Anda di halaman 1dari 1075

KISAH PARA PENGGETAR LANGIT BUKU 1

Pengarang : Norman Duarte Tolle


PRAKATA
Iseng
sejak
orang
salah

banget ya bikin cerita silat. Tapi saya udah suka ama cerita silat
masih kecil. Mulai dari video VHS, ama buku saku kecil yang disebut
Kho Ping Hoo. Padahal salah kaprah banget, Kho Ping Hoo itu nama
seorang penulis cerita silat.

Awal mula punya ide untuk menulis cerita silat, adalah ketika saya tahu
nenek saya dari pihak ibu, adalah orang cina asli. Marganya Tjio [dalam
Ejaan Yang Disempurnakan: Cio]. Seru juga. Dari ibu saya, saya baru tahu
lagi kalo nama buyut saya adalah Abdullah Tjio. Dia seorang keturunan
Cina muslim. Saya kemudian tertarik untuk mempelajari asal-usul silsilah
keluarga saya. Siapa tahu buyut saya itu adalah jagoan Baijiquan [nama
salah satu cabang bela diri kungfu yang awalnya hanya dipelajari
komunitas Cina muslim]. Iseng-iseng saya browsing di internet, gak nemu
juga keturunan Cina lain yang marganya Tjio juga. Adanya cuma Tjio Wie
Tay, beliau ini salah satu tokoh keturunan Cina yang berjasa juga bagi
Indonesia. Hmmm, siapa tahu, aku ada hubungan saudara dengan beliau.

Dari asal-usul inilah, saya jadi mengkhayal. Siapa tahu nenek moyang saya
dulu di Cina adalah tokoh-tokoh silat super sakti dan keren. Punya ilmu
meringankan tubuh kelas atas, pukulan sakti maha dahsyat, dan lain-lain.
Akhirnya lahirlah seorang tokoh fiktif dalam benak saya yang saya namain
Cio San.

Saya gak tau cerita silat yang saya buat ini bakalan kayak gimana. Semua
mengalir saja. Menulis cerita ini pun pada saat saya membuat blog ini.
Jadi iseng-iseng aja. Tapi walaupun iseng, saya tetap akan bertanggung
jawab atas apa yang saya tulis. Entah ada yang mau baca atau tidak, saya
tetap akan menghormati 'kontrak tidak tertulis' antara pengarang dan
pembaca.

Sekedar informasi saja, cerita-cerita silat di Indonesia awalnya adalah


terjemahan dari cerita silat pengarang China [dan Taiwan atau Hongkong].
Penjualan buku terjemahan ini termasuk fantastis di era tahun 70an,
akhirnya merangsang pengarang lokal Indonesia untuk menulis cerita
silatnya sendiri. Lahirlah legenda pengarang cersil bernama Kho Ping Hoo.
Saking ngetopnya dia, hampir semua buku silat dinamaiin Kho Ping Hoo,
padahal ada yang bukan karangannya. Ini sama dengan kebiasaan kita
menyebut Honda untuk segala jenis sepeda motor.

Di Indonesia, penerjemahan buku silat ini masih mempertahankan idiomidiom bahasa aslinya. Misalnya seperti nama orang, nama jurus, atau nama
tempat dan lain-lain masih disebutkan dalam bahasa aslinya . Tapi
berhubung orang-orang keturunan cina yang tinggal di Indonesia itu
menggunakan dialek Hokkian, maka idiom-idiom yang digunakan juga
menggunakan dialek Hokkian, dan bukan Mandarin sebagai dialek resmi
China. Perlu diketahui, ada 3 dialek utama dalam bahasa China, yaitu
Mandarin, Hokkian, dan Kanton. Jadi, walaupun seumpama huruf-hurufnya
sama, cara bacanya agak berbeda, menurut dialek masing-masing.

Ambil contoh kata Wo yang dalam dialek Mandarin berarti saya, dalam
dialek Hokkian berbunyi Gua. Atau kata Jin yang berarti emas, dalam
dialek hokkian menjadi Kim'. Begitulah. Hal ini menjadi membingungkan
ketika banyak orang awam menganggap bahasa China itu cuma dialek Mandarin
saja. Padahal di Indonesia, dialek yang umumnya digunakan adalah dialek
Hokkian. Nama-nama orang pun masih menggunakan dialek Hokkian ini,
seperti Kwik Kian Gie, Soe Hok Gie, dan lain-lain.

Karena itulah, saya juga tetap mempertahankan 'tradisi' ini dengan tetap
menggunakan idiom-idiom Hokkian dalam cerita silat karangan saya. Contoh
seperti kata Thay-Kek Kun, yang dalam mandarinnya disebut Tai Chi
Cuan, dan lain-lain. Dalam perjalanan mempelajari dialek hokkian ini,
saya malah menemukan banayk juga kata-kata bahasa Indonesia yang berasal
dari dialek Hokkian, seperti Gua/saya, Lauteng/Loteng, Lie
Hay/Lihay. Dan masih banyak lagi. Ternyata juga, dialek hokkian itu
deket banget dengan bacaan Kanji cara Onyomi dari Jepang. Misalnya kata
Hokkian Kiam-Sian itu hurufnya sama dengan kata Jepang Ken Shin yang
artinya sama: Dewa Pedang. Seru kan?

Btw, Selain karena mempertahankan tradisi, ternyata memang membaca cerita


silat itu lebih enak ketika kita menggunakan dialek Hokkian. Entah
kenapa. Dulu di awal tahun 2000an sempat digalakkan lagi penerbitan
cerita silat, namun kali ini menggunakan dialek Mandarin. Ternyata banyak
pembaca yang protes, karena merasa kesan 'silat'nya hilang.

Ok, moga-moga ada yang mau baca. Karena ini adalah hal baru buat saya.
Semoga hasilnya gak mengecewakan. Saya benar-benar membuka pintu kritik
dan saran untuk penulisan ini. Karena bagi saya ini bukan sekedar iseng.
Saya gak mau terlalu ge-er dengan mengganggap cersil karangan saya
sebagai titik kebangkitan cersil, karena sungguh masih jauh banget.
Tapi amat sangat menyenangkan jika kita menggalakkan lagi penulisan
seperti ini oleh penulis-penulis muda. Karena terus terang, walau banyak
yang mengganggap cersil sebagai sampah, saya menganggapnya sebagai KARYA
SASTRA.

Bab 1 Duka Datang Bertubi-tubi

Pemandangan dari atas gunung Bu-Tong san memang tiada duanya. Saat ini
musim semi, matahari sore bersinar dengan cerah. Angin sepoi-sepoi
menghembus menyejukkan hati siapa saja yang berada diatas gunung ini.

Tapi angin sejuk itu tidak mampu menembus ke dada ratusan murid Bu Tong
pai (partai silat Bu-Tong) saat ini. Guru besar mereka, sekaligus pendiri
perguran Bu Tong dan juga ketua partai itu, Thio Sam Hong, baru saja
meninggal dunia. Beliau adalah salah satu tokoh terbesar pada jamannya.
Bahkan kebesaran nama beliau tidak saja menggetarkan dunia kang ouw
(dunia persilatan), tapi bahkan juga mampu menembus hati orang-orang
biasa, dan rakyat jelata.

Thio Sam Hong memang adalah orang yang sangat dihormati. Para pendekar
aliran lurus sangat mengagumi beliau. Tokoh aliran sesat juga kagum, dan
gentar mendengar namanya. Thio Sam Hong adalah pencipta ilmu-ilmu hebat.
Salah satu ilmu ciptaannya adalah Thay Kek Kun. Ilmu dahsyat ini
menggetarkan dunia persilatan, dan jarang bisa ditemui lawannya.

Ia juga adalah seorang tokoh pendeta Tao yang kedalaman pengetahuan agama
serta filsafatnya jarang mempunyai tandingan. Banyak orang yang ketika
mendengar namanya saja akan tunduk dan merasa takluk.

Selain itu, beliau juga memiliki umur yang sangat panjang. Beliau
mencapai umur lebih dari 170 tahun. Konon kabarnya karena ilmu silatnya
itu sangat hebat sehingga mempangaruhi usia dan kesehatannya.

Kematian tokoh seperti ini sudah pasti akan menggemparkan seluruh


Tionggoan (Cina daratan). Sudah bisa diramalkan berita kematiannya akan
membuat dunia Kang ouw gempar. Proses penguburan jenazahnya akan
mengundang keramaian besar.

Namun, Thio Sam Hong adalah tokoh bijaksana yang sangat rendah hati.
Sebelum kematiannya beliau menulis surat wasiat agar berita kematiannya

baru disebarkan ke dunia kang ouw 3 bulan setelah proses pemakaman


beliau.

Surat wasiat itu juga menunjuk Lau Tian Liong sebagai Ciangbunjin (ketua)
partai yang baru. Murid-murid Butong pay menerima isi surat wasiat itu
dengan rasa haru.

Mereka merasa guru besar mereka itu pantas mendapatkan pemakaman seperti
seorang kaisar. Namun sang guru memilih dikuburkan dengan suasana yang
khidmat. Memang proses pemakaman beliau sangat sederhana. Walaupun
dihadiri ratusan murid Bu-Tong Pai, pemakaman itu sakral dan sederhana.
Hanya diurusi beberapa orang yang sudah ditunjuk, dan beberapa pendeta
Tao yang membaca kitab suci.

Butong pay memang sedang bersedih. Guru besar mereka meninggal. Sedangkan
murid-murid hebat mereka banyak yang gugur saat pertempuran melawan
bangsa Goan. Saat itu Butong, yang bergabung dengan berbagai perguruan
persilatan dari berbagai aliran, memutuskan untuk menumbangkan bangsa
penjajah.

Gerakan perlawanan itu dipimpin oleh murid Butong yang paling hebat.
Murid legendaris itu berhasil menyatukan berbagai golongan bulim, dan
berhasil memimpin perang melawan Goan (mongol). Padahal istrinya sendiri
adalah putri dari jendral Goan yang masih punya hubungan saudara dengan
Kaisar.
Sebuah penghianatan dari bawahannya, membuat murid terbaik Butong itu
kecewa dan mengundurkan diri ke sebuah pulau terpencil beserta istrinya.
Kenyataan itu membuat Thio Sam Hong sangat terpukul karena ia menaruh
harapan besar terhadap muridnya itu.

Selain bakat yang sangat besar, murid kesayangan Thio Sam Hong itu adalah
orang yang sangat lurus sifatnya. Ia juga memiliki ilmu tinggi dari
berbagai macam aliran. Namun kerendahan hati membuatnya ia disukai banyak
orang, sehingga orang-orang mau mengangkatnya sebagai Bu Lim Beng Cu
(pemimpin dunia persilatan).

Murid lain asal Butong memang tidak sehebat murid kesayangan Thio Sam
Hong itu, namun mereka juga memiliki ilmu yang dahsyat. Sayang banyak
sekali dari mereka yang gugur dalam peperangan sehingga murid-murid yang
tersisa di Butong memang bukan mereka yang terlalu istimewa.

Karena kenyataan ini Thio Sam Hong tidak mampu menurunkan ilmu-ilmunya
yang paling hebat kepada murid-murid yang tersisa. Ia memang berusaha
menurunkan ilmu-ilmu itu, namun bakat dan pemahaman dari murid-muridnya
memang tidak ada yang sedalam dan sebesar murid kesayangannya itu.

Setelah sang murid mengasingkan diri ke pulau terpencil, Thio Sam Hong
yang sangat kecewa berusaha memendam kekecewaannya, mengucilkan diri
dengan menciptakan ilmu-ilmu baru yang lebih dahsyat. Para murid yang
mengerti dengan keadaan ini, berusaha untuk tidak menyebut-nyebut nama
murid kesayangan Thio Sam Hong itu. Karena sering mereka lihat Thio Sam
Hong berubah wajahnya menjadi sedih ketika ia mendengar nama muridnya itu
disebut. Akhirnya karena lama tidak disebut, nama murid kesayangan itu
mulai terlupakan. Bahkan mungkin kini tidak ada lagi orang yang tau siapa
sebenarnya nama sang murid kesayangan itu.

Lau Tian Liong, sang ciangbunjin baru, adalah salah satu dari murid Thio
Sam Hong yang paling hebat, yang masih hidup. Ia sudah berusia 70
tahunan. Saat terjadi kejadian besar peperangan pengusiran penjajah Goan
itu, ia mungkin baru berusia belasan tahun. Thio Sam Hong sendiri sudah
berusia sekitar 100 tahun lebih saat itu.

Lau Tian Long tidak ikut berperang, karena termasuk dalam golongan murid
pemula yang masih belum cukup ilmu untuk turun ke kancah perang. Ia
memiliki bakat yang besar juga. Thio Sam Hong sudah melihat hal ini, dan
mengajarkannya ilmu-ilmu yang sangat tinggi. Sekarang ini memang nama Lau
Tian Long juga menggetarkan dunia kang-ouw, karena dianggap sebagai salah
satu orang yang paling tinggi ilmunya.

Lau Tian Liong, sang Ciangbunjin baru

Namun tingginya ilmu Lau Tian Liong ini tidak diikuti dengan tingginya
ilmu murid-murid Bu-tong saat ini. Oleh sebab itu, tepat setelah 3 bulan,
batas yang diberikan Thio Sam Hong untuk memulai memberitakan kabar
kematiannya ke dunia ramai, ia juga memerintahkan murid-murid utama Butong untuk mulai mencari murid lebih banyak lagi.

Para calon murid ini harus memiliki bakat yang besar, dari keluarga yang
lurus dan berasal-usul jelas. Orang-orang yang ditugaskan untuk
mengumpulkan murid ini adalah murid dari angkatan ketiga. Mereka ini
adalah terdiri dari murid-murid hebat yang ditugaskan untuk berkelana ke
segala penjuru Tionggoan untuk menegakkan kebenaran. Tegasnya, mereka
adalah pendekar-pendekar yang turun langsung ke dunia kang ouw.

Murid yang bisa tembus sampai angkatan ke 3, adalah murid-murid yang


sangat hebat. Dalam Bu-Tong Pay, ada 7 angkatan. Angkatan ke 7 adalah
angkatan pemula. Begitu seterusnya sampai keatas. Mereka yang ingin naik
angkatan harus melewati ujian berat. Jika tidak lolos maka ia diberi
kesempatan mencoba sampai 3 kali. Jika 3 kali itu tidak lulus, maka ia
tidak bisa lagi naik tingkat, dan selamanya menjadi murid angkatan itu.

Mereka yang bisa lolos sampai angkatan ke 3, hanya beberapa orang.


Mungkin tidak sampai 20 orang. Untuk bisa naik menjadi angkatan ke 2,
mereka harus turun gunung. Berkelana selama bertahun-tahun. Membantu
rakyat dengan ilmu yang sudah mereka miliki. Setelah itu baru mereka
berhak mengikuti ujian naik ke tingkat ke 2.

Tujuh orang terbaik dari angkatan ke 3 ini akan dilatih ilmu barisan
pedang Butong yang sangat terkenal itu. Ke 7 orang ini tidak turun
gunung, dan menetap di Butong sebagai penjaga utama perguruan ini.
Sedangkan sisanya, diwajibkan turun gunung, mengabdi untuk rakyat.

Tugas baru untuk mencari murid-murid berbakat ini dibebankan kepada


mereka yang turun gunung, termasuk Tan Hoat. Dia adalah salah satu murid
Butong yang namanya mulai terkenal di dunia kang-ouw. Tindak tanduknya
yang gagah membuat nama besar Butong semakin disegani.

Tan Hoat

Hari itu hari yang cerah, ia menyusuri padang rumput di sebuah desa
terpencil. Perintah dari ciangbunjinnya yang baru sudah ia dengar. Cara
anggota Butong menyampaikan berita memang unik. Jika pusat perguruan
menurunkan perintah atau berita, maka cukup satu orang saja membawa kabar
itu ke sebuah desa di kaki gunung. Tidak sampai 5 hari, berita itu sudah

tersebar luas di Bulim (kalangan kaum persilatan). Kebesaran dan


ketenaran Butong memang jarang ada bandingannya.

Itu termasuk berita-berita rahasia. Para murid angkatan Bu-tong memiliki


sandi-sandi rahasia dan bahasa-bahasa tertentu yang hanya bisa dipahami
mereka. Setiap angkatan memiliki sandi rahasia tersendiri. Biasanya sandi
atau pesan-pesan rahasia ini tertulis di tempat yang sering dilewati
orang namun tidak mudah untuk diperhatikan.

Begitulah cara mereka bertukar berita. Begitu pulalah cara Tan Hoat
menerima berita kematian guru besar, dan perintah mencari murid.
Sebenarnya ia ingin pulang secepatnya untuk menziarahi makam gurunya,
namun perintah ketua Lau mengharuskannya mencari murid dulu. Sebelum
mendapatkan murid hebat, maka para murid tidak diijinkan naik ke Butong
san.

Perasaannya sedih sekali. Kecintaan rakyat jelata kepada mendiang Thio


Sam Hong saja sudah besar sekali. Apalagi kecintaan para muridnya
sendiri. Itulah mengapa Tan Hoat merasa terharu dan sedih sekali. Ia
bangga menjadi murid Butong. Sepanjang jalan, ia mendengar nama Thio Sam
Hong disebut-sebut dengan penuh rasa hormat.

Di mana-mana orang-orang berdoa untuk kedamaian arwah Thio Sam Hong.


Dimana-mana orang memuji-mujinya. Tan Hoat bangga dan terharu. Kabar
beritanya sendiri ia lihat melalui goresan pedang di pintu sebuah rumah
makan di kotaraja . Goresan pedang itu kecil saja. Tidak akan kelihatan
jika mata tidak awas. Tapi sebagai murid Butong angkatan ketiga, hal-hal
begini sudah menjadi bagian hidupnya sehari-hari.

Membaca pesan-pesan rahasia itu hatinya bagai teriris-iris. Tapi sebagai


pendekar, ia sudah mampu menahan perasaannya. Ia tidak meneteskan
airmatanya di tengah keramaian. Ia berlari secepatnya. Namun begitu
sampai di luar gerbang ibukota, air matanya tumpah bagai air bah.

Butuh waktu lama sekali bagi Tan Hot untuk menguras air matanya. Baru
ketika ia sudah merasa tenang dan kuat. Ia melanjutkan lagi
perjalanannya. Kali ini ia punya tugas baru dari sang pangcu. Mencari
murid baru. Padahal ia sedang dalam perjalanan menumpas perampok-perampok
yang mulai berani menggerayangi ibu kota.

Tan Hoat memutuskan untuk mengunjungi rumah salah seorang kerabatnya,


bernama Cio Kim. Cio kim adalah sahabat lama Tan Hot sejak mereka masih
kecil. Ayah Cio Kim adalah salah seorang pemimpin pasukan perlawanan yang
berhasil mengusir penjajah. Ia berfikir mungkin ayah Cio Kim belum
mendengar kabar meninggalnya Thio Sam Hong.

Desa di mana rumah Cio Kim adalah sebuah desa yang terkenal. Para
penghuni desa ini adalah para petani yang berhasil membangun pertanian
mereka menjadi sebuah perdagangan yang lumayan besar. Mereka membentuk
perkumpulan tani yang berhasil mengurusi hasil tani mereka dengan baik.
Pengelolaan yang baik ini membuat desa mereka makmur, dan sangat terkenal
di Tionggoan.

Bagitu menyusuri padang rumput yang luas, Tan Hoat teringat pada masa
kecilnya. Ia adalah anak seorang petani. Keluarganya bukan asli orang
desa itu, tapi merupakan perantauan dari daerah lain. Karena mendengar
nama desa itu yang terkenal, ayahnya memutuskan untuk memboyong
keluarganya kesana dan mulai berusaha disana.

Di sanalah Tan Hoat yang baru berusia 10 tahun itu bertemu dengan Cio
Kim. Mereka yang memang seumur memang langsung akrab. Setelah itu mereka
menjadi sahabat dekat. Ayah Cio Kim adalah kepala desa.

Pergolakan perang pengusiran bangsa Goan, membuat ayah Cio Kim yang
bernama Cio Hong Lim bergabung dengan tentara perlawanan. Dengan bakat
dan kecerdasannya, Cio Hong Lim malah mempunyai pangkat tinggi dalam
ketentaraan itu, padahal ia memang tidak bisa ilmu silat.

Cio Hong Lim memiliki otak yang sangat cerdas, sehingga ia diangkat
menjadi ahli strategi. Ia bahkan menjadi salah satu tokoh penting
berhasilnya pengusiran itu. Tidak seperti kebanyakan orang, ia memilih
mundur dari jabatannya setelah perjuangan selesai. Ia memilih bertani,
membangun perkumpulan petani yang dulu sempat terbengkalai di jaman
perjuangan itu.

Usahanya kemudian berhasil. Desanya berkembang lagi. Sejak saat itu Cio
Hong Lim menjadi orang yang termasuk kaya. Kekayaan yang didapatkannya
secara jujur, melalui kerja keras.

Ayah Tan Hoat sendiri, yang bernama Tan Leng meninggal beberapa bulan
setelah sebelumnya ibu Tan Hoat juga meninggal karena sakit. Kepergian
ayah Tan Hoat itu mungkin disebabkan rasa cinta yang mendalam dan
kesedihan karena ditinggal ibu Tan Hoat.

Sejak saat itu Tan Hoat menjadi yatim piatu di usia 15 tahun. Ia kemudian
diasuh oleh keluarga Cio selama hampir setahun. Oleh Cio Hong Lim, Tan
Hot dikirimkan ke perguruan Butong pay. Posisinya dulu saat menjadi ahli
strategi membuatnya dekat dan kagum dengan para pendekar Butong. Cio Hong
Lim sendiri, walaupun tidak menyukai ilmu silat, mempunyai pandangan yang
luas. Ia melihat Tan Hot memiliki bakat unutk mempelajari ilmu silat,
sehingga mengirimkannya ke Butong.

Cio Hong Lim tidak memaksakan pandangannya yang anti ilmu silat itu
terhadap Tan Hoat. Bahkan juga kepada anaknya semata wayang, Cio Kim.
Namun Cio Kim memang tidak memiliki bakat ilmu silat. Cio Kim malah
memiliki otak cerdas sehingga Cio Hong Lim mengirimkannya belajar ke
ibukota dan mendapat gelar siucai (sastrawan).

Kini Tan Hot sudah berusia 32 tahun. Ia belum menikah. Pada jaman itu,
usia begitu sudah dianggap sangat terlambat untuk menikah. Tan Hoat
sendiripun tidak perduli. Walaupun tidak ada larangan menikah bagi
anggota Butong angkatan ke 3, Tan Hoat sendiri memang lebih suka menjadi
bujang. Menurutnya itu malah membuatnya bisa lebih bebas dan tidak
terikat.

Walaupun sudah menjadi murid Butongpay, dulu Tan Hot beberapa kali masih
sempat mengunjungi desa itu. Yang pertama, saat ia menemani salah seorang
gurunya mengerjakan sebuah keperluan. Dan yang kedua, saat ia menjadi
murid angkatan ke 3 dan turun gunung untuk pertama kalinya. Itu sudah 7
atau 8 tahun yang lalu.

Desanya pun tidak banyak berubah. Walaupun ini desa yang makmur,
penduduknya tidak serta merta langsung berubah gaya hidupnya bergaya
seperti saudagar kaya. Memang ada beberapa yang seperti itu. Namun sifat
sebagian besar penduduknya yang sederhana, membuat desa itu tetap asri
walaupun diakui sebagai salah satu desa yang paling makmur di Tionggoan.

Setelah melintasi padang rumput, kini Tan Hoat menyusuri jalan setapak
menuju desanya. Tadi saat di padang rumput, desanya terlihat dari jauh.
Kini semakin dekat, rasa haru yang ada di hati Tan Hoat semakin menguat.

Begitu sampai di gerbang desa. Ia sudah disambut oleh beberapa penduduk


desa yang sedang menggarap sawah. Sebagai 'bekas' penduduk desa itu,
apalagi ia murid perguruan Butong, ia memang lumayan dikenal di desa itu.

Setelah mengucap salam, dan menanyakan kabar orang-orang yang tadi


menyapanya, ia menanyakan kabar keluarga Cio.

Wajah orang-orang itu segera berubah. Kata mereka, Tan-tayhiap (pendekar


Tan) belum dengar? Wah kalau begitu tayhiap secepatnya saja kesana

Memangnya ada apa? tanya Tan Hoat penasaran

Lebih baik tayhiap kesana dulu. Nanti pasti ada yang bercerita
disana.... jawab salah seorang penduduk desa dengan wajah khawatir.

Penasaran, Tan Hoat segera menggunakan Ginkang (ilmu meringankan tubuh).


Nalurinya sebagai seorang pendekar mengatakan bahwa ada sesuatu yang
tidak beres.

Ia berlari. Bahkan mungkin melayang. Karena kakinya hanya menginjak tanah


sekali-kali. Orang-orang desa hanya melihat kelebatan bayangan. Tapi
mereka tidak tahu bayangan apa itu sebenarnya yang baru melewati mereka.

Sebuah belokan lagi, Tan Hoat tiba di depan rumah keluarga Cio. Begitu ia
berbelok, ia kaget setengah mati. Tempat yang dulunya berdiri rumah
keluarga Cio sudah ksosng melompong. Tidak ada lagi rumah di tempat itu.
Berganti onggokan kayu-kayu kering bekas terbakar.

Seorang penduduk yang kebetulan lewat disitu mengenal Tan Hoat, Ah Tantayhiap baru datang rupanya

A..apa yang sudah terjadi? Apakah ada kebakaran? tanya Tan Hoat
terbata-bata

Bukan kebakaran tayhiap...bukan kebakaran... jawab orang itu

Lalu apa? tanya Tan Hoat lagi penasaran

Bencana besar...rumah Cio-wangwe (saudagar Cio) dirampok orang orang


itu menjawab juga dengan terbata-bata

Siapa yang berani? Dalam amarahnya Tan Hoat mengerahkan tenaga dalamnya
sambil menghentakkan kakinya. Orang di depannya merasa seperti sebuah
gempa bumi dahsyat sedang terjadi

ti..tidak tahu..tayhiap..., kejadiannya cepat, sekali jawab orang itu


kini ketakutan

Lalu dimana keluarga Cio sekarang? tanya Tan Hoat lagi, kegarangannya
belum berkurang

Su..su..sudah.... ia terbata-bata

Sudah apa? Tan Hoat sudah maju mendekat orang itu

Orang itu ketakutan, tanpa sengaja ia mundur perlahan-lahan

Su...sudah... ia ketakutan

Menyadari orang yang dihadapannya itu ketakuitan, Tan Hoat mulai


menghaluskan bahasanya,

Jawablah lopek (orang tua), tidak usah takut, maaf tadi saya tidak bisa
menjaga aturan... kata Tan Hoat

Su..sudah meninggal semua tayhiap jawab orang itu

Apa? kata-kata itu keluar bersamaan dengan jatuhnya tubuh Tan Hoat ke
tanah. Ia berlutut matanya memandang ke tanah. Ia seperti tidak percaya
atas apa yang didengarnya.

Berita kematian guru besar Thio Sam Hong saja sudah menguras tenaganya.
Ia butuh waktu lama untuk bisa menguasai hatinya. Bahkan sepanjang
perjalanan dari ibukota ke desa ini, yang membutuhkan waktu 5 hari, ia
kadang menangis. Kini ditambah lagi berita ini, Tan Hoat seperti
kehilangan separuh nyawanya. Kekuatan hati yang berusaha dikumpulkannya
sepanjang perjalanan akhirnya hilang, buyar begitu saja. Tan Hoat lemas
seketika.

Lopek di depannya kemudian mengangkatnya dan menuntunnya ke dalam


rumahnya. Diletakkannya Tan Hoat diatas dipan, dan ia mengambil air dan
memberikannya pada Tan Hoat.

Minumlah, mungkin bisa membuatmu sedikit tenang kata si orang tua itu

Maaf saya tidak bisa menahan diri lopek jawab Tan hoat, ia masih
berbaring diatas dipan. Tapi kesadaran jiwanya sudah mulai ia coba
pulihkan, lanjutnya Saya mengalami hal-hal besar akhir-akhir ini
sehingga tidak mampu menguasai diri lagi, lopek. Maafkan saya lopek

Tidak apa-apa tayhiap. Sejak tayhiap masih kecil aku sudah kenal
tayhiap. Aku dulu bekerja sebagai buruh Cio-wangwe. Tapi setelah punya
uang, aku membuka sawahku sendiri kata lopek itu, ia meneruskan, Tantayhiap adalah kebanggaan desa ini. Kau maafkanlah aku yang tidak bisa
berbuat apa-apa atas kejadian keluarga Cio-wangwe

Sebenarnya bagaimana kejadiannya? tanya Tan Hoat, ia bertanya sambil


bangun untuk duduk.

Kejadiannya berlangsung cepat. Ada rombongan perampok yang masuk desa


ini. Jumlahnya puluhan orang. Mereka memakai topeng. Ilmu silat mereka
tinggi sekali. Kami orang desa yang mencoba melawan tidak bisa melakukan
apa-apa. Kami dibekuk dan diikat. kisah si lopek

Kapan kejadiannya? Kenapa aku tidak pernah mendengar tanya Tan Hoat

Baru beberapa hari tayhiap. Mungkin baru 4 atau 5 hari. Kami sudah
mengirim laporan ke kotaraja. Mungkin dalam beberapa hari mereka akan
mengirimkan petugas-petugas kemari. jawab lopek itu.

Tan Hoat bertanya-tanya dalam hati. Kenapa ia tidak mendengar kabar


perampokan ini. Cio wangwe adalah tokoh yang lumayan terkenal. Jasajasanya dalam perjuangan membuat ia patut mendapat pemakaman layaknya
pahlawan negara. Tapi Tan Hoat akhirnya paham bahwa kabar ini tertutupi
oleh kabar kematian mendiang guru besarnya sendiri, Thio Sam Hong.

Benar tidak ada keluarga tersisa? Cio Kim bagaimana? tanya Tan Hoat

Kami sudah mengirim orang untuk memberitahukan kabar ini kepadanya,


dalam beberapa hari ini Cio-siucai pasti sudah kesini.

Syukurlah. Kupikir ia berada disini juga menjadi korban. Dimana dia


tinggal sekarang? Terakhir yang ku tahu ia tinggal di sini tanya Tan
Hoat lagi

Beliau pindah mengikuti istrinya

Ke tempat Li Swat Ing? Dimana itu? Apakah di Gobipay (partai Gobi)?

Iya, beliau ikut Li-liehiap [pendekar wanita Li] ke puncak Go bi.


Dengar-dengar ketua Gobi sedang sakit keras dan memerintahkan seluruh
murid Gobipay untuk kembali jawab lopek itu

Ah iya benar. Kenapa aku bisa lupa. Aku dengar Gobi-ciangbunjin (ketua
partai Gobi) memang sedang sakit keras beberapa tahun ini. Jadi Cio Kim
ikut ke Gobi?

Iya benar. Menurut kabar yang saya dengar, mereka sekeluarga tinggal di
kaki gunung Gobi, jadi bila ada apa-apa Li-liehiap bisa langsung naik ke
atas kata lopek.

Tan Hoat menghela napas, pikirannya berkecamuk. Ia memikirkan langkahlangkah yang harus ia lakukan,

Apakah penguburan Cio-wangwe sudah dilaksanakan?" tanyanya tiba-tiba

Sudah tayhiap. Kondisi mayat mereka mengenaskan. Mereka diikat dan


dibakar hidup-hidup. Kami langsung menguburkan mayat mereka begitu para
perampok itu kabur jawab si lopek
Tolong antarkan aku ke kuburan mereka kata Tan Hoat menahan
kegeramannya. Hatinya membayangkan penderitaan Cio-wangwe sekeluarga

Baiklah. Mari ikut saya

Kuburan anggota keluarga Cio-wangwe terletak di halaman belakang rumah


mereka sendiri. Mereka dikumpulkan dalam satu liang, karena kondisi mayat
mereka tidak lagi dapat dibedakan. Si Lopek menceritakan hal itu kepada
Tan Hoat, yang mendengarkannya sambil meneteskan air mata.

Hatinya teringat Cio Kim. Bagaimana perasaannya mendengar kabar


pembantaian ini. Tan Hoat ikut bersedih pula memikirkan nasib Cio Kim

Saat pikirannya melayang-layang itulah terdengar suara orang minta


tolong,

Tolong...tolong gaduh sekali karena ketambahan lagi suara orang yang


minta tolong.

Secepat kilat Tan Hoat berlari ke arah suara gaduh itu.

Ternyata suara itu berasal dari gerbang selatan desa. Tan Hoat berlari
kesana. Nampak penduduk desa sedang mengelilingi kuda dan keretanya.

Alangkah kagetnya hati Tan Hoat ketika melihat isi kereta itu adalah Cio
Kim beserta istrinya. Mereka sudah berlumuran darah. Tapi masih hidup.
Walaupun wajah Cio Kim berlumuran darah, Tan Hoat masih mengenal wajah
saudara angkatnya ini.

Cio Kim apa yang terjadi?..ya Tuhan..apa yang terjadi? Tan Hoat
bertanya sambil menyalurkan tenaga murni ke dada Cio Kim

Jangan..salurkan ke istriku saja... kata Cio Kim. Walaupun tidak


mengerti ilmu silat, istrinya adalah seorang pendekar, tentunya Cio Kim
paham maksud tindakan Tan Hoat

Segera Tan Hoat menyalurkan tenaga dalamnya melalui punggung Li Swat Ing.
Saat itu posisinya memang tidur tertelungkup. Tubuh Li Swat Ing sudah
penuh luka bacokan. Darah ada dimana-mana. Keadaannya mungkin lebih parah
dari suaminya

Selamatkan anakku...selamatkan anakku kata Li Swat Ing terbata-bata

Ternyata ia menelungkup sambil memeluk anaknya. Beberapa penduduk


langsung mengangkat anak ini. Ia menangis meraung-raung saat dipisahkan
dari pelukan ibunya

Aku mau ibu..aku mau ibu.. tangisnya

Sudahlah Tan-tayhiap....jangan memaksa diri...aku sudah tidak mungkin


tertolong kata Li Swat Ing. Dengan perlahan ia mendorong tangan Tan
Hoat.

Siapa yang melakukan ini semua? tanya Tan Hoat

Tidak tahu....kami diserbu orang ditengah jalan...enam sampai 8 orang.


Koko (kakak, panggilannya terhadap suami) terus menggeber kuda...aku
menahan penyerang-penyerang itu... jawab Li Swat Ing. Nafasnya sudah
satu-satu.

Aku titip anakku kepadamu. Bawa dia ke Butong... kata Cio Kim

Thia...(ayah)... teriak sang anak yang sedang dalam gendongan salah


seorang penduduk.

San-ji ('Ji' adalah panggilan untuk anak),...kau jadilah manusia yang


baik...jangan jadi orang pendendam...tidak usah kau balas ini. Semua
terjadi ada karmanya...tidak usah kau teruskan dendam mendendam... kata
Cio Kim kepada anaknya.

Thia...thia...Cio san dengar thia....

Kau harus patuh kepada Tan-Gihu..mulai sekarang dia adalah Gihu (ayah
angkat) mu.... kata Cio Kim

Iya thia... si anak menjawab sambil menangis

Ayah pergi dulu..ingat kata-kata ayah ya...., Ing-moay aku pergi


duluan...ku tunggu kamu adindaku sayang Cio Kim mengecup kening istrinya
dengan bersusah payah, saat itu juga nyawanya melayang pergi.

Li Swat Ing tersenyum, ia seperti berbicara kepada arwah suaminya, Aku


bahagia bisa mati bersamamu koko... ia lalu menoleh kepada Tan Hoat

Tan-tayhiap di Gobi-san ada..ada Li Swat Ing terbata-bata

Ada apa Li-liehiap? tanya Tan Hoat

Ada..ada... nafasnya berhenti

Ayah....ibu...... tangisan si kecil membahana. Tangisan orang-orang


desa pun membahana.

Hari ini adalah hari yang terlalu berat bagi Tan Hoat. Ia tidak bisa
berkata apa-apa lagi.

Bab 2 Tan Hoat dan Cio San pergi ke Butong san

Tan Hoat menyelesaikan segala proses pemakaman dengan dibantu orang-orang


desa. Cio San masih tetap menangis. Tetapi ia berusaha tabah. Sedikitnya
Tan Hoat heran juga melihat kekuatan hati anak itu.

Cio san, kata Tan Hoat Kau sudah mendengar sendiri kata-kata ayahibumu bukan. Mulai sekarang aku adalah gihumu

Iya gihu.... kata Cio San


Karena kau sudah tak ada keluarga lagi, maka ikutlah kau ke Butong. Kau
akan kuangkat menjadi muridku kata Tan Hoat perlahan

Cio San menjatuhkan diri dan berlutut. Ia mengangkat tangan ke dada,


Gihu...gihu adalah orang yang paling 'anak' hormati. Ayah dan ibu sudah
sering bercerita tentang gihu

Lanjutnya, Bukannya 'anak' kurang ajar, tetapi 'anak' tidak menyukai


ilmu silat. Ayah pun sering mengajarkan bahwa perkelahian itu tidak baik,
gihu ampuni 'anak'...

Tan Hoat hanya memandangnya, kagum. Ia tidak menyangka anak sekecil ini
sudah begitu paham tata cara dan sopan santun.

Cio San lalu melanjutkan lagi, Apakah boleh anak belajar ilmu sastra
saja? Anak mendengar bahwa guru besar Thio Sam Hong adalah tokoh yang
dalam sekali ilmu agama, ilmu surat, dan ilmu-ilmu lainnya selain ilmu
silat. Sekali lagi maaf gihu sambil berkata begitu ia bersujud

Sudahlah anakku, tidak ada yang akan memaksamu untuk belajar silat kalau
kau tidak mau. Sudah.sudah bangunlah kau...bangunlah kau....

Mereka kemudian tinggal disitu selama beberapa hari sebagai tanda


berkabung. Lalu berangkat menuju Butong san. Para penduduk melepas mereka
dengan hati haru dan sedih. Entah apa lagi nanti yang akan dialami oleh
anak sekecil itu.

Banyak penduduk yang memberikan bekal, dan sangu makanan. Juga baju-baju
untuk mereka pakai. Tan Hoat dan Cio San menerimanya dengan hormat.
Setelah mengucapkan salam perpisahan, akhirnya kedua orang itu berangkat.
Tan Hoat masih terkagum-kagum dengan sopan santun Cio San. Tidak percuma
ia menjadi anak dari Cio-siucay (sastrawan Cio) dan Li-liehap (pendekar
wanita Li).

Perjalanan ke Butong san memakan waktu sekitar 7 hari. Tan Hoat memilih
menggunakan kuda supaya lebih cepat, dan juga mengingat ia sedang membawa
anak kecil berusia 7 tahun. Untunglah sepanjang perjalanan Cio San tidak
rewel. Hanya sekali-kali ia meneteskan airmata jika teringat nasib ayahibunya dan keluarganya. Tapi jika menangis, Cio San melakukannya secara
sembunyi-sembunyi. Ia tidak ingin gihunya menganggapnya cengeng. Lebihlebih ia tidak ingin menyusahkan hati gihunya.

Tan Hoat bukan tidak tahu perbuatan Cio San ini. Diam-diam ia kagum, dan
menganggap anak kecil ini sungguh keras hatinya. Tapi lama-lama ia
berkata juga,

Cio San, kehilangan keluarga itu adalah hal yang menyedihkan, maka tidak
apa jika engkau menangis. Menangis bahkan membuat perasaan lebih lega,
dan terasa lebih lapang kata Tan Hoat.

Iya gihu. 'anak' hanya mencoba menguatkan hati. Biar nanti tidak
menyusahkan gihu jawab Cio San.

Menyusahkan aku? mengapa aku harus susah melihatmu menangis tanya Tan
Hoat sambil tersenyum.

Gihu baru kehilangan seorang guru besar, gihu juga baru kehalangan
keluarga angkat gihu. Keluargaku bukankah juga keluarga gihu? Sudah
begitu, gihu masih ketambahan lagi mengurusi seorang anak cengeng kata
Cio San

Hahahahahaahah, anak pintar... Tan Hoat terbahak-bahak, lanjutnya Aku


malah sama sekali tidak repot mengurusi engkau. Sekarang bukankah aku
harusnya bahagia memiliki anak yang pintar?

Anak belum lagi melakukan apa-apa untuk gihu, sudah dibilang pintar.

Ah kau ini memang pintar. Persis ayahmu...

Ia lalu menatap langit dan berkata pelan,

Cio Kim..Cio Kim, umurmu pendek, tapi semoga kau bangga jika anakmu bisa
menjadi orang besar nanti

Anak jadi teringat thia (ayah). Cio San menunduk

Oh..maafkan gihumu ini anakku, aku..aku tak sengaja Tan Hoat terbatabata

Tak apa gihu Cio San tersenyum, Anak cuma teringat kata-kata thia
setelah mendengar ucapan gihu tadi... lanjut Cio San

Ucapanku yang mana? tanya Tan Hoat heran

Tentang anak menjadi orang besar kelak jawab Cio San

Apa kata-kata thia mu itu? tanya Tan Hoat lagi

Thia berkata, menjadi orang besar tidak lah harus melakukan perbuatanperbuatan besar. Karena sejarah tidak ditentukan oleh orang-orang besar,
para kaisar, para raja, para jendral perang, atau pendekar-pendekar
ternama. Sejarah dilakukan oleh kita, orang-orang kecil, rakyat jelata
yang namanya tidak tertulis dalam kitab-kitab. terang Cio San

...dalam sekali maknanya Tan Hoat berkata sambil menerawang

Anak sendiri tidak begitu mengerti artinya, tapi....

Tapi apa... Tan Hoat penasaran

Rasa-rasanya anak sudah menangkap sedikit....

Coba jelaskan... kata Tan Hoat

Waktu anak ditolong oleh orang desa. Mereka itu orang-orang biasa, tidak
punya ilmu silat. Mereka dengan sukarela menolong. Membersihkan anak,
memberi pakaian, memberi makan. Coba kalo mereka tidak ada, pasti gihu
dan anak akan kelaparan, dan mengurusi pemakaman ayah-ibu sendirian saja

Hahahaha...pintar-pintar..., lanjutkan-lanjutkan Tan Hoat tertawa


senang

Kalau nanti seumpama anak jadi orang besar, maka sebenarnya orang-orang
desa itu punya andil paling besar. Karena jika mereka tidak ada, kan anak
tidak mungkin bisa selamat dari lapar, dan haus, dan lainnya lanjut Cio
San

Bukan main! saking senangnya Tan Hoat menepuk pundak Cio San keras
sekali, sampai ia terbatuk-batuk

Maaf...maaf..ahhahaha..aku terlalu senang mendapatkan anak secerdas kau,


Cio San

Cio San pun tersenyum, senyumnya yang pertama sejak keluarganya dibantai

Tan Hoat memilih untuk secepatnya sampai ke Butong sehingga ia tidak


terlalu lama beristirahat. Istirahat hanya dilakukan jika mereka benarbenar lelah, atau kudanya yang butuh istirahat. Suatu saat ketika mereka
sedang beristirahat di sebuah penginapan, Tan Hoat terkaget-kaget
mendengar cerita dari Cio San

Ternyata Gobi-ciangbunjin (ketua partai Gobi) sudah meninggal.


Kedudukannya digantikan oleh pangcu yang baru. Sebelum meninggal ia telah
menunjuk pangcu yang baru bernama Bu Goatnikow Bhiksu wanita = Bikhu) ,
tetapi penunjukkan itu ditentang oleh banyak pihak dalam perguran
Gobipay. Bahkan pertentangan itu berubah menjadi perkelahian untuk
memperebutkan posisi Ciangbunjin.

Dalam Gobipay sendiri memang sudah terjadi pergesekan antar murid sejak
lama. Ini dimulai sejak jaman pengusiran bangsa Goan dulu, beberapa puluh
tahun yang lalu.

Dulu, pangcu yang sekarang telah meninggal itu menemukan kitab rangkuman
ilmu-ilmu tinggi sakti dan rahasia. Ilmu-ilmu sangat tinggi, dan bahkan
melegenda dalam dunia persilatan. Pangcu itu kemudian memutuskan untuk
mengajarkan ilmu-ilmu dalam perguran Gobipay.

Pertentangan timbul karena ternyata ilmu-ilmu tidak hanya berasal dari


ilmu kaum lurus, tapi juga ada ilmu-ilmu kaum sesat. Pihak yang menentang
merasa bahwa, perguran Gobipay harus terus mempertahankan ilmu asli
mereka yang berasal dari leluhur pendiri Gobipay. Sedangkan pihak yang
setuju merasa bahwa ilmu adalah ilmu, tergantung siapa yang
menggunakannya, dan digunakan untuk apa.

Lalu nikow Bu Goat itu berasal dari golongan mana? tanya Tan Hoat

Dari golongan yang setuju untuk mempelajari seluruh ilmu termasuk diluar
Gobipay. Karena beliau sendiri memang ditunjuk langsung oleh ketua Gobipay sebelumnya. jawab Cio San

Memang dari yang teecu dengar, pertentangan ini sudah berlangsung sejak
ciangbunjin terdahulu. Cuma karena ilmu beliau begitu sakti, tidak ada
yang berani melawan. Baru saat beliau meninggal dan menunjuk
penggantinya, baru para penentang itu berani melawan.

Ah..kacau juga ini....., eh lalu kau tau cerita ini dari siapa tanya
Tan Hoat lagi

Ayah dan ibu sering mengobrol jawab Cio San

Lalu kau mencuri dengar bukan? tanya Tan Hoat sambil tersenyum

Ciuo san hanya tersenyum. Tan Hoat menjewer telinganya sambil tersenyum,
Anak nakal, lain kali kau tidak boleh begitu. Laki-laki sejati. Tidak
mencuri. Tidak mencuri barang orang. Tidak mencuri istri orang, tidak
juga mencuri dengar pembicaraan orang

Anak mendengar gihu....

Sana tidur lah kau, besok pagi-pagi kita harus berangkat tukas Tan Hoat

Baik gihu, selamat tidur gihu

Tan Hoat mematikan penerangan kamarnya.

Besoknya, pagi-pagi sekali mereka


sudah disiapkan oleh pelayan. Tan
penginapan untuk menyiapkan bekal
Malah Tan Hoat yang bangun duluan

sudah siap berangkat. Perbakalan pun


Hoat memang memesan kepada pelayan
dan membangunkannya pagi-pagi sekali.
sebelum si pelayan.

Si pelayan kemudian tergopoh-gopoh membawakan bekal yang dipesan Tan


Hoat, sambil meminta maaf karena dia sendiri terlambat bangun.

Tidak apa-apa, tapi lain kali jangan begitu, nanti kamu dimarahi tamu
mu kata Tan Hoat

Setelah sarapan pagi, mereka berangkat. Naik satu kuda. Cio San duduk
dibagian depan.

Dulu thia-thia (ayah) suka sekali berkuda. Dia punya kuda yang bagus,
tapi katanya sudah dijual. Sayang anak tidak sempat belajar berkuda pada
thia-thia kata Cio San

Ayahmu sempat mengajarkan apa saja padamu? tanya Tan Hoat

Banyak. Yang paling sering ayah mengajarkan huruf-huruf. Anak sudah


mengenal banyak sekali huruf. Ayah juga sering menyuruh anak membaca
kitab-kitab kuno. Selesai berkata begitu ia melafalkan banyak sekali
ujar-ujaran. Yang ternyata itu merupakan isi kitab-kitab karya nabi
Konghu Chu.

Wah hafalanmu malah sepertinya lebih banyak dari gihu. Hahahahha Tan
Hoat berkata sambil tertawa.

Ibu kadang-kadang mengajarkan silat. Tapi anak tidak begitu tertarik


tukas Cio San

Kenapa tidak tertarik?

Anak tidak suka memukul orang jawan Cio San

Lalu, kalau kau dipukul orang apa kau tidak membalas? Tan Hoat bertanya

Kalau anak berbuat baik, mana mungkin dipukul orang? jawab Cio San
santai.

Ah kau.. Tan Hoat tidak bisa berkata-kata. Dia cuma bisa melanjutkan,
Kau ini masih kecil. Masih polos. Belum tahu dunia seperti apa. Nanti
kalau kau sudah besar, baru kau tahu bahwa ilmu silat itu penting sekali

Hmmm.. Cio San cuma menngangguk-angguk

Lalu, apa saja yang sudah diajarkan ibumu? tanya Tan Hoat

Cara berdiri, cara menangkis, cara memukul....lalu... Cio san terdiam


sebentar, ia lalu melanjutkan Banyak sekali gihu, hanyak anak yang bodoh
karena tidak begitu memperhatikan

Ah..aku jadi tertarik, coba kita istirahat sebentar dibawah pohon itu.
Lalu kau tunjukkan pada gihu, apa saja yang sudah diajarkan ibumu tegas
Tan Hoat

Baik gihu tukas Cio San

Setelah mengikat kuda dan meluruskan kaki sejenak, sambil duduk bersandar
dibawah pohon, Tan Hoat memerintahkan Cio San untuk menunjukkan gerakangerakan yang pernah dipelajarinya.

Cio San melakukannya dengan baik. Mulai dari Bhesi, atau kuda-kuda,
yang disebutnya sebagai 'cara berdiri', beberapa cara menangkis, dan
jurus memukul. Semuanya merupakan ilmu silat Gobipay.

Wah bagus, tapi kamu melakukannya tidak sungguh-sungguh. Seharusnya


begini Tan Hoat lalu bersilat. Kesemuanya gerakan yang tadi ditunjukkan
Cio San, tapi lebih tegas, lebih kuat, dan lebih cepat.

Kenapa kau diam saja? tanya Tan Hoat

Anak.....anak cepat sekali capai jika disuruh bersilat.. jawab Cio San

Ah jangan berkilah, ayo cepat lakukan seperti yang kutunjukkan tadi


tegas Tan Hoat

Cio san pun melakukan seperti yang diperintahkan. Namun tak beberapa
lama, dia sudah mulai ngos-ngosan, dan pucat. Tan Hoat segera melihat hal
ini dan menyuruhnya berhenti.

Ah ternyata betul kau lemah sambil berkata begitu ia memegang urat nadi
di pergelangan tangan anak itu

Hah? Tan Hoat heran, Organ dalam mu banyak yang lemah. Apakah kamu
pernah dipukul orang?

Tidak. Tapi kata ibu, anak lahir sebelum sembilan bulan., sejak kecil
anak sudah sakit-sakitan jawab Cio San

Ah kasihan sekali kau tak terasa Tan Hoat meneteskan airmata. Ia


memeluk anak kecil itu. Sejak lahir kau sudah menderita. Sepanjang
umurmu ini sudah sakit-sakitan. Malah kau sekarang yatim piatu....

Sejak saat itu, rasa sayang Tan Hoat terhadap Cio San lebih bertambah
lagi. Ia bertekad sepenuh jiwa untuk melindungi anak itu. Melakukan
apapun demi kebahagiaan Cio San. Anak dari saudara angkatnya. Anak yang
sekarang yatim piatu, anak yang sakit-sakitan, anak yang sungguh patut
dikasihani.

Beberapa hari kemudian, mereka sudah sampai ke Butongsan. Tan Hoat


langsung menuju ke makam Thio Sam Hong. Di sana ia berlutut dan bersujud
lama sekali. Di sana ia menumpahkan air mata. Saudara-saudara
seperguruannya pun membiarkan saja. Sepertinya memang hal itu sudah
sering terjadi saat anak murid butongpay yang baru mendengar kabar
kematian itu setelah 3 bulan itu tiba di kuburan itu.

Setelah puas menumpahkan kesedihan dan penghormatannya. Tan Hoat baru


membersihkan diri dan beristirahan sejenak. Lau ciangbunjin berada di
biliknya, dan tidak keluar dari pagi sampai sore. Berhubung saat itu
masih pagi, Tan Hoat menggunakan waktunya itu untuk menemui murid-murid
yang lain. Bercengkerama dan bertukar cerita. Sekaligus memperkenalkan
Cio San sebagai muridnya, dan juga menceritakan asal-usulnya.

Semua orang kagum mendengar bahwa anak itu adalah cucu dari Cio Hong Lim.
Panglima terkenal yang taktik perangnya banyak berhasil mengusir pasukan
penjajah Goan. Cio San sendiri bersikap santun dan merendah. Pada
dasarnya dia memang anak yang tidak suka tampil menonjol. Pembawaan yang
sebenarnya diturunkan dari kakeknya itu.

Ayahnya, Cio-siucay, atau sastrawan Cio. juga mewarisi sifat merendah


itu. Jika kakeknya lebih suka mengucilkan diri dan menjadi petani di
desa, ayah Cio San ini malah lebih suka mempelajari kitab-kitab kuno,
musik, dan sastra. Ia tidak mau menjadi menjadi pegawai di ibukota.
Padahal dengan gelarnya, ia bisa saja memiliki jabatan yang tinggi,
bahkan bekerja di istana kaisar, mengingat jasa-jasa Cio Hong Lim. Tapi
Cio-siucay malah lebih suka mendekatkan diri dengan keluarga.

Akhirnya sifat merendah dan tidak suka menonjolkan diri itu pun mengalir
jugalah kedalam jiwa Cio San. Ia paling tidak suka dipuji. Paling tidak
suka menjilat-jilat. Tapi tutur katanya sopan, polos, dan jujur. Itulah
kenapa murid-murid Butong yang lain langsung suka padanya. Padahal mereka
baru beberapa saat kenal dengan dia.

Hari itu ternyata ada 3 murid butong yang pulang ke Butongsan. Selain Tan
Hoat, ada juga Wan Siau Ji, dan Kwee Leng. Keduanya turut membawa murid
pula. Dan yang mereka lakukan persis sama dengan yang dilakukan Tan Hoat
ketika pertama kali sampai ke Butongsan. Yaitu bersujud di makam Thio Sam
Hong. Lalu kemudian bercengkerama dan bertukar cerita. Setelah agak siang
murid-murid angkatan 3 yang baru pulang itu kemudian istirahat. Sambil
menanti sore untuk bertemu dengan Lau-ciangbunjin. Ketua mereka yang
baru.

Sore pun tiba, Lau Tian Liong keluar dari biliknya. Usianya sudah 70
tahunan, tapi raut mukanya terhiat lebih muda. Benar juga kata orang yang
bilang bahwa ilmu-ilmu Butomgpay bisa membuat orang jadi awet muda.

Ciangbunjin partai Butong ini malah berkeliling melihat keadaan


perguruan. Dari murid-muridnya ia mendengar bahwa 3 orang murid angkatan
ketiga sudah pulang, dengan membawa murid masing-masing. Ia lalu
berkunjung ke kamar-kamar murid itu. Hal ini menunjukkan kerendahan hati
sang ciangbunjin. Padahal sebagai ciangbunjin (kepala partai besar), ia
bisa saja memerintahkan para murid menghadapnya di biliknya sendiri.

Pintu kamar Tan Hoat diketuk orang. Padahal ia tidak mendengar langkah
seorang pun yang mendekat. Seperti tersadar, ia lalu berlari cepat
membuka pintu, setelah itu ia berlutut, dan berkata, Teecu, Tan Hoat
berlaku tidak sopan, tidak mengetahui kedatangan ciangbunjin. Apakah
ciangbunjin sehat-sehat saja?

Ah jangan terlalu banya adat, berdirilah sambil berkata begitu ia


mengangkat Tan Hoat.

Begitu tangannya menempel ke tangan Tan Hoat, seperti ada getaran tenaga
besar yang menghantam Tan Hoat. Ia sadar. Rupanya sang ciangbunjin sedang
mengujinya. Tan Hoat tidak melawan desakan tenaga besar itu, ia malah
menerimanya dengan ilmu Thay kek kun. Ilmu lembut ciptaan Thio Sam Hong.
Desakan tenaga itu malah punah seperti hilang ditelan samudra yang luas.

Lau Tian Long tersenyum, ia berkata Bagus, ilmumu meningkat. Tidak


percuma kau mengaku angkatan ke 3

Atas petuah-petuah suhu, teecu berhasil sampai ke tingkat 6 thay kek


kun

Bagus-bagus. Teruslah berlatih. Aku ini hanya berhasil mencapai tingkat


11. Aku sudah memutar otak mencari rahasia tingkat ke 12, tapi masih saja
otak bebalku ini tidak bisa memecahkannya. Mudah-mudahan nanti kau yang
bisa memecahkannya kata Lau-ciangbunjin pelan

Ketika Tan Hoat baru membuka mulut menjawab, Lau-ciangbunjin sudah


memotong dengan pertanyaan 'Eh mana muridmu, aku belum melihatnya

Dia sedang berkenalan dengan murid-murid yang lain. Teecu menyuruhnya


memperkenalkan diri ke bilik-bilik murid angkatan 7, dan 6.

Oh baiklah kalau begitu. Nanti malam aku akan kesini lagi untuk
melihatnya

Teecu akan menyuruhnya ke bilik suhu saja kata Tan Hoat cepat. Memang
sudah menjadi kebiasaan di Butongpay untuk memanggil ketua mereka sebagai
'Suhu' atau guru, dan membahasakan diri sendiri sebagai Teecu atau murid.

Tidak usah biar aku saja yang kesini lagi, nah kau istirahatlah, nanti
malam kita bercerita ya Lau Tian Liong pun pergi. Lebih tepatnya
menghilang.

Ilmu suhu semakin hebat saja Tan Hoat hanya menggeleng-geleng. Ah aku
sampai lupa memberinya selamat atas pengangkatan menjadi ciangbunjin...

Malamnya, Lau-ciangbunjin memang benar-benar mengunjungi kamar Tan Hoat


untuk berbincang-bincang. Cio San sudah menggunakan pakaian terbaiknya
yang didapatkan dari pemberian orang-orang desa. Setelah memberi salam
dan penghormatan, Ia memperkenalkan dirinya,

Boanpwee (artinya saya yang rendah, ini cara membahasakan diri yang
sopan, jika berbicara dengan orang yang tingkatannya lebih tinggi)
bernama Cio San, ayah boanpwee bernama Cio Kim, dan ibu boanpwee bernama
Li Swat Ing katanya

She Cio, ada hubungan dengan jendral Cio Hong Lim? tanya Lauciangbunjin

Beliau adalah kong-kong (kakek) boanpwee jawab Cio San

Ah kau keturunan orang besar rupanya, bagus-bagus. Eh nafasmu kenapa


berat, dan wajahmu pucat sambil bicara begitu, Lau-ciangbunjin meraih
tangan Cio San, dan memeriksa nadinya.

Boanpwee dalam kandungan ibu tidak lengkap 9 bulan. Jadi kata ibu, tubuh
boanpwee lemah dan sering sakit-sakitan kata Cio San perlahan

Aih.., tak apa-tak apa... Lau-Ciangbunjin seperti membatin

Boanpwee sering terkena serangan sesak nafas, dan sering lemah. Harap
ciangbunjin maafkan. Jika nanti dikira boanpwee merepotkan butongpay,
lebih baik boanpwee tidak... ucapan Cio San itu dipotong Lau-pangcu

Ah bicara apa kau ini. Butongpay punya ilmu hebat-hebat. Nanti pasti
bisa menolong kesehatanmu jika kau rajin berlatih

Terima kasih ciangbunjin Cio San berkata dengan penuh hormat

Hmmm, kau sudah memperoleh ijin dari kedua orang tuamu bukan? Untuk
menjadi anak murid butongpay? tanya Lau-pangcu

Eh..orang tua boanpwee baru saja meninggal. Boanpwee lalu dititipkan


kepada Tan-gihu (ayah angkat Tan) Cio San menjawab perlahan

Oh.. Lau-pangcu merasa pasti sudah terjadi sesuatu, lalu ia


melanjutkan, Kau istirahlah Cio San, nanti mudah-mudahan beberapa hari
lagi kalau murid-murid baru sudah terkumpul semua, kita adakan upacara
penerimaan murid. Untuk sementara, kau nikmati dulu suasana Butong san
(gunung Butong) ini, dan berkenalan dengan yang lain

Baik ciangbunjin, terima kasih kata Cio San

Tan Hoat, ikutlah ke bilikku, ada beberapa hal penting yang ingin
kubicarakan

Setelah sampai di bilik, Lau Tan Liong mulai bertanya,

Apa yang sebenarnya terjadi dengan Cio San?

Keluarganya semua dibantai, kakeknya, ayah ibunya, seluruh keluarganya


dibantai dalam waktu yang hampir berdekatan jawab Tan Hoat

Hmm...kau sudah tau siapa pelakunya?

Belum suhu..akan teecu selidiki nanti, teecu masih sungkan bertanya


kepada Cio San. Khawatir dia jadi sedih kata Tan Hoat

Ya..ya selidikilah setuntas mungkin. Aku khawatir banyak orang yang


dendam terhadap keluarganya. Untunglah kau menemukannya dan cepat
membawanya kesini. Di Butongsan kita bisa menjaganya kata Lau Tian
Liong, ia melanjutkan, Ada hal penting lain yang ingin kubicarakan
denganmu

Teecu siap menerima perintah

Sebelum thay-suhu (guru besar) Thio Sam Hong meninggal, beliau


sebenarnya berhasil menciptakan sebuah ilmu yang jauh lebih dahsyat dari
Thay kek kun!

Tan Hoat hanya berdecak kagum dalam hati

Lau-ciangbunjin berkata, Aku sendiri sudah mencoba kedahsyatan ilmu itu.


ah...kesaktian thay-suhu memang tak bisa diukur lagi... ia berhenti
sebentar Sayangnya guru belum menurunkan ilmu itu kepada siapapun...

Ah..... Tan Hoat tak bisa berkata apa-apa

Tapi beliau sempat memberi aku petunjuk, yang sampai sekarang tidak bisa
kupecahkan, beliau berkata, Segala itu hampa. Memiliki ilmu sebenarnya
tidak memiliki ilmu. Tidak memiliki ilmu sebenarnya yang paling sakti
diantara semua

Bukankah itu ujar-ujaran kuno..suhu? tanya Tan Hoat

Benar...tapi apa hubungannya dengan ilmu silat ciptaan guru itu?. Eh


tapi ada lagi sambungannya, beliau berkata: Segala yang bukan ilmu silat,
adalah ilmu silat

Tan Hoat diam karena berpikir keras tentang ujar-ujaran guru besarnya itu

Eh apakah suhu sempat melihat bagaimana jurus-jurusnya?

Aku..aku, sebenarnya sempat mencoba ilmu itu. Aku memukul thay-suhu satu
kali, hanya satu kali saja. Beliau tidak memasang kuda-kuda, tidak
menangkis, juga tidak memukul...

lalu.... Tan Hoat bertanya penasaran

Sebelum pukulanku sampai, beliau sudah menyentuh pundakku, saat itu


sepertinya seluruh kekuatan hilang, beliau lalu berbisik: berlatihlah
terus.....

Hah?

Iya, ilmu beliau itu seperti tanpa jurus dan kuda-kuda. Sepertinya
beliau hanya berjalan saja menuju aku, menyambut pukulan itu
seperti...seperti pukulanku hanya berupa uluran tangan....

Tan Hoat hanya menggeleng-geleng, memang kesaktian Thay-suhunya itu sudah


tidak bisa diukur lagi. Padahal Lau Tian Long sudah memiliki ilmu kelas
tinggi yang menempatkannya di puncak nama-nama dunia kang-ouw, bahkan
setara dengan pemimpin Siaulimpay (Partai shao lin) sekarang. Nama Lau
Tian Long mungkin sekarang termasuk 3 besar orang yang paling tinggi
ilmunya di dunia kang-ouw. Bisa dibayangkan betapa tingginya ilmu Thio
Sam Hong yang mampu mengalahkan Lau-pangcu dalam satu pukulan saja!

Pikir-pikirkanlah ucapan thay-suhu yang tadi kuceritakan padamu. Otakmu


cerdas, dan pikiranmu tajam

Teecu sudah hafal dan akan teecu pikirkan terus suhu... kata Tan Hoat

Baiklah, jangan kau ceritakan ini kepada murid lain. Aku menceritakan
ini hanya kepadamu saja kata Lau-pangcu

Eh..kenapa suhu?

Ah sungguh berat mengatakannya, aku tak tahu harus memulainya dari


mana...

Lalu Lau Tian Lioang melanjutkan, Sebelum thay-suhu meninggal, beliau


bercerita bahwa di dunia kang-ouw ini, ada sebuah kitab rahasia ilmu

silat yang sampai sekarang belum ditemukan orang. Kitab itu adalah kitab
tulisan Tat-mo. Kita tahu bahwa Tat-mo sendiri adalah pencipta ilmu
silat. Seluruh jurus, dan aliran ilmu silat yang ada sekarang, bersumber
dari kitab itu. Kitab itu tersembunyi di suatu tempat rahasia. Thay-suhu
Thio Sam Hong memerintahkan aku untuk menugaskan salah satu murid
Butongpay untuk menyelidiki keberadaan kitab itu. Bukan karena thay-suhu
ingin kita menguasai isi kitab itu, tetapi untuk menjaganya dari tangantangan sesat. Bisa kau bayangkan betapa hebohnya jika kitab itu nanti
jadi rebutan semua aliran

Lau Tian Long melanjutkan,

Semua pelajaran ilmu pernafasan, ilmu silat, dan ilmu-ilmu lainnya


bersumber dari kitab itu. Dulu seratus tahun lebih, sempat ada kitab
serupa yang jadi rebutan pendekar-pendekar kang-ouw. Tapi kitab rebutan
itu hanya berupa ringkasan dari kitab tulisan Tat-mo itu. Bisa kau
bayangkan, kitab ringkasan saja, sudah bisa menghasilkan ilmu-ilmu
dahsyat yang tiada tanding, apalagi kitab aslinya

Thay suhu berkata, bahwa ilmu thay-suhu sendiri sebenarnya belumlah


menyamai isi kitab Tat-mo itu. Tapi pemahaman beliau sebenarnya sudah
bisa menjangkau isi kitab itu. Sayang sebelum beliau sempat memberi aku
petunjuk-petunjuk, beliau sudah keburu meninggal. Hanya ujaran-ujaran
yang tadi aku sampaikan padamu itu yang sempat disampaikan guru kepadaku

Jadi sekarang, aku harus merepotkanmu untuk menyelidiki keberadaan kitab


ini. Lakukan secara rahasia, jangan sampai menimbulkan kehebohan di dunia
kang-ouw. Menurut thay-suhu, keberadaan kitab itu mungkin hanya diketahui
tidak lebih dari 3 orang.

Teecu siap berangkat saat ini juga, jika itu perintah suhu tegas Tan
Hoat

Jangan, beberapa hari lagi saja. Nanti bisa menimbulkan kecurigaan jika
kau langsung berangkat, padahal baru saja sampai di Butongsan.
Istirahatlah dulu. Pergunakan waktumu untuk memberi petunjuk-petunjuk
dasar ilmu Butongpay pada muridmu. Walaupun ia belum resmi diangkat
menjadi murid Butongpay, secara tidak langsung ia berhak belajar dasar
ilmu Butongpay karena ia sudah menjadi anak angkatmu

Teecu siap laksanakan perintah

Nah, pergilah

Setelah mengucap salam dan menghaturkan hormat, Tan Hoat meninggalkan


kamar Lau Tian Long. Hatinya tidak enak mendengar adanya kabar kitab Tatmo itu. Dunia kang-ouw pasti akan heboh tidak lama lagi.

Sekitar 10 hari kemudian, seluruh murid angkatan ketiga sudah kembali,


dan membawa muridnya masing-masing. Dua hari setelah itu diadakan upacara
penerimaan murid. Upacara ini merupakan salah satu acara besar di
Butongpay, oleh karena itu harus diikuti oleh seluruh murid Butongpay,
kecuali yang mendapat tugas lain seperti berjaga, ronda, atau mengurus
pekerjaan 'rumah tangga' seperti memasak, mengurusi air, bersih-bersih,
atau mengurus ternak.

Balai yang digunakan untuk upacara ini adalah balai utama. Ukurannya
besar, dan sanggup menampung seluruh murid Butongpay. Bahkan masih
sanggup lagi menampung beberapa ratus orang lagi. Banyak sekali kejadian
di ruangan ini sejak dahulu. Seperti kekacauan acara peringatan ulang
tahun Thio Sam Hong ke 100. Saat itu Butongpay kedatangan banyak 'tamu'
yang ingin memberi selamat, namun maksud sebenarnya untuk memperebutkan
benda-benda perebutan dunia kang-ouw

Ada juga penyerbuan yang dilakukan seorang putri Goan beserta anak
buahnya. Penyerbuan ini berhasil digagalkan murid kesayangan Thio Sam
Hong dulu itu. Malah akhirnya, murid kesayangan itu jatuh hati dan
menikah dengan sang putri Goan, lalu menghilang dan menyepi entah kemana.

Banyak lagi cerita-cerita mengharukan yang terjadi di balai utama ini.


Maka memang ada suasana haru yang timbul di hati para murid jika memasuki
ruangan ini. Apalagi bayangan thay-suhu mereka masih membekas di ingatan
mereka kala memimpin upacara-upacara. Ada suasana syahdu, dan sendu yang
mengiringi suasana sakral jika memasuki ruangan ini.

Murid-murid sudah berbaris rapi. Para tianglo (penasehat) dari sang


ciangbunjin sudah hadir, dan berada di posisi samping dari mimbar pangcu.
Tapi pangcu sendiri belum datang.

Beberapa murid membaca ujar-ujaran dari kitab kuno, dan juga ujar-ujaran
Thio Sam Hong.

Ciangbunjin memasuki balai utama terdengar teriakan dari sudut ruangan

Semua orang lalu berlutut. Ini adalah ciangbunjin pertama sejak kepergian
Thio Sam Hong. Wibawanya tidak seperti Thio Sam Hong. Wibawa siapapun
TIDAK AKAN mungkin seperti Thio Sam Hong. Tapi Lau-ciangbunjin memiliki
wibawa sebagai seorang ciangbunjin. Itu saja sudah cukup.

Murid-murid Butongpay, kini kita berkumpul untuk melakukan upacara


penerimaan murid baru. Murid baru ini adalah murid-murid pilihan, yang
cara pencariannya agak sedikit berbeda, dari cara-cara dahulu.

Seperti kita semua tahu, Butong harus menambah banyak murid berbakat.
Kepergian Thay-Suhu membuat kita harus rajin berbenah. Tidak ada satupun
murid yang bisa lulus ujian naik ke tingkat 4. Sehingga kami, memutuskan
untuk mencari banyak murid berbakat, melalui cara yang sedikit berbeda,
agar Butong tidak kekurangan murid-murid hebat nantinya.

Bagi kalian yang sudah menjadi murid Butong. Berlatihlah lebih giat
untuk bisa mengharumkan nama perguruan Butong. Yang terpenting, kalian
harus bisa mengharumkan nama bangsa ini ke semua penjuru bumi

Saat ini, Butong kedatangan 15 murid baru. Mereka telah melewati syaratsyarat yang ditetapkan. Mereka berasal dari keluarga dan keturunan yang
jelas. Memiliki bakat, dan tubuh, dan tulang yang cocok untuk belajar
ilmu silat. Kecuali Cio San, yang memiliki masalah kesehatan. Ia diterima
karena walaupun sering sakit, dan mempunyai tubuh yang lemah, ia memiliki
susunan tulang yang bagus untuk belajar silat. Iya juga memiliki
ketertarikan untuk belajar kitab-kitab kuno, dan kitab nabi-nabi. Kita
sedang kekurangan murid-murid yang mempelajari ilmu surat, karena selama
ini kita terlalu memusatkan perhatian untuk mempelajari ilmu silat. Ini
mungkin disebabkan pergolakan perang pengusiran penjajah dulu.

Sekarang kita harus menata lagi perguruan ini, karena kita sudah
ditinggal oleh thay-suhu. Aku harap seluruh murid Butongpay, mendukung
rencana-rencana ini, dan melakukan yang terbaik untuk mendukungnya

Murid siap menaati perintah jawaban ratusan murid Butongpay menggema di


dalam balai utama.

Aku memanggil kelima belas calon murid Butongpay... Lau Tian Long lalu
menyebutkan nama-nama itu.

Kelima belas nama murid itu, termasuk Cio San lalu maju kedepan. Mereka
semua memang sudah diajarkan tata cara upacara penerimaan murid ini
sebelumnya.

Ucapkanlah sumpah setia Butong ini, tirukan kata-kataku.... perintah


sang ciangbunjin

Terdengar Lau Tian Long mengucapkan sumpah yang ditirukan oleh kelima
belas murid baru itu. Isi ucapan sumpah itu tidak begitu panjang. Intinya
semua murid Butong menyatakan tunduk dan patuh kepada semua aturan yang
ada di Butongpay.

Butong Pay

Bab 3: Kehidupan di Butong-san

Kelima belas murid pilihan itu ternyata memang tidak mengecewakan. Hanya
dalam beberapa tahun saja, ilmu silat mereka mulai terlihat istimewa. Ini
mungkin karena bakat mereka memang besar. Ditambah lagi dengan kenyataan
bahwa hampir seluruh kelima belas murid itu sebelumnya memang sudah
digembleng ilmu silat sebelum masuk ke Butongpay. Mereka sebagian besar
berasal dari keturunan ahli silat, atau keluarga terpandang.

Hal ini berbeda dengan Cio San, yang sama sekali berbeda latar
belakangnya. Walaupun ia adalah anak dari seorang ahli silat Gobi-pay, ia
tidak diajarkan silat secara mendalam oleh ibunya. Karena tubuhnya memang
lemah sejak lahir. Memang ibunya pernah sedikit menunjukkan gerakan silat
Gobipay padanya. Tapi karena kondisi tubuhnya yang lemah, latihan silat
itu tidak diteruskan. Jadi, bisa dibilang Cio San itu memang tidak bisa
ilmu silat. Walaupun ia paham sedikit-sedikit gerakan silat. Ayahnya pun
juga bukan seorang ahli silat. Malah ayahnya adalah seorang sastrawan,
yang mana golongan sastrawan seperti ini memang dikenal lemah lembut
tingkah lakunya. Tidak menyukai kekerasan seperti adanya orang kang ouw
(dunia persilatan).

Namun walaupun tidak begitu berbakat dalam ilmu silat, Cio San sangat
berbakat dalam ilmu surat (sastra). Pengetahuannya tentang huruf-huruf
kuno sangat banyak. Ini mungkin karena sejak kecil ia memang sudah
diajarkan ayahnya. Karena pengetahuan dan bakat ini jugalah yang membuat
ia kemudian diterima ke dalam rencana pencarian bakat Butongpay. Ditambah
kenyataan bahwa dulu kakeknya adalah orang yang sangat dekat dengan
Butongpay.

Setiap anggota 15 murid pilihan ini, mempunyai guru pengawasnya sendirisendiri. Guru pengawas adalah orang yang bertanggung jawab langsung atas
masing-masing anggota 15 naga muda ini. Guru pengawas ini adalah orang
yang dulu membawa murid ke Butong pay. Seperti Tan Hoat yang menjadi guru
pengawas bagi Cio San.

Guru pengawas berkewajiban untuk mendidik langsung, mengajari, dan


memperhatikan kemajuan murid yang dibawahinya. Jadi ada 15 guru pengawas,
yang satu persatu bertugas untuk mengawasi dan mendidik masing-masing 15
murid tersebut.

Selain guru pengawas, ada juga guru umum, yang hanya bertugas melatih
mereka. Namun tidak berkewajiban untuk bertanggung jawab sepenuhnya
terhadap 15 naga muda, seperti kewajiban guru pengawas

Butong pay

Sekarang, beberapa tahun telah lewat. Kelima belas murid pilihan


Butongpay itu telah berusia belasan tahun. Yang paling tua diantara
mereka berumur 18 tahun. Sedangkan yang paling muda adalah Cio San, saat
ini ia terlah berumur 16 tahun.

Sebutan '15 Naga Muda Butongpay' adalah istilah yang dipakai untuk kelima
belas murid istimewa ini.
Murid-murid pilihan ini walaupun mendapat perlakuan istimewa dari seluruh
Butong, tidak serta merta membuat hidup mereka enak. Mereka harus
berlatih lebih giat, dengan lama waktu latihan yang jauh lebih lama dari
murid biasa. Latihan mereka pun lebih berat.

Mereka juga harus tunduk kepada murid yang lebih tinggi golongannya, dan
yang lebih dahulu masuk sebelum mereka. Jadi walaupun istimewa, kelima
belas murid pilihan ini malah menjalani kehidupan yang lebih berat dalam
Butongpay.

Terutama Cio San. Tubuhnya yang paling lemah diantara kelima belas orang
itu. Ilmu silatnya juga yang paling ketinggalan. Apalagi, sang guru
pengawasnya, Tan Hoat, sering naik turun Butongpay karena tugas perguruan
selama beberapa tahun ini, sehingga Cio San juga menjadi jauh tertinggal
dengan 15 naga muda yang lain.

Posisinya sebagai salah satu dari kelima belas murid yang dianggap
istimewa itu, malah menjadikannya sasaran empuk dari rasa iri murid-murid
lain yang tidak termasuk dalam barisan 15 naga muda itu.

Seperti yang terjadi sekarang ini.

Cio San kebetulan lewat dihadapan sekumpulan murid yang sedang berlatih
ilmu totok Butongpay.

Nah Cio San, mumpung sekarang kamu ada. Kami sedang berlatih ilmu totok
yang baru kemarin bisa kami kuasai dengan baik. Bagaimana kalau kita
berlatih bersama? tanya A Pao, salah seorang murid Butongpay yang
bertubuh tinggi besar.

Ah maaf suheng (kakak seperguruan), saya capek sekali, kebetulan ini


baru selesai latihan pernafasan tingkat 5, lain kali saja ya? sambil
bicara begitu dia tersenyum,

Heh? Anggota '15 Naga Muda' baru sampai pada pernafasan tingkatan 5?
kami saja yang murid 'Biasa' sudah sampai di tingkat 7. Kalian itu
belajar apa saja sih? A Pao berkata sambil tertawa, yang juga ditimpali
gelak tawa teman-temannya yang lain.

Ah sebenarnya yang lain sudah sampai pada tingkat 11, cuma saya memang
kurang bakat, jadinya yah harus mengulang-ngulang terus pelajarannya
jawab Cio San sambil mencubit-cubit kupingnya sendiri dan tertawa.

Nah, karena kau itu suka mengulang-ngulang latihan, bagaimana jika


sekalian kau mengulang juga latihan ilmu totok bersama kami? kata A Pao.

Aduh suheng, sungguh badan saya pegal-pegal semua. Saya takut malah
tidak bisa latihan dengan baik jawab Cio San

Alah sudahlah ayo latihan. Pasang kuda-kuda ya. Lihat jurus! sambil
berteriak, A Pao langsung melancarkan jurusnya tanpa menanti jawaban dari
Cio San.

Gerakannya cepat. Tidak malu sebagai anak murid Butong. Ia mengincar


sebuah titik di daerah dada kiri Cio San. Diserang seperti itu Cio San
tidak kaget. Ia bersikap tenang dan menerima serangan itu dengan gerakan
menyapu dengan tangan kiri. Gerakan menyapu ini adalah bagian dari
gerakan dasar Thay Kek Kun ciptaan mendiang Thio Sam Hong. Dilakukan
dengan lembut dan mengalir.

Saat serangan pertamanya berhasil dipunahkan, A Pao menggunakan tangan


kirinya untuk mengincar sebuat titik di pelipis kanan Cio San. Melihat
serangan ini, Cio San hanya memutar lehernya mengikuti aliran serangan,
sehingga serangan totokan itu hanya lewat di depan matanya.

Melihat dua serangannya gagal, A Pao semakin bersemangat untuk menyerang.


Gerakannya semakin cepat, namun gerakan Cio San juga tak kalah cepat.

Setelah beberapa lama beradu silat, keringat mulai terliat di dahi Cio
San. Ia memang gampang sekali capek. Sistem kerja organ dalam tubuhnya
memang kurang baik sehingga membuatnya susah mengendalikan pernafasan,
yang membuatnya mudah letih. Itulah juga sebabnya ia masih mengulangngulang pelajaran pernafasan tingkah 5.

Melihat lawannya sudah mulai kedodoran, A Pao melencarkan serangannya


lebih cepat lagi. Bagi orang Butong, gerakan kedua orang ini biasa-biasa
saja. Tapi bagi orang luar, apalagi bagi orang yang tidak mengerti ilmu
silat, kedua orang murid Butong ini bergerak sangat cepat dan juga indah.

Menghadap gerakan cepat ini, Cio San mulai terdesak. Ia sudah tidak bisa
menghindar seperti tadi lagi. Ia tidak mencoba menyerang karena sibuk
terus mempartahankan diri. Karena kalah cepat, Cio San memilih langkahlangkah mundur sambil mengelak sebiasanya. A Pao yang merasa dirinya
diatas angin semakin mendesak Cio San yang terus merangsak mundur.

Sesekali tubuh Cio San terkena serangan totokan jari A Pao. Tapi karena
memang mereka belum terlalu menguasai penyaluran tenaga ke jari-jari,
hasil serangan ini hanya cukup menyakiti saja namun tidak sampai
menimbulkan akibat yang fatal.

Cio San lalu berkata, Suheng, saya mengaku kalah, seranganmu hebat
sekali sambil berkata begitu ia memberi hormat. A Pao yang masih
penasaran karena belum bisa menjatuhkan anggota '15 Naga Muda' tidak
menghentikan serangannya.

Ah... Cio San hanya mendesah. Sudah sering ia menerima perlakuan


seperti ini. Banyak sekali anggota Butong 'Biasa' yang ingin menjajal dan
mengalahkan anggota '15 Naga Muda'. Dan selalu yang menjadi sasaran
adalah Cio San. Ini mungkin karena dia dianggap yang paling lemah dan
paling ketinggalan ilmunya. Bagi murid 'Biasa'. Menjatuhkan salah seorang
anggota '15 Naga Muda' itu adalah sebuah kehormatan, maka dijajal lah
anggotanya yang paling lemah.

Sudah amat sering Cio San mengaku kalah, namun mereka selalu ingin
menjatuhkannya dulu. Bagi sebagian orang, memang jauh lebih menyenangkan
memukul jatuh lawan, ketimbang mendengar dia minta menyerah saja.

Sering juga Cio San babak belur karena dihajar mereka. Apa daya? Dia
memang paling lemah, dan merupakan sasaran empuk bagi mereka yang iri
akan kedudukan '15 Naga Muda'. Tapi Cio San memang tidak pernah mengeluh.
Perlakuan seperti itu malah semakin membuatnya rajin berlatih. Terkadang
ia ditertawai orang karena dianggap tidak pantas menjadi bagian '15 Naga
Muda'. Kadang ia malah terluka, karena serangan-serangan mereka selalu
dilancarkan dengan niat melukai, bukan dengan niat berlatih.

Dalam '15 Naga Muda', ia sendiri juga mengalami hal yang tidak
mengenakkan. Ia selalu dimarahi dan dikerasi oelh guru-gurunya karena
kemajuan ilmunya yang lambat. Kadang-kadang gihu dan sekaligus guru
pengawasnya, Tan Hoat bahkan kehilangan kesabaran dengan menghukumnya.
Memang bukan hukuman berat, cuma sekedar membersihkan dapur, atau
mengurusi ternak-ternak babi milik Butong. Cio San pun juga tidak
mendendam terhadap gurunya itu, karena ia tahu gurunya bermaksud baik
untuk memacunya lebih bersemangat latihan.

Kadang juga ia melihat pandangan 'menghina' dari sesama anggota '15 Naga
Muda'. Para anggota ini menilai Cio San tidak pantas menjadi murid
unggulan seperti mereka dan sering memperlakukannya dengan tidak baik.
Seperti menertawainya, mengatakannya dengan berbagi perkataan yang
menyinggung, bahkan juga mengerjainya saat latihan. Seperti mempelorotkan
celananya saat ia latihan kuda-kuda, menyiraminya dengan kotoran babi
dengan alasan 'tidak sengaja' dan lain-lain.

Cio San tidak pernah melaporkan perlakuan ini kepada guru-gurunya. Ia


menganggap itu hanya candaan belaka. Sering ia tersenyum dalam menghadapi
semua itu. Tapi kadang ia juga menangis sendirian saat sedang mandi, atau
saat tidur. Ia malu memperlihatkan kelemahannya. Seorang laki-laki harus
sanggup menghadapi cobaan apapun dalam hidupnya. Begitu kata ayahnya
dahulu.

Kekuatan dan ketabahan hati Cio San ini, malah membuat orang semakin
tidak suka padanya, dan semakin ingin mengerjainya, karena mereka tahu
Cio San tidak akan mengadukannya kepada guru-guru mereka. Perlakukan
mereka terhadap Cio San semakin tidak mengenakan. Ia bahkan lebih sering
berlatih sendirian. Karena sepertinya kawan sesama 15 Naga Muda sudah
tidak lagi menganggap dirinya.

Semua kejadian tidak mengenakkan ini lewat di dalam pikirannya dalam


sekejap mata, saat ia menghadapi serangan A Pao. Tidak terasa matanya
berkaca-kaca, air matanya meleleh. Pemusatan pikiran terhadap pertarungan
pun buyar seketika.

Seluruh serangan A Pao pun tepat mengenai sasarannya. Cio San terjatuh
dan mengeluh kesakitan. Ulu hatinya terasa sakit sekali. Dalam sekali
serangan, A Pao menyerang lima titik di tubuhnya, hasilnya ulu hatinya
seperti ditendang 10 kuda.

Nafasnya tersengal-sengal. Tapi murid-murid lain malah menertawainya.

Anggota 15 Naga Muda, menangis saat diserang, hahahahha mereka


berteriak sambil tertawa. Suara teriakan, hinaan, dan tawa itu terasa
jauh lebih menyakitkan daripada rasa sakit di ulu hatinya. Ia hanya
menutup mata, air matanya mengalir.

Sesudah itu dia pingsan

Saat siuman, ia merasa perutnya sakit sekali. Cio San kini sedang berada
di biliknya sendiri. Ia terbaring diatas tempat tidurnya. Ada bau ramuan
obat. Mungkin juga bau ini yang membuatnya tersadar. Di samping tempat
tidur Cio San, Tan Hoat, sang gihu duduk disebuah bangku kayu kecil.

Raut wajahnya kelam sekali. Biasanya gihunya ini tidak seperti ini
wajahnya. Tan Hoat baru kembali dari tugas perguruan. Selama beberapa
tahun ini, Tan Hoat memang sering sekali naik turun gunung untuk
menunaikan tugas perguran. Melihat ada gihunya di sampingnya, Cio San
merasa senang sekali, namun kemudian gihunya bertanya dengan ketus,

Kau sudah siuman? kata gurunya

Iya gihu jawab Cio San. Ada rasa tidak enak di ulu hatinya ketika ia
berbicara

Orang-orang bilang kau menangis karena menerima serangan A Pao?

Cio San menutup matanya. Ia tidak menangis karena serangan A Pao. Ia


menangis karena merasa tidak diperlakuakan dengan adil oleh saudarasaudara seperguruannya sendiri. Tapi bagaiman ia menceritakan ini kepada
gurunya. Selama ini gurunya tidak pernah tahu akan perlakukan mereka
terhadapnya. Jika kemudian ia bercerita, bukankah nanti ia akan dianggap
mencari-cari alasan. Apalagi jika nanti kalau dia bercerita, dan semua
orang itu menyangkal ceritanya, maka hasilnya akan lebih parah lagi. Ia
akan semakin tersudut.

Iya gihu Cio San menjawab pelan.

Gihunya juga hanya berbicara dengan pelan, namun kata-katanya menusuk


sekali

Kau....kau membuatku malu. Kau membuat semua murid Butongpay malu.


Seorang laki-laki lebih baik mati di dalam pertempuran, daripada menangis
ketakutan dalam perkelahian

Maafkan teecu (murid), guru....teecu... Cio San juga sudah tidak bisa
berkata apa-apa lagi.

Suhu (guru) sekaligus gihunya itu berdiri lalu keluar dari bilik itu.
Berjalan dengan gontai

Cio San hanya menghela nafas. Ia menangis lagi. Ia sudah mempermalukan


gurunya.

Ia tidak pernah menangis karena rasa takut. Ia tidak menangis karena


kesakitan. Tidak. Ia menangis karena kemarahan. Karena perlakukan tidak
adil. Iya benar! Ia menangis karena melihat ketidakadilan. Ia lalu
teringat ayahnya lagi yang dulu pernah berkata, Laki-laki hanya pantas
meneteskan airmata karena melihat penindasan.

Cio San berpikir, apakah memang ia menangis karena alasan itu. Semakin
lama ia berpikir. Akhirnya ia tersadar. Yang dimaksudkan ayahnya adalah
'penindasan' terhadap orang lain. Jika penindasan itu terjadi kepada
dirinya, maka itu bukanlah penindasan. Tapi itu karena ia tidak mampu
membela dirinya sendiri.

Kesadaran berpikir seperti ini, bagi anak berumur 12 tahun sebenarnya


boleh juga dibilang ajaib. Biasanya anak-anak itu lebih suka mencari
pembenaran dan membela diri. Tapi Cio San sudah mulai paham bahwa,
jangan-jangan ia memang hanya mencari pembenaran.

Dalam hati ia menguatkan dirinya. Ia harus menerima resiko karena


kelemahannya sendiri. Apapun nanti hukumannya, harus ia terima dengan
berani. Ia tidak boleh menangis lagi. Ia tidak boleh membuat gihunya
kecewa dan marah lagi seperti tadi. Dan yang lebih penting, ia tidak
boleh LEMAH lagi.

Akhirnya ia tersenyum. Senyum pahit yang selalu dilakukannya. Tapi senyum


seperti itu terkadang memang bisa mengobati luka hatinya. Luka hati siapa
saja.

Bab 4: Hukuman di Puncak Gunung

Setelah mendapat sedikit perawatan dari gurunya, Cio San merasa lebih
baik. Selama 3 hari gihunya merawatnya dengan memberi obat-obatan dari
ramuan-ramuan rebusan daun. Pahit sekali rasanya. Tapi Cio San merasa
pahitnya obat itu masih kalah pahit dengan sikap gihunya. Selama
merawatnya 3 hari itu, Tan Hoat tidak pernah menyapa, atau berbicara
dengan Cio San sama sekali. Untuk menanyakan kabarnya saja tidak. Tan
Hoat cuma meraba nadi di pergelangan tangan Cio San untuk mengetahui
kondisi kesehatannya.

Cio San mencoba memecah kebuntuan dengan mengajak gihunya berbicara,


namun cuma dibalas dengan anggukan atau gelengan. Walaupun begitu, Cio
San tetap berusaha tersenyum kepada gihunya dan bersikap selalu hormat
kepadanya.

Setelah 3 hari dirawat, pada pagi hari ke empat Cio San merasa tubuhnya
sudah pulih sepenuhnya. Merasa bosan selama 3 hari di kamar terus, Cio
San memutuskan untuk keluar biliknya. Suasana pagi itu sangat cerah.
Terdengar suara murid-murid Butongpay yang sedang berlatih.

Cio San berjalan sebentar merasakan cahaya matahari di pagi yang indah
itu. Nyaman rasanya. Ia menarik nafas sebentar, mencoba melatih ilmu
pernafasan tingkat 5 nya. Ia mengembangkan kedua tangannya kedepan.
Menekuk sedikit lututnya. Inilah gerakan pembuka dari Thay Kek Kun.
Gerakannya mengalir, kesamping, melangkah ringan ke depan. Melihat
gerakan-gerakan ini, orang awam pasti mengira dia sedang menari. Memang
Thay Kek Kun ini terlihat mengalun pelan, dan gemulai. Seperti orang
menari.

Cio San pun sendiri seperti menikmati gerakan-gerakan itu. Ia menutup


matanya dan bergerak dengan indah. Sepertinya seluruh tubuhnya seperti
dituntun untuk bergerak. Bukan ia yang menggerakkan tubuhnya, melainkan
sebuah ombak atau angin yang menggerakaan tubuhnya.

Ia merasa nikmat sekali. Perasaannya seperti dibawa terbang. Ia sudah


mulai merasa mabuk dan terbang ke dunia lain. Sudah dilupakannya gerakan
apa yang dia lakukan sekarang. Sudah berapa jurus yang ia lakukan
sekarang.

Perasaan hati yang riang karena ia telah sembuh total, suasana pagi yang
indah, sinar matahari yang cerah, sejuknya udara pegunungan, kicau burung
diatas pohon, dan semua rahmat Tuhan di alam ini seperti membuai Cio San.
Ia seperti menjadi tidak sadar atas gerakannya sendiri. Entah sudah jurus
keberapa! entah ia sedang melakukan apa! Ia tidak tahu sekarang berada
dimana!

Ia seperti terbang, ia seperti bermimpi!

Ia bahkan tidak sadar ada orang berdiri dihadapannya. Tapi dia tidak
tahu. Bahkan bisa dibilang dimana kini dia berada, sedang melakukan apa,
pada hakekatnya Cio San sudah tidak tahu lagi.

Seketika terasa seluruh tubuhnya semakin segar. Ada kehangatan aneh yang
timbul di beberapa bagian tubuhnya. Ada tenaga baru yang terkumpul di
perutnya, ada tenaga di kedua tangannya, ada tenaga di kedua kakinya.
Perasaan seperti ini baru pertama kali ia rasakan. Tenaga yang mulai
terkumpul di seluruh tubuhnya, tiba-tiba mulai mendesak untuk keluar. Ada
apa ini? Mengapa sekarang seluruh tenaga ini mulai mendesaknya?

Cio San mulai merasa dadanya sesak. Gerakannya mulai kacau, ia mulai
tersadar lagi. Ah, ia kini sedang berada di halaman depan bilik para
murid.Ia sedang melakukan gerakan dasar pernafasan. Lalu kenapa kini
dadanya sesak. Kesadarannya mulai pulih, ketika itulah terdengar
teriakan...

Salurkan hawa panas di perut ke kedua tangan....jangan menahan nafas,


tutup 'pintu belakang' jangan sampai ada tenaga yang bocor, dorong tenaga
itu keluar.....!!

Seketika itu juga terdengar suara blarrr!

Sekeliling Cio San seperti terasa bergetar. Pohon besar yang berada di
sebelahnya terasa bergetar dan bergoyang-goyang

Cio San mulai melihat ke sekeliling

Ada gihunya, Tan Hoat berdiri di hadapannya.

Cio San seperti baru terbangun dari tidur dan mimpi indah. Namun
bangunnya itu seperti orang disiram air. Seperti orang gelagapan. Cio San
baru mulai menyadari keadaan sekitarnya.

Gihunya sedang berdiri di hadapannya, dengan tatapan mata yang aneh,


beliau lalu bertanya,

Dari siapa kau mempelajari ilmu silat Thay Kek Kun? katanya menyelidik

Teecu..teecu.., tidak mengerti... kata Cio San terbata-bata

Gerakanmu itu tadi adalah Thay Kek Kun jurus ke 8....., Siapa yang
mengajarkannya kepadamu? pandangan mata gihunya sungguh menusuk hatinya

Teecu...., ah..., teecu.., tidak ada yang mengajarkannya kepada teecu,


gihuu. Teecu hanya mencoba melatih pernafasan tingkat ke 5...tahu-tahu
teecu seperti lupa diri. Tahu-tahu sepertinya tubuh teecu bergerak
sendiri, dan teecu tak tahu lagi teecu ada dimana. Lalu tahu-tahu seperti
ada tenaga yang timbul...lalu..lalu teecu mendengar suara guru yang
menuntun teecu....

Benarkah? Aku kan sama sekali belum mengajarimu ilmu itu... gihunya
sendiri juga heran, lalu melanjutkan,

Atau apakah suhu-suhu yang lain pernah mengajarimu?

Tidak pernah gihu... jawab Cio San

Atau apakah kau mencuri belajar dari murid-murid tingkatan 4? tanya


gurunya lagi

Demi Tuhan, tidak gihu. Teecu ingat betul dulu gihu mengingatkan kalau
mencuri belajar adalah perbuatan yang hina, teecu tidak mungkin
melakukannya... jawab Cio San

Selama ini aku mendengar dari suhu-suhu yang lain bahwa tingkat ilmu
silatmu mengalami kemajuan yang sedikit sekali. Malahan ada yang bilang
bahwa silatmu tidak maju-maju. Itupun sudah aku perhatikan sendiri tanpa
harus menerima laporan suhu yang lain. Lalu bagaimana bisa kau menguasai
jurus ke 8 Thay Kek Kun, padahal untuk bisa belajar Thay Kak Kun saja,
kau harus menamatkan pelajaran pernafasan yang sampai tingkat 15. Sampai
tingkat berapa ilmu pernafasanmu? tanya Tan Hoat cepat

Ba..baru..sampai tingkat 5 gihu jawab Cio San sambil menunduk

Coba tunjukkan padaku, pernafasan tingkat 5 mu perintah Tan Hoat

Cio San mulai melakukan gerakan. Sama indahnya dengan gerakan-gerakan


yang tadi ia buat. Namun kini ia memusatkn perhatian untuk melakukan
gerakan ini sebaik-baiknya. Tapi tidak sampai berapa lama. Ia merasa
nafasnya sesak. Ada rasa sempit di dadanya. Hal ini berbeda dengan
perasaan dorongan tenaga yang tadi sempat dirasakannya. Seketika Cio San
merasa kepalanya pening. Ia lalu berhenti. Keringat dingin mengucur deras
dari dahinya.

Tan Hoat memegang nadi di pergelangan tangannya. Denyut itu agak sedikit
kacau. Sang gihu berkerut dahinya,

Tingkatan 5 pernafasan saja belum kau kuasai, tapi kau sudah bisa
mengeluarkan jurus ke 8 Thay Kek Kun ....aneh... Ia seperti berbicara
kepada diri sendiri. Lalu meneruskan,

Apa yang tadi kau lakukan sehingga bisa melakukan gerakan-gerakan jurus
itu? tanyanya

Teecu hanya bergerak seenaknya saja. Tidak memikirkan macam-macam. Teecu


keluar kamar dengan perasaan riang karena sudah sembuh. Teecu menikmati
suasana pagi yang segar, dan harumnya bunga-bunga di pagi hari. Lalu
teecu pikir, ada baiknya mencoba gerakan-gerakan pernafasan, karena teecu
merasa hawa pagi ini nikmat sekali. Barangkali cocok untuk berlatih
pernafasan... jelas Cio San

Lalu? tanya suhunya lagi

Lalu saat bergerak itu, tahu-tahu teecu seperti dibawa oleh ombak atau
angin yang lembut. Gelombang ini seperti menuntun teecu bergerak. Tahutahu teecu seperti tidak sadar. Seperti mimpi dalam tidur. Lalu tahu-tahu
ada tenaga yang muncul dan mendesak dalam tubuh teecu. Saat itu kemudian
teecu mendengar ada suara yang menuntun teecu mengeluarkan tenaga itu.
Setelah itu teecu membuka mata, dan baru sadar bahwa itu ternyata suara
gihu.... jawab Cio San

Hmmm...aneh juga

Tan Hoat berkata begitu sambil berusaha berpikir. Memang Cio San tidak
mungkin bisa mencuri belajar dari murid atau suhu lain. Karena tidak
mungkin dia bisa menguasai jurus Thay Kek Kun tingkat pertama sedangkan
ia belum bisa menguasai seluruh tingkat 15 pernafasan. Padahal pernafasan
itu adalah dasar dari ilmu Thay Kek Kun. Ini bahkan Cio San sudah bisa
memainkan jurus ke 8 Thay Kek Kun.

Sudahlah, lanjutnya Aku ke sini memberitahukan kepadamu bahwa nanti


siang engkau dipanggil menghadap Ciangbunjin. Membahas kejadian kemarin

Baik suhu. Teecu siap menghadap Cio San tahu bahwa perbuatannya kemarin
sangat memalukan. Seorang murid Butong menangis karena diserang oleh
lawan. Itu adalah perbuatan yang sangat memalukan di dunia kang ow. Jika
dunia luar tahu bahwa ada murid Butong yang seperti itu, tentu saja nama
Butong akan jatuh.

Hari ini kau tidak usah latihan dulu, karena kau baru sembuh dari
lukamu. Pergilah kau ke dapur dan ambil sarapanmu

Baik gihu, terima kasih

Cio San menghaturkan salam dan membungkuk, saat ia selesai membungkuk


suhunya sudah tidak berada di hadapannya.

Karena memang merasa lapar, Cio San menuju ke dapur umum. Seharusnya para
murid Butong makan di ruang makan yang besar menyerupai aula. Namun ia
memang bangun agak terlambat sehingga lewat waktu makan. Biasanya murid
yang terlambat makan, harus menunggu waktu makan berikutnya. Tetapi
kondisi Cio San yang baru sembuh dari luka ini merupakan pengecualian.

Begitu di dapur, suasana sudah sepi. Tapi di bagian belakang memang masih
ramai, karena ada beberapa murid yang kebagian tugas mencuci piring.

Saat Cio San masuk, ia disapa oleh tukang masaknya,

Ah kau terlambat, tapi sudah kusediakan makanmu. Ambil saja di lemari


kayu belakang. Di sebelah jendela besar itu. katanya ramah seperti biasa

Cio San memang lumayan akrab dengan A Liang, si juru masak Butong.
Mungkin karena A Liang sendiri memang tidak bisa silat, mereka jadi
mempunyai kedekatan tersendiri. A Liang memang bukan murid resmi Butong.
Ia adalah seorang juru masak yang bekerja di Butong. Ia tinggal di Butong
sudah lama sekali. Puluhan tahun malah. Umurnya sekarang sudah lebih dari
70 tahun.

Ah terima kasih Liang-lopek (panggilan kepada orang yang sudah tua)


kata Cio San ramah

Bagaimana lukamu? Sudah sembuh? tanya A Liang

Sudah lopek, berkat perawatan Tan-suhu, teecu sudah segar bugar Cio San
menjawab sambil tersenyum.

Ah lain kali kalau berlatih hati-hatilah, jangan sampai terluka lagi.


Ayo sana ambil makanmu. Kudengar perutmu sudah keruncongan begitu.
Hahaha....

Mereka berdua tertawa. Memang kalau dibanding dengan berlatih ilmu silat,
sebenarnya Cio San lebih suka bercanda seperti ini. Sifatnya memang
periang suka bercanda. Cocok juga dengan si tua A Liang yang memang suka
tertawa juga.

Selesai makan. Cio San membantu A Liang bersih-bersih, dan menyiapkan


makan siang. Pagi itu Cio San memang tidak ada kegiatan berlatih karena
sudah disuruh beristirahat dulu oleh suhunya. Ia memutuskan untuk
membantu A Liang. Sebenarnya A Liang juga mempunyai beberapa pembantu
yang masih kecil-kecil, mungkin berumur 10an tahun. Tapi daripada
nganggur, yah lebih baik membantu A Liang saja, begitu pikir Cio San

Setelah beberapa lama bekerja memotong sayur, mengiris daging, dan


menyiapkan bahan-bahan lain, Cio San pun diajak A Liang untuk memasak.
Walaupun selama ini berteman dengan A Liang, belum pernah sekalipun Cio
San belajar masak dari sahabat tuanya ini.

Pengalaman baru ini membuatnya tertarik dan senang. Membuatnya lupa akan
masalah yang dihadapinya itu. Cio San pun juga ternyata baru tahu kalau
dia itu memiliki bakat memasak. Setelah diajarkan sebentar Cio San mulai
bisa.

Dasar rasa tahunya memang tinggi, ia pun rajin bertanya mengenai semua
langkah-langkah memasak. Apa guna bahan ini? Apa guna bumbu itu? Mengapa
bahan ini harus dibungkus daun terlebih dahulu? Kenapa minyak ini harus
dipanaskan lama? Dan lain-lain.

Herannya, jika belajar silat kemajuan Cio San lambat sekali, belajar
masak malah dia cepat bisa. Hanya hal memotong-motong atau mengupas yang
dia perlu waktu untuk menyesuaikan. Tapi dalam hal mengolah, dan
pemahamannya tentang bumbu, bahan, dan rasa, Cio San cepat sekali bisa.

A Liang pun dengan sabar mengajarkan dan menunjukkan cara memasak


kepadanya. Dari pagi sampai hampir siang Cio San membantu A Liang
memasak. Jadi bisa dibilang banyak sekali pengetahuan yang ia dapatkan
dalam setengah hari itu.

Kadang-kadang banyak pertanyaan aneh-aneh yang keluar dari mulut Cio San,
seperti 'Mengapa merebusnya tidak menggunakan bahan ini? Bukankah bahan
ini lebih harum? atau Kenapa harus membungkus daging dengan daun
pisang?, dan masih banyak lagi pertanyaan Cio San yang dijawab dengan
sabar oleh A Liang.

Kau ini punya minat yang besar ya tentang masak? Baiklah tiap hari jika
menganggur kau kesini sajalah. Ku ajarkan resep-resep masak yang hebathebat kata A Liang

Benarkah? Terima kasih Liang-lopek tukas Cio San girang

Waktu makan siang pun datang. Cio San membantu A Liang menata piringpiring dan masakan. Mereka juga dibantu oleh beberapa murid Butong lain.
Maklum, jumlah seluruh murid Butong ada sekitar 1000an lebih.

Letak meja-meja di ruang makan Butong diatur berdasarkan tingkatan.


Setiap tingkatan mempunyai posisi sendiri-sendiri. Begitu juga posisi
meja para anggota 15 naga muda. Cio San pun makan di situ juga. Cuma
kalau seluruh anggota naga muda makan dengan riang dan bertegur sapa. Cio
San makan dengan diam dan sepi. Memang tidak ada orang yang menganggapnya
ada. Apalagi mengajaknya berbicara.

Hanya Beng Liong yang mau duduk di dekatnya dan berbicara padanya. Beng
Liong ini adalah anggota 15 naga muda yang paling tua umurnya. Sekitar 18
tahun. Dia ini juga adalah anggota yang paling berbakat, paling tampan,
dan paling gagah. Semua orang suka padanya. Ia punya tutur kata yang
sangat sopan, dan halus. Ia juga ramah dan sama sekali tidak sombong.
Walaupun ilmunya paling hebat diantara para naga muda, dia tidak pernah
semena-mena pada orang lain. Malahan dia paling sering mengajarkan dan
memberi petunjuk kepada murid lain yang belum lancar penguasaan silatnya.

Asal-usul Beng Liong sendiri pun sebenarnya hampir sama dengan Cio San.
Inilah mungkin yang membuat kedua orang ini lumayan akrab. Beng Liong
berasal dari keluarga yang sangat kaya raya. Ia tinggal di sebuah
provinsi yang dekat dengan perbatasan luar tembok besar. Karena bisnis
yang semakin surut, keluarganya memutuskan untuk pindah ke daerah
ibukota.

Apa nyana, di tengah jalan mereka diserang perampok. Seluruh keluarganya


mati, termasuk ayahnya dan ibu serta beberapa orang ibu tirinya. Ayahnya
memang punya beberapa istri. Untunglah Beng Liong tidak ikut terbunuh.
Pada saat-saat akhir, ia ditolong oleh salah seorang pendekar Butong yang
turun gunung.

Kisah hidup Beng Liong yang hampir sama dengan Cio San ini membuat
kedekatan mereka bahkan seperti adik kakak. Orang-orang yang mengerjai
Cio San, tidak akan berani melakukannya jika ada Beng Liong. Sayangnya
Beng Liong jarang sekali melakukan kegiatan bersama-sama dengan Cio San.
Ini karena ilmu dan kemajuan Beng Liong yang pesat, sehingga ia bahkan
sudah dilatih oleh tetua-tetua Butong angkatan kedua, yang tempat
latihannya berbeda dengan Cio San yang selalu tertinggal ilmunya itu.
Jika Beng Liong berlatih di bagian atas kuil, tempat para tetua, Cio San
malah berlatih di bagian paling bawah kuil, karena ilmunya jauh
tertinggal.

Kini kedua orang anak muda itu sedang makan dan bercakap-cakap.

Eh Cio San, aku dengar, katanya kau sudah berhasil menguasai Thay Kek
Kun jurus ke 8? tanya Beng Liong

Ah tidak Liong-heng (kakak Liong), hanya kebetulan saja jawab Cio San
pelan.
Bagaimana ceritanya itu? tanya Beng Liong tertarik

Aku hanya iseng-iseng sekenanya bergerak melatih pernafasan tingkat 5.


Tahu-tahu tubuhku bergerak sendiri dan ada tenaga yang timbul dalam
tubuhku. Untung kemudian Tan-suhu datang dan memberi petunjuk. Kalau
tidak, mungkin aku bisa terkena luka dalam karena terserang tenaga ku
sendiri

Hmmmm, apa benar? Kau beruntung sekali sute (adik perguruan) tukas Beng
Liong
Eh suheng (kakak perguruan) dengar dari siapa cerita ini? Apakan dari
Tan-suhu tanya Cio San

Aku mendengar dari murid-murid lain. Kebetulan mereka melihat kejadian


tadi pagi jawab Beng Liong, lanjutnya lagi Sayang aku tidak melihat
sendiri. Padahal menarik juga, mungkin aku bisa belajar banyak

Liong-heng ini suka bercanda, mana mungkin aku bisa mengajari Liongheng? Harusnya Liong-heng lah yang mengajari aku

Ah, ilmu itu datang dari mana saja. Jiwa dan hati harus terbuka, baru
bisa memahami ilmu silat yang sungguh dalam dan luas bagai samudera kata
Beng Liong

Iya Liong-heng, terima kasih petunjuknya Cio San memang sangat


menghormati kakak seperguruannya itu

Hey, ayo cepat kita habiskan makan kita, nanti aku terlambat berlatih.
Hari ini aku harus bisa menguasai Thay Kek Kun jurus pertama... seru
Beng Liong

Ah kakak sudah mulai belajar Thay Kek Kun? hebat-hebat...para naga muda
yang lain saja baru belajar pernafasan tingkat 12.... Cio San bertanya
dengan kagum

Iya, syukurlah para guru mau sabar mengajariku...hey ayo cepat makan,
aku dengar kau nanti dipanggil oleh Ciangbunjin...

Iya... Cio San menjawab sambil menunduk

Aku sudah dengar cerita kemarin. Sabar saja. Semua pasti ada hikmah
kalau kau mau memahaminya ucapan Beng Liong ini sebenarnya pantas
diucapkan orang tua. Tapi memang Beng Liong ini selalu jauh lebih maju
dalam hal apa saja.

Terima kasih, Liong-heng sambil tersenyum Cio San menghabiskan


makannya.

Setelah makan kedua orang sahabat ini berpisah lagi. Beng Liong
meneruskan latihannya. Padahal jadwal setelah makan siang adalah jam
istirahat siang bagi murid-murid Butong. Tapi semangat dan kecintaan Beng
Liong pada ilmu silat membuatnya merasa rugi menghabiskan waktu tanpa
belajar silat.

Murid-murid yang lain memilih beristirahat. Ada yang duduk sambil


bercengkerama berkelompok, ada yang memilih tidur-tiduran, ada juga yang
mengulang-ulang pelajaran silatnya tadi pagi. Cio San memilih pergi mandi
membersihkan diri di sebuah sungai kecil yang mengalir di belakang kuil.

Kegiatannya tadi membantu Liang-lopek membuat tubuhnya berkeringat dan


bahkan bau asap. Jika nanti bertemu ciangbunjin dengan keadaan seperti
ini, ia takut dianggap tidak tahu aturan.

Setelah menceburkan diri beberapa lama disungai, Cio San sudah berganti
pakaian. Ia memilih pakaian yang jarang dipakainya. Jika bertemu dengan
Lau Tian Liong memang ada perasaan tunduk dalam hati Cio San.

Apalagi pertemuan nanti, sepertinya membahas hukuman yang harus ia lalui.


Cio San mencoba mengeraskan dan menguatkan hatinya. Sebagai laki-laki, ia
harus mempertanggungjawabkan semua perbuatannya. Ia memilih untuk tidak
menceritakan semua perbuatan dan perlakuan murid-murid lain terhadap
dirinya.

Walaupun ia sering merasa disepelekan, bahkan keberadaannya itu sering


dianggap tidak ada oleh orang lain, bolehlah menyakiti hatinya. Tapi jika
itu harus dia pakai sebagai alasan supaya tidak usah dihukum, maka ia
merasa dirinya adalah seorang pengecut.

Anak laki-laki umur seperti Cio San, memang sedang senang-senangnya


menunjukkan kelaki-lakiannya. Umur seperti ini memang beranjak dari usia
anak-anak memasuki usia remaja. Masa dimana seorang anak kecil merasa ia
sudah 'dewasa'. Padahal sebenarnya remaja sungguh tak jauh beda dengan
anak-anak. Malahan orang dewasa pun juga tak jarang masih sama dengan
anak-anak.

Cio San kini berjalan dari sungai menuju biliknya. Sering ia berpapasan
dengan beberapa murid Butong. Sekedar bertegur dan bertukar senyum. Masih
banyak juga ternyata yang ramah-ramah. Tapi orang-orang ini memang tidak
begitu kenal dengan Cio San.

Yang paling tidak menyenangkan itu jika kau disepelekan dan tidak
diacuhkan sahabat-sahabatmu. Kalau kau tidak diacuhkan oleh orang-orang
yang tidak mengenalmu, maka boleh dibilang semua orang di dunia ini
mengalaminya.

Itulah yang dirasakan Cio San selama ini. Beberapa orang yang dianggap
sahabatnya, malah tidak menganggapnya sama sekali. Makan bersama tidak
diajak, keluar bermain tidak diajak, berlatih bersama pun tidak diajak.
Mengobrol pun kadang mengeluarkan kata-kata yang menyakiti hati.

Bagusnya Cio San, ia tidak menyalahkan siapa-siapa kecuali dirinya


sendiri. Memang dalam hati, sejak lama ia sudah ingin memperbaiki
dirinya. Menunjukkan kepada orang-orang bahwa dia itu bukan 'anak
bawang'. Bukan pecundang yang hanya bisa ditertawakan. Mungkin inilah
satu-satunya alasan Cio San ingin bertahan disini. Membuktikan pada
orang-orang bahwa dia bisa menjadi 'sesuatu'.

Berpikir seperti ini, membuat Cio San semakin bersemangat.

Ia kini sedang berada di biliknya. Berbaring terlentang diatas dipan


dengan berbantalkan kedua telapak tangannya. Posisi seperti ini memang
posisi kesukaannya.

Tak berapa lama, terdengar suara,

Cio San, ayo naik ke ruang ketua

Suara itu kecil saja. Tidak keras, namun terdengar jelas. Cio San lekas
bangkit dan keluar. Ia tidak melihat siapa-siapa di dekat situ. Tanpa
menunggu lebih lama ia berlari mendaki tangga menuju ruang ketua. Ada
jarak sekitar seratus tombak. Gihunya, Tan Hoat ternyata sudah menunggu
di depan pintu ketua. Rupanya ilmu mengirimkan suara gurunya itu sudah
sangat hebat, sehingga bisa mengirimkan suara dengan jelas dari jarak
sebegitu jauhnya.

Ayo masuk. Ciangbunjin sudah menunggu kata gihunya

Cio San mengangguk. Ia lalu memberi salam kepada gihunya itu. Lalu
mengucap salam kepada Lau-Ciangbunjin,

Teecu, Cio San, anggota dari 15 Naga Muda memberi salam kepada
Ciangbunjin. Semoga Thian (langit) selalu memberi kesehatan dan kebaikan
kata Cio San dari luar pintu

Dari dalam, terdengar suara sang pangcu,

Masuklah, Cio San

Begitu pintu dibuka, nampaklah ruang ketua itu. Tidak terlalu besar, tapi
juga tidak terlalu sempit. Ruangan ini biasanya dipakai sebagai ruang
tugas Ciangbunjin. Tempat ia menerima tamu, atau memberi perintah.
Intinya, ruang ini dipakai sebagai ruang resmi kepala Butongpay.

Teecu, Cio San menghadap ketua sambil berkata begitu, Cio San mengatup
tangan di depan dada.

Sambil tersenyum Lau-pangcu berkata, Sudahlah jangan terlalu banyak


aturan

Cio San mengangguk hormat.

Ternyata di dalam ruangan ini, Lau-ciangbunjin tidak sendirian. Ada 4


orang disebelahnya. Dua di kiri, dan dua di kanan. Ke empat orang ini
adalah penasehat utama ketua Butongpay. Mereka adalah dari angkatan ke 2.
Wajahnya mereka angker. Cio San mengenal nama-nama orang ini.

Cou Leng, berdagu panjang, dengan jenggot yang semakin membuat wajahnya
terlihat lebih panjang

Yo Han, bertubuh tinggi besar, matanya selalu tertutup, dan bibirnya


selalu berkomat-kamit

Yo Ang, kakak dari Yo Han tapi justru tubuhnya kecil. Tatapan matanya,
Cio San bahkan tidak berani melihat karena khawatir 'tertusuk'.

Oey Tang Wan, selalu tersenyum.

Usia ke empat ini sekitar awal 60 tahunan. Tapi seperti Lau-pangcu, wajah
mereka terlihat lebih muda sepuluh atau lima belas tahun.

Ada rasa tergetar juga di hati Cio San. Ia memang jarang bertemu orangorang ini. Tapi kekosenan ke 4 orang ini memang sudah sering terdengar.

Kabarnya ilmu keempat orang ini hanya satu tingkat dibawah Lauciangbunjin.

Dalam hati Cio San kagum jaga. Dari cahaya pancaran wajah mereka saja,
bisa diukur kesaktian mereka.

Cio San, kata Lau-ciangbunjin, suaranya tenang sekali,

Teecu mendengar suhu jawab Cio San menghormat

Kejadian beberapa hari yang lalu, sudah kudengar. Bahkan seluruh


Butongpay ini sudah mendengar lanjut Lau-ciangbunjin

Cio San menunduk khidmat

Mengapa kau menangis saat kau diserang A Pao? tanya sang pangcu

Cio San terdiam beberapa detik. Ia telah memikirkan jawaban atas


pertanyaan ini sejak beberapa hari. Dan mantap ia menjawab,

Teecu tidak mempunyai alasan apa-apa suhu. Teecu siap bertanggung jawab
dan menerima hukuman atas perbuatan teecu itu, suhu

Benar kau tidak mempunya alasan apapun? Apakah saat bertarung itu kau
sedang dirundung masalah? Atau kau teringat ayah ibumu? tanya Lau pangcu
lagi

Sama sekali tidak suhu. Mungkin teecu saja yang terlalu berhati lemah,
sehingga terjadi kejadian seperti kemarin

Para totiang (tetua) ada pertanyaan kepada Cio San? tanya Lauciangbunjin kepada keempat orang penasehatnya

Yo Ang, yang bertubuh kecil dan bermata tajam membuka suara,

Apakah kau takut diserang oleh A Pao? ternyata suaranya cempreng, cocok
dengan badannya yang kecil

Cio San jelas tidak takut. Tapi mau menjawab apa dia bingung. Akhirnya
dia diam saja. Bagi sebagian orang, diam itu berarti 'Iya'.

Memalukan..... kata Yo Ang

Oey Tang Wan, yang wajahnya selalu tersenyum, kini juga membuka suara

Cio San, anakku, jika ada ganjalan di hati, bicarakanlah. Seorang lakilaki sejati tidak akan takut mengungkapkan apa yang ada dalam pikirannya

Bagaimana mungkin Cio San membuka semua masalah yang dialaminya. Hatinya
terlalu berat untuk kemudian menyalahkan orang lain. Jika dia
menceritakan semua perlakuan buruk yang dihadapinya, bukankah akan
semakin memperlihatkan kelemahannya? Bukankah hal seperti ini malah akan
menambah kemarahan orang? Cio San memilih untuk menyimpan semua itu.
Apalagi jika ia mengungkapkannya, bukankah nanti akan timbul berbagai
masalah baru dan pergesekan di dalam perguruan?

Bisa jadi ketika ia membuka cerita, hubungannya dengan murid-murid yang


lain akan semakin buruk, dan dia akan semakin dijauhi karena dianggap
sebagai pengadu. Anak-anak seusia Cio San memang tak jarang berfikiran
seperti ini. Rasa kesetiakawanan mereka yang masih polos selalu membuat
mereka takut kehilangan teman.

Cou Leng, totiang yang berwajah panjang, juga membuka suara

Kami sudah mendengar cerita dari A Pao. Bahwa dia mengajak kau berlatih
ilmu totokan. Setelah bertanding beberapa lama, kau terdesak oleh
serangannya dan mulai menangis. Apa benar? tanyanya

Terdiam sebentar, Cio San menjawab, Benar totiang

Huh... itu suara Yo Ang

Kali ini Lau-ciangbunjin yang membuka suara,

Cio San apakah kau paham arti perbuatanmu itu? tanyanya

Teecu paham sekali suhu. Bahwa seorang laki-laki tidak pantas menangis
di dalam pertarungan. Apalagi laki-laki itu mengaku sebagai murid
Butongpay. Perbuatan teecu membuat malu seluruh anggota Butongpay. Dan
teecu siap bertanggung jawab atas perbuatan teecu

Bagus. Kau tahu hukuman apa yang harus kau hadapi? tanya Lauciangbunjin lagi

Setahu teecu, hukuman paling ringan bagi ketidakdisipilinan di dalam


peraturan Butongpay adalah diasingkan ke atas pondok bambu di puncak
tertinggi Butong san. Sedangkan hukuman terberat adalah dikeluarkan dari
Butongpay

Bagus jika kau tahu. Para totiang, apakah menurut totiang sekalian, Cio
San melakukan pelanggaran berat atau ringan?

Berat! tukas Yo Ang

Sedangkan para totiang lain masih diam dan berfikir

Oey Tang Wan berkata, Menurut saya, kejadian itu memang pelanggaran
berat. Tapi kita bisa memberi hukuman yang lebih mendidik kepada Cio San.
Saya melihat masih ada kebaikan dalam diri Cio San

Kebaikan macam apa? sahut Yo Ang, Ilmu silatnya saja tidak maju-maju.
Padahal dia itu anggota 15 naga muda. Menjadi murid 'biasa' Butongpay
saja ia sudah tidak pantas. Apalagi masuk dalam kelompok unggulan seperti
15 naga muda

Suara cemprengnya seperti menusuk tulang.

Oey Tang Wan masih tersenyum, sambil manggut-manggut ia berkata,

Bukankah dalam Butongpay, tidak hanya melulu belajar silat? Penguasaan


sastra dan ilmu pengobatan juga sangat penting. Menurut saya bakat sastra
Cio San sangat besar. Toh kita dulu sepakat memasukkannya dalam kelompok
naga muda berdasarkan pertimbangan bakat sastranya?

Yo Ang yang manggut-manggut kali ini.

Walaupun kedua orang ini sering silang pendapat. Tapi mereka sangat
legawa dalam menghormati pendapat yang dianggap benar.

Tan Hoat, guru pengawas dari Cio San mohon ijin untuk mengutarakan
pendapat terdengar suara Tan Hoat dari luar pintu.

Masuk saja Tan Hoat jawab Lau-ciangbunjin

Setelah masuk dan memberi hormat, Tan Hoat berkata,

Mohon maaf karena teecu berani lancang dalam urusan ini. Tetapi ada satu
hal yang ingin teecu sampaikan yang mungkin bisa menjadi bahan
pertimbangan bagi suhu dan totiang sekalian kata Tan Hoat

Katakanlah sahut Lau-ciangbunjin

Tadi pagi, teecu tidak sengaja melihat sebuah keanehan. Cio San, yang
pelajaran pernafasan dasar hanya baru tingkat ke 5. Sudah bisa melakukan
jurus ke 8 Thay Kek Kun

Tredengar suara kaget dari sekalian orang di dalam ruangan

Lanjutkan kata Lau-ciangbunjin

Setelah teecu tanya, dari siapa ia mempelajari jurus itu, Cio San
mengaku belum pernah diajari oleh siapapun. Pada awalnya teecu tidak
percaya kepada jawabannya itu. Tapi setelah teecu berpikir, memang tidak
mungkin orang yang belum menguasai seluruh tingkatan pernafasan dasar
bisa melakukan jurus Thay Kek Kun, maka teecu anggap ini memang suatu
kebetulan belaka

Cio San, apa benar yang dikatakan gihumu itu? Coba ceritakan dari awal?
kata Lau-ciangbunjin

Cio San pun mulai bercerita. Seluruh kejadian itu ia ceritakan tanpa ia
kurangi dan tambahi.

Selesai bercerita terdengar keempat totiang saling berpandang satu sama


lain, dan berdiskusi. Terdengar perbedaan pendapat, dan pada akhirnya
Lau-ciangbunjin lah yang berkata,

Begini saja, kata sang ketua,

Kejadian ini memang aneh dan ajaib. Tapi juga bukan berarti tidak masuk
akal. Kedalaman ilmu Thay Kek Kun memang sangat dalam, sehingga semakin
dalam kau pelajari, semakin juga terasa kecil dirimu di hadapan ilmu yang
sangat luas.

Melihat bahwa ternyata Cio San sanggup melakukan hal seperti itu, ini
menandakan ia sebenarnya mempunyai bakat dalam ilmu silat. Cuma mungkin
ketertinggalannya itu disebabkan oleh kemalasan, dan kekurangpahamannya
sendiri.

Aku memberikan 2 pilihan kepada Cio San. Pilihan pertama, kau tidak akan
dihukum dalam pengasingan, namun kau harus mundur dari kelompok 15 naga,
dan menjadi anggota murid 'biasa'. Atau pilihan kedua, kau boleh tetap
menjadi anggota 15 naga muda, tetapi kau harus mempertanggungjawabkan
perbuatanmu dengan diasingkan ke pondok bambu. Selain itu disana kau
harus rajin berlatih sehingga ketika turun kembali, kau harus bisa
mengalahkan A Pao. Jika kau tidak mampu mengalahkan A Pao, maka dengan
sukarela kau harus keluar dari 15 naga muda dan menjadi murid biasa.
Bagaimana Cio San?

Setelah berpikir sebentar, Cio San berkata, Teecu memilih pilihan kedua,
suhu

Ada senyum yang tersungging di bibir Lau Tian Long, ia lalu berkata,

Bagus, itulah yang ingin kudengar dari mulut seorang murid Butongpay.
Berani bertanggung jawab dan menerima hukuman. Jika tadi kau memilih
pilihan pertama. Aku akan langsung mengeluarkanmu dari Butongpay

Karena kau adalah murid termuda yang dihukum dalam pengasingan. Maka aku
memberi keringanan padamu. Jika biasanya hukumannya harus setahun dalam
pengasingan, kau cukup menjalaninya selama 3 bulan. Siapa saja boleh
menjengukmu setiap saat, tapi kau tidak diperbolehkan turun, atau keluar
dari puncak. Selama disana kau harus rajin berlatih, sehingga begitu
turun, kau harus sanggup mengalahkan A Pao. Siapkah kau?

Teecu siap suhu kata Cio San sambil menunduk khidmat

Bagus. Bersiap-siaplah sekarang. Hari ini juga begitu siap, kau harus
sudah berangkat ke pondok bambu

Teecu siap menjalankan perintah.

Cio San telah selesai membuntal pakaian-pakaiannya. Begitu keluar dari


biliknya, Tan Hoat telah berada di depan pintu menantinya. Berbeda dengan
beberapa hari akhir-akhir ini, wajah Tan Hoat sudah tidak seketus
belakangan ini.

Tan Hoat sambil tersenyum berkata,

Sudah siap? aku akan mengantarkanmu ke pondok bambu

Sudah gihu, tapi anak ingin berpamitan dengan beberapa orang terlebih
dahulu. Bolehkah?

Pergilah, aku menanti di pohon Yang Liu dekat kolam gedung utama. Jangan
lama-lama, takutnya kita telat berangkat dan kemalaman

Terima kasih gihu sambil berkata begitu, ia memberi hormat dan segera
bergegas.

Pertama-tama ia mencari Liang-lopek. Orang tua ini memang selalu akrab


dengannya. Kesukaan baru Cio San, yaitu belajar masak, memang harus
tertunda dulu. Padahal ia senang sekali mempelajari kemampuan baru ini.

Cio San menemukan Liang-lopek sedang beberes di dapur belakang.

Ah kau.., bagaimana? sudah bertemu ciangbunjin? Apa kata beliau? tanya


Liang-lopek

Sudah lopek. Kata beliau, saya harus ke pondok bambu selama 3 bulan
sambil berkata begitu ia membuat mimik muka yang lucu. Nampaknya hukuman
seperti ini lumayan menyenangkan juga bagi Cio San.

Haha, kau senang ya disuruh menyendiri 3 bulan? Tak ada orang yang
mengganggumu disana kan?

Iya Lopek, haha

Kalau bukan orang yang mengganggumu, bisa saja setan gunung yang
mengganggumu goda Liang-lopek sambil membuat mimik muka seram

Asal saya tidak disuruh berlatih silat, nampaknya diganggu setan gunung
juga lebih baik tawa Cio San

Hus, jika didengar gurumu, hukumanmu bisa-bisa diganti disuruh belajar


silat terus, tidak boleh makan dan tidak boleh tidur

Mereka berdua tertawa lagi,

Tiba-tiba Liang-lopek berkata,

Eh aku punya sesuatu yang bisa kau pakai untuk menemanimu disana

Apa itu, lopek?

Tunggu sebentar

Liang-lopek lalu pergi ke biliknya. Tak berapa lama ia keluar membawa


beberapa barang.

Ini ada sebuah panci kecil. Supaya kau bisa memasak sendiri disana.
Memang aku tahu biasanya setiap beberapa hari sekali ada murid yang

mengantarkan makanan bagimu kesana. Tapi ku pikir kau mungkin ingin


memasak sendiri, sambil mencoba-coba resep yang kuajarkan tadi

Ah terima kasih lopek Cio San tertawa senang

Ngomong-ngomong tentang resep, ini kukasih juga buku resep khusus. Di


dalamnya selain ada resep-resep masakan kuno, juga ada penjelasan tentang
bahan-bahan dan tanaman-tanaman khusus.

Terima kasih lopek. Saya pasti mempelajari buku itu

Nah ini yang terakhir, ku bawakan juga sebuah khim (sejenis kecapi)
kecil untuk menemanimu bernyanyi dengan setan gunung. Hahahaha

Hahaha, lopek jangan bergurau. Saya kan tidak bisa bermain khim.
Walaupun ayah saya mahir sekali bermain, saya sama sekali belum pernah
mencobanya

Kalau ayahmu mahir bermain, pastilah juga itu menurun kepadamu. Cobacoba saja lah.

Huh bisa-bisa nanti waktuku habis kupakai belajar khim dan belajar
masak. Pelajaran silat bisa terlupa semua. Bahaya wajah Cio San membuat
mimik lucu lagi

Tiba-tiba ia melanjutkan,

Aha, saya tahu. Lopek sengaja memberikanku barang-barang ini, supaya


saya sama sekali tidak belajar silat kan?. Supaya jika saya kalah dengan
A Pao, saya dipindahkan ke bagian dapur dan jadi anak buah lopek?

Hahahahah

Mereka berdua tertawa berbarengan. Ada rasa hangat yang timbul di hati
mereka saat bergurau. Memang tidak ada perasaan yang lebih menyenangkan
selain berkumpul bersama temanmu, dan bergurau bersama. Rasanya seperti
semua beban dalam hatimu terlupakan untuk beberapa saat.

Eh kau cepatlah berangkat, nanti kemalaman di jalan. Aku akan seringsering mengunjungimu jika diijinkan oleh gurumu

Kata guru, siapapun boleh mengunjungi saya diatas sana. Tapi saya yang
tidak boleh meninggalkan tempat itu

Hmmm baguslah. Kalau ada waktu senggang aku akan sering-sering naik
kesana. Kau jaga diri baik-baik yah. Belajar masak yang rajin, biar nanti
kalau aku kesana, kau yang memasak untukku

Baik lopek, terima kasih. Mohon doa restu agar saya berhasil

Baik-baik

Cio San memberi hormat dengan membungkuk serendah mungkin. Ada perasaan
haru dalam hati Liang-lopek ketika menerima penghormatan seperti itu.
Selama ini, tidak ada murid Butongpay yang memberi hormat seperti itu
kepadanya. Hanya Cio San yang memperlakukannya seperti guru. Itulah
kenapa ia sangat menyukai anak kecil yang polos ini.

Setelah memberi salam, Cio San bergegas pergi. Tidak ada wajah ketakutan
di dalam hatinya. Mungkin karena ia tidak tahu bagaimana keadaan puncak
tertinggi Butongsan yang sebenarnya. Cio San pergi dengan riang tanpa
rasa berat dihatinya.

Memandangi punggung anak kecil yang bersemangat itu, Liang-lopek membatin


dalam hati,

Mudah-mudahan Butongpay menjadi lebih jaya karena anak ini

Setelah dari tempat Liang-lopek, Cio San menuju ke ruang latihan utama,
tempat biasanya para 15 naga muda berlatih. Karena saat ini memang masih
jam istirahat, ruangan itu masih sepi. Namun sesuai dugaan Cio San, masih
ada satu orang yang berlatih disana. Siapa lagi kalau bukan Beng Liong.
Remaja tampan dan gagah ini, memang tidak pernah melewatkan waktu tanpa
berlatih silat. Ia bersilat sendirian. Memainkan jurus-jurus dasar
Butongpay. Namun gerakannya terlihat mantap dan lincah. Peluh mengalir di
sekujur tubuhnya yang bertelanjang dada. Di umur yang baru sekitar 18an
tahun, tubuh Beng Liong terlihat tegap dan gagah.

Melihat keseriusan Beng Liong dalam berlatih, Cio San sungkan


mengganggunya. Ia hanya berdiri di belakang Beng Liong. Melihat gerakangerakan silatnya. Memang sungguh hebat sekali. Pantas saja kalau Beng
Liong dianggap sebagai 15 naga muda yang paling berbakat.

Merasa ada orang di belakangnya, Beng Liong menyelesaikan gerakannya. Ia


berbalik lalu tersenyum kepada Cio San.

Hey kau datang San-te (adik San)

Iya Liong-heng, aku ingin berpamitan kepadamu

Memangnya kau mau kemana, San-te?

Aku disuruh tinggal sebentar di pondok bambu. Selama 3 bulan

Beng Liong sudah mengerti bahwa maksuda 'tinggal sebentar' adalah dihukum

Wah, kau harus tabah ya San-te. Semoga disana kau lebih tenang dalam
belajar silat. Kalau ada waktu luang aku ingin pergi kesana. Kata orang
pemandangan di sana indah. Kita juga bisa berlatih silat bersama-sama

Terima kasih Liong-heng. Doakan semoga sute mu ini berhasil ya

Keduanya lalu bersalaman dan Cio San pun bergegas pergi.

Beng Liong pun menatap punggung yang sedang bergegas itu. Ia tersenyum
sebentar dan melanjutkan latihannya.

Semoga berhasil San-te katanya dalam hati.

Letak ruang latihan utama memang tidak jauh dari tempat Tan Hoat
menunggu. Tidak berapa lama Cio San sudah sampai disana. Saat istirahat
siang begini, memang Butongpay terasa sepi. Karena waktu-waktu ini
dipakai para murid untuk memulihkan tenaga mereka setelah seharian mereka
berlatih.

Sudah? tanya Tan Hoat begitu melihat kedatangan Cio San

Sudah gihu. Sekarang anak siap berangkat kata Cio San mantap.

Baguslah. Ayo kata Tan Hoat sambil tersenyum

Mereka lalu berjalan menuju pondok bambu, di puncak tertinggi Butongsan.


Sepanjang perjalanan, pemandangan memang indah sekali. Cio San menikmati
sekali perjalanan ini. Kadang-kadang ia bertanya kepada gihunya tentang
tempat apa saja yang dilihatnya itu. Gihunya dengan sabar menjelaskan.

Tapi tak berapa lama Cio San mulai terlihat ngos-ngosan dan wajahnya
mulai pucat. Tan Hoat pun paham bahwa Cio San memang tidak terbiasa
mendaki jalan tebing-tebing curam seperti ini sehingga kehabisan nafas.

Ia pun lalu memberi sedikit pelajaran pernafasan kepada Cio San sambil
jalan. Ternyata ada teknik nafas khusus sehingga jika melakukan
pendakian, seseorang tidak kehabisan nafas.

Pada awalnya Cio San memang kesulitan untuk melakukan yang diajarkan
gurunya itu, namun setelah hampir satu jam lebih mencoba, dan mendapat
petunjuk terus dari gurunya, Cio San akhirnya berhasil. Nafasnya mulai
teratur dan tidak terengah-engah lagi seperti semula. Kondisi organ-organ
tubuhnya yang kurang baik, memang membuat Cio San cepat sekali letih dan
kehilangan tenaga.

Baru setelah nafasnya teratur dan tubuhnya mulai terasa kuat, wajah Cio
San sudah terlihat memerah lagi. Keringatnya pun mengalir deras. Orang
biasa yang jika melakukan pekerjaan fisik lalu tidak berkeringat, maka
pasti ada yang salah dalam tubuhnya. Kini setelah keringatnya keluar, Cio
San malah merasa segar.

Ia sudah bisa mulai bercakap-cakap kembali dengan gihunya,

Cio San, kata Tan Hoat, Sebenarnya dalam hal ini, gihu merasa sangat
bersalah kepadamu

Ada apa gihu?

Gihu sering meninggalkanmu, jadi tidak bisa terus memberi pelajaran


kepadamu. Memang diantara ke 15 guru yang menangani 15 naga muda, gihulah
yang paling sering meninggalkan kau dan membiarkanmu latihan sendiri.
Gihu mohon maaf kepadamu Cio San...

Gihu jangan meminta maaf, semua ini adalah kesalahan anak karena memang
tidak memiliki bakat dalam silat. Anak juga malas belajar.

Tapi sudah menjadi tanggung jawab gihumu ini untuk mendidikmu, tapi aku
malah memarahimu saat kau menghadapi masalah seperti ini. Padahal sudah
salahku bahwa aku jarang sekali mendampingimu

Bagaimana mungkin anak menyalahkan gihu? Bukankah kepergian gihu karena


menjalankan tugas perguruan?

Tan Hoat hanya tersenyum. Memang Cio San ini pintar sekali berbicara.

Gihu, sebenarnya tugas apakah yang gihu jalankan? Sejauh yang anak
perhatikan, hanya gihu seorang yang sering sekali naik-turun gunung.
Sedangkan murid-murid Butongpay yang lain semuanya dipusatkan berada di
Butongsan

Hmmm, sebenarnya gihu tidak boleh menceritakan ini kepadamu, tapi


sebagai bentuk penyesalan gihu terhadapmu. Gihu akan bercerita sedikit
saja

Tan Hoat bercerita bahwa ia ditugaskan oleh Lau-ciangbunjin untuk


menyelidiki keberadaan kitab silat terhebat tang ditulis oleh Tat-mo.
Kitab ini sangat hebat, karena ditulis langsung oleh pencipta ilmu silat,
yaitu sang Tat-Mo sendiri.

Keberadaan kitab itu sangat misterius, dan hanya beberapa orang saja yang
tahu keberadaan kitab itu. Bahkan thay suhu Thio Sam Hong saja tidak tahu
keberadaan kitab itu.

Ditakutkan, jika keberadaan kitab itu tersebar luas, akan terjadi


malapetaka besar yang timbul karena setiap orang dalam bu lim akan
memperebutkan kitab itu.

Lalu jika gihu menemukan kitab itu, apa yang akan gihu lakukan?

Tan Hoat tersenyum mendengar pertanyaan bagus yang keluar dari muridnya
itu,

Tiga perguruan terbesar yaitu, Siau Lim pay, Butong pay, dan Gobipay,
sepakat untuk bersatu dan melindungi kitab itu. Jika ketiga partai sudah
bersatu, maka siapakah lagi yang berani melawan kita?

Tapi bukankah jika partai-partai kecil bersatu, jumlah mereka pun akan
menyamai jumlah 3 partai besar ini guru?

Partai-partai kecil pun sudah kita dekati dan kita beri pengertian untuk
menjaga keutuhan dunia Kang ouw. Memang pasti ada perebutan besar, maka
itulah ketiga partai besar sekarang sudah bersiap-siap menyatukan
kekuatan, jika sewaktu-waktu kitab itu ditemukan, dan terjadi perebutan
besar

Wah berarti akan ada perang besar lagi? Cio San berkata sambil
menggeleng-geleng.

Kenapa kau mengelang Cio San?

Anak hanya heran, mengapa orang mau begitu berkorban untuk menjadi ahli
silat? Padahal kalau dia menjadi ahli silat, hidupnya hanya dihabiskan
untuk berkelahi

Kau harus paham bahwa di dunia ini orang punya kesenangan bermacammacam. Jika ada yang suka sastra, suka mancing, suka musik, suka makanan
yang enak-enak, banyak juga yang suka berkelahi

Haha, betul juga gihu

Oh iya, ada satu hal lagi Cio San.....

Apa itu gihu?

Aku juga melacak para perampok yang dulu membunuh ayah ibumu....

Cio San hanya diam. Tan Hoat pun melanjutkan,

Kelompok perampok ini sebenarnya bukanlah perampok biasa. Tersiar kabar


jika ada kelompok rahasia yang berdiri beberapa tahun yang lalu dalam
dunia kang ouw. Tujuan mereka sampai saat ini masih belum diketahui dengn
jelas. Tapi mereka sering sekali melakukan pembunuhan terhadap orangorang tertentu. Biasanya korban mereka adalah pejabat-pejabat kerajaan,
atau pendekar-pendekar ternama.

Mereka ini mempunyai ilmu silat yang sangat hebat. Tapi gerak geraik
mereka sangat rahasia. Sampai sekarang para pendekar kang ouw masih belum
mengetahui maksud para perampok ini sebenarnya. Apakah korban-korban
mereka ini terbunuh secara acak, ataukah memang ada maksud tertentu

Kalau menurut gihu? tanya Cio San

Menurutku, pasti ada tujuan tertentu. Aku merasa pergerakan mereka itu
pasti ada hubungan dengan perebutan kitab itu

Gihu, apa nama kitab itu sebenarnya?

Namanya Kitab Inti Semesta

Wah dari namanya saja sudah terdengar hebat tukas Cio San

Cio San, apakah sewaktu orang tua mu meninggal, kau tidak mendengarkan
mereka membicarakan tentang Kitab Inti Semesta?

Sejauh yang anak ketahui, ayah dan ibu tidak pernah membicarakan hal itu
gihu. Mereka pada akhir-akhir hayat mereka hanya membahas kekisruhan di
Gobipay saja

Hmmm... Tan Hoat tidak berkata apa-apa lagi.

Hampir 3 jam mereka mendaki, akhirnya sampai juga mereka ke pondok bambu.
Setelah beristirahat sebentar, Tan Hoat mengajak Cio San berkeliling
daerah sekitar situ. Ternyata hampir semua kebutuhan sehari-hari bisa di
dapatkan disitu.

Ada sungai mengalir yang airnya jernih sekali. Bisa dipakai untuk minum
dan mandi. Ikan-ikannya ternyata banyak juga disitu. Di seberang sungai
terdapat hutan kecil yang walau tidak terlalu lebat, mempunyai pohonpohon yang mempunyai banyak buah yang bisa dimakan.

Bagian tertinggi Butong san itu ternyata sangat indah. Di sebelah kanan
sungai dan hutan, di sebelah kiri tebing-tebing bebatuan. Tan Hoat
menjelaskan bahwa tebing-tebing itu sangat berbahaya dan mewanti-wanti
Cio San untuk berhati-hati jika berada di sekitar tebing itu.

Pondok bambu sendiri juga berdiri tepat dibawah sebuah tebing tinggi.
Jika menaiki tebing itu, yang tingginya sekitar 10 meter, maka seseorang
akan berada di tempat tertinggi Butongsan.

Di dalam pondok, ternyata suasanyanya bersih sekali. Ada dipan bambu dan
sebuah tikar diatasnya. Di sebelah dipan ada meja kecil dan sebuah kursi.
Ada juga sebuah tungku perapian yang berguna untuk memasak atau juga
membuat api unggun untuk menghangatkan tubuh. Ada juga lampu minyak,
sekalian beserta minyaknya.

Sampai saat ini, Cio San baru sadar bahwa hukumannya ini tidak main-main.
Ia akan hidup sendirian di sini selama 3 bulan. Rasanya seram juga. Dalam
hati ia bergidik, namun sebisa mungkin ia menutupinya dari gihunya itu.

Tan Hoat rupanya berencana untuk menemani Cio San selama satu malam.
Buntalan kecil yang ia bawa ternyata berisi beberapa bahan makanan
seperti beras, dan bumbu.

Bahan-bahan ini cukup untuk satu bulan. Nanti jika habis ku bawakan
lagi

Cio San lalu mengucapkan terima kasih kepada gihunya itu.

Setelah malam tiba mereka lalu menyalakan lampu minyak. Suasana di situ
walaupun hening, ternyata tidak begitu menyeramkan bagi Cio San. Mungkin
karena ia sekarang ditemani oleh Tan Hoat. Seseorang jika mengalami hal
berat, tapi mempunyai kawan orang yang ia senangi dan hormati, maka
sedikit banyak hal berat itu menjadi lumayan ringan.

Mereka mengobrol agak lama. Tan Hoat memberi petunjuk-petunjuk tentang


ilmu silat. Cio San mendengarkan dengan seksama. Bertanya saat ia bertemu
bagian yang belum ia mengerti. Tan Hoat merasa pemahaman Cio San itu
sangat dalam, dan anak itu cerdas sekali.

Kau tidurlah Cio San. Besok pagi-pagi sekali kita bangun dan melatih
semua yang tadi sudah kuajarkan

Baik Gihu

Pagi-pagi sekali, ketika langit masih kelabu, Cio San dan Tan Hoat sudah
berlatih. Cio San mulai melakukan gerak-gerak silat, dan Tan Hoat mulai
memberi petunjuk-petunjuk lagi. Lama sekali mereka berlatih, sampai hari
sudah terang. Lalu mereka beristirahat.

Cio San, mengapa kau susah sekali melakukan seperti yang kuperintahkan?
Bukankah semalam kau sudah paham?

Anak sudah paham gihu, teecu juga sudah coba melakukan seperti yang gihu
perintahkan, tapi entah kenapa hasilnya tidak seperti yang gihu harapkan.

Apakah mungkin karena organ-organ tubuhmu itu yang tidak bekerja


sempurna? Sayang sekali, padahal kecerdasanmu luar biasa, dan kau cepat
paham...... Tan Hoat hanya termangu-mangu

Mungkin...mungkin teecu memang dilahirkan tidak dengan bakat silat


gihu.....

Ahhh.... Hanya itu yang bisa keluar dari mulut Tan Hoat. Matanya
seperti menerawang.

Ia mengelus-elus kepala Cio San, sambil berkata, Kau bersabarlah,


jikalah memang kau tidak mempunyai bakat silat, kau mempunyai bakat
kecerdasan yang besar. Kau bisa belajar ilmu pengobatan Butongpay, dan
sastra. Aku memang terlambat memahami dan menerima kenyataan ini. Tapi
untuk sekarang, kau hadapilah dulu hukumanmu ini..., kuatkan hatimu Cio
San...

Ada gihu yang menyayangi teecu, rasanya anak berani menghadapi apa saja
gihu....

Setelah beristirahat, mereka berdua lalu mandi di sungai. Sambil mandi


mereka ,menangkap ikan. Ternyata ikannya besar-besar. Ada 2 ekor yang
mereka tangkap. Setelah mandi, mereka menanak nasi dan ikan itu kemudian
mereka bakar dan santap.

Di dunia ini tidak ada yang bisa mengalahkan nikmatnya makan di alam
terbuka bersama orang-orang yang kau sayangi.

Cio San, sekarang aku harus turun. Mungkin dalam satu-dua hari, aku
harus turun Butongsan pula. Tugas penyelidikan sudah harus ku mulai lagi.
Mudah-mudahan tidak lama lagi, kita bisa dapat bikin terang masalah
kelompok perampok ini.

Setelah memberi sedikit pesan dan petunjuk, Tan Hoat lalu bergegas turun.
Cio San sangat merasa berat, namun ia menahan diri untuk tidak menangis.
Air mata mengambang di pelupuk matanya. Entah kenapa ia memang mudah
menangis. Hatinya memang lembut. Tapi dia bukan orang yang cengeng, ia
hanya orang yang mudah terharu.

Berkali-kali ia mengalami kejadian yang menyedihkan. Kehilangan orang


tua, kehilangan kakek dan seluruh keluarganya. Namun ia selalu berusaha
menahan kesedihan hatinya. Tapi mata memang tidak bisa berbohong. Sering
sekali matanya itu berair. Jangankan terhadap hal-hal besar, terhadap
hal-hal kecil saja ia sering terharu.

Setelah sendirian seperti ini, Cio San mulai melamun. Ia melamunkan


banyak hal. Kejadian ia kehilangan kedua orang tua, dan seluruh keluarga
besarnya. Perlakuan buruk kawan seperguruannya, dan juga hukuman di atas
gunung ini. Ia berfikir, penderitaannya malah mungkin tidak hanya dimulai
saat ia kehilangan orang tua. Penderitaannya bahkan sudah dimulai sejak
ia lahir.

Ia lahir dengan usia kandungan yang kurang dari 9 bulan. Organ-organ


tubuhnya bekerja tidak sempurna. Jantungnya lemah, paru-parunya lemah,
hampir semua organ tubuhnya lemah. Sejak kecil ia sering sakit-sakitan.
Kalau bukan karena ibunya yang menguasai ilmu pengobatan Gobipay, belum
tentu ia bisa bertahan hidup sampai sekarang.

Selain memberi pengobatan ramuan, dan tusuk jarum. Ibunya pun masih
sering menyalurkan tenaga dalam kepadanya. Bahkan dulu ia sempat
mempelajari ilmu pernafasan Gobipay untuk membantu kerja paru-paru dan
jantungnya.

Aliran darahnya mengalir tidak normal. Kadang-kadang malah sakit kepala


hebat sering menyerangnya. Singkat kata, hampir semua rasa sakit yang ada
di dunia ini pernah dialami Cio San. Untungnya memang ibunya selalu
berada di dekatnya dan mengobatinya terus menerus.

Beberapa tahun ini, setelah kedua orang tuanya meninggal. Tidak ada lagi
yang mengobati Cio San. Ketika sakit kepala, atau sesak nafas
menyerangnya, ia menyembunyikannya rapat-rapat. Itulah kenapa ia tidak
bisa dengan sempurna menggunakan ilmu silatnya.

Beberapa petinggi Butongpay bukan tidak mengerti tentang keadaan tubuh


Cio San. Mereka pun berusaha untuk menyembuhkannya. Tapi ilmu pengobatan
Butongpay yang hebat itu, sama sekali tidak menurun kepada murid-murid
dan petinggi Butongpay yang sekarang. Keasyikan mempelajari ilmu silat,
membuat mereka sedikit menganaktirikan ilmu pengobatan yang sebenarnya
sangat penting itu.

Mungkin kitab-kitab pengobatan peninggalan Thio Sam Hong masih tersimpan,


namun tidak ada seorang pun yang tertarik mendalaminya lagi.

Keadaan Butongpay setelah ditinggal mati oleh banyak murid-murid


berbakat, dan juga ditinggal Thio Sam Hong, membuat Butongpay benar-benar
lemah saat ini. Itulah mereka sekarang mengutamakan berlatih ilmu silat
dengan sungguh-sungguh.

Keadaan ini tentu saja menyulitkan Cio San, yang pada awalnya masuk
Butongpay untuk mempelajari sastra dan juga ilmu pengobatan. Karena guruguru Butongpay sekarang memiliki kemampuan sastra yang sangat
mengecewakan. Bahkan bisa dibilang Cio San lebih mengerti sastra daripada
guru-guru itu sendiri.

Ayahnya yang memang ahli sastra kenamaan, sudah mengajarkan banyak sekali
huruf-huruf kuno kepada Cio San. Sejak umur 4 tahun, ia sudah sanggup
membaca kitab-kitab kuno. Hal ini memang menjadi kebanggaan tersendiri
bagi keluarga Cio. Sejak dari jaman leluhur keluarga Cio, mereka memang
terkenal sebagai ahli-ahli sastra yang hebat-hebat.

Kemenangan mengusir penjajah Goan dulu, sebenarnya tidak terlepas dari


pengetahuan sastra keluarga Cio ini. Cio Hong Lim, kakek Cio San, bisa
menjadi ahli strategi dari tentara pembebas, karena ia faham kitab-kitab
kuno. Ia mempelajari strategi-strategi perang jaman dulu, dan
menerapkannya pada saat perang dulu. Ditambah lagi ia mampu menerjemahkan
sebuah kitab perang jaman dahulu kala yang dulunya tersimpan di dalam
sebuah golok sakti.

Kitab perang kuno itulah yang membuat perjuangan itu berhasil, dan
membawa Kaisar Beng pertama mendirikan kekaisarannya. Cio Hong Lim
sendiri mundur dari jabatannya sebagai ahli strategi begitu kemenangan
perjuangan berhasil diraih. Padahal kaisar baru itu sudah menawarkan
berbagai jabatan kepadanya. Namun Cio Hong Lim memilih membangun desanya,
hingga akhirnya dia sekeluarga terbunuh oleh kawanan perampok.

Mengingat cerita tentang kitab kuno, Cio San jadi teringat sebuah
'kitab', yang diberikan Liang-lopek kepadanya. Bergegas Cio San mengambil
kitab itu. Kitab yang tebal itu memang membahas tentang berbagai resep.
Dan ternyata banyak sekali huruf kuno di dalamnya. Untunglah Cio San bisa
membaca semuanya.

Buku itu menarik sekali baginya. Ada resep-resep masakan, ada juga
ramuan-ramuan pengobatan. Ada penjelasan tentang berbagai bahan-bahan,
mulai dari sederhana sampai bahan-bahan yang baru dikenalnya.

Seseorang yang gemar sekali membaca, jika diberikan bacaan yang menarik
hatinya, maka seluruh perhatiannya akan tercurahkan hanya kepada buku
itu. Semua tak dihiraukannya lagi. Bahkan mungkin anak istri sekalipun.

Cio San pun mempunyai sifat semacam ini yang menurun dari ayahnya. Dengan
'rakus' ia membaca halaman demi halaman kitab itu. Daya ingatnya pun kuat
sekali. Sekali baca saja ia sudah paham. Keasyikan membaca ini
mengalihkannya dari rasa sepi karena sendirian saja di pondok bambu itu.

Tak terasa sudah siang, dan perut Cio San sudah keroncongan dari tadi.
Akhirnya ia 'mengalah' dan memilih untuk makan. Nasi dan ikan tadi pagi
masih tersisa. Tapi sambil makan pun Cio San masih 'melahap' kitab
pemberian Liang-lopek itu.

Sampai malam, hampir sepertiga kitab itu sudah selesai ia baca. Karena
selain membaca, Cio San mencoba menghafal-hafal isi bacaannya. Dan
herannya, ia memang sudah hafal seluruh yang ia baca tadi. Melihat
sendiri pun seseorang tidak akan percaya bahwa ada orang yang bisa
menghafal apapun dalam sekali baca.

Namun begitulah Tuhan yang maha adil. Cio San mungkin mempunyai
kekurangan fisik, namun daya ingat dan daya pikir otaknya jauh diatas
rata-rata orang lain.

Setelah malam, Cio San memutuskan untuk beristirahat dan melatih ilmu
pernafasannya yang sudah tertinggal jauh dari kawan-kawan seperguruannya.
Memang ia sangat terlambat, namun itu semua bukan karena
kekurangfahamannya, namun karena organ-organ dalam tubuhnya yang bekerja
kurang sempurna sehingga latihan-latihan itu gagal semua.

Cio San pun mengerti dan faham hal ini. Ia sampai pada kesimpulan bahwa
mungkin saja latihan cara Butongpay ini ditujukan kepada mereka yang
memiliki organ-organ sehat dan normal, sehingga tidak cocok bagi orang
yang seperti dia.

Kesimpulan Cio San ini sebenarnya sungguh lah tepat. Karena pada dasarnya
ilmu silat itu harus dicocokkan dengan kemampuan fisik seseorang. Jika
seseorang yang fisiknya tinggi, mnaka ada ilmu silat khusus yang membuat

orang itu mampu memaksimalkan kelebihan fisiknya. Begitu juga jika orang
itu pendek, atau kekar, dan lain-lain. Selalu ada ilmu silat yang lebih
cocok bagi keadaan orang tersebut.

Hal inilah yang melahirkan berbagai macam ilmu silat yang ada di dunia
ini. Semua disesuaikan dengan keadaan fisik, bahkan mungkin juga keadaan
alam sekitar.

Cio San mencapai pemahaman ini dalam waktu sebentar saja, di dalam umur
yang sedemikian muda, sebenarnya adalah sesuatu yang sangat luar biasa.
Memang daya pikirnya yang tajam membuatnya sanggup memikirkan hal-hal
yang tidak dipikirkan orang.

Keadaan ini memang diciptakan Tuhan untuk 'menyeimbangkan' kekurangan


fisik yang dimilikinya.

Setelah memahami keadaan dan kenyataan bahwa ilmu Butongpay yang


diajarkan kepadanya itu sebenarnya kurang cocok, Cio San mulai memikirkan
hal baru lagi. Yaitu bagaimana cara agar ilmu itu menjadi cocok baginya!!

Anak sekecil ini sudah berani mengotak-atik ilmu silat adalah merupakan
sesuatu yang berbahaya. Karena jika salah berlatih bisa menyebabkan
kegilaan, cacat seumur hidup, bahkan juga kematian. Herannya, Cio San pun
juga memahami hal ini walaupun tidak ada seorang pun yang menjelaskan
kepadanya.

Jika seseorang menggerakan aliran darah, dan aliran tenaga melalui


tempat yang tidak seharusnya, maka hal ini akan menyebabkan seluruh kerja
tubuhnya akan menjadi kacau. Ini pasti sangat berbahaya bagi orang itu
begitu pikir Cio San dalam hati,

Maka sebelum menggerakan aliran darah dan tenaga, seseorang harus


mengerti dulu arah gerak normal aliran itu. Kemana seharusnya aliran itu
bergerak, bagaimana cara kerjanya, dan lain-lain

Sebelum aku bisa merubah ilmu silat Butongpay ini agar sesuai dengan
tubuhku, maka sebelumnya aku harus memahami tubuhku sendiri dulu.

Pemahaman ini adalah pemahaman terbesar dari para ahli silat. Seorang
yang mengenal tubuhnya sendiri, pasti akan mampu mengendalikan tubuh itu
sseperti yang ia mau.

Memang hebat daya pikir Cio San yang sampai pada pemahaman ini tanpa
seorang pun menunjukkan kepadanya. Selama ini di Butongpay, ia hanya
diajarkan teori gerak. Ia diharuskna meniru apa yang sudah ditunjukkan
oleh gurunya. Sebab mengapa harus bergerak seperti ini, atau seperti itu,
mengapa begini, mengapa begitu, tidak ada seorang pun yang menjelaskan
kepadanya.

Jika banyak bertanya maka ia akan dimarahi karena terlalu banyak


bertanya. Kenyataan bahwa ia tidak sanggup menguasai apa yang diajarkan
kepadanya, adalah lahir dari hal seperti ini. Bahwa ia hanya diajarkan
bergerak, tanpa mengetahui makna gerakan-gerakan itu. Padahal fisiknya
berkembang berbeda dengan orang lain pada umumnya.

Memahami hal ini, Cio San bertekad untuk mempelajari dulu keadaan
tubuhnya sendiri. Jika ia sudah benar-benar faham cara kerja organ
tubuhnya, maka ia bisa saja 'merubah' sedikit ilmu silat Butongpay yang
diajarkan kepadanya agar sesuai dengan keadaan tubuhnya.

Buku pemberian A Liang itu sebenarnya adalah kumpulan buku-buku unik. Ada
mengenai resep masakan dan obat-obatan. Bab yang membahas obat-obatan
juga memiliki pembahasan tentang tubuh manusia. Tentang aliran darah dan
berbagai macam fungsi organ tubuh.

Hal ini membuat Cio San semakin bersemangat mempelajari isi buku yang
diberikan A Liang kepadanya. Karena ternyata di dalamnya berisi
pengetahuan tentang tubuh manusia juga. Cio San membaca kitab itu dengan
lahap sampai ia tertidur.

Pagi-pagi Cio San terbangun. Ia lalu berlatih silat sebentar, sesuai


dengan yang dipesankan gurunya. Memang waktu terbaik untuk berlatih silat
adalah saat pagi-pagi sekali. Sinar matahari sangat membantu untuk
menguatkan tulang, dan menyehatkan tubuh.

Setelah berlatih, dia mulai menanak nasi, kemudian ia tinggal pergi mandi
dan menangkap ikan. Setelah nasi sudah masak dan ikan sudah diolah, ia
pun makan pagi.

Sambil makan, buku pemberian Liang-lopek itu tidak lepas darinya.


Semangat sekali Cio San mempelajari isi buku. Sampai siang ia terus
membaca isi buku itu. Kadang-kadang ia memperaktekkan apa yang ada di
dalam buku itu. Berfikir sebentar, memperhatikan titik-titik yang ada
pada tubuhnya. Mengingat-ingat fungsi titik-titik.

Kegiatan itu berlangsung selama 3 hari berturut-turut. Tak terasa Cio San
sudah melalap habis isi buku itu dalam waktu 3 hari!

Hari keempat, setelah berlatih silat, Cio San melihat bayangan orang dari
kejauhan. Rupanya akan ada tamu, pikir Cio San.

Tak berapa lama bayangan itu semakin jelas, tampaklah Beng Liong.

Cio San senang sekali bahwa kakak seperguruannya ini datang


mengunjunginya. Dari jauh mereka saling tersenyum.

Ah Liong-heng, selamat datang di gubuk derita ini teriak Cio San sambil
tertawa

San-te, bagaimana keadaanmu?

Mereka berbasa-basi sebentar menanyakan kabar dan bercanda. Rasanya


memang nikmat jika ada sahabat yang mengunjungimu di kala kau sedang
kesepian.

Cio San yang saat sedang menanak nasi, meminta ijin sebentar untuk mandi.
Tidak lama kemudian dia pulang membawa dua ekor ikan yang lumayan besar.

Sambil menikmati nasi dan ikan bakar itu. Kedua sahabat kecil itu mulai
saling bercerita. Beng Liong menceritakan keadaan perguruan sedangkan Cio
San menceritakan kegiatannya 'melahap' buku yang diberikan A Liang
kepadanya.

Pasti menarik sekali buku itu, San-te. Kuharap banyak manfaat yang bisa
kau ambil

Iya Liong-heng. Di buku ini banyak sekali pengetahuan tentang bahanbahan alam, dan ramuan-ramuan. Awalnya aku mengira hanya berisi resep
masakan, ternyata isinya lebih dari itu. Liang-lopek juga mungkin tidak
tahu karena kebanyakan isi buku ini dari huruf-huruf kuno kata Cio San
sambil menunjukkan buku itu.

Beng Liong melihat-lihat isi buku itu kemudian berkata,

Ah benar. Ternyata banyak huruf-huruf kuno. Kau bisa mengenal seluruh


huruf-huruf ini, San-te?

Bisa Liong-heng...

Seluruhnya?

Seluruhnya

Wah hebat sekali kau San-te

Tidak juga, Liong-heng. Kebetulan saja aku memiliki ayah seorang siucai
(sastrawan), sehingga sejak kecil aku memang sudah dikenalkan huruf-huruf
itu tukas Cio San sambil tersenyum

Lama mereka membahas isi buku itu, sampai kemudian Beng Liong berkata,

Eh San-te, bagaimana kalau kita berlatih silat?

Boleh Liong-heng, tapi beri aku petunjuk ya. Ilmu silat ku buruk sekali,
Hahahaha

Kedua orang itu lalu bersilat. Terlihat sekali bahwa memang Beng Liong
sangat berbakat dalam ilmu silat. Gerakannya lincah dan mantap.
Serangannya bertenaga, dan cepat sekali. Tidak percuma dia dianggap
sebagai murid Butongpay yang paling berbakat.

Cio San jelas kelabakan dalam menghadap serangan-serangan Beng Liong.


Untunglah Beng Liong sendiri menahan diri sehingga tidak mendesak Cio
San.

Sambil bersilat, kadang-kadang Beng Liong memberikan petunjuk-petunjuk


tentang serangan dan tipuan-tipuan.

Cukup lama mereka bersilat, sampai kemudian Cio San mulai terlihat
terengah-engah. Mengetahui kondisi ini Beng Liong mulai melemahkan
serangan-serangannya, sehingga lama-lama mereka sepakat untuk berhenti
silat.

Kau hebat sekali, Liong-heng. Baru 3-4 hari kita berpisah, kemajuannya
sudah pesat sekali

Benarkah?

Benar Liong ko. Serangan-seranganmu bertambah cepat. Bukankah tadi kau


memainkan jurus-jurus yang baru saja kau latih 3 hari yang lalu?

Iya. Bagaimana kau bisa tahu?...oh aku ingat. Saat aku melatih jurusjurus itu, kamu datang untuk berpamitan ya?

Benar Liong-heng. Hehe.

Mereka lalu beristirahat.

San-te, gerakmu tadi kurang cepat, sehingga gerakan-gerakanmu tadi mudah


dibaca. Cobalah untuk berlatih meningkatkan kecepatan seranganmu.

Baik Liong-heng, terima kasih atas petunjuknya

Jangan lupa jurus-jurus itu harus kau hafal luar kepala. Sehingga ketika
bersilat, kau bisa langsung menggunakannya dengan bebas. Jika kau
menghafal seluruh jurus-jurusnya, perubahan serangan macam apapun dari
lawan kita, bisa dihadapi dengan mudah. Ilmu silat Butongpay memang hebat
sekali. Jurus-jurus dasarnya saja sudah bisa menghadapi serangan-serangan
dahsyat ilmu lawan

Benarkah Liong-heng?

Benar San-te. Makanya kau jangan malas berlatih. Jika kita semua rajin
berlatih, aku yakin nama Butongpay akan semakin gagah di mata orang-orang
Kang-ouw

Baik Liong-heng kata Cio San tersenyum.

Setelah beristirahat beberapa lama, Beng Liong pamit karena waktu


istirahat sudah akan habis. Mereka berpisah, dan Beng Liong berjanji
untuk sering mengunjungi Cio San. Begitu menuruni gunung, terlihat
gerakan Beng Liong sangat lincah dan cepat sekali,

Wah, Liong-heng ternyata semakin hebat saja, rupanya ia sudah mulai


mempelajari ilmu meringankan tubuh Butongpay kata Cio San dalam hati.

Hari berganti hari, Cio San terus berlatih silat Butongpay. Namun sambil
berlatih silat,otaknya terus menerus mengingat-ingat tulisan yang ia

pelajari dari dalam buku. Pada awalnya nafas terengah-engah dan ia cepat
merasa capai. Tapi ia terus memaksakan diri. Sedikit demi sedikit rasa
terengah-engah itu hilang, bahkan terasa ada kekuatan baru yang muncul
perlahan-lahan.

Cio San tidak pernah menyangka bahwa saat ia berlatih silat sambil
mengingat-ingat tulisan di dalam buku itu, sebenarnya ia telah berhasil
menggabungkan ilmu silat Butongpay dan pengetahuan tentang tubuh manusia.

Saat ilmu Butongpay mengajarkannya untuk menyalurkan energi ke kaki, ia


mulai merasa terengah-engah. Tapi saat ia teringat bahwa jantungnya
lemah, maka ia malah mengalirkan tenaga itu ke jantung, bukan ke kaki.
Karena di dalam buku, untuk menguatkan jantung, ia harus menyalurkan
energi Im ke dalamnya.

Ini adalah hal yang sangat berbahaya jika tidak dilakukan dengan hatihati. Namun entah kenapa ilmu silat Butongpay itu sangat cocok dengan
teori yang diciptakan sendiri oleh Cio San. Sebagian besar ini mungkin
karena keberuntungan belaka, karena Cio San sama sekali paham tentang
ilmu silat.

Tetapi sebagian besar juga dikarenakan daya pikir serta keberaniannya


untuk mencoba hal yang baru. Secara tidak langsung, sebenarnya Cio San
sedang menciptakan perubahan-perubahan di dalam ilmu Butongpay.

Ini terjadi dari hari ke hari setiap kali ia berlatih ilmu silat. Jika ia
merasa terengah-engah atau capai, cepat-cepat ia merubah gerakan atau
penyaluran energi ke tempat-tempat di mana ia pikir sesuai dengan
kebutuhan tubuhnya. Dalam beberapa hari saja ilmu Cio San sudah maju
sangat-sangat pesat.

Suatu hari ketika ia sedang makan siang, ia melihat ada bayangan lagi.
Kali ini ia mengenalnya dari kejauhan. Itu pasti Liang-Lopek. Ah
akhirnya ia datang juga Ujarnya sambil tersenyum.

Hoy, Cio San A Liang berteriak dari jauh. Bagaimana kabarmu?.


Hahahahahaha

Liang-Lopek apa kabar Kata Cio San sambil memberi salam.

Hey buat apa kau banyak aturan seperti ini? Pakai salam Butongpay
segala. Aku kan bukan murid Butongpay

Haha, Liang-lopek memang bukan murid Butongpay. Tapi Liang-Lopek adalah


'tetua' Butongpay

Huah? Gila kau. Jika di dengar 4 tetua Butongpay, kau pasti dihajar
mereka. Hahaha

Senang rasanya di saat sepi ada sahabat yang datang menemani. Karena
kedua orang ini memang sudah seperti sahabat. Padahal umur mereka berdua
sudah seperti kakek dan cucu.

Rupanya A Liang membawa juga makanan dari dapur sehingga mereka berdua
duduk menikmati makanan sambil bercerita. Lama sekali mereka bercerita.
Cio San menceritakan kegiatannya sehari-hari diatas gunung selama hampir
sebulan ini. Sedangkan A Liang menceritakan keadaan perguruan.

Eh ngomong-ngomong, sudah kau baca belum buku yang kuberikan? tanya A


Liang

Sudah lopek. Sudah saya tamatkan

Heh? Sudah tamat? Memangnya kau bisa membaca huruf-huruf aneh di buku
itu?

Bisa lopek. Bukankah dulu saya sempat cerita kalo mendiang ayah pernah
mengajarkan huruf-huruf kuno kepada saya

Masak sih? Aku lupa...ahhahahhahaha lanjutnya, Coba kau ceritakan apa


saja isinya. Mungkin saja aku jadi lebih mahir memasak. Hahahahaha

Buku itu selain resep masakan, banyak sekali resep obat-obatan, dan juga
pengetahuan tentang obat-obatan Sambil berkata begitu Cio San bangkit
dari duduknya dan pergi mengambil buku itu di dalam gubuknya.

Coba kau ceritakan padaku tentang isinya pinta A Liang

Cio San lalu menceritakan banyak sekali resep-resep masakan yang unik.
Buku itu memang selain berisi tulisan aksara Tionggoan juga memuat hurufhuruf asing. Sehingga memang A Liang tidak pernah menguasai isinya.

Sebenarnya ini huruf apa sih? Apa memang huruf kuno Tionggoan?

Sebenarnya ini huruf gabungan tionggoan dan huruf dari daerah barat.
Jaman dulu dari sebuah negeri barat ada agama baru yang dibawa oleh
seorang Nabi. Setelah nabi itu wafat, pengikutnya lalu menyebarkan agama
itu ke seluruh dunia. Kehidupan pemeluk agama itu sangat maju. Mereka
menciptakan ilmu-ilmu baru. Seperti ilmu berhitung, ilmu sastra, ilmu
perbintangan, dan lain-lain. Mereka juga menciptakan ilmu silat yang
sangat hebat. Mereka selain menyebarkan agama, juga menyebarkan ilmu-ilmu
ciptaan mereka itu. Jelas Cio San

Ah kau seperti seorang guru saja. Haha. Tapi aku pernah mendengar cerita
itu. Jadi menurutmu apakah huruf-huruf di buku ini adalah huruf-huruf
dalam aksara mereka?

Bukan Lopek. Ini adalah huruf gabungan aksara Tionggoan dan aksara kaum
barat itu. Kaum barat itu adalah kaum yang hidup di gurun pasir, dan
sangat menyukai sastra. Mereka juga adalah pengelana. Mereka berkelana
menyebarkan agama baru itu sampai ke Tionggoan. Mereka lalu tinggal
menetap dan berbaur dengan penduduk asli kita. Bahkan mereka menganggap
diri mereka sebagai orang Tionggoan. Sehingga mereka pun menggabungkan
aksara Tionggoan dengan aksara asli daerah asal mereka. Maka terciptalah
aksara yang ada di buku ini

Dari mana kau tahu?

Dari mendiang ayah. Beliau yang bercerita kepada saya lanjutnya, Kata
ayah, ilmu mereka tinggi sekali. Bahkan ketinggian ilmu mereka itu sulit
diukur. Musuh-musuh mereka pun juga ikut mempelajari ilmu-ilmu mereka.
Sehingga untuk menjaga kerahasian, mereka menyimpan ilmu-ilmu mereka ke
dalam puisi-puisi yang sukar dimengerti. Sehingga hanya orang-orang
tertentu yang bisa mengerti.

Benarkah katamu itu? tanya A Liang

Itu kata ayah. jawab, Dan sebenarnya kakek dan ayah sendiri adalah
penganut agama dari barat itu lanjut Cio San

Benarkah? Jadi kamu bisa aksara barat itu juga?

Sedikit-sedikit saya paham. Cuma saya belum pernah melihat sedikitpun


bacaan dengan aksara asli agama itu. Kalau ada, pasti menarik sekali.

Wah hebat sekali kau ini A Liang berkata sambil tersenyum dan gelenggeleng kepala.

Sudahlah aku turun dulu yah, kalau terlalu sore, nanti bisa kemalaman
dan terlambat mengurus makan malam untuk perguruan kita. Kau jagalah
dirimu baik-baik kata A Liang

Baik lopek , terima kasih sudah mau repot-repot mengunjungi saya di


sini

Alah, aku malah merasa bersalah tidak mengunjungimu sejak dari awal kau
dikirim ke sini.

Terima kasih banyak lopek, saya baik-baik saja disini, kalau nanti lopek
ada waktu berkunjung, mudah-mudahan kita bisa main khim dan bernyanyi

Hahaha, aku suka itu. Nah aku pulang dulu, kau baik-baik lah. Selamat
tinggal Ia menepuk pundak Cio San, lalu bergegas pergi.

Selamat jalan, lopek. Sampaikan salam buat para suhu, dan para suheng
dan sute

BAB 5 Pelajaran di Puncak Gunung

Cio San terus berlatih dengan giat, kini rasa lemas dan capek yang
dirasakannya setiap berlatih silat telah menghilang seluruhnya. Tubuhnya
terasa selalu segar. Apalagi ketika selesai berlatih, ia malah semakin
merasa bugar. Sudah hampir sebulan ia berada di atas gunung ini, tidak
terasa ilmu silatnya maju pesat seperti orang yang telah melatih silat
selama 5 tahun.

Ia mengingat seluruh teori silat dan pernafasan yang diajarkan oleh


gurunya. Walaupun hanya di tingkatan rendah, teori itu ia gabungkan
dengan pengetahuan dari buku yang diberikan A Liang. Hasilnya, ia seperti
menciptakan ilmu baru. Ada terasa gaya Butongpay dalam ilmu itu, tapi
juga terasa berbeda karena sudah ia gabungkan dengan teori lain.

Ada rasa riang yang timbul karena tidak lagi ada rasa lemas dan capek.
Cio San sudah hampir sembuh seluruhnya dari penyakit yang dideritanya
sejak kecil. Memang rasa sakit kepala dan denyut jantung yang berdetak
cepat kadang-kadang menyerangnya. Namun jika ia menyalurkan tenaga ke
tempat-tempat yang sakit itu, perlahan-lahan ia bisa menghilangkan rasa
sakit itu.

Selain melatih silat, Cio San kini mulai belajar memasak. Ia mencobai
berbagai resep yang ada di buku itu. Mulai dari yang gampang-gampang
dulu. Di atas puncak Butong San, hampir semua bahan untuk resep-resep
bisa ditemukan. Memang tidak semua bahan itu memang ada-ada. Kadangkadang, dengan daya pikirnya, Cio San bisa mengganti bahan masakan yang
tidak ada dengan bahan-bahan lain.

Ia berburu rusa, dan kambing gunung. Juga berbagai jenis burung untuk di
masak. Ia memetik daun-daun dan tanaman untuk bumbu masakan. Kadang malah

ia mencampur-campur sendiri resepnya. Hasilnya kadang enak, kadang


mengecewakan. Kalau sudah begitu Cio San hanya bisa tertawa-tawa sendiri
memuntahkan hasil masakannya yang rasanya tidak karuan.

Selain memasak, ia juga belajar membuat resep-resep obat-obatan. Kadangkadang ia malah mencampurkan resep obat dan resep masakan. Walaupun
rasanya tidak begitu enak, Cio San percaya hal itu bisa membuat tubuhnya
lebih sehat.

Dan memang benar, keberaniannya mencoba masakan dan obat-obatan membuat


tenaga semakin bertambah kuat. Resep-resep kuno itu ternyata sangat
berkhasiat sekali.

Beberapa hari kemudian A Liang datang lagi. Kali ini selain berbincangbincang sambil makan, A Liang mengajarkan cara bermain Khim. Awalnya Cio
San memang kesulitan, tetapi dasar berbakat, diajari sebentar saja sudah
bisa. Bakatnya terhadap sastra dan musik mungkin memang menurun dari
ayahnya, yang memang mahir sekali.

Sambil bernyanyi diiringi petikan khim dari Cio San, A Liang memberikan
petunjuk dan pengarahan, Nah di bagian ini jangan terlalu keras,
lembutkan sedikit, atau Kurang cepat, ikuti hentakan iramanya.

Setelah berjam-jam, akhirnya Cio San menguasai juga lagu yang diajarkan A
Liang. Aduh, susah sekali lagu ini lopek, kita beristirahat sebentar
keluh Cio San

Haha, baiklah. Tapi permainanmu sudah lebih baik dibanding awal-awal


tadi, pintar juga kau puji A Liang.

Yang pintar itu gurunya, mulai sekarang saya akan memanggil lopek
sebagai 'suhu'..

Hush ngawur..murid Butongpay tidak boleh mengambil guru luar seenaknya.


Walaupun aku sudah lama mengabdi di Butongpay, aku hanya tukang masak,
mana boleh dipanggil guru sahut A Liang.

Tapi bukankah orang yang mengajarkan sesuatu kepada orang lain sudah
sepantasnya dipanggil 'suhu'? kata Cio San sambil tersenyum

Halah, tidak mau. Aku tidak mau dipanggil suhu kata A Liang ketus

Baiklah, lopek. Tapi bagaimanapun, aku tetap menganggap lopek sebagai


suhu, dan akan mengabdi layaknya murid terhadap suhu. Walaupun lopek
tidak mau dipanggil sebagai suhu. Terimalah salam teecu yang tidak bisa
berbakti ini.... dengan tulus Cio San berlutut dan sujud.

Belum sampai kepalanya menyentuh tanah, A Liang sudah menghalanginya,


Hey jangan terlalu banyak aturan seperti inilah, terserahlah kau
menganggapku apa. Tapi ku minta, jangan berlaku seperti ini jika ada
orang lain. Hukuman Butongpay bisa membuatmu tinggal selamanya di sini
Ia berkata sambil tersenyum, tapi matanya sudah berkaca-kaca.

Entah kenapa, A Liang suka sekali dengan anak ini. Cio San memang
memiliki watak yang menyenangkan. Yang menyebabkan ia dibenci oleh muridmurid Butongpay yang lain, sebenarnya bukanlah karena wataknya. Melainkan
posisinya sebagai anggota 15 naga muda Butongpay lah yang membuatnya
dicemburui. Murid-murid lain menganggap kemampuan silatnya tidak pantas
untuk menjadi anggota 15 naga muda.

Cio San sendiri memang bisa membawa diri. Tutur katanya sopan dan
menyenangkan. Ironisnya, sering kali tutur kata kita yang sopan bisa
membuat orang lain yang sudah tidak suka kepada kita, akan semakin tidak
suka.

A Liang yang sederhana dan tidak memiliki prasangka apa-apa terhadap ini
menjadi sayang, dan menganggapnya sebagai cucu sendiri. Walaupun mereka
baru-baru saja akrab akhir-akhir ini, tapi A Liang serasa memiliki
cucunya sendiri. Ia memang tidak pernah menikah sepanjang hidupnya.
Sehingga keberadaan Cio San, mungkin membawa perasaan tersendiri di
hatinya yang tidak pernah memiliki anak atau cucu.

Setelah beristirahat cukup lama, mereka berdua mulai bermain khim lagi.
Kali ini kau harus memperhatikan syair yang kunyanyikan. Konsentrasi
kini harus kau bagi untuk memainkan khim, dan mendengarkan syair. Ini
lebih susah, tapi nanti kau pasti bisa kata A Liang

Baiklah lopek

A Liang lalu bernyanyi. Cio San mulai mengiringi, kali ini ia


memperhatikan liriknya. Pertama-tama petikannya menjadi kacau saat ia
membagi konsentrasi. Tapi lama kelamaan ia sudah mulai bisa mengiringi.
Saat mendengarkan syair, tak terasa air matanya mulai meleleh.

Lagu itu sungguh sedih. Menceritakan kesepian seseorang. Entah siapa yang
dirindukan. Tak terasa perasaan rindu itu menyusup ke hati Cio San. Ia
teringat kedua orang tuanya. Air matanya pun meleleh.

Petikan khim dan suara nyanyian yang syahdu di atas gunung. Daun-daun
berguguran. Suara pohon bergesek-gesek. Timbul keheningan dari suarasuara ini.

Entah tebing terjal ini memang sepi atau hati yang sepi. Dua orang
berhadap-hadapan namun pikiran dan kenangan bergerak sendiri.

Seorang tua, dan seorang anak belasan tahun. Masing-masing meneteskan


airmata karena kenangan yang berbeda. Entah apa yang mereka pikirkan.

Ketika nyanyian dan petikan berhenti. Maka serasa pohon dan angin juga
ikut berhenti.

Kedua orang ini tersenyum. Ketika air mata telah habis dijatuhkan, maka
yang tersisa adalah senyum ketulusan. Mereka berdua tidak sedang saling
tersenyum. Mereka berdua sedang tersenyum kepada kenangan-kenangan
mereka.

Jika kesepian datang melanda di tengah dinginnya puncak tebing yang


tinggi, maka apa lagi yang bisa menghangatkan hati kecuali kenangan
indah.

Cio San sedang mengenang ayah bundanya. Terngiang ia atas petikan lagu
indah, dan tiupan seruling yang merdu sang ayah. Teringat dia kepada
belaian lembut ibundanya. Yang menyuapinya, yang menggendongnya, yang
menghiburnya.

Entah A liang teringat kepada siapa atau apa. Namun 70 tahun hidupnya
jelas tidak mungkin tidak terisi oleh kenangan indah.

Lama sekali kedua orang ini terdiam. A Liong lah yang memecah kebisuan,
Aku belum pernah mendengar permainan khim seindah ini. Kau mungkin
ditakdirkan menjadi ahli khim nomer satu. Baru belajar beberapa jam saja,
kau sudah bisa membuat orang lain menangis mendengar petikanmu

Menangis karena terlalu jelek, lopek? Cio San bercanda namun air
matanya masih tetap mengalir.

Teruslah belajar, tak berapa lama kau akan menjadi ahli khim ternama.
Kau mungkin akan dipanggil ke istana hanya untuk bermain khim kata A
Liong

Benarkah, lopek? Wah teecu (murid) akan berusaha sebaik mungkin lopek

Jika saat itu tiba, aku akan senang sekali jika bisa berada disana
menontonmu bermain. Hahaha ia melanjutkan, Ingat, jangan sebut dirimu
'teecu' kalau ada orang lain ya. Bahaya mimik mukanya bersungguhsungguh.

Baik, lopek

Sudahlah, aku mau pulang. Dalam beberapa hari ini aku akan datang lagi.
Kita belajar lagu baru. Siap?

Siap, lopek jawab Cio San.

Baiklah, sampai jumpa A Liang pergi dengan riang.

Petikan khim dari puncak gunung terdengar semakin indah dari hari ke
hari. Cio San nampaknya memang memiliki bakat yang besar dalam bermain
khim. Bosan memainkan lagu yang diajarkan A Liang, ia malah menciptakan
lagu sendiri. Sudah ada 2 lagu yang ia ciptakan. Indah sekali. Walaupun
nadanya tidak begitu rumit, namun justru karena kesederhanaan itulah
lagu-lagu itu terdengar lebih indah.

Kadang-kadang petikannya terdengar riang, terkadang terdengar syahdu.


Kadang juga terdengar sedih dan menyayat hati. Begitu besar bakat Cio San
dalam bermain khim sehingga dalam beberapa hari saja permainannya sudah
mencapai tahap ini. Seandainya bakat silatnya sebesar ini, tentunya ia
sudah jauh lebih hebat dari Beng Liong, sang murid paling berbakat dari
Butongpay.

Hanya 2 bulan dia di puncak Butongsan, kemajuan dirinya sudah sangat


mengherankan. Kepandaian silatnya sudah maju pesat. Tubuhnya bertambah
sehat dan kuat. Dia pun memiliki kepandaian memasak. Juga membuat obatobatan. Dia pula telah pandai bermain khim.

Kemajuan seperti ini memang agaknya tidak dirasakan oleh si bersangkutan.


Namun seringkali orang lain lah yang bisa melihat kemajuan ini. Terkadang
sering kita melihat orang yang ahli melakukan sesuatu. Dan menganggapnya
hebat. Tapi jarang sekali kita sadar bahwa orang yang ahli itu telah
melewati latihan dan tempaan yang keras. Juga kedisiplinan yang tinggi.

Untuk menjadi seorang ahli silat, tentulah harus memiliki hal-hal seperti
itu. Kemauan keras, kerja keras, dan sikap diri yang disiplin. Bagi orang
lain ini seperti sesuatu yang susah. Tapi bagi mereka yang mencintai apa
yang didalaminya, maka semua dilakukan dengan riang.

Belajar silat, memang sukar. Harus melatih tubuh dan pikiran dengan
keras. Orang lain yang tidak mengerti silat akan merasa ngeri dan
beratnya latihan itu. Tapi bagi mereka yang mencintai ilmu silat, latihan
berat dan keras, serta pengorbanan seperti itu adalah hal yang sangat
kecil. Bahkan ada sebagian orang yang merasa latihan keras dan berat itu
bagaikan sebuah kesenangan.

Maka bagi orang yang sudah mencintai sesuatu, tidak ada lagi yang namanya
susah payah, pengorbanan, atau kerja keras dan berat. Yang ada hanyalah
kecintaannya terhadap sesuatu hal itu.

Begitu pula jika kita mencintai seseorang. Semua akan kita lakukan demi
cinta terhadap orang itu. Tidak ada lagi pengorbanan. Karena mereka
menganggap pengorbanan itu adalah cinta.

Jadi, sesungguhnya kita belum bisa dibilang mencintai sesuatu atau


seseorang sebelum kita bisa menganggap pengorbanan yang kita lakukan
sebagai sebuah kesenangan. Jika seseorang masih merasa 'berkorban' maka
sesungguhnya dia belum mencintai. Karena dalam cinta tidak ada
pengorbanan. Yang ada hanya ketulusan.

Berkorban berarti merelakan sesuatu yang dianggap penting demi sesuatu


hal. Namun mencintai berarti menganggap tidak ada yang lebih penting
dari yang dicintai itu.

Cinta tidak memerlukan pengorbanan, karena sesungguhnya cinta hanya


memerlukan ketulusan.

Dalam apapun di dalam hidup ini, sepertinya itulah yang sering dilupakan
orang. Ketulusan.

Bahkan dalam ilmu silat pun, ketulusan ini sering dilupakan. Cio San
merasa ketika dulu berlatih di perguruan, ia harus mengorbankan waktu dan
tenaganya untuk bisa menguasai ilmu silat yang diajarkan. Oleh sebab itu
kemajuannya sangat sedikit sekali.

Beng Liong mungkin berbeda. Ia sudah terlanjur jatuh cinta dengan ilmu
silat, sehingga berlatih silat sudah merupakan kesenangan dan
kebahagiannya. Dia tidak lagi harus merasa berkorban. Karena tenaga yang
dikeluarkan, serta waktu yang digunakan untuk berlatih, bukanlah sebuah
pengorbanan. Tetapi merupakan kecintaan.

Ketika diatas gunung, Cio San mulai mengutak-atik sendiri ilmu silatnya.
Digabungkannya ilmu itu dengan bacaan yang ia baca. Ketika timbul suatu

hasil, maka kegembiraan lah yang muncul. Kegembiran itu menimbulkan


kesenangan. Kesenangan bisa menimbulkan cinta.

Maka jika kecintaan terhadap silat sudah tumbuh, bakat menjadi hal yang
tidak penting. Ia menghabiskan waktu untuk berlatih tanpa perduli ia akan
bisa atau menjadi mahir atau tidak. Ia berlatih demi kesenangan dan
kegembiraan bukan untuk BISA.

Sesungguhnya pemahaman seperti inilah yang akan membuat seseorang


mencapai tahap tertinggi dalam apapun yang dijalaninya.

Sudah tak terasa berapa banyak tenaga, pikiran, dan tenaga yang dia
curahkan. Kemajuannya pun ia sendiri tidak tahu. Namun satu yang ia tahu,
ia kini sangat senang belajar silat. Bukan karena ingin menjadi hebat dan
sanggup mengalahkan A Po yang dulu sempat membuatnya 'menangis'. Tapi
karena ia merasa bahagia dan senang melakukan gerakan-gerakan itu.
Mencurahkan pikirannya untuk menemukan hal-hal baru dari ilmu silat itu.

Itulah keunikan ilmu silat. Kadang-kadang kau harus mempelajari semua


gerakan dan teorinya. Namun kadang-kadang justru dengan melanggar teori
dan rumusnya, malah kau bisa menemukan ilmu yang lebih hebat. Cio San di
umurnya yang baru belasan tahun malah sudah bisa menciptakan variasi dari
ilmu Butongpay. Bahkan bisa dibilang juga ia telah menciptakan ilmu silat
baru. Kejadian seperti ini memang bukan barang langka di dalam dunia kang
ouw, tapi juga bukan kejadian yang sering terjadi.

Beberapa hari kemudian, A Liang datang lagi. Sesuai janjinya ia


mengjarkan lagu baru kepada Cio San. Kali ini lagunya bernada riang
gembira. Mereka bermain musik sambil bernyanyi dan tertawa. Siang itu
memang cerah. Membuat suasana hati senang dan bahagia.

Eh Cio San, aku membawa sesuatu untukmu... kata A Liang

Wah apa lagi lopek, kalau dihitung-hitung dengan barang-barang pemberian


lopek ini, sudah cukup untuk modal buka toko. Hihihi canda Cio San

Ah bisa saja kau, aku membawa ini sambil berkata begitu ia mengeluarkan
sesuatu dari dalam bungkusan. Sebuah guci dari bahan porselen. Ia lalu
membuka tutup guci itu dan menghirup udara yang keluar dari dalamnya

Hmmm, bukankah itu arak Kim Lin dari daerah Nanking? kata Cio San

Hey kau tau juga tentang arak Cio San?

Kalau perkara arak, sejuk kecil teecu sudah paham. Ayahanda teecu adalah
pecinta arak. Tapi beliau minum bukan untuk mabuk, melainkan untuk
dinikmati cita rasanya. Beliau memperkenalkan teecu kepada berbagai macam
arak. Hingga dari baunya saja, teecu sudah tahu arak apa itu

Heh? Wah hebat juga kau A Liang berkata sambil geleng-geleng kepala.
Dalam hatinya dia kagum juga dengan bakat dan kecerdasan Cio San. Namun
memang tidak mengherankan. Ayah Cio San adalah sastrawan terkemuka.
Kecerdasan ini pasti saja menurun kepada anaknya. Apalagi ibu Cio San
adalah juga salah seorang pendekar terkemuka Gobipay.

Kalau ayah lebih hebat lagi lopek, beliau bisa mengetahui berapa usia
arak itu hanya dengan baunya saja. Beliau juga mengajarkan kepada teecu
khasiat arak-arak itu. Memang beliau juga tidak lupa mengingatkan bahwa
terlalu banyak arak justru malah berbahaya jika kita tidak mempunyai chi
(tenaga dalam) yang tinggi

kau hafal khasiat segala arak? Tanya A Liang

Hafal lopek, bahkan ayah juga mengajarkan bahwa masing-masing arak harus
diminum dengan cara berbeda. Masing-masing arak jika diminum sesuai
takaran, dan caranya akan membawa khasiat yang sempurna

Bagaimana itu cara minum arak? Bukankah hanya tinggal buka mulut dan
telan saja? Hahahaha

Masing-masing arak punya kecocokan dengan bahan penyimpanannya. Ada arak


yang rasanya lebih enak jika disimpan di guci porselen. Ada yg lebih enak

jika disimpan di guci dari tanah liat. Ada juga yang lebih enak jika
disimpan dalam guci batu atau juga tembaga dan emas. jelas Cio San

Hah, lama-lama aku yang memanggilmu lopek. Cara bicaramu ini membuat
rasa-rasanya kau jauh lebih tua dari aku. Hahaha tawa A Liang

Kebetulan saja teecu memang punya ayah yang punya kesenangan seperti
itu. Jika tidak, mana mungkin teecu bisa, lopek

Jadi, kau mau menemani aku minum? tanya A Liang

Teecu sebenarnya kurang suka arak lopek, tapi ini merupakan suatu
kehormatan bisa menemani lopek minum arak

Sepertinya aneh anak berusia belasan sudah minum arak. Tapi memang di
jaman itu, apalagi di dalam dunia Kang Ouw, arak tidak dipandang sebagai
sesuatu yang tabu. Apalagi budaya Tionggoan di jaman memang tidak
melarang arak untuk di minum anak kecil. Biasanya sehabis makan, atau
di malam hari, arak disajikan dalam porsi yang sangat sedikit untuk anakanak. Biasanya untuk menghangatkan badan dan juga untuk kesehatan.

Yang aneh justru dari cara kedua orang itu berbicara. Tata krama
Tionggoan sangat ketat. Dan dalam dunia Kang Ouw, justru lebih ketat
lagi. Jika Cio San membahasakan dirinya sebagai teecu (murid), maka ia
harus memanggil A Liang sebagai Suhu(guru). Tapi ia justru memanggilnya
sebagai Lopek (orang tua). Hal ini bisa dianggap sebagai kekurangajaran
besar. Tapi A Liang sendiri memang tidak mau dipanggil sebagai suhu.

Kedua orang itu minum arak dengan khidmat dan tenang. Udara meskipun
cerah, namun tetap terasa dingin karena mereka berada di puncak tertinggi
gunung Butongsan. Dengan arak yang menghangatkan dan persahabatan yang
sejati, apalagi yang dicari seorang laki-laki di dunia ini?

Sebenarnya orang hanya mencari kehangatan di dalam hidup ini. Anak


mencari kehangatan dari kedua orang tuanya. Kekasih mencari kehangatan
dari pasangannya. Maka segala masalah di dunia ini, bukankah disebabkan
oleh hilangnya kehangatan itu?

Anak yang besar di dalam rumah yang penuh kemarahan, penuh pertengkaran
orang tua, kemungkinan besar akan tumbuh menjadi anak yang penuh
kemarahan juga. Kemarahan ini akan ia tularkan kepada siapa saja.

Begitu juga hati yang patah karena kehilangan kehangatan cinta. Ia akan
menjadi pendiam dan sedih. Bahkan yang dipenuhi kebencian. Di atas bumi
ini yang bisa membuat kasih berubah drastis menjadi benci tak lain
hanyalah cinta belaka.

Cinta ada untuk menghangatkan. Maka ketika ia pergi, teramat sering hati
menjadi rapuh, lunglai, dan bahkan mati. Orang yang tubuhnya masih hidup
tapi hatinya mati, apakah masih pantas disebut sebagai manusia?

Cinta itu menghidupkan. Tetapi teramat jarang cinta itu hidup lama. Ia
bagai hujan. Datang setelah ditandai mendung. Namun juga sering sekali
datang tiba-tiba. Berhenti dan pergi juga dengan tiba-tiba.

Cinta, sedemikian juga hujan, adalah perkara yang hanya Tuhan bisa
mengerti.

Manusia hanya meraba-raba dalam ketidakpastian. Apa itu cinta? Apa itu
kasih?. Manusia sebenarnya buta. Dan dalam kebutaannya, ia mencari
sesuatu yang sama sekali tidak ia pahami. Akhirnya timbul lah luka dan
duka karena cinta.

Maka bukankah bisa dibilang segala macam perkara di muka bumi ini terjadi
karena cinta?

Tapi mereka yang telah menemukannya dan memahaminya, akan terus bahagia.
Cinta tak harus terhadap kekasih. Cinta bisa terhadap siapa saja,
terhadap apa saja.

Cinta A Liong dan Cio San ini bukan saja cinta orang tua kepada anak, dan
anak kepada oprang tua. Tapi cinta diantara sahabat. Jika sahabatmu bisa

menjadi seperti orang tuamu, dan orang tuamu bisa menjadi sahabatmu, maka
boleh dibilang kau adalah orang yang paling beruntung di dunia ini.

Dan Cio San yang dirundung kesedihan setelah ditinggal mati seluruh
keluarganya dan cara yang tragis, dimusuhi oleh teman-teman
seperguruannya, dan di hukum oleh gurunya, bukankah bisa sedikit
berbahagia?. Karena memang di muka bumi ini, jika ada sahabat yang
menemanimu dalam suka dan duka, maka kau memang bisa harus berbahagia.

Setelah selesai minum arak mereka bercakap-cakap tentang dunia Kang Ouw.
A Liang yang walaupun tidak pernah berkecimpung dalam dunia Kang Ouw dan
belajar ilmu, rupanya memiliki banyak cerita menarik. Ini wajar karena ia
telah puluhan tahun hidup di Butongpay. Segala sesuatu yang terjadi di
dunia kangOuw tentu menjadi bahan pembicaran di Butongpay.

Lopek, menurut lopek, siapakah yang paling hebat di dunia Kang Ouw?

Sebenarnya tidak ada yang bisa dibilang paling hebat, karena masingmasing orang punya ehebatannya sendiri. Tetua-tetua jaman dulu adalah
orang-orang yang hebat. Masing-masing hebat di masanya. Kwee-Tayhiap, YoTayhiap. Di jamanku dulu yang paling hebat adalah Thio Sam Hong-thaysuhu.
Ilmu silat dan tenaga dalamnya, serta pengetahuannya yang luas tidak ada
bandingannya. Cucu murid beliau, yang bernama,...ah kita tidak boleh
menyebut namanya, adalah yang paling berbakat. Di usianya yang semuda
itu, dia adalah pesilat yang paling hebat. Namun ia pergi mengasingkan
diri beserta istrinya. Sampai sekarang tidak tahu lagi dimana ia berada.

Kenapa kita dilarang menyebut namanya lopek? tanya Cio San

Dulu Thio-thaysuhu melarang kita menyebut namanya karena beliau selalu


sedih jika teringat cucu murid yang paling disayanginya itu. Sekarang
walaupun beliau telah meninggal, kita tetap menghormati beliau dengan
tidak menyebut-nyebut hal hal yang membuat beliau sedih

Keagungan, kehalusan budi, perilaku dan wibawa beliau memang tiada yang
bisa menandingi Teecu walaupun tidak pernah bertemu, mendengar cerita
orang-orang saja, sudah menunduk hormat. Apalagi jika bertemu
langsung... kata Cio San. Matanya menerawang mencoba membayangkan
seperti apa Thio Sam Hong itu.

Ilmu Thay-kek kun beliau sudah mencapai tahap sempurna. Bahkan dengan
ketinggian ilmu silatnya, bisa memanjangkan umur beliau. lanjut A Liang

Menurut lopek, ilmu-ilmu apa saja yang paling hebat dalam dunia Kang
Ouw? tanya Cio San

Di dunia Kang Ouw, banyak sekali ilmu hebat. Karena setiap ilmu
sebenarnya memiliki inti yang sama saja. Itu kata para ahli silat jaman
dulu. Yang membuat ilmu itu hebat adalah yang menggunakannya. Tapi di
jaman dulu ada ilmu yang sangat hebat seperti 18 Tapak Naga milik
mendiang Kwee-tayhiap. Atau Tapak Duka Nestapa milik mendiang Yotaihiap. Sayangnya kedua ilmu itu belum pernah di adu sehingga kita tidak
tahu mana yang lebih kuat. Tetapi seperti yang kubilang tadi, bukan ilmu
yang kuat melainkan penggunanya.

Ia melanjutkan lagi, Setelah Kwee-tayhiap dan Yo-tayhiap meninggal,


kedua ilmu hebat itu juga ikut menghilang dari dunia Kang-ouw. Sekitar
seratus tahun kemudian ada seorang murid murtad Butongpay yang menguasai
18 Tapak Naga, namun ia mati terbunuh di pertarungan. Lalu setelah itu
tidak ada lagi yang menguasai ilmu itu.

Nah beberapa tahun kemudian setelah pengkhianat itu meninggal, Thiothaysuhu baru berhasil menyempurnakan ilmu Thay Kek Kun nya. Sehingga
kedua ilmu itu, 18 Tapak naga dan Thay Kek Kun belum pernah
'bertemu'.

Dunia Kang-ouw mulai terasa sepi semenjak saat itu, karena kita berhasil
mengusir penjajah Goan dari tanah air kita. Saat itu dunia Kang-ouw
hampir seluruhnya bersatu.

Lalu beberapa tahun kemudian, secara tiba-tiba muncul seorang tokoh muda
baru yang ilmunya sangat tinggi. Ia menantang banyak ahli silat kelas dan
mengalahkan mereka semua. Malah yang lebih gila lagi, ia naik ke puncak
Butongsan, dan menantang Thio-thaysuhu.

Apa? Lalu bagaimana kemudian? Cio San kaget.

Pada awalnya Thio thaysuhu tidak meladeni. Namun si tokoh muda itu
sanggup mengalahkan murid-murid golongan satu. Melihat ilmunya yang
hebat, serta tindak tanduknya yang berbahaya, Thio thaysuhu akhirnya
menerima tantangannya itu

Lalu, Thio thaysuhu pasti menang bukan?

Beliau memang menang, tapi pertarungan itu sendiri tidak jelas. Karena
pertarungan itu dilaksanakan di ruang latihan pribadi Thio thaysuhu
sendiri. Dan tidak boleh disaksikan orang lain.

Mengapa begitu lopek?

Menurut kabar, ternyata Thio thaysuhu sedang menciptakan ilmu baru yang
lebih hebat dari Thay Kek Kun. Dan karena belum sempurna, beliau tidak
ingin memperlihatkannya di depan orang lain.

Lalu kenapa lopek bilang hasil pertarungan itu tidak jelas?

Karena walaupun Thio Sam Hong thay suhu sendiri memang menang, kabarnya
beliau sangat kagum dengan ilmu silat si tokoh muda itu. Konon katanya
jika Thio thaysuhu tidak memiliki ilmu Thay Kek Kun yang sempurna dan
digabungkan dengan ilmu baru ciptannya itu, belum tentu Thio thaysuhu
bisa mengalahkannya. Dan beliau sangat menyesal terpaksa harus membunuh
anak muda itu. Padahal sudah puluhan tahun beliau tidak pernah membunuh
orang.

Lanjutnya lagi, Saking kagumnya, beliau membuatkan kuburan khusus untuk


anak muda itu di tanah pekuburan Butongpay. Kuburan anak muda itu bahkan
hampir berdekatan dengan lahan kuburan yang disiapkan Thio-thaysuhu untuk
dirinya sendiri

Hmmm, sebegitu kagumnya Thio-thaysuhu terhadap pemuda itu sampai-sampai


memberikan penghormatan setinggi itu terhadap. Lalu siapa nama sebenarnya
pemuda berilmu tinggi itu, lopek? tanya Cio San

Aku masih ingat nama pemuda itu, Kam Ki Hsiang ada cahaya kagum di mata
A Liang ketika menyebut nama itu.

Apakah lopek sudah ada di Butongpay ketika kejadian itu berlangsung?


tanya Cio San lagi

Tidak. Aku datang beberapa hari ketika mayat Kam Ki Hsiang dikuburkan

Sebenarnya asal-usul Kam Ki Hsiang itu darimana? Di mana dia belajar


ilmu yang hebat itu?

Menurut kabar yang beredar, dan itu diakui Thio thaysuhu sendiri,
ternyata Kam Ki Hsiang telah menemukan sebuah gua kuno. Dan di gua itu ia
menemukan berbagai kitab kuno yang sangat tebal. Kitab-kitab itu berisi
ilmu silat yang sangat sakti. Karena kabarnya kitab itu ditulis sendiri
oleh pencipta ilmu silat, rahib Tat-Mo jawab A Liang, lalu ia
melanjutkan,

Kitab itu juga kini tidak diketahui keberadaannya setelah Kam Ki Hsiang
meninggal. Dunia kang ouw sejak beberapa tahun yang lalu diributkan
dengan pencarian kitab itu, tapi tidak ada seorang pun yang tahu
keberadaannya yang sebenarnya.

Aaaahhh...begitu rupanya Cio San menjadi teringat ucapan Tan Hoat, Gihu
sekaligus suhunya, yang ditugaskan mencari kitab tulisan Tat-Mo itu.
Rupanya kitab itu adalah kitab yang membuat Kam Ki Hsiang seperti tidak
terkalahkan.

Kau pernah mendengar kitab itu, Cio San? tanya A Liang

Teecu sempat mendengar sekilas dari suhu bahwa memang ada kitab semacam
itu. Teecu pikir itu hanya kabar legenda di dunia kang-ouw, ternyata
memang benar-benar ada

Di dunia ini banyak sekali kitab-kitab sakti yang menjadi rebutan dunia
kang ouw. Mulai dai kita 9 matahari dan 9 Bulan yang katanya pernah

tersimpan di dalam perut kera dan di dalam pedang, atau juga kitab
Pedang sakti yang membuat pemakainya berubah dari laki-laki menjadi
perempuan, dan masih banyak lagi. Pesanku padamu, kau tidak usah ikutikutan mencari-cari kitab-kitab semacam itu. Hanya akan membuat dunia
kang-ouw kacau balau. Hiduplah biasa-biasa saja. Gunakan ilmu silatmu
untuk kebaikan. Menolong sesama. ujar A Liang

Teecu akan mengingat baik-baik pesan lopek. Memang teecu sendiri juga
tidak terlalu berminat dengan ilmu silat. Hanya saja ketika teecu
berlatih silat akhir-akhir ini, teecu merasa tubuh teecu semakin sehat
dan rasa letih dan lemas yang biasa teecu rasakan semakin menghilang

Bagaimana bisa begitu? tanya A Liang heran. Ia memang sudah tahu bahwa
Cio San memiliki kekurangan pada fungsi organ tubuh bagian dalamnya.

Teecu belajar sedikit ilmu organ tubuh di dalam buku yang lopek
pinjamkan. Di situ dijelaskan cara mengalirkan chi. Ternyata setelah
teecu coba gabungkan dengan ilmu silat perguruan, rasa letih dan lemas
teecu hilang semua. Padahal biasanya baru beberapa jurus saja, teecu
sudah lemas jelas Cio San

Hey hebat sekali kau bisa menngabungkan seperti itu. Kau harus hatihati, karena tidak boleh sembarangan menggabungkan ilmu. Karena bisa
berbahaya

Teecu mengerti lopek. Terima kasih atas peringatannya. Setelah teecu


baca dan pikirkan, ternyata ilmu di dalam buku itu sejalan dengan ilmu
Butongpay sehingga tidak bertabrakan

Kau ternyata sangat berbakat dan cerdas Cio San. Orang-orang di


perguruan salah mengerti terhadapmu puji A Liang sambil mengelus-elus
kepala Cio San

Teecu tidak berani lopek... Cio San tertunduk.

Hey aku ingin melihat engkau bersilat. Walaupun tidak mengerti silat.
Tapi mata awamku ini juga sudah bisa membedakan silat Butongpay yang
mahir dengan yang tidak

Ah ilmu silat teecu memalukan lopek,...

Sudahlah jangan terlalu banyak adat. Ayo tunjukan... perintah A Liang

Baik Liang-lopek...

Setelah berkata begitu Cio San mulai bersilat. Gerakannya tidak begitu
indah, malah terlalu sederhana untuk ukuran silat Butongpay. Tapi A Liang
melihatnya dengan mata kagum dan keheranan. Mungkin karena keawamannya,
ia sudah menganggap jurus-jurus yang diperagakan Cio San itu sebagai ilmu
yang hebat.

Kau..kau, darimana kau mempelajari jurus-jurus itu? tanyanya dengan


rasa heran bercampur kagum.Apakah dari buku yang kuberikan kepadamu
itu?

Kalau dari buku tidak ada jurus-jurus silatnya lopek. Hanya ilmu tentang
sedikit pengobatan, pengetahuan tentang tubuh manusia, dan juga
pengaliran Chi. Jurus-jurus silat ini hanyalah jurus Butongpay yang teecu
sederhanakan menurut kebutuhan dan pengetahuan teecu saja. jawab Cio San

Luar biasa...luar biasa...Kau benar-benar berbakat.... Ia berkata


begitu sambil meneteskan air mata.

Melihat A Liang meneteskan airmata, Cio San juga ikut-ikutan meneteskan


airmata. Hatinya memang halus. Ia mengerti bahwa dalam ketidakpahaman A
Liang terhadap ilmu silat, A Liang menganggap bahwa jurus-jurus sederhana
Cio San tadi sudah sangat hebat. Padahal bagi Cio San, ilmu itu sangat
sederhana sekali, bahkan mungkin tidak ada apa-apanya dibanding dengan
jurus-jurus pemula Butongpay.Cio San merasa terharu juga melihat
ketulusan A Liang ini.

Terima kasih lopek. Teecu akan belajar lebih keras supaya bisa membuat
lopek bangga dan senang katanya sambil tersenyum.

A Liang menatap Cio San lama sekali.

Lalu kemudian dia tersenyum dan berkata, Jika ada yang bisa membuat
Butongpay berjaya kembali, pastilah kau orangnya, Cio San:

Setelah itu mereka bercakap-cakap lagi sebentar. A Liong sekalian pamit


dan berkata bahwa ia akan turun gunung Butongpay. Karena beberapa minggu
lagi akan ada perayaan beberapa tahun meninggalnya Thio Sam Hong,
sehingga perguruan akan menerima kunjungan tamu-tamu dari golongan Kangouw. Jadi mungkin dalam beberapa hari ini ia tidak akan mengunjungi Cio
San

Bab 6 Berlarilah Mencari Kebenaran

Cio San rasa-rasanya sangat menikmati keberadaannya di puncak Butongsan


ini. Pemandangannya indah sekali. Udara yang sangat segar membuatnya
semangat berlatih dan belajar. Malah ia sudah mulai mengembangkan ilmu
baru lagi.

Suatu saat ketika ia bermain khim, ia mengingat semua ajaran pemainan


khim dari A Liang. Ingatan tentang permainan khim ini secara tidak
sengaja muncul pada saat ia berlatih silat. Bukan gerakan tangan dalam
bermain khim yang diingatnya, melainkan teori teori bermain khim. Seperti
bagaimana mengalunkan perasaan, dan lain-lain.

Tak terasa Cio San bersilat sambil mengingat perasaan itu. Pikirannya dan
perasaannya seperti bermain khim, namun tubuhnya bersilat. Sambil
bersilat kadang ia menangis, kadang ia tertawa, kadang ia riang gembira.
Jika ada orang yang melihatnya, Cio San mungkin akan dianggap gila. Lama
sekali Cio San bersilat seperti itu. Tak terasa sudah berapa jurus yang
disilatkannya.

Sampai akhirnya ia berhenti sendiri. Cio San berdiri dengan diam. Ia


kagum atas apa yang terjadi.

Apa yang terjadi ini? Darimana semua gerakan ini berasal? ia bertanya
di dalam hati.

Aku sempat mengalami hal seperti ini ketika berlatih di perguruan


beberapa waktu yang lalu. Mengapa setiap aku bersilat tapi tidak berfikir
tentang ilmu silat, aku malah bisa menghasilkan gerakan-gerakan aneh
seperti ini?

Pikirannya bekerja. Memang daya pikirnya luar biasa sekali. Tuhan sungguh
adil dengan segala kekurangan fisik Cio San, Tuhan memberkatinya dengan
daya pikir yang cerdas sekali.

Cio San menyadari bahwa ia bisa memainkan gerakan-gerakan yang tadi jika
ia mengacuhkan segala teori tentang ilmu silat. Justru dengan berfikir
sederhana dan mengalirkan segala pikirannya ke satu fokus, maka ia bisa
memainkan jurus-jurus itu.

Hmmmm..., apakah gerakan-gerakan ini akan berguna di pertarungan yang


sesungguhnya? Ataukah ini hanya gerakan biasa yang timbul karena aku
mengosongkan pikiran. Jika ini hanya gerakan biasa, mengapa tubuhku
serasa dipenuhi oleh chi (energi)?

Ia lalu memutuskan untuk mencoba lagi. Pada awalnya susah untuk


mengosongkan pikiran dan melakukan hal yang sama. Karena gerakan-gerakan
tadi mengalir dengan spontan tanpa dipikrkan sebelumnya. Jika dipikirkan
sebelumnya malah gerakan itu tidak akan mengalir keluar. Cio San rupanya
paham dengan teori ini.

Dengan segala upaya dia mengosongkan pikiran dan mencoba untuk melakukan
hal yang seperti tadi. Akhirnya setelah mencoba ia berhasil menemukan
gerakan-gerakan itu kembali. Chi-nya mengalir dengan lancar, tubuhnya
terasa kuat lagi.

Senangnya Cio San menemukan jurus-jurus baru itu, Sayang Liang-lopek


tidak bisa datang akhir-akhir ini. Ia pasti senang melihat jurus-jurus
ini. pikirnya.

Cio San lalu menghabiskan waktunya berhari-hari untuk membiasakan diri


dengan jurus-jurus baru itu. Kadang ia gagal, kadang ia berhasil.
Ternyata jurus-jurus itu tidak boleh diingat. Semakin diingat, ia malah
semakin bingung dan gerakannya tidak mengalir dengan lancar.

Jika ia mengosongkan pikiran dan tidak memikirkan tentang gerakan-gerakan


itu, malah jurus-jurusnya akan semakin mengalir lancar. Pengertian ini
akhirnya semakin dipahaminya. Sehingga ia merasa cara terbaik untuk
melatih jurus-jurus itu adalah dengan tidak mengingat-ingatnya sama
sekali.

Tak terasa waktu hukumannya dipuncak Butongsan sudah mendekati selesai.


Dalam beberapa hari lagi, ia sudah diperbolehkan turun gunung. Setelah
berhari-hari melatih jurus silat barunya itu, ia memutuskan untuk berburu
rusa. Ia ingin memasak enak, sekaligus mencoba resep-resep baru yang
pernah ia baca di buku A Liang itu.

Ia lalu berkeliling hutan di sekitar situ. Hutan di situ memang penuh


dengan berbagai macam hewan yang bisa diburu. Lama mencari tak terasa Cio
San sudah jauh dari gubuknya. Berburu rusa seperti ini dibutuhkan
kesabaran dan ketelatenan tersendiri. Untung setiap murid Butongpay sudah
diajari berburu hewan sejak awal mereka masuk perguruan.

Hampir 3 jam ia berburu, tidak satupun rusa atau hewan buruan yang bisa
ditemuinya. Akhirnya ia memutuskan untuk pulang, dan menangkap ikan saja
untuk makan siangnya.

Di tengah jalan, ia malah bertemu A Liang, Lopek, kenapa disini?


Bukankah 3 hari lagi sudah perayaan peringatan mendiang Thay suhu? Cio
San heran bertemu A Liang dalam perjalanannya pulang ke gubuk.

Sudah hampir 2 jam aku mencarimu, cepat kita turun gunung sekarang...

Ada apa lopek? tanya Cio San keheranan,

Sudahlah, ayo ikuti aku. kita harus cepat, nanti aku jelaskan semuanya
kata A Liang

Cio San menurut saja. Agak kaget


dan mengajaknya berlari. Kencang
Seperti seorang ahli silat kelas
timbul di hati Cio San, namun ia
menjelaskan semuanya.

juga ketika A Liang memegang tangannya


sekali larinya A Liang bagaikan terbang.
atas. Banyak sekali pertanyaan yang
menahan diri. A Liang pasti akan

Mereka berlari tanpa berhenti menuruni gunung. Hampir separuh perjalanan,


mereka dikagetkan oleh bunyi petasan diatas langit. Ada warna merah yang
terang sekali. Padahal saat itu siang hari. Cio san mengetahui bahwa itu
adalah tanda bahaya khusus bagi perguran Butongpay. Jika berwarna merah
berarti yang menyalakannya adalah murid golongan ketiga.

Cio San melihat ke langit dan merasa bahwa tanda bahaya itu berasal dari
puncak gunung. Siapa sebenarnya yang menyalakannya? Ada kejadian apa di
puncak gunung sana? Apakah A Liang mengajaknya turun dengan terburu-buru
ada hubungannya dengan kejadian di sana?

Cio San tidak mau bertanya karena ia yakin sepenuhnya pada A Liang. Pasti
ada alasannya. Mereka berdua terus berlari turun. Tapi jiwa pendekar yang
tumbuh di hatinya itu sudah tidak tahan lagi, Lopek, tanda bahaya sudah
dibunyikan, kita seharusnya pergi kesana. Ada murid Butongpay yang
membutuhkan pertolongan kata Cio San.

Percayalah kepadaku Cio San. Akan ku jelaskan semua jawab A Liang

Mereka terus berlari namun tidak berapa lama kemudian, mereka berpapasan
dengan puluhan murid Butongpay yang naik ke puncak gunung.

Rupanya 2 orang dari 4 tetua Butongpay sendiri yang memimpin rombongan


itu Oey Tang Wan yang wajahnya ramah dan sabar, dan Yo Ang yang tubuhnya
kecil namun bermata mencorong.

Yo Ang yang menegur mereka berdua lebih dulu, Kalian mau kemana? Siapa
yang menyalakan tanda bahaya?

A Liang yang menjawab, Kami tidak tahu siapa yang menyalakannya,


totiang..

Lalu kenapa kalian malah turun dan bukan memeriksanya? kata Yo Ang
ketus, Ayo kalian berdua ikut rombongan dan naik ke atas!

A Liang tidak menjawab dan hanya diam, nampaknya ia ragu-ragu untuk


mengikuti perintah Yo Ang. Yo Ang pun mengetahui keraguan itu. Ia lalu
berkata, Kenapa ragu, ayo ikut sekarang perintahnya dengan mata yang
semakin mencorong.

Malah Cio San yang gantian memegang tangan A Liang untuk mengajaknya ikut
rombongan. Ayo lopek, kita ikut saja, Jangan membuat Yo totiang marah..
Akhirnya A Liang menurut saja diajak Cio San.

Mereka semua berlari ke atas. Yo Ang dan Oey Tang Wan berada paling depan
karena ilmu meringankan tubuhnya paling hebat. Kemudian diikuti beberapa
murid.lain. Cio San merasa heran ternyata ia bisa mengikuti kecepatan
murid-murid yang lebih tinggi tingkatannya dari dirinya sendiri.

A Liang sendiri agak tertinggal di belakang sehingga Cio San harus


memperlambat larinya untuk bisa bersama dengan A Liang.

Sesampai di puncak gunung, terlihatlah pemandangan yang mengerikan.


Sebuah tubuh terpisah dari kepalanya. Letaknya persis di depan gubuk.
Masih belum ketahuan siapa pemilik tubuh nahas itu.

Ketika didekati, jelaslah sudah. Itu tubuh Tan Hoat!

Semua berteriak penuh kekagetan. Cio San yang baru tersadar atas apa yang
terjadi, dan siapa mayat itu langsung jatuh lunglai dan menangis. Gihu
sekaligus suhunya itu memang sangat disayanginya. Ia menangis dan
meratap. Memanggil-manggil nama gihunya.

suhu...suhu.... hanya itu yang bisa keluar dari bibirnya. Bersama air
mata yang mengalir deras di kedua pipinya.

Semua orang yang menyaksikan kejadian ini semakin bersedih. Memang


siapapun yang melihat kejadian seperti ini dan tidak menangis, boleh
dibilang bukan manusia.

A Liang apakah kau tahu apa yang terjadi disini? selidik Yo Ang.

Tidak totiang... jawab A Liang

Bukankah hanya kalian berdua yang ada di atas sini? Mengapa bisa tidak
tahu? Mengapa juga kalian lari tergesa-gesa menuruni gunung?

A Liang tidak bisa menjawab apa-apa. Ia hanya terdiam.

Ayo jawab! bentak Yo Hang.

Lanjutnya, Atau jangan-jangan kau ada hubungannya dengan pembunuhan


ini? tanya Yo Hang, tangannya sudah mulai mengambang, akan ada jurus
yang ia keluarkan melalui tangan ini.

Percayalah, saya tidak ada hubungannya dengan ini semua totiang...


jawab A Liang.

Suasana mulai menegang. Oey Tang Wan, orang yang paling sabar dari
keempat totiang Butongpay lalu berkata; Murid-murid Butongpay, kalian
berpencar. Cari apakah ada orang lain di atas bukit ini. Seujung rumput
pun jangan kalian biarkan tidak terperiksa. Ayo laksanakan Begitu
perintahnya keluar seluruh murid yang ada disitu bergerak dengan ringkas.

Sedangkan Yo Ang berkata, A Liang kau tetap disini sampai semua murid
kembali lagi

Para murid mencari. Hampir satu jam mereka menyebar dan memeriksa tidak
ada satu pun petunjuk yang mereka temukan.

Dengan marah Yo Ang berteriak, Ayo A Liang cepat katakan mengapa kau
lari turun dengan terburu-buru?

Melihat A Liang diam saja, memuncaklah kemarahan Yo Ang. Ia lalu


menyerang tukang masak Butongpay itu.

Dan yang mengherankan adalah A Liang bisa menghindari serangan itu hanya
dengan satu gerakan.

Bertambah marahlah Yo Ang, dilancarkannya jurus-jurus Butongpay.


Serangannya semakin menghebat dari jurus ke jurus. Namun kesemuanya bisa
dihindai oleh A Liang.

Katakan siapa kau sebenarnya? Mengapa tukang masak seperti engkau bisa
menghindari pukulan-pukulanku? kalimat ini diucapkan berbarengan dengan
puluhan pukulan hebat. Namun A Liang terus menghindarinya.

Murid-murid Butongpay yang terheran-heran dengan kejadian ini tidak


berani membantu Yo Ang, karena mereka tahu bantuan mereka dalam
pertempuran tingkat seperti itu hanya akan mengacaukan jurus orang yang
mereka bantu.

Melihat kehebatan A Liang dalam menghindari jurus-jurus itu, Yo Ang mulai


mengeluarkan jurus andalan Bu Tong pay. Jurus-jurus hebat itu walaupun
lembut namun sebenarnya sangat ganas. A Liang walau bagaimanapun juga
akhirnya terdesak juga, karena ia tidak pernah membalas atau menangkis
satu pukulan pun.

Jurus-jurus gubahan Thio Sam Hong itu sangat hebat sehingga A Liang
akhirnya terdesak terus. Ia hanya menghindar dan menghindar.

Selain itu semakin banyak juga murid yang berdatangan dari bawah gunung
memenuhi gunung dan menutupi ruang gerak A Liang. Bahkan salah satu murid
dari bawah gunung membawa berita baru yang sangat menggemparkan,
Totiang, kuburan Kam Ki Hsiang telah terbongkar. Bahkan mayatnya pun
kini hilang

Mendengar ini kagetlah semua orang.


Jika A Liang mengaku tidak membunuh Tan Hoat, apakah arwah Kam Ki Hsiang
bangkit dari kubur dan kini membalaskan dendamnya dengan membunuh muridmurid Butongpay?

Pikiran seperti ini timbul dalam benak Yo Ang, sehingga ia agak


mengendurkan serangannya.

Tapi setelah berfikir lagi, ia merasa teorinya tentang arwah membalas


dendam itu mengada-ada. Iya malah semakin yakin bahwa A Liang ada
hubungannya dengan kejadian itu. Serangannya semakin ganas, hingga suatu
saat ia mengeluarkan jurus andalah Butongpay Naga Meminta rembulan.

Jurus ini sangatlah hebat sehingga mereka yang menonton pertarungan itu
saja bisa merasakan angin pukulannya. A Liang sudah terdesak mundur
sehingga tidak ada jalan keluar lagi, karena di belakangnya murid-murid
Butong sudah mengerumuninya dengan hunusan pedang.

Ia menanti saja datangnya pukulan itu.

Tepat ketika pukulan itu akan mengenai dadanya, seseorang menangkisnya.

Tapi bukan A Liang atau Oey Tang Wan karena merekalah orang yang paling
mampu ilmunya untuk menangkis pukulan itu.

Tapi Cio San lah yang menangkisnya.

Bahkan tangkisan itu mampu membuat Yo Ang terlempar beberapa tombak, dan
memuntahkan darah.

Semua orang terbelalak kaget. Tidak menyangka anak sekecil itu bisa
menangkis pukulan Naga Meminta Rembulan yang sangat dahsyat itu.
Apalagi bisa sampai menghempaskan Yo Ang dan melukainya.

Cio San sendiri terkaget-kaget dengan hasil tindakannya tadi.

Puluhan murid yang ada di situ dalam kekagetan mereka membuat mereka
menjadi ganas. Dalam pikiran mereka, Cio San yang sudah berani melukai
totiang Butongpay, pastilah juga berani membunuh Tan Hoat. Mereka dengan
berbarengan menyerang dengan bersama-sama.

Cio san yang kebingungan menerima serangan ini sudah hampir pasrah dengan
nasibnya. Tak disangka A Liang menariknya dan membawanya terbang.
Gerakannya ini sangat cepat sehingga membuat semua yang ada di situ
terkesima.

Mereka berdua lalu melarikan diri menuruni lereng gunung.

Ayo kejar terdengar perintah Oey Tan Wang. Mereka semua lari mengejar
kedua orang itu. Gerak A Liang ternyata cepat sekali. Tak ada seorang pun
yang menyangkanya. Ia bagai terbang menuruni tebing-tebing gunung yang
terjal itu.

Pengejaran berlangsung terus. Cio San bahkan kini sudah digendong di


pundak A Liang. Ia mendengar A Liang berkata, Percayalah padaku Cio
San...

Cio San pun memang ingin sekali percaya kepada A Liang. Saat kejadian
tadi di atas tebing, otaknya pun berpikir. Apakah A Liang yang melakukan
semua itu, membunuh suhunya, Tan Hoat, dengan cara yang kejam, lalu
mengajaknya lari turun gunung sebelum 'tertangkap' rombongan murid
Butongpay yang naik ke atas.

Melihat kenyataan bahwa ternyata A Liang menyembunyikan kemampuan


silatnya selama puluhan tahun. Apa maksudnya? Apakah selama ini A Liang
adalah mata-mata musuh Butongpay? Ataukah dia bermaksud menyusup ke
Butongpay dengan maksud mencuri ilmu Butongpay?. Tapi menyadari kenyataan
bahwa A Liang telah tinggal di Butongpay hampir selama setengah abad, Cio
San masih tidak bisa memahaminya. Pikiran anak sekecil Cio San yang bisa
menjangkau sejauh itu adalah sebuah keanehan yang nyata. Memang banyak
sekali anak-anak cerdas yang hidup di antara manusia.

Dan saat ia melihat A Liang diserang terus menerus oleh Yo-totiang tanpa
membalas, hati Cio San mulai berbisik bahwa A Liang telah berkata
sebenarnya. Itulah sebabnya hatinya menyuruhnya bergerak untuk menangkis
serangan dahsyat Yo Ang kepada A Liang.

Mimpi pun Cio San sendiri tidak pernah menyangka bahwa akibat
tangkisannya bisa sedahsyat itu. Saat itu ia bergerak secara spontan dan
hanya mengikuti kata hati. Hasil latihan jurus-jurus baru ciptaannya itu
terlihat sangat jelas. Dia sendiri terheran-heran. Padahal usahanya
menangkis pukulan itu sudah dibarengi dengan niat mengorbankan diri. Ia
tahu bahwa ia tidak mungkin menangkis pukulan itu. Bahwa ia pasti akan
mati. Tapi kenyataan berkata lain. Yo Ang sendiri terlempar dan muntah
darah.

Rasa percayanya terhadap A Liang jugalah yang menyebabkan ia mau saja


dibawa lari oleh A Liang. Ia ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Pasti ada rahasia di balik semua itu. Apalagi saat itu terdengar berita
kuburan Kam Ki Hsiang baru saja dibobol orang. Kejadian di puncak
Butongsan itu pasti ada hubungannya dengan pencurian mayat itu.

Dan jika A Liang adalah pelakunya, buat apa dia menanti sampai 50 tahun
hanya untuk mencuri mayat itu. Padahal setiap saat dia bisa saja
melakukannya.

Cio San juga sadar bahwa tindakannya menangkis pukulan Yo Ang dan secara
tidak sengaja malah melukainya juga adalah pelanggaran yang berat. Hal
inilah yang menyebabkan ia hampir dikeroyok oleh puluhan murid Butongpay
tadi. Pada keadaan yang terjepit seperti itu, tidak ada jalan lain selain
melarikan diri untuk sementara.

Pelarian itu terasa lama sekali padahal A Liang sudah seperti terbang
saja. Para pengejar malah sudah tidak keliahatan. Hanya gema suara mereka
saja yang ramai terdengar.

Begitu sampai di perguruan, sudah terlihat banyak murid Butongpay yang


bersiaga. Mereka yang menunggu dibawah ini masih belum tahu apa yang
terjadi. Suara dan teriakan dari atas yang memerintahkan para murid untuk
menangkap A Liang dan Cio San juga tidak terdengar jelas.

Murid-murid yang kaget hanya melihat bayangan seorang yang terbang tanpa
bisa melihat jelas wajahnya. Ada yang berinisiatif menangkap ada juga
yang duduk bengong diam saja. Baru setelah bayangan A Liang meninggalkan
mereka jauh sekali, mereka baru mendengar suara-suara para pengejar yang
memerintahkan mereka untuk menangkap 'bayangan' itu.

Tapi itu semua sudah sangat terlambat. Bayangan itu sangat cepat bahkan
sudah keluar dari gerbang depan Butongpay. Gerbang 'Tanpa Senjata.
Karena siapa yang melewati gerbang itu, tidak boleh membawa senjata
apapun.

Beberapa ratus tombak dari gerbang itu ada sebuah hutan yang sangat
lebat. A Liang memilih memasukinya, walaupun sering tersiar kabar bahwa
hutan itu sangat angker. Bahkan para murid Butongpay saja jarang ada yang
berani memasuki hutan itu.

Setelah memasuki hutan itu, A Liong lalu menurunkan Cio San, kemudian
berkata, Cio San, terima kasih telah menolongku. Percayalah aku tidak
ada hubungannya dengan kematian suhumu. Justru aku datang bersama suhumu
mencarimu

Ada apa lopek dan suhu mencariku? tanya Cio San

Aku
bisa
bisa
aman

tidak bisa menjawab sekarang, ini permasalahan yang rumit yang tidak
dibicarakan sambil lalu. Sekarang ini bahkan mungkin pohon-pohon
mendengar jawab A Liang. Lanjutnya, Mari kita cari tempat yang
untuk membicarakannya

Cio San mengangguk tanda mengerti. Menghadapi hal-hal rahasia semacam ini
dia jelas mengerti. Ia telah mengalami hal ini saat kecil dulu. Saat
orangtuanya dibantai. Kini dia diam dan tak bertanya-tanya lagi.

Mereka berdua memasuki hutan dengan tetap berlari. Tak lama kemudian hari
menjadi gelap dan malam pun menjelang. Sayup-sayup masih terdengar suarasuara para pengejar. Dari jauh terlihat mereka telah menyalakan obor.

Kedua orang pelarian mulai masih tetap berlari walaupun sudah tidak
sekencang tadi. Jangan pernah berhenti Cio San

Tiba-tiba setelah berkata seperti itu A Liang jatuh tertelungkup,

Ah racunnya sudah menyebar... A Liang berkata dengan lirih.

Lopek keracunan? Sejak kapan? Bagaimana bisa?Apakah karena makanan


tanya Cio San dengan panik.

Waktu kita hampir dikeroyok, seseorang melemparkan Am Gi (senjata


rahasia) ke punggungku. jawab A Liang dengan lemah

Tidak tahu malu. Masa ada murid Butongpay yang berbuat memalukan seperti
itu... Cio San marah sekali. Membokong lawan memang adalah tindakan
memalukan di kalangan Kang Ouw yang hanya pantas dilakukan kaum Hek
(hitam). Partai lurus seperti Butongpay amat sangat mengharamkan caracara seperti itu.

Mari kuperiksa lopek lukanya dalam hutan gelap di tengah malam seperti
itu mana bisa memeriksa luka. Bahkan melihat tangan sendiri pun tidak
bisa.

Di kantongku ada batu api Cio San. Memang seorang ahli masak tidak jauh
dari pisau dan api.

Setelah menyalakan api, Cio San lalu memeriksa punggung A Liang. Ia


meminta A Liang membuka baju agar lebih leluasa memeriksa. Tidak usah
lama mencari karena punggung A Liang yang terkena senjata beracun sudah
terlihat sangat menghitam. Hitam yang pekat. Lalu tepat di tengah-tengah

bagian yang menghitam itu terdapat satu titik perak yang memantulkan
cahaya dari api yang dipegang Cio San.

Hmmmm...jarum beracun... gumamnya.

Aku bisa mengeluarkan jarum itu dengan dorongan tenagaku Cio San, awas
kau jangan sampai terkena kata A Liang. Setelah Cio San mengambil posisi
yang aman, baru A Liang mengeluarkan jarum itu dengan dorongan tenaganya
sendiri.

Kenapa tidak sejak tadi saja A Liang tidak mengeluarkan jarum itu dengan
cara ini, itu disebabkan karena ia harus mengerahkan seluruh tenaganya
untuk terbang seperti itu. Di dunia ini mungkin hanyalah A Liang yang
bisa berlari seperti tadi. Dan itu membutuhkan pengarahan tenaga yang
besar. Ditambah lagi ia harus menggunakan Chi nya untuk melindungi supaya
racun itu tidak menyebar luas.

Jika A Liang masih berumur 40 atau 50 tahun, mungkin perjuangannya


menggunakan chi seperti itu akan sangat gampang. Tetapi dia kini sudah
berusia 70 tahunan. Ahli silat manapun pasti akan mengalami penurunan
tenaga. Apalagi mungkin selama puluhan tahun ini, A Liang tidak pernah
melatih atau menjaga chi-nya.

Cio San yang mengetahui banyak tentang penyembuhan dan obat-obat berusaha
dengan sekuat tenaga untuk mengingat-ingat tindakan apa yang harus dia
lakukan. Di tengah kejadian seperti ini, ditinggal mati salah satu orang
yang disayangi, lalu dituduh terlibat dalam kematian itu, lalu dikejarkejar, lalu harus menyembuhkan racun...Semua itu memang terasa terlalu
berat untuk anak seumur dia, seajaib dan secerdas apapun anak itu.

Untung ingatannya masih tajam sehingga dia ingat dengan jelas tumbuhantumbuhan apa saja yang harus ia cari untuk menetralkan racun. Inipun
masih penuh tanda tanya, karena Cio San sendiri tidak paham jenis racun
apa yang menyerang A Liang.

Memang di buku yang diberikan A Liang itu terdapat banyak jenis obat
untuk melawan hampir segala macam racun. Namun di situ tidak dijelaskan
begaimana mengetahui jenis racun yang menyerang itu. Dan Cio San sama
sekali tidak mempunyai pengetahuan tentang ketabiban.

Hanya dengan menerka-nerka saja ia mengumpulkan beberapa tanaman yang ada


dalam hutan yang lebat itu. Itu pun seadanya saja, karena sungguh amat
sukar mencari sesuatu di dalam hutan lebat segelap ini.

Setelah mencamuprkan daun-daun obat itu dengan batu, dan sedikit


membakarnya untuk memanaskan daun itu, Cio San menempelnya di bagian
tubuh A Liang yang menghitam itu. Sebagian obat itu ia berikan kepada A
Liang untuk ditelan.

Jangan terlalu mengerahkan tenaga dulu lopek, takutnya malah nanti racun
itu menyebar. Katanya

Sebenarnya ucapan ini sangat terlambat, karena racun sudah menyebar.


Penggunaan tenaga besar untuk 'terbang' tadi malah membuat racun itu
bekerja semakin cepat. Untunglah sisa chi yang ada di dalam tubuh A Liang
masih mampu menahan racun itu, walaupun akhirnya gagal juga.

Ditambah lagi dengan pengerahan tenaga untuk mendorong keluar jarum itu.
Semakin membuat racun itu menyebar.

Pengetahuan Cio San tentang penggunanaan chi (tenaga dalam) untuk


pengobatan juga sudah lumayan berkembang. Tapi ia tidak berniat
menggunakannya, karena menurut sepengetahuannya sebagian racun ada yang
berkembang cepat karena penggunaan tenaga dalam dari luar tubuh sang
pengidap racun.

Bab 7 Kebenaran di dalam Kegelapan

A Liang

Setelah beristirahat beberapa menit lamanya, A Liang sudah merasa enakan,

Hebat juga obatmu Cio San, kau bisa membuka usaha pertabiban jika tua
nanti. Katanya sambil tertawa.

Nah sekarang kita jalan lagi, dan dengarkan aku bercerita dari awal

Biarlah lopek teecu gendong saja pinta Cio San.

Mengetahui bahwa tubuhnya memang sudah tidak begitu kuat lagi, A Liang
menurut saja. Sambil digendong, A Liang mulai bercerita,

Tadi pagi Tan Hoat pulang setelah menunaikan tugas perguruan. Ia


bertanya tentang Lau-ciangbunjin. Tapi kujawab Ciangbunjin sedang sakit.

Sakit? Apakah parah? tanya Cio San kaget

Parah sekali. Para totiang bahkan berkata beliau keracunan. Mungkin ada
yang menyusupkan racun ke dalam makanan beliau

Ahhhhh.... hanya itu yang bisa keluar dari mulut Cio San

A Liang melanjutkan Tapi memang dia tidak mencari Ciangbunjin. Ia


sebenarnya mencariku

Kenapa mencari lopek?

Karena kabar yang dibawanya sebenarnya berhubungan dengan aku dan kau
jawab A Liang.

Cio San baru akan bertanya sebelum akhirnya dipotong oleh A Liang
Dengarkan saja dulu dan jangan banyak bertanya...

Lalu ia melanjutkan,

Ia memintaku menemaninya ke atas gunung untuk mencarimu karena katanya


aku adalah satu-satunya orang yang paling ia percayai.

Cio San, tahukah berita apa yang dibawanya itu?

Cio San hanya menggeleng

Dalam perjalanan ia tidak menceritakan kepadaku, dan aku hanya menebaknebak saja. Menurut perkiraanku ia sudah tahu di mana letak kitab rahasia
yang menjadi incaran kaum kang-ouw itu. Dan ia mencarimu karena hanya
kaulah yang tau bagaimana cara membaca kitab itu

Karena kitab itu ditulis dengan menggunakan aksara kuno itu. Di


Tionggoan tidak banyak orang yang mengerti arti huruf-huruf kuno itu. Aku
saja terkaget-kaget ketika kau bilang kau bisa membaca huruf-huruf itu

Di Tionggoan hanya keluarga 10 jendral besar yang menguasai huruf-huruf


itu

[Catatan: Di jaman pengusiran penjajahan Goan {mongol} atas Tionggoan,


terdapat jendral 8 besar yang membantu pemimpin utama pemberontakan itu.
Pemimpin utama itulah yang menjadi kaisar pertama dinasti Ming. Kesemua
jendralnya beragama Islam. Setelah kemenangan diraih dan perjuangan
selesai, sang kaisar baru itu malah membunuh ke 8 jendral itu karena ia
takut kekuasaannya direbut mereka]

Setelah kau menyebut bahwa kakek dan ayahmu menguasai huruf-huruf itu,
aku menduga bahwa kau adalah keturunan dari salah satu 10 jendral besar
itu

Cio San seperti ingin mengatakan sesuatu tetapi akhirnya dia diam saja.

Aku yakin Tan Hoat pun menyadari hal ini, lalu ia berusaha menjemput
secepatnya. Kami berdua mendaki puncak, namun begitu sampai di pondok,
kau tidak ada. Kami pun lalu berpencar untuk mencarimu. Aku sudah hampir
putus asa dan kembali lagi ke pondok karena aku mengira kami terlambat
menyelamatkanmu. Begitu aku kembali, aku menemukan Tan Hoat sudah
sekarat, saat itu ia belum meninggal. Ia dengan terbata-bata mengatakan
Cio San....Cio San..., Lau ciangbunjin...Lau ciangbunjin...

Aku segera mengerti maksudnya, bahwa ia ingin aku menyelamatkanmu dan


juga Lau-ciangbunjin. Aku lalu terus mencarimu. Saat aku meninggalkannya
aku yakin ia masih hidup. Saat itu berat sekali pilihan yang harus aku
ambil. Namun aku memilih untuk mendengarkan permintaannya untuk
menyelamatkanmu dan Lau-ciangbunjin. Namun sayang aku hanya berhasil
menyelamatkanmu...

Teringat akan nasib Lau-ciangbunjin yang sekarang menderita keracunan,


tak terasa mereka terharu juga.

Kini ada sebuah rahasia besar lagi yang harus kau tahu. Bahwa aku pun
sebenarnya mengerti di mana keberadaan kitab rahasia itu

Bola mata Cio San membesar tapi dia tidak berani berkata apa-apa.

Bukan saja mengerti di mana kitab itu berada, tapi aku lah pemilik yang
sah dari kitab itu. Ketahuilah bahwa nama asliku adalah Kam Ki Hsiang!

Agak lama ia terdiam, baru kemudian melanjutkan,

Sebelum bertarung dengan Thio-thaysuhu, aku meminta syarat kepada


beliau, bahwa jika aku mampu mengalahkan beliau, maka posisi sebagai
ketua Butongpay harus diberikan kepadaku. Beliau hanya tersenyum dan
menyetujuinya. Dan sebagai gantinya, aku sendiri yang memberi usul, bahwa
jika aku kalah aku rela memusnahkan seluruh ilmu silatku dan seumur hidup
mengabdi kepada Butongpay

Beliau pun hanya tersenyum saja. Kami pun bertempur. Dan pertempuran itu
berlangsung tertutup di dalam ruang latihan pribadinya. Hampir 3 hari
penuh kami bertarung. Bahkan tidak berhenti untuk makan dan minum. Aku
sangat kagum bahwa dengan usia setua itu, tenaga dalam beliau tidak
berkurang sedikitpun. Akhirnya harus ku akui kematangan ilmu beliau, aku
pun kalah

Lalu ketika aku menyerahkan diri bagi beliau untuk memutuskan seluruh
urat dan otot sebagai cara orang-orang Kangouw memunahkan ilmu silat.
Beliau hanya tersenyum dan berkata bahwa janji itu bisa dilaksanakan
tanpa harus memutuskan urat-uratku, karena beliau percaya aku adalah
seorang lelaki sejati

Mendengar itu aku malu sekali sudah berani menantang beliau. Keluhuran
budi pekertinya sungguh tidak ada yang menandingi. Padahal ketahuilah,
bahwa aku juga sudah berhasil melukainya dengan berat. Namun saat aku
kalah, beliau sama sekali tidak ingin membunuhku. Saat itu aku sadar
bahwa aku bisa melukai beliau sesungguhnya karena beliau terus menerus
mengalah. Sesungguhnya jika beliau menggunakan ilmu barunya itu, beliau
bisa mengalahkanku dalam seratus jurus. Jadi sebenarnya beliau
mengalahkan aku murni hanya dengan ilmu Thay Kek Kun nya yang terkenal
itu

Tapi herannya, di luar banyak kabar yang berkembang bahwa beliau


mengalahkanku dengan jurus barunya. Aku sendiri malah heran kenapa kabar
itu bisa berkembang, dan Thio thaysuhu sendiri sepertinya tidak pernah
meralat kabar itu. Belakangan aku baru tau bahwa niat beliau adalah untuk
menjaga kehormatan dan namaku. Memang beliau sungguh mulia.

Dengan berkembangnya kabar seperti itu, maka namaku akan diakui sebagai
salah satu orang yang sejajar dengan beliau

Mata Kam Ki Hsiang terlihat berkaca-kaca,

Aku lalu bersumpah untuk tidak lagi menggunakan ilmu silatku dan
sepenuhnya mengabdi kepada Butongpay. Tapi kau tidak ingin menjadi murid
Butongpay karena itu bukan merupakan perjanjianku dengan beliau. Melihat
pengorbananku seperti itu, beliau memberikan pujian dan kekaguman

Maka untuk melindungiku dari dendam atas banyaknya korban yang terbunuh
karena kesombonganku menantang semua ahli silat nomer satu, beliau
memutuskan untuk 'mematikan' Kam Ki Hsiang. Sejak saat itu tersiar kabar
bahwa Kim Ki Hsiang sudah mati, dan kuburannya berada di Butongpay.

Saat mendengar aku sudah mati, banyak tokoh silat yang punya dendam
terhadapku naik ke Butongsan untuk menanyakan langsung kepada Thio
thaysuhu apakah aku benar telah mati. Mereka tau bahwa Thio thaysuhu tak
akan berbohong dan kata-katanya adalah emas

Thio thaysuhu tidak pernah berbohong sedikitpun, saat beliau berkata


bahwa Kim Ki Hsiang sudah mati memang sebenarnya Kim Ki Hsiang yang
sombong dengan silatnya itu sudah mati. Yang ada kini adalah A Liang si
tukang masak.

Lalu di dalam makam palsuku itu, aku kubur semua yang berhubungan dengan
Kam Ki Hsiang. Termasuk juga kitab-kitab sakti yang aku miliki itu

Kelanjutan cerita ini tentu kau tahu, bahwa rahasia ini sudah bocor dan
orang-orang Kangouw sekarang tahu bahwa isi kuburan itu adalah kitabkitab sakti milik Kam Ki Hsiang.

Sesungguhnya aku kebetulan saja menemukan kitab itu di suatu tempat. Dan
kebetulan bisa menguasainya. Ketika kuburanku dibuat, Thio Thaysuhu
sendiripun tidak tahu bahwa aku menyimpan kitab-kitab itu disana. Karena
kitab yang dimaksud orang itu sebenarnya bukan kitab namun berupa kain
sutra. Kain itu aku jadikan lapisan dalam bajuku sehingga tidak ada yang
tau jika aku membawanya kemana-mana

Dan kau tak tahu betapa kagetnya aku ketika melihat engkau sanggup
memainkan jurus pertama dari kitab sakti itu, Cio San...

Cio San heran namun tetap diam saja.

A Liang melanjutkan,

Aku mengira kau mempelajarinya dari buku masakan yang kuberikan kepadamu
itu. Ternyata setelah kuselidiki, kau hanyalah mencampurkan ilmu
Butongpay dengan petunjuk-petunjuk ketabiban di dalam buku itu.

Aku pikir hanya kebetulan belaka bahwa engkau sanggup menciptakan jurusjurus itu. Tetapi setelah lama kupikir, aku merasa ilmu di dalam kitab
yang kupelajari itu sebenarnya mempunyai sumber yang sama dengan ilmuilmu Butongpay sehingga mempunyai beberapa kemiripan.

Kau adalah anak kecil yang sangat berbakat Cio San.... ucapannya tidak
dilanjutkan karena A Liang kini terbatuk-batuk.

Turunilah terus lembah ini, mudah-mudahan kita segera bisa lolos dari
kejaran murid-murid Butongpay. Kau harus terus hidup Cio San, supaya kau
bisa membersihkan nama kita dari fitnah besar ini. Aku yakin kematian
orang tuamu juga ada hubungannya dengan peristiwa-peristiwa ini

Iya lopek, teecu akan terus berusaha..., lopek beristirahatlah sebentar


menyimpan tenaga dalam gendongan teecu...

Walaupun tenaganya semakin terus terkuras karena berjalan tanpa henti


sambil mengendong A Liang, Cio San yang sekarang ini tidak lagi cepat
kelelahan dan kehabisan tenaga. Latihannya yang hampir 3 bulan diatas
puncak Butongsan sudah bisa membuatnya disebut pendekar muda berbakat.
Walaupun umurnya hanya baru belasan tahun.

Ia terus berjalan menuruni tebing hutan yang terjal itu. Pikirannya


menerawang dan terus berfikir. Tentang nasib dirinya, dan Lau-ciangbunjin
yang mungkin saja sudah terbunuh. Juga tentang pengorbanan besar A Liang
menyelamatkan dirinya.

Tak terasa ia berjalan terus sehingga hampir pagi. Ia beristirahat


sebentar dan memeriksa keadaan A Liang. Ia memegang nadi tangan A Liang.
Ternyata nadi itu sudah berhenti berdetak. Tak percaya, ia mencoba lagi.
Kali ini memegang dada A Liang untuk memeriksa detak jantungnya. Ternyata
memang tidak ada detakan di sana. A Liang sudah tewas.

Ingin rasanya Cio San berteriak melepaskan seluruh penderitaannya. Namun


ia menahan diri karena tahu teriakannya mungkin akan terdengar oleh para
pengejarnya. Ia hanya bisa meneteskan airmata dengan deras, menahan
kepiluan hatinya.
Ia paham bahwa A Liang telah berkorban besar baginya, dan juga untuk
mempertahankan sumpah A Liang sendiri.

Jika seorang pendekar bersumpah untuk tidak mempergunakan ilmu silatnya


lagi selamanya, maka janji itu harus dipegang walau nyawa taruhannya.
Itulah sebabnya A Liang hanya bisa menghindari pukulan dan keroyokan para
murid Butongpay tanpa bisa membalas atau bahkan menangkisnya. Padahal
jika ia mau, dengan ilmu yang dimilikinya, ia bisa saja mengalahkan atau
bahkan membunuh mereka semua.

Teringat dia akan segala kebaikan dan ketulusan A Liang. Hanya dia dan
Beng Liong yang mau bersahabat dengannya. Di dalam perguran sebesar
Butongpay yang berisi hampir seribu orang, mungkin hanya suhunya, Tan
Hoat, A Liang, dan Beng Liong yang baik kepadanya. Ia juga mengingat jasa
dan kebaikan Lau-ciangbunjin, sang ketua Butongpay. Hanya orang-orang
inilah yang baik terhadapnya.

Kini mereka semua telah tiada. Hanya Beng Liong saja tersisa. Itupun
mungkin sekarang Beng Liong memusuhinya juga karena peristiwa yang baru
saja terjadi ini.

Cio San melanjutkan perjalanan dalam kesedihan. Ia tak ingin meninggalkan


jasad A Liang sendirian di hutan itu. Ia bertekad membawa jasad itu ke
tempat yang aman, lalau akan ia kuburkan dengan khidmat.

Ia terus berjalan dan berjalan. Entah sudah berapa lama, entah sudah
berapa jauh. Tenaganya telah habis terkuras, kesadarannya pun sudah mulai
berkurang.

Langkah demi langkah ia jalani. Di dalam kegelapan seperti ini mau pergi
kemana? Ia hanya tau bahwa ia harus terus berjalan, terus menelusuri
hutan ini. Entah akan sampai dimana.

Tiba-tiba langkahnya gontai dan ia terjatuh. Di dalam gelap, di tengah


kesadaran yang berkurang, serta tenaga yang hampir habis, Cio San

terjatuh. Ia tidak tahu lagi ia terjatuh di mana. Cio San pun kehilangan
kesadarannya.

Ketika ia tersadar, hari telah semua masih terlihat gelap. Cio San tahu
kini berada di mana. Ia menunggu sebentar agar kesadarannya pulih
sempurna. Tubuhnya terasa sakit semua. Ia berdiam diri lama sekali.
Mencoba mengalirkan chi ke seluruh tubuhnya. Lama-lama tubuhnya mulai
terasa segar. Perlahan-lahan kesadarannya pulih seluruhnya. Cio San kini
sadar bahwa separuh tubuhnya terendam di dalam air.

Kiranya dia kini berada di tepian sungai. Tapi mengapa semuanya gelap.
Apakah ia kini telah menjadi buta? Ia menjadi panik, namun berusaha untuk
tetap tenang. Ia menoleh ke kiri dan ke kanan memastikan apakah ia benarbenar buta.

Tak sengaja ternyata ia melihat titik cahaya tak jauh dari tempatnya
berbaring. Ia lalu menuju ke titik itu dengan cara merangkak. Seluruhnya
sangat gelap sehingga ia harus berhati-hati. Apalagi pijakannya sangat
licin karena berupa batu-batuan dan air sungai.

Akhirnya setelah berjuang ia mencapai juga sumber titik cahaya itu.


Ternyata aliran sungai keluar lewat situ. Titik cahaya itu ternyata
adalah terowongan tempat keluarnya aliran air sungai.

Cio San lega. Ternyata ia tidak menjadi buta.

Mata manusia secara spontan ternyata menyesuaikan diri dengan kegelapan.


Begitulah juga dengan mata Cio San. Lambut laun ia akhirnya mulai bisa
melihat sedikit di dalam kegelapan. Ia ternyata berada dalam sebuah goa
di dalam perut bumi. Entah bagaimana ia bisa berada di dalam satu.
Mungkin ia terjatuh di dalam sungai, lalu air sungai membawanya masuk ke
dalam perut bumi. Ia tidak tahu pasti.

Tiba-tiba ia teringat akan jasad A Liang yang digendongnya. Apa yang


terjadi dengan jasad itu?. Cio San memberanikan diri untuk mencari jasad
A Liang itu.

Tak berapa lama akhirnya ia menemukan jasad A Liang. Dibawanya jasad itu
ke lubang terowongan air, agar bisa melihat dengan jelas menggunakan
cahaya yang masuk dari situ. Ternyata jasad A Liang sudah rusak. Sebagian
tubuhnya remuk.

Apa yang sebenarnya terjadi?

Ternyata ketika mereka terjatuh dari puncak tebing, jasad A Liang lah
yang secara tidak sengaja menyelamatkan Cio San. Jasad itu menjadi
sejenis tameng yang menjaga Cio San dari batu-batuan sungai. Jasad itu
jugalah yang mungkin menjaga agar Cio San tidak tenggelam.

Sungguh beruntung.Keputusan Cio San untuk teras menggendong jasad A Liang


ternyata membawa kebaikan bagi dirinya sendiri. Begitulah. Jika orang
melakukan sesuatu penuh ketulusan, maka yang ada hanyalah balasan yang
baik.

Cio San hanya bisa bersedih menyadari ini semua. Tapi paling tidak ia
masih hidup, dan masih punya semangat untuk terus hidup.

Ia lalu teringat bahwa di kantongnya terdapat batu api yang diberikan


oleh A Liang. Begitu dicarinya, ternyata batu itu masih ada, namun basah.

Tiba-tiba muncul dalam pikirannya untuk memeriksa kantong baju di jasad A


Liang juga. Setelah mencari, ternyata ia menemukan pisau. Pisau itu
memiliki sarung yang terbuat dari kulit hewan.

Betapa mulianya Liang lopek, pikir Cio San.Bahkan saat sudah meninggal
pun, ia masih memberi pertolongan kepadaku. Memang sebagai tukang masak,
A Liang selalu membawa batu api dan pisau.

Cio San lalu meletakkan pisau dan batu api tadi di tempat yang kering.
Lebar terowongan itu memang cukup besar. Dan ada terdapat beberapa bagian
yang sama sekali kering dan tidak dialiri aliran sungai.

Ia lalu memutuskan untuk beristirahat sebentar. Kejadian yang baru saja


dialaminya memang sangat menguras tenaga dan pikiran.

Lama ia tertidur pulas. Begitu bangun, ia terpikir untuk menguburkan


jasad A Liang. Cio San mencari-cari pijakan yang agak lembek yang bisa
digali menjadi kuburan A Liang. Lama ia berputar-putar namun tidak
ditemukannya. Dengan berat hati ia memutuskan untuk membakar saja jasad A
Liang. Tetapi setelah ia berfikir, ia khawatir asap yang ditimbulkan
malah memenuhi goa itu dan tidak bisa keluar. Ia terus memutar akal
bagaimana cara mengurusi jenazah orang yang sangat dihormatinya itu.

Karena masih bingung, untuk sementara Cio San mencoba melupakannya. Ia


lalu memeriksa batu api yang tadi dikeringkannya. Nampaknya sudah mulai
kering. Ia lalu mencoba membuat api. Cio San berjalan mengelilingi
terowongan itu mencari kayu-kayuan yang mungkin saja hanyut terbawa
aliran sungai.

Dasar beruntung, tidak lama kemudian kayu itu ditemukannya. Malah lumayan
banyak. Ada yang kering ada yang basah. Ranting-ranting itu ia kumpulkan
di suatu tempat. Dengan hati-hati Cio San mencoba membuat api.

Lama ia mencoba akhirnya batu api memercik juga. Lalu dibakarkannya ke


kayu dan berhasil. Gua itu lumayan terang sekarang. Cio San lalu
memandang ke sekelilingnya. Memandang dindin-dinding gua itu.

Ternyata tembok itu di penuhi tanaman sejenis lumut dan jamur. Cio San
mendekati tanaman itu dan memeriksa apakah lumut dan jamur itu bisa
dimakan. Kesenangannya membaca buku, ternyata berbuah manis.
Pengetahuannya tentang tumbuh-tumbuhan ternyata sangat berguna sekarang.

Dari buku masak A Liang, Cio San belajar bagaimana cara membedakan jamur
yang beracun dengan yang tidak. Cara ini bahkan pernah ia coba ketika
tinggal di puncak Butongsan saat menjalani hukuman.

Ia memetik berbagai macam jamur yang tumbuh disitu. Sebagian jamur ada
yang dikenalnya. Ada yang beracun dan ada yang tidak beracun. Masingmasing ia kelompokkan sendiri-sendiri. Jika ia menemukan jamur yang belum
pernah dikenalnya. Ia melakukan uji coba untuk mengetahui jenis jamur
itu.

Menurut kitab yang dibacanya, cara mengetahui kandungan racun dalam


sebuah jamur adalah dengan merendamnya di dalam air untuk beberapa lama.
Jika kemudian jamur itu berwarna keungu-unguan, maka jamur itu beracun.
Jika tidak, maka jamur itu aman.

Begitulah, akhirnya Cio San menemukan makanan. Dengan mengguhakan


beberapa batu-batuan serta ranting-ranting kayu, Cio San akhirnya
memanggang jamur-jamuran itu. Rasanya nikmat juga setelah dimakan.

Setelah kenyang. Cio San beristirahat sebentar. Ia merasa sangat segar


dan seperti mendapat kekuatan baru. Ia mulai memikirkan lagi bagaimana
cara menguburkan A Liang.

Mungkin jika kutelusuri terus awal mengalirnya sungai ini, aku bisa
menemukan jalan keluar

Ia lalu menyalakan api yang ia gunakan sebagai penerang. Lalu menuyusuri


sungai itu. Ia ingin mencari dimana sumber air itu. Jalan itu ternyata
panjang sekali. Bahkan kira-kira sepembakaran hio (sekitar 15 menitan),
ia belum menemukan sumber air itu.

Panjang juga terowongan ini pikirnya.

Tapi di sepanjang perjalanan ia menemukan bahwa ternyata pijakannya tidak


hanya berupa bebatuan keras saja, namun juga ada yang berupa tanah.

Hmmm...daerah yang diliputi tanah ini bisa dijadikan sebagai kuburan


Liang-lopek. Syukurlah

Walaupun sudah menemukan tempat yang baik untuk kuburan A Liang, Cio San
memutuskan untuk terus menyusuri jalan itu. Sampai kira-kira sepeminum
teh baru akhirnya ia mendengar suara bising yang cukup keras.

Cio San bergegas ke arah suara itu, ternyata suara itu berasal dari
deburan air terjun.

Ah ternyata ada sebuah air terjun yang muncul dari dinding gua. Indah
sekali

Mungkin dari dalam air terjun inilah aku bisa masuk ke dalam terowongan
ini.

Cio San lalu memeriksa air terjun itu. Walaupun tidak cukup besar, air
terjun itu lumayan deras. Cio San lalu memeriksa lubang tempat keluar air
terjun itu. Ternyata cukup untuk dilewati orang dewasa, tapi dengan cara
berbaring.

Bagaimana mungkin aku bisa melawan kekuatan air terjun itu dengan cara
berbaring? Berenang jelas tidak mungkin karena untuk lubang itu tidak
cukup lebar saat aku merentangkan tangan. Sungguh suatu keajaiban aku dan
jasad A Liang bisa melewati lubang ini dan sampai disini

Jika bisa berenang pun tentulah sangat kuat, karena kekuatan dorongan air
itu sungguh dahsyat. Cio San meletakan tangannya di air terjun itu
mencoba merasakan kekuatan hempasan airnya.

Wah sungguh dahsyat sekali air terjun ini. Kekuatannya bahkan mungkin
bisa memecahkan buah kelapa jika kuletakan buah itu dibawahnya pikir Cio
San

Agak kecewa juga Cio San melihat kenyataan bahwa ia tidak mungkin keluar
melewati sumber air terjun itu. Ia lalu melihat ke sekeliling mencoba
untuk mencari tempat lain yang bisa ia gunakan sebagai jalan keluar.

Tetapi setelah lama mencari ia akhirnya putus asa juga. Ada rasa takut
yang hinggap dalam dirinya bahwa ia mungkin harus tinggal di dalam goa
itu. Tapi tampaknya itu lebih baik daripada hidup terus dikejar-kejar
orang

Berfikir seperti itu, rasa takutnya perlahan-lahan menghilang.

Cio San lalu kembali ke tempat ia meletakkan jasad A Liang. Dibawanya


jasad itu ke tempat dimana ia tadi menemukan daerah yang bertanah. Ia
lalu menggali tanah itu dan menguburkan jasad A Liang.

Terima kasih lopek. Walaupun aku ingin sekali memanggilmu Suhu, namun
engkau pasti akan marah jika kupanggil suhu. Persahabatanmu begitu tulus,
engkau pun lelaki sejati yang memegang janji sampai mati. Semua
pertolongan, kebaikan, dan segala yang engkau ajarkan kepadaku tidak akan
pernah kulupakan

Setelah berdoa lama sekali, Cio San mekakukan kow tow (sujud) sebanyak
tiga kali. Matanya basah mengingat sosok A Liang. Memang persahabatan
mereka hanya sebentar saja, namun cukup memberi bekas yang amat dalam
bagi Cio San.

Ia kini sendirian. Kembali duduk di tempat tadi ia memasak. Karena hanya


dari situlah ada sedikit cahaya yang masuk dari luar. Namun cahaya itu
perlahan-lahan meredup. Nampaknya malam telah datang.

Sekali lagi Cio San memanggang jamur-jamuran untuk makan malamnya.


Setelah makan ia lalu tertidur pulas.

Bab 8 Kehidupan Cio San di dalam Goa

Setelah tertidur pulas, ia akhirnya bangun. Cahaya kecil sudah muncul


lagi dari jendela air, begitu Cio San sekarang menyebut lubang tempat
keluarnya air sungai itu.

Hey, bagaimana jika aku mencari ikan? Siapa tahu di dalam sungai ini ada
banyak ikan

Segera ia menyalakan api, dan mencari ranting-ranting lain. Kebetulan ia


menemukan beberapa bilah bambu di sebuat tempat. Bilah-bilah ini memang
tidak terlalu panjang, yang terpanjang hanya kira-kira 1 depa. Tapi itu
sudah cukup membuatnya senang. Dengan pisau peninggalan A Liang, ia
membuat berbagai keperluan dengan bambu-bambu itu. Seperti membuat tempat
minum, dan juga tempat penyimpanan jamur-jamur, pisau, dan batu api.. Ia
juga membuat tombak ikan.

Setelah tombaknya selesai, mulailah ia berburu ikan. Ternyata walaupun


tidak banyak, ikan-ikan di dalam sungai lumayan besar juga. Cio San
menangkap 2 ekor. Satu dimakannya pagi hari, satunya lagi ia simpan untuk
malam hari.

Untuk siang hari Cio San memanggang jamur. Sedangkan jamur-jamuran yang
beracun ia pakai untuk bahan bakar dan penerangan. Lumayan juga apinya
malah menjadi besar. Cio san kaget juga. Tapi ia malah menganggapnya
sebagai pertolongan Tuhan.Ternyata jamur-jamur beracun itu bisa dipakai
sebagai alat penerang yang tahan lama.

Setelah makan Cio San pergi ke kuburan A Liang. Ia bertekad untuk setiap
hari berdoa di kuburan itu.

Liang lopek, hari ini aku memasak ikan. Rasanya enak sekali. Walaupun
tidak ada bumbu, tapi rasanya jauh melebihi bumbu apapun. Ku harap Lopek
mendapatkan makanan lezat di langit sana. Eh, ada kejadian ajaib. Tadi
aku tidak sengaja membuang jamur-jamur beracun ke dalam api, ternyata
apinya menjadi besar. Ku tunggu sekian lama ternyata api itu awet juga.
Terima kasih Liang lopek, telah mengirimkan jamur-jamur itu untuk
menerangi gua ini

Cio San berbicara kepada A Liang seperti ketika orang itu masih hidup.
Ini mungkin ia lakukan untuk mengusir rasa kesepiannya yang hanya
ditemani suara gemericik air.

Ia lama sekali berada di kuburan A Liang. Perasaannya yang halus kembali


membuatnya menangis mengingat A Liang. Cio San melamun dan berpikir,

Aku tidak boleh terus diam saja dan melamun seperti ini, bisa-bisa aku
jadi gila

Ia akhirnya memutuskan untuk berlatih silat. Tempat dekat kuburan A Liang


memang lumayan lebar sehingga cocok untuk berlatih silat.

Cio San lalu mengingat-ingat kembali jurus-jurus yang ia latih ketika


berada di puncak Butongsan. Awalnya memang agak kaku, tapi tak sampai
lama akhirnya ia bergerak dengan mantap dan lincah. Daya ingatnya memang
sangat kuat sehingga ia tidak melupakan satu bagian pun dari jurus-jurus
silat ataupun kata-kata di buku masak A Liang.

Ia bersilat cukup lama, menggabungkan silat Butongpay, petunjuk di buku


masakan, serta permainan khim. Dari silat butongpay ia mengambil kudakuda, langkah, serta gerak silat tangannya. Dari buku masakan A Liang, ia
mengambil bagian pengerahan energinya. Sedangkan dari permainan khim, ia
mengambil bagian tentang penggunaan perasaannya.

Perasaan yang mengalun bagai lagu ini membuatnya menemukan jurus-jurus


silat. Cio San hanya mengikuti perasaannya saja. Di dalam hati ia
bernyanyi. Di dalam pikirannya ia merasa seperti sedang bernyanyi dan
bermain khim.

Ia hafal betul lagu-lagu yang ia mainkan bersama A Liang di puncak


Butongsan. Ada lagu yang sedih dan sendu, ada lagu yang riang gembira.
Ketika sedang membayangkan lagu sendu, langkah-langkahnya berat namun
mantap. Ketika sedang memikirkan lagu riang, geraknya cepat dan lincah.

Ia menutup matanya. Tubuhnya bergerak seperti mengikuti irama lagu.


Hatinya bernyanyi dengan sepenuh hati.

Bagi Cio San, ia bergerak sekenanya saja. Hanya mengikuti aliran lagu
yang ada di dalam kepalanya. Namun jika ada orang lain yang melihatnya,
mereka akan kagum dengan gerakan-gerakan silat yang dimainkan oleh Cio
san.

Ia sedang memainkan sebuah ilmu silat yang baru.

Lama ia bersilat. Ia tidak sadar bahwa saat itu sudah melewati tengah
hari. Bergegas ia pulang untuk makan siang. Jamur panggang adalah
santapan siang harinya. Setelah menyantap jamur-jamur itu, tubuhnya
menjadi semakin segar, dan kuat.

Heran, setiap aku selesai makan jamur-jamur ini, tubuhku terasa sangat
enteng, dan segar sekali. Mungkin jamur-jamur ini memang punya khasiat
yang sangat tinggi pikir Cio San

Dan memang tebakannya itu sungguh tepat. Cio San tidak tahu bahwa jamur
yang dijadikannya sebagai santapan siang sehari-hari itu adalah sebuah
tumbuhan yang dijadikan bahan rebutan oleh kalangan kang ouw.

Jamur itu bernama jamur Sin Hong. Jamur itu hanya tumbuh di daerah
tertentu di Tionggoan dan sangat langka sekali. Belum tentu dalam seratus
tahun, jamur itu akan muncul. Itulah sebabnya jarang ada orang yang tahu
tentang jamur itu.

Kalangan kang-ouw saja juga hanya mendengar-dengar saja tentang jamur


sakti itu, namun jarang ada dari mereka yang pernah memakannya. Jika
memakan satu lembar daun jamur itu, orang akan menjadi sehat dan panjang
umur. Jamur itu mampu menghilangkan segala macam penyakit dan racun-racun
di dalam tubuh.

Bayangkan jika jamur-jamur itu dimakan setiap hari?

Cio San yang tidak tahu tentang jamur itu malah menjadikannya sebagai
santapan sehari-hari seperti sayur biasa. Sayangnya ia tidak tahu
bagaimana cara mengolah jamur itu sehingga khasiatnya tidak bisa
berfungsi sepenuhnya.

Jamur Sin Hong haruslah direndam di dalam arak khusus selama 3 hari.
Barulah kemudian dimakan dan arak rendamannya juga diminum. Begitulah
baru khasiatnya bisa diperoleh sepenuhnya.

Cio San memakannya setelah dipanggang, tentulah khasiatnya tidak


sebanding dengan jika diolah dengan benar. Namun Cio San memakan jamur
itu setiap hari. Bisa dibayangkan betapa sehat tubuhnya. Bahkan secara
tidak sengaja tubuhnya pun menjadi kebal dari segala racun.

Ia pun seperti memperoleh tenaga sakti di dalam tubuhnya. Namun Cio San
tidak menyadarinya. Yang ia rasakan, ia merasa tubuhnya selalu terasa
segar dan enteng setiap hari.

Begitulah kegiatan Cio San sehari-hari di dalam goa. Hampir satu bulan
lamanya ia berlatih jurus-jurus gubahannya sendiri itu. Lalu memakan
jamur jamur Sin Hong setiap hari. Cio San bahkan menciptakan jurus-jurus
baru.

Jurus-jurus itu ia ciptakan, setelah secara iseng menciptakan lagu baru.


Ia memang memiliki bakat musik yang kuat dari ayahnya, sehingga ia bisa
menciptakan lagu hanya dengan menggunakan pikiran tanpa harus menggunakan
alat musik.

Cukup dengan membayangkan saja, ia bisa mendengar nada-nada itu di dalam


kepalanya. Ia lalu menggabungkan jurus-jurus silat dengan lagu baru itu.

Cio San bersilat dengan riang gembira seperti menemukan suatu hal yang
baru. Sungguh ia tidak sadar bahwa ia sedang menciptakan jurus-jurus
silat yang sangat dahsyat.

Berhari-hari ia di dalam perut bumi itu, ilmu silatnya semakin hebat. Itu
dikarenakan karena ia selalu rajin melatihnya, dan juga karena
kecerdasannya sehingga ia bisa menciptakan ilmu baru dari hal-hal
sederhana.

Adanya jamur Sin Hong menambah tenaga dalam yang sangat dahsyat di dalam
tubuhnya. Dalam kurun waktu sebulan lebih, kepandaian silatnya sudah jauh
melebihi kebanyakan orang di dunia Kang ouw.

Suatu hari ketika selesai menggoreskan penanda di dinding goa, Cio San
termenung. Tanda yang ia goreskan di tembok menggunakan pisau A Liang

sudah berjumlah 50. Itu berarti sudah hampir 2 bulan ia berada di dalam
perut bumi.

Betepa mengherankannya nasibnya. Mampu bertahan hidup di tengah kegelapan


dan kesepian. Namun begitulah takdir. Cio San pun tak pernah lupa
bersyukur kepada Thian (langit), bahwa ia masih dinaungi keselamatan dan
perlindungan.

Ketika sedang asik melamun, Cio San seperti merasa ada yang aneh. Ia
merasa bahwa air di dalam terowongan ini semakin meninggi. Biasanya air
tidak pernah menyentuh kakinya jika ia duduk di tempat biasanya ia duduk.

Lama ia menunggu dan memperhatikan. Ternyata memang benar air semakin


mulai meninggi.
Terkejutlah Cio San. Jika air semakin meninggi tanpa henti, maka bisabisa ia mati tenggelam. Apa yang harus diperbuatnya?

Ia mencoba untuk berpikir tenang. Pertama-tama ia mengambil bambu tempat


penyimpanan pisau dan batu apinya. Ia ikat erat-erat dan pastikan ikatan
itu tidak mungkin lepas dari tubuhnya. Selama ini Cio San jarang memakai
bajunya karena sayang cuma itu baju satu-satunya yang ia miliki. Kini ia
memakai kembali baju itu.

Ia memeriksa memang benar air semakin meninggi. Ia mencari tempat yang


lebih tinggi sebagai pijakannya. Tapi tak berapa lama air itu kini sudah
menyentuh ujung jarinya.

Kini tak ada lagi tempat kering. Semakin lama air naik, dan kini
menyentuh lututnya.

Cio San panik. Tapi ia tetap mencoba tenang. Ia telah berusaha keras
mencari pemecahannya, tapi ia tetap tidak bisa juga.

Tak berapa lama air telah menyentuh dadanya. Cio San kini malah harus
berenang. Ia kini pasrah. Jika memang harus mati tenggelam biarlah nanti
ia mati tenggelam. Tapi sekarang setidaknya ada hal yang bisa ia lakukan.

Tekanan air pun semakin deras. Ia kini merasa dadanya dihempaskan air.
Untuk menahan hempasan itu ia mengerahkan tenaga dalamnya ke seluruh
tubuhnya. Dorongan air itu sangat kuat dan ia terhempas ke dindng goa.
Untunglah tenaga dalamnya mampu melindunginya sehingga ia tidak terluka
sedikitpun.

Air kini telah mencapai lehernya, dan Cio san terus berenang.

Tak lama lagi, jika air menyentuh langit-langit maka tamatlah riwayatku

Dan air memang akhirnya menyentuh langit-langit. Cio San akhirnya


mengalirkan tenaga dalamnya ke paru-parunya. Hasilnya ia bisa menyelam
lama sekali, karena tenaga dalamnya menyediakan udara yang cukup banyak
bagi paru-parunya.

Sekarang ia harus memusatkan pikiran untuk membagi jalannya tenaga


dalamnya itu. Sedangkan arus yang deras itu ters menghempaskannya ke
dinding goa yang terasa tajam dan sangat dingin.

Cio san mencoba untuk terus bertahan. Bermenit-menit lamanya ia berada di


dalam keadaan seperti itu. Pasokan tenaga dalam ke dalam seluruh organ
tubuhnya pun masih banyak. Cio San mencoba untuk tetap tenang, namun tak
urung dia merasa panik juga.

Ia tidak yakin sampai berapa lama ia bisa bertahan dengan hanya


menggunakan tenaga dalamnya. Akhirnya ia menemukan suatu ide. Dengan
mengumpulkan segenap tenaga di ujung kepalannya, ia memukul langit-langit
goa itu.

Cio San memukul keras-keras. Ia tidak tahu bahwa kini kekuatannya sudah
sangat dahsyat. Sebuah lobang yang sebesar kepalan tangannya muncul di
langit-langit. Ia senang sekali usahanya ini berhasil. Di dalam lubang
itu ia meletakkan mulut dan hidungnya. Walaupun kecil, lubang itu
membantunya untuk menarik nafas.

Kepalanya sudah tidak bisa ia munculkan lagi diatas permukaan air, hanya
lubang dilangi-langit goa inilah, ia bisa meletakkan hidung dan mulutnya
untuk mengambil nafas. Tangannya mencengkeram langit-langit goa agar bisa
tetap meletakkan hidung dan mulutnya di dalam lobang itu.

Entah sudah berapa lama ia berada dalam posisi seperti itu. Cio San terus
mencoba bertahan. Ia melihat jendela air sekarang sudah tak ada cahaya
lagi dari situ, berarti sudah malam.

Lama sekali ia berada dengan posisi seperti itu. Rasa lapar pun muncul.
Untunglah jamur-jamur pun tumbuh di langir-langit sehingga Cio San bisa
memakannya.

Hari berganti hari tak terasa sudah 5 hari ia bertahan dengan kondisi
seperti itu. Cio San tak menyadari bahwa ia sebenarnya mengalami latihan
yang amat berat. Kekuatan dorongan air, udara yang sangat tipis, dan
khasiat jamur Sin Hong membuatnya seperti mengalami tempaan 10 tahun.

Dalam 5 hari saja, pernafasannya kini sangat kuat. Ini sebenarnya berguna
saat ia menghimpun kekuatan tenaga dalam. Kulitnya pun kini sangat kuat
karena derasnya dorongan air, tidak hanya membawa batu-batu yang
menghujam tubuhnya, tapi juga karena air sungai itu juga telah merendam
banyak sekali jamur Sin Hong. Air yang sudah mengandung khasiat jamur
sakti itu membuat tubuh luarnya seperti mata, kulit, daging dan rambut
mulai kebal dengan racun-racun.

Baru pada hari ke 7, air mulai perlahan-lahan menurun. Cio San senang
sekali. Tapi memang surutnya tidak secepat naiknya. Butuh 3 hari baru
seluruh air dalam terowongan itu menyurut. Itupun masih tersisa setinggi
lutut Cio San.

Dengan lega ia menghempaskan tubuhnya. Ia merasa letih sekali.


Mengerahkan tenaga dalam selama hampir sepuluh hari di tengah kuatnya
dorongan air serta hujaman batu-batuan, membuat ia letih sekali.
Cio san akhirnya pingsan.

Setelah sadar dari pingsannya ia mencoba mengerahkan energi ke seluruh


organ tubuhnya. Ternyata cepat sekali badannya terasa segar kembali. Cio
San lalu mengisi perutnya dengan jamur-jamuran yang tumbuh lebat di

dinding. Untungnya, walaupun air banjir sangat deras, tidak mengikis


seluruh jamur-jamuran yang ada di dalam terowongan goa itu.

Ia mulai melihat ke sekeliling mencoba melihat keadaan 'rumah'nya itu.


Cio San tak sadar bahwa perlahan-lahan ia sudah mulai bisa melihat di
dalam kegelapan. Kehidupannya yang prihatin di dalam goa itu membuatnya
harus menghemat segalanya. Mulai dari makanan, ranting-ranting untuk
bahan bakar, serta penggunaan batu api. Dia malahan kadang bertelanjang
untuk menghemat penggunaan bajunya. Karena bila terlalu sering dipakai
akan cepat rusak. Apalagi jika dipakai untuk berlatih silat.

Peristiwa banjir tadi malah semakin merusak bajunya. Cio mencari cara
untuk mencari pengganti bajunya itu. Akhirnya ia menemukan ide untuk
menggunakan kulit kayu yang dianyam sebagai pakaian. Cio San lalu
bergegas mengumpulkan kayu-kayuan. Banjir membawa banyak sekali kayukayuan. Setelah lama sekali mengumpulkan kayu-kayu itu, ia lalu
mengulitinya satu persatu, lalu menganyam kulit-kulit itu.

Cio San bekerja dengan riang. Setelah lolos dari maut beberapa kali, ia
akhirnya lebih menghargai hidup. Ia merasa ia harus menikmati segala
detik dalam kehidupannya, karena kematian bisa datang kapan saja. Jika
kita suatu saat pasti akan mati, mengapa hidup dalam kesedihan dan
keputusasaan?

Toh pada akhirnya akan mati juga. Kenapa tidak menjalani hidup dengan
riang gembira? Begitu pikir Cio San.

Akhirnya selesai juga anyaman kulit kayu yang ia jadikan celana setinggi
lutut. Sisanya akan ia simpan untuk membuat baju. Cio San terkagum-kagum
sendiri dengan celana anyaman buatannya. Sangat tidak rapi, namun ia
tetap saja bangga.

Ia langsung memakainya. Rasanya agak kebesaran. Tapi dia lalu mengambil


lagi satu lembar kulit kayu yang agak panjang untuk dijadikan ikat
pinggang. Pas lah sudah. Sambil tersenyum-seyum ia menggerak-gerakan
pinggulnya untuk melihat apakah celana itu tidak akan melorot lagi.

Beberapa hari dilalui Cio San di dalam terowongan itu dengan tentram. Tak
lupa ia memberi tambahan goresan penanda hari waktu hidupnya di dalam goa
itu. Sudah 3 bulan lebih. Ia sudah merasa nyaman. Bahkan ia sudah melihat

dengan jelas di dalam kegelapan. Hanya sekali kali ia menggunakan


penerangan. Itu pun hanya disaat ia memasak, atau pun mengerjakan hal-hal
yang butuh ketelitian seperti membedakan jamur.

Cio san tidak lupa berlatih ilmu silatnya. Sekarang sudah 6 bulan di
dalam goa, Cio San malah menemukan jurus-jurus baru lagi. Kejadiannya,
seperti biasa, adalah berawal dari ketidaksengajaan. Karena hidup di
dalam gelap, dan terus menerus mendengar suara aliran air yang deras,
pendengaran serta perasaan Cio San berkembang sangat pesat. Ini juga
mungkin dikarenakan khasiat jamur Sin Hong juga.

Jika dulu ia menangkap ikan harus menggunakan penerangan, kini ia bisa


menangkap ikan hanya dengan menggunakan pendengarannya saja. Awalnya ia
merasa telinganya mulai bisa membedakan sura-suara yang ada di dalam air.
Lama-lama ia malah bisa mendengarkan suara-suara yang ditimbulkan ikanikan saat berenang. Mulanya memang hanya ikan ikan besar saja, namun
akhirnya ia bisa juga membedakan suara yang ditimbulkan ikan kecil di
dalam air.

Suara itu jelas memang bukan suara dari mulut ikan, melainkan kepakan
sirip dan ekor ikan-ikan tersebut. Memang dibutuhkan pemusatan pikiran
yang cukup berat. Tapi karena memang Cio San sering melakukannya, maka
tak lama kemudian ia bisa menentukan posisi ikan-ikan itu di dalam air.

Cio San mengambil tombak ikannya lalu mencoba 'ilmu' barunya itu.
Menombak ikan dengan hanya menggunakan pendengaran saja. Tak lama mencoba
ia berhasil menangkap beberapa ikan besar. Hari demi hari ia lalui untuk
melatih kemampuannya ini.

Hingga suatu saat ia mencoba menggabungkan keahlian menombak ikan ini


dengan gerakan silat. Ia duduk bersila di dalam sungai. Jika bersila maka
air sungai akan setinggi lehernya. Dengan menggunakan gerak tangan Thay
kek dari Butongpay, Cio san mencoba meyelaraskankannya dengan
pendengarannya.

Ia berkonsentrasi penuh. Tak terasa gerakan tangannya malah kini


mengikuti gelombang air. Lembut, namun mengalir kuat dan pasti. Thio Sam
Hong memang menciptakan Thay Kek Kun dari gerakan-gerakan alam yang
selaras. Gerak air, udara, awan, dan lain-lain. Cio San secara tidak
sengaja, justru menemukan inti ajaran Thio Sam Hong itu. Makna utama Thay
Kek Kun memang menselaraskan diri dengan alam. Maka ketika Cio san
berhasil mengosongkan pikirannya, lalu gerak tubuhnya mengikuti gerak

air, maka secara tak sengaja ia sudah menguasai inti dari Thay kek Kun
itu.

Ia mulai bersilat. Tangannya membentuk sebuah gerak lingkaran di atas air


di depannya. Gerak lingkaran itu mulanya perlahan-lahan dan lembut. Tapi
lama-lama gerakannya semakin cepat dan kuat. Lalu semakin kuat, semakin
kuat, dan semakin kuat. Lalu dengan kecepatan tinggi, Cio San memukulkan
kedua telapaknya diatas air yang bergolak itu, dan bllaaaaarrrrrr.......
Cipratan air itu sungguh dahsyat sehingga membuat dinding di samping kiri
kanan, juga atasnya bergetar hebat, menimbulkan suara yang keras sekali.

Cio San malah terkaget-kaget dengan hasil perbuatannya tadi. Sungguh


dahsyat tenaga yang ia hasilkan. Itu bahkan tidak menggunakan
seperduapuluh tenaga dalamnya. Jika digunakan semua, pasti ia mampu
menjebol dinding-dinding goa itu.

Memikirkan itu ia senang sekali. Tapi kemudian ia berfikir lagi, Jika


aku keluar dari sini, pasti aku akan difitnah dan dikejar-kejar lagi.
Lebih baik tinggal disini selama-lamanya saja. Toh aku bisa bertahan
hidup dengan apa yang ada disini. Aku pun bisa menemani A Liang

Teringat akan A Liang, ia lalu berkunjung ke kuburannya. Untungnya walau


banjir sangat deras, tidak begitu merusak kuburan A Liang, karena
sebelumnya Cio San sudah menumpuk beberapa batuan besar diatas kuburan
itu. Walaupun begitu, ternyata batu-batu bergesar juga, meskipun tidak
jauh. Cio San lalu mengembalikan batu-batu itu ke posisi semula, dan
membersihkan kotoran berupa ranting-ranting dan tumbuh-tumbuhan yang
terbawa oleh banjir itu.

Ia lalu 'bercerita' kepada A Liang bahwa ia baru saja menemukan ilmu baru
yang sangat dahsyat. Lama bercerita akhirnya ia kembali ke 'tempat
tinggalnya' di dekat 'jendela air'. Hari sudah malam rupanya.

Begitulah Cio San melewati hari-harinya dengan melatih ilmu barunya itu.
Jika dulu ia berlatih di dalam air kini ia memutuskan untuk berlatih di
air terjun, untuk melatih kekuatan ilmunya itu. Bergegas ia ke air terjun
tempat masuknya aliran air ke dalam terowongan itu. Cukup lama juga
perjalanannya di dalam terowongan itu.

Sampailah Cio san di sekitar air terjun itu. Bentuk nya sungguh indah
namun menyimpan kekuatan alam yang sangat dahsyat. Cio San menjadi
teringat dengan ilmu Thay Kek Kun ciptaan mahagurunya, Ternyata thaysuhu
menciptakan ilmu-ilmu hebatnya dari alam ini. Orang yang pikirannya
terbuka, pasti bisa menangkap ilmu apapun dari alam

Memang benar. Semua ilmu manusia berasal dari alam. Alam memperolehnya
dari Tuhan. Namun Tuhan menggunakan alam sebagai media pengajarannya.
Dari alam lah manusia belajar untuk bertahan hidup dan menyesuaikan diri.
Dari alamlah manusia bisa menjadi 'manusia'. Maka manusia yang
meninggalkan alam, pasti dialah manusia bodoh yang suatu saat akan
dimangsa oleh alam itu sendiri.

Cio San selain otaknya cerdas, bakat silatnya ternyata sangat besar
sekali. Dengan sedikit memperhatikan, ia bisa menangkap makna-makna. Ia
bahkan menciptakan ilmu silat berdasarkan pengamatan-pengamatan dan uji
cobanya. Beruntunglah dia dibantu oleh segala kejadian-kejadian yang
membuatnya bertemu dengan segala macam peristiwa yang menambah pengalaman
dan mengasah pikirannya.

Peristiwa itu sambung menyambung dari awal hingga detik ia berada


disini.Hingga nanti mungkin saat ia mati, peristiwa sambung menyambung
ini akan bersambung kepada anak cucunya. Begitu terus sampai kiamat
nanti. Tuhan begitu perkasa, sehingga kejadian sambung menyambung ini
tiada henti.

Siapa
genap
Siapa
tidak

yang menyangka seorang anak kecil yang lemah, karena lahir tidak
sembilan bulan di dalam kandungan, bisa menjadi murid Butongpay?
yang menyangka anak kecil yang seluruh organ dalamnya berfungsi
semestinya mampu bertahan hidup di dalam perut bumi seperti ini?

Siapa yang menyangka anak kecil yang dianggap sangat tidak berbakat dalam
ilmu silat, malah mampu menciptakan jurus-jurus sakti yang dahsyat?

Hidup sebenarnya memang selalu seperti itu. Bukankah teramat sering kau
menyaksikan ada seorang anak ketika kecil berwajah biasa-biasa saja,
namun setelah dewasa ia berubah menjadi cantik jelita? Bukankah sudah
sering kau lihat ada anak yang sangat cantik dan lucu ketika kecil, namun
saat dewasa ia malah menjadi jelek dan tidak menarik?

Atau bukankah sudah sering kau lihat anak yang dianggap bodoh dan malas
oleh guru dan teman-temannya malah berubah menjadi orang yang paling
berhasil dan kaya raya dibanding teman-temannya?

Begitu juga sebaliknya sering kau lihat anak yang dulu pintar dan rajin
hanya menjadi pegawai rendahan di desanya?

Kehidupan selalu bagaikan roda. Tuhan menggilirkan kenikmatan diatas


penderitan. Saat Tuhan memberimu banyak penderitaan, sesungguhnya Tuhan
sedang melatih dan mempersiapkanmu untuk menerima banyak anugrah dan
kenikmatan'Nya.

Itulah juga yang terjadi pada Cio san. Sejak kecil ia sering sakitsakitan, karena terlahir tidak normal. Seluruh keluarganya dibunuh orang.
Lalu saat belajar di perguruan pun ia sering menerima perlakuan buruk
dari sesama murid, bahkan juga dari beberapa suhu-nya.

Lalu ia difitnah ikut serta dalam pembunuhan gurunya sendiri. Ia lalu


dikejar-kejar bagai maling. Kehilangan sahabat terbaiknya, dan malah
hidup di dalam perut bumi seperti sekarang ini.

Kalau mau dipikir-pikir, tidak ada orang yang akan tersenyum memikirkan
hal ini.

Cio San kini sedang tersenyum. Tapi bukan tersenyum karena alasan tadi.
Ia tersenyum karena ia merasa mendapat tantangan baru. Melawan tekanan
air terjun yang dahsyat. Air terjun itu tingginya kira-kira 5 tombak.
Dengan kepercayaan diri yang penuh Cio San memasuki air dan berjalan ke
bawah air terjun itu.

Dengan berani disambutnya curahan air yang menghujam itu. Amat sangat
berat dan juga tajam. Cio San mengerahakan segala tenaganya. Ia
menggunakan seluruh tenaganya yang disalurkan melalui telapak-telapaknya
untuk melawan derasnya air itu. Dadanya seperti terjepit oleh hempasan
air dan dorongan tenaga dalamnya sendiri. Ia bertahan cukup lama, tapi
keadaan ini sungguh amat dhsyat. Tak terasa darah mulai mengalir dari
mulut dan hidungnya. Pertempuran manusia melawan alam sudah pasti akan
dimenangkan alam. Kecuali jika manusia menggunakan senjata utamanya,
yaitu akalnya.

Begitu teringat kata-kata ini, yang seingatnya pernah diucapkan ayahnya,


membuat ia seperti mendapat ide baru. Ia tidak lagi melancarkan serangan
melalui telapak tangan, namun menerima deras air itu dengan cara berputar
putar. Namun perputaran itu dilakukan saatnya tubuhnya melayang secara
sejajar dengan bumi. Gerak putaran itu sangat dahsyat. Ia bahkan melayang
terus di udara. Tenaga hujaman air, dan tenaga dalamnya sendiri
membuatnya tetap melayang sambil berputar-putar ditengah-tengah air
terjun itu.

Ia lalu mengumpulkan tenaganya di dalam dada. Tenaga yang terkumpul itu


bergerak bagaikan magnet yang menghisap segala dorongan derasnya air
terjun. Kekuatan air terjun itu seperti terhisap ke dalam tubuhnya. Lalu
ketika kekuatan itu semakin membesar dan memenuhi tubuhnya, Cio San
merasa tak tahan lagi. Ia lalu menyalurkan energi yang terkumpul itu ke
telapak tangannya, lalu memukulkannya ke atas menghadapi air terjun, dan
Blllaaaaaaaarrrrrrrrrrrrrrrrrr........

Kembali suara dentuman itu terdengar, namun jauh lebih keras dan lebih
dahsyat. Dinding-dinding banyak yang hancur berantakan. Bahkan lubang air
tempat keluarnya air terjun itu kini menganga semakin besar.

Memang dahsyat sekali kekuatan yang ia hasilkan. Dengan cara mengikuti


aliran tenaga dorongan air terjun, Cio San malah berhasil mengumpulakn
tenaga itu di dalam dirinya. Lalu dengan kemampuannya mengarahkan tenaga,
kekuatan dahsay itu ia jadikan kekuatannya sendiri. Hasilnya sangat
dahsyat. Jika ini dipukulkan pada seratus orang, maka bisa dipastikan
mereka semua akan mati dengan tubuh hancur luluh.

Menyadari hal ini, Cio San ngeri. Ia menjadi sangat takut. Bagaimana
mungkin seorang manusia bisa memiliki kekuatan sebesar ini? Jika ada
orang punya kekuatan sebesar ini, pastilah nafsunya akan menyuruhnya
untuk mengalahkan siapa saja. Pantas saja ahli-ahli silat gemar sekali
bertarung. Adalah untuk memuaskan nafsu bertarung ini.

Cio San menjadi sangat takut jika nanti ia akan berakhir seperti Lianglopeknya. Sang lopek di masa mudanya telah melatih ilmu hebat, dan
sanggup mengalahkan jagoan-jagoan kelas satu. Bahkan menantang tokoh
paling terkemuka di dunia kang-ouw sehingga akhirnya kalah dan terpaksa
memenuhi janjinya menjadi pengabdi dan kacung di Butongpay.

Ia lalu berlari-lari ke makam Liang lopek-nya. Menangis dan berdoa, agar


diberi kekuatan untuk menahan dorongan nafsu bertarung itu. Pada dasarnya
Cio San memang anak yang perasa dan halus. Ia tidak ingin menyakiti
siapapun. Jika seorang anak sangat takut kepada pisau, maka jika kau
memberinya golok untuk ia pegang, ia pasti akan sangat ketakutan.

Bab 9: Tahun Berikutnya Di Dalam Goa

Sudah setahun lebih Cio San tinggal di dalam perut bumi. Ia terus
berlatih silat, bukan karena ingin kuat, namun karena tiada hal lain yang
bisa dikerjakannya. Akhirnya ia memeras otak dan keringat untuk melatih
jurus-jurus silatnya, supaya bisa mengalihkan pikirannya dari hal-hal
yang menggelisahkannya.

Masalah kematian orang tuanya, kematian suhunya, kematian A Liang,


peracunan Lau Ciangbunjin, dan hilangnya kitab sakti milik A Liang dari
dalam kubur kosongnya di Butongsan. Adalah semua hal yang menggelisahkan
hatinya.

Ia harus membersihkan namanya dari segala tuduhan. Ia yakin saat ini ia


sudah dituduh berkomplot dengan A Liang membunuh suhunya, meracuninya Lau
Ciangbunjin, serta mencuri kitab sakti itu. Itu adalah sebuah pekerjaan
yang amat sangat berat baginya. Memikirkan hal ini ia malah lebih
memeilih untuk tinggal saja di dalam goa itu selama-lamanya.

Suatu hari ketika sedang memakan ikan untuk sarapan paginya, telinga Cio
San mendengar sesuatu. Suara air sungai berbeda dengan biasanya. Kini
pendengarannya sudah sangat tajam, sehingga suara berbeda sedikit saja ia
sudah bisa merasakan. Cio San memperhatikan ketinggian air dan tahulah
dia bahwa banjir akan segera datang lagi.

Berbeda dengan dulu kini ia sudah lebih siap. Segera ia melompat tinggi
lalu memukul langi-langit goa itu. Tidak begitu keras. Namun lubang yang
ditimbulkan sebesar dua kali kepalanya. Ia lalu mengikat erat-erat semua
peralatan yang dimilikinya seperti batu api, pisau, dan lain-lain ke
tubuhnya. Lalu menunggu datangnya banjir itu.

Banjir yang datang memang agak berbeda kali ini. Kini datangnya bagai air
bah. Cio San kaget juga. Karena banjir yang dulu dialaminya datang tidak
secepat dan setiba-tiba ini. Secara kebetulan, timbul di pikirannya untuk
mencoba ilmu yang selama ini dilatihnya. Ilmu itu adalah sejenis ilmu
pemindahan tenaga. Yaitu jika mendapat serangan tenaga dari luar, tenaga
itu bisa dihisap dan malah dipakai untuk menyerang lawan.

Begitu air bah datang, bhesi [kuda-kuda] Cio San sudah siap. Ia menyambut
air bah itu dengan gerakan memutar ke belakang. Yaitu gerakan mengikuti
arah air itu. Gerakan itu sangat cepat, secepat serangan air bahw di
dalam terowongan itu.

Begitu Cio San berputar, secara aneh tenaga putaran tubuhnya membuat air
bah itu ikut berputar mengitar tubuhnya. Pemandangan itu indah sekali.
Air mengelilingi tubuhnya seperti sebuah lapisan yang menyelimuti sekujur
badannya. Bentuknya berputar-putar sangat indah.

Cio San lalu memukulkan kedua tangannya. Pukulan itu ia lakukan sambil
berputar. Ketika badannya berhenti berputar, air bah itu seperti mandeg
dan malahan mundur ke belakang.

Betapa dahsyat tenaga itu sampai bisa memukul mundur air bah. Tiada
seorang pun yang bisa melukiskannya. Seluruh isi gua bergetar. Bahkan
dinding goa itu banyak yang pecah-pecah. Begitu air bah terpukul mundur,
segera air bah itu maju kembali dengan lebih cepat karena mendapat
dorongan dari deras air di belakangnya. Cio San segera bersiap-siap lagi
menerimanya.

Saat air bah datang lagi, kembal Cio San melakukan hal yang sama. Ia
berputar lagi, hanya satu putaran saja. Lalu memukulkan lagi tangannya.
Air bah mundur lagi beberapa tombak. Suara ledakan terdengar lagi.
Dinding batu pecah berantakan lagi.

Lalu air bah meluncur lagi lebih deras dari sebelumnya. Cio San melakukan
hal yang sama lagi. Begitu terus sampai beberapa kali.

Ia tertawa senang. Ia kini menemukan hal baru lagi. Jika seseorang


di'keroyok' dari depan dan belakang, maka ia bisa menghasilkan tenaga
serangan yang jauh lebih besar. Contohnya ada pada air bah itu.

Ketika air bah itu dipukul Cio San, air itu bergerak mundur. Tetapi
karena menerima dorongan dari arus di belakangnya, maka air bah itu maju
menjadi lebih cepat. Pemahaman ini hanya muncul sekelebat di dalam kepala
Cio San, dan ia sangat senang menemukan lagi hal baru.

Berdasarkan gerak air ini, aku bisa membuat jurus baru Bagitu ucapnya
dalam hati.

Karena khawatir goa ini bisa hancur karena perbuatannya menantang air
bah, Cio San memilih untuk berhenti. Ia kini tak lagi berputar dan
memukulkan tangannya kepada serangan air itu. Tapi ia kini berputar dan
bergerak mengikuti arus air. Serangan air yang semakin lama semakin
dahsyat itu malah membuat gerakannya menjadi lembut dan lentur.

Ia kini tidak lagi menantang air, namun bergerak mengikuti liukan itu.
Malah kini Cio San merasa enteng dan ringan mengikuti alur tenaga air bah
itu. Ketika hampir menabrak tembok, ia menggunakan tenaga arus itu untuk
melompat tinggi.

Kali ini ia tidak perlu menggunakan tenaganya sendiri untuk melompat. Ia


menggunakan kekuatan arus itu untuk melompat tinggi. Cio San kembali
menemukan ilmu baru. Bergerak dan melompat menggunakan tenaga serangan
dari luar.

Setelah melompat tangannya mencengkeram dinding batu. Ia lalu


bergelatungan menggantung di langit-langit dengan menggunakan
cengkeramanya. Ia mencari lubang yang sudah tadi dibuatnya. Lalu
meletakkan mulut dan hidungnya di lubang itu. Kejadian yang dulu terulang
kembali.

Ia harus bertahan bergelantungan lagi sampai air banjir itu berhenti.

Sesudah beberapa hari, air itu mulai surut dan semakin surut. Cuma kali
ini lebih cepat surutnya daripada banjir yang pertama. Cio San
menghitungnya hampir 7 hari. Begitu semuanya selesai ia kini merasa
bahagia. Kedatangan air bah yang tiba-tiba itu memberinya ide-ide baru
untuk menciptakan ilmu silat.

Bahkan secara tidak sengaja, ia juga telah melatih daya cengkeramannya.


Tujuh hari bergelantungan melawan air bah hanya menggunakan
cengkeramannya, membuat daya cengkeramannya meningkat berkali-kali lipat.
Apalagi Cio San terus mengalirkan chi [tenaga dalam] nya kedalam kedua
cengkeramannya itu sepanjang 7 hari ini.

Sungguh hebat Cio San, setiap kejadian yang terjadi padanya, bisa
membuatnya menangkap intisari makna kejadian itu, dan malah menggubahnya
menjadi ilmu silat.

Di dunia ini juga kau sudah ditakdirkan untuk melakukan sesuatu, maka
pasti akan terjadi. Entah itu kau suka atau tidak. Sebaliknya, jika kau
ingin sekali melakukan sesuatu, tetapi ternyata kau tidak ditakdirkan
untuk itu, ya tetap tidak akan kejadian.

Kata orang bijak, manusia bisa menentukan takdirnya sendiri. Tetapi jika
nasibmu memang bukan ditakdirkan menjadi kaisar, mau jungkir balik sampai
kiamat pun kau tidak akan menjadi kaisar.

Begitulah rahasia Tuhan, yang kita sulit memahaminya. Tetapi harus


disadari bahwa tugas manusia itu bukan untuk memahami Tuhan. Tetapi untuk
menjalani apa yang sudah digariskanNya dengan penuh rasa syukur dan
bahagia.

Bukankah jika kita sudah memahami ini, amka dunia akan lebih cerah?

Cio San tanpa disadarinya sebenarnya sudah mengerti tentang pemahaman


ini. Ia menjalani semua kejadian dengan hati lapang dan pikiran terbuka.
Akhirnya ia malah bisa mengambil makna dan menciptakan hal hal baru.

Kalau diibaratkan penyair, jika mengalami banyak kejadian, pastilah ia


menangkap makna itu dn menjadikannya syair puisi.
Kalau diibaratkan pemain musik, pastilah ia menjadikan kejadian dan
pengalamannya menjadi lagu yang merdu dan indah.

Kalau pesilat, maka pastilah juga ia menciptakan ilmu-ilmu silat melalui


kejadian dan makna yang bisa ia tangkap. Karena itulah ilmu silat itu
selalu berkembang semakin luas dan hebat. Karena ilmu silat tidak lahir
dengan sendirinya. Ia harus diciptakan.

Memang banyak sekali orang yang beruntung belajar ilmu silat dari guru
atau menemukan kitab-kitab sakti. Namun bukankah guru pun belajar dari
gurunya. Gurunya pun belajar dari gurunya. Begitu terus runut keatas
sampai pada pencipta ilmu silat itu.

Begitu juga dengan kitab sakti. Pastilah ada orang yang menciptakan ilmuilmu sebelum ia menuliskannya ke dalam kitab.

Manusia diberkati bakat oleh Tuhan agar mampu bertahan hidup, dan berguna
bagi sesamanya. Tuhan memberkati manusia dengan kejadian-kejadian dan
peristiwa agar manusia bisa terus belajar memperbaiki hidupnya agar
menjadi lebih baik dari hari ke hari.

Sudah hampir dua tahun Cio San hidup di dalam goa ini. Ilmu-ilmu yang ia
ciptakan pun semakin banyak. Terkadang tanpa melalui sebuah peristiwa
pun, Cio San bahkan bisa menciptakan jurus jurus. Mendengar arus air saja
ia malah bisa menciptakan jurus. Melihat batu ia bisa menciptakan jurus.

Ini tidak lah mengherankan. Orang jika sudah tak ada lagi yang bisa
dilakukannya selain hanya satu hal saja, pastilah akan mencurahkan
hatinya ke satu hal itu.

Jika kau terdampar sendirian di pulau bersama sebuah seruling sudah pasti
kau akan belajar memainkan seruling itu. Setelah bisa kau akan
memainkannya terus menerus. Malahan kau akan menjadi hebat dalam bermain
seruling. Karena seluruh hidupmu tidak ada yang kau kerjakan selain
bermain seruling.

Begitu juga Cio San. Tidak ada lagi kegiatan yang bisa dilakukannya di
dalam goa yang gelap gulita itu. Selain berlatih silat, dan mengembangkan
kemampuan tubuhnya. Memang terkadang ada rasa bosan dan Cio San hanya
malas-malasan dan tidur-tiduran saja. Tetapi panggilan hatinya selalu

memberinya semangat bahwa ia bisa menciptakan banyak hal baru dan


menggunakan sisa hidupnya untuk hal yang berguna.

Ia memang tidak ada keinginan untuk keluar dari dalam goa itu. Tetapi
jika harus duduk diam saja tidak melakukan apa-apa juga malah membuat ia
semakin bosan dan malahan ingin keluar. Cio San sudah memutuskan untuk
tinggal saja di situ. Justru karena ada kegiatan belajar silatlah, ia
betah tinggal disitu.

Dua tahun ini kekuatannya silatnya sudah sangat pesat. Gerakannya sangat
lincah dan cepat. Kekuatan pukulannya sangat dahsyat. Bahkan jika ia mau
ia bisa menghancurkan seluruh isi gua itu. Pendengarannya sangat tajam.
Segala jenis suara kecil apapun itu bisa di dengarnya. Pandnagn matanya
sudah sangat terbiasa di dalam kegelapan.

Kekuatan tubuhnya kini sanagt kuat. Khasiat jamur Sin Hong memang sangat
dahsyat. Di umurnya yang kini sekitar 16 tahun, ia sudah menjadi orang
yang sangat hebat ilmu silatnya. Jika ia turun ke dunia ramai, maka
sebenarnya pantaslah nama Tayhiap disandangkan pada namanya.

Tapi Cio San sama sekali tidak menyadari bahwa kehebatan ilmunya sudah
sangat pesat sekali. Ia hanya menikmati saja waktunya saat berlatih.
Menikmati kesehatan tubuhnya.

Menikmati. Bukankah kata itu jarang sekali kita rasakan? Kita bekerja
siang malam, namun hasilnya jarang sekali kita nikmati.

Hari ini Cio San sedang membuat pedang-pedangan dari ranting kayu yang
ditemukannya. Ia ingin belajar memainkan pedang. Saat ini ilmu yang ia
ciptakan melulu adalah pukulan dan tendangan. Saat sedang membuat pedang
ia mendnegarkan suara aneh lagi.

Kali ini bukan deras air bah. Bukan juga suara ikan-ikan di dalam sungai.
Sesuatu bergerak di dalam sungai. Bentuknya sangat besar. Ia bergerak
dari arah air terjun menuju kemari.

Apakah ada orang yang datang? Cio San lalu berlari menuju arah suara itu,
Gerakannya lincah. Ia melompat-lompat bagai terbang. Hatinya senang
sekali jika ia bisa bertemu manusia lagi.

Alangkah kagetnya ketika ia sampai pada sumber suara itu. Ternyata itu
adalah sebuah ular yang sangat besar. Panjangnya mungkin sepuluh tombak.
Kepalanya sebesar tubuh laki-laki dewasa.

Bulu kuduk Cio San berdiri. Baru kali ini ia bertemu ular sebesar ini.
Dulu saat di 'pengasingan' di atas puncak Butongsan ia sering menangkap
ular untuk dijadikan santapannya. Namun bertemu ular sebesar ini........

Sekujur tubuh Cio San serasa lemas. Ular itu pun kaget melihat kedatangan
Cio San. Ia lalu memasang posisi menyerang. Kepalanya berdiri tegak.
Tubuhnya meliuk-liuk. Ekornya mengeluarkan suara derik yang sangat
bising.

Masa aku harus mati dibunuh ular. Aku tidak mau menjadi makanan ular

Pikiran seperti itu memberinya semangat baru. Ia lalu menyalurkan chi ke


sekujur tubuhnya bersiap-siap menghadapi segala yang terjadi.

Ular itu lalu menyerang. Ia mamatuk cepat sekali. Cio San kaget sekali.
Inilah awal pertama kali ia bertarung dengan menggunakan ilmunya. Musuh
pertamanya pun tidak tanggung-tanggung, sebuah ular raksasa.

Cio San berhasil menghindari patukan itu dengan bergerak ke samping.


Kepala ular hanya mematuk tanah. Namun segera ekornya menyerang pula.
Suara bising dari ekornya membuat Cio San sudah mengerti gerak serangan
itu. Tapi tak urung dia kewalahan juga.

Ia seperti melawan dua kepala ular. Yang satu kepala sebenarnya, yang
satunya lagi ekornya. Serangan ekor dan kepala itu oun sangat cepat. Cio
San hanya menghindar-menghindar saja.

Setelah merasa mampu menghindari serangan ular itu, kini timbul


kepercayaan diri yang besar di dalam dirinya. Ia malah tertarik untuk
mempelajari gerakan ular itu. Cio San terus menghindari serangan kepala
dan ekor sambil memperhatikan gerak tubuh ular.

Ada kekaguman tersendiri yang ditimbulkan oleh ular itu. Kulitnya


berwarna emas yang sangat indah. Gerakan tubuhnya lincah dan gesit untuk
tubuh sebesar itu. Bahkan gerakan serangannya pun menyerupai seranganserangan dalam teori ilmu silat.
Ketika diserang, Cio San mencoba menghindar lagi ke samping dan memukul
leher ular itu. Gerakan serangan ular dan pukulan balasan Cio San ini
sangatlah cepat, bahkan mata seorang ahli silat pun susah untuk melihat
ini.

Kaget sekali Cio san ketika mengetahui bahwa kulit ular itu sungguh keras
seperti logam. Cio San bergerak menggunakan tenaga dorongan dari ular itu
untuk membumbung tinggi. Ia melesat ke arah kepala ular itu. Sebuah
tendangan berputar yang ama cepat dilakukannya ke arah kepala, namun ular
itu berhasil menghindar.

Kagum sekali Cio San. ular ini seperti mengerti ilmu silat pikirnya. Ia
malah senang sekali. Akhirnya menemukan juga lawan latih tanding.
Walaupun itu sebuah ular besar yang menakutkan.

Begitu ular itu berhasil menghindar, ia malah memutur tubuhnya


kebelakang, dan kini menggunakan ekornya untuk menyerang Cio San. Melihat
datang serangan ekor itu, Cio San berfikir untuk mencoba menangkisnya.
Cio San menyerang tepat pada bagian tubuh yang mengeluarkan suara derik.

Getaran suara derik itu bertubrukan dengan tenaga tangkisan yang


dilakukan Cio San. Ia malah terlempar ke belakang dengan tubuh tergetar.

Sungguh hebat sekali gumamnya. Ia tidak terluak dalam karena ada tenaga
sakti yang melindunginya. Melihat serang ekor derik itu, Cio San sekali
lagi mendapatkan ide baru.

Serangan yang cepat ditambah getaran yang sangat kuat bisa menimbulkan
serangan yang dahsyat

Berdasarkan pemikiran yang timbul di kepalanya itu, Cio San langsung


menciptakan pukulan baru. Ia menyalurkan tenaga dalam ke telapak
kanannya. Segera ia bergerak mencari kepala ular itu. Cio San berada di
udara dan langsung berhadap-hadapan dengan ular itu.

Saat di udara memang sangat sulit bergerak, karena tidak memiliki


pijakan. Tapi entah bagaimana bagaimana Cio San bisa berputar bagai
gasing. Ketika ular itu menyerang gerak gasing itu seperti bergerak ke
samping karena dorongan patukan kepala ular.

Begitu posisinya sudah berhasil berada disamping, Cio San melepaskan


sebuah pukulan telapak. Namun pukulan ini tidak hanya berisi tenaga dalam
semata. Cio San juga menggetarkan tangannya mengikuti derik ekor ular
itu. Jadi di dalam serangan telapak itu, berisi juga serangan berupa
getaran yang menyerupai derik ekor ular.

Cio San sengaja tidak mengincar mata ular itu, walaupun ia bisa. Ada
perasaan kasihan terhadap ular yang indah itu. Ia memukul daerah di atas
mata luar itu. Hasil pukulan itu sungguh hebat. Kepala itu terpukul
mundur 2 tombak.

Melihat jurus pukulan 'baru'nya ini berhasil Cio San semakin bersemangat.
Ular yang kena pukul itu kini semakin marah. Kepalanya mematuk-matuk dan
ekornya menyerang secara bersamaan. Cio San yang melihat ini
memperhatikan dengan seksama gerakan ular itu.

Ia ingin mempelajari gerakan serangan ular itu. Sambil menghindar Cio San
memperhatikan terus serangan ekor dan kepala ular itu. Sungguh dahsyat.
Air berdeburan dimana-mana. Suara derik ekor ular ditambah suara deburan
air terjun semakin membuat suasana di dalam terowongan itu hingar bingar.
Cio San bergerak lincah ditengah liukan tubuh ular. Kadang ia menangkis
serangan dengan pukulan barunya itu. Sang ular terpukul mundur untuk
kemudian menyerang lebih ganas lagi. Cio San masih menikmati pertempuran
ini. Kali ini seluruh pukulan dan tendangannya penuh terasa tenaga dalam
yang dahsyat sehingga membuat sang ular kesakitan.

Walaupun memiliki kulit yang sangat keras, ular itu tetap tidak bisa
meredam tenaga dahsyat Cio San. Bahkan bebatuan saja akan hancur terpukul

pukulan itu. Cuma memang karena kasihan dengan ular itu, Cio San tidak
mengerahkan seluruh tenaganya.

Setelah lama mempehatikan gerak serangan ular itu, kini Cio san mencoba
menirunya. Ujung telapak tangannya kini membentuk seperti moncong ular.
Telapak tangan kirinya berada disamping perut menghadap ke depan,
sedangkan jari-jarinya menghadap ke tanah. Namun telapak kiri itu
walaupun terlihat diam namun menyimpan getaran yang sama dengan derik
ekor ular. Bahkan telapak tangan itu kini berdengung juga seperti suara
derik ular karena bergetar hebat.

Kini telapak tangannya bergerak-gerak menyerang dan mematuk bagai kepala


ular. Dengan berani ia menggunakan telapak tangan kanan itu menyongsong
serangan kepala ular yang ganas. Begitu kepala ular itu dekat dengan
tangan kanannya, secara tiba-tiba Cio San berputar sehingga kini
posisinya dibawah kepala ular.

Ternyata tangan kanannya itu hanya tipuan. Begitu ular bergerak mundur
menarik kepalanya, dengan secepat kilat tangan kiri Cio San mengirimkan
pukulan bergetar. Daya dorongnya, ditambah lagi dengan posisi ular yang
menarik mundur kepalanya, membuat hasil dari gerakan itu berlipat-lipat.

Kepala ular yang besar itu terlempar ke belakang sampai menabrak dinding
goa. Saat ketika kepala itu tertabrak dinding goa, bersamaan dengan itu
Cio San sudah melancarkan tendangan dahsyatnya. Kepala ular itu mengalami
goncangan yang sangat berat karena empat hal. Pertama, pukulan getaran
tangan kiri Cio San. Kedua, tabrakan dangan dinding goa. Ketiga.
Tendangan keras Cio San, dan keempat, tabrakan lagi dengan dinding goa.

Semua itu membuat dinding goa hancur berantakan.

Herannya ular itu seperti tidak merasakan apa-apa. Serangannya tetap


ganas, walaupun sudah tidak secepat awal-awal. Mungkin ular itu sudah
mulai takut dengan lawan di depannya itu.

Di dalam goa yang gelap itu, bagi mata orang biasa, mungkin hanya bisa
melihat cahaya mata ular yang berwarna kuning. Memang ada sedikit cahaya
dari api unggun yang dibuat Cio San. Tapi tak akan mungkin bisa melihat
gerakan-gerakan yang dihasilkan kedua makhluk yang berbeda ini.

Bahkan sekalipun di tengah lapangan yang disinari cahaya matahari siang


bolong pun, tidak banyak orang yang bisa melihat gerakan-gerakan itu.
Sungguh aneh, ketika kedua 'makhluk' itu saling menyerang. Terlihat
seperti mereka adalah ahli-ahli silat paling ungkulan. Padahal mereka
hanyalah seorang anak muda belasan tahun, dan seekor ular raksasa.

Jika gerakan ular semakin perlahan dan terkesan hati-hati, sebaliknya


gerakan Cio San sangat cepat dan percaya diri. Dia telah memahami segala
bentuk serangan ular itu sehingga dengan mudah membaca arah gerakan
serangan.

Selama ini memang serangan sang ular hanyalah berupa 'tipuan' yang
dilakukan kepala, dan 'serangan utama' yang dilakukan ekor. Kadang-kadang
sang ular menukar-nukarnya saja, yaitu kepala menjadi 'serangan utama'
dan ekor menjadi 'tipuan'. Tetapi hanya dengan beberapa kali menghindar
saja, Cio San sudah bisa membaca 'maksud' ular ini.

Lama kelamaan Cio San bingung juga. Memang dia sudah bisa menguasai
keadaan. Memberikan serangan-serangan dahsyat. Tapi semua itu tidak bisa
melemahkan sang ular. Pada dinding goa yang berupa batu karang dan batubatuan perit bumi yang sangat keras, telah hancur di sana-sini.

Cio San tidak tega untuk memukul mata ular itu dan membutakannya. Dia
telah memutuskan untuk membiarkan ular itu hidup-hidup. Entah kenapa, ada
perasaan 'kasihan' yang timbul di hatinya melihat ular itu.

Melihat Cio San yang diam saja tidak melakukan gerakan apapun, ular itu
pun diam saja. Namun kepalanya tetap dalam posisi menyerang. Lidahnya
kadang terjulur keluar dari mulutnya. Cio San tahu ular ini bukan ular
berbisa, karena sejak dulu ia telah diajarkan bagaimana cara membedakan
ular yang beracun dengan yang tidak.

Tapi ia menjadi sedikit ragu, karena ia belum pernah membaca tentang ular
jenis ini. Segala ciri-ciri ular ini menunjukkan bahwa ia tidak berbisa.
Tetapi ekornya yang berderik membuatnya menjadi berbeda, karena tidak ada
ular berderik yang tidak berbisa. Bahkan bisanya pun ganas sekali.

Cio San berpikir keras mencoba mencari jalan untuk menaklukan ular itu.
Akhirnya dia memutuskan untuk 'bertaruh' saja. Jika nanti aku mati
karena ular ini ya sudahlah. Bisanya pasti akan mematikanku dalam
beberapa detik

Dia sesungguhnya tidak tahu bahwa tubuhnya kini kebal segala jenis racun,
karena khasiat jamur Sin Hong.

Ular itu mulai bergerak sedikit demi sedikit. Ekornya pun mulai berderik
mengeluarkan suara bising yang menakutkan. Cio San membuka kuda-kudanya.
Gaya kkuda-kuda Thay kek Kun, adalah menggunakan kuda-kuda agak rendah,
tubuh tegak, tangan kanan mengambang kedepan, dan telapak tangan
menghadap ke wajah sendiri. Sedangkan tangan kiri mengambang agak tinggi
ke belakang. Telapak tangan agak dibengkokan ke bawah. Gaya ini
melambangkan Im dan Yang.

Tapi dengan kecerdasan Cio San dengan cepat gaya bhesi


Kek Kun itu digabungnya dengan jurus ularnya yang baru
kini membentuk kepala ular. Sedangkan tangan kiri yang
di belakang, kini mulai bergetar dan menimbulkan suara
derik.

[kuda-kuda] Thay
itu. Tangan kanan
mengambang tinggi
seperti ekor ular

Suara itu sebenarnya ditembulkan dari getaran jari bertemu dengan jari.
Namun karena dilakukan dengan cepat, gerakan itu hampir tidak terlihat.

Sang ular tidak paham apa yang dilakukan Cio San. Nalurinya berkata bahwa
ia harus 'menerkam' Cio San. Kepalanya bersiap-siap. Cio San pun
menunggu. Ia tahu dengan pasti kapan ular itu akan mematuk. Karena
sebelum mematuk ular itu akan mengambil ancang-ancang dulu ke belakang.

Sebenarnya ancang-ancang itu cepat sekali, dan tidak terlihat. Namun mata
dan telingan Cio San yang sudah terlatih mampu memperhatikannya.

Ular itu lalu 'menerkan'. Cio San sudah melihat gerakan ancang-ancangnya
itu. Tapi Cio San tidak bergerak. Ia malah menunggu kepala itu.

Kepala itu cepat sekali menyambar. Tak terlihat mata. Lalu ketika sudah
dekat dengan tubuh Cio San, ular itu membuka mulutnya. Memperlihatkan
taringnya yang panjang. Tapi Cio San tidak bergerak.

Hanya kurang beberapa jengkal dari kepala ular itu, baru tubuh Cio San
melesat kencang. Tidak ke samping, tidak ke belakang. Tapi langsung
menuju mulut ular itu dan masuk di dalamnya.

Dengan kelincahannya Cio San berhasil mengelak dari gigi-gigi ular itu ia
masuk ke daerah di belakang gigi itu.

Semua ini dituliskan dengan begini runut, namun pada kenyataannya


gerakan-gerakan tadi jauh lebih cepat dari saat kita mengedipkan mata.

Ular yang kaget dan merasa Cio San menginjak bagian dalam mulutnya,
dengan serta mengatupkan rahangnya erat-erat untuk melumat tubuh Cio San.
Tetapi itu adalah sebuah kesalahan besar yang sudah ditunggu-tunggu oleh
Cio San.

Begitu ular mengatupkan rahangnya, Cio San menggunakan kedua telapak


tanggannya untuk menyerang dua bagian berbeda dari ular itu. Yaitu
langit-langit mulut, dan lidahnya. Hasilnya dhsyat sekali karena ketika
ular itu mengatupkan rahangnya, ia juga menggunakan tenaga yang besar.

Pertemuan tenaga telapak Cio San, serta kuatnya tenaga katupan rahang
sang ular mengeluarkan suara yang keras sekali.
Bruuuaaaaaaaaakkkkkkkkkk......

Tulang rahang ular itu patah.

Cio San pun keluar dari mulut ular.

Tenaga hasil serangan tadi berkali kali lipat. Selain rahangnya patah,
tenaga besar yang dihasilkan itu menggetarkan pula isi dalam
tengkoraknya. Ular itu langsung lulai dan pingsan. Bagian dalam mulutnya
hancur pula.

Darah pun ada dimana-mana. Bahkan Cio San pun bermandikan darah sang
ular. Ada perasaan bersalah di hati Cio San melihat nasib ular itu.
Awalnya dia senang bahwa serangan yang sudah direncanakannya itu
berhasil. Tetapi saat melihat keadaan ular itu, ia malah menangis.

Maafkan aku Sin Coa [ular sakti]....maafkan aku....

Cio San buru-buru memeriksa keadaan ular itu. Tulang rahangnya patah dan
malahan ada yang hancur. Bagian dalam mulutnya pun berlinangan darah.

Bagaimana cara menghentikan pendarahan itu? Cio San mengerti tentang


pengobatan manusia seperti yang telah ia baca di dalam buku pemberian A
Liang. Tetapi ia sama sekali belum pernah menyembuhkan orang kecuali
menyembuhkan racun A Liang. Itu pun tidak berhasil karena beberapa saat
setelah itu, A Liang meninggal.

Apalagi kini yang mengalami luka berat adalah seekor ular raksasa, yang
bentuk tubuh, aliran darah, serta titik-titik pusat tenaganya berbeda
dengan manusia. Di dalam kebingungannya, Cio Sa teringat dengan jamur
yang setiap hari ia santap.

Cio San ingat bahwa setiap menyantap jamur itu tubuhnya langsung segar,
bahkan luka-luka luar seperti teriris atau lecet pun sembuh dengan cepat.
Segera dikumpulkannya jamur-jamur itu dari dinding goa, karena
disepanjang terowongan goa itu jamur itu tumbuh dengan lebat.

Setelah jamur-jamur itu terkumpul banyak sekali, dijejalkannya gumpalan


kumpulan jamur itu kedalam bagian mulut ular yang terluka. Cio San pun
membubuhkan jamur-jamur itu di tulang rahang ular yang patah.

Tak berapa lama darah pun berhenti mengalir, dan daerah yang patah itu
sudah mulai menghangat, tanda bahwa tubuh ular itu sendiri pun membantu
penyembuhannya dari dalam. Dengan berani Cio San tetap berada di dalam
mulut ular yang lunglai dan 'pingsan' itu.

Ia menyalurkan tenaga dalamnya kepada ular itu melalui mulutnya. Karena


Cio San tahu, percuma menyaluirkannya melalui tubuh, karena kulit ular
itu tebal sekali, dan sepertinya mampu meredam tenaga dalam.

Berjam-jam Cio San mengalirkan tenaganya. Berangsur-angsur ular itu


pulih. Memang tubuh ular berbeda dengan tubuh manusia. Apalagi ini
tergolong ular sakti yang langka, sehingga serangan dahsyat tadi tidak
sampai membuatnya mati.

Perlahan-lahan kesadaran ular itu pulih. Dia merasakan sakit sekali pada
mulut dan rahangnya. Kekuatannya seperti terserap habis, tubuhnya
lunglai. Tetapi dia juga merasakan kehangatan yang nyaman di dalam
mulutnya. Lama kelamaan rasa nyaman itu berhasil mendorong pergi rasa
sakitnya.

Cio San tahu bahwa ular itu sudah mulai pulih. Ia lalu memberhentikan
penyaluran tenaganya, dan keluar dari mulut ular. Lalu mengelus-elus
kepala ular. Sang ular sepertinya paham bahwa musuhnya baru saja
menolongnya. Ia pun diam saja dan tidak berusaha melakukan apa-apa.

Cio San pun mengelus-elus ular itu dengan lembut.

Bab 10 Persahabatan Yang Aneh

Beberapa hari kemudian ular itu sudah pulih tenaganya. Serangan Cio San
yang dahsyat di dalam mulut ular itu tidak sampai menyebabkan kematian.
Tetapi jelas menguras tenaga ular itu. Selama beberapa hari, Cio San lah
yang memberi makan ular itu dengan jamur dan ikan-ikan hasil
tangkapannya.

Dasar memang khasiat jamur sakti itu, dan memang tubuh ular itu juga
sangat kuat dalam beberapa hari lukanya sudah pulih. Cio San sampai
terheran-heran melihat cepat pulihnya luka ular itu. Dia malah menganggap
mungkin karena tenaga sakti ular itu yang menyembuhkannya. Padahal
sebagian besar karena khasiat jamur sakti itu.

Setelah sembuh, ular itu menjadi sangat jinak kepada Cio San. Mungkin
karena tahu bahwa ia telah diselamatkan oleh Cio San. Memang walaupun
sudah sembuh, ular itu masih belum bisa menggunakan rahangnya. Oleh
karena itu Cio San masih 'menyuapi' ular itu. Sambil mengelus-elus dengan
lembut, bahkan mengajaknya bicara. Ular itu seperti mengerti perkataan
Cio San.

Mungkin ular itu bukanlah jenis ular yang benar-benar liar. Akan tetapi
dahulu mungkin pernah dipelihara orang. Dan orang yang bisa memelihara
ular macam begini, jelas bukan orang sembarangan.

Memang dalam dunia Kang-ouw peliharaan-peliharaan macam begini bukanlah


hal yang aneh. Ada pendekar-pendekar yang memiliki burung raksasa, atau
ada yang memelihara harimau, dan lain-lain.

Cio San memang beranggapan bahwa ular ini mungkin adalah peliharaan
pendekar yang sakti. Ini dilihat dari serangan-serangan ular itu yang
seperti mengerti ilmu silat. Bisa saja ular itu memang diajari silat oleh
pemiliknya. Berfikir seperti itu, Cio San malah senang sekali. Akhirnya
kini dia memiliki teman yang bisa diajak berlatih silat nantinya.

Dan benar saja, ketika ular itu sudah benar-benar pulih mereka pun
berlatih silat. Cio San sengaja berbicara bahwa mereka hanya berlatih
saja dan bukan saling membunuh. Dan ular itu pun seperti mengerti maksud
Cio San.

Mereka pun hidup seperti itu berbulan-bulan. Berlatih silat, makan,


tidur, dan bermain bersama. Berlatih bersama ular semakin menambah
kelincahan Cio San. Ia bahkan menciptakan gerak tubuh seperti ular, yang
membelit, dan menyerang dengan cepat, dan terasa menempel di tubuh lawan.
Tubuh Cio San kini bahkan bisa menempel dan membelit tubuh ular itu.
Tubuhnya bisa bergerak dengan cepat dan licin.

Ia juga menciptakan sebuah gerakan sakti yang diciptakannya dari gabungan


gerak ular dengan inti Thay Kek Kun. Yaitu kedua kakinya diam disatu
tempat, namun tubuhnya bisa miringdengan sangat miringbahkan melekuklekuk dan membelit, Persis seperti posisi ular yang menyerang. Ia
menamakan kedua jurus itu sebagai 'Kim Coa Hoat' atau Ilmu Ular Emas.

Sebenarnya jurus-jurus itu bisa dikembangkan menjadi berbagi macam gerak


dan langkah, dan Cio San paham dengan itu. Tetapi ia tidak melatihnya. Ia
merasa, jika ia melatih sesuatu berdasarkan daya ingat, maka ia akan
cepat lupa. Justru ketika ia tidak mengingat-ingat dan melatihnya, jurusjurus yang ia keluarkan saat bertarung malah memiliki banyak kembangan
dan perluasan.

Dengan pemahaman seperti ini justru kehebatan ilmunya semakin bertambah.


Karena ilmu silatnya tidak dibatasi oleh jurus, atau ingatan terhadap
gerak-gerak, namun berdasar pada perubahan-perubahan yang terjadi di
dalam pertarungan. Ilmu seperti ini bahkan tidak memiliki batasan apapun.

Bergerak mengikuti alam. Itulah inti sari yang dipahami Cio San
berdasarkan kecerdasan pemikirannya. Padahal itu juga dasar pemikiran
Thio Sam Hong ketika ia menciptakan Thay Kek Kun. Sehingga jika dilihat
dari gerakannya, sesungguhnya gerakan Cio San adalah gerakan dasar Thay
Kek Kun. Tetapi kini menjadi jauh lebih cepat, lincah, dan juga ganas.
Karena dicampurnya dengan gerakan silat sang ular sakti.

Begitulah 'persahabatan' aneh ini malah membuat Cio San semakin betah
berada di dalam goa itu. Perilaku ular emas kini sangat jinak terhadap
Cio San. Bahkan jika Cio San berbicara kadang ular itu menganggung atau
menggeleng.

Hingga pada bulan ke 7 persehabatan itu,sesuatu yang aneh terjadi. Pada


suatu malam ular itu menggeliat-geliat. Cio San yang saat itu telah tidur
terbangun. Ia heran melihat perilaku sahabatnya itu. Ketika disentuhnya,
badan ular itu panas sekali.

Apakah ular juga bisa sakit demam? begitu pikir Cio San.

Walaupun mengerti tentang pengobatan, dia belum pernah merawat orang


sakit demam. Apalagi ular yang sakit demam. Ular itu terus menggelitgeliat. Dari tubuhnya keluar bau wangi yang bercampur dengan bau amis.

Ada apa Kim-ko?, tanya Cio San lembut. Ia memang memanggil ular itu
dengan sebutan Kim-koko atat kakak Emas.

Ular itu hanya menggeleng-geleng, dan menggeliatkan badannya yang


panjang. Suara derik kini mulai muncul. Tetapi ika biasanya suara derik
itu muncul hanya dari ekornya saja, kini suara derik itu keluar dari
seluruh tubuhnya.

Ada apa ini? pikir Cio San. Ia berputar berkeliling memeriksa badan
sang ular.

Tak lama pertanyaannya terjawab. Sedikit demi sedikit, terlihat retakan


di kulit si ular. Lalu retakan itu menjadi banyak. Ternyata ular itu
sedang berganti kulit.

Oh ternyata kau sedang berganti kulit, Kim-ko?. Bikin kaget saja..haha


Cio San menjadi lega. Memang ular itu sedang mengganti kulit.

Tetapi ada yang aneh. Jika biasanya ular berganti kulit, kulit yang baru
sudah ada di dalam kulit yang lama. Akan tetapi ular ini tidak ada
sedikitpun kulit baru di tubuhnya.

Ketika seluruh kulitnya tanggal, yang terlihat hanyalah dagingnya yang


berwarna putih bersih.

Hey kenapa begini Kim-ko? Apakah kau sakit hingga penggantian mu tidak
sempurna? tanya Cio San. Seperti mengerti, ular itu malah menggelenggeleng.

Tidak sakit? Berarti memang begitukah cara pergantian kulitmu? Tanya


Cio San lagi. Kali ini ular itu mengangguk-angguk.

Hawa tubuh ular itu panas sekali. Bahkan sanggup memanaskan air tempat ia
berbaring dan merendam. Malah sampai bisa menguapkan air itu.

Hebat sekali pikir Cio San. Ia kagum dengan keagungan Tuhan yang
menciptakan hewan-hewan seperti ini. Belum pernah ia melihat yang seperti
ini.

Tubuh ular itu panas sekali. Warna dagingnya yang putih, malah hampir
tembus pandang, menampakkan urat-uratnya. Cio San kaget dan kagum sekail.
Baru kali ini dia bisa melihat urat-urat dan jalan darah seekor ular.

Otaknya yang cerdas dan pikirannya yang sangat terbuka, merangsangnya


untuk memperhatikan jalan darah itu.
Cio San memperhatikan terus. Melihat dan mempelajari jalan darang sang
ular. Bahkan ia hampir bisa melihat tulang-tulang ular itu. Dagingnya
ternyata tipis sekali. Mungkin karena itulah ular itu memiliki kulit
sisik yang sangat tebal yang bahkan tidak bisa ditembusi oleh tenaga
dalam.

Tuhan memang Maha Segalanya... pikir Cio San. Matanya tak lepas
mempelajari susunan tulang dan jalan darah ular itu. Kim-ko bolehkah aku
memperhatikan tubuhmu? Memepelajari tubuhmu? tanya Cio San.

Sang ular hanya mengangguk-angguk pelan. Sepertinya ia kesakitan dan


sangat kepanasan. Uap-uap air yang dihasilkan oleh air-air yang
dipanaskan oleh tubuhnya semakin memenuhi terowongan goa itu.

Cio San terus mempelajari tubuh sahabatnya itu, sambil terus menyiramkan
air ke tubuh ular itu agar tidak terlalu kepanasan. Si ular nampaknya
merasa tertolong juga dengan perbuatan Cio San itu.

Setelah lama mempelajari, akhirnya Cio San paham juga seluruh seluk beluk
ular itu. Dan sang ular pun kini sudah mulai membaik. Cio San tak hentihentinya menyirami sekujur tubuh ular itu. Walaupun sang ular sudah
berendam di dalam sungai, karena tubuhnya besar dan panjang membuat ada
beberapa bagian tubuhnya yang tidak terkena air.

Melihat keadaan ular yang semakin membaik, Cio San senang sekali. Selain
karena sahabatnya itu kini tidak menderita lagi, ia kini menemukan
pengetahuan baru. Ia kini mengerti tentang jalan darah ular, serta
susunan tulang-tulangnya. Pantas ular bisa menggeliat dan melingkarlingkar dengan sangat lentur. Itu karena ia memiliki jalan darah yang

berbeda dengan makhluk lain serta tulang-tulang yang sangat lemas. pikir
Cio San

Setelah pergantian kulit itu selesai, dan tubuh sang ular mulai
mendingin, akhirnya sang ular itu bisa tidur dengan pulas. Melihat ini
Cio San hanya tersenyum.

Selamat tidur Kim-ko. Besok kita bermain lagi Sambil berkata begitu, ia
menepuk-nepuk kepala sang ular. Lalu berbaring dan tidur di sebelahnya.

Bab 11 Kedatangan dan Kepergian

Pagi-pagi benar Cio San sudah bangun. Ia membereskan kulit-kulit sang


ular yang terkelupas. Saking beratnya sampai kulit-kulit itu tidak hanyut
terbawa air sungai. Sang ular masih tertidur pulas. Karena khawatir
terjadi sesuatu, Cio San meraba tubuh ular itu. Ia bersyukur bahwa
keadaan ular itu sehat-sehat saja. Mungkin cuma agak lemah karena
kejadian penggantian kulit itu.

Ia mengumpulkan kulit-kulit yang berserakan itu dan meletakkannya di


tempat yang kering. Kulit-kulit itu sangat berat sehingga ia bahkan harus
menggunakan tenaga dalamnya untuk bisa mengangkat kulit-kulit itu.

Tak berapa lama saat Cio San bekerja, ular itu pun terlihat telah bangun.
Ia seperti mengerti akan apa yang dilakukan Cio San. Karena tubuhnya yang
masih lemah, ular itu hanya memperhatikan saja. Lalu sang ular dengan
mengunakan mulutnya menggali daerah berpasir yang ada di dekatnya.
Setelah ada lubang, dengan kepalanya, si ular mendorong Cio San mendekati
lubang itu.

Eh kenapa Kim-ko? Kau ingin agar aku menguburkan kulit-kulit ini? tanya
Cio San

Si ular mengangguk-angguk.

Baiklah, tapi ku kuburkan yang kecil-kecil dulu ya... tukas Cio San

Ia kemudian mengumpulkan kulit-kulit kecil yang bisa dengan mudah


dibawanya. Si ular membantu dengan membuat beberapa lubang dengan
menggunakan mulutnya. Karena daerah bertanah yang ada disekitar situ
hanya sedikit, maka Cio San hanya berhasil menguburkan sedikit.

Kim-ko ayu kita ke daerah dekat air terjun. Di situ banyak daerah yang
bertanah, tidak berbatu-batu seperti disini ajak Cio San.

Si ular pun menuruti. Jalannya sangat pelan karena masih lemah. Dengan
tubuh yang tidak terlindungi kulitnya, tentu saja sangat sakit jika harus
menuyusuri batu-batuan seperti, Cio San yang mengerti keadaan si ular,
lalu berkata, Kau tunggu disini saja Kim-ko. Biar aku yang kesana
menggali lubang-lubang disana

Baru saja Cio San akan melangkah, terdengarlah suara ledakan yang amat
sangat keras. Bllllaaaaaaaaaaararrrrrrrrrrrrrr..................

Seluruh gua serasa runtuh. Langit-langit pecah berjatuhan, dindingdinding goa pun hancur. Air bah lalu menerobos masuk melalui dindingdinding itu. Dalam kekagetannya Cio San menghalau semua bebatuan yang
mengarah ke arah dirinya dan si ular.

Suasana di dalam terowongan itu menjadi terang benderang. Masuknya sinar


ke dalam goa itu secara tiba-tiba langsung menyakiti mata Cio San.
Setelah bertahun-tahun hidup di dalam kegelapan, dengan cahaya yang kecil
sekali, matanya kini tidak dapat menahan sinar seterang itu.

Untungnya air bah yang mengalir bergerak ke segala arah sehingga tidak
menyerang Cio San dan ular. Dengan menggunakan kelincahan tubuh, ilmu
silat, serta pendengarannya yang tajam Cio San menghalau batu-batu yang
menghujama pada dirinya dan ular. Tetapi tak urung beberapa bebatuan
mengenai bagian tubuh ular itu. Sang ular menggeliat marah namun karena
tubuhnya lemas, ia tidak bisa melakukan apa-apa.

Terdengar ramai suara manusia, Berhasil...berhasil...Kim Liong Ong [raja


naga emas]berada di dalam sini....

Dengan telinganya Cio San bisa mendengar bahwa ramai suara itu berasal
dari 6 atau 7 manusia. Dan ia pun bisa mendengarkan kekagetan mereka
ketika melihat ternyata di bawah situ, di tempat ketika dulu ada gua
perut bumi, si ular tidak sendirian. Melainkan ada seorang manusia yang
hampir telanjang, hanya mengenakan cawat dari kulit kayu.

Si manusia, yang adalah Cio San, sedang sibuk menangkis batu-batuan besar
yang mengarah kepadanya. Ledakan dalam goa itu sangat dahsyat sehingga
menghancurkan seluruh terowongan. Untunglah dengan ilmu silatnya ia
berhasil 'menghadapi' bebatuan-bebatuan itu.

Apalagi kini Cio San 'buta' karena cahaya matahari yang menerobos masuk.
Terowongan itu kini telah menjadi lapangan terbuka. Dan sinar matahari
yang tajam itu telah menyilaukan mata Cio San. Ia menutup matanya
sekuatnya. Tetapi sakit yang muncul akibat cahaya yang masuk tiba-tiba
membuatnya merasa tersiksa sekali.

Ada manusia aneh...lihat ada manusia aneh.... terdengar seruan orangorang itu.

Begitu batu-batu berhenti berhamburan dan air telah surut, Cio San dengan
geram bertanya,
Siapa kalian? Dan apa yang telah kalian perbuat? ia masih tidak dapat
membuka matanya.

Justru kami ingin bertanya siapa kau? Bagaimana bisa berada di dalam
sini? tanya salah seorang dari rombongan itu.

Cio San ingat bahwa ia telah menjadi kejaran orang-orang Butongpay. Oleh
karena itu ia menjawab, Aku tidak tahu siapa namaku, tetapi aku tinggal
di dalam goa itu sudah lama sekali sejak aku kecil. Dan ular ini adalah
sahabat baikku Cio San sengaja berkata bahwa ular itu adalah sahabatnya

karena tadi ia mendengar mereka menyebut-nyebut tentang Kim Liong Ong


[raja naga emas]. Pastilah yang mereka maksud adalah Kim-ko nya itu.

Kau tidak tahu siapa kami? tanya salah seorang, tapi segera ia sadar
bahwa orang yang ditanya telah hidup sekian lama di dalam goa. Tentulah
tidak tahu keadaan dunia luar. Segera ia menyambung lagi, Kami adalah
Tionggoan Ngo Koay [5 orang aneh tionggoan] jawabnya dengan bangga.

Kenapa kalian membongkar tempat tinggalku? Cio San bertanya dengan


polos.

Sebenarnya kelima orang itu adalah orang-orang yang sangat ganas dari
kaum Hek-to [golongan hitam]. Akan tetapi melihat keanehan bahwa ada
orang yang tinggal bersama perut bumi bersama seekor ular, mau tak mau
mereka agak heran juga. Sehingga kegarangan mereka agak berkurang.

Kami telah mengincar ular itu sejak lama. Kami menyelidiki jejakjejaknya. Dan mengubernya sampai kemari. Tak tahunya ia tinggal disini
bersama seorang manusia jawab salah seorang.

Buat apa kalian mengincarnya? tanya Cio San lagi.

Kau pasti tak tahu. Kulitnya sangat mahal. Jauh lebih mahal daripada
emas. Isi jeroan tubuhnya sangat berkhasiat menambah tenaga dalam. jawab
salah seorang

Kau mnggirlah dari situ, dan biarkan kami menghabisi ular itu sambil
berbicara begitu, salah satu yang berbicara itu lalu lompat menyerang Cio
San.

Menerima serangan ini, Cio San bersikap tenang. Ia menghadapinya dengan


telapak tangan kanannya. Pertemuan kedua telapak itu sangat dahsyat
sehingga keduanya mundur beberapa tombak. Namun sang penyerang mundur
sambil memuntahkan darah sedangkan Cio San hanya mundur selangkah, sambil
tersenyum pula.

Ia senang karena ilmu yang dilatihnya di dalam goa ternyata hebat juga.
Ia lalu berkata, takkan kubiarkan kalian mengganggu sahabatku walau
seujung kuku saja katanya kereng.

Sebenarnya penyerang itu bukanlah orang yang lemah. Justru ia sangat


kuat, dan silatnya tergolong kelas atas. Hanya saja ketika menyerang Cio
San ia menggunakan tenaganya karena ingin cepat-cepat membunuh Cio San.
Dengan ilmunya, Cio San bisa membalikan tenaga penyerang itu kepada
dirinya sendiri.

Melihat kenyataan bahwa sahabat mereka terluka hanya dalam satu jurus
saja, ke empat orang lainnya langsung menyerang mereka dengan menggunakan
serangan-serangan yang ganas. Cio San kini hanya dapat mengandalkan
pendengarannya saja, dan hanya bisa bergerak menghindar. Ia memang belum
mau menghadapi langsung serangan-serangan itu karena ingin mempelajari
dulu. Memang ada sebuah sifat 'aneh' di dalam diri Cio San. Ia kini
menjadi sangat tertarik mempelajari ilmu silat.

Setelah 5 jurus, Cio San sudah paham seluruhnya. Ia kini balik menyerang
dengan menggunakan jurus-jurus mereka sendiri.

Gila...darimana anak ingusan ini mencuri jurus-jurus kita?

Tionggoan Ngo Koay yang malang melintang di dunia hitam, kini malah
dihajar seorang anak ingusan dengan menggunakan jurus mereka sendiri.

Dari 5 jurus yang Cio San perhatikan, ia malah bisa mengembangkannya


menjadi jurus-jurus lain. Bahkan ada yang digabungkannya dengan jurusjurus Butongpay.

Keempat orang yang mengeroyok Cio San itu semakin terbelalak matanya,
bagiamana mungkin seru mereka.

Akhirnya karena putus asa, mereka sepakat untuk menggunakan jurus


pamungkas mereka, Memindahkan Gunung Bersama-sama. Jurus ini sangat
dahsyat jika dilakukan oleh mereka berlima. Tetapi walaupun kini
berempat, karena salah satu anggotanya dilukai Cio San, ilmu itu tetap
dahsyat juga.

Cio San dengan ilmu-ilmu ciptaannya di dalam goa menerima serangan


gabungan itu dengan percaya diri. Ia menghadapinya seperti menghadapi
serangan air bah ketika di dalam goa. Ketika serangan itu tiba tubuhnya
berputar. Ketika putaran itu kembali ke posisi semula tangannya telah
menyambut kedelapan telapak itu.

Tiba-tiba terdengar bunyi 'braaaaaakkkkk' yang keras, dan kata-kata


mampus kau ular jelek

Seketika itu pemusatan pikiran dan tenaga yang dilakukan Cio San buyar.
Ia tahu bahwa ada orang yang telah menyerang dan membunuh ular sahabatnya
itu di belakangnya. Ketika pemusatan itu buyar, kedalapan tapak yang
menyalurkan tenaga itu menghantam tubuhnya.

Padahal sebenarnya keempat orang itu telah terhisap tenaganya oleh Cio
San. Justru ketika keempat tenaga yang baru terhisap itu akan dilepaskan
kembali oleh Cio San untuk menyerang mereka sendiri, konsentrasinya
pecah. Maka dengan dahsyat keempat tenaga dalam yang sudah dilatih
bertahun-tahun itu menghantam tubuh Cio San.

Memang ilmu silat Cio San sudah sangat hebat. Tetapi pengalamannya dalam
pertarungan masihlah sangat sedikit. Karena kurang pengalaman inilah Cio
San menjadi kurang perhitungan dan kurang awas.

Tubuhnya mencelat beberapa tombak, ia pun muntah darah. Karena walaupun


tubuhnya memiliki tenaga sakti hasil latihan dan khasiat jamur Sin Hong,
justru tenaga itu menghantamnya balik karena salah perhitungan. Ia
terkapar dari mulutnya keluar darah segar.

Mampus kau anak ingusan. Susullah temanmu si ular ini menghadap langit
barat [mati] kata salah seorang.

Untung kau cepat turun tangan Yap-heng, kalau tidak kami semua ini sudah
jadi santapan ular juga

Yang tidak Cio San ketahui, dan juga kebanyakan orang-orang Kang-ouw,
ialah bahwa Tionggoan Ngo Koay ini tidaklah berjumlah 5 seperti julukan
mereka. Melainkan 6. Orang yang dipanggil Yap-heng itu adalah anggota
mereka yang tersembunyi, dan tidak pernah terlihat. Ia selalu mengiringi
Tionggoan Ngo Koay itu. Dan akan bergerak membantu mereka jika mereka
terdesak. Intinya tugas utama orang she [marga] Yap itu adalah untuk
membokong musuh-musuhnya.

Itulah sebabnya Kelima orang aneh berkibar namanya dalam dunia


persilatan. Mereka menggunakan kelengahan musuh untuk memenangkan
pertarungan. Ketika melihat bahwa walaupun membokong Cio San pun, ia
tidak bisa mengalahkannya, orang she Yap itu menggunakan ular sebagai
titik kelemahan Cio San. Dan benar saja, saat konsentrasi Cio San buyar
ketika mengetahui bahwa ular itu terbunuh, tenaganya kini membalik
menyerang dirinya sendiri.

Urusan-urusan licik seperti ini adalah memang keahlian orang she Yap itu.
Dan Cio San yang polos dan berhati jujur seperti itu adalah korbannya
yang kesekian ratus.

Cio San yang terlempar beberapa tombak dan bahkan tubuhnya menghujam ke
bebatuan itu memang seperti telah mati. Ia tidak sanggup bergerak lagi.
Tetapi kesarannya masih pulih seutuhnya. Ia bisa tahu apa yang telah
terjadi. Keempat tenaga musuh dan juga tenaga dalamnya sendiri telah
menyerang tubuhnya. Ia tidak tahu bagaimana ia bisa selamat dari hal
sedahsyat itu. Memang ternyata khasiat jamur Sin Hong itu adalah
melindungi seleuruh organ tubuh. Tapi Cio San sendiri tidak paham akan
hal itu.

Walaupun kini tubuhnya tak mampu digerakkan sama sekali, Cio San
berusahan keras 'menjinakkan' tenaga yang sekarang berada di dalam
tubuhnya. Beruntunglah Cio San ia pernah belajar Thay Kek Kun. Ilmu
inilah yang juga melindungi dirinya dari serangan tenaga dahsyat tadi.
Tetapi karena Cio San menggabungkannya dengan ilmu silat Tionggoan Ngo
Koay tadi, maka Thay Kek Kun menjadi tidak murni dan kotor, Apalagi ilmu
silat Kelima orang aneh itu adalah ilmu silat golongan hitam. Thay Kek
Kun menjadi tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

Padahal walaupun pemusatan pikirannya buyar, denga Thay kek Kun yang
telah dipelajarinya, seharusnya otomatis melindungi tubuhnya, dan mampu
menghalau tenaga serangan keempat orang itu. Cio San dengan
kecerdasaannya akhirnya memahami hal ini.

Di dalam kondisinya yang kritis itu, pikiran dan kecerdasannya tidak


hilang. Ia lalu mengererahkan tenaganya yang tersisa untuk mengatur jalan
darah dan jalan nafas. Ini ia lakukan sambil tergeletak, karena memang ia
tak mampu bergerak sama sekali.

Orang yang dipanggil Yap-heng itu memriksa tubuh Cio San. Rupanya ia
berfikir bahwa Cio San telah mati, ia lalu berkata, Bangsat ingusan ini
sudah mati. Ayo kita garap ular itu

Mereka kemudian berduyun-duyun mulai bekerja memotong-motong ular itu.


Dagingnya mereka ambil. Darahnya mereka tampung. Lalu organ bagian dalam
ular itu juga mereka ambil. Cio San walau tak dapat melihat, tapi ia bisa
mendengar semuanya.

Memang setelah ledakan besar yang menghancurkan goa itu, pendengarannya


agak tidak berfungsi dengan semestinya. Ini mungkin karena telinganya
yang terlalu peka menjadi terluka, karena ledakan sebesar itu. Itulah
sebabnya kenapa Cio San tidak bisa mendengar bahwa ada orang lain selain
kelima orang musuhnya itu. Apalagi ditambah dengan 'tugas' orang ke enam
itu adalah untuk bersembunyi dan membokong secara tiba-tiba sehingga ia
memang harus bergerak dengan sangat hening.

Cio San hanya bisa meneteskan air mata menghadapi kenyataan ini. Ia telah
kehilangan sahabat baik untuk kali kedua. Dibunuh karena ketamakan
manusia. Mendengar suara daging diiris-iris, serta suara tertawa keenam
orang itu, hati Cio San semakin sedih.

Bahkan mereka memasak daging itu pun disitu. Sambil makan mereka
mengobrol,

Ah memang nikmat daging ini. Walaupun tipis, rasanya mungkin yang paling
enak di dunia. Apalagi darahnya sudah dicampur dengan arak....Hmmm
lezaaaaatttt....

Iya memang tak percuma jerih payah kita melacak jejak ular ini bertahuntahun. Sulit sekali menangkapnya

Eh Yap-heng, coba ceritakan apa saja khasiat ular ini...

Orang yang dipanggil Yap-ko itu lalu berkata,

Khasiatnya banyak sekali. Dagingnya menambah kekutan tubuh bagian luar


Gwa-Kang. Bagian orang yang seperti kita, Gwa kang ini berguna untuk
meniduri perempuan

Terdengar suara tawa bergema

Ia melanjutkan lagi, Darahnya jika dicampur arak khusus yang kubawa ini,
bisa untuk menyembuhkan segala penyakit. Bagian jeroan tubuhnya, terutama
jantungnya akan menambah tenaga dalam kita berlipat-lipat. Sedangkan
empedunya akan membuat kita kebal dengan berbagi jenis racun. Dan tak
ketinggalan adalah kulitnya. Kulitnya ini jauh lebih mahal daripada emas.
Karena selain sangat indah, juga tahan segala macam jenis senjata. Bahkan
juga tenaga dalam sekalipun. Ada lagi yang unik. Dibagian dalam kulitnya
itu, ada sebuah lapisan kulit yang sangat tipis. Sangat berguna untuk
membuat topeng yang sangat halus.

Terdengar suara salah seorang menimpali,

Oh jadi itulah sebabnya engkau menyuruh kita untuk bersabar


menangkapnya, Yap-heng? Sampai ia berganti kulit?

Benar sekali. Jika ia berganti kulit, maka yang seluruh tubuhnya menjadi
lemah dan tak terlindungi. Itulah sebabnya aku menyuruh kalian menunggu
bertahun-tahun. Karena ular ini hanya berganti kulit 5 tahun sekali
setiap musim gugur. Ia selalu mencari tempat yang dingin, karena saat
berganti kulit, tubuhnya akan menjadi panas sekali. ia bisa mati jika
berganti kulit saat terkena sinar matahari jawab orang she Yap itu.

Mendengar itu Cio San menjadi paham. Ternyata ular itu mmasuk ke dalam
terwongan goa itu untuk mencari tempat yang aman untuk tinggal. Juga
sebagai persiapan untuk mengganti kulit. Karena saat mengganti kulit ia
berada di dalam keadaan yang sangat lemah sehingga tidak bisa melindungi

diri sendiri. Sungguh kasihan engkau Kim-ko.... Cio San hanya bisa
menangis.

Entah berapa jam lamanya keenam orang itu makan dan mengobrol disitu.
Akhirnya setelah puas mendapatkan apa yang mereka cari, mereka pun pergi
dari situ. Nasib Cio San pun sudah tidak mereka perdulikan, karena
menganggapnya sudah mati. Mereka bahkan tidak memeriksanya, karena telah
terdorong untuk segera menikmati dan merasakan khasiat ular itu.

Cio San masih belum sanggup untuk menggerakkan tubuhnya. Ia akhirnya


tertidur pulas di situ sampai keesokan paginya. Saat ia tersadar matahari
sudah tinggi. Rasa sakit di matanya sudah berkurang. Ia pelan-pelam
membuka matanya. Masih dengan hati-hati karena khawatir akan silau dan
sakit lagi. Ketika perlahan-lahan ia sanggup membuka matanya, ia senang
sekali. Walaupun masih agak silau, dan perih setidaknya ia kini bisa
melihat walaupun masih terbatas.

Ia mencoba menggerak-gerakan tubuhnya. Tubuhnya kini sudah mulai bisa ia


gerakkan namun rasanya masih sakit sekali. Luka dalamnya pun masih belum
sembuh. Dengan perlahan ia bangkit. Berjalan dengan gontai menuju letak
si ular sahabatnya tadi.

Alangkah sedihnya ketika melihat yang tersisa hanya tulang belulang sang
ular belaka. Cio San jatu berlutut menangis tersedu-sedu. Hatinya sedih
sekali melihat kenyataan ini. Lama ia duduk terpekur memandangi tulang
belulang itu. Bau amis yang ditimbulkan sudah tak diperdulikan Cio San
lagi.

Daerah yang dulunya berupa terowongan dalam perut bumi, kini sudah tidak
ada lagi. Yang ada hanya berupa daerah lapang yang kini dialiri sungai
kecil. Cio San lalu berusaha menguburkan tulang belulang itu. Lama sekali
baru ia berhasil menggali lubang dan mengumpulkan tulang-tulang itu.

Itu dikarenakan kondisi tubuhnya yang sangat lemah, dan ia tak sanggup
mengerahkan tenaga dalamnya. Ketika akan meletakan tulang itu ke dalam
lubang, ia menemukan sepotong kulit sang ular yang nampaknya tidak
terbawa oleh Tioanggoan Ngo Koay.

Hanya ini yang tersisa dari tubuhmu Kim-ko...Bolehkah aku menyimpannya


sebagai kenang-kenangan? tanya Cio San pelan sambil mengelus-elus tulang
tengkorak kepala sang ular.

Alangkah kagetnya Cio San ketika terdengar suara derik ular itu
berbarengan dengn hembusan angin. Cio San terhenyak dan melihat bahwa
suara itu keluar dari derik ekor si ular. Segera didekatinya bagian ekor
itu dan melihatnya. Apakah masih bergerak? Tidak mungkin kalau masih
hidup.... pikir Cio San dalam hati.

Lama ia memperhatikan akhirnya Cio San tahu. Ternyata suara derik itu
lahir dari hembusan angin yang melewati ronga-rongga bagian ekor ular
itu.

Terima kasih Kim-ko..... Cio San menganggap suara derik itu sebagai
bentuk ijin yang diberika sang ular kepada Cio san untuk membawa kulitnya
yang tersisa sebagai kenang-kenangan.

Cio San baru berhasil menguburkan tulang sang ular ketika sudah hampir
sore hari. Ia lalu bersujud 3 kali, dan mendoakan ular itu. Kemudian ia
teringat dengan kuburan A Liang. Cio San lama mencari-cari ternyata
kuburan itu tidak ia temukan. Mungkin telah ikut hancur bersama runtuhnya
goa itu. Hatinya sedih sekali.

Apa yang kini harus kulakukan? Tempat tinggalku sudah hancur berantakan.
Nampaknya Thian tidak ingin aku hidup tenang, dan harus menghadapi dunia
ini? tanyanya dalam hati.

Bagaimana aku bisa hidup tenang, sedangkan aku sedang menghadapi fitnah,
dan juga kejaran murid-murid Butongpay?. Apakah aku harus tinggal disini
selamanya? Itu juga tidak bijaksana karena pasti akan ada orang yang
datang kesini.Bagaimana cara terbaik supaya aku bisa tenang?

Ia lalu teringat perkataan orang she Yap, bahwa bagian dalam kulit sang
ular terdapat lapisan yang bisa digunakan sebagai topeng. Ia tidak tahu
bagaimana caranya, tetapi ia ingin mencoba saja dulu. Jika ia bisa
memiliki topeng yang bagus untuk melindungi jati dirinya, ia bisa tetap
bersembunyi dari kejaran orang-orang Butongpay.

Cio San memperhatikan kuliat ular itu. Di bagian dalamnya memang terdapat
sebuah lapisan yang tipis sekali. Pelan-pelan Cio San mengelupasnya. Ia
memperhatikan lapisan itu, memang seperti kulit manusia. Cio Saan kaget
sekali ketika kulit itu lengket dijari-jarinya dan tak bisa dilepaskan.

Dalam kebingungannya, Cio San mendengar sebuah benda jatuh. Ketika ia


menoleh ke sumber suara, ternyata ada sebuah bungkusan tepat diatas
kuburan sang ular. Ia melihat ke sekeliling mencoba mencari tahu siapa
pelempar bungkusan itu. Tetapi ia tidak menemukannya. Lama ia berkeliling
di daerah sekitar situ untuk mencari tahu, tetapi ia tidak dapat
menemukan siapa-siapa.

Cio San memutuskan untuk melikat isi bungkusan itu. Siapa tahu ada jati
diri pelakunya di dalam bungkusan itu. Cepat-cepat Cio San membuka
bungkusan itu dengan menggunakan tangan kirinya, karena jari tangan
kanannya telah tertempel lapisan kulit itu.

Ternyata bungkusan itu berisi sebuah surat dan satu setel pakaian. Cio
San membuka surat itu, dan membacanya:

Jika kau ingin menggunakan lapisan kulit itu sebagai topeng, gunakan
tenaga api untuk membentuknya. Jika terkena daging makhluk hidup maka
lapisan itu akan menempel dengan kuat. Sifat lengketnya akan hilang jika
kau mengunakan panas. Jika kau ingin membentuknya sesuai keinginanmu,
gunakanlah api untuk membentuknya,

Aku kirimkan juga sebuah pakaian yang pantas kau pakai. Selamat datang di
dunia Kang-ouw

Salam

Hanya itu saja isi surat itu. Cio San yakin pasti ada seorang sakti yang
ingin menolongnya. Akhirnya ia memutuskan untuk percaya saja kepada surat
itu. Siapapun yang ingin menolongnya pasti mempunyai maksud yang baik
terhadapnya.

Cio San akhirnya membuat api dengan menggunakan batu-batuan dan ranting
kayu yang berserakan di sekitar situ. Benar saja ketika didekatkan kepada
api, daya lengket lapisan kulit itu pun berangsur-angsur menghilang.

Setelah itu dengan berani Cio San meletakan lapisan itu ke wajahnya
setelah terlebih dulu membuat lubang untuk kedua matanya dengan
menggunakan ujung kayu yang terbakar api. Ketika melihat pantulan
bayangan wajahnya di sungai, Cio Sa kagum sekali. Wajahnya sudah berubah.
Kini seperti lebih tua 10 tahun.

Lapisan itu seperti merubah bentuk tulang Cio San, dan juga warna kulit
wajahnya. Dengan kayu terbakar tadi, ia juga membuat lubang hidung, serta
mulut. Sisa-sia lapisan yang ada, dipotongnya juga dengan menggunakan
kayu terbakar itu.

Ia kini telah berbeda wajah. Memang lebih jelek daripada wajah aslinya.
Hidungnya sedikit bengkok. Bahkan ada kantung mata yang terbentuk di
bawah wajahnya. Kulit wajahnya pun pucat sekali, seperti orang
berpenyakitan.

Memang hebat sekali ciptaan Tuhan ini... pikirnya dalam hati.

Terimakasih tuan penolong, cayhe [saya] akan selalu mengingat


pertolongan tuan teriak Cio San. Dia lalu bergegas menggunakan pakaian
yang ada dalam bungkusan itu. Pakaian itu lengkap ada baju panjang,
celana, dan juga pakaian dalam. Bahkan ada juga sekantong uang.

Walaupun tidak ada sepatu, Cio San bersyukur juga diberi pakaian berwarna
biru muda itu. Cocok sekali ketika ia pakai. Tubuhnya yang tegap dan
tinggi, membuat ia terlihat gagah sekali. Namun jika orang memperhatikan
wajahnya, akan terlihat rupa yang kusam dan pucat seperti orang
berpenyakitan.

Karena hari sudah sore, Cio San memutuskan untuk besok pagi saja ia pergi
dari situ. Ia membuat api unggun di dekat kuburan si ular sahabatnya. Dan
tidur di situ.

Besok pagi-pagi ia sudah bangun dan bersiap-siap untuk pergi. Dia memberi
hormat 3 kali di depan kuburan ular itu, dan juga di sebuah tempat yang
dulunya berupa makam A Liang. Setelah itu dia berangkat. Entah kemana.
Manusia datang dan pergi. Itulah kehidupan.

Bab 12 Dunia Baru Yang Tidak Asing

Cio San berjalan ke arah barat. Dari posisi bintang tadi malam, ia tahu
bahwa ia sedang berada di timur. Entah bagaimana ia bisa sampai ke dalam
terowongan itu 3 tahun yang lalu. Mungkin ia terjatuh di dalam pusaran
air, yang membawanya jauh sampai ke dalam terowongan itu. Entahlah. Hanya
Thian yang tahu.

Dunia berputar
mengikuti arus
tenggelam oleh
Semua kejadian

dan manusia terjebak dalam gelombangnya. Siapa yang


pastilah sampai tujuan. Siapa melawan arus pasti akan
jaman. Kehidupan ini alurnya siapapun tiada yang tahu.
berhubungan dengan masa lalu dan masa depan.

Nasib Cio San ini, jelas dia sendiri tidak menyangka. Dari sebuah
keluarga yang bahagia yang tinggal di kaki gunung Go Bi san. Lalu menjadi
sebatang kara sampai kemudian diangkat menjadi murid Butongpay. Kemudian
malah menjadi buronan Butongpay karena dianggap membantu pembunuhan
gurunya. Sehingga terdampar dan hidup di dalam perut bumi. Bertahan hidup
menghadapi keadaan hidup yang berat. Lalu berkelahi dengan ular, bahkan
kemudian menjadi sahabat ular itu.
Lalu kini sang sahabat pun mati, sedangkan dia kini harus berkelana tanpa
tujuan. Apa yang harus dilakukannya kini. Yang menderita adalah hidup
tidak bahagia. Namun yang lebih menderita lagi adalah hidup tanpa tujuan.

Dengan tubuh terluka, bahkan dia sendiri tidak bisa menggunakan tenaga
dalamnya. Apa yang bisa dilakukan di dunia kang ouw dengan keadaan
seperti itu?. Cio San memutuskan untuk kembali ke dunia ramai, tapi dia
tidak akan mencampuri urusan Kang-ouw. Ia ingin hidup tenang tanpa
pertempuran. Tanpa perebutan kekuasaan.

Cio San memutuskan untuk menjadi juru masak saja. Ia memiliki sedikit
pengetahuan tentang memasak. Ia pun sudah banyak menghafal resep-resep

masakan yang enak-enak. Kini ia berjalan dengan mantap. Walaupun agak


sedikit gontai karena terluka. Setidaknya ia kini mempunyai arah hidup.

Selama 2 hari Cio San menyusuri hutan itu. Ternyata ia telah berada jauh
dari gunung Butongsan. Karena dari letaknya kini, ia bisa melihat gunung
itu. Indah sekali. Cio San merasa beruntung bahwa ia terdampar cukup jauh
dari Butongsan. Air sungai ternyata membawanya cukup jauh.

Dalam 2 hari ini, Cio San bertahan hidup dengan memakan buah-buahan dalam
hutan, serta menangkap hewan buruan seperti kelinci dan ayam hutan. Ia
juga tidak lupa mengumpulkan beberapa bahan yang bisa dipakainya untuk
membuat bumbu masakan yang enak. Dari pengetahuannya, ia mengumpulkan
banyak sekali bahan-bahan. Ia juga tak lupa mengumpulkan beberapa bahan
yang bisa dijadikan sebagai obat-obatan. Mumpung berada di hutan, dan
banyak sekali bahan-bahannya begitu pikir Cio San.

Perjalanannya dilakukan dengan riang. Walaupun hatinya sedih terhadap


kematian si ular, ia bisa menerima kematian itu sebagai satu takdir. Cio
San telah anyak mengalami kematian orang-orang terdekatnya. Ayah ibunya,
keluarga besarnya, gurunya, sahabat terbaiknya, dan juga si ular.

Ayahnya mengajarkan bahwa kematian telah ditakdirkan. Tidak bisa


dimajukan atau dimundurkan. Ayahnya memang menganut agama dari daerah
barat, yang mengajarkan seperti itu. Walaupun bukan penganut yang taat
dan keras, setidaknya banyak nilai-nilai ajaran agama itu yang ayahnya
percayai. Bahkan ayahnya pun juga tidak memaksa Cio San untuk mengikuti
agama itu. Biarlah kau memilih sendiri mana yang kau percayai, jika kau
dewasa nanti begitu kata ayah Cio San waktu itu.

Memang di hati Cio San tidak ada dendam, bahwa ia harus membalas
kematian-kematian ini. Tetapi jiwanya selalu menuntut keadilan nanti.
Suatu hari kebenaran akan terkuak, dan keadilan akan ditegakkan. Siapa
yang bersalah harus dihukum.

Hanya itulah yang ada di hatinya. Oleh sebab itu dia bisa berjalan dengan
ringan dan menikmati hidup. Apa yang terjadi telah ditakdirkan. Apa yang
belum terjadi harus diusahakan. Jika ingin kebenaran berjuanglah. Jika
ingin keadilan berjuanglah. Itulah yang selama ini diajarkan ayah ibunya.

Teringat ia akan ayah ibunya, Cio San merasa bersalah. Selama ini ia
tidak pernah mengunjungi makam mereka. Cio San memutuskan untuk
mengunjungi mereka ketika ia sudah mampu membeli kuda. Karena letk
kuburan ayah ibunya jauh sekali. Dan untuk membeli kuda yang bagus, ia
harus bekerja.

Cio San telah memutuskan bahwa ia tidak akan menggunakan uang pemeberian
orang yang menolongnya itu, jika benar-benar tidak penting. Jika masih
bisa bekerja, maka ia lebih baik bekerja saja.

Saat menjelang siang hari, akhirnya ia bisa keluar dari hutan itu. Tak
lama berjalan, ia melihat sebuah rumah. Ternyata rumah seorang petani. Si
petani itu baru saja selesai menggarap sawahnya dan kini sedang
beristirahat. Petani itu sudah tua, namun tubuhnya masih terlihat segar
dan kokoh. Hanya wajahnya saja yang sudah terlihat keriput-keriputnya.

Selamat siang lopek,...bolehkah saya numpang istirahat sebentar, saya


tersesat beberapa hari di hutan kata Cio San dengan hormat.

Oh..tersesat? Memangnya anak ini mau kemana dan dari mana? tanya si
petani itu ramah namun sedikit kaget juga.

Mmmm....saya sedang berkelana lopek. Tapi karena tidak tahu jalan, saya
tersesat.. ujar Cio San sambil malu-malu.

Wah ternyata anak ini dari kaum bu-lim [persilatan] ya? Mari-mari
silahkan istirahat disini... jawab si petani ramah.

Jaman itu kaum persilatan memang dihormati dan dikagumi rakyat jelata,
karena terbukti mampu membebaskan tanah air dari penjajah Mongol.
Sehingga rakyat biasa jika bertemu dengan orang-orang kang-ouw pasti akan
hormat dan kagum.

Si kakek petani yang merasa senang mendapat tamu orang kalangan Kang-ouw
itu malah bersemangat sekali untuk bercerita,

Dulu sering sekali orang-orang kang-ouw lewat sini. Apalagi jaman


peperangan dengan penjajah mongol dulu. Daerah sini banyak dilewati
pahlawan-pahlawan. Saat itu aku masih kecil. Setelah peperangan, daerah
ini jarang dilewati orang kang-ouw selama puluhan tahun. Baru beberapa
tahun yang lalu ini, tempat ini mulai ramai lagi... cerita si kakek.

Mulai ramai? Apa sebabnya lopek? tanya Cio San

Orang-orang kang-ouw itu ramai-ramai mengejar buronan. Katanya buronan


ini adalah murid Butongpay yang murtad. Menurut cerita yang kudengar, ia
bersekongkol dengan seorang tukang masak. Mereka membunuh salah seorang
guru di Butongpay, lalu mencuri kitab sakti milik Butongpay. Bahkan ia
sempat juga meracuni Ciangbunjin nya partai Butong itu kata si kakek.

Seketika itu juga Cio San terhenyak. Untuknya ia sedang memakai topeng
sehingga perubahan raut mukanya tidak terlihat. Ia lalu bertanya,

Lalu apakah buronan itu sudah ditemukan?

Selama hampir 2 tahun orang-orang kang-ouw mencari-cari namun katanya


tiada hasil. Akhirnya setahun ini daerah ini sudah sepi lagi...eh, anak
sendiri ini ke daerah sini apa mencari buronan itu juga?

Cio San cepat menjawab,


Ah sebenarnya tidak mencari, hanya mau melihat-lihat keramaian. Tapi
karena saya ini masih hijau, sering-sering tersesat. Dan juga banyak
hambatan di jalan. Akhirnya baru sekarang sampai kemari...

Ooo begitu, anak ini asalnya darimana? Dan namanya siapa? tanya si
kakek lagi.

Sadar bahwa dari tadi ia belum meperkenalkan, Cio San malah merasa kurang
sopan

Ah maaf lopek sejak tadi saya lupa memperkenalkan diri. Saya berasal
dari sebuah desa di dekat Kanglam.Hanya desa kecil tidak terkenal. Sejak
kecil saya suka belajar silat. Setelah dewasa ingin berkelana...

Si Kakek tersenyum, cerita seperti itu memang sering terjadi, pikirnya.

Lalu nama anak siapa? tanyanya lagi

Agak gelagapan juga Cio San menjawabnya,

Mmmm...nama...saya Tan Liang San.... jawabnya terbata-bata. Cepat juga


ia berfikir tentang nama ini. Sebenarnya itu di ambil dari she [marga]
gurunya Tan Hoat, nama A Liang, dan juga namanya sendiri. Akhirnya
terciptalah nama Tan Liang San.

Oooo,..she Tan ya. Kalau aku she Oey bernama Hoa. kata si kakek.

Senang berkenalan dengan Oey-lopek kata Cio San sambil memberi hormat
ala kaum bu-lim.

Si kakek senang sekali menerima penghormatan seperti itu, ia pun


membalasnya. Selama ini orang-orang kangouw yang berkeliaran di daerah
situ tidak ada satupun yang memberi hormat seperti itu kepadanya. Karena
memang dalam pandangan kaum kangouw, orang-orang seperti petani tua ini
adalah kaum rendahan yang tidak perlu diberi hormat seperti itu.

Mereka ngobrol lama sekali. Bahkan Cio San pun bahkan membantu kakek itu
bekerja mengurusi sawahnya. Sambil bekerja, mereka tetap ngobrol-ngobrol
dengan riang. Dari obrolan itu setidaknya Cio San bisa mengerti
perkembangan yang terjadi di dunia Kangouw.

Ternyata perguruannya, Butongpay telah mengeluarkan pengumuman bahwa ia


telah dipecat dari Butongpay. Perbuatannya telah membawa kegemparan di
dalam dunia kangouw, sehingga banyak dari golongan Kangouw ini pun yang
mengejar dan mencarinya.

Tapi Cio San paham bahwa sebenarnya bukan dirinyalah yang diincar
melainkan kitab silat sakti yang diduga telah dibawa olehnya. Karena
dibawah kolong langit, hanya 3 hal lah yang paling menarik bagi orang
kangouw. Kitab silat sakti, senjata pusaka, atau harta karun.

Sedih juga Cio San mendengar bahwa ia telah dipecat oleh Butongpay.
Bahkan kini telah menjadi incaran orang-orang kangouw.Suatu saat nanti,
aku harus membersihkan namaku begitu pikirnya.

Si kakek menawarkan untuk bermalam di gubuknya. Cio San dengan senang


hati menerima tawaran itu. Semalaman mereka pun bercerita pula. Cio San
sangat senang mendengarkan karena ia sudah lama tidak mengobrol dengan
manusia. Sampai larut malam akhirnya mereka tertidur.

Pagi-pagi sekali Cio San sudah bangun. Ternyata si kakek sudah bangun
lebih dulu. Sempat membantu si kakek membuat sarapan, kemudian Cio San
pergi mandi. Selsai mandi baru mereka berdua makan. Lalu Cio San
berpamitan.

Si kakek memberikan sepasang sepatu miliknya. Cio San sudah berkali-kali


menolak tetapi si kakek terus memaksa. Akhirnya agar tidak mengecewakan
sang kakek, ia menerima juga sepatu itu. Ada rasa haru juga di hati Cio
San ketika mereka berpisah. Padahal baru kenal sehari. Tapi Cio San
memang orang yang halus hatinya.

Ia kini berjalan menyusuri jalanan yang menuju kepada sebuah desa


terdekat. Si kakek yang menunjukkan jalan itu kepadanya. Kata si kakek
jalan itu menuju desa terdekat. Jaraknya lumayan jauh, mungkin tengah
hari baru sampai ke desa itu. Tapi di sepanjang jalan Cio San bertemu
dengan beberapa rumah penduduk. Nampaknya itu rumah para petani, karena
di sekitar rumah itu pun terlihat banyak sawah. Cio San kadang berpapasan
dengan orang. Mereka menyapa dengan ramah. Rupanya daerah situ sering
didatangi orang asing sehingga mereka tidak terlalu curiga kepada Cio
San.

Sampai tengah hari baru akhirnya desa itu kelihatan. Kelihatannya memang
desa yang ramai. Melihat keadaan seperti itu, Cio San lantas teringat
desa tempat ayahnya berasal. Dulu waktu kecil sering sekali ia berkunjung
kesana.

Ketika sampai ke desa yang ramai ini. Cio San senang namun juga khawatir.
Ia senang karena sudah lama memang tidak bertemu manusia. Dulu ia
memutuskan untuk hidup saja di dalam goa adalah bukan karena ia tidak
suka untuk hidup lagi di tengah keramaian. Melainkan karena ia khawatir.
Khawatir terseret oleh banyak sekali kepentingan orang-orang kangouw.

Sejak kecil, ia sudah merasakannya. Kedua orang tuanya dibunuh, keluarga


besarnya, gurunya, sahabatnya. Semua terbunuh karena begitu banyak
kepentingan orang-orang kangouw ini. Ia masih belum tahu apa penyebabnya
semua orang-orang yang dekat dengannya terbunuh. Tapi ia yakin pasti
suatu saat ia akan mengetahuinya.

Kenyataan bahwa ia harus terseret dalam pusaran kepentingan orang-orang


kangouw inilah yang membuat ia khawatir. Cio San memang mewarisi sifat
ayahnya yang penyabar, penyayang, dan romantis. Sifat ayahnya yang tidak
suka berkelahi, lemah lembut, dan tenang itu memang mengalir ke dalam
dirinya.

Ia memang kini senang sekali belajar silat. Tetapi itu bukan karena akan
ia pakai untuk berkelahi, melainkan semata-mata karena ia menyukai silat.
Ibarat orang yang menyukai mancing, ikan yang ia tangkap bukan untuk ia
makan, melainkan ia lepas kembali. Proses menunggu, memancing, dan tarik
ulur dengan ikan lah yang dicari oleh orang yang suka mancing. Begitulah
pula Cio San dengan kesukaannya terhadap ilmu silat.

Akan tetapi Cio San pun mewarisi kegagahan dan rasa keadilan dari ibunya,
yang adalah pendekar ternama Gobi-pay. Cio San tidak suka melihat ada
orang yang ditindas, dicurangi, atau dirampas haknya. Dalam hati kecilnya
ia selalu ingin membela atau melakukan sesuatu.

Bukannya ia pendendam, tetapi ia merasa orang harus mendapatkan apa yang


diusahakannya. Jika yang diusahakannya itu kebaikan, maka kebaikan pula
yang ia dapat. Jika kejahatan, maka kejahatan juga yang ia dapat.
Dorongan inilah yang membuat muncul suatu tekad di dalam hati Cio San
untuk membersihkan namanya, dan nama A Liang. Dan juga untuk mencari
keadilan atas kematian keluarganya, dan juga gurunya.

Akan tetapi Cio San memutuskan untuk melakukannya dengan tenang dan
perlahan, agar semua permasalahan menjadi jelas dan terang benderang.
Rupanya sifat ayahnya ini yang mendorongnya untuk bersikap seperti itu.

Sifat orangtua ini memang selalu mengalir kedalam anak-anaknya. Buah


memang jatuh tidak jauh dari pohonnya. Benar juga pameo ini. Gabungan
antara sifat pendekar Gobipay yang gagah dan benci dengan ketidakadilan
ditambah dengan sifat seorang sastrawan yang halus, lemah lembat, namun
tajam dalam berfikir inilah yang menjadi sifat Cio San sekarang.

Sambil berjalan kaki, Cio San menikmati segala pemandangan yang terhampar
di depan matanya. Selama sekitar 3 tahun ia telah terperangkap di dalam
kegelapan. Ada perasaan suka cita yang timbul juga di dalam hatinya
ketika melihat segala pemandangan ini.

Akan tetapi pikirannya pun juga tak berhenti berfikir tentang bagaimana
ia harus menghadapi dunia ini. Saat ini posisinya telah menjadi buronan.
Bahkan telah menjadi buruan kaum kangouw karena disangka ialah yang telah
mencuri kitab sakti itu.

Cio San memutuskan bahwa untuk sementara ia harus berdiam dulu di suatu
tempat. Tempat itu harus ramai oleh banyak orang sehingga cerita dan
kejadian-kejadian yang terjadi di dunia Kangouw dapat diketahui dan
dipahami olehnya secara keseluruhan.

Ia merasa sangat beruntung bahwa saat ini ia memakai topeng dari kulit
ari ular. Entah siapa yang telah menolongnya dan memberikan ide
kepadanya. Dalam hatinya Cio San pun memutuskan untuk mencari tahu siapa
orang yang telah membantunya itu.

Dari pemikiran itu, Cio San mengambil keputusan bahwa ia harus bekerja
dulu di sebuah rumah makan. Karena itulah keahlian yang dimilikinya
selain kemampuan silat. Banyak sekali resep-resep masakan yang
dikuasainya, yang pasti akan membantunya agar bisa diterima di sebuah
rumah makan.

Rumah makan adalah tempat semua orang berkumpul. Dari sanalah ia bisa
mendengar cerita-cerita dan kejadian dunia kangouw. Mungkin langkahlangkah selanjutnya akan bisa ia putuskan setelah mengetahui apa-apa saja
kabar dan berita dunia kangouw. Karena baginya, ia harus mengetahui
segala sesuatunya dulu sebelum mengambil langkah apapun.

Tersenyum dia memikirkan semua ini. Akhirnya ada jalan juga baginya untuk
mengetahui kebenaran. Walaupun jaraknya masih jauh sekali, tetapi langkah
pertama akan dijalaninya. Cio San menatap ke depan dengan gagah.

Dunia, aku datang.......

Bab 13 Di Sebuah Warung Kecil

Cio San beristirahat sejenak untuk menikmati keindahan alam desa yang
asri dan indah itu. Berbasi-basi sebentar dengan penduduk disana. Cio San
memperkenalkan dirinya sebagai Tan Liang San, seorang pemuda hijau yang
sedang berkelana mengenal dunia.

Sama seperti kakek petani yang pertama kali ditemui Cio San, penduduk
desa disitu pun menerima kehadiran Cio San dengan tangan terbuka. Bahkan
ada beberapa yang menawarkan Cio San untuk menginap di rumah mereka.
Dengan halus Cio San menolak tawaran itu dan berkata bahwa ia harus buruburu sampai di kota terdekat.

Dari para penduduk Cio San kemudian mengetahui arah jalan menuju kota Liu
Ya. Kota ini termasuk kota besar di daerah Kanglam. Menuju kesana
membutuhkan jalan kaki yang cukup lama, serta penyebrangan sungai
menggunakan perahu.

Setelah berpamitan dan memberi salam hormat, berangkatlah Cio San menuju
kota Liu Ya. Perjalanan yang ditempuh dengan berjalan kaki cukup panjang.
Dari tengah hari sampai hampir menjelang senja baru Cio San tiba di
sebuah dermaga kecil tempat perahu penyebrangan.

Ternyata hanya ada beberapa perahu yang ada disana. Cio San mendekati
salah seorang yang ada disana, setelah menyepakati harga dimulailah
perjalanan Cio San menyebrang sungai. Ini memang bukan penyebrangan
pertama baginya, akan tetapi Cio San senang juga. Sudah lama sekali ia
tidak menaiki perahu. Kenangan indah tentang masa kecil bersama ayah
ibunya menaiki perahu sekejap terlintas di dalam pikirannya.

Di sepanjang perjalanan kembali Cio San mengagumi pemandangannya yang


indah. Banyak rumah dan desa yang berada di sekitar sungai itu. Cio San
juga menghabiskan waktu untuk mengobrol dengan si tukang perahu. Banyak
cerita yang ia dapatkan tentang keadaan kota Liu Ya. Ternyata
menyenangkan juga mengobrol dengan si tukang perahu itu.

Hari sudah mulai gelap ketika Cio San tiba di dermaga kota Liu Ya. Si
tukang perahu sangat senang sekali ketika menerima pembayaran Cio San.
Ternyata kelebihannya banyak sekali. Cio San memang orang yang murah hati
sejak kecilnya.

Begitu tiba di dermaga, Cio San memperhatikan keadaan sekelilingnya.


Walaupun sudah mulai malam nampaknya kegiatan di dermaga itu tidak pernah
sepi. Banyak orang masih menyebrang, atau membongkar barang muatan. Atau
juga sekedar duduk-duduk di daerah dermaga itu.

Dari cerita si tukang perahu, Cio San tahu bahwa kebanyakan yang dudukduduk itu adalah anggota Hai Liong Pang [perkumpulan Naga Lautan]. Mereka
ini adalah perkumpulan yang menguasai dermaga-dermaga. Perkumpulan
sejenis ini sangat banyak, dan kadang menguasai daerah tertentu.
Kebetulan Hai Liong Pang ini yang menguasai dermaga-dermaga di daerah
Kanglam. Ciri-ciri anggota Hai Liong Pang adalah menggunakan sabuk besi
berwarna hijau dengan hiasan kepala naga di sabuknya.

Si tukang perahu berpesan agar jangan mencari gara-gara dengan mereka.


Cio San pun memang tidak ada maksud untuk mencari perkara. Ia sebisa
mungkin tidak melakukan hal-hal yang akan menimbulkan keributan agar
tidak terjadi masalah yang tidak diinginkannya. Cio San sendiri pun
memang tidak ada niat mencari perkara. Iya sendiri masih belum tahu apa
yang ia lakukan di kota ini. Ia hanya ingin menikmati saja dulu keramaian
ini. Sekian lama hidup di dalam gua, membuat ia sedikit terasing, dan
tertinggal pengetahuannya. Cio San memutuskan untuk sekedar mengobrol
atau mendengarkan pembicaraan orang-orang. Sekedar menambah
pengetahuannya atas apa yang terjadi di dunia ramai.

Sambil berjalan keluar dari dermaga, ia merasa kagum juga dengan


perkumpulan Hai Liong Pang itu. Mereka punya wibawa yang tinggi, dan
mampu mengatur dermaga dengan baik. Walaupun mereka berwajah garang,
mereka tetap bisa sopan kepada orang-orang di dermaga. Segala kegiatan di
dermaga lumayan tertata rapi.

Kota Liu Ya, indah sekali di saat malam. Mungkin karena ini kota
pelabuhan, Liu Ya sangat ramai. Lampion menyala dimana-mana. Di sepanjang
jalan terdapat warung dan toko-toko. Orang yang berjualan di pinggir
jalan pun tak kalah banyak. Bangunan di kota ini terlihat megah dan
besar-besar. Sepertinya banyak orang kaya yang memilih tinggal disini.
Mungkin karena kota pelabuhan seperti Liu Ya ini memang cocok untuk
mengembangkan usaha dagang.

Cio San memilih sebuah warung sederhana yang


besar, tapi terlihat ramai. Ia ingin sekedar
perut. Ketika memasuki warungnya, si pelayan
mempersilahkannya duduk. Untunglah masih ada
pojok warung itu.

walaupun tidak terlalu


minum teh, dan mengisi
dengan ramah
sebuah bangku kosong di

Kagum juga Cio San melihat isi warung yang lumayan tertata rapi

Ia memesan seguci teh, sepiring nasi, sayur, dan daging. Tidak usah
menunggu terlalu lama, pesanannya sudah tiba. Ia pikir,, pantas saja
warung ini lumayan ramai. Pelayanannya lumayan menyenangkan. Rasa
makanannya walaupun tidak terlalu istimewa, sudah termasuk enak.

Sambil makan, Cio San memperhatikan sekelilingnya. Ramai orang di warung


ini rupanya sebagian besar dari kalangan Kang ouw (dunia persilatan). Di
lihat dari dandanan mereka, dan senjata yang mereka bawa. Obrolan mereka
pun seputar perkelahian dan dunia bu lim (kehidupan persilatan).

Percakapan yang kurang menarik, karena sebagian besar mereka hanya


menceritakan pertempuran-pertempuran yang mereka menangkan, tentunya
sambil ditambah-tambahi disana-sini.

Saat aku menjatuhkannya, aku tidak perlu mengeluarkan pedangku dari


sarungnya. Ilmunya yang paling terkenal, Naga menjemput mangsa, cuma
kentut anak-anak. Hanya perlu beberapa jurus, sudah mampu kupecahkan inti
sari jurus andalannya itu kata salah seorang.

Lalu bagaimana kakak Bhok mengalahkannya? Pakai jurus apa? Tanya salah
seorang

Cukup paka jurus ke 5 ilmu andalanku, Menyongsong Badai menguak tabir.


Begitu ia menyerang sambil melayang, aku sudah langsung melihat titik
lemah serangannya, tanpa melolos pedang, segara ku totok titik hiat tit
di lengan kirinya. Begitu tertotok, ia segera menyerah jawabnya

Terus?

Ku tinggal pergi saja. Tentunya tidak lupa membawa perempuan yang selama
ini bersamanya. Hehehehe jawabnya
Oooh, berarti perempuan yang selama seminggu ini menemani kakak Bhok
rupanya adalah gundik keparat itu? Pantas cantik sekali. Hahahahahahaah

Cantik memang, tapi bosan juga setiap hari perempuan itu menangis minta
pulang. Aku bilang, percuma kau pulang, si keparat Suma Kun Bun itu
tidak bakalan menerima kau

Apa jawab si gundik? Tanya temannya

Dia cuma menangis saja, tapi setelah tidur bersama tiap hari, eh lamalama tangisnya hilang. Dia malah minta tidur terus. Hahahahahahahah
jawabnya

Ah perempuan itu ya begitu, bilang bosan, bilang takut, bilang marah,


tapi kalau sudah diajak tidur, ya doyan juga ucapan itu membuat seluruh
isi warung tertawa. Maklum isinya laki-laki semua.

Sekarang perempuan itu dimana, kakak Bhok? Tanya salah seorang

Di kamar penginapan jawab orang yang dipanggil kakak Bhok itu.

Wah, kau heras cepat-cepat pulang kakak Bhok, kalau dia kedinginan bisa
masuk angin. Nanti harus kau lah juga yang mengkeroki punggungnya dengan

pedang tumpul mu kata salah seorang, yang sudah pasti disambut dengan
tawa gemuruh.

Obrolan saru macam ini, memang tidak lepas dari kehidupan Kang Ouw,
terutama mereka yang dari golongan Hek (hitam). Tapi golongan Pek (putih)
pun kadang-kadang mengobrol seperti ini. Dulu waktu kecil, ketika ia
sering diajak ibunya mengunjungi di beberapa tempat, ibunya menyuruh Cio
San agar menutup kuping. Kadang-kadang karena rishi ibunya memilih untuk
mengajaknya pergi dari tempat-tempat dimana ada obrolan seperti ini.

Cuma karena Cio San memang masih kecil, ia kurang begitu paham maksud
obrolan itu. Sekarang ketika sudah mulai dewasa, ia bisa mengerti kenapa
ibunya selalu menyruhnya menutup kuping.

Warung mulai bertambah ramai. Cio San tak lupa memperhatikan siapa saja
yang ada di warung itu. Memperhatikan senjata mereka, gaya berpakaian
mereka, dan lain-lain. Sejak kecil ia memang suka memperhatikan sesuatu.
Banyak tamu yang pulang, tapi juga banyak tamu yang datang.

Mengikuti obrolan itu, tahulah Cio San, siapa-siapa saja yang ada di
situ. Orang yang disebut kakak Bhok itu bernama Bhok Gai Sun. Dia
dijuluki Macan Barat. Makanya bajunya pun dari kulit macan. Bhok Gai Sun
ini walaupun bukan termasuk pendekar kelas atas, namanya lumayan
terkenal. Ia datang dari keluarga pemburu yang dikenal memiliki ilmu
silat keluarga yang cukup baik. Tindak tanduk keluarga ini pun juga tidak
terlalu tercela, walaupun juga tidak terlalu terkenal.

Teman-teman Bhok Gai Sun yang ada di warung itu pun juga adalah orangorang kasta menengah di dunia kang ouw. Bukan pendekar-pendekar nomer
satu, tapi juga bukan orang-orang lemah yang bisa dianggap enteng. Ada
beberapa nama yang dikenal Cio San, seperti Oey See Kang, si malaikat
wajah Iblis. Ada juga Tio Tay Li, orang dari Tionggoan selatan yang
terkenal dengan jarum beracunnya. Nama-nama ini pernah Cio San dengar
sekilas saat masih di Bu Tong san. Nama-nama lain yang ada di warung ini
tidak pernah Cio San dengar.

Kalau menurut kaka Bhok, siapa pendekar nomer satu di dunia ini yang
masih hidup? Tanya Oey See Kang.

Menurutku? Wah banyak sekali yang masuk daftarku. Mereka harus diadu,
baru bisa lihat siapa yang nomer satu

Siapa saja itu? Tanya Oey See Kang lagi.

Ciangbunjin Bu Tong Pay (ketua Butong pay), Lau Tian Liong. Ciangbunjin
Siau Lim Pay(ketua siau lim pay), biksu Hong Tung, dan Ciangbunjin Mo Kau
(ketua partai iblis) , Ang Soat.. Ketiga pemimpin partai besar ini pantas
dijuluki pendekar nomer satu kata Bhok Gai Sun.

Bagaimana dengan si Pendekar Kelana, Can Liu Hoa? Tanya Oey See Kang
lagi,

Ah pendekar kelana ini, tidak pernah ada kabar. Tindak tanduknya pun
sangat misterius. Tidak pernah ada orang yang bisa melihatnya. Hanya
kalau berindak, meninggalkan nama dengan goresan pedang. Aku sendiri
tidak yakin orang ini betul-betul ada atau hanya dongeng saja. Sahut
Bhok Gai Sun.

Tapi banyak pendekar yang mengaku kalah olehnya sahut salah seorang.

Entahlah. Bisa saja mereka mengaku kalah dan terluka oleh si Pendekar
kelana, hanya supaya menutup malu. Cerita itu bisa saja mereka karangkarang supaya terlihat hebat, kalah oleh si pendekar kelana kata Bhok
Gai Sun.

Ah bisa juga seperti itu ya kata hamper semua orang yang ada di situ
sambil mengangguk-angguk. Memang orang kang-ouw itu senang mendengar
cerita seperti itu. Mereka kebanyakan senang jika ada pendekar lain yang
kalah. Membuat mereka sedikit lega, bahwa ilmu silat mereka masih diatas
pendekar-pendekar yang kalah itu.

Nah itu kan pendekar kelas atas, angkatan tua. Semua orang mengakuinya,
Bagaimana dengan yang angkatan muda? Tanya salah seorang.

Kalau angkatan muda, hmmm, tidak ada yang mampu mengalahkan pangcu
(ketua) dari Kay Pang, orang she (marga) Ji bernama Hau Leng kata Bhok
Gai Sun.

Ah benar..benar. Ji Hau Leng memang terkenal sekali. Masih muda, tampan,


dan sudah mengepalai partai terbesar di Tiong Goan. Jumlah anggota tidak
resminya saja mencapai puluhan ribu orang-orang mengangguk tanda setuju.

Tapi jangan lupa juga, dengan pendekar muda dari Bu Tong Pay, si Naga
Harum, Beng Liong kata Oey See Kang.

Cio San terhenyak,

Bhok Gai Sun berkata, Ya benar, aku baru saja mau menyebut namanya. Dia
pendekar muda gagah, yang tindak tanduknya gagah. Cuma memang sepertinya
ilmunya masih dibawah Ji Hau Leng. Namun melihat tindak tanduknya yang
tidak kalah gagah, rasa-rasanya dia memang masuk dalam kelas pendekar
muda nomer satu. Umurnya baru 20, mungkin juga belum genap. Beda 7 tahun
dengan Ji Hau Leng. Tapi rasa-rasanya ilmu mereka ya tidak begitu beda
jauh. Masalah tampang, ya masih menang Beng Liong. Cara berpakaiannya pun
mengagumkan. Rasanya, kalau masalah menjatuhkan perempuan, si Beng Liong
jelas lebih unggul dari Ji Hau Leng. Kalimat terakhir ini membuat yang
hadir tertawa terbahak-bahak.

Memang Beng Liong ini tampan dan gagah. Aku sudah pernah bertemu
dengannya sekali. Itu pun hanya melihat dari jauh. Aku saja yang lakilaki ini iri dengan tampangnya. Kenapa bukan tampangku yang sepert itu
ya? Hahahahahaha ujar salah seorang.

Iya, dia tampan sekali. Tindak tanduknya pun gagah. Dengar-dengar, ia


tidak pernah mau membunuh orang ya? Walalupun itu perampok ganas sekali
pun, jika sudah kalah dan menyerah, pasti diampuni Beng Liong.

Yang kudengar juga seperti itu, ia pun wangi sekali. Dari jauh saja
wanginya sudah sampai ke hidungku. Kadang ada orang yang wanginya itu
menyenangkan. Aku tidak suka wangi-wangian yang keterlaluan. Tapi
wanginya si Beng Liong ini memang lembut sekali. Seperti wangi bayi.
Kudengar dari obrolan orang, sejak kecil tubuh Beng Liong memang sudah
direndam orang tuanya di ramuan khusus. Makanya tubuhnya lah yang wangi.
Bukan wangi-wangi buatan yang biasa kita semprot di pakaian kita untuk

menutupi bau keringat kita yang seperti cuka. hahahahahaha seluruh


ruangan tertawa, Cio San pun ikut tertawa. Sekian lama bersama Beng Liong
dulu di Bu Tong San, memang tubuh Beng Liong sangat harum. Saat
berkeringat, harumnya pun semakin bertambah. Dulu Cio San mengira Beng
Liong memakai pewangi khusus, tahunya ternyata sejak kecil memang ada
memakai ramuan khusus.

Jelas Beng Liong ini jadi pujaan hati perempuan. Kalo dibandingkan
dengan ketua perkempulan pengemis yang kotor dan bajunya penuh tambal,
jelas menang kelas lah. Hehe. Eh,,kakak Bhok, bicara tentang perempuan,
siapa dari golongan muda, yang merupakan pendekar perempuan kelas atas?
Tanya Tio Tay Li.

Aha, kalo bicara perempuan, inilah kehebatanku, haha. Menurutku,


pendekar wanita paling mantap adalah Khu Ling Ling. Huaaaaa,,dia cantik
sekali. Kata Bhok Gai Sun, sambil membelalakkan mata, dan menjlita liur
di lidahnya.

Maksud kakak Bhok, Khu Ling Ling dari keluarga Khu yang terkenal itu?

Benar. Umurnya baru 19 tahun. Tindak tanduknya pun gagah. Wajahnya


cantik sekali, bagai dewi dari khayangan. Aku belum pernah melihat
perempuan secantik itu. Umurnya masih muda tapi sudah memiliki ilmu silat
kelas atas. Guru-gurunya pun bukan orang sembarangan. Keluarga Khu memang
sangat kaya sanpai-sampai bisa mendatangkan guru-guru dan pesilat hebat
semua kata Bhok Gai Sun.

Bicara tentang keluarga Khu, memang tidak ada habis-habisnya, kakak


Bhok. Mereka itu keluarga paling kaya di Tiong goan (daratan china).
Keluarganya pun unik sekali. Kata Oey See Kang.

Eh, kau tau juga tentang keluarga Khu Tanya orang she (marga) Bhok

Ah, siapa di kolong langit ini yang tidak kenal dengan keluarga Khu.
Khu-Hujin (nyonya besar) Khu adalah salah satu wanita paling terkenal di
toing goan. Hanya orang pikun yang belum pernah dengar namanya

Lanjutnya, Nyonya Khu ini, walaupun dipanggil nyonya, seumur hidup belum
pernah menikah. Umurnya sudah sekitar 70 tahun. Tapi amat cantik dan awet
mude seperti wanita umur 40 tahunan. Rambutnya masih hitam semua. Karena
tidak pernah menikah, beliau hanya memiliki anak angkat. Beliau memiliki
3 anak angkat. Semuanya menggunakan she (marga) Khu juga. Yang pertama
Khu Ho, yang sekarang menjadi jendral di istana. Yang kedua seorang
wanita bernama Khu Swat Ing, dia menikah dengan seorang saudagar kaya
juga, malah kekayaan keluarga Khu dan kekayaan keluarga itu sudah
disatukan menjadi usaha dagang terbesar di Tiong goan ini. Anak nyonya
Khu yang terakhir adalah Khu Kun Tiong. Seorang penggemar ilmu silat,
namun bakatnya tidak besar. Si Khu Kun Tiong inilah ayah dari Khu Ling
Ling. Dia berkuasa di seluruh Kang Lam. Usaha dagangnya amat maju, dan
termasuk punya nama di kalangan Kang-ouw jelas Oey See Kang.

Ya benar sahut salah seorang, Yang ku dengar, keluarga Khu ini memang
kaya sekali. Khu hujin (nyonya Khu) ini memang lahir dari keluarga
saudagar. Ia anak tunggal. Berkat kerja kerasnya, ia mampu membangun
usaha dagang yang sangat besar dan berpengaruh. Kekayaan keluarga ini
sudah tak bisa dihitung dan dibayangkan. Kata orang, jika kau keluar dari
gerbang rumah mereka, dan membedal kudamu selama sepuluh hari berturutturut sekencang-kencangnya, kau masih akan tetap dalam tanah milik
keluarga mereka.

Orang-orang di dalam warung menggumam terkagum-kagum. Tidak terkecuali


Cio San. Seumur hidup dia tidak bisa membayangkan ada orang sekaya itu.

Usaha dagang keluarga ini sangat maju, hingga setiap kota dan desa di
tionggoan ini salah satunya pasti ada cabang toko atau usaha milik
keluarga Khu. Kalian bisa bayangkan betapa kayanya mereka. Apalagi anak
sulung nyonya Khu adalah jenderal di kotaraja. Ini semakin menguatkan
posisi keluarga Khu di mata orang

Belum lagi ditambah, anak keduanya itu yang menikah dengan saudagar kaya
juga. Bertambahlah kekayaan mereka. Cuma memang yang paling dikenal
orang0orang kang ouw, adalah anak bungsunya itu Khu Kun Tiong. Ia akrab
dengan orang-orang Kang Ouw, dan juga tindak tanduknya lumayan gagah. Ia
sering menolong banyak orang. Sumbangan-sumbangan uang dan kebutuhan
pokok pun tidak pernah berhenti. Orang-orang yang tinggal di tempat ia
tinggal semua merasakan cipratan nya.

Ah bosan aku membahas keluarga ini. Cerita yang sama ku dengar


berulang-ulang. Aku lebih tertarik membahas Khu Ling Ling, hehehehe kata
Bhok Gai Sun. Ia melanjutkan, Eh apa kalian tahu siapa saja guru Khu
Ling Ling?

Tanpa menunggu orang-orang menjawab, ia sudah melanjutkan lagi,

Guru-guru Khu Ling Ling, ada 4 orang. Setahuku ada Nikoh sakti dari Go
Bi Pay, dialah pemimpin Go Bay yang baru bernama Bu Goat. Walaupun
ilmunya masih dibawah ciangbunjin partai besar yang lain, tapi jelas
namanya masuk 5 besar orang-orang paling sakti di kang ouw pada jaman
ini. Selain Bu Got, Khu Ling Ling juga belajar dari pendekar pengalana
yang juga sakti bernama Chin Yoksu. Ada lagi satu orang guru yang aku
lupa namanya. Tapi seingatku guru ini juga perempuan. Dia tidak begitu
sakti ilmu silatnya, namun memiliki ilmu menukar wajah, alias menyamar.

Apa yang kakak Bhok maksud, si dewi 100 wajah, Lu Pek Lian? Tanya salah
seorang

Ya benar, si dewi 100 wajah. Konon yang katanya tidak ada seorang pun
yang tahu wajah aslinya itu

Mendengar ini Cio San teringat sesuatu. Dulu rasa-rasanya ketika masih
kecil sekali, ia pernah diajak ibunya pergi ke rumah keluarga Khu Kun
Tiong ini. Entah urusan apa, Cio San tidak begitu jelas. Yang pasti
mungkin urusan Go Bi Pay, karena ibunya adalah murid Go Bi Pay. Cio San
juga ingat beremu seorang gadis kecil yang cantik sekali. Mungkinkah
gadis itu adalah Khu Ling Ling yang dimaksud orang-orang itu? Entahlah.

Eh teman-teman, aku harus pulang dulu, gundik ku nanti kedinginan, aku


pun tahu-tahu kepingin tidur setelah kita membicarakan Khu Ling Ling,,
hahahahahah tawa Bhok Gai Sun.

Hahaha,kita ini para laki-laki, kalau sudah terkena urusan perempuan


harus segera disalurkan. Kalau tidak bisa jadi penyakit. Ayo kakak Bhok,
aku juga mau mampir dulu ke Rumah Teng Teng
mendengar rumah Teng Teng disebut, semua orang tertawa terbahak-bahak.
Ramai-ramai mereka pun berdiri dan menyahut, Aku ikut-aku ikut

Tak berapa lama, warung pun sepi. Cio San pun tertawa. Ia membayar makan
dan minumnya lalu ikut keluar juga.

Bab 14 Dua Orang Yang mencurigakan

,
Cio San keluar warung sederhana itu. Di luar masih ramai saja. Orangorang disini berjualan sampai larut malam nampaknya. Sebuah ciri kota
besar. Cio San berjalan tak tentu arah. Awalnya dia ingin mengikuti
rombongan orang-orang tadi ke rumah Teng Teng. Namun ia membatalkan
niatnya. Sedikit banyak Cio San paham seperti apa rumah Teng Teng itu.
Ayahnya pernah bercerita bahwa ada sejenis rumah, yang isinya wanitawanita cantik. Di situ banyak lelaki menghabiskan uang dan waktunya.
Untuk bersenang-senang tentunya. Rumah Teng Teng ini mungkin merupakan
salah satu dari jenis rumah tersebut.

Ia berjalan dengan santai, sambil memperhatikan sekitarnya. Cio San pun


mulai menghafal jalan. Daya ingatnya sejak kecil memang sangat baik.
Sekali tahu, tidak akan lupa. Cio San mencoba mengatur pernafasan, dan
mengerahkan tenaga dalam. Walaupun belum pulih seluruhnya, setidaknya 8
dari sepuluh bagian tenaganya sudah pulih.

Sambil menkmati pemandangan megah dan keramaian, ia mengingat-ingat


tempat-tempat apa saja yang ia lalui. Ada toko pakaian, restoran-restoran
makan, penginapan, toko bahan makan, toko baju, toko obat. Toko obat? Wah
tempat yang dicarinya.

Ia membeli beberapa bahan obat yang tidak didapatinya di hutan dan di


sepanjang perjalanannya. Toko Obat ini lumayan lengkap bahan-bahannya. Si
pemilik toko obat ini juga lumayan heran dengan pengetahuan Cio San
tentang obat-obatan. Ketika ditanya belajar di mana? , Cio San menjawab
bahwa ia tidak paham obat, dan hanya membeli berdasarkan pesanan tuannya
yang sedang tinggal sementara di penginapan.

Selesai membeli obat, Cio San pun keluar. Pandangan matanya tak sengaja
melihat dua orang yang berdiri mengobrol tak jauh dari pintu toko obat.
Hmmm, aku melihat dua orang ini di dermaga, dan juga kemudian di warung
tadi. Mereka masuk ke warung tak berapa lama setelah aku

Ada perasaan curiga di hati Cio San. Pengalamannya selama ini, sejak dari
kecil ia sekeluarga dikejar-kejar orang. Lalu kemudian kejadian di Bu
Tong San, membuat Cio San semakin waspada.
Apakah kedua orang ini membuntuti aku? tanyanya dalam hati. Cio San
memutuskan untuk menguji saja.

Ia berjalan dengan santai. Dari perasaannya yang tajam, ia tahu kedua


orang itu pun berjalan di belakangnya. Cio San mempercepat langkahnya,
sambil pura-pura melihat keramaian. Kedua orang di belakangnya pun
berjalan cepat. Ia belok masuk ke sebuah gang. Lalu sebelum kedua orang
itu ikut membelok, ia secepat kilat menggunakan ilmu ringan tubuhnya.

Sekejap mata Cio San telah berada jauh, dan menghilang ke gang yang lain.
Lama ia menunggu di gang itu, berpura-pura melihat barang-barang yang ada
di toko kecil yang kebetulan berada di gang itu. Tak lama kedua orang itu
pun muncul lagi. Cio San kini hampir yakin bahwa kedua orang itu memang
membuntutinya.

Ia melakukan cara yang sama beberapa kali untuk memastikan. Ia berjalan


pelan, memasuki keramaian, belok gang, lalu menghilang. Setiap kali kedua
orang itu tertinggal jauh, namun selalu tepat mengetahui jalan mana saja
yang diambil Cio San.

Kini ia sepenuhnya yakin ia sedang diikuti. Cio San sudah hampir


berkeliling separuh pusat kota ini, dan ia telah hafal jalan dan ganggang sempitnya. Sekali lagi Cio San melakukan hal yang sama, jalan
lambat, cepat, lalu menghilang di balik gang. Ia kini memilih gang sempit
yang sunyi. Kebetulan gang itu pun buntu. Dalam gang buntu yang sempit
dan gelap itu. Ia melayang ka atas atap. Kakinya menginjak genteng dengan
tanpa suara sedikitpun.

Tak lama kedua orang itu pun muncul di gang. Mereka kaget ketika ternyata
gang itu adalah gang buntu. Salah satunya berbisik, Ah gang buntu
rupanya, kemana dia?

Suara bisikan itu sangat pelan, hampir tak terdengar. Tapi seluruh indra
Cio San sudah terlatih sejak 3 tahun di dalam gua. Matanya sangat tajam
dalam kegelapan. Telinganya sangat tajam mendengar suara sekecil apapun.

Tau-tau Cio San muncul di hadapan kedua orang itu. Mereka kaget setengah
mati saat tau-tau Cio San sudah ada di hadapan mereka.

Apakah tuan-tuan mencari boanpwee (sebutan untuk merendahkan diri)?


Tanya Cio San sambil tersenyum.

Mereka kaget, tapi masih bisa menjaga gengsi, Benar, kami mencarimu.
Kami adalah anggota Hai Liong Pang. Kami curiga kau mencuri sesuatu di
dermaga, harap ikut kami ke markas pusat untuk di geledah

Baiklah kata Cio San sambil tersenyum.

Kedua orang itu pun tersenyum, mungkin dalam pikiran mereka, gampang
sekali menaklukan orang ini. Tanpa harus melakukan perlawanan. Tapi
sebelum senyum mereka menghilang, tau tau tubuh mereka telah tertotok.

Cepat kalian mengaku, apa maksud kalian sebenarnya?. Sudah jelas kalian
bukan orang Hai Liong Pang Tanya Cio San
Kami benar-benar orang Hai Liong Pang. Lihat sabuk tanda anggota kami.
Apa kau berani macam-macam dengan kami? ketahuilah bahwa perkumpulan kami
menguasai seluruh kota ini. Kau tak akan sanggup macam-macam jika
berurusan dengan kami kata salah seorang..

Jika aku memang dituduh mencuri, kenapa kalian repot-repot menguntitku?


Kalian bisa saja menangkapku saat aku sedang di warung, bukan? Tanya Cio
San

Eh,..eh...kami harus memastikan dulu,...apa benar kau orang yang kalian


cari jawab salah seorang tergagap.

Cio San tersenyum, itu jelas jawaban mengada-ada. Ia bertanya lagi,


Kalian berdua kan anggota perkumpulan terbesar disini, mengapa jalan
saja tidak hapal? Kalian bahkan tidak tau kalau gang ini buntu bukan?

Kami...kami....

Belum selesai omongan mereka, mata mereka melotot dan tubuh mereka
mengejang. Cio San kaget dan paham bahwa seseorang telah menyerang kedua
orang itu. Dengan sigap ia melompat ke arah datangnya suara. Mungkin dari
atas atap di belakang kedua orang itu. Namun begitu sampai diatas atap,
tidak ada siapa-siapa disitu.

Ia melengok ke bawah dan melihat begitu banyak orang di pasar. Bagaimana


mungkin ia bisa mencari pelakunya di tengah pasar yang ramai.

Seseorang membunuh mereka. Ia tidak mungkin berada di atas atap ini,


karena aku pasti akan tahu. Kemungkinan besar, ia berada di seberang
jalan, di atap rumah lain yang dekat dengan pasar. Ilmu melempar am gi
(senjata rahasia) nya hebat sekali. Dari jarak sejauh itu, ia bisa
melempar dengan tepat pikir Cio San

Ia memeriksa tubuh kedua orang itu, tapi ia bergidik ngeri ternyata mayat
kedua orang itu sudah hangus menghitam. Cio San menyesal sekali tidak
dapat menyelamatkan mereka.

Aku seharusnya lebih waspada. Aku sudah dengar suara lemparan Am Gi itu,
tapi tidak bereaksi cepat. Ku pikir hanya sekedar suara yang berasal dari
pasar. Cio San, kau harus lebih waspada, dan pintar Ia berkata pada
dirinya.

Kedua orang ini pastilah orang suruhan. Mereka dibunuh untuk menutupi
jejak. Mereka pasti bukan anggota Hai Liong Pang, dan hanya menyamar.
Tapi bagaimana mereka bisa mengikuti jejak ku. Setiap aku bergerak cepat
dan menghilang, mereka pasti bisa menemukan jejakku. Apakah ada dari
bagian tubuhku yang meninggalkan jejak? Apakah bau badanku? Ataukah jejak
kaki?. Bau badan jelas tidak mungkin, karena di daerah seramai ini, amat
sulit membedakan bau badan. Jejak kaki pun sulit, karena daerah ini pun
ramai dengan jejak kaki orang...

Ia berfikir keras. Lalu ia mencopot sepatu dan memperhatikan bagian bawah


telapak sepatunya. Ternyata di situ ada dua buah kayu kecil yang timbul.
Jika dipakai, kedua kayu kecil itu menandakan bekas kecil di tanah. Kecil
saja, namun jelas bagi siapa yang mau memperhatikan.

Kakek petani itu...yang memberikan sepatu kepadaku., dia..dia.. Cio


San sangat kaget. Dunia memang sungguh asing baginya.

Kejadian ini memang sungguh aneh baginya, tapi juga masuk akal. Pertamatama, kakek petani itu pasti memberikan sepatu yang memiliki penanda
jejak di kakinya. Sesudah itu ia bisa saja mengirimkan pesan kepada
orang-orangnya di dermaga. Mungkin dengan menggunakan burung merpati.
Karena itu satu-satunya cara menyampaikan pesan dengan cepat dan tepat,
tanpa dicurigai.

Lalu setelah menerima pesan, kedua anggota itu lalu menguntitnya. Ciriciriya sudah ketahuan. Tinggal mengikuti tanda jejak sepatunya saja. Tapi
buat apa membuntutinya? Ia tidak memiliki harta apa-apa. Tidak memiliki
pusaka apa-apa yang bisa diperebutkan. Satu-satunya kemungkinan yang
paling masuk akal adalah: Kakek petani itu tahu siapa Cio San.

Tetapi dari mana kakek itu tau?. Tidak ada ciri-ciri mencurigakan pada
diri Cio San. Bagaimana mungkin kakek ini tahu, bahwa dialah buronoan Bu
Tong Pay yang juga menjadi incaran kaum kang ouw. Lalu jika kakek itu
tahu, kenapa sejak awal tidak menangkapnya? Malah menyuruh orang
menguntitnya.

Otak Cio San berfikir keras sekali. Tak terasa ia bergidik juga. Dunia
kang ouw penuh intrik, misteri, dan rahasia-rahasia yang tak
dimengertinya. Ia memutuskan untuk beristirahat sejenak di sebuah
penginapan di dekat situ.

Malam ini, aku mungkin tidak dapat tidur, dan harus menguras pikiranku.
Mulai saat ini, hidupku mungkin akan selalu ramai. Tak ada waktu
sedikitpun untuk hidup bebas lepas. Rahasia-rahasia ini harus
terpecahkan. Hidupku, mulai saat ini tak akan pernah tenang. Akan ada
pembunuhan rahasia, akan ada penguntitan, akan ada banyak hal. Waspada
dan waspada. Hanya itu yang bisa ku lakukan.

Ia kini di pembaringan. Memutar otak dengan keras terhadap apa yang baru
saja terjadi.

Bab 15 Pekerjaan Yang Disukai

Cio San tak bisa tidur sampai pagi. Pikirannya berputar untuk memecahkan
permasalahan ini. Mengapa banyak sekali kejadian aneh? Mengapa banyak
sekali orang yang membayang-bayangi dirinya?. Siapa orang yang
meberikannya baju dan mengajarkannya cara membuat topeng? Siapa kakek
yang memberikannya sepatu? Apakah MEREKA ORANG YANG SAMA?

Siapa dua orang yang menguntitnya? Apa mau mereka? Mengapa mereka
dibunuh? Siapa pembunuhnya?

Berbagai macam pertanyaan dalam benaknya membuat ia tak bisa tidur.


Berusaha sedemikian keras pun, ia tidak sanggup memecahkan jawabannya.
Akhirnya Cio San memutuskan untuk tidur. Walaupun cahaya merah baru saja
timbul di ufuk langit, dan kehidupan pagi sudah akan dimulai, Cio San
memutuskan untuk tidur. Ia harus mengistirahatkan pikiran dan tubuhnya.
Perjalanan hidup yang penuh bahaya dan rahasia baru saja akan ia mulai.
Ia harus mengumpulkan tenaga, dan menjernihkan pikirannya/ Ia telah
memutuskan, apapun yang terjadi pada dirinya, ia akan tidur dengan pulas.
Dan Cio San pun tertidur. Dengan tersenyum

Tengah hari baru Cio San terbangun. Tubuhnya terasa sangat segar. Ia lalu
bangun, membuka jendela dan membiarkan matahari masuk. Cerah sekali hari
itu. Suara orang ramai di luar menjadi suara hiburan baginya.
Menyenangkan sekali mendengarkan keramaian setelah hidup sekian lama di
dalam kesunyian,

Begitu membuka pintu kamarnya, ternyata sudah ada sarapan yang sudah
disiapkan di meja depan pintunya. Tanpa ragu Cio San membawanya masuk,
dan mulai menghabiskannya. Ia tidak perduli apakah makanan itu beracun
atau tidak. Karena ia yakin, jika orang yang membuntutinya ingin
membunuhnya, pasti bisa ia lakukan sejak dari lama, atau sejak Cio San
tertidur. Ia malah menganggap orang yang membuntutinya itu adalah sejenis
malaikat penjaga bagi dirinya.

Setelah makan, Cio San mulai meracik obat yang semalam dia beli. Ini
sejenis obat untuk memulihkan tenaga yang ia baca dari buku resep A
Liang. Tidak sampai menunggu lama, khasiat obat itu bekerja cepat sekali.
Cio San tidak paham bahwa bukan obat itu yang bekerja dengan cepat, namun

tubuhnya lah yang mampu sembuh dan bekerja dengan cepat. Karena tubuh Cio
San bukanlah tubuhnya yang dulu yang sering sakit-sakitan. Di dunia ini,
mungkin tubuh Cio San lah yang paling sehat, dan paling aneh kerjanya.

Dia lalu melatih segala gerakan-gerakan silat yang dipelajarinya, dan


diciptakannya di dalam gua,

Heran, kenapa setiap aku melatih gerakan-gerakan ini, rasanya seperti


kaku dan kurang mengalir? Apakah karena aku salah menghafal, ataukah ada
rahasia yang belum kupahami? pikir Cio San dalam hati. Walaupun begitu
ia tetap melakukan latihan sampai selesai.

Begitu latihan selesai, Cio San mandi dan membersihkan diri. Tubuhnya
terasa sangat segar dan penuh kekuatan. Tampaknya tenaga dalamnya sudah
pulih seluruhnya. Dengan tubuh yang segar, dan pikiran yang jernih Cio
San kini telah siap menghadapi dunia.

Topeng kulit ular selalu dipakainya untuk menutup wajahnya.

Hmmm, walaupun wajahku terlihat aneh dan pucat, topeng ini nyaman sekali
dipakai. Orang tak akan bisa mengetahui bahwa ini adalah sebuah topeng.

Begitu semua selesai, Cio San memutuskan untuk jalan-jalan. Walaupun ia


belum bisa memecahkan rahasia-rahasia yang terjadi di sekelilingnya, ia
tak menganggapnya sebagai beban lagi. Apa yang terjadi, terjadilah.
Begitu pikirnya. Masalah akan selesai, jika saatnya tiba. Berpikir
begitu, serasa langkahnya menjadi ringan, dunianya cerah, dan hatinya
lapang.

Kota Liu Ya sama indahnya di waktu malam dan siang. Kota ini walau ramai,
tapi bersih sekali. Belum pernah Cio San melihat kota sebersih ini,
bahkan kotaraja pun mungkin kalah bersih. Walaupun tengah hari, kota ini
terasa sejuk karena banyak pohon rindang.

Saat berjalan-jalan, ia melihat beberapa anggota Hai Liong Pang yang


lewat. Wajah mereka sedikit tegang. Karena tertarik, Cio San memilih
untuk membuntuti mereka. Seumur hidup Cio San belum pernah membuntuti

orang. Pengalaman pertama ini membuatnya merasa bersemangat, dan berharap


mendapatkan pelajaran dari pengalaman pertama ini.

Cio San mengerahkan konsentrasi pada pendengarannya yang sangat tajam


itu,

Siapa dua mayat ditemukan di gang sempit dekat toko Fuk Cay itu? Mereka
berpakaian seperti perkumpulan kita, tapi bukan anggota kita kata salah
seorang

Itulah makanya tadi kita semua dikumpulkan dan dihitung jumlahnya,


lengkap 430 orang. Tidak berkurang satupun. Lalu mayat dua orang itu
siapa, ya?

Menurutku mungkin itu orang yang ingin menyamar saja menjadi anggota
kita, supaya bisa mengambil keuntungan menggunakan nama kita

Iya, ketua juga bilang begitu, makanya kita disuruh membuka mata dan
telinga, supaya bisa lihat kalau-kalau ada yang mencurigakan.

Mendengar ini Cio San merasa gembira, bahwa dugaannya semalam benar.
Kedua orang yang mati itu bukan anggota Hai Liong Pang.

Cio San masih menguntit mereka beberapa lama, dengan hati-hati. Tapi
ketika ia merasa bahwa apa yang diomongkan anggota-anggota Hai Liong Pang
itu sudah tidak menarik hatinya lagi, ia memutuskan untuk berhenti
menguntit mereka.

Ia kini berjalan-jalan saja sekenanya mengelilingi pusat kota. Sebagian


jalan telah dihafalnya, ia memilih untuk mencari jalan yang belum pernah
dilewatinya, Tak lama berjalan, mata Cio San tertumbuk kepada sebuah
bangunan yang lumayan menarik hatinya. Bangunan itu terlihat kumuh, tua,
dan tak terawat. Beda sekali dengan bangunan sekelilingnya yang megah,
rapi, dan terawatt.

Setelah didekati, ternyata bangunan itu adalah sebuah restoran tempat


makan. Tapi sepi sekali. Di dalamnya hanya ada dua orang. Pelayan yang
menunggu di dekat pintu, dan seorang lagi yang duduk di balik meja kasir.

Karena tertarik, Cio San memasuki restoran itu,

Wah selamat datang tuanselamat datang..silahkan duduk, mau pesan apa?


sambut si pelayan yang berdiri di depan pintu.

Apa saja masakan khas restoran ini? Tanya Cio San sambil tersenyum

Eh, kami punya berbagai macam masakan, tapi andalan kami adalah bebek
peking panggang saus khusus. Juga sayuran manis kuah daging. Itu kesukaan
tamu-tamu jawab si pelayan sambil tersenyum ramah.

Baiklah, bawakan aku makanan itu ya, dengan semangkok nasi dan seguci
teh

Cio San menunggu lama sekali, baru pesanan itu datang. Dari baunya pun
Cio San tahu kalo masakan itu agak hangus. Dan sesuai tebakannya,
masakannya rasanya tidak enak!

Perlu waktu yang lama sekali bagi Cio San untuk bisa makan masakan itu.
Ia memakannya sedikit-sedikit. Tehnya pun rasanya hambar sekali. Karena
tidak kuat akhirnya Cio San berhenti makan.

Tuan, ada pesanan apa lagi, kami punya beberapa masakan yang patut
dicoba Tanya si pelayan

Ah tidak, terima kasih, aku sudah kenyang. Berapa harga makanan ini?

Si pelayan tidak menjawab, ia malah melihat ke arah meja kasir.

Orang yang berada di balik meja kasir itu pun juga tidak menjawab. Hanya
melihat Cio San.

Berapa? Cio San bertanya sekali lagi masih dengan tersenyum.

Eh, tuan.eh si kasir terbata-bata.

Cio San juga tidak berkata apa-apa. Ia hanya memandang dengan pandangan
bertanya.

Sebenarnya..sebenarnya si kasir masih terbata-bata

Sebenarnya ada apa? Tanya Cio San. Ia masih tersenyum, walaupun


senyumnya kini juga diwarnai rasa ingin tahu.

Ah aku tidak tahu harus bilang apa. Kata si kasir.

Katakan saja apa yang ingin anda katakana, tuan.. kata Cio San

Bagaimana rasa masakan kami tuan? Tanya si kasir

Cio San tersenyum, Aku harus jujur tuan, tukang masak anda sepertinya
harus banyak belajar lagi

Garis wajah sendu di wajah kasir tua itu semakin terlihat.

Sesebenarnya..anda adalah pelanggan pertama kami, setelah dua bulan


ini kata kasir

Dua bulan? Memangnya kenapa Cio San tidak perlu bertanya, dalam hati
dia tahu kalau tidak ada orang yang mau makan makanan yang rasanya
seperti tadi.

Eh.Istriku meninggal 3 bulan yang lalu. Awalnya restoran kami ramai.


Tapi setelah dia meninggal, tidak ada lagi yang bisa masak enak. Kata
kasir

Ah Cio San telah paham, Jadi sekarang siapa yang masak? Tanya Cio
San.

Anakku, Mey Lan kata kasir

Kenapa engkau tidak menggaji tukang masak saja? Tanya Cio San lagi

Sudah ada beberapa kali. Tapi masakan mereka tidak seenak istriku,
akhirnya pelanggan banyak yang pergi. Karena sepi, ta kahirnya aku harus
memecat tukang masak. Aku tidak sanggup membayar gajinya. Bahkan untuk
bertahan hidup kami saja susah sekali

Tiba-tiba sebuah pikiran muncul di fikiran Cio San.

Tuan, saya bukanlah seorang juru masak, tapi sedikit banyak saya
mengerti cara masak. Bagaimana jika saya bekerja disini. Tuan tidak perlu
mambayar saya selama 3 bulan. Jika 3 bulan restoran ini ramai, tuan baru
membayar saya. Bagaimana? kata Cio San

Hah? Bagaimana bisa begitu? Saya sendiri belum pernah mencoba hasil
masakan tuan. Tapi saya yakin tuan bisa masak. Tapi, terus terang saya
tidak mungin mengerjakan orang tanpa digaji.

Saya adalah pengelana tuan. Saya sudah biasa hidup tak karuan. Begini
saja, bagaimana jika saya memasak, dan tuan nilai rasanya. Kalau tidak

suka masakan saya, ya sudah, tidak usah pekerjakan saya, tapi jika enak,
silahkan pertimbangkan tawaran saya lagi ujar Cio San.

Si kasir tua berfikir agak lama, lalu berkata, Baiklah, mari kita ke
dapur

Seperti
Cio San
melihat
masakan

dugaan Cio San, dapurnya berantakan. Hal pertama yang dilakukan


adalah menata ulang dapur itu. Membereskan peralatan masak, dan
bahan-bahan apa saja yang ada. Ia memutuskan untuk membuat
yang sama persis dengan yang ia pesan tadi.

Tak butuh waktu yang lama, karena ia bekerja dengan sangat cepat. Si
kasir, anak perempuannya, dan si pelayan melihatnya sambil melongo.

Begitu makanan seslesai, dan mereka semua mencicpinya, mata mereka lebih
melongo lagi.

iniini..enak sekali sambil bicara mulut mereka tak berhenti mengunyah.

Terus terang, aku belum pernah merasakan masakan se enak ini. Mungkin
justru lauh lebih enak daripada masakan istriku kata si kasir masih
dengan wajah terkagum-kagum.

Bagaimana? Tuan menerima tawaran saya?

Ah..tapi bagaimana aku bisa menggajimu? Restoran ini sepi sekali, aku
juga tidak tahu harus membayarmu berapa kata si kasir

Seperti yang saya tawarkan tadi, 3 bulan saya bekerja gratis disini,
jika sudah ramai pelanggan baru saya dibayar jawab Cio San

Benar tidak apa-apa?

Tidak apa-apa tuan. Saya juga sebenarnya sedang mencari pekerjaan.


Jelas Cio San

Baiklah baiklah. Mulai kapan kau bisa bekerja disini? Tanya si kasir.

Mulai sekarang juga bisa, cuma lebih baik besok pagi saja. Sekarang
mungkin kita bisa menata ulang restoran, jika tuan tidak keberatan

Begitulah. Akhirnya Cio San bekerja di restoran tua itu. Mereka berempat
mulai menata ulang isi dapur, membersihkan banyak tempat, dan lain-lain.
Pekerjaan yang seharusnya sudah dilakukan dari dulu, tapi mungkin
semangat baru ini timbul saat kedatangan Cio San.

Cio San mulai memeriksa bahan-bahan apa saja yang tersedia. Ia memberi
masukan banyak kepada si kasir. Kasir tua itu mendengarkan dengan
sungguh-sungguh semua saran Cio San. Termasuk membagi-bagi masakan secara
gratis di jalan-jalan sebagai bentuk perkenalan atas masakan mereka.
Walaupun berat si kasir tua itu menyetujuinya juga.

Selain itu Cio San diberi sebuah kamar di dekat dapur. Kamar itu dulunya
untuk pegawai, namun kosong karena tidak ada pegawai lain selain si
pelayan tadi. Si kasir tinggal bersama anak perempuannya di lantai atas
bagian belakang restoran.

Cio San menerima pekerjaan ini dengan hati mantap. Sudah ada banyak
rencana di dalam pikirannya.

Bab 16 Pertemuan Setelah Perpisahan

Saat ini telah genap sebulan Cio San bekerja di restoran itu. Restoran
tua yang kini telah di sulap bersih, dan menyenangkan. Mereka tidak
merubah namanya. Tetap bernama Lai Lai. Perlahan-lahan dalam satu
bulan, pelanggan sudah mulai ramai. Masakan Cio San yang memang nikmat,

ditambah dengan keputusan untuk membagi-bagi masakan secara gratis


dimana-mana, memang berbuah manis. Bahkan kini Lai Lai telah memiliki
pelanggan tetap, yang datang tiap hari, untuk sekedar sarapan, atau makan
siang.

Kwee Lai, si kasir sekaligus pemilik restoran, setiap hari berseri-seri


wajahnya. Pemasukan restoran dari hari ke hari kian membaik. Walaupun
perjanjiannya ia akan membayar gaji Cio San pada bulan ke empat, ia tidak
melakukannya. Ia sudah membayar gaji Cio San sejak bulan pertama. Ia suka
sekali dengan Cio San. Masakannya enak, tingkah lakunya sopan, tutur
katanya halus. Yah, walaupun wajahnya sedikit pucat aneh.

Selama sebulan ini, Cio San telah masak berbagai macam masakan.
Kesempatan bekerja jadi koki seperti ini digunakannya juga untuk
mempelajari berbagi macam resep yang sempat dibacanya di buku pemberian
Liang Lopek. Kadang-kadang Cio San malah menciptakan sendiri resepresepnya. Dan herannya semua rasanya enak.

Bulan berikutnya, yang datang di Lai Lai semakin banyak lagi. Kali ini
bukan hanya penduduk setempat, melainkan orang-orang dari luar. Mungkin
karena posisi kota Liu Ya sebagai kota dermaga maka banyak orang luar
kota yang datang, atau mungkin juga karena kabar kenikmatan masakan di
Lai-Lai yang telah tersebar lewat mulut ke mulut.

Dalam dua bulan ini, terpaksa Kwee Lai menambah seorang koki lagi untuk
membantu pekerjaan Cio San. Memang selama ini anaknya, si Kwee Mey Lan,
juga ikut membantu Cio San memasak. Bahkan setelah diajari Cio San selama
sebulan ini, masakan Kwee Mey Lan juga ikut-ikutan enak. Tapi berhubung
jumlah pelanggan yang semakin banyak, akhirnya Kwee Lai memutuskan untuk
menambah koki lagi/ Pelayan pun kini bertambah seorang.

Di bulan ketiga, yang datang makan di Lai Lai sudah bukan orang-orang
biasa saja, tapi juga mereka dari kalangan Kang Ouw. Ini bisa dilihat
dari dandanan serta senjata yang mereka bawa. Sebenarnya amat sulit untuk
membuat kaum Kang Ouw menyukai sebuah restoran. Karena sifat mereka yang
penuh gengsi. Maka restoran itu masakannya harus enak, tempatnya harus
nyaman dan bersih, serta bangunannya harus megah.
Karena urusan makan sudah tidak lagi jadi urusan perut. Apa yang kau
makan, dan di mana kau makan, akan menunjukkan jati dirimu. Atau
setidaknya akan memberi gambaran yang kau inginkan kepada orang lain.
Begitulah juga yang ada dalam pikiran orang Kang Ouw (kalangan
persilatan).

Maka adalah suatu berkah bahwa Lai Lai menjadi tempat makannya orang kang
ouw. Harganya yang murah, rasa masakannya yang nikmat, tempatnya yang
menyenangkan menjadi nilai jual tersendiri. Cio San sendiri memang
sengaja memilih masakan-masakan yang unik dan jarang ada. Ini juga yang
menjadi daya tarik Lai Lai sebagai sebuah tempat makan. Masakannya unikunik namun rasanya tidak kalah nikmat dari masakan umum yang sudah
terkenal, bahkan mungkin jauh lebih enak.

Cio San sangat menikmati pekerjaannya itu. Dengan kemampuannya, ia bisa


bekerja jauh lebih cepat. Jika tidak ada orang yang melihat, ia mampu
memotong sayur dengan amat sangat cepat, menguliti dan memotong daging
dilakukannya sekejap mata. Mey Lan dan koki satunya kadang-kadang heran
melihat begitu cepat sayuran atau daging sudah terpotong-potong dengan
rapi. Tetapi karena sibuknya pekerjaan, mereka tidak sempat memikirkan
lebih jauh.

Dalam 3 bulan ini, Cio San memang selalu bekerja sama dengan Mey Lan. Ini
membuat mereka berdua juga semakin akrab. Pembawaan Cio San yang ramah
membuat Mey Lan merasa senang dekat-dekat dengannya.\

Ada cerita suatu kali jari Mey Lan terluka karena melamun saat memotong
sayuran. Dengan sigap Cio San mengobati luka itu. Hanya dengan
menggunakan beberapa bumbu dapur, luka di jari Mey Lan itu langsung
kering dalam beberapa menit.

Mereka pun melakukan apa-apa selalu berdua. Saat bekerja dan beristirahat
pun mereka selalu berdua. Seperti di hari ini. Lai Lai sedang memasuki
jam sepi, sudah lewat jam makan siang. Memasuki waktu sore. Walaupun
sepi, tapi memang masih ada sekitar 10 sampai 15 orang yang makan di
situ.

San-ko (kakak san), marilah beristirahat dulu, sejak jam makan siang
tadi, kau belum beristirahat sejenakpun kata Mey Lan.

Tunggu sebentar lagi meymey, ini ku siapkan dulu bahan-bahan untuk


masakan malam jawan Cio San sambil tersenyum.

Baiklah, ku bantu saja kau San-ko, biar cepat selesai

Ah, tidak usah meymey, ini sudah hampir selesai, kok Cio San masih
tersenyum.

Entah kenapa Mey Lan suka melihat senyum itu. Pada awalnya terasa aneh.
Wajah Cio San pucat seperti orang sakit. Rautnya pun kaku. Kalau
tersenyum seperti orang menahan sakit perut. Tapi lama-lama, Mey Lan
malah suka melihat senyuman itu.

Di pihak lain, Cio San pun suka sekali melihat Mey Lan tersenyum.
Walaupun tidak ada lesung pipit, pipinya selalu memerah segar. Hidungnya
mancung. Dagunya indah sekali. Belum lagi bicara tentang alis, bulu mata,
dan sinar mata itu sendiri. Yang paling indah memang adalah bibirnya.
Bibirnya itu jika dimiliki oleh orang yang wajahnya paling jelek di
dunia, akan membuat orang itu menjadi orang paling cantik yang kau temui.
Apalagi jika berada di wajah Kwee Mey Lan yang memang sudah cantik dari
sononya.

Kalau tersenyum sepertinya selalu bagian dari wajahnya itu tersenyum.


Alisnya tersenyum, dahinya tersenyum, hidungnya tersenyum. Cio San suka
khawatir jantungnya copot. Karena setiap kali Mey Lan tersenyum, jantung
Cio San selalu berdebar-debar.

Setelah menyelsaikan pekerjaannya, mereka berdua kini makan siang. Lebih


tepatnya makan sore. Mey Lan memang belum makan dari tadi siang, ia
sengaja tidak makan supaya bisa makan bersama Cio San. Ia suka sekali
makan bersama Cio San. Biasanya Cio San pasti punya cerita-cerita lucu
dan menarik hatinya.

Ketika sedang asik makan di ruang belakang, terdengar suara dari ruang
depan, tempat makan para tamu Lai Lai, Selamat siang juga, siapkan saya
makanan apa saja, jangan lupa seguci arak

Di ruang belakang, hanya kuping Cio San yang mendengar ini. Seluruh suara
orang mengobrol dari ruang depan, mampu di dengarnya. Pujian terhadap
masakannya, cemoohan orang terhadap orang lain, masalah di tempat kerja,
masalah cinta antar kekasih. Dan semua perkara yang orang obrolkan saat
makan di ruang para tamu, semua mampu di dengarnya di dapur tempat ia
bekerja.

Kini telinganya yang tajam dan telah terlatih bertahun, mendengar sebuah
suara. Di saat ramai saja, ia mampu membedakan suara-suara. Kini saat Lai
Lai sepi, alangkan mudah ia membedakan suara itu. Suara yang pemiliknya
ia kenal bertahun-tahun.

Raut mukanya pun berubah. Tapi tidak ada orang yang bia melihat karena ia
memakai topeng kulit ular.
Meymey. Tunggu sebentar ya, ada yang lupa kulakukan kata Cio San kepada
Mey Lan. Yang dijawabnya dengan mengangguk dan tersenyum.

Cio San segera ke dapur.

Wah, sudah selesai makan siang A San? Ada tamu lagi. Ia meminta makanan
apa saja. Kau ada siapkan masakan apa tadi? Tanya pelayan yang tadi
menerima tamu di depan. Cio San kini memakai nama A San. Sebuah nama yang
umum pada waktu itu.

Tiba-tiba timbul sebuah ide di benak Cio San. Ia akan membuatkan masakan
yang pasti disukai tamu di depan itu, Aku akan memasak sesuatu yang
khusus. Kau bawakanlah seguci arak ini, biar dia tidak bosan menunggu

Dari mana kau tau di memesan seguci arak juga? Tanya si pelayan

Ah bukankah biasanya jam segini, memang biasanya orang pesan arak?


jawab Cio San

Betul juga, arak apa yang paling cocok untuk sore seperti ini?

Arak Ciu Pek, pasti enak katanya sambil tersenyum

(Arak Ciu Pek dibuat dari susu sapi yang diasamkan, dan dicampur dengan
beberapa sari bauh. Rasanya segar. Manis, sedikit asam, dan sedikit
pahit. Warnanya hampir seperti susu. Jika terlalu banyak juga akan
memabukkan)

Si pelayan menyuguhkan arak, Cio San memasak. Ia memasak ang sioa bak.
Karena ia tahu, itulah makanan kesukaan si tamu di depan.

Cio San pun kembali ke Mey Lan, yang menyambutnya dengan pertanyaan, Ada
tamu lagi ya?

Iya, ku masakkan Ang Sio Bak

Tidak usah kau bilang, baunya saja sudah tercium. Heran kenapa setiap
mencium bau masakanmu, lantas aku menjadi lapar. Padahal ini sedang
makan

Karena ku tau kau pasti pengen, makanya ku sisakan sedikit Cio San
tersenyum sambil menyodorkan piring berisi ang sio bak panas.

Memangnya kau pikir aku wanita gembul tukang makan?? matanya melotot
tapi bibirnya tersenyum

Haha, tidak mau makan ya sudah, sini aku saja yang makan goda Cio San

Siapa bilang aku tidak mau, sini dagingnya sambil bilang begitu,
seluruh isi piring sudah Mey Lan tumpahkan ke mangkoknya.

Siapapun yang cukup sering kumpul perempuan, sepertinya memang harusnya


tahu, bahwa kalau perempuan bilang tidak mau, itu bisa saja berarti
Mau. Cio San walaupun baru kali ini dekat dengan perempuan, sedikit
banyak sudah paham.

Hey sisakan sedikit untukku kata Cio San dengan padangan mata memelas

Mey Lan menjawabnya dengan menjulingkan mata, dan mengeluarkan lidah.


Entah kenapa ada sebagian perempuan yang jika mereka menjelekan raut
wajahnya, justru membuat mereka terlihat tambah cantik dan menggemaskan.
Mey Lan jelas masuk golongan ini.

Cio San hanya bisa tersenyum

A San, kemarilah sebentar terdengar panggilan dari ruang dapur

Tepat seperti yang kuduga kata Cio San dalam hati, ia pun bergegas ke
dapur, sambil bilang Tunggu sebentar ke Mey Lan. Yang dijawab Mey Lan
dengan senyuman.

Itu, tamu di depan, suka sekali dengan masakanmu, ia membayar banyak


sekali, ketika diberi kembalian ia malah menolak. kali ini si Kasir
sendiri yang datang ke dapur.

Lalu? Tanya Cio San sambil tersenyum

Ia meminta dikenalkan dengan yang memasak, makanya kau kupanggil.


Segeralah kau menemuinya kata si kasir.

Baiklah

Ketika Cio San memasuki ruang para tamu, ia sudah tahu siapa tamu itu.
Suaranya, harum tubuhnya yang tercium. Kini begitu melihat orang itu,
yakinlah dia dengan hasil tebakannya.

Orang itu tersenyum dan berkata,

Selamat siang, nama saya Beng Liong, dari Bu Tong Pay

Bab 17 Beng Liong dari Butongpay

Nama saya A
menghaturkan
Suaranya pun
dirinya yang

San Cio San menjawab dengan terbungkuk-bungkuk dan


hormat seperti layaknya yang dilakukan Beng Liong tadi.
dibuat sedikit meninggi. Cio San belum mau menunjukkan jati
sebenarnya.

Masakan anda enak sekali tuan, bahkan masakan dan arak yang anda sajikan
kepada saya tadi, adalah dua hal kesukaan saya ujar Beng Liong sambil
tersenyum. Senyum yang sangat menawan. Laki-laki saja akan terkesima
melihat senyuman seperti itu, apalagi perempuan?

Ah, Beng-Enghiong (ksatria Beng) terlalu memuji. Masakan ini memang


salah satu masakan andalan kami. Jika Beng-Enghiong menyukainya, justru
kami lah yang merasa sangat tersanjung kata Cio San, masih dengan gaya
membungkuk-bungkuk, dan suara yang ia rubah sedikit.

Beng Liong tersenyum dan terkesima juga melihat tutur kata koki yang
sopan ini,

Bahasa anda seperti orang-orang kang-ouw (dunia persilatan) kata Beng


Liong

Sudah tak terhitung berapa banyak orang kang-ouw yang mampir makan
disana, enghiong. Sedikit banyak pun Siauw Jin (orang kecil, ucapan untuk
menyebut rendah diri sendiri) banyak belajar tata bahasa mereka ujar Cio
San

Wah jangan terlalu sungkan, dan terlalu menurut aturan. Dan jangan
panggil saya Enghiong (ksatria), saya hanya murid bawahan Bu Tong Pay.
Kebetulan turun gunung karena mencari pengalaman. Marilah temani syaa
minum arak kata Beng Liong dengan ramah, sambil menarik lengan Cio San
untuk duduk semeja dengan dirinya.

Tidak berani.tidak berani enghiong Cio San menolak sambil terbungkukbungkuk

Ah jangan terlalu sungkan, mari..mari San-ko (kakak San). Malah saya


yang merasa terhormat bisa makan dan minum dengan koki yang hebat.
Ketahuilah, saya memang suka sekali makan. Jika bisa sedikit belajar dan
bertanya tentang makanan kepada koki hebat, saya akan sangat gembira
sekali Beng Liong ramah sekali meminta.

Siapa yang mampu menolak senyuman dan keramahan seperti itu? Biasanya kau
akan merasa tidak nyaman jika ada orang terlalu ramah kepadamu. Tetapi
keramahan Beng Liong ini berbeda. Keramahan dan senyuman itu sepertinya
memang benar-benar lahir dari hatinya. Siapapun yang melihat dan
merasakan justru akan terbeli hatinya oleh keramahan seperti itu.

Cio San memang sangat paham kelebihan Beng Liong ini. Sejak dari dulu,
Beng Liong memang pribadi yang hangat, dan tulus. Kata-katanya bisa
membuat orang sangat tersanjung, tanpa terkesan menjilat dan bermuka dua.

Dan akhirnya, mereka berdua duduk bersama. Cio San menemaninya minum
arak. Beng Liong bercerita dan juga bertanya banyak hal. Tapi senyuman
menawannya tidak pernah luntur. Lama sekali mereka mengobrol tentang
banyak hal. Bagaikan kawan lama yang sudah lama tidak bertemu. Memang,
sebenarnya mereka berdua adalah kawan lama yang sudah lama tidak bertemu.

Yah begitulah, San-ko (kakak San). Hidup di dunia kang ouw memang
menyulitkan. Seandainya boleh memilih, saya sendiri mungkin akan memilih
menjadi SiuCay (sastrawan atau pelajar) saja. Mengikuti ujian di ibukota,
dan bekerja saja melayani Istana dan rakyat. San-ko sendiri, apa memang
suka masak dan bercita-cita jadi koki? Atau ada keinginan lain? kata
Beng Liong

Wah, keluarga saya memang sejak dulu tukang masak. Saya dari kecil
belajar masak, dan keluarga kami memiliki restoran kecil-kecilan sejak
jaman dulu. Berhubung saya anak bungsu, dan kakak sulung saya yang
mewarisi restoran kecil itu, saya memilih berkelana saja. Rencananya mau
buka restoran kecil juga. Apa daya, dalam perjalanan modal malah habis,
akhirnya malah bekerja di sini. Untung lah Kwee-Loya (tuan Kwee) mau
menerima

Cio San sendiri baru sadar betapa pintarnya ia berbohong. Sebuah


kebiasaan yang harus ia lakukan selama beberapa bulan ini.

Seharusnya kau ke ibukota dan melamar jadi tukang masak istana, San-ko.
Menurutku makananmu enak sekali. Eh, boleh ku tahu apa nama restoran
keluargamu? Siapa tahu aku bisa mampir kesana kapan-kapan. Di kota mana?
Tanya Beng Liong

Untuk itu, aku tidak dapat memberitahukan kepada anda, Beng-enghiong


jawab A San sambil tersenyum.

Eh? Kenapa bisa begitu? Beng Liong nampak tertarik, senyumnya tidak
hilang

Kalau aku memberitahukan, nanti enghiong tidak akan mampir kesini lagi,
hahahahaha tawa A San

Aha,,,persaingan usaha dagang rupanya? Hahahaha Baiklah aku mengerti.


Tapi untuk itu, San-ko harus dihukum 3 cawan arak tawa Beng Liong sambil
menuangkan arak ke cawan A San.

Kenapa siauw jin (sebutan untuk merendahkan diri) harus dihukum? Tanya
A San sambil tersenyum pula

Engkau sudah bermain rahasia kepadaku, San-ko. Padahal sejak mengobrol


tadi, aku tidak pernah bermain rahasia

Wah baik lah, demi nama baik dan keuntungan restoran lai-lai, mabuk juga
tidak jadi soal.

Mereka berdua pun minum arak sampai beberapa guci. Hampir 2 jam lamanya
mereka mengobrol. A San pun sudah kelihatan mabuk. Akhirnya karena

melihat restoran sudah mulai ramai lagi, ASan terpaksa harus meminta
diri.

Maafkan saya, Beng-enghiong. Nampaknya saya harus bekerja lagi. Sungguh


tidak enak meninggalkan enghiong

Ah tak apa San-ko, aku mengerti. Kembalilah bekerja. Aku masih mau
duduk-duduk disini sampai malam. Makanan di sini enak, dan pemandangannya
juga sempurna. Dari sini aku bisa menikmati pemandangan sungai yang
sangat indah. Selamat bekerja, San-ko ia tersenyum sambil memberikan
salam hormat.

Cio San kembali ke dapur dan memasak. Mey Lan memandanginya saja. Cio San
tidak berkata apa-apa, ia tetap bekerja saja. Lama kedua orang itu tidak
bersuara, akhirnya Mey Lan yang buka suara duluan,

Sudah puas minum-minumnya?

Cio San menatapnya, tidak menjawab hanya tersenyum


Wah salahku juga bertanya kepada orang bisu,,

Meymey jangan marah ya, tadi itu aku dipaksa menemani tamu. Ayahmu
sendiri yang menyuruh. Kalau tidak kuturuti bisa-bisa si tamu
tersinggung, dan tidak mau datang kembali kesini lagi kata Cio San

Jika ayah menyuruhmu lompat ke jurang, apa kau akan lompat juga?

Kalau di dalam jurang ada meymey aku pasti meloncat..heehehe

Dasar tukang gombal mulutnya menggerutu tapi tatapan matanya mesra.

Laki laki manapun yang mendapat hal demikian dari perempuan pasti bisa
dikatakan beruntung. Apalagi perempuan cantik seperti Mey Lan.

Mereka berdua tersenyum dan meneruskan bekerja seperti biasa.

Di luar, hari semakin gelap. Tamu semakin banyak yang datang. Pekerjaan
para pekerja di Lai Lai pun semakin banyak saja. Dari pendengaran Cio
San, dia tahu kalau kali ini banyak juga kalangan Kang Ouw yang datang
makan. Tapi kali ini pendengarannya pun mendengar suatu percakapan yang
unik,

Apakah engkau yang bernama Jiong Say Ong? Cio San mengenal suara Beng
Liong

Kalau benar, engkau mau apa? dari pemilik suaranya, sepertinya orang
itu memiliki tubuh sebesar banteng.

Harap ikut aku keluar, aku mencarimu berkenaan dengan perkara di hutan
Oh Hau lima hari yang lalu kata Beng Liong.

Hahaha, siapa kau berani-beraninya mengungkit urusan itu Tanya si


pemilik suara satunya

Cayhe adalah Beng Liong, dari Butongpay jawab Beng Liong

Ada jeda sebentar, sebelum keluar jawaban Ah kalian butongpay selalu


turut campur urusan orang kali ini suara itu terdengar menggelegar.
Tamu-tamu menjadi sunyi,

Yang terdengar kemudian adalah suara orang mencabut senjata dari


sarungnya. Dari suaranya, Cio San tau itu adalah sebuah golok. Dengan
segera ia pergi ke ruang depan. Rupanya semua orang sedang menyaksikan
tontonan gratis,

Orang yang disebut Jiong Say Ong itu menyerang Beng Liong secara membabi
buta dengan goloknya. Jurus-jurusnya cepat, dan kejam. Setiap serangan

ditujukkan untuk secepatnya menghabisi lawannya. Di pihak lain, Beng


Liong seperti bergerak lambat dan lemah gemulai. Ia hanya menghindari
serangan-serangan ganas Jiang Say Ong. Semua orang yang mengerti ilmu
silat, pasti paham bahwa itulah langkah-langkah sakti yang terkenal dari
Butongpay, Berlari Di Atas Awan.

Melihat gerakan ini, hati Cio San trenyuh sekali. Sudah lama sekali ia
meninggalkan Butongsan. Ingatannya kembali ke saat-saat ia pernah tinggal
di sana.

Tapi lamunannya ini segera ia hentikan, karena pertarungan di depan


matanya ini snagat mengasyikkan untuk dinikmati.

Serangan Jiong Say Ong sungguh ganas. Walaupun tubuhnya besar, gerakannya
sangat lincah dan cepat. Justru Beng Liong yang tubuhnya lebih kecil dan
ramping, malah yang bergerak lambat. Beng Liong malah belum mengeluarkan
pedang sama sekali. Hal inilah yang membuat Jiong Say Ong semakin marah
dan tersinggung. Ia merasa diremehkan oleh Beng Liong. Karena itu jurusjurus andalannya yang ganas itu ia kerahkan seluruhnya.

Tapi apa daya? Yang sedang dihadapinya adalah pendekar muda utama dari
Butongpay. Bahkan dianggap salah satu pendekar muda utama jaman itu.
Dalam jurusnya yang kesepuluh, Jiong Say Ong sudah terpukul jatuh. Itu
bahkan adalah serangan pertama dari Beng Liong!

Saat terpukul jatuh, semangatnya langsung membumbung lebih tinggi. Ia


penasaran, bagaimana mungkin satu serangan saja ia bisa terpukul jatuh.
Jioang Say Ong pun tahu, lawan di depannya itu terkenal tidak pernah
membunuh orang. Jadi ini malah membuatnya semakin berani, dan nekat.

Beng Liong pun paham apa yang ada di benak lawan di depannya ini. Jika
tidak segera dihentikan, ia mungkin akan semakin nekat. Beng Liong sudah
sering bertemu orang-orang seperti ini. Oleh karena itu, ia kini
menyerang.

Serangannya kali ini tidak lagi lambat dan gemulai seperti tadi saat ia
menghindari serangan. Serangannya kini sungguh cepat. Saking cepatnya
sampai tidak ada seorang pun yang melihat bagaimana ia menyerang. Kecuali
Cio San, tentunya. Tahu-tahu, dua jari Beng Liong sudah menotok tepat di
daerah ulu hati Jiong Say Ong.

Sentuhan itu walaupun sangat cepat, berhentinya pun sangat cepat. Jiong
Say Ong sudah terpelanting ke tembok. Ia langsung jatuh pingsan karena
serangan ini. Mungkin juga karena bagian belakang kepalanya menghantam
tembok. Kini bahkan sudah tidak ada tembok. Yang ada hanyalah sebuah
pintu baru ke ruangan sebelah.

Dengan cepat pula Beng Liong menoleh ke kasir dan berkata,

Jangan khawatir Loya (tuan) saya akan mengganti semua kerugian katanya
sambil tersenyum

Orang-orang yang berada disitu semua bersorak, Hebathebat..

Beng Liong mengangguk dalam memberi salam hormat kepada semua tamu yang
ada,

Maafkan ketidaknyamanan ini, tuan-tuan, saya Beng Liong bersedia


mengganti jika ada tuan-tuan yang merasa rugi atas keramaian tadi

Herannya, jawaban dari puluhan orang yang berada di situ semuanya sama,
Ah tidak-tidak, Butongpay-enghiong (satria dari butongpay) memang
sungguh hebat. Tidak rugi..tidak rugi mereka malah bertepuk tangan.

Memang sungguh jarang melihat pertarungan kelas tinggi. Walaupun Jiong


Say Ong bukan termasuk lawan kelas tinggi, ia jatuh karena jurus kelas
tinggi. Melihat ini, orang-orang sudah sangat puas. Makin bertambah
kagumlah mereka kepada Butongpay. Terlebih-lebih terhadap Beng Liong.

Apalagi saat Beng Liong berkata,

Makanan tuan-tuan kali ini, biar saya yang bayar

Semua orang bersorak gembira.

Bab 18 Nama Yang tidak Asing

Hampir tengah malam Lai lai baru tutup. Kwee Lai gembira sekali dengan
pendapatan hari itu. Beng Liong sudah pergi, tentunya setelah menepati
janjinya dengan membayari seluruh pesanan makanan yang ada dan kerugian
yang dialami Kwee Lai. Entah berapa pemasukan semalam, Cio San tidak mau
tahu. Yang penting ia bahagia karena telah bertemu Beng Liong lagi, suko
(kakak seperguruan) nya yang dulu sangat baik kepadanya.

Tidak tahu Beng Liong kemana setelah bertarung tadi. Cio San menebak
bahwa ia pasti pergi meneruskan urusannya. Sejauh yang Cio San dengar
dari obrolan-obrolan tamu, Jiong Say Ong telah melakukan kejahatan. Ia
dulu adalah seorang piawsu (pengantar/pengawal barang) yang lumayan
ternama. Beberapa hari yang lalu, ia mendapat tugas mengawal sebuah
keluarga yang akan pindah kota. Di tengah hutan, ia malah membunuh
seluruh keluarga itu. Mungkin karena tertarik dengan harta kawalannya
itu. Bahkan 2 orang anak gadis di keluarga itu pun ia perkosa dulu
sebelum ia bunuh.

Urusan seperti ini walau bukan urusan yang terlalu menggemparkan bu lim
(orang-orang yang berkecimpung di kang-ouw). Tapi tetap saja membuat
orang-orang gemas. Kejahatan seperti apapun harus diberi keadilan, tidak
perduli besar atau kecilnya. Para satria Butongpay yang memang terkenal
karena kegagahannya tentu saja tidak bisa berpangku tangan melihat
kejadian ini.

Untuk itulah memang Beng Liong datang ke kota Lau Ya. Dengan kepintaran
dan pengetahuannya yang luas, ia menduga bahwa Jiong Say Ong berada di
kota itu. Entah bagaimana ia bisa tahu kalau Jiong Say Ong akan mampir ke
restoran Lai Lai. Itulah kenapa Beng Liong menunggu sekian lama di lantai
atas Lai Lai. Mungkin selain pemandangannya yang indah, hampir seluruh
isi kota Lau Ya bisa terlihat dari atap Lai lai yang tinggi. Memang lai
Lai pun sendiri terletak di sebuah daerah yang cukup tinggi di bagian
ujung pusat kota.

Dengan adanya kejadian pertarungan ini, Lai Lai justru semakin ramai.
Orang kang ouw semakin banyak yang mampir, orang biasa pun banyak yang
mampir. Selain makanan, dan pemandangan yang indah, siapa tahu ada
tontonan dan hiburan gratis.

Ya memang ada beberapa pertarungan. Tapi kebanyakan pertarungan biasa


antara orang bu lim kelas menengah ke bawah. Walaupun bukan pertarungan
kelas tinggi, dengan jurus-jurus sakti, tak urung ya tetap ramai juga
penontonnya.

Cio San memanfaatkan ini untuk mempelajari juus-jurus silat. Karena


pertarungan ini memang bukan pertarungan dahsyat, justru semakin mudah
bagi Cio San untuk mempelajari gerakan-gerakannya. Ia semakin menemukan
banyak sekali kesamaan dalam dasar-dasar gerak dan berbagai macam aliran
silat.

Pada dasarnya ilmu silat hanyalah menyerang dan bertahan. Sehingga


gerakan yang ada hanyalah kembangan dari kedua inti itu. Jika bisa
mengenal gerakan inti dan gerakan kembangan, maka sebenarnya pada
dasarnya seluruh ilmu silat itu sama

Begitu pemahaman Cio San selama ia memperhatikan beberapa pertarungan


yang terjadi di Lai Lai. Dari pemahaman ini semakin gampang ia menebak
arah pertarungan silat. Jika ada dua orang bertempur, hanya dengan
menggunakan daya pikirnya ia sudah tahu jurus-jurus apa yang akan
dikeluarkan para petarungnya. Kapan memukul, kapan menendang, kapan
menghindar, ke arah mana arah pukulan dan tendangan, semua bisa diduga
Cio San dengan sekali melihat.

Ia sendiri heran betapa cepat ia paham akan ilmu silat ini. Betapa
gampang ia mempelajarinya. Tapi Cio San segera sadar, bahwa ilmu-ilmu
yang ia lihat itu hanyalah ilmu kelas rendahan yang ketinggalan beratusratus tingkat dengan ilmu-ilmu unggulan tokoh-tokoh nomer satu.

Namun Cio San sudah cukup senang. Baginya ilmu bisa datang dari mana
saja. Baginya ini pelajaran yang bisa diambil hikmahnya. Keadaan Lai Lai
yang sudah sangat maju dalam beberapa bulan saja, juga membuatnya senang.

Tidak ada yang tidak membuatnya senang di masa ini. Lai Lai makmur.
Tubuhnya sehat. Sekarang ia sangat dekat dngan Kwee Mey Lan. Ah,
mengingat Mey Lan membuat jantungnya berdebar. Cio San tetap tidak tahu
mengapa.

Kata orang ini cinta. Cio San pun sering mendengarkan kata cinta dalam
lagu-lagu yang dinyanyikan A Liang dan ayahnya dulu. Juga pernah baca
puisi dan tulisan-tulisan kuno tentang cinta. Tapi baru kali ini Cio San
merasakannya benar-benar dalam hati.

Inikah 'cinta'? pantas setiap orang menyanyikannya, pantas setiap orang


menulis syair tentangnya

Cio San sendiri belum paham benar. Usianya baru beberapa belas tahun.
Mencapai umur dua puluh mungkin masih 2-3 tahun lagi. Tapi getaran
hatinya yang tidak ia mengerti membuat ia menyimpulkan sendiri apa
cinta itu.

Di dunia ini, seberapa banyak orang yang paham cinta? Apakah umur
menambah pemahamanmu tentang cinta? Tidak sama sekali. Tidak ada satu
orang pun yang paham apa itu cinta. Tua dan muda sama-sama bingung
tentang cinta.

Orang muda jatuh dan menangis karena cinta. Orang yang sudah tua pun
tidak sedikit yang jatuh dan menangis karena cinta. Apakah dengan
banyaknya luka membuat orang semakin paham dengan cinta? Tidak juga.
Banyak pemuda pemudi yang terluka dan menderita, terlihat bangkit kembali
untuk menemukan cinta lagi. Dan tidak sedikit mereka yang sudah tua pun
jatuh bangun berkali-kali dalam meraihnya.

Umur tidak akan membuatmu paham akan cinta.

Pengalaman bercinta yang kesekian kali, juga tidak akan membuatmu paham
akan cinta, Orang yang pernah terluka mungkin akan berkata, Cukup!,
tidak lagi kubiarkan diriku jatuh cinta. Tapi apa yang terjadi? Tak lama
kemudian mereka akan menemukan cinta yang baru. Lalu ketika mereka
terluka lagi, mereka akan mengatakan hal yang sama, untuk kemudian
melupakan kata-kata itu jika telah menemukan cinta yang baru lagi.

Tak ada orang yang mengerti cinta.


Ketika ia berjanji untuk setia selamanya kepada kekasihnya. Ketika ia
berjanji untuk menemaninya sampai tua, dan menggenggam tangannya ketika
mereka telah rapuh. Ketika ia berjanji untuk menemani kekasihnya sampai
maut memisahkan. Betapa lucu janji itu teringat kembali, ketika ternyata
ia menemukan orang yang lebih menarik hatinya.

Maka semua kata-kata terlupakan, dan janji terbatalkan.

Lalu ketika luka menganga bagi mereka yang ditinggalkan dan dikhianati,
luka itu cepat sekali sembuhnya ketika ada cinta baru lagi yang datang.

Cio San menjadi saksi dari semua pemahaman yang tertulis ini. Dari
pendengaran dan pandangannya yang tajam, ia menjadi saksi betapa cinta
adalah sesuatu yang aneh. Banyak pasangan kekasih yang datang ke Lai Lai.
Mengucapkan berjuta kata mesra, dan janji sehidup semati. Lalu beberapa
hari kemudian, mereka datang dengan kekasih yang lain pula. Untuk
mengucapkan janji dan kata-kata manis yang sama.

Yang terjadi tidak cuma satu atau dua orang di Lai Lai. Bahkan mungkin di
kolong langit ini, begitulah yang terjadi kepada setiap orang. Kau
berjanji pada kekasihmu, mengucapkan kata cinta yang indah dan manis.
Lalu ketika kau menemukan kekasih yang baru, janji dan kata manis yang
sama itulah yang kau ucapkan juga.

Maka di sinilah Cio San. Sedang menjadi saksi dari kejadian ini. Seorang
gadis sedang berlutut menangis, di hadapan sepasang kekasih. Si gadis ini
menangis bahwa ia sedang hamil. Mengandung benih hasil hubungannya dengan
laki-laki di hadapannya. Si lelaki itu dengan santainya tetap menggandeng
wanita lain di lengannya dan acuh tak acuh saja dengan tangisan si gadis
di depannya.

Apakah hati kedua pasangan itu sudah mati? Mengapa tidak tersentuh
sedikitpun. Mengapa si lelaki tidak perlu menjelaskan hal ini kepada
kekasih yang digandengnya? Mengapa si wanita ini tidak bertanya tentang
asal usul gadis yang berlutut mengiba-iba itu?

Mereka hanya terdiam sambil menikmati arak dan makanan. Sedangkan si


gadis masih berlutut dan menangis, kini bahkan sudah bersujud
membenturkan dahi ke lantai.

Cio San tak sabar melihat dan mendengar ini. Segera ia ke ruang sebelah
ingin menghardik pasangan kekasih itu, tapi sebelum ia mengucapkan kata
pertama, terdengar suara seorang wanita,

Keparat cabul, jika kau tidak segera menghampiri gadis itu dan meminta
maaf padanya, segera ku tebas lehermu

Suara ini datang dari seorang wanita di lanta atas. Cio San menoleh ke
atas. Tapi tidak terlihat siapa-siapa. Karena dari lantai bawah, hanya
sebagian lantai atas yang kelihatan. Rupanya pemilik suara tadi sedang
duduk di pojok ruangan, atau di teras lantai atas.

Dari suaranya Cio San tahu, pemiliknya adalah seseorang yang memiliki
tenaga dalam tinggi. Getaran suara dari pemilik tenanga dalam tinggi atau
rendah, dapat dibedakannya. Kini ia penasaran seperti apa pemilik suara
itu.

Dari pendengarannya Cio San tahu bahwa si pemilik suara ini berdiri dari
tempat duduknya. Dan sekali lompat, ia sudah sampai ke lantai bawah. Si
pemilik suara ini adalah seorang gadis yang cantik. Rambutnya di kepang
dua di belakang. Kepangan itu melewati kuping belakang, dan jatuh dengan
anggun di kedua bahunya. Anggun sekali. Tapi pandangan matanya tajam. Ia
memakai baju merah jambu. Ringkas dan sederhana, tapi membuatnya malah
bertambah cantik. Di punggungnya terdapat buntelan. Munkin berisi bajubaju dan peralatan perempuan. Ia menjinjing sebuah pedang yang indah.

Cio San paham, pastilah ini gadis yang berkelana di dunia kang-ouw.

Cici (kakak perempuan) berdirilah dan jangan menyakiti dirimu sendiri


si gadis merah jambu berkata sambil memeluk gadis yang tadi menangis
mengiba-iba itu. Si gadis masih menangis, namun tidak lagi membenturkan
dahi di lantai.

Mengapa kau diam saja, kura-kura? Tanya si merah jambu kepada lelaki
itu.

Ternyata yang menjawab adalah pasangan wanitanya,

Siapa kau? Apa urusanmu dengan hubungan suamiku? Ini urusan dia, kau
tidak perlu ikut campur

Si gadis merah jambu sedikit terhenyak,

Apakah kau sama sekali tidak cemburu, suamimu menghamili gadis lain?
Tanya dia

Dia menghamili gadis lain, itu urusannya dengan gadis itu si wanita
malah menjawab sambil minum arak.

Dari seluruh permasalahan cinta antara kekasih yang pernah mampir di Lai
Lai, baru kali ini Cio San menemukan urusan seperti beginian.

Dan nampaknya si merah jambu juga baru bertemu urusan beginian.

Ini memang bukan urusanku, tapi sebagai orang yang punya hati,
setidaknya kalian bisa menunjukkan belas kasihan. Dan kau kura-kura,
seharusnya bertanggung jawab hardik si merah jambu

Si laki-laki nampaknya risih juga dipanggil kura-kura,

Aku dan A Yong melakukannya atas dasar suka sama suka. Kalaupun dia
hamil, belum tentu aku pelakunya. Dia sudah bukan gadis ketika tidur
dengan aku

Di jaman ini, kata-kata yang keras dan membuka aib seperti ini hampir
tidak mungkin diucapkan orang di muka umum. Jika sampai si kura-kura
berani bicara seperti ini, berarti dia terlalu banyak minum arak. Atau
bapaknya adalah seekor singa.

Maka bisa dibayangkan bagaimana perasaan si gadis itu ketika mendengar


ucapan demikian, tangisannya tambah hebat, ia meraung-raung di lantai.
Ucapannya yang keluar dari mulutunya sudah tidak jelas lagi, karena
bercampur teriakan, tangisan, dan makian.

Ia malah bergerak menyerang sepasang kekasih itu.

Si merah jambu juga tidak merintanginya. Nampaknya memang setuju dengan


tindakan si gadis. Tapi begitu si gadis menghampiri si kura-kura untuk
menamparnya, justru tubuhnya sendiri yang terlempar kena tendang wanita
pasangan si kura-kura.

Tak sedikitpun Cio San, si merah jambu dan orang-orang disitu yang
menyangka bahwa wanitanya kura-kura itu bisa ilmu silat. Ia terlihat
lemah gemulai dan sedikit mabuk. Tidak ada yang menyangka bahwa ilmunya
tinggi juga.

Untunglah si merah jambu sempat menangkap si gadis agar tidak terhempas


lebih jauh.

Dengan marah kini si merah jambu menyerang si wanita.

Serangannya dahsyat namun tertata rapih. Gerakannya indah bagaikan burung


merak. Cio San hafal sekali ilmu itu. Itu jurus Menari di bawah
Rembulan. Ibunya dulu sering berlatih jurus itu.

Kau anak murid Go Bi pay? Hmmm, boleh juga si wanita kini sudah bangkit
dari duduknya dan menghindari serangan-serangan itu.

Cio San bisa melihat bahwa serangan si merah jambu sungguh dahsyat, tapi
si wanita itu malah menerimanya dengan santai dan tersenyum.

Mereka bersilat dengan indah. Masih menggunakan jurus tangan kosong.


Serangan itu sungguh dahsyat. Angin pukulan meraka terasa sampai ke
penonton. Suara ketika tangan mereka beradu pun terdengar sangat keras.

Ini bukan pertarungan dua perempuan cerewet. Ini pertempuran pendekar


kelas atas.

Jurus-jurus silat si merah jambu tidak cuma dari Go Bi Pay, tapi dari
berbagai macam aliran. Cio San melihat gerakan Bu Tong Pay, jurus-jurus
Kay Pang, bahkan beberapa jurus aneh yang tidak dikenalnya. Si merah
jambu ini jelas bukan murid Go Bi Pay.

Si wanita itu juga serangannya tidak kalah dahsyat. Dari pola gerakan dan
sasaran serangan yang dituju, jelas sekali kalo ini ilmu silat golongan
hitam, alias golongan Liok Lim.

ini bukan ilmu silat kacangan, ini serangan-serangan dahsyat batin Cio
San.

Hatinya malah gembira melihat pertarungan ini. Jika diibaratkan orang


yang suka mancing, begitu melihat sungai yang isinya ikan-ikan besar,
pasti jiwanya akan gila. Begitulah juga Cio San, ia yang dulu tidak
bisa silat dan bahkan membenci ilmu silat, sekarang malah jadi penggemar
nomer satu.

Ia mendalami dan mempelajari setiap gerakan yang ada. Setiap serangan,


setiap tangkisan, setiap hindaran. Kembangan pola serang kedua orang ini
sungguh bermacam-macam. Pukulan tipuan juga cerdik sekali. Tapi bicara
tentang serangan tipuan, memang masih lebih dahsyat punya si wanita.

Lima belas jurus berlalu, dan tidak kelihatan siapa yang menang dan
kalah. Memang sudah lima belas jurus, namun waktu yang berlalu mungkin
cuma baru beberapa ratus detik. Kecapatan serangan mereka mungkin cuma

Cio San yang bisa melihat. Orang selain dia cuma bisa melihat bayangan
merah jambu dan hijau muda, warna pakaian si wanita.

Cio San baru teringat si gadis yang ditendang tadi. Sejak tadi
perhatiannya tertuju pada pertarungan dahsyat ini, ia lupa terhadap nasib
si gadis. Secepatnya ia menuju ke arah gadis itu, yang sekarang sedang
tertelungkup di lantai menahan perih. Cio San memegangnya dan
mengangkatnya, tubuhnya panas sekali, dan wajahnya pucat. Darah mengalir
dari bibirnya. Yang lebih mengagetkan lagi, darah juga mengalir lewat
pahanya.

Ya Tuhan, bukankah dia hamil? Janganjangan.. Cio San kaget dan


menyesal sekali, mengapa ia baru teringat nasib gadis ini.

Segera ia membawa gadis


kamarnya. Cio San sudah
seseorang dalam bahaya.
tertuju ke pertempuran.
dalam kamar.

ini ke ruang belakang, langsung masuk ke


tidak perduli aturan kesopanan lagi. Nyawa
Aturan bisa dikesampingkan. Seluruh mata sedang
Hanya Mey Lan saja yang menemani cio San masuk ke

Meymey, tolong kau siapkan beberapa bahan untuk mengobati nona ini
dengan sigap meymey segera ke dapur. Cio San meneriakkan bahan-bahan apa
saja yang harus disiapkan Mey Lan. Dan berhubung Mey Lan tidak
melihatnya, kesempatan itu dipakainya untuk menyalurkan tenaga dalam
kepada si gadis.

Selamatkan bayiku..selamatkan bayiku. Begitu rintih si gadis

Cio San tidak berkata apa-apa karena ia tahu si calon bayi tidak
mungkjin tertolong lagi. Ia hanya berkata,

Bertahanlah cici, kami akan berusaha sekuat mungkin,


bertahanlahbertahanlah.

Si cici itu tersenyum, airmatanya masih mengalir. Darahnya juga terus


mengalir. Lalu ia terdiam. Nafasnya berhenti.

Cio San tahu ia tidak bisa apa-apa lagi. Beberapa organ dalam si gadis
sudah terluka. Bahkan mungkin sudah hancur.

Ia berkali-kali melihat kematian. Tapi itu tidak mampu mengeraskan


hatinya. Ia tetap menangis.

Mey Lan datang dengan membawa bahan-bahan yang sudah disiapkannya. Ia


segera tahu apa yang sudah terjadi. Ia hanya bisa menyentuh pundak Cio
San, Sabarlah koko,,,sabarlah

Di saat seperti ini, memang tiada kata lain yang paling pas selain kata
sabar. Semua orang tahu itu. Tapi jika mengalami sendiri, tak urung
justru kata sabar yang paling terlupa.

Untungya Cio Sa memang bisa bersabar. Ia memang terlatih menahan diri dan
perasaan.

Sebuah pelajaran baru baginya:

Jika dua orang perempuan berkelahi, secepatnya kau pisahkan.

Perempuan yang lemah lembut, justru kadang lebih ganas dari lelaki jika
sedang marah atau mengamuk. Laki-laki yang terlihat ganas, justru mungkin
akan jadi lemah lembut jika melihat perempuan yang lemah lembut mengamuk.

Kenyataan ini sedikit banyak tidak bisa kau pungkiri.

Meymey, lekas kau cari tahu siapa keluarga perempuan ini, lewat pintu
belakang saja. Biar aku yang mengurus keramaian di depan

Kwee Mey Lan mengangguk dan bergegas ke luar.

Cio San memandang wajah gadis yang baru saja meninggal itu. Entah kenapa
malah terlihat seperti tersenyum. Mungkin dia sedang bertemu bayinya
disana. Cio San malah tersenyum juga,

semoga engkau damai di sana, cici katanya dalam hati.

Ia lalu bergegas ke ruang depan lagi. Kini pertempuran sudah semakin


dahsyat. Meja kursi sudah berjumpalitan. Ruang itu sudah bukan seperti
ruang makan restoran, karena lebih mirip kapal karam.

Kwee Lay hanya geleng-geleng kepala. Pelayan yang lain tidak bisa berbuat
apa-apa. Pengunjung yang tidak bisa silat berlarian ke luar, dan hanya
berani menonton dari luar. Pengunjung yang bisa silat malah bertepuk
tangan dan memuji-muji tontonan seru ini.

Pertarungan ini sudah bukan perkelahaian dua orang perempuan. Ini sudah
menjadi pertempuran hidup dan mati dua ahli silat. Si merah jambu telah
menggunakan pedangnya. Si wanita sudah menggunakan sebuah cambuk berwarna
emas

Sinar perak yang ditimbulkan pedang, dan sinar emas yang ditimbulkan
cambuk membentuk cahaya-cahaya yang indah sekali. Seperti lukisan lukisan
pepohonan yang daunnya berguguran di musim gugur. Sinar pedang bagai
hujan menghujam dari segala arah. Sinar cambuk meliuk-liuk bagai angin
puting beliung.

Cio San baru sekali ini menyaksikan pertarungan sedahsayat itu. Walaupun
matanya bisa melihat segala gerakan yang ada, tak urung ia kagum juga.
Betapa dalam ilmu silat, betapa indah karya yang menciptakannya Ia
hanya bisa berucap itu dalam hati. Masih belum tahu apa yang harus
dilakukannya.

Tiba-tiba sebuah pikiran timbul di hatinya.

Segera dengan sangat cepat ia berlari ke kamarnya. Ia bergerak sangat


cepat masuk kembali ke kamarnya. Ia mencopot topengnya, dalam mengganti

bajunya. Beberapa saat yang lalu ia memang membeli beberapa baju yang
baik. Ia memilih sebuah baju yang polos dan warna yang tidak mencolok.

Semua di lakukannya dalam waktu beberapa detik saja.

Kini Cio San berganti rupa menjadi seorang pemuda tampan, dengan baju
putih polos yang ringkas, serta rambut menjuntai tidak di ikat. Gagah
sekali.

Cio San

Secepatnya ia terbang keluar dari kamarnya

Menuju pertarungan hidup mati dua orang wanita sakti.

Dalam sekejap mata, Cio San telah berada di tengah pusaran pedang dan
cambuk. Tidak ada seorang ahli silat pun yang berani melakukan hal gila
semacam itu. Tapi Cio San melakukannya. Dengan menggunakan ilmu yang
dipelajarinya dari gerakan ular sakti di dalam goa, tubuh Cio San kini
meliuk dengan indah. Bayangan pedang seperti ada ratusan. Bayangan cambuk
seperti ombak yang menghempas. Tapi tidak ada satu pun yang mampu
menyentuh tubuhnya.

Dengan tangan kiri yang bergetar hebat mengikuti derik ekor ular, Cio San
menghantam pedang. Dengan kelincahan dan ketepatan matanya, ia bisa
memukul badan pedang yang perak berkilau, tanpa terpotong mata pedangnya.

Dengan tangan kiri yang meniru moncong ular, ia berhasil menangkap ujung
cambuk.

Gerakan ketiga orang yang bagai badai berputar0-putar menghancurkan apa


saja itu, terhenti dalam sekejap. Tangan dan cambuk telah berada dalam
genggaman kedua tangan Cio San.

Semua ini ditulis dengan memerlukan waktu beberapa saat, tapi kejadian
aslinya berlangsung hanya sekejap mata.

Kedua wanita yang bertarung itu membelalakkan mata. Tidak menyangka di


muka bumi ini ada orang yang mampu menangkap senjata mereka dengan tangan
kosong dalam sekali gerakan.

Memang pada hakekatnya di kolong langit ini cuma Cio San yang bisa!

Semua mata terpana pada lelaki tampan yang berdiri gagah memegang ujung
pedang dan cambuk. Rambutnya terurai tidak di ikat. Padangan matanya
tajam namun hangat. Mulutnya mengulum senyum. Dadanya tegap. Tubuhnya
tinggi.

Saking kagetnya tidak ada orang mengeluarkan suara apapun. Bahkan kedua
wanita yang bertarung seperti hampir lupa bahwa beberapa detik yang lalu
mereka sedang mengadu nyawa.

Pikiran semua orang yang ada disitu hanya satu,

Apakah orang ini malaikat?

Sudahlah ji-wi siocia (kedua nona) nona jangan berkelahi lagi. Kasihan
pemilik restoran seluruh isinya hancur porak poranda

Suaranya dalam.

Semua orang tahu lelaki di depan ini masih muda belia. Tapi entah kenapa
wibawanya justru seperti pendekar unggulan yang banyak memakan asam garam
kehidupan.

Si wanita cambuk emas yang pertama kali mengeluarkan suara,

Siapa kau?

Cayhe bukan siapa-siapa. Hanya pengunjung yang sekedar lewat. Mohon jiwi siocia (kedua nona) berhenti bertarung. Kasihan para pengunjung yang
lain

Kedua wanita yang bertarung ini jelas mengerti kalau ilmu mereka masih
dibawah pria tampan yang aneh dihadapan mereka ini.

Baiklah herannya mereka menjawab bersamaan.

Jika ada permasalahan harap diselesaikan di luar. Jangan mengacau di


tempat usaha orang

Maka Cio San kini terbang ke luar. Tangannya masih menggenggam cambuk dan
pedang. Tentu saja kedua wanita itu juga menggenggam senjatanya masingmasing. Herannya mereka mau saja di tarik Cio San.

Memang ada sebagian perempuan, jika kau meminta baik-baik, mereka malah
tidak mau mendengar. Tapi jika kau paksa, mereka malah menurut dengan
aleman.

Perempuan mana saja kalau ditarik tangannya oleh Cio San, mungkin yang
menolak bisa dihitung dengan jari.

Kini mereka bertiga telah berada di luar Lai Lai.

Cio San telah melepas pegangannya.

Lalu berkata kepada wanita cambuk emas,

Tendanganmu telah membunuh seorang gadis. Kau harus bertanggung jawab


atas perbuatanmu kata Cio San dengan tajam.

Aku memang selalu bertanggung jawab atas perbuatanku. Lalu kau mau apa?
Urusan bunuh membunuh bukan hal yang terlalu luar biasa dalam kang ouw
si wanita menjawab tidak kalah tajamnya.

Tapi yang kau bunuh adalah wanita biasa bukan golongan kang ouw Cio San
marah sekali. Matanya malah berkaca-kaca.

Biasanya orang kang ouw bisa menyimpan perasaan. Tapi Cio San tidak,
Belum. Ia belum pernah terlibat langsung dalam kang ouw.

Siapa suruh dia menyerang suamiku. Aku kan hanya membela diri dan
kehormatan suamiku sambil berkata begitu si wanita mengerling kepada
suaminya yang berada di dalam. Herannya si suami masih tetap duduk sambil
minum arak, masih di tempat yang sama.

Kaukautidak cemburu suamimu main gila dengan wanita lain? Tanya si


merah jambu.

Oh tentu tidak. Semakin dia main gila, aku semakin suka

Gemparlah semua penonton yang ada di sana. Mereka tidak menyangka akan
mendengar jawaban seperti ini.

Kali ini Cio San bertanya,

Kau senang di main gila, karena dengan demikian kau pun bisa main gila
juga, bukan?

Tidak ada yang lebih menyenangkan bertemu dengan laki-laki muda yang
tampan, dan cemerlang otaknya sambil bicara itu si wanita cambuk emas
matanya menjadi sayu, pipinya memerah, dan ia menjilati bibirnya.

Cio San bergidik. Di dunia ini, ada juga pasangan kekasih seperti ini?

Ah aku tau, siapa kau, sejak tadi aku sudah curiga! tiba-tiba si merah
jambu berkata

Kau dan suamimu, bukankah Sepasang Iblis Pemabuk Cinta?

Mendengar nama itu disebut, si wanita itu tersenyum. Dagunya terangkat,


dadanya membusung.

Nama itu selalu menggelitikku kalau diucapkan orang katanya.

Cio San belum pernah dengar nama ini. Tapi dari namanya saja, ia tahu
kedua pasangan suami istri ini pasti bukan orang baik-baik.

Kau tidak takut, tampan? Tanya si wanita cambuk emas kepada Cio San.

Takut? Tidak. Aku malah tertarik sekali. Sangat tertarik ia menjawab


sambil tersenyum. Ia sudah mampu mengusai perasaannya. Kini ia malah
terlihat tenang.

Kenapa Cio San menjawab seperti ini tidaklah mengherankan. Ayahnya,


adalah seorang lelaki yang tampan sekali. Dan juga seorang yang romantis.
Sang ayah suka membuatkan syair cinta dan lagu-lagu cinta kepada ibunya.
Cara bersikap ayahnya yang mesra, dan suka merayu ibunya itu sangat
membekas dalam diri Cio San. Walaupun kadang-kadang ibunya suka
mendidiknya dengan sangat keras dalam hal adat istiadat dan kesopanan,
tak urung sikap ayahnya yang romantis ini juga menurun kepadanya.

Maka Cio San menirunya. Mencoba bersikap tenang. Setenang ayahnya dalam
menghadapi ibunya yang marah-marah atau merajuk.

Maka kalimat-kalimat ayahnya yang menggoda ibunya, yang merayu, yang


menenangkan hati, pasti membengkas dalam diri Cio San. Mengalir dengan
alami dan tidak dibuat-buat.

Cio San tidak tahu, bahwa semakin lelaki bisa membuat seorang wanita
penasaran, maka semakin menariklah lelaki itu di mata perempuan. Semakin
misterius seorang lelaki, maka daya tariknya pun semakin meningkat.

Maka bisa dibayangkan betapa daya tarik Cio San yang tampan dan misterius
ini membuat perempuan cabul semacam wanita cambuk emas tergoda hatinya.

Jika kau menemaniku berduaan saja selama satu malam saja, aku akan
memberikan apa yang kau mau goda si wanita cambuk emas.

Benarkah?

Kau ini.. si wanita cambuk emas tambah bernafsu

Kalau aku menemanimu semalaman, kira-kira apa yang akan kita lakukan?
Tanya Cio San. Pertanyaan ini jika diucapkan orang lain akan terdengar
mesum. Tapi mungkin karena keluguan dan kepolosan Cio San, ucapan ini
terdengar hangat dan menggoda sekali.

Si wanita tidak menjawab, hanya matanya yang membesar, dan ia menggigit


bibirnya. Kemudian berkata,

Apa yang kau minta semalaman itu, pasti ku beri semua. Kau minta diriku,
kau minta jiwaku, semuanya kuberi

Cio San tidak menjawab, hanya tersenyum. Di mata orang, pastilah dia
pemuda yang sangat berpengalaman dalam wanita. Tapi sesungguhnya dia
hanya meniru tingkah pola ayahnya saja dalam menggoda ibunya.

Senyum ini, adalah senyuman seorang lelaki matang, yang paham seluk beluk
perempuan. Yang tahu cara tarik ulur dengan perempuan. Karena perempuan,
semakin gampang kau beri hatimu, semakin cepat juga ia merasa kau
membosankan.

Tapi semakin susah kau dikuasainya, semakin menarik juga kau bagi
hatinya.

Cio San sebenarnya belum paham hal ini semua. Dengan tidak sengaja, ia
telah membuat wanita-wanita terpesona. Karena wanita yang menonton
kejadian ini bukan cuma si wanita cambuk emas. Masih banyak wanita yang
menonton, termasuk si merah jambu.

Sudah jangan berlama-lama lagi, peluk dia erat-erat, cari kamar, dan
telan ia bulat-bulat teriakan itu terdengar dari dalam. Sudah pasti itu
suara suami si wanita cambuk emas.

Orang-orang yang mendengar banyak yang jengah dan malu. Tapi banyak juga
yang tertawa-tawa. Ucapan seperti itu memang tidak pantas di muka umum.
Lebih tidak pantas lagi jika itu ucapan suami kepada istrinya.

Jika kau dapat mengalahkan aku dalam 10 jurus, sudah pasti aku ikut
padamu kata Cio San.

Kalian lelaki maunya curang saja. Sudah jelas ilmu silatku kalah jauh
denganmu. Masih kau tantang silat juga. Bertempur silat aku pasti kalah,
tapi kalau bertempur lain, belum tentu si wanita tersenyum genit.

Si merah jambu tidak tahu lagi harus berkata dan bersikap apa. Ucapan
mesum seperti ini jelas membuatnya mati sikap. Dengan malu dan wajah
bersemu merah, dia beranjak dari situ, Kita selesaikan urusan kita lain
kali, wanita iblis. Kau silahkan berursan dengan kekasih barumu

Ia lalu menyarungkan pedang, dan masuk ke dalam untuk mengambil buntelan


tasnya yang tadi ia letakkan saat akan bertempur.

Cio San, tidak tahu harus berkata apa hanya tersenyum saja. Memang
ayahnya jika menghadapi ibunya yang sedang merajuk, pasti hanya tersenyum
saja. Di dunia ini memang hal terbaik yang bisa dilakukan laki-laki
terhadap perempuan yang merajuk, hanyalah tersenyum. Jika kau buka mulut
maka semua urusan jadi lebih berbahaya.

Lalu Cio san berkata kepada si wanita cambuk emas,

Begini saja, bagaimana jika kau dan suamimu bergabung bersama menempur
aku. Jika aku kalah, aku turut apa kalian. Jika kalian kalah, ku serahkan
kalian kepada petugas kota untuk mempertanggungjawabkan perbuatan kalian

Seumur hidup pasangan iblis ini merajalela, baru kali ini mereka
mendengar ada ucapan seberani ini. Semua orang di dunia kangouw tahu,
jika ilmu Pengantin Neraka mereka mainkan, maka lawan yang mampu
menghadapi mereka ini dunia ini bisa dihitung dengan jari. Memang jika
mereka bertarung sendirian, ilmu mereka cukup tinggi. Malah masuk dalam
50 besar tokoh Liok Lim (dunia hitam) terhebat. Tapi jika mereka
bertarung bersama memainkan ilmu Pengantin Neraka, maka nama mereka
langsung masuk jajaran 20 besar tokoh sesat terhebat.

Karena itulah mereka tertawa mendengar tantangan Cio San.

Karena itu jugalah si merah jambu tidak jadi pergi. Ia kagum sekali
mendengar keberanian Cio San. Ia lalu berkata,

Kau ini sangat hebat atau sangat bodoh?

Cio San tersenyum lagi. Sambil memegang rambut yang terurai melewati
belakang telinganya. Kebiasaan ayahnya yang kini secara tidak sengaja

menurun juga kepadanya. Ini pertama kali ia mengelus elus rambutnya


terurai itu. Cio San sadar itu. Tapi rasanya menyenangkan!. Pantas
ayahnya sering melakukannya.

Si suami lalu terbang keluar. Setelah di lihat lebih dekat, memang ia


sebenarnya sudah cukup umur. Tapi dandanannya serta gerak geriknya
seperti seorang pemuda bau kencur.

Si suami ini juga penasaran dengan ilmu silat Cio San. Apa yang terjadi
semua disaksikannya. Kehebatan Cio San yang mampu menangkap senjata tadi
bukan kepandaian sembarangan. Maka itu dia bertanya,

Apakah anda Butong-enghiong (satria Bu Tong) Beng Liong?

Bukan, punya bapak seorang naga pun, cayhe tidak berani mengaku sebagai
Butong-enghiong (satria Butong) Beng Liong

Liong memang artinya naga.

Di dunia persilatan ini, orang muda gagah setampan engkau hanya Beng
Liong dan Kay Pang-Pangcu (ketua perkempulan pengemis) Ji Hau Leng. Kau
sudah jelas bukan Ji Hau Leng. sahut si suami.

Cayhe tidak seberuntung itu punya nama besar dan kehebatan seperti
mereka jawab Cio San.

Lalu boleh ku tahu nama enghiong yang terhormat? Tanya si suami lagi.

Nama siauw ceng (panggilan untuk merendahkan diri) tidak penting

Hmmmm,,seorang satria yang menyembunyikan nama. Jangan salahkan aku jika


nanti kamu mati tidak ada orang yang menguburkanmu, karena tidak ada yang
tau asal-usulmu

Sambil berkata begitu ia langsung menyerang. Ia telah melolos sebuah


pedang lemas dari pinggangnya.

Begitu cepat begitu lihay. Si istri pun ikut menyerang. Mereka ini
golongan hitam yang tidak suka tata aturan bertarung. Tentu saja mencari
jalan agar cepat menang dan cepat selesai.

Menghadapi ini Cio San sudah gentar. Ia sudah faham gerakan silat si
istri, alias wanita cambuk emas. Namun saat keduanya menyerang bersamasama, baru terasa benar dahsyatnya ilmu mereka.

Tubuh Cio San bergerak sangat lincah. Tubuhnya meliuk-liuk. Ilmu gabungan
antara gerak langkah sakti Bu Tong pay, digabung dengan kelincahan tubuh
ular sakti. Menjadi sebuh ilmu baru yang licin, gesit, namun lembut dan
bertenaga.

Semua penonton yang paham ilmu silat matanya melongo melihat gerakan Cio
San. Belum pernah dari mereka ada yang melihat atau mendengar tentang
ilmu ini. Cio San bergerak dengan bebas dan lincah mengikuti aliran
serangan cambuk emas dan sebuah pedang lemas milik si suami,

Gerakan serang Pangenatin Neraka ini sangat genas. Keduanya bergerak


saling mengisi, saling menutupi kekurangan. Yang satu menyerang, yang
satu menjaga. Yang satu menendang yang satu menangkis.

Pada awalnya Cio San kelimpungan juga. Tapi ia segera paham.

Teringat dia dengan latihannya di dalam goa, Saat air banjir dengan
menyerangnya bertubi-tubi. Seperti inilah pola serangan ilmu Pengantin
Neraka. Mengalir dan saling mengisi tempat kosong. Pedang dan cambuk
bergantian menyambar. Cio San seperti dikelilingi banjir bandang!

Tapi tidak percuma ia latihan di dalam goa. Semua di hadapinya dengan


gerakan berputar seperti gasing yang amat cepat. Ia tidak mungkin
menangkap cambuk dan pedang saat seperti pertama kali tadi memisahkan si
merah jambu dan wanita cambuk emas.

Karena saat bertarung tadi, serangan mereka tujukan kepada lawan. Dan
mereka tidak menyangka ada orang lain yang kana masuk memotong gerakan
mereka. Oleh karena itulah Cio San bisa mengambil posisi dan sudut yang
pas untuk menangkap senjata.

Sekarang Cio San lah yang berada di posisi bertarung.


gerakan serangan ditujukan kepadanya. Dia tidak punya
untuk menangkap senjata. Karena setiap posisi kosong,
serangan juga. Tidak ada lagi posisi kosong yang bisa
menyerang!

Sehingga inti
posisi yang pas
pasti sudah berisi
dipakai untuk

Semua posisi sudah terisi pedang dan cambuk!

Puluhan jurus telah lewat.

Cio San betarung dengan ringan dan santai. Tenaganya penuh. Walaupun ia
terdesak dengan serangan-serangan hebat, tak sedikit pun ia panik. Ia
bergerak sekenanya. Mengikuti aliran serangan lawan. Ia membiarkan
tubuhnya dibawa ombak serangan ini. Karena semua serangan akan
didahului oleh angin, maka Cio San tahu kemana dan dari mana saja arah
serangan.

Ia kini sudah bisa membaca serangan lawan. Tak terasa ia kini bersilat
sambil menutup mata. Dengan menutup mata pandangan nya jauh lebih
terang. Karena sekarang yang melihat adalah mata batin.

Begitu Cio San paham arah serangan dan jurus-jurusnya, maka seketika itu
juga ia paham cara memecahkannya.

Pedang lemas sedang mengarah lurus menusuk kerongkongannya. Ujung cambuk


sedang meliuk menuju pinggangnya. Cio San melompat dan menekuk tubunya ke
belakang.

Kau ingat bagaimana gerakan mencium lutut? Cio San melakukan yang
sebaliknya!

Tubuhnya bagai terlipat menekuk ke belakang!

Pedang lewat diatas wajahnya yang menegadah. Cambuk lewat dibawah kakinya
yang membujur lurus belakang. Bersamaan dengan itu kedua tangannya
menotok tubuh kedua orang lawannya. Titik dimana jika ditotok, membuat
orang yang ditotok tak mampu bergerak sama sekali.

Dan pertempuran pun selesai.

Beruntunglah mereka yang hadir di situ.

Bagi hadirin yang mampu menyaksikannya, pertempuran seperti ini tak akan
dilupakan seumur hidup.

Bagi hadirin yang tidak mampu menyaksikannya, pertempuran ini juga tidak
akan terlupakan seumur hidup. Karena baru kali ini mereka percaya ada
manusia-manusia yang bisa berubah menjadi bayangan.

Siocia (nona), ku serahkan mereka kepadamu. Serahkan saja kepada petugas


kota. Atau siapa saja yang kau anggap pantas kata Cio San kepada si
merah jambu, ia melanjutkan lagi.

Nama cayhe (saya) adalah Cio San. Boleh cayhe tahu nama siocia yang
terhormat? tanyanya sambil tersenyum dan membentuk salam hormat di depan
dada

Eh..aku she (marga) Khu, namaku Ling Ling

Mata Cio San berbinar, ia teringat obrolan di warung kecil saat ia


pertama kali tiba di kota itu.

Sampai berjumpa lagi nona Khu Ling Ling

Kata-katanya baru terdengar seluruhnya, orangnya sudah tidak ada.

Di sepanjang hayatnya, pemuda yang bergerak secepat itu belum pernah


ditemuinya. Khu Ling Ling hanya termenung. Ia seperti pernah mengingat
nama itu.

Khu Ling Ling

Bab 19 Sang Nyonya Besar

Cio San tidak menghilang.

Dengan satu kali loncatan. Ia telah tiba di atas atap Lai Lai. Lalu
kemudian turun ke bagian belakang restoran itu. Lalu masuk ke kamarnya.
Semua orang sedang sibuk di bagian depan, sehingga tak seorang pun yang
tau jika ia telah masuk ke kamarnya. Berganti pakaian dan memasang
topengnya kembali.

Tubuhnya kini tidak lagi tegap seperti tadi. Melainkan sedikit bungkuk.
Rambutnya sudah diikat pula. Kini ia duduk saja di samping mayat gadis
yang tadi meninggal diatas tempat tidurnya. Menunggu Mey Lan datang. Dan
tak berapa lama Mey Lan memang sudah datang. Tidak datang sendirian
melainkan bersama beberapa orang. Rupanya orang-orang ini mungkin
keluarganya.

Cio San mempersilahkan mereka masuk. Tak berapa lama terdengarlah


tangisan. Nampaknya memang benar gadis itu bagian keluarga mereka. Cio
San tak tega berada di situ, ia segera ke halaman belakang. Dalam
kepalanya berkecamuk berbagai macam pikiran.

Apakah yang dilakukannya ini sudah benar?


Mengapa ia tadi tidak sigap menolong gadis itu?

Apa yang terjadi beberapa saat yang lalu memang membawa tantangan sendiri
baginya. Ia menikmati peran nya sebagai Cio San. Ia menikmati bersikap
gagah. Tapi saat semua sudah usai, kini yang ada hanya tangisan keluarga
yang ditinggalkan. Mengingat ini, memang rasa-rasanya ia ingin membunuh
saja sepasang iblis suami istri itu.

Tapi Cio San memang tidak suka membunuh orang. Ia selalu teringat pesan
ayahnya. Melakukan kekerasan terhadap orang lain saja ia tidak tega.
Apalagi membunuh. Mengapa orang tidak bisa duduk dan membicarakan segala
permasalahan baik-baik? Mengapa semua masalah harus diselesaikan dengan
air mata dan pertumpahan darah?

Pertanyaan ini sejak jaman dahulu kala, tidak pernah bisa terjawab.

Cio San masih terlalu hijau. Walaupun ilmu silat, dan otaknya cemerlang.
Tetap saja tidak bisa menemukan jawabannya.

Hari ini begitu banyak pelajaran yang ditemuinya. Bahwa waspada saja
tidak cukup. Sikap siaga dan bersikap harus dilatihnya. Ia harus selalu
menggunakan akal dan tenaganya untuk mencegah hal hal ini terulang lagi.
Jika ia bisa menggunakan akalnya agar dapat membaca keadaan lebih jelas.
Tentunya ia bisa mencegah agar gadis itu tidak meninggal.

Mulai pahamlah ia bahwa manusia tidak seperti kelihatannya. Ada orang


yang terlihat lemah lembut, ada orang yang kelihatan acuh tak acuh,
ternyata menyimpan banyak rahasia. Sepasang iblis tadi terlihat seperti
pasangan suami istri biasa. Siapa tahu mereka ternyata penjelmaan iblis.

Cio San terus mengingatkan dirinya sendiri untuk selalu waspada dan sigap
dengan segala situasi. Hari ini adalah pelajaran berharga baginya. Maka
ia bangkit dan berdiri. Walaupun beban dalam dadanya tidak bisa terangkat
seluruhnya. Setidaknya semangat baru untuk mencegah kejadian seperti ini
terulang lagi, membuatnya jauh lebih kuat.

Ia lalu membantu keluarga yang berduka itu sebisa mungkin. Sampai mereka
pulang membawa jenazah gadis yang malang itu. Kwee Lai, Mey Lan, dan
pegawai yang lain juga ikut membantu keluarga itu. Padahal mereka juga
dipusingkan dengan keadaan Lai Lai yang hancur berantakan.

Terkadang membantu orang lain yang sedang tertimpa masalah, membuat


masalahmu sendiri terasa ringan.

Lai Lai tutup lebih siang pada hari itu. Kwee Lai dan seluruh penghuni
mendapat kunjungan dari petugas kota. Mereka diberi pertanyaan macammacam seputar kejadian tadi. Sepasang suami istri iblis tadi sudah
dimasukkan ke dalam penjara. Adipati akan menurunkan hukuman beberapa
hari lagi di pengadilan. Legalah hati mereka semua yang ada di situ.

Malamnya seluruh penghuni Lai Lai merapatkan apa yang harus dilakukan.
Kwee Lai mengatakan bahwa dana untuk perbaikan memang ada, tapi jelas
mereka menderita banyak kerugian. Walaupun kejadian ini tidak terlalu
memukul keuangan Lai Lai, setidaknya cukup menggoncangkan hatinya juga.
Mereka memutuskan untuk menutup Lai Lai selama beberapa hari, untuk
memperbaiki segala kerusakan.

Tepat ketika rapat ditutup, seseorang mengetuk pintu depan.

Siapa? Tanya Kwee Lai

Selamat malam. Salam hormat. Saya utusan dari perusahaan dagang Kim Hai
(Lautan Emas). Mohan ijin untuk bertemu Kwee Loya (Tuan Kwee) sahur
suara dari luar.

Cio San bergegas membukakan pintu.

Orang yang datang tadi punya penampilan rapi. Wajahnya tampan walaupun
sudah cukup umur.

Perkenalkan nama saya Huan Biau. Saya membawa pesan dari Khu-Hujin
(nyonya besar Khu) kepada Kwee Loya (Tuan Kwee) kata si orang tadi.

Mari silahkan masuk, saya Kwee Lai kata Kwee Lai sambil tersenyum
ramah.

Semua orang di situ tahu apa itu perusahaan dagang Kim Hai, dan siapa itu
Khu Hujin.

Ada pesan apa dari Khu Hujin? Tanya Kwee Lai.

Hujin berpesan bahwa semua kerugian yang ada di restoran anda akan kami
ganti. Mulai besok, kami akan mengirimkan beberapa pekerja dan bahanbahan bangunan. Hujin juga mengucapkan permintaan maaf sebesar-besarnya,
karena perbuatan cucunya yang berbuat onar di sini, Kwee Loya

Ah pertengkaran kecil begini saja, Khu Hujin sampai turun tangan


langsung? Aku si tua begini terlalu diberi muka oleh Khu-Hujin. Sudah
tidak perlu diganti. Jangan sampai membuat repot Khu Hujin

Tidak apa-apa Loya. Khu Hujin memaksa Loya harus menerima permintaan
maafnya. Jika ada waktu Hujin sendiri yang akan datang berkunjung

Waah, sebuah kehormatan besar jika beliau berkunjung. Harap beri kabar
sebelum beliau datang, agar kami bisa menyiapkan masakan terbaik bagi
beliau kata Kwee Lai, lanjutnya,

Iya, kebetulan beliau memang ada rencana ke kota ini. Ada urusan dagang
yang harus beliau selesaikan sendiri. Sekarang beliau masih di
kediamannya di kota Tho Hoa.

Tuan Huan silahkan istirahat sebentar dulu. Kami siapkan arak, dan
beberapa pengisi perut

Terima kasih Loya, tapi saya harus segera pulang untuk mempersiapkan
pekerjaan besok. Sebenarnya sukar sekali saya menolak tawaran ini,
mengingat masakan disini sudah terkenal sampai ke luar kota. Tapi apa
daya, banyak pekerjaan menumpuk kata Huan Bian menolak dengan halus

Ehh..kalau begitu mau kah tuan Huan membawa beberapa guci arak? Sekedar
sebagai teman istrirahat saat bekerja. Mungkin bisa diminum bersama-sama
saudara-saudara disana kata Kwee Lai

Belum sempat Huan Bian menolak, Mey Lan sudah muncul dengan beberapa guci
arak. Ia tak dapat menolak. Akhirnya setelah memberi salam, segera ia
mohon diri.

Setelah orang itu pulang, Cio San bertanya kepada Kwee Lai,

Loya, berapa jarak antara kota ini dengan kota Tho Hoa?

Perjalanan memakai kuda sekitar sehari semalam, ada apa?

Ah tidak apa-apa jawab Cio San sambil tersenyum.

Dalam hati ia berkata, Orang suruhannya saja punya langkah kaki yang
demikian ringan. Aku baru tahu kehadirannya saat ia sudah 10 langkah di
pintu depan. Kejadian di kota lain yang jaraknya jauh saja pun, ia tahu
begitu cepat. Bahkan sudah mengirim orang untuk mengurusi urusannya. Bisa
dibayangkan betapa berpengaruhnya Khu Hujin ini

Malam itu Cio San tidur dengan berbagai macam pikiran. Tapi entah kenapa
ia tidak menutup jendela kamarnya.

Pagi-pagi sekali orang-orang dari Kim Hai sudah tiba. Mereka datang
sekitar sepuluh orang. Dengan berbagai macam peralatan dan perkakas.
Orang-orang ini memang nampaknya pekerja bangunan yang pekerjaan sehari-

harinya mengurusi bangunan. Maka tak heran jika sampai tengah hari saja,
Lai Lai sudah terlihat begitu rapid an bersih seperti semula.

Meja dan kursi yang rusak sudah diganti baru. Tembok yang pecah sudah
diperbaiki. Goresan-goresan karena pertempuran kemarin sudah terhapus
semuanya. Cio San tidak membantu. Ia memang tidak diperbolehkan membantu
oleh orang-orang ini. Ia juga paham, justru kalau membantu bisa-bisa
pekerjaannya jadi molor lebih lama.

Maka tengah hari, ketika jam makan siang, seluruh pekerjaan sudah
selesai. Pihak Lai Lai menyiapkan makanan yang enak bagi pihak Kim Hai.
Hian Bian yang datang semalam, juga hadir memenuhi janjinya mencicipi
masakan di Lai Lai.

Mereka makan dan mengobrol dengan santai, Cio San iseng-iseng bertanya,

Tuan Huan, kemana nona Khu setelah kejadian kemarin?

Setelah menyerahkan dua iblis itu, Khu Siocia (nona Khu) langsung pulang
ke Tho Hoa. Jawan Huan Bian.

Oh, pantas saya tidak melihatnya lagi setelah itu. Nona Khu gagah sekali
kemarin. Dengan berani ia melawan si wanita iblis

Nona kami memang begitu perangainya. Sejak kecil sudah suka ilmu silat.
Dia bahakn sudah dua tahun ini berkelana sendirian. Eh, saudara A San,
apakah kau tahu siapa pendekar gagah yang bernama Cio San itu? Ia muncul
tiba-tiba dan menghilang tiba-tiba. Menurut cerita Khu siocia, ilmu
silatnya sungguh hebat

Cio San tersenyum dan menjawab,

Saya hanya melihatnya saat dia berbicara saja. Kalau sudah bergerak,
saya cuma melihat bayangan saja. Pertarungan dahsyat kata orang-orang
bagi saya cuma bayangan-bayangan berkelebatan saja

Huan Bian mengangguk-anggukan kepala. Memang menurut nona kami, pemuda


bernama Cio San itu sakti sekali. Sayang asal usulnya tidak diketahui
orang. Kalau tidak, kami pasti akan menemuinya dan mengucapkan terima
kasih yang amat dalam

Mereka mengobrol cukup lama lalu kemudian Huan Bian dan anak buahnya
meminta diri.

Tak berapa lama, orang orang Hai Liong Pang (Perkumpulan Naga Lautan)
yang menguasai daerah dermaga kota Lau Ya datang berkunjung.

Kami dengar ada keributan di sini kemarin ya? Tanya salah satu dari
mereka

Iya. Tapi semua urusan sudah dibereskan Khu Hujin dari perusahan dagang
Kim Hai jawab Cio San. Ia sengaja menggunakan nama Khu Hujin untuk
melihat reaksi orang-orang Hai Liong Pang.

Benar saja. Mendengar nama Khu Hujin disebut, wajah mereka berubah.

Apa hubungan Khu Hujin dengan keramaian kemarin? Tanya salah seorang

Kebetulan yang bertempur dengan sepasang iblis kemarin adalah cucu Khu
Hujin, namanya nona Khu Ling Ling jawab Cio San.

Kudengar ada pendekar muda lain yang turun tangan juga. Siapa namanya?

Sejauh yang hamba tau, namanya Cio San jawab Cio San pelan

Siapa dia? Apakah ada hubungan dengan restoran ini?

Kami semua di Lai Lai tidak kenal dengannya dan baru sekali itu
melihatnya. Tampaknya dia kebetulan sedang mau makan di sini. Lalu
terjadi keributan itu

Baiklah. Kalau begitu. Jika ada apa-apa, segera kalian lapor kepada
kami. Mungkin Hai Liong Pang bisa membantu kata salah seorang.

Terima kasih sekali, tuan tuan dari Hai Liong Pang, sudah sudi untuk
memberi muka kepada kami. Tanpa perkumpulan tuan-tuan, kota ini tentu
tidak aman Cio San berkata sambil bungkuk-bungkuk memberi hormat.

Orang-orang itu tertawa senang lalu pergi.

Cio San menduga, akan banyak orang yang akan datang menanyakan
permasalahan kemarin. Mereka tentu saja tidak tertarik dengan pertempuran
kemarin. Nama Cio San lah yang menarik perhatian mereka. Dan betul saja,
berturut-turut orang dari berbagai macam perkumpulan dan partai semua
datang. Dengan alasan memesan makan dan minum. Mereka mulai bertanya halhal yang sama. Tentu saja dijawab yang sama pula oleh Cio San dan
penghuni Lai Lai.

Rupanya orang Kang Ouw sudah mulai mendengar kabar kemunculan pemuda
sakti bernama Cio San. Dari umurnya, ciri-cirinya, dan kesaktiannya, bisa
jadi inilah Cio San murid pelarian BuTong pay yang buron sambil membawa
lari kitab sakti.

Di dunia ini, tidak ada yang menarik perhatian kalangan bu lim


(persilatan) selain kitab sakti. Selain harta karun, dan senjata pusaka
tentunya.

Sejak awal, Cio San memang telah memikirkan segala keputusan yang
diambilnya. Ia telah memilih menggunakan nama aslinya, saat pertempuran
kemarin. Pikiran yang timbul sekejap saja, namun telah ia pikirkan baikbaik. Tidak mudah untuk memikirkan segala sesuatu dengan matang dalam
waktu singkat, tapi otak Cio San memang sejak dulu cemerlang.

Ia sengaja menggunakan nama itu untung memancing reaksi orang-orang kang


ouw. Apakah mereka masih mengingat kejadian beberapa tahun yang lalu itu?
Apakah mereka masih mengincar kitab sakti itu?

Dari sedikit keramaian itu, Cio San bisa mengambil peluang. Ia bisa mulai
menyelidiki rahasia segala kejadian ini.

Karena itu Cio San merasa bersemangat. Begitu banyak kejadian aneh yang
terjadi seputar dirinya, entah kenapa ia merasa semua saling berkaitan.

Dan memang sesuai dugaannya. Semakin banyak orang yang datang ke Lai Lai
pada hari hari berikutnya. Pihak lai Lai bahkan harus mempekerjakan
tenaga koki dan pelayan tambahan. Saking ramainya sampai ada yang
bersedia duduk dan makan di halaman depan dan belakang.

Rupanya nama Cio San ini sangat menarik bagi orang. Entah Cio San harus
tertawa gembira atau menangis sedih.

Rombongan yang ditunggu-tunggunya datang juga. Yaitu rombongan dari Bu


Tong pay. Ada 5 orang yang datang, Cio San mengenal mereka semua. Kelima
orang ini adalah anggota 15 naga muda. Ia sempat mengobrol dengan mereka.
Tentu saja obrolannya seputar pendekar muda misterius bernama Cio San.
Mereka bertanya tentang ciri-ciri pendekar muda ini. Semua ini dijawab
dengan jujur oleh Cio San.

Lima hari setelah kejadian pertempuran itu, datanglah juga tamu yang
dinanti-nanti. Siapa lagi kalau bukan Khu Hujin. Beliau bersama rombongan
datang tanpa memberi kabar terlebih dahulu. Untung saja datangnya di sore
hari ketika Lai Lai tidak begitu ramai. Tetap saja penghuni Lai Lai
kelimpungan juga. Khu Hujin datang bersama beberapa pendampingnya. Ada
yang laki-laki, ada yang perempuan. Dari langkah kakinya saja, Cio San
tahu ilmu silat mereka tidak bisa dubuat main-main.

Cio San ketika pertama kali melihat Khu Hujin teramat kaget, Nyonya tua
yang merupakan salah satu orang paling kaya di Tionggoan ini tidak
terlihat tua sama sekali. Kata orang umurnya sekitar 70 sampai 80an. Tapi
nyonya yang duduk makan dengan tenang di hadapannya sekarang ini terlihat
baru berumur 40 sampai 50 tahunan. Jika tidak melihat sendiri, Cio San
tidak akan mau percaya.

Ah, engkau kah koki muda yang hebat itu? Kabar yang kudengar selama ini
memang benar rupanya. Seorang koki muda berbakat yang masakannya terkenal
sampai ke kota-kota sebelah puji Khu Hujin.

Hujin terlalu memuji. Siauw jin (sebutan untuk merendahkan diri sendiri)
hanya memasak sekenanya saja. Amat beruntung jika Khu Hujin berkenan
mencicipinya kata Cio San terbungkuk bungkuk.

Kau belajar masak di mana? Tanya Khu Hujin

Leluhur siaw jin sejak dahulu memang tukang masak. Ada yang sempat buka
restoran juga.

Oh bagus. Makananmu enak sekali. Sekali waktu bolehkah aku mengundangmu


memasak di rumahku? Tapi untuk itu aku harus minta ijin dulu kepada Kwee
Loya

Kwee Loya yang berdiri di samping Cio San menyahut,

Tentu saja boleh hujin. Mana mungkin siau ceng menolak permintaan hujin
rupanya ia ketularan Cio San, berbicara sambil menunduk-nunduk.

Khu hujin mengangguk-angguk senang, lalu bertanya

Siapa namanu tadi, anak muda? Maafkan aku yang sudah tua, susah sekali
mengingat nama orang Tanya Khu Hujin kepada Cio San

Nama siau jin, A San, she (marga) Tan jawab Cio San.

Ia memilih marga Tan, karena marga itulah marga yang paling umum di
tionggoan. Ada jutaan orang bermarga Tan.

Mereka masih mengobrol sebentar. Cio San dan Kwee Lai sambil berdiri. Khu
hujin sambil duduk menikmati sajian makanan dan minuman. Makanan dan
minuman ini adalah sajian terbaik buatan Cio San. Untuk orang seperti Khu
Hujin, semua memang harus yang terbaik. Bahkan posisi duduknya saja,
adalah posisi terbaik di bangunan restoran Lai Lai ini. Tepat ditengahtengah ruangan.

Ketika selesai menikmati hidangan, Khu Hujin berkata,

Terus terang, sudah lama sekali aku tidak pernah makanan se enak ini
sejak aku masih muda sekali. Dulu sekali aku pernah punya kenalan yang
pintar sekali masaknya. Sayang dia sudah meninggal. Terakhir ku dengar ia
dikuburkan di Butong san

Khu hujin terdiam sebentar, pandangan matanya menerawang.

Ah sudahlah. Cerita lama tidak boleh dikenang-kenang katanya sambil


tersenyum. Entahlah kenapa masakan ini mengingatkan aku kepada sahabatku
itu

Tak berapa lama kemudian, rombongan Khu Hujin meminta diri untuk pulang
karena hari sudah mulai gelap. Pengunjung pun sudah mulai ramai.
Cio San sebenarnya terhenyak dari tadi. Dia tahu bahwa yang dimaksud Khu
Hujin adalah A Liang. Guru sekaligus sahabatnya. Di dunia ini tidak ada
orang lain yang pintar masak, dan dikuburkan di Butongsan selain Kam Ki
Hsiang, alias A Liang.

Sampai malam, Cio San tidak dapat bekerja dengan tenang. Pikirannya masih
menerawang memikirkan cerita Khu Hujin tadi. Apa yang harus dilakukannya?

Akhirnya dia memutuskan untuk melakukan sesuatu.

Bab 20 Syair Tentang Cinta

Khu Hujin

Cio San pergi pagi-pagi sekali. Memang ada kalanya dia pergi berbelanja
bahan-bahan untuk Lai Lai setiap fajar menjelang. Tapi kali ini, dia
telah menyiapkan pakaian yang ringkas. Di jalan, disebuah gang kecil dan
sepi, dia telah berubah dari A San, menjadi Cio San.

Saat mengobrol kemarin, ia telah tau di mana Khu Hujin menginap. Tentunya
di sebuah rumah miliknya sendiri di kota itu. Kesanalah Cio San pergi.

Begitu sampai di depan gerbang, beberapa orang sudah menghadangnya,

Saudara ada keperluan apa pagi-pagi kemari? tanya salah seorang

Saya punya pesan yang harus disampaikan kepada Khu Hujin kata Cio San

Khu Hujin tidak menerima tamu sepagi ini. Apa pesanmu?, biar nanti
kusampaikan kepada Hujin

Seseorang bernama Kam Ki Hsiang mengirim pesan. Jika beliau berkenan,


saya akan datang kembali nanti malam. Jika nanti malam beliau tidak mau
menemui, maka biarlah. Saya akan pulang saja

Baik. Pesanmu akan ku sampaikan kepada beliau. Siapa namamu, anak muda?

Nama siauw jin adalah Cio San

Belum sempat orang itu kaget, Cio San sekejap mata sudah menghilang dari
hadapannya.

Malamnya, sesuai janji Cio San datang lagi. Kali ini para penjaga di
depan sudah bersiap-siap menunggu kedatangannya,

Hujin sudah menunggumu kata salah seorang

Cio San menjawabnya dengan tersenyum. Ia lalu diantar memasuki halaman


rumah yang luas. Begitu luasnya sampai-sampai Cio San merasa sedang
berada di sebuah hutan. Halaman itu memang banyak ditumbuhi pohon-pohon
besar. Rerumputan terpotong rapi. Bahkan kolam kolamnya pun terlihat
seperti sungai.

Begitu masuk sampai ke rumah utama, Cio San lebih kagum lagi. Semua isi
perabotannya terlihat sederhana namun sangat indah. Lukisan-lukisan
tergantung di dinding. Bicara tentang lukisan. Cio San bukan seorang yang
asing. Sejak kecil ayahnya sudah merngenalkannya dengan karya-karya
pelukis terkenal. Maka tentu saja, Cio San kagum sekali melihat koleksi
lukisan di dalam rumah ini. Senadainya beberapa koleksi lukisan ini di
jual, mungkin bisa saja dipakai untuk membeli rumah semacam ini lagi.

Rumah ini pun walaupun terasa hening, sebenarnya ramai dengan banyak
orang. Ada pelayan-pelayan, para penjaga, dan mungkin pegawai-pegawai.
Cio San diantar ke dalam sebuah ruangan. Kelihatannya seperti sebuah
ruang belajar pribadi.

Si pengantar mengetuk pintu dan memohon ijin untuk masuk. Setelah


mengantar Cio San, ia sendiri pergi. Meninggalkan Cio San dan Khu Hujin
sendirian di kamar belajar.

Khu Hujin memang sudah menanti. Beliau sedang duduk bermain khim (sejenis
alat musik berdawai). Melihat kedatangan Cio San, beliau tersenyum.

Di hadapan Khu Hujin, berdiri seorang pemuda muda belia. Tampan.


Pembawaannya gagah dan tenang. Bajunya ringkas dan sederhana, tapi justru
menambah kegagahannya. Ramburnya tidak diikat rapi. Tapi justru menambah
daya tariknya. Sekali pandang saja, Khu Hujin tau kalau Cio San bukan
pemuda sembarangan.

Selamat malam, Hujin Cio San memberi salam

Kau kah yang bernama Cio San?

Benar, Hujin

Kau mengenal Kam Ki Hsiang? Pesan apa yang kau bawa darinya?

Cio San tersenyum, ia memberi hormat, dan berkata,

Saya tidak tahu, apakah Kam Ki Hsiang yang saya maksud, adalah orang
yang sama dengan yang Hujin kenal. Tapi saya harus mengambil resiko ini.
Siapa tau dugaan saya memang benar adanya

Khu Hujin tersenyum pula, lalu dengan lantang ia berkata,

Kam Ki Hsiang yang kukenal, adalah seorang pria gagah, yang mati di
tangan Thio Sam Hong di Butongpay

Kata-kata itu diutarakan dengan lugas dan lantang. Tapi Cio San bisa
melihat, walau hanya sekejap saja, bibir Khu Hujin sedikit bergetar
ketika mengucapkannya.

Maafkan, saya lancang menggunakan namanya untuk bisa bertemu Hujin. Saya
datang tidak membawakan pesan. Melainkan hanya memainkan sebuah lagu

Sebuah lagu? sinar mata Khu Hujin mulai bersinar terang

Bolehkah saya? tanya Cio San sambil menunjuk Khim di depan Khu Hujin

Silahkan sahut Khu Hujin, ia lalu berdiri. Mempersilahkan Cio San


memainkan khim.

Lagu yang ia mainkan adalah sebuah lagu yang dipelajarinya dari A Liang.
Sebuah lagu sedih tentang perpisahan sepasang kekasih.

Jika musim berganti,


Rembulan menanti,
Untuk bersama kekasih yang di hati,

Siapa kah dia yang menanti di ujung malam?


Siapakah dia yang menangis di tepi telaga?

Jika kekasih pergi,


Kata perpisahan pun tak terucap,
Karena itulah yang paling menyakitkan jiwa,

Seandainya nanti kita tak bertemu,


Rembulan tau siapa kekasih sejati,

Lagu ini mengalun dengan tenang, dan lembut. Permainan khim Cio San indah
dan sendu. Di luar langit menghitam. Bintang-bintang tak berani bersinar.
Karena kilaunya kalah bercahaya, dengan butiran-butiran air yang menetas
di pipi Khu Hujin.

Angin berhenti mendesah. Air kolam berhenti berdecik. Lagu ini sekali
saja diperdengarkan, membuat dunia sepi dalam sekejap.

Cio San sendiri seperti enggan berhenti. Lagu seperti ini jika
dinyanyikan bisa membuat jiwa merintih mengiba-iba. Tapi jika dihentikan,
akan membuat langit bergetar merindukan suara.

Tapi Cio San berhenti. Segala sesuatu yang indah, ada saat menghilang.
Seperti cinta.

Ia telah berhenti bernyanyi dan memainkan dawai. Tapi entah kenapa,


lagunya masih terdengar di dalam hati.

Lama sekali mereka terdiam. Seperti masih menikmati lagu yang tadi. Di
dalam kesunyian.

Terkadang kesunyian terdengar lebih indah dari lagu apa pun.

Khu Hujin lalu membuka mata. Sejak tadi jiwanya memang tidak berada di
situ. Ia selama beberapa saat kembali ke sebuha masa. Masa yang indah
puluhan tahun yang lalu.

Ia tersenyum. Walaupun air mata mengalir di pipinya. Jatuh membasahi


ujung-ujung bibirnya. Seketika Cio San merasa wanita di hadapannya ini
jauh lebih muda. Serasa seorang gadis yang tersenyum bahagia dengan
pipinya yang kemerah-merahan. Dengan senyumnya yang indah.

Cio San seperti ingin berkata sesuatu, tapi ia memilih diam. Karena
perempuan dihadapannya juga sedang diam. Kadang diam itu memang lebih
bermakan daripada untaian kata-kata yang paling manis sekalipun.

Kadang tidak berkata apa-apa sama dengan mengungkapkan banyak hal.

Dan kadang, di hadapan perempuan yang sedang meneteskan air mata, diam
adalah hal yang paling baik.

Khu Hujin, akhirnya berkata,

Itu lagu terakhir yang kudengar darinya. Diakah yang mengajarkan lagu
itu padamu? tanyanya

Benar Cio San mengiakan.

Apakah dia masih hidup? Bagaimana kabarnya sekarang?

Sayangnya Kam-suhu (guru Kam) telah meninggal nyonya

Ahhhhhhh,,,,, Sang Hujin terlihat terpukul sekali.

Padahal sejak kudengar bahwa kuburan Kam K Hsiang yang dibongkar


ternyata kosong, aku berharap dia masih hidup katanya sedih

Pada waktu itu beliau memang masih hidup, Hujin kata Cio San

Apakah dia pernah bercerita tentang aku? tanya sang Hujin

"Sayangnya tidak pernah Hujin. Saya baru tahu nyonya mengenalnya ketika
nyonya menyinggung sahabat nyonya yang pintar masak yang meninggal di
Butongsan

Maukah kau menceritakan apa yang terjadi sesungguhnya pada dirinya?


tanya Khu Hujin.

Cio San lalu bercerita. Bagaimana orang yang bernama Kam Ki Hsiang kala
bertarung dengan Thio Sam Hong. Lalu merubah nama menjadi A Liang. Dan
mengabdi di Butongpay. Cio San juga menceritakan hukumannya di puncak
gunung. Tapi ia tidak bercerita tentang buku masak A Liang. Ia hanya
bercerita bahwa A Liang lah yang mengajarinya silat, dan juga bermain
musik. Juga tentang tragedi kematian Tan Hoat, dan juga A Liang. Dan
bagaimana ia hidup di dalam goa selama beberapa tahun.

Cerita sepanjang itu diikuti Khu Hujin dengan seksama. Ia lalu bertanya,

Apakah Kam Ki Hsiang yang mengajarimu memasak juga?

Benar Hujin. Tentunya Hujin sudah bisa menduga siapa sebenarnya saya?

Kau adalah A San, tukang masak di Lai Lai, bukan?

Pandangan mata, keluasan pengetahuan, dan pemikiran hujin memang sukar


dicari tandingannya kata Cio San kagum.

Sejak pertama Cio San muncul di Lai Lai, aku sudah curiga. Mengapa
selama ini ciri-ciri orang seperti Cio San ini tidak ada anak buahku yang
melaporkan sebelumnya.

Padahal anak buah hujin ada dimana-mana sambung Cio San

Khu Hujin hanya mengangguk, ia lalu melanjutkan

Apa yang terjadi di setiap kota,


yang datang, apa tujuan mereka ke
paham bahwa banyak orang yang iri
harus melakukan banyak hal supaya

mestinya kami tahu. Siapa orang baru


kota itu, kami pasti tahu. Kau pasti
dengan usaha dagang kami, maka kami
bisa mempertahankannya

Beliau melanjutkan lagi,

Jika tidak ada yang pernah melihat Cio San sebelumnya, tentu ia datang
di kota itu dengan menyamar. Kemudian dari kabar yang ku dengar dari Ling
Ling, orang yang bernama Cio San ini menggunakan jurus dasar-dasar silat
Bu Tong Pay, tapi kemudian dicampur dengan ilmu silat aneh yang belum
pernah dilihatnya.

Menurut pemikiranku, mungkin saja orang ini adalah anak murid Butongpay
yang buron itu. Karena tidak mungkin murid Butongpay mau merusak
kemurnian ilmu silatnya dengan mencampurnya dengan yang lain.

Ditambah lagi namanya juga Cio San. Diukur dari usianya sudah cocok.
Jadi kesimpulanku, pastilah pendekar muda ini adalah Cio San murid
Butongpay yang buron dan akhirnya menyamar.

Yang paling penting kemudian adalah aku harus mencari tahu dia menyamar
sebagai apa. Menurut laporan ia tiba-tiba menghilang di Lai-Lai. Tidak
mungkin ada orang yang menghilang begitu saja di kota ini.

Cio San kemudian memotong,

Lalu Hujin mengirimkan orang untuk memperbaiki Lai lai, tujuannya untuk
mencari tahu keadaan Lai-Lai yang sebenarnya bukan?

Benar. Hebat juga kau bisa menebaknya. Dari mereka, aku tidak menemukan
berita apa-apa. Akhirnya aku memutuskan untuk datang sendiri memeriksa

Lalu ketika aku bertemu A San si tukang masak. Tutur katanya sopan dan
halus. Tidak seperti koki pada umumnya. Aku curiga dengan raut wajahnya
yang pucat, namun memiliki sinar mata yang mencorong. Sadarlah aku bahwa
A San pastilah menggunakan topeng. Kecurigaanku semakin terbukti, ketika
dengan sengaja aku menyinggung Butongpay dan sahabatku yang meninggal,
sinar matamu berubah sendu. Apalagi, rasa masakanmu memang mengingatkanku
kepada Kam ki Hsiang. Dia telah mengajarimu dengan bagus sekali Kalimat
terakhir itu diucapkan Khu Hujin dengan sinar mata bersinar. Entah kenapa
Cio San merasa sinar mata itu seperti sinar mata seorang mertua yang
berbicara tentang menantu yang dibanggakannya

Lalu bagaimana dengan kau, bagaimana cara kau menebak bahwa aku telah
tau penyamaranmu? tanya sang Hujin.

Ketika saya berbicara dengan Hujin, dan hujin menyinggung tentang


Butongpay dan sahabat hujin yang meninggal disana. Saya tahu bahwa sinar
mata saya berubah. Masih banyak kenangan yang tidak bisa terlupa,
sehingga saya tidak bisa menyembunyikan perasaan. Ketika saya merasa
bahwa sinar mata saya berubah sendu, secepatnya saya tersadar, dan juga
saya memperhatikan sinar mata hujin sendiri. Dan yang saya lihat, sinat
mata hujin juga berubah. Mungkin lega, mungkin puas. Saya kurang tahu.
Tapi saya waktu kecil kadang-kadang suka main tebak-tebakan. Sinar mata
hujin, seperti sinar mata orang yang senang karena tebakannya benar
jelas Cio San panjang lebar.

Jadi kau tahu bahwa aku telah membongkar penyamaranmu, hanya dari sinar
mataku yang berubah karena melihat perubahan sinar matamu sendiri? Khu
Hujin bertanya, matanya memancarkan kekaguman.

Benar sekali hujin.

Hanya dengan perubahan mata, berani sekali engkau mengambil kesimpulan,


Cio San

Kadang beberapa hal memang harus dilakukan dengan nekat. Katanya


tersenyum

Bagaimana jika kau salah? tanya Hujin.

Jika saya salah, paling-paling saya akan jadi buronan lagi. Itu bisa
saya hadapi dengan mudah. Tinggal menggunakan topeng, dan lari ke kota
lain. Katanya tersenyum.

Dalam masalah lari, memang hanya sedikit orang di dunia ini yang bisa
mengejarnya

Lalu ia menyambung,

Jika saya benar, maka setidaknya saya telah melakukan hal yang baik.
Yaitu menceritakan kisah yang sebenarnya terjadi di ButongPay. Ini untuk
membersihkan nama Kam-suhu (guru Kam), dari tuduhan fitnah. Dengan
pengaruh dan kekuasaan Hujin. Rasa-rasanya hal ini bukan hal yang tidak
mungkin.

Bagus sekali Cio San. Aku kagum kepadamu yang masih muda tapi sudah
memiliki pikiran yang cemerlang. Eh, masih ada lagi yang ingin
kutanyakan. Jika ia tidak pernah bercerita kepadamu tentang aku, dank au
bilang kau baru tahu tentang itu, bisakah kau tebak bagaimana hubunganku
dengannya

Cio San terdiam sebentar. Lalu menjelaskan,

Pada awalnya saya pikir mungkin hubungan saudara. Tapi sudah jelas tidak
mungkin karena she (marga) berbeda. Lalu saya pikir mungkin hubungan
saudara seperguruan, tapi itu juga tidak mungkin karena nyonya tidak bisa
silat. Kemudian saya sampai kepada kesimpulan akhir bahwa kalian, maaf
sebesar-besarnya, adalah sepasang kekasih?

Hujin tersenyum, Kau memang cerdas Cio San

Ia melanjutkan, Maukah kau mendengar kisah kami dahulu?

Cio San mengangguk.

Beberapa puluh tahun yang lalu, kami merencanakan untuk menikah. Tapi
kecintaannya terhadap petualangan dan juga ilmu silat, membuat rencana
itu tertunda terus menerus. Suatu hari ia pulang setelah berkelana lama.
Tubuhnya kurus sekali. Tapi wajahnya cerah dan terlihat sangat sehat. Ia
bercerita kepadaku bahwa ia menemukan sebuah kitab sakti yang akan
membuatnya menjadi ahli silat paling hebat di seluruh tionggoan.

Ia berlatih siang malam, dan dalam setahun saja, ia menjadi sangat


hebat. Ia kemudian berkelana lagi untuk menantang jago-jago silat
ternama. Semua dikalahkannya. Setahun kemudian dia pulang lagi ke desa
kami, dan bilang jika kali ini ia mungkin tidak akan kembali lagi.

Ia bilang jika ia akan menantang pendekar terhebat sepanjang masa


Tionggoan, yaitu Thio Sam Hong. Aku menangis memintanya untuk
mengurungkan niatnya. Tapi niatnya sudah bulat. Sebelum pergi, ia
menciptakan aku sebuah lagu. Lagu itulah yang kau mainkan kepadaku tadi

Kemudian kudengar ia telah tewas di Butongsan sana. Berulang kali aku


berusaha meminta jenazahnya untuk dipindahkan, namun pihak Butongpay
selalu menolaknya. Aku heran kenapa jasadnya tidak diperabukan saja. Tapi
beberapa tahun yang lalu kudengar jasad Thio San, setelah diperabukan,
juga dikubur di dekat kuburannya?

Cio San mengangguk

Hujin lalu melanjutkan,

Lalu kudengar ada kejadian besar di Butongpay. Seorang murid membunuh


gurunya, membawa kabur kitab sakti, dan kabur dengan temannya seorang
juru masak yang sudah tua. Ditambah lagi bahwa ada kabar kalau ternyata
kuburan Kam Ki Hsiang ternyata kosong. Semakin membuatku ada banyak
rahasia yang tersembunyi

Ketika kau datang pagi tadi dan bilang bahwa kamu membawa pesan dari Kam
Ki Hsiang, sukamku bagai melayang. Aku benar-benar berharap dia masih
hidup

Cio San merasa tidak enak dengan ini, tapi kemudian dia teringat sesuatu.

Maafkan kesalahanku itu Khu Hujin, itu adalah kesalahan yang tidak bisa
saya perbaiki. Tapi saya ingin memberitahu Hujin, Kam-suhu menciptakan
lagi sebuah lagu tentang Hujin saat kami berada di puncak Butongsan

Benarkah? Mainkanlah!

Di bawah mentari
Di bawah langit biru
Di temani rumput-rumput dan angina barat

Aku memandangimu dari puncak bukit,


Dari menara tertinggi, ku sebut namamu

Tahukah kau aku lebih terluka daripada engkau?


Tahukah perpisahan denganmu jauh lebih tajam dari mata pedang?

Tapi aku justru bahagia di dalam kesedihan,


Karena ku tahu ciintamu takkan berubah
Karena setiap detik jantung mendetakkan namamu,
Setiap saat angina menghembuskan bisikanmu
Setiap malam bintang meminjam cahaya matamu
Setiap pagi mentari meminjam kecerahan wajamu

Jika orang berkata, maut kan memisahkan,

Bahagialah, karena bagiku maut kan mempertemukan,

Sampai nanti, ku tunggu kau di ujung jalan


Tempat telaga kesukaanmu
Tempat dimana kau suka memetik bunga Tho

Dan berlari mengejar kupu-kupu

Sampai nanti kita bertemu kembali

Mata Khu Hujin berbinar-binar. Ia menangis terharu, lalu tersenyum simpul


ketika Cio San menyanyikan lirik tempat telaga kesukaanmu, tempat dimana
kau suka memetik bunga Tho, dan berlari mengejar kupu-kupu

Saat ini memang hanya mata yang berbicara. Cio San bisa menangkap sinar
yang begitu bahagia di mata yang teduh dan berbinar itu. Seperti sinar
mata anak gadis sedang kasmaran!

Apakah kau tau judulnya, Cio San?

Tentu saja Hujin, judulnya Salam Untuk Ting Ai

Khu Hujin tersenyum, Tahukah kau siapa Ting Ai?

Tentunya itu adalah nama gadis hujin, Khu Ting Ai

Hujin tersenyum sambil berkata,

Lagu itu menceritakan bahwa ia tidak lupa padaku. Bahwa ia masih


mencintaiku dan berharap bertemu denganku suatu saat ini. Ahhhhhh,,,Cio
San mendengar ini saja betapa gembira hatiku

Aku yakin benar itu lagu ciptaannya. Karena nada-nadanya khas sekali. Ia
juga bercerita tentang telaga tempat biasa kami bertemu. Dan juga
kesukaanku memetik bunga Tho dan mengejar kupu-kupu

Wajah Khu hujin ketika bercerita tentang ini memang seperti anak perawan
sedang kasmaran.

Kau telah memberiku kebahagiaan yang sangat besar, Cio San. Untuk itu
aku harus memberimu hadiah. Mintalah apa yang kau mau, jika mampu niscaya
ku beri kata Khu Hujin serius.

Saya datang tidak dengan maksud apa-apa Hujin. Saya hanya berharap Hujin
mampu membersihkan nama Kam suhu dan saya. Itu saja.
Kalau itu sudah pasti akan kulakukan Cio San. Aku mohon padamu, mintalah
padaku apa saja. Jangan sampai kau menolak. Bagiku kau sudah seperti cucu
sendiri

Cio San berpikir sejenak, lalu berkata

Baiklah hujin. Maafkan saya yang lancang, bolehkah saya meminta sebuah
kitab? Kitab apa saja. Saya suka membaca, tapi di Lai Lai tidak ada yang
bisa saya baca

Khu Hujin tertawa terbahak-bahak sambil menutup mulut dengan tangannya.


Anggun sekali.

Kau hanya minta itu saja? Baiklah. Kuberikan kau sebuah kitab bagus.
Bahkan mungkin kitab terbaik yang pernah kubaca. Kulihat kau memiliki
bakat yang besar dalam bidang ini juga, selain bermain musik, silat, dan
memasak

Khu Hujin beranjak dan memilih-milih buku yang tersusun rapi di rak buku.
Jika mau menghitung memang ada ratusan buku di dalam kamar belajar
pribadi ini.

Nah ini dia

Bab 21 Pelajaran Yang Berharga

Kitab ini, tidak hanya cocok untuk kau pelajari, bahkan mungkin harus
kau pelajari. Dalam perjalanan hidupmu, akan sangat berguna sekali ujar
Khu Hujin sambil menyodorkan kitab itu.

Cio San menerima dengan penuh hormat.

Kitab Wajah dan Gerak Tubuh

Judul yang aneh bukan? Tapi manfaatnya banyak. Kau aka bisa membaca
pikiran orang hanya dari bahasa wajah dan tubuhnya. Saat orang berbohong,
ada bagian-bagian wajah dan tubuhnya yang bergerak. Jika kau pelajari,
kau bisa membedakan orang yang jujur dengan tidak. Kau bisa membaca
perasaan dan isi hati mereka cukup dengan melihat raut wajah atau bahasa
tubuh mereka. Menarik bukan?

Menarik sekali Hujin. Tentu saja Hujin sudah mempelajarinya dan mendapat
manfaat yang amat sangat bukan?. Bahkan mungkin banyak sekali urusan
dagang yang Hujin selesaikan dengan buku ini

Tepat sekali

Hujin kemudian berkata,

Dalam perjalananmu, kau akan menemukan banyak rintangan. Banyak


kesulitan dan kesusahan. Engkau adalah orang yang cerdas dan berbakat.
Jangan hanya mengandalkan ilmu silat, karena ilmu silat akan kalah dengan
tipu daya yang licik. Jangan pernah percaya kepada seorang pun walaupun
ia teman dekatmu. Tapi jika kau sudah memutuskan untuk percaya, maka
percayalah ia dengan segenap hatimu. Hatimu dan akalmu akan membisakanmu
kepada siapa kau letakkan kepercayaanmu

Selalu gunakan ketenangan dan kematangan berfikir. Karena apa yang kau
lihat belum tentu berarti seperti yang kau lihat. Selalu berusaha mencari
makna di balik segala kejadian. Karena tidak ada yang kebetulan. Tidak
ada yang tidak diatur. Maka dari itu, apapun yangdilakukan orang lain,
harus selalu kau selediki dengan teliti. Hal sekecil apapun!

Karena manusia jauh lebih kejam dari makhluk manapun. Oleh sebab itu, ku
ulangi lagi: hal sekecil apapun, tidak boleh lewat dari perhatianmu.
Latihlah dirimu untuk memperhatikan hal sekecil-kecilnya. Posisi sendok
di meja. Posisi cangkir saat kau tinggalkan. Letak kursi ketika sebelum
kau masuk ruangan. Semuanya harus kau perhatikan. Untuk itu, jangan
pernah bosan untuk selalu melatih dirimu dengan hal ini. Jika kau
berlatih silat seratus kali, maka hal ini harus kalu latih seribu kali

Selalu berusaha untuk menjadi yang terbaik, bukan untuk dirimu, tetapi
untuk orang lain. Menjadi yang terbaik bukan berarti menjadi yang paling
hebat dalam ilmu. Tapi menjadi hebat berarti bahwa kau mampu menundukkan
dirimu sendiri. Menundukkan hawa nafsumu. Karena perang dan pertempuran
paling dahsyat, bukanlah saat melawan musuh yang paling sakti ilmunya.
Melainkan melawan dorongan nafsumu, pada saat kau mampu melakukan nafsumu
itu

Janganlah malu menjadi cibiran orang, jika kau yakin bahwa perbuatanmu
tidak bertentangan dengan moral dan akal sehatmu. Janganlah ragu dan
menunda-nunda dalam berbuat yang terbaik. Perluaslah pengetahuanmu. Cari
teman dan kenalan sebanyak mungkin. Tapi jadikanlah orang yang benarbenar kau yakini kebaikannya sebagai sahabat sejatimu. Orang seperti ini
hanya bisa dihitung dengan jari sebelah tangan. Tapi jika kau sudah
menemukannya, bersiaplah untuk mengorbankan jiwa dan ragamu kepadanya,
karena dia sendiripun akan mengorbankan jiwa raganya kepadamu

Jika kau gagal dalam melakukan tugasmu, malulah kepada diri sendiri.
Tapi maafkanlah juga dirimu, karena manusia memiliki keterbatasan. Dalam
kegagalanmu, terdapat cermin untuk memperbaiki diri. Dalam
keputusasaanmu, terdapat obat pahit untuk bangkit kembali. Didalam sakit
hatimu terdapat kekuatan untuk membuktikan kepada dunia bahwa kau sanggup
melakukannya. Ambil waktu sebanyak mungkin untuk melihat kekurangan
sendiri, karena kebanyakan manusia menghabiskan waktu untuk membicarakan
kekurangan orang lain.

Apabila ada orang yang membicarakan kekuranganmu, terimalah mereka


dengan senyum ketulusan karena merekalah yang menunjukkan kelemahanmu.
Jika ada orang yang membicarakan kehebatanmu, terimalah mereka dengan
wajah menunduk karena kau paling tahu terhadap kekuranganmu sendiri.

Jagalah kepercayaan orang lain terhadapmu, karena itu lebih berharga


dari seluruh isi bumi. Jika kepercayaan itu hilang, maka hilanglah harga
dirimu. Karena harga dirimu berada pada kepercayaan orang terhadapmu.
Engkau akan banyak tersakiti oleh ucapan dan perbuatan orang, dan
pembalasan terbaik dari semua itu adalah memaafkan. Memaafkan bukan
berarti kelemahan, karena keadilan harus ditegakkan.

Kuatkanlah dirimu untuk terus melakukan keadilan, karena dunia baru akan
damai ketika keadilan dan aturan ditegakkan. Ingatlah bahwa aturan kadang
membatasi. Maka biasakanlah dirimu untuk terus mempertanyakan peraturan.
Biasakanlah dirimu untuk tersiksa, karena keadilan sungguh jauh dari
kebahagiaan. Karena kebahagiaan mengutamakan kesenangan. Sedangkan
kesenangan kebanyakan menipumu. Kebahagian terbaik adalah kemampuan untuk
membuat orang lain bahagia

Saat ini, tak akan pernah terulang lagi. Oleh sebab itu selalu hargai
setiap detik dalam hidupmu. Hargai kebersamaan bersama orang-orang yang
ada di sekelilingmu. Karena mereka mungkin mengorbankan banyak hal hanya
untuk bisa bertemu denganmu. Maka itu, hargailah waktu seperti engkau
menghargai nyawa. Yang terjauh adalah masa lalu, dan yang terdekat adalah
kematian. Yang paling menyesal adalah tidak melakukan sesuatu. Yang
paling merugi adalah menyianyiakan cinta. Maka jadikanlah dirimu sebagai
orang yang menghargai cinta. Karena cinta adalah pengorbanan diri.
Waspadalah kepada kepalsuan cinta. Engkau akan mampu membedakan kepalsuan
dan keaslian cinta, saat engkau mampu mengorbankan jiwa bagi apa-apa yang
engkau cinta. Saat engkau mampu mengorbankan kebahagiaan diri sendiri
demi kebahagiaan orang lain

"Sebagai laki-laki yang menantang kehidupan, kau mungkin akan dikagumi


wanita, dan banyak orang. Tapi wanita-wanita ini akan berpikir seribu
kali untuk mencintai laki-laki yang kehidupannya seperti dirimu. Yang
hidup bebas menantang hari esok dangan tangan kosong dan hati yang
terbuka. Wanita-wanita ini akan menganggap engkau menarik, tapi pada
akhirnya mereka akan memilih lelaki lain yang bisa memberi mereka rasa
aman, dan kehidupan yang tenang. Sedangkan lelaki lain itu justru tidak
mereka kagumi."

"Engkau mungkin akan terluka dan jatuh dalam perangkap cinta, dan juga
wanita. Maka berhati-hatilah terhadap wanita yang cantik. semakin cantik

dia, semakin besar kekuatannya untuk melukaimu. Oleh karena itu cintailah
wanita yang membuatmu tenang, jangan kau mencari wanita yang membuat
orang lain kagum."

"Ingatlah selalu untuk menjadi dirimu sendiri. Hargailah dirimu, dan


hidupmu. Jangan ingin berubah karena perkataan orang. Tapi berubahlah
karena kau memang merasa kekurangan dirimu harus diperbaiki"

Maka, dalam pesanku yang terakhir ini, Cio San, jadilah manusia terbaik.
Jangan menjadi pesilat terbaik, pemikir terbaik, atau tukang masak
terbaik. Jadilah manusia terbaik,,,,

Bab 22 Sang Dewa Kematian

Cio San memandang Khu Hujin dengan penuh kekaguman. Belum pernah dia
mendengar orang memberi wejangan padanya seperti itu. Begitu dalam.
Begitu ringkas. Tetapi sangat membekas.

Angin bertiup menghembus sampai masuk ke dalam ruangan itu. Cio San pun
tak tahu lagi, apakah sejuk di dadanya ini adalah karena angina, ataukah
karena kata-kata Khu Hujin.

Itulah mengapa Khu Hujin menjadi begitu berhasil di dalam hidupnya.


Menjadi wanita terkuat, tidaklah butuh ilmu silat yang hebat. Justru
karena ia tidak mengandalkan ilmu silat maka Khu Hujin menjadi seperti
itu. Seluruh perempuan di muka bumi ini, seharusnya paham. Bahwa mereka
tercipta sebagai makhluk terkuat. Sudah terlalu banyak kisah yang
menceritakan betapa wanita mampu menundukkan laki-laki terhebat
sekalipun.

Cio San.. sapaan lembut Khu Hujin membuyarkan lamunannya

Apakah kau tahu apa-apa saja yang telah terjadi di dunia ini sejak
engkau kabur dari Butongpay dahulu, sampai saat ini? tanya Khu Hujin

Eh, saya hanya mendengar beberapa kabar dari cerita-cerita orang bu lim
(kaum persilatan) yang mampir ke Lai Lai. Tapi semua belum begitu jelas,
karena mungkin hanya berupa kabar burung jawab Cio San

Ceritakan kepadaku

Beberapa tahun belakangan ini sering terjadi pembunuhan misterius.


Pelakunya adalah beberapa orang bertopeng yang memiliki ilmu silat sangat
tinggi. Mereka membunuh dengan sangat kejam. Dan banyak korban mereka
yang merupakan terkemuka seperti ketua partai persilatan, pejabat Negara,
dan masih banyak lagi

Lanjut Cio San, Kelompok pembunuh ini sangat rahasia. Tidak ada seorang
pun yang tahu dari mana mereka. Asal usul ilmu silat mereka. Dan juga
tujuan mereka. Saya sendiri berkesimpulan, pembunuhan keluarga besar
saya, guru saya, dan juga peracunan ciangbunjin Butongpay juga ada
hubungannya dengan kelompok pembunuh rahasia ini

Pada awalnya saya berfikir, mungkin pembunuhan-pembunuhan ini ada


hubungannya dengan kitab-kitab sakti yang banyak dibicarakan orang.
Tetapi jika dilihat dari banyaknya korban yang bukan hanya berasal dari
kaum bulim. Saya mengambil kesimpulan bahwa tujuan kelompok pembunuhan
ini bukan hanya sekedar mengesai ilmu-ilmu silat tertinggi. Melainkan
juga mungkin hal yang lebih besar daripada itu

Seperti? tanya Khu Hujin

Mungkin mereka bertujuan untuk mengacaukan dunia kangouw, dan malah


berusaha untuk menguasainya.

Kesimpulan yang bagus, sahut Khu Hujin. Tetapi karena belum ada
perkembangan dan kabar yang jelas, maka kau jangan terlebih dahulu

mengambil kesimpulan apapun. Karena kesimpulan yang terlalu cepat


diambil, akan menjauhkanmu daripada kebenaran yang sebenarnya

Saya mengerti hujin. Terima kasih

Selain kabar ini, apalagi kabar yang kau dengar? tanya Khu Hujin lagi.

Saya mendengar kabar bahwa Butongpay masih tetap mencari saya. Bahkan
orang-orang bu lim masih terus mencari keberadaan saya. Apalagi sejak
kemunculan saya di Lai Lai tempo hari. Saya juga sudah tahu, bahwa
Butongpay telah mengirimkan surat pengumaman ke berbagai kalangan yang
memberitahukan bahwa saya sudah dipecat dari Butongpay, dan segala
tingkah laku dan perbuatan saya, tidak ada hubungannya lagi dengan
butongpay.

Apakah kau sedih, Cio San?

Sangat sedih hujin, tapi saya bisa mengerti keadaannya. Memang sudah
seharusnya.

Khu Hujin mengangguk sambil tersenyum, Baiklah, malam sudah larut dan
aku pun butuh beristirahat. Kau pulanglah. Dan lakukanlah hal yang harus
kau lakukan. Aku sangat berterima kasih atas apa yang kau lakukan hari
ini. Ingat-ingatlah dengan kata-kataku tadi. Jadilah manusia terbaik, Cio
San

Terima kasih Hujin. Apa yang sudah Hujin berikan kepada juga sangat tak
ternilai. Segala perkataan, djuga hadiah dari hujin, amatlah sangat
berharga bagi saya. Terima kasih Hujin sudah meluangkan waktu. Terima
kasih banyak Hujin sambil berkata begitu, Cio San memberi salam hormat.

Ia lalu pulang.

Ia pulang dengan hati yang lapang. Karena beban di hatinya sedikit lebih
ringan. Karena perkataan Khu Hujin yang sangat membekas di hatinya.

Cio San kini berjalan dengan tenang. Rembulan bersinar dengan terang.
Jalanan kota walaupun sudah mulai sepi, masih terasa hiruk pikuknya. Cio
San saat ini, bukanlah Cio San beberapa jam yang lalu. Sepertinya ia
telah menemukan semangat tambahan, bagi perjalanan hidupnya yang masih
panjang.

Perjalanan hidup manusia, adakah mahkluk apapun di dunia ini yang bisa
mengerti?

Langkahnya lebih ringan. Hatinya lebih mantap. Pandangan matanya lebih


bersinar. Rembulan, jika dibandingkan dengan sinar mata Cio San saat ini,
seharusnya merasa malu menjadi rembulan.

Dan karena matanya ini jugalah, Cio San segera sadar.

Ada sesuatu yang sedang terjadi. Memang telinganya dari tadi sudah paham
bahwa ada suatu keramaian di depan sana. Ia masih belum tahu keramaian
apa. Ternyata banyak orang sedang menonton pertunjukan.

Di malam seperti ini, memangnya ada pertunjukan?

Jika ada, itu pasti hanya satu.

Pertunjukan manusia membinasakan manusia.

Dan ia benar. Sedang ada pertarungan di depan sana.

Namun ini pertarungan yang aneh. Banyak mayat bergelimpangan. Dan hanya
satu orang yang berdiri tegak. Yang membuat aneh adalah, mayat-mayat yang
bergelimpangan itu. Tak satupun dari mayat itu yang mengeluarkan darah.

Yang mati sudah pasti kalah. Yang menang sudah pasti yang masih hidup.

Dan yang masih hidup ini berdiri dengan tenang. Ia tegak bagai karang.
Orang-orang yang menontonnya pun sepertinya ikut tersihir dengan
ketenangannya. Tak ada seorang pun yang mengeluarkan suara saat ini.

Dia berdiri gagah.

Bajunya putih. Di malam yang gelap seperti ini, bajunya seperti


memantulkan cahaya rembulan. Rambutnya merah menguning. Wajahnya sangat
tampan. Saking tampannya sampai-sampai orang-orang mengira ia bukan
manusia.

Matanya. Berwarna biru.

Walaupun terkesan asing, garis-garis wajah orang Han (orang china asli)
masih terlihat jelas dalam raut mukanya yang tampan.

Jika ada orang setampan ini, kalau bukan manusia yang sangat baik.
Pastilah manusia yang sangat jahat.

Ia tidak berkata apa-apa. Hanya berdiri di sana. Tidak mengeluarkan suara


apapun. Tidak berkata apapun. Bahkan raut wajahnya pun tidak mengatakan
apa-apa.

Kosong. Seperti padang pasir di tengah sunyinya malam. Sepi dan dingin.

Cio San seumur hidupnya baru pertama kali melihat pemandangan seperti
ini. Ia tertarik sekali. Sekali pandang ia tahu, semua mayat ini mati
karena sebuah tusukan pedang di dahi mereka. Tapi tidak ada darah setetes
pun yang mengalir dari luka itu.

Sebuah tusukan pedang. Tidak ada darah. Dan nyawa pun melayang. Penulis
yang paling pandai pun mungkin tidak bisa menggambarkan betapa hebatnya
ilmu pedang ini.

Cio San akhirnya memberanikan diri untuk bersuara,

Tayhiap (pendekar besar) yang terhormat, apakah salah belasan orang ini
sampai mereka harus mati? sambil bicara ia memberi hormat ala kaum
bulim.

Orang tampan berbaju putih itu menoleh ke asal suara,

Ia memandangi Cio San. Tatapan mata biasa. Tidak ada yang bisa membaca
arti pandangan itu. Memandangi wajah orang itu, seperti memandang lukisan
kosong berupa kertas putih.

Lama baru ia menjawab,

Lima orang yang di sebelah sana, adalah Tionggoan Ngo Koay (5 orang aneh
tionggoan). Mereka pantas mati karena banyak memperkosa perempuan.

Cio San terhenyak. Bukankah mereka itu yang dulu membunuh Kim Coa (ular
emas), sahabatnya.

Si Baju putih melanjutkan lagi,

Yang di dekat kakimu adalah Sie Kow Lam. Yang berjulukan Beruang dari
Barat. Pantas mati karena membunuh pejabat Kho An Gan.

Sie Kow Lam, Cio San tidak pernah dengar. Tapi siapa yang tidak kenal Kho
An Gan? Pejabat Negara yang dikenal sangat jujur dalam pekerjaannya.

Enam orang yang mati di sebelah sana, adalah Enam Bersaudara Berbau
Darah. Siapapun tahu mereka pantas mati

Memang Cio San tahu 6 Bersaudara Berbau Darah sudah sangat dikenal
perbuatan sesatnya.

Dan 3 sisanya adalah 3 orang mantan anggota perguruan Kun Lun Pay yang
kedapatan merencanakan pembunuhan ketua mereka sendiri.

Si Baju putih selesai bicara. Ia tetap menatap Cio San. Tetap tanpa
apapun dalam raut wajahnya. Tidak ada kebanggan bahwa ia baru saja
membunuh orang-orang berilmu tinggi yang namanya lumayan ditakuti dalam
kalangan Bu Lim.

Membunuh belasan orang-orang hebat ini dengan sebuah tusukan pedang.


Bahkan cerita kuda masuk lubang jarum pun rasa-rasanya jauh lebih masuk
akal ketimbang mempercayai ada orang sehebat itu ilmu pedangnya.

Kau tidak terima? Ia bertanya. Masih dengan pandangan yang sama.

Cio San tersenyum, lalu berkata, Semua orang tahu mereka memang pantas
dihukum. Tayhiap beruntung sekali menemukan mereka semua sekaligus
disini. Tapi memang untuk mencari bajingan-bajingan seperti mereka, rumah
bordil macam Teng Teng ini adalah tempat yang cocok

Ada sedikit perubahan di wajah si Baju Putih. Matanya bersinar sekilas.


Dan bibirnya sedikit tersenyum. Hanya sedikit. Senyum itu pun hilang
secepat datangnya. Tapi Cio San bisa melihat itu dengan jelas.

Wajah si baju putih sudah kembali seperti sedia kala, saat ia berkata,

Pikiran tuan cukup cerdas. Memang tidak salah dugaan tuan. Aku mengejar
Sie Kow Lam sampai ke rumah bordil ini. Tak tahunya secara tidak sengaja
bertemu dengan bajingan lain.

Perkenalkan nama cayhe (saya) Cio San. Bolehkah cayhe mengetahui nama
tayhiap yang terhormat? tanya Cio San sopan sambil memberi hormat.

Aku tidak suka bersahabat dengan manusia. Jawaban itu datang dengan
dingin dan menusuk. Ia berbalik dan berjalan dengan tenang.

Cio San tetap tersenyum, lalu berkata,

Cayhe mengerti, memang pedang jauh lebih berharga untuk dijadikan


sahabat. Tidak mengenal nama pun tak mengapa. Toh manusia dikenal karena
perbuatannya. Terima kasih untuk kehormatan ini. Cayhe sungguh kagum

Si baju putih tetap melangkah pergi. Sekali meloncat ia sudah berada


diatas rumah Teng Teng. Cio San dan para hadirin yang berada di sana
hanya menatap punggungnya saja. Seumur hidupnya, baru pertama kali ini ia
bertemu orang sehebat ini. Bahkan sikapnya saja sudah setajam pedang,
bagaimana pula dengan permainan pedangnya?

Cio San bergidik. Alangkah sialnya orang-orang yang dimusuhi oleh si baju
putih ini!

Bab 23 Sebuah Teka Teki Yang Terkuak

Keramaian sudah usai.

Menarik sekali ketika sepi kembali datang. Seperti tidak ada satu pun
yang terjadi.

Benak Cio San tak henti berpikir. Siapakah pendekar berbaju putih tadi?
Apakah dia yang disebut Pendekar Kelana Hu Liu Hoa? Tapi di lihat dari
umurnya, tidak mungkin si Baju Putih itu adalah sang pendekar Hu Liu Hoa.
Si pendekar besar itu menurut kabar sudah cukup sepuh.

Lalu siapa dia?

Cio San memutuskan berjalan santai sambil berpikir. Kadang memang otaknya
bekerja lebih baik kalau sedang berjalan-jalan. Lama ia berjalan dan
berputar-putar tak tentu arah. Pikirannya tenggelam dalam banyak hal.

Ketika sampai di sebuah gang yang sunyi. Dengan serta merta ia melompat
ke atas atap. Gerakannya ini sedemikan cepat, jauh lebih cepat jika kau
mengedipkan matamu.

Ia telah berada di atas atap. Dan ia tidak sendirian. Seseorang pun


sedang berdiri di hadapannya. Orang yang berdiri di hadapannya ini
menggunakan baju hitam-hitam. Wajahnya bertopeng. Tapi dari sinar
matanya, ia sepertinya kaget bahwa Cio San kini berdiri di hadapannya.

Selamat malam, Yap-heng (kakak Yap) Cio San memberi hormat.

Orang bertopeng di hadapannya itu lebih kaget lagi.

Dadari mana kau tahu namaku?

Cayhe banyak berpikir akhir-akhir ini, Yap-heng jawab Cio San sambil
tersenyum. Lanjutnya, Kau pasti kaget aku tahu rahasiamu bukan?

Orang yang disebut Yap-Heng itu tidak mampu berkata apa-apa.

Cio San lalu berkata,

Aku tahu sejak beberapa bulan ini ada orang yang terus menguntitku. Pada
awalnya aku tak tahu siapa itu. Jadi ku biarkan saja kau mengikutiku
sampai saat ini. Setelah kejadian kematian Tionggoan Ngo Koay beberapa
saat tadi, aku baru yakin bahwa kaulah yang menguntitku selama ini

Ba..ba..bagaimana bisa? tanya si orang bertopeng.

Sejak kejadian penghancuran goa dan pembunuhan sahabatku, Kim Coa (ular
emas), kau sebenarnya sudah tertarik kepadaku. Kau tahu aku tidak mati,
makanya kau sangat kaget. Bahwa aku mampu menahan pukulan kalian. Ketika
kau tahu aku tidak mati, timbul pikiran dalam otakmu untuk menyelidiki
aku lebih lanjut. Maka kau membiarkan aku pingsan. Selanjutnya kau
memberikan aku baju dan uang. Kau melakukan itu bukan untuk menolongku,
melainkan karena penasaran terhadap rahasia siapa sebenarnya aku.

Setelah itu kau menguntitku sampai ke kota ini. Ketika ada 2 orang asing
yang menguntitku, kau khawatir bahwa keberadaanku yang penuh rahasia ini
akan bocor ke pihak lain, maka kau membunuh mereka dengan am gi (senjata
rahasia).

Pada awalnya kupikir mereka adalah anak buahmu, dan kau membunuh mereka
karena takut rahasia mereka bocor. Tapi setelah kupikir-pikir, sebenarnya
tidak ada alasan bagimu untuk membunuh mereka jika mereka memang betulbetul anak buahmu. Justru karena mereka bukan anak buahmu maka kau
membunuh mereka. Karena kau khawatir ada pihak lain juga yang penasaran
dengan keberadaanku.

Jadi kesimpulanku adalah, ada dua pihak yang mengikutiku. Yang pertama
adalah kau. Dan yang kedua adalah pihak petani tua yang memberikanku
sepatu. Mungkin saja ia mengirimkan kabar kepada anak buahnya untuk
menguntitku. Lalu karena khawatir saingan, kau lalu membunuh mereka

Si orang bertopeng lalu mencopot topengnya. Dan berkata,

Memang sungguh aku kagum kepada kecerdasanmu, Cio San. Di dunia ini
belum pernah ketemui orang secerdas kau. Tak ada guna lagi aku memakai
topeng ini.

Ia lalu bertanya, Lalu bagaimana kau sampai tahu bahwa aku Yap-heng yang
kau duga tadi?

Awalnya aku tidak tahu. Aku selama ini membiarkan jendela kamarku
terbuka pada saat tidur, sebenarnya untuk memancingmu untuk melakukan
sesuatu. Tapi kau tidak melakukan apapun. Berarti mungkin selama ini, kau
masih penasaran siapa sebenarnya aku. Lalu sejak kejadian pertarunganku
dengan pasangan suami-istri iblis itu, kau lalu tahu siapa aku. Dari
namaku saja, kau tahu bahwa aku adalah buronan yang dituduh membawa kabur
kitab silat sakti.

Aku sebenarnya menunggu-nunggu tindakan apa yang kau lakukan. Tapi kau
tidak bertindak. Bisa kau jelaskan kenapa? tanya Cio San

Bagaimana mungkin aku bertindak saat banyak mata-mata Khu Hujin yang
tersebar di sana? Tidak hanya orang-orang Khu Hujin yang berada di sana,
tapi juga banyak dari pihak-pihak lain juga. Melakukan sesuatu malah akan
membocorkan identitasmu. Itu malah akan merupakan suatu kerugian bagiku,
jika ada orang lain yang tahu identitasmu yang sebenarnya. Oleh karena
itu aku menunggu saat yang tepat. Cio San, sebenarnya aku masih bingung
bagaimana kau bisa tahu identitasku? tanya Yap-heng.

Ketika orang yang berbaju putih tadi membunuh Tioanggoan Ngo Koay. Aku
baru tersadar bahwa mereka sebenarnya 6 orang, bukan 5. Jika mereka dalam
bahaya, kau seharusnya turun tangan membokong musuh mereka. Tapi tadi
kulihat tidak ada mayatmu. Jika kau bersembunyi pun, aku tahu si baju
putih tadi pasti akan tahu dan menemukanmu. Jadi ku pikir, pasti kau
berada di suatu tempat. Sedang melakukan sesuatu yang jauh lebih penting
ketimbang menjadi bayangan Ngo Koay. Jika dihubungkan dengan kejadian
saat peledakan goa, maka masuk akal lah, bahwa selama ini kau lah yang
menguntitku.

Selama ini aku pun selalu mengawasimu. Mengingat-ingat gerakanmu.


Menghafalkan dengan benar langkah kakimu. Walaupun harus ku akui langkah
kakimu sangat ringan dan tak terdengar. Untunglah kupingku masih bekerja
dengan baik.

Kau,,,bisa membedakan langkah kaki orang? Yap heng bertanya dengan


terbata-bata

Sekali tahu, tidak pernah lupa jawab Cio San sambil tersenyum. Lalu ia
menambahkan,

Aku pun bisa tahu, bahwa begitu kau tahu bahwa Tionggoan Ngo Koay sudah
mati, konsentrasimu sedikit terganggu. Langkah mu menjadi sedikit berat.
Desahan nafasmu pun mulai berbeda. Kau tahu saat aku berjalan-jalan tadi,
aku memperhatikan bahwa kau tidak bisa memusatkan perhatianmu kepadaku,
sehingga jarak antara kita menjadi sangat dekat. Aku bisa mendengar apa
yang terjadi denganmu. Mungkin kau bingung antara mengurusi jenazah
kawanmu 5 orang itu, atau terus mengikutiku. Karena aku yakin, kau
sebenarnya ingin melakukan sesuatu malam ini terhadapku

Kata Yap-Heng, Di dunia ini belum pernah kutemui orang yang lebih
menakutkan daripada engkau, Cio San. Sekarang, apa yang akan kau lakukan
kepadaku? Lari pun aku tak mampu, apalagi melawanmu katanya pasrah

Kau boleh pergi kata Cio San dengan ringan

Apa? Yap heng sudah mulai tidak percaya dengan telinganya

Ya. Kau boleh pergi. Ketahuilah aku tidak membawa lari kitab apapun.
Semua ilmu yang kupunyai, kebanyakan kupelajari dari Kim Coa (ular emas).
Oleh karena itu, tidak ada satupun yang bisa kau ambil atau minta dariku.
Aku pun tak akan membalaskan dendam kematian Kim Coa, karena bagiku
kematian seseorang sudah ditakdirkan. Keadilan sudah datang dengan
matinya kelima sahabatmu itu.

Maka pergilah, aku tidak mempersoalkan apa-apa. Tapi jika kau


menggangguku, atau mengganggu orang-orang di Lai-Lai. Aku mempunyai
kemampuan yang sangat menakutkan. Aku akan mencarimu.

Baiklah kata Yap-Heng. Kemurahan hatimu akan kuingat terus. Ampunanmu


ini tidak akan terlupakan. Selamat tinggal Cio San Yap-heng bersoja
(memberi hormat ala kaum Bu Lim) lalu ia pun menghilang dari hadapan Cio
San.

Entahlah apa yang ada di benak Yap-heng. Mungkin saja ia berfikir,


Alangkah sialnya orang yang dimusuhi oleh Cio San!

Bab 24 Lima Pedang Butongpay

Keesokan paginya, Lai Lai ramai oleh orang-orang yang membicarakan


kejadian di rumah Teng Teng semalam. Kalangan Bu Lim tidak ada satu pun
yang pernah mendengar nama, atau mengetahui asal usul si Baju Putih itu.

Ilmu silatnya asing. Gerakannya aneh. Tindak tanduknya pun tidak kalah
aneh. Mereka yang beruntung menyaksikan kejadian semalam, seperti menjadi
orang terkenal karena banyak orang yang mencari mereka untuk meminta
cerita yang jelas.

Sejak pagi itu munculah julukan baru: Dewa Pedang Berambut Merah, Ang
Hoat Kiam Sian

Ang Hoat Kiam Sian. Nama yang indah, tapi terasa menakutkan.

Cio San tersenyum-senyum sendiri mendengar tamu-tamu di Lai Lai mulai


membicarakan si Dewa Pedang ini. Banyak dari cerita itu yang dilebihlebihkan. Malah semakin menambah rasa penasaran orang yang mendengarkan.

Kwee Mey Lan tak urung juga penasaran mencuri-curi dengar cerita ini.
Memang kehadiran si Dewa Pedang yang amat sangat tampan, tidak hanya
membuat kaum bu lim heboh. Bahkan orang paham yang tidak mengerti silat
pun ikut tertarik membicarakannya.

Kebanyakan membanding-bandingkan si Dewa Pedang ini dengan Beng Liong, Ji


Hau Leng sang ketua Kay Pang, dan pendekar yang baru muncul juga
belakangan ini, Cio San!

Cio San tertawa dalam hati. Kini namanya sudah disejajarkan dengan orangorang itu? Tidak dapat dipercaya.

Beng Liong lebih tampan kata salah seorang

Ang Hoat Kiam Sian lebih tampan! kata yang salah seorang lagi

Kay Pang Pang cu (ketua Kay Pang) Ji Hau Leng lebih gagah!

Kira-kira apa julukan orang kepadaku ya? batin Cio San dalam hati. Ia
tidak berani berfikir aneh-aneh khwatir dianggap sinting karena tertawa
sendirian.

Eh meymey (adik) apakah kau dengar cerita-cerita para tamu?

Iya aku dengar San-ko (kakak San), menarik sekali orang yang berjulukan
Ang Hoat Kiam Sian itu ya sahut Mey Lan

Sebenarnya semalam aku menyaksikan juga. Cuma tidak sampai melihat saat
ia bertarung. Saat aku datang, semua musuhnya sudah mati. Kisah Cio San

Benarkah dia sehebat itu?

Hebat sih aku tidak tau meymey, tapi kalau tampan sekali, memang benar.
Seumur hidup aku setahuku yang paling tampan adalah pendekar Butong Beng
Liong, yang beberapa hari lalu ke sini itu, meymey. Tapi ketampanan si
Dewa pedang ini agak aneh. Mungkin dia bukan keturunan Han (orang china)
asli.

Jadi menurut San-ko, lebih tampan si Dewa Pedang itu daripada Butong
enghiong Beng Liong? tanya Mey Lan lagi.

Menurutku mereka sama tampannya. Cuma masing-masing punya ciri khas yang
berbeda. Kalo Butong enghiong Beng Liong tampannya itu tampan yang
membuat hati tentram. Melihat wajahnya orang pasti langsung kagum dan
merasa nyaman. Tapi melihat wajah si Dewa Pedang, orang malah kagum dan
takut

Kalau dibandingkan dengan enghiong Cio San yang juga sempat bikin
kehebohan di sini itu?

Ah kalau dia, tidak setampan mereka lah. Kau tidak pernah bertemu dia
ya? Bukankah pada saat dia beraksi di Lai Lai, meymey sedang pergi
mencari keluarga wanita yang meninggal itu?

Iya San-ko. Tapi dari yang kudengar dari orang-orang, pendekar Cio San
ini pun tidak kalah tampan dengan Butong enghiong Beng Liong

Kalau tampan sih masih jauh dari Beng Liong, hahahaha. Tapi entahlah
Meymey. Aku tidak pernah memperhatikan ketampanan seorang lelaki. Apa kau
pikir aku ini penyuka sesame jenis? Hahahaha

Mereka berdua bercanda dan tertawa sambil bekerja.

Jika dua orang saling mencinta, dan juga melakukan pekerjaan yang sama,
bukankah sungguh menyenangkan?

Lai Lai hari itu sangat ramai. Semua tamu membahas kemunculan si Dewa
Pedang yang menghebohkan. Beberapa pendekar ternama bahkan ada yang
sempat mampir ke Lai Lai hanya untuk mendengarkan cerita tentang si Dewa
Pedang ini. Lai lai memang kini sudah menjadi tempat berkumpul tidak
resmi bagi kalangan Bu-Lim.

Cio San tidak mengenal beberapa orang ini. Tapi dari langkah mereka yang
sangat ringan, dari wibawa yang terpancar di wajah mereka, serta sikap
orang-orang Bu Lim yang sangat menghormati mereka, bisa disimpulkan
mereka ini memang pesilat dan tokoh tersohor.

Ketika masuk tengah hari, datanglah 5 orang berpakaian putih dengan jubah
hitam tipis. Di punggung mereka tersandang pedang. Karena Lai lai ramai
sekali, mereka terpaksa berdiri menunggu. Cio San yang kala itu sedang
membantu pelayan membereskan piring bekas makan di atas meja tamu,
langsung mengenal mereka.

Mereka adalah bagian dari 15 Naga Muda Butongpay. Kelima orang ini,
seingat Cio San, adalah bagian 15 Naga Muda yang mempunyai kekhususan
belajar ilmu Pedang Butong. Bakat mereka memang berada di situ. Entah
karena tertarik dengan kejadian Ang Hoat Kiam Sian (Dewa Pedang Berambut
Merah), ataukah hanya karena kebetulan mereka berada di kota ini.

Ingin Cio San menyapa mereka. Karena walau bagaimanapun, mereka pernah
bersama-sama hidup di Butongsan. Bahkan pernah menjadi saudara
seperguruan. Walaupun dulu perlakuan mereka kepada Cio San kurang
mengenakkan. Tidak ada dendam sedikit pun di hati Cio San.

Cio San bahkan masih ingat nama-nama mereka. Yang pertama adalah Gak
Siauw Hong. Orangnya berperawakan sedikit kecil. Namun lincah. Cocok
sekali dengan namanya, Siauw Hong yang artinya burung phoenix kecil.
Seingat Cio San, Gak Siauw Hong berkelakukan baik terhadapnya. Walaupun
tidak terlalu akrab, setidaknya Siauw Hong dulu tidak pernah
mengganggunya.

Yang kedua adalah Sengkoan Pit. Orang ini sudah bertubuh besar sejak
dulu. Sikapnya garang, berangasan, dan tidak sabaran. Dulu waktu di
Butongsan, Sengkoan Pit ini termasuk salah seorang yang suka meremehkan
Cio San. Kadang-kadang ia menantang Pi-Bu (latih tanding) Cio San hanya
untuk menghajar Cio San saja. Dalam hati Cio San penasaran sekali apakah
kelakuan Sengkoan Pit ini masih seperti dulu, ataukah sudah berubah?

Pendekar Butong ketiga adalah Lau Han Po. Walaupun sama-sama bermarga
Lau, Han Po ini tidak ada hubungan dengan Lau-Ciangbunjin, sang ketua
Butongpay. Lau Han Po juga berbadan tegap seperti Sengkoan Pit. Tapi jauh
lebih pendiam. Cuma saja, sekali buka mulut pasti ucapannya tidak
mengenakkan. Cio San sering dicercanya sebagai anggota naga muda yang
tidak becus. Saat di Butongsan dulu, memang setahu Cio San dia ini
salah satu yang paling berbakat dalam ilmu pedang.

Kho Kam Sing adalah yang keempat. Dia ini berkulit kecoklatan. Lahir dari
keluarga nelayan, sejak kecil sudah ikut ayahnya melaut. Sinat matanya
mencorong, tapi terlihat tulus. Kadang-kadang dia suka menyapa Cio San
juga dulu. Tapi mereka tidak pernah akrab karena Kam Sing ini sibuk
berlatih sendiri. Memang terkadang Cio San merasa kehidupan di Butongsan
itu lumayan berat juga bagi 15 Naga Muda. Harapan terhadap mereka terlalu
besar, sehingga tekanan untuk menjadi yang terbaik, membuat kadang mereka
saling bersaing sendiri-sendiri.

Yang kelima, adalah salah satu yang paling muda dalam 15 Naga Muda.
Biarpun termasuk yang muda, tubuhnya tinggi dan kurus. Orang-orang di
Butongsan memanggilnya si Pohon Bambu. Dia senang-senang saja. Pemuda
yang bernama Lu Ting Peng memang bersifat riang gembira. Ia hampir selalu
tersenyum. Tapi biarpun riang gembira, Ting Peng ini selalu serius dalam
belajar silat juga. Cio San ingat mereka memang tidak terlalu akrab juga.
Ting Peng ini selalu berkumpul dengan sekelompok murid-murid tertentu.
Sehingga jarang bertegur sapa dengan Cio San. Apalagi sekelompok murid
itu memang tidak suka padanya.

Kelima orang ini menunggu lumayan lama sampai ada pelanggan yang selesai
makan dan pergi dari Lai Lai. Pelayan kemudian membersihkan meja dan
mempersilahkan mereka duduk. Setelah memesan makanan dan minuman, mereka
duduk diam saja dan tidak mengobrolkan apa-apa.

Cio San memutuskan untuk memasak sendiri pesanan mereka. Karena sudah
sejak lama Cio San tidak turun tangan langsung memasak jika tidak benarbenar diperlukan. Sudah ada banyak tukang masak di Lai Lai dan Cio San
memang berencana untuk mendidik mereka sampai mahir.

Pesanan makanan 15 Naga Muda Butongpay ini adalah masakan yang sering
mereka makan di Butongsan. Mengetahui apa pesanan mereka membuat Cio San
tersenyum. Dalam hati ia memutuskan untuk membuat masakan ini seenak
mungkin. Memang butuh waktu sedikit lebih lama. Tapi hasilnya pasti
mencengangkan.

Dan benar saja. Suapan pertama membuat mata kelima orang itu berbinar
binar.

Benar kata Liong-ko. Masakan disini enak sekali. Kata Lu Ting Peng.

Yang lain mengangguk-angguk.

Benar dugaan Cio San. Pasti Beng Liong yang menceritakan restoran ini
kepada orang-orang di Butongsan. Ia lalu ke ruang depan, dan memberanikan
diri menyapa mereka,

Selamat siang tuan-tuan, nama saya A San, saya adalah koki disini. Boleh
saya tahu pendapat tuan-tuan tentang masakan kami?

Hmmmenak sekali A San. Masakanmu sungguh hebat Gak Siauw Hong memuji.
Yang lain ikut manggut-manggut.

Ah baiklah kalau begitu. Terima kasih banyak tuan-tuan. Eh kalau boleh


tahu tuan tuan ini berasal dari mana? tanya Cio San lagi.

Kami adalah Butongpay Ngo Kiam (5 Pedang Butongpay) kali ini Lu Ting
Peng yang menjawab.

Butongpay? Wah jadi tuan-tuan ini adalah para enghiong dari Butongpay?
Sebuah kehormatan bagi Lai lai bahwa para enghiong sudi mampir kemari Ia
lalu bersoja, sambil melanjutkan, Beberapa waktu yang lalu Butong
enghiong Beng Liong juga mampir kemari. Serta ada beberapa murid
Butongpay yang datang juga, sayang saya tidak sempat berkenalan dengan
mereka

Iya kami tahu. Bahkan Beng Liong-ko sendiri yang menceritakan tentang
restoran ini kepada kami. Dan ceritanya memang tidak salah. Tempat ini
nyaman. Masakannya sangat enak. Dan tentunya ramai

Yang dimaksud dengan ramai tentunya, ramai oleh orang Kang-ouw. Dari sini
berkembang berbagai cerita dan kabar yang berkembang di dunia Kang-ouw.
Itulah kenapa banyak orang Bu Lim rajin kesini. Mereka tidak ingin
tertinggal berita.

Cio San meminta diri.

Dari obrolan singkat dia bisa melihat bahwa kelima orang ini sifatnya
masih belum begitu berubah. Ia hanya ingin tahu saja. Tidak ada maksud
sedikit pun untuk membalas perlakuan mereka. Bahkan jika bisa, ia malah
ingin memperkenalkan siapa ia sebenarnya. Memeluk hangat mereka dan
bertanya tentang kabar perguruan.

Kadang-kadang kerinduan bisa membuat orang lupa akan sakit hatinya.


Mengalami berbagai hal semacam ini kadang membuat Cio San berfikir harus
ia mulai dari mana langkah-langkahnya. Apakah dia harus tetap diam di Lai
Lai, ataukah memulai petualangan menyelediki segala kejadian.
Meninggalkan Lai lai sungguh berat, karena terus terang dia berat
meninggalkan Mey Lan. Tapi ada banyak pertanyaan yang harus segera dicari
jawabannya, dan tak mungkin bisa ditemukan dengan hanya duduk menunggu di
Lai-Lai.

Ia harus melakukan sesuatu.

Laki-laki memang jika sudah menemukan tambatan hati, terkadang susah


untuk melakukan banyak hal. Bahkan impiannya sendiri ia lupakan jika
sudah bertemu dengan wanita yang disukainya. Ini berbeda dengan
perempuan. Mereka lebih suka meninggalkan cintanya demi impiannya.

Cerita begini siapapun mengalami tapi jarang ada yang menyadari.

Menyadari pun sudah terlambat.

Cio San memang tidak menyadari ini. Tapi ia sendiri berfikir menggunakan
otaknya. Tidak mengikuti dorongan hatinya belaka. Oleh sebab itu ia
memutuskan untuk mengambil pilihan kedua. Pergi dari Lai Lai. Entah
bagaimana ia menjelaskan ini kepada Mey Lan dan ayahnya. Tapi sejak awal
dia memang tidak berniat untuk menetap di sana. Sebab itulah mengapa ia
menularkan semua ilmu masaknya kepada koki-koki yang lain.

Ia merasa semua tugasnya telah selesai di Lai lai. Ia telah membuat Lai
lai mampu berdiri tegak. Bahkan juga mendapatkan sedikit nama. Di sana ia
telah mendapat banyak kabar perkembangan dunia Kang Ouw. Sekarang yang
perlu ia lakukan adalah bertindak.

Entah dari mana memulai. Harus ada langkah yang diambil.

Maka malam itu, Cio San sudah membereskan beberapa barang-barangnya.


Beberapa helai baju. Dan juga baju yang dipakainya saat menjadi Cio San
yang sebenarnya. Baju itu ia simpan baik-baik di tempat tersembunyi. Kini

semua miliknya telah rapih tersimpan di dalam buntalan kecilnya. Uang


tabungan hasil bekerjanya selama ini pun telah ia masukkan ke dalam
kantong khusus. Sebagian ia sisakan untuk ia berikan kepada Mey Lan, dan
beberapa pelayan.

Kwee Lai, si pemilik restoran sedang menghitung-hitung pemasukan di meja


kerjanya. Walaupun restoran sudah tutup dari tadi. Pekerjaan memang tidak
serta merta selesai. Begitu melihat Cio San datang, segera Kwee Lai
tersenyum dan berkata, Hey, A San, pemasukan hari ini sungguh bagus. Ini
sampai sekarang belum selesai ku hitung

Sambil tersenyum Cio San berkata, Syukurlah tuan. Koki-koki yang


sekarang masakannya sudah sangat lezat. Saya saja yang mengajarai mereka
malah terkagum-kagum

Eh,..duduklah. Kenapa kau masih seperti dulu? Terlalu sopan dan terlalu
sungkan. Kalau dipikir-pikir seharusnya aku yang sopan dan sungkan
terhadapmu. Ayo duduklah

Cio San kemudian duduk dengan sopan. Ia memang orang yang sopan. Kepada
siapa saja ia sopan. Melihat Cio San duduk saja dan lama tak berkata apaapa, akhirnya Kwee Lai bertanya, Ada apa A San? Ada yang ingin kau
sampaikan?

Meskipun agak ragu, Cio San akhirnya berani berkata,

Tuan Kwee, sebenarnya saya sungkan mengatakan ini, tapi saya masih ada
beberapa urusan yang harus saya selesaikan. Sehingga dengan berat hati
saya harus meninggalkan Lai Lai

Kwee Lai biarpun tidak kaget, setidaknya ya berubah juga raut wajahnya.

Sebenarnya aku sudah paham sejak awal bahwa suatu hari kau akan pergi.
Tapi, apakah keputusanmu itu sudah kau bicarakan dengan Mey Lan? tanya
Kwee Lai

Belum sempat Cio San bilang belum, Mey Lan sudah menghambur dari
belakang,

Koko, apa maksudmu bilang begitu?

Cio San tersenyum. Sejak dulu dia sudah tahu. Cara menghadapi wanita yang
sedang marah adalah dengan diam. Mey Lan memang sedang marah. Tidak ada
perempuan yang bahagia jika akan ditinggal pergi lelakinya.

Koko mau pergi kemana? Dahi dan alis matanya merengut. Jika ada
perempuan memandangmu seperti itu, lebih baik segera lari atau minta
ampun.

Tapi Cio San tidak melakukannya.

Meymey duduk dululah. Mari kita bicarakan katanya.

Kalau aku tadi tidak kebetulan mendengar percakapan kau dan ayah, apakah
kau akan mengajakku duduk dan bicara baik-baik tanya Mey Lan masih
dengan raut muka yang sama. Tapi dia sudah duduk.

Selain tersenyum, cara apa lagi yang bisa kau lakukan menghadapi
perempuan yang sedang marah?

Meymey, aku memang ingin membicarakannya dengan dirimu. Tapi bukankah


aku disini bekerja sebagai pegawai tuan Kwee? Bukankah sudah seharusnya
aku membicarakan dulu dengan beliau? Kata orang bijak seharusnya kita
mengutamakan urusan pekerjaan dulu baru urusan pribadi. Meymey bisa
mengerti?

Meminta perempuan mengerti sesuatu, rasanya seperti minta harimau menjadi


domba.

Tapi bukankah kepergianmu ini karena urusan pribadi, San-ko? Jangan


menggunakan alasan pekerjaan. Jika kau memang mau meninggalkan kami. Ya
pergi saja. Tidak usah pakai alasan macam-macam kata Mey Lan ketus
sambil membanting kaki.

Melihat Cio San tidak berkata apa-apa, Mey lan malah tambah merajuk,

Ya sudah kalau mau pergi ya pergi saja

Ia lalu berdiri dari duduknya dan menuju kamarnya. Terdengar suara


bantingan pintu.

Cio San dan Kwee Lai hanya bisa saling bertatapan. Lalu Kwee Lai berkata,

Biarkan dulu saja. Ia mungkin sedang marah karena mendengar kau akan
pergi. Jika marahnya sudah reda, ajak dia bicara baik-baik. Eh kapan kau
akan pergi A San?

Paling lambat besok siang tuan. Saya mungkin akan membantu dulu
pekerjaan besok. Jika sudah selesai, baru saya akan berangkat jawabnya

Ah tidak perlulah kau mengerjakan tetek bengek dapur. Cukup perhatikan


saja segala keperluanmu, A San. Eh apakah sangu mu sudah cukup? Sambil
berkata begitu ia merogoh uang dari laci.

Tabungan saya cukup banyak tuan

Ah sudahlah ambil ini sebagai tambahan. Dan jangan membantah. Haha, ku


tau kau pasti menolak A San. Terimalah. Sekedar rasa terima kasihku atas
segala yang kau lakukan di sini selama ini.

Jika orang sudah memaksa, maka tak enak rasanya menolak. Cio San menerima
uang itu. Jumlahnya sangat banyak. Entah mau dia apakan uang itu.

Dengan sopan ia lalu meminta diri. Cio San sebenarnya ingin berbicara
dengan Mey Lan saat itu, tapi akhirnya memutuskan untuk menemui Mey Lan
besok paginya saja.

Bab 25 Perpisahan dan Perjalanan

Keesokan paginya, seperti dugaan Cio San, Mey Lan tidak mau berbicara
padanya. Menoleh saja segan. Saat Cio San menyapa atau berkata sesuatu
padanya, Mey Lan hanya menjawab dengan Ehm, Tidak tahu, atau
Mungkin.

Sampai tengah hari susananya pun masih seperti itu. Karena telah tiba
waktunya, Cio San akhirnya berpamitan dengan seluruh penghuni Lai Lai,
kecuali Mey Lan tentunya. Ia lebih memilih berdiam di kamar.

Koki dan pelayan-pelayan merasa sedih sekali saat Cio San berpamitan.
Selama ini Cio San selalu bersikap baik dan sopan pada mereka. Padahal
kalau dihitung-hitung, ia adalah orang kedua di Lai Lai setelah Kwee
Lai. Bahkan saat Cio San memberikan mereka uang pun mereka beramai-ramai
menolaknya dan mengatakan Cio San lebih memerlukannya. Dengan berat hati
Cio San akhirnya menyimpan kembali uang yang sudah disiapkannya itu.

Setelah berpamitan dengan Kwee Lai, Cio San akhirnya menuju ke kamar Mey
Lan. Pintu kamarnya tertutup. Cio San mengetuknya.

Meymeymeymey panggilnya halus sambil mengetuk

Tidak ada jawaban. Tapi dari pendengarannya yang tajam, Cio San tahu Mey
Lan sedang menangis.

Meymey bukakan pintunya masih dengan nada yang halus.

Lama sekali Cio San mengetuk, sampai akhirnya ia menyerah dan berkata.

Meymey, maafkan aku harus pergi ya. Aku akan kembali lagi untukmu.
Semoga pada saat itu, aku tidak akan pergi lagi Ia menghela nafas dan
akhirnya pergi.

Laki laki kebanyakan menghela nafas. Perempuan kebanyakan meneteskan air


mata. Jika pihak lelaki dan perempuan bisa saling mengerti, tentunya
tidak akan banyak lelaki yang menghela nafas, dan perempuan yang
menangis.

Laki-laki yang menghela nafas seperti ini, sebenarnya juga menangis dalam
hati. Jika kau ingin menangis sedangkan engkau tidak bisa, bukankah itu
sebuah penderitaan yang besar?. Sayangnya banyak perempuan yang tidak
tahu. Mereka pikir lelaki berhati kejam dan tak berperasaan. Padahal
sesungguhnya lelaki lebih sering menangis daripada perempuan. Hanya saja
yang menangis adalah hati mereka, dan bukan mata mereka.

Dan tak jarang juga perempuan menangis hanya di mata mereka dan bukan di
hati mereka. Jika ada perempuan yang menangisi laki-laki dari hatinya,
maka laki-laki itu adalah laki-laki yang beruntung. Karena jarang sekali
perempuan menangis untuk lelaki. Biasanya mereka menangis untuk diri
mereka sendiri.

Hujan turun. Masih rerintikan. Angin dingin menyapa kalbu.


Duhai siapa gerangan yang mampu menenangkan hati yang tersayat cinta?

Seandainya hujan bukanlah air, melainkan pedang


Tentulah tidak banyak kesedihan di muka bumi ini.

Seandainya yang bersinar bukanlah matahari, melainkan mata hati


Tentulah hanya kebahagiaan yang merona di seluruh penjuru langit.

Tapi langit berwarna biru bukan?


Itu menandakan kesedihannya

Langit tak pernah bening,


Seperti air yang tulus
Seperti kaca yang tanpa rahasia

Langit selalu sedih,


Memandang begitu banyak luka hati manusia

Dan Cio San pun melangkah. Langkah kakinya ringan. Tapi hatinya berat.
Meninggalkan orang yang dikasihinya.

Jika perpisahan seberat ini, tentulah banyak orang yang tak ingin ada
pertemuan. Bukankah akhir dari pertemuan selalu adalah perpisahan?

Ia baru beberapa langkah dari pintu depan Lai lai. Ketika sebuah suara
memanggil,

San-ko, San-ko..

Tanpa menoleh pun ia sudah tahu itu adalah suara Mey Lan.

Mey Lan berlari. Hujan yang mengguyurnya seperti memberi limpahan airmata
baru padanya.

Benarkah kau berjanji untuk kembali kepadaku? Suatu saat nanti?


tanyanya. Pandangan matanya. Laki-laki mana yang sanggup menatap
pandangan seperti itu.

Aku berjanji Kwee Mey Lan. Aku akan kembali untukmu. Entah kapan. Tapi
demi Tuhan aku berjanji untuk kembali. Mau kah kau menungguku?

Tak ada jawaban. Tak perlu ada jawaban. Pandangan mata itu telah menjawab
semuanya.

Mereka berpegangan tangan. Seperti merasa mereka tak akan bertemu


kembali.

Di dunia ini, cerita apa yang lebih menyedihkan selain perpisahan dua
orang kekasih?

Tapi sesedih apapun Cio San, ia kini lebih bersemangat. Kekasihnya


menunggu kepulangannya. Dunia menanti kedatangannya. Laki-laki cukup
mempunyai dua hal ini saja sudah membuat dirinya merasa sebagai penguasa
dunia.

Ia tak tahu kemana ia akan pergi. Tapi ia tahu, perjalanannya tak akan
sia-sia. Maka ia melangkah saja. Entah kemana. Kemudian ia teringat
dengan Khu Hujin. Pastinya sekarang beliau telah kembali ke kediamannya
di kota Wang An. Kota itu hanya berjarak sekitar 1-2 hari dari sini.
Karena tak tahu hendak kemana, Cio San memutuskan pergi saja ke kota Wang
An. Memang pada awalnya ia ingin kembali ke desa kakeknya. Berhubung arah
daerah itu sama dengan arah kota Wang An, maka Cio San memilih untuk ke
kota Wang An saja dulu.

Dari tengah hari ia berjalan sampai gelap. Berhenti hanya untuk


beristirahat dan makan. Ia membawa sedikit alat masak. Sedangkan bahanbahan memasaknya ia kumpulkan di sepanjang perjalanan. Kota Liu Ya yang
ramai ini ternyata ramai sampai ke pelosok-pelosoknya. Tapi jika di pusat
kota ramai karena orang berniaga, di bagian pelosok ramai oleh perkebunan
dan pertanian.

Ia sangat menikmati perjalanan ini. Orang-orang yang ia temui di


sepanjang jalan juga ramah-ramah. Jika kehidupan biasa bisa setenang ini,
kenapa banyak orang ikut ramai ke dalam dunia Kang Ouw? Barangkali karena

tantangan. Manusia memang banyak menyukai tantangan. Bisa juga karena


kemasyhuran. Bisa juga karena uang.

Hari sudah sangat gelap ketika Cio San memasuki hutan. Ia tidak
memerlukan penerangan karena matanya sudah sangat terlatih melihat di
dalam gelap. Sayup sayup terdengar suara pedang. Sedang ada orang yang
berkelahi rupanya.

Sekali lentingan saja Cio San sudah terbang jauh sekali.

Langkahnya terhenti ketika ia melihat ada pertempuran berpuluh-puluh


tombak di hadapannya. Sekali pandang ia sudah tahu kalau itu adalah
Butongpay Ngo Kiam (5 pedang Butongpay). Siapa lawan mereka ia tidak
kenal. Seorang tua yang berperawakan tinggi besar dengan rambut putih
awut-awutan.

Cio San melompat dan hinggap di atas sebuah dahan yang amat tinggi. Ia
memutuskan untuk menjadi Cio San yang asli. Topengnya dibuka. Bajunya
pun telah berganti dengan baju ringkas andalannya. Tapi ia tidak
melakukan apa-apa. Hanya menonton perkelahian itu saja.

Perkelahian itu bukan sembarang perkelahian. Kelima anggota Butongpay


yang masih sangat muda itu amat sangat dahsyat ilmu pedangnya. Mau tidak
mau Cio San harus kagum. Serangan demi serangan mengalir hebat.
Sepertinya kelima orang ini sudah menjadi satu jiwa dan satu tubuh.
Seakan-akan mereka dilahirkan dengan tangan, kaki, pikiran, dan hati yang
sama.

Cahaya pedang menyambar-nyambar. Inilah ilmu pedang Butongpay yang


menggetarkan dunia itu, Tarian Pedang Butongopay. Thio Sm Hong
menciptakannya sebelum ia menciptakan Thay Kek Kun. Namun dasar-dasar dan
unsur Thay Kek Kun sudah terlihat di situ.

Gerakannya lembut namun cepat. Mengalir bagai air, tapi menghujam bagai
ombak menghantam karang. Cahaya cahaya pedang ini sangat rapat sehingga
hujan pun belum tentu menembus cahaya itu.

Tapi yang lebih membuat Cio San kagum adalah lawan mereka. Orang yang
bertubuh kekar itu dengan gagah menantang hujan pedang. Senjatanya adalah
sebuah tombak yang bermatakan golok. Tangkai tombaknya yang berwarna emas
menimbulkan suara mender-deru ketika ia memutar-mutarkannya untuk
menghalau serangan pedang.

Tubuh orang itu sudah terluka di sana-sini. Cio San memperkirakan


setidaknya mereka telah bertanding ratusan jurus. Tapi tenaga dan
kekuatan serangannya masih tetap dahsyat. Jika bertarung satu lawan satu,
Butongpay Ngo Kiam pastilah bukan tandingannya. Tapi sejak awal,
Butongpay Ngo Kiam adalah Butongpay Ngo Kiam. Melawan satu orang atau
melawan ribuan orang, mereka tetap berlima.

Bayangan pedang seperti hujan. Kibasan tombak golok seperti angin puyuh.
Siapa saja yang berdiri dekat-dekat pertempuran itu setidaknya akan
lecet-lecet terkena anginnya saja.

Lima pedang Butongpay memang tidak malu menyandang nama itu. Gerakan
mereka yang lincah dan halus berganti-gantian bagai gelombang. Satu
pedang mengincar leher. Yang satu mengincar dada, yang satu mengincar
perut, yang satu mengincar paha, dan yang satu lagi mengincar betis.

Sang lawan dengan berani menerima serangan itu. Ia memutar tombaknya di


depan dada dengan kedua tangannya. Terdengar suara bagai angin puyuh.

Traaaannnnng!

Serangan pedang buyar. Namun si pemilik tombak golok pun terjengkang ke


belakang. Dengan satu kali gerakan memutar ia telah memunahkan serangan 5
pedang Butongpay. Tapi tak urung gerakan itu menghabiskan banyak tenaga.
Ia memang memilih melakukan adu tenaga ketimbang menghindari seranganserangan dahsyat itu.

Itu karena ia sendiri yakin akan lwee-kang (tenaga dalam) nya. Hasil yang
didapatkannya setelah latihan puluhan tahun, dan meminum berbagai macam
ramuan-ramuan. Tapi sudah jelas 5 pedang Butongpay ini bukan pendekar
sembarangan. Walaupun masih muda usianya, tenaga dalam mereka adalah
tenaga dalam pesilat kelas satu.

Melihat lawan mereka terjengkang ke belakang, serta merta tubuh mereka


melenting juga ke depan. Kini mereka berbaris dalam satu barisan. Yang di
belakang meletakkan tangan ke punggung yang di depannya. Begitu
seterusnya sampai yang paling depan merasa ada tambahan ribuan energy
yang memasuki tubuhnya. Begitu merasa saluran dan dorongan tenaga yang
dahsyat ini, Gak Siauw Hong yang merupakan orang paling depan di barisan
itu langsung melesat ke depan bagai anak panah! Tidak ada tubuh yang
kelihatan. Hanya terlihat bayangan pedangnya saja. Itu pun bagaikan
kilat.

Ujung pedang sudah terhunus. Tubuhnya bagai terbang dan kini telah
sejajar dengan tanah. Lawan di depannya sudah seperti kehabisan tenaga.
Tapi dengan sisa semangat dan tenaga dalamnya yang paling akhir, sang
lawan ini melenting ke samping.

Baru sekali ini jurus Panah Pedang dari Butongpay luput. Dari beratus
kali pertarungan, inilah kalinya yang pertama.

Tak urung mereka kagum juga. Dengan jarak yang sesempit itu, dan waktu
yang singkat sepersekian detik, lawan mereka sanggup menghindari serangan
sedahsyat itu. Mereka memang hebat dan sakti. Tapi bicara tentang
pengalaman bertarung, lawan di depannya ini punya pengalaman bertarung
ratusan kali lebih banyak. Ia tahu, bahwa menghindari serangan hanyalah
masalah penempatan waktu. Jika lebih cepat, maka lawan akan mengetahui
pergerakanmu. Jika lebih lambat nyawamu melayang.

Bun Tek Thian!, ku akui kehebatanmu menghindari jurus panah pedang kami.
Inilah kali pertama ada lawan yang bisa menghindarinya. Tapi kali ini
kami tidak akan melepaskanmu. Hari ini adalah hari kematianmu. Yang
berkata adalah Gak Siauw Hong

Kekuatanku sudah habis. Tenaga sudah terkuras. Mengangkat tangan saja


aku sudah tidak sanggup! Jika mau bunuh, bunuhlah! Kami anggota Ma Kauw
tak takut mati dan tak takut pada kalian anggota partai putih. Cuih!
orang yang bernama Bun Tek Thian itu meludah ketika menyebut partai
putih.

Dengan geram Sengkoan Pit menusuk ke arah tenggorokan. Kali ini ia


berkonsentrasi penuh memusatkan tenaga dan kecepatannya. Ia tak ingin
gagal seperti serangan sebelumnya tadi.

Pedang hanya tinggal sejengkal. Bun Tek Thian menutup mata sambil
tersenyum. Kematian dalam pertarungan adalah kematian terhormat baginya.

Tapi belum sampai pedang itu menyentuh tenggorokannya, pedang itu telah
berbelok arah. Seseorang telah menangkisnya. Seseorang itu tak lain dan
tak bukan adalah Cio San.

Tidak dapat dibayangkan perasaan kelima murid Butongpay itu. Tadi


serangan dahsyat mereka berhasil dihindari. Sekarang serangan pedang
mereka juga ada yang menangkisnya dengan tangan kosong. Mimpi pun, tidak
ada seorang murid Butongpay pun yang akan menyangka jurus pedang mereka
bisa ditangkis oleh tangan kosong.

Pemuda yang menangkis pedang itu berdiri sambil tersenyum. Tangan


kanannya mengelus helaian rambutnya yang jatuh di pundak. Tangan
kirinya dilipatnya ke belakang.

Masih ingat padaku? tanyanya masih sambil tersenyum.

Cio San! mereka berteriak berbarengan.

Hai pengkhianat! Akhirnya kami menemukanmu. Berlututlah minta ampun agar


kami membawamu menemui Lau-Ciangbunjin. Atau tidak kami akan memancung
kepalamu dan akan kami bawa ke Butongsan
Aku akan berlutut minta ampun, jika kalian bisa mengalahkanku. Ia masih
tetap saja tersenyum. Senyum semacam ini jika kau berikan kepada musuhmu,
malah akan membuatnya ingin menelanmu hidup-hidup.

Baiklah!. Di Butongsan dulu kau cuma anak bawang. Coba kita lihat hasil
pencurian dan pengkhiatanmu. Apakah sebanding.

Tunggu dulu, jika aku menang bagaimana? tanya Cio San lagi.

Tidak mungkin. Tapi jika kau menang, kami akan tunduk apa katamu!

Baik. Kata-kata murid Butongpay adalah emas. Aku percaya

Hanya sebentar mereka memasang kuda-kuda. Hanya sekian detik.

Detik yang penuh kesunyian.

Yang kemudian di penuhi oleh suara pertempuran lagi.

Cahaya dan bayangan pedang menghambur menjadi satu. Mereka mengepung


tubuh Cio San. Pedang datang dari segala penjuru arah. Bahkan yang
menusuk ke kepala dari arah atas pun ada.

Menghadapi hal ini Cio San tidak panic. Ia malah melenting ke atas
menyongsong pedang yang menyerang menghujam kepalanya. Tinggal
menggelengkan kepalanya sedikit, pedang telah lewat dari kepalanya. Tapi
pedang itu sekarang meluncur turun di depannya. Jika pemilik pedang
menggerakkan tangannya sedikit saja, tentulah robek isi dada dan
tenggorkan Cio San.

Tapi memang Cio San telah siap. Tangan kirinya yang brgetar meniru ekor
ular derik telah berada di depan dadanya. Dengan telapak menghadap ke
luar. Dan dengan telapak yang berbunyi aneh itu, ia telah berhasil
menangkap pedang itu.

Tangan kanannya yang membentuk moncong ular telah menyerang tangan yang
memegang pedang tadi. Dan entah bagaimana tahu-tahu pedang itu telah
berpindah ke tangan Cio San!

Seluruh gerakan ini perlu waktu lama untuk diceritakan. Tapi sesungguhnya
hanya membutuhkan waktu sekejap mata!

Lalu bagaimana dengan bagian bawah tubunya yang juga terancam pedang?

Setelah melompat ke atas, kakinya melakukan tendangan berputar yang


meruntuhkan pedang keempat orang lainnya. Gerakan yang harus dilakukan
dengan teliti karena salah sedikit saja, bukan pedang yang terhempas,
melainkan kakinya yang menjadi buntung.

Kelima Pendekar pedang Butongpay itu terhenyak setengah mati. Bun tek
thian pun tak kalah kagetnya. Cio San telah menaklukan Butongpay Ngo Kiam
hanya dalam satu jurus!

Pendekar pedang tanpa pedang, maka bukanlah pendekar namanya. Kelima


orang ini telah kehilangan pedang. Itu berarti mereka kalah.

Entah karena mengetahui isi hati kelima lawannya, atau melihat dari raut
wajah mereka yang aneh karena bercampurnya perasaan heran, takut, kagum,
dan benci, maka Cio San pun berkata,

Para kakak jangan bersedih. Aku bisa menaklukan jurus kalian, karena
sebelumnya aku sudah tahu jurus itu. Sudah puluhan kali aku melihat
kalian melatihnya saat kita masih di Butongsan dulu. Aku pun pernah ikutikutan melatihnya

Jangan panggil kami kakak, karena kami bukan kakakmu! ini adalah
suara Sengkoan Pit.

Kau menang, Cio San. Sesuai janji kami, kami semua menurut apa katamu.
Jika mau membunuh kami, maka bunuhlah kata Gak Siauw Hong.

Mereka memang harus mengaku kalah. Jika dalam satu jurus saja, pedang
mereka melayang, buat apa memaksa bertarung pada jurus-jurus berikutnya?

Kitab sakti yang kau curi memang sangat hebat, sehingga kami bisa kau
taklukan dalam satu jurus kata Lau Han Po.

Ketahuilah aku tidak mencuri kitab sakti apa-apa. Tukas Cio San

Lalu darimana kau bisa mempelajari ilmu yang sedemikian hebat seperti
itu? Lwee Kang (tenaga dalam) mu maju sangat pesat. Gin Kang (ilmu
meringankan tubuh)mu sungguh lihay. Tanya Ko Kam Sing.

Aku mempelajarinya dari seekor ular saat aku terdampar di sebuah goa
jawab Cio san jujur

Mengapa tidak kau bilang saja dewa dari langit turun ke bumi dan
mengajarkan jurus itu kepadamu!? sahut Lau Han Po

Memang jika orang sudah tidak menyukaimu, kata-kata dan perbuatan apa
saja yg kau lakukan selalu tidak akan pernah diterimanya.

Apalagi cerita belajar ilmu silat kepada seekor ular juga bukan sebuah
cerita yang bisa masuk akal sehat.

Menyadari ini akhirnya Cio San hanya bisa berkata,

Sudahlah jika kalian tidak mau percaya. Suatu hari nanti, aku akan naik
ke butongsan dan menjelaskan semua kejadian yang ada. Aku akan
menjelaskan sendiri kepada Lau Ciangbunjin. Sekarang permintaanku
hanyalah satu, lepaskan saja Bun Tek Thian. Dia sudah tidak berdaya. Dan
menyerang orang yang sudah tak berdaya bukanlah perbuatan para enghiong

Apa hubunganmu dengan dia? tanya Gak Siauw Hong

Tidak ada hubungan apa-apa Cio San menjawab sambil mengelus lagi
helaian rambutnya.

Lalu kenapa kau menolongnya? sahut Lau Han Po

Tidak ada alasan. Aku cuma tidak suka melihat nama baik Butongsan rusak
karena nanti di kalangan bu lim orang akan membicarakan bahwa Butongpay
mempunyai anak murid pengecut yang membunuh orang yang sudah tidak bisa
melawan. Melawan orang bermulut tajam seperti Lau Han Po memang juga
harus menggunakan mulut yang tak kalah tajam.

Alasan! Manusia hati pengkhianat seperti kau pastinya sudah menjadi


anggota Ma Kauw sejak dulu

Karena memang kurang berbakat adu mulut, maka Cio San hanya berkata,

Kalian pergilah! Sebelum kupotong urat nadi kalian sampai lumpuh seluruh
badan

Di dunia ini, yang paling ditakuti oleh orang Kang-ouw lebih dari
kematian, memang hanyalah menjadi lumpuh.

Kaukau melepaskan kami?

Benar ia menjawab pendek saja

Pergilah. Ambil pedang kalian dan pergilah dari sini

Tidak perlu menunggu perintah kedua, kelima orang itu sudah melesat jauh
dan menghilang.

Sebenarnya Cio sn ingin bertanya apa masalah sampai mereka mengadu nyawa
dengan Bun Tek Thian. Tapi ia sudah terlanjur menyuruh pergi. Memanggil
mereka kembali dan bertanya tentu tidaklah lucu.

Ia lalu menuju ke Bun Tek Thian yang dari tadi duduk bersila menyembuhkan
luka dalamnya. Cio San membantu menyalurkan tenaga dalamnya sendiri

melalui punggung orang itu. Tak berapa lama, Bun Tek Thian membuka mata
dan merasa tubuhnya sudah lumayan segar.

Begitu segaria segera berbalik menghadap Cio San yang sedang bersila di
belakangnya. Ia tidak bersoja dan mengucapkan terima kasih.

Ia malah menyerang Cio San dengan sebuah totokan ke Hiat To.

Kini Cio San tertotok!

Seluruh tubuhnya lumpuh!

Salam kenal Cio San! Perkenalkan aku Bun Tek Thian, Tiangloo (penasehat)
dari partai Ma Kauw!

Bab 26 Perjalanan Ke Markas Ma Kaw

Salam kenal juga Bun-Tianglo (penasehat Bun) jawab Cio San sambil
tersenyum

Kau masih tersenyum? Setelah apa yang kuperbuat kepadamu? tanya Bun Tek
Thian heran.

Memangnya selain tersenyum, apa yang bisa kulakukan? Cio San masih
tersenyum,

Kau menyelamatkan aku dan menyalurkan tenaga dalam untuk menyembuhkan


luka dalamku. Sebaliknya aku malah menotokmu. Apa kau tidak marah Bun
Tek Thian masih keheranan.

Memangnya jika aku marah kau tak akan menotok ku? masih sambil
tersenyum.

Memangnya kau tidak takut aku akan membunuhmu? Bun Tek Thian masih tak
habis pikir.

Jika kau ingin membunuhku, tentunya kau tak akan menotokku jawab Cio
San masih tetap tersenyum.

Bun Tek Thian tak tahu lagi harus berkata apa. Ia kemudian berkata,

Kau tahu alasanku menotokmu?

Sambil mengangguk Cio San menjawab,

Tentu saja. Nama dan latar belakangku ini sudah menjadi incaran orang
Kang Ouw. Mungkin Bun-tianglo ingin sekedar tanya-tanya di mana gerangan
kiranya kitab sakti yang ku bawa kabur?

Tepat. Sahut Bun Tek Thian dengan senang. Cerdas juga kau

Aku akan membawamu ke markas besar kami. Untuk ku hadapkan kepada kaucu
(ketua) kami. Sejak beberapa tahun yang lalu ia telah memerintahkan kami
semua untuk menyebar ke suluruh toing goan hanya untuk mencarimu.
Tentunya kau paham, mengapa bukannya mengucapkan terima kasih, aku malah
menotokmu

Cio San tersenyum saja. Keadaan orang yang tertotok di titik Tok Hiat,
memang membuat lumpuh seluruh tubuhnya. Kecuali bagian kepala. Cio San
masih bisa menoleh, berbicara, mengunyah, dan lain-lain.

Bun Tek Thian kemudian memeriksa buntalan yang dibawa Cio San. Ia
menemukan beberapa helai baju, banyak uang, peralatan masak sederhana,
dan sebuah kitab!

Kitab apa ini?

Dengan semangat ia membuka dan mulai membacanya. Tapi tak sampai berapa
lama semangatnya hilang. Ini bukan kitab silat!

Ternyata itu adalah kitab yang diberikan Khu Hujin kepada Cio San.

Aku memang tidak punya kitab silat apapun. Semua tuduhan yang diarahkan
kepadaku adalah fitnah. Jelas Cio San.

Terserah kaulah. Jelaskan saja nanti kepada Kaucu (ketua).

Bun Tek Thian lalu masuk kedalam hutan sebentar. Begitu keluar ia telah
membawa sebuah kereta kecil. Kereta ini sejenis kereta barang. Ada
tumpukan jerami yang kelihatan berat sekali diatas baknya. Lucunya kereta
itu bukan ditarik kuda, melainkan seekor keledai.

Punya Bun Tianglo? tanya Cio San

Bun Tek Thian mengangguk.

Kereta yang bagus. Keledainya juga lucu. Pertama kali melihat saja aku
langsung jatuh hati puji Cio San.

Baguslah kalau kau suka. Karena perjalanan kita akan menggunakan kereta
dan keledai ini selama 7 hari

Habis berkata begitu Bun Tek Thian mengangkat tubuh Cio San dan
buntalannya, lalu diletakkan diatas bak bersama tumpukan jerami. Bun Tek
Thian sedikit heran karena tubuh Cio San yang bobotnya seperti orang
kebanyakan. Pesilat kelas atas seperti Cio San searusnya memiliki tubuh
yang sangat ringan.

Mereka kemudian berangkat. Jika sebelumnya Cio San


sekarang perjalanan mereka menuju arah barat. Baru
perjalanan, Cio San sudah tertidur. Mungkin merasa
tumpukan jerami, dan perjalanan kereta yang tenang

menuju arah Selatan,


beberapa lama
nyaman di atas
di malam hari.

Bun Tek Thian geleng-geleng kepala. Melihat Cio San yang sudah
mendengkur!

Walaupun suara dengkurannya sangat halus. Mendengkur tetaplah mendengkur.

Ia sedang ditawan dalam keadaan tertotok. Bagaimana mungkin ada orang


bisa tertidur pulas dalam keadaan sepert itu pikirnya dalan hati.

Tapi Cio San tidur dengan nyenyak!

Memangnya, selain tidur nyenyak, apalagi yang bisa kau lakukan di saat
seperti itu?

Cio San terbangun saat hari menjelang subuh. Sinar matahati mulai
terlihat, dan jalanan di depan sudah mulai terang. Bun Tek Thian malah
sudah mematikan obor yang menerangi perjalanan mereka semalam.

Ahaa..kau sudah bangun? Bagus lah. Setelah ini kita berhenti untuk
makan

Cio San hanya mengangguk saja. Ia memperhatikan keadaan sekeliling.


Rupanya mereka masih di hutan. Walaupun sudah tidak terlalu lebat seperti

saat perjalanan semalam. Jalan yang diambil Bun Tek Thian rupanya bukan
jalan umum yang biasa diambil orang.

Begitu melihat sebuah pohon yang rindang, Bun Tek Thian memutuskan untuk
berhenti disitu. Ia menambatkan keledai dan keretanya di sebuah pohon
yang tak jauh dari situ juga. Setelah itu ia merogoh-rogoh ke dalam
tumpukan jeremi.

Ternyata di dalam tumpukan jeremi yang tinggi itu banyak terdapat


perbekalan dan peralatan juga. Tianglo Ma Kauw lalu memasak. Sebuah bebek
yang besar. Ketika dipanggang baunya membangkitkan selera. Tak berapa
lama penggangan itu selesai dan Bun Tek Tian lalu menyuap Cio San.

Sambil tertawa Cio San berseloroh,

Jika aku bercerita kepada orang-orang, pasti tidak ada satupun orang
yang percaya bahwa aku makan disuap oleh seorang Ma Kaw Tianglo

Bun Tek Thian ikut tertawa. Katanya, Memangnya orang orang di seluruh
dunia ini berfikir kami orang Ma Kauw bukan manusia? Tidak ada yang lebih
membuatku sedih selain mendengarkan pendapat orang tentang aliran partai
kami.

Selama ini gambaran orang tentang Ma Kauw memang adalah sebuah partai
beragama sesat. Para anggota kami begitu ditakuti sampai-sampai tidak ada
pihak manapun yang mau bergaul dengan kami. Bahkan mereka yang berasal
dari golongan hitam pun tidak ada yang mau berhubungan dengan kami

Orang awam memandang partai kami sebagai partai yang kejam. Yang para
anggotanya adalah golongan siaw jin (orang rendahan, hina, najis) yang
harus dihindari. Semua ini adalah gara-gara kaisar Hongwu biadab itu

Cio San sangat paham tentang kisah kaisar Hongwu. Bahkan keluarganya
sendiri punya jasa besar pada kaisar itu. Nama asli kaisar Hongwu adalah
Chu Yauncheng. Ia adalah seorang petani biasa. Saat itu tionggoan
dikuasai oleh Dinasti Goan, yang merupakan bangsa Mongolia, dan bukan
merupakan bangsa Han, (orang asli China). Oleh karena itu muncul banyak

perlawanan dari bangsa Han untuk mengusir dan meruntuhkan dinasti Goan
itu.

Chu Yuancheng bergabung dengan salah satu kelompok pemberontak yang ada
saat itu. Dengan kecerdasan dan keberaniannya ia berhasil mencapai
pangkat tinggi dalam kelompok itu. Pada saat itu seluruh bangsa Han
bersatu. Tak terkecuali kaum persilatan yang tidak kurang andilnya dalam
meruntuhkan dinasti Goan.

Pemberontakan itu dipimpin oleh cucu murid Thio Sam Hong yang namanya
sudah terlupakan itu. Ketika pemberontakan berhasil, ia malah
mengasingkan diri ke sebuah pulau terpencil bersama istrinya yang
merupakan seorang putri Mongol.

Ia menyerahkan kedudukan ketua kepada Chu Yuancheng. Pada awalnya semua


mendukung keputusan itu, karena Chu Yuancheng adalah pemuda yang sangat
berbakat, cerdas, dan pemberani. Hasil kerja kerasnya pun terlihat di
kalangan rakyat jelata.

Ia pun diangkat sebagai kaisar pertama dinasti Beng. Nama Beng itu
sendiri diambil dari nama Beng Kauw. Beng Kauw adalah nama partai
persilatan pimpinan cucu murid Thio Sam Hong itu. Dialah orang yang
berhasil menyatukan Butongpay, Bengkauw, dan berpuluh-puluh partai
persilatan lainnya sehingga kekuatan perlawanan rakyat sangat kuat saat
itu.

Itulah mengapa Chu Yuancheng menggunakan nama Beng sebagai nama


dinastinya. Sebagai bentuk penghormatan kepada partai yang pernah
dimasukinya dulu itu. Saat menjadi menjabat, ia menerbitkan banyak
peraturan yang membahagiakan bagi rakyat jelata. Kebijakannya tentang
pertanian, perdagangan, dan pendidikan membuat rakyat merasakan
kesejahteraan yang selama ini tidak pernah mereka rasakan.

Tapi sayangnya Chu Yuancheng berlaku kejam kepada pihak-pihak yang


menentang kebijakannya. Sepuluh jendral kepercayaannya yang dulu
membantunya pun ia singkirkan. Kakek Cio San adalah salah satu dari
kesepuluh jendral yang semuanya beragama Islam itu.

Beberapa jendral ada yang dibunuh, ada yang diracun, dan ada yang
difitnah. Untunglah kakek Cio San sudah mundur jauh sebelum Chu Yuancheng

menjadi kaisar. Ia pensiun dan memilih kehidupan sebagai petani. Oleh


karena itu Chu Yuancheng yang saat itu telah mengganti nama menjadi
kaisar Hongwu tidak menganggapnya sebagai ancaman. Ia hanya mengincar
jendral-jendral yang masih menjabat.

Dan memang tidak hanya jendral-jendral, tapi juga para sastrawan,


pejabat, dan semua orang yang menentang kebijaksanaannya semua
disingkirkan. Ada yang dibunuh, dipenjara, diasingkan, dan lain lain.
Rakyat tionggoan saat itu hidup dalam kesejahteraan, tapi juga dalam
ketakutan bahwa suatu saat kaisar Hongwu akan membinasakan mereka karena
menentang kebijakannya.

Hal ini juga berlaku ke dalam dunia Kang Ouw. Karena takut puluhan ribu
pesilat tangguh ini memberontak, ia akhirnya memecah belah mereka. Beng
Kauw yang merupakan partainya sendiri ia nyatakan sebagai partai
terlarang. Mereka difitnah sebagai partai sesat, dikejar-kejar pasukan
negara, anggota-anggotanya bercerai berai, sehingga akhirnya mereka
mendirikan partai baru bernama Ma Kauw.

Partai lain pun, walaupun tidak terlalu diutak atik oleh kaisar Hongwu,
tetap juga merasakan kerepotan yang sama. Banyak kejadian adu domba yang
membuat antar partai berseteru dalam kalangan mereka sendiri. Hongwu
berhasil menciptakan berbagai masalah yang membuat kaum bu lim sibuk
dengan urusan mereka sendiri dan tidak lagi terlalu memperdulikan urusan
negara.

Begitulah garis besar ceritanya. Sekarang, walaupun Hongwu telah


meninggal dan telah digantikan, keadaan masih tetap sama. Orang Beng Kauw
atau yang sekarang disebut Ma Kauw tetap dianggap sebagai biang kerok
kerusuhan. Anggotanya tidak disukai. Bahkan rakyat jelata pun tidak
menyukai anggota Ma Kauw.

Waktu aku kecil, kata Cio San Aku juga sangat takut dengan orang Ma
Kauw. Penampilan mereka seram-seram. Pakaiannya aneh aneh. Tidak mengenal
aturan dan adat istiadat. Sembarangan dan seenaknya

Hahahajangan tertipu penampilan kami. Walaupun seram dan aneh, hati


kami baik sekali tukas Bun Tek Thian sambil tertawa.

Iya, sungguh baik. Sampai-sampai orang yang menolong pun tetap ditotok
sampai lumpuh Cio San berkata begitu sambil tersenyum.

Yah, setidaknya aku tidak membunuhmu kan? Bahkan aku memberi makan
dengan menyuapimu. Seharusnya kau memanggilku sebagai kakekmu. Ayo beri
hormat kepada kakekmu yang baik! Hahaha!

Salam hormat kakekku yang baik!

Mereka tertawa-tawa.

Memang pada dasarnya sifat Cio San memang senang bergurau. Begitu juga
sifat Bun Tek Thian. Maka cocoklah mereka berkelakar tentang apa saja.

Eh kakek Cio San kini memanggil Bun Tek Thian sebagai kakek, Aku punya
cerita lucu yang tidak kalah lucu dengan cerita kakek tadi

Haha, coba ceritakan cucu yang baik!

Begini, ada seorang Siauw Jin (manusia rendahan, hina) yang suka judi.
Semua hartanya sudah ia pakai sebagai modal judi. Yang tersisa hanya
seekor burung peliharannya saja. Burung itu sudah bulukan. Penyakitan.
Seluruh bulunya sudah terkelupas seluruhnya. Karena sudah tidak ada lagi
barang yang bisa dijual. Akhirnya dia memutuskan untuk menjual saja
burung itu.

Saat di pasar burung, ia kebagian paling ujung karena bagian depan pasar
sampai belakang sudah terisi penjual burung yang lain.

Tidak perlu menanti terlalu lama, datanglah seorang saudagar yang


terkenal kaya dan royal. Ia punya kegemaran mengoleksi burung. Maka satu
persatu burung diperhatikannya. Bahkan ia bertanya apa saja kelebihan
burung-burung yang ada. Tapi nampaknya tidak ada satu pun yang menarik
hatinya.

Ketika sampai diujung pasar, ia bertanya ke salah satu penjual burung


yang berdiri tidak jauh dari Siauw Jin kita. Si saudagar bertanya,

Berapa harga burung ini?

Tiga puluh tael emas, tidak lebih tidak kurang jawab si penjual

Eh, kenapa mahal sekali? Apa kelebihannya tanya si saudagar

Burung ini jika bernyanyi, suaranya merdu sekali sambil berkata begitu
ia membuat burungnya bernyanyi. Dan memang suaranya indah sekali. Ada
beberapa lagu kicauannya yang terdengar sangat indah. Seluruh orang yang
ada di pasar mengagumi kicauannya.

Akhirnya si saudagar langsung membeli burung itu tanpa tawar menawar.


Setelah puas, ia pulang. Ketika sampai di pintu keluar, ia melihat burung
dagangan Siauw Jin kita. Karena merasa lucu ada orang menjual burung
sejelek dan seburuk itu, si saudagar iseng-iseng bertanya,

Eh, burung ini dijual juga?

Benar jawab siauw jin kita mantap.

Sambil tertawa geli, si saudagar bertanya, Memangnya mau kau jual


berapa?

Seratus tael emas! Tidak kurang tidak lebih! jawabnya mantap.

Si saudagar hampir pingsan karena kaget, Mahal sekali, emang apa


kelebihannya? Apakah suaranya merdu dan dia bisa menyanyi seperti burung
yang baru saja ku beli ini?

Burung saya ini malah sama sekali tidak bisa menyanyi

lalu, kenapa harganya mahal sekali? tanya si saudagar

Walaupun burung saya ini tidak bisa menyanyi, TAPI SEMUA LAGU YANG
DINYANYIKAN OLEH BURUNG YANG TUAN BELI TADI, ADALAH CIPTAAN BURUNG SAYA
INI

Hahahahahahhahaahahahahahahhaahhahahaahhahah!!!!

Suara tawa membahana. Belum pernah ada cerita yang ditawan bisa
menceritakan cerita lucu kepada yang menawan. Tapi begitulah adanya.
Kedua orang ini berjiwa bebas. Apa saja dilewati dengan tertawa.

Manusia jika sudah bisa tertawa saat sedang susah, mestinya boleh
dibilang sebagai manusia yang bahagia.

Eh cucu yang baik, perutku sakit. Lebih baik kita cepat berangkat agar
cepat sampai pula. Maafkan kali ini aku harus menumpukmu dengan jerami.
Banyak orang mencarimu. Jika mereka melihat kau sedang tidur-tiduran enak
di gerobakku, maka aku akan repot. Selain itu aku pun harus menutup
matamu. Supaya matamu tidak jelalatan. Maafkan perbuatan kakekmu ini ya
cucu

Tidak masalah!

Begitulah. Mereka akhirnya melanjutkan perjalanan. Karena mulai memasuki


daerah yang ramai, mereka sering berpapasan dengan banyak orang. Kini
pemandangan hutan sudah berganti pemadangan sawah dan ladang.

Mereka juga melewati perkampungan. Rumah-rumah yang ada di perkampungan


ini walaupun kecil dan bersahaja, tampik sangat rapi dan bersih. Cio San
tak tahu mereka di mana sekarang. Tak berapa lama setelah memasuki sebuah

desa, kereta berbelok ke sbuah gang kecil. Rupanya Bun Tek Thian menuju
sebuah rumah.

Lebih tepatnya sebuah perkampungan rumah. Di tionggoan memang banyak


tempat seperti ini. Biasanya pemiliknya adalah bangsawan atau seorang
yang sangat kaya. Yang memiliki tanah yang luas. Diatas tanah itu
berdirilah beberapa rumah yang masih merupakan rumahnya juga. Biasanya
terdiri dari rumah utama yang besar, biasanya dihuni pemiliknya dan
keluarga utama. Lalu beberapa rumah-rumah kecil yang dihuni keluarga
jauh, pelayan, pegawai, dan lain-lain. Dalam dialek Hokkien disebut
Ceng

Kini mereka telah masuk ke dalam Ceng itu. Luas rapi dan bersih. Mereka
disambut seseorang yang berkata,

Ya langsung saja kau bawa jerami-jerami itu ke kandang kuda di belakang,


A Ma

Ternyata Bun Tek Thian di sini dikenal dengan nama A Ma.

Baik jawab Bun Tek Thian atau A Ma.

Tak berapa lama kereta keledai itu sudah sampai ke kandang kuda. Di sana
juga ada banyak orang, salah satunya berkata,

Itu tumpukan jerami mau langsung kau taruh di kandang atau mau kau taruh
di gudang dulu?

Di gudang jawab A Ma pendek.

Baiklah, langsung saja

Kereta masuk ke dalam gudang. Ada beberapa orang yang sedang bekerja di
dalam. Mereka pun menyapa,

Ah datang juga kau. Sudah lama tidak mengirim jerami. Kemana saja?

Hahaha. Istriku sedang sakit. Aku terpaksa merawatnya dulu.

Kalau istri sudah sakit-sakitan, harusnya kau mengganti istri baru

Hahahahhaha! Terdengar suara tawa bergemuruh.

Eh A Ma, langsung saja kau ambil bayarannya ke Sow cukong (tuan tanah
Sow). Beliau sedang berada di taman belakang. Mengurus bunga-bunga
peliharannya kata salah seorang

Baiklah. Terima kasih. Kata A Ma. Ia turun dari keretanya, menambatkan


keledainya, lalu pergi ke taman mencari Sow cukong.

Begitu A Ma keluar dari gudang itu, salah seorang dari pekerja gudang
berkata,

Mengapa tuan kita begitu menyukai A Ma ya? Setiap dia membawa jerami,
pasti tuan kita menemuinya secara langsung. Padahal kalau ada urusanurusan begitu, tak pernah tuan kita turun tangan sendiri

Salah seorang menyahut,

Setahuku, si tua A Ma itu adalah kenalan tuan kita sejak masih kecil.
Makanya tuan menghormati dia

Oooh begitu rupanya

Tak lama kemudian terdengar bunyi lonceng.

Ahasudah masuk waktu makan rupanya

Para pekerja itu kemudian menghentikan pekerjaannya. Mungkin ke ruang


makan. Beberapa ada yang masih menyelesaikan pekerjaannya.

Keadaan lumayan sunyi bagi Cio San. Tapi tak berapa lama ia mendengar
bunyi langkah langkah kaki. Langkah yang sebenarnya tidak berbunyi,
karena pemilik-pemiliknya adalah pesilat kelas atas. Cio San mengenal
salah satu pemilik langkah itu, mestinya adalah Bun Tek Thian. Siapa
pemilik kaki satunya lagi? Pastinya adalah Sow Cukong.

Terdengar suaranya,

Kenapa kalian masih bekerja? Ayo makan dulu saja. Biar nanti A Ma yang
menurunkan jerami-jerami ini

Suaranya sangat dalam dan berwibawa.

Baik tuan para pekerja yang masih tersisa segera bergegas pergi makan.

Begitu bayangan pekerja menghilang di balik pintu, pemilik suara itu lalu
berkata,

Ah, Tianglo lama tidak berkunjung kesini? Ada kabar atau urusan apa yang
bisa teecu (murid) bantu?

Suaranya sudah tidak berwibawa lagi, bahkan sekarang terkesan menjilatjilat.

Sow Tan Li, aku memerintahkan kau untuk segera mengirimkan kabar di
seluruh cabang bagian barat dan juga markas pusat. Aku membawa buntalan
penting. Setiap cabang harus bersiaga penuh. Jangan sampai bocor.Aku juga
membutuhkan beberapa murid tingkat 2 atau 3 untuk membayangiku sepanjang
perjalanan. Jangan terlalu dekat dan jangan terlalu jauh. Mereka harus
sebisa mungkin tidak terlihat

Baik tianglo. Ada perintah lainnya?

Tidak ada. Buntalan ini adalah masakan kesukaan ketua. Jika tidak
sampai atau sampai dalam keadaan dingin, maka ketua akan marah sekali.
Kita semua akan kena celaka

Teecu mengerti. Teecu akan turun tangan langsung menangani perintah


tianglo

Bagus kata Bun Tek Thian.

Cio San paham. Buntalan itu tentu dirinya. Dingin berarti sudah mati.

Turunkan jerami-jerami ini, tapi sisakan sedikit untuk menutupi


buntalannya perintah Bun Tek Thian.

Baik tianglo. Mulutnya bicara tapi tubuhnya sudah bergerak cepat


menurunkan jerami jerami itu. Tangannya menyampluk, mengeluarkan sejenis
pukulan. Anginnya saja sudah menerbangkan jerami-jerami itu. Hanya butuh
2 angin pukulan untuk memindahkan jerami-jerami itu.

Ia menyisakan beberapa tumpuk untuk menutupi tubuh Cio San.

Siapakah pemuda ini, tianglo? tanyanya

Kau tidak perlu tahu. Kerjakan saja tugasmu

Maafkan teecu yang tidak sopan tianglo

Begitu pekerjaannya selesai, Bun Tek Thian sudah bersiap untuk pergi. Sow
cukong memberinya uang untuk perbekalan. Setelah memberi hormat, ia pun
segera ke luar gudang lewat pintu lain. Sedangkan Bun Tek Thian melewati
pintu yang sama saat dia masuk tadi.

Mereka pun keluar dari ceng itu.

Setelah agak berapa lama dalam perjalanan, dan suasana sudah agak sepi,
Bun Tek Thian berkata kepada Cio San,

Kau jangan kaget. Hanya dengan cara beginilah Ma Kauw kami bisa
bertahan. Harus ada beberapa orang yang menyusup menjadi orang biasa, dan
melakukan pekerjaan-pekerjaan biasa. Jika tidak bekerja secara rahasia
begini, mustahil kami bisa bertahan sampai sekarang

Cio San paham, dan kagum. Betapa rapinya partai ini bekerja. Secara
rahasia pula. Jika tidak mengalami sendiri, Cio San tak akan percaya
bahwa anggota golongan Ma Kauw banyak yang merupakan saudagar dan orangorang kaya.

Dan ini ia alami dalam beberapa hari perjalanannya. Bun Tek Thian singgah
ke tempat-tempat yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Ke rumah
makan, ke rumah bordil, ke rumah saudagar dan bangsawan-bangsawan. Semua
memperlakukannya dengan cara yang sama. Jika sedang ramai akan menganggap
Bun Tek Thian sebagai orang rendahan, tapi jika berduaan saja Bun Thian
diperlakukan dengan sangat hormat. Bun Tek Thian mampir untuk sekedar
meminta bekal atau kadang juga memberi perintah-perintah.

Hebat sekali Ma Kauw ini!

Bab 27 Pertarungan Hidup dan Mati

Kini Cio San dan Bun Tek Thian berada di salah satu cabang rahasia Ma
Kauw. Cio San tidak menyangka kalau Ma Kauw mempunyai cabang rahasia di
sebuah kantor pemerintahan!

Memang ini hanya sebuah kota kecil. Walikotanya adalah anak buah Ma Kauw.
Namanya Tong Sin Sat. Mereka sampai di kota kecil itu di sore hari,
ketika kantor pemerintahan itu akan tutup. Setelah semua pegawai pulang
semua, sang walikota masih tetap tinggal untuk menyelesaikan beberapa
pekerjaan. Hanya pengawal pribadinya yang menunggu di ruang depan dekat
pintu. Pastinya mereka juga anak buah Ma Kauw.

Tong Sin Sat ini bertubuh tambun, dengan wajah kemerah-merahan.


Seragamnya agak keliatan sempit. Raut mukanya cerah, dan selalu
tersenyum. Mereka bertiga sedang menikmati arak dan beberapa makanan
kecil. Bun Tek Thian tidak memberikannya tugas apa-apa. Hanya sekedar
mampir dan mengisi bekal.

Bun Tek Thian juga tidak membicarakan hal-hal yang penting-penting. Hanya
sekedar bertanya-tanya tentang keluarga, dan masalah pekerjaan sebagai
walikota. Setelah lama diam dan menyimak saja, Cio San lalu berkata,

Bun tianglo, bukannya aku berlaku tidak hormat, tapi aku sudah menahan
urusan buang air selama hampir 4 hari. Kira-kira engkau ada rencana untuk
mengijinkan aku untuk menyelesaikan urusan ku ini?

Ah kupikir orang sesakti dan selihay engkau tidak butuh urusan macam
begitu sahut Bun Tek Thian yang disambut tawa oleh Tong Sing sat.

Kau sendiri masih mempunyai urusan demikian, tidak? tanya Cio San ke
Bun Tek Thian

Tentu saja, aku kan manusia normal jawab Bun Tek Thian

Nah, kau kan yang menotok dan menawanku. Tentunya kau lebih lihay dan
sakti daripada aku. Harusnya sudah tidak mempunyai urusan demikian kata
Cio San sambil tersenyum.

Bun Tek thian dan Tong Sing Sat tertawa.

Betul juga kata Bun Tek Thian. Lanjutnya, Aku sudah menggendong mu
kesana kemari. Itu pun sudah ditambah menyuapimu. Masakan kau memintaku
mengurusi urusan pintu depan dan pintu belakangmu juga?

Bukankah setiap perkara harus ditangani dengan seksama? Jika aku


membuang hajat secara sembarangan di markas cabang kalian, atau di atas
keretamu, bukankah akan menambah berbagai urusan? Jika di jalan orangorang mencium ada bau tak karuan di keretamu, bukankah akan membuat
curiga? kata Cio San

Ah kau betul lagi

Lama Bun Tek Thian berpikir, ia lalu berkata, Kalau ku lepaskan


totokanmu, maka dalam sekali gebrak saja maka kau bisa menyelesaikan
aku. Urusan demikian, aku tidak berani ambil resiko

Begini saja lanjutnya,

Ku berikan kau sebuah pil racun. Racun ini akan menghancurkan syarafmu
dalam waktu satu jam. Jika dalam satu jam kau tidak minum penawarnya,
maka kau akan mati menggenaskan. Bagaimana jika kau kuminumkan pil itu,
lalu ku selesaikan urusan hajatmu. Setelah selesai, kau kembali lagi
kepadaku, lalu ku totok. Setelah itu kuberikan obat penawar racunnya? Kau
jangan coba-coba melumpuhkanku untuk mencari penawarnya. Karena dari
ratusan pil yang ada, hanya aku dan Tong Sing Sat yang tahu mana yang
racun dan mana yang penawar. Jika kau maka salah-salah kau meminum racun
lain yang malah membuat keadaan lebih parah. Nah, bagaimana? Setuju?

Tanpa pikir panjang Cio San menjawab Setuju!

Tong Sing Sat kagum juga melihat keberanian Cio San.

Tidak perlu kagum, tuan walikota kata Cio San sambil tersenyum

Bagaimana kau tahu aku kagum? Apapula sebab aku harus kagum? tanya si
walikota sambil tersenyum juga.

Kelopak matamu membuka. Matamu bersinar. Cuping hidungmu sedikit


terangkat. Lehermu memanjang. Pundakmu menegak. Itu adalah ciri orang
yang kagum akan sesuatu. Perubahan ini hanya sepersekian detik saja. Tapi
aku bisa melihatnya dengan mudah. Mengenai alasan mengapa kau kagum, juga
jelas sekali. Kau pasti kagum karena tanpa pikir panjang, aku bersedia
meminum racun penghancur syaraf. Bukan begitu, tuan walikota?

Tong Sing Sat tambah kagum lagi, ia berkata Hebat benar kau. Dari mana
kau belajar kemampuan seperti ini? Seperti sudah bisa menebak isi
kepalaku

Bun Tek Thian menjawab, Cio San punya sebuah kitab tentang mempelajari
wajah dan gerak tubuh. Aku sempat membacanya sekilas, tapi begiku tidak
menarik dan tidak ada gunanya. Hanya membuat orang kagum. Apa gunanya?
Cuma seperti pertunjukan sulap jalanan

Ah saya tertarik tianglo, di mana kitabnya?

Tuh di buntalan di sampingnya jawan Bun Tek Thian.

Belum sempat Tong Sing Sat beranjak mengambil buntalan itu, Cio San sudah
berkata,

Kitab itu pemberian orang yang sangat kuhormati. Walaupun aku sudah
hafal luar kepala segala isinya dalam 2 hari, aku tetap akan menjaganya.
Jika kau berani menyentuh kitab itu, aku akan membunuhmu. Bun Tianglo
sudah berjanji membuka totokannya jika aku mau minum pil penghancur
syaraf. Begitu totokanku dibuka, aku langsung akan membunuhmu

Bun Tek Thian dan Tong Sing Sat terdiam. Mereka tahu Cio San tidak sedang
omong kosong. Maka mereka akhirnya tersenyum senyum saja saat Cio San
melanjutkan,

Karena itu maafkan segala kekurangajaranku. Bukankah lebih baik kita


tidak saling mengganggu dan menjadi sahabat saja?

tentu sajatentu saja mereka tertawa-tawa dan minum arak. Sayangnya Cio
San harus disuapi oleh Bun Tek Thian, jika tidak tentu ia akan ikut
bersoja juga.

Selanjutnya, Bun Tek Thian memerintahkan untuk mengambil pil racunnya.


Tong Sing Sat pergi sebentar lalu kembali dengan membawa sebuah kotak
besar. Isi kotak besar itu adalah bermacam-macam pil berawarna-warni. Bun
Tek Thian mengambil sebuah pil dengan hati-hati karena tak ingin Cio San
melihat ia mengambil pil yang mana. Lalu dengan sigap ia memasukkannya ke
dalam mulut Cio San.

Begitu Cio San menelannya, Bun Tek Thian langsung membuka totokannya.

Terima kasih, boleh ku tahu dimana jamban nya tuan walikota? tanya Cio
San

Mari kuantarkan tukas Tong Sing Sat.

Mereka berdua pergi dan kembali setelah beberapa lama.

Sudah lega, Cio San? tanya Bun Tek Thian sambil tertawa.

Bebas merdeka kata Cio San sambil mengelus-elus perutnya.

Ia kembali duduk di tempat semula dan membiarkan Bun Tek Thian


menotoknya. Setelah itu Bun Tek Thian memasukan pil penawar ke dalam
mulut Cio San.

Mereka ngobrol di sana sampai hari mulai gelap, lalu melanjutkan


perjalanan. Tentunya Bun Tek Thian mendapat tambahan bekal makanan dan
uang. Setelah keluar dari kota kecil itu, mereka memasuki desa dan hutanhutan yang tidak terlalu lebat.

Di subuh hari, ketika memasuki hutan bamboo, Cio San yang terbaring di
kereta dan ditimbun jerami tiba-tiba berkata, Di depan ada beberapa
orang yang menghadang jalan

Darimana kau tahu? Wah telingamu hebat sekali Bun Tek Thian memang
sudah melihat ada beberapa orang di depan. Tapi jaraknya masih jauh
sekali.

Maaf aku harus menutuk syaraf suaramu Bun Tek thian menjulurkan tangan
dan menutuk sebuah titik di tenggorkan Cio San.

Begitu kereta mendekat, terlihat ada 8 orang yang berdiri di depan.


Mereka memakai seragam tentara kerajaan.

Berhenti! seseorang yang kelihatan sebagai pimpinan pasukan kecil itu.


Bun Tek Thian memberhentikan keledainya. Ia bertanya, Ada apa tuan?

Biarkan kami memeriksa keretamu. Kata si pimpinan.

Saya hanya membawa jerami untuk di jual ke kandang-kandang kuda tuan.


Tidak membawa apa-apa kilah Bun Tek Thian.

Ia baru mau turun dari keledainya ketika sabetan pedang sudah diarahkan
ke kepalanya. Kaget sekali Bun Tek Thian melihat serangan ini. Tapi ia
bukan pesilat sembarangan. Ia sedikit saja menggerakkan kepala, sabetan
pedang itu sudah lewat diatas kepalanya. Sabetan pedang itu bukan sabetan

pedang biasa yang dilancarkan oleh seorang tentara biasa pula. Tentara
rendahan tak mungkin memiliki ilmu setinggi itu.

Bun Tek Thian melepaskan pukulan ke arah salah seorang, tapi temantemannya yang lain sudah sigap menghalangi pukulan itu dengan sabetan
pedang yang tak kalah dahsyat dengan sabetan yang tadi.

ilmu pedang Kun Lun pay? Bun Tek Thian berkata dalam hati

Satu sebetan lain mengincar kerongkongan.

Ini jurusnya Hoa San pay ia masih membatin lagi

Belum sempat berpikir, sebuah serangan mengincar ulu hatinya,

Kalau yang ini adalah ilmu Tian shan pay pikirnya

Apa kalian partai-partai lurus sudah bersatu padu ingin menghancurkan


kami? sambil marah ia mengelurkan 8 pukulan sekaligus. Hawa panas yang
dahsyat keluar dari kedua telapak tangannya. Tapi semua pukulan itu bisa
dihindari oleh ke 8 lawannya.

Itu langkah menggapai awan milik Butongpay! Bun Tek Thian berseru
kaget.

Para penyerangnya menyerangnya dengan berbagai macam juru dari berbagai


macam aliran. Bun Tek Thian tetap melayaninya dengan tenang. Tapi ia
tidak habis pikir bagaimana mungkin ke 8 penyerangnya ini menguasai
hampir segala macam jurus dari berbai aliran.

Pertempuran baru beberapa menit, tapi pohon-pohon dan tetumbuhan di


sekitar situ sudah porak poranda. Bisa dibayangkan betapa dahsyat
serangan pedang, dan juga pukulan yang mereka semua lancarkan.

Mengapa murid-murid yang kuminta mendampingiku belum juga tiba? tanya


Bun Tek thian dalam hati.

Seperti yang telah kita ketahui, Bun Tek thian memang telah memerintahkan
beberapa murid untuk mengawal dirinya secara tersembunyi. Mereka memang
selalu mengawalnya sejak ia memerintahkan hal itu kepada Sow cukong.
Entah mengapa sekarang malah tidak kelihatan batang hidung seorang pun.

Bun Tek Thian terdesak setelah puluhan jurus. Dibandingkan dengan


Butongpay Ngo Kiam, ke 8 orang ini ilmunya lebih tinggi, serangannya
lebih dahsyat, jurus-jurus mereka pun berasal dari berbagai macam aliran!

Ia terdesak. Walaupun tombak goloknya kini sudah berada di tangannya,


menghadapi ke 8 penyerang ini tetap bukanlah hal yang gampang. Teramat
sulit malah. Hujan pedang mereka jauh lebih rapat daripada hujan pedang
yang pernah dia alami sepanjang hidupnya!

Tenaganya terkuras habis, karena serangan yang ia hadapi bukan saja


serangan yang cepat dan ganas, melainkan juga berisi tenaga dalam yang
tinggi. Setiap kali tombak goloknya beradu dengan pedang, setiap kali itu
juga ia merasa getaran yang hebat. Tapi dengan gagah ia berusaha untuk
terus melindungi keretanya. Jangan sampai ada seorang pun yang berhasil
menembus kibasan angin puyuh tombak goloknya.

Cio San masih berbaring di dalam tumpukan jerami. Dari suara pertarungan
yang dia dengar, tahulah ia bahwa Bun Tek Thian sudah terdesak. Langkahlangkahnya sudah mulai berat. Memang sejak memasuki jurus ke 108,
gerakannya sudah mulai melambat. Tapi Bun Tek thian masih dengan gagah
mempertahankan posisinya untuk menjaga kereta.

Delapan buah pedang mengincar kepalanya. Bun Thek Thian mengangkat


tongkat goloknya untuk menangkis. Tahu tahu sebuah tendangan telah
menghantam tulang rusuknya. Ia sebenarnya sudah tahu serangan ini akan
datang. Tapi gerakannya sudah kalah cepat. Dalam hati ia bergidik, berapa
jauh ilmu silatnya tertinggal oleh orang-orang ini.

Menghadapi dua orang seperti ini ia masih bisa. Tapi delapan sekaligus?
Bun Tek Thian telah siap menghadapi ajalnya. Karena tendangan di tulung

rusuk itu menghempaskannya ke belakang. Ia jatuh terjungkal. Kedelapan


pedang sudah mengincar seluruh tubuhnya!

Ia membuka mata lebar-lebar menghadapi kematiannya.

Bab 28 Di Markas Rahasia Ma Kauw

Pedang tinggal sejengkal dari tubuhnya.

Blaaaaarrrrrrr!

Ombak dan gelombak pedang pun buyar. Kedelepan penyerang itu terlempar
beberapa tombak ke belakang. Di hadapan mereka kini berdiri beberapa
orang.

Salah satunya adalah orang yang menangkis serangan mereka tadi. Tubuhnya
kurus, namun sangat jangkung. Usianya sudah tua. Bajunya merah. Matanya
yang tajam menusuk jantung manusia. Jika ada orang yang bisa membunuh
hanya dengan pandanganseperti itu, mungkin dialah orang satu-satunya.

Hormat buat Kaucu! Semoga panjang usia! Bun Tek Thian sujud menyembah.

Inilah dia Ma-kauw Kaucu (Ketua Ma Kauw)!

Ang Soat! seru kedelapan orang itu berbarengan menyebuat nama sang
kaucu. Mereka lalu berbarengan menyerang sang Kaucu. Gerakan mereka kali
ini sungguh sukar ditangkap mata dan dibayangkan. Begitu cepat, begitu
lincah, begitu ganas. Masing-masing mengisi posisi yang menutupi gerak
lawannya. Menghadapi serangan seperti ini, tidak ada satupun yang bisa
kau perbuat selain mengharap dunia kiamat.

Tapi sang Kaucu bukan


paling sakti di dunia
menghindar. Tangannya
seluruhnya dalam satu

pesilat biasa. Namanya sudah masuk 3 besar orang


kangouw. Menghadapi serangan ini dia malah tidak
menyampluk semua pedang yang ada, menangkap
genggaman!

Siapun di seluruh dunia yang pernah belajar silat, jika melihat gerakan
silat seperti ini, tentulah pasti berhenti belajar silat. Karena seumur
hidup belajar pun tidak akan bisa melakukan hal mustahil seperti
demikian.

Begitu pedang tertangkap, kedelapan orang itu berusaha menarik sekuat


tenaga. Tapi tenaga mereka justru terkuras habis. Melepas pegangan pedang
juga tidak bisa. Serasa seluruh tubuh mereka lengket dengan gagang
pedang!

Iniini ilmu Menghisap Matahari semua yang ada di sana terbelalak.

Katakan siapa kalian? Dan apa tujuan kalian? Atau kuhisap terus tenaga
murni kalian kata sang kaucu. Ucapannya pelan dan penuh wibawa. Tapi
matanya. Matanya jauh lebih menusuk daripada jurus pedang apapun.

Kedelapan orang ini tidak menjawab.

Katakana tau kalian mati?

Kedelapan orang ini tetap tidak menjawab

Tubuh mereka semakin menghitam dan mengeluarkan asap!

Sehingga kemudian kering. Bagai seonggok kayu bakar. Mereka semua mati
hangus!

Begitu dahsyatnya ilmu Menghisap Matahari ini sampai semua orang yang
berada di situ terperangah. Mereka yang ada di situ adalah anggota Ma

Kauw juga, Mungkin pengiring sang Kaucu. Karena sudah pasti bukan
pengawal. Karena orang seperti dia jika membutuhkan pengawal, maka akan
merendahkan martabatnya sendiri.

Kau baik-baik saja Tek thian? tanyanya kepada Bun Tek Thian.

Hamba baik-baik saja Kaucu. Terima kasih atas kedatangan dan pertolongan
kaucu

Buntalan yang kau bawa apa masih baik-baik saja?

Hamba menjaganya dengan seluruh nyawa hamba, kaucu

Bagus, untuk jasamu ini akan dihargai sebaik-baiknya sambil berkata


begitu ia berjalan ke arah kereta. Menyingkirkan jerami dan memandang
sang buntalan .

Inikah yang bernama Cio San?

Benar kaucu

Baiklah. Kutunggu kalian di markas besar. Jaga jangan sampai terjadi


penghadangan lagi Setelah berkata begitu ia pun pergi. Jalannya biasa
dan melangkah dengan lambat. Tapi entah kenapa ia sudah kelihatan jauh
sekali.

Ilmu kaucu sudah semakin hebat saja! beberapa orang yang berada di situ
menggeleng-geleng kepala.

Sampailah rombongan itu di sebuah markas rahasia Ma Kauw. Ternyata berada


di dalam sebuah perut gunung. Memasukinya pun harus melewati jalan
rahasia. Sebuah air terjun yang sangat deras. Orang biasa yang mencoba

menembus air terjun sebesar ini pastilah kulit-kulitnya besat dan tulangtulangnya remuk.

Setelah beristirahat sebentar, berkumpul lah mereka di balairung utama.


Semua telah memakai baju khusus. Berwarna kuning cerah. Hanya sang kaucu
yang memakai baju warna merah. Ia duduk di atas singgasannya. Semua
perabotan di ruangan itu terbuat dari batu pualam sejenis marmer yang
indah sekali. Berwarna putih mengkilat. Sehingga membuat ruangan
balairung semakin bercahaya.

Yang hadir di dalam balairung itu adalah beberapa puluh murid utama,
sepuluh pengurus utama, Tiangloo (penasehat) kiri dan kanan, serta sang
Ma Kauw kaucu sendiri. Total ada sekitar 100 orang lebih. Tentu saja
mereka tidak saja cuma duduk melainkan menikmati arak, dan beberapa
hidangan mewah. Setiap ada acara berkumpul begini, memang selalu ada arak
dan hidangan mewah di markas Ma kauw.

Cio San diletakkan di hadapan sang kaucu. Duduk berlutut. Totokan di


tubuhnya belum dibuka. Tapi kini ia sudah bisa bicara.

Apa betul kau yang bernama Cio San? Murid yang kabur dari Butongpay
tanya sang kaucu

Benar kaucu, cayhe (saya) lah adanya

Apakah kau yang membawa lari cin keng (kitab sakti) yang berada dalam
kuburan Kam Ki Hsiang?

Demi Tuhan, dan atas nama leluhur-leluhur saya, saya tidak pernah
mengambil atau mencuri kita apapun. Saya pun tidak membunuh guru saya
jawab Cio San jujur.
Lama sang Kaucu menatap Cio san. Lalu ia berkata, Aku pecaya padamu!

Apakah tuan kaucu ingin bertanya kepada saya tentang Kam Ki Hsiang?
tanya Cio San tiba-tiba.

Darimana kau tau? matanya membesar.

Saya kebetulan memiliki sedikit kemampuan membaca isi pikiran orang


kata Cio San sambil tersenyum.

Aku tidak suka orang yang suka pamer, darimana kau tahu aku ingin tahu
tentang Kam Ki Hsiang? tanyanya tegas.

Dengan ilmu sehebat kaucu, tentunya tidak mungkin kaucu ikut-ikut


rebutan mencari kitab sakti segala. Di dunia ini, siapalah yang dapat
menandingi ilmu kaucu. Jadi aku menduga tentunya ada hal lain yang ingin
engkau cari

Ketika tersiar kabar bahwa kuburan Kam Ki Hsiang ternyata kosong, pasti
banyak orang yang menyangka ia masih hidup. Dan karena banyak orang yang
punya dendam dengan dirinya, tentulah urusan dan dendam waktu lampau
dengan sendirinya muncul kembali. Ketika kaucu menyebut nama Kam Ki
Hsiang, saya tidak melihat kemerahan dan dendam di wajah kaucu. Saya
justru melihat ada kesedihan. Jadi saya menduga, urusan kaucu kepada Kam
Ki Hsiang bukanlah urusan dendam. Melainkan ada kenangan lain yang
tersimpan

Tatapan mata Ma Kaucu berbinar, Baru sekali ini aku bertemu orang
secerdas engkau, Cio San!

Tapi jika aku ingin mengetahui tentang Kam Ki Hsiang, kenapa aku tidak
langsung saja ke Butongpay untuk bertanya? Atau mengirimkan mata-mata
kesana?

Itu karena engkau tahu Kam Ki Hsiang tidak meninggal jawab Cio San

Sekali lagi mata Ma Kaucu berbinar, Dugaanmu sungguh tepat

Jika kaucu tahu beliau tidak meninggal, kaucu pun tahu bahwa beliau
telah berganti nama menjadi A Liang. Maka begitu mendengar kabar aku
kabur dengan Liang-lopek, tentunya kaucu menjadi sangat penasaran tukas
Cio San, ia melanjutkan, Di dunia ini, orang yang tahu tentang keadaan
Liang-lopek sebenarnya hanya dua, yaitu kaucu dan Thay suhu (guru besar)
Thio Sam Hong. Maka saya menduga hubungan kaucu dengan Liang-lopek
sungguh amatlah dekat. Kalau bukan saudara kandung, pastilah sahabat
dekat

Perubahan wajah sang kaucu sungguh terlihat jelas. Tapi tak seorang pun
yang tahu apa arti perubahan itu, ada jejak kenangan, ada kekaguman, ada
rasa heran, semua bercampur aduk.

Orang secerdas engkau, tidak hanya menimbulkan kekaguman, tapi juga


menimbulkan rasa takut kata sang Kaucu, lalu melanjutkan

Lalu bagaimana kabar Kam Ki Hsiang sekarang?

Kam-suhu telah meninggal. Maukah kaucu mendengarkan cerita sebenarnya?

Tentu saja

Cio San lalu menceritakan semuanya.

Setelah mendengar penuturan Cio San, sang Kaucu termenung. Kini rasanya
aku yang giliran menceritakan semuanya kepadamu dan kepada kalian semua

Ia lalu berkisah. Sang kaucu ini sudah bersahabat dengan Kam Ki Hsiang
sejak kecil. Kesukaan mereka terhadap ilmu silat membuat mereka semakin
dekat. Suatu saat mereka memutuskan untuk berkelana sendiri sendiri.

Kam Ki Hsiang secara tidak sengaja menemukan sebuah gua yang berisi Cin
Keng (kitab sakti). Sedangkan kaucu yang bernama Ang Soat itu bergabung
dengan Beng Kauw. Karena saat itu Beng Kauw merupakan partai silat
terbesar dan termasyhur.

Setelah Kam Ki Hsiang berhasil menguasai semua ilmu yang ada di cin keng
itu, ia menantang semua ahli silat yang ada. Ketika akan menantang ketua
Beng Kauw, Ang Soat lah yang meminta agar Kam Ki Hsiang mengurungkan
niatnya. Kam Ki Hsiang kemudian setuju, dan malah berniat menantang Thio
Sam Hong.

Kabar yang terdengar berikutnya adalah Kam Ki Hsiang kalah dan mati di
butongsan. Jenazahnya pun dimakamkan di sana. Ang Hoat pun tidak
mengihlaskan kematian sahabatnya itu. Lalu 10 tahun kemudian, secara
tidak sengaja Ang Hoat bertemu dengan Kam Ki Hsiang yang sudah berganti
nama menjadi A Liang. Pada awalnya A Liang tidak mau mengaku bahwa
dirinya adalah Kam Ki Hsiang. Pertemuan itu terjadi secara tidak sengaja
ketika A Liang turun ke Butongsan untuk membeli beberapa bahan makanan.
Saat itu Ang Soat memang juga tidak sengaja punya sebuah urusan di sana.

Lalu setelah dipaksa-paksa, akhirnya Kam Ki Hsiang mengaku juga. Ia


meminta Ang Soat merahasiakan keadaannya, karena jika orang Kang Ouw
mengetahui keadaannya itu bisa menimbulkan kehebohan dan membuka dendam
yang sudah terkubur. Kam Ki Hsiang juga meminta Ang Soat tidak
menceritakannya kepada kekasihnya, Khu Ting Ai, atau yang kemudian lebih
dikenal dengan nama Khu Hujin.

Maka ketika mendengar A Liang kabur dengan Cio San, Ang Soat yang telah
menjadi kaucu mengerahkan seluruh kemampuannya untuk mencari mereka.
Seluruh anak buahnya disebar ke seluruh penjuru Tionggoan hanya untuk
mencari keberadaan A Liang. Bahkan hingga beberapa tahun telah lewat,
semua anggota Ma Kauw masih diwajibkan mencari A Liang dan Cio San ini.

Begitulah ceritanya hingga Cio San bisa dilumpuhkan Bun Tek Thian dan
dibawa sampai ke markas Ma Kauw di dalam perut gunung ini.

Baru selesai sang kaucu bercerita, tiba-tiba terdengar teriakan. Banyak


orang muntah darah, dan jatuh bergelimpangan. Pikiran Cio San segera
bergerak cepat, ia berteriak Racun!
Raut wajah sang Kaucu berubah, ia segera mengarahkan tenaga dalam untuk
menghalau racun. Wajahnya bahkan bertambah pucat, ia terbatuk-batuk.

Jangan mengerahkan tenaga dalam! teriak Cio San . racunnya mungkin


akan semakin menghebat jika kalian mengerahkan tenaga dalam

Semua orang yang ada disitu terpana. Apa yang harus dilakukan jika tidak
menggunakan tenaga dalam? Semua yang ada di sana jatuh terduduk di
lantai. Murid-murid yang ilmunya lebih rendah semua berkelojotan. Yang
ilmunya tinggi masih berusaha bertahan.

Hahahahahahahahha, akhirnya kalian mampus semua!

Terdengar suara terbahak-bahak.

Kau! semua orang disitu tak menyangka siapa orangnya.

Cio San menoleh, ternyata ia adalah salah satu tianglo dari Ma Kauw
Tianglo yang ada. Yang ini adalah Tianglo kanan, sedangkan Bun Tek Thian
adalah tianglo kiri.

Po Che King! Apa maksudmu? Tak kusangka sang Kaucu berteriak marah.

Aku sudah menunggu saat-saat kita berkumpul bersama seperti ini. Awalnya
aku menunggu bulan depan saat perayaan ulang tahunmu. Tapi sekarang malah
kesempatan itu tiba lebih cepat. Kalian semua telah terkena racun baru.
Aku mendapatnya dari Keh-losiansing (tabib tua Keh). Ini racun dahsyat
terbaru. Tidak ada bau, tidak ada rasa. Tidak akan membuat orang curiga.
Racun ini menyerang syarafmu. Melumpuhkan tenagamu. Bahkan jika kau
mengerahkan tenaga dalammu, ia akan bekerja semakin baik. Hahahahahah!
Sudah merasakan kedahsyatannya kaucu yang mulia? kata orang yang bernama
Po Che King itu.

Jadi Keh losiansing juga menjadi antekmu kata Bun Tek Thian.

Ya bisa dibilang begitu kata Po Che King sambil tertawa. Ia lalu


menuding sang Kaucu, Aku benar-benar ingin membunuhmu dengan pedangku
sendiri. Biarlah yang lain mati keracunan, kau harus mati dipenggal!
sambil begitu ia berjalan dengan santai, tangannya sudah mencabut pedang
dari sarungnya.

Apa salahku padamu? Bukankah aku selalu memperlakukanmu dengan baik?


tanya sang Kaucu

Ya, kau memang memperlakukanku dengan baik. Terlalu baik malah. Tapi kau
menjadi ketua terlalu lama. Sudah saatnya gantian. Aku sudah menghamba
terlalu lama, kini saatnya menjadi raja. Hahahahahahaha

Kaucu tak bisa bergerak sedikitpun. Tubuhnya bagai lumpu. Bahkan di


bibirnya telah ada tetesan darah.

Racun itu membuyarkan tenaga dalam dan tenaga sakti. Hasil latihanmu
bertahun-tahun akan punah seluruhnya. Tapi kau harus mati dengan pedang.
Itu sebuah kehormatan. Seorang raja memang seharusnya mati karena pedang

Ia telah berada di hadapan kaucu. Pedangnya sudah terangkat. Sabetan


sudah dilakukan. Pedang sudah meluncur ke tenggorokan sang Kaucu.

Tapi berhenti di tengah jalan!

Po Che King mengerahkan seluruh tenaganya pun tak akan bisa menggerakkan
pedang itu.

Cio San telah berdiri di sana!

Dengan gagah memegang pedang itu. Senyum masih tersungging di bibirnya.

Kau?

Kata kau hanyalah sebuah kata yang pendek. Tapi ketika belum selesai
diucapkan, orang yang mengucapkan sudah terpelanting beberapa tombak
menghantam dinding batu.

Siapa lagi yang menghajarnya kalau bukan Cio San?

Aku paling benci dengan pengkhianat

Cio San lalu menotok beberapa titik darah kaucu.

Totokan ini untuk membantumu menghalau racun, kaucu. Tenang saja kata
Cio San.

Ketika ia berbalik untuk melihat keadaan Po Che King, Cio San kaget juga.
Po Che King sudah mati dengan mulut berbusa.

Dengan cepat ia terbang ke mayat Po Che King dan memeriksanya.

Racun! ia terpana.

Tapi Cio San tidak bisa berpikir lebih lama karena ia harus menotok
seluruh orang yang ada di sana. Beberapa orang memang tidak sanggup ia
selamatkan. Tetapi ada sekitar 50 orang yang masih hidup. Cio san menotok
mereka semua.

Harap tenang dan jangan dulu bergerak atau bersuara. Pusatkan


konsentrasi. Jaga aliran darah agar bergerak normal. Jangan sekali-kali
mengarahkan tenaga dalam. Atur pikiran agar tetap tenang. Agar jantung
dan organ tubuh lainnya bergerak sempurna

Kaucu, dimana letak ruangan obat-obatan? Cio San bertanya.

Keluar lah lewat pintu di belakangmu. Jalan terus, sampai kau menemukan
pintu berwana hijau

Ketika kata hijau selesai diucap, Cio San sudah berada di depan pintu
itu!

Dengan cermat ia membuka rak obat-obatan yang berada di dalam ruangan


itu. Ada banyak bahan yang ia ambil. Di ruangan obat pun terdapat alat
untuk meraciknya, sehingga Cio San meracik obatnya disana.

Setelah selesai, ia segera kembali ke balairung untuk memberikannya


kepada semua orang. Tak berapa lama semua orang sudah merasa baikan.

Kata pertama yang mereka ucapkan adalah Terima kasih

Lalu yang kedua adalah Bukankah kau tertotok?

Sejak awal memang tidak tertotok jawab Cio San santai

Bun Tek Thian membelalakkan mata, Aku yakin sekali telah menotokmu!

Dulu waktu di puncak gunung Butongsan, aku sempat mempelajari jalan


darah dari sebuah kitab kuno. Lalu ketika berada di dalam goa bersama
sebuah ular, aku belajar tentang aliran darah dan fungsi-fungsi tubuhnya.
Sejak menggabungkan pengetahuan itu, aku berlatih untuk memindahkan jalan
darah Cio San tersenyum

Jadi kau bisa ilmu memindahkan jalan darah? Hebat! Aku saja tidak bisa.
Kata sang Kaucu.

Lalu kenapa kau bergaya lumpuh seperti orang ditotok? tanya Bun Tek
Thian penasaran.

Hanya ingin tahu saja apa yang ingin kau lakukan kepadaku. Akhir-akhir
ini aku tidak tahu harus melakukan apa. Jadi jika ada orang melakukan
apa-apa terhadapku, maka lebih baik menurut saja!

Terbelalak mata Bun Tek Thian. Matanya lebih terbelalak lagi ketika Cio
San melanjutkan,

Apa lagi jika kemana-mana ada orang yang menggendongku dan menyuapiku
makan!

Bab 29 Persahabatan Baru

Bun Tek Thian tidak habis pikir. Ada orang di dunia ini yang seperti Cio
San.

Jadi selama ini kau menikmati kugendong-gendong dan kusuapi? tanyanya

Kan sudah pernah kubilang, jika aku bercerita kepada orang-orang, pasti
tak satu pun yang percaya aku digendong-gendong dan disuapi makan oleh
salah seorang tianglo Ma Kauw jawab Cio San, Eh tapi kakek yang baik,
jangan bergerak dan berbicara dulu. Keadaan tubuhmu masih berbahaya. Obat
yang kuberikan tadi hanya untuk membantu menahan serangan racun, sama
sekali tidak menyembuhkan

Cio San, bukankah kau juga minum arak dan makan makanan yang sama,
kenapa kau tidak keracunan? Tanya sang kaucu.

Saya juga tidak mengerti kaucu. Justru itu yang membuat saya lambat
bergerak sehingga ada saudara-saudara Ma kauw ada yang tidak tertolong.
Saya harus mencoba mengerahkan tenaga dalam saya dulu. Dan setelah yakin
bahwa saya tidak apa-apa, baru saya bisa bergerak menyelamatkan yang
lain

Sang Kaucu lalu bertanya lagi,

Kau memang hati-hati sekali Cio San, apakah kau tau kira-kira
penyebabnya apa?

Saya hanya bisa menduga-duga, ada sesuatu yang pernah saya makan yang
membuat tubuh saya anti terhadap racun. Mungkin ketika di dalam goa saat
saya hidup bersama Kim Coa (ular emas). Saya makan apa saja yang tumbuh
di sana. Bisa saja itulah yang membuat tubuh saya berbeda dengan saudarasaudara yang lain

Hmmm..bisa saja kata sang Kaucu. Ah, seumur hidup pun aku tak
menyangka jika Po Che King akan mengkhianatiku.

Selama ini keparat itu tidak pernah punya nafsu dan ambisi yang besar.
Kata salah seorang.

Apakah ada tindakan atau perintahku yang menyalahi dia? Kaucu termenung
heran.

Tidak ada kaucu. Selama ini kaucu selalu baik dan adil terhadap kami
semua menjawab kompak dan serentak.

Saya menduga ini bukan hanya pemberontakan biasa kaucu. Ada rahasia di
balik ini yang harus diselidki lebih dalam tukas Cio San

Kau adalah orang yang cerdas, apakah kau mempunyai pemikiran lain?

Jika kita perhatikan du dunia kang ouw yang terjadi belakangan ini,
hampir semua partai besar mengalami ini. Lihat yang terjadi dengan Kun
Lun Pay. Ketua mereka hampir saja terbunuh. Tiga orang pengkhianatnya
lari, dan akhirnya terbunuh oleh Ang Hoat Kiam Sian (dewa pedang rambut
merah). Jaman waktu saya menjadi buronan dulu, ciangbunjin butongpay juga
mengalami keracunan. Untunglah beliau selamat. Ada juga beberapa partai
yang lebih kecil juga ketuanya mati terbunuh oleh para pembunuh rahasia
yang bertopeng itu. Menurut saya, semua ini jelas ada hubungannya jelas
Cio San

Betul juga. Apakah menurutmu Po Che King ada hubungannya dengan itu
semua? tanya sang Kaucu.

Mungkin saja ada. Ketika saya memukulnya, ia tidak mati. Tapi ia


kemudian mati karena racun. Saya telah memperhatikan tidak ada seorang
pun yang meracuninya. Karena semua orang sedang sibuk menyembuhkan
dirinya sendiri oleh racun. Lagipula, jika ada yang bergerak meracuninya,
saya pasti tahu. Oleh karena itu, kemungkinan besarnya adalah Po Che King
meracuni dirinya sendiri. Ia mungkin takut kita periksa dan tanyai alasan
pemberontakannya. Bisa juga ia takut kegagalannya itu akan membuatnya
dihukum oleh orang yang memerintahnya melakukan pembenrontakan kata Cio
San.

Jadi kau menganggap ia memiliki atasan?

Tentu saja. Jika semua pembunuhan ini berkaitan, pasti ada seorang
pemikir besar yang sangat cerdas yang mengatur semuanya. Orang itu pasti
memiliki kekuasaan yang sangat besar. Orang-orangnya ada di mana-mana.
Para pembunuh bertopeng pastilah anak buahnya.

Dan pasti juga kedelapan orang yang menghadang kita di hutan bambu
kemarin sahut bun Tek Thian.

Pastinya bukan tukas Cio San

Kenapa bukan? tanya Bun Tek Thian

Karena mereka tidak memakai topeng jawab Cio San santai

Memakai topeng kan bukan kewajiban. Membunuh orang kan bisa pakai baju
apa saja. Baju tentara pun boleh sanggah Bun Tek Thian.

Kalau biasa membunuh memakai topeng, kenapa sekarang membunuh memakai


baju tentara? Cio san tersenyum. Ia melanjutkan,

Aku yakin para tentara ini pasti dari kelompok yang berbeda. Karena jika
mereka memang benar kelompok bertopeng, mereka tidak perlu repot-repot
berdandan tentara

Tapi bukankah jika mereka memakai topeng, mereka bisa melimpahkan


kesalahan pada kelompok bertopeng jika seumpamanya ketahuan? kali ini
sang kaucu yang berkomentar.

Pemikiran yang bagus, kaucu. Tapi menurut saya, justru jika mereka
memakai topeng dan ketahuan, maka jika kelompok mereka terbongkar
seluruhnya, maka posisi mereka akan terdesak. Segala pembunuhan yang
dilakukan kelompok bertopeng akan ditimpakan kepada mereka. Justru itu
akan semakin menguntungkan kelompok bertopeng

Cio san kemudian melanjutkan,

Maka saya menduga, tentunya kelompok tentara dan kelompok pembunuh


bertopeng ini adalah dua kelompok yang berbeda. Salah satu bisa saja
lebih kuat dari yang lain. Ini perlu diselidiki lebih lanjut

Aku tahu darimana kita memulai menyelidiki hal ini. Segera temukan Keh
losiansing! kata sang Kaucu bersemangat.

Siapa Keh losiansing?

Dia tabib ahli pengobatan yang dimiliki Ma kauw. Semua obat dan racun,
dia yang buat.

Apakah dia juga ahli silat? tanya Cio San lagi

Dia tidak bisa silat sama sekali tukas Ang Soat-kaucu

Berarti dia sudah mati, kaucu kata Cio San sambil menggeleng-geleng
kepala.

Bagaimana kau tau?

Jika ada orang yang bisa menciptakan racun yang tanpa bau, tanpa rasa,
dan bisa berakibat sehebat racun tadi, maka orang ini adalah orang yang
sangat berbahaya. Begitu dia berhasil membuat racun itu, orang lain pasti
akan berharap dia akan menyimpan rahasia itu rapat-rapat sehingga tak ada
orang lain yang tahu. Dan hanya orang matilah yang bisa menyembunyikan
rahasianya rapat-rapat. Tadi pun Po Che King menyebut nama Keh
Losiansing. Itu karena dia tahu, dia tak perlu takut Keh losiansing akan
membuka rahasia. Karena Keh Losiansing sudah mati

Lalu menurutmu siapa yang membunuhnya?

Pastilah atasannya. Yang memesan racun seperti itu. Jika Keh losiansing
sudah mati itu memang sudah seharusnya. Aku baru kaget jika ia belum
mati

Kaucu termenung. Segala perkataan Cio San masuk akal. Dia yang sudah
sangat berpengalaman dalam hidup pun belum tentu mampu mengambil
kesimpulan secepat dan secermat itu. Ia hanya bisa duduk dan memandang
Cio san yang sambil berbicara, sibuk mengobati anak buahnya yang terluka.

Kau memang orang yang liang sim (berhati mulya). Kami telah menculikmu,
tapi kau tidak membalas, malah menolong kami semua.

Jika aku membalas, apa yang kudapatkan, kaucu?

lalu jika kau menolong kami, apa yang kau dapatkan?

Persahabatan! sahut Cio San sambil tersenyum.

Apa gunanya bersahabat dengan partai ma Kauw? Kami adalah orang-orang


terbuang dari dunia persilatan. Anggota kami adalah para siauw jin. Orang
hina dina. Di mana-mana kehadiran kami ditolak. Manfaat apa yang kau
dapatkan jika bersahabat dengan kami?

Saya tidak pernah melihat sesuatu dari azas manfaat. Semua saya lakukan
karena saya SUKA

Di dunia ini memang tidak ada yang bisa mengalahkan kata SUKA. Kenapa
kau suka makanan A, dan bukan makanan B? Kenapa kau lebih suka musik
daripada memancing? Tiada yang bisa menemukan jawaban yang tepat. Kalau
sudah suka, ya suka. Tidak perlu ada alasan karena menyukai sesuatu.
Begitu pula dengan cinta. Kau tak perlu alasan apapun karena mencintai
seseorang.

Dan Ma Kaucu yang berpandangan luas pun paham hal ini. Ia tersenyum, Kau
memang mirip dengan gurumu Kam Ki Hsiang

Terima kasih, kaucu Cio San tersenyum tulus.

Setelah beberapa lama ia membantu semua orang yang terkena racun, Cio San
berkata,

Kaucu, saya sendiri belum tahu obat apa yang bisa benar-benar memunahkan
racun ini secara sempurna. Tadi saya sudah mengarahkan tenaga dalam
kepada semua orang. Ini hanya sekedar upaya untuk menjinakkan racunnya
saja. Ia bisa kembali menyerang tubuh kapan saja jika tidak segera
dipunahkan dengan sempurna. Saya mungkin butuh waktu untuk mencari dan
meracik obatnya

Apa yang kau lakukan kepada kami ini tidak sanggup kami balas dengan
kebaikan apapun Cio San. Lakukanlah apa yang kau bisa. Kami menurut apa
katamu saja. Eh ngomong-ngomong, dimana kau belajar ilmu pengobatan?

Kam suhu memberi sebuah kitab masak, yang ternyata juga berisi pelajaran
tentang bahan-bahan yang berguna bagi tubuh manusia. Dari situlah saya
belajar sedikit tentang pengobatan. Tuan, kalau boleh saya tahu, apakah

jumlah anggota yang ada di markas besar ini hanya ini saja atau ada orang
lain?

Hanya ini saja. Anggota kami jumlahnya puluhan ribu, tapi menyebar di
seluruh tionggoan. Hanya inilah anggota yang berada di markas utama.
Memangnya kenapa Cio San?

Jika perkiraan saya benar, mungkin tak lama lagi akan ada pasukan yang
menyerang kesini. Mereka akan tetap kesini baik Po Che King berhasil atau
tidak dalam usahanya meracuni kalian semua. melihat keadaan kita
sekarang, rasanya tidak mungkin kita bisa melawan mereka. maka saya
sarankan kita menyingkir dulu sementara untuk menyembuhkan diri dan
mengatur langkah

Kalau begitu kita harus segera menyingkir. Cepat siapkan diri, aku
mempunyai sebuah jalan rahasia kata Ma Kauw Kaucu.

Setelah mengumpulkan perbekalan dan obat-obatan, seluruh orang yang


berjumlah kurang lebih 50 itu bergegas mengikuti sang Kaucu. Jalan
rahasia itu ternyata berada di bawah tempat tidurnya. Sebuah jalan kecil
yang lebarnya hanya cukup dilalui dua orang.

Sudah umum jika sebuah partai besar memiliki jalan rahasia kata Kaucu
Kau tak pernah tau apa yang akan terjadi, oleh karena itu harus bersiapsiap

Cio San mengangguk dan tersenyum, masuk akal juga katanya.

Jalan rahasia itu berkilo-kilo panjangnya. Kadang mereka harus berhenti


untuk beristirahat. Sekitar setengah jam, lalu kembali melanjutkan
perjalanan. Hampir 5 jam mereka melewati terowongan yang sempit itu,
untunglah tak lama kemudian terlihat cahaya di ujung sana.

Begitu keluar, ternyata mereka sudah berada di pinggiran sungai. Gunung


kecil tempat markas Ma Kauw ternyata adalah sebuah bukit yang dekat
dengan sungai besar. Seseorang lalu datang menyambut mereka,

Salam hormat, dan panjang umur kepada Kaucu! kata orang itu sambil
berlutut.

Apakah kapal siap? tanya Kaucu.

Selalu siap. Kemana kita akan pergi, kaucu?

Ke Istana ular

Bab 30 Perjalanan Di atas Kapal

Rombongan yang berjumlah 50 orang lebih itu lalu menaiki kapal. Dalam
hati Cio San kagum juga melihat pengaturan partai yang rapi seperti ini.
Mereka selalu bersiap menghadapi segala macam persoalan. Ini sudah pasti
karena kecerdasan dan kehati-hatian sang kaucu.

Kapal yang mereka naiki lumayan besar. Lebih dari cukup untuk menampung
50 orang. Pintarnya, mereka menyamarkan kapal ini seperti kapal nelayan
biasa. Orang biasa akan mengira kapal ini sebuah kapal nelayan besar yang
biasa berlayar di sungai Tiang Kang (sungai Kuning).

Para nelayan yang ada di kapal ini pun ada. Mereka terlihat bekerja
seperti biasa. Kotor, dan bau. Seperti kapal nelayan umumnya. Namun di
bagian dalam kapal ini, rapi, wangi, dan mewah sekali. Bau amis dari
bagian atas kapal sama sekali tidak tercium di dalam.

Di bagian dalam inilah, para anggota Mo Kauw yang terluka kini


beristirahat. Sang Kaucu menempati kamarnya sendiri. Beberapa petinggi Mo
Kauw ada yang satu kamar bersama sampai 4 atau 5 orang. Sisanya berkumpul
dalam suatu bangsal yang luas di bagian dasar kapal. Walaupun Cio San
diberikan sebuah kamar tersendiri, ia memilih bergabung dengan para
anggota Mo Kauw yang ada di bangsal ini. Bercengkerama dengan mereka,
bercanda, dan menikmati arak.

Sudah lama Cio San memang tidak minum arak. Dia merasa kadang orang Kang
ouw terlalu mengunggulkan kemampuan minum arak. Tapi memang benar.
Kemampuan bertahan minum arak adalah salah satu bentuk tingginya tenaga
dalam seseorang juga. Oleh karena itu banyak pesilat tangguh yang gemar
minum hanya untuk memperlihatkan kekuatan tenaga dalamnya. Cara minum
yang sekali tenggak langsung habis.

Cio San tidak.

Baginya arak adalah seni. Dinikmatinya harus perlahan-lahan. Oleh sebab


itu dia tidak pernah minum arak selama ini. Karena arak, haruslah
dinikmati bukan untuk ditelan. Jika tidak ada waktu yang tepat, maka ia
tak akan minum arak. Dan waktu yang tepat bagi Cio San saat minum arak
adalah saat ia benar-benar sendiri. Bersama rembulan. Bersama awan
kelabu. Itulah saat terbaik untuk minum arak baginya. Ia menganggapnya
sebagai sesuatu yang sakral. Karena itulah ia tidak pernah minum. Karena
saat benar-benar sendirian tidak pernah ada selama ini.

Kini, saat berkumpul bersama anggota Mo Kauw, Cio San menyaksikan banyak
hal. Kesetiaan. Kesetiakawanan. Semua orang menolong sesamanya. Bahkan
saat ketika ia mengobati yang terluka, setiap orang meminta ia mengobati
temannya yang lain dulu. Mereka mendahulukan temannya untuk diobati
daripada diri mereka sendiri. Kadang Cio San bingung harus mengobati
siapa, karena setiap orang mendahulukan yang lain.

Hal seperti ini tidak pernah ia temukan di Butong pay. Kebanyakan mereka
memang orang-orang terpilih, yang cerdas, berbakat, dan datang dari
keluarga terhormat. Jika kau pintar, gagah, dan dari keluarga terhormat,
maka tidak alasan bagimu untuk tidak sombong. Maka itulah yang terjadi
pada murid Butongpay. Masing-masing merasa dirinya hebat. Masing-masing
bersaing satu sama lain untuk menjadi yang terbaik. Memang ada beberapa
murid baik yang berbeda dengan yang lain, seperti Beng Liong dan beberapa
orang lainnya. Tapi jika dibandingkan dengan jumlah murid Butongpay yang
mencapai ribuan, semua itu percuma.

Anggota Mo Kauw yang berdandang aneh, yang anggota-anggotanya adalah para


Siauw Jin, yaitu orang-orang hina kelana, dari kalangan rendahan yang
kotor, dan kumal. Tapi mereka bukan Kay Pang (partai Pengemis) yang suka
minta-minta namun dianggap terhormat. Anggota partai Mo Kauw ini banyak
juga yang bekerja. Sebagai kuli. Sebagai tukang sayur. Sebagai tukang
roti atau tukang daging dan pasar.

Mereka bercampur baur dengan segala macam perampok, perompak, maling, dan
tukang copet. Oleh sebab itu sangat sukar membedakan mana anggota Mo Kauw
mana yang penjahat betulan. Maka itulah ada sebagian orang awam yang
menyangkan semua orang Mo Kauw adalah penjahat. Bahkan banyak dari mereka
yang mengaku pendekar merasa bahwa seluruh anggota Mo Kauw harus
dilawan atau dimusnahkan.

Cio San pun awalnya berfikir seperti itu. Tapi begitu ia kenal dekat dan
menghabiskan waktu bersama mereka, semakin sadarlah bahwa berita yang ia
dengar tidak benar. Anggota Mo Kauw walaupun cara bicaranya tak tahu
sopan santun, sering mengumpat, tidak pernah mandi dan membersihkan diri,
adalah orang-orang paling tulus yang pernah ia temui. Semua orang
mementingkan orang lain daripada dirinya sendiri.

Anggota Mo Kauw pun menerima kehadiran Cio San dengan tangan terbuka dan
ramah. Tidak ada sekalipun Cio San merasa diperlakukan sebagai orang
luar. Bahkan saking tulusnya orang-orang Mo Kauw ini Cio San jadi tidak
enak sendiri.

Seorang anggota yang tubuhnya penuh kudis dan nanah datang kepadanya,
Ini aku hanya punya satu selimut yang kupakai setiap hari dan menamani
malam-malam ku yang dingin. Kau pakailah biar tidak kedinginan

Seorang anggota lainnya, yang tidak pernah mandi dan tidak pernah gosok
gigi selama beberapa hari. Ada potongan cabe yang terselip di giginya
selama beberapa hari. Datang kepadanya dan berkata, Ini makanlah apel
ini, maaf sudah ku gigit sedikit karena aku takut apelnya asam.
Memberikan apel asam kepada sahabat sama saja dengan tidak
menghormatinya

Seorang anggota lain, yang rambutnya mengeras karena mungkin tidak pernah
dicuci selama beberapa bulan, yang dipenuhi kutu, yang selalu ia garuk
sehingga kulit kepalanya yang setengah botak banyak luka di sana sini,
berkata kepadanya Bawalah bantalku, sekedar unutk menyandarkan kepala
jika kau keletihan

Menghadapi kebaikan seperti ini, apa yang bisa kau lakukan?

Cio San menerimanya dengan senang hati. Karena cara terbaik membalas
pemberian yang tulus, adalah dengan menerimanya dengan tulus juga.
Selimutnya dipakai, apelnya dimakan, dan bantalnya digunakan.

Ia tidak merasa jijik, karena ia merasa dirinya tidak lebih tinggi dari
siapapun. Ia menyukai kebersihan dan kesehatan. Tapi ia lebih menyukai
ketulusan. Karena orang yang tulus akan tetap tulus. Dan orang yang
bersih, kadang menyimpan kekotorannya tersendiri.

Siapa yang tidak tahu jika banyak wanita yang paling cantik dan pria
paling tampan pun ternyata kotorannya bau, dan yang lebih menyedihkan
adalah mereka menyimpan kebusukan di hatinya.

Dan siapa pula yang tidak tahu bahwa banyak orang yang paling bau pun
ternyata hatinya bersih.

Karena itulah Cio San tidak merasa jijik. Baginya selimut yang dipakai
orang najis namun diberikan secara tulus, jauh lebih bersih daripada
selimut wangi yang diberikan wanita cantik yang licik.

Orang seperti Cio San ini akan mudah bersahabat dengan siapa pun. Tapi
teman-teman terbaiknya selalu merupakan orang-orang rendah dan hina.
Orang-orang yang dianggap hina seperti ini selalu menganggumkan baginya.
Karena ia tahu, semakin miskin mereka, semakin sering mereka menjamu
sahabat-sahabatnya. Semakin miskin mereka, semakin mereka sering membuat
kebaikan kepada orang lain.

Selama ia tinggal di Lai Lai, sudah sering ia melihat dan mendengar


kemunafikan. Herannya semakin kaya dan terhormat seseorang, semakin
munafik juga lah dia. Semakin kaya, bajunya semakin jelek. Karena ia
takut dianggap memboroskan uang. Semakin kaya ia semakin sering
mengeluarkan derma, karena ia khawatir dituduh kikir. Semua perbuatan
yang dilakukan karena TAKUT dicap jelek orang lain. Bukan karena hatinya
yang menyuruhnya berbuat kebaikan.
Cio San bukannya benci kepada orang kaya. Ia tahu kekayaan jauh lebih
baik daripada kemiskinan. Tapi ia hanya takut, kekayaan akan merubahnya.
Merubah sahabat-sahabatnya. Merubah dunianya. Karena kekuasaan uang bisa
merubah manusia. Karena selain kekuasaan, uang dan cinta, apalagi yang
bisa merubah manusia?

Oleh sebab itulah ia memilih hidup sederhana.

Dan biasanya justru orang-orang sederhanalah yang hidupnya benar-benar


bahagia.

Hidup mereka tidak dipenuhi oleh keinginan-keinginan. Mereka diliputi


oleh rasa syukur. Mereka tidak pernah berdoa untuk meminta sesuatu.
Mereka berdoa agar orang lain diberikan kebahagian. Mereka tidak berdoa
bagi diri mereka sendiri.

Manusia-manusia sederhana seperti ini, tidak pernah menjadi orang kaya.


Jika mereka menjadi kaya sekalipun, mereka akan berusaha sebaik-baiknya
untuk membagi kekayaan itu sehabis-habisnya kepada orang lain.

Cio San lahir dari seorang ayah siucai (sastrawan). Seniman yang cara
hidupnya berbeda dengan orang kebanyakan. Pola pikirnya menyelentang dari
kebiasaan umum. Kebahagiaan mereka berada pada cara hidup yang bebas.
Bebas dari keinginan, dari apapun. Mereka mengenal keindahan, kecantikan,
dan kebahgiaan karena jiwa merdeka. Itulah kenapa banyak wanita mengagumi
para siucai. Tertarik dengan hidup mereka yang bebas tanpa beban.

Dan itulah kenapa banyak wanita yang takut hidup bersama seniman. Karena
jiwa yang bebas, pastilah dekat dengan kemiskinan. Seseorang yang jiwanya
bebas, tidak akan pernah terikat dengan uang, ketenaran, maupun
kekuasaan. Itulah sebabnya amat banyak seniman di dunia ini, tapi amat
sedikit yang kaya.

Ibu Cio San adalah pendekar Gobi Pay. Walaupun wanita, ia paham tentang
hidup yang bebas. Wanita seperti ini adalah wanita yang gemar mengarungi
alam. Menantang kehidupan. Mereka menikmati alam, bukan untuk sekedar
menyegarkan diri, atau berpesiar. Mereka menikmati alam karena mereka
tahu, betapa kecilnya mereka dengan alam. Betapa tak berdayanya mereka di
hadapan alam. Wanita-wanita seperti ini pun akan jarang mampu mengikatkan
diri kepada apapun. Tapi jika ada lelaki tepat yang mampu memahami
hatinya, maka wanita seperti ini akan mudah jatuh bagai anak kucing ke
pelukan tuannya.

Dari keluarga seperti inilah Cio San berasal. Bukan dari kalangan
terhormat. Karena bagi mereka kehormatan tidak terletak pada seberapa
megahnya rumah yang dimiliki, seberapa banyak kuda dan hewan peliharaan.
Seberapa bagus baju yang dipakai. Seberapa mewah makanan yang dinikmati.
Melainkan terletak kepada seberapa mampu mereka berguna bagi orang lain.
Seberapa mampu mereka menghormati orang lain yang tidak ada seorang pun
menghormatinya. Itulah kehormatan yang sejati!

Maka dari itu, Cio San menggunakan selimut kotor dan bantal berkutu itu
dengan nyaman. Ia menikmati apel separuh busuk yang sudah digigit dengan
gigi yang kuning itu dengan nikmat. Karena kenikmatan tidak terdapat pada
seberapa mewah dan lezatnya sesuatu. Kenikmatan terdapat pada rasa
syukur.

Siapa yang bilang buang air itu tidak bau? Tapi siapa juga yang berani
bilang bahwa buang air itu tidak nikmat? Siapa yang bilang tidak nikmat,
silahkan menahannya selama seminggu. Lalu lihatlah apa kau masih bisa
hidup dengan nyaman.

Cio San selalu bersyukur atas apa yang dia miliki. Ia selalu menghargai
apapun yang ada di dalam hidupnya. Oleh sebab itu ia hidup tanpa beban.
Tanpa prasangka. Tapi ia pun hidup dengan cerdas. Karena ia tahu dunia
tidaklah seindah yang dibayangkan. Ada ketidakadilan. Ada penindasan.
Pengkhianatan. Kecurangan.

Oleh sebab itu, ia hidup tidak sebagai orang yang polos dan lugu. Ia
hidup sebagai orang yang gagah yang berbuat sesuatu kepada sesama. Karena
ia paham, hanya itulah cara satu-satunya agar dunia menjadi lebih baik.

Ayahnya pernah berkata,

Bangunlah rumah. Jangan merusaknya


Tapi ketahuilah, kadang untuk membangunnya, kau harus merusaknya
terlebih dahulu

Begitu banyak kita melihat hal ini dalam kehidupan kita.

Seperti sepasang kekasih yang bertengkar dan berpisah. Hanya untuk


kemudian sadar bahwa mereka tak pernah bisa hidup tanpa satu sama lain.

Seperti pohon kering yang mati, namun kemudian dari ampasnya lahirlah
tunas tunas baru.

Itulah kehidupan!

Terkadang kau harus menghancurkan sesuatu untuk menciptakan sesuatu.

Terkadang kau sendiri harus mengalami kehancuran, baru kemudian kau


mengalami pencerahan.

Dalam seluruh kejadian yang pernah dialaminya, mulai dari kelahiran yang
tidak normal. Pembunuhan keluarganya. Penghinaan, fitnah, pelarian dan
pengusiran di Butongpay, Cio San percaya bahwa itu semua adalah
penghancuran untuk mencapai pencerahan.

Ia tahu dan paham, bukan berarti ia tidak sedih dan menderita.

Karena manusia memiliki hati. Karena Cio San adalah manusia biasa.

Kepahaman ini, hanya membuatnya sabar dan terus bertahan. Tidak


membuatnya mati hati dan tak berperasaan.

Kini ia duduk dan bercanda bersama mereka. Menceritakan cerita cerita


lucu yang biasanya diceritakan ayahnya kepada ibunya. Jika seorang lakilaki bisa membuat wanita tertawa, maka ia telah berhasil menarik
perhatiannya.

Maka kini, seorang wanita Mo Kauw sedang berjalan ke arahnya. Cio San
sedang di puncak geladak. Menikmati angin malam yang dingin. Ia ingin
melihat bintang-bintang. Banyak lelaki yang suak memandangi bintang.

Mereka merasa bintang mewakili cahaya mata kekasihnya. Cio San termasuk
salah satunya.

Sendirian? kata wanita itu.

Sebua pertanyaan yang tidak perlu dijawab, tapi Cio San mengangguk sambil
tersenyum.

Aku punya arak. Maukan kau minum bersamaku? wanita Mo Kauw adalah
wanita yang rata-rata berfikiran bebas. Adab sopan santun pun kadang
tidak mereka perdulikan.

Cio San paham ini. Karena itu ia tidak kaget dan tidak menolak.

Jika seorang wanita mengajak laki-laki mabuk. Itu karena ia butuh teman
bicara.

Engkau pasti merindukan kekasihmu? Siapa namanya tanya si wanita

Namanya Mey Lan jawab Cio San.

Mereka duduk saling berdampingan. Bersandar di pagar kapal.

Lalu siapa nama kekasih yang kau pikirkan juga itu? tanya Cio San
balik. Sambil menuangkan arak.

Kau ingin tahu namanya? Kau tidak ingin tahu namaku? tanya si wanita

Aku sudah tahu namamu jawab Cio San sambil tersenyum. Menyodorkan
secangkir arak.

Ooh jawab si wanita pendek. Lalu meminum arak itu. Ia minum dengan
cepat. Orang yang minum arak dengan cepat, hanya ada dua kemungkinan.
Sedang bersedih, atau memang sudah ahli.

Sesudah minum ia lalu bertanya, Siapa?

Kau sudah tahu namamu sendiri, kenapa tanya kepadaku? Cio San menggoda.
Wanita manapun suka digoda.

Dasar! Ayo sungguhan. Dari mana kau tahu namaku?

Semua orang di sini tahu namamu, kenapa aku tidak bisa tahu namamu?

Jika ada orang yang tidak kau kenal, mengenalmu. Kau pasti senang.
Perempuan, jika ada orang laki-laki yang tahu namanya pasti juga senang.

Sudahlah, mengaku saja kalau kau tidak tahu namaku! ia tersenyum lalu
menuangkan arak bagi dirinya sendiri. Lalu minum dengan cepat.

Minum arak memang paling nikmat dengan orang yang seperti ini. Pada
awalnya Cio San selalu merasa minum arak harus dengan cara yang pelan.
Tapi jika seorang lelaki sedang merindukan kekasihnya, maka ia tak akan
mampu minum arak dengan pelan-pelan.

Akhirnya Cio San paham juga hal ini. Karena ia sendiri sedang merindukan
Mey Lan. Dan ia sendiri menuangkan arak ke dalam mulutnya dengan cepat.

Namaku Tio Sim Lin. Aku orang suku Miu

Si wanita itu sendiri yang menjawab pertanyaannya. Memang jika seorang


laki-laki bisa membuat wanita penasaran. Maka laki-laki itu menjadi lebih
menarik di hadapan wanita.

Aku tahu jawab Cio San pendek.

Kalau sudah tahu kenapa tadi tidak kau sebutkan namaku?

Kau sendiri sudah tahu namamu, mengapa harus kusebutkan lagi

Mereka berdua tertawa. Cio San memang sudah tahu namanya. Ia tahu nama
semua orang di kapal itu. Tanpa berkenalan pun ia tahu. Karena telinganya
tidak pernah salah. Karena ia memperhatikan dan menyimak. Orang yang suka
menyimak dan memperhatikan memang biasanya tahu lebih banyak.

Ia pun tahu Tio Sim Lin adalah orang suku Mui. Suku Mui adalah suku yang
mendiami bagian barat Tionggoan. Gaya hidup mereka bertualang dan dekat
dengan alam. Kebanyakan mereka beragama Islam. Perempuannya jauh lebih
bebas dan terbuka dari pada orang Han umumnya.

Awalnya aku hanya ingin berterima kasih kepadamu sudah menyelematkan


kami tadi siang kata Tan Sim Lin. Tapi saat ku lihat kau duduk melamun
di sini. Ku pikir lebih baik ku ajak kau minum arak. Supaya tidak
kesepian. Kau nampaknya butuh teman

Haha. Sebenarnya aku yang kesepian atau engkau yang kesepian? Tapi itu
tak penting. Ada sahabat dan ada arak, bukankah itu adalah hal paling
nikmat di dunia ini? sambil berkata begitu Cio San menuangkan lagi arak
ke dalam mulutnya

Kau benar. Ada sahabat dan ada arak. Apalagi yang perlu kau risaukan?
Tio Sim Lan pun mengangkat cangkir ke mulutnya.

Agak lama mereka terdiam, sebelum kemudian Cio San berkata,

Eh kau belum memberitahukan siapa namanya.

Namanya siapa? tanya Tio Sim Lin

Nama kekasih hati yang kau rindukan itu Cio San tersenyum. Untuk
pertanyaan seperti ini ia harus hati-hati. Karena perempuan jika
ditanyakan pertanyaan seperti ini, biasanya cuma ada dua reaksi. Yang
pertama adalah senyum berbunga-bunga. Atau marah tak karuan. Untunglah
Tio Sim Lin tersenyum,

Kau pasti mengenalnya matanya berbinar-binar dan senyumnya semakin


manis.

Cio San menatapnya baik-baik. Ia sudah sangat sering melihat wajah


seperti ini,

Jangan bilang kau sedang jatuh cinta dengan Butongpay Enghiong Beng
Liong? kata Cio San

Tio Sim Lin kaget, Bagaimana kau bisa menebak dengan tepat?

Cio San sudah sering melihat raut muka wanita seperti itu jika mereka
membicarakan Beng Liong. Cinta, kagum, namun juga sedih. Kenapa sedih?
Karena wanita-wanita itu tahu Beng Liong terlalu tinggi bagi mereka.

Bila mencintai atau menyukai seseorang itu kadang begitu menyakitkan,


mengapa masih banyak orang yang melakukannya?

Melihat Cio San hanya tersinyum saja, ia kembali bertanya,

Kau kekasihnya?

Bukan. Tapi cepat katakan, bagaimana kau bisa tahu?

Semua perempuan di muka bumi ini suka Beng Liong. Semua perempuan di
kolong langit ini sudah pernah mendengarkan namanya. Bahkan jika itu
perempuan tuli pun, pasti sudah pernah mendengar namanya. Bukan hal aneh,
jika kau pun suka padanya

Sebenarnya Cio San ingin menenangkannya, tidak tahunya malah ia tambah


marah,

Jadi kau bilang, seluruh wanita menyukainya, dan aku tidak ada
kesempatan? Begitu?

Siapa yang bilang begitu? tanya Cio San heran.

Kau tidak bilang. Tapi dari omonganmu sudah jelas tersirat seperti itu

Cio San akhirnya diam. Ia sudah paham. Mengajak wanita berdebat, sama
saja dengan mengajak harimau berkelahi.

Kenapa kau diam saja? tanyanya dengan pandangan mata yang tajam.

Tapi Cio San tidak tahu, jika wanita sudah mengajakmu bertengkar, maka
segala cara yang kau lakukan untuk menghindarinya pun percuma.

Akhirnya ia tersenyum,

Kalau kau terus memarahiku, aku tidak akan menceritakan sebuah rahasia
Beng Liong kepadamu
Dengan
Akhirnya ia paham, cara membuat tenang wanita yang sedang marah, adalah
memberikan apa yang disukainya.

Rahasia apa? tanya Tio Sim Lin tertarik.

Banyak rahasia, terutama rahasia untuk menarik hatinya. Apakah kau lupa,
aku adalah mantan murid Butongpay. Setiap hari aku bertemu dan mengobrol
dengannya. Bahkan ia adalah satu-satunya orang Butongpay yang baik
kepadaku

Aku tahu kau mantan murid botongpay. Tapi aku tak tahu kau seakrab itu

Kami betulan akrab. Cio San mengangguk serius.

Pasti kau menipuku supaya aku tidak jadi marah bukan?

Aku memang takut kau marahi, tapi betulan aku tidak bohong. Kami memang
akrab

Coba ceritakan semua tentang dia tukas Tio Sim Lin. Wajahnya kena
merona

Di dunia ini memang tidak ada yang paling menarik bagi perempuan selain
membahas laki-laki yang disukainya.

Cio San bercerita. Tentang kebaikan-kebaikan Beng Liong. Tentang bakat


silatnya yang luar biasa. Tentang makanan kesukaannya. Tentang tubuhnya
yang selalu harum. Tentang kesetiakawannya. Tentang kegagahannya.

Ia tidak menambah-nambah dan mengurangi. Semuanya persis seperti yang


diingat dan dikenangnya. Tio Sim Lin memperhatikan dengan senang.

Eh ngomong-ngomong, dimana kau bertemu dengannya?

Aku..aku bertemu dengannya pertama kali saat ia menyelamatkan aku. Saat


itu aku berkelahi dan terluka. Aku hampir mati terbunuh. Untunglah dia
datang dan menolongku. Ia tetap sopan dan hormat padaku. Padahal ia tahu
aku orang Mo Kauw.

Beng Liong memang orang yang seperti itu. Tidak pernah memilih-milih
kawan. Sedikit banyak ia memang mirip dengan Cio San.

Lalu setelah itu?

Ia bahkan mengobatiku. Luka-lukaku cukup parah. Saat itu kami di hutan


dan tak ada siapa-siapa yang mau menolongku. Ia akhirnya menemaniku
selama dua hari sampai aku sembuh betul

Dua hari bersama Beng Liong? Jika ada perempuan yang mendengar ceritamu
ini mereka akan tertawa terbahak-bahak karena tidak percaya, atau
menangis meraung-raung karena iri

Sudah pasti sahut Tio Sim Lin sambil tersenyum

Dan sudah pasti setelah mendengar ceritamu, akan banyak perempuan yang
berkelahi dan pura-pura terluka agar ditolong Beng Liong

Hahaha. Mungkin saja

Lalu kenapa kau masih bersedih? tanya Cio San.

Tio Sim Lin terdiam lama. Lalu berkata,

Kau kan tahu, harapanku kecil sekali. Jika dia pernah menolongku, sudah
pasti ada lebih banyak lagi perempuan yang sudah ditolongnya, atau akan
ditolongnya. Bertanya nama dan alamat saja ia tidak melakukannya.

Cio San ikut bersimpati juga.

Aku tidak menanyakan namamu, tapi aku tahu namamu. Bisa saja Beng Liong
seperti itu

Tapi kau kan bisa tahu namaku, dari saudara-saudara yang lain. Kami
semua mengobrol dan saling menyebut nama. Kalau mau mendengarkan sedikt,
kau pasti tahu namaku. Tapi kalau dia? Kami sendirian di hutan. Ia
menolongku, mengobati lukaku, bahkan menyuapiku makan. Dan ia sama sekali
tidak menanyakan namaku!

Jika laki-laki tidak menyanyakan nama perempuan, itu pasti karena dua
hal. Ia tidak tertarik. Atau dia terlalu malu.

Pastilah ia malu untuk menanyakannya. Beng Liong adalah orang yang


menjaga kehormatan. Dia tidak menanyakan namamu, karena ia takut kau
merasa sungkan menyebutkan namamu

Bagaimana ia tahu aku sungkan menyebut nama! Dia tidak mau bertanya!
Tio Sim Lin sudah mulai marah lagi.

Kau lupa akan satu hal, nona Tio

Apa?

Ada sebagian lelaki, yang berterus terang kepada orang yang disukainya.
Tetapi ada juga sebagian lelaki, yang malu kepada orang yang disukainya.
Ia memilih seumur hidup menyimpan perasaannya

Kenapa juga harus menyimpan perasaan?

Karena lelaki itu tahu, jika ia mengungkapkannya, banyak hal-hal rumit


yang akan terjadi.

Seperti?

Seperti permusuhan Butongpay dan Mo Kauw misalnya jawab Cio San. Ia


menenggak arak lagi. Sayangnya itu tetesan arak yang terakhir.

Tio Sim Lin terdiam.

Cio San pun terdiam. Dalam hati ia menyayangkan. Mengapa arak habis
begitu cepat.

Malam gelap dan dingin. Arak mungkin hanya akan menghangatkan tubuh
manusia. Tapi hanya cinta yang benar-benar bisa menghangatkan hati.
Sayangnya. Karena kedua-duanya sama-sama memabukkan, kau jarang melihat
kedua hal ini bersanding bersama. Biasanya orang minum arak, karena
kehilangan cinta. Dan orang yang jatuh cinta melupakan arak.

Cio San mau tidak mau merasa kasihan juga dengan Tio Sim Lin.

Apapun yang terjadi, kau tidak boleh menyerah. Jika dua orang saling
mencinta, bukankah selalu ada jalan? katanya kepada Tio Sim Lin.

Aku suka dia, tapi dia tidak suka aku. Dari mana bisa kau bilang kami
saling mencinta?
Dari mana juga kau tahu ia tidak suka kau? Sebelum kau benar-benar yakin
atas perasaannya. Kau tidak boleh berpikiran yang tidak-tidak. Bukankah
jauh lebih mudah beranggapan dia juga suka padamu? Dengan begitu hatimu
terasa lebih ringan. Melakukan sesuatu pun tidak diliputi kesedihan.

Lalu bagaimana jika ahirnya nanti aku tahu dia tidak suka aku? tanya
Tio Sim Lin

Kalau nanti akhirnya seperti itu, yak au boleh bersedih setelah kau
tahu. Tapi jika kau bersedih sekarang, bukankah kau hanya akan menyakiti
hatimu setiap hari. Jika kau ingin menangis, bukankah kau masih bisa
menangis esok hari? Dan bukankah esok hari pun masih ada esoknya lagi?
Dan esoknya lagi? Hari esok tidak pernah selesai

Tio Sim Lin berpikir lama.

Kau benar. Tidak ada guna aku menangisi hal yang belum jelas benar

Nah. Lebih baik kita masuk ke dalam. Bertemu sahabat-sahabat. Bila kau
memiliki sahabat-sahabat terbaik yang mencintaimu apa adanya, dan selalu
ada saat kau butuhkan, untuk apa lagi berfikir tentang orang-orang yang
mengkhianati cintamu? Orang-orang yang mneyakiti hatimu? Dan orang-orang
yang tidak perduli denganmu?

Saat mereka masuk kembali ke dalam geladak, kapal mereka berpapasan


dengan sebuah perahu kecil. Awalnya Cio San tidak memperdulikan, Tapi
timbul sesuatu di hatinya yang membuat ia kembali keluar. Perahu kecil
itu dinahkodai seorang tukang perahu. Tapi penumpangnya, amat sangat
menarik hatinya. Penumpangnya adalah si Dewa Pedang berambut merah!

Apa yang dia lakukan di malam-malam seperti ini? Kemana tujuannya?

Sang Dewa Pedang hanya duduk termenung memandang air. Tidak ada apa-apa
di wajahnya. Tidak ada kemurungan, tidak ada kesepian, tidak ada apa-apa.
Kosong.

Ingin Cio San memanggilnya, tapi ia tahu seluruh penghuni kapal ini
sedang berlayar dengan sembunyi-sembunyi. Hal itu hanya akan menambah dan
memperumit masalah, jika ternyata buruan si Dewa Pedang adalah beberapa
anggota Mo Kauw.

Akhirnya si Dewa Pedang lewat begitu saja. Cio San hanya bisa memandang
punggungnya yang tegap. Rambut belakangnya yang terurai ditiup angin.

Cio San masih berada di pinggiran kapal. Memandangi punggung sang Dewa
Pedang sampai ia menghilang jauh, dan hanya menyisakan titik putih
bajunya di kaki langit. Cio San masih termenung berfikir, ketika
telinganya mendengarkan sesuatu di air.

Telinganya tidak pernah mengkhianatinya.

Dengan seksama ia memandang ke perairan gelap gulita itu.

Mayat!

Banyak mayat!

Segera Cio San menemui beberapa nelayan yang bekerja di kapal untuk
menjaring mayat-mayat itu. Ada 3 mayat. Tubuh mereka sudah mulai
menggelembung, tapi mereka masih bisa dikenali. Cio San memang tidak
mengenali mereka. Tapi hampir semua orang yang ada di kapal mengenali
mereka.

Luk Hoan Tit, ketua Perkumpulan Golok Emas

Soe Sam Hong, ketua Perkumpulan Naga Lautan

Ban Lang Ma, murid terbaik Siau Lim Pay

Ada sebuah luka tusukan di dahi mereka!

Cio San memandang di kejauhan, tempat Dewa Pedang tadi menghilang.

Kali ini dunia Kangouw akan benar-benar heboh.

Tiga orang dari kalangan utama Kangouw!

Luka ini, bukankah adalah perbuatan Dewa pedang rambut merah? tanya Bun
Tek Thian

Iya benar kata Cio San. Ia sedang duduk memeriksa mayat-mayat itu. Luka
di dahi mereka begitu rapi. Begitu dingin. Tanpa darah. Ia memeriksa
bagian tubuh yang lain. Sampai akhirnya Cio San merasa cukup dan ia hanya
termenung. Dan berkata,

Mereka bukan dibunuh si Dewa Pedang!!

Bab 31 Kematian Yang Mencurigakan

Bagaimana kau bisa tahu? Bukankah lukanya adalah luka yang khas? tanya
sang kaucu

Dari saudara-saudara yang berada di sini, apakah ada yang pernah melihat
jurus pedang Ang Hoat Kiam Sian (Dewa Pedang Rambut Merah)? tanya Cio
San

Mereka kebanyakan menggeleng, tapi ada satu orang yang menjawab, Saya
pernah

Orang ini salah satu pemuka Mo Kauw. Namanya Lok Sim

Aku pernah melihat pertempurannya. Sayangnya, melihat pertempurannya,


sama saja dengan tidak melihat pertempurannya. Ia bergerak sangat cepat

Kata Cio San, Saya sendiri belum pernah melihatnya secara langsung, tapi
dari luka musuh-musuhnya, saya bisa melihat bahwa inti jurus pedangnya
adalah gerakan ayunan lengan dari bawah ke atas. Apakah begitu saudara
Lok Sim?

Hmmmm, aku tidak memperhatiakn secara jelas. Tapi saat saudara Cio San
bilang begitu, aku mulai sedikit ingat. Memang kebanyakan gerakan
jurusnya adalah dari bawah ke atas. Bagaimana saudara bisa tahu, padahal
belum pernah melihat?

Aku hanya menduga saja, tapi itu tampaknya yang paling masuk akal.
Gerakan pedang secepat dan setiba-tiba itu, hanya dimungkinkan kalau kita
melakukan gerakan ayunan lengan dari bawah ke atas. Ambil contoh, jika
pedang berada di pinggang sebelah kirinya, berarti saat ia mencabut
pedang itu dari sarungnya, gerakan yang ia lakukan adalah dari bawah ke
atas. Oleh sebab itu, jurus itu dilakukan tepat saat ia mencabut pedang
dari sarungnya. Bersamaan dengan itu ia akan menyerang ke daerah dahi.
Kalau ia menyerang dari arah lain, misalnya dari atas ke bawah, maka
kecepatan, ketepatan, dan keefektifannya akan berkurang. Karena ia harus
mengangkat pedang ke atas dulu, baru melakukan jurus menyerangnya.
Perbedaan sepersekian detik itu saja, sudah menghasilkan perbedaan yang
jauh sekali

Semua orang manggut-manggut mendengar penjelasan Cio San. Ia lalu


melanjutkan,

Aku pernah melihat hasil karyanya saat di Rumah Teng Teng dulu. Dan
yang kuperhatikan, semua luka di dahi korbannya adalah dari sabetan
pedang dari bawah ke atas. Ini memang aneh, karena jarang ada jurus
pedang seperti ini. Tapi menurutku justru jurus inilah yang paling tepat.
Karena posisi tangan kita, adalah selalu di bawah, di dekat pinggang. Itu
adalah titik 0 posisi tangan kita. Jika semua gerakan dimulai dari
situ, maka hasilnya akan sangat cepat dan efektif. Karena kita tidak
perlu mengangkat tangan, atau membentuk posisi tangan yang umumnya
dilakukan saat kita bersilat

Ini memang dugaan Cio San yang sangat tepat. Orang yang bersilat, saat
melakukan kuda-kuda, pastilah tangannya ada yang di angkat di depan dada,
ada yang dikembangkan ke belakang, macam-macam bentuknya.

Tapi jurus sang dewa pedang tidak!

Ia tidak memerlukan gaya. Tidak memerlukan jurus. Tidak memerlukan posisi


tangan. Semua gerakan dilakukan dari gaya posisi 0. Posisi paling
normal dari tubuh manusia. Jika kau berdiri dengan tegak, maka secara
normal, dada dan punggungmu tegak. Kepala tegak lurus dan mata memandang
ke depan.Tangan berada di samping pinggang. Itulah titik 0 posisi
berdiri manusia.

Jurus sang Dewa Pedang nampaknya mengambil pemahaman ini. Oleh sebab itu
ia bergerak dengan efektif. Karena dilakukan dari titik 0, titik
tengah. Mau ke arah manapun, dalam posisi apapun, jika dilakukan pada
posisi seperti ini, maka akan efektif, dan cepat!

Itulah inti dari jurus pedang Dewa Pedang!

Dan Cio San mampu menduganya hanya dari melihat luka korban-korbannya.

Semua orang menyadari ini. Betapa cerdasnya Cio San. Tanpa terasa hati
mereka tergetar juga. Memiliki sahabat atau musuh seperti ini, mau tidak
mau hatimu akan tergetar.

Kalau kita memperhatikan luka ketiga mayat ini, semua luka dibuat dari
ayunan tangan atas ke bawah. Berlawanan dengan jurus Dewa pedang. Oleh
sebab itu, aku yakin bukan ia yang membuat luka ini kata Cio San

Sang Kaucu menukas, Kalau bukan dia, lalu siapa? Sejauh ini hanya dia
yang mempu membuat luka mematikan yang tidak mengeluarkan darah. Berarti
maksudmu ada orang lain yang mempunya kemampuan yang sama sepertinya?
Mampu membunuh tanpa mengeluarkan darah?

Kematian mereka bukan karena luka tusukan pedang, kaucu. Mereka mati
karena racun! kata Cio San.

Semua orang terhenyak! Racun!

Dan racun itu pastilah ada racun yang sama, yang telah meracuni saudarasaudara sekalian

Memang, meracuni ketiga tokoh utama dalam dunia persilatan itu bukan hal
yang mudah. Jika bukan racun paling hebat, tidak mungkin mereka mudah
diracuni orang.

Dari mana kau tahu itu karena racun? tanya Bun Tek Thian

Lihatlah saat mereka mati, mereka tidak menghunus senjata. Semua mayat
yang kulihat di depan rumah Teng Teng seluruhnya menghunus senjata

Bisa saja itu karena Dewa Pedang terlalu cepat sehingga ketiga orang ini
tidak menghunus senjata

Tidak mungkin! kata sang Kaucu. Ketiga orang ini jauh lebih tinggi
ilmunya daripada mayat-mayat di depan rumah Teng-Teng. Setidaknya mereka
pasti bisa melakukan perlawanan

Benar, kaucu. Luk Hoan Tit, adalah ketua Perkumpulan Golok Emas. Ilmu
goloknya sudah menggetarkan kolong langit. Tidak mungkin ia bisa mati
tanpa sempat menghunus goloknya sekalipun. Goloknya masih tersarung rapi
di pundaknya.

Soe Sam Hong, ketua Perkumpulan Naga Lautan. Terkenal dengan kait
saktinya. Kait itu masih tersarung rapi di kedua pinggang.

Ban Lang Ma, murid terbaik Siau Lim Pay. Walaupun terkenal dengan ilmu
tangan kosongnya, setidaknya tidak mungkin mati hanya karena satu jurus.

Betul, pandanganmu tajam cucuku! di saat begini Bun Tek Thian masih
bercanda.

Terima kasih kakekku yang tampan balas Cio San.

Lama orang-orang terdiam memandang ketiga mayat itu.

Sang kaucu kemudian berkata,

Jadi kesimpulanmu, mereka bertiga ini mati diracun dulu, baru kemudian
pelakunya membuat luka di dahi mereka?

Betul sekali, kaucu. Coba perhatikan luka di dahi mereka, itu adalah
akibat sabetan pedang yang diayunkan dari atas ke bawah. Beda dengan ciri
khas Dewa Pedang yang mengayunkan dari bawah ke atas. Menurut dugaanku,
saat mereka mati diracun dan rebah di tanah, pelakunya sambil berdiri
membuat luka di dahi mereka. Seperti ini

Cio San lalu mencontohkan gerakannya. Ia lalu menambahkan

Jika saudara-saudara melihat dari dekat, di sekitar luka di dahi itu ada
beberapa luka lecet

Semua orang menunduk lebih dekat untuk memperhatikan

Luka itu disebabkan karena pelaku membersihkan darah yang menetas keluar
dari dahi mayat-mayat itu. Tubuh yang sudah mati, tidak akan mengalirkan
darah. Mungkin sedikit saja. Tapi karena sedikit saja itu bisa
mencurigakan, maka pelaku mencoba membersihkan darah itu. Supaya benarbenar terlihat luka di dahi itu tanpa darah

Terus aku kagum dengan keluasan pandanganmu. Tidak gampang menyimpulkan


hal seperti ini, tapi kau mampu melakukannya dengan cepat dan tepat kata
Sang kaucu. Diikuti dengan decakan kagum anggota Mo Kauw yang lain.

Ah tidak berani,,tidak berani kata Cio San tersenyum sambil bersoja.

Ia menambahkan, Masih ada satu lagi yang kurang. Coba saudara-saudara


perhatikan baju mereka. Apa pendapat saudara?

Semua memperhatikan. Salah seorang berkata,

Bajunya bau!

Yang lain, Bajunya ketinggalan jaman

Satunya lagi, Baju curian

Baju mereka baru!

Begitu mendengar kalimat terakhir itu, Cio San mengangguk dan berkata,
Tepat sekali. Bajunya baru

Bagaimana saudara bisa tahu? tanya salah seorang.

Coba kalian cium baunya. Baju baru biasanya mengeluarkan aroma yang
khas. Walaupun ketiga mayat ini sudah mulai membusuk, aroma baru nya
masih membekas di pakaian mereka. Warna pakaian mereka pun masih terang
menyala.

Lalu kenapa jika baju mereka masih baru?

Bukankah itu sebuah kejanggalan? Mungkin saja mereka memang kebetulan


memakai pakaian baru bersama-sama. Tetapi mungkin juga itu kebetulan.
Apalagi Ban Lang Ma adalah seorang bhiksu. Mereka jarang sekali memakai
baju baru

Ia kemudian melanjutkan,

Mereka memakai baju baru, karena baju mereka yang lama belepotan darah
mereka sendiri. Darah yang mereka muntahkan karena keracunan. Lalu sang
pelaku mengganti baju mereka, agar tidak ada orang yang curiga

Tapi itu justru menambah kecurigaanmu bukan? Aku mulai bisa menangkap,
bahwa mayat ini memang sengaja dibuang di sungai agar ditemukan orang dan
menimbulkan kehebohan. Siapapun si pelaku, ia ingin melimpahkan kesalahan
itu kepada si Dewa Pedang.

Betul sekali kaucu timpal Cio San Oleh sebab itu mayat ini jangan
sampai ketahuan. Kita harus menguburnya secara diam-diam. Nanti baru kita
pikirkan bagaimana cara memberitahukan kematian mereka kepada orang-orang
Kang Ouw. Mungkin menunggu sampai kita bisa menemukan pelakunya

Kau bisa menebak kira-kira siapa pelakunya? tanya sang Kaucu.

Saya belum berani menebak-nebak, karena jika saya mengambil kesimpulan


terlalu cepat, bisa-bisa menutup kebenaran yang sesungguhnya. Malah akan
membuat mata saya buta terhadap berbagai hal. Untuk sementara, sudah ada
beberapa dugaan, tapi saya tidak berani mengemukakannya jika dugaan saya
itu belum terbukti kebenarannya

Bagus! sahut sang kaucu

Bab 32 Pertemuan Dua Enghiong

Orang yang berpikiran luas, memang tidak boleh menyempitkannya dengan


prasangka-prasangka. Aku sungguh kagum sekali lagi sang Kaucu menjura
kepada Cio San. Dan diikuti oleh para anggota Mo Kauw yang lain.

Cio San pun tersenyum ramah dan membalas hormat mereka. Diam diam dalam
hati ia memutuskan untuk begitu saja memperlihatkan dan menceritakan
pemikiran-pemikirannya. Ia bukan orang yang senang disanjung. Sejak dulu
ia memang tidak pernah disanjung. Orang yang tidak pernah disanjung,
seharusnya senang ketika ia disanjung. Tapi Cio San tidak. Memang ada
sementara orang yang merasa diri mereka tidak pantas disanjung-sanjung.
Cio San adalah salah satunya.

Ayo kita semua masuk kembali ke dalam. Bun Tek Thian, coba tolong kau
urus ketiga mayat itu perintah sang Kaucu.

Siap ketua! semua menjawab serentak.

Kapal bergerak dengan lambat. Hari sudah mencapai tengah malam. Nahkoda
memutuskan untuk mampir ke dermaga terdekat untuk beberapa keperluan. Cio
San lega juga, karena dia tidak begitu suka naik kapal.

Sang nahkoda masuk ke dalam bangsal dan dengan sedikit teriak ia berkata,

Siapapun tidak boleh turun ke darat. Ingat kita sedang dalam pelarian,
oleh karena itu kalian harus menjaga agar orang luar jangan sampai tahu.
Jangan sampai ada orang yang curiga dengan perjalanan kita

Semua mengangguk mengiyakan.


Kapal merapat ke dermaga, karena bosan menunggu karena sudah hampir sejam
lamanya, Cio San memutuskan untuk keluar dan duduk-duduk ke tempat tadi
dia duduk bersama Tio Sim Lin. Baru beberapa jam saja ia disana, tempat
itu sudah jadi tempat duduk kesukaannya. Dari situ ia bisa memandang ke
segala arah. Ia paling suka di tempat seperti itu.

Ketika sedang duduk melamun, telinganya yang tajam mendengarkan sebuah


percakapan di bawah. Dua orang sedang bercakap-cakap di darat. Tapi
karena posisi mereka yang lumayan dekat dengan kapal, Cio San bisa
mendengar obrolan mereka.

Apakah kau yakin mayat yang kau temukan adalah mayat tuan Hong?

Saya yakin sekali, saya sudah kenal beliau lama. Saya tidak mungkin
salah

Ah, kasihan sekali

Saya juga menemukan beberapa mayat yang lain

Oh ya? Siapa saja?

Saya tidak kenal, tapi mayat-mayat itu telah dibawa ke rumah Can-cengcu.
Kalau tuan mau lihat, saya bisa mengantar tuan ke sana!

Baiklah. Ayo

Mendengar percakapan ini Cio San terhenyak. Pasti mayat-mayat itu ada
hubungannya dengan mayat yang mereka temukan barusan. Ternyata ada banyak
korban. Dan dunia Kang Ouw pasti akan segera heboh. Dalam hati ia
menyesalkan sekali hal ini.

Karena penasaran, ia memutuskan untuk membuntuti kedua orang itu. Cio San
tidak perduli lagi dengan peringatan nahkoda kapal tadi. Toh dia bukan
anggota Mo Kauw. Dalam sekali loncat, ia sudah berada di darat. Ini
pertama kali ia menguntit orang. Perasaan ini membuatnya malah semakin
bersemangat.

Kedua orang yang dikuntitnya itu memiliki Ginkang (ilmu meringankan


tubuh) yang lumayan. Gerakan mereka ringan dan tangkas. Sudah pasti
adalah jagoan silat yang lumayan. Cio San mengikuti mereka dengan
berhati-hati. Karena selain berusaha tidak ketahuan orang yang menguntit,
ia juga berusaha agar tidak ketahuan orang-orang yang lain.

Ia mengikuti mereka menyusuri dermaga, keluar gerbang dermaga, dan kini


memasuki kota. Sebuah kota yang ramai. Tapi karena telah memasuki hampir
tengah malam, tidak terlalu banyak kegiatan yang ada. Cio San mengikuti
kedua orang sambil menghafal-hafal keadaan kota dan jalan yang ia lalui.

Masih ada beberapa warung dan penginapan yang buka. Cio San masih
berusaha mengikuti kedua orang di depan, ketika sebuah suara menegurnya
dari belakang,

Tuan, harap berhenti sebentar

Cio San terhenyak, suara itu tidak mungkin dilupakannya.

Ia menoleh. Si pemilik suara itu pun terhenyak.

Liong-ko (kakak Liong), apa kabar? tanya Cio San ramah.

San-te (adik San). Hanya itu kata yang keluar dari mulutnya.

Ia nampak tampan dan gagah sekali. Wajahnya masih menampakkan


keterkejutan. Tapi ia segera bisa menguasai dirinya.

Ternyata benar, ku kira aku salah mengenal orang. Tak kusangka bertemu
di sini katanya.

Aku juga, Liong-ko kata Cio San.

Beng Liong akhirnya bertanya, Apa yang kau lakukan di sini?

Aaku menguntit kedua orang di depan jawab Cio San. Ia kesulitan


menjelaskan.

Apapun urusanmu dengan kedua orang itu, maafkan aku harus menghentikanmu
sekarang. Ada banyak hal yang harus kau jelaskan San-te kata Beng Liong.

Memang ku kira, hanya kepadamulah aku bisa menjelaskan semuanya, Liongko

Mulailah Ia tersenyum, tapi matanya memandang tegas.

Cio San menceritakan semua kejadian di Butongsan. Tentunya ia tidak


menceritakan penyamarannya sebagai A San di Lai-Lai serta pertemuannya
dengan Khu Hujin. Cio San menganggap hal itu tidak ada sangkut pautnya
dengan Beng Liong.

Lalu kenapa kau membela anggota Mo Kauw dan menyerang Butong Ngo Kiam (5
Pedang Butong)? tanya Beng Liong

Aku hanya menganggap tidak adil jika 5 melawan 1. Apalagi Bun Tek Thian
sudah tidak bisa melawan jelas Cio San.

Sejak dulu Butongpay Ngo Kiam selalu berlima. Melawan 1 atau 1000 orang
pun mereka selalu berlima tegas Beng Liong

Dan apakah Liong-ko menganggap itu adil? Apalagi mereka menyerang orang
yang sudah tidak bisa melawan

Beng Liong diam saja. Dalam hatinya ia tahu itu memang tidak adil.
Akhirnya ia berkata,

Lebih baik kau ikut saja denganku ke Butongsan. Jelaskan semuanya kepada
Ciangbunjin (ketua)

Aku ingin sekali, Liong-ko. Tapi ada banyak hal yang harus kulakukan
sekarang. Engkau apa masih percaya kepadaku? tanya Cio San

Aku juga ingin sekali, San-te. Aku ingin sekali percaya kepadamu. Tapi
urusan ini bukan urusan sepele. Hanya Ciangbunjin yang bisa memutuskan.
Aku tidak bisa membiarkanmu pergi lagi, San-te. Harap maafkan aku kata
Beng Liong.

Aku tak ingin melawanmu, Liong-ko

Aku juga tidak, San-te. Maka kau ikutlah denganku. Luruskan semua ini di
hadapan Ciangbunjin. Biar semua fitnahmu terhapuskan

Dalam hatinya Cio San ingin sekali pergi bersama Beng Liong. Tapi mana
mungkin ia bisa meninggalkan puluhan anggota Mo Kauw yang keracunan?
Bagaimana ia bisa mengacuhkan fitnah yang dialami si Dewa Pedang? Ada
banyak sekali kejadian yang membuat Cio San meyakinkan diri untuk
melibatkan dirinya. Ini adalah urusan besar. Ia melihat banyak sekali
hubungannya dengan kejadian yang menimpa hidupnya sendiri.

Sekali lagi maafkan aku, Liong-ko. Aku tidak bisa ia menjura

Kalau begitu harap kau maafkan aku. Aku terpaksa harus memaksamu, Sante. Kau tahu bahwa ini bukan keinginanku. Tapi perintah Ciangbunjin
adalah membawamu ke Butongsan.

Mereka saling memandang. Mata bertemu mata. Mau tidak mau, mereka saling
mengagumi. Yang satu tampan, gagah, dan berbudi luhur. Yang satu cerdas,
bebas, dan menarik.

Ku dengar, ilmumu hebat sekali, San-te


Masih jauh dari engkau, Liong-ko

Mereka diam mematung. Pertarungan dua orang yang mencapai tahap sangat
tinggi dalam ilmu silat melibatkan semua hal. Tidak saja ilmu silat,

melainkan suasana hati, ketenangan, cuaca, keadaan lingkungan, dan masih


banyak lagi.

Kaki Beng Liong menekuk. Tangan kanan terbuka ke depan. Tangan kiri
membentuk setengah lingkaran ke atas. Ini adalah kuda-kuda Thay-kek Kun!

Cio San tidak melakukan kuda-kuda sama sekali. Ia berdiri diam mematung.

Anggap saja ini latihan biasa, San-te. Kalau kau kalah dalam 10 jurus,
kau harus ikut denganku. Setuju? tanya Cio San

Kalau aku yang menang?

Maka kau bebas pergi kemana yang kau suka. Seumur hidup aku tidak akan
memaksamu lagi

Baiklah, Liong ko

Cio San berkata begitu tapi ia tetap berdiri mematung. Tidak ada kudakuda sama sekali.

Angin dingin menghembus. Harum tubuh Beng Liong yang terkenal itu
terhembus bahkan sampai memenuhi daerah di sekitar situ.

Awas serangan pertama, San-te

Kata-kata itu baru terucap, sudah ada 5 pukulan yang ia lepaskan. Begitu
cepat gerakannya Cio San bahkan tidak sempat berkedip. Tapi ia tetap
tenang. Kelima pukulan itu ia hadapi dengan sebuah elakan ringan.

Begitu tahu kelima pukulannya hanya mengenai bayangan, tahu-tahu Beng


Liong telah melepaskan tendangan memutar. Entah bagaimana ia bisa

melepaskan tendangan dalam posisi tubuh seperti itu. Karena tendangan


biasanya dilepaskan dengan posisi tubuh condong ke belakang. Beng Liong
bisa melepaskan tendangan saat tubuhnya sedang condong ke depan!

Melihat kelihayan ini, Cio San kagum sekali. Jurus Beng Liong penuh
perubahan dan spontanitas yang mengagumkan. Belum lagi kecepatannya sama
sekali tidak dibawah siapapun. Angin yang dihasilakn oleh pukulan dan
tendangan Beng Liong terasa hangat. Memperlihatkan tenaga dalamnya yang
sangat tinggi.

Di pihak lain, Beng Liong pun tidak kalah kagum dengan kecepatan dan
kelincahan Cio San. Elakan yang dilakukan Cio San sangat tepat dan
efektif. Tidak ada gerakan yang sia-sia. Tidak ada gerakan tambahan.

Kebakaran! Kebakaran!

Terdengar teriakan orang-orang. Teriakan itu masih jauh, tetapi telingan


kedua orang ini sudah mampu mendengarkannya. Gerakan Beng Liong menjadi
sedikit lambat. Mungkin karena terpengaruh teriakan itu.

Kau mendengarnya, Liong-ko? Bagaimana kalau kita hentikan dulu


pertempuran ini? tanya Cio San.

Baiklah. Ayo kita lihat ada kejadian apa. Siapa tahu ada yang butuh
pertolongan tukas Beng Liong

Secepat kilat mereka melesat. Hanya menyisakan bayangan yang bergerak


dengan sangat lincah. Masing-masing saling mengagumi Ginkang yang lain.
Cio San semakin berdebar hatinya ketika disadarinya kebakaran itu terjadi
di dermaga. Ia sangat mengkhawatirkan keadaan para anggota Mo Kauw.

Dan benar saja. Kebakaran itu berasal dari kapal yang tadi dinaikinya.
Dengan perasaan bercampur aduk, dan tidak memperdulikan apapun, Cio San
sudah melayang naik ke atas kapal. Api berkobar di mana-mana. Harapan
yang tersisa adalah menyelamatkan orang yang ada di kapal.

Beng Liong tadi sempat mencegah Cio San untuk naik, karena ia melihat api
sudah sangat besar. Tapi melihat Cio San yang sudah berada di atas kapal,
Beng Liong pun turut naik. Keadaan di atas kapal sangat mengagetkan
mereka berdua. Mayat ditumpuk-tumpuk di dalam bangsal besar, dan terbakar
habis. Bau daging terbakar bercampur dengan asap dan bebauan lain yang
sangat menusuk pernapasan.

Baru kali ini mereka melihat pemandangan sekejam dan semenyedihkan itu.

Cio San terpaku dan termenung. Tak tahu apa yang harus ia lakukan. Ketika
Beng Liong menyentuh pundaknya, dan mengajaknya pergi, ia pun sendiri
menjadi terpaku.

Sebuah tulisan di tembok kapal kayu itu. Di ukir dengan pedang. Walaupun
mulai terbakar api, terlihat dengan sangat jelas.
HANCURLAH KALIAN MANUSIA IBLIS MO KAUW
JAYALAH BUTONGPAY DAN DUNIA PERSILATAN

-BUTONGPAY BENG LIONG-

Kedua orang itu masih berdiri mematung. Tak percaya dengan apa yang
mereka lihat. Beberapa orang lain pun sudah naik ke atas kapal. Mereka
pun tidak percaya atas apa yang mereka lihat. Pemandangan ini terlalu
kejam dan terlalu tidak masuk akal.

Mereka masih sempat berusaha mencari-cari kehidupan di dalam kapal.


Tetapi akhirnya menyerah dan melompat keluar. Kapal telah tenggelam
hampir separuh, dan air telah mencapai lutut mereka.

Begitu sampai di darat, Beng Liong baru memperhatikan orang-orang yang


tadi masuk dan ikut menolong di dalam kapal.

Sih Hek Tiaw, sang rajawali hitam. Beberapa orang lain adalah anak
buahnya.

Can Siauw Liong, cengcu (kepala perkampungan) Liong Thian beserta


beberapa orang anak buahnya.

Mereka semua memandang hancurnya kapal yang tenggelam dengan sangat cepat
itu. Tapi posisi mereka semua mengelilingi Cio San dan Beng Liong. Bisa
terbang pun mereka tidak akan mungkin lolos.

Orang-orang pun sudah sangat ramai melihat kejadian ini.

Beng Liong ciokhee (tuan), bisakah ciokhee menjelaskan apa yang terjadi
di atas sana? Tanya Can Siauw Long yang biasa dipanggil Can-cengcu.

Boanseng (yang muda, panggilan untuk merendahkan diri sendiri), sendiri


datang ketika api sudah sangat besar. Boanseng datang bersama adik
seperguruan boanseng jawab Beng Liong

Ini adik seperguruanmu? Siapa namanya? tanya Can sengcu

Nama Boanseng, A San, tuan jawab Cio San cepat. Menyebut nama asli
nanti hanya akan menimbulkan masalah.

Bisa kau jelaskan apa arti tulisan di tembok itu? Kami semua sudah
membacanya kali ini Sih Hek Tiaw yang bertanya.

Kami berdua pun terkaget-kaget melihatnya. Kalau tidak melihat dengan


mata kepala sendiri, tidak mungkin kami percaya ada pemandangan sekejam
itu jawab Beng Liong.

Tapi itulah yang terjadi bukan? Setelah kuperiksa beberapa kamar, aku
sangat yakin kalau itu memang kapal milik Mo Kauw. Entah ada dendam apa
antara Butongpay dengan Mo Kauw. Tapi perbuatan demikian itu terlalu
kejam kata Sih Hek Tiauw dengan pandangan tajam. Matanya ini memang
sangat tajam. Mungkin karena itulah ia dijuluki rajawali hitam. Tentu

saja mungkin karena hidungnya yang terlalu mancung, serta dagunya yang
terlalu maju. Sehingga hampir membentuk paruh burung.

Demi Tuhan kami orang Butongpay tidak mungkin bertindak sekejam itu
Wajah Beng Liong masih tenang, tapi matanya sudah mulai menunjukkan
kemarahannya.

Tapi fakta dan bukti sudah terlihat jelas. Kau dan adikmu adalah orang
yang ada di atas kapal saat kami naik. Tidak ada seorang lain pun selain
kalian. Tulisan di tembok kapal pun sudah terlihat jelas bukan? Sih Hek
Tiauw sudah membunyikan jari-jarinya.

Jika kami membunuh orang, kami pasti akan mengakui. Buat apa bertindak
pengecut Beng Liong masih tetap tenang. Tapi posisi tubuhnya pun kini
sudah mulai bersiap-siap. Dia berkata perlahan pada Cio San San-te, jika
nanti bergebrak, kau pergilah. Jangan sampai kau jadi tersangkut masalah
ini

Cio San menjawab, Jika Liong-ko memotong leherku, tetap saja aku ingin
turut campur senyumnya.

Tulisan di tembok sudah sangat mengakuinya. Kau tak usah mengelak lagi.
Walaupun kami tidak suka orang Mo Kauw, pembunuhan sekejam itu sudah
keterlaluan! Kau merusak nama baik orang-orang Kang Ouw. Kau menodai
kehormatan dunia persilatan. Apakah pantas kau disebut orang Bu Lim?

Cio San berkata kepada Beng Liong,

Liong-ko, percuma kau berdebat dengan nona-nona ini. Berkata apapun


kita tak akan dipercaya Ia berkata seperti orang-orang di sana tidak
bisa mendengar. Tentu saja wajah mereka semakin merah padam.

Wuuusssh, serangan cakar Sih Hek Tiauw langsung mengarah ke tenggorokan


Cio San. Ucapan Cio San tadi sangat menyinggung hatinya. Apalagi ia
memilih Cio San karena tadi Beng Liong mengatakan Cio San adalah adik
seperguruannya. Tentu saja ilmu silat Cio San pasti di bawah Beng
Liong, pikirnya.

Yang lain pun bergerak mengeroyok Beng Liong. Can cengcu mengeluarkan
sepasang pedang tipisnya. Pedang itu menyambar dengan cepat. Tapi tentu
saja tidak cukup cepat bagi Beng Liong. Dengan satu gerakan lincah, ia
sudah menghindari 7 tusukan pedang Can Cengcu, sekaligus menghindari
serangan pedang dan golok bebrapa orang anak buahnya.

Para penyerang menyerang dengan ganas. Tapi mereka pun tidak malu
mengakui betapa lihay dan hebatnya kedua orang yang mereka serang. Cio
San memutuskan untuk hanya menggunakan jurus-jurus Butongpay. Ini untuk
menjaga jangan sampai timbul kecurigaan mereka yang menyerangnya.

Melihat itu, Beng Liong tersenyum kepadanya. Ia mengerti maksud Cio San.

Kini telah sampai jurus ke 8. Para penyerang mengeluarkan jurus-jurus


yang semakin brutal. Cio San dan Beng Liong pun hanya menghindar saja.
Dalam hati mereka sepakat untuk tidak memperkeruh suasana. Melihat kedua
orang ini hanya menghindar saja, para penyerang ini malah semakin
bersemangat. Mungkin dalam hati mereka merasa di atas angin.

Tahan serangan! terdengar teriakan.

Semua orang lantas menghentikan serangan.

Ketika menoleh ke asal suara, mereka melihat seorang Hwesio (bhiksu) tua.
Semua orang di sana mengenalnya. Kecuali Cio San. Ia sama sekali tidak
mengenal tokoh-tokoh persilatan.

Salam, Hong Sam totiang (panggilan untuk orang terhormat dan dituakan).
Kata Beng Liong sambil menjura.

Oh jadi ini yang namanya bhiksu Hong Sam, orang kelima dari Siau Lim
Pay pikir Cio San dalam hati. Ia kagum juga. Hong Sam Hwesio sudah tua.
Tapi wibawanya sungguh terpancar dari wajahnya yang teduh. Jika ini
orang kelima, bagaimana dengan orang pertamanya? batin Cio San. Siau Lim
Pay memang sangat hebat!

Tatapan matanya saja sudah membikin orang segan. Suara yang tadi ia
keluarkan sudah sanggup menghentikan pertarungan. Ia bahkan belum
bersilat!

Para hoohan (orang gagah) sekalian, harap menahan diri. Kata Hong Sam
hwesio.

Semua orang tidak sadar mengangguk.

Maaf pinceng (aku) turut campur. Tapi mengapa tuan-tuan berkelahi sesama
sendiri? perkataannya halus dan sopan. Mau tidak mau, yang menjawab pun
harus lebih sopan.

Siapa lagi yang bahasanya paling sopan dan tutur katanya paling halus di
antara mereka yang bertempur itu selain Beng Liong? Maka dialah yang kini
menceritakan semuanya.

Setelah mendengarkan, Hong Sam hwesio berkata,

Saudara-saudara, mengenai Beng Liong dan adiknya ini, pinceng bisa


bersaksi bagi mereka

Semua orang mendengarkan.

Beberapa saat yang lalu, Beng Liong dan pinceng sedang bercengkerama.
Kami tidak sengaja bertemu di penginapan. Beng Liong dan pinceng membahas
banyak kejadian yang terjadi di dunia kang ouw. Sepanjang sore sampai
malam kami terus mengobrol. Lalu tahu-tahu ada orang lewat di depan
penginapan kami. Beng Liong bilang bahwa mungkin saja itu adik
seperguruannya yang sudah lama tidak bertemu. Ia lalu menyusul adiknya
itu. Lalu saat mereka berdua sedang bercakap-cakap, terdengar teriakan
kebakaran dari arah dermaga. Mereka berdua pun segera lari ke arah
dermaga.

Di lihat dari waktu dan penempatannya, walaupun punya ilmu seperti dewa
pun, tidak mungkin Beng Liong bisa berada di tempat yang berbeda dalam
waktu yang sama. Untuk itu, pinceng berani bersumpah tegas Hong San
Hwesio.

Siapapun di dunia ini pasti percaya dengan ucapannya tanpa ia harus


bersumpah sekalipun.

Mengenai tulisan di tembok kapal. Pinceng yakin, pasti ada orang yang
memfitnahnya. Kita sudah tahu kegagahan dan sepak terjang Beng Liong
enghiong (ksatria). Selama ini tidak pernah melakukan perbuatan yang
berlawanan dengan aturan dunia persilatan

Jika yang berbicara Hong San hwesio, semua orang mau tidak mau harus
setuju.

Maka pinceng dengan sangat meminta, untuk para hoohan (orang gagah)
sekalian untuk menyudahi saja kesalahpahaman ini

Semua orang mengangguk setuju, dan saling meminta maaf. Mereka akhirnya
semua pergi dan hanya meninggalkan Beng Liong, Cio San, dan Hong Sam
hwesio. Keramaian sudah berakhir. Kapal yang terbakar itu sudah tenggelam
seluruhnya. Hanya pengurus dan petugas dermaga yang kini mulai berkumpul
untuk mengangkat bangkai kapal.

Ketiga orang ini masih termenung memandang tempat kapal itu karam. Entah
bagaimana perasaan Cio San. Ia meneteskan air mata. Walaupun baru
mengenal orang-orang Mo Kauw selama beberapa hari, perasaannya sudah
sangat dekat dengan mereka. Tapi Cio San berusaha menahan kegundahan dan
kemarahan hatinya. Ia bukan anak kecil yang harus menangis meraung-raung.
Tapi ia juga bukan orang tak berperasaan yang diam saja melihat kekejaman
yang terjadi kepada sahabat-sahabatnya.

Mereka semua terdiam. Kekejaman ini entahlah apa maksudnya.

Hong Sam Hwesio akhirnya membuka percakapan,

Jadi ciokhee (tuan) yang bernama Cio San? tanyanya.

Benar Totiang, wanpwe (saya, panggilan untuk merendahkan diri) yang


bernama Cio San jawab Cio San sambil menjura.

Terima kasih atas pertolongan Totiang kali ini Beng Liong yang menjura.

Kalian berdua adalah pendekar-pendekar muda yang sangat berbakat.


Pinceng banyak mendengar cerita tentang kalian. Semoga ke depannya, dunia
kang Ouw menjadi lebih baik puji Hong San Hwesio sungguh-sungguh.

Ia melanjutkan,

Beng Liong, kau kini merasakan hal yang sama dengan Cio San bukan? Kau
merasakan rasanya difitnah dan tak mampu menjelaskan bukan?

Benar totiang. Semua ini menyimpan banyak rahasia. Wanpwe sekarang


percaya dengan Cio San. Jika ia mau pergi, wanpwe akan melepaskannya
dengan rela kata Beng Liong

Mereka berdua tersenyum. Cio San malah berkata,

Maafkan kelancangan wanpwe, totiang. Apa yang membuat totiang terlambat


sampai kemari? tanya Cio San

Hong Sam Hwesio memandang Cio San dengan penuh kekaguman.

Tajam sekali pemikiranmu, Cio San. Mari ikut pinceng. Akan pinceng
jelaskan dalam perjalanan!

Ketiga orang itu melesat secepat kilat.

Bab 33 Musuh Yang Tak Terlihat

Cukat Tong

Mereka berlari cepat.

Dalam perjalanannya Hong Sam Hwesio bercerita bahwa ketika dia akan
berlari ke arah dermaga, ia dihadang oleh kelompok bertopeng. Ada sekitar
sepuluh orang yang mengeroyoknya. Semua dengan ilmu aneh yang tidak
pernah ia lihat sebelumnya.

Lalu di mana mereka sekarang, totiang? tanya Beng Liong

Mereka semua pinceng totok dan pinceng taruh di kuil Buddha di pinggir
kota jawab sang Hwesio (bhiksu).

Tak berapa lama mereka sampai di kuil yang di maksud. Masuk ke ruang
belakang, di mana kamar Hong Sam Hwesio menyandra pasukan bertopeng
itu. Ternyata begitu kamar terbuka, terlihat tidak ada seorang pun di
dalamnya!

Hong Sam Hwesio tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Beng Liong


terlihat tidak bisa menahan amarah.

Cio San semakin kagum dengan pergerakan kelompok bertopeng ini. Pastilah
ketika Hong Sam Hwesio menotok mereka dan meninggalkan mereka di kuil
ini, ada orang yang datang melepaskan mereka. Cara kerja kelompok
bertopeng yang penuh rahasia ini, sungguh membuat hatinya penasaran.

Mereka seperti ada di mana-mana. Muncul di saat yang tidak pernah di


duga. Dan selalu menebarkan kematian.

Hong Sam Hwesio keluar dan bertanya-tanya kepada para bhiksu yang ada di
kuil. Kebanyakan dari mereka sudah tidur. Dan tidak mendengar ada
keributan apa pun.

Akhirnya mereka bertiga duduk termenung di halaman kuil.

Dari seluruh kejadian dalam dunia Kang Ouw yang pinceng perhatikan
sepanjang hayat pinceng, urusan pembunuh bertopeng ini yang paling
memusingkan dan paling berbahaya kata sang Hwesio.

Apakah totiang bisa meraba-raba kemana arah gerakan kelompok bertopeng


ini? tanya Beng Liong.

Pinceng belum tahu. Tapi jika pinceng bisa mengira-ngira, mungkin ini
ada hubungannya dengan pemilihan Bu Lim Beng Cu (Pemimpin Dunia
Persilatan) tahun depan. Kata sang Hwesio.

Ahhhh Beng Liong dan Cio San sama-sama menghela nafas.

Rupanya pembunuhan-pembunuhan ini mengarah ke sana. Masuk akal juga.


Hampir seluruh Ketua partai persilatan besar telah mati dibunuh.
Beruntung ada beberapa percobaan yang gagal. Tapi sejauh ini hampir
seluruh pembunuhan ini telah berhasil.

Memangnya, jika orang-orang ini bisa menguasai dunia Kang Ouw, apa yang
mereka dapatkan? tanya Cio San.

Kau belum tahu? Siapapun yang menjadi Beng Cu nantinya, akan memiliki
banyak kekuasaan. Yang paling utama adalah bahwa setiap Beng Cu yang
terpilih, diberi tanggung jawab besar untuk menjaga kitab-kitab sakti
peninggalan leluhur

Kitab sakti? tanya Cio San

Sejak jaman dahulu, banyak sekali terjadi perubatan kitab-kitab sakti


persilatan. Leluhur-leluhur kita telah sanggup menciptakan ilmu-ilmu yang
sangat dahsyat. Ketika terjadi pengusiran bangsa Mongol dulu, Beng Cu
saat itu telah berhasil mengumpulkan semua kitab yang menjadi rebutan
itu. Ada sekiat 10 Kitab Sakti yang pinceng sendiri tidak tahu juduljudulnya. Tapi yang pinceng tahu ilmu-ilmu dalam kitab itu sungguh
dahsyat. Selama beberapa kali, yang terpilih sebagai Beng Cu adalah ketua
partai kami. Hanya seorang Bu Lim Beng Cu yang berhak menyimpan kesepuluh
Kitab Sakti itu, dan mempelajarinya. Isi kitab itu hanya boleh ia kuasai,
tapi tak boleh diajarkan kepada orang lain

Sang Hwesio melanjutkan lagi,

Kau bisa
yang akan
Pay telah
Untunglah

bayangkan jika ilmu-ilmu jatuh ke tangan orang-orang jahat? Apa


terjadi pada dunia ini? Selama berpuluh-puluh tahun, Siau Lim
mampu menghadapi ratusan kali percobaan pencurian kitab ini.
kami selalu berhasil mengatasinya

Siau Lim Pay adalah partai terkemuka di dunia persilatan. Siapapun yang
mencoba mencari gara-gara ke sana, kalau bukan pikun pastilah sudah
merasa diri menjadi dewa!

Cio San dan Beng Liong akhirnya bisa melihat akar permasalahan ini.
Sebuah kelompok yang sangat rahasia, yang ilmunya sukar dicari
tandingannya, bergerak membunuh lawan-lawan mereka, agar saat nanti
pemilihan Beng Cu, mereka bisa menang mudah tanpa saingan.

Untuk itulah mereka menggunakan segala cara. Pengeroyokan, meracuni,


bahkan memfitnah.

Bukan main geramnya Cio San memikirkan ini. Hatinya semakin bersedih
mengingat hancurnya Mo Kauw. Kematian yang tragis dan menyedihkan. Mereka
semua dibunuh tanpa mampu melawan karena racun telah memunahkan ilmu
silat mereka.

Tak terasa air matanya menetes lagi. Melihat ini Beng Liong bertanya,

Ada apa San-te?

Cio San tidak bisa menjawab. Ia tidak mampu memutuskan untuk menceritakan
nasib anggota Mo Kauw dalam kapal itu, atau merahasiakannya saja. Ia
hanya menggeleng pelan. Air mata memang kadang-kadang bisa dijadikan
alasan seseorang untuk tidak berbicara.

Lama mereka termenung. Cio San lalu bertanya,

Lalu apakah itu alasan Totiang turun gunung? Untuk memecahkan


permasalahan besar ini?

Salah satunya. Sebenarnya kami telah mengirimkan murid terbaik kami.


Tapi ia tidak melapor sejak seminggu yang lalu. Padahal tidak pernah ia
berbuat demikian. Kalau bukan telah terjadi sesuatu, tidak mungkin ia
tidak melapor

Cio San terdiam lagi. Ia masih belum bisa memutuskan untuk bercerita.
Setelah berfikir lama, akhirnya ia memilih untuk bercerita.

Mendengar peracunan di markas Mo Kauw, 3 mayat di sungai, fitnah atas Ang


Hoat Kiam Sian, pembunuhan seluruh anggota beserta ketua Mo Kauw, serta
fitnah atas Beng Liong, membuat kedua orang yang mendengar ini terpaku.

Demi Tuhan, kalau tidak mendengar sendiri aku merasa seperti membaca
cerita dongeng. Kata Beng Liong.

Musuh membunuh untuk menyingkirkan saingan. Memfitnah untuk menyingkarkan


mereka yang dianggap mengganggu pergerakan mereka.

Musuh yang bergerak dalam bayangan. Yang selalu mengintai, dan bergerak
saat mereka lengah. Musuh yang tidak bisa mereka duga siapa. Musuh yang
ilmu silat dan racunnya sangat berbahaya. Siapapun, sesakti apa dia,
pasti akan merinding dan bergidik mendengar ini semua.

Banjir darah. Pembunuhan. Dan fitnah yang kejam.

Cio San meremas jarinya. Tidak tahu harus melakukan apa. Tidak tahu harus
mulai dari mana.

Penulis yang paling brutal pun tidak mungkin bisa memikirkan cerita
seperti ini.

Hong San Hwesio buka suara,

Kalian berdua, segeralah bergerak. Beng Liong kau segera kembalilah ke


Butongpay. Ceritakan semua kisah ini kepada Lau-Ciangbunjin. Minta beliau
untuk turun tangan memikirkan langkah-langkah yang harus di ambil.
Sedangkan engkau Cio San, selidikilah lebih dalam tentang kejadian
pembakaran kapal Mo Kauw

Baik. Totiang jawab mereka berdua.

Setelah menjawab itu, kedua enghiong muda ini saling berpandangan.


Tatapan mata dua sahabat yang bertemu kembali setelah sejak lama
berpisah. Masing-masing mengagumi kelihayan satu sama lain.

Sampai bertemu lagi, San-te

Sampai bertemu lagi, Liong-ko

Masing masing saling menjura. Lalu berkelebat menghilang.

Hong Sam Hwesio hanya geleng-geleng kepala.

Dua orang yang mengagumkan

Cio San kini sudah kembali ke dermaga. Ia kini turut membantu


pengangkatan bangkai kapal dari dasar sungai. Walaupun saat itu sudah
dini hari, para petugas dermaga masih bekerja. Dengan alat seadanya
mereka menyelam dan menarik bangkai kapal itu. Selain itu mereka juga
berusaha mengeluarkan mayat-mayat yang ada di dalam bangkai kapal itu.

Cio San bekerja membantu sampai terang tanah. Jumlah semua mayat yang
berhasil diangkat adalah 43. Berarti ada mayat lain yang hilang terbawa
arus sungai. Walaupun ia berusaha tegar, mau tidak mau air matanya
menetes juga. Kebersamaan dan ketulusan yang ia rasakan bersama para
anggota Mo Kauw ini sangat membekas di hatinya, meskipun berkumpul hanya
beberapa saat saja.

Ketika matahari sudah benar-benar muncul, banyak orang yang sudah


berkumpul dan melihat keramaian di dermaga. Melihat sejumlah mayat yang
hangus terbakar seperti itu, banyak orang yang tidak tahan dan muntahmuntah.

Cio San beristirahat sejenak di bawah sinar matahari. Baju dan celananya
yang sudah basah kuyup tetap dipakainya agar kering. Tak berapa lama ada
orang yang datang dan duduk di sebelah Cio San. Ia mengangguk kepadanya,
dan dibalas Cio San dengan anggukan pula.

Orang ini kepalanya botak. Banyak kudis di kepalanya. Bajunya kotor dan
bau. Tapi wajahnya bercahaya, dan sinat matanya tajam. Sekali pandang Cio
San sudah tahu orang yang duduk di sebelahnya ini bukan orang
sembarangan.

Nama cayhe (saya) Cukat Tong katanya sambil menjura.

Cio San kaget sebentar. Nama cayhe Cio San Ia balas menjura sambil
tersenyum.

Cayhe sudah tahu siapa ciokhee (tuan) kata Cukat Tong tersenyum.

Apakah cayhe sedang berhadapan dengan si Raja Malang Tanpa Tanding?


tanya Cio San, senyumnya pun tidak berubah.

Ahtidak berani.tidak berani

Orang-orang di dunia persilatan mana yang belum pernah mendengar nama


Cukat Tong? Orang ini sudah menjadi tokoh legendaris. Ia tidak pernah
terlibat pertarungan, tidak pernah membunuh, tidak pernah berpihak, dan
tidak pernah mau turut campur urusan kang Ouw. Tapi ilmu dan kehebatannya
dalam mencuri, tiada seorang pun di kolong langit yang menandingi.

Korban yang dicurinya tidak tanggung-tanggung adalah tokoh-tokoh utama


dunia persilatan. Ia tidak suka berkelahi sehingga mungkin mencuri adalah
caranya menantang orang. Anehnya setelah mencuri barang, tak berapa lama
kemudian barang yang dicurinya di kembalikan lagi ke pemiliknya. Ia
mencuri hanya untuk membuktikan bahwa ia mampu mencuri!

Semua korban-korbannya adalah orang-orang ternama. Karena itulah, banyak


orang yang bangga bisa menjadi korban pencurian Cukat Tong. Ia pernah
mencuri pedang pusaka yang disimpan di kamar pribadi kaisar. Ia pernah
mencuri tongkat pemukul anjing milik Kaypang, dan ratusan benda berharga
lain, yang tak seorang pun sanggup membayangkan.

Kini ia duduk tersenyum di sebelah Cio San!

Rahasia apa yang ingin ciokhee sampaikan kepada cayhe? tanya Cio San

Kau tahu aku ingin menyampaikan sebuah rahasia? tanyanya terbelalak.


Sampai lupa menggunakan bahasa yang sopan. Orang seperti dia memang mana
bisa sopan lama-lama?

Urusan dengan ciokhee bukankah cuma dua? Mengambil dan mengembalikan


barang. Cayhe tidak punya barang yang bisa ciokhee ambil sekarang.
Berarti tinggal urusan mengembalikan barang. Sejauh ini cayhe hanya punya
sebuah buntalan kotor yang tertinggal di atas kapal. Buntalan itu bukan
sesuatu yang berharga. Dan cayhe pun bukan orang ternama yang bisa
dianggap pantas untuk jadi korban ciokhee. Jadi kalau bukan urusan
rahasia yang amat penting mengenai kejadian semalam, memangnya ciokhee
hendak mengajak cayhe minum arak? jelas Cio San. Senyumnya itu pun tak
pernah hilang meskipun hatinya sedang bersedih.

Bukan main! Kau memang mengagumkan Cio San. Orang seperti kau, jika
tidak ku jadikan musuh besar, maka hidupku sungguh membosankan! Maukah
kau jadi musuh besarku? tanyanya

Musuh besar berarti Ciokhee menganggap cayhe setara dengan ciokhee,


ahuntuk itu cayhe mengaku kalah saja. Tapi kalau sekedar tanding minum
arak, atau lari lari kecil, cayhe mungkin bisa menemani ciokhee tukas
Cio San

Hahaha..bagus! cukup jujur! Tapi dalam hal ini, dugaanmu yang tadi
hampir semuanya salah kata Cukat Tong.

Coba ciokhee jelaskan

Pertama, kata siapa buntalanmu itu tidak berharga? Jika kau menang minum
arak denganku, pasti kukembalikan. Kedua, kata siapa juga kau tidak
pantas jadi korbanku? Buktinya buntalanmu juga sudah berada di tanganku.
Apa kau pikir, jika aku menganggapmu tidak pantas, aku mau duduk-duduk
disini bersama mu?

Ia melanjutkan,

Aku telah menyaksikan sendiri sepak terjangmu sejak kejadian peracunan


di markas Mo Kauw dulu. Saat itu aku ingin mencuri kitab Menghisap
Matahari milik Mo Kauw Kaucu. Aku menyamar jadi salah satu anggotanya.
Tidak sulit menyamar jadi orang bau dan jelek. Tidak ada satu orang pun
yang mau memperhatikan. Hahahaa

Saat aku jadi korban racun, kau lah yang menolongku. Untuk itu aku
berhutang nyawa kepadamu. Lalu saat kita semua berada di atas kapal, aku
juga yang memberi bantal berkutu kepadamu. Kau memakainya dengan nyaman.
Maka kupikir kau orang yang benar-benar tulus, dan bukan orang yang sok
suci. Untuk itu, kau ku anggap pantas jadi korbanku. Hehehe
\
Cio San hanya bisa manggut-manggut tertawa.

Di malam saat kapal kita beristirahat sebentar, aku menemukan saat yang
tepat. Kau duduk-duduk di luar. Aku masuk ke bilikmu dan mengambil
buntalanmu. Lalu saat kaucu pergi ke kakus, aku pun mengambil kotak yang
biasa ia bawa-bawa. Setelah itu aku pun menghilang dari atas kapal. Siapa
sangka begitu aku turun ke darat dan mau keluar dermaga, ternyata puluhan
orang bertopeng sudah naik kesana dan melakukan kekejaman itu

Ada bayangan kengerian yang tak bisa dijelaskan di wajah Cukat Tong. Tak
terasa matanya pun berkaca-kaca,

Pembantaian yang aku lihat semalam, adalah perbuatan yang paling


pengecut yang pernah ku saksikan di dalam hidupku. Aku mau turun tangan
membantu pun percuma. Ilmu mereka sangat dahsyat dan tinggi. Lagipula,
aku sudah bersumpah dalam hidupku tidak akan berkelahi atau turut campur
urusan kang ouw

Aku percaya hanya kau yang bisa meluruskan dan menyelesaikan masalah
pembunuhan ini. Dengan kecerdasan dan ilmumu, ditambah lagi dengan sifat
isengmu yang suka ikut campur urusan orang, kupikir kau pasti bisa. Untuk
itulah aku datang kepadamu untuk menceritakan sebuah rahasia kepadamu.

Aku mengenal setidaknya 3 orang dari para pembunuh bertopeng itu. Dan
aku hampir-hampir tidak percaya jika mereka pelakunya. Tapi aku hafal
suara orang. Ilmu mereka pun, walau mereka sembunyikan, bisa ku kenali.
Ketiga orang ini adalah Lamkiong Gin ketua Kim Hong pay, Sih Hek Tiaw si
rajawali hitam yang menyerangmu semalam, dan Sip Lim Han, raja pedang
dari pantai timur

Cio San membelalakan mata. Ketua Kim Hong Pay? Matipun ia tidak bisa
percaya. Kim Hong Pay adalah sebuah partai putih yang sangat terhormat.

Perbuatan mereka selalu gagah dan lurus. Dan si raja pedang dari pantai
timur? Orang itu walau sudah berusia setengah abad, kegagahan dan
kesaktiannya sudah jadi bahan pembicaraan orang. Bagaimana mungkin?

Kau pasti tidak percaya padaku bukan? Aku sendiri tidak percaya pada
diriku sendiri saat menyaksikannya. Tapi terserah kau mau percaya atau
tidak. Aku hanya bercerita apa adanya

Habis berkata begitu ia berdiri dan menjura, Aku harus pergi. Barangbarang yang kuambil di atas kapal akan kukembalikan kepadamu. Aku sama
sekali belum melihat apa isinya. Selamat tinggal dan sampai bertemu
kembali

Cio San balas menjura. Cukat Tong pergi. Berjalan dengan santai.

Cio San memutuskan untuk melaporkan hal ini kepada Hong Sam Hwesio.
Segera ia berlari keluar dermaga. Ia bingung untuk pergi ke penginapan
semalam, ataukah ke kuil. Akhirnya Cio San memilih pergi ke kuil, karena
posisinya lebih dekat ke dermaga.

Sampai di kuil, ternyata Hong Sam Hwesio memang masih ada di sana. Beliau
sedang berdoa. Setelah menunggu beliau selesai berdoa, Cio San lalu
menemuinya dan bercerita kejadian tadi. Hong Sam Hwesio sangat kaget,
tapi beliau berkata, Baiklah, kita ke rumah Sih Hek Tiauw, pinceng tahu
rumahnya. Tunggulah sebentar ku ambil tongkat ku dulu di bilik belakang

Hong Sam Hwesio lalu pergi. Tak berapa lama, Cio San mendengar suara
ribut-ribut. Segera ia melesat ke belakang. Begitu sampai, betapa
kagetnya ia ketika melihat Hong Sam Hwesio sudah jatuh berlutut. Mulutnya
mengeluarkan darah.

Cepat kejar, ia lari lewat jendela! kata Hong Sam Hwesio terbata-bata.

Secepat kilat Cio San melompat keluar jendela. Tidak ada siapa-siapa yang
terlihat.

Ada penyerang yang bersembunyi di lemari pinceng. Saat piceng buka ia


menyerang. Ah sungguh hebat sekali ilmunya kata Hong Sam Hwesio.

Totiang tidak apa-apa? tanya Cio San.

Aku tidak apa-apa, memang luka dalam tapi tidak parah. Tenaga dalamku
masih mampu melindungi organ bagian dalam.

Hong Sam Hwesio bangkit dan membereskan meja dan perabot lain yang
berantakan. Alat-alat tulis, pot bunga, beberapa peralatan ibadah, serta
sebuah sangkar burung yang terbuka. Semua berserakan di lantai.

Aih sekarang burung kecil ku pun kabur. Para pencoleng ini benar-benar
mencari gara-gara kata Hong Sam Hwesio.

Saat dia terluka, ia tidak marah. Tapi saat burung peliharannya hilang,
ia malah geram. Mau tidak mau Cio San sedikit terseyum juga. Orang-orang
Kang Ouw memang sedikit aneh.

Ayolah kita segera ke rumah Sih Hek Tiaw kata Hong Sam Hwesio.

Mareka pun buru-buru kesana. Tapi karena lukanya, pergerakan Hong Sam
Hwesio sedikit banyak berkurang kecepatannya. Ingin Cio San
mengendongnya, tapi ia tahu itu hanya akan merendahkan sang Hwesio.

Tak berapa lama, mereka pun sampai di rumah Sih Hek Tiaw. Besar dan
megah. Rupanya selain pintar berkelahi, si rajawali hitam ini juga pintar
dagang.

Oh Hong Sam totiang, silahkan masuk Rupanya orang di rumah itu sudah
mengenal sang Hwesio.

Apa tuan besar ada? tanya Hong Sam Hwesio dengan sopan.

Ah beliau sedang beristirahat di kamar. Sejak semalam beliau belum


tidur. Tunggu saya panggilkan, totiang jawab si pelayan

Baik. Terima kasih sekali sang Hwesio mengangguk sopan.

Tak berapa lama terdengar teriakan,

Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa.!!!!!, tolong! Tolong! Tuan besar mati,


tuan besar mati!

Segera Cio San dan Hong Sam Hwesio berlari ke kamar.

Nampak tubuh Sih Hek Tiauw terbaring kaku. Darah segar masih mengalir
dari kerongkongannya.

Seseorang telah menggorok lehernya!

Cio San mengepalkan tangannya.

Benar-benar musuh yang tak terlihat!

Bab 34 Sebuah Tugas Yang Berat

Mayatnya sudah mulai kaku dan dingin. Tapi darah di tenggorokannya masih
hangat. Cio San memeriksa luka di leher itu. Sebuah tusukan pedang. Satu
tusukan. Satu nyawa. Tidak banyak orang yang mampu membunuh Sih Hek Tiauw
hanya dalam satu tusukan. Selain Ang Hoat Kiam Sian, Cio San tidak bisa
membayangkan ada orang lain yang punya ilmu pedang sedahsyat itu.

Jendela di dekat kamar terbuka lebar. Pasti pembunuhnya melarikan diri


dari situ. Cio San memeriksa jendela dan daerah sekitarnya. Tidak ada
jejak yang tertinggal. Cio San mencoba mereka-reka apa yang dilakukan
pembunuh itu setelah selesai melakukan perbuatannya. Lari keluar jendela
adalah jalan yang paling masuk akal. Ia mencoba dengan seksama
memperhatikan tanah yang dipijaknya. Hanya sebuah goresan kecil di tanah.
Garis kecil yang tidak kelihatan, dan mungkin hanya dianggap sebagai
garis biasa di atas tanah. Besarnya hanya seujung kuku. Tapi itu sudah
cukup membuat Cio San curiga.

Dengan seksama ia menelusuri garis kecil itu.Ia menepukan lagi garis yang
hampir sama beberapa tombak dari garis pertama. Dan menemukan yang
berikutnya, dan berikutnya. Pahamlah Cio San bahwa itu adalah sebuah
jejak kaki. Tapak kaki itu jarang-jarang. Jarak antara satu tapak dengan
yang lain jaraknya hampir beberapa tombak. Berarti pemilik jejak kaki itu
adalah orang yang ilmu meringankan tubuhnya sangat tinggi. Langkah antara
kaki yang satu dengan yang lain begitu lebar jaraknya. Dengan cermat Cio
San menghitung jarak kaki itu.

Orang-orang yang ada di rumah Sih Hek Tiaw sudah tidak perduli lagi
dengan apa yang sedang dilakukan Cio San. Mereka kini sedang menangis
bersedih menangisi tuan mereka. Cio San heran juga ketika melihat tidak
ada satu orang pun anggota keluarga. Hanya pelayan saja. Ia kemudian
paham bahwa Sih Hek Tiaw sepertinya tidak menikah dan berkeluarga.

Jejak kaki berakhir di tembok belakang. Dengan sekali loncat Cio San
sudah berdiri di atas tembok belakang. Sebuah pasar!

Pasar yang sangat ramai. Ia kecewa dan segera kembali ke rumah utama.

Setelah meminta diri dari sana, Cio San mengantarkan Hong Sam Hwesio
kembali ke kuil. Sampai semalaman ia berjaga di kamar sang Hwesio.
Pembunuhan-pembunuhan yang telah terjadi membuat dia sudah tak mampu
untuk tidur lagi. Sekali terlelap nyawanya atau nyawa orang lain bisa
melayang.

Besok paginya dua orang hwesio yang gagah datang. Rupanya mereka dikirim
untuk menjaga Hong Sam Hwesio. Legalah hati Cio San, ia bisa pergi
meninggalkan Hong Sam Hwesio tanpa harus diliputi rasa khawatir.

Setelah minta diri dan mendapat sedikit wejangan dan nasihat, Cio San
akhirnya pergi. Segala macam pikiran berkecamuk dalam kepalanya. Mencoba
mengaitkan seluruh peristiwa yang telah terjadi. Tubuhnya letih tapi
pikirannya segar sekali. Sedikit banyak ia sudah mulai menemukan benang
merah permasalahan ini. Pertemuannya dengan Beng Liong dan Hong Sam
Hwesio mulai membuatnya mengerti. Ia pun tambah bersemangat.

Cio San memutuskan untuk pergi ke penginapan. Ia butuh istirahat untuk


mengembalikan semua tenaganya. Ia butuh makan! Seorang ahli silat yang
dipenuhi tenaga sakti mampu bertahan selama beberapa hari tanpa makan dan
minum. Tapi bagi Cio San, tenaganya harus terisi penuh. Masalah yang ia
hadapi bukanlah masalah sepele. Untuk itu pikiran dan tenaga harus berada
dalam kondisi terbaik.

Cio San mampir sebentar di sebuah warung di teipan sungai. Warung ini
berada di pinggiran kota. Sebuah warung kecil yang tidak begitu ramai.
Pemiliknya seorang pasangan suami istri yang sudah tua. Dengan ramah
mereka mempersilahkan Cio San masuk.

Pesan teh, nasi, sayur-sayuran dan daging kata Cio San sambil tersenyum

Segera, loya (tuan)! kata yang laki-laki.

Tak sampai menunggu berapa lama pesanan sudah datang. Warung memang hanya
berisi 4 orang. Cio San, dan 3 tamu lainnya yang saat itu sudah berada
duluan di sana. Cio San makan dengan lahap sekali. Sudah hampir 3 hari ia
tidak makan.

Itu dia, kan? Ya benar, itu dia

Cio San mendengar ketiga tamu itu kasak-kusuk. Mereka sedang membicarakan
dirinya. Dalam hati ia menyesalkan, mengapa tidak bisa sedetik saja
hidupnya tenang.

Kau yang bernama Cio San bukan? kata salah seorang.

Cio San angkat kepala dan mengangguk.

Baru saja ia mengangguk, sebuah serangan telah mengincar batok kepalanya.


Sebuah rantai hitam dengan ujung bola berduri. Dengan sedikit
membengkokan kepalanya, bola rantai itu lewat di samping telinga kirinya.
Lalu dengan sumpit di tangan kiri, ia memukul rantai itu. Rantai yang
terpukul kemudian melingkar di sumpitnya. Cio San menunduk karena tahu
bola berduri itu memutar di belakangnya.

Kejadian ini hanya sepersekian detik!

Kini rantai dan bolanya telah terikat penuh dan melingkar di sumpitnya.
Si penyerang menarik sekuat tenaga, tapi rantainya tidak bergerak sama
sekali. Sumpitnya pun tidak patah. Dengan segala upayanya ia menarik
kembali rantainya, tapi semua usahanya sia-sia.

Seorang temannya yang sejak tadi diam saja, kini telah mengeluarkan golok
dari punggungnya. Dengan sekali lompatan, ujung goloknya telah mengincar
kepala Cio San pula. Menghadapi ini Cio San tenang saja. Ia mengangkat
tangan kirinya yang memegang sumpit. Dengan menggunakan rantai yang
ujungnya terikat di sumpit itu, ia menangkis serangan golok itu.

Begitu golok mengenai rantai, Cio San segera memutar tangan kirinya.
Golok itu pun terikat di dalam rantai. Sama dengan penyerang pertama, si
penyerang kedua itu pun berusaha menarik kembali goloknya. Tapi tetap
sia-sia.

Orang ketiga, yang tadi juga duduk di sana. Hanya terpaku diam saja. Ia
tidak menyangka serangan 2 orang sahabatnya itu dihadapi Cio San tanpa
berdiri dan bergerak sama sekali. Bahkan tangan kanan Cio San kini sedang
memegang mangkok teh. Ia minum dengan lahap.
Kau tidak ingin ikut bergabung? tanya Cio San santai.

Si orang ketiga itu berdiri. Lalu bersujud dengan penuh ketakutan.

Salam hormat bagi ketua! Semoga ketua berumur panjang!

Mimpi pun Cio San tidak menyangka ada kejadian seperti ini. Kedua orang
yang tadi menyerangnya pun kini melakukan hal yang sama. Bersujud
berkali-kali dan menyebut hal yang sama.

Sam-wi (kalian bertiga) bangunlah. Dan jelaskan kepadaku apa maksud


semua ini kata Cio San.

Ketiga orang ini lalu bangkit.

Maaf kelancangan kami menyerang kaucu (ketua). Kami hanya ingin menguji
apakah benar tuanlah orang yang dimaksud jelas salah orang yang tadi
senjatanya bola rantai.

Sejak kapan aku menjadi ketua kalian? tanya Cio San

Semalam berita sudah tersebar. Apa tuan tidak tahu?

Berita apa?

Tuanlah Mo Kauw kaucu yang baru!

Ia seperti mendengar petir di siang bolong.

Bagaimana bisa? tanyanya heran

Tuan benar-benar tidak tahu? tanya si bola rantai

Apa kau pikir aku terlihat seperti orang yang tahu? ia bertanya sambil
tersenyum. Kekagetannya hilang. Ia sudah mulai paham.

Apakah ini semua berasal dari Cukat Tong? tanyanya.

Benar kaucu. Semalam si Raja Maling Tanpa Tanding ke markas rahasia


kami. Ia menyerahkan surat perintah yang ditulis dan di stempel kaucu
yang lama Saat ia mengatakan kaucu yang lama matanya sudah berkacakaca. Betapa dalam cinta dan kesetiaan para anggota Mo Kauw ini pada
ketuanya yang lama.

Apa isi perintah beliau?

Beliau menyerahkan segala urusan Mo Kauw kepada tuan. Intinya, jika ada
sesuatu terjadi kepada beliau, beliau menyerahkan urusan kempemimpinan Mo
Kauw kepada tuan. Perintah lengkapnya ada di dalam surat beliau, hamba
tidak hafal jelas si bola rantai.

Surat perintah itu berada di markas kalian bukan? tanya Cio San.

Benar tuan, berada di markas kita

Antarkan aku kesana

Siap!

Mereka berangkat setelah tak lupa membayar.

Markas cabang Mo Kauw di kota ini berada di sebuah: Rumah Bordil!

Walaupun dulu sudah pernah datang ke markas/rumah bordil bersama Bun Tek
Thian, mau tidak mau Cio San geleng-geleng kepala juga sekarang. Begitu
menginjakkan kaki di depan pintu, bau wangi sudah tercium. Untungnya
wangi yang digunakan adalah wangi yang lembut. Cio San serta merta
langsung merasa nyaman. Pantas banyak orang yang suka pergi ke rumah
bordil.

Itu baru baunya.

Hiburan bagi mata jauh lebih menyenangkan lagi. Begitu datang ia sudah
disambut wanita-wanita cantik. Baju-baju mereka ketat dan tipis.
Memperlihatkan lekuk-lekuknya yang indah. Cio San pengagum keindahan, dan
ia pun bukan manusia munafik. Melihat pemandangan seperti ini, ia
tersenyum-senyum saja.

Hai tampan, selamat datang

Baru pertama kali ya?

Bagaiamana mungkin dia baru pertama kali, sepertinya wajahnya sudah


sangat pengalaman

Cio San tersenyum-senyum saja. Timbul pikiran iseng di kepalanya, ia


berkata,

Nona semua begini cantik, aku sampai bingung pilih yang mana

Nona-nona itu tertawa berbarengan. Salah satu berkata,

kenapa tidak pilih kami semua?

Yang lain menimpali, Memangnya dia kuat mengatasi kita semua?

Cio San tersenyum cuek, dan tetap berjalan mengikuti ketiga orang anak
buah barunya. Mereka sampai ke lantai atas. Lalu kemudian naik tangga
lagi sampai tingkat empat. Bisnis begini ramai dan besar, tentunya
untungnya banyak sekali, pikir Cio San.

Sampai ke tingkat 4, mereka terus masuk ke sebuah lorong kecil. Lorong


itu tembus ke sebuah kamar kecil. Si bola rantai menekan sebuah tombol
rahasia. Lemari kecil di kamar itu terbuka. Rupanya sebuah pintu rahasia.

Di balik pintu rahasia terdapat sebuah balairung. Sudah ada beberapa


orang yang berada di dalam.

Salam hormat kaucu. Semoga kaucu panjang umur!

Mereka semua berdiri lalu sujud memberi hormat.

Cio San tidak tahu harus menjawab apa, dia lalu berkata

Terima kasih, berdirilah tuan-tuan

Mereka berdiri. Silahkan duduk, kaucu kata mereka mempersilahkan

Kalian sudah tahu kejadian di dermaga? tanya Cio San sambil duduk di
sebuah kursi

Sudah kaucu. Si Raja Maling Tanpa Tanding yang memberitahukan kami kata
salah seorang. Ia menjawab dengan raut wajah yang bercampur aduk. Marah,
sedih, dendam.

Ah hampir lupa, nama cayhe Cio San. Mohon perkenalkan nama-nama saudara
semua

Mereka semua memperkenalkan nama. Rupanya mereka semua bersaudara. Ada 7


orang. Wajah mereka tidak ada yang mirip.

Ketika semalam Cukat Tong datang dan menceritakan apa yang terjadi, kami
kaget sekali. Bagaikan tidak percaya atas apa yang terjadi. Awalnya kami
mendengar bahwa sebuah kapal berisi anggota Mo Kauw terbakar. Tapi kami
tidak percaya, karena jika kaucu akan datang ke kota ini, kami pasti
diberitahu sebelumnya.

Baru ketika Cukat Tong datang dan menjelaskan semuanya, kami baru
percaya. Kami semua lalu berangkat ke dermaga. Setelah kami periksa
ternyata memang benar itu kapal kaucu. Jenazah-jenazah telah dikubarkan
oleh petugas dermaga. Kamu lalu membongkar makam, lalu kami pindahkan
jenazah-jenazahnya.

Sekarang di mana jenazah-jenazah itu? Apakah bisa kalian kenali? tanya


Cio San

Semua sudah kami kirimkan ke Istana Ular. Itu tempat semua kaucu
dimakamkan. Memang ada beberapa jenazah yang bisa kami kenali. Mayat
lainnya sudah tidak bisa lagi Ia berbicara sambil meneteskan air mata
dan mengepalkan tangan.

kalian mengenali mayat kaucu? tanya Cio San lagi.

Awalnya susah tuan, tetapi untunglah berdasarkan ciri-cirinya, kami bisa


mengenali jasad beliau. Dari cincin lambang ketua. Lalu kalung, dan
beberapa gelang. Selain itu dari gigi geligi beliau. Ada beberapa beliau
emas yang beliau pakai. Kami semua yakin betul itu jasad beliau. Jawab
salah seorang. Ia melanjutkan,

kami tidak tahu harus marah atau senang kepada Cukat Tong. Ia berani
sekali mencuri barang kaucu. Tapi justru karena dia lah, Mo Kauw
terselamatkan. Ia berhasil menyelamatkan kotak yang sangat penting. Ini
kotaknya, kaucu. Silhkan kaucu buka dan lihat isinya

Sebuah kotak kayu sederhana. Cio San membukanya.

Seketika itu juga puluhan jarum yang sangat tipis menyerang matanya!
Tapi Cio San lebih cepat. Ia sudah siap sejak tadi. Ia hanya memiringkan
kepalanya, puluhan jarum itu lewat di belakangnya. Mengenai ketiga orang
yang tadi mengantarnya. Mereka semua tewas berkelojotan di rantai.

Ketujuh orang yang duduk di depannya serempak menyerangnya. Tujuh


senjata, tujuh titik mematikan. Tapi serangan ahli silat kelas menengah
seperti ini, apa bisa melukainya. Sekali hentak dengan tangan kirinya
yang mengeluarkan suara berderik, ketujuh senjata itu ia tangkap dan
rampas.

Tujuh orang itu melongo!

Mana mungkin orang menangkap pedang, golok, clurit, dan tombak kecil
hanya dengan tangan kosong?

Dengan sebuah gerakan tangan kanan, Cio San sudah menotok ketujuh orang
itu. Kesiagaannya sudah memuncak, dia tidak ingin tertipu lagi kali ini.
Oleh karena itu Cio san sudah tahu ketika ada puluhan jarum beracun yang
menyerang ketujuh orang itu.

Kaki kanannya menghentak ke lantai, seketika itu meja di depannya


melayang ke atas. Tangan kanannya lalu menyentil meja itu. Puluhan
jarum tadi langsung tertancap seluruhnya di atas meja!

Cio San lalu melesat ke arah dari tadi jarum disambit. Si penyerang sudah
melarikan diri lewat jendela. Ia lompat ke bawah. Ilmu meringakan
tubuhnya hebat juga. Tapi jika dibandingkan dengan Cio San tentu saja
terlalu jauh. Kini Cio San malah sudah ada di hadapannya.

Si Nahkoda!

Ia adalah nahkoda kapal Mo Kauw yang kemarin terbakar.

Belum sempat si nahkoda mengeluarkan suara, Cio San sudah menotoknya.


Siang itu jalanan sedang ramai. Melihat pertunjukan itu orang-orang malah
tertarik.

Tapi yang berkumpul memang bukan cuma orang-orang biasa yang sedang lewat
saja. Karena tahu-tahu muncul 5 orang bertopeng. Entah sejak kapan mereka
berada di situ.

Ah, datang juga. Salam kenal, Ngo-wi (tuan berlima) kata Cio San sambil
tersenyum menjura.

Kelima orang itu tidak membalas. Hanya mencabut senjatanya masing-masing.


Orang-orang yang tadi berkerumun, kini malah menjauh. Mereka tahu ini
pertarungan hidup mati. Tak seorang pun yang berani mendekat.

Secara tidak sengaja, pandangan mata Cio San menangkap seseorang di atas
atap seberang rumah bordil. Dialah Cukat Tong!

Dia duduk sambil tersenyum-senyum saja. Cio San membalas senyumannya.


Memang di saat seperti ini, bukan hal yang pantas untuk tersenyum. Tapi
Cio San memang punya kebiasaan tersenyum. Bahkan tersenyum di saat-saat
yang tidak cocok.

Lima pedang telah muncul. Bersinar terang terkan cahaya matahari.

Cio San paham mereka bukan lawan yang mudah. Mereka inilah para pembunuh
bertopeng yang sudah menggetarkan dunia kang ouw.

Pertarungan seperti ini, adalah pertarungan kelas tinggi. Segala hal


kecil sangat berpengaruh dalam hal ini. Kondisi Cio San yang sudah hampi
3 hari tidak tidur, jelas adalah suatu kelemahan. Sebelum bertarung ia
sudah kalah satu langkah.

Ia pun kalah jumlah. Untuk hal ini Cio San sudah kalah dua langkah.

Ia pun tidak paham ilmu silat kelima orang ini. Dalam pertarungan,
mengerti keadaan lawan amatlah sangat penting. Kelebihan mereka,
kekurangan mereka. Sehingga dalam pertarungan, seseorang bisa lebih siap
menghadapi berbagai hal. Untuk hal ini, Cio San sudah kalah tiga langkah.

Tapi ia tetap tersenyum. Tangan kanannya memain-mainkan rambut panjangnya


yang lewat di bawah telinganya. Tangan kirinya terlipat ke belakang. Ini
adalah posisi bhe-si (kuda-kuda) yang paling disukai Cio San, jika memang
posisi itu bisa dibilang kuda-kuda.

Lima pedang menusuk. Lebih tepatnya menghempas. Karena angin


serangannya saja bisa mendorong orang. Cio San berkelebat mengikuti angin
tusukan ini. Satu langkah hentakan ke belakang. Tapi pedang terus
mengejarnya. Kelima pedang itu membentuk sebuah tusukan tunggal ke arah
tenggerokan.

Cio San sudah waspada, ia tahu tusukan tunggal itu bisa berubah menjadi
ratusan macam perubahan. Benar saja, serangan itu lalu terpecah menjadi
puluhan bayangan pedang. Satu pedang sudah melakukan tujuh serangan!.

Total semua serangan itu mengarah ke 35 titik di tubuhnya!

Jika orang sanggup melihat serangan ini, tentunya mereka akan mengakui
keindahannya. Sinar pedang itu indah, membentuk cahaya-cahaya yang
menyeliputi tubuh Cio San. Tapi memang jika orang-orang benar-benar bisa
melihat, tentunya mereka akan bergidik ngeri melihat dahsyat dan kejamnya
serangan itu.

Cio San mengelak ketigapuluhlima serangan itu dengan meloncat ke atas.


Itu hanya bisa dilakukan jika seseorang mempunyai kecepatan yang jauh
lebih cepat dari ketigapuluhlima serangan itu. Tentu saja Cio San lebih
cepat. Ia hanya lebih cepat sedikit. Tapi yang sedikit itu seringkali
menyelamatkan nyawa.

Ketika melayang, kepalanya berada dibawah. Cio San mengembangkan


tangannya unutk menangkis lagi hujan pedang yang sudah mengejarnya.
Tangan kirinya mengeluarkan suara derik. Ia menangkap satu pedang dengan

dua jarinya. Padang yang terbuat dari bisa baja khusus yang ditempa
berbulan-bulan itu patah, bagai ranting kering.

Keempat pedang lainnya ia sambut dengan tangan kanan yang melakukan


gerakan lembut. Ini adalah gerakan khas thay kek kun. Sebuah jurus yang
menggunakan tenaga lembut untuk menghalau yang keras. Tenaga itu
memanfaatkan dorongan serangan musuh untuk dikembalikan kepada musuh itu
sendiri.

Bisa dibayangkan ketika 4 tenaga pedang yang dahsyat itu dikembalikan


kepada penyerangnya sendiri. Gabungan kekuatan itu menghantam mereka
sendiri!

Alangkah kagetnya mereka ketika melihat ujung pedang mereka malah


mengarah ke tenggorokan mereka sendiri.

Satu-satu cara menghentikannya adalah membuang pedang dan menghindar.


Itulah yang mereka lakukan.

Walaupun wajah mereka tertutup topeng, rasa takut dan heran bisa di lihat
jelas dari wajah mereka.

Jangan pernah berani untuk angkat pedang kalian

Terdengar suara dari belakang Cio San. Suara itu dingin dan tenang.
Saking tenangnya terasa seperti beku. Tanpa menoleh Cio San tahu suara
siapa itu.

Ang Hoat Kiam Sian!

Pedang diciptakan bukan untuk mengeroyok orang Ia berjalan sambil


berbicara.

Entah kenapa saat orang ini berbicara, dunia terasa berhenti. Tidak ada
seorang pun di dalam keramaian itu yang bergerak. Bahkan burung-burung
yang melayang di angkasa pun mungkin akan diam mematung jika orang ini
berbicara.

Orang yang kehilangan pedang dari tangannya, tidak pantas untuk memegang
pedang selamanya

Ia melanjutkan,

Jika ada salah satu dari kalian yang kutemukan memegang pedang lagi,
kalian akan kubunuh

Kata-katanya sangat tenang. Tidak ada amarah. Tidak ada geram. Tidak ada
sedih. Tidak ada kebanggaan. Tidak ada rasa senang. Tidak ada apapun.

Tak disangka kelima orang itu lalu mengangkat tangan memukul kepala
mereka masing-masing. Tapi sebelum tangan mereka terkena kepala, sinar
dari tangan kiri Cio San sudah melayang menotok tubuh mereka. Potongan
pedang yang tadi ia patahkan, sudah berubah menjadi kepingan-kepingan
sinar itu.

Herannya tubuh mereka tidak tertotok, dan tangan mereka tetap sampai ke
tujuan. Mereka roboh dengan kepala pecah!

Cio San hanya geleng-geleng kepala.

Hahahaaaku baru tahu kalau kau tidak bisa menyambitkan senjata!


terdengar tawa Cukat Tong dari atas atap.

Belum pernah latihan, bagaimana bisa mahir? jawab Cio San

Cio San ternyata tidak mahir melemparkan senjata.

Kepandaian memang hanya bisa didapatkan dari latihan serius dan berulangulang. Selama ini Cio San memang tidak pernah melatih kemampuan
melemparnya. Ia pun tertawa-tawa saja.

Ang Hoat Kiam Sian berkata,

Kita bertemu lagi tuan. Kepandaian yang hebat. Mau kah kau bertarung
denganku?

Tangannya sudah memegang ujung pedang.

Tapi kemudian ia berkata,

Aku berterima kasih tuan sudah membersihkan namaku dari fitnah

Seketika Cio San paham,

Kau kah yang mengundangnya kesini? tanyanya kepada Cukat Tong.

Benar ia sudah melayang turun.

Kau tau alamat rumahnya? tanya Cio San heran.

Di dunia ini aku tahu alamat semua orang. Kalau tidak, bagaimana aku
bisa mencuri barang mereka?

Cio San tertawa, ia menoleh ke nahkoda ya tadi di totoknya. Si nahkoda


sudah mati. Ia mati berdiri oleh sebuah jarum beracun yang sangat tipis.

Cio Sang menghela nafas. Tentunya ketujuh orang yang tadi ditotoknya
sudah mati semua juga.

Mereka kini duduk bersama di bawah sebuah pohon. Menikmati arak dan buahbuahan. Mendengar Cukat Tong bercerita.

Segera sesudah aku bertemu denganmu, aku mengirimkan surat kepada Ang
Hoat Kiam Sian menceritakan apa yang telah terjadi. Aku lalu penasaran
apa isi kotak Mo Kauw Kaucu. Karena kotak itu diberi perangkap sejata
rahasia yang ganas. Setelah berhasil memecahkan rahasia senjata itu,
kotak akhirnya berhasil ku buka. Isinya adalah sebuah surat perintah yang
berisi bahwa kau telah diangkat sebagai kaucu baru. Karena merasa surat
itu penting, aku membawa kotak itu ke markas Mo Kauw terdekat.

Mereka menerimaku dengan baik, karena aku kenal beberapa orang disana.
Kuceritakan semua yang terjadi. Herannya mereka tidak begitu kaget. Aku
lantas curiga. Untunglah, ketika aku pulang, dan lewat depan salah satu
kamar rumah bordil, aku melihat si keparat nahkoda itu. Kamarnya tidak
sengaja terbuka sedikit, saat ada perempuan keluar dari dalam. Dari
sedikit celah itu aku bisa melihatnya sedang bersenang-senang

Akhirnya aku paham kalau dia itu pengkhianatnya. Makanya tak berapa lama
aku kembali lagi ke rumah bordil. Kali ini secara rahasia. Hehe. Aku
mendengar rencana mereka untuk menjebakmu. Seluruh markas rumah bordil
itu telah jatuh dalam kekuasaan kelompok bertopeng. Makanya, secara
rahasia, aku mencuri lagi surat perintah Mo Kauw kaucu. Aku takut jika
mereka menghancurkannya

Oh begitu kata Cio San, Lalu ketika kau sudah tahu mereka akan
menjebakku, kenapa kau tidak memberi tahu aku?

Kalau kau sampai terjebak oleh para keroco-keroco itum berarti kau tak
pantas jadi ketua Mo kauw. Dan kau tak pantas pula jadi musuhku.
Hehehe jawab Cukat Tong sambil tertawa. Aku terbukti benar, bukan?

Cio San hanya manggut-manggut sambil tersenyum.

Ang Hoat Kiam Sian hanya diam saja dari tadi. Tidak bersuara sedikitpun.
Ia hanya bersandar di pohon besar itu. Cio San ingin bertanya sesuatu
kepadanya, tapi ia mengurungkan niatnya.

Masih ada lagi satu surat yang ditulis khusus untukmu kata Cukat Tong
kepada Cio San

Tolong simpankan. Aku mengantuk. Aku mau tidur! seru Cio San. Ia
berbaring dan menutup mata.

Cukat tong hanya tersenyum dan memandangnya lama, lalu berkata, Terima
kasih

Cio San hanya terseyum pula.

Ia tahu alasan Cukat tong berterima kasih. Jika Cio San berani tidur
dengan pulas, berarti ia menganggap Cukat tong sebagai sahabat yang akan
melindunginya saat musuh tiba.

Memang di antara sahabat, ada banyak hal yang tidak perlu kau katakan.

Bab 35 Ke Istana Ular

Tidur Cio San sangat pulas. Dari sejak tengah hari ia tidur sampai sore.
Begitu bangun, ia melihat Cukat Tong dan Ang Hoat Kiam Sian masih duduk
di sebelahnya. Yang satu duduk diam tenang. Tanpa suara dan tanpa katakata. Yang satu sedang menyandar di pohon sambil minum arak.

Kalian berdua sejak tadi duduk saling diam? tanya Cio San kepada Cukat
Tong.

Cukat Tong hanya mengangguk.

Dan sejak tadi kau minum arak? Banyak sekali persediaan arakmu

Cukat Tong mengangguk sambil tertawa. Aku sudah 3 kali bolak balik ke
warung arak

Cio San ikut tertawa. Ia duduk menyandar pohon dan ikut minum arak. Arak
Lin Cia. Arak ini dibuat dari sari buah-buahan yang di masukkan ke dalam
bilah bambu, lalu di kubur dalam tanah selama berbulan-bulan. Semakin
dikubur lama, rasanya semakin enak.

Bangun tidur lalu minum arak. Habis minum arak, lantas tidur lagi. Di
dunia ini tidak ada yang lebih menggembirakan buat para peminum selain
hal ini.

Kau kenal dia dari mana? tanya Cio San, sambil menunjuk Ang Hoat Kiam
Sian.

Aku tidak kenal dia. Dia pun tidak kenal aku jawab Cukat Tong santai.

Lalu dari mana kau tahu alamat rumahnya? tanya Cio San lagi.

Memangnya kau harus kenal orangnya baru tahu rumahnya? Malah Cukat Tong
balas bertanya.

Betul juga kata Cio San sambil tepuk jidat. Lanjutnya,

Biar ku tebak, ia datang begitu menerima suratmu, bukan karena


persahabatan. Bukan juga karena namanya difitnah. Orang seperti dia tidak
perlu dengan nama baik dan segala macam fitnah. Ia datang karena kau

bilang padanya ada sekelompok pembunuh berpedang yang sedang mengacau di


dunia kang ouw

Benar jawab Cukat Tong.

Sebenarnya ia sudah tahu tentang kelompok bertopeng ini, cuma tidak tahu
harus mulai dari mana

Benar lagi kata Cukat Tong.

Jadi saat kau bilang kelompok bertopeng ini akan menyerang lagi, ia
serta merta datang dengan penuh semangat

Lagi-lagi kau benar jawab Cukat Tong.

Aku tidak hanya datang untuk mereka tiba-tiba Ang Hoat Kiam Sian buka
suara. Masih tenang dan tanpa perasaan. Ia hanya menatap ke depan. Tanpa
menoleh sedikitpun ke lawan bicara yang ada disampingnya.

Aku juga datang untuk mencarimu lanjut si Dewa Pedang. Ku dengar kau
menaklukkan Butongpay Ngo Kiam (Lima Pedang Butongpay) dalam satu jurus.

Yang ku kalahkan adalah orangnya, bukan pedangnya. Bukan aku yang hebat,
melainkan mereka saja yang malas latihan kata Cio San sambil menenggak
arak.

Si Dewa Pedang masih tetap dingin ketika ia berkata, Kau juga


mengalahkan kelima orang bertopeng itu dalam dua jurus

Hanya karena aku lebih cepat sedikit dari mereka." Ia kemudian menoleh
ke Cukat Tong "Eh raja Maling, apakah kau tahu siapa mereka? Tadi sebelum
keperiksa wajah mereka, kepala mereka sudah hancur duluan

Tahu, mereka ad.. sebelum Cukat Tong meneruskan kata-katanya, si Dewa


Pedang sudah memotong,

Aku ingin melihat seberapa cepat kau menangkap pedangku Ia sudah


berdiri. Masih dengan pandangan kosongnya. Bagi Cio San itu bukan
padangna kosong. Hanya pandangan manusia yang sangat-sangat kesepian.

Si Dewa Pedang sudah berdiri dihadapannya. Cio San hanya duduk dengan
santai. Ia menenggak arak dengan nikmat.

Awas serangan

Kata itu belum selesai diucapkan tapi pedangnya sudah berkelebat. Tahutahu telah sampai di dahi Cio San. Cukat Tong saja yang pengetahuan dan
ilmunya sangat tinggi masih terkagum-kagum melihat kecepatan dan
ketepatan pedang itu.

Tapi pedang itu tidak menembus dahi. Berhenti tepat sebelum tertusuk
masuk ke dalam dahi. Menyerang seperti itu adalah sebuah gerakan yang
amat sangat sulit. Menghentikannya di tengah jalan adalah hal yang jauh
lebih sulit lagi. Cio San hanya tersenyum sambil memegang rambutnya.

Kenapa kau tidak menghindar atau menangkis? tanya si Dewa Pedang.

Kenapa kau menyerang? ia balas bertanya dengan santai.

Aku ingin melihat kecepatan tanganmu jawab si dewa Pedang.

Aku tidak ingin menunjukkannya tukas Cio San.

Dewa Pedang tidak tahu harus berbuat atau berkata apa. Setelah terdiam
lama, ia berkata Seranganku yang kedua benar-benar akan membunuhmu

Pedang memang tidak berperasaan, tapi manusia iya jawab Cio San.

Aku bukan manusia dan aku tidak memiliki perasaan jawab Dewa Pedang
dingin.

Ya, mungkin. Tapi kau bukan orang rendahan yang membunuh lawan yang
tidak melawan dan tanpa senjata habis berkata begitu ia menenggak lagi
secawan arak.

Dewa Pedang terdiam. Cio san bisa melihat ia sedikit tersenyum. Hanya
sedikit. Lalu begitu cepat wajahnya sudah berubah dingin seperti semula.

Aku pergi ia lalu membalikkan tubuh dan benar-benar pergi.

Ke tempat biasanya? tanya Cukat Tong sambil tersenyum.

Si Dewa Pedang tidak menjawab. Ia berlalu dan berjalan dengan santai.

Ia mau pergi kemana? tanya Cio San.

Rumah bordil kata Cukat Tong sambil tertawa.

Dia ke rumah bordil? tanya Cio San heran. Pantas saja, dua kali
pertemuannya dengan si Dewa Pedang, kedua-duanya terjadi di dekat rumah
bordil.

Kenapa? Manusia dingin seperti dia juga tahu cara bersenang-senang


dengan perempuan?Hahaha tawa Cukat Tong.

Bukan itu tukas Cio San.

Lalu apa? tanya Cukat Tong.

Kau tidak tahu kalau dia buta?

Buta? Dia? Cukat Tong tak bisa berkata-kata lagi.

Dia buta dan aku mengirimkan surat kepadanya? si raja maling seperti
bertanya kepada dirinya sendiri.

Orang buta itu terkadang melihat lebih banyak hal daripada orang yang
normal kata Cio San.

Sejak kapan kau tahu jika dia buta? tanya si Raja Maling.

Sejak awal bertemu dengannya di rumah Teng Teng. Cara pandangnya. Sinar
matanya yang aneh. Membuatku curiga. Setelah ku perhatikan, ketika ia
berbicara atau melakukan gerakan apapun, kepalanya agak dimiringkan. Itu
tanda kalau dia lebih mengandalkan telinganya ketimbang matanya

Tapi jurus pedangnya yang mantap dan cepat seperti itu? tanya Cukat
Tong lagi.

Justru karena ia buta maka jurus pedangnya bisa dahsyat seperti itu.
Karena ia tidak bertarung dengan menggunakan mata. Ia bertarung
menggunakan hati. Ia adalah contoh manusia yang telah bisa menyatu dengan
pedangnya jelas Cio San

Ada sebagian orang yang hidupnya adalah pedang. Yang sebagian lain,
pedangnya adalah hidupnya. Tapi baginya, hidupnya bukan pedang, dan
pedang bukan hidupnya. Ia adalah pedang itu sendiri

Mau tidak mau Cukat Tong bergidik juga mendengarnya.

Kau tidak tahu asal-usulnya? Tanya Cio San

Aku tidak tahu pasti, aku hanya bisa menebak-nebak Cukat Tong lalu
melanjutkan,

Sekitar dua puluh sampai tiga puluh tahun yang lalu, ada pasangan suami
istri yang ilmu pedangnya sangat hebat. Selain ilmu pedang, mereka juga
pandai membuat pedang. Setelah lama menggetarkan dunia persilatan, suami
istri itu menghilang. Menurut kabar yang terdengar mereka mengasingkan
diri di pegunungan Himalaya. Di sana kabarnya mereka membuat pedang
terbaik. Dari bahan-bahan terbaik, ditempa dalam kondisi lingkungan
paling baik. Aku curiga pedang itulah yang sekarang dipakai oleh si dewa
pedang.

Kabar suami istri itu kemudian tidak terdengar sama sekali. Dengardengar mereka meninggal setelah menyelesaikan pedang itu. Tapi beberapa
tahun kemudian, tersiar kabar bahwa ada seorang anak kecil yang berkelana
sendirian di pegunungan Himalaya. Ia menenteng sebuah pedang yang indah.
Tidak ada orang yang mengetahui dengan pasti siapa anak ini, karena tidak
ada seorang pun yang jelas-jelas pernah bertemu atau bercakap-cakap
dengannya

Menurut cerita, anak kecil itu hidup sendirian. Ia berburu hewan-hewan


gunung untuk makanannya. Kadang-kadang ia menolong jika ada orang yang
tersesat. Itu saja kabar yang ku dengar.

Tapi aku hampir yakin kalau anak kecil itu adalah si dewa pedang ini.
Nama she (marga) nya dengan kedua suami istri itu sama

Ooh..kau tahu siapa namanya? tanya Cio San

Ya. Namanya Suma Sun

Ah Cio San mengangguk-angguk. "Tapi tadi katamu kau tidak kenal


padanya"

"Kenal dan tahu nama adalah dua hal yang berbeda" jawab Cukat Tiong

Lama termenung, Cio San berkata,

Pantas saja ia menjadi orang yang seperti itu. Selama ini bertahan hidup
di tengah alam pegunungan salju yang ganas. Sendirian dan buta pula. Jika
bukan bergantung pada pedang dan kepandaian sendiri, tidak mungkin ia
bisa bertahan. Sejak lahir pedang adalah sahabatnya.

Eh, katamu kau kenal siapa 5 orang bertopeng tadi? tanya Cio San

Mereka, kalau aku tidak salah lihat, adalah Pendekar Pedang Perbatasan.
Jawab Cukat Tong.

Apa? Kenapa mereka mau-maunya jadi pembunuh bertopeng? Ku dengar mereka


adalah 5 pendekar pedang legendaris yang hidup dengan sangat mewah di
ujung perbatasan bagian barat Tionggoan. Kekayaan mereka bahkan sudah
seperti raja-raja. Buat apa mereka terlibat urusan beginian?

Bisa saja karena urusan beginian mereka jadi kaya raya? kata Cukat Tong

Dari kabar yang pernah kudengar, keluarga mereka sejak jaman dahulu
sudah kaya raya. Pembunuhan bertopeng ini kan baru beberapa tahun saja
ini muncul

Bahkan mereka telah mendapat gelar pahlawan dari kaisar terdahulu.


Karena jasa mereka mengusir penjajah Mongol

Yah, mungkin itu rahasia yang harus kau pecahkan, Cio san kata Cukat
Tong sambil menghela nafas.

Lalu tiba-tiba ia teringat sesuatu,

Hey, ada surat terakhir yang ditulis Mo Kauw kaucu kepadamu, sambil
berkata begitu ia merogoh kantongnya.

Sebenarnya, aku tidak mau lihat kata Cio san sambil tertawa, Sudah
pasti isinya memerintahkanku untuk melakukan banyak hal

Hahahaha Cukat Tong tertawa. Rupanya ia sudah membaca isi surat itu.

Kau benar sekali, teman. Kalau kau tidak mau baca, biar aku saja
membacakan

Kepada Cio San tayhiap (pendekar besar) Yang Terhormat -- wah kau disebut
Tayhiap

Mo Kauw sedang dalam keadaan gawat dan genting. Hampir semua anggota inti
keracunan oleh racun hebat, dan kami tidak tahu apakah kami akan bisa
sembuh. Dalam keadaan seperti ini, Mo Kauw amat sangat rentan oleh
serangan dari luar.

Oleh sebab itu, kami dengan segala hormat meminta engkau turun tangan
menangani Mo Kauw jika ada sesuatu yang terjadi kepada kami. Cayhe baru
mengenal engkau beberapa hari, namun ketulusan, kebaikan hati, ilmu, dan
kecerdasanmu telah membuat kami kagum dan hormat sekali.

Engkau berhak mempelajari seluruh ilmu Mo Kauw, dan engkau berhak memberi
perintah kepada seluruh anggota Mo Kauw yang ada. Engkau berhak

mengumumkan perang kepada siapa saja, dan engkau berhak pula mengadakan
perjanjian damai kepada siapa saja.

Selain permintaan ini, kami mempunyai satu permintaan lagi. Putri kami
sedang sakit. Mohon kau memberi kabar kepadanya jikasesuatu telah terjadi
kepada kami. Ia mengasingkan diri di Istana Ular. Dengan segala
kerendahan diri, kumohon engkau menjaganya saat kami telah tiada nanti.

Salam Hormat

Ang Soat

Cio San mendengarkan sambil terkejut.

Bukankah tadi para pengkhianat di rumah bordil bilang kalau mereka


membawa jenazah ke Istana Ular? Kita harus segera berangkat kesana.
Bahaya sedang mengancam putri sang Kaucu.

Ah Tapi ia seperti mengurungkan niatnya. Kita sudah sangat terlambat.


Aku juga tidak tahu di mana Istana Ular berada Cio san tertunduk lesu

Jangan khawatir dan menyerah dulu. Aku punya pemecahannya. Ayo ikut aku

Mereka berlari.

Di tengah jalan Cukat Tong memungut sebuah papan yang lumayan lebar. Cio
San tidak tahu apa yang akan dia lakukan. Ketika sampai di tepi sungai,
Cukat Tong mengeluarkan sebuah benda dari kantongnya. Sebuah tulang
kecil. Ia meletakkan tulang itu di bibir dan meniupnya. Terdengar suara
kecil yang menusuk telinga.

Ia tersenyum. Mungkin dalam hatinya ia berkata Tunggu saja, kau akan


kaget nanti

Tak berapa lama di langit muncul puluhan burung elang yang besar. Dengan
sebuah gerakan cepat, Cukat Tong menangkat tangannya. Ada puluhan benang
yang sangat tipis yang terulur ke atas ke arah burung-burung itu. Ia
menendang papan yang tadi dibawanya ke sungai.

Ayo serunya.

Cio San ikut melompat ke atas papan.

Sebuah kapal kecil yang ditarik oleh puluhan burung-burung besar.


Kendaraan paling aneh di muka bumi yang pernah dinaikinya!

Bab 36 Seseorang Yang Menakutkan

Menyenangkan juga menaiki kendaraan seperti ini!

Cio San merasa ini adalah kendaraan terbaik yang pernah ia naiki. Ia
bertanya,

Di mana kau mempelajari kepandaian ini?

Ada hal-hal rahasia yang tidak boleh diberitahukan kepada orang lain
jawab Cukat Tong sambil tertawa.

Rahasia? Hmmmmm Cio San berpikir

Wah kalau kau sudah mulai berpikir, bisa-bisa rahasiaku ketahuan.


Hahaha tawa Cukat Tong.

Aku sudah mengerti rahasia besar. Tapi bukan rahasiamu jawab Cio San

Lantas, rahasia siapa?

Rahasia para pembunuh bertopeng itu. Bagaimana mereka bisa dikuasai dan
diperintah oleh otak di belakang mereka kata Cio San

Apa? Rahasia mengapa orang-orang terhormat dan sakti itu mau jadi
pembunuh bertopeng? tanya si Raja Maling.

Benar

Hey, katakan padaku apa rahasianya?

Ada hal-hal rahasia yang tidak boleh diberitahukan kepada orang lain
Cio San mengejek Cukat Tong dengan meniru kata-kata Cukat Tong sendiri.

Setan buluk! Hahahahahaahahahahahaha Mereka berdua tertawa.

Biar kutebak kata Cukat Tong masih penasaran,

Kekayaan yang sangat melimpah? tanyanya

Kebanyakan dari mereka bahkan lebih kaya dari siapapun. Pendekar Pedang
Perbatasan misalnya jawab Cio San

Perempuan paling cantik sedunia? tanya Cukat Tong

Kau pernah melihat ada perempuan seperti itu? Cio San balas bertanya.

Kitab ilmu silat yang maha sakti?

Mungkin. Tapi kitab ilmu maha sakti kan sedang di pegang oleh Bu Lim
Beng Cu (Ketua Dunia persilatan) yang sekarang. Apa kau pikir jika si
otak di belakang pembunuh bertopeng itu sudah menguasainya, ia akan mau
berbagi ilmu itu dengan yang lain? tanya Cio San balas bertanya
Tentunya semua orang yang terlibat kelompok ini sudah paham itu

Jabatan di istana? tanya Cukat Tong lagi.

Kenapa harus bunuh orang? Mereka tinggal mendaftar ke istana, sudah


pasti diterima jawab Cio San.

Ah aku bingung, entahlah! tukas Cukat Tong.

Di dunia ini apa yang paling menggerakan manusia selain jabatan, harta,
nama besar, dan wanita cantik? tanya Cio San

Cukat Tong berpikir lama lalu menjawab, AKu benar-benar tidak tahu

Rasa malu jawab Cio San tenang.

Aih. Betul juga. Jadi maksudmu, semua orang ini mau jadi budak si otak
besar karena mereka khawatir ada perbuatan mereka di masa lalu yang jika
terbongkar akan membuat mereka malu? kata Cukat Tong.

Benar. Kau bayangkan jika orang-orang ini mempunyai rahasia yang sangat
memalukan jika terbongkar. Seumur hidup mereka akan jalani dengan penuh
rasa malu dan kehinaan. Bukankah itu lebih buruk dari kematian? kata Cio
San

Benar sekali. Apalagi orang-orang ini semuanya adalah orang-orang


terhormat yang punya nama baik. Sekali ada perbuatan memalukan yang
mereka lakukan terbongkar, aku bisa bayangkan betapa mereka tidak mau
hidup lagi tukas Cukat Tong.

Kau betul. Kehormatan dan nama baik, kadang-kadang begitu berharga


sehingga orang lebih suka menjalani kepalsuan untuk mendapatkannya ujar
Cio San.

Jadi maksudmu si otak besar ini mengetahui semua rahasia-rahasia


paling gelap dari para orang terhormat ini, sehingga ia menggunakannya
untuk menjadikan mereka sebagai budaknya? tanya Cukat Tong memastikan.

Tepat sekali jawab Cio San pendek.

Di dunia ini siapa yang punya kekuasaan sebesar itu sehingga mampu
mengorek rahasia-rahasia terpendam orang lain? tanya Cukat Tong.

Aku kenal satu orang jawab Cio San sambil tersenyum

Siapa dia? Orang sehebat itu memang pantas jadi raja


Lebih tepatnya ratu kata Cio San

Hah? Maksudmu dia perempuan? Siapa?

Rahasia! Cio San menjawab sambil tertawa.

Cukat Tong tak mampu berkata-kata.

Aku rela mencuri barang apapun yang kau suruh, jika kau menyebut
namanya katanya sungguh-sungguh. Aku belum pernah mencuri untuk orang
lain, tapi sekali ini saja, aku akan melakukannya

Kau benar-benar akan mencuri barang untukku? tanya Cio San, sepertinya
mulai tertarik dengan tawaran Cukat Tong.

Apapun yang kau minta! Walalupun itu celana dalam kaisar yang sedang ia
pakai sekalipun!

Baiklah. Namanya Khu Hujin tukas Cio San

Hah! Khu Hujin??? Si nyonya besar paling kaya sedunia itu?

Benar

Ah, aku tak menyangka kalau dia itu otak besar di balik semua ini kata
Cukat Tong masih tidak percaya.

Aku tidak bilang dia adalah otak besarnya.

Setan buluk! Tadi kau bilang ia punya kemampuan untuk melakukan ini
semua kata Cukat tong setengah marah

Aku cuma bilang dia memiliki kemampuan yang sangat besar untuk
melakukannya. Tapi aku tidak bilang dia yang melakukannya Kata Cio San
sambil tersenyum.

Hahahahahaha, aku sudah tertipu! Setan buluk!

Dan kau harus tetap pegang janjimu Cio San dan Cukat Tong tertawa.

Jangan takut. Sekali berkata, amat sangat najis untuk dijilat kembali.
Kau minta kucuri apa untukmu? tanya si Raja Maling

Aku belum memikirkannya. Mungkin nanti. Hehe

Di dunia ini, kalau ada orang yang bilang dirinya paling pintar, itu
pasti karena belum bertemu denganmu kata Cukat Tong

Dan di dunia ini kalau ada orang yang bilang dia bisa melakukan apa
saja, itu pasti karena ia belum bertemu denganmu balas Cio San.

Pemandangan di sepanjang sungai sangat indah. Apalagi hari menjelang


sore, sinar matahari yang jatuh di atas sungai sungguh indah. Banyak
kapal dan perahu yang berpapasan dengan mereka. Semua melongo dan
ternganga melihat kendaraan yang aneh itu. Banyak yang memuji kagum.
Cukat Tong dan Cio San membalas dengan senyum dan anggukan.

Berapa lama perjalanan ke istana ular? tanya Cio San

Kalau pakai kapal biasa, bisa satu setengah hari. Tapi kalau pakai
burung ini, besok pagi-pagi sekali kita sudah sampai jawab Cukat Tong.

Ah berarti kita bisa menyusul rombongan pengkhianat itu tukas Cio San

Mudah-mudahan. Kau simpan tenagamu. Pertempuran dan pertarungan masih


panjang

Bagaimana kalau sambil makan? jawab Cio San

Ia duduk di tepi rakit aneh itu. Dengan sedikit menjentikkan jari saja,
dua-tiga ekor ikan sudah ditangkapnya.

Cio San lalu meloncat. Dengan ilmu meringankan tubuhnya ia melayang di


atas air. Lalu mendarat di tepian sungai. Saat itu jalur yang mereka
lalui memang adalah sebuah sungai yang tidak terlalu besar. Di darat ia
memungut beberapa ranting pohon kering dan memetik beberapa daun. Ia lalu
kembali menggunakan ginkang (ilmu meringankan tubuhnya)nya untuk melayang
lagi di atas air dan menyusul rakit Cukat Tong.

Begitu kembali ia segera menggunakan ranting-ranting itu sebagai sebagai


api unggun. Cio San tidak takut rakit itu terbakar karena sebelumnya dia
sudah membasahi dulu lantai rakit dengan banyak air. Ketika ikan panggang
sekedarnya itu matang. Bau harumnya menyebar dan membangkitkan selera.

Mereka berdua menikmati dengan nikmat sambil duduk di atas rakit. Cukat
Tong makan dengan sebelah tangan, karena tangan yang satunya harus
mengendalikan burung-burung.

Aku masih punya arak di dalam buntalan yang kubawa kata Cukat Tong.

Arak. Ikan panggang yang lezat. Serta sahabat dekat. Apalagi yang
dibutuhkan oleh seorang lelaki?

Kau mungkin akan berkata perempuan. Tapi sesungguhnya bagi lelaki, ada
saat di mana kehadiran perempuan itu terasa menganggu. Yaitu saat lelaki
berkumpul dengan sahabat-sahabat terbaiknya.

Kau tadi bilang Khu Hujin sebagai orang yang mampu melakukan ini semua.
Apa alasanmu?

Beliau memiliki jaringan yang sangat luas. Setiap kota ada cabangnya.
Masing-masing cabang berisi ahli silat hebat. Semua kabar yang terjadi di
sebuah kota, pasti langsung mereka ketahui.

Tapi Kay Pang (partai pengemis) juga seperti itu sanggah Cukat Tong

Tapi Kaypang tidak memiliki uang sebanyak Khu Hujin. Lagian, menurut
penglihatanku, pergerakan Kay Pang masih kalah cepat dengan pergerakan
orang-orang Khu Hujin. Mereka sigap, tangkas, dan tidak pernah buangbuang waktu. jawab Cio San. Lanjutnya,

Aku sendiri sudah pernah bertemu dengan Khu Hujin. Orangnya sangat
cerdas. Bisa melihat banyak rahasia tersembunyi. Bahkan mungkin bisa
membaca pikiran orang

Dari mana kau tahu ia bisa membaca pikiran orang? tanya Cukat Tong

Kemampuan berpikirku ini sedikit banyak beliau yang memberikan tukas


Cio San

Haha Cukat Tong cuma tertawa

Kau tidak percaya? Cukup dengan melihatmu aku bisa tahu banyak hal

Oh ya? Coba buktikan

Kau mempunyai guru yang sangat engkau hormati. Mungkin beliau adalah
orang suku asli di bagian ujung barat Tionggoan. Kemungkinan besar beliau
sudah meninggal. Kau pun juga memiliki seorang kekasih. Kau sangat
mencintainya. Ia pun sangat mencintaimu. Tapi entah kenapa kalian sudah
berpisah.

Kaukau..bagaimana bisa Cukat Tong hampir bisu.

Dugaanku benar, bukan?

Benar seluruhnya jawab Cukat Tong.

Bagaimana kau bisa tahu? Itu adalah rahasia yang tak pernah ku
beritahukan kepada orang lain

Aku hanya memperhatikan jawab Cio San sambil tersenyum.

Coba kau jelaskan. Aku sungguh tak bisa berkata-kata

Jidatmu hitam. Orang yang jidatnya hitam, kebanyakan karena sering


bersujud. Sujud kepada siapa? Kau bukan seseorang yang gampang sujud dan
menghormati orang lain. Tentunya kau sujud kepada orang yang sangat kau
hormati. Tentunya bukan kepada orang tua. Karena melihat keadaanmu, kau
adalah orang yang sudah berpetualang sejak kecil. Mestinya kau adalah
seorang yatim piatu. Jadi sujud kepada siapa? Tentunya kepada gurumu

Lalu, siapa gurumu? Tentunya ia adalah orang yang mengajarimu banyak


hal. Termasuk mengajarimu mengandalikan burung-burung ini. Kuperhatikan
jari-jarimu. Banyak lingkaran bekas benang yang ada di jari-jarimu.
Lingkaran itu sudah menghitam dan mengras. Tentunya lingkaran itu
tercipta karena kau banyak belajar mengendalikan burung-burung itu. Dan
di Tionggoan hanya orang-orang di bagian Sianjing (perbatasan bagian
barat atas Tionggoan) yang terkenal mampu mengendalikan hewan-hewan. Jadi
tentunya gurumu pasti berasal dari barat.

Lalu mengenai kekasih? tanya Cukat Tong.

Dari sepatumu. Baju, celana, dan badanmu kotor. Tapi sepatumu tidak. Aku
memperhatikan kau sering membersihkan sepatu itu dengan tanganmu. Saat
kau minum arak pun kadang-kadang kau melirik ke sepatumu. Jadi mestinya
sepatu itu adalah benda yang sangat berharga bagimu. Pemberian seseorang
yang juga sangat berharga bagimu. Tentunya bukan gurumu yang
memberikannya. Karena biasanya guru lebih suka memberikan benda-benda
yang jauh lebih bermanfaat seperti senjata, kitab sakti, atau mungkin
sempritan tulang yang kau gunakan untuk memanggil burung-burung tadi.
Sepatu, seperti juga pakaian. adalah pemberian yang penuh cinta. Itu
diberikan karena orang itu memperhatikanmu. Jadi siapa orang itu?
Tentunya ia kekasihmu.

Cukat Tong terdiam. Semua yang dijelaskan Cio San benar. Ia hanya
menggeleng-geleng dan berkata,

Jika Khu Hujin memang benar-benar mempunyai kemampuan seperti ini, maka
sudah pasti ia lah otak dibalik semua kejadian pembunuhan bertopeng itu

Aku tidak tahu jika Khu Hujin memiliki kemampuan ini. Tapi beliaulah
yang memberi pelajaran kepadaku untuk terus memperhatikan sesuatu
sekecil-kecilnya. Untuk menggunakan akal pikiranku sekuat-kuatnya. Karena
kekuatan manusia yang paling besar berada pada akalnya

Ia telah memberikanmu pelajaran, dan kau masih mencurigainya? tanya


Cukat Tong.

Aku curiga pada siapa saja. Bahkan kepada ikan-ikan yang tadi kita
makan tawa Cio San.

Kau tidak curiga kepadaku? tanya Cukat Tong

Curiga jawab Cio San pendek

Lalu kenapa kau masih mau naik kapal denganku?

Memangnya kalau tidak naik kapal denganmu, aku harus tidur denganmu?
Cio San tertawa.

Aku bisa saja membunuhmu

Kalau kau ingin membunuhku, bisa kau lakukan saat aku tadi tidur

Saat itu kan ada si Dewa Pedang. Bisa saja kau berpikir ia akan
melindungimu tukas Cukat Tong

Aku pun curiga kepadanya. Bagaimana bisa percaya kepadanya? tanya Cio
San santai.

Lalu kenapa dengan santai kau tidur sampai mendengkur seperti tadi?

Aku mengantuk kata Cio San

Kau tidak takut kubunuh saat kau tidur?

Takut

Lalu kenapa kau tidur?

Karena aku mengantuk

Cukat Tong terdiam dan bisu. Tidak percaya ada orang seperti Cio San. Ia
cuma bisa garuk-garuk kepalanya yang penuh kudis.
Jadi kau mengaggapku sebagai musuhmu atau sahabatmu? tanya Cukat Tong

Selama kau belum terbukti sebagai musuhku, tentu saja kau adalah
sahabatku.

Tapi bagaimana bila aku menganggapmu sebagai musuh? sahut Cukat Tong

Aku akan tetap menganggapmu sebagai sahabat

Cukat Tong tersenyum puas, Aku percaya katanya.

Mereka berdua duduk menatap sungai yang sudah mulai hitam. Karena
matahari pun sudah mulai menghilang. Garis-garis merah di atas langit
mengiringi perjalanan mereka. Ada rasa khawatir, ada rasa senang, ada
rasa tertarik, ada rasa penasaran. Mereka tidak tahu apa yang akan mereka
hadapi nanti. Tapi mereka menjalaninya. Memangnya selain dijalani, apa
lagi yang bisa dilakukan?

Hidup yang berat, selain kau jalani, apalagi yang bisa kau lakukan?

Menangis? Tidak ada seorang pun yang perduli.

Tertawa? Orang akan menganggapmu gila.

Maka jalani saja dengan senyum dan kelegaan.

Masalah dan ujian hanyalah angin dalam perjalanan kehidupan. Laki-laki


seperti mereka masakan akan demam dan jatuh sakit hanya karena angin
belaka?

Maka saat Cio San menghadapi begitu banyak hal dalam hidupnya, ia
menjalaninya dengan penuh rasa syukur. Karena ia masih bisa hidup sampai
kini. Ia mendapatkan banyak pelajaran. Pelajaran yang nantinya akan
membuatnya menjadi manusia yang utuh.

Manusia yang berguna bagi sesamanya.

Itulah makna kehidupan yang sebenarnya. Sayangnya tidak banyak orang yang
menyadari. Hidup mereka habiskan mengejar cita-cita kosong. Nama besar
palsu. Dan harta kekayaan yang tak terpuaskan.

Bukankah jauh lebih bahagia menjadi orang yang sederhana. Yang kebutuhan
hidupnya hanya udara, air, dan makanan. Sedikit pakaian dan sebuah atap

yang menaungi. Hidup merdeka tanpa harus terbebani oleh pikiran dan
impian-impian. Orang-orang seperti ini adalah orang-orang yang sungguh
berbahagia. Mereka tidak pernah menjadi budak dari siapapun. Dan budak
apapun.

Di usianya yang sangat muda, Cio San telah menjalaninya. Ia memang belum
paham tentang makna-makna hidup yang sesungguhnya. Tapi dia telah
menjalaninya.

Ia benar-benar telah menjalaninya.

Maka jika orang menyakitinya, ia akan memaafkan. Jika orang menyalahinya


ia tak akan membalas. Baginya setiap perbuatan mempunyai buahnya sendirisendiri. Oleh karena itu ia tak pernah takut menjalani kehidupan. Ia
tidak berbuat salah, ia tidak menyalahi orang. Ia tidak mengambil yang
bukan miliknya. Ia pun tidak menginginkan kepunyaan orang lain.

Hidupnya ringan dan bebas!

Cukat Tong mengendalikan burung-burung dengan sangat baik. Cio San


memperhatikan saja. Dalam hati ia sangat mengagumi Cukat Tong. Tidak
mudah menjadi Raja Maling seperti dia. Di dunia ini tidak ada yang tidak
bisa dicurinya. Tapi tetap saja dia miskin. Pakaian kotor. Kepala penuh
kudis pula.

Memang, ada sebagian orang yang walaupun dalam posisi dan kekuasaan yang
besar, tetap tidak mau menyalahi orang. Tetap tidak mau mengambil
keuntungan. Tidak mau merugikan orang lain.

Itulah kenapa Cio San sangat mengagumi Cukat Tong. Usia mereka beda
belasan tahun. Bertemu pun baru beberapa hari. Tapi kecocokan dan
kesamaan hati membuat mereka merasa telah bersahabat selama puluhan
tahun.

Sepanjang jalan mereka bercanda dan tertawa-tawa. Perahu dan kapal yang
berpapasan dengan mereka selain heran dengan kendaraannya, juga heran

mengapa kedua orang ini bisa tertawa lepas bahagia seperti tidak ada satu
pun hal di dunia ini yang bisa membuat mereka bersedih.

Malam semakin larut. Bintang dan rembulan muncul di langit yang legam.
Dua orang sahabat bercerita tentang kehidupan. Mereka tertawa. Bukan
menertawakan orang lain, melainkan menertawakan diri sendiri. Jika orang
sudah mampu menertawakan diri sendiri, maka kesedihan macam apapun akan
dijalaninya dengan senyum.

Burung-burung mu ini apa tidak makan? tanya Cio San

Sebentar lagi mereka makan, tunggu saja. Pertunjukan yang menarik jawab
Cukat Tong

Oh, jadi mereka ini punya jam makan tertentu?

Hewan itu hidupnya jauh lebih teratur daripada manusia. Mereka punya
waktu makan, punya waktu tidur, punya waktu bangun, juga punya waktu
kawin dan beranak.

Cio San mengangguk-angguk setuju.

Kira-kira berapa lama lagi burung-burung akan makan? tanyanya

Mungkin satu jam lagi

Kalau begitu sambil menunggu, kita bisa olah raga sebentar kata Cio San
tersenyum. Ia berdiri dan memandang ke depan. Ada sebuah kapal kecil yang
akan lewat. Kapal itu berada beberapa tombak di hadapan mereka.

Ah, telingamu lebih tajam daripada telingaku Cukat Tong menggelenggeleng kecewa.

Kau pusatkan saja pikiranmu mengatur burung-burungmu. Aku cari keringat


sebentar kata terakhir dari kalimatnya sudah terdengar jauh karena dia
sudah melayang pergi dari situ.

Hanya dengan satu hentakan kaki di air, ia telah sampai di atas kapal di
hadapannya.

Selamat malam semua, nama cayhe Cio San

Ia baru mengucap nama. Ratusan pedang telah menghujam mengincar segala


jengkal tubuhnya. Semua orang di sini bertopeng. Semua orang di sini
menyerangnya dengan berbagai macam senjata. Semua orang di sini berjumlah
puluhan orang.

Betapa dahsyatnya serangan ini sampai setiap jengkal di tubuhnya terdapat


serangan senjata lawan. Cio San melawan mereka dengan hanya menggunakan
ranting kayu sisa bakaran tadi. Ia menyalurkan tenaga saktinya ke ranting
kayu itu, sehingga kekuatan ranting itu jauh melebihi kekuatan baja
paling keras sekalipun.

Tubuhnya melayang. Berputar seperti gasing. Tangan kanan lurus ke depan


menghalau segala serangan dengan menggunakan ranting kayu. Tangan kiri
mengeluarkan bunyi derik menangkis semua serangan. Kaki lurus ke
belakang. Cio San seperti terbang berputar bagai gasing menembus barisan
serangan yang maha dahsyat itu.

Semua penyerangnya terlempar berhamburan. Mereka belum pernah menghadapi


jurus dan serangan sedahsyat itu. Serasa tenaga serangan mereka seperti
membalik menyerang mereka sendiri. Inilah kedahsyatan Thay Kek Kun yang
sebenarnya!

Cio San sendiri tidak tahu jurus apa yang dilakukannya. Ia hanya bergerak
sesuai serangan lawan. Menerima gelombang kekuatan serangan mereka, lalu
mengembalikannya. Itulah inti utama ilmu Thay Kek Kun ciptaan maha guru
Thio Sam Hong. Cio San tidak pernah mempelajarinya sampai selesai. Ia
bahkan baru belajar tahap pernapasannya saja. Tapi ia telah mempu
menggunakan Thay Kek Kun dengan sangat baik dan sangat mahir. Jika ada
murid Butongpay yang melihat ini, tentunya mereka akan tunduk hormat
kepada Cio San karena menganggapnya sebagai tetua Butongpay. Hanya tetua

Butongpay yang bisa mennggunakan Thay Kek Kun dengan seindah dan
sedahsyat ini.

Ilmu silat, pada dasarnya sama saja. Jika engkau mengerti dasar
pemikirannya maka semua ilmu silat akan terlihat sama. Cio San telah
paham dasar pemikiran Thay Kek Kun. Intinya adalah menggunakan kelembutan
melawan kekerasan. Menggunakan kelemahan sebagai kekuatan. Maka tanpa
belajar jurus Thay kek Kun pun, ia bisa menggunakannya.

Karena jika hati bersih dan tenang, tanpa segala macam pengetahuan
tentang kuda-kuda, jurus, pertahanan dan serangan, maka akal akan
menemukan inti ilmu silat. Maka tanpa jurus pun akan mennghasilkan jurus.
Tanpa kuda-kuda akan menghasilkan kuda-kuda. Tanpa serangan akan
menghasilkan serangan.

Bukankah kosong adalah isi dan isi adalah kosong?

Semua orang pernah mendengar ini.

Tapi amat sedikit orang yang memahaminya.

Ketika orang bicara silat. Maka yang dibicarakan adalah jurus. Jika jurus
dihapus dari silat maka tidak ada silat. Pemahaman yang keliru ini akan
membuat orang terhambat ilmu silatnya. Jurus hanya pengembangan dari inti
silat yang sebenarnya. Jika tidak ada jurus, maka inti silat itu akan
berkembang menjadi apa saja. Menjadi jurus apa saja.

Silat akan menjadi murni. Tanpa diwarnai jurus, aliran, atau apapun juga.

Cio San tidak paham ini.

Tapi justru karena tidak paham lah ia mampu melakukannya.

Karena bukankah semakin paham itu juga berarti semakin tidak mengerti?

Dan tidak mengerti itu juga berarti sudah paham?

Dari ketidakpahaman muncul kepahaman, dan dari kepahaman muncul


ketidakpahaman.

Sudah berapa juta kali hal itu kita dengarkan, namun berapa dari kita
yang benar-benar melihatnya di dalam kenyataan?

Cio San tidak tahu jika ia sedang menggunakan Thay Kek Kun. Ia hanya
bersilat sekenanya. Mengikuti gelombang. Seperti pada saat ia bersilat
menghadapi gelombang banjir saat di dalam gua dulu. Dalam
ketidaktahuannya itu ia telah merapalkan Thay Kek Kun tingkat tertinggi.
Tingkat paling sempurna.

Pikirannya kosong. Bersih oleh prasangka. Bersih oleh segala macam aturan
jurus. Ilmu mengalir dari tubuhnya secara alami. Bagaikan air yang
mengalir dari gunung ke laut. Seperti angin yang berhembus dari lembahlembah ke pantai-pantai.

Seperti itulah ilmunya sebenarnya. Tanpa ia pernah paham atau sadari.

Para penyerangnya pun hancur dalam satu kali serang. Mereka yang
menggunakan tenaga paling dahsyat untuk menyerangnya, menderita luka yang
paling dahsyat pula. Karena semakin dahsyat tenaga lawan, semakin besar
juga tenaga yang berbalik kepada lawan itu sendiri.

Inilah kedahsyatan Thay Kek Kun!

Sayangnya tidak ada satupun murid Butongpay saat ini yang mampu
melakukannya. Bahkan ketuanya sekalipun.

Sayangnya yang mampu melakukannya adalah anak kecil lemah yang dulu
sering dihina-hina, dan ditertawakan. Anak kecil yang nafasnya selalu

tersengal-sengal saat berlatih silat. Anak kecil yang terusir secara hina
dan terfitnah.

Inilah anak itu.

Cio San berdiri ternganga melihat hasil jurusnya.

Puluhan tubuh hancur terkoyak-koyak, darah berceceran dimana-mana. Isi


perut, tulang belulang, dan isi kepala berhamburan.

Demi Tuhan, Cio San tak pernah bermaksud melakukan hal ini. Ia bahkan
tidak paham kekuatan ilmunya sendiri. Memang itu semua bukan salahnya.
Karena semakin kejam orang menyerangnya, semakin kejam juga serangan itu
berbailk kepada diri mereka sendiri.

Ia akhirnya jatuh terduduk dan menangis. Selama ini ia tidak pernah


membunuh orang. Sekali membunuh ternyata hasilnya seperti itu.
Perasaannya remuk. Dalam hati ia berjanji untuk tidak pernah membunuh
orang lagi. Untuk tidak pernah mengeluarkan jurus seperti tadi lagi.

Darah, dan potongan tubuh berceceran membanjiri lantai kapal. Tapi tubuh
dan bajunya tetap bersih tak ternoda sedikitpun.

Cukat Tong berdiri menyaksikan dari atas rakitnya. Belum pernah dalam
hidupnya menyaksikan jurus demikian hebat, dahsyat, dan menggetarkan
seperti tadi.

Seumur hidup sejak lahir sampai sekarang, ia belum pernah merasakan


takut. Baru kali inilah ia merasakannya. Rasa takut itu sungguh tidak
menyenangkan!

Ia takut.

Jika orang secerdas dan sesakti Cio San memilih menjadi bajingan, maka
tidak ada lagi tersisa harapan di muka bumi.

Cio San sekali melompat. Ia telah sampai ke rakit Cukat Tong.

Ilmu apa itu? tanya Cukat Tong

Aku sendiri tidak tahu jawab Cio San. Air mata masih mengalir di
pipinya. Aku tidak akan pernah menggunakan ilmu seperti itu lagi

Dari mana kau mempelajarinya? Cukat Tong bertanya lagi

Kau pikir aku mempelajarinya dari kitab sakti? ia seperti tahu isi
pikiran Cukat Tong Aku hanya bergerak sembarangan saja. Mengikuti
gelombang serangan lawan.

Kalau itu hanya jurus sembarangan, tidak mungkin hasilnya sedahsyat itu
tukas Cukat Tong

Ketika kau menghapus segala jurus, maka kau akan bersilat mengikuti
irama alam. Gerakanmu menjadi tidak terbatas. Perubahan gerak yang kau
lakukan menjadi tidak terhitung. Inti silat yang sebenarnya, mungkin
bukan terletak pada jurus. Tapi bergerak mengikuti alam. Jelas Cio San

Cukat Tong manggut-manggut. Sedikit banyak ia bisa memahami maksudnya.


Tapi untuk menjalaninya tentu bukan hal yang mudah. Ia berkata,

Kau sepertinya sudah mencapai tahap tertinggi ilmu silat. Kau telah
mengerti inti sebenarnya dari ilmu silat

Aku justru tidak paham apa-apa Cio San menggeleng. Sesungguhnya ia


memang tidak mengerti.

Ia hanya bergerak!

Lama ia hanya termenung di atas rakit. Malam semakin gelap. Sungai yang
dilalui mereka semakin sempit dan kecil. Mereka kini telah memasuki hutan
lebat. Terasa semakin gelap karena cahaya bulan telah tertutup bayangan
pepohonan.

Mereka berdua diam membisu.

Bab 37 Seorang Nenek Tua Yang Cantik

Lama sekali mereka saling diam. Cio San masih tidak percaya dengan apa
yang tadi ia lakukan. Ia tidak tahu kalau selama ini ia memiliki kekuatan
dan kesaktian yang menakjubkan.

Apa yang kau lakukan tadi, setidaknya membuat si otak besar ketakutan
juga. Mereka pasti tidak menyangka kau adalah musuh yang setangguh itu
kata Cukat Tong memecah kesunyian.

Cio San mengangguk.

Setidaknya kini dia sedang pusing memikirkan berbagai langkah katanya

Jika ia tahu kau sehebat itu, tentunya dia tidak akan buang-buang waktu
dan buang tenaga untuk mengajakmu bertempur. Ia pasti memikirkan cara
yang lebih licik. Racun misalnya. Tapi racun pun tidak bisa melukaimu.
Ujar Cukat Tong.

Dia sudah tahu satu kelemahanku tukas Cio San

Apa itu?

Aku tidak bisa melempar senjata rahasia. Hahahahaah tawa Cio San yang
ditimpali dengan tawa Cukat Tong.

Kau tahu, aku juga punya satu kelemahan yang fatal kata Cio San

Apa?

Aku tidak bisa menunggang kuda

Hahahahahaahah. Mereka berdua tertawa.

Memangnya selama ini kau tidak pernah belajar?

Tidak

Kenapa tidak mau belajar?

Aku punya kaki, kenapa harus menggunakan kuda?

Memang jika kau punya sepasang kaki seperti Cio San, kau sebenarnya tidak
perlu kendaraan apapun.

Aku heran denganmu. Kau mampu melakukan hal-hal yang mengagumkan, yang
membuat banyak orang iri, tapi kau tidak mampu melakukan hal-hal mendasar
yang bisa dilakukan ahli silat biasa Cukat Tong berkata sambil
tersenyum.

Aku bukan dewa. Pastinya aku punya kekurangan. Hahahaha Cio San
tertawa.

Eh, ini sepertinya sudah waktunya makan para burung. Kau lihatlah

Cio San memandang ke atas. Puluhan burung ini terbang semakin cepat. Lalu
menukik tajam. Mereka meluncur ke sungai. Puluhan burung itu menyeburkan
diri ke sungai. Cipratan air yang ditimbulkan membuat Cukat Tong dan Cio
San basah kuyup.

Hahaha, sekalian mandi teriak Cukat Tong

Suara burung dan ceburan air itu menimbulkan keramaian tersendiri. Indah
sekali.

Begitu mereka muncul ke permukaan, masing-masing burung telah mencaplok


ikan di paruhnya. Mereka lalu terbang membumbung lagi.

Indah, bukan? tanya Cukat Tong.

Mengagumkan balas Cio San.

Lalu ia berkata, Kau bisa menciptakan jurus baru dari gerakan mereka

Ia lalu melenting tinggi. Begitu sampai di puncak lompatan, Cio San


menukik tajam ke bawah. Tangannya membentuk cakar ke depan. Tubuhnya
beputar seperti gasing. Ia meluncur dengan kecepatan yang tak
terbayangkan.

Blaaaaaaaaarrrrrrrrrrr!!!!!

Tubuh Cio San sudah menghujam ke dalam sungai. Hasil putaran tubuhnya
membentuk gelombang pusaran air yang sangat dahsyat. Bagai pusaran angin
puyuh yang menghujam sungai. Pusaran itu saking dahsyatnya sampai
memperlihatkan dasar sungai!

Rakit Cukat Tong sampai ikut terlempar melayang ke atas. Ia berteriak,


Hebaaaaatttt!!!!!

Cio San telah ikut melenting pola ke atas mengikuti rakit yang melayang.
Begitu menginjakan kaki di rakit, Cukat Tong seperti tidak merasa
tambahan baban apa-apa pada rakitnya. Rakit justru melayang pelan ke
bawah bagai sehelai kertas tertiup angin.

Begitu mendarat, Cukat Tong hanya geleng-geleng kepala.

Kau bisa menciptakan ilmu silat sedahsyat itu hanya dengan meniru
gerakan burung? Orang secerdas kau dalam ilmu silat, mungkin hanya
dilahirkan 100 tahun sekali

Cio San menggeleng pula. Katanya,

Orang yang lebih hebat dari aku, sesungguhnya lebih banyak lagi. Cuma
mereka tidak mau menonjolkan diri

Yah, kau boleh merendahkan diri semaumu, tapi terus terang, seumur-umur
aku mengarungi dunia kang Ouw, belum pernah aku bertemu orang yang
silatnya lebih hebat dari engkau. Aku pernah bertemu Mo Kauw Kaucu. Tapi
aku belum pernah melihatnya bersilat. Sejauh ini mungkin hanya 4-5 orang
saja di dunia ini yang bisa menandingi engkau

Cio San malah termenung.

Kita sudah hampir sampai bukan?

Iya. Dari mana kau tahu? Cukat Tong tiba-tiba tersadar, Ah suara
pertempuran!

Cio San sudah mendengarnya terlebih dahulu.

Ketika mereka mendekat, terlihat juga sebuah kapal kecil yang mendarat
di dekat sana.

Cukat Tong menghentakan tangannya, lalu benang-benang yang berada di


jari-jarinya tahu-tahu terputus dan meluncur masuk kembali ke dalam
kantongnya.

Terima kasih teriaknya kepada burung-burung itu.

Ia melompat ke darat. Cio San pun melakukan hal yang sama.

Suaranya berada di sana ia menunjuk sebuah arah Ayo cepat

Mereka berdua melenting. Sekejap saja mereka berlari dan melayang, mereka
sudah sampai. Di balik pepohonan yang lebat dan besar-besar itu, dibalik
hutan yang gelap dan rapat itu, terlihat sebuah rumah yang sangat besar.

Rumah yang hampir menyerupai istana!

Keadaan di sekitar Istana itu terang benderang, berbanding dengan keadaan


sekitarnya yang gelap gulita.

Dengan sekali melenting mereka berdua telah melompat melewati pagar yang
tinggi. Begitu sampai di bawah, pertempuran baru saja selesai. Karena
suara dentingan pedang pun sudah tidak terdengar lagi. Yang tersisa
adalah pandangan yang mengerikan.

Puluhan mayat hangus mengering. Menyisakan debu hitam dan bau hangus.

Cio San paham, inilah ilmu Menghisap Matahari yang dahsyat itu.

Seorang nenek tua duduk diatas tangga batu yang ukirannya indah sekali.
Cio San dan Cukat Tong memandangnya. Ia pun balas memandang mereka. Cio
San dan Cukat Tong sedikit terhenyak.

Walalupun sudah tua, nenek ini terlihat masih cantik. Garis garis keriput
di wajahnya tidak mampu menutupi kecantikan masa mudanya. Tubuhnya pun
ramping, seperti tubuh seorang gadis. Sayang rambutnya telah memutih
seluruhnya. Tapi justru rambut putih itu malah membuat kecantikan nenek
ini semakin terasa berbeda.

Ia hanya duduk memandang kedua orang tamunya. Pandangannya sendu dan


dalam. Sepertinya seluruh kesedihan di muka bumi telah ditimpakan
kepadanya.

Siapa nenek ini, selama ini aku belum pernah melihatnya di Istana Ular
bisik Cukat Tong kepada Cio San.

Cio San hanya diam, dan berkata kepada si nenek,

Nama cayhe Cio San, ini saha

Belum selesai kata-katanya, si nenek telah bergerak menyerangnya. Jarak


mereka ada beberapa tombak, tapi dalam sekejap mata saja, serangan sang
nenek telah berada tepat di ulu hati Cio San.

Serangan itu hanya berupa sodokan satu jari telunjuk. Tapi angin
dahsyatnya telah terasa jauh sebelum jari telunjuk itu mendekat!

Cio San mengelak. Hanya memiringkan sedikit badannya ke kiri. Tanpa


melangkahkan kaki. Bagian atas tubuhnya bisa berputar jauh sampai ke
belakang. Cukat Tong terkaget lagi. Cio San memang tak pernah berhenti
menimbulkan kekagumannya. Orang yang badannya bisa selentur itu yang
pernah dilihatnya, memang baru Cio San.

Gerakan Cio San dilakukan di saat-saat terakhir ujung serangan jari itu
akan menyentuhnya. Orang manapun yang melihat pasti akan menyangka jari
itu sudah masuk menembus ulu hatinya. Tapi entah bagaimana Cio San
bergerak di saat-saat akhir. Gerakannya jauh lebih cepat dari serangan
yang datang. Bahkan yang menyerang sendiri terbelalak karena menyangka
serangnnya sudah menemui sasaran.

Tapi si nenek tidak lama kagetnya. Karena tahu kini daerah punggungnya
sudah terbuka, dengan gerakan sangat cepat kakinya sudah menendang.
Tendangan belakang yang dilakukan dengan cara membengkokan kaki dan lutut
ke ke belakang.

Sarangan ini mengincar kepala Cio San. Dengan menggunakan punggung


kirinya, Cio San mendorong tubuh si nenek.

Si nenek tahu, Cio San sedang berbuat baik kepadanya. Karena jika Cio
San mau menghabisinya, ia tinggal membuat sserangan yang mematahkan
tulang punggungnya.

Hal ini membuat ia semakin marah. Ia lebih memilih mati daripada


dikasihani orang. Karena itulah kini serangannya makin dahsyat. Cio San
menerimanya pun dengan senyum.

Si nenek tidak tahu arti senyuman Cio San. Yang ia tahu arti senyuman itu
adalah meremehkannya. Sepuluh jurus berlalu, tapi ia tidak mampu
menyentuh ujung rambut Cio San. Setiap serangnnya terasa pasti menemukan
sasaran, Cio San melakukan gerakan-gerakan aneh untuk menghindarinya.

Kau mengampuniku? Justru aku tak akan mengampunimu! Lihat serangan

Ketika itu ia telah membuat sebuah kuda-kuda. Tangannya mengembang ke


samping. Kedua telapak tangannya seperti mengeluarkan cahaya kuning.

Cio San tahu ini bukan jurus sembarangan, tapi dengan santai ia bertanya,

Lolo (nenek), apakah ini yang disebut ilmu Menghisap Matahari?

Ketika disebut lolo entah kenapa cahaya kemerahan di matanya sedikit


memudar, digantikan cahaya kesedihan. Perubahan sekilas ini, di dalam
gelap gulita pun Cio San bisa melihatnya.

Awas jangan sampai bersentuhan dengan kedua telapaknya! teriak Cukat


Tong memperingatkan.

Ilmu Menghisap Matahari adalah ilmu khas Mo Kauw. Ilmu ini adalah sejenis
ilmu sakti yang mampu menghisap semua tenaga dalam lawan. Siapapun yang
tersentuh oleh telapak tangan, seluruh tenaga dalamnya akan tersedot
habis. Sampai-sampai hanya menyisakan abu mayatnya saja!

Cio San tahu ia harus lebih berhati-hati lagi. Tapi tetap saja tubuh dan
posisinya santai. Tanpa kuda-kuda, tanpa persiapan, tanpa apapun!

Ia hanya berdiri. Tangan kanan membelai-belai ujung rambut sendiri.


Tangan kiri terlipat ke belakang.

Senyumnya tidak hilang.

Dalam sebuah pertempuran tingkat tinggi, segala hal sangat menentukan.


Pemusatan pikiran harus dilakukan seluruhnya. Gaya berdiri Cio San
seperti ini, walaupun tanpa kuda-kuda, dan tanpa jurus, sebenarnya adalah
caranya untuk memecah konsentrasi lawan.

Jika lawan melihatnya dalam posisi seperti itu, setidaknya mereka akan
berfikir dua hal. Yang pertama, mereka menganggapnya bodoh. Hal ini akan
membuat si lawan meremehkan Cio San. Yang kedua, mereka akan

menganggapnya sangat sakti, sehingga tidak memerlukan jurus dan kudakuda. Hal ini malah akan menimbulkan sedikit rasa takut bagi lawan.

Jika pikiran lawan sudah terpecah, maka Cio San akan unggul sedikit. Yang
sedikit ini, seringkali menentukan hidup dan mati dalam sebuah
pertempuran.

Ilmu Menghisap Matahari adalah salah satu dari 3 besar ilmu tertinggi di
kalangan Kang Ouw yang masih ada sampai sekarang. Yang kedua lainnya
adalah Thay Kek Kun milik ButongPay, dan Cakar Macan milik Siau Lim Pay.

Sampai sekarang, ilmu Cakar Macan lah yang dianggap nomor satu, karena
selama ini selalu Siau Lim Pay lah yang menjadi Bu Lim Beng Cu (Pemimpin
Dunia Persilatan).

Si nenek tidak menyerang. Ia hanya menunggu. Cio San pun tidak menyerang.

Lama mereka berdiri saling menatap.

Lalu si nenek bergerak!

Kecepatan yang amat sangat sukat diikuti oleh mata. Sepertinya tadi ia
tidak menyerang karena mengumpulkan kekuatan sakti. Kini ketika
kekuatannya telah terkumpul semua, tubuhnya melesat dan kedua telapaknya
telah mengincar 7 titik paling berbahaya di tubuh Cio San.

Cukat Tong tercekat. Siapakah yang mampu menerima jurus seperti ini?

Sebuah jurus yang sederhana, namun dilancarkan sedemikian cepatnya. Yang


membuat serangan ini lebih ganas lagi adalah bahwa serangan ini tidak
boleh ditangkis. Siapapun yang menyentuh ujung telapak tangan yang
bersinar kuning itu, siap-siaplah menjadi arang.

Cio San mundur selangkah, ketujuh serangan itu kini berkembang menjadi 14
serangan!

Tidak ada ruang untuk mundur lagi, karena ada sebuah tembok besar di
belakangnya. Akhirnya Cio San memang tidak mundur. Ia menerima dengan
pasrah telapak tangan yang bersinar kuning itu.

Cukat Tong kaget setengah mati!

Ia segera maju hendak menolong, tapi Cio San malah berteriak, Jangan!

Dalam adu tenaga seperti ini, mengeluarkan suara saja adalah sebuah
perbuatan yang menyia-nyiakan tenaga. Bisa dibayangkan penderitaan Cio
San menerima serangan telapak itu, ditambah lagi ia harus mengeluarkan
suara mencegah Cukat Tong. Tenaga dalamnya akan tersedot lebih banyak.

Cukat Tong tidak tahu harus berbuat apa.

Telapak tangan si nenek sudah menempel di dada Cio San. Kepulan asap
keluar dari tubuh mereka. Cio San menutup matanya. Si nenek justru
matanya semakin terbelalak.

Duaaaarrrrrrrrrrrrr!!!!!!!

Suara ledakan besar terdengar. Tubuh si nenek terlemparbeberapa tombak ke


belakang. Tubuhnya meluncur sangat cepat. Si nenek seperti tidak bisa
berbuat apa-apa ketika tubuhnya akan menghujam tangga batu di
belakangnya. Ia hanya menunggu kematian saat nanti tulang punggungnya
menghujam tangga batu.

Cukat Tong bergerak, tapi posisinya terlalu jauh dan gerakannya terlambat
sedikit.

Tapi bukankah yang sedikit itu menentukan hidup dan mati?

Si nenek menutup mata.

Pluk!

Tubuhnya tidak menghujam tangga batu, melainkan ujung telapak Cio San.

Entah bagaimana Cio San telah berada di sana. Menahan hujaman tubuhnya
hanya dengan putaran telapak tangan. Tenaga hujaman yang sekeras dan
secepat itu langsung buyar hanya oleh putaran telapak tangan yang
sederhana!

Cukat Tong terhenyak lagi, Thay Kek Kun! ujarnya dalam hati.

Memang Thay Kek Kun lah yang menyelamatkan hidup si nenek. Thay Kek Kun
pula yang menyelamatkan hidup Cio San tadi.

Inti dari ilmu Menghisap Matahari adalah menyerap tenaga lawan. Inti dari
Thay Kek Kun adalah menyerap tenaga lawan pula. Jadi ketika kedua ilmu
ini salaing menghisap maka siapa yang tenaganya paling dahsyat dialah
yang menang.

Akan sangat berbeda jika tenaga Cio San dibawah tenaga si nenek. Tentulah
Cio San yang akan kalah. Atau jika orang lain yang menggunakan ilmu
selain Thay Kek Kun, tentunya akan kalah juga. Karena kebanyakan ilmu
orang lain adalah ilmu yang mengeluarkan tenaga untuk menyerang. Maka
walaupun tenaga dalam mereka lebih tinggi dari si nenek, tentunya mereka
akan terhisap tenaganya.

Tapi ilmu Thay Kek Kun ini adalah ilmu yang mengandalkan kelembutan. Ilmu
yang memanfaatkan tenaga lawan yang menyerangnya.

Maka ketika ilmu Menghisap Matahari dan Thay Kek Kun bertemu, yang
terjadi adalah saling hisap tenaga. Dan siapa yang tenaga hisapnya paling

kuat, dialah pemenangnya. Dasar inti dari Thay Kek Kun adalah, semakin
besar kekuatan lawan, semakin besar juga kekuatan itu balik menyerang si
lawan itu sendiri. Belum lagi ditambah kekuatan sinking (tenaga sakti)
Cio San ia ia dapatkan dari jamur-jamuran di dalam goa.

Itulah kenapa si nenek terlempar ke belakang dengan dahsyat.

Untunglah Cio San menolongnya dengan jurus dasar Thay Kek Kun. Sebuah
gerakan sederhana untuk memunahkan serang lawan. Jurus Membayar Pedang
dengan Senyum. Jurus yang waktu ia kecil tidak mampu dilakukannya. Kini
bahkan ia tidak sadar ia mampu melakukannya dengan alami. Mengalir
bagaikan aliran sungai.

Si nenek wajahnya pucat dan memuntahkan darah.

Cio San tahu si nenek sedang menghadapi situasi hidup dan mati. Segera ia
meletakkan kedua telapaknya di punggung si nenek ia sedang bersila.

Ia menyalurkan tenaga sakti di punggung si nenek.

Atur jalan darah yang berada di jantung. Gunakan tenaga dalam yang masih
tersisa untuk melindungi jantung. Tutup semua lubang yang ada dalam
tubuh. Usahakan sampai kau tidak mendengar apapun, melihat apapun,
menghirup apapun

Si nenek melakukan persis seperti ucapan Cio San. Segera ia merasa semua
gelap. Tidak ada udara, karena ia menahan nafasnya. Tidak ada suara
karena ia mematikan indera pendengarannya. Tidak ada bau karena ia
mematikan indera penciumannya.

Ini sebuah cara pengobatan yang aneh, karena jarang ada yang seperti itu.
Tapi luka yang dialami si nenek bukan luka dalam biasa. Luka akibat
pertempuran hebat seperti tadi, hampir tidak mungkin bisa disembuhkan
hanya dengan mengatur jalan darah dan saluran tenaga dalam dari orang
lain.

Cio San menotok beberapa jalan darah si nenek agar bekerja lebih baik. Si
nenek telah menahan nafas sangat lama. Tapi keadaan luka yang ia rasakan
sudah membaik. Tenaga dalamnya tidak lagi menyerang dirinya sendiri.
Bantuan dari Cio San tadi sangat membantunya melewati masa yang
berbahaya.

Orang yang terluka dalam seharusnya mengatur jalan nafas. Tetapi saran
Cio San justru untuk menahan nafas. Ini karena sebenarnya Cio San tahu
bahwa tenaga di dalam tubuh si nenek sedang mengalir kacau dan tidak
jelas. Jika orang mengatur jalan nafasnya, maka tenaga dalam itu akan
lebih kacau karena konsentrasi orang tersebut terpecah untuk mngeatur
jalan nafas. Justru dengan menutup semua indera, orang baru bisa
berkonsentrasi memulihkan tenaganya.

Pengetahuan seperti ini, jarang ada orang yang mengetahuinya. Makanya


banyak pendekar yang tidak mampu menyembuhkan luka dalamnya. Justru
semakin parah dan mengakibatkan kematian. Dari pengatahuan tentang organ
tubuh yang dibacanya di puncak gunung dulu, serta pemahamannya yang
mendalam tentang tenaga, Cio San baru bisa sampai kepada kesimpulan
seperti itu.

Kehidupannya di dalam gua dulu, telah menambah pemahamannya yang mendalam


tentang tenaga dalam. Ia memepeljarinya dari mengamati sungai, banjir,
dan berlatih silat bersama Kim Coa (ular emas). Kini, mungkin Cio San
telah bisa disejajarkan dengan pesilat-pseilat nomor satu karena tenaga
dalamnya ini.

Si nenek beruntung sekali bahwa orang yang dihadapinya adalah Cio San.
Kalau tidak nyawanya sudah melayang dari tadi. Ia mengikuti saja petunjuk
dari Cio San. Baru ketika ia merasa sudah mampu mengendalikan tenaga,
aliran darah, dan organ-organ dalamnya, ia baru membuka lagi semua panca
inderanya. Pandangannya kini sudah terang. Ia tidak jadi mati!

Dirasakannya Cio San masih menyalurkan tenaga melalui punggungnya. Si


nenek lalu berkata,

Aku sudah baikan. Terima kasih atas pertolongan Ciokhee (tuan)

Cio San tersenyum, Lolo (nenek) jangan memaksakan diri dulu.


Istirahatlah sebentar. Pulihkan semua tenaga. Kita bicara setelah engkau
benar-benar sudah membaik

Si nenek mengikuti saran Cio San, ia duduk bersila. Kini ia sudah bisa
mengatur jalan nafasnya. Cio San jongkok, ia bekata Maafkan saya
lancang, lolo lalu ia menyentuh pergelangan tangan si nenek untuk
memeriksa denyut nadinya.

Cio San sedikit kaget, tapi setelah itu ia tersenyum. Memang kebiasaannya
jika tahu sesuatu rahasia, ia pasti tersenyum.

Ia berbalik. Cukat Tong sudah duduk di atas tanah tak jauh dari si nenek.
Cio San pun turut duduk di sebelahnya.

Surat-surat Kaucu masih ada padamu kan? tanya Cio San

Masih jawab Cukat Tong pendek.

Karena Cio San hanya mengangguk-angguk saja, ia lantas penasaran dan


bertanya,

Kau ingin menunjukan surat kepada si nenek itu sebagai bukti, ya?

Cio San tersenyum saja.

Orang-orang yang sudah jadi debu dan arang ini, mungkin telah
memfitnahmu. Menggunakan namamu sebagai ketua Mo Kauw yang baru, untuk
menipu si nenek. Entah bagaimana kemudian mereka bertempur. Lalu si nenek
menghabisi mereka semua. Itulah ketika pertama kali mendengar namamu, ia
menyerang bagai orang gila. Jelas Cukat Tong.

Sebenarnya ia tidak sedang menjelaskan. Ia sedang bertanya. Apakah


penjelasannya itu benar adanya. Ketika Cio San mengangguk mengiyakan,
legalah hatinya.

Ternyata aku tidak sebodoh yang kusangka katanya sambil tertawa.

Tidak ada orang bodoh yang bisa jadi Raja Maling kata Cio San tertawa
juga.

Siapapun orangnya, jika berada di sampingmu tentulah merasa bodoh ia


menupuk punggung Cio San

Cio San hanya tersenyum lalu berkata, Siapapun yang berada di sampingmu,
jika tidak merasa beruntung tentulah merasa bahagia

Kedua orang ini saling memuji tanpa basa-basi dan penuh ketulusan.

Mari kita kuburkan mayat-mayat ini sambil berkata begitu Cio San
beranjak. Ia melompat ke atas pagar dan melihat ada sebuah daerah kosong
di luar pagar yang cukup dijadikan sebagai kuburan. Ia lalu melompat ke
sana. Dengan bantuan sebuah kayu ukuran setombak, ia mulai menggal
kuburan.

Cukat Tong yang awalnya geleng-geleng kepala, akhirnya ikut juga menggali
kuburan. Setelah selesai, mereka lalu memindahkan mayat-mayat itu.

Setelah selesai menguburkan, mereka kembali. Rupanya si nenek sudah


selesai bersemedhi. Ia berdiri memandang kedua orang di depannya. Lalu
berkata,

Bisa ku lihat surat yang kalian bicarakan tadi?

Cukat Tong mengeluarkan dua bua surat. Yang satu surat perintah kepada
seluruh anggota Mo Kauw, yang satunya lagi surat pribadi Kaucu kepada Cio

San yang beberapa waktu lalu dibacakan Cukat Tong saat mereka
beristirahat di bawah pohon.

Surat yang mana yang harus kuberikan? tanyanya kepada Cio San.

Kedua-duanya sahut Cio San.

Ia lalu berkata kepada si nenek,

Salam hormat kepada nona, maafkan cayhe tidak mampu melindungi ayahanda
nona perkataannya tulus. Air matanya sudah menggenang di pelupuk
matanya.

Cukat Tong kaget.

Nona?

Bab 38 Bunga Merah Yang Cantik

Cio San tidak menjawab pertanyaan Cukat Tong. Ia hanya tersenyum walaupun
air mata sedikit menggenang di matanya. Malah si nenek yang setelah
membaca surat itu kemudian bersoja, bersujud di hadapan Cio San,

Salam hormat Kaucu, semoga panjang umur!

Cio San segera bergegas menuju si nenek dan membantunya berdiri. Katanya,
Buat apa segala adat begini, nona

Mari ikut hamba masuk kata si nenek.

Mereka bertiga masuk ke dalam Istana Ular. Pemandangan di dalam lebih


mengerikan dibandingkan dengan yang diluar. Puluhan mayat berserakan. Ada
yang sudah menjadi arang, ada yang masih utuh. Banjir darang menggenang
hampir seluruh lantai. Cio San dan Cukat Tong hanya geleg-geleng kepala.
Katanya pada Cukat Tong,

Urusan kubur mengubur ini ternyata masih panjang

Ditimpali oleh Cukat Tong dengan tertawa sedikit meringis.

Kaucu, mohon ceritakan apa yang telah terjadi tanya si nenek pada Cio
San.

Cio San lalu bercerita sejak awal. Mulai dari saat ia ditotok Bun Tek
Thian. Lalu dibawa ke markas Mo Kauw. Lalu menolong semua anggota yang
keracunan. Lalu perjalanan di atas kapal saat menemukan 3 mayat. Setelah
itu tentang kejadian pembunuhan di dermaga. Semua diceritakan secara
lengkap dan jelas oleh Cio San. Kadang-kadang Cukat Tong menambahkan
sedikit cerita pula.

Si nenek jatuh terduduk dan menangis. Ia tidak berkata apa-apa. Pandangan


matanya yang sejak tadi sendu, kini telah tertutup oleh air mata yang
membasahi wajahnya.

Nasib dan umur manusia siapa yang tahu? Perjalanan hidup akankah diakhiri
oleh kebahagiaan atau kesedihan? Maka itu, ketika engkau masih hidup,
lakukan yang terbaik untuk orang lain. Agar saat engkau mati, orang lain
yang akan menangisi engkau. Jika seumur hidup kau hanya hidup untuk
dirimu, memikirkan kesenangan-kesenanganmu sendiri, bukankah saat engkau
mati, tidak seorang pun yang memperdulikanmu?

Berbahagialah orang yang kematiannya ditangisi orang lain. Orang seperti


ini telah meninggalkan bekas-bekas hidupnya dalam kenangan yang indah.
Kenangan yang terus hidup bersama umat manusia, sepanjang dunia masih
ada.

Karena orang-orang yang menangisimu, bukan bersedih karena kepergianmu.


Mereka menangis karena mereka tak akan menemukan lagi orang sebaik
engkau.

Cio San telah sering menangis. Terlalu banyak orang yang dicintainya yang
pergi meninggalkannya. Maka ia bisa turut merasakan kesedihan si nenek.
Katanya,

Nona beristirahat dululah. Biar kami yang mengurusi kekacauan di sini


katanya lembut.

Si nenek segera tersadar dan berkata,

Hamba mana berani membiarkan Kaucu membersihkan ini semua. Kaucu


beristirahatlah, biar hamba yang membersihkan ia segeri berdiri dan
mulai mengangkat beberapa mayat.

Perintah kaucu, bukankah adalah kewajiban bagi anggota? tanya Cio San
kepadanya

Benar kaucu jawab si nenek

Aku memerintahkanmu untuk istirahat!

Si nenek tidak bisa berkata apa-apa lagi. Malah Cukat Tong yang tertawa,
katanya

Kau tidak lupa kapal yang berlabuh di depan itu kan?

Tentu tidak. Bisa tolong kau uruskan untukku? Biar aku yang mengurus
mayat-mayat ini jawab Cio San

Tentu saja sambil menukas begitu, tubuhnya pun sudah menghilang dari
situ. Tak lama terdengar bunyi ledakan. Itu tentunya Cukat Tong meledakan
kapal itu. Cio San tersenyum saja. Cukat Tong memang selalu memiliki
barang-barang aneh yang sangat berguna.

Ia lalu membereskan mayat-mayat itu. Mengangkutnya ke luar pagar, tempat


tadi ia menguburkan mayat-mayat yang lain. Cukat Tong datang dan membantu
pula. Mereka lalu membuat lubang dan menguburkan semua mayat. Jika
dihitung ada ratusan mayat. Korban memang jatuh dari kedua belah pihak,
pihak pembunuh yang datang ke Istana Ular, dan pihak anggota Mo Kauw
sendiri yang berdiam di Istana itu.

Setelah selesai mengubur, masih ada urusan membersihkan genangan darah


pula. Cio San melakukannya dengan senang hati. Cukat Tong yang sedikit
merengut,

Kau suka sekali berurusan dengan mayat katanya.

Urusan dengan mayat jauh lebih gampang ketimbang urusan dengan manusia
tukasnya sambil tersenyum.

Betul juga

Begitu darah selesai dibersihkan, si nenek bantu menebarkan bunga-bungaan


dan beberapa botol cairan pewangi. Ruangan dalam Istana yang tadinya
berbau amis darah, kini berbau wangi dan segar. Si nenek juga sudah
mengatur meja-meja dan kuris-kursi yang tadi berantakan.

Mereka semua duduk bertiga saling berhadap-hadapan. Cukat Tong


mengeluarkan seguci arak. Si nenek ke belakang mengambil cangkir.

Maafkan tadi hamba sudah berani sekali menyerang kaucu kata si nenek
buka suara.

Tidak apa-apa. Nona, apakah seluruh anggota kita di istana ini sudah
meninggal semua? tanya Cio San

Iya kaucu. Tadi para penghianat-penghianat itu datang dengan kapal.


Mereka adalah anggota-anggota Mo Kauw juga. Beberapa mungkin ada orang
luar yang menyusup. Mereka bilang akan mengantarkan mayat kaucu yang
lama. Mereka juga bilang kalau kaucu yang baru telah diangkat, namanya
Cio San. Kaucu baru itu yang memerintahkan mereka untuk mengantarkan peti
mati yang berada dipojok sana itu jelas si nenek sambil menunjuk peti
mati yang berada di pojok.

Ternyata setelah peti kami buka, ada beberapa orang yang keluar dari
dalam menyerang kami. Untunglah hamba bisa menghindar. Tapi beberapa
saudara yang lain tidak. Kami semua bertempur, dan akhirnya bisa kaucu
saksikan sendiri

Cio San manggut-manggut. Ia sendiri sudah paham apa yang terjadi. Pati
mati kosong yang berada di pojok ruangan sudah menceritakan banyak hal
kepadanya.

Ah sampai lupa, hamba belum memperkenalkan diri kata si nenek. Tapi


tentunya kaucu telah tahu siapa hamba

Sesungguhnya engkau sakit apa sehingga keadaanmu menjadi demikian,


nona? tanya Cio San. Tapi kalau nona tidak leluasa bercerita, tidak
apa-apa. Aku bisa mengerti

Hambahamba mencoba-coba belajar ilmu Menghisap Matahari jawab si


nenek.

Apakah ilmu Menghisap Matahari tidak boleh dipelajari wanita? tanya Cio
San

Sebenarnya boleh kaucu. Tetapi wanita hanya boleh sampai tingkat ke 7,


lebih dari itu, maka..maka Ia tidak melanjutkan kata-katanya.

Ah, aku mengerti jawab Cio San sambil manggut-manggut.

Aku yang tidak mengerti tukas Cukat Tong.

Cio San tersenyum saja. Katanya kepada Cukat Tong, Nona tidak mau
cerita, masa aku yang cerita rahasianya

Cukat Tong berpikir sebentar. Lalu ia akhirnya tersenyum pula, Ah aku


paham sekarang

Baguslah kata Cio San.

Nama cayhe Cukat Tong kata si Raja Maling memperkenalkan diri sambil
menjura.

Nama cayhe Ang Lin Hua

Namanya indah, berarti Bunga Merah yang Cantik.

Ia memang cantik. Matanya walaupun terlihat selalu sendu dan sedih,


memantulkan cahayanya yang indah. Wajahnya walaupun pucat dan penuh
keriput, masih menyimpan garis-garis kecantikan yang tak terkatakan.

Apakah nona sudah berusaha mencari obatnya? tanya Cio San.

Hamba sudah berusaha, tapi tabib-tabib Mo Kauw semua mengatakan hal yang
sama

Apa kata mereka?

Penyakit ini hanya bisa disembuhkan oleh satu orang. Satu orang itu pun
sudah meninggal pula

Siapa Cio San dan Cukat Tong sama-sama bertanya

Thio Sam Hong

Mereka berdua sama-sama menghela nafas. Thio Sam Hong, sang mahaguru,
memang adalah seorang yang mempunyai pengetahuan sangat luas. Selain ilmu
silat, ilmu pengobatannya pun terkenal hebat. Saking hebatnya ilmu silat
serta kecerdasannya, orang-orang di dunia Kang Ouw menyebut beliau
sebagai Thay San Pek Tau Yang artinya adalah Gunung Thay San dan
Bintang Utara. Sebutan ini berarti Kiblat atau Panutan.

Orang yang mendapat julukan ini di dalam dunia Kang Ouw memang baru
beliau satu-satunya.

Jadi jika Ang Lin Hua berkata bahwa hanya Thio Sam Hong yang bisa
mengobati sakitnya, mau tidak mau Cio San dan Cukat Tong menghela nafas.
Memangnya selain beliau, siapa lagi yang bisa?

Tapi beliau telah meninggal 50 tahun yang lalu. Orang-orang Butongpay


mulai dari ketua sampai anggotanya pun tidak ada yang menguasai ilmu
pengobatan Thio Sam Hong yang snagat dalam. Toh kalaupun ada, apa mereka
mau menolong seorang anggota Mo Kauw?

Peluang bagi kesembuhan nona ini bisa dibilang telah tertutup sama
sekali.

Cio San hanya bisa terdiam.

Cukat Tong hanya menenggak araknya berkali-kali.

Tuan berdua istirahatlah. Sebentar lagi pagi. Biar hamba yang berjagajaga kalau-kalau musuh datang lagi kata si nenek memecah kesunyian.

Cukat Tong malah menjawab,

Jangan khawatir, mereka tidak akan berani kemari lagi

Tentu saja. Jika si otak besar telah tahu betapa hebatnya ilmu Cio San,
dia tak akan repot-repot mengirim orang mengantar nyawa dengan percuma.

Nona. Kaulah yang beristirahat. Jika kau sudah bangun nanti, aku akan
minta tolong kepadamu untuk mengantarkanku keliling istana ini kata Cio
San

Bukankah kata-kata Kaucu adalah perintah?

Si nenek mengangguk dan menjura, terima kasih atas kebaikan kaucu

Ia pun menghilang di balik pintu kamarnya.

Wanita yang hebat kata Cukat Tong setelah bayangan Ang Lin Hua
menghilang.

Cio San hanya mengangguk-angguk. Dia sudah menenggak arak lagi.

Sejak kapan kau tahu bahwa dia adalah putri dari kaucu yang lama? tanya
Cukat Tong

Saat aku menyentuh pergelangan nadinya. Denyutan yang kurasakan adalah


denyut orang yang muda usianya. Orang yang masih muda, walalupun bagian
luarnya terlihat tua, tetap akan ketahuan dari denyut nadinya. Demikian

juga sebaliknya. Orang yang sudah tua namun kelihatan masih muda, tetap
denyut nadinya akan mengatakan bahwa ia sudah tua.

Hanya dari denyut nadi, kau bisa membedakan? tanya Cukat Tong

Organ tubuh orang muda dan tua, tidak sama. Sesehat apapun orang tua,
cara kerja organ tubuhnya sudah berbeda dengan orang muda jelas Cio San

Walaupun orang tua itu memiliki tenaga sakti dan ilmu silat tinggi
sekalipun? tanya Cukat Tong lagi

Benar. Meskipun susah membedakannya, tapi aku bisa jawab Cio San

Cukat Tong geleng-geleng kepala lagi. Entah kenapa sejak bertemu Cio San,
ia menemukan kebiasaan baru. Kebiasaan geleng-geleng kepala.

Cio San berkata,

Ketika aku memegang denyut nadinya, aku lalu teringat surat kaucu yang
lama bahwa putrinya sedang sakit. Mungkin si nenek itulah putrinya.
Apalagi dia bisa menguasai jurus Menghisap Matahari. Sejauh ini, bukankah
hanya ketuanya saja yang boleh menguasai ilmu ini?

Cukat Tong manggut-manggut saja.

Ilmu Menghisap Matahari itu sangat dahsyat, sampai-sampai jika kaum


wanita memepelajarinya, si wanita itu akan menjadi tua. Rambutnya memutih
dan kulitnya mengeriput. Tapi bagusnya, organ bagian dalamnya tetap
berfungsi seperti biasa. Tidak ikutan tua. Ah, pengetahuan yang baru.
Sangat menarik kata Cio San

Lama mereka melamun sambil minum arak.

Walau sudah seperti nenek begitu, ia masih cantik saja. Kalau dia bisa
sembuh, aku akan segera mengawininya

Cio San tertawa lebih keras lagi.

Kenapa tertawa? Apakah kau merasa lucu arak yang kau tenggak sekarang
rasanya seperti cuka? Hahahahaa Cukat Tong tertawa.

Istilah minum cuka bagi orang Tionggoan berarti cemburu.

Arak dan gucinya ini kau kan yang bawa? Kalau rasanya seperti cuka,
tentunya itu berasal dari engkau kata Cio San sambil tertawa pula.

Kalau rasanya seperti cuka, kenapa juga masih kau minum? jengek Cukat
Tong sambil tertawa juga

Ak menghabiskan isi gelasku karena ingin kupinjamkan kepadamu. Khawatir


cangkirmu sendiri tidak mampu menampung cukamu sendiri

Mereka dua tertawa keras sekali.

Eh, tapi kau harus pegang kata-katamu kata Cio San

Kata-kata apa?

Bahwa kau akan menikahinya jika ia sudah sembuh jelas Cio San

Memangnya kenapa?

Aku akan menyembuhkannya besok kata Cio San enteng

Cukat Tong tahu Cio San tidak berbohong.

Bab 39 Hari Pertama Di Istana Ular

Pagi telah tiba hanya dalam beberapa kedipan mata. Cio San dan Cukat Tong
tidur pun hanya beberapa jam saja. Tapi badan mereka telah segar saat
mereka bangun. Suara hewan-hewan yang ada di dalam hutan membuat pagi itu
terasa indah. Seperti tidak ada kematian yang semalam meliputi istana
ini.

Bau wangi teh dan makanan memenuhi balairung istana kecil ini. Cio San
bangkit dan menuju ke sumber wangi ini. Sebuah dapur ternyata berada di
bagian belakang istana yang indah ini. Ang Lin Hua rupanya sedang
menyiapkan sarapan.

Melihat kedatangan Cio San, ia mengangguk dan memberi salam. Cio San
membalas salamnya, lalu bertanya,

Siocia (nona) sedang masak apa?

Hanya makanan kecil untuk sarapan, kaucu. Hanya ini yang tersisa dari
kemarin. Hamba bermaksud berburu dulu baru kemudian memasak untuk makan
siang jawabnya.

Tidak perlu repot-repot siocia. Biar nanti kami saja yang berburu dan
memasak kata Cio San. Tangannya sudah menjawil sebuah kue yang ada di
situ. Enak juga

Kalau semua-semuanya kaucu yang mengerjakan, lalu apa guna hamba menjadi
anggota. Kata Ang Lin Hua sedikit tersenyum.

Aku sudah terbiasa mengerjakan segala hal sendirian. Mana mungkin


menyuruh orang lain mengerjakan keperluanku. Siocia pun sebaiknya jangan
terlalu capek dulu. Luka yang kemarin kan belum pulih seluruhnya

Mulutnya berbicara, tapi juga sambil mengunyah.

Hamba bisa paham, mengapa ayah memilih tuan sebagai pengganti beliau
ujar Ang Lin Hua

Cio San tidak menjawab. Ia sibuk memilih-milih kue.

Dalam sekali pandang, orang bisa tahu kalau tuan adalah orang yang baik
kata Ang Lin Hua

Justru seharusnya kau waspada jika ada orang yang kelihatan baik. Jawab
Cio San santai sambil mulutnya tetap mengunyah. Dia paling suka makan
enak. Dan kue ini enaknya bukan main.

Ini kau yang masak, atau orang lain? tanyanya kepada Ang Lin Hua

Kita punya koki di sini. Tapi dia sudah meninggal saat serangan kemarin.
Hamba cuma memanaskan saja jawab Ang Lin Hua.

Cio San manggut-manggut.

Mari kubantu kau membawa semua ini ke depan. Cukat Tong mungkin sudah
kelaparan kata Cio San. Tangannya sudah menata guci teh dan piringan
kue.

Ang Lin Hua ingin mencegahnya, tapi apa daya Cio San sudah melakukan
semuanya.

Akhirnya Ang Lin Hua hanya membawa beberapa piring yang tersisa dengan
kedua tangannya. Begitu mereka sampai ke ruang balairung, Cukat Tong
sudah bangun juga. Ia sedang bersandar di kursinya. Semalam mereka berdua
memang tertidur di kursi.

Melihat Cio San dan Ang Lin Hua datang, Cukat Tong tersenyum dan berkata,

Wah, baru sehari di sini, aku sudah jadi kaisar. Punya dayang yang
cantik dan seorang taykham (orang kebiri yang jadi pegawai di istana)
yang tampan. Hahahaha

Cio San ikut tertawa. Ang Lin Hua yang wajahnya tidak senang.

Cio San mengerti dan berkata kepadanya, Jangan tersinggung nona,


beginilah cara kami bercanda.

Ang Lin Hua mengangguk tapi tidak berkata apa-apa. Cukat Tong tersenyum
saja.

Eh, teh Lin-Cha? Enak sekali ini kata Cukat Tong

Silahkan paduka kaisar, hanya ini yang bisa hamba sajikan kepada paduka
jengek Cio San.

Ang Lin Hua akhirnya tidak bisa menahan diri, ia lalu berkata,

Tuan, anda adalah Mo Kauw kaucu

Cio San segera tersadar. Si nona ini marah bukan karena Cukat Tong
menyebutnya dayang. Tetapi marah karena Cio San melayani Cukat Tong.
Seorang kaucu dari Mo Kauw haruslah punya wibawa!

Ia tersenyum lalu berkata dengan lembut,

Aku mengerti siocia. Maafkan aku

Ang Lin Hua hanya mengangguk, lalu berbalik ke dapur.

Aku suka perempuan yang terus terang kata Cukat Tong. Ia sudah
menuangkan teh nya. Lalu lanjutnya,

Selama ini mereka bisanya diam membisu, berharap laki-laki mengerti isi
hati mereka. Setan dan dewa saja tidak bisa mengerti isi hati manusia,
kenapa mereka berharap laki-laki bisa mengerti?

Oh, jadi si Raja Maling ini sudah mulai beneran jatuh cinta rupanya
tukas Cio San tersenyum.

Eh, yang berbau cuka ini teh nya atau kata-katamu ya? Sungguh sukar
dibedakan kata Cukat Tong sambil tertawa. Ia melanjutkan, Kau tidak
tertarik padanya?

Aku sudah punya seorang kekasih jawab Cio San

Di mana dia sekarang?

Di kota Liu Ya

Kau pergi bertualang meninggalkannya?

Iya. Cio San menjawab sambil minum tehnya.

Dan dia bilang, dia akan menunggu sampai engkau pulang? tanya Cukat
Tong

Benar

Kau siap-siaplah kecewa kata Cukat Tong.

Kenapa bisa begitu?

Di dunia ini mana ada perempuan yang setia? Ditinggal pergi kekasihnya
sebentar saja, tak lama kemudian mereka sudah punya kekasih baru.
Perempuan itu tidak tahan kesepian. Mereka akan setia selama mereka belum
menemukan lelaki yang lebih baik. Tapi jika sudah menemukan, maka mereka
akan melupakanmu begitu saja

Cio San malah terbahak-bahak. Ini pengalaman pribadimu?

Cukat Tong agak sedikit tercekat, tapi ia berkata Ini pengalaman pribadi
hampir semua lelaki di dunia. Kau pun sebentar lagi akan mengalaminya
Cio San tidak berkata apa-apa. Malah terdengar suara Ang Lin Hua

Tuan Raja Maling salah. Perempuan justru jauh lebih setia daripada
lelaki

Nah, sudah mulai ramai nih kata Cio San

Sudah berapa wanita yang tuan temui? Apakah tuan sudah mengencani mereka
satu-satu? tanya Ang Lin Hua. Kata-katanya lembut saja. Tapi Cukat Tong
tidak bisa menjawab.

Wanita yang mati bunuh diri karena dikhianati lelaki, sudah tak
terhitung jumlahnya di dunia. Wanita yang tidak menikah sampai seumur
hidup karena menanti kekasihnya pun juga sudah tak bisa dihitung.

Mari duduk siocia Cio San berdiri dan menarik kursi di sebelahnya.

Ang Lin Hua lalu duduk. Ia menuangkan teh ke cangkirnya. Gerakannya halus
dan lembut.

Melihat Cukat Tong yang diam saja sambil senyum-senyum sendiri, Cio San
ikut senyum-senyum juga.

Kaum lelaki di mana-mana memang sama saja. Mereka selalu menjelek-jelekan


perempuan. Tapi jika ada perempuan cantik duduk di hadapan mereka, segera
umpatan jelek itu menghilang entah kemana.

Cukat Tong malah mengalihkan pembicaraan, katanya kepada Cio San,

Rencanamu yang semalam, kapan kau laksanakan?

Segera sesudah nona ini puas memarahimu jawab Cio San enteng.

Mereka berdua malah tertawa.

Ang Lin Hua malah tambah jengkel,

Jika pernah ada wanita yang menyakiti tuan, bukankah harusnya tuan
berkaca kepada diri sendiri? Apa penyebab ia mengkhianatimu? Seringkali
wanita memutuskan hubungan karena merasa kekasihnya itu memang tidak
pantas bagi dirinya

Auw, hanya itu yang keluar dari mulut Cio San. Ia sudah tidak bisa
menahan tawanya.

Cukat Tong kelabakan. Ia malah memerahi Cio San,

Oh, jadi hanya segitu saja persahabatan kita? wajahnya terlihat marah,
tapi bibirnya mengulum senyum.

Aku bisa menolongmu dari ancaman pedang. Tapi tidak bisa berbuat apa-apa
menghadapi kemarahan wanita. Urusan ini kau sendiri yang memulainya,
kenapa menyalahkan aku? tukas Cio San.

Melihat Cio San berada di pihaknya, Ang Lin Hua kini tersenyum, segera ia
melanjutkan,

Perempuan itu makhluk yang sederhana tuan. Saking sederhananya, para


lelaki menganggap kami makhluk yang tidak mudah di mengerti

Cukat Tong manggut-manggut.

Memang lebih baik kau hanya manggut-manggut saja, jika ada perempuan yang
sedang memarahimu.

Setelah Cukat Tong menyerah, segera kemarahan ANg Lin Hua pun surut. Ia
bertanya kepada Cio San,

Kaucu berencana hendak melakukan apa?

Aku ingin berkeliling melihat keadaan sekitar sini. Bisa siocia temani?
Ada bebarapa hal yan ingin kutanyakan sambil jalan

Bisa, kaucu

Begitu selesai sarapan, mereka lalu bersiap-siap pergi. Cio San lalu
berkata kepada Cukat Tong,

Kamu masih ada dua janji kepadaku bukan?

Aku masih ingat

Bisakah ku tagih janjimu yang pertama? tanya Cio San

Sekarang?

Kalau tidak sekarang, aku takut dunia tambah kacau balau tukas Cio San
sambil tersenyum.

Kau memintaku mencuri apa?

Tolong bawakan racun hebat itu kepadaku

Maksudmu, racun yang digunakan si otak besar itu?

Iya

Baiklah, Aku berangkat

Cukat Tong berangkat dengan santai dan ringan. Mencuri racun sakti itu
adalah sebuah pekerjaan yang sangat sulit dan berbahaya. Di mana ia harus

mencurinya kemana ia harus mencarinya? Tapi ia pergi dengan ringan,


seolah-olah urusan mencuri racun itu adalah semudah pergi ke jamban.

Cukat Tong tidak bertanya untuk apa Cio San memintanya untuk mencuri
racun itu.

Cio San juga tidak mengucapkan kata-kata untuk memberi Cukat Tong
semangat.

Masing-masing dari mereka telah paham atas kemampuan mereka. Mereka


berpisah seperti perpisahan biasa. Padahal masing-masing sadar bahwa itu
adalah pekerjaan yang sangat sukar di muka bumi ini.

Cukat Tong senang karena Cio San mempercayainya dalam pekerjaan ini.

Cio San pun senang ia memiliki sahabat yang bisa diandalkan.

Masing-masing saling mengerti.

Maka meeka berpisah dengan ringan. Seolah-olah yakin bahwa pekerjaan ini
akan diselesaikan dengan mudah dan Cukat Tong akan pulang dengan selamat.

Aku akan kembali dalam 3 hari kata Cukat Tong. Orangnya sendiri telah
menghilang, kata-katanya masih terdengar.

Melihat sikap kedua orang sahabat ini, mau tidak mau Ang Lin Hua
bertanya,

Sudah berapa lama kaucu mengenal si Raja Maling?

Baru 2 atau 3 hari jawab Cio San enteng.

Baru dua-tiga hari tapi tuan berdua sudah seakrab itu?

Begitulah

Dan tuan yakin ia akan kembali dalam 3 hari?

Jika ia bilang akan kembali siang ini pun, aku tetap percaya jawab Cio
San enteng.

Memang para lelaki beda dengan kami kaum perempuan kata Ang Lin Hua.

Dimana perbedaannya?

Kami tidak pernah percaya orang lain, bahkan sahabat kami sendiri. Kami
hanya percaya kepada diri kami sendiri

Oooo Cio San manggut-manggut. Urusan perempuan, memang hanya perempuan


yang mengerti.

Memang bagi kaum lelaki, sahabatnya itu adalah harta terbaiknya.


Sedangkan perempuan, diri mereka sendirilah harta terbaiknya. Mungkin
kecantikannya, mungkin kepintarannya, mungkin kepandaiannya, mungkin pula
kekayaannya.

Mereka berdua berjalan menyusuri jembatan kecil di bagian belakang


istana. Walaupun tidak begitu besar, istana itu indah sekali. Seluruh
bangunannya dilindungi oleh tembok batu yang tebal dan tinggi.
Pemandangan di dalamnya sangat indah. Di pagi yang cerah saat burung
berkicau dan hewan hutan berkeliaran dengan ramainya, suasana di istana
itu sungguh indah.

Aku masih heran, kenapa istana ini disebut istana ular tanya Cio San

Dulu, istana ini dibangun


pertahanannya untuk daerah
depan. Dinamai istana ular
banyak ular di daerah ini.
barat untuk mengusir semua

oleh kaisar Hongwu. Sebagai tempat


sungai. Makanya ada sebuah dermaga besar di
karena dulu sebelum istana ini dibangun,
Tapi kaisar memanggil seorang ahli racun dari
ular-ular itu, sebelum membangun istana ini

Ooo, jadi istana ini dulunya milik kerajaan. Lalu kenapa sekarang jadi
milik Mo Kauw?

Setelah bangsa Goan (mongol) berhasil di usir, istana ini lantas


ditinggalkan, dan tak ada yang mengurusi. Akhirnya banyak ular yang
kembali ke sini. Karena itu, jarang ada orang yang mau datang ke sini.
Seorang ahli racun dari Mo Kauw berhasil mempelajari rahasia untuk
mengusir ular, dia lalu tinggal di sini

Cio San manggut-manggut.

Mereka kini telah berada di luar istana. Hutan di luar istana sangat
lebat dan rapat. Cahaya matahari hanya bisa menembus sedikit saja. Cio
San banyak memetik dedaunan. Rupanya kebiasaan mengumpulkan bahan masak
dan obat tidak pernah hilang dalam dirinya. Di mana saja ia menemukan
tumbuhan yang menarik hatinya, pasti dikumpulkannya.

Sambil keliling-keliling mereka bercakap-cakap. Cio San bertanya tentang


banyak hal, terutama yang berkaitan dengan Mo Kauw. Cio San merasa kagum
juga dengan partai ini. Banyak hal dalam partai ini yang baru
diketahuinya. Seperti jumlah cabang rahasia yang tersebar, bahkan juga ia
baru tahu kalau di istana kaisar terdapat banyak anggota Mo Kauw.

Cio San juga bertanya tentang peraturan-peraturan partai. Ia masih sangat


buta dalam hal ini. Ang Lin Hua menjelaskan secara ringkas dan jelas.
Setelah mereka selesai berkeliling, Cio San sudah paham hampir sebagian
besar tentang Mo Kauw.

Kedua orang ini lalu kembali ke istana ular. Cio San lalu mengeluarkan
dedaunan dan akar-akaran yang tadi ia kumpulkan. Ia lalu bertanya,

Di mana tempat obat-obatan?

Ang Lin Hua lalu mengantarnya ke sebuah ruangan. Ruangan yang tertata
rapi dan bersih. Di dalamnya terdapat banyak rak yang berisi bahan obat.
Persis seperti ruangan di markas rahasia Mo Kauw dalam perut gunung
dahulu.

Cio San memperhatikan semua dan mencari-cari bahan yang ia butuhkan. Ang
Lin Hua tidak tahu apa yang akan dilakukan Cio San. Tapi dia juga tidak
bertanya apa-apa.

Begitu selesai, Cio San tersenyum.

Bahan-bahannya kini lengkap

Kaucu membutuhkan bahan-bahan ini untuk apa? tanya Ang Lin Hua

Untuk menyembuhkanmu, siocia jawab Cio San enteng

Kening Ang Lin Hua berkerut.

Jangan khawatir, sedikit banyak aku sudah paham penyakitmu. Masih bisa
disembuhkan

Di dunia ini hanya Thio Sam Hong yang bisa menyembuhkan penyakit Ang Lin
Hua, jika Cio San mengaku-ngaku bisa menyembuhkan pula, bukankah hal itu
terasa berlebihan? Itu sama saja Cio San mengaku dirinya setara dengan
Thio Sam Hong.

Siocia, mungkin tidak yakin jika aku bisa menyembuhkan. Percayalah, aku
sudah paham dengan apa yang terjadi padamu

Penyakitmu itu hanya berupa penyakit kulit biasa. Kekuatan tenaga ilmu
Menghisap Matahari membuat kulit mengeras, dan kehilangan kekenyalannya.
Ini disebabkan karena organ-organ wanita berbeda dengan wanita. Kekuatan
Ilmu Menghisap Matahari ini hanya mampu dikuasai oleh lelaki. Jika kau
bisa mengatur jalannya tenaga itu di dalam tubuhmu sendiri, organ-organ
dalam tubuh akan berfungsi baik. Penyakitmu akan hilang jelas Cio San

Tapi bagaimana caranya? Kepandaian mengatur jalan tenaga hanya dimiliki


oleh murid-murid Butongpay. Hanya Thay Kek Kun yang bisa sejajar dengan
ilmu Menghisap Matahari. Ilmu hamba ini sudah mencapai tahap 9, dua
tingkat di bawah mendiang ayah kata Ang Lin Hua

Jangan khawatir, aku bisa Thay Kek Kun sedikit-sedikit kata Cio San
sambil senyum.

Ang Lin Hua hanya bisa terbelalak. Sedikit-sedikit?

Tapi entah kenapa ia malah percaya. Pengalaman bertarung dengan Cio San
semalam, setidaknya membuat ia harus percaya.

Pantas saja hamba kalah dalam pertarungan semalam

Cio San tersenyum.

Penyakit siocia bisa disembuhkan, jika siocia mempelajari Thay Kek Kun.
Aku akan mengajarimu

Sinar di mata Ang Lin Hua memudar. Rupanya ia kecewa,

Hamba tak ingin mempelajarinya

Kenapa? tanya Cio San

Itu bukan ilmu Mo Kauw

Cio San geleng-geleng kepala.

Jika aku sebagai kaucu yang baru, menciptakan ilmu yang baru pula, apa
kau akan mempelajarinya tanya Cio San

Tentu hamba akan mempelajarinya

Baiklah, bersiap-siaplah. Aku akan mengajarimu sebuah ilmu baru

Segala ilmu silat pada dasarnya bersumber dari satu. Yaitu hasil ciptaan
biksu Tat Mo saat ia menyebarkan agama Buddha di Tionggoan ribuan tahun
yang lalu. Saat itu untuk melindunginya dari gangguan ia menciptakan ilmu
bela diri. Ilmu itu kemudian diajarkan kepada murid-muridnya.

Dalam perkembangannya, ilmu itu kemudian menyebar ke segala golongan.


Golongan itu kemudian mengembangkannya sesuai pemahaman dan pengetahuan
mereka sendiri. Perkembangan itulah yang membuat ilmu silat mulai berbeda
satu sama lain. Tetapi pada dasarnya semua ilmu itu bersumber kepada
ciptaan Tat Mo itu.

Cio San dalam pengelanaannya, secara tidak sengaja telah mencapai inti
dasar ilmu silat itu. Itulah kenapa saat ia bersilat di atas gunung, Kam
Ki Hsiang mengira Cio San sedang bersilat menggunakan jurus-jurus milik
Kam Ki Hsiang.

Karena pada intinya, seluruh ilmu silat itu sama!

Thay Kek Kun sebenarnya sama saja dengan Ilmu Menghisap Matahari. Hanya
penggunaan dan pengembangannya yang berbeda. Jika pengembangannya
dihapus, maka inti yang tertinggal dari kedua ilmu itu pasti sama persis.

Mereka berdua lalu ke balairung. Siocia, coba lihat gerakan ini lalu
hafalkan

Cio San bergerak. Tubuhnya seperti orang menari. Gerakan Thay Kek Kun
memang seperti orang menari. Ang Lin Hua memperhatikan, baginya jurus itu
buan jurus baru. Melainkan Thay kek Kun. Tapi saat di gerakan kedua,
gerakan Cio San sudah berubah, kali ini adalah gerakan beberapa jurus
ilmu Menghisap Matahari.

Pada dasarnya Cio San tidak menggabungkan kedua ilmu itu, ia hanya
bersilat menggerakan tubuhnya. Matanya tertutup, merasakan desahan angin
dari jendela. Menghirup udara segara dari hutan yang lebat. Suara
gemericik air di kolam belakang pun dinikmatinya.

Tubuhnya bergerak, hentakan tenaga terasa berat namun lembut. Cio San
seperti kembali ke Butongsan, saat ia bersilat secara sembarangan. Hanya
mengikuti kemana gerakan itu membawanya.

Tapi bagi Ang Lin Hua, gerakan Cio San adalah gerakan silat maha dahsyat
penggabungan dari berbagai macam ilmu silat yang pernah dilihatnya. Ada
gerakan Thay Kek Kun, ada pernafasan Gobi Pay, ada hentakan tenaga Cakar
Macan-nya Siau Lim Pay, ada hisapan tenaga Menghisap Matahari.

Semua itu seperti menjadi satu dalam gerakan Cio San. Si nona
memperhatikan dengan seksama. Untunglah bakatnya dalam ilmu silat sangat
tinggi, sedikit banyak ia sudah hafal gerakan-gerakan Cio San tadi.

Setelah selesai, tubuh Cio San seperti lebih bercahaya. Entah itu memang
seperti itu, atau hanya dalam pikiran Ang Lin Hua saja.

Cio San sendiri merasa tubuhnya sangat sadar dan dipenuhi kekuatan yang
dahsyat.

Siocia sudah hafal seluruh gerakannya? tanyanya

Hampir seluruhnya jawab Ang Lin Hua

Bagus. Tolong hafalkan, karena aku sendiri sudah lupa seluruhnya

Ang Lin Hua heran. Tapi Cio San memang tidak berbohong. Gerakan silat
yang tadi ia lakukan sungguh tidak dipikirkan atau dikarang sebelumnya.

Ia hanya bergerak!

Ia mengosongkan segala pikirannya dari pengetahuan, pemahaman, dan jurusjurus silat. Hasilnya adalah sebuah ilmu silat yang maha dahsyat.

Sudah sering kita lihat penyair yang menemukan ide puisi yang indah, tapi
tidak lama setelah itu ia lupa akan syair-sayir puisinya sendiri. Itu
pemain musik yang menggubah lagu, tapi setelah itu dia lupa akan lagunya.

Kenapa pesilat tangguh tidak bisa seperti itu?

Cio San bisa.

Ia hanya membiarkan tubuhnya dibuai oleh gerakan-gerakan indah. Seperti


penyair yang tenggelam dalam kata-kata indahnya. Seperti pemain musik
yang terbenam dalam musiknya yang merdu.

Siocia, lakukanlah gerakan-gerakan tadi

Si nona pun menurut. Gerakannya pun indah, padahal baru sekali melihat.
Walaupun tidak selancar dan semengalir Cio San, gerakan-gerakan si nona
boleh dibilang gerakan silat kelas tinggi.

Atur pernafasan. Jangan sampai tenaga yang terkumpul di bawah perut


sampai bocor. Salurkan tenaga keras di kaki, salurkan tenaga lembut ke
tangan

Cio San memberi petunjuk, si nona melakukannya sambil bersilat.

Mereka berdua melakukan hal ini sampai berjam-jam lamanya. Si nona


semakin lama merasa tubuhnya semakin segar. Orang jika bersilat terlalu
lama, tenaganya akan habis. Tapi si nona merasa justru sebaliknya.

Setelah sekian lama, Cio San akhirnya berkata, Cukup!

Bagus sekali siocia, kau memang sangat berbakat

Si nona tersenyum senang.

Apa yang kau rasakan sekarang? tanya Cio San\

Hamba..hamba merasa tubuh hamba jauh lebih segar. Tenaga liar yang
selama ini berputar-putar di daerah perut sedikit banyak sudah bisa hamba
kendalikan

Bagus, berarti kau melakukannya dengan benar. Mulai hari ini, setiap
pagi kau harus melatihnya

Baik, kaucu

Mereka beristirahat. Tak lama lagi masuk waktu makan siang, Cio San
hendak pergi berburu.

Kaucu, hamba mohon, tolong biarkan hamba melayani kaucu, selama ini
hamba belum melakukan apa-apa untuk kaucu ujar Ang Lin Hua

Baiklah, jika kau memaksa. Engkau tidak bisa memasak bukan?

Dari mana kaucu tau? tanya Ang Lin Hua

Caramu menggunakan alat-alat dapur terlihat kaku. Kiranya kau lebih


pantas menggunakan pedang daripada pisau dapur. Baiklah, kau pergi
berbaru, aku yang memasak

Ang Lin Hua mengangguk dan tersenyum. Ia pun berkelebat dari situ.

Cio San hanya geleng-geleng kepala, Dunia memang sudah terbalik. Jaman
sekarang, perempuan pergi bekerja, laki-laki yang memasak di rumah.

Sambil menunggu Ang Lin Hua kembali, Cio San menyiapkan peralayan dan
bumbu-bumbu. Tak lupa ia juga menyiapkan ramuan obat untuk Ang Lin Hua.

Tak lama kemudian si nona sudah kembali membawa 3 buah kelinci besarbesar. Saat kembali, ia melihat Cio San sedang menanak nasi.

Kaucu rupanya pintar memasak katanya

Ah, aku pernah bekerja di sebuah retoran kata Cio San ringan.

Ang Lin Hua cuma tersenyum. Sepanjang sejarah, baru kali ini seorang
kaucu dari partai Mo Kauw adalah mantan koki.

Cio San segera mengolah ketiga daging kelinci itu. Beberapa lama kemudian
sudah tercium bau panggangan yang enak. Ang Lin Hua membantu menyiapkan
piring-piring dan peralatan makan lain.

Apakah istana ini punya penyimpanan arak? tanya Cio San

Ang Lin Hua tersenyum,

Di dunia ini, mungkin tempat yang paling banyak menyimpan arak adalah
tempat ini Ia segera pergia. Tak lama kemudian ia sudah kembali membawa
dua buah guci.

Saat menghirup baunya, Cio San langsung terpana, Arak Cui Ju

Arak ini dibuat dari beras yang direndam lama. Warnanya seperti susu.
Rasanya manis dan gurih. Ini adalah minuman khas dalam Istana Kaisar.

Ada arak apa saja yang ada di sini? tanyanya tertarik

Apa saja yang tuan cari, semua ada di dalam ruang penyimpanan bawah
tanah jawab Ang Lin Hua

Wuah, hanya kata itu saja yang keluar dari mulut Cio San.

Orang jika terlalu senang memang susah berkata-kata. Dan apa yang lebih
menyenangkan bagi peminum selain mendengarkan bahwa ada sebuah ruangan
yang menyimpan segala macam arak?

Entah sejak kapan dia jadi peminum.

Kedua orang ini lalu menikmati makan siangnya. Kelinci panggang yang
bagian perutnya dikeluarkan dan di isi rempah-rempah, butiran jagung
rebus, serta potongan daging asap yang sebelumnya tersedia di dapur.

Begitu menyantapnya, mata Ang Lin Hua bercahaya.

Seumur hidup hamba belum pernah menyantap makanan senikmat ini. Apa nama
masakan ini tuan?

Tidak ada nama, aku baru saja menciptakannya jawab Cio san.

Ang Lin Hua hanya bisa geleng-geleng kepala. Rupanya ia sudah tertular
kebiasaan Cukat tong yang sering geleng-geleng kepala jika berada di
dekat Cio San.

Selesai makan, Cio San menuangkan arak ke cangkir si nona. Mereka lalu
bersulang.

Ahhh, arak seenak ini, diminum ratusan cangkir juga tak akan membuat
mabuk kata Cio San.

Minum arak adalah bagian dari budaya orang Tionggoan. Ada tata krama dan
sopan santun. Budaya ini telah dianggap sebagai bagian dari kekayaan
budaya Tionggoan yang beragam dan menakjubkan. Perempuan yang minum arak
pun bukan dianggap sebagai sesuatu yang melanggar kesopanan.

Arak, bagi orang Tionggoan mengambarkan kebahagiaan.

Tapi bukankah bagi banyak orang, arak benar-benar melambangkan


kebahagiaan? Orang yang bersedih hatinya, biasanya lari kepada arak,
adalah karena hal ini. Ia ingin merasakan sedikit kebahagiaan di dalam
kesedihannya.

Menikmati arak pun harus ada aturannya. Harus dalam sekali tenggak.
Karena itu melambangkan keberanian. Tapi, walalupun jika tak berarti apaapa, bukankah cara terbaik untuk minum arak adalah dengan sekali tenggak.

Cuma orang yang benar-benar menghargai arak, yang paham hal ini.

Dua guci arak telah mereka habiskan. Kedua orang ini duduk terdiam.
Masing-masing tenggelam dalam pikirannya.

Siocia, jika penyakit siocia telah sembuh, apakah siocia akan terus
menetap disini? tanya Cio San

Entahlah kaucu, hamba belum memikirkan sejauh itu. Memang selama ini
hamba menyembunyikan diri di sini karena malu dengan keadaan hamba

Perempuan cantik yang menjadi tua. Di dunia ini, apakah yang lebih
menyedihkan dari hal ini?
Cio San sangat mengerti. Laki-laki banyak yang masih gagah saat ia tua.
Bahkan ada yang bertambah kegagahannya. Itulah kenapa di dunia ini, masih
banyak perempuan muda yang suka terhadap laki-laki yang sudah tua.

Tapi perempuan tua? Kalau bukan karena banyak uang, mungkin tidak ada
seorang laki-laki pun yang mau.

Itulah sebabnya kenapa perempuan begitu mencintai uang. Mereka merasa


uang bisa menggantikan kecantikan mereka yang nanti pudar.

Siocia, setelah ini kau minumlah ramuan yang sudah ku siapkan. Ramuan
ini untuk membantu menghaluskan kembali kulitmu kata Cio San

Terima kasih banyak kaucu, budi kaucu memang tak sanggap hamba balas.
Memang ayahanda tidak salah memilih kaucu sebagai penggantinya ujar Ang
Lin Hua.

Cio San hanya menggumam,

Urusan sebesar ini, kenapa pula harus aku yang menyelesaikan

Karena memang hanya kaucu yang pantas, dan sanggup menyelesaikannya

Cio San merenung.

Memang ada sedikit orang yang membenci masalah, tapi entah kenapa masalah
selalu menghampiri mereka. Kalau tidak diselesaikan, masakah hanya
ditangisi dan disesali saja?

Sesungguhnya masalah datang adalah untuk mendidik seseorang. Agar ia


menjadi lebih tegar, lebih rajin, lebih pintar, dan lebih dewasa. Jika
kau hanya hidup enak, bagaimana mungkin kau menghadapi hidup yang tibatiba berubah menjadi susah? Bukankah hidup selalu berubah? Hari ini kau
bahagia, besok mungkin kau menangis sedih.

Jika engkau tidak menghadapi sendiri, apakah kau pikir orang lain akan
menghadapinya untukmu?

Cio San menghela nafas. Perjalanannya masih sangat panjang. Sedikit


banyak ia telah menangkap inti sari permasalahannya. Ia pun telah tahu
siapa otak dibalik semua ini. Tapi masih butuh waktu panjang untuk
membuktikannya. Masih butuh perjalanan yang jauh untuk mengungkapkannya.

Tapi ia segera tersenyum.

Menghadapi hidup dengan tersenyum, memang adalah perbuatan laki-laki


sejati.

Bab 40 Tamu dan Surat

Saat sore, pemandangan di Istana Ular juga tidak kalah indahnya. Cio San
berada di taman belakang. Ia sedang menikmati arak sambil menikmati taman
belakang Istana Ular yang sangat indah. Ada kolam kecil yang indah. Di
dalamnya terdapat berbagai macam ikan hias. Melihat mereka berenang dan
bermain sudah merupakan hiburan tersendiri bagi Cio San.

Di sekeliling kolam terdapat jalan setapak yang berisi batuan berwarnawarni yang indah. Di sekeliling jalan setapak itu pun diliputi rumput
hias yang terpotong rapi. Di pojok taman, terdapat pavilliun kecil. Di
sini terdapat meja kecil dan terdapat sebuah khim (kecapi) yang besar.
Cio San pernah memainkan kecap yang besar saat di rumah Khu Hujin dulu.
Kini ia duduk memainkannya.

Entah karena memang bakat musik yang menurun dari ayahnya, Cio San
memainkan khim dengan sangat indah. Ang Lin Hua yang saat itu sedang
berada di kamarnya, sayup sayup mendengar suara khim dan nyanyian Cio
San. Sebuah lagu yang indah namun menyedihkan.\

Lagu yang menyedihkan memang sering sekali terasa jauh lebih menyenangkan
daripada lagu yang menceritakan tentang kebahagiaan.

Orang yang sedang bahagia pun kadang ikut sedih ketika mendengar lagu
yang sedih. Sedangkan orang yang sedih jarag ada yang ikut berbahagia
karena mendengar lagu tentang kebahagiaan.

Apakah itu berarti orang yang sedih hatinya jauh lebih banyak daripada
orang yang berbahagia?

Entahlah.

Tapi seberapa banyak orang yang bahagia yang pernah kau temui? Kebanyakan
orang pasti merasa hidupnya menyedihkan dan membosankan. Walaupun ia
orang yang paling kaya sekalipun. Karena jika kau menganggap kebahagiaan
terdapat pada harta yang banyak, maka hidupmu hanya akan habis mengejar
harta. Lalu kapan kau akan menikmati hartamu?

Uang memang perlu. Tapi bukan uang bukanlah kebahagiaan.

Kebahagiaan adalah ketika engkau mampu menerima dirimu apa adanya.


Menjadi dirimu sendiri. Hidup dengan caramu sendiri.

Bagaimana mungkin kau hidup dengan caramu sendiri jika kau terus
diperbudak keinginan?

Dentingan dawai khim merasuk ke jiwa. Orang yang jiwanya mabuk bukan
karena minum atau makan sesuatu yang memabukkan, tentulah mabuknya adalah
mabuk yang paling indah. Mabuk seperti ini selalu lebih menyenangkan.

Ang Lin Hua begitu mendengar musik seindah itu, justru tidak berani
keluar kamarnya. Memang kata orang, sesuatu yang indah itu harus
dinikmati sedikit demi sedikit. Ia lebih memilih menikmati suara yang
sayup-sayup itu.

Desir angin sore hari, dentingan dawai, dan nyanyian yang merdu. Jika kau
tidak bisa menikmati ketiga hal ini, mungkin sudah tidak ada hal lagi di
dunia ini yang bisa membuatmu bahagia.

Daun daun jatuh dari pucuk-pucuk dahan. Mungkin karena musim gugur telah
tiba. Tapi juga mungkin karena pepohonan pun ikut bersedih mendengarkan
lagu seindah dan sesedih ini. Karena memang, perpisahan dua orang
kekasih, jauh lebih menyedihkan daripada kisah tentang kematian.

Daun sekering ini, masa kah bisa sekering hati manusia yang kesepian?

Kolam seluas ini, masa kah bisa menampung air mata kekasih yang terluka?

Bebatuan sekeras ini, walaupun tuli, mungkin akan ikut menangis juga
mendengar kisah-kisah sedih tentang kehidupan manusia.

Maka siapakah hatinya yang tak akan tersentuh mendengar nyanyian sesedih
ini?

Tak terasa air mata Ang Lin Hua pun ikut menetes.

Jika pendengar saja menangis, bukankah yang bercerita akan jauh lebih
banyak air matanya?

Cio San tahu air mata sedang menetes deras di pipinya. Tapi ia
menikmatinya. Ia menikmati setiap tetesan air matanya. Baginya setiap
tetes adalah tegur sapa dari kekasih yang dirindukannya.

Bagaimana kabarmu, Mey Lan?

Apakah engkau di sana merindukanku juga?

Apakah engkau di sana selalu setia menanti kepulanganku?

Apakah engkau akan selalu menatap pintu depan rumahmu, seperti aku juga
menatap garis kaki langit?

Perpisahan ini baru sekejap. Tapi yang sekejap itu justru yang paling
menyakitkan.

Lelaki sekuat apapun, jika berpisah dengan kekasihnya, pasti akan lemah
juga hatinya.

Karena tegar bukan berarti tanpa air mata. Tegar berarti menghadapi
apapun walaupun kau harus tersakiti, terluka, dan bersedih karenanya.

ANg Lin Hua kini mengerti mengapa ia tidak ingin keluar dari kamarnya. Ia
tahu Cio San sedang bersedih. Oleh karena itu ia tak ingin kehadirannya
akan mengganggu Cio San. Karena kadang-kadang, menangis itu justru jauh
lebih membahagiakan daripada tertawa.

Tak terasa lagu sudah berhenti.

Tak terasa yang tertinggal hanyalah kesunyian belaka.

Sinar merah matahari sore. Daun daun berguguran. Angin berhembus. Desahan
ranting-ranting pohon berbisik merdu.

Apa yang lebih indah daripada itu semua?

Tapi herannya, orang-orang yang mengaku bahagia, justru tidak bisa


menemukan keindahannya. Justru orang-orang yang bersedih hatilah yang
bisa menikmati keindahannya.

Ang Lin Hua menyalakan lilin dan obor penerang. Di dalam istana memang
sudah mulai gelap. Ia lalu beranjak ke taman belakang. Paviliiun tempat
Cio San berada ternyata sudah terang. Cio San duduk di sana.

Saat melihat Ang Lin Hua datang membawa obor, Cio San tersenyum. Tapi Ang
Lin Hua bisa melihat bekas-bekas kesenduan di sana. Ia membalas senyum
Ang Lin Hua, dan mengangguk pelan. Lalu ia menerangi beberapa obor yang
ada di sekeliling taman pula.

Sekejap suasana taman belakang menjadi sangat indah.

Mari duduk di sini, siocia kata Cio San

Tunggu hamba ambilkan arak, kaucu tukas ANg Lin Hua

Tak berapa lama ia kembali dengan sebuah guci arak dan dua buah cangkir.

Ia duduk di hadapan Cio San lalu menuangkan arak ke dalam cangkir dengan
lembut. Bau harumnya menebar kehangatan di pavilliun itu. Cio San
langsung tahu arak apa itu.

Arak Lin Sam? istimewa!

Siocia (nona), memang pintar memilih arak katanya

Arak itu ada seninya. Bukan hanya kau harus kuat meminumnya. Bukan saja
kau harus tahu ciri-cirinya. Bukan saja kau harus tahu khasiatnya. Bukan
saja harus kau tahu cara meminumnya. Tapi kau pun harus tahu memilihnya
di saat yang tepat.

Selalu ada arak yang berbeda untuk dinikmati di saat yang berbeda pula.

Seni seperti ini, kalau bukan seorang peminum arak, tentu tak akan paham.

Teguk demi teguk telah tertenggak. Yang ada hanya kehangatan. Mereka
walau duduk saling berhadapan, tidak mengucapkan sepatah kata pun.
Seperti tenggelam dalam pikiran masing-masing.

Kita kedatangan tamu kata Cio San memecah kesunyian.

Dalam sekejap mata ia sudah menghilang dari hadapan Ang Lin Hua. Si nona
akhirnya menyusul juga. Begitu sampai di depan pintu depan, terdengar
suara dari gerbang,

Salam kepada kaucu, semoga panjang umur

Ang Lin Hua menarik sebuah tuas yang berada di dekat pintu depan tempat
ia berdiri.

Blunggg

Terdengar suara gerbang depan terbuka. Pintu gerbang itu terbuat dari
besi besar yang tinggiya beberapa kaki. Gerbang yang sangat kokoh karena
memang tempat itu dulunya adalah benteng pertahanan.

Puluhan orang lalu masuk. Pakaian dan dandanan mereka pun aneh-aneh.
Sekali pandang saja Cio San tahu jika mereka adalah anggota Mo Kauw.

Begitu tiba di hadapan Cio San, segera orang-orang itu berlutut dan
kembali mengucap kalimat yang sama,

Salam hormat kepada Kaucu, semoga panjang umur. Juga salam kepada Seng
Koh (perawan suci)

Berdirilah jawab Cio San. Dalam hati dia kagum juga dengan nama
panggilan Ang Lin Hua. Perawan suci! Dia ingin tersenyum.

Tapi Cio San saat ini bukanlah Cio San yang senyumnya jenaka, dan
berkelakukan seenaknya. Cio San yang ini adalah seorang Mo Kau Kaucu.

Apa yang membawa saudara-saudara sekalian ke sini? tanyanya

Kami mendengar bahwa kaucu yang lama telah meninggal, dan tuan telah
diangkat sebagai kaucu yang baru jawab salah seorang.

Itu benar. Aku akan bercerita, mohon saudara-saudara sekalian


mendengarkan

Cio San pun bercerita. Sebuah cerita yang sama dengan yang ia ceritakan
kepada Ang Lin Hua. Puluhan orang-orang yang mendengarkan itu tertunduk.
Mereka semua meneteskan air mata. Salah satu dari mereka bertanya,

Bolehkah kami melihat kuburan kaucu yang lama?

Saat ini aku belum mencari jasad beliau, dan jasad saudara-saudara yang
lain. Dalam beberapa hari ini mudah-mudahan aku bisa menemukannya

Apakah ada kemungkinan jasad-jasad itu masih disimpan para pengkhianat


dari rumah bordil? tanya salah seorang.

Mungkin saja. Tapi beri aku waktu, aku akan menemukannya

Biar saya saja kaucu salah seorang maju dan mengajukan diri.

Orangnya sudah cukup tua dan rambutnya sudah hampir putih seluruhnya. Cio
San seperti pernah bertemu dengannya. Samar-samar ia mengingat-ingat.

Nama hamba Hing Liok Tay, hamba adalah ketua cabang daerah Hubei. Nona
Hua telah mengenal hamba

Cio San menoleh ke Ang Lin Hua,

Ah, jika Hing-susiok (paman) yang menanganinya, kiranya kita semua boleh
berlega hati sahut Ang Lin Hua.

Saat ini, jika diperintahkan, hamba langsung berangkat sekarang juga


kata Hing Liok Tay

Susiok boleh berangkat besok pagi. Sekarang ini marilah semua saudara
masuk dan menikmati arak kata Cio San

Terdengar suara mereka semua bersorak.

Karena tidak ada pelayan, orang-orang ini yang melayani diri mereka
sendiri. Untunglah dari rombongan ini terdapat beberapa orang wanita.
Para wanita ini menyiapkan makanan, minuman, dan tentu saja arak yang
keras.

Jika ramai-ramai, arak yang paling keras itu yang paling cocok!

Cio San berkisah tentang banyak hal. Ia mengakrabkan diri dengan anak
buah barunya itu. Ang Lin Hua sudah menunjukkan surat pengangkatan Cio
San, oleh sebab itu orang-orang ini menjadi lebih yakin lagi.

Walaupun suasana sedang dirundung duka karena kehilangan kaucu yang lama,
tak ayal mereka kagum juga dengan Cio San. Ang Lin Hua yang menceritakan
semuanya. Bagaimana Cio San mengalahkan ilmu Menghisap Matahari, dan juga
mencoba menyembuhkannya.

Dunia hal yang paling dihormati dalam dunia Kang Ouw memang adalah ilmu
silat dan ilmu ketabiban. Cio San memiliki kedua-duanya dalam
tingkatannya yang sangat tinggi.

Setelah makan malam dan acara minum arak selesai, Cio San berkata,

Dengarkan titah kaucu!

Semua orang, termasuk Ang Lin Hua langsung berlutut, Cio San berdiri
dengan gagah

Karena banyaknya kejadian yang menghebohkan di dalam dunia Kang Ouw,


sehingga kita tidak bisa membedakan mana kawan, lawan, dan pengkhianat,
maka aku memerintahkan kalian untuk segera kembali ke posisi masingmasing esok hari. Hanya beberapa orang yang ku minta tinggal di sini
untuk mengurus segala keperluan di Istana Ular.

Cio San memang ketika tadi saat mengobrol dengan orang-orang ini telah
mencoba menyelami sifat mereka satu persatu. Dengan pengetahuan yang
dibacanya dari kitab yang diberikan Khu Hujin, ia sedikit banyak sudah
bisa menyelami sifat manusia, dan apa-apa yang mereka sembunyikan dalam
hati mereka.

Ia lalu menyebutkan nama-nama,

Hing Liok Tay, Sie Peng, Hok Jin, Goan Say Tan, Yan Tian Bu, Lim Tin,
dan Cua Cin Sin harap tinggal. Saudara-saudara yang lain silahkan pulang
besok. Saya akan memberikan tugas khusus kepada saudara-saudara yang
paling besok

Kami dengar dan kami laksanakan! teriak seluruh anggota yang ada.

Silahkan semua beristirahat. Bagi yang ingin bercengkerama dulu silahkan


saja. Bagi yang ingin tidur, silahkan pilih kamarnya masing-masing.
Perintah selesai. Silahkan bubar Kata Cio San. Terdengar gagah dan
berwibawa. Seperti ia telah menjadi kaucu selama bertahun-tahun.

Ia sendiri tidak segera pergi tidur melainkan kembali duduk di pavilliun


taman belakang. Ia duduk sambil memperhatikan anggota-anggota yang lain.
Ada yang meneruskan makan. Ada yang berbincang-bincang dengan sahabat
yang sudah lama tidak bertemu. Ada yang diam saja. Ada juga yang sedang
mempertontonkan silat. Mungkin sedang memperlihatkan jurus baru kepada
sahabat-sahabatanya.

Cio San memberi perintah memanggil Hing Liok Tay. Segera Hing Liok Tay
pun datang menemuinya.

Salam kaucu katanya sambil menjura.

Cio Sang mengangguk dan tersenyum, Silahkan duduk susiok katanya.

Tidak berani..tidak beraniKaucu harap jangan memanggil hamba susiok


(paman)

Aku memanggilmu dengan panggilan yang aku suka, susiok jawab Cio San
tersenyum.

Ahhhkaucu sungguh seseorang yang rendah hati kata Hing Liok Tay

Kaucu, ada petunjuk apa? tanya Hing Liok Tay

Kita pernah bertemu, tapi susiok memang pasti tidak tahu"

Benarkah, kaucu? tanya Hing Liok Tay

Kau bukankah dulu pernah menjadi petani tua, dan memberi sepatu kepada
seorang pemuda?

Sejujurnya, hamba banyak memberikan sepatu kepada banyak orang" jawab


Hing Liok Tay.

Cio San paham, rupanya orang ini memang sudah sering punya tugas jadi
mata-mata Mo Kauw

Aku dulu adalah seorang pemuda berwajah pucat yang datang kepadamu tanpa
sepatu.

Apakah di pinggiran hutan bambu di tepi air terjun Huey? ada desa kecil
bernama Tau Lam di kaki gunung Butongsan. Hamba bertugas bertahun-tahun
disana.

"Yah, kejadian itu baru beberapa bulan yang lalu. Mungkin belum sampai
sekitar setahunan"

Hamba saat itu mendapat perintah dari kaucu yang lama untuk menetap di
sana. Beberapa orang anggota memang mendapat perintah untuk menetap
dibeberapa daerah sekitar kaki gunung Butong san

Oh, kalian diperintahkan kaucu yang lama untuk mecari kabar tentang
pemuda bernama Cio San, bukan?

Benar kaucu

"Aku lah pemuda pucat yang dulu kau berikan sepatu itu, susiok" kata Cio
San tersenyum

"Ahhhh,mohon maaf kaucu..mohon maaf" kata Hing Liok Tay sambil bersujud
berkali-kali

"Sudahlah, apa yang harus dimaafkan" tukas Cio San sambil tersenyum.
Lanjutnya, "Aku hanya ingin bertanya"

"Silahkan, kaucu"

"Setelah kau memberiku sepatu yang berisi penanda jejak, dan kemudian aku
tiba di kota Liu Ya, dua orang yang menguntitku adalah anak buahmu?
tanya Cio San

Benar, kaucu
Lalu kenapa mereka mati?

Yang membunuh mereka adalah ketua Mo kauw cabang Liu Ya, kaucu. Mereka
berdua terpakasa harus dibunuh agar jangan sampai membocorkan rahasia
bahwa Mo Kauw tertarik untuk mencari tahu rahasia anda, kaucu

Oh, aku mengerti sekarang. Di mana ketua cabang kota Liu Ya?

Dia belum datang. Mungkin sedang dalam perjalanan

Kalian mengerti tentang pergantian kaucu ini, apakah dari Cukat Tong?

Benar tuan. Ia mengirimkan surat ke beberapa cabang kita, mengatakan


bahwa tuan berada di Istana Ular

Baiklah. Ada lagi yang ingin susiok sampaikan?

Tidak ada lagi, kaucu kata Hing Lion Tay menggeleng

Mari kau duduklah di sini susiok, ada hal yang ingin kuminta kepadamu

Hing Liok Tay duduk di hadapan Cio San.

Biasanya, bagaimana cara partai kita saling mengirim kabar? tanya Cio
San

Kita biasanya menggunakan merpati. Dalam beberapa saat saja, kabar sudah
langsung sampai ke semua cabang. Tergantung jauhnya jarak antar kota
jawab Hing Liok Tay.

BegituBaiklah aku akan menuliskan surat kepada seluruh anggota kita.


Bisakah susiok mengirimkannya kepada beberapa cabang? Ada beberapa hal
yang harus ku sampaikan kepada beberapa ketua cabang

Siap laksanakan, kaucu

Cio San lalu mendiktekan isi suratnya. Intinya meminta agar setiap cabang
menggunakan daya upaya untuk menyelidiki tentang para pembunuh bertopeng,
berhati-hati terhadap racun baru yang sangat dahsyat, serta sebisa
mungkin tidak bentrok dengan partai lain, baik yang besar maupun yang
kecil.

Begitu selesai didikte, Hing Liok Tay lalu menyalinnya menjadi beberapa
surat, kemudian mengirimkannya. Cio San lalu memintanya untuk istirahat
karena besok pagi-pagi sekali ia Hing Liok Tay harus segera pergi
melaksanakan tugas menyelediki keberadaan jenazah kaucu lama dan anggotaanggota yang lain.

Cio San kini sendirian lagi. Ia ingin memainkan khim tapi merasa akan
mengganggu anggota-anggota lain yang sedang beristirahat. Karena belum
mengantuk Cio San berencana untuk duduk-duduk di situ sampai larut malam
sambil minum arak.

Sampai larut malam baru ia tertidur dengan pulas di pavillliun itu.


Padahal ia tahu, ada beberapa pasang mata yang sedang memperhatikannya di
dalam kegelapan.
Saat bangun, hari belum begitu pagi. Bau masakan dari dapur sudah menarinari di hidungnya. Saat bangkit, ternyata sudah ada seguci teh panas,
serta sepiring kue-kue.

Enak juga, jadi kaucu. Segala sesuatunya sudah dilayani orang lain.
Pantas saja banyak orang ingin menjadi pemimpin pikir Cio San.

Cio San menikmati secangkir teh, dan mencomot satu kue. Setelah itu dia
bangkit dan pergi ke dapur. Ternyata Sie Peng, Lim Tin, dan Cua Cin Sin
sudah berada di sana. Mereka memasak banyak sekali makanan untuk puluhan
anggota yang ada di sana.

Hey, kalian sudah bangun? Sini kubantu memasak kata Cio San

Ah kaucu, mana kami berani? mereka semua mencegah Cio San jangan sampai
turun tangan. Tapi apa daya Cio San sudah menggunakan kata-kata
andalannya Ini perintah!. Sambil tersenyum ia lantas saja menumbuk
bumbu. Ketiga anggota wanita Mo Kauw itu tak bisa berkata apa-apa lagi.

Ketika matahari sudah mulai naik, dan tanah terlihat sudah terang,
masakan yang disiapkan mereka berempat sudah matang. Kesemuanya makanan
enak. Rupanya semalam ada beberapa anggota yang pergi berburu ke hutan
belakang dan berhasil menangkap beberapa rusa, ayam hutan, dan ular.
Hasil tangkapan itu diolah Cio San dengan sangat mantap. Sampai-sampai
ketiga anggota wanita itu terheran-heran. Mereka saja tidak mampu masak
seenak dan selezat itu.

Seluruh anggota lalu makan dengan lahap. Seumur hidup mereka mungkin
belum pernah makanan selezat itu. Ketika tahu bahwa hidangan itu adalah
hasil masakan Cio San mereka semua bergetar tak ada yang berani bersuara,

Mamatipun,,,mana berani kami makan? kata salah seorang.

Maafkan.kami..kaucu..kami.kami mereka semua salah tingkah.

Cio San hanya tersenyum, ia berkata Pemimpin yang baik adalah pemimpin
yang paling memperhatikan anak buahnya. Aku justru merasa bangga bisa
menyiapkan makanan untuk saudara semua

Begitu mereka mendengar hal ini, mereka lalu berlutut dan bersujud,

Kaucu sunggu baik dan adil! Kami rela menyerahkan nyawa bagi kaucu dan
Mo Kauw! teriak mereka keras.

Sudahlah, kalian berdiri lah. Kita belum lagi menikmati araknya kata
Cio San.

Tak lama setelah mereka minum-minum, terdengar suara dari gerbang besi
depan,

Cukat Tong datang menghadap Mo Kauw kaucu!

Raja maling sudah datang. Hmmm..ternyata lebih cepat dari perkiraan


semula batin Cio San. Dalam hati ia kagum juga. Langkah Cukat Tong tidak
terdengar sama sekali olehnya. Padahal dalam jarak segini, ia biasanya
bisa mendengar jika ada orang lain di gerbang depan.

Cio San sendiri yang menyambut Cukat Tong di pintu depan.

Salam kepada kaucu. Hamba Cukat Tong membawa berita dan mengantarkan
surat kata Cukat Tong.

Salam Cukat-tayhiap (pendekar besar Cukat) kata Cio San sambil senyum
dan menjura.

Kedua orang ini bersikap penuh adat tentunya karena banyak orang di situ.
Kalau tidak mereka mungkin sudah saling peluk dan bercanda.

Mari ke belakang, kita berbicara di sana saja Cio San lalu mengajak
Cukat Tong ke pavilliun belakang.

Semua mata memandang Cukat Tong. Tidak menyangka kalau si Raja Maling
Tanpa Tanding ternyata penampilannya sama seperti mereka. Kotor dan awutawutan.

Begitu mereka berdua sampai di pavilliun belakang.

Ini racunnya sudah kubawa ia mengeluarkan sebuah botol kecil. Isinya


sebuah cairan seperti air biasa. Bening dan tak berbau.

Aku juga membawa surat dari Beng Liong untukmu. Aku bertemunya di jalan
ia mengeluarkan sepucuk surat. Cio San lalu membacanya.

Salam Hormat,

Begitu mendengar kabar dari Cukat Tong bahwa San-te telah menjadi Mo Kauw
Kaucu, aku sangat bahagia. Thian (langit) memang sangat adil dan mengerti
perjalanan hidup manusia. Tapi kebahagiaan ini serasa tawar saat
kubayangkan engkau akan banyak menanggung banyak urusan.

Saat ini pun aku terpaksa meminta bantuanmu. Pergerakan tentara Mongol di
perbatasan membuat tentara kerajaan sangat terdesak di sana. Baru-baru
ini kaisar mengumumkan permintaan bantuan kepada seluruh kaum Kang Ouw
untuk turun tangan membantu kerajaan.

Hal ini, ditambah lagi dengan urusan Pembunuh Bertopeng membuat kaum Kang
Ouw juga semakin terdesak. Karena itulah pertemuan pemilihan Bu Lim Beng
Cu dimajukan dari tahun depan, menjadi 3 bulan lagi. Pertemuan akan di
adakan di puncak gunung Thay San.

Aku harap San-te bersama Mo Kauw yang kau pimpin bisa turut turun tangan
dalam kedua urusan ini. Sekali lagi aku mohon maaf karena harus
merepotkan dirimu. Semoga kita bisa bertemu di puncak Thay San 3 bulan
lagi, tanggal 15.

Saudaramu,

Beng Liong.

Cio San melipat kembali suratnya. Ia berpikir lama sekali. Cukat Tong
diam saja, karena ia tahu Cio San sedang memikirkan urusan yang sangat
penting.

Cio San lalu tersenyum lebar,


Ada kau di sini, jika tidak kucekoki arak sampai mampus, jangan bilang
namaku Cio San

Bab 41 Memulai Perjalanan

Mereka berdua minum sampai tengah hari. Saat itu anggota-anggota Mo Kauw
sudah bersiap-siap untuk kembali ke posisi masing-masing. Mereka mungkin
segan mengganggu Cio San yang sedang minum-minum sehingga menunggu sampai
ia selesai dulu.

Tapi bukankah pekerjaan yang paling membosankan adalah menunggui lelaki


pemabuk minum arak, dan menunggui wanita cantik bersolek?

Oleh sebab itu, para anggota Mo Kauw menunggu hingga tengah hari. Padahal
mereka sudah ingin berangkat sejak tadi.

Ketika Cio San dan Cukat Tong selesai, baru para anggota Mo Kauw itu
berani mendatangi Cio San untuk minta diri.

Kami berangkat kaucu!, segala titah kaucu, akan kami laksanakan!

Bagus. Selamat jalan saudara-saudara. Apakah bekal kalian sudah cukup?


tanya Cio San

Lebih dari cukup, kaucu!

Baiklah. Hati-hatilah di jalan

Kebaikan hati kaucu tidak kami lupakan. Kamu mohon diri!

Mereka bersoja di hadapannya, dan Cio San membalas dengan menjura. Lalu
puluhan orang itu kemudian pergi. Terdengar ramai suara mereka tertawa
dan bercanda. Cio San memang paling suka suasana seperti itu. Maka ia
tersenyum saja melihat mereka pergi, dari kejauhan.

Kau tidak menceritakan isi surat itu kepada mereka? tanya Cukat Tong

Tidak perlu, kan yang diundang hanya aku

Undangan itu untuk seluruh Mo Kauw. Jika ketua mereka diundang, maka itu
berarti undangan untuk seluruh anggotanya

Oh begitu tukas Cio San

Hey, dalam dua hari ini Ang Lin Hua terlihat lebih muda, apakah kau
sudah mulai menyembuhkannya? tanya Cukat Tong lagi.

Iya, syukurlah pengobatannya lumayan berhasil. Tapi dibutuhkan waktu


berbulan-bulan agar ia pulih seluruhnya

Ang Lin Hua datang. Dari kejauhan mereka bisa melihatnya membawa nampan
berisi kue-kue.

Silahkan kaucu, dan Cukat tayhiap katanya sambil meletakkan nampan itu
di atas meja.

Terima kasih jawab mereka berdua.

Tak lama lagi waktu makan siang tiba, apa kita masih punya makanan?
tanya Cio San

Masih banyak kaucu, sisa tadi pagi masih ada jawab Ang Lin Hua. Ia
menjura dan berbalik pergi. Tapi Cio San menahannya,

Siocia, dalam beberapa hari ini, maukah kau menemaniku ke puncah Thay
San? tanyanya

Baik, kaucu si nona mengangguk

Baik, terima kasih. Nona, silahkan pergi kata Cio San tersenyum.

Cukat Tong menatap punggung Ang Lin Hua dari kejauhan

Ia bahkan tidak bertanya pergi kemana katanya, ia melanjutkan

Bagi anggota partai silat, titah ketua bagai titah kaisar. Disuruh
lompat ke dalam api pun, mereka dengan senang hati akan melakukannya

Cio San hanya melamun saja. Lalu ia kemudian bertanya,

Selama beberapa kali pemilihan Bu Lim Beng Cu (pemimpin dunia


persilatan), selalu Siau Lim Pay yang memenangkan pertarungan. Bagaimana
menurutmu tingkatan mereka dibanding kaucu Mo Kauw yang lama?

Menurutku Mo Kauw yang lama masih dibawah sedikit daripada ketua Siau
Lim Pay. Tapi jika dibandingkan dengan ketua Bu Tong Pay, kaucu Mo Kauw
yang lama masih di atas sedikit jawab Cukot Tong.

Setiap pemilihan Bu Lim Beng Cu, apakah kau selalu datang? tanya Cio
San lagi.

Aku datang 2 kali

Bagaimana pertarungannya?

Sangat seru, semua orang yang merasa bagian dari partai persilatan boleh
untuk turun ke dalam pi-bu (adu tanding) itu. Tapi karena itu pertarungan
tingkat tinggi, hanya ketua-ketua partai saja yang ikut. Juga beberapa
ahli silat kelana, dan beberapa anggota keluarga-keluarga terkemuka dalam
dunia persilatan. Sayangnya Mo Kauw tidak pernah ikut, walaupun selalu
diundang jelas Cukat Tong.

Mo Kauw tidak pernah ikut? tanya Cio San, ia agak sedikit kaget.

Iya. Ketua Mo Kauw yang lama merasa ia tidak perlu ikut urusan Bu Lim
Beng Cu segala. Entah apa alasannya, aku tidak tahu

Cio San merenung sebentar. Pikirannya menerawang jauh. Matanya bersinarsinar. Ia lalu berkata,

Rasa-rasanya, aku sudah mulai paham segala kejadian ini dengan jelas

Kau, kau sudah berhasil memecahkan rahasia si otak besar? tanya Cukat
Tong

Sekitar 8 dari 10 bagian, aku sudah paham kata Cio San tersenyum

Dan kau tidak ada niat untuk mengatakannya kepadaku?

Belum saatnya. Karena sekarang adalah saat makan siang Cio San berkata
begitu karena ia melihat 3 orang anggota Mo Kauw yang wanita sudah datang
membawa nampan-nampan berisi makanan.

Mereka makan dengan lahap. Setelah makan Cio San meminta diri untuk
bekerja sebentar. Cukat Tong tidak tahu apa yang dilakukan Cio San.
Karena sungkan bertanya, ia memilih berdiam saja di kamar yang sudah
dipersiapkan anggota Mo Kauw kepadanya.

Cio San sendiri pergi ke ruangan obat-obatan. Rupanya ia berusaha keras


untuk memecahkan rahasia racun hebat itu. Dari siang sampai tengah malam
ia bekerja keras. Ia hanya keluar untuk makan malam. Saat makan malam
bersama, Cukat Tong pun tidak bertanya apa-apa, karena ia kini sudah tahu
apa yang sedang dilakukan Cio San.

Lakukanlah yang terbaik begitu kata Cukat Tong. Cio San hanya
membalasnya dengan anggukan dan senyuman.

Memang jika dua sahabat sudah saling mengerti kemampuan masing-masing,


kebanyakan mereka akan lebih banyak diam dan saling tersenyum.

Jika kau perhatikan, sahabat-sahabat yang sangat akrab dan mendalam,


memang kebanyakan tidak terlalu banyak ngobrol. Mereka justru lebih
banyak saling diam. Ini karena mereka sudah saling mengerti isi hati
masing-masing. Berbeda dengan sahabat yang tidak terlalu mendalam, yang
kebanyakan ngobrol, tertawa, dan bercanda ria.

Cio San kembali ke biliknya dan mulai bekerja lagi. Ini dilakukannya
sampai terang tanah. Saat itu anggota-anggota wanita Mo Kauw sudah bangun
dan menyiapkan sarapan. Begitu keluar dari biliknya, Cio San muncul
dengan senyum cerah.

Selamat pagi, kaucu ketiga wanita anggota Mo Kauw itu memberi salam.

Selamat pagi juga, para nona Cio San mengangguk sambil tersenyum. Si
Raja Maling sudah bangun? tanyanya kepada mereka.

Sepertinya sudah. Ia berada di halaman depan. Sedang berbincang-bincang


dengan Seng Koh (perawan suci)

Cio San tersenyum lagi. Entah kenapa setiap mendengar kata Seng Koh, ia
selalu tersenyum. Ia lalu beranjak ke depan.

Bagian depan Istana Ular memang tak kalah indahnya dengan taman bagian
belakangnya.

Begitu melihat Cio San datang, mereka berdua tersenyum dan mengangguk.

Sudah selesai? tanya Cukat Tong.

Sudah jawab Cio San

Boleh aku mencobanya? tanya Cukat Tong lagi.

Cio San tidak berkata apa-apa, dan hanya menyodorkan dua botol.

Botol yang bening adalah racunnya, yang botol hitam adalah penawarnya
kata Cio San

Dengan santai Cukat Tong menegak sedikit racun. Tak berapa lama kemudian
ia sudah muntah darah. Lalu dengan cepat, ia menenggak sedikit
penawarnya.

Cio San hanya memandang saja. Ang Lin Hua terbelalak. Ia tidak menyangka
ada orang seberani itu. Begitu percaya kepada orang lain. Cukat Tong
melakukan hal ini, seperti ia melakukan hal-hal paling sederhana dalam
hidupnya.

Bagiamana? tanya Cio San

Cukat Tong menutup mata dan mengatur jalan nafasnya. Tak lama kemudian
wajah pucatnya terliat kembali segar. Ia lalu membuka mata dan berkata,

Sudah punah seluruhnya. Kau benar-benar hebat

Mereka berdua lalu saling tersenyum dan menepuk pundak.

Ang Lin Hua pun ikut tersenyum. Ada 1 hal dari lelaki di dunia ini yang
bisa membuat wanita kagum dan muak secara bersamaan, yaitu persahabatan
antar lelaki.

Siocia, bersiap-siaplah. Mungkin besok kita sudah berangkat. Jarak dari


sini ke puncak Thay San mungkin dibutuhkan waktu 3 bulan berjalan kaki
kata Cio San

Kau akan berjalan kaki? tanya Cukat Tong

Kau lupa, bukankah aku tidak bisa mengendarai kuda?

Aku tidak lupa. Tapi masa kau tega mengajak nona Ang berjalan kaki
juga?

Kemana pun kaucu pergi, hamba akan turut kali ini Ang Lin Hua yang
menjawab.

Kita jalan kaki saja dulu. Jika dirasakan memakai kuda lebih baik, kita
akan mencari kereta. Kau bisa mengendarai kereta bukan? tanyanya kepada
Cukat Tong

Tentu saja. Tapi kenapa kau begitu yakin aku akan ikut denganmu?

Kau tidak mau tahu rahasia si otak besar?

Cukat Tong hanya tertawa terbahak-bahak.

Besok paginya mereka semua telah bersiap-siap. Cio San, Cukat Tong, dan
ANg Lin Hua telah menyelesaikan sarapan pagi. Di pundak masing-masing
terdapat buntalan yang berisi baju dan perlengkapan sehari-hari. Ang Lin
Hua membawa sebuah pedang yang sangat indah. Mereka mengajak dua orang
anggota Mo Kauw untuk turut pergi juga. Satu lelaki dan satu wanita.
Anggota yang tersisa diperintahkan untuk menjaga Istana Ular.

Siocia, bukankah rakit kecil yang berada di gudang belakang bisa


dipakai? tanya Cio San kepada Ang Lin Hua

Bisa, kaucu

Baik. Kita berangkat menggunakan rakit dulu untuk sampai ke seberang.


Kira-kira berapa lama kita sampai ke seberang? kali ini Cio San bertanya
kepada Cukat Tong.

Sungai Huang Ho ini lumayan lebar. Mungkin tengah hari baru kita sampai
di seberang jawab si Raja Maling.

Cio San mengangguk.

Mereka berangkat. Cio San, Cukat Tong, Ang Lin Hua, dan dua orang anggota
Mo Kauw yaitu Sie Peng, dan Yan Tian Bu. Sie Peng adalah seorang wanita
yang lumayan cantik dan tangkas. Sejak awal ia datang, Cio San sudah
memperhatikannya. Ia menganggap Sie Peng cocok untuk menemani Ang Lin
Hua.

Sedangkan Yan Tian Bu adalah seorang lelaki yang bertubuh tinggi besar
dan tidak banyak bicara. Gerak-geriknya pun tangkas dan cerdas. Cio San
butuh seorang anggota yang mampu melaksakan perintah-perintahnya jika
diperlukan.

Perjalanan menyeberang sungai memang tepat selesai pada saat tengah hari.
Mereka mendarat di sebuah hutan lebat. Cukat Tong yang memilih tempat ini
karena ia yang paling paham daerah-daerah.

Setelah menyusuri hutan selama kira-kira sepeminum teh, tibalah mereka di


pinggiran kota Kun Tau. Sebuah kota kecil yang lumayan ramai. Mereka tiba
di gerbang kota itu dan terhenyak juga melihat banyaknya pasukan kerajaan
yang berada di sana.

Pasukan-pasukan ini pasti mempersiapkan diri untuk berangkat ke


perbatasan kata Cukat Tong.

Sebegitu parahnya kah keadaan di perbatasan sehingga pasukan dari daerah


timur pun harus di tarik ke barat? tanya Cio San

Menurut kabar yang kudengar, pasukan Goan (mongol) sudah semakin kuat.
Pasukan kerajaan kita sangat terdesak, sehingga mau tidak mau, kaisar
memerintahkan pengiriman pasukan secara besar-besaran kata Cukat Tong.

Cio San mengangguk dan memperhatikan. Sepanjang hidupnya, ia belum pernah


melihat pasukan berkumpul sebanyak ini. Ada ribuan tentara yang berbaris
dengan rapi. Pakaian perang mereka membuat mereka terlihat lebih gagah.
Mari saudara-saudara, kita percepat perjalanan kita ujarnya.

Ketika sampai di dalam kota, Cio San memutuskan untuk menggunakan kereta
saja. Mereka kemudian mencari tukang kuda. Setelah lama memilih, akhirnya
mereka membeli dua kuda terbaik yang dimiliki tukang kuda itu. Dua ekor
kuda daerah barat yang terkenal kekar dan kuat. Walaupun larinya tidak
begitu kencang.

Mereka pun membeli sebuah kereta yang akan dipasangkan kepada kedua ekor
kuda itu. Sebuah kereta sederhana yang tidak mahal. Tapi cukup nyaman dan
sejuk juga. Bagian dalamnya tidak ada isinya, sehingga seluruh rombongan
bisa muat di dalamnya. Yan Tian Bu bertugas menjadi kusirnya. Cio San
memilih duduk di sebelahnya. Padahal biasanya seorang kaucu selalu berada
di dalam kereta. Tapi Cio San menolak, ia ingin menikmati perjalanan
dengan menikmati udara segar dan angin.

Perjalanan dilakukan dengan senang dan ceria. Kadang-kadang Cio San


menceritakan kisah-kisah lucu yang membuat semua orang tertawa
terpingkal-pingkal. Hanya Ang Lin Hua yang tidak terpingkal-pingkal,
walaupun ia tersenyum lebar saat mendengarkan cerita-cerita Cio San.

Kadang-kadang perjalanan yang menyenangkan justru jauh lebih mengasyikkan


daripada tujuannya. Di sinilah kita memahami sifat dan pembawaan orang.
Cio San senang sekali bisa banyak mengobrol dengan Yan Tian Bu. Walaupun
pendiam, Tian Bu lumayan menyenangkan diajak ngobrol.

Yang merasa rikuh tentu saja Cukat Tong. Ia berada sendirian di dalam
kereta bersama dua orang wanita. Walaupun bagian kereta tembus ke depan
langsung ke posisi kusir, mau tidak mau ia tetap merasa tidak enak juga.
Apalagi Cio San sedang asik ngobrol dengan Yan Tian Bu, sedangkan Ang Lin
Hua pun mengobrol dengan Sie Peng. Akhirnya ia memilih tidur-tiduran
saja.

Tak terasa perjalanan sudah mencapai 2 hari. Karena dilakukan dengan


santai dan tidak terburu-buru, rombongan ini tidak merasa letih atau
lelah. Sepanjang perjalanan mereka menikmati pemandangan yang ada.
Kadang-kadang Cukat Tong yang menjadi kusir, kadang-kadang Cio San pun
belajar mengendarainya. Tentu saja harus didampingi Cukat Tong atau Yan
Tian Bu. Jika tidak, kereta bisa oleng atau masuk sungai.

Mereka melakukannya dengan riang dan gembira.

Cio San juga menggunakan kesempatan ini untuk mengunjungi markas-markas


rahasia Mo Kauw yang tersebar di kota-kota. Kebanyakan dari mereka memang
sudah tahu jika Cio San telah menjadi Kaucu mereka yang baru. Sebenarnya
mereka beramai-ramai ingin pergi ke Istana Ular, dan melihat sendiri
ketua mereka yang baru, tetapi tugas dari Cio San membuat hal ini
tertunda.

Cio San berjanji akan mengadakan upacara pemakaman terbaik apabila jasadjasad kaucu yang lama beserta anggota-anggota lain ditemukan.

Kunjungan ke markas-markas rahasia ini membuat Cio San semakin mengerti


urusan Mo Kauw, dan juga membuatnya lebih akrab dengan anggota-anggota
lain. Memang Mo Kauw itu sebuah partai yang sedikit berbeda daripada
partai lain. Mo Kauw lebih longgar dan luwes, sehingga tidak terlalu
banyak aturan dan peradatan seperti partai-partai lain.

Selain mengunjungi markas-markas rahasia, kesempatan ini digunakan Cio


San untuk melihat dunia juga. Berjalan-jalan ke tempat terkenal dan
menikmati tempat-tempat yang indah. Cukat Tong sendiri sempat heran dan
bertanya kepada Cio San tentang hal ini,

Kau tidak khawatir atas apa nanti yang akan terjadi? Urusan besar sudah
menanti di depan, kau masih leha-leha dan malah berpesiar

Urusan belum kejadian, mengapa harus dipikir? tukas Cio San

Tapi musuhmu, si otak besar, sekarang sedang menyusun sebuah rencana


besar. Rencananya matang, dan penuh intrik dan rahasia, jika kau tidak
bersiap-siap, kau akan kalah langkah dengannya

Justru aku sudah menang beberapa langkah darinya ujar Cio San enteng

Bagaimana bisa begitu?

Si otak besar kini sibuk mempersiapkan rencananya. Pikirannya,


tenaganya, seluruh sumber dayanya, ia curahkan. Bahkan mungkin malam
tidak tidur, dan kurang makan di siang hari. Dari sini saja, aku sudah
menang satu langkah Cio San melanjutkan,

Orang yang merencanakan sesuatu, tentulah segala daya upaya ia kerahkan


agar rencananya tidak bocor, dan berjalan dengan baik. Tapi siapkah ia

menghadapi segala macam perubahan? Perubahan alam, perubahan keadaan,


perubahan segalanya.

Jika ia siap, berarti dia harus memikirkan ratusan kemungkinan, ratusan


perubahan.l ini saja akan membuat seseorang susah tidur dan banyak
khawatir. Jika dia sudah begitu, bukankah aku berada di posisi yang
unggul?

Memangnya kau punya rencana apa? tanya Cukat Tong penasaran

Aku justru tidak punya rencana apa-apa menghadapinya. Apa saja yang akan
terjadi, akan kuhadapi saat terjadi nanti. Aku tidak perlu repot-repot
memusingkan segala hal yang aku tidak tahu. Sehingga aku bisa tidur
tenang dan makan enak. Dengan begitu tenagaku akan terisi sepenuhnya

Mendengar penjelasan Cio San, mau tidak mau Cukat Tong mengangguk-angguk
saja. Ia mulai paham, orang seperti Cio San bukanlah orang yang malas,
dan hidupnya hanya bersenang-senang. Justru orang yang bebas seperti Cio
San, adalah orang yang menerima segala hal yang terjadi dalam hidupnya
dengan berani dan dengan pikiran yang terbuka.

Ia bukan hidup tanpa perencanaan. Ia hidup dengan kesigapan terhadap


segala perubahan. Ia tidak perlu repot-repot merencanakan sesuatu, karena
ia yakin segala sesuatu itu sudah ada yang menentukan!

Hidup hanya perlu untuk dijalani, kenapa harus menangis?

Kenapa harus banyak berpikir dan bersusah hati?

Orang yang benar-benar bisa hidup seperti ini, adalah orang-orang yang
jiwanya merdeka sepenuhnya. Mereka ini baru bisa benar-benar disebut
sebagai orang yang BERBAHAGIA!

Mau tidak mau, Cukat Tong harus kagum terhadap anak muda di depannya ini.
Siapapun memang mau tidak mau harus kagum kepada Cio San.

Bab 42 Seorang Tamu di Tengah Malam

Pada hari ke 8, mereka beristirahat di sebuah hutan. Mereka membuat


perapian dan manikmati makan malam. Rusa panggang dan nasi hangat.
Tentunya dengan beberapa cangkir arak untuk menghangatkan badan. Setelah
makan, mereka semua tidur. Kecuali Yan Tian Bu. Malam itu ia memang
mendapat giliran berjaga. Perapian dan arak memberi mereka semua
kehangatan. Padahal mereka tidur di alam terbuka.

Memasuki tengah malam, Cio San tiba-tiba terbangun. Cukat Tong juga ikut
terbangun beberapa saat kemudian.

Kau dengar itu? tanyanya kepada Cio San

Yang ditanya hanya mengangguk-angguk. Yan Tian Bu tetap berada di


tempatnya. Ia heran, suara apa yang sedang didengarkan kedua orang itu.
Tak berapa lama, muncul bayangan hitam. Seseorang telah muncul di situ.
Ia berjalan dengan santai. Wajahnya tertutup topeng.

Salam kepada Mo Kauw Kaucu, dan Raja Maling kata orang itu sambil
menjura.

Salam jawab Cio San. Tuan siapakah?

Jika kau ingin tahu, silahkan ikut aku jawab si orang bertopeng.

Kau tunggu di sini kata Cio San kepada Cukat Tong. Ia lalu beranjak.

Bagus. Cio San memang adalah Cio San wajahnya tertutup topeng, tapi
orang bisa melihat bahwa ia sedang tersenyum di balik topengnya.

Silahkan Cio San mempersilahkan si orang bertopeng duluan. Ia lalu


mengikutinya.

Si orang bertopeng bergerak dengan sangat cepat. Melompat ke atas dahan


pohon, turun lagi, menyelinap ke balik pohon, dan berlari dengan sangat
cepat. Karena tidak mendengar suara kaki Cio San di belakangnya, ia
menoleh. Ternyata Cio San memang masih berada di belakangnya sedang
tersenyum memandangnya.

Tak berapa lama, setelah si orang bertopeng merasa mereka cukup jauh dari
rombongan Cio San, ia kemudian berhenti di sebuah tanah yang agak lapang.

Aku adalah orang kau cari-cari selama ini kata si orang bertopeng.

Aku tidak pernah mencari-cari orang. Tuan mungkin salah alamat jawab
Cio San sambil tersenyum. Jemarinya memainkan rambutnya, sedangkan tangan
kirinya terlipat ke belakang.

Aku adalah orang yang merencanakan semua pembunuhan-pembunuhan itu.


Akulah otak segala kekacauan dalam Bu Lim

Ah. Hanya itu yang keluar dari mulut Cio San.

Aku datang untuk memperingatkanmu, untuk tidak mencampuri urusanku!

Tuan mungkin lupa. Tapi aku tak pernah mencampuri urusanmu. Orangorangmu yang selalu datang mencariku dan ingin membunuhku.

Si orang bertopeng di depan Cio San seperti kehilangan kata-kata.

Aku tidak menyukaimu. Aku ingin kau mati katanya.

Sudahlah. Rencana bodohmu ini aku sudah tahu. Rencana seperti ini hanya
membuatku merasa akal pikiranku terhina

Rencana apa?

Cio San hanya geleng-geleng. Wajahnya menampilkan rasa kecewa.

Kau sedang menggunakan akal memancing harimau meninggalkan sarang


bukan? Kau berharap saat aku meninggalkan rombonganku, gerombolanmu bisa
menyergap dan menyerang rombonganku bukan? Kau sendiri bukanlah si otak
besar itu. Kau cuma orang suruhan kata Cio San.

Sinar mata si orang bertopeng berkilat kaget.

Kalau kau sudah tahu, kenapa kau tinggalkan mereka? tanya si orang
bertopeng.

Kau bukan hanya meremehkanku, kau pun meremehkan Raja Maling, dan Ang
Lin Hua kata Cio San.

Lalu ia melanjutkan,

Hal ini sudah pasti kalian akan kalah, tapi tetap kau lakukan juga. Ini
sudah pasti bukan perintah dari si otak besar. Ini pasti kau sendiri yang
merencanakannya. Si otak besar tidak akan melakukan hal sebodoh itu

Lagi-lagi si orang bertopeng menampilkan kekagetannya.

Telinga Cio San telah mendengar suara pertarungan nun jauh di sana. Di
tempat rombongannya beristirahat.

Ia lalu mengerutkan kening,

Kau memang sengaja ingin membunuh teman-temanmu sendiri?

Cio San memang Cio San. Kabar tentang kecerdasanmu memang telah
membuatku kagum. Kau benar. Aku memang ingin membunuh teman-temanku
sendiri dengan meminjam tangan kalian

Cio San hanya memandanginya saja.

Si orang bertopeng melanjutkan,

Tuan kami, orang yang kau sebut si otak besar, telah berhasil
mengumpulkan banyak pendekar Kang Ouw untuk tunduk di bawah kekuasaannya.
Kami sendiri tidak saling mengenal antar satu sama lain, karena kami
selalu menggunakan topeng. Tapi dari jurus-jurus silatnya, akhirnya kami
bisa mengenal. Walaupun hanya bisa meraba-raba, karena masing-masing
menyembunyikan ilmu silatnya yang sebenarnya

Lanjutnya,

Si otak besar pun memberikan kami kitab-kitab silat sakti. Ia memiliki


kitab-kitab silat perguruan-perguruan besar seperti Go Bi pay, Kun Lun
pay, dan Hoa San pay. Bahkan kitab-kitab silat sakti milik Butong Pay dan
Siau Lim Pay pun ia miliki. Kau bisa bayangkan, orang sehebat apa dia,
yang mampu mencuri kitab-kitab sakti partai-partai besar itu? Kitab-kitab
ilmu yang sangat mereka rahasiakan

Cio San hanya mengangguk-angguk.

Si orang bertopeng melanjutkan lagi,

Maka kau bisa bayangkan betapa hebatnya ilmu kami semua? Orang secerdas
dan sesakti kau pun tak akan mampu melawan kehebatan si otak besar dan
kami semua.

Suara pertempuran nun jauh di sana sudah berhenti.

Ah, sudahlah. Bukan itu yang ingin ku ceritakan kepadamu. Sebenarnya,


setelah lama berkumpul dengan anggota kelompok yang lain, aku mulai
yakin, bahwa beberapa orang musuhku berada di antara kelompok ini.
Akhirnya, bisa kau tebak sendiri, aku meminjam tenaga kalian untuk
membunuhi mereka.

Keinginanmu sudah terlaksana kata Cio San. Apa maumu sekarang?

Karena kau sudah membantuku menyingkarkan musuh-musuhku, aku ingin


memberitahumu rahasia penting

Silahkan kata Cio San

Aku tahu siapa si otak besar itu sebenarnya kata si orang bertopeng.

Kenapa ingin kau beritahukan kepadaku? tanya Cio San

Aku benci menjadi budaknya selamanya

Kau tadi bilang aku tak akan mampu melawannya, kenapa sekarang kau
berubah pikiran? tanya Cio San lagi.

Kalau kau tahu siapa dia sebenarnya, tentunya kau mampu menyusun langkah
agar mampu mengalahkannya

Cio San tersenyum. Lalu bertanya,

Siapa dia?

Dia adalah perempuan paling cantik dan paling kaya di dunia jawab si
orang bertopeng.

Maksudmu Khu Hujin? tanya Cio San

Siapa bilang dia paling cantik dan paling kaya? si orang bertopeng
balik bertanya.

Oh jadi ada lagi? Siapa namanya?

Kau akan tahu saat kau bertemu dengannya jawab si orang bertopeng.

Cio San mengangguk-angguk. Terima kasih katanya.

Jika kau berhasil membunuhnya, aku akan datang membawa persembahan


kepadamu kata si orang bertopeng.

Sehabis berkata begitu ia sudah melompat hilang dari situ.

Tinggalah Cio San sendirian di sana. Ia lalu berjalan dengan santai


kembali ke rombongannya. Benar saja, ada beberapa mayat bergelimpangan di
sana. Cukat Tong yang pertama menyambutnya,

Kau berhasil mengalahkannya?

Cio San menggeleng, Tentu saja itu bukan dia

Mereka menggiringmu pergi agar dapat meringkus kami. Tapi dia salah
perhitungan, Ang-Siocia (nona Ang) menghabisi mereka semua. Dalam
beberapa hari ini, ilmu silatnya meningkat pesat. Sungguh hebat

Cukat Tong memujinya secara terang-terangan, ANg Lin Hua hanya bisa
berkata Tidak berani..tidak berani sambil menjura. Semua berkat kaucu
yang mulia.

Baiklah mari kita bereskan mayat-mayat ini dan kuburkan secara layak
kata Cio San.

Mereka semua bekerja dan menguburkan belasan mayat itu saat itu juga.
Setelah selesai, mereka kembali beristirahat. Kal ini giliran Cukat Tong
yang berjaga-jaga.

Lama ia diam saja, akhirnya karena tidak kuat menahan rasa penasaran,
akhirnya ia mengajak Cio San bicara. Padahal Cio San terlihat sudah
tertidur.

Kau tidak ingin menjelaskan kepadaku apa yang tadi terjadi?

Dengan agak malas-malasan Cio San menjawab,

Mengapa kau anggap remeh akalmu sendiri? Kau adalah Raja Maling

Raja Maling jika berada di sebelahmu, hanya seekor kura-kura. Kalau ada
kau disini, urusan berpikir, kuserahkan kepadamu seluruhnya ujarnya
sambil tertawa.

Cio San akhirnya bangkit,

Dasar pemalas tawanya

Ia lalu melanjutkan, Kau pasti sudah tahu jika mereka tadi menjalankan
akal memancing harimau keluar sarang?

Ya jawab Cukat Tong pendek.

Si orang bertopeng tadi mengaku sebagai otak besar. Tapi setelah aku
berhasil membongkar kebohongannya, akhirnya dia mengakui rencana
sebenarnya

Apa katanya?

Dia bilang, ia ingin meminjam tangan kita untuk membunuh kawan-kawan


gerombolannya sendiri

Alasannya apa? tanya Cukat Tong

Katanya, beberapa anggota gerombolannya ternyata adalah musuh-musuhnya.


Jadi ia ingin meminjam tangan kita. Jelas Cio San.

Lalu kenapa ia harus memancingmu pergi? Bukankah jika ada kau, urusan
pinjam meminjam tangan itu akan lebih cepat selesai? tanya Cukat Tong
lagi.

Jika ia tidak memancingku pergi, tentunya teman-temannya tak akan berani


menyerang. Mereka kan sudah benar-benar tahu apa yang bisa ku lakukan

Jadi ia menyamar sebagai si otak besar, dan memancingmu keluar, agar


teman-temannya berani menyerang kami? HmmmBagus juga akalnya. Lalu?

Lalu setelah teman-temannya mati, sebagai ucapan terima kasih, ia


memberitahukan sebuah rahasia kepadaku

Rahasia apa?

Rahasia jati diri si otak besar yang sebenarnya

HAH? Siapa dia?

Kata si orang bertopeng, dia adalah wanita tercantik dan terkaya di


seluruh dunia

Wajah Cukat Tong langsung berubah, Didia?

Kau kenal?

Cukat Tong hanya mengangguk dan tak bisa berkata apa-apa. Wajahnya
menunduk.

Segera Cio San berkata,

Tentu saja aku tidak percaya kebohongannya

Kenapa kau tidak percaya?

Karena aku sudah tahu siapa si otak besar sebenarnya

Kau tahu? Si..siapa?

Rahasia. Aku akan memberitahukannya jika aku benar-benar bisa


membuktikannya. Jika tidak, ia akan lolos dengan mudah

Lalu, apa maksud si orang bertopeng tadi memberitahukan rahasia palsu


itu?

Untuk menjerumuskanku ke dalam jalan yang salah. Fitnah, agar aku


terpengaruh, dan tidak mencurigainya jelas Cio San

Untuk hal itu, ia mengorbankan belasan anak buahnya. Gila sekali kata
Cukat Tong

Bisa saja, dia memang sudah tidak membutuhkan belasan anak buahnya itu
kata Cio San.

Dan ia menganggapmu dungu untuk begitu saja percaya tipu dayanya.


Hahaha tawa Cukat Tong.

Ia melanjutkan lagi,

Kadangkala, orang yang paling tolol adalah orang yang menganggap orang
lain lebih tolol daripada dirinya

Bab 43 Sebuah Undangan

Perjalanan yang dilakukan dengan santai dan tawa canda. Jika dilakukan
selama bertahun-tahun tetap saja menyenangkan. Sudah 15 hari mereka
lalui. Mengunjungi berbagai tempat-tempat yang indah. Di sebuah kota, Cio
San membeli sebuah khim kecil. Tentu saja perjalanan kemudian menjadi
ramai oleh nyanyian.

Kadang-kadang jika sedang berhenti di danau atau telaga yang indah,


mereka menikmati pemandangan di sana sambil menikmati lagu-lagu Cio San.

Suaranya merdu dan permainan khimnya mendayu-dayu. Tapi tak satupun yang
tahu jika lagu-lagu itu adalah ciptaan Cio San sendiri.

Hari ke 20. Mereka berhenti di sebuah telaga indah di pinggiran kota Yang
Lin. Saat itu telah memasuki musim gugur. Bunga Bwee yang berguguran di
sepanjang danau, membuat daerah sekitar situ terlihat seperti lautan
bunga. Cahaya mentari pagi membuat warna pantulan bunga-bunga itu
meliputi seluruh danau. Air terlihat berwarna merah muda.

Melihat air sesegar itu, Cio San jadi ingin berenang. Cukat Tong yang
memang jarang mandi memilih tidur-tiduran saja di pinggiran danau. Ang
Lin Hua dan Sie Peng pun juga tidak berenang. Daerah itu terlalu terbuka
bagi kaum perempuan. Mereka memilih pergi ke kota untuk membeli
perlengkapan perempuan. Yan Tian Bu memilih pergi mencari rerumputan
untuk kuda-kudanya.

Jadi Cio San berenang sendirian saja. Ia mencopot seluruh bajunya, dan
berenang hanya menggunakan pakaian dalam. Air danau yang jernih dan segar
membuat tubuhnya merasa sangat nyaman. Walaupun airnya dingin, Cio San
tetap merasa hangat karena saat itu matahari bersinar dengan cerahnya.

Tak lama setelah ia berenang, telinganya mendengar sesuatu di daratan


sana. Cio San tahu ada yang datang, tetapi ia pun tahu itu bukan langkah
teman-temannya.

Lalu tak lama kemudian, muncul empat orang dari balik pepohonan. Empat
orang wanita. Bahkan dari jauh pun kecantikan mereka sudah mencolok mata.
Cio San penasaran apa yang akan mereka lakukan. Ia muncul dari air untuk
memberitahukan keberadaan dirinya.

Keempat nona itu pun melihatnya. Dari jauh Cio San bisa melihat mereka
tersenyum. Cio San pun membalas tersenyum. Tapi senyumnya segera berubah
ketika ke empat nona itu perlahan-lahan mencopot baju mereka satu
persatu.

Gerakan melepas baju ini dilakukan dengan lambat-lambat sambil tersenyum


pula padanya. Jika ada perempuan melakukan hal ini kepadamu, sebaiknya
engkau lari. Karena sudah pasti ia akan menerkammu. Tapi Cio San tidak
lari.

Ia hanya menatap saja.

Satu persatu helaian baju mereka jatuh di atas tanah. Mereka melakukannya
dengan gembira, seperti sedang melakukan hal yang paling menyenangkan di
muka bumi. Memang biasanya perempuan paling suka memakai pakaian bagus di
hadapan lelaki. Tapi ada juga perempuan yang suka sekali melepas pakaian
bagus itu di hadapan laki-laki. Rupanya ke empat nona ini termasuk
golongan yang terakhir tadi.

Kini ke empat nona itu telah berjalan memasuki danau. Senyum mereka telah
berubah menjadi tawa-tawa kecil saat kaki-kaki indah mereka menyentuh air
yang lembut dan jernih itu. Tubuh mereka tanpa sehelai benang pun.

Dari tubuh mereka, tercium bau wangi dari jarak yang cukup jauh. Kulit
mereka yang mulus dan putih, serasa membuat air yang mereka masuki terasa
lebih lembut dan hangat. Tidak ada yang tidak indah dari tubuh mereka.
Setiap jengkalnya sempurna. Dari ujung rambut sampai ujung kaki, jika
bisa dijual tentulah hanya kaisar yang mampu membelinya.

Jarak antara Cio San cukup dekat dari daratan, tapi sejak nona-nona ini
membuka baju-baju mereka dan berjalan memasuki air dan mendekati dirinya,
Cio San merasa waktu berjalan sangat lama sekali. Bahkan seolah-olah
dunia berhenti berputar.

Jika ada orang bilang bahwa kau tak dapat menghentikan waktu, maka orang
itu belum pernah bertemu dengan salah satu dari nona nona ini. Kau cukup
melihat salah satunya, lalu kau akan merasa dunia seolah berputar ke
belakang.

Bahkan seorang lelaki tua renta yang sudah sekarat pun mungkin akan hidup
kembali sebagai remaja belasan tahun jika melihat kecantikannya.

Hmmm, inikah Mo Kauw kaucu yang baru itu? suara salah satu dari mereka,
jika dibandingkan dengan suara penyanyi paling merdu pun, mungkin seperti
membandingkan berlian dengan lumpur.
Aku masih ragu, dia ini pria atau seorang bocah ingusan? timpal salah
seorang.

Tentu saja dia seorang pria. Seorang bocah ingusan mana mungkin tetap
senyum-senyum saja melihat kita?

Benar. Matanya sepertinya sudah terlatih menilai emas permata

Mereka berbincang dengan santai padahal tubuh mereka telanjang bulat di


hadapan seorang laki-laki yang tidak pernah mereka temui sebelumnya.

Kini mereka sudah berada dihadapan Cio San. Saking dekatnya Cio San
bahkan mendengar detakan jantung, dan gerakan dada mereka saat menghela
nafas. Cio San sendiri sebenarnya sudah menahan nafas dari tadi. Karena
ia mereasa, jika nona-nona ini bernafas, nafasnya sendiri akan ikut
tertarik bersama helaan nafas mereka.

Salam kaucu

Mereka berempat menjura. Jari-jari mereka demikian lentik. Jika ada orang
yang mengaku bisa melukis jari-jari mereka, tentu saja orang itu adalah
pembohong terbesar di muka bumi.

Itu baru jari jemari. Jadi mana mungkin ada orang yang bisa melukis wajah
mereka?

Cio San balas menjura sambil tersenyum. Ia tidak berkata apa-apa. Pada
hakekatnya tidak ada seorang laki-laki pun yang bisa berkata-kata di
hadapan perempuan-perempuan secantik mereka. Karena berkata-kata, berarti
membuang waktu. Bukankah lebih baik waktu dihabiskan untuk memandang
mereka saja?

Cio San tayhiap, nama kebesaran tuan sudah kami dengar beberapa bulan
belakangan ini. Sungguh suatu kehormatan bisa bertemu langsung dengan
tuan kata salah seorang.

Tidak beranitidak berani, walaupun cayhe (saya) belum tahu nama nonanona sekalian, tapi kecantikan nona justru lebih dulu kukagumi

Memangnya, tuan pernah dengar di mana tentang kami? tanya salah


seorang.

Aku mendengar tentang kalian dari bisikan bunga-bunga bwee yang gugur
itu kata Cio San sambil tersenyum.

Hmm? mereka semua mengangkat alis.

Apakah nona-nona sekalian tidak tahu? Bunga-bunga itu berguguran karena


malu. Mereka malu karena selama ini menganggap diri sebagai makhluk
terindah. Jadi karena tahu nona-nona akan datang kesini, bunga-bunga ini
lebih dulu menggugurkan diri mereka sendiri

Ah. Ke empat nona mendesah. Jika kau mendengar desahan salah seorang
saja, tentu kau akan menganggap dirimu sebagai orang yang paling mengerti
tentang cinta.

Tampan, pandai silat, dan pandai merayu wanita pula. Di dunia ini, kalau
tidak segera kuterkam saat menemukan lelaki demikian, kalian boleh
panggil aku cucu kura-kura kata salah seorang.

Memangnya cuma Lian-ci (kakak Lian) saja yang berminat?

Ah, Cing-mey juga suka padanya? Aku tidak suka rebutan. Tapi kali ini,
aku akan membuat pengecualian

Kalian berdua berbicara saja, apakah tidak kalian lihat lelaki tampan di
hadapan kalian malah sudah ingin menerkam kalian lebih dulu?

Hahahahahaha

Mereka tertawa lepas. Seolah-olah di dunia ini tidak pernah ada


kesedihan. Tawanya saja sudah bikin jantung lelaki bergetar.

Nona sekalian ada keperluan apa mencariku kesini? tanya Cio San

Kami hanya ingin berenang. Mengapa tuan besar kepala sekali mengira kami
mencari tuan?

Jika nona sekalian tidak mencariku, mungkin lebih baik aku langsung saja
mencari orang yang mengutus nona kesini kata Cio San. Senyumnya tetap
tersungging.

Dari mana tuan tahu ada orang yang mengutus kami?

Jika ada wanita secantik salah satu dari kalian, ia tentunya akan
menjadi ratu. Ia akan hidup demi kesenangannya sendiri. Tidak mungkin ia
mau disatukan dalam kelompok seperti nona-nona ini. Makanya, jika kini
ada empat orang wanita secantik nona mau bersama-sama, tentulah karena
ada yang mempersatukan jelas Cio San.

Ke empat wanita itu sedikit terhenyak. Rupanya kata-kata Cio San sedikit
menyentuh perasaan terdalam mereka.

Tuan rupanya sangat paham tentang perempuan, ya?

Laki-laki manapun yang mengaku paham tentang perempuan, kalau tidak


dungu, tentulah sudah pikun tukas Cio San sambil tertawa.

Tuan benar, Pangcu kami mengutus kami untuk mengundang tuan secara
langsung untuk mampir ke tempat peristirahatannya

Di mana?

Di balik bukit itu katanya sambil menunjuk sebuah bukit.

Baiklah, sampaikan padanya aku akan datang kata Cio San sambil berbalik
badan dan menceburkan dirinya ke air.

Tanpa menunggu lama, ke empat wanita itu pun menceburkan diri selulup ke
dalam air. Begitu keluar, mereka bertanya kepada Cio San,

Tuan tak ingin bersenang-senang dengan kami dulu?

Jika pangcu mu tahu, kalian menggoda tamunya, bukankah kalian akan


dihukum? kata Cio San santai.

Ahhh! keempat wanita itu membanting tangan ke air karena kecewa.


Cipratannya deras sekali. Ilmu tenaga dalam mereka memang tidak bisa
dibuat main-main.

Mereka lalu beranjak pergi meninggalkan Cio San. Salah satu dari mereka
kemudian menoleh dan bertanya,

Tuan tidak ingin tahu siapa pangcu kami?

Cio San tersenyum,

Aku sudah tidak sabar ingin bertemu dengan wanita paling cantik di
dunia

Ke empat nona itu mengangguk-angguk. Mereka lalu keluar dari air dan
memakai baju yang tadi mereka tanggalkan di pinggir danau. Baju itu
langsung dipakai tanpa menunggu tubuh mereka kering lebih dulu. Sehingga

baju itu ikutan basah dan lengket ke tubuh mereka. Menunjukkan lekuklekuk yang sangat indah.

Cio San hanya geleng-geleng kepala, batinnya Kadang-kadang wanita


dengan baju yang lengkap, jauh lebih menarik ketimbang wanita tanpa baju

Itulah sebabnya wanita menghabiskan banyak waktu dan uang untuk membeli
pakaian yang mempercantik dirinya.

Cio San pun tidak lama kemudian keluar dari air. Ia mengeringkan tubuhnya
dengan cara berjemur saja. Cukat Tong yang sejak tadi tidur saja kemudian
bangun dan bertanya,

kenapa kau tidak mengeringkan tubuhmu dengan tenaga dalam saja? Hanya
perlu waktu beberapa detik tubuhmu kan kering sepenuhnya

Tenaga dalamku hanya untuk bertarung. Bukan untuk mengeringkan badan


ujar Cio San santai. Ia melanjutkan, Kau sudah tahu ada 4 siluman rubah
mengeroyokku, kenapa tidak datang membantu?

Justru karena aku tahu kau sedang dikeroyok siluman rubah, maka aku tak
mau bangun tukasnya

Memangnya kenapa?

Aku takut jika mereka melihat pria setampan, sepintar, dan sesakti aku,
mereka akan beramai-ramai menerkamku

Bab 44 Dua Orang Pendekar

Ketika seluruh rombongan sudah kembali, Cio San tidak menceritakan apaapa. Mereka melanjutkan perjalanan setelah sebelumnya makan pagi dahulu.
Di tengah jalan Cukat Tong bertanya kepada Cio San,

Kau sungguh-sungguh akan pergi menemuinya?

Iya. Kau tidak ikut, bukan? kata Cio San

Baiklah

Jika sahabatmu mengatakan tidak ingin melakukan sesuatu, maka sebaiknya


kau memang tidak bertanya kenapa. Ia pasti mempunyai alasan tersendiri
yang tidak ingin diceritakannya kepadamu.

Bolehkah aku meminta sesuatu kepadamu? tanya Cio San

Apa?

Bisa tolong kau kawal anak buahku sampai nanti kita bertemu kembali?

Tentu saja

Kota apa yang terdekat dari sini?

Kita bisa kembali ke kota yang tadi, atau aku bisa menunggumu di kota
depan, kota Bu Tiau jawab Cukat Tong.

Baik, Kalian tunggu aku di Bu Tiau. Cari penginapan terbaik. Aku akan
menemui kalian di sana dalam beberapa hari ini kata Cio San

Kaucu hendak pergi kemana? tanya Ang Lin Hua

Mengunjungi wanita tercantik nomor dua di dunia kata Cio San sambil
tersenyum

Siapa itu? tanya Ang Lin Hua

Aku belum tahu namanya, dan belum pernah bertemu

Ohh

Cukat Tong menimpali,

Lalu maksudmu, siapa yang nomer satu tercantik di dunia?

Tentu saja ibunya Cio-kaucu jawab Ang Lin Hua Benar bukan, tuan?
tanyanya kepada Cio San.

Cio San hanya senyum-senyum saja.


Ah, tentu saja yang nomer satu adalah kekasihnya di Liu Ya tukas Cukat
Tong.

Ohh tiada kata yang keluar dari bibir Ang Lin Hua.

Perjalanan memakan waktu beberapa lama sampai mereka tiba di kaki bukit.
Cio San kemudian turun dari kereta, dan bergegas pergi. Tiada salam
perpisahan karena mereka yakin akan bertemu kembali.

Cio San menyusuri sebuah jalan mendaki yang indah sekali. Di sisi jalanan
setapak ini, pohon Bwee berjejer-jejer dengan rapih. Guguran bunganya

memenuhi jalanan bagaikan permadani yang menyambut tamu-tamu yang datang


kemari.

Pemandangan di bukit ini sungguh indah. Tapi tak ada seorang pun yang
datang ke bukit ini. Keindahan yang sepi. Cio San jadi teringat Ang Lin
Hua. Nona itu begitu cantik, namun terlihat begitu sedih. Seolah-olah
yang ada di hatinya cuma air mata belaka. Entah apa yang ada di hatinya.
Perasaan perempuan, hanyalah mereka sendiri yang tahu. Laki-laki hanya
sanggup membaca mata mereka saja. Membaca gerak geriknya saja. Tapi
sesungguhnya laki-laki tak akan pernah tahu isi hati perempuan.

Bukit yang indah nan sepi ini benar-benar terasa bagai Ang Lin Hua.
Tatapan matanya, sinar wajahnya, gerak gerik tubuhnya yang gemulai.
Menyimpahan kesedihan dan kesunyian. Tapi juga menyimpan bahaya.

Cio San sangat paham, bukit ini menyimpan ribuan rahasia yang sungguh tak
dapat diduga manusia manapun. Itulah sebabnya tak ada seorang pun yang
datang ke sini. Bukit ini mungkin telah menelan dan menghilangkan entah
berapa banyak nyawa manusia.

Wanita cantik, dan bahaya. Bagi Cio San, kadang-kadang kedua kata ini
sukar dipisahkan. Dia sendiri tidak paham mengapa ia berpikiran seperti
ini. Mungkin karena dulu terlalu sering mendengarkan ujar-ujaran ayahnya.
Entahlah. Ayahnya begitu memuja-muja kecantikan, tapi di saat yang sama,
amat takut terhadap kecantikan pula.

Di dunia ini yang bisa menimbulkan perasaan kagum dan takut secara
bersamaan, tentulah kecantikan wanita.

Ia menyusuri jalanan yang indah ini. Kicau burung dan desah pepohonan
mengiringi langkahnya. Harum bunga Bwee seperti memandikannya dengan
wewangian. Ia melangkah tanpa ragu. Ia yakin betul dengan dirinya
sendiri.

Jika kau tidak yakin dengan dirimu, sebaiknya kau jangan melakukan
apapun. Karena kau akan kecewa.

Tak berapa lama berjalan, Cio San sudah melihat bayangan orang duduk tak
jauh dari sana. Orang itu duduk bersila di atas sebuah batu besar. Saking
tegap dan kokohnya ia duduk, sampai-sampai Cio San sukar membedakan yang
mana batu, yang mana orang.

Begitu sampai di depan orang itu, Cio San berhenti. Ia tidak berkata apaapa, dan menunggu orang yang duduk itu yang berbicara.

Kau hendak menemuinya? tanya orang yang duduk itu. Wajahnya tampan,
namun penuh bekas luka. Herannya bekas luka itu malah membuat wajahnya
semakin tampan. Di pundaknya tersanding sebuah pedang bergagang hitam.

Benar jawab Cio San.

Kau yakin kau punya kemampuan untuk menemuinya? tanya si orang yang
duduk itu.

Kalau tidak yakin, tentu tidak datang jawab Cio San enteng.

Bagus

Entah kapan ia berdiri dan melolos pedang. Tahu-tahu ujung pedangnya


telah menyabet leher Cio San. Jika orang lain, tentu kepalanya sudah
terpisah dari tubuhnya. Tapi Cio San bukan orang lain. Cio San adalah Cio
San.

Ia hanya mundur sedikit saja, tebasan pedang itu lewat di depan lehernya.
Jarak leher dan pedang mungkin hanya sehelai rambut, sehingga jika ada
yang melihat tentu menyangka leher Cio San sudah terbabat.

Tapi kepalanya masih di tempat yang seharusnya.

Si empunya pedang tentu saja terheran-heran melihat ada orang yang bisa
menghindari serangan pedangnya. Di saat-saat terakhir pula. Memang selama

ini si empunya pedang tidak pernah gagal menebas leher orang. Sayangnya
hari ini ia bertemu Cio San.

Siapa kau? tanyanya

Nama cayhe Cio San

Aku belum pernah mendengar namamu

Memang nama cayhe bukan nama pesohor katanya tersenyum.

Di dunia ini, orang yang bisa menghindari pedangku tidak sampai 5 orang
kata si pedang hitam itu.

Sudah berapa lama ciokhee (tuan) berada di sini?

Sudah 3 tahun

Nampaknya tuan harus sering sering keluar. Serangan tuan memang sungguh
hebat, tapi ku jamin ada orang yang jurus pedangnya bisa menandingi jurus
tuan kata Cio San

Mata orang itu terbelalak. Ada sinar bahagia dan senang di wajahnya.

Siapa dia?

Namanya Suma Sun

Aku belum pernah dengar nama itu juga

Itulah sebabnya cayhe bilang, tuan harus sering keluar kata Cio San

Jika aku keluar dari sini, tentulah aku akan langsung mati jawab orang
itu.

Sehebat itu kah dia? tanya Cio San.

Jauh lebih hebat dari yang bisa kau bayangkan jawab orang itu. Ia
melanjutkan,

Kau silahkan lewat. Aku mengaku kalah

Di dunia ini yang mampu menghindari sabetan pedangnya dengan cara


demikian, mungkin hanya orang di depannya ini saja. Pesilat yang sangat
ahli, dan rendah hati, tentu akan mampu menilai kemampuan dirinya dan
kemampuan orang lain.

Cio San menjura dan mengangkat tangan tanda menghormat. Tidak mudah bagi
orang Kang Ouw mengaku kalah dengan lega hati. Biasanya mereka memilih
mati daripada mengaku kalah. Karena itulah, mengaku kalah justru jauh
lebih berat daripada kematian.

Oleh karena itu Cio San mau tidak mau harus kagum dan merasa hormat
sekali pada orang di depannya ini.

Bolehkah cayhe yang hina mengetahui nama ciokhee yang terhormat? tanya
Cio San sopan.

Namaku Gan Tiat Hu

Ahhh hanya itu yang keluar dari mulut Cio San. Ia pernah mendengar
nama ini. Seorang pendekar muda yang jurus-jurus pedangnya begitu memukai

sampai-sampai dijuluki Si Pedang Bayangan. Orang ini menghilan 3-4 tahun


yang lalu. Ternyata berdiam diri di sini.

Entah apa yang membuatnya menghamba di sini selama 3 tahun.

Entah SIAPA yang bisa membuatnya menjadi seperti itu.

Membayangkan saja Cio San sudah bergidik.

Terima kasih atas kemurahan hati tayhiap. Boanpwe (saya yang lebih muda)
tak akan melupakan

Ia memandang Cio San lama, dan berkata,

Kau berhati-hatilah. Atau kau akan berakhir seperti aku pula

Terima kasih atas petunjuk tayhiap ia menghormat dengan tulus.

Orang yang tulus, ketulusannya pasti akan terasa sampai ke jiwa.


Menggetarkan bagian terdalam sanubari. Sebaliknya, orang yang tidak
tulus, kebusukannya akan membuat kulit merinding dan nafas menjadi sesak.
Amat sangat mudah membedakannya.

Saat melihat ketulusan dalam penghormatan Cio San, mau tidak mau orang
itu tersentuh juga hatinya.

Jika kau kalah, bunuhlah dirimu. Itu jauh lebih baik katanya sungguhsungguh.

Terima kasih tayhiap. Cio San menjura lagi. Lalu berkata, Boanpwe
minta diri

Silahkan

Cio San lalu melanjutkan perjalanan. Jalanan setapak yang mendaki itu
kini semakin menyempit namun tampak lebih indah. Ia berjalan beberapa Li,
menikmati keindahan alam bukit itu. Menikmati kesegaran udaranya. Cio San
merasa ia seperti melayang-layang oleh udaranya.

Keadaan di sini, bahkan udara pun memabukkan!

Beberapa lama ia berjalan, ia sudah melihat bayangan orang lagi di


depannya. Ia duduk di bawah rimbunan bambu. Tangannya memegang sebuah
tongkat dari bambu pula.

Kau lebih baik kembali kata orang itu begitu melihat Cio San mendekat.

Orang ini pun tampan sekali. Pakaiannya sederhana dan ringkas. Walaupun
agak kotor, malah membuat ia terlihat gagah dan jantan. Kumis dan jambang
tipis di wajahnya membuatnya terlihat garang.

Satu langkah lagi, aku akan menyerangmu orang itu memperingatkan.

Cio San tetap melangkah.

Tongkat bambu itu kemudian mengincar ulu hatinya. Padahal jarak mereka
terpisah cukup jauh. Tapi tiba-tiba bambu itu sudah mengincar ulu
hatinya. Serangan ganas ini tidak hanya cepat, melainkan membingungkan
karena bayangan tongkat seperti ada ribuan.

Jurus pertama di hindari Cio San dengan bergeser ke samping. Jurus kedua,
tongkat bambu tahu-tahu mengincar kepalanya. Cio San mundur tetapi
tongkat itu tetap mengincar kepalanya. Ia mengangkat tangan kirinya.
Bunyi suara ular derik mulai terdengar dari telapak tangannya. Ia
menangkis tongkat itu dengan tangan kirinya itu.

Tak disangka-sangka tongkat itu pecah berkeping-keping seolah-olah


menjadi ribuan jarum yang seluruhnya mengarah kepadanya. Cio San sungguh
kaget karena pecahan-pecahan bambu yang tak terhitung jumlahnya itu sudah
menghujam seluruh tubuhnya. Jika pecahan-pecahan itu sampai menembus
tubuhnya, tentunya akan sangat berbahaya jika sampai masuk ke aliran
darah.

Kejadian ini berlangsung sepersekian detik.

Cio San memutar tubuhnya bagai gasing. Putaran itu demikian cepat dan
dahsyat bagai angin putting beliung yang menghisap jutaan pecahan bambu
yang kecil-kecil itu. Begitu pecahan bambu terhisap oleh gerakan tubuh
Cio San, dengan amat cepat dan tak diduga-dugam jarum-jarum itu sudah
berbalik kembali menyerang si empunya tongkat bambu.

Kembalinya bahkan lebih dahsyat dari datangnya.

Tapi si
tongkat
tongkat
pecahan

empunya tongkat bambu juga sudah siap, di tangannya kini terdapat


besi. Rupa-rupanya di dalam tongkat bambu tadi, tersimpan sebuah
besi. Ia memutar mutar tongkat besi itu sehingga serangan balik
bambu itu punah seketika.

Putaran tongkat besi ini terasa jauh lebih berat dan berbahaya daripada
tongkat bambu tadi. Pusaran tongkat ini sudah mengincar dagunya,
selangkangannya, dan perutnya dalam saat yang hempir bersamaan. Dengan
menggunakan tangan kirinya yang berbunyi derik, ia menangkis seranganserangan itu.

Trang! Trang! Trang!

Terdengar suara nyaring bagaikan suara besi bertemu besi. Menimbulkan


suara yang memekakkan telinga. Gerakan kedua orang ini sama-sama cepat.
Tongkat ini sudah seperti menggulung Cio San dari segala arah. Tapi
dimana tongkat itu menyerang, selalu terdengar suara ular derik yang
menghalaunya. Suaranya sangat-sangat bising dan memekakkan.

Gulungan tongkat itu, entah bagaimana, kemudian berubah menjadi gulungan


rantai yang kini telah mengikat seluruh tubuh Cio San. Rantai-rantai besi
ini mengikatnya sungguh kuat, sampai-sampai bernafas ia tak dapat
bergerak. Ujung rantai yang berada di tangan si penyerang itu kemudian ia
hentakkan sehingga membuat Cio San sukar bernafas.

Keadaan sangat genting!

Cio San terperangkap rantai-rantai besi yang mengikatnya sangat kuat.

Ia hanya bisa menutup mata. Merasakan tulang-tulangnya remuk oleh


cengkeraman rantai besi yang amat kuat itu. Siapapun tak akan mungkin
lolos dari cengkeraman rantai besi itu. Rantai itu memang dibuat dari
bahan khusus yang tidak dapat dihancurkan.

Detik-detik kematian telah membayanginya. Serangan ini begitu dahsyat.


Begitu tiba-tiba. Begitu kuat. Begitu sukar dihindari. Tak berapa lama
lagi, tulang-tulang Cio San akan remuk seluruhnya.

Tapi kemudian sesuatu terjadi.

Entah bagaimana tubuh Cio San sudah melolos melayang ke atas dan lepas
dari cengkeraman besi itu. Seperti jika sebuah benda licin yang berada di
telapak tanganmu. Saat kau mencoba menggengam erat, benda licin itu pasti
meluncur keluar lepas dari genggaman tanganmu. Seperti itulah kejadian
Cio San melepaskan diri dari rantai-rantai itu.

Si penyerang terbelalak melihat kenyataan ini. Seumur hidupnya ia baru


melihat gerakan demikian.

Kau..kau bisa ilmu melemaskan tulang? tanyanya

Cayhe baru saja tahu. Apakah ilmu itu namanya Melemaskan Tulang? Lucu
sekali katanya sambil tersenyum-senyum.

Ia baru saja lolos dari kematian. Tapi wajah dan senyumnya seperti
menunjukkan jika dia baru saja bersenang-senang.

Ilmu Melemaskan Tulang adalah ilmu kuno yang dianggap sudah punah. Orang
yang menguasai ilmu ini mampu membuat tulang-tulangnya lemas seperti
kapas. Jika menggunakan ilmu ini, orang bisa lolos dari lubang yang amat
sempit, karena tulang-tulangnya dapat ia atur sedemikian rupa. Cio San
tidak tahu sejak kapan dia memiliki ilmu ini. Pada hakekatnya, ia baru
saja menguasainya.

Saat dicengkeram oleh rantai besi itu. Cio San lalu mengosongkan segala
pikirannya. Ia malah mengosongkan tubuhnya dari segala energi yang selama
ini dimilikinya. Kini tubuhnya seperti kehilangan daya, namun pemusatan
pikirannya yang sangat kuat membantunya untuk terus bisa berdiri. Ia
bahkan sudah bisa bergerak-gerak, tanpa menggunakan tenaga sama sekali.

Keadaan seperti ini amatlah sangat sulit. Bagaimana mungkin orang bisa
bergerak tanpa menggunakan tenaga?. Ketahuilah bahwa selalu ada dua macam
tenaga yang ada di dalam dunia ini. Yaitu Im dan Yang. Kedua tenaga
ini berbeda namun saling bertautan dan saling membutuhkan. Seperti
gelap dan terang. Api dan Air, Panas dan Dingin.

Keadaan Cio San ini terjadi karena ia menggunakan pemahaman Tenaga dan
Tanpa Tenaga. Karena setiap ada tenaga , pasti juga akan memunculkan
tiada tenaga sebagai lawan dan juga pasangan dari tenaga.

Sebagaimana jika kau bernafas. Saat kau menghela nafas, maka paru-parumu
akan sesak oleh udara. Namun saat kau membuang nafas, dan paru-parumu
kosong, kau seperti merasa dadamu itu sesak juga. Karena dorongan
ketiadaan udara itulah yang membuat dadamu terasa sesak. Bahkan
sesaknya jauh lebih menyesakkan daripada saat paru-parumu terisi udara.

Cio San membirakan pikirannya bebas oleh teori-teori ilmu silat. Oleh
jurus-jurus. Oleh hafalan-hafalan. Sehingga ia dengan mudah menangkap
saripati alam. Apapun yang ada di alam bisa menjadi ilmu silat.

Tenaga yang menghilang dari tubuhnya itu, malah menghisap organ-organ


tubuhnya. Cio San merasa sesak sekali. Namun ia mencoba bertahan dalam
konsentrasinya. Akhirnya ia merasa tubuhnya seperti menciut. Dan memang

tubuhnya menciut. Tulang-tulangnya menjadi lentur, organ-organ tubuhnya


walaupun tetap berfungsi dengan baik, juga menjadi sangat lentur.

Hal ini mampu ia lakukan karena ia telah memahami Thay Kek Kun, dan seluk
beluk tubuh ular. Dengan memadukannya Cio San berhasil menguasai ilmu
Melemaskan Tulang hanya dalam beberapa detik saja.

Kebanyakan hal-hal yang dianggap orang lain sulit, adalah hal-hal yang
bagi sebagian orang sangat gampang. Begitu pula sebaliknya. Kekuasaan
Tuhan begitu dahsyat sampai-sampai kita selalu terheran, dan tertunduk
kagum.

Jika ada orang yang melihat kejadian ini, tentulah akan terkagum-kagum.
Karena Cio San berhasil memunculkan sebuah ilmu yang telah hilang di
dunia persilatan, yaitu ilmu melemaskan tulang. Ini sebenarnya bukan ilmu
silat. Tetapi ilmu ini diciptakan oleh seorang ksatria dari Persia
bernama Hasan Bin Shabah.

Hasan Bin Shabah ini adalah pemimpin dan pencipta pasukan bernama
Hashashin yang terkenal dengan ilmu-ilmu sakti mereka. Pasukan ini
sangat sakti sehingga menyebut nama mereka saja tidak ada seorangpun yang
berani.

Ilmu ini lalu berkembang ke negeri Tionggoan, dibawa oleh para penyebar
agama Manicheisme atau agama penyembah api. Di Tionggoan pemeluk agama
ini mendirikan partai persilatan bernama Beng Kauw. Yang kemudian berubah
menjadi Mo Kauw. Yaitu pertain yang diketuai oleh Cio San sekarang. Ilmu
Melemaskan Tulang ini kemudian punah, karena tidak ada seorang pun yang
berniat mempelajarinya, karena dianggap bukan ilmu silat.

Si..siapa nama mu..? tanyanya terbata-bata

Nama boanpwe (saya yang muda) adalah Cio San. Cianpwe (anda yang lebih
tua) bukankah adalah Souw Hat Ta, si Raja Ribuan Senjata?

Tentu saja orang-orang pernah mendengar nama Souw Hat Ta, si Raja Ribuan
Senjata. Ia sangat terkenal dengan silatnya yang sakti, serta senjatanya

yang bisa berubah-ubah menjadi bermacam-macam. Dalam seratus jurus,


senjatanya bisa berubah menjadi seratus macam juga.

Orang ini namanya sudah sejak 10 tahun lalu menggetarkan dunia. Namanya
sudah sejajar dengan pendekar-pendekar utama. Hari ini bertemu di sini
sebagai penjaga jalan, siapapun yang mendengarnya pasti tak akan percaya.

Cayhe (saya) belum pernah mendengar nama Tayhiap (pendekar besar).


Maafkan sempitnya pengetahuan cayhe kata Souw Hat Ta menjura.

Lanjutnya, Kalau boleh tau, tayhiap orang partai mana? Ataukah hanya
pendekar kelana biasa?

Harap cianpwe (anda yang lebih tua) tidak memanggil boanpwe (saya yang
lebih muda) dengan sebutan tayhiap. Jika dibandingkan dengan cianpwe,
boanpwe hanya anak kemarin sore. Kata Cio San sambil menjura pula.

Tidak berani..tidak berani kata Souw Hat Ta. Tidak ada anak kemarin
sore yang bisa menghindar dari rantai-rantaiku. Maaf, tayhiap belum
menjawab pertanyaan cayhe.

Oh maaf. Boanpwe adalah Mo Kauw Kaucu yang baru jawab Cio San smabil
menjura dan tersenyum.

Kau? Mo Kauw Kaucu?

Benar cianpwe. Boanpwe tahu-tahu saja diangkat sebagai Mo Kauw kaucu.


Tanpa sempat menolak dan melarikan diri tawa Cio San

Berarti kau sudah menguasai Ilmu Menghisap Matahari?

Boanpwe pernah sekilas melihatnya dua kali jawab Cio San

Dan kau sudah menguasainya bukan? tanya Souw Hat Ta

Boanpwe sudah paham intinya. Tapi jika dibilang menguasai, tentu masih
jauh sekali

Souw Hat Ta mengangguk-angguk, ia menjatuhkan diri lalu berkata,

Terima kasih telah memberi ampunan kepadaku


Ampunan apa? Cianpwe harap berdiri, Boanpwe tidak pantas menerimanya
kata Cio San. Ia merasa sungkan pendekar besar ini berlutut di
hadapannya.

Sesungguhnya tayhiap dapat mengalahkanku dengan mudah dengan menggunakan


ilmu Menghisap Matahari. Tapi tayhiap malah mengunakan ilmu yang lain
kata Souw Hat Ta.

Ahilmu itu terlalu ganas. Bonapwe sendiri memang belum menguasainya.


Apalagi boanpwe telah berjanji kepada diri sendiri untuk tidak membunuh
orang lagi Ia berkata begitu sambil matanya berkaca-kaca. Terbayang
kejadian menyeramkan saat ia menghancurkan tubuh puluhan penyerangnya
menjadi tulang belulang dan potongan daging.

Souw Hat Ta berdiri dan berkata,

Tayhiap sungguh berbakat dan cerdas, mengapa mau datang kesini?

Hanya karena ingin kata Cio San enteng.

ia melakukan apa-apa tanpa pernah merasa terpaksa. Tapi jika ia sudah


tidak mau, ia tak akan melakukannya walaupun kau taruh pedang di
tenggorokannya.

Orang seperti ini walaupun jarang, tetap saja ada menghiasi bumi. Orangorang seperti ini membuat hidup terasa jauh lebih menarik.

Baiklah. Cayhe hanya bisa mengucapakan selamat jalan. Apapun yang ingin
tayhiap lakukan bersama dia, adalah bukan urusan cayhe

Terima kasih Souw-tayhiap. Boanpwe mohon diri Cio San menjura dan
melanjutkan perjalanan. Di depan bukit masih terlihat jauh sekali. Jalan
menanjak yang curam seperti ini tentulah sukar dilalui jika kau tak
mempunyai keinginan.

Keinginan adalah sumber kekuatan, tapi juga bisa menjadi sumber


malapetaka.

Yang manakah yang akan ia temui nanti di ujung perjalanannya?

Bab 45 Surga atau Neraka?

Jalan setapak ini berakhir pada sebuah gerbang. Gerbang yang tidak
terlalu besar. Tidak ada tulisan apa-apa pada gerbangnya. Warna kuning
cerah di gerbang itu seperti membuatnya menyatu dengan kecantikan alamnya
yang mempesona.

Cio San terkesima. Tempat ini begitu indah namun begitu sunyi. Tiada
suara seorang pun. Ia memasuki gerbang dengan enteng, walaupun dalam
hatinya ia tahu akan ada ribuan bahaya yang harus diterjangnya.

Tak jauh dari gerbang, tepat di tengah-tengah jalan, terdapat seseorang


duduk bersila. Kepalanya gundul. Bajunya berkain kasar dan berwarna
kucing cerah. Sekali lihat siapapun tahu orang yang duduk itu adalah
seorang hwesio (bhiksu).

Matanya terpejam. Tubuhnya penuh peluh keringat. Kelihatannya sudah sejak


tadi ia duduk di tengah jalan. Cio San berjalan mendekatinya dan
menyapanya,

Salam hormat ia menjura.

Sang hwesio membuka mata. Tatapannya teduh. Tapi sinar matanya mencorong.
Di dunia ini mungkin hanya dia seorang yang matanya teduh namun sekaligus
mencorong. Ia hanya memandang Cio San dan berkata,

Siapa yang sudah sampai di tempat ini, tentulah bukan orang sembarangan

Ia bangkit berdiri. Herannya gaya berdirinya sangat aneh. Seperti


melayang saja. Tahu-tahu ia sudah berdiri tegak. Hal ini menunjukkan
Ginkang (ilmu meringankan tubuh) nya yang sangat tinggi.

Umurnya kira-kira 40 tahunan. Tapi entah kenapa terlihat begitu tua.


Semua orang yang Cio San temui di sini sepertinya memang seperti ini
semua. Berusia masih muda, tapi terlihat begitu tua. Pendekar-pendekar
gagah tapi seperti kehilangan semangat hidup.

Si dia memang sangat menakutkan. Di kolong langit ini, yang bisa


menghilangkan semangat hidup lelaki yang gagah, tiada lain tiada bukan
memang hanya wanita. Hanya wanita.

Jika empat pesuruh wanitanya saja sudah secantik itu, apakah kau bisa
membayangkan bagaimana cantiknya si wanita tercantik di dunia itu?

Jika tiga penjaga jalannya saja sudah segagah dan sesakti ini, apakah kau
bisa membayangkan betapa sakti ilmu silatnya?

Kusarankan ciokhee untuk pulang sang hwesio berkata dengan sopan.

Cayhe datang kesini karena diundang, mengapa harus diusir pulang? tukas
Cio San

Ia mengundangmu?

Cayhe tidak berani berbohong jawab Cio San

Hmmm.walaupun ia mengundangmu, perintah yang kuterima darinya adalah


siapa saja yang lewat kesini, harus melawanku dulu

Apa boleh buat. Bertemu dengan dia memang harganya harus mahal.

Awas serangan! teriak sang hwesio.

Pukulannya berat. Gerakannya sederhana. Jurusnya pun jurus biasa. Tapi


serangan itu bagi Cio San adalah serangan pertama seumur hidupnya yang
sangat susah dihindari. Ia bergerak mundur, tapi tangan sang hwesio sudah
mencengkeram tangannya. Ia menarik tangannya tapi tangannya sudah
terpegang. Kaki si hwesio melakukan gerakan sapuan, dan Cio San tersapu
kakinya. Kecepatan gerakannya sungguh tak terbayangkan. Bahkan Cio San
pun tak sanggup menghindarinya.

Begitu Cio San terjengkang, si hwesio mengangkat kakinya untuk menginjak


hancur dada Cio San. Begitu kaki itu menghujam dadanya, tenaga dahsyat
dari kaki itu seperti terserap dan terperosok ke dalam pusaran tenaga
yang jauh lebih dahsyat.

Thay Kek kun?! sang hwesio terkejut

Kedahsyatan tenaga injakannya tadi sudah hilang entah kemana. Tubuhnya


pun malah seperti terhisap oleh Cio San. Mau tidak mau ia terpaksa jatuh
berlutut. Dengan segenap tenaganya ia menyerang dengan menggunakan jurus
Cakar Harimau.

Cio San dengan melakukan gerakan berputar, lolos dari serangan cakar itu.
Gerakan tubuhnya yang memutar itu malah melempar sang hwesio beberapa
tombak. Untunglah dengan bersalto ia berhasil menyelamatkan kepalanya
yang hampir membentur bebatuan.

Kau murid Butongpay? tanya sang hwesio

Bekas murid kata Cio San sambil tersenyum.

Apa yang kau lakukan sampai Butongpay mengeluarkanmu?

Tidak ada

Si hwesio hanya mengangguk-angguk. Awas serangan!

Gerakannya sungguh sangat cepat. Cakar Harimau yang datang bertubi tubi
seperti hendak mencabik-cabik tubuh Cio San. Tapi Cio San lebih cepat.
Gerakan tangannya yang seperti ular malah membelit lengan sang hwesio dan
mengunci seluruh gerakannya.

Si hwesio tak percaya. Bukankah tadi Cio San kalah cepat darinya? Kenapa
sekarang jauh lebih cepat? Tapi ia tak ada waktu lagi untuk berpikir.
Kakinya sudah naik mengincar dagu Cio San. Tapi kaki Cio San lebih cepat.
Dengan gerakan sapuan yang sama dengan yang tadi dilakukan si hwesio, ia
sudah menyapu kaki hwesio itu.

Sang Hwesio pun jatuh terpelanting. Ia tak pernah menyangka akan jatuh.
Ia lebih tak menyangka lagi akan jatuh oleh jurusnya sendiri.

Tapi Cio San berhenti. Ia tidak menginjak dada si hwesio seperti awal
pertama hwesio itu menginjak dadanya. Ia malah mundur dan tersenyum, lalu
berkata,

Hari ini mata cayhe terbuka. Ilmu silat siau lim pay memang tiada
bandingannya

Ia berkata dengan tulus, tapi si hwesio malah marah,

Apa maksudmu menghina ilmu kami? Aku sudah kalah, tak perlu lagi kau
tambah dengan hinaan teriaknya sambil bangkit berdiri.

Harap cianpwe jangan salah paham. Cayhe sungguh benar-benar memuji. Ilmu
Siau Lim Pay sangat sederhana, namun inti sari silat sudah terangkum dan
tercakup dengan lengkap.

Melihat ketulusan di mata Cio San, mau tidak mau kemarahannya surut juga.
Apalagi Cio San kemudian menambahkan,

Cianpwe jatuh oleh jurus sendiri, itu jelas bukan hal memalukan

Mendengar ini si hwesio malah bersemangat lagi,

Jika kau mengalahkanku dengan menggunakan jurusmu sendiri, aku baru


mengaku kalah

Baiklah. Awas serangan! kali ini Cio San yang bergerak duluan. Tangan
kirinya sudah mengeluarkan suara derik. Tangan kanannya sudah menyerang
ke depan dengan membentuk moncong ular.

Melihat serangan ini, si hwesio kaget namun ia tidak menjadi panik. Ia


menghindar dengan bergerak ke samping. Tapi entah bagaimana tangan kanan
Cio San juga sudah ada di sana. Ia mencoba menangkis tangan Cio San, tapi
tangan Cio San malah membelit lengannya seperti ular. Tangan Cio San
sangat lemas bagai tak bertulang, membelit lengan kanan hwesio.

Karena merasa tangan kanannya sudah terkunci, ia menyerang dengan tangan


kiri. Tangan yang berbentuk cakar itu sudah mengincar kerongkongan Cio

San. Tapi suara ular derik ternyata sudah ada di sana, jauh sebelum cakar
macan tiba. Tangan kiri Cio San sudah menangkap cakar itu meremukkannya.

Hwesio itu berteriak keras saat tangan kirinya remuk.

Cio San memang seperti tidak memberi ampun. Ia heran mengapa sejak tadi
serangan Hwesio ini sungguh ganas. Padahal seorang hwesio haruslah
berwelas asih dan mengutamakan pengampunan. Itulah sebabnya kali ini Cio
San pun tidak ragu-ragu untuk memberinya pelajaran.

Tangan kanan si hwesio sudah terkunci, tangan kirinya sudah remuk. Kini
ia hanya punya kepala. Kepalanya ia hantamkan ke wajah Cio San. Ia adalah
gerakan bunuh diri yang mengajak lawan mati bersama.

Dengan kekuatannya, Cio San menarik kedua lengan hwesio itu kebawah,
sehingga mau tidak mau hwesio itu tertarik ke bawah. Hal ini membuat
serangan kepalanya tidak mengenai kepala Cio San melainkan mengenai
dadanya.

Kepala yang keras itu seperti menghantam bantal yang lembut. Tapi bantal
lembut itu sekitika menjadi putaran angin topan dan pusaran air bah. Ia
merasa kepalanya terhisap ke dalam pusaran yang sangat kuat ini.

Kedua tangan Cio San yang sedang memegang tangan hwesio lalu membuat
gerakan memutar. Gerakan inilah yang menyelamatkan nyawa si hwesio.
Karena saat itu kepalanya sedang terserap pusaran tenaga dari dada Cio
San. Jika tidak tubuh hwesio tidak ikut terputar juga, maka bisa-bisa
kepala itu copot dari lehernya.

Begitu tubuhnya memutar, si hwesio sudah tidak bisa mengendalikan


tubuhnya sendiri. Pusaran tenaga ini terlalu kuat sehingga yang bisa ia
lakukan hanyalah mengikutinya saja. Bagitu badan hwesio itu terputar di
udara, dengan sedikit gerakan telapak tangan, Cio San menyentuh tubuh
hwesio itu dan langsung membuayarkan tenaga putaran yang dahsyat itu.

Thay Kek kun memang tak ada bandingannya di dunia ini!

Si hwesio jatuh terduduk. Tangannya remuk. Kepalanya terguncang. Ia


merasa bumi berputar di sekelilingnya. Ia muntah darah. Bercampur dengan
muntah makanan di dalam perutnya. Perlahan-lahan ia mengatur nafasanya
dan menemukan lagi kesadarannya kembali.

Iilmu apa..a itu tadi? tanyanya

Ilmu ciptaanku sendiri jawab Cio San. Ia melanjutkan, Kau sudah


mengaku kalah?

Aku mengaku jawabnya.

Cio San pergi meninggalkannya tanpa berkata-kata lagi. Entah kenapa


hatinya sebal melihat hwesio ini. Selain karena serangannya yang ganas,
mungkin karena Cio San merasa seorang Hwesio dari Siau Lim Pay tidak
pantas berada di tempat ini menjadi hamba si dia.

Cio San berjalan lambat sambil berpikir, Apa yang menyebabkan seorang
hwesio bisa menjadi seperti ini? Begitu cantikkah dia sampai seorang
hwesio pun bisa jatuh ke dalam genggamannya?

Lelaki yang jatuh karena cinta, adalah lelaki yang menyedihkan.

Tetapi jika ada yang menertawakannya, orang yang menertawakan itu sungguh
jauh lebih menyedihkan lagi.

Karena orang yang terjatuh itu masih memiliki perasaan.

Maka kini Cio San sudah tidak lagi marah kepadanya. Bagaimana mungkin kau
marah kepada pria yang hatinya terbelenggu cinta? Cio San pun hanya bisa
ikut sedih kepadanya. Dari belakang terdengar suara hwesio itu,

Jika kau bertemu dia, kau akan tahu mengapa aku seperti ini

Suaranya dalam dan bergetar. Entah getaran itu karena cintanya yang dalam
atau karena rasa takutnya. Tak pernah ada orang yang mengerti.

Dari gerbang itu, terlihat taman yang indah. Berbagai macam bunga
berbaris rapih dan wangi. Perempuan yang cantik memang kadang menularkan
kecantikan kepada benda benda yang dimilikinya. Begitulah kecantikan yang
sempurna. Jika ia memakai baju, baju itu akan kelihatan cantik. Jika ia
mengikat rambutnya, ikat rambut itu yang terlihat cantik. Bahkan jika ia
tidur di atas ranjang, entah bagaimana ranjangnya ikut cantik juga.

Begitulah juga rumah peristirahatan si dia ini. Tempat ini begitu indah
dan cantiknya, sehingga bahkan jika kau letakkan bangkai sapi di
halamannya, bangkai sapi itu akan terlihat indah juga.

Rumah yang akan ditujunya masih terlihat jauh. Taman bunga yang cantik
seperti menyembunyikan sesuatu. Taman ini saking luasnya sampai-sampai
Cio San merasa tersesat. Telinganya yang tajam sudah mendengarkan banyak
hal jauh sebelum ia sampai di taman ini. Hal yang sangat mengerikan bagi
telinganya.

Suara desahan dan erangan. Pria dan wanita mendesah dan mengerang. Yang
paling menakutkan adalah bahwa jumlah orang yang mendesah dan mengerang
itu bahkan tidak bisa dihitungnya. Begitu ia memasuki taman bunga itu,
terlihatlah pemandangan yang menusuk matanya.

Puluhan, bahkan ratusan pasangan lelaki dan wanita sedang bercinta dengan
santainya. Tubuh mereka tak berbalut sehelai benangpun. Masing-masing
melakukannya dengan tanpa malu-malu, bahkan dengan tanpa sadar. Orangorang ini kalau bukan karena mabuk, tentu karena gila.

Tuan, mari bergabunglah dengan kami. Selamat datang di surga! kata


seorang perempuan yang sangat cantik. Entah ia sedang berkata atau sedang
mendesah.

Ratusan orang bercinta di taman bunga dengan tanpa malu-malu!

Bahkan saking merangsangnya, sampai-sampai kau akan muak melihatnya.

Apa yang terjadi dengan orang-orang ini?

Manusia yang terlalu memuja kebebasannya, memang tak lama kemudian akan
menjadi hewan.

Ilmu silat sehebat apapun mungkin akan Cio San hadapi. Tetapi pemandangan
seperti ini cukuplah sekali seumur hidup saja baginya.

Taman itu sangat luas. Di sepanjang jalan, erangan dan desahan-desahan


itu bagai menusuk-nusuk jantungnya. Ia sebisa mungkin menahan diri.
Lelaki manapun yang melihat pemandangan seperti ini pasti akan ingin
bunuh diri. Bunuh diri karena tidak ingin terlibat, atau bunuh diri
karena menyesal tidak terlibat.

Ia memusatkan pikirannya kepada tujuannya. Rumah di depan sana. Masih


jauh. Masih sangat jauh. Apakah ia akan sampai? Ataukah ia akan berhenti
di tengah jalan? Terpikat bujuk rayu perempuan-perempuan cantik itu.

Tadi ada 4 wanita yang mengundangnya kesini. Keempat wanita itu bahkan
kecantikan mereka pun tidak ada penulis yang sanggup menuliskannya. Kini
kecantikan seperti itu berjumlah ratusan, bertebaran di taman bunga yang
indah, sedang bercinta pula!

Lelaki-lelaki yang di sana pun begitu tampannya, sampai-sampai bisa


membuat lelaki yang lain pun jatuh cinta kepada mereka!.

Orang-orang yang sedang bercinta di taman ini, ada yang berpasangan


bahkan ada yang sendirian pula. Perempuan-perempuan yang sedang sendirian
inilah yang sedari tadi menggoda dan mengajak Cio San untuk bergabung.

JIka kau punya hati yang terbuat dari batu sekalipun, hatimu akan luluh
menjadi debu jika kau mendengar suara mereka, melihat wajah mereka, dan
merasakan kehangatan mereka.

Bagaimana Cio San tidak?

Satu-satunya yang menguatkan hatinya adalah cintanya kepada Mey Lan.


Terbayang Mey Lan yang tertawa saat Cio San bercanda, yang menangis saat
melepas kepergiannya, dan yang mungkin kini sedang menanti kedatangannya.

Hanya kesetiaan dan kekuatan cinta yang membuat lelaki bertahan terhadap
apapun.

Rumah itu terlihat dekat, tapi perjalanan terasa sangat panjang dan jauh
sekali. Ia kini bertanya-tanya, mengapa tempat seindah ini menyimpan
begitu banyak kejutan yang mengerikan.

Inikah surga?

Ataukah neraka?

Dan penguasanya sedang menunggunya di istana indahnya.

Bab 46 Dewi atau Manusia?

Ia terus berjalan. Di ujung taman yang luas dan indah ini, Cio San dapat
mendengar bunyi sungai di depan sana. Suara desahan dan erangan yang tadi
menusuk-nusuk telinganya, kini perlahan hilang berganti suara gemericik
air sungai.

Ada suara langkah dari arah sungai. Entah siapa lagi yang akan ia temui.

Perlahan lahan ia melangkah, terlihat sebuah bayangan di depannya.

Seorang wanita sedang mencuci pakaian di sungai. Wanita itu menoleh dan
terkejut melihat kedatangan Cio San.

Ahtuan pasti hendak menemui pangcu, bukan? katanya.

Cio San hanya mengangguk. Kenapa tempat ini tidak pernah kehabisan wanita
cantik?

Wanita di depannya ini bajunya sederhana, hanya kain kasar yang modelnya
ketinggalan jaman pula. Rambutnya digelung biasa. Tiada satu pun
perhiasan yang melekat di tubuhnya. Tapi jika dibandingkan dengan ratusan
perempuan maha cantik yang tadi ia temui, seperti membandingkan matahari
dengan kunang-kunang.

Jika tuan ingin menemui beliau, biar saya antarkan katanya lagi.

Baiklah. Terima kasih, siocia (nona) kata Cio San.

Mereka lalu berjalan beriringan. Harum tubuh nona ini adalah harum tubuh
bunga Bwee. Bunga yang memenuhi tempat ini. Seolah-olah kecantikan
seluruh bunga Bwee itu bersatu dan mewujud menjadi nona ini.

Nama cayhe Cio San, bolehkah tahu siapa nama nona? tanya Cio San sopan

Nama hamba Bwee Hua

Ahhh hanya itu yang keluar dari mulut Cio San. Bwee Hua artinya bunga
Bwee. Jika tidak takut dituduh berlebihan, hampir-hampir Cio San berfikir
bahwa mungkin saja bunga-bunga Bwee yang indah ini tumbuh dari rambut
nona ini.

Kecantikan yang sederhana. Tapi jika kau melihatnya, maka kau akan
mengenal kecantikan yang sebenar-benarnya. Kecantikan seperti ini tidak
membutuhkan baju yang indah, perhiasan yang mewah, pupur tebal, dan gincu
merona.

Kecantikan seperti ini hanya perlu mata yang memandangnya. Seandainya


surga diciptakan di bumi, tentulah bentuknya akan seperti nona ini.

Sehingga kau seolah-olah sedang melakukan dosa besar saat memandangnya.

Oleh karena itu Cio San tidak berani memandangnya. Ia hanya menunduk
sambil berjalan. Memandangi helai-helai bunga yang menutupi jalanan.

Mereka kemudian melewati jembatan kecil dan sampai ke seberang.

Tidak ada kata-kata yang terucap. Bersama perempuan cantik, kau sebaiknya
jangan berkata-kata. Kau cukup mengaguminya saja. Karena kadang berkatakata itu bisa salah. Tapi mengagumi tak akan pernah salah.

Kau tak pernah salah karena mengagumi seseorang. Kau hanya salah karena
membiarkan dirimu berpikir kau bisa memiliknya.

Maka itu Cio San tidak berkata-kata dan juga tidak berpikir.

Nona ini, semuanya sempurna. Tapi kesempurnaan ini begitu sederhana.


Kecantikan nona ini tidak mungkin bisa kau bandingkan dengan permpuan
lain. Kau mungkin hanya bisa membandingkannya dengan langit, bintangbintang, atau telaga yang sunyi.

Begitu sepi. Begitu sendirian. Jika kau memandang matanya, ia akan


mengantarkanmu ke dalam kesunyian yang abadi. Nona ini mengingatkan Cio
San kepada Ang Lin Hua. Tapi jika kecantikan Ang Lin Hua memukau,
kecantikan nona ini seperti hendak menghisap habis cahaya kehidupan dalam
jiwamu.

Nona itu pun tidak perlu berkata apa-apa. Karena matanya telah berbicara.
Hidungnya telah berbicara. Bibirnya telah berbicara. Rambut kemerahannya
telah berbicara. Kulit lembutnya telah berbicara. Nona ini hanya perlu
menatapmu dan kau akan menjadi gila.

Gila karena tidak percaya ada makhluk seindah ini mau menatapmu.

Tapi nona ini kemudian bertanya,

Tuan ada keperluan apa hendak menemui pangcu?

Dia mengundangku

Oh,

Lama mereka berjalan beriringan, lalu si nona kembali berkata,

Tuan mungkin satu-satunya tamu undangan yang berhasil sampai disini.


Tamu-tamu lain semua terhenti di taman bungan di belakang tadi

Taman bunga itu memang seperti surga dan neraka melebur menjadi satu
kata Cio San.

Nona itu hanya diam. Sepertinya matanya membenarkan.

Tak lama kemudian mereka sampai di halaman depan rumah peristirahatan


itu. Si nona kemudian berkata, Tuan tinggi di sini, biar hamba
memberitahukan kedatangan tuan kepada pangcu

Cio San hanya mengangguk-angguk lalu berkata,

Sesungguhnya nona tidak perlu repot-repot

Kenapa, tuan?

Bukankah nona adalah sang pangcu itu sendiri?

Nona itu menatapnya. Lama sekali.

Lalu ia kemudian tersenyum,

Aku bisa membohongi seluruh dunia, tapi aku tetap tidak bisa
membohongimu. Mari masuk

Ia lalu menaiki tangga dan masuk ke dalam rumah peristirahatan itu. Cio
San mengikutinya dari belakang. Siapapun lelaki yang berjalan di belakang
nona itu pasti akan ketakutan. Takut jika nona ini kemudian menghilang
dan tak terkejar lagi.

Karena siapapun yang sudah memandangnya, tentulah tak ingin memandang


wanita lain lagi. Itulah kenapa ketiga pendekar penjaga jalan tadi rela
menjadi hambanya. Itulah kenapa ratusan orang rela menjadi pesuruhnya,
dan beraksi sebagai penjahat bertopeng.

Cukat Tong benar. Kekuasaan terbesar di muka bumi ini ternyata bukan
pedang atau jabatan. Kekuatan terbesar adalah paras wanita. Paras cantik
yang membuat pedang jatuh lunglai dan jabatan menjadi hina.

Jika ada orang yang paling pantas menjadi otak dibalik segala kejadian
ini, tentulah hanya nona ini seorang. Cio San dulu tak pernah menduga
seperti ini. Karena dia tak percaya ada wanita yang paling cantik
sedunia. Kini ia harus percaya.

Silahkan duduk

Nona itu sudah duduk di singgasananya. Bahkan cara duduknya pun begitu
indah.

Cio San tetap berdiri.

Ah, kenapa tetap berdiri? Apa kau takut saat kau duduk nanti kau tak
sanggup berdiri lagi?

Cio San malah tersenyum. Sambil memainkan ujung rambutnya, ia berkata,

Apa yang nona rasakan saat memiliki semua ini?

Ah, kita baru saja bertemu dan pertanyaanmu sudah seberat ini. Kau yakin
tidak ingin mencicipi arak dan bersenang-senang dahulu?

Entah kenapa ketika mendengar kata bersenang-senang , Cio San


merinding.

Tapi Cio San hanya tersenyum, lalu berkata lagi,

Tentunya kau tak merasa apa-apa, bukan?

Si nona bagai tercekat. Ia terdiam lama, lalu lantang berkata,

Benar. Aku memang tak merasakan apapun. Bahkan jika seluruh dunia tunduk
dibawah kakiku, dan semua laki-laki berlutut memujaku, aku tak akan
merasa apa-apa. Kau sudah puas?

Aku justru kasihan

Memang jika kau melihat seseorang memiliki segalanya, tapi ia masih saja
tidak bahagia, bukankah kau akan mengasihaninya?

Tatapan mata nona ini kemudian berubah menjadi begitu menakutkan,

Ku akui kehebatan dan kecerdasanmu, tapi apa kau pikir itu semua cukup
untuk menundukan aku? katanya.

Pada hakekatnya, tiada seorang pun yang sanggup menaklukkanmu

Nah, kalau kau sudah tahu begitu, mengapa tidak lekas kesini dan pegang
tanganku? Belai rambutku dan cium bibirku?

Jika ia berkata begitu kepada seluruh lelaki di seluruh dunia, kau akan
tetap merasa ia hanya berkata itu kepadamu.

Cio San hanya seorang pemuda. Pemuda sehat jasmani dan rohani pula. Maka
ia melangkah ke depan menuju singgasana nona itu. Singgasananya entah
kenapa bentuknya hampir mirip sebuah ranjang. Ada berapa banyak lelaki
yang naik ke atasnya?

Jika kau naik ke atas ranjang bersama perempuan, kau berharap tak akan
turun lagi selamanya. Tapi ada kalanya, saat kau turun dari ranjang itu,
kau berharap tak akan pernah menaikinya lagi.

Tapi Cio San datang dan duduk di sampingnya. Wajah kedua mereka begitu
dekat. Nafasnya bahkan terhirup oleh Cio San. Harum tubuhnya bahkan
sampai melekat ke tubuh Cio San. Getaran dadanya bahkan juga menjalar ke
dada Cio San.

Si nona membiarkan bajunya terlepas dengan sendirinya. Rupanya bajunya


tidak pernah dikancingkan. Hanya dengan satu kali gerakan, baju itu sudah
jatuh terkulai di lantai. Tubuhnya kini polos. Kata telanjang terlalu
kasar untuk disematkan kepadanya. Tubuhnya begitu suci dan murni. Tidak
ada satu titik pun yang membuat tubuh itu menjadi tidak sempurna.

Jika kau kumpulkan seluruh pujangga, penyair, penulis lagu, dan pelukis
dari seluruh muka bumi maka tak ada seorang pun dari mereka yang sanggup
melukiskan keindahan ini.

Ia mencium Cio San. Bibirnya yang merekah benar-benar tercipta untuk ini.
Tangan Cio San pun mengelus-ngelus lengannya. Tangan itu pun naik ke
daerah-daerah terindah di tubuh nona itu. Tapi seketika tangan itu pun
mengangkat dan melempar nona itu ke arah tembok!

Kaukau si nona tak sanggup berkata apa-apa, ia melayang turun dengan


indah.

Kau pikir semua laki-laki akan jatuh berlutut di hadapanmu? jengek Cio
San tersenyum. Aku heran, kenapa semua perempuan cantik selalu merasa
mereka bisa menaklukan semua laki-laki

Hah! dengan marah nona itu membanting kaki. Lantai marmer itu hancur
berantakan.

Ia lalu melayang cepat ke arah Cio San. Tubuh polo situ menyerang dengan
hebatnya, sampai-sampai Cio San sendiri tidak percaya. Tapi Cio San
adalah Cio San tubuhnya sendiri pun juga bergerak tak kalah cepatnya. Ia
menghindar ke samping. Serangan nona itu hanya mengenai ranjang. Tapi
dalam sekejap mata nona itu sudah menghilang!

Ternyata dibalik ranjang itu terdapat pintu rahasia!

Cio San tercekat. Alangkah bodohnya ia tidak menyangka bahwa ada jalan
rahasia di balik ranjang itu. Dicari-carinya tuas untuk membuka pintu
rahasia tetapi semua percuma saja. Hanya si nona yang tahu rahasianya
sendiri.

Dengan kecewa ia keluar dari rumah itu. Dalam sekejap ia berlari, ia


sudah sampai di taman bunga tempat ratusan orang bercinta di sana. Mereka
masih di sana. Bercinta dengan puasnya seolah-olah hari esok tidak pernah
ada.

Cio San lalu membakar bunga-bungaan itu. Ahli silat seperti dia hanya
perlu menjentikkan batu, maka keluarlah api. Api membakar tanaman yang
indah itu.

Kebakaran-kebakaran! semua orang berteriak panik.

Tapi begitu mereka mencium asapnya, mereka malah berteriak,

Angin surga-angin surga!

Mereka menghisap dan menghirup asap itu dengan nikmat. Seolah-olah di


dunia ini tidak ada yang lebih nikmat dari asap ini.

Cio San meninggalkan mereka. Api dan asap membumbung tinggi. Semua orang
seperti gila dan mabuk menghirupnya.

Rupanya tanaman ini jauh lebih memabukkan ketika dibakar.

Ia memang pernah membaca. Tentang sejenis tanaman yang jika kau hirup
aromanya, kau akan mabuk dan ketagihan. Kau bahkan rela membunuh dirimu
hanya untuk menghirup aromanya lagi. Rupanya ini memang cara lain dari si
dia untuk menguasai orang-orang ini.

Mereka semua rela mati hanya demi menghirupnya. Bahkan ketiga pendekar
yang tadi dilawannya pun sudah bergabung bersama-sama untuk menghirupnya.
Ternyata mereka menjadi hamba hanya karena bunga-bungaan ini.

Cio San pergi. Ia tak ingin tahu lagi tentang orang-orang ini.

Bab 47 Di Tepi Sebuah Telaga

Cio San telah jauh meninggalkan bukit itu. Dari tempat ia kini duduk,
terlihat asap membumbung tinggi dari bukit itu. Ia yakin orang-orang di
sana pasti akan dapat menyelamatkan diri. Mereka orang-orang yang perlu
dikasihani. Tapi Cio San tahu ia tidak perlu melakukan apa-apa di sana.

Kini ia duduk di sebuah pavilliun kecil di pinggir telaga. Telaga ini


tidak seindah telaga tempat tadi ia mandi. Tetapi lumayan sepi dan
tenang. Ia bersandar di kursinya dan menikmati seguci arak yang tadi
sempat ia beli sebelum sampai di telaga itu.

Ia menikmatinya perlahan-lahan. Pelan-pelan. Cara minum arak seperti ini


lakukan jika ia sedang berpikir keras. Arak memang kadang-kadang membantu
pikiran lebih jernih.

Dari jauh Cio San mendengar derap kaki kuda yang berlari kencang. Orang
yang mengendarainya sepertinya terburu-buru. Tak berapa lama Cio San bisa
mengenal penunggang kuda itu. Dia adalah Beng Liong!

Sedang apa dia hingga terburu-buru?

Liong-ko! Cio San berkata pelan. Tapi suaranya telah sampai tepat di
telinga Beng Liong. Ilmu mengirim suara seperti ini dibutuhkan tenaga
dalam yang sangat tinggi.

Beng Liong menghentikan kudanya.

San-te, ah syukurlah kau selamat! kata Beng Liong.

Kenapa terburu-buru, Liong-ko? tanya Cio San

Aku akan ke bukit sana. Ia menunjuk bukit yang penuh asap dan api itu.
Di tengah jalan, aku bertemu Cukat Tong. Ia bilang engkau ada di bukit
itu juga. Jadi aku bergegas jawab Beng Liong.

Ia turun dari kudanya. Wajah tampannya penuh cahaya. Di sore hari seperti
ini, wajahnya bersinar-sinar dengan cerah. Harum tubuhnya yang sangat
terkenal, memang bukan cerita kosong belaka. Bahkan dari jarak bertombaktombak pun Cio San bisa menciumnya. Bau harum yang menyenangkan. Tidak
menusuk. Lembut dan membelai-belai.

Tanpa melihat wajahnya pun, barangkali wanita-wanita akan jatuh cinta


kepadanya hanya dari wanginya saja.

Bajunya terlihat sangat pantas. Beng Liong memang pintar memilih


pakaiannya. Walaupun bukan pakaian yang paling mewah, bajunya selalu
tampak rapih dan bersih. Warnanya selalu pas. Model potongannya pun
selalu bagus.

Rambutnya dikuncir rapi. Wajahnya bebas dari kumis dan jambang. Matanya
selalu cerah dan bibirnya selalu menyungging senyum. Jika senyum Cio San
kadang-kadang terasa nakal dan degil, senyum Beng Liong justru terasa
hangat dan menyenangkan.

Mereka dua berpelukan. Rasanya seperti sudah berpisah lama sekali.

Senag melihat engkau baik-baik saja San-te. Apa yang terjadi di atas
bukit sana? Kebakaran itu perbuatanmu bukan?

Haha Cio San tertawa sambil memainkan ujung rambutnya.

Engkau sendiri ada urusan apa ke bukit itu, Liong-ko? ia malah balik
bertanya.

Aku mengejar Bwee Hua Sian

Oh, jadi namanya Bwee Hua Sian (Dewi Bunga Bwee) seloroh Cio San.

Kau sudah bertemu dengannya bukan? Apa yang terjadi? tanya Beng Liong.

Cio San menceritakan semuanya.

Kaumeninggalkan orang-orang itu di taman yang terbakar? kata Beng


Liong terperangah. Ia lalu cepat melesat ke arah bukit itu. Ia tidak
menunggang kuda lagi. Kakinya jauh lebih cepat daripada kuda mana pun.

Cio San terpaksa mengikutinya dari belakang. Mereka terus terbang


sampai ke bukit itu. Cio San mengirimkan pesan suara ke telinga Beng
Liong,

Tutup jalan pernafasan, asapnya beracun

Begitu mereka sampai di taman yang dipenuhi asap itu, mereka tidak
menemukan seorang pun di sana. Cio San lega hatinya, karena sejak jauh
dia tidak mendengar suara seorang pun. Ia khawatir mereka semua telah
mati terbakar. Untunglah ternyata tidak ada apapun di sana.

Beng Liong juga lega.

Kenapa kau ceroboh meninggalkan orang-orang itu tadi, San-te? Bukankah


mereka bisa mati terpanggang? tanya Beng Liong.

Karena aku tahu mereka pasti akan selamat kata Cio San sambil
tersenyum.

Dari mana kau yakin?

Bwee Hua Sian masih membutuhkan tenaga mereka. Aku tidak tahu siapa saja
mereka. Tapi tentunya mereka pasti orang penting. Tokoh-tokoh ternama

Kau tahu Bwee Hua Sian akan kembali menyelamatkan mereka?

Pada awalnya aku tidak perduli. Tapi saat di jalan aku berpikir tentang
nasib mereka. Saat hendak kembali lagi, aku berpikir bahwa pasti Bwee Hua
Sian yang akan menyelamatkan mereka.

Kau sengaja tidak kembali dan tidak menempurnya di sana, karena kau tahu
hal itu justru akan membahayakan nasib orang-orang itu bukan?

Benar, Liong ko. Jika aku bertempur dengannya di sana, pertempuran


mungkin akan berlangsung lama, dan kami malah tidak sempat menyelamatkan
orang-orang itu

Lalu kenapa tadi tidak kau ceritakan kepadaku? Tahu begitu, kita tidak
pelu repot-repot kemari

Tadi waktu di pinggir telaga, aku tiba-tiba berfikir bahwa mungkin saja
Bwee Hua San tidak mampu menyelamatkan mereka. Atau bisa saja ia tibatiba berubah pikiran dan membunuhi mereka semua

Oh Beng Liong manggut-manggut. Lanjutnya,

Sudahlah. Mari kita pulang

Mereka berdua lalu menuruni jalan indah di bukit itu.

Liong-ko, sebenarnya kenapa engkau mencarinya?

Tidak jauh berbeda denganmu. Aku telah menyelediki sekian lama


tentangnya. Aku curiga ia adalah otak di balik semua kejadian ini. Jelas
Beng Liong

Hmmm, aku malah pada awalnya, tidak percaya ada wanita seperti dia. Tapi
setelah bertemu aku baru yakin. Awalnya aku malah curiga kepada orang
lain

Siapa? tanya Beng Liong.

Cukat Tong jawab Cio San enteng.

Kenapa?

Semuanya cocok. Ketika ada kejadian peracunan di markas Mo Kauw, ia ada


di sana. Walaupun aku sempat menyelamatkan mereka, tapi pengobatanku
sendiri hanya untuk sementara. Mungkin saja ia punya tenaga dalam yang
sangat tinggi untuk membantunya melawan atau setidaknya menjinakkan racun
itu. Tapi entahlah. Jika ia selamat dari racun itu, tentunya karena
sebelumnya ia telah memiki penawarnya

Lanjut Cio San,

Ia juga adalah satu-satunya orang yang selamat dari kejadian pembakaran


kapal di dermaga. Ia adalah raja Maling! Dengan mudah ia bisa mencuri
rahasia-rahasia, kitab-kitab sakti, dan berbagai macam hal yang tidak
bisa kita bayangkan!

Betul juga kata Beng Liong Lalu sekarang pikiranmu berubah?

Iya. Bwee Hua Sian jauh lebih berbahaya daripada Cukat Tong. Jauh lebih
masuk akal jika ia pelakunya. Kata Cio San Eh Liong-ko, sebenarnya
manusia macam apa sih Bwee Hua Sian itu?

Dari hasil penyelidikanku, ia tinggal di ujung utara Tionggoan, dekat


daerah bersalju. Selama ini dia tidak pernah masuk kemari. Cuma beberapa
tahun ini banyak kejadian aneh yang mencurigakan. Penyelidikanku kemudian
mengarah kepadanya. Sudah dua tahun ini aku banyak mencari dan
mengumpulkan berita tentang dia. Kau tahu berapa umurnya? Ia sudah hampir
60 tahun!

Hah, sudah hampir 60 tahun? Tapi ia terlihat seperti gadis usia belasan
tahun

Menurut kabar, ia telah belajar sejenis ilmu yang membuatnya awet muda.
Sejak kecil pun ia sudah memakan tumbuh-tumbuhan tertentu yang
membantunya tetap cantik seperti sekarang ini jelas Beng Liong.

Lalu apa maksud dia melakukan ini semua? tanya Beng Liong.

Entahlah. Yang ku tahu ia mungkin ingin menguasai dunia

Memang sepertinya ada sementara orang yang baginya kekuasaan sudah


seperti makan, minum, dan bernafas kata Cio San.

Orang seperti ini mana mungkin bahagia? Beng Liong hanya geleng-geleng
kepala.

Mereka berjalan lama dan mengobrol banyak hal. Ketika sampai di pavilliun
tempat mereka bertemu tadi, ternyata kuda Beng Liong masih ada di situ.

Liong-ko, aku kagum dan berterima kasih kepadamu kata Cio San

Engkau kesini dengan menunggang kuda. Padahal engkau lebih cepat


daripada kuda manapun. Itu berarti engkau sedang menyimpan tenagamu untuk
bertempur dengan dia. Selain itu, engkau melakukan itu karena percaya
kepadaku jelas Cio San.

Beng Liong tersenyum dan berkata,

Tentu saja aku percaya kepadamu. Pada kecerdasan dan kesaktian ilmu mu.
Sebab itu aku menunggang kuda. Aku yakin aku tak akan terlambat. Ada kau
di sana? Masakah aku harus khawatir?

Mereka berdua tertawa.

Eh habis ini, engkau kemana? tanya Beng Liong.

Menyusul sahabat-sahabatku di kota depan kata Cio San. Kalau engkau,


Liong-ko?

Aku akan bergabung dengan tentara pemerintah. Ada sedikit tugas yg


dibebankan kepadaku oleh Lau-ciangbunjin. Kau kapan bergabung?

Segera setelah urusan Bu Lim Beng Cu di puncak Thay San selesai kata
Cio San sambil tersenyum.

Baiklah. Sampai jumpa di puncak Thay San, San-te kata Beng Liong sambil
menaiki kudanya.

Sampai jumpa, Liong-ko. Hati-hati di jalan

Beng Liong membdal kencang kudanya. Cio San hanya bisa menatap punggung
Beng Liong dan membatin,

Urusan besar, memang cuma Beng Liong yang sanggup melakukannya

Ia tersenyum, dan kembali melanjutkan perjalanannya.

Bab 48 Pertemuan Pertama

Cio San berjalan pelan-pelan saja. Kini hari sudah mulai sore. Matahari
yang perlahan menuju barat, seperti mengiringi langkahnya. Langkah yang
perlahan, namun tegap dan pasti. Ia melangkah seolah-olah tidak ada satu
pun hal yang dapat memberhentikan langkah itu.

Guguran bunga kadang-kadang jatuh di kepalanya. Bunga Bwee lagi

Kenapa hari ini aku selalu berurusan dengan bunga Bwee?

Urusan hari ini memang besar. Tapi ia malah tambah bersemangat, karena di
dalam kepalanya, ia mulai melihat titik cerah dalam urusan ini.

Ia melangkah sambil tersenyum. Sambil sesekali melompat tinggi memetik


buah-buahan untuk dinikmatinya.

Hidup sebebas ini, hidup senyaman ini, hidup senikmat ini. Bahkan kaisar
pun tidak pernah menikmatinya.

Kadang-kadang Cio San heran dengan orang-orang yang hidupnya mereka


habiskan untuk mengejar harta dan kehormatan belaka. Apakah mereka yakin
mereka akan hidup sampai esok hari? Jika hidup dihabiskan mengejar hal
hal semu seperti itu, lalu kapan mereka menikmati hidupnya?

Bukankah umur harus dijalani dengan gembira?

Bagaimana kau bisa gembira jika urusan pekerjaan melingkupi kepalamu?

Orang yang menikmati hidupnya bukan orang yang pemalas. Orang yang
menikmati hidupnya adalah orang yang bersyukur atas apa yang ia miliki.
Dan memanfaatkan apa yang dimiliknya untuk dirinya dan orang lain.

Oleh karena itu Cio San menyerahkan dirinya untuk orang lain. Memang
banyak urusan yang tak ingin dicampurinya, tetapi hatinya selalu
mendorongnya untuk menegakkan kebenaran. Ia akan melakukannya dengan
sebaik-baiknya. Dengan segenap kekuatannya. Tetapi IA AKAN MELAKUKANNYA
DENGAN CARANYA SENDIRI.

Orang seperti ini akan selalu tersenyum dalam hidupnya. Karena baginya
segala perjalanan hidup adalah kebahagiaan. Penderitaan dan kesusahan
adalah jalan baginya untuk menikmati dan menghargai kebahagiaan. Walau
kebahagiaan itu hanya berupa sinar matahari, hujan, atau sesendok nasi.

Inilah Cio San!

Pemuda yang belum dewasa benar, tapi telah menggetarkan dunia!

Kau tak perlu menjadi manusia paling tampan, kau tak perlu menjadi
manusia paling cerdas, kau tak perlu menjadi manusia paling kaya untuk
bisa menikmati indahnya dunia. Kau hanya perlu menjadi dirimu sendiri!

Toh ketampanan akan hilang saat kau tua, kepintaran bisa hilang saat kau
pikun, dan kekayaan bisa hilang lenyap dalam hitungan hari. Tapi jati
dirimu, tidak ada seorang pun yang bisa mengambilnya darimu. Dirimu
adalah dirimu. Diciptakan dengan segala kekurangan dan kelebihannya.

Mengapa harus menangis dan menyesali kekurangan? Toh semua orang memiliki
kekurangan. Tapi tidak seorang pun yang memiliki kelebihanmu, jati
dirimu, dan harga dirimu.

Pemandangan dunia seindah ini, mengapa manusia tidak pernah


menghargainya? Dunia seluas ini, mengapa takut tak punya tempat?

Cio San tersenyum. Karena kini di depannya ada orang yang tersenyum pula
kepadanya.

Bukankah tuan adalah Mo Kauw Kaucu Cio San yang terhormat? kata orang
di depannya sambil menjura.

Orang di depan Cio San ini sangat tampan. Hampir sama tampan dengan Beng
Liong. Bajunya pun bersih dan wangi. Yang mengherankan adalah bajunya
penuh tambalan. Tetapi tambalan-tambalan ini malah membuat pakaiannya
terlihat unik dan menarik.

Cayhe tidak berani menerima hormat dari Kay Pang Pangcu Ji Hau Leng yang
terhormat kata Cio San sambil menjura pula.

Dua orang ini belum sekalipun bertemu dalam hidup mereka masing-masing.
Tapi sudah saling mengenal. Kalau bukan karena nama mereka sendiri sudah
menggetarkan dunia, hal ini tak akan mungkin terjadi.

Ah, pandangan kaucu tajam sekali. Tidak beranitidak berani kata Ji


Hau Leng

Ah, justru cayhe yang tidak berani. Adalah suatu kehormatan bertemu
dengan pangcu di sini kata Cio San

Hmm, sejak dahulu cayhe memang sudah ingin bertemu dengan pangcu, cuma
rasa-rasanya kalau tidak bertemu dan mengundang sendiri, sepertinya
kurang menghargai

Haha. Cayhe tidak berani bermimpi mendapatkan kehormatan seperti itu.


Tukas Cio San sambil menjura.

Cayhe memang sengaja datang sendiri menjemput Kaucu. Kiranya kaucu sudi
mampir ke tempat kami para pengemis jalanan kata Ji Hau Leng

Ah, undangan seperti ini di dunia ini mana ada orang berani menolaknya?
Sebuah kehormatan besar, pangcu

Mari silahkan

Mereka berjalan dengan santai. Tak perlu menunjukkan ginkang. Tak lama
mereka telah sampai di markas utama Kay Pang. Sebuah rumah besar di
pinggiran kota. Rumah ini lumayan besar dan megah. Tapi saat masuk, Cio
San kagum juga rumah ini tidak ada isinya sama sekali. Cuma kursi dan
meja yang terbuat dari bambu.

Rumah ini sendiri dari luar terlihat bersih. Tapi banyaknya pengemis yang
tinggal dan berlalu lalang di sana membuat rumah ini terlihat sedikit
suram. Saat mereka berdua tiba, semua orang memberi hormat dan salam. Cio
San membalas dengan ramah pula.

Harap Cio-kaucu tidak kecewa dengan isi rumah kami. Memang hanya ini
yang kami miliki. Kata Ji Hau Leng.

Justru melihat keadaan rumah seperti ini, cayhe jadi kagum. Betapa
sederhana dan bebasnya seorang pangcu dari partai terbesar di Bu Lim

Haha. Partai besar hanya nama kosong. Cuma berisi pengemis-pengemis


kotor seperti kami, apa pula yang bisa dibanggakan? kata Ji Hau Leng
sambil tertawa.

Nama kosong atau bukan, tetap saja tak seorang pun di dunia ini yang
berani mencari gara-gara dengan Kay Pang. Ujar Cio San yang langsung
ditimpali dengan senyum oleh Ji Hau Leng.

Tak lama setelah mereka duduk, datang seorang pengemis kecil membawakan
arak. Mencium harumnya saja, Cio San sudah hampir mabuk.

Mari kaucu, silahkan ia berkata begitu setelah menuangkan arak ke


cangkir Cio San dan cangkirnya sendiri.

Mereka bersulang, dengan mengangkat cangkir. Dalam adat Tionggoan, tamu


tak boleh mengangkat cangkir lebih tinggi daripada tuan rumah. Kecuali
tamu itu pembesar, atau lebih tua umurnya, atau dituakan. Cio San merasa
dirinya tidak termasuk ketiga golongan itu, maka ia mengangkat cangkirnya
lebih rendah.

Melihat ini Ji Hau Leng kagum dengan kerendah-hatian Cio San. Ia pun
menurunkan cangkirnya agar sama rendah dengan Cio San.

Arak hebat! kata Cio San.

Tuan rumah biasanya senang jika dipuji 3 hal oleh tamunya, isi rumahnya,
anak-anaknya, dan suguhan makanannya.

Tentu saja itu arak hebat. Jika bukan arak hebat, masa Ji Hau Leng berani
menyuguhkannya kepada Cio San?

Kebiasaan minum Mo Kauw Kaucu yang baru ini rupanya sudah terdengar ke
mana mana. Baru sekarang Cio San paham rupanya partai-partai besar
semuanya sudah menaruh perhatian kepadanya.

Jika cayhe bertanya apa nama arak ini kepada Cio-pangcu, tentunya adalah
suatu kekurangajaran. Tapi cayhe sendiri memang tidak terlalu paham arak.
Arak apa saja cayhe minum sampai habis. Hahahahah

Arak bukankah harus diminum, pangcu? Membahas arak hanya akan membuat
mulut kita berbusa. Hahaha

Ah benar-benar, untuk kebodohan ini, cayhe pantas dihukum 3 cangkir


arak ia berkata begitu sambil benar-benar melakukannya. Minum tiga
cangkir.

Kalau tuan rumah saja menghukum dirinya dengan 3 cangkir, masa tamu
hanya boleh memandang dan minum seteguk? Cio San sendiri lalu minum 4
cangkir.

Hahaha, cayhe yang bodoh ini malah tidak menawarkan. Kesalahan ini
harusnya dihukum setidaknya 5 cangkir.

Mereka melakukannya terus menerus. Para peminum memang selalu mencari


alasan untuk minum lebih banyak. Bahkan jika harus tanpa alasan pun,
pasti akan mereka lakukan. Sudah tak terhitung berapa kali pengemis lain
mengantarkan berguci-guci arak. Tetap saja habis dan mereka tertawa
dengan riang, sambil bercanda.

Memang untuk urusan minum, cayhe mengaku kalah kata Ji Hau Leng sambil
menjura. Wajahnya sudah memerah. Sepertinya ia memang sudah mulai mabuk.

Cayhe angkat tangan saja sudah tidak bisa, bagaimana bisa dibilang
menang? Hahaha

Akhirnya kedua orang itu tidur saja di atas meja. Hari telah larut malam.
Bintang-bintang bersinar dengan cerah.

Cio San dengan malas bangkit dari mejanya. Ia ingin pergi ke belakang.
Banyak air yang masuk, banyak juga yang harus dikeluarkan. Ia bertanya
kepada salah seorang penjaga yang ada di situ. Penjaga itu kemudian
mengantarkannya ke belakang.

Setelah urusannya selesai, penjaga itu masih menungguinya. Sambil


berjalan kembali, Cio San sekedar berbasa-basi,

Wah, banyak sekali ya anggota Kay Pang. Kira-kira ada berapa ribu?

Jumlah pastinya hamba tidak paham tuan, tapi ada puluhan ribu. Beberapa
tahun ini jumlahnya bertambah berkali-kali lipat

Oh? Bagus sekali. Partai lain pertambahan anggotanya pasti tidak


sebanyak Kay Pang tentunya kata Cio San

Iya, Kay Pang memang partai besar. Nama besarnya sudah dikagumi kata
pengemis itu.

Entah dia tidak paham sopan santun, atau dia tidak mengerti dengan siapa
ia bicara. Tetapi memuji-muji partai sendiri di hadapan ketua partai
lain, adalah hal yang keterlaluan. Tapi Cio San santai saja, ia memang
tidak pernah memandang hal-hal seperti ini berlebihan. Ia bertanya lagi,

Memang selain nama besar, kira-kira apa yang menyebabkan orang banyak
sekali bergabung dengan Kay Pang anda?

Tentu saja karena mereka kagum dengan pangcu kami, Ji-tayhiap. Selain
masih muda, kesaktian dan kebijaksanaan beliau hampir tiada bandingannya
jelas si pengemis

Oh tentu saja. Cayhe sendiri tertarik masuk Kay Pang kalau seumpama
sebelumnya cayhe tidak bergabung dengan partai sekarang kata Cio San

Memangnya partai tuan sekarang apa? tanya si pengemis

Partai cayhe adalah Mo Kauw jawab Cio San sambil tersenyum.

Oh hanya itu yang keluar dari mulut si pengemis. Selama ini Kay Pang
dan Mo Kauw memang saling menghormati, dan tidak pernah mencampuri urusan
masing-masing.

Ketika memasuki ruangan tempat ia tadi minum-minum, Cio San melihat si


pangcu masih tidur tertelungkup di atas meja. Telinga Cio San kemudian
mendengarkan sesuatu di luar. Rupanya si pangcu juga mendengarnya, ia
langsung terbangun dan bersikap siaga.

Cio San sangat mengagumi ketajaman telinga dan kesiagaan sang pangcu muda
ini.

Itu bukan anak buah pangcu? tanya Cio San

Bukan. Jawab Ji Hau Leng. Ia lalu memberi perintah, A Tou, siagakan


saudara-saudara yang lain

Tak berapa lama terdengar teriakan dari luar gerbang,

Cayhe Tio-Ciangkun (jenderal besar), meminta ijin bertemu dengan Jipangcu

Untuk sekelas Pangcu dari Kaypang, memang harus jenderal sendiri yang
menemui.

Bukakan gerbang perintah Ji Hau Leng

Gerbang dibuka. Tampak ratusan prajurit ada yang berjalan kaki, ada yang
naik kuda.

Mohon ijin untuk masuk kata orang yang bernama Tio-Ciangkun itu.
Tubuhnya tinggi besar dan bercambang lebat. Pakaian perangnya membuatnya
tampak sangat gagah.

Silahkan, Ciangkun kata Ji Hau Leng.

Dengarkan titah kaisar suara Ciangkun menggelegar sambil memperlihatkan


segel kerajaan. Begitu mendengar itu, semua orang langsung berlutut. Tiociangkun mengelurkan sebuah surat perintah, dan membacakannya dengan
suara lantang.

Aku kaisar Yong Lu,


Memohon bantuan kepada Kay Pang pangcu untuk turut terlibat langsung
dengan pasukan kerajaan menghadapi serangan pasukan Mongol di perbatasan
barat. Bantuan tenaga dan pikiran dari Ji-tayhiap akan dihitung sebagai
jasa besar terhadap negara. Dan akan dihargai sebesar-besarnya.

Sebuah surat perintah yang singkat dan tanpa basa basi.

Titah kaisar, selesai. Semua orang berdiri.

Ji Hau Leng terima titah kaisar! kata Ji Hau Leng. Ia lalu berdiri dan
berkata,

Selamat datang ciangkun, mari silahkan masuk ke dalam kata Ji Hau Leng
sambil menjura.

Sang jendral dan beberapa pengawalnya masuk ke dalam ruangan. Cio San
sendiri sudah berbaur dengan para pengemis. Dia tidak ingin keberadaannya
membuat Ji Hau Leng bingung harus menjamu siapa.

Maaf cayhe datang malam-malam buta seperti ini mengganggu ketentraman


pangcu. Tapi situasi di garis perbatasan sudah mulai genting. Pasukan
kita sudah mulai kewalahan, oleh sebab itu kaisar memerintahkan
pengiriman pasukan dalam jumlah besar. Bantuan orang-orang Kang Ouw
sangat dibutuhkan negara kata Tio Coangkun. Ia bicara pelan saja, tapi
suaranya menggelegar.

Mulai kapan tenaga kami dibutuhkan? tanya Ji Hau Leng.

Secepatnya. Cayhe dengar ada pertemuan Bu Lim Beng Cu di puncak Thay San
beberapa bulan lagi. Mungkin pangcu bisa mengirimkan beberapa anggota Kay
Pang untuk bergabung dengan pasukan kami dulu. Setelah urusan di Thay San
seklesai, pangcu kemudian bisa bergabung

Hmmm, baiklah. Mari ciangkun dan saudara sekalian, silahkan nikmati


suguhan kami yang tidak seberapa

Ada arak, dan makanan yang cukup mewah. Mereka berbincang mengenai
peperangan sampai fajar menjelang. Pasukan Tio Ciangkun sudah berkemah di
luar. Memang halaman di depan gerbang markas Kay Pang sangat luas.

Tio Ciangkun dan pengawalnya lalu beristirahat di kamar yang disediakan


Ji Hau Leng khusus untuk tamu-tamu istimewa. Cio San sendiri sudah lebih
dahulu tidur. Berkumpul bersama pengemis-pengemis yang kumuh di lantai
bagian belakang markas. Ji Hau Leng awalnya ingin membangunkan, tetapi
melihat Cio San yang tertidur pula bahkan sambil mendengkur pula, ia
tidak tega dan malah tersenyum.

Saat Cio San bangun, rupanya telah memasuki tengah hari. Tidurnya pulas
sekali. Ia melihat pasukan kerajaan sudah membongkar kemah dan siap-siap
pergi. Ia bangkit dan melihat-lihat keramaian. Saat itu secara tak
sengaja Tio Ciangkun melihatnya.

Siapakah saudara ini? Semalam cayhe melihatnya, tapi rupanya sudah pergi
tidur duluan. Katanya sambil tertawa. Dalam hati Cio San kagum juga
dengan ketajaman pandangan si jendral. Dari pakaiannya, tentu saja si
jendral tahu ia bukan anggota Kay Pang.

Ah, perkenalkan Ciangkun. Ini sahabat cayhe, namanya Cio San. Dia
sedikit pemalu. Makanya saat ada ramai-ramai, ia memilih pergi duluan
kata Ji Hau Leng. Ia tidak memperkenalkan Cio San sebagai pimpinan Mo
Kauw, karena itu tahu partai Mo Kauw punya hubungan yang kurang mesra
dengan kerajaan.

Cio San menjura.

She (marga) Cio? Apa ada hubungan dengan jenderal besar Cio Hong Lim?

Cio San kaget juga nama kakeknya disebut, ia lalu berkata,

Kebetulan beliau adalah kongkong (kakek) hamba katanya sambil


tersenyum. Ia menggunakan sebutan hamba untuk menempatkan posisi dirinya
lebih rendah. Padahal sejak tadi Ji Hau Leng menggunakan sebutan cayhe
untuk dirinya sendiri saat berbicara dengan Tio-ciangkun. Jika orang
menyebut dirinya sendiri cayhe, maka ia menganggap dirinya setara dengan
orang yang ia ajak omong.

Ji Hau Leng bisa melihat betapa Cio San merendahkan diri sendiri.

Ah, cayhe berhadapan dengan keluarga pahlawan rupanya. Mohon maaf tidak
mengenal kata si jendral sambil menjura.

Tidak beranitidak beraniyang pahlawan adalah kakek hamba. Hamba cuma


sekedar keturunan yang tidak bisa menjaga nama keluarga kata Cio San
tersenyum.

Ah Cio-enghiong jangan terlalu sungkan. Tidak sembarang orang yang


pantas dianggap sahabat oleh Ji-pangcu. Kalau Ji-pangcu sudah anggap
sahabat, berarti orang itu pasti orang terhormat dan dari kalangan baikbaik. Betul tidak, pangcu? ujarnya sambil tertawa menggelegar.

Bertemu orang ini di medan perang, akan membuatmu lari terbirit-birit


atau terkencing-kencing. Cio San bisa paham mengapa orang ini bisa
menjadi jendral. Kecerdasan, keberanian, dan keterus terangannya membuat
ia menjadi jendral yang disegani.

Setelah berbasa-basi sebentar, Tio-ciangkun lalu minta diri. Pasukannya


sendiri sudah siap berangkat sejak tadi. Mereka pun pergi melanjutkan
perjalanan ke barat.

Orang yang hebat, bukan? tanya Ji Hau Leng.

Tentu saja tukas Cio San sambil tersenyum. Lanjutnya, Sepertinya cayhe
pun harus meminta diri pula. Ada beberapa urusan yang harus cayhe
selesaikan. Terima kasih banyak atas jamuan Ji-pangcu

Ah, mengapa terburu-buru kaucu? Baiklah-baiklah. Cayhe tidak berani


menahan Kaucu lebih lama

Mereka berdua saling menjura dan memberi hormat. Cio San lalu meminta
diri. Berjalan santai dan apa adanya. Ji Hau Leng menatap punggunya
sambil geleng-geleng kepala,

Orang sehebat ini namun memiliki kerandahan hati. Amat jarang ada orang
seperti dia

Bab 49 Sekali Lagi

Karena Cio San melakukan perjalanannya dengan santai, malam mulai


menjelang dan ia memutuskan untuk beristirahat saja di sebuah.reruntuhan
kuil. Ia tadi telah menangkap seekor kelinci. Setelah membuat api unggun,
kelinci itu kemudian dipanggangnya. Baunya harum. Saat itu hujan turun
rintik-rintik. Menikmati makanan apapun, jadi terasa enak saat hujan
turun.

Tak lama kemudian terdengar langkah kaki. Cio San diam saja mendengar
langkah kaki ini. Langkah itu berjalan perlahan. Walaupun di luar hujan,
langkah orang itu tetap saja perlahan. Seperti tak ada satu pun di dunia
ini yang membuatnya ingin berlari.

Ia melewati pintu depan yang daun pintunya telah hilang entah kemana.
Nyala api unggun telah mengantarkan bayangannya kepada dinding-dinding
tua. Cio San tahu bayangan siapa itu. Di dunia ini, yang punya bayangan
seperti ini memang hanya dia. Dia.

Ia berhenti di depan Cio San. Tak berkata apa-apa. Hanya menatap penuh
kesenduan. Cio San pun hanya memandangnya.

Jika ada perempuan yang melakukan ini di hadapanmu, tentu kau akan segera
datang kepadanya, memeluknya dan berkata, Semua akan baik-baik saja

Apalagi perempuan tercantik di dunia.

Ia lalu melangkah lagi. Lebih dekat kepada Cio San yang sedang duduk
menikmati kelinci bakarnya.

Lebih dekat.

Dan lebih dekat.

Hingga perempuan itu kini jatuh di atas pangkuan Cio San. Meletakkan
kepalanya di dada Cio San. Lalu kemudian menangis. Tiada suara. Hanya
airmata hangat yang turun membasahi.

Di luar hujan semakin deras.

Pernahkah kau berfikir, jika ternyata hujan bersumber dari air mata
manusia? Air sebanyak itu....., sungguh kesedihan manusia tak
terbayangkan....

Tapi mungkin saja kau salah. Karena jika kau tambahkan hujan, kepada
sungai, dan sungai kepada laut, jumlahnya tak akan pernah menyamai air
mata manusia.

Lalu hal apa yang membuat manusia begitu menderita?


Apakah karena cinta?

Cinta tak akan membuat manusia menangis. Manusia menangisi dirinya


sendiri. Manusia hanya menangis karena dirinya.

Cio San membiarkannya menangis. Walaupun ia bergidik juga jika


membayangkan kalau tahu-tahu perempuan ini menusuknya dengan belati.

Belati setajam apapun toh tak akan melukai manusia separah luka yang
disebabkan cinta.

Tapi Cio San memilih diam saja. Karena jika wanita memilih dadamu sebagai
tempat ia menumpahkan airmatanya, itu seperti ia mempercayakan seluruh
hidupnya kepadamu.

Kau tak marah, bukan? ia mengangkat kepalanya. Wajahnya begitu indah.

Bukan cantik. Karena cantik hanya untuk manusia.

Cio San tak tahu ia harus menjawab apa.

Siapa bilang pedang adalah senjata paling hebat? Senjata terhebat di


kolong langit ini adalah air mata perempuan. Ia bisa meluluhlantakkan
hatimu, mengubah pendirianmu, dan kadang malah membuatmu bertekuk lutut
di bawah kakinya. Hanya dengan airmatanya.

Kau mungkin akan menuduhku sebagai orang yang paling hina. Aku tahu
selama ini perbuatanku menyusahkan banyak orang. Tapi kau tidak mungkin
mengerti katanya.

Air matanya masih menetes. Kadang-kadang air mata bisa membuat perempuan
tampak begitu cantik. Apakah karena itu, sehingga laki-laki sering sekali
membuat perempuan menangis?

Apakah kau tahu mengapa aku menjadi seperti ini? Orang-orang hanya bisa
menuduh dan mencibir. Mereka tak pernah tahu kepedihanku. Tak pernah tahu
penderitaanku

Matanya begitu indah. Apakah karena cahaya matanya ini diambil dari
bintang-bintang?

Bibirnya bergetar karena kesedihan. Tak akan ada lelaki yang sanggup
menatap bibir itu tanpa berpikir bahwa bibir itu memang diciptakan untuk
dikecup.

Kadang-kadang lelaki akan merasa dirinya sebagai orang paling kuat di


dunia, jika ada perempuan yang duduk di pangkuannya, dan menangis di
dadanya.

Tapi kadang-kadang juga, laki-laki akan merasa dirinya begitu lemah


karena tak mampu melakukan apa-apa untuk menolongnya.

Kau mau kah mendengar ceritaku?

Ia bertanya dengan matanya. Jika kau memiliki mata seperti dia, kau tak
perlu mulut untuk berkata-kata.

Cio San mengangguk

Aku lahir dari keluarga bangsawan. Hidup kami menyenangkan. Tenang dan
bahagia. Lalu saat aku berumur 20 tahun, sesuatu terjadi. Ayahku difitnah
dan kami sekeluarga dihukum pancung oleh kaisar Hong Wu. Untunglah aku
berhasil menyelamatkan diri

Isak tangisnya memang tidak terdengar. Tapi kau bisa melihat airmatanya
membanjir walaupun di malam buta.

Sejak saat itu hidupku terlunta-lunta. Aku diperkosa orang. Diculik


perampok dan dijadikan budak nafsu mereka. Ah, banyak hal yang sudah tak
mampu kuceritakan lagi..

Suaranya tercekat.

Lalu aku ditolong oleh seorang wanita. Ia membawaku ke utara. Tinggal di


istana Es. Aku belajar banyak hak darinya. Tentang cara merawat tubuh.
Cara menaklukan lelaki. Akuaku hanya ingin menunjukkan kepada dunia,
bahwa kami kaum wanita bukanlah kaum yang lemah

Kaukau apakah bisa mengerti?

Cio San mengangguk.

Eh, bolehkan aku meminta sedikit dagingnya?

Tanpa menunggu jawaban Cio San, wanita itu lalu menggigit sedikit sisa
daging kelinci di tangan Cio San.

Ehmenak sekali

Jika Cio San yang masak, batu pun akan terasa enak.

Tanpa malu-malu, daging kelinci itu sudah dihabiskannya dari tangan Cio
San. Bahkan sisa-sisa bumbu yang ada di jari jemari Cio San pun
dijilatnya.

Satu demi satu.

Jika ada perempuan melakukan ini kepada jari-jemarimu, kau pasti berharap
ia akan melakukannya di bagian tubuhmu yang lain pula.

Jari-jarimu lebih gurih daripada daging kelinci itu katanya tersenyum.

Mereka terdiam lama dan saling memandang.

Aku..akutak akan memaksamu untuk mengerti aku. Tak akan menahanmu jika
kau membunuhku. Akuaku hanya ingin kau tahu, dari semua laki-laki yang
pernah aku jatuh ke dalam pelukan mereka, hanya pelukanmu yang paling
nyaman dan paling membuatku tenang

Malam ini apapun yang kau minta dari aku, akan ku berikan semuanya. Kau
hanya tinggal meminta saja Ia menyandarkan kepala di dada Cio San.

Hujan. Bajunya yang tadi basah kini hangat kembali karena kehangatan
tubuh Cio San.

Sedekat ini. Semesra ini.

Lelaki setampan ini, dan perempuan secantik ini. Kadang kadang walaupun
dengan sedikit iri, kau tetap berharap mereka terus menjadi kekasih
sampai akhir nanti.

Bolehkah aku tidur di sini? Hanya semalam saja. Sebelum besok, kau akan
kembali memusuhiku

Cio San mengangguk lagi.

Ia hanya memeluk wanita itu lebih erat. Mendekatkannya pada dadanya. Dan
menghangatkan hatinya. Wanita hanya perlu ini dari lelaki. Tetapi mengapa
semua terasa begitu sulit dan susah dimengerti?

Kadang-kadang, laki-laki itu sangat mengerti. Jika perempuan yang ada di


pelukannnya ini suatu saat akan pergi meninggalkannya. Suatu saat akan
mengkhianatinya. Oleh sebab itu kadang-kadang ia akan bersikap kejam dan
tidak perduli. Hanya agar hatinya tidak menjadi terlalu cinta dan terlalu
sayang. Karena jika lelaki terlalu cinta dan terlalu sayang kepada
seseorang, maka hidupnya sendiri menjadi tidak berarti lagi.

Dan wanita pun sangat mengerti hal ini. Itulah kenapa mereka begitu
sering meminta perhatian dan curahan kasih sayang dari kekasihnya. Hanya
agar mereka merasa benar-benar dicintai.

Sebenarnya mereka saling sayang, tapi dengan cara yang berbeda-beda.


Inilah mungkin sebab mengapa lelaki dan wanita tak pernah bisa saling
mengerti.

Bukankah ini adalah hal yang sangat menyedihkan? Keduanya punya keinginan
yang sama. Maksud yang sama. Tetapi menjadi begitu berbeda ketika keduaduanya menunjukan cinta dengan caranya yang berbeda.

Cio San dan sang nona berpelukan erat. Seolah-olah di dunia ini tak akan
ada yang sanggup memisahkan mereka.

Si nona pun tahu apa yang ada di benak Cio San. Ia terlalu berpengalaman
dalam hal lelaki, sehingga tidak mungkin ia tidak memperhatikan. Betapa
seluruh tubuh Cio San seperti ingin menelannya hidup-hidup.

Tapi Cio San tetap menahan dirinya.

Ia harus menahan dirinya.

Dan nona itu pun tahu, lelaki biasanya tidak mampu terlalu lama menahan
diri.

Bab 50 Di Tengah Hujan dan Di Tengah Malam

Wanita menyukai berada di dalam pelukan lelaki, karena mereka merasa


pelukan itu dapat melindungi mereka dari dunia yang kejam. Ada rasa damai
di sana. Tapi lelaki pun senang memeluk wanita, karena itu akan membuat
mereka merasa dirinya adalah yang paling gagah sedunia.

Kadang sebuah pelukan saja sungguh berarti amat dalam bagi para kekasih.
Lebih berharga dari hadiah apapun.

Bwee Hua membiarkan dirinya jatuh lebih dalam. Kedalam pelukan yang
sangat menghangatkan hatinya. Ia tahu, untuk menjatuhkan hati lelaki
seperti Cio San, bukanlah pekerjaan mudah. Karena sesungguhnya ia sendiri
bisa terjatuh kapan saja.

Cio San sendiri sudah benar-benar tidur. Jika ada istilah tidur dengan
perempuan, maka yang dilakukan Cio San adalah benar-benar tidur!

Kalau ada perempuan meletakkan dirinya di dalam pelukanmu dan mengatakan


ia rela memberikan apa saja yang kau minta, tentunya kau tidak akan
meminta ia untuk terlelap bersamamu. Tapi Cio San benar-benar tidur.
Sedikit mendengkur pula.

Kadang-kadang perempuan yang mendapati lelaki tidur terlelap saat sedang


berduaan bersamanya, akan merasa dirinya tidak berharga sama sekali. Tapi
Bwee Hua tahu, jika ia marah pada Cio San, maka seluruh rencananya akan
sia-sia.

Di dunia ini hanya Cio San seorang, lelaki yang tidur mendengkur saat
berduan dengannya!

Maka Bwee Hua pun memilih tidur terlelap.

Rupanya nyaman juga rasanya. Nafsu memang tidak harus kau salurkan.
Kadang-kadang justru jauh terasa lebih indah dan manis jika kau hanya

bertatapan mata dengan kekasihmu, daripada melakukan hal-hal penyaluran


nafsu.

Bwee Hua yang sudah berpengalaman dengan jutaan lelaki, justru baru
menemukan hal ini sekarang.

Malam semakin dingin, hujan pun semakin deras. Untunglah walaupun kuil
tua ini sudah bobrok, setidaknya masih ada sedikit atap dan tembok yang
melindungi. Api unggun pun sudah lumayan bisa menghangatkan mereka.

Dua orang ini tidur terlelap dengan nyaman.

Si nona punya kebiasaan. Jika tidur ia selalu tanpa busana. Oleh karena
itu ia memang membuka sedikit bajunya. Walaupun tidak terbuka seluruhnya,
orang masih bisa melihat betapa indah tubuh yang ia miliki. Sayangnya
satu-satunya orang yang berada di sana hanya Cio San. Dan Cio San pun
sudah mendengkur pula.

Wanita, ingin kecantikannya dilihat, dihargai, dikagumi, dan yang paling


penting dihormati,. Jika kau bertemu wanita cantik, dan kau tidak
menatapnya sama sekali, perasaan mereka akan seperti seniman yang
karyanya tidak dihargai. Seperti pengkhotbah yang khotbahnya tidak
didengarkan. Atau seperti raja yang perintahnya tidak dilaksanakan.

Sayangnya, lelaki yang menghormati kecantikan wanita sungguh jarang.


Jika mereka melihat wanita cantik, biasanya lelaki hanya akan tergiur.
Cara terbaik memperlakukan wanita adalah dengan memberi rasa hormatmu,
bukan menunjukan nafsumu. Niscaya dia akan menganggapmu sebagai lelaki
terbaik.

Tapi ada juga sementara wanita, yang jika tidak kau perlihatkan
ketertarikanmu, mereka akan semakin tertarik kepadamu.

Maka kau harus pintar-pintar memilih langkah apa yang harus kau jalani
menghadapi seorang wanita. Karena kau tidak akan pernah tahu isi hatinya.

Walaupun Cio San tidak paham ini, untunglah secara kebetulan ia


melakukannya. Bwee Hua sungguh menjadi penasaran ada lelaki yang bisa
benar-benar mengacuhkannya dan benar-benar tidur mendengkur di
hadapannya. Bagi Bwee Hua ini justru menjadi tantangan menarik baginya.
Ia harus bisa menaklukkan Cio San. Apapun yang terjadi!

Toh akhirnya Bwee Hua memilih tidur juga. Memangnya dia bisa apa?
Kecantikan wanita tak akan berarti apa-apa di hadapan satu macam lelaki.
Lelaki yang sedang tidur.

Mereka tertidur beberapa lama. Sampai saat tengah malam, telinga Cio San
membangunkannya. Bwee Hua pun tentu saja terbangun juga.

Pakai bajumu kembali, nona kata Cio San.

Gelap. Bisa tolong kau pakaian?

Ia berdiri. Bajunya awut-awutan. Rambutnya pun berantakan. Tetapi mengapa


terlihat begitu cantik. Seolah-olah segala keindahan di bumi dikumpulkan
lalu diletakkan kepadanya.

Mau tidak mau Cio San harus melakukannya. Dia tidak ingin orang yang
datang nanti menganggapnya sedang melakukan hal-hal tidak pantas dengan
nona ini. Dan nona ini pun tidak ada niat untuk merapikan bajunya.

Biasanya Cio San mampu bergerak secepat kilat. Tapi tidak saat memakaikan
baju pada perempuan. Selain karena tidak ada seorang lelakipun yang
sanggup memakaikan baju dengan cepat kepada wanita, juga karena dia tidak
tahu cara memakaikannya.

Maka ketika ada 7 orang memasuki kuil itu juga, tentu saja ke 7 orang itu
kaget melihat pemandangan di hadapan mereka.

Seorang lelaki dan seorang wanita setengah telanjang.

Siapapun yang berada di sana pasti akan berpikiran yang sama dengan ke 7
orang ini.

Cih! Manusia rendahan! terdengar seruan kaget mereka melihatnya. Segera


mereka memalingkan wajah.

Ke 7 orang ini semuanya adalah wanita. Dari bajunya, Cio San tahu mereka
dari partai Gobi pay. Ke 7 wanita ini sebenarnya ingin keluar lagi, tapi
petir dan Guntur yang menyambar membuat mereka kaget. Apalagi hujan
bertambah deras dan angin bertambah kencang pula.

Cio San berdiri dan memberi salam,

Selamat malam chit-wi tayhiap (tujuh pendekar sekalian) katanya sambil


menjura.

Cih!

Bwee Hua tetap santai saja. Walaupun bajunya masih berantakan, setidaknya
kini tubuhnya sudah tertutup. Katanya,

Ada apa malam-malam begini 7 Pendekar Wanita Gobi mampir kesini? Ingin
bergabung dengan kami juga? Mari silahkan

Kami tidak sudi! walaupun bicara begitu, mereka tetap berada di


tempatnya. Hanya wajah mereka saja yang dipalingkan.

Nona sekalian sedang menghindari kejaran siapa? tanya Cio San tibatiba.

Ketujuh orang ini heran. Bagaimana Cio San bisa tahu jika mereka sedang
menghindari kejaran orang. Tapi sekali pandang Cio San pasti tahu.

Di sini tidak aman. Orang yang mengejar nona tentu saja pasti akan
segera sampai ke sini

Semua nona itu kini bertambah pucat wajahnya.

Lalu ketika kilat menyambar, terlihat sebuah bayangan di luar sana.


Bahkan Cio San pun tidak mendengar langkah kakinya.

Ia hanya berucapa dalam hati, sambil memejamkan mata, Ang Hoat Kiam
Sian

Ya memang orang yang berada di depan sana adalah Si Dewa Pedang Rambut
Merah!

Berdiri dengan tenang dalam lebatnya hujan. Langkahnya perlahan namun


pasti.

Keluar katanya pelan. Tapi semua orang yang ada di dalam kuil itu
mendengarkannya. Padahal hujan sedang lebat-lebatnya.

Cio San yang keluar.

Selamat malam, Suma-tayhiap (pendekar Suma)

Kau? Pantas saja. Ku kira hanya ada delapan orang di dalam sana kata
Suma Sun, si dewa pedang rambut merah. Lalu lanjutnya,

Kau ingin bertarung untuk mereka?

Kita semua sesama orang sendiri, mengapa harus bertarung? jawab Cio San
sambil tersenyum.
Karena mereka memakai pedang

Di dunia ini, mana ada alasan yang lebih tidak masuk akal selain alasan
itu? Tentu saja ketujuh nona itu menolak untuk bertarung dengannya.

Cio San sampai bingung menjawabnya. Ia lalu berkata,

Tidak bisa kah kau tunda? Aku sedang memerlukan bantuan mereka

Baiklah

Ia dengan santai lalu berbalik dan berjalan pergi.

Cio San lalu berkata lagi,

Aku pun memerlukan bantuanmu

Langkah itu pun berhenti.

Sekarang? tanya Suma Sun

Belum.

Kirimkan Cukat Tong kepadaku. Ia tahu di mana harus mencariku kata Suma
Sun. Ia lalu pergi. Di dalam lebatnya hujan, bayangannya menghilang.
Dalam hujan selebat ini, entah kenapa malah terasa sepi dan sunyi.

Pesta seramai apapun, jika ada Suma Sun, pastilah akan terasa sunyi
seperti kuburan.

Ketika Cio San berbalik ke kuil, ia malah sudah dihadang ketujuh nona
itu,

Siapa kau sampai-sampai merasa harus membantu kami?

Cio San sudah sangat mengerti betapa tinggi hatinya kaum kang ouw.

dan apa kau pikir kami akan membantumu? tukas salah satu dari mereka.

Melihat ini, malah Bwee Hua yang marah. Dengan sekali gerakan tentu saja
ia bisa membunuh ketujuh nona ini. Tapi Bwee Hua tidak suka mengotori
tangannya dengan darah orang-orang yang tidak pantas. Maka ia hanya
berkata,

Jika kau tahu siapa dia, tentu kau akan berlutut minta ampun

Heran. Ia berkata tentang Cio San. Tapi kata-kata itu terasa bagai
membicarakan dirinya sendiri.

Cio San malah menjura kepada nona-nona itu,

Apakah Bu-Ciangbunjin (ketua Bu) baik-baik saja kabarnya? tanyanya

Melihat Cio San bertanya dengan santun tentang ketua mereka, perlahanlahan hati mereka mencair juga.

Suhu baik-baik saja

Lalu salah satu dari mereka berkata,

Ayo kita pergi

Mereka pun pergi. Tanpa salam dan hormat. Begitu saja.

Kadang-kadang perempuan cantik memang seperti punya hak untuk berbuat


seenaknya. Jika mereka salah, orang mudah memaafkan pula. Jadi cantik
memang punya banyak keuntungan.

Baru saja mereka melangkah keluar kuil, tahu-tahu Bwee Hua sudah berada
di hadapan mereka.

Kalian baru boleh pergi jika sudah meninggalkan hidung kalian katanya.

Cring!

Suara tujuh pedang keluar dari sarungnya.

Jurus Pedang Pelangi milik Gobi pay sangat terkenal. Bahkan nama besar
jurus ini sudah menyamai nama besar Tarian Pedang milih Butong Pay.
Jika jurus ini dilakukan oleh 7 pendekar utama Gobipay, tentunya
kedahsyatannya tak mungkin terbayangkan.

Kelebatan pedang itu benar-benar seperti pelangi. Pelangi yang


mengantarkan nyawa kepada Giam Lo Ong (dewa kematian).

Tapi sinar pelangi itu tiba-tiba berhenti. Hilang tak membekas. Ketujuh
pedang itu sudah terjepit di anatara jari-jari kedua tangan Cio San.

Nona, kalian semua bukan tandingannya. Pergilah

Ia menangkap pedang itu tentu saja bukan melindungi Bwee Hua. Ia


melakukannya untuk melindungi ketujuh nona itu.

Di kolong langit ini, mungkin bahkan ketua mereka sendiri, tidak mampu
menangkap Jurus Pedang Pelangi dalam satu jurus saja. Dengan tangan
kosong pula. Jika ada orang mampu melakukannya, maka apapun yang orang
itu katakan, harus kau dengarkan.

Ketujuh nona itu diam membisu. Lalu jatuh terduduk.

Ah.ada pendekar besar di hadapan kami. Sungguh sempit pandangan kami


tidak mampu mengenal gunung Thay San

Pergilah kata Cio San. Ia melepaskan pedang-pedang itu dari jarinya.

Nona-nona itu bersoja. Harap ampuni kamiharap ampuni kami..tayhiap


Mereka pun berlari pergi dari situ penuh rasa malu.

Ah mengapa nama besar selalu sebagian besarnya berisi nama kosong? Tujuh
Pendekar Cantik Gobipay. Menyandang nama pendekar pun tidak pantas.
Menyandang kata cantik pun tidak pantas kata Bwee Hua sambil
tersenyum.

Jika yang mengatakan ini adalah orang paling cantik di dunia, tentunya
kau harus setuju.

Bwee Hua menatap Cio San dalam-dalam. Lelaki ini sungguh mengagumkan
hatinya. Ia tidak sanggup berkata apa-apa.

Malah Cio San yang berkata,

Nona, bukankah kau tadi berkata, apapun yang aku minta malam ini, akan
kau berikan?

Benar

Bolehkah ku minta satu hal dari mu?

Apapun itu kata Bwee Hua tersenyum. Senyumnya bukan senyuman yang nakal
dan penuh nafsu. Senyumannya adalah senyuman bunga-bunga kepada dunia.
Indah, tulus, mekar, mewangi dan berseri. Penuh kepolosan dan kedalaman
hati.

Maukah kau menghentikan semua perbuatanmu?

Aku akan melakukannya jika kau pun berjanji melakukan satu hal untukku
kata Bwee Hua tersenyum.

Apa?

Jadilah kekasihku.

Cio San terdiam. Kadang-kadang memang satu-satunya keadaan di mana ada


wanita tercantik di dunia memintamu menjadi kekasih, adalah saat engkau
bermimpi.

Lalu ia menjawab,

Aku sudah punya kekasih

Tinggalkan dia

Seseorang yang meninggalkan kekasihnya demi engkau, suatu saat pasti


akan meninggalkan engkau demi orang lain pula kata Cio San.

Si nona terdiam.

Belum pernah ada seorang pun yang menolakku katanya

Selalu ada saat pertama, untuk setiap hal di dunia ini tukas Cio San.

Kau tahu, semakin kau menolakku, semakin aku berusaha untuk


mendapatkanmu. Tidak ada satu hal pun di dunia ini yang tidak pernah
TIDAK kudapatkan

Berusahalah lebih keras kata Cio San sambil tersenyum dan memainkan
ujung rambutnya.

Jika kekasihmu mati, bukankah tiada seorang pun yang akan menghalangiku
untuk mendapatkanmu?

Jika kau sentuh ujung rambutnya saja, sampai ke ujung dunia pun akan ku
cari kau

Perempuan mana yang tidak suka kau cari? Bwee Hua berkata, senyumnya
tak pernah hilang.

Saat itu terjadi, kau akan berharap aku tidak pernah mencarimu

Aku justru ingin kau mencariku, lalu kau berlutut memintaku untuk
mencintaimu

Umurmu sudah 60 tahun. Sebentar lagi akan mati, mengapa masih susahsusah mencari kekasih?

Wanita secantik apapun, jika kau ingatkan ia pada umurnya, tentu akan
menerkammu. Tapi Bwee Hua tidak.

Ia malah bangga. Dengan umurnya yang setua itu, ia masih tampak seperti
anak gadis yang masih perawan.

Maka ia hanya tertawa,

Apakah kau yakin kata-kata Beng Liong tentang umurku memang benar?

Dari mana kau tahu jika Beng Liong yang menceritakannya kepadaku? tanya
Cio San.

Manusia punya telinga. Kenapa pohon dan rerumputan tidak boleh punya
telinga juga?

Cio San hanya tertawa.

Jika Beng Liong yang berkata, aku pasti percaya. Beng Liong adalah Beng
Liong. Kata-katanya adalah emas

Kalau itu, aku pun setuju tukas Bwee Hua.

kau sudah pernah bertemu dengannya? tanya Cio San

Selama beberapa tahun ini dia selalu merecoki urusanku jawabnya pendek.
Lanjutnya, Orang yang menyebalkan

Kau tidak tertarik kepadanya?

Orang yang sok suci dan sok bersih, tidak pantas menjadi kekasihku

Lalu siapa yang pantas?

Kau

Hanya aku?

Hanya kau

Sayang kau bukan golongan wanita yang ku sukai

Memangnya aku golongan wanita macam apa?

Golongan wanita yang terlalu yakin bahwa setiap laki-laki akan jatuh
hati kepada mereka karena kecantikan mereka

Memangnya ada lelaki di dunia ini yang tidak terpikat kecantikanku?

Ada. Aku

Kau pasti akan terpikat. Mungkin tidak sekarang. Mungkin bisa besok,
seminggu lagi, sebulan lagi, setahun lagi. Tapi ku yakin kau akan
terpikat

Mengapa kau begitu yakin?

Karena aku tak pernah gagal memikat lelaki

Kan sudah kubilang selalu ada saat pertama untuk setiap hal

Bukankah itu semakin membuktikan bahwa selalu akan ada saat dimana kau
terpikat padaku?

Apakah kau yakin saat itu akan tiba? Bisa saja sebelum saat itu tiba,
kau sudah mati

Si nona terdiam. Memang satu-satunya orang yang tidak akan terpikat


oleh kecantikannya adalah malaikat maut.

Lama sekali mereka saling berpandangan.

Aku mau pergi kata si nona.

Pergilah

Kau seharusnya secepatnya menemui sahabat-sahabatmu. Sambil berkata


begitu ia sudah menghilang dari hadapan Cio San.

Apakah nona ini mengancam?

Bab 51 Serigala

Bwee Hua Sian sudah menghilang dari hadapannya. Ia masih tetap tersenyum.
Dalam hujan lebat seperti ini, hanya orang gila yang mau berada di luar.
Suma Sun, Bwee Hua, dan Tujuh Pendekar Cantik Go Bi Pay. Mereka mungkin
semua sudah gila pikir Cio San.

Ia lalu kembali ke dalam kuil dan tidur.

Malam semakin larut, hujan semakin lebat, dan siapa yang akan tahu jika
ada musuh yang menanti? Tapi Cio San memilih pergi tidur. Seolah-olah
tidak ada satu pun di dunia ini yang sanggup menghalanginya untuk tidur.

Saat pagi ia terbangun. Hujan sudah berhenti. Yang tertinggal hanya


kesejukan embun pagi dan matahari pagi yang hangat. Tubuhnya terasa
segar. Dengan sekali lompatan, ia sudah memetik beberapa buah-buahan yang
berada di pepohonan.

Segar!

Hari ini dimulai dengan semangat dan kesegaran. Memang begitulah


seharusnya seseorang memulai harinya. Apa yang terjadi di depan nanti,
toh belum terjadi. Mengapa harus kau pikirkan dan takutkan?

Dan jika terjadi, ya harus kau hadapi. Memangnya kau bisa menghindarinya?

Ia berjanji untuk bertemu dengan sahabat-sahabatnya di kota Bu Tiau.


Segera ia bergegas ke sana. Larinya sangat cepat. Gerakannya sangat
ringan. Jika ada yang melihat tentu akan berdecak kagum melihat kehebatan
Ginkangnya. Sayangnya, di kolong langit ini yang sanggup melihat
gerakannya mungkin hanya beberapa orang saja.

Perjalanan yang cukup panjang. Ia hanya berhenti sebentar untuk


istirahat, dan makan buah-buahan. Untuk mengisi kekuatannya. Cio San
tidak pernah mau membuang-buang kekuatannya. Jika ia mengeluarkan
kekuatannya, haruslah dilakukan dengan sabaik-baiknya, dengan tujuan
sebaik-baiknya, dan dengan perhitungan sabaik-baiknya.

Karena itulah ia selalu ada dalam kondisi terbaik untuk bertempur.

Karena ia tidak pernah mau merepotkan diri memikirkan segala kesusahan


yang akan terjadi nanti, maka itulah ia selalu mempersiapkan kondisi
terbaik bagi tubuh, pikiran, dan jiwanya.

Apa yang akan terjadi, terjadilah!

Sampai memasuki tengah hari, ia telah memasuki gerbang kota Bu Tiauw.


Kota ini merupakan salah satu kota paling ramai di Tionggoan. Kota ini
sangat padat dan ramai sekali perdagangannya. Cio San tidak begitu suka
dengan kota seperti ini. Tapi dia lumayan menikmati pemandangan yang
dilihatnya,

Berbagai macam orang lalu lalang dengan segala urusannya. Jalanan juga di
penuhi kereta dan orang berkuda. Suasana hiruk pikuk ini mengingatkan Cio
San kepada pasar. Rasa-rasanya seperti seluruh kota ini adalah pasar.

Walaupun kota ini sangat ramai dan penuh kesibukkan, kota ini
sangat bersih dan rapih. Jauh lebih bersih daripada kota-kota
sudah dikunjunginya. Setelah bertanya-tanya sebentar, Cio San
menemukan tempat yang dicarinya. Penginapan terbaik. Ia telah
untuk menemui sahabat-sahabatnya di sana.

terlihat
lain yang
akhirnya
berjanji

Penginapan itu bernama Penginapan Seribu Bunga. Mengingat kata bunga,


ia jadi teringat Bwee Hua Sian lagi. Membuatnya tersenyum sambil gelenggeleng kepala. Lelaki memang kadang melakukan hal seperti ini jika
teringat beberapa orang perempuan yang dikenalnya.

Ia melangkahkan kaki memasuki penginapan itu. Ruang depan di penginapan


itu memang berfungsi juga sebagai restoran. Saat itu telah memasuki waktu
makan siang, sehingga terlihat ramai sekali. Begitu ia masuk, seorang
pelayan menghampirinya.

Tuan ingin menginap, atau memesan makanan? tanyanya sopan.

Saya mencari beberapa orang sahabat yang menginap di sini

Oh siapa nama-nama mereka tuan?

Cio San tak tahu bagaimana harus menjelaskan. Tentunya mungkin sahabatsahabatnya tidak menggunakan nama asli ketik menginap.

Oh, ada 4 orang. Salah satunya wanita berambut putih, dan seorang pria
botak

Hmmmm si pelayan mengingat-ingat sebentar. Lalu berkata Setahu ini


selama beberapa hari ini tidak ada tamu yang berciri-ciri demikian.

Apakah selama ini penginapan ini selalu penuh? tanya Cio San

Selama beberapa hari ini kami justru memiliki banyak kamar kosong

Ahhhbaiklah kalau begitu. Terima kasih banyak kata Cio San sambil
menjura. Ia lalu pergi.

Dugaannya ternyata benar. Sahabat-sahabatnya telah mengalami sesuatu hal.

Tapi kenapa ia tidak segera bertindak, jika ia sudah menduga demikian?

Ketika Bwee Hua Sian bilang bahwa ia seharusnya cepat-cepat menemui


sahabatnya, ia sudah tahu bahwa sahabat-sahabatnya itu pasti sudah jatuh
ke tangan Bwee Hua. Oleh sebab itu, ia tidak segera berangkat menyusul
karena ia tahu percuma saja. Ia memilih tidur untuk memulihkan
kekuatannya.

Ia kemudian pergi ke kota ini hanya untuk benar-benar memastikan bahwa


mereka memang diculik. Ia yakin bahwa mereka diculik. Tidak mungkin si

otak besar membunuh mereka. Karena mereka lebih berharga saat hidup
daripada saat mati.

Otak besar pasti akan menggunakan mereka untuk mengancam dirinya.

Oleh sebab itu ia bersikap menunggu saja. Suatu saat, si otak besar pasti
akan menghubunginya. Ia berjalan menyusuri kota. Jika sedang berpikir, ia
memang suka sambil berjalan. Begitu selesai, wajahnya bersinar, dan
matanya berkilat-kilat.
Ji Hau Leng!

Ya, Ji Hau Leng terlibat dengan semua ini.

Itulah kenapa Ji Hau Leng mencegatnya di jalan dan mengundangnya datang


ke markas mereka. Mengajaknya untuk minum sampai mabuk. Agar ia tak dapat
segera menyusul teman-temannya.

Rupanya partai terbesar dalam Kang Ouw terlibat semua ini. Itulah kenapa
jumlah anggotanya bertambah berkali lipat dalam beberapa tahun belakangan
ini. Mereka punya rencana besar yang akan mereka laksanakan dalam waktu
dekat ini.

Cio San kemudian bergegas. Dalam keramaian ia mencari-cari orang. Entah


siapa yang dicarinya. Tak lama kemudian ia menemukan orang yang dicarinya
itu.

Selamat siang kata Cio San sambil menjura.

Siang kata orang itu menjawab sekenanya.

Angin dari barat menyapa. Apakah saudara merasakan cahayanya? kata Cio
San

Orang itu kaget sebentar.

Cahaya di depan mata. Masakah kami buta? Tapi entah siapa pembawa cahaya
ini? kata si orang itu.

Raja tanpa mahkota, adalah kaisar di tengah cahaya

Si orang terbelalak. Ia lalu menjatuhkan diri,

Mohon maaf, hamba tidak mengenal kaucu! Hamba pantas mati..pantas mati!

Berdirilah, dengarkan perintah ketua kata Cio San

Orang itu lalu berdiri.

Siapa nama saudara? Apakah dari cabang Bu Tiauw? tanya Cio San.

Nama hamba Kou Sim. Hamba adalah wakil ketua cabang kota Bu Tiauw. Hamba
siap menerima perintah

Baik. Saudara Kou Sim, aku memintamu untuk mengantarkan surat kepada
Pangcu partai Kay Pang di markas besar mereka. Apa kau tahu di mana
markasnya?

Tahu, kaucu

Baiklah. Cio San lalu merobek sedikit kain bajunya yang menjuntai, lalu
kemudian menuliskan sesuatu.

MENANTIKAN KEHADIRAN PANGCU DI GERBANG KOTA BU TIAUW BESOK SAAT TENGAH


HARI
HORMAT KAMI

CIO SAN- MO KAUW KAUCU

Jaga jangan sampai surat ini jatuh ke orang lain. Kau juga harus
memastikan bahwa surat itu benar-benar sampai ke tangan Ji-pangcu. Bisa?

Hamba akan menjaga surat ini dengan nyawa hamba, kaucu

Baiklah. Jasamu akan kuingat. Segera berangkat sekarang juga

Hamba pergi. Mohon doa dan perlindungan kaucu

Cio San hanya mengangguk dan tersenyum.

Mereka bedua pun saling berpisah. Cio San memilih pergi ke sebuah rumah
bordil. Mencari sebuah rumah bordil terbaik jauh lebih gampang daripada
bernafas. Maka Cio San kini sudah sampai di pintunya.

Ia sudah di sambut dengan senyuman beberapa orang gadis yang amat cantik.

Silahkan masuk tuan.silahkan menikmati hidangan

Cio San balas tersenyum. Jika ada wanita yang tidak kau kenal tersenyum
kepadamu, kau harus balas tersenyum pula. Kalau tidak kau yang akan
dianggapnya gila. Tetapi jika kau tersenyum duluan kepada wanita yang
tidak kau kenal, maka ia yang akan menganggapmu gila.

Begitu masuk, suasanya rumah bordil ini memang seperti rumah bordil
lainnya. Puluhan wanita cantik dengan dandanan penuh gincu sedang
melayani banyak lelaki. Biasanya melayani minum atau makan hidangan. Jika
kau memutuskan untuk menggunakan layanan yang lebih, maka kau akan
meneruskannya ke dalam bilik-bilik yang sudah tersedia.

Seorang gadis mendatanginya,

Tuan mari silahkan duduk, meja di sana masih kosong. Mari kutemani ia
berkata begitu sambil menggenggam tangan Cio San dan menariknya ke meja
kosong.

Perempuan kalau sudah punya kemauan, maka gayanya menarik tanganmu akan
seperti ini. Seperti iblis yang menarikmu ke neraka.

Tuan ingin minum arak apakah? Kami punya semua arak terbaik yang ada di
dunia

Heran. Dia begitu ramah terhadap pemuda yang berpakaian sederhana dan
penampilan biasa seperti Cio San. Walaupun Cio San memang sangat tampan,
tapi gaya berpakaiannya ini sedikit awut-awutan dan tidak mentereng.

Yang tidak perlau kau herankan adalah, wanita-wanita ini sudah punya
banyak pengalaman tentang lelaki. Jika kau ada dalam kerumunan ratusan
orang pun, dalam sekali pandang ia bisa membedakan orang yang bertulang
kere, atau yang kaya raya.

Karena orang-orang terkadang salah menilai. Mereka menilai orang kaya


atau miskin dari baju yang mereka pakai. Padahal orang kaya yang
berpakaian mentereng sangat sedikit ketimbang orang kaya yang berpakaian
sederhana. Entahlah kenapa mereka berpakaian sederhana. Mungkin takut
jika banyak pengemis akan datang meminta-minta kepada mereka.

Dan orang-orang miskin pun kadang menghabiskan banyak uang hanya untuk
membeli baju mentereng. Mungkin supaya mereka bisa merasa lebih dihargai
orang.

Tetapi nona-nona yang ada di tempat seperti ini, tidak mungkin salah.
Mata mereka adalah mata elang. Bahkan jika kau sembunyi di balik pintu
pun, ia akan tahu jika ada orang kaya bersembunyi di balik pintu.

Tanpa diminta, pelayan sudah satang membawa arak yang wangi. Si nona
menuangkannnya ke dalam cawan. Lalu memberikannya kepada Cio San dengan
penuh mesra. Tanpa arak pun Cio San bisa mabuk melihat betapa mesranya
nona itu kepadanya.

Siapa nama nona? tanya Cio San sopan

Ah, aku sampai lupa memperkenalkan nama. Kadang-kadang jika bertemu pria
tampan, aku memang suka bingung tak tahu harus melakukan apa

Hahaha mereka berdua tertawa

Eh, namaku Cin Cin. Tuan yang gagah siapakah namanya?

Namaku Cio San

Ah nama yang bagus sekali tuan ia tersenyum sambil menatap mata Cio
San.

Kadang-kadang Cio San memang suka bingung menghadapi wanita yang langsung
menatap matanya. Takut kalau-kalau sinar mata wanita malah akan
menyihirnya atau membuatnya sedikit mabuk. Di dunia ini memang yang
paling indah sekaligus juga menakutkan adalah mata wanita.

Jika kau berani menatapnya, maka bersiap-siaplah kau terjatuh ke dalam


dunia mimpi.

Mereka menghabiskan seguci arak. Cio San mengeluarkan satu tael emas.
Begitu melihat uang satu tael itu, mata si nona terbelalak.

Cin-siocia (nona Cin), aku ingin bertanya. Apakah kau pernah melihat
sahabatku kesini? Ciri-cirinya rambutnya sedikit merah. Bajunya putih
semua. Dan selalu menenteng pedang

Ah maksud tuan Suma-tayhiap? Tentu saja. Sejak semalam ia sudah menginap


di sini

Antarkan aku menemuinya. Sudah lama sekali aku tidak bertemu dengannya

Baik. Mari sini, tuan katanya sambil menggandeng tangan Cio San.

Mereka menuju ke sebuah bilik. Si nona mengetuknya,

Suma tayhiap, aku datang mengantarkan sahabat tuan

Dari dalam terdengar suara,

Masuklah Cio San suaranya pelan dan tenang. Tapi terdengar jelas sampai
ke luar pintu.

Cio San membuka pintu dan melangkah masuk. Tidak ada suara dari langkahlangkah ini. Rupanya dengan car ini Suma Sun tahu bahwa yang datang
bersama Cin Cin adalah Cio San Hanya Suma Sun sendirian yang ada di sana.
Ia tidak mempersilahkan Cio San duduk, tapi Cio San sudah duduk.

Terima kasih nona Cin Cin. Tolong tinggalkan kami sendirian. Selesai
ini, kau akan kupanggil kembali kata Cio San sambil menyelipkan uang
satu tael.

Ada uang, si nona pun menurut. Nona mana saja akan menurut.

Bantuan apa yang kau minta dari ku? tanya Suma Sun. Begitu dingin.

Kau yakin dengan pedangmu?

Tidak jawab Suma Sun. Lanjutanya,

Tapi aku yakin dengan diriku

Baiklah. Kau yakin menang melawan siapapun? tanya Cio San lagi.

Jika mereka punya nama

Baiklah. Aku percaya kepadamu, karena itu aku datang. Aku belum bisa
memberitahukan siapa namanya. Tapi orang-orang yang kita akan hadapi
sungguh banyak

Siapa lagi yang kau ajak?

Beng Liong kata Cio San.

Itu sudah cukup kata Suma Sun.

Aku terpaksa memintamu berangkat sekarang kata Cio San

Kemana? tanya Suma Sun.

Tolong kau cari Cukat Tong dan beberapa orang anak buahku

Itu saja?

Itu saja

Dan setelah itu hutangku lunas?


Kau tidak pernah berhutang kepadaku jelas Cio San.

Sum Sun hanya mengangguk. Lalu ia berdiri dan menenteng pedangnya.

Ia keluar ruangan itu dengan tenang. Langkahnya halus bagaikan anak


perempuan yang sedang dipingit. Ia tidak bertanya kemana harus pergi.
Kemana harus mencari. Sikapnya seperti Cukat Tong yang saat itu dimintai
tolong oleh Cio San untuk mencari contoh racun.

Sejak kecil ia sudah hidup di alam bebas sendirian. Mencari makan dan
bertahan hidup sendirian. Hidup di dalam alam yang ganas. Berburu telah
dilakukannya sejak kecil. Apalagi hanya mencari jejak manusia.

Serigala.

Melihat Suma Sun, Cio San teringat dengan serigala.

Begitu Suma Sun keluar, Cin Cin masuk.

Tuan butuh apa? Bisa ku bantu?

Kemarilah

Nona itu datang dan duduk di pangkuan Cio San.

Katakan pada tuanmu untuk segera menghubungiku, dan tanyakan apa maunya

Belum sempat nona itu berkata apapun, Cio San sudah menendangnya keluar
jendela. Kebetulan jendela itu memang terbuka, dan tendangan Cio San
bukan tendangan mematikan. Si Nona itu tidak terluka sedikit pun.

Kenapa perempuan senang sekali berfikir kalau semua lelaki di dunia ini
sudah pikun seluruhnya? tanya Cio San dalam hati sambil geleng-geleng
kepala.

Bab 52 Pertempuran Di Gerbang Kota

Hari itu tiba.

Tepat tengah hari, Cio San sudah berada di gerbang kota. Ia hany perlu
menanti sebentar. Ji Hau Leng pun sudah datang dengan menunggang kuda.

Dengan menunggang kuda, berarti ia menghemat tenaganya. Jika ia menghemat


tenaganya berarti ia telah bersiap-siap untuk bertempur. Jika ia telah
bersiap-siap untuk bertempur, berarti secara tidak langsung ia telah
mengakui kesalahannya.

Pemahaman ini muncul di benak Cio San hanya dalam sekelebatan.

Aku datang kata Ji Hau Leng sambil tersenyum.

Terima kasih balas Cio San sambil menjura dan tersenyum pula.

Kaucu ada petunjuk apa? kata Ji Hau Leng sambil turun dari kudanya.

Justru cayhe yang ingin minta petunjuk dari pangcu jawab Cio San.
Tangannya mememainkan ujung rambutnya.

Tentang?

Tentang 4 sahabat cayhe yang menghilang

Mengapa kaucu bertanya kepadaku?

Cayhe tidak tahu harus bertanya kepada siapa lagi

Baiklah. Aku akan membantu kaucu mencari sahabat-sahabat kaucu yang


menghilang itu katanya.

Kau berbohong

Eh?

Aku punya kemampuan membaca bahasa tubuh. Saat berkata begitu, ada
sedikit tarikan bibir ke samping. Hampir seperti senyum tapi belum
menjadi senyum. Itu menandakan kau meremehkan orang yang kau ajak bicara.
Seperti senyum kemenangan karena melihatku percaya kepadamu

Lamjutnya,

Bahumu bergerak sedikit. Manusia adalah makhluk yang jujur sepenuhnya.


Kata-kata bisa berbohong, tapi gerak tubuh manusia akan memberitahukan

jika ia berbohong. Gerakan bahumu itu seperti gerakan orang mengatakan


tidak. Gerakan bahu itu akan sering muncul, sebagai tanda bahwa tubuhmu
sendiri tidak setuju dengan kata-katamu

Ji Hau Leng hanya diam lama. Lalu berkata,

Kaucu seperti cacing yang ada di dalam perutku yang mengerti isi
pikiranku. Tapi kata-katamu tidak membuktikan apa-apa. Hanya untuk
membuat kagum anak-anak

Apakah kau bisa membuktikan bahwa aku ada hubungannya dengan hilangnya
sahabat-sahabatmu? tanya Ji Hau Leng.

Jika aku mau menyelediki tentu saja bisa. Tapi aku tak punya waktu.

Kau pikir dirimu pintar bukan? Sesungguhnya kau sama sekali tidak tahu
apa-apa tukas Ji Hau Leng.

Aku memang tidak penah merasa pintar atau cerdas. Tapi aku pun bukan
orang yang sudah pikun

Ji Hau Leng mengepalkan tangannya. Suara gemeratak keluar dari jarijarinya.

Cio San hanya berdiri dan memandangnya.

Mengapa kau bersedih? tanya Cio San. Ia melihat gurat-guratan kesedihan


di wajah Ji Hau Leng.

Tidak perlu banyak tanya. Lihat serangan

Gerakannya bagai angin puyuh. Seperti ribuan kati batu karang yang
dilemparkan. Bahkan jika ada orang berani menangkisnya, tentu tangannya
akan hancur.

Cio San menerimu pukulan itu dengan gerakan Thay Kek Kun. Menghadapai
keras dengan lembut. Jika gerakan Ji Hau Leng cepat dan berat, gerakan
Cio San justru lambat dan lemas.

Tapi walaupun Cio San sanggup menepis lengan itu, ia tak dapat
menangkapnya. Ji Hau Leng ternyata sama cepatnya dengan Cio San!

Serangan hebat! puji Cio San.

Ji Hau Leng diam saja. Ia memusatkan pikiran pada serangan-serangannya


sendiri. Kuda-kudanya rendah. Semakin rendah kuda-kuda berarti semakin
dahsyat juga tenaga yang ia kumpulkan. Cio San belum pernah bertemu
dengan lawan seperti ini. Yang menggunakan tenaga keras namun memiliki
kecepatan sangat mengagumkan. Dulu pernah ia menghadapi seorang Hwesio di
atas bukit tempat rumah peristirahatan Bwee Hua. Tapi kecepatannya tak
sampai separuh kecepatan Ji Hau Leng.

Saat melawan Hwesio itu, Cio sengaja melambatkan gerakannya, karena ia


ingin mempelajari gerakan jurus Cakar Macan milik Siau Lim Pay. Tapi
kini saat menghadapi Ji Hau Leng, Cio San sudah tidak bisa bermain-main
lagi.

Jurus kedua Ji Hau Leng datang!

Kali ini pukulan yang dilancarkan dengan bertubi-tubi sehingga terlihat


seperti Ji Hau Leng melakukan 20 pukulan sekaligus!

Kecepatannya sungguh sukar dibayangkan. Cio San menerima ke 20 serangan


itu dengan 20 tangkisan yang sama cepatnya. Masing-masing kepalan Ji Hau
Leng seperti hilang di telan telapak Cio San.

Saat ke 20 kepalan itu menghilang, entah bagaimana Ji Hau Leng telah


berada di atas kepala Cio San. Dari atas, ia melancarkan dua pukulan
sekaligus dengan tangan kedua tangannya. Cio San menangkis pukulan
dahsyat itu dengan telapaknya lagi.

Tapi kedahsyatan pukulan itu sedemikian dahsyatnya sampai-sampai kaki Cio


San amblas ke dalam tanah hingga sampai lututnya!

Cio San memang sengaja menyalurkan kekuatan pukulan Ji Hau Leng itu ke
tanah, agar tangannya tidak hancur menerima pukulan itu.

Ji Hau Leng sudah bersalto dan kini telah berada di belakang Cio San.
Melihat kaki Cio San yang terperangkap dalam tanah, ia yakin Cio San tak
akan mampu menghindar lagi dari serangannya. Karena jika ingin menghindar
Cio San harus menggunakan kakinya untuk bergerak. Ia mungkin bisa
menghancurkan tanah yang memerangkap kakinya, tapi itu akan membuatnya
kalah langkah sepersekian detik. Hitungan sepersekian detik saja akan
mengakibatkan kesalahan yang fatal!

Dua buah pukulan dilancarkan Ji Hau Leng mengarah ke bagian belakang


kepala dan tulung punggung Cio San. Dua buah serangan yang sangat
mematikan, sangat dahsyat, dan sukar dilukiskan kata-kata. Tak seorang
pun yang sanggup menghindar dari serangan seperti ini.

Dengan sebuah gerakan aneh, tiba-tiba bagian atas tubuh Cio San telah
memutar 90 derajat ke belakang. Kelenturan tubuh seperti ini ia dapatkan
karena telah berlatih silat dengan Ular Sakti di dalam gua. Ji Hau Leng
hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Karena kekagetan itu, gerakan Ji Hau Leng menjadi sedikit melambat.


Kesempatan itu tak disia-siakan Cio San. Ia menangkap kedua kepalan Ji
Hau Leng lalu melemparkannya ke atas.

Saat tubuh Ji Hau Leng berada di atas, segera tubuh Cio San pun melenting
ke atas. Dari tangannya keluar 20 pukulan pula yang mengincar semua
tempat-tempat berbahaya di tubuh Ji Hau Leng.

Saat Ji Hau Leng terlempar ke atas, dengan sebuah gerakan aneh ia pun
sudah mampu membalikkan tubuh menghadapi serangan Cio San. Keduapuluh
telapak Cio San pun disambutnya dengan dua puluh tangkisan pula. Malah
sambil menangkis itu kakinya ikut menyerang juga secara berubi-tubi.

Cio San yang kedua tangannya sibuk menyerang Ji Hau Leng, sudah tidak
punya apa-apa lagi untuk menghalau puluhan tendangan itu.

Maka diterima saja puluhan tendangan dengan dadanya.

Tidak ada tanah di mana ia bisa menyalurkan tenaga serangan lawan,


seperti yang saat dilakukannya tadi.

Maka Cio San terlempar beberap tombak ke belakang!

Untunglah tenaga sakti dari jamur-jamuran aneh yang pernah dimakannya


mampu melindunginya dari luka dalam yang parah. Tapi mau tidak mau,
sedikit darah merembes keluar dari mulutnya.

Ilmu, kemampuan, dan kecepatan mereka berdua mungkin hampir sama. Tetapi
Ji Hau Leng punya pengalaman bertarung lebih banyak!

Begitu Ji Hau Leng menginjakkan tanah, tubuhnya segera melenting lagi.


Kali ini serangannya lebih dahsyat. Bahkan terlihat angin dari tangannya
berubah seperti seekor naga.

Lalu dari mulutnya terdengar suara,

Naga Menggerung Menyesal!

Cio San tercekat melihat gerakan ini!

Ini adalah jurus pertama dari ilmu silat yang paling ditakuti di dunia
persilatan!

18 Tapak Naga!

Cio San tak sempat berpikir lagi. Dengan satu gerakan sederhana ia
menerima pukulan itu dengan kedua telapaknya. Saking dahsyatnya gerakan
itu sampai-sampai tubuh Cio San terlempar ke belakang belasan tombak. Ia
memang sengaja tidak mau menyalurkan tenaga itu ke tanah, dan benar-benar
menerima kekuatan pukulan Ji Hau Leng.

Ia terlempar tapi tidak terluka. Ini membuat Ji Hau Leng kaget. Biasanya
orang yang berani menerima pukulan itu akan langsung hancur organ
dalamnya dan mati menggenaskan.

Tapi Cio San bangkit dan malah tersenyum!

Mengapa kau tersenyum?

Pukulanmu hebat. Sayang belum sempurna kata Cio San

Apa? Dengan kemarahan yang meluap-luap Ji Hau Leng menyerang lagi, kali
ini jurusnya datang lebih dahsyat lagi. Gerakan yang maha hebat ini
dibarengi dengan teriakan,

Naga Terbang di Langit!

Ji Hau Leng seperti benar-benar terbang. Jaraknya dengan Cio San yang
belasan tombak itu seperti tiada artinya, karena tahu-tahu pukulan Ji Hau
Leng telah melayang ke arah Cio San.

Kali ini Cio San menerimanya dengan Thay Kek Kun. Gerakan yang sama
sederhananya dengan gerakan Ji Hau Leng. Ilmu-ilmu silat yang maha sakti,

biasanya sederhana. Karena tiada lagi hiasan-hiasan keindahan gerakan.


Yang tertinggal hanya serangan mematikan.

Gerakan Cio San ini walaupun sederhana, namun tidak ada seorang pun murid
Bu Tong atau pesilat lain yang sanggup melakukannya. Karena gerakan itu
adalah gerakan yang digunakan menahan serangan 18 Tapak Naga. Pesilat
mana di muka bumi ini yang sanggup menangkis 18 Tapak Naga sambil berdiri
tegak?

Tapi Cio San bisa.

Karena ia telah paham rahasia penyaluran kekuatan jurus dahsyat itu. Saat
pertama kali ia menerimanya, ia sengaja tidak menyalurkannya ke tanah
adalah karena alasan ini. Ia ingin mengerti bagaimana orang bisa
mengeluarkan tenaga sebesar dan sedahsyat itu.

Begitu tahu rahasianya maka dengan mudah Cio San kini menghadapinya.
Inti jurus 18 Tapak Naga ini menggunakan tenaga keras, yang berpusat pada
pengerahan tenaga luar. Cio San sebenarnya memiliki kekuarangan dalam hal
tenaga keras, dan juga penggunaan tenaga luar. Jenis ini adalah jenis
tenaga yang dilatih dengan tempaan fisik sangat berat. Jika orang
berlatih sampai kepada puncaknya, maka kedahsyatannya bisa jauh lebih
tinggi daripada menggunakan tenaga dalam.

Sejak kecil Cio San tak pernah menghadapi tempaan fisik seperti ini.
Tubuhnya lemah. Oleh karena itu Cio San lebih memusatkan latihannya
kepada tenaga dalam yang mengacu kepada tenaga lembut. Kebetulan Butong
Pay adalah perguruan silat yang menggunakan tenaga lembut.

Satu-satunya saat di mana ia menempa fisiknya adalah ketika ia hidup di


dalam gua selama 3 tahun. Kehidupan yang berat itu, ditambah lagi dengan
khasiat jamur sakti, membuat tenaga luarnya mencapai tahap yang berlipatlipat. Tapi tentu saja masih di bawah Ji Hau Leng yang sejak kecil memang
sudah melatihnya.

Ji Hau Leng kini mengeluarkan lagi kuda-kuda rendahnya. Cio San


menmghadapinya dengan berdiri tegak sambil melipat tangan kirinya ke
belakang. Tangan kanannya memain-mainkan rambutnya. Posisi seperti ini
adalah posisi bertarung yang paling disukainya.

Kini kepalan Ji Hau Leng seperti mengeluarkan cahaya. Penyaluran tenaga


yang dahsyat memang bisa membuat tubuh seseorang terlihat lebih bercahaya
dan bersinar. Tubuhnya kini melenting lagi menuju Cio San.

Tapi sebelum tubuhnya mendekat, serta merta ia berhenti dan mengeluarkan


pukulan jarak jauh. Inilah jurus ketiga dari 18 Tapak Naga Naga
Bertempur Di Alam Liar. Teriakannya membahana bagaikan naga yang
mengamuk. Pukulan jarak jauh ini berupa angin kencang yang mampu
merobohkan karang. Anginnya adalah angin panas pula yang mampu melepuhkan
kulit.

Cio San menyambut serangan jarak jauh ini dengan tenang. Datangnya angin
sungguh lebih cepat daripada gerakan Ji Hau Leng sendiri. Cio San
mengangkat tangan kirinya, suara ular derik terdengar dari jemarinya.
Dengan satu hentakan ia maju menyambut angin dahsyat itu.

Blarrrrrrr!

Suara gemuruh terdengar saat tangannya beradu dengan angin dahsyat itu.
Saking hebatnya sampai bagian lengan kiri baju Cio San koyak moyak.
Tangannya tergetar hebat. Tapi getaran itu tidak melukainya malahan
membuat suara getaran derik terdengar lebih jelas.

Di sini lah kehebatan Cio San. Ia menggabungkan jurus ular deriknya yang
menggunakan kekuatan luar, dengan Thay Kek Kun yang berdasarkan tenaga
dalam lembut. Di dunia ini, mungkin hanya Cio San lah satu-satunya orang
yang berhasil menggabungkan tenaga itu secara bersamaan.

Jurus Ular derik adalah untuk menahan dahsyatnya tenaga, sedangkan Thay
Kek Kun bertujuan untuk mengolah tenaga itu agar tidak melukai tubuhnya.

Kini dengan tangan kanannya, ia mengeluarkan sebuah jurus. Jurus yang


sama dengan yang tadi dikeluarkan Ji Hau Leng!

Naga Bertempur Di Alam Liar! hanya itu suara yang keluar dari mulut Ji
Hau Leng.

Angin dahsyat itu bahkan lebih dahsyat dari serangan Ji Hau Leng, karena
Cio San menyalurkan tenaga pukulan Ji Hau Leng yang tadi diterimanya dari
Ji Hau Leng untuk digunakan menghadapi pangcu Kay Pang itu sendiri. Itu
juga ditambah dengan tenaga Cio San sendiri. Tenaga sakti jamur di dalam
gua, di tambah tenaga sakti hasil latihan Thay Kek Kun.

Tak dapat dibayangkan betapa kagetnya Ji Hau Leng saat jurus itu mengenai
tubuhnya. Selama ini ia hanya berlatih jurus-jurus itu secara rahasia.
Bagaimana mungkin ada orang yang bisa menggunakannya dengan kekuatan yang
jauh lebih dahsyat?

Ia terlempar bertombak-tombak. Mulutnya memuntahkan darah segar. Tapi Cio


San tidak memberi ampun. Tubuhnya melayang tinggi lalu meluncur dengan
cepat sambil berputar seperti gasing. Ini adalah jurus maut yang
diciptakannya saat melihat Cukat Tong memberi makan burung-burung
peliharaannya. Kali ini ia menggunakan kakinya untuk menyerang.

Ji Hau Leng tak dapat melakukan apa-apa lagi. Semangatnya sudah sirna.
Keinginan untuk bertempur sudah tak ada lagi. Ia menghadapi serangan
ganas Cio San ini dengan tatapan kosong. Tak ada kuda-kuda. Tangannya
terkulai lemas ke samping.

Duaaaarrrrrrrrr!!!!

Tanah disebelah Ji Hau Leng hancur berantakan. Lubangnya sangat dalam


seperti habis ditabrak batu meteor. Di saat-saat terakhir, Cio San
mengalihkan serangannya. Ia tidak mungkin membunuh lawan yang sudah tidak
berdaya.

kenapa kau tidak melawan?

Ji Hau Leng tidak menjawab. Hanya tatapan kosong yang ada di wajahnya.

Jiwanya terguncang.

Cio San heran karena ia tahu pukulannya tadi tidak mungkin membunuh Ji
Hau Leng, karena itu disambungnya lagi dengan serangan jurus gasing tadi.
Tak tahunya Ji Hau Leng malah tak melawan sama sekali.

Dalam batinnya, Ji Hau Leng benar-benar terguncang. Jurus 18 Tapak Naga


adalah jurus rahasia Kay pang, bagaimana orang luar sanggup
menggunakannya? Apalagi orang itu malah menyempurnakannya dengan cara
menggabungkannya dengan beberapa ilmu lain sekaligus?

Bagi orang yang belajar silat berdasarkan kitab-kitab, maka ilmu silatnya
hanya akan sebatas apa yang dijelaskan oleh kitab-kitab itu. Jarang
sekali timbuk pemahaman yang luas dan mendalam selain apa yang tertulis
di dalam kitab itu. Oleh karena itu, ilmu Ji Hau Leng menjadi terbatas.
Memang kekuatannya dahsyat. Bahkan sungguh snagat dahsyat. Tapi sangat
sempit dan terbatas.

Cio San yang pemahamannya sangat luas, cukup sekali saja melihat jurus
orang lain atau mempelajari penyaluran kekuatannya, maka ia sudah mampu
menggunakan jurus itu. Itu karena ia mencoba menyelami dasar ilmu itu.
Apalagi ditambah dengan pemahamannya terhadap Thay kek Kun.

Inti kehebatan Cio San adalah ia mampu mengerti dasar dari Thay Kek Kun.
Sehingga dengan mudah ia menggunakan ilmu itu dengan bebas. Tanpa aturan,
dan tanpa dibatasi oleh jurus-jurus. Sehingga ia bebas mencampurkan ilmu
itu dengan ilmu apa saja. Bebas menggunakan ilmu itu dengan jurus-jurus
dari ilmu lain.

Justru disinilah letak kehebatan Thay Kek Kun.

Ilmu ini menitikberatkan kepada penyaluran tenaga yang alami. Semua jurus
silat penyaluran tenaganya serta gerakan-gerakan jurusnya pasti tak akan
bertentangan dengan alam. Oleh karena itu, seseorang yang paham dengan
Thay Kek Kun, seharusnya bisa memahami jurus-jurus yang lain.

Sayangnya kebanyakan murid Butongpay memandang Thay Kek Kun sebagai


jurus-jurus dan ilmu silat baku yang diciptakan Thio San Hong. Mereka
tidak memandang ilmu itu sebagai pijakan dasar berpikir dalam ilmu silat.
Itu sebabnya ilmu silat mereka tidak berkembang.

Itu jugalah yang terjadi pada ahli-ahli silat kebanyakan yang ada di
kalangan persilatan. Mereka memiliki ilmu-ilmu yang sakti sebagai hasil
dari latihan bertahun-tahun. Tapi dasar pemahaman pijakan berfikir mereka
sendiri sama sekali tidak ada. Mereka terpaku oleh jurus dan jurus. Tak
berani mengotak-atik ilmu mereka sendiri.

Kebanyakan karena menganggap ilmu mereka yang paling hebat.

Kebanyakan juga karena merasa ilmu mereka sudah sempurna.

Tapi yang paling banyak adalah karena mereka sendiri juga tak paham
mengapa dan bagaimana ilmu-ilmu itu diciptakan.

Jika mereka mampu menyadari bahwa di dalam kekosongan, sebuah ilmu silat
akan mampu berubah menjadi jurus apa saja. Menjadi berbagai macam bentuk,
dan berbagai macam perubahan, maka sungguh mereka akan mampu menjadi
pesilat yang tak terkalahkan.

Sayangnya hanya Cio San yang mampu.

Untungnya hanya Cio San yang mampu.

Ji Hau Leng hanya menatap Cio San,

bagaiaman kau bisa menggunakan 18 Tapak Naga?

Aku melihatmu menggunakannya tadi?

Kau sekali lihat langsung bisa?

Tidak. Aku harus menerima pukulan-pukulanmu dulu baru aku paham cara
kerjanya.

Kau bilang ilmuku belum sempurna kata Ji Hau Leng

Memang. Itu karena kau menitik beratkan 18 Tapak naga pada kekuatan luar
yang sangat dahsyat. Padahal jika digabungkan dengan tenaga dalam yang
lembut, justru akan menghasilkan kekuatan yang lebih dahsyat jelas Cio
San.

Aku.,.aku pernah mendengar bahwa leluhur Kwee Cheng telah mampu


menggabungkannya dengan ilmu lain yang lebih lembut. Tatapi aku tak tahu
bagaimana caranya

Itu karena kau terlalu banyak berpikir. Seharusnya kau biarkan saja ilmu
itu mengalir dengan alami. Pada akhirnya kau akan menemukan caranya

Tapi aku sudah terlambat bukan? Kau tak akan memberiku waktu bukan?

Jika kau mengatakan dimana sahabat-sahabatku, aku akan mengampunimu


Pada awalnya ia ingin membunuh Ji Hau Leng. Tapi melihat keadaannya yang
demikian, luluh juga hati Cio San.

Aku sungguh tak tahu di mana mereka berada jawab Ji Hau Leng.

Siapa yang memerintahkanmu untuk menjemputku dan mengalihkan


perhatianku? tanya Cio San

Bwee Hua Sian

Kenapa kau patuh kepadanya? Bukankah kau adalah pemimpin partai terbesar
di kolong langit ini?

Ia menawan orang yang paling kusayangi

Cinta!

Semua ini karena cinta.

Orang melakukan apapun demi cinta.

Apakah benar orang melakukannya demi cinta?

Bukankah orang melakukan apapun adalah demi dirinya sendiri? Ia takut


kehilangan, ia takut ditinggalkan. Ia takut kesepian. Ia takut tak ada
yang mencintainya lagi. Ia takut hatinya bersedih.

Jadi sesungguhnya orang melakukan apapun bukan karena cinta. Melainkan


untuk dirinya sendiri.

Tolong kau selamatkan dia kata Ji Hau Leng.

Kau jangan ucapan Cio San terhenti.

Tubuh Ji Hau Leng telah jatuh dan roboh. Ia telah mengambil nyawanya
sendiri.

Di dunia ini siapakah yang berani menanggung malu sebesar ini? Menjadi
pendekar yang dikagumi, membawahi puluhan ribu anggota partai terbesar di
Bu Lim, tetapi melakukan hal-hal rendah demi cinta?

Tapi Cio San tak pernah menganggap hal itu rendah. Orang yang mati demi
cinta adalah orang yang berbahagia. Apapun kata orang. Serendah apapun

hinaan orang. Cinta harus diperjuangkan dan jika engkau mati di tengah
jalan, engkau tetap orang yang beruntung. Karena setidaknya di dalam
hatimu masih ada sedikit kesetiaan dan kasih sayang.

Cio San mengangkat tubuh Ji Hau Leng dengan penuh hormat. Pendekar ini
telah mempertanggungjawabkan semua perbuatannya. Maka Cio San bertekad
membawa tubuh Ji Hau Leng kembali ke markasnya.

Sampai menjelang malam, baru Cio San sampai di markas itu. Kedatangannya
membawa kekagetan dan tangisan membahana.

Seluruh pengemis yang ada di sana menangis dan berebut mencium jasad
ketua mereka. Setelah itu mereka mengurus jasad itu dengan baik.

Cio San heran mengapa ia tidak ditanyai macam-macam. Kematian orang besar
seperti ini tentunya menimbulkan kehebohan. Apalagi dia adalah pangcu
partai terbesar. Cio San sedikit kecewa mengapa tidak ada seorang pun
anggota Kay pang yang menanyakan banyak hal kepadanya.

Ketika ia meminta diri untuk pulang, semua orang lalu berlutut di


hadapannya.

Salam hormat kepada Pangcu!

Cio San tak bisa berkata apa-apa lagi.

Catatan Penulis part I: Tentang 18 Tapak Naga

Kwee Cheng dengan pemeran berbeda-beda

Jurus 18 Tapak Naga adalah jurus fiktif yang diciptakan salah satu
penulis novel silat favorit saya, Chin Yung (Jin Yong). Jurus ini pertama
kali muncul di novel "Demi God and Semi Devil". Saat itu tokoh jagoannya
yang bernama Xiao Feng mempelajari ilmu 28 Tapak Naga. Ilmu itu kemudian
diringkasnya menjadi hanya 18 saja. Ilmu itu menjadi lebih efektif dan
lebih dahsyat.

Xiao Feng adalah ketua perkumpulan Kay pang (pengemis) sehingga ilmu itu
diturunkan kepada penggantinya secara turun temurun. Sampai kepada
ketuanya yang ke 18 bernana Hung Qigung (Ang Cit Kong). Ang Cit Kong ini
kemudian menurunkan jurus ini kepada muridnya Kwee Cheng.

Di tangan Kwee Cheng inilah, ilmu ini berkembang menjadi lebih dahsyat
lagi. Kwee Cheng menggabungkan jurus ini dengan beberapa ilmu yang
dimiliknya seperti ilmu 9 bulan (Jiu Yin Jen Cheng/ Kyu Im Cin Keng).
Ilmu ini menjadi sangat legendaris, karena baru Kwee Cheng lah orang
pertama yang benar-benar menggunakannya dengan sempurna. Kedahsyatan ilmu
ini sangat terkenal sehingga dianggap sebagai ilmu tenaga luar yang
paling sakti di dalam kalangan persilatan.

Setelah Kwee Cheng, ia meneruskan ilmu ini kepada beberapa orang


muridnya. Selama 100 tahun kemudian ilmu ini menjadi kabur, karena tidak
jelas siapa lagi yang meneruskan mempelajari ilmu ini. Ilmu ini kemudian
muncul secara mengagetkan di novel Chin Yung berikutnya yang berjudul
"Heaven Sword and Dragon Sabre" (To Liong To, sekarang lagi main di
Indosiar setiap jam 6 sore senin sampai jumat).

Dalam novel saya ini, saya sengaja menyebutkan ilmu ini sebagai bentuk
penghormatan saya kepada Chin Yung-tayhiap. Karya beliau telah memberikan
hiburan dan pengetahuan kepada saya. Bahkan saya menulis novel ini juga
sebagai penghormatan kepada beliau, dan kepada idola saya yang lainnya,
yaitu Khu Lung (Gu Long). Kedua penulis ini yang membuat saya benar-benar
tertarik untuk menulis novel seperti ini.

Ok, cukup sudah selingannya. Selamat menikmati ya teman-teman,,semoha


cukup menghibur.

Bab 53 Kejadian di Kay Pang

Pengemis Cun

Ada yang bisa menjelaskan maksud semua ini? tanya Cio San

Sebelum pergi, mendiang Ji-pangcu telah menuliskan surat. Ini suratnya,


pangcu

Cio San membuka dan membacanya,

Aku Ji Hau Leng, ketua ke 28 Kay Pang menerbitkan surat perintah


sekaligus wasiat kepada seluruh anggota Kay pang di mana pun berada.

Saat ini aku akan menjalani pertempuran hidup dan mati. Sebuah
pertarungan karena masalah pribadi dan tidak ada hubungannya denga Kay
Pang. Oleh sebab itu aku melarang setiap anggota Kay pang untuk turut
campur dalam masalah pribadi ini.

Kesalahan masa lalu harus ditebus, harga diri harus diraih kembali. Jika
aku pulang dalam keadaan hidup, maka semua akan tetap berjalan seperti
biasa. Jika aku mati, maka jabatan ketua ke 29 aku serahkan kepada Cio
San.

Jabatan ini dipegangnya sementara sampai seluruh Kay Pang berhasil


memilih ketua terbaru berdasarkan syarat-syarat yang telah ditentukan
oleh partai kita

Kepada seluruh anggota Kay pang aku mengucapkan hormat sebesar-besarnya


atas cinta dan kesetiaan yang telah saudara-saudara semua berikan kepada
partai kita yang tercinta. Kepada leluhur-leluhur, aku memohon maaf
karena tidak mampu menjaga kehormatan. Kepada ketua yang baru, aku

percaya bahwa engkau akan sanggup menjalani tugas yang berat ini. Aku
meyakini kebersihan hatimu, kejujuranmu, serta tingginya ilmu mu.

Salam hormat selalu

Ji Hau Leng

Cio San meneteskan air mata saat membaca surat ini. Ia merasakan
penderitaan Ji Hau Leng yang harus merusak kehormatan diri sendiri karena
cintanya. Betapa dalam pedih yang harus dirasakan Ji Hau Leng saat ia
diharuskan menjadi pengkhianat dan orang yang curang.

Entah berapa banyak perbuatan dosa yang terpaksa ia lakukan karena


mendapat ancaman dari Bwee Hua Sian.

Entah berapa kali ia harus melakukan perbuatan yang bertentangan dengan


hati nuraninya

Saudara semua sudah tahu isi surat ini? tanya Cio San kepada hadirin
yang ada di sana.

Sudah. Mendiang pangcu memerintahkan kami untuk membuka surat ini, tepat
ketika garis merah di langit hilang kata salah seorang yang diikuti oleh
anggukan hadirin yang lain.

Lalu apa tanggapan kalian?

Perintah dan pesan terakhir mendiang Ji-pangcu harus dilaksanakan!!


mereka yang ada di sana semua setuju.

Melihat ini, betapa hati Cio San seperti tersayat-sayat. Kesetiaan semua
anggota Kay Pang ini kepada pesan terakhir pangcu mereka, membuat Cio San
paham betapa baiknya perlakuan Ji Hau Leng terhadap mereka.

Lalu ia berkata,

Bagaimana jika perintah mendiang pangcu itu kutolak?

Semua orang yang ada di sana heran,

Maksud pangcu?

Aku tidak ingin menjadi pangcu Kay Pang

Para hadirin yang berjumlah ratusan itu serentak lalu berdiri dan
berkata,

Mengapa?

Menjadi pangcu dari Kay Pang adalah dambaan semua orang yang ada di dunia
persilatan. Itu seperti menjadi kaisar tanpa mahkota.

Karena aku tidak mau

Semua orang yang ada di sana tidak percaya dengan apa yang mereka dengar.

Seorang pengemis tua maju ke depan dan bertanya,

Apakah karena perkumpulan kami ini begitu hina sehingga tuan menolak?

Harap saudara-saudara tidak salah mengerti. Cayhe sendiri adalah kaucu


dari sebuah partai. Cayhe takut jika tidak mampu mengurus 2 partai
sekaligus kata Cio San.

Ah partai apakah?

Mo Kauw

Semua hadirin yang ada di sana berdecak kagum. Cio San lebih mudah
daripada Ji Hau Leng. Sudah menjadi salah satu ketua partai besar.

Aih..kalau begini malah akan semakin merepotkan kata pengemis tua tadi.
Di pundaknya tergantung sejenis tas yang berisi banyak kantong. Jumlah
kantongnya ada 9. Dalam Kay Pang, pengemis berkantong Sembilan adalah
golongan pengemis yang paling tinggi derajatnya.

Semua orang menggeleng-geleng.

Ada apa? tanya Cio San.

Menurut peraturan partai kami, seorang ketua tidak boleh menyandang 2


jabatan.

Aha. Cocok kalau begitu. Kata Cio Sambil tersenyum. Cayhe memang tidak
pantas jadi ketua

Tapi pesan terakhir mendiang Ji-pangcu harus tetap dilaksanakan kata


pengemis tua itu, yang disambut dengan anggukan setuju oleh semua yang
hadir di situ.

Lalu harus bagaimana? tanya Cio San.

Biarkan kami berunding dulu. Boleh? tanya si pengemis tua. Rupanya dia
memang adalah sosok yang paling dihormati di sana.

Silahkan, totiang (tetua). Cayhe akan menunggu di luar kata Cio San.

Ia lalu ke halaman depan dan duduk-duduk di sebuah pavilion kecil yang


ada di pojok halaman. Hari telah gelap. Langit hitam dan bintik-bintik
cahaya di langit. Cio San menatap langit sambil berbaring. Kedua telapak
tangannya ia jadikan bantal bagi kepala.

Ikut aku

Terdengar sebuah suara. Jika bukan karena tidak percaya tahayul, Cio San
pasti mengira itu suara setan. Ia menoleh ke sumber suara, di lihatnya
Suma Sun sedang berdiri gagh di atas pagar yang tinggi.

kau sudah menemukan mereka? tanya Cio San

Suma Sun hanya mengangguk.

Baiklah, tunggu sebentar. Aku pamitan dulu dengan anggota Kay Pang

Cio San segera menuju balairung utama markas Kay Pang tempat mereka
sedang berunding. Telinganya sempat mendengar kedatangan banyak orang di
gerbang depan, tapi mengacuhkannya saja. Baginya urusan menyelamatkan
sahabat-sahabatnya jauh lebih penting.

Mohon maaf mengganggu rapat saudara-saudara sekalian. Bolehkah cayhe


memohon ijin untuk pergi sebenatr menyelamatkan sahabat-sahabat cayhe.
Karena cayhe takut, jika terlambat mereka akan celaka

Belum sempat orang-orang yang ada di sana menjawab, terdengar suara dari
belakang Cio San,

Jangan biarkan penipu itu pergi!

Cio San menoleh. Serombongan pengemis berjumlah puluhan orang telah


muncul di situ. Berarti itu langkah-lagkah mereka yang tadi di dengar Cio
San.

Apa maksud saudara Han? tanya salah seorang.

Orang yang dimaksud saudara Han tadi itu berkata,

Orang inilah pembunuh Ji-pangcu! katanya sambil menuding Cio San.

Apa??! semua orang yang ada di sana terbelalak.

benarkah? Apa maksudmu Han-te (adik Han) tanya pengemis tua yang tadi
dipanggil totiang oleh Cio San.

Aku punya saksi Cun-ko (kakak Cun). Biar dia saja yang bercerita. Ayo
Pan Lang, ceritakan semua yang terjadi tadi!

Orang yang bernama Pan Lang itu maju ke depan. Ia menjura kepada semua
orang lali mulai bercerita,

Saat tengah hari, aku berencana untuk pergi ke markas sini. Tapi begitu
sampai di gerbang aku melihat pangcu kita sedang bercakap-cakap dengan
bangsat ini katanya sambil menunjuk Cio San.

Karena tertarik, aku menguping sedikit pembicaraan mereka. Dari yang


kudengar, mendiang Ji-pangcu mengatakan bahwa si bangsat ini telah

mencuri kitab sakti 18 Tapak Naga yang sempat ditemukan oleh Ji Pangcu
setahun yang lalu itu

Apa??!!! semua orang yang ada di sana kaget.

Lalu Pan Lang melanjutkan,

Si bangsat ini menolak mengembalikan, oleh sebab itu ketua bertarung


dengannya. Pertarungan sangat dahsyat sekali. Karena masing-masing
mendiang Ji-pangcu dan si bangsat ini sama-sama menggunakan jurus 18
Tapak Naga!

Semua orang tak henti melongo dan terkaget-kaget.

Lalu si bangsat ini menyerah kalah. Karena ilmu mendiang Ji-pangcu lebih
murni dan lebih dahsyat. Tapi saat Ji-pangcu lengah, si bangsat ini
membokong dan membunuh pangcu kita!

Semua orang marah dan menangis. Mereka bangkit dan memaki Kurang ajar!
suasana di sana ramai dan kacau balau.

Lalu tetua yang tadi dipanggil sebagai Cun-ko berkata, Tenangtenangurusan ini rumit dan banyak rahasia. Kita harus membahasnya dengan
kepala dingin

Mendengar kata-katanya, entah kenapa semua orang Kay Pang menurut. Tetapi
beberapa angota daro rombongan yang tadi datang, masih berteriak-teriak
Bunuh si bangsatbunuh si bangsat

Si pengemis tua bernama Cun tadi menoleh kepada Cio San,

benarkah apa yang diceritakan Pan Lang tadi?

Bagaiamana Cio San bisa menjelaskan semua ini? Jika ia benar-benar jujur
berkata bahwa Ji Hau Leng bunuh diri karena menyesal telah menjadi kaki
tangan si otak besar, tentu tak ada yang percaya. Walaupun ada yang
percaya pun, Cio San tidak akan menceritakan rahasia itu. Ia ingin
menjaga kehormatan dan nama baik Ji Hau Leng.

Maka ia hanya menjawab,

Benar, cayhe memang benar bertarung dengan mendiang Ji-pangcu

Kurang ajar! Bunuh si bangsat! semua yang ada di sana pun serentak
memasang kuda-kuda.

Tahan! Tahan sebentar! kata Pengemis Cun. Lanjutnya,

Lalu apa maksud surat mendiang Ji-pangcu? Kita semua tahu surat itu
adalah tulisan tangan beliau

Surat itu palsu! sahut Han Siauw. Dia ini kepala rombongan yang tadi
datang. Aku punya surat asli

Ia melemparkan sebuah kertas ke arah pengemis Cun. Ia lalu membacanya.

Seorang pengacau telah merusak kehormatan Kay Pang, dan telah mencuri
kitab sakti 18 Tapak Naga kebanggaan kita. Aku pergi untuk meminta
pertanggung jawabannya. Jika aku gugur nanti, jabatan pangcu ku serahkan
kepada Han Siauw

Tertanda

Ji Hau Leng

Semua orang bertambah terbelalak lagi.

Itu adalah surat yang asli. Seorang penyusup telah masuk ke kamar
mendiang Ji-pangcu lalu menukarkan surat iini dengan surat palsu.
Untunglah kami berhasil menangkap penyusup itu dan membunuhnya

Pengemis Cun berkata, Tapi surat yang tadi kami baca pun, surat asli.
Ada cap dan tanda tangan Ji-pangcu sendiri. Apalagi kita semua mengenal
tulisan tangan mendiang pangcu

Cun-ko kata Han Siawu, Coba engkau periksa surat yang ku bawa itu.
Bukankah ada cap dan tanda tangan ketua? Bukankah tulisan tangannya pun
sama persis?

Semua orang memeriksa surat itu dan mengangguk-angguk. Benar, surat ini
pun asli!

Nah, sekarang mana yang kalian percaya? Orang asing ini atau aku? Surat
bisa dipalsukan, tanda tangan dan gaya tulisan pun bisa dipalsukan. Tapi
kebenaran tak akan bisa dipalsukan! kata Han Siauw lantang.

Bantai si bangsat! Bantai si bangsat! semua orang yang berada di situ


berteriak-teriak.

Buat formasi Barisan Pemukul Anjing! perintah Han Siauw. Semua orang
kemudian bergerak dan membentuk lingkaran mengelilingi Cio San. Hanya Cio
San dan Han Siauw yang berada dalam lingkaran itu. Barisan ini mengepung
mereka berdua sambil mengetuk-ngetukan tongkat kayu mereka ke lantai.
Menimbulkan suara bising yang menakutkan. Inilah Barisan Pemukul Anjing
yang snagat tersohor itu!

Semua tetua dan orang yang tidak bergabung ke dalam Barisan Pemukul
Anjing telah menepi ke luar lingkaran.

Cring!

Han Siauw mengeluarkan pedangnya. Pedang itu tersimpan di dalam


tongkatnya.

Kau menggunakan pedang? terdengar suara lembut dan tenang

Tiada satu orang pun yang tahu bagaimana sosok berbaju putih dan berambut
kemerahan itu telah muncul dan berada di dalam lingkaran itu!

Suma-tayhiap, tolong jangan bunuh orang kata Cio San

Pedang hanya untuk membunuh kata Suma Sun. Masih dengan lembut dan
tenang.

Memintanya untuk tidak membunuh orang, adalah seperti meminta serigala


menjadi domba.

Ah jadi ini si dewa pedang rambut merah. Kau antek-antek si bangsat ini
bukan? Coba ku lihat kehebatan ilmu pedangmu yang tersohor

Han Siauw bergerak.

Suma Sun tidak bergerak.

Tapi Han Siauw telah terkapar dengan luka tusukan tepat di dahinya.

Tanpa darah.

Yang ada hanya kematian.

Melihat ini tiada satu pun orang yang mengeluarkan suara. Bahkan suara
tongkat beradu dengan lantai pun sudah berhenti.

Tak ada yang tahu bagaimana Han Siauw mati. Tak ada yang tahu bagaimana
Suma Sun bergerak.

Akhirnya Cio San berkata,

Harap saudara-saudara jangan maju menyerang. Biarkan aku menyelesaikan


fitnah dengan baik-baik. Aku bersumpah bukan yang membunuh Ji-pangcu.
Rahasia ini harus kita bongkar. Aku hanya berharap saudara-saudara
sekalian percaya kepadaku

Kami tidak takut mati!!! mereka semua menyerang. Inilah barisan tongkat
pemukul anjing yang dahsyat dan mematikan.

Hujan tongkat berdatangan bagai badai dan hujan. Mereka yang menyerang
Suma Hun tentu saja langsung terkapar dengan luka tusukan di dahi mereka.
Mereka yang menyerang Cio San semua terlempar kembali tanpa terluka
sedikit pun. Thay Kek Kun telah menunjukkan kehebatannya sekali lagi.

Tahan! Jangan menyerang! tapi sergahan Cio san ini malah seperti
membangkitkan semangat bertarung mereka.

Kembali puluhan orang terlempar kembali ke belakang oleh Cio San. Kini
tak ada yang berani menyerang Suma Sun.

Cun totiang (tetua Cun)! Harap tahan anak buahmu. Kau tahu pasti ada
rahasia di balik ini semua. Percayalah padaku

Cio San berkata begitu karena ia tahu, pengemis Cun adalah oeang yang
cerdas dan yang paling didengarkan kata-katanya. Dan pandangan Cio San
tidak pernah salah.

Saudara-saudara, tahan serangan! kata pengemis Cun

Serangan pun berhenti.

terima kasih. Kata Cio San kepada pengemis Cun.

Saudara-saudara sekalian. Dengarkan perkataanku. Aku bukan pembunuh Jipangcu. Aku justru terfitnah. Kami berdua terfitnah. Memang kami
bertarung tapi aku tidak membunuhnya. Kami juga bertarung bukan gara-gara
18 Tapak naga. Percayalah. Beri aku waktu 3 bulan untuk membersihkan
namaku dan meluruskan fitnah ini kata Cio San. Baru kali ini terlihat
wibawanya.

Memangnya jika kau tidak memberinya waktu, kau bisa apa? Menyerangnya?
Tentu kaulah yang mati. Oleh sebab itu para anggota Kay pang menganggukangguk saja. Mereka telah melihat kebaikan hati Cio san untuk tidak
membunuh mereka.

Baiklah kami beri kau waktu. Tiga bulan. Jika tidak, kami yang akan
mengobrak-abrik Mo Kauw kata salah seoran tetua.

Cun-totiang kata Cio San Ikutlah dengan ku. Aku akan menjelaskan
semuanya sambil jalan. Aku butuh bantuanmu

Pengemis Cun mengangguk.

Ayo pergi

Mereka bertiga lalu menghilang dari sana.

Bab 54 Di Lembah Seribu Kupu-Kupu

Tak berapa jauh mereka pun berhenti. Karena Suma Sun berhenti.

Serigala memang tak perlu terburu-buru mengejar mangsa. Jika mangsanya


kecil, serigala akan segera membunuhnya. Tapi jika musuhnya lebih besar
daripada dirinya, maka ia akan menunggu dan menunggu sampai si musuh
lengah dan kehabisan tenaga.

Serigala akan semakin tenang jika menghadapi musuhnya.

Suma Sun pun seperti itu. Jika kau melihatnya semakin tenang dan lembut.
Itu berarti ia sedang bersiap-siap bertempur.

Cio San paham hal ini oleh sebab itu ia tidak bertanya apa-apa kepada
Suma Sun. Mereka berjalan kaki dengan santai tanpa berbicara.

Ia memilih bercakap-cakap dengan pengemis Cun.

Ku pikir, totiang harus mendengar semua ceritaku dari awal. Tapi


sebelumnya, aku hanya ingin bertanya. Apakah totiang yakin bahwa di dunia
ini ada orang yang tidak pernah melakukan kesalahan?

Tidak ada orang yang sempurna, pangcu kata pengemis Cun

Totiang memanggilku pangcu. Apakah totiang menganggapku tetap sebagai


Kay pang pangcu? tanya Cio San.

Tentu saja, pangcu

Dengan segala kejadian tadi, pandangan totiang terhadapku tidak


berubah?

Tidak. Walaupun cayhe tahu ada banyak rahasia dibalik semua ini. Cayhe
tetap percaya kepada pangcu

Kenapa?

Tak ada alasan

Memang ada saat saat di mana saat kita bertemu orang yang tak kita kenal,
kita kadang-kadang percaya penuh kepadanya. Orang yang memakai akal sehat
tentu tidak akan melakukannya. Tapi kadang-kadang akal sehat kita kalah
oleh perasaan. Jika sudah percaya, maka apapun yang dia lakukan, kita
akan percaya. Tapi jika sudah tidak percaya, sebenar dan sebaik apapun
tindakannya, kita tetap tidak akan percaya.

Kejadian seperti itu rasa-rasanya memang sudah umum.

Jika ku katakan kepada totiang bahwa mendiang Ji-pangcu pernah melakukan


kesalahan, apakah totiang akan percaya? tanya Cio San

Tidak ada orang yang bersih dari kesalahan, pangcu. Tapi kesalahan apa
yang pangcu maksud?

Cio San lalu bercerita dari awal. Tentang pembunuhan-pembunuhan yang


dilakukan oleh orang-orang bertopeng. Tentang sehalanya. Dan tentang Ji
Hau Leng yang kekasihnya disandera. Sehingga akhirnya harus melakukan
banyak dosa. Dan kemudian memilih mati bunuh diri untuk menebus dosadosanya.

Aihhhhh. Cayhe tidak mengerti mengapa bisa sedalam itu urusannya kata
pengemis Cun.

Apakah totiang percaya seluruh ceritaku? tanya Cio San

Mau percaya juga berat. Mau tidak percaya, kenyataannya sangat masuk
akal. Ketahuilah, pangcu. Cayhe sendiri banyak melihat perubahanperubahan dalam diri mendiang Ji-pangcu dalam setahun belakangan ini.
Beliau sering sekali melamun. Ketika cayhe tanya ada apa, beliau hanya
tersenyum dan tidak menjawab apa-apa. Beliau pun sering menghilang.
Lebih banyak berada di luar markas. Tidak ada seorang pun yang tahu
kemana beliau pergi. Padahala jaringan partai kamu terbesar dan paling
hebat dalam mencari berita. Jangankan pangcu kami sendiri, nyamuk dan
lalat pun kami tahu keberadaannya.

Banyak juga keputusan-keputusan dan kebijakan beliau yang cayhe rasa


cukup janggal

seperti apa? tanya Cio San

Banyak pangcu. Hamba tidak ingat satu persatu. Yang paling cayhe ingat
adalah keputusan beliau untuk membuka penerimaan anggota sebebasbebasnya. Padahal dulu partai kami adalah partai yang paling ketat
keanggotaannya. Tidak sembaran oran atau sembarang pengemis bisa menjadi
anggota

Hmmm: Cio San hanya mengagguk angguk saja.

Apakah kebijakan itu ada hubungannya dengan semua kejadian pembunuhan


ini, pangcu?

Tentu saja jawab Cio San pendek.

Lalu bagaimana dengan surat yang tadi dibawa Han Siauw? Cayhe
perhatikan, surat itu asli. Tak ada bedanya dengan tulisan tangan
mendiang Ji-pangcu

Surat itu tentunya palsu. Si otak besar pasti telah menyiapkannya,


begitu dilihat Ji Hau Leng bunuh diri. Pergerakan si otak besar ini

lumayan cepat, sampai-sampai dia bisa menyusun rencana dan membuat suart
palsu sedemikian cepat

Lanjut Cio San,

Saat aku kecil dulu, aku ingat ayahku pernah bercerita tentang seorang
Siucai (sastrawan) yang mampu meniru tulisan dan lukisan siapa saja. Aku
lupa siapa namanya. Tentunya orang-orang seperti ini yang memalsukan
tulisan dan cap perguruan Kay Pang

Hmmm, masuk akal

Pengemis Cun hanya merenung. Hatinya bersedih oleh kejadian yang baru
saja lewat. Ia bahkan tak tahu harus berbuat apa.

Lalu ia berkata,

Lalu pangcu membawa saya untuk mengikuti pangcu kesini untuk apa?

Aku hanya menyelamatkanmu dari si otak besar

Hah?

Tentunya jika aku tidak ada di sana, pemberontakan akan segera terjadi.
Orang-orang si otak besar yang ia susupkan kesana pasti akan membunuhmu
jika mereka tahu engkau berpihak kepadaku

Penemis Cun mengangguk-angguk.

Jika kau mengangapku sebagai pangcumu, aku inin memberi perintah


kepadamu

Hamba siap terima perintah katanya sambil berlutut.

Kau harus menghilang untuk sementara. Atur langkah baik-baik. Cari


anggota-anggota Kay Pang yang sekiranya setia dan percaya kepadamu.
Kalian harus bersiap-siap karena mulai saat ini aku yakin kay pang akan
dikuasai oleh antek-antek si otak besar. Selain itu, aku memintamu untuk
pergi ke kotaraja. Seledikilah pergerakan Kay Pang di sana. Segera
laporkan kepadaku jika ada perkembangan

Baik, pangcu. Eh tapi bagaimana hamba harus mencari pangcu?

Pergilah ke Khu Hujin. Kau tahu siapa dia bukan? Nah, katakan bahwa
engkau punya pesan untukku. Biar Khu Hujin yang akan mengurusnya

Baik. Hamba segera berangkat pngemis Cun lalu menghilang dari sana.

Apa hubungannya Khu Hujin dengan semua ini? tanya Suma Sun. Ia
sepertinya tertarik

Sangat berhubungan.

Suma Sun hanya mengangguk-angguk.

Perjalanan mereka dilakukan dengan tidak berburu-buru. Mereka berdua


beristirahat, menikmati makanan, dan bahkan mandi dan menyegarkan diri
saat terang tanah.

Dalam pertarungan, seorang petarung haruslah dalam kondisi terbaik.


Kekuarangan satu hal kecil saja akan membuat mereka kalah. Tubuh harus
segar. Asupan gizi harus penuh. Tidak ada luka, tidak ada cedera. Tidak
ada masalah yang merisaukan hati.

Bahkan luka di ujung kuku saja bisa membuatmu kalah.

Kondisi daerah pertarungan tempat engkau bertarung pun harus kau kuasai.
Pepohonannya. Rerumputannya. Tanahnya. Letak arah sinar matahari. Arah
angin. Bahkan jam berapa engkau bertarung itu pun harus kau perhitungkan.

Suma Sun memang ahlinya dalam bidang itu. Makanya Cio San menurut saja
apa kata Suma Sun. Suma Sun bilang tidur, maka ia manut tidur. Suma Sun
bilang makan, ia manut makan. Bahkan jika Suma Sun menyuruhnya buang air,
ia akan menurut.

Kini setelah mandi dan sarapan, mereka duduk menikmati sinar matahari
pagi.

Setelah melihat sendiri gerakan pedangmu tadi, aku yakin aku tidak dapat
menangkap pedangmu kata Cio San.

Kau bisa melihat pedangku? tanya Suma Sun

Bisa

Ah ada kekecewaan dalam suaranya.

Tapi aku kan tidak bisa menangkapnya sanggah Cio San

Tetap saja kau bisa melihatnya kata Suma Sun dingin. Lanjutnya, Jika
bukan karena kita akan bertempur melawan musuh di depan, saat ini juga
aku sudah ingin bertempur denganmu

Aku kan sudah bilang aku tidak bisa menangkap pedangmu kata Cio San

Tapi kau tidak bilang bahwa aku sanggup mengalahkanmu tukas Suma Sun.
Kata-katanya malah jauh lebih tenang dan dingin. Ini pertanda bahwa ia
sudah mulai memasuki gaya tempur nya.

Cio San geleng-geleng kepala. Mengapa di dunia ini ada orang seperti ini?

Musuh di depan kita, apakah adalah seseorang yang selama ini kau caricari? tanya Suma Sun.

Mungkin saja tukas Cio San santai.

Kau tak akan bisa menempurnya sendirian kata Suma Sun

Aku tahu. Karena itulah aku mengajakmu

Mengapa kau begitu yakin aku mau menerima ajakanmu?

Karena kau pun mencari dia, bukan?

Suma Sun sedikit kaget, Darimana kau tahu?

Kau memiliki dendam terhadapnya. Karena itulah kau mau datang ketika
dulu dipanggil Cukat Tong. Jika bukan karena urusanmu sendiri, kau tentu
tidak akan mau datang jelas Cio San.

Kau hebat kata Suma Sun.

Jika kau yang mengatakannya, aku baru percaya baru aku hebat kata Cio
San sambil tersenyum. Tapi Suma Sun tidak tersenyum.

Baru kali ini aku merasakan takut kepada seseorang kata-katanya lambat
dan pelan. Terasa semakin lembut dan halus terdengar. Musuh sekuat
apapun, bahkan yang lebih kuat dari aku pun aku tak pernah takut. Hanya
kepadamu aku baru merasakannya. Ternyata seperti ini rasanya

Jika kau bertarung denganku dalam kondisi seperti ini, kau pasti akan
kalah kata Cio San.

Tentu saja Ia mengaku kalah dengan santai dan ringan. Padahal orang
seperti Suma Sun harga dirinya sangat tinggi.

Orang yang akan kita hadapi apakah ada 2 orang? tanya Cio San

Kau tahu? Suma Sun balik bertanya.

Jika cuma satu orang, tentu kau bisa menghadapinya sendirian

Suma Sun mengangguk. Dia memeluk erat pedangnya. Di dunia ini hal yang
paling disayanginya tentulah pedang itu.

Apakah mereka sehebat itu? tanya Cio San lagi.

Ilmunya sudah ia kuasai puluhan tahun. Tempat yang kita datangi ini
adalah tempatnya. Ia sudah menang beberapa langkah

Apa yang membuatmu yakin kita akan menang?

Ada kau dan aku

Ini bukan kesombongan. Jika ia tidak yakin benar, sudah pasti ia tak akan
mau bertempur.

Mari kita lanjutkan perjalanan

Mereka pun berangkat. Sampai sore hari tibalah mereka di sebuah lembah
yang indah. Begitu banyak bunga dan kupu-kupu membuat tempat ini menjadi
sangat indah. Cio San jadi teringan Mey Lan. Biasanya Mey Lan paling suka
tempat seperti ini.

Tempat seindah ini, siapa yang menyangka menyimpan kematian?

Belum pernah ada kematian di sini sahut Suma Sun.

Oh Jika Suma Sun yang bicara, Cio San menurut saja.

Manusia-manusia yang bernaluri tinggi seperti Suma Sun memang pendapatnya


lebih bisa dipegang. Ini karena mereka lebih mengandalkan perasaan
mereka. Suma Sun yang mengalami kebutaan mungkin sejak lahir, telah
terbiasa mengasah perasaannya ini sehingga menjadi sangat tajam.

Posisi tubuh Suma Sun tiba-tiba menegak. Gerakannya menjadi lamban.


Jalannya menjadi perlahan. Ia telah merasakan bahaya di depan!

Telinga Cio San sendiri belum mendenar apa-apa.

Kau mendengar apa? tanya Cio San

Ada orang di depan. Langkahnya tidak terdengar. Tapi aku bisa merasakan
hawa pembunuhnya

Tak berapa lama, tampaklah seseorang di depan.

Ah, Mo Kauw kaucu dan Ang Hoat Kiam Sian kata orang itu sambil
tersenyum.

Penampilannya biasa saja. Seperti seorang pedagang pasar yang kelebihan


berat bedan. Senyumnya ramah dan bersahabat.

Salam hormat kata Cio San menjura. Suma Sun diam saja.

Salam hormat kata orang itu sambil balas menjura.

Mari silahkan duduk dulu Ia berkata ramah sambil mengajak mereka duduk
di sebuah pavilliun kecil di tepi kolam. Pemandangannya sungguh indah.

Cio San dan Suma Sun mengikutinya saja. Mereka kemudian duduk di paviliun
itu.

Cayhe punya seguci arak. Tapi entah tuan-tuan ada minat tidak untuk
sekedar menghabiskan beberapa cangkir bersama cayhe?

Tentu saja minat, tuan Cio San menggantungkan kata-katanya.

Nama cayhe Man Tho Li katanya sambil tersenyum.

Siapa pun yang punya telinga di dunia, pasti pernah mendengar nama ini.
Man Tho Li. Pria terkaya di seluruh Tionggoan. Harta pribadinya saja
bahkan mungkin lebih banyak dari kaisar sendiri!

Tak disangka, orang bernama Man Tho Li ini cuma seorang bertubuh tambun
berpakaian sederhana.

Ah, ternyata cayhe berhadapan dengan Man-wangwe (saudagar Man). Maafkan


mata cayhe yang lamur dan tidak mengenal orang. Sungguh ini sebuah
kehormatan kata Cio San.

Aha..tidak berani..tidak berani. Justru ini sebuah kehormatan bagi cayhe


bisa bertemu langsung dengan jagoan-jagoan terkemuka di jaman ini
katanya Lalu ia bertanya,

Apakah gerangan yang membawa enghiong ji-wi (dua orang satria) ini
kemari? katanya sambil menuangkan arak ke dalam cangkir.

Kami mencari 4 orang sahabat kami. Mungkin telah tersesat jalan hinga
kemari. Kami pun hanya mencari-cari saja tanpa tujuan kata Cio San

Eh? Siapa nama 4 sahabat Cio-kaucu? tanya Man-wangwe

Cukat Tong, Ang Lin Hua, Sie Peng dan Yan Tian Bu jawab Cio San.

Man-wangwe berpikir sebentar, lalu berkata,

Maksud kaucu, Cukat Tong raja maling dan Ang Lin Hua putri mendiang Angkaucu?

Benar sekali jawab Cio San

Lalu Sie Peng dan Yan Tian Bu ini siapa? tanya Man wangwe lagi

Mereka adalah anak buah cayhe, wangwe

Hmmmm. Aku yakin mereka tidak ada di sini kata Man wangwe

Eh? Cio San hanya bisa menoleh ke Suma Sun.

Mereka ada di sini kata Suma Sun tenang.

Apa Suma-tayhiap tidak keliru? sudah, begini saja. Mari kita sama-sama
ke dalam dan ji-wi enghiong bisa memeriksa sendiri.

Habis bicara begitu ia bangkit dan mempersilahkan mereka mengikutinya.

Dari jauh rumah Man-wangwe terlihat sangat indah. Sebuah rumah yang
walaupun tidak begitu besar, terlihat megah dan cantik sekali.

Begitu memasuki rumah itu, tampaklah perabotan-perabotan yang sederhana


sekali. Orang terkaya di dunia ternyata hidup begitu sederhana.

Silahkan ji-wi enghiong memeriksa seluruh ruangan yang ada katanya


mempersilahkan.

Dengan agak rikuh Cio San memeriksa setiap ruangan. Suma Sun hanya
berdiri saja dengan tenang sambil memeluk pedangnya.

Setiap ruangan yang di masukinya memang tidak ada hal yang mencurigakan.
Cio San sampai berpikir bahwa mungkin saja Suma Sun bisa salah. Ketika
sampai di depan ruangan terakhir yang pintunya terlihat cukup indah, Man
wangwe berkata,

Harap kaucu jangan masuk ke sana

Kenapa?

Itu kamar istri cayhe yang sedang sakit

Mereka berada di kamar itu sahut Suma Sun.

Suma-tayhiap! Jangan asal bicara ucapannya masih tenang tapi


kemarahannya sudah mulai tampak.

Kau ingin bertarung? tanya Suma Sun


Cayhe bukan pesilat. Tapi siapapun yang mengganggu ketenangan istri
cayhe, akan cayhe hadapi

Majulah kata Suma Sun tenang.

Cio San bingung harus berkata apa. Dalam hatinya, tentu saja ia percaya
Suma Sun.

Man-wangwe membuat kuda-kuda.

Suma Sun berdiri tegak. Ia telah menyelipkan pedang di pinggangnya.

Man wangwe bergerak!

Gerakannya sungguh cepat sekali. Untuk ukuran orang segemuk dia,


gerakannya bahkan sama lincahnya dengan Ji Hau Leng! Cio San saja hampir
tak percaya.

Pukulannya sederhana.

Suma Sun telah menggenggam pedangnya.

Begitu jarak keduanya semakin dekat, tiba-tiba dari mulut Man-wangwe


terdengar teriakan yang sangat dahsyat!

Teriakan itu menghanucrkan seluruh isi ruangan yang ada. Perabotan pecah,
pintu-pintu jebol, bahkan dinding tebal pun retak-retak.

Auman Singa! bisik Cio San dalam hati. Ia telah mengeluarkan tenaga
dalamnya dan menutup jalan pendengarannya. Tapi tetap saja ia terlambat
sedikit. Kecepatan suara, jauh lebih cepat dari kecepatan gerakan
manusia.

Yang paling menderita adalah Sum Sun!

Ia tak menyangka Man-wangwe akan menyerangnya dengan ilmu Auman Singa.


Ilmu itu telah menyerang gendang telinganya dengan sangat cepat. Apalagi
telinganya memang jauh lebih peka dari siapa saja, sehingga membuat
serangan ilmu Auman Singa itu memiliki efek yang berlipat ganda
kepadanya. Menutup jalan pendengaran pun sudah tidak sempat.

Arggggggghhhhhhhhh, ia terjatuh berlutut sambil menutup telinga.

Pukulan dahsyat Man Wangwe pun kini sudah sangat dekat dengan kepalanya.

Dengan gerakan yang tak terduga, Suma Sun sudah menghindari pukulan itu.
Entah bagaimana caranya!

Mungkin nalurinya yang kini bekerja sekarang. Selama ini, ia selalu


bertarung mengandalkan pendengarannya. Kini pendengarannya tak berfungsi
sama sekali, tapi ia mampu menghindari pukulan ganas itu. Hanya
pengalaman bertarung lah yang membuat naluri seorang petarung menjadi
sedemikian tajam!

Ingin Cio San membantu Suma Sun. Tetapi Cio San tahu, mengeroyok bukanlah
perbuatan para satria. Apalagi ia tahu juga, bahwa Suma Sun tentu tak
ingin orang lain mencampuri pertarungannya.

Kini pedang Suma Sun telah terlepas dari tangannya. Seorang pendekar
tanpa pedangnya, bagaikan serigala tanpa cakar dan taringnya.

Terlihat wajah Suma Sun pucat dan ia meringis menahan sakit. Tapi
sikapnya masih tenang. Setelah berhasil menghindari pukulan ganas Manwangwe, kini Suma Sun telah berhasil mengatur jarak dari Man wangwe.

Hebat! puji Man wangwe.

Selama ini belum pernah ada orang yang lolos dari seranganku ini
katanya.

Percuma saja ia berkata-kata karena Suma Sun tidak bisa mendengar apaapa.

Serangan Man-wangwe kini datang lagi. Pukulan bertubi-tubi yang mengincar


berbagi tempat di tubuh Suma Sun. Ada yang berhasil ia hindari dan
tangkis, tetapi ada beberapa pukulan juga yang masuk.

Suma Sun terlempar menghantam dinding di belakangnya. Hantaman ini bahkan


sampai menjebol dinding itu.

Masih belum puas, Man-wangwe mengejar tubuh yang terlempar itu dan
kembali melancarkan serangan pukulan dan tendangan yang maha dahsyat.
Jika orang lain yan menerima pukulan dan tendangan itu, tentunya tubuhnya
akan remuk.

Tapi tubuh Suma Sun telah ditempa oleh banyak hal. Walaupun terluka,
setidaknya tidak sampai membuat ia mati.

Melihat pemandangan ini hati Cio San bagai tersayat-sayat. Ia sudah ingin
maju bergerak, tetapi di lihatnya Suma Sun telah kembali berdiri degan
gagah!

Darah mengalir dari mulut dan hidungnya. Beberapa tulangnya ada yang
patah. Tetapi ia tetap berdiri gagah bagaikan serigala yang sedang
terluka!

Hebat! tak terasa pujian itu keluar dari mulut Cio San.

Man wangwe kembali melancarkan jurus-jurusnya yang ganas. Pukulannya


datang bagai air bah. Tendanganya datang menghujam bagai angin badai.
Semua coba ditangkis dan dihindari oleh Suma Sun. Tapi berkali-kali juga
pukuan dan tendangan itu ada yang lolos dan mengenai tubuhnya.

Suma Sun terjatuh berlutut. Serangan-serangan ini terlalu dahsyat


baginya.

Ia jatuh dan kedua tangannya kini menahan tubuhnya agar tidak jatuh
tertelungkup.

Satu lagi serangan, dan Suma Sun akan habis riwayatnya!

Dan serangan itu pun tiba. Man-wangwe mengatupkan kedua telapak tangannya
membentuk sebuah tinju yang sangat mengerikan. Inilah ilmu andalannya
Tinju Palu Besi Menghujam Sukma. Cio San tercekat!

Sudah tak ada harapan lagi baginya untuk menolong Suma Sun!

Gerakan tinju itu sangat dahsyat, sangat cepat, sangat ganas. Menghujam
ke batok kepala bagian belakang Suma Sun.

Jleb!

Ia pun roboh!

Roboh kehilangan nyawanya!

Tapi bukan Suma Sun.

Man-wangwe lah yang roboh

Sebuah luka di dahinya.

Tak ada darah.

Hanya ada kematian.

Suma Sun masih berlutut. Di tangan kanannya terdapat sebuah bambu kecil
yang tidak begitu panjang.

Bambu pecahan perabot kursi yang tadi pecah dan hancur karena pertarungan
mereka yang dahsyat.

Cio San jadi ingat kata-kata Suma Sun,

Aku tidak percaya pedangku. Tetapi aku percaya kepada diriku

Dan Suma Sun benar-benar membuktikannya.

Cio San segera bergegas ke Sum Sun. Dengan nalurinya, Suma Sun tahu jika
orang yang datang bukan untuk menyerangnya. Ia diam saja ketika Cio San
menempelkan tangan ke pundaknya dan menyalurkan tenaga saktinya.

Tak berapa lama Suma Sun mulai merasa badannya segar kembali. Walaupun
tulangr rusuk, lengan, serta tulang pahanya patah, seluruh organnya
terlindungi. Hal ini karena Suma Sun sendiri memiliki tenaga sakti yang
dilatihnya bertahun-tahun sejak kecil.

Cio San lalu menotok beberapa titik yang berhubungan dengan indra
pendengaran Suma Sun. Begitu ditotok, si dewa pedang ini merasakan sakit
di telinganya mulai menghilang. Pendengarannya berangsur-angsur pulih.
Sedikit demi sedikit ia sudah bisa mendengar suara.

Untung tenaga dalammu sangat tinggi, walaupun kau terlambat sedikit,


setidaknya tenaga dalammu berhasil melindungi gendang telingamu dari
cedera yang parah. Jika kau beristirahat memulihkan diri selama beberapa
bulan, ku kira pendengaranmu akan kembali seperti semula jelas Cio San

Suma Sun hanya mengangguk-angguk dan berkata, Terima kasih Sambil


berkata begitu ia melanjutkan semedhi untuk memulihkan kekuatannya.

Cio San sendiri segera berdiri. Ia melangkah ke pintu besar tadi. Pintu
yang menimbulkan semua perkelahian ini. Pertarungan sedahsyat tadi tidak
merusak pintu itu secuil pun.

Ia membukanya.

Bau harum bercampur sedikit bau darah terhembus dari dalam ruangan itu.

Ruangan yang biasa saja.

Bwee Hua Sian duduk di sebuah kursi, di sebelahnya terdapat tempat tidur.
Seorang nenek tua terbaring lemah di atas tempat tidur itu.

Terima kasih itulah kata-kata yang keluar dari bibir Bwee Hua Sian.

Cio San hampir tidak mengerti untuk apa Bwee Hua Sian mengucapkan katakata itu. Ia hanya tersenyum memandang Bwee Hua Sian.

Kau harus berterima kasih kepada Suma Sun kata Cio San.

Aku tahu, aku mendengar semua kejadian tadi dari sini kata Bwee Hua
Sian sambil tersenyum pula. Wajahnya terlihat tenang dan gembira. Seperti
sebuah beban telah terlepas dari pundaknya.

Orang ini, apakah gurumu? tanya Cio San

Aku lebih memilih memanggilnya ibu. Aku ingin bercerita banyak hal, tapi
aku yakin kau sudah tahu begitu banyak

Aku lebih memilih kau yang menceritakannya. Sahut Cio San sambil
tersenyum.

Baiklah

Ia pun memulai ceritanya,

Sebenarnya, yang bernama asli Bwee Hua Sian adalah ibuku ini. Beliaulah
yang dijuluki wanita paling cantik dan paling kaya sedunia. Beliau yang
memungutku dari jalan saat keluargaku dibunuh orang dahulu.

Beliau yang mendidikku silat. Mengajarkanku banyak hal, termasuk merawat


tubuh hingga tetap terjaga seperti ini

Ah, aku tahu umurmu belum 60 tahun. Mungkin baru sekitar 30-35 tahun.
Tapi harus kuakaui, wajah dan perawakanmu seperti anak perempuan berumur
17 tukas Cio San sambil tersenyum.

Haha. Memang benar kata orang, kau tak dapat menipu Cio San. Beng Liong
salah mengambil kesimpulan. Karena memang selama ini aku selalu menyamar
menjadi ibuku. Menggunakan namanya dalam setiap aksi-aksiku.

Ibuku lah yang berumur 60 tahun. Dan kecantikannya memang benar-benar


terjaga. Kau pasti heran mengapa ibuku terlihat menderita seperti ini
kan? Itu karena bajingan Man-wangwe! ada kemarahan terlihat di matanya.

Kau tahu kenapa bajingan itu bisa menjadi orang terkaya di dunia? Itu
karena dia berhasil memperdaya ibuku. Beberapabelas tahun yang lalu, ia
sangat tampan walaupun sudah lumayan berumur. Ibuku jatuh cinta
kepadanya. Mereka kemudian menikah. Dia seorang yang biasa-biasa saja
waktu itu. Karena ibuku lah ia menjadi kaya raya. Orang berhati culas itu
perlahan-lahan meracuni ibuku sedikit demi sedikit. Racun itu mengambil
kecantikannya. Bahkan juga mengambil ilmu silatnya. Untunglah aku tidak
ikut teracuni juga karena aku tinggal terpisah dengan ibu

Dengan segenap kekuasaan ibuku, yang memiliki banyak pengaruh, anak


buah, dan sebagainya, si bajingan itu kemudian mulai melaksanakan rencana
bejatnya. Ia ingin menguasai dunia Kang Ouw. Ia ingin merebut jabatan Bu
Lim Beng Cu yang akan diadakan 2 bulan ini. Selama beberapa tahun ia
mulai menyingkirkan saingan-saingannya. Semua dilakukannya dengan cermat
dan pintar.

Ia juga mengancamku untuk turut menjadi anak buahnya. Ia memanfaatkan


aku untuk menjalankan semua rencananya. Memikat para pendekar. Merayu
mereka, menggoda mereka. Dan semuanya memang benar-benar terlaksana
dengan baik. Sungguh perih hatiku menjalaninya. Karena aku melakukannya
demi ibuku ini

Dan seperti yang kau tahu, segala kejadian-kejadian mengerikan yang ada
di dunia persilatan semua akibat si bajingan itu

Ia meneteskan air mata.

Jika perempuan sudah meneteskan air matanya, itu adalah tanda bagi lelaki
untuk berhenti bicara.

Biar ku periksa ibumu kata Cio San

Ahhhahhh tolooooongtoloooong si nenek tua yang berada di atas ranjang


itu berteriak sekencang-kencangnya karena ketakutan. Seperti memandan
mayat yang baru bangkit dari kubur.

Ah, Cio-tayhiap, maafkan lah ibuku.beliau..beliau menjadi seperti ini


sejak kejadian yang lampau. Beliau takut kepada laki-laki. Jika ada yang
mendekatinya, ia akan memangis dan berteriak. Segala kecantikan, dan
kelembutannya hilang. Ia sudah seperti kehilangan dirinya sendiri. Sudah
tidak memperdulikan dirinya sendiri lagi.. sambil berkata begitu, Bwee
Hua muda mendekati nenek itu dan menenangkannya. Dengan lembut ia
mencium, dan berbisik-bisik di telinga ibu nya untuk menenangkannya.

Setelah ibunya tenang, Bwee Hua muda lalu bertanya kepada Cio San,

Kau tahu, aku sengaja menculik keempat sahabatmu, adalah untuk sebuah
maksud. Karena bukan Man-wangwe yang memerintahkannya

kau menculik mereka, sebenarnya adalah untuk memancingku kemari, bukan?


Untuk meminjam tanganku mengalahkan Man-wanwe tukas Cio San

Benar sekali. Ia sendiri tidak tahu jika aku menculik sahabatmu dan
kubawa kemari. Karena ia sendiri paham, jika kau sampai mengendus
keberadaannya, maka segala rencananya akan berantakan

Lalu dimana sahabat-sahabatku?

Tenang, mereka aman Bwee Hua muda lalu berdiri dan berjalan menuju
sebuah lemari. Begitu lemari itu dibuka, ia menekan sebuah tombol rahasia
di dalamnya. Terdengar bunyi berderit, dan tampaklah sebuah ruanan
rahasia di balik lemari itu.

Silahkan katanya

Cio San memasuki ruangan itu dan melihat keempat sahabatnya berada di
dalamnya. Walaupun mereka tertotok, keadaan mereka sehat-sehat saja dan
tak kurang suatu apa. Melihat itu Cio San pun lega.

Aku memperlakukan mereka dengan baik. Kau jangan khawatir. Tapi


sebelumnya aku minta maaf telah melakukan semua ini. Sungguh ini semua
bukan keinginanku katanya sambil melepas totokan ke empat sahabat Cio
San itu.

Begitu totokan mereka terlepas, keempatnya segera bersemedhi untuk


mengunpulkan kekuatan. Ditotok selama berhari-hari membuat mereka lemas
dan kehilangan tenaga.

Bwee Hua lalu berkata,

Biarkan aku merawat ibuku di akhir sisa-sisa hidupnya ini. Kau tahu
beliau sekarang sekarat. Setelah itu, aku akan datang ke puncak Thay San
untuk mempertanggungjawabkan perbuatanku

Baik kata Cio San.

Eh, aku masih punya satu pertanyaan lagi. Di mana kau sembunyikan
kekasih Ji Hau Leng? tanya Cio San

kekasih Ji Hau Leng? Aku tidak menyembunyikannya jawab Bwee Hua

Cio San memandangnya lama, ia lalu tersadar,

Ahtentunya kau lah kekasih Ji Hau Leng

Terlihat wajah Bwee Hua menjadi sangat sedih.

Kau sudah tahu apa yang terjadi dengannya, bukan?

Bwee Hua hanya menganguk dan menangis. Cio San tak tahu harus berkata
apa-apa.

Mereka semua lalu pergi dari situ. Meninggalkan Bwee Hua muda yang
merawat ibundanya tercinta. Cukat Tong dan Yan Tian Bu membantu memapah
Suma Sun yang terluka parah.

Lembah Seribu Kupu-Kupu yang begitu indah. Menyimpan cerita yang begitu
menyedihkan.

Mereka berjalan menyusuri jalanan kecil sampai tiba di sebuah hutan bambu
di luar lembah.

Aih, ada yang salah! tiba-tiba Cio San tercekat.

Segera ia bergegas lari kembali ke rumah tadi. Keadaannya masih


berantakan seperti tadi mereka tinggalkan. Mayat Man-wangwe pun masih di
sana.

Tapi tiada seseorang disana.

Hanya ada bau darah.

Dan sebuah mayat tergeletak di atas tempat tidur.

Bwee Hua tua mati dengan mata mendelik dan leher hampir putus.

Cio San mengepalkan tangan.

Mengapa aku sampai tertipu siluman rubah itu?

Katanya sambil garuk-garuk kepala.

Bab 55 Pernah Datang, Pernah Hidup, Pernah Cinta

Ketika ia kembali lagi, teman-temannya masih menunggunya di tempat yang


sama.

Terlambat kata Cio San. Mari kita lanjutkan saja perjalanannya

Mereka pun berangkat. Di jalan Cio San bertanya,

Bagaimana kalian bisa sampai tertangkap?

Seseorang menaruh racun ke dalam makanan kami. Untunglah racun itu bukan
racun yang berbahaya. Hanya untuk membius. Setelah bangun tahu-tahu kami
sudah tertotok jelas Cukat Tong.

Kalian makan di mana? tanya Cio San lagi.

Saat itu kami berhenti di sebuah warung pinggir jalan di dekat hutan.
Warung biasa yang memang buka di tempat seperti itu, khusus bagi
pelancong-pelancong yang melintas antar kota kata Cukat Tong.

Oh kata Cio San sambil mengangguk-angguk.

Kau sendiri, apa saja yang kau alami? Cukat Tong balas bertanya.

Cio San menjelaskan kejadian di bukit bunga Bwee, pertemuan dan


perkelahiannya dengan Ji Hau Leng, serta kejadian di Kay Pang.

Jadi kau sekarang Kay Pang pangcu?

Secara tidak resmi. Haha kata Cio San sambil tertawa.

Eh, apa yang membuatmu curiga sehingga kau tadi kembali lagi ke lembah
seribu kupu-kupu? tanya Cukat Tong lagi.

Pada awalnya, aku bingung. Karena aku tahu Man-wangwe tidak berbohong
saat ia berkata ia tidak tahu keberadaan kalian. Bahasa tubuh dan raut
wajahnya memang memperlihatkan bahwa ia berkata jujur. Karena itulah aku
sempat ragu.

Tapi begitu melihat keyakinan Suma Sun, aku justru yakin jika Man-wangwe
berbohong. Mungkin Man-wangwe sangat ahli dalam berbohong sehingga aku
tidak bisa membedakannya

Nah, saat Bwee Hua menceritakan semua cerita bohongnya, aku justru
percaya! Padahal justru sebaliknya, Man-wangwe yang berkata jujur, dan
Bwee Hua yang berbohong. Rupanya justru Bwee Hua lah yang menguasai ilmu
berbohong ini, haha

Memangnya ada ilmu demikian? tanya Cukat Tong.

Mencuri saja ada ilmunya, kenapa berbohong tidak? tukas Cio San.

Lalu apa yang membuatmu curiga sehingga kembali lagi?

Aku melihat si nenek tua itu menggunakan pewarna kuku dan gelang

Heh, memangnya apa hubungannya?

Pada awalnya aku tidak menyadari. Tapi setelah kita keluar lembah tadi,
ada sebuah kesalahan yang dibuat Bwee Hua yang terlambat kusadari

Apa?

Bwee Hua bilang, ibunya sudah lama menjadi seperti itu. Kehilangan
kecantikannya dan sudah tidak pernah mengurusi diri lagi. Jika perempuan
tidak perduli lagi dirinya, masakah masih bisa pakai pewarna kuku dan
gelang segala?

oh, begitu tukas Cukat Tong.

Begitulah, saat aku kembali si nenek tua itu sudah mati

Bwee Hua tega membunuh ibunya sendiri?

Tentunya itu bukan ibunya. Beng Liong benar. Bwee Hua yang asli ya Bwee
Hua yang muda itu. Rupanya ia benar-benar sudah menguasai ilmu merawat
tubuh sehingga tubuhnya benar-benar awet muda seperti itu jelas Cio San.
Lalu lanjutnya,

Sebenarnya kau tahu kan siapa Bwee Hua itu sebenarnya?

Eh, bicara apa kau ini? kata Cukat Tong sedikit tergagap.

Sudahlah, kita bahas lain kali saja kata Cio San sambil menepuk pundak
Cukat Tong.

Dalam 3 hari, perjalanan mereka sampai di kota Tho Hoa. Selama


perjalanan, Cio San membantu memulihkan keadaan Suma Sun. Si Dewa Pedang
ini pulih dengan cepat. Mungkin karena tenaga sakti dari Cio San, dan
tenaga dalamnya sendiri. Ia kini sudah dapat berjalan sendiri dan
pendengarannya berangsur-angsur membaik. Menurut perhitungan Cio San,
dalam 1 bulan saja, Suma Sun mungkin sudah akan pulih seperti sedia kala.

Begitu memasuki gerbang kota Tho Hoa, sudah ada orang yang menyambut
mereka. Cio San masih mengingat orang ini. Dia adalah Huan Biau. Orang
yang dulu datang ke restoran Lai Lai untuk memperbaiki bangunan Lai Lai
yang hancur karena pertempuran.

Selamat datang para hoohan (orang gagah). Nama cayhe adalah Huan Biau.
Orang suruhan Khu Hujin. Beliau mengundang hoohan sekalian untuk sudi
mampir ke kediaman beliau kata orang itu sambil menjura.

Salam hormat kepada kaucu dan Seng Koh (perawan suci)! tiba-tiba hadir
pula beberapa orang memberi hormat kepada Cio San. Ia masih ingat, orangorang ini pernah datang ke Istana Ular dulu.

Salam. Berdirilah kata Cio San

Kami telah menyiapkan tempat bagi kaucu, Seng Koh, Cukat-tayhiap, dan
Suma-tayhiap untuk beristirahat kata salah satu dari anggota Mo Kauw
yang baru datang itu.

Anggota Kay Pang menyambut pangcu! terdengar teriakan lagi. Ternyata


ada beberapa anggota Kay Pang yang datang. Dalam rombongan itu ada
pengemis Cun juga.

Aishh kata Cio San sambil eleng-geleng kepala. Ia menyambut kedatangan


para anggota Kay Pang itu sambil menjura dan tersenyum,

Apa kabar? Cun-totiang?

Baik pangcu pengemis Cun menjura.

Huan Biau berkata,

Aih, Cio-tayhiap masih muda begini sudah menjadi kaucu dan pangcu 2
partai terbesar di Kang Ouw pujinya sambil menjura.

Ah..tidak berani..tidak berani. Justru tugas seberat ini tidak berani ku


pegang kata Cio San

Aha, tidak berani pegang tugas kan bukan berarti tidak pantas kata Huan
Biau tersenyum.

Cio San hanya menghela nafas dan tersenyum.

Sesungguhnya cayhe bingung harus menerima undangan yang mana

Semua cayhe serahkan kepada kebijakan tayhiap kata Huan Biau.

Hmmmm

Perlu tayiap ketahui, Khu hujin kini sedang tidak berada di tempat.
Nanti malam baru pulang. Tapi beliau memesan kepada cayhe untuk segera
mengundang tayhiap, karena besok di rumah Khu hujin akan diadakan
perjamuan

Perjamuan?

Iya. Beberapa hari ini, kota kami banyak didatani orang gagah. Rupanya
kota kami ini dijadikan tempat persinggahan para orang gagah menuju
puncak Thay San. Karena begitu banyaknya, sehingga Khu Hujin merasa,
harus membuat penyambutan yang selayaknya bagi orang-orang gagah jelas
Huan Biau.

Oh begitu. Baik. Begini saja. Bagaimana jika cayhe dan sahabat-sahabat


cayhe datang besok saja pada acara perjamuan besok siang?

Baik. Tidak apa-apa

Baiklah. Terima kasih sekali atas undangan Khu hujin. Dan terima kasih
Huan-enghiong sudah mau bersusah payah menyambut kami di depan gerbang
sini kata Cio San sopan.

Ah tidak berani..tidak berani. Cio-tayhiap terlalu sungkan. Baiklah


cayhe minta diri. Kita bertemu besok di kediaman hujin?

Baik. Terima kasih Huan-enghiong kata Cio San sambil menjura.

Terima kasih. Cayhe mohon diri. Selamat siang

Huan Biau pun pergi.

Cio San lalu bertanya,

Menurut kalian, bagaimana enaknya ini? Apakah aku harus ke markas Mo


Kauw dulu atau ke markas Kay pang? tanyanya.

Semua orang tidak ada yang berani menjawab.

Jika Cio San memilih pergi ke markas Mo Kauw, maka ia meremehkan Kay
Pang. Tetapi jika ia pergi ke markas Kay Pang, maka ia meremehkan Mo
Kauw.

Begini saja. Aku menginap saja di penginapan. Dengan begitu semua akan
merasa adil. Semua anggota Mo Kauw dan Kay Pang bersiap-siap dan berjagajaga di penginapan itu. Jika kupanggil harus datang. Bagaimana?

Setuju! mereka menjawab dengan kompak.

Bagus. Sekarang tunjukan padaku penginapan yang bagus

Supaya tidak terlalu mencolok, Cio San membubarkan dulu puluhan anggota
Mo Kauw dan Kay Pang yang tadi menyambutnya. Ia hanya meminta satu orang
dari Mo Kauw untuk mengantarkannya ke penginapan. Sampai di sana mereka
memesan 3 kamar. Satu untuk Ang Lin Hua dan Sie Peng. Satu untuk Cukat
Tong dan Yan Thian Bu. Satunya lagi untuk Cio San dan Suma Sun.

Mereka beristirahat sampai pagi di sana.

Paginya Cio san sudah rapi.

Ia keluar untuk melihat-lihat keadaan kota sekitarnya. Kota yang sangat


indah, megah, dan maju sekali. Rupanya perdagangan Kh Hujin yang sukses,
turut mengangkat maju kotanya ini. Dalam hati ia bertanya-tanya, apakah
ini juga adalah kota gurunya, Kam Ki Hsiang?

Berpikir bahwa dulu gurunya dan Khu Hujin pernah memadu kasih di kota
ini, menimbulkan perasaan haru dalam hatinya.

Sambil jalan-jalan ia bertemu dengan banyak anggota Kay pang dan Mo Kauw.
Cio San berbincang-bincang dengan mereka. Bertanya-tanya banyak hal.
Bahkan juga mentraktir mereka minum arak.

Kaum laki-laki memang jika sudah berkumpul, terlihat sangat menikmati


waktu mereka.

Cio San dan puluhan anggota Mo Kauw dan Kay Pang itu pesta arak sampai
mabuk. Bahkan mereka mampir juga ke rumah judi untuk sedikit bersenangsenang. Ini untuk pertama kalinya Cio San bermain judi. Rasanya
menyenangkan!

Entah karena beruntung, atau karena otaknya yang cerdas, Cio San menang
banyak hari itu. Uang hasil kemenangannya ia bagi-bagi. Bahkan dipakai
juga untuk membeli arak lagi.

Orang-orang yang lalu lalang walaupun tidak terlalu terganggu, setidaknya


merasa risih juga dekat-dekat dengan puluhan orang berpenampilan kotor
dan awut-awutan itu. Cio san yang tadinya rapi dan bersih kini juga sudah
ikut awut-awutan dan ketularan kotor.

Dalam hatinya, terdapat perasaan yang sangat riang. Ia jauh lebih nyaman
berkumpul dengan orang-orang seperti ini, daripada berkumpul dengan
orang-orang terhormat yang baginya kadang terlalu banyak basa-basi dan
aturan.

Walaupun sejak kecil Cio San sudah diajari sopan santun, dan tata bahasa
yang tinggi oleh ayahnya, tetap saja ia merasa lebih enak bergaul dengan
para Siau Jin (orang rendahan). Baginya mereka adalah bagian dari
dirinya, dan dirinya adalah bagian dari mereka.

Saat enak-enakan mabuk dan duduk di tepi jalan, mata Cio San tertumbuk
pada seseorang.

Mey Lan!

Mengapa Mey Lan ada disini?

Kalian tunggu di sini ya, aku segera kembali katanya kepada para anak
buahnya.

Siap ketua!

Ia lalu bangkit dan menguntit Mey Lan.

Rupanya Mey Lan sedang berbelanja. Ia memasuki sebuah toko perhiasan yang
sangat besar. Saat membaca papan namanya, tahulah Cio San jika itu adalah
toko milik Khu Hujin juga.

Lama sekali Mey Lan berada di toko itu.

Ada dua hal kesukaaan perempuan yang lelaki paling malas menungguinya.
Berbelanja dan berdandan. Ironisnya, jika hasil belanja itu ia pakai, dan
hasil dandanannya terlihat cantik, justru laki-lakilah yang paling
bahagia.

Kini Mey Lan telah keluar toko itu. Wajahnya terlihat lebih berseri-seri
daripada sebelum masuk tadi. Rupanya ia sudah membeli barang yang
disukainya.

Kerinduan dan rasa kangen setelah sekian lama berpisah, membuat Cio San
sudah tak dapat menahan dirinya lagi.

Meymey panggilnya.

Kwee Mey Lan menoleh.

Ketika dilihatnya orang yang memanggilnya itu tidak ia kenal, ia


meneruskan lagi jalannya.

Meymey pasti sudah lupa ya? kata Cio San lagi.

Mey Lan hafal sekali suara itu. Tapi kenapa pemilik suaranya berbeda?

Tuan apa salah mengenal orang? tanyanya

Ah tentunya meymey pangling dengan aku ya. Aku adalah San-ko (kakak San)
mu kata Cio San sambil tersenyum.

San-ko? Hah? Bagaimana mungkin. Kau mabuk ya? ia berkata begitu karena
mencium arak dari mulut dan tubuh Cio San. Cepat-cepat ia berpaling dan
ingin berlari

Jika ada orang berbau arak yang tidak kau kenal menyapamu, tentulah kau
akan berpikir dia sedang mabuk berat.

Masih ingat di telaga Lin Cin? Kau berlari mengejar kupu-kupu sampai
terjatuh dan lututmu luka? Kau memintaku untuk tidak menceritakannya
kepada ayahmu. Karena ia telah melarangmu untuk pergi kesana mengejar
kupu-kupu. Karena saat kau kecil, kau pernah terperosok di jurang karena
hal itu

Atau kau masih ingat saat malam-malam kita menyelinap pergi ke toko man
thau karena tiba-tiba kau ingin makan man thau. Saat pulang kau ku ajak
adu lari

Atau masih ingat kah kau saat kau kupetikkan bunga lalu kau marah-marah
karena kau lebih suka bunga tetap menempel pada pohonnya?

Mey Lan berbalik. Cerita itu tentu saja diingatnya.

Diingat sepenuh hatinya.

Kenapa orang kotor berbau arak di depannya ini tahu sekali?

San-kokenapakenapa wajahmu berubah? Kau bukankah tadi yang berada


dipinggir jalan bersama orang-orang itu kan? Aku melihat kalian keluar
dari rumah judi

Saat bersama engkau dulu, aku sedang sakit. Sakit itu mempengaruhi
wajahku sehingga pucat dan berkerut-kerut. Aku pun pergi meninggalkanmu
adalah untuk menyembuhkan sakitku itu. Kini aku sudah sembuh

Aih benarkah. Aku turut bahagia untukmu San-ko kata Mey Lan sambil
tersenyum.

Tapi Cio San merasakannya.

Sesuatu yan berbeda.

Kenapa senyumnya terasa pahit? Kenapa ia tidak segera lari memelukku?


Apakah karena aku kotor dan berbau arak?

Kau..kau ada apa ke kota ini? tanya Mey Lan. Ia tidak melangkah maju ke
depan, tapi agak mundur sedikit ke belakang.

Eh..aku berkelana saja. Sebenarnya aku dalam perjalanan pulang ke LaiLai

Oh Mey Lan hanya mengangguk-angguk.

Mengapa semua ini terasa aneh?

Lan-mey (adik Lan), siapa ini? tiba-tiba ada suara yang keluar dari
toko di sebelah Cio San.

Eh, Bun-ko (kakak Bun) Mey Lan terlihat kaget. Perkenalkan, ini A San.
Dulu pernah bekerja sebagai pegawai ayah. Dia tukang masak kami katanya

Oh.. kata orang yang dipanggil Bun-ko oleh Mey Lan ini.

Salam kenal kata Cio San menjura. Padahal lelaki di depannya ini tidak
menjura kepadanya.

A San, ini suamiku namanya Lim Gak Bun. Dia pendekar dari Kun Lun Pay
kata Mey Lan kepadanya.

Ah, pendekar dari Kun Lun Pay? Sungguh gagah puji Cio San tulus sambil
menjura lagi.

Lim Gak Bun hanya mengangguk sedikit.

Kau sudah selesai berbelanja? tanya Lam Gak Bun.

Belum. Masih ada beberapa barang lagi yang harus ku beli kata Mey Lan.

Perlu kutemani?

Tidak usah, Bun-ko. Kau tunggu saja di restoran itu. Aku sebentar saja,
kok kata Mey Lan.

Baiklah Ia menoleh dan mengangguk sedikit kepada Cio San lalu kembali
ke restoran tempat tadi ia menunggu.

A San, aku pergi dulu. Sampai jumpa ya. Kau mampir-mampir lah ke Lai
Lai kata Mey Lan

Ditinggal pergi oleh dua orang ini, Cio San jadi bingung sendiri. Akalnya
sudah bisa membaca cerita yang baru saja terjadi di depannya.

Segera ia pergi juga. Tapi ia memutar jalan. Begitu dilihatnya Mey Lan
memasuki sebuah sebuah jembatan kecil, dia pun sudah tiba di belakang Mey
Lan.

Meymey, kau bisa jelaskan semua kejadian tadi?

Mey Lan berhenti berjalan. Ia hanya diam dan tidak menoleh.

Ketika menoleh, air mata sudah menetes dari pipinya.

Kau kemana saja selama ini? Selama beberapa bulan ini kenapa kau begitu
egois dan meninggalkan aku? Apa kau tahu aku kesepian, dan merindukanmu?

Cio San tak tahu harus berkata apa.

Lalu dia datang. Dengan segala kegagahannya. Dengan segala perhatiannya.


Ia mengisi ruangan kosong yang telah kau tinggalkan. Apakah aku salah
memilihnya? Apakah aku terlalu bodoh untuk tidak menunggumu? Menunggu
kepulanganmu yang tidak pernah pasti. Bagaimana jika kau tidak pernah
kembali?

Apa kau akan menuduhku kejam karena memilih sesuatu yang pasti daripada
sesuatu yang tidak pasti?

Aku..aku hanya bosan menunggumu. Aku bosan dalam ketidakpastian. Umurku


bertambah. Waktu berjalan sangat cepat dan tahu-tahu kita menjadi tua.
Lalu dia datang. Menawarkan tangannya untuk kugenggam. Menawarkan
hidupnya untuk ku masuki. Apakah aku salah?

Ia menwarkan hidup yang menggairahkan. Petualangan. Dunia dan tempat


baru yang tidak pernah ku lihat. Aku tak ingin seumur hidup menghabiskan
waktu di Lai Lai. Aku ingin berkembang dan melihat dunia luar. Aku ingin
merasakan serunya berpetualang.

Akuaku tak ingin hidupku dihabiskan hanya untuk memasak saja.

San-ko bisa mengerti aku?

Cio San mengangguk. Walau air matanya menetes pun, ia tetap mengangguk.

Entah kenapa hujan pun turun. Mungkin langit ingin membantunya


menyembunyikan air mata. Ataukah langit pun ingin turut menangis bersama
mereka.

Perempuan meneteskan air mata.

Lelaki pun juga.

Langit pun juga.

Seluruh dunia sebenarnya menangis. Lalu kenapa perempuan disalahkan


karena terlalu sering menangis? Dan kenapa pula lelaki disalahkan karena
ikut meneteskan air mata juga?

Manusia menangis, karena sudah tak ada kata-kata yang sanggup keluar dari
mulut mereka.

Seharusnya namanya bukan air mata. Harusnya namanya adalah air hati.
Karena air itu benar-benar lahir dari hati. Mata hanya muaranya.

Entah kenapa pula hujan menjadi selebat ini?

Kedua orang itu berdiri di atas jembatan.

Saling menatap dan tak bergerak.

Lalu Cio San mengangguk dan berkata,

Meymey pergilah. Aku telah rela. Aku tak akan menahanmu, tak akan
menuduhmu yang macam-macam. Tak akan menyalahkanmu. Semua ini adalah
kesalahanku. Ia berkata begitu sambil tersenyum.

Mey Lan pun tersenyum.

Bagaimana pun lelaki di depannya ini pernah datang mengisi hari-harinya.


Pernah hidup di dalam mimpi-mimpinya. Dan pernah cinta di dalam relung
hatinya.

Pernah datang, pernah hidup, dan pernah cinta hanya ucapan itu yang
keluar dari bibir Mey Lan.

Tapi Cio San mengerti sekali artinya.

Kata pernah adalah kata yang paling menghujam jiwa.

Karena pernah, bisa berarti sudah tidak.

Jika perempuan yang kau cintai sudah tidak mencintaimu, maka adalah hal
yang paling memalukan untuk memaksanya kembali mencintaimu. Karena cinta
adalah hal yang paling tidak bisa dipaksakan di muka bumi ini.

Hal terbaik yang bisa kau lakukan adalah merelakannya pergi, sambil
menyimpan baik-baik kenangan yang tersisa.

Hal terbaik yang bisa kau harapkan adalah mengharapkannya bahagia bersama
siapapun yang kini ia cintai.

Yang paling terhormat adalah mundur sejauh-jauhnya dan mengakui


kekalahanmu. Bahwa kau tak mampu mempertahankan hal paling penting dalam
hidupmu.

Jika kau memaksakannya untuk kembali kepadamu, bukankah itu berarti kau
tak cinta kepadanya? Jika kau cinta, maka kau akan ikut bahagia
melihatnya bahagia.

Kau boleh menangis atau meratap. Tapi kau pun tak boleh menipu dirimu
sendiri dengan berharap bahwa masih ada sedikit sisa-sisa cinta di
hatinya untukmu.

Karena jika wanita sudah pergi, maka ia akan pergi selamanya. Ia tak akan
meninggalkan sisa-sisa cintanya kepadamu.

Maka, kau hanya bisa mengucapakan selamat jalan kepadanya. Berharap ia


akan menemukan apa yang selama ini dicari-carinya.

Kau pun tak mungkin bisa membencinya, karena sebenci-bencinya kau


kepadanya, toh dalam hatimu kau tahu kau menyayanginya.

Cinta di hati lelaki, kadang hilang tak berbekas. Namun kadang juga masih
menempel bagai noda yang tak bisa hilang.

Noda noda ini mengisi hatimu, menjadikan hidupmu lebih berwarna.


Memberimu banyak pelajaran tentang kehidupan.

Bahkan mungkin noda inilah yang membangkitkanmu dari tidur panjang dan
kelenaanmu. Karena kadang kebahagiaan membuat orang terlena dan cepat
puas.

Hanya rasa sakitlah yang membuat seseorang bangkit dan menyongsong


kehidupan. Hanya kepedihanlah yang mampu memicu seseorang untuk
memperbaiki masa depannya.

Dan di suatu saat nanti, di masa depan nanti, kau akan menatap hari ini
dengan penuh senyuman, dan berkata:

Hari itu adalah hari di mana aku jatuh, tapi juga hari di mana aku
bangkit

Hari itu yang membuatku kini kuat dan gagah seperti sekarang ini.

Hari itu adalah hari dimana aku membuktikan diri kepada dunia bahwa tak
ada satu pun hal yang mampu menistakan harga diriku!

Tak ada satu pun hal yang mampu memisahkanku dari takdir masa depanku!

Tak ada satu pun hal yang mampu meruntuhkan jiwaku!

Api Jiwaku tak akan padam oleh banyaknya air mata yang ku teteskan hari
ini!

Cio San lalu berbalik pergi. Mey Lan memanggilnya,

San-ko, maukah kau mendengar pesan terakhirku untukmu?

Ia tak melanjutkan langkahnya. Bibirnya berujar pelan, katakanlah

Kau hiduplah sebagai orang baik. Karena aku tahu kau adalah orang yang
baik. Berusahalah untuk melihat dunia lebih terbuka dan lebih luas. Ada
hal-hal di dunia ini yang masih bisa kau pelajari. Jadilah pria yang yang
bisa melindungi kekasihnya. Jadilah pria yang bisa menghidupi kekasihnya.
Kau tahu maksudku. Bukan?

Cio San melangkah pergi.

Ia takut jika ia menoleh, ia tak akan sanggup pergi. Sama seperti dulu
saat pertama kali ia meninggalkan Mey Lan.

Tapi di lubuk hatinya ia tahu, perginya kali ini adalah kepergian untuk
selama-lamanya dari kehidupan Mey Lan.

Ia pun tahu, walaupun hatinya sanggup merelakannya, bibirnya ini tentu


saja tak sanggup mengucapakan selamat tinggal.

Heran. Mengapa ia yang melangkah pergi, tetapi terasa justru nona itu lah
yang pergi?

Orang-orang yang meninggalkanmu?


Mereka tidak benar-benar pergi,
Mereka menjadi bagian dari dirimu,
Menjadi pembentuk jiwamu,

Dalam hatinya ia tahu, sangat menyakitkan untuk berpisah dengannya, tapi


amat jauh menyakitkan untuk bertemu kembali dengannya

Langkahnya tetap ia ayunkan. Walaupun setiap langkah itu terasa bagai


anak panah yang menghujam dadanya. Ia tetap melangkah. Selain melangkah
pergi, memangnya apa yang bisa kau lakukan terhadap perempuan yang sudah
tidak mencintaimu?

Datang.

Pergi.

Bukankah itu inti dari kehidupan manusia?

Mengapa tak ada seorang pun yan menyadarinya? Jika manusia menyadarinya
tentulah mereka tak akan banyak menangis.

Jika kau benar-benar pergi dari kehidupannya, jalan satu-satunya untuk


tetap mencintainya adalah bukan berusaha untuk memilikinya lagi. Jalan
satu-satunya adalah mendoakannya setiap saat. Mendoakan agar ia benarbenar bahagia atas pilihan-pilihannya.

Doa yang tulus seperti itu adalah doa-doa yang menggetarkan langit.

Di dunia ini, begitu banyak orang seperti ini. Yang tetap mendoakan hal
terbaik bagi orang yang pernah menyakiti dan melukainya. Orang-orang
seperti inilah yang pantas di sebut sebagai PARA PENGGETAR LANGIT.

Langit pun tergetar oleh ketulusan mereka.

Apalagi dunia?

Dunia mungkin akan menertawakan mereka. Tapi jauh dalam lubuk hatinya,
orang-orang di dunia in pun mengakui betapa beruntungnya mereka menjadi
orang-orang yang tulus.

Cio San melangkah pergi. Entah ia kini sudah berada di mana.

Ia duduk di pinggir sungai. Sudah beberapa jam ia ada di sana. Melihat


airnya yang bening yang menadahi hujan yang deras. Hati manusia haruslah
seperti itu.

Apapun ia terima, dan menjadikannya bagian dari dirinya. Orang boleh


melemparkan apapun ke sungai. Langit boleh menurunkan apapun ke sungai.
Tapi sungai tetaplah sungai. Dengan kelembutannya, ketenangannya, dan
kedamaiannya.

Ia kini duduk dan tersenyum. Senyum yang gagah. Seorang laki laki boleh
dilukai, boleh dihina, boleh diremehkan. Tetapi ia akan bangkit dan
membuktikan bahwa ia justru lebih baik dari semua itu.

Lelaki seperti ini, akan menjatuhkan hati siapa saja. Waktulah yang akan
membuktikan semuanya.

tolong..tolong tiba tiba terdengar suara seorang wanita.

Sekejap saja Cio San sudah berada di hadapan wanita itu, Ada apa?

Anakku tercebur selokan. Airnya menyeretnya. Tolong tuan..tolong tuan

Dengan pandangannya yang tajam, Cio San sudah berhasil melihat anak itu.
Dengan sekali gerakan ia sudah melompat, menangkap anak itu sambil
bersalto.

Oh terima kasihterima kasih. Kata Ibu itu sambil menangis. Cio San
memeriksa anak itu, untunglah belum terlambat Dengan sekali menekan
sebuah titik di dadanya, anak itu sudah memuntahkan air yang tadi
ditelannya.

terima kasih tuanterima kasih

Cio San mengangguk, dan beranjak pergi.

Ada kebahagiaan di hatinya saat menolong orang.

Memang kebahagiaan terbaik adalah saat engkau berguna bagi orang lain.

Jika di dunia ini pilihanmu cuma bahagia dan kecewa, mengapa kau pilih
kecewa?

Ia berjalan lagi. Tubuhnya kini bau comberan setelah tadi menolong dan
menggendong anak kecil yang terjatuh itu. Tiba-tiba ia teringat,

Ah bukankah undangan Khu Hujin itu saat ini ya? katanya dalam hati. Ia
lalu pergi ke tempat kediaman Khu Hujin.

Rumahnya sungguh besar. Tanah halamannya saja luasnya hampir tak dapat
dipercaya. Di gerbang depan rumah ini sudah terlihat keramaian. Huna Biau
berada di depan menerima tamu. Hujan sudah tidak sederas tadi, tapi masih
banyak tamu yang datang memakai payung.

Ah Cio-tayhiap silahkan-silahkan kata Huan Biau menyambutnya. Ia tidak


bisa bercakap-cakap lama dengan Cio San karena harus menyambut tamu yang
lain.

Cio San melangkah masuk. Banyak sekali orang yang datang. Semua datang
dengan pakaian bagus dan kering. Hanya Cio San yang muncul dengan pakaian

basah dan berbau comberan pula. Di halaman ini ia banyak menemui orang
tak dikenalnya.

Tapi ada juga beberapa orang yang ia kenal,

5 pedang butongpay salah satunya,

Selamat siang saudara katanya sambil menjura.

Mereka menatapnya penuh kebencian. Selamat siang mereka menjawab


pendek. Lalu mempercepat jalannya.

Cio San tersenyum saja sambil geleng-geleng.

Mereka kemudian sampai ke sebuah balairung yang sangat luas. Sudah banyak
meja yang tertata disana. Orang sebanyak ini, tidak ada satu pun yang tak
dapat tempat. Semua duduk di meja masing-masing. Karena di setiap meja
terdapat nama-nama.

Cio San melihat ada Mey Lan juga bersama suaminya. Gaunnya terlihat
cantik. Perhiasan yang dipakainya pun tampak sangat indah.

Melihat Cio San datang, Mey Lan malah semakin mesra kepada suaminya.
Menggelayut di lengannya, dan berbicara sangat mesra kepada suaminya itu.

Wanita jika memiliki kekasih, sejelek apapun, ia tetap ingin


memamerkannya kepada dunia.
Tetapi lelaki jika memiliki kekasih buruk rupa, sebisa mungkin ia
menyembunyikan mereka di dapur.

Dan kadang-kadang, jika seorang wanita tahu kau menyukainya, maka ia akan
semakin mesra kepada kekasihnya di hadapanmu. Hanya untuk sekedar
membuatmu merasa gila.

Cio San tersenyum saja melihatnya. Lam Gak Bun tidak membalas senyuman
itu dan berlagak tidak kenal. Tukang masak seperti A San, mana berharga
di depan matanya?

Ia menuju meja satu persatu. Mencari namanya. Orang yang sudah duduk
duluan di meja, seperti hendak menutup hidung ketika ia lewat.
Penampilannya saat itu memang jauh lebih buruk dari angota Kay Pang
manapun.

Di meja berikutnya pun, Cio San diperlakukan sama.

Meja ini bukan untukmu! bentak orang yang duduk di situ.

Baik. Maaf-maaf kata Cio San sambil tersenyum dan terbungkuk-bungkuk.

Dia sudah mengelilingi semua meja, tapi tidak ada satu pun tempat
baginya. Orang-orang di sana pun tak ada yang mau jika Cio San duduk di
situ. Akhirnya dia memilih berdiri saja di pojok belakang ruangan.

Saat ini, kau mungkin hanya duduk di pinggiran. Menatap orang yang lewat,
melihat tawa dan kebahagiaan mereka. Lalu mungkin kau bertanya-tanya
kepada dirimu sendiri, "kapan aku akan seperti mereka?". Hingga tanpa kau
sadari, ketika dunia berputar, orang lain lah yang bertanya-tanya
kepadamu " Kapan aku seperti engkau?"

Tibalah saatnya.

Sang tuan rumah memasuki ruangan.

Khu hujin nampak sangat cantik dan berwibawa.

Beliau berbasa-basi sebentar. Mengucapkan selamat datang kepada tamu.


Acara ini memang hanya sekedar acara ramah tamah, guna saling
memperkenalkan diri.

Para enghiong yang berada di sana juga semuanya orang-orang tersohor. Cio
San beruntung sekali diundang kesini, dengan begitu ia dapat mengenal
banyak orang.

Semua sudah memperkenalkan nama, bukan? Kini saatnya aku memperkenalkan


seseorang yang sangat dekat denganku. Bahkan sudah kuanggap anak sendiri.
Para enghiong harap perkenalkan, Cio San. Kaucu dari Mo Kauw sekaligus
Pangcu dari Kay pang

Cio San terhenyak. Orang-orang di sana lebih terhenyak lagi.

Siapa gerangan di dunia ini yang bisa menjadi ketua dari dua partai yang
jumlah anggotanya paling banyak di seluruh dunia Kang Ouw ini?

Mari San-ji maju saja, jangan malu-malu Khu Hujin memanggilnya San-ji,
Anak San!

Cio San melangkah maju.

Betapa kaget orang-orang ketika tahu bahwa Pangcu merangkap kaucu ini
adalah seorang pemuda berusia 20 tahun yang bajunya kotor serta tubuhnya
berbau comberan ini? Dari mulutnya tercium bau arak pula!

Kau dari mana saja San-ji? Mengapa basah kuyup begitu? tanya Khu Hujin
sambil tersenyum.

Entah mengapa Cio San merasa Khu Hujin ini memandangnya seperti pandangan
seorang ibu memandang calon menantunya.

Anak tadi terpeleset dan jatuh ke dalam comberan, Hujin

Hahaha semua orang tertawa.

Seorang Kaucu merangkap Pangcu bisa jatuh terpeleset ke dalam comberan?

Jika ini bukan hiburan lawak yang disiapkan Khu hujin, orang-orang ini
pasti menyangka mereka sedang bermimpi.

Bajumu baru saja disiapkan. Kau ganti bajulah dulu kata Khu Hujin.

Seorang pelayan menjemput Cio San dan mengantarkannya mandi dan


membersihkan diri. Begitu kembali lagi, terperangah lah orang-orang
melihat ketampanan dan kegagahan Cio San.

Tiba-tiba terdengar suara.

Tamu dari Kaypang dan Mo Kauw sudah tiba

Ratusan orang di luar kini memasuki ruangan. Herannya ruangan ini seperti
mampu menampung lagi ratusan orang ini. Bahkan meja-meja sudah disiapkan
dengan cepat bagi mereka.

Ada Cukat Tong, dan Ang Lin Hua ada juga di dalam rombongan ini.

Ah, ada Raja Maling dan putri mendiang Ang-kaucu, Ang-siocia. Selamat
datang sambut Khu Hujin.

Semua orang menoleh. Ingin melihat seperti apa rupa si Raja Maling.
Mereka juga terpesona dengan Ang Lin Hua yang cantik. Walaupun rambutnya
masih putih semua, wajahnya kini telah kehilangan kerutan-kerutannya.

Cio San tersenyum memandang mereka.

Ia sendiri tidak tahu mengapa ia menjadi serba salah seperti ini.

Berdiri di depan, dan menjadi pusat perhatian orang-orang.

Terdengar lagi suara dari luar.

Beng Liong-tayhiap dari Butongpay dan Hong Sam Hwesio dari Siau Lim Pay
tiba

Semua orang kembali menoleh.

Hong Sam Hwesio muncul dengan wajah tersenyum dan wibawa yang sangat
kuat.
Yang paling mencengangkan tentu saja Beng Liong. Wajah tampannya, wangi
tubuhnya, serta ketenangan dan pembawaannya yang begitu gagah, membuat
hadirin perempuan yang ada di sana semua terpana.

Dalam ruangan itu, ada dua orang pria tampan yang membuat para wanita tak
berani bernafas. Jika mereka disuruh memilih, mereka tentu akan
melakukannya sambil tutup mata. Kedua-duanya sama tampan, sama gagah, dan
sama menawannya.

Mari Liong-tayhiap, dan Hong-totiang (tetua Hong), silahkan duduk di


sini kata Khu Hujin mempersilahkan. Dalam budaya Tionghoa, orang yang
paling terhormat duduk di sebelah tuan rumah.

Mereka berdua duduk di sebelah kiri Khu Hujin. Hong Sam hwesio duduk di
sebelah Khu Hujin, sedankan Beng Liong duduk di sebelah Hong Sam Hwesio.

Masih ada satu kursi kosong di sebelah kanan Khu Hujin.

Aih, San-ji, mengapa kau berdiri saja di sana? Mari duduk sini

Duduknya tepat di sebelah kanan Khu Hujin.

Cio San merasa malu sekali duduk di sana. Apalagi ia kini merasa sebagai
pusat perhatian. Semua hadirin kini memandangnya. Walaupun sambil
bercakap-cakap dan menikmati hidangan, pandangan mereka tidak lepas dari
Cio San.

Di dunia ini, masakah ada orang seberuntung itu?

Menjadi ketua Mo Kauw, menjadi ketua Kay Pang, dan bahkan dianggap
sebagai anak oleh wanita paling berkuasa dan paling kaya di seluruh
Tionggoan.

Masih sangat muda dan tampan pula.

Ia tak pernah menyangka hidupnya akan seperti ini. Mendapat kehormatan


seperti ini.

Cio San pun tahu ada sepasang mata yang tak pernah melepaskan pandangan
darinya.

Mey Lan.

Dari kejauhan ia memandang Cio San.

Entah apa arti sinar matanya itu.

Tak terasa, bibir Cio San pun berucap,

"Pernah datang, pernah hidup, pernah cinta"

Bab 56 Lelaki Sejati

Makanan dan sajian dari Khu Hujin sungguh nikmat. Seperti tak ada habishabisnya makanan di keluarkan dari dapur. Segala jenis makanan dan arak
yang paling enak di seluruh Tionggoan sepertinya disajikan di sini.

Cio San yang memang kesukaannya adalah makanan enak, tentu saja
menggunakan kesempatan ini sebaik-baiknya. Ia tidak perduli jika ada
orang yang menganggapnya rakus. Makanan disajikan untuk dimakan, bukan?

Kerlingan mata gadis-gadis dan para lie-hiap (pendekar wanita) kepadanya


bukan tidak ia sadari. Ia tahu, dirinya dan Beng Liong yang menjadi pusat
perhatian sekarang ini. Sepak terjang Beng Liong yang gagah dan
mengagumkan menjadi daya tarik tersendiri selain ketampanan dan keharuman
tubuhnya yang tersohor.

Jika orang memperhatikan, betapa miripnya Beng Liong dan Cio San, tetapi
juga terasa mereka sungguh jauh berbeda. Kedua-duanya sama-sama tampan,
dan gagah. Muda dan terkenal pula. Siapa juga yang menyangsikan kehebatan
ilmu silat mereka?

Tapi Beng Liong halus tutur kata dan gerak geriknya. Sedangkan Cio San
lebih sembarangan dan bebas. Jika ketampanan Beng Lion membuat orang
kagum dan sungkan, ketampanan Cio San membuat orang ingin akrab
dengannya.

Cio-tayhiap, masih ingat dengan cayhe? terdengar suara seorang gadis

Ah, Khu-siocia (nona Khu), bagaimana mungkin cayhe berani lupa? jawab
Cio San sambil menjura.

Kejadian di restoran Lai-Lai beberapa bulan yang lalu, masih cayhe ingat
selalu. Cayhe pun ingat belum sempat berterima kasih kepada tayhiap kata
gadis itu yang rupanya adalah Khu Ling Ling.

Haha, kenapa panggil tayhiap?, jika aku sudah memanggilnya anak,


bukankah kau harus memanggilnya sicek (paman)? kata Khu Hujin sambil
tertawa, dan diikuti tertawa hadirin yang lain.

Tinggal Cio San yang tersenyum masam.

Tiba-tiba seseorang menukas,

Khu-hujin, lebih pantas lagi jika Khu-siocia memanggil Cio-tayhiap


dengan sebutan suami

Hahahahah semua orang di dalam ruangan itu tertawa terbahak-bahak.

Khu Ling Ling wajahnya memerah, dan untuk menyembunyikannya ia menenggak


cawan araknya perlahan-lahan.

Khu Hujin hanya tersenyum simpul memandang cucunya yang malu-malu itu.
Lalu katanya,

Urusan jodoh kan urusan anak muda. Kita yang tua-tua ini mengikut saja

Seseorang kembali menukas,

Jika Khu-siocia tidak cepat-cepat mengiyakan, bisa-bisa jodoh sebaik ini


direbut gadis-gadis lain

Semua orang tertawa lagi.

Khu Ling-Ling semakin perlahan meminum cawan araknya.

Cio San senyum-senyum sambil garuk-garuk kepala.

Tapi matanya pun tertumbuk kepada sepasang mata. Mata Kwee Mey Lan yang
sejak tadi hampir tak pernah lepas memandang dirinya.

Di dunia ini, hanya perempuan satu-satunya makhluk yang sanggup


memandangmu dengan perasaan cinta, benci, rindu, marah, cemburu, dan
terluka sekaligus.

Itulah kenapa laki-laki tak pernah paham arti pandangan itu.

Khu hujin yang kami hormati, dari mana asal usul Cio-tayhiap yang
terhormat ini? tanya salah seorang dari 5 Pedang Butong.

Pertanyaan ini halus dan wajar, tapi mengandung racun.

Khu Hujin tidak langsung menjawab, ia malah memandang Cio San. Begitu
beliau ingin membuka mulut, Cio San sudah berdiri dan menjura.

Rasa-rasanya harus cayhe sendiri yang bercerita tentang asal usul cayhe

Ia lalu bercerita. Sebuah cerita panjang yang mengagumkan.

Tentang siapa orang tuanya. Bagaiamana mereka meninggal. Lalu kemudian ia


berguru di Butongpay. Cerita tentang kematian gurunya Tan Hoat, yang
meninggal secara mengenaskan. Cerita tentang pelariannya bersama A Liang.
Tentang kehidupannya di dalam goa. Dan lain-lain. Semua ia ceritakan
dengan ringkas dan jelas.

Orang-orang hampir tidak percaya dengan apa yang mereka dengar.

Jadi kaukau yang membawa lari kitab sakti Kam Ki Hsiang itu? tanya
salah seorang

Cayhe tidak membawa lari apa-apa tayhiap. Sungguh cayhe tidak berbohong
jawab Cio san jujur.

Tidak mungkin ilmumu meningkat begitu cepat tanpa guru yang mengajari.
Tentunya pasti karena Cin-keng (kitab sakti) tukas salah seorang.

Benar! Kami saja bisa ia kalahkan dalam satu jurus! Jika bukan karena
kitab sakti tidak mungkin ada orang yang sanggup berbuat demikian

Kata salah seorang anggota 5 Pedang Butongpay


Kembalikan kitab itu! semua orang kini sudah berdiri.

Pertanggungjawabkan perbuatanmu!

Pengkhianat harus dihukum!

Saudara-saudara harap tenang! Mari kita bicarakan baik-baik Khu Hujin


mencoba menenangkan mereka, tetapi suasana sudah terlanjur memanas.

Dengar! teriak Cio San.

Kegagahan dan wibawanya kini tampak.

Aku sudah bilang jika aku tidak mencuri kitab apapun. Siapapun yang
tidak percaya, silahkan lakukan apa yang ingin dilakukannya terhadapku!

San-ji. Tenanglah Khu Hujin menyentuh punggung Cio San mencoba untuk
menenangkannya.

Semua sudah seperti ini, hujin. Mungkin ini yang harus terjadi agar
semua kesalahpahaman bisa diselesaikan kata Cio San dengan tenang kepada
nyonya besar itu.

Baiklah. Aku percaya sepenuhnya kepadamu kata Khu Hujin sambil


mengangguk dan tersenyum.

Cio San lalu melompat ke tengah-tengah ruangan yang memang kosong karena
tata letak meja tamu-tamu berbentuk lingkaran.

Aku tidak sanggup mengelak tuduhan, dan tidak punya bukti-bukti yang
bisa membersihkan diriku. Siapapun yang merasa tidak puas, silahkan maju

Golongan Mo Kauw dan Kay Pang yang semenjak tadi diam saja, kini pun
mulai marah dan berkata,

Siapa yang mengganggu ketua kami, akan berhadapan dengan kami!

Mereka semua telah melompat ke tengah ruangan pula.

Anggota Mo Kauw dan Kay Pang, dengarkan perintah! kata Cio San dengan
gagah

Siap dengarkan perintah! mereka semua berlutut dan berteriak. Teriakan


itu membahana mengisi seluruh ruangan.

Tidak boleh ada satupun anggota yang turut campur dalam masalahku. Jika
tidak kuperintahkan bergerak, tidak ada satupun yang boleh meninggalkan
mejanya. Sekarang kembali ke tempat semula!

Siap laksanakan perintah!

Mereka semua kembali ke tempat semula. Dengan perasaan kagum dan bangga
melihat kegagahan dan keberanian ketua mereka.

Ini baru yang namanya ketua!

Nah, siapa yang masih tidak puas dengan penjelasanku, silahkan maju
kata Cio San tenang.

Seseorang melompat ke depan,

Aku

Tadi saat berkenalan, Cio San tahu orang ini bernama Su Beng Kong. Ketua
Kong Tong pay!

Salam hormat kata Cio San menjura.

Tidak berani..tidak berani mulutnya tersenyum tapi tangannya tidak


menjura.

Jika kau kalah, apa yang akan kau lakukan? tanya Su Beng Tong.

Apapun yang kau inginkan kata Cio San

Aku ingin kau mengaku salah, dan mengembalikan kitab sakti itu kepadaku

Mengembalikan? Memangnya sebelumnya kitab itu punyamu?

Kitab itu adalah kitab rebutan orang-orang kang ouw. Sudah menjadi
aturan, siapapun berhak merebutnya kata Su Beng Kong.

Baiklah. Bagaimana jika aku menang? tanya Cio San

Kau tak akan menang! ia lalu membuat kuda-kuda.

Kong Tong pay terkenal dengan ilmu silat tangan kosongnya. Jurus Tangan
Besi dari Utara mereka sudah tersohor di dunia sejak lama.

Terlihat tangan Su Beng Kong mengeras dan mengeluarkan bunyi gemeratak.


Seperti ada cahaya yang keluar dari kepalannya.

Jurus pertama!

Tangan Besi Meraih Awan.

Jurus ini terlihat lamban, tetapi menyimpan kekuatan dan tipu daya yang
hebat. Tinju itu mengarah ke kepala Cio San. Anak muda ini mencoba

menangkisnya, tetapi entah bagaimana tinju itu terbuka dan jari-jarinya


sudah mengincar mata Cio San!

Ia hanya memundurkan badannya. Kakinya tetap tertancap di tanah. Jarijari ganas itu tetap mengincar matanya.

Kepalan tangan Su Kong Beng yang satunya lagi sudah menuju ke dada Cio
San pula. Sangat cepat dan berat.

Dengan tangan kanannya Cio San hanya menyentuh kepalan yang menyerang
dadanya itu. Tapi kepalan itu malah meluncur deras ke arah kepala si
pemukul sendiri.

Begitu derasnya sampai ia tak bisa menghentikan tangannya sendiri.

Dengan tangan satunya ia terpaksa menangkis serangan tangannya sendiri!

Beng Liong dan 5 Pedang Butongpay yang merupakan murid-murid utama


Butongpay saja, belum pernah melihat Thay Kek Kun yang seperti itu. Mampu
membelokkan tinju penyerang, untuk menyerang si penyerang itu sendiri!

Betapa kagetnya ketua Kong Tong Pay ini melihat begitu mudah jurusnya
dipatahkan oleh anak ingusan seperti Cio San. Ia lalu menyiapkan jurus
kedua,

Tangan Besi Menantang Api

Tinjunya dilancarkan sangat cepat. Seperti hendak memadamkan api. Memang


angin yang ditimbulkan tinju ini terasa berat dan kuat. Bahkan piringpiring di belakang Cio san ikut tersapu karena angin ini!

Jurus ini malah mengingatkan Cio San kepada jurus 18 Tapak Naga.

Angin deras itu dihadapi dengan angin deras juga oleh Cio san. Dengan
menggabungkan 18 tapak Naga dan Thay Kek Kun, ia menciptakan angin
berputar yang menghilangkan semua angin serangan dari lawannya itu.

Begitu angin serangannya buyar, segera Su Beng Kong melenting dan dengan
kakinya mengincar dagu Cio San. Tendangan mencungkil itu hanya tipuan,
karena begitu Cio San menangkis tendangan itu, tinju Su Beng Tong sudah
menghujam mengincar batok kepalanya.

Melihat serangan ganas ini, Cio San menerimanya dengan tangan kirinya
yang mengeluarkan suara derik ular.

Blaaaangggg!

Terdengar suara seperti baja bertemu baja.

Tubuh Su Kong Beng sampai terlempar ke atas karena beradunya dua tenaga
dahsyat itu. Cio San terlempar ke belakang, tapi dengan Thay Kek Kun ia
sudah dapat mengatur langkah, dan menyalurkan tenaga dorongan itu ke
kakinya.

Dengan menggunakan tenaga dorongan itu, ia malah mampu melenting dengan


sangat cepat ke atas menyusul Su Beng Kong. Tendangan mencungkil yang
tadi dikeluarkan Su Beng Kong kini dilakukan Cio San dengan lebih
dahsyat, lebih cepat, dan lebih bertenaga.

Tendangan ganas itu pun tidak ia lancarkan ke dagu, hanya ke arah paha Su
Beng Tong.

Kraaakkkk!

Terdengar suara patah.

Tentu saja tulang paha bagian belakang Su Beng Tong yang patah.

Ia terlempar lebih jauh lagi.

Untunglah Beng Liong sudah menangkapnya dengan menggunakan Thay Kek Kun
sehingga ia tidak jatuh terhujam dengan deras ke lantai.

San-te (adik San), berhati-hatilah kata Beng Liong yang ditanggapi Cio
San dengan senyuman.

Terima kasih, Liong-ko kata Cio San sambil menjura.

Aksi Beng Liong menangkap derasnya tubuh Su Beng Tong mendapat decak
kagum pujian dari orang-orang karena hal ini sangat susah dilakukan.
Tanpa Thay Kek Kun, malah hal ini menjadi mustahil. Karena jika tidak,
derasnya tenaga hujaman ini malah berbahaya bagi orang yang mencoba
menangkapnya. Sebaliknya jika tenaga orang yang menangkap memang lebih
kuat, maka bertemunya tenaga hujaman dan tenaga orang yang menangkap,
akan sangat berbahaya bagi orang yang jatuh itu. Itulah sebabnya sangat
sulit dilakukan.

Tapi Beng Liong melakukannya dengan santai seperti tanpa kesulitan


apapun.

Su Beng Kong meringis kesakitan karena tulang pahanya remuk. Sampaisampai ia tak sempat mengucapkan terima kasih kepada Beng Liong yang tadi
menolongnya. Ia kini duduk saja menyalurkan tenaga dalam ke kakinya, dan
telah menotok beberapa titik untuk menghilangkan rasa sakit.

Cio San bertanya kepadanya,

Su-tayhiap, bagaimana?

Su Beng Kong hanya mengangguk-angguk.

Dengan kalahnya ketua Kong Tong Pay ini, tentu saja mereka yang ilmunya
dibawah orang ini, langsung mengkeret dan tak berani buka suara.

Seseorang melompat maju ke depan. Kali ini Cio San juga mengenal namanya,
Sengkoan To. Ketua dari partai Pek Thian Pang. Sengkoan To adalah seorang
yang berumur 50an, berbadan tegap dan rambutnya setengah botak. Ilmu
tombak besinya sudah lumayan cukup memberi nama besar kepadanya.

Cayhe mohon pelajaran dari Mo Kauw kaucu dan Kay Pang pangcu katanya
menjura.

Silahkan kata Cio San sambil memainkan ujung rambutnya.

Tangan kirinya sudah ia lipat ke belakang. Posisi bertarung yang paling


disukainya.

Tombak telah keluar!

Sambarannya mengeluarkan suara wuuuuuunggggg yang memekakkan telinga.


Tombak ini keseluruhannya dibuat dari besi baja murni yang sangat berat.

Dengan Thay Kek Kun, Cio San menyambut tombak itu. Tangan kanannya
menerima tombak itu sambil tubuhnya serong ke kiri. Saat tombak itu
terpegang, Sengkoan To memutar tombak itu dengan pergelangan tangannya.
Gerakan ini sangat kuat, dan memang Sengkoan To telah melatihnya sejak
bertahun-tahun, sehingga kekuatan putaran itu sukar dibayangkan.

Siapa yang pergelangan tangannya tidak kuat, tentunya telapak tangan dan
jari-jarinya akan hancur jika memegang tombak yang berputar kencang itu.

Begitu merasakan putaran kencang itu mulai menjalar ke lengannya, Cio San
melakukan hal yang sangat tepat. Ia tidak melawan putaran itu, melainkan

tubuhnya menempel di tombak itu sambil mengikuti alur putarannya yang


dahsyat itu.

Sengkoan To yang merasa berat karena tombaknya ketambahan berat badan Cio
San sampai terkaget-kaget. Bagaimana mungkin manusia bisa menempel pada
badan tombak yang berputar dahsyat seperti itu.

Ia lupa bahwa tadi Cio San bercerita bahwa ia sempat mempelajari gerak
ular saat hidup berada dalam gua.

Begitu Cio San menempel di tombak itu, ia menambah tenaga putaran itu
menjadi lebih hebat lagi sehingga justru kini Sengkoan To yang tidak bisa
menahan putaran tombaknya sendiri.

Lepaskan tombak! teriak Cio San.

Tapi Sengkoan tak mau mendengar. Baginya tombaknya adalah harga dirinya,
jika lepas, maka hilanglah harga dirinya.

Justru itulah kesalahan terbesarnya.

Putaran tombak yang dayanya sudah berlipat ganda karena putaran tubuh Cio
San itu malah menyerang balik pemiliknya sendiri. Sengkoan To yang
bertahan melawan tenaga putaran itu malah berteriak kesakitan karena kini
tangannya lah yang remuk.

Cio San lalu melompat seketika melepaskan diri dari tombak agar cedera
lawannya tidak parah. Begitu ia terlepas dari tombak Cio San dengan
kecepatan yang sukar diduga segera 'menyerang' Sengkoan To. Gerakan
serangan Thay Kek Kun ini ia lancarkan tepat ke sambungan lengan dan bahu
Sengkoan To.

Tubuh Sengkoan To melayang dan berputar pula seperti tombaknya.

Sungguh ia sebenarnya beruntung dan harus berterima kasih. Karena Cio San
telah menyelamatkan nyawanya dari kedahsyatan putaran tombaknya sendiri!

Tangan kanannya kini lunglai. Tapi tidak copot dan remuk parah. Ia pun
menyadari betapa Cio San telah menyelamatkan nyawanya dan masa depannya
sebagai pendekar tombak.

Terima kasih atas kemurahan hati, tayhiap. Mulai saat ini Sengkoan To
dan Pek Thian Pang tak akan mencampuri urusan tayhiap ia tak dapat
menjura karena tangannya lumpuh sementara.

Sama-sama, Sengkoan-tayhiap. Jika kulihat cedera tanganmu parah namun


masih bisa diobati, jika tayhiap menemukan tabib terbaik, maka cedera
Tayhiap akan pulih dalam setengah tahun kata Cio San sambil menjura.

Ia kini menatap lagi orang-orang di sana. Seperti bertanya, Ada lagi?

Lam Gak Bun berdiri.

Suami Mey Lan ini pun kemudian buka suara,

Cayhe tahu ilmu cayhe masih sebatas silat pinggir jalan. Tetapi sejak
dulu, Ciangbunjin partai kami telah memerintahkan seluruh anggotanya
untuk mencari keberadaan kitab ini. Harap maafkan cayhe yang tidak tahu
diri meminta petunjuk dari kaucu.

Mey Lan seperti hendak mencegahnya, namun sudah terlambat. Lelaki gagah
dan tegap itu kini sudah meloncat ke tengah.

Lelaki memang selalu menjadi lebih gagah jika ada kekasihnya di


sampingnya.

Lam Gak Bun sendiri bukan tidak tahu bahwa sejak tadi istri barunya itu
tak pernah melepas pandangan dari Cio San. Api cemburu membakar hatinya
sehingga ia tidak perduli lagi dengan kemampuan sendiri.

Cayhe bertarung dengan pedang. Silahkan kaucu memilih senjata katanya.

Cayhe selalu bertarung dengan tangan kosong apapun senjata lawan kata
Cio San tenang.

Baik. Semua orang sudah mendengar bahwa Cio tayhiap sendiri yang memilih
mengunakan tangan kosong. Berarti bukan cayhe yang berbuat tidak adil
kata Lam Gak Bun kepada semua orang.

Mereka semua mengangguk. Tapi dalam hati mereka ragu, apakah anak muda
dari Kun Lun Pay ini sanggup menghadapi Cio San. Ketua partainya sendiri
belum tentu sanggup menghadapi Cio San!

Sriiingg!

Ia sudah mengeluarkan pedang dari sarung yang tersandang di punggungnya.

Cio San berpikir, untunglah tidak ada Suma Sun di sini. Jika ada,
tentulah si dewa pedang itu yang memaksakan diri maju melawan Lam Gak
Bun.

Jurus pertama Ilmu Pedang Sembilan Awan dari Kun Lun Pay.

Hujan Pedang di Barat, Hujan Pedang di timur.

Dan memang gerakannya seperti hujan deras yang melanda tubuh Cio San.
Pedang itu menyerang segala titik di tubuh Cio San. Tak tersisa satu pun
ruang baginya untuk mundur!

Para hadirian disana pun sontak terkaget-kaget, karena walaupun tersohor,


Ilmu Pedang Kun Lun Pay belum pernah terlihat selihay ini!

Pedangnya cepat sekali.

Sangat cepat.

Bahkan hampir-hampir Cio San tak dapat melihatnya.

Tetapi hampir tak dapat melihat juga berarti masih bisa melihat.

Gerakan menghindar dan menangkis Cio San jauh lebih cepat lagi!

Bagaimana mungkin ada orang bisa menangkis pedang dengan tangan kosong?

Tapi Cio San bisa.

Ia menangkis pedang itu dengan tinjunya. Tinju yang terlihat bercahaya


dan mengeluarkan suara derik pula.

Ia telah berhasil menggabungkan jurus Tinju milik Su Beng Kong tadi


dengan jurus ular derik miliknya sendiri.

Pedang Lam Gak Bun patah dan hancur berkeping-keping.

Ia bahkan tak tahu harus berbuat apa!

Dengan amarah membara ia menerjang Cio San. Ilmu tangan kosong Kun Lun
Pay pun sangat hebat. Tapi apalah artinya dibandingkan Cio San yang kini
di tahap puncak ilmu silat?

Dengan sekali menghindar, ia sudah berhasil menghindari serangan bertubitubi Lam Gak Bun. Semua orang bisa melihat betapa Cio San menahan diri
untuk tidak menyerang balik Lam Gak Bun.

Ayo hajar dia, Bun-ko teriak Mey Lan memberi semangat kepada suaminya.

Mendengar itu jantung Cio San berdegup. Ada perasaan nyeri di hatinya
melihat mantan kekasihnya itu berkata seperti itu. Pertarungan satria
hebat haruslah bersih dari segala macam pikiran dan gangguan.
Mendengarkan hal itu, telah membuat pemusatan pikiran Cio San buyar, dan
gerakannya menjadi kacau.

Inti silat Cio San memang adalah pada pemusatan pikiran dan gerakan
mengikuti alam. Mengikuti alur serangan lawan, untuk bisa memahami, dan
melawan serangan itu. Jika pikiran kacau dan hati tidak tenang, maka
segala gerakan yang harusnya alami dan mengalir lancar menjadi terganggu.

Oleh karena itu sebuah tinju milik Lam Gak Bun telah masuk ke ulu hati
Cio san.

Tak ada thay kek Kun yang melindunginya. Tak ada tenaga sakti yang
menahan tinju itu. Karena pikiran Cio san telah terpenuhi hal selain
bertempur. Selain bergerak bebas dan alami.

Tinju itu membuatnya terdorong mundur beberapa tombak. Darah segar keluar
dari mulutnya.

Melihat serangannya berhasil, Lam Gak Bun semakin bersemangat.

Orang-orang pun menyorakinya dengan semangat.

Suara sorakan itu menghingar bingar, tetapi kenapa suara Mey Lan saja
yang terdengar oleh Cio San?
Ayo Bun-ko, hajar lagi! Hajar lagi! suara Mey Lan terdengar bagai
menusuk-nusuk telinganya.

Cio San telah kehilangan pemusatan pikirannya. Gerak silatnya menjadi


sangat kacau. Pukulan dan tendangan Lam Gak Bun telah masuk berkali-kali
ke tubuhnya.

Ia telah kehilangan semangat bertarungnya.

Bukan pukulan dan tendangan Lam Gak Bun yan menyakitinya, nmelainkan
teriakan Mey lan yang benar-benar menghujam jantung dan batinnya.

Kau sudah mencampakkanku, dan kini masih tetap ingin aku mati?

Hanya itu yang ada di pikiran Cio San.

Perempuan adalah makhluk bumi yang paling aneh. Mereka bisa berubah dari
mencintaimu sepenuh hati, menjadi membencimu sepenuh jiwa hanya dalam
hitungan detik.

San-te, berusahalah terdengar bisikan Beng Liong yang ia kirimkan


melalui ilmu mengirimkan suara.

Darah mengucur dari hidung dan mulut Cio San. Tak ada tenaga sakti yang
melindunginya lagi. Memang benar kata orang, semua berasal dari pikiran.
Jika engkau berpikir bahwa kau adalah orang yang baik, maka segala
perbuatanmu akan mengikuti pikiranmu. Jika engkau berpikir bahwa engkau
tidak mampu, maka engkau benar-benar tidak akan mampu.

Jika engkau berpikir bahwa dunia ini sudah tiada artinya lagi, maka dunia
benar-benar sudah tidak ada artinya lagi.

Jika seseorang jatuh, ia jatuh karena pikiran-pikirannya sendiri.

Jika seseorang bangkit, ia bangkit karena pikirannya sendiri.

Pukulan dan tendangan datang bertubi-tubi menderanya.

Teriakan Mey Lan bertubi-tubi menghujam jiwanya.

Kalian ingin aku mati? Baik aku mati saja. Mungkin dengan itu kalian
akan lebih berbahagia

Ia berdiri dengan gagah menantang.

Satu serangan ganas dari Lam Gak Bun mengincar jantungnya. Jika ia
terpukul, pasti urat-urat jantungnya akan putus dan ia mati seketika!

Mati? Ya mati saja. Bukan perbuatan yang sulit.

Aku segera akan menyusul ayah bundaku, kakek dan keluargaku, guruku

Terbayang semua bayangan orang-orang yang ia cintai.

"Aku akan menyusul kalian, wahai orang-orang tercinta."

Bayangan mereka sudah muncul di depan matanya.

Tapi tidak ada satupun dari mereka yang tersenyum kepadanya. Semua
menatap marah!

Jika kau mati, siapa yang mengusut kematian kami? Siapa yang membalaskan
dendam kami?

Seketika ia tersadar. Tugas berat belum lagi ia selesaikan. Mengapa ia


begitu terlalu mementingkan dirinya sendiri? Terlena oleh perasaanperasaan hatinya sendiri.

Segala kejadian ini terjadi dalam sekelebatan mata. Tinju Lam Gak Bun
belum lagi sampai kepada jantungnya.

Segera semangatnya pulih.

Tidak!

Aku belum boleh mati.

Cinta? Masih bisa dicari yang baru. Yang lebih cantik, yang lebih baik,
dan yang lebih setia.

Tapi orang-orang yang ia sayangi yang telah meninggalkannya tak akan


mungkin kembali.

Begitu semangatnya pulih, tenaga saktinya kembali melindungi dirinya.


Pikirannya telah kembali bersih dari segala kesedihan.

Tinju itu menghujam jantungnya.

Tetapi Thay kek Kun sekali lagi menunjukkan keistimewaannya. Tenaga


pukulan itu telah tersalurkan dengan alami, dan jantungnya selamat.

Malah Lam Gak Bun yang kini merasa tangannya telah terhisap oleh pusaran
badai yang sangat dahsyat!

Naga Menggerung Menyesal! ia meneriakkan kata itu.

Pukulan dahsyat itu pun keluar!

Ilmu legendaris yang dipercayai telah hilang dari dunia persilatan.

18 Tapak Naga!

Lam Gak Bun terlempar dengan luka dalam yang amat parah.

Semua orang berdiri terhenyak. Kaget, kagum, dan takut. Tak menyangka
dalam hidup mereka, akan menyaksikan ilmu pukulan yang begitu ternama,
begitu sakti, dan begitu menyeramkan.

Dari mana kau mempelajarinya? teriak Hong San Hwesio.

Cayhe melihat Ji Hau Leng menggunakannya, Hong-totiang (tetua Hong)


jawab Cio San jujur.

Sekali melihat, kau langsung bisa? tanya Hong Sam Hwesio

Benar, totiang

Kau berbohong kata sang Hwesio

Apa maksud totiang? tanya Cio San heran

Di dunia ini masakah ada manusia yang sekali lihat langsung bisa
melakukannya? Apalagi ilmu dahsyat semacam 18 Tapak Naga? sanggah sang
Hwesio.

Semua orang diam membisu dan mendengarkan.

Hong Sam Hwesio melanjutkan,

Para hadirin sekalian, ketahuilah. Satu-satunya kitab 18 Tapak Naga yang


tersisa di muka bumi ini berada pada ketua kami. Seperti yang saudara
sekalian tahu, ketua kami berhak menyimpan dan mempelajari banyak kitab
sakti, karena beliau adalah Bu Lim Beng Cu (ketua kaum persilatan).

Tapi kitab-kitab kuno ini, banyak yang tulisannya sudah kabur dan
menghilang. Itu karena usianya yang sudah ratusan tahun. Salah satunya
adalah 18 tapak naga ini. Sehingga ketua kami memutuskan untuk tidak
mempelajarinya, karena jika tidak lengkap, ilmu ini bisa berbahaya dan
balik menyerang dirinya sendiri.

Karena hubungan baik


mengijinkan mendiang
18 Tapak Naga adalah
mencatat seluruh isi

Siau Lim Pay kami dengan Kay pang, maka kami


Ji Hau Leng untuk mempelajarinya. Karena memang ilmu
ilmu kebanggan Kay pang. Ia datang ke kuil kami lalu
kitab yang tidak lengkap itu.

Beberapa saat yang lalu, kami mendengar bahwa kitab itu hilang. Dan kini
Cio San sudah menguasainya. Saudara sekalian mengerti maksud kami bukan?

Mengerti! semua orang menjawab serempak. Hanya anggota Mo Kauw dan Kay
Pang yang tidak menjawab.

Hong Sam Hwesio melanjutkan lagi,

Beberapa waktu belakangan ini, terjadi begitu banyak pembunuhan,


pencurian kitab, dan lain-lain. Apakah saudara-saudara semua tidak curiga
siapa pelakunya?

Jika kita lihat ilmu dan kesaktiannya. Dan berapa beruntungnya ia bisa
menjadi ketua Mo kauw dan Kay pang, apakah saudara-saudara sekalian tidak
curiga?

Ya..ya semua orang mengangguk setuju.

Cio San! Mengakulah bahwa itu semua adalah perbuatanmu! Hong Sam Hwesio
menudingnya.

aaku..ah Cio San tidak bisa menjawab.

Khu Hujin malah yang membelanya,

Tuan-tuan, tanpa bukti yang jelas, kita tidak boleh sembarangan menuduh
orang. Biarkan aku menahan Cio San disini. Sampai segalanya jelas dan
terbukti

Semuanya telah terang benderang. Dulu saat kejadian pembakaran kapal Mo


Kauw, aku berada di sana. Aku sempat membelanya. Bahkan bekerja sama
dengannya untuk mencari pelakunya. Tetapi setelah ku pikir-pikir, Justru
orang inilah pelakunya. Saat itu aku berada bersamanya. Aku masuk ke
bilikku lalu aku diserang seseorang yang sangat sakti. Saat itu Cio San
berada di ruang depan. Begitu penyerang itu menghilang, justru Cio San
baru masuk. Saat kami mencari di sekeliling, tiada seseorang pun yang
terlihat. Padahal mataku belum lamur! kata Hong Sam Hwesio dengan keras.

Ini fitnahini fitnah! seluruh anggota Mo Kauw dan Kay Pang melompat
maju ke tengah ruangan.

Ketua kami adalah orang baik. Kami sudah mengalaminya sendiri. Kami
sangat mengenalnya!

Anggota Kaypang dan Mo Kauw, dengarkan perintahku! Kalian semua mundur


sampai ke gerbang kota bagian timur. Jika tidak kupanggil, jangan
menampakkan diri!

Tapitapi.. mereka semua ragu.

Laksanakan perintahku!

Dengan berat hati mereka mengangguk dan pergi dari situ. Bahkan ada yang
menangis meneteskan air mata.

Cio San tahu, ia tidak boleh melibatkan anggotanya ini ke dalam masalah
yang sudah sedemikan ruwetnya. Ia tidak punya bukti, tidak punya saksi,
tidak punya apapun dan siapapun yang sanggup membelanya.

Hanya Khu Hujin yang membelanya, Beng Liong pun kini berdiri di
sebelahnya. Hanya mereka berdua yang terlihat perduli dengannya.

Tetapi ia tidak mau melibatkan mereka ke dalam urusan ini. Karena ia tahu
siapa pelaku sebenarnya! Siapa otaknya. Dan otaknya berada di sini!
Sedang menikmati hasil karya akal kepintarannya.

Hanya saja Cio san tidak punya bukti apapun untuk membuktikannya!

Betapa hebat si otak besar ini!

Saudara-saudara sekalian! Aku berani bersumpah demi langit dan bumi


bahwa bukan aku pelakunya. Tetapi aku tahu kalian tak akan percaya. Maka
silahkan kalian menempurku. Tapi kali ini aku jamin, TIDAK ADA SEORANG
PUN YANG AKAN SELAMAT

Dalam kemarahan dan keputusasaannya ia menjadi begitu gagah.

San-te, tahan dirimu, mari kita bicarakan ini baik-baik, aku akan
membelamu

Cio san tersenyum pahit, Tidak perlu Liong-ko. Tiada seorang pun yang
mendengarkan. Manusia hanya percaya terhadap apa yang ingin
dipercayainya

Majulah! kata Cio san menantang

Tak seorang pun berani maju. Mereka telah melihat kedahsyatan jurus
pertama 18 Tapak Naga. Siapapun tidak berani ambil resiko menjadi korban
kedua keganasan ilmu itu. Bagaimana jika pemuda ingusan ini sudah
menguasai seluruh 18 jurusnya?

Mari kita serang bersama-sama! ajak Hong Sam Hwesio

Mari! semua bilang begitu, tetapi tak ada seorang pun yang bergerak.

Cio San hanya berdiri memainkan ujung rambut sambil melipat tangan
satunya ke belakang.

Ruangan seramai itu, tidak ada satupun suara terdengar.

Lalu terdengar suara Duaaaaaaarrrrrrrrrrrr!

Atap ruangan itu telah jebol oleh sebuah ledakan.

Cio San sudah melayang ke atas.

Ada Cukat Tong yang melayang dengan burungnya di sana. Cio San mengaitkan
kakinya ke kaki Cukat Tong.

Oran-orang tadi terkaget kaget sekarang sudah sadar jika Cio San akan
meloloskan diri, mereka baru bergerak menyerang dengan lemparan tombak,
pedang, golok, dan senjata rahasia.

Naga Terbang Di Langit!

Jurus kedua 18 Tapak Naga itu datang berbarengan denga teriakan Cio san.
Seluruh serangan itu pun musnah oleh angin pukulannya.

Cio San dan Cukat tong terbang membumbung tinggi. Meninggalkan ratusan
orang dibawah yang memaki-maki

Pengecut! Pengecut!

Khu Ling Ling menggenggam tangan neneknya. Ia menangis bersedih. Khu


Hujin hanya bisa menggenggam balik tangan cucunya, dan berkata,

Kau jangan menangis. Itulah contoh lelaki sejati. Dia tidak lari
menyelamatkan diri. Justru jika ia tidak pergi, orang-orang di sinilah
yang akan mati semuanya.

Lelaki sejati hanya itu yang keluar dari bibir gadis cantik itu.

Bab 57 Di Tepi Hutan Bambu

Di mana anggota Kay Pang dan Mo Kauw? tanya Cio San.

Seperti perintahmu, mereka pergi ke arah gerbang timur jawab Cukat


Tong.

Baik, ayo kita cari mereka

Tak sampai berapa lama terbang, rombongan ratusan orang itu sudah
kelihatan berlari dengan cepat ke arah timur. Itu mereka kata Cukat
Tong.

Segera mereka menukik ke bawah.

Dengan ginkangnya Cio San meluncur dengan indah ke bawah. Tahu-tahu ia


sudah muncul di hadapan ratusan orang anak buahnya itu.

Saudara-saudara. Aku meminta maaf hal ini harus terjadi. Apakah kalian
masih percaya kepadaku?

Percaya sepenuhnya tuan! jawab mereka semua dengan lantang.

Baiklah. Mulai hari ini kita semua berpisah. Silahkan berpencar sendirisendiri. Manusia-manusia munafik yang tadi telah menuduhku, mungkin akan
mencari alasan untuk menyerang Kay Pang dan Mo Kauw. Partai kita telah
mengalami berbagai macam hal dan cobaan. Kita tak akan mungkin kalah
hanya karena masalah begini saja bukan?

Tak akan pernah! jawab mereka serentak.

Baiklah. Aku akan bertemu dengan saudara lagi secepatnya. Tunggu


perintah dari ku. Cun-totiang, mohon totiang segera ke kotaraja. Bawa
beberapa orang yang paling engkau percaya. Tunggu perintahku. Jangan
keluar kotaraja sebelum ada perintah dariku

Siap pangcu! jawab Pengemis Cun

Yan Bun Thian, kau bertugas melanjutkan perjalanan ke puncak Thay San.
Bawa beberapa orang saudara pula bersamamu

Siap kaucu! jawab Yan Bun Thian.

Ketua cabang Mo Kauw di kota ini, silahkan maju kata Cio San

Seorang pemuda yang lumayan tampan maju ke depan. Dia tadi tidak ikut
mabuk-mabukan karena ada beberapa urusan sebentar. Tadi ia pun datang
sendirian ke rumah Khu Hujin. Untuk menyemunyikan jati dirinya. Kini
ketika Mo Kauw sedang mengalami kerulitan, ia bergabung kembali.

Gouw Sam menerima perintah kata pemuda tampan itu.

Jaga jangan sampai Mo Kauw di kota ini hancur berantakan. Tetap siapkan
orang untuk menguatkan pertahanan kita. Aku akan memerinthakan anggota
dari kota lain untuk membantumu

Siap. Ada lagi kaucu? tanya Gouw Sam.

Mata-matai Khu Hujin dan anggota-anggotanya. Aku butuh kabar tentang


pergerakan mereka

Semua orang terhenyak. Khu hujin kan baru saja mengangkat anak kepadanya?

Cio San rupanya paham isi hati anggotanya, ia lalu tersenyum dan berkata,

Jangan khawatir. Percayalah kepadaku

Entah kenapa senyumnya ini bisa begitu meyakinkan semua orang. Ada
sesuatu pada dirinya yang membuat orang cepat percaya dan merasa dekat.

Baiklah saudara-saudara. Silahkan berpencar!

Begitu kata-katanya selesai diucapkan. Semua orang sudah menghilang dari


hadapannya.

Hanya ada satu orang yang tetap tinggal.

Ang Lin Hua.

Gadis cantik itu menatapnya.

Ada satu kelebihan perempuan. Yaitu ketika ia menatapmu, ia sanggup


membuatmu merasa sebagai orang yang paling berdosa di muka bumi ini.

Cio San tak tahu apa yang harus ia perintahkan kepada nona ini. Ia takut
jika ia membuka mulut dan mengeluarkaan perkataan yang salah, tatapan
nona ini malah akan membetot sukmanya.

Cukat Tong! Kau bisa membawa seorang lagi?

Tidak bisa! Membawa dua orang saja sudah sangat payah jawab Cukat Tong.

Baiklah. Kita berpisah di sini. Kita bertemu beberapa hari lagi

Baik Cukat Tong segera pergi. Ia tidak bertanya bertemu di mana dan
kapan. Tapi segera ia bertanya, " Bagaimana dengan Suma Sun?"

"Suma Sun adalah Suma Sun" jawab Cio San enteng.

"Haha. Betul juga" Cukat Tong hanya tertawa dan menghilang dari situ
bersama burun-burungnya

Cio San menoleh kepada Ang Lin Hua

Nona ikutlah denganku

Ang Lin Hua mengangguk.

Cio San telah menggenggam tangannya. Mereka berlari kencang sekali.

Ketika gelap, mereka telah sampai di sebuh hutan.

Kita istirahat sebentar kata Cio San.

Ang Lin Hua mengangguk.

Kadang-kadang hal yang paling menyenangkan dari perempuan bukanlah


kecantikan atau dandanannnya. Tapi adalah saat ketika ia mengangguk
mengiyakan terhadap semua perkataanmu.

Cio San segera melompat ke pucuk pepohonan dan memetik beberapa buahbuahan segar.

Silahkan nona katanya

Terima kasih. Kaucu kata Ang Lin Hua.

Mereka makan dengan lahap dan tenang.

Nona kenapa sejak tadi diam saja

Tidak apa-apa, kaucu.

Jika perempuan mendiamkanmu dan berkata tidak ada apa-apa. Itu berarti
engkau telah membuat kesalahan besar terhadapnya.

Cio San paham ini.

Katakan saja, nona

Mo Kauw adalah partai besar dan selama ini tidak ada orang yang berani
macam-macam dengan kita kata Ang Lin Hua.

Kau marah karena aku tidak melawan balik?

Si nona hanya diam dan menatap Cio San.

Aku hanya tak ingin membunuh orang kata Cio San

Tapi mereka semua ingin membunuh tuan sahut Ang Lin Hua

Cio San hanya tersenyum dan memainkan ujung rambutnya.

Orang rendahan macam Lim Gak Bun itu pun bahkan bisa kubunuh dengan satu
pukulan kata si nona

Senyum Cio San tambah lebar. Ia baru ingat ternyata luka di tubuhnya
parah juga. Tapi kenapa sekarang sakitnya sudah berkurang seluruhnya?

Kenapa tuan membiarkan ia mempermalukan tuan?

Perempuan yang cantik, jika marah biasanya kecantikannya tidak hilang.


Tapi kau justru lebih takut kepadanya daripada kepada setan gunung.

Oleh sebab itu Cio San diam saja.

Apakah karena istrinya itu? kata Ang Lin Hua.

Memang di dunia ini, satu-satunya makhluk yang bisa mengerti perasaan


perempuan, hanyalah perempuan sendiri.

Cio San hanya bisa menatap Ang Lin Hua.

Laki-laki paling pintar di seluruh dunia pun kadang menjadi manusia


paling bodoh di hadapan seorang perempuan. Hal senyata ini kenapa masih
ada orang yang menganggap laki-laki lebih kuat daripada perempuan?

Benar, bukan?

Cio San tidak bisa menjawabnya.

Tuan, jika itu urusan pribadi tuan, hamba tak akan mencampuri. Tetapi
tuan membawa nama besar Mo Kauw di pundak tuan

Aku mengerti, nona. Maafkan aku memang punya banyak kekurangan

Laki-laki jika ingin mengakui kesalahannya pasti akan berkata seperti


itu.

Sebenarnya siapa perempuan itu? Apakah kekasih lama tuan?

Ya

Ia meninggalkan tuan?

Ya

Kenapa tidak cari yang baru?

Mencari kekasih kan tidak semudah mencari anggota Mo Kauw atau Kay Pang
kata Cio San sambil tertawa.

Ang Lin Hua tidak tertawa.

Mengapa kini ia begitu benci kepada, tuan?

Aku sendiri tidak tahu

Apakah tuan pernah mengkhianatinya atau membohonginya?

Setahuku tidak pernah

Hanya ada dua hal yang membuat perempuan berpaling dari laki-laki.
Pengkhianatan laki-laki atau adanya laki-laki yang lain

Menurutmu, urusanku ini masuk bagian yang mana?

Dengan sendirinya Ang Lin Hua tidak perlu menjawab.


Ia lalu mengalihkan pembicaraan,

Tuan sudah tahu bukan siapa si otak besar ini?

Sudah

Kenapa tidak dibunuh saja?

Aku kan sudah bilang aku tidak akan membunuh orang lagi tukas Cio San.

Tapi bukankah jika tuan membunuhnya, itu dapat menghentikan banyaknya


kejahatan yang akan ia timbulkan? tanya Ang Lin Hua.

Cio San tak dapat berkata apa-apa.

Ia hanya takut, beban itu terlalu berat untuk ia pikul.

Ada sementara hal di dunia ini, yang semua orang di muka bumi ini yakin
kau sanggup melakukannya, dan hanya kau lah yang sanggup melakukannya.
Tapi dalam hatimu, kau tahu bahwa sesungguhnya kau tak memiliki kemampuan
apa-apa.

Aku tak punya hak untuk mengadili atau menghukum seseorang. Jika aku
melakukannya pun, aku harus memiliki bukti yang kuat dan nyata kata Cio
San.

Tuan, berhentilah bersikap gagah dan suci. Mohon maaf jika hamba harus
mengatakan ini. Tapi tuanlah yang selama ini terus difitnah, terus
dikorbankan, dan terus dilukai. Mengapa tidak berdiri dan pergi
menantangnya? Dengan ilmu dan kemampuan tuan, tidak ada satu orang
manusia pun yang tidak sanggup tuan hadapi ada secuil kemarahan di mata
Ang Lin Hua.

Dan bagaimana jika aku salah? Bahwa dugaanku keliru dan aku kesalahan
tangan membunuh orang yang tidak bersalah? tanya Cio San

Aku saja yakin sepenuhnya kepada tuan, kenapa tuan sendiri tidak yakin
terhadap diri tuan sendiri? kata Ang Lin Hua balas bertanya.

Aku bukan Tuhan yang selalu benar, yang selalu adil penghakimannya. Aku
hanya percaya bahwa orang yang berbuat kesalahan, suatu saat akan
menerima hasil dari apa yang ditanamnya

Sekali lagi hamba mohon maaf, tapi bagi hamba perkataan itu adalah
perkataan pengecut

Di dunia ini, baru satu orang inilah yang berani menyebutnya pengecut.

Kadang-kadang kau marah jika ada orang mengatakan hal ini kepadamu. Tapi
lebih sering kemarahanmu muncul karena jauh di lubuk hatimu kau tahu
perkataannya benar.

Tapi Cio San tak marah. Ia hanya tersenyum dan berkata,

Aku akan menghentikannya pada saatnya. Jika saat itu tiba ia tak akan
sanggup berkelit dan lari lagi. Tapi tidak saat ini.

Dan tuan rela melihat banyak korban yang akan jatuh saat tuan
membiarkannya berkeliaran saat ini? tanya Ang Lin Hua.

Kau tahu beratnya menjadi pemimpin?

Itu adalah saat di mana semua orang yang kau pimpin merasa dirinya benar,
dan segala keputusan yang kau ambil salah di hadapan mereka.

Cio San tahu ia tidak cocok dan tidak pantas menjadi pemimpin. Ia lebih
suka hidup dengan bebas tanpa memikirkan segala tetek bengek urusan
dunia. Jika boleh memilih, tentu ia akan memilih hidup sendirian di atas
puncak Butong San ditemani sebuah Khim.

Para pemimpin sejati tidak diciptakan, dimunculkan, dipilih, atau


diperjuangkan.

Mereka dilahirkan.

Oleh sebab itu sungguh dungu dan tolol jika ada orang yang merasa dirinya
pantas menjadi pemimpin. Mengajukan dirinya untuk dipilih sebagai
pemimpin. Karena pemimpin sejati itu datang di saat dunia begitu
membutuhkan kehadirannya.

Kau boleh ditakdirkan lahir sebagai kaisar. Tapi belum tentu ditakdirkan
lahir sebagai pemimpin. Karena kaisar hanyalah jabatan. Sedangkan
pemimpin adalah anugerah.

Anugerah yang datang dari langit kepada manusia.

Karena itu kaisar boleh berganti setiap masa. Tapi pemimpin sejati hanya
datang di saat masa tertentu hanya untuk membuat dunia sedikit lebih
cerah dan indah di tengah kemuraman dan ketidakadilan.

Cio San sungguh-sungguh paham bahwa ia tak memiliki takdir seperti itu,

Tapi bukankah kita baru mengetahui takdir setelah takdir itu terjadi?

Siapa yang menyangka seorang anak kurus yang sakit-sakitan mampu menjadi
lelaki dewasa yang ilmu silatnya sangat mengagumkan?

Mereka kemudian melanjutkan perjalanan. Tujuannya tentu saja adalah


puncak Thay San. Tetapi mereka memilih jalur yang jarang ditempuh oleh
orang lain yang berupa jalur mendaki yang curam, hutan-hutan lebat, dan
lembah-lembah tak bernama.

Selama di perjalanan Ang Lin Hua terus melatih ilmu yang dipelajarinya
dari Cio San. Kecantikannya pulih seluruh walaupun rambutnya masih tetap
putih.

Di hari kesembilan mereka beristirahat di tepi sebuah hutan bambu. Musim


gugur telah merayap datang. Walaupun bambu-bambu masih menguning,
dedaunannya sudah mulai berhamburan dengan indah.

Mereka bersandar di bawah pohon pinus. Menikmati angin pegunungan yang


sejuk dan lembut.

Lalu tiba-tiba seseorang muncul di hadapan mereka.

Entah dari mana dia.

Tahu-tahu muncul seperti setan di hadapan mereka berdua.

Orang yang bisa tahu-tahu muncul di hadapan Cio San tanpa sebelumnya ia
sadari, mungkin hanya bisa dihitung dengan jari tangan sebelah.

Kau yang bernama Cio San?

Ia adalah seorang kakek tua yang masih terlihat gagah di umurnya yang
sekitar 80 tahun. Rambutnya dikuncir sederhana. Pakaiannya pun sederhana.

Cio San dan Ang Lin Hua berdiri dan menjura,

Boanpwee (saya yang lebih muda) adalah Cio San dan ini sahabat boanpwee
bernama Ang Lin Hua

Pilih senjatamu kata kakek tua itu.

Boanpwee tidak membawa senjata kata Cio San

Aku tahu. Orang sepertimu kan bisa pakai apa saja. Ambil apa saja! kata
kakek tua itu tegas.

Cio San pergi dan mematahkan sebuah ranting pohon. Ia kembali dan
berkata,

Boanpwee hanya menemukan ini

Entah bagaimana di tangan si kakek pun sudah ada ranting yang sama
panjangnya dengan ranting di tangan Cio San. Ia sendiri tak tahu kapan si
kakek bergerak mengambil ranting itu.

Jika kau punya permintaan terakhir, katakan sekarang. Sebisa mungkin


akan kulaksanakan setelah kau mati si kakek berkata itu dengan ringan
seolah-olah Cio San memang sudah akan mati.

Tidak ada kata Cio San enteng pula

Bagus. Kuberi kesempatan menyerang tiga kali. Silahkan

Cianpwee (anda yang lebih tua) tak akan menyerang sebelum boanpwe
menyerang?

Kau meragukan kata-kataku?

Tentu tidak. Baiklah

Ia berkata baiklah tapi tidak menyerang. Ia justru duduk dengan tenang


membuka buntalan perbekalan yang biasanya dibawa Ang Lin Hua.

Marilah minum dulu cianpwee katanya tersenyum sambil membuka guci arak
yang sangat wangi bau isinya.

Aku datang untuk membunuhmu. Bukan untuk minum

Silahkan cianpwee. Tapi bukankah cianpwee sendiri yang berjanji untuk


tidak menyerang boanpwee sebelum boanpwee menyerang 3 kali? katanya
sambil tersenyum. Ia bangkit lalu menyodorkan secawan arak kepada kakek
tua itu.

Si kakek hanya menatap cawan anggur itu dan bekata,

Aku kagum dengan kecerdasanmu. Tetapi mengapa kau pakai untuk melakukan
hal-hal bejat?

Cianpwee apakah selama beberapa hari ini menelusuri jejak boanpwee


apakah karena mendengar keributan di rumah Khu hujin?

Si kakek hanya diam. Karena kadang-kadang diam berarti mengiyakan.

Sesungguhnya tidak ada satu pun hal yang sanggup membuktikan


ketidakbersalahan boanpwee. Tetapi jika cianpwee memang ingin membunuh
boanpwee, baiklah. Harap perhatikan serangan

Dengan ranting kayu ia menyerang pundak kakek tua itu tiga kali. Tapi
serangan itu sungguh aneh. Tidak ada sesuatu pun di dalam serangan itu.
Hanya 3 kali sentuhan ke pundak kakek itu. Sentuhan yan sopan dan halus.

Nah. Bonapwee hanya meminta, jika hari ini boanpwee mati, boanpwee
memohon agar cianpwee mengusut siapa yang benar-benar bertanggung jawab
di balik semua kejadian ini, dan cianpwee menghukumnya atas kejahatannya.
Di dunia ini mungkin hanya cianpwee yang pantas melakukannya

Selesai berkata begitu ia berpaling kepada Ang Lin Hua dan tersenyum.

Aku pergi duluan

Ang Lin Hua bisa berdiri menatapnya dan meneteskan air mata.

Cio San lalu lalu kembali menghadap si kakek dan berkata,

Silahkan cianpwee

Ia duduk berlutut dan kepalanya menengadah sambil tersenyum. Saat ini


terasa seluruh beban di pundaknya terangkat sepenuhnya. Jika kakek sakti
di hadapannya ini sudah mau turun tangan, tentulah keadaan dunia Kang Ouw
akan membaik sepenuhnya.

Si kakek termenung dan tak sanggup berkata apa-apa. Ia lama terdiam, lalu
kemudian berkata,

Berdirilah. Hidupku sudah mengalami berbagai hal sehingga aku tahu mana
orang yang jujur dan mana yang bukan

Dengan kecewa Cio San berdiri. Di dunia ini orang yang kecewa karena
tidak jadi mati mungkin hanya Cio San seorang.

Kau tahu siapa aku? tanya si kakek.

Pengetahuan boanpwee sungguh cetek, tapi jika boanpwee tidak salah,


cianpwee adalah sang pendekar pedang kelana, Can Li Hoa-tayhiap

Si kakek hanya mengangguk.

Perlihatkan silatmu katanya.

Jika seorang sepuh dan dikagumi di dalam dunia kang ouw memintamu
memperlihatkan silatmu, itu berarti ia memujimu.

Cio San lalu bergerak. Bergerak sepenuh hati dan sepenuh jiwa. Gerakannya
lugas, luwes, lincah, dan penuh tenaga. Ia bergerak seperti sedang
bertarung dengan musuh bebuyutannya. Padahal ia bersilat seorang diri.

Entah sudah berapa jurus. Entah jurus apa. Entah berapa lama.

Sang kakek menyaksikan dengan kagum, dan sesekali memuji,

Bagus!

Gerakan hebat!

Pintar sekali!

Begitu Cio San selesai bersilat, si kakek tersenyum senang. Lalu


bertanya,

Kau menciptakan sendiri gerakan-gerakan itu bukan?

benar cianpwee

Memang. Ilmu silat seperti itu tak akan mampu dipelajari manusia. Silat
seperti itu hanya lahir dari pemikiran yang cerdas. Belajar seribu tahun
pun tidak ada manusia yang sanggup menguasainya.

Cianpwee terlalu memuji kata Cio San menjura.

Selama puluhan tahun aku mencari orang untuk mewariskan ilmu pedangku,
syukurlah hari ini ku temukan orangnya kata si kakek, lalu lanjutnya

Tapi kau tak akan ku angkat menjadi murid

Dengan pemahamanmu kau tak perlu orang untuk mengajarimu. Justru jika
ada orang yang mengajarimu, kau tak akan bisa mengerti

Dengan mata dan pengalamannya si kakek bisa memahami pribadi Cio San. Hal
yang dulu tidak dapat dilihat oleh para guru di Butongpay. Karena memang
di dunia ini ada orang yang jika belajar sendiri kemajuannya justru lebih
cepat dibandingkan jika diajari orang lain.

Bolehkah aku meminta tolong kepadamu, Cio San? tanya si kakek.

Apapun, cianpwee jawab Cio San penuh hormat.

Lihatlah permainan pedangku

Baik, cianpwee

Ilmu pedang ini sangat dalam tapi juga sangat dangkal. Kau tidak perlu
mempelajarinya. Cukup kau lihat dan pikirkan saja maksud gerakangerakannya. Aku hanya akan memperlihatkannya kepadamu sekali saja.
Seberapa jauh jodohmu terhadap ilmu pedang ini, hanya Thian yang tahu
kata si kakek.

Segera si kakek bersilat. Ia hanya menggunakan ranting pohon.

Gerakan sederhana. Tapi indah. Tidak ada gerakan percuma. Hampir seperti
ilmu pedang Suma Sun. Tapi terlihat lebih indah, lebih luwes, dan lebih
bertenaga.

Kau sudah lihat?

Sudah cianpwee

Seberapa dalam yang kau paham?

Tidak paham sama sekali kata Cio San jujur.

Hahaha bagus. Sekarang aku akan menyerangmu. Perhatikan serangan

Si kakek menyerang dengan dahsyat.

Cio San menyambutnya dengan cara yang sama.

Dua orang bersilat dengan jurus yang sama, tapi juga terlihat seperti
jurus yang berbeda satu sama lain.

Ratusan jurus mereka lalui. Bagi Cio San ini pertempuran paling lama yang
pernah dijalaninya. Bagi si kakek ini pertempuran paling menyenangkan
yang pernah dialaminya.

Mereka berdua bertarung dengan gembira.

Setelah selesai, si kakek berkata,

Kini kau sudah menguasai ilmu pedangku. Aku tidak menganggapmu sebagai
murid dan kau jangan memanggilku sebagai guru. Aku hanya meminta kau
menjaga ilmu pedang ini. Jika kau menemukan seseorang yang berbakat dan
memiliki jiwa yang lurus, ajarkanlah ilmu pedangku ini kepadanya.

Boanpwee berjanji, cianpwee. Boanpwee memiliki seorang sahabat yang


sangat berbakat dalam ilmu pedang

Maksudmu Suma Sun? tanya si kakek

Benar, cianpwee

Ilmu pedangnya tak akan berkembang lagi

Ah

Kau mengasihaninya? Ilmu pedangnya tak akan berkembang karena dia telah
memilih jalur lain

Jalur apa, suhu?

Ia memilih ilmu membunuh

Lanjut si kakek,

Ketahuilah, orang jika terlalu berbakat dalam ilmu pedang, maka lama
kelamaan ia akan kehilangan jati dirinya. Lama-lama ia berubah dari
manusia menjadi sebuah besi dingin yang tajam. Padahal pedang seharusnya
tetap menjadi pedang, dan manusia tetap menjadi manusia

Itulah sebabnya aku memilihmu. Karena kau tidak memiliki jiwa dan bakat
ilmu pedang sebesar Suma Sun. Pada akhirnya ilmu pedangmu akan jauh
melampauinya.

Maksud cianpwee, boanpwee akan sanggup mengalahkannya? tanya Cio San

Ya. Kau akan sanggup mengalahkannya. Tapi kau tidak akan sanggup
membunuhnya. Justru ialah yang mungkin akan membunuhmu

Teecu mengerti

Kau mengerti?

Ilmu pedang dan ilmu membunuh dengan pedang, adalah dua hal yang jauh
berbeda. Meskipun terlihat tiada perbedaannya, siapapun yang mencoba
memahami, tentu suatu saat akan melihat perbedaannya kata Cio San.

Haha, BagusBagus. Aku tak salah menitipkan ilmu pedang ini kepadamu.
Kau memiliki bakat menjadi pendekar besar. Hanya saja kau tak memiliki
bakat menjadi pendekar pedang kata si kakek. Tetapi justru orang yang
tidak memiliki bakat besar lah yang kadang-kadang berhasil. Di dunia ini
kejadian seperti ini sudah sangat sering ku lihat

Lalu si kakek berkata,

Aku jarang sekali terjun ke dalam urusan Bu Lim (persilatan). Tetapi


sewaktu-waktu, jika ada manusia-manusia bejat merajalela, aku baru mau
turun tangan. Sudah sangat lama aku menghilang ke selatan, dan baru kali
ini kembali. Urusan pembunuhan bertopeng ini harus segera kau selesaikan
supaya aku dapat tidur dan mati dengan tenang

Kata-kata ini menghujam dada Cio San. Ia tahu saat perpisahan segera
tiba. Itulah sebabnya butir-butir air mata mengalir di pipinya.

Bagus. Bagus. Kau punya hati yang lemah lembut. Itu tandanya kau masih
memiliki nurani. Sungguh mataku tak salah memilihmu.

Cio San, mungkin sampai di sini jodoh kita. Kita tak akan bertemu lagi.
Tapi pertemuan beberapa jam ini, sudah cukup bagiku. Memuaskan
pencarianku selama ini. Ada kau, aku bisa menghilang dengan tenang

Cianpwee, perkenankan boanpwee untuk berbakti kepadamu. Walau hal kecil,


setidaknya bisa memuaskan hati boanpwee

Silahkan

Cio San lalu berlutut dan membersihkan sepatu kakek itu. Ini ia lakukan
dengan air mata berlinang-linang. Bahkan sepatu itu pun basah oleh air
matanya. Ia bersujud dan menciumi kaki sang kakek.

Mengapa orang-orang seperti ini selalu menghilang begitu cepat dari


hidupku?

Ia lalu berdiri, membersihkan baju orang yang sangat dihormatinya itu


dari dedauanan yang gugur.

Sang kakek menatapnya sambil tersenyum, tapi air matanya berlinang pula.

Sungguh aku tidak salah. Sungguh aku tidak salah begitu yang terbesit
di hati si kakek tua.

Akhirnya mereka berpelukan. Dua orang yang baru bertemu selama beberapa
jam, tapi saat berpisah sungguh menyentuh nurani mereka.

Dan mereka pun berpisah. Si kakek berjalan dengan tenang dan hilang di
balik pepohonan. Cio San bersujud sampai entah berapa lama.

Manusia. Jika ia menunjukkan kasih sayang dan cinta, barulah ia menjadi


manusia seutuhnya. Karena kemanusiaan seseorang sungguh tidak diukur dari
pangkatnya, jabatannya, hartanya, atau segala kebanggaannya. Kemanusiaan
seseorang hanya bisa diukur dari seberapa tulusnya ia mencintai orang
lain. Betapa berartinya ia bagi orang lain bahkan jika ia tidak memiliki
apa-apa.

Selain cinta dan kasih sayang, memangnya apa yang bisa dibanggakan
manusia?

Bab 58 Sebuah Tongkat Hijau

Hari ke dua puluh dalam pelarian mereka. Kedua orang ini telah sampai di
Santung. Sebuah provinsi di ujung timur Tionggoan. Daerah ini adalah
daerah yang unik karena selain memiliki pantai yang indah, juga memiliki
pegunungan yang menakjubkan.

Gunung Thay San pun berada di sana.

Sebuah gunung yang disucikan, dan memiliki banyak cerita dan kenangan
sejarah.

Bahkan di dunia Kang Ouw pun, nama Thay San ini diabadikan. Orang yang
dikagumi dan dianggap sebagai manusia utama disebut Thay San Pek Taw.
Thay San berarti gunung Thay San, Pek Tauw berarti bintang utara.

Di jamannya hanya Thio Sam Hong yang mendapat sebutan ini karena
ketinggian ilmunya, kedalaman pengetahuannya, dan kehalusan budi
pekertinya. Selain beliau, belum ada seorang pun yang pantas disebut Thay
San Pek Tauw di jaman ini.

Apakah ini sebabnya setiap 10 tahun sekali terjadi adu tanding


memperebutkan posisi Bu Lim Beng Cu di atas puncak gunung Thay San? Agar
pemenangnya pantas disebut Thay San Pek Taw?

Cio San memandang jauh.

Puncak gunung menjulang di langit. Ada begitu banyak gunung. Apakah kau
ingin menaklukkan gunung ini satu persatu?

Manusia begitu kecil jika dibandingkan dengan alam. Tetapi kenapa selalu
manusialah yang begitu sombong menentukan takdir mereka sendiri?

Menumbuhkan rambut sendiri saja tidak mampu. Mengapa begitu berambisi


menjadi orang paling hebat di muka bumi?

Kedua orang ini melangkah dengan ringan walaupun jalan mendaki dan penuh
bebatuan. Di depan seseorang sudah menunggu.

Seorang kakek tua.

Heran. Kenapa akhir-akhir ini ia sering sekali bertemu dengan kakek tua
sakti?

Salam cianpwee Cio San menjura.

Salam pangcu kakek tua ini ternyata anggota Kay Pang. Tidak perlu
memanggil hamba cianpwee. Hamba hanya anggota rendahan, pangcu. Nama
hamba Luk Ping Ho

Cio San hanya tersenyum. Matanya belum lamur untuk bisa membedakan
tingkatan seseorang. Lalu ia berkata,

Cianpwee ada petunjuk apa kepada boanpwee?

Lama si kakek terdiam, kemudian malah balas bertanya,

Kau yang membunuh Ji Hau Leng?

Mendiang Ji-pangcu memang sempat bertarung dengan boanpwee. Tapi bukan


boanpwee pembunuhnya jawab Cio San.

Lalu siapa? tanya kakek tua

Beliau bunuh diri

Aku tidak percaya sahut si kakek.

Kalau ada orang bilang tidak percaya, maka mau kau beri alasan dan
penjelasan apapun, ia tidak akan percaya. Karena kadang-kadang percaya
itu berubah menjadi masalah hati, bukan lagi masalah akal.

Ku dengar kau membunuhnya karena kedapatan mencuri kitab 18 Tapak Naga?

Cio San hanya bisa menggeleng sambil tersenyum pahit.

Begitu hebatnya si otak besar sampai-sampai bisa meminjam tangan tokohtokoh sakti seperti kakek ini untuk membunuhnya. Bahkan Pendekar Pedang
Kelana pun sebelumnya hampir tertipu oleh si otak besar ini.

Ji Hau Leng telah kuasuh semenjak kecil. Pembunuhannya membuatku tidak


bisa tidur. Si kakek sudah bangkit berdiri. Tangannya memegang sebuah
tongkat berwarna hijau.

Tongkat hijau itu adalah lambang tertinggi di Kay Pang. Tongkat Pemukul
Anjing!

Mau tak mau melihat tongkat itu, hati Cio San menjadi tergetar juga.
Tongkat ini telah menjadi legenda selama ratusan tahun. Melewati ribuan
pertarungan. Mengalahkan jutaan musuh. Jika ada benda yang paling
berharga dalam dunia Kang Ouw, tongkat ini pasti adalah salah satunya.

Cio San, dosamu sudah terlalu besar. Bukan hanya kematian Ji Hau Leng
saja yang kudengar. Si kakek telah memasang bhesi (kuda-kuda).

Jurus pertama dari Jurus Pemukul Anjing

Anjing Marah Menutup Jalan

Cio San hanya berdiri memainkan rambutnya.

Tangan satunya terlipat ke belakang.

Perhatikan serangan

Lalu si kakek bergerak.

Suara berdenging keluar dari tongkat berwarna hijau itu. Tongkat itu
datangnya lebih cepat dari suara yang sampai ke telinga Cio San.

Alangkah kagetnya Cio San ketika tahu-tahu tongkat itu telah menghujam ke
batok kepalanya. Ia tak lagi bisa menghindari!

Hanya bisa menerima serangan itu menghancurkan batok kepalanya!

Serangan itu telah menemui sasarannya.

Batok kepala Cio San tidak hancur.

Ada Thay Kek Kun yang melindunginya. Ada lagi satu ilmu yang tak pernah
digunakan Cio San.

Ilmu Menghisap Matahari.

Tongkat itu lengket di kepala Cio San. Si kakek tua itu terkaget-kaget
ketika tidak bisa memecahkan batok kepala Cio San, dan juga tidak bisa
menarik kembali tongkatnya.

Cianpwee, jangan kerahkan lweekang (tenaga dalam). Atau nanti tenaga


cianpwee terhisap kata Cio San.

Si kakek menurut saja, karena ia merasa tenaga dalamnya mulai tersedot.

Biasanya ilmu Menghisap Matahari hanya akan menyedot habis tenaga musuh,
sampai musuh itu menjadi arang. Atau jika pemilik ilmu Menghisap Matahari

menghentikan serangannya. Tetapi jika musuh tetap berusaha menyalurkan


tenaga untuk menyerang, maka Ilmu Menghisap Matahari akan terus menerus
menyedot tenaganya.

Cio San berhasil menjinakkan ilmu Menghisap Matahari itu dengan Thay
Kek Kun. Ia berhasil menggabungkan kedua ilmu dahsyat itu. Ilmu Menghisap
Matahari menjadi lebih lembut, lebih manusiawi. Tapi justru menjadi
lebih mudah digunakan.

Dengan menggabungkan Thay Kek Kun dengan Ilmu Menghisap Matahari kedua
ilmu itu memang berkurang kedahsyatannya. Tapi justru itu Cio San malah
senang.

Karena ia tidak suka membunuh orang.

Kedua ilmu saling mengurangi, tapi dalam sisi yang lain saling menambahi
juga.

Kedahsyatannya berkurang, tetapi keefektifannya bertambah.

Sekarang malah tongkat hijau itu telah berada di tangan Cio San.

Si kakek tua terbelalak.

Cio San mengambil tongkat suci itu dari tangannya seperti mengambil
permen dari anak kecil.

Silahkan cianpwee kata Cio San sambil berlutut, ia menyerahkan tongkat


itu dengan penuh hormat.

Si kakek tetap menatapnya dengan terbelalak.

Mengapa kau mengampuniku? tanya si kakek.

Karena ini semua salah paham, cianpwee Cio San masih berlutut.

Boanpwee bersumpah bukan boanpwee yang membunuh Ji Hau Leng. Ia benarbenar bunuh diri.

Apa sebab ia bunuh diri? tanya si kakek.

Cio San sambil berlutut menjelaskan semuanya.

Kakek itu mendengarkan sambil meneteskan air mata. Anak asuhan


kesayangannya hidupnya bisa berakhir demikian menyedihkan.

Kau tahu siapa si otak besar itu? tanya si kakek kemudian.

Boanpwee sedang dalam perjalanan mencarinya jawab Cio San.

Baik. Aku kini percaya sepenuhnya kepadamu, pangcu

Jika ada orang yang bisa membunuhmu, tapi ia mengampunimu, tentu saja mau
tidak mau kau harus percaya kepada kata-katanya.

Ia malah kini berlutut juga di hadapan Cio San.

Lalu ia bersoja (bersujud) di depan Cio San.

Maafkan semua kesalahpahaman ini kata si kakek.

Cianpwee harap bangkitlah Cio San mengangkat tubuh si kakek itu

Si kakek menatapnya, lalu menyodorkan tongkat hijau ini,

Anda memang pantas dan berhak menjadi ketua Kay Pang katanya

Cio San tidak berani menerima tongkat itu. Tongkat hijau itu memang
adalah tanda kehormatan ketua Kay Pang. Siapa yang memegangnya berarti ia
adalah ketua Kay Pang.

Cio San hanya berkata,

Boanpwee tidak pantas memegangnya, cianpwee. Harap cianpwee simpankan


sampai muncul ketua Kay Pang yang sebenarnya dan yang paling pantas

Pangcu adalah orang yang paling pantas menjadi ketua

Boanpwee hanya seorang lelaki yang melaksanakan permintaan terakhir


sahabatnya kata Cio San menggeleng. Lalu katanya, Boanpwee mengerti
betapa sucinya tongkat ini. Tidak mungkin pula boanpwee bawa-bawa. Harap
cianpwee saja yang menyimpannya, sampai tiba saatnya harus diserahkan
kepada yang berhak

Lama si kakek berpikir lalu ia akhirnya berkata,

Baiklah

Mereka kemudian bangkit dan berdiri.

Apakah pangcu benar-benar sudah menguasai 18 Tapak Naga? tanya si


kakek.

Baru 3 jurus awal. Jawab Cio San. Boanpwee melihat menidang Ji-pangcu
menggunakannya

Sekali lihat kau langsung bisa? tanya si kakek.

Cio San hanya mengangguk.

Si kakek kemudian berkata,

Cayhe (aku) sendiri pun belum pernah melihat ilmu dahsyat itu. Kitab
aslinya memang tidak pernah ada dan hanya diajarkan turun temurun.
Puluhan tahun yang lalu Kay Pang mengalami kemunduran, sehingga ilmu 18
Tapak naga seperti punah.

Salinan ilmu ini tersimpan di sebuah kain sutra yang disimpan dalam
sebuah golok. Lalu setelah mengalami berbagi kejadian, salinan itu kini
dikuasai oleh ketua Siau Lim Pay, Bu Lim Beng Cu yang sekarang.

Sebelum Ji Hau Leng menjadi ketua Kay Pang, aku sudah mengundurkan diri
dari dunia persilatan. Beberapa bulan yang lalu saat mendengar bahwa ia
telah menguasai 18 Tapak Naga, aku sangat senang mendengarnya. Saat itu
aku memutuskan untuk mencarinya. Saat sampai di markas, aku baru tahu
bahwa beberapa hari sebelumnya ia tewas di tanganmu. Dengan marah aku
mengambil tongkat pemukul anjing dan mencarimu sampai ke sini jelas si
kakek.

Jurus pertama cianpwee, apakah itu jurus pertama dari ilmu Pemukul
Anjing yang tersohor itu? tanya Cio San.

Benar

Hebat sekali. Boanpwee bahkan tidak sanggup menghindar

Tapi dengan ilmumu, pangcu bukankah tidak perlu menghindar?

Haha. Boanpwee hanya beruntung

Beruntung?

Benar cianpwee. Karena bingung, boanpwee secara tidak sengaja


melancarkan Thay Kek Kun dan ilmu Menghisap Matahari sekaligus. Kedua
ilmu ini memang dasarnya adalah ilmu bertahan, bukan ilmu menyerang. Eh
tahu-tahunya, tenaga kedua ilmu saling berlawanan tapi juga saling
melengkapi hingga terjadilah hal seperti tadi

Bagaimana jika pangcu hanya melancarkan salah satunya saja?

Jika menggunakan Thay Kek Kun, tenaga dalam cianpwee mungkin tidak akan
terhisap tapi akan kembali kepada diri sendiri. Jika hanya pakai Ilmu
Menghisap Matahari saja, tenaga cianpwee akan terhisap seluruhnya dan
tubuh cianpwee akan hangus terbakar

Bukankah dengan menggabungkan kedua ilmu itu, seharusnya kekuatannya


menjadi lebih dahsyat lagi? tanya si kakek.

Malah sebaliknya, cianpwee. Ilmu Menghisap Matahari dan Thay Kek Kun
adalah sama-sama ilmu bertahan. Prinsipnya hampir sama. Oleh sebab itu
keduanya berada di kutub yang sama. Jika diibaratkan besi berani
(magnet), kedua ilmu ini akan saling tolak menolak. Itulah sebabnya
kekuatannya jauh berkurang jika dipakai bersama-sama. jelas Cio San.

Oh begitu rupanya. Oh iya, ada satu hal yang lupa kukatakan padamu,
pangcu

Ada petunjuk apa, cianpwee?

Setiap pangcu dari Kay Pang harus menguasai Jurus Pemukul Anjing tukas
si kakek.

Cio San hanya menghela nafas. Begitu banyak tanggung jawab yang harus
diembannya. Sekarang ketambahan lagi harus mempelajari Jurus Pemukul
Anjing. Bukannya ia tidak senang mempelajari ilmu silat baru, hanya saja
ia takut, ketambahan ilmu baru akan membuat ilmu silat yang pernah
dipelajarinya akan menjadi membingungkan.

Ketua baru Kaypang, harap terima pengajaran seru si kakek.

Cio San berlutut.

Nona, harap menyingkir sebentar kata si kakek kepada Ang Lin Hua yang
sejak tadi sudah memilih duduk di atas batu besar di bawah sebuah pohon.

Ang Lin Hua mengerti dan ia segera berlalu dari situ.

Si kakek mematahkan ranting bambu kecil, lalu berkata Jadikan ini


sebagai senjatamu. Lalu ikuti gerakanku, pangcu

Baik, cianpwee

Segera si kakek bersilat. Cio San mengikuti gerakan-gerakannya dengan


sebaik-baiknya. Semuanya hanya ada 10 jurus. Tapi merupakan jurus sangat
dahsyat.

Pangcu sudah hafal kesemua gerakan tadi? tanya si kakek.

Hampir jawab Cio San pendek.

Baik. Coba tolong pangcu lakukan semua gerakan itu

Cio San melakukannya. Kesepuluh jurus itu dilancarkan dengan tenaga dalam
tinggi dan kecepatan yang mengagumkan.

Si kakek mengerutkan kening.

Pangcu apakah belum hapal? Banyak gerakan-gerakan pangcu yang salah

Eh, maaf cianpwee kata Cio San sambil garuk-garuk kepala.

Harap perhatikan lagi

Si kakek mulai bersilat. Kekuatan dan kecepatannya sedikit lebih hebat


dibandingkan yang tadi Cio San peragakan.

Sudah hapal? tanyanya.

Sedikit jawab Cio San.

Harap perlihatkan, pangcu pinta si kakek.

Cio San melakukannya.

Kini jauh lebih salah dan keliru ketimbang saat pertama tadi.

Si kakek menggeleng-geleng kecewa.

Pangcu apakah sedang ada beban berat sehingga tidak memusatkan pikiran?
tanya si kakek.

Tidak, cianpwee

Lalu kenapa sekarang gerakannya tambah keliru seluruhnya?

Boanpwee hanya berpikir, cianpwee

Apa yang pangcu pikirkan?

Bagaimana jika gerakan serangan musuh berbeda seluruhnya

Maksud pangcu?

Bagaimana jika saat kita melancarkan jurus pertama terhadap musuh,


kemudian musuh menerima serangan itu dengan jurus seperti ini?

Cio San lalu melancarkan sebuah jurus serangan. Jurus serangan yang tidak
terlalu dahsyat, namun terlihat mantap dan efektif!

Si kakek terbelalak, lagi.

Eh coba kau tunjukkan jurusmu tadi. Coba ku serang kau dengan jurus
pertama

Setelah itu ia menyerang Cio San dengan jurus pertama Pemukul Anjing. Cio
San menerima serangan itu dengan sebuah jurus yang baru saja
ditunjukkannya tadi.

Jurus sederhana, tidak cepat, tapi tepat. Sangat tepat.

Si kakek melongo ketika tongkat bambu Cio San telah berhenti tepat di
depan hidungnya.

Hanya dengan sebuah gerak tipuan biasa, Cio San telah mampu menaklukkan
jurus pertama dari Ilmu Pemukul Anjing.

Kau..kau..bagaimana bisa?

Itu karena sebelumnya boanpwee telah melihat dan mempelajari jurus


Pemukul Anjing dari cianpwee, sehingga boanpwee bisa menciptakan jurus
penangkalnya. Kalau orang baru pertama kali melihat jurus ini, tentu tak
akan mampu menciptakan penangkalnya jelas Cio San.

Ah jadi karena itu, di benakmu kau mampu menciptakan jurus penangkalnya,


sehingga kau merubah Jurus Pemukul Anjing menjadi berbeda? tanya si
kakek.

Benar sekali, cianpwee.

Baiklah. Coba ku serang kau dengan kesepuluh jurus Pemukul Anjing, dan
kau hadapi dengan ilmu penangkal yang sudah kau ciptakan

Cio San mengangguk.

Jurus kedua sudah dilancarkan si kakek.

Cio San menangkalnya dengan pukulan tongkat yang sederhana.

Jurus demi jurus berlalu.

Semuanya berhasil diatasi Cio San.

Si kakek hanya bisa diam membisu.

Mengapa bisa menjadi seperti ini? tanyanya kemudian.

Itu mungkin ketika pertama kali diciptakan jurus ini hanya digunakan
untuk menghadapi ilmu-ilmu kelas tinggi. Sehingga memang ditujukan untuk
menghadapi ilmu-ilmu hebat. Musuh yang ketinggiaan ilmunya sudah mencapai
tahap akhir, pasti akan melawan dengan jurus-jurus kelas tinggi dan
dahsyat pula. Sehingga ia tidak melihat celah kosong yang bisa dihadapi
dengan gerak sederhana jelas Cio San.

Hmmm. Masuk akal juga. Atau bisa saja ilmu itu ketika diturunkan turun
temurun kepada kami, telah kehilangan kedahsyatannya karena pemahaman
kami sendiri yang kurang mendalam terhadap jurus-jurus ini kata si
kakek.

Cio San mengangguk-angguk. Sebuah ilmu memang dalam perjalananannya akan


semakin menurun atau semakin dahsyat. Cuma lebih sering ilmu silat itu
menjadi menurun. Itu karena ilmu silat bergantung sekali terhadap
pemahaman si pelaku, keadaan sekitar, pengalaman, dan lain-lain.

Jadi saat pangcu memainkan ilmu silat Pemukul Anjing yang ngawur tadi,
apakah sudah sekalian menutup lubang dan kekurangannya? tanya si kakek

Kurang tahu, cianpwee. Boanpwee hanya bersilat ala kadarnya saja. Semua
mengalir secara naluriah saja. Jika musuh menyerang dengan cara yang
lain, mungkin jurusnya akan berubah lagi kata Cio San sambil garuk-garuk
kepala.

Bagaimana kalau kita coba saja? tukas Cio San tiba-tiba.

Cianpwee seranglah boanpwee dengan jurus apa saja yang lain. Karena
kekuatan dan kecepatan cianpwee jauh lebih tinggi dari boanpwee,
seharusnya kita bisa melihat hasilnya kata Cio San lagi.

Si kakek lalu menyerang.

Jurus-jurus asli Kay Pang yang ia lakukan sangat cepat dan sangat
bertenaga.

Cio San yang sudah kalah cepat, sudah tidak mungkin menghindar. Oleh
karena itu sejak awal dia sudah memutuskan untuk tidak menghindar.

Ia malah bergerak maju menyerang.

Ini seperti bunuh diri. Karena pasti Cio San terhantam lebih dulu.

Tapi ada satu hal yang sudah ia pikirkan lebih dulu. Tongkat bambunya
lebih panjang dari tongkat si kakek. Jangkauan tangannya lebih panjang
dari jangkauan si kakek.

Oleh sebab itu serangannya sampai lebih dulu.

Menjadi lebih dahsyat, karena musuh menyerang sangat cepat dan penuh
kekuatan.

Seperti saat kita bergerak berlari menabrak tembok. Jika berjalan pelan,
rasa sakitnya tidak seberapa. Tapi jika kita berlari sekuat tenaga dan
menabrak tembok, maka rasa sakitnya menjadi luar biasa.

Seperti itulah kejadiannya.

Jurus demi jurus dilancarkan si kakek, tapi ia seperti menghujam tembok.


Itulah kenapa di setiap jurus ia selalu menghentikan serangannya. Karena
ujuang tongkat bambu Cio San selalu mencapainya terlebih dahulu sebelum
serangannya sendiri sampai kepada sasaran.

Hebat! pujinya.

Kau memanfaatkan situasi dan kelebihanmu sendiri untuk menutupi


kekurangan si kakek kagum. Tapi ia lalu bertanya,

Bagiamana jika tubuhmu pendek, dan tongkatmu juga pendek? Tentunya kau
tak akan bisa menggunakan serangan seperti tadi?

Boanpwee akan mencari cara lain jawab Cio San sambil tersenyum.

Si kakek mengangguk-angguk.

Sudah setua ini aku baru benar-benar paham, bahwa ilmu silat memang
bukan sebuah bentuk jurus yang baku melainkan mengalir mengikuti keadaan
diri sendiri dan alam sekitar

Si kakek lalu jatuh berlutut dan menjura,

Terima kasih atas petunjuknya, tayhiap!

Ia memanggil Cio San tayhiap!

Penghargaan tertinggi dalam dunia Kang Ouw.

Cio San malah berlutut dan bersujud,

Terima kasih atas petunjuk, suhu

Ah aku tak pantas pangcu panggil sebagai suhu, justru seharusnya aku lah
yang memanggil pangcu demikian

Mereka berdua berdiri. Ada perasaan saling menghormat yang dalam.

Mereka hanya saling pandang dan saling mengagumi kehebatan satu sama
lain.

Anak muda yang penuh bakat, dan orang tua sakti yang rendah hati.

Saling mengakui kehebatan masing-masing.

Di dunia ini jarang sekali ada orang yang mau mengakui kehebatan,
kepandaian, dan kelebihan orang lain. Kita biasanya lebih suka mencibir.
Karena sesungguhnya kita begitu iri dengan apa yang mereka miliki.

Orang jika sudah mampu mengakui orang lain, maka ia sebenarnya telah
menaiki satu tahap dalam kebijaksanaan. Ia membuka diri terhadap
perubahan, agar dapat memperbaiki dirinya.

Dari kejauhan terlihat titik hitam di atas langit.

Setelah semakin dekat titik itu menjelma menjadi sekawanan burung yang
terlihat ramai sekali.

Cukat Tong dan Suma Sun bergelantungan kepada burung-burung itu.

Cio San tersenyum.

Selamat datang sahabat!

Bab 59 Rahasia Cukat Tong

Mereka mendarat dengan mulus.

Cio San menyambut mereka dengan senyum. Cukat Tong pun tersenyum. Jika
para sahabat bertemu, yang ada di hati mereka cuma kegembiraan. Suma Sun
walaupun diam dan pandangannya tetap kosong, raut wajahnya pun
menampakkan sedikit kegembiraan.

Salam totiang. Apakah cayhe sedang berhadapan dengan Luk-totiang, mantan


Pangcu yang tersohor dari Kay Pang? kata Cukat Tong menjura.
Pengetahuannya sangat luas sehingga sekali pandang saja ia tahu siapa
orang di hadapannya. Tongkat hijau di tangan si kakek sudah menceritakan
banyak hal tentang kakek ini.

Ah, orang yang menunggang burung-burung seperti ini di jamanku cuma ada
satu orang, apakah engkau murid dari Tok-Hong siansing yang terhormat?

Benar sekali, totiang. Cayhe she (marga) Cukat bernama Tong jawab Cukat
Tong.

Tok-Hong siansing. Ah, akhirnya Cio San tahu juga siapa nama guru Cukat
Tong. Pengetahuannya tentang dunia persilatan memang masih cetek
ketimbang orang lain.

Suma Sun pun memberi salam.

Ang Lin Hua pun sudah muncul kembali.

Pertemuan seperti ini memang selalu menghangatkan hati. Perbedaan


persahabatan dengan percintaan memang cuma satu, yaitu di dalam
persahabatan, kau tak akan takut kehilangan.

Mereka duduk melingkar dan menikmati makanan. Cukat Tong selalu membawa
benda-benda yang tak terduga. Siapa yang bisa menduga di tengah hutan di
atas gunung, mereka bisa menikmati arak mahal dan masakan paling lezat
sedunia?

Mendengar ruwetnya masalah di Bu Lim, rasa-rasanya memang ada sebuah


rencana besar dibalik semua ini kata Luk Ping Ho memulai obrolan.

Perebutan Bu Lim Beng Cu kali ini memang penuh intrik dan rahasia kata
Cukat Tong.

Padahal apa hebatnya menjadi Bu Lim Beng Cu? tukas Ang Lin Hua.

Cio San hanya tersenyum.

Eh, kau kenapa tersenyum? Pasti ada lagi yang muncul di otakmu? tanya
Cukat Tong.

Cio San hanya menggeleng-geleng sambil meneruskan makan.

Kata Cukat Tong, Jadi Bu Lim Bengcu sudah pasti hebat, Ang-siocia.
Selain ia yang berhak memutuskan dan mengadili segala perkara di dalam Bu
Lim, ia juga berhak menguasai dan mempelajari kitab-kitab silat kuno yang
dahsyat. Selain itu menurut kabar terbaru, kaisar sendiri yang akan
melantiknya jika ia sudah terpilih. Kaisar mungkin secara langsung akan
meminta sang Beng Cu untuk turut membantu negara dalam perlawanan
melawanan gangguan Mongol di perbatasan

Mata Cio San bersinar, Bertemu kaisar? Wah asik juga itu ya. Seandainya
aku boleh bertemu kaisar, kira-kira apa yang akan ku katakan padanya ya?

Kau pasti akan minta diberikan salah satu dayangnya untuk kau kawini
tukas Cukat Tong. Jika sudah bercanda, mereka memang lupa menggunakan
sebuatan cayhe dan lain-lain.

Haha. Mendengar perkataanmu, aku punya dua kesimpulan kata Cio San.

Apa itu? tanya Cukat Tong.

Karena kau tahu sekali apa yang ada dalam pikiranku, kemungkinan besar
kau ini adalah cacing dalam perutku

Hahahaha. Dan yang kedua?

Yang kedua adalah kau pun memiliki keinginan yang sama

Semua orang tertawa lepas. Tentu saja Suma Sun tidak ikut tertawa.
Dibutuhkan usaha amat besar untuk membuatnya tersenyum. Apalagi tertawa.

Menurut totiang, kira-kira siapa pelakunya? tanya Cukat Tong kepada si


kakek.

Setelah berpikir lama, Luk Ping Ho menjawab,

Semua orang patut dicurigai dan semua orang bisa saja punya maksud
tersendiri

Maksud totiang?

Ambil contoh Cio San kata Luk Ping Ho Orang dengan kemampuan seperti
dia, bukankah jelas-jelas paling dicurigai?

Lanjutnya,

Ia punya ilmu silat sangat tinggi. Kecerdasan di atas rata-rata. Kalau


mau dipikir, dia ini yang paling pantas menjadi si otak besar. Siapapun
pasti akan percaya jika dibilang bahwa Cio San adalah otaknya

Semua orang mengangguk.

Lalu si kakek melanjutkan,

Tapi justru itulah. Aku yakin si otak besar ini justru orang yang tidak
kalian duga, Bisa jadi ia bukan orang yang ahli silat. Hanya pemikir
saja. Bisa jadi mungkin dia adalah aku, Cukat-tayhiap, atau Suma-tayhiap
jelasnya.

Jadi bisa kalian bayangkan betapa ruwetnya keadaan Bu Lim sekarang,


karena semua orang patut dicurigai. Tak ada lagi kepercayaan. Semua
saling memata-matai. Setiap partai saling menduga satu sama lain

Untung ada cayhe tukas Cio San.

Ketika semua orang menatapnya dengan heran, ia meneruskan,

Dengan adanya cayhe dituduh sebagai otak besar seperti kejadian di rumah
Khu Hujin, tentulah dunia Bu Lim sudah mulai aman dan tentram, segala
kecurigaan hilang, karena setidaknya mereka memiliki musuh bersama saat
ini.

Heh, jadi kau memang sengaja membiarkan dirimu dituduh seperti ini?
tanya Cukat Tong.

Tentu saja tidak. Aku sudah hampir membunuh mereka semua kan saat itu?
Hahaha jawabnya enteng. Lanjutnya, Tapi aku bersyukur sekarang menjadi
kambing hitam, setidaknya malah membuat aku kini bebas bergerak

Bagaimana mungkin kau bebas bergerak jika seluruh dunia mencarimu saat
ini? kata Cukat Tong.

Bukankah kau juga sedang dicari? Kau kan sudah dianggap sebagai kaki
tanganku sejak kejadian di rumah Khu Hujin

Hehe Cukat Tong cuma garuk-garuk kepala. Katanya, Kira-kira apa yang
harus kita lakukan sekarang?

Apakah semua orang terkemuka Bu Lim sudah berangkat ke Thay San? tanya
Cio San

Setahuku sih iya. Para Ciangbunjin perguran besar seperti Butongpay,


Siau Lim pay, Go Bi pay dan lain-lain sudah melakukan perjalanan dengan
rombongan perguruannya masing-masing jelas Cukat Tong.

Berapa lama perjalanan dari sini ke Butongpay jika menggunakan burungburungmu? tanya Cio San.

Sekitar 3 hari. Memangnya apa yang mau kau lakukan di Butongpay? kata
Cukat Tong.

Cio San hanya tersenyum saja.

Suma-tayhiap, bisakah kau menemani Ang-siocia melanjutkan perjalanan ke


Thay San?

Suma Sun hanya mengangguk.

Cio San pun diam saja.

Di antara teman, kau memang tidak akan mengucapkan terima kasih dengan
mulutmu. Kau mengucapkan terima kasih dengan hatimu dan perbuatanmu.

Totiang punya rencana apakah setelah dari sini? tanya Cio San kepada
Luk Ping Ho.

Tidak ada. Awalnya aku ke sini hanya untuk mencarimu dan membunuhmu.
Tapi jika kejadiannya seperti ini, aku malah bingung harus melakukan
apa?

Bagaimana jika totiang ikut saja dengan Suma-tayhiap dan Ang-siocia ke


Thay San? usul Cio San.

Setelah berpikir sebentar, Luk Ping Ho menjawab, Baiklah

Mereka beristirahat sebentar sebelum kemudian melanjutkan perjalanan.


Suma Sun, Ang Lin Hua, dan Luk Ping Ho pergi ke Thay San. Sedangkan Cio
San dan Cukat Tong pergi ke Butongpay.

Cio San baru kali ini terbang betulan. Dulu ia pernah terbang juga ketika
diselamatkan Cukat Tong dari kediaman Khu Hujin. Tapi saat itu suasana
genting dan ia tak sempat memperhatikan banyak hal. Kini saat berada di
udara dan pikirannya jernih, Cio San rupanya agak ngeri juga.

Kau tak takut jatuh? tanya Cio San

Kenapa harus takut? Toh aku tak bakalan jatuh

Tak pernah sekalipun kau jatuh? Atau burung-burung ini kelaparan dan
kecapaian lalu kau terjun bebas bersama mereka?

Tidak

Baguslah

Kau takut? kini Cukat Tong balas bertanya.

Aku bukan setan. Tentu aku punya rasa takut

Haha. Baru kali ini aku dengar ada seorang tayhiap mengaku takut

Kata takut memang adalah kata yang sangat diharamkan di kalangan kang
ouw. Tapi Cio San malah mengakuinya dengan jujur.

Kata siapa aku seorang tayhiap? tukas Cio San.

Kata banyak orang

Itu kan kata mereka. Jika aku tak pernah mengaku sebagai tayhiap, kenapa
aku tidak boleh mengaku takut?

Betul juga. Banyak orang di dunia ini mengaku sebagai pemberani. Tapi
hanya sedikit manusia yang dengan berani mengaku sebagai penakut. Karena
menjadi penakut juga kadang-kadang dibutuhkan keberanian untuk
mengakuinya

Perjalanan 3 hari ke Butongpay tentu tidak dilakukan secara terus


menerus. Ada kalanya mereka mendarat di hutan untuk memberi makan burungburung ini dan mengistirahatkan mereka. Kedua orang ini pun juga
beristirahat.

Gaya beristirahat kegemaran Cukat Tong adalah bersandar di pohon yang


rindang sambil menikmati arak dan menikmati makanan.

Sambil makan, Cio San bertanya Apa yang Khu Hujin lakukan menghadapi ini
semua?

Kenapa kau tanya aku? Kau pikir aku cacing di dalam perutnya? Haha

Cio San tidak tertawa, ia malah tersenyum saja.

Jika kau sudah tersenyum, aku selalu merasa khawatir

Jika tidak khawatir masa kau malah bahagia? Memangnya kau termasuk
golongan pecinta sesama jenis?

Hahaha Cukat Tong hanya tertawa.

Kau masih belum menjawab pertanyaanku kata Cio San sungguh-sungguh.

Cukat Tong hanya menatap Cio San. Sambil akhirnya tersenyum,

Memang tidak ada satu hal pun yang bisa kusembunyikan darimu lanjutnya,
Apa saja yang sudah kau ketahui? tanya Cukat Tong.

Beberapa hal

Seperti?

Kau bekerja untuk Khu Hujin

Haha

Kadang-kadang jika rahasianya ketahuan, selain marah, orang memang cuma


bisa tertawa.

Ku akui memang aku bekerja kepadanya. Tapi bagaimana kau bisa tahu?
tanya Cukat Tong.

Sederhana saja. Melihat wajahmu

Kau bisa melakukannya hanya dengan melihat raut wajah?

Aku kan sudah menamatkan kitab pemberian Khu Hujin itu

Iya betul. Kitab itu ada padaku sekarang

Cio San hanya mengangguk lalu meneruskan,

Setiap kau ku pancing menyebut dengan menyebut namanya, raut mukamu


selalu berubah. Muncul tanda-tanda bahwa kau mengaguminya dan sangat
hormat kepadanya. Raut wajah kagum sangat terpancar jelas jika kau mau
memperhatikan orang. Memang pancaran di wajahmu sedikit kau tutupi, tapi
aku bisa melihat dengan jelas

Jadi hanya berbekal itu saja kau mengambil kesimpulan?

Tentu tidak, aku memperhatikan banyak hal lainnya juga

Seperti?

Seperti kenyataan bahwa kau pernah punya cerita dengan Bwee Hua

Cukat Tong hanya diam.

Kau pernah mencintainya. Kau pun mungkin pernah hidup bersamanya dan
menjadi budaknya. Tetapi akhirnya kau dapat membebaskan diri. Itulah
sebabnya kau sebenarnya enggan bertemu dengan Bwee Hua. Walaupun kau
pernah tersakiti olehnya, kau tetap saja tak mampu membencinya dan
membunuhnya. Maka kau membiarkan dirimu tertangkap saja olehnya. Dengan
kemampuan seperti dirimu, masa ada orang bisa meracunimu dan menculikmu

Lanjutnya,

Aku pun memperhatikan raut wajahmu saat kau ku bebaskan dulu dari lembah
seribu kupu-kupu. Kau tak sekejap pun memandangnya. Ada perasaan takut
dan sungkan. Apakah aku benar?

Seluruhnya benar. Aku memang pernah menggilainya. Ku serahkan hidup


kepadanya. Hingga suatu saat aku sadar bahwa aku telah salah
mencintainya

Kau tak pernah salah karena jatuh cinta. Kau hanya salah memilih orang

Mungkin saja. Tapi setelah kusadari kesalahanku, aku berusaha lepas.


Namun kau tahu sendiri, pengaruh Bwee Hua terhadap para lelaki yang
menyukainya sungguh teramat besar. Belum lagi ditambah dengan bunga iblis
yang dipakainya untuk meracuni otak kami semua. Jika aku melarikan diri,
dalam hitungan hari aku pasti mencarinya kembali. Itu karena bunga iblis
membuat kami ketagihan dan selalu bergantung kepada Bwee Hua

Hingga akhirnya, dalam pelarianku yang terakhir, aku diselamatkan oleh


Khu Hujin. Ia sedang dalam perjalanan di tengah hutan. Aku disekapnya
berhari-hari sehingga ketagihanku akhirnya menghiang seluruhnya. Dengan

sabar beliau merawatku dan menasehatiku. Karena sangat berhutang budi,


akhirnya aku mengabdikan diri kepada beliau jelas Cukat Tong.

Aku juga tahu, orang seperti kau tidak mungkin mau saja ku suruh-suruh
kemana-mana. Haha. Kita tidak punya ikatan apa-apa, tapi kau sungguh
patuh kepadaku. Tentulah pasti ada orang yang memerintahkanmu untuk patuh
kepadaku. Kalau bukan Khu Hujin, aku tidak tahu siapa lagi. Kata Cio
San.

Lanjutnya,

Ketika dulu aku sempat diculik oleh Mo Kauw, aku sempat ditolong oleh
serombongan orang yang menyamar menjadi tentara kerajaan. Ilmu mereka
hebat dan bermacam-macam. Sejak lama aku memikirkan siapa mereka, dan aku
kemudian mengambil kesimpulan bahwa mereka adalah orang-orangnya Khu
Hujin yang bertugas mengawalku

Kau tahu kenapa Khu Hujin sangat tertarik denganmu? tanya Cukat Tong.

Ia membutuhkan tenagaku jawab Cio San

Benar sekali. Pada awalnya aku heran mengapa kau begitu penting di
matanya. Tapi setelah beberapa lama aku bersama denganmu, aku baru mulai
melihat sebabnya. Pandangan Khu Hujin memang jarang salah

Kau berada di kapal juga karena perintahnya bukan?

Ya. Ia menyuruhku mengawalmu, karena pasukan yang dikirim untuk


mendampingimu sudah mati semua. Tewas oleh mendiang Ang Soat. Tapi aku
sama sekali tidak diperbolehkan turun tangan. Hanya mendampingi dan
melaporkan saja kata Cukat Tong. Lalu katanya,

Menurutmu, mengapa ia begitu tertarik dengan masalah ini semua?

Setiap orang punya kepentingan. Dalam pandanganku, Khu Hujin hanya ingin
kekuasaan. Tidak ada orang yang boleh lebih berkuasa daripadanya

Cukat Tong hanya tersenyum.

Cio San pun tersenyum,

Tapi yang paling masuk akal adalah, sejak dulu ia memang sudah bersaing
dengan Bwee Hua

Hahahaha. Tepat kata Cukat Tong.

Sepatu yang kau pakai itu, apakah pemberian Bwee Hua? tanya Cio San.

Benar

Kau masih mencintainya?

Benar

Kau jatuh cinta kepada wanita terkaya dan tercantik sedunia? tanya Cio
San

Kenapa? Lelaki yang jatuh cinta kepada wanita demikian, adalah lelaki
yang merendahkan dirinya sendiri jawab Cukat Tong.

Lihat apa yang diperbuatnya kepadamu

Walaupun ia pernah menyakitiku, toh ia juga pernah membuat hatiku


bahagia. Bahkan aku sempat berpikir apakah hidupku bisa terus berjalan

tanpa dirinya. Bagi orang sepertiku, mendapat kesenangan seperti itu dari
wanita tercantik dan terkaya di seluruh dunia, sudah cukup memberiku rasa
syukur yang besar

Kadang-kadang orang yang tersakiti hatinya juga suka melupakan bahwa di


dalam hidup mereka, orang yang pernah menyakiti mereka itu dulu pernah
memberikan kebahagiaan yang indah. Sayangnya manusia sebagian besar
memang lebih suka mengenang kepedihan daripada mengenang keindahan.

Untunglah Cukat Tong bukan orang seperti itu.

Cukat Tong adalah bagian dari yang disebut penggetar langit. Orang-orang
yang tetap melakukan yang terbaik walaupun mereka disakiti dan
dikecewakan. Yang tetap berdoa dan mengharapkan yang terbaik secara tulus
dan ikhlas.

Jika kita bisa melupakan kebaikan orang, kenapa tidak juga sekalian
melupakan keburukannya?

Bukankah dengan begitu hidup menjadi tenang dan damai?

Bukankah dengan begitu langkahmu menjadi ringan dan tatapanmu matamu


menjadi terang?

Orang-orang yang hidupnya ringan, tentulah jauh lebih berbahagia. Karena


hidup bahagia bukan hanya kau temukan dalam cinta. Kebahagiaan yang
paling hakiki adalah kebahagiaan yang tak bisa hilang walaupun kau tak
memiliki apapun di dalam hidupmu.

Kau tak memiliki apa-apa, tapi kau tetap bisa bahagia. Apalagi yang bisa
diambil darimu?

Karena segala asal muasal kesedihan adalah berawal dari kehilangan. Jika
kau tak memiliki apa-apa yang bisa hilang, memangnya kau bisa bersedih?

Ini pemahaman yang mudah, namun sayangnya tidak banyak manusia yang mau
mengakui.

Tentu saja. Jika manusia mau mengakui, masakah masih ada kesedihan di
muka bumi ini?

Cio San memandang kagum kepada Cukat Tong. Lelaki yang terluka oleh cinta
memang biasanya menjadi bahan tertawaan. Tetapi terhadap orang-orang
seperti Cukat Tong mau tak mau Cio San harus kagum. Tidak mudah menjadi
orang baik-baik terhadap orang yang sudah menyakitimu.

Lama mereka saling diam, lalu Cio San berkata,

Itulah sebabnya sejak awal aku pun mencurigaimu

Curiga apa?

Orang sepertimu tidak mungkin mau diperintah orang lain jika tidak
memiliki alasan yang benar-benar kuat. Bahkan jika kaisar yang memberi
perintah sekalipun, jika kau tak mau, tentu tak kau laksanakan

Kau pikir aku mau melaksanakan permintaan-permintaanmu karena Khu Hujin


menyuruhku untuk mematuhimu?

Cio San mengangguk.

Kau salah. Aku melakukan apa yang kau suruh, karena aku kagum kepadamu

Aku yakin kau memiliki alasan lain

Apa? tanya Cukat Tong

Jika kau sudah bekerja untuk Khu Hujin, pertentangan batin dirimu tentu
timbul jika kini kau harus berhadapan dengan Bwee Hua

Lalu?

Kau berusaha sekuat tenaga agar ia tidak mati bukan?

Setidaknya dengan kerja kerasku melayanimu dan melayani Khu Hujin, masa
aku tak boleh meminta sedikit pengampunan kepadanya?

Tidak usah

Apakah dosanya sedemikian besar?

Bukan. Tapi karena persahabatan kita. Tanpa kau memberi hutang budi
kepadaku pun, tanpa kau menuruti permintaan-permintaanku pun, aku tetap
akan mengabulkan permintaanmu untuk mengampuni Bwee Hua

Cukat tong menatap pemuda di depannya itu.

Sepanjang hayatku, baru ku dengar ada manusia yang berkata ini kepadaku
kata Cukat Tong

Itu karena sepanjang hayatku pula, aku belum pernah menemukan sahabat
seperti kau tukas Cio San.

Mereka saling diam dan menenggak arak.

Kadang-kadang arak paling nikmat jika diminum di dalam kesunyian.

Kadang-kadang sahabat paling berarti jika ia bersamamu di dalam


kesunyian.

Dua hal terbaik dalam hidup sudah ada di sana. Apalagi yang mereka
risaukan?

Untuk apa kita ke Butongpay? tanya Cukat Tong tiba-tiba

Segala sumber masalah ada di sana. Dari sanalah kita mulai penyelidikan

Bab 60 Rahasia Mengejutkan di Butong Pay

Jika kita berangk`t sekarang, kira-kira sampai di Butong san (pegunungan


Butong) siang atau malam? tanya Cio San.

Cukat Tong berpikir sebentar lalu menjawab, Siang

Ah, kalau begitu kita berangkat nanti saja, biar sampainya bisa tengah
malam kata Cio San.

Kau mau menyusup ke sana? Cukat Tong bertanya.

Memangnya kau pikir aku mau datang ke sana secara baik-baik dan duduk
mengobrol? kata Cio San sambil tertawa.

Cukat Tong pun ikut tertawa. Tiba-tiba ia berkata,

Eh, aku melihat kejadian saat kau di jembatan bersama perempuan itu.
Siapa namanya?

Maksudmu Mey Lan? Kau lihat semuanya? tanya Cio San

Ya

Hahaha. Memalukan. Tidak perlu dibahas

Tidak memalukan. Aku justru bisa mengerti perasaanmu.

Hanya laki-laki yang bisa mengerti perasaan sahabatnya. Mungkin itulah


sebabnya persahabatan antar lelaki jauh lebih erat dan dalam, ketimbang
persahabatan antar kaum perempuan.

Karena itu jugalah lebih banyak laki-laki yang lebih suka menghabiskan
waktu bersama sahabat-sahabatnya ketimbang bersama kekasihnya.

Yang tidak bisa kubayangkan adalah bagaimana perasaan Mey Lan setelah ia
mengetahui siapa kau sebenarnya. Betapa tampan dan gagahnya kau, dan
betapa terhormatnya kau di kalangan persilatan tukas Cukat Tong

Mungkin hal inilah yang membuatnya semakin benci terhadapku. Ia kira aku
membohonginya selama ini.

Maka ia menyuruh suaminya untuk menghajarmu?

Ya

Aku sungguh tak mengerti perasaan wanita kata Cukat Tong sambil gelenggeleng kepala.

Kalau kau mengerti, tentunya kau sudah menjadi dewa

Dewa saja tidak mengerti

Kalau dewa saja tidak mengerti, lalu kira-kira siapa yang mengerti?
tanya Cio San

Tidak ada yang bisa mengerti. Bahkan mereka saja tidak mengerti perasaan
mereka sendiri

Kalau mereka sendiri juga tidak mengerti, lalu kenapa mereka meminta
kaum lelaki untuk mengerti perasaan mereka?

Justru karena mereka tidak mengerti maka mereka meminta orang lain untuk
mengerti perasan mereka

Entah kenapa jika berbicara tentang perempuan, kepalaku jadi pusing


kata Cio San tersenyum.

Bukan hanya kepala yang pusing, tapi jantung juga berdebar tambah Cukat
Tong.

Peredaran darah menjadi tidak lancar. Badan meriang dan perut mendadak
mulas

Mereka berdua tertawa.

Tapi entah kenapa, jika tidak ada perempuan, hidup terasa jauh lebih
menderita kata Cukat Tong.

Begitulah

Ada perempuan berarti banyak masalah. Tidak ada perempuan rasanya hidup
terasa hampa. Kira-kira kau pilih yang mana? tanya Cukat Tong.

Aku memilih perempuan yang tidak mendatangkan masalah jawab Cio San.

Perempuan cantik, jumlahnya tidak terhitung di kolong langit ini. Tapi


kalau perempuan yang tidak mendatangkan masalah, baru kali ini aku
mendengar ada perempuan macam demikian kata Cukat Tong.

Ang Lin Hua tidak mendatangkan masalah kata Bio San.

Itu karena dia anak buahmu, coba kalau dia jadi kekasihmu Dengan
sendirinya Cukat Tong tak perlu melanjutkan kata-katanya.

Memang begitulah adanya.

Perempuan akan terlihat manis dan baik hati saat pertama kau mengenalnya.
Tapi jika ia sudah menjadi kekasihmu, dari hari ke hari ia berubah
semakin garang dan ganas. Hal ini sudah menjadi rahasia umum. Tapi jarang
ada lelaki yang mau membahasnya. Entah kenapa. Mungkin karena takut
ketahuan bahwa ia salah satu dari golongan yang kalah garang dengan
istrinya.

Bagaimana dengan Khu Ling Ling? Ku perhatikan dia pun tertarik kepadamu
tanya Cukat Tong lagi.

Entahlah. Aku belum terlalu mengenalnya. Tapi ia terlihat garang dan


ganas kalau berkelahi

Perempuan yang ganas dan garang di luarnya, jika di ranjang mungkin saja
berubah manja dan aleman. Sebaliknya perempuan yang terlihat manis dan

pendiam di luarnya, bisa jadi berubah ganas dan garang di atas ranjang.
Masa hal ini saja kau tidak tahu?

Aku belum berbuat yang aneh-aneh dengan perempuan jawab Cio San sambil
tersenyum lebar.

Hah? Cukat Tong hanya melongo. Tapi ia percaya. Jika Cio San bilang
matahari terbit di barat dan tenggelam di timur pun dia akan percaya.

Kau yang gagah dan menarik ini masa kalah dengan Suma Sun yang diam dan
dingin seperti batu itu? Dia kalau urusan perempuan memang sudah sangat
ahli.

Dari mana kau tahu? Memangnya kau sudah pernah tidur dengan Suma Sun?
tanya Cio San sambil tertawa.

Haha. Setiap hari pekerjaannya kan mengunjungi rumah bordil.

Mengunjungi rumah bordil kan tidak berarti ia tidur dengan perempuan

Jadi maksudmu dia ke rumah bordil hanya untuk sarapan dan minum teh?

Aku puluhan kali ke rumah bordil juga tidak berbuat apa-apa. Hanya
mengunjungi markas rahasia Mo Kauw

Berarti maksudmu Suma Sun juga mengerjakan hal lain di rumah bordil?

Semua orang kan punya rahasia. Masa Suma Sun tidak boleh punya rahasia?

Arak seperti tak pernah habis dan obrolan seperti tak pernah selesai. Dua
orang sahabat duduk santai menikmati sejuknya hutan dan hangatnya tawa
dan canda.

Hal yang paling berharga adalah kenangan.

Karena itu selalulah berbuat baik agar kenangan yang tertinggal adalah
kenangan indah.

Perpisahan dan kesedihan selalu mengintai hidup manusia.

Jika tidak menghargai apa yang kita miliki,

Bukankah di masa depan akan menangis menyesal?

Saatnya berangkat kata Cukat Tong.

Baiklah

Terbang.

Bumi terlihat begitu indah. Manusia terlihat begitu kecil.

Hidup sedemikan rapuh, mengapa masih rakus meraih dunia?

Satu persatu manusia mati. Namun bumi dan alam tetaplah indah.

Nyawa manusia hanya bagai dedaunan yang rontok di musim gugur.

Begitu kecil, begitu hina, begitu tak berharga.

Dibandingikan alam seluas ini, apalah arti manusia?

Yang terbaik adalah berbuat baik

Karena dengan begitu barulah manusia memiliki sedikit arti

Perjalanan itu akhirnya sampai juga.

Butongsan dengan
keagungannya. Di
paling dihormati
saja, orang akan
saja, hati orang

segala keindahannya. Dengan segala kemegahan, dan


gunung inilah berdiri salah satu partai persilatan yang
dan disegani di muka bumi. Butong Pay. Mendengar namanya
tertunduk segan, dan berbinar kagum. Mendengar namanya
jerih dan tangan gemetaran.

Kini malah ada dua orang bodoh menerobos dan menyusup masuk.

Jika bukan karena telah memakan nyali harimau, tentu hanya orang pikun
yang berani menyusup ke sana.

Kedua orang ini tidak pernah makan nyali harimau, dan bukan orang pikun.

Memangnya kalau bukan dua orang ini yang menyusup Butong Pay, siapa lagi
yang bisa?

Kedua orang ini sekarang telah berada di puncak tertinggi Butongsan.


Tempat dulu Cio San diasingkan dan dihukum. Tempat terjadinya berbagai
macam kejadian yang membentuk dirinya menjadi seperti sekarang ini.

Angin begitu dingin.

Malam begitu pekat.

Jika bukan karena kenangan indah, mungkinkah manusia bisa bertahan?

Tak terasa airmata Cio San menetes. Gubuk bambu ini tak berubah setelah
sekian lama. Pepohonan, bebatuan, dan pemandangan ini tidak berubah
setelah bertahun-tahun ia pergi.

Teringat kenangan ia berlatih silat. Teringat kenangan ia membaca buku


sampai pagi. Atau saat A Liang datang membawa khim dan mereka bernyanyi
bersama. Atau pada saat gihunya datang dan berbagi cerita.

Yang paling mengherankan dari kenangan adalah ia menguatkanmu, namun


membuatmu lemah pada saat yang bersamaan.

Cukat Tong sangat memahami perasaan Cio San. Karena itulah ia hanya duduk
diam di atas sebuah batu besar. Membiarkan sahabat terbaiknya itu
tenggelam dalam kenangan dan lamunan.

Cio San berdiri dengan gagah di atas sebuah batu. Angin meniup rambutnya.
Mendatangkan sejuta gambar tentang masa lalu. Matanya tertutup rapat.

Ia khawatir jika ia membuka mata, maka ia akan segera kembali kepada


kenyataan.

Ia ingin, sebentar saja, merasakan kembali masa lalu.

Karena bagaimanapun, terkadang masa lalu terasa jauh lebih membahagiakan


daripada masa kini.

Tapi memang masa lalu itu hanya indah untuk dikenang. Karena sehebat
apapun manusia, ia tidak dapat memutar waktu kembalh.

Yang paling bijaksana memang adalah menjadikan kenangan masa lalu sebagai
penguat dan pelajaran untuk menjalani masa kini.

Masa depan? Bukankah itu urusan langit?

Hanya manusia sombong yang merencanakan masa depan.

Manusia bijaksana menggunakan waktu sebaik-baiknya untuk menghargai masa


kini, dan berbuat sebaik-baiknya kepada orang-orang yang dimilikinya saat
ini.

Cio San akhirnya membuka matanya.

Kesenduan dan airmata telah menghilang dari raut wajahnya.

Sinar matanya berbinar dan mencorong tajam.

Inilah dia Cio San. Pemuda terbaik pada masanya. Pendekar paling hebat di
jamannya. Dan sahabat paling setia yang pernah ada.

Ia menoleh kepada Cukat Tong.

Cukat Tong pun tersenyum.

Karena ia pun pernah mengalami hal yang sama dengan Cio San. Pergulatan
batin untuk menghadapi kenangan-kenangan yang tidak mungkin dilupakan.
Karena memang kenangan itu bukan untuk dilupakan.

Cukat Tong tahu itu. Karena ia sendiri pun pernah berjuang keras
menghadapi masa lalu yang menghantuinya.

Manusia yang berhasil keluar dari ini semua, siapapun dia, lelaki atau
perempuan, adalah manusia-manusia yang telah tercerahkan.

Oleh karena itu sinar wajah Cio San berubah menjadi begitu menyilaukan.

Kau sudah berhasil mengatasinya? tanya Cukat Tong.

Cio San mengangguk dan tersenyum.

Cinta, benci, dan dendam. Hal yang terus menerus menggeregoti hidup
manusia. Jika kau berhasil menghadapinya, maka kau akan seperti Cio San.
Wajahmu bercahaya. Langkahmu gagah, tubuhmu tegap, dan matamu bersinar
terang.

Apa yang bisa ku bantu? tanya Cukat Tong lagi.

Aku mencari sebuah pintu rahasia jelas Cio San.

Baik Cukat Tong pun bergerak.

Cio San pun ikut mencari.

Urusan bergerak mencari barang adalah urusannya Raja Maling. Siapapun


yang berlomba dengan dia pasti akan tertunduk malu.

Dalam waktu sepeminum teh, Cukat Tong sudah muncul sambil tersenyum,

Aku sudah menemukannya

Cio San tersenyum dan mengikuti Cukat Tong.

Pintu rahasia itu ternyata berada di dalam gubuk bambu itu. Tepat di
bawah tempat tidur. Hanya berupa sebuah lubang kecil. Tapi jika kau
memasukkan jarimu kesitu, maka terbukalah sebuah pintu kecil di lantai.

Tampaknya kau ahli sekali dalam memasukkan jari ke dalam lubang kata
Cio San tertawa.

Aku banyak berlatih tukas Cukat Tong sambil tertawa juga.

Kau tak takut jika kau masukkan jari ke dalam lubang itu, lalu tiba-tiba
tanganmu digigit sesuatu? tanya Cio San.

Lubang tempat aku berlatih tidak ada giginya Cukat Tong tertawa penuh
arti.

Ketika Cio San akan masuk ke dalam pintu rahasia di lantai itu, Cukat
Tong mencegahnya,

Biar aku duluan yang masuk. Bisa jadi ada bahaya di sana

Kau pikir aku takut?

Takut sih tidak, tapi apa kau ingin kita ketahuan dan perjalanan kita
sia-sia?

Bahkan urusan masuk ke dalam lubang pun aku harus mempercayakannya


kepadamu Cio San tertawa lebar.

Ikuti semua langkahku. Di mana aku menginjakkan kaki, disitulah kau


injakkan kaki. Ruangan rahasia ini lungkin memiliki banyak jebakan

Cio San mengangguk.

Bahkan jika Cukat Tong menyuruhnya buka baju buka celana dan berlarian
telanjang bulat pun dia akan mengangguk menurut.

Urusan menyusup begini memang Cukat Tong ahlinya. Para pemula sebaiknya
menurut saja.

Mereka menuruni lubang gelap di dasar lantai. Setelah melihat sekeliling,


baru Cukat Tong melangkah dengan penuh hati-hati.

Kau perlu obor? tanya Cukat Tong lirih sekali.

Tidak. Aku sudah terbiasa dalam gelap

Cukat Tong mengangguk.

Setelah memastikan bahwa ia bisa membuka pintu dari dalam lubang, Cukat
Tong lalu menutup pintunya.

Ayo katanya Semua masih aman.

Mereka berjalan menyusuri goa itu. Ternyata arahnya menurun. Panjang dan
sangat berliku-liku.

Dari mana kau tahu kalau diatas ada pintu rahasia bisik Cukat Tong
bertanya.

Kau ingat ceritaku saat aku dulu terusir dari Butong Pay

Ya

Saat itu guruku Tan Hoat meninggal secara aneh. Tidak ada orang lain
yang naik ke gunung ini, karena jika ada pasti sudah ketahuan.
Pembunuhnya pasti turun naik gunung ini melalui jalan lain yang
tersembunyi. Lanjutnya,

Aku juga ingat saat di markas utama Mo Kauw dulu, mendiang Ang-kaucu
pernah berkata bahwa hampir di setiap perguruan mempunyai jalan rahasia
yang berguna untuk mengamankan diri jika terjadi sesuatu

Oh karena itulah kau jadi curiga bahwa pasti ada sebuah pintu rahasia di
atas tadi kata Cukat Tong yang dijawab Cio San dengan anggukan.

Kira-kira kau sudah menebak, siapa yang membunuh gurumu? tanya Cukat
Tong lagi.

Tentu saja aku sudah tahu, aku kesini hanya memastikan.

Siapa?

Lau-ciangbunjin

Hah? Ketua Butongpay yang maha terhormat itu? Atas dasar apa kau
menuduhnya

Kan biasanya hanya ketua yang mengerti jalan rahasia

Tapi bisa saja ada orang lain juga yang tahu bantah Cukat Tong.

Selain itu, hanya dia yang bisa membunuh Tan-suhu secara tiba-tiba
seperti itu. Di Butongpay hanya dia yang punya kemampuan itu. Ditambah
lagi Liang-lopek juga tewas karena lemparan jarum beracun. Di muka bumi
ini siapa lagi yang bisa punya kemampuan selihai itu untuk melukai Liang
Lopek?

Cukat Tong mengangguk-angguk.

Perjalanan panjang sekali. Sudah berjam-jam mereka menuruni jalan goa


yang sempit itu. Kini mereka sampai di sebuah bagian goa yang lumayan
luas.

Mari kita istirahat sebentar kata Cio San.

Mereka berdua duduk di lantai goa dan menikmati keadaan goa yang dingin,
gelap, namun menakjubkan itu. Tak lama kemudian, Cio San berkata dengan
sedikit kaget,

Eh, kau lihat itu? katanya sambil menuding sebuah dinding goa.

Cukat Tong memicingkan mata dan berkata, Ya

Mereka berdiri lalu lari mendekat,

Ternyata di tembok itu berisi banyak sekali lukisan. Lukisan yang


digoreskan langsung di dinding goa dengan menggunakan benda tumpul.

Inilukisan-lukisan ini digambar dengan jari tangan! kata Cio San.

Siapa gerangan orangnya yang sanggup melakukan hal demikian selain Thio
Sam Hong? Lukisannya rapi dan halus. Lukisan orang berkelahi.

Ternyata setelah diperhatikan dengan seksama dinding-dinding goa ini


terdapat banyak sekali lukisan orang bersilat. Tak lama kemudian Cio San
melihat sebuah tulisan tangan yang halus dan indah sekali.

Setelah bertahun-tahun, aku akhirnya dapat memecahkan berbagai macam ilmu


silat perguruan dan partai lain. Gerakan-gerakan ini tidak kuajarkan
kepada murid-murid Butongpay dan kutuliskan di goa rahasia ini dengan
maksud agar jika mereka benar-benar terdesak oleh urusan-urusan Kang Ouw,
mereka dapat mengasingkan diri di sini dan baru dapat mempelajari ilmu
ini. Siapapun yang berjodoh dengan ilmu ini, dipersilahkan untuk
mempelajarinya.

Semoga Thian (langit) selalu melindungi Butongpay dan seluruh umat


manusia.

Thio Sam Hong

Membaca itu, Cukat Tong dan Cio San berdecak kagum.

Luas sekali pandangan thay-suhu ia berkata begitu sambil menjatuhkan


diri ke lantai, dan bersoja 3 kali di hadapan tulisan itu.

Setelah bangkit ia berkata kepada Cukat Tong, Kau dipersilahkan melihat


dan mempelajari gambar-gambar ini. Kata Thay-suhu siapapun yang berjodoh
melihatnya, dipersilahkan untuk mempelajarinya

Aku tidak tertarik kata Cukat Tong menggeleng.

Kenapa? tanya Cio San

Memangnya kau pikir aku tukang berkelahi seperti kau?

Ilmu itu akan berguna suatu saat nanti

Memangnya kau pikir diriku ini tidak berguna?

Hahaha Cio San cuma bisa tertawa. Dalam hati ia mengerti. Cukat Tong
merasa dirinya bukan murid Butongpay sehingga merasa tidak pantas untuk
mencuri belajar ilmu-ilmu Butongpay.

Untuk ukuran maling, kau adalah maling paling terhormat yang pernah ku
kenal

Maling juga punya harga diri. Cukat Tong tersenyum. Ia kini duduk
santai di lantai setengah berbaring sambil menatap lukisan-lukisan di
dinding goa.

Cio San menatap dan mempelajari lukisan-lukisan itu dengan seksama. Tak
berapa lama ia tersenyum dan ikut duduk di lantai bersama Cukat Tong.

Selesai? tanya Cukat Tong heran

Selesai

Semuanya?

Semuanya

Aku melihat saja belum selesai, kau malah sudah menghafal seluruhnya

Aku tidak menghafal sama sekali, bahkan mungkin kini sudah lupa dengan
apa yang ku lihat tukas Cio San.

Lalu?

Tapi aku sudah paham

Ohh..ya..ya..aku tahu maksudmu Cukat Tong cuma bisa mengangguk-angguk.

Ia melihat begitu banyak ilmu partai dan perguruan lain yang telah
terpecahkan oleh Thio Sam Hong. Segala macam jurus tangan kosong, dan
berbagai macam senjata mulai jurus pedang, jurus golok, jurus tombak,
jurus melempar senjata rahasia, dan lain-lain milik perguruan dan partaipartai besar, semua telah terpecahkan.

Orang yang mempelajari semua ini sudah pasti akan merajai dunia
persilatan. Hanya tinggal memperdalam lweekang dan ginkang.

Bagaimana cara supaya bisa paham tanpa harus menghapal? tanya Cukat
Tong.

Paham dan hapal kan adalah dua hal yang berbeda kata Cio San.

Bagiku orang baru paham kalau sudah hapal, dan bisa hapal jika sudah
paham

Itulah kesalahanmu. Jika kau bisa menghapus pemikiran itu dari otakmu,
baru kau bisa paham tanpa harus hapal

Memangnya hanya dengan berpikir demikian saja bisa mengganggu proses


pemahaman? tanya Cukat Tong.

Itu karena kau telah membentuk suatu pemahaman di benakmu, maka kau
susah menemukan kebenaran lain. Jika dalam hati kau sudah bilang ikan
goreng itu tidak enak, maka jika orang lain bilang ikan goreng itu enak,
kau tak akan percaya. Bahkan untuk mencoba saja kau tidak mau. Lalu
bagaimana kau bisa merasakan kenikmatan ikan goreng yang sesungguhnya?

Cukat Tong merenungi ucapan Cio San.

Betul juga

Ayo kita jalan lagi

Mereka berdua berjalan lama sekali. Hingga tiba di sebuah jalan buntu.

Kau dengar ada sesuatu di atas? tanya Cio San

Tidak dengar apa-apa jawab si Raja Maling. Lalu katanya,

Aku naik duluan, kau harus mengikuti setiap langkahku. Jangan sentuh
apapun yang tidak ku sentuh. Mengerti?

Cio San mengangguk.

Perlahan-lahan Cukat Tong membuka tingkap pintu diatasnya. Ia buka


sedikit saja. Tapi yang sedikit itu sudah mampu membuatnya memperhatikan
semua keadaan di atas.

Aman

Dia lalu naik, diikuti Cio San.

Ini kamar milik ketua kata Cio San.

Berarti dugaanmu tepat

Mumpung berada di sana, mata Cukat Tong jelalatan memperhatikan isi


ruangan. Padahal di bawah tanah tadi ia bertemu lukisan ilmu silat yang
sangat berharga, matanya tidak sejelalatan ini.

Apa yang kau cari? tanya Cio San.

Barang berharga

Tidak banyak barang yang ada di dalam kamar itu. Hanya lemari pakaian,
sebuah rak buku, meja makan, dan sangkar burung yang kosong.

Cio San juga jelalatan seperti Cukat Tong. Jika sudah menyangkut rahasia,
hatinya pasti akan tertarik.

Apa yang kau temukan, kenapa kau tersenyum seperti itu? tanya Cukat
Tong.

Cio San memungut sesuatu dari lantai.

Abu katanya

Abu hitam, mungkin dari hasil bakaran kertas kata Cukat Tong.

Tepat. Untuk apa orang membakar kertas di dalam rumah?

Untuk menghilangkan jejak surat rahasia kata Cukat Tong tersenyum.

Dan sangkar burung itu? tanya Cio San penuh arti.

Tempat sang kurir surat beristirahat Cukat Tong pun tersenyum.

Lanjutnya,

Diakah si otak besar?

Cio San hanya tersenyum penuh arti.

Bab 61 Pertempuran Kecil

Kita harus memberitahukan Beng Liong perkara ini kata Cukat Tong.

Liong-ko (kakak Liong) adalah orang yang lurus dan agak sedikit kaku,
kau pikir dia mau begitu saja percaya bahwa ketua partai yang sangat
dicintainya itu adalah seorang bajingan? jawab Cio San.

Kalau kau yang bicara tentu dia percaya

Di dunia ini, manusia yang kata-katanya adalah emas, adalah Liong-ko


sendiri. Omongan bau kentut dari mulutku ini masa mau disamakan dengan
dirinya

Tapi aku percaya omonganmu

Sayangnya Liong-ko tidak sebodoh kau

Mereka berdua tertawa mengikik. Heran. Di saat menyusup ke sarang macan


seperti ini, mereka masih bisa bercanda.

Ayo kita kembali ajak Cukat Tong.

Ah, tapi aku malas mendaki goa sempit tadi itu

Terus bagaimana?

Tidak bisakah kau memanggil burungmu kesini saja?

Kau pikir Butongpay rumah bordil? Seenak perut saja keluar masuk?

Mereka cekikan lagi.

Tiba-tiba mereka terdiam.

Kau dengar langkah-langkah itu? tanya Cio San

Ayo kembali ke goa!

Tidak usah. Tutup muka saja

Cio San merobek sebagian kain bajunya dan menutup bagian bawah wajahnya.
Cukat Tong pun melakukan hal yang sama.

Pintu kamar terbuka, orang yang masuk itu terbelalak ketika di lihatnya
ada dua orang bertopeng di dalam kamar.

Penyusup!!!!! teriaknya lantang sambil meniup semprian tanda bahaya.

Kau sudah tahu ada orang akan masuk, kenapa tidak segera
menghentikannya? tanya Cukat Tong santai.

Aku kan suka keramaian senyum Cio San di balik topengnya.

Dasar tukang berkelahi umpat Cukat Tong.

Dengan sekali gerak Cio San sudah berada di hadapan murid Butongpay itu
dan menotoknya. Gerakan yang sangat cepat dan sangat tak terduga. Si
murid Butongpay seperti tidak melihat apa-apa, tahu-tahu tubuhnya sudah
tertotok.

Dari luar terdengar suara ramai puluhan murid Butongpay berlari ke arah
kamar itu.

Panggil burung-burungmu kata Cio San kepada Cukat Tong.

Si Raja Maling mengangguk dan meniup juga sempritan tulangnya itu.

Murid-murid Butongpay! Hari ini kami berdua akan membunuh kalian semua!
kata Cio San dengan suara yang dibuat-buat. Cukat Tong hampir mati ketawa
mendengarnya.

Penyusup kurang ajar! Berani-beraninya kau! umpatan dan makian sudah


tak terdengar jelas karena kini mereka semua sudah menyerang dengan
serentak.

Cio San menghadapi mereka dengan santai. Ia tidak bergerak sebelum


pedang-pedang itu mendekati dirinya. Lalu dengan gerakan memutar seperti
gasing, pedang-pedang itu semua terlepas dari tangan penyerang dan
meluncur masuk ke putaran gasing itu.

Jika Cio San mau, pedang-pedang itu bisa dilontarkan balik dan menyerang
para pemilik pedangnya sendiri. Tapi ia tidak melakukannya.

Belasan orang itu terlongo!

Bagaimana mungkin pedang begitu enak lepas dari genggaman mereka?

Sekarang semua pedang itu telah berada di tangan si orang bertopeng, yang
malah berdiri dengan santai.

Jika murid Butongpay hanya begini saja, pantas Butongpay semakin


tenggelam namanya. Kata Cio San.

Omongan busuk!

Terdengan suara dari belakang murid-murid Butongpay yang tadi sudah


menyerangnya.

Empat orang tetua Butongpay, bersama 7 pendekar pedang pelindung


Butongpay!

Cukat Tong geleng-geleng kepala, katanya Kenapa kau mencari masalah?

Aku kangen bertemu mereka bisik Cio San lirih.

Kenapa tidak kau ajak makan dan minum arak saja

Keduanya tertawa.

Murid-murid Butongpay yang ada di perguruan hampir seluruhnya sudah mulai


berdatangan. Melihat kedua orang bertopeng ini ngobrol sambil tertawatawa, hati mereka mendongkol dan tambah marah,

Manusia lancang! Berani-beraninya kau menyusup ke sarang naga! kata


salah seorang tetua. Cio San masih ingat, orang ini bernama Yo Ang.

Cayhe adalah Kaisar Maling kata Cio San berbohong, Dan ini adalah
adik cayhe, Pangeran Maling yang diikuti oleh suara aneh dari mulut
Cukat Tong karena tidak kuat menahan tawa.

Apa maksud kalian datang ke sini? tanya Yo Ang tajam.

Raja maling dan pangeran maling masuk rumah orang, tentu bukan ingin
mengajak makan. Masa hal demikian saja kau tidak paham?: tukas Cukat
Tong.
Entah kenapa Cio San dan Cukat Tong berbuat aneh seperti ini. Bercanda
dan tertawa-tawa. Ternyata adalah supaya menutupi jati diri mereka yang
sebenarnya. Dalam hatinya, kedua orang ini jerih juga melihat banyaknya
murid Butongpay yang sudah berada di sana.

Kurang ajar! Tujuh Pendekar Pelindung Butongpay sudah maju menyerang


Cio San yang memenag berdiri di depan Cukat Tong.

Barisan 7 Bintang adalah barisan pedang yang sangat disegani. Jurus ini
hanya boleh dikuasai oleh mereka yang masuk ke dalam 7 Pendekar Pelindung
Butongpay. Murid yang lain tidak diperbolehkan mempelajarinya.

Jurus ini adalah ciptaan Thio Sam Hong khusus bertujuan untuk melawan
serangan musuh dari luar. Karena itu jurus ini lebih bersifat menyerang,

agar musuh dengan segera dapat ditundukkan. Berbeda dengan ilmu Butongpay
lain yang cenderung lebih bersifat bertahan dan menunggu.

Kesalahan terbesar para murid Butongpay selama ini adalah mereka lebih
sering menyerang duluan. Padahal sifat alami ilmu-ilmu Butongpay adalah
bertahan dan menunggu serangan musuh. Cio San mampu memahami ini sehingga
ia mampu mengembangkan dan menggunakan ilmu-ilmu Butongpay secara
menyeluruh dan sampai kepada tahap tertinggi.

Barisan 7 Bintang kini telah menyerangnya!

Jurus ini sangat hebat dan cepat. Jarang ada orang yang sanggup
menghindar dari kepungan ini.

Cio San pun terpana. Seumur hidup inilah barisan pedang yang paling
dahsyat yang dihadapinya!

Tiada celah untuk menghindar. Tak ada ruang baginya untuk mundur!

Untungnya tadi Cio San masih memeluk puluhan pedang dengan tangan
kirinya.

Kini 7 dari puluhan pedang itu sudah melayang mengarah kepada 7 orang
penyerangnya.

Walaupun jaraknya sangat dekat, Cio San masih sanggup melontarkan pedangpedang itu. Ini suatu keuntungan baginya karena Cio San sendiri meragukan
kemampuannya dalam melempar senjata untuk jarak jauh.

Ternyata ia sudah memikirkannya sejak tadi.

Itulah kenapa ia mengumpulkan pedang-pedang itu dari belasan orang yang


pertama kali menyerangnya.

Karena ia sudah tahu ia akan berhadapan dengan Barisan 7 Bintang.

Dan ia pun sudah tahu cara menaklukkannya.

Mengalahkan Barisan 7 Bintang harus dengan cara tiba-tiba dan dengan


jarak sangat dekat. Juga harus secara bersamaan. Dengan gerakan tibatiba, ia akan membuat para penyerangnya kaget. Dan untuk sepersekian
detik harus merubah serangan menjadi gerakan menghindar.

Dalam sepersekian detik itu ada kesempatan baginya untuk mundur dan
mengatur langkah.

Dalam sepersekian detik itu, ia telah menotok hiat to ke tujuh orang itu.

Semua orang melongo.

Barisan 7 Bintang yang menggetarkan itu pun takluk hanya dalam satu
jurus!

Cio San melakukannya seperti sangat gampang.

Tapi penempatan waktu, kecepatan, dan ketepatan tidak boleh salah dan
meleset sedikit pun.

Justru di situlah kesulitannya. Amat sangat sulit. Karena jika salah


perhitungan, tubuhnya sudah jadi daging cincang.

Perhitungan yang melesat sepersekian senti saja, atau terlalu cepat


sepesekian detik saja, atau terlalu lambat sepersekian detik saja, maka
tidak ada lagi orang yang bernama Cio San di muka bumi ini.

Tapi sudah menjadi pemahaman bahwa jika kita melihat orang yang ahli
dalam melakukan sesuatu, rasanya terlihat seperti gampang saja. Seperti
ia melakukannya dengan sederhana dan alami. Sedemikan gampangnya serasa
kita pun bisa melakukannya. Justru di situlah letak kehebatan para ahli.
Mereka bisa melakukan hal yang sangat sulit terlihat sangat mudah.

Kita lupa bahwa orang ahli itu telah melakukan latihan yang keras selama
bertahun-tahun. Yang kita lihat adalah hasil latihannya saja.

Cio San berdiri dengan santai. Rambutnya melambai tertiup angin gunung.
Tangannya memainkan rambutnya. Tangan yang satunya lagi terlipat ke
belakang.

Tujuh Pendekar Pelindung Butongpay terkapar di lantai tak mampu bergerak.

Semua orang yang ada di sana melongo dan tak berani bergerak.

Jangan-jangan jika mereka bergerak, akan mengalami hal yang sama dengan
ketujuh orang kawannya yang tergeletak di lantai?

Kini yang berani bergerak cuma 4 orang tetua Butong pay.

Tapi mereka melakukan kesalahan yang sama. Mereka bergerak duluan.


Padahal Thay Kek Kun adalah ilmu yang baru terasa kedahsyatannya jika
dipakai bertahan.

Cio San tadi sudah menjatukan beberapa pedang yang masih ada di
pelukannya ke lantai. Kini entah bagaimana dia sudah memegang pedang di
kedua tangannya. Satu di tangan kiri dan satu di tangan kanan.

Tangan kanan memainkan ilmu pedang pemberian Pendekar pedang Kelana.

Tangan kiri memainkan jurus Tongkat pemukul Anjing.

Langkah kakinya, adalah Langkah Menapak Awan milik Butongpay.

Ilmu silat mengalir dari tubuhnya secara alami dan sempurna. Ia tidak
perlu berpikir, tidak perlu mengatur langkah, tidak perlu mengingat
jurus.

Karena jurus hanya tanaman, dan pemahaman adalah buminya.

Jika pemahaman telah subur, maka segala tanaman akan tumbuh di


atasnya.

Jika pemikiran kosong dan hati telah bersih, semua hal mengalir bebas.

Tanpa ikatan. Tanpa hambatan.

Gerakan harus mengalir bebas. Justru juruslah yang membatasi gerakan.

Tangan harus kesini. Langkah kaki harus begini. Posisi tubuh harus
seperti ini.

Bukankah iu membatasi?

Bukankah akan lebih dahsyat jika tubuh bergerak secara alami dalam
menghadapi semua serangan musuh. Bergerak mengikuti aliran.

Seperti air yang tak tertahankan.

Seperti angin yang bebas.

Seperti tanah yang tulus.

Seperti awan yang megah.

Oleh karena itu 2 orang tetua telah tertotok oleh gagang pedang Cio San.

Sedangkan dua yang lain tak berani bergerak karena ujung pedang Cio San
telah mengancam tenggorokannya.

Perintahkan seluruh murid untuk mundur sampai ke Gerbang Tanpa Senjata


kata Cio San kepada 4 tetua itu.

Gerbang Tanpa Senjata adalah gerbang depan perguruan Butongpay. Siapapun


tamu yang memasuki gerbang itu harus meninggalkan senjatanya. Gerbang itu
jauh sekali di depan, karena Butongpay amat sangat luas.

Kalian semua, lakukan perintahnya! kata salah seorang tetua.

Dalam hati Cio San agak kecewa karena murid-murid Butongpay itu benarbenar pergi semuanya. Kenapa mereka sepengecut ini?

Begitu suasana di sana sudah sepi, Cio San baru berbicara,

Para totiang maafkan kelancangan cayhe. Sesungguhnya cayhe tidak


bermaksud melakukan ini semua

Ia lalu melepaskan totokan kedua totiang yang tadi, dan menurunkan


pedangnya dari tenggorokan dua totiang yang lain.

Pangeran Maling, tolong totok titik pendengaran beberapa murid terluka


yang berada di sini supaya mereka tidak mendengar ucapanku pinta Cio San
kepada Cukat Tong.

Cukat Tong pun melakukannya.

Para totiang, maafkan cayhe tidak bisa memberitahukan jati diri cayhe
sebenarnya. Tapi cayhe datang kemari untuk menyampaikan sebuah rahasia

Cio San diam sebentar, lalu berkata,

Di balik kamar ketua, terdapat jalan rahasia menuju ke puncak gunung

Sambil berkata begitu ia ingin melihat reaksi para totiang. Cio San lalu
tersenyum puas setelah melihat reaksi wajah dan tubuh mereka sesuai
dengan keinginannya.

Jalan rahasia ini berhubungan dengan kisah pembunuhan Tan hoat di atas
gunung, dan beberapa rahasia lain yang harus totiang pecahkan sendiri

Mareka sudah datang? tanya Cio San kepada Cukat Tong

Sudah sejak tadi mereka berputar-putar

Baiklah. Lalu ia berkata kepada para totiang.

Ketahuilah, Lau-ciangbunjin telah mengetahui jalan rahasia itu sejak


lama. Nah, silahkan totiang berpikir sendiri memecahkan rahasia yang
telah cayhe sampaikan

Sambil berbicara begitu, tubuh Cio San melayang ke atas. Tangannya masih
sempat menjura. Cukat Tong pun juga telah melayang ke atas, dan mereka
berdua menghilang dalam kegalapan malam.

Kedua orang itu apakah siluman? tanya salah seorang totiang.

Malam ini Butongpay benar-benar terguncang. Para pendekar utama mereka


takluk hanya dalam satu jurus.

Tapi malam ini juga Cio San tersenyum.

Butongpay akan meraih puncak kejayaannya lagi, mulai saat ini

Bab 62 Pedang dan Cinta

Aissh, aku lupa. Kita harus ke kotaraja kata Cio San

Gampang saja. Kotaraja terletak di utara. Dua hari perjalanan dari sini
sahut Cukat Tong.

Apakah kita masih sempat ke puncak Thay San? tanya Cio San

Kotaraja ke puncak Thay San butuh 3 hari. Saat kita tiba di Thay San,
pertemuan dan pertandingan pasti sudah di mulai

Cio San berpikir sebentar lalu berkata,

Begini saja. Bisakah kau antarkan aku ke Thay San, lalu kau pergi ke
Kotaraja mengantarkan surat buat Cun-totiang?

Tentu saja

Ah, memang Thouw Ong (Raja Maling) bukan nama kosong kata Cio San
sambil tertawa.

Rembulan bersinar terang. Langit berwarna hitam kebiruan. Bintang


bersinar dengan cerah. Mereka terbang penuh kegembiraan. Ada masalah atau
tidak ada masalah mereka tetap bergembira. Karena masalah toh tak akan
hilang jika kau bersedih.

Tiga hari telah lewat. Selama tiga hari itu Cio San banyak memberi
petunjuk-petunjuk tentang ilmu silat kepada Cukat Tong. Cukat Tong pun
membagi banyak ilmu tentang penyusupan, cara membuka kunci, cara
mengintai, dan lain lain. Dalam 3 hari ini saja, ilmu mereka berdua
semakin meningkat. Ini juga sebagaian besar disebabkan mereka sempat
menemukan ilmu dahsyat di dinding goa rahasia di Butong San.

Walaupun Cukat Tong awalnya sempat berkata bahwa ia tidak tertarik untuk
mempelajari ilmu itu, nampaknya kini ia tertarik juga untuk
memperdalamnya. Mungkin karena dilihatnya Cio San bersemangat melatih
gerakan-gerakan di sepanjang istirahat mereka di tengah perjalanan,
makanya Cukt Tong ikut-ikutan tertarik juga.

Kini mereka telah sampai ke kaki gunung Thay San. Cio San sengaja meminta
mereka berhenti di kaki gunung agar ia bisa bergabung dan ribuan orang
yang berjalan kaki menuju puncak Thay San. Tentu saja Cio San kini
menyamar sebagai orang lain. Cukat Tong yang juga ahli menyamar, kini
telah mendandani Cio San sebagai seorang buruk rupa yang wajahnya
bertotol-totol aneh. Cio San saja hampir tidak mengenali lagi dirinya
sendiri.

Hey, jika setinggi ini ilmu menyamarmu, aku bisa ragu-ragu untuk
mendekati wanita tukas Cio San sambil tertawa saat melihat bayangan
wajahnya di cermin kecil yang dibawa Cukat Tong.

Memangnya kenapa?

Jangan-jangan wanita cantik itu adalah samaranmu

Hahaha mereka berdua tertawa terbahak-bahak.

Eh, apakah kau bisa mendandani aku agar mirip seseorang lain? Misalnya
mendandani aku menjadi dirimu, atau kaisar?

Tentu saja. Asal aku pernah bertemu dengan orang itu, aku bisa
mendandanimu sepertinya.

Wah hebat puji Cio San.

Tapi yang terpenting dari ilmu menyamar adalah ilmu peran. Kau harus
bisa bersikap dan bertingkah laku seperti orang yang kau tiru itu. Jika
tidak, maka samaran akan ketahuan dan terbongkar

Cio San mengangguk-angguk.

Ia lalu menulis sebuah surat kepada Cun-totiang yang kini bersiaga di


kotaraja. Setelah menulisnya, ia lalu berkata kepada Cukat Tong,

Sekali lagi aku harus merepotkanmu

Cukat Tong sudah paham maksud Cio San, ia hanya berkata, Kau ingin aku
berangkat sekarang?

Ya

Baiklah. Burung-burungku tadi sudah cukup beristirahat. Aku pergi

Setelah itu, kumohon kau kembali kesini untuk membantuku kata Cio San.

Cukat Tong hanya mengangguk. Sempritan sudah dibunyikan dan tak lama
kemudian ia sudah melayang di angkasa.

Cio San pun memulai perjalanannya.

Ia tadi berada di pinggiran hutan yang sepi. Kini ia telah berada di


jalan utama menuju puncak. Ribuan orang berjalan dengan ramai. Suasana
seperti ini bagaikan sebuah perayaan besar. Ribuan orang dari berbagai
macam perguruan, aliran, dan juga keluarga-keluarga terkemuka, datang
membanjiri jalan itu.

Cio San jarang mengenal orang. Ini karena pergaulannya di dunia Kang Ouw
memang masih sempit. Lagipula pengalamannya belum terlalu banyak di dunia
Kang Ouw.

Jalanan ramai.

Ada pejalan kaki, ada yang menggunakan kuda, kereta, dan ada juga yang
ditandu. Acara ini seperti ajang bagi seluruh orang untuk menunjukkan
kebesaran dan kemasyuran nama mereka. Sejak tadi Cio San berharap bertemu
dengan Suma Sun dan rombongannya, tapi ia masih belum bisa menemukan
mereka.

Akhirnya dia menggunakan kesempatan ini untuk sekedar mengobrol dengan


orang lain. Walaupun semua orang ini datang untuk mengikuti acara
pemilihan Bu Lim Beng Cu, tidak semua datang untuk bertempur. Kebanyakan
dari mereka hanya datang untuk melihat keramaian. Sekedar belajar dan
memperthatikan ilmu silat orang lain. Memang ada sedikit penyakit di
hati orang Bu Lim untuk selalu membandingkan ilmu silat sendiri dengan
orang lain.

Cio San kini sudah berkenalan dengan seorang pemuda ramah yang tadi
menawarkan minum kepadanya. Namanya Kao Ceng Lun. Selain lumayan tampan,
sinar matanya pun jenaka. Membuat orang yang melihatnya langsung suka
kepadanya.

Nama keluarga Kao memang termasuk terkanal di kalangan Bu Lim. Keluarga


ini tinggal di Hokkian. Oleh sebab itu dialek Kao Ceng Lun agak terdengar
lucu. Itu malah membuat orang yang mendengarnya semakin suka kepadanya.

Keluarga Kao terkenal sebagai keluarga yang ilmu tangan kosongnya


disejajarkan dengan banyak ilmu perguruan besar. Nama ilmu itu pun cukup
menggetarkan, Hui Liong Ciang Hoat. Ilmu Tangan Sakti Naga Terbang.

Cio San dan Kao Ceng Lun kini beristirahat di sebuah kedai. Di sepanjang
jalan, memang ada banyak kedai berjualan makanan. Ada kedai yang memang
sejak dulu buka di situ, ada juga kedai-kedai dadakan yang buka di sana
karena keramaian pemilihan Bu Lim Beng Cu ini.

Lie-ko, ayo tambah lagi sayurnya. Ini dagingnya pun masih banyak kata
Kao Ceng Lun sambil mengunyah.

Cio San kini sudah berganti she (marga) menjadi Lie bernama Sat.

Orang bernama Lie Sat itu hanya tersenyum sambil makan. Kao Ceng Lun
memang adalah pemuda yang bersemangat sehingga semangatnya pun tertular
kepada orang lain.

Aku sudah kenyang Kao-siauya (tuan muda Kao). Terima kasih banyak kata
Lie Sat sambil mengelus-elus perut.

Aih, sudah kubilang berapa kali jangan panggil aku siauya. Panggil aku
Lun-te saja

Ah, mana mungkin saya berani. Siauya mau menjadikan saya teman saja,
saya sudah senang sekali kata Lie Sat.

Haha. Sejak dulu aku memang suka berteman Lie-ko. Apalagi ini pertama
kali aku bepergian jauh. Punya teman seperjalanan kan memang sangat
menyenangkan mulutnya sibuk berbicara dan sibuk mengunyah.

Ia lalu lanjut bertanya,

Lie-ko, kau datang untuk menonton atau ikut perebutan Beng Cu juga?

Halah, saya mana punya kemampuan untuk ikut bertanding? Walaupun bisa
silat sediki-sedikit, saya kesini hanya untuk menonton keramaian. Lumayan
bisa banyak ilmu yang didapat jika kita melihat pertandingan orang kata
Lie Sat. Lanjutnya, Siauya sendiri, apakah ikut bertanding?

Iya. Sekedar untuk menguji kemampuan jawab Kao Ceng Lun sambil
tersenyum.

Lie Sat tersenyum juga. Ia suka melihat pemuda yang jujur, terbuka dan
apa adanya. Hampir seperti dirinya sendiri. Umur mereka sendiri mungkin
sebaya.

Mereka mengobrol panjang lebar menceritakan pengalaman masing-masing.


Lalu tak berapa lama kemudian masuk sebuah rombongan kecil ke kedai itu.

Suma Sun, Ang Lin Hua, dan Luk Ping Ho mantan pangcu Kay Pang. Mereka
duduk di sebuah meja kosong yang tak jauh dari meja tempat Cio San dan
sahabat barunya itu berada.

Cio San ingin sekali menyapa mereka, tapi ia tahu ia sedang dalam
penyamaran. Karena itu ia bersikap biasa saja dan melanjutkan mengobrol
dengan Kao Ceng Lun.

Rombongan Suma Sun sendiri juga mengobrol hal-hal kecil di sepanjang


perjalanan. Mendengar bahwa mereka baik-baik saja, Cio San merasa lega di
hatinya.

Eh, Lie-ko, kau lihat nona itu? Cantik sekali bukan?

Lie Sat menoleh ke arah pandangan Kao Ceng Lun.

Ang Lin Hua.

Cantik sekali, siauya. Sayang rambutnya sudah memutih semua kata Lie
Sat sambil berbisik karena khawatir di dengar Ang Lin Hua. Suasana di
kedai itu sangat ramai, tapi tentu saja pendengaran pendekar tetaplah
tajam. Untung saja sepertinya Ang Lin Hua tidak tahu mereka sedang
membicarakan dirinya.

Ah, menurutku itu malah semakin menambah kecantikannya

Lie Sat atau Cio San hanya mengangguk-angguk membenarkan.

Dari kabar yang kudengar, berdasarkan ciri-ciri dan gerak-geriknya,


tentulah nona itu adalah Ang Lin Hua, putri dari Mo Kau kaucu yang lama
kata Kao Ceng Lun.

Mendengar ini Cio San kagum juga atas tajamnya penglihatan dan luasnya
pengetahuan Kau Ceng Lun.

Pendekar yang diam saja sejak tadi itu pasti adalah Ang Hoat Kiam Sian,
Suma Sun-tayhiap

Sekali lagi tebakan Kao Ceng Lun tepat.

Dan kakek tua yang disebelahnya mungkin saja adalah si Raja Maling yang
sedang menyamar

Kali ini dia salah. Tapi tetap membuat Cio San kagum karena ia bisa
mengambil kesimpulan yang baik.

Ah. Orang-orang hebat kata Cio San sambil mengangguk-angguk.

Aku ingin mengundang mereka makan kata Kao Ceng Lun sambil beranjak
berdiri.

Tapi ia terlambat.

Seseorang telah terlebih dahulu datang ke meja rombongan Suma Sun.

Kau pasti Suma Sun kata orang itu. Badannya tegap dan usianya masih
muda. Mungkin sekitar 20 tahun.

Suma Sun tidak menjawab, dan hanya mengangguk.

Namaku Bu Seng Ti. Aku adalah anak dari Bu Seng Lam

Kau ingin membalas dendam? tanya Suma Sun.

Benar. Aku memang sengaja datang ke Thay San ini hanya untuk mencarimu

Ilmu pedangmu masih jauh. Pulanglah dan berlatih selama 20 tahun.


Setelah itu kau boleh mencariku

Suma Sun berkata dengan sungguh-sungguh. Tapi orang yang bernama Bu Seng
Ti itu malah tersinggung.

Manusia sombong! Sekarang juga cabut pedangmu! katanya setengah


berteriak.

Para pendekar di dalam kedai sudah berhenti mengobrol dan menonton


keramaian kecil ini.

Suma Sun tidak perduli dan tetap meneruskan makannya.

Sringggg!

Bu Seng Ti mencabut pedangnya. Kuda-kudanya sudah dikeluarkan.

Kau murid siapa? tanya Suma Sun.

Apa perdulimu? Cepat cabut pedangmu dan hadapi aku

Ilmu pedangmu berbeda dengan ayahmu. Kau murid siapa? terlihat Suma Sun
sudah semakin tenang.

Ia pun sudah mampu membedakan ilmu orang. Padahal orang itu belum
mengeluarkan jurus satu pun juga.

Bu Seng Ti tidak menjawab. Ia menyerang.

Awas serangan! katanya.

Pedangnya menyambar cepat.

Kilatan pedang itu sederhana dan mantap. Tak ada jurus tipuan atau
gerakan percuma. Jurus pedang ini diciptakan untuk membunuh.

Suma Sun hanya memundurkan badannya sedikit. Sabetan itu lewat di depan
tenggorokannya. Tapi begitu sabetan itu luput, sabetan berikutnya datang
dengan lebih cepat dan dari arah tak terduga. Kali ini mengincar
jantungnya.

Suma Sun tidak menggerakan tubuhnya sama sekali. Hanya tangannya


menangkis pedang itu dengan sebuah mangkok kosong.

Melihat serangan keduanya kembali gagal, Bu Seng Ti melompat tinggi dan


menghujamkan pedangnya. Gerakannya ini sangat cepat. Bahkan bagi
pandangan mata Cio San, gerakan Bu Seng Ti termasuk cepat.

Tapi memangnya ada pedang yang lebih cepat dari pedangnya Suma Sun?

Tentu saja pedangnya Suma Sun telah menancap di dahi Bu Seng Ti.

Tanpa suara

Tanpa darah

Yang ada hanya kematian.

Suma Sun menatap mayat itu dengan penuh penyesalan.

Kau punya bakat besar, tapi kenapa memilih kematian kalimat ini
terdengar seperti pertanyaan. Tapi juga terdengar seperti penyesalan.

Bahkan juga terbayang sebuah perasaan sepi yang aneh.

Karena Suma Sun tahu, di masa depan nanti tak ada seorang pun yang mampu
menandingi pedangnya. Di manakah lagi ia akan menemukan lawan sebanding?

Pemuda penuh bakat selalu menyenangkan hatinya. Karena baginya ada


sedikit harapan di masa depan bagi pedangnya untuk menemukan lawan.

Mungkin karena inilah ia merasa begitu kesepian.

Jika orang lain kesepian karena tak punya kawan, ia kesepian karena tidak
punya lawan.

Rasa sepi yang hanya dimengerti oleh orang-orang seperti Suma Sun.

Orang-orang yang telah menyerahkan hidupnya kepada ketajaman pedangnya.

Suma Sun sendiri telah mengangkat mayat pemuda itu dan menggendongnya ke
luar. Ke sebuah tanah kosong. Di situ ia menggali kuburan bagi pemuda
itu.

Ang Lin Hua dan Luk Ping Hoo tidak membantunya. Mereka paham dan mengerti
bahwa bagi Suma Sun, apa yang dia lakukan adalah sebuah penghormatan bagi
pemuda malang itu. Sesuatu yang sakral. Mereka berdua hanya duduk di
tanah dan melihat dari dekat.

Banyak pula orang yang menonton, tapi idak tahu harus berbuat apa.
Menangisi kematian pemuda malang itu, atau mengagumi kecepatan pedang
Suma Sun.

Mereka yang berharap mengambil banyak pelajaran saat bertanding nanti,


tentu saja kemudian berpikir dua kali. Jika orang seperti Suma Sun ikut
bertanding dalam perebutan Bu Lim Beng Cu nanti, tentu saja pelajaran
yang mereka dapatkan adalah pelajaran terbaik. Pelajaran tentang
kematian.

Oleh karena itu banyak dari pengunjung kedai itu yang telah mengambil
keputusan saat itu juga. Membatalkan keikutsertaan dalam pertandingan.

Karena pada hakekatnya, bagi mereka Suma Sun bukan manusia. Ia adalah
dewa kematian yang turun ke bumi.

Tapi Kao Ceng Lun malah semakin bersinar-sinar wajahnya. Ia malah semakin
ingin bertanding.

Tapi bukankah semangat ini, adalah semangat yang dimiliki Be Seng Ti


tadi?

Semangat khas anak muda yang cinta petualangan dan mara bahaya.

Itulah kenapa banyak pemuda mati sia-sia.

Tapi tentu saja hal seperti ini tak akan mengendorkan semangat mereka
yang benar-benar pemberani dan mencintai tantangan. Justru karena
tantangan itu berbau kematian maka mereka tertarik melakukannya.

Kau lihat tadi jurusnya, Lie-ko? Jurus yang mantap dan sungguh
mematikan kata Kao Ceng Lun. Jika aku bertarung dengannya, pasti akan
sangat mengasyikkan.

Kalau saya dibayar 1000 tael emas pun, tak akan mau bertanding
dengannya tukas Lie Sat sambil tersenyum kecut.

Jika kau ku bayar 1001 tael emas, apa mau bertanding dengannya? tanya
Kao Ceng Lun sambil tertawa.

Sepertinya mau Cio San menjawab sambil tertawa pula.

Tak berapa lama, kuburan itu pun selesai. Suma Sun duduk sebentar dalam
keheningan. Jika ia membunuh, maka orang yang dibunuhnya adalah orang
yang pantas mati. Pemuda ini belum pantas unuk mati. Suma Sun tidak
mengenalnya. Walau ayahnya adalah seorang bejat, pemuda itu belum tentu
sebejat ayahnya.

Bu Seng Lam, ayah pemuda itu, dibunuh Suma Sun 2 tahun yang lalu. Sang
ayah ketahuan telah banyak memakan uang rakyat. Ia memang adalah seorang
pejabat di sebuah daerah bagian timur. Banyak orang yang menentangnya
kemudian mati menggenaskan. Suma Sun yang mendengar hal ini kemudian
mencarinya dan membunuhnya.

Orang seperti Suma Sun, walaupun sering kali tidak perduli dengan urusan
orang lain, tetap akan tergerak hatinya jika mendengar rintihan rakyat
jelata. Itulah sebabnya ia menempuh perjalanan cukup jauh hanya untuk
membunuh Bu Seng Lam.

Tapi Bu Seng Ti? Pemuda itu belum tentu bersalah. Ia hanya membalaskan
dendam keluarganya. Bagi Suma Sun, seorang anak yang membalas dendam
kematian anaknya adalah anak yang berbakti. Tak perduli seberapa bejat
perbuatan ayahnya.

Luk-totiang, apakah totiang mengenal ilmu pedang pemuda tadi? tanya


Suma Sun.

Aku hanya bisa menebak. Gerakannya seperti jurus-jurus awal Pedang


Pengacau Lautan milik keluarga Kim jawab Luk Ping Hoo.

Aku pernah mendengar tentang keluarga itu, tapi belum pernah bertemu
dengan mereka. Ilmu pedang yang hebat. Puji Suma Sun. Lanjutnya, Jika
pemuda itu melatihnya selama 20 tahun, aku pasti akan sangat kesulitan
menghadapinya.

Keluarga Kim adalah keluarga pejabat istana yang juga terkenal karena
ilmu pedang dan goloknya. Hanya anggota keluarga yang boleh mempelajari
ilmu itu. Berarti kemungkinan besar pemuda itu adalah menantu keluarga
Kim.

Suma Sun sendiri memang sangat tertarik menjajal ilmu pedang keluarga
itu. Sayang karena berbagai urusan, ia belum sempat mencari mereka.
Pertarungannya dengan pemuda Bu Seng Ti itu sedikit banyak membuatnya
bisa mengira-ngira seberapa dahsyat ilmu pedang dan golok mereka.

Kadang-kadang yang membuat Suma Sun semakin bersedih adalah, ilmu


pedangnya. Ilmu pedangnya tercipta hanya untuk membunuh. Ia tidak
mengenal cara lain dalam bertanding selain membunuh orang.

Jurus pedangnya memang hanya untuk membunuh

Tiba-tiba muncul seorang wanita. Matanya sembab dan wajahnya memerah.

Apakah aku terlambat? tanyanya

Nona siapa? tanya Ang Lin Hua.

Di mana Ti-ko (kakak Ti)? si nona malah balas bertanya.

Maksudmu Bu Seng Ti? tanya Ang Lin Hua.

Ya

Dia Ang Lin Hua tidak berani menjawab. Matanya hanya menatap ke
kuburan yang baru saja dibuat itu.

Ti-ko. Nona itu berlari menghambur dan menjatuhkan dirinya di atas


kuburan.

Ti-kokenapa kau tidak mendengar aku..oh Ti-ko..bagaimana dengan calon


bayi di perutku ini Ti-ko? ia menangis lama sekali. Menimbulkan keharuan
orang yang menonton.

Orang-orang semakin banyak berkumpul melihat kejadian ini. Sebagian dari


mereka berharap akan ada keramaian lagi.

Si nona lalu bangkit berdiri,

Kau pasti Suma Sun

Sudah dua kali Suma Sun mendengar orang berkata seperti ini hari ini. Dan
yang pertama sudah menuju alam baka.

Benar

Kenapa kau membunuhnya?

Karena ia ingin membunuhku jawab Suma Sun datar dan dingin.

Ciiihh..pendekar besar membunuh seorang pemuda ingusan. Kata nona itu


dingin.

Di pundaknya tersanding pedang. Ia telah mencabutnya.

Kau anggota keluarga Kim? tanya Suma Sun.

Suma tayhiap, jangan membunuh orang kata Luk Ping Hoo mencoba
mengingatkan.

Tapi entah kenapa kata-kata ini terdengar lucu jika diucapkan kepada Suma
Sun. Seperti meminta matahari berhenti bersinar dan bumi berhenti
berputar.

Nona itu pun melayang. Lentingannya cepat. Pedangnya sudah membentuk


ratusan rintik-rintik pedang yang menghujam tubuh Suma Sun.

Sinar pedang ini seperti air bah yang tanpa celah, dan tanpa cela.

Ilmu pedang hebat Suma Sun tersenyum. Entah bagaiman ia telah lolos
dari serangan berbahaya itu. Tapi si nona tidak memberikan kesempatan
sedikitpun bagi Suma Sun untuk mengeluarkan pedangnya. Dalam sekejap
mata, pedangnya telah menyabet tiga tempat sekaligus hampir secara
bersamaan. Tenggorokan, dada, dan pinggang.

Kilatannya membuat pedang ini bersinar ditimpa sinar matahari.

Sekali lagi Suma Sun mampu menghindari serangan itu.

Nona itu pun semakin memperhebat serangannya. Kini pedangnya telah


membentuk sebuah sinar lebar yang membelah dari sisi kiri ke bagian bawah
sisi kanan.

Suma Sun tahu ilmu pedang seperti ini amat sangat susah dilatih dan
dikuasai. Karena gerakannya cepat dan tiba-tiba, serta memiliki perubahan
yang sekejap mata. Kedahsyatan tenaga yang terkandung di dalamnya pun
bahkan bisa memotong sesuatu tanpa perlu menyentuhnya.

Sejumput rambut Suma Sun terpotong oleh angin pedang itu.

Ia malah tersenyum. Sepanjang hidupnya baru kali ini ada orang yang bisa
menyentuh bagian tubuhnya dengan pedang. Walaupun hanya seujung rambut.

Ia menghindar dan menghindar. Pedang itu bagaikan naga yang meliuk-liuk


mengelilingi tubuh Suma Sun.

Tak ada celah kosong bagi Suma Sun untuk menyerang. Bahkan untuk
mengeluarkan pedang sekalipun ia tidak sempat.

Tubuhnya banyak tergores lecet karena angin dari pedang itu.

Tapi ia malah tertawa gembira.

Sepanjang hayatnya, baru kali ini Suma Sun tertawa gembira.

Ia bergerak meliuk-liuk mengikuti liukan pedang si nona. Tubuhnya


tergores disana-sini tapi ia menikmatinya.

Seperti seorang pemusik handal yang menemukan teman bermain.

Seperti seorang sastrawan yang bertemu kawan diskusi.

Ilmu pedang ini sudah sempurna tukas Suma Sun sambil tertawa.

Ia memuji ilmu pedang lawan dengan bahagia. Padahal pedang lawan sedang
mengincar nyawanya.

Nona itu menyabet dan menyabet. Sepertinya pekerjaan yang paling berarti
dalam hidupnya adalah membunuh orang dihadapannya ini.

Hebat! Suma Sun memuji.

Setiap serangan yang datang menggores tubuhnya.

Setiap goresan itu menghasilkan pujian yang keluar dari mulut Suma Sun.
Sepertinya ia tak menyangka, lawan tangguh yang sanggup menandinginya
adalah seorang perempuan yang bersedih baru ditinggal mati suaminya.

Sempurna! Sempurna!

Sudah puluhan jurus mereka lewati. Puluhan kali pula Suma Sun memuji.

Sudah puluhan goresan pula di tubuhnya.

Hingga di suatu ketika, pedangnya keluar. Saat yang ditunggu tunggu pun
tiba.

Entah bagaimana kesempatan itu bisa datang. Padahal tiada celah sedikit
pun dari sejak pertama nona itu menyerang.

Satu kilatan pedang Suma Sun jauh lebih cepat, lebih ganas, dan lebih
menakutkan ketimbang puluhan serangan si nona tadi.

Kilatan itu bersinar dengan terangnya.

Tidak ada darah dan suara.

Tapi kali ini juga, untuk pertama kalinya, tidak ada kematian.

Pedang nona itu telah terlepas dari tangannya. Entah bagaimana caranya
Suma Sun telah berhasil menepis jatuh pedang itu.

Baru kali ini sepanjang sejarah hidupnya, pedang Suma Sun tidak mencicipi
kematian lawan.

Kau pergilah nona. Berlatihlah lebih keras. Dalam 12 tahun, kau mungkin
akan bisa mengalahkanku kata Suma Sun tenang.

Ia membalikkan tubuhnya. Pergi meninggalkan nona itu.

Si nona dengan cepat memungut pedangnya dan menusukkan pedang itu ke


punggung Suma Sun.

Sebuah gerakan yang teramat sangat cepat, dan datangnya dari belakang
pula.

Tapi sebelum Suma Sun menghindar, pedang itu telah patah menjadi tiga.
Disambit sebuah senjata rahasia dari jarak jauh.

Seseorang setengah baya sudah muncul di situ.

Ayah! seru si nona.

Diam kau! Mulai saat ini, kau ku larang menggunakan pedang kata pria
setengah baya itu. Ia berbicara dengan tenang namun tatapan matanya tajam
dan menusuk.

Kim-tayhiap, salam kata Suma Sun menjura.

Salam balas orang tua yang dipanggil Kim-tayhiap itu. Lanjutnya,

Kau maafkanlah perbuatan putriku. Sejak saat ini, ku jamin ia tak akan
menggunakan pedang lagi

Sebagai pendekar pedang yang benar-benar mencintai ilmu pedangnya, Kimtayhiap sangat menjunjung tinggi ilmu pedang. Pedang bukan untuk dipakai
membokong dari belakang.

Oleh karena itu Suma Sun hanya tersenyum.

Tapi ayah, keparat itu yang membunuh Ti-ko kata si nona sambil terisak.

Suamimu itu mati karena kecerobohannya sendiri. Semua orang yang melatih
ilmu pedang tahu, bahwa jiwanya sudah dijual saat ia memulai belajar
memainkan pedang. Jawab Kam-tayhiap.Kau pulanglah bersamaku

Sambil berkata begitu si kakek menjura, lalu berkata,

Kita akan bertemu lagi nanti, Suma-tayhiap

Pasti, Kim-tayhiap

Ayah, bagaimana dengan jasad Ti-ko?

Suruh orang-orang kita mengurusnya lelaki tua itu berkata tanpa menoleh
dan menghilang di balik kerumunan orang-orang.

Dengan cepat orang-orang keluarga Kim telah membongkar kuburan baru itu
dan mengurus jasad Bu Seng Ti. Suma Sun memperhatikan dengan khidmat dan
penuh hormat.

Nona itu beserta rombongan kemudian pergi dari situ. Keramaian kemudian
memudar dan semua orang kembali ke urusan masing-masing.

Suma Sun termenung.

Untuk pertama kalinya pedangnya menyelamatkan nyawa. Bukan untuk


mengambil nyawa.

Ada perasaan aneh yang timbul di hatinya. Perasaan yang tidak pernah ia
rasakan sebelumnya.

Ini bukan bukan hanya tentang pedang. Tetapi juga tentang.

Ah, Suma Sun tidak berani berpikir lebih jauh.

Bab 63 Ketika Manusia Menjadi Manusia

Matahari sore memerah. Langit mulai menghitam. Rembulan pun sudah mulai
terlihat jelas. Suma Sun masih terpaku duduk menatap kaki langit.
Walaupun daerah situ masih ramai, setidaknya ia sudah tidak menjadi pusat
perhatian lagi.

Ia duduk di bawah pohon. Luk Ping Hoo dan Ang Lin Hua membiarkannya
sendirian. Mereka berdua kini malah kembali ke warung tadi dan memesan
arak.

Kao Ceng Lun berkata kepada Lie Sat,

Hari sudah gelap, kau ingin kita melanjutkan perjalanan atau menginap
saja?

Cio San melirik Suma Sun sebentar lalu berkata,

Kita menginap saja siauya, toh hari sudah gelap. Lebih baik beristirahat
mengumpulkan tenaga kata Cio San alias Lie Sat.

Usul yang bagus kata Kao Ceng Lun sambil tersenyum. Ia memang hampir
selalu tersenyum. Senyumnya pun menyenangkan. Seperti senyuman anak-anak.

Setelah membayar, mereka keluar dan menuju rimbunan pohon yang berada di
samping warung tadi. Suma Sun duduk tidak jauh dari situ.

Eh, Lie-ko. Kira-kira apa yang ada dalam pikiran Suma Tayhiap? kata Kao
Ceng Lun sambil berbisik. Ia takut suaranya terdengar Suma Sun.

Entahlah. Pendekar seperti dia, mungkin sedang menciptakan jurus-jurus


baru hasil dari pertarungannya tadi

Bisa jadi

Mereka duduk berbaring di bawah pohon. Menikmati hari yang telah perlahan
menjadi malam.

Tiba-tiba Suma Sun bangkit dan menghampiri mereka,

Nama cayhe Suma Sun, siapa kah nama ji-wi (tuan berdua) yang terhormat?
tanyanya sopan.

Baru kali ini Suma Sun bersikap ramah sepanjang hidupnya.

Mereka lalu berdiri dan balas menjura,

Nama boanpwee adalah Kao Ceng Lun dan in adalah sahabat boanpwee, Lie
Sat koko (kakak) jawab Kao Ceng Lun.

Lie-sat? haha, pilihan nama yang bagus Suma Sun tersenyum. Senang
berkenalan dengan ji-wi

Wah, kamu sungguh merasa terhormat Suma-tayhiap mau menyapa kami dan
berkenalan kata Kao Cen Lung.

Ah, tidak berani-tidak berani. Menilai dari langkah Kao-enghiong yang


hampir sulit terdengar, cayhe pastikan ilmu Kao-enghiong sudah tinggi
sekali. Apakah enghiong punya hubungan dari keluarga Kao yang terhormat
dari Hokkian?

Aih, memang pengetahuan tayhiap sangat luas dan berpikiran tajam. Memang
boanpwee adalah salah satu putra dari keluarga Kao. Katanya tersenyum.

Suma Sun tidak bertanya tentang Lie Sat ia hanya tersenyum dan
mengangguk.

Eh bagaimana jika tayhiap bergabung dengan kami? Ada beberpa guci arak
yang boanpwee bawa sebagai bekal tawar Kao Ceng Lun

Terima kasih. Bolehkah ku undang 2 orang sahabatku juga?

Tentu saja, tayhiap tukas pemuda ramah itu.

Suma Sun lalu berjalan memanggil Ang Lin Hua dan Luk Ping Hoo. Ia tidak
menggunakan ilmu mengirimkan suara seperti yang biasa digunakan pendekarpendekar untuk bercakap-cakap dari kejauhan.

Kelima orang itu lalu duduk menikmati arak dan bercengkerama. Kao Ceng
Lun yang pembawaannya memang menyenangkan, selalu menceritakan kisahkisah lucu dan menarik hati.

Cio San heran. Baru kali ini ia melihat Suma Sun begitu gembira dalam
hidupnya.

Setelah lama mengobrol mereka pun tidur. Apa adanya beralaskan rumput dan
beratapkan langit. Hanya rimbunan pohon yang menaungi mereka. Untungnya
rombongan ini tidak sendirian. Ada beberapa rombongan lain yang
memutuskan untuk tidur di sekitar sana tak jauh dari mereka.

Setelah semua sudah tertidur, Suma Sun mengeluarkan Khi-kang (ilmu suara)
nya. Ilmu mengirimkan suara ini hanya bisa didengar oleh orang yang
dimaksud oleh si pengirim suara. Ilmu ini mengandalkan Khi-kang yang
sangat tinggi. Di dunia Kang ouw, ilmu ini cukup umum. Banyak pendekar
kelas atas yang mampu melakukannya.

Tentu saja Suma Sun mengirimkan suara kepada Lie-sat alias Cio San.

Mari ikut aku

Suma Sun lalu beranjak dari situ.

Tak lama kemudian Cio San menyusulnya.

Gerakan Suma Sun sangat cepat dan terdengar suara. Hanya sekejap saja ia
sudah berada cukup jauh dari sana. Setelah dirasa aman dan tak ada orang,
ia baru berhenti.

Tak lama kemudian Cio San sudah berada di situ pula.

Kau sudah datang? Mana Cukat Tong? tanya Suma Sun sambil tersenyum.

Haha. Tikus pun mungkis tidak bisa sembunyi dari kau tukas Cio San
sambil tersenyum.

Sekali dengar suaramu, tentu ku tahu siapa kau. Kau sedang menyamar ya?

Ya

Pantas sejak tadi kau tidak menyapa kami, dan Kao Ceng Lun pun
memanggilmu Lie Sat

Cio San tersenyum. Suma Sun pun tersenyum.

Udara gunung yang dingin menusuk tulang serasa hangat ketika Suma Sun
tersenyum. Karena senyumnya lahir dari jiwa. Bukan senyum kepura-puraan.

Kau tadi menyaksikan pertarunganku bukan? tanya si dewa pedang.

Hmm

Bagaimana pendapatmu? tanyanya lagi

Pertarungan itu merubah hidupmu

Benar sekali

Dari seluruh makhluk yang ada di kolong langit, hanya kepada Cio San lah
Suma Sun bertanya tentang ilmu silat. Bukan karena Cio San adalah pesilat
hebat, tetapi karena Cio San adalah sahabat baiknya.

Kadang-kadang di dalam hidup ini, hanya ada sedikit orang yang benarbenar bisa hidup menembus jantung, hati, dan pikiran. Terhadap orangorang ini, kau bahkan rela mempercayakan hidupmu.

Bagaimana ilmu pedang kedua suami istri muda itu? tanya Sum Sun.

Sempurna

Kau benar lagi

Tapi kau sanggup mengalahkan mereka bukan? Itu berarti ilmumu jauh lebih
sempurna dari mereka kata Cio San.

Yang kukalahkan adalah orangnya, bukan ilmunya. Jika ada pendekar lain
yang menggunakan ilmu itu dengan sebaik-baiknya, aku pasti akan mati

Kau benar, tapi kau mungkin salah juga. Aku tahu kau tadi kewalahan
menghadapi ilmu pedang mereka. Terutama ilmu pedang nona itu. Tapi kau
berhasil mengalahkannya. Dengan memuji-muji ilmu dan gerakannya, kau
membuat hatinya menjadi bangga. Sedikit kebanggaan itu membuat nona itu
sedikit lupa daratan, dan ilmu pedangnya malah mengendur sedikit. Begitu
celah yang sedikit itu ada, pedangmu lantas bergerak. Tapi kau tetap saja
salah

Aku salah di bagian mana? tanya Suma Sun tak mengerti.

Ilmu baru bisa dibilang sempurna, jika orang yang menggunakannya bisa
menggunakannya sebaik-baiknya

Suma Sun mengangguk.

Aku memang sejak tadi berfikir tentang itu

Lama ia terdiam, lalu melanjutkan,

Bahwa ilmu pedang ternyata bukan segala-galanya di dunia ini

Jika kata-kata itu lahir dari bibir orang lain, Cio San tak akan sekaget
ini. Walaupun ia telah menyangkan Suma Sun pasti akan sampai kepada
pemahaman ini, mau tak mau ia tetap kaget.

Seorang dewa pedang mengatakan bahwa pedang bukanlah segala-galanya di


dunia ini?

Jika pedang bukan segala-galanya, lalu apa?

Manusia

Jawabnya singkat.

Ketika ku lihat nyonya muda itu menyerangku dengan segenap jiwa raganya,
aku baru mengerti ternyata di dunia ini ada hal yang lebih indah dari
pedang

Ia mengorbankan dirinya. Ia rela melanggar kehormatan pendekar pedang,


karena cintanya kepada suaminya

Kau yakin itu bukan karena dendam? tanya Cio San

Dendam itu bukankah lahir dari cinta juga?

Mereka berdua memandang jauh.

Jika cinta melahirkan dendam, lalu apakah cinta itu sendiri? Mampukah
dendam melahirkan cinta juga?

Inilah Yin-Yang.

Dua sisi berbeda yang saling terikat. Saling mempengaruhi. Berbeda tapi
saling membutuhkan.

Untuk pertama kalinya di dalam hidupku, aku merasakan cinta ia


tersenyum.

Kau jatuh cinta pada nyonya muda itu?

Suma Sun tersenyum lebih lebar,

Kau pikir aku serendah itu? Aku hanya merasa, begitu dalam cinta nyonya
itu kepada suaminya. Selama ini aku membunuh orang. Hanya karena mereka
pantas dibunuh. Bagiku kematian adalah hukuman bagi mereka. Tapi aku tak
pernah berpikir bahwa orang-orang yang kubunuh ini bisa saja memiliki
istri, anak, atau sahabat yang mencintai mereka. Orang-orang yang
kehilangan seseorang yang mereka cintai karena ketajaman pedangku.

Cio San tersenyum. Mungkin dalam hatinya ia berkata, Kenapa kau baru
sadar sekarang?

Tahukah kau, aku sampai kepada pemahaman ini karena engkau dan Cukat
Tong

Kami? Cio San bingung.

Ya. Selama ini aku tidak punya siapa-siapa. Tak ada ayah dan ibu.
Sahabat satu-satunya adalah pedangku. Setelah mengenal kalian berdua,
melihat betapa akrabnya kalian, melihat bagaimana kalian memperlakukanku,

aku baru merasa ternyata ada hal yang indah di dunia ini yang tidak
kusadari sebelumnya

Selama ini kan aku terus yang merepotkan kau dan Cukat Tong. Selama ini
belum pernah aku berbuat sesuatu pun untuk kalian sanggah Cio San.

Justru kalau kau tidak merepotkanku maka kau tak akan ku anggap sahabat
ia tersenyum.

Persahabatan mana yang lebih dalam daripada ini? Saat kau merasa senang
bisa membantu sahabatmu, saat kau merasa bahagia ia meminta sedikit
pengorbanan darimu.

Sahabat seperti ini akan tetap bahagia untukmu saat kau tidak
mengundangnya datang ke pestamu. Tapi ia akan bersedih jika kau tidak
mengabarinya saat kau sedang sakit atau dalam kesulitan.

Aku melakukannya untukmu, karena aku tahu kau akan melakukannya untukku
pula jika aku memintanya sambung Suma Sun.

Cio San terdiam. Suma Sun pun diam.

Karena kadang persahabatan yang paling dalam tidak mungkin diungkapkan


dengan kata-kata.

Kadang-kadang sahabat yang paling tulus kepadamu adalah sahabat yang


jarang berbicara kepadamu.

Karena kau telah mengerti hatinya dan ia mengerti hatimu.

Lama sekali mereka berdua diam.

Suatu saat, aku pasti akan berhadapan dengan Kam-tayhiap, menurutmu,


dinilai dari permainan pedang putrinya, sanggupkah aku mengalahkannya?

Tidak

Suma Sun tersenyum. Ia suka jawaban jujur. Apalagi dari sahabatnya.

Apakah aku akan terbunuh?

Ya

Ia tersenyum dan bertanya, Mengapa?

Karena kau telah kehilangan jiwa pedangmu. Seorang pendekar pedang harus
tanpa perasaan. Yang ada dalam jiwanya hanya pedang. Sahabatnya hanya
pedang. Jika dalam hatimu pedang sudah tergantikan oleh Cio San, Cukat
Tong, atau Ang Lin Hua, maka kau akan kalah

Sambung Cio San,

Selama ini kau telah sampai kepada tahap puncak seorang pendekar pedang.
Kau telah bersatu dengan pedang. Kau bahkan telah berubah menjadi pedang.
Itu karena kau berhasil mengisi jiwamu dengan pedang, dan tidak dengan
hal lain. Namun sekarang? Kau telah kembali menjadi manusia. Manusia
biasa yang memainkan pedang. Kau bukanlah lagi dewa pedang

Suma Sun malah semakin berseri-seri wajahnya,

Jika itu harga yang harus ku bayar karena bersahabat dengan kalian, aku
rela

Air mata menetes di pipi Cio San.

Ia menyesal telah berkata terlalu jujur kepada sahabatnya ini. Seharusnya


ia menguatkan hati si sahabat. Tetapi ia malah mengucapkan kata-kata yang
menurunkan semangatnya.

Tapi ia tahu Suma Sun lebih menghargai kejujuran daripada kata-kata


manis.

Kali ini kau salah dalam satu hal kata Suma Sun.

Apa?

Puncak tertinggi ilmu pedang, tidak terletak pada Manusia menjadi


pedang

Lalu?

Terletak pada manusia menjadi manusia

Cio San terhenyak. Hanya orang-orang tercerahkan yang sanggup sampai


kepada pemahaman ini.

Bukankah ini kembali kepada obrolan mereka di awal tadi? Bahwa


kesempurnaan suatu ilmu terletak kepada orangnya, dan bukan kepada
ilmunya.

Itulah mengapa manusia menjadi makhluk yang berkuasa di bumi. Saat mereka
menggunakan akal pikirannya. Itulah yang membuat manusia lebih unggur
daripada makhluk lain.

Saat manusia menjadi manusia.

Karena puncak tertinggi kemanusiaan, tidak terletak pada tingginya


pangkatnya, banyaknya hartanya, dalamnya ilmunya. Tetapi terlatak pada
kemanusiaannya. Pada kelemahannya. Pada sifat-sifatnya. Pada akal
pikirannya.

Begitu sederhana!

Tapi juga begitu sukar dipahami.

Cio San tak bisa berkata-kata.

Ia hanya bisa menjura.

Lalu bibirnya mengucap, Tayhiap

Suma Sun menetaskan air mata. Jika kata pendekar besar itu terucap dari
bibir Cio San kepadanya, seolah-olah tuntaslah semua urusannya di muka
bumi ini. Seolah-olah lengkaplah arti kehidupannya di kolong langit ini.

Dua sahabat. Empat tetesan air mata dari dua pasang mata yang tulus.

Malam semakin gelap dan udara semakin dingin. Tetapi jika kau memiliki
sahabat karib, rasa-rasanya cukup untuk menghangatkanmu sepanjang hayat.

Mari kita kembali

Mereka berjalan dengan santai dan sambil tersenyum.

Ketika mereka sampai kembali ke tempat rombongan mereka tidur, ternyata


keadaan sudah ramai. Tentu saja semua orang sudah terbangun.

Ada apa? tanya Suma Sun

Kam-tayhiap mengirimkan surat terbuka kepada Suma-tayhiap kata Ang Lin


Hua.

Apa isinya? tanya si dewa pedang lagi

Beliau menantang tayhiap untuk duel hidup mati, di malam sebelum


perebutan Bu Lim Beng Cu

Memangnya selain tersenyum, apa yang bisa dilakukan Suma Sun?

Bab 64 Hujan Kematian

Thay San di waktu sore

Menjelang tengah hari.

Udara di Thay San masih sejuk dan menyegarkan. Ribuan orang Kang Ouw yang
datang ke sana kini diributkan oleh surat terbuka Kam-tayhiap kepada Suma
Sun. Sekarang saja kabar ini telah menyebar sampai hampir meliputi
seluruh pengunjung Thay San.

Suma Sun hanya duduk di sebuah batu karang besar yang menghadap ke tepi
jurang. Sahabat-sahabatnya pun tidak berani mengganggunya. Mereka
mengerti bahwa tantangan ini adalah tantangan kematian. Mereka hanya bisa
duduk bercengkerama di bawah sebuah pohon, tak jauh dari Suma Sun.

Dewa pedang berambut merah.

Julukan yang jika didengarkan saja membuat jiwa takluk dan hati tergetar.

Kini rambut kemerah-merahan itu tertiup angin pegunungan yang dingin.


Manusia yang dulu hatinya begitu dingin dan jiwanya begitu kesepian itu
kini telah berubah menjadi begitu hangat. Kehangatan itu bahkan menutupi
angin yang menghembus tubuhnya.

Matanya bersinar terang. Walaupun kegelapan menyelimuti kedua mata itu,


namun bisa dibilang Suma Sun jauh lebih awas daripada manusia bermata
manapun. Wajahnya yang dulu kaku kini malah terlihat ramah dan bahagia.
Padahal sebuah tantangan terberat dalam hidupnya sedang dihadapinya.

Kim Sin Kiam atau yang lebih dikenal sebagai Kim-tayhiap, adalah dewa
pedang terkemuka pada jamannya. Sejak turun temurun keluarga Kim dikenal
sebagai keluarga yang sangat menakutkan ilmu pedangnya. Bahkan nama Kim
Sin Kiam berarti adalah Pedang Sakti. Sejak kecil Kim Sin Kiam telah
berlatih ilmu pedang keluarganya dan telah benar-benar menguasainya. Di
umurnya yang lebih dari setengah abad, pendekar besar ini boleh dikatakan
sebagai pendekar pedang paling hebat setelah pendekar pedang kelana, Can
Li Hoa.

Inilah lawan yang akan dihadapi Suma Sun. Ilmu pedang keluarga Kim yang
tersohor sejagad raya itu memang sungguh hebat. Bahkan anak perempuan
keluarga Kim saja hampir tidak mampu dilawannya. Apalagi sang Kim Sin
Kiam sendiri?
Tapi Suma Sun tidak khawatir. Ia pun tidak gentar. Ia tidak sedih atau
bahkan takut. Ia malah sungguh berbahagia. Karena sejak dulu ia memang
merindukan lawan yang setara dengan dirinya. Pertarungan-pertarungan yang
sejak dulu sampai sekarang telah dilaluinya, sebenarnya adalah jalan
untuk mengasah dirinya menghadapi pertemuan ini. Pertemuan dengan dewa
pedang yang lain.

Untuk menentukan siapa dewa pedang sesungguhnya.

Manusia siapapun jika menghadapi situasi seperti ini, pikirannya tidak


boleh kacau. Jiwanya harus tenang dan lapang. Di dalam kepala hanya boleh
terisi pertarungan ini. Ia harus menyendiri sekian lama agar bisa
mengosongkan pikiran dan jiwanya. Suma Sun hanya punya waktu 4 hari untuk
melakukannya.

Kini ia pun sedang mengosongkan jiwa dan pikirannya di tepi jurang


pegunungan ini.

Tapi ia tidak butuh 4 hari. Ia hanya butuh beberapa jam. Karena sekarang
ia telah bangkit dan berdiri. Lalu ia tersenyum kepada sahabatsahabatnya. Senyum yang paling hangat yang pernah mereka lihat.

Selesai? Luk Ping Hoo bertanya.

Selesai jawab Suma Sun. Senyumnya semakin lebar.

Tayhiap telah memecahkan rahasia jurus-jurus Kim-tayhiap? tanya Luk


Ping Hoo lagi.

Suma Sun hanya tersenyum, dan tidak menjawab.

Pendekar pedang setingkat dewa seperti dirinya, sepertinya sudah paham


bahwa ilmu pedang lawan hanya untuk dihadapi, bukan untuk dipikirkan.

Pendekar setingkat Luk Ping Hoo, yang bahkan telah pernah menjadi Pangcu
dari Kay Pang pun sepertinya belum memahami rahasia ini. Karena hanya
orang-orang yang menjual hidupnya kepada pedang saja yang bisa
memahaminya.

Hanya orang seperti Suma Sun dan Kim Sin Kiam lah yang benar-benar
memahaminya.

Di muka bumi ini, selain mereka berdua tentunya tak ada seorang pun yang
benar-benar memahaminya.

Bagaimana kalau kita minum arak? ajak Suma Sun masih tetap sambil
tersenyum.

Para sahabatnya mengerutkan alis.

Pertarungan tingkat tinggi haruslah dihadapi dengan pemusatan pikiran


tingkat tinggi. Dengan kondisi tubuh paling baik. Dengan keadaan hati
paling tenang. Karena pertarungan seperti ini, terlambat sepersekian
detik saja atau salah perhitungan satu mili saja, maka akhirnya adalah
kematian.

Mengapa ia malah memilih minum-minum?

Pendekar sehebat apapun, sekuat apapun ia minum arak, pastilah akan


mempengaruhi keadaannya. Bagaimana mungkin ia malah minum-minum. Jarak 4
hari ini seharusnya diisi dengan latihan keras, meditasi mendalam, dan
istirahat yang cukup.

Tapi Cio San cukup tahu diri untuk tidak memperingatkan Suma Sun. Karena
ia percaya sepenuhnya kepada Suma Sun. Bahwa nanti kalah dan menangnya
Suma Sun, ia tidak berhak mencampuri keputusan apapun yang diambil oleh
sahabatnya itu.

Karena baginya, kalah atau menang, mati atau hidup, salah atau benar,
Suma Sun adalah sahabatnya.

Maka ia lah orang pertama yang bangkit berdiri menyambut ajakan Suma Sun
untuk minum arak. ANg Lin Hua, Luk Ping Hoo, dan Kao Ceng Lun pun
akhirnya bangkit mengikuti mereka ke arah warung.

Warung yang memang tidak pernah sepi selama beberapa hari, kini
ketambahan banyak orang yang mendengar kabar bahwa Suma Sun berada di

sekitar situ. Mereka tentunya sejak semalam telah mendengar kabar


tantangan surat terbuka Kim Sin Kiam itu.

Semua orang itu kini memandangnya dengan heran, saat


berguci-guci arak dengan bahagia. Sebagian pandangan
menjadi kecewa, lalu berubah menjadi takut. Sebagian
lain, berubah menjadi senyum kecil dan tawa bahagia.
pertama kali membicarakan hal ini,

Suma Sun menenggak


heran itu berubah
pandangan heran
Kao Ceng Lun yang

Orang-orang ini tentunya telah bertaruh rupanya katanya

Bertaruh? tanya Ang Lin Hua

Ya. Begitu mendengar tantangan Kim-tayhiap kepada Suma Sun, mereka pasti
bertaruh siapa pemenangnya jelas Kao Ceng Lun.

Ang Lin Hua mengangguk mengerti.

Sifat dasar manusia ternyata sama saja. Baik ia menyandang gelar pendekar
atau tidak. Selalu ada celah bagi mereka untuk menarik keuntungan.

Yang berwajah kecewa tentunya yang bertaruh atas nama Suma Sun.

Yang tertawa bahagia tentunya yang bertaruh atas nama Kim Sin Kiam.

Karena dalam pandangan mereka, Suma Sun kini bukan lagi pendekar besar
yang tenang dan dingin dalam menghadapi pertarungan hidup matinya.
Melainkan seorang pengecut penakut yang menenggelamkan diri dalam arak
guna menghilangkan ketakutannya.

Di lihat dari sudut manapun, Suma Sun tetap kalah.

Jika memang ia tidak takut, arak tetap akan melambatkan gerakannya.


Melambatkan pikirannya.

Jika ia memang penakut, tentu saja tidak ada lagi yang perlu dibahas.

Oleh karena itu begitu banyak orang kecewa, namun begitu banyak juga yang
bahagia.

Begitu benar ujar-ujaran orang bijak jaman dulu, bahwa penderitaan orang
lain bisa saja adalah kebahagian orang yang lainnya pula.

Tapi apapun pandangan orang lain terhadapnya, Suma Sun tidak perduli.
Beguci-guci arak telah ditelannya. Wajahnya memerah. Senyumnya semakin
berkembang. Tawanya pun semakin membahana.

Sahabat-sahabatnya pun tidak bisa tidak, harus pula mengiringnya minum.

Urusan minum memang urusan yang paling disukai Cio San. Urusan mati atau
hidup baginya mungkin bisa ditunda. Tapi urusan minum tidak. Apalagi jika
minum bersama sahabatnya.

Luk Ping Hoo, Ang Lin Hua, dan Kao Ceng Lun pun tidak bisa menutupi
kesedihan mereka. Walaupun tetap mengiringi Suma Sun minum dan
bercengkerama. Mereka tidak bisa menutupi kesedihan hati mereka yang
telah paham bahwa Suma Sun kini sedang menghadapi akhir dari hidupnya.

Jika hidup harus berakhir, kenapa tidak memilih menjalaninya dengan


bahagia?

Jauh di lubuk hatinya pun Suma Sun tahu ia tidak mungkin menghadapi
pedang Kim Sin Kiam. Ia masih belum sampai pada tahap manusia menjadi
manusia. Keraguan sekecil apapun yang hadir di hati para dewa pedang,
akan membawa mereka kepada kematian.

Tapi ia tidak takut. Demi langit dan bumi ia tidak takut.

Ia minum-minum pun bukan untuk mengeraskan hati dan membuat dirinya lebih
berani. Ia minum-minum adalah untuk menghargai waktunya yang tersisa
bersama sahabat-sahabatnya.

Ia minum-minum bukan untuk lari dari kenyataan. Ia minum untuk bersenangsenang.

Karena ia telah mengerti arti dari kehidupan. Ia benar-benar telah paham


bahwa pada akhirnya manusia akan mati.

Sesakti dan sehebat apapun ia, ia toh akan mati.

Jadi mengapa berlomba-lomba menjadi yang paling kaya, yang paling hebat,
yang paling dikagumi, jika pada akhirnya manusia akan mati?

Selama ini ia membawa kematian kepada orang lain, jiwanya sepi dan
dingin. Kini saat kematian akan datang menghampirinya ia begitu hangat,
bahagia, dan merasa damai.

Tidak ada seorang pun yang paham isi hati Suma Sun. Mengapa manusia yang
telah mencapai tingkatan dewa seperti itu malah rela menurunkan
derajatnya kembali menjadi manusia biasa. Karena untuk mencapai tahap
dewa, seseorang harus bisa mematikan hatinya, medinginkan perasaannya,
dan menjual kehidupannya kepada pedang.

Tidak mudah untuk menjadi orang seperti itu. Karena hanya orang yang
benar-benar berbakat yang mampu melakukannya.

Orang-orang seperti ini akan menjadi aneh di hadapan orang lain, tapi
tidak ada satu pun manusia yang akan menyangkal betapa mereka telah
berubah menjadi dewa.

Suma Sun telah mencapai tahap ini. Tapi ia melepaskannya dan memilih
menjadi manusia biasa. Yang merasakan duka dan bahagia. Yang memiliki
sahabat, dan teman karib.

Dewa seharusnya berada jauh tinggi di atas sana. Tak ada satu pun manusia
biasa yang menyentuh mereka. Ia seharusnya sendirian. Satu-satunya
sahabatnya adalah pedangnya. Itulah sebabnya kenapa Suma Sun selalu
terlihat kesepian. Tapi kini ia telah memiliki sahabat, memiliki orangorang yang ia cintai. Ia telah menjadi manusia biasa lagi!

Oleh karena itu, dalam pertarungan nanti ia pasti kalah. Manusia biasa
tak akan mampu mengalahkan dewa.

Pemahaman tentang Manusia menjadi manusia yang akan mampu mengalahkan


Manusia menjadi pedang sampai sekarang belum pernah terbukti.

Pemahaman ini hanya berada di angan-angan tapi belum pernah ada


kejadiannya.

Cio San sangat memahami ini. Karena itulah saat Suma Sun mengatakan
tentang pemahaman manusia menjadi manusia ia sebenarnya sangsi. Tapi ia
percaya betul kepada Suma Sun. Bahkan jika Suma Sun salah sesalahsalahnya, ia akan tetap percaya kepada Suma Sun.

Hari telah menjelang sore. Mereka masih minum. Masih bercanda tawa.

Pertaruhan telah berubah menjadi 3 banding 1. Sudah jelas 3 untuk Kim


Sian Kiam dan 1 untuk Suma Sun. Mereka sudah mendengar pertaruhan ini
dari obrolan orang-orang di warung. Tapi mereka tidak perduli.

Karena sahabat yang baik adalah sahabat yang mengingatkanmu akan salahnya
perbuatanmu. Tetapi sahabat yang lebih baik lagi adalah sahabat yang
percaya kepadamu. Terhadap keputusan apapun yang kau buat. Dan percaya
bahwa kau akan bertanggung jawab sepenuhnya atas keputusan-keputusanmu.

Daya tahan orang minum arak itu ada batasnya. Sayangnya batasnya minum
arak Suma Sun dan teman-temannya masih belum terukur. Arak, sahabat,
makanan enak, dan candaan. Rasa-rasanya sudah cukup sebagai alasan untuk
menjadi bahagia.

Pengunjung warung datang dan pergi. Melihat keadaan Suma Sun yang seperti
ini, tentu saja mengundang kehebohan. Banyak yang tidak percaya jika
gentong arak di hadapan mereka ini adalah dewa pedang yang namanya
begitu ditakuti.

Malam telah datang dan warung pun semakin ramai. Kabar bahwa Suma Sun
sedang mabuk-mabukan di warung ini dengan sahabatnya, membuat orang
semakin berdatangan ke warung ini. Pasar taruhan pun memanas. Kini
taruhan telah berubah menjadi 5 banding 1. Melihat keadaan Suma Sun
seperti ini, banyak orang yang menaruh harapan taruhan padanya yang
kecewa, bahkan menjadi sedikit gila. Awalnya banyak yang bertaruh atas
namanya. Taruhan pun berupa apa saja. Uang, tanah, rumah, bahkan ada pula
yang bertaruh dengan taruhan aneh seperti jika kalah akan jadi budak
selama setahun kepada yang menang. Ada juga yang bertaruh jika kalah akan
salto sebanyak mungkin selama satu jam. Orang-orang Kang Ouw memang
sering berlaku aneh.

Jika kini taruhan menjadi 5 banding 1, seharusnya agak sedikit


mengherankan. Karena jika dilihat dari keadaan Suma Sun yang sedang
bersenang-senang dengan arak, seharusnya tak ada seorang pun yang
bertaruh atas namanya. Tapi yang namanya orang bertaruh, selalu saja ada
yang bertaruh dengan nasib. Mereka ini memilih pilihan yang paling tidak
dipilih orang, sehingga jika menang keuntungan mereka akan berlipatlipat.

Suma Sun sendiri seperti tidak perduli. Ia bahkan mentraktir minum orangorang. Mereka yang bertaruh atas nama Kim Sin Kiam malah juga ikut urun
membelikannya arak agar dia semakin mabuk. Ang Lin Hua yang kesal melihat
keadaan itu, menegur

Tuan-tuan, harap jangan ikut menambah ruwet suasana

Ruwet bagaimana, Suma-tayhiap kan sedang bersenang-senang. Kami pun


turut berbahagia jika beliau senang kata salah seorang.

Orang ini badannya ceking. Kukunya panjang dan menghitam. Jelas-jelas


orang ini menguasai sejenis ilmu cakar beracun.

Ang-siocia, biarkan saja, jangan kau usik teman-teman baruku kata Suma
Sun sambil tersenyum.

Karena tidak tahan, Ang Lin Hua pun pergi dari situ. Ia keluar warung dan
pergi ke padang rumput untuk mencairkan suasana hatinya.

Ia memang tidak tega melihat keadaan Suma Sun. Jika menuruti kehendaknya,
ia ingin sekali melarang Suma Sun untuk minum. Tapi memangnya dia siapa?

Kao Ceng Lun bergegas menyusul nona berambut putih ini,

Ang-liehiap serunya pelan.

Ang Lin Hua menoleh. Air mata mengembeng di matanya. Bagaimanapun ia


tidak ingin kehilangan Suma Sun.

Kao-enghiong balasnya.

Mereka hanya bisa saling menatap. Kao Ceng Lun pun hanya bisa tersenyum.
Ia lalu berkata,

Kira-kira apa yang bisa kita lakukan untuk menolong Suma-tayhiap?


Keadaannya begitu memprihatinkan

Ang Lin Hua tidak bisa berkata apa-apa. Karena memang sesungguhnya tidak
ada satu hal pun yang dapat mereka lakukan.

Rembulan di langit yang hitam. Bersinar penuh kelembutan. Dua orang


manusia duduk tanpa suara. Angin menghembus begitu dingin. Tapi masakah
mampu lebih dingin dari hati manusia?

Rasa kehilangan atau takut kehilangan, kadang membuat manusia begitu


rapuh. Padahal jika manusia tahu bahwa pada hakekatnya mereka tidak
memiliki apa-apa, bukankah dunia tak akan semuram ini?

Lama mereka duduk di sana. Hingga kini terdengar bahwa taruhan telah
mencapai 7 banding 1. Keadaan Suma Sun sudah hampir terdengar oleh
seluruh orang Kang Ouw yang datang ke Thay San. Mengetahui hal ini Kao
Ceng Lun dan Ang Lin Hua segera kembali ke warung tadi.

Begitu kembali ternyata Suma Sun sudah tidur dengan nyenyaknya di atas
sebuah bangku panjang. Luk Ping Hoo tetap duduk di sampingnya menjaga
pendekar itu. Lie Sat entah ke mana.

Tayhiap, ke mana sahabat boanpwee? tanya Kao Ceng Lun.

Entahlah. Ia buru-buru pergi. Katanya ada urusan yang harus ia


selesaikan.

Kemana perginya Cio San?

Ia ternyata pergi mencari Kim Sian Kiam.

Tidak susah mencari keberadaannya. Tenda mewah tempat ia beristirahat


ternyata ramai di kelilingi orang-orang kang Ouw yang ingin tahu
perkembangan cerita pertarungan ini.

Ia sesungguhnya khawatir dengan nasib Kim Sin Kiam.

Jika orang hampir seluruhnya bertaruh atas namanya, lalu kemudian ia


celaka, bukankah yang paling berbahagia adalah mereka yang bertaruh atas
nama lawannya?

Oleh sebab itu Cio San sungguh-sungguh khawatir.

Orang-orang Kang Ouw yang sudah terlanjur bertaruh sudah sangat banyak.
Orang-orang yang bertaruh atas nama Suma Sun pun tentunya ingin Kim Sin
Kiam kalah. Bagaimana caranya ia kalah, padahal ilmu pedangnya telah
mencapai tahap dewa, dan Suma Sun pun kini sedang berleha-leha dengan
arak.

Satu-satunya cara agar Kim Sin Kiam kalah adalah adalah dengan
mencelakainya. Meracuninya. Atau apa saja. Agar ia lemah, dan kalah dalam
pertarungan nanti.

Orang yang berpikiran seperti ini untungnya bukan Cio San saja. Makanya
di sekitar tenda Kim Sin Kiam sudah banyak sekali orang Kang Ouw yang
berjaga-jaga.

Daerah itu terang benderang dengan cahaya beberapa obor. Tenda mewah itu
terlihat sangat mengesankan. Ukuran tenda itu besar juga. Cukup untuk
menampung Kim Sin Kiam dan rombongan. Beberapa anak buahnya berjaga-jaga
di sekeliling tenda.

Lama juga Cio San duduk di sana.

Walaupun banyak orang berada di sana, suasana tetap langgeng dan khidmat.
Siapapun memang tidak berani buka suara lantang-lantang jika ada Kim Sin
Kiam di sekitarnya.

Telingan Cio San yang sangat tajam mendengar suara desingan.

Serta merta ia memperingatkan,

Awas senjata rahasia! Ribuan senjata rahasia berupa jarum beracun yang
sangat kecil disambitkan dengan sangat cepat. Senjata ini datang bagaikan
tumpahan air hujan lebat dari atas langit. Walaupun semua orang yang
berada di sana adalah mereka yang berada di tingkat silat kelas tinggi,
tak urung banyak juga yang terkena sambitan ini.

Cio San walaupun sanggup menghindarnya dan menepis ribuan jarum yang
menghujam mereka itu dengan angin pukulannya, tak urung merasa sangat
kesulitan karena ia khawatir senjata itu akan mental dan melukai orang
lain. Ia hanya bisa menghindar dan sesekali menepis jarum-jarum laknat
itu.

Terdengar teriakan kesakitan dari puluhan orang yang terkena sambitan.


Sedangkan mereka yang bisa menghindar hanya bisa mengeluarkan suara
keluhan karena ribuan senjata itu seperti tak habis-habis banyaknya.

Secara refleks Cio San melihat ke arah tenda Kim Sin Kiam. Tenda itu tak
luput dari hujaman jarum beracun. Malah jarum beracun itu banyak pula
yang mental keluar dari tenda Kim Sin Kiam. Bisa di tebak, pasti dewa
pedang itu sedang menghalau jarum-jarum itu dengan pedangnya pula.

Ada beberapa saat lamanya baru serangan ganas itu berhenti. Puluhan orang
tergeletak dan mengerang kesakitan. Jarum ganas itu saking beracunnya
sampai meninggalkan bau busuk di udara. Cio San berhati-hati. Ia berjagajaga jangan sampai serangan itu berlanjut lagi.

Semua orang yang masih bertahan pun melakukan hal yang sama.

Sunyi.

Sepi.

Senyap.

Bahkan suara erangan kesakitan pun sudah mulai menghilang.

Racun itu sangat ganas sampai-sampai mengeluarkan suara pun sangat


menyakitkan!

Saudara-saudara, harap tetap waspada. Hati-hati melangkah karena jarumjarum itu banyak yang menempel di tanah kata Cio San memperingatkan yang
dibalas dengan anggukan mereka yang masih selamat.

Tak ada seorang pun yang berani bergerak, karena keadaan di sana gelap
gulita. Beberapa obor yang ada di sana sudah padam.

Salah seorang kemudian menyalakan api, karena kebetulan ia memang membawa


batu api. Dengan sangat hati-hati ia menggunakan sobekan kain bajunya
sebagai obor. Dengan adanya tambahan cahaya sekecil ini, Cio San kemudian
bergerak. Hal yang pertama ia lakukan adalah menyalakan obor-obor yang
lain.

Begitu daerah sana terlihat terang benderang, semua orang baru terasa
agak lega. Bairpun sampai sekarang mereka belum berani bergerak,
setidaknya dengan adanya penerangan membuat mereka terasa lebih leluasa.

Hanya Cio San yang berani bergerak.


Ia duduk berjongkok dan mulai menggerakan tangan. Gerakan tangan yang
lembut itu adalah sebuah jurus Butong Pay bernama Pelajar Memintal
Huruf. Sebuah jurus unik ciptaan Thio Sam Hong yang didasari gerakan
menenun dan menulis huruf kaligrafi tionggoan.

Karena dulu Cio San tidak pernah mempelajarinya dengan tuntas, secara
iseng ia menggabungkan jurus itu dengan juus ular derik miliknya. Dengan
menggunakan angin pukulannya, ribuan jarum di tanah dengan lembut tecabut
dari tanah. Ia melakukannya sambil melangkah maju, sehingga gerakan jurus
itu seperti membersihkan jalannya dari ribuan jarum beracun itu.

Cio San melakukannya dengan sangat hati-hati. Jarum jarum terangkat


dengan lembut dan perlahan-lahan. Angin lembut dari gerakan tangan Cio
San ini membuat jarum-jarum bergerak seperti ada tali yang menyambungkan
jarum-jarum itu dengan jari-jarinya.

Segera setelah seluruh tempat itu ia bersihkan dari jarum-jarum laknat


itu, baru semua orang lega dan bergerak, walaupun dengan agak sedikit
berhati-hati.

Cio San segera mendekati orang-orang yang terkapar di tanah. Keadaan


mereka sungguh memperihatinkan. Hampir semua sedang meregang nyawa. Yang
tenaga dalamnya lumayan bagus, masih sanggup bertahan. Tapi keadaan
mereka ini juga tidak terlalu baik.

Dengan tangan kosong Cio San mengambil jarum itu. Ia memang kebal
terhadap racun apapun, sejak tadi gerakan yang ia lakukan bukanlah untuk
keselamatan dirinya sendiri, melainkan untuk keselamatan orang lain.

Diperhatikannya jarum itu. Cio San tahu racun apa itu. Dari
pengetahuannya, racun itu adalah racun Cit Coa Ong Tok atau Racun 7 Raja
ular. Racun ini sangat mematikan karena dalam beberapa menit saja akan
mencabut nyawa orang yang terkena racun itu. Bahkan sebelum mati tubuh
mereka akan lumpuh dan bagian yang terkena racun akan membusuk.

Racun ini walaupun termasuk kelas racun sangat berbahaya, bukanlah racun
yang terlalu sulit untuk dipunahkan. Oleh karena itu Cio San segera
mengambil kesimpulan bahwa orang yang melontarkan ini bukan ahli racun
kelas atas. Hanya saja cara menyambitkan ribuan jarum beracun yang sangat
cepat dan sambung menyambung seperti itu sangat mengagumkan, dan dia
sendiri belum pernah mendengar ada orang memiliki kemampuan seperti ini.

Semua orang yang berada di sana memang saat itu sedang panik, karena ada
saudara, atau temannya yang menjadi korban serangan itu, sehingga mereka
panik dan tak tahu harus berbuat apa. Beberapa orang yang agak tenang,
sempat memperhatikan perbuatan Cio San, sehingga bertanya,

Apakah Ciokhee (tuan) ahli racun?

Cio San menggeleng sambil tersenyum, Cayhe bukan ahli racun, tapi cayhe
tahu racun apa ini. Ini adalah Cit Coa Ong Tok. Memunahkannya cukup
mudah. Tapi cayhe harus merepotkan para enghiong yang ada di sini

Katakan saja apa yang bisa kami lakukan? kata mereka srentak dengan
semangat.

Harap para enghiong mencari katak sebanyak-banyaknya

Katak apa saja?

Ya katak apa saja. Besar kecil tua muda. Harap secepat mungkin karena
racunnya sudah mulai bekerja jawab Cio San.

Mereka segera melesat dari sana meninggalkan Cio San. Sambil menunggu Cio
San mencari beberapa tanaman yang akan dipakainya untuk campuran obat.
Setelah lengkap ia kembali ke tempat tadi. Di lihatnya Kim Sin Kiam
sedang berdiri mematung di depan pintu tendanya. Memandang dengan sedikit
tidak percaya atas kejadian yang baru saja terjadi. Wajahnya pucat dan
kelam.

Salam hormat, tayhiap kata Cio San menjura.

Kim Sin Kiam hanya mengangguk.

Segera ia masuk kembali ke dalam tendanya.

Cio San tidak perlu heran melihat kekurangramahan sang dewa pedang itu.
Mereka yang berjulukan dewa pedang pasti akan bersikap seperti itu.
Dingin dan senyap seperti pedang. Dalam hatinya ia membatin, Jika 100
orang saja di dunia ini yang menjadi dewa pedang, tentu bumi akan menjadi
sunyi

Tak lama kemudian orang-orang yang mencari katak sudah kembali. Banyak
juga hasil tangkapan mereka.

Cio San pun segera bergerak. Ia mencabut jarum-jarum yang menembus kulit
puluhan korban itu. Gerakannya ringkas dan cepat, sehingga menimbulkan
kekaguman mereka yang melihatnya. Lalu setelah seluruh jarum itu ia
cabut, ia lalu berkata,

Para enghiong, cayhe sudah mencabut seluruh jarum yang ada. Mohon para
enghiong sudi menolong cayhe

Tanpa banyak bicara orang-orang itu segera bergerak, Apa yang bisa kami
lakukan?

Lihat apa yang cayhe lakukan lalu ikuti dan lakukan kepada korban-korban
yang lain

Cio San lalu menempelkan mulut sebuah katak kepada luka bekas tusukan
jarum. Ajaibnya, katak itu lalu menghisap racun si koban. Melihat itu
orang-orang kaget tapi mereka pun segera melakukan hal yang sama kepada
korban yang lain.

Jika tuan-tuan merasa katak yang tuan pegang menjadi dingin, segera
buang katak itu jauh-jauh dan ganti dengan katak yang lain. Lakukan terus
sampai katak yang tuan-tuan pegang tidak menjadi dingin setelah menghisap
racun

Mereka hanya mengangguk.

Tak berapa lama, usaha itu berhasil dan seluruh korban akhirnya membaik.
Cio San lalu memasukkan tanaman obat yang tadi ia kumpulkan ke dalam
mulut mereka.

Coba bersemedi dan atur jalan darah. Dalam beberapa jam, saudara
sekalian akan sehat sepenuhnya

Terima kasih In-Hiap (tuan penolong) terima kasih ramai mereka


mengucapkan terima kasih.

Kalau boleh tahu, siapa nama in-hiap, dan berasal dari perguruan manakah
tuan? tanya salah seorang mewakili yang lain.

Nama cayhe Lie-Sat. Cayhe tidak punya perguruan.

Ah, jika Lie-tayhiap tidak mau menjelaskan asal-usul, kami pun tidak
berani bertanya kata mereka sambil menjura.

Lalu terdengar suara dari arah tenda. Seorang perempuan.

Atas apa yang telah terjadi, cayhe mewakili keluarga Kim mengucapkan
turut berduka sekali. Semoga semua korban sehat sentosa. Keluarga kami
hanya bisa memberikan 34 pil khusus milik keluarga kami yang berguna
untuk memulihkan kesehatan. Dalam sehari, orang yang minum pil ini akan
mendapatkan kembali tenaganya

Ia lalu menyambitkan pil-pil itu ke masing-masing korban. Yang ditimpali


dengan ucapan terima kasih para korban.

Hanya saja Cio San merasa cara ini agak kurang menghormat. Orang-orang
yang jadi korban ini kan terluka karena berada di situ. Mereka berada di
situ karena ingin menjaga keselamatan Kim Sin Kiam. Setidaknya keluarga
Kim bisa sedikit menghormati mereka dengan cara yang lebih baik.

Tapi jika nama keluargamu Kim, dan kau memiliki kemampuan pedang seperti
mereka, mungkin kau berhak pula bersikap angkuh dan jumawa seperti
mereka.

Perempuan cantik di depan pintu tenda kemudian melanjutkan,

Atas kebaikan dan perbuatan Lie-tayhiap, ayahanda cayhe mengundang


tayhiap ke dalam tenda

Ingin ia berkata, Jika ayahmu memiliki keperluan, silahkan dia yang


keluar. Tapi ia memang tidak punya bakat jadi orang sombong sehingga mau
tidak mau ia lalu bangkit dan menuju tenda.

Tidak ada kata mari silahkan. Si perempuan hanya bergesar sedikit


memberi jalan kepada Cio San, lalu kemudian menutup pintu kain tenda itu
setelah Cio San masuk.

Suasana di dalam tenda itu mewah sekali. Permadani tebal, hiasan-hiasan,


dan lain-lain. Cio San merasa seperti berada di dalam rumah mewah.

Seorang pengawal tergeletak di lantai tenda.

Dengan segera ia bergerak dan ingin menolong pengawal itu, tapi ia tahu
sudah terlambat. Pengawal itu baru saja mati. Luka tempat jarum itu
menempel sudah membusuk. Memang racun itu amat cepat dan ganas
pergerakannya. Tapi di leher pengawal itu pun ada luka sabetan.

Kenapa siocia (nona) tidak bilang kalau di dalam masih ada korban?
tanya Cio San sedih

Ia terkena racun karena ketidakbecusan diri sendiri, kenapa harus


merepotkan orang lain? kata si nona. Ia berkata begitu dengan lantang
seolah-olah ingin orang-orang di luar tenda mendengarkan juga.

Cio San cuma bisa mengerutkan kening. Tidak ada satu pun hal dari
keluarga ini yang membuatnya senang.

Si nona lalu menunjukkan sebuah bilik. Masuklah, ayah menunggumu di


dalam

Cio San membuka pintu kain bilik itu. Alangkah herannya ketika di lihat
si dewa pedang itu sedang berbaring di atas tempat tidurnya. Ia keracunan
pula!

Bab 65 Hanya Satu Orang

Wajah sang dewa pedang itu jauh lebih pucat ketimbang saat Cio San
melihatnya tadi di depan tenda. Ia baru mau akan bertanya, tapi si nona
cantik sudah keduluan berkata,

Apa yang tuan lakukan tadi kepada korban-korban di depan, sudah kami
lakukan pula kepada ayahanda. Tapi mengapa sakitnya bertambah parah?

Cio San hanya bisa mengangguk dan mulai memeriksa Kim Sin Kiam. Maaf,
tayhiap katanya sambil meletakkan jari-jarinya di pergelangan tangan si
dewa pedang.Tak berapa lama ia memeriksa, Cio San bertanya,

Apakah tayhiap merasa, ketika mengerahkan tenaga dalam, seluruh tenaga


itu malah buyar dan menyerang diri sendiri?

Benar jawab Kim Sin Kiam pendek.

Cio San mengeluarkan sebuah botol kecil dari dalam sakunya.

Silahkan minum tayhiap. Dan jangan kerahkan tenaga dalam sama sekali

Obat apa itu? kali ini si nona yang bertanya sangsi.

Cio San hanya bisa tersenyum kecut dan mengangkat bahu.

Ayah, jangan di

Terlambat. Si dewa pedang sudah meminumnya.

Rasakan hawa hangat yang timbul di bawah perut. Gunakan hawa itu untuk
menekan hawa dingin yang meliputi seluruh organ bagian dalam tayhiap
kata Cio San.

Sambil duduk bersila, Kim Sin Kiam melakukan apa yang dikatakan Cio San.
Perlahan-lahan wajah pucatnya memerah dan terlihat raut wajahnya
berangsur-angsur segar.

Si nona yang melihat perubahan ini segera langsung berkata,

Terima kasih inhiap (tuan penolong) katanya sambil menjura.

Walaupun perempuan ini cerewet, setidaknya ia perempuan yang jujur. Hal


ini saja sudah membuat rasa tidak suka di hati Cio San mulai mencair.

Siocia tidak perlu sungkan katanya balas menjura.

Dalam beberapa hari tayhiap mungkin akan pulih. Sebenarnya jika


penanganannya cepat, tidak akan ada masalah. Hanya saja tadi kita sedikit
terlambat jelas Cio San kepada Kim Sin Kiam.

Apa pengaruhnya jika pengobatannya telat? tanya si dewa pedang.

Tenaga dalam yang tayhiap himpun akan hilang. Semakin telat, semakin
banyak hilangnya.

Dewa pedang itu hanya mengangguk pelan. Wajahnya mengeras. Bibirnya


terkatup rapat. Raut muka seperti ini semakin menambah jelas kesan angkuh
yang ada pada dirinya.

Sebaiknya pertarungan ayah dengan Suma-tayhiap ditunda saran si nona.

Aku telah menantangnya duel, lalu meminta penundaan? Lebih baik pedangku
ku pakai untuk memotong sayur di dapur kata-katanya pelan namun tajam.

Semakin memperhatikan orang ini, semakin Cio San merasa betapa miripnya
ia dengan Suma Sun. Begitu dingin, jarang berbicara, pakaiannya pun sama
putih-putih.

Apakah syarat untuk menjadi dewa pedang harus begini ini?

Jika tidak ada perubahan, dalam 20 tahun tentunya Suma Sun pasti akan
menjadi lebih aneh dari orang ini.

Dalam hati ia berpikir, alangkah hebatnya Suma Sun. Dalam usia belum
sampai 30 tahun, ia telah mencapai tahap dewa pedang. Sedangkan menurut
kabar yang ia dengar, Kim Sin Kiam ini mencapai tahap dewa pedang tanpa
tanding saat berumur 40.

Secara bakat, Suma Sun lebih unggul. Namun secara pemahaman dan
pengalaman, Kim Sian Kim lebih unggul.

Persaingan antara semangat dan bakat orang muda dengan pemahaman dan
pengalaman kaum tua selalu terjadi sepanjang zaman. Sejak dahulu kala.
Pemenangnya pun bergiliran dari muda ke tua, dan tua ke muda.

Kali ini, apakah si muda yang menang, atau si tua yang berjaya?

Cio San tidak bisa menjawab.

Karena si muda sedang asik mabuk-mabukan dan si tua sedang berbaring


sakit.

Kejadiaan si muda yang bermabuk-mabukkan dan si tua yang berbaring sakit


ini pun juga bukan kejadian baru. Semenjak dahulu sudah ada kejadian
macam begini.

Sejarah sebenarnya terus berulang, dan kejadian yang sama terus


berlangsung. Hanya pelaku, waktu, dan tempat yang berbeda. Manusia yang
bijak adalah yang belajar dari kejadian-kejadian ini. Sayangnya manusia
yang bijak jumlahnya tidak terlalu banyak. Namun walaupun begitu,
setidaknya dunia masih bisa menaruh sedikit harapan kepada jumlah yang
tidak terlalu banyak itu.

Karena menurut ujaran kuno, nasib sebuah bangsa itu berada dalam
genggaman semangat para pemuda, dan dalam kebijaksanaan orang tua.

Boanpwee, mohon diri dulu tayhiap kata Cio San menjura.

Terima kasih jawab Kin-tayhiap pendek. Wajahnya tetap mengeras, dan


matanya pun tetap mencorong.

Cio San melangkah keluar bilik dengan ringan. Senang rasanya bisa
menolong orang.

Tuan, harap sudi menerima bingkisan ini. Tidak seberapa, tapi mungkin
bisa dipakai untuk bekal

Emas.

Cio San terseyum. Ia tidak pernah tertarik dengan emas. Kalau lapar tidak
bisa dimakan, kalau haus tidak bisa diminum.

Maaf nona, cayhe cuma menolong. Tidak ada niat untuk mencari upah

Si nona cuma mengangguk dan tidak memaksa. Ia memang punya pembawaan yang
lugas dan tanpa basa-basi. Ia pun tahu sifat-sifat orang Kang Ouw.

Tuan, saya masih meminta satu bantuan lagi, apakah tidak keberatan?
tanya si nona.

Nona meminta agar saya tidak menyiarkan kabar tentang ayah nona yang
keracunan?

Benar

Jangan khawatir kata Cio San sambil tersenyum. Ia lalu meminta diri dan
segera bergegas pulang.

Di luar beberapa orang masih berbaring beristirahat memulihkan tenaga.


Begitu melihat Cio San keluar, meeka segera menyapanya,

Ah, tuan penolong

Cio San hanya tersenyum, lalu berkata Para orang gagah, harap
beristirahat sampai benar-benar pulih. Acara kita masih panjang sampai
pada pemilihan Bu Lim Beng Cu nanti. Eh, kemana yang lain? tanyanya.

Mereka sudah pergi. Jawab salah seorang.

Cio San kemudian duduk di sana. Sekedar berkenalan dan mengobrol dengan
mereka yang terluka. Ternyata mereka ini terdiri dari golongan putih dan
golongan hitam. Lucunya, saat sehat kedua golongan ini bertarung terus,
tapi saat sakit mereka ini malah terlihat akrab.

Mungkin itulah alasan langit menurunkan sakit. Agar manusia berhenti


sejenak dalam peperangan, lalu duduk merenungi bahwa sesungguhnya mereka
adalah makhluk lemah yang saling membutuhkan.

Cio San memberi beberapa petunjuk tentang cara menghimpun tenaga dalam
kepada mereka. Racun 7 Raja ular yang tadi menyerang mereka. Saat orangorang ini mencoba melakukannya, mereka merasa tenaga mereka menjadi bebas
dan semakin menguat. Dapat dibayangkan betapa berterima kasihnya mereka
kepada si Lie Sat ini.

Sebenarnya, Cio San sudah ingin cepat-cepat pergi. Tapi ia masih menunggu
jangan sampai ada serangan kedua, atau terjadi kejadian-kejadian yang
tidak mengenakkan. Oleh sebab itu ia bertahan sampai pagi di sana. Orangorang lain sudah pergi seluruhnya dari situ. Tentunya tak lupa untuk
mengucapkan terima kasih kepada Cio San.

Pagi menjelang. Matahari mulai bersinar walau masih malu-malu. Udara


sejuk pegunungan membuat tubuhnya merasa begitu bersemangat. Walaupun
belum tidur seharian ia merasa tetap segar bugar. Bahkan jika tidak tidur
7 hari pun ia masih akan tetap segar bugar.

Daerah tempat keluarga Kim mendirikan tenda ini lumayan sepi. Tidak
banyak orang yang lewat daerah ini, karena ini memang di luar jalur yang
biasa dilewati orang. Oleh karena itu Cio San merasa heran juga ada
kereta kuda yang terlihat menghampirinya.

Siapa lagi kah yang datang?

Urusan macam apa lagi kah yang harus dihadapinya?

Ia sudah tidak perduli lagi. Orang yang mengalami berbagai macam kejadian
seperti dirinya, tentu tak akan perduli lagi. Mau terjadi, ya terjadilah.
Kalau harus dihadapi, kenapa tidak dihadapi?

Maka ia kini tersenyum kepada kusir kereta. Mungkin saja ini tamu yang
ingin mengunjungi keluarga Kim. Si kusir pun tersenyum dan bertanya,

Apakah ciokhee yang bernama Lie Sat?

Benar ia menjawab. Sedikit senyum tapi mengangkat alis. Ternyata


mencari diriku. Tak perduli menyamar atau tidak, kenapa urusan selalu
saja datang. Ia benci kesulitan, tapi herannya kesulitan seperti cinta
mati kepadanya.

Si kusir tidak menjawab, ia hanya tersenyum lalu turun untuk membuka


pintu kereta.

Tuan, dan nyonya, kita sudah ketemu orangnya katanya kepada orang yang
ada di dalam.

Lalu orang itu turun.

Dari seluruh orang yang ada di dunia, sekali pun tidak disangkanya bahwa
orang ini yang datang.

Mey Lan!

Ia masih sangat cantik, seperti dahulu. Masih anggun. Jika berjalan masih
terlihat seperti menjinjit. Pinggulnya bergerak seperti orang menari, dan
senyumnya. Ah senyumnya. Segala hal di dunia ini boleh ia lupakan, tapi
ia mana mungkin bisa melupakan senyumnya?

Pipinya masih kemerahan. Lehernya masih bersih putih. Seperti tidak ada
yang berubah.

Yang berubah hanya sinar wajahnya. Seperti ada duka dan kesusahan yang
menutupi cerahnya sinar wajahnya yang cantik.

Namun demikian, segarnya embun dan udara pagi, masih belum sesegar
suasana saat wanita itu hadir di depan matanya.

Maaf, tuan Lie Sat kah? tanya Mey Lan kepadanya.

Cio San berdiri dan menjawab Benar, nyonya

Mey Lan menjura, Maaf merepotkan tuan, tapi cayhe mendengar tentang
perbuatan tuan menyelamatkan beberapa orang semalam. Cayhe..eh..ingin
meminta bantuan tuan

Bantuan apakah gerangan, nyonya?

Harap tuan menyembuhkan suami cayhe

Suami nyonya sakit apa?

Ia terluka dalam saat berkelahi dengan seorang bajingan

Bajingan. Rupanya namanya sudah berganti menjadi bajingan.

Baiklah. Mari kita lihat keadaan suami nyonya

Mereka pun masuk ke dalam kereta.

Melihat keadaan Lim Gak Bun, Cio San sungguh kaget. Pria gagah ini
terbarung lumpuh tak berdaya. Wajahnya pucat pasi seperti mayat hidup.
Tapi ia masih bisa tersenyum dan menyapa, Salam siansing (tabib sakti).
Maaf tidak bisa menyambut dengan sepantasnya

Cio San pun tersenyum dan memberi salam juga. Segera ia memeriksa nadi
pria malang itu. Jalan darahnya kacau berantakan. Belum pernah sekalipun
Cio San menemui kejadian jalan darah orang seperti ini.

Saat dulu menyerang Lim Gak Bun, ia hanya bergerang sekenanya saja. Tanpa
dipikrikan terlebih dahulu, karena saat itu dirinya sedang dalam bahaya.
Secara refleks, ia mengeluarkan jurus 18 Tapak Naga.

Ia tak menyangka, pukulan 18 Tapak Naga yang ia lancarkan akan


menghasilkan akibat seperti ini. Dengan sekuat tenaga ia menahan perasaan
dan air matanya. Bagaimanapun ia tidak memliki dendam kepada kedua orang
ini.

Sesakit apapun perasaan yang ia rasakan saat hatinya patah dahulu, tidak
mampu melawan rasa perih yang dirasakannya saat melihat keadaan suami Mey
Lan ini

Ia tak sanggup berkata apa-apa juga. Mey Lan yang kemudian membuka suara,

Bagaimana keadaannya tuan, apa bisa disembuhkan?

Akan saya coba

Ia mengerahkan tenaga dalamnya dalam menyalurkannya lewat punggung Lim


Gak Bun. Serta merta murid berbakat dari Kun Lun Pay itu merasakan betapa
badannya kini terasa hangat. Rasa hangat itu menyebar menembus seluruh
tubuhnya, mengisi rongga dada, dan perutnya.

Sinkang (tenaga sakti) yang diperoleh Cio San dari tumbuhan jamur di
dalam goa dulu memang sungguh dahsyat dan tiada banding. Memakan satu
jamur itu saja sudah sanggup menambah tenaga berlipat-lipat. Apalagi Cio
San yang memakannya hampir tiap hari selama 3 tahun!

Tenaga itu melindungi pemiliknya dari berbagai serangan racun dan luka
dalam. Oleh karena itu begitu tenaga itu ia salurkan, segera sinkang itu
bergerak dengan sendirinya mengisi seluruh tubuh Lim Gak Bun. Menyelimuti
organ-organ bagian dalamnya yang terluka.

Segera ia merasa segar. Wajahnya yang tadi seperti mayat hidup kini mulai
memerah dan terlihat lebih hidup. Melihat kenyataan ini Mey Lan berseru
bahagia,

Aih, tuan memang tabib dewa

Tadi kau memanggilku bajingan, dan kini memanggilku tabib dewa?

Tapi tentu saja itu tidak dikatakannya. Ia malah berkata kepada Lim Gak
Bun,

Tuan, coba pergunakan tenaga dalam sendiri untuk mendukung tenaga dalam
yang cayhe salurkan. Apakah masih terasa sakit di ulu hati?

Lim Gak Bun melakukannya. Masih terasa sakit sedikit, siansing

Cio San mengangguk. Ia lalu bertanya kepada Mey Lan,

Nyonya sudah mencoba ke berapa tabib?

Ada beberapa siansing, cuma kata mereka luka dalam ini hanya bisa
disembuhkan oleh mereka yang mempunyai tenaga dalam tinggi dan memiliki
pengetahuan pengobatan yang tinggi pula

Pukulan maut 18 Tapak Naga ini memang tidak boleh dibuat main-main.
Hasilnya kalau tidak mati, orang bisa cacat seumur hidup. Cio San merasa
sangat bersalah sekali. Dia kini bertekad untuk menyembuhkan Lim Gak Bun
sepenuhnya.

Tuan sudah diberi obat apa saja? tanyanya

Ini ada beberapa jawab Mey Lan. Ia lalu mencari-cari di dalam rak yang
ada di dalam kereta itu. Setelah ketemu, ia menunjukkan sebuah kotak kayu
berwarna hitam kepada Cio San.

Cio San membukanya dan melihat isi kotak itu. Berbagai macam obat yang
berupa akar-akaran, dedaunan, dan biji-bijian. Ada pula yang sudah berupa
pil. Ia mengangguk-angguk. Pengobatannya memang sudah benar. Hanya saja
para tabib itu memang tidak memiliki sinkang seperti dirinya.

Obat-obatan ini diteruskan saja tuan. Moga-moga dalam sebulan, akan ada
perbaikan. Dalam 2 atau 3 bulan, semoga tuan akan sembuh seluruhnya.
Tenaga dalam yang cayhe salurkan tadi harap dijaga. Dengan menggunakan
tenaga dalam tuan sendiri, tenaga dari cayhe itu akan bisa dikendalikan

Baik, siansing. Terima kasih banyak, siansing jawab sepasang suamiistri itu.

Nah, cayhe permisi dulu memangnya buat apa dia berlama-lama di sana?

Aih, siansing mengapa terburu-buru, ehmberapakah biaya yang harus kami


bayar? tanya si nyonya.

Ah, tidak perlu. Cayhe senang sudah sanggup membantu

Wah, jangan begitu siansing. Sebut saja harganya, mudah-mudahan kami


sanggup membayarnya siansing. Jika kami belum sanggup, pasti akan kami
carikan hutang untuk membayar

Sudahlan tuan dan nyonya, cayhe memang tidak pernah menerima uang. Hanya
membantu orang saja ia tersenyum kecut.

Ah, kalau begitu kami tdak berani lancang memaksa lalu Mey Lan membuka
rak lagi dan mengeluarkan sebuah guci. Sudikah siansing menerima ini?Ini

adalah arak yang paling terkenal dari kota Yan Sah. Namanya arak Hong
Tong Ciu.

Tanpa perlu dijelaskan siapa-siapa, tentu Cio San tahu arak apa itu.
Bahkan ketika belum dikeluarkan dari rak pun, Cio San sudah mengendus
baunya yang harum lembut bagai pewangi tubuh perempuan. Khasiatnya jangan
ditanya. Selain berguna untuk menjaga kesehatan jalan darah, arak ini
juga mengharumkan tubuh mereka yang meminumnya secara rutin. Makanya arak
ini disebut arak para dewa. Sebuah arak yang sangat mahal dan langka!

Emas dan uang pasti akan ia tolak. Tapi tidak arak!

Ah baiklah. Terima kasih banyak tuan dan nyonya terimanya sambil


tersenyum.

Aih, kami yang sesungguhnya berterima kasih, siansing kata mereka


berdua.

Eh, ngomong-ngomong apa yang membawa tuan dan nyonya kesini? tiba-tiba
pertnyaan itu timbul dihatinya lalu diutarakannya.

Kami ingin melihat keramaian pemilihan Bu Lim Beng Cu. Suami cayhe ini,
memang snagat keranjingan ilmu silat. Bahkan dalam keadaan sakit pun, ia
tetap mau pergi. Awalnya cayhe menolak, tapi setelah cayhe pikir-pikir,
mungkin saja kami akan bertemu tabib-tabib sakti yang sanggup mengobati
luka Bun-ko (kakak Bun)

Oh begitu. Baiklah cayhe mohon diri dulu. Terima kasih banyak atas
araknya ia tersenyum dan menjura.

Terima kasih banyak siansing. Sampai berjumpa kembali. Dan terima kasih
atas pertolongannya

Sama-sama. Sampai jumpa

Ia akhirnya pergi.

Ternyata pertemuan kembali dengan kekasih lamanya itu tidak semenyakitkan


yang diperkirakannya. Kadang-kadang kita justru bahagia melihat
kebahagiaan kekasih lama. Kadang-kadang kita memang berharap yang terbaik
bagi mereka. Laki-laki yang tahu diri, memang adalah laki-laki yang
merelakan kekasihnya pergi bersama orang lain yang lebih baik. Yang
sanggup memberinya kebahagiaan lebih dari siapapun, bahkan lebih dari
yang sanggup diberikannya sendiri.

Laki-laki memang harus seperti itu. Dan Cio San adalah laki-laki.

Sekarang laki-laki itu berjalan dengan ringan karena ia merasa segala


beban di hatinya telah terangkat. Ia merasa telah memperbaiki seluruh
kesalahannya. Ia pun merasa Mey Lan telah berada dalam cinta laki-laki
yang tepat. Pria gagah yang tampan, dan juga punya penghidupan yang
jelas. Kereta mewah seperti tadi hanya sanggup dibeli oleh orang yang
benar-benar punya banyak uang.

Kini ia berjalan kembali ke tempat rombongan Suma Sun berada. Matahari


sudah meninggi dan udara masih tetap sejuk. Sepanjang jalan ia bertemu
dengan orang-orang kang Ouw yang mendaki untuk sampai ke puncak Thay San.
Tak lama sampai lah ia di tempat rombongan Suma Sun. Mereka ternyata
belum pergi dari situ.

Aih, Lie-ko. Kau kah yang melakukan perbuatan itu? tanya Kao Ceng Lun
begitu melihat kedatangan Lie Sat.

Perbuatan apa?

Menyembuhkan banyak orang dari serangan racun

Ia hanya tertawa dan mengangkat pundak.

Hebat. Ternyata Lie-ko adalah seorang siansing. Wah, di tempat ini


memang banyak sekali naga sembunyi, harimau mendekam. Kata Kao Ceng Lun.

Bagaimana keadaaan Suma-tayhiap? tanya Cio San.

Beliau sedang tidur. Itu di bawah pohon sana katanya sambil menunjuk.

Kao-enghiong mau ke mana? tanya Cio San

Mandi biar segar katanya sambil tersenyum lebar.

Cio San tersenyum dan berjalan ke tempat Suma Sun tidur. Saat berjalan ke
sana, ia bertemu Ang Lin Hua yang baru keluar dari warung. Sedikit
mengangguk dan memberi salam.

Selamat datang kembali, siansing kata Ang Lin Hua menjura.

Selamat bertemu kembali, Ang-liehiap balas Cio San tersenyum pula. Di


mana Luk tayhiap?

Beliau di dalam warung sedang sarapan

Oh

Mereka berdua pun bergegas menuju tempat Suma Sun tidur.

Ia tidur dengan pulas.

Sepulas bayi yang baru saja menetek.

Sepertinya sudah tak tertolong lagi ya? tanya Ang Lin Hua sambil
tersenyum kecut.

Jika itu jalan pilihannya, ya sebagai sahabat kita tidak bisa


menghalanginya jawab Cio San.

Mereka lalu duduk di bawah pohon. Selama beberapa hari ini, pekerjaan
mereka memang hanya duduk di bawah pohon.

Kadang-kadang di dalam hidup ini, terdapat banyak hal yang tidak sanggup
kita lakukan namun harus kita hadapi.

Kadang-kadang pula begitu banyak yang harus kita lakukan, dan begityu
banyak yang harus kita hadapi.

Ada orang yang menghadapinya dengan penuh kecemasan dan rasa takut. Ada
orang yang menghadapinya dengan penuh keberanian dalam menghadapi
tantangan. Ada pula orang yang menghadapinya secara biasa-biasa saja.

Ang Lin Hua menghadapinya dengan penuh kecemasan. Suma Sun menghadapinya
dengan penuh gagah berani. Cio San menghadapinya dengan biasa-biasa saja.

Semua orang berhak memilih jalan dan caranya sendiri-sendiri.

Kehidupan.

Begitu banyak yang tidak terjawab, begitu banyak rahasia. Begitu banyak
kenangan.

Ah, kenangan.

Begitu berarti, namun juga begitu tidak berarti.

Begitu berharga, namun begitu tak berguna.

Hal yang sering dilupakan manusia adalah kebahagiaan itu milik masa kini.
Bukan milik masa lalu, atau masa depan. Jika tidak melakukan apa-apa
untuk kebahagiaan masa kini, siapa yang menjamin kau akan bahagia di masa
depan? Siapa yang menjamin sampai besok kau masih tetap hidup.
Berbahagialah untuk saat ini. Karena kau tak akan tahu, apakah besok kau
masih sanggup bernafas.

Suma Sun sudah bangun. Sejak semalam ia telah puas tidur.

Ah, kau katanya melihat Cio San.

Dilihat dari tampangmu. Sepertinya kau terbangun karena mencium bau arak
ya canda Cio San

Bukannya bau arak itu berasal dari tubuhmu. Hanya gentong arak yang
tubuhnya bau arak balas Suma Sun.

Hanya gentong arak pula yang bisa terbangun dari tidur pulas karena
mencium bau arak

Kalau dua gentong arak sudah bertemu, apa gunanya bercakap-cakap?


Bukankah lebih baik segera buka gucinya, dan menuangkan araknya?

Lama-lama kau seperti Cukat Tong. Kata Cio San

Menjadi Cukat Tong juga tak ada ruginya

Apalagi menjadi Suma Sun

Betapa hebatnya Cukat Tong dan Suma Sun, toh hidup mereka bakalan sepi
tanpa Cio San balas Suma Sun.

Dan mereka berdua tertawa. Tinggalah Ang Lin Hua yang bingung.

Tapi dia berotak cerdas, dan segera bisa memahami situasi. Cara
bicaranya, cara bercandanya, keakrabannya, orang ini tidak lain dan tidak
bukan adalah kaucunya!

Baru saja ia akan menjura, tapi sudah dipotong Cio San,

Sudahlah, harap rahasiakan katanya sambil berbisik.

Ang Lin Hua pun hanya bisa mengangguk-angguk sambil tersenyum.

Kao Ceng Lun dan Luk Ping Hoo pun sudah bergabung. Guci arak dibuka dan
baunya semerbak. Lima orang di bawah pohon menikmati seguci arak paling
enak sedunia.

Mereka minum sampai tengah hari lalu melanjutkan perjalan ke puncak Thay
San. Kira-kira masih ada 2 hari lagi baru mereka bisa sampai ke puncak.
Perjalanan tidak mereka lakukan dengan buru-buru. Pemandangan indah di
Thay San ini terlalu indah untuk dilewatkan. Sepanjang perjalanan pun
meeka bertemu dengan berbagai rombongan. Ada rombongan Butong pay yang
dipimpin oleh Beng Liong pula.

Rombongan ini terdiri dari sebuah kereta kuda, dan 10 orang murid
berkuda. Beng Liong berada di barisan paling depan memipin perjalanan
ini. Wajahnya bersinar berseri-seri. Ketampanan wajahnya yang sudah
sangat terkenal malah terlihat semakin tampan. Harum tubuhnya semakin
mewangi saat ia berkeringat tertimpa cahaya matahari. Perempuan mana saja
akan menyerahkan jiwa raga jika Beng Liong tersenyum sekali saja padanya.

Butong pay Beng-enghiong (Pendekar Beng dari Butongpay) memang tampan


seperti berita yang kita dengar kata Kao Ceng Lun.

Orang buta seperti aku pun mengakui jika ia tampan kata Suma Sun sambil
tertawa.

Semua menimpali sambil tertawa.

Menurut Suma-tayhiap, bagaimana ilmu silatnya? tanya Kao Ceng Lun.

Aku belum pernah melihat ia bertarung kata Suma Sun

Oooo

Ya, bagaimana aku bisa melihat? Kan aku buta

Semua orang tertawa.

Coba kau tanyakan Lie-siansing Cio San kini sudah disebut sebagai
siansing pula oleh Suma Sun. Perbuatannya semalam rupanya sudah menyebar
ke seluruh orang yang berada di Thay San ini.

Siansing pernah melihatnya bertarung?

Pernah jawab Cio San

Bagaimana menurut siansing?

Harap jangan panggil aku siansing. Aku merasa seperti orang tua katanya
sambil tertawa. Panggil aku koko saja

Baiklah Lie-ko. Nah bagaimana ilmu silat Beng-enghiong menurut Lie-ko?

Menurutku, Beng Liong adalah salah seorang pendekar muda paling hebat
pada jamannya

Jika diadu dengan Cio San kaucu dari Mo Kauw, kira-kira siapa yang lebih
unggul?

Keempat orang itu tertawa.

Kenapa tuan-tuan tertawa? tanya Kao Ceng Lun bingung.

Kalau perkara silat sih, aku kurang tahu kata Suma Sun Tapi kalau
perkara minum arak, aku yakin Cio San yang menang. Bahkan jika air laut
menjadi arak, aku yakin keparat satu itu akan sanggup menghabiskannya ia
tertawa terbahak-bahak. Lie Sat pun tertawa.

Hanya Ang Lin Hua yang tidak senang,

Menurutku tentu saja kaucu kami yang lebih unggul. Ilmu beliau bermacammacam. Pemahaman beliau pun mendalam. Sedangkan Beng-enghiong itu hanya
paham ilmu-ilmu Butongpay

Menurutku malah Ang-siocia keliru sanggah Cio San.

Orang yang ilmunya banyak belum tentu lebih unggul dari orang yang
ilmunya cuma satu saja. Karena orang yang ilmunya banyak, pikirannya akan
bercabang. Melatih jurusnya pun tidak akan sepenuhnya, karena ia
pemahamannya pun berkembang ke mana-mana. Orang yang hanya memahami satu
ilmu saja, akan sanggup mencapai tahap yang sangat tinggi, karena seluruh
pemikiran, kemampuan, dan pemusatan pikirannya hanya mengacu ke satu ilmu

saja. Karena itulah ilmunya akan mencapai tahap yang tinggi sekali jelas
Cio San.

Hmmm, masuk akal juga kata Ang Lin Hua.

Ambil contoh, Suma tayhiap ini. Ilmu pedangnya cuma satu. Tapi Suma
tayhiap telah mencapai kesempurnaan tertinggi. Itu karena ia melatih satu
ilmu itu dengan sungguh-sungguh dan sepenuh hati. Jelas Cio San lagi.

Betul Suma Sun mengangguk menimpali.

Kao Ceng Lun juga manggut-manggut. Pemahaman baru ini nampaknya


membuatnya semakin bersemangat dalam ilmu silat. Selama ini ia berpikir,
semakin banyak ilmu, akan semakin tinggi pula ilmu silat seseorang.
Ternyata, memusatkan diri pada suatu ilmu saja, tetap akan membuat
seseorang mencapai puncak tertinggi ilmu silat. Dalam hati, ia memutuskan
untuk lebih giat berlatih mematangkan ilmunya sendiri.

Perjalanan dari tengah hari itu mereka lakukan hingga hari menjelang sore
dan langit mulai gelap. Mereka memutuskan untuk berhenti dan
beristirahat. Tempat yang mereka pilih adalah sebuah tempat yang sepi dan
banyak pohon rindang. Di Thay san ini, walaupun dipenuhi puluhan ribu
orang Kang Ouw, tetap saja tersedia tempat sepi bagi mereka yang ingin
beristirahat. Memang gunung ini sangat luas, dan megah.

Sambil beristirahat, mereka menikmati makan malam yang sebelumnya mereka


beli di warung sebagai bekal. Arak dewa tadi sudah habis, sehingga mereka
terpaksa menikmati arak kampung buatan warung. Tapi rasanya enak juga.
Di suasana pegunungan yang indah dan sepi seperti ini, makanan dan
minuman apapun akan terasa enak.

Sampai tengah malam mereka masih mengobrol dan bercanda. Luk Ping Hoo
menceritakan pengalaman-pengalamannya dan sejarah dunia persilatan.
Sebagai orang paling sepuh dalam rombongan itu, beliau memang yang paling
banyak diam. Tapi juga yang paling banyak tertawa mendengar gurauan teman
serombongannya.

Orang tua di mana-mana memang sama saja. Selalu tersenyum bahagia melihat
semangat anak muda. Tapi jauh di lubuk hati mereka, mereka sesungguhnya
bersedih. Karena merasa sudah kehilangan semangat itu.

Ang Lin Hua sudah tidur duluan. Pendekar wanita seperti dirinya sudah
terbiasa tidur di mana saja. Satu persatu yang lain pun tertidur. Luk
Ping Hoo, Cio San dan Suma Sun perlahan-lahan tertidur. Hanya Kao Ceng
Lun yang masih bertahan belum tidur. Tapi karena bosan sendirian,
akhirnya ia tertidur juga.

Menjelang shubuh, sesosok bayangan muncul di tempat yang sepi itu.


Gerakannya lincah dan sangat ringan. Tapi seringan apapun langkah seorang
manusia, tetap tak bisa menghindar dari telinga Suma Sun.

Maka Suma Sun telah terbangun. Ia bisa tertidur dengan sangat pulas.
Namun bisa juga terbangun seperti tidak pernah tertidur. Cio San juga
sudah terbangun. Telinga kedua manusia ini begitu menakutkan.

Si bayangan itu pun tersentak kaget. Tidak menyangka kedua orang yang ia
sangka sudah tertidur itu kini malah sudah bangun dan berdiri di
hadapannya.

Salam nona Lie Sat mengenalnya. Nona ini adalah anak dari Kim tayhiap.

Eh, tuan ada di sini? Apakah tuan sahabat Suma tayhiap?

Benar

Heh? Lalu kenapa tuan menolong ayahku? tanyanya. Tajam sekali


pertanyaannya.

Karena jika tidak kutolong, tentu sahabatku Suma Sun yang akan
menyalahkanku

Ah rupanya si nona puas akan jawaban itu. Sedikit banyak dia memang
sudah mengerti sifat para dewa pedang.

Apa yang membawa nona kesini? tanya Suma Sun.

EhmLie-siansing belum cerita kepada tayhiap? si nona malah balik


bertanya.

Suma Sun dan Cio San sama-sama menggeleng.

Bisakah kita pindah ke tempat yang lebih sepi? tanya si nona. Ia


melihat ketiga anggota rombongan yang lain sudah terbangun.

Suma Sun mengangguk. Segera ia berkelebat dan menghilang dari situ.Si


nona juga sudah berkelebat. Hanya Lie Sat yang tinggal.

Kau tidak ikut? terdengar suara Suma Sun. Ia baru bergerak beberapa
detik yang lalu, tapi suaranya terdengar sudah jauh sekali.

Memangnya siapa yang perduli urusanmu? kata Cio San sambil tertawa.

Dalam hati ia berkata, Bertemu perempuan segalak itu cukup satu kali

Di dunia ini memang yang paling sial adalah bertemu perempuan galak. Yang
lebih sial adalah bertemu perempuan buruk rupa yang galak. Yang lebih
sial lagi adalah bertemu dua perempuan buruk rupa yang galak sekaligus.

Untunglah Cio san belum pernah sesial itu. Dalam hati ia berdoa agar
dijauhkan dari hal yang demikian.

Siapa nona itu? tanya Ang Lin Hua

Putri dari Kim-tayhiap

Mau apa dia kemari?

Eh, kau cemburu ya? untunglah kata-kata itu diucapkan Cio San dalam
hati. Walaupun cukup berani menantang macan, ia masih harus berpikir dua
kali untuk menggoda Ang Lin Hua.

Kurang tau jawabnya sambil tersenyum. Mungkin mewakili ayahnya untuk


menyampaikan pesan

Ang Lin Hua mengangguk-angguk.

Kembalilah tidur nona. Urusan ini bukan urusan kita. Kali ini Luk Ping
Hoo yang berkata.

Mendengar ucapan orang tua yang bijak dan berwibawa itu, Ang Lin Hua
mengangguk dan kembali tidur. Kao Ceng Lun pun kembali tidur.

Tak berapa lama Suma Sun sudah kembali.

Bagaimana? tanya Cio San.

Kenapa kau tidak cerita? tanyanya.

Karena nona itu sendiri yang memintaku untuk merahasiakannya. Dan karena
aku tahu, walaupun aku mengatakannya kau tak akan mau menunda pertarungan
itu

Suma Sun tersenyum puas.

Laki-laki jika merasa telah dimengerti oleh sahabatnya, akan tersenyum


seperti ini.

Senyum itu berarti bahwa ia sendiri tak salah memilih teman.

Teman yang tidak menceritakan rahasia orang lain kepadamu, adalah teman
yang tidak menceritakan rahasiamu kepada orang lain.

Nona itu menceritakan semuanya kepadamu?

Ia hanya menceritakan bahwa ayahnya terkena serangan salah satu dari


ribuan jarum beracun. Dan meminta agar pertandingan ini diundur

Kau menolak diundur karena kau tahu, itu bukan keinginan Kim-tayhiap
sendiri bukan? Dan kau pun tahu, jika kau memundurkannya karena hal ini
justru Kim-tayhiap yang akan kehilangan muka, bukan?

Suma Sun tersenyum tepat.

Ia sendiri tidak ada kemungkinan menang. Tapi ia menolak mengundurkan


pertarungan guna menjaga muka lawannya. Orang seperti itu adalah
manusia langka. Dan memang hanya manusia-manusia seperti ini yang mampu
mencapai taraf dewa pedang.

Kau tidak curiga bagaimana Kim-tayhiap terkena racun? tanya Cio San

Tentu saja curiga. Kau saja bisa selamat dari jarum itu, kenapa beliau
tidak

Benar. Berhubung kau pun sudah mengerti masalah ini. Lebih baik ku
ceritakan saja kecurigaanku

Suma Sun mengangguk.

Ketika aku pertama kali memasuki tendanya, aku melihat seorang anak
buahnya yang mati terkena racun. Sekali pandang aku tahu, ia bukan mati
karena racun jarum itu, melainkan karena sabetan pedang di
tenggorokannya. Kata Cio San. Lanjutnya,

Awalnya kupikir ia dibunuh adalah untuk membantunya agar cepat


meninggal. Racun itu begitu menyakitkan sehingga mungkin seseorang
menyabet tenggorokannya agar membuatnya cepat mati dan tidak begitu
menderita

Tapi begitu aku masuk ke dalam bilik kamar Kim-tayhiap dan melihat bahwa
belaiu keracunan, aku curiga bahwa si anak buah yang mati itu lah pelaku
sebenarnya yang meracuni Kim-tayhiap. Kecurigaanku semakin terbukti
ketika setelah ku periksa, racunnya ternyata tidak sama dengan racun yang
melukai puluhan orang di depan

Oh jadi kejadiannya adalah, seseorang menyamar atau menyusup menjadi


anak buah Kim-tayhiap lalu menyerangnya secara membokong saat ia sibuk
dengan ribuan jarum beracun itu? kali ini Suma Sun yang berkata.

Tepat. Mungkin begitulah kira-kira kejadiannya

Begitu liciknya ia menyusup di antara keributan itu. Cerdas dan licin.


Pintar sekali mencari kesempatan dalam kesempitan kata Suma Sun, lalu ia
melanjutkan, Hanya ada satu orang yang bisa memikirkan hal demikan,
bukan?

Hanya ada satu orang

Tak terasa mereka bergidik.

Bab 66 Hati Pedang

Aku harus segera berlatih kata Suma Sun.

Berlatih?

Ya ia pergi sambil tersenyum. Menenteng pedangnya dan hilang di balik


kegelapan malam.

Heran. Saat posisinya dulu kalah unggul dengan Kim-tayhiap ia malah


mabuk-mabukan. Kini saat posisinya lebih unggul, ia malah berlatih.

Karena tak tahu apa yang harus ia lakukan, Cio San pergi tidur.

Saat terang tanah, ia bangun. Sejak tadi telinganya sudah mendengar suara
pertempuran. Ia tahu itu hanya berupa latihan biasa. Luk Ping Hoo, Ang
Lin Hua, dan Kao Ceng Lung sedang berlatih bersama-sama. Memang jika ahli
silat berkumpul, hal yang paling menarik bagi mereka adalah adu jotos.

Melihat latihan ini Cio San kagum juga. Luk Ping Hoo yang sudah tua,
tidak kehilangan tenaga dan kelincahannya. Ang Lin Hua mengalami banyak
sekali kemajuan, dan Kao Ceng Lun memang memiliki bakat yang sangat
besar. Mereka bertiga saling menyerang satu sama lain, sehingga
pertempuran ini terasa lucu. Kadang Ang Lin Hua bahu-membahu dengan Kao
Ceng Lun menyerang Luk Ping Hoo. Kadang malah membantu Luk Ping Hoo
menempur Kao Ceng Lun. Kadang juga justru Kao Ceng Lun dan Luk Ping Hoo
yang menyerang Ang Lin Hua.

Latihan ini walaupun terlihat aneh, tentulah sulit untuk dilakukan.


Karena kau tak akan tahu siapa kawan dan lawan. Detik ini ia membantumu,
detik berikutnya ia malah menyerangmu. Dibutuhkan pemusatan pikiran yang

tinggi, serta kemampuan membaca situasi. Harus juga menguasai segala


perubahan jurus.

Lie-ko, ayo bergabung kata Kao Ceng Lun. Kata-kata itu cuma 4 atau 5
kata, tapi ia keluarkan sambil memukulkan 10 sampai 15 tinjunya.
Kecepatan pukulan tangan kosong keluarga Kao memang bukan omong kosong.

Terima kasih, tapi, tidak, terima kasih kata Cio San sambil tersenyum.
Biar ku jenguk Suma-tayhiap dulu

Segera ia bergegas ke arah Suma Sun pergi semalam. Dengan menggunakan


ginkangnya, tak lama kemudian ia sudah menemukan Suma Sun. Pendekar
pedang itu sedang duduk di sebuah batu besar. Tangan kanannya
mengancungkan pedang setinggi dada. Kakinya bersila, dan matanya
terpejam.

Karena sungkan mengganggu, Cio San duduk di sebuah pojokkan tebing, agak
sedikit jauh dari Suma Sun. Agak lama baru Suma Sun menurunkan pedangnya,
dan membuka matanya.

Sejak kapan kau berlatih seperti tadi? tanya Cio San

Sejak semalam

Jadi sejak mulai latihan sampai sekarang, kau hanya begitu saja?

Suma Sun mengangguk.

Cio San lama berpikir. Lalu berkata Kau ingin merasakan gerakan angin,
ya?

Kau cerdas kata Suma Sun sambil tersenyum.

Setiap hembusan angin yang datang padanya akan dihadapinya dengan


gerakan. Tapi ia tidak melakukan gerakan itu, ia hanya membayangkan
gerakan itu di dalam benaknya. Karena membuat gerakan dan membuat jurus
akan membatasi perubahan-perubahan. Dan juga menghabiskan tenaga. Begitu
hematnya ia kepada tenaganya, bahkan untuk latihan saja ia tidak
mempergunakan tenaga itu!

Mau kah kau berlatih denganku? tanya Suma Sun.

Tentu saja

Mari sini duduk di hadapanku

Cio San pun duduk bersila di depan Suma Sun.

Kau hafal jurus pedang nyonya muda keluarga Kim yang ku lawan beberapa
hari yang lalu?

Aku tidak hafal. Tapi aku bisa memainkan jurusnya kata Cio San

Hahaha. Kau memang manusia yang menakutkan

Nah, mari kita bartarung. Kau tahu pertarungan macam apa yang aku
inginkan bukan?

Cio San diam sebentar, lalu tersenyum dan berkata, Tentu

Dan mereka bertarung.

Siapapun yang memandang pertarungan mereka akan melongo.

Siapapun yang menyaksikan pertandingan mungkin tak akan percaya dengan


pandangan matanya sendiri.

Karena pada hakekatnya mereka tidak bertarung.

Mereka hanya saling memandang.

Pertarungan dilakukan hanya melalui tatapan mata.

Saling memandang dan membayangkan apa yang dilakukan lawan.

Dalam benak masing-masing, lawan dihadapannya sedang melancarkan jurus


silat terhebat yang harus dihadapi pula dengan kemampuan tertinggi diri
sendiri.

Mereka saling membaca jurus dari padangan mata, dari sedikit gerak bahu,
dari raut wajah, dan bahkan membaca jurus melalui hembusan nafas.

Pedangmu kesini, aku menghindar kesini. Langkah kakimu kesini, aku


menendang kesana. Pukulanmu kutangkis, lalu aku maju ke depan.

Di dunia ini tidak ada pertarungan sehebat ini. Walaupun Sum Sun buta,
Cio San tetap bisa membaca matanya. Karena bola matanya pun bergerak
mengikuti serangannya. Pergerakan yang amat sangat tidak terlihat, namun
mampu ditangkapnya.

Dan Suma Sun sendiri, walaupun buta, juga sanggup menangkap arah gerakan
Cio San melalui hembusan nafasnya.

Pertarungan dahsyat yang terjadi di benak masing-masing. Menyerang tanpa


mengeluarkan jurus. Bisa dibayangkan betapa tingginya ilmu kedua orang
ini. Masing-masing memasuki alam pemikiran lawan, dan bertarung di sana!

Seperti bermain catur tanpa papan dan bidak catur. Seperti bermain musik
tanpa alat musik. Semua berlangsung di benak masing-masing.

Dunia memang dipenuhi oleh cerita-cerita menakjubkan seperti pemusik tuli


yang mampu menciptakan musik menakjubkan. Aku pelukis buta yang mampu
melukis dengan warna warna indah.

Dan kini dunia mempersembahkan pertarungan ahli silat kelas tinggi yang
bergebrak tanpa bergerak!

Pertarungan ini pun berlangsung lama. Masing-masing pihak sudah


berkeringt dengan deras. Pertarungan seperti ini nampaknya lebih menguras
tenaga ketimbang pertarungan silat apapun di manapun.

Wah, jurus apa itu? tanya Suma Sun. Padahal tidak ada satu pun gerakan
yang mereka buat.

Cio San tidak berkata apa-apa. Ia sedang memusatkan pikirannya. Dari sini
bisa dilihat bahwa dalam ilmu pedang, Suma Sun masih setingkat lebih
tinggi.

Hebat Suma Sun bergumam.

Cio San masih diam. Ia merasa sangat terganggu dengan ucapan-ucapan Suma
Sun. Maka ia kemudian menutup jalan pendengarannya. Dunia kini sunyi
baginya. Justru dengan begitu ia mampu mengatur lagi seranganserangannya.

Entah kata-kata apa yang diucapkan Suma Sun. Tapi si pendekar pedang ini
rupanya sadar bahwa Cio San telah mengunci jalan pendengarannya sehingga
Suma Sun akhirnya memilih diam.

Sesungguhnya jurus yang Cio San gunakan adalah jurus pedang dari pendekar
kelana Can Li Hoa yang dipelajarinya di hutan bambu.

Jurus-jurus yang amat dahsyat jika diperagakan. Tapi justru menjadi lebih
dahsyat ketika hanya dibayangkan.

Suma Sun mulai kesulitan. Jurus pedang ini aneh dan tak masuk akal
baginya.

Walaupun memiliki inti yang sama dengan jurus pedangnya sendiri, jurus
pedang yang dilancarkan lawannya itu benar-benar terbalik dengan pakem
jurus yang ada. Jika gerakan seharusnya menikam, maka gerakannya malah
menarik pedang. Jika gerakan harus mundur, ia malah maju. Jika harus
menangkis, ia malah menyerang.

Justru dengan gaya jurus terbalik ini, mampu menghancurkan segala


aturan jurus-jurus pedang yang ada. Jurus Suma Sun yang snagat efektif
dan hanya mengandalkan sebuah serangan utama, tanpa tipuan dan gerakan
hiasan, menemui lawan seimbang dalam ilmu pedang yang dilancarkan Cio San
ini.

Sampai pada tahap ini, tingkat kedua orang ini menjadi sama!

Seri!

Kedua orang itu masih duduk berhadap-hadapan. Keringat membanjiri pakaian


mereka. Tubuh mereka masih di sana, tetapi benak, jiwa, dan pikiran
mereka sedang melanglang ke sebuah arena pertempuran di bawah alam sadar
mereka.

Pertempuran benak ini masih terus berlangsung.

Pedang Cio san telah mengurung Suma Sun. Jika dewa pedang lain memiliki
jurus pedang seperti hujan lebat atau curahan air terjun yang dahsyat
menghantam dan mengguyur bumi, jurus pedang yang dilancarkan Cio San
malah sebaliknya. Ringan, dan terasa tanpa beban. Datangnya pun satu-

satu. Tapi yang satu-satu ini justru mengurung Suma Sun sehingga ia tak
lagi memiliki tempat untuk menghindar.

Suma Sun pun hanya mampu bergerak sekedarnya agar pedang Cio san tidak
mengambil nyawanya. Jurus pedang yang aneh itu telah membuat begitu
banyak luka di tubuhnya.

Kali ini pedang Cio San sudah dekat sekali dengan tenggorokannya.

Bukannya mundur, ia malah maju.

Kaget dengan gerakan Suma Sun, pedang Cio San agak meleset sedikit. Tentu
saja ia tidak ingin membunuh temannya. Walaupun ini hanya pertempuran
yang terjadi di dalam benak masing-masing, tentu ia tak ingin membunuh
musuhnya.

Oleh karena itu gerakan pedang Cio San terhenti sejenak. Yang sejenak itu
sudah cukup bagi Suma Sun. segera pedangnya berkelebat, dan dahi Cio San
pun tertusuk pedang.

Lalu mereka tersadar!

Keringat sudah mengalir deras, dan tenaga pun terkuras.

Ini pertarungan terdahsyat yang pernah dialami oleh kedua orang ini.

Cio San tertawa.

Akhirnya ia mengerti perkataan Pendekar Pedang Kelana, bahwa ia tak akan


menang melawan Suma Sun. Karena Suma Sun selalu mempunyai cara untuk
membunuh orang. Walaupun ilmu pedangnya kalah tingkat dari ilmu lawannya.

Mau tidak mau ia akhirnya berbesar hati menatap pertarungan Suma Sun
dengan Kim-tayhiap nanti. Masih ada harapan, masih ada kemungkinan untuk
menang!

Terima kasih, itu tadi ilmu pedang yang sungguh hebat kata Suma Sun.
Jauh lebih hebat ketimbang ilmu pedang Kim-tayhiap

Tentu saja. Itu adalah ilmu milik Pendekar Pedang Kelana kata Cio San.

Mata Suma Sun terbelalak. Ia lalu bersujud. Tentu saja Cio San segera
mencegahnya, tapi terlambat.

Terima kasih telah memperlihatkannya kepadaku. Hidupku sekarang sudah


terpuaskan. Melihat ilmu pedang itu sudah membuatku merasa tercerahkan.
Ia berkata begitu sambil berkaca-kaca.

Dewa pedang yang dulu begitu dingin itu, kini begitu hangat oleh
perasaan-perasaan manusiawi.

Pendekar Pedang Kelana, menitipkan jurus pedang ini kepadaku. Jika ada
murid yang pantas, aku boleh menurunkan ilmu ini kepadanya

Suma Sun diam. Cio San pun diam.

Lalu Cio San berkata,

Tapi aku tahu aku tidak mungkin menurunkan ilmu ini kepadamu, karena
pasti akan membuat ilmu pedangmu sendiri terganggu

Suma Sun tersenyum. Jika dalam pertarungan bayangan saja mereka sudah
saling mengerti, apalagi terhadap hal-hal yang menyangkut perasaan dan
harga diri satu sama lain.

Mari istirahat.

Sambil menikmati buah-buahan yang ada di sekitar situ mereka mengobrol


dan membicarakan banyak hal.

Aku sampai sekarang belum mengerti alasanmu mabuk-mabukan tempo hari


kata Cio San.

Kau tentu paham jika aku sudah kalah pengalaman dan kalah ilmu dari Kimtayhiap jelas Suma Sun, lalu melanjutkan Jika aku memikirkan hal untuk
melawan kekuranganku itu, malah akan membuatku semakin kalah.

Oleh sebab itu aku memilih berbahagia. Dengan orang-orang terdekatku.


Aku memilih menjalani masa kini, dan menghilangkan ketakutan-ketakutan
akan masa depan

Dengan berbahagia, pikiran jadi terang. Hati jadi lapang. Dengan begitu
jiwaku menjadi lebih siap dalam menghadapi pertarungan. Apapun hasilnya
akan ku hadapi. Kalah ya kalah, mati ya mati. Tapi hasil itu baru
ditentukan beberapa hari lagi. Hari ini? Hari ini aku ingin berbahagia.
Ingin menjalani hidup yang lebih hidup.

Jadi aku mengorbankan tenaga dengan minum arak. Tetapi hasilnya, aku
mendapatkan kebahagiaan. Kebahagiaan ini menjadi modal bagi jiwaku untuk
menghadapi pertarungan nanti

Orang yang bahagia, matanya menjadi terang dan jiwanya bercahaya.


Pikirannya tajam, dan pemahamannya jernih.

Mendengar itu Cio San menggut-manggut.

Aku selalu percaya padamu, kepada apapun yang kau lakukan. Aku yakin kau
akan mampu mengalahkan Kim-tayhiap. Kau selalu menemukan cara untuk
mengalahkan lawan yang jauh lebih kuat dan lebih unggul darimu

Aha, kau lupa satu hal

Kim-tayhiap itu adalah dewa pedang. Tentunya ia pun mempunyai kelebihan


itu

Cio San tercekat. Betul juga.

Entah mengapa pikirannya jarang bisa jernih jika menyangkut keselamatan


orang-orang terdekatnya. Padahal ia memiliki kemampuan yang hebat dalam
membaca situasi dan mencerna makna-makna. Sayangnya jika menyangkut
orang-orang yang dekat dengan dirinya, ia selalu gagal untuk tidak
melibatkan perasaan. Kadang-kadang perasaan memang selalu mampu menguasai
akal.

Sudahlah jangan pikirkan pertandingan itu. Biarkan ini menjadi urusanku


semata. Yang ingin kutanyakan, apakah kau sudah memiliki rencana
mengalahkan si otak besar?

Sudah?

Apa itu?

Jangan sampai jabatan Bu Lim Beng Cu jatuh ke tangannya. Oleh karena itu
kita harus berusaha agar jabatan itu benar-benar jatuh ke tangan orang
yang bersih dan terpercaya

Setahuku orang yang bersih dan terpercaya cuma kau tukas Suma Sun
sambil tersenyum.

Aku tidak memiliki kemampuan dan wibawa dalam memimpin. Tapi aku kenal
satu orang yang punya

Siapa?

Beng Liong

Maksudmu kita harus mendukung dia?

Benar. Segala cara harus kita lakukan agar dia yang menjadi Bu Lim Beng
Cu. Dengan begitu, kita sudah menang satu langkah dari si otak besar.

Kenapa bukan kau saja yang jadi Beng Cu?

Kau lupa? Aku kan sudah jadi buronan seluruh Kang Ouw. Begitu ketahuan,
pasti kepalaku segera dipenggal. Lagian, ilmu silat Beng Liong juga sudah
mencapai taraf yang sangat tinggi. Ia pun berasal dari partai yang lurus.
Walaupun Ciangbunjin nya terlibat dengan si otak besar, aku yakin partai
Butongpay masih merupakan partai yang lurus.

Baiklah. Bagaimana cara kita mendukungnya?

Kita harus mengikuti pertandingan perebutan Bu Lim Beng Cu itu.


Mengahalu siapa saja yang mencoba memperebutkannya. Gunanya untuk
memuluskan langkan Beng Liong menjadi Beng Cu

Aku setuju. Tapi malam sebelum pertandingan perebutan itu, aku kan masih
harus bertarung melawan Kim-tayhiap. Aku masih belum bisa memastikan
apakah aku bisa keluar dengan selamat atau tidak

Cio San tidak bisa berkata apa-apa.

Suma Sun tetap tersenyum dengan ringan. Ayo pulang katanya sambil
menepuk pundak Cio San.

Mereka pun pergi.

Tak jauh dari sana. Di kegelapan pepohonan hutan yang lebat. Seseorang
tersenyum. Senyum yang sungguh menakutkan.

Bab 67 Kejadian-Kejadian

Bayangan hutan yang gelap. Tapi bayangan orang ini terasa lebih gelap
lagi. Kekelaman jiwanya bahkan jauh lebih gelap daripada malam. Semua itu
terlihat dari sinar wajahnya.

Sinar kegelapan!

Jika ada cahaya yang bersinar namun sinarnya membuat sekelilingnya terasa
gelap, itulah cahaya sinar matanya. Siapa pun yang dipandangnya akan
merasa terlempar ke dalam jurang paling gelap di sudut bumi.

Senyumnya.

Jika ular beracun bisa tersenyum, tentulah senyumnya akan seperti senyum
orang ini.

Orang lain membunuh dengan pedang, namun ia bisa membunuhmu cukup dengan
senyumannya.

Dengan perlahan ia mengeluarkan secarik kertas dari balik bajunya, Lalu


ia menulis. Tulisan huruf-hurufnya walau jelas dan mudah dibaca, terasa
kacau dan tak teratur.

Bunuh Beng Liong.

Sebelum pertarungan antara Suma Sun dengan Kim Sin Kiam, Beng Liong harus
mati.
Gunakan racun. Jika gagal, kirim pendekar paling hebat. Jika gagal,
gunakan perempuan. Jika gagal lagi, aku sendiri yang akan turun tangan.

Jati diri tabib Lie Sat yang mencurigakan juga sudah ku ketahui. Ia
adalah Cio San. Segera bongkar kedoknya saat pertarungan dua dewa pedang
itu selesai.

Surat itu dilipatnya dengan rapih. Lalu ia bersiul. Sebuah siulan yang
lirih dan nyaris tak terdengar. Tak lama kemudian seekor burung merpati
datang dan hinggap di lengannya. Ia lalu mengikatkan surat itu di kaki
burung tersebut, dan membiarkannya terbang tinggi.

Ia diam sejenak memandang sampai burung itu menghilang dari pandangan


matanya. Lalu ia pun menghilang dari situ. Tak ada yang tahu kapan ia
bergerak.

***

Cio San dan Suma Sun sudah kembali.

Ang Lin Hua, Kao Ceng Lun, dan Luk Ping Hoo ternyata sudah selesai
latihan pula. Melihat kedatangan kedua orang ini, mereka tersenyum.
Senang rasanya melihat Suma Sun sudah kembali berlatih. Bayangan wajah
pemabuk yang kemarin hadir di wajahnya kini telah sirna. Berganti dengan
bayangan seorang pendekar gagah yang telah siap bertempur.

Pencerahan datang kepada manusia dengan tiba-tiba dan tak disangkasangka. Sepertinya begitu mudah dan begitu gampang. Tapi sebelum
pencerahan itu datang kepada seseorang, orang itu haruslah mengalami
penderitaan yang dalam, serta perjuangan yang berat.

Orang yang telah mencapai pencerahan, adalah orang yang dulu batinnya
terluka, jiwanya menangis, dan hatinya tersakiti. Atau orang yang dulunya
terhina dan ditertawakan. Orang-orang seperti ini jika bangkit, akan
menjadi orang-orang besar yang mengagumkan.

Tapi siapa pun engkau, kau harus menerima penderitaan besar sebelum
mendapatkan pencerahan.

Mungkin karena itu pulalah Suma Sun membiarkan dirinya terlena dan
bermabuk-mabukkan. Hingga hampir semua orang menertawakan dirinya. Hingga
kawan-kawannya kehilangan kepercayaan padanya.

Tiada seorang pun berani menertawakan dewa. Jika dewa ditertawakan,


maka penderitaanya itu jauh lebih besar daripada kematianya. Istilah
laki-laki boleh dibunuh, tapi tidak boleh dihina nampaknya mereka
pegang sungguh-sungguh.

Martabat Suma Sun sudah jatuh saat ia terlihat mabuk-mabukkan dan


berpesta pora. Ia tidak lagi dianggap dewa kematian yang menakutkan.
Tetapi hanya sebagai manusia penakut yang patut dikasihani. Manusia yang
lari kepada arak, saat jalan di depan terlihat buntu.

Entah bagaimana Suma Sun bisa mengalaminya.

Cio San sendiri menduga itu adalah siasat Suma Sun dalam menghadapi
pertarungan. Tapi Cio San sendiri tak pernah menyangka bahwa Suma Sun
sengaja menghancurkan diri sendiri, untuk kemudian membangun jiwa yang
lebih kuat dan lebih tangguh.

Ujaran kuno berkata,

Kadang-kadang dalam membangun bangunan yang kokoh, kau harus


menghancurkan bangunan yang lama

Cio San pernah mendengar ujaran itu dari ayahnya. Tetapi melihat
seseorang merusak diri sendiri untuk kembali bangkit sebagai manusia yang
baru dan lebih tangguh, baru kali ini dialaminya.

Kini Suma Sun benar-benar terlihat sebagai manusia baru.

Dan terasa jauh lebih menakutkan dari sebelumnya.

Padahal ia kini telah menjadi seseorang yang hangat dan bersahabat. Tapi
Cio San merasa justru Suma Sun terasa lebih menakutkan.

Mari sarapan dulu kata Ang Lin Hua.

Bau kambing gunung yang dibakar memang sejak tadi memenuhi tempat itu.

Sahabat, makanan, dan arak.

Tiga hal yang tak akan pernah dilewatkan Cio San.

Dan rupanya teman-temannya pun memiliki pendirian yang sama.

***

Siang hari.

Beng Liong paling suka jika selesai latihan, ia duduk di bawah pohon
sambil menikmati ikan panggang. Ia memang suka ikan panggang. Dan sungai
kecil di Thay San ini penuh dengan ikan-ikan kegemarannya.

Bagian atas tubuhnya masih belum ia tutupi. Dadanya yang bidang tegap
berkeringat. Keringatnya sangat harum sampai-sampai orang mengira
keringatnya itu adalah minyak pewangi.

Ia telah keluar dari sungai, dan telah memperoleh sejumlah tangkapan. Api
bakaran sudah dipersiapkannya sebelum tadi turun ke sungai.

Tak berapa lama ia menanti, panggangannya sudah selesai. Semerbak harum


ikan membuatnya tersenyum.

Betapa nikmat menikmati makanan seperti ini di alam terbuka!

Sesuatu yang sederhana jika ditempatkan di tempat yang pas, akan terasa
jauh lebih indah dan bermakna.

Ia menikmati sendiri makanan itu. Ia memang lebih suka sendirian.


Rombongan Butong Pay berjumlah puluhan orang, tapi ia memilih berlatih
sendirian di kesunyian.

Baginya kesunyian jauh lebih merdu daripada lagu seindah apapun.

Kesunyian adalah tempatnya menumpahkan segala pemikiran yang ada di


benaknya.

Ia telah terbiasa dengan kesunyian.

Oleh sebab itu, gerakan sekecil apapun akan mampu didengarnya.

Telinganya telah mendengar suara berdecit yang aneh.

Ribuan jarum sedang mengarah kepada dirinya dengan kecepatan tinggi!

Ia tetap tenang.

Bahkan jika kiamat pun, ia akan tetap tenang.

Tangannya menggenggam pasir yang ada dihadapannya.

Sekali hentakan, sekali putaran badan. Pasir-pasir itu telah menghalau


ribuan jarum beracun yang datang menghujam.

Gerakannya begitu indah. Begitu luwes. Begitu tenang. Begitu mengagumkan.

Hanya Beng Liong yang bisa bergerak seperti ini.

Saudara siapakah? Mari silahkan muncul

Bahkan ia pun masih bisa bertanya dengan santun kepada penyerangnya.

Tiada jawaban. Sunyi dan hening.

Sekali melesat, Beng Liong sudah ada di arah tempat jarum-jarum tadi
muncul.

Tak ada siapa-siapa.

Ia menoleh ke bawah. Meneliti jejak kaki. Siapa tahu ia bisa menemukan


petunjuk.

Jejak kaki yang hampir tak terlihat mata, namun Beng Liong bisa
menemukannya.

Dari langkahnya, kedalaman telapaknya, keluwesan gerak, serta


kelincahannya, orang ini mempunyai ginkang cukup tinggi

Ginkang yang cukup mengagumkan.

Hanya sayangnya, orang yang berkata ini adalah salah seorang dari 3
manusia tercepat di muka bumi.

Ya.

Jika bicara tentang Ginkang, Beng Liong tidak kalah dari siapa pun juga.
Siapa pun juga tidak sanggup mengalahkan dia.

Tuan. Saya yakin tuan masih berada di sini, silahkan keluar ujarnya
sopan.

Tidak ada balasan.

Yang muncul adalah suara decitan, yang dibarengi dengan datangnya ribuan
jarum secepat kilat.

Namun kali ini Beng Liong tidak diam menerima jarum itu. Ia malah
bergerak maju. Gerakan majunya ini bahkan mungkin lebih cepat daripada
gerakan jarum-jarum itu. Sambil maju ia mengeluarkan sebuah jurus. Jurus
indah milik Butongpay.

Tanpa harus mengetahui nama jurusnya, orang tentu telah terkagum-kagum


melihat gerakan jurus ini. Beng Liong hanya menggunakan ranting pohon
yang dipetiknya sekejap saja.

Sederhana dan luwes.

Tapi angin yang dihasilkan dari gerakan sabetan ranting pohon ini telah
menghalau ribuan jarum itu.

Thay Kek Kiam Siut.

Ilmu pedang Thay Kek.

Thio Sam Hong menggubahnya dari ilmu tangan kosong Thay Kek Kun.

Kata orang ilmu pedang ini sampai sekarang belum ada tandingannya, jika
Thio Sam Hong yang memainkannya.

Kini Beng Liong memainkannya.

Jika ada orang yang melihatnya, tentu akan percaya.

Sayangnya satu-satunya orang yang melihat ilmu pedang itu sudah terkapar
tak bernyawa.

Beng Liong tidak pernah membunuh orang. Orang itu mati bunuh diri.

Orang itu tentu saja penyerangnya yang tadi menggunakan ribuan jarum itu.

Si penyerang ini tidak menyangka bagaimana mungkin ada manusia bergerak


secepat ini. Bahkan menembus ribuan jarum pula. Dan tahu-tahu telah
menodong lehernya dengan sebuah ranting pohon.

Sayangnya si penyerang ini lebih memilih mati. Ia tahu Beng Liong akan
mengampuninya. Tapi ia juga tahu, orang yang memerintahkannya tidak akan
mengampuninya.

Oleh sebab itu lebih baik mati.

Kalau nanti pasti mati, kenapa tidak mati sekarang saja? Toh, sebelumnya
tidak disiksa dulu.

Beng Liong hanya bisa menunduk dan menghela nafas. Entah apa yang ia
pikirkan sekarang. Matanya hanya tertuju pada sebuah kotak perak sebesar
kepala kambing di tangan orang mati itu.

Sekali pandang ia sudah tahu kotak apa itu.

Kotak itu digunakan untuk melontarkan ribuan jarum tadi. Karena tidak
mungkin si orang mati ini yang melontarkan jarum-jarum tersebut. Karena
jika ia yang melontarkan jarum-jarum itu, seharusnya ia bisa melontarkan
lagi jarum-jarun itu saat Beng Liong maju menyergapnya.

Rupanya kotak ini setelah melontarkan ribuan jarum, harus diisi lagi
dengan sejenis peluru yang akan melontarkan lagi ribuan jarum.

Mungkin pada saat orang itu ingin mengisi ulang pelurunya, ranting
pohon Beng Liong sudah mendahului menodong tenggorokannya.

Beng Liong memungut kotak itu dengan hati-hati.

Dengan wajah sedih ia memandang mayat itu. Lalu dengan perlahan ia pergi.

***

Sore hari menjelang.

Beng Liong sedang berada di tendanya. Rombongan Butongpay membawa 3


tenda. Sebuah tenda kecil untuk Ciangbunjin dan seorang pengawalnya.
Sebuah lagi agak sedang, buat murid-murid tingkatan agak tinggi, dan yang
paling besar untuk murid-murid biasa.

Beng Liong kini menikmati tehnya. Murid-murid yang lain tahu, jika Beng
Liong sedang menikmati tehnya, orang lain sungkan mengganggu. Ini bukan
karena Beng Liong akan marah jika terganggu. Ia tidak pernah marah jika
terganggu. Mereka hanya mengerti bahwa acara minum teh ini adalah acara
yang paling disenangi Beng Liong. Oleh karena itu mereka membiarkannya
sendirian.

Acara minum teh jauh lebih disukai Beng Liong daripada minum arak. Ia
heran mengapa ada pendekar yang mengorbankan kekuatan tubuh mereka hanya
untuk kesenangan minum arak.

Walaupun kemampuan minum arak adalah pembuktian kekuatan tubuh, Beng


Liong jarang sekali mau minum arak. Baginya pembuktian kekuatan tubuh
yang sebenarnya adalah pada pertempuran.

Minum teh adalah bagian dari kebudayaan masyarakat Tionggoan. Ada


upacara-upacara khusus yang diadakan ketika minum teh. Tapi Beng Liong
sendiri saat ini hanya ingin menikmati sebuah teh yang nikmat. Yang
hangat dan wangi.

Kembali suara decit itu muncul kembali.

Ribuan jarung menyerang tendanya. Untunglah tenda itu dibuat dari bahan
khusus sehingga tidak mampu ditembus jarum-jarum itu. Butongpay memang
memiliki berbagai benda pusaka yang mengagumkan. Ternyata tenda-tenda ini
salah satunya.

Dengan geram, ia segera melesat keluar.


Begitu tiba di luar suasana tenang dan biasa-biasa saja. Beng Liong
menajamkan telinga. Ia berharap dapat mendengarkan sedikit saja suara.

Suara kecil itu bisa membuatnya menentukan posisi yang sebenarnya sang
musuh.

Beberapa murid Butongpay juga sudah menghambur keluar ketika mendengarkan


suara itu.

Liong-ko ada apa? tanya mereka.

Penyerang jarum itu lagi jawabnya.

Aih, di mana dia?

Aku pun sedang mencari jawab Beng Liong tenang.

Sirna sudah harapan Beng Liong mencari pelakunya. Jika tempat itu sudah
dipenuhi banyak orang, mustahil jejaknya ditemukan.

Jangan-jangan justru penyerangnya berada di dalam gerombolang orang ini?

Mereka semua siap siaga. Menanti jangan-jangan serangan berikutnya akan


datang lagi. Lama mereka menanti. Tapi suasana masih hening dan sepi.

Merasa bahwa tindakan ini percuma, Beng Liong kembali ke tendanya.

Tehnya rupanya masih sedikit hangat.

Dengan tersenyum ia meraih gagang cangkir tehnya. Walaupun sudah tidak


begitu panas, setidaknya teh ini masih enak diminum.

Tapi tangannya berhenti sebelum meraih gagang cangkir itu.

Ia tadi minum dengan tangan kanan. Posisi minumnya menghadap pintu tenda.
Jika cangkir itu diletakannya kembali, seharusnya gagang itu ada di
sebelah kanan.

Kini gagang itu agak bergeser sedikit ke sisi kiri!

Dengan hati-hati ia melepas batu kecil yang menempel di cincin di


tangannya. Lalu dicelupkannya batu itu ke dalam cangkir. Batu yang
awalnya berwarna hijau itu dengan cepat berubah menghitam.

Seseorang telah menaruh racun di dalam cangkir tehnya!

***

Walaupun saat itu telah memasuki musim gugur, malam tetap cerah dan
bintang bersinar terang. Rembulan bercahaya. Redup namun indah.

Ang Lin Hua memisahkan diri dari rombongan. Perempuan selalu punya alasan
untuk pergi.

Entah hanya sebentar, lama atau bahkan selamanya.

Jika sebentar, biasanya hanya sekedar merapikan rambut, menebalkan bedak,


atau mengoleskan gincu. Jika lama berarti buang air. Jika selamanya,
berarti ia menemukan cinta yang baru.

Kali ini Ang Lin Hua memilih sebuah tempat yang agak sepi. Urusan
perempuan cuma perempuan yang boleh tau. Lama juga ia menyelesaikan
urusannya ini.

Setelah selesai ia beranjak pergi.

Alangkah kagetnya ia saat seseorang muncul di belakangnya dan langsung


menotoknya.

Ia hanya bisa terbelalak. Tak menyangka orang yang dikenalnya begitu


dekat, tega melakukan ini kepadanya!

***

Eh, mana nona Ang? Kenapa begitu lama? tanya Kao Ceng Lun.

Iya, biasanya tidak selama ini. Coba ku cari kata Lie Sat alias Cio
San.

Lie Sat pergi. Termasuk lama juga. Ketika kembali, wajahnya yang pucat
terlihat lebih pucat.

Nona Ang, menghilang katanya.

Apa?

Lebih baik kita berpencar mencari nona Ang kata Luk Ping Hoo.

Baik

Setelah menentukan arah, masing-masing berpencar.

Luk Ping Hoo kebagian mencari ke arah tadi Ang Lin Hua menghilang. Dalam
kegelapan malam ia mencari-cari sambil sekali-sekali memanggil nama Ang
Lin Hua.

Tidak ada sahutan.

Tidak ada orang.

Yang ada hanya sebuah tangan yang menotok punggungnya.

***

Berjam-jam mereka mencari. Ang Lin Hua tidak ditemukan. Luk Ping Hoo pun
bahkan ikut menghilang.

Terbayang sedikit kepanikan di wajah mereka bertiga.

Apa yang harus kita lakukan? tanya Kao Ceng Lun.

Lebih baik kita jangan berpencar. Kita harus terus bersama sambil
mencari mereka usul Lie Sat.

Suma Sun hanya mengangguk-angguk.

Sampai pagi menjelang, kedua orang itu tidak kembali.

Kao Ceng Lun nampak sangat bingung, dan Lie Sat pun tidak tidak tenang.

Suma-tayhiap, sebaiknya tayhiap beristirahat. Pertarungan akan diadakan


nanti malam. Saya takut hal ini bisa mengganggu pikiran tayhiap

Suma Sun tidak berkata apa-apa.

Ia nampak tenang saja.

Rupanya si manusia telah kembali menjadi dewa.

Ahhh, aku sudah tak sabar lagi. Lebih baik aku pergi mencari mereka Kao
Ceng Lun segera berdiri dan beranjak dari situ.

Orang muda memang selalu tidak sabaran batin Lie Sat. Ia sendiri pun
beranjak dari situ. Meninggalkan Suma Sun sendirian.

Jika seluruh gunung Thay San ini runtuh pun, ia tidak khawatir
meninggalkan Suma Sun sendirian.

Pencarian berlangsung tanpa hasil. Kedua orang itu hilang bagai ditelan
bumi. Sampai tengah hari Kao Ceng Lun dan Lie Sat telah kembali. Saat
tiba kembali, ternyata anak perempuan Kim Sin Kiam telah berada di sana.

Herannya, ia cuma duduk di sana. Tidak menyapa Suma Sun sama sekali.
Setelah ditengok, ternyata Suma Sun sedang tidur.

Aku sungkan membangunkannya kata wanita itu.

Siocia ada pesan apa, biar nanti saya yang sampaikan kata Lie Sat.

Katakan pada Suma Tayhiap, ayah mengajukan 3 tempat untuk pertarungan


tengah malam nanti. Pavilliun Langit di Puncak Kaisar Giok, di depan Kuil
Awan Biru, atau di tebing Jembatan Abadi. Suma-tayhiap berhak memilih

Baik. Akan saya sampaikan

Cayhe mohon diri, siansing ia lalu melesat menghilang.

Sombong sekali. Bahkan mengucapkan terima kasih saja tidak gerutu Kao
Ceng Lun.

Cio San hanya tersenyum pahit.

Perempuan cantik memang kadang-kadang tidak perlu mengucapkan terima


kasih. Manusia lain yang harusnya berterima kasih kepadanya. Karena
setidaknya, kecantikannya sudah membuat dunia sedikit lebih indah.

Tak berapa lama kemudian Suma Sun sudah bangun. Wajahnya terlihat segar.
Sinar wajahnya pun bersinar terang. Ia duduk diam bersemedi sebentar.

Lalu begitu matanya dibuka, Cio San terpana.

Walaupun ia telah berkumpul cukup lama dengan Suma Sun, baru kali ini ia
melihat cahaya seterang itu. Biarpun buta, cahaya matanya bersinar begitu
terang.

Seperti kaisar yang memandang daerah kekuasannya yang luas.

Seperti elang yang terbang sendirian di angkasa.

Begitu gagah. Begitu mengagumkan.

Kau sudah siap? tanya Cio San

Sejak dulu sudah siap

Baik. Ayo kita berangkat

Eh, kita tidak mencari Luk-tayhiap dan Ang-siocia dulu? tanya Kao Ceng
Lun

Lie Sat menarik nafas, Siauya (tuan muda), segala cara sudah kita
lakukan. Bertanya pun sudah kemana-mana. Memangnya apa yang bisa kita
lakukan sekarang? Kita hanya bisa menunggu. Dalam beberapa saat,
jawabannya pasti datang kepada kita.

Baiklah jawab kao Ceng Lun.

Mereka lalu berangkat. Ketiga tempat yang diusulkan Kim-tayhiap letaknya


berdekatan. Butuh beberapa jam perjalanan dari tempat mereka berada
sekarang.

Begitu sampai di sana, Suma Sun berkeliling memeriksa tempat. Satu


persatu tempat itu dikelilinginya. Memperhatikan tanahnya, merasakan
tiupan anginnya, memperhatikan keadaan pepohonannya. Tak ada satu pun
yang terlewatkan oleh Suma Sun.

Suma-tayhiap ini seperti seorang jendral perang. Ia mempelajari betul


setiap tempat yang ada tukas Kao Ceng Lun.

Seorang ahli silat seperti dirinya, yang menghadapi duel seperti ini,
harus benar-benar menyiapkan diri. Satu hal kecil terlewatkan saja bisa
membuatnya kehilangan nyawa. Salah memperhitungkan arah angin saja, sudah
membuatnya ketinggalan beberapa langkah kata Cio San.

Kao Ceng Lun mengangguk membenarkan.

Tentunya Kim-tayhiap sudah memperhitungkannya pula sebelum mengajukan


ketiga tempat ini katanya.

Tentu saja. Mereka berdua kan manusia sejenis

Manusia jenis dewa sambung Kao Ceng Lun.

Suma Sun lalu kembali.

Sudah diputuskan? tanya Cio San.

Suma Sun mengangguk.

Aku memilih Jembatan Abadi

Cio San tersenyum. Bertarung di tempat seperti itu.

Bahkan berjalan diatasnya saja sudah merupakan pertaruhan hidup. Ini


malah bertarung di atasnya.

Jembatan abadi adalah sebuah jembatan alami yang terbuat dari susunan
batu-batu besar yang dulu runtuh ke dalam jurang. Batu-batu ini tidak
jatuh kedalam jurang, dan malah saling menumpuk membentuk sebuah jembatan
alam.

Jembatan Abadi

Bagaimana cara kau memberitahukan pilihanmu ini kepada Kim-tayhiap?

Sejak awal dia sudah tahu pilihanku

Ah aku lupa, kalian adalah manusia sejenis

Suma Sun tertawa.

Dari seluruh suara menyenangkan yang ada di dunia ini, tawa Suma Sun
adalah salah satunya.

Suma Sun lalu berkata,

Aku butuh waktu untuk menyendiri sampai tengah malam nanti. Harap kalian
maafkan aku

Tentu saja jawab kedua sahabatnya ini.

Sore datang, dan malam pun menjelang.

Banyak manusia yang datang berkumpul di situ. Entah bagaimana caranya


mereka bisa tahu tempat ini. Mungkin mereka mendengar pula usulan tempat
dari Kim-tayhiap.

Beberapa anak buah Kim-tayhiap sudah datang di sana dan mulai menyalakan
obor. Tempat itu menjadi terang benderang dan indah sekali.

Tempat itu menjadi sangat ramai.

Suma Sun dan Kim-tayhiap sama sekali tidak terlihat.

Lalu ketika tengah malam tiba, kedua orang ini pun muncul.

Entah iblis atau malaikat. Semua orang yang ada di sana merasa bulu kuduk
mereka berdiri.

Suasana begitu hening. Ratusan bahkan ribuan orang yang berada di sana
tak berani buka suara. Semua terpana melihat dua orang manusia dewa di
hadapan mereka.

Lalu sebuah teriakan mengagetkan terdengar,

Tolong! Tolong!

Beberapa orang yang menoleh kaget. Sgera mereka berteriak pula

Mayat! Ada mayat!

Semua menoleh ke arah yang ditunjuk.

Seseorang datang tergopoh-gopoh sambil menggendong sesosok tubuh.

Dari jauh pun Cio San mengenal tubuh siapa itu.

Beng Liong!

(Catatan penulis: jika teman2 pengen tau gunung Thay San, ini link wikinya: http://en.wikipedia.org/wiki/Mount_Tai)

Bab 68 Pertarungan Dewa Pedang

Dengan sekali lesatan Cio San sudah muncul di hadapan orang yang
menggotong Beng Liong itu.

Apa yang terjadi, enghiong? tanyanya sambil menjura.

Cayhe menemukan Beng Liong-tayhiap di pinggiran jurang di dekat sini.

Sambil mengangguk Cio San memeriksa Beng Liong.

Masih hidup!

Nafasnya sangat lemah. Bahkan hampir tidak ada. Secepatnya Cio San
langsung menyalurkan tenaga saktinya.

Darah yang mengalir dari mulut Beng Liong masih segar. Itu berarti ia
baru saja terluka. Melihat mantan kakak seperguruannya dalam keadaan
seperti itu, hatinya merasa tergetar juga. Beng Liong kaku seperti mayat.
Wajahnya pucat pasi. Begitu Cio San memeriksa jalan darahnya, segera ia
menyadari bahwa jalan darah Beng Liong telah terpukul sedemikan hebatnya
sehingga alirannya menjadi kacau balau.

Jika terlambat beberapa menit saja, Beng Liong pasti meninggal.

Dengan segenap kekuatannya dan pengetahuannya, Cio San berusaha


menyembuhkan Beng Liong. Saluran tenaga sakti yang Cio San berikan kepada
Beng Liong setidaknya cukup berpengaruh karena tak lama kemudian Beng

Liong sudah mulai pulih kesadarannya. Wajahnya pun perlahan-lahan mulai


memerah.

Jangan melakukan apapun, Liong-ko. Terima saja aliran tenaga ini bisik
Cio San.

Beng Liong pun menuruti saja perkataan orang di hadapannya itu.

Cio San meletakkan tangannya di dada Beng Liong. Aliran tenaga saktinya
itu langsung ia salurkan ke jantung Beng Liong yang hampir saja berhenti.

Semua orang yang ada di sana hanya bisa terdiam dan menyaksikan. Beberapa
orang ada yang sudah mengenal tabib sakti itu. Mereka bahkan
mengangguk-angguk seperti mengagumi cara kerja tabib sakti itu.

Para murid Butongpay yang berkumpul sejak tadi sudah mengerumuni Beng
Liong dan Cio San. Mereka ingin sekali membantu tetapi sadar bahwa ilmu
pengobatan mereka masih rendah.

Lau-cianbgbunjin, sang ketua Butongpay yang penuh wibawa pun hanya diam
memperhatikan tindakan Cio San.

Begitu terlihat Beng Liong telah pulih kesadarannya, semua orang menjadi
lega. Walaupun begitu, Cio San tetap meneruskan penyaluran tenaganya itu.

Nampaknya keadaan Beng Liong-tayhiap sudah membaik, mari kita mulai


pertarungan kita, Suma-tayhiap kata Kim Sin Kiam.

Suma Sun tersenyum dan mengangguk Mari

Tubuh mereka berdua lalu melayang turun ke jembatan batu. Jembatan yang
terlihat aneh namun gagah dan menyeramkan. Cahaya rembulan ditambah
ratusan cahaya obor yang menyinari sekeliling tempat itu membuat wajah
kedua orang ini terlihat begitu dingin.

Kim Sin Kiam

Suma Sun

Tanpa menunggu aba-aba, mereka saling melemperkan pedang. Suma Sun


menangkap pedang Kim-tayhiap, sebaliknya Kim-tayhiap pun menangkap pedang
Suma Sun.

Mereka saling memeriksa pedang.

Pedang milik Suma-tayhiap begitu mengagumkan. Warnanya putih bercahaya


seperti perak. Terbuat dari bebatuan khusus yang kemungkinan besar
berasal dari langit. Ditempa dengan api kecil sehingga prosesnya
memerlukan waktu bertahun-tahun. Pedang ini lalu ditanam di dalam es
selama bertahun-tahun pula. Bahkan ketajaman anginnya saja sudah mampu
membabat daging manusia. Pedang yang sangat ringan, karena pemiliknya
mengandalkan kecepatan dan ketepatan demikian Kim-tayhiap berkata sambil
memeriksa pedang Suma Sun.

Pedang milik Kim-tayhiap boleh dibilang hampir tiada bandingannya.


Terbuat dari logam yang berada jauh di dalam tanah. Logam seperti ini
adalah logam yang langka. Kemungkinan besar jumlah seluruh logam ini yang
berada di seluruh dunia, tidak akan cukup untuk membuat 2 pedang.
Walaupun bobotnya lebih berat daripada pedang umumnya, pedang ini jika
berada di tangan orang yang tepat, akan sanggup menembus pertahanan
serapat apapun, akan mampu menembus dinding baja dan batu karang. Bahkan
sekali sabetannya akan menebas hancur puluhan orang. Pedang yang cocok
bagi mereka yang mengandalkan kekuatan dan pemusatan tenaga demikan Suma
Sun pun berkata sambil memeriksa pedang itu. Padahal ia buta.

Untuk lebih serunya, bagaimana kalau pertarungan ini kita lakukan sambil
bertukar pedang? tawar Kim-tayhiap

Baik kata Suma Sun sambil tersenyum.

Pedang telah mereka masukkan kembali ke dalam sarung. Karena bagi dewa
pedang, gerakan pedang yang paling berbahaya adalah gerakan ketika pedang
meninggalkan sarungnya.

Kedua orang itu hanya saling menatap. Tak bergerak.

Hembusan angin meniup rambut mereka.

Ratusan, bahkan ribuan orang yang menonton peristiwa ini dari bibir
tebing, tidak ada satu pun yang berani bersuara. Mungkin bernafas pun
mereka tidak berani.

Di dalam kesunyian seperti ini, bahkan jarum jatuh pun bisa kau dengar.

Lalu saat yang ditunggu-tunggu pun tiba.

Kim-tayhiap bergerak.

Orang yang mampu melihat gerakannya pun mungkin tidak sampai sepersepuluh
orang yang menonton.

Suara angin yang berat tentu saja bukan berasal dari gerakannya.
Gerakannya tanpa suara. Suara itu berasal dari pedangnya. Sudah bisa
dibayangkan betapa dahsyatnya serangan itu.

Pedang itu datang menusuk dengan sederhana. Tapi kesederhanaan itu telah
dilatih puluhan tahun, sehingga kesederhanaan itu telah menjadi sesuatu
yang sangat menakutkan.

Satu tusukan.

Tanpa gerakan tipuan, tanpa gerakan hiasan.

Suma Sun telah terbiasa menghadapi serangan pedang yang dahsyat, cepat,
dan mematikan. Tapi serangan yang sedang dihadapinya ini, adalah sebuah
serangan yang paling menakjubkan yang pernah dialaminya. Jika gerakan
pedang orang lain seperti menutupi gerakan langkahnya dengan cara
mengurung tubuhnya, gerakan pedang Kim-tayhiap ini hanya berupa satu
gerakan tunggal tanpa ampun yang langsung menutup segala harapan untuk
bisa tetap hidup.

Ia berusaha menghindar dengan cepat. Gerakan yang sangat cepat. Tidak


kalah cepat dengan datangnya serangan itu. Angin dari pedang Kim-tayhiap
menghujam bebatuan di belakang tubuh Suma Sun. Tebing karang yang kokoh
itu bergetar dan menimbulkan suara menggelegar!

Tubuh Suma Sun sendiri kini sudah berada di samping Kim-tayhiap. Segera
ia mencabut pedang dari sarungnya. Namun belum sempat ia menarik pedang
itu, pedang Kim-tayhiap bergerak menyamping dan mengincar tenggorokannya.

Entah bagaimana Kim-tayhiap bisa bergerak secepat itu. Suma Sun hanya
bisa menghindar lagi dengan cara menunduk. Begitu ia menunduk, kaki Kimtayhiap telah menyambutnya dengan sebuah tendangan keras.

Suma Sun menangkis tendangan itu dengan gagang pedang. Kerasnya tendangan
itu digunakannya untuk membantunya bergerak memutar ke belakang, lalu
terbang ke atas. Tenaga dari tendangan Kim-tayhiap serta tambahan sedikit
tenaganya sendiri, membuat dewa pedang berambut merah itu melenting
tinggi dengan sangat cepat!

Ia lolos dari serangan.

Seluruh kejadian ini membutuhkan waktu untuk menulisnya. Padahal semuanya


terjadi hanya dalam sekejap mata.

Saat Suma Sun melenting tinggi di udara, Kim-tayhiap pun melenting ke


atas pula. Sebuah gerakan pedang yang sama sederhananya dengan gerakan
pertama tadi, kini telah mengincar perut Suma Sun.

Orang jika sedang berada di posisi melenting, maka ia berada dalam


bahaya. Karena posisi di udara seperti ini membuatnya tanpa kuda-kuda.

Tapi Suma Sun bukan orang.

Suma Sun adalah dewa pedang.

Disambutnya tusukan itu dengan tangkisan pedang sampai saat itu belum
tercabut dari sarungnya. Pedang berhasil ia tangkis, namun angin pedang
yang tidak kalah dahsyat dengan serangan pedang itu sendiri, telah
menghempasnya terlempar ke belakang.

Punggung Sum Sun membentur tebing batu yang ada di belakangnya. Suara
keras terdengar. Bebatuan itu banyak yang pecah-pecah karena tumbukan
tubuh Suma Sun.

Ia sendiri memang tidak terluka karena tenaga dalam melindungi tubuhnya.


Tapi dari kejadian ini saja, orang yang mampu melihat gerakan mereka
telah bisa menyimpulkan bahwa ilmu Kim-tayhiap memang di atas Suma Sun.

Kim-tayhiap melihat Suma Sun tersudut di tembok tebing itu, tidak


menyia-nyiakan kesempatan. Tubuhnya yang masih melayang di udara, entah
bagaimana kini meluncur deras dengan sebuah tikaman dahsyat ke jantung
lawannya.

Serangan ini kembali ditangkis oleh Suma Sun tanpa melepas pedang dari
sarungnya. Tangkisan itu membuat serangan Kim-tayhiap melenceng ke
samping dan membuat daerah dadanya terbuka. Melihat daerah kosong itu,
Suma Sun tidak menyia-nyiakannya. Dengan kaki kanannya ia melakukan
sebuah tendangan keras.

Sayangnya tendangan itu tidak menemui sasaran karena Kim-tayhiap telah


menyambut tendangan itu dengan tangan kirinya. Pertemuan telapak tangan
dengan telapak kaki itu menghempaskan tubuh Kim-tayhiap ke belakang. Ia
saat itu berada di udara sehingga tidak memiliki kuda-kuda untuk menahan
benturan pertemuan kaki dan tangan tadi.

Melihat Kim-tayhiap terhempas ke belakang, Suma Sun tidak lantas bergerak


maju menyerang Kim-tayhiap. Ia tetap diam di tempatnya.

Ada perasaan puas di wajah Kim-tayhiap setelah melihat Suma Sun tidak
bergerak maju. Karena jika Suma Sun maju, ia sudah siap menghadapi
serangan lawannya itu dengan lentingan aneh tubuhnya. Kim-tayhiap
memang memiliki sejenis ginkang aneh yang bisa membuatnya bergerak bebas
di udara tanpa terpengaruh gaya tarik bumi.

Ia puas. Karena lawan di hadapannya ini memang pantas menjadi lawannya.

Untuk sesaat mereka saling diam. Hanya memandang sambil menyelami pikiran
masing-masing.

Angin malam bertiup. Dingin.

Tapi tidak sedingin hawa kematian yang melingkupi daerah pertempuran itu.

Jembatan abadi lebih pantas berganti nama menjadi jembatan kematian.

Kini Kim-tayhiap kembali menyerang. Kecepatan, kekuatan, dan ketepatan


serangannya bahkan jauh lebih mengagumkan daripada yang tadi
diperlihatkannya. Suma Sun tidak bergerak sama sekali!

Ia diam di tempatnya. Bersandar di tebing batu.

Setiap orang yang melihat keadaan Suma Sun merasa kasihan kepadanya. Ia
seperti kehabisan akal menghadapi gerakan Kim-tayhiap yang mengagumkan.

Kematian telah membayangi dewa pedang berambut merah. Wajahnya pucat, dan
gerakan tubuhnya menjadi kaku.

Sekejap mata kembali serangan Kim Sin Kiam menghujam. Kali ini sabetan
menyamping yang mengincar kepala Sum Sun. Kembali Suma Sun hanya mampu
menangkis.

Lalu dengan sangat mengagumkan, Kim-tayhiap dengan cepat melancarkan


sepuluh serangan beruntun. Begitu cepatnya sampai-sampai kesepuluh
tusukan tunggal itu terlihat dilancarkan secara bersamaan.

Serangan pertama berupa tusukan di pundak kiri. Suma Sun menurunkan


sedikit pundaknya. Pedang menusuk tembok.

Serangan kedua berupa sabetan ke telinga kiri. Suma Sun memiringkan


kepalanya. Pedang lewat di atasnya.

Serangan ketiga berupa bacokan ke pundak kanan. Suma Sun mengangkat


tangan kanan untuk menangkis dengan pedang. Bunyi logam beradu dengan
logam terdengar melengking dan menyakitkan telinga. Terlihat kilatan
percikan api yang timbul darinya.

Serangan keempat adalah gerakan mengagumkan yang menusuk ke jantung Suma


Sun. Dewa pedang berambut merah ini sempat menghindar, tapi ia kalah
cepat. Tusukan itu untuk saja tidak menembus jantungnya. Tapi sempat
melukai lengan kirinya.

Serangan kelima menghujam perutnya. Sekali lagi Suma Sun menggunakan


pedang untuk menangkis tusukan ini. Namun kembali ia kalah cepat.
Perutnya terluka!

Walaupun bukan luka yang dalam, darah telah membasahi pakaian putihnya.

Ia terlihat tidak dapat bergerak ke manapun. Bagian belakang adalah


tebing karang. Di depannya, ada seorang dewa kematian yang mengurungnya

dengan serangan pedang paling dahsyat yang baru kali ini dihadapinya
seumur hidup.

Serangan keenam mengincar kedua pahanya. Dengan sekali sabetan, pedang


Suma Sun yang berada di tangan Kim-tayhiap hampir saja membabat putus
kedua kakinya. Tetapi kali ini untunglah Suma Sun telah melompat ke atas
sehingga kakinya mampu terselamatkan.

Begitu Suma Sun berada di udara, Kim-tayhiap segera menyerang pula dengan
3 sabetan sekaligus yang masing-masing mengincar leher, ulu hati, dan
perut Suma Sun.

Karena serangan itu berada pada titik yang segaris, cukup dengan
menyabetkan pedangnya saja, Suma Sun berhasil menepis ketiga serangan
berbahaya itu.

Tapi karena ia harus menghadapi 3 serangan itu dengan satu kali gerakan,
kekuatannya kalah besar dengan Kim-tayhiap. Hal ini membuat pertahanannya
terbuka. Melihat ini, tusukan kesepuluh Kim-tayhiap telah masuk melukai
paha kanannya.

Kesemua kejadian ini adalah berupa gerakan-gerakan sederhana yang hampir


semua orang mampu melakukannya. Tadi di dunia ini tidak ada yang mampu
melakukannya secepat, sekuat, dan setepat Kim-tayhiap.

Apalagi, segala kejadian ini berlangsung hanya dalam sekejap mata pula.
Para penonton yang hadir menyaksikan pertarungan ini bahkan tidak berani
mengedipkan mata. Karena sekali berkedip saja, orang akan ketinggalan
menyaksikan serunya pertarungan ini. Di muka bumi ini, mungkin hanya Kimtayhiap yang mampu menggunakan pedang sebegitu menakutkannya.

Tapi di muka bumi ini pula, orang yang mampu keluar dalam keadaan hiduphidup dari serangan semacam ini baru Suma Sun saja.

Ia telah melompat keluar dari ajang pembantaian itu. Kini ia telah


berada di belakang Kim-tayhiap. Tapi ia tak mampu menyerang karena
pahanya telah tertusuk dalam sekali. Gerakannya menjadi melemah.

Dengan gerakan memutar ke belakang, Kim-tayhiap sudah mengirimkan sebuah


jurus menyilaukan yang datang bagai angin puting beliung.

Siapakah di dunia ini yang mampu menghindari dari serangan demikian?

Tentu saja hanya Suma Sun yang bisa.

Ia melenting ke belakang. Serangan itu hanya lewat seujung kuku dari


lehernya. Angin pedang itu memotong sebagian rambutnya yang merah.
Untunglah tenaga dalam melindunginya sehingga tubuhnya tidak ikut
terkoyak oleh anginnya.

Namun tak urung timbul pula luka-luka hanya karena dahsyatnya angin
pedang itu. Leher, wajah, dan pundak Suma Sun telah tergores angin!

Angin macam apakah yang mampu menggores tubuh manusia?

Tentu saja angin pedang Kim Sin Kiam.

Baju Suma Sun yang seputih salju, kini memerah oleh darah.

Cio San yang menyaksikan pertarungan itu mencoba untuk tetap tenang. Ia
masih meletakkan tangan di dada Beng Liong dan menyalurkan tenaga
saktinya. Sedikit saja pemusatan pikirannya kacau, maka nyawa Beng Liong
akan melayang.

Saat ini nyawa Beng Liong pun tergantung pada Suma Sun.

Karena jika terjadi sesuatu pada Suma Sun, pikiran Cio San akan kacau.
Dan itu akan membunuh Beng Liong.

Untunglah penyaluran tenaga ini selesai. Tanpa harus diberitahu pun, Beng
Liong dapat mengatur sendiri tenaga yang disalurkan Cio San itu. Thay Kek
Kun memberikannya pengetahuan yang sangat mendalam tentang pengerahan
tenaga.

Tetaplah bersemedhi, enghiong. Dalam beberapa hari, luka dalammu akan


pulih. Kata Cio San alias Lie Sat.

Terima kasih, siansing kata Beng Liong pelan. Ia lalu bersemedhi


memulihkan tenaganya. Tubuhnya yang tadi dingin, kaku, dan membiru kini
terliat merah segar dan hangat. Bahkan hangatnya bisa dirasakan Cio San
yang duduk tak jauh darinya.

Dalam hati Cio San kagum. Begitu terlatihnya tubuh Beng Liong, sehingga
ia sanggup memulihkan luka dalam waktu yang sangat singkat. Bahkan Cio
San sendiri pun tidak percaya!

Bakat dan latihan yang keras. Di kolong langit ini, tak ada yang sanggup
mengalahkan Beng Liong dalam kedua hal ini.

Begitu nyawa Beng Liong terlepas dari bahaya, segera Cio San memusatkan
diri menyaksikan pertandingan Suma Sun melawan Kim-tayhiap.

Kini Suma Sun telah tersudut lagi. Tubuhnya hanya bisa menempel di tembok
tebing tanpa bisa berbuat banyak. Ia hanya mampu menghindar. Walaupun
begitu tetap saja ada beberapa serangan Kin-tayhiap yang melukai
tubuhnya.

Entah sudah berapa puluh atau berapa ratus jurus yang terlewatkan oleh
Cio San. Keadaan Suma Sun yang sangat mengkhawatirkan membuat Cio San
menyiapkan perasaannya untuk menghadapi kemungkinan terburuk.

Ia lalu berkata kepada Kao Ceng Lun,

Kao-enghiong, mau kah kau melakukan permintaanku. Sebagai seorang


sahabat?

Tentu saja. Katakanlah Sat-ko

Apapun yang terjadi pada Suma Sun atau padaku nanti, harap kau terus
menjaga Beng Liong-enghiong. Jangan jauh-jauh darinya dan terus
melindunginya

Eh? Memangnya apa yang hendak kau lakukan? tanya Kao Ceng Lun heran.

Berjanjilah pinta Lie Sat

Lama Kao Ceng Lun terdiam lalu berkata,

Baiklah. Aku berjanji

Lie Sat tersenyum lalu matanya sedikit berair. Perasaan seperti ini hanya
bisa kau rasakan jika kau menemukan sahabat yang mau melakukan sesuatu
untukmu tanpa meminta imbal balik, atau tanpa meminta penjelasan
sekalipun.

Sahabat seperti ini jika ditukar dengan gunung emas sekalipun masih
terlalu berharga.

Kao Ceng Lun tak tahu apa yang ada di dalam benak Lie Sat.

Tak ada seorang pun yang tahu kecuali Lie Sat sendiri.

Mereka berdua tetap memusatkan pikiran menyaksikan pembantaian yang


terjadi di hadapan mereka. Betapa Suma Sun menjadi bulan-bulanan Kim-

tayhiap. Gerakan Suma Sun menjadi sangat lambat, dan tak mampu
mengimbangi kecepatan Kim-tayhiap.

Wajah dan tubuh Suma Sun sudah bersimbah darah. Hanya dalam hitungan
detik ia mungkin akan ambruk. Pingsan atau mati. Hanya tebing batu
tempatnya bersandar yang membuatnya masih sanggup berdiri.

Kilatan pedang, dan semburan darah.

Hanya itu yang mampu dilihat orang-orang saat ini.

Pedang Kim-tayhiap yang berada di tangan Suma Sun tidak pernah sanggup ia
keluarkan dari sarungnya. Sejak awal sampai sekarang belum pernah
sekalipun Suma Sun mampu menyerang dengan pedang. Ia terlalu sibuk
mempertahankan dirinya dari serbuan pedang maha dahsyat dan maha
mengagumkan itu.

Kini Suma Sun bahkan menggunakan pedang di tangannya sebagai tongkat


untuk membantunya agar bisa tetap berdiri.

Kim-tayhiap melangkah mundur. Ia seperti memberi kesempatan bagi Suma Sun


untuk menghela beberapa nafasnya yang terakhir.

Suma Sun tak mungkin mau berkata Menyerah. Kim-tayhiap tahu itu. Oleh
sebab itu ia bertanya,

Suma-tayhiap punya permintaan terakhir? Jika permintaan itu tidak


melanggar kehormatan kaum Bu Lim, maka cayhe akan memastikan permintaan
itu terlaksana

Jika ada kesempatan, mau kah tayhiap minum denganku? kata Suma Sun
sambil tersenyum.

Kim-tayhiap tertunduk. Ia tahu ia tak mampu mengabulkan permintaan itu.


Dalam beberapa detik orang yang meminta hal itu akan mati.

Betapa menyedihkannya kata Jika ada kesempatan itu, bukan?

Kadang kau sering mendengar orang menyebutkannya. Terlalu sering kalimat


itu hanya sebagai basa-basi. Tapi ada beberapa kali di dalam hidup kita,
di mana kata-kata itu begitu terasa menusuk jiwa dan melemahkan hati.
Karena kau tahu, kesempatan itu tidak akan pernah datang.

Kim-tayhiap pun merasakan hal yang sama.

Kemana lagi aku akan menemukan lawan yang sanggup beradu ratusan jurus
denganku?

Kapankah lagi aku akan bertemu lawan yang begitu berharga untuk mati oleh
pedangku?

Kawan berharga mudah dicari. Lawan berharga amatlah sukar didapat.

Oleh karena itu orang sepertinya kadang lebih menghargai musuh daripada
menghargai teman.

Suma-tayhiap, harap kau terimalah jurus terakhirku. Jurus terbaru yang


khusus kuciptakan untuk pertarungan ini

Silahkan kata Suma Sun tersenyum. Bahkan untuk tersenyum pun ia sudah
kepayahan.

Tubuh Kim-tayhiap melesat cepat. Meluncur bagai anak panah terlepas dari
busurnya.

Begitu cepat.

Begitu mengagumkan.

Begitu dahsyat.

Begitu mematikan.

Satu tusukan saja.

Ia tidak perlu berbagai macam jurus yang indah-indah. Ia tidak perlu


segala macam gerakan yang menyilaukan mata. Dewa pedang seperti Kimtayhiap tidak akan mau bergerak dalam kesia-siaan. Jika satu gerakan
kecil dapat membunuh, ia tidak membutuhkan dua gerakan kecil.

Suma Sun akhirnya berhasil mencabut pedang dari sarungnya!

Tapi gerakannya begitu lambat. Dalam jarak satu langkah, Kim-tayhiap


telah mampu membaca gerakan pedangnya.

Lalu tangan Suma Sun pun putus!

Tangan yang begitu mengagumkan memainkan pedang itu putus dan terkulai!

Darah muncrat bagai air bah!

Tapi entah bagaimana, Suma Sun bergerak maju dengan sangat cepat.

Sangat-sangat cepat!

Bahkan Kim-tayhiap pun tidak menyangka ada makhluk di atas bumi yang bisa
bergerak secepat itu.

Lalu jari tangan kiri Suma Sun telah menempel di kerongkongan Kimtayhiap!

Hanya beberapa orang yang mampu benar-benar melihat kejadian sekejap mata
itu dengan jelas. Suma Sun menggunakan tembok yang ada di belakang
tubuhnya sebegai dasar pijakan lentingan kakinya. Dengan menggunakan
tebing karang itu, gerakannya menjadi dua kali lebih cepat.

Apalagi pedang berat yang tadi dipegangnya sudah jatuh berikut tangan
kanannya yang memegang pedang itu. Kini kecepatannya menjadi berlipatlipat. Dengan sisa tenaganya, ia menggunakan jurus yang ia pelajari
saat beradu pikiran dengan Cio San. Jurus milik Pendekar Pedang Kelana!

Jurus terbalik yang menyerang saat harus menghindar dan menghindar di


saat harus menyerang!

Kau..kau..kenapa tidak membunuhku? tanya Kim Sin Kiam

Maukah,,tay..hiap..minum dengankuji..ka a..da ke..sem..patan..? ia


berkata sambil tersenyum, lalu ambruk.

Kim Sin Kiam tidak sanggup berbuat apa-apa. Ia hanya berdiri mematung.
Tidak sanggup untuk percaya akan kejadian yang barusan dialaminya.

Begitu besar pengorbanan Suma Sun. Ia mengorbankan tangannya. Hal yang


paling berharga lebih berharga dari nyawa seorang pendekar pedang.

Untuk apa ia berkorban? Demi kesempatan untuk minum bersama?

Tentu saja ia berkorban demi satu hal yang lebih berharga.

Persahabatan.

Hal itu jauh lebih berharga daripada tangan dan nyawanya.

Orang yang sudah mengalami pencerahan, akan memandang nyawa orang lain
lebih berharga ketimbang nyawanya sendiri.

Akan lebih menghargai orang lain ketimbang menghargai dirinya sendiri.

Jika kau ingin dunia damai. Kaulah yang harus berkorban lebih dulu.

Air mata menetes di pipi Kim-tayhiap. Ia jatuh berlutut, tangannya


menjura, kepalanya tertunduk malu. Dengan bergetar ia berkata,

Terima hormat kami, thay-suhu

Thay-suhu.

Guru besar.

Selama ini orang yang pantas menyandang nama sebutan ini baru beberapa
orang. Thio Sam Hong adalah salah satunya.

Cio San sudah berada di sana. Dengan cepat ia menotok jalan darah Suma
Sun untuk menghentikan darahnya. Lalu dengan sigap ia pun menyalurkan
tenaga dalamnya.

Terdengar suara Kim-tayhiap bergetar namun menggelegar,

Perhatikanlah wahai kalian para pendekar besar. Apa yang telah


diperlihatkan oleh Suma-thay suhu. Perdamaian hanya bisa terjadi di dalam
dunia kang ouw, jika seteru saling mengasihi, musuh saling memaafkan, dan
lawan saling merendahkan hati. Hari ini juga cayhe umumkan pengunduran
diri cayhe dari dunia persilatan. Upacara Cuci Tangan akan cayhe lakukan
secepatnya dengan mengundang semua kalangan Bu Lim.

Ia menangis.

Tapi ia menangis bukan untuk dirinya. Ia menangis bagi pahlawan terluka


di hadapannya yang pengorbanannya telah membuka mata hatinya itu.

Bagaimana keadaan thay-suhu? tanyanya kepada Lie-sat

Nyawanya masih bisa tertolong kata Lie Sat.

Tapi tang Kim-tayhiap tidak berani melanjutkan kata-katanya.

Lie Sat hanya menggeleng.

Tentu saja ia tidak bisa menyambung tangan itu. Walaupun ia bisa


sekalipun, tangan itu tidak akan berfungsi sebagaimana mestinya.

Ia hanya bisa menyalurkan tenaga saktinya. Untuk sekedar menghilangkan


rasa sakit dan memulihkan tenaga sahabatnya itu.

Setidaknya hanya itu yang bisa ia lakukan terhadap sahabat yang sangat
dikaguminya ini.

Semakin ia berpikir, semakin kagumlah ia.

Pertarungan tadi telah membuka pikirannya bagaimana Suma Sun mengubah Yin
menjadi Yang. Mengubah Yang menjadi Yin.

Mengubah kekurangan menjadi kelebihan dan merubah kelebihan menjadi


kekurangan.

Rupanya sejak awal Suma Sun telah memikirkan semuanya.

Ia setuju untuk bertukar pedang dengan Kim-tayhiap.

Pedangnya lebih ringan. Jika dipakai oleh Kim-tayhiap akan membuat


gerakan pendekar itu semakin cepat. Jika dilihat sepintas, akan membuat
Kim-tayhiap lebih unggul karena lebih cepat. Tapi keunggulan itu serta
merta berubah menjadi kerugian karena kekuatan serangannya akan berkurang
lebih jauh.

Kim-tayhiap yang merasa dirinya menjadi lebih cepat, secara tidak sadar
akan menggunakan kecepatan itu terus menerus. Yang mengakibatkan
tenaganya akan terkuras dengan cepat pula.

Di sisi lain, Suma Sun menggunakan pedang berat milik Kim-tayhiap akan
menjadi lebih lamban. Tapi karena dia hanya bergerak seperlunya saja,
tenaganya tidak terkuras habis. Memang ia akan sering terluka karena
kalah cepat. Tapi luka-luka itu hanya luka luar dan tidak terlalu
membahayakan jiwa.

Ia dengan cerdas mampu merubah Yang menjadi Yin.

Merubah kelemahan menjadi kekuatan. Dan merubah kekuatan lawan menjadi


kelemahan lawan.

Suma Sun juga tidak bergerak dengan bebas. Ia hanya berdiri menyandar di
tembok tebing. Ia sengaja membatasi dirinya untuk tidak terlalu banyak

bergerak. Sepintas, orang menyangka ia tersudut. Padahal ia sengaja


membatasi gerakannya, agar gerakan Kim-tayhiap juga ikut terbatas.

Jurus-jurus Kim-tayhiap pastilah sudah ia persiapkan dalam menghadapi


gerakan tubuh Suma Sun yang cepat. Tak dinyana justru Suma Sun tidak
bergerak bebas, dan diam di satu posisi. Hal ini akan menyebabkan Kimtayhiap harus berpikir lagi untuk melancarkan jurus-jurus yang cocok
dengan kondisi ini. Secara tidak langsung, justru Suma Sun lah yang
mendikte Kim-tayhiap!

Bertukar pedang pasti akan membuat jurus Kim-tayhiap tidak sedahsyat


aslinya. Karena jurus-jurusnya, latihannya, pengerahan tenaganya terbiasa
menggunakan pedangnya sendiri. Menggunakan pedang orang akan membuatnya
tidak maksimal.

Oleh sebab itu pula, Suma Sun sama sekali tidak menggunakan pedang Kimtayhiap untuk menyerang. Ia menyimpan seluruh tenaganya untuk saat yang
paling dinantikan.

Yaitu jurus terakhir!

Dalam serangan terakhir ini, ketika Kim-tayhiap melancarkan jurus


terbarunya itu, pikiran Kim-tayhiap sudah tidak lagi waspada. Ia
menganggap Suma Sun sudah pasti kalah. Keadaan Suma Sun yang sangat
memprihatinkan, ditambah lagi dengan kata-kata terakhirnya yang membuat
hati Kim-tayhiap sedikit trenyuh, membuat serangannya tidak sedahsyat
yang diharapkan.

Apalagi ditambah tenaga Kim-tayhiap yang sudah terkuras, pedang orang


lain, serta rasa puas diri bahwa ia akan menang.

Dilihat dari segala sudut, Suma Sun pasti mati.

Tapi dewa pedang berambut merah itu telah memperhitungkan semuanya.

Semuanya.

Jadi begitu serangan terakhir itu datang, ia dengan mengurangi


kecepatannya, menerima serangan Kim-tayhiap itu dengan jurus pedang pula.
Jurus yang lambat ini tentu saja dipikir orang sebagai bentuk
keputusasaan atau usaha terakhir dalam menghadapi serangan Kim-tayhiap.

Tapi ia dengan sengaja mengorbankan lengan kanannya untuk ditebas.

Dengan begitu beban tubuhnya karena membawa pedang yang berat berkurang.

Selain itu, hal ini juga membuat Kim-tayhiap tak lagi bersiaga karena
merasa telah berhasil membabat putus lengan Suma Sun.

Lalu dengan satu lentingan keras, dengan sisa tenaga yang benar-benar
disimpannya dan dibantu daya dorong kaki yang bertumpu pada tembok
tebing, Suma Sun melesat dengan sangat cepat menyerang kerongkongan Kimtayhiap dengan jari tangan kirinya.

Cerdas!

Gila!

Tak terbayangkan!

Mengagumkan!

Cio San tetap dengan sabar menyalurkan tenaganya sampai Suma Sun sadar.
Begitu dilihatnya sahabatnya itu sudah siuman, dengan tersenyum ia
berkata,

Kau berhasil

Memangnya sejak kapan aku tidak pernah berhasil? jawab Suma Sun sambil
tersenyum.

Saat Cio San hendak beranjak berdiri, tiba-tiba terdengar suara lantang,

Nanti dulu, Lie Sat-siansing. Aku hendak bertanya Rupanya suara Lauciangbunjin.

Silahkan

Dari mana kau belajar ilmu pengobatan Butong pay? Selama ini kami tidak
pernah mengajarkan ilmu penyaluran tenaga murni Thay Kek Kun kepada orang
luar

Cio San tidak bisa menjawab.

Yang ia lakukan saat menyembuhkan Beng Liong dan Suma Sun memang adalah
menyalurkan tenaga dengan menggunakan Ilmu Penyaluran Yin Yang milik
Butongpay. Semua dilakukan dengan tanpa berpikir.

Apakah kau mencuri ilmu kami? tanya Lau ciangbunjin sengit.

Cio San tetap diam.

Mengapa tidak menjawab? tanya Lau Ciangbunjin lagi. Lanjutnya, Kulit


wajahmu yang aneh, membuatku curiga. Jangan-jangan kau memakai topeng
untuk menyamar.

Yah sudahlah jika sudah ketahuan Cio San tersenyum. Lalu ia membuka
topeng halus yang menutupi wajahnya.

Semua orang kaget.

Inilah wajah orang yang paling dicari-cari di dunia Kang Ouw.

Cio San tukas Lau Ciangbunjin pendek.

Mendengar nama itu, terdengarlah seruan kaget dari ribuan orang yang
hadir di situ.

Murid-murid Butongpay! Kepung dia! Jangan sampai lolos! perintah Lau


Ciangbunjin.

Murid-murid Siau Lim Pay! Jangan biarkan dia kabur! perintah Hong-taysu
yang rupanya sudah berada di sana juga.

Murid-murid Gobi Pay! Kepung Cio San perintah Gobi pay-Ciangbunjin. Ia


adalah seorang nikoh tua bernama Bi Goat.

Berturut-turut ketua perguruan kecil yang lain juga menyerukan hal yang
sama. Mulai dari Kun Lun Pay, Hoa San pay, dan lain-lain. Total ada 7
perguruan kecil yang juga ikut serta dengan 3 perguran besar dalam
mengepung Cio San.

Jangan biarkan Suma Sun lolos juga! terdengar perintah Lau-ciangbunjin.

Suma-thay suhu sedang terluka. Ada urusan apapun bisa dibicarakan kepada
Kim Sian Kiam dan keluarganya! Kali ini Kim-tayhiap maju membela Suma
Sun.

Serta merta anak buahnya beserta putrinya pun maju melindungi Suma Sun
yang sedang duduk bersila.

Wah, ramai sekali. Aku hanya akan berkata sekali saja. Aku bukan
penjahat yang kalian cari. Dan jika kalian memaksa untuk menangkap atau
membunuhku, aku akan melawan. Siapa yang nekat melakukannya harus
menanggung resiko kematiannya sendiri

Ia berkata dengan tenang.

Tangan kanannya memainkan rambutnya. Tangan kirinya tersimpan di


belakang.

Aku Cio San. Ma-kau kaucu sekaligus Kay-pang pangcu. Siap menerima
tantangan. Silahkan maju

Bab 69 Pengorbanan Sang Pahlawan

Tidak ada yang berani melangkah duluan.

Mereka semua sudah mengurungnya. Tapi tak ada satu pun yang berani
melangkah maju.

Beberapa orang melangkah ke depan. Tapi mereka tidak menyerang.

Biar bagaimanapun, Cio-siansing telah menolong nyawaku saat keracunan


kemarin. Aku maju untuk membelanya kata salah seorang.

Beberapa orang yang lain pun ikut maju dan teriak, Benar!

Puluhan orang yang maju ini adalah orang-orang yang beberapa hari yang
lalu sempat ditolong Cio San saat mereka keracunan jarum beracun.

Orang-orang golongan bawah. Kaum Liok Lim yang selama ini dianggap
rendah, tidak terhormat, dan tidak masuk hitungan dalam dunia Kang Ouw.

Mereka semua kini di pihak Cio San. Lalu kata Cio San kepada mereka,
Para enghiong semua, ini bukan urusan para enghiong. Harap jangan
menyia-nyiakan nyawa. Tidak ada hutang piutang di antara kita. Juga bagi
Murid-murid Ma-kauw dan Kay Pang harap diam di tempat!

Hutang nyawa bayar nyawa. Masa urusan kecil seperti ini In-hiap (tuan
penolong) tidak paham? kata mereka.

Kadang-kadang ketulusan terbaik hanya bisa ditemukan di antara orangorang yang dianggap hina.

Tuan-tuan sekalian memang lebih pantas disebut enghiong ketimbang para


terhormat dari perguruan lurus ini Cio San sengaja mengeraskan suaranya.

Cuih! Orang-orang seperti kalian masa ada harga di mata kami, mau jual
kepandaian apa? kata salah seorang. Ia adalah ketua Hoa San pay.

Lalu kenapa Ciangbunjin (ketua) tidak segera maju menghajar kami? kata
Cio San sambil tersenyum.

Maju ya maju saja, memangnya siapa takut karena takut kehilangan muka,
Ciangbunjin nya Hoa San pay ini akhirnya melangkah ke depan.

Cio San pun melangkah ke depan.

Hati-hati Liong Kiam Enghiong, orang itu banyak tipu dayanya kata Hongtaysu dari Siau Lim Pay memperingatkan.

Sekalian serbu saja! salah seorang memberi usul. Cio San tidak kenal
namanya.

Ayo maju bersama!

Ayo! Ayo!

Karena disemangati seperti itu, tentu saja mereka menjadi berani.


Keberanian manusia akan timbul, kalau merasa jumlahnya banyak.

Ciaaaaaaaatttttttt!!!

Serangan mereka pun tumpah ruah.

Siapa orang di dunia yang bisa membayangkan betapa ganasnya serangan ini?

Hampir seluruh murid perguruan terkenal dari partai lurus yang datang
ke puncak Thay San mengerahkan segala kemampuan terbaiknya untuk
melancarkan satu serangan ini.

Jurus pedang terbaik Butongpay.

Jurus tongkat terbaik Siau Lim Pay

Jurus pedang terbaik Go Bi pay

Dan seluruh jurus-jurus terbaik setiap partai.

Bersatu kepada satu titik.

Manusia menyebalkan bernama Cio San bersama kawan-kawannya.

Membayangkan ada serangan seperti ini saja membuat manusia sudah bergidik
ketakutan. Apalagi menyaksikan langsung.

Kilatan pedang, golok, tongkat, dan segala macam senjata bersatu padu
dalam sebuah serangan yang teramat sangat dahsyat.

Suara menggelegar teriakan mereka bahkan sedemikian kerasnya sehingga


mencapai bagian bawah gunung Thay San.

Jangankan manusia, naga jika mendengarkan gelegar itu pasti akan


mengkeret ketakutan!

Cio San melangkah ke depan.

Tangannya mengembang. Jurus pembuka Thay Kek Kun. Tangan kanannya berada
di depan membentuk sebuah tinju. Tangan kirinya menggantung kebelakang
mengeluarkan bunyi derik yang menakutkan.

Para sahabat barunya pun sudah menerjang ke depan mengikutinya. Ada pula
yang menjaga daerah belakang. Mereka semua berdiri saling memunggungi.

Mereka melesat lebih dulu.

Tapi entah bagaimana Cio San lah yang sampai lebih dulu menerima
serangan.

Duuuaaaaaaaaaaarrrrrrrrrr!

Adu tenaga yang menggetarkan jiwa. Bahkan jantung manusia pun bisa copot
mendengar dentuman tenaga ini.

Tinju kanannya melontarkan jurus ketiga dari ilmu pukulan dahsyat 18


Tapak Naga.

Naga Bertempur di Alam Liar

Cio San tidak tahu nama jurusnya, karena itu ia tak mampu meneriakkannya.
Padahal konon, ilmu 18 Tapak Naga akan menjadi lebih dahsyat jika
dilancarkan bersama teriakan.

Telapak kirinya mengeluarkan getaran dahsyat yang menangkis segala


senjata yang menghujam dirinya.

Dengan sekali sapuan saja, sudah ada puluhan senjata yang tertangkap
tangannya.
\
Para penyerang yang menerima serangan tangan kanan Cio San terlempar
beberapa tombak jauhnya. Darah segar muncrat dari mulut mereka. Walaupun
mereka murid utama perguran-perguran utama pula, masakah mampu menahan
dahsyatnya 18 Tapak naga?

Mereka yang senjatanya berhasil direbut Cio San hanya bisa melongo saat
gerakan tangan kiri Cio San membentuk jurus Memetik Awan dari Bu Tong Pay
dan menghempaskan mereka pula!

Begitu menoleh ke belakang, Cio San melihat betapa para sahabat barunya
ini banyak yang berguguran. Sehebat-hebatnya mereka toh tak bisa menahan
gempuran dahsyat seperti ini.

Dengan marah Cio San melompat mundur untuk menghadapi gempuran yang
datang dari arah belakangnya. Di tangannya kini sudah ada sebuah tongkat
dan juga ada sebuah pedang. Dengan fasih ia melancarkan dua ilmu

sekaligus, ilmu Tongkat Pemukul Anjing dