantaraan;
f. bhinneka tunggal ika;
g. keadilan;
h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 14, materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka
penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, serta menampung kondisi
khusus daerah, dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang
lebih tinggi. Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dapat
memuat ketentuan pidana (Pasal 15) berupa ancaman pidana kurungan paling lama 6
(enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah). Selain itu, Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
dapat saja memuat ancaman pidana kurungan atau pidana denda selain penjara
maksimal 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah), asalkan sesuai dengan yang diatur di dalam Peraturan
Perundang-undangan lainnya.

10. Undang - Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi


Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan Undang - Undang Nomor 24
Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang - Undang Nomor 23 Tahun 2006
tentang Administrasi Kependudukan
Administrasi Kependudukan merupakan rangkaian kegiatan penataan dan
penertiban dalam penerbitan dokumen dan Data Kependudukan melalui Pendaftaran
Penduduk, Pencatatan Sipil pengelolaan informasi Administrasi Kependudukan serta
pendayagunaan hasilnya untuk pelayanan publik dan pembangunan sektor lain.
Ketentuan tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2006 tentang Administrasi Kependudukan (undang-undang administrasi
kependudukan).
Penyelenggaraan administrasi kependudukan merupakan tanggung jawab dan
wewenang negara melalui pemerintah yang dalam pasal 5 undang-undang
administrasi kependudukan ditegaskan bahwa: “Pemerintah melalui Menteri
berwenang menyelenggarakan Administrasi Kependudukan secara nasional, meliputi:
a. koordinasi antarinstansi dan antar daerah;
b. penetapan sistem, pedoman, dan standar;
c. fasilitasi dan sosialisasi;
d. pembinaan, pembimbingan, supervisi, pemantauan, evaluasi dan konsultasi;
e. pengelolaan dan penyajian Data Kependudukan berskala nasional;
f. menyediakan blangko KTP-el bagi kabupaten/kota;
g. menyediakan blangko dokumen kependudukan selain blangko KTP-el melalui
Instansi Pelaksana; dan
h. pengawasan.”
Sedangkan kewenangan penyelenggaraan administrasi kependudukan yang berada
pada pemerintah kabupaten/kota meliputi :
a. koordinasi penyelenggaraan Administrasi Kependudukan;
b. pembentukan Instansi Pelaksana yang tugas dan fungsinya di bidang
Administrasi Kependudukan;
c. pengaturan teknis penyelenggaraan Administrasi Kependudukan sesuai dengan
ketentuan Peraturan Perundang-undangan;
d. pembinaan dan sosialisasi penyelenggaraan Administrasi Kependudukan;
e. pelaksanaan kegiatan pelayanan masyarakat di bidang Administrasi
Kependudukan;
f. penugasan kepada desa untuk menyelenggarakan sebagian urusan
Administrasi Kependudukan berdasarkan asas tugas pembantuan;
g. penyajian Data Kependudukan berskala kabupaten/kota berasal dari Data
Kependudukan yang telah dikonsolidasikan dan dibersihkan oleh Kementerian
yang bertanggung jawab dalam urusan pemerintahan dalam negeri; dan
h. koordinasi pengawasan atas penyelenggaraan Administrasi Kependudukan.
Penyelenggaraan administrasi kependudukan merupakan rangkaian kegiatan yang
dilakukan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah untuk memenuhi hak setiap
warga negara terkait dengan dokumen kependudukan, pelayanan dalam pendaftaran
penduduk dan pencatatan sipil, perlindungan terhadap data pribadi, kepastian hukum
atas kepemilikan dokumen, informasi mengenai data hasil pendaftaran penduduk dan
pencatatan sipil, ganti rugi dan pemulihan nama baik sebagai akibat kesalahan dalam
pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil serta penyalahgunaan data pribadi oleh
instansi pelaksana. Untuk kelancaran dan kemudahan penyelenggaraan administrasi
kependudukan, setiap warga negara (penduduk) memiliki kewajiban untuk
melaporkan peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang dialaminya kepada
instansi pelaksana dengan memenuhi persyaratan yang diperlukan dalam pendaftaran
penduduk dan pencatatan sipil.

11. Undang - Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah


sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang - Undang
Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah
Pelaksanaan Pemerintahan Daerah di Indonesia dalam berbagai urusan diatur
dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-undang ini mengganti Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dengan menekankan pada 2 (dua) hal, yaitu:
a. penyelenggaraan pemerintahan daerah diarahkan untuk mempercepat
terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan,
pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing
daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, dan
kekhasan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia;
dan
b. efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu
ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antara
Pemerintah Pusat dengan daerah dan antardaerah, potensi dan
keanekaragaman daerah, serta peluang dan tantangan persaingan global dalam
kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara.
Berdasarkan penjelasan di atas, penyelenggaraan pemerintah daerah ditekankan untuk
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Terkait dengan pembagian
urusan pemerintahan, Pasal 5 ayat (4) Undang-undang No. 23 Tahun 2014
menyebutkan bahwa penyelenggaraan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan asas
Desentralisasi, Dekonsentrasi, dan Tugas Pembantuan. Desentralisasi merupakan
penyerahan Urusan Pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah otonom
berdasarkan Asas Otonomi. Sementara dekonsentrasi adalah pelimpahan sebagian
Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat kepada gubernur
sebagai wakil Pemerintah Pusat, kepada instansi vertikal tertentu, dan/atau kepada
gubernur dan bupati/wali kota sebagai penanggung jawab urusan pemerintahan
umum. Adapun tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah Pusat kepada
daerah otonom untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Pemerintah Pusat dari Pemerintah Daerah provinsi kepada Daerah
kabupaten/kota untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Daerah provinsi. Urusan pemerintah sendiri dikualifikasikan menjadi
urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan
pemerintahan umum (Pasal 9). Urusan pemerintahan absolut (Pasal 10) merupakan
urusan yang sepenuhnya merupakan kewenangan pusat, yang terdiri atas:
a. politik luar negeri;
b. pertahanan;
c. keamanan;
d. yustisi;
e. moneter dan fiskal nasional; dan
f. agama.
Urusan pemerintahan konkuren merupakan urusan pemerintahan yang dibagi antara
Pemerintah Pusat dan Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota. Sedangkan
urusan pemerintahan umum merupakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan. Dari ketiga kualifikasi urusan
pemerintahan di atas, hanya urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke
daerah menjadi dasar pelaksanaan otonomi daerah. Urusan pemerintahan konkuren
dibagi menjadi urusan wajib dan urusan pemerintahan pilihan. Urusan Pemerintahan
Wajib adalah urusan Pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh semua Daerah.
Adapun Urusan Pemerintahan Pilihan adalah Urusan Pemerintahan yang wajib
diselenggarakan oleh Daerah sesuai dengan potensi yang dimiliki Daerah.
Pasal 11 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 merinci urusan pemerintahan wajib
yang terdiri atas:
a. urusan pemerintahan wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar yakni
urusan pemerintahan yang sebagian substansinya merupakan Pelayanan Dasar;
dan
b. urusan pemerintahan wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar.
Urusan pemerintahan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar menurut Pasal 12
ayat (1) terdiri atas:
a. pendidikan;
b. kesehatan;
c. pekerjaan umum dan penataan ruang;
d. perumahan rakyat dan kawasan kumuh;
e. ketentraman, ketertiban umum, dan perlindungan masyarakat; dan
f. sosial.
Dari Pasal 12 ayat (1) tersebut terlihat bahwa urusan ketentraman, ketertiban umum,
dan perlindungan masyarakat merupakan urusan pemerintahan wajib yang berkaitan
dengan Pelayanan Dasar. Artinya, pemerintah daerah wajib menyelenggarakan urusan
ini.
Persoalan berikutnya menyangkut pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah
daerah provinsi dengan pemerintah daerah kabupaten/kota. Pada prinsipnya,
pembagian tersebut didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut:
a. prinsip akuntabilitas, yaitu bahwa penanggung jawab penyelenggaraan suatu
Urusan Pemerintahan ditentukan berdasarkan kedekatannya dengan luas,
besaran, dan jangkauan dampak yang ditimbulkan oleh penyelenggaraan suatu
Urusan Pemerintahan;
b. prinsip efisiensi, yaitu bahwa penyelenggara suatu Urusan Pemerintahan
ditentukan berdasarkan perbandingan tingkat daya guna yang paling tinggi yang
dapat diperoleh;
c. prinsip eksternalitas, yaitu bahwa penyelenggara suatu Urusan Pemerintahan
ditentukan berdasarkan luas, besaran, dan jangkauan dampak yang timbul akibat
penyelenggaraan suatu Urusan Pemerintahan; dan
d. prinsip kepentingan strategis nasional, yaitu bahwa penyelenggara suatu Urusan
Pemerintahan ditentukan berdasarkan pertimbangan dalam rangka menjaga
keutuhan dan kesatuan bangsa, menjaga kedaulatan Negara, implementasi
hubungan luar negeri, pencapaian program strategis nasional dan pertimbangan
lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan Pasal 13 ayat (3), kriteria urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi adalah:
a. urusan pemerintahan yang lokasinya lintas Daerah Kabupaten/Kota;
b. urusan pemerintahan yang penggunaannya lintas Daerah Kabupaten/Kota;
c. urusan pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya lintas
kabupaten/kota; dan/atau
d. urusan pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila
dilakukan oleh Daerah Provinsi.
Adapun kriteria Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah
kabupaten/kota adalah:
a. urusan pemerintahan yang lokasinya dalam Kabupaten/Kota;
b. urusan pemerintahan yang penggunaannya dalam Dalam;
c. Kabupaten/Kota;
d. urusan pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya hanya dalam Daerah
Kabupaten/kota; dan/atau urusan pemerintahan yang penggunasan sumber
dayanya lebih efisien apabila dilakukan oleh Daerah kabupate/kota. Lampiran
UU No. 23 Tahun 2014 menjelaskan lebih lanjut mengenai pembagian
kewenangan dalam urusan ketentraman dan ketertiban umum serta perlindungan
masyarakat sebagaimana tersaji dalam Tabel di bawah ini.
Tabel 14. Pembagian kewenangan dalam urusan ketentraman dan ketertiban umum

