Anda di halaman 1dari 9

TUGAS AKHIR HUKUM INTERNASIONAL ANALISIS KASUS KUDETA MYANMAR

Disusun Oleh:

Nama : Sergy
Prian Hasian
Simanullang

NIM :
201922133

Dosen : Sari
Amalia Dewi SH, LLM

Kelas :
Hukum
Internasional Sesi Malam
(19.15 - 21.15)

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS PROF DR. MOESTOPO (BERAGAMA)

2020/2021

ANALISIS KASUS KUDETA DI MYANMAR TAHUN 2021

A. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Pengambil-alihan kekuasaan sipil oleh militer bukan merupakan hal baru di Myanmar.
Militer Myanmar memiliki catatan sejarah cukup panjang dalam kehidupan politik dalam negeri
Myanmar. Militer pernah menguasai pemerintahan Myanmar selama puluhan tahun, dan
sepanjang masa itu pula berbagai gerakan demokrasi tumbuh. Kudeta terhadap pemerintahan
semidemokrasi pada tahun 1962 menjadi titik penting berkuasanya militer di Myanmar. Para
aktivis mahasiswa Myanmar memimpin protes besar pada tahun 1988 untuk merespons salah
urus ekonomi oleh junta militer dan menuntut reformasi menuju demokrasi. Aksi pada 8 Agustus
1988 yang dikenal sebagai Perlawanan 8888 kemudian tercatat sebagai salah satu aksi dengan
kekerasan paling brutal oleh aparat keamanan. Sekitar 5000 orang dilaporkan tewas akibat
kekerasan oleh militer. Di tahun itu pula Suu Kyi mendirikan NLD dan mulai menekan
pemerintahan militer untuk mengadakan pemilihan umum yang demokratis.
Mendapat tekanan domestik dan internasional, tahun 1990 Myanmar mengadakan
pemilihan umum yang dimenangkan oleh NLD. Junta militer menolak hasil tersebut dan
menerapkan tahanan rumah kepada Suu Kyi. Untuk mempertahankan kendali militer atas
pemerintahan, Tatmadaw (militer Myanmar) menyusun konstitusi baru yang di antaranya
menetapkan 25% kursi parlemen nasional dan lokal untuk pejabat militer. Berlandaskan
konstitusi itu, pemilu kembali diselenggarakan tahun 2011 yang dimenangkan Union Solidarity
and Development Party (USDP).
Selama USDP mengendalikan pemerintahan (2011-2016), Jenderal Min Aung Hlaing
berpengaruh besar dalam politik. Pemilu selanjutnya (2015) menghasilkan kemenangan NLD,
namun tidak bisa menempatkan Suu Kyi sebagai Presiden karena dihalangi melalui konstitusi
yang disusun oleh militer. Presiden saat itu, Htin Kyaw menciptakan posisi State Counsellor
yang menempatkan Suu Kyi sebagai kepala pemerintahan. Pada periode tersebut hubungan
militer dan pemerintahan Suu Kyi terlihat cukup baik, di mana Jenderal Min Aung Hlaing
tampak beradaptasi dan bekerja sama, namun tetap terus memastikan kekuasaan militer dengan
menghalangi setiap upaya NLD mengubah konstitusi dan membatasi kekuatan militer. Suu Kyi
bahkan mendapat kritik masyarakat internasional ketika dianggap memberikan pembelaan bagi
militer Myanmar yang dituduh melakukan pembantaian etnis Rohingya. Kudeta 1 Februari 2021
menunjukkan hubungan yang sebaliknya. Ini menjadi pertanyaan banyak analis, apa yang
mendorong militer melakukan kudeta kali ini, dan apa yang ingin dicapai dari kudeta ini?
Pihak militer Myanmar menyatakan, kudeta ini merupakan respons terhadap kecurangan
pada pemilihan umum 2020. Pemimpin kudeta, Jenderal Min Aung Hlaing dalam pidatonya
menjanjikan pemilu baru yang bebas dan adil. Ia juga mengklaim pemerintahannya akan berbeda
dari rezim militer yang sebelumnya berkuasa selama 49 tahun dan bertindak brutal terhadap
pengunjuk rasa pada 1988 dan 2007. Tetapi jika memperhatikan langkah-langkah yang berulang
kali dijalankan militer untuk mempertahankan pengaruhnya, setidaknya kudeta ini dapat dilihat
sebagai keputusasaan militer atas kemenangan mutlak yang dicapai NLD dari pemilu 2020. NLD
memenangkan 396 dari 476 kursi di parlemen. Dominasi NLD di parlemen bisa membawa
perubahan signifikan yang dapat berujung pada perubahan konstitusi yang melemahkan peran
militer dalam politik.
Meskipun masih terlalu dini untuk memperoleh analisa yang meyakinkan, setidaknya
bagaimana aksi militer mengambil alih kekuasaan dan menangani aksi protes dapat menjadi
pertimbangan awal dalam memilih opsi strategi untuk mengupayakan proses demokratisasi
Myanmar kembali pada jalurnya. Janji untuk ‘pemilu baru yang adil’ bertentangan dengan
tindakan yang dilakukan. Pengambil-alihan pemerintahan sipil yang terpilih secara sah jelas
sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan pemerintahan yang konstitusional,
supremasi hukum, pemerintahan yang baik, dan penghormatan dan perlindungan hak asasi
manusia. Penangkapan Suu Kyi dan tokoh politik lainnya juga mengingatkan rakyat Myanmar
akan penahanan sewenang-wenang, penyiksaan, dan penculikan yang menyertai kudeta pada
masa lalu.

