Anda di halaman 1dari 246

Bab 1 Duka Datang Bertubi-tubi

Pemandangan dari atas gunung Bu-Tong san memang tiada duanya. Saat ini musim semi, matahari
sore bersinar dengan cerah. Angin sepoi-sepoi menghembus menyejukkan hati siapa saja yang berada
diatas gunung ini.

Tapi angin sejuk itu tidak mampu menembus ke dada ratusan murid Bu Tong pai (partai silat Bu-Tong)
saat ini. Guru besar mereka, sekaligus pendiri perguran Bu Tong dan juga ketua partai itu, Thio Sam
Hong, baru saja meninggal dunia. Beliau adalah salah satu tokoh terbesar pada jamannya. Bahkan
kebesaran nama beliau tidak saja menggetarkan dunia kang ouw (dunia persilatan), tapi bahkan juga
mampu menembus hati orang-orang biasa, dan rakyat jelata.

Thio Sam Hong memang adalah orang yang sangat dihormati. Para pendekar aliran lurus sangat
mengagumi beliau. Tokoh aliran sesat juga kagum, dan gentar mendengar namanya. Thio Sam Hong
adalah pencipta ilmu-ilmu hebat. Salah satu ilmu ciptaannya adalah Thay Kek Kun. Ilmu dahsyat ini
menggetarkan dunia persilatan, dan jarang bisa ditemui lawannya.

Ia juga adalah seorang tokoh pendeta Tao yang kedalaman pengetahuan agama serta filsafatnya
jarang mempunyai tandingan. Banyak orang yang ketika mendengar namanya saja akan tunduk dan
merasa takluk.

Selain itu, beliau juga memiliki umur yang sangat panjang. Beliau mencapai umur lebih dari 170 tahun.
Konon kabarnya karena ilmu silatnya itu sangat hebat sehingga mempangaruhi usia dan kesehatannya.

Kematian tokoh seperti ini sudah pasti akan menggemparkan seluruh Tionggoan (Cina daratan). Sudah
bisa diramalkan berita kematiannya akan membuat dunia Kang ouw gempar. Proses penguburan
jenazahnya akan mengundang keramaian besar.

Namun, Thio Sam Hong adalah tokoh bijaksana yang sangat rendah hati. Sebelum kematiannya beliau
menulis surat wasiat agar berita kematiannya baru disebarkan ke dunia kang ouw 3 bulan setelah
proses pemakaman beliau.
Surat wasiat itu juga menunjuk Lau Tian Liong sebagai Ciangbunjin (ketua) partai yang baru. Murid-
murid Butong pay menerima isi surat wasiat itu dengan rasa haru.

Mereka merasa guru besar mereka itu pantas mendapatkan pemakaman seperti seorang kaisar.
Namun sang guru memilih dikuburkan dengan suasana yang khidmat. Memang proses pemakaman
beliau sangat sederhana. Walaupun dihadiri ratusan murid Bu-Tong Pai, pemakaman itu sakral dan
sederhana. Hanya diurusi beberapa orang yang sudah ditunjuk, dan beberapa pendeta Tao yang
membaca kitab suci.

Butong pay memang sedang bersedih. Guru besar mereka meninggal. Sedangkan murid-murid hebat
mereka banyak yang gugur saat pertempuran melawan bangsa Goan. Saat itu Butong, yang bergabung
dengan berbagai perguruan persilatan dari berbagai aliran, memutuskan untuk menumbangkan bangsa
penjajah.

Gerakan perlawanan itu dipimpin oleh murid Butong yang paling hebat. Murid legendaris itu berhasil
menyatukan berbagai golongan bulim, dan berhasil memimpin perang melawan Goan (mongol). Padahal
istrinya sendiri adalah putri dari jendral Goan yang masih punya hubungan saudara dengan Kaisar.

Sebuah penghianatan dari bawahannya, membuat murid terbaik Butong itu kecewa dan mengundurkan
diri ke sebuah pulau terpencil beserta istrinya. Kenyataan itu membuat Thio Sam Hong sangat
terpukul karena ia menaruh harapan besar terhadap muridnya itu.

Selain bakat yang sangat besar, murid kesayangan Thio Sam Hong itu adalah orang yang sangat lurus
sifatnya. Ia juga memiliki ilmu tinggi dari berbagai macam aliran. Namun kerendahan hati
membuatnya ia disukai banyak orang, sehingga orang-orang mau mengangkatnya sebagai Bu Lim Beng
Cu (pemimpin dunia persilatan).

Murid lain asal Butong memang tidak sehebat murid kesayangan Thio Sam Hong itu, namun mereka
juga memiliki ilmu yang dahsyat. Sayang banyak sekali dari mereka yang gugur dalam peperangan
sehingga murid-murid yang tersisa di Butong memang bukan mereka yang terlalu istimewa.

Karena kenyataan ini Thio Sam Hong tidak mampu menurunkan ilmu-ilmunya yang paling hebat kepada
murid-murid yang tersisa. Ia memang berusaha menurunkan ilmu-ilmu itu, namun bakat dan
pemahaman dari murid-muridnya memang tidak ada yang sedalam dan sebesar murid kesayangannya
itu.
Setelah sang murid mengasingkan diri ke pulau terpencil, Thio Sam Hong yang sangat kecewa
berusaha memendam kekecewaannya, mengucilkan diri dengan menciptakan ilmu-ilmu baru yang lebih
dahsyat. Para murid yang mengerti dengan keadaan ini, berusaha untuk tidak menyebut-nyebut nama
murid kesayangan Thio Sam Hong itu. Karena sering mereka lihat Thio Sam Hong berubah wajahnya
menjadi sedih ketika ia mendengar nama muridnya itu disebut. Akhirnya karena lama tidak disebut,
nama murid kesayangan itu mulai terlupakan. Bahkan mungkin kini tidak ada lagi orang yang tau siapa
sebenarnya nama sang murid kesayangan itu.

Lau Tian Liong, sang ciangbunjin baru, adalah salah satu dari murid Thio Sam Hong yang paling hebat,
yang masih hidup. Ia sudah berusia 70 tahunan. Saat terjadi kejadian besar peperangan pengusiran
penjajah Goan itu, ia mungkin baru berusia belasan tahun. Thio Sam Hong sendiri sudah berusia
sekitar 100 tahun lebih saat itu.

Lau Tian Long tidak ikut berperang, karena termasuk dalam golongan murid pemula yang masih belum
cukup ilmu untuk turun ke kancah perang. Ia memiliki bakat yang besar juga. Thio Sam Hong sudah
melihat hal ini, dan mengajarkannya ilmu-ilmu yang sangat tinggi. Sekarang ini memang nama Lau Tian
Long juga menggetarkan dunia kang-ouw, karena dianggap sebagai salah satu orang yang paling tinggi
ilmunya.

Lau Tian Liong, sang Ciangbunjin baru

Namun tingginya ilmu Lau Tian Liong ini tidak diikuti dengan tingginya ilmu murid-murid Bu-tong saat
ini. Oleh sebab itu, tepat setelah 3 bulan, batas yang diberikan Thio Sam Hong untuk memulai
memberitakan kabar kematiannya ke dunia ramai, ia juga memerintahkan murid-murid utama Bu-tong
untuk mulai mencari murid lebih banyak lagi.

Para calon murid ini harus memiliki bakat yang besar, dari keluarga yang lurus dan berasal-usul jelas.
Orang-orang yang ditugaskan untuk mengumpulkan murid ini adalah murid dari angkatan ketiga.
Mereka ini adalah terdiri dari murid-murid hebat yang ditugaskan untuk berkelana ke segala penjuru
Tionggoan untuk menegakkan kebenaran. Tegasnya, mereka adalah pendekar-pendekar yang turun
langsung ke dunia kang ouw.

Murid yang bisa tembus sampai angkatan ke 3, adalah murid-murid yang sangat hebat. Dalam Bu-
Tong Pay, ada 7 angkatan. Angkatan ke 7 adalah angkatan pemula. Begitu seterusnya sampai keatas.
Mereka yang ingin naik angkatan harus melewati ujian berat. Jika tidak lolos maka ia diberi
kesempatan mencoba sampai 3 kali. Jika 3 kali itu tidak lulus, maka ia tidak bisa lagi naik tingkat, dan
selamanya menjadi murid angkatan itu.

Mereka yang bisa lolos sampai angkatan ke 3, hanya beberapa orang. Mungkin tidak sampai 20 orang.
Untuk bisa naik menjadi angkatan ke 2, mereka harus turun gunung. Berkelana selama bertahun-
tahun. Membantu rakyat dengan ilmu yang sudah mereka miliki. Setelah itu baru mereka berhak
mengikuti ujian naik ke tingkat ke 2.

Tujuh orang terbaik dari angkatan ke 3 ini akan dilatih ilmu barisan pedang Butong yang sangat
terkenal itu. Ke 7 orang ini tidak turun gunung, dan menetap di Butong sebagai penjaga utama
perguruan ini. Sedangkan sisanya, diwajibkan turun gunung, mengabdi untuk rakyat.

Tugas baru untuk mencari murid-murid berbakat ini dibebankan kepada mereka yang turun gunung,
termasuk Tan Hoat. Dia adalah salah satu murid Butong yang namanya mulai terkenal di dunia kang-
ouw. Tindak tanduknya yang gagah membuat nama besar Butong semakin disegani.

Tan Hoat

Hari itu hari yang cerah, ia menyusuri padang rumput di sebuah desa terpencil. Perintah dari
ciangbunjinnya yang baru sudah ia dengar. Cara anggota Butong menyampaikan berita memang unik.
Jika pusat perguruan menurunkan perintah atau berita, maka cukup satu orang saja membawa kabar
itu ke sebuah desa di kaki gunung. Tidak sampai 5 hari, berita itu sudah tersebar luas di Bulim
(kalangan kaum persilatan). Kebesaran dan ketenaran Butong memang jarang ada bandingannya.

Itu termasuk berita-berita rahasia. Para murid angkatan Bu-tong memiliki sandi-sandi rahasia dan
bahasa-bahasa tertentu yang hanya bisa dipahami mereka. Setiap angkatan memiliki sandi rahasia
tersendiri. Biasanya sandi atau pesan-pesan rahasia ini tertulis di tempat yang sering dilewati orang
namun tidak mudah untuk diperhatikan.

Begitulah cara mereka bertukar berita. Begitu pulalah cara Tan Hoat menerima berita kematian guru
besar, dan perintah mencari murid. Sebenarnya ia ingin pulang secepatnya untuk menziarahi makam
gurunya, namun perintah ketua Lau mengharuskannya mencari murid dulu. Sebelum mendapatkan
murid hebat, maka para murid tidak diijinkan naik ke Butong san.
Perasaannya sedih sekali. Kecintaan rakyat jelata kepada mendiang Thio Sam Hong saja sudah besar
sekali. Apalagi kecintaan para muridnya sendiri. Itulah mengapa Tan Hoat merasa terharu dan sedih
sekali. Ia bangga menjadi murid Butong. Sepanjang jalan, ia mendengar nama Thio Sam Hong disebut-
sebut dengan penuh rasa hormat.

Di mana-mana orang-orang berdoa untuk kedamaian arwah Thio Sam Hong. Dimana-mana orang
memuji-mujinya. Tan Hoat bangga dan terharu. Kabar beritanya sendiri ia lihat melalui goresan
pedang di pintu sebuah rumah makan di kotaraja . Goresan pedang itu kecil saja. Tidak akan kelihatan
jika mata tidak awas. Tapi sebagai murid Butong angkatan ketiga, hal-hal begini sudah menjadi bagian
hidupnya sehari-hari.

Membaca pesan-pesan rahasia itu hatinya bagai teriris-iris. Tapi sebagai pendekar, ia sudah mampu
menahan perasaannya. Ia tidak meneteskan airmatanya di tengah keramaian. Ia berlari secepatnya.
Namun begitu sampai di luar gerbang ibukota, air matanya tumpah bagai air bah.

Butuh waktu lama sekali bagi Tan Hot untuk menguras air matanya. Baru ketika ia sudah merasa
tenang dan kuat. Ia melanjutkan lagi perjalanannya. Kali ini ia punya tugas baru dari sang pangcu.
Mencari murid baru. Padahal ia sedang dalam perjalanan menumpas perampok-perampok yang mulai
berani menggerayangi ibu kota.

Tan Hoat memutuskan untuk mengunjungi rumah salah seorang kerabatnya, bernama Cio Kim. Cio kim
adalah sahabat lama Tan Hot sejak mereka masih kecil. Ayah Cio Kim adalah salah seorang pemimpin
pasukan perlawanan yang berhasil mengusir penjajah. Ia berfikir mungkin ayah Cio Kim belum
mendengar kabar meninggalnya Thio Sam Hong.

Desa di mana rumah Cio Kim adalah sebuah desa yang terkenal. Para penghuni desa ini adalah para
petani yang berhasil membangun pertanian mereka menjadi sebuah perdagangan yang lumayan besar.
Mereka membentuk perkumpulan tani yang berhasil mengurusi hasil tani mereka dengan baik.
Pengelolaan yang baik ini membuat desa mereka makmur, dan sangat terkenal di Tionggoan.

Bagitu menyusuri padang rumput yang luas, Tan Hoat teringat pada masa kecilnya. Ia adalah anak
seorang petani. Keluarganya bukan asli orang desa itu, tapi merupakan perantauan dari daerah lain.
Karena mendengar nama desa itu yang terkenal, ayahnya memutuskan untuk memboyong keluarganya
kesana dan mulai berusaha disana.
Di sanalah Tan Hoat yang baru berusia 10 tahun itu bertemu dengan Cio Kim. Mereka yang memang
seumur memang langsung akrab. Setelah itu mereka menjadi sahabat dekat. Ayah Cio Kim adalah
kepala desa.

Pergolakan perang pengusiran bangsa Goan, membuat ayah Cio Kim yang bernama Cio Hong Lim
bergabung dengan tentara perlawanan. Dengan bakat dan kecerdasannya, Cio Hong Lim malah
mempunyai pangkat tinggi dalam ketentaraan itu, padahal ia memang tidak bisa ilmu silat.

Cio Hong Lim memiliki otak yang sangat cerdas, sehingga ia diangkat menjadi ahli strategi. Ia bahkan
menjadi salah satu tokoh penting berhasilnya pengusiran itu. Tidak seperti kebanyakan orang, ia
memilih mundur dari jabatannya setelah perjuangan selesai. Ia memilih bertani, membangun
perkumpulan petani yang dulu sempat terbengkalai di jaman perjuangan itu.

Usahanya kemudian berhasil. Desanya berkembang lagi. Sejak saat itu Cio Hong Lim menjadi orang
yang termasuk kaya. Kekayaan yang didapatkannya secara jujur, melalui kerja keras.

Ayah Tan Hoat sendiri, yang bernama Tan Leng meninggal beberapa bulan setelah sebelumnya ibu
Tan Hoat juga meninggal karena sakit. Kepergian ayah Tan Hoat itu mungkin disebabkan rasa cinta
yang mendalam dan kesedihan karena ditinggal ibu Tan Hoat.

Sejak saat itu Tan Hoat menjadi yatim piatu di usia 15 tahun. Ia kemudian diasuh oleh keluarga Cio
selama hampir setahun. Oleh Cio Hong Lim, Tan Hot dikirimkan ke perguruan Butong pay. Posisinya
dulu saat menjadi ahli strategi membuatnya dekat dan kagum dengan para pendekar Butong. Cio Hong
Lim sendiri, walaupun tidak menyukai ilmu silat, mempunyai pandangan yang luas. Ia melihat Tan Hot
memiliki bakat unutk mempelajari ilmu silat, sehingga mengirimkannya ke Butong.

Cio Hong Lim tidak memaksakan pandangannya yang anti ilmu silat itu terhadap Tan Hoat. Bahkan
juga kepada anaknya semata wayang, Cio Kim. Namun Cio Kim memang tidak memiliki bakat ilmu silat.
Cio Kim malah memiliki otak cerdas sehingga Cio Hong Lim mengirimkannya belajar ke ibukota dan
mendapat gelar siucai (sastrawan).

Kini Tan Hot sudah berusia 32 tahun. Ia belum menikah. Pada jaman itu, usia begitu sudah dianggap
sangat terlambat untuk menikah. Tan Hoat sendiripun tidak perduli. Walaupun tidak ada larangan
menikah bagi anggota Butong angkatan ke 3, Tan Hoat sendiri memang lebih suka menjadi bujang.
Menurutnya itu malah membuatnya bisa lebih bebas dan tidak terikat.

Walaupun sudah menjadi murid Butongpay, dulu Tan Hot beberapa kali masih sempat mengunjungi
desa itu. Yang pertama, saat ia menemani salah seorang gurunya mengerjakan sebuah keperluan. Dan
yang kedua, saat ia menjadi murid angkatan ke 3 dan turun gunung untuk pertama kalinya. Itu sudah
7 atau 8 tahun yang lalu.

Desanya pun tidak banyak berubah. Walaupun ini desa yang makmur, penduduknya tidak serta merta
langsung berubah gaya hidupnya bergaya seperti saudagar kaya. Memang ada beberapa yang seperti
itu. Namun sifat sebagian besar penduduknya yang sederhana, membuat desa itu tetap asri walaupun
diakui sebagai salah satu desa yang paling makmur di Tionggoan.

Setelah melintasi padang rumput, kini Tan Hoat menyusuri jalan setapak menuju desanya. Tadi saat
di padang rumput, desanya terlihat dari jauh. Kini semakin dekat, rasa haru yang ada di hati Tan
Hoat semakin menguat.

Begitu sampai di gerbang desa. Ia sudah disambut oleh beberapa penduduk desa yang sedang
menggarap sawah. Sebagai 'bekas' penduduk desa itu, apalagi ia murid perguruan Butong, ia memang
lumayan dikenal di desa itu.

Setelah mengucap salam, dan menanyakan kabar orang-orang yang tadi menyapanya, ia menanyakan
kabar keluarga Cio.

Wajah orang-orang itu segera berubah. Kata mereka, “Tan-tayhiap (pendekar Tan) belum dengar?
Wah kalau begitu tayhiap secepatnya saja kesana”

“Memangnya ada apa?” tanya Tan Hoat penasaran

“Lebih baik tayhiap kesana dulu. Nanti pasti ada yang bercerita disana....” jawab salah seorang
penduduk desa dengan wajah khawatir.
Penasaran, Tan Hoat segera menggunakan Ginkang (ilmu meringankan tubuh). Nalurinya sebagai
seorang pendekar mengatakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres.

Ia berlari. Bahkan mungkin melayang. Karena kakinya hanya menginjak tanah sekali-kali. Orang-orang
desa hanya melihat kelebatan bayangan. Tapi mereka tidak tahu bayangan apa itu sebenarnya yang
baru melewati mereka.

Sebuah belokan lagi, Tan Hoat tiba di depan rumah keluarga Cio. Begitu ia berbelok, ia kaget
setengah mati. Tempat yang dulunya berdiri rumah keluarga Cio sudah ksosng melompong. Tidak ada
lagi rumah di tempat itu. Berganti onggokan kayu-kayu kering bekas terbakar.

Seorang penduduk yang kebetulan lewat disitu mengenal Tan Hoat, “Ah Tan-tayhiap baru datang
rupanya”

“A..apa yang sudah terjadi? Apakah ada kebakaran?” tanya Tan Hoat terbata-bata

“Bukan kebakaran tayhiap...bukan kebakaran...” jawab orang itu

“Lalu apa?” tanya Tan Hoat lagi penasaran

“Bencana besar...rumah Cio-wangwe (saudagar Cio) dirampok orang” orang itu menjawab juga dengan
terbata-bata

“Siapa yang berani?” Dalam amarahnya Tan Hoat mengerahkan tenaga dalamnya sambil
menghentakkan kakinya. Orang di depannya merasa seperti sebuah gempa bumi dahsyat sedang
terjadi

“ti..tidak tahu..tayhiap..., kejadiannya cepat, sekali” jawab orang itu kini ketakutan

“Lalu dimana keluarga Cio sekarang?” tanya Tan Hoat lagi, kegarangannya belum berkurang
“Su..su..sudah....” ia terbata-bata

“Sudah apa?” Tan Hoat sudah maju mendekat orang itu

Orang itu ketakutan, tanpa sengaja ia mundur perlahan-lahan

“Su...sudah...” ia ketakutan

Menyadari orang yang dihadapannya itu ketakuitan, Tan Hoat mulai menghaluskan bahasanya,

“Jawablah lopek (orang tua), tidak usah takut, maaf tadi saya tidak bisa menjaga aturan...” kata Tan
Hoat

“Su..sudah meninggal semua tayhiap” jawab orang itu

“Apa?” kata-kata itu keluar bersamaan dengan jatuhnya tubuh Tan Hoat ke tanah. Ia berlutut
matanya memandang ke tanah. Ia seperti tidak percaya atas apa yang didengarnya.

Berita kematian guru besar Thio Sam Hong saja sudah menguras tenaganya. Ia butuh waktu lama
untuk bisa menguasai hatinya. Bahkan sepanjang perjalanan dari ibukota ke desa ini, yang
membutuhkan waktu 5 hari, ia kadang menangis. Kini ditambah lagi berita ini, Tan Hoat seperti
kehilangan separuh nyawanya. Kekuatan hati yang berusaha dikumpulkannya sepanjang perjalanan
akhirnya hilang, buyar begitu saja. Tan Hoat lemas seketika.

Lopek di depannya kemudian mengangkatnya dan menuntunnya ke dalam rumahnya. Diletakkannya Tan
Hoat diatas dipan, dan ia mengambil air dan memberikannya pada Tan Hoat.

“Minumlah, mungkin bisa membuatmu sedikit tenang” kata si orang tua itu
“Maaf saya tidak bisa menahan diri lopek” jawab Tan hoat, ia masih berbaring diatas dipan. Tapi
kesadaran jiwanya sudah mulai ia coba pulihkan, lanjutnya “Saya mengalami hal-hal besar akhir-akhir
ini sehingga tidak mampu menguasai diri lagi, lopek. Maafkan saya lopek”

“Tidak apa-apa tayhiap. Sejak tayhiap masih kecil aku sudah kenal tayhiap. Aku dulu bekerja sebagai
buruh Cio-wangwe. Tapi setelah punya uang, aku membuka sawahku sendiri” kata lopek itu, ia
meneruskan, “Tan-tayhiap adalah kebanggaan desa ini. Kau maafkanlah aku yang tidak bisa berbuat
apa-apa atas kejadian keluarga Cio-wangwe”

“Sebenarnya bagaimana kejadiannya?” tanya Tan Hoat, ia bertanya sambil bangun untuk duduk.

“Kejadiannya berlangsung cepat. Ada rombongan perampok yang masuk desa ini. Jumlahnya puluhan
orang. Mereka memakai topeng. Ilmu silat mereka tinggi sekali. Kami orang desa yang mencoba
melawan tidak bisa melakukan apa-apa. Kami dibekuk dan diikat.” kisah si lopek

“Kapan kejadiannya? Kenapa aku tidak pernah mendengar” tanya Tan Hoat

“Baru beberapa hari tayhiap. Mungkin baru 4 atau 5 hari. Kami sudah mengirim laporan ke kotaraja.
Mungkin dalam beberapa hari mereka akan mengirimkan petugas-petugas kemari.” jawab lopek itu.

Tan Hoat bertanya-tanya dalam hati. Kenapa ia tidak mendengar kabar perampokan ini. Cio wangwe
adalah tokoh yang lumayan terkenal. Jasa-jasanya dalam perjuangan membuat ia patut mendapat
pemakaman layaknya pahlawan negara. Tapi Tan Hoat akhirnya paham bahwa kabar ini tertutupi oleh
kabar kematian mendiang guru besarnya sendiri, Thio Sam Hong.

“Benar tidak ada keluarga tersisa? Cio Kim bagaimana?” tanya Tan Hoat

“Kami sudah mengirim orang untuk memberitahukan kabar ini kepadanya, dalam beberapa hari ini Cio-
siucai pasti sudah kesini.

“Syukurlah. Kupikir ia berada disini juga menjadi korban. Dimana dia tinggal sekarang? Terakhir yang
ku tahu ia tinggal di sini” tanya Tan Hoat lagi
“Beliau pindah mengikuti istrinya”

“Ke tempat Li Swat Ing? Dimana itu? Apakah di Gobipay (partai Gobi)?”

“Iya, beliau ikut Li-liehiap [pendekar wanita Li] ke puncak Go bi. Dengar-dengar ketua Gobi sedang
sakit keras dan memerintahkan seluruh murid Gobipay untuk kembali” jawab lopek itu

“Ah iya benar. Kenapa aku bisa lupa. Aku dengar Gobi-ciangbunjin (ketua partai Gobi) memang sedang
sakit keras beberapa tahun ini. Jadi Cio Kim ikut ke Gobi?”

“Iya benar. Menurut kabar yang saya dengar, mereka sekeluarga tinggal di kaki gunung Gobi, jadi bila
ada apa-apa Li-liehiap bisa langsung naik ke atas” kata lopek.

Tan Hoat menghela napas, pikirannya berkecamuk. Ia memikirkan langkah-langkah yang harus ia
lakukan,

“Apakah penguburan Cio-wangwe sudah dilaksanakan?" tanyanya tiba-tiba

“Sudah tayhiap. Kondisi mayat mereka mengenaskan. Mereka diikat dan dibakar hidup-hidup. Kami
langsung menguburkan mayat mereka begitu para perampok itu kabur” jawab si lopek

“Tolong antarkan aku ke kuburan mereka” kata Tan Hoat menahan kegeramannya. Hatinya
membayangkan penderitaan Cio-wangwe sekeluarga

“Baiklah. Mari ikut saya”

Kuburan anggota keluarga Cio-wangwe terletak di halaman belakang rumah mereka sendiri. Mereka
dikumpulkan dalam satu liang, karena kondisi mayat mereka tidak lagi dapat dibedakan. Si Lopek
menceritakan hal itu kepada Tan Hoat, yang mendengarkannya sambil meneteskan air mata.
Hatinya teringat Cio Kim. Bagaimana perasaannya mendengar kabar pembantaian ini. Tan Hoat ikut
bersedih pula memikirkan nasib Cio Kim

Saat pikirannya melayang-layang itulah terdengar suara orang minta tolong,

“Tolong...tolong” gaduh sekali karena ketambahan lagi suara orang yang minta tolong.

Secepat kilat Tan Hoat berlari ke arah suara gaduh itu.

Ternyata suara itu berasal dari gerbang selatan desa. Tan Hoat berlari kesana. Nampak penduduk
desa sedang mengelilingi kuda dan keretanya.

Alangkah kagetnya hati Tan Hoat ketika melihat isi kereta itu adalah Cio Kim beserta istrinya.
Mereka sudah berlumuran darah. Tapi masih hidup. Walaupun wajah Cio Kim berlumuran darah, Tan
Hoat masih mengenal wajah saudara angkatnya ini.

“Cio Kim apa yang terjadi?..ya Tuhan..apa yang terjadi?” Tan Hoat bertanya sambil menyalurkan
tenaga murni ke dada Cio Kim

“Jangan..salurkan ke istriku saja...” kata Cio Kim. Walaupun tidak mengerti ilmu silat, istrinya adalah
seorang pendekar, tentunya Cio Kim paham maksud tindakan Tan Hoat

Segera Tan Hoat menyalurkan tenaga dalamnya melalui punggung Li Swat Ing. Saat itu posisinya
memang tidur tertelungkup. Tubuh Li Swat Ing sudah penuh luka bacokan. Darah ada dimana-mana.
Keadaannya mungkin lebih parah dari suaminya

“Selamatkan anakku...selamatkan anakku” kata Li Swat Ing terbata-bata

Ternyata ia menelungkup sambil memeluk anaknya. Beberapa penduduk langsung mengangkat anak ini.
Ia menangis meraung-raung saat dipisahkan dari pelukan ibunya
“Aku mau ibu..aku mau ibu..” tangisnya

“Sudahlah Tan-tayhiap....jangan memaksa diri...aku sudah tidak mungkin tertolong” kata Li Swat Ing.
Dengan perlahan ia mendorong tangan Tan Hoat.

“Siapa yang melakukan ini semua?” tanya Tan Hoat

“Tidak tahu....kami diserbu orang ditengah jalan...enam sampai 8 orang. Koko (kakak, panggilannya
terhadap suami) terus menggeber kuda...aku menahan penyerang-penyerang itu...” jawab Li Swat Ing.
Nafasnya sudah satu-satu.

“Aku titip anakku kepadamu. Bawa dia ke Butong...” kata Cio Kim

“Thia...(ayah)...” teriak sang anak yang sedang dalam gendongan salah seorang penduduk.

“San-ji ('Ji' adalah panggilan untuk anak),...kau jadilah manusia yang baik...jangan jadi orang
pendendam...tidak usah kau balas ini. Semua terjadi ada karmanya...tidak usah kau teruskan dendam
mendendam...” kata Cio Kim kepada anaknya.

“Thia...thia...Cio san dengar thia....”

“Kau harus patuh kepada Tan-Gihu..mulai sekarang dia adalah Gihu (ayah angkat) mu....” kata Cio Kim

“Iya thia...” si anak menjawab sambil menangis

“Ayah pergi dulu..ingat kata-kata ayah ya...., Ing-moay aku pergi duluan...ku tunggu kamu adindaku
sayang” Cio Kim mengecup kening istrinya dengan bersusah payah, saat itu juga nyawanya melayang
pergi.

Li Swat Ing tersenyum, ia seperti berbicara kepada arwah suaminya, “Aku bahagia bisa mati
bersamamu koko...” ia lalu menoleh kepada Tan Hoat
“Tan-tayhiap di Gobi-san ada..ada” Li Swat Ing terbata-bata

“Ada apa Li-liehiap?” tanya Tan Hoat

“Ada..ada...” nafasnya berhenti

“Ayah....ibu......” tangisan si kecil membahana. Tangisan orang-orang desa pun membahana.

Hari ini adalah hari yang terlalu berat bagi Tan Hoat. Ia tidak bisa berkata apa-apa lagi

Bab 2 Tan Hoat dan Cio San pergi ke Butong san

Tan Hoat menyelesaikan segala proses pemakaman dengan dibantu orang-orang desa. Cio San masih
tetap menangis. Tetapi ia berusaha tabah. Sedikitnya Tan Hoat heran juga melihat kekuatan hati
anak itu.

“Cio san,” kata Tan Hoat “ Kau sudah mendengar sendiri kata-kata ayah-ibumu bukan. Mulai sekarang
aku adalah gihumu”

“Iya gihu....” kata Cio San

“Karena kau sudah tak ada keluarga lagi, maka ikutlah kau ke Butong. Kau akan kuangkat menjadi
muridku” kata Tan Hoat perlahan

Cio San menjatuhkan diri dan berlutut. Ia mengangkat tangan ke dada, “Gihu...gihu adalah orang yang
paling 'anak' hormati. Ayah dan ibu sudah sering bercerita tentang gihu”
Lanjutnya, “Bukannya 'anak' kurang ajar, tetapi 'anak' tidak menyukai ilmu silat. Ayah pun sering
mengajarkan bahwa perkelahian itu tidak baik, gihu ampuni 'anak'...”

Tan Hoat hanya memandangnya, kagum. Ia tidak menyangka anak sekecil ini sudah begitu paham tata
cara dan sopan santun.

Cio San lalu melanjutkan lagi, “Apakah boleh anak belajar ilmu sastra saja? Anak mendengar bahwa
guru besar Thio Sam Hong adalah tokoh yang dalam sekali ilmu agama, ilmu surat, dan ilmu-ilmu
lainnya selain ilmu silat. Sekali lagi maaf gihu” sambil berkata begitu ia bersujud

“Sudahlah anakku, tidak ada yang akan memaksamu untuk belajar silat kalau kau tidak mau.
Sudah.sudah bangunlah kau...bangunlah kau....”

Mereka kemudian tinggal disitu selama beberapa hari sebagai tanda berkabung. Lalu berangkat
menuju Butong san. Para penduduk melepas mereka dengan hati haru dan sedih. Entah apa lagi nanti
yang akan dialami oleh anak sekecil itu.

Banyak penduduk yang memberikan bekal, dan sangu makanan. Juga baju-baju untuk mereka pakai.
Tan Hoat dan Cio San menerimanya dengan hormat. Setelah mengucapkan salam perpisahan,
akhirnya kedua orang itu berangkat. Tan Hoat masih terkagum-kagum dengan sopan santun Cio San.
Tidak percuma ia menjadi anak dari Cio-siucay (sastrawan Cio) dan Li-liehap (pendekar wanita Li).

Perjalanan ke Butong san memakan waktu sekitar 7 hari. Tan Hoat memilih menggunakan kuda supaya
lebih cepat, dan juga mengingat ia sedang membawa anak kecil berusia 7 tahun. Untunglah sepanjang
perjalanan Cio San tidak rewel. Hanya sekali-kali ia meneteskan airmata jika teringat nasib ayah-
ibunya dan keluarganya. Tapi jika menangis, Cio San melakukannya secara sembunyi-sembunyi. Ia
tidak ingin gihunya menganggapnya cengeng. Lebih-lebih ia tidak ingin menyusahkan hati gihunya.

Tan Hoat bukan tidak tahu perbuatan Cio San ini. Diam-diam ia kagum, dan menganggap anak kecil ini
sungguh keras hatinya. Tapi lama-lama ia berkata juga,

“Cio San, kehilangan keluarga itu adalah hal yang menyedihkan, maka tidak apa jika engkau menangis.
Menangis bahkan membuat perasaan lebih lega, dan terasa lebih lapang” kata Tan Hoat.
“Iya gihu. 'anak' hanya mencoba menguatkan hati. Biar nanti tidak menyusahkan gihu” jawab Cio San.

“Menyusahkan aku? mengapa aku harus susah melihatmu menangis” tanya Tan Hoat sambil tersenyum.

“Gihu baru kehilangan seorang guru besar, gihu juga baru kehalangan keluarga angkat gihu.
Keluargaku bukankah juga keluarga gihu? Sudah begitu, gihu masih ketambahan lagi mengurusi
seorang anak cengeng” kata Cio San

“Hahahahahaahah, anak pintar...” Tan Hoat terbahak-bahak, lanjutnya “Aku malah sama sekali tidak
repot mengurusi engkau. Sekarang bukankah aku harusnya bahagia memiliki anak yang pintar?”

“Anak belum lagi melakukan apa-apa untuk gihu, sudah dibilang pintar.”

“Ah kau ini memang pintar. Persis ayahmu...”

Ia lalu menatap langit dan berkata pelan,

“Cio Kim..Cio Kim, umurmu pendek, tapi semoga kau bangga jika anakmu bisa menjadi orang besar
nanti”

“Anak jadi teringat thia (ayah).” Cio San menunduk

“Oh..maafkan gihumu ini anakku, aku..aku tak sengaja” Tan Hoat terbata-bata

“Tak apa gihu” Cio San tersenyum, “Anak cuma teringat kata-kata thia setelah mendengar ucapan
gihu tadi...” lanjut Cio San

“Ucapanku yang mana?” tanya Tan Hoat heran

“Tentang anak menjadi orang besar kelak” jawab Cio San


“Apa kata-kata thia mu itu?” tanya Tan Hoat lagi

“Thia berkata, menjadi orang besar tidak lah harus melakukan perbuatan-perbuatan besar. Karena
sejarah tidak ditentukan oleh orang-orang besar, para kaisar, para raja, para jendral perang, atau
pendekar-pendekar ternama. Sejarah dilakukan oleh kita, orang-orang kecil, rakyat jelata yang
namanya tidak tertulis dalam kitab-kitab.” terang Cio San

“...dalam sekali maknanya” Tan Hoat berkata sambil menerawang

“Anak sendiri tidak begitu mengerti artinya, tapi....”

“Tapi apa...” Tan Hoat penasaran

“Rasa-rasanya anak sudah menangkap sedikit....”

“Coba jelaskan...” kata Tan Hoat

“Waktu anak ditolong oleh orang desa. Mereka itu orang-orang biasa, tidak punya ilmu silat. Mereka
dengan sukarela menolong. Membersihkan anak, memberi pakaian, memberi makan. Coba kalo mereka
tidak ada, pasti gihu dan anak akan kelaparan, dan mengurusi pemakaman ayah-ibu sendirian saja”

“Hahahaha...pintar-pintar..., lanjutkan-lanjutkan” Tan Hoat tertawa senang

“Kalau nanti seumpama anak jadi orang besar, maka sebenarnya orang-orang desa itu punya andil
paling besar. Karena jika mereka tidak ada, kan anak tidak mungkin bisa selamat dari lapar, dan haus,
dan lainnya” lanjut Cio San

“Bukan main!” saking senangnya Tan Hoat menepuk pundak Cio San keras sekali, sampai ia terbatuk-
batuk
“Maaf...maaf..ahhahaha..aku terlalu senang mendapatkan anak secerdas kau, Cio San”

Cio San pun tersenyum, senyumnya yang pertama sejak keluarganya dibantai

Tan Hoat memilih untuk secepatnya sampai ke Butong sehingga ia tidak terlalu lama beristirahat.
Istirahat hanya dilakukan jika mereka benar-benar lelah, atau kudanya yang butuh istirahat. Suatu
saat ketika mereka sedang beristirahat di sebuah penginapan, Tan Hoat terkaget-kaget mendengar
cerita dari Cio San

Ternyata Gobi-ciangbunjin (ketua partai Gobi) sudah meninggal. Kedudukannya digantikan oleh
pangcu yang baru. Sebelum meninggal ia telah menunjuk pangcu yang baru bernama Bu Goat–nikow
Bhiksu wanita = Bikhu) , tetapi penunjukkan itu ditentang oleh banyak pihak dalam perguran Gobipay.
Bahkan pertentangan itu berubah menjadi perkelahian untuk memperebutkan posisi Ciangbunjin.

Dalam Gobipay sendiri memang sudah terjadi pergesekan antar murid sejak lama. Ini dimulai sejak
jaman pengusiran bangsa Goan dulu, beberapa puluh tahun yang lalu.

Dulu, pangcu yang sekarang telah meninggal itu menemukan kitab rangkuman ilmu-ilmu tinggi sakti
dan rahasia. Ilmu-ilmu sangat tinggi, dan bahkan melegenda dalam dunia persilatan. Pangcu itu
kemudian memutuskan untuk mengajarkan ilmu-ilmu dalam perguran Gobipay.

Pertentangan timbul karena ternyata ilmu-ilmu tidak hanya berasal dari ilmu kaum lurus, tapi juga
ada ilmu-ilmu kaum sesat. Pihak yang menentang merasa bahwa, perguran Gobipay harus terus
mempertahankan ilmu asli mereka yang berasal dari leluhur pendiri Gobipay. Sedangkan pihak yang
setuju merasa bahwa ilmu adalah ilmu, tergantung siapa yang menggunakannya, dan digunakan untuk
apa.

“Lalu nikow Bu Goat itu berasal dari golongan mana?” tanya Tan Hoat

“Dari golongan yang setuju untuk mempelajari seluruh ilmu termasuk diluar Gobipay. Karena beliau
sendiri memang ditunjuk langsung oleh ketua Gobi-pay sebelumnya.” jawab Cio San
“Memang dari yang teecu dengar, pertentangan ini sudah berlangsung sejak ciangbunjin terdahulu.
Cuma karena ilmu beliau begitu sakti, tidak ada yang berani melawan. Baru saat beliau meninggal dan
menunjuk penggantinya, baru para penentang itu berani melawan.

“Ah..kacau juga ini....., eh lalu kau tau cerita ini dari siapa” tanya Tan Hoat lagi

“Ayah dan ibu sering mengobrol” jawab Cio San

“Lalu kau mencuri dengar bukan?” tanya Tan Hoat sambil tersenyum

Ciuo san hanya tersenyum. Tan Hoat menjewer telinganya sambil tersenyum, “Anak nakal, lain kali kau
tidak boleh begitu. Laki-laki sejati. Tidak mencuri. Tidak mencuri barang orang. Tidak mencuri istri
orang, tidak juga mencuri dengar pembicaraan orang”

“Anak mendengar gihu....”

“Sana tidur lah kau, besok pagi-pagi kita harus berangkat” tukas Tan Hoat

“Baik gihu, selamat tidur gihu”

Tan Hoat mematikan penerangan kamarnya.

Besoknya, pagi-pagi sekali mereka sudah siap berangkat. Perbakalan pun sudah disiapkan oleh
pelayan. Tan Hoat memang memesan kepada pelayan penginapan untuk menyiapkan bekal dan
membangunkannya pagi-pagi sekali. Malah Tan Hoat yang bangun duluan sebelum si pelayan.

Si pelayan kemudian tergopoh-gopoh membawakan bekal yang dipesan Tan Hoat, sambil meminta
maaf karena dia sendiri terlambat bangun.

“Tidak apa-apa, tapi lain kali jangan begitu, nanti kamu dimarahi tamu mu” kata Tan Hoat
Setelah sarapan pagi, mereka berangkat. Naik satu kuda. Cio San duduk dibagian depan.

“Dulu thia-thia (ayah) suka sekali berkuda. Dia punya kuda yang bagus, tapi katanya sudah dijual.
Sayang anak tidak sempat belajar berkuda pada thia-thia” kata Cio San

“Ayahmu sempat mengajarkan apa saja padamu?” tanya Tan Hoat

“Banyak. Yang paling sering ayah mengajarkan huruf-huruf. Anak sudah mengenal banyak sekali
huruf. Ayah juga sering menyuruh anak membaca kitab-kitab kuno.” Selesai berkata begitu ia
melafalkan banyak sekali ujar-ujaran. Yang ternyata itu merupakan isi kitab-kitab karya nabi Konghu
Chu.

“Wah hafalanmu malah sepertinya lebih banyak dari gihu. Hahahahha” Tan Hoat berkata sambil
tertawa.

“Ibu kadang-kadang mengajarkan silat. Tapi anak tidak begitu tertarik” tukas Cio San

“Kenapa tidak tertarik?”

“Anak tidak suka memukul orang” jawan Cio San

“Lalu, kalau kau dipukul orang apa kau tidak membalas?” Tan Hoat bertanya

“Kalau anak berbuat baik, mana mungkin dipukul orang?” jawab Cio San santai.

“Ah kau..” Tan Hoat tidak bisa berkata-kata. Dia cuma bisa melanjutkan, “Kau ini masih kecil. Masih
polos. Belum tahu dunia seperti apa. Nanti kalau kau sudah besar, baru kau tahu bahwa ilmu silat itu
penting sekali”
“Hmmm..” Cio San cuma menngangguk-angguk

“Lalu, apa saja yang sudah diajarkan ibumu?” tanya Tan Hoat

“Cara berdiri, cara menangkis, cara memukul....lalu...” Cio san terdiam sebentar, ia lalu melanjutkan
“Banyak sekali gihu, hanyak anak yang bodoh karena tidak begitu memperhatikan”

“Ah..aku jadi tertarik, coba kita istirahat sebentar dibawah pohon itu. Lalu kau tunjukkan pada gihu,
apa saja yang sudah diajarkan ibumu” tegas Tan Hoat

“Baik gihu” tukas Cio San

Setelah mengikat kuda dan meluruskan kaki sejenak, sambil duduk bersandar dibawah pohon, Tan
Hoat memerintahkan Cio San untuk menunjukkan gerakan-gerakan yang pernah dipelajarinya.

Cio San melakukannya dengan baik. Mulai dari Bhesi, atau “kuda-kuda”, yang disebutnya sebagai 'cara
berdiri', beberapa cara menangkis, dan jurus memukul. Semuanya merupakan ilmu silat Gobipay.

“Wah bagus, tapi kamu melakukannya tidak sungguh-sungguh. Seharusnya begini” Tan Hoat lalu
bersilat. Kesemuanya gerakan yang tadi ditunjukkan Cio San, tapi lebih tegas, lebih kuat, dan lebih
cepat.

“Kenapa kau diam saja?” tanya Tan Hoat

“Anak.....anak cepat sekali capai jika disuruh bersilat..” jawab Cio San

“Ah jangan berkilah, ayo cepat lakukan seperti yang kutunjukkan tadi” tegas Tan Hoat

Cio san pun melakukan seperti yang diperintahkan. Namun tak beberapa lama, dia sudah mulai ngos-
ngosan, dan pucat. Tan Hoat segera melihat hal ini dan menyuruhnya berhenti.
“Ah ternyata betul kau lemah” sambil berkata begitu ia memegang urat nadi di pergelangan tangan
anak itu

“Hah?” Tan Hoat heran, “Organ dalam mu banyak yang lemah. Apakah kamu pernah dipukul orang?

“Tidak. Tapi kata ibu, anak lahir sebelum sembilan bulan., sejak kecil anak sudah sakit-sakitan” jawab
Cio San

“Ah kasihan sekali kau” tak terasa Tan Hoat meneteskan airmata. Ia memeluk anak kecil itu. “Sejak
lahir kau sudah menderita. Sepanjang umurmu ini sudah sakit-sakitan. Malah kau sekarang yatim
piatu....”

Sejak saat itu, rasa sayang Tan Hoat terhadap Cio San lebih bertambah lagi. Ia bertekad sepenuh
jiwa untuk melindungi anak itu. Melakukan apapun demi kebahagiaan Cio San. Anak dari saudara
angkatnya. Anak yang sekarang yatim piatu, anak yang sakit-sakitan, anak yang sungguh patut
dikasihani.

Beberapa hari kemudian, mereka sudah sampai ke Butongsan. Tan Hoat langsung menuju ke makam
Thio Sam Hong. Di sana ia berlutut dan bersujud lama sekali. Di sana ia menumpahkan air mata.
Saudara-saudara seperguruannya pun membiarkan saja. Sepertinya memang hal itu sudah sering
terjadi saat anak murid butongpay yang baru mendengar kabar kematian itu setelah 3 bulan itu tiba
di kuburan itu.

Setelah puas menumpahkan kesedihan dan penghormatannya. Tan Hoat baru membersihkan diri dan
beristirahan sejenak. Lau ciangbunjin berada di biliknya, dan tidak keluar dari pagi sampai sore.
Berhubung saat itu masih pagi, Tan Hoat menggunakan waktunya itu untuk menemui murid-murid yang
lain. Bercengkerama dan bertukar cerita. Sekaligus memperkenalkan Cio San sebagai muridnya, dan
juga menceritakan asal-usulnya.

Semua orang kagum mendengar bahwa anak itu adalah cucu dari Cio Hong Lim. Panglima terkenal yang
taktik perangnya banyak berhasil mengusir pasukan penjajah Goan. Cio San sendiri bersikap santun
dan merendah. Pada dasarnya dia memang anak yang tidak suka tampil menonjol. Pembawaan yang
sebenarnya diturunkan dari kakeknya itu.

Ayahnya, Cio-siucay, atau sastrawan Cio. juga mewarisi sifat merendah itu. Jika kakeknya lebih suka
mengucilkan diri dan menjadi petani di desa, ayah Cio San ini malah lebih suka mempelajari kitab-
kitab kuno, musik, dan sastra. Ia tidak mau menjadi menjadi pegawai di ibukota. Padahal dengan
gelarnya, ia bisa saja memiliki jabatan yang tinggi, bahkan bekerja di istana kaisar, mengingat jasa-
jasa Cio Hong Lim. Tapi Cio-siucay malah lebih suka mendekatkan diri dengan keluarga.

Akhirnya sifat merendah dan tidak suka menonjolkan diri itu pun mengalir jugalah kedalam jiwa Cio
San. Ia paling tidak suka dipuji. Paling tidak suka menjilat-jilat. Tapi tutur katanya sopan, polos, dan
jujur. Itulah kenapa murid-murid Butong yang lain langsung suka padanya. Padahal mereka baru
beberapa saat kenal dengan dia.

Hari itu ternyata ada 3 murid butong yang pulang ke Butongsan. Selain Tan Hoat, ada juga Wan Siau
Ji, dan Kwee Leng. Keduanya turut membawa murid pula. Dan yang mereka lakukan persis sama
dengan yang dilakukan Tan Hoat ketika pertama kali sampai ke Butongsan. Yaitu bersujud di makam
Thio Sam Hong. Lalu kemudian bercengkerama dan bertukar cerita. Setelah agak siang murid-murid
angkatan 3 yang baru pulang itu kemudian istirahat. Sambil menanti sore untuk bertemu dengan Lau-
ciangbunjin. Ketua mereka yang baru.

Sore pun tiba, Lau Tian Liong keluar dari biliknya. Usianya sudah 70 tahunan, tapi raut mukanya
terhiat lebih muda. Benar juga kata orang yang bilang bahwa ilmu-ilmu Butomgpay bisa membuat
orang jadi awet muda.

Ciangbunjin partai Butong ini malah berkeliling melihat keadaan perguruan. Dari murid-muridnya ia
mendengar bahwa 3 orang murid angkatan ketiga sudah pulang, dengan membawa murid masing-
masing. Ia lalu berkunjung ke kamar-kamar murid itu. Hal ini menunjukkan kerendahan hati sang
ciangbunjin. Padahal sebagai ciangbunjin (kepala partai besar), ia bisa saja memerintahkan para
murid menghadapnya di biliknya sendiri.

Pintu kamar Tan Hoat diketuk orang. Padahal ia tidak mendengar langkah seorang pun yang
mendekat. Seperti tersadar, ia lalu berlari cepat membuka pintu, setelah itu ia berlutut, dan
berkata, “Teecu, Tan Hoat berlaku tidak sopan, tidak mengetahui kedatangan ciangbunjin. Apakah
ciangbunjin sehat-sehat saja?”
“Ah jangan terlalu banya adat, berdirilah” sambil berkata begitu ia mengangkat Tan Hoat.

Begitu tangannya menempel ke tangan Tan Hoat, seperti ada getaran tenaga besar yang menghantam
Tan Hoat. Ia sadar. Rupanya sang ciangbunjin sedang mengujinya. Tan Hoat tidak melawan desakan
tenaga besar itu, ia malah menerimanya dengan ilmu Thay kek kun. Ilmu lembut ciptaan Thio Sam
Hong. Desakan tenaga itu malah punah seperti hilang ditelan samudra yang luas.

Lau Tian Long tersenyum, ia berkata “Bagus, ilmumu meningkat. Tidak percuma kau mengaku angkatan
ke 3”

“Atas petuah-petuah suhu, teecu berhasil sampai ke tingkat 6 thay kek kun”

“Bagus-bagus. Teruslah berlatih. Aku ini hanya berhasil mencapai tingkat 11. Aku sudah memutar
otak mencari rahasia tingkat ke 12, tapi masih saja otak bebalku ini tidak bisa memecahkannya.
Mudah-mudahan nanti kau yang bisa memecahkannya” kata Lau-ciangbunjin pelan

Ketika Tan Hoat baru membuka mulut menjawab, Lau-ciangbunjin sudah memotong dengan
pertanyaan 'Eh mana muridmu, aku belum melihatnya”

“Dia sedang berkenalan dengan murid-murid yang lain. Teecu menyuruhnya memperkenalkan diri ke
bilik-bilik murid angkatan 7, dan 6.”

“Oh baiklah kalau begitu. Nanti malam aku akan kesini lagi untuk melihatnya”

“Teecu akan menyuruhnya ke bilik suhu saja” kata Tan Hoat cepat. Memang sudah menjadi kebiasaan
di Butongpay untuk memanggil ketua mereka sebagai 'Suhu' atau guru, dan membahasakan diri
sendiri sebagai Teecu atau murid.

“Tidak usah biar aku saja yang kesini lagi, nah kau istirahatlah, nanti malam kita bercerita ya” Lau
Tian Liong pun pergi. Lebih tepatnya menghilang.
“Ilmu suhu semakin hebat saja” Tan Hoat hanya menggeleng-geleng. “Ah aku sampai lupa memberinya
selamat atas pengangkatan menjadi ciangbunjin...”

Malamnya, Lau-ciangbunjin memang benar-benar mengunjungi kamar Tan Hoat untuk berbincang-
bincang. Cio San sudah menggunakan pakaian terbaiknya yang didapatkan dari pemberian orang-orang
desa. Setelah memberi salam dan penghormatan, Ia memperkenalkan dirinya,

“Boanpwee (artinya ‘saya yang rendah’, ini cara membahasakan diri yang sopan, jika berbicara dengan
orang yang tingkatannya lebih tinggi) bernama Cio San, ayah boanpwee bernama Cio Kim, dan ibu
boanpwee bernama Li Swat Ing” katanya

“She Cio, ada hubungan dengan jendral Cio Hong Lim?” tanya Lau-ciangbunjin

“Beliau adalah kong-kong (kakek) boanpwee” jawab Cio San

“Ah kau keturunan orang besar rupanya, bagus-bagus. Eh nafasmu kenapa berat, dan wajahmu pucat”
sambil bicara begitu, Lau-ciangbunjin meraih tangan Cio San, dan memeriksa nadinya.

“Boanpwee dalam kandungan ibu tidak lengkap 9 bulan. Jadi kata ibu, tubuh boanpwee lemah dan
sering sakit-sakitan” kata Cio San perlahan

“Aih.., tak apa-tak apa...” Lau-Ciangbunjin seperti membatin

“Boanpwee sering terkena serangan sesak nafas, dan sering lemah. Harap ciangbunjin maafkan. Jika
nanti dikira boanpwee merepotkan butongpay, lebih baik boanpwee tidak...” ucapan Cio San itu
dipotong Lau-pangcu

“Ah bicara apa kau ini. Butongpay punya ilmu hebat-hebat. Nanti pasti bisa menolong kesehatanmu
jika kau rajin berlatih”

“Terima kasih ciangbunjin” Cio San berkata dengan penuh hormat


“Hmmm, kau sudah memperoleh ijin dari kedua orang tuamu bukan? Untuk menjadi anak murid
butongpay?” tanya Lau-pangcu

“Eh..orang tua boanpwee baru saja meninggal. Boanpwee lalu dititipkan kepada Tan-gihu (ayah angkat
Tan)” Cio San menjawab perlahan

“Oh..” Lau-pangcu merasa pasti sudah terjadi sesuatu, lalu ia melanjutkan, “Kau istirahlah Cio San,
nanti mudah-mudahan beberapa hari lagi kalau murid-murid baru sudah terkumpul semua, kita adakan
upacara penerimaan murid. Untuk sementara, kau nikmati dulu suasana Butong san (gunung Butong)
ini, dan berkenalan dengan yang lain”

“Baik ciangbunjin, terima kasih” kata Cio San

“Tan Hoat, ikutlah ke bilikku, ada beberapa hal penting yang ingin kubicarakan”

Setelah sampai di bilik, Lau Tan Liong mulai bertanya,

“Apa yang sebenarnya terjadi dengan Cio San?”

“Keluarganya semua dibantai, kakeknya, ayah ibunya, seluruh keluarganya dibantai dalam waktu yang
hampir berdekatan” jawab Tan Hoat

“Hmm...kau sudah tau siapa pelakunya?”

“Belum suhu..akan teecu selidiki nanti, teecu masih sungkan bertanya kepada Cio San. Khawatir dia
jadi sedih” kata Tan Hoat

“Ya..ya selidikilah setuntas mungkin. Aku khawatir banyak orang yang dendam terhadap keluarganya.
Untunglah kau menemukannya dan cepat membawanya kesini. Di Butongsan kita bisa menjaganya”
kata Lau Tian Liong, ia melanjutkan, “Ada hal penting lain yang ingin kubicarakan denganmu”
“Teecu siap menerima perintah”

“Sebelum thay-suhu (guru besar) Thio Sam Hong meninggal, beliau sebenarnya berhasil menciptakan
sebuah ilmu yang jauh lebih dahsyat dari Thay kek kun!”

Tan Hoat hanya berdecak kagum dalam hati

Lau-ciangbunjin berkata, “Aku sendiri sudah mencoba kedahsyatan ilmu itu. ah...kesaktian thay-suhu
memang tak bisa diukur lagi...” ia berhenti sebentar “Sayangnya guru belum menurunkan ilmu itu
kepada siapapun...”

“Ah.....” Tan Hoat tak bisa berkata apa-apa

“Tapi beliau sempat memberi aku petunjuk, yang sampai sekarang tidak bisa kupecahkan, beliau
berkata, “Segala itu hampa. Memiliki ilmu sebenarnya tidak memiliki ilmu. Tidak memiliki ilmu
sebenarnya yang paling sakti diantara semua”

“Bukankah itu ujar-ujaran kuno..suhu?” tanya Tan Hoat

“Benar...tapi apa hubungannya dengan ilmu silat ciptaan guru itu?. Eh tapi ada lagi sambungannya,
beliau berkata: Segala yang bukan ilmu silat, adalah ilmu silat”

Tan Hoat diam karena berpikir keras tentang ujar-ujaran guru besarnya itu

“Eh apakah suhu sempat melihat bagaimana jurus-jurusnya?”

“Aku..aku, sebenarnya sempat mencoba ilmu itu. Aku memukul thay-suhu satu kali, hanya satu kali
saja. Beliau tidak memasang kuda-kuda, tidak menangkis, juga tidak memukul...”
“lalu....” Tan Hoat bertanya penasaran

“Sebelum pukulanku sampai, beliau sudah menyentuh pundakku, saat itu sepertinya seluruh kekuatan
hilang, beliau lalu berbisik: berlatihlah terus.....”

“Hah?”

“Iya, ilmu beliau itu seperti tanpa jurus dan kuda-kuda. Sepertinya beliau hanya berjalan saja menuju
aku, menyambut pukulan itu seperti...seperti pukulanku hanya berupa uluran tangan....”

Tan Hoat hanya menggeleng-geleng, memang kesaktian Thay-suhunya itu sudah tidak bisa diukur lagi.
Padahal Lau Tian Long sudah memiliki ilmu kelas tinggi yang menempatkannya di puncak nama-nama
dunia kang-ouw, bahkan setara dengan pemimpin Siaulimpay (Partai shao lin) sekarang. Nama Lau Tian
Long mungkin sekarang termasuk 3 besar orang yang paling tinggi ilmunya di dunia kang-ouw. Bisa
dibayangkan betapa tingginya ilmu Thio Sam Hong yang mampu mengalahkan Lau-pangcu dalam satu
pukulan saja!

“Pikir-pikirkanlah ucapan thay-suhu yang tadi kuceritakan padamu. Otakmu cerdas, dan pikiranmu
tajam”

“Teecu sudah hafal dan akan teecu pikirkan terus suhu...” kata Tan Hoat

“Baiklah, jangan kau ceritakan ini kepada murid lain. Aku menceritakan ini hanya kepadamu saja” kata
Lau-pangcu

“Eh..kenapa suhu?”

“Ah sungguh berat mengatakannya, aku tak tahu harus memulainya dari mana...”

Lalu Lau Tian Lioang melanjutkan, “Sebelum thay-suhu meninggal, beliau bercerita bahwa di dunia
kang-ouw ini, ada sebuah kitab rahasia ilmu silat yang sampai sekarang belum ditemukan orang. Kitab
itu adalah kitab tulisan Tat-mo. Kita tahu bahwa Tat-mo sendiri adalah pencipta ilmu silat. Seluruh
jurus, dan aliran ilmu silat yang ada sekarang, bersumber dari kitab itu. Kitab itu tersembunyi di
suatu tempat rahasia. Thay-suhu Thio Sam Hong memerintahkan aku untuk menugaskan salah satu
murid Butongpay untuk menyelidiki keberadaan kitab itu. Bukan karena thay-suhu ingin kita
menguasai isi kitab itu, tetapi untuk menjaganya dari tangan-tangan sesat. Bisa kau bayangkan
betapa hebohnya jika kitab itu nanti jadi rebutan semua aliran”

Lau Tian Long melanjutkan,

“Semua pelajaran ilmu pernafasan, ilmu silat, dan ilmu-ilmu lainnya bersumber dari kitab itu. Dulu
seratus tahun lebih, sempat ada kitab serupa yang jadi rebutan pendekar-pendekar kang-ouw. Tapi
kitab rebutan itu hanya berupa ringkasan dari kitab tulisan Tat-mo itu. Bisa kau bayangkan, kitab
ringkasan saja, sudah bisa menghasilkan ilmu-ilmu dahsyat yang tiada tanding, apalagi kitab aslinya”

“Thay suhu berkata, bahwa ilmu thay-suhu sendiri sebenarnya belumlah menyamai isi kitab Tat-mo
itu. Tapi pemahaman beliau sebenarnya sudah bisa menjangkau isi kitab itu. Sayang sebelum beliau
sempat memberi aku petunjuk-petunjuk, beliau sudah keburu meninggal. Hanya ujaran-ujaran yang
tadi aku sampaikan padamu itu yang sempat disampaikan guru kepadaku”

“Jadi sekarang, aku harus merepotkanmu untuk menyelidiki keberadaan kitab ini. Lakukan secara
rahasia, jangan sampai menimbulkan kehebohan di dunia kang-ouw. Menurut thay-suhu, keberadaan
kitab itu mungkin hanya diketahui tidak lebih dari 3 orang.”

“Teecu siap berangkat saat ini juga, jika itu perintah suhu” tegas Tan Hoat

“Jangan, beberapa hari lagi saja. Nanti bisa menimbulkan kecurigaan jika kau langsung berangkat,
padahal baru saja sampai di Butongsan. Istirahatlah dulu. Pergunakan waktumu untuk memberi
petunjuk-petunjuk dasar ilmu Butongpay pada muridmu. Walaupun ia belum resmi diangkat menjadi
murid Butongpay, secara tidak langsung ia berhak belajar dasar ilmu Butongpay karena ia sudah
menjadi anak angkatmu”

“Teecu siap laksanakan perintah”

“Nah, pergilah”
Setelah mengucap salam dan menghaturkan hormat, Tan Hoat meninggalkan kamar Lau Tian Long.
Hatinya tidak enak mendengar adanya kabar kitab Tat-mo itu. Dunia kang-ouw pasti akan heboh
tidak lama lagi.

Sekitar 10 hari kemudian, seluruh murid angkatan ketiga sudah kembali, dan membawa muridnya
masing-masing. Dua hari setelah itu diadakan upacara penerimaan murid. Upacara ini merupakan salah
satu acara besar di Butongpay, oleh karena itu harus diikuti oleh seluruh murid Butongpay, kecuali
yang mendapat tugas lain seperti berjaga, ronda, atau mengurus pekerjaan 'rumah tangga' seperti
memasak, mengurusi air, bersih-bersih, atau mengurus ternak.

Balai yang digunakan untuk upacara ini adalah balai utama. Ukurannya besar, dan sanggup menampung
seluruh murid Butongpay. Bahkan masih sanggup lagi menampung beberapa ratus orang lagi. Banyak
sekali kejadian di ruangan ini sejak dahulu. Seperti kekacauan acara peringatan ulang tahun Thio Sam
Hong ke 100. Saat itu Butongpay kedatangan banyak 'tamu' yang ingin memberi selamat, namun
maksud sebenarnya untuk memperebutkan benda-benda perebutan dunia kang-ouw

Ada juga penyerbuan yang dilakukan seorang putri Goan beserta anak buahnya. Penyerbuan ini
berhasil digagalkan murid kesayangan Thio Sam Hong dulu itu. Malah akhirnya, murid kesayangan itu
jatuh hati dan menikah dengan sang putri Goan, lalu menghilang dan menyepi entah kemana.

Banyak lagi cerita-cerita mengharukan yang terjadi di balai utama ini. Maka memang ada suasana
haru yang timbul di hati para murid jika memasuki ruangan ini. Apalagi bayangan thay-suhu mereka
masih membekas di ingatan mereka kala memimpin upacara-upacara. Ada suasana syahdu, dan sendu
yang mengiringi suasana sakral jika memasuki ruangan ini.

Murid-murid sudah berbaris rapi. Para tianglo (penasehat) dari sang ciangbunjin sudah hadir, dan
berada di posisi samping dari mimbar pangcu. Tapi pangcu sendiri belum datang.

Beberapa murid membaca ujar-ujaran dari kitab kuno, dan juga ujar-ujaran Thio Sam Hong.

“Ciangbunjin memasuki balai utama” terdengar teriakan dari sudut ruangan


Semua orang lalu berlutut. Ini adalah ciangbunjin pertama sejak kepergian Thio Sam Hong.
Wibawanya tidak seperti Thio Sam Hong. Wibawa siapapun TIDAK AKAN mungkin seperti Thio Sam
Hong. Tapi Lau-ciangbunjin memiliki wibawa sebagai seorang ciangbunjin. Itu saja sudah cukup.

“Murid-murid Butongpay, kini kita berkumpul untuk melakukan upacara penerimaan murid baru. Murid
baru ini adalah murid-murid pilihan, yang cara pencariannya agak sedikit berbeda, dari cara-cara
dahulu.

“Seperti kita semua tahu, Butong harus menambah banyak murid berbakat. Kepergian Thay-Suhu
membuat kita harus rajin berbenah. Tidak ada satupun murid yang bisa lulus ujian naik ke tingkat 4.
Sehingga kami, memutuskan untuk mencari banyak murid berbakat, melalui cara yang sedikit
berbeda, agar Butong tidak kekurangan murid-murid hebat nantinya.”

“Bagi kalian yang sudah menjadi murid Butong. Berlatihlah lebih giat untuk bisa mengharumkan nama
perguruan Butong. Yang terpenting, kalian harus bisa mengharumkan nama bangsa ini ke semua
penjuru bumi”

“Saat ini, Butong kedatangan 15 murid baru. Mereka telah melewati syarat-syarat yang ditetapkan.
Mereka berasal dari keluarga dan keturunan yang jelas. Memiliki bakat, dan tubuh, dan tulang yang
cocok untuk belajar ilmu silat. Kecuali Cio San, yang memiliki masalah kesehatan. Ia diterima karena
walaupun sering sakit, dan mempunyai tubuh yang lemah, ia memiliki susunan tulang yang bagus untuk
belajar silat. Iya juga memiliki ketertarikan untuk belajar kitab-kitab kuno, dan kitab nabi-nabi. Kita
sedang kekurangan murid-murid yang mempelajari ilmu surat, karena selama ini kita terlalu
memusatkan perhatian untuk mempelajari ilmu silat. Ini mungkin disebabkan pergolakan perang
pengusiran penjajah dulu.”

“Sekarang kita harus menata lagi perguruan ini, karena kita sudah ditinggal oleh thay-suhu. Aku
harap seluruh murid Butongpay, mendukung rencana-rencana ini, dan melakukan yang terbaik untuk
mendukungnya”

“Murid siap menaati perintah” jawaban ratusan murid Butongpay menggema di dalam balai utama.

“Aku memanggil kelima belas calon murid Butongpay...” Lau Tian Long lalu menyebutkan nama-nama
itu.
Kelima belas nama murid itu, termasuk Cio San lalu maju kedepan. Mereka semua memang sudah
diajarkan tata cara upacara penerimaan murid ini sebelumnya.

“Ucapkanlah sumpah setia Butong ini, tirukan kata-kataku....” perintah sang ciangbunjin

Terdengar Lau Tian Long mengucapkan sumpah yang ditirukan oleh kelima belas murid baru itu. Isi
ucapan sumpah itu tidak begitu panjang. Intinya semua murid Butong menyatakan tunduk dan patuh
kepada semua aturan yang ada di Butongpay.

Bab 3: Kehidupan di Butong-san

Kelima belas murid pilihan itu ternyata memang tidak mengecewakan. Hanya dalam beberapa tahun
saja, ilmu silat mereka mulai terlihat istimewa. Ini mungkin karena bakat mereka memang besar.
Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa hampir seluruh kelima belas murid itu sebelumnya memang
sudah digembleng ilmu silat sebelum masuk ke Butongpay. Mereka sebagian besar berasal dari
keturunan ahli silat, atau keluarga terpandang.

Hal ini berbeda dengan Cio San, yang sama sekali berbeda latar belakangnya. Walaupun ia adalah
anak dari seorang ahli silat Gobi-pay, ia tidak diajarkan silat secara mendalam oleh ibunya. Karena
tubuhnya memang lemah sejak lahir. Memang ibunya pernah sedikit menunjukkan gerakan silat
Gobipay padanya. Tapi karena kondisi tubuhnya yang lemah, latihan silat itu tidak diteruskan. Jadi,
bisa dibilang Cio San itu memang tidak bisa ilmu silat. Walaupun ia paham sedikit-sedikit gerakan
silat. Ayahnya pun juga bukan seorang ahli silat. Malah ayahnya adalah seorang sastrawan, yang mana
golongan sastrawan seperti ini memang dikenal lemah lembut tingkah lakunya. Tidak menyukai
kekerasan seperti adanya orang kang ouw (dunia persilatan).

Namun walaupun tidak begitu berbakat dalam ilmu silat, Cio San sangat berbakat dalam ilmu surat
(sastra). Pengetahuannya tentang huruf-huruf kuno sangat banyak. Ini mungkin karena sejak kecil ia
memang sudah diajarkan ayahnya. Karena pengetahuan dan bakat ini jugalah yang membuat ia
kemudian diterima ke dalam rencana pencarian bakat Butongpay. Ditambah kenyataan bahwa dulu
kakeknya adalah orang yang sangat dekat dengan Butongpay.

Setiap anggota 15 murid pilihan ini, mempunyai guru pengawasnya sendiri-sendiri. Guru pengawas
adalah orang yang bertanggung jawab langsung atas masing-masing anggota 15 “naga muda” ini. Guru
pengawas ini adalah orang yang dulu membawa murid ke Butong pay. Seperti Tan Hoat yang menjadi
guru pengawas bagi Cio San.

Guru pengawas berkewajiban untuk mendidik langsung, mengajari, dan memperhatikan kemajuan
murid yang dibawahinya. Jadi ada 15 guru pengawas, yang satu persatu bertugas untuk mengawasi
dan mendidik masing-masing 15 murid tersebut.

Selain guru pengawas, ada juga guru umum, yang hanya bertugas melatih mereka. Namun tidak
berkewajiban untuk bertanggung jawab sepenuhnya terhadap 15 naga muda, seperti kewajiban guru
pengawas

Butong pay

Sekarang, beberapa tahun telah lewat. Kelima belas murid pilihan Butongpay itu telah berusia
belasan tahun. Yang paling tua diantara mereka berumur 18 tahun. Sedangkan yang paling muda
adalah Cio San, saat ini ia terlah berumur 16 tahun.

Sebutan '15 Naga Muda Butongpay' adalah istilah yang dipakai untuk kelima belas murid istimewa ini.

Murid-murid pilihan ini walaupun mendapat perlakuan istimewa dari seluruh Butong, tidak serta
merta membuat hidup mereka enak. Mereka harus berlatih lebih giat, dengan lama waktu latihan
yang jauh lebih lama dari murid biasa. Latihan mereka pun lebih berat.

Mereka juga harus tunduk kepada murid yang lebih tinggi golongannya, dan yang lebih dahulu masuk
sebelum mereka. Jadi walaupun istimewa, kelima belas murid pilihan ini malah menjalani kehidupan
yang lebih berat dalam Butongpay.
Terutama Cio San. Tubuhnya yang paling lemah diantara kelima belas orang itu. Ilmu silatnya juga
yang paling ketinggalan. Apalagi, sang guru pengawasnya, Tan Hoat, sering naik turun Butongpay
karena tugas perguruan selama beberapa tahun ini, sehingga Cio San juga menjadi jauh tertinggal
dengan 15 naga muda yang lain.

Posisinya sebagai salah satu dari kelima belas murid yang dianggap istimewa itu, malah menjadikannya
sasaran empuk dari rasa iri murid-murid lain yang tidak termasuk dalam barisan 15 naga muda itu.

Seperti yang terjadi sekarang ini.

Cio San kebetulan lewat dihadapan sekumpulan murid yang sedang berlatih ilmu totok Butongpay.

“Nah Cio San, mumpung sekarang kamu ada. Kami sedang berlatih ilmu totok yang baru kemarin bisa
kami kuasai dengan baik. Bagaimana kalau kita berlatih bersama?” tanya A Pao, salah seorang murid
Butongpay yang bertubuh tinggi besar.

“Ah maaf suheng (kakak seperguruan), saya capek sekali, kebetulan ini baru selesai latihan
pernafasan tingkat 5, lain kali saja ya?” sambil bicara begitu dia tersenyum,

“Heh? Anggota '15 Naga Muda' baru sampai pada pernafasan tingkatan 5? kami saja yang murid
'Biasa' sudah sampai di tingkat 7. Kalian itu belajar apa saja sih?” A Pao berkata sambil tertawa,
yang juga ditimpali gelak tawa teman-temannya yang lain.

“Ah sebenarnya yang lain sudah sampai pada tingkat 11, cuma saya memang kurang bakat, jadinya yah
harus mengulang-ngulang terus pelajarannya” jawab Cio San sambil mencubit-cubit kupingnya sendiri
dan tertawa.

“Nah, karena kau itu suka mengulang-ngulang latihan, bagaimana jika sekalian kau mengulang juga
latihan ilmu totok bersama kami?” kata A Pao.

“Aduh suheng, sungguh badan saya pegal-pegal semua. Saya takut malah tidak bisa latihan dengan
baik” jawab Cio San
“Alah sudahlah ayo latihan. Pasang kuda-kuda ya. Lihat jurus!” sambil berteriak, A Pao langsung
melancarkan jurusnya tanpa menanti jawaban dari Cio San.

Gerakannya cepat. Tidak malu sebagai anak murid Butong. Ia mengincar sebuah titik di daerah dada
kiri Cio San. Diserang seperti itu Cio San tidak kaget. Ia bersikap tenang dan menerima serangan itu
dengan gerakan menyapu dengan tangan kiri. Gerakan menyapu ini adalah bagian dari gerakan dasar
Thay Kek Kun ciptaan mendiang Thio Sam Hong. Dilakukan dengan lembut dan mengalir.

Saat serangan pertamanya berhasil dipunahkan, A Pao menggunakan tangan kirinya untuk mengincar
sebuat titik di pelipis kanan Cio San. Melihat serangan ini, Cio San hanya memutar lehernya
mengikuti aliran serangan, sehingga serangan totokan itu hanya lewat di depan matanya.

Melihat dua serangannya gagal, A Pao semakin bersemangat untuk menyerang. Gerakannya semakin
cepat, namun gerakan Cio San juga tak kalah cepat.

Setelah beberapa lama beradu silat, keringat mulai terliat di dahi Cio San. Ia memang gampang
sekali capek. Sistem kerja organ dalam tubuhnya memang kurang baik sehingga membuatnya susah
mengendalikan pernafasan, yang membuatnya mudah letih. Itulah juga sebabnya ia masih mengulang-
ngulang pelajaran pernafasan tingkah 5.

Melihat lawannya sudah mulai kedodoran, A Pao melencarkan serangannya lebih cepat lagi. Bagi orang
Butong, gerakan kedua orang ini biasa-biasa saja. Tapi bagi orang luar, apalagi bagi orang yang tidak
mengerti ilmu silat, kedua orang murid Butong ini bergerak sangat cepat dan juga indah.

Menghadap gerakan cepat ini, Cio San mulai terdesak. Ia sudah tidak bisa menghindar seperti tadi
lagi. Ia tidak mencoba menyerang karena sibuk terus mempartahankan diri. Karena kalah cepat, Cio
San memilih langkah-langkah mundur sambil mengelak sebiasanya. A Pao yang merasa dirinya diatas
angin semakin mendesak Cio San yang terus merangsak mundur.

Sesekali tubuh Cio San terkena serangan totokan jari A Pao. Tapi karena memang mereka belum
terlalu menguasai penyaluran tenaga ke jari-jari, hasil serangan ini hanya cukup menyakiti saja namun
tidak sampai menimbulkan akibat yang fatal.
Cio San lalu berkata, “Suheng, saya mengaku kalah, seranganmu hebat sekali” sambil berkata begitu
ia memberi hormat. A Pao yang masih penasaran karena belum bisa menjatuhkan anggota '15 Naga
Muda' tidak menghentikan serangannya.

“Ah...” Cio San hanya mendesah. Sudah sering ia menerima perlakuan seperti ini. Banyak sekali
anggota Butong 'Biasa' yang ingin menjajal dan mengalahkan anggota '15 Naga Muda'. Dan selalu
yang menjadi sasaran adalah Cio San. Ini mungkin karena dia dianggap yang paling lemah dan paling
ketinggalan ilmunya. Bagi murid 'Biasa'. Menjatuhkan salah seorang anggota '15 Naga Muda' itu
adalah sebuah kehormatan, maka dijajal lah anggotanya yang paling lemah.

Sudah amat sering Cio San mengaku kalah, namun mereka selalu ingin menjatuhkannya dulu. Bagi
sebagian orang, memang jauh lebih menyenangkan memukul jatuh lawan, ketimbang mendengar dia
minta menyerah saja.

Sering juga Cio San babak belur karena dihajar mereka. Apa daya? Dia memang paling lemah, dan
merupakan sasaran empuk bagi mereka yang iri akan kedudukan '15 Naga Muda'. Tapi Cio San
memang tidak pernah mengeluh. Perlakuan seperti itu malah semakin membuatnya rajin berlatih.
Terkadang ia ditertawai orang karena dianggap tidak pantas menjadi bagian '15 Naga Muda'. Kadang
ia malah terluka, karena serangan-serangan mereka selalu dilancarkan dengan niat melukai, bukan
dengan niat berlatih.

Dalam '15 Naga Muda', ia sendiri juga mengalami hal yang tidak mengenakkan. Ia selalu dimarahi dan
dikerasi oelh guru-gurunya karena kemajuan ilmunya yang lambat. Kadang-kadang gihu dan sekaligus
guru pengawasnya, Tan Hoat bahkan kehilangan kesabaran dengan menghukumnya. Memang bukan
hukuman berat, cuma sekedar membersihkan dapur, atau mengurusi ternak-ternak babi milik Butong.
Cio San pun juga tidak mendendam terhadap gurunya itu, karena ia tahu gurunya bermaksud baik
untuk memacunya lebih bersemangat latihan.

Kadang juga ia melihat pandangan 'menghina' dari sesama anggota '15 Naga Muda'. Para anggota ini
menilai Cio San tidak pantas menjadi murid unggulan seperti mereka dan sering memperlakukannya
dengan tidak baik. Seperti menertawainya, mengatakannya dengan berbagi perkataan yang
menyinggung, bahkan juga mengerjainya saat latihan. Seperti mempelorotkan celananya saat ia
latihan kuda-kuda, menyiraminya dengan kotoran babi dengan alasan 'tidak sengaja' dan lain-lain.

Cio San tidak pernah melaporkan perlakuan ini kepada guru-gurunya. Ia menganggap itu hanya
candaan belaka. Sering ia tersenyum dalam menghadapi semua itu. Tapi kadang ia juga menangis
sendirian saat sedang mandi, atau saat tidur. Ia malu memperlihatkan kelemahannya. “Seorang laki-
laki harus sanggup menghadapi cobaan apapun dalam hidupnya”. Begitu kata ayahnya dahulu.

Kekuatan dan ketabahan hati Cio San ini, malah membuat orang semakin tidak suka padanya, dan
semakin ingin mengerjainya, karena mereka tahu Cio San tidak akan mengadukannya kepada guru-
guru mereka. Perlakukan mereka terhadap Cio San semakin tidak mengenakan. Ia bahkan lebih sering
berlatih sendirian. Karena sepertinya kawan sesama 15 Naga Muda sudah tidak lagi menganggap
dirinya.

Semua kejadian tidak mengenakkan ini lewat di dalam pikirannya dalam sekejap mata, saat ia
menghadapi serangan A Pao. Tidak terasa matanya berkaca-kaca, air matanya meleleh. Pemusatan
pikiran terhadap pertarungan pun buyar seketika.

Seluruh serangan A Pao pun tepat mengenai sasarannya. Cio San terjatuh dan mengeluh kesakitan.
Ulu hatinya terasa sakit sekali. Dalam sekali serangan, A Pao menyerang lima titik di tubuhnya,
hasilnya ulu hatinya seperti ditendang 10 kuda.

Nafasnya tersengal-sengal. Tapi murid-murid lain malah menertawainya.

“Anggota 15 Naga Muda, menangis saat diserang, hahahahha” mereka berteriak sambil tertawa.
Suara teriakan, hinaan, dan tawa itu terasa jauh lebih menyakitkan daripada rasa sakit di ulu hatinya.
Ia hanya menutup mata, air matanya mengalir.

Sesudah itu dia pingsan

Saat siuman, ia merasa perutnya sakit sekali. Cio San kini sedang berada di biliknya sendiri. Ia
terbaring diatas tempat tidurnya. Ada bau ramuan obat. Mungkin juga bau ini yang membuatnya
tersadar. Di samping tempat tidur Cio San, Tan Hoat, sang gihu duduk disebuah bangku kayu kecil.

Raut wajahnya kelam sekali. Biasanya gihunya ini tidak seperti ini wajahnya. Tan Hoat baru kembali
dari tugas perguruan. Selama beberapa tahun ini, Tan Hoat memang sering sekali naik turun gunung
untuk menunaikan tugas perguran. Melihat ada gihunya di sampingnya, Cio San merasa senang sekali,
namun kemudian gihunya bertanya dengan ketus,
“Kau sudah siuman?” kata gurunya

“Iya gihu” jawab Cio San. Ada rasa tidak enak di ulu hatinya ketika ia berbicara

“Orang-orang bilang kau menangis karena menerima serangan A Pao?”

Cio San menutup matanya. Ia tidak menangis karena serangan A Pao. Ia menangis karena merasa
tidak diperlakuakan dengan adil oleh saudara-saudara seperguruannya sendiri. Tapi bagaiman ia
menceritakan ini kepada gurunya. Selama ini gurunya tidak pernah tahu akan perlakukan mereka
terhadapnya. Jika kemudian ia bercerita, bukankah nanti ia akan dianggap mencari-cari alasan.
Apalagi jika nanti kalau dia bercerita, dan semua orang itu menyangkal ceritanya, maka hasilnya akan
lebih parah lagi. Ia akan semakin tersudut.

“Iya gihu” Cio San menjawab pelan.

Gihunya juga hanya berbicara dengan pelan, namun kata-katanya menusuk sekali

“Kau....kau membuatku malu. Kau membuat semua murid Butongpay malu. Seorang laki-laki lebih baik
mati di dalam pertempuran, daripada menangis ketakutan dalam perkelahian”

“Maafkan teecu (murid), guru....teecu...” Cio San juga sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi.

Suhu (guru) sekaligus gihunya itu berdiri lalu keluar dari bilik itu. Berjalan dengan gontai

Cio San hanya menghela nafas. Ia menangis lagi. Ia sudah mempermalukan gurunya.

Ia tidak pernah menangis karena rasa takut. Ia tidak menangis karena kesakitan. Tidak. Ia menangis
karena kemarahan. Karena perlakukan tidak adil. Iya benar! Ia menangis karena melihat
ketidakadilan. Ia lalu teringat ayahnya lagi yang dulu pernah berkata, “Laki-laki hanya pantas
meneteskan airmata karena melihat penindasan.”
Cio San berpikir, apakah memang ia menangis karena alasan itu. Semakin lama ia berpikir. Akhirnya ia
tersadar. Yang dimaksudkan ayahnya adalah 'penindasan' terhadap orang lain. Jika penindasan itu
terjadi kepada dirinya, maka itu bukanlah penindasan. Tapi itu karena ia tidak mampu membela
dirinya sendiri.

Kesadaran berpikir seperti ini, bagi anak berumur 12 tahun sebenarnya boleh juga dibilang ajaib.
Biasanya anak-anak itu lebih suka mencari pembenaran dan membela diri. Tapi Cio San sudah mulai
paham bahwa, jangan-jangan ia memang hanya mencari pembenaran.

Dalam hati ia menguatkan dirinya. Ia harus menerima resiko karena kelemahannya sendiri. Apapun
nanti hukumannya, harus ia terima dengan berani. Ia tidak boleh menangis lagi. Ia tidak boleh
membuat gihunya kecewa dan marah lagi seperti tadi. Dan yang lebih penting, ia tidak boleh LEMAH
lagi.

Akhirnya ia tersenyum. Senyum pahit yang selalu dilakukannya. Tapi senyum seperti itu terkadang
memang bisa mengobati luka hatinya. Luka hati siapa saja

Bab 4: Hukuman di Puncak Gunung

Setelah mendapat sedikit perawatan dari gurunya, Cio San merasa lebih baik. Selama 3 hari gihunya
merawatnya dengan memberi obat-obatan dari ramuan-ramuan rebusan daun. Pahit sekali rasanya.
Tapi Cio San merasa pahitnya obat itu masih kalah pahit dengan sikap gihunya. Selama merawatnya 3
hari itu, Tan Hoat tidak pernah menyapa, atau berbicara dengan Cio San sama sekali. Untuk
menanyakan kabarnya saja tidak. Tan Hoat cuma meraba nadi di pergelangan tangan Cio San untuk
mengetahui kondisi kesehatannya.

Cio San mencoba memecah kebuntuan dengan mengajak gihunya berbicara, namun cuma dibalas
dengan anggukan atau gelengan. Walaupun begitu, Cio San tetap berusaha tersenyum kepada gihunya
dan bersikap selalu hormat kepadanya.
Setelah 3 hari dirawat, pada pagi hari ke empat Cio San merasa tubuhnya sudah pulih sepenuhnya.
Merasa bosan selama 3 hari di kamar terus, Cio San memutuskan untuk keluar biliknya. Suasana pagi
itu sangat cerah. Terdengar suara murid-murid Butongpay yang sedang berlatih.

Cio San berjalan sebentar merasakan cahaya matahari di pagi yang indah itu. Nyaman rasanya. Ia
menarik nafas sebentar, mencoba melatih ilmu pernafasan tingkat 5 nya. Ia mengembangkan kedua
tangannya kedepan. Menekuk sedikit lututnya. Inilah gerakan pembuka dari Thay Kek Kun.
Gerakannya mengalir, kesamping, melangkah ringan ke depan. Melihat gerakan-gerakan ini, orang
awam pasti mengira dia sedang menari. Memang Thay Kek Kun ini terlihat mengalun pelan, dan
gemulai. Seperti orang menari.

Cio San pun sendiri seperti menikmati gerakan-gerakan itu. Ia menutup matanya dan bergerak
dengan indah. Sepertinya seluruh tubuhnya seperti dituntun untuk bergerak. Bukan ia yang
menggerakkan tubuhnya, melainkan sebuah ombak atau angin yang menggerakaan tubuhnya.

Ia merasa nikmat sekali. Perasaannya seperti dibawa terbang. Ia sudah mulai merasa mabuk dan
terbang ke dunia lain. Sudah dilupakannya gerakan apa yang dia lakukan sekarang. Sudah berapa
jurus yang ia lakukan sekarang.

Perasaan hati yang riang karena ia telah sembuh total, suasana pagi yang indah, sinar matahari yang
cerah, sejuknya udara pegunungan, kicau burung diatas pohon, dan semua rahmat Tuhan di alam ini
seperti membuai Cio San. Ia seperti menjadi tidak sadar atas gerakannya sendiri. Entah sudah jurus
keberapa! entah ia sedang melakukan apa! Ia tidak tahu sekarang berada dimana!

Ia seperti terbang, ia seperti bermimpi!

Ia bahkan tidak sadar ada orang berdiri dihadapannya. Tapi dia tidak tahu. Bahkan bisa dibilang
dimana kini dia berada, sedang melakukan apa, pada hakekatnya Cio San sudah tidak tahu lagi.

Seketika terasa seluruh tubuhnya semakin segar. Ada kehangatan aneh yang timbul di beberapa
bagian tubuhnya. Ada tenaga baru yang terkumpul di perutnya, ada tenaga di kedua tangannya, ada
tenaga di kedua kakinya. Perasaan seperti ini baru pertama kali ia rasakan. Tenaga yang mulai
terkumpul di seluruh tubuhnya, tiba-tiba mulai mendesak untuk keluar. Ada apa ini? Mengapa
sekarang seluruh tenaga ini mulai mendesaknya?
Cio San mulai merasa dadanya sesak. Gerakannya mulai kacau, ia mulai tersadar lagi. Ah, ia kini
sedang berada di halaman depan bilik para murid.Ia sedang melakukan gerakan dasar pernafasan.
Lalu kenapa kini dadanya sesak. Kesadarannya mulai pulih, ketika itulah terdengar teriakan...

“Salurkan hawa panas di perut ke kedua tangan....jangan menahan nafas, tutup 'pintu belakang'
jangan sampai ada tenaga yang bocor, dorong tenaga itu keluar.....!!”

Seketika itu juga terdengar suara blarrr!

Sekeliling Cio San seperti terasa bergetar. Pohon besar yang berada di sebelahnya terasa bergetar
dan bergoyang-goyang

Cio San mulai melihat ke sekeliling

Ada gihunya, Tan Hoat berdiri di hadapannya.

Cio San seperti baru terbangun dari tidur dan mimpi indah. Namun bangunnya itu seperti orang
disiram air. Seperti orang gelagapan. Cio San baru mulai menyadari keadaan sekitarnya.

Gihunya sedang berdiri di hadapannya, dengan tatapan mata yang aneh, beliau lalu bertanya,

“Dari siapa kau mempelajari ilmu silat Thay Kek Kun?” katanya menyelidik

“Teecu..teecu.., tidak mengerti...” kata Cio San terbata-bata

“Gerakanmu itu tadi adalah Thay Kek Kun jurus ke 8....., Siapa yang mengajarkannya kepadamu?”
pandangan mata gihunya sungguh menusuk hatinya

“Teecu...., ah..., teecu.., tidak ada yang mengajarkannya kepada teecu, gihuu. Teecu hanya mencoba
melatih pernafasan tingkat ke 5...tahu-tahu teecu seperti lupa diri. Tahu-tahu sepertinya tubuh
teecu bergerak sendiri, dan teecu tak tahu lagi teecu ada dimana. Lalu tahu-tahu seperti ada tenaga
yang timbul...lalu..lalu teecu mendengar suara guru yang menuntun teecu....”

“Benarkah? Aku kan sama sekali belum mengajarimu ilmu itu...” gihunya sendiri juga heran, lalu
melanjutkan,

“Atau apakah suhu-suhu yang lain pernah mengajarimu?”

“Tidak pernah gihu...” jawab Cio San

“Atau apakah kau mencuri belajar dari murid-murid tingkatan 4?” tanya gurunya lagi

“Demi Tuhan, tidak gihu. Teecu ingat betul dulu gihu mengingatkan kalau mencuri belajar adalah
perbuatan yang hina, teecu tidak mungkin melakukannya...” jawab Cio San

“Selama ini aku mendengar dari suhu-suhu yang lain bahwa tingkat ilmu silatmu mengalami kemajuan
yang sedikit sekali. Malahan ada yang bilang bahwa silatmu tidak maju-maju. Itupun sudah aku
perhatikan sendiri tanpa harus menerima laporan suhu yang lain. Lalu bagaimana bisa kau menguasai
jurus ke 8 Thay Kek Kun, padahal untuk bisa belajar Thay Kak Kun saja, kau harus menamatkan
pelajaran pernafasan yang sampai tingkat 15. Sampai tingkat berapa ilmu pernafasanmu?” tanya Tan
Hoat cepat

“Ba..baru..sampai tingkat 5 gihu” jawab Cio San sambil menunduk

“Coba tunjukkan padaku, pernafasan tingkat 5 mu” perintah Tan Hoat

Cio San mulai melakukan gerakan. Sama indahnya dengan gerakan-gerakan yang tadi ia buat. Namun
kini ia memusatkn perhatian untuk melakukan gerakan ini sebaik-baiknya. Tapi tidak sampai berapa
lama. Ia merasa nafasnya sesak. Ada rasa sempit di dadanya. Hal ini berbeda dengan perasaan
dorongan tenaga yang tadi sempat dirasakannya. Seketika Cio San merasa kepalanya pening. Ia lalu
berhenti. Keringat dingin mengucur deras dari dahinya.
Tan Hoat memegang nadi di pergelangan tangannya. Denyut itu agak sedikit kacau. Sang gihu
berkerut dahinya,

“Tingkatan 5 pernafasan saja belum kau kuasai, tapi kau sudah bisa mengeluarkan jurus ke 8 Thay
Kek Kun ....aneh...” Ia seperti berbicara kepada diri sendiri. Lalu meneruskan,

“Apa yang tadi kau lakukan sehingga bisa melakukan gerakan-gerakan jurus itu?” tanyanya

“Teecu hanya bergerak seenaknya saja. Tidak memikirkan macam-macam. Teecu keluar kamar dengan
perasaan riang karena sudah sembuh. Teecu menikmati suasana pagi yang segar, dan harumnya
bunga-bunga di pagi hari. Lalu teecu pikir, ada baiknya mencoba gerakan-gerakan pernafasan, karena
teecu merasa hawa pagi ini nikmat sekali. Barangkali cocok untuk berlatih pernafasan...” jelas Cio San

“Lalu?” tanya suhunya lagi

“Lalu saat bergerak itu, tahu-tahu teecu seperti dibawa oleh ombak atau angin yang lembut.
Gelombang ini seperti menuntun teecu bergerak. Tahu-tahu teecu seperti tidak sadar. Seperti mimpi
dalam tidur. Lalu tahu-tahu ada tenaga yang muncul dan mendesak dalam tubuh teecu. Saat itu
kemudian teecu mendengar ada suara yang menuntun teecu mengeluarkan tenaga itu. Setelah itu
teecu membuka mata, dan baru sadar bahwa itu ternyata suara gihu....” jawab Cio San

“Hmmm...aneh juga”

Tan Hoat berkata begitu sambil berusaha berpikir. Memang Cio San tidak mungkin bisa mencuri
belajar dari murid atau suhu lain. Karena tidak mungkin dia bisa menguasai jurus Thay Kek Kun
tingkat pertama sedangkan ia belum bisa menguasai seluruh tingkat 15 pernafasan. Padahal
pernafasan itu adalah dasar dari ilmu Thay Kek Kun. Ini bahkan Cio San sudah bisa memainkan jurus
ke 8 Thay Kek Kun.

“Sudahlah”, lanjutnya “Aku ke sini memberitahukan kepadamu bahwa nanti siang engkau dipanggil
menghadap Ciangbunjin. Membahas kejadian kemarin”
“Baik suhu. Teecu siap menghadap” Cio San tahu bahwa perbuatannya kemarin sangat memalukan.
Seorang murid Butong menangis karena diserang oleh lawan. Itu adalah perbuatan yang sangat
memalukan di dunia kang ow. Jika dunia luar tahu bahwa ada murid Butong yang seperti itu, tentu
saja nama Butong akan jatuh.

“Hari ini kau tidak usah latihan dulu, karena kau baru sembuh dari lukamu. Pergilah kau ke dapur dan
ambil sarapanmu”

“Baik gihu, terima kasih”

Cio San menghaturkan salam dan membungkuk, saat ia selesai membungkuk suhunya sudah tidak
berada di hadapannya.

Karena memang merasa lapar, Cio San menuju ke dapur umum. Seharusnya para murid Butong makan
di ruang makan yang besar menyerupai aula. Namun ia memang bangun agak terlambat sehingga lewat
waktu makan. Biasanya murid yang terlambat makan, harus menunggu waktu makan berikutnya.
Tetapi kondisi Cio San yang baru sembuh dari luka ini merupakan pengecualian.

Begitu di dapur, suasana sudah sepi. Tapi di bagian belakang memang masih ramai, karena ada
beberapa murid yang kebagian tugas mencuci piring.

Saat Cio San masuk, ia disapa oleh tukang masaknya,

“Ah kau terlambat, tapi sudah kusediakan makanmu. Ambil saja di lemari kayu belakang. Di sebelah
jendela besar itu.” katanya ramah seperti biasa

Cio San memang lumayan akrab dengan A Liang, si juru masak Butong. Mungkin karena A Liang sendiri
memang tidak bisa silat, mereka jadi mempunyai kedekatan tersendiri. A Liang memang bukan murid
resmi Butong. Ia adalah seorang juru masak yang bekerja di Butong. Ia tinggal di Butong sudah lama
sekali. Puluhan tahun malah. Umurnya sekarang sudah lebih dari 70 tahun.

“Ah terima kasih Liang-lopek (panggilan kepada orang yang sudah tua)” kata Cio San ramah
“Bagaimana lukamu? Sudah sembuh?” tanya A Liang

“Sudah lopek, berkat perawatan Tan-suhu, teecu sudah segar bugar” Cio San menjawab sambil
tersenyum.

“Ah lain kali kalau berlatih hati-hatilah, jangan sampai terluka lagi. Ayo sana ambil makanmu.
Kudengar perutmu sudah keruncongan begitu. Hahaha....”

Mereka berdua tertawa. Memang kalau dibanding dengan berlatih ilmu silat, sebenarnya Cio San
lebih suka bercanda seperti ini. Sifatnya memang periang suka bercanda. Cocok juga dengan si tua A
Liang yang memang suka tertawa juga.

Selesai makan. Cio San membantu A Liang bersih-bersih, dan menyiapkan makan siang. Pagi itu Cio
San memang tidak ada kegiatan berlatih karena sudah disuruh beristirahat dulu oleh suhunya. Ia
memutuskan untuk membantu A Liang. Sebenarnya A Liang juga mempunyai beberapa pembantu yang
masih kecil-kecil, mungkin berumur 10an tahun. Tapi daripada nganggur, yah lebih baik membantu A
Liang saja, begitu pikir Cio San

Setelah beberapa lama bekerja memotong sayur, mengiris daging, dan menyiapkan bahan-bahan lain,
Cio San pun diajak A Liang untuk memasak. Walaupun selama ini berteman dengan A Liang, belum
pernah sekalipun Cio San belajar masak dari sahabat tuanya ini.

Pengalaman baru ini membuatnya tertarik dan senang. Membuatnya lupa akan masalah yang
dihadapinya itu. Cio San pun juga ternyata baru tahu kalau dia itu memiliki bakat memasak. Setelah
diajarkan sebentar Cio San mulai bisa.

Dasar rasa tahunya memang tinggi, ia pun rajin bertanya mengenai semua langkah-langkah memasak.
Apa guna bahan ini? Apa guna bumbu itu? Mengapa bahan ini harus dibungkus daun terlebih dahulu?
Kenapa minyak ini harus dipanaskan lama? Dan lain-lain.

Herannya, jika belajar silat kemajuan Cio San lambat sekali, belajar masak malah dia cepat bisa.
Hanya hal memotong-motong atau mengupas yang dia perlu waktu untuk menyesuaikan. Tapi dalam hal
mengolah, dan pemahamannya tentang bumbu, bahan, dan rasa, Cio San cepat sekali bisa.
A Liang pun dengan sabar mengajarkan dan menunjukkan cara memasak kepadanya. Dari pagi sampai
hampir siang Cio San membantu A Liang memasak. Jadi bisa dibilang banyak sekali pengetahuan yang
ia dapatkan dalam setengah hari itu.

Kadang-kadang banyak pertanyaan aneh-aneh yang keluar dari mulut Cio San, seperti 'Mengapa
merebusnya tidak menggunakan bahan ini? Bukankah bahan ini lebih harum?” atau “Kenapa harus
membungkus daging dengan daun pisang?, dan masih banyak lagi pertanyaan Cio San yang dijawab
dengan sabar oleh A Liang.

“Kau ini punya minat yang besar ya tentang masak? Baiklah tiap hari jika menganggur kau kesini
sajalah. Ku ajarkan resep-resep masak yang hebat-hebat” kata A Liang

“Benarkah? Terima kasih Liang-lopek” tukas Cio San girang

Waktu makan siang pun datang. Cio San membantu A Liang menata piring-piring dan masakan. Mereka
juga dibantu oleh beberapa murid Butong lain. Maklum, jumlah seluruh murid Butong ada sekitar
1000an lebih.

Letak meja-meja di ruang makan Butong diatur berdasarkan tingkatan. Setiap tingkatan mempunyai
posisi sendiri-sendiri. Begitu juga posisi meja para anggota 15 naga muda. Cio San pun makan di situ
juga. Cuma kalau seluruh anggota naga muda makan dengan riang dan bertegur sapa. Cio San makan
dengan diam dan sepi. Memang tidak ada orang yang menganggapnya ada. Apalagi mengajaknya
berbicara.

Hanya Beng Liong yang mau duduk di dekatnya dan berbicara padanya. Beng Liong ini adalah anggota
15 naga muda yang paling tua umurnya. Sekitar 18 tahun. Dia ini juga adalah anggota yang paling
berbakat, paling tampan, dan paling gagah. Semua orang suka padanya. Ia punya tutur kata yang
sangat sopan, dan halus. Ia juga ramah dan sama sekali tidak sombong. Walaupun ilmunya paling
hebat diantara para naga muda, dia tidak pernah semena-mena pada orang lain. Malahan dia paling
sering mengajarkan dan memberi petunjuk kepada murid lain yang belum lancar penguasaan silatnya.

Asal-usul Beng Liong sendiri pun sebenarnya hampir sama dengan Cio San. Inilah mungkin yang
membuat kedua orang ini lumayan akrab. Beng Liong berasal dari keluarga yang sangat kaya raya. Ia
tinggal di sebuah provinsi yang dekat dengan perbatasan luar tembok besar. Karena bisnis yang
semakin surut, keluarganya memutuskan untuk pindah ke daerah ibukota.
Apa nyana, di tengah jalan mereka diserang perampok. Seluruh keluarganya mati, termasuk ayahnya
dan ibu serta beberapa orang ibu tirinya. Ayahnya memang punya beberapa istri. Untunglah Beng
Liong tidak ikut terbunuh. Pada saat-saat akhir, ia ditolong oleh salah seorang pendekar Butong yang
turun gunung.

Kisah hidup Beng Liong yang hampir sama dengan Cio San ini membuat kedekatan mereka bahkan
seperti adik kakak. Orang-orang yang mengerjai Cio San, tidak akan berani melakukannya jika ada
Beng Liong. Sayangnya Beng Liong jarang sekali melakukan kegiatan bersama-sama dengan Cio San.
Ini karena ilmu dan kemajuan Beng Liong yang pesat, sehingga ia bahkan sudah dilatih oleh tetua-
tetua Butong angkatan kedua, yang tempat latihannya berbeda dengan Cio San yang selalu tertinggal
ilmunya itu. Jika Beng Liong berlatih di bagian atas kuil, tempat para tetua, Cio San malah berlatih di
bagian paling bawah kuil, karena ilmunya jauh tertinggal.

Kini kedua orang anak muda itu sedang makan dan bercakap-cakap.

“Eh Cio San, aku dengar, katanya kau sudah berhasil menguasai Thay Kek Kun jurus ke 8?” tanya
Beng Liong

“Ah tidak Liong-heng (kakak Liong), hanya kebetulan saja” jawab Cio San pelan.

“Bagaimana ceritanya itu?” tanya Beng Liong tertarik

“Aku hanya iseng-iseng sekenanya bergerak melatih pernafasan tingkat 5. Tahu-tahu tubuhku
bergerak sendiri dan ada tenaga yang timbul dalam tubuhku. Untung kemudian Tan-suhu datang dan
memberi petunjuk. Kalau tidak, mungkin aku bisa terkena luka dalam karena terserang tenaga ku
sendiri”

“Hmmmm, apa benar? Kau beruntung sekali sute (adik perguruan)” tukas Beng Liong

“Eh suheng (kakak perguruan) dengar dari siapa cerita ini? Apakan dari Tan-suhu” tanya Cio San

“Aku mendengar dari murid-murid lain. Kebetulan mereka melihat kejadian tadi pagi” jawab Beng
Liong, lanjutnya lagi “Sayang aku tidak melihat sendiri. Padahal menarik juga, mungkin aku bisa
belajar banyak”
“Liong-heng ini suka bercanda, mana mungkin aku bisa mengajari Liong-heng? Harusnya Liong-heng
lah yang mengajari aku”

“Ah, ilmu itu datang dari mana saja. Jiwa dan hati harus terbuka, baru bisa memahami ilmu silat yang
sungguh dalam dan luas bagai samudera” kata Beng Liong

“Iya Liong-heng, terima kasih petunjuknya” Cio San memang sangat menghormati kakak
seperguruannya itu

“Hey, ayo cepat kita habiskan makan kita, nanti aku terlambat berlatih. Hari ini aku harus bisa
menguasai Thay Kek Kun jurus pertama...” seru Beng Liong

“Ah kakak sudah mulai belajar Thay Kek Kun? hebat-hebat...para naga muda yang lain saja baru
belajar pernafasan tingkat 12....” Cio San bertanya dengan kagum

“Iya, syukurlah para guru mau sabar mengajariku...hey ayo cepat makan, aku dengar kau nanti
dipanggil oleh Ciangbunjin...”

“Iya...” Cio San menjawab sambil menunduk

“Aku sudah dengar cerita kemarin. Sabar saja. Semua pasti ada hikmah kalau kau mau memahaminya”
ucapan Beng Liong ini sebenarnya pantas diucapkan orang tua. Tapi memang Beng Liong ini selalu jauh
lebih maju dalam hal apa saja.

“Terima kasih, Liong-heng” sambil tersenyum Cio San menghabiskan makannya.

Setelah makan kedua orang sahabat ini berpisah lagi. Beng Liong meneruskan latihannya. Padahal
jadwal setelah makan siang adalah jam istirahat siang bagi murid-murid Butong. Tapi semangat dan
kecintaan Beng Liong pada ilmu silat membuatnya merasa rugi menghabiskan waktu tanpa belajar
silat.
Murid-murid yang lain memilih beristirahat. Ada yang duduk sambil bercengkerama berkelompok, ada
yang memilih tidur-tiduran, ada juga yang mengulang-ulang pelajaran silatnya tadi pagi. Cio San
memilih pergi mandi membersihkan diri di sebuah sungai kecil yang mengalir di belakang kuil.

Kegiatannya tadi membantu Liang-lopek membuat tubuhnya berkeringat dan bahkan bau asap. Jika
nanti bertemu ciangbunjin dengan keadaan seperti ini, ia takut dianggap tidak tahu aturan.

Setelah menceburkan diri beberapa lama disungai, Cio San sudah berganti pakaian. Ia memilih
pakaian yang jarang dipakainya. Jika bertemu dengan Lau Tian Liong memang ada perasaan tunduk
dalam hati Cio San.

Apalagi pertemuan nanti, sepertinya membahas hukuman yang harus ia lalui. Cio San mencoba
mengeraskan dan menguatkan hatinya. Sebagai laki-laki, ia harus mempertanggungjawabkan semua
perbuatannya. Ia memilih untuk tidak menceritakan semua perbuatan dan perlakuan murid-murid lain
terhadap dirinya.

Walaupun ia sering merasa disepelekan, bahkan keberadaannya itu sering dianggap tidak ada oleh
orang lain, bolehlah menyakiti hatinya. Tapi jika itu harus dia pakai sebagai alasan supaya tidak usah
dihukum, maka ia merasa dirinya adalah seorang pengecut.

Anak laki-laki umur seperti Cio San, memang sedang senang-senangnya menunjukkan kelaki-lakiannya.
Umur seperti ini memang beranjak dari usia anak-anak memasuki usia remaja. Masa dimana seorang
anak kecil merasa ia sudah 'dewasa'. Padahal sebenarnya remaja sungguh tak jauh beda dengan anak-
anak. Malahan orang dewasa pun juga tak jarang masih sama dengan anak-anak.

Cio San kini berjalan dari sungai menuju biliknya. Sering ia berpapasan dengan beberapa murid
Butong. Sekedar bertegur dan bertukar senyum. Masih banyak juga ternyata yang ramah-ramah.
Tapi orang-orang ini memang tidak begitu kenal dengan Cio San.

Yang paling tidak menyenangkan itu jika kau disepelekan dan tidak diacuhkan sahabat-sahabatmu.
Kalau kau tidak diacuhkan oleh orang-orang yang tidak mengenalmu, maka boleh dibilang semua orang
di dunia ini mengalaminya.
Itulah yang dirasakan Cio San selama ini. Beberapa orang yang dianggap sahabatnya, malah tidak
menganggapnya sama sekali. Makan bersama tidak diajak, keluar bermain tidak diajak, berlatih
bersama pun tidak diajak. Mengobrol pun kadang mengeluarkan kata-kata yang menyakiti hati.

Bagusnya Cio San, ia tidak menyalahkan siapa-siapa kecuali dirinya sendiri. Memang dalam hati, sejak
lama ia sudah ingin memperbaiki dirinya. Menunjukkan kepada orang-orang bahwa dia itu bukan 'anak
bawang'. Bukan pecundang yang hanya bisa ditertawakan. Mungkin inilah satu-satunya alasan Cio San
ingin bertahan disini. Membuktikan pada orang-orang bahwa dia bisa menjadi 'sesuatu'.

Berpikir seperti ini, membuat Cio San semakin bersemangat.

Ia kini sedang berada di biliknya. Berbaring terlentang diatas dipan dengan berbantalkan kedua
telapak tangannya. Posisi seperti ini memang posisi kesukaannya.

Tak berapa lama, terdengar suara,

“Cio San, ayo naik ke ruang ketua”

Suara itu kecil saja. Tidak keras, namun terdengar jelas. Cio San lekas bangkit dan keluar. Ia tidak
melihat siapa-siapa di dekat situ. Tanpa menunggu lebih lama ia berlari mendaki tangga menuju ruang
ketua. Ada jarak sekitar seratus tombak. Gihunya, Tan Hoat ternyata sudah menunggu di depan pintu
ketua. Rupanya ilmu mengirimkan suara gurunya itu sudah sangat hebat, sehingga bisa mengirimkan
suara dengan jelas dari jarak sebegitu jauhnya.

“Ayo masuk. Ciangbunjin sudah menunggu” kata gihunya

Cio San mengangguk. Ia lalu memberi salam kepada gihunya itu. Lalu mengucap salam kepada Lau-
Ciangbunjin,

“Teecu, Cio San, anggota dari 15 Naga Muda memberi salam kepada Ciangbunjin. Semoga Thian
(langit) selalu memberi kesehatan dan kebaikan” kata Cio San dari luar pintu
Dari dalam, terdengar suara sang pangcu,

“Masuklah, Cio San”

Begitu pintu dibuka, nampaklah ruang ketua itu. Tidak terlalu besar, tapi juga tidak terlalu sempit.
Ruangan ini biasanya dipakai sebagai ruang tugas Ciangbunjin. Tempat ia menerima tamu, atau
memberi perintah. Intinya, ruang ini dipakai sebagai ruang resmi kepala Butongpay.

“Teecu, Cio San menghadap ketua” sambil berkata begitu, Cio San mengatup tangan di depan dada.

Sambil tersenyum Lau-pangcu berkata, “Sudahlah jangan terlalu banyak aturan”

Cio San mengangguk hormat.

Ternyata di dalam ruangan ini, Lau-ciangbunjin tidak sendirian. Ada 4 orang disebelahnya. Dua di kiri,
dan dua di kanan. Ke empat orang ini adalah penasehat utama ketua Butongpay. Mereka adalah dari
angkatan ke 2. Wajahnya mereka angker. Cio San mengenal nama-nama orang ini.

Cou Leng, berdagu panjang, dengan jenggot yang semakin membuat wajahnya terlihat lebih panjang

Yo Han, bertubuh tinggi besar, matanya selalu tertutup, dan bibirnya selalu berkomat-kamit

Yo Ang, kakak dari Yo Han tapi justru tubuhnya kecil. Tatapan matanya, Cio San bahkan tidak berani
melihat karena khawatir 'tertusuk'.

Oey Tang Wan, selalu tersenyum.

Usia ke empat ini sekitar awal 60 tahunan. Tapi seperti Lau-pangcu, wajah mereka terlihat lebih
muda sepuluh atau lima belas tahun.
Ada rasa tergetar juga di hati Cio San. Ia memang jarang bertemu orang-orang ini. Tapi kekosenan
ke 4 orang ini memang sudah sering terdengar. Kabarnya ilmu keempat orang ini hanya satu tingkat
dibawah Lau-ciangbunjin.

Dalam hati Cio San kagum jaga. Dari cahaya pancaran wajah mereka saja, bisa diukur kesaktian
mereka.

“Cio San”, kata Lau-ciangbunjin, suaranya tenang sekali,

“Teecu mendengar suhu” jawab Cio San menghormat

“Kejadian beberapa hari yang lalu, sudah kudengar. Bahkan seluruh Butongpay ini sudah mendengar”
lanjut Lau-ciangbunjin

Cio San menunduk khidmat

“Mengapa kau menangis saat kau diserang A Pao?” tanya sang pangcu

Cio San terdiam beberapa detik. Ia telah memikirkan jawaban atas pertanyaan ini sejak beberapa
hari. Dan mantap ia menjawab,

“Teecu tidak mempunyai alasan apa-apa suhu. Teecu siap bertanggung jawab dan menerima hukuman
atas perbuatan teecu itu, suhu”

“Benar kau tidak mempunya alasan apapun? Apakah saat bertarung itu kau sedang dirundung
masalah? Atau kau teringat ayah ibumu?” tanya Lau pangcu lagi

“Sama sekali tidak suhu. Mungkin teecu saja yang terlalu berhati lemah, sehingga terjadi kejadian
seperti kemarin”
“Para totiang (tetua) ada pertanyaan kepada Cio San?” tanya Lau-ciangbunjin kepada keempat orang
penasehatnya

Yo Ang, yang bertubuh kecil dan bermata tajam membuka suara,

“Apakah kau takut diserang oleh A Pao?” ternyata suaranya cempreng, cocok dengan badannya yang
kecil

Cio San jelas tidak takut. Tapi mau menjawab apa dia bingung. Akhirnya dia diam saja. Bagi sebagian
orang, diam itu berarti 'Iya'.

“Memalukan.....” kata Yo Ang

Oey Tang Wan, yang wajahnya selalu tersenyum, kini juga membuka suara

“Cio San, anakku, jika ada ganjalan di hati, bicarakanlah. Seorang laki-laki sejati tidak akan takut
mengungkapkan apa yang ada dalam pikirannya”

Bagaimana mungkin Cio San membuka semua masalah yang dialaminya. Hatinya terlalu berat untuk
kemudian menyalahkan orang lain. Jika dia menceritakan semua perlakuan buruk yang dihadapinya,
bukankah akan semakin memperlihatkan kelemahannya? Bukankah hal seperti ini malah akan
menambah kemarahan orang? Cio San memilih untuk menyimpan semua itu. Apalagi jika ia
mengungkapkannya, bukankah nanti akan timbul berbagai masalah baru dan pergesekan di dalam
perguruan?

Bisa jadi ketika ia membuka cerita, hubungannya dengan murid-murid yang lain akan semakin buruk,
dan dia akan semakin dijauhi karena dianggap sebagai pengadu. Anak-anak seusia Cio San memang tak
jarang berfikiran seperti ini. Rasa kesetiakawanan mereka yang masih polos selalu membuat mereka
takut kehilangan teman.

Cou Leng, totiang yang berwajah panjang, juga membuka suara


“Kami sudah mendengar cerita dari A Pao. Bahwa dia mengajak kau berlatih ilmu totokan. Setelah
bertanding beberapa lama, kau terdesak oleh serangannya dan mulai menangis. Apa benar?” tanyanya

Terdiam sebentar, Cio San menjawab, “Benar totiang”

“Huh...” itu suara Yo Ang

Kali ini Lau-ciangbunjin yang membuka suara,

“Cio San apakah kau paham arti perbuatanmu itu?” tanyanya

“Teecu paham sekali suhu. Bahwa seorang laki-laki tidak pantas menangis di dalam pertarungan.
Apalagi laki-laki itu mengaku sebagai murid Butongpay. Perbuatan teecu membuat malu seluruh
anggota Butongpay. Dan teecu siap bertanggung jawab atas perbuatan teecu”

“Bagus. Kau tahu hukuman apa yang harus kau hadapi?” tanya Lau-ciangbunjin lagi

“Setahu teecu, hukuman paling ringan bagi ketidakdisipilinan di dalam peraturan Butongpay adalah
diasingkan ke atas pondok bambu di puncak tertinggi Butong san. Sedangkan hukuman terberat
adalah dikeluarkan dari Butongpay”

“Bagus jika kau tahu. Para totiang, apakah menurut totiang sekalian, Cio San melakukan pelanggaran
berat atau ringan?”

“Berat!” tukas Yo Ang

Sedangkan para totiang lain masih diam dan berfikir

Oey Tang Wan berkata, “Menurut saya, kejadian itu memang pelanggaran berat. Tapi kita bisa
memberi hukuman yang lebih mendidik kepada Cio San. Saya melihat masih ada kebaikan dalam diri
Cio San”
“Kebaikan macam apa?” sahut Yo Ang, “Ilmu silatnya saja tidak maju-maju. Padahal dia itu anggota 15
naga muda. Menjadi murid 'biasa' Butongpay saja ia sudah tidak pantas. Apalagi masuk dalam
kelompok unggulan seperti 15 naga muda”

Suara cemprengnya seperti menusuk tulang.

Oey Tang Wan masih tersenyum, sambil manggut-manggut ia berkata,

“Bukankah dalam Butongpay, tidak hanya melulu belajar silat? Penguasaan sastra dan ilmu pengobatan
juga sangat penting. Menurut saya bakat sastra Cio San sangat besar. Toh kita dulu sepakat
memasukkannya dalam kelompok naga muda berdasarkan pertimbangan bakat sastranya?”

Yo Ang yang manggut-manggut kali ini.

Walaupun kedua orang ini sering silang pendapat. Tapi mereka sangat legawa dalam menghormati
pendapat yang dianggap benar.

“Tan Hoat, guru pengawas dari Cio San mohon ijin untuk mengutarakan pendapat” terdengar suara
Tan Hoat dari luar pintu.

“Masuk saja Tan Hoat” jawab Lau-ciangbunjin

Setelah masuk dan memberi hormat, Tan Hoat berkata,

“Mohon maaf karena teecu berani lancang dalam urusan ini. Tetapi ada satu hal yang ingin teecu
sampaikan yang mungkin bisa menjadi bahan pertimbangan bagi suhu dan totiang sekalian” kata Tan
Hoat

“Katakanlah” sahut Lau-ciangbunjin


“Tadi pagi, teecu tidak sengaja melihat sebuah keanehan. Cio San, yang pelajaran pernafasan dasar
hanya baru tingkat ke 5. Sudah bisa melakukan jurus ke 8 Thay Kek Kun”

Tredengar suara kaget dari sekalian orang di dalam ruangan

“Lanjutkan” kata Lau-ciangbunjin

“Setelah teecu tanya, dari siapa ia mempelajari jurus itu, Cio San mengaku belum pernah diajari oleh
siapapun. Pada awalnya teecu tidak percaya kepada jawabannya itu. Tapi setelah teecu berpikir,
memang tidak mungkin orang yang belum menguasai seluruh tingkatan pernafasan dasar bisa
melakukan jurus Thay Kek Kun, maka teecu anggap ini memang suatu kebetulan belaka”

“Cio San, apa benar yang dikatakan gihumu itu? Coba ceritakan dari awal?” kata Lau-ciangbunjin

Cio San pun mulai bercerita. Seluruh kejadian itu ia ceritakan tanpa ia kurangi dan tambahi.

Selesai bercerita terdengar keempat totiang saling berpandang satu sama lain, dan berdiskusi.
Terdengar perbedaan pendapat, dan pada akhirnya Lau-ciangbunjin lah yang berkata,

“Begini saja,” kata sang ketua,

“Kejadian ini memang aneh dan ajaib. Tapi juga bukan berarti tidak masuk akal. Kedalaman ilmu Thay
Kek Kun memang sangat dalam, sehingga semakin dalam kau pelajari, semakin juga terasa kecil dirimu
di hadapan ilmu yang sangat luas.”

“Melihat bahwa ternyata Cio San sanggup melakukan hal seperti itu, ini menandakan ia sebenarnya
mempunyai bakat dalam ilmu silat. Cuma mungkin ketertinggalannya itu disebabkan oleh kemalasan,
dan kekurangpahamannya sendiri.”

“Aku memberikan 2 pilihan kepada Cio San. Pilihan pertama, kau tidak akan dihukum dalam
pengasingan, namun kau harus mundur dari kelompok 15 naga, dan menjadi anggota murid 'biasa'.
Atau pilihan kedua, kau boleh tetap menjadi anggota 15 naga muda, tetapi kau harus
mempertanggungjawabkan perbuatanmu dengan diasingkan ke pondok bambu. Selain itu disana kau
harus rajin berlatih sehingga ketika turun kembali, kau harus bisa mengalahkan A Pao. Jika kau tidak
mampu mengalahkan A Pao, maka dengan sukarela kau harus keluar dari 15 naga muda dan menjadi
murid biasa. Bagaimana Cio San?”

Setelah berpikir sebentar, Cio San berkata, “Teecu memilih pilihan kedua, suhu”

Ada senyum yang tersungging di bibir Lau Tian Long, ia lalu berkata,

“Bagus, itulah yang ingin kudengar dari mulut seorang murid Butongpay. Berani bertanggung jawab
dan menerima hukuman. Jika tadi kau memilih pilihan pertama. Aku akan langsung mengeluarkanmu
dari Butongpay”

“Karena kau adalah murid termuda yang dihukum dalam pengasingan. Maka aku memberi keringanan
padamu. Jika biasanya hukumannya harus setahun dalam pengasingan, kau cukup menjalaninya selama
3 bulan. Siapa saja boleh menjengukmu setiap saat, tapi kau tidak diperbolehkan turun, atau keluar
dari puncak. Selama disana kau harus rajin berlatih, sehingga begitu turun, kau harus sanggup
mengalahkan A Pao. Siapkah kau?”

“Teecu siap suhu” kata Cio San sambil menunduk khidmat

“Bagus. Bersiap-siaplah sekarang. Hari ini juga begitu siap, kau harus sudah berangkat ke pondok
bambu”

“Teecu siap menjalankan perintah.

Cio San telah selesai membuntal pakaian-pakaiannya. Begitu keluar dari biliknya, Tan Hoat telah
berada di depan pintu menantinya. Berbeda dengan beberapa hari akhir-akhir ini, wajah Tan Hoat
sudah tidak seketus belakangan ini.
Tan Hoat sambil tersenyum berkata,

“Sudah siap? aku akan mengantarkanmu ke pondok bambu”

“Sudah gihu, tapi anak ingin berpamitan dengan beberapa orang terlebih dahulu. Bolehkah?”

“Pergilah, aku menanti di pohon Yang Liu dekat kolam gedung utama. Jangan lama-lama, takutnya kita
telat berangkat dan kemalaman”

“Terima kasih gihu” sambil berkata begitu, ia memberi hormat dan segera bergegas.

Pertama-tama ia mencari Liang-lopek. Orang tua ini memang selalu akrab dengannya. Kesukaan baru
Cio San, yaitu belajar masak, memang harus tertunda dulu. Padahal ia senang sekali mempelajari
kemampuan baru ini.

Cio San menemukan Liang-lopek sedang beberes di dapur belakang.

“Ah kau.., bagaimana? sudah bertemu ciangbunjin? Apa kata beliau?” tanya Liang-lopek

“Sudah lopek. Kata beliau, saya harus ke pondok bambu selama 3 bulan” sambil berkata begitu ia
membuat mimik muka yang lucu. Nampaknya hukuman seperti ini lumayan menyenangkan juga bagi Cio
San.

“Haha, kau senang ya disuruh menyendiri 3 bulan? Tak ada orang yang mengganggumu disana kan?”

“Iya Lopek, haha”

“Kalau bukan orang yang mengganggumu, bisa saja setan gunung yang mengganggumu” goda Liang-
lopek sambil membuat mimik muka seram
“Asal saya tidak disuruh berlatih silat, nampaknya diganggu setan gunung juga lebih baik” tawa Cio
San

“Hus, jika didengar gurumu, hukumanmu bisa-bisa diganti disuruh belajar silat terus, tidak boleh
makan dan tidak boleh tidur”

Mereka berdua tertawa lagi,

Tiba-tiba Liang-lopek berkata,

“Eh aku punya sesuatu yang bisa kau pakai untuk menemanimu disana”

“Apa itu, lopek?”

“Tunggu sebentar”

Liang-lopek lalu pergi ke biliknya. Tak berapa lama ia keluar membawa beberapa barang.

“Ini ada sebuah panci kecil. Supaya kau bisa memasak sendiri disana. Memang aku tahu biasanya
setiap beberapa hari sekali ada murid yang mengantarkan makanan bagimu kesana. Tapi ku pikir kau
mungkin ingin memasak sendiri, sambil mencoba-coba resep yang kuajarkan tadi”

“Ah terima kasih lopek” Cio San tertawa senang

“Ngomong-ngomong tentang resep, ini kukasih juga buku resep khusus. Di dalamnya selain ada resep-
resep masakan kuno, juga ada penjelasan tentang bahan-bahan dan tanaman-tanaman khusus.

“Terima kasih lopek. Saya pasti mempelajari buku itu”


“Nah ini yang terakhir, ku bawakan juga sebuah khim (sejenis kecapi) kecil untuk menemanimu
bernyanyi dengan setan gunung. Hahahaha”

“Hahaha, lopek jangan bergurau. Saya kan tidak bisa bermain khim. Walaupun ayah saya mahir sekali
bermain, saya sama sekali belum pernah mencobanya”

“Kalau ayahmu mahir bermain, pastilah juga itu menurun kepadamu. Coba-coba saja lah.”

“Huh bisa-bisa nanti waktuku habis kupakai belajar khim dan belajar masak. Pelajaran silat bisa
terlupa semua. Bahaya” wajah Cio San membuat mimik lucu lagi

Tiba-tiba ia melanjutkan,

“Aha, saya tahu. Lopek sengaja memberikanku barang-barang ini, supaya saya sama sekali tidak
belajar silat kan?. Supaya jika saya kalah dengan A Pao, saya dipindahkan ke bagian dapur dan jadi
anak buah lopek?”

“Hahahahah”

Mereka berdua tertawa berbarengan. Ada rasa hangat yang timbul di hati mereka saat bergurau.
Memang tidak ada perasaan yang lebih menyenangkan selain berkumpul bersama temanmu, dan
bergurau bersama. Rasanya seperti semua beban dalam hatimu terlupakan untuk beberapa saat.

“Eh kau cepatlah berangkat, nanti kemalaman di jalan. Aku akan sering-sering mengunjungimu jika
diijinkan oleh gurumu”

“Kata guru, siapapun boleh mengunjungi saya diatas sana. Tapi saya yang tidak boleh meninggalkan
tempat itu”

“Hmmm baguslah. Kalau ada waktu senggang aku akan sering-sering naik kesana. Kau jaga diri baik-
baik yah. Belajar masak yang rajin, biar nanti kalau aku kesana, kau yang memasak untukku”
“Baik lopek, terima kasih. Mohon doa restu agar saya berhasil”

“Baik-baik”

Cio San memberi hormat dengan membungkuk serendah mungkin. Ada perasaan haru dalam hati
Liang-lopek ketika menerima penghormatan seperti itu. Selama ini, tidak ada murid Butongpay yang
memberi hormat seperti itu kepadanya. Hanya Cio San yang memperlakukannya seperti guru. Itulah
kenapa ia sangat menyukai anak kecil yang polos ini.

Setelah memberi salam, Cio San bergegas pergi. Tidak ada wajah ketakutan di dalam hatinya.
Mungkin karena ia tidak tahu bagaimana keadaan puncak tertinggi Butongsan yang sebenarnya. Cio
San pergi dengan riang tanpa rasa berat dihatinya.

Memandangi punggung anak kecil yang bersemangat itu, Liang-lopek membatin dalam hati,

“Mudah-mudahan Butongpay menjadi lebih jaya karena anak ini”

Setelah dari tempat Liang-lopek, Cio San menuju ke ruang latihan utama, tempat biasanya para 15
naga muda berlatih. Karena saat ini memang masih jam istirahat, ruangan itu masih sepi. Namun
sesuai dugaan Cio San, masih ada satu orang yang berlatih disana. Siapa lagi kalau bukan Beng Liong.

Remaja tampan dan gagah ini, memang tidak pernah melewatkan waktu tanpa berlatih silat. Ia
bersilat sendirian. Memainkan jurus-jurus dasar Butongpay. Namun gerakannya terlihat mantap dan
lincah. Peluh mengalir di sekujur tubuhnya yang bertelanjang dada. Di umur yang baru sekitar 18an
tahun, tubuh Beng Liong terlihat tegap dan gagah.

Melihat keseriusan Beng Liong dalam berlatih, Cio San sungkan mengganggunya. Ia hanya berdiri di
belakang Beng Liong. Melihat gerakan-gerakan silatnya. Memang sungguh hebat sekali. Pantas saja
kalau Beng Liong dianggap sebagai 15 naga muda yang paling berbakat.
Merasa ada orang di belakangnya, Beng Liong menyelesaikan gerakannya. Ia berbalik lalu tersenyum
kepada Cio San.

“Hey kau datang San-te (adik San)”

“Iya Liong-heng, aku ingin berpamitan kepadamu”

“Memangnya kau mau kemana, San-te?”

“Aku disuruh tinggal sebentar di pondok bambu. Selama 3 bulan”

Beng Liong sudah mengerti bahwa maksuda 'tinggal sebentar' adalah dihukum

“Wah, kau harus tabah ya San-te. Semoga disana kau lebih tenang dalam belajar silat. Kalau ada
waktu luang aku ingin pergi kesana. Kata orang pemandangan di sana indah. Kita juga bisa berlatih
silat bersama-sama”

“Terima kasih Liong-heng. Doakan semoga sute mu ini berhasil ya”

Keduanya lalu bersalaman dan Cio San pun bergegas pergi.

Beng Liong pun menatap punggung yang sedang bergegas itu. Ia tersenyum sebentar dan melanjutkan
latihannya.

“Semoga berhasil San-te” katanya dalam hati.


Letak ruang latihan utama memang tidak jauh dari tempat Tan Hoat menunggu. Tidak berapa lama
Cio San sudah sampai disana. Saat istirahat siang begini, memang Butongpay terasa sepi. Karena
waktu-waktu ini dipakai para murid untuk memulihkan tenaga mereka setelah seharian mereka
berlatih.

“Sudah?” tanya Tan Hoat begitu melihat kedatangan Cio San

“Sudah gihu. Sekarang anak siap berangkat” kata Cio San mantap.

“Baguslah. Ayo” kata Tan Hoat sambil tersenyum

Mereka lalu berjalan menuju pondok bambu, di puncak tertinggi Butongsan.

Sepanjang perjalanan, pemandangan memang indah sekali. Cio San menikmati sekali perjalanan ini.
Kadang-kadang ia bertanya kepada gihunya tentang tempat apa saja yang dilihatnya itu. Gihunya
dengan sabar menjelaskan.

Tapi tak berapa lama Cio San mulai terlihat ngos-ngosan dan wajahnya mulai pucat. Tan Hoat pun
paham bahwa Cio San memang tidak terbiasa mendaki jalan tebing-tebing curam seperti ini sehingga
kehabisan nafas.

Ia pun lalu memberi sedikit pelajaran pernafasan kepada Cio San sambil jalan. Ternyata ada teknik
nafas khusus sehingga jika melakukan pendakian, seseorang tidak kehabisan nafas.

Pada awalnya Cio San memang kesulitan untuk melakukan yang diajarkan gurunya itu, namun setelah
hampir satu jam lebih mencoba, dan mendapat petunjuk terus dari gurunya, Cio San akhirnya
berhasil. Nafasnya mulai teratur dan tidak terengah-engah lagi seperti semula. Kondisi organ-organ
tubuhnya yang kurang baik, memang membuat Cio San cepat sekali letih dan kehilangan tenaga.

Baru setelah nafasnya teratur dan tubuhnya mulai terasa kuat, wajah Cio San sudah terlihat
memerah lagi. Keringatnya pun mengalir deras. Orang biasa yang jika melakukan pekerjaan fisik lalu
tidak berkeringat, maka pasti ada yang salah dalam tubuhnya. Kini setelah keringatnya keluar, Cio
San malah merasa segar.
Ia sudah bisa mulai bercakap-cakap kembali dengan gihunya,

“Cio San,” kata Tan Hoat, “Sebenarnya dalam hal ini, gihu merasa sangat bersalah kepadamu”

“Ada apa gihu?”

“Gihu sering meninggalkanmu, jadi tidak bisa terus memberi pelajaran kepadamu. Memang diantara
ke 15 guru yang menangani 15 naga muda, gihulah yang paling sering meninggalkan kau dan
membiarkanmu latihan sendiri. Gihu mohon maaf kepadamu Cio San...”

“Gihu jangan meminta maaf, semua ini adalah kesalahan anak karena memang tidak memiliki bakat
dalam silat. Anak juga malas belajar.”

“Tapi sudah menjadi tanggung jawab gihumu ini untuk mendidikmu, tapi aku malah memarahimu saat
kau menghadapi masalah seperti ini. Padahal sudah salahku bahwa aku jarang sekali mendampingimu”

“Bagaimana mungkin anak menyalahkan gihu? Bukankah kepergian gihu karena menjalankan tugas
perguruan?”

Tan Hoat hanya tersenyum. Memang Cio San ini pintar sekali berbicara.

“Gihu, sebenarnya tugas apakah yang gihu jalankan? Sejauh yang anak perhatikan, hanya gihu seorang
yang sering sekali naik-turun gunung. Sedangkan murid-murid Butongpay yang lain semuanya
dipusatkan berada di Butongsan”

“Hmmm, sebenarnya gihu tidak boleh menceritakan ini kepadamu, tapi sebagai bentuk penyesalan
gihu terhadapmu. Gihu akan bercerita sedikit saja”
Tan Hoat bercerita bahwa ia ditugaskan oleh Lau-ciangbunjin untuk menyelidiki keberadaan kitab
silat terhebat tang ditulis oleh Tat-mo. Kitab ini sangat hebat, karena ditulis langsung oleh pencipta
ilmu silat, yaitu sang Tat-Mo sendiri.

Keberadaan kitab itu sangat misterius, dan hanya beberapa orang saja yang tahu keberadaan kitab
itu. Bahkan thay suhu Thio Sam Hong saja tidak tahu keberadaan kitab itu.

Ditakutkan, jika keberadaan kitab itu tersebar luas, akan terjadi malapetaka besar yang timbul
karena setiap orang dalam bu lim akan memperebutkan kitab itu.

“Lalu jika gihu menemukan kitab itu, apa yang akan gihu lakukan?”

Tan Hoat tersenyum mendengar pertanyaan bagus yang keluar dari muridnya itu,

“Tiga perguruan terbesar yaitu, Siau Lim pay, Butong pay, dan Gobipay, sepakat untuk bersatu dan
melindungi kitab itu. Jika ketiga partai sudah bersatu, maka siapakah lagi yang berani melawan kita?”

“Tapi bukankah jika partai-partai kecil bersatu, jumlah mereka pun akan menyamai jumlah 3 partai
besar ini guru?”

“Partai-partai kecil pun sudah kita dekati dan kita beri pengertian untuk menjaga keutuhan dunia
Kang ouw. Memang pasti ada perebutan besar, maka itulah ketiga partai besar sekarang sudah
bersiap-siap menyatukan kekuatan, jika sewaktu-waktu kitab itu ditemukan, dan terjadi perebutan
besar”

“Wah berarti akan ada perang besar lagi?” Cio San berkata sambil menggeleng-geleng.

“Kenapa kau mengelang Cio San?”

“Anak hanya heran, mengapa orang mau begitu berkorban untuk menjadi ahli silat? Padahal kalau dia
menjadi ahli silat, hidupnya hanya dihabiskan untuk berkelahi”
“Kau harus paham bahwa di dunia ini orang punya kesenangan bermacam-macam. Jika ada yang suka
sastra, suka mancing, suka musik, suka makanan yang enak-enak, banyak juga yang suka berkelahi”

“Haha, betul juga gihu”

“Oh iya, ada satu hal lagi Cio San.....”

“Apa itu gihu?”

“Aku juga melacak para perampok yang dulu membunuh ayah ibumu....”

Cio San hanya diam. Tan Hoat pun melanjutkan,

“Kelompok perampok ini sebenarnya bukanlah perampok biasa. Tersiar kabar jika ada kelompok
rahasia yang berdiri beberapa tahun yang lalu dalam dunia kang ouw. Tujuan mereka sampai saat ini
masih belum diketahui dengn jelas. Tapi mereka sering sekali melakukan pembunuhan terhadap
orang-orang tertentu. Biasanya korban mereka adalah pejabat-pejabat kerajaan, atau pendekar-
pendekar ternama.

Mereka ini mempunyai ilmu silat yang sangat hebat. Tapi gerak geraik mereka sangat rahasia. Sampai
sekarang para pendekar kang ouw masih belum mengetahui maksud para perampok ini sebenarnya.
Apakah korban-korban mereka ini terbunuh secara acak, ataukah memang ada maksud tertentu”

“Kalau menurut gihu?” tanya Cio San

“Menurutku, pasti ada tujuan tertentu. Aku merasa pergerakan mereka itu pasti ada hubungan
dengan perebutan kitab itu”

“Gihu, apa nama kitab itu sebenarnya?”


“Namanya Kitab Inti Semesta”

“Wah dari namanya saja sudah terdengar hebat” tukas Cio San

“Cio San, apakah sewaktu orang tua mu meninggal, kau tidak mendengarkan mereka membicarakan
tentang Kitab Inti Semesta?”

“Sejauh yang anak ketahui, ayah dan ibu tidak pernah membicarakan hal itu gihu. Mereka pada akhir-
akhir hayat mereka hanya membahas kekisruhan di Gobipay saja”

“Hmmm...” Tan Hoat tidak berkata apa-apa lagi.

Hampir 3 jam mereka mendaki, akhirnya sampai juga mereka ke pondok bambu. Setelah beristirahat
sebentar, Tan Hoat mengajak Cio San berkeliling daerah sekitar situ. Ternyata hampir semua
kebutuhan sehari-hari bisa di dapatkan disitu.

Ada sungai mengalir yang airnya jernih sekali. Bisa dipakai untuk minum dan mandi. Ikan-ikannya
ternyata banyak juga disitu. Di seberang sungai terdapat hutan kecil yang walau tidak terlalu lebat,
mempunyai pohon-pohon yang mempunyai banyak buah yang bisa dimakan.

Bagian tertinggi Butong san itu ternyata sangat indah. Di sebelah kanan sungai dan hutan, di sebelah
kiri tebing-tebing bebatuan. Tan Hoat menjelaskan bahwa tebing-tebing itu sangat berbahaya dan
mewanti-wanti Cio San untuk berhati-hati jika berada di sekitar tebing itu.

Pondok bambu sendiri juga berdiri tepat dibawah sebuah tebing tinggi. Jika menaiki tebing itu, yang
tingginya sekitar 10 meter, maka seseorang akan berada di tempat tertinggi Butongsan.

Di dalam pondok, ternyata suasanyanya bersih sekali. Ada dipan bambu dan sebuah tikar diatasnya.
Di sebelah dipan ada meja kecil dan sebuah kursi. Ada juga sebuah tungku perapian yang berguna
untuk memasak atau juga membuat api unggun untuk menghangatkan tubuh. Ada juga lampu minyak,
sekalian beserta minyaknya.
Sampai saat ini, Cio San baru sadar bahwa hukumannya ini tidak main-main. Ia akan hidup sendirian di
sini selama 3 bulan. Rasanya seram juga. Dalam hati ia bergidik, namun sebisa mungkin ia menutupinya
dari gihunya itu.

Tan Hoat rupanya berencana untuk menemani Cio San selama satu malam. Buntalan kecil yang ia bawa
ternyata berisi beberapa bahan makanan seperti beras, dan bumbu.

“Bahan-bahan ini cukup untuk satu bulan. Nanti jika habis ku bawakan lagi”

Cio San lalu mengucapkan terima kasih kepada gihunya itu.

Setelah malam tiba mereka lalu menyalakan lampu minyak. Suasana di situ walaupun hening, ternyata
tidak begitu menyeramkan bagi Cio San. Mungkin karena ia sekarang ditemani oleh Tan Hoat.
Seseorang jika mengalami hal berat, tapi mempunyai kawan orang yang ia senangi dan hormati, maka
sedikit banyak hal berat itu menjadi lumayan ringan.

Mereka mengobrol agak lama. Tan Hoat memberi petunjuk-petunjuk tentang ilmu silat. Cio San
mendengarkan dengan seksama. Bertanya saat ia bertemu bagian yang belum ia mengerti. Tan Hoat
merasa pemahaman Cio San itu sangat dalam, dan anak itu cerdas sekali.

“Kau tidurlah Cio San. Besok pagi-pagi sekali kita bangun dan melatih semua yang tadi sudah
kuajarkan”

“Baik Gihu”

Pagi-pagi sekali, ketika langit masih kelabu, Cio San dan Tan Hoat sudah berlatih. Cio San mulai
melakukan gerak-gerak silat, dan Tan Hoat mulai memberi petunjuk-petunjuk lagi. Lama sekali
mereka berlatih, sampai hari sudah terang. Lalu mereka beristirahat.

“Cio San, mengapa kau susah sekali melakukan seperti yang kuperintahkan? Bukankah semalam kau
sudah paham?”
“Anak sudah paham gihu, teecu juga sudah coba melakukan seperti yang gihu perintahkan, tapi entah
kenapa hasilnya tidak seperti yang gihu harapkan.

“Apakah mungkin karena organ-organ tubuhmu itu yang tidak bekerja sempurna? Sayang sekali,
padahal kecerdasanmu luar biasa, dan kau cepat paham......” Tan Hoat hanya termangu-mangu

“Mungkin...mungkin teecu memang dilahirkan tidak dengan bakat silat gihu.....”

“Ahhh....” Hanya itu yang bisa keluar dari mulut Tan Hoat. Matanya seperti menerawang.

Ia mengelus-elus kepala Cio San, sambil berkata, “Kau bersabarlah, jikalah memang kau tidak
mempunyai bakat silat, kau mempunyai bakat kecerdasan yang besar. Kau bisa belajar ilmu
pengobatan Butongpay, dan sastra. Aku memang terlambat memahami dan menerima kenyataan ini.
Tapi untuk sekarang, kau hadapilah dulu hukumanmu ini..., kuatkan hatimu Cio San...”

“Ada gihu yang menyayangi teecu, rasanya anak berani menghadapi apa saja gihu....

Setelah beristirahat, mereka berdua lalu mandi di sungai. Sambil mandi mereka ,menangkap ikan.
Ternyata ikannya besar-besar. Ada 2 ekor yang mereka tangkap. Setelah mandi, mereka menanak
nasi dan ikan itu kemudian mereka bakar dan santap.

Di dunia ini tidak ada yang bisa mengalahkan nikmatnya makan di alam terbuka bersama orang-orang
yang kau sayangi.

“Cio San, sekarang aku harus turun. Mungkin dalam satu-dua hari, aku harus turun Butongsan pula.
Tugas penyelidikan sudah harus ku mulai lagi. Mudah-mudahan tidak lama lagi, kita bisa dapat bikin
terang masalah kelompok perampok ini.”

Setelah memberi sedikit pesan dan petunjuk, Tan Hoat lalu bergegas turun. Cio San sangat merasa
berat, namun ia menahan diri untuk tidak menangis. Air mata mengambang di pelupuk matanya. Entah
kenapa ia memang mudah menangis. Hatinya memang lembut. Tapi dia bukan orang yang cengeng, ia
hanya orang yang mudah terharu.
Berkali-kali ia mengalami kejadian yang menyedihkan. Kehilangan orang tua, kehilangan kakek dan
seluruh keluarganya. Namun ia selalu berusaha menahan kesedihan hatinya. Tapi mata memang tidak
bisa berbohong. Sering sekali matanya itu berair. Jangankan terhadap hal-hal besar, terhadap hal-
hal kecil saja ia sering terharu.

Setelah sendirian seperti ini, Cio San mulai melamun. Ia melamunkan banyak hal. Kejadian ia
kehilangan kedua orang tua, dan seluruh keluarga besarnya. Perlakuan buruk kawan seperguruannya,
dan juga hukuman di atas gunung ini. Ia berfikir, penderitaannya malah mungkin tidak hanya dimulai
saat ia kehilangan orang tua. Penderitaannya bahkan sudah dimulai sejak ia lahir.

Ia lahir dengan usia kandungan yang kurang dari 9 bulan. Organ-organ tubuhnya bekerja tidak
sempurna. Jantungnya lemah, paru-parunya lemah, hampir semua organ tubuhnya lemah. Sejak kecil
ia sering sakit-sakitan. Kalau bukan karena ibunya yang menguasai ilmu pengobatan Gobipay, belum
tentu ia bisa bertahan hidup sampai sekarang.

Selain memberi pengobatan ramuan, dan tusuk jarum. Ibunya pun masih sering menyalurkan tenaga
dalam kepadanya. Bahkan dulu ia sempat mempelajari ilmu pernafasan Gobipay untuk membantu kerja
paru-paru dan jantungnya.

Aliran darahnya mengalir tidak normal. Kadang-kadang malah sakit kepala hebat sering
menyerangnya. Singkat kata, hampir semua rasa sakit yang ada di dunia ini pernah dialami Cio San.
Untungnya memang ibunya selalu berada di dekatnya dan mengobatinya terus menerus.

Beberapa tahun ini, setelah kedua orang tuanya meninggal. Tidak ada lagi yang mengobati Cio San.
Ketika sakit kepala, atau sesak nafas menyerangnya, ia menyembunyikannya rapat-rapat. Itulah
kenapa ia tidak bisa dengan sempurna menggunakan ilmu silatnya.

Beberapa petinggi Butongpay bukan tidak mengerti tentang keadaan tubuh Cio San. Mereka pun
berusaha untuk menyembuhkannya. Tapi ilmu pengobatan Butongpay yang hebat itu, sama sekali tidak
menurun kepada murid-murid dan petinggi Butongpay yang sekarang. Keasyikan mempelajari ilmu
silat, membuat mereka sedikit menganaktirikan ilmu pengobatan yang sebenarnya sangat penting itu.

Mungkin kitab-kitab pengobatan peninggalan Thio Sam Hong masih tersimpan, namun tidak ada
seorang pun yang tertarik mendalaminya lagi.
Keadaan Butongpay setelah ditinggal mati oleh banyak murid-murid berbakat, dan juga ditinggal Thio
Sam Hong, membuat Butongpay benar-benar lemah saat ini. Itulah mereka sekarang mengutamakan
berlatih ilmu silat dengan sungguh-sungguh.

Keadaan ini tentu saja menyulitkan Cio San, yang pada awalnya masuk Butongpay untuk mempelajari
sastra dan juga ilmu pengobatan. Karena guru-guru Butongpay sekarang memiliki kemampuan sastra
yang sangat mengecewakan. Bahkan bisa dibilang Cio San lebih mengerti sastra daripada guru-guru
itu sendiri.

Ayahnya yang memang ahli sastra kenamaan, sudah mengajarkan banyak sekali huruf-huruf kuno
kepada Cio San. Sejak umur 4 tahun, ia sudah sanggup membaca kitab-kitab kuno. Hal ini memang
menjadi kebanggaan tersendiri bagi keluarga Cio. Sejak dari jaman leluhur keluarga Cio, mereka
memang terkenal sebagai ahli-ahli sastra yang hebat-hebat.

Kemenangan mengusir penjajah Goan dulu, sebenarnya tidak terlepas dari pengetahuan sastra
keluarga Cio ini. Cio Hong Lim, kakek Cio San, bisa menjadi ahli strategi dari tentara pembebas,
karena ia faham kitab-kitab kuno. Ia mempelajari strategi-strategi perang jaman dulu, dan
menerapkannya pada saat perang dulu. Ditambah lagi ia mampu menerjemahkan sebuah kitab perang
jaman dahulu kala yang dulunya tersimpan di dalam sebuah golok sakti.

Kitab perang kuno itulah yang membuat perjuangan itu berhasil, dan membawa Kaisar Beng pertama
mendirikan kekaisarannya. Cio Hong Lim sendiri mundur dari jabatannya sebagai ahli strategi begitu
kemenangan perjuangan berhasil diraih. Padahal kaisar baru itu sudah menawarkan berbagai jabatan
kepadanya. Namun Cio Hong Lim memilih membangun desanya, hingga akhirnya dia sekeluarga
terbunuh oleh kawanan perampok.

Mengingat cerita tentang kitab kuno, Cio San jadi teringat sebuah 'kitab', yang diberikan Liang-
lopek kepadanya. Bergegas Cio San mengambil kitab itu. Kitab yang tebal itu memang membahas
tentang berbagai resep. Dan ternyata banyak sekali huruf kuno di dalamnya. Untunglah Cio San bisa
membaca semuanya.

Buku itu menarik sekali baginya. Ada resep-resep masakan, ada juga ramuan-ramuan pengobatan. Ada
penjelasan tentang berbagai bahan-bahan, mulai dari sederhana sampai bahan-bahan yang baru
dikenalnya.
Seseorang yang gemar sekali membaca, jika diberikan bacaan yang menarik hatinya, maka seluruh
perhatiannya akan tercurahkan hanya kepada buku itu. Semua tak dihiraukannya lagi. Bahkan mungkin
anak istri sekalipun.

Cio San pun mempunyai sifat semacam ini yang menurun dari ayahnya. Dengan 'rakus' ia membaca
halaman demi halaman kitab itu. Daya ingatnya pun kuat sekali. Sekali baca saja ia sudah paham.
Keasyikan membaca ini mengalihkannya dari rasa sepi karena sendirian saja di pondok bambu itu.

Tak terasa sudah siang, dan perut Cio San sudah keroncongan dari tadi. Akhirnya ia 'mengalah' dan
memilih untuk makan. Nasi dan ikan tadi pagi masih tersisa. Tapi sambil makan pun Cio San masih
'melahap' kitab pemberian Liang-lopek itu.

Sampai malam, hampir sepertiga kitab itu sudah selesai ia baca. Karena selain membaca, Cio San
mencoba menghafal-hafal isi bacaannya. Dan herannya, ia memang sudah hafal seluruh yang ia baca
tadi. Melihat sendiri pun seseorang tidak akan percaya bahwa ada orang yang bisa menghafal apapun
dalam sekali baca.

Namun begitulah Tuhan yang maha adil. Cio San mungkin mempunyai kekurangan fisik, namun daya
ingat dan daya pikir otaknya jauh diatas rata-rata orang lain.

Setelah malam, Cio San memutuskan untuk beristirahat dan melatih ilmu pernafasannya yang sudah
tertinggal jauh dari kawan-kawan seperguruannya. Memang ia sangat terlambat, namun itu semua
bukan karena kekurangfahamannya, namun karena organ-organ dalam tubuhnya yang bekerja kurang
sempurna sehingga latihan-latihan itu gagal semua.

Cio San pun mengerti dan faham hal ini. Ia sampai pada kesimpulan bahwa mungkin saja latihan cara
Butongpay ini ditujukan kepada mereka yang memiliki organ-organ sehat dan normal, sehingga tidak
cocok bagi orang yang seperti dia.

Kesimpulan Cio San ini sebenarnya sungguh lah tepat. Karena pada dasarnya ilmu silat itu harus
dicocokkan dengan kemampuan fisik seseorang. Jika seseorang yang fisiknya tinggi, mnaka ada ilmu
silat khusus yang membuat orang itu mampu memaksimalkan kelebihan fisiknya. Begitu juga jika
orang itu pendek, atau kekar, dan lain-lain. Selalu ada ilmu silat yang lebih cocok bagi keadaan orang
tersebut.
Hal inilah yang melahirkan berbagai macam ilmu silat yang ada di dunia ini. Semua disesuaikan dengan
keadaan fisik, bahkan mungkin juga keadaan alam sekitar.

Cio San mencapai pemahaman ini dalam waktu sebentar saja, di dalam umur yang sedemikian muda,
sebenarnya adalah sesuatu yang sangat luar biasa. Memang daya pikirnya yang tajam membuatnya
sanggup memikirkan hal-hal yang tidak dipikirkan orang.

Keadaan ini memang diciptakan Tuhan untuk 'menyeimbangkan' kekurangan fisik yang dimilikinya.

Setelah memahami keadaan dan kenyataan bahwa ilmu Butongpay yang diajarkan kepadanya itu
sebenarnya kurang cocok, Cio San mulai memikirkan hal baru lagi. Yaitu bagaimana cara agar ilmu itu
menjadi cocok baginya!!

Anak sekecil ini sudah berani mengotak-atik ilmu silat adalah merupakan sesuatu yang berbahaya.
Karena jika salah berlatih bisa menyebabkan kegilaan, cacat seumur hidup, bahkan juga kematian.
Herannya, Cio San pun juga memahami hal ini walaupun tidak ada seorang pun yang menjelaskan
kepadanya.

