Anda di halaman 1dari 26

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

I. Definisi
Stroke menurut WHO adalah manifestasi klinis dari gangguan fungsi
cerebral, baik fokal maupun menyeluruh (global), yang berlangsung dengan
cepat, berlangsung lebih dari 24 jam, atau berakhir dengan maut, tanpa
ditemukannya penyebab selain daripada gangguan vaskular.

(3,6)

Pada stroke, terjadi hipoksia serebrum yang menyebabkan cedera dan


kematian sel-sel neuron. Kerusakan otak karena stroke, terjadi sebagai akibat
pembengkakan dan edema yang timbul dalam 24 72 jam pertama setelah
kematian sel neuron.(7)
II.

Anatomi

Gambar 1. Vaskularisasi Otak


Darah mengalir ke otak melalui dua arteri karotis dan dua arteri
vertebralis (8). Arteri karotis interna, setelah memisahkan diri dari arteri karotis
komunis, naik dan masuk ke rongga tengkorak melalui kanalis karotikus,
berjalan dalam sinus kavernosus, mempercabangkan arteri untuk nervus
optikus dan retina, akhirnya bercabang dua: arteri serebri anterior dan arteri
serebri media

(6)

. Arteri karotis interna memberikan vaskularisasi pada regio

sentral dan lateral hemisfer. Arteri serebri anterior memberikan vaskularisasi


pada korteks frontalis, parietalis bagian tengah, korpus kalosum dan nukleus
kaudatus. Arteri serebri media memberikan vaskularisasi pada korteks lobus
frontalis, parietalis dan temporalis

(9)

Gambar 2. Stenosis pada arteri karotis

(10)

Sistem vertebral dibentuk oleh arteri vertebralis kanan dan kiri yang
berpangkal di arteri subklavia, menuju dasar tengkorak melalui kanalis
transversalis di kolumna vertebralis servikalis, masuk rongga kranium melalui
foramen magnum, lalu mempercabangkan masing-masing sepasang arteri
serebeli inferior. Pada batas medula oblongata dan pons, keduanya bersatu
menjadi arteri basilaris dan setelah mengeluarkan 3 kelompok cabang arteri,
pada tingkat mesensefalon, arteri basilaris berakhir sebagai sepasang cabang
arteri serebri posterior
batang

otak

dan

(6)

. Arteri vertebralis memberikan vaskularisasi pada

medula

spinalis

atas.

Arteri

basilaris

memberikan

vaskularisasi pada pons. Arteri serebri posterior memberikan vaskularisasi


pada lobus temporalis, oksipitalis, sebagian kapsula interna, talamus,
hipokampus, korpus genikulatum dan mamilaria, pleksus koroid dan batang
otak bagian atas

(6)

III. Patofisiologi

Gambar 3. Penyumbatan pembuluh darah


Penyumbatan pembuluh darah merupakan 80% kasus dari kasus
stroke. Penyumbatan sistem arteri umumnya disebabkan oleh terbentuknya
trombus pada ateromatous plaque pada bifurkasi dari arteri karotis
hubungannya
arteriolosclerosis

dengan
(6)

(terbentuknya

ateroma)

. Erat
dan

Aterosklerosis
klinik dengan cara

aterosklerosis

(9)

(6)

dapat

menimbulkan

bermacam-macam

manifestasi

a. Menyempitkan

lumen

pembuluh

darah

dan

mengakibatkan

insufisiensi aliran darah.


b. Oklusi mendadak pembuluh darah karena terjadinya trombus atau
perdarahan aterom
c. Merupakan terbentuknya trombus yang kemudian terlepas sebagai
emboli
d. Menyebabkan

dinding

pembuluh

menjadi

lemah

dan

terjadi

aneurisma yang kemudian dapat robek


Suatu penyumbatan total dari aliran darah pada sebagian otak akan
menyebabkan hilangnya fungsi neuron yang bersangkutan pada saat itu juga.
Bila anoksia ini berlanjut sampai 5 menit maka sel tersebut dengan sel
penyangganya yaitu sel glia akan mengalami kerusakan ireversibel sampai
nekrosis beberapa jam kemudian yang diikuti perubahan permeabilitas
vaskular disekitarnya dan masuknya cairan serta sel-sel radang

(9)

Gambar 4. Iskemik penumbra

(11)

Disekitar daerah iskemi timbul edem glia, akibat berlebihannya H+ dari


asidosis laktat. K+ dari neuron yang rusak diserap oleh sel glia disertai
rentensi air yang timbul dalam empat hari pertama sesudah stroke. Edema ini
menyebabkan daerah sekitar nekrosis mengalami gangguan perfusi dan
timbul iskemi ringan tetapi jaringan otak masih hidup. Daerah ini adalah
iskemik penumbra

(6)

Bila terjadi stroke, maka di suatu daerah tertentu dari otak akan terjadi
kerusakan (baik karena infark maupun perdarahan). Neuron-neuron di daerah
tersebut tentu akan mati, dan neuron yang rusak ini akan mengeluarkan
glutamat, yang selanjutnya akan membanjiri sel-sel disekitarnya.

Glutamat

ini akan menempel pada membran sel neuron di sekitar daerah primer yang
terserang. Glutamat akan merusak membran sel neuron dan membuka kanal
kalsium (calcium channels). Kemudian terjadilah influks kalsium yang
mengakibatkan

kematian

sel.

Sebelumnya,

sel

yang

mati

ini

akan

mengeluarkan glutamt, yang selanjutnya akan membanjiri lagi neuron-neuron


di sekitarnya. Terjadilah lingkaran setan

(8)

Neuron-neuron yang rusak juga akan melepaskan radikal bebas, yaitu


charged oxygen molecules (seperti nitric acida atau NO), yang akan
merombak molekul lemak didalam membran sel, sehingga membran sel akan
bocor dan terjadilah influks kalsium

(8)

Stroke iskemik menyebabkan berkurangnya aliran darah ke otak yang


menyebabkan kematian sel.

IV.