2. Kronologi kasus
Pada 8 November 2020, pemerintah Myanmar mengadakan pemilihan umum (pemilu)
yang dimenangkan oleh Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang dipimpin oleh Aung
San Suu Kyi. NLD memenangkan 82 persen kursi yang diperebutkan dalam pemilihan umum
itu. Sementara itu, proksi Tatmadaw Union Solidarity and Development Party (USDP)
memenangkan hanya 6 persen kursi. Tatmadaw, yang telah memimpin Myanmar selama puluhan
tahun sebelumnya, memulai klaim tidak berdasar tentang adanya kecurangan dalam pemilu
tersebut dan melakukan kudeta. Tatmadaw telah mengerahkan tank dan kendaraan lapis baja di
kota-kota besar di Burma pada 29 Januari 2021 lalu.
Kemudian pada 1 Februari 2021, Tatmadaw mengumumkan keadaan darurat, melakukan
kudeta di Naypyidaw, dan secara ilegal menahan Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint, dan
pemimpin partai NLD lainnya. Panglima Tertinggi Min Aung Hlaing, mendeklarasikan diri
sebagai pemimpin Burma. Internet negara itu dilaporkan telah diputus sejak pukul 03.00 waktu
setempat di hari itu.
Selanjutnya pada 2 Februari 2021, Tatmadaw menempatkan lebih dari 400 anggota
parlemen terpilih sebagai tahanan rumah. Pada hari yang sama dengan penahanan ratusan
anggota parlemen tersebut, ratusan ribu rakyat Myanmar turun ke jalan untuk memprotes kudeta.
Gerakan Pembangkangan Sipil (CDM) dibentuk oleh petugas kesehatan dan masyarakat
sipil.Namun, Min Aung Hlaing membentuk Dewan Administrasi Negara (SAC) untuk
memperkuat perebutan kekuasaan junta.
Demi memperkuat pengaruhnya di pemerintahan dan menekan pendemo, pada 4 Februari
2021 perusahaan komunikasi yang dikendalikan Tatmadaw, Myanmar Posts and
Telecommunications memblokir akses ke facebook, whatsapp, dan twitter selama tiga hari.
Perusahaan komunikasi milik Norwegia, Telenor, juga mematuhi tuntutan junta dan memblokir
facebook. ejak saat itu, pendemo tak berhenti melakukan demonstrasi di seluruh sudut jalan
Myanmar. Petugas kepolisian bereaksi demi membubarkan para demonstran, termasuk dengan
menggunakan kekerasan.
Pada 9 Februari 2021, polisi dilaporkan menembak kepala seorang warga bernama Mya
Thwe Thwe Khaing dalam sebuah demo di Naypyidaw. Wanita berusia 20 tahun itu meninggal
karena luka yang dideritanya pada 19 Februari 2021. Akibat kericuhan yang tak terkendali, lebih
dari 300 anggota parlemen terpilih bergabung dengan Komite Mewakili Pyidaungsu Hluttaw
(CRPH) untuk menentang junta. Namun, Tatmadaw langsung menyusun Undang-Undang
Keamanan Siber, yang isinya melanggar privasi digital dan kebebasan berbicara, demi meredam
perbedaan pendapat yang ada. Di saat yang sama, Tatmadaw memulai persidangan rahasia untuk
Aung San Suu Kyi dan Win Myint, tanpa kehadiran pengacara pembela.

