Anda di halaman 1dari 29

Laporan Pendahuluan

Infark Cerebri

I. Konsep Medis

A. Definisi

Infark Cerebri adalah Pembentukan daerah nekrosis di otak yang disebabkan oleh iskemia yang
berkepanjangan.

B. Etiologi

Infark cerebri dapat disebabkan oleh :


1. Trombosis otak
Trombosis adalah obstruksi aliran darah yang terjadi karena proses oklusi pada satu
pembuluh darah lokal atau lebih. Trombosis otak umumnya terjadi pada pembuluh
darah yang mengalami artherosklerosis yang mula-mula akan menyempitkan lumen
pembuluh darah (stenosis) yang kemudian dapat berkembang menjadi sumbatan
(oklusi) yang menyebabkan terjadinya infark

2. Emboli otak
Emboli adalah pembentukan material dari tempat lain dalam sistem vaskuler dan
tersangkut dalam pembuluh darah tertentu sehingga memblokade aliran darah.
Penyebab emboli otak pada umumnya berhubungan dengan kelainan kardiovaskuler
antara lain :

a. Fibrilasi atrial
b. Penyakit katub jantung
c. Infark miokard
d. Penyakit jantung rematik
e. Lepasnya plak aterosklerosis pembuluh darah besar intra / ekstra cranial
3. Pengurangan perfusi sistemik umum
Pengurangan perfusi sistemik bisa mengakibatkan iskemik. Pengurangan perfusi ini
dapat disebabkan karena :
a. Kegagalan pompa jantung
b. Proses perdarahan yang masif
c. Hipovolemik

C. Patofisiologi
Pada dasarnya terjadinya infark cerebri meliputi dua proses yang saling terkait, yaitu:
1. Perubahan vaskuler, hematologik atau kardiologik yang menyebabkan terjadinya
kekurangan aliran darah ke bagian otak yang terserang.
Faktor yang mempengaruhi aliran darah ke otak :
a) Keadaan pembuluh darah, menyempit akibat stenosis atau ateroma maupun
tersumbat oleh trombus/embolus
b) Keadaan darah, viskositas darah yang meningkat, hematokrit yang meningkat
(polisitemia) menyebabkan aliran darah ke otak lebih lambat, anemia yang berat
menyebabkan oksigenasi ke otak menurun
c) Kelainan jantung, menyebabkan menurunnya curah jantung, dan lepasnya
embolus dari jantung yang dapat menimbulkan iskemia otak
d) Tekanan perfusi yang sangat menurun akibat sumbatan di proksimal pembuluh
arteri cerebri, seperti sumbatan pada arteri karotis, atau vertebrobasiler
Infark cerebri diawali dengan terjadinya penurunan Cerebral Blood Flow (CBF) yang
menyebabkan suplai oksigen ke otak akan berkurang. Derajat dan durasi penurunan
Cerebral Blood Flow (CBF) kemungkinan berhubungan dengan jejas yang terjadi.
Jika suplai darah ke otak terganggu selama 30 detik, maka metabolisme di otak akan
berubah. Setelah satu menit terganggu, fungsi neuron akan berhenti. Bila 5 menit
terganggu dapat terjadi infark. Bagaimanapun, jika oksigenasi ke otak dapat
diperbaiki dengan cepat, kerusakan kemungkinan bersifat reversibel.
2. Perubahan kimiawi yang terjadi pada sel otak akibat iskemia hingga terjadi nekrosis
sel neuron, glia dan sel otak yang lain.
Dalam keadaan iskemik, kadar kalium akan meningkat disertai penurunan ATP dan
kreatin fosfat. Akan tetapi, perubahan masih bersifat reversibel apabila sirkulasi dapat
kembali normal. Ion kalium yang meninggi di ruang ekstraseluler akan menyebabkan
pembengkakan sel astroglia, sehingga mengganggu transport oksigen dan bahan
makanan ke otak. Sel yang mengalami iskemia akan melepaskan glutamat dan
aspartat yang menyebabkan influx natrium dan kalsium ke dalam sel.
Kalsium yang tinggi di intraseluler akan menghancurkan membran fosfolipid
sehingga terjadi asam lemak bebas, antara lain asam arakhidonat. Asam arakhidonat
merupakan prekursor dari prostasiklin dan tromboksan A2. Prostasiklin merupakan
vasodilator yang kuat dan mencegah agregasi trombosit, sedangkan tromboksan A2
merangsang terjadinya agregasi trombosit. Pada keadaan normal, prostasiklin dan
tromboksan A2 berada dalam keseimbangan sehingga agregasi trombosit tidak
terjadi. Bila keseimbangan ini terganggu, akan terjadi agregasi trombosit.
Prostaglandin, leukotrien, dan radikal bebas terakumulasi. Protein dan enzim
intraseluler terdenaturasi, setelah itu sel membengkak (edema seluler).
Akumulasi asam laktat pada jaringan otak berperan dalam perluasan kerusakan sel.
Akumulasi asam laktat yang dapat menimbulkan neurotoksik terjadi apabila kadar
glukosa darah otak tinggi sehingga terjadi peningkatan glikolisis dalam keadaan
iskemia.

D. Klasifikasi
The Oxford Community Stroke Project classification (OCSP) juga dikenal sebagai
Banford atau Oxford klasifikasi mengelompokkan infark cerebri ke dalam 4 kelompok
yaitu:
1. Infark Sirkulasi Anterior Total (TACI)
Mengacu pada gejala pasien yang secara klinis tampak menderita infark sirkulasi
anterior total, tetapi belum mendapatkan pencitraan diagnostik apapun (misalnya CT
Scan) untuk mengkonfirmasi diagnosis
2. Infark Sirkulasi Anterior Parsial (PACI)
Mengacu pada gejala pasien yang secara klinis tampak menderita infark sirkulasi
anterior parsial, tetapi belum mendapatkan pencitraan diagnostik apapun (misalnya
CT Scan) untuk mengkonfirmasi diagnosis
3. Infark Lacunar (LACI)
Infark lacunar adalah jenis infark yang dihasilkan dari oklusi salah satu arteri
penetrasi yang menyediakan darah ke struktur-struktur otak bagian dalam. Lacunes
(bahasa latin untung ruang kosong) disebabkan oleh oklusi satu arteri penetrasi
mendalam yang muncul langsung dari konstituen Lingkaran Willis, arteri cerebellar,
dan arteri basilar. Lesi yang sesuai terjadi pada inti yang mendalam dari otak (37%
putamen, 14% thalamus, dan 10% caudatus) serta pons (16%) atau posterior limb dari
kapsul internal yang (10%), jarang terjadi pada substansia putih, anterior limb kapsul
internal dan cerebellum.
4. Infark Sirkulasi Posterior (POCI).
mengacu pada gejala pasien yang secara klinis tampak menderita infark sirkulasi
posterior, tetapi belum mendapatkan pencitraan diagnostik apapun (misalnya CT
Scan) untuk mengkonfirmasi diagnosis

