Anda di halaman 1dari 23

Bab II

Tinjauan Pustaka
Hemoglobin
Pengertian Hemoglobin
Pengertian Hemoglobin
Hemoglobin adalah protein yang kaya zat besi yang memiliki afinitas (daya
gabung) terhadap oksigen dan dengan oksigen itu membentuk oksihemoglobin di dalam
sel darah merah sehingga oksigen dibawa dari paru - paru ke jaringan - jaringan.1

Hemoglobin adalah suatu molekul yang berbentuk bulat yang terdiri dari 4
subunit. Setiap subunit mengandung satu bagian heme yang berkonjugasi dengan suatu
polipeptida. Heme adalah suatu derivat porfirin yang mengandung besi. Polipeptida itu
secara kolektif disebut sebagai bagian globin dari molekul hemoglobin.1

Fungsi Hemoglobin
Hemoglobin berfungsi mengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh,
sedangkan mioglobin mengangkut dan menyimpan untuk sel-sel otot. Besi yang ada di
dalam tubuh berasal dari tiga sumber yaitu besi yang diperoleh dari hasil perusakan sel-
sel darah merah (hemolisis), besi yang diambil dari penyimpanan tubuh, dan besi yang
diserap dari saluran pencernaan.1,2

Hemoglobin merupakan komponen yang sangat penting dalam mempertahankan


kebutuhan sistem sirkulasi tubuh. Fungsi utamanya adalah dalam mengatur pertukaran O2
dan CO2 dalam jaringan tubuh yaitu mengambil O2 dari paru kemudian dibawa ke seluruh
tubuh untuk digunakan sebagai bahan bakar serta membawa CO2 dari jaringan tubuh hasil
metabolisme ke paru untuk dibuang. hemoglobin juga turut berfungsi dalam
mempertahankan bentuk normal sel darah merah.1,2

Batas Kadar Nilai Hemoglobin

Anemia menurut World Health Organization (WHO) diartikan sebagai suatu


keadaan dimana kadar haemoglobin (Hb) lebih rendah dari keadaan normal untuk
kelompok yang bersangkutan. WHO telah menggolongkan penetapan kadar normal
hemoglobin dalam berbagai kelompok. Kadar hemoglobin normal dapat dilihat di tabel
2.1.3

Tabel 2.1 Kadar Hemoglobin Normal.3


Kelompok Umur Hemoglobin (g/dl)

Anak 6 – 59 bulan 11.0

5 – 11 tahun 11,5

12 – 14 tahun 12,0

Dewasa Wanita (> 15 tahun) 12,0

Wanita hamil 11,0

Cara Pengukuran Hemoglobin


Kadar hemoglobin darah dapat ditentukan dengan berbagai macam cara. Cara
yang banyak dipakai dalam laboratorium klinik ialah cara fotoelektrik dan kalorimetrik
visual dan yang banyak digunakan di lapangan penelitian ialah hemoglobinometer
digital.11

Metode pengukuran kadar hemoglobin yang paling sering digunakan di


laboratorium dan paling sederhana adalah metode Sahli. Cara yang cukup teliti dan
dianjurkan oleh International Committee of Standarization in Hematology (ICSH) adalah
cara sian-methemoglobin. Pada metode ini hemoglobin dioksidasi oleh kalium feosianida
menjadi methemoglobin yang kemudian bereaksi dengan ion sianida (CN2-) membentuk
sian-methemoglobin yang berwarna merah. Intensitas warna dibaca dengan fotometer dan
dibandingkan dengan standar karena yang membandingkan alat elektronik maka lebih
objektif. Penentuan Hb dengan cara ini memerlukan spektrofotometer yang harga dan
biaya pemeliharaan mahal, maka cara ini belum dapat dipakai secara luas di Indonesia.
Mengingat bahwa membawa spektrofotometer dapat menyebabkan kerusakan pada
alatnya. Metode ini baik untuk dipakai dalam pemeriksaan kadar Hb di laboratorium,
namun akan mengalami kesulitan jika digunakan di survei lapangan.4
Cara fotoelektrik atau sian-methemoglobin dilakukan dengan prinsip untuk
mengubah hemoglobin darah menjadi sian-methemoglobin dalam larutan yang berisi
kalium sianida. Absorbansi larutan diukur pada panjang gelombang 540 nm atau filter
hijau. Larutan drabkin yang dipakai pada cara ini mengubah hemoglobin,
oksihemoglobin, methemoglobin dan karboksihemoglobin menjadi sian-methemoglobin.
Kadar hemoglobin ditentukan dari perbandingan absorbansinya dengan absorbansi
standar sian-methemoglobin. Kelebihan dari metode ini adalah cara ini sangat bagus
untuk laboratorium rutin dan sangat dianjurkan untuk penerapan kadar hemoglobin
dengan teliti karena standar sian-methemoglobin yang ditanggung kadarnya bersifat
stabil. Kesalahan cara ini dapat mencapai kira-kira 2%. Kelemahan cara ini adalah
kekeruhan dalam suatu sampel darah dapat mengganggu pembacaan dalam
fotokalorimeter dan menghasilkan absorbansi dan kadar hemoglobin yang lebih tinggi
dari yang sebenarnya contohnya pada keadaan leukositosis dan lipemia.4

Cara pengukuran hemoglobin yang berikutnya adalah cara kalorimetrik visual


atau Sahli. Pada cara ini hemoglobin diubah menjadi asam hematin dalam larutan HCl,
kemudian warna yang terjadi dibandingkan secara visual dengan standar dalam alat itu.
Di Indonesia cara Sahli masih banyak digunakan di laboratorium-laboratorium kecil yang
tidak mempunyai fotokalorimeter. Tetapi cara ini tidak begitu dianjurkan karena
bukanlah cara yang teliti dan hanya berlandaskan pengukuran secara visual dan kesalahan
cara ini kira-kira 10%.4