Faktor Resiko

1. Yang tidak dapat diubah : usia, jenis kelamin pria, ras, riwayat keluarga,
riwayat TIA / stroke, penyakit jantung koroner, fibrilasi atrium, heterozigot
atau homozigot untuk homo sistinuria

(5,6)

Resiko penyumbatan arteri ekstrakranial (arteri karotis interna dan arteri


vertebralis) yaitu pada laki-laki dan kulit putih. Sedangkan resiko
penyumbatan arteri intrakranial (arteri basiler, arteri serebri media, arteri
serebri anterior, arteri serebri posterio) yaitu pada wanita dan kulit
berwarna

(12)

2. Yang dapat diubah : hipertensi, DM, merokok, penyalahgunaan alkohol dan


obat, kontrasepsi oral, Hipertensi tinggi, bruit karotis asimtomatik,
hiperurisemia dan dislipidemia

(5,6)

V. Klasifikasi Stroke Iskemik


Stroke iskemik dapat dijumpai dalam 4 bentuk klinis

(13)

1. Serangan iskemia atau Transient Ischemic Attack (TIA). Pada bentuk ini
gejala neurologik yang timbul akibat gangguan peredaran darah di otak
akan menghilang dalam waktu 24 jam.
2. Defisit Neurologik Iskemik Sepintas atau Reversible Ischemic Neurological
Defisit (RIND). Gejala neurologik yang timbul akan menghilang dalam
waktu lebih lama 24 jam. Tapi tidak lebih seminggu.
3. Stroke Progresif (Progresive Stroke atau Stroke in evolution). Gejala
neurologik makin lama makin berat.
4. Stroke Komplit (Completed Stroke atau Permanent Stroke), gejala klinis
sudah menetap.
VI. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis utama yang dikaitkan dengan insufisiensi aliran darah
otak dapat dihubungkan dengan tanda serta gejala di bawah ini :
1. Arteri vertebralis

(6)

a. Hemiplegi alternan
b. Hemiplegi ataksik
2. Arteri karotis interna (sirkulasi anterior ; gejala-gejalanya biasanya
unilateral). Lokasi lesi yang paling sering adalah pada bifurkasio arteria
karotis komunis menjadi arteria karotis interna dan eksterna. Gejala-gejala
yaitu

(6)

a. Buta mutlak sisi ipsilateral

b. Hemiparese kontralateral
3. Arteri Basilaris

(6)

a. Tetraplegi
b. Gangguan kesadaran
c. Gangguan pupil
d. Kebutaan
e. Vertigo
4. Arteria serebri anterior (gejala primernya adalah perasaan kacau)

(14)

a. Kelemahan kontralateral lebih besar pada tungkai. Lengan bagian


proksimal mungkin ikut terserang. Gerakan voluntar pada tungkai
terganggu.
b. Gangguan sensorik kontralateral.
c. Demensia, refleks mencengkeram dan refleks patologis
5. Arteria serebri posterior (dalam lobus mesencepalon atau talamus)

(14)

a. Koma.
b. Hemiparesis kontralateral.
c. Afasia visual atau buta kata (aleksia).
d. Kelumpuhan saraf otak ketiga hemianopsia, koreoatetosis.
6. Arteria serebri media

(14)

a. Monoparesis atau hemiparesis kontralateral (biasanya mengenai


tangan).
b. Kadang-kadang hemianopsia kontralateral (kebutaan).
c. Afasia global (kalau hemisfer dominan yang terkena) ; gangguan
semua fungsi yang ada hubungannya dengan percakapan dan
komunikasi.
d. Disfagia.
VII.

Diagnosis
Diagnosis didasarkan atas hasil

(6)

1. Penemuan klinis
Anamnesis :
a. Terutama

terjadinya

keluhan

mendadak
b. Tanpa trauma kepala
c. Adanya faktor resiko GPDO
Pemeriksaan Fisik

gejala

defisit

neurologi

yang

d. Adanya defisit neurologi fokal


e. Ditemukan faktor resiko (hipertensi, kelainan jantung, dll)
f.

Bising pada auskultasi atau kelainan pembuluh darah lainnya

2. Pemeriksaan penunjang
Stroke dengan oklusi pembuluh darah dapat dilakukan pemeriksaan :
1. CT Scan dan MRI

Gambar 5. CT Scan Stroke iskemik


Untuk menetapkan secara pasti letak dan kausa dari stroke. CT scan
menunjukkan gambaran hipodens.

Gambar 6. CT Scan, CT angiografi dan MRI

(11)

2. Ekokardiografi
Pada dugaan adanya tromboemboli kardiak (transtorakal, atau
transesofageal)

3. Ultrasound scan arteri karotis


Bila diduga adanya ateroma pada arteri karotis. Disini dipakai
prinsip

doppler

untuk

menghasilkan

continuous

wave

untuk

mendeteksi derajat stenosis secara akurat, serta juga pulsed


ultrasound device yang dikaitkan dengan scanner (duplex scan)
4. Intra arterial digital substraction angiografi
Bila pada ultrasound scan terdapat stenosis berat
5. Transcranial Doppler
Dapat untuk melihat sejauh mana anastomosis membantu daerah
yang tersumbat
6. Pemeriksaan darah lengkap
Perlu untuk mencari kelainan pada cairan darah sendiri
VIII. Penatalaksanaan

(9)

Pengobatan secara umum


1. Pertahankan saluran pernafasan yang baik
2. Pertahankan tekanan darah yang cukup, untuk itu evaluasi fungsi jantung
dan organ vital lain
3. Pertahankan milieu intern, yaitu kualitas darah cairan dan elektrolit,
protein darah, dan keseimbangan asam basa yang baik
4. Pertahankan bladder dan rectum
5. Hindarkan berlangsungnya febris, dan pemakaian glukosa dalam nutrisi
parenteral
Pengobatan stroke iskemik
Apabila sasaran dari terapi stroke akut adalah daerah inti dari iskemi yaitu
daerah dimana neuron mengalami kekurangan oksigen dan depat mati, maka
hanya terapi yang cepat dan efektif yang dapat mengembalikan sumbaan
aliran darah dan meningkatkan aliran sebelum sel mengalami rusak yang
ireversibel. Pada daerah penumbra iskemik, aliran darah secara bertahap
menurun. Daerah penumbra merupakan sasaran terapi yang menjanjikan
karena periode jendela terapi yang beberapa jam

(15)

1. Memberi aliran darah kembali pada bagian otak tersebut

(9,15)

a. Membuka sumbatan
Trombolisis
merubah

dengan

sirkulasi

streptokinase
plasminogen

atau

menjadi

urikinase,
plasmin.

keduanya
Jadi

timbul

systemic lytic state, serta dapat menimbulkan bahaya infark


hemoragik
Fibrinolisis local dengan tissue plasminogen activator, disini hanya
terjadi fibrinolisis local yang amat singkat.
b. Menghilangkan vasokonstriksi
Calcium channel blocker, agar diberikan dalam 3 jam pertama dan
belum ada edema otak (GCS >12)
c. Mengurangi viskositas darah
Hemodilusi; mengubah hemoreologi darah : pentoxyfilin
d. Menambah pengiriman oksigen
Perfluorocarbon, oksigen hiperbarik
e. Mengurangi edema : Manitol
2. Mencegah kerusakan sel yang iskemik

(9,15)

a. Mengurangi kebutuhan oksigen: hipotermi, barbiturat


b. Menghambat pelepasan glutamat, dengan merangsang reseptor
adenosine dari neuron; mengurangi produksi glutamate dengan
methionin
c. Mengurangi akibat glutamate
NMDA blocker pada iskemia regional
AMPA blocker pada iskemia global yang sering disertai asidosis
d. Inhibisi enzim yang keluar dari neuron seperti enzim protein kinase
C

yang

melarutkan

membrane

sel

dapat

diinhibisi

dengan

ganglioside GM1
e. Menetralisir radikal bebas dengan vitamin C, vitamin E, superoxide
dismutase seperti 2-1 aminosteroid (lazeroid) akan memperpanjang
half life dari endothelial derived relaxing factor.
f.