E. Manifestasi Klinis
1. TACI (Infark Sirkulasi Anterior Total)
a) Hemiparesis dengan atau tanpa gangguan sensorik (kolateral sisi lesi)
b) Hemianopia (kolateral sisi lesi)
c) Gangguan fungsi luhur, misalnya afasia, gangguan visuospasial, hemineglect,
agnosia, apraxia.
2. PACI (Infark Sirkulasi Anterior Parsial)
a) Defisit motorik / sensorik + hemianopia
b) Defisit motorik / sensorik + gejala fungsi luhur
c) Gejala fungsi luhur + hemianopia
d) Defisit motorik / sensorik murni
3. LACI ( Infark Cerebri Lacunar)
a) Pure motor stroke/hemiparesis
Lokasi: posterior limb kapsula interna, basis pontis, corona radiata
Gejala: Hemiparesis/hemiplegia yang mempengaruhi wajah, lengan, tungkai
b) Ataxic hemiparesis
Lokasi: posterior limb kapsula interna, basis pontis, corona radiata, red nucleus,
lentiform nucleus
Gejala: merupakan kombinasi gejala cerebelar dan gejala motoris
c) Dysarthria/clumsy hand
Lokasi: basis pontis, anterior limb kapsula interna, corona radiata, basal ganglia,
thalamus, cerebral peduncle
Gejala: gejala utama adalah disartria dan kelemahan tangan, yang terlihat jelas
saat pasien menulis
d) Pure sensory stroke
Lokasi: contralateral thalamus, capsula interna, corona radiata, midbrain
Gejala: mati rasa, kesemutan dan sensasi tidak nyaman pada salah satu sisi tubuh
e) Mixed sensorimotor stroke
Lokasi: thalamus and adjacent posterior internal capsule, lateral pons
Gejala: kombinasi hemiparesis/hemiplegia dengan gangguan sensoris ipsilateral

4. POCI (Infark Sirkulasi Posterior)


a) Disfungsi saraf otak, satu atau lebih sisi ipsilateral, dan gangguan motorik,
sensorik kontralateral
b) Gangguan motorik / sensorik bilateral
c) Gangguan gerakan konjungat mata ( horisontal et vertical)
d) Disfungsi serebral
e) Isolated hemianopia atau buta kortikal
F. Diagnosis

CT scan kepala non kontras baik digunakan untuk membedakan stroke hemoragik
dan stroke non hemoragik secara tepat kerena pasien stroke non hemoragik memerlukan
pemberian trombolitik sesegera mungkin. Selain itu, pemeriksaan ini juga berguna untuk
menentukan distribusi anatomi dari infark dan mengeliminasi kemungkinan adanya
kelainan lain yang gejalahnya mirip dengan stroke (hematoma, neoplasma, abses).
Adanya perubahan hasil CT scan pada infark serebri akut harus dipahami. Setelah
6-12 jam setelah stroke terbentuk daerah hipodense regional yang menandakan terjadinya
edema di otak. Jika setelah 3 jam terdapat daerah hipodense yang luas di otak maka
diperlukan pertimbangan ulang mengenai waktu terjadinya stroke. Tanda lain terjadinya
stroke non hemoragik adalah adanya insular ribbon sign, hiperdense MCA (oklusi MCA),
asimetris sulkus, dan hilangnya perberdaan gray-white matter.

G. Pemeriksaan Penunjang
a. Angiografi cerebral membantu menentukkan penyebab stroke secara spesifik seperti
perdarahan atau obstruksi arteru adanya titik oklusi atau ruptur.
b. CT Scan : memperlihatkan adanya oedem
c. MRI : menunjukkan daerah yang mengalami infark
d. Penilaian kekukatan otot
e. EEG : mengidentifikasi masalah pada gelombang otak
f. Laboratorium : Pada pemeriksaan paket stroke: Viskositas darah pada apsien CVA
ada peningkatan VD > 5,1 cp, Test Agresi Trombosit (TAT), Asam Arachidonic
(AA), Platelet Activating Factor (PAF), fibrinogen (Muttaqin, 2008). Analisis
laboratorium standar mencakup urinalisis, HDL pasien CVA infark mengalami
penurunan HDL dibawah nilai normal 60 mg/dl, Laju endap darah (LED) pada pasien
CVA bertujuan mengukur kecepatan sel darah merah mengendap dalam tabung darah
LED yang tinggi menunjukkan adanya radang. Namun LED tidak menunjukkan
apakah itu radang jangka lama, misalnya artritis, panel metabolic dasar (Natrium
(135-145 nMol/L), kalium (3,6- 5,0 mMol/l), klorida,) (Prince, dkk ,2005)
g. Pemeriksaan sinar X toraks: dapat mendeteksi pembesaran jantung (kardiomegali)
dan infiltrate paru yang berkaitan dengan gagal jantung kongestif (Prince,dkk,2005)
h. Ultrasonografi (USG) karaois: evaluasi standard untuk mendeteksi gangguan aliran
darah karotis dan kemungkinan memmperbaiki kausa stroke (Prince, dkk, 2005).