3. Rumusan Masalah
1. Mengapa terjadi kudeta di Myanmar ?
2. Bagaimana peran ASEAN dalam menyikapi kudeta yang terjadi di Myanmar ?
3. Apa solusi alternatif yg dapat diberikan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) terhadap
kudeta yang terjadi di Myanmar ?
B. Pembahasan
1. Mengapa terjadi kudeta di Myanmar ?
Kudeta ini didasari pada klaim militer tentang adanya kecurangan daftar pemilih
dalam pemungutan suara, meskipun komisi pemilihan mengatakan tidak ada bukti yang
mendukung klaim tersebut. Myawaddy TV milik militer mengumumkan,
pengambilalihan tersebut terjadi karena kegagalan pemerintah untuk menindaklanjuti
tuduhan kecurangan tersebut. Militer juga mengatakan pemerintah gagal untuk menunda
pemilihan karena pandemi virus corona. Militer mempertahankan tindakannya benar
secara hukum, menggunakan konstitusi yang memungkinkan militer untuk mengambil
alih pada saat-saat darurat. Namun, juru bicara partai Suu Kyi dan banyak pihak luar
mengatakan tindakan ini adalah kudeta.

2. Bagaimana peran ASEAN dalam menyikapi kudeta yang terjadi di Myanmar ?


Dalam menyikapi krisis politik yang terjadi di Myanmar, ASEAN, sepertinya,
tidak bisa keluar dari prinsip dan nilai-nilai yang tertera dalam Piagam ASEAN. Salah
satu prinsip yang kerap dikemukakan ketika terjadi krisis politik yang terjadi di salah satu
negara anggota ASEAN, sebagaimana sudah dikemukakan di atas, adalah prinsip non-
interference (non-intervensi). Ini artinya, krisis politik yang terjadi di salah satu negara
ASEAN menjadi urusan dalam negeri negara yang bersangkutan, dan oleh karenanya
intervensi dari negara anggota ASEAN yang lain tidak bisa dibenarkan. Intervensi di sini
lebih diartikan sebagai ikut campur mengurusi urusan dalam negeri negara lain, tanpa
diminta oleh negara yang sedang menghadapi krisis, karena ada kepentingan tertentu
yang melatarbelakanginya.
ASEAN memang tidak bisa mengintervensi langsung untuk memulihkan situasi
Myanmar, tetapi hal itu tidak menjadi penghalang bagi ASEAN untuk berkontribusi
dalam mencari solusi terbaik atas krisis yang terjadi di Myanmar. ASEAN harus bisa
masuk dengan mempromosikan prinsip-prinsip lain yang tertuang dalam Piagam ASEAN
ke dalam kehidupan politik Myanmar, seperti demokrasi, penghormatan terhadap HAM,
dan good governance. Intervensi ASEAN semacam itu belum tentu bisa langsung
diterima terutama ketika elemen-elemen militer masih ingin tetap eksis dan mendominasi
dalam kehidupan politik Myanmar.