Mengurangi produksi laktat : turunkan gula darah sampai normal

g. Mengurangi efek brain endorphine : naloxone


3. Memulihkan sel yang masih baik
Metabolic activator seperti citicholin, piracetam, piritinol bekerja dalam
bidang ini
4. Menghilangkan sedapat mungkin semua faktor resiko yang ada
5. Pengobatan penyebab stroke
Kalau terbentuk trombus pada aliran darah cepat, dan trombus ini
melewati permukan kasar seperti plaque arteria maka akan terbentuk
white clot (gumpalan platelet dengan fibrin). Obat yang bermanfaat

adalah aspirin untuk mengurangi agregasi platelet ditambah tiklodipin


untuk mengurangi daya pelekatan dari fibrin. Bila kemudian hal ini diikuti
oleh stenosis dan pelambatan aliran darah yang progresif, maka terapi
adalah antikoagulan sampai penyebab dapat dihilangkan atau sampai
buntu total dan aliran darah hanya dari kolateral saja baru antikoagulan
dihentikan dan diganti dengan aspirin.
Fase Pasca Akut
Pengobatan dititik beratkan pada tindakan rehabilitasi penderita,
dan pencegahan terulangnya stroke
o

(6)

Rehabilitasi Upaya membatasi sejauh mungkin kecacatan penderita,


fisik dan mental dengan fisioterapi, terapi wicara dan psikoterapi

Prinsip dasar rehabilitasi

(8)

(6)

Mulailah rehabilitasi sedini mungkin

Harus sistematik

Meningkat secara bertahap

Pakailah bentuk rehabilitasi yang spesifik untuk defisit


penderita

Terapi preventif
Pencegahan Primer, untuk mencegah terjadinya ateroma, yaitu

Mengatur tekanan darah baik sistoli maupun diastolik

Mengurangi makan asam lemak jenuh

Berhenti merokok

Minum aspirin dua hari sekali

(16)

(8)

(16)

, 300 mg/hari, pada :

Individu dengan anamnesis keluarga dengan penyakit

o
vaskuler
o

Umur lebih dari 50 tahun

Tidak ada ulkus lambung

Tidak ada penyakit mudah berdarah

Tidak ada alergi aspirin


o

Penggunaan
mengurangi

aspirin

setelah

kematian

dan

kemungkinan untuk sembuh


o

Pencegahan sekunder
Hipertensi diturunkan melalui

Minum obat anti hipertensi

(8)

(3)

mengalami
dapat

TIA,

dapat

meningkatkan

Mengurangi berat badan


Mengurangi natrium dan menaikkan kalium
Olahraga
Jangan minum amfetamin

Turunkan kadar kolesterol yang meningkat

Mengurangi natrium makanan dan meningkatkan intake


kalium melalui sayur dan buah-buahan

Mengurangi obesitas

Mengurangi minum alkohol

Mengurangi isap rokok

Mengurangi kadar gula darah pada penderita DM

Mengontrol penyakit jantung

Olahraga

Mengurangi hematokrit kalau meningkat

Mengurangi trombositosis dengan aspirin

(16)

IX. Evaluasi Penderita Stroke(8)


Skala-skala yang digunakan untuk melihat kemajuan penderita stroke
adalah :
(1) Mathew scale
Skala ini digunakan di Eropa. Yang diperiksa adalah :
-. Mentation : kesadaran, orientasi, bicara (speech)
-. Saraf cranial
-. Kemampuan motorik
-. Kemampuan sensibilitas
-. Disability
(2) Canadian scale
Skala ini terutama digunakan di Amerika. Lebih sederhana dan lebih
mudah digunakan, karena hanya memeriksa apa yang penting pada
penderita stroke, yaitu :
-. Mental : kesadaran, orientasi, bicara (speech)
-. Fungsi motorik
Penderita yang akan keluar dari rumah sakit, harus diperiksa dengan
menggunakan Barthel Index. Yang dinilai adalah :

Apakah penderita dapat bangun dari tempat tidur dan berjalan ke WC.

Apakah penderita dapat mengenakan pakaian.


Apakah penderita dapat memakai perhiasan/make up (untuk wanita),

atau mencukur jenggot (untuk laki-laki).


Apakah penderita dapat mandi sendiri.
Apakah penderita dapat makan.
Apakah penderita dapat berjalan.
Apakah penderita dapat naik tangga.

Di Indonesia yang paling sulit adalah mandi sendiri dan naik tangga.
X. Pengaruh Depresi Pada Penyembuhan Stroke
a.

Depresi Pasca-Stroke
Gangguan depresi mungkin merupakan gangguan emosional yang paling

sering dihubungkan dengan penyakit serebrovaskuler. Sekitar 25-50% pasien


stroke

mengalami

depresi

setelah

serangan

stroke.

Kepustakaan

mengatakan bahwa gejala depresi pasca stroke sama dengan gejala depresi
fungsional seperti adanya rasa sedih atau gangguan afek, anhedonia, tidak
bertenaga, sulit konsentrasi, nafsu makan menurun, penurunan libido,
gangguan tidur pada malam hari dan adanya ide-ide bunuh diri. Duapuluh
enam persen depresi pasca-stroke adalah penderita dengan sindrom depresi
berat sedang sisanya adalah dengan sindrom depresi ringan.
Suatu penelitian mengatakan bahwa pada pasien pascastroke yang
mengalami depresi, akan terjadi peningkatan persentase mortalitas, bahkan
pada pasien yang lebih muda dan tidak mempunyai penyakit kronis yang
terlalu banyak dibanding pasien yang tidak depresi, angka kematian tetap
tinggi pada pasien depresi pasca-stroke dan yang didiagnosis gangguan jiwa
lain akibat stroke.
b. Etiologi
Walaupun penyebab depresi pasca-stroke tidak diketahui namun beberapa
penelitian mengatakan lokasi jejas pada otak memegang peranan penting.
Penelitian melaporkan sebuah hasil yang signifikan tergantung pada lokasi
lesi otak dengan kejadian depresi pasca-stroke di lesi hemisfer kiri. Penelitian
tersebut juga menunjukkan adanya tingkat keparahan depresi dengan
jauhnya batas anterior lobus frontalis, walaupun demikian tidak semua lesi
pada hemisfer kiri menyebabkan depresi pasca-stroke.
Beberapa
mempunyai