H. PENATALAKSANAAN
Target managemen pada infark akut adalah untuk menstabilkan pasien dan
menyelesaikan evaluasi dan pemeriksaan termasuk diantaranya pencitraan dan
pemeriksaan laboratorium dalam jangka waktu 60 menit setelah pasien tiba.
1. Penatalaksanaan Umum
a. Airway and breathing
Pasien dengan GCS ≤ 8 atau memiliki jalan napas yang tidak adekuat atau paten
memerlukan intubasi. Jika terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial
(TIK) maka pemberian induksi dilakukan untuk mencegah efek samping dari
intubasi. Pada kasus dimana kemungkinan terjadinya herniasi otak besar maka
target pCO2 arteri adalah 32-36 mmHg. Dapat pula diberikan manitol intravena
untuk mengurangi edema serebri. Pasien harus mendapatkan bantuan oksigen jika
pulse oxymetri atau pemeriksaan analisa gas darah menunjukkan terjadinya
hipoksia. Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan hipoksia pada stroke non
hemoragik adalah adanya obstruksi jalan napas parsial, hipoventilasi, atelektasis
ataupun GERD.
b. Circulation
Pasien dengan infark akut membutuhkan terapi intravena dan pengawasan
jantung. Pasien ini berisiko tinggi mengalami aritmia jantung dan peningkatan
biomarker jantung. Sebaliknya, atrial fibrilasi juga dapat menyebabkan terjadinya
stroke.
c. Pengontrolan gula darah
Beberapa data menunjukkan bahwa hiperglikemia berat terkait dengan prognosis
yang kurang baik dan menghambat reperfusi pada trombolisis. Pasien dengan
normoglokemik tidak boleh diberikan cairan intravena yang mengandung glukosa
dalam jumlah besar karena dapat menyebabkan hiperglikemia dan memicu
iskemik serebral eksaserbasi. Pengontrolan gula darah harus dilakukan secara
ketat dengan pemberian insulin. Target gula darah yang harus dicapai adalah 90-
140 mg/dl. Pengawasan terhadap gula darah ini harus dilanjutkan hingga pasien
pulang untuk mengantisipasi terjadinya hipoglikemi akibat pemberian insulin.
d. Posisi kepala pasien
Penelitian telah membuktikan bahwa tekanan perfusi serebral lebih maksimal jika
pasien dalam pasien supinasi. Sayangnya, berbaring telentang dapat menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial padahal hal tersebut tidak dianjurkan pada kasus
stroke. Oleh karena itu, pasien stroke diposisikan telentang dengan kepala
ditinggikan sekitar 30-45 derajat.
e. Pengontrolan tekanan darah
Pada keadaan dimana aliran darah kurang seperti pada stroke atau peningkatan
TIK, pembuluh darah otak tidak memiliki kemampuan vasoregulator sehingga
hanya bergantung pada maen arterial pressure (MAP) dan cardiac output (CO)
untuk mempertahankan aliran darah otak. Oleh karena itu, usaha agresif untuk
menurunkan tekanan darah dapat berakibat turunnya tekanan perfusi yang
nantinya akan semakin memperberat iskemik. Di sisi lain didapatkan bahwa
pemberian terapi anti hipertensi diperlukan jika pasien memiliki tekanan darah
yang ekstrim (sistole lebih dari 220 mmHg dan diastole lebih dari 120 mmHg)
atau pasien direncanakan untuk mendapatkan terapi trombolitik.
Untuk mengontrol tekanan darah selama opname maka agen berikut dapat
diberikan
1) TD sistolik 180-230 mmHg dan diastolik 105-120 mmHg maka dapat
diberikan labetolol 10 mg IV selama 1-2 menit yang dapat diulang selama 10-
20 menit hingga maksimal 300 mg atau jika diberikan lewat infuse hingga 2-8
mg/menit.
2) TD sistolik lebih dari 230 mmHg atau diastolik 121-140 mmHg dapat
diberikan labetolol dengan dosis diatas atau nicardipine infuse 5 mg/jam
hingga dosis maksimal 15mg/jam.
3) Penggunaan nifedipin sublingual untuk mengurangi TD dihindari karena dapat
menyebabkan hipotensi ekstrim.
f. Pengontrolan demam
Antipiretik diindikasikan pada pasien stroke yang mengalami demam karena
hipertermia (utamanya pada 12-24 jam setelah onset) dapat menyebabkan trauma
neuronal iskemik. Sebuah penelitian eksprimen menunjukkan bahwa hipotermia
otak ringan dapat berfungsi sebagai neuroprotektor.
g. Pengontrolan edema serebri
Edema serebri terjadi pada 15 persen pasien dengan stroke non hemoragik dan
mencapai puncak keparahan 72-96 jam setelah onset stroke. Hiperventilasi dan
pemberian manitol rutin digunakan untuk mengurangi tekanan intrakranial dengan
cepat.
h. Pengontrolan kejang
Kejang terjadi pada 2-23 persen pasien dalam 24 jam pertama setelah onset.
Meskipun profilaksis kejang tidak diindikasikan, pencegahan terhadap sekuel
kejang dengan menggunakan preparat antiepileptik tetap direkomendasikan.

2. Penatalaksanaan Khusus
a. Terapi Trombolitik
Tissue plaminogen activator (recombinant t-PA) yang diberikan secara intravena
akan mengubah plasminogen menjadi plasmin yaitu enzim proteolitik yang
mampu menghidrolisa fibrin, fibrinogen dan protein pembekuan lainnya.
Pada penelitian NINDS (National Institute of Neurological Disorders and Stroke)
di Amerika Serikat, rt-PA diberikan dalam waktu tidak lebih dari 3 jam setelah
onset stroke, dalam dosis 0,9 mg/kg (maksimal 90 mg) dan 10% dari dosis
tersebut diberikan secara bolus IV sedang sisanya diberikan dalam tempo 1 jam.
Tiga bulan setelah pemberian rt-PA didapati pasien tidak mengalami cacat atau
hanya minimal. Efek samping dari rt-PA ini adalah perdarahan intraserebral, yang
diperkirakan sekitar 6%. Penggunaan rt-PA di Amerika Serikat telah mendapat
pengakuan FDA pada tahun 1996.
Tetapi pada penelitian random dari European Coorperative Acute Stroke Study
(ECASS) pada 620 pasien dengan dosis t-PA 1,1 mg/kg (maksimal 100 mg)
diberikan secara IV dalam waktu tidak lebih dari 6 jam setelah onset.
Memperlihatkan adanya perbaikan fungsi neurologik tapi secara keseluruhan hasil
dari penelitian ini dinyatakan kurang menguntungkan. Tetapi pada penelitian
kedua (ECASS II) pada 800 pasien menggunakan dosis 0,9 mg/kg diberikan
dalam waktu tidak lebih dari 6 jam sesudah onset. Hasilnya lebih sedikit pasien
yang meninggal atau cacat dengan pemberian rt-PA dan perdarahan intraserebral
dijumpai sebesar 8,8%. Tetapi rt-PA belum mendapat ijin untuk digunakan di
Eropa.
Kontroversi mengenai manfaat rt-PA masih berlanjut, JM Mardlaw dkk
mengatakan bahwa terapi trombolisis perlu penelitian random dalam skala besar
sebab resikonya sangat besar sedang manfaatnya kurang jelas. Lagi pula jendela
waktu untuk terapi tersebut masih kurang jelas dan secara objektif belum terbukti
rt-PA lebih aman dari streptokinase. Sedang penelitian dari The Multicenter Acute
Stroke Trial-Europe Study Group (MAST-E) dengan menggunakan streptokinase
1,5 juta unit dalam waktu satu jam. Jendela waktu 6 jam setelah onset, ternyata
meningkatkan mortalitas. Sehingga penggunaan streptokinase untuk stroke
iskemik akut tidak dianjurkan.

b. Antikoagulan
Warfarin dan heparin sering digunakan pada TIA dan stroke yang mengancam.
Suatu fakta yang jelas adalah antikoagulan tidak banyak artinya bilamana stroke
telah terjadi, baik apakah stroke itu berupa infark lakuner atau infark massif
dengan hemiplegia. Keadaan yang memerlukan penggunaan heparin adalah
trombosis arteri basilaris, trombosis arteri karotisdan infark serebral akibat
kardioemboli. Pada keadaan yang terakhir ini perlu diwaspadai terjadinya
perdarahan intraserebral karena pemberian heparin tersebut.(15)
1) Warfarin
Segera diabsorpsi dari gastrointestinal. Terkait dengan protein plasma. Waktu
paro plasma: 44 jam. Dimetabolisir di hati, ekskresi: lewat urin. Dosis: 40 mg
(loading dose), diikuti setelah 48 jam dengan 3-10 mg/hari, tergantung PT.
Reaksi yang merugikan: hemoragi, terutama ren dan gastrointestinal.
2) Heparin
Merupakan acidic mucopolysaccharide, sangat terionisir. Normal terdapat
pada mast cells. Cepat bereaksi dengan protein plasma yang terlibat dalam
proses pembekuan darah. Heparin mempunyai efek vasodilatasi ringan.
Heparin melepas lipoprotein lipase. Dimetabolisir di hati, ekskresi lewat urin.
Wakto paro plasma: 50-150 menit. Diberikan tiap 4-6 jam atau infus kontinu.
Dosis biasa: 500 mg (50.000 unit) per hari. Bolus initial 50 mg diikuti infus
250 mg dalam 1 liter garam fisiologis atau glukose. Dosis disesuaikan dengan
Whole Blood Clotting Time. Nilai normal: 5-7 menit, dan level terapetik
heparin: memanjang sampai 15 menit. Reaksi yang merugikan: hemoragi,
alopesia, osteoporosis dan diare. Kontraindikasi: sesuai dengan antikoagulan
oral. Apabila pemberian obat dihentikan segala sesuatunya dapat kembali
normal. Akan tetapi kemungkinan perlu diberi protamine sulphute dengan
intravenous lambat untuk menetralisir. Dalam setengah jam pertama, 1 mg
protamin diperlukan untuk tiap 1 mg heparin (100 unit).