ASEAN harus dapat bersikap lebih lunak untuk dapat mengintervensi serta
memberikan tekanan melalui sikap tegas seperti ancaman mengeluarkan Myanmar dari
ASEAN apabila pemimpin militer tidak bersedia mengakhiri kudeta. Hal itu menjadi
tantangan ASEAN, karena stabilitas di wilayah ASEAN akan semakin terganggu apabila
penolakan terhadap rekonsiliasi tidak dapat dilakukan oleh jajaran militer atau angkatan
bersenjata Myanmar (Tatmadaw). Sebaliknya Myanmar, dengan junta militernya yang
sedang berkuasa, diharapkan menghindari berbagai upaya yang dapat merusak atas cita-
cita ASEAN dan menghormati negara-negara anggotanya demi kepentingan bersama.
Kembali pada situasi Myanmar saat ini, tampaknya keinginan untuk mereformasi
militer Myanmar tidaklah mudah, jika hal itu dikaitkan dengan sikap junta militer
belakangan ini yang belum memperlihatkan keinginan untuk berekonsiliasi. Sebaliknya,
junta militer semakin keras dan akan menuntut Aung San Suu Kyi dan kelompoknya di
pengadilan, karena dianggap melakukan kecurangan dalam pemilu November 2020.
Tindakan aparat keamanan Myanmar terhadap massa anti-kudeta yang semakin keras,
bahkan mereka dianggap teroris, menunjukkan posisi junta militer yang sulit untuk diajak
berdialog dengan masyarakat sipil pro-demokrasi. Memerhatikan situasi dan
perkembangan demikian, tampaknya tidak mudah bagi ASEAN untuk melakukan
intervensi dalam kerangka mengatasi kudeta yang terjadi di Myanmar.
Situasi di atas juga menunjukan bahwa prinsip nonintervensi yang dilakukan
negara anggota ASEAN belum memberikan perubahan bagi situasi di Myanmar. Kudeta
militer dan kehidupan politik di Myanmar yang tidak memberi ruang tumbuh bagi
perhormatan terhadap HAM dan demokrasi seakan memperlihatkan bahwa hal tersebut
adalah masalah internal bagi Myanmar yang tidak perlu dicampuri oleh negara lain.
Sementara, intervensi ASEAN pun terbatas sifatnya, dan bisa saja ASEAN saat ini
menilai bahwa krisis yang terjadi di Myanmar belum memberi dampak signifikan
terhadap stabilitas kawasan.
Namun, jika memerhatikan keinginan ASEAN, terutama melalui pilar komunitas
politik dan keamanannya, maka pengembangan kehidupan demokrasi dan perlindungan
HAM di Myanmar harus terus disuarakan oleh ASEAN, bahkan didorong untuk bisa
hadir secara nyata di Myanmar. Ketika intervensi ASEAN tidak berjalan efektif, maka
solusi alternatif untuk menangani krisis Myanmar bisa saja melibatkan masyarakat
internasional yang lebih luas, termasuk PBB.