penelitian
riwayat

melaporkan

gangguan

bahwa

psikiatrik

atau

pasien
adanya

dengan

depresi

keluarga

yang

menderita gangguan psikiatrik. Sebagai tambahan, hubungan depresi


dengan ketidakmampuan fungsi fisik. Hal ini tidak ditemukan pada semua
penelitian, sehingga keparahan ketidakmampuan dalam fungsi fisik tidak ada
hubungannya dengan keparahan depresi.
Depresi lebih sering terjadi pada pasien afasia non fluent dibanding yang
afasia fluent, walaupun secara sebab akibat tidak ada hubungan antara
depresi dengan afasia. Adanya hubungan antara afasia non fluent dengan
depresi pasca-stroke dapat dijelaskan dengan bukti adanya lesi otak yang
menyebabkan afasia non fluent juga mungkin menyebabkan depresi. Hal
berbeda disebutkan oleh kepustakaan lain bahwa pasien stroke dengan
afasia ringan menderita depresi lebih sering dibandingkan pasien stroke
dengan afasia global. Hal ini disebabkan pasien dengan afasia ringan
mempunyai kesadaran yang tinggi terhadap ketidakberdayaannya.
c. Diagnosis
Tidak mudah mendiagnosis depresi pada penderita pasca-stroke terutama
jika pasien tersebut mengalami afasia. Adanya ekspresi kesedihan akibat
kelemahan otot wajah, apatis yang disebabkan lesi pada hemisfer kanan
atau adanya aprosodi akan menyesatkan diagnosis pada stroke. Indikasi
yang dapat membantu diagnosis depresi pada stroke antara lain bila
didapatkan perubahan kepribadian atau mood, kehilangan berat badan
dalam waktu singkat, pola tidur yang kacau dan kemajuan minimal
rehabilitasi.
d. Penatalaksanaan
1) Psikofarmakoterapi
Penderita depresi pasca-stroke dapat diberikan antidepresi. Penderita
dianjurkan untuk mulai terapi dengan dosis kecil terlebih dahulu. Hal ini
dilakukan untuk meminimalkan efek samping. Perlu diingat penggunaan
subterapeutik tidak dianjurkan. Tidak ada satupun jenis antidepresan yang
khusus

untuk

pengobatan

depresi

pasca-stroke.

Kepustakaan

lain

mengatakan bahwa antidepresan trisiklik seperti amitriptilin berguna juga


untuk menghilangkan gejala pseudobulbar yaitu tertawa dan menangis
patologis yang dikaitkan dengan stroke. Penggunaan golongan trisklik yang
juga mempunyai efek antiaritmia menyebabkan obat antiaritmia lain dapat
dihentikan atau dikurangi dosisnya. Fluolestine merupakan SSRI dengan efek

antikolinergik ringan. Dikatakan fluolestine efektif untuk pasien depresi


pasca-stroke. Karena kurang menimbulkan kenaikan berat badan, obat-obat
ini dapat dipakai oleh pasien depresi yang gemuk atau ada riwayat
penambahan berat badan selama pemakaian trisiklik. 1 Perlu diperhatikan
obat yang diminum penderita sebelum terkena stroke seperti obat anti
hipertensi

misalnya

beta-blocker

atau

metildopa

karena

obat-obatan

tersebut dapat menimbulkan depresi.


Penderita stroke yang mengalami depresi harus diberikan antidepresan
agar tidak terjadi peningkatan mortalitas akibat stroke ataupun depresi
pasca-strokenya. Terjadi peningkatan mortalitas pada pasien stroke iskemik
yang mengalami depresi. Penggunaan antidepresan telah terbukti dapat
menurunkan angka mortalitas pasien depresi pasca-stroke.
Penelitian lain mengatakan adanya penemuan yang mengejutkan bahwa
pada pasien yang menerima pengobatan aktif dengan antidepresan terdapat
kecenderungan untuk selamat dari penyakitnya. Keuntungan pemakaian
antidepresan tetap siginifikan di atas keadaan lain yang menyertai keadaan
stroke seperti usia, tipe stroke, adanya penyerta diabetes melitus dan
kekerapan

gangguan

depresif.

Psikoterapi

dan

terapi

lainnya

seperti

fisioterapi dan terapi okupasi diberikan bersama-sama dengan terapi


medikamentosa untuk strokenya.
2) Psikoterapi
Psikoterapi individu, terapi keluarga, dan terapi kelompok dapat diberikan
kepada pasien stroke dengan emosi.
e. Prognosis
Terdapat beberapa penelitian tentang prognosis pasien depresi pascastroke. Penelitian di rumah sakit tidak menunjukkan prognosis yang baik,
tetapi menurut penelitian komunitas didapatkan perbaikan setelah 1 tahun.
Penelitian lain mengatakan penderita stroke dengan depresi selama 1 tahun
akan sulit mengalami perbaikan.
Peningkatan angka kematian pada penderita depresi pasca-stroke juga
berhubungan dengan ketidakpatuhan pasien dalam rangka pengobatan
untuk keadaan akibat strokenya. Pasien juga terkadang enggan dalam
meelakukan

upaya

promosi

kesehatan

untuk

mencegah

terjadinya

keberulangan stroke. Apalagi jika terdapat penyakit penyerta lain seperti

diabetes melitus, pasien biasanya mempunyai kepatuhan yang kurang untuk


menerapkan

dietnya

peningkatan

gula

dalam

darah

angka

menjadi

mengontrol
tidak

gula

terkontrol

darah
dan

sehingga
komplikasi

kardiovaskuler lebih mudah terjadi. Dengan demikian prognosis juga menjadi


kurang baik
XI. Rehabilitasi Stroke
a. Proses Pemulihan setelah Stroke
Proses pemulihan setelah stroke dibedakan atas pemulihan neurologis
(fungsi saraf otak) dan pemulihan fungsional (kemampuan melakukan
aktivitas fungsional). Pemulihan neurologis terjadi awal setelah stroke.
Mekanisme yang mendasari adalah pulihnya fungsi sel otak pada area
penumbra yang berada di sekitar area infark yang sesungguhnya, pulihnya
diaschisis dan atau terbukanya kembali sirkuit saraf yang sebelumnya
tertutup atau tidak digunakan lagi. Kemampuan fungsional pulih sejalan
dengan pemulihan neurologis yang terjadi.
Setelah lesi otak menetap, pemulihan fungsional masih dapat terus terjadi
sampai batas-batas tertentu terutama dalam 3-6 bulan pertama setelah
stroke. Hal itulah yang menjadi fokus utama rehabilitasi medis, yaitu untuk
mengembalikan kemandirian pasien mencapai kemampuan fungsional yang
optimal. Proses pemulihan fungsional terjadi berdasarkan pada proses
reorganisasi atau plastisitas otak melalui:
1). Proses Substitusi
Proses ini sangat tergantung pada stimuli eksternal yang diberikan melalui
terapi latihan menggunakan berbagai metode terapi. Pencapaian hasilnya
sangat tergantung pada intaknya jaringan kognitif, visual dan proprioseptif,
yang membantu terbentuknya proses belajar dan plastisitas otak.
2). Proses Kompensasi
Proses ini membantu menyeimbangkan keinginan aktivitas fungsional
pasien dan kemampuan fungsi pasien yang masih ada. Hasil dicapai melalui
latihan berulang-ulang untuk suatu fungsi tertentu, pemberian alat bantu
dan atau ortosis, perubahan perilaku, atau perubahan lingkungan. Pemilihan
jenis intervensi rehabilitasi didasarkan pada pertimbangan beratnya gejalasisa stroke, fase stroke saat terapi, penyakit penyerta dan atau komplikasi
medis, serta berbagai faktor terkait lainnya seperti usia pasien, motivasi,
serta dukungan dan ekonomi keluarga. Sebagai contoh pasien usia lanjut,