c. Hemoreologi
Pada stroke iskemik terjadi perubahan hemoreologi yaitu peningkatan
hematokrit, berkurangnya fleksibilitas eritrosit, aktivitas trombosit
peningkatan kadar fibrinogen dan aggregasi abnormal eritrosit, keadaan ini
menimbulkan gangguan pada aliran darah. Pentoxyfilline merupakan obat
yang mempengaruhi hemoreologi yaitu memperbaiki mikrosirkulasi dan
oksigenasi jaringan dengan cara: meningkatkan fleksibilitas eritrosit,
menghambat aggregasi trombosit dan menurunkan kadar fibrinogen plasma.
Dengan demikian eritrosit akan mengurangi viskositas darah. Pentoxyfilline
diberikan dalam dosis 16/kg/hari, maksimum 1200 mg/hari dalam jendela
waktu 12 jam sesudah onset.

d. Antiplatelet (Antiaggregasi Trombosit)


1) Aspirin
Obat ini menghambat sklooksigenase, dengan cara menurunkan sintesis
atau mengurangi lepasnya senyawa yang mendorong adhesi seperti
thromboxane A2. Aspirin merupakan obat pilihan untuk pencegahan
stroke. Dosis yang dipakai bermacam-macam, mulai dari 50 mg/hari, 80
mg/hari samapi 1.300 mg/hari. Obat ini sering dikombinasikan dengan
dipiridamol. Suatu penelitian di Eropa (ESPE) memakai dosis aspirin 975
mg/hari dikombinasi dengan dipiridamol 225 mg/hari dengan hasil yang
efikasius.
Dosis lain yang diakui efektif ialah: 625 mg 2 kali sehari. Aspirin harus
diminum terus, kecuali bila terjadi reaksi yang merugikan. Konsentrasi
puncak tercapai 2 jam sesudah diminum. Cepat diabsorpsi, konsentrasi di
otak rendah. Hidrolise ke asam salisilat terjadi cepat, tetapi tetap aktif.
Ikatan protein plasma: 50-80 persen. Waktu paro (half time) plasma: 4
jam. Metabolisme secara konjugasi (dengan glucuronic acid dan glycine).
Ekskresi lewat urine, tergantung pH. Sekitar 85 persen dari obat yang
diberikan dibuang lewat urin pada suasana alkalis. Reaksi yang
merugikan: nyeri epigastrik, muntah, perdarahan, hipoprotrombinemia dan
diduga: sindrom Reye.
Alasan mereka yang tidak menggunakan dosis rendah aspirin antara lain
adalah kemungkinan terjadi “resistensi aspirin” pada dosis rendah. Hal ini
memungkinkan platelet untuk menghasilkan 12-hydroxy-eicosatetraenoic
acid, hasil samping kreasi asam arakhidonat intraplatelet (lipid –
oksigenase). Sintesis senyawa ini tidak dipengaruhi oleh dosis rendah
aspirin, walaupun penghambatan pada tromboksan A2 terjadi dengan dosis
rendah aspirin.
Aspirin mengurangi agregasi platelet dosis aspirin 300-600 mg
(belakangan ada yang memakai 150 mg) mampu secara permanen
merusak pembentukan agregasi platelet. Sayang ada yang mendapatkan
bukti bahwa aspirin tidak efektif untuk wanita.
2) Tiklopidin (ticlopidine) dan klopidogrel (clopidogrel)
Pasien yang tidak tahan aspirin atau gagal dengan terapi aspirin, dapat
menggunakan tiklopidin atau clopidogrel. Obat ini bereaksi dengan
mencegah aktivasi platelet, agregasi, dan melepaskan granul platelet,
mengganggu fungsi membran platelet dengan penghambatan ikatan
fibrinogen-platelet yang diperantarai oleh ADP dan antraksi platelet-
platelet. Menurut suatu studi, angka fatalitas dan nonfatalitas stroke dalam
3 tahun dan dalam 10 persen untuk grup tiklopidin dan 13 persen untuk
grup aspirin. Resiko relatif berkurang 21 persen dengan penggunaan
tiklopidin.
Setyaningsih at al, (1988) telah melakukan studi meta-analisis terhadap
terapi tiklopidin untuk prevensi sekunder stroke iskemik. Berdasarkan
sejumlah 7 studi terapi tiklopidin, disimpulkan bahwa efikasi tiklopidin
lebih baik daripada plasebo, aspirin maupun indofen dalam mencegah
serangan ulang stroke iskemik.
Efek samping tiklopidin adalah diare (12,5 persen) dan netropenia (2,4
persen). Bila obat dihentikan akan reversibel. Pantau jumlah sel darah
putih tiap 15 hari selama 3 bulan. Komplikas yang lebih serius, teyapi
jarang, adalah pur-pura trombositopenia trombotik dan anemia aplastik.

e. Terapi Neuroprotektif
Terapi neuroprotektif diharapkan meningkatkan ketahanan neuron yang
iskemik dan sel-sel glia di sekitar inti iskemik dengan memperbaiki fungsi
sel yang terganggu akibat oklusi dan reperfusi. Berdasarkan pada kaskade
iskemik dan jendela waktu yang potensial untuk reversibilitas daerah
penumbra maka berbagai terapi neuroprotektif telah dievaluasi pada
binatang percobaan maupun pada manusia.

f. Pembedahan
Indikasi pembedahan pada completed stroke sangat dibatasi. Jika kondisi
pasien semakin buruk akibat penekanan batang otak yang diikuti infark
serebral maka pemindahan dari jaringan yang mengalami infark harus
dilakukan.
1) Karotis Endarterektomi
Prosedur ini mencakup pemindahan trombus dari arteri karotis interna
yang mengalami stenosis. Pada pasien yang mengalami stroke di
daerah sirkulasi anterior atau yang mengalami stenosis arteri karotis
interna yang sedang hingga berat maka kombinasi Carotid
endarterectomy is a surgical procedure that cleans out plaque and
opens up the narrowed carotid arteries in the neck.endarterektomi dan
aspirin lebih baik daripada penggunaan aspirin saja untuk mencegah
stroke. Endarterektomi tidak dapat digunakan untuk stroke di daerah
vertebrobasiler atau oklusi karotis lengkap. Angka mortalitas akibat
prosedur karotis endarterektomi berkisar 1-5 persen.
2) Angioplasti dan Sten Intraluminal
Pemasangan angioplasti transluminal pada arteri karotis dan vertebral
serta pemasangan sten metal tubuler untuk menjaga patensi lumen
pada stenosis arteri serebri masih dalam penelitian. Suatu penelitian
menyebutkan bahwa angioplasti lebih aman dilaksanakan
dibandingkan endarterektomi namun juga memiliki resiko untuk
terjadi restenosis lebih besar.
II. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1) Biodata
Pengkajian biodata di fokuskan pada:
Umur: karena usia di atas 55 tahun merupakan resiko tinggi terjadinya serangan
stroke.Jenis kelamin: laki-laki lebih tinggi 30% di banding wanita.Ras: kulit hitam
lebih tinggi angka kejadiannya.
2) Keluhan Utama.
Biasanya klien datang ke rumah sakit dalam kondisi: penurunan kesadaran atau koma
serta disertai kelumpuhan dan keluhan sakit kepala hebat bila masih sadar.
3) Upaya Yang Telah Dilakukan.
Jenis infark cerebri memberikan gejala yang cepat memburuk.Oleh karena itu klien
biasanya langsung di bawa ke Rumah Sakit.
4) Riwayat Penyakit Dahulu.
Perlu di kaji adanya riwayat DM, Hipertensi, Kelainan Jantung, Pernah TIAs,
Policitemia karena hal ini berhubungan dengan penurunan kualitas pembuluh darah
otak menjadi menurun.
5) Riwayat Penyakit Sekarang.
Kronologis peristiwai infark cerebri sering setelah melakukan aktifitas tiba-tiba
terjadi keluhan neurologis misal: sakit kepala hebat, penurunan kesadaran sampai
koma.
6) Riwayat Penyakit Keluarga.
Perlu di kaji mungkin ada anggota keluarga sedarah yang pernah mengalami stroke.
7) Pemenuhan Kebutuhan Sehari-Hari.
a) Aktivitas / istirahat
Pada klien dengan stroke infark akan mengalami kesulitan dalam melakukan
aktivitas / istirahat, hal ini dapat diketahui melalui gejala dan tanda sebagai
berikut :
Gejala : merasa kesulitan dalam melakukan aktifitas karena kelemahan,
kehilangan sensasi atau paralisis ( hemiplegi ), merasa mudah lelah, susah untuk
beristirahat.
Tanda : gangguan tonus otot, paralitik (hemiplegia), kelemahan umum, gangguan
penglihatan dan gangguan tingkatan kesadaran.
b) Sirkulasi
Pada klien dengan stroke infark akan mengalami perubahan dalam sistem
sirkulasi, hal ini dapat diketahui melalui gejala dan tanda sebagai berikut :
Gejala : adanya penyakit jantung, polisitemia.
Tanda : hipertensi arterial, frekuensi nadi dapat bervariasi, distrimia, perubahan
EKG.
c) Integritas Ego
Pada klien dengan stroke infark akan merasakan suatu perubahan keadaan
emosional dalam dirinya, hal ini dapat diketahui melalui gejala dan tanda sebagai
berikut :
Gejala : perasaan tidak berdaya dan putus asa.
Tanda : emosi yang labil, ketidaksiapan untuk marah , sedih, gembira dan
kesulitan untuk mengekspresikan diri.
d) Eliminasi
Pada klien dengan stroke infark akan mengalami perubahan dalam kebutuhan
eliminasinya, baik kebutuhan bak maupun bab, hal ini dapat diketahui melalui
gejala sebagai berikut :
Gejala : perubahan pola kemih, distensi abdomen, bising usus negatif.
e) Makan / Minum
Pada klien dengan stroke infark akan mengalami kesulitan dalam memenuhi
kebutuhan makan dan minum, hal ini dapat diketahui melalui gejala dan tanda
sebagai berikut :
Gejala : nafsu makan hilang, mual muntah, kehilangan sensasi pada lidah, pipi
dan tenggorokan, disfagia, ada riwayat diabetes mellitus, peningkatan lemak
dalam darah.
Tanda : kesulitan menelan, obesitas.
f) Neurosensori
Pada klien dengan stroke infark akan mengalami gangguan pada sistem
neurosensorinya, hal ini dapat diketahui melalui gejala dan tanda sebagai berikut :
Gejala : pusing, sakit kepala, kelemahan/kesemutan, kebas, penglihatan menurun,
penglihatan ganda, gangguan rasa pengecapan dan penciuman.
Tanda : gangguan fungsi kognitif, kelemahan/paralisis, afasia, kehilangan
kemampuan untuk mengenali/menghayati rangsangan visual, pendengaran,
kekakuan muka dan kejang.
g) Nyeri / Kenyamanan
Pada klien dengan stroke infark akan merasakan suatu keadaan ketidaknyamanan,
hal ini dapat diketahui melalui gejala dan tanda sebagai berikut :
Gejala : sakit kepala
Tanda : tingkah laku yang tidak stabil, gelisah, ketegangan pada otot
h) Pernafasan
Pada klien dengan stroke infark biasanya akan mengalami masalah dalam sistem
pernafasannya, hal ini dapat diketahui melalui gejala dan tanda sebagai berikut :
Gejala : merokok
Tanda : ketidak mampuan menelan / batuk / tambatan jalan nafas, pernafasan
sulit, suara nafas terdengar ronkhi.
i) Keamanan
Pada klien dengan stroke infark akan sangat rentan terhadap faktor keamanan, hal
ini dapat diketahui melalui tanda sebagai berikut :
Tanda : masalah dengan penglihatan, tidak mampu mengenali objek, gangguan
regulasi suhu tubuh, kesulitan dalam menelan, perhatian sedikit terhadap
keamanan.
j) Interaksi sosial.
Pada klien dengan stroke infark biasanya akan mengalami kesulitan dalam
melakukan sosial dengan lingkungan sekitarnya, hal ini dapat diketahui melalui
tanda sebagai berikut :
Tanda : masalah bicara, ketidak mampuan untuk berkomunikasi
k) Penyuluhan / Pembelajaran
Pada klien dengan stroke infark sangat diperlukan penyuluhan / pembelajaran
untuk mencegah masalah lebih lanjut, hal ini dapat diketahui melalui gejala
sebagai berikut :
Gejala : adanya riwayat hipertensi pada keluarga dan stroke
B. Pemeriksaan Fisik dan Observasi
1) Sistem Respirasi (Breathing) : batuk, peningkatan produksi sputum, sesak nafas,
penggunaan otot bantu nafas, serta perubahan kecepatan dan kedalaman pernafasan.
Adanya ronchi akibat peningkatan produksi sekret dan penurunan kemampuan untuk
batuk akibat penurunan kesadaran klien. Pada klien yang sadar baik sering kali tidak
didapati kelainan pada pemeriksaan sistem respirasi.
2) Sistem Cardiovaskuler (Blood) : dapat terjadi hipotensi atau hipertensi, denyut
jantung irreguler, adanya murmur
3) Sistem neurologi
a) Tingkat kesadaran: bisa sadar baik sampai terjadi koma. Penilaian GCS untuk
menilai tingkat kesadaran klien
b) Refleks Patologis Refleks babinski positif menunjukan adanya perdarahan di
otak/ perdarahan intraserebri dan untuk membedakan jenis stroke yang ada
apakah bleeding atau infark
4) Pemeriksaan saraf cranial
a) Saraf I: biasanya pada klien dengan stroke tidak ada kelainan pada fungsi
penciuman
b) Saraf II: disfungsi persepsi visual karena gangguan jarak sensorik primer diantara
sudut mata dan korteks visual. Gangguan hubungan visula-spasial sering terlihat
pada klien dengan hemiplegia kiri. Klien mungkin tidak dapat memakai pakaian
tanpa bantuan karena ketidakmampuan untuk mencocokkan pakaian ke bagian
tubuh.
c) Saraf III, IV dan VI: apabila akibat stroke mengakibatkan paralisis seisi otot-otot
okularis didapatkan penurunan kemampuan gerakan konjugat unilateral disisi
yang sakit.
d) Saraf VII persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris, otot wajah
tertarik ke bagian sisi yang sehat
e) Saraf XII: lidah asimetris, terdapat deviasi pada satu sisi dan fasikulasi. Indera
pengecapan normal.
f) Sistem perkemihan (Bladder): terjadi inkontinensia urine
g) Sistem reproduksi: hemiparese dapat menyebabkan gangguan pemenuhan
kebutuhan seksual
h) Sistem endokrin: adanya pembesaran kelejar kelenjar tiroid
i) Sistem Gastrointestinal (Bowel) : adanya keluhan sulit menelan, nafsu makan
menurun, mual dan muntah pada fase akut. Mungkin mengalami inkontinensia
alvi atau terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik usus. Adanya gangguan
pada saraf V yaitu pada beberapa keadaan stroke menyebabkan paralisis saraf
trigeminus, didapatkan penurunan kemampuan koordinasi gerakan mengunyah,
penyimpangan rahang bawah pada sisi lateral dan kelumpuhan seisi otot-otot
pterigoideus dan pada saraf IX dan X yaitu kemampuan menelan kurang baik,
kesukaran membuka mulut.
j) Sistem muskuloskeletal dan integument: kehilangan kontrol volenter gerakan
motorik. Terdapat hemiplegia atau hemiparesis atau hemiparese ekstremitas. Kaji
adanya dekubitus akibat immobilisasi fisik.
C. Diagnosa Keperawatan
1) Ketidakefektifan perfusi jaringan otak (serebral) berhubungan dengan perdarahan
intracerebral, edema serebral, gangguan oklusi
2) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan, parastesia,
hemiparese/hemiplagia
3) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kelemahan
otot mengunyah dan menelan
4) Gangguan eliminasi urine (inkontinensia urine) berhubungan dengan lesi pada neuron
motor atas yang ditandai dengan ketidakmampuan dalam eliminasi urine,
ketidakmampuan miksi.
5) Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring yang lama.
6) Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan efek dari kerusakan pada area
bicara di hemisfer otak yang ditandai dengan kerusakan artikulasi, tidak dapat
berbicara,tidak mampu memahami bahasa tertulis/ucapan.
7) Gangguan persepsi sensori yang berhubungan dengan penekanan pada saraf sensori,
penurunan penglihatan yang ditandai dengan disorientasi terhadap waktu tempat dan
orang, konsentrasi buruk berubahan proses berpikir yang kacau.
8) Gangguan eliminasi alvi (kontispasi) berhubungan dengan defek stimulasi saraf, otot
dasar pelviks lemah dan imobilitas sekunder akibat stroke yang ditandai
dengan pasien belum BAB selama 4 hari/konstipasi, teraba distensi abdomen.
9) Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi yang diterima pasien
tentang penyakit dialami oleh pasien yanf dtandai dengan keterbatasan kognitif,
kesalahan interpretasi informasi dan tidak mengenal sumber-sumber informasi.

D. Intervensi
1) Ketidakefektifan perfusi jaringan otak (serebral) berhubungan dengan perdarahan
intracerebral, edema serebral, gangguan oklusi
Tujuan : Mempertahankan perfusi jaringan serebral adekuat.
Kriteria Evaluasi :
a. Mempertahankan tingkat kesadaran.
b. TTV stabil.
c. Tidak ada peningkatan TIK.
Intervensi :
a. Pantau / catat status neuroligis.
b. Pantau TTV.
c. Evaluasi pupil, catat ukuran, bentuk, kesamaan dan reaksi terhadap cahaya.
d. Letakan kepala dengan posisi agak ditinggikan.
e. Pertahankan keadaan tirah baring.

2) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan, parastesia,


hemiparese/hemiplagia
Tujuan: klien mampu meningkatkan aktivitas fisik yang sakit atau lemah, dengan
kriteria hasil:

a. Ekstremitas tidak tampak lemah


b. Ekstremitas yang lemah dapat diangkat dan digerakkan secara mandiri
c. Ekstremitas yang lemah dapat menahan posisi tubuh saat miring kanan atau kiri

Intervensi:

a. Jelaskan pada pasien akibat dari terjadinya imobilitas fisik


R/ imobilitas fisik akan menyebabkan otot-otot menjadi kaku sehingga penting
diberikan latihan gerak.
b. Ubah posisi pasien tiap 2 jam
R/ menurunkan resiko terjadinnya iskemia jaringan akibat sirkulasi darah yang
jelek pada daerah yang tertekan
c. Ajarkan pasien untuk melakukan latihan gerak aktif pada ekstrimitas yang sakit
R/ gerakan aktif memberikan dan memperbaiki massa, tonus dan kekuatan otot
serta memperbaiki fungsi jantung dan pernapasan.
d. Anjurkan pasien melakukan gerak pasif pada ekstrimitas yang tidak sakit
R/ mencegah otot volunter kehilangan tonus dan kekuatannya bila tidak dilatih
untuk digerakkan
e. Kolaborasi dengan ahli fisioterapi untuk latihan fisik klien
R/ peningkatan kemampuan daam mobilisasi ekstremitas dapat ditingkatkan
dengan latihan fisik dari tim fisioterapi
f. Observasi kemampuan mobilitas pasien
R/ Untuk mengetahui sejauh mana kemampuan gerak pasien setelah di lakukan
latihan dan untuk menentukan intervensi selanjutnya.

3) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kelemahan


otot mengunyah dan menelan
Tujuan: Pasien tetap menunjukan pemenuhan nutrisi selama dilakukan tindakan
keperawatan.
Kriteria hasil : tidak terjadi penurunan berat badan, HB dan albumin dalam batas
normal HB: 13,4 – 17,6 dan Albumin: 3,2 - 5,5 g/dl.

Intervensi :

a. Jelaskan pentingnya nutrisi bagi klien


R/ nutrisi yang adekuat membantu meningkatkan kekuatan otot
b. Kaji kemampuan klien dalam mengunyah dan menelan
R/ untuk menetapkan jenis makanan yang akan diberikan kepada klien
c. Letakkan kepala lebih tinggi pada waktu selama & sesudah makan
R/ memudahkan klien untuk menelan
d. Stimulasi bibir untuk menutup dan membuka mulut secara manual
dengan menekan ringan di atas bibir / bawah dagu jika dibutuhkan
R/ membantu dalam melatih kembali sensoro dan meningkatkan kontrol muskuler
e. Kolaborasi dalam pemberian cairan parenteral atau memberi makanan melalui
NGT
R/ membantu memberi cairan dan makanan pengganti jika klien tidak mampu
memasukan secara peroral.
f. Observasi keadaan, keluhan dan asupan nutrisi
R/ mengetahui keberhasilan tindakan dan untuk menentukan intervensi
selanjutnya
4) Gangguan eliminasi alvi (konstipasi) berhubungan dengan defek stimulasi saraf, otot
dasar pelviks lemah dan imobilitas sekunder akibat stroke ditandai pasien belum BAB
selama 4 hari, teraba distensi abdomen.
Tujuan: pasien mampu memenuhai eliminasi alvi dengan kriteria hasil:
a. Pasien dapat defekasi secara spontan dan lancar dengan menggunakan obat
b. Konsistensi feses lembek
c. Tidak teraba distensi abdomen
Intervensi:
a. Berikan penjelasan pada pasien dan keluarga tentang penyebab konstipasi.
R/ konstipasi disebabkan oleh karena penurunan peristaltic usus.
b. Anjurkan pada pasien untuk makan makanan yang mengandung serat.
R/ diet seimbang tinggi kandungan serat merangsang peristaltik dan eliminasi
reguler
c. Bila pasien mampu minum, berikan asupan cairan yang cukup (2 liter/hari) jika
tidak ada kontraindikasi.
R/ masukan cairan adekuat membantu mempertahankan konsistensi feses yang
sesuai pada usus dan membantu eliminasi reguler
d. Lakukan mobilisasi sesuai dengan keadaan pasien.
R/ aktivitas fisik membantu eliminasi dengan memperbaiki tonus otot abdomen
dan merangsang nafsu makan dan peristaltic
e. Kolaborasi dengan tim dokter dalam pemberian pelunak feses (laksatif,
supositoria, enema)
R/ pelunak feses meningkatkan efisiensi pembasahan air usus, yang melunakkan
massa feses dan membantu eliminasi.
5) Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan kerusakan mobilitas sekunder
akibat stroke.
Tujuan: pasien mampu mempertahankan keutuhan kulit dengan kriteria hasil:
a. Pasien mau berpartisipasi terhadap pencegahan luka
b. Mengetahui penyebab dan cara pencegahan luka
c. Tidak ada tanda-tanda kemerahan atau luka.
Intervensi:
a. Anjurkan untuk melakukan latihan mobilisasi
R/ menghindari tekanan dan meningkatkan aliran darah
b. Ubah posisi tiap 2 jam
R/ menghindari tekanan yang berlebihan pada daerah yang menonjol
c. Observasi terhadap eritema, kepucatan dan palpasi area sekitar terhadap
kehangatan dan pelunakan jaringan tiap mengubah posisi
R/ mempertahankan keutuhan kulit
d. Jaga kebersihan kulit dan seminimal mungkin, hindari trauma dan panas pada
kulit.
R/ menghindari kerusakan-kerusakan kapiler
6) Gangguan persepsi sensori yang berhubungan dengan penekanan pada saraf
sensori yang ditandai dengan disorientasi terhadap waktu tempat orang, perubahan
dalam respon terhadap rangsangan.
Tujuan : meningkatnya persepsi sensorik secara optimal setelah dilakukan tindakan
keperawatan dengan kriteria hasil:
a. Adanya perubahan kemampuan yang nyata
b. Tidak terjadi disorientasi waktu, tempat dan orang
Intervensi:
a. Tentukan kondisi patologis klien
R/ untuk mengetahui tipe dan lokasi yang mengalami gangguan
b. Kaji gangguan penglihatan terhadap perubahan persepsi
R/untuk mempelajari kendala yang berhubungan dengan disorientasi klien
c. Latih klien untuk melihat suatu objek dengan telaten dan seksama
R/agar klien tidak kebinggungan dan lebih konsentrasi
d. Observasi respon prilaku klien seperti menanggis, bahagia, bermusuhan,
halusinasi setiap saat
R/ untuk mengetahui keadaan emosi klien.
7) Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan efek dari kerusakan pada area
bicara di hemisfer otak yang ditandai dengan dengan kerusakan artikulasi, tidak dapat
berbicara,tidak mampu memahami bahasa tertulis/ucapan.
Tujuan : proses komunikasi klien dapat berfungsi secara optimal dengan kriteria
hasil:
a. Terciptanya suatu komunikasi dimana kebutuhan klien dapat terpenuhi
b. Klien mampu merespon setiap berkomunikasi secara verbal maupun isyarat.
Intervensi
a. Berikan metode alternatif komunikasi misalnya bahasa isyarat
R/ memenuhi kebutuhan komunikasi sesuai dengan kemampuan klien
b. Antisipasi setiap kebutuhan klien saat berkomunikasi
R/ mencegah rasa putus asa dan ketergantungan pada orang lain
c. Bicaralah dengan klien secara pelan dan gunakan pertanyaan yang jawabannya
“ya” atau “tidak”
R/ mengurangi kecemasan dan kebinggunan pada saat berkomunikasi
d. Anjurkan kepada keluarga untuk tetap berkomunikasi dengan klien
R/mengurangi rasa isolasi sosial dan meningkatkan komunikasi yang efektif
e. Hargai kemampuan klien dalam berkomunikasi
R/memberi semangat pada klien agar lebih sering melakukan komunikasi
f. Kolaborasi dengan fisioterapis untuk latihan Bicara
R/ melatih klien berbicara secara mandiri dengan baik dan benar.
8) Gangguan eliminasi urine (inkontinensia urine) berhubungan dengan lesi pada neuron
motor atas.
Tujuan : klien mampu mengontrol urine setelah dilakukan tindakan keperawatan
dengan kriteria hasil:
a. Klien melaporkan penurunan atau hilangnya inkontinensia
b. Tidak ada distensi bladder
Intervensi:
a. Identifikasi pola berkemih dan kembangkan jadwal berkemih sering
R/ berkemih yang sering dapat mengurangi dorongan dari distensi kandung kemih
yang berlebih
b. Ajarkan membatasi masukan cairan selama malam
R/ pembatasan cairan pada malam hari mencegah terjadinya enuresis
c. Ajarkan tehnik untuk mencetuskan refleks berkemih ( rangsangan kutaneus
dengan penepukan suprapubik, manuver regangan anal)
R/ melatih dan membantu penggosongan kandung kemih
d. Bila masih terjadi inkontinensia, kurangi waktu antara berkemih pada jadwal yang
telah direncanakan
R/ kapasitas kandung kemih mungkin tidak cukup untuk menampung volume
urien sehingga memerlukan untuk lebih sering berkemih
e. Berikan penjelasan tentang pentingnya hidrasi optimal (sedikit 2000cc perhari
bila tidak ada kontraindikasi)
R/ hidrasi optimal diperlukan untuk mencegah infeksi saluran kemih dan batu
ginjal.
9) Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi yang diterima pasien
tentang penyakit dialami oleh pasien. Kurang pengetahuan berhubungan dengan
kurangnya informasi yang diterima pasien tentang penyakit dialami oleh pasien yanf
dtandai dengan keterbatasan kognitif, kesalahan interpretasi informasi dan tidak
mengenal sumber-sumber informasi.
Tujuan: Pasien mengerti tentang penyakit yang diderita dengan kriteria hasil:
a. Pasien dan keluarga tahu tentang penyakit yang diderita.
b. Pasien dan keluarga mau berperan serta dalam tindakan keperawatan.
Intervensi:
a. Kaji tingkat pengetahuan pasien dan keluarga.
R/ Mengetahui sejauh mana pengetahuan yang dimiki pasien dan keluarga dan
kebenaran informasi yang didapat.
b. Beri penjelasan kepada pasien dan keluarga tentang penyakit yang diderita.
R/ Penjelasan tentang kondisi yang sedang dialami dapat membantu menambah
wawasan pasien dan keluarga.
c. Jelaskan kepada pasien dan keluarga tentang setiap tindakan keperawatan yang
akan dilakukan.
R/ Agar pasien dan keluarga mengetahui tujuan dari setiap tindakan keperawatan
yang akan dilakukan.

E. Implementasi
Pelaksanaan merupakan pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan
yang telah disusun pada tahap perencanaan dan merupakan tindakan yang bermanfaat
bagi klien berhubungan dengan diagnosa keperawatan dan tujuan yang telah ditetapkan
yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan klien secara optimal. Tindakan keperawatan
yang dilakukan pada klien dapat berupa tindakan mandiri maupun tindakan kolaborasi.
Terkait dengan masalah yang ada pada pasien stroke, maka pelaksanaan tindakan
keperawatan ditujukan pada klien, perawat dan keluarga. Pelaksanaan pada klien meliputi
melakukan, membantu, mengarahkan kebutuhan dan aktivitas kehidupan sehari-hari kilen
yang disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi klien pada saat itu. Pada perawat
ditujukan untuk memberikan arahan dalam melakukan tindakan keperawatan yang
berpusat pada klien sehingga tujuan dapat tercapai. Pada keluarga ditujukan untuk
memahami kebutuhan klien dan memotivasi klien untuk mempertahankan dan
meningkatkan status kesehatannya.
Dalam pelaksanaan tindakan, langkah yang dilakukan pertama kali adalah
mengkaji kembali keadaan klien untuk menentukan apakan tindakan keperawatan yang
direncanakan masih sesuai kondisi klien saat itu, memvalidasi rencana keperawatan
untuk menentukan apakah tindakan keperawatan yang direncanakan masih dilanjutkan
atau dimodifikasi sesuai keadaan klien saat itu, menentukan kebutuhan dan bantuan yang
diberikan pada klien baik dalam bentuk pengetahuan maupun keterampilan keperawatan
serta menetapkan strategi tindakan yang akan dilakukan dan mengkomunikasikan
intervensi keperawatan, selain itu juga dalam pelaksanaan tindakan keperawatan
didokumentasikan dalam catatan keperawatan. Dalam pendokumentasian catatan
keperawatan hal yang perlu didokumentasikan adalah waktu tindakan dilakukan, tindakan
dan respon klien serta diberi tanda tangan sebagai aspek legal dari dokumentasi yang
dilakukan.

F. Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses keperawatan yang mengukur
seberapa jauh tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai berdasarkan standar atau
kriteria yang telah ditetapkan. Prinsip evaluasi adalah obyektivitas yaitu mengukur
keadaan yang sebenarnya, reabilitas yaitu ketepatan hasil ukuran dan validitas yaitu
mengukur dengan tepat harus dapat dipertahankan agar keputusan yang diambil tepat.
Adapun langkah-langkah evaluasi keperawatan terdiri dari, mengumpulkan data
keperawatan pasien, menafsirkan (mengiterprestasikan) perkembangan pasien,
membandingkan dengan keadaan sebelum dan sesudah dilakukan tindakan dengan
menggunakan kriteria pencapaian tujuan yang telah di tetapkan, mengukur dan
membandingkan perkembangan pasien dengan standar normal yang berlaku.
Evaluasi proses keperawatan terdiri dari evaluasi kwantitatif yaitu penilaian yang
dilihat dari jumlah kegiatan. Evaluasi kwalitatif yaitu evaluasi mutu yang difokuskan
pada tiga dimensi yang saling terkait. Evaluasi struktur / sumber yaitu terkait dengan
tenaga manusia / bahan-bahan yang diperlukan dalam pelaksanan kegiatan. Evaluasi
proses (evaluasi formatif) yaitu pernyataan yang mencerminkan pengalaman perawatan
dan analisa respon pasien segera setelah intervensi. Evaluasi hasil (evaluasi sumatif) yaitu
pernyataan yang mencerminkan suatu observasi untuk menilai sejauh mana pencapaian
tujuan berdasarkan kriteria yang ditetapkan.
DAFTAR PUSTAKA

Buleehek, GM, dkk. Nursing Intervention Classification (NIC). Missouri. Mosby Elsevier. 2008

Buleehek, GM, dkk. Nursing Outcomes Classification (NOC). Missouri. Mosby Elsevier. 2008

Herdman, TH. NANDA International Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2012-
2014. Jakarta:EGC. 2012

Muttaqin, Arif, 2008, Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Persarafan, Jakarta: Salemba Medika

Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC
Prince,sylfia A. 2006. Patofisiologi : konsep klinis proses-proses penyakit Vol. 2, Edisi 6.
Jakarta: EGC
Carpenito, Lynda Juall, 2000, Buku Saku Diagnosa Keperawatan, Edisi 8, EGC, Jakarta.

Aliah A, Kuswara F F, Limoa A, Wuysang G. Gambaran umum tentang gangguan peredaran


darah otak dalam Kapita selekta neurology cetakan keenam editor Harsono. Gadjah Mada
university press, Yogyakarta. 2007. Hal: 81-115.

Sutrisno, Alfred. Stroke? You Must Know Before you Get It!. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama. 2007. Hal: 1-13

Feigin, Valery. Stroke Panduan Bergambar Tentang Pencegahan dan Pemulihan Stroke. Jakarta:
PT. Bhuana Ilmu Populer. 2006.

Hassmann KA. Stroke, Ischemic. [Online]. Cited 2010 May 1st available from:
http://emedicine.medscape.com/article/793904-overview

Mardjono, Mahar. Mekanisme gangguan vaskuler susunan saraf dalam Neurologi klinis dasar
edisi Kesebelas. Dian Rakyat. 2006. Hal: 270-93.

Anda mungkin juga menyukai