Anda di halaman 1dari 29

1.

1 Modul Bimbingan/Panduan Belajar bagi Calon Peserta Program Pendidikan Dokter


Spesialis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi DAFTAR ISI Sejarah Kedokteran Fisik
dan Rehabilitasi Batasan dan Ruang Lingkup dan Rehabilitasi Filosofi Kedokteran
Fisik dan Rehabilitasi Penegakan Diagnosis dalam Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi
Penatalaksanaan dan Intervensi dalam Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Sejarah
Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Sejarah Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi di dunia
Layanan terapi fisik dan rehabilitasi secara formal dimulai tahun 1899 di Inggris dan
tahun 1921 di Amerika Serikat. 1,2 Di Amerika Serikat, para spesialis ortopedi
merupakan kelompok dokter pertama yang mengenali kebutuhan baru dalam
penatalaksanaan kondisi kecacatan, mulai dari fraktur dan dislokasi sampai artritis
dan paralisis. Banyaknya jumlah tentara muda yang cacat setelah Perang Dunia I
langsung meningkatkan perhatian karena masalah medis dan sosial akibat disabilitas
fisik. Dr. Howard A. Rusk menunjukkan bahwa program rehabilitasi lebih penting
untuk memulihkan tentara mencapai kebugaran agar dapat kembali bertugas daripada
upaya
2. 2 penyembuhan saja. Setelah PD I, para ahli ortopedi dari Amerika Serikat
mengevaluasi pekerjaan mereka semasa perang yang meliputi rehabilitasi dan
tindakan bedah. Mereka ingin berperan lebih jauh daripada sekedar tindakan bedah
dan terlibat dalam kesehatan secara umum, penyuluhan dan rehabilitasi vokasional.
Pada tahun 1937, dokter terapi fisik diakui sebagai sebuah spesialisasi kedokteran
yang baru. Di Fakultas Kedokteran, bagian ini disebut dengan Department of Physical
Medicine.Tahun1938,istilah fisiatri dicetuskan oleh Dr.Frank H.Krusen. Untuk
membedakan mereka dari teknisi yang disebut terapis fisis, profesi baru ini disebut
fisiatris (physiatrists). Istilah fisiatri baru diterima oleh AMA di tahun Fisiatri atau
Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi (KFR) diterima secara formal sebagai suatu
spesialisasi kedokteran pada tahun 1947 dengan didirikannya the American Board of
Physical Medicine and Rehabilitation (ABPMR). Sekarang KFR telah diterima
sebagai bagian penting dan integral dalam penatalaksanaan penyakit kronik dan
disabilitas. Spesialisiasi KFR, sesuai namanya merupakan gabungan antara ilmu
kedokteran fisik dan ilmu rehabilitasi. Kedokteran Fisik adalah penggunaan modalitas
fisik seperti cahaya, panas, dingin, air, listrik, pijat, manipulasi, latihan dan alat-alat
mekanik untuk tujuan diagnostik dan terapeutik seperti terapifisis, terapi okupasional,
dan rehabilitasi fisis. Rehabilitasi merupakan penerapan ilmu kedokteran fisik dan
teknik untuk membantu pasien mencapai fungsi maksimal dan penyesuaian diri secara
fisis, mental, sosial dan vokasional untuk mencapai kehidupan yang lengkap sesuai
dengan kemampuan dan disabilitasnya. Sejarah Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi di
Indonesia Layanan Kedokteran Rehabilitasi di Indonesia dikenal sejak tahun 1947,
saat Prof. Dr. R. Soeharso mendirikan Pusat Rehabilitasi untuk penyandang disabilitas
yang merupakan korban perang kemerdekaan. Oleh karena tuntutan kebutuhan yang
meningkat, maka pada tahun 1973, Menteri Kesehatan mendirikan layanan
rehabilitasi di RS Dr. Kariadi Semarang sebagai pilot project yang disebut Preventive
Rehabilitation Unit (PRU). Keberadaan PRU menunjukkan keberhasilan dalam
peningkatan layanan kesehatan, mempersingkat masa perawatan di RS, dan
mengurangi beban kerja Pusat Rehabilitasi di Surakarta.
3. 3 Pada masa PELITA II, diterbitkan Surat Keputusan (SK) Menteri Kesehatan No.
134/Yan.Kes/SK/IV/1978 yang menyatakan bahwa semua rumah sakit kelas A, B, dan
C harus mengembangkan PRU. Istilah PRU kemudian berubah menjadi Unit
Rehabilitasi Medik (URM). Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pemerintah dalam
hal ini Menteri Kesehatan menaruh perhatian untuk memajukan layanan Kedokteran
Rehabilitasi. Sejalan dengan itu, maka dipikirkan perlunya seorang Dokter dengan
kemampuan Spesialisasi Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi untuk memimpin Unit
Rehabilitasi Medik (URM). Dalam rangka meningkatkan layanan Kedokteran
Rehabilitasi, Menteri Kesehatan mulai mengirim dokter umum dari Indonesia untuk
mengikuti pendidikan menjadi dokter spesialis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi di
Department of Physical Medicine and Rehabilitation, Universitas Santo Tomas di
Manila, Filipina. Ada sebelas orang dokter Indonesia yang berhasil menjadi spesialis
KFR dari Universitas tersebut. Beberapa dokter juga telah dikirim untuk mengikuti
pendidikan di Praha dan di Belanda. Setelah kembali dari pendidikan, para dokter
yang dikenal dengan Dokter Spesialis Rehabilitasi Medik dengan dukungan beberapa
Spesialis yang lain sepakat untuk membentuk Ikatan Dokter Ahli Rehabilitasi Medik
Indonesia (IDARI) pada tahun 1982,kemudian memperjuangkan eksistensi adanya
Dokter Spesialis Rehabilitasi Medik serta pendidikan keahliannya di Indonesia yang
diakui melalui Surat Keputusan Dirjen DIKTI, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 16/DIKTI/Kep/1987.Ditunjuk tiga pusat
pendidikan, yaitu: Universitas Indonesia, Universitas Airlangga, Universitas
Diponegoro. Kemudian mendapat pengakuan oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pada
tahun Nama IDARI mengalami perubahan menjadi Perhimpunan Dokter Spesialis
Rehabilitasi Medik Indonesia (PERDOSRI). Sejak Kongres Nasional IV diadakan
pada tahun 1998 di Jakarta, Ketua PERDOSRI terpilih (alm) Dr. Thamrinsyam,
SpRM membentuk Kolegium Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi sesuai instruksi dari
IDI dengan tugas mengawal atau mengampu Pendidikan Dokter Spesialis Rehabilitasi
Medik. Mulai bulan Juli 2009, berdasarkan Surat No. 006/Kol.IKFRI/12/V/2009 gelar
lulusan berubah menjadi Dokter Spesialis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi
(SpKFR). Sesuai dengan hasil Muktamar IDI XXVIII tahun 2009 di Palembang
perubahan gelar disetujui oleh IDI yang tertuang dalam Surat Nomor
1177/PB/B/09/2010 tanggal 2 September 2010 tentang Perubahan Gelar SpRM
menjadi SpKFR.
4. 4 DAFTAR PUSTAKA 1. Paris SV. A history of manipulative therapy through the
ages and up to the current controversy in the United States. J Man Manipulative Ther
2000;8: Chikly BJ. Manual techniques addressing the lymphatic system: origins and
development. J Am Osteopath Assoc 2005;105: Wahyuni LK, Tulaar ABM.
PERDOSRI. White Book Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi. PERDOSRI, Jakarta
2012
5. 5 Batasan dan Ruang Lingkup Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Batasan ilmu
kedokteran fisik dan rehabilitasi Definisi KFR telah berkembang sejak istilah fisiatri
diperkenalkan Dr.Frank H. Krusen. Menurut beliau, kedokteran fisik adalah
penggunaan modalitas fisik dan modalitas lain yang efektif untuk kepentingan
diagnosis dan terapeutik, yaitu cahaya, panas, dingin, air, listrik, pijat, manipulasi,
olahraga dan alat-alat mekanis. 1 Menurut the American Board of Physical Medicine
and Rehabilitation, definisi Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi (KFR)atau Fisiatri
adalah spesialisasi kedokteran yang berkenaan dengan diagnosis, evaluasi, dan
penatalaksanaan pasien yang mengalami disfungsi dan disabilitas fisik dan/atau
kognitif. 2 Spesialisasi ini meliputi diagnosis dan pengobatan pasien dengan nyeri
atau kondisi yang membatasi fungsi, penatalaksanaan ko-morbiditas dan disfungsi
lainnya, prosedur injeksi diagnostik dan terapeutik, elektrodiagnosis, serta
pencegahan komplikasi disabilitas dari kondisi sekunder. KFR adalah spesialisasi
kedokteran yang bekerja dalam ruang lingkup pencegahan, terapi dan rehabilitasi. 3
Fokus utamanya adalah perbaikan fungsi pada orang-orang yang memiliki
keterbatasan fungsi karena: Bertambahnya usia; Dapat bertahan hidup setelah
mengalami penyakit berat seperti cerebral palsy, stroke, cedera sumsum tulang
belakang, trauma multipel, dsb. Menyandang penyakit kronik dan masih aktif bekerja.
Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi adalah spesialisasi kedokteran yang mempelajari
Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi menerapkan pelayanan rehabilitasi
komprehensif berdasarkan pengkajian fungsi untuk menegakkan diagnosis fungsional
dan menetapkan terapi berupa intervensi biomedis dan teknis secara teradu yang
bertujuan mengoptimalkan fungsi individu yang mengalami atau akan mengalami
disabilitas.
6. 6 Batasan rehabilitasi Rehabilitasi adalah penggunaan berbagai upaya untuk
mengurangi dampak kondisi disabilitas serta ketunaan dan memampukan kelompok
dengan kebutuhan khusus untuk mencapai integrasi sosial yang optimal. Rehabilitasi
orang dengan disabilitas merupakan proses yang bertujuan memampukan mereka
mencapai dan memelihara tingkat fungsional fisik, sensoris,intelektual, psikologis dan
sosial. 4 Definisi ini sangat luas karena mencakup rehabilitasi klinis dan partisipasi
sosial yang memerlukan perpaduan antara lingkungan sosial dan kelompok disabilitas,
sehingga menghilangkan hambatan sosial dan vokasional dalam berpartisipasi.
Rehabilitasi Medik : layanan medis yang bertujuan mengembangkan kemampuan
fungsional dan psikologis seorang individu dan mekanisme kompensasinya sehingga
ia dapat mencapai kemandirian dan menjalani hidup secara aktif. 5 Rehabilitasi
Sosial: usaha penyantunan rehabilitasi cacat kembali ke masyarakat sebagai manusia
yang produktif dan berguna. Rehabilitasi Vokasional: usaha pemulihan penderita cacat
untuk dapat bekerja dan berguna secara produktif dan remuneratif. Rehabilitasi
Pendidikan:proses pendahuluan ke arah resosialisasi dengan memberikan bantuan
khusus sedemikian rupa sehingga mencapai perkembangan potensi seoptimal
mungkin. Batasan Hukum: 6,7 Rehabilitasi adalah proses refungsionalisasi dan
pengembangan untuk memungkinkan penyandang cacat mampu melaksanakan fungsi
sosialnya secara wajar dalam kehidupan masyarakat. Rehabilitasi meliputi rehabilitasi
medik, pendidikan, pelatihan, dan sosial. Rehabilitasi medik adalah kegiatan
pelayanan kesehatan secara utuh dan terpadu melalui tindakan medik agar dapat
mencapai kemampuan fungsional semaksimal mungkin.
7. 7 Rehabilitasi pendidikan adalah kegiatan pelayanan pendidikan secara utuh dan
terpadu melalui proses belajar mengajar agar dapat mengikuti pendidikan secara
optimal sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya. Rehabilitasi pelatihan
adalah kegiatan pelayanan pelatihan secara utuh dan terpadu agar penyandang cacat
dapat memiliki keterampilan kerja sesuai bakat dan kemampuan. Rehabilitasi sosial
adalah kegiatan pelayanan sosial secara utuh dan terpadu melalui pendekatan fisik,
mental, dan sosial agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara optimal dalam
hidup bermasyarakat. Batasan tim pelayanan rehabilitasi medik Dalam rehabilitasi
medik terdapat berbagai komponen layanan yang terkait. Layanan Rehabilitasi Medik
(batasan PB PERDOSRI):adalah layanan kesehatan yang diselenggarakan di sarana
kesehatan dan meliputi upaya pelayanan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif,
yang mencakup kegiatan layanan kesehatan secara utuh dan terpadu melalui
pendekatan medis, psikososial, edukasional dan vokasional untuk mencapai
kemampuan fungsional seoptimal mungkin. Pelayanan Rehabilitasi medik
dilaksanakan oleh tenaga medis dan tenaga kesehatan yang memiliki kualifikasi
dalam bidang rehabilitasi medik, antara lain dokter/dokter spesialis, fisioterapis,
terapis wicara, terapis okupasi,ortotis-prostetis, perawat, pekerja sosial medis dan
psikolog. Layanan Fisioterapi (batasan Ikatan Fisioterapis Indonesia): adalah bentuk
layanan kesehatan yang ditujukan kepada individu dan/atau kelompok untuk
mengembangkan, memelihara dan memulihkan gerak dan fungsi tubuh sepanjang
daur kehidupan dengan menggunakan penanganan secara manual, peningkatan
gerak,peralatan (fisik, elektroterapeutis dan mekanis), pelatihan fungsi dan
komunikasi. Layanan Terapi Wicara(batasan Ikatan Ahli Terapi Wicara Indonesia):
adalah bentuk layanan kesehatan yang ditujukan kepada individu dan/atau kelompok
untuk memulihkan dan mengupayakan kompensasi/ adaptasi fungsi komunikasi,
bicara dan menelan dengan melalui pelatihan remediasi, stimulasi dan fasilitasi (fisik,
elektroterapeutis dan mekanis).
8. 8 Layanan Terapi Okupasi(batasan Ikatan Okupasi Terapi Indonesia): adalah bentuk
Layanan kesehatan yang ditujukan kepada individu dan/atau kelompok untuk
mengembangkan, memelihara, memulihkan fungsi dan/atau mengupayakan
kompensasi/ adaptasi untuk aktivitas sehari-hari, produktivitas dan waktu luang
melalui pelatihan remediasi, stimulasi dan fasilitasi. Layanan Ortotis-Prostetis(batasan
Ikatan Ortotik-Prostetik Indonesia): adalah salah satu bentuk Layanan keteknisian
medik yang ditujukan kepada individu untuk merancang, membuat dan memasang
alat bantu guna pemeliharaan dan pemulihan fungsi atau pengganti anggota gerak.
Layanan Psikologis Layanan Sosial Medis Layanan Rohaniawan Batasan hendaya,
disabilitas dan kecacatan Batasan istilah hendaya, disabilitas, dan kecacatan dibuat
pertama kali tahun 1980 oleh World Health Organisation (WHO) dan diterjemahkan
sebagai berikut: 11,8 Hendaya (impairment): kehilangan atau ketidaknormalan
kondisi psikologis, fisiologis atau struktur anatomi atau fungsi. Disabilitas(disability):
segala keterbatasan atau kekurangan kemampuan untuk melakukan aktivitas dalam
lingkup wajar bagi manusia yang diakibatkan oleh hendaya.