Berdasarkan penelitian Miko di tahun 2016, metode Sahli memiliki sensitifitas


nilai indeks 100%, spesifisitas nilai anemia 6,1% sedangkan perhitungan uji reliabilitas
1,16%. Hasil tersebut menunjukkkan metode Sahli kurang disarankan karena false
positive microkuvet tinggi. Salah satu metode pengukuran hemoglobin yang praktis
digunakan saat ini adalah dengan menggunakan alat hemoglobinometer digital (easy
touch GCHb). Alat kesehatan ini memiliki keuntungan sangat mudah digunakan,
prosesnya cepat, murah serta lulus uji sehingga dapat digunakan sendiri tanpa bantuan
tenaga medis namun penggunaan alat ini masih terbatas karena tidak semua orang mampu
membeli dan menggunakan alat ini sehingga alat ini kurang umum digunakan di
masyarakat.5
Pada penelitian ini pemeriksaan hemoglobin menggunakan metode Hemocue
dengan alat hemometer digital Easy Touch GCHb (Bioptic Technology Inc., China).
Pengukuran kadar hemoglobin yang direkomendasikan World Health Organization
(WHO) untuk digunakan dalam survei prevalensi anemia adalah Cyanmethemoglobin
dan Hemocue,13 namun metode Cyanmethemoglobin lebih direkomendasikan sebagai
gold standard karena terbukti lebih stabil, sehingga memiliki sensitivitas dan spesifisitas
yang lebih tinggi.6,7

Hemoglobinometer digital merupakan metode kuantitatif yang terpercaya dalam


mengukur konsentrasi hemoglobin di lapangan penelitian dengan bahan kimia pada strip
yang digunakan. Bahan kimia yang terdapat pada strip adalah ferrosianida. Reaksi pada
strip akan menghasilkan arus elektrik dan jumlah elektrik yang dihasilkan adalah
bertindak langsung dengan konsentrasi hemoglobin. Hemoglobinometer digital
merupakan alat yang mudah dibawa dan sesuai untuk penelitian di lapangan karena
teknik untuk pengambilan sampel darah yang mudah dan pengukuran kadar hemoglobin
tidak memerlukan penambahan reagen. Alat ini juga memiliki akurasi dan presisi yang
tinggi berbanding dengan metode laboratorium yang standar alat ini juga stabil walaupun
digunakan dalam jangka masa yang lama.4

Pada metode Hb Sahli banyak sekali sumber kesalahannya contohnya seperti


kemampuan untuk membedakan warna tidak sama, sumber cahaya yang kurang baik,
kelelahan mata, alat-alat kurang bersih, ukuran pipet kurang tepat (perlu kalibrasi), warna
gelas standar pucat atau kotor, dan lain-lain. 8

Prosedur pemeriksaan dengan metode digital (hemoglobin testing system Quick-Check).7


Alat/sarana : Hb-meter, lancing device, sterile lancets, control strip, capillary transfer
tube/dropper, carrying case, canister of test strips, code chip.
Prosedur kerja :
1) Siapkan alat Hb meter dan letakkan canister of test strip ke wadahnya
2) Siapkan lancing device dengan membuka penutup dan masukkan sterile
lancets kemudian tutup kembali
3) Siapkan apusan alkohol di bagian perifer ujung jari, tusukkan sterile
lancets dengan menggunakan lancing device
4) Isap darah menggunakan capillary transfer tube/dropper sampai garis
batas
5) Kemudian tuangkan darah pada canister of test strip
6) Baca hasil yang ditampilkan di layar Hb-meter.
Anemia
2.2.1 Definisi Anemia
Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin menurun sehingga tubuh
akan mengalami hipoksia sebagai akibat kemampuan kapasitas pengangkutan oksigen
dalam darah berkurang. Nilai batas penentu kategori anemia berbeda untuk setiap
kelompok umur dan jenis kelamin.9,10

2.2.2 Penggolongan Anemia


Menurut WHO, batas ambang anemia untuk wanita usia 11 tahun keatas adalah
apabila konsentrasi atau kadar hemoglobin dalam darah kurang dari 12 g/dl.
Penggolongan jenis anemia menjadi ringan, sedang, dan berat belum ada keseragaman
mengenai batasannya, namun untuk mempermudah, anemia dapat digolongkan menjadi
tiga. Penggolongan anemia dapat dilihat di tabel 2.2.9,10

Tabel 2.2 Penggolongan Anemia menurut kadar Hb10

Anemia Hb (g/dl)

Ringan 10,0 – 11,9

Sedang 7,0 – 9,9

Berat <7,0

Anemia dalam kehamilan adalah kondisi ibu dengan kadar hemoglobin dibawah
11gr pada trimester 1 dan 3 atau kadar <10.5 gr pada trimester 2, nilai batas tersebut dan
perbedaannya dengan kondisi wanita tidak hamil, terjadi karena hemodilusi, terutama
pada trimester 2.11
Tabel.
Usia kehamilan Hb Normal (g/dl) Anemia jika Hb Kriteri
kurang dari: (g/dl) a
Trimester I: 0-12 minggu 11,0-14,0 11,0 (Ht 33%) Anem
Trimester II: 13-28 minggu 10,5-14,0 10,5 (Ht 31%) ia
Trimester III: 29 minggu-melahirkan 11,0-14,0 11,0 (Ht 33%) Berda
sarkan
Rata-rata Kadar Hmoglobin normal pada ibu hamil

2.2.3 Klasifikasi Anemia


Secara morfologis, anemia diklasifikasikan menurut ukuran sel dan kadar
hemoglobin.10,11
1. Makrositik
Pada anemia makrositik ukuran sel darah merah dan jumlah hemoglobin tiap sel
bertambah. Ada dua jenis anemia makrositik, yaitu:
a. Anemia megaloblastik adalah kekurangan vitamin B12, asam folat, dan gangguan sintesis
DNA.
b. Anemia non megaloblastik adalah eritropoiesis yang dipercepat dan peningkatan luas
permukaan membran.

2. Mikrositik
Mengecilnya ukuran sel darah merah akibat defisiensi besi, gangguan sintesis globin,
porfirin, dan heme serta gangguan metabolisme besi lainnya.

