TENTANG
PENYELENGGARAAN KETERTIBAN UMUM DAN
KETENTRAMAN MASYARAKAT DI KABUPATEN
MANGGARAI TIMUR
TENTANG
Tim Penyusun :
Siprianus Son, SH
Kristianus Forus, S.Sos
Maria Wilfrida Setia, S.Sos
Falerianus Ramli
Kata Pengantar
Daftar Isi
Daftar Gambar
Daftar Tabel
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Identifikasi Masalah
C. Tujuan dan Kegunaan Penyusunan Naskah Akademik
D. Metode Penelitian
BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
A. Kajian Teoritis
B. Kajian Terhadap Asas yang Terkait Dengan Penyusunan Norma
C. Kajian Terhadap Praktik Penyelenggaraan
D. Kajian Terhadap Implikasi Penerapan Terhadap Masyarakat Dan
Dampaknya Terhadap Beban Keuangan Daerah
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1. Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Manggarai Timur tentang
Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
A. KAJIAN TEORITIS
Ketertiban asal kata tertib yang berarti teratur; menurut aturan; rapi.
Sedangkan ketertiban yaitu peraturan atau keadaan serba teratur baik.
Ketertiban adakalanya diartikan sebagai “ketertiban, kesejahteraan, dan
keamanan”, atau disamakan dengan Penyelenggaraan ketertiban umum
dan ketentraman masyarakat, atau sinonim dari istilah “keadilan”.
Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat dalam
bukunya hukum Perdata Internasional Indonesia mengibaratkan lembaga
Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat ini sebagai
“rem darurat” yang kita ketemukan pada setiap kereta api.1
Pemakainya harus secara hati-hati dan seirit mungkin karena apabila kita
terlampau lekas menarik rem darurat ini, maka “kereta HPI” tidak dapat
berjalan dengan baik. Lebih lanjut Sudargo Gautama mengatakan bahwa
lembaga Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat
ini digunakan jika pemakaian dari hukum asing berarti suatu pelanggaran
yang sangat daripada sendi-sendi azasi hukum nasional hakim. Maka
dalam hal-hal pengecualian, hakim dapat menyampingkan hukum asing .
Manusia adalah makhluk sosial yang selalu berinteraksi dan membutuhkan
bantuan dengan sesamanya. Dengan adanya hubungan sesama seperti
itulah perlu adanya keteraturan sehingga individu dapat berhubungan
secara harmoni dengan individu lain sekitarnya. Oleh karena itu diperlukan
aturan yang disebut “Hukum”. Hukum diciptakan dengan tujuan yang
berbeda-beda, ada yang menyatakan bahwa tujuan hukum adalah keadilan,
ada juga yang menyatakan kegunaan, ada yang menyatakan kepastian
hukum.
Hukum yang ada kaitannya dengan masyarakat mempunyai tujuan utama
yaitu dapat direduksi untuk ketertiban (order). Menurut Mochtar
Kusumaatmadja “Ketertiban” adalah tujuan pokok dan pertama dari segala
hukum, Kebutuhan terhadap ketertiban ini merupakan syarat
pokok(fundamental)bagi adanya suatu masyarakat manusia yang teratur,
ketertiban sebagai tujuan hukum, merupakan fakta objektif yang berlaku
bagi segala masyarakat manusia dalam segala bentuknya untuk mencapai
ketertiban ini diperlukan adanya kepastian dalam pergaulan antar manusia
dalam masyarakat. Di setiap aspek kehidupan sudah barang tentu terdapat
sebuah aturan yang mengatur. Baik di lingkungan keluarga, masyarakat,
sekolah, atau pun di bidang sosial, politik maupun agama. Kenapa? Karena
dengan adanya aturan akan menciptakan ketertiban dan membuat keadaan
menjadi lebih tenang, damai, aman, dan sentosa. Bahkan, dengan adanya
ketertiban itulah terselenggaralah kehidupan di dunia dan alam semesta
ini. Aturan merupakan sebuah kata yang mempunyai makna sesuatu yang
1 Sudargo Gaotama, 1985, Hukum Perdata Internasional, Alumni Bandung, hal 120
harus dipatuhi. Aturan juga disebut dengan norma. Sebuah norma adalah
sebuah aturan, patokan atau ukuran, yaitu sesuatu yang bersifat pasti dan
tidak berubah. Dengan adanya norma kita dapat memperbandingkan
sesuatu hal lain yang hakikatnya, ukurannya, serta kualitasnya kita
ragukan. Norma berguna untuk menilai baik-buruknya tindakan
masyarakat sehari-hari. Sebuah norma bisa bersifat objektif dan bisa pula
bersifat subjektif. Norma objektif adalah norma yang dapat diterapkan
diterapkan secara langsung apa adanya, maka norma subjektif adalah
norma yang bersifat moral dan tidak dapat memberikuan ukuran atau
patokan yang memadai.
Aturan bisa diterapakan dalam kehidupan keluarga agar tercipta kehidupan
rumah tangga yang berjalan tentram, indah, bersih, dan bahagia. Aturan
juga terdapat pada Negara yang disebut dengan undangundang.
Dalam kehidupan masyarakat, sesuatu yang bersifat mengatur disebut
hukum. Dengan adanya hukum itulah terjadi ketertiban dan ketentraman
dalam kehidupan masyarakat. Bila hukum tidak ada atau tidak berfungsi,
maka akan terjadi hukum rimba. Siapa kuat dialah yang berkuasa.
Tentunya, ini akan berbahaya. Bahaya dari hukum rimba itu adalah anarki,
dan kekacauan sosial akan terjadi dimana-mana. Sedikitlebih rendah dari
norma, hukum dalam masyarakat juga berlaku sebagai norma sopan-
santun yang mencerminkan etika seseorang.
Sesuatu yang bersifat aturan juga terdapat dalam alam semesta. Kita
mengenal hukum alam, itulah aturan yang bekerja di alam semesta.
Ketertiban alam semesta dikenal di dalam agama Buddha sebagai Niyama
artinya Hukum Tertib Kosmis. Sesungguhnya, di dalam segenap bidang
kehidupan berlaku aturan dan ketertiban. Ketertiban itu pulalah yang
dikuak oleh ilmu pengetahuan lewat teori. Sedangkan hukum-hukum di
dalamnya sebagai bidangnya.
Tidak ada lagi jaminan dan perlindungan terhadap hak asasi, tidak ada
rasa aman, tidak ada lagi perlindungan terhadap hak milik, tidak ada lagi
kebenaran. Semua serba kacau dan orang akan melakukan sesuatu dengan
sesuka hatinya. Tidak ada bedanya antara benar dan salah, tidak ada
bedanya antara kebijaksanaan dan keegoisan, antara giat dan malas,
antara sukses dan gagal. Oleh karena itu aturan sangat penting bagi
kehidupan manusia. Karena aturan itu akan menciptakan kedamaian,
ketentraman. Aturan juga harus jelas, sehingga antara yang menjalankan
maupan yang melanggarnya tahu akan akibat dari pelanggaran aturan yang
ia lakukan. Ketertiban pada prinsipnya dapat membuat seseorang disiplin,
sebab Ketertiban dan Kedisiplinan sebagai Landasan Kemajuan tertib dan
disiplin adalah matra yang amat menentukan keberhasilan sebuah proses
pencapaian tujuan. Dengan ketertiban, kita berusaha mengetahui dan
mencermati aturan agar perjalanan menjadi lebih lancar. Disiplin adalah
sikap yang diperlukan untuk menjalani proses tersebut.
B.KAJIAN TERHADAP ASAS YANG TERKAIT DENGAN PENYUSUNAN
NORMA
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Satpol
PP menyelenggarakan fungsi :
a. perumusan kebijakan teknis di bidang ketentraman dan ketertiban
umum serta perlindungan masyarakat dan sub urusan kebakaran;
b. pelaksanaan kebijakan bidang ketentraman dan ketertiban umum
serta perlindungan masyarakat dan sub urusan kebakaran ;
c. pelaksanaan administrasi Satpol PP ketentraman dan ketertiban
umum serta perlindungan masyarakat dan sub urusan kebakaran;
d. pemantauan, evaluasi dan pelaporanbidangketentraman dan
ketertiban umum serta perlindungan masyarakat dan sub urusan
kebakaran;dan
e. pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Bupati sesuai dengan
tugas dan fungsinya.lainnya;
(1) Polisi pamong praja adalah jabatan fungsional pegawai negeri sipil yang penetapannya
dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Polisi pamong praja diangkat dari pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan.
(3) Polisi pamong praja harus mengikuti pendidikan dan pelatihan teknis dan fungsional.
(4) Pendidikan dan pelatihan teknis dan fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilakukan oleh Kementerian.
(5) Kementerian dalam melakukan pendidikan dan pelatihan teknis dan fungsional
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat berkoordinasi dengan Kepolisian Republik
Indonesia dan Kejaksaan Agung.
(6) Polisi pamong praja yang memenuhi persyaratan dapat diangkat sebagai penyidik
pegawai negeri sipil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai satuan polisi pamong praja diatur dengan peraturan
pemerintah.
Sejak tahun 2008 konflik menjadi masalah yang selalu ditangani polpp. Mulai dari
konflik pertanahan yang melibatkan kelompok masyarakat maupun konflik social
lainnya yang harus diselesaikan dengan pendekatan persuasif kekeluargaan non-
yustisial. Karena kompleksitas perubahan maka alasan untuk munculnya
gangguan seperti ini juga semakin sering; meski pun ada harapan di mana
semakin maju tingkat pendidikan masyarakat maka semakin mudah
penyelesaiaanya tetapi muncul tantangan baru yakni pemicu gangguan
ketenteraman dan ketertiban telah menggunakan dunia maya untuk memicu dan
mengagitasi bahkan mempercepat eskalasi keresahan di tingkat masyarakat.
Dunia maya juga sebaliknya bisa digunakan secara efektif oleh satuan polisi
pamong praja untuk komunikasi yang menyejukan dan menenteramkan di daerah.
MATERI MUATAN
Permendagri 54 UU No. 23 Tahun Peraturan Peraturan
tahun 2010 2014 tentang Pemerintah Pemerintah
Pemerintahan Nomor 6 Tahun 40 Tahun 2011
Daerah 2010 Tentang Tentang Pedoman
Republik Indonesia Satuan Organisasi Dan Tata
Polisi Pamong Praja Kerja Satuan Polisi
Pamong Praja
Ketentuan Pasal 255 Pasal 6 Pasal 3
Umum (3)Satuan polisi a.melakukan Satpol PP
Tertib Jalan pamong praja tindakan mempunyai
Dan Angkutan dibentuk untuk penertiban tugas menegakkan
Sungai menegakkan nonyustisial Perda dan
Tertib Jalur Perda dan Perkada, terhadap warga menyelenggarakan
Hijau Taman menyelenggarakan masyarakat, Penyelenggaraan
Dan Tempat Penyelenggaraan aparatur, atau ketertiban umum
Umum ketertiban umum badan hukum yang dan
Tertib Sungai dan ketentraman melakukan ketentraman
Saluran kolam masyarakat pelanggaran atas masyarakat dan
Dan Lepas dan ketenteraman, Perda dan/atau ketenteraman
Pantai Tertib serta peraturan kepala masyarakat serta
Lingkungan menyelenggarakan daerah; perlindungan
Tertib Usaha pelindungan b. menindak masyarakat
Tertentu masyarakat warga masyarakat, Pasal 4
Tertib aparatur, atau (1) Dalam
Bangunan badan hukum yang melaksanakan
Tertib Sosial mengganggu tugas sebagaimana
Tertib Penyelenggaraan dimaksud dalam
Kesehatan ketertiban umum Pasal 3, Satpol PP
Tertib Peran dan ketentraman mempunyai fungsi:
sera masyarakat dan a. penyusunan
Masyarakat ketenteraman program dan
Tertib Hiburan masyarakat; pelaksanaan
dan Keramaian c. fasilitasi dan penegakkan
Pengawasan pemberdayaan Perda dan
dan Penegakan kapasitas Peraturan
Hukum penyelenggaraan Kepala Daerah,
Sanksi perlindungan penyelenggaraa
Administratif masyarakat; n ketertiban
Ketentuan d. melakukan umum dan
Penyidikan tindakan ketenteraman
Petentuan penyelidikan masyarakat
Pidana terhadap warga serta
Ketentuan masyarakat, perlindungan
Peralihan aparatur, atau masyarakat;
Ketentuan badan hukum yang b. pelaksanaan
Penutp diduga melakukan kebijakan
pelanggaran atas penegakkan
Perda dan/atau Perda dan
peraturan kepala Peraturan
daerah; dan Kepala Daerah;
e. melakukan c. pelaksanaan
tindakan kebijakan
administratif penyelenggaraan
terhadap warga ketertiban
masyarakat, umum dan
aparatur, atau ketenteraman
badan hukum yang masyarakat di
melakukan daerah;
d. pelaksanaan
kebijakan
perlindungan
masyarakat;
e. pelaksanaan
koordinasi
25
penegakan Perda
dan Peraturan
Kepala Daerah
serta
penyelenggaraan
ketertiban
umum dan
ketenteraman
masyarakat
dengan
Kepolisian
Negara Republik
Indonesia,
Penyidik Pegawai
Negeri Sipil
daerah,
dan/atau
aparatur
lainnya;
f. pengawasan
terhadap
masyarakat,
aparatur, atau
badan hukum
agar mematuhi
dan mentaati
penegakkan
Perda dan
Peraturan
Kepala Daerah;
dan
g. pelaksanaan
tugas lainnya.