penderita PPOK yang mendapat stroke akibat oklusi total a.cerebri media
tentu tidak mungkin diberikan program rehabilitasi substitusi agar ia dapat
berjalan dan mandiri penuh dalam aktivitas sehari-harinya, rehabilitasi
kompensasi tentu lebih tepat untuknya.
b. Intervensi Rehabilitasi Medis pada Stroke
Secara umum rehabilitasi pada stroke dibedakan dalam beberapa fase.
Pembagian ini dalam rehabilitasi medis dipakai sebagai acuan untuk
menentukan tujuan (goal) dan jenis intervensi rehabilitasi yang akan
diberikan, yaitu:
1. Stroke fase akut: 2 minggu pertama pasca serangan stroke
2. Stroke fase subakut: antara 2 minggu-6 bulan pasca stroke
3. Stroke fase kronis: diatas 6 bulan pasca stroke
1) Rehabilitasi Stroke Fase Akut
Pada fase ini kondisi hemodinamik pasien belum stabil, umumnya dalam
perawatan di rumah sakit, bisa di ruang rawat biasa ataupun di unit stroke.
Dibandingkan dengan perawatan di ruang rawat biasa, pasien yang di rawat
di unit stroke memberikan outcome yang lebih baik. Pasien menjadi lebih
mandiri, lebih mudah kembali dalam kehidupan sosialnya di masyarakat dan
mempunyai kualitas hidup yang lebih baik.
2) Rehabilitasi Stroke Fase Subakut
Pada fase ini kondisi hemodinamik pasien umumnya sudah stabil dan
diperbolehkan kembali ke rumah, kecuali bagi pasien yang memerlukan
penanganan rehabilitasi yang intensif. Sebagian kecil (sekitar 10%) pasien
pulang dengan gejala sisa yang sangat ringan, dan sebagian kecil lainnya
(sekitar 10%) pasien pulang dengan gejala sisa yang sangat berat dan
memerlukan perawatan orang lain sepenuhnya. Namun sekitar 80% pasien
pulang dengan gejala sisa yang bervariasi beratnya dan sangat memerlukan
intervensi rehabilitasi agar dapat kembali mencapai kemandirian yang
optimal.
Rehabilitasi pasien stroke fase subakut dan kronis mungkin dapat
ditangani oleh pelayanan kesehatan primer. Rehabilitasi fase ini akan
dibahas lebih rinci terutama mengenai tatalaksana sederhana yang tidak
memerlukan peralatan canggih

Pada fase subakut pasien diharapkan mulai kembali untuk belajar


melakukan aktivitas dasar merawat diri dan berjalan. Dengan atau tanpa
rehabilitasi, sistim saraf otak akan melakukan reorganisasi setelah stroke.
Reorganisasi otak yang terbentuk tergantung sirkuit jaras otak yang paling
sering digunakan atau tidak digunakan. Melalui rehabilitasi, reorganisasi otak
yang terbentuk diarahkan agar mencapai kemampuan fungsional optimal
yang dapat dicapai oleh pasien, melalui sirkuit yang memungkinkan gerak
yang lebih terarah dengan menggunakan energi/tenaga se-efisien mungkin.
Hal tersebut dapat tercapai melalui terapi latihan yang terstruktur, dengan
pengulangan secara kontinyu serta mempertimbangkan kinesiologi dan
biomekanik gerak.
Prinsip-prinsip Rehabilitasi Stroke:
1. Bergerak merupakan obat yang paling mujarab. Bila anggota gerak sisi
yang terkena terlalu lemah untuk mampu bergerak sendiri, anjurkan
pasien untuk bergerak/beraktivitas menggunakan sisi yang sehat, namun
sedapat mungkin juga mengikutsertakan sisi yang sakit. Pasien dan
keluarga seringkali beranggapan salah, mengharapkan sirkuit baru di otak
akan terbentuk dengan sendirinya dan pasien secara otomatis bisa
bergerak kembali. Sebenarnya sirkuit hanya akan terbentuk bila ada
kebutuhan akan gerak tersebut. Bila ekstremitas yang sakit tidak pernah
digerakkan sama sekali, presentasinya di otak akan mengecil dan
terlupakan.
2. Terapi latihan gerak yang diberikan sebaiknya adalah gerak fungsional
daripada gerak tanpa ada tujuan tertentu. Gerak fungsional misalnya
gerakan meraih, memegang dan membawa gelas ke mulut. Gerak
fungsional mengikutsertakan dan mengaktifkan bagianbagian dari otak,
baik area lesi maupun area otak normal lainnya, menstimulasi sirkuit baru
yang dibutuhkan. Melatih gerak seperti menekuk dan meluruskan
(fleksiekstensi) siku lengan yang lemah menstimulasi area lesi saja.
Apabila akhirnya lengan tersebut bergerak, tidak begitu saja bisa
digunakan untuk gerak fungsional, namun tetap memerlukan terapi
latihan agar terbentuk sirkuit yang baru.
3. Sedapat mungkin bantu dan arahkan pasien untuk melakukan gerak
fungsional yang normal, jangan biarkan menggunakan gerak abnormal.
Gerak normal artinya sama dengan gerak pada sisi sehat. Bila sisi yang
terkena masih terlalu lemah, berikan bantuan tenaga secukupnya

dimana pasien masih menggunakan ototnya secara aktif. Bantuan yang


berlebihan membuat pasien tidak menggunakan otot yang akan dilatih
(otot bergerak pasif). Bantuan tenaga yang kurang menyebabkan pasien
mengerahkan tenaga secara berlebihan dan mengikutsertakan otot-otot
lain. Ini akan memperkuat gerakan ikutan ataupun pola sinergis yang
memang sudah ada dan seharusnya dihindari. Besarnya bantuan tenaga
yang diberikan harus disesuaikan dengan kemajuan pemulihan pasien.
4. Gerak fungsional dapat dilatih apabila stabilitas batang tubuh sudah
tercapai, yaitu dalam posisi duduk dan berdiri. Stabilitas duduk dibedakan
dalam stabilitas duduk statik dan dinamik. Stabilitas duduk statik tercapai
apabila