3. Normositik
Pada anemia jenis ini ukuran sel darah merah tetap. Hal ini disebabkan oleh kehilangan
darah masif, meningkatnya volume plasma berlebihan, penyakit-penyakit hemolitik, gangguan
endokrin, ginjal, dan hati.
Anemia defisiensi besi adalah anemia karena kekurangan zat besi dalam darah. Hal ini
ditandai dengan menurunnya saturasi transferin, berkurangnya kadar feritin serum atau
hemosiderin sumsum tulang. Secara morfologis keadaan ini diklasifikasikan sebagai anemia
mikrositik hipokrom disertai penurunan kuantitatif pada sintesis hemoglobin. Defisiensi besi
merupakan penyebab utama anemia. Wanita usia subur sering mengalami anemia karena
kehilangan darah saat menstruasi dan peningkatan kebutuhan besi sewaktu hamil.9,11

2.2.4 Faktor - faktor Penyebab Anemia


Menurut Depkes RI, anemia terjadi karena kandungan zat besi makanan yang dikonsumsi
tidak mencukupi kebutuhan. Anemia gizi besi dapat terjadi karena:9

1. Kandungan zat besi dari makanan yang dikonsumsi tidak mencukupi kebutuhan.
a. Makanan yang kaya akan kandungan zat besi adalah: makanan yang berasal dari hewan
(seperti ikan, daging, hati, ayam).
b. Makanan nabati (dari tumbuh-tumbuhan) misalnya sayuran hijau tua, yang walaupun kaya
akan zat besi, namun hanya sedikit yang bisa diserap dengan baik oleh usus.
2. Meningkatnya kebutuhan tubuh akan zat besi.

a. Pada masa pertumbuhan seperti anak-anak dan remaja, kebutuhan tubuh akan zat besi
meningkat tajam.

b. Pada masa hamil kebutuhan zat besi meningkat karena zat besi diperlukan untuk pertumbuhan
janin serta untuk kebutuhan ibu sendiri.

c. Pada penderita penyakit menahun seperti TBC.

3. Meningkatnya pengeluaran zat besi dari tubuh seperti perdarahan atau kehilangan darah dapat
menyebabkan anemia. Hal ini terjadi pada penderita :

a. Cacingan (terutama cacing tambang). Infeksi cacing tambang menyebabkan perdarahan pada
dinding usus, meskipun sedikit tetapi terjadi terus menerus yang mengakibatkan hilangnya
darah atau zat besi.

b. Malaria pada penderita Anemia Gizi Besi (AGB), dapat memperberat keadaan anemianya.

c. Kehilangan darah pada waktu haid berarti mengeluarkan zat besi yang ada dalam darah.
2.2.5 Tanda - tanda dan Akibat Anemia
A. Tanda-tanda anemia

Ada berbagai tanda dan gejala pada penderita anemia. Tanda-tanda tersebut seperti lesu, lemah,
letih, lelah, lalai (5L), sering mengeluh pusing dan mata berkunang-kunang. Gejala lebih lanjut
pada anemia adalah organ tubuh menjadi pucat, seperti pada kelopak mata, bibir, lidah, kulit, dan
telapak tangan.9
B. Akibat anemia pada wanita usia subur

Pada wanita usia subur, terdapat beberapa gejala dari anemia. Anemia dapat menimbulkan akibat
seperti menurunkan fungsi imunitas tubuh, menurunkan produktivitas kerja, dan menurunkan
kebugaran. Pada wanita usia subur yang akan memiliki pasangan dan merencanakan memiliki
anak, anemia dapat meningkatkan kejadian BBLR pada bayi baru lahir.9

2.2.6 Program Penanggulangan Anemia


Strategi umum yang dapat dilakukan untuk mengatasi anemia adalah melalui satu atau
lebih dari tiga hal berikut: 1) Suplementasi zat besi yaitu pemberian tablet/kapsul zat besi kepada
kelompok rawan anemia antara lain ibu hamil, balita, anak sekolah, wanita usia subur dan remaja
putri 2) Fortifikasi besi pada pangan tertentu seperti tepung terigu, dan 3) Pendidikan gizi untuk
meningkatkan jumlah asupan dan bioavailabilitas zat besi. Intervensi yang dapat dilakukan untuk
mengontrol anemia defisiensi besi antara lain suplementasi besi, intervensi berbasis pangan,
pengontrolan kecacingan, kontrol infeksi malaria serta intervensi reproduksi dan obstetrik.12
Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah dan menanggulangi anemia akibat
kekurangan konsumsi besi yaitu:
1) Meningkatkan konsumsi besi dari sumber alami melalui penyuluhan, terutama
makanan sumber hewani (heme iron) yang mudah diserap seperti hati ikan, daging dan lain-lain.
Selain itu perlu ditingkatkan juga makanan yang banyak vitamin C dan vitamin A (buah-buahan
dan sayuran) untuk membantu penyerapan besi dan membantu proses pembentukan Hb,
2) Fortifikasi bahan makanan yaitu menambahkan besi, asam folat, vitamin A dan asam
amino essensial pada bahan makanan yang dimakan secara luas oleh kelompok sasaran,
3) Suplementasi besi-folat secara rutin selama jangka waktu tertentu untuk meningkatkan
kadar hemoglobin secara cepat.12
Suplementasi zat besi diperlukan untuk kelompok tertentu yang berisiko dan segera
memerlukan penanganan. Pada kelompok ini penanganan melalui fortifikasi dan perbaikan diet
saja terkadang tidak mencukupi. Oleh karena itu suplementasi dalam bentuk kapsul, sirup atau
bubuk tabur (sprinkle) akan meningkatkan status besi pada kondisi yang normal. Kemudian
setelah itu untuk mempertahankan status gizi besi, dapat dilanjutkan melalui perbaikan konsumsi
makanan.12
WHO telah merekomendasikan konsumsi tablet besi berupa tablet tambah darah (TTD)
60 mg elemental besi dan 2,8 mg asam folat untuk wanita usia subur yang menstruasi adalah 1
kali seminggu selama 12 minggu/3 bulan dengan jeda 3 bulan. Jadi suplementasi diberikan 2 kali
setahun selama 3 bulan. Sehingga jumlah total tablet yang diberikan selama program
suplementasi adalah 24 tablet/tahun. Beberapa penelitian menunjukkan efek suplementasi besi
terhadap peningkatan kadar hemoglobin. Suplementasi mingguan menghasilkan peningkatan
hemoglobin yang sama dengan suplementasi harian dan selama menstruasi. Hal ini secara
rasional dikarenakan turnover sel usus adalah setiap 5-6 hari dan adanya keterbatasan kapasitas
absorpsi besi. Meskipun demikian, jaminan keberhasilan efikasi suplementasi harian tersebut
dalam program kesehatan masyarakat masih terbatas. Hal ini dikarenakan rendahnya tingkat
kepatuhan akibat adanya efek samping (seperti konstipasi, bau serta rasanya yang tidak enak),
serta distribusi tablet yang tidak efisien.12
Sasaran program penanggulangan anemia dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
1) sasaran langsung (wanita usia 15-45 tahun), yang meliputi ibu hamil/nifas, calon
pengantin (catin) wanita, pasangan usia subur, remaja wanita (dalam dan luar sekolah),
pekerja wanita dan WUS tidak hamil,
2) sasaran tidak langsung, yaitu mereka yang mampu mendukung kelancaran program,
meliputi keluarga dan masyarakat, tokoh agama/ masyarakat, kader, warung, toko obat,
perusahaan, tenaga kesehatan, dan perusahaan obat.
Jaringan untuk distribusi tablet besi yang dilakukan oleh Depkes adalah melalui dua jalur:
a) jalur program yang didistribusikan ke sasaran secara gratis melalui Puskesmas atau
Posyandu,
b) jalur mandiri, sasaran harus membeli ke toko/warung, sekolah/pesantren atau lain-
lainnya. 12
Status Gizi
Status gizi adalah keadaan seseorang yang diakibatkan oleh konsumsi,
penyerapan, dan penggunaan zat gizi dari makanan dalam jangka waktu yang lama.
Antropometri sangat penting karena antropometri dapat memonitor dan mengevaluasi
perubahan pertumbuhan dan kematangan yang dipengaruhi oleh faktor hormonal.
Pengukuran paling reliabel untuk ras spesifik dan populer untuk menentukan status gizi
saat ini adalah Indeks Massa Tubuh (IMT). IMT merupakan indeks berat badan seseorang
dalam hubungannya dengan tinggi badan, yang ditentukan dengan membagi BB dalam
satuan kg dengan kuadrat TB dalam satuan meter.13