3. Apa solusi alternatif yg dapat diberikan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa)


terhadap kudeta yang terjadi di Myanmar ?
a. Solusi alternatif pertama yang dapat dilakukan adalah mengajak Tatmadaw (Militer
Myanmar) untuk menyerahkan kekuasaan kepada pemerintahan sipil. Melalui
keterlibatan pihak internasional, termasuk ASEAN, rekonsiliasi perlu didorong
melalui negosiasi antara pihak militer dengan pemimpin pemerintahan sipil
berkenaan dengan peran dan tempat militer negara Myanmar secara demokratis.
b. Solusi alternatif kedua yang dapat dilakukan adalah membentuk pemerintahan
bersifat sementara dengan pemimpin bukan dari militer ataupun sipil (bukan dari
Tatmadaw atau partainya Aung San Suu Kyi/ NLD). Pembentukan ini dengan catatan
jika Tatmadaw setuju karena menolak mengembalikan kekuasaan kepada sipil. Selain
itu, pemerintahan ini hanya bertugas untuk menertibkan keadaan umum menjadi
kembali stabil dan menyelenggarakan pemilu ulang yang bersifat adil serta jujur
sehingga apapun hasilnya harus dapat saling menerima. Dengan adanya pemilu ulang
ini, masyarakat internasional tentunya dapat berpartisipasi dalam mengawasi jalannya
proses pemilu.
c. Solusi ketiga yang dapat disediakan adalah melakukan apa yang dikehendaki
Tatmadaw yaitu pemilu ulang dalam jangka waktu satu tahun setelah pernyataan
tidak sah dari hasil pemilu November 2020.

C. Kesimpulan
Myanmar telah dikuasai oleh junta militer sejak tahun 1962 melalui sebuah kudeta yang
menggeser sistem demokrasi yang telah diterapkan sejak awal kemerdekaannya.
Kendali penuh militer sering kali membuat kebijakan yang tidak disetujui oleh
pemerintah sipil dan tidak memihak rakyat. Kudeta yang dilakukan oleh militer
Myanmar terhadap pemerintahan sipil yang terjadi adalah murni masalah internal di
Myanmar. Pihak militer seharusnya berfungsi sebagai alat negara yang melindungi
tetapi militer Myanmar selalu ikut campur dalam pemerintahan yang sedang berjalan.
Berdasarkan pasang surut kudeta yang terjadi, militer Myanmar atau berulang kali
melakukan aksi kudeta dari tahun 1962 hingga sekarang maka melihat dari sisi sejarah
bahwa militer Myanmar gatal akan kudeta.
Kudeta yang berlangsung hingga saat ini menjadi isu yang menarik perhatian
secara global. Kudeta tersebut mencerminkan bahwa ketidaksiapan militer untuk
menyerahkan pemerintahan sepenuhnya kepada sipil. Pada akhirnya dampak dari kudeta
tersebut membuat banyak pihak yang mengecam tindakan militer Myanmar, akan tetapi
terhambat dari aturan hukum internasional, sebab aturan tersebut sudah
tertuang dalam Piagam PBB maupun Piagam ASEAN mengenai prinsip non-
intervensi yang harus dipatuhi oleh semua pihak.

DAFTAR PUSTAKA
Hidriyah, Sita. 2021. Krisis Politik Myanmar dan Intervensi ASEAN. Kajian Singkat Terhadap
Isu Aktual dan Strategis; XIII(6). 7-12.

Iqbal, M.F. & Dwiprigitaningtias, I. 2021. Kudeta Militer Myanmar dalam Perspektif Hukum
Internasional. Jurnal Dialektika Hukum; 3(1). 113-129.

Putsanra, Dipna Videlia. 2021. Apa Yang Terjadi di Myanmar Sekarang dan Penyebab Kudeta
Militer, https://tirto.id/apa-yang-terjadi-di-myanmar-sekarang-dan-penyebab-kudeta-militer-
f9SF

Roza, Rizki. 2021. Kudeta Militer di Myanmar : Ujian bagi ASEAN. Kajian Singkat Terhadap
Isu Aktual dan Strategis; XIII(4). 7-12.

Sebayang, Rehia. 2021. Kronologi Lengkap Kudeta Myanmar yang Picu Demo Berdarah.
https://www.idntimes.com/news/world/rehia-indrayanti-br-sebayang/kronologi-lengkap-
kudeta-myanmar-yang-picu-demo-berdarah/5

Anda mungkin juga menyukai