“ Jika seseorang menggerakan aliran darah, dan aliran tenaga melalui tempat yang tidak seharusnya,
maka hal ini akan menyebabkan seluruh kerja tubuhnya akan menjadi kacau. Ini pasti sangat
berbahaya bagi orang itu” begitu pikir Cio San dalam hati,

“Maka sebelum menggerakan aliran darah dan tenaga, seseorang harus mengerti dulu arah gerak
normal aliran itu. Kemana seharusnya aliran itu bergerak, bagaimana cara kerjanya, dan lain-lain”

“Sebelum aku bisa merubah ilmu silat Butongpay ini agar sesuai dengan tubuhku, maka sebelumnya
aku harus memahami tubuhku sendiri dulu”.

Pemahaman ini adalah pemahaman terbesar dari para ahli silat. Seorang yang mengenal tubuhnya
sendiri, pasti akan mampu mengendalikan tubuh itu sseperti yang ia mau.
Memang hebat daya pikir Cio San yang sampai pada pemahaman ini tanpa seorang pun menunjukkan
kepadanya. Selama ini di Butongpay, ia hanya diajarkan teori gerak. Ia diharuskna meniru apa yang
sudah ditunjukkan oleh gurunya. Sebab mengapa harus bergerak seperti ini, atau seperti itu,
mengapa begini, mengapa begitu, tidak ada seorang pun yang menjelaskan kepadanya.

Jika banyak bertanya maka ia akan dimarahi karena terlalu banyak bertanya. Kenyataan bahwa ia
tidak sanggup menguasai apa yang diajarkan kepadanya, adalah lahir dari hal seperti ini. Bahwa ia
hanya diajarkan bergerak, tanpa mengetahui makna gerakan-gerakan itu. Padahal fisiknya
berkembang berbeda dengan orang lain pada umumnya.

Memahami hal ini, Cio San bertekad untuk mempelajari dulu keadaan tubuhnya sendiri. Jika ia sudah
benar-benar faham cara kerja organ tubuhnya, maka ia bisa saja 'merubah' sedikit ilmu silat
Butongpay yang diajarkan kepadanya agar sesuai dengan keadaan tubuhnya.

Buku pemberian A Liang itu sebenarnya adalah kumpulan buku-buku unik. Ada mengenai resep
masakan dan obat-obatan. Bab yang membahas obat-obatan juga memiliki pembahasan tentang tubuh
manusia. Tentang aliran darah dan berbagai macam fungsi organ tubuh.

Hal ini membuat Cio San semakin bersemangat mempelajari isi buku yang diberikan A Liang
kepadanya. Karena ternyata di dalamnya berisi pengetahuan tentang tubuh manusia juga. Cio San
membaca kitab itu dengan lahap sampai ia tertidur.

Pagi-pagi Cio San terbangun. Ia lalu berlatih silat sebentar, sesuai dengan yang dipesankan gurunya.
Memang waktu terbaik untuk berlatih silat adalah saat pagi-pagi sekali. Sinar matahari sangat
membantu untuk menguatkan tulang, dan menyehatkan tubuh.

Setelah berlatih, dia mulai menanak nasi, kemudian ia tinggal pergi mandi dan menangkap ikan.
Setelah nasi sudah masak dan ikan sudah diolah, ia pun makan pagi.

Sambil makan, buku pemberian Liang-lopek itu tidak lepas darinya. Semangat sekali Cio San
mempelajari isi buku. Sampai siang ia terus membaca isi buku itu. Kadang-kadang ia memperaktekkan
apa yang ada di dalam buku itu. Berfikir sebentar, memperhatikan titik-titik yang ada pada tubuhnya.
Mengingat-ingat fungsi titik-titik.
Kegiatan itu berlangsung selama 3 hari berturut-turut. Tak terasa Cio San sudah melalap habis isi
buku itu dalam waktu 3 hari!

Hari keempat, setelah berlatih silat, Cio San melihat bayangan orang dari kejauhan. “Rupanya akan
ada tamu”, pikir Cio San.

Tak berapa lama bayangan itu semakin jelas, tampaklah Beng Liong.

Cio San senang sekali bahwa kakak seperguruannya ini datang mengunjunginya. Dari jauh mereka
saling tersenyum.

“Ah Liong-heng, selamat datang di gubuk derita ini” teriak Cio San sambil tertawa

“San-te, bagaimana keadaanmu?”

Mereka berbasa-basi sebentar menanyakan kabar dan bercanda. Rasanya memang nikmat jika ada
sahabat yang mengunjungimu di kala kau sedang kesepian.

Cio San yang saat sedang menanak nasi, meminta ijin sebentar untuk mandi. Tidak lama kemudian dia
pulang membawa dua ekor ikan yang lumayan besar.

Sambil menikmati nasi dan ikan bakar itu. Kedua sahabat kecil itu mulai saling bercerita. Beng Liong
menceritakan keadaan perguruan sedangkan Cio San menceritakan kegiatannya 'melahap' buku yang
diberikan A Liang kepadanya.

“Pasti menarik sekali buku itu, San-te. Kuharap banyak manfaat yang bisa kau ambil”

“Iya Liong-heng. Di buku ini banyak sekali pengetahuan tentang bahan-bahan alam, dan ramuan-
ramuan. Awalnya aku mengira hanya berisi resep masakan, ternyata isinya lebih dari itu. Liang-lopek
juga mungkin tidak tahu karena kebanyakan isi buku ini dari huruf-huruf kuno” kata Cio San sambil
menunjukkan buku itu.
Beng Liong melihat-lihat isi buku itu kemudian berkata,

“Ah benar. Ternyata banyak huruf-huruf kuno. Kau bisa mengenal seluruh huruf-huruf ini, San-te?”

“Bisa Liong-heng...”

“Seluruhnya?”

“Seluruhnya”

“Wah hebat sekali kau San-te”

“Tidak juga, Liong-heng. Kebetulan saja aku memiliki ayah seorang siucai (sastrawan), sehingga sejak
kecil aku memang sudah dikenalkan huruf-huruf itu” tukas Cio San sambil tersenyum

Lama mereka membahas isi buku itu, sampai kemudian Beng Liong berkata,

“Eh San-te, bagaimana kalau kita berlatih silat?”

“Boleh Liong-heng, tapi beri aku petunjuk ya. Ilmu silat ku buruk sekali, Hahahaha”

Kedua orang itu lalu bersilat. Terlihat sekali bahwa memang Beng Liong sangat berbakat dalam ilmu
silat. Gerakannya lincah dan mantap. Serangannya bertenaga, dan cepat sekali. Tidak percuma dia
dianggap sebagai murid Butongpay yang paling berbakat.

Cio San jelas kelabakan dalam menghadap serangan-serangan Beng Liong. Untunglah Beng Liong
sendiri menahan diri sehingga tidak mendesak Cio San.
Sambil bersilat, kadang-kadang Beng Liong memberikan petunjuk-petunjuk tentang serangan dan
tipuan-tipuan.

Cukup lama mereka bersilat, sampai kemudian Cio San mulai terlihat terengah-engah. Mengetahui
kondisi ini Beng Liong mulai melemahkan serangan-serangannya, sehingga lama-lama mereka sepakat
untuk berhenti silat.

“Kau hebat sekali, Liong-heng. Baru 3-4 hari kita berpisah, kemajuannya sudah pesat sekali”

“Benarkah?”

“Benar Liong ko. Serangan-seranganmu bertambah cepat. Bukankah tadi kau memainkan jurus-jurus
yang baru saja kau latih 3 hari yang lalu?”

“Iya. Bagaimana kau bisa tahu?...oh aku ingat. Saat aku melatih jurus-jurus itu, kamu datang untuk
berpamitan ya?”

“Benar Liong-heng. Hehe.”

Mereka lalu beristirahat.

“San-te, gerakmu tadi kurang cepat, sehingga gerakan-gerakanmu tadi mudah dibaca. Cobalah untuk
berlatih meningkatkan kecepatan seranganmu.”

“Baik Liong-heng, terima kasih atas petunjuknya”

“Jangan lupa jurus-jurus itu harus kau hafal luar kepala. Sehingga ketika bersilat, kau bisa langsung
menggunakannya dengan bebas. Jika kau menghafal seluruh jurus-jurusnya, perubahan serangan
macam apapun dari lawan kita, bisa dihadapi dengan mudah. Ilmu silat Butongpay memang hebat
sekali. Jurus-jurus dasarnya saja sudah bisa menghadapi serangan-serangan dahsyat ilmu lawan”
“Benarkah Liong-heng?”

“Benar San-te. Makanya kau jangan malas berlatih. Jika kita semua rajin berlatih, aku yakin nama
Butongpay akan semakin gagah di mata orang-orang Kang-ouw”

“Baik Liong-heng” kata Cio San tersenyum.

Setelah beristirahat beberapa lama, Beng Liong pamit karena waktu istirahat sudah akan habis.
Mereka berpisah, dan Beng Liong berjanji untuk sering mengunjungi Cio San. Begitu menuruni gunung,
terlihat gerakan Beng Liong sangat lincah dan cepat sekali,

“Wah, Liong-heng ternyata semakin hebat saja, rupanya ia sudah mulai mempelajari ilmu meringankan
tubuh Butongpay” kata Cio San dalam hati.

Hari berganti hari, Cio San terus berlatih silat Butongpay. Namun sambil berlatih silat,otaknya terus
menerus mengingat-ingat tulisan yang ia pelajari dari dalam buku. Pada awalnya nafas terengah-
engah dan ia cepat merasa capai. Tapi ia terus memaksakan diri. Sedikit demi sedikit rasa terengah-
engah itu hilang, bahkan terasa ada kekuatan baru yang muncul perlahan-lahan.

Cio San tidak pernah menyangka bahwa saat ia berlatih silat sambil mengingat-ingat tulisan di dalam
buku itu, sebenarnya ia telah berhasil menggabungkan ilmu silat Butongpay dan pengetahuan tentang
tubuh manusia.

Saat ilmu Butongpay mengajarkannya untuk menyalurkan energi ke kaki, ia mulai merasa terengah-
engah. Tapi saat ia teringat bahwa jantungnya lemah, maka ia malah mengalirkan tenaga itu ke
jantung, bukan ke kaki. Karena di dalam buku, untuk menguatkan jantung, ia harus menyalurkan
energi “Im” ke dalamnya.

Ini adalah hal yang sangat berbahaya jika tidak dilakukan dengan hati-hati. Namun entah kenapa ilmu
silat Butongpay itu sangat cocok dengan teori yang diciptakan sendiri oleh Cio San. Sebagian besar
ini mungkin karena keberuntungan belaka, karena Cio San sama sekali paham tentang ilmu silat.
Tetapi sebagian besar juga dikarenakan daya pikir serta keberaniannya untuk mencoba hal yang baru.
Secara tidak langsung, sebenarnya Cio San sedang menciptakan perubahan-perubahan di dalam ilmu
Butongpay.

Ini terjadi dari hari ke hari setiap kali ia berlatih ilmu silat. Jika ia merasa terengah-engah atau
capai, cepat-cepat ia merubah gerakan atau penyaluran energi ke tempat-tempat di mana ia pikir
sesuai dengan kebutuhan tubuhnya. Dalam beberapa hari saja ilmu Cio San sudah maju sangat-sangat
pesat.

Suatu hari ketika ia sedang makan siang, ia melihat ada bayangan lagi. Kali ini ia mengenalnya dari
kejauhan. “Itu pasti Liang-Lopek. Ah akhirnya ia datang juga” Ujarnya sambil tersenyum.

“Hoy, Cio San” A Liang berteriak dari jauh. “Bagaimana kabarmu?. Hahahahahaha”

“Liang-Lopek apa kabar” Kata Cio San sambil memberi salam.

“Hey buat apa kau banyak aturan seperti ini? Pakai salam Butongpay segala. Aku kan bukan murid
Butongpay”

“Haha, Liang-lopek memang bukan murid Butongpay. Tapi Liang-Lopek adalah 'tetua' Butongpay”

“Huah? Gila kau. Jika di dengar 4 tetua Butongpay, kau pasti dihajar mereka. Hahaha”

Senang rasanya di saat sepi ada sahabat yang datang menemani. Karena kedua orang ini memang
sudah seperti sahabat. Padahal umur mereka berdua sudah seperti kakek dan cucu.

Rupanya A Liang membawa juga makanan dari dapur sehingga mereka berdua duduk menikmati
makanan sambil bercerita. Lama sekali mereka bercerita. Cio San menceritakan kegiatannya sehari-
hari diatas gunung selama hampir sebulan ini. Sedangkan A Liang menceritakan keadaan perguruan.

“Eh ngomong-ngomong, sudah kau baca belum buku yang kuberikan?” tanya A Liang
“Sudah lopek. Sudah saya tamatkan”

“Heh? Sudah tamat? Memangnya kau bisa membaca huruf-huruf aneh di buku itu?”

“Bisa lopek. Bukankah dulu saya sempat cerita kalo mendiang ayah pernah mengajarkan huruf-huruf
kuno kepada saya”

“Masak sih? Aku lupa...ahhahahhahaha” lanjutnya, “Coba kau ceritakan apa saja isinya. Mungkin saja
aku jadi lebih mahir memasak. Hahahahaha”

“Buku itu selain resep masakan, banyak sekali resep obat-obatan, dan juga pengetahuan tentang
obat-obatan” Sambil berkata begitu Cio San bangkit dari duduknya dan pergi mengambil buku itu di
dalam gubuknya.

“Coba kau ceritakan padaku tentang isinya” pinta A Liang

Cio San lalu menceritakan banyak sekali resep-resep masakan yang unik. Buku itu memang selain
berisi tulisan aksara Tionggoan juga memuat huruf-huruf asing. Sehingga memang A Liang tidak
pernah menguasai isinya.

“Sebenarnya ini huruf apa sih? Apa memang huruf kuno Tionggoan?”

“Sebenarnya ini huruf gabungan tionggoan dan huruf dari daerah barat. Jaman dulu dari sebuah
negeri barat ada agama baru yang dibawa oleh seorang Nabi. Setelah nabi itu wafat, pengikutnya lalu
menyebarkan agama itu ke seluruh dunia. Kehidupan pemeluk agama itu sangat maju. Mereka
menciptakan ilmu-ilmu baru. Seperti ilmu berhitung, ilmu sastra, ilmu perbintangan, dan lain-lain.
Mereka juga menciptakan ilmu silat yang sangat hebat. Mereka selain menyebarkan agama, juga
menyebarkan ilmu-ilmu ciptaan mereka itu.” Jelas Cio San

“Ah kau seperti seorang guru saja. Haha. Tapi aku pernah mendengar cerita itu. Jadi menurutmu
apakah huruf-huruf di buku ini adalah huruf-huruf dalam aksara mereka?”
“Bukan Lopek. Ini adalah huruf gabungan aksara Tionggoan dan aksara kaum barat itu. Kaum barat itu
adalah kaum yang hidup di gurun pasir, dan sangat menyukai sastra. Mereka juga adalah pengelana.
Mereka berkelana menyebarkan agama baru itu sampai ke Tionggoan. Mereka lalu tinggal menetap
dan berbaur dengan penduduk asli kita. Bahkan mereka menganggap diri mereka sebagai orang
Tionggoan. Sehingga mereka pun menggabungkan aksara Tionggoan dengan aksara asli daerah asal
mereka. Maka terciptalah aksara yang ada di buku ini”

“Dari mana kau tahu?”

“Dari mendiang ayah. Beliau yang bercerita kepada saya” lanjutnya, “Kata ayah, ilmu mereka tinggi
sekali. Bahkan ketinggian ilmu mereka itu sulit diukur. Musuh-musuh mereka pun juga ikut
mempelajari ilmu-ilmu mereka. Sehingga untuk menjaga kerahasian, mereka menyimpan ilmu-ilmu
mereka ke dalam puisi-puisi yang sukar dimengerti. Sehingga hanya orang-orang tertentu yang bisa
mengerti.”

“Benarkah katamu itu?” tanya A Liang

“Itu kata ayah.” jawab, “Dan sebenarnya kakek dan ayah sendiri adalah penganut agama dari barat
itu” lanjut Cio San

“Benarkah? Jadi kamu bisa aksara barat itu juga?”

“Sedikit-sedikit saya paham. Cuma saya belum pernah melihat sedikitpun bacaan dengan aksara asli
agama itu. Kalau ada, pasti menarik sekali.”

“Wah hebat sekali kau ini” A Liang berkata sambil tersenyum dan geleng-geleng kepala.

“Sudahlah aku turun dulu yah, kalau terlalu sore, nanti bisa kemalaman dan terlambat mengurus
makan malam untuk perguruan kita. Kau jagalah dirimu baik-baik” kata A Liang

“Baik lopek , terima kasih sudah mau repot-repot mengunjungi saya di sini”
“Alah, aku malah merasa bersalah tidak mengunjungimu sejak dari awal kau dikirim ke sini.”

“Terima kasih banyak lopek, saya baik-baik saja disini, kalau nanti lopek ada waktu berkunjung,
mudah-mudahan kita bisa main khim dan bernyanyi”

“Hahaha, aku suka itu. Nah aku pulang dulu, kau baik-baik lah. Selamat tinggal” Ia menepuk pundak
Cio San, lalu bergegas pergi.

“Selamat jalan, lopek. Sampaikan salam buat para suhu, dan para suheng dan sute”

BAB 5 Pelajaran di Puncak Gunung

Cio San terus berlatih dengan giat, kini rasa lemas dan capek yang dirasakannya setiap berlatih silat
telah menghilang seluruhnya. Tubuhnya terasa selalu segar. Apalagi ketika selesai berlatih, ia malah
semakin merasa bugar. Sudah hampir sebulan ia berada di atas gunung ini, tidak terasa ilmu silatnya
maju pesat seperti orang yang telah melatih silat selama 5 tahun.

Ia mengingat seluruh teori silat dan pernafasan yang diajarkan oleh gurunya. Walaupun hanya di
tingkatan rendah, teori itu ia gabungkan dengan pengetahuan dari buku yang diberikan A Liang.
Hasilnya, ia seperti menciptakan ilmu baru. Ada terasa gaya Butongpay dalam ilmu itu, tapi juga
terasa berbeda karena sudah ia gabungkan dengan teori lain.

Ada rasa riang yang timbul karena tidak lagi ada rasa lemas dan capek. Cio San sudah hampir sembuh
seluruhnya dari penyakit yang dideritanya sejak kecil. Memang rasa sakit kepala dan denyut jantung
yang berdetak cepat kadang-kadang menyerangnya. Namun jika ia menyalurkan tenaga ke tempat-
tempat yang sakit itu, perlahan-lahan ia bisa menghilangkan rasa sakit itu.
Selain melatih silat, Cio San kini mulai belajar memasak. Ia mencobai berbagai resep yang ada di
buku itu. Mulai dari yang gampang-gampang dulu. Di atas puncak Butong San, hampir semua bahan
untuk resep-resep bisa ditemukan. Memang tidak semua bahan itu memang ada-ada. Kadang-kadang,
dengan daya pikirnya, Cio San bisa mengganti bahan masakan yang tidak ada dengan bahan-bahan lain.

Ia berburu rusa, dan kambing gunung. Juga berbagai jenis burung untuk di masak. Ia memetik daun-
daun dan tanaman untuk bumbu masakan. Kadang malah ia mencampur-campur sendiri resepnya.
Hasilnya kadang enak, kadang mengecewakan. Kalau sudah begitu Cio San hanya bisa tertawa-tawa
sendiri memuntahkan hasil masakannya yang rasanya tidak karuan.

Selain memasak, ia juga belajar membuat resep-resep obat-obatan. Kadang-kadang ia malah


mencampurkan resep obat dan resep masakan. Walaupun rasanya tidak begitu enak, Cio San percaya
hal itu bisa membuat tubuhnya lebih sehat.

Dan memang benar, keberaniannya mencoba masakan dan obat-obatan membuat tenaga semakin
bertambah kuat. Resep-resep kuno itu ternyata sangat berkhasiat sekali.

Beberapa hari kemudian A Liang datang lagi. Kali ini selain berbincang-bincang sambil makan, A Liang
mengajarkan cara bermain Khim. Awalnya Cio San memang kesulitan, tetapi dasar berbakat, diajari
sebentar saja sudah bisa. Bakatnya terhadap sastra dan musik mungkin memang menurun dari
ayahnya, yang memang mahir sekali.

Sambil bernyanyi diiringi petikan khim dari Cio San, A Liang memberikan petunjuk dan pengarahan,
“Nah di bagian ini jangan terlalu keras, lembutkan sedikit”, atau “Kurang cepat, ikuti hentakan
iramanya”.

Setelah berjam-jam, akhirnya Cio San menguasai juga lagu yang diajarkan A Liang. “Aduh, susah
sekali lagu ini lopek, kita beristirahat sebentar” keluh Cio San

“Haha, baiklah. Tapi permainanmu sudah lebih baik dibanding awal-awal tadi, pintar juga kau” puji A
Liang.

“Yang pintar itu gurunya, mulai sekarang saya akan memanggil lopek sebagai 'suhu'..”
“Hush ngawur..murid Butongpay tidak boleh mengambil guru luar seenaknya. Walaupun aku sudah lama
mengabdi di Butongpay, aku hanya tukang masak, mana boleh dipanggil guru” sahut A Liang.

“Tapi bukankah orang yang mengajarkan sesuatu kepada orang lain sudah sepantasnya dipanggil
'suhu'?” kata Cio San sambil tersenyum

“Halah, tidak mau. Aku tidak mau dipanggil suhu” kata A Liang ketus

“Baiklah, lopek. Tapi bagaimanapun, aku tetap menganggap lopek sebagai suhu, dan akan mengabdi
layaknya murid terhadap suhu. Walaupun lopek tidak mau dipanggil sebagai suhu. Terimalah salam
teecu yang tidak bisa berbakti ini....” dengan tulus Cio San berlutut dan sujud.

Belum sampai kepalanya menyentuh tanah, A Liang sudah menghalanginya, “Hey jangan terlalu banyak
aturan seperti inilah, terserahlah kau menganggapku apa. Tapi ku minta, jangan berlaku seperti ini
jika ada orang lain. Hukuman Butongpay bisa membuatmu tinggal selamanya di sini” Ia berkata sambil
tersenyum, tapi matanya sudah berkaca-kaca.

Entah kenapa, A Liang suka sekali dengan anak ini. Cio San memang memiliki watak yang
menyenangkan. Yang menyebabkan ia dibenci oleh murid-murid Butongpay yang lain, sebenarnya
bukanlah karena wataknya. Melainkan posisinya sebagai anggota 15 naga muda Butongpay lah yang
membuatnya dicemburui. Murid-murid lain menganggap kemampuan silatnya tidak pantas untuk
menjadi anggota 15 naga muda.

Cio San sendiri memang bisa membawa diri. Tutur katanya sopan dan menyenangkan. Ironisnya,
sering kali tutur kata kita yang sopan bisa membuat orang lain yang sudah tidak suka kepada kita,
akan semakin tidak suka.

A Liang yang sederhana dan tidak memiliki prasangka apa-apa terhadap ini menjadi sayang, dan
menganggapnya sebagai cucu sendiri. Walaupun mereka baru-baru saja akrab akhir-akhir ini, tapi A
Liang serasa memiliki cucunya sendiri. Ia memang tidak pernah menikah sepanjang hidupnya.
Sehingga keberadaan Cio San, mungkin membawa perasaan tersendiri di hatinya yang tidak pernah
memiliki anak atau cucu.
Setelah beristirahat cukup lama, mereka berdua mulai bermain khim lagi. “Kali ini kau harus
memperhatikan syair yang kunyanyikan. Konsentrasi kini harus kau bagi untuk memainkan khim, dan
mendengarkan syair. Ini lebih susah, tapi nanti kau pasti bisa” kata A Liang

“Baiklah lopek”

A Liang lalu bernyanyi. Cio San mulai mengiringi, kali ini ia memperhatikan liriknya. Pertama-tama
petikannya menjadi kacau saat ia membagi konsentrasi. Tapi lama kelamaan ia sudah mulai bisa
mengiringi. Saat mendengarkan syair, tak terasa air matanya mulai meleleh.

Lagu itu sungguh sedih. Menceritakan kesepian seseorang. Entah siapa yang dirindukan. Tak terasa
perasaan rindu itu menyusup ke hati Cio San. Ia teringat kedua orang tuanya. Air matanya pun
meleleh.

Petikan khim dan suara nyanyian yang syahdu di atas gunung. Daun-daun berguguran. Suara pohon
bergesek-gesek. Timbul keheningan dari suara-suara ini.

Entah tebing terjal ini memang sepi atau hati yang sepi. Dua orang berhadap-hadapan namun pikiran
dan kenangan bergerak sendiri.

Seorang tua, dan seorang anak belasan tahun. Masing-masing meneteskan airmata karena kenangan
yang berbeda. Entah apa yang mereka pikirkan.

Ketika nyanyian dan petikan berhenti. Maka serasa pohon dan angin juga ikut berhenti.

Kedua orang ini tersenyum. Ketika air mata telah habis dijatuhkan, maka yang tersisa adalah senyum
ketulusan. Mereka berdua tidak sedang saling tersenyum. Mereka berdua sedang tersenyum kepada
kenangan-kenangan mereka.

Jika kesepian datang melanda di tengah dinginnya puncak tebing yang tinggi, maka apa lagi yang bisa
menghangatkan hati kecuali kenangan indah.
Cio San sedang mengenang ayah bundanya. Terngiang ia atas petikan lagu indah, dan tiupan seruling
yang merdu sang ayah. Teringat dia kepada belaian lembut ibundanya. Yang menyuapinya, yang
menggendongnya, yang menghiburnya.

Entah A liang teringat kepada siapa atau apa. Namun 70 tahun hidupnya jelas tidak mungkin tidak
terisi oleh kenangan indah.

Lama sekali kedua orang ini terdiam. A Liong lah yang memecah kebisuan, “Aku belum pernah
mendengar permainan khim seindah ini. Kau mungkin ditakdirkan menjadi ahli khim nomer satu. Baru
belajar beberapa jam saja, kau sudah bisa membuat orang lain menangis mendengar petikanmu”

“Menangis karena terlalu jelek, lopek?” Cio San bercanda namun air matanya masih tetap mengalir.

“Teruslah belajar, tak berapa lama kau akan menjadi ahli khim ternama. Kau mungkin akan dipanggil
ke istana hanya untuk bermain khim” kata A Liong

“Benarkah, lopek? Wah teecu (murid) akan berusaha sebaik mungkin lopek”

“Jika saat itu tiba, aku akan senang sekali jika bisa berada disana menontonmu bermain. Hahaha” ia
melanjutkan, “Ingat, jangan sebut dirimu 'teecu' kalau ada orang lain ya. Bahaya” mimik mukanya
bersungguh-sungguh.

“Baik, lopek”

“Sudahlah, aku mau pulang. Dalam beberapa hari ini aku akan datang lagi. Kita belajar lagu baru.
Siap?”

“Siap, lopek” jawab Cio San.

“Baiklah, sampai jumpa” A Liang pergi dengan riang.


Petikan khim dari puncak gunung terdengar semakin indah dari hari ke hari. Cio San nampaknya
memang memiliki bakat yang besar dalam bermain khim. Bosan memainkan lagu yang diajarkan A
Liang, ia malah menciptakan lagu sendiri. Sudah ada 2 lagu yang ia ciptakan. Indah sekali. Walaupun
nadanya tidak begitu rumit, namun justru karena kesederhanaan itulah lagu-lagu itu terdengar lebih
indah.

Kadang-kadang petikannya terdengar riang, terkadang terdengar syahdu. Kadang juga terdengar
sedih dan menyayat hati. Begitu besar bakat Cio San dalam bermain khim sehingga dalam beberapa
hari saja permainannya sudah mencapai tahap ini. Seandainya bakat silatnya sebesar ini, tentunya ia
sudah jauh lebih hebat dari Beng Liong, sang murid paling berbakat dari Butongpay.

Hanya 2 bulan dia di puncak Butongsan, kemajuan dirinya sudah sangat mengherankan. Kepandaian
silatnya sudah maju pesat. Tubuhnya bertambah sehat dan kuat. Dia pun memiliki kepandaian
memasak. Juga membuat obat-obatan. Dia pula telah pandai bermain khim.

Kemajuan seperti ini memang agaknya tidak dirasakan oleh si bersangkutan. Namun seringkali orang
lain lah yang bisa melihat kemajuan ini. Terkadang sering kita melihat orang yang ahli melakukan
sesuatu. Dan menganggapnya hebat. Tapi jarang sekali kita sadar bahwa orang yang ahli itu telah
melewati latihan dan tempaan yang keras. Juga kedisiplinan yang tinggi.

Untuk menjadi seorang ahli silat, tentulah harus memiliki hal-hal seperti itu. Kemauan keras, kerja
keras, dan sikap diri yang disiplin. Bagi orang lain ini seperti sesuatu yang susah. Tapi bagi mereka
yang mencintai apa yang didalaminya, maka semua dilakukan dengan riang.

Belajar silat, memang sukar. Harus melatih tubuh dan pikiran dengan keras. Orang lain yang tidak
mengerti silat akan merasa ngeri dan beratnya latihan itu. Tapi bagi mereka yang mencintai ilmu
silat, latihan berat dan keras, serta pengorbanan seperti itu adalah hal yang sangat kecil. Bahkan ada
sebagian orang yang merasa latihan keras dan berat itu bagaikan sebuah kesenangan.
Maka bagi orang yang sudah mencintai sesuatu, tidak ada lagi yang namanya susah payah,
pengorbanan, atau kerja keras dan berat. Yang ada hanyalah kecintaannya terhadap sesuatu hal itu.

Begitu pula jika kita mencintai seseorang. Semua akan kita lakukan demi cinta terhadap orang itu.
Tidak ada lagi pengorbanan. Karena mereka menganggap pengorbanan itu adalah cinta.

Jadi, sesungguhnya kita belum bisa dibilang mencintai sesuatu atau seseorang sebelum kita bisa
menganggap pengorbanan yang kita lakukan sebagai sebuah kesenangan. Jika seseorang masih merasa
'berkorban' maka sesungguhnya dia belum mencintai. Karena dalam cinta tidak ada pengorbanan.
Yang ada hanya ketulusan.

“Berkorban” berarti merelakan sesuatu yang dianggap penting demi sesuatu hal. Namun “mencintai”
berarti menganggap tidak ada yang lebih penting dari yang dicintai itu.

Cinta tidak memerlukan pengorbanan, karena sesungguhnya cinta hanya memerlukan ketulusan.

Dalam apapun di dalam hidup ini, sepertinya itulah yang sering dilupakan orang. “Ketulusan”.

Bahkan dalam ilmu silat pun, ketulusan ini sering dilupakan. Cio San merasa ketika dulu berlatih di
perguruan, ia harus mengorbankan waktu dan tenaganya untuk bisa menguasai ilmu silat yang
diajarkan. Oleh sebab itu kemajuannya sangat sedikit sekali.

Beng Liong mungkin berbeda. Ia sudah terlanjur jatuh cinta dengan ilmu silat, sehingga berlatih silat
sudah merupakan kesenangan dan kebahagiannya. Dia tidak lagi harus merasa berkorban. Karena
tenaga yang dikeluarkan, serta waktu yang digunakan untuk berlatih, bukanlah sebuah pengorbanan.
Tetapi merupakan kecintaan.

Ketika diatas gunung, Cio San mulai mengutak-atik sendiri ilmu silatnya. Digabungkannya ilmu itu
dengan bacaan yang ia baca. Ketika timbul suatu hasil, maka kegembiraan lah yang muncul.
Kegembiran itu menimbulkan kesenangan. Kesenangan bisa menimbulkan cinta.
Maka jika kecintaan terhadap silat sudah tumbuh, bakat menjadi hal yang tidak penting. Ia
menghabiskan waktu untuk berlatih tanpa perduli ia akan bisa atau menjadi mahir atau tidak. Ia
berlatih demi kesenangan dan kegembiraan bukan untuk BISA.

Sesungguhnya pemahaman seperti inilah yang akan membuat seseorang mencapai tahap tertinggi
dalam apapun yang dijalaninya.

Sudah tak terasa berapa banyak tenaga, pikiran, dan tenaga yang dia curahkan. Kemajuannya pun ia
sendiri tidak tahu. Namun satu yang ia tahu, ia kini sangat senang belajar silat. Bukan karena ingin
menjadi hebat dan sanggup mengalahkan A Po yang dulu sempat membuatnya 'menangis'. Tapi karena
ia merasa bahagia dan senang melakukan gerakan-gerakan itu. Mencurahkan pikirannya untuk
menemukan hal-hal baru dari ilmu silat itu.

Itulah keunikan ilmu silat. Kadang-kadang kau harus mempelajari semua gerakan dan teorinya. Namun
kadang-kadang justru dengan melanggar teori dan rumusnya, malah kau bisa menemukan ilmu yang
lebih hebat. Cio San di umurnya yang baru belasan tahun malah sudah bisa menciptakan variasi dari
ilmu Butongpay. Bahkan bisa dibilang juga ia telah menciptakan ilmu silat baru. Kejadian seperti ini
memang bukan barang langka di dalam dunia kang ouw, tapi juga bukan kejadian yang sering terjadi.

Beberapa hari kemudian, A Liang datang lagi. Sesuai janjinya ia mengjarkan lagu baru kepada Cio San.
Kali ini lagunya bernada riang gembira. Mereka bermain musik sambil bernyanyi dan tertawa. Siang
itu memang cerah. Membuat suasana hati senang dan bahagia.

“Eh Cio San, aku membawa sesuatu untukmu...” kata A Liang

“Wah apa lagi lopek, kalau dihitung-hitung dengan barang-barang pemberian lopek ini, sudah cukup
untuk modal buka toko. Hihihi” canda Cio San

“Ah bisa saja kau, aku membawa ini” sambil berkata begitu ia mengeluarkan sesuatu dari dalam
bungkusan. Sebuah guci dari bahan porselen. Ia lalu membuka tutup guci itu dan menghirup udara
yang keluar dari dalamnya

“Hmmm, bukankah itu arak Kim Lin dari daerah Nanking?” kata Cio San
“Hey kau tau juga tentang arak Cio San?”

“Kalau perkara arak, sejuk kecil teecu sudah paham. Ayahanda teecu adalah pecinta arak. Tapi beliau
minum bukan untuk mabuk, melainkan untuk dinikmati cita rasanya. Beliau memperkenalkan teecu
kepada berbagai macam arak. Hingga dari baunya saja, teecu sudah tahu arak apa itu”

“Heh? Wah hebat juga kau” A Liang berkata sambil geleng-geleng kepala. Dalam hatinya dia kagum
juga dengan bakat dan kecerdasan Cio San. Namun memang tidak mengherankan. Ayah Cio San adalah
sastrawan terkemuka. Kecerdasan ini pasti saja menurun kepada anaknya. Apalagi ibu Cio San adalah
juga salah seorang pendekar terkemuka Gobipay.

“Kalau ayah lebih hebat lagi lopek, beliau bisa mengetahui berapa usia arak itu hanya dengan baunya
saja. Beliau juga mengajarkan kepada teecu khasiat arak-arak itu. Memang beliau juga tidak lupa
mengingatkan bahwa terlalu banyak arak justru malah berbahaya jika kita tidak mempunyai chi
(tenaga dalam) yang tinggi”

“kau hafal khasiat segala arak?” Tanya A Liang

“Hafal lopek, bahkan ayah juga mengajarkan bahwa masing-masing arak harus diminum dengan cara
berbeda. Masing-masing arak jika diminum sesuai takaran, dan caranya akan membawa khasiat yang
sempurna”

“Bagaimana itu cara minum arak? Bukankah hanya tinggal buka mulut dan telan saja? Hahahaha”

“Masing-masing arak punya kecocokan dengan bahan penyimpanannya. Ada arak yang rasanya lebih
enak jika disimpan di guci porselen. Ada yg lebih enak jika disimpan di guci dari tanah liat. Ada juga
yang lebih enak jika disimpan dalam guci batu atau juga tembaga dan emas.” jelas Cio San

“Hah, lama-lama aku yang memanggilmu lopek. Cara bicaramu ini membuat rasa-rasanya kau jauh lebih
tua dari aku. Hahaha” tawa A Liang
“Kebetulan saja teecu memang punya ayah yang punya kesenangan seperti itu. Jika tidak, mana
mungkin teecu bisa, lopek”

“Jadi, kau mau menemani aku minum?” tanya A Liang

“Teecu sebenarnya kurang suka arak lopek, tapi ini merupakan suatu kehormatan bisa menemani
lopek minum arak”

Sepertinya aneh anak berusia belasan sudah minum arak. Tapi memang di jaman itu, apalagi di dalam
dunia Kang Ouw, arak tidak dipandang sebagai sesuatu yang tabu. Apalagi budaya Tionggoan di jaman
memang tidak “melarang” arak untuk di minum anak kecil. Biasanya sehabis makan, atau di malam
hari, arak disajikan dalam porsi yang sangat sedikit untuk anak-anak. Biasanya untuk menghangatkan
badan dan juga untuk kesehatan.

Yang aneh justru dari cara kedua orang itu berbicara. Tata krama Tionggoan sangat ketat. Dan dalam
dunia Kang Ouw, justru lebih ketat lagi. Jika Cio San membahasakan dirinya sebagai “teecu” (murid),
maka ia harus memanggil A Liang sebagai “Suhu”(guru). Tapi ia justru memanggilnya sebagai “Lopek”
(orang tua). Hal ini bisa dianggap sebagai kekurangajaran besar. Tapi A Liang sendiri memang tidak
mau dipanggil sebagai “suhu”.

Kedua orang itu minum arak dengan khidmat dan tenang. Udara meskipun cerah, namun tetap terasa
dingin karena mereka berada di puncak tertinggi gunung Butongsan. Dengan arak yang
menghangatkan dan persahabatan yang sejati, apalagi yang dicari seorang laki-laki di dunia ini?

Sebenarnya orang hanya mencari “kehangatan” di dalam hidup ini. Anak mencari kehangatan dari
kedua orang tuanya. Kekasih mencari kehangatan dari pasangannya. Maka segala masalah di dunia ini,
bukankah disebabkan oleh hilangnya “kehangatan” itu?

Anak yang besar di dalam rumah yang penuh kemarahan, penuh pertengkaran orang tua, kemungkinan
besar akan tumbuh menjadi anak yang penuh kemarahan juga. Kemarahan ini akan ia tularkan kepada
siapa saja.
Begitu juga hati yang patah karena kehilangan kehangatan cinta. Ia akan menjadi pendiam dan sedih.
Bahkan yang dipenuhi kebencian. Di atas bumi ini yang bisa membuat kasih berubah drastis menjadi
benci tak lain hanyalah cinta belaka.

Cinta ada untuk menghangatkan. Maka ketika ia pergi, teramat sering hati menjadi rapuh, lunglai, dan
bahkan mati. Orang yang tubuhnya masih hidup tapi hatinya mati, apakah masih pantas disebut
sebagai manusia?

Cinta itu menghidupkan. Tetapi teramat jarang cinta itu hidup lama. Ia bagai hujan. Datang setelah
ditandai mendung. Namun juga sering sekali datang tiba-tiba. Berhenti dan pergi juga dengan tiba-
tiba.

Cinta, sedemikian juga hujan, adalah perkara yang hanya Tuhan bisa mengerti.

Manusia hanya meraba-raba dalam ketidakpastian. Apa itu cinta? Apa itu kasih?. Manusia sebenarnya
buta. Dan dalam kebutaannya, ia mencari sesuatu yang sama sekali tidak ia pahami. Akhirnya timbul
lah luka dan duka karena cinta.

Maka bukankah bisa dibilang segala macam perkara di muka bumi ini terjadi karena cinta?

Tapi mereka yang telah menemukannya dan memahaminya, akan terus bahagia. Cinta tak harus
terhadap kekasih. Cinta bisa terhadap siapa saja, terhadap apa saja.

Cinta A Liong dan Cio San ini bukan saja cinta orang tua kepada anak, dan anak kepada oprang tua.
Tapi cinta diantara sahabat. Jika sahabatmu bisa menjadi seperti orang tuamu, dan orang tuamu bisa
menjadi sahabatmu, maka boleh dibilang kau adalah orang yang paling beruntung di dunia ini.

Dan Cio San yang dirundung kesedihan setelah ditinggal mati seluruh keluarganya dan cara yang
tragis, dimusuhi oleh teman-teman seperguruannya, dan di hukum oleh gurunya, bukankah bisa sedikit
berbahagia?. Karena memang di muka bumi ini, jika ada sahabat yang menemanimu dalam suka dan
duka, maka kau memang bisa harus berbahagia.
Setelah selesai minum arak mereka bercakap-cakap tentang dunia Kang Ouw. A Liang yang walaupun
tidak pernah berkecimpung dalam dunia Kang Ouw dan belajar ilmu, rupanya memiliki banyak cerita
menarik. Ini wajar karena ia telah puluhan tahun hidup di Butongpay. Segala sesuatu yang terjadi di
dunia kangOuw tentu menjadi bahan pembicaran di Butongpay.

“Lopek, menurut lopek, siapakah yang paling hebat di dunia Kang Ouw?”

“Sebenarnya tidak ada yang bisa dibilang paling hebat, karena masing-masing orang punya
ehebatannya sendiri. Tetua-tetua jaman dulu adalah orang-orang yang hebat. Masing-masing hebat di
masanya. Kwee-Tayhiap, Yo-Tayhiap. Di jamanku dulu yang paling hebat adalah Thio Sam Hong-
thaysuhu. Ilmu silat dan tenaga dalamnya, serta pengetahuannya yang luas tidak ada bandingannya.
Cucu murid beliau, yang bernama,...ah kita tidak boleh menyebut namanya, adalah yang paling
berbakat. Di usianya yang semuda itu, dia adalah pesilat yang paling hebat. Namun ia pergi
mengasingkan diri beserta istrinya. Sampai sekarang tidak tahu lagi dimana ia berada.”

“Kenapa kita dilarang menyebut namanya lopek?” tanya Cio San

“Dulu Thio-thaysuhu melarang kita menyebut namanya karena beliau selalu sedih jika teringat cucu
murid yang paling disayanginya itu. Sekarang walaupun beliau telah meninggal, kita tetap
menghormati beliau dengan tidak menyebut-nyebut hal hal yang membuat beliau sedih”

“Keagungan, kehalusan budi, perilaku dan wibawa beliau memang tiada yang bisa menandingi Teecu
walaupun tidak pernah bertemu, mendengar cerita orang-orang saja, sudah menunduk hormat.
Apalagi jika bertemu langsung...” kata Cio San. Matanya menerawang mencoba membayangkan seperti
apa Thio Sam Hong itu.

“Ilmu Thay-kek kun beliau sudah mencapai tahap sempurna. Bahkan dengan ketinggian ilmu silatnya,
bisa memanjangkan umur beliau.” lanjut A Liang

“Menurut lopek, ilmu-ilmu apa saja yang paling hebat dalam dunia Kang Ouw?” tanya Cio San

“Di dunia Kang Ouw, banyak sekali ilmu hebat. Karena setiap ilmu sebenarnya memiliki inti yang sama
saja. Itu kata para ahli silat jaman dulu. Yang membuat ilmu itu hebat adalah yang menggunakannya.
Tapi di jaman dulu ada ilmu yang sangat hebat seperti “18 Tapak Naga” milik mendiang Kwee-tayhiap.
Atau “Tapak Duka Nestapa” milik mendiang Yo-taihiap. Sayangnya kedua ilmu itu belum pernah di adu
sehingga kita tidak tahu mana yang lebih kuat. Tetapi seperti yang kubilang tadi, bukan ilmu yang
kuat melainkan penggunanya.”

Ia melanjutkan lagi, “Setelah Kwee-tayhiap dan Yo-tayhiap meninggal, kedua ilmu hebat itu juga ikut
menghilang dari dunia Kang-ouw. Sekitar seratus tahun kemudian ada seorang murid murtad
Butongpay yang menguasai “18 Tapak Naga”, namun ia mati terbunuh di pertarungan. Lalu setelah itu
tidak ada lagi yang menguasai ilmu itu.”

“Nah beberapa tahun kemudian setelah pengkhianat itu meninggal, Thio-thaysuhu baru berhasil
menyempurnakan ilmu Thay Kek Kun nya. Sehingga kedua ilmu itu, “18 Tapak naga” dan “Thay Kek
Kun” belum pernah 'bertemu'”.

“Dunia Kang-ouw mulai terasa sepi semenjak saat itu, karena kita berhasil mengusir penjajah Goan
dari tanah air kita. Saat itu dunia Kang-ouw hampir seluruhnya bersatu.”

“Lalu beberapa tahun kemudian, secara tiba-tiba muncul seorang tokoh muda baru yang ilmunya
sangat tinggi. Ia menantang banyak ahli silat kelas dan mengalahkan mereka semua. Malah yang lebih
gila lagi, ia naik ke puncak Butongsan, dan menantang Thio-thaysuhu. “

“Apa? Lalu bagaimana kemudian?” Cio San kaget.

“Pada awalnya Thio thaysuhu tidak meladeni. Namun si tokoh muda itu sanggup mengalahkan murid-
murid golongan satu. Melihat ilmunya yang hebat, serta tindak tanduknya yang berbahaya, Thio
thaysuhu akhirnya menerima tantangannya itu”

“Lalu, Thio thaysuhu pasti menang bukan?”

“Beliau memang menang, tapi pertarungan itu sendiri tidak jelas. Karena pertarungan itu dilaksanakan
di ruang latihan pribadi Thio thaysuhu sendiri. Dan tidak boleh disaksikan orang lain.”

“Mengapa begitu lopek?”


“Menurut kabar, ternyata Thio thaysuhu sedang menciptakan ilmu baru yang lebih hebat dari Thay
Kek Kun. Dan karena belum sempurna, beliau tidak ingin memperlihatkannya di depan orang lain.”

“Lalu kenapa lopek bilang hasil pertarungan itu tidak jelas?”

“Karena walaupun Thio Sam Hong thay suhu sendiri memang menang, kabarnya beliau sangat kagum
dengan ilmu silat si tokoh muda itu. Konon katanya jika Thio thaysuhu tidak memiliki ilmu Thay Kek
Kun yang sempurna dan digabungkan dengan ilmu baru ciptannya itu, belum tentu Thio thaysuhu bisa
mengalahkannya. Dan beliau sangat menyesal terpaksa harus membunuh anak muda itu. Padahal sudah
puluhan tahun beliau tidak pernah membunuh orang.”

Lanjutnya lagi, “Saking kagumnya, beliau membuatkan kuburan khusus untuk anak muda itu di tanah
pekuburan Butongpay. Kuburan anak muda itu bahkan hampir berdekatan dengan lahan kuburan yang
disiapkan Thio-thaysuhu untuk dirinya sendiri”

“Hmmm, sebegitu kagumnya Thio-thaysuhu terhadap pemuda itu sampai-sampai memberikan


penghormatan setinggi itu terhadap. Lalu siapa nama sebenarnya pemuda berilmu tinggi itu, lopek?”
tanya Cio San

“Aku masih ingat nama pemuda itu, Kam Ki Hsiang” ada cahaya kagum di mata A Liang ketika
menyebut nama itu.

“Apakah lopek sudah ada di Butongpay ketika kejadian itu berlangsung?” tanya Cio San lagi

“Tidak. Aku datang beberapa hari ketika mayat Kam Ki Hsiang dikuburkan”

“Sebenarnya asal-usul Kam Ki Hsiang itu darimana? Di mana dia belajar ilmu yang hebat itu?”

“Menurut kabar yang beredar, dan itu diakui Thio thaysuhu sendiri, ternyata Kam Ki Hsiang telah
menemukan sebuah gua kuno. Dan di gua itu ia menemukan berbagai kitab kuno yang sangat tebal.
Kitab-kitab itu berisi ilmu silat yang sangat sakti. Karena kabarnya kitab itu ditulis sendiri oleh
pencipta ilmu silat, rahib Tat-Mo” jawab A Liang, lalu ia melanjutkan,
“Kitab itu juga kini tidak diketahui keberadaannya setelah Kam Ki Hsiang meninggal. Dunia kang ouw
sejak beberapa tahun yang lalu diributkan dengan pencarian kitab itu, tapi tidak ada seorang pun
yang tahu keberadaannya yang sebenarnya”.

“Aaaahhh...begitu rupanya” Cio San menjadi teringat ucapan Tan Hoat, Gihu sekaligus suhunya, yang
ditugaskan mencari kitab tulisan Tat-Mo itu. Rupanya kitab itu adalah kitab yang membuat Kam Ki
Hsiang seperti tidak terkalahkan.

“Kau pernah mendengar kitab itu, Cio San?” tanya A Liang

“Teecu sempat mendengar sekilas dari suhu bahwa memang ada kitab semacam itu. Teecu pikir itu
hanya kabar legenda di dunia kang-ouw, ternyata memang benar-benar ada”

“Di dunia ini banyak sekali kitab-kitab sakti yang menjadi rebutan dunia kang ouw. Mulai dai kita “9
matahari” dan “9 Bulan” yang katanya pernah tersimpan di dalam perut kera dan di dalam pedang,
atau juga kitab “Pedang sakti” yang membuat pemakainya berubah dari laki-laki menjadi perempuan,
dan masih banyak lagi. Pesanku padamu, kau tidak usah ikut-ikutan mencari-cari kitab-kitab semacam
itu. Hanya akan membuat dunia kang-ouw kacau balau. Hiduplah biasa-biasa saja. Gunakan ilmu
silatmu untuk kebaikan. Menolong sesama.” ujar A Liang

“Teecu akan mengingat baik-baik pesan lopek. Memang teecu sendiri juga tidak terlalu berminat
dengan ilmu silat. Hanya saja ketika teecu berlatih silat akhir-akhir ini, teecu merasa tubuh teecu
semakin sehat dan rasa letih dan lemas yang biasa teecu rasakan semakin menghilang”

“Bagaimana bisa begitu?” tanya A Liang heran. Ia memang sudah tahu bahwa Cio San memiliki
kekurangan pada fungsi organ tubuh bagian dalamnya.

“Teecu belajar sedikit ilmu organ tubuh di dalam buku yang lopek pinjamkan. Di situ dijelaskan cara
mengalirkan chi. Ternyata setelah teecu coba gabungkan dengan ilmu silat perguruan, rasa letih dan
lemas teecu hilang semua. Padahal biasanya baru beberapa jurus saja, teecu sudah lemas” jelas Cio
San

“Hey hebat sekali kau bisa menngabungkan seperti itu. Kau harus hati-hati, karena tidak boleh
sembarangan menggabungkan ilmu. Karena bisa berbahaya”
“Teecu mengerti lopek. Terima kasih atas peringatannya. Setelah teecu baca dan pikirkan, ternyata
ilmu di dalam buku itu sejalan dengan ilmu Butongpay sehingga tidak bertabrakan”

“Kau ternyata sangat berbakat dan cerdas Cio San. Orang-orang di perguruan salah mengerti
terhadapmu” puji A Liang sambil mengelus-elus kepala Cio San

“Teecu tidak berani lopek...” Cio San tertunduk.

“Hey aku ingin melihat engkau bersilat. Walaupun tidak mengerti silat. Tapi mata awamku ini juga
sudah bisa membedakan silat Butongpay yang mahir dengan yang tidak”

“Ah ilmu silat teecu memalukan lopek,...”

“Sudahlah jangan terlalu banyak adat. Ayo tunjukan...” perintah A Liang

“Baik Liang-lopek...”

Setelah berkata begitu Cio San mulai bersilat. Gerakannya tidak begitu indah, malah terlalu
sederhana untuk ukuran silat Butongpay. Tapi A Liang melihatnya dengan mata kagum dan keheranan.
Mungkin karena keawamannya, ia sudah menganggap jurus-jurus yang diperagakan Cio San itu sebagai
ilmu yang hebat.

“Kau..kau, darimana kau mempelajari jurus-jurus itu?” tanyanya dengan rasa heran bercampur
kagum.”Apakah dari buku yang kuberikan kepadamu itu?”

“Kalau dari buku tidak ada jurus-jurus silatnya lopek. Hanya ilmu tentang sedikit pengobatan,
pengetahuan tentang tubuh manusia, dan juga pengaliran Chi. Jurus-jurus silat ini hanyalah jurus
Butongpay yang teecu sederhanakan menurut kebutuhan dan pengetahuan teecu saja.” jawab Cio San

“Luar biasa...luar biasa...Kau benar-benar berbakat....” Ia berkata begitu sambil meneteskan air mata.
Melihat A Liang meneteskan airmata, Cio San juga ikut-ikutan meneteskan airmata. Hatinya memang
halus. Ia mengerti bahwa dalam ketidakpahaman A Liang terhadap ilmu silat, A Liang menganggap
bahwa jurus-jurus sederhana Cio San tadi sudah sangat hebat. Padahal bagi Cio San, ilmu itu sangat
sederhana sekali, bahkan mungkin tidak ada apa-apanya dibanding dengan jurus-jurus pemula
Butongpay.Cio San merasa terharu juga melihat ketulusan A Liang ini.

“Terima kasih lopek. Teecu akan belajar lebih keras supaya bisa membuat lopek bangga dan senang”
katanya sambil tersenyum.

A Liang menatap Cio San lama sekali.

Lalu kemudian dia tersenyum dan berkata, “Jika ada yang bisa membuat Butongpay berjaya kembali,
pastilah kau orangnya, Cio San:”

Setelah itu mereka bercakap-cakap lagi sebentar. A Liong sekalian pamit dan berkata bahwa ia akan
turun gunung Butongpay. Karena beberapa minggu lagi akan ada perayaan beberapa tahun
meninggalnya Thio Sam Hong, sehingga perguruan akan menerima kunjungan tamu-tamu dari golongan
Kang-ouw. Jadi mungkin dalam beberapa hari ini ia tidak akan mengunjungi Cio San

Bab 6 Berlarilah Mencari Kebenaran

Cio San rasa-rasanya sangat menikmati keberadaannya di puncak Butongsan ini. Pemandangannya
indah sekali. Udara yang sangat segar membuatnya semangat berlatih dan belajar. Malah ia sudah
mulai mengembangkan ilmu baru lagi.

Suatu saat ketika ia bermain khim, ia mengingat semua ajaran pemainan khim dari A Liang. Ingatan
tentang permainan khim ini secara tidak sengaja muncul pada saat ia berlatih silat. Bukan gerakan
tangan dalam bermain khim yang diingatnya, melainkan teori teori bermain khim. Seperti bagaimana
mengalunkan perasaan, dan lain-lain.
Tak terasa Cio San bersilat sambil mengingat perasaan itu. Pikirannya dan perasaannya seperti
bermain khim, namun tubuhnya bersilat. Sambil bersilat kadang ia menangis, kadang ia tertawa,
kadang ia riang gembira. Jika ada orang yang melihatnya, Cio San mungkin akan dianggap gila. Lama
sekali Cio San bersilat seperti itu. Tak terasa sudah berapa jurus yang disilatkannya.

Sampai akhirnya ia berhenti sendiri. Cio San berdiri dengan diam. Ia kagum atas apa yang terjadi.

“Apa yang terjadi ini? Darimana semua gerakan ini berasal?” ia bertanya di dalam hati.

“Aku sempat mengalami hal seperti ini ketika berlatih di perguruan beberapa waktu yang lalu.
Mengapa setiap aku bersilat tapi tidak berfikir tentang ilmu silat, aku malah bisa menghasilkan
gerakan-gerakan aneh seperti ini?”

Pikirannya bekerja. Memang daya pikirnya luar biasa sekali. Tuhan sungguh adil dengan segala
kekurangan fisik Cio San, Tuhan memberkatinya dengan daya pikir yang cerdas sekali.

Cio San menyadari bahwa ia bisa memainkan gerakan-gerakan yang tadi jika ia mengacuhkan segala
teori tentang ilmu silat. Justru dengan berfikir sederhana dan mengalirkan segala pikirannya ke satu
fokus, maka ia bisa memainkan jurus-jurus itu.

“Hmmmm..., apakah gerakan-gerakan ini akan berguna di pertarungan yang sesungguhnya? Ataukah ini
hanya gerakan biasa yang timbul karena aku mengosongkan pikiran. Jika ini hanya gerakan biasa,
mengapa tubuhku serasa dipenuhi oleh chi (energi)?”

Ia lalu memutuskan untuk mencoba lagi. Pada awalnya susah untuk mengosongkan pikiran dan
melakukan hal yang sama. Karena gerakan-gerakan tadi mengalir dengan spontan tanpa dipikrkan
sebelumnya. Jika dipikirkan sebelumnya malah gerakan itu tidak akan mengalir keluar. Cio San
rupanya paham dengan teori ini.

Dengan segala upaya dia mengosongkan pikiran dan mencoba untuk melakukan hal yang seperti tadi.
Akhirnya setelah mencoba ia berhasil menemukan gerakan-gerakan itu kembali. Chi-nya mengalir
dengan lancar, tubuhnya terasa kuat lagi.
Senangnya Cio San menemukan jurus-jurus baru itu, “Sayang Liang-lopek tidak bisa datang akhir-
akhir ini. Ia pasti senang melihat jurus-jurus ini.” pikirnya.

Cio San lalu menghabiskan waktunya berhari-hari untuk membiasakan diri dengan jurus-jurus baru
itu. Kadang ia gagal, kadang ia berhasil. Ternyata jurus-jurus itu tidak boleh diingat. Semakin
diingat, ia malah semakin bingung dan gerakannya tidak mengalir dengan lancar.

Jika ia mengosongkan pikiran dan tidak memikirkan tentang gerakan-gerakan itu, malah jurus-
jurusnya akan semakin mengalir lancar. Pengertian ini akhirnya semakin dipahaminya. Sehingga ia
merasa cara terbaik untuk melatih jurus-jurus itu adalah dengan tidak mengingat-ingatnya sama
sekali.

Tak terasa waktu hukumannya dipuncak Butongsan sudah mendekati selesai. Dalam beberapa hari
lagi, ia sudah diperbolehkan turun gunung. Setelah berhari-hari melatih jurus silat barunya itu, ia
memutuskan untuk berburu rusa. Ia ingin memasak enak, sekaligus mencoba resep-resep baru yang
pernah ia baca di buku A Liang itu.

Ia lalu berkeliling hutan di sekitar situ. Hutan di situ memang penuh dengan berbagai macam hewan
yang bisa diburu. Lama mencari tak terasa Cio San sudah jauh dari gubuknya. Berburu rusa seperti
ini dibutuhkan kesabaran dan ketelatenan tersendiri. Untung setiap murid Butongpay sudah diajari
berburu hewan sejak awal mereka masuk perguruan.

Hampir 3 jam ia berburu, tidak satupun rusa atau hewan buruan yang bisa ditemuinya. Akhirnya ia
memutuskan untuk pulang, dan menangkap ikan saja untuk makan siangnya.

Di tengah jalan, ia malah bertemu A Liang, “Lopek, kenapa disini? Bukankah 3 hari lagi sudah
perayaan peringatan mendiang Thay suhu?” Cio San heran bertemu A Liang dalam perjalanannya
pulang ke gubuk.

“Sudah hampir 2 jam aku mencarimu, cepat kita turun gunung sekarang...”

“Ada apa lopek?” tanya Cio San keheranan,


“Sudahlah, ayo ikuti aku. kita harus cepat, nanti aku jelaskan semuanya” kata A Liang

Cio San menurut saja. Agak kaget juga ketika A Liang memegang tangannya dan mengajaknya berlari.
Kencang sekali larinya A Liang bagaikan terbang. Seperti seorang ahli silat kelas atas. Banyak sekali
pertanyaan yang timbul di hati Cio San, namun ia menahan diri. A Liang pasti akan menjelaskan
semuanya.

Mereka berlari tanpa berhenti menuruni gunung. Hampir separuh perjalanan, mereka dikagetkan oleh
bunyi petasan diatas langit. Ada warna merah yang terang sekali. Padahal saat itu siang hari. Cio san
mengetahui bahwa itu adalah tanda bahaya khusus bagi perguran Butongpay. Jika berwarna merah
berarti yang menyalakannya adalah murid golongan ketiga.

Cio San melihat ke langit dan merasa bahwa tanda bahaya itu berasal dari puncak gunung. Siapa
sebenarnya yang menyalakannya? Ada kejadian apa di puncak gunung sana? Apakah A Liang
mengajaknya turun dengan terburu-buru ada hubungannya dengan kejadian di sana?

Cio San tidak mau bertanya karena ia yakin sepenuhnya pada A Liang. Pasti ada alasannya. Mereka
berdua terus berlari turun. Tapi jiwa pendekar yang tumbuh di hatinya itu sudah tidak tahan lagi,
“Lopek, tanda bahaya sudah dibunyikan, kita seharusnya pergi kesana. Ada murid Butongpay yang
membutuhkan pertolongan” kata Cio San.

“Percayalah kepadaku Cio San. Akan ku jelaskan semua” jawab A Liang

Mereka terus berlari namun tidak berapa lama kemudian, mereka berpapasan dengan puluhan murid
Butongpay yang naik ke puncak gunung.

Rupanya 2 orang dari 4 tetua Butongpay sendiri yang memimpin rombongan itu Oey Tang Wan yang
wajahnya ramah dan sabar, dan Yo Ang yang tubuhnya kecil namun bermata mencorong.

Yo Ang yang menegur mereka berdua lebih dulu, “Kalian mau kemana? Siapa yang menyalakan tanda
bahaya?”
A Liang yang menjawab, “Kami tidak tahu siapa yang menyalakannya, totiang..”

“Lalu kenapa kalian malah turun dan bukan memeriksanya?” kata Yo Ang ketus, “Ayo kalian berdua
ikut rombongan dan naik ke atas!”

A Liang tidak menjawab dan hanya diam, nampaknya ia ragu-ragu untuk mengikuti perintah Yo Ang.
Yo Ang pun mengetahui keraguan itu. Ia lalu berkata, “Kenapa ragu, ayo ikut sekarang” perintahnya
dengan mata yang semakin mencorong.

Malah Cio San yang gantian memegang tangan A Liang untuk mengajaknya ikut rombongan. “Ayo
lopek, kita ikut saja, Jangan membuat Yo totiang marah.”. Akhirnya A Liang menurut saja diajak Cio
San.

Mereka semua berlari ke atas. Yo Ang dan Oey Tang Wan berada paling depan karena ilmu
meringankan tubuhnya paling hebat. Kemudian diikuti beberapa murid.lain. Cio San merasa heran
ternyata ia bisa mengikuti kecepatan murid-murid yang lebih tinggi tingkatannya dari dirinya sendiri.

A Liang sendiri agak tertinggal di belakang sehingga Cio San harus memperlambat larinya untuk bisa
bersama dengan A Liang.

Sesampai di puncak gunung, terlihatlah pemandangan yang mengerikan. Sebuah tubuh terpisah dari
kepalanya. Letaknya persis di depan gubuk. Masih belum ketahuan siapa pemilik tubuh nahas itu.

Ketika didekati, jelaslah sudah. Itu tubuh Tan Hoat!

Semua berteriak penuh kekagetan. Cio San yang baru tersadar atas apa yang terjadi, dan siapa
mayat itu langsung jatuh lunglai dan menangis. Gihu sekaligus suhunya itu memang sangat
disayanginya. Ia menangis dan meratap. Memanggil-manggil nama gihunya.

“suhu...suhu....” hanya itu yang bisa keluar dari bibirnya. Bersama air mata yang mengalir deras di
kedua pipinya.
Semua orang yang menyaksikan kejadian ini semakin bersedih. Memang siapapun yang melihat
kejadian seperti ini dan tidak menangis, boleh dibilang bukan manusia.

“A Liang apakah kau tahu apa yang terjadi disini?” selidik Yo Ang.

“Tidak totiang...” jawab A Liang

“Bukankah hanya kalian berdua yang ada di atas sini? Mengapa bisa tidak tahu? Mengapa juga kalian
lari tergesa-gesa menuruni gunung?

A Liang tidak bisa menjawab apa-apa. Ia hanya terdiam.

“Ayo jawab!” bentak Yo Hang.

Lanjutnya, “Atau jangan-jangan kau ada hubungannya dengan pembunuhan ini?” tanya Yo Hang,
tangannya sudah mulai mengambang, akan ada jurus yang ia keluarkan melalui tangan ini.

“Percayalah, saya tidak ada hubungannya dengan ini semua totiang...” jawab A Liang.

Suasana mulai menegang. Oey Tang Wan, orang yang paling sabar dari keempat totiang Butongpay
lalu berkata; “Murid-murid Butongpay, kalian berpencar. Cari apakah ada orang lain di atas bukit ini.
Seujung rumput pun jangan kalian biarkan tidak terperiksa. Ayo laksanakan” Begitu perintahnya
keluar seluruh murid yang ada disitu bergerak dengan ringkas.

Sedangkan Yo Ang berkata, “A Liang kau tetap disini sampai semua murid kembali lagi”

Para murid mencari. Hampir satu jam mereka menyebar dan memeriksa tidak ada satu pun petunjuk
yang mereka temukan.

Dengan marah Yo Ang berteriak, “Ayo A Liang cepat katakan mengapa kau lari turun dengan terburu-
buru?”
Melihat A Liang diam saja, memuncaklah kemarahan Yo Ang. Ia lalu menyerang tukang masak
Butongpay itu.

Dan yang mengherankan adalah A Liang bisa menghindari serangan itu hanya dengan satu gerakan.

Bertambah marahlah Yo Ang, dilancarkannya jurus-jurus Butongpay. Serangannya semakin


menghebat dari jurus ke jurus. Namun kesemuanya bisa dihindai oleh A Liang.

“Katakan siapa kau sebenarnya? Mengapa tukang masak seperti engkau bisa menghindari pukulan-
pukulanku?” kalimat ini diucapkan berbarengan dengan puluhan pukulan hebat. Namun A Liang terus
menghindarinya.

Murid-murid Butongpay yang terheran-heran dengan kejadian ini tidak berani membantu Yo Ang,
karena mereka tahu bantuan mereka dalam pertempuran tingkat seperti itu hanya akan mengacaukan
jurus orang yang mereka bantu.

Melihat kehebatan A Liang dalam menghindari jurus-jurus itu, Yo Ang mulai mengeluarkan jurus
andalan Bu Tong pay. Jurus-jurus hebat itu walaupun lembut namun sebenarnya sangat ganas. A Liang
walau bagaimanapun juga akhirnya terdesak juga, karena ia tidak pernah membalas atau menangkis
satu pukulan pun.

Jurus-jurus gubahan Thio Sam Hong itu sangat hebat sehingga A Liang akhirnya terdesak terus. Ia
hanya menghindar dan menghindar.

Selain itu semakin banyak juga murid yang berdatangan dari bawah gunung memenuhi gunung dan
menutupi ruang gerak A Liang. Bahkan salah satu murid dari bawah gunung membawa berita baru
yang sangat menggemparkan, “Totiang, kuburan Kam Ki Hsiang telah terbongkar. Bahkan mayatnya
pun kini hilang”

Mendengar ini kagetlah semua orang.

Jika A Liang mengaku tidak membunuh Tan Hoat, apakah arwah Kam Ki Hsiang bangkit dari kubur dan
kini membalaskan dendamnya dengan membunuh murid-murid Butongpay?
Pikiran seperti ini timbul dalam benak Yo Ang, sehingga ia agak mengendurkan serangannya.

Tapi setelah berfikir lagi, ia merasa teorinya tentang arwah membalas dendam itu mengada-ada. Iya
malah semakin yakin bahwa A Liang ada hubungannya dengan kejadian itu. Serangannya semakin
ganas, hingga suatu saat ia mengeluarkan jurus andalah Butongpay “Naga Meminta rembulan”.

Jurus ini sangatlah hebat sehingga mereka yang menonton pertarungan itu saja bisa merasakan angin
pukulannya. A Liang sudah terdesak mundur sehingga tidak ada jalan keluar lagi, karena di
belakangnya murid-murid Butong sudah mengerumuninya dengan hunusan pedang.

Ia menanti saja datangnya pukulan itu.

Tepat ketika pukulan itu akan mengenai dadanya, seseorang menangkisnya.

Tapi bukan A Liang atau Oey Tang Wan karena merekalah orang yang paling mampu ilmunya untuk
menangkis pukulan itu.

Tapi Cio San lah yang menangkisnya.

Bahkan tangkisan itu mampu membuat Yo Ang terlempar beberapa tombak, dan memuntahkan darah.

Semua orang terbelalak kaget. Tidak menyangka anak sekecil itu bisa menangkis pukulan “Naga
Meminta Rembulan” yang sangat dahsyat itu. Apalagi bisa sampai menghempaskan Yo Ang dan
melukainya.

Cio San sendiri terkaget-kaget dengan hasil tindakannya tadi.

Puluhan murid yang ada di situ dalam kekagetan mereka membuat mereka menjadi ganas. Dalam
pikiran mereka, Cio San yang sudah berani melukai totiang Butongpay, pastilah juga berani membunuh
Tan Hoat. Mereka dengan berbarengan menyerang dengan bersama-sama.
Cio san yang kebingungan menerima serangan ini sudah hampir pasrah dengan nasibnya. Tak disangka
A Liang menariknya dan membawanya terbang. Gerakannya ini sangat cepat sehingga membuat semua
yang ada di situ terkesima.

Mereka berdua lalu melarikan diri menuruni lereng gunung.

“Ayo kejar” terdengar perintah Oey Tan Wang. Mereka semua lari mengejar kedua orang itu. Gerak
A Liang ternyata cepat sekali. Tak ada seorang pun yang menyangkanya. Ia bagai terbang menuruni
tebing-tebing gunung yang terjal itu.

Pengejaran berlangsung terus. Cio San bahkan kini sudah digendong di pundak A Liang. Ia mendengar
A Liang berkata, “Percayalah padaku Cio San...”

Cio San pun memang ingin sekali percaya kepada A Liang. Saat kejadian tadi di atas tebing, otaknya
pun berpikir. Apakah A Liang yang melakukan semua itu, membunuh suhunya, Tan Hoat, dengan cara
yang kejam, lalu mengajaknya lari turun gunung sebelum 'tertangkap' rombongan murid Butongpay
yang naik ke atas.

Melihat kenyataan bahwa ternyata A Liang menyembunyikan kemampuan silatnya selama puluhan
tahun. Apa maksudnya? Apakah selama ini A Liang adalah mata-mata musuh Butongpay? Ataukah dia
bermaksud menyusup ke Butongpay dengan maksud mencuri ilmu Butongpay?. Tapi menyadari
kenyataan bahwa A Liang telah tinggal di Butongpay hampir selama setengah abad, Cio San masih
tidak bisa memahaminya. Pikiran anak sekecil Cio San yang bisa menjangkau sejauh itu adalah sebuah
keanehan yang nyata. Memang banyak sekali anak-anak cerdas yang hidup di antara manusia.

Dan saat ia melihat A Liang diserang terus menerus oleh Yo-totiang tanpa membalas, hati Cio San
mulai berbisik bahwa A Liang telah berkata sebenarnya. Itulah sebabnya hatinya menyuruhnya
bergerak untuk menangkis serangan dahsyat Yo Ang kepada A Liang.

Mimpi pun Cio San sendiri tidak pernah menyangka bahwa akibat tangkisannya bisa sedahsyat itu.
Saat itu ia bergerak secara spontan dan hanya mengikuti kata hati. Hasil latihan jurus-jurus baru
ciptaannya itu terlihat sangat jelas. Dia sendiri terheran-heran. Padahal usahanya menangkis pukulan
itu sudah dibarengi dengan niat mengorbankan diri. Ia tahu bahwa ia tidak mungkin menangkis
pukulan itu. Bahwa ia pasti akan mati. Tapi kenyataan berkata lain. Yo Ang sendiri terlempar dan
muntah darah.

Rasa percayanya terhadap A Liang jugalah yang menyebabkan ia mau saja dibawa lari oleh A Liang. Ia
ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pasti ada rahasia di balik semua itu. Apalagi saat itu
terdengar berita kuburan Kam Ki Hsiang baru saja dibobol orang. Kejadian di puncak Butongsan itu
pasti ada hubungannya dengan pencurian mayat itu.

Dan jika A Liang adalah pelakunya, buat apa dia menanti sampai 50 tahun hanya untuk mencuri mayat
itu. Padahal setiap saat dia bisa saja melakukannya.

Cio San juga sadar bahwa tindakannya menangkis pukulan Yo Ang dan secara tidak sengaja malah
melukainya juga adalah pelanggaran yang berat. Hal inilah yang menyebabkan ia hampir dikeroyok
oleh puluhan murid Butongpay tadi. Pada keadaan yang terjepit seperti itu, tidak ada jalan lain selain
melarikan diri untuk sementara.

Pelarian itu terasa lama sekali padahal A Liang sudah seperti terbang saja. Para pengejar malah
sudah tidak keliahatan. Hanya gema suara mereka saja yang ramai terdengar.

Begitu sampai di perguruan, sudah terlihat banyak murid Butongpay yang bersiaga. Mereka yang
menunggu dibawah ini masih belum tahu apa yang terjadi. Suara dan teriakan dari atas yang
memerintahkan para murid untuk menangkap A Liang dan Cio San juga tidak terdengar jelas.

Murid-murid yang kaget hanya melihat bayangan seorang yang terbang tanpa bisa melihat jelas
wajahnya. Ada yang berinisiatif menangkap ada juga yang duduk bengong diam saja. Baru setelah
bayangan A Liang meninggalkan mereka jauh sekali, mereka baru mendengar suara-suara para
pengejar yang memerintahkan mereka untuk menangkap 'bayangan' itu.

Tapi itu semua sudah sangat terlambat. Bayangan itu sangat cepat bahkan sudah keluar dari gerbang
depan Butongpay. Gerbang 'Tanpa Senjata”. Karena siapa yang melewati gerbang itu, tidak boleh
membawa senjata apapun.
Beberapa ratus tombak dari gerbang itu ada sebuah hutan yang sangat lebat. A Liang memilih
memasukinya, walaupun sering tersiar kabar bahwa hutan itu sangat angker. Bahkan para murid
Butongpay saja jarang ada yang berani memasuki hutan itu.

Setelah memasuki hutan itu, A Liong lalu menurunkan Cio San, kemudian berkata, “Cio San, terima
kasih telah menolongku. Percayalah aku tidak ada hubungannya dengan kematian suhumu. Justru aku
datang bersama suhumu mencarimu”

“Ada apa lopek dan suhu mencariku?” tanya Cio San

“Aku tidak bisa menjawab sekarang, ini permasalahan yang rumit yang tidak bisa dibicarakan sambil
lalu. Sekarang ini bahkan mungkin pohon-pohon bisa mendengar” jawab A Liang. Lanjutnya, “Mari kita
cari tempat yang aman untuk membicarakannya”

Cio San mengangguk tanda mengerti. Menghadapi hal-hal rahasia semacam ini dia jelas mengerti. Ia
telah mengalami hal ini saat kecil dulu. Saat orangtuanya dibantai. Kini dia diam dan tak bertanya-
tanya lagi.

Mereka berdua memasuki hutan dengan tetap berlari. Tak lama kemudian hari menjadi gelap dan
malam pun menjelang. Sayup-sayup masih terdengar suara-suara para pengejar. Dari jauh terlihat
mereka telah menyalakan obor.

Kedua orang pelarian mulai masih tetap berlari walaupun sudah tidak sekencang tadi. “Jangan pernah
berhenti Cio San”

Tiba-tiba setelah berkata seperti itu A Liang jatuh tertelungkup,

“Ah racunnya sudah menyebar...” A Liang berkata dengan lirih.

“Lopek keracunan? Sejak kapan? Bagaimana bisa?Apakah karena makanan” tanya Cio San dengan
panik.
“Waktu kita hampir dikeroyok, seseorang melemparkan Am Gi (senjata rahasia) ke punggungku.”
jawab A Liang dengan lemah

“Tidak tahu malu. Masa ada murid Butongpay yang berbuat memalukan seperti itu...” Cio San marah
sekali. Membokong lawan memang adalah tindakan memalukan di kalangan Kang Ouw yang hanya
pantas dilakukan kaum Hek (hitam). Partai lurus seperti Butongpay amat sangat mengharamkan cara-
cara seperti itu.

“Mari kuperiksa lopek lukanya” dalam hutan gelap di tengah malam seperti itu mana bisa memeriksa
luka. Bahkan melihat tangan sendiri pun tidak bisa.

“Di kantongku ada batu api Cio San.” Memang seorang ahli masak tidak jauh dari pisau dan api.

Setelah menyalakan api, Cio San lalu memeriksa punggung A Liang. Ia meminta A Liang membuka baju
agar lebih leluasa memeriksa. Tidak usah lama mencari karena punggung A Liang yang terkena
senjata beracun sudah terlihat sangat menghitam. Hitam yang pekat. Lalu tepat di tengah-tengah
bagian yang menghitam itu terdapat satu titik perak yang memantulkan cahaya dari api yang dipegang
Cio San.

“Hmmmm...jarum beracun...” gumamnya.

“Aku bisa mengeluarkan jarum itu dengan dorongan tenagaku Cio San, awas kau jangan sampai
terkena” kata A Liang. Setelah Cio San mengambil posisi yang aman, baru A Liang mengeluarkan
jarum itu dengan dorongan tenaganya sendiri.

Kenapa tidak sejak tadi saja A Liang tidak mengeluarkan jarum itu dengan cara ini, itu disebabkan
karena ia harus mengerahkan seluruh tenaganya untuk terbang seperti itu. Di dunia ini mungkin
hanyalah A Liang yang bisa berlari seperti tadi. Dan itu membutuhkan pengarahan tenaga yang besar.
Ditambah lagi ia harus menggunakan Chi nya untuk melindungi supaya racun itu tidak menyebar luas.

Jika A Liang masih berumur 40 atau 50 tahun, mungkin perjuangannya menggunakan chi seperti itu
akan sangat gampang. Tetapi dia kini sudah berusia 70 tahunan. Ahli silat manapun pasti akan
mengalami penurunan tenaga. Apalagi mungkin selama puluhan tahun ini, A Liang tidak pernah melatih
atau menjaga chi-nya.
Cio San yang mengetahui banyak tentang penyembuhan dan obat-obat berusaha dengan sekuat
tenaga untuk mengingat-ingat tindakan apa yang harus dia lakukan. Di tengah kejadian seperti ini,
ditinggal mati salah satu orang yang disayangi, lalu dituduh terlibat dalam kematian itu, lalu dikejar-
kejar, lalu harus menyembuhkan racun...Semua itu memang terasa terlalu berat untuk anak seumur
dia, se”ajaib” dan secerdas apapun anak itu.

Untung ingatannya masih tajam sehingga dia ingat dengan jelas tumbuhan-tumbuhan apa saja yang
harus ia cari untuk menetralkan racun. Inipun masih penuh tanda tanya, karena Cio San sendiri tidak
paham jenis racun apa yang menyerang A Liang.

Memang di buku yang diberikan A Liang itu terdapat banyak jenis obat untuk melawan hampir segala
macam racun. Namun di situ tidak dijelaskan begaimana mengetahui jenis racun yang menyerang itu.
Dan Cio San sama sekali tidak mempunyai pengetahuan tentang ketabiban.

Hanya dengan menerka-nerka saja ia mengumpulkan beberapa tanaman yang ada dalam hutan yang
lebat itu. Itu pun seadanya saja, karena sungguh amat sukar mencari sesuatu di dalam hutan lebat
segelap ini.

Setelah mencamuprkan daun-daun obat itu dengan batu, dan sedikit membakarnya untuk memanaskan
daun itu, Cio San menempelnya di bagian tubuh A Liang yang menghitam itu. Sebagian obat itu ia
berikan kepada A Liang untuk ditelan.

“Jangan terlalu mengerahkan tenaga dulu lopek, takutnya malah nanti racun itu menyebar”. Katanya

Sebenarnya ucapan ini sangat terlambat, karena racun sudah menyebar. Penggunaan tenaga besar
untuk 'terbang' tadi malah membuat racun itu bekerja semakin cepat. Untunglah sisa chi yang ada di
dalam tubuh A Liang masih mampu menahan racun itu, walaupun akhirnya gagal juga.

Ditambah lagi dengan pengerahan tenaga untuk mendorong keluar jarum itu. Semakin membuat racun
itu menyebar.

Pengetahuan Cio San tentang penggunanaan chi (tenaga dalam) untuk pengobatan juga sudah lumayan
berkembang. Tapi ia tidak berniat menggunakannya, karena menurut sepengetahuannya sebagian
racun ada yang berkembang cepat karena penggunaan tenaga dalam dari luar tubuh sang pengidap
racun.

Bab 7 Kebenaran di dalam Kegelapan

A Liang

Setelah beristirahat beberapa menit lamanya, A Liang sudah merasa enakan,

“Hebat juga obatmu Cio San, kau bisa membuka usaha pertabiban jika tua nanti.” Katanya sambil
tertawa.

“Nah sekarang kita jalan lagi, dan dengarkan aku bercerita dari awal”

“Biarlah lopek teecu gendong saja” pinta Cio San.

Mengetahui bahwa tubuhnya memang sudah tidak begitu kuat lagi, A Liang menurut saja. Sambil
digendong, A Liang mulai bercerita,

“Tadi pagi Tan Hoat pulang setelah menunaikan tugas perguruan. Ia bertanya tentang Lau-
ciangbunjin. Tapi kujawab Ciangbunjin sedang sakit.”

“Sakit? Apakah parah?” tanya Cio San kaget

“Parah sekali. Para totiang bahkan berkata beliau keracunan. Mungkin ada yang menyusupkan racun
ke dalam makanan beliau”

“Ahhhhh....” hanya itu yang bisa keluar dari mulut Cio San

A Liang melanjutkan “Tapi memang dia tidak mencari Ciangbunjin. Ia sebenarnya mencariku”
“Kenapa mencari lopek?”

“Karena kabar yang dibawanya sebenarnya berhubungan dengan aku dan kau” jawab A Liang.

Cio San baru akan bertanya sebelum akhirnya dipotong oleh A Liang “Dengarkan saja dulu dan jangan
banyak bertanya...”

Lalu ia melanjutkan,

“Ia memintaku menemaninya ke atas gunung untuk mencarimu karena katanya aku adalah satu-
satunya orang yang paling ia percayai.”

“Cio San, tahukah berita apa yang dibawanya itu?”

Cio San hanya menggeleng

“Dalam perjalanan ia tidak menceritakan kepadaku, dan aku hanya menebak-nebak saja. Menurut
perkiraanku ia sudah tahu di mana letak kitab rahasia yang menjadi incaran kaum kang-ouw itu. Dan
ia mencarimu karena hanya kaulah yang tau bagaimana cara membaca kitab itu”

“Karena kitab itu ditulis dengan menggunakan aksara kuno itu. Di Tionggoan tidak banyak orang yang
mengerti arti huruf-huruf kuno itu. Aku saja terkaget-kaget ketika kau bilang kau bisa membaca
huruf-huruf itu”

“Di Tionggoan hanya keluarga 10 jendral besar yang menguasai huruf-huruf itu”

[Catatan: Di jaman pengusiran penjajahan Goan {mongol} atas Tionggoan, terdapat jendral 8 besar
yang membantu pemimpin utama pemberontakan itu. Pemimpin utama itulah yang menjadi kaisar
pertama dinasti Ming. Kesemua jendralnya beragama Islam. Setelah kemenangan diraih dan
perjuangan selesai, sang kaisar baru itu malah membunuh ke 8 jendral itu karena ia takut
kekuasaannya direbut mereka]

“Setelah kau menyebut bahwa kakek dan ayahmu menguasai huruf-huruf itu, aku menduga bahwa kau
adalah keturunan dari salah satu 10 jendral besar itu”

Cio San seperti ingin mengatakan sesuatu tetapi akhirnya dia diam saja.

“Aku yakin Tan Hoat pun menyadari hal ini, lalu ia berusaha menjemput secepatnya. Kami berdua
mendaki puncak, namun begitu sampai di pondok, kau tidak ada. Kami pun lalu berpencar untuk
mencarimu. Aku sudah hampir putus asa dan kembali lagi ke pondok karena aku mengira kami
terlambat menyelamatkanmu. Begitu aku kembali, aku menemukan Tan Hoat sudah sekarat, saat itu
ia belum meninggal. Ia dengan terbata-bata mengatakan “Cio San....Cio San..., Lau ciangbunjin...Lau
ciangbunjin...”

“Aku segera mengerti maksudnya, bahwa ia ingin aku menyelamatkanmu dan juga Lau-ciangbunjin.
Aku lalu terus mencarimu. Saat aku meninggalkannya aku yakin ia masih hidup. Saat itu berat sekali
pilihan yang harus aku ambil. Namun aku memilih untuk mendengarkan permintaannya untuk
menyelamatkanmu dan Lau-ciangbunjin. Namun sayang aku hanya berhasil menyelamatkanmu...”

Teringat akan nasib Lau-ciangbunjin yang sekarang menderita keracunan, tak terasa mereka terharu
juga.

“Kini ada sebuah rahasia besar lagi yang harus kau tahu. Bahwa aku pun sebenarnya mengerti di mana
keberadaan kitab rahasia itu”

Bola mata Cio San membesar tapi dia tidak berani berkata apa-apa.

“Bukan saja mengerti di mana kitab itu berada, tapi aku lah pemilik yang sah dari kitab itu.
Ketahuilah bahwa nama asliku adalah Kam Ki Hsiang!”

Agak lama ia terdiam, baru kemudian melanjutkan,


“Sebelum bertarung dengan Thio-thaysuhu, aku meminta syarat kepada beliau, bahwa jika aku mampu
mengalahkan beliau, maka posisi sebagai ketua Butongpay harus diberikan kepadaku. Beliau hanya
tersenyum dan menyetujuinya. Dan sebagai gantinya, aku sendiri yang memberi usul, bahwa jika aku
kalah aku rela memusnahkan seluruh ilmu silatku dan seumur hidup mengabdi kepada Butongpay”

“Beliau pun hanya tersenyum saja. Kami pun bertempur. Dan pertempuran itu berlangsung tertutup di
dalam ruang latihan pribadinya. Hampir 3 hari penuh kami bertarung. Bahkan tidak berhenti untuk
makan dan minum. Aku sangat kagum bahwa dengan usia setua itu, tenaga dalam beliau tidak
berkurang sedikitpun. Akhirnya harus ku akui kematangan ilmu beliau, aku pun kalah”

“Lalu ketika aku menyerahkan diri bagi beliau untuk memutuskan seluruh urat dan otot sebagai cara
orang-orang Kangouw memunahkan ilmu silat. Beliau hanya tersenyum dan berkata bahwa janji itu
bisa dilaksanakan tanpa harus memutuskan urat-uratku, karena beliau percaya aku adalah seorang
lelaki sejati”

“Mendengar itu aku malu sekali sudah berani menantang beliau. Keluhuran budi pekertinya sungguh
tidak ada yang menandingi. Padahal ketahuilah, bahwa aku juga sudah berhasil melukainya dengan
berat. Namun saat aku kalah, beliau sama sekali tidak ingin membunuhku. Saat itu aku sadar bahwa
aku bisa melukai beliau sesungguhnya karena beliau terus menerus mengalah. Sesungguhnya jika
beliau menggunakan ilmu barunya itu, beliau bisa mengalahkanku dalam seratus jurus. Jadi
sebenarnya beliau mengalahkan aku murni hanya dengan ilmu Thay Kek Kun nya yang terkenal itu”

“Tapi herannya, di luar banyak kabar yang berkembang bahwa beliau mengalahkanku dengan jurus
barunya. Aku sendiri malah heran kenapa kabar itu bisa berkembang, dan Thio thaysuhu sendiri
sepertinya tidak pernah meralat kabar itu. Belakangan aku baru tau bahwa niat beliau adalah untuk
menjaga kehormatan dan namaku. Memang beliau sungguh mulia.”

“Dengan berkembangnya kabar seperti itu, maka namaku akan diakui sebagai salah satu orang yang
sejajar dengan beliau”

Mata Kam Ki Hsiang terlihat berkaca-kaca,

“Aku lalu bersumpah untuk tidak lagi menggunakan ilmu silatku dan sepenuhnya mengabdi kepada
Butongpay. Tapi kau tidak ingin menjadi murid Butongpay karena itu bukan merupakan perjanjianku
dengan beliau. Melihat pengorbananku seperti itu, beliau memberikan pujian dan kekaguman”
“Maka untuk melindungiku dari dendam atas banyaknya korban yang terbunuh karena kesombonganku
menantang semua ahli silat nomer satu, beliau memutuskan untuk 'mematikan' Kam Ki Hsiang. Sejak
saat itu tersiar kabar bahwa Kim Ki Hsiang sudah mati, dan kuburannya berada di Butongpay.”

“Saat mendengar aku sudah mati, banyak tokoh silat yang punya dendam terhadapku naik ke
Butongsan untuk menanyakan langsung kepada Thio thaysuhu apakah aku benar telah mati. Mereka
tau bahwa Thio thaysuhu tak akan berbohong dan kata-katanya adalah emas”

“Thio thaysuhu tidak pernah berbohong sedikitpun, saat beliau berkata bahwa “Kim Ki Hsiang sudah
mati” memang sebenarnya Kim Ki Hsiang yang sombong dengan silatnya itu sudah mati. Yang ada kini
adalah A Liang si tukang masak.

“Lalu di dalam makam palsuku itu, aku kubur semua yang berhubungan dengan Kam Ki Hsiang.
Termasuk juga kitab-kitab sakti yang aku miliki itu”

“Kelanjutan cerita ini tentu kau tahu, bahwa rahasia ini sudah bocor dan orang-orang Kangouw
sekarang tahu bahwa isi kuburan itu adalah kitab-kitab sakti milik Kam Ki Hsiang.”

“Sesungguhnya aku kebetulan saja menemukan kitab itu di suatu tempat. Dan kebetulan bisa
menguasainya. Ketika kuburanku dibuat, Thio Thaysuhu sendiripun tidak tahu bahwa aku menyimpan
kitab-kitab itu disana. Karena kitab yang dimaksud orang itu sebenarnya bukan kitab namun berupa
kain sutra. Kain itu aku jadikan lapisan dalam bajuku sehingga tidak ada yang tau jika aku
membawanya kemana-mana”

“Dan kau tak tahu betapa kagetnya aku ketika melihat engkau sanggup memainkan jurus pertama dari
kitab sakti itu, Cio San...”

Cio San heran namun tetap diam saja.

A Liang melanjutkan,
“Aku mengira kau mempelajarinya dari buku masakan yang kuberikan kepadamu itu. Ternyata setelah
kuselidiki, kau hanyalah mencampurkan ilmu Butongpay dengan petunjuk-petunjuk ketabiban di dalam
buku itu.”

“Aku pikir hanya kebetulan belaka bahwa engkau sanggup menciptakan jurus-jurus itu. Tetapi setelah
lama kupikir, aku merasa ilmu di dalam kitab yang kupelajari itu sebenarnya mempunyai sumber yang
sama dengan ilmu-ilmu Butongpay sehingga mempunyai beberapa kemiripan”.

“Kau adalah anak kecil yang sangat berbakat Cio San....” ucapannya tidak dilanjutkan karena A Liang
kini terbatuk-batuk.

“Turunilah terus lembah ini, mudah-mudahan kita segera bisa lolos dari kejaran murid-murid
Butongpay. Kau harus terus hidup Cio San, supaya kau bisa membersihkan nama kita dari fitnah besar
ini. Aku yakin kematian orang tuamu juga ada hubungannya dengan peristiwa-peristiwa ini”

“Iya lopek, teecu akan terus berusaha..., lopek beristirahatlah sebentar menyimpan tenaga dalam
gendongan teecu...”

Walaupun tenaganya semakin terus terkuras karena berjalan tanpa henti sambil mengendong A Liang,
Cio San yang sekarang ini tidak lagi cepat kelelahan dan kehabisan tenaga. Latihannya yang hampir 3
bulan diatas puncak Butongsan sudah bisa membuatnya disebut pendekar muda berbakat. Walaupun
umurnya hanya baru belasan tahun.

Ia terus berjalan menuruni tebing hutan yang terjal itu. Pikirannya menerawang dan terus berfikir.
Tentang nasib dirinya, dan Lau-ciangbunjin yang mungkin saja sudah terbunuh. Juga tentang
pengorbanan besar A Liang menyelamatkan dirinya.

Tak terasa ia berjalan terus sehingga hampir pagi. Ia beristirahat sebentar dan memeriksa keadaan
A Liang. Ia memegang nadi tangan A Liang. Ternyata nadi itu sudah berhenti berdetak. Tak percaya,
ia mencoba lagi. Kali ini memegang dada A Liang untuk memeriksa detak jantungnya. Ternyata
memang tidak ada detakan di sana. A Liang sudah tewas.
Ingin rasanya Cio San berteriak melepaskan seluruh penderitaannya. Namun ia menahan diri karena
tahu teriakannya mungkin akan terdengar oleh para pengejarnya. Ia hanya bisa meneteskan airmata
dengan deras, menahan kepiluan hatinya.

Ia paham bahwa A Liang telah berkorban besar baginya, dan juga untuk mempertahankan sumpah A
Liang sendiri.

Jika seorang pendekar bersumpah untuk tidak mempergunakan ilmu silatnya lagi selamanya, maka
janji itu harus dipegang walau nyawa taruhannya. Itulah sebabnya A Liang hanya bisa menghindari
pukulan dan keroyokan para murid Butongpay tanpa bisa membalas atau bahkan menangkisnya.
Padahal jika ia mau, dengan ilmu yang dimilikinya, ia bisa saja mengalahkan atau bahkan membunuh
mereka semua.

Teringat dia akan segala kebaikan dan ketulusan A Liang. Hanya dia dan Beng Liong yang mau
bersahabat dengannya. Di dalam perguran sebesar Butongpay yang berisi hampir seribu orang,
mungkin hanya suhunya, Tan Hoat, A Liang, dan Beng Liong yang baik kepadanya. Ia juga mengingat
jasa dan kebaikan Lau-ciangbunjin, sang ketua Butongpay. Hanya orang-orang inilah yang baik
terhadapnya.

Kini mereka semua telah tiada. Hanya Beng Liong saja tersisa. Itupun mungkin sekarang Beng Liong
memusuhinya juga karena peristiwa yang baru saja terjadi ini.

Cio San melanjutkan perjalanan dalam kesedihan. Ia tak ingin meninggalkan jasad A Liang sendirian di
hutan itu. Ia bertekad membawa jasad itu ke tempat yang aman, lalau akan ia kuburkan dengan
khidmat.

Ia terus berjalan dan berjalan. Entah sudah berapa lama, entah sudah berapa jauh. Tenaganya telah
habis terkuras, kesadarannya pun sudah mulai berkurang.

Langkah demi langkah ia jalani. Di dalam kegelapan seperti ini mau pergi kemana? Ia hanya tau bahwa
ia harus terus berjalan, terus menelusuri hutan ini. Entah akan sampai dimana.

Tiba-tiba langkahnya gontai dan ia terjatuh. Di dalam gelap, di tengah kesadaran yang berkurang,
serta tenaga yang hampir habis, Cio San terjatuh. Ia tidak tahu lagi ia terjatuh di mana. Cio San pun
kehilangan kesadarannya.
Ketika ia tersadar, hari telah semua masih terlihat gelap. Cio San tahu kini berada di mana. Ia
menunggu sebentar agar kesadarannya pulih sempurna. Tubuhnya terasa sakit semua. Ia berdiam diri
lama sekali. Mencoba mengalirkan chi ke seluruh tubuhnya. Lama-lama tubuhnya mulai terasa segar.
Perlahan-lahan kesadarannya pulih seluruhnya. Cio San kini sadar bahwa separuh tubuhnya terendam
di dalam air.

Kiranya dia kini berada di tepian sungai. Tapi mengapa semuanya gelap. Apakah ia kini telah menjadi
buta? Ia menjadi panik, namun berusaha untuk tetap tenang. Ia menoleh ke kiri dan ke kanan
memastikan apakah ia benar-benar buta.

Tak sengaja ternyata ia melihat titik cahaya tak jauh dari tempatnya berbaring. Ia lalu menuju ke
titik itu dengan cara merangkak. Seluruhnya sangat gelap sehingga ia harus berhati-hati. Apalagi
pijakannya sangat licin karena berupa batu-batuan dan air sungai.

Akhirnya setelah berjuang ia mencapai juga sumber titik cahaya itu. Ternyata aliran sungai keluar
lewat situ. Titik cahaya itu ternyata adalah terowongan tempat keluarnya aliran air sungai.

Cio San lega. Ternyata ia tidak menjadi buta.

Mata manusia secara spontan ternyata menyesuaikan diri dengan kegelapan. Begitulah juga dengan
mata Cio San. Lambut laun ia akhirnya mulai bisa melihat sedikit di dalam kegelapan. Ia ternyata
berada dalam sebuah goa di dalam perut bumi. Entah bagaimana ia bisa berada di dalam satu.
Mungkin ia terjatuh di dalam sungai, lalu air sungai membawanya masuk ke dalam perut bumi. Ia tidak
tahu pasti.

Tiba-tiba ia teringat akan jasad A Liang yang digendongnya. Apa yang terjadi dengan jasad itu?. Cio
San memberanikan diri untuk mencari jasad A Liang itu.

Tak berapa lama akhirnya ia menemukan jasad A Liang. Dibawanya jasad itu ke lubang terowongan
air, agar bisa melihat dengan jelas menggunakan cahaya yang masuk dari situ. Ternyata jasad A Liang
sudah rusak. Sebagian tubuhnya remuk.

Apa yang sebenarnya terjadi?


Ternyata ketika mereka terjatuh dari puncak tebing, jasad A Liang lah yang secara tidak sengaja
menyelamatkan Cio San. Jasad itu menjadi sejenis tameng yang menjaga Cio San dari batu-batuan
sungai. Jasad itu jugalah yang mungkin menjaga agar Cio San tidak tenggelam.

Sungguh beruntung.Keputusan Cio San untuk teras menggendong jasad A Liang ternyata membawa
kebaikan bagi dirinya sendiri. Begitulah. Jika orang melakukan sesuatu penuh ketulusan, maka yang
ada hanyalah balasan yang baik.

Cio San hanya bisa bersedih menyadari ini semua. Tapi paling tidak ia masih hidup, dan masih punya
semangat untuk terus hidup.

Ia lalu teringat bahwa di kantongnya terdapat batu api yang diberikan oleh A Liang. Begitu dicarinya,
ternyata batu itu masih ada, namun basah.

Tiba-tiba muncul dalam pikirannya untuk memeriksa kantong baju di jasad A Liang juga. Setelah
mencari, ternyata ia menemukan pisau. Pisau itu memiliki sarung yang terbuat dari kulit hewan.

“Betapa mulianya Liang lopek”, pikir Cio San.”Bahkan saat sudah meninggal pun, ia masih memberi
pertolongan kepadaku. Memang sebagai tukang masak, A Liang selalu membawa batu api dan pisau.

Cio San lalu meletakkan pisau dan batu api tadi di tempat yang kering. Lebar terowongan itu memang
cukup besar. Dan ada terdapat beberapa bagian yang sama sekali kering dan tidak dialiri aliran
sungai.

Ia lalu memutuskan untuk beristirahat sebentar. Kejadian yang baru saja dialaminya memang sangat
menguras tenaga dan pikiran.

Lama ia tertidur pulas. Begitu bangun, ia terpikir untuk menguburkan jasad A Liang. Cio San mencari-
cari pijakan yang agak lembek yang bisa digali menjadi kuburan A Liang. Lama ia berputar-putar
namun tidak ditemukannya. Dengan berat hati ia memutuskan untuk membakar saja jasad A Liang.
Tetapi setelah ia berfikir, ia khawatir asap yang ditimbulkan malah memenuhi goa itu dan tidak bisa
keluar. Ia terus memutar akal bagaimana cara mengurusi jenazah orang yang sangat dihormatinya
itu.
Karena masih bingung, untuk sementara Cio San mencoba melupakannya. Ia lalu memeriksa batu api
yang tadi dikeringkannya. Nampaknya sudah mulai kering. Ia lalu mencoba membuat api. Cio San
berjalan mengelilingi terowongan itu mencari kayu-kayuan yang mungkin saja hanyut terbawa aliran
sungai.

Dasar beruntung, tidak lama kemudian kayu itu ditemukannya. Malah lumayan banyak. Ada yang
kering ada yang basah. Ranting-ranting itu ia kumpulkan di suatu tempat. Dengan hati-hati Cio San
mencoba membuat api.

Lama ia mencoba akhirnya batu api memercik juga. Lalu dibakarkannya ke kayu dan berhasil. Gua itu
lumayan terang sekarang. Cio San lalu memandang ke sekelilingnya. Memandang dindin-dinding gua
itu.

Ternyata tembok itu di penuhi tanaman sejenis lumut dan jamur. Cio San mendekati tanaman itu dan
memeriksa apakah lumut dan jamur itu bisa dimakan. Kesenangannya membaca buku, ternyata
berbuah manis. Pengetahuannya tentang tumbuh-tumbuhan ternyata sangat berguna sekarang.

Dari buku masak A Liang, Cio San belajar bagaimana cara membedakan jamur yang beracun dengan
yang tidak. Cara ini bahkan pernah ia coba ketika tinggal di puncak Butongsan saat menjalani
hukuman.

Ia memetik berbagai macam jamur yang tumbuh disitu. Sebagian jamur ada yang dikenalnya. Ada
yang beracun dan ada yang tidak beracun. Masing-masing ia kelompokkan sendiri-sendiri. Jika ia
menemukan jamur yang belum pernah dikenalnya. Ia melakukan uji coba untuk mengetahui jenis
jamur itu.

Menurut kitab yang dibacanya, cara mengetahui kandungan racun dalam sebuah jamur adalah dengan
merendamnya di dalam air untuk beberapa lama. Jika kemudian jamur itu berwarna keungu-unguan,
maka jamur itu beracun. Jika tidak, maka jamur itu aman.

Begitulah, akhirnya Cio San menemukan makanan. Dengan mengguhakan beberapa batu-batuan serta
ranting-ranting kayu, Cio San akhirnya memanggang jamur-jamuran itu. Rasanya nikmat juga setelah
dimakan.
Setelah kenyang. Cio San beristirahat sebentar. Ia merasa sangat segar dan seperti mendapat
kekuatan baru. Ia mulai memikirkan lagi bagaimana cara menguburkan A Liang.

“Mungkin jika kutelusuri terus awal mengalirnya sungai ini, aku bisa menemukan jalan keluar”

Ia lalu menyalakan api yang ia gunakan sebagai penerang. Lalu menuyusuri sungai itu. Ia ingin mencari
dimana sumber air itu. Jalan itu ternyata panjang sekali. Bahkan kira-kira sepembakaran hio (sekitar
15 menitan), ia belum menemukan sumber air itu.

“Panjang juga terowongan ini” pikirnya.

Tapi di sepanjang perjalanan ia menemukan bahwa ternyata pijakannya tidak hanya berupa bebatuan
keras saja, namun juga ada yang berupa tanah.

“Hmmm...daerah yang diliputi tanah ini bisa dijadikan sebagai kuburan Liang-lopek. Syukurlah”

Walaupun sudah menemukan tempat yang baik untuk kuburan A Liang, Cio San memutuskan untuk
terus menyusuri jalan itu. Sampai kira-kira sepeminum teh baru akhirnya ia mendengar suara bising
yang cukup keras.

Cio San bergegas ke arah suara itu, ternyata suara itu berasal dari deburan air terjun.

“Ah ternyata ada sebuah air terjun yang muncul dari dinding gua. Indah sekali”

“Mungkin dari dalam air terjun inilah aku bisa masuk ke dalam terowongan ini.”

Cio San lalu memeriksa air terjun itu. Walaupun tidak cukup besar, air terjun itu lumayan deras. Cio
San lalu memeriksa lubang tempat keluar air terjun itu. Ternyata cukup untuk dilewati orang dewasa,
tapi dengan cara berbaring.
“Bagaimana mungkin aku bisa melawan kekuatan air terjun itu dengan cara berbaring? Berenang jelas
tidak mungkin karena untuk lubang itu tidak cukup lebar saat aku merentangkan tangan. Sungguh
suatu keajaiban aku dan jasad A Liang bisa melewati lubang ini dan sampai disini”

Jika bisa berenang pun tentulah sangat kuat, karena kekuatan dorongan air itu sungguh dahsyat. Cio
San meletakan tangannya di air terjun itu mencoba merasakan kekuatan hempasan airnya.

“Wah sungguh dahsyat sekali air terjun ini. Kekuatannya bahkan mungkin bisa memecahkan buah
kelapa jika kuletakan buah itu dibawahnya” pikir Cio San

Agak kecewa juga Cio San melihat kenyataan bahwa ia tidak mungkin keluar melewati sumber air
terjun itu. Ia lalu melihat ke sekeliling mencoba untuk mencari tempat lain yang bisa ia gunakan
sebagai jalan keluar.

Tetapi setelah lama mencari ia akhirnya putus asa juga. Ada rasa takut yang hinggap dalam dirinya
bahwa ia mungkin harus tinggal di dalam goa itu. “Tapi tampaknya itu lebih baik daripada hidup terus
dikejar-kejar orang”

Berfikir seperti itu, rasa takutnya perlahan-lahan menghilang.

Cio San lalu kembali ke tempat ia meletakkan jasad A Liang. Dibawanya jasad itu ke tempat dimana ia
tadi menemukan daerah yang bertanah. Ia lalu menggali tanah itu dan menguburkan jasad A Liang.

“Terima kasih lopek. Walaupun aku ingin sekali memanggilmu ‘Suhu’, namun engkau pasti akan marah
jika kupanggil suhu. Persahabatanmu begitu tulus, engkau pun lelaki sejati yang memegang janji
sampai mati. Semua pertolongan, kebaikan, dan segala yang engkau ajarkan kepadaku tidak akan
pernah kulupakan”

Setelah berdoa lama sekali, Cio San mekakukan kow tow (sujud) sebanyak tiga kali. Matanya basah
mengingat sosok A Liang. Memang persahabatan mereka hanya sebentar saja, namun cukup memberi
bekas yang amat dalam bagi Cio San.
Ia kini sendirian. Kembali duduk di tempat tadi ia memasak. Karena hanya dari situlah ada sedikit
cahaya yang masuk dari luar. Namun cahaya itu perlahan-lahan meredup. Nampaknya malam telah
datang.

Sekali lagi Cio San memanggang jamur-jamuran untuk makan malamnya. Setelah makan ia lalu
tertidur pulas.

Bab 8 Kehidupan Cio San di dalam Goa

Setelah tertidur pulas, ia akhirnya bangun. Cahaya kecil sudah muncul lagi dari “jendela air”, begitu
Cio San sekarang menyebut lubang tempat keluarnya air sungai itu.

“Hey, bagaimana jika aku mencari ikan? Siapa tahu di dalam sungai ini ada banyak ikan”

Segera ia menyalakan api, dan mencari ranting-ranting lain. Kebetulan ia menemukan beberapa bilah
bambu di sebuat tempat. Bilah-bilah ini memang tidak terlalu panjang, yang terpanjang hanya kira-
kira 1 depa. Tapi itu sudah cukup membuatnya senang. Dengan pisau peninggalan A Liang, ia membuat
berbagai keperluan dengan bambu-bambu itu. Seperti membuat tempat minum, dan juga tempat
penyimpanan jamur-jamur, pisau, dan batu api.. Ia juga membuat tombak ikan.

Setelah tombaknya selesai, mulailah ia berburu ikan. Ternyata walaupun tidak banyak, ikan-ikan di
dalam sungai lumayan besar juga. Cio San menangkap 2 ekor. Satu dimakannya pagi hari, satunya lagi
ia simpan untuk malam hari.

Untuk siang hari Cio San memanggang jamur. Sedangkan jamur-jamuran yang beracun ia pakai untuk
bahan bakar dan penerangan. Lumayan juga apinya malah menjadi besar. Cio san kaget juga. Tapi ia
malah menganggapnya sebagai pertolongan Tuhan.Ternyata jamur-jamur beracun itu bisa dipakai
sebagai alat penerang yang tahan lama.

Setelah makan Cio San pergi ke kuburan A Liang. Ia bertekad untuk setiap hari berdoa di kuburan
itu.
“Liang lopek, hari ini aku memasak ikan. Rasanya enak sekali. Walaupun tidak ada bumbu, tapi rasanya
jauh melebihi bumbu apapun. Ku harap Lopek mendapatkan makanan lezat di langit sana. Eh, ada
kejadian ajaib. Tadi aku tidak sengaja membuang jamur-jamur beracun ke dalam api, ternyata apinya
menjadi besar. Ku tunggu sekian lama ternyata api itu awet juga. Terima kasih Liang lopek, telah
mengirimkan jamur-jamur itu untuk menerangi gua ini”

Cio San berbicara kepada A Liang seperti ketika orang itu masih hidup. Ini mungkin ia lakukan untuk
mengusir rasa kesepiannya yang hanya ditemani suara gemericik air.

Ia lama sekali berada di kuburan A Liang. Perasaannya yang halus kembali membuatnya menangis
mengingat A Liang. Cio San melamun dan berpikir,

“Aku tidak boleh terus diam saja dan melamun seperti ini, bisa-bisa aku jadi gila”

Ia akhirnya memutuskan untuk berlatih silat. Tempat dekat kuburan A Liang memang lumayan lebar
sehingga cocok untuk berlatih silat.

Cio San lalu mengingat-ingat kembali jurus-jurus yang ia latih ketika berada di puncak Butongsan.
Awalnya memang agak kaku, tapi tak sampai lama akhirnya ia bergerak dengan mantap dan lincah.
Daya ingatnya memang sangat kuat sehingga ia tidak melupakan satu bagian pun dari jurus-jurus silat
ataupun kata-kata di buku masak A Liang.

Ia bersilat cukup lama, menggabungkan silat Butongpay, petunjuk di buku masakan, serta permainan
khim. Dari silat butongpay ia mengambil kuda-kuda, langkah, serta gerak silat tangannya. Dari buku
masakan A Liang, ia mengambil bagian pengerahan energinya. Sedangkan dari permainan khim, ia
mengambil bagian tentang penggunaan perasaannya.

Perasaan yang mengalun bagai lagu ini membuatnya menemukan jurus-jurus silat. Cio San hanya
mengikuti perasaannya saja. Di dalam hati ia bernyanyi. Di dalam pikirannya ia merasa seperti sedang
bernyanyi dan bermain khim.
Ia hafal betul lagu-lagu yang ia mainkan bersama A Liang di puncak Butongsan. Ada lagu yang sedih
dan sendu, ada lagu yang riang gembira. Ketika sedang membayangkan lagu sendu, langkah-langkahnya
berat namun mantap. Ketika sedang memikirkan lagu riang, geraknya cepat dan lincah.

Ia menutup matanya. Tubuhnya bergerak seperti mengikuti irama lagu. Hatinya bernyanyi dengan
sepenuh hati.

Bagi Cio San, ia bergerak sekenanya saja. Hanya mengikuti aliran lagu yang ada di dalam kepalanya.
Namun jika ada orang lain yang melihatnya, mereka akan kagum dengan gerakan-gerakan silat yang
dimainkan oleh Cio san.

Ia sedang memainkan sebuah ilmu silat yang baru.

Lama ia bersilat. Ia tidak sadar bahwa saat itu sudah melewati tengah hari. Bergegas ia pulang untuk
makan siang. Jamur panggang adalah santapan siang harinya. Setelah menyantap jamur-jamur itu,
tubuhnya menjadi semakin segar, dan kuat.

“Heran, setiap aku selesai makan jamur-jamur ini, tubuhku terasa sangat enteng, dan segar sekali.
Mungkin jamur-jamur ini memang punya khasiat yang sangat tinggi” pikir Cio San

Dan memang tebakannya itu sungguh tepat. Cio San tidak tahu bahwa jamur yang dijadikannya
sebagai santapan siang sehari-hari itu adalah sebuah tumbuhan yang dijadikan bahan rebutan oleh
kalangan kang ouw.

Jamur itu bernama jamur “Sin Hong”. Jamur itu hanya tumbuh di daerah tertentu di Tionggoan dan
sangat langka sekali. Belum tentu dalam seratus tahun, jamur itu akan muncul. Itulah sebabnya
jarang ada orang yang tahu tentang jamur itu.

Kalangan kang-ouw saja juga hanya mendengar-dengar saja tentang jamur sakti itu, namun jarang ada
dari mereka yang pernah memakannya. Jika memakan satu lembar daun jamur itu, orang akan menjadi
sehat dan panjang umur. Jamur itu mampu menghilangkan segala macam penyakit dan racun-racun di
dalam tubuh.
Bayangkan jika jamur-jamur itu dimakan setiap hari?

Cio San yang tidak tahu tentang jamur itu malah menjadikannya sebagai santapan sehari-hari seperti
sayur biasa. Sayangnya ia tidak tahu bagaimana cara mengolah jamur itu sehingga khasiatnya tidak
bisa berfungsi sepenuhnya.

Jamur Sin Hong haruslah direndam di dalam arak khusus selama 3 hari. Barulah kemudian dimakan
dan arak rendamannya juga diminum. Begitulah baru khasiatnya bisa diperoleh sepenuhnya.

Cio San memakannya setelah dipanggang, tentulah khasiatnya tidak sebanding dengan jika diolah
dengan benar. Namun Cio San memakan jamur itu setiap hari. Bisa dibayangkan betapa sehat
tubuhnya. Bahkan secara tidak sengaja tubuhnya pun menjadi kebal dari segala racun.

Ia pun seperti memperoleh tenaga sakti di dalam tubuhnya. Namun Cio San tidak menyadarinya. Yang
ia rasakan, ia merasa tubuhnya selalu terasa segar dan enteng setiap hari.

Begitulah kegiatan Cio San sehari-hari di dalam goa. Hampir satu bulan lamanya ia berlatih jurus-
jurus gubahannya sendiri itu. Lalu memakan jamur jamur Sin Hong setiap hari. Cio San bahkan
menciptakan jurus-jurus baru.

Jurus-jurus itu ia ciptakan, setelah secara iseng menciptakan lagu baru. Ia memang memiliki bakat
musik yang kuat dari ayahnya, sehingga ia bisa menciptakan lagu hanya dengan menggunakan pikiran
tanpa harus menggunakan alat musik.

Cukup dengan membayangkan saja, ia bisa mendengar nada-nada itu di dalam kepalanya. Ia lalu
menggabungkan jurus-jurus silat dengan lagu baru itu.

Cio San bersilat dengan riang gembira seperti menemukan suatu hal yang baru. Sungguh ia tidak
sadar bahwa ia sedang menciptakan jurus-jurus silat yang sangat dahsyat.

Berhari-hari ia di dalam perut bumi itu, ilmu silatnya semakin hebat. Itu dikarenakan karena ia selalu
rajin melatihnya, dan juga karena kecerdasannya sehingga ia bisa menciptakan ilmu baru dari hal-hal
sederhana.
Adanya jamur Sin Hong menambah tenaga dalam yang sangat dahsyat di dalam tubuhnya. Dalam
kurun waktu sebulan lebih, kepandaian silatnya sudah jauh melebihi kebanyakan orang di dunia Kang
ouw.

Suatu hari ketika selesai menggoreskan penanda di dinding goa, Cio San termenung. Tanda yang ia
goreskan di tembok menggunakan pisau A Liang sudah berjumlah 50. Itu berarti sudah hampir 2
bulan ia berada di dalam perut bumi.

Betepa mengherankannya nasibnya. Mampu bertahan hidup di tengah kegelapan dan kesepian. Namun
begitulah takdir. Cio San pun tak pernah lupa bersyukur kepada Thian (langit), bahwa ia masih
dinaungi keselamatan dan perlindungan.

Ketika sedang asik melamun, Cio San seperti merasa ada yang aneh. Ia merasa bahwa air di dalam
terowongan ini semakin meninggi. Biasanya air tidak pernah menyentuh kakinya jika ia duduk di
tempat biasanya ia duduk.

Lama ia menunggu dan memperhatikan. Ternyata memang benar air semakin mulai meninggi.

Terkejutlah Cio San. Jika air semakin meninggi tanpa henti, maka bisa-bisa ia mati tenggelam. Apa
yang harus diperbuatnya?

Ia mencoba untuk berpikir tenang. Pertama-tama ia mengambil bambu tempat penyimpanan pisau dan
batu apinya. Ia ikat erat-erat dan pastikan ikatan itu tidak mungkin lepas dari tubuhnya. Selama ini
Cio San jarang memakai bajunya karena sayang cuma itu baju satu-satunya yang ia miliki. Kini ia
memakai kembali baju itu.

Ia memeriksa memang benar air semakin meninggi. Ia mencari tempat yang lebih tinggi sebagai
pijakannya. Tapi tak berapa lama air itu kini sudah menyentuh ujung jarinya.

Kini tak ada lagi tempat kering. Semakin lama air naik, dan kini menyentuh lututnya.

Cio San panik. Tapi ia tetap mencoba tenang. Ia telah berusaha keras mencari pemecahannya, tapi ia
tetap tidak bisa juga.
Tak berapa lama air telah menyentuh dadanya. Cio San kini malah harus berenang. Ia kini pasrah.
Jika memang harus mati tenggelam biarlah nanti ia mati tenggelam. Tapi sekarang setidaknya ada hal
yang bisa ia lakukan.

Tekanan air pun semakin deras. Ia kini merasa dadanya dihempaskan air. Untuk menahan hempasan
itu ia mengerahkan tenaga dalamnya ke seluruh tubuhnya. Dorongan air itu sangat kuat dan ia
terhempas ke dindng goa. Untunglah tenaga dalamnya mampu melindunginya sehingga ia tidak terluka
sedikitpun.

Air kini telah mencapai lehernya, dan Cio san terus berenang.

“Tak lama lagi, jika air menyentuh langit-langit maka tamatlah riwayatku”

Dan air memang akhirnya menyentuh langit-langit. Cio San akhirnya mengalirkan tenaga dalamnya ke
paru-parunya. Hasilnya ia bisa menyelam lama sekali, karena tenaga dalamnya menyediakan udara
yang cukup banyak bagi paru-parunya.

Sekarang ia harus memusatkan pikiran untuk membagi jalannya tenaga dalamnya itu. Sedangkan arus
yang deras itu ters menghempaskannya ke dinding goa yang terasa tajam dan sangat dingin.

Cio san mencoba untuk terus bertahan. Bermenit-menit lamanya ia berada di dalam keadaan seperti
itu. Pasokan tenaga dalam ke dalam seluruh organ tubuhnya pun masih banyak. Cio San mencoba untuk
tetap tenang, namun tak urung dia merasa panik juga.

Ia tidak yakin sampai berapa lama ia bisa bertahan dengan hanya menggunakan tenaga dalamnya.
Akhirnya ia menemukan suatu ide. Dengan mengumpulkan segenap tenaga di ujung kepalannya, ia
memukul langit-langit goa itu.

Cio San memukul keras-keras. Ia tidak tahu bahwa kini kekuatannya sudah sangat dahsyat. Sebuah
lobang yang sebesar kepalan tangannya muncul di langit-langit. Ia senang sekali usahanya ini berhasil.
Di dalam lubang itu ia meletakkan mulut dan hidungnya. Walaupun kecil, lubang itu membantunya
untuk menarik nafas.
Kepalanya sudah tidak bisa ia munculkan lagi diatas permukaan air, hanya lubang dilangi-langit goa
inilah, ia bisa meletakkan hidung dan mulutnya untuk mengambil nafas. Tangannya mencengkeram
langit-langit goa agar bisa tetap meletakkan hidung dan mulutnya di dalam lobang itu.

Entah sudah berapa lama ia berada dalam posisi seperti itu. Cio San terus mencoba bertahan. Ia
melihat “jendela air” sekarang sudah tak ada cahaya lagi dari situ, berarti sudah malam.

Lama sekali ia berada dengan posisi seperti itu. Rasa lapar pun muncul. Untunglah jamur-jamur pun
tumbuh di langir-langit sehingga Cio San bisa memakannya.

Hari berganti hari tak terasa sudah 5 hari ia bertahan dengan kondisi seperti itu. Cio San tak
menyadari bahwa ia sebenarnya mengalami latihan yang amat berat. Kekuatan dorongan air, udara
yang sangat tipis, dan khasiat jamur Sin Hong membuatnya seperti mengalami tempaan 10 tahun.

Dalam 5 hari saja, pernafasannya kini sangat kuat. Ini sebenarnya berguna saat ia menghimpun
kekuatan tenaga dalam. Kulitnya pun kini sangat kuat karena derasnya dorongan air, tidak hanya
membawa batu-batu yang menghujam tubuhnya, tapi juga karena air sungai itu juga telah merendam
banyak sekali jamur Sin Hong. Air yang sudah mengandung khasiat jamur sakti itu membuat tubuh
luarnya seperti mata, kulit, daging dan rambut mulai kebal dengan racun-racun.

Baru pada hari ke 7, air mulai perlahan-lahan menurun. Cio San senang sekali. Tapi memang surutnya
tidak secepat naiknya. Butuh 3 hari baru seluruh air dalam terowongan itu menyurut. Itupun masih
tersisa setinggi lutut Cio San.

Dengan lega ia menghempaskan tubuhnya. Ia merasa letih sekali. Mengerahkan tenaga dalam selama
hampir sepuluh hari di tengah kuatnya dorongan air serta hujaman batu-batuan, membuat ia letih
sekali.

Cio san akhirnya pingsan.

Setelah sadar dari pingsannya ia mencoba mengerahkan energi ke seluruh organ tubuhnya. Ternyata
cepat sekali badannya terasa segar kembali. Cio San lalu mengisi perutnya dengan jamur-jamuran
yang tumbuh lebat di dinding. Untungnya, walaupun air banjir sangat deras, tidak mengikis seluruh
jamur-jamuran yang ada di dalam terowongan goa itu.
Ia mulai melihat ke sekeliling mencoba melihat keadaan 'rumah'nya itu. Cio San tak sadar bahwa
perlahan-lahan ia sudah mulai bisa melihat di dalam kegelapan. Kehidupannya yang prihatin di dalam
goa itu membuatnya harus menghemat segalanya. Mulai dari makanan, ranting-ranting untuk bahan
bakar, serta penggunaan batu api. Dia malahan kadang bertelanjang untuk menghemat penggunaan
bajunya. Karena bila terlalu sering dipakai akan cepat rusak. Apalagi jika dipakai untuk berlatih silat.

Peristiwa banjir tadi malah semakin merusak bajunya. Cio mencari cara untuk mencari pengganti
bajunya itu. Akhirnya ia menemukan ide untuk menggunakan kulit kayu yang dianyam sebagai pakaian.
Cio San lalu bergegas mengumpulkan kayu-kayuan. Banjir membawa banyak sekali kayu-kayuan.
Setelah lama sekali mengumpulkan kayu-kayu itu, ia lalu mengulitinya satu persatu, lalu menganyam
kulit-kulit itu.

Cio San bekerja dengan riang. Setelah lolos dari maut beberapa kali, ia akhirnya lebih menghargai
hidup. Ia merasa ia harus menikmati segala detik dalam kehidupannya, karena kematian bisa datang
kapan saja. Jika kita suatu saat pasti akan mati, mengapa hidup dalam kesedihan dan keputusasaan?

Toh pada akhirnya akan mati juga. Kenapa tidak menjalani hidup dengan riang gembira? Begitu pikir
Cio San.

Akhirnya selesai juga anyaman kulit kayu yang ia jadikan celana setinggi lutut. Sisanya akan ia simpan
untuk membuat baju. Cio San terkagum-kagum sendiri dengan celana anyaman buatannya. Sangat
tidak rapi, namun ia tetap saja bangga.

Ia langsung memakainya. Rasanya agak kebesaran. Tapi dia lalu mengambil lagi satu lembar kulit kayu
yang agak panjang untuk dijadikan ikat pinggang. Pas lah sudah. Sambil tersenyum-seyum ia
menggerak-gerakan pinggulnya untuk melihat apakah celana itu tidak akan melorot lagi.

Beberapa hari dilalui Cio San di dalam terowongan itu dengan tentram. Tak lupa ia memberi tambahan
goresan penanda hari waktu hidupnya di dalam goa itu. Sudah 3 bulan lebih. Ia sudah merasa nyaman.
Bahkan ia sudah melihat dengan jelas di dalam kegelapan. Hanya sekali kali ia menggunakan
penerangan. Itu pun hanya disaat ia memasak, atau pun mengerjakan hal-hal yang butuh ketelitian
seperti membedakan jamur.
Cio san tidak lupa berlatih ilmu silatnya. Sekarang sudah 6 bulan di dalam goa, Cio San malah
menemukan jurus-jurus baru lagi. Kejadiannya, seperti biasa, adalah berawal dari ketidaksengajaan.
Karena hidup di dalam gelap, dan terus menerus mendengar suara aliran air yang deras, pendengaran
serta perasaan Cio San berkembang sangat pesat. Ini juga mungkin dikarenakan khasiat jamur Sin
Hong juga.

Jika dulu ia menangkap ikan harus menggunakan penerangan, kini ia bisa menangkap ikan hanya
dengan menggunakan pendengarannya saja. Awalnya ia merasa telinganya mulai bisa membedakan
sura-suara yang ada di dalam air. Lama-lama ia malah bisa mendengarkan suara-suara yang
ditimbulkan ikan-ikan saat berenang. Mulanya memang hanya ikan ikan besar saja, namun akhirnya ia
bisa juga membedakan suara yang ditimbulkan ikan kecil di dalam air.

Suara itu jelas memang bukan suara dari mulut ikan, melainkan kepakan sirip dan ekor ikan-ikan
tersebut. Memang dibutuhkan pemusatan pikiran yang cukup berat. Tapi karena memang Cio San
sering melakukannya, maka tak lama kemudian ia bisa menentukan posisi ikan-ikan itu di dalam air.

Cio San mengambil tombak ikannya lalu mencoba 'ilmu' barunya itu. Menombak ikan dengan hanya
menggunakan pendengaran saja. Tak lama mencoba ia berhasil menangkap beberapa ikan besar. Hari
demi hari ia lalui untuk melatih kemampuannya ini.

Hingga suatu saat ia mencoba menggabungkan keahlian menombak ikan ini dengan gerakan silat. Ia
duduk bersila di dalam sungai. Jika bersila maka air sungai akan setinggi lehernya. Dengan
menggunakan gerak tangan Thay kek dari Butongpay, Cio san mencoba meyelaraskankannya dengan
pendengarannya.

Ia berkonsentrasi penuh. Tak terasa gerakan tangannya malah kini mengikuti gelombang air. Lembut,
namun mengalir kuat dan pasti. Thio Sam Hong memang menciptakan Thay Kek Kun dari gerakan-
gerakan alam yang selaras. Gerak air, udara, awan, dan lain-lain. Cio San secara tidak sengaja, justru
menemukan inti ajaran Thio Sam Hong itu. Makna utama Thay Kek Kun memang menselaraskan diri
dengan alam. Maka ketika Cio san berhasil mengosongkan pikirannya, lalu gerak tubuhnya mengikuti
gerak air, maka secara tak sengaja ia sudah menguasai inti dari Thay kek Kun itu.

Ia mulai bersilat. Tangannya membentuk sebuah gerak lingkaran di atas air di depannya. Gerak
lingkaran itu mulanya perlahan-lahan dan lembut. Tapi lama-lama gerakannya semakin cepat dan kuat.
Lalu semakin kuat, semakin kuat, dan semakin kuat. Lalu dengan kecepatan tinggi, Cio San
memukulkan kedua telapaknya diatas air yang bergolak itu, dan bllaaaaarrrrrr....... Cipratan air itu
sungguh dahsyat sehingga membuat dinding di samping kiri kanan, juga atasnya bergetar hebat,
menimbulkan suara yang keras sekali.

Cio San malah terkaget-kaget dengan hasil perbuatannya tadi. Sungguh dahsyat tenaga yang ia
hasilkan. Itu bahkan tidak menggunakan seperduapuluh tenaga dalamnya. Jika digunakan semua, pasti
ia mampu menjebol dinding-dinding goa itu.

Memikirkan itu ia senang sekali. Tapi kemudian ia berfikir lagi, “Jika aku keluar dari sini, pasti aku
akan difitnah dan dikejar-kejar lagi. Lebih baik tinggal disini selama-lamanya saja. Toh aku bisa
bertahan hidup dengan apa yang ada disini. Aku pun bisa menemani A Liang”

Teringat akan A Liang, ia lalu berkunjung ke kuburannya. Untungnya walau banjir sangat deras, tidak
begitu merusak kuburan A Liang, karena sebelumnya Cio San sudah menumpuk beberapa batuan
besar diatas kuburan itu. Walaupun begitu, ternyata batu-batu bergesar juga, meskipun tidak jauh.
Cio San lalu mengembalikan batu-batu itu ke posisi semula, dan membersihkan kotoran berupa
ranting-ranting dan tumbuh-tumbuhan yang terbawa oleh banjir itu.

Ia lalu 'bercerita' kepada A Liang bahwa ia baru saja menemukan ilmu baru yang sangat dahsyat.
Lama bercerita akhirnya ia kembali ke 'tempat tinggalnya' di dekat 'jendela air'. Hari sudah malam
rupanya.

Begitulah Cio San melewati hari-harinya dengan melatih ilmu barunya itu. Jika dulu ia berlatih di
dalam air kini ia memutuskan untuk berlatih di air terjun, untuk melatih kekuatan ilmunya itu.
Bergegas ia ke air terjun tempat masuknya aliran air ke dalam terowongan itu. Cukup lama juga
perjalanannya di dalam terowongan itu.

Sampailah Cio san di sekitar air terjun itu. Bentuk nya sungguh indah namun menyimpan kekuatan
alam yang sangat dahsyat. Cio San menjadi teringat dengan ilmu Thay Kek Kun ciptaan mahagurunya,
“Ternyata thaysuhu menciptakan ilmu-ilmu hebatnya dari alam ini. Orang yang pikirannya terbuka,
pasti bisa menangkap ilmu apapun dari alam”

Memang benar. Semua ilmu manusia berasal dari alam. Alam memperolehnya dari Tuhan. Namun
Tuhan menggunakan alam sebagai media pengajarannya. Dari alam lah manusia belajar untuk bertahan
hidup dan menyesuaikan diri. Dari alamlah manusia bisa menjadi 'manusia'. Maka manusia yang
meninggalkan alam, pasti dialah manusia bodoh yang suatu saat akan dimangsa oleh alam itu sendiri.
Cio San selain otaknya cerdas, bakat silatnya ternyata sangat besar sekali. Dengan sedikit
memperhatikan, ia bisa menangkap makna-makna. Ia bahkan menciptakan ilmu silat berdasarkan
pengamatan-pengamatan dan uji cobanya. Beruntunglah dia dibantu oleh segala kejadian-kejadian
yang membuatnya bertemu dengan segala macam peristiwa yang menambah pengalaman dan mengasah
pikirannya.

Peristiwa itu sambung menyambung dari awal hingga detik ia berada disini.Hingga nanti mungkin saat
ia mati, peristiwa sambung menyambung ini akan bersambung kepada anak cucunya. Begitu terus
sampai kiamat nanti. Tuhan begitu perkasa, sehingga kejadian sambung menyambung ini tiada henti.

Siapa yang menyangka seorang anak kecil yang lemah, karena lahir tidak genap sembilan bulan di
dalam kandungan, bisa menjadi murid Butongpay? Siapa yang menyangka anak kecil yang seluruh
organ dalamnya berfungsi tidak semestinya mampu bertahan hidup di dalam perut bumi seperti ini?

Siapa yang menyangka anak kecil yang dianggap sangat tidak berbakat dalam ilmu silat, malah mampu
menciptakan jurus-jurus sakti yang dahsyat?

Hidup sebenarnya memang selalu seperti itu. Bukankah teramat sering kau menyaksikan ada seorang
anak ketika kecil berwajah biasa-biasa saja, namun setelah dewasa ia berubah menjadi cantik jelita?
Bukankah sudah sering kau lihat ada anak yang sangat cantik dan lucu ketika kecil, namun saat
dewasa ia malah menjadi jelek dan tidak menarik?

Atau bukankah sudah sering kau lihat anak yang dianggap bodoh dan malas oleh guru dan teman-
temannya malah berubah menjadi orang yang paling berhasil dan kaya raya dibanding teman-
temannya?

Begitu juga sebaliknya sering kau lihat anak yang dulu pintar dan rajin hanya menjadi pegawai
rendahan di desanya?

Kehidupan selalu bagaikan roda. Tuhan menggilirkan kenikmatan diatas penderitan. Saat Tuhan
memberimu banyak penderitaan, sesungguhnya Tuhan sedang melatih dan mempersiapkanmu untuk
menerima banyak anugrah dan kenikmatan'Nya.
Itulah juga yang terjadi pada Cio san. Sejak kecil ia sering sakit-sakitan, karena terlahir tidak
normal. Seluruh keluarganya dibunuh orang. Lalu saat belajar di perguruan pun ia sering menerima
perlakuan buruk dari sesama murid, bahkan juga dari beberapa suhu-nya.

Lalu ia difitnah ikut serta dalam pembunuhan gurunya sendiri. Ia lalu dikejar-kejar bagai maling.
Kehilangan sahabat terbaiknya, dan malah hidup di dalam perut bumi seperti sekarang ini.

Kalau mau dipikir-pikir, tidak ada orang yang akan tersenyum memikirkan hal ini.

Cio San kini sedang tersenyum. Tapi bukan tersenyum karena alasan tadi. Ia tersenyum karena ia
merasa mendapat tantangan baru. Melawan tekanan air terjun yang dahsyat. Air terjun itu tingginya
kira-kira 5 tombak. Dengan kepercayaan diri yang penuh Cio San memasuki air dan berjalan ke bawah
air terjun itu.

Dengan berani disambutnya curahan air yang menghujam itu. Amat sangat berat dan juga tajam. Cio
San mengerahakan segala tenaganya. Ia menggunakan seluruh tenaganya yang disalurkan melalui
telapak-telapaknya untuk melawan derasnya air itu. Dadanya seperti terjepit oleh hempasan air dan
dorongan tenaga dalamnya sendiri. Ia bertahan cukup lama, tapi keadaan ini sungguh amat dhsyat.
Tak terasa darah mulai mengalir dari mulut dan hidungnya. Pertempuran manusia melawan alam sudah
pasti akan dimenangkan alam. Kecuali jika manusia menggunakan senjata utamanya, yaitu akalnya.

Begitu teringat kata-kata ini, yang seingatnya pernah diucapkan ayahnya, membuat ia seperti
mendapat ide baru. Ia tidak lagi melancarkan serangan melalui telapak tangan, namun menerima
deras air itu dengan cara berputar putar. Namun perputaran itu dilakukan saatnya tubuhnya
melayang secara sejajar dengan bumi. Gerak putaran itu sangat dahsyat. Ia bahkan melayang terus
di udara. Tenaga hujaman air, dan tenaga dalamnya sendiri membuatnya tetap melayang sambil
berputar-putar ditengah-tengah air terjun itu.

Ia lalu mengumpulkan tenaganya di dalam dada. Tenaga yang terkumpul itu bergerak bagaikan magnet
yang menghisap segala dorongan derasnya air terjun. Kekuatan air terjun itu seperti terhisap ke
dalam tubuhnya. Lalu ketika kekuatan itu semakin membesar dan memenuhi tubuhnya, Cio San merasa
tak tahan lagi. Ia lalu menyalurkan energi yang terkumpul itu ke telapak tangannya, lalu
memukulkannya ke atas menghadapi air terjun, dan Blllaaaaaaaarrrrrrrrrrrrrrrrrr........
Kembali suara dentuman itu terdengar, namun jauh lebih keras dan lebih dahsyat. Dinding-dinding
banyak yang hancur berantakan. Bahkan lubang air tempat keluarnya air terjun itu kini menganga
semakin besar.

Memang dahsyat sekali kekuatan yang ia hasilkan. Dengan cara mengikuti aliran tenaga dorongan air
terjun, Cio San malah berhasil mengumpulakn tenaga itu di dalam dirinya. Lalu dengan kemampuannya
mengarahkan tenaga, kekuatan dahsay itu ia jadikan kekuatannya sendiri. Hasilnya sangat dahsyat.
Jika ini dipukulkan pada seratus orang, maka bisa dipastikan mereka semua akan mati dengan tubuh
hancur luluh.

Menyadari hal ini, Cio San ngeri. Ia menjadi sangat takut. Bagaimana mungkin seorang manusia bisa
memiliki kekuatan sebesar ini? Jika ada orang punya kekuatan sebesar ini, pastilah nafsunya akan
menyuruhnya untuk mengalahkan siapa saja. Pantas saja ahli-ahli silat gemar sekali bertarung. Adalah
untuk memuaskan nafsu bertarung ini.

Cio San menjadi sangat takut jika nanti ia akan berakhir seperti Liang-lopeknya. Sang lopek di masa
mudanya telah melatih ilmu hebat, dan sanggup mengalahkan jagoan-jagoan kelas satu. Bahkan
menantang tokoh paling terkemuka di dunia kang-ouw sehingga akhirnya kalah dan terpaksa
memenuhi janjinya menjadi pengabdi dan kacung di Butongpay.

Ia lalu berlari-lari ke makam Liang lopek-nya. Menangis dan berdoa, agar diberi kekuatan untuk
menahan dorongan nafsu bertarung itu. Pada dasarnya Cio San memang anak yang perasa dan halus.
Ia tidak ingin menyakiti siapapun. Jika seorang anak sangat takut kepada pisau, maka jika kau
memberinya golok untuk ia pegang, ia pasti akan sangat ketakutan.

Bab 9: Tahun Berikutnya Di Dalam Goa

Sudah setahun lebih Cio San tinggal di dalam perut bumi. Ia terus berlatih silat, bukan karena ingin
kuat, namun karena tiada hal lain yang bisa dikerjakannya. Akhirnya ia memeras otak dan keringat
untuk melatih jurus-jurus silatnya, supaya bisa mengalihkan pikirannya dari hal-hal yang
menggelisahkannya.
Masalah kematian orang tuanya, kematian suhunya, kematian A Liang, peracunan Lau Ciangbunjin, dan
hilangnya kitab sakti milik A Liang dari dalam kubur kosongnya di Butongsan. Adalah semua hal yang
menggelisahkan hatinya.

Ia harus membersihkan namanya dari segala tuduhan. Ia yakin saat ini ia sudah dituduh berkomplot
dengan A Liang membunuh suhunya, meracuninya Lau Ciangbunjin, serta mencuri kitab sakti itu. Itu
adalah sebuah pekerjaan yang amat sangat berat baginya. Memikirkan hal ini ia malah lebih memeilih
untuk tinggal saja di dalam goa itu selama-lamanya.

Suatu hari ketika sedang memakan ikan untuk sarapan paginya, telinga Cio San mendengar sesuatu.
Suara air sungai berbeda dengan biasanya. Kini pendengarannya sudah sangat tajam, sehingga suara
berbeda sedikit saja ia sudah bisa merasakan. Cio San memperhatikan ketinggian air dan tahulah dia
bahwa banjir akan segera datang lagi.

Berbeda dengan dulu kini ia sudah lebih siap. Segera ia melompat tinggi lalu memukul langi-langit goa
itu. Tidak begitu keras. Namun lubang yang ditimbulkan sebesar dua kali kepalanya. Ia lalu mengikat
erat-erat semua peralatan yang dimilikinya seperti batu api, pisau, dan lain-lain ke tubuhnya. Lalu
menunggu datangnya banjir itu.

Banjir yang datang memang agak berbeda kali ini. Kini datangnya bagai air bah. Cio San kaget juga.
Karena banjir yang dulu dialaminya datang tidak secepat dan setiba-tiba ini. Secara kebetulan,
timbul di pikirannya untuk mencoba ilmu yang selama ini dilatihnya. Ilmu itu adalah sejenis ilmu
pemindahan tenaga. Yaitu jika mendapat serangan tenaga dari luar, tenaga itu bisa dihisap dan malah
dipakai untuk menyerang lawan.

Begitu air bah datang, bhesi [kuda-kuda] Cio San sudah siap. Ia menyambut air bah itu dengan
gerakan memutar ke belakang. Yaitu gerakan mengikuti arah air itu. Gerakan itu sangat cepat,
secepat serangan air bahw di dalam terowongan itu.

Begitu Cio San berputar, secara aneh tenaga putaran tubuhnya membuat air bah itu ikut berputar
mengitar tubuhnya. Pemandangan itu indah sekali. Air mengelilingi tubuhnya seperti sebuah lapisan
yang menyelimuti sekujur badannya. Bentuknya berputar-putar sangat indah.
Cio San lalu memukulkan kedua tangannya. Pukulan itu ia lakukan sambil berputar. Ketika badannya
berhenti berputar, air bah itu seperti mandeg dan malahan mundur ke belakang.

Betapa dahsyat tenaga itu sampai bisa memukul mundur air bah. Tiada seorang pun yang bisa
melukiskannya. Seluruh isi gua bergetar. Bahkan dinding goa itu banyak yang pecah-pecah. Begitu air
bah terpukul mundur, segera air bah itu maju kembali dengan lebih cepat karena mendapat dorongan
dari deras air di belakangnya. Cio San segera bersiap-siap lagi menerimanya.

Saat air bah datang lagi, kembal Cio San melakukan hal yang sama. Ia berputar lagi, hanya satu
putaran saja. Lalu memukulkan lagi tangannya. Air bah mundur lagi beberapa tombak. Suara ledakan
terdengar lagi. Dinding batu pecah berantakan lagi.

Lalu air bah meluncur lagi lebih deras dari sebelumnya. Cio San melakukan hal yang sama lagi. Begitu
terus sampai beberapa kali.

Ia tertawa senang. Ia kini menemukan hal baru lagi. Jika seseorang di'keroyok' dari depan dan
belakang, maka ia bisa menghasilkan tenaga serangan yang jauh lebih besar. Contohnya ada pada air
bah itu.

Ketika air bah itu dipukul Cio San, air itu bergerak mundur. Tetapi karena menerima dorongan dari
arus di belakangnya, maka air bah itu maju menjadi lebih cepat. Pemahaman ini hanya muncul
sekelebat di dalam kepala Cio San, dan ia sangat senang menemukan lagi hal baru.

“Berdasarkan gerak air ini, aku bisa membuat jurus baru” Bagitu ucapnya dalam hati.

Karena khawatir goa ini bisa hancur karena perbuatannya menantang air bah, Cio San memilih untuk
berhenti. Ia kini tak lagi berputar dan memukulkan tangannya kepada serangan air itu. Tapi ia kini
berputar dan bergerak mengikuti arus air. Serangan air yang semakin lama semakin dahsyat itu
malah membuat gerakannya menjadi lembut dan lentur.

Ia kini tidak lagi menantang air, namun bergerak mengikuti liukan itu. Malah kini Cio San merasa
enteng dan ringan mengikuti alur tenaga air bah itu. Ketika hampir menabrak tembok, ia
menggunakan tenaga arus itu untuk melompat tinggi.
Kali ini ia tidak perlu menggunakan tenaganya sendiri untuk melompat. Ia menggunakan kekuatan arus
itu untuk melompat tinggi. Cio San kembali menemukan ilmu baru. Bergerak dan melompat
menggunakan tenaga serangan dari luar.

Setelah melompat tangannya mencengkeram dinding batu. Ia lalu bergelatungan menggantung di


langit-langit dengan menggunakan cengkeramanya. Ia mencari lubang yang sudah tadi dibuatnya. Lalu
meletakkan mulut dan hidungnya di lubang itu. Kejadian yang dulu terulang kembali.

Ia harus bertahan bergelantungan lagi sampai air banjir itu berhenti.

Sesudah beberapa hari, air itu mulai surut dan semakin surut. Cuma kali ini lebih cepat surutnya
daripada banjir yang pertama. Cio San menghitungnya hampir 7 hari. Begitu semuanya selesai ia kini
merasa bahagia. Kedatangan air bah yang tiba-tiba itu memberinya ide-ide baru untuk menciptakan
ilmu silat.

Bahkan secara tidak sengaja, ia juga telah melatih daya cengkeramannya. Tujuh hari bergelantungan
melawan air bah hanya menggunakan cengkeramannya, membuat daya cengkeramannya meningkat
berkali-kali lipat. Apalagi Cio San terus mengalirkan chi [tenaga dalam] nya kedalam kedua
cengkeramannya itu sepanjang 7 hari ini.

Sungguh hebat Cio San, setiap kejadian yang terjadi padanya, bisa membuatnya menangkap intisari
makna kejadian itu, dan malah menggubahnya menjadi ilmu silat.

Di dunia ini juga kau sudah ditakdirkan untuk melakukan sesuatu, maka pasti akan terjadi. Entah itu
kau suka atau tidak. Sebaliknya, jika kau ingin sekali melakukan sesuatu, tetapi ternyata kau tidak
ditakdirkan untuk itu, ya tetap tidak akan kejadian.

Kata orang bijak, manusia bisa menentukan takdirnya sendiri. Tetapi jika nasibmu memang bukan
ditakdirkan menjadi kaisar, mau jungkir balik sampai kiamat pun kau tidak akan menjadi kaisar.

Begitulah rahasia Tuhan, yang kita sulit memahaminya. Tetapi harus disadari bahwa tugas manusia itu
bukan untuk memahami Tuhan. Tetapi untuk menjalani apa yang sudah digariskanNya dengan penuh
rasa syukur dan bahagia.
Bukankah jika kita sudah memahami ini, amka dunia akan lebih cerah?

Cio San tanpa disadarinya sebenarnya sudah mengerti tentang pemahaman ini. Ia menjalani semua
kejadian dengan hati lapang dan pikiran terbuka. Akhirnya ia malah bisa mengambil makna dan
menciptakan hal hal baru.

Kalau diibaratkan penyair, jika mengalami banyak kejadian, pastilah ia menangkap makna itu dn
menjadikannya syair puisi.

Kalau diibaratkan pemain musik, pastilah ia menjadikan kejadian dan pengalamannya menjadi lagu
yang merdu dan indah.

Kalau pesilat, maka pastilah juga ia menciptakan ilmu-ilmu silat melalui kejadian dan makna yang bisa
ia tangkap. Karena itulah ilmu silat itu selalu berkembang semakin luas dan hebat. Karena ilmu silat
tidak lahir dengan sendirinya. Ia harus diciptakan.

Memang banyak sekali orang yang beruntung belajar ilmu silat dari guru atau menemukan kitab-kitab
sakti. Namun bukankah guru pun belajar dari gurunya. Gurunya pun belajar dari gurunya. Begitu terus
runut keatas sampai pada pencipta ilmu silat itu.

Begitu juga dengan kitab sakti. Pastilah ada orang yang menciptakan ilmu-ilmu sebelum ia
menuliskannya ke dalam kitab.

Manusia diberkati bakat oleh Tuhan agar mampu bertahan hidup, dan berguna bagi sesamanya. Tuhan
memberkati manusia dengan kejadian-kejadian dan peristiwa agar manusia bisa terus belajar
memperbaiki hidupnya agar menjadi lebih baik dari hari ke hari.

Sudah hampir dua tahun Cio San hidup di dalam goa ini. Ilmu-ilmu yang ia ciptakan pun semakin
banyak. Terkadang tanpa melalui sebuah peristiwa pun, Cio San bahkan bisa menciptakan jurus jurus.
Mendengar arus air saja ia malah bisa menciptakan jurus. Melihat batu ia bisa menciptakan jurus.

Ini tidak lah mengherankan. Orang jika sudah tak ada lagi yang bisa dilakukannya selain hanya satu
hal saja, pastilah akan mencurahkan hatinya ke satu hal itu.
Jika kau terdampar sendirian di pulau bersama sebuah seruling sudah pasti kau akan belajar
memainkan seruling itu. Setelah bisa kau akan memainkannya terus menerus. Malahan kau akan
menjadi hebat dalam bermain seruling. Karena seluruh hidupmu tidak ada yang kau kerjakan selain
bermain seruling.

Begitu juga Cio San. Tidak ada lagi kegiatan yang bisa dilakukannya di dalam goa yang gelap gulita itu.
Selain berlatih silat, dan mengembangkan kemampuan tubuhnya. Memang terkadang ada rasa bosan
dan Cio San hanya malas-malasan dan tidur-tiduran saja. Tetapi panggilan hatinya selalu memberinya
semangat bahwa ia bisa menciptakan banyak hal baru dan menggunakan sisa hidupnya untuk hal yang
berguna.

Ia memang tidak ada keinginan untuk keluar dari dalam goa itu. Tetapi jika harus duduk diam saja
tidak melakukan apa-apa juga malah membuat ia semakin bosan dan malahan ingin keluar. Cio San
sudah memutuskan untuk tinggal saja di situ. Justru karena ada kegiatan belajar silatlah, ia betah
tinggal disitu.

Dua tahun ini kekuatannya silatnya sudah sangat pesat. Gerakannya sangat lincah dan cepat.
Kekuatan pukulannya sangat dahsyat. Bahkan jika ia mau ia bisa menghancurkan seluruh isi gua itu.
Pendengarannya sangat tajam. Segala jenis suara kecil apapun itu bisa di dengarnya. Pandnagn
matanya sudah sangat terbiasa di dalam kegelapan.

Kekuatan tubuhnya kini sanagt kuat. Khasiat jamur Sin Hong memang sangat dahsyat. Di umurnya
yang kini sekitar 16 tahun, ia sudah menjadi orang yang sangat hebat ilmu silatnya. Jika ia turun ke
dunia ramai, maka sebenarnya pantaslah nama Tayhiap disandangkan pada namanya.

Tapi Cio San sama sekali tidak menyadari bahwa kehebatan ilmunya sudah sangat pesat sekali. Ia
hanya menikmati saja waktunya saat berlatih. Menikmati kesehatan tubuhnya.

Menikmati. Bukankah kata itu jarang sekali kita rasakan? Kita bekerja siang malam, namun hasilnya
jarang sekali kita nikmati.

Hari ini Cio San sedang membuat pedang-pedangan dari ranting kayu yang ditemukannya. Ia ingin
belajar memainkan pedang. Saat ini ilmu yang ia ciptakan melulu adalah pukulan dan tendangan. Saat
sedang membuat pedang ia mendnegarkan suara aneh lagi.
Kali ini bukan deras air bah. Bukan juga suara ikan-ikan di dalam sungai. Sesuatu bergerak di dalam
sungai. Bentuknya sangat besar. Ia bergerak dari arah air terjun menuju kemari.

Apakah ada orang yang datang? Cio San lalu berlari menuju arah suara itu, Gerakannya lincah. Ia
melompat-lompat bagai terbang. Hatinya senang sekali jika ia bisa bertemu manusia lagi.

Alangkah kagetnya ketika ia sampai pada sumber suara itu. Ternyata itu adalah sebuah ular yang
sangat besar. Panjangnya mungkin sepuluh tombak. Kepalanya sebesar tubuh laki-laki dewasa.

Bulu kuduk Cio San berdiri. Baru kali ini ia bertemu ular sebesar ini. Dulu saat di 'pengasingan' di
atas puncak Butongsan ia sering menangkap ular untuk dijadikan santapannya. Namun bertemu ular
sebesar ini........

Sekujur tubuh Cio San serasa lemas. Ular itu pun kaget melihat kedatangan Cio San. Ia lalu
memasang posisi menyerang. Kepalanya berdiri tegak. Tubuhnya meliuk-liuk. Ekornya mengeluarkan
suara derik yang sangat bising.

“Masa aku harus mati dibunuh ular. Aku tidak mau menjadi makanan ular”

Pikiran seperti itu memberinya semangat baru. Ia lalu menyalurkan chi ke sekujur tubuhnya bersiap-
siap menghadapi segala yang terjadi.

Ular itu lalu menyerang. Ia mamatuk cepat sekali. Cio San kaget sekali. Inilah awal pertama kali ia
bertarung dengan menggunakan ilmunya. Musuh pertamanya pun tidak tanggung-tanggung, sebuah
ular raksasa.

Cio San berhasil menghindari patukan itu dengan bergerak ke samping. Kepala ular hanya mematuk
tanah. Namun segera ekornya menyerang pula. Suara bising dari ekornya membuat Cio San sudah
mengerti gerak serangan itu. Tapi tak urung dia kewalahan juga.

Ia seperti melawan dua kepala ular. Yang satu kepala sebenarnya, yang satunya lagi ekornya.
Serangan ekor dan kepala itu oun sangat cepat. Cio San hanya menghindar-menghindar saja.
Setelah merasa mampu menghindari serangan ular itu, kini timbul kepercayaan diri yang besar di
dalam dirinya. Ia malah tertarik untuk mempelajari gerakan ular itu. Cio San terus menghindari
serangan kepala dan ekor sambil memperhatikan gerak tubuh ular.

Ada kekaguman tersendiri yang ditimbulkan oleh ular itu. Kulitnya berwarna emas yang sangat indah.
Gerakan tubuhnya lincah dan gesit untuk tubuh sebesar itu. Bahkan gerakan serangannya pun
menyerupai serangan-serangan dalam teori ilmu silat.

Ketika diserang, Cio San mencoba menghindar lagi ke samping dan memukul leher ular itu. Gerakan
serangan ular dan pukulan balasan Cio San ini sangatlah cepat, bahkan mata seorang ahli silat pun
susah untuk melihat ini.

Kaget sekali Cio san ketika mengetahui bahwa kulit ular itu sungguh keras seperti logam. Cio San
bergerak menggunakan tenaga dorongan dari ular itu untuk membumbung tinggi. Ia melesat ke arah
kepala ular itu. Sebuah tendangan berputar yang ama cepat dilakukannya ke arah kepala, namun ular
itu berhasil menghindar.

Kagum sekali Cio San. “ular ini seperti mengerti ilmu silat” pikirnya. Ia malah senang sekali. Akhirnya
menemukan juga lawan latih tanding. Walaupun itu sebuah ular besar yang menakutkan.

Begitu ular itu berhasil menghindar, ia malah memutur tubuhnya kebelakang, dan kini menggunakan
ekornya untuk menyerang Cio San. Melihat datang serangan ekor itu, Cio San berfikir untuk mencoba
menangkisnya. Cio San menyerang tepat pada bagian tubuh yang mengeluarkan suara derik.

Getaran suara derik itu bertubrukan dengan tenaga tangkisan yang dilakukan Cio San. Ia malah
terlempar ke belakang dengan tubuh tergetar.

“Sungguh hebat sekali” gumamnya. Ia tidak terluak dalam karena ada tenaga sakti yang
melindunginya. Melihat serang ekor derik itu, Cio San sekali lagi mendapatkan ide baru.

“Serangan yang cepat ditambah getaran yang sangat kuat bisa menimbulkan serangan yang dahsyat”
Berdasarkan pemikiran yang timbul di kepalanya itu, Cio San langsung menciptakan pukulan baru. Ia
menyalurkan tenaga dalam ke telapak kanannya. Segera ia bergerak mencari kepala ular itu. Cio San
berada di udara dan langsung berhadap-hadapan dengan ular itu.

Saat di udara memang sangat sulit bergerak, karena tidak memiliki pijakan. Tapi entah bagaimana
bagaimana Cio San bisa berputar bagai gasing. Ketika ular itu menyerang gerak gasing itu seperti
bergerak ke samping karena dorongan patukan kepala ular.

Begitu posisinya sudah berhasil berada disamping, Cio San melepaskan sebuah pukulan telapak.
Namun pukulan ini tidak hanya berisi tenaga dalam semata. Cio San juga menggetarkan tangannya
mengikuti derik ekor ular itu. Jadi di dalam serangan telapak itu, berisi juga serangan berupa
getaran yang menyerupai derik ekor ular.

Cio San sengaja tidak mengincar mata ular itu, walaupun ia bisa. Ada perasaan kasihan terhadap ular
yang indah itu. Ia memukul daerah di atas mata luar itu. Hasil pukulan itu sungguh hebat. Kepala itu
terpukul mundur 2 tombak.

Melihat jurus pukulan 'baru'nya ini berhasil Cio San semakin bersemangat. Ular yang kena pukul itu
kini semakin marah. Kepalanya mematuk-matuk dan ekornya menyerang secara bersamaan. Cio San
yang melihat ini memperhatikan dengan seksama gerakan ular itu.

Ia ingin mempelajari gerakan serangan ular itu. Sambil menghindar Cio San memperhatikan terus
serangan ekor dan kepala ular itu. Sungguh dahsyat. Air berdeburan dimana-mana. Suara derik ekor
ular ditambah suara deburan air terjun semakin membuat suasana di dalam terowongan itu hingar
bingar.

Cio San bergerak lincah ditengah liukan tubuh ular. Kadang ia menangkis serangan dengan pukulan
barunya itu. Sang ular terpukul mundur untuk kemudian menyerang lebih ganas lagi. Cio San masih
menikmati pertempuran ini. Kali ini seluruh pukulan dan tendangannya penuh terasa tenaga dalam
yang dahsyat sehingga membuat sang ular kesakitan.

Walaupun memiliki kulit yang sangat keras, ular itu tetap tidak bisa meredam tenaga dahsyat Cio
San. Bahkan bebatuan saja akan hancur terpukul pukulan itu. Cuma memang karena kasihan dengan
ular itu, Cio San tidak mengerahkan seluruh tenaganya.
Setelah lama mempehatikan gerak serangan ular itu, kini Cio san mencoba menirunya. Ujung telapak
tangannya kini membentuk seperti moncong ular. Telapak tangan kirinya berada disamping perut
menghadap ke depan, sedangkan jari-jarinya menghadap ke tanah. Namun telapak kiri itu walaupun
terlihat diam namun menyimpan getaran yang sama dengan derik ekor ular. Bahkan telapak tangan itu
kini berdengung juga seperti suara derik ular karena bergetar hebat.

Kini telapak tangannya bergerak-gerak menyerang dan mematuk bagai kepala ular. Dengan berani ia
menggunakan telapak tangan kanan itu menyongsong serangan kepala ular yang ganas. Begitu kepala
ular itu dekat dengan tangan kanannya, secara tiba-tiba Cio San berputar sehingga kini posisinya
dibawah kepala ular.

Ternyata tangan kanannya itu hanya tipuan. Begitu ular bergerak mundur menarik kepalanya, dengan
secepat kilat tangan kiri Cio San mengirimkan pukulan bergetar. Daya dorongnya, ditambah lagi
dengan posisi ular yang menarik mundur kepalanya, membuat hasil dari gerakan itu berlipat-lipat.

Kepala ular yang besar itu terlempar ke belakang sampai menabrak dinding goa. Saat ketika kepala
itu tertabrak dinding goa, bersamaan dengan itu Cio San sudah melancarkan tendangan dahsyatnya.
Kepala ular itu mengalami goncangan yang sangat berat karena empat hal. Pertama, pukulan getaran
tangan kiri Cio San. Kedua, tabrakan dangan dinding goa. Ketiga. Tendangan keras Cio San, dan
keempat, tabrakan lagi dengan dinding goa.

Semua itu membuat dinding goa hancur berantakan.

Herannya ular itu seperti tidak merasakan apa-apa. Serangannya tetap ganas, walaupun sudah tidak
secepat awal-awal. Mungkin ular itu sudah mulai takut dengan lawan di depannya itu.

Di dalam goa yang gelap itu, bagi mata orang biasa, mungkin hanya bisa melihat cahaya mata ular yang
berwarna kuning. Memang ada sedikit cahaya dari api unggun yang dibuat Cio San. Tapi tak akan
mungkin bisa melihat gerakan-gerakan yang dihasilkan kedua makhluk yang berbeda ini.

Bahkan sekalipun di tengah lapangan yang disinari cahaya matahari siang bolong pun, tidak banyak
orang yang bisa melihat gerakan-gerakan itu. Sungguh aneh, ketika kedua 'makhluk' itu saling
menyerang. Terlihat seperti mereka adalah ahli-ahli silat paling ungkulan. Padahal mereka hanyalah
seorang anak muda belasan tahun, dan seekor ular raksasa.
Jika gerakan ular semakin perlahan dan terkesan hati-hati, sebaliknya gerakan Cio San sangat cepat
dan percaya diri. Dia telah memahami segala bentuk serangan ular itu sehingga dengan mudah
membaca arah gerakan serangan.

Selama ini memang serangan sang ular hanyalah berupa 'tipuan' yang dilakukan kepala, dan 'serangan
utama' yang dilakukan ekor. Kadang-kadang sang ular menukar-nukarnya saja, yaitu kepala menjadi
'serangan utama' dan ekor menjadi 'tipuan'. Tetapi hanya dengan beberapa kali menghindar saja, Cio
San sudah bisa membaca 'maksud' ular ini.

Lama kelamaan Cio San bingung juga. Memang dia sudah bisa menguasai keadaan. Memberikan
serangan-serangan dahsyat. Tapi semua itu tidak bisa melemahkan sang ular. Pada dinding goa yang
berupa batu karang dan batu-batuan perit bumi yang sangat keras, telah hancur di sana-sini.

Cio San tidak tega untuk memukul mata ular itu dan membutakannya. Dia telah memutuskan untuk
membiarkan ular itu hidup-hidup. Entah kenapa, ada perasaan 'kasihan' yang timbul di hatinya
melihat ular itu.

Melihat Cio San yang diam saja tidak melakukan gerakan apapun, ular itu pun diam saja. Namun
kepalanya tetap dalam posisi menyerang. Lidahnya kadang terjulur keluar dari mulutnya. Cio San tahu
ular ini bukan ular berbisa, karena sejak dulu ia telah diajarkan bagaimana cara membedakan ular
yang beracun dengan yang tidak.

Tapi ia menjadi sedikit ragu, karena ia belum pernah membaca tentang ular jenis ini. Segala ciri-ciri
ular ini menunjukkan bahwa ia tidak berbisa. Tetapi ekornya yang berderik membuatnya menjadi
berbeda, karena tidak ada ular berderik yang tidak berbisa. Bahkan bisanya pun ganas sekali.

Cio San berpikir keras mencoba mencari jalan untuk menaklukan ular itu. Akhirnya dia memutuskan
untuk 'bertaruh' saja. “Jika nanti aku mati karena ular ini ya sudahlah. Bisanya pasti akan
mematikanku dalam beberapa detik”

Dia sesungguhnya tidak tahu bahwa tubuhnya kini kebal segala jenis racun, karena khasiat jamur Sin
Hong.
Ular itu mulai bergerak sedikit demi sedikit. Ekornya pun mulai berderik mengeluarkan suara bising
yang menakutkan. Cio San membuka kuda-kudanya. Gaya kkuda-kuda Thay kek Kun, adalah
menggunakan kuda-kuda agak rendah, tubuh tegak, tangan kanan mengambang kedepan, dan telapak
tangan menghadap ke wajah sendiri. Sedangkan tangan kiri mengambang agak tinggi ke belakang.
Telapak tangan agak dibengkokan ke bawah. Gaya ini melambangkan Im dan Yang.

Tapi dengan kecerdasan Cio San dengan cepat gaya bhesi [kuda-kuda] Thay Kek Kun itu digabungnya
dengan jurus ularnya yang baru itu. Tangan kanan kini membentuk kepala ular. Sedangkan tangan kiri
yang mengambang tinggi di belakang, kini mulai bergetar dan menimbulkan suara seperti ekor ular
derik.

Suara itu sebenarnya ditembulkan dari getaran jari bertemu dengan jari. Namun karena dilakukan
dengan cepat, gerakan itu hampir tidak terlihat.

Sang ular tidak paham apa yang dilakukan Cio San. Nalurinya berkata bahwa ia harus 'menerkam' Cio
San. Kepalanya bersiap-siap. Cio San pun menunggu. Ia tahu dengan pasti kapan ular itu akan
mematuk. Karena sebelum mematuk ular itu akan mengambil ancang-ancang dulu ke belakang.

Sebenarnya ancang-ancang itu cepat sekali, dan tidak terlihat. Namun mata dan telingan Cio San
yang sudah terlatih mampu memperhatikannya.

Ular itu lalu 'menerkan'. Cio San sudah melihat gerakan ancang-ancangnya itu. Tapi Cio San tidak
bergerak. Ia malah menunggu kepala itu.

Kepala itu cepat sekali menyambar. Tak terlihat mata. Lalu ketika sudah dekat dengan tubuh Cio San,
ular itu membuka mulutnya. Memperlihatkan taringnya yang panjang. Tapi Cio San tidak bergerak.

Hanya kurang beberapa jengkal dari kepala ular itu, baru tubuh Cio San melesat kencang. Tidak ke
samping, tidak ke belakang. Tapi langsung menuju mulut ular itu dan masuk di dalamnya.

Dengan kelincahannya Cio San berhasil mengelak dari gigi-gigi ular itu ia masuk ke daerah di belakang
gigi itu.
Semua ini dituliskan dengan begini runut, namun pada kenyataannya gerakan-gerakan tadi jauh lebih
cepat dari saat kita mengedipkan mata.

Ular yang kaget dan merasa Cio San menginjak bagian dalam mulutnya, dengan serta mengatupkan
rahangnya erat-erat untuk melumat tubuh Cio San. Tetapi itu adalah sebuah kesalahan besar yang
sudah ditunggu-tunggu oleh Cio San.

Begitu ular mengatupkan rahangnya, Cio San menggunakan kedua telapak tanggannya untuk
menyerang dua bagian berbeda dari ular itu. Yaitu langit-langit mulut, dan lidahnya. Hasilnya dhsyat
sekali karena ketika ular itu mengatupkan rahangnya, ia juga menggunakan tenaga yang besar.

Pertemuan tenaga telapak Cio San, serta kuatnya tenaga katupan rahang sang ular mengeluarkan
suara yang keras sekali. Bruuuaaaaaaaaakkkkkkkkkk......

Tulang rahang ular itu patah.

Cio San pun keluar dari mulut ular.

Tenaga hasil serangan tadi berkali kali lipat. Selain rahangnya patah, tenaga besar yang dihasilkan itu
menggetarkan pula isi dalam tengkoraknya. Ular itu langsung lulai dan pingsan. Bagian dalam mulutnya
hancur pula.

Darah pun ada dimana-mana. Bahkan Cio San pun bermandikan darah sang ular. Ada perasaan
bersalah di hati Cio San melihat nasib ular itu. Awalnya dia senang bahwa serangan yang sudah
direncanakannya itu berhasil. Tetapi saat melihat keadaan ular itu, ia malah menangis.

“ Maafkan aku Sin Coa [ular sakti]....maafkan aku....”

Cio San buru-buru memeriksa keadaan ular itu. Tulang rahangnya patah dan malahan ada yang hancur.
Bagian dalam mulutnya pun berlinangan darah.
Bagaimana cara menghentikan pendarahan itu? Cio San mengerti tentang pengobatan manusia seperti
yang telah ia baca di dalam buku pemberian A Liang. Tetapi ia sama sekali belum pernah
menyembuhkan orang kecuali menyembuhkan racun A Liang. Itu pun tidak berhasil karena beberapa
saat setelah itu, A Liang meninggal.

Apalagi kini yang mengalami luka berat adalah seekor ular raksasa, yang bentuk tubuh, aliran darah,
serta titik-titik pusat tenaganya berbeda dengan manusia. Di dalam kebingungannya, Cio Sa teringat
dengan jamur yang setiap hari ia santap.

Cio San ingat bahwa setiap menyantap jamur itu tubuhnya langsung segar, bahkan luka-luka luar
seperti teriris atau lecet pun sembuh dengan cepat. Segera dikumpulkannya jamur-jamur itu dari
dinding goa, karena disepanjang terowongan goa itu jamur itu tumbuh dengan lebat.

Setelah jamur-jamur itu terkumpul banyak sekali, dijejalkannya gumpalan kumpulan jamur itu
kedalam bagian mulut ular yang terluka. Cio San pun membubuhkan jamur-jamur itu di tulang rahang
ular yang patah.

Tak berapa lama darah pun berhenti mengalir, dan daerah yang patah itu sudah mulai menghangat,
tanda bahwa tubuh ular itu sendiri pun membantu penyembuhannya dari dalam. Dengan berani Cio
San tetap berada di dalam mulut ular yang lunglai dan 'pingsan' itu.

Ia menyalurkan tenaga dalamnya kepada ular itu melalui mulutnya. Karena Cio San tahu, percuma
menyaluirkannya melalui tubuh, karena kulit ular itu tebal sekali, dan sepertinya mampu meredam
tenaga dalam.

Berjam-jam Cio San mengalirkan tenaganya. Berangsur-angsur ular itu pulih. Memang tubuh ular
berbeda dengan tubuh manusia. Apalagi ini tergolong ular sakti yang langka, sehingga serangan
dahsyat tadi tidak sampai membuatnya mati.

Perlahan-lahan kesadaran ular itu pulih. Dia merasakan sakit sekali pada mulut dan rahangnya.
Kekuatannya seperti terserap habis, tubuhnya lunglai. Tetapi dia juga merasakan kehangatan yang
nyaman di dalam mulutnya. Lama kelamaan rasa nyaman itu berhasil mendorong pergi rasa sakitnya.
Cio San tahu bahwa ular itu sudah mulai pulih. Ia lalu memberhentikan penyaluran tenaganya, dan
keluar dari mulut ular. Lalu mengelus-elus kepala ular. Sang ular sepertinya paham bahwa musuhnya
baru saja menolongnya. Ia pun diam saja dan tidak berusaha melakukan apa-apa.

Cio San pun mengelus-elus ular itu dengan lembut.

Bab 10 Persahabatan Yang Aneh

Beberapa hari kemudian ular itu sudah pulih tenaganya. Serangan Cio San yang dahsyat di dalam
mulut ular itu tidak sampai menyebabkan kematian. Tetapi jelas menguras tenaga ular itu. Selama
beberapa hari, Cio San lah yang memberi makan ular itu dengan jamur dan ikan-ikan hasil
tangkapannya.

Dasar memang khasiat jamur sakti itu, dan memang tubuh ular itu juga sangat kuat dalam beberapa
hari lukanya sudah pulih. Cio San sampai terheran-heran melihat cepat pulihnya luka ular itu. Dia
malah menganggap mungkin karena tenaga sakti ular itu yang menyembuhkannya. Padahal sebagian
besar karena khasiat jamur sakti itu.

Setelah sembuh, ular itu menjadi sangat jinak kepada Cio San. Mungkin karena tahu bahwa ia telah
diselamatkan oleh Cio San. Memang walaupun sudah sembuh, ular itu masih belum bisa menggunakan
rahangnya. Oleh karena itu Cio San masih 'menyuapi' ular itu. Sambil mengelus-elus dengan lembut,
bahkan mengajaknya bicara. Ular itu seperti mengerti perkataan Cio San.

Mungkin ular itu bukanlah jenis ular yang benar-benar liar. Akan tetapi dahulu mungkin pernah
dipelihara orang. Dan orang yang bisa memelihara ular macam begini, jelas bukan orang sembarangan.

Memang dalam dunia Kang-ouw peliharaan-peliharaan macam begini bukanlah hal yang aneh. Ada
pendekar-pendekar yang memiliki burung raksasa, atau ada yang memelihara harimau, dan lain-lain.

Cio San memang beranggapan bahwa ular ini mungkin adalah peliharaan pendekar yang sakti. Ini
dilihat dari serangan-serangan ular itu yang seperti mengerti ilmu silat. Bisa saja ular itu memang
diajari silat oleh pemiliknya. Berfikir seperti itu, Cio San malah senang sekali. Akhirnya kini dia
memiliki teman yang bisa diajak berlatih silat nantinya.

Dan benar saja, ketika ular itu sudah benar-benar pulih mereka pun berlatih silat. Cio San sengaja
berbicara bahwa mereka hanya berlatih saja dan bukan saling membunuh. Dan ular itu pun seperti
mengerti maksud Cio San.

Mereka pun hidup seperti itu berbulan-bulan. Berlatih silat, makan, tidur, dan bermain bersama.
Berlatih bersama ular semakin menambah kelincahan Cio San. Ia bahkan menciptakan gerak tubuh
seperti ular, yang membelit, dan menyerang dengan cepat, dan terasa menempel di tubuh lawan.
Tubuh Cio San kini bahkan bisa menempel dan membelit tubuh ular itu. Tubuhnya bisa bergerak
dengan cepat dan licin.

Ia juga menciptakan sebuah gerakan sakti yang diciptakannya dari gabungan gerak ular dengan inti
Thay Kek Kun. Yaitu kedua kakinya diam disatu tempat, namun tubuhnya bisa miringdengan sangat
miringbahkan melekuk-lekuk dan membelit, Persis seperti posisi ular yang menyerang. Ia menamakan
kedua jurus itu sebagai 'Kim Coa Hoat' atau Ilmu Ular Emas.

Sebenarnya jurus-jurus itu bisa dikembangkan menjadi berbagi macam gerak dan langkah, dan Cio
San paham dengan itu. Tetapi ia tidak melatihnya. Ia merasa, jika ia melatih sesuatu berdasarkan
daya ingat, maka ia akan cepat lupa. Justru ketika ia tidak mengingat-ingat dan melatihnya, jurus-
jurus yang ia keluarkan saat bertarung malah memiliki banyak kembangan dan perluasan.

Dengan pemahaman seperti ini justru kehebatan ilmunya semakin bertambah. Karena ilmu silatnya
tidak dibatasi oleh jurus, atau ingatan terhadap gerak-gerak, namun berdasar pada perubahan-
perubahan yang terjadi di dalam pertarungan. Ilmu seperti ini bahkan tidak memiliki batasan apapun.

Bergerak mengikuti alam. Itulah inti sari yang dipahami Cio San berdasarkan kecerdasan
pemikirannya. Padahal itu juga dasar pemikiran Thio Sam Hong ketika ia menciptakan Thay Kek Kun.
Sehingga jika dilihat dari gerakannya, sesungguhnya gerakan Cio San adalah gerakan dasar Thay Kek
Kun. Tetapi kini menjadi jauh lebih cepat, lincah, dan juga ganas. Karena dicampurnya dengan gerakan
silat sang ular sakti.
Begitulah 'persahabatan' aneh ini malah membuat Cio San semakin betah berada di dalam goa itu.
Perilaku ular emas kini sangat jinak terhadap Cio San. Bahkan jika Cio San berbicara kadang ular itu
menganggung atau menggeleng.

Hingga pada bulan ke 7 persehabatan itu,sesuatu yang aneh terjadi. Pada suatu malam ular itu
menggeliat-geliat. Cio San yang saat itu telah tidur terbangun. Ia heran melihat perilaku sahabatnya
itu. Ketika disentuhnya, badan ular itu panas sekali.

“Apakah ular juga bisa sakit demam?” begitu pikir Cio San.

Walaupun mengerti tentang pengobatan, dia belum pernah merawat orang sakit demam. Apalagi ular
yang sakit demam. Ular itu terus menggelit-geliat. Dari tubuhnya keluar bau wangi yang bercampur
dengan bau amis.

“Ada apa Kim-ko?”, tanya Cio San lembut. Ia memang memanggil ular itu dengan sebutan Kim-koko
atat kakak Emas.

Ular itu hanya menggeleng-geleng, dan menggeliatkan badannya yang panjang. Suara derik kini mulai
muncul. Tetapi ika biasanya suara derik itu muncul hanya dari ekornya saja, kini suara derik itu
keluar dari seluruh tubuhnya.

“Ada apa ini?” pikir Cio San. Ia berputar berkeliling memeriksa badan sang ular.

Tak lama pertanyaannya terjawab. Sedikit demi sedikit, terlihat retakan di kulit si ular. Lalu retakan
itu menjadi banyak. Ternyata ular itu sedang berganti kulit.

“Oh ternyata kau sedang berganti kulit, Kim-ko?. Bikin kaget saja..haha” Cio San menjadi lega.
Memang ular itu sedang mengganti kulit.
Tetapi ada yang aneh. Jika biasanya ular berganti kulit, kulit yang baru sudah ada di dalam kulit yang
lama. Akan tetapi ular ini tidak ada sedikitpun kulit baru di tubuhnya.

Ketika seluruh kulitnya tanggal, yang terlihat hanyalah dagingnya yang berwarna putih bersih.

“Hey kenapa begini Kim-ko? Apakah kau sakit hingga penggantian mu tidak sempurna?” tanya Cio San.
Seperti mengerti, ular itu malah menggeleng-geleng.

“Tidak sakit? Berarti memang begitukah cara pergantian kulitmu?” Tanya Cio San lagi. Kali ini ular itu
mengangguk-angguk.

Hawa tubuh ular itu panas sekali. Bahkan sanggup memanaskan air tempat ia berbaring dan
merendam. Malah sampai bisa menguapkan air itu.

“Hebat sekali” pikir Cio San. Ia kagum dengan keagungan Tuhan yang menciptakan hewan-hewan
seperti ini. Belum pernah ia melihat yang seperti ini.

Tubuh ular itu panas sekali. Warna dagingnya yang putih, malah hampir tembus pandang,
menampakkan urat-uratnya. Cio San kaget dan kagum sekail. Baru kali ini dia bisa melihat urat-urat
dan jalan darah seekor ular.

Otaknya yang cerdas dan pikirannya yang sangat terbuka, merangsangnya untuk memperhatikan jalan
darah itu.

Cio San memperhatikan terus. Melihat dan mempelajari jalan darang sang ular. Bahkan ia hampir bisa
melihat tulang-tulang ular itu. Dagingnya ternyata tipis sekali. Mungkin karena itulah ular itu memiliki
kulit sisik yang sangat tebal yang bahkan tidak bisa ditembusi oleh tenaga dalam.

“Tuhan memang Maha Segalanya...” pikir Cio San. Matanya tak lepas mempelajari susunan tulang dan
jalan darah ular itu. “Kim-ko bolehkah aku memperhatikan tubuhmu? Memepelajari tubuhmu?” tanya
Cio San.

Sang ular hanya mengangguk-angguk pelan. Sepertinya ia kesakitan dan sangat kepanasan. Uap-uap
air yang dihasilkan oleh air-air yang dipanaskan oleh tubuhnya semakin memenuhi terowongan goa itu.
Cio San terus mempelajari tubuh sahabatnya itu, sambil terus menyiramkan air ke tubuh ular itu agar
tidak terlalu kepanasan. Si ular nampaknya merasa tertolong juga dengan perbuatan Cio San itu.

Setelah lama mempelajari, akhirnya Cio San paham juga seluruh seluk beluk ular itu. Dan sang ular
pun kini sudah mulai membaik. Cio San tak henti-hentinya menyirami sekujur tubuh ular itu. Walaupun
sang ular sudah berendam di dalam sungai, karena tubuhnya besar dan panjang membuat ada
beberapa bagian tubuhnya yang tidak terkena air.

Melihat keadaan ular yang semakin membaik, Cio San senang sekali. Selain karena sahabatnya itu kini
tidak menderita lagi, ia kini menemukan pengetahuan baru. Ia kini mengerti tentang jalan darah ular,
serta susunan tulang-tulangnya. “Pantas ular bisa menggeliat dan melingkar-lingkar dengan sangat
lentur. Itu karena ia memiliki jalan darah yang berbeda dengan makhluk lain serta tulang-tulang yang
sangat lemas.” pikir Cio San

Setelah pergantian kulit itu selesai, dan tubuh sang ular mulai mendingin, akhirnya sang ular itu bisa
tidur dengan pulas. Melihat ini Cio San hanya tersenyum.

“Selamat tidur Kim-ko. Besok kita bermain lagi” Sambil berkata begitu, ia menepuk-nepuk kepala
sang ular. Lalu berbaring dan tidur di sebelahnya.

Bab 11 Kedatangan dan Kepergian

Pagi-pagi benar Cio San sudah bangun. Ia membereskan kulit-kulit sang ular yang terkelupas. Saking
beratnya sampai kulit-kulit itu tidak hanyut terbawa air sungai. Sang ular masih tertidur pulas.
Karena khawatir terjadi sesuatu, Cio San meraba tubuh ular itu. Ia bersyukur bahwa keadaan ular itu
sehat-sehat saja. Mungkin cuma agak lemah karena kejadian penggantian kulit itu.
Ia mengumpulkan kulit-kulit yang berserakan itu dan meletakkannya di tempat yang kering. Kulit-
kulit itu sangat berat sehingga ia bahkan harus menggunakan tenaga dalamnya untuk bisa mengangkat
kulit-kulit itu.

Tak berapa lama saat Cio San bekerja, ular itu pun terlihat telah bangun. Ia seperti mengerti akan
apa yang dilakukan Cio San. Karena tubuhnya yang masih lemah, ular itu hanya memperhatikan saja.
Lalu sang ular dengan mengunakan mulutnya menggali daerah berpasir yang ada di dekatnya. Setelah
ada lubang, dengan kepalanya, si ular mendorong Cio San mendekati lubang itu.

“Eh kenapa Kim-ko? Kau ingin agar aku menguburkan kulit-kulit ini?” tanya Cio San

Si ular mengangguk-angguk.

“Baiklah, tapi ku kuburkan yang kecil-kecil dulu ya...” tukas Cio San

Ia kemudian mengumpulkan kulit-kulit kecil yang bisa dengan mudah dibawanya. Si ular membantu
dengan membuat beberapa lubang dengan menggunakan mulutnya. Karena daerah bertanah yang ada
disekitar situ hanya sedikit, maka Cio San hanya berhasil menguburkan sedikit.

“Kim-ko ayu kita ke daerah dekat air terjun. Di situ banyak daerah yang bertanah, tidak berbatu-
batu seperti disini” ajak Cio San.

Si ular pun menuruti. Jalannya sangat pelan karena masih lemah. Dengan tubuh yang tidak terlindungi
kulitnya, tentu saja sangat sakit jika harus menuyusuri batu-batuan seperti, Cio San yang mengerti
keadaan si ular, lalu berkata, “Kau tunggu disini saja Kim-ko. Biar aku yang kesana menggali lubang-
lubang disana”

Baru saja Cio San akan melangkah, terdengarlah suara ledakan yang amat sangat keras.
Bllllaaaaaaaaaaararrrrrrrrrrrrrr..................

Seluruh gua serasa runtuh. Langit-langit pecah berjatuhan, dinding-dinding goa pun hancur. Air bah
lalu menerobos masuk melalui dinding-dinding itu. Dalam kekagetannya Cio San menghalau semua
bebatuan yang mengarah ke arah dirinya dan si ular.
Suasana di dalam terowongan itu menjadi terang benderang. Masuknya sinar ke dalam goa itu secara
tiba-tiba langsung menyakiti mata Cio San. Setelah bertahun-tahun hidup di dalam kegelapan, dengan
cahaya yang kecil sekali, matanya kini tidak dapat menahan sinar seterang itu.

Untungnya air bah yang mengalir bergerak ke segala arah sehingga tidak menyerang Cio San dan ular.
Dengan menggunakan kelincahan tubuh, ilmu silat, serta pendengarannya yang tajam Cio San
menghalau batu-batu yang menghujama pada dirinya dan ular. Tetapi tak urung beberapa bebatuan
mengenai bagian tubuh ular itu. Sang ular menggeliat marah namun karena tubuhnya lemas, ia tidak
bisa melakukan apa-apa.

Terdengar ramai suara manusia, “Berhasil...berhasil...Kim Liong Ong [raja naga emas]berada di dalam
sini....”

Dengan telinganya Cio San bisa mendengar bahwa ramai suara itu berasal dari 6 atau 7 manusia. Dan
ia pun bisa mendengarkan kekagetan mereka ketika melihat ternyata di bawah situ, di tempat ketika
dulu ada gua perut bumi, si ular tidak sendirian. Melainkan ada seorang manusia yang hampir
telanjang, hanya mengenakan cawat dari kulit kayu.

Si manusia, yang adalah Cio San, sedang sibuk menangkis batu-batuan besar yang mengarah
kepadanya. Ledakan dalam goa itu sangat dahsyat sehingga menghancurkan seluruh terowongan.
Untunglah dengan ilmu silatnya ia berhasil 'menghadapi' bebatuan-bebatuan itu.

Apalagi kini Cio San 'buta' karena cahaya matahari yang menerobos masuk. Terowongan itu kini telah
menjadi lapangan terbuka. Dan sinar matahari yang tajam itu telah menyilaukan mata Cio San. Ia
menutup matanya sekuatnya. Tetapi sakit yang muncul akibat cahaya yang masuk tiba-tiba
membuatnya merasa tersiksa sekali.

“Ada manusia aneh...lihat ada manusia aneh....” terdengar seruan orang-orang itu.

Begitu batu-batu berhenti berhamburan dan air telah surut, Cio San dengan geram bertanya,

“Siapa kalian? Dan apa yang telah kalian perbuat?” ia masih tidak dapat membuka matanya.
“Justru kami ingin bertanya siapa kau? Bagaimana bisa berada di dalam sini?” tanya salah seorang
dari rombongan itu.

Cio San ingat bahwa ia telah menjadi kejaran orang-orang Butongpay. Oleh karena itu ia menjawab,
“Aku tidak tahu siapa namaku, tetapi aku tinggal di dalam goa itu sudah lama sekali sejak aku kecil.
Dan ular ini adalah sahabat baikku” Cio San sengaja berkata bahwa ular itu adalah sahabatnya karena
tadi ia mendengar mereka menyebut-nyebut tentang Kim Liong Ong [raja naga emas]. Pastilah yang
mereka maksud adalah Kim-ko nya itu.

“Kau tidak tahu siapa kami?” tanya salah seorang, tapi segera ia sadar bahwa orang yang ditanya
telah hidup sekian lama di dalam goa. Tentulah tidak tahu keadaan dunia luar. Segera ia menyambung
lagi, “Kami adalah Tionggoan Ngo Koay [5 orang aneh tionggoan]” jawabnya dengan bangga.

“Kenapa kalian membongkar tempat tinggalku?” Cio San bertanya dengan polos.

Sebenarnya kelima orang itu adalah orang-orang yang sangat ganas dari kaum Hek-to [golongan
hitam]. Akan tetapi melihat keanehan bahwa ada orang yang tinggal bersama perut bumi bersama
seekor ular, mau tak mau mereka agak heran juga. Sehingga kegarangan mereka agak berkurang.

“Kami telah mengincar ular itu sejak lama. Kami menyelidiki jejak-jejaknya. Dan mengubernya sampai
kemari. Tak tahunya ia tinggal disini bersama seorang manusia” jawab salah seorang.

“Buat apa kalian mengincarnya?” tanya Cio San lagi.

“Kau pasti tak tahu. Kulitnya sangat mahal. Jauh lebih mahal daripada emas. Isi jeroan tubuhnya
sangat berkhasiat menambah tenaga dalam.” jawab salah seorang

“Kau mnggirlah dari situ, dan biarkan kami menghabisi ular itu” sambil berbicara begitu, salah satu
yang berbicara itu lalu lompat menyerang Cio San.

Menerima serangan ini, Cio San bersikap tenang. Ia menghadapinya dengan telapak tangan kanannya.
Pertemuan kedua telapak itu sangat dahsyat sehingga keduanya mundur beberapa tombak. Namun
sang penyerang mundur sambil memuntahkan darah sedangkan Cio San hanya mundur selangkah,
sambil tersenyum pula.

Ia senang karena ilmu yang dilatihnya di dalam goa ternyata hebat juga. Ia lalu berkata, “takkan
kubiarkan kalian mengganggu sahabatku walau seujung kuku saja” katanya kereng.

Sebenarnya penyerang itu bukanlah orang yang lemah. Justru ia sangat kuat, dan silatnya tergolong
kelas atas. Hanya saja ketika menyerang Cio San ia menggunakan ¼ tenaganya karena ingin cepat-
cepat membunuh Cio San. Dengan ilmunya, Cio San bisa membalikan tenaga penyerang itu kepada
dirinya sendiri.

Melihat kenyataan bahwa sahabat mereka terluka hanya dalam satu jurus saja, ke empat orang
lainnya langsung menyerang mereka dengan menggunakan serangan-serangan yang ganas. Cio San kini
hanya dapat mengandalkan pendengarannya saja, dan hanya bisa bergerak menghindar. Ia memang
belum mau menghadapi langsung serangan-serangan itu karena ingin mempelajari dulu. Memang ada
sebuah sifat 'aneh' di dalam diri Cio San. Ia kini menjadi sangat tertarik mempelajari ilmu silat.

Setelah 5 jurus, Cio San sudah paham seluruhnya. Ia kini balik menyerang dengan menggunakan
jurus-jurus mereka sendiri.

“Gila...darimana anak ingusan ini mencuri jurus-jurus kita?”

Tionggoan Ngo Koay yang malang melintang di dunia hitam, kini malah dihajar seorang anak ingusan
dengan menggunakan jurus mereka sendiri.

Dari 5 jurus yang Cio San perhatikan, ia malah bisa mengembangkannya menjadi jurus-jurus lain.
Bahkan ada yang digabungkannya dengan jurus-jurus Butongpay.

Keempat orang yang mengeroyok Cio San itu semakin terbelalak matanya, “bagiamana mungkin” seru
mereka.

Akhirnya karena putus asa, mereka sepakat untuk menggunakan jurus pamungkas mereka,
“Memindahkan Gunung Bersama-sama”. Jurus ini sangat dahsyat jika dilakukan oleh mereka berlima.
Tetapi walaupun kini berempat, karena salah satu anggotanya dilukai Cio San, ilmu itu tetap dahsyat
juga.

Cio San dengan ilmu-ilmu ciptaannya di dalam goa menerima serangan gabungan itu dengan percaya
diri. Ia menghadapinya seperti menghadapi serangan air bah ketika di dalam goa. Ketika serangan itu
tiba tubuhnya berputar. Ketika putaran itu kembali ke posisi semula tangannya telah menyambut
kedelapan telapak itu.

Tiba-tiba terdengar bunyi 'braaaaaakkkkk' yang keras, dan kata-kata “mampus kau ular jelek”

Seketika itu pemusatan pikiran dan tenaga yang dilakukan Cio San buyar. Ia tahu bahwa ada orang
yang telah menyerang dan membunuh ular sahabatnya itu di belakangnya. Ketika pemusatan itu buyar,
kedalapan tapak yang menyalurkan tenaga itu menghantam tubuhnya.

Padahal sebenarnya keempat orang itu telah terhisap tenaganya oleh Cio San. Justru ketika keempat
tenaga yang baru terhisap itu akan dilepaskan kembali oleh Cio San untuk menyerang mereka sendiri,
konsentrasinya pecah. Maka dengan dahsyat keempat tenaga dalam yang sudah dilatih bertahun-
tahun itu menghantam tubuh Cio San.

Memang ilmu silat Cio San sudah sangat hebat. Tetapi pengalamannya dalam pertarungan masihlah
sangat sedikit. Karena kurang pengalaman inilah Cio San menjadi kurang perhitungan dan kurang
awas.

Tubuhnya mencelat beberapa tombak, ia pun muntah darah. Karena walaupun tubuhnya memiliki
tenaga sakti hasil latihan dan khasiat jamur Sin Hong, justru tenaga itu menghantamnya balik karena
salah perhitungan. Ia terkapar dari mulutnya keluar darah segar.

“Mampus kau anak ingusan. Susullah temanmu si ular ini menghadap langit barat [mati]” kata salah
seorang.

“Untung kau cepat turun tangan Yap-heng, kalau tidak kami semua ini sudah jadi santapan ular juga”
Yang tidak Cio San ketahui, dan juga kebanyakan orang-orang Kang-ouw, ialah bahwa Tionggoan Ngo
Koay ini tidaklah berjumlah 5 seperti julukan mereka. Melainkan 6. Orang yang dipanggil Yap-heng itu
adalah anggota mereka yang tersembunyi, dan tidak pernah terlihat. Ia selalu mengiringi Tionggoan
Ngo Koay itu. Dan akan bergerak membantu mereka jika mereka terdesak. Intinya tugas utama orang
she [marga] Yap itu adalah untuk membokong musuh-musuhnya.

Itulah sebabnya Kelima orang aneh berkibar namanya dalam dunia persilatan. Mereka menggunakan
kelengahan musuh untuk memenangkan pertarungan. Ketika melihat bahwa walaupun membokong Cio
San pun, ia tidak bisa mengalahkannya, orang she Yap itu menggunakan ular sebagai titik kelemahan
Cio San. Dan benar saja, saat konsentrasi Cio San buyar ketika mengetahui bahwa ular itu terbunuh,
tenaganya kini membalik menyerang dirinya sendiri.

Urusan-urusan licik seperti ini adalah memang keahlian orang she Yap itu. Dan Cio San yang polos dan
berhati jujur seperti itu adalah korbannya yang kesekian ratus.

Cio San yang terlempar beberapa tombak dan bahkan tubuhnya menghujam ke bebatuan itu memang
seperti telah mati. Ia tidak sanggup bergerak lagi. Tetapi kesarannya masih pulih seutuhnya. Ia bisa
tahu apa yang telah terjadi. Keempat tenaga musuh dan juga tenaga dalamnya sendiri telah
menyerang tubuhnya. Ia tidak tahu bagaimana ia bisa selamat dari hal sedahsyat itu. Memang
ternyata khasiat jamur Sin Hong itu adalah melindungi seleuruh organ tubuh. Tapi Cio San sendiri
tidak paham akan hal itu.

Walaupun kini tubuhnya tak mampu digerakkan sama sekali, Cio San berusahan keras 'menjinakkan'
tenaga yang sekarang berada di dalam tubuhnya. Beruntunglah Cio San ia pernah belajar Thay Kek
Kun. Ilmu inilah yang juga melindungi dirinya dari serangan tenaga dahsyat tadi. Tetapi karena Cio
San menggabungkannya dengan ilmu silat Tionggoan Ngo Koay tadi, maka Thay Kek Kun menjadi tidak
murni dan kotor, Apalagi ilmu silat Kelima orang aneh itu adalah ilmu silat golongan hitam. Thay Kek
Kun menjadi tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

Padahal walaupun pemusatan pikirannya buyar, denga Thay kek Kun yang telah dipelajarinya,
seharusnya otomatis melindungi tubuhnya, dan mampu menghalau tenaga serangan keempat orang itu.
Cio San dengan kecerdasaannya akhirnya memahami hal ini.

Di dalam kondisinya yang kritis itu, pikiran dan kecerdasannya tidak hilang. Ia lalu mengererahkan
tenaganya yang tersisa untuk mengatur jalan darah dan jalan nafas. Ini ia lakukan sambil tergeletak,
karena memang ia tak mampu bergerak sama sekali.
Orang yang dipanggil Yap-heng itu memriksa tubuh Cio San. Rupanya ia berfikir bahwa Cio San telah
mati, ia lalu berkata, “Bangsat ingusan ini sudah mati. Ayo kita garap ular itu”

Mereka kemudian berduyun-duyun mulai bekerja memotong-motong ular itu. Dagingnya mereka ambil.
Darahnya mereka tampung. Lalu organ bagian dalam ular itu juga mereka ambil. Cio San walau tak
dapat melihat, tapi ia bisa mendengar semuanya.

Memang setelah ledakan besar yang menghancurkan goa itu, pendengarannya agak tidak berfungsi
dengan semestinya. Ini mungkin karena telinganya yang terlalu peka menjadi terluka, karena ledakan
sebesar itu. Itulah sebabnya kenapa Cio San tidak bisa mendengar bahwa ada orang lain selain kelima
orang musuhnya itu. Apalagi ditambah dengan 'tugas' orang ke enam itu adalah untuk bersembunyi
dan membokong secara tiba-tiba sehingga ia memang harus bergerak dengan sangat hening.

Cio San hanya bisa meneteskan air mata menghadapi kenyataan ini. Ia telah kehilangan sahabat baik
untuk kali kedua. Dibunuh karena ketamakan manusia. Mendengar suara daging diiris-iris, serta suara
tertawa keenam orang itu, hati Cio San semakin sedih.

Bahkan mereka memasak daging itu pun disitu. Sambil makan mereka mengobrol,

“Ah memang nikmat daging ini. Walaupun tipis, rasanya mungkin yang paling enak di dunia. Apalagi
darahnya sudah dicampur dengan arak....Hmmm lezaaaaatttt....”

“Iya memang tak percuma jerih payah kita melacak jejak ular ini bertahun-tahun. Sulit sekali
menangkapnya”

“Eh Yap-heng, coba ceritakan apa saja khasiat ular ini...”

Orang yang dipanggil Yap-ko itu lalu berkata,

“Khasiatnya banyak sekali. Dagingnya menambah kekutan tubuh bagian luar Gwa-Kang. Bagian orang
yang seperti kita, Gwa kang ini berguna untuk meniduri perempuan”
Terdengar suara tawa bergema

Ia melanjutkan lagi, “Darahnya jika dicampur arak khusus yang kubawa ini, bisa untuk menyembuhkan
segala penyakit. Bagian jeroan tubuhnya, terutama jantungnya akan menambah tenaga dalam kita
berlipat-lipat. Sedangkan empedunya akan membuat kita kebal dengan berbagi jenis racun. Dan tak
ketinggalan adalah kulitnya. Kulitnya ini jauh lebih mahal daripada emas. Karena selain sangat indah,
juga tahan segala macam jenis senjata. Bahkan juga tenaga dalam sekalipun. Ada lagi yang unik.
Dibagian dalam kulitnya itu, ada sebuah lapisan kulit yang sangat tipis. Sangat berguna untuk
membuat topeng yang sangat halus.”

Terdengar suara salah seorang menimpali,

“Oh jadi itulah sebabnya engkau menyuruh kita untuk bersabar menangkapnya, Yap-heng? Sampai ia
berganti kulit?”

“Benar sekali. Jika ia berganti kulit, maka yang seluruh tubuhnya menjadi lemah dan tak terlindungi.
Itulah sebabnya aku menyuruh kalian menunggu bertahun-tahun. Karena ular ini hanya berganti kulit
5 tahun sekali setiap musim gugur. Ia selalu mencari tempat yang dingin, karena saat berganti kulit,
tubuhnya akan menjadi panas sekali. ia bisa mati jika berganti kulit saat terkena sinar matahari”
jawab orang she Yap itu.

Mendengar itu Cio San menjadi paham. Ternyata ular itu mmasuk ke dalam terwongan goa itu untuk
mencari tempat yang aman untuk tinggal. Juga sebagai persiapan untuk mengganti kulit. Karena saat
mengganti kulit ia berada di dalam keadaan yang sangat lemah sehingga tidak bisa melindungi diri
sendiri. “Sungguh kasihan engkau Kim-ko....” Cio San hanya bisa menangis.

Entah berapa jam lamanya keenam orang itu makan dan mengobrol disitu. Akhirnya setelah puas
mendapatkan apa yang mereka cari, mereka pun pergi dari situ. Nasib Cio San pun sudah tidak
mereka perdulikan, karena menganggapnya sudah mati. Mereka bahkan tidak memeriksanya, karena
telah terdorong untuk segera menikmati dan merasakan khasiat ular itu.

Cio San masih belum sanggup untuk menggerakkan tubuhnya. Ia akhirnya tertidur pulas di situ
sampai keesokan paginya. Saat ia tersadar matahari sudah tinggi. Rasa sakit di matanya sudah
berkurang. Ia pelan-pelam membuka matanya. Masih dengan hati-hati karena khawatir akan silau dan
sakit lagi. Ketika perlahan-lahan ia sanggup membuka matanya, ia senang sekali. Walaupun masih agak
silau, dan perih setidaknya ia kini bisa melihat walaupun masih terbatas.

Ia mencoba menggerak-gerakan tubuhnya. Tubuhnya kini sudah mulai bisa ia gerakkan namun rasanya
masih sakit sekali. Luka dalamnya pun masih belum sembuh. Dengan perlahan ia bangkit. Berjalan
dengan gontai menuju letak si ular sahabatnya tadi.

Alangkah sedihnya ketika melihat yang tersisa hanya tulang belulang sang ular belaka. Cio San jatu
berlutut menangis tersedu-sedu. Hatinya sedih sekali melihat kenyataan ini. Lama ia duduk terpekur
memandangi tulang belulang itu. Bau amis yang ditimbulkan sudah tak diperdulikan Cio San lagi.

Daerah yang dulunya berupa terowongan dalam perut bumi, kini sudah tidak ada lagi. Yang ada hanya
berupa daerah lapang yang kini dialiri sungai kecil. Cio San lalu berusaha menguburkan tulang belulang
itu. Lama sekali baru ia berhasil menggali lubang dan mengumpulkan tulang-tulang itu.

Itu dikarenakan kondisi tubuhnya yang sangat lemah, dan ia tak sanggup mengerahkan tenaga
dalamnya. Ketika akan meletakan tulang itu ke dalam lubang, ia menemukan sepotong kulit sang ular
yang nampaknya tidak terbawa oleh Tioanggoan Ngo Koay.

“Hanya ini yang tersisa dari tubuhmu Kim-ko...Bolehkah aku menyimpannya sebagai kenang-
kenangan?” tanya Cio San pelan sambil mengelus-elus tulang tengkorak kepala sang ular.

Alangkah kagetnya Cio San ketika terdengar suara derik ular itu berbarengan dengn hembusan angin.
Cio San terhenyak dan melihat bahwa suara itu keluar dari derik ekor si ular. Segera didekatinya
bagian ekor itu dan melihatnya. “Apakah masih bergerak? Tidak mungkin kalau masih hidup....” pikir
Cio San dalam hati.

Lama ia memperhatikan akhirnya Cio San tahu. Ternyata suara derik itu lahir dari hembusan angin
yang melewati ronga-rongga bagian ekor ular itu.

“Terima kasih Kim-ko.....” Cio San menganggap suara derik itu sebagai bentuk ijin yang diberika sang
ular kepada Cio san untuk membawa kulitnya yang tersisa sebagai kenang-kenangan.
Cio San baru berhasil menguburkan tulang sang ular ketika sudah hampir sore hari. Ia lalu bersujud 3
kali, dan mendoakan ular itu. Kemudian ia teringat dengan kuburan A Liang. Cio San lama mencari-cari
ternyata kuburan itu tidak ia temukan. Mungkin telah ikut hancur bersama runtuhnya goa itu.
Hatinya sedih sekali.

“Apa yang kini harus kulakukan? Tempat tinggalku sudah hancur berantakan. Nampaknya Thian tidak
ingin aku hidup tenang, dan harus menghadapi dunia ini?” tanyanya dalam hati.

“Bagaimana aku bisa hidup tenang, sedangkan aku sedang menghadapi fitnah, dan juga kejaran murid-
murid Butongpay?. Apakah aku harus tinggal disini selamanya? Itu juga tidak bijaksana karena pasti
akan ada orang yang datang kesini.Bagaimana cara terbaik supaya aku bisa tenang?”

Ia lalu teringat perkataan orang she Yap, bahwa bagian dalam kulit sang ular terdapat lapisan yang
bisa digunakan sebagai topeng. Ia tidak tahu bagaimana caranya, tetapi ia ingin mencoba saja dulu.
Jika ia bisa memiliki topeng yang bagus untuk melindungi jati dirinya, ia bisa tetap bersembunyi dari
kejaran orang-orang Butongpay.

Cio San memperhatikan kuliat ular itu. Di bagian dalamnya memang terdapat sebuah lapisan yang tipis
sekali. Pelan-pelan Cio San mengelupasnya. Ia memperhatikan lapisan itu, memang seperti kulit
manusia. Cio Saan kaget sekali ketika kulit itu lengket dijari-jarinya dan tak bisa dilepaskan.

Dalam kebingungannya, Cio San mendengar sebuah benda jatuh. Ketika ia menoleh ke sumber suara,
ternyata ada sebuah bungkusan tepat diatas kuburan sang ular. Ia melihat ke sekeliling mencoba
mencari tahu siapa pelempar bungkusan itu. Tetapi ia tidak menemukannya. Lama ia berkeliling di
daerah sekitar situ untuk mencari tahu, tetapi ia tidak dapat menemukan siapa-siapa.

Cio San memutuskan untuk melikat isi bungkusan itu. Siapa tahu ada jati diri pelakunya di dalam
bungkusan itu. Cepat-cepat Cio San membuka bungkusan itu dengan menggunakan tangan kirinya,
karena jari tangan kanannya telah tertempel lapisan kulit itu.

Ternyata bungkusan itu berisi sebuah surat dan satu setel pakaian. Cio San membuka surat itu, dan
membacanya:
“Jika kau ingin menggunakan lapisan kulit itu sebagai topeng, gunakan tenaga api untuk
membentuknya. Jika terkena daging makhluk hidup maka lapisan itu akan menempel dengan kuat.
Sifat lengketnya akan hilang jika kau mengunakan panas. Jika kau ingin membentuknya sesuai
keinginanmu, gunakanlah api untuk membentuknya,

Aku kirimkan juga sebuah pakaian yang pantas kau pakai. Selamat datang di dunia Kang-ouw”

Salam”

Hanya itu saja isi surat itu. Cio San yakin pasti ada seorang sakti yang ingin menolongnya. Akhirnya
ia memutuskan untuk percaya saja kepada surat itu. Siapapun yang ingin menolongnya pasti
mempunyai maksud yang baik terhadapnya.

Cio San akhirnya membuat api dengan menggunakan batu-batuan dan ranting kayu yang berserakan di
sekitar situ. Benar saja ketika didekatkan kepada api, daya lengket lapisan kulit itu pun berangsur-
angsur menghilang.

Setelah itu dengan berani Cio San meletakan lapisan itu ke wajahnya setelah terlebih dulu membuat
lubang untuk kedua matanya dengan menggunakan ujung kayu yang terbakar api. Ketika melihat
pantulan bayangan wajahnya di sungai, Cio Sa kagum sekali. Wajahnya sudah berubah. Kini seperti
lebih tua 10 tahun.

Lapisan itu seperti merubah bentuk tulang Cio San, dan juga warna kulit wajahnya. Dengan kayu
terbakar tadi, ia juga membuat lubang hidung, serta mulut. Sisa-sia lapisan yang ada, dipotongnya
juga dengan menggunakan kayu terbakar itu.

Ia kini telah berbeda wajah. Memang lebih jelek daripada wajah aslinya. Hidungnya sedikit bengkok.
Bahkan ada kantung mata yang terbentuk di bawah wajahnya. Kulit wajahnya pun pucat sekali, seperti
orang berpenyakitan.

“Memang hebat sekali ciptaan Tuhan ini...” pikirnya dalam hati.


“Terimakasih tuan penolong, cayhe [saya] akan selalu mengingat pertolongan tuan” teriak Cio San. Dia
lalu bergegas menggunakan pakaian yang ada dalam bungkusan itu. Pakaian itu lengkap ada baju
panjang, celana, dan juga pakaian dalam. Bahkan ada juga sekantong uang.

Walaupun tidak ada sepatu, Cio San bersyukur juga diberi pakaian berwarna biru muda itu. Cocok
sekali ketika ia pakai. Tubuhnya yang tegap dan tinggi, membuat ia terlihat gagah sekali. Namun jika
orang memperhatikan wajahnya, akan terlihat rupa yang kusam dan pucat seperti orang
berpenyakitan.

Karena hari sudah sore, Cio San memutuskan untuk besok pagi saja ia pergi dari situ. Ia membuat api
unggun di dekat kuburan si ular sahabatnya. Dan tidur di situ.

Besok pagi-pagi ia sudah bangun dan bersiap-siap untuk pergi. Dia memberi hormat 3 kali di depan
kuburan ular itu, dan juga di sebuah tempat yang dulunya berupa makam A Liang. Setelah itu dia
berangkat. Entah kemana. Manusia datang dan pergi. Itulah kehidupan.

Bab 12 Dunia Baru Yang Tidak Asing

Cio San berjalan ke arah barat. Dari posisi bintang tadi malam, ia tahu bahwa ia sedang berada di
timur. Entah bagaimana ia bisa sampai ke dalam terowongan itu 3 tahun yang lalu. Mungkin ia
terjatuh di dalam pusaran air, yang membawanya jauh sampai ke dalam terowongan itu. Entahlah.
Hanya Thian yang tahu.

Dunia berputar dan manusia terjebak dalam gelombangnya. Siapa yang mengikuti arus pastilah sampai
tujuan. Siapa melawan arus pasti akan tenggelam oleh jaman. Kehidupan ini alurnya siapapun tiada
yang tahu. Semua kejadian berhubungan dengan masa lalu dan masa depan.

Nasib Cio San ini, jelas dia sendiri tidak menyangka. Dari sebuah keluarga yang bahagia yang tinggal
di kaki gunung Go Bi san. Lalu menjadi sebatang kara sampai kemudian diangkat menjadi murid
Butongpay. Kemudian malah menjadi buronan Butongpay karena dianggap membantu pembunuhan
gurunya. Sehingga terdampar dan hidup di dalam perut bumi. Bertahan hidup menghadapi keadaan
hidup yang berat. Lalu berkelahi dengan ular, bahkan kemudian menjadi sahabat ular itu.
Lalu kini sang sahabat pun mati, sedangkan dia kini harus berkelana tanpa tujuan. Apa yang harus
dilakukannya kini. Yang menderita adalah hidup tidak bahagia. Namun yang lebih menderita lagi
adalah hidup tanpa tujuan.

Dengan tubuh terluka, bahkan dia sendiri tidak bisa menggunakan tenaga dalamnya. Apa yang bisa
dilakukan di dunia kang ouw dengan keadaan seperti itu?. Cio San memutuskan untuk kembali ke dunia
ramai, tapi dia tidak akan mencampuri urusan Kang-ouw. Ia ingin hidup tenang tanpa pertempuran.
Tanpa perebutan kekuasaan.

Cio San memutuskan untuk menjadi juru masak saja. Ia memiliki sedikit pengetahuan tentang
memasak. Ia pun sudah banyak menghafal resep-resep masakan yang enak-enak. Kini ia berjalan
dengan mantap. Walaupun agak sedikit gontai karena terluka. Setidaknya ia kini mempunyai arah
hidup.

Selama 2 hari Cio San menyusuri hutan itu. Ternyata ia telah berada jauh dari gunung Butongsan.
Karena dari letaknya kini, ia bisa melihat gunung itu. Indah sekali. Cio San merasa beruntung bahwa
ia terdampar cukup jauh dari Butongsan. Air sungai ternyata membawanya cukup jauh.

Dalam 2 hari ini, Cio San bertahan hidup dengan memakan buah-buahan dalam hutan, serta
menangkap hewan buruan seperti kelinci dan ayam hutan. Ia juga tidak lupa mengumpulkan beberapa
bahan yang bisa dipakainya untuk membuat bumbu masakan yang enak. Dari pengetahuannya, ia
mengumpulkan banyak sekali bahan-bahan. Ia juga tak lupa mengumpulkan beberapa bahan yang bisa
dijadikan sebagai obat-obatan. “Mumpung berada di hutan, dan banyak sekali bahan-bahannya” begitu
pikir Cio San.

Perjalanannya dilakukan dengan riang. Walaupun hatinya sedih terhadap kematian si ular, ia bisa
menerima kematian itu sebagai satu takdir. Cio San telah anyak mengalami kematian orang-orang
terdekatnya. Ayah ibunya, keluarga besarnya, gurunya, sahabat terbaiknya, dan juga si ular.

Ayahnya mengajarkan bahwa kematian telah ditakdirkan. Tidak bisa dimajukan atau dimundurkan.
Ayahnya memang menganut agama dari daerah barat, yang mengajarkan seperti itu. Walaupun bukan
penganut yang taat dan keras, setidaknya banyak nilai-nilai ajaran agama itu yang ayahnya percayai.
Bahkan ayahnya pun juga tidak memaksa Cio San untuk mengikuti agama itu. “Biarlah kau memilih
sendiri mana yang kau percayai, jika kau dewasa nanti” begitu kata ayah Cio San waktu itu.
Memang di hati Cio San tidak ada dendam, bahwa ia harus membalas kematian-kematian ini. Tetapi
jiwanya selalu menuntut keadilan nanti. Suatu hari kebenaran akan terkuak, dan keadilan akan
ditegakkan. Siapa yang bersalah harus dihukum.

Hanya itulah yang ada di hatinya. Oleh sebab itu dia bisa berjalan dengan ringan dan menikmati
hidup. Apa yang terjadi telah ditakdirkan. Apa yang belum terjadi harus diusahakan. Jika ingin
kebenaran berjuanglah. Jika ingin keadilan berjuanglah. Itulah yang selama ini diajarkan ayah ibunya.

Teringat ia akan ayah ibunya, Cio San merasa bersalah. Selama ini ia tidak pernah mengunjungi
makam mereka. Cio San memutuskan untuk mengunjungi mereka ketika ia sudah mampu membeli
kuda. Karena letk kuburan ayah ibunya jauh sekali. Dan untuk membeli kuda yang bagus, ia harus
bekerja.

Cio San telah memutuskan bahwa ia tidak akan menggunakan uang pemeberian orang yang
menolongnya itu, jika benar-benar tidak penting. Jika masih bisa bekerja, maka ia lebih baik bekerja
saja.

Saat menjelang siang hari, akhirnya ia bisa keluar dari hutan itu. Tak lama berjalan, ia melihat
sebuah rumah. Ternyata rumah seorang petani. Si petani itu baru saja selesai menggarap sawahnya
dan kini sedang beristirahat. Petani itu sudah tua, namun tubuhnya masih terlihat segar dan kokoh.
Hanya wajahnya saja yang sudah terlihat keriput-keriputnya.

“Selamat siang lopek,...bolehkah saya numpang istirahat sebentar, saya tersesat beberapa hari di
hutan” kata Cio San dengan hormat.

“Oh..tersesat? Memangnya anak ini mau kemana dan dari mana?” tanya si petani itu ramah namun
sedikit kaget juga.

“Mmmm....saya sedang berkelana lopek. Tapi karena tidak tahu jalan, saya tersesat..” ujar Cio San
sambil malu-malu.

“Wah ternyata anak ini dari kaum bu-lim [persilatan] ya? Mari-mari silahkan istirahat disini...” jawab
si petani ramah.
Jaman itu kaum persilatan memang dihormati dan dikagumi rakyat jelata, karena terbukti mampu
membebaskan tanah air dari penjajah Mongol. Sehingga rakyat biasa jika bertemu dengan orang-
orang kang-ouw pasti akan hormat dan kagum.

Si kakek petani yang merasa senang mendapat tamu orang kalangan Kang-ouw itu malah bersemangat
sekali untuk bercerita,

“Dulu sering sekali orang-orang kang-ouw lewat sini. Apalagi jaman peperangan dengan penjajah
mongol dulu. Daerah sini banyak dilewati pahlawan-pahlawan. Saat itu aku masih kecil. Setelah
peperangan, daerah ini jarang dilewati orang kang-ouw selama puluhan tahun. Baru beberapa tahun
yang lalu ini, tempat ini mulai ramai lagi...” cerita si kakek.

“Mulai ramai? Apa sebabnya lopek?” tanya Cio San

“Orang-orang kang-ouw itu ramai-ramai mengejar buronan. Katanya buronan ini adalah murid
Butongpay yang murtad. Menurut cerita yang kudengar, ia bersekongkol dengan seorang tukang
masak. Mereka membunuh salah seorang guru di Butongpay, lalu mencuri kitab sakti milik Butongpay.
Bahkan ia sempat juga meracuni Ciangbunjin nya partai Butong itu” kata si kakek.

Seketika itu juga Cio San terhenyak. Untuknya ia sedang memakai topeng sehingga perubahan raut
mukanya tidak terlihat. Ia lalu bertanya,

“Lalu apakah buronan itu sudah ditemukan?”

“Selama hampir 2 tahun orang-orang kang-ouw mencari-cari namun katanya tiada hasil. Akhirnya
setahun ini daerah ini sudah sepi lagi...eh, anak sendiri ini ke daerah sini apa mencari buronan itu
juga?”

Cio San cepat menjawab,

“Ah sebenarnya tidak mencari, hanya mau melihat-lihat keramaian. Tapi karena saya ini masih hijau,
sering-sering tersesat. Dan juga banyak hambatan di jalan. Akhirnya baru sekarang sampai kemari...”

“Ooo begitu, anak ini asalnya darimana? Dan namanya siapa?” tanya si kakek lagi.
Sadar bahwa dari tadi ia belum meperkenalkan, Cio San malah merasa kurang sopan

“Ah maaf lopek sejak tadi saya lupa memperkenalkan diri. Saya berasal dari sebuah desa di dekat
Kanglam.Hanya desa kecil tidak terkenal. Sejak kecil saya suka belajar silat. Setelah dewasa ingin
berkelana...”

Si Kakek tersenyum, cerita seperti itu memang sering terjadi, pikirnya.

“Lalu nama anak siapa?” tanyanya lagi

Agak gelagapan juga Cio San menjawabnya,

“Mmmm...nama...saya Tan Liang San....” jawabnya terbata-bata. Cepat juga ia berfikir tentang nama
ini. Sebenarnya itu di ambil dari she [marga] gurunya Tan Hoat, nama A Liang, dan juga namanya
sendiri. Akhirnya terciptalah nama Tan Liang San.

“Oooo,..she Tan ya. Kalau aku she Oey bernama Hoa.” kata si kakek.

“Senang berkenalan dengan Oey-lopek” kata Cio San sambil memberi hormat ala kaum bu-lim.

Si kakek senang sekali menerima penghormatan seperti itu, ia pun membalasnya. Selama ini orang-
orang kangouw yang berkeliaran di daerah situ tidak ada satupun yang memberi hormat seperti itu
kepadanya. Karena memang dalam pandangan kaum kangouw, orang-orang seperti petani tua ini adalah
kaum rendahan yang tidak perlu diberi hormat seperti itu.

Mereka ngobrol lama sekali. Bahkan Cio San pun bahkan membantu kakek itu bekerja mengurusi
sawahnya. Sambil bekerja, mereka tetap ngobrol-ngobrol dengan riang. Dari obrolan itu setidaknya
Cio San bisa mengerti perkembangan yang terjadi di dunia Kangouw.
Ternyata perguruannya, Butongpay telah mengeluarkan pengumuman bahwa ia telah dipecat dari
Butongpay. Perbuatannya telah membawa kegemparan di dalam dunia kangouw, sehingga banyak dari
golongan Kangouw ini pun yang mengejar dan mencarinya.

Tapi Cio San paham bahwa sebenarnya bukan dirinyalah yang diincar melainkan kitab silat sakti yang
diduga telah dibawa olehnya. Karena dibawah kolong langit, hanya 3 hal lah yang paling menarik bagi
orang kangouw. Kitab silat sakti, senjata pusaka, atau harta karun.

Sedih juga Cio San mendengar bahwa ia telah dipecat oleh Butongpay. Bahkan kini telah menjadi
incaran orang-orang kangouw.”Suatu saat nanti, aku harus membersihkan namaku” begitu pikirnya.

Si kakek menawarkan untuk bermalam di gubuknya. Cio San dengan senang hati menerima tawaran
itu. Semalaman mereka pun bercerita pula. Cio San sangat senang mendengarkan karena ia sudah
lama tidak mengobrol dengan manusia. Sampai larut malam akhirnya mereka tertidur.

Pagi-pagi sekali Cio San sudah bangun. Ternyata si kakek sudah bangun lebih dulu. Sempat membantu
si kakek membuat sarapan, kemudian Cio San pergi mandi. Selsai mandi baru mereka berdua makan.
Lalu Cio San berpamitan.

Si kakek memberikan sepasang sepatu miliknya. Cio San sudah berkali-kali menolak tetapi si kakek
terus memaksa. Akhirnya agar tidak mengecewakan sang kakek, ia menerima juga sepatu itu. Ada
rasa haru juga di hati Cio San ketika mereka berpisah. Padahal baru kenal sehari. Tapi Cio San
memang orang yang halus hatinya.

Ia kini berjalan menyusuri jalanan yang menuju kepada sebuah desa terdekat. Si kakek yang
menunjukkan jalan itu kepadanya. Kata si kakek jalan itu menuju desa terdekat. Jaraknya lumayan
jauh, mungkin tengah hari baru sampai ke desa itu. Tapi di sepanjang jalan Cio San bertemu dengan
beberapa rumah penduduk. Nampaknya itu rumah para petani, karena di sekitar rumah itu pun
terlihat banyak sawah. Cio San kadang berpapasan dengan orang. Mereka menyapa dengan ramah.
Rupanya daerah situ sering didatangi orang asing sehingga mereka tidak terlalu curiga kepada Cio
San.

Sampai tengah hari baru akhirnya desa itu kelihatan. Kelihatannya memang desa yang ramai. Melihat
keadaan seperti itu, Cio San lantas teringat desa tempat ayahnya berasal. Dulu waktu kecil sering
sekali ia berkunjung kesana.
Ketika sampai ke desa yang ramai ini. Cio San senang namun juga khawatir. Ia senang karena sudah
lama memang tidak bertemu manusia. Dulu ia memutuskan untuk hidup saja di dalam goa adalah bukan
karena ia tidak suka untuk hidup lagi di tengah keramaian. Melainkan karena ia khawatir. Khawatir
terseret oleh banyak sekali kepentingan orang-orang kangouw.

Sejak kecil, ia sudah merasakannya. Kedua orang tuanya dibunuh, keluarga besarnya, gurunya,
sahabatnya. Semua terbunuh karena begitu banyak kepentingan orang-orang kangouw ini. Ia masih
belum tahu apa penyebabnya semua orang-orang yang dekat dengannya terbunuh. Tapi ia yakin pasti
suatu saat ia akan mengetahuinya.

Kenyataan bahwa ia harus terseret dalam pusaran kepentingan orang-orang kangouw inilah yang
membuat ia khawatir. Cio San memang mewarisi sifat ayahnya yang penyabar, penyayang, dan
romantis. Sifat ayahnya yang tidak suka berkelahi, lemah lembut, dan tenang itu memang mengalir ke
dalam dirinya.

Ia memang kini senang sekali belajar silat. Tetapi itu bukan karena akan ia pakai untuk berkelahi,
melainkan semata-mata karena ia menyukai silat. Ibarat orang yang menyukai mancing, ikan yang ia
tangkap bukan untuk ia makan, melainkan ia lepas kembali. Proses menunggu, memancing, dan tarik
ulur dengan ikan lah yang dicari oleh orang yang suka mancing. Begitulah pula Cio San dengan
kesukaannya terhadap ilmu silat.

Akan tetapi Cio San pun mewarisi kegagahan dan rasa keadilan dari ibunya, yang adalah pendekar
ternama Gobi-pay. Cio San tidak suka melihat ada orang yang ditindas, dicurangi, atau dirampas
haknya. Dalam hati kecilnya ia selalu ingin membela atau melakukan sesuatu.

Bukannya ia pendendam, tetapi ia merasa orang harus mendapatkan apa yang diusahakannya. Jika
yang diusahakannya itu kebaikan, maka kebaikan pula yang ia dapat. Jika kejahatan, maka kejahatan
juga yang ia dapat. Dorongan inilah yang membuat muncul suatu tekad di dalam hati Cio San untuk
membersihkan namanya, dan nama A Liang. Dan juga untuk mencari keadilan atas kematian
keluarganya, dan juga gurunya.

Akan tetapi Cio San memutuskan untuk melakukannya dengan tenang dan perlahan, agar semua
permasalahan menjadi jelas dan terang benderang. Rupanya sifat ayahnya ini yang mendorongnya
untuk bersikap seperti itu.
Sifat orangtua ini memang selalu mengalir kedalam anak-anaknya. Buah memang jatuh tidak jauh dari
pohonnya. Benar juga pameo ini. Gabungan antara sifat pendekar Gobipay yang gagah dan benci
dengan ketidakadilan ditambah dengan sifat seorang sastrawan yang halus, lemah lembat, namun
tajam dalam berfikir inilah yang menjadi sifat Cio San sekarang.

Sambil berjalan kaki, Cio San menikmati segala pemandangan yang terhampar di depan matanya.
Selama sekitar 3 tahun ia telah terperangkap di dalam kegelapan. Ada perasaan suka cita yang timbul
juga di dalam hatinya ketika melihat segala pemandangan ini.

Akan tetapi pikirannya pun juga tak berhenti berfikir tentang bagaimana ia harus menghadapi dunia
ini. Saat ini posisinya telah menjadi buronan. Bahkan telah menjadi buruan kaum kangouw karena
disangka ialah yang telah mencuri kitab sakti itu.

Cio San memutuskan bahwa untuk sementara ia harus berdiam dulu di suatu tempat. Tempat itu
harus ramai oleh banyak orang sehingga cerita dan kejadian-kejadian yang terjadi di dunia Kangouw
dapat diketahui dan dipahami olehnya secara keseluruhan.

Ia merasa sangat beruntung bahwa saat ini ia memakai topeng dari kulit ari ular. Entah siapa yang
telah menolongnya dan memberikan ide kepadanya. Dalam hatinya Cio San pun memutuskan untuk
mencari tahu siapa orang yang telah membantunya itu.

Dari pemikiran itu, Cio San mengambil keputusan bahwa ia harus bekerja dulu di sebuah rumah
makan. Karena itulah keahlian yang dimilikinya selain kemampuan silat. Banyak sekali resep-resep
masakan yang dikuasainya, yang pasti akan membantunya agar bisa diterima di sebuah rumah makan.

Rumah makan adalah tempat semua orang berkumpul. Dari sanalah ia bisa mendengar cerita-cerita
dan kejadian dunia kangouw. Mungkin langkah-langkah selanjutnya akan bisa ia putuskan setelah
mengetahui apa-apa saja kabar dan berita dunia kangouw. Karena baginya, ia harus mengetahui segala
sesuatunya dulu sebelum mengambil langkah apapun.

Tersenyum dia memikirkan semua ini. Akhirnya ada jalan juga baginya untuk mengetahui kebenaran.
Walaupun jaraknya masih jauh sekali, tetapi langkah pertama akan dijalaninya. Cio San menatap ke
depan dengan gagah.
“Dunia, aku datang.......”

Bab 13 Di Sebuah Warung Kecil


Cio San beristirahat sejenak untuk menikmati keindahan alam desa yang asri dan indah itu.
Berbasi-basi sebentar dengan penduduk disana. Cio San memperkenalkan dirinya sebagai
Tan Liang San, seorang pemuda hijau yang sedang berkelana mengenal dunia.

Sama seperti kakek petani yang pertama kali ditemui Cio San, penduduk desa disitu pun
menerima kehadiran Cio San dengan tangan terbuka. Bahkan ada beberapa yang
menawarkan Cio San untuk menginap di rumah mereka. Dengan halus Cio San menolak
tawaran itu dan berkata bahwa ia harus buru-buru sampai di kota terdekat.

Dari para penduduk Cio San kemudian mengetahui arah jalan menuju kota Liu Ya. Kota ini
termasuk kota besar di daerah Kanglam. Menuju kesana membutuhkan jalan kaki yang
cukup lama, serta penyebrangan sungai menggunakan perahu.

Setelah berpamitan dan memberi salam hormat, berangkatlah Cio San menuju kota Liu Ya.
Perjalanan yang ditempuh dengan berjalan kaki cukup panjang. Dari tengah hari sampai
hampir menjelang senja baru Cio San tiba di sebuah dermaga kecil tempat perahu
penyebrangan.

Ternyata hanya ada beberapa perahu yang ada disana. Cio San mendekati salah seorang
yang ada disana, setelah menyepakati harga dimulailah perjalanan Cio San menyebrang
sungai. Ini memang bukan penyebrangan pertama baginya, akan tetapi Cio San senang
juga. Sudah lama sekali ia tidak menaiki perahu. Kenangan indah tentang masa kecil
bersama ayah ibunya menaiki perahu sekejap terlintas di dalam pikirannya.

Di sepanjang perjalanan kembali Cio San mengagumi pemandangannya yang indah. Banyak
rumah dan desa yang berada di sekitar sungai itu. Cio San juga menghabiskan waktu untuk
mengobrol dengan si tukang perahu. Banyak cerita yang ia dapatkan tentang keadaan kota
Liu Ya. Ternyata menyenangkan juga mengobrol dengan si tukang perahu itu.

Hari sudah mulai gelap ketika Cio San tiba di dermaga kota Liu Ya. Si tukang perahu sangat
senang sekali ketika menerima pembayaran Cio San. Ternyata kelebihannya banyak sekali.
Cio San memang orang yang murah hati sejak kecilnya.

Begitu tiba di dermaga, Cio San memperhatikan keadaan sekelilingnya. Walaupun sudah
mulai malam nampaknya kegiatan di dermaga itu tidak pernah sepi. Banyak orang masih
menyebrang, atau membongkar barang muatan. Atau juga sekedar duduk-duduk di daerah
dermaga itu.

Dari cerita si tukang perahu, Cio San tahu bahwa kebanyakan yang duduk-duduk itu adalah
anggota Hai Liong Pang [perkumpulan Naga Lautan]. Mereka ini adalah perkumpulan yang
menguasai dermaga-dermaga. Perkumpulan sejenis ini sangat banyak, dan kadang
menguasai daerah tertentu. Kebetulan Hai Liong Pang ini yang menguasai dermaga-
dermaga di daerah Kanglam. Ciri-ciri anggota Hai Liong Pang adalah menggunakan sabuk
besi berwarna hijau dengan hiasan kepala naga di sabuknya.
Si tukang perahu berpesan agar jangan mencari gara-gara dengan mereka. Cio San pun
memang tidak ada maksud untuk mencari perkara. Ia sebisa mungkin tidak melakukan hal-
hal yang akan menimbulkan keributan agar tidak terjadi masalah yang tidak diinginkannya.
Cio San sendiri pun memang tidak ada niat mencari perkara. Iya sendiri masih belum tahu
apa yang ia lakukan di kota ini. Ia hanya ingin menikmati saja dulu keramaian ini. Sekian
lama hidup di dalam gua, membuat ia sedikit terasing, dan tertinggal pengetahuannya. Cio
San memutuskan untuk sekedar mengobrol atau mendengarkan pembicaraan orang-orang.
Sekedar menambah pengetahuannya atas apa yang terjadi di dunia ramai.

Sambil berjalan keluar dari dermaga, ia merasa kagum juga dengan perkumpulan Hai Liong
Pang itu. Mereka punya wibawa yang tinggi, dan mampu mengatur dermaga dengan baik.
Walaupun mereka berwajah garang, mereka tetap bisa sopan kepada orang-orang di
dermaga. Segala kegiatan di dermaga lumayan tertata rapi.

Kota Liu Ya, indah sekali di saat malam. Mungkin karena ini kota pelabuhan, Liu Ya sangat
ramai. Lampion menyala dimana-mana. Di sepanjang jalan terdapat warung dan toko-toko.
Orang yang berjualan di pinggir jalan pun tak kalah banyak. Bangunan di kota ini terlihat
megah dan besar-besar. Sepertinya banyak orang kaya yang memilih tinggal disini.
Mungkin karena kota pelabuhan seperti Liu Ya ini memang cocok untuk mengembangkan
usaha dagang.

Cio San memilih sebuah warung sederhana yang walaupun tidak terlalu besar, tapi terlihat
ramai. Ia ingin sekedar minum teh, dan mengisi perut. Ketika memasuki warungnya, si
pelayan dengan ramah mempersilahkannya duduk. Untunglah masih ada sebuah bangku
kosong di pojok warung itu.

Kagum juga Cio San melihat isi warung yang lumayan tertata rapi

Ia memesan seguci teh, sepiring nasi, sayur, dan daging. Tidak usah menunggu terlalu
lama, pesanannya sudah tiba. Ia pikir,, pantas saja warung ini lumayan ramai.
Pelayanannya lumayan menyenangkan. Rasa makanannya walaupun tidak terlalu istimewa,
sudah termasuk enak.

Sambil makan, Cio San memperhatikan sekelilingnya. Ramai orang di warung ini rupanya
sebagian besar dari kalangan Kang ouw (dunia persilatan). Di lihat dari dandanan mereka,
dan senjata yang mereka bawa. Obrolan mereka pun seputar perkelahian dan dunia bu lim
(kehidupan persilatan).

Percakapan yang kurang menarik, karena sebagian besar mereka hanya menceritakan
pertempuran-pertempuran yang mereka menangkan, tentunya sambil ditambah-tambahi
disana-sini.

“Saat aku menjatuhkannya, aku tidak perlu mengeluarkan pedangku dari sarungnya.
Ilmunya yang paling terkenal, Naga menjemput mangsa, cuma kentut anak-anak. Hanya
perlu beberapa jurus, sudah mampu kupecahkan inti sari jurus andalannya itu” kata salah
seorang.

“Lalu bagaimana kakak Bhok mengalahkannya? Pakai jurus apa?” Tanya salah seorang

“Cukup paka jurus ke 5 ilmu andalanku, Menyongsong Badai menguak tabir. Begitu ia
menyerang sambil melayang, aku sudah langsung melihat titik lemah serangannya, tanpa
melolos pedang, segara ku totok titik hiat tit di lengan kirinya. Begitu tertotok, ia segera
menyerah” jawabnya

“Terus?”

“Ku tinggal pergi saja. Tentunya tidak lupa membawa perempuan yang selama ini
bersamanya. Hehehehe” jawabnya
“Oooh, berarti perempuan yang selama seminggu ini menemani kakak Bhok rupanya adalah
gundik keparat itu? Pantas cantik sekali. Hahahahahahaah”

“Cantik memang, tapi bosan juga setiap hari perempuan itu menangis minta pulang. Aku
bilang, ‘percuma kau pulang, si keparat Suma Kun Bun itu tidak bakalan menerima kau”

“Apa jawab si gundik?” Tanya temannya

“Dia cuma menangis saja, tapi setelah tidur bersama tiap hari, eh lama-lama tangisnya
hilang. Dia malah minta tidur terus. Hahahahahahahah” jawabnya

“Ah perempuan itu ya begitu, bilang bosan, bilang takut, bilang marah, tapi kalau sudah
diajak tidur, ya doyan juga” ucapan itu membuat seluruh isi warung tertawa. Maklum isinya
laki-laki semua.

“Sekarang perempuan itu dimana, kakak Bhok?” Tanya salah seorang

“Di kamar penginapan” jawab orang yang dipanggil kakak Bhok itu.

“Wah, kau heras cepat-cepat pulang kakak Bhok, kalau dia kedinginan bisa masuk angin.
Nanti harus kau lah juga yang mengkeroki punggungnya dengan pedang ‘tumpul’ mu” kata
salah seorang, yang sudah pasti disambut dengan tawa gemuruh.

Obrolan saru macam ini, memang tidak lepas dari kehidupan Kang Ouw, terutama mereka
yang dari golongan Hek (hitam). Tapi golongan Pek (putih) pun kadang-kadang mengobrol
seperti ini. Dulu waktu kecil, ketika ia sering diajak ibunya mengunjungi di beberapa
tempat, ibunya menyuruh Cio San agar menutup kuping. Kadang-kadang karena rishi
ibunya memilih untuk mengajaknya pergi dari tempat-tempat dimana ada obrolan seperti
ini.

Cuma karena Cio San memang masih kecil, ia kurang begitu paham maksud obrolan itu.
Sekarang ketika sudah mulai dewasa, ia bisa mengerti kenapa ibunya selalu menyruhnya
menutup kuping.

Warung mulai bertambah ramai. Cio San tak lupa memperhatikan siapa saja yang ada di
warung itu. Memperhatikan senjata mereka, gaya berpakaian mereka, dan lain-lain. Sejak
kecil ia memang suka memperhatikan sesuatu. Banyak tamu yang pulang, tapi juga banyak
tamu yang datang.

Mengikuti obrolan itu, tahulah Cio San, siapa-siapa saja yang ada di situ. Orang yang
disebut “kakak Bhok” itu bernama Bhok Gai Sun. Dia dijuluki Macan Barat. Makanya
bajunya pun dari kulit macan. Bhok Gai Sun ini walaupun bukan termasuk pendekar kelas
atas, namanya lumayan terkenal. Ia datang dari keluarga pemburu yang dikenal memiliki
ilmu silat keluarga yang cukup baik. Tindak tanduk keluarga ini pun juga tidak terlalu
tercela, walaupun juga tidak terlalu terkenal.
Teman-teman Bhok Gai Sun yang ada di warung itu pun juga adalah orang-orang kasta
menengah di dunia kang ouw. Bukan pendekar-pendekar nomer satu, tapi juga bukan
orang-orang lemah yang bisa dianggap enteng. Ada beberapa nama yang dikenal Cio San,
seperti Oey See Kang, si malaikat wajah Iblis. Ada juga Tio Tay Li, orang dari Tionggoan
selatan yang terkenal dengan jarum beracunnya. Nama-nama ini pernah Cio San dengar
sekilas saat masih di Bu Tong san. Nama-nama lain yang ada di warung ini tidak pernah Cio
San dengar.

“Kalau menurut kaka Bhok, siapa pendekar nomer satu di dunia ini yang masih hidup?”
Tanya Oey See Kang.

“Menurutku? Wah banyak sekali yang masuk daftarku. Mereka harus diadu, baru bisa lihat
siapa yang nomer satu”

“Siapa saja itu?” Tanya Oey See Kang lagi.

“Ciangbunjin Bu Tong Pay (ketua Butong pay), Lau Tian Liong. Ciangbunjin Siau Lim
Pay(ketua siau lim pay), biksu Hong Tung, dan Ciangbunjin Mo Kau (ketua partai iblis) , Ang
Soat.. Ketiga pemimpin partai besar ini pantas dijuluki pendekar nomer satu” kata Bhok Gai
Sun.

“Bagaimana dengan si Pendekar Kelana, Can Liu Hoa?” Tanya Oey See Kang lagi,

“Ah pendekar kelana ini, tidak pernah ada kabar. Tindak tanduknya pun sangat misterius.
Tidak pernah ada orang yang bisa melihatnya. Hanya kalau berindak, meninggalkan nama
dengan goresan pedang. Aku sendiri tidak yakin orang ini betul-betul ada atau hanya
dongeng saja.” Sahut Bhok Gai Sun.

“Tapi banyak pendekar yang mengaku kalah olehnya” sahut salah seorang.

“Entahlah. Bisa saja mereka mengaku kalah dan terluka oleh si Pendekar kelana, hanya
supaya menutup malu. Cerita itu bisa saja mereka karang-karang supaya terlihat hebat,
kalah oleh si pendekar kelana” kata Bhok Gai Sun.

“Ah bisa juga seperti itu ya” kata hamper semua orang yang ada di situ sambil
mengangguk-angguk. Memang orang kang-ouw itu senang mendengar cerita seperti itu.
Mereka kebanyakan senang jika ada pendekar lain yang kalah. Membuat mereka sedikit
lega, bahwa ilmu silat mereka masih diatas pendekar-pendekar yang kalah itu.

“Nah itu kan pendekar kelas atas, angkatan tua. Semua orang mengakuinya, Bagaimana
dengan yang angkatan muda?” Tanya salah seorang.

“Kalau angkatan muda, hmmm, tidak ada yang mampu mengalahkan pangcu (ketua) dari
Kay Pang, orang she (marga) Ji bernama Hau Leng” kata Bhok Gai Sun.

“Ah benar..benar. Ji Hau Leng memang terkenal sekali. Masih muda, tampan, dan sudah
mengepalai partai terbesar di Tiong Goan. Jumlah anggota tidak resminya saja mencapai
puluhan ribu” orang-orang mengangguk tanda setuju.

“Tapi jangan lupa juga, dengan pendekar muda dari Bu Tong Pay, si Naga Harum, Beng
Liong” kata Oey See Kang.

Cio San terhenyak,


Bhok Gai Sun berkata, “Ya benar, aku baru saja mau menyebut namanya. Dia pendekar
muda gagah, yang tindak tanduknya gagah. Cuma memang sepertinya ilmunya masih
dibawah Ji Hau Leng. Namun melihat tindak tanduknya yang tidak kalah gagah, rasa-
rasanya dia memang masuk dalam kelas pendekar muda nomer satu. Umurnya baru 20,
mungkin juga belum genap. Beda 7 tahun dengan Ji Hau Leng. Tapi rasa-rasanya ilmu
mereka ya tidak begitu beda jauh. Masalah tampang, ya masih menang Beng Liong. Cara
berpakaiannya pun mengagumkan. Rasanya, kalau masalah menjatuhkan perempuan, si
Beng Liong jelas lebih unggul dari Ji Hau Leng.” Kalimat terakhir ini membuat yang hadir
tertawa terbahak-bahak.

“Memang Beng Liong ini tampan dan gagah. Aku sudah pernah bertemu dengannya sekali.
Itu pun hanya melihat dari jauh. Aku saja yang laki-laki ini iri dengan tampangnya. Kenapa
bukan tampangku yang sepert itu ya? Hahahahahaha” ujar salah seorang.

“Iya, dia tampan sekali. Tindak tanduknya pun gagah. Dengar-dengar, ia tidak pernah mau
membunuh orang ya? Walalupun itu perampok ganas sekali pun, jika sudah kalah dan
menyerah, pasti diampuni Beng Liong.”

“Yang kudengar juga seperti itu, ia pun wangi sekali. Dari jauh saja wanginya sudah sampai
ke hidungku. Kadang ada orang yang wanginya itu menyenangkan. Aku tidak suka wangi-
wangian yang keterlaluan. Tapi wanginya si Beng Liong ini memang lembut sekali. Seperti
wangi bayi. Kudengar dari obrolan orang, sejak kecil tubuh Beng Liong memang sudah
direndam orang tuanya di ramuan khusus. Makanya tubuhnya lah yang wangi. Bukan
wangi-wangi buatan yang biasa kita semprot di pakaian kita untuk menutupi bau keringat
kita yang seperti cuka. hahahahahaha” seluruh ruangan tertawa, Cio San pun ikut tertawa.
Sekian lama bersama Beng Liong dulu di Bu Tong San, memang tubuh Beng Liong sangat
harum. Saat berkeringat, harumnya pun semakin bertambah. Dulu Cio San mengira Beng
Liong memakai pewangi khusus, tahunya ternyata sejak kecil memang ada memakai
ramuan khusus.

“Jelas Beng Liong ini jadi pujaan hati perempuan. Kalo dibandingkan dengan ketua
perkempulan pengemis yang kotor dan bajunya penuh tambal, jelas menang kelas lah.
Hehe. Eh,,kakak Bhok, bicara tentang perempuan, siapa dari golongan muda, yang
merupakan pendekar perempuan kelas atas?” Tanya Tio Tay Li.

“Aha, kalo bicara perempuan, inilah kehebatanku, haha. Menurutku, pendekar wanita paling
mantap adalah Khu Ling Ling. Huaaaaa,,dia cantik sekali.” Kata Bhok Gai Sun, sambil
membelalakkan mata, dan menjlita liur di lidahnya.

“Maksud kakak Bhok, Khu Ling Ling dari keluarga Khu yang terkenal itu?”

“Benar. Umurnya baru 19 tahun. Tindak tanduknya pun gagah. Wajahnya cantik sekali,
bagai dewi dari khayangan. Aku belum pernah melihat perempuan secantik itu. Umurnya
masih muda tapi sudah memiliki ilmu silat kelas atas. Guru-gurunya pun bukan orang
sembarangan. Keluarga Khu memang sangat kaya sanpai-sampai bisa mendatangkan guru-
guru dan pesilat hebat semua” kata Bhok Gai Sun.

“Bicara tentang keluarga Khu, memang tidak ada habis-habisnya, kakak Bhok. Mereka itu
keluarga paling kaya di Tiong goan (daratan china). Keluarganya pun unik sekali.” Kata Oey
See Kang.

“Eh, kau tau juga tentang keluarga Khu” Tanya orang she (marga) Bhok
“Ah, siapa di kolong langit ini yang tidak kenal dengan keluarga Khu. Khu-Hujin (nyonya
besar) Khu adalah salah satu wanita paling terkenal di toing goan. Hanya orang pikun yang
belum pernah dengar namanya”

Lanjutnya, “Nyonya Khu ini, walaupun dipanggil nyonya, seumur hidup belum pernah
menikah. Umurnya sudah sekitar 70 tahun. Tapi amat cantik dan awet mude seperti wanita
umur 40 tahunan. Rambutnya masih hitam semua. Karena tidak pernah menikah, beliau
hanya memiliki anak angkat. Beliau memiliki 3 anak angkat. Semuanya menggunakan she
(marga) Khu juga. Yang pertama Khu Ho, yang sekarang menjadi jendral di istana. Yang
kedua seorang wanita bernama Khu Swat Ing, dia menikah dengan seorang saudagar kaya
juga, malah kekayaan keluarga Khu dan kekayaan keluarga itu sudah disatukan menjadi
usaha dagang terbesar di Tiong goan ini. Anak nyonya Khu yang terakhir adalah Khu Kun
Tiong. Seorang penggemar ilmu silat, namun bakatnya tidak besar. Si Khu Kun Tiong inilah
ayah dari Khu Ling Ling. Dia berkuasa di seluruh Kang Lam. Usaha dagangnya amat maju,
dan termasuk punya nama di kalangan Kang-ouw” jelas Oey See Kang.

“Ya benar” sahut salah seorang, “Yang ku dengar, keluarga Khu ini memang kaya sekali.
Khu hujin (nyonya Khu) ini memang lahir dari keluarga saudagar. Ia anak tunggal. Berkat
kerja kerasnya, ia mampu membangun usaha dagang yang sangat besar dan berpengaruh.
Kekayaan keluarga ini sudah tak bisa dihitung dan dibayangkan. Kata orang, jika kau keluar
dari gerbang rumah mereka, dan membedal kudamu selama sepuluh hari berturut-turut
sekencang-kencangnya, kau masih akan tetap dalam tanah milik keluarga mereka.”

Orang-orang di dalam warung menggumam terkagum-kagum. Tidak terkecuali Cio San.


Seumur hidup dia tidak bisa membayangkan ada orang sekaya itu.

“Usaha dagang keluarga ini sangat maju, hingga setiap kota dan desa di tionggoan ini salah
satunya pasti ada cabang toko atau usaha milik keluarga Khu. Kalian bisa bayangkan
betapa kayanya mereka. Apalagi anak sulung nyonya Khu adalah jenderal di kotaraja. Ini
semakin menguatkan posisi keluarga Khu di mata orang”

“Belum lagi ditambah, anak keduanya itu yang menikah dengan saudagar kaya juga.
Bertambahlah kekayaan mereka. Cuma memang yang paling dikenal orang0orang kang
ouw, adalah anak bungsunya itu Khu Kun Tiong. Ia akrab dengan orang-orang Kang Ouw,
dan juga tindak tanduknya lumayan gagah. Ia sering menolong banyak orang. Sumbangan-
sumbangan uang dan kebutuhan pokok pun tidak pernah berhenti. Orang-orang yang
tinggal di tempat ia tinggal semua merasakan ‘cipratan’ nya.”

“ Ah bosan aku membahas keluarga ini. Cerita yang sama ku dengar berulang-ulang. Aku
lebih tertarik membahas Khu Ling Ling, hehehehe” kata Bhok Gai Sun. Ia melanjutkan, “Eh
apa kalian tahu siapa saja guru Khu Ling Ling?”

Tanpa menunggu orang-orang menjawab, ia sudah melanjutkan lagi,

“Guru-guru Khu Ling Ling, ada 4 orang. Setahuku ada Nikoh sakti dari Go Bi Pay, dialah
pemimpin Go Bay yang baru bernama Bu Goat. Walaupun ilmunya masih dibawah
ciangbunjin partai besar yang lain, tapi jelas namanya masuk 5 besar orang-orang paling
sakti di kang ouw pada jaman ini. Selain Bu Got, Khu Ling Ling juga belajar dari pendekar
pengalana yang juga sakti bernama Chin Yoksu. Ada lagi satu orang guru yang aku lupa
namanya. Tapi seingatku guru ini juga perempuan. Dia tidak begitu sakti ilmu silatnya,
namun memiliki ilmu menukar wajah, alias menyamar.”

“Apa yang kakak Bhok maksud, si dewi 100 wajah, Lu Pek Lian?” Tanya salah seorang
“Ya benar, si dewi 100 wajah. Konon yang katanya tidak ada seorang pun yang tahu wajah
aslinya itu”

Mendengar ini Cio San teringat sesuatu. Dulu rasa-rasanya ketika masih kecil sekali, ia
pernah diajak ibunya pergi ke rumah keluarga Khu Kun Tiong ini. Entah urusan apa, Cio San
tidak begitu jelas. Yang pasti mungkin urusan Go Bi Pay, karena ibunya adalah murid Go Bi
Pay. Cio San juga ingat beremu seorang gadis kecil yang cantik sekali. Mungkinkah gadis itu
adalah Khu Ling Ling yang dimaksud orang-orang itu? Entahlah.

“Eh teman-teman, aku harus pulang dulu, gundik ku nanti kedinginan, aku pun tahu-tahu
kepingin tidur setelah kita membicarakan Khu Ling Ling,, hahahahahah” tawa Bhok Gai Sun.

“Hahaha,kita ini para laki-laki, kalau sudah terkena urusan perempuan harus segera
disalurkan. Kalau tidak bisa jadi penyakit. Ayo kakak Bhok, aku juga mau mampir dulu ke
Rumah Teng Teng”
mendengar rumah Teng Teng disebut, semua orang tertawa terbahak-bahak. Ramai-ramai
mereka pun berdiri dan menyahut, “Aku ikut-aku ikut”

Tak berapa lama, warung pun sepi. Cio San pun tertawa. Ia membayar makan dan
minumnya lalu ikut keluar juga.

Bab 14 Dua Orang Yang mencurigakan


Cio San keluar warung sederhana itu. Di luar masih ramai saja. Orang-orang disini
berjualan sampai larut malam nampaknya. Sebuah ciri kota besar. Cio San berjalan tak
tentu arah. Awalnya dia ingin mengikuti rombongan orang-orang tadi ke rumah Teng Teng.
Namun ia membatalkan niatnya. Sedikit banyak Cio San paham seperti apa rumah Teng
Teng itu. Ayahnya pernah bercerita bahwa ada sejenis rumah, yang isinya wanita-wanita
cantik. Di situ banyak lelaki menghabiskan uang dan waktunya. Untuk bersenang-senang
tentunya. Rumah Teng Teng ini mungkin merupakan salah satu dari jenis rumah tersebut.

Ia berjalan dengan santai, sambil memperhatikan sekitarnya. Cio San pun mulai menghafal
jalan. Daya ingatnya sejak kecil memang sangat baik. Sekali tahu, tidak akan lupa. Cio San
mencoba mengatur pernafasan, dan mengerahkan tenaga dalam. Walaupun belum pulih
seluruhnya, setidaknya 8 dari sepuluh bagian tenaganya sudah pulih.

Sambil menkmati pemandangan megah dan keramaian, ia mengingat-ingat tempat-tempat


apa saja yang ia lalui. Ada toko pakaian, restoran-restoran makan, penginapan, toko bahan
makan, toko baju, toko obat. Toko obat? Wah tempat yang dicarinya.

Ia membeli beberapa bahan obat yang tidak didapatinya di hutan dan di sepanjang
perjalanannya. Toko Obat ini lumayan lengkap bahan-bahannya. Si pemilik toko obat ini
juga lumayan heran dengan pengetahuan Cio San tentang obat-obatan. Ketika ditanya
“belajar di mana?” , Cio San menjawab bahwa ia tidak paham obat, dan hanya membeli
berdasarkan pesanan tuannya yang sedang tinggal sementara di penginapan.

Selesai membeli obat, Cio San pun keluar. Pandangan matanya tak sengaja melihat dua
orang yang berdiri mengobrol tak jauh dari pintu toko obat. “Hmmm, aku melihat dua orang
ini di dermaga, dan juga kemudian di warung tadi. Mereka masuk ke warung tak berapa
lama setelah aku”

Ada perasaan curiga di hati Cio San. Pengalamannya selama ini, sejak dari kecil ia
sekeluarga dikejar-kejar orang. Lalu kemudian kejadian di Bu Tong San, membuat Cio San
semakin waspada.
“Apakah kedua orang ini membuntuti aku?” tanyanya dalam hati. Cio San memutuskan
untuk menguji saja.

Ia berjalan dengan santai. Dari perasaannya yang tajam, ia tahu kedua orang itu pun
berjalan di belakangnya. Cio San mempercepat langkahnya, sambil pura-pura melihat
keramaian. Kedua orang di belakangnya pun berjalan cepat. Ia belok masuk ke sebuah
gang. Lalu sebelum kedua orang itu ikut membelok, ia secepat kilat menggunakan ilmu
ringan tubuhnya.

Sekejap mata Cio San telah berada jauh, dan menghilang ke gang yang lain. Lama ia
menunggu di gang itu, berpura-pura melihat barang-barang yang ada di toko kecil yang
kebetulan berada di gang itu. Tak lama kedua orang itu pun muncul lagi. Cio San kini
hampir yakin bahwa kedua orang itu memang membuntutinya.

Ia melakukan cara yang sama beberapa kali untuk memastikan. Ia berjalan pelan,
memasuki keramaian, belok gang, lalu menghilang. Setiap kali kedua orang itu tertinggal
jauh, namun selalu tepat mengetahui jalan mana saja yang diambil Cio San.

Kini ia sepenuhnya yakin ia sedang diikuti. Cio San sudah hampir berkeliling separuh pusat
kota ini, dan ia telah hafal jalan dan gang-gang sempitnya. Sekali lagi Cio San melakukan
hal yang sama, jalan lambat, cepat, lalu menghilang di balik gang. Ia kini memilih gang
sempit yang sunyi. Kebetulan gang itu pun buntu. Dalam gang buntu yang sempit dan gelap
itu. Ia melayang ka atas atap. Kakinya menginjak genteng dengan tanpa suara sedikitpun.

Tak lama kedua orang itu pun muncul di gang. Mereka kaget ketika ternyata gang itu
adalah gang buntu. Salah satunya berbisik, “Ah gang buntu rupanya, kemana dia?”

Suara bisikan itu sangat pelan, hampir tak terdengar. Tapi seluruh indra Cio San sudah
terlatih sejak 3 tahun di dalam gua. Matanya sangat tajam dalam kegelapan. Telinganya
sangat tajam mendengar suara sekecil apapun.

Tau-tau Cio San muncul di hadapan kedua orang itu. Mereka kaget setengah mati saat tau-
tau Cio San sudah ada di hadapan mereka.

“Apakah tuan-tuan mencari boanpwee (sebutan untuk merendahkan diri)?” Tanya Cio San
sambil tersenyum.

Mereka kaget, tapi masih bisa menjaga gengsi, “Benar, kami mencarimu. Kami adalah
anggota Hai Liong Pang. Kami curiga kau mencuri sesuatu di dermaga, harap ikut kami ke
markas pusat untuk di geledah”

“Baiklah” kata Cio San sambil tersenyum.

Kedua orang itu pun tersenyum, mungkin dalam pikiran mereka, gampang sekali
menaklukan orang ini. Tanpa harus melakukan perlawanan. Tapi sebelum senyum mereka
menghilang, tau tau tubuh mereka telah tertotok.
“Cepat kalian mengaku, apa maksud kalian sebenarnya?. Sudah jelas kalian bukan orang
Hai Liong Pang” Tanya Cio San

“Kami benar-benar orang Hai Liong Pang. Lihat sabuk tanda anggota kami. Apa kau berani
macam-macam dengan kami? ketahuilah bahwa perkumpulan kami menguasai seluruh kota
ini. Kau tak akan sanggup macam-macam jika berurusan dengan kami” kata salah
seorang..

“Jika aku memang dituduh mencuri, kenapa kalian repot-repot menguntitku? Kalian bisa
saja menangkapku saat aku sedang di warung, bukan?” Tanya Cio San

“Eh,..eh...kami harus memastikan dulu,...apa benar kau orang yang kalian cari” jawab salah
seorang tergagap.

Cio San tersenyum, itu jelas jawaban mengada-ada. Ia bertanya lagi, “Kalian berdua kan
anggota perkumpulan terbesar disini, mengapa jalan saja tidak hapal? Kalian bahkan tidak
tau kalau gang ini buntu bukan?”

“ Kami...kami....”

Belum selesai omongan mereka, mata mereka melotot dan tubuh mereka mengejang. Cio
San kaget dan paham bahwa seseorang telah menyerang kedua orang itu. Dengan sigap ia
melompat ke arah datangnya suara. Mungkin dari atas atap di belakang kedua orang itu.
Namun begitu sampai diatas atap, tidak ada siapa-siapa disitu.

Ia melengok ke bawah dan melihat begitu banyak orang di pasar. Bagaimana mungkin ia
bisa mencari pelakunya di tengah pasar yang ramai.

“Seseorang membunuh mereka. Ia tidak mungkin berada di atas atap ini, karena aku pasti
akan tahu. Kemungkinan besar, ia berada di seberang jalan, di atap rumah lain yang dekat
dengan pasar. Ilmu melempar am gi (senjata rahasia) nya hebat sekali. Dari jarak sejauh
itu, ia bisa melempar dengan tepat” pikir Cio San

Ia memeriksa tubuh kedua orang itu, tapi ia bergidik ngeri ternyata mayat kedua orang itu
sudah hangus menghitam. Cio San menyesal sekali tidak dapat menyelamatkan mereka.

“Aku seharusnya lebih waspada. Aku sudah dengar suara lemparan Am Gi itu, tapi tidak
bereaksi cepat. Ku pikir hanya sekedar suara yang berasal dari pasar. Cio San, kau harus
lebih waspada, dan pintar” Ia berkata pada dirinya.

“Kedua orang ini pastilah orang suruhan. Mereka dibunuh untuk menutupi jejak. Mereka
pasti bukan anggota Hai Liong Pang, dan hanya menyamar. Tapi bagaimana mereka bisa
mengikuti jejak ku. Setiap aku bergerak cepat dan menghilang, mereka pasti bisa
menemukan jejakku. Apakah ada dari bagian tubuhku yang meninggalkan jejak? Apakah
bau badanku? Ataukah jejak kaki?. Bau badan jelas tidak mungkin, karena di daerah
seramai ini, amat sulit membedakan bau badan. Jejak kaki pun sulit, karena daerah ini pun
ramai dengan jejak kaki orang...”

Ia berfikir keras. Lalu ia mencopot sepatu dan memperhatikan bagian bawah telapak
sepatunya. Ternyata di situ ada dua buah kayu kecil yang timbul. Jika dipakai, kedua kayu
kecil itu menandakan bekas kecil di tanah. Kecil saja, namun jelas bagi siapa yang mau
memperhatikan.
“Kakek petani itu...yang memberikan sepatu kepadaku…., dia..dia..” Cio San sangat kaget.
Dunia memang sungguh asing baginya.

Kejadian ini memang sungguh aneh baginya, tapi juga masuk akal. Pertama-tama, kakek
petani itu pasti memberikan sepatu yang memiliki penanda jejak di kakinya. Sesudah itu ia
bisa saja mengirimkan pesan kepada orang-orangnya di dermaga. Mungkin dengan
menggunakan burung merpati. Karena itu satu-satunya cara menyampaikan pesan dengan
cepat dan tepat, tanpa dicurigai.

Lalu setelah menerima pesan, kedua anggota itu lalu menguntitnya. Ciri-ciriya sudah
ketahuan. Tinggal mengikuti tanda jejak sepatunya saja. Tapi buat apa membuntutinya? Ia
tidak memiliki harta apa-apa. Tidak memiliki pusaka apa-apa yang bisa diperebutkan. Satu-
satunya kemungkinan yang paling masuk akal adalah: Kakek petani itu tahu siapa Cio San.

Tetapi dari mana kakek itu tau?. Tidak ada ciri-ciri mencurigakan pada diri Cio San.
Bagaimana mungkin kakek ini tahu, bahwa dialah buronoan Bu Tong Pay yang juga menjadi
incaran kaum kang ouw. Lalu jika kakek itu tahu, kenapa sejak awal tidak menangkapnya?
Malah menyuruh orang menguntitnya.

Otak Cio San berfikir keras sekali. Tak terasa ia bergidik juga. Dunia kang ouw penuh intrik,
misteri, dan rahasia-rahasia yang tak dimengertinya. Ia memutuskan untuk beristirahat
sejenak di sebuah penginapan di dekat situ.

“Malam ini, aku mungkin tidak dapat tidur, dan harus menguras pikiranku. Mulai saat ini,
hidupku mungkin akan selalu ‘ramai’. Tak ada waktu sedikitpun untuk hidup bebas lepas.
Rahasia-rahasia ini harus terpecahkan. Hidupku, mulai saat ini tak akan pernah tenang.
Akan ada pembunuhan rahasia, akan ada penguntitan, akan ada banyak hal. Waspada dan
waspada. Hanya itu yang bisa ku lakukan.”

Ia kini di pembaringan. Memutar otak dengan keras terhadap apa yang baru saja terjadi.
Cio San tak bisa tidur sampai pagi. Pikirannya berputar untuk memecahkan permasalahan
ini. Mengapa banyak sekali kejadian aneh? Mengapa banyak sekali orang yang membayang-
bayangi dirinya?. Siapa orang yang meberikannya baju dan mengajarkannya cara membuat
topeng? Siapa kakek yang memberikannya sepatu? Apakah MEREKA ORANG YANG SAMA?

Siapa dua orang yang menguntitnya? Apa mau mereka? Mengapa mereka dibunuh? Siapa
pembunuhnya?

Berbagai macam pertanyaan dalam benaknya membuat ia tak bisa tidur. Berusaha
sedemikian keras pun, ia tidak sanggup memecahkan jawabannya. Akhirnya Cio San
memutuskan untuk tidur. Walaupun cahaya merah baru saja timbul di ufuk langit, dan
kehidupan pagi sudah akan dimulai, Cio San memutuskan untuk tidur. Ia harus
mengistirahatkan pikiran dan tubuhnya. Perjalanan hidup yang penuh bahaya dan rahasia
baru saja akan ia mulai. Ia harus mengumpulkan tenaga, dan menjernihkan pikirannya/ Ia
telah memutuskan, apapun yang terjadi pada dirinya, ia akan tidur dengan pulas. Dan Cio
San pun tertidur. Dengan tersenyum

Tengah hari baru Cio San terbangun. Tubuhnya terasa sangat segar. Ia lalu bangun,
membuka jendela dan membiarkan matahari masuk. Cerah sekali hari itu. Suara orang ramai
di luar menjadi suara hiburan baginya. Menyenangkan sekali mendengarkan keramaian
setelah hidup sekian lama di dalam kesunyian,
Begitu membuka pintu kamarnya, ternyata sudah ada sarapan yang sudah disiapkan di meja
depan pintunya. Tanpa ragu Cio San membawanya masuk, dan mulai menghabiskannya. Ia
tidak perduli apakah makanan itu beracun atau tidak. Karena ia yakin, jika orang yang
membuntutinya ingin membunuhnya, pasti bisa ia lakukan sejak dari lama, atau sejak Cio
San tertidur. Ia malah menganggap orang yang membuntutinya itu adalah sejenis malaikat
penjaga bagi dirinya.

Setelah makan, Cio San mulai meracik obat yang semalam dia beli. Ini sejenis obat untuk
memulihkan tenaga yang ia baca dari buku resep A Liang. Tidak sampai menunggu lama,
khasiat obat itu bekerja cepat sekali. Cio San tidak paham bahwa bukan obat itu yang bekerja
dengan cepat, namun tubuhnya lah yang mampu sembuh dan bekerja dengan cepat. Karena
tubuh Cio San bukanlah tubuhnya yang dulu yang sering sakit-sakitan. Di dunia ini, mungkin
tubuh Cio San lah yang paling sehat, dan paling aneh kerjanya.

Dia lalu melatih segala gerakan-gerakan silat yang dipelajarinya, dan diciptakannya di dalam
gua,

“Heran, kenapa setiap aku melatih gerakan-gerakan ini, rasanya seperti kaku dan kurang
mengalir? Apakah karena aku salah menghafal, ataukah ada rahasia yang belum kupahami?”
pikir Cio San dalam hati. Walaupun begitu ia tetap melakukan latihan sampai selesai.

Begitu latihan selesai, Cio San mandi dan membersihkan diri. Tubuhnya terasa sangat segar
dan penuh kekuatan. Tampaknya tenaga dalamnya sudah pulih seluruhnya. Dengan tubuh
yang segar, dan pikiran yang jernih Cio San kini telah siap menghadapi dunia.

Topeng kulit ular selalu dipakainya untuk menutup wajahnya.

“Hmmm, walaupun wajahku terlihat aneh dan pucat, topeng ini nyaman sekali dipakai. Orang
tak akan bisa mengetahui bahwa ini adalah sebuah topeng.”

Begitu semua selesai, Cio San memutuskan untuk jalan-jalan. Walaupun ia belum bisa
memecahkan rahasia-rahasia yang terjadi di sekelilingnya, ia tak menganggapnya sebagai
beban lagi. “Apa yang terjadi, terjadilah.” Begitu pikirnya. Masalah akan selesai, jika saatnya
tiba. Berpikir begitu, serasa langkahnya menjadi ringan, dunianya cerah, dan hatinya lapang.

Kota Liu Ya sama indahnya di waktu malam dan siang. Kota ini walau ramai, tapi bersih sekali.
Belum pernah Cio San melihat kota sebersih ini, bahkan kotaraja pun mungkin kalah bersih.
Walaupun tengah hari, kota ini terasa sejuk karena banyak pohon rindang.

Saat berjalan-jalan, ia melihat beberapa anggota Hai Liong Pang yang lewat. Wajah mereka
sedikit tegang. Karena tertarik, Cio San memilih untuk membuntuti mereka. Seumur hidup
Cio San belum pernah membuntuti orang. Pengalaman pertama ini membuatnya merasa
bersemangat, dan berharap mendapatkan pelajaran dari pengalaman pertama ini.

Cio San mengerahkan konsentrasi pada pendengarannya yang sangat tajam itu,

“Siapa dua mayat ditemukan di gang sempit dekat toko Fuk Cay itu? Mereka berpakaian
seperti perkumpulan kita, tapi bukan anggota kita” kata salah seorang

“Itulah makanya tadi kita semua dikumpulkan dan dihitung jumlahnya, lengkap 430 orang.
Tidak berkurang satupun. Lalu mayat dua orang itu siapa, ya?”

“Menurutku mungkin itu orang yang ingin menyamar saja menjadi anggota kita, supaya bisa
mengambil keuntungan menggunakan nama kita”
“Iya, ketua juga bilang begitu, makanya kita disuruh membuka mata dan telinga, supaya bisa
lihat kalau-kalau ada yang mencurigakan.”

Mendengar ini Cio San merasa gembira, bahwa dugaannya semalam benar. Kedua orang yang
mati itu bukan anggota Hai Liong Pang.

Cio San masih menguntit mereka beberapa lama, dengan hati-hati. Tapi ketika ia merasa
bahwa apa yang diomongkan anggota-anggota Hai Liong Pang itu sudah tidak menarik
hatinya lagi, ia memutuskan untuk berhenti menguntit mereka.

Ia kini berjalan-jalan saja sekenanya mengelilingi pusat kota. Sebagian jalan telah dihafalnya,
ia memilih untuk mencari jalan yang belum pernah dilewatinya, Tak lama berjalan, mata Cio
San tertumbuk kepada sebuah bangunan yang lumayan menarik hatinya. Bangunan itu
terlihat kumuh, tua, dan tak terawat. Beda sekali dengan bangunan sekelilingnya yang
megah, rapi, dan terawatt.

Setelah didekati, ternyata bangunan itu adalah sebuah restoran tempat makan. Tapi sepi
sekali. Di dalamnya hanya ada dua orang. Pelayan yang menunggu di dekat pintu, dan
seorang lagi yang duduk di balik meja kasir.

Karena tertarik, Cio San memasuki restoran itu,

“Wah selamat datang tuan…selamat datang..silahkan duduk, mau pesan apa?” sambut si
pelayan yang berdiri di depan pintu.

“Apa saja masakan khas restoran ini?” Tanya Cio San sambil tersenyum

“Eh, kami punya berbagai macam masakan, tapi andalan kami adalah bebek peking panggang
saus khusus. Juga sayuran manis kuah daging. Itu kesukaan tamu-tamu” jawab si pelayan
sambil tersenyum ramah.

“Baiklah, bawakan aku makanan itu ya, dengan semangkok nasi dan seguci teh”

Cio San menunggu lama sekali, baru pesanan itu datang. Dari baunya pun Cio San tahu kalo
masakan itu agak hangus. Dan sesuai tebakannya, masakannya rasanya tidak enak!

Perlu waktu yang lama sekali bagi Cio San untuk bisa makan masakan itu. Ia memakannya
sedikit-sedikit. Tehnya pun rasanya hambar sekali. Karena tidak kuat akhirnya Cio San
berhenti makan.

“Tuan, ada pesanan apa lagi, kami punya beberapa masakan yang patut dicoba” Tanya si
pelayan

“Ah tidak, terima kasih, aku sudah kenyang. Berapa harga makanan ini?”

Si pelayan tidak menjawab, ia malah melihat ke arah meja kasir.

Orang yang berada di balik meja kasir itu pun juga tidak menjawab. Hanya melihat Cio San.

“Berapa?” Cio San bertanya sekali lagi masih dengan tersenyum.

“Eh, tuan….eh…” si kasir terbata-bata.


Cio San juga tidak berkata apa-apa. Ia hanya memandang dengan pandangan bertanya.

“Sebenarnya..sebenarnya…” si kasir masih terbata-bata

“Sebenarnya ada apa?” Tanya Cio San. Ia masih tersenyum, walaupun senyumnya kini juga
diwarnai rasa ingin tahu.

“Ah aku tidak tahu harus bilang apa….” Kata si kasir.

“Katakan saja apa yang ingin anda katakana, tuan..” kata Cio San

“Bagaimana rasa masakan kami tuan?” Tanya si kasir

Cio San tersenyum, “Aku harus jujur tuan, tukang masak anda sepertinya harus banyak
belajar lagi”

Garis wajah sendu di wajah kasir tua itu semakin terlihat.

“Se…sebenarnya..anda adalah pelanggan pertama kami, setelah dua bulan ini” kata kasir

“Dua bulan? Memangnya kenapa” Cio San tidak perlu bertanya, dalam hati dia tahu kalau
tidak ada orang yang mau makan makanan yang rasanya seperti tadi.

“Eh….Istriku meninggal 3 bulan yang lalu. Awalnya restoran kami ramai. Tapi setelah dia
meninggal, tidak ada lagi yang bisa masak enak.” Kata kasir

“Ah…” Cio San telah paham, “Jadi sekarang siapa yang masak?” Tanya Cio San.

“Anakku, Mey Lan…” kata kasir

“Kenapa engkau tidak menggaji tukang masak saja?” Tanya Cio San lagi

“Sudah ada beberapa kali. Tapi masakan mereka tidak seenak istriku, akhirnya pelanggan
banyak yang pergi. Karena sepi, ta kahirnya aku harus memecat tukang masak. Aku tidak
sanggup membayar gajinya. Bahkan untuk bertahan hidup kami saja susah sekali”

Tiba-tiba sebuah pikiran muncul di fikiran Cio San.

“Tuan, saya bukanlah seorang juru masak, tapi sedikit banyak saya mengerti cara masak.
Bagaimana jika saya bekerja disini. Tuan tidak perlu mambayar saya selama 3 bulan. Jika 3
bulan restoran ini ramai, tuan baru membayar saya. Bagaimana?” kata Cio San

“Hah? Bagaimana bisa begitu? Saya sendiri belum pernah mencoba hasil masakan tuan. Tapi
saya yakin tuan bisa masak. Tapi, terus terang saya tidak mungin mengerjakan orang tanpa
digaji.”

“Saya adalah pengelana tuan. Saya sudah biasa hidup tak karuan. Begini saja, bagaimana
jika saya memasak, dan tuan nilai rasanya. Kalau tidak suka masakan saya, ya sudah, tidak
usah pekerjakan saya, tapi jika enak, silahkan pertimbangkan tawaran saya lagi” ujar Cio
San.

Si kasir tua berfikir agak lama, lalu berkata, “Baiklah, mari kita ke dapur”
Seperti dugaan Cio San, dapurnya berantakan. Hal pertama yang dilakukan Cio San adalah
menata ulang dapur itu. Membereskan peralatan masak, dan melihat bahan-bahan apa saja
yang ada. Ia memutuskan untuk membuat masakan yang sama persis dengan yang ia pesan
tadi.

Tak butuh waktu yang lama, karena ia bekerja dengan sangat cepat. Si kasir, anak
perempuannya, dan si pelayan melihatnya sambil melongo.

Begitu makanan seslesai, dan mereka semua mencicpinya, mata mereka lebih melongo lagi.

“ini…ini..enak sekali” sambil bicara mulut mereka tak berhenti mengunyah.

“Terus terang, aku belum pernah merasakan masakan se enak ini. Mungkin justru lauh lebih
enak daripada masakan istriku” kata si kasir masih dengan wajah terkagum-kagum.

“Bagaimana? Tuan menerima tawaran saya?”

“Ah..tapi bagaimana aku bisa menggajimu? Restoran ini sepi sekali, aku juga tidak tahu harus
membayarmu berapa” kata si kasir

“Seperti yang saya tawarkan tadi, 3 bulan saya bekerja gratis disini, jika sudah ramai
pelanggan baru saya dibayar” jawab Cio San

“Benar tidak apa-apa?”

“Tidak apa-apa tuan. Saya juga sebenarnya sedang mencari pekerjaan.” Jelas Cio San

“Baiklah baiklah. Mulai kapan kau bisa bekerja disini?” Tanya si kasir.

“Mulai sekarang juga bisa, cuma lebih baik besok pagi saja. Sekarang mungkin kita bisa
menata ulang restoran, jika tuan tidak keberatan”

Begitulah. Akhirnya Cio San bekerja di restoran tua itu. Mereka berempat mulai menata ulang
isi dapur, membersihkan banyak tempat, dan lain-lain. Pekerjaan yang seharusnya sudah
dilakukan dari dulu, tapi mungkin semangat baru ini timbul saat kedatangan Cio San.

Cio San mulai memeriksa bahan-bahan apa saja yang tersedia. Ia memberi masukan banyak
kepada si kasir. Kasir tua itu mendengarkan dengan sungguh-sungguh semua saran Cio San.
Termasuk membagi-bagi masakan secara gratis di jalan-jalan sebagai bentuk “perkenalan”
atas masakan mereka. Walaupun berat si kasir tua itu menyetujuinya juga.

Selain itu Cio San diberi sebuah kamar di dekat dapur. Kamar itu dulunya untuk pegawai,
namun kosong karena tidak ada pegawai lain selain si pelayan tadi. Si kasir tinggal bersama
anak perempuannya di lantai atas bagian belakang restoran.

Cio San menerima pekerjaan ini dengan hati mantap. Sudah ada banyak rencana di dalam
pikirannya.

Bab 16 Pertemuan Setelah Perpisahan


Saat ini telah genap sebulan Cio San bekerja di restoran itu. Restoran tua yang kini telah di
sulap bersih, dan menyenangkan. Mereka tidak merubah namanya. Tetap bernama “Lai Lai”.
Perlahan-lahan dalam satu bulan, pelanggan sudah mulai ramai. Masakan Cio San yang
memang nikmat, ditambah dengan keputusan untuk membagi-bagi masakan secara gratis
dimana-mana, memang berbuah manis. Bahkan kini “Lai Lai” telah memiliki pelanggan tetap,
yang datang tiap hari, untuk sekedar sarapan, atau makan siang.

Kwee Lai, si kasir sekaligus pemilik restoran, setiap hari berseri-seri wajahnya. Pemasukan
restoran dari hari ke hari kian membaik. Walaupun perjanjiannya ia akan membayar gaji Cio
San pada bulan ke empat, ia tidak melakukannya. Ia sudah membayar gaji Cio San sejak
bulan pertama. Ia suka sekali dengan Cio San. Masakannya enak, tingkah lakunya sopan,
tutur katanya halus. Yah, walaupun wajahnya sedikit pucat aneh.

Selama sebulan ini, Cio San telah masak berbagai macam masakan. Kesempatan bekerja jadi
koki seperti ini digunakannya juga untuk mempelajari berbagi macam resep yang sempat
dibacanya di buku pemberian Liang Lopek. Kadang-kadang Cio San malah menciptakan
sendiri resep-resepnya. Dan herannya semua rasanya enak.

Bulan berikutnya, yang datang di Lai Lai semakin banyak lagi. Kali ini bukan hanya penduduk
setempat, melainkan orang-orang dari luar. Mungkin karena posisi kota Liu Ya sebagai kota
dermaga maka banyak orang luar kota yang datang, atau mungkin juga karena kabar
kenikmatan masakan di Lai-Lai yang telah tersebar lewat mulut ke mulut.

Dalam dua bulan ini, terpaksa Kwee Lai menambah seorang koki lagi untuk membantu
pekerjaan Cio San. Memang selama ini anaknya, si Kwee Mey Lan, juga ikut membantu Cio
San memasak. Bahkan setelah diajari Cio San selama sebulan ini, masakan Kwee Mey Lan
juga ikut-ikutan enak. Tapi berhubung jumlah pelanggan yang semakin banyak, akhirnya
Kwee Lai memutuskan untuk menambah koki lagi/ Pelayan pun kini bertambah seorang.

Di bulan ketiga, yang datang makan di Lai Lai sudah bukan orang-orang biasa saja, tapi juga
mereka dari kalangan Kang Ouw. Ini bisa dilihat dari dandanan serta senjata yang mereka
bawa. Sebenarnya amat sulit untuk membuat kaum Kang Ouw menyukai sebuah restoran.
Karena sifat mereka yang penuh gengsi. Maka restoran itu masakannya harus enak,
tempatnya harus nyaman dan bersih, serta bangunannya harus megah.

Karena urusan makan sudah tidak lagi jadi urusan perut. Apa yang kau makan, dan di mana
kau makan, akan menunjukkan jati dirimu. Atau setidaknya akan memberi gambaran yang
kau inginkan kepada orang lain. Begitulah juga yang ada dalam pikiran orang Kang Ouw
(kalangan persilatan).

Maka adalah suatu berkah bahwa Lai Lai menjadi tempat makannya orang kang ouw.
Harganya yang murah, rasa masakannya yang nikmat, tempatnya yang menyenangkan
menjadi nilai jual tersendiri. Cio San sendiri memang sengaja memilih masakan-masakan
yang unik dan jarang ada. Ini juga yang menjadi daya tarik Lai Lai sebagai sebuah tempat
makan. Masakannya unik-unik namun rasanya tidak kalah nikmat dari masakan umum yang
sudah terkenal, bahkan mungkin jauh lebih enak.

Cio San sangat menikmati pekerjaannya itu. Dengan kemampuannya, ia bisa bekerja jauh
lebih cepat. Jika tidak ada orang yang melihat, ia mampu memotong sayur dengan amat
sangat cepat, menguliti dan memotong daging dilakukannya sekejap mata. Mey Lan dan koki
satunya kadang-kadang heran melihat begitu cepat sayuran atau daging sudah terpotong-
potong dengan rapi. Tetapi karena sibuknya pekerjaan, mereka tidak sempat memikirkan
lebih jauh.

Dalam 3 bulan ini, Cio San memang selalu bekerja sama dengan Mey Lan. Ini membuat
mereka berdua juga semakin akrab. Pembawaan Cio San yang ramah membuat Mey Lan
merasa senang dekat-dekat dengannya.\
Ada cerita suatu kali jari Mey Lan terluka karena melamun saat memotong sayuran. Dengan
sigap Cio San mengobati luka itu. Hanya dengan menggunakan beberapa bumbu dapur, luka
di jari Mey Lan itu langsung kering dalam beberapa menit.

Mereka pun melakukan apa-apa selalu berdua. Saat bekerja dan beristirahat pun mereka
selalu berdua. Seperti di hari ini. Lai Lai sedang memasuki jam sepi, sudah lewat jam makan
siang. Memasuki waktu sore. Walaupun sepi, tapi memang masih ada sekitar 10 sampai 15
orang yang makan di situ.

“San-ko (kakak san), marilah beristirahat dulu, sejak jam makan siang tadi, kau belum
beristirahat sejenakpun” kata Mey Lan.

“Tunggu sebentar lagi meymey, ini ku siapkan dulu bahan-bahan untuk masakan malam”
jawan Cio San sambil tersenyum.

“Baiklah, ku bantu saja kau San-ko, biar cepat selesai”

“Ah, tidak usah meymey, ini sudah hampir selesai, kok” Cio San masih tersenyum.

Entah kenapa Mey Lan suka melihat senyum itu. Pada awalnya terasa aneh. Wajah Cio San
pucat seperti orang sakit. Rautnya pun kaku. Kalau tersenyum seperti orang menahan sakit
perut. Tapi lama-lama, Mey Lan malah suka melihat senyuman itu.

Di pihak lain, Cio San pun suka sekali melihat Mey Lan tersenyum. Walaupun tidak ada lesung
pipit, pipinya selalu memerah segar. Hidungnya mancung. Dagunya indah sekali. Belum lagi
bicara tentang alis, bulu mata, dan sinar mata itu sendiri. Yang paling indah memang adalah
bibirnya. Bibirnya itu jika dimiliki oleh orang yang wajahnya paling jelek di dunia, akan
membuat orang itu menjadi orang paling cantik yang kau temui. Apalagi jika berada di wajah
Kwee Mey Lan yang memang sudah cantik dari sononya.

Kalau tersenyum sepertinya selalu bagian dari wajahnya itu tersenyum. Alisnya tersenyum,
dahinya tersenyum, hidungnya tersenyum. Cio San suka khawatir jantungnya copot. Karena
setiap kali Mey Lan tersenyum, jantung Cio San selalu berdebar-debar.

Setelah menyelsaikan pekerjaannya, mereka berdua kini makan siang. Lebih tepatnya makan
sore. Mey Lan memang belum makan dari tadi siang, ia sengaja tidak makan supaya bisa
makan bersama Cio San. Ia suka sekali makan bersama Cio San. Biasanya Cio San pasti
punya cerita-cerita lucu dan menarik hatinya.

Ketika sedang asik makan di ruang belakang, terdengar suara dari ruang depan, tempat
makan para tamu Lai Lai, “Selamat siang juga, siapkan saya makanan apa saja, jangan lupa
seguci arak”

Di ruang belakang, hanya kuping Cio San yang mendengar ini. Seluruh suara orang
mengobrol dari ruang depan, mampu di dengarnya. Pujian terhadap masakannya, cemoohan
orang terhadap orang lain, masalah di tempat kerja, masalah cinta antar kekasih. Dan semua
perkara yang orang obrolkan saat makan di ruang para tamu, semua mampu di dengarnya
di dapur tempat ia bekerja.

Kini telinganya yang tajam dan telah terlatih bertahun, mendengar sebuah suara. Di saat
ramai saja, ia mampu membedakan suara-suara. Kini saat Lai Lai sepi, alangkan mudah ia
membedakan suara itu. Suara yang pemiliknya ia kenal bertahun-tahun.
Raut mukanya pun berubah. Tapi tidak ada orang yang bia melihat karena ia memakai topeng
kulit ular.

“Meymey. Tunggu sebentar ya, ada yang lupa kulakukan” kata Cio San kepada Mey Lan. Yang
dijawabnya dengan mengangguk dan tersenyum.

Cio San segera ke dapur.

“Wah, sudah selesai makan siang A San? Ada tamu lagi. Ia meminta makanan apa saja. Kau
ada siapkan masakan apa tadi?” Tanya pelayan yang tadi menerima tamu di depan. Cio San
kini memakai nama A San. Sebuah nama yang umum pada waktu itu.

Tiba-tiba timbul sebuah ide di benak Cio San. Ia akan membuatkan masakan yang pasti
disukai tamu di depan itu, “Aku akan memasak sesuatu yang khusus. Kau bawakanlah seguci
arak ini, biar dia tidak bosan menunggu”

“Dari mana kau tau di memesan seguci arak juga?” Tanya si pelayan

“Ah bukankah biasanya jam segini, memang biasanya orang pesan arak?” jawab Cio San

“Betul juga, arak apa yang paling cocok untuk sore seperti ini?”

“Arak Ciu Pek, pasti enak” katanya sambil tersenyum

(Arak Ciu Pek dibuat dari susu sapi yang diasamkan, dan dicampur dengan beberapa sari
bauh. Rasanya segar. Manis, sedikit asam, dan sedikit pahit. Warnanya hampir seperti susu.
Jika terlalu banyak juga akan memabukkan)

Si pelayan menyuguhkan arak, Cio San memasak. Ia memasak ang sioa bak. Karena ia tahu,
itulah makanan kesukaan si “tamu” di depan.

Cio San pun kembali ke Mey Lan, yang menyambutnya dengan pertanyaan, “Ada tamu lagi
ya?”

“Iya, ku masakkan Ang Sio Bak”

“Tidak usah kau bilang, baunya saja sudah tercium. Heran kenapa setiap mencium bau
masakanmu, lantas aku menjadi lapar. Padahal ini sedang makan”

“Karena ku tau kau pasti pengen, makanya ku sisakan sedikit” Cio San tersenyum sambil
menyodorkan piring berisi ang sio bak panas.

“Memangnya kau pikir aku wanita gembul tukang makan??” matanya melotot tapi bibirnya
tersenyum

“Haha, tidak mau makan ya sudah, sini aku saja yang makan” goda Cio San

“Siapa bilang aku tidak mau, sini dagingnya” sambil bilang begitu, seluruh isi piring sudah
Mey Lan tumpahkan ke mangkoknya.

Siapapun yang cukup sering kumpul perempuan, sepertinya memang harusnya tahu, bahwa
kalau perempuan bilang “tidak mau”, itu bisa saja berarti “Mau”. Cio San walaupun baru kali
ini dekat dengan perempuan, sedikit banyak sudah paham.
“Hey sisakan sedikit untukku” kata Cio San dengan padangan mata memelas

Mey Lan menjawabnya dengan menjulingkan mata, dan mengeluarkan lidah. Entah kenapa
ada sebagian perempuan yang jika mereka menjelekan raut wajahnya, justru membuat
mereka terlihat tambah cantik dan menggemaskan. Mey Lan jelas masuk golongan ini.

Cio San hanya bisa tersenyum

“A San, kemarilah sebentar” terdengar panggilan dari ruang dapur

“Tepat seperti yang kuduga” kata Cio San dalam hati, ia pun bergegas ke dapur, sambil bilang
“Tunggu sebentar” ke Mey Lan. Yang dijawab Mey Lan dengan senyuman.

“Itu, tamu di depan, suka sekali dengan masakanmu, ia membayar banyak sekali, ketika
diberi kembalian ia malah menolak.” kali ini si Kasir sendiri yang datang ke dapur.

“Lalu?” Tanya Cio San sambil tersenyum

“Ia meminta dikenalkan dengan yang memasak, makanya kau kupanggil. Segeralah kau
menemuinya” kata si kasir.

“Baiklah”

Ketika Cio San memasuki ruang para tamu, ia sudah tahu siapa tamu itu. Suaranya, harum
tubuhnya yang tercium. Kini begitu melihat orang itu, yakinlah dia dengan hasil tebakannya.

Orang itu tersenyum dan berkata,

“Selamat siang, nama saya Beng Liong, dari Bu Tong Pay”

Bab 17 Beng Liong dari Butongpay


“Nama saya A San” Cio San menjawab dengan terbungkuk-bungkuk dan menghaturkan
hormat seperti layaknya yang dilakukan Beng Liong tadi. Suaranya pun dibuat sedikit
meninggi. Cio San belum mau menunjukkan jati dirinya yang sebenarnya.

“Masakan anda enak sekali tuan, bahkan masakan dan arak yang anda sajikan kepada saya
tadi, adalah dua hal kesukaan saya” ujar Beng Liong sambil tersenyum. Senyum yang sangat
menawan. Laki-laki saja akan terkesima melihat senyuman seperti itu, apalagi perempuan?

“Ah, Beng-Enghiong (ksatria Beng) terlalu memuji. Masakan ini memang salah satu masakan
andalan kami. Jika Beng-Enghiong menyukainya, justru kami lah yang merasa sangat
tersanjung” kata Cio San, masih dengan gaya membungkuk-bungkuk, dan suara yang ia
rubah sedikit.

Beng Liong tersenyum dan terkesima juga melihat tutur kata koki yang sopan ini,

“Bahasa anda seperti orang-orang kang-ouw (dunia persilatan)” kata Beng Liong

“Sudah tak terhitung berapa banyak orang kang-ouw yang mampir makan disana, enghiong.
Sedikit banyak pun Siauw Jin (orang kecil, ucapan untuk menyebut rendah diri sendiri)
banyak belajar tata bahasa mereka” ujar Cio San

“Wah jangan terlalu sungkan, dan terlalu menurut aturan. Dan jangan panggil saya Enghiong
(ksatria), saya hanya murid bawahan Bu Tong Pay. Kebetulan turun gunung karena mencari
pengalaman. Marilah temani syaa minum arak” kata Beng Liong dengan ramah, sambil
menarik lengan Cio San untuk duduk semeja dengan dirinya.

“Tidak berani….tidak berani enghiong” Cio San menolak sambil terbungkuk-bungkuk

“Ah jangan terlalu sungkan, mari..mari San-ko (kakak San). Malah saya yang merasa
terhormat bisa makan dan minum dengan koki yang hebat. Ketahuilah, saya memang suka
sekali makan. Jika bisa sedikit belajar dan bertanya tentang makanan kepada koki hebat,
saya akan sangat gembira sekali” Beng Liong ramah sekali meminta.

Siapa yang mampu menolak senyuman dan keramahan seperti itu? Biasanya kau akan
merasa tidak nyaman jika ada orang terlalu ramah kepadamu. Tetapi keramahan Beng Liong
ini berbeda. Keramahan dan senyuman itu sepertinya memang benar-benar lahir dari hatinya.
Siapapun yang melihat dan merasakan justru akan ‘terbeli’ hatinya oleh keramahan seperti
itu.

Cio San memang sangat paham ‘kelebihan’ Beng Liong ini. Sejak dari dulu, Beng Liong
memang pribadi yang hangat, dan tulus. Kata-katanya bisa membuat orang sangat
tersanjung, tanpa terkesan menjilat dan bermuka dua.

Dan akhirnya, mereka berdua duduk bersama. Cio San menemaninya minum arak. Beng
Liong bercerita dan juga bertanya banyak hal. Tapi senyuman menawannya tidak pernah
luntur. Lama sekali mereka mengobrol tentang banyak hal. Bagaikan kawan lama yang sudah
lama tidak bertemu. Memang, sebenarnya mereka berdua adalah kawan lama yang sudah
lama tidak bertemu.

“Yah begitulah, San-ko (kakak San). Hidup di dunia kang ouw memang menyulitkan.
Seandainya boleh memilih, saya sendiri mungkin akan memilih menjadi SiuCay (sastrawan
atau pelajar) saja. Mengikuti ujian di ibukota, dan bekerja saja melayani Istana dan rakyat.
San-ko sendiri, apa memang suka masak dan bercita-cita jadi koki? Atau ada keinginan lain?”
kata Beng Liong

“Wah, keluarga saya memang sejak dulu tukang masak. Saya dari kecil belajar masak, dan
keluarga kami memiliki restoran kecil-kecilan sejak jaman dulu. Berhubung saya anak
bungsu, dan kakak sulung saya yang mewarisi restoran kecil itu, saya memilih berkelana
saja. Rencananya mau buka restoran kecil juga. Apa daya, dalam perjalanan modal malah
habis, akhirnya malah bekerja di sini. Untung lah Kwee-Loya (tuan Kwee) mau menerima”

Cio San sendiri baru sadar betapa pintarnya ia berbohong. Sebuah kebiasaan yang harus ia
lakukan selama beberapa bulan ini.

“Seharusnya kau ke ibukota dan melamar jadi tukang masak istana, San-ko. Menurutku
makananmu enak sekali. Eh, boleh ku tahu apa nama restoran keluargamu? Siapa tahu aku
bisa mampir kesana kapan-kapan. Di kota mana?” Tanya Beng Liong

“Untuk itu, aku tidak dapat memberitahukan kepada anda, Beng-enghiong” jawab A San
sambil tersenyum.

“Eh? Kenapa bisa begitu?” Beng Liong nampak tertarik, senyumnya tidak hilang

“Kalau aku memberitahukan, nanti enghiong tidak akan mampir kesini lagi, hahahahaha”
tawa A San

“Aha,,,persaingan usaha dagang rupanya? Hahahaha Baiklah aku mengerti. Tapi untuk itu,
San-ko harus dihukum 3 cawan arak” tawa Beng Liong sambil menuangkan arak ke cawan A
San.

“Kenapa siauw jin (sebutan untuk merendahkan diri) harus dihukum?” Tanya A San sambil
tersenyum pula

“Engkau sudah bermain rahasia kepadaku, San-ko. Padahal sejak mengobrol tadi, aku tidak
pernah bermain rahasia”

“Wah baik lah, demi nama baik dan keuntungan restoran lai-lai, mabuk juga tidak jadi soal”.

Mereka berdua pun minum arak sampai beberapa guci. Hampir 2 jam lamanya mereka
mengobrol. A San pun sudah kelihatan mabuk. Akhirnya karena melihat restoran sudah mulai
ramai lagi, ASan terpaksa harus meminta diri.

“Maafkan saya, Beng-enghiong. Nampaknya saya harus bekerja lagi. Sungguh tidak enak
meninggalkan enghiong”

“Ah tak apa San-ko, aku mengerti. Kembalilah bekerja. Aku masih mau duduk-duduk disini
sampai malam. Makanan di sini enak, dan pemandangannya juga sempurna. Dari sini aku
bisa menikmati pemandangan sungai yang sangat indah. Selamat bekerja, San-ko” ia
tersenyum sambil memberikan salam hormat.

Cio San kembali ke dapur dan memasak. Mey Lan memandanginya saja. Cio San tidak berkata
apa-apa, ia tetap bekerja saja. Lama kedua orang itu tidak bersuara, akhirnya Mey Lan yang
buka suara duluan,

“Sudah puas minum-minumnya?”


Cio San menatapnya, tidak menjawab hanya tersenyum
“Wah salahku juga bertanya kepada orang bisu,,”

“Meymey jangan marah ya, tadi itu aku dipaksa menemani tamu. Ayahmu sendiri yang
menyuruh. Kalau tidak kuturuti bisa-bisa si tamu tersinggung, dan tidak mau datang kembali
kesini lagi” kata Cio San

“Jika ayah menyuruhmu lompat ke jurang, apa kau akan lompat juga?”

“Kalau di dalam jurang ada meymey aku pasti meloncat..heehehe”

“Dasar tukang gombal” mulutnya menggerutu tapi tatapan matanya mesra.

Laki laki manapun yang mendapat hal demikian dari perempuan pasti bisa dikatakan
beruntung. Apalagi perempuan cantik seperti Mey Lan.

Mereka berdua tersenyum dan meneruskan bekerja seperti biasa.

Di luar, hari semakin gelap. Tamu semakin banyak yang datang. Pekerjaan para pekerja di
Lai Lai pun semakin banyak saja. Dari pendengaran Cio San, dia tahu kalau kali ini banyak
juga kalangan Kang Ouw yang datang makan. Tapi kali ini pendengarannya pun mendengar
suatu percakapan yang unik,

“Apakah engkau yang bernama Jiong Say Ong?” Cio San mengenal suara Beng Liong

“Kalau benar, engkau mau apa?” dari pemilik suaranya, sepertinya orang itu memiliki tubuh
sebesar banteng.

“Harap ikut aku keluar, aku mencarimu berkenaan dengan perkara di hutan Oh Hau lima hari
yang lalu” kata Beng Liong.

“Hahaha, siapa kau berani-beraninya mengungkit urusan itu” Tanya si pemilik suara satunya

“Cayhe adalah Beng Liong, dari Butongpay” jawab Beng Liong

Ada jeda sebentar, sebelum keluar jawaban “Ah kalian butongpay selalu turut campur urusan
orang” kali ini suara itu terdengar menggelegar. Tamu-tamu menjadi sunyi,

Yang terdengar kemudian adalah suara orang mencabut senjata dari sarungnya. Dari
suaranya, Cio San tau itu adalah sebuah golok. Dengan segera ia pergi ke ruang depan.
Rupanya semua orang sedang menyaksikan tontonan gratis,

Orang yang disebut Jiong Say Ong itu menyerang Beng Liong secara membabi buta dengan
goloknya. Jurus-jurusnya cepat, dan kejam. Setiap serangan ditujukkan untuk secepatnya
menghabisi lawannya. Di pihak lain, Beng Liong seperti bergerak lambat dan lemah gemulai.
Ia hanya menghindari serangan-serangan ganas Jiang Say Ong. Semua orang yang mengerti
ilmu silat, pasti paham bahwa itulah langkah-langkah sakti yang terkenal dari Butongpay,
Berlari Di Atas Awan.

Melihat gerakan ini, hati Cio San trenyuh sekali. Sudah lama sekali ia meninggalkan
Butongsan. Ingatannya kembali ke saat-saat ia pernah tinggal di sana.

Tapi lamunannya ini segera ia hentikan, karena pertarungan di depan matanya ini snagat
mengasyikkan untuk dinikmati.
Serangan Jiong Say Ong sungguh ganas. Walaupun tubuhnya besar, gerakannya sangat
lincah dan cepat. Justru Beng Liong yang tubuhnya lebih kecil dan ramping, malah yang
bergerak lambat. Beng Liong malah belum mengeluarkan pedang sama sekali. Hal inilah yang
membuat Jiong Say Ong semakin marah dan tersinggung. Ia merasa diremehkan oleh Beng
Liong. Karena itu jurus-jurus andalannya yang ganas itu ia kerahkan seluruhnya.

Tapi apa daya? Yang sedang dihadapinya adalah pendekar muda utama dari Butongpay.
Bahkan dianggap salah satu pendekar muda utama jaman itu. Dalam jurusnya yang
kesepuluh, Jiong Say Ong sudah terpukul jatuh. Itu bahkan adalah serangan pertama dari
Beng Liong!

Saat terpukul jatuh, semangatnya langsung membumbung lebih tinggi. Ia penasaran,


bagaimana mungkin satu serangan saja ia bisa terpukul jatuh. Jioang Say Ong pun tahu,
lawan di depannya itu terkenal tidak pernah membunuh orang. Jadi ini malah membuatnya
semakin berani, dan nekat.

Beng Liong pun paham apa yang ada di benak lawan di depannya ini. Jika tidak segera
dihentikan, ia mungkin akan semakin nekat. Beng Liong sudah sering bertemu orang-orang
seperti ini. Oleh karena itu, ia kini menyerang.

Serangannya kali ini tidak lagi lambat dan gemulai seperti tadi saat ia menghindari serangan.
Serangannya kini sungguh cepat. Saking cepatnya sampai tidak ada seorang pun yang
melihat bagaimana ia menyerang. Kecuali Cio San, tentunya. Tahu-tahu, dua jari Beng Liong
sudah menotok tepat di daerah ulu hati Jiong Say Ong.

Sentuhan itu walaupun sangat cepat, berhentinya pun sangat cepat. Jiong Say Ong sudah
terpelanting ke tembok. Ia langsung jatuh pingsan karena serangan ini. Mungkin juga karena
bagian belakang kepalanya menghantam tembok. Kini bahkan sudah tidak ada tembok. Yang
ada hanyalah sebuah pintu baru ke ruangan sebelah.

Dengan cepat pula Beng Liong menoleh ke kasir dan berkata,

“Jangan khawatir Loya (tuan) saya akan mengganti semua kerugian” katanya sambil
tersenyum

Orang-orang yang berada disitu semua bersorak, “Hebat…hebat…..”

Beng Liong mengangguk dalam memberi salam hormat kepada semua tamu yang ada,

“Maafkan ketidaknyamanan ini, tuan-tuan, saya Beng Liong bersedia mengganti jika ada
tuan-tuan yang merasa rugi atas keramaian tadi”

Herannya, jawaban dari puluhan orang yang berada di situ semuanya sama, “Ah tidak-tidak,
Butongpay-enghiong (satria dari butongpay) memang sungguh hebat. Tidak rugi..tidak rugi”
mereka malah bertepuk tangan.

Memang sungguh jarang melihat pertarungan kelas tinggi. Walaupun Jiong Say Ong bukan
termasuk lawan kelas tinggi, ia jatuh karena jurus kelas tinggi. Melihat ini, orang-orang sudah
sangat puas. Makin bertambah kagumlah mereka kepada Butongpay. Terlebih-lebih terhadap
Beng Liong.

Apalagi saat Beng Liong berkata,


“Makanan tuan-tuan kali ini, biar saya yang bayar”

Semua orang bersorak gembira.

Bab 18 Nama Yang tidak Asing


Hampir tengah malam Lai lai baru tutup. Kwee Lai gembira sekali dengan pendapatan hari
itu. Beng Liong sudah pergi, tentunya setelah menepati janjinya dengan membayari seluruh
pesanan makanan yang ada dan kerugian yang dialami Kwee Lai. Entah berapa pemasukan
semalam, Cio San tidak mau tahu. Yang penting ia bahagia karena telah bertemu Beng Liong
lagi, suko (kakak seperguruan) nya yang dulu sangat baik kepadanya.

Tidak tahu Beng Liong kemana setelah bertarung tadi. Cio San menebak bahwa ia pasti pergi
meneruskan urusannya. Sejauh yang Cio San dengar dari obrolan-obrolan tamu, Jiong Say
Ong telah melakukan kejahatan. Ia dulu adalah seorang piawsu (pengantar/pengawal barang)
yang lumayan ternama. Beberapa hari yang lalu, ia mendapat tugas mengawal sebuah
keluarga yang akan pindah kota. Di tengah hutan, ia malah membunuh seluruh keluarga itu.
Mungkin karena tertarik dengan harta kawalannya itu. Bahkan 2 orang anak gadis di keluarga
itu pun ia perkosa dulu sebelum ia bunuh.

Urusan seperti ini walau bukan urusan yang terlalu menggemparkan bu lim (orang-orang
yang berkecimpung di kang-ouw). Tapi tetap saja membuat orang-orang gemas. Kejahatan
seperti apapun harus diberi keadilan, tidak perduli besar atau kecilnya. Para satria Butongpay
yang memang terkenal karena kegagahannya tentu saja tidak bisa berpangku tangan melihat
kejadian ini.

Untuk itulah memang Beng Liong datang ke kota Lau Ya. Dengan kepintaran dan
pengetahuannya yang luas, ia menduga bahwa Jiong Say Ong berada di kota itu. Entah
bagaimana ia bisa tahu kalau Jiong Say Ong akan mampir ke restoran Lai Lai. Itulah kenapa
Beng Liong menunggu sekian lama di lantai atas Lai Lai. Mungkin selain pemandangannya
yang indah, hampir seluruh isi kota Lau Ya bisa terlihat dari atap Lai lai yang tinggi. Memang
lai Lai pun sendiri terletak di sebuah daerah yang cukup tinggi di bagian ujung pusat kota.

Dengan adanya kejadian pertarungan ini, Lai Lai justru semakin ramai. Orang kang ouw
semakin banyak yang mampir, orang biasa pun banyak yang mampir. Selain makanan, dan
pemandangan yang indah, siapa tahu ada “tontonan” dan “hiburan” gratis.

Ya memang ada beberapa pertarungan. Tapi kebanyakan pertarungan biasa antara orang bu
lim kelas menengah ke bawah. Walaupun bukan pertarungan kelas tinggi, dengan jurus-jurus
sakti, tak urung ya tetap ramai juga penontonnya.

Cio San memanfaatkan ini untuk mempelajari juus-jurus silat. Karena pertarungan ini
memang bukan pertarungan dahsyat, justru semakin mudah bagi Cio San untuk mempelajari
gerakan-gerakannya. Ia semakin menemukan banyak sekali kesamaan dalam dasar-dasar
gerak dan berbagai macam aliran silat.

“Pada dasarnya ilmu silat hanyalah menyerang dan bertahan. Sehingga gerakan yang ada
hanyalah kembangan dari kedua inti itu. Jika bisa mengenal gerakan inti dan gerakan
kembangan, maka sebenarnya pada dasarnya seluruh ilmu silat itu sama”

Begitu pemahaman Cio San selama ia memperhatikan beberapa pertarungan yang terjadi di
Lai Lai. Dari pemahaman ini semakin gampang ia menebak arah pertarungan silat. Jika ada
dua orang bertempur, hanya dengan menggunakan daya pikirnya ia sudah tahu jurus-jurus
apa yang akan dikeluarkan para petarungnya. Kapan memukul, kapan menendang, kapan
menghindar, ke arah mana arah pukulan dan tendangan, semua bisa diduga Cio San dengan
sekali melihat.

Ia sendiri heran betapa cepat ia paham akan ilmu silat ini. Betapa gampang ia
mempelajarinya. Tapi Cio San segera sadar, bahwa ilmu-ilmu yang ia lihat itu hanyalah ilmu
kelas rendahan yang ketinggalan beratus-ratus tingkat dengan ilmu-ilmu unggulan tokoh-
tokoh nomer satu.

Namun Cio San sudah cukup senang. Baginya ilmu bisa datang dari mana saja. Baginya ini
pelajaran yang bisa diambil hikmahnya. Keadaan Lai Lai yang sudah sangat maju dalam
beberapa bulan saja, juga membuatnya senang.

Tidak ada yang tidak membuatnya senang di masa ini. Lai Lai makmur. Tubuhnya sehat.
Sekarang ia sangat dekat dngan Kwee Mey Lan. Ah, mengingat Mey Lan membuat jantungnya
berdebar. Cio San tetap tidak tahu mengapa.

Kata orang ini cinta. Cio San pun sering mendengarkan kata “cinta” dalam lagu-lagu yang
dinyanyikan A Liang dan ayahnya dulu. Juga pernah baca puisi dan tulisan-tulisan kuno
tentang cinta. Tapi baru kali ini Cio San merasakannya benar-benar dalam hati.

“Inikah 'cinta'? pantas setiap orang menyanyikannya, pantas setiap orang menulis syair
tentangnya”

Cio San sendiri belum paham benar. Usianya baru beberapa belas tahun. Mencapai umur dua
puluh mungkin masih 2-3 tahun lagi. Tapi getaran hatinya yang tidak ia mengerti membuat
ia menyimpulkan sendiri apa “cinta” itu.

Di dunia ini, seberapa banyak orang yang paham cinta? Apakah umur menambah
pemahamanmu tentang cinta? Tidak sama sekali. Tidak ada satu orang pun yang paham apa
itu cinta. Tua dan muda sama-sama bingung tentang cinta.

Orang muda jatuh dan menangis karena cinta. Orang yang sudah tua pun tidak sedikit yang
jatuh dan menangis karena cinta. Apakah dengan banyaknya luka membuat orang semakin
paham dengan cinta? Tidak juga. Banyak pemuda pemudi yang terluka dan menderita,
terlihat bangkit kembali untuk menemukan cinta lagi. Dan tidak sedikit mereka yang sudah
tua pun jatuh bangun berkali-kali dalam meraihnya.

Umur tidak akan membuatmu paham akan cinta.

Pengalaman bercinta yang kesekian kali, juga tidak akan membuatmu paham akan cinta,
Orang yang pernah terluka mungkin akan berkata, “Cukup!, tidak lagi kubiarkan diriku jatuh
cinta”. Tapi apa yang terjadi? Tak lama kemudian mereka akan menemukan cinta yang baru.
Lalu ketika mereka terluka lagi, mereka akan mengatakan hal yang sama, untuk kemudian
melupakan kata-kata itu jika telah menemukan cinta yang baru lagi.

Tak ada orang yang mengerti cinta.


Ketika ia berjanji untuk setia selamanya kepada kekasihnya. Ketika ia berjanji untuk
menemaninya sampai tua, dan menggenggam tangannya ketika mereka telah rapuh. Ketika
ia berjanji untuk menemani kekasihnya sampai maut memisahkan. Betapa lucu janji itu
teringat kembali, ketika ternyata ia menemukan orang yang lebih menarik hatinya.
Maka semua kata-kata terlupakan, dan janji terbatalkan.

Lalu ketika luka menganga bagi mereka yang ditinggalkan dan dikhianati, luka itu cepat sekali
sembuhnya ketika ada cinta baru lagi yang datang.

Cio San menjadi saksi dari semua pemahaman yang tertulis ini. Dari pendengaran dan
pandangannya yang tajam, ia menjadi saksi betapa cinta adalah sesuatu yang aneh. Banyak
pasangan kekasih yang datang ke Lai Lai. Mengucapkan berjuta kata mesra, dan janji sehidup
semati. Lalu beberapa hari kemudian, mereka datang dengan kekasih yang lain pula. Untuk
mengucapkan janji dan kata-kata manis yang sama.

Yang terjadi tidak cuma satu atau dua orang di Lai Lai. Bahkan mungkin di kolong langit ini,
begitulah yang terjadi kepada setiap orang. Kau berjanji pada kekasihmu, mengucapkan kata
cinta yang indah dan manis. Lalu ketika kau menemukan kekasih yang baru, janji dan kata
manis yang sama itulah yang kau ucapkan juga.

Maka di sinilah Cio San. Sedang menjadi saksi dari kejadian ini. Seorang gadis sedang berlutut
menangis, di hadapan sepasang kekasih. Si gadis ini menangis bahwa ia sedang hamil.
Mengandung benih hasil hubungannya dengan laki-laki di hadapannya. Si lelaki itu dengan
santainya tetap menggandeng wanita lain di lengannya dan acuh tak acuh saja dengan
tangisan si gadis di depannya.

Apakah hati kedua pasangan itu sudah mati? Mengapa tidak tersentuh sedikitpun. Mengapa
si lelaki tidak perlu menjelaskan hal ini kepada kekasih yang digandengnya? Mengapa si
wanita ini tidak bertanya tentang asal usul gadis yang berlutut mengiba-iba itu?

Mereka hanya terdiam sambil menikmati arak dan makanan. Sedangkan si gadis masih
berlutut dan menangis, kini bahkan sudah bersujud membenturkan dahi ke lantai.

Cio San tak sabar melihat dan mendengar ini. Segera ia ke ruang sebelah ingin menghardik
pasangan kekasih itu, tapi sebelum ia mengucapkan kata pertama, terdengar suara seorang
wanita,

“Keparat cabul, jika kau tidak segera menghampiri gadis itu dan meminta maaf padanya,
segera ku tebas lehermu”

Suara ini datang dari seorang wanita di lanta atas. Cio San menoleh ke atas. Tapi tidak terlihat
siapa-siapa. Karena dari lantai bawah, hanya sebagian lantai atas yang kelihatan. Rupanya
pemilik suara tadi sedang duduk di pojok ruangan, atau di teras lantai atas.

Dari suaranya Cio San tahu, pemiliknya adalah seseorang yang memiliki tenaga dalam tinggi.
Getaran suara dari pemilik tenanga dalam tinggi atau rendah, dapat dibedakannya. Kini ia
penasaran seperti apa pemilik suara itu.

Dari pendengarannya Cio San tahu bahwa si pemilik suara ini berdiri dari tempat duduknya.
Dan sekali lompat, ia sudah sampai ke lantai bawah. Si pemilik suara ini adalah seorang gadis
yang cantik. Rambutnya di kepang dua di belakang. Kepangan itu melewati kuping belakang,
dan jatuh dengan anggun di kedua bahunya. Anggun sekali. Tapi pandangan matanya tajam.
Ia memakai baju merah jambu. Ringkas dan sederhana, tapi membuatnya malah bertambah
cantik. Di punggungnya terdapat buntelan. Munkin berisi baju-baju dan peralatan perempuan.
Ia menjinjing sebuah pedang yang indah.

Cio San paham, pastilah ini gadis yang berkelana di dunia kang-ouw.
“Cici (kakak perempuan) berdirilah dan jangan menyakiti dirimu sendiri” si gadis merah
jambu berkata sambil memeluk gadis yang tadi menangis mengiba-iba itu. Si gadis masih
menangis, namun tidak lagi membenturkan dahi di lantai.

“Mengapa kau diam saja, kura-kura?” Tanya si merah jambu kepada lelaki itu.

Ternyata yang menjawab adalah pasangan wanitanya,

“Siapa kau? Apa urusanmu dengan hubungan suamiku? Ini urusan dia, kau tidak perlu ikut
campur”

Si gadis merah jambu sedikit terhenyak,

“Apakah kau sama sekali tidak cemburu, suamimu menghamili gadis lain?” Tanya dia

“Dia menghamili gadis lain, itu urusannya dengan gadis itu” si wanita malah menjawab sambil
minum arak.

Dari seluruh permasalahan cinta antara kekasih yang pernah mampir di Lai Lai, baru kali ini
Cio San menemukan urusan seperti beginian.

Dan nampaknya si merah jambu juga baru bertemu urusan beginian.

“Ini memang bukan urusanku, tapi sebagai orang yang punya hati, setidaknya kalian bisa
menunjukkan belas kasihan. Dan kau kura-kura, seharusnya bertanggung jawab” hardik si
merah jambu

Si laki-laki nampaknya risih juga dipanggil kura-kura,


“Aku dan A Yong melakukannya atas dasar suka sama suka. Kalaupun dia hamil, belum tentu
aku pelakunya. Dia sudah bukan gadis ketika tidur dengan aku”

Di jaman ini, kata-kata yang keras dan membuka aib seperti ini hampir tidak mungkin
diucapkan orang di muka umum. Jika sampai si kura-kura berani bicara seperti ini, berarti
dia terlalu banyak minum arak. Atau bapaknya adalah seekor singa.

Maka bisa dibayangkan bagaimana perasaan si gadis itu ketika mendengar ucapan demikian,
tangisannya tambah hebat, ia meraung-raung di lantai. Ucapannya yang keluar dari
mulutunya sudah tidak jelas lagi, karena bercampur teriakan, tangisan, dan makian.

Ia malah bergerak menyerang sepasang kekasih itu.

Si merah jambu juga tidak merintanginya. Nampaknya memang setuju dengan tindakan si
gadis. Tapi begitu si gadis menghampiri si kura-kura untuk menamparnya, justru tubuhnya
sendiri yang terlempar kena tendang wanita pasangan si kura-kura.

Tak sedikitpun Cio San, si merah jambu dan orang-orang disitu yang menyangka bahwa
wanitanya kura-kura itu bisa ilmu silat. Ia terlihat lemah gemulai dan sedikit mabuk. Tidak
ada yang menyangka bahwa ilmunya tinggi juga.

Untunglah si merah jambu sempat menangkap si gadis agar tidak terhempas lebih jauh.

Dengan marah kini si merah jambu menyerang si wanita.

Serangannya dahsyat namun tertata rapih. Gerakannya indah bagaikan burung merak. Cio
San hafal sekali ilmu itu. Itu jurus “Menari di bawah Rembulan”. Ibunya dulu sering berlatih
jurus itu.

“Kau anak murid Go Bi pay? Hmmm, boleh juga” si wanita kini sudah bangkit dari duduknya
dan menghindari serangan-serangan itu.

Cio San bisa melihat bahwa serangan si merah jambu sungguh dahsyat, tapi si wanita itu
malah menerimanya dengan santai dan tersenyum.

Mereka bersilat dengan indah. Masih menggunakan jurus tangan kosong. Serangan itu
sungguh dahsyat. Angin pukulan meraka terasa sampai ke “penonton”. Suara ketika tangan
mereka beradu pun terdengar sangat keras.

Ini bukan pertarungan dua perempuan cerewet. Ini pertempuran pendekar kelas atas.

Jurus-jurus silat si merah jambu tidak cuma dari Go Bi Pay, tapi dari berbagai macam aliran.
Cio San melihat gerakan Bu Tong Pay, jurus-jurus Kay Pang, bahkan beberapa jurus aneh
yang tidak dikenalnya. Si merah jambu ini jelas bukan murid Go Bi Pay.

Si wanita itu juga serangannya tidak kalah dahsyat. Dari pola gerakan dan sasaran serangan
yang dituju, jelas sekali kalo ini ilmu silat golongan hitam, alias golongan Liok Lim.

“ini bukan ilmu silat kacangan, ini serangan-serangan dahsyat” batin Cio San.

Hatinya malah gembira melihat pertarungan ini. Jika diibaratkan orang yang suka mancing,
begitu melihat sungai yang isinya ikan-ikan besar, pasti jiwanya akan ‘gila’. Begitulah juga
Cio San, ia yang dulu tidak bisa silat dan bahkan membenci ilmu silat, sekarang malah jadi
penggemar nomer satu.
Ia mendalami dan mempelajari setiap gerakan yang ada. Setiap serangan, setiap tangkisan,
setiap hindaran. Kembangan pola serang kedua orang ini sungguh bermacam-macam.
Pukulan tipuan juga cerdik sekali. Tapi bicara tentang serangan tipuan, memang masih lebih
dahsyat punya si wanita.

Lima belas jurus berlalu, dan tidak kelihatan siapa yang menang dan kalah. Memang sudah
lima belas jurus, namun waktu yang berlalu mungkin cuma baru beberapa ratus detik.
Kecapatan serangan mereka mungkin cuma Cio San yang bisa melihat. Orang selain dia cuma
bisa melihat bayangan merah jambu dan hijau muda, warna pakaian si wanita.

Cio San baru teringat si gadis yang ditendang tadi. Sejak tadi perhatiannya tertuju pada
pertarungan dahsyat ini, ia lupa terhadap nasib si gadis. Secepatnya ia menuju ke arah gadis
itu, yang sekarang sedang tertelungkup di lantai menahan perih. Cio San memegangnya dan
mengangkatnya, tubuhnya panas sekali, dan wajahnya pucat. Darah mengalir dari bibirnya.
Yang lebih mengagetkan lagi, darah juga mengalir lewat pahanya.

“Ya Tuhan, bukankah dia hamil? Jangan…jangan..” Cio San kaget dan menyesal sekali,
mengapa ia baru teringat nasib gadis ini.

Segera ia membawa gadis ini ke ruang belakang, langsung masuk ke kamarnya. Cio San
sudah tidak perduli aturan kesopanan lagi. Nyawa seseorang dalam bahaya. Aturan bisa
dikesampingkan. Seluruh mata sedang tertuju ke pertempuran. Hanya Mey Lan saja yang
menemani cio San masuk ke dalam kamar.

“Meymey, tolong kau siapkan beberapa bahan untuk mengobati nona ini” dengan sigap
meymey segera ke dapur. Cio San meneriakkan bahan-bahan apa saja yang harus disiapkan
Mey Lan. Dan berhubung Mey Lan tidak melihatnya, kesempatan itu dipakainya untuk
menyalurkan tenaga dalam kepada si gadis.

“Selamatkan bayiku..selamatkan bayiku….” Begitu rintih si gadis

Cio San tidak berkata apa-apa karena ia tahu si “calon” bayi tidak mungkjin tertolong lagi. Ia
hanya berkata,

“Bertahanlah cici, kami akan berusaha sekuat mungkin, bertahanlah…bertahanlah….”

Si cici itu tersenyum, airmatanya masih mengalir. Darahnya juga terus mengalir. Lalu ia
terdiam. Nafasnya berhenti.

Cio San tahu ia tidak bisa apa-apa lagi. Beberapa organ dalam si gadis sudah terluka. Bahkan
mungkin sudah hancur.

Ia berkali-kali melihat kematian. Tapi itu tidak mampu mengeraskan hatinya. Ia tetap
menangis.

Mey Lan datang dengan membawa bahan-bahan yang sudah disiapkannya. Ia segera tahu
apa yang sudah terjadi. Ia hanya bisa menyentuh pundak Cio San, “Sabarlah
koko,,,sabarlah…”

Di saat seperti ini, memang tiada kata lain yang paling pas selain kata “sabar”. Semua orang
tahu itu. Tapi jika mengalami sendiri, tak urung justru kata “sabar” yang paling terlupa.

Untungya Cio Sa memang bisa bersabar. Ia memang terlatih menahan diri dan perasaan.
Sebuah pelajaran baru baginya:

Jika dua orang perempuan berkelahi, secepatnya kau pisahkan.

Perempuan yang lemah lembut, justru kadang lebih ganas dari lelaki jika sedang marah atau
mengamuk. Laki-laki yang terlihat ganas, justru mungkin akan jadi lemah lembut jika melihat
perempuan yang lemah lembut mengamuk.

Kenyataan ini sedikit banyak tidak bisa kau pungkiri.

“Meymey, lekas kau cari tahu siapa keluarga perempuan ini, lewat pintu belakang saja. Biar
aku yang mengurus keramaian di depan”

Kwee Mey Lan mengangguk dan bergegas ke luar.

Cio San memandang wajah gadis yang baru saja meninggal itu. Entah kenapa malah terlihat
seperti tersenyum. Mungkin dia sedang bertemu bayinya disana. Cio San malah tersenyum
juga,

“semoga engkau damai di sana, cici” katanya dalam hati.

Ia lalu bergegas ke ruang depan lagi. Kini pertempuran sudah semakin dahsyat. Meja kursi
sudah berjumpalitan. Ruang itu sudah bukan seperti ruang makan restoran, karena lebih
mirip kapal karam.

Kwee Lay hanya geleng-geleng kepala. Pelayan yang lain tidak bisa berbuat apa-apa.
Pengunjung yang tidak bisa silat berlarian ke luar, dan hanya berani menonton dari luar.
Pengunjung yang bisa silat malah bertepuk tangan dan memuji-muji tontonan seru ini.

Pertarungan ini sudah bukan perkelahaian dua orang perempuan. Ini sudah menjadi
pertempuran hidup dan mati dua ahli silat. Si merah jambu telah menggunakan pedangnya.
Si wanita sudah menggunakan sebuah cambuk berwarna emas

Sinar perak yang ditimbulkan pedang, dan sinar emas yang ditimbulkan cambuk membentuk
cahaya-cahaya yang indah sekali. Seperti lukisan lukisan pepohonan yang daunnya
berguguran di musim gugur. Sinar pedang bagai hujan menghujam dari segala arah. Sinar
cambuk meliuk-liuk bagai angin puting beliung.

Cio San baru sekali ini menyaksikan pertarungan sedahsayat itu. Walaupun matanya bisa
melihat segala gerakan yang ada, tak urung ia kagum juga. “Betapa dalam ilmu silat, betapa
indah karya yang menciptakannya” Ia hanya bisa berucap itu dalam hati. Masih belum tahu
apa yang harus dilakukannya.

Tiba-tiba sebuah pikiran timbul di hatinya.

Segera dengan sangat cepat ia berlari ke kamarnya. Ia bergerak sangat cepat masuk kembali
ke kamarnya. Ia mencopot topengnya, dalam mengganti bajunya. Beberapa saat yang lalu ia
memang membeli beberapa baju yang baik. Ia memilih sebuah baju yang polos dan warna
yang tidak mencolok.

Semua di lakukannya dalam waktu beberapa detik saja.


Kini Cio San berganti rupa menjadi seorang pemuda tampan, dengan baju putih polos yang
ringkas, serta rambut menjuntai tidak di ikat. Gagah sekali.

Cio San

Secepatnya ia terbang keluar dari kamarnya

Menuju pertarungan hidup mati dua orang wanita sakti.

Dalam sekejap mata, Cio San telah berada di tengah pusaran pedang dan cambuk. Tidak ada
seorang ahli silat pun yang berani melakukan hal gila semacam itu. Tapi Cio San
melakukannya. Dengan menggunakan ilmu yang dipelajarinya dari gerakan ular sakti di
dalam goa, tubuh Cio San kini meliuk dengan indah. Bayangan pedang seperti ada ratusan.
Bayangan cambuk seperti ombak yang menghempas. Tapi tidak ada satu pun yang mampu
menyentuh tubuhnya.

Dengan tangan kiri yang bergetar hebat mengikuti derik ekor ular, Cio San menghantam
pedang. Dengan kelincahan dan ketepatan matanya, ia bisa memukul badan pedang yang
perak berkilau, tanpa terpotong mata pedangnya.

Dengan tangan kiri yang meniru moncong ular, ia berhasil menangkap ujung cambuk.

Gerakan ketiga orang yang bagai badai berputar0-putar menghancurkan apa saja itu, terhenti
dalam sekejap. Tangan dan cambuk telah berada dalam genggaman kedua tangan Cio San.

Semua ini ditulis dengan memerlukan waktu beberapa saat, tapi kejadian aslinya berlangsung
hanya sekejap mata.

Kedua wanita yang bertarung itu membelalakkan mata. Tidak menyangka di muka bumi ini
ada orang yang mampu menangkap senjata mereka dengan tangan kosong dalam sekali
gerakan.

Memang pada hakekatnya di kolong langit ini cuma Cio San yang bisa!
Semua mata terpana pada lelaki tampan yang berdiri gagah memegang ujung pedang dan
cambuk. Rambutnya terurai tidak di ikat. Padangan matanya tajam namun hangat. Mulutnya
mengulum senyum. Dadanya tegap. Tubuhnya tinggi.

Saking kagetnya tidak ada orang mengeluarkan suara apapun. Bahkan kedua wanita yang
bertarung seperti hampir lupa bahwa beberapa detik yang lalu mereka sedang mengadu
nyawa.

Pikiran semua orang yang ada disitu hanya satu,

“Apakah orang ini malaikat?’

“Sudahlah ji-wi siocia (kedua nona) nona jangan berkelahi lagi. Kasihan pemilik restoran
seluruh isinya hancur porak poranda”

Suaranya dalam.

Semua orang tahu lelaki di depan ini masih muda belia. Tapi entah kenapa wibawanya justru
seperti pendekar unggulan yang banyak memakan asam garam kehidupan.

Si wanita cambuk emas yang pertama kali mengeluarkan suara,

“Siapa kau?”

“Cayhe bukan siapa-siapa. Hanya pengunjung yang sekedar lewat. Mohon ji-wi siocia (kedua
nona) berhenti bertarung. Kasihan para pengunjung yang lain”

Kedua wanita yang bertarung ini jelas mengerti kalau ilmu mereka masih dibawah pria
tampan yang aneh dihadapan mereka ini.

“Baiklah” herannya mereka menjawab bersamaan.

“Jika ada permasalahan harap diselesaikan di luar. Jangan mengacau di tempat usaha orang”

Maka Cio San kini terbang ke luar. Tangannya masih menggenggam cambuk dan pedang.
Tentu saja kedua wanita itu juga menggenggam senjatanya masing-masing. Herannya
mereka mau saja di tarik Cio San.

Memang ada sebagian perempuan, jika kau meminta baik-baik, mereka malah tidak mau
mendengar. Tapi jika kau paksa, mereka malah menurut dengan aleman.

Perempuan mana saja kalau ditarik tangannya oleh Cio San, mungkin yang menolak bisa
dihitung dengan jari.

Kini mereka bertiga telah berada di luar Lai Lai.

Cio San telah melepas pegangannya.

Lalu berkata kepada wanita cambuk emas,

“Tendanganmu telah membunuh seorang gadis. Kau harus bertanggung jawab atas
perbuatanmu” kata Cio San dengan tajam.
“Aku memang selalu bertanggung jawab atas perbuatanku. Lalu kau mau apa? Urusan bunuh
membunuh bukan hal yang terlalu luar biasa dalam kang ouw” si wanita menjawab tidak
kalah tajamnya.

“Tapi yang kau bunuh adalah wanita biasa bukan golongan kang ouw” Cio San marah sekali.
Matanya malah berkaca-kaca.

Biasanya orang kang ouw bisa menyimpan perasaan. Tapi Cio San tidak, Belum. Ia belum
pernah terlibat langsung dalam kang ouw.

“Siapa suruh dia menyerang suamiku. Aku kan hanya membela diri dan kehormatan suamiku”
sambil berkata begitu si wanita mengerling kepada suaminya yang berada di dalam. Herannya
si suami masih tetap duduk sambil minum arak, masih di tempat yang sama.

“Kau…kau…tidak cemburu suamimu main gila dengan wanita lain?” Tanya si merah jambu.

“Oh tentu tidak. Semakin dia main gila, aku semakin suka”

Gemparlah semua “penonton” yang ada di sana. Mereka tidak menyangka akan mendengar
jawaban seperti ini.

Kali ini Cio San bertanya,

“Kau senang di main gila, karena dengan demikian kau pun bisa main gila juga, bukan?”

“Tidak ada yang lebih menyenangkan bertemu dengan laki-laki muda yang tampan, dan
cemerlang otaknya” sambil bicara itu si wanita cambuk emas matanya menjadi sayu, pipinya
memerah, dan ia menjilati bibirnya.

Cio San bergidik. Di dunia ini, ada juga pasangan kekasih seperti ini?

“Ah aku tau, siapa kau, sejak tadi aku sudah curiga!” tiba-tiba si merah jambu berkata

“Kau dan suamimu, bukankah Sepasang Iblis Pemabuk Cinta?”

Mendengar nama itu disebut, si wanita itu tersenyum. Dagunya terangkat, dadanya
membusung.

“Nama itu selalu menggelitikku kalau diucapkan orang” katanya.

Cio San belum pernah dengar nama ini. Tapi dari namanya saja, ia tahu kedua pasangan
suami istri ini pasti bukan orang baik-baik.

“Kau tidak takut, tampan?” Tanya si wanita cambuk emas kepada Cio San.

“Takut? Tidak. Aku malah tertarik sekali. Sangat tertarik” ia menjawab sambil tersenyum. Ia
sudah mampu mengusai perasaannya. Kini ia malah terlihat tenang.

Kenapa Cio San menjawab seperti ini tidaklah mengherankan. Ayahnya, adalah seorang lelaki
yang tampan sekali. Dan juga seorang yang romantis. Sang ayah suka membuatkan syair
cinta dan lagu-lagu cinta kepada ibunya. Cara bersikap ayahnya yang mesra, dan suka
merayu ibunya itu sangat membekas dalam diri Cio San. Walaupun kadang-kadang ibunya
suka mendidiknya dengan sangat keras dalam hal adat istiadat dan kesopanan, tak urung
sikap ayahnya yang romantis ini juga menurun kepadanya.
Maka Cio San menirunya. Mencoba bersikap tenang. Setenang ayahnya dalam menghadapi
ibunya yang marah-marah atau merajuk.

Maka kalimat-kalimat ayahnya yang menggoda ibunya, yang merayu, yang menenangkan
hati, pasti membengkas dalam diri Cio San. Mengalir dengan alami dan tidak dibuat-buat.

Cio San tidak tahu, bahwa semakin lelaki bisa membuat seorang wanita penasaran, maka
semakin menariklah lelaki itu di mata perempuan. Semakin misterius seorang lelaki, maka
daya tariknya pun semakin meningkat.

Maka bisa dibayangkan betapa daya tarik Cio San yang tampan dan misterius ini membuat
perempuan cabul semacam wanita cambuk emas tergoda hatinya.

“Jika kau menemaniku berduaan saja selama satu malam saja, aku akan memberikan apa
yang kau mau” goda si wanita cambuk emas.

“Benarkah?”

“Kau ini…..” si wanita cambuk emas tambah bernafsu

“Kalau aku menemanimu semalaman, kira-kira apa yang akan kita lakukan?” Tanya Cio San.
Pertanyaan ini jika diucapkan orang lain akan terdengar mesum. Tapi mungkin karena
keluguan dan kepolosan Cio San, ucapan ini terdengar hangat dan menggoda sekali.

Si wanita tidak menjawab, hanya matanya yang membesar, dan ia menggigit bibirnya.
Kemudian berkata,

“Apa yang kau minta semalaman itu, pasti ku beri semua. Kau minta diriku, kau minta jiwaku,
semuanya kuberi”

Cio San tidak menjawab, hanya tersenyum. Di mata orang, pastilah dia pemuda yang sangat
berpengalaman dalam wanita. Tapi sesungguhnya dia hanya meniru tingkah pola ayahnya
saja dalam menggoda ibunya.

Senyum ini, adalah senyuman seorang lelaki matang, yang paham seluk beluk perempuan.
Yang tahu cara tarik ulur dengan perempuan. Karena perempuan, semakin gampang kau beri
hatimu, semakin cepat juga ia merasa kau membosankan.

Tapi semakin susah kau dikuasainya, semakin menarik juga kau bagi hatinya.

Cio San sebenarnya belum paham hal ini semua. Dengan tidak sengaja, ia telah membuat
wanita-wanita terpesona. Karena wanita yang menonton kejadian ini bukan cuma si wanita
cambuk emas. Masih banyak wanita yang menonton, termasuk si merah jambu.

“Sudah jangan berlama-lama lagi, peluk dia erat-erat, cari kamar, dan telan ia bulat-bulat”
teriakan itu terdengar dari dalam. Sudah pasti itu suara suami si wanita cambuk emas.

Orang-orang yang mendengar banyak yang jengah dan malu. Tapi banyak juga yang tertawa-
tawa. Ucapan seperti itu memang tidak pantas di muka umum. Lebih tidak pantas lagi jika
itu ucapan suami kepada istrinya.
“Jika kau dapat mengalahkan aku dalam 10 jurus, sudah pasti aku ikut padamu” kata Cio
San.

“Kalian lelaki maunya curang saja. Sudah jelas ilmu silatku kalah jauh denganmu. Masih kau
tantang silat juga. Bertempur silat aku pasti kalah, tapi kalau bertempur lain, belum tentu” si
wanita tersenyum genit.

Si merah jambu tidak tahu lagi harus berkata dan bersikap apa. Ucapan mesum seperti ini
jelas membuatnya mati sikap. Dengan malu dan wajah bersemu merah, dia beranjak dari
situ, “Kita selesaikan urusan kita lain kali, wanita iblis. Kau silahkan berursan dengan kekasih
barumu”

Ia lalu menyarungkan pedang, dan masuk ke dalam untuk mengambil buntelan tasnya yang
tadi ia letakkan saat akan bertempur.

Cio San, tidak tahu harus berkata apa hanya tersenyum saja. Memang ayahnya jika
menghadapi ibunya yang sedang merajuk, pasti hanya tersenyum saja. Di dunia ini memang
hal terbaik yang bisa dilakukan laki-laki terhadap perempuan yang merajuk, hanyalah
tersenyum. Jika kau buka mulut maka semua urusan jadi lebih berbahaya.

Lalu Cio san berkata kepada si wanita cambuk emas,

“Begini saja, bagaimana jika kau dan suamimu bergabung bersama menempur aku. Jika aku
kalah, aku turut apa kalian. Jika kalian kalah, ku serahkan kalian kepada petugas kota untuk
mempertanggungjawabkan perbuatan kalian”

Seumur hidup pasangan iblis ini merajalela, baru kali ini mereka mendengar ada ucapan
seberani ini. Semua orang di dunia kangouw tahu, jika ilmu “Pengantin Neraka” mereka
mainkan, maka lawan yang mampu menghadapi mereka ini dunia ini bisa dihitung dengan
jari. Memang jika mereka bertarung sendirian, ilmu mereka cukup tinggi. Malah masuk dalam
50 besar tokoh Liok Lim (dunia hitam) terhebat. Tapi jika mereka bertarung bersama
memainkan ilmu “Pengantin Neraka”, maka nama mereka langsung masuk jajaran 20 besar
tokoh sesat terhebat.

Karena itulah mereka tertawa mendengar tantangan Cio San.

Karena itu jugalah si merah jambu tidak jadi pergi. Ia kagum sekali mendengar keberanian
Cio San. Ia lalu berkata,

“Kau ini sangat hebat atau sangat bodoh?”

Cio San tersenyum lagi. Sambil memegang rambut yang terurai melewati belakang
telinganya. Kebiasaan ayahnya yang kini secara tidak sengaja menurun juga kepadanya. Ini
pertama kali ia mengelus elus rambutnya terurai itu. Cio San sadar itu. Tapi rasanya
menyenangkan!. Pantas ayahnya sering melakukannya.

Si suami lalu terbang keluar. Setelah di lihat lebih dekat, memang ia sebenarnya sudah cukup
umur. Tapi dandanannya serta gerak geriknya seperti seorang pemuda bau kencur.

Si suami ini juga penasaran dengan ilmu silat Cio San. Apa yang terjadi semua disaksikannya.
Kehebatan Cio San yang mampu menangkap senjata tadi bukan kepandaian sembarangan.
Maka itu dia bertanya,
“Apakah anda Butong-enghiong (satria Bu Tong) Beng Liong?”

“Bukan, punya bapak seorang naga pun, cayhe tidak berani mengaku sebagai Butong-
enghiong (satria Butong) Beng Liong”

Liong memang artinya naga.

“Di dunia persilatan ini, orang muda gagah setampan engkau hanya Beng Liong dan Kay
Pang-Pangcu (ketua perkempulan pengemis) Ji Hau Leng. Kau sudah jelas bukan Ji Hau
Leng.” sahut si suami.

“Cayhe tidak seberuntung itu punya nama besar dan kehebatan seperti mereka” jawab Cio
San.

“Lalu boleh ku tahu nama enghiong yang terhormat?” Tanya si suami lagi.

“Nama siauw ceng (panggilan untuk merendahkan diri) tidak penting”

“Hmmmm,,seorang satria yang menyembunyikan nama. Jangan salahkan aku jika nanti
kamu mati tidak ada orang yang menguburkanmu, karena tidak ada yang tau asal-usulmu”

Sambil berkata begitu ia langsung menyerang. Ia telah melolos sebuah pedang lemas dari
pinggangnya.

Begitu cepat begitu lihay. Si istri pun ikut menyerang. Mereka ini golongan hitam yang tidak
suka tata aturan bertarung. Tentu saja mencari jalan agar cepat menang dan cepat selesai.

Menghadapi ini Cio San sudah gentar. Ia sudah faham gerakan silat si istri, alias wanita
cambuk emas. Namun saat keduanya menyerang bersama-sama, baru terasa benar
dahsyatnya ilmu mereka.

Tubuh Cio San bergerak sangat lincah. Tubuhnya meliuk-liuk. Ilmu gabungan antara gerak
langkah sakti Bu Tong pay, digabung dengan kelincahan tubuh ular sakti. Menjadi sebuh ilmu
baru yang licin, gesit, namun lembut dan bertenaga.

Semua penonton yang paham ilmu silat matanya melongo melihat gerakan Cio San. Belum
pernah dari mereka ada yang melihat atau mendengar tentang ilmu ini. Cio San bergerak
dengan bebas dan lincah mengikuti aliran serangan cambuk emas dan sebuah pedang lemas
milik si suami,

Gerakan serang Pangenatin Neraka ini sangat genas. Keduanya bergerak saling mengisi,
saling menutupi kekurangan. Yang satu menyerang, yang satu menjaga. Yang satu
menendang yang satu menangkis.

Pada awalnya Cio San kelimpungan juga. Tapi ia segera paham.

Teringat dia dengan latihannya di dalam goa, Saat air banjir dengan menyerangnya bertubi-
tubi. Seperti inilah pola serangan ilmu Pengantin Neraka. Mengalir dan saling mengisi tempat
kosong. Pedang dan cambuk bergantian menyambar. Cio San seperti dikelilingi banjir
bandang!

Tapi tidak percuma ia latihan di dalam goa. Semua di hadapinya dengan gerakan berputar
seperti gasing yang amat cepat. Ia tidak mungkin menangkap cambuk dan pedang saat
seperti pertama kali tadi memisahkan si merah jambu dan wanita cambuk emas.
Karena saat bertarung tadi, serangan mereka tujukan kepada lawan. Dan mereka tidak
menyangka ada orang lain yang kana masuk memotong gerakan mereka. Oleh karena itulah
Cio San bisa mengambil posisi dan sudut yang pas untuk menangkap senjata.

Sekarang Cio San lah yang berada di posisi bertarung. Sehingga inti gerakan serangan
ditujukan kepadanya. Dia tidak punya posisi yang pas untuk menangkap senjata. Karena
setiap posisi kosong, pasti sudah berisi serangan juga. Tidak ada lagi posisi kosong yang bisa
dipakai untuk menyerang!

Semua posisi sudah terisi pedang dan cambuk!

Puluhan jurus telah lewat.

Cio San betarung dengan ringan dan santai. Tenaganya penuh. Walaupun ia terdesak dengan
serangan-serangan hebat, tak sedikit pun ia panik. Ia bergerak sekenanya. Mengikuti aliran
serangan lawan. Ia membiarkan tubuhnya dibawa ‘ombak’ serangan ini. Karena semua
serangan akan didahului oleh ‘angin’, maka Cio San tahu kemana dan dari mana saja arah
serangan.

Ia kini sudah bisa membaca serangan lawan. Tak terasa ia kini bersilat sambil menutup mata.
Dengan menutup mata “pandangan’ nya jauh lebih terang. Karena sekarang yang melihat
adalah mata batin.

Begitu Cio San paham arah serangan dan jurus-jurusnya, maka seketika itu juga ia paham
cara memecahkannya.

Pedang lemas sedang mengarah lurus menusuk kerongkongannya. Ujung cambuk sedang
meliuk menuju pinggangnya. Cio San melompat dan menekuk tubunya ke belakang.

Kau ingat bagaimana gerakan mencium lutut? Cio San melakukan yang sebaliknya!

Tubuhnya bagai terlipat menekuk ke belakang!

Pedang lewat diatas wajahnya yang menegadah. Cambuk lewat dibawah kakinya yang
membujur lurus belakang. Bersamaan dengan itu kedua tangannya menotok tubuh kedua
orang lawannya. Titik dimana jika ditotok, membuat orang yang ditotok tak mampu bergerak
sama sekali.

Dan pertempuran pun selesai.

Beruntunglah mereka yang hadir di situ.

Bagi hadirin yang mampu menyaksikannya, pertempuran seperti ini tak akan dilupakan
seumur hidup.

Bagi hadirin yang tidak mampu menyaksikannya, pertempuran ini juga tidak akan terlupakan
seumur hidup. Karena baru kali ini mereka percaya ada manusia-manusia yang bisa berubah
menjadi bayangan.

“Siocia (nona), ku serahkan mereka kepadamu. Serahkan saja kepada petugas kota. Atau
siapa saja yang kau anggap pantas” kata Cio San kepada si merah jambu, ia melanjutkan
lagi.
“Nama cayhe (saya) adalah Cio San. Boleh cayhe tahu nama siocia yang terhormat?”
tanyanya sambil tersenyum dan membentuk salam hormat di depan dada

“Eh..aku she (marga) Khu, namaku Ling Ling”

Mata Cio San berbinar, ia teringat obrolan di warung kecil saat ia pertama kali tiba di kota
itu.

“Sampai berjumpa lagi nona Khu Ling Ling”

Kata-katanya baru terdengar seluruhnya, orangnya sudah tidak ada.

Di sepanjang hayatnya, pemuda yang bergerak secepat itu belum pernah ditemuinya. Khu
Ling Ling hanya termenung. Ia seperti pernah mengingat nama itu.

Bab 19 Sang Nyonya Besar


Cio San tidak menghilang.

Dengan satu kali loncatan. Ia telah tiba di atas atap Lai Lai. Lalu kemudian turun ke bagian
belakang restoran itu. Lalu masuk ke kamarnya. Semua orang sedang sibuk di bagian depan,
sehingga tak seorang pun yang tau jika ia telah masuk ke kamarnya. Berganti pakaian dan
memasang topengnya kembali.

Tubuhnya kini tidak lagi tegap seperti tadi. Melainkan sedikit bungkuk. Rambutnya sudah
diikat pula. Kini ia duduk saja di samping mayat gadis yang tadi meninggal diatas tempat
tidurnya. Menunggu Mey Lan datang. Dan tak berapa lama Mey Lan memang sudah datang.
Tidak datang sendirian melainkan bersama beberapa orang. Rupanya orang-orang ini
mungkin keluarganya.

Cio San mempersilahkan mereka masuk. Tak berapa lama terdengarlah tangisan. Nampaknya
memang benar gadis itu bagian keluarga mereka. Cio San tak tega berada di situ, ia segera
ke halaman belakang. Dalam kepalanya berkecamuk berbagai macam pikiran.

Apakah yang dilakukannya ini sudah benar?


Mengapa ia tadi tidak sigap menolong gadis itu?

Apa yang terjadi beberapa saat yang lalu memang membawa tantangan sendiri baginya. Ia
menikmati ‘peran’ nya sebagai Cio San. Ia menikmati bersikap gagah. Tapi saat semua sudah
usai, kini yang ada hanya tangisan keluarga yang ditinggalkan. Mengingat ini, memang rasa-
rasanya ia ingin membunuh saja sepasang iblis suami istri itu.

Tapi Cio San memang tidak suka membunuh orang. Ia selalu teringat pesan ayahnya.
Melakukan kekerasan terhadap orang lain saja ia tidak tega. Apalagi membunuh. Mengapa
orang tidak bisa duduk dan membicarakan segala permasalahan baik-baik? Mengapa semua
masalah harus diselesaikan dengan air mata dan pertumpahan darah?

Pertanyaan ini sejak jaman dahulu kala, tidak pernah bisa terjawab.

Cio San masih terlalu hijau. Walaupun ilmu silat, dan otaknya cemerlang. Tetap saja tidak
bisa menemukan jawabannya.

Hari ini begitu banyak pelajaran yang ditemuinya. Bahwa waspada saja tidak cukup. Sikap
siaga dan bersikap harus dilatihnya. Ia harus selalu menggunakan akal dan tenaganya untuk
mencegah hal hal ini terulang lagi. Jika ia bisa menggunakan akalnya agar dapat membaca
keadaan lebih jelas. Tentunya ia bisa mencegah agar gadis itu tidak meninggal.

Mulai pahamlah ia bahwa manusia tidak seperti kelihatannya. Ada orang yang terlihat lemah
lembut, ada orang yang kelihatan acuh tak acuh, ternyata menyimpan banyak rahasia.
Sepasang iblis tadi terlihat seperti pasangan suami istri biasa. Siapa tahu mereka ternyata
penjelmaan iblis.

Cio San terus mengingatkan dirinya sendiri untuk selalu waspada dan sigap dengan segala
situasi. Hari ini adalah pelajaran berharga baginya. Maka ia bangkit dan berdiri. Walaupun
beban dalam dadanya tidak bisa terangkat seluruhnya. Setidaknya semangat baru untuk
mencegah kejadian seperti ini terulang lagi, membuatnya jauh lebih kuat.

Ia lalu membantu keluarga yang berduka itu sebisa mungkin. Sampai mereka pulang
membawa jenazah gadis yang malang itu. Kwee Lai, Mey Lan, dan pegawai yang lain juga
ikut membantu keluarga itu. Padahal mereka juga dipusingkan dengan keadaan Lai Lai yang
hancur berantakan.

Terkadang membantu orang lain yang sedang tertimpa masalah, membuat masalahmu
sendiri terasa ringan.

Lai Lai tutup lebih siang pada hari itu. Kwee Lai dan seluruh penghuni mendapat kunjungan
dari petugas kota. Mereka diberi pertanyaan macam-macam seputar kejadian tadi. Sepasang
suami istri iblis tadi sudah dimasukkan ke dalam penjara. Adipati akan menurunkan hukuman
beberapa hari lagi di pengadilan. Legalah hati mereka semua yang ada di situ.

Malamnya seluruh penghuni Lai Lai merapatkan apa yang harus dilakukan. Kwee Lai
mengatakan bahwa dana untuk perbaikan memang ada, tapi jelas mereka menderita banyak
kerugian. Walaupun kejadian ini tidak terlalu memukul keuangan Lai Lai, setidaknya cukup
menggoncangkan hatinya juga. Mereka memutuskan untuk menutup Lai Lai selama beberapa
hari, untuk memperbaiki segala kerusakan.

Tepat ketika rapat ditutup, seseorang mengetuk pintu depan.

“Siapa?” Tanya Kwee Lai

“Selamat malam. Salam hormat. Saya utusan dari perusahaan dagang Kim Hai (Lautan
Emas). Mohan ijin untuk bertemu Kwee Loya (Tuan Kwee)” sahur suara dari luar.

Cio San bergegas membukakan pintu.

Orang yang datang tadi punya penampilan rapi. Wajahnya tampan walaupun sudah cukup
umur.

“Perkenalkan nama saya Huan Biau. Saya membawa pesan dari Khu-Hujin (nyonya besar
Khu) kepada Kwee Loya (Tuan Kwee)” kata si orang tadi.

“Mari silahkan masuk, saya Kwee Lai” kata Kwee Lai sambil tersenyum ramah.

Semua orang di situ tahu apa itu perusahaan dagang Kim Hai, dan siapa itu Khu Hujin.

“Ada pesan apa dari Khu Hujin?” Tanya Kwee Lai.


“Hujin berpesan bahwa semua kerugian yang ada di restoran anda akan kami ganti. Mulai
besok, kami akan mengirimkan beberapa pekerja dan bahan-bahan bangunan. Hujin juga
mengucapkan permintaan maaf sebesar-besarnya, karena perbuatan cucunya yang berbuat
onar di sini, Kwee Loya”

“Ah pertengkaran kecil begini saja, Khu Hujin sampai turun tangan langsung? Aku si tua
begini terlalu diberi muka oleh Khu-Hujin. Sudah tidak perlu diganti. Jangan sampai membuat
repot Khu Hujin”

“Tidak apa-apa Loya. Khu Hujin memaksa Loya harus menerima permintaan maafnya. Jika
ada waktu Hujin sendiri yang akan datang berkunjung”

“Waah, sebuah kehormatan besar jika beliau berkunjung. Harap beri kabar sebelum beliau
datang, agar kami bisa menyiapkan masakan terbaik bagi beliau” kata Kwee Lai, lanjutnya,

“Iya, kebetulan beliau memang ada rencana ke kota ini. Ada urusan dagang yang harus beliau
selesaikan sendiri. Sekarang beliau masih di kediamannya di kota Tho Hoa.

“Tuan Huan silahkan istirahat sebentar dulu. Kami siapkan arak, dan beberapa pengisi perut”

“Terima kasih Loya, tapi saya harus segera pulang untuk mempersiapkan pekerjaan besok.
Sebenarnya sukar sekali saya menolak tawaran ini, mengingat masakan disini sudah terkenal
sampai ke luar kota. Tapi apa daya, banyak pekerjaan menumpuk” kata Huan Bian menolak
dengan halus

“Ehh..kalau begitu mau kah tuan Huan membawa beberapa guci arak? Sekedar sebagai
teman istrirahat saat bekerja. Mungkin bisa diminum bersama-sama saudara-saudara disana”
kata Kwee Lai

Belum sempat Huan Bian menolak, Mey Lan sudah muncul dengan beberapa guci arak. Ia tak
dapat menolak. Akhirnya setelah memberi salam, segera ia mohon diri.

Setelah orang itu pulang, Cio San bertanya kepada Kwee Lai,

“Loya, berapa jarak antara kota ini dengan kota Tho Hoa?”

“Perjalanan memakai kuda sekitar sehari semalam, ada apa?”

“Ah tidak apa-apa” jawab Cio San sambil tersenyum.

Dalam hati ia berkata, “Orang suruhannya saja punya langkah kaki yang demikian ringan.
Aku baru tahu kehadirannya saat ia sudah 10 langkah di pintu depan. Kejadian di kota lain
yang jaraknya jauh saja pun, ia tahu begitu cepat. Bahkan sudah mengirim orang untuk
mengurusi urusannya. Bisa dibayangkan betapa berpengaruhnya Khu Hujin ini”

Malam itu Cio San tidur dengan berbagai macam pikiran. Tapi entah kenapa ia tidak menutup
jendela kamarnya.

Pagi-pagi sekali orang-orang dari Kim Hai sudah tiba. Mereka datang sekitar sepuluh orang.
Dengan berbagai macam peralatan dan perkakas. Orang-orang ini memang nampaknya
pekerja bangunan yang pekerjaan sehari-harinya mengurusi bangunan. Maka tak heran jika
sampai tengah hari saja, Lai Lai sudah terlihat begitu rapid an bersih seperti semula.
Meja dan kursi yang rusak sudah diganti baru. Tembok yang pecah sudah diperbaiki. Goresan-
goresan karena pertempuran kemarin sudah terhapus semuanya. Cio San tidak membantu.
Ia memang tidak diperbolehkan membantu oleh orang-orang ini. Ia juga paham, justru kalau
membantu bisa-bisa pekerjaannya jadi molor lebih lama.

Maka tengah hari, ketika jam makan siang, seluruh pekerjaan sudah selesai. Pihak Lai Lai
menyiapkan makanan yang enak bagi pihak Kim Hai. Hian Bian yang datang semalam, juga
hadir memenuhi janjinya mencicipi masakan di Lai Lai.

Mereka makan dan mengobrol dengan santai, Cio San iseng-iseng bertanya,

“Tuan Huan, kemana nona Khu setelah kejadian kemarin?”

“Setelah menyerahkan dua iblis itu, Khu Siocia (nona Khu) langsung pulang ke Tho Hoa.”
Jawan Huan Bian.

“Oh, pantas saya tidak melihatnya lagi setelah itu. Nona Khu gagah sekali kemarin. Dengan
berani ia melawan si wanita iblis”

“Nona kami memang begitu perangainya. Sejak kecil sudah suka ilmu silat. Dia bahakn sudah
dua tahun ini berkelana sendirian. Eh, saudara A San, apakah kau tahu siapa pendekar gagah
yang bernama Cio San itu? Ia muncul tiba-tiba dan menghilang tiba-tiba. Menurut cerita Khu
siocia, ilmu silatnya sungguh hebat”

Cio San tersenyum dan menjawab,

“Saya hanya melihatnya saat dia berbicara saja. Kalau sudah bergerak, saya cuma melihat
bayangan saja. Pertarungan dahsyat kata orang-orang bagi saya cuma bayangan-bayangan
berkelebatan saja”

Huan Bian mengangguk-anggukan kepala. “Memang menurut nona kami, pemuda bernama
Cio San itu sakti sekali. Sayang asal usulnya tidak diketahui orang. Kalau tidak, kami pasti
akan menemuinya dan mengucapkan terima kasih yang amat dalam”

Mereka mengobrol cukup lama lalu kemudian Huan Bian dan anak buahnya meminta diri.

Tak berapa lama, orang orang Hai Liong Pang (Perkumpulan Naga Lautan) yang menguasai
daerah dermaga kota Lau Ya datang berkunjung.

“Kami dengar ada keributan di sini kemarin ya?” Tanya salah satu dari mereka

“Iya. Tapi semua urusan sudah dibereskan Khu Hujin dari perusahan dagang Kim Hai” jawab
Cio San. Ia sengaja menggunakan nama Khu Hujin untuk melihat reaksi orang-orang Hai
Liong Pang.

Benar saja. Mendengar nama Khu Hujin disebut, wajah mereka berubah.

“Apa hubungan Khu Hujin dengan keramaian kemarin?” Tanya salah seorang

“Kebetulan yang bertempur dengan sepasang iblis kemarin adalah cucu Khu Hujin, namanya
nona Khu Ling Ling” jawab Cio San.

“Kudengar ada pendekar muda lain yang turun tangan juga. Siapa namanya?”
“Sejauh yang hamba tau, namanya Cio San” jawab Cio San pelan

“Siapa dia? Apakah ada hubungan dengan restoran ini?”

“Kami semua di Lai Lai tidak kenal dengannya dan baru sekali itu melihatnya. Tampaknya dia
kebetulan sedang mau makan di sini. Lalu terjadi keributan itu”

“Baiklah. Kalau begitu. Jika ada apa-apa, segera kalian lapor kepada kami. Mungkin Hai Liong
Pang bisa membantu” kata salah seorang.

“Terima kasih sekali, tuan tuan dari Hai Liong Pang, sudah sudi untuk memberi muka kepada
kami. Tanpa perkumpulan tuan-tuan, kota ini tentu tidak aman” Cio San berkata sambil
bungkuk-bungkuk memberi hormat.

Orang-orang itu tertawa senang lalu pergi.

Cio San menduga, akan banyak orang yang akan datang menanyakan permasalahan kemarin.
Mereka tentu saja tidak tertarik dengan pertempuran kemarin. Nama Cio San lah yang
menarik perhatian mereka. Dan betul saja, berturut-turut orang dari berbagai macam
perkumpulan dan partai semua datang. Dengan alasan memesan makan dan minum. Mereka
mulai bertanya hal-hal yang sama. Tentu saja dijawab yang sama pula oleh Cio San dan
penghuni Lai Lai.

Rupanya orang Kang Ouw sudah mulai mendengar kabar kemunculan pemuda sakti bernama
Cio San. Dari umurnya, ciri-cirinya, dan kesaktiannya, bisa jadi inilah Cio San murid pelarian
BuTong pay yang buron sambil membawa lari kitab sakti.

Di dunia ini, tidak ada yang menarik perhatian kalangan bu lim (persilatan) selain kitab sakti.
Selain harta karun, dan senjata pusaka tentunya.

Sejak awal, Cio San memang telah memikirkan segala keputusan yang diambilnya. Ia telah
memilih menggunakan nama aslinya, saat pertempuran kemarin. Pikiran yang timbul sekejap
saja, namun telah ia pikirkan baik-baik. Tidak mudah untuk memikirkan segala sesuatu
dengan matang dalam waktu singkat, tapi otak Cio San memang sejak dulu cemerlang.

Ia sengaja menggunakan nama itu untung memancing reaksi orang-orang kang ouw. Apakah
mereka masih mengingat kejadian beberapa tahun yang lalu itu? Apakah mereka masih
mengincar kitab sakti itu?

Dari sedikit keramaian itu, Cio San bisa mengambil peluang. Ia bisa mulai menyelidiki rahasia
segala kejadian ini.

Karena itu Cio San merasa bersemangat. Begitu banyak kejadian aneh yang terjadi seputar
dirinya, entah kenapa ia merasa semua saling berkaitan.

Dan memang sesuai dugaannya. Semakin banyak orang yang datang ke Lai Lai pada hari hari
berikutnya. Pihak lai Lai bahkan harus mempekerjakan tenaga koki dan pelayan tambahan.
Saking ramainya sampai ada yang bersedia duduk dan makan di halaman depan dan
belakang.

Rupanya nama Cio San ini sangat menarik bagi orang. Entah Cio San harus tertawa gembira
atau menangis sedih.
Rombongan yang ditunggu-tunggunya datang juga. Yaitu rombongan dari Bu Tong pay. Ada
5 orang yang datang, Cio San mengenal mereka semua. Kelima orang ini adalah anggota 15
naga muda. Ia sempat mengobrol dengan mereka. Tentu saja obrolannya seputar pendekar
muda misterius bernama Cio San. Mereka bertanya tentang ciri-ciri “pendekar muda” ini.
Semua ini dijawab dengan jujur oleh Cio San.

Lima hari setelah kejadian pertempuran itu, datanglah juga tamu yang dinanti-nanti. Siapa
lagi kalau bukan Khu Hujin. Beliau bersama rombongan datang tanpa memberi kabar terlebih
dahulu. Untung saja datangnya di sore hari ketika Lai Lai tidak begitu ramai. Tetap saja
penghuni Lai Lai kelimpungan juga. Khu Hujin datang bersama beberapa pendampingnya.
Ada yang laki-laki, ada yang perempuan. Dari langkah kakinya saja, Cio San tahu ilmu silat
mereka tidak bisa dubuat main-main.

Cio San ketika pertama kali melihat Khu Hujin teramat kaget, Nyonya tua yang merupakan
salah satu orang paling kaya di Tionggoan ini tidak terlihat tua sama sekali. Kata orang
umurnya sekitar 70 sampai 80an. Tapi nyonya yang duduk makan dengan tenang di
hadapannya sekarang ini terlihat baru berumur 40 sampai 50 tahunan. Jika tidak melihat
sendiri, Cio San tidak akan mau percaya.

“Ah, engkau kah koki muda yang hebat itu? Kabar yang kudengar selama ini memang benar
rupanya. Seorang koki muda berbakat yang masakannya terkenal sampai ke kota-kota
sebelah” puji Khu Hujin.

“Hujin terlalu memuji. Siauw jin (sebutan untuk merendahkan diri sendiri) hanya memasak
sekenanya saja. Amat beruntung jika Khu Hujin berkenan mencicipinya” kata Cio San
terbungkuk bungkuk.

“Kau belajar masak di mana?” Tanya Khu Hujin

“Leluhur siaw jin sejak dahulu memang tukang masak. Ada yang sempat buka restoran juga.”
“Oh bagus. Makananmu enak sekali. Sekali waktu bolehkah aku mengundangmu memasak di
rumahku? Tapi untuk itu aku harus minta ijin dulu kepada Kwee Loya”

Kwee Loya yang berdiri di samping Cio San menyahut,

“Tentu saja boleh hujin. Mana mungkin siau ceng menolak permintaan hujin” rupanya ia
ketularan Cio San, berbicara sambil menunduk-nunduk.

Khu hujin mengangguk-angguk senang, lalu bertanya

“Siapa namanu tadi, anak muda? Maafkan aku yang sudah tua, susah sekali mengingat nama
orang” Tanya Khu Hujin kepada Cio San

“Nama siau jin, A San, she (marga) Tan” jawab Cio San.

Ia memilih marga Tan, karena marga itulah marga yang paling umum di tionggoan. Ada
jutaan orang bermarga Tan.

Mereka masih mengobrol sebentar. Cio San dan Kwee Lai sambil berdiri. Khu hujin sambil
duduk menikmati sajian makanan dan minuman. Makanan dan minuman ini adalah sajian
terbaik buatan Cio San. Untuk orang seperti Khu Hujin, semua memang harus yang terbaik.
Bahkan posisi duduknya saja, adalah posisi terbaik di bangunan restoran Lai Lai ini. Tepat
ditengah-tengah ruangan.

Ketika selesai menikmati hidangan, Khu Hujin berkata,

“Terus terang, sudah lama sekali aku tidak pernah makanan se enak ini sejak aku masih
muda sekali. Dulu sekali aku pernah punya kenalan yang pintar sekali masaknya. Sayang
dia sudah meninggal. Terakhir ku dengar ia dikuburkan di Butong san”

Khu hujin terdiam sebentar, pandangan matanya menerawang.

“Ah sudahlah. Cerita lama tidak boleh dikenang-kenang” katanya sambil tersenyum.
“Entahlah kenapa masakan ini mengingatkan aku kepada sahabatku itu”

Tak berapa lama kemudian, rombongan Khu Hujin meminta diri untuk pulang karena hari
sudah mulai gelap. Pengunjung pun sudah mulai ramai.
Cio San sebenarnya terhenyak dari tadi. Dia tahu bahwa yang dimaksud Khu Hujin adalah A
Liang. Guru sekaligus sahabatnya. Di dunia ini tidak ada orang lain yang pintar masak, dan
dikuburkan di Butongsan selain Kam Ki Hsiang, alias A Liang.

Sampai malam, Cio San tidak dapat bekerja dengan tenang. Pikirannya masih menerawang
memikirkan cerita Khu Hujin tadi. Apa yang harus dilakukannya?

Akhirnya dia memutuskan untuk melakukan sesuatu.

Bab 20 Syair Tentang Cinta


Khu Hujin

Cio San pergi pagi-pagi sekali. Memang ada kalanya dia pergi berbelanja bahan-bahan untuk
Lai Lai setiap fajar menjelang. Tapi kali ini, dia telah menyiapkan pakaian yang ringkas. Di
jalan, disebuah gang kecil dan sepi, dia telah berubah dari A San, menjadi Cio San.

Saat mengobrol kemarin, ia telah tau di mana Khu Hujin menginap. Tentunya di sebuah
rumah miliknya sendiri di kota itu. Kesanalah Cio San pergi.

Begitu sampai di depan gerbang, beberapa orang sudah menghadangnya,

“Saudara ada keperluan apa pagi-pagi kemari?” tanya salah seorang

“Saya punya pesan yang harus disampaikan kepada Khu Hujin” kata Cio San

“Khu Hujin tidak menerima tamu sepagi ini. Apa pesanmu?, biar nanti kusampaikan kepada
Hujin”

“Seseorang bernama Kam Ki Hsiang mengirim pesan. Jika beliau berkenan, saya akan datang
kembali nanti malam. Jika nanti malam beliau tidak mau menemui, maka biarlah. Saya akan
pulang saja”

“Baik. Pesanmu akan ku sampaikan kepada beliau. Siapa namamu, anak muda?”

“Nama siauw jin adalah Cio San”

Belum sempat orang itu kaget, Cio San sekejap mata sudah menghilang dari hadapannya.

Malamnya, sesuai janji Cio San datang lagi. Kali ini para penjaga di depan sudah bersiap-siap
menunggu kedatangannya,
“Hujin sudah menunggumu” kata salah seorang

Cio San menjawabnya dengan tersenyum. Ia lalu diantar memasuki halaman rumah yang
luas. Begitu luasnya sampai-sampai Cio San merasa sedang berada di sebuah hutan. Halaman
itu memang banyak ditumbuhi pohon-pohon besar. Rerumputan terpotong rapi. Bahkan
kolam kolamnya pun terlihat seperti sungai.

Begitu masuk sampai ke rumah utama, Cio San lebih kagum lagi. Semua isi perabotannya
terlihat sederhana namun sangat indah. Lukisan-lukisan tergantung di dinding. Bicara tentang
lukisan. Cio San bukan seorang yang asing. Sejak kecil ayahnya sudah merngenalkannya
dengan karya-karya pelukis terkenal. Maka tentu saja, Cio San kagum sekali melihat koleksi
lukisan di dalam rumah ini. Senadainya beberapa koleksi lukisan ini di jual, mungkin bisa saja
dipakai untuk membeli rumah semacam ini lagi.

Rumah ini pun walaupun terasa hening, sebenarnya ramai dengan banyak orang. Ada
pelayan-pelayan, para penjaga, dan mungkin pegawai-pegawai. Cio San diantar ke dalam
sebuah ruangan. Kelihatannya seperti sebuah ruang belajar pribadi.

Si pengantar mengetuk pintu dan memohon ijin untuk masuk. Setelah mengantar Cio San, ia
sendiri pergi. Meninggalkan Cio San dan Khu Hujin sendirian di kamar belajar.

Khu Hujin memang sudah menanti. Beliau sedang duduk bermain khim (sejenis alat musik
berdawai). Melihat kedatangan Cio San, beliau tersenyum.

Di hadapan Khu Hujin, berdiri seorang pemuda muda belia. Tampan. Pembawaannya gagah
dan tenang. Bajunya ringkas dan sederhana, tapi justru menambah kegagahannya.
Ramburnya tidak diikat rapi. Tapi justru menambah daya tariknya. Sekali pandang saja, Khu
Hujin tau kalau Cio San bukan pemuda sembarangan.

“Selamat malam, Hujin” Cio San memberi salam

“Kau kah yang bernama Cio San?”

“Benar, Hujin”

“Kau mengenal Kam Ki Hsiang? Pesan apa yang kau bawa darinya?”

Cio San tersenyum, ia memberi hormat, dan berkata,

“Saya tidak tahu, apakah Kam Ki Hsiang yang saya maksud, adalah orang yang sama dengan
yang Hujin kenal. Tapi saya harus mengambil resiko ini. Siapa tau dugaan saya memang
benar adanya”

Khu Hujin tersenyum pula, lalu dengan lantang ia berkata,

“Kam Ki Hsiang yang kukenal, adalah seorang pria gagah, yang mati di tangan Thio Sam
Hong di Butongpay”

Kata-kata itu diutarakan dengan lugas dan lantang. Tapi Cio San bisa melihat, walau hanya
sekejap saja, bibir Khu Hujin sedikit bergetar ketika mengucapkannya.

“Maafkan, saya lancang menggunakan namanya untuk bisa bertemu Hujin. Saya datang tidak
membawakan pesan. Melainkan hanya memainkan sebuah lagu”
“Sebuah lagu?” sinar mata Khu Hujin mulai bersinar terang

“Bolehkah saya?” tanya Cio San sambil menunjuk Khim di depan Khu Hujin

“Silahkan” sahut Khu Hujin, ia lalu berdiri. Mempersilahkan Cio San memainkan khim.

Lagu yang ia mainkan adalah sebuah lagu yang dipelajarinya dari A Liang. Sebuah lagu sedih
tentang perpisahan sepasang kekasih.

Jika musim berganti,


Rembulan menanti,
Untuk bersama kekasih yang di hati,

Siapa kah dia yang menanti di ujung malam?


Siapakah dia yang menangis di tepi telaga?

Jika kekasih pergi,


Kata perpisahan pun tak terucap,
Karena itulah yang paling menyakitkan jiwa,

Seandainya nanti kita tak bertemu,


Rembulan tau siapa kekasih sejati,

Lagu ini mengalun dengan tenang, dan lembut. Permainan khim Cio San indah dan sendu. Di
luar langit menghitam. Bintang-bintang tak berani bersinar. Karena kilaunya kalah bercahaya,
dengan butiran-butiran air yang menetas di pipi Khu Hujin.

Angin berhenti mendesah. Air kolam berhenti berdecik. Lagu ini sekali saja diperdengarkan,
membuat dunia sepi dalam sekejap.

Cio San sendiri seperti enggan berhenti. Lagu seperti ini jika dinyanyikan bisa membuat jiwa
merintih mengiba-iba. Tapi jika dihentikan, akan membuat langit bergetar merindukan suara.

Tapi Cio San berhenti. Segala sesuatu yang indah, ada saat menghilang. Seperti cinta.

Ia telah berhenti bernyanyi dan memainkan dawai. Tapi entah kenapa, lagunya masih
terdengar di dalam hati.

Lama sekali mereka terdiam. Seperti masih menikmati lagu yang tadi. Di dalam kesunyian.

Terkadang kesunyian terdengar lebih indah dari lagu apa pun.

Khu Hujin lalu membuka mata. Sejak tadi jiwanya memang tidak berada di situ. Ia selama
beberapa saat kembali ke sebuha masa. Masa yang indah puluhan tahun yang lalu.

Ia tersenyum. Walaupun air mata mengalir di pipinya. Jatuh membasahi ujung-ujung


bibirnya. Seketika Cio San merasa wanita di hadapannya ini jauh lebih muda. Serasa seorang
gadis yang tersenyum bahagia dengan pipinya yang kemerah-merahan. Dengan senyumnya
yang indah.
Cio San seperti ingin berkata sesuatu, tapi ia memilih diam. Karena perempuan dihadapannya
juga sedang diam. Kadang diam itu memang lebih bermakan daripada untaian kata-kata yang
paling manis sekalipun.

Kadang tidak berkata apa-apa sama dengan mengungkapkan banyak hal.

Dan kadang, di hadapan perempuan yang sedang meneteskan air mata, diam adalah hal yang
paling baik.

Khu Hujin, akhirnya berkata,

“Itu lagu terakhir yang kudengar darinya. Diakah yang mengajarkan lagu itu padamu?”
tanyanya

“Benar” Cio San mengiakan.

“Apakah dia masih hidup? Bagaimana kabarnya sekarang?”

“Sayangnya Kam-suhu (guru Kam) telah meninggal nyonya”

“Ahhhhhhh,,,,,” Sang Hujin terlihat terpukul sekali.

“Padahal sejak kudengar bahwa kuburan Kam K Hsiang yang dibongkar ternyata kosong, aku
berharap dia masih hidup” katanya sedih

“Pada waktu itu beliau memang masih hidup, Hujin” kata Cio San

“Apakah dia pernah bercerita tentang aku?” tanya sang Hujin

"Sayangnya tidak pernah Hujin. Saya baru tahu nyonya mengenalnya ketika nyonya
menyinggung sahabat nyonya yang pintar masak yang meninggal di Butongsan”

“Maukah kau menceritakan apa yang terjadi sesungguhnya pada dirinya?” tanya Khu Hujin.

Cio San lalu bercerita. Bagaimana orang yang bernama Kam Ki Hsiang kala bertarung dengan
Thio Sam Hong. Lalu merubah nama menjadi A Liang. Dan mengabdi di Butongpay. Cio San
juga menceritakan hukumannya di puncak gunung. Tapi ia tidak bercerita tentang buku
masak A Liang. Ia hanya bercerita bahwa A Liang lah yang mengajarinya silat, dan juga
bermain musik. Juga tentang tragedi kematian Tan Hoat, dan juga A Liang. Dan bagaimana
ia hidup di dalam goa selama beberapa tahun.

Cerita sepanjang itu diikuti Khu Hujin dengan seksama. Ia lalu bertanya,

“Apakah Kam Ki Hsiang yang mengajarimu memasak juga?”

“Benar Hujin. Tentunya Hujin sudah bisa menduga siapa sebenarnya saya?”

“Kau adalah A San, tukang masak di Lai Lai, bukan?”

“Pandangan mata, keluasan pengetahuan, dan pemikiran hujin memang sukar dicari
tandingannya” kata Cio San kagum.

“Sejak pertama Cio San muncul di Lai Lai, aku sudah curiga. Mengapa selama ini ciri-ciri orang
seperti Cio San ini tidak ada anak buahku yang melaporkan sebelumnya.”
“Padahal anak buah hujin ada dimana-mana” sambung Cio San

Khu Hujin hanya mengangguk, ia lalu melanjutkan

“Apa yang terjadi di setiap kota, mestinya kami tahu. Siapa orang baru yang datang, apa
tujuan mereka ke kota itu, kami pasti tahu. Kau pasti paham bahwa banyak orang yang iri
dengan usaha dagang kami, maka kami harus melakukan banyak hal supaya bisa
mempertahankannya”

Beliau melanjutkan lagi,

“Jika tidak ada yang pernah melihat Cio San sebelumnya, tentu ia datang di kota itu dengan
menyamar. Kemudian dari kabar yang ku dengar dari Ling Ling, orang yang bernama Cio San
ini menggunakan jurus dasar-dasar silat Bu Tong Pay, tapi kemudian dicampur dengan ilmu
silat aneh yang belum pernah dilihatnya.”

“Menurut pemikiranku, mungkin saja orang ini adalah anak murid Butongpay yang buron itu.
Karena tidak mungkin murid Butongpay mau merusak kemurnian ilmu silatnya dengan
mencampurnya dengan yang lain.”

“Ditambah lagi namanya juga Cio San. Diukur dari usianya sudah cocok. Jadi kesimpulanku,
pastilah pendekar muda ini adalah Cio San murid Butongpay yang buron dan akhirnya
menyamar.”

“Yang paling penting kemudian adalah aku harus mencari tahu dia menyamar sebagai apa.
Menurut laporan ia tiba-tiba menghilang di Lai-Lai. Tidak mungkin ada orang yang menghilang
begitu saja di kota ini.”

Cio San kemudian memotong,

“Lalu Hujin mengirimkan orang untuk memperbaiki Lai lai, tujuannya untuk mencari tahu
keadaan Lai-Lai yang sebenarnya bukan?”

“Benar. Hebat juga kau bisa menebaknya. Dari mereka, aku tidak menemukan berita apa-
apa. Akhirnya aku memutuskan untuk datang sendiri memeriksa”

“Lalu ketika aku bertemu A San si tukang masak. Tutur katanya sopan dan halus. Tidak
seperti koki pada umumnya. Aku curiga dengan raut wajahnya yang pucat, namun memiliki
sinar mata yang mencorong. Sadarlah aku bahwa A San pastilah menggunakan topeng.
Kecurigaanku semakin terbukti, ketika dengan sengaja aku menyinggung Butongpay dan
sahabatku yang meninggal, sinar matamu berubah sendu. Apalagi, rasa masakanmu memang
mengingatkanku kepada Kam ki Hsiang. Dia telah mengajarimu dengan bagus sekali” Kalimat
terakhir itu diucapkan Khu Hujin dengan sinar mata bersinar. Entah kenapa Cio San merasa
sinar mata itu seperti sinar mata seorang mertua yang berbicara tentang menantu yang
dibanggakannya

“Lalu bagaimana dengan kau, bagaimana cara kau menebak bahwa aku telah tau
penyamaranmu?” tanya sang Hujin.

“Ketika saya berbicara dengan Hujin, dan hujin menyinggung tentang Butongpay dan sahabat
hujin yang meninggal disana. Saya tahu bahwa sinar mata saya berubah. Masih banyak
kenangan yang tidak bisa terlupa, sehingga saya tidak bisa menyembunyikan perasaan.
Ketika saya merasa bahwa sinar mata saya berubah sendu, secepatnya saya tersadar, dan
juga saya memperhatikan sinar mata hujin sendiri. Dan yang saya lihat, sinat mata hujin juga
berubah. Mungkin lega, mungkin puas. Saya kurang tahu. Tapi saya waktu kecil kadang-
kadang suka main tebak-tebakan. Sinar mata hujin, seperti sinar mata orang yang senang
karena tebakannya benar” jelas Cio San panjang lebar.

“Jadi kau tahu bahwa aku telah membongkar penyamaranmu, hanya dari sinar mataku yang
berubah karena melihat perubahan sinar matamu sendiri?” Khu Hujin bertanya, matanya
memancarkan kekaguman.

“Benar sekali hujin.”

“Hanya dengan perubahan mata, berani sekali engkau mengambil kesimpulan, Cio San”

“Kadang beberapa hal memang harus dilakukan dengan nekat.” Katanya tersenyum

“Bagaimana jika kau salah?” tanya Hujin.

“Jika saya salah, paling-paling saya akan jadi buronan lagi. Itu bisa saya hadapi dengan
mudah. Tinggal menggunakan topeng, dan lari ke kota lain.” Katanya tersenyum.

Dalam masalah lari, memang hanya sedikit orang di dunia ini yang bisa mengejarnya

Lalu ia menyambung,

“Jika saya benar, maka setidaknya saya telah melakukan hal yang baik. Yaitu menceritakan
kisah yang sebenarnya terjadi di ButongPay. Ini untuk membersihkan nama Kam-suhu (guru
Kam), dari tuduhan fitnah. Dengan pengaruh dan kekuasaan Hujin. Rasa-rasanya hal ini
bukan hal yang tidak mungkin.”

“Bagus sekali Cio San. Aku kagum kepadamu yang masih muda tapi sudah memiliki pikiran
yang cemerlang. Eh, masih ada lagi yang ingin kutanyakan. Jika ia tidak pernah bercerita
kepadamu tentang aku, dank au bilang kau baru tahu tentang itu, bisakah kau tebak
bagaimana hubunganku dengannya”

Cio San terdiam sebentar. Lalu menjelaskan,

“Pada awalnya saya pikir mungkin hubungan saudara. Tapi sudah jelas tidak mungkin karena
she (marga) berbeda. Lalu saya pikir mungkin hubungan saudara seperguruan, tapi itu juga
tidak mungkin karena nyonya tidak bisa silat. Kemudian saya sampai kepada kesimpulan
akhir bahwa kalian, maaf sebesar-besarnya, adalah sepasang kekasih?”

Hujin tersenyum, “Kau memang cerdas Cio San”

Ia melanjutkan, “Maukah kau mendengar kisah kami dahulu?”

Cio San mengangguk.

“Beberapa puluh tahun yang lalu, kami merencanakan untuk menikah. Tapi kecintaannya
terhadap petualangan dan juga ilmu silat, membuat rencana itu tertunda terus menerus.
Suatu hari ia pulang setelah berkelana lama. Tubuhnya kurus sekali. Tapi wajahnya cerah
dan terlihat sangat sehat. Ia bercerita kepadaku bahwa ia menemukan sebuah kitab sakti
yang akan membuatnya menjadi ahli silat paling hebat di seluruh tionggoan.”
“Ia berlatih siang malam, dan dalam setahun saja, ia menjadi sangat hebat. Ia kemudian
berkelana lagi untuk menantang jago-jago silat ternama. Semua dikalahkannya. Setahun
kemudian dia pulang lagi ke desa kami, dan bilang jika kali ini ia mungkin tidak akan kembali
lagi.

“Ia bilang jika ia akan menantang pendekar terhebat sepanjang masa Tionggoan, yaitu Thio
Sam Hong. Aku menangis memintanya untuk mengurungkan niatnya. Tapi niatnya sudah
bulat. Sebelum pergi, ia menciptakan aku sebuah lagu. Lagu itulah yang kau mainkan
kepadaku tadi”

“Kemudian kudengar ia telah tewas di Butongsan sana. Berulang kali aku berusaha meminta
jenazahnya untuk dipindahkan, namun pihak Butongpay selalu menolaknya. Aku heran
kenapa jasadnya tidak diperabukan saja. Tapi beberapa tahun yang lalu kudengar jasad Thio
San, setelah diperabukan, juga dikubur di dekat kuburannya?”

Cio San mengangguk

Hujin lalu melanjutkan,

“Lalu kudengar ada kejadian besar di Butongpay. Seorang murid membunuh gurunya,
membawa kabur kitab sakti, dan kabur dengan temannya seorang juru masak yang sudah
tua. Ditambah lagi bahwa ada kabar kalau ternyata kuburan Kam Ki Hsiang ternyata kosong.
Semakin membuatku ada banyak rahasia yang tersembunyi”

“Ketika kau datang pagi tadi dan bilang bahwa kamu membawa pesan dari Kam Ki Hsiang,
sukamku bagai melayang. Aku benar-benar berharap dia masih hidup”

Cio San merasa tidak enak dengan ini, tapi kemudian dia teringat sesuatu.

“Maafkan kesalahanku itu Khu Hujin, itu adalah kesalahan yang tidak bisa saya perbaiki. Tapi
saya ingin memberitahu Hujin, Kam-suhu menciptakan lagi sebuah lagu tentang Hujin saat
kami berada di puncak Butongsan”

“Benarkah? Mainkanlah!”

Di bawah mentari
Di bawah langit biru
Di temani rumput-rumput dan angina barat

Aku memandangimu dari puncak bukit,


Dari menara tertinggi, ku sebut namamu

Tahukah kau aku lebih terluka daripada engkau?


Tahukah perpisahan denganmu jauh lebih tajam dari mata pedang?

Tapi aku justru bahagia di dalam kesedihan,


Karena ku tahu ciintamu takkan berubah
Karena setiap detik jantung mendetakkan namamu,
Setiap saat angina menghembuskan bisikanmu
Setiap malam bintang meminjam cahaya matamu
Setiap pagi mentari meminjam kecerahan wajamu

Jika orang berkata, maut kan memisahkan,


Bahagialah, karena bagiku maut kan mempertemukan,

Sampai nanti, ku tunggu kau di ujung jalan


Tempat telaga kesukaanmu
Tempat dimana kau suka memetik bunga Tho
Dan berlari mengejar kupu-kupu

Sampai nanti kita bertemu kembali

Mata Khu Hujin berbinar-binar. Ia menangis terharu, lalu tersenyum simpul ketika Cio San
menyanyikan lirik “tempat telaga kesukaanmu, tempat dimana kau suka memetik bunga Tho,
dan berlari mengejar kupu-kupu”

Saat ini memang hanya mata yang berbicara. Cio San bisa menangkap sinar yang begitu
bahagia di mata yang teduh dan berbinar itu. Seperti sinar mata anak gadis sedang kasmaran!

“Apakah kau tau judulnya, Cio San?”

“Tentu saja Hujin, judulnya “Salam Untuk Ting Ai”

Khu Hujin tersenyum, “Tahukah kau siapa Ting Ai?”

“Tentunya itu adalah nama gadis hujin, Khu Ting Ai”

Hujin tersenyum sambil berkata,

“Lagu itu menceritakan bahwa ia tidak lupa padaku. Bahwa ia masih mencintaiku dan
berharap bertemu denganku suatu saat ini. Ahhhhhh,,,Cio San mendengar ini saja betapa
gembira hatiku”

“Aku yakin benar itu lagu ciptaannya. Karena nada-nadanya khas sekali. Ia juga bercerita
tentang telaga tempat biasa kami bertemu. Dan juga kesukaanku memetik bunga Tho dan
mengejar kupu-kupu”

Wajah Khu hujin ketika bercerita tentang ini memang seperti anak perawan sedang
kasmaran.

“Kau telah memberiku kebahagiaan yang sangat besar, Cio San. Untuk itu aku harus
memberimu hadiah. Mintalah apa yang kau mau, jika mampu niscaya ku beri” kata Khu Hujin
serius.

“Saya datang tidak dengan maksud apa-apa Hujin. Saya hanya berharap Hujin mampu
membersihkan nama Kam suhu dan saya. Itu saja.”
“Kalau itu sudah pasti akan kulakukan Cio San. Aku mohon padamu, mintalah padaku apa
saja. Jangan sampai kau menolak. Bagiku kau sudah seperti cucu sendiri”

Cio San berpikir sejenak, lalu berkata

“Baiklah hujin. Maafkan saya yang lancang, bolehkah saya meminta sebuah kitab? Kitab apa
saja. Saya suka membaca, tapi di Lai Lai tidak ada yang bisa saya baca”

Khu Hujin tertawa terbahak-bahak sambil menutup mulut dengan tangannya. Anggun sekali.
“Kau hanya minta itu saja? Baiklah. Kuberikan kau sebuah kitab bagus. Bahkan mungkin kitab
terbaik yang pernah kubaca. Kulihat kau memiliki bakat yang besar dalam bidang ini juga,
selain bermain musik, silat, dan memasak”

Khu Hujin beranjak dan memilih-milih buku yang tersusun rapi di rak buku. Jika mau
menghitung memang ada ratusan buku di dalam kamar belajar pribadi ini.

“Nah ini dia”

Bab 21 Pelajaran Yang Berharga


“Kitab ini, tidak hanya cocok untuk kau pelajari, bahkan mungkin harus kau pelajari. Dalam
perjalanan hidupmu, akan sangat berguna sekali” ujar Khu Hujin sambil menyodorkan kitab
itu.

Cio San menerima dengan penuh hormat.

“Kitab Wajah dan Gerak Tubuh”

“Judul yang aneh bukan? Tapi manfaatnya banyak. Kau aka bisa membaca pikiran orang
hanya dari bahasa wajah dan tubuhnya. Saat orang berbohong, ada bagian-bagian wajah dan
tubuhnya yang bergerak. Jika kau pelajari, kau bisa membedakan orang yang jujur dengan
tidak. Kau bisa membaca perasaan dan isi hati mereka cukup dengan melihat raut wajah atau
bahasa tubuh mereka. Menarik bukan?”

“Menarik sekali Hujin. Tentu saja Hujin sudah mempelajarinya dan mendapat manfaat yang
amat sangat bukan?. Bahkan mungkin banyak sekali urusan dagang yang Hujin selesaikan
dengan buku ini”

“Tepat sekali”

Hujin kemudian berkata,

“Dalam perjalananmu, kau akan menemukan banyak rintangan. Banyak kesulitan dan
kesusahan. Engkau adalah orang yang cerdas dan berbakat. Jangan hanya mengandalkan
ilmu silat, karena ilmu silat akan kalah dengan tipu daya yang licik. Jangan pernah percaya
kepada seorang pun walaupun ia teman dekatmu. Tapi jika kau sudah memutuskan untuk
percaya, maka percayalah ia dengan segenap hatimu. Hatimu dan akalmu akan
membisakanmu kepada siapa kau letakkan kepercayaanmu”

“Selalu gunakan ketenangan dan kematangan berfikir. Karena apa yang kau lihat belum tentu
berarti seperti yang kau lihat. Selalu berusaha mencari makna di balik segala kejadian. Karena
tidak ada yang kebetulan. Tidak ada yang tidak diatur. Maka dari itu, apapun yangdilakukan
orang lain, harus selalu kau selediki dengan teliti. Hal sekecil apapun!”

“Karena manusia jauh lebih kejam dari makhluk manapun. Oleh sebab itu, ku ulangi lagi: hal
sekecil apapun, tidak boleh lewat dari perhatianmu. Latihlah dirimu untuk memperhatikan hal
sekecil-kecilnya. Posisi sendok di meja. Posisi cangkir saat kau tinggalkan. Letak kursi ketika
sebelum kau masuk ruangan. Semuanya harus kau perhatikan. Untuk itu, jangan pernah
bosan untuk selalu melatih dirimu dengan hal ini. Jika kau berlatih silat seratus kali, maka
hal ini harus kalu latih seribu kali”
“Selalu berusaha untuk menjadi yang terbaik, bukan untuk dirimu, tetapi untuk orang lain.
Menjadi yang terbaik bukan berarti menjadi yang paling hebat dalam ilmu. Tapi menjadi hebat
berarti bahwa kau mampu menundukkan dirimu sendiri. Menundukkan hawa nafsumu.
Karena perang dan pertempuran paling dahsyat, bukanlah saat melawan musuh yang paling
sakti ilmunya. Melainkan melawan dorongan nafsumu, pada saat kau mampu melakukan
nafsumu itu”

“Janganlah malu menjadi cibiran orang, jika kau yakin bahwa perbuatanmu tidak
bertentangan dengan moral dan akal sehatmu. Janganlah ragu dan menunda-nunda dalam
berbuat yang terbaik. Perluaslah pengetahuanmu. Cari teman dan kenalan sebanyak
mungkin. Tapi jadikanlah orang yang benar-benar kau yakini kebaikannya sebagai sahabat
sejatimu. Orang seperti ini hanya bisa dihitung dengan jari sebelah tangan. Tapi jika kau
sudah menemukannya, bersiaplah untuk mengorbankan jiwa dan ragamu kepadanya, karena
dia sendiripun akan mengorbankan jiwa raganya kepadamu”

“Jika kau gagal dalam melakukan tugasmu, malulah kepada diri sendiri. Tapi maafkanlah juga
dirimu, karena manusia memiliki keterbatasan. Dalam kegagalanmu, terdapat cermin untuk
memperbaiki diri. Dalam keputusasaanmu, terdapat obat pahit untuk bangkit kembali.
Didalam sakit hatimu terdapat kekuatan untuk membuktikan kepada dunia bahwa kau
sanggup melakukannya. Ambil waktu sebanyak mungkin untuk melihat kekurangan sendiri,
karena kebanyakan manusia menghabiskan waktu untuk membicarakan kekurangan orang
lain.”

“Apabila ada orang yang membicarakan kekuranganmu, terimalah mereka dengan senyum
ketulusan karena merekalah yang menunjukkan kelemahanmu. Jika ada orang yang
membicarakan kehebatanmu, terimalah mereka dengan wajah menunduk karena kau paling
tahu terhadap kekuranganmu sendiri.”

“Jagalah kepercayaan orang lain terhadapmu, karena itu lebih berharga dari seluruh isi bumi.
Jika kepercayaan itu hilang, maka hilanglah harga dirimu. Karena harga dirimu berada pada
kepercayaan orang terhadapmu. Engkau akan banyak tersakiti oleh ucapan dan perbuatan
orang, dan pembalasan terbaik dari semua itu adalah memaafkan. Memaafkan bukan berarti
kelemahan, karena keadilan harus ditegakkan.”

“Kuatkanlah dirimu untuk terus melakukan keadilan, karena dunia baru akan damai ketika
keadilan dan aturan ditegakkan. Ingatlah bahwa aturan kadang membatasi. Maka biasakanlah
dirimu untuk terus mempertanyakan peraturan. Biasakanlah dirimu untuk tersiksa, karena
keadilan sungguh jauh dari kebahagiaan. Karena kebahagiaan mengutamakan kesenangan.
Sedangkan kesenangan kebanyakan menipumu. Kebahagian terbaik adalah kemampuan
untuk membuat orang lain bahagia”

“Saat ini, tak akan pernah terulang lagi. Oleh sebab itu selalu hargai setiap detik dalam
hidupmu. Hargai kebersamaan bersama orang-orang yang ada di sekelilingmu. Karena
mereka mungkin mengorbankan banyak hal hanya untuk bisa bertemu denganmu. Maka itu,
hargailah waktu seperti engkau menghargai nyawa. Yang terjauh adalah masa lalu, dan yang
terdekat adalah kematian. Yang paling menyesal adalah tidak melakukan sesuatu. Yang
paling merugi adalah menyianyiakan cinta. Maka jadikanlah dirimu sebagai orang yang
menghargai cinta. Karena cinta adalah pengorbanan diri. Waspadalah kepada kepalsuan
cinta. Engkau akan mampu membedakan kepalsuan dan keaslian cinta, saat engkau mampu
mengorbankan jiwa bagi apa-apa yang engkau cinta. Saat engkau mampu mengorbankan
kebahagiaan diri sendiri demi kebahagiaan orang lain”
"Sebagai laki-laki yang menantang kehidupan, kau mungkin akan dikagumi wanita, dan
banyak orang. Tapi wanita-wanita ini akan berpikir seribu kali untuk mencintai laki-laki yang
kehidupannya seperti dirimu. Yang hidup bebas menantang hari esok dangan tangan kosong
dan hati yang terbuka. Wanita-wanita ini akan menganggap engkau menarik, tapi pada
akhirnya mereka akan memilih lelaki lain yang bisa memberi mereka rasa aman, dan
kehidupan yang tenang. Sedangkan lelaki lain itu justru tidak mereka kagumi."

"Engkau mungkin akan terluka dan jatuh dalam perangkap cinta, dan juga wanita. Maka
berhati-hatilah terhadap wanita yang cantik. semakin cantik dia, semakin besar kekuatannya
untuk melukaimu. Oleh karena itu cintailah wanita yang membuatmu tenang, jangan kau
mencari wanita yang membuat orang lain kagum."

"Ingatlah selalu untuk menjadi dirimu sendiri. Hargailah dirimu, dan hidupmu. Jangan ingin
berubah karena perkataan orang. Tapi berubahlah karena kau memang merasa kekurangan
dirimu harus diperbaiki"

“Maka, dalam pesanku yang terakhir ini, Cio San, jadilah manusia terbaik. Jangan menjadi
pesilat terbaik, pemikir terbaik, atau tukang masak terbaik. Jadilah manusia terbaik,,,,”

Bab 22 Sang Dewa Kematian


Cio San memandang Khu Hujin dengan penuh kekaguman. Belum pernah dia mendengar
orang memberi wejangan padanya seperti itu. Begitu dalam. Begitu ringkas. Tetapi sangat
membekas.

Angin bertiup menghembus sampai masuk ke dalam ruangan itu. Cio San pun tak tahu lagi,
apakah sejuk di dadanya ini adalah karena angina, ataukah karena kata-kata Khu Hujin.

Itulah mengapa Khu Hujin menjadi begitu berhasil di dalam hidupnya. Menjadi wanita
‘terkuat’, tidaklah butuh ilmu silat yang hebat. Justru karena ia tidak mengandalkan ilmu silat
maka Khu Hujin menjadi seperti itu. Seluruh perempuan di muka bumi ini, seharusnya
paham. Bahwa mereka tercipta sebagai ‘makhluk terkuat’. Sudah terlalu banyak kisah yang
menceritakan betapa wanita mampu menundukkan laki-laki terhebat sekalipun.

“Cio San…..” sapaan lembut Khu Hujin membuyarkan lamunannya

“Apakah kau tahu apa-apa saja yang telah terjadi di dunia ini sejak engkau kabur dari
Butongpay dahulu, sampai saat ini?” tanya Khu Hujin

“Eh, saya hanya mendengar beberapa kabar dari cerita-cerita orang bu lim (kaum persilatan)
yang mampir ke Lai Lai. Tapi semua belum begitu jelas, karena mungkin hanya berupa kabar
burung” jawab Cio San

“Ceritakan kepadaku”

“Beberapa tahun belakangan ini sering terjadi pembunuhan misterius. Pelakunya adalah
beberapa orang bertopeng yang memiliki ilmu silat sangat tinggi. Mereka membunuh dengan
sangat kejam. Dan banyak korban mereka yang merupakan terkemuka seperti ketua partai
persilatan, pejabat Negara, dan masih banyak lagi”
Lanjut Cio San, “Kelompok pembunuh ini sangat rahasia. Tidak ada seorang pun yang tahu
dari mana mereka. Asal usul ilmu silat mereka. Dan juga tujuan mereka. Saya sendiri
berkesimpulan, pembunuhan keluarga besar saya, guru saya, dan juga peracunan
ciangbunjin Butongpay juga ada hubungannya dengan kelompok pembunuh rahasia ini”

“Pada awalnya saya berfikir, mungkin pembunuhan-pembunuhan ini ada hubungannya


dengan kitab-kitab sakti yang banyak dibicarakan orang. Tetapi jika dilihat dari banyaknya
korban yang bukan hanya berasal dari kaum bulim. Saya mengambil kesimpulan bahwa
tujuan kelompok pembunuhan ini bukan hanya sekedar mengesai ilmu-ilmu silat tertinggi.
Melainkan juga mungkin hal yang lebih besar daripada itu”

“Seperti?” tanya Khu Hujin

“Mungkin mereka bertujuan untuk mengacaukan dunia kangouw, dan malah berusaha untuk
menguasainya.”

“Kesimpulan yang bagus”, sahut Khu Hujin. “Tetapi karena belum ada perkembangan dan
kabar yang jelas, maka kau jangan terlebih dahulu mengambil kesimpulan apapun. Karena
kesimpulan yang terlalu cepat diambil, akan menjauhkanmu daripada kebenaran yang
sebenarnya”

“Saya mengerti hujin. Terima kasih”

“Selain kabar ini, apalagi kabar yang kau dengar?” tanya Khu Hujin lagi.

“Saya mendengar kabar bahwa Butongpay masih tetap mencari saya. Bahkan orang-orang
bu lim masih terus mencari keberadaan saya. Apalagi sejak kemunculan saya di Lai Lai tempo
hari. Saya juga sudah tahu, bahwa Butongpay telah mengirimkan surat pengumaman ke
berbagai kalangan yang memberitahukan bahwa saya sudah dipecat dari Butongpay, dan
segala tingkah laku dan perbuatan saya, tidak ada hubungannya lagi dengan butongpay.”

“Apakah kau sedih, Cio San?”

“Sangat sedih hujin, tapi saya bisa mengerti keadaannya. Memang sudah seharusnya.”

Khu Hujin mengangguk sambil tersenyum, “Baiklah, malam sudah larut dan aku pun butuh
beristirahat. Kau pulanglah. Dan lakukanlah hal yang harus kau lakukan. Aku sangat
berterima kasih atas apa yang kau lakukan hari ini. Ingat-ingatlah dengan kata-kataku tadi.
Jadilah manusia terbaik, Cio San”

“Terima kasih Hujin. Apa yang sudah Hujin berikan kepada juga sangat tak ternilai. Segala
perkataan, djuga hadiah dari hujin, amatlah sangat berharga bagi saya. Terima kasih Hujin
sudah meluangkan waktu. Terima kasih banyak Hujin” sambil berkata begitu, Cio San
memberi salam hormat.

Ia lalu pulang.

Ia pulang dengan hati yang lapang. Karena beban di hatinya sedikit lebih ringan. Karena
perkataan Khu Hujin yang sangat membekas di hatinya.

Cio San kini berjalan dengan tenang. Rembulan bersinar dengan terang. Jalanan kota
walaupun sudah mulai sepi, masih terasa hiruk pikuknya. Cio San saat ini, bukanlah Cio San
beberapa jam yang lalu. Sepertinya ia telah menemukan semangat tambahan, bagi
perjalanan hidupnya yang masih panjang.

Perjalanan hidup manusia, adakah mahkluk apapun di dunia ini yang bisa mengerti?

Langkahnya lebih ringan. Hatinya lebih mantap. Pandangan matanya lebih bersinar.
Rembulan, jika dibandingkan dengan sinar mata Cio San saat ini, seharusnya merasa malu
menjadi rembulan.

Dan karena matanya ini jugalah, Cio San segera sadar.

Ada sesuatu yang sedang terjadi. Memang telinganya dari tadi sudah paham bahwa ada suatu
keramaian di depan sana. Ia masih belum tahu keramaian apa. Ternyata banyak orang
sedang menonton ‘pertunjukan’.

Di malam seperti ini, memangnya ada pertunjukan?

Jika ada, itu pasti hanya satu.

Pertunjukan ‘manusia membinasakan manusia’.

Dan ia benar. Sedang ada pertarungan di depan sana.

Namun ini pertarungan yang aneh. Banyak mayat bergelimpangan. Dan hanya satu orang
yang berdiri tegak. Yang membuat aneh adalah, mayat-mayat yang bergelimpangan itu. Tak
satupun dari mayat itu yang mengeluarkan darah.

Yang mati sudah pasti kalah. Yang menang sudah pasti yang masih hidup.

Dan yang masih hidup ini berdiri dengan tenang. Ia tegak bagai karang. Orang-orang yang
menontonnya pun sepertinya ikut tersihir dengan ketenangannya. Tak ada seorang pun yang
mengeluarkan suara saat ini.

Dia berdiri gagah.

Bajunya putih. Di malam yang gelap seperti ini, bajunya seperti memantulkan cahaya
rembulan. Rambutnya merah menguning. Wajahnya sangat tampan. Saking tampannya
sampai-sampai orang-orang mengira ia bukan manusia.

Matanya. Berwarna biru.

Walaupun terkesan asing, garis-garis wajah orang Han (orang china asli) masih terlihat jelas
dalam raut mukanya yang tampan.

Jika ada orang setampan ini, kalau bukan manusia yang sangat baik. Pastilah manusia yang
sangat jahat.

Ia tidak berkata apa-apa. Hanya berdiri di sana. Tidak mengeluarkan suara apapun. Tidak
berkata apapun. Bahkan raut wajahnya pun tidak mengatakan apa-apa.

Kosong. Seperti padang pasir di tengah sunyinya malam. Sepi dan dingin.
Cio San seumur hidupnya baru pertama kali melihat pemandangan seperti ini. Ia tertarik
sekali. Sekali pandang ia tahu, semua mayat ini mati karena sebuah tusukan pedang di dahi
mereka. Tapi tidak ada darah setetes pun yang mengalir dari luka itu.

Sebuah tusukan pedang. Tidak ada darah. Dan nyawa pun melayang. Penulis yang paling
pandai pun mungkin tidak bisa menggambarkan betapa hebatnya ilmu pedang ini.

Cio San akhirnya memberanikan diri untuk bersuara,

“Tayhiap (pendekar besar) yang terhormat, apakah salah belasan orang ini sampai mereka
harus mati?” sambil bicara ia memberi hormat ala kaum bulim.

Orang tampan berbaju putih itu menoleh ke asal suara,

Ia memandangi Cio San. Tatapan mata biasa. Tidak ada yang bisa membaca arti pandangan
itu. Memandangi wajah orang itu, seperti memandang lukisan kosong berupa kertas putih.

Lama baru ia menjawab,

“Lima orang yang di sebelah sana, adalah Tionggoan Ngo Koay (5 orang aneh tionggoan).
Mereka pantas mati karena banyak memperkosa perempuan.”

Cio San terhenyak. Bukankah mereka itu yang dulu membunuh Kim Coa (ular emas),
sahabatnya.

Si Baju putih melanjutkan lagi,

“Yang di dekat kakimu adalah Sie Kow Lam. Yang berjulukan Beruang dari Barat. Pantas mati
karena membunuh pejabat Kho An Gan.”

Sie Kow Lam, Cio San tidak pernah dengar. Tapi siapa yang tidak kenal Kho An Gan? Pejabat
Negara yang dikenal sangat jujur dalam pekerjaannya.

“Enam orang yang mati di sebelah sana, adalah Enam Bersaudara Berbau Darah. Siapapun
tahu mereka pantas mati”

Memang Cio San tahu 6 Bersaudara Berbau Darah sudah sangat dikenal perbuatan sesatnya.

“Dan 3 sisanya adalah 3 orang mantan anggota perguruan Kun Lun Pay yang kedapatan
merencanakan pembunuhan ketua mereka sendiri.”

Si Baju putih selesai bicara. Ia tetap menatap Cio San. Tetap tanpa apapun dalam raut
wajahnya. Tidak ada kebanggan bahwa ia baru saja membunuh orang-orang berilmu tinggi
yang namanya lumayan ditakuti dalam kalangan Bu Lim.

Membunuh belasan orang-orang hebat ini dengan sebuah tusukan pedang. Bahkan cerita
kuda masuk lubang jarum pun rasa-rasanya jauh lebih masuk akal ketimbang mempercayai
ada orang sehebat itu ilmu pedangnya.

“Kau tidak terima?” Ia bertanya. Masih dengan pandangan yang sama.

Cio San tersenyum, lalu berkata, “Semua orang tahu mereka memang pantas dihukum.
Tayhiap beruntung sekali menemukan mereka semua sekaligus disini. Tapi memang untuk
mencari bajingan-bajingan seperti mereka, rumah bordil macam Teng Teng ini adalah tempat
yang cocok”

Ada sedikit perubahan di wajah si Baju Putih. Matanya bersinar sekilas. Dan bibirnya sedikit
tersenyum. Hanya sedikit. Senyum itu pun hilang secepat datangnya. Tapi Cio San bisa
melihat itu dengan jelas.

Wajah si baju putih sudah kembali seperti sedia kala, saat ia berkata,

“Pikiran tuan cukup cerdas. Memang tidak salah dugaan tuan. Aku mengejar Sie Kow Lam
sampai ke rumah bordil ini. Tak tahunya secara tidak sengaja bertemu dengan bajingan lain.”

“Perkenalkan nama cayhe (saya) Cio San. Bolehkah cayhe mengetahui nama tayhiap yang
terhormat?” tanya Cio San sopan sambil memberi hormat.

“Aku tidak suka bersahabat dengan manusia.” Jawaban itu datang dengan dingin dan
menusuk. Ia berbalik dan berjalan dengan tenang.

Cio San tetap tersenyum, lalu berkata,

“Cayhe mengerti, memang pedang jauh lebih berharga untuk dijadikan sahabat. Tidak
mengenal nama pun tak mengapa. Toh manusia dikenal karena perbuatannya. Terima kasih
untuk kehormatan ini. Cayhe sungguh kagum”

Si baju putih tetap melangkah pergi. Sekali meloncat ia sudah berada diatas rumah Teng
Teng. Cio San dan para hadirin yang berada di sana hanya menatap punggungnya saja.
Seumur hidupnya, baru pertama kali ini ia bertemu orang sehebat ini. Bahkan sikapnya saja
sudah setajam pedang, bagaimana pula dengan permainan pedangnya?

Cio San bergidik. Alangkah sialnya orang-orang yang dimusuhi oleh si baju putih ini!

Bab 23 Sebuah Teka Teki Yang Terkuak


Keramaian sudah usai.

Menarik sekali ketika sepi kembali datang. Seperti tidak ada satu pun yang terjadi.

Benak Cio San tak henti berpikir. Siapakah pendekar berbaju putih tadi? Apakah dia yang
disebut Pendekar Kelana Hu Liu Hoa? Tapi di lihat dari umurnya, tidak mungkin si Baju Putih
itu adalah sang pendekar Hu Liu Hoa. Si pendekar besar itu menurut kabar sudah cukup
sepuh.

Lalu siapa dia?

Cio San memutuskan berjalan santai sambil berpikir. Kadang memang otaknya bekerja lebih
baik kalau sedang berjalan-jalan. Lama ia berjalan dan berputar-putar tak tentu arah.
Pikirannya tenggelam dalam banyak hal.

Ketika sampai di sebuah gang yang sunyi. Dengan serta merta ia melompat ke atas atap.
Gerakannya ini sedemikan cepat, jauh lebih cepat jika kau mengedipkan matamu.

Ia telah berada di atas atap. Dan ia tidak sendirian. Seseorang pun sedang berdiri di
hadapannya. Orang yang berdiri di hadapannya ini menggunakan baju hitam-hitam.
Wajahnya bertopeng. Tapi dari sinar matanya, ia sepertinya kaget bahwa Cio San kini berdiri
di hadapannya.

“Selamat malam, Yap-heng (kakak Yap)” Cio San memberi hormat.

Orang bertopeng di hadapannya itu lebih kaget lagi.

“Da…dari mana kau tahu namaku?”

“Cayhe banyak berpikir akhir-akhir ini, Yap-heng” jawab Cio San sambil tersenyum.
Lanjutnya, “Kau pasti kaget aku tahu rahasiamu bukan?”

Orang yang disebut Yap-Heng itu tidak mampu berkata apa-apa.

Cio San lalu berkata,

“Aku tahu sejak beberapa bulan ini ada orang yang terus menguntitku. Pada awalnya aku tak
tahu siapa itu. Jadi ku biarkan saja kau mengikutiku sampai saat ini. Setelah kejadian
kematian Tionggoan Ngo Koay beberapa saat tadi, aku baru yakin bahwa kaulah yang
menguntitku selama ini”

“Ba..ba..bagaimana bisa?” tanya si orang bertopeng.

“Sejak kejadian penghancuran goa dan pembunuhan sahabatku, Kim Coa (ular emas), kau
sebenarnya sudah tertarik kepadaku. Kau tahu aku tidak mati, makanya kau sangat kaget.
Bahwa aku mampu menahan pukulan kalian. Ketika kau tahu aku tidak mati, timbul pikiran
dalam otakmu untuk menyelidiki aku lebih lanjut. Maka kau membiarkan aku pingsan.
Selanjutnya kau memberikan aku baju dan uang. Kau melakukan itu bukan untuk
menolongku, melainkan karena penasaran terhadap rahasia siapa sebenarnya aku.”

“Setelah itu kau menguntitku sampai ke kota ini. Ketika ada 2 orang asing yang menguntitku,
kau khawatir bahwa keberadaanku yang penuh rahasia ini akan bocor ke pihak lain, maka
kau membunuh mereka dengan am gi (senjata rahasia).”
“Pada awalnya kupikir mereka adalah anak buahmu, dan kau membunuh mereka karena
takut rahasia mereka bocor. Tapi setelah kupikir-pikir, sebenarnya tidak ada alasan bagimu
untuk membunuh mereka jika mereka memang betul-betul anak buahmu. Justru karena
mereka bukan anak buahmu maka kau membunuh mereka. Karena kau khawatir ada pihak
lain juga yang penasaran dengan keberadaanku.”

“Jadi kesimpulanku adalah, ada dua pihak yang mengikutiku. Yang pertama adalah kau. Dan
yang kedua adalah pihak petani tua yang memberikanku sepatu. Mungkin saja ia
mengirimkan kabar kepada anak buahnya untuk menguntitku. Lalu karena khawatir saingan,
kau lalu membunuh mereka”

Si orang bertopeng lalu mencopot topengnya. Dan berkata,

“Memang sungguh aku kagum kepada kecerdasanmu, Cio San. Di dunia ini belum pernah
ketemui orang secerdas kau. Tak ada guna lagi aku memakai topeng ini”.

Ia lalu bertanya, “Lalu bagaimana kau sampai tahu bahwa aku Yap-heng yang kau duga tadi?”

“Awalnya aku tidak tahu. Aku selama ini membiarkan jendela kamarku terbuka pada saat
tidur, sebenarnya untuk memancingmu untuk melakukan sesuatu. Tapi kau tidak melakukan
apapun. Berarti mungkin selama ini, kau masih penasaran siapa sebenarnya aku. Lalu sejak
kejadian pertarunganku dengan pasangan suami-istri iblis itu, kau lalu tahu siapa aku. Dari
namaku saja, kau tahu bahwa aku adalah buronan yang dituduh membawa kabur kitab silat
sakti.”

“Aku sebenarnya menunggu-nunggu tindakan apa yang kau lakukan. Tapi kau tidak
bertindak. Bisa kau jelaskan kenapa?” tanya Cio San

“Bagaimana mungkin aku bertindak saat banyak mata-mata Khu Hujin yang tersebar di sana?
Tidak hanya orang-orang Khu Hujin yang berada di sana, tapi juga banyak dari pihak-pihak
lain juga. Melakukan sesuatu malah akan membocorkan identitasmu. Itu malah akan
merupakan suatu kerugian bagiku, jika ada orang lain yang tahu identitasmu yang
sebenarnya. Oleh karena itu aku menunggu saat yang tepat. Cio San, sebenarnya aku masih
bingung bagaimana kau bisa tahu identitasku?” tanya Yap-heng.

“Ketika orang yang berbaju putih tadi membunuh Tioanggoan Ngo Koay. Aku baru tersadar
bahwa mereka sebenarnya 6 orang, bukan 5. Jika mereka dalam bahaya, kau seharusnya
turun tangan membokong musuh mereka. Tapi tadi kulihat tidak ada mayatmu. Jika kau
bersembunyi pun, aku tahu si baju putih tadi pasti akan tahu dan menemukanmu. Jadi ku
pikir, pasti kau berada di suatu tempat. Sedang melakukan sesuatu yang jauh lebih penting
ketimbang menjadi bayangan Ngo Koay. Jika dihubungkan dengan kejadian saat peledakan
goa, maka masuk akal lah, bahwa selama ini kau lah yang menguntitku.”

“Selama ini aku pun selalu mengawasimu. Mengingat-ingat gerakanmu. Menghafalkan


dengan benar langkah kakimu. Walaupun harus ku akui langkah kakimu sangat ringan dan
tak terdengar. Untunglah kupingku masih bekerja dengan baik.”

“Kau,,,bisa membedakan langkah kaki orang?” Yap heng bertanya dengan terbata-bata

“Sekali tahu, tidak pernah lupa” jawab Cio San sambil tersenyum. Lalu ia menambahkan,

“Aku pun bisa tahu, bahwa begitu kau tahu bahwa Tionggoan Ngo Koay sudah mati,
konsentrasimu sedikit terganggu. Langkah mu menjadi sedikit berat. Desahan nafasmu pun
mulai berbeda. Kau tahu saat aku berjalan-jalan tadi, aku memperhatikan bahwa kau tidak
bisa memusatkan perhatianmu kepadaku, sehingga jarak antara kita menjadi sangat dekat.
Aku bisa “mendengar” apa yang terjadi denganmu. Mungkin kau bingung antara mengurusi
jenazah kawanmu 5 orang itu, atau terus mengikutiku. Karena aku yakin, kau sebenarnya
ingin melakukan sesuatu malam ini terhadapku ”

Kata Yap-Heng, “Di dunia ini belum pernah kutemui orang yang lebih menakutkan daripada
engkau, Cio San. Sekarang, apa yang akan kau lakukan kepadaku? Lari pun aku tak mampu,
apalagi melawanmu” katanya pasrah

“Kau boleh pergi” kata Cio San dengan ringan

“Apa?” Yap heng sudah mulai tidak percaya dengan telinganya

“Ya. Kau boleh pergi. Ketahuilah aku tidak membawa lari kitab apapun. Semua ilmu yang
kupunyai, kebanyakan kupelajari dari Kim Coa (ular emas). Oleh karena itu, tidak ada
satupun yang bisa kau ambil atau minta dariku. Aku pun tak akan membalaskan dendam
kematian Kim Coa, karena bagiku kematian seseorang sudah ditakdirkan. Keadilan sudah
datang dengan matinya kelima sahabatmu itu.”

“Maka pergilah, aku tidak mempersoalkan apa-apa. Tapi jika kau menggangguku, atau
mengganggu orang-orang di Lai-Lai. Aku mempunyai kemampuan yang sangat menakutkan.
Aku akan mencarimu.”

“Baiklah” kata Yap-Heng. “Kemurahan hatimu akan kuingat terus. Ampunanmu ini tidak akan
terlupakan. Selamat tinggal Cio San” Yap-heng bersoja (memberi hormat ala kaum Bu Lim)
lalu ia pun menghilang dari hadapan Cio San.

Entahlah apa yang ada di benak Yap-heng. Mungkin saja ia berfikir, “Alangkah sialnya orang
yang dimusuhi oleh Cio San!”

Bab 24 Lima Pedang Butongpay


Keesokan paginya, Lai Lai ramai oleh orang-orang yang membicarakan kejadian di rumah
Teng Teng semalam. Kalangan Bu Lim tidak ada satu pun yang pernah mendengar nama,
atau mengetahui asal usul si Baju Putih itu.

Ilmu silatnya asing. Gerakannya aneh. Tindak tanduknya pun tidak kalah aneh. Mereka yang
beruntung menyaksikan kejadian semalam, seperti menjadi orang terkenal karena banyak
orang yang mencari mereka untuk meminta cerita yang jelas.

Sejak pagi itu munculah julukan baru: Dewa Pedang Berambut Merah, Ang Hoat Kiam Sian

Ang Hoat Kiam Sian. Nama yang indah, tapi terasa menakutkan.

Cio San tersenyum-senyum sendiri mendengar tamu-tamu di Lai Lai mulai membicarakan si
Dewa Pedang ini. Banyak dari cerita itu yang dilebih-lebihkan. Malah semakin menambah rasa
penasaran orang yang mendengarkan.

Kwee Mey Lan tak urung juga penasaran mencuri-curi dengar cerita ini. Memang kehadiran
si Dewa Pedang yang amat sangat tampan, tidak hanya membuat kaum bu lim heboh. Bahkan
orang paham yang tidak mengerti silat pun ikut tertarik membicarakannya.
Kebanyakan membanding-bandingkan si Dewa Pedang ini dengan Beng Liong, Ji Hau Leng
sang ketua Kay Pang, dan pendekar yang baru muncul juga belakangan ini, Cio San!

Cio San tertawa dalam hati. Kini namanya sudah disejajarkan dengan orang-orang itu? Tidak
dapat dipercaya.

“Beng Liong lebih tampan” kata salah seorang

“Ang Hoat Kiam Sian lebih tampan!” kata yang salah seorang lagi

“Kay Pang Pang cu (ketua Kay Pang) Ji Hau Leng lebih gagah!”

“Kira-kira apa julukan orang kepadaku ya?” batin Cio San dalam hati. Ia tidak berani berfikir
aneh-aneh khwatir dianggap sinting karena tertawa sendirian.

“Eh meymey (adik) apakah kau dengar cerita-cerita para tamu?”

“Iya aku dengar San-ko (kakak San), menarik sekali orang yang berjulukan Ang Hoat Kiam
Sian itu ya” sahut Mey Lan

“Sebenarnya semalam aku menyaksikan juga. Cuma tidak sampai melihat saat ia bertarung.
Saat aku datang, semua musuhnya sudah mati.” Kisah Cio San

“Benarkah dia sehebat itu?”

“Hebat sih aku tidak tau meymey, tapi kalau tampan sekali, memang benar. Seumur hidup
aku setahuku yang paling tampan adalah pendekar Butong Beng Liong, yang beberapa hari
lalu ke sini itu, meymey. Tapi ketampanan si Dewa pedang ini agak aneh. Mungkin dia bukan
keturunan Han (orang china) asli.”

“Jadi menurut San-ko, lebih tampan si Dewa Pedang itu daripada Butong enghiong Beng
Liong?” tanya Mey Lan lagi.

“Menurutku mereka sama tampannya. Cuma masing-masing punya ciri khas yang berbeda.
Kalo Butong enghiong Beng Liong tampannya itu tampan yang membuat hati tentram. Melihat
wajahnya orang pasti langsung kagum dan merasa nyaman. Tapi melihat wajah si Dewa
Pedang, orang malah kagum dan takut”

“Kalau dibandingkan dengan enghiong Cio San yang juga sempat bikin kehebohan di sini itu?”

“Ah kalau dia, tidak setampan mereka lah. Kau tidak pernah bertemu dia ya? Bukankah pada
saat dia beraksi di Lai Lai, meymey sedang pergi mencari keluarga wanita yang meninggal
itu?”

“Iya San-ko. Tapi dari yang kudengar dari orang-orang, pendekar Cio San ini pun tidak kalah
tampan dengan Butong enghiong Beng Liong”

“Kalau tampan sih masih jauh dari Beng Liong, hahahaha. Tapi entahlah Meymey. Aku tidak
pernah memperhatikan ketampanan seorang lelaki. Apa kau pikir aku ini penyuka sesame
jenis? Hahahaha”

Mereka berdua bercanda dan tertawa sambil bekerja.


Jika dua orang saling mencinta, dan juga melakukan pekerjaan yang sama, bukankah
sungguh menyenangkan?

Lai Lai hari itu sangat ramai. Semua tamu membahas kemunculan si Dewa Pedang yang
menghebohkan. Beberapa pendekar ternama bahkan ada yang sempat mampir ke Lai Lai
hanya untuk mendengarkan cerita tentang si Dewa Pedang ini. Lai lai memang kini sudah
menjadi “tempat berkumpul tidak resmi” bagi kalangan Bu-Lim.

Cio San tidak mengenal beberapa orang ini. Tapi dari langkah mereka yang sangat ringan,
dari wibawa yang terpancar di wajah mereka, serta sikap orang-orang Bu Lim yang sangat
menghormati mereka, bisa disimpulkan mereka ini memang pesilat dan tokoh tersohor.

Ketika masuk tengah hari, datanglah 5 orang berpakaian putih dengan jubah hitam tipis. Di
punggung mereka tersandang pedang. Karena Lai lai ramai sekali, mereka terpaksa berdiri
menunggu. Cio San yang kala itu sedang membantu pelayan membereskan piring bekas
makan di atas meja tamu, langsung mengenal mereka.

Mereka adalah bagian dari 15 Naga Muda Butongpay. Kelima orang ini, seingat Cio San,
adalah bagian 15 Naga Muda yang mempunyai kekhususan belajar ilmu Pedang Butong.
Bakat mereka memang berada di situ. Entah karena tertarik dengan kejadian Ang Hoat Kiam
Sian (Dewa Pedang Berambut Merah), ataukah hanya karena kebetulan mereka berada di
kota ini.

Ingin Cio San menyapa mereka. Karena walau bagaimanapun, mereka pernah bersama-sama
hidup di Butongsan. Bahkan pernah menjadi saudara seperguruan. Walaupun dulu perlakuan
mereka kepada Cio San kurang mengenakkan. Tidak ada dendam sedikit pun di hati Cio San.

Cio San bahkan masih ingat nama-nama mereka. Yang pertama adalah Gak Siauw Hong.
Orangnya berperawakan sedikit kecil. Namun lincah. Cocok sekali dengan namanya, Siauw
Hong yang artinya burung phoenix kecil. Seingat Cio San, Gak Siauw Hong berkelakukan baik
terhadapnya. Walaupun tidak terlalu akrab, setidaknya Siauw Hong dulu tidak pernah
mengganggunya.

Yang kedua adalah Sengkoan Pit. Orang ini sudah bertubuh besar sejak dulu. Sikapnya
garang, berangasan, dan tidak sabaran. Dulu waktu di Butongsan, Sengkoan Pit ini termasuk
salah seorang yang suka meremehkan Cio San. Kadang-kadang ia menantang Pi-Bu (latih
tanding) Cio San hanya untuk menghajar Cio San saja. Dalam hati Cio San penasaran sekali
apakah kelakuan Sengkoan Pit ini masih seperti dulu, ataukah sudah berubah?

Pendekar Butong ketiga adalah Lau Han Po. Walaupun sama-sama bermarga Lau, Han Po ini
tidak ada hubungan dengan Lau-Ciangbunjin, sang ketua Butongpay. Lau Han Po juga
berbadan tegap seperti Sengkoan Pit. Tapi jauh lebih pendiam. Cuma saja, sekali buka mulut
pasti ucapannya tidak mengenakkan. Cio San sering dicercanya sebagai anggota naga muda
yang “tidak becus”. Saat di Butongsan dulu, memang setahu Cio San dia ini salah satu yang
paling berbakat dalam ilmu pedang.

Kho Kam Sing adalah yang keempat. Dia ini berkulit kecoklatan. Lahir dari keluarga nelayan,
sejak kecil sudah ikut ayahnya melaut. Sinat matanya mencorong, tapi terlihat tulus. Kadang-
kadang dia suka menyapa Cio San juga dulu. Tapi mereka tidak pernah akrab karena Kam
Sing ini sibuk berlatih sendiri. Memang terkadang Cio San merasa kehidupan di Butongsan
itu lumayan berat juga bagi 15 Naga Muda. Harapan terhadap mereka terlalu besar, sehingga
tekanan untuk menjadi yang terbaik, membuat kadang mereka saling bersaing sendiri-
sendiri.
Yang kelima, adalah salah satu yang paling muda dalam 15 Naga Muda. Biarpun termasuk
yang muda, tubuhnya tinggi dan kurus. Orang-orang di Butongsan memanggilnya si Pohon
Bambu. Dia senang-senang saja. Pemuda yang bernama Lu Ting Peng memang bersifat riang
gembira. Ia hampir selalu tersenyum. Tapi biarpun riang gembira, Ting Peng ini selalu serius
dalam belajar silat juga. Cio San ingat mereka memang tidak terlalu akrab juga. Ting Peng
ini selalu berkumpul dengan sekelompok murid-murid tertentu. Sehingga jarang bertegur
sapa dengan Cio San. Apalagi sekelompok murid itu memang tidak suka padanya.

Kelima orang ini menunggu lumayan lama sampai ada pelanggan yang selesai makan dan
pergi dari Lai Lai. Pelayan kemudian membersihkan meja dan mempersilahkan mereka duduk.
Setelah memesan makanan dan minuman, mereka duduk diam saja dan tidak mengobrolkan
apa-apa.

Cio San memutuskan untuk memasak sendiri pesanan mereka. Karena sudah sejak lama Cio
San tidak turun tangan langsung memasak jika tidak benar-benar diperlukan. Sudah ada
banyak tukang masak di Lai Lai dan Cio San memang berencana untuk mendidik mereka
sampai mahir.

Pesanan makanan 15 Naga Muda Butongpay ini adalah masakan yang sering mereka makan
di Butongsan. Mengetahui apa pesanan mereka membuat Cio San tersenyum. Dalam hati ia
memutuskan untuk membuat masakan ini seenak mungkin. Memang butuh waktu sedikit
lebih lama. Tapi hasilnya pasti mencengangkan.

Dan benar saja. Suapan pertama membuat mata kelima orang itu berbinar binar.

“Benar kata Liong-ko. Masakan disini enak sekali.” Kata Lu Ting Peng.

Yang lain mengangguk-angguk.

Benar dugaan Cio San. Pasti Beng Liong yang menceritakan restoran ini kepada orang-orang
di Butongsan. Ia lalu ke ruang depan, dan memberanikan diri menyapa mereka,

“Selamat siang tuan-tuan, nama saya A San, saya adalah koki disini. Boleh saya tahu
pendapat tuan-tuan tentang masakan kami?”

“Hmmm…enak sekali A San. Masakanmu sungguh hebat” Gak Siauw Hong memuji. Yang lain
ikut manggut-manggut.

“Ah baiklah kalau begitu. Terima kasih banyak tuan-tuan. Eh kalau boleh tahu tuan tuan ini
berasal dari mana?” tanya Cio San lagi.

“Kami adalah Butongpay Ngo Kiam (5 Pedang Butongpay)” kali ini Lu Ting Peng yang
menjawab.

“Butongpay? Wah jadi tuan-tuan ini adalah para enghiong dari Butongpay? Sebuah
kehormatan bagi Lai lai bahwa para enghiong sudi mampir kemari” Ia lalu bersoja, sambil
melanjutkan, “Beberapa waktu yang lalu Butong enghiong Beng Liong juga mampir kemari.
Serta ada beberapa murid Butongpay yang datang juga, sayang saya tidak sempat
berkenalan dengan mereka”

“Iya kami tahu. Bahkan Beng Liong-ko sendiri yang menceritakan tentang restoran ini kepada
kami. Dan ceritanya memang tidak salah. Tempat ini nyaman. Masakannya sangat enak. Dan
tentunya ramai”
Yang dimaksud dengan ramai tentunya, ramai oleh orang Kang-ouw. Dari sini berkembang
berbagai cerita dan kabar yang berkembang di dunia Kang-ouw. Itulah kenapa banyak orang
Bu Lim rajin kesini. Mereka tidak ingin tertinggal berita.

Cio San meminta diri.

Dari obrolan singkat dia bisa melihat bahwa kelima orang ini sifatnya masih belum begitu
berubah. Ia hanya ingin tahu saja. Tidak ada maksud sedikit pun untuk membalas perlakuan
mereka. Bahkan jika bisa, ia malah ingin memperkenalkan siapa ia sebenarnya. Memeluk
hangat mereka dan bertanya tentang kabar perguruan.

Kadang-kadang kerinduan bisa membuat orang lupa akan sakit hatinya.


Mengalami berbagai hal semacam ini kadang membuat Cio San berfikir harus ia mulai dari
mana langkah-langkahnya. Apakah dia harus tetap diam di Lai Lai, ataukah memulai
petualangan menyelediki segala kejadian. Meninggalkan Lai lai sungguh berat, karena terus
terang dia berat meninggalkan Mey Lan. Tapi ada banyak pertanyaan yang harus segera dicari
jawabannya, dan tak mungkin bisa ditemukan dengan hanya duduk menunggu di Lai-Lai.

Ia harus melakukan sesuatu.

Laki-laki memang jika sudah menemukan tambatan hati, terkadang susah untuk melakukan
banyak hal. Bahkan impiannya sendiri ia lupakan jika sudah bertemu dengan wanita yang
disukainya. Ini berbeda dengan perempuan. Mereka lebih suka meninggalkan cintanya demi
impiannya.

Cerita begini siapapun mengalami tapi jarang ada yang menyadari.

Menyadari pun sudah terlambat.

Cio San memang tidak menyadari ini. Tapi ia sendiri berfikir menggunakan otaknya. Tidak
mengikuti dorongan hatinya belaka. Oleh sebab itu ia memutuskan untuk mengambil pilihan
kedua. Pergi dari Lai Lai. Entah bagaimana ia menjelaskan ini kepada Mey Lan dan ayahnya.
Tapi sejak awal dia memang tidak berniat untuk menetap di sana. Sebab itulah mengapa ia
‘menularkan’ semua ilmu masaknya kepada koki-koki yang lain.

Ia merasa semua tugasnya telah selesai di Lai lai. Ia telah membuat Lai lai mampu berdiri
tegak. Bahkan juga mendapatkan sedikit nama. Di sana ia telah mendapat banyak kabar
perkembangan dunia Kang Ouw. Sekarang yang perlu ia lakukan adalah bertindak.

Entah dari mana memulai. Harus ada langkah yang diambil.

Maka malam itu, Cio San sudah membereskan beberapa barang-barangnya. Beberapa helai
baju. Dan juga baju yang dipakainya saat menjadi “Cio San” yang sebenarnya. Baju itu ia
simpan baik-baik di tempat tersembunyi. Kini semua miliknya telah rapih tersimpan di dalam
buntalan kecilnya. Uang tabungan hasil bekerjanya selama ini pun telah ia masukkan ke
dalam kantong khusus. Sebagian ia sisakan untuk ia berikan kepada Mey Lan, dan beberapa
pelayan.

Kwee Lai, si pemilik restoran sedang menghitung-hitung pemasukan di meja kerjanya.


Walaupun restoran sudah tutup dari tadi. Pekerjaan memang tidak serta merta selesai. Begitu
melihat Cio San datang, segera Kwee Lai tersenyum dan berkata, “Hey, A San, pemasukan
hari ini sungguh bagus. Ini sampai sekarang belum selesai ku hitung”
Sambil tersenyum Cio San berkata, “Syukurlah tuan. Koki-koki yang sekarang masakannya
sudah sangat lezat. Saya saja yang mengajarai mereka malah terkagum-kagum”

“Eh,..duduklah. Kenapa kau masih seperti dulu? Terlalu sopan dan terlalu sungkan. Kalau
dipikir-pikir seharusnya aku yang sopan dan sungkan terhadapmu. Ayo duduklah”

Cio San kemudian duduk dengan sopan. Ia memang orang yang sopan. Kepada siapa saja ia
sopan. Melihat Cio San duduk saja dan lama tak berkata apa-apa, akhirnya Kwee Lai
bertanya, “Ada apa A San? Ada yang ingin kau sampaikan?”

Meskipun agak ragu, Cio San akhirnya berani berkata,

“Tuan Kwee, sebenarnya saya sungkan mengatakan ini, tapi saya masih ada beberapa urusan
yang harus saya selesaikan. Sehingga dengan berat hati saya harus meninggalkan Lai Lai”

Kwee Lai biarpun tidak kaget, setidaknya ya berubah juga raut wajahnya.

“Sebenarnya aku sudah paham sejak awal bahwa suatu hari kau akan pergi. Tapi, apakah
keputusanmu itu sudah kau bicarakan dengan Mey Lan?” tanya Kwee Lai

Belum sempat Cio San bilang “belum”, Mey Lan sudah menghambur dari belakang,

“Koko, apa maksudmu bilang begitu?”

Cio San tersenyum. Sejak dulu dia sudah tahu. Cara menghadapi wanita yang sedang marah
adalah dengan diam. Mey Lan memang sedang marah. Tidak ada perempuan yang bahagia
jika akan ditinggal pergi lelakinya.

“Koko mau pergi kemana?” Dahi dan alis matanya merengut. Jika ada perempuan
memandangmu seperti itu, lebih baik segera lari atau minta ampun.

Tapi Cio San tidak melakukannya.

“Meymey duduk dululah. Mari kita bicarakan” katanya.

“Kalau aku tadi tidak kebetulan mendengar percakapan kau dan ayah, apakah kau akan
mengajakku duduk dan bicara baik-baik” tanya Mey Lan masih dengan raut muka yang sama.
Tapi dia sudah duduk.

Selain tersenyum, cara apa lagi yang bisa kau lakukan menghadapi perempuan yang sedang
marah?

“Meymey, aku memang ingin membicarakannya dengan dirimu. Tapi bukankah aku disini
bekerja sebagai pegawai tuan Kwee? Bukankah sudah seharusnya aku membicarakan dulu
dengan beliau? Kata orang bijak seharusnya kita mengutamakan urusan pekerjaan dulu baru
urusan pribadi. Meymey bisa mengerti?”

Meminta perempuan mengerti sesuatu, rasanya seperti minta harimau menjadi domba.

“Tapi bukankah kepergianmu ini karena urusan pribadi, San-ko? Jangan menggunakan alasan
pekerjaan. Jika kau memang mau meninggalkan kami. Ya pergi saja. Tidak usah pakai alasan
macam-macam” kata Mey Lan ketus sambil membanting kaki.

Melihat Cio San tidak berkata apa-apa, Mey lan malah tambah merajuk,
“Ya sudah kalau mau pergi ya pergi saja”

Ia lalu berdiri dari duduknya dan menuju kamarnya. Terdengar suara bantingan pintu.

Cio San dan Kwee Lai hanya bisa saling bertatapan. Lalu Kwee Lai berkata,

“Biarkan dulu saja. Ia mungkin sedang marah karena mendengar kau akan pergi. Jika
marahnya sudah reda, ajak dia bicara baik-baik. Eh kapan kau akan pergi A San?”

“Paling lambat besok siang tuan. Saya mungkin akan membantu dulu pekerjaan besok. Jika
sudah selesai, baru saya akan berangkat” jawabnya

“Ah tidak perlulah kau mengerjakan tetek bengek dapur. Cukup perhatikan saja segala
keperluanmu, A San. Eh apakah sangu mu sudah cukup?” Sambil berkata begitu ia merogoh
uang dari laci.

“Tabungan saya cukup banyak tuan”

“Ah sudahlah ambil ini sebagai tambahan. Dan jangan membantah. Haha, ku tau kau pasti
menolak A San. Terimalah. Sekedar rasa terima kasihku atas segala yang kau lakukan di sini
selama ini.”

Jika orang sudah memaksa, maka tak enak rasanya menolak. Cio San menerima uang itu.
Jumlahnya sangat banyak. Entah mau dia apakan uang itu.

Dengan sopan ia lalu meminta diri. Cio San sebenarnya ingin berbicara dengan Mey Lan saat
itu, tapi akhirnya memutuskan untuk menemui Mey Lan besok paginya saja.

Bab 25 Perpisahan dan Perjalanan


Keesokan paginya, seperti dugaan Cio San, Mey Lan tidak mau berbicara padanya. Menoleh
saja segan. Saat Cio San menyapa atau berkata sesuatu padanya, Mey Lan hanya menjawab
dengan “Ehm”, “Tidak tahu”, atau “Mungkin”.

Sampai tengah hari susananya pun masih seperti itu. Karena telah tiba waktunya, Cio San
akhirnya berpamitan dengan seluruh ‘penghuni’ Lai Lai, kecuali Mey Lan tentunya. Ia lebih
memilih berdiam di kamar.

Koki dan pelayan-pelayan merasa sedih sekali saat Cio San berpamitan. Selama ini Cio San
selalu bersikap baik dan sopan pada mereka. Padahal kalau dihitung-hitung, ia adalah orang
‘kedua’ di Lai Lai setelah Kwee Lai. Bahkan saat Cio San memberikan mereka uang pun
mereka beramai-ramai menolaknya dan mengatakan Cio San lebih memerlukannya. Dengan
berat hati Cio San akhirnya menyimpan kembali uang yang sudah disiapkannya itu.

Setelah berpamitan dengan Kwee Lai, Cio San akhirnya menuju ke kamar Mey Lan. Pintu
kamarnya tertutup. Cio San mengetuknya.

“Meymey…meymey…” panggilnya halus sambil mengetuk

Tidak ada jawaban. Tapi dari pendengarannya yang tajam, Cio San tahu Mey Lan sedang
menangis.
“Meymey bukakan pintunya” masih dengan nada yang halus.

Lama sekali Cio San mengetuk, sampai akhirnya ia menyerah dan berkata.

“Meymey, maafkan aku harus pergi ya. Aku akan kembali lagi untukmu. Semoga pada saat
itu, aku tidak akan pergi lagi” Ia menghela nafas dan akhirnya pergi.

Laki laki kebanyakan menghela nafas. Perempuan kebanyakan meneteskan air mata. Jika
pihak lelaki dan perempuan bisa saling mengerti, tentunya tidak akan banyak lelaki yang
menghela nafas, dan perempuan yang menangis.

Laki-laki yang menghela nafas seperti ini, sebenarnya juga menangis dalam hati. Jika kau
ingin menangis sedangkan engkau tidak bisa, bukankah itu sebuah penderitaan yang besar?.
Sayangnya banyak perempuan yang tidak tahu. Mereka pikir lelaki berhati kejam dan tak
berperasaan. Padahal sesungguhnya lelaki lebih sering menangis daripada perempuan. Hanya
saja yang menangis adalah hati mereka, dan bukan mata mereka.

Dan tak jarang juga perempuan menangis hanya di mata mereka dan bukan di hati mereka.
Jika ada perempuan yang menangisi laki-laki dari hatinya, maka laki-laki itu adalah laki-laki
yang beruntung. Karena jarang sekali perempuan menangis untuk lelaki. Biasanya mereka
menangis untuk diri mereka sendiri.

Hujan turun. Masih rerintikan. Angin dingin menyapa kalbu.


Duhai siapa gerangan yang mampu menenangkan hati yang tersayat cinta?

Seandainya hujan bukanlah air, melainkan pedang


Tentulah tidak banyak kesedihan di muka bumi ini.

Seandainya yang bersinar bukanlah matahari, melainkan mata hati


Tentulah hanya kebahagiaan yang merona di seluruh penjuru langit.

Tapi langit berwarna biru bukan?


Itu menandakan kesedihannya

Langit tak pernah bening,


Seperti air yang tulus
Seperti kaca yang tanpa rahasia

Langit selalu sedih,


Memandang begitu banyak luka hati manusia

Dan Cio San pun melangkah. Langkah kakinya ringan. Tapi hatinya berat. Meninggalkan orang
yang dikasihinya.

“Jika perpisahan seberat ini, tentulah banyak orang yang tak ingin ada pertemuan. Bukankah
akhir dari pertemuan selalu adalah perpisahan?”

Ia baru beberapa langkah dari pintu depan Lai lai. Ketika sebuah suara memanggil,

“San-ko, San-ko…..”

Tanpa menoleh pun ia sudah tahu itu adalah suara Mey Lan.
Mey Lan berlari. Hujan yang mengguyurnya seperti memberi limpahan airmata baru padanya.

“Benarkah kau berjanji untuk kembali kepadaku? Suatu saat nanti?” tanyanya. Pandangan
matanya. Laki-laki mana yang sanggup menatap pandangan seperti itu.

“Aku berjanji Kwee Mey Lan. Aku akan kembali untukmu. Entah kapan. Tapi demi Tuhan aku
berjanji untuk kembali. Mau kah kau menungguku?”

Tak ada jawaban. Tak perlu ada jawaban. Pandangan mata itu telah menjawab semuanya.

Mereka berpegangan tangan. Seperti merasa mereka tak akan bertemu kembali.

Di dunia ini, cerita apa yang lebih menyedihkan selain perpisahan dua orang kekasih?

Tapi sesedih apapun Cio San, ia kini lebih bersemangat. Kekasihnya menunggu
kepulangannya. Dunia menanti kedatangannya. Laki-laki cukup mempunyai dua hal ini saja
sudah membuat dirinya merasa sebagai penguasa dunia.

Ia tak tahu kemana ia akan pergi. Tapi ia tahu, perjalanannya tak akan sia-sia. Maka ia
melangkah saja. Entah kemana. Kemudian ia teringat dengan Khu Hujin. Pastinya sekarang
beliau telah kembali ke kediamannya di kota Wang An. Kota itu hanya berjarak sekitar 1-2
hari dari sini. Karena tak tahu hendak kemana, Cio San memutuskan pergi saja ke kota Wang
An. Memang pada awalnya ia ingin kembali ke desa kakeknya. Berhubung arah daerah itu
sama dengan arah kota Wang An, maka Cio San memilih untuk ke kota Wang An saja dulu.

Dari tengah hari ia berjalan sampai gelap. Berhenti hanya untuk beristirahat dan makan. Ia
membawa sedikit alat masak. Sedangkan bahan-bahan memasaknya ia kumpulkan di
sepanjang perjalanan. Kota Liu Ya yang ramai ini ternyata ramai sampai ke pelosok-
pelosoknya. Tapi jika di pusat kota ramai karena orang berniaga, di bagian pelosok ramai
oleh perkebunan dan pertanian.

Ia sangat menikmati perjalanan ini. Orang-orang yang ia temui di sepanjang jalan juga
ramah-ramah. Jika kehidupan biasa bisa setenang ini, kenapa banyak orang ikut ramai ke
dalam dunia Kang Ouw? Barangkali karena tantangan. Manusia memang banyak menyukai
tantangan. Bisa juga karena kemasyhuran. Bisa juga karena uang.

Hari sudah sangat gelap ketika Cio San memasuki hutan. Ia tidak memerlukan penerangan
karena matanya sudah sangat terlatih melihat di dalam gelap. Sayup sayup terdengar suara
pedang. Sedang ada orang yang berkelahi rupanya.

Sekali lentingan saja Cio San sudah ‘terbang’ jauh sekali.

Langkahnya terhenti ketika ia melihat ada pertempuran berpuluh-puluh tombak di


hadapannya. Sekali pandang ia sudah tahu kalau itu adalah Butongpay Ngo Kiam (5 pedang
Butongpay). Siapa lawan mereka ia tidak kenal. Seorang tua yang berperawakan tinggi besar
dengan rambut putih awut-awutan.

Cio San melompat dan hinggap di atas sebuah dahan yang amat tinggi. Ia memutuskan untuk
‘menjadi’ Cio San yang asli. Topengnya dibuka. Bajunya pun telah berganti dengan baju
ringkas andalannya. Tapi ia tidak melakukan apa-apa. Hanya menonton perkelahian itu saja.

Perkelahian itu bukan sembarang perkelahian. Kelima anggota Butongpay yang masih sangat
muda itu amat sangat dahsyat ilmu pedangnya. Mau tidak mau Cio San harus kagum.
Serangan demi serangan mengalir hebat. Sepertinya kelima orang ini sudah menjadi satu
jiwa dan satu tubuh. Seakan-akan mereka dilahirkan dengan tangan, kaki, pikiran, dan hati
yang sama.

Cahaya pedang menyambar-nyambar. Inilah ilmu pedang Butongpay yang menggetarkan


dunia itu, Tarian Pedang Butongopay. Thio Sm Hong menciptakannya sebelum ia menciptakan
Thay Kek Kun. Namun dasar-dasar dan unsur Thay Kek Kun sudah terlihat di situ.

Gerakannya lembut namun cepat. Mengalir bagai air, tapi menghujam bagai ombak
menghantam karang. Cahaya cahaya pedang ini sangat rapat sehingga hujan pun belum
tentu menembus cahaya itu.

Tapi yang lebih membuat Cio San kagum adalah lawan mereka. Orang yang bertubuh kekar
itu dengan gagah menantang hujan pedang. Senjatanya adalah sebuah tombak yang
bermatakan golok. Tangkai tombaknya yang berwarna emas menimbulkan suara mender-
deru ketika ia memutar-mutarkannya untuk menghalau serangan pedang.

Tubuh orang itu sudah terluka di sana-sini. Cio San memperkirakan setidaknya mereka telah
bertanding ratusan jurus. Tapi tenaga dan kekuatan serangannya masih tetap dahsyat. Jika
bertarung satu lawan satu, Butongpay Ngo Kiam pastilah bukan tandingannya. Tapi sejak
awal, Butongpay Ngo Kiam adalah Butongpay Ngo Kiam. Melawan satu orang atau melawan
ribuan orang, mereka tetap berlima.

Bayangan pedang seperti hujan. Kibasan tombak golok seperti angin puyuh. Siapa saja yang
berdiri dekat-dekat pertempuran itu setidaknya akan lecet-lecet terkena anginnya saja.

Lima pedang Butongpay memang tidak malu menyandang nama itu. Gerakan mereka yang
lincah dan halus berganti-gantian bagai gelombang. Satu pedang mengincar leher. Yang satu
mengincar dada, yang satu mengincar perut, yang satu mengincar paha, dan yang satu lagi
mengincar betis.

Sang lawan dengan berani menerima serangan itu. Ia memutar tombaknya di depan dada
dengan kedua tangannya. Terdengar suara bagai angin puyuh.

Traaaannnnng!

Serangan pedang buyar. Namun si pemilik tombak golok pun terjengkang ke belakang.
Dengan satu kali gerakan memutar ia telah memunahkan serangan 5 pedang Butongpay.
Tapi tak urung gerakan itu menghabiskan banyak tenaga. Ia memang memilih melakukan
adu tenaga ketimbang menghindari serangan-serangan dahsyat itu.

Itu karena ia sendiri yakin akan lwee-kang (tenaga dalam) nya. Hasil yang didapatkannya
setelah latihan puluhan tahun, dan meminum berbagai macam ramuan-ramuan. Tapi sudah
jelas 5 pedang Butongpay ini bukan pendekar sembarangan. Walaupun masih muda usianya,
tenaga dalam mereka adalah tenaga dalam pesilat kelas satu.

Melihat lawan mereka terjengkang ke belakang, serta merta tubuh mereka melenting juga ke
depan. Kini mereka berbaris dalam satu barisan. Yang di belakang meletakkan tangan ke
punggung yang di depannya. Begitu seterusnya sampai yang paling depan merasa ada
tambahan ribuan energy yang memasuki tubuhnya. Begitu merasa saluran dan dorongan
tenaga yang dahsyat ini, Gak Siauw Hong yang merupakan orang paling depan di barisan itu
langsung melesat ke depan bagai anak panah! Tidak ada tubuh yang kelihatan. Hanya terlihat
bayangan pedangnya saja. Itu pun bagaikan kilat.
Ujung pedang sudah terhunus. Tubuhnya bagai terbang dan kini telah sejajar dengan tanah.
Lawan di depannya sudah seperti kehabisan tenaga. Tapi dengan sisa semangat dan tenaga
dalamnya yang paling akhir, sang lawan ini melenting ke samping.

Baru sekali ini jurus Panah Pedang dari Butongpay luput. Dari beratus kali pertarungan, inilah
kalinya yang pertama.

Tak urung mereka kagum juga. Dengan jarak yang sesempit itu, dan waktu yang singkat
sepersekian detik, lawan mereka sanggup menghindari serangan sedahsyat itu. Mereka
memang hebat dan sakti. Tapi bicara tentang pengalaman bertarung, lawan di depannya ini
punya pengalaman bertarung ratusan kali lebih banyak. Ia tahu, bahwa menghindari
serangan “hanyalah” masalah penempatan waktu. Jika lebih cepat, maka lawan akan
mengetahui pergerakanmu. Jika lebih lambat nyawamu melayang.

“Bun Tek Thian!, ku akui kehebatanmu menghindari jurus panah pedang kami. Inilah kali
pertama ada lawan yang bisa menghindarinya. Tapi kali ini kami tidak akan melepaskanmu.
Hari ini adalah hari kematianmu.” Yang berkata adalah Gak Siauw Hong

“Kekuatanku sudah habis. Tenaga sudah terkuras. Mengangkat tangan saja aku sudah tidak
sanggup! Jika mau bunuh, bunuhlah! Kami anggota Ma Kauw tak takut mati dan tak takut
pada kalian anggota partai putih. Cuih!” orang yang bernama Bun Tek Thian itu meludah
ketika menyebut ‘partai putih’.

Dengan geram Sengkoan Pit menusuk ke arah tenggorokan. Kali ini ia berkonsentrasi penuh
memusatkan tenaga dan kecepatannya. Ia tak ingin gagal seperti serangan sebelumnya tadi.

Pedang hanya tinggal sejengkal. Bun Tek Thian menutup mata sambil tersenyum. Kematian
dalam pertarungan adalah kematian terhormat baginya.

Tapi belum sampai pedang itu menyentuh tenggorokannya, pedang itu telah berbelok arah.
Seseorang telah menangkisnya. Seseorang itu tak lain dan tak bukan adalah Cio San.

Tidak dapat dibayangkan perasaan kelima murid Butongpay itu. Tadi serangan dahsyat
mereka berhasil dihindari. Sekarang serangan pedang mereka juga ada yang menangkisnya
dengan tangan kosong. Mimpi pun, tidak ada seorang murid Butongpay pun yang akan
menyangka jurus pedang mereka bisa ditangkis oleh tangan kosong.

Pemuda yang menangkis pedang itu berdiri sambil tersenyum. Tangan kanannya mengelus
helaian rambutnya yang ‘jatuh’ di pundak. Tangan kirinya dilipatnya ke belakang.

“Masih ingat padaku?” tanyanya masih sambil tersenyum.

“Cio San!” mereka berteriak berbarengan.

“Hai pengkhianat! Akhirnya kami menemukanmu. Berlututlah minta ampun agar kami
membawamu menemui Lau-Ciangbunjin. Atau tidak kami akan memancung kepalamu dan
akan kami bawa ke Butongsan”
“Aku akan berlutut minta ampun, jika kalian bisa mengalahkanku.” Ia masih tetap saja
tersenyum. Senyum semacam ini jika kau berikan kepada musuhmu, malah akan
membuatnya ingin menelanmu hidup-hidup.

“Baiklah!. Di Butongsan dulu kau cuma anak bawang. Coba kita lihat hasil pencurian dan
pengkhiatanmu. Apakah sebanding.”
“Tunggu dulu, jika aku menang bagaimana?” tanya Cio San lagi.

“Tidak mungkin. Tapi jika kau menang, kami akan tunduk apa katamu!”

“Baik. Kata-kata murid Butongpay adalah emas. Aku percaya”

Hanya sebentar mereka memasang kuda-kuda. Hanya sekian detik.

Detik yang penuh kesunyian.

Yang kemudian di penuhi oleh suara pertempuran lagi.

Cahaya dan bayangan pedang menghambur menjadi satu. Mereka mengepung tubuh Cio San.
Pedang datang dari segala penjuru arah. Bahkan yang menusuk ke kepala dari arah atas pun
ada.

Menghadapi hal ini Cio San tidak panic. Ia malah melenting ke atas menyongsong pedang
yang menyerang menghujam kepalanya. Tinggal menggelengkan kepalanya sedikit, pedang
telah lewat dari kepalanya. Tapi pedang itu sekarang meluncur turun di depannya. Jika
pemilik pedang menggerakkan tangannya sedikit saja, tentulah robek isi dada dan
tenggorkan Cio San.

Tapi memang Cio San telah siap. Tangan kirinya yang brgetar meniru ekor ular derik telah
berada di depan dadanya. Dengan telapak menghadap ke luar. Dan dengan telapak yang
berbunyi aneh itu, ia telah berhasil menangkap pedang itu.

Tangan kanannya yang membentuk moncong ular telah menyerang tangan yang memegang
pedang tadi. Dan entah bagaimana tahu-tahu pedang itu telah berpindah ke tangan Cio San!

Seluruh gerakan ini perlu waktu lama untuk diceritakan. Tapi sesungguhnya hanya
membutuhkan waktu sekejap mata!

Lalu bagaimana dengan bagian bawah tubunya yang juga terancam pedang?

Setelah melompat ke atas, kakinya melakukan tendangan berputar yang meruntuhkan


pedang keempat orang lainnya. Gerakan yang harus dilakukan dengan teliti karena salah
sedikit saja, bukan pedang yang terhempas, melainkan kakinya yang menjadi buntung.

Kelima Pendekar pedang Butongpay itu terhenyak setengah mati. Bun tek thian pun tak kalah
kagetnya. Cio San telah menaklukan Butongpay Ngo Kiam hanya dalam satu jurus!

Pendekar pedang tanpa pedang, maka bukanlah pendekar namanya. Kelima orang ini telah
kehilangan pedang. Itu berarti mereka kalah.

Entah karena mengetahui isi hati kelima lawannya, atau melihat dari raut wajah mereka yang
aneh karena bercampurnya perasaan heran, takut, kagum, dan benci, maka Cio San pun
berkata,

“Para kakak jangan bersedih. Aku bisa menaklukan jurus kalian, karena sebelumnya aku
sudah tahu jurus itu. Sudah puluhan kali aku melihat kalian melatihnya saat kita masih di
Butongsan dulu. Aku pun pernah ikut-ikutan melatihnya”

“Jangan panggil kami ‘kakak’, karena kami bukan kakakmu!” ini adalah suara Sengkoan Pit.
“Kau menang, Cio San. Sesuai janji kami, kami semua menurut apa katamu. Jika mau
membunuh kami, maka bunuhlah” kata Gak Siauw Hong.

Mereka memang harus mengaku kalah. Jika dalam satu jurus saja, pedang mereka melayang,
buat apa memaksa bertarung pada jurus-jurus berikutnya?

“Kitab sakti yang kau curi memang sangat hebat, sehingga kami bisa kau taklukan dalam
satu jurus” kata Lau Han Po.

“Ketahuilah aku tidak mencuri kitab sakti apa-apa.” Tukas Cio San

“Lalu darimana kau bisa mempelajari ilmu yang sedemikian hebat seperti itu? Lwee Kang
(tenaga dalam) mu maju sangat pesat. Gin Kang (ilmu meringankan tubuh)mu sungguh
lihay.” Tanya Ko Kam Sing.

“Aku mempelajarinya dari seekor ular saat aku terdampar di sebuah goa” jawab Cio san jujur

“Mengapa tidak kau bilang saja dewa dari langit turun ke bumi dan mengajarkan jurus itu
kepadamu!?” sahut Lau Han Po

Memang jika orang sudah tidak menyukaimu, kata-kata dan perbuatan apa saja yg kau
lakukan selalu tidak akan pernah diterimanya.

Apalagi cerita belajar ilmu silat kepada seekor ular juga bukan sebuah cerita yang bisa masuk
akal sehat.

Menyadari ini akhirnya Cio San hanya bisa berkata,

“Sudahlah jika kalian tidak mau percaya. Suatu hari nanti, aku akan naik ke butongsan dan
menjelaskan semua kejadian yang ada. Aku akan menjelaskan sendiri kepada Lau
Ciangbunjin. Sekarang permintaanku hanyalah satu, lepaskan saja Bun Tek Thian. Dia sudah
tidak berdaya. Dan menyerang orang yang sudah tak berdaya bukanlah perbuatan para
enghiong”

“Apa hubunganmu dengan dia?” tanya Gak Siauw Hong

“Tidak ada hubungan apa-apa” Cio San menjawab sambil mengelus lagi helaian rambutnya.

“Lalu kenapa kau menolongnya?” sahut Lau Han Po

“Tidak ada alasan. Aku cuma tidak suka melihat nama baik Butongsan rusak karena nanti di
kalangan bu lim orang akan membicarakan bahwa Butongpay mempunyai anak murid
pengecut yang membunuh orang yang sudah tidak bisa melawan”. Melawan orang bermulut
tajam seperti Lau Han Po memang juga harus menggunakan mulut yang tak kalah tajam.

“Alasan! Manusia hati pengkhianat seperti kau pastinya sudah menjadi anggota Ma Kauw
sejak dulu”

Karena memang kurang berbakat adu mulut, maka Cio San hanya berkata,

“Kalian pergilah! Sebelum kupotong urat nadi kalian sampai lumpuh seluruh badan”
Di dunia ini, yang paling ditakuti oleh orang Kang-ouw lebih dari kematian, memang hanyalah
menjadi lumpuh.

“Kau…kau melepaskan kami?”

“Benar” ia menjawab pendek saja

“Pergilah. Ambil pedang kalian dan pergilah dari sini”

Tidak perlu menunggu perintah kedua, kelima orang itu sudah melesat jauh dan menghilang.

Sebenarnya Cio sn ingin bertanya apa masalah sampai mereka mengadu nyawa dengan Bun
Tek Thian. Tapi ia sudah terlanjur menyuruh pergi. Memanggil mereka kembali dan bertanya
tentu tidaklah lucu.

Ia lalu menuju ke Bun Tek Thian yang dari tadi duduk bersila menyembuhkan luka dalamnya.
Cio San membantu menyalurkan tenaga dalamnya sendiri melalui punggung orang itu. Tak
berapa lama, Bun Tek Thian membuka mata dan merasa tubuhnya sudah lumayan segar.

Begitu segaria segera berbalik menghadap Cio San yang sedang bersila di belakangnya. Ia
tidak bersoja dan mengucapkan terima kasih.

Ia malah menyerang Cio San dengan sebuah totokan ke Hiat To.

Kini Cio San tertotok!

Seluruh tubuhnya lumpuh!

“Salam kenal Cio San! Perkenalkan aku Bun Tek Thian, Tiangloo (penasehat) dari partai Ma
Kauw!”

Anda mungkin juga menyukai