Wanita yang berstatus gizi baik akan lebih cepat mengalami pertumbuhan badan
dan akan lebih cepat mengalami menstruasi. Sebaliknya wanita yang berstatus gizi buruk
pertumbuhannya akan pelan dan lama serta menstruasinya akan lebih lambat. IMT
mempunyai korelasi positif dengan konsentrasi hemoglobin.13

- Penilaian Status Gizi


Penilaian status gizi adalah suatu proses pemeriksaan keadaan gizi dengan cara
mengumpulkan data baik yang objektif maupun subjektif, untuk dibandingkan dengan
baku yang telah tersedia. Penelitian status gizi dilakukan untuk memberikan gambaran
secara umum mengenai metode penilaian status gizi dan gambaran singkat mengenai
pengumpulan data, perencanaan dan implementasi, serta memberikan penjelasan
mengenai keuntungan dan kelemahan dari tiap metode. Penilaian status gizi dapat
dilakukan dengan dua cara, yaitu secara langsung dengan antropometri, biokimia, klinis
dan biofisika, sementara secara tidak langsung dengan survei konsumsi, status vital dan
faktor ekologi.14

- Pengukuran Antropometri
Antropometri adalah ukuran tubuh manusia. Sedangkan antropometri gizi berhubungan
dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai
tingkat usia dan tingkat gizi. Pengukuran antropometri relatif mudah dilaksanakan,
sekaligus merupakan cara yang paling sering digunakan untuk menilai dan memantau
status gizi.14

Terdapat beberapa parameter yang digunakan untuk menilai status gizi dalam pengukuran
antropometri yaitu:
1) Usia merupakan parameter vital yang sangat penting dalam penilaian status gizi,

2) Berat badan merupakan parameter yang baik dalam menilai status gizi, karena sifatnya
yang mudah mengalami perubahan akibat tingkat konsumsi makanan dan kesehatan,

3)Tinggi badan merupakan parameter yang digunakan untuk menggambarkan keadaan


masa lalu dan sekarang jika usia tidak diketahui dengan tepat.14

- Indikator Antropometri
Indikator antropometri adalah kombinasi dari parameter yang dijadikan dasar dalam
penilaian status gizi. Terdapat beberapa indikator antropometri. Pada dewasa yang
digunakan adalah lingkar lengan atas (LLA) serta indeks massa tubuh (IMT).14

- Indeks Massa Tubuh


Indeks massa tubuh (IMT) merupakan alat yang sederhana untuk memantau status gizi
orang dewasa, khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan.
Penggunaan IMT hanya berlaku untuk orang dewasa berusia 18 tahun atau lebih dan
tidak dapat diterapkan pada bayi, anak, remaja, ibu hamil dan olahragawan.14

Pengukuran IMT dihitung berdasarkan rumus:

IMT = (Berat badan (kg))/(Tinggi badan2 (m2))

- Lingkar Lengan Atas (LLA)


Pengukuran lain yang dapat dilakukan untuk menilai apakah seseorang tersebut
menderita kurang gizi, normal atau gemuk, adalah dengan mengukur LLA, yang
umumnya diukur pada lingkar lengan kiri atas. Biasanya dilakukan pada wanita usia 15–
45 tahun. Bila LLA <23,5cm, wanita tersebut menderita Kurang Energi Kronis (KEK).14

- Klasifikasi Status Gizi


Ambang batas IMT ditentukan dengan merujuk ketentuan Food and Agriculture
Organization (FAO), untuk kepentingan Indonesia, ambang batas dimodifikasi lagi
berdasarkan pengalaman klinis hasil penelitian di beberapa negara berkembang. Berikut
kategori dan ambang batas status gizi berdasarkan IMT pada tabel 2.3:14

Tabel 2.3. Klasifikasi Status Gizi Dewasa Kawasan Asia Pasifik berdasarkan IMT14
IMT(Kg/m2 ) Status Gizi

<18,5 Berat badan kurang

18,5 – 22,99 Normal

23 – 24,99 Berat badan lebih

25 – 29,99 Obesitas tipe I

≥30 Obesitas tipe II

Konsumsi Zat Besi

Konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang
dimakan (dikonsumsi) seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu. Definisi ini
menunjukkan bahwa konsumsi pangan dapat ditinjau dari aspek jenis pangan yang
dikonsumsi dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Pangan sebagai sumber berbagai zat
gizi merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi setiap hari. Pangan sumber zat besi
terutama zat besi heme, yang bioavailabilitasnya tinggi, sangat jarang dikonsumsi oleh
masyarakat di negara berkembang, yang kebanyakan memenuhi kebutuhan besi mereka
dari produk nabati.13

Bioavailabilitas zat besi dalam makanan sangat dipengaruhi oleh faktor


pendorong dan penghambat. Absorpsi zat besi dapat bervariasi dari 1-40 persen
tergantung pada faktor pendorong dan penghambat dalam makanan. Menurut FAO/WHO
(2001), faktor pendorong penyerapan zat besi. Konsumsi pangan yang rendah kandungan
zat besi dapat menyebabkan ketidakseimbangan besi di dalam tubuh. Selain itu, tingginya
konsumsi pangan yang dapat menghambat penyerapan besi dan rendahnya konsumsi
pangan yang dapat membantu penyerapan besi di dalam tubuh juga dapat menyebabkan
ketidakseimbangan besi di dalam tubuh.13

Jika hal tersebut berlangsung dalam jangka waktu yang lama, maka dapat
menyebabkan defisiensi besi.13
Di Indonesia, ketidakcukupan jumlah Fe dalam makanan terjadi karena pola
konsumsi makan masyarakat Indonesia masih didominasi sayuran sebagai sumber zat
besi yang sulit diserap. Sementara itu, daging dan bahan pangan hewani sebagai sumber
zat besi yang (heme iron) jarang dikonsumsi terutama oleh masyarakat pedesaan.13

Besi makanan diabsorpsi oleh seseorang yang berada dalam status besi baik
sebanyak 5 - 15 persen dan jika dalam keadaan defisiensi besi, absorpsi dapat mencapai
50 persen. Faktor bentuk besi berpengaruh terhadap absorpsi besi. Besi heme yang
terdapat dalam pangan hewani dapat diserap dua kali lipat daripada besi nonheme.13

Besi dalam makanan terdapat dalam bentuk besi heme (dalam hemoglobin dan
mioglobin makanan hewani) dan besi non-heme (dalam makanan nabati). Sumber besi
non-heme yang baik diantaranya adalah kacang - kacangan. Asam fitat yang terkandung
dalam kedelai dan hasil olahannya dapat menghambat penyerapan besi. Namun karena
zat besi yang terkandung dalam kedelai dan hasil olahannya cukup tinggi, hasil akhir
terhadap penyerapan besi akan positif. Sayuran daun berwarna hijau memiliki kandungan
zat besi yang tinggi sehingga jika sering dikonsumsi makan akan meningkatkan cadangan
zat besi di dalam tubuh. Beberapa sayuran hijau mengandung asam oksalat yang dapat
menghambat penyerapan besi, namun efek menghambatnya relatif lebih kecil
dibandingkan asam fitat dalam serealia dan tanin yang terdapat dalam teh dan kopi.13

Bioavailabilitas zat besi dalam makanan sangat dipengaruhi oleh faktor


pendorong dan penghambat dalam makanan. Faktor pendorong penyerapan zat besi
diantaranya (1) besi heme yang terdapat dalam daging, unggas, ikan dan seafood, (2)
Asam askorbat atau vitamin C, terdapat dalam buah-buahan dan (3) Makanan fermentasi
seperti asinan dan kecap. Sedangkan faktor penghambat penyerapan zat besi diantaranya
(1) Fitat, terdapat dalam sekam dan butir serealia, tepung, kacang-kacangan, (2) Makanan
dengan kandungan inositol tinggi, (3) Protein di dalam kedelai, (4) Besi yang terikat
phenolic (tannin); teh, kopi, coklat, beberapa bumbu (seperti oregano) dan (5) Kalsium,
terutama dari susu dan produk susu.13

Sumber baik zat besi berasal dari pangan hewani seperti daging, unggas dan ikan
karena mempunyai ketersediaan biologik yang tinggi. Pangan hewani seperti daging sapi,
daging unggas, dan ikan memiliki Meat, Fish, Poultry Factor (MFP Factor) yang dapat
meningkatkan penyerapan besi. Hasil pencernaan ketiga pangan tersebut menghasilkan
asam amino sistein dalam jumlah besar. Selanjutnya asam amino tersebut mengikat besi
dan membantu penyerapannya. Kandungan zat besi pada makanan dapat dilihat di tabel
2.4 .15

Tabel 2.4. Kandungan Zat Besi Dalam Makanan13

Bahan Makanan Zat besi (mg/100g)

Hati 6.0 – 14.0

Daging 2.0 – 4.2

Ikan 0.5 – 1.0

Telur ayam 2.0 – 3.0

Kacang-kacangan 1.9 – 14.0

Tepung gandum 1.5 – 7.0

Sayuran hijau daun 0.4 – 18.0

Umbi-umbian 0.3 – 2.0

Buah-buahan 0.2 – 4.0

Beras 0.5 – 0.8

Susu sapi 0.1 – 0.4

Konsumsi pangan yang rendah kandungan zat besi dapat menyebabkan


ketidakseimbangan besi di dalam tubuh. Selain itu, tingginya konsumsi pangan yang
dapat menghambat penyerapan besi dan rendahnya konsumsi pangan yang dapat
membantu penyerapan besi di dalam tubuh juga dapat menyebabkan ketidakseimbangan
besi di dalam tubuh. Jika hal tersebut berlangsung dalam jangka waktu yang lama, maka
dapat menyebabkan defisiensi besi.13

Paritas

Paritas adalah jumlah janin dengan berat badan lebih dari 500 gram yang pernah
dilahirkan, hidup maupun mati, bila berat badan tidak diketahui, maka dipakai umur
kehamilan lebih dari 24 minggu. Paritas atau jumlah persalinan juga berhubungan dengan
anemia, dimana ibu yang mengalami kehamilan lebih dari 4 kali juga dapat
meningkatkan resiko mengalami anemia. Prevalensi anemia pada kelompok paritas 0
lebih rendah daripada paritas 5 ke atas. Semakin sering seorang wanita melahirkan maka
semakin besar resiko kehilangan darah dan berdampak pada penurunan kadar Hb. Setiap
kali wanita melahirkan, jumlah zat besi yang hilang diperkirakan sebesar 250 ml. Hal
tersebut akan lebih berat lagi apabila jarak melahirkan relatif pendek. Paritas 2-3 kali
merupakan paritas paling aman ditinjau dari sudut kematian maternal. Badan Koordinasi
Keluarga Berencana Nasional menganjurkan agar kesehatan ibu selama hamil dapat
optimal dalam menyongsong persalinannya maka jumlah persalinan yang telah dialami
tidak lebih dari 2 kali.13,14

Status Ekonomi

Pada umumnya perilaku seseorang di bidang kesehatan dipengaruhi oleh latar


belakang sosial ekonomi. WHO melaporkan bahwa tingkat ekonomi berperan sebagai
latar belakang (underlying factor) dari faktor lainnya dalam mempengaruhi kematian. Di
samping penyebab medis, faktor status ekonomi juga mempunyai peranan penting.
Tingkat kemiskinan negara berkembang dapat menjadi penyebab penyakit anemia
terberat dan mempunyai dampak yang serius pada sebagian besar negara di dunia. Sekitar
2/3 wanita usia subur yang bekerja di negara berkembang diperkirakan menderita anemia
dibanding negara maju hanya 14%. Kesukaran yang ditimbulkan oleh gizi buruk,
kekurangan air, tabu terhadap makanan, produksi dan cadangan makanan yang tidak
cukup dan tidak adanya sistem jaminan sosial yang tidak efektif secara bersama – sama
menurunnya kesehatan dan menyebabkan anemia pada para wanita. Asupan gizi sangat
ditentukan oleh daya beli keluarga untuk menentukan menu makanan sehari – hari. Status
sosial ekonomi berguna untuk memastikan apakah ibu berkemampuan membeli dan
memilih makanan yang bervariasi gizi tinggi. Pada masyarakat dengan status sosial
ekonomi rendah, pemanfaatan fasilitas kesehatan oleh masyarakat masih jauh dari
optimal.11

Keadaan ekonomi yang rendah, umumnya berkaitan erat dengan masalah


kesehatan yang dihadapi. Seseorang dengan tingkat pendidikan dan sosio-ekonomi
menengah ke atas akan memiliki banyak pilihan dalam memilih sumber zat besi,
terutama jenis heme (hewani) yang merupakan sumber terbesar Fe bagi tubuh. Anemia
defisiensi besi mencerminkan kemampuan sosio-ekonomi masyarakat untuk dapat
mencukupi kebutuhan dalam jumlah dan kualitas gizi yang tercermin dari status gizi.13,14

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ugi (2013) mengenai hubungan tingkat
sosial ekonomi dengan kadar hemoglobin, didapatkan data responden dengan status
ekonomi rendah sebanyak 49 persen yang mengalami anemia lebih rendah dari pada
responden dengan status ekonomi tinggi yaitu 60,4 persen. Dimana nilai OR
sebesar 1,6 pada hubungan tersebut memiliki arti bahwa status ekonomi yang rendah
berpeluang 1,6 kali dibanding ibu hamil yang status ekonominya tinggi. Tingkat sosial
ekonomi diantaranya adalah (pendapatan, pendidikan dan jumlah anggota keluarga).13

Tingkat ekonomi (pendapatan) rendah dapat mempengaruhi pola makan.


Sebagian besar pengeluaran ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pangan, dengan
berorientasi pada jenis pangan karbohidrat. Hal ini disebabkan makanan yang
mengandung banyak karbohidrat, lebih murah dibandingkan dengan makanan sumber zat
besi, sehingga kebutuhan zat besi akan sulit terpenuhi, dan dapat berdampak pada
terjadinya anemia gizi besi.13

Semakin rendah status gizi seseorang, semakin meningkat pula risiko terjadinya
anemia. Bila makanan yang dikonsumsi mempunyai nilai gizi yang baik, maka status gizi
juga akan baik, sebaliknya jika makanan yang dikonsumsi nilai gizinya kurang, maka
akan memicu terjadinya kekurangan gizi serta dapat pula menimbulkan anemia karena
pada dasarnya, kejadian anemia pada suatu individu secara langsung dipengaruhi oleh
pola konsumsi makanan sehari-hari yang kurang mengandung zat besi, selain adanya
faktor infeksi pemicu.13,14
Jarak kehamilan

Jarak kehamilan sangat mempengaruhi status anemia gizi besi pada wanita hamil, hal ini
disebabkan karena pada saat kehamilan cadangan besi yang ada di tubuh akan terkuras untuk
memenuhi kebutuhan zat besi selama kehamilan terutama pada ibu hail yang mengalami
kekurangan cadangan besi pada awal kehamilan dan pada saat persalinan wanita hamil juga
banyak kehilangan besi melalui perdarahan. Dibutuhkan waktu lama untuk memulihkan
cadangan besi yang ada di dalam tubuh, waktu yang paling baik untuk memulihkan kondisi
fisiologis ibu adalah dua tahun. Dengan begitu kebutuhan besi yang dibutuhkan janin dan
plasentanya tidak dapat dipenuhi secara maksimal. Jarak kehamilan yang kurang dari dua tahun
sering ditemukan di negara berkembang. 16

Pendidikan

Pendidikan adalah pembelajaran pengetahuan, keterampilan, dan kebiasaan sekelompok


orang yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui pengajaran, pelatihan,
atau penelitian.4 Tingkatan pendidikan ibu mempengaruhi perilakunya. Semakin tinggi
pendidikan akan mempengaruhi pgetahuannya, semakin tinggi kesadaran untuk mencegah
terjadinya anemia. Tingkat pengetahuan ibu hamil juga akan mempengaruhi perilaku gizi yang
berdampak pada pola kebiasaan makan yang pada akhirnya dapat menghindari terjadinya
anemia. Tingkat pengetahuan ibu hamil dapat diperoleh dari pendidikan formal, informal, dan
non-formal. Tinggi rendahnya pendidikan erat kaitannya dengan tingkat pengetahuan ibu tentang
zat besi (Fe) serta kesadarannya terhadap konsumsi tablet zat besi (Fe) selama hamil. Tingkat
pendidikan ibu hamil yang rendah mempengaruhi penerimaan informasi sehingga pengetahuan
tentang zat besi (Fe) menjadi terbatas dan berdampak pada kejadian anemia defisiensi besi.