(2) Pelaksanaan
tugas lainnya
sebagaimana
dimaksud pada
ayat (1) huruf g
meliputi:
a. mengikuti proses
penyusunan
peraturan
perundangundangan
serta
kegiatan
pembinaan dan
penyebarluasan
produk hukum
daerah;
b. membantu
pengamanan dan
pengawalan tamu
VVIP termasuk
pejabat negara
dan tamu negara;
31
bertentangan. Sebagai contoh, kepastian hukum, sebagai nilai ia segera
menggeser nilai-nilai keadilan dan kegunaan ke samping. Yang utama bagi
kepastian hukum adalah adanya peraturan itu sendiri. Tentang apakah
peraturan itu harus adil dan mempunyai kegunaan bagi masyarakatnya,
adalah di luar pengutamaan nilai kepastian hukum.9
Teori tentang validitas berpengaruh pada hukum positif di Indonesia.
Ini tampak pada keharusan adanya pertimbangan filosofis, sosiologis, dan
yuridis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. UU P3 2011
memberikan penjelasan mengenai unsur-unsur filosofis, sosiologis, dan
yuridis sebagai muatan konsiderans menimbang. Angka 18 dan 19 TP3
(vide Pasal 64 ayat (2) UU P3 2011) menentukan konsiderans memuat
uraian singkat mengenai pokok pikiran yang menjadi pertimbangan dan
alasan pembentukan Peraturan Perundang–undangan. Pokok pikiran pada
konsiderans Undang–Undang, Peraturan Daerah Provinsi, atau Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota memuat unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis
yang menjadi pertimbangan dan alasan pembentukannya yang
penulisannya ditempatkan secara berurutan dari filosofis, sosiologis, dan
yuridis. Kemudian masing-masing unsur-unsur ini dijelaskan sebagai
berikut:
1. Unsur filosofis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk
mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum
yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia
yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang- Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Unsur sosiologis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek.
3. Unsur yuridis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk
untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan
hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang
akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian
hukum dan rasa keadilan masyarakat.
9 Satjipto Rahardjo, Ibid., hal. 19-20.
32
Pemahaman mengenai unsur-unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis,
dapat pula diperoleh dari teknik penyusunan naskah akademik rancangan
peraturan perundang-undangan. Dasar hukum teknik penyusunan naskah
akademik rancangan peraturan perundang-undangan terdapat dalam Pasal
57 UU No 12/2011, yang menentukan:
(1) Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Provinsi
dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan Naskah Akademik.
(2) Ketentuan mengenai teknik penyusunan Naskah Akademik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran I
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
Berikutnya dalam Pasal 63 UU No 12/2011 ditentukan bahwa
ketentuan mengenai penyusunan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 56 sampai dengan Pasal 62 berlaku secara mutatis
mutandis terhadap penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Artinya, ketentuan tentang teknik penyusunan Naskah Akademik yang
berlaku bagi Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah
Provinsi, berlaku pula bagi Penyusunan Naskah Akademik Rancangan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Adapun penjelasan masing-masing
unsur-unsur tersebut, yang disebut landasan filosofis, landasan sosiologis,
dan landasan yuridis, adalah sebagai berikut:
1. Landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk
mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum
yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia
yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan sosiologis
sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan
masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara.
3. Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi
permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan
33
mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau
yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa
keadilan masyarakat. Landasan yuridis menyangkut persoalan
hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur
sehingga perlu dibentuk Peraturan Perundang-Undangan yang baru.
Beberapa persoalan hukum itu, antara lain, peraturan yang sudah
ketinggalan, peraturan yang tidak harmonis atau tumpang tindih,
jenis peraturan yang lebih rendah dari Undang-Undang sehingga
daya berlakunya lemah, peraturannya sudah ada tetapi tidak
memadai, atau peraturannya memang sama sekali belum ada.
Aspek sosiologis dalam perancangan peraturan perundang-undangan
dimanfaatkan dalam konteks pembentukan dan bukan dalam konteks
pelaksanaan peraturan perundang-undangan, seperti tampak dalam bagan
berikut:
Bagan: Unsur sosiologis dalam konteks pembentukan dan pelaksanaan
UU atau Perda.
B. RELEVANSI VALIDITAS DALAM PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH
TENTANG PENYELENGGARAAN KETERTIBAN UMUM DAN
KETENTRAMAN MASYARAKAT
Berdasarkan pemahaman tentang validitas tersebut, maka unsur
filosofis, sosiologis dan yuridis, yang menjadi latar belakang pembuatan
undang-undang atau peraturan daerah, dapat dimaknai sebagai berikut:
1. Unsur filosofis adalah nilai-nilai filosofis yang dianut oleh suatu
Negara (bagi Indonesia yang termaktub dalam Pancasila dan
34
Pembukaan UUD 1945) yang menjadi latar belakang dan alasan
pembuatan undang-undang atau peraturan daerah.
2. Unsur yuridis adalah peraturan perundang-undangan yang menjadi
latar belakang dan alasan pembuatan undang-undang atau
peraturan daerah, yang meliputi:
a. Dasar hukum formal, yakni peraturan perundang-undangan yang
menjadi dasar kewenangan pembentukan suatu peraturan
perundang-undangan. Termasuk keharusan mengikuti prosedur
tertentu.
b. Dasar hukum substansial, yakni peraturan Perundang-undangan
yang memerintahkan materi muatan tertentu diatur dalam suatu
Peraturan Perundang-undangan. Termasuk kesesuaian jenis dan
materi muatan.
3. Unsur sosiologis adalah gejala dan masalah sosial-ekonomi-politik
yang berkembang di masyarakat yang menjadi latar belakang dan
alasan pembuatan undang-undang atau peraturan daerah.
Relevansi landasan keabsahan tersebut dengan pengaturan
Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat adalah
pengaturan Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman
masyarakat mendasarkan pada tiga landasan keabsahan, yakni filofofis,
yuridis, dan sosiologis, sebagaimana diamanatkan UU P3 2011.
Pertama, Landasan Filosofis. Negara Kesatuan Republik Indonesia
merupakan negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bertujuan untuk
memberikan pengayoman dan memajukan kesejahteraan masyarakat dalam
rangka mewujudkan tata kehidupan bangsa yang aman, tertib, sejahtera,
dan berkeadilan. Sejalan dengan itu, dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 ditentukan Negara Kesatuan Republik
Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi terdiri
atas daerah-daerah kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi,
kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah. Masing-masing
pemerintahan daerah itu mengatur dan mengurus sendiri pemerintahan
35
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Otonomi dimaksud adalah
otonomi seluas-luasnya.
Ketentuan konstitusional tersebut dilaksanakan dengan Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Dengan
berlakunya Undang-Undang ini, maka penyelenggaraan pemerintahan
daerah dilakukan dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya,
disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi
daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara.
Kedua, Landasan sosiologis adalah dengan disusunya Perda ini
bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam Penyelenggaraan
ketertiban umum dan ketentraman masyarakat Penyelenggaraan
ketertiban umum dan ketentraman masyarakat daerah bukan merupakan
sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan
pemerintahan daerah. Dalam Penyelenggaraan ketertiban umum dan
ketentraman masyarakat Berdasarkan uraian tersebut dapat ditegaskan,
landasan filosofis bahwa Penyelenggaraan ketertiban umum dan
ketentraman masyarakat harus mampu menjamin pemerataan kesempata
Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat ,
peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen
Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat untuk
menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan
lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan
Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat secara
terencana, terarah, dan berkesinambungan. Jadi, Pemerintahan Daerah
membuat Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan ketertiban umum dan
ketentraman masyarakat , berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan
keadilan, peranserta masyarakat, dan akuntabilitas. Adapun tujuan
pembentukan Perda ini adalah sebagai landasan hukum Penyelenggaraan
ketertiban umum dan ketentraman masyarakat di Provinsi Bali.
Ketiga, Landasan Yuridis yaitu memberikan arahan, landasan dan
kepastian hukum bagi aparatur pemerintah daerah dan para pemangku
kepentingan dalam Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman
masyarakat.
36
BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI
MUATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MANGGARAI TIMUR
TENTANG PENYELENGGARAAN KETERTIBAN UMUM DAN
KETENTRAMAN MASYARAKAT
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pmerintah Daerah, merupakan salah satu
wujud reformasi otonomi daerah dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektifitas
penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat sebagai upaya menciptakan
kondisi yang kondusif, agar pelaksanaan pembangunan yang dilakukan oleh Negara dan pemerintah
daerah dapat mencapai kesejahteraan masyarakat.
Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah
diberi kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan diluar yang menjadi
urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakn daerah untuk memberi
pelayananan, peningkatan peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan
pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
UU penanganan konflik mengatur juga ruang lingkup penanganan konflik yaitu pencegahan konflik,
penghentian konflik dan pemulihan paska konflik. Pencegahan konflik dilakukan dengan memelihara
kondisi damai dalam masyarakat, mengembangkan system penyelesaian perselisihan secara damai,
meredam potensi konflik dan membangun system peringatan dini.
Penghentian konflik dilakukan melalui penghentian kekerasan fisik, penetapan status keadaan
konflik, tindakan darurat penyelamatan dan perlindungan korban, dan/ atau bantuan pengguanaan
dan pengerahan kekuatan TNI. Sedangkan pemulihan paska konflik dilaksanakan melalui rekonsiliasi,
rehabilitasi dan rekonstruksi.
Pada era reformasi terjadi secara mendasar perubahan format penyelenggaraan yang sebelumnya
sentralistik ke pemerintahan yang desentralistik. Pengelolaan pemerintah daerah dengan
mekasnisme desentraslisai memberikan kewenangan luas kepada pemerintah daerah untuk
merumuskan dan melaksanakan berbagai kebijakan pembangunan termasuk pelayanan public, yang
sesuai dengan karakteristik daerah dan kebutuhan masyarakat local.
Di satu sisi suatu anugerah bahwa Indonesia menjadi bangsa majemuk,multi etnis multi kultural di
sisi lain kondisi masyaraka majemuk tersebut menyimpan potensi konflik yang setiap saat bias
meledak. Di tambah lagi dengan warisan disparitas pembangunan dan relasi kehidupan social
kemasyarakatan secara horizontal baik mikro maupu makro.
RPJMN 2010-2014 menetapkan salah satu prioritas pembangunan nasional yaitu Daerah Tertinggal,
Terluar, Terdepan dan Paskakonflik. Karena itu UU 7 2012 merupakan upaya pemerintah untuk
melakukan penangan konflik secara komprehensif dan simultan secara terkoordinasi yang meliputi
aspek pencegahan, penghentian, dan pemulihan paskakonflik oleh seluruh pemangku kepentiangan
terkait.
Dalam konteks penanganan dan pencegahan konflik, upaya yang dilakukan pemerintah adalah
percepatan pembangauan daerah tertinggal, melakukan kebijakan integral melalui pembanguan
social ekonomi. Pemerintah mendorong penanganan konflik dan pencegahan dengan jalan
menciptakan perdamaian melalui pembangunan. Seperti kata Maurice Duverger dalam buku Political
Sociology dengan terciptanya kemakmuran akan mengurangi konflik. Pembanguan merupakan jalan
bagi terwujudnya kemakmuran. Mari kita wujudkan pembanguan melalaui pembangunan.
Otonomi daearah membawa harapan yang besar ketika digulirkan, (AB Susanto dkk dalam Reinvensi
Pembangunan Ekonomi Daerah; Penerbit : Esensi / erlangga Grup, Mei 2011) sebab inti dari
otonomi daerah adalah pendelegasian tugas melindungi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat
kepada pemerintah daerah. Melindungi berarti berupaya secara optimal untuk mencegah dan
menyelamatkan rakyat dari bencana yakni segala sesuatu yang menimbulkan kesusahan, kerugian
dan penderitaan. Pemerintah daerah juga memiliki tanggung jawab yang lebih besar untuk
mengupayakan agar rakyat merasa aman, tenteram dan makmur.
Pembangunan ekonomi daerah menghadapi tantangan yang semakin berat ditandai dengan laju
globalisasi, semakin eratnya hubungan antar wilayah, pesatnya kemajuan teknologi informasi dan
komunikasi berkembangnya demokrasi dan partisipasi masyarakat serta makin tingginya tuntutan
masyarakat yang semakin kompleks struktur dan persoalan, semakin cerdas, semakin kritis.
Karena itu para penyelenggara harus menggunakan pola pikir yang diperbaharui terus menerus untk
dapat melakukan terobosan, reinvensi pemerintahan yang dicirikan oleh struktur dan budaya
birokrasi. Struktur dan hierarki serta aturan tidak boleh kaku melainkan responsive, birokrat harus
berani ambil keputusan berani mengambil resiko meningkatkan kerjsa sama yang efektif dalam
tubuh birokrasi meningkatkan kompetensi dan motivasi. Lembaga pemerintahan harus semakin
cepat dalam merespons berbagai peluang dan tantangan akibat perubahan yang sangat cepat.
Semangat entrepreneurship harus dipompakan kepada aparat pemerintahan, sebuah semangat
enterprising the government. Enterprise adalah lembaga yang keberhasilannya ditentukan oleh
kemampuanya dalam merespons lingkunganya. Enterprising the government adalah mengolah
sumber daya seperti layaknya sebuah enterprise agar dapat mengembangkan nilai sumber daya
secara optimal untuk kesejahteraan rakyatnya. Data stastistik dan geospasial dapat diolah menjadi
informasi yang bermanfaat dan dikemas dalam visualisasi dan pemetaan yang memudahkan para
pemangku kebijakan menganalisis dan mengambil kebijakan yang tepat sesuai kebutuhan dan
kondisi daerah. ( PP Nomor 85 tahun 2007 Jaringan Data Spasial Nasional).
Para pengelola pemerintahan di daerah harus menjadi orang-orang yang selalu mencari perubahan,
merespons perubahan tersebut serta memanfaatkanya secara maksimal sebagai peluang ( Peter
Drucker. Competitive Management) Kemampuan individual dari para pegawai haruslah terekplorasi
dalam banyak hal sehingga bias mengambil keputusn dan bertindak professional sesuai fungsi dan
tugas maupuan dalam kemampuan koordinasi dan kerjsama antar aparat yang produktif dan sigap.
Pola yang organisasi yang seperti ini menurut Gifford Pinchot disebut intelligence organization ( End
of bureaucracy and the rise of the intelligence organization ) pub. Berret – Koehler Publicers, 1 Jan
1993 . Di mana karyawan dapat mengerahkan segala pikiran dan kemampuan mereka untuk
menemukan dan memanfaatkan peluang secara optimal, menciptakan produk dan memecahakan
masalah.
Secara garis besar proses penyusunan peraturan daerah ini meliputi tiga tahap yaitu:
1). Tahap konseptualisasi, 2). Tahap sosialisasi dan konsultasi publik, dan 3). Tahap proses
politik dan penetapan.
1. Tahap Konseptualisasi
Tahap ini merupakan tahap awal dari kegiatan technical assistance yang dilakukan
oleh tim penyusun. Pada tahap ini tim penyusun melakukan konseptualisasi naskah
akademik dan perumusan Rancangan Peraturan Daerah tentang Ketertiban Umum dan
Ketentraman Mayarakat di Kabupaten Manggarai Timur yang dilakukan dengan
konsultasi dengan tim ahli, forumgroup dikusi dengan SKPD terkait. Dari forum group
diskusitersebut diharapkan akan mendapatkan masukan mengenai hal-hal yang diatur
dalam naskah akademik dan rancangan peraturan daerah tersebut.