pasien

bersandar

telah

tanpa

mampu

mempertahankan

berpegangan

dalam

kurun

duduk

waktu

tegak

tertentu

tidak
tanpa

jatuh/miring ke salah satu sisi. Stabilitas duduk dinamik tercapai apabila


pasien dapat mempertahankan posisi duduk sementara batang tubuh
doyong ke arah depan, belakang, ke sisi kiri atau kanan dan atau dapat
bertahan tanpa jatuh/miring ke salah satu sisi sementara lengan meraih
ke atas, bawah, atau samping untuk suatu aktivitas. Latihan stabilitas
batang tubuh selanjutnya yaitu stabilitas berdiri statik dan dinamik. Hasil
latihan ini memungkinkan pasien mampu melakukan aktivitas dalam
posisi berdiri. Kemampuan fungsional optimal dicapai apabila pasien juga
mampu melakukan aktivitas sambil berjalan.
5. Persiapkan pasien dalam kondisi prima untuk melakukan terapi latihan.
Gerak fungsional yang dilatih akan memberikan hasil maksimal apabila
pasien siap secara fisik dan mental. Secara fisik harus diperhatikan
kelenturan otot-otot, lingkup gerak semua persendian tidak ada yang
terbatas, dan tidak ada nyeri pada pergerakan. Secara mental pasien
mempunyai motivasi dan pemahaman akan tujuan dan hasil yang akan
dicapai dengan terapi latihan tersebut. Kondisi medis juga menjadi salah
satu pertimbangan. Tekanan darah dan denyut nadi sebelum dan sesudah
latihan perlu dimonitor. Lama latihan tergantung pada stamina pasien.
Terapi

latihan

yang

sebaiknya

adalah

latihan

yang

tidak

sangat

melelahkan, durasi tidak terlalu lama (umumnya sekitar 45-60 menit)


namun dengan pengulangan sesering mungkin.
6. Hasil terapi latihan yang diharapkan akan optimal bila ditunjang oleh
kemampuan fungsi kognitif, persepsi dan semua modalitas sensoris yang
utuh. Rehabilitasi fisik dan rehabilitasi fungsi kognitif tidak dapat
dipisahpisahkan.

Mengembalikan

kemampuan

fisik

seseorang

harus

melalui kemampuan kognitif, karena rehabilitasi pada prinsipnya adalah


suatu proses belajar, yaitu belajar untuk mampu kembali melakukan suatu
aktivitas fungsional dengan segala keterbatasan yang ada.
Intervensi rehabilitasi pada stroke fase subakut ditujukan untuk:
1) Mencegah timbulnya komplikasi akibat tirah baring
2) Menyiapkan / mempertahankan kondisi yang memungkinkan pemulihan
fungsional yang paling optimal
3) Mengembalikan kemandirian dalam melakukan aktivitas sehari-hari
4) Mengembalikan kebugaran fisik dan mental
Terapi

Latihan

untuk

Kemandirian

dalam

Melakukan

Aktivitas

Sehari-hari
Mengembalikan

kemandirian

dalam

melakukan

aktivitas

sehari-hari

setelah stroke merupakan fokus utama rehabilitasi stroke fase subakut.


Terapi latihan dan remediasi yang diberikan merupakan paduan latihan
sederhana dan latihan spesifik menggunakan berbagai metode terapi dan
melibatkan berbagai disiplin ilmu. Menentukan jenis, metode pendekatan,
waktu

pemberian,

frekuensi

dan

intensitas

terapi

yang

tepat

harus

disesuaikan dengan kondisi medis pasien. Selain itu terapi latihan fungsional
baru efektif apabila terpenuhi beberapa kondisi yaitu:
1) Tidak ada nyeri, keterbatasan gerak sendi atau pemendekan otot.
Apabila ada, maka kondisi tersebut perlu diatasi terlebih dahulu.
2) Pasien memahami tujuan dan hasil yang akan dicapai melalui latihan
yang diberikan. Kesulitan pemahaman terjadi pada pasien afasia
sensorik

dan

gangguan

kognitif.

Pemberian

stimulasi

untuk

kemampuanpemahamanan bahasa dan persepsi pasien diintegrasikan


ke dalam terapi latihan.
Gangguan Komunikasi
Kemampuan

manusia

berkomunikasi

satu

sama

lain

melibatkan

bermacam-macam fungsi, yang utama adalah kemampuan berbahasa dan


berbicara. Gangguan fungsi bahasa disebut sebagai afasia sedangkan
gangguan fungsi bicara disebut disartria.
1. Afasia
Afasia didefinisikan sebagai gangguan untuk memformulasikan dan
menginterpretasikan simbol bahasa. Afasia terjadi sebagai akibat adanya lesi

pada mekanisme bahasa di sistem saraf pusat, umumnya di hemisfer


dominan. Kemampuan berbahasa seseorang dibedakan antara lain:
a)
b)
c)
d)
e)
f)

kemampuan mengekspresikan bahasa verbal (bicara spontan)


kemampuan memahami bahasa verbal (pemahaman auditori)
kemampuan mengekspresikan bahasa melalui tulisan (bahasa simbol)
kemampuan memahami bahasa tulisan/membaca (pemahamanan visual)
menamakan
meniru
Stroke dapat mengakibatkan gangguan pada salah satu beberapa atau

bahkan semua kemampuan berbahaya (afasia global). Secara umum afasia


dibedakan menjadi afasia motorik, afasia sensorik, afasia transkortikal
sensorik, afasia transkortikal motorik, afasia anomik dan afasia global.
Kemampuan

pemahaman

bahasa

menjadi

indikator

penting

untuk

kemandirian aktivitas fungsional, artinya semakin berat gangguan afasia


sensorik yang diderita, semakin sulit tercapai kemandirian dalam aktivitas
sehari-hari.
Pasien afasia harus diajak berbicara dengan suara biasa afasia bukan
gangguan pendengaran, jadi tidak perlu berteriak keras). Selain itu, jangan
terlalu cepat dan dengan kalimat pendek yang mengandung satu informasi
saja dalam setiap kalimat. Akan lebih bermanfaat apabila stimulasi auditori
(bahasa verbal) yang diberikan secara simultan dengan stimulasi visual
(bahasa tulisan atau gambar-gambar). Pasien afasia jangan diajarkan
mengeja huruf, karena akan membuat pasien frustasi. Mengeja merupakan
fungsi

hemisfer

kiri

yang

justru

terganggu.

Stimulasi

melalui

lagu,

menyanyikan dan menyuarakan syair lagu yang sudah pasien kenal sebelum
sakit akan lebih bermanfaat.
2. Disartria
Disartria didefinisikan sebagai gangguan dalam mengekspresikan bahasa
verbal, akibat kelemahan, spastisitas dan atau gangguan koordinasi pada
organ bicara dan artikulasi. Parameter bicara yang terkena pada disatria
antara

lain

respirasi,

fonasi/suara,

artikulasi,

resonansi

dan

prosodi.

Tergantung letak lesi disatria dibedakan atas disatria flaksid, spastik, ataksik,
hipokinetik

dan

hiperkinetik.