Pendidikan ibu sangat mempengaruhi bagaimana seseorang untuk bertindak dan mencari
penyebab serta solusi dalam hidupnya. Orang yang berpendidikan tinggi biasanya akan bertindak
lebih rasional. Oleh karena itu orang yang berpendidikan akan mudah menerima gagasan baru.
Demikian halnya dengan ibu yang berpendidikan tinggi akan memeriksakan kehamilannya
secara teratur demi menjaga keadaan kesehatan dirinya dan anak dalam kandungannya.
Pendidikan secara umum adalah upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain baik
individu, kelompok masyarakat sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku
pendidikan. Makin tinggi pendidikan sehingga tidak menimbulkan anemia pada kehamilan, ibu
hamil dengan pendidikan tinggi prevalensinya rendah untuk terkena anemia pada kehamilan.
Sebaliknya pendidikan yang kurang akan menghambat perkembangan seseorang terhadap
penilaian baru yang diperkenalkan. Tingkat pendidikan ibu hamil yang rendah akan
mempengaruhi penerimaan informasi sehingga pengetahuan tentang zat besi (Fe) menjadi
terbatas dan berdampak pada terjadinya anemia akibat difisiensi besi.17

ANC (Antenatal Care)


Pemeriksaan antenatal adalah pemeriksaan kehamilan untuk mengoptimalkan kesehatan
mental dan fisik ibu hamil, hingga mampu menghadapi persalinan, kala nifas, persiapan
pemberiaan ASI dan kembalinya kesehatan reproduksi dengan sehat.18 Kunjungan antenatal
adalah kunjungan ibu hamil ke bidan atau dokter sedini mungkin semenjak hamil untuk
mendapatkan pelayanan / asuhan antenatal. Pada setiap kunjungan antenatal petugas kesehatan
melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk mendapatkan diagnosis kehamilan serta
menentukan adanya masalah atau komplikasi.
Tujuan umum antenatal adalah untuk memenuhi hak setiap ibu hamil memperoleh
pelayanan antenatal yang berkualitas sehingga mampu menjalani kehamilan dengan sehat,
bersalin dengan selamat, dan melahirkan bayi yang sehat.18
Tujuan khusus dilakukannya antenatal yaitu;
1. Menyediakan pelayanan antenatal terpadu, komprehensif dan berkualitas, termasuk
konseling kesehatan dan gizi ibu hamil, konseling KB dan pemberian ASI.
2. Menghilangkan “missed opportunity” pada ibu hamil dalam mendapatkan pelayanan
antenatal terpadu, komprehensif, dan berkualitas.
3. Mendeteksi secara dini kelainan/penyakit/gangguan yang diderita ibu hamil.
4. Melakukan intervensi terhadap kelainan/penyakit/gangguan pada ibu hamil sedini
mungkin.
5. Melakukan rujukan kasus ke fasiltas pelayanan kesehatan sesuai dengan sistem rujukan
yang ada.
Salah satu tujuan pemeriksaan ANC adalah mengenali dan menangani penyakit yang
menyertai kehamilan. Cakupan pelayanan antenatal dapat dipantau melalui kunjungan ibu hamil.
Pelayanan standar paling sedikit 4 kali kunjungan yaitu sampai dengan kehamilan trimester
pertama (<14 minggu) satu kali kunjungan, dan kehamilan trimester kedua (14-28 minggu) satu
kali kunjungan dan kehamilan trimester ketiga (28-36 minggu dan sesudah minggu ke-36) dua
kali kunjungan. Melalui pemeriksaan ANC ibu dapat memperoleh penyuluhan kesehatan yang
berhubungan dengan kehamilan seperti penyuluhan gizi dan makanan, serta mendapatkan tablet
tambah darah dari petugas kesehatan dimana konsumsi tablet tambah darah akan memperkecil
terjadi-nya anemia dalam kehamilan.19

Studi Cuneyt dkk menemukan bahwa lebih dari setengah wanita dengan anemia (57,1%)
memiliki 10 atau kurang kunjungan antenatal care. Dengan kata lain, wanita yang dirawat
untuk perawatan antenatal kurang dari 10 kali selama kehamilan memiliki prevalensi anemia
secara signifikan lebih tinggi daripada mereka yang dirawat 10 kali atau lebih selama
kehamilan. Percobaan kontrol acak multi-negara yang dilakukan oleh WHO menunjukkan
bahwa intervensi penting dapat diberikan lebih dari empat kunjungan pada interval tertentu,
setidaknya untuk wanita yang sehat. Oleh karena itu, untuk intervensi anemia yang paling
efektif, penting bahwa wanita harus menghadiri klinik antenatal pada trimester pertama
kehamilan mereka. Dalam penelitian ini, hanya 17% wanita yang melakukan kunjungan
perawatan antenatal pertama mereka pada trimester pertama, dan karenanya, sebagian besar
wanita hamil melewatkan intervensi anemia.23

Demikian pula, studi ini berpikir bahwa dampak jumlah kunjungan antenatal pada anemia
ibu dalam penelitian ini terutama disebabkan dari usia kehamilan pada inisiasi perawatan
antenatal. Usia kehamilan yang lebih awal pada penerimaan pertama akan meningkatkan
kunjungan perawatan antenatal total pada akhir kehamilan dan juga akan mencegah penipisan
penyimpanan besi karena suplementasi dini.23

Hasil penelitian Pratiwi dkk, sama halnya dengan penelitian yang dilakukan menunjukkan
bahwa variabel jumlah kunjungan ANC berpengaruh terhadap kejadian anemia pada usia
remaja di Kecamatan Hinai Kabupaten Langkat. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh
Darmawan (2003) juga menyatakan bahwa Frekuensi Antenatal Care berhubungan dengan
anemia pada ibu hamil. Sedangkan Amiruddin dkk (2004) pada pe- nelitiannya menyatakan
bahwa frekuensi ANC tidak berhubungan dengan kejadian anemia pada ibu hamil. 24
Pemeriksaan kehamilan dianjurkan minimal 4 kali dalam kondisi kehamilan normal. Standar
ANC dikenal dengan 7T yaitu Timbang berat badan dan ukur tinggi badan,ukur Tekanan
darah, periksa Tinggi fundus uteri, berikan Tetanus toxoid, Tablet tambah darah, Tes
penyakit kelamin dan Temu wicara dalam rangka persiapan rujukan. Pemeriksaan kehamilan
secara teratur merupakan upaya untuk mendeteksi lebih dini bahaya atau komplikasi yang
bisa terjadi dalam kehamilan seperti anemia defisiensi besi pada ibu hamil.25

Usia

Usia merupakan usia individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat ini. Dalam
usia reproduksi sehat usia yang aman untuk kehamilan dan persalinan adalah 20 tahun sampai
dengan 35 tahun. Pada usia kurang dari 20 tahun perkembangan biologis dalam hal ini alat
reproduksi belum optimal dan psikis belum matang sehingga menyebabkan wanita hamil mudah
mengalami guncangan mental yang mengakibatkan kurangnya perhatian terhadap pemenuhan
kebutuhan zat-zat gizi selama kehamilannya. Pada usia lebih dari 35 tahun merupakan risiko
untuk hamil berubungan dengan alat-alat reproduksi yang terlalu tua.20

Studi Waode dkk mendepatkan usia ibu merupakan faktor risiko terhadap kejadian
anemia Studi ini menunjukkan bahwa responden dengan usia < 20 tahun dan > 35 tahun
memiliki risiko 7,21 kali untuk mengalami anemia dibandingkan dengan responden dengan
usia 20-35 tahun. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang
menunjukkan adanya hubungan antara faktor usia terhadap kejadian anemia pada ibu hamil
dimana terdapat peningkatan kejadian anemia pada ibu hamil dengan usia 20 tahun dan usia
diatas 35 tahun.21
Penelitian Cicih dkk menunjukkan bahwa ibu muda memiliki risiko 56% lebih tinggi
dari anemia. Demikian pula, Barroso dkk. di Inggris menemukan bahwa kemungkinan
anemia adalah 96% lebih tinggi pada ibu muda. Serta Briggs dkk menyatakan bahwa remaja
(≤ 19 tahun) adalah 2,5 kali lebih mungkin menjadi anemia dibandingkan orang dewasa pada
predelivery. Dalam penelitian ini mengandung ibu muda yang lebih mungkin memiliki
prevalensi perdarahan antepartum yang lebih tinggi. Sebuah penelitian sebelumnya
melaporkan remaja (wanita ≤19 tahun) memiliki kandungan besi feritin dan besi tubuh yang
jauh lebih rendah dibandingkan dengan orang dewasa yang dapat meningkatkan risiko
anemia pada kehamilan. Banyak remaja dapat memulai kehamilan dengan cadangan besi
rendah karena asupan zat besi yang kurang baik dan / atau tuntutan pertumbuhan.25
Daftar Pustaka

1. Pearce, Evelyn. Anatomi dan fisiologi untuk paramedis. Jakarta: Gramedia; 2009.
2. Soekirman. Ilmu gizi dan aplikasinya. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi
Departemen Pendidikan Nasional; 2000.
3. Arisman. Gizi dalam daur kehidupan: buku ajar ilmu gizi. Jakarta: EGC; 2004.
4. Siahaan R, Nashty. Faktor-faktor yang berhubungan dengan status anemia pada remaja
putri di wilayah depok tahun 2011. Jakarta: FKM UI; 2012.
5. Kusumawati E. Perbedaan hasil pemeriksaan kadar hemoglobin (Hb) remaja
menggunakan metode Sahli dan digital (Easy Touch GCHb) Journal of Health Science
and Prevention Vol
2(2), September 2018. Surabaya:Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Surabaya;2018.
6. WHO. Haemoglobin Concentrations for The Diagnosis of Anaemia and Assessment of
Severity. Geneva: World Health Organization; 2011.
7. WHO, UNICEF & UNU. Iron Deficiency Anaemia: Assessment, Prevention and Control,
A Guide for Programme Managers. Geneva: World Health Organization; 2001.
8. Febianty N. Perbandingan pemeriksaan kadar hemoglobin dengan menggunakan metode
Sahli dan Autoanalyzer pada orang normal. Bandung: Universitas Kristen
Maranatha;2017.
9. Departemen Kesehatan. Pedoman Penanggulangan Anemia Gizi untuk Remaja Putri dan
Wanita Usia Subur. Jakarta: Depkes RI. 1998.

10. WHO [World Health Organization]. 2001. Iron Deficiency Anaemia, Assessment,
Prevention, and Control: A guide for programme managers. Geneva: World Health
Organization.

11. Masrizal. Anemia defisiensi besi dalam Jurnal Kesehatan Masyarakat. Vol 2. No.1.
Andalas; 2007.
12. Hidayah N. Analisis Faktor Penyebab Anemia Wanita Usia Subur di Desa Jepang Pakis
Kabupaten Kudus. Kudus; 2016.
13. Arumsari E. Faktor risiko anemia pada remaja putri beserta program pencegahan dan
penanggulangan anemia gizi besi (PPAGB) di kota Bekasi. Bogor: Program Studi Gizi
Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor; 2008.
14. Nissa S. Hubungan status sosio ekonomi dan status gizi dengan kejadian anemia pada
wanita usia subur prakonsepsi di kecamatan terbanggi besar kabupaten lampung tengah.
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung: Lampung;2017.
15. Pramartha A. Perbedaan kadar hemoglobin pada kelompok wanita vegetarian dengan
non-vegetarian. ISM vol. 7. No. 1. Bali:Universitas Udayana;2016.
16.

17.
18.
19.
20.

21. sitti asfiah w, Yulia A, Wahidatun Asryani S. Faktor - faktor risiko usia, asupan tablet
fe dan status gizi yang berhubungan dengan kejadian anemia pada ibu hamil. Medula.
2014;2(1):131-133.
22. Opitasari C, Andayasari L. Young mothers, parity and the risks of anemia in the third
trimester of pregnancy. Health Science Journal of Indonesia. 2015;6(1):7-11.
23. Lestari S, Fujiati I, Keumalasari D, Daulay M, Martina S, Syarifah S. The prevalence
of anemia in pregnant women and its associated risk factors in North Sumatera,
Indonesia. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science.
2018;125:012195.
24. Mahayana SA, Chundrayetti E, Yulistini. Faktor Risiko yang Berpengaruh terhadap
Kejadian Berat Badan Lahir Rendah di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan
Andalas. 2015;4(3).
25. Opitasari C, Andayasari L. Young mothers, parity and the risks of anemia in the third
trimester of pregnancy. Health Science Journal of Indonesia. 2015;6(1):7-11.
26.

Anda mungkin juga menyukai