Selain pembagian kewenangan antara Pemerintah Daerah Provinsi dengan Pemerintah


Daerah Kota/Kabupaten, dalam UU No. 23 Tahun 2014 juga diatur mengenai
pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dengan Daerah Provinsi. Pasal 14
menjelaskan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang kehutanan,
kelautan, serta energi dan sumber daya mineral dibagi antara Pemerintah Pusat dan
Daerah provinsi. Penyelenggaraan keempat urusan tersebut menjadi kewenangan
Pemerintah Daerah provinsi kecuali:
Urusan Pemerintahan bidang kehutanan yang berkaitan dengan pengelolaan taman
hutan raya kabupaten/kota menjadi kewenangan Daerah kabupaten/kota;
Urusan Pemerintahan bidang energi dan sumber daya mineral yang berkaitan dengan
pengelolaan minyak dan gas bumi menjadi kewenangan Pemerintah Pusat; dan
Urusan Pemerintahan bidang energi dan sumber daya mineral yang berkaitan dengan
pemanfaatan langsung panas bumi dalam Daerah kabupaten/kota menjadi
kewenangan Daerah kabupaten/kota.

12. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2018 tentang Satuan Polisi


Pamong Praja
Terkait pelaksanaan ketertiban umum baik provinsi maupun kabupaten/kota
merupakan salah satu wewenang dari Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP).
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2018 ini mengatur tentang Satuan Polisi
Pamong Praja yang di dalamnya diatur mengenai pembentukan, kedudukan, tugas,
dan fungsi Satpol PP. Dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2018
disebutkan: (1) Untuk menegakkan Perda dan Perkada, menyelenggarakan ketertiban
umum dan ketentraman serta menyelenggarakan perlindungan masyarakat di setiap
provinsi dan kabupaten/kota dibentuk Satpol PP. (2) Pembentukan Satpol PP
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Perda Provinsi dan Perda
Kabupaten/Kota sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Satpol PP merupakan
bagian perangkat daerah di bidang penegakan Perda, ketertiban umum dan
ketentraman masyarakat. Satpol PP dipimpin seorang kepala satuan dan
berkedudukan di bawah dan bertanggungjawab kepada kepala daerah melalui
sekretaris daerah. Sedangkan tugas Satpol PP sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 5
yakni menegakkan Perda dan perkada, menyelenggarakan ketertiban umum dan
ketentraman masyarakat serta perlindungan masyarakat.
Adapun fungsi Satpol PP dijelaskan dalam Pasal 6 yang meliputi:
a. penyusunan program dan pelaksanaan penegakan Perda, penyelenggaraan
ketertiban umum dan ketentraman masyarakat serta perlindungan masyarakat;
b. pelaksanaan kebijakan penegakan Perda dan perkada, penyelenggaraan
ketertiban umum dan ketentraman masyarakat serta penyelenggaraan perlindungan
masyarakat;
c. pelaksanaan koordinasi penegakan Perda dan perkada, penyelenggaraan
ketertiban umum dan ketentraman serta penyelenggaraan perlindungan masyarakat
dan instansi terkait;
d. pengawasan terhadap masyarakat, aparatur, atau badan hukum agar mematuhi
dan menaati Perda dan perkada; dan
e. pelaksanaan fungsi lain berdasarkan tugas yang diberikan oleh kepala daerah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam menjalankan tugasnya, sebagaimana diatur di dalam Pasal 28, Satpol PP dapat
meminta bantuan dan/atau bekerja sama dengan Kepolisian Negara Republik
Indonesia dan/atau lembaga lainnya. Satpol PP dalam hal meminta bantuan kepada
Kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau lembaga lainnya, bertindak selaku
koordinator operasi lapangan. Kerjasama tersebut dilaksanakan berdasarkan atas
hubungan fungsional, saling membantu dan saling menghormati dengan
mengutamakan kepentingan umum serta memperhatikan hierarki dan kode etik
birokrasi. Selanjutnya dalam Pasal 29 diatur secara khusus mengenai kewenangan
Satpol PP Provinsi untuk mengkoordinir pemeliharan dan penyelenggaraan ketertiban
umum dan ketentraman masyarakat lintas kabupaten/kota.
13. Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 1982 tentang Perubahan Batas
Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Madiun (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1982 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3244)
Perkembangan pembangunan di wilayah Provinsi Daerah Tingkat I Jawa
Timur pada umumnya dan di wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Madiun pada
khususnya, dalam kenyataannya semakin meningkat, sehingga tidak dapat lagi
menampung segala aspirasi dan kebutuhan masyarakat di daerah tersebut, terutama di
bidang pembangunan. Oleh karena itu, dilaksanakan perubahan batas wilayah
Kotamadya Daerah Tingkat II Madiun dengan memasukkan sebagian wilayah
Kabupaten Daerah Tingkat II Madiun. Adapun perubahan batas wilayah Kotamadya
Daerah Tingkat II Madiun yang tercantum dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah
Nomor 49 Tahun 1982 tentang Perubahan Batas Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat
II Madiun sebagai berikut:
(1) Batas-batas wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Madiun diubah dengan
memasukkan sebagian dari wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Madiun, yaitu :
a. Sebagian wilayah Kecamatan Jiwan, yang meliputi :
1. Desa Ngegeng;
2. Desa Sogaten;
b. Sebagian wilayah Kecamatan Wungu, yang meliputi:
1. Desa Manisrejo;
2. Desa Kanigoro;
3. Desa Pilangbango;
c. Sebagian wilayah Kecamatan Madiun, yang meliputi :
1. Desa Tawangrejo;
2. Desa Kelun;
sehingga batas wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Madiun menjadi sebagaimana
terdapat pada peta terlampir.
(2) Wilayah Kecamatan Jiwan, wilayah Kecamatan Wungu dan wilayah Kecamatan
Madiun dalam Kabupaten Daerah Tingkat II Madiun dikurangi dengan desa-desa
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini.
Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Madiun dibagi dalam 3 (tiga) wilayah
Kecamatan, yaitu: 1) Kecamatan Kartoharjo; 2)Kecamatan Mangunharjo; dan
3)Kecamatan Taman.
14. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1980 tentang Penanggulangan
Gelandangan dan Pengemis (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1980
Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3177)
Krisis ekonomi yang diperberat dengan berbagai bencana alam maupun sosial
telah menyebabkan banyak orang mengalami keterpurukan ekonomi. Melambungnya
harga barang kebutuhan menyebabkan banyak orang yang tidak dapat memenuhi
kebutuhan pangan, kesulitan mendapat pekerjaan. Oleh karena itu, tidak sedikit dari
masyarakat yang mengambil langkah menjadi pengemis untuk mempertahankan
hidup. Menggelandang dan mengemis dikualifikasikan sebagai pelanggaran di bidang
keamanan dan ketertiban umum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 31 tahun 1980.
Gelandangan dan pengemis tidak sesuai dengan norma kehidupan bangsa Indonesia
yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, karena itu perlu
diadakan usaha-usaha penanggulangan. Selain itu di samping usaha - usaha
pencegahan timbulnya gelandangan dan pengemis, bertujuan pula untuk memberikan
rehabilitasi kepada gelandangan dan/atau pengemis, agar mampu mencapai taraf
hidup, kehidupan, dan penghidupan yang layak sebagai seorang warga negara
Republik Indonesia. Dalam Pasal 1 dijelaskan bahwa:
1. Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan
norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat, serta tidak mempunyai
tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di
tempat umum.
2. Pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta
minta di muka umum dengan pelbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas
kasihan dari orang lain.
3. Menteri adalah Menteri Sosial.
4. Usaha preventif adalah usaha secara terorganisir yang meliputi penyuluhan,
bimbingan, latihan, dan pendidikan, pemberian bantuan, pengawasan serta pembinaan
lanjut kepada berbagai pihak yang ada hubungannya dengan pergelandangan dan
pengemisan, sehingga akan tercegah terjadinya :
a. pergelandangan dan pengemisan oleh individu atau keluarga-keluarga
terutama yang sedang berada dalam keadaan sulit penghidupannya;
b. meluasnya pengaruh dan akibat adanya pergelandangan dan pengemisan di
dalam masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban dan kesejahteraan pada
umumnya;
c. pergelandangan dan pengemisan kembali oleh para gelandangan dan
pengemis yang telah direhabilitasi dan telah ditransmigrasikan ke daerah
pemukiman baru ataupun telah dikembalikan ke tengah masyarakat.
5. Usaha represif adalah usaha-usaha yang terorganisir, baik melalui lembaga maupun
bukan dengan maksud menghilangkan pergelandangan dan pengemisan, serta
mencegah meluasnya di dalam masyarakat.
6. Usaha rehabilitatif adalah usaha-usaha yang terorganisir meliputi usaha-usaha
penyantunan, pemberian latihan dan pendidikan, pemulihan kemampuan dan
penyaluran kembali baik ke daerah-daerah pemukiman baru melalui transmigrasi
maupun ke tengah-tengah masyarakat, pengawasan serta pembinaan lanjut, sehingga
dengan demikian para gelandangan dan pengemis, kembali memiliki kemampuan
untuk hidup secara layak sesuai dengan martabat manusia sebagai Warga Negara
Republik Indonesia.
Penanggulangan gelandangan dan pengemisan yang meliputi usaha-usaha preventif,
represif, rehabilitatif bertujuan agar tidak terjadi pergelandangan dan pengemisan,
serta mencegah meluasnya pengaruh akibat pergelandangan dan pengemisan di dalam
masyarakat, dan memasyarakatkan kembali gelandangan dan pengemis menjadi
anggota masyarakat yang menghayati harga diri, serta memungkinkan pengembangan
para gelandangan dan pengemis untuk memiliki kembali kemampuan guna mencapai
taraf hidup, kehidupan, dan penghidupan yang layak sesuai dengan harkat martabat
manusia. Dalam penanggulangan gelandangan dan pengemisan ini, masyarakat dapat
berpartisipasi dengan menyelenggarakan usaha rehabilitasi gelandangan dan
pengemis dengan mendirikan Panti Sosial.

15. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 92 tahun 2015 Tentang


Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang
Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Dengan diundangkannya UU Nomor 24 Tahun 1981 Pelaksanaan hukum pidana
materiil di indonesia dapat dilaksanakan dengan lebih baik melalui aturan-aturan
pidana formil, meskipun begitu, Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
atau KUHAP tercantum ketentuan yang memerlukan peraturan pelaksanaannya.
keperluan ini penting karena tidak semua aturan dalam UU Nomor 24 Tahun 1981
dijelaskan secara terperinci dan lebih menitik beratkan pada aturan-aturan secara
umum, oleh karena itu untuk mendukung akuntabilitas dari Undang-Undang tersebut
dibuatlah Peraturan Pemerintah Nomor 92 tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Selain fungsi pelaksanaan tersebut di atas
melalui PP diatur pula pelaksanaan Keputusan Menteri Kehakiman sebagaimana
tercantum dalam Pasal 231 ayat (2) yaitu mengenai tata tertib persidangan. Dalam
KUHAP tercantum beberapa pasal yang merupakan materi baru, antara lain mengenai
ganti kerugian dan rehabilitasi, yang tercantum dalam BAB XII, rumah tahanan
negara (RUTAN) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf a,rumah
penyimpanan benda sitaan negara (RUPBASAN)sebagaimana dimaksud dalam Pasal
44 ayat (1).
Sebagai materi baru perlu diatur pelaksanaannya, misalnya mengenai ganti kerugian,
kapan dapat diajukan tuntutan ganti kerugian, batas jumlahnya,dan siapa yang
membayar. Demikian pula dalam rehabilitasi diatur mengenai jangka waktu
mengajukan rehabilitasi dan cara mengajukan permintaan rehabilitasi. Sehubungan
dengan diaturnya tindak pidana koneksitas, dalam BAB XI KUHAP maka diatur
ketentuan mengenai praperadilan dalam perkara koneksitas. Agar supaya ada kesatuan
pendapat mengenai makna dari Pasal 284 maka dalam Peraturan Pemerintah ini perlu
ada pengaturan mengenai hal ini. Dalam BAB RUTAN diatur mengenai tempat
kedudukan,pengelolaan serta hubungan pejabat RUTAN dengan pejabat yang
bertanggung jawab secara yuridis atas tahanan.

16. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1988 tentang Koordinasi Kegiatan


Instansi Vertikal di Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1988
Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3373);
Koordinasi Vertikal di daerah dapat diartikan sebagai upaya yang dilaksanakan
oleh Kepala Wilayah guna mencapai keselarasan, keserasian dan keterpaduan baik
perencanaan maupun pelaksanaan tugas serta kegiatan semua Instansi Vertikal, dan
antara Instansi Vertikal dengan Dinas Daerah agar tercapai hasil guna dan daya guna
yang sebesar-besarnya. sedangkan yang dimaksud sebagai Kepala Wilayah adalah
pejabat yang menjadi wakil Pemerintah Pusat di Daerah yang memimpin
penyelenggaraan urusan pemerintahan umum di wilayahnya yaitu Gubernur, Bupati,
Walikotamadya, Walikota dan Camat.
dalam pasal 2 PP nomor 6 Tahun 1988 dijelaskan bahwa :
“Dalam rangka pelaksanaan wewenang, tugas dan kewajiban urusan pemerintahan
umum Kepala Wilayah menyelenggarakan koordinasi atas kegiatan semua Instansi
Vertikal, antara Instansi Vertikal dengan Dinas Daerah dan antara Instansi Vertikal
dengan Instansi Vertikal lainnya.”
Sebagaimana penjelasan dan uraian pasal diatas Pada dasarnya kepala daerah tidak
mungkin untuk melaksanakan semua tugas eksekutifnya sendirian, oleh karena itu
kepala daerah sebagai wakil pemerintahan umum di daerah dapat melakukan
koordinasi vertikal terhadap perangkat di Departemen atau Lembaga Pemerintah non
Departemen yang mempunyai lingkungan kerja di wilayahnya.
dalam mencapai suatu tujuan yang berdayaguna dan berhasilguna dari kegiatan
Pemerintah di Daerah, perlu adanya keselarasan dan keserasian antara pelaksanaan
kegiatan Pemerintah dengan kebutuhan Daerah dan masyarakatnya, oleh sebab itu
suatu bagian kegiatan atau beberapa bagian kegiatan di Daerah yang dilaksanakan
oleh Instansi Vertikal atau Dinas Daerah tidak semuanya dan selamanya harus
dilaksanakan serentak atau secara berurutan, tetapi pelaksanaan kegiatan-kegiatan
tersebut perlu dikaitkan dengan kebutuhan Daerah dan masyarakatnya disamping
faktor teknis yang timbul sebagai akibat dari kegiatan itu sendiri.

17. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi


Pamong Praja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 9,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5094);
Dalam membentuk kepala daerah dalam menegakkan peraturan daerah dan
penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat dibentuklah Satpol
PP di setiap kabupaten/kota. Satpol PP wajib menjunjung tinggi norma hukum, norma
agama, dan norma sosial. Dalam melaksanakan tugasnya, Satpol PP mempunyai
fungsi yaitu:
a. Pelaksanaan kebijakan perlindungan masyarakat
b. Pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman
masyarakat di daerah
c. Pengawasan terhadap masyarakat, aparatur, atau badan hukum
Selain itu terdapat beberapa tugas Satpol PP, yaitu:
a. Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat
mengganggu ketertiban umum dan ketentraman masyarakat
b. Menegakkan peraturan daerah dan menyelenggarakan ketertiban umum dan
ketentraman masyarakat serta perlindungan terhadap masyarakat
c. Serta membantu melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah dan tugas pembantuan di bidang ketertiban umum dan
ketentraman masyarakat

18. Peraturan Daerah Kota Madiun Nomor 02 Tahun 2008 tentang Urusan
Pemerintahan yang Menjadi Kewenangan Pemerintahan Kota Madiun;
Di dalam pemerintah daerah, yang menjadi unsur penyelenggara adalah bupati
beserta perangkat daerah. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam menjalankan otonomi daerah, Pemerintah Daerah melaksanakan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. Adapun urusan pemerintahan yang
harus diurus yaitu:
a. pendidikan
b. kesehatan
c. Pekerjaan Umum
d. Perumahan
e. Penataan ruang
f. Perencanaan pembangunan
g. Perhubungan
h. Lingkungan hidup
i. Pertanahan
j. Kependudukan dan catatan sipil
k. dan beberapa lainnya
Urusan pemerintahan ini adalah fungsi-fungsi pemerintahan yang menjadi hak dan
kewajiban setiap tingkatan untuk mengatur dan mengurus fungsi-fungsi tersebut yang
menjadi kewenangannya dalam rangka melindungi, melayani, memberdayakan, dan
mensejahterakan masyarakat.
19. Peraturan Daerah Kota Madiun Nomor 06 Tahun 2008 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Satuan Polisi Pamong Praja;
Unit Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Madiun merupakan salah
satu unit yang dimiliki pemerintah Kota Madiun yang bertugas membantu Kepala
Daerah atau Walikota dalam bidang penegakan Peraturan Daerah maupun Peraturan
Walikota khususnya dalam keamanan dan ketertiban umum. Dalam menjalankan misi
Kota Madiun yaitu mewujudkan tata kelola Pemerintahan yang baik, bersih,
berwibawa dan transparan, Satpol PP Kota Madiun memiliki visi dan misi yang jelas,
berikut dijabarkan mengenai visi dan misi Unit Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol
PP) Kota Madiun.
Visi Misi Unit Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Madiun Untuk
mendukung visi dari Pemerintah Kota Madiun, maka dirumuskan visi dari Satuan
Polisi Pamong Praja yaitu : Makna visi tersebut adalah : Mewujudkan Kota Madiun
yang aman dan terkendali melalui peningkatan kesadaran masyarakat.
Untuk mewujudkannya terdapat tiga misi yaitu :
1) Mewujudkan ketentraman masyarakat Arah misi atau orientasi pembangunannya
adalah dititikberatkan pada rasa dan nyaman masyarakat.
2) Mewujudkan masyarakat yang tertib hukum Arah misi atau orientasi
pembangunannya adalah dititikberatkan pada penegakan Peraturan Daerah dan
Peraturan Walikota.
3) Meningkatkan SDM Pelayanan dan pengayoman masyarakat Arah misi atau
orientasi pembangunannya adalah dititikberatkan pada peningkatan SDM aparatur.

20. Peraturan Daerah Kota Madiun Nomor 02 Tahun 2009 tentang Penyidik
Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Kota Madiun;
Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang (PPNS) adalah pegawai negeri sipil yang
diberi tugas melakukan penyidikan terhadap pelanggaran atas ketentuan Peraturan
Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penyidikan adalah
serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang, untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu
membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya. Penyidikan terhadap pelanggaran atas ketentuan Perda dilakukan oleh
pejabat penyidik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Tugas
untuk melakukan penyidikan, meliputi bentuk kegiatan, rencana penyidikan,
pengorganisasian, pelaksanaan penyidikan dan pengendalian yang dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam melaksanakan tugas, PPNS berwenang:
a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana; b.
melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
d. melakukan penggeledahan dan penyitaan;
e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan
perkara;
i. mengadakan penghentian penyidikan; dan
j. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Dalam melaksanakan tugas dan wewenang, PPNS bertanggung jawab kepada Kepala
Daerah melalui Kepala Satpol PP

Anda mungkin juga menyukai