Terapi

latihan

diberikan

sesuai

dengan

penyebab disatria, antara lain untuk memperbaiki kontrol pernapasan,


meningkatkan kelenturan dan penguatan organ bicara dan artikulasi
termasuk otot wajah, otot leher dan otot pernapasan.
Gangguan Fungsi Luhur

Fungsi kortikal luhur merupakan fungsi yang paling luhur pada manusia,
yang membedakan manusia dengan mahkluk Tuhan lainnya. Kerja fungsi ini
melibatkan jaringan yang rumit dan kompleks serta sulit untuk dipisahkan
karena saling terkait satu sama lain. Untuk memudahkan pemahaman, fungsi
kortikal luhur dibedakan menjadi fungsi berbahasa, fungsi memori, fungsi
visuospasial, fungsi emosi dan fungsi kognisi.
Fungsi kognisi seseorang memerlukan intaknya fungsi kortikal luhur yang
lain. Fungsi kognisi antara lain kemampuan atensi, konsentrasi, registrasi,
kategorial, kalkulasi, persepsi, proses pikir, perencanaan, tahapan serta
pelaksanaan aktivitas/tugas, pertimbangan baik buruk, bahaya tidak bahaya,
pemecahan masalah dan lain sebagainya. Pasien stroke disertai gangguan
fungsi

luhur

memerlukan

rehabilitasi

spesifik.

Rehabilitasi

untuk

mengembalikan kemampuan fungsional (karena ada gangguan fungsi


kognisi) tersebut lebih sulit dan memerlukan waktu lebih lama. Salah satu
yang perlu mendapat perhatian adalah hemi-neglect.
Pasien dengan gangguan hemi-neglect umumnya mempunyai lesi di
hemisfer kanan dan mengabaikan semua yang berada di sisi kirinya. Pasien
tersebut seringkali berjalan menabrak pintu yang ada di sebelah kiri, jatuh
tersandung benda yang berada di sisi kiri, atau tidak menyadari ada
makanan atau minuman yang diletakkan di sisi kirinya. Gangguan hemineglect paling parah adalah ia tidak mengenali tangan kirinya sebagai
bagian dari tubuhnya.Gangguan ini tidak sama dengan hemianopsia, dimana
lapang pandang pasien menjadi terbatas.
Gangguan Menelan
Gangguan menelan disebut sebagai disfagia. Insiden gangguan menelan
akibat stroke cukup banyak berkisar antara 30-65%.2,11,12 Sekitar 30%
akan pulih dalam 2 minggu, sisanya akan pulih dalam bulan-bulan
berikutnya. Disfagia merupakan gejala klinis penting karena menempatkan
pasien pada risiko aspirasi dan pneumonia, selain dehidrasi dan malnutrisi.
Suara pasien yang serak basah perlu dicurigai adanya gangguan menelan.
Apabila ternyata pasien tidak dapat menelan atau suara menjadi basah,
maka makan dan minum per oral harus dihentikan. Pasien memerlukan
pemeriksaan fungsi menelan lebih lanjut dengan VFSS (video fluorosgraphic
swallow study) atau FEES (fiberoptic endoscopic evaluation of swallowing).

Gangguan Fungsi Miksi dan Defekasi


Gangguan miksi yang terjadi pada stroke umumnya adalah uninhibited
bladder yang menimbulkan inkontinensia urin. Walaupun pasien kelihatannya
mampu miksi, namun harus tetap dievaluasi apakah urin keluar tuntas,
artinya residu sisa dalam kandung kemih setelah miksi kurang dari 50-80 ml.
Sisa urin yang terlalu banyak akan menyebabkan timbulnya infeksi kandung
kemih.
Pasien inkontinensia karena uninhibited bladder dapat diatasi dengan
manajemen waktu berkemih. Catat waktu serta jumlah minum dan urine
pada voiding diary selama minimal 3 hari berturut-turut. Berdasarkan voiding
diary tersebut dapat ditentukan kapan pasien setiap kali harus berkemih
dengan pengaturan minum yang sesuai. Apabila frekuensi miksi terlalu
sering, obat seperti antikolinergik dapat membantu, namun hati-hati dengan
risiko timbulnya retensio urin.
Gangguan defekasi pada stroke fase subakut pada umumnya adalah
konstipasi akibat immobilisasi. Perlu diingat bahwa diare yang timbul
kemudian selain gastroenteritis juga bisa disebabkan oleh adanya skibala,
terutama bila didahului oleh obstipasi lama sebelumnya. Sarankan pasien
untuk banyak bergerak aktif, berikan cukup cairan (sekitar 40 ml/kg BB
ditambah 500 ml air/cairan bila tidak ada kontraindikasi), serta makan
makanan berserat tinggi. Bila perlu obat laksatif dapat diberikan.
Gangguan Berjalan
Ambulasi jalan merupakan suatu aktivitas komplex yang memerlukan
tidak hanya kekuatan otot ekstremitas bawah saja, tetapi juga kemampuan
kognitif, persepsi, keseimbangan dan koordinasi. Terapi latihan menuju
ambulasi

jalan

perlu

diberikan

bertahap,

dimulai

dari

kemampuan

mempertahankan posisi duduk statik dan dinamik, keseimbangan berdiri


statik dan dinamik kemudian latihan berjalan.
Dalam latihan berdiri perlu selalu diperhatikan bahwa panggul harus pada
posisi ekstensi 00, lutut mengunci pada posisi ekstensi 00 sedangkan
pergelangan kaki dalam posisi netral 900 . Pastikan berat badan tertumpu
juga pada tungkai sisi yang sakit. Paralel bar yaitu palang dari besi, kayu
atau bambu yang dipasang sejajar merupakan tempat latihan jalan yang
paling baik. Letakan kaca setinggi tubuh di depan paralel bar agar pasien
dapat melihat sendiri postur berdiri serta jalannya dan melakukan koreksi

secara aktif. Apabila jalan sudah cukup stabil di dalam paralel bar, maka
latihan jalan dapat dilanjutkan dengan memakai tripod, yaitu tongkat yang
ujung bawahnya bercabang tiga. Untuk memperbaiki stabilitas jalan, tidak
jarang diperlukan perespon splint kaki (dynamic foot orthosis) atau sepatu
khusus.
Gangguan Melakukan Aktivitas Sehari-hari
Pasien yang telah kembali ke rumah seharusnya di motivasi untuk
mengerjakan semampunya aktivitas perawatan dirinya sendiri. Apabila sisi
kanan yang terkena, pasien dapat diajarkan untuk menggunakan tangan
kirinya untuk semua aktivitas. Pastikan juga tangan yang sakit diikutsertakan
dalam semua kegiatan. Semakin cepat dibiarkan melakukannya sendiri,
semakin cepat pula pasien menjadi mandiri. Hanya aktivitas yang dapat
menimbulkan risiko jatuh atau membahayakan pasien sendiri yang perlu
ditolong oleh keluarga.
Mengembalikan Kebugaran Fisik dan Mental
Pasien stroke seringkali mengeluh cepat lelah. Ia selalu berupaya untuk
sedikit

bergerak

dan

lebih

banyak

istirahat.

Keluarga

seringkali

membenarkan perilaku seperti itu, menganggap biasa karena pasien baru


pulang rawat dan mengharapkan kondisi seperti ini akan bertambah baik.
Kenyataannya pasien akan semakin cepat lelah bahkan untuk aktivitas yang
kecil sekalipun, seperti misalnya duduk beberapa menit di kursi roda. Hal
tersebut

disebabkan

oleh

endurans

pasien

menjadi

rendah

karena

immobilisasi lama. Selain itu, adanya kelemahan otot menyebabkan tenaga


yang diperlukan untuk bergerak lebih besar dari biasanya. Kedua kondisi
tersebut menyebabkan pasien menjadi cepat lelah.
Terapi yang terbaik adalah biasakan pasien sejak awal aktif semampunya.
Pasien jangan dibiarkan istirahat berkepanjangan. Pasien dianjurkan agar
sering duduk, bukan duduk di tempat tidur melainkan duduk di kursi di luar
kamar tidur. Waktu aktif dan istirahat dijadwalkan secara proporsional sesuai
dengan kondisi pasien. Pasien dimotivasi untuk selalu makan di kamar
makan bersama keluarga dan dibiarkan untuk mengambil makananan
pilihannya sendiri. Pasien selalu dilibatkan dalam aktivitas keluarga bahkan
bagi pasien dengan afasia.

Pasien diajak berlatih yang bertargetkan hasil misalnya melempar bola


masuk ke keranjang, bowling kecil, main catur atau halma. Kegiatan tersebut
awalnya mungkin hanya sebentar, namun bila dilakukan sesering mungkin
akan memperbaiki/ meningkatkan endurans pasien. Latihan endurans
dengan beban ringan selanjutnya dapat dimulai misalnya dengan latihan
mengayuh sepeda statik atau menggunakan theraband atau karet ban dalam
bekas.
Suasana hati yang murung juga membuat pasien merasa cepat lelah dan
bosan. Berikan sedikit demi sedikit peran dan tanggung jawab serta
ungkapkan selalu bahwa peran serta pasien sangat dibutuhkan oleh
keluarga. Dengan demikian pasien akan merasa dirinya masih berharga dan
berguna bagi orang lain.
3) Rehabilitasi Stroke Fase Kronis
Program latihan untuk stroke fase kronis tidak banyak berbeda dengan
fase sebelumnya. Hanya dalam fase ini sirkuit-sirkuit gerak/aktivitas sudah
terbentuk, membuat pembentukan sirkuit baru menjadi lebih sulit dan
lambat. Hasil latihan masih tetap dapat berkembang bila ditujukan untuk
memperlancar sirkuit yang telah terbentuk sebelumnya, membuat gerakan
semakin baik dan penggunaan tenaga semakin efisien. Latihan endurans dan
penguatan otot secara bertahap terus ditingkatkan, sampai pasien dapat
mencapai aktivitas aktif yang optimal.
Tergantung pada beratnya stroke, hasil luaran rehabilitasi dapat mencapai
berbagai tingkat seperti
(a) Mandiri penuh dan kembali ke tempat kerja seperti sebelum sakit,
(b) Mandiri penuh dan bekerja namun alih pekerjaan yang lebih ringan
sesuai kondisi,
(c) Mandiri penuh namun tidak bekerja,
(d) Aktivitas sehari-hari perlu bantuan minimal dari orang lain atau
(e) Aktivitas sehari-hari sebagian besar atau sepenuhnya dibantu orang
lain.

DAFTAR PUSTAKA
1.

Mansjoer, Arief et al. 2000. Strok dalam Kapita Selekta Kedokteran. Media
Aesculapius FKUI, Jakarta. Hal 17-20

2. Sidharta P, Mardjono M. 2004. Mekanisme gangguan vaskular susunan


saraf dalam Neurologi klinis dasar. Dian Rakyat. Surabaya. Hal 269-293
3. Gubitz G, Sandercock P. Extracts from clinical evidence.Acute ischemic
stroke. BMJ 2000; 320: 692-6
4. Guyton, A et al. 1997. Aliran darah serebral, aliran serebrospinal dan
metabolisme otak dalam Fisiologi Kedokteran edisi 9 editor Setiawan I.
EGC, Jakarta. Hal 175-184
5. Pines A, Bornstein NM, Shapira I. Menopause and sichaemic stroke: basic,
clinical

and

epidemiological

consederations.

The

role

replacement. Human reproduction update 2002; 8 (2): 161-8

of

hormone

6. Aliah A, Kuswara F F, Limoa A, Wuysang G. 2005. Gambaran umum


tentang gangguan peredaran darah otak dalam Kapita selekta neurology
edisi kedua editor Harsono. Gadjah Mada university press, Yogyakarta. Hal
81-102
7. Corwin EJ 2000. Stroke dalam buku saku patofisiologi editor Endah P. EGC,
Jakarta. Hal 181-182
8. Chandra, B. 1994. Stroke dalam nurology Klinik Edisi Revisi. Lab/bagian
Ilmu Penyakit Saraf FK. UNAIR/RSUD Dr. Soetomo, Surabaya. Hal 28-51
9. Widjaja, L 1993. Stroke patofisiologi dan penatalaksanaan. Lab/bagian
Ilmu Penyakit Saraf FK. UNAIR/RSUD Dr. Soetomo, Surabaya.Hal 1-48
10.Gubitz G, Sandercock P. Regular review: prevention of ischemic stroke. BMJ
2000; 321:1455-9
11.Gonzales RG. Imaging-guided acute ischemic stroke theraphy: from time is
brain to physiology is brain. AJNR Am J Neuroradiol 2006; 27: 728-35
12.Caplan LR, Gorelick PB, Hier DB. Race, sex and occlusive cerebrovascular
disease: a review. Stroke 1986; 17: 648-655
13.Azis AL, Widjaja D, Saharso D dan kawan-kawan 1994. Gangguan
pembuluh darah otak dalam pedoman diagnosis dan terapi LAB/ UPF Ilmu
Penyakit Saraf. Lab/bagian Ilmu Penyakit Saraf FK. UNAIR/RSUD Dr.
Soetomo, Surabaya. Hal 33-35
14.Prince, A. Sylvia and Wilson, Lorraine. 1995. Penyakit serebrovaskular
dalam patofisiologi edisi 6 editor Hartanto H et al. EGC, Jakarta. Hal 11051130
15.Heiss WD, Thiel A, Grond M, Graf R. Which targets are relevant for therapy
of acute ischemic stroke. Stroke 1999; 30: 1486-9
16.Barnett HJM, Eliasziw M, Meldrum HE. Evidence based cardiology:
prevention of ischaemic stroke. BMJ 1999; 318: 1539-43

Anda mungkin juga menyukai