Kecacatan(handicap):hambatan dalam individu yang diakibatkan oleh hendaya dan
disabilitas, yang membatasi atau pemenuhan peran wajar seseorang sesuai dengan
faktor umur, seks, sosial dan budaya. Batasan baru diberikan oleh WHO tahun 1997,
sebagai berikut: 9 Hendaya (impairment):kehilangan atau abnormalitas struktur tubuh
atau fungsi fisiologis atau psikologis (maknanya sama dengan batasan tahun 1980);
9. 9 Hendaya menggambarkan masalah pada tingkat jaringan dan organ, sedangkan
disabilitas mencerminkan masalah pada tingkat manusia dan kecacatan mewakili
masalah di tingkat lingkungan dan masyarakat (Gambar 1). 10 Batasan aktifitas dan
partisipasi Berdasarkan WHO tahun 1997,batasan aktivitas dan partisipasi adalah
sebagai berikut: 9 Aktivitas (activity): sifat dan rentang fungsi pada tingkat individu;
Partisipasi(participation): sifat dan sejauh mana keterlibatan seseorang dalam hidup
sehubungan dengan hendaya, aktivitas, kondisi kesehatan dan faktor-faktor
kontekstual. Batasan difabel Difabel adalah orang yang memiliki keterbatasan
fungsional. 11
10. 10 Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau
mental, yang dapat menganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya
untuk melakukan kegiatan secara selayaknya, yang terdiri dari: 6,7 Penyandang cacat
fisik; Penyandang cacat mental; Penyandang cacat fisik dan mental Cacat fisik adalah
kecacatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi tubuh, antara lain gerak tubuh,
penglihatan, pendengaran, dan kemampuan bicara. Cacat mental adalah kelainan
mental dan/atau tingkah laku, baik cacat bawaan maupun akibat dari penyakit; Cacat
fisik dan mental adalah keadaan seseorang yang menyandang dua jenis kecacatan
sekaligus. Ruang Lingkup berdasarkan Terminologi ICF Pada tahun 2001,WHO
mengeluarkan klasifikasi yang merupakan model komprehensif bagi fungsi dan
disabilitas. Klasifikasi ini disebut International Classification of Functioning,
Disability and Health (ICF). 12,13 Model ICF memandang manusia dari berbagai
dimensi fungsional dan faktor-faktor lain di tempat manusia tersebut berada (faktor
kontekstual). Batasan dan istilah yang dipakai dalam ICF tercantum dalam Tabel 1.
11. 11 Tabel 1 Batasan dan istilah dalam ICF
12. 12 Kondisi kesehatan merupakan istilah payung yang menaungi berbagai istilah
penyakit, kelainan, kecederaan dan juga kondisi lain seperti penuaan, stress, anomali
kongenital, atau predisposisi genetik. Istilah ini juga mencakup informasi tentang
patogenesis dan/atau etiologi. 14 Fungsi tubuh adalah fungsi fisiologis sistem tubuh,
termasuk fungsi mental, kognitif dan psikologis. Struktur tubuh adalah bagian-bagian
anatomis tubuh seperti organ, anggota gerak dan komponen lain. Kelainan fungsi dan
struktur disebut sebagai hendaya, yaitu deviasi bermakna atau kehilangan struktur
(misalnya deformitas sendi) dan/atau fungsi (misalnya keterbatasan rentang gerak,
kelemahan otot, nyeri dan kelelahan).14 Aktivitas adalah pelaksanaan tugas atau aksi
oleh seorang manusia dan mencerminkan perspektif individual atas fungsi. Kesulitan
pada tingkat aktivitas disebut sebagai keterbatasan aktivitas (misalnya keterbatasan
mobilitas seperti berjalan, naik tangga, memegang atau membawa benda). Partisipasi
merupakan keterlibatan individu dalam situasi nyata dan mencerminkan perspektif
sosial atas fungsi. Masalah yang dapat dialami seseorang dalam situasi nyata disebut
dengan hambatan partisipasi (misalnya hambatan dalam hidup bermasyarakat,
rekreasi dan hiburan). 14
13. 13 Faktor-faktor lingkungan mencerminkan latar belakang seseorang dalam situasi
kehidupan nyata. Di dalam faktor kontekstual, faktor lingkungan meliputi lingkungan
fisik, sosial dan sikap dalam hal bagaimana orang hidup dan menjalankan
kehidupannya. Faktor-faktor ini bersifat eksternal (di luar individu) dan dapat
berpengaruh positif atau negatif, yaitu dapat membantu atau menghambat seseorang.
14 Faktor-faktor personal merupakan latar belakang spesifik seseorang dalam situasi
kehidupannya yang meliputi berbagai hal di luar kondisi kesehatan, yaitu: gender,
usia, ras, kebugaran, gaya hidup, kebiasaan dan latar belakang sosial. 14 Jika dirinci
lebih lanjut, maka KFR adalah spesialisasi kedokteran, yang berdasarkan 13 model
integratif WHO tentang fungsi manusia (human functioning): menerapkan dan
menggabungkan pendekatan ilmu biomedis serta ilmu teknik untuk mengoptimalkan
kapasitas seseorang, pendekatan yang dibangun dan memperkuat sumber daya
seseorang, memfasilitasi lingkungan yang membantu,dan membangun kinerja dalam
interaksinya dengan lingkungan,dan mencakup diagnosis serta terapi kondisi
kesehatan, menilai functioning dalam kaitannya dengan kondisi kesehatan, faktor-
faktor personal dan lingkungan, termasuk prognosis, potensi untuk mengubah
prognosis,identifikasi tujuan jangka panjang, penetapan tujuan program intervensi,
penetapan tujuan siklus rehablitasi dan target intervensi, serta evaluasi disabilitas.
Melakukan atau menerapkan intervensi biomedis dan teknik untuk mengoptimalkan
kapasitas termasuk diagnostik fisik, seperti uji elektro-neurofisiologis, penilaian
ketahanan(endurance), force dan koordinasi; modalitas fisik seperti mekanoterapi
termasuk pijat,latihan, teknik penguatan dan mobilisasi, panas dan dingin, air dan
balneologi, cahaya dan cuaca, arus listrik termasuk stimulasi fungsional elektro-
fisiologis; intervensi neuropsikologis; akupuntur, blokade radiks saraf dan infiltrasi
lokal; intervensi nutrisional dan farmakologis; teknologi rehabilitasi termasuk di
antaranya implan, prostesis dan ortosis, berbagai alat bantu yang sesuai untuk:
menstabilkan, memperbaiki atau memulihkan hendaya fungsi tubuh dan struktur
termasuk deconditioning; inkontinensia; gangguan tidur dan menelan; instabillitas
sendi; minimalisasi nyeri, fatigue dan gejala lain,
14. 14 mencegah hendaya, penyulit medis dan risiko termasuk antara lain depresi,
gangguan tidur, ulkus kulit, trombosis, kontraktur sendi dan atrofi otot, osteoporosis
dan jatuh, mengkompensasi atas tidak adanya atau hilangnya fungsi tubuh dan
struktur termasuk antara lain amputasi; hendaya penglihatan dan pendengaran
memimpin dan mengkoordinasikan program intervensi untuk mengoptimalkan kinerja
dalam suatu proses multidisiplin, berulang dan menyelesaikan masalah. melakukan
menerapkan dan menggabungkan intervensi biomedis dan teknis; serta intervensi
psikologis dan perilaku; penyuluhan dan konseling; okupasional dan vokasional;
sosial dan suportif; dan lingkungan fisik; memberikan nasihat kepada pasien dan
orang-orang yang berhubungan langsung di lingkungannya, penyedia jasa dan
pembayar selama perjalanan suatu kondisi kesehatan, selama kesinambungan layanan
mulai dari perawatan akut di rumah sakit sampai fasilitas rehabilitasi dan di
masyarakat, serta melintasi berbagai sektor termasuk kesehatan, pendidikan dan
urusan sosial, menatalaksana rehabilitasi, kesehatan dan jasa multisektoral; memberi
informasi dan nasihat kepada publik dan pembuat kebijakan tentang kebijakan dan
program yang sesuai di sektor kesehatan dan lintas sektoral yang: o menyediakan
fasilitasi lingkungan fisik dan sosial yang lebih besar o menjamin akses ke layanan
rehabilitasi sebagai manifestasi hak asasi manusia o memberdayakan spesialis KFR
untuk memberikan layanan yang teratur dan efektif dengan tujuan memampukan
orang yang mengalami atau akan mengalami disabilitas untuk mencapai dan
mempertahankan fungsi optimal dalam interaksinya di lingkungan Secara ringkas,
KFR adalah spesialisasi kedokteran yang berdasarkan pengkajian fungsi dan meliputi
diagnosis serta terapi kondisi kesehatan, melakukan, menerapkan dan
mengkoordinasikan intervensi biomedis, teknis dan lainnya dengan tujuan
mengoptimalkan fungsi orang-orang yang mengalami atau akan mengalami
disabilitas. 13
15. 15 DAFTAR PUSTAKA 1. Krusen FH. The scope and future of physical medicine
and rehabilitation. JAMA 1950:144: American Board of Physical Medicine and
Rehabilitation 2. Gutenbrunner C, Meyer T, Melvin J, Stucki G. Towards a conceptual
description of physical and rehabilitation medicine. J Rehabil Med 2011;43(9): World
Health Organisation. Rehabilitation. Diunduh dari: rehabilitation/en/ 4. Naskah
Lengkap dan Hasil Lokakarya Rehabilitasi Medik Indonesia I Mei Undang-Undang
Negara Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat 6.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 tahun 1998 tentang Upaya
Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat 7. World Health Organisation
(WHO). International Classification of Impairments, Disabilities and Handicaps:a
manual of classification relating to the consequences of diseases. Gevena,
Switzerland: World Health Organisation, World Health Organisation.International
Classification of Impairments, Activities and Participation. Geneva, Switzerland:
World Health Organisation, Kirby RL. Impairment, disability and handicap. In:
DeLisa JA, Gans BM. Rehabilitation Medicine: Principles and Practice, 3rd Edition.
Philadelphia: Lippincott-Raven, 1998.pp Direktorat Bina Pelayanan Medik
Spesialistik Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Pelayanan
Rehabilitasi Medik di Rumah Sakit Kelas, A, B, C dan D. Edisi ketiga. Jakarta:
Direktorat Jendral Bina Pelayanan Medik Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
World Health Organisation:ICF:International Classification of Functioning, Disability
and Health. Geneva, Switzerland: World Health Organisation, Stucki G, Melvin J. The
International Classification of Functioning.Disability and health: a unifying model for
the conceptual description of physical and rehabilitation medicine. J Rehabil Med
2007;39: Gutenbrunner C,Lemoine F,Yelnik A, Joseph PA, de Korvin G, Neumann V,
et al. The field of competence of the specialist in physical and rehabilitation medicine
(PRM). Ann PhysRehabil Med 2011;54:
16. 16 Filosofi Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Konsep dasar :Fungsi, Disabilitas dan
Kesehatan Falsafah Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi adalah meningkatkan
kemampuan fungsional seseorang sesuai dengan potensi yang dimiliki untuk
mempertahankan dan atau meningkatkan kualitas hidup dengan cara mencegah atau
mengurangi hendaya, disabilitas dan kecacatan semaksimal mungkin. Manusia
merupakan makhluk aktif yang perkembangannya dipengaruhi oleh aktivitas
fungsional. Manusia mampu mempengaruhi kesehatan fisik dan mentalnya serta
lingkungan fisik dan sosialnya melalui aktivitas fungsional, dengan menggunakan
kapasitasnya untuk motivasi intrinsik. Kehidupan manusia mencakup serangkaian
proses adaptasi berkelanjutan. Adaptasi merupakan perubahan fungsi yang
menyokong kelangsungan hidup dan aktualisasi diri. Faktor biologis, psikologis, dan
lingkungan dapat mengganggu proses adaptasi kapan pun selama siklus hidup.
Disfungsi dapat terjadi ketika terdapat gangguan pada proses adaptasi. Aktivitas
fungsional dapat membantu proses adaptasi. Pemahaman tentang konsep rehabilitasi
memerlukan pemahaman konsep disabilitas terlebih dahulu. Konsep disabilitas telah
mengalami perkembangan dalam beberapa dekade terakhir dengan tujuan
mendapatkan kerangka kerja konseptual yang menyeluruh baik dari aspek individual
maupun aspek sosial. Berbagai model disabilitas telah berkembang dari sejak model
individual, model sosial, dan model integratif. Model Individual Model individual ini
pertama kali diperkenalkan oleh Nagi (1965). Model ini, yang dikenal dengan Skema
Nagi, didasarkan pada model biomedis konvensional (Gambar 2) dan berdasarkan
Teori Parson tentang fungsionalisme (1951). Tujuan model individual ini adalah untuk
mengembalikan fungsi normal pasien dan peran sosial yang diharapkan dari dirinya.
Pada model individual, masalah yang terkait dengan disabilitas timbul akibat penyakit
dan cedera yang dialami oleh pasien tersebut.
17. 17 Gambar 2 Model Biomedis Konvensional Pada akhir tahun 1970-an, WHO
merancang suatu model yang diterbitkan tahun 1980 dengan nama the International
Classification of Impairments, Disabilities, and Handicaps (ICIDH), yang memiliki
persamaan yang penting dengan Skema Nagi; keduanya sama-sama linier, lahir dari
model biomedis, dan terfokus pada fungsi seorang individu (Gambar 3). Skema
sangat terkenal di Amerika Serikat, sedangkan model ICIDH WHO, yang lazim
dipakai dalam studi-studi internasional, merupakan model yang paling banyak dipakai
dalam ilmu rehabilitasi hingga awal tahun 2000an. Gambar 3 Model Konsepsual
Disabilitas menurut ICIDH Dalam upaya untuk lebih memperjelas dimensi dan
konsep disabilitas, beberapa peneliti telah merevisi model dari Nagi dan ICIDH.
Mereka menambahkan keterbatasan sosial (Jette, 1994); faktor lingkungan,
individual, dan risiko (Verbrugge & Jette, 1994); kualitas hidup dan status kesehatan
(Ebrahim, 1995; Pope & Rarlov, 1991). Revisi ini menggabungkan tiga area yang
berbeda: (1) fungsi fisiologis, (2) kemampuan dalam melakukan aktivitas sehari-
18. 18 hari, dan (3) kemampuan dalam melaksanakan fungsinya di masyarakat
(Whiteneck, 1994). Namun, modelnya tetap linier dengan fokus pada proses penyakit
dan keterbatasan fungsional yang diakibatkan. Model Sosial Seperti pada model
individual, model sosial juga memiliki tujuan untuk meningkatkan kualitas hidup
pasien dengan disabilitas. Tidak seperti model individual, model sosial
mengidentifikasi fokus dari masalah disabilitas sebagai hambatan dalam lingkungan
fisik/sosial, oleh karena diskriminasi sosial/ lingkungan, prasangka dan stigmatisasi
(Hahn, 1993) dan memaksa pasien untuk bergantung pada pelayanan
kesehatan/profesional lainnya (DeJong, 1979). Model sosial didasarkan pada teori
sosiologi dan psikologi dari disabilitas yang terdahulu, termasuk teori stigma
(Goffman, 1963); teori spread (Dembo, 1969); kesadaran masyarakat dan disabilitas
(Wright, 1960); dan ketiga tingkat disabilitas (personal, sosial, dan kultural) (Safilios-
Rothschild, 1970). Para pakar teori ini, mengusulkan suatu pandangan mengenai
disabilitas yang merupakan alternatif dari perspektif medis fungsional yang berlaku
yang telah diusulkan oleh Parsons. Pada konstruksi alternatif ini, disabilitas
didefinisikan sebagai hasil dari sikap masyarakat, bukan khusus dari suatu individu.
Teori-teori ini menggarisbawahi pengaruh pandangan dari pengamat tanpa disabilitas
dalam proses konstruksi model disabilitas, persepsi yang membuat disabilitas sebagai
suatu pokok pandangan, mengesampingkan hal-hal lain dari individu tersebut
(Wright, 1980, p. 275). Sosial model dari disabilitas yang paling sering digunakan dan
dijadikan referensi adalah model Independent Living (IL) di US dan Fundamental
Principles of Disability oleh Union of the Physically Impaired Against Segregation
(UPIAS) (1976) di UK. Kedua model ini sama-sama dibentuk sebagai respon
terhadap ketidak cukupan sisi medis dari model individual. Selama tahun 1960-an dan
1970-an disabilitas didefinisikan sebagai gangguan fungsi dari suatu individu, yang
mengakibatkan ketergantungan dan semakin membuat individu tersebut menjadi
cacat. Pendukung model sosial mengusulkan bahwa individu dengan disabilitas
bertukar peran ketergantungan pasien dengan peran independen dari
19. 19 konsumen (DeJong, 1979). Solusi yang diusulkan untuk masalah disabilitas
termasuk pemberdayaan, penentuan nasib sendiri, advokasi, konsumen kontrol, dan
modifikasi lingkungan seperti perluasan trotoar, pembuatan ramp, dan pelebaran pintu
serta loronglorong (Barnes, 2003; DeJong, 1979; Swain et al, 1993). Model
Terintegrasi : The International Classification of Functioning, Disability, and Health
(ICF) Model ICF sekarang digunakan secara luas di seluruh dunia dan memiliki
potensi untuk meningkatkan komunikasi melewati batasan disiplin ilmu dan negara,
menyokong perkembangan penelitian, praktik klinis, dan kebijakan sosial. Model ICF
merupakan model universal yang ditujukan untuk mengintegrasikan model individu
dan sosial untuk semua orang, tanpa memandang usia dan kondisi kesehatan (Gambar
4). ICF menggunakan kategori dalam area kesehatan dan yang berhubungan dengan
kesehatan untuk mengklasifikasikan kondisi kesehatan dan yang berhubungan dengan
kesehatan. Terdapat dua bagian komponen, masing-masing dilengkapi dengan kode
yang mewakili aspek-aspek yang berbeda. Bagian 1, Functioning and Disability,
mengandung kode untuk fungsi dan struktur tubuh serta aktivitas dan partisipasi, dan
Bagian 2, Contextual Factors, menjelaskan tentang faktor lingkungan dan faktor
personal. Di dalam ICF, disabilitas terjadi ketika terdapat disfungsi dari satu atau lebih
dari tingkat ini. Tujuan model integratif ICF adalah untuk menggabungkan model
individual dan sosial disabilitas. Oleh karena itu, klasifikasi yang dihasilkan tetap
didasarkan pada konsep-konsep fungsionalisme dan praktek ilmu kedokteran Barat.
Namun, masuknya faktor lingkungan dan personal merupakan suatu perbaikan atas
model terdahulu dari ICIDH. Berlawanan dengan model-model awal, ICF lebih
menekankan kesehatan dan fungsi dibandingkan disabilitas. Sebelumnya, disabilitas
dimulai saat kondisi sehat berakhir. Ketika seseorang memiliki disabilitas, ia akan
langsung masuk dalam kategori yang berbeda. Pola pikir seperti ini sekarang sudah
ditinggalkan. Fokus kesehatan saat ini lebih ditujukan kepada tingkatannya ketimbang
disabilitasnya.
20. 20 Dasar konsep ICF adalah model biopsikososial di mana fungsi dan disabilitas
menggambarkan suatu interaksi antara faktor permasalahan kesehatan (kelainan,
penyakit, cedera, dan lain-lain) dan kontekstual (lingkungan dan personal). Fungsi
terjadi pada tingkat tubuh atau bagian dari tubuh (fungsi tubuh dan struktur),
keseluruhan individu (aktivitas), dan keseluruhan individu dalam konteks sosial
(partisipasi). Istilah disabilitas mengacu pada disfungsi pada salah satu tingkat
tersebut: gangguan pada fungsi atau struktur tubuh, pembatasan aktivitas, atau
halangan partisipasi. Salah satu fitur penting dari model tersebut adalah bahwa fungsi
dan disabilitas menggambarkan suatu interaksi dari sejumlah faktor, diantaranya
kondisi kesehatan, karakteristik individu, dan lingkungan aktivitas fisik dan sosialnya.
Karena banyaknya faktor yang memodifikasi fungsi, patologi yang sama di individu
yang berbeda dapat menyebabkan bermacam-macam tingkat disabilitas. Sebagai
contoh, seorang individu dengan cedera medula spinalis suatu saat dapat kembali
berpartisipasi penuh dalam aktivitas hidupnya, termasuk tinggal di rumah dan
melanjutkan peran sebagai pasangan hidup, orang tua, dan pencari nafkah. Individu
lain dengan cedera yang sama pada medula spinalisnya dapat mengalami keterbatasan
dalam aktivitas sehari-hari, tinggal di fasilitas perawatan, bercerai dari istrinya, jauh
dari anak-anak, dan tidak dapat kembali bekerja. Profesional kesehatan memiliki
pengaruh kuat terhadap pemahaman dan aplikasi pada fungsi, disabilitas, dan
kesehatan. Menerapkan kerangka kerja ICF dalam perencanaan program, spesialis
KFR mengevaluasi hubungan antara cedera seseorang, batasan aktivitas, dan
hambatan partisipasi, serta mengidentifikasi faktor kontekstual yang bertindak sebagai
penghalang atau fasilitator untuk kembali berfungsi. Bersama-sama dengan
pasiennya, dokter SpKFR menentukan tujuan terapi dan kemudian bekerja untuk
meningkatkan fungsi dan struktur tubuh (mengurangi cedera), mengoptimalkan
kapasitas fungsional (mengurangi batasan aktivitas), dan memfasilitasi performa dan
partisipasi dalam kehidupan sehari-hari (mengurangi hambatan partisipasi).
21. 21 Gambar 4 Kerangka Konsep Fungsi Manusia berdasarkan ICF Memandang
kesehatan dari konteks kualitas hidup memang merupakan karakteristik utama KFR.
Walaupun sejarah telah mempengaruhi lingkungan dan modalitas yang digunakan,
KFR tetap berkomitmen pada tujuan dasarnya, yaitu menolong orang agar dapat
mengatasi tantangan kehidupan sehari-hari yang disebabkan oleh kelainan kongenital,
penyakit fisik dan emosional, kecelakaan, dan proses penuaan, atau hambatan
lingkungan. Area kemampuan fungsional pada manusia normal yang menentukan
derajat kualitas hidupnya meliputi kemampuan melakukan aktivitas kehidupan sehari-
hari, aktivitas kerja dan produktif, aktivitas bermain dan mengisi waktu luang, hobi
dan hiburan. Keterampilan ini memerlukan proses pembelajaran dan pengalaman
praktik yang sesuai dengan peran (seperti misalnya prasekolah, murid, orang tua,
pekerja, sukarelawan, atau pensiunan) dan perkembangan individu. Aktivitas
kehidupan sehari-hari adalah tugas perawatan diri sendiri, antara lain kebersihan diri,
berpakaian, makan, mobilitas, sosialisasi, komunikasi, dan ekspresi seksual. Aktivitas
kerja dan produktif meliputi perawatan rumah, merawat orang lain, aktivitas
pendidikan, dan kemampuan untuk menjalankan peranan pekerjaan sesuai dengan
tahap perkembangan, budaya, dan lingkungan individu. Aktivitas bermain dan hiburan
meliputi eksplorasi bermain
22. 22 dan performa bermain atau hiburan dalam aktivitas yang sesuai dengan usia. Untuk
dapat melaksanakan fungsi tersebut harus ditunjang oleh berbagai sistem organ, yaitu
organ sensorimotor, kardiorespirasi, gastrointestinal, kognitif/integrasi kognitif, dan
komponen psikososial/psikologis. Komponen sensorimotor meliputi fungsi sensorik,
neuromuskuloskeletal, dan motorik. Fungsi sensorik meliputi kesadaran dan
pemrosesan sensorik serta pemrosesan persepsi. Fungsi neuromuskuloskeletal
meliputi respons refleks, ruang lingkup gerak sendi, tonus otot, kekuatan otot,
ketahanan otot, kontrol postur, serta integritas jaringan lunak. Fungsi motorik meliputi
koordinasi motorik kasar, cross midline, lateralisasi, integrasi bilateral, kontrol
motorik, praksis, koordinasi motorik halus serta kontrol motorik oral. Komponen
kognitif/ integrasi kognitif mengacu pada kemampuan untuk menggunakan fungsi
otak yang lebih tinggi. Yang termasuk di dalamnya antara lain tingkat respons
terhadap rangsangan, orientasi, mengenali subjek, rentang perhatian, inisiasi aktivitas,
penghentian aktivitas, daya ingat, mengurutkan, mengelompokkan, pembentukan
konsep, operasi spasial, penyelesaian masalah, pembelajaran, dan generalisasi.
Komponen psikososial/ psikologis meliputi kemampuan interaksi sosial dan proses
emosional. Di dalam kategori ini antara lain nilai yang dianut, ketertarikan, konsep
diri, kinerja peran, pembawaan sosial, kemampuan interpersonal, ekspresi diri,
kemampuan adaptasi, manajemen waktu, dan kendali diri. Layanan kedokteran
konvensional dan kedokteran rehabilitative Ilmu kedokteran secara keseluruhan telah
memberikan banyak kemajuan penting dalam meningkatkan layanan kesehatan. Obat-
obatan dan tindakan bedah untuk kondisi medis akut telah berhasil menurunkan angka
kematian dan memperpanjang usia harapan hidup. Seiring dengan itu, jumlah pasien
yang bertahan hidup dengan menyandang penyakit kronis dan kecacatan akibat
kondisi akut menjadi bertambah. Di lain pihak, usia harapan hidup yang meningkat
telah menaikkan populasi penduduk lanjut usia dengan beragam kondisi penurunan
fungsi kapasitas tubuh.
23. 23 Dari sudut pandang ilmu kedokteran konvensional, penyakit kronis asimptomatik
dan penurunan fungsi tubuh yang tidak segera mengancam jiwa mungkin tidak
membutuhkan terapi apa pun atau dianggap sudah tidak dapat diobati lagi. Namun,
ada hal-hal yang masih dapat dilakukan terhadap pasien sehingga kualitas hidupnya
menjadi lebih baik. Masalah utama yang dihadapi KFR sebagai suatu bidang ilmu
kedokteran adalah memampukan seseorang untuk berfungsi secara optimal dengan
segala keterbatasan akibat suatu proses penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
Penekanannya bukan pada pemulihan sempurna sampai pada tingkat fungsi sebelum
sakit (premorbid), tetapi bagaimana mengoptimalkan kualitas hidup bagi mereka yang
tidak dapat mencapai pemulihan sempurna. Rehabilitasi menyeluruh diberikan oleh
spesialis KFR yang bertindak sebagai penentu program, fasilitator, pemimpin
kelompok dan ahli kedokteran untuk rehabilitasi. Sebagai suatu spesialisasi dalam
Ilmu Kedokteran, KFR merupakan spesialisasi baru yang merupakan percabangan
dari Ilmu Penyakit Dalam meskipun dalam sejarahnya dipelopori oleh para ahli
ortopedi. Dalam memberikan layanan, spesialisasi KFR sedikit banyak memiliki
persamaan dengan Kedokteran Keluarga karena mempunyai sifat paradoks antara
menjadi spesialis (pemahaman ilmu yang vertikal) dan layanan holistik (pemahaman
ilmu yang horisontal). Jika spesialisasi yang berbasis sistem organ bekerja dengan
fokus diagnosis etiologi dan terapi kausatif untuk mencapai kesembuhan, jika
mungkin, spesialisasi KFR mengambil alih tugas terapeutik untuk mencapai situasi
terbaik ketika kesembuhan tidak mungkin diperoleh. Jika upaya kedokteran
konvensional tertuju pada pertanyaan penyakit apa?, maka upaya KFR menjawab
pertanyaan lalu apa? Tidak seperti para dokter spesialis lainnya yang dapat bekerja
secara mandiri, para dokter spesialis KFR berperan sebagai koordinator dan tidak
sebagai pemain tunggal. Dalam hubungannya dengan pasien, dokter spesialis KFR
lebih berperan sebagai penasehat. Peran pasien menjadi lebih sentral dan aktif. 3
Rehabilitasi Medik bertujuan mengurangi hendaya yang disebabkan oleh penyakit dan
mencegah komplikasi penyakit, meningkatkan fungsi, aktivitas dan partisipasi
seseorang. Semua kegiatan tersebut harus memperhitungkan konteks individu, budaya
dan lingkungan. Dalam praktek, hal ini ditemukan di berbagai fasilitas, mulai dari unit
perawatan akut di rumah sakit sampai di fasilitas yang ada di masyarakat. Spesialis
KFR menggunakan
24. 24 instrumen penilaian diagnostik dan menyediakan banyak jenis terapi, termasuk
farmakologi, intervensi kedokteran fisik, keteknisian medik, pendidikan dan
vokasional. Rehabilitasi adalah proses yang berkesinambungan dan terkoordinasi,
dimulai sejak mulainya suatu penyakit atau cedera hingga tercapainya peran individu
dalam masyarakat sesuai dengan aspirasi dan keinginannya. Jika layanan rehabilitasi
dapat mengembalikan kapasitas fungsi tubuh, mereka dapat menjadi lebih mandiri
hingga mereka mencapai tingkat penyakit yang hampir terminal. Jika pasienpasien ini
dapat menerima layanan dengan kualitas tingkat tinggi baik dalam penatalaksanaan
penyakit akutnya maupun layanan rehabilitasi untuk mempertahankan
kemandiriannya, kurva kinerja mereka dapat mencapai tingkat yang optimal. Tingkat
pertumbuhan dari konsep, pengetahuan, dan aplikasi dari ilmu KFR juga sangat pesat.
Konsep ilmu KFR terus berkembang, dan bersamaan dengan itu juga konsep ilmu
kedokteran yang komprehensif, sebagai suatu potensi dalam mengembangkan
intervensi yang berhasil. Rehabilitasi adalah suatu proses yang kompleks dari
pengaplikasian beberapa prosedur secara terpadu untuk dapat mengembalikan
kemampuan fungsi yang optimal dari suatu individu baik di rumah maupun di
masyarakat dengan menggunakan sisa kemampuan fisik yang ada dengan layak.
Merupakan hal yang menggembirakan bahwa ilmu kedokteran fisik dan rehabilitasi
telah diakui sebagai salah satu metode yang dapat mengembalikan kapasitas
fungsional pasien dengan kecacatan fisik atau penyakit kronik sehingga dapat kembali
berpartisipasi di dalam lingkungan rumah dan masyarakat sekitarnya, dan pengakuan
tersebut juga telah memberikan pengaruh yang signifikan sehingga ikut memperluas
konsep layanan kesehatan yang komprehensif. Saat ini, layanan kesehatan
komprehensif telah mencakup tindakan rehabilitasi, untuk menyembuhkan pasien-
pasien dengan penyakit atau kecacatan fisik sehingga dapat berfungsi optimal kembali
dalam lingkungan sosial normal mereka, serta dapat mempunyai kualitas hidup yang
mendekati orang-orang dalam komunitas yang normal, merupakan kemungkinan yang
beralasan.
25. 25 Layanan Rehabilitasi Medik bersifat komprehensif dan interdisipliner Layanan
Rehabilitasi Medik tidak terbatas pada satu sistem organ. Tujuan layanan Rehabilitasi
Medik adalah untuk mengembalikan fungsi pasien seoptimal mungkin sehingga dapat
mandiri secara fisik, mental, sosial dan ekonomi. Untuk mencapai hal tersebut,
dibutuhkan pengkajian secara menyeluruh terhadap penyakit dan konsekuensi akibat
penyakit tersebut serta bagaimana pengaruh keluarga, lingkungan sosial, tanggung
jawab pekerjaan dan keadaan ekonomi, hobi, harapan dan impian terhadap penyakit
yang diderita. Oleh karena itu, perawatan pasien dalam Rehabilitasi Medik harus
dilakukan secara menyeluruh. Rehabilitasi medik bukan program intervensi yang
diberikan di akhir perjalanan suatu penyakit akut atau hanya merupakan program
pemulihan atau pemeliharaan saja. 4 Layanan Rehabilitasi Medik dimulai dari tahap
promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Ini menunjukkan bahwa titik berat
layanan Rehabilitasi Medik adalah pada pencegahan disabilitas yang harus dilakukan
sedini mungkin. Namun, jika disabilitas telah terjadi, tetap diupayakan tingkat
kemandirian seoptimal mungkin sesuai potensi yang dimiliki pasien. 5 Layanan
Rehabilitasi Medik yang komprehensif dan interdisipliner membutuhkan tenaga
profesional dari berbagai disiplin ilmu terkait, tidak hanya dari kalangan medis. Pada
gambar 5 diperlihatkan cabang-cabang ilmu yang diperlukan dalam layanan
Rehabilitasi Medik. 6 Sebagian besar subspesialisasi kedokteran berada dalam cabang
ilmu Kedokteran Klinis yang diperlukan dalam menentukan status kesehatan
seseorang. Tim rehabilitasi biasanya terdiri dari dokter spesialis KFR, perawat dengan
kekhususan rehabilitasi medik, fisioterapis, terapis okupasi, terapis wicara dan bahasa,
psikolog klinik, pekerja sosial, ahli prostetik dan ortotik, serta ahli gizi.7
26. 26 Gambar 5 Berbagai Cabang Ilmu yang terkait dengan Layanan KFR berdasarkan
model Integratif ICF DAFTAR PUSTAKA 1.World Health Organisation. International
Classification of Functioning, Disability and Health: ICF. Geneva, Switzerland, World
Health Organisation, Frank AO, Chamberlain MA. Rehabilitation: an integral part of
clinical practice. Occupation Med 2006;56: Levi R. Philosophical practice in
rehabilitation medicine grasping the potential for personal maturation in existential
ruptures. Philosphical Pract 2010;5(2): National Private Rehabilitation Group
(NPRG). Submission to the House of Representative Committee on Ageing, Inquiry
into Australian population ageing medical rehabilitation a key to healthy ageing.
Sydney: NPRG, 2002.
27. 27 5.Direktorat Bina Pelayanan Medik Spesialistik Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Pedoman Pelayanan Rehabilitasi Medik di Rumah Sakit Kelas, A, B, C dan
D. Edisi ketiga. Jakarta: Direktorat Jendral Bina Pelayanan Medik Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, Stucki G, Celio M. Developing human functioning
and rehabilitation research. Part II. Interdisciplinary university centers and
collaboration networks. J Rehabil Med 2007;39: Neumann V, Gutenbrunner C, Fialka-
Moser V, Christodoulou N, Varela E, Giustini A, Delarque A. Interdiscipinary team
working in physical and rehabilitation medicine. J Rehabil Med 2009;42:4-8. v
28. 28 Penegakan Diagnosis Dalam Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Anamnesis dan
pemeriksaan fisik Anamnesis riwayat penyakit yang lengkap dan pemeriksaan fisik
merupakan kunci penegakan diagnosis KFR. Dokter Spesialis KFR tidak hanya
menentukan atau mendiagnosis penyakit, tetapi harus juga melakukan penilaian
kapasitas fungsional yang diakibatkan oleh penyakit. Diagnosis kapasitas fungsional
menjadi dasar perencanaan program penatalaksanaan terapeutik dan tujuan fungsional
yang dapat dicapai. 1 Sebagai contoh, pasien mengalami fraktur humerus dengan
cedera saraf radialis kiri, diagnosis medis telah jelas ditegakkan. Dalam hal ini kondisi
fungsional masih belum jelas dan belum diidentifikasi. Masih ada satu pertanyaan
yang harus ditanyakan, yaitu apakah fungsi tangan pasien terganggu? Tangan mana
yang biasanya dipakai untuk menulis? Jika jawabannya tangan kiri, maka perlu
dilakukan pemeriksaan tambahan, yaitu penilaian kemampuan menulis pasien. Jika
pasien tidak mampu menulis, maka kita dapat menegakkan diagnosis kapasitas
fungsional pada pasien ini adalah ketidak-mampuan untuk menulis. Perlu dilakukan
evaluasi lanjut bahwa ada kemungkinan masih ada fungsi lain yang terganggu.
Diagnosis KFR memerlukan evaluasi klinis seperti kekuatan otot, lingkup gerak
sendi, fungsi saraf, fungsi kardiovaskular dan respirasi, serta fungsi luhur. Pengkajian
fungsi tubuh secara kuantitatif dan kualitatif dilakukan secara manual atau dengan
peralatan khusus. Pemeriksaan ini meliputi tanda-tanda vital, uji fungsi kognisi, uji
fungsi komunikasi, uji fungsi menelan, uji fungsi kardiorespirasi, uji sensibilitas, uji
integrasi sensori motor, uji fleksibilitas dan lingkup gerak sendi, uji keseimbangan
statis dan dinamis, uji kontrol postur, uji fungsi eksekusi gerak, uji kekuatan otot
(kekuatan, aktivitas listrik, dan lainnya), uji motorik halus, uji fungsi lokomotor, uji
pola jalan, uji dekondisi, uji kemampuan fungsional dan perawatan diri, uji fungsi
berkemih, uji fungsi defekasi, evaluasi orthosis, evaluasi prostesis. Pemeriksaan
kemampuan fungsional pasien dinilai dengan instrumen baku sesuai dengan fungsi
yang ingin kita nilai. Contohnya, untuk menilai aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS)
dapat digunakan Barthel Index, Functional Independence Measurement (FIM), dan
lain-lain. Ada sejumlah skala pengukuran yang digunakan untuk menilai aktivitas
individu dalam bentuk
29. 29 kuesioner. Parameter sosioekonomi digunakan untuk mengevaluasi masalah
partisipasi sosial atau pekerjaan. Pada contoh kasus di atas, pasien tidak mampu
menulis menunjukkan hendaya dalam aktivitas dasar dan harus dinilai apakah
ketidakmampuannya tersebut menimbulkan hendaya dalam pekerjaan atau
partisipasinya dalam kehidupan sosial. 2 Diagnosis dan pengkajian KFR meliputi
banyak metode dan dapat melibatkan dokter spesialis lain. Penegakan Diagnosis
Evaluasi dan pemeriksaan fisik yang dibantu pemeriksaan penunjang menghasilkan
diagnosis KFR dalam bentuk identifikasi adanya hendaya, disabilitas atau kecacatan 3
dan kemampuan aktivitas serta partisipasi. 4 Fungsi dan keterbatasan fungsi
merupakan hal penting dalam perawatan akut, subakut dan kronis jangka panjang
pasien dengan kondisi disabilitas dan/atau penyakit kronik lainnya. Pada tahun 2001,
WHO menerbitkan International Classification of Functioning, Disability and Health
(ICF) untuk menyatakan kondisi fungsi dan disabilitas secara menyeluruh yang
meliputi taksonomi fungsi manusia, aktivitas dan partisipasi, serta faktor-faktor
kontekstual (Tabel 3). 2
30. 30 Tabel 3 Daftar Kategori Karakter Fungsional Manusia menurut ICF Berbagai
macam penyakit dan kondisi dalam lingkup layanan rehabilitasi medik adalah: 5
Trauma: cedera otak, cedera medulla spinalis, cedera saraf tepi, cedera olah raga,
cedera tulang, cedera sendi, cedera otot, dan cedera tendon dan muskuloskeletal lain,
cedera selama penyakit jangka panjang akibat disabling diseases, cedera terkait kerja;
31. 31 Penyakit sistem saraf non-traumatik: stroke, penyakit degeneratif (Parkinson,
Alzheimer, dan lain lain), sklerosis multipel, infeksi atau abses susunan saraf pusat
(SSP), tumor SSP, paralisis sumsum tulang karena sebab apa pun, konsekuensi
kompleks bedah saraf, distrofi muskular dan ganggguan neuromuskular, neuropati
perifer (termasuk poliradikulopati Guillain Barre), kompresi saraf, penyakit
kongenital (palsi serebral, spina bifida, dan lainnya), penyakit genetik metabolik atau
biokimiawi; Nyeri akut atau kronik karena berbagai sebab seperti amputasi,
perawatan pasca bedah, polineuropati, penyakit kritis; Kondisi kompleks karena
berbagai sebab: sindrom tirah baring (bed rest syndrome), effort deconditioning, gagal
multi organ; Penyakit non-traumatik sistem muskuloskeletal: nyeri kronik dan akut
pada punggung bawah, leher atau toraks, artropati infektif, penyakit degeneratif dan
inflamatorik (mono dan poliartritis), amputasi vaskular, kelainan jaringan lunak
termasuk fibromialgia, kelainan ekstremitas yang kompleks (tangan, kaki),
osteoporosis, sindrom nyeri kronik terkait kerja, chronic fatigue syndrome; Penyakit
kardiovaskular: penyakit jantung iskemik, gagal jantung, penyakit katup jantung,
aterosklerosis anggota gerak bawah, miokarditis, tekanan darah tinggi, transplantasi
jantung, pasca coronary artery bypass grafting(cabg), pasca percutaneous transluminal
coronary angioplasty(ptca); Penyakit sistem limfatik; Penyakit sistem respirasi: asma,
penyakit paru obstruktif kronik, fibrosis pulmonal, pneumokoniosis, asbestosis, pasca
torakotomi, hipereaktif bronkus, bronkopneumonia; Penyakit endokrin dan metabolik:
komplikasi diabetes, komplikasi sindrom metabolik, obesitas; Penyakit sistem
genitourinaria: gagal ginjal kronik, kelainan sfingter buli, kelainan genitoseksual;
Penyakit infeksi dan imunologis: konsekuensi infeksi HIV, transplantasi sumsum
tulang; Kanker, terapi kanker dan konsekuensi fungsionalnya; Penyakit terkait usia;
Gangguan tumbuh kembang, deformitas/ malformasi kongenital pada anak, skoliosis,
congenital talipes equinovarus(ctev), dan malformasi kogenital lain.
32. 32 DAFTAR PUSTAKA 1. McPeak LA. Physiatric history and examination. In:
Braddom RL (editor). Physical Medicine and Rehabilitation, 2nd edition.
Philadelphia: WB Saunders Company, 2000.pp World Health Organisation.
International Classification of Functioning, Disability and Health: ICF. Geneva,
Switzerland, World Health Organisation, World Health Organisation.International
Classification of Impairments, Disabilities and Handicaps. Geneva, Switzerland:
World Health Organisation, World Health Organisation. International Classification of
Impairments, Activities and articipation. Geneva: World Health Organisation,
Gutenbrunner C, Lemoine F, Yelnik A, Joseph PA, de Korvin G, Neumann V, et al.
The field of competence of the specialist in physical and rehabilitation medicine
(PRM). Ann PhysRehabil Med 2011;54:
33. 33 Penatalaksanaan dan Intervensi Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Menetapkan
Tujuan Optimal Layanan rehabilitasi medik adalah suatu proses yang bertujuan
mengoptimalkan kemampuan individu untuk mempertahankan dan mencapai tingkat
fungsi fisik, mental, emosional, sosial, dan spiritual 1 untuk mendapatkan kualitas
hidup yang lebih baik. Dalam hal ini, pasien dan dokter memiliki tujuan yang sama. 2
Tujuan tersebut harus diupayakan bersama sehingga layanan medis tidak berhenti
sebatas gejala penyakit berkurang atau hilang. Ukuran terbaik atas nilai suatu layanan
kedokteran adalah hasil yang dapat diukur melalui peningkatan perbaikan fungsi dan
kualitas hidup seorang pasien. Hasil rehabilitasi harus diukur dari parameter kinerja
pasien(patient performance)sepanjang sisa hidupnya. Anderson telah membuat ukuran
fungsional tentang luaran rehabilitasi yang dimodifikasi dari Williamson dengan cara
mengkaji kinerja pasien di sisa hidupnya seperti tertera dalam Tabel 4. 2 Tabel 4 Skala
Luaran Fungsional Rehabilitasi Skala ini dipakai untuk menilai kinerja fungsional
pasien dalam kondisi penyakit yang memburuk atau terjadi disabilitas sehingga
menurunkan kemandirian pasien sampai meninggal. Namun, dengan rehabilitasi
pasien dapat bergerak maju melalui tahapan peningkatan kemandirian sampai tingkat
kemampuan fungsional yang optimal. Layanan rehabilitasi yang komprehensif harus
dapat berorientasi pada hasil akhir. Layanan dilakukan dengan mengembangkan suatu
metode komprehensif melalui bimbingan, edukasi, latihan untuk mendapatkan hasil
akhir yang optimal. Walaupun telah tercapai perbaikan selama rawat inap di rumah
sakit, aspek-aspek lain dalam kehidupan pasien di rumah dan di masyarakat
34. 34 setelah pulang perlu diperhatikan dan potensi pasien digali lebih jauh apakah dapat
mencapai tingkat kemandirian dan kualitas hidup yang lebih tinggi. Tujuan layanan
yang komprehensif ini harus mencakup pencapaian fungsional secara optimal bagi
setiap individu, baik di rumah maupun di masyarakat, selama hidupnya. Gambar 6
menunjukkan Skala Hasil Akhir Fungsional rehabilitasi berdasarkan kinerja fungsi
individu. Dari sejak seseorang lahir, laju peningkatan fungsi sangat pesat pada masa
kanak-kanak dan berlanjut hingga mencapai puncaknya pada usia dewasa muda. Jika
kesehatan tubuh dapat dipertahankan dan dijaga, fungsi ini dapat bertahan mendekati
maksimal hingga lanjut usia, dan meninggalnya seorang individu menjadi titik akhir
fungsi. Gambar 6 Kinerja Manusia sebagai Ukuran Kesehatan Selama Hidup. Kinerja
Fungsional Orang Normal yang Sehat didapat sejak Usia Kanak-Kanak dan
Dipertahankan hingga Mencapai Usia Dewasa. Penurunan kemampuan fungsional
pada masa hidup seseorang ketika terjadi disabilitas pada masa dewasa diperlihatkan
pada gambar 7. Penyakit secara mendadak dapat menurunkan kapasitas fungsional
seorang individu sampai bergantung sepenuhnya pada orang lain. Perawatan medis
dapat mempertahankan kelangsungan hidup pasien (kurva A) tetapi pasien bergantung
sepenuhnya atau sebagian pada orang lain di sepanjang sisa hidupnya. Jika diberikan
perawatan medis dan layanan rehabilitasi yang terbatas, pasien dapat dipulihkan ke
tingkat fungsi yang lebih tinggi. Namun jika rehabilitasi tidak diikuti dengan program
pemeliharaan yang cukup, dapat terjadi penurunan fungsi secara progresif sampai ke
tingkat ketergantungan (Kurva B). Bila layanan rehabilitasi mencakup pelatihan yang
cukup serta memanfaatkan sumber daya yang tersedia untuk mempertahankan tingkat
fungsional di sepanjang hidupnya, maka hasil akhir yang optimal dari program seperti
ini ditunjukkan oleh Kurva C.
35. 35 Gambar 7 Kinerja Fungsional Individu Dewasa yang Mengalami Kecacatan dapat
Tetap berada pada Tingkat Ketergantungan atau Hanya Pulih Sebagian jika tidak
Ditunjang dengan Rehabilitasi yang Adekuat dan Program Pemeliharaan yang Sesuai
Kurva hasil fungsional potensial pada anak-anak dengan disabilitas dalam
perkembangannya diilustrasikan pada Gambar 8. Anak-anak yang tidak menjalani
rehabilitasi tetap menjadi sangat tidak mandiri sampai berpuluh-puluh tahun
kemudian dan mengalami ketergantungan total. Pemberian layanan rehabilitasi yang
tidak optimal dapat saja meningkatkan kinerja kemamapuan fungsional dalam jangka
waktu tertentu, tetapi tetap menjadikan individu tersebut bergantung pada orang lain.
Tujuan pemulihan dan pemeliharaan pada anak-anak ini harus mencakup kemandirian
hidup, pendidikan, dan produktivitas selama rentang kehidupan normal mereka.2
Gambar 8 Rehabilitasi pada anak-anak dengan kecacatan sangat penting, karena tanpa
itu mereka tidak memiliki kesempatan untuk dapat berkembang dan dapat tetap
menjadi sangat dependen sepanjang hidupnya selama berpuluh-puluh tahun. 2
36. 36 Kemampuan pasien dan seorang dokter untuk menghilangkan disabilitas pada
penyakit kronik bergantung pada kapasitas residual dari pasien untuk adaptasi
fisiologis dan psikologis. Kekuatan residual pasien harus dievaluasi dan dilatih untuk
menghilangkan disabilitas. Jika suatu penyakit tidak dapat ditangani baik melalui
prosedur medis maupun bedah, maka yang dapat dilakukan adalah dengan
mengurangi hendayanya. Sebagai contoh, otot yang lemah dapat diperkuat atau
gangguan pendengaran dapat dibantu dengan menggunakan alat bantu dengar. Dalam
kasus penyakit kronis, penyakit dan hendaya tidak dapat diminimalisasi; jadi,
intervensi harus tertuju pada disabilitas dan kecacatan. Kunci keberhasilan suatu
program rehabilitasi adalah kemampuan dalam mengidentifikasi kemampuan fungsi
yang masih utuh. Saat kemampuan fungsi yang masih utuh dapat digunakan dan
diadaptasi pada suatu kondisi yang baru, maka kemandirian secara fungsional dapat
dicapai. Tabel 5 Fokus intervensi dan contoh strategi rehabilitasi terkait
37. 37 Kebutuhan rehabilitasi pasien berbeda-beda berdasarkan fase perkembangan
penyakit, yaitu fase akut, paska akut, atau kondisi stabil dengan gejala sisa.
Kebutuhan pasien selama fase-fase tersebut tercantum dalam Tabel 6. Tabel 6
Kebutuhan rehabilitasi pasien berdasarkan fase penyakit 3
38. 38 Rehabilitasi komprehensif terhadap pasien dengan hendaya fisik dan/atau kognitif
mungkin merupakan tugas yang kompleks. Perlu dipertimbangkan berbagai aspek
antara lain aspek psikologis, religius, vokasional, sosial, kebutuhan, keinginan, dan
prioritas. 4 Dalam program rehabilitasi, pasien sebagai anggota tim diharapkan
berperan penuh dalam program rehabilitasi sejak fase akut. Oleh karena itu,
diperlukan orientasi dan penjelasan mengenai proses rehabilitasi. Dokter spesialis
KFR selain berpengetahuan dalam bidang perawatan medis untuk penyakit yang
mengakibatkan disabilitas atau cedera juga memiliki wawasan pengetahuan tentang
keahlian dari profesi lain dalam tim rehabilitasinya. Hal ini merupakan dasar untuk
mengidentifikasi aktivitas fungsional mana yang perlu diperbaiki pada seorang pasien
dan siapa yang melakukan terapinya. Contoh penetapan tujuan program rehabilitasi
diberikan pada gambar 9. Spesialis KFR perlu mengetahui teknik dan intervensi
terapeutik dari berbagai disiplin ilmu mana yang perlu diberikan kepada pasien dan
mana yang merupakan kontra indikasi. 4 Ada berbagai metode yang digunakan dalam
merancang program intervensi yang didasarkan pada diagnosis penyakit, evaluasi
keterbatasan fungsi, keterbatasan aktivitas, hambatan partisipasi dan kinerja
fungsional pasien. 5 Sebagian besar metode intervensi dilakukan oleh spesialis KFR,
tetapi ada juga yang dilakukan oleh tenaga kesehatan lain seperti fisioterapis, terapis
okupasi, terapis wicara dan bahasa, perawat rehabilitasi dan lainnya. Tenaga
profesional lain dapat berperan sebagai bagian dari pelayanan menyeluruh yang
diberikan tim KFR. Berbagai contoh jenis intervensi dalam KFR adalah: Pengobatan
medikamentosa yang bertujuan untuk memulihkan struktur dan/atau fungsi tubuh,
misalnya: injeksi intraartikular atau peritendon, dry needling, spray and stretch,
taping, laser energi rendah, dan lain-lain; Penggunaan modalitas fisik: o kinesioterapi
dan terapi latihan o elektroterapi
39. 39 o terapi panas dan dingin o fototerapi (misalnya terapi ultraviolet) o hidroterapi
dan balneoterapi o terapi manual/ massage o terapi drainase limfatik manual o dan
lain-lain Program rehabilitasi: o Pemberian ortosis (misalnya splint) o Latihan
keterampilan aktivitas hidup sehari-hari o Penyesuaian lingkungan kerja dan rumah o
Penyuluhan strategi untuk mengatasi hendaya kognitif o Terapi wicara dan bahasa
dalam ruang lingkup program KFR yang kompleks; o Penatalaksanaan disfagia; o
Intervensi neuropsikologis; o Intervensi psikologis, termasuk; penyuluhan pasien dan
keluarganya o Terapi nutrisional; o Pemakaian alat bantu, teknologi alat bantu,
prostetik, ortotik, bantuan teknis; o Edukasi pasien, keluarga, profesional o Asuhan
keperawatan rehabilitasi Sekalipun penyebab keterbatasan kemampuan aktivitas
harian seseorang bersifat sementara (misalnya patah tulang lengan bawah) atau
permanen (misalnya paralisis), yang terpenting dari penanganan KFR adalah
mengatasi keterbatasan fungsinya. Hal ini terkait dengan filosofi bahwa
40. 40 life itself is defined by occupation. Sudah jelas bahwa penurunan kinerja seringkali
disebabkan oleh kondisi fisik, namun hal ini juga dapat disebabkan oleh gangguan
emosional atau keadaan lingkungan dengan dampak yang sama besar. Oleh karena itu,
kesehatan dan penyakit harus diukur berdasarkan dampaknya terhadap kehidupan. B.
Strategi Penatalaksanan KFR Program yang efektif dapat menurunkan biaya layanan.
6 Penatalaksanaan rehabilitatif perlu direncanakan secara khusus bagi setiap individu
yang membutuhkan. Ada delapan strategi yang dapat dilakukan untuk mewujudkan
program yang efektif: 7 1. Strategi rehabilitasi yang pertama dan terbaik adalah
pencegahan primer. Strategi ini dilakukan juga oleh spesialis lain, bukan hanya KFR.
Pencegahan primer merupakan pilihan pertama yang terbaik setelah suatu kondisi
akut seperti stroke, cedera medula spinalis, cedera kepala, serangan jantung, luka
bakar atau kondisi lain. 2. Strategi kedua adalah mengurangi proses patologis sampai
tahap minimum. Disini ditekankan pentingnya penanganan rehabilitasi sedini
mungkin untuk mencapai hasil akhir kemampuan fungsional yang optimal. 3. Strategi
ketiga, yang dianggap strategi rehabilitasi secara umum, adalah pencegahan terhadap
komplikasi sekunder (kadang-kadang disebut sebagai disabilitas sekunder). Strategi
ini sering bertabrakan dengan konsep lain, misalnya konsep istirahat di tempat tidur
yang diperlukan sebagai pengobatan tetapi di sisi lain perlu mobilisasi awal untuk
mencegah komplikasi akibat tirah baring yang lama seperti ulkus kompresi (tekan),
dekondisi, kontraktur, kehilangan massa tulang, depresi, dan lain-lain. 4. Strategi
keempat, adalah peningkatan fungsi sistem yang terlibat, yang pada dasarnya
mencoba untuk memperbaiki kerusakan yang terjadi. Contohnya adalah upaya
penguatan anggota tubuh yang lemah pada pasien stroke.
41. 41 5. Strategi kelima adalah meningkatkan fungsi dari sistem yang tidak terlibat,
misalnya penguatan bagian atas tubuh pada pasien paraplegia akibat stroke. Strategi
ini tumpang tindih dengan strategi keenam. 6. Strategi keenam, yakni teknik
kompensasi atau yang bersifat kompensasi, misalnya penguatan sisi tubuh yang tidak
lumpuh pada pasien stroke. 7. Strategi ketujuh, yaitu intervensi aspek kognitif dan
perilaku. Seseorang dengan gangguan persepsi ruang mungkin dapat belajar untuk
berbicara tentang dirinya, untuk bergerak, memakai baju atau tugas lainnya. 8.
Strategi kedelapan, yaitu adaptasi lingkungan. Ini mungkin bersifat sementara dan
digunakan sebelum ketujuh strategi di atas dapat mencapai efek sempurna. Lebih
sering digunakan sebagai proses rehabilitasi. WHO dalam World Report on Disability
(WRD) menekankan bahwa tujuan program rehabilitasi adalah: 8 Pencegahan
kehilangan fungsi; Memperlambat kehilangan fungsi; Memperbaiki atau memulihkan
fungsi; Mengkompensasi fungsi yang hilang; Mempertahankan fungsi yang masih
ada. Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, WRD menekankan bahwa rehabilitasi
harus bersifat sukarela dan penyandang disabilitas harus dilibatkan dalam semua
aspek pembuatan keputusan selama proses rehabilitasi dan bahwa rehabilitasi
membutuhkan kerja tim. Perlu dilakukan penilaian atas diri pasien, termasuk riwayat
pribadi, sosial, vokasional dan rekreasional. Demikian pula halnya faktor-faktor risiko
yang mendasari disabilitas, baik faktor personal (misalnya genetik, gaya hidup)
maupun faktor lingkungan (hambatan arsitektural, kondisi tinggal dan kerja).
42. 42 C. Pencapaian Kualitas Hidup Tertinggi Rehabilitasi yang berhasil di tingkat
individu ditunjukkan dengan sejauh mana ia dapat berpartisipasi di masyarakat.
Tujuan ini adalah harapan tertinggi yang merupakan alasan dilakukannya program
pemulihan rehabilitasi sekaligus juga penghargaan atas kreativitas dan upaya ketika
tujuan tersebut tercapai. Oleh karenanya, program rehabilitasi lebih ditujukan kepada
penyandang hendaya atau disabilitas yang diharapkan masih dapat mencapai
perbaikan fungsi. Tidak dipungkiri bahwa perbaikan fungsi secara fisiologis
merupakan hal yang penting pada seorang individu, baik normal maupun cacat, tetapi
jika pasien dalam kondisi vegetatif, pemeliharaan fungsi tidak menghasikan kualitas
hidup. Berbagai spesialisasi kedokteran memiliki tujuan yang berbeda untuk setiap
layanan yang berbeda. Sebagian besar layanan medis sebetulnya hanya
mengembalikan sebagian dari kapasitas fungsi yang dimiliki pasien. Tindakan
intervensi medis tertentu yang dilakukan dengan tujuan untuk memulihkan pasien
sebenarnya hanya mencapai sebagian dari suatu kehidupan dengan kualitas hidup
yang tinggi. Sebagai contoh, tindakan kateterisasi jantung bertujuan mencegah suatu
keadaan yang berpotensi fatal dengan memastikan kelangsungan hidup organ jantung.
Jika intervensi tersebut tidak diikuti oleh program rehabilitasi yang sesuai, maka
layanan tersebut menjadi tidak komprehensif dan kualitas hidup yang baik tidak
terpenuhi. Sangat disayangkan bahwa penatalaksanaan penyakit kronis dan disabilitas
seperti ini masih sering terjadi. Kualitas hidup seorang individu dikatakan meningkat
jika ia dapat berintegrasi secara internal dengan dirinya dan secara eksternal dengan
lingkungannya. Hal ini tidak tergantung pada faktor finansial dan sosial mengingat
tujuan rehabilitasi adalah pengembalian aset yang ada pada penyandang disabilitas
agar berfungsi optimal di tingkat yang sesuai dengan keinginannya, bukan menjamin
keberhasilan program rehabilitasi yang berbiaya mahal. Tergantung kondisi medis
pasien, keberhasilan suatu tindakan intervensi mungkin hanya berperan kecil dalam
membangun kembali kualitas hidup yang baik.
43. 43 Tabel 7 Komponen- komponen yang berkontribusi pada kualitas hidup Sebagai
hasil pematangan konsep layanan medis yang komprehensif, sekarang sudah diakui
bahwa tujuan layanan KFR adalah untuk memulihkan kualitas hidup seoptimal
mungkin dengan memanfaatkan sumber daya yang tersisa dari pasien. Oleh karena
itu, setiap intervensi medis harus bertujuan agar dapat mencapai perbaikan pasien.
Hasil akhir, yang dievaluasi dengan menilai perubahan fungsi sebagai akibat
intervensi medis, adalah ukuran yang sesungguhnya atas nilai perawatan medis
tersebut. Kedua kriteria tersebut, evaluasi berdasarkan hasil akhir dan tujuan terapi
untuk mengembalikan kualitas hidup, sama dengan ilmu kedokteran yang
komprehensif seperti pada KFR. Contoh latihan memakai kursi roda di bawah ini
akan menjelaskan bagaimana intervensi KFR menghasilkan peningkatan kualitas
hidup dalam
44. 44 kerangka kerja ICF. Latihan memakai kursi roda akan meningkatkan fungsi dan
struktur tubuhkarena mendorong kursi roda secara manual akan melatih kekuatan
otot, daya tahan kardiovaskular, dan fungsi respirasi. Peningkatan kebugaran
selanjutnya dapat meningkatkan kemampuan mendorong kursi roda (aktivitas),serta
lebih banyak terlibat dalam kehidupan seharihari(partisipasi). Kemampuan
menggunakan kursi roda (aktivitas)juga memungkinkan individu untuk berpartisipasi
dalam aktivitas sosial, rekreasional, kewarganegaraan, dan pekerjaan
(partisipasi).imbal baliknya, partisipasi dapat meningkatkan kemampuan individu
untuk menggunakan kursi roda(aktivitas) melalui peningkatan latihan kemampuan,
dan dapat meningkatkan kebugaran fisik dan kesejahteraan psikologis (fungsi dan
struktur tubuh). Gambar 9 Contoh Intervensi yang mempengaruhi kesehatan dan
fungsi pada beberapa tingkatan karena interaksi diantara tingkatan tersebut. Latihan
menggerakan kursi roda manual dan menghindari hambatan meningkatkan
kemampuan seseorang untuk menggerakan kursi roda manual secara mandiri di
lingkungan dalam dan luar. D. Program Pelayanan KFR Spesialis KFR memiliki
peran kompleks mulai dari diagnosis medis, diagnosis fungsional dan sosial sampai
menetapkan rencana penatalaksanaan dengan tujuan pencapaian oleh pasien yang
berbeda-beda, tergantung kebutuhan pasien, dan menerapkan strategi yang
menyeluruh, termasuk peresepan obatobatan, terapi fisik, teknologi rehabilitasi, dan
pengawasan tim layanan.
45. 20 Dasar konsep ICF adalah model biopsikososial di mana fungsi dan disabilitas
menggambarkan suatu interaksi antara faktor permasalahan kesehatan (kelainan,
penyakit, cedera, dan lain-lain) dan kontekstual (lingkungan dan personal). Fungsi
terjadi pada tingkat tubuh atau bagian dari tubuh (fungsi tubuh dan struktur),
keseluruhan individu (aktivitas), dan keseluruhan individu dalam konteks sosial
(partisipasi). Istilah disabilitas mengacu pada disfungsi pada salah satu tingkat
tersebut: gangguan pada fungsi atau struktur tubuh, pembatasan aktivitas, atau
halangan partisipasi. Salah satu fitur penting dari model tersebut adalah bahwa fungsi
dan disabilitas menggambarkan suatu interaksi dari sejumlah faktor, diantaranya
kondisi kesehatan, karakteristik individu, dan lingkungan aktivitas fisik dan sosialnya.
Karena banyaknya faktor yang memodifikasi fungsi, patologi yang sama di individu
yang berbeda dapat menyebabkan bermacam-macam tingkat disabilitas. Sebagai
contoh, seorang individu dengan cedera medula spinalis suatu saat dapat kembali
berpartisipasi penuh dalam aktivitas hidupnya, termasuk tinggal di rumah dan
melanjutkan peran sebagai pasangan hidup, orang tua, dan pencari nafkah. Individu
lain dengan cedera yang sama pada medula spinalisnya dapat mengalami keterbatasan
dalam aktivitas sehari-hari, tinggal di fasilitas perawatan, bercerai dari istrinya, jauh
dari anak-anak, dan tidak dapat kembali bekerja. Profesional kesehatan memiliki
pengaruh kuat terhadap pemahaman dan aplikasi pada fungsi, disabilitas, dan
kesehatan. Menerapkan kerangka kerja ICF dalam perencanaan program, spesialis
KFR mengevaluasi hubungan antara cedera seseorang, batasan aktivitas, dan
hambatan partisipasi, serta mengidentifikasi faktor kontekstual yang bertindak sebagai
penghalang atau fasilitator untuk kembali berfungsi. Bersama-sama dengan
pasiennya, dokter SpKFR menentukan tujuan terapi dan kemudian bekerja untuk
meningkatkan fungsi dan struktur tubuh (mengurangi cedera), mengoptimalkan
kapasitas fungsional (mengurangi batasan aktivitas), dan memfasilitasi performa dan
partisipasi dalam kehidupan sehari-hari (mengurangi hambatan partisipasi).
46. 21 Gambar 4 Kerangka Konsep Fungsi Manusia berdasarkan ICF Memandang
kesehatan dari konteks kualitas hidup memang merupakan karakteristik utama KFR.
Walaupun sejarah telah mempengaruhi lingkungan dan modalitas yang digunakan,
KFR tetap berkomitmen pada tujuan dasarnya, yaitu menolong orang agar dapat
mengatasi tantangan kehidupan sehari-hari yang disebabkan oleh kelainan kongenital,
penyakit fisik dan emosional, kecelakaan, dan proses penuaan, atau hambatan
lingkungan. Area kemampuan fungsional pada manusia normal yang menentukan
derajat kualitas hidupnya meliputi kemampuan melakukan aktivitas kehidupan sehari-
hari, aktivitas kerja dan produktif, aktivitas bermain dan mengisi waktu luang, hobi
dan hiburan. Keterampilan ini memerlukan proses pembelajaran dan pengalaman
praktik yang sesuai dengan peran (seperti misalnya prasekolah, murid, orang tua,
pekerja, sukarelawan, atau pensiunan) dan perkembangan individu. Aktivitas
kehidupan sehari-hari adalah tugas perawatan diri sendiri, antara lain kebersihan diri,
berpakaian, makan, mobilitas, sosialisasi, komunikasi, dan ekspresi seksual. Aktivitas
kerja dan produktif meliputi perawatan rumah, merawat orang lain, aktivitas
pendidikan, dan kemampuan untuk menjalankan peranan pekerjaan sesuai dengan
tahap perkembangan, budaya, dan lingkungan individu. Aktivitas bermain dan hiburan
meliputi eksplorasi bermain
47. 22 dan performa bermain atau hiburan dalam aktivitas yang sesuai dengan usia. Untuk
dapat melaksanakan fungsi tersebut harus ditunjang oleh berbagai sistem organ, yaitu
organ sensorimotor, kardiorespirasi, gastrointestinal, kognitif/integrasi kognitif, dan
komponen psikososial/psikologis. Komponen sensorimotor meliputi fungsi sensorik,
neuromuskuloskeletal, dan motorik. Fungsi sensorik meliputi kesadaran dan
pemrosesan sensorik serta pemrosesan persepsi. Fungsi neuromuskuloskeletal
meliputi respons refleks, ruang lingkup gerak sendi, tonus otot, kekuatan otot,
ketahanan otot, kontrol postur, serta integritas jaringan lunak. Fungsi motorik meliputi
koordinasi motorik kasar, cross midline, lateralisasi, integrasi bilateral, kontrol
motorik, praksis, koordinasi motorik halus serta kontrol motorik oral. Komponen
kognitif/ integrasi kognitif mengacu pada kemampuan untuk menggunakan fungsi
otak yang lebih tinggi. Yang termasuk di dalamnya antara lain tingkat respons
terhadap rangsangan, orientasi, mengenali subjek, rentang perhatian, inisiasi aktivitas,
penghentian aktivitas, daya ingat, mengurutkan, mengelompokkan, pembentukan
konsep, operasi spasial, penyelesaian masalah, pembelajaran, dan generalisasi.
Komponen psikososial/ psikologis meliputi kemampuan interaksi sosial dan proses
emosional. Di dalam kategori ini antara lain nilai yang dianut, ketertarikan, konsep
diri, kinerja peran, pembawaan sosial, kemampuan interpersonal, ekspresi diri,
kemampuan adaptasi, manajemen waktu, dan kendali diri. Layanan kedokteran
konvensional dan kedokteran rehabilitative Ilmu kedokteran secara keseluruhan telah
memberikan banyak kemajuan penting dalam meningkatkan layanan kesehatan. Obat-
obatan dan tindakan bedah untuk kondisi medis akut telah berhasil menurunkan angka
kematian dan memperpanjang usia harapan hidup. Seiring dengan itu, jumlah pasien
yang bertahan hidup dengan menyandang penyakit kronis dan kecacatan akibat
kondisi akut menjadi bertambah. Di lain pihak, usia harapan hidup yang meningkat
telah menaikkan populasi penduduk lanjut usia dengan beragam kondisi penurunan
fungsi kapasitas tubuh.
48. 23 Dari sudut pandang ilmu kedokteran konvensional, penyakit kronis asimptomatik
dan penurunan fungsi tubuh yang tidak segera mengancam jiwa mungkin tidak
membutuhkan terapi apa pun atau dianggap sudah tidak dapat diobati lagi. Namun,
ada hal-hal yang masih dapat dilakukan terhadap pasien sehingga kualitas hidupnya
menjadi lebih baik. Masalah utama yang dihadapi KFR sebagai suatu bidang ilmu
kedokteran adalah memampukan seseorang untuk berfungsi secara optimal dengan
segala keterbatasan akibat suatu proses penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
Penekanannya bukan pada pemulihan sempurna sampai pada tingkat fungsi sebelum
sakit (premorbid), tetapi bagaimana mengoptimalkan kualitas hidup bagi mereka yang
tidak dapat mencapai pemulihan sempurna. Rehabilitasi menyeluruh diberikan oleh
spesialis KFR yang bertindak sebagai penentu program, fasilitator, pemimpin
kelompok dan ahli kedokteran untuk rehabilitasi. Sebagai suatu spesialisasi dalam
Ilmu Kedokteran, KFR merupakan spesialisasi baru yang merupakan percabangan
dari Ilmu Penyakit Dalam meskipun dalam sejarahnya dipelopori oleh para ahli
ortopedi. Dalam memberikan layanan, spesialisasi KFR sedikit banyak memiliki
persamaan dengan Kedokteran Keluarga karena mempunyai sifat paradoks antara
menjadi spesialis (pemahaman ilmu yang vertikal) dan layanan holistik (pemahaman
ilmu yang horisontal). Jika spesialisasi yang berbasis sistem organ bekerja dengan
fokus diagnosis etiologi dan terapi kausatif untuk mencapai kesembuhan, jika
mungkin, spesialisasi KFR mengambil alih tugas terapeutik untuk mencapai situasi
terbaik ketika kesembuhan tidak mungkin diperoleh. Jika upaya kedokteran
konvensional tertuju pada pertanyaan penyakit apa?, maka upaya KFR menjawab
pertanyaan lalu apa? Tidak seperti para dokter spesialis lainnya yang dapat bekerja
secara mandiri, para dokter spesialis KFR berperan sebagai koordinator dan tidak
sebagai pemain tunggal. Dalam hubungannya dengan pasien, dokter spesialis KFR
lebih berperan sebagai penasehat. Peran pasien menjadi lebih sentral dan aktif. 3
Rehabilitasi Medik bertujuan mengurangi hendaya yang disebabkan oleh penyakit dan
mencegah komplikasi penyakit, meningkatkan fungsi, aktivitas dan partisipasi
seseorang. Semua kegiatan tersebut harus memperhitungkan konteks individu, budaya
dan lingkungan. Dalam praktek, hal ini ditemukan di berbagai fasilitas, mulai dari unit
perawatan akut di rumah sakit sampai di fasilitas yang ada di masyarakat. Spesialis
KFR menggunakan
49. 24 instrumen penilaian diagnostik dan menyediakan banyak jenis terapi, termasuk
farmakologi, intervensi kedokteran fisik, keteknisian medik, pendidikan dan
vokasional. Rehabilitasi adalah proses yang berkesinambungan dan terkoordinasi,
dimulai sejak mulainya suatu penyakit atau cedera hingga tercapainya peran individu
dalam masyarakat sesuai dengan aspirasi dan keinginannya. Jika layanan rehabilitasi
dapat mengembalikan kapasitas fungsi tubuh, mereka dapat menjadi lebih mandiri
hingga mereka mencapai tingkat penyakit yang hampir terminal. Jika pasienpasien ini
dapat menerima layanan dengan kualitas tingkat tinggi baik dalam penatalaksanaan
penyakit akutnya maupun layanan rehabilitasi untuk mempertahankan
kemandiriannya, kurva kinerja mereka dapat mencapai tingkat yang optimal. Tingkat
pertumbuhan dari konsep, pengetahuan, dan aplikasi dari ilmu KFR juga sangat pesat.
Konsep ilmu KFR terus berkembang, dan bersamaan dengan itu juga konsep ilmu
kedokteran yang komprehensif, sebagai suatu potensi dalam mengembangkan
intervensi yang berhasil. Rehabilitasi adalah suatu proses yang kompleks dari
pengaplikasian beberapa prosedur secara terpadu untuk dapat mengembalikan
kemampuan fungsi yang optimal dari suatu individu baik di rumah maupun di
masyarakat dengan menggunakan sisa kemampuan fisik yang ada dengan layak.
Merupakan hal yang menggembirakan bahwa ilmu kedokteran fisik dan rehabilitasi
telah diakui sebagai salah satu metode yang dapat mengembalikan kapasitas
fungsional pasien dengan kecacatan fisik atau penyakit kronik sehingga dapat kembali
berpartisipasi di dalam lingkungan rumah dan masyarakat sekitarnya, dan pengakuan
tersebut juga telah memberikan pengaruh yang signifikan sehingga ikut memperluas
konsep layanan kesehatan yang komprehensif. Saat ini, layanan kesehatan
komprehensif telah mencakup tindakan rehabilitasi, untuk menyembuhkan pasien-
pasien dengan penyakit atau kecacatan fisik sehingga dapat berfungsi optimal kembali
dalam lingkungan sosial normal mereka, serta dapat mempunyai kualitas hidup yang
mendekati orang-orang dalam komunitas yang normal, merupakan kemungkinan yang
beralasan.
50. 25 Layanan Rehabilitasi Medik bersifat komprehensif dan interdisipliner Layanan
Rehabilitasi Medik tidak terbatas pada satu sistem organ. Tujuan layanan Rehabilitasi
Medik adalah untuk mengembalikan fungsi pasien seoptimal mungkin sehingga dapat
mandiri secara fisik, mental, sosial dan ekonomi. Untuk mencapai hal tersebut,
dibutuhkan pengkajian secara menyeluruh terhadap penyakit dan konsekuensi akibat
penyakit tersebut serta bagaimana pengaruh keluarga, lingkungan sosial, tanggung
jawab pekerjaan dan keadaan ekonomi, hobi, harapan dan impian terhadap penyakit
yang diderita. Oleh karena itu, perawatan pasien dalam Rehabilitasi Medik harus
dilakukan secara menyeluruh. Rehabilitasi medik bukan program intervensi yang
diberikan di akhir perjalanan suatu penyakit akut atau hanya merupakan program
pemulihan atau pemeliharaan saja. 4 Layanan Rehabilitasi Medik dimulai dari tahap
promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Ini menunjukkan bahwa titik berat
layanan Rehabilitasi Medik adalah pada pencegahan disabilitas yang harus dilakukan
sedini mungkin. Namun, jika disabilitas telah terjadi, tetap diupayakan tingkat
kemandirian seoptimal mungkin sesuai potensi yang dimiliki pasien. 5 Layanan
Rehabilitasi Medik yang komprehensif dan interdisipliner membutuhkan tenaga
profesional dari berbagai disiplin ilmu terkait, tidak hanya dari kalangan medis. Pada
gambar 5 diperlihatkan cabang-cabang ilmu yang diperlukan dalam layanan
Rehabilitasi Medik. 6 Sebagian besar subspesialisasi kedokteran berada dalam cabang
ilmu Kedokteran Klinis yang diperlukan dalam menentukan status kesehatan
seseorang. Tim rehabilitasi biasanya terdiri dari dokter spesialis KFR, perawat dengan
kekhususan rehabilitasi medik, fisioterapis, terapis okupasi, terapis wicara dan bahasa,
psikolog klinik, pekerja sosial, ahli prostetik dan ortotik, serta ahli gizi.7
51. 26 Gambar 5 Berbagai Cabang Ilmu yang terkait dengan Layanan KFR berdasarkan
model Integratif ICF DAFTAR PUSTAKA 1.World Health Organisation. International
Classification of Functioning, Disability and Health: ICF. Geneva, Switzerland, World
Health Organisation, 2001. 2.Frank AO, Chamberlain MA. Rehabilitation: an integral
part of clinical practice. Occupation Med 2006;56:289-93. 3.Levi R. Philosophical
practice in rehabilitation medicine grasping the potential for personal maturation in
existential ruptures. Philosphical Pract 2010;5(2):607-14. 4.National Private
Rehabilitation Group (NPRG). Submission to the House of Representative Committee
on Ageing, Inquiry into Australian population ageing medical rehabilitation a key to
healthy ageing. Sydney: NPRG, 2002.
52. 27 5.Direktorat Bina Pelayanan Medik Spesialistik Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Pedoman Pelayanan Rehabilitasi Medik di Rumah Sakit Kelas, A, B, C dan
D. Edisi ketiga. Jakarta: Direktorat Jendral Bina Pelayanan Medik Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, 2007. 6.Stucki G, Celio M. Developing human
functioning and rehabilitation research. Part II. Interdisciplinary university centers
and collaboration networks. J Rehabil Med 2007;39:334-42. 7.Neumann V,
Gutenbrunner C, Fialka-Moser V, Christodoulou N, Varela E, Giustini A, Delarque A.
Interdiscipinary team working in physical and rehabilitation medicine. J Rehabil Med
2009;42:4-8. v
53. 28 Penegakan Diagnosis Dalam Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Anamnesis dan
pemeriksaan fisik Anamnesis riwayat penyakit yang lengkap dan pemeriksaan fisik
merupakan kunci penegakan diagnosis KFR. Dokter Spesialis KFR tidak hanya
menentukan atau mendiagnosis penyakit, tetapi harus juga melakukan penilaian
kapasitas fungsional yang diakibatkan oleh penyakit. Diagnosis kapasitas fungsional
menjadi dasar perencanaan program penatalaksanaan terapeutik dan tujuan fungsional
yang dapat dicapai. 1 Sebagai contoh, pasien mengalami fraktur humerus dengan
cedera saraf radialis kiri, diagnosis medis telah jelas ditegakkan. Dalam hal ini kondisi
fungsional masih belum jelas dan belum diidentifikasi. Masih ada satu pertanyaan
yang harus ditanyakan, yaitu apakah fungsi tangan pasien terganggu? Tangan mana
yang biasanya dipakai untuk menulis? Jika jawabannya tangan kiri, maka perlu
dilakukan pemeriksaan tambahan, yaitu penilaian kemampuan menulis pasien. Jika
pasien tidak mampu menulis, maka kita dapat menegakkan diagnosis kapasitas
fungsional pada pasien ini adalah ketidak-mampuan untuk menulis. Perlu dilakukan
evaluasi lanjut bahwa ada kemungkinan masih ada fungsi lain yang terganggu.
Diagnosis KFR memerlukan evaluasi klinis seperti kekuatan otot, lingkup gerak
sendi, fungsi saraf, fungsi kardiovaskular dan respirasi, serta fungsi luhur. Pengkajian
fungsi tubuh secara kuantitatif dan kualitatif dilakukan secara manual atau dengan
peralatan khusus. Pemeriksaan ini meliputi tanda-tanda vital, uji fungsi kognisi, uji
fungsi komunikasi, uji fungsi menelan, uji fungsi kardiorespirasi, uji sensibilitas, uji
integrasi sensori motor, uji fleksibilitas dan lingkup gerak sendi, uji keseimbangan
statis dan dinamis, uji kontrol postur, uji fungsi eksekusi gerak, uji kekuatan otot
(kekuatan, aktivitas listrik, dan lainnya), uji motorik halus, uji fungsi lokomotor, uji
pola jalan, uji dekondisi, uji kemampuan fungsional dan perawatan diri, uji fungsi
berkemih, uji fungsi defekasi, evaluasi orthosis, evaluasi prostesis. Pemeriksaan
kemampuan fungsional pasien dinilai dengan instrumen baku sesuai dengan fungsi
yang ingin kita nilai. Contohnya, untuk menilai aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS)
dapat digunakan Barthel Index, Functional Independence Measurement (FIM), dan
lain-lain. Ada sejumlah skala pengukuran yang digunakan untuk menilai aktivitas
individu dalam bentuk
54. 29 kuesioner. Parameter sosioekonomi digunakan untuk mengevaluasi masalah
partisipasi sosial atau pekerjaan. Pada contoh kasus di atas, pasien tidak mampu
menulis menunjukkan hendaya dalam aktivitas dasar dan harus dinilai apakah
ketidakmampuannya tersebut menimbulkan hendaya dalam pekerjaan atau
partisipasinya dalam kehidupan sosial. 2 Diagnosis dan pengkajian KFR meliputi
banyak metode dan dapat melibatkan dokter spesialis lain. Penegakan Diagnosis
Evaluasi dan pemeriksaan fisik yang dibantu pemeriksaan penunjang menghasilkan
diagnosis KFR dalam bentuk identifikasi adanya hendaya, disabilitas atau kecacatan 3
dan kemampuan aktivitas serta partisipasi. 4 Fungsi dan keterbatasan fungsi
merupakan hal penting dalam perawatan akut, subakut dan kronis jangka panjang
pasien dengan kondisi disabilitas dan/atau penyakit kronik lainnya. Pada tahun 2001,
WHO menerbitkan International Classification of Functioning, Disability and Health
(ICF) untuk menyatakan kondisi fungsi dan disabilitas secara menyeluruh yang
meliputi taksonomi fungsi manusia, aktivitas dan partisipasi, serta faktor-faktor
kontekstual (Tabel 3). 2
55. 30 Tabel 3 Daftar Kategori Karakter Fungsional Manusia menurut ICF Berbagai
macam penyakit dan kondisi dalam lingkup layanan rehabilitasi medik adalah: 5
Trauma: cedera otak, cedera medulla spinalis, cedera saraf tepi, cedera olah raga,
cedera tulang, cedera sendi, cedera otot, dan cedera tendon dan muskuloskeletal lain,
cedera selama penyakit jangka panjang akibat disabling diseases, cedera terkait kerja;
56. 31 Penyakit sistem saraf non-traumatik: stroke, penyakit degeneratif (Parkinson,
Alzheimer, dan lain lain), sklerosis multipel, infeksi atau abses susunan saraf pusat
(SSP), tumor SSP, paralisis sumsum tulang karena sebab apa pun, konsekuensi
kompleks bedah saraf, distrofi muskular dan ganggguan neuromuskular, neuropati
perifer (termasuk poliradikulopati Guillain Barre), kompresi saraf, penyakit
kongenital (palsi serebral, spina bifida, dan lainnya), penyakit genetik metabolik atau
biokimiawi; Nyeri akut atau kronik karena berbagai sebab seperti amputasi,
perawatan pasca bedah, polineuropati, penyakit kritis; Kondisi kompleks karena
berbagai sebab: sindrom tirah baring (bed rest syndrome), effort deconditioning, gagal
multi organ; Penyakit non-traumatik sistem muskuloskeletal: nyeri kronik dan akut
pada punggung bawah, leher atau toraks, artropati infektif, penyakit degeneratif dan
inflamatorik (mono dan poliartritis), amputasi vaskular, kelainan jaringan lunak
termasuk fibromialgia, kelainan ekstremitas yang kompleks (tangan, kaki),
osteoporosis, sindrom nyeri kronik terkait kerja, chronic fatigue syndrome; Penyakit
kardiovaskular: penyakit jantung iskemik, gagal jantung, penyakit katup jantung,
aterosklerosis anggota gerak bawah, miokarditis, tekanan darah tinggi, transplantasi
jantung, pasca coronary artery bypass grafting(cabg), pasca percutaneous transluminal
coronary angioplasty(ptca); Penyakit sistem limfatik; Penyakit sistem respirasi: asma,
penyakit paru obstruktif kronik, fibrosis pulmonal, pneumokoniosis, asbestosis, pasca
torakotomi, hipereaktif bronkus, bronkopneumonia; Penyakit endokrin dan metabolik:
komplikasi diabetes, komplikasi sindrom metabolik, obesitas; Penyakit sistem
genitourinaria: gagal ginjal kronik, kelainan sfingter buli, kelainan genitoseksual;
Penyakit infeksi dan imunologis: konsekuensi infeksi HIV, transplantasi sumsum
tulang; Kanker, terapi kanker dan konsekuensi fungsionalnya; Penyakit terkait usia;
Gangguan tumbuh kembang, deformitas/ malformasi kongenital pada anak, skoliosis,
congenital talipes equinovarus(ctev), dan malformasi kogenital lain.
57. 32 DAFTAR PUSTAKA 1. McPeak LA. Physiatric history and examination. In:
Braddom RL (editor). Physical Medicine and Rehabilitation, 2nd edition.
Philadelphia: WB Saunders Company, 2000.pp3-45. 2. World Health Organisation.
International Classification of Functioning, Disability and Health: ICF. Geneva,
Switzerland, World Health Organisation, 2001. 3. World Health
Organisation.International Classification of Impairments, Disabilities and Handicaps.
Geneva, Switzerland: World Health Organisation, 1980. 4. World Health
Organisation. International Classification of Impairments, Activities and articipation.
Geneva: World Health Organisation, 1997. 5. Gutenbrunner C, Lemoine F, Yelnik A,
Joseph PA, de Korvin G, Neumann V, et al. The field of competence of the specialist
in physical and rehabilitation medicine (PRM). Ann PhysRehabil Med 2011;54:298-
318.
58. 33 Penatalaksanaan dan Intervensi Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Menetapkan
Tujuan Optimal Layanan rehabilitasi medik adalah suatu proses yang bertujuan
mengoptimalkan kemampuan individu untuk mempertahankan dan mencapai tingkat
fungsi fisik, mental, emosional, sosial, dan spiritual 1 untuk mendapatkan kualitas
hidup yang lebih baik. Dalam hal ini, pasien dan dokter memiliki tujuan yang sama. 2
Tujuan tersebut harus diupayakan bersama sehingga layanan medis tidak berhenti
sebatas gejala penyakit berkurang atau hilang. Ukuran terbaik atas nilai suatu layanan
kedokteran adalah hasil yang dapat diukur melalui peningkatan perbaikan fungsi dan
kualitas hidup seorang pasien. Hasil rehabilitasi harus diukur dari parameter kinerja
pasien(patient performance)sepanjang sisa hidupnya. Anderson telah membuat ukuran
fungsional tentang luaran rehabilitasi yang dimodifikasi dari Williamson dengan cara
mengkaji kinerja pasien di sisa hidupnya seperti tertera dalam Tabel 4. 2 Tabel 4 Skala
Luaran Fungsional Rehabilitasi Skala ini dipakai untuk menilai kinerja fungsional
pasien dalam kondisi penyakit yang memburuk atau terjadi disabilitas sehingga
menurunkan kemandirian pasien sampai meninggal. Namun, dengan rehabilitasi
pasien dapat bergerak maju melalui tahapan peningkatan kemandirian sampai tingkat
kemampuan fungsional yang optimal. Layanan rehabilitasi yang komprehensif harus
dapat berorientasi pada hasil akhir. Layanan dilakukan dengan mengembangkan suatu
metode komprehensif melalui bimbingan, edukasi, latihan untuk mendapatkan hasil
akhir yang optimal. Walaupun telah tercapai perbaikan selama rawat inap di rumah
sakit, aspek-aspek lain dalam kehidupan pasien di rumah dan di masyarakat
59. 34 setelah pulang perlu diperhatikan dan potensi pasien digali lebih jauh apakah dapat
mencapai tingkat kemandirian dan kualitas hidup yang lebih tinggi. Tujuan layanan
yang komprehensif ini harus mencakup pencapaian fungsional secara optimal bagi
setiap individu, baik di rumah maupun di masyarakat, selama hidupnya. Gambar 6
menunjukkan Skala Hasil Akhir Fungsional rehabilitasi berdasarkan kinerja fungsi
individu. Dari sejak seseorang lahir, laju peningkatan fungsi sangat pesat pada masa
kanak-kanak dan berlanjut hingga mencapai puncaknya pada usia dewasa muda. Jika
kesehatan tubuh dapat dipertahankan dan dijaga, fungsi ini dapat bertahan mendekati
maksimal hingga lanjut usia, dan meninggalnya seorang individu menjadi titik akhir
fungsi. Gambar 6 Kinerja Manusia sebagai Ukuran Kesehatan Selama Hidup. Kinerja
Fungsional Orang Normal yang Sehat didapat sejak Usia Kanak-Kanak dan
Dipertahankan hingga Mencapai Usia Dewasa. Penurunan kemampuan fungsional
pada masa hidup seseorang ketika terjadi disabilitas pada masa dewasa diperlihatkan
pada gambar 7. Penyakit secara mendadak dapat menurunkan kapasitas fungsional
seorang individu sampai bergantung sepenuhnya pada orang lain. Perawatan medis
dapat mempertahankan kelangsungan hidup pasien (kurva A) tetapi pasien bergantung
sepenuhnya atau sebagian pada orang lain di sepanjang sisa hidupnya. Jika diberikan
perawatan medis dan layanan rehabilitasi yang terbatas, pasien dapat dipulihkan ke
tingkat fungsi yang lebih tinggi. Namun jika rehabilitasi tidak diikuti dengan program
pemeliharaan yang cukup, dapat terjadi penurunan fungsi secara progresif sampai ke
tingkat ketergantungan (Kurva B). Bila layanan rehabilitasi mencakup pelatihan yang
cukup serta memanfaatkan sumber daya yang tersedia untuk mempertahankan tingkat
fungsional di sepanjang hidupnya, maka hasil akhir yang optimal dari program seperti
ini ditunjukkan oleh Kurva C.
60. 35 Gambar 7 Kinerja Fungsional Individu Dewasa yang Mengalami Kecacatan dapat
Tetap berada pada Tingkat Ketergantungan atau Hanya Pulih Sebagian jika tidak
Ditunjang dengan Rehabilitasi yang Adekuat dan Program Pemeliharaan yang Sesuai
Kurva hasil fungsional potensial pada anak-anak dengan disabilitas dalam
perkembangannya diilustrasikan pada Gambar 8. Anak-anak yang tidak menjalani
rehabilitasi tetap menjadi sangat tidak mandiri sampai berpuluh-puluh tahun
kemudian dan mengalami ketergantungan total. Pemberian layanan rehabilitasi yang
tidak optimal dapat saja meningkatkan kinerja kemamapuan fungsional dalam jangka
waktu tertentu, tetapi tetap menjadikan individu tersebut bergantung pada orang lain.
Tujuan pemulihan dan pemeliharaan pada anak-anak ini harus mencakup kemandirian
hidup, pendidikan, dan produktivitas selama rentang kehidupan normal mereka.2
Gambar 8 Rehabilitasi pada anak-anak dengan kecacatan sangat penting, karena tanpa
itu mereka tidak memiliki kesempatan untuk dapat berkembang dan dapat tetap
menjadi sangat dependen sepanjang hidupnya selama berpuluh-puluh tahun. 2
61. 36 Kemampuan pasien dan seorang dokter untuk menghilangkan disabilitas pada
penyakit kronik bergantung pada kapasitas residual dari pasien untuk adaptasi
fisiologis dan psikologis. Kekuatan residual pasien harus dievaluasi dan dilatih untuk
menghilangkan disabilitas. Jika suatu penyakit tidak dapat ditangani baik melalui
prosedur medis maupun bedah, maka yang dapat dilakukan adalah dengan
mengurangi hendayanya. Sebagai contoh, otot yang lemah dapat diperkuat atau
gangguan pendengaran dapat dibantu dengan menggunakan alat bantu dengar. Dalam
kasus penyakit kronis, penyakit dan hendaya tidak dapat diminimalisasi; jadi,
intervensi harus tertuju pada disabilitas dan kecacatan. Kunci keberhasilan suatu
program rehabilitasi adalah kemampuan dalam mengidentifikasi kemampuan fungsi
yang masih utuh. Saat kemampuan fungsi yang masih utuh dapat digunakan dan
diadaptasi pada suatu kondisi yang baru, maka kemandirian secara fungsional dapat
dicapai. Tabel 5 Fokus intervensi dan contoh strategi rehabilitasi terkait
62. 37 Kebutuhan rehabilitasi pasien berbeda-beda berdasarkan fase perkembangan
penyakit, yaitu fase akut, paska akut, atau kondisi stabil dengan gejala sisa.
Kebutuhan pasien selama fase-fase tersebut tercantum dalam Tabel 6. Tabel 6
Kebutuhan rehabilitasi pasien berdasarkan fase penyakit 3
63. 38 Rehabilitasi komprehensif terhadap pasien dengan hendaya fisik dan/atau kognitif
mungkin merupakan tugas yang kompleks. Perlu dipertimbangkan berbagai aspek
antara lain aspek psikologis, religius, vokasional, sosial, kebutuhan, keinginan, dan
prioritas. 4 Dalam program rehabilitasi, pasien sebagai anggota tim diharapkan
berperan penuh dalam program rehabilitasi sejak fase akut. Oleh karena itu,
diperlukan orientasi dan penjelasan mengenai proses rehabilitasi. Dokter spesialis
KFR selain berpengetahuan dalam bidang perawatan medis untuk penyakit yang
mengakibatkan disabilitas atau cedera juga memiliki wawasan pengetahuan tentang
keahlian dari profesi lain dalam tim rehabilitasinya. Hal ini merupakan dasar untuk
mengidentifikasi aktivitas fungsional mana yang perlu diperbaiki pada seorang pasien
dan siapa yang melakukan terapinya. Contoh penetapan tujuan program rehabilitasi
diberikan pada gambar 9. Spesialis KFR perlu mengetahui teknik dan intervensi
terapeutik dari berbagai disiplin ilmu mana yang perlu diberikan kepada pasien dan
mana yang merupakan kontra indikasi. 4 Ada berbagai metode yang digunakan dalam
merancang program intervensi yang didasarkan pada diagnosis penyakit, evaluasi
keterbatasan fungsi, keterbatasan aktivitas, hambatan partisipasi dan kinerja
fungsional pasien. 5 Sebagian besar metode intervensi dilakukan oleh spesialis KFR,
tetapi ada juga yang dilakukan oleh tenaga kesehatan lain seperti fisioterapis, terapis
okupasi, terapis wicara dan bahasa, perawat rehabilitasi dan lainnya. Tenaga
profesional lain dapat berperan sebagai bagian dari pelayanan menyeluruh yang
diberikan tim KFR. Berbagai contoh jenis intervensi dalam KFR adalah: Pengobatan
medikamentosa yang bertujuan untuk memulihkan struktur dan/atau fungsi tubuh,
misalnya: injeksi intraartikular atau peritendon, dry needling, spray and stretch,
taping, laser energi rendah, dan lain-lain; Penggunaan modalitas fisik: o kinesioterapi
dan terapi latihan o elektroterapi
64. 39 o terapi panas dan dingin o fototerapi (misalnya terapi ultraviolet) o hidroterapi
dan balneoterapi o terapi manual/ massage o terapi drainase limfatik manual o dan
lain-lain Program rehabilitasi: o Pemberian ortosis (misalnya splint) o Latihan
keterampilan aktivitas hidup sehari-hari o Penyesuaian lingkungan kerja dan rumah o
Penyuluhan strategi untuk mengatasi hendaya kognitif o Terapi wicara dan bahasa
dalam ruang lingkup program KFR yang kompleks; o Penatalaksanaan disfagia; o
Intervensi neuropsikologis; o Intervensi psikologis, termasuk; penyuluhan pasien dan
keluarganya o Terapi nutrisional; o Pemakaian alat bantu, teknologi alat bantu,
prostetik, ortotik, bantuan teknis; o Edukasi pasien, keluarga, profesional o Asuhan
keperawatan rehabilitasi Sekalipun penyebab keterbatasan kemampuan aktivitas
harian seseorang bersifat sementara (misalnya patah tulang lengan bawah) atau
permanen (misalnya paralisis), yang terpenting dari penanganan KFR adalah
mengatasi keterbatasan fungsinya. Hal ini terkait dengan filosofi bahwa
65. 40 life itself is defined by occupation. Sudah jelas bahwa penurunan kinerja seringkali
disebabkan oleh kondisi fisik, namun hal ini juga dapat disebabkan oleh gangguan
emosional atau keadaan lingkungan dengan dampak yang sama besar. Oleh karena itu,
kesehatan dan penyakit harus diukur berdasarkan dampaknya terhadap kehidupan. B.
Strategi Penatalaksanan KFR Program yang efektif dapat menurunkan biaya layanan.
6 Penatalaksanaan rehabilitatif perlu direncanakan secara khusus bagi setiap individu
yang membutuhkan. Ada delapan strategi yang dapat dilakukan untuk mewujudkan
program yang efektif: 7 1. Strategi rehabilitasi yang pertama dan terbaik adalah
pencegahan primer. Strategi ini dilakukan juga oleh spesialis lain, bukan hanya KFR.
Pencegahan primer merupakan pilihan pertama yang terbaik setelah suatu kondisi
akut seperti stroke, cedera medula spinalis, cedera kepala, serangan jantung, luka
bakar atau kondisi lain. 2. Strategi kedua adalah mengurangi proses patologis sampai
tahap minimum. Disini ditekankan pentingnya penanganan rehabilitasi sedini
mungkin untuk mencapai hasil akhir kemampuan fungsional yang optimal. 3. Strategi
ketiga, yang dianggap strategi rehabilitasi secara umum, adalah pencegahan terhadap
komplikasi sekunder (kadang-kadang disebut sebagai disabilitas sekunder). Strategi
ini sering bertabrakan dengan konsep lain, misalnya konsep istirahat di tempat tidur
yang diperlukan sebagai pengobatan tetapi di sisi lain perlu mobilisasi awal untuk
mencegah komplikasi akibat tirah baring yang lama seperti ulkus kompresi (tekan),
dekondisi, kontraktur, kehilangan massa tulang, depresi, dan lain-lain. 4. Strategi
keempat, adalah peningkatan fungsi sistem yang terlibat, yang pada dasarnya
mencoba untuk memperbaiki kerusakan yang terjadi. Contohnya adalah upaya
penguatan anggota tubuh yang lemah pada pasien stroke.
66. 41 5. Strategi kelima adalah meningkatkan fungsi dari sistem yang tidak terlibat,
misalnya penguatan bagian atas tubuh pada pasien paraplegia akibat stroke. Strategi
ini tumpang tindih dengan strategi keenam. 6. Strategi keenam, yakni teknik
kompensasi atau yang bersifat kompensasi, misalnya penguatan sisi tubuh yang tidak
lumpuh pada pasien stroke. 7. Strategi ketujuh, yaitu intervensi aspek kognitif dan
perilaku. Seseorang dengan gangguan persepsi ruang mungkin dapat belajar untuk
berbicara tentang dirinya, untuk bergerak, memakai baju atau tugas lainnya. 8.
Strategi kedelapan, yaitu adaptasi lingkungan. Ini mungkin bersifat sementara dan
digunakan sebelum ketujuh strategi di atas dapat mencapai efek sempurna. Lebih
sering digunakan sebagai proses rehabilitasi. WHO dalam World Report on Disability
(WRD) menekankan bahwa tujuan program rehabilitasi adalah: 8 Pencegahan
kehilangan fungsi; Memperlambat kehilangan fungsi; Memperbaiki atau memulihkan
fungsi; Mengkompensasi fungsi yang hilang; Mempertahankan fungsi yang masih
ada. Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, WRD menekankan bahwa rehabilitasi
harus bersifat sukarela dan penyandang disabilitas harus dilibatkan dalam semua
aspek pembuatan keputusan selama proses rehabilitasi dan bahwa rehabilitasi
membutuhkan kerja tim. Perlu dilakukan penilaian atas diri pasien, termasuk riwayat
pribadi, sosial, vokasional dan rekreasional. Demikian pula halnya faktor-faktor risiko
yang mendasari disabilitas, baik faktor personal (misalnya genetik, gaya hidup)
maupun faktor lingkungan (hambatan arsitektural, kondisi tinggal dan kerja).
67. 42 C. Pencapaian Kualitas Hidup Tertinggi Rehabilitasi yang berhasil di tingkat
individu ditunjukkan dengan sejauh mana ia dapat berpartisipasi di masyarakat.
Tujuan ini adalah harapan tertinggi yang merupakan alasan dilakukannya program
pemulihan rehabilitasi sekaligus juga penghargaan atas kreativitas dan upaya ketika
tujuan tersebut tercapai. Oleh karenanya, program rehabilitasi lebih ditujukan kepada
penyandang hendaya atau disabilitas yang diharapkan masih dapat mencapai
perbaikan fungsi. Tidak dipungkiri bahwa perbaikan fungsi secara fisiologis
merupakan hal yang penting pada seorang individu, baik normal maupun cacat, tetapi
jika pasien dalam kondisi vegetatif, pemeliharaan fungsi tidak menghasikan kualitas
hidup. Berbagai spesialisasi kedokteran memiliki tujuan yang berbeda untuk setiap
layanan yang berbeda. Sebagian besar layanan medis sebetulnya hanya
mengembalikan sebagian dari kapasitas fungsi yang dimiliki pasien. Tindakan
intervensi medis tertentu yang dilakukan dengan tujuan untuk memulihkan pasien
sebenarnya hanya mencapai sebagian dari suatu kehidupan dengan kualitas hidup
yang tinggi. Sebagai contoh, tindakan kateterisasi jantung bertujuan mencegah suatu
keadaan yang berpotensi fatal dengan memastikan kelangsungan hidup organ jantung.
Jika intervensi tersebut tidak diikuti oleh program rehabilitasi yang sesuai, maka
layanan tersebut menjadi tidak komprehensif dan kualitas hidup yang baik tidak
terpenuhi. Sangat disayangkan bahwa penatalaksanaan penyakit kronis dan disabilitas
seperti ini masih sering terjadi. Kualitas hidup seorang individu dikatakan meningkat
jika ia dapat berintegrasi secara internal dengan dirinya dan secara eksternal dengan
lingkungannya. Hal ini tidak tergantung pada faktor finansial dan sosial mengingat
tujuan rehabilitasi adalah pengembalian aset yang ada pada penyandang disabilitas
agar berfungsi optimal di tingkat yang sesuai dengan keinginannya, bukan menjamin
keberhasilan program rehabilitasi yang berbiaya mahal. Tergantung kondisi medis
pasien, keberhasilan suatu tindakan intervensi mungkin hanya berperan kecil dalam
membangun kembali kualitas hidup yang baik.
68. 43 Tabel 7 Komponen- komponen yang berkontribusi pada kualitas hidup Sebagai
hasil pematangan konsep layanan medis yang komprehensif, sekarang sudah diakui
bahwa tujuan layanan KFR adalah untuk memulihkan kualitas hidup seoptimal
mungkin dengan memanfaatkan sumber daya yang tersisa dari pasien. Oleh karena
itu, setiap intervensi medis harus bertujuan agar dapat mencapai perbaikan pasien.
Hasil akhir, yang dievaluasi dengan menilai perubahan fungsi sebagai akibat
intervensi medis, adalah ukuran yang sesungguhnya atas nilai perawatan medis
tersebut. Kedua kriteria tersebut, evaluasi berdasarkan hasil akhir dan tujuan terapi
untuk mengembalikan kualitas hidup, sama dengan ilmu kedokteran yang
komprehensif seperti pada KFR. Contoh latihan memakai kursi roda di bawah ini
akan menjelaskan bagaimana intervensi KFR menghasilkan peningkatan kualitas
hidup dalam
69. 44 kerangka kerja ICF. Latihan memakai kursi roda akan meningkatkan fungsi dan
struktur tubuhkarena mendorong kursi roda secara manual akan melatih kekuatan
otot, daya tahan kardiovaskular, dan fungsi respirasi. Peningkatan kebugaran
selanjutnya dapat meningkatkan kemampuan mendorong kursi roda (aktivitas),serta
lebih banyak terlibat dalam kehidupan seharihari(partisipasi). Kemampuan
menggunakan kursi roda (aktivitas)juga memungkinkan individu untuk berpartisipasi
dalam aktivitas sosial, rekreasional, kewarganegaraan, dan pekerjaan
(partisipasi).imbal baliknya, partisipasi dapat meningkatkan kemampuan individu
untuk menggunakan kursi roda(aktivitas) melalui peningkatan latihan kemampuan,
dan dapat meningkatkan kebugaran fisik dan kesejahteraan psikologis (fungsi dan
struktur tubuh). Gambar 9 Contoh Intervensi yang mempengaruhi kesehatan dan
fungsi pada beberapa tingkatan karena interaksi diantara tingkatan tersebut. Latihan
menggerakan kursi roda manual dan menghindari hambatan meningkatkan
kemampuan seseorang untuk menggerakan kursi roda manual secara mandiri di
lingkungan dalam dan luar. D. Program Pelayanan KFR Spesialis KFR memiliki
peran kompleks mulai dari diagnosis medis, diagnosis fungsional dan sosial sampai
menetapkan rencana penatalaksanaan dengan tujuan pencapaian oleh pasien yang
berbeda-beda, tergantung kebutuhan pasien, dan menerapkan strategi yang
menyeluruh, termasuk peresepan obatobatan, terapi fisik, teknologi rehabilitasi, dan
pengawasan tim layanan.
70. 45 Semua aspek ini selesai setelah dilakukan penilaian akhir terhadap proses secara
keseluruhan. Program KFR secara garis besar mengikuti alur sebagai berikut: Aspek
umum: pertimbangan patologi dan hendaya, masalah fungsi dan disabilitas,
konsekuensi sosial dan ekonomi, prinsip utama program intervensi; Tujuan dan
sasaran: populasi target, tujuan-tujuan program, sasaran dalam terminologi ICF; Isi
program: pengkajian (diagnosis, hendaya, aktivitas dan partisipasi, faktor
lingkungan), jenis intervensi (jadwal program, intervensi spesialis KFR, intervensi
tim), tindak lanjut dan luaran, rencana pemulangan pasien dan tindak lanjut jangka
panjang; Lingkungan dan organisasi: konteks klinis, program klinis, pendekatan
klinis, fasilitas, keselamatan dan hak-hak pasien, penyuluhan; Manajemen informasi:
rekam medik, manajemen informasi, pemantauan program dan luaran; Perbaikan
kualitas: titik kuat dan titik lemah program, rencana kerja untuk memperbaiki
program; Acuan: kepustakaan ilmiah dan pedoman yang digunakan, peraturan dan
undang-undang yang berlaku. E. Kerja Tim (Team Work) Tim yang efektif berperan
penting dalam program KFR dan menghasilkan luaran yang lebih baik bagi pasien
(termasuk angka ketahanan hidup) dalam berbagai macam kondisi kesehatan. Dasar
teori bagi kerja tim yang efektif sudah banyak dibahas dalam disiplin ilmu lain, yang
terpenting antara lain adalah bagaimana menyepakati tujuan, kesepakatan dan saling
memahami bagaimana mencapai tujuan tersebut. Tim multi profesional dengan
berbagai macam pengetahuan dan keterampilan harus dapat bekerja sama yang saling
menguntungkan dan saling menghormati. Ini termasuk keinginan untuk membagi
pengetahuan dan berbicara secara terbuka tentang keahliannya.
71. 46 Spesialis KFR berperan penting dalam alur komunikasi di antara anggota tim. Oleh
karena itu, pertemuan tim merupakan hal yang penting. Spesialis KFR menempatkan
setiap anggota tim sesuai pengetahuan dan keahliannya serta mengkoordinasikan
program pelayanan KFR di dalam tim, termasuk komunikasi dan konsultasi dengan
spesialis lain mengenai penyakit dasar, dengan dokter umum yang bertanggung jawab
terhadap pasien dalam jangka panjang ke depan, serta pekerja sosial yang terlibat
dalam lingkungan sosial pasien. Tentunya, pertukaran informasi dan pembahasan
harus dilakukan secara profesional, rahasia dan disetujui oleh pasien. Selain kerja
sama tim dalam hal informasi dan koordinasi, spesialis KFR juga bertanggung jawab
mengatur hubungan antara berbagai fasilitas kesehatan yang akan dikunjungi dan
dipakai oleh pasien. Spesialis KFR perlu menetapkan kriteria masuk suatu fasilitas
baik dalam konteks akut maupun jangka panjang. Demikian pula kriteria kapan pasien
dapat dipulangkan dan menggunakan fasilitas jangka panjang, dengan atau tanpa
dukungan dari dinas sosial. DAFTAR PUSTAKA 1. World Health
Organisation.Diunduh dari http://www.who.int/ 2. Kottke FJ, Lehmann JF. Krusen s
Handbook of Physical Medicine and Rehabilitation. Philadelphia: WB Saunders
Company, 1990. 3. Gutenbrunner C, Lemoine F, Yelnik A, Joseph PA, de Korvin G,
Neumann V, et al. The field of competence of the specialist in physical and
rehabilitation medicine (PRM). Ann Phys Rehab Med 2011;54:298-318. 4. King JC,
Nelson TR, Heye ML, Turtorro TC, Titus MND. Prescription, referrals, order writing
and the rehabilitation team function. In: DeLisa JA, Gans BM. Rehabilitation
Medicine: Principles and Practice. Philadelphia: Lippincott-Raven Publishers, 1998.
5. Stucki G, Cieza A, Melvin J. The International Classification of Functioning,
Disability and Health: a unifying model for the conceptual description of the
rehabilitation strategy. J Rehabil Med 2007;39:279-85. 6. National Private
Rehabilitation Group (NPRG). Submission to the House of Representative Committee
on Ageing, Inquiry into Australian population ageing medical rehabilitation a key to
healthy ageing. Sydney: NPRG, 2002.
72. 47 7. delateur BJ. Rehabilitative strategies. In: Gonzales-Fernandez M, Friedman JD
(editors). Physical Medicine and Rehabilitation Pocket Companion. New York:
DemosMedical, 2011.pp1-3. World Health Organisation, World Bank. World Report
on Disability. Geneva, Switzerland: World Health Organisation, 2011.

Anda mungkin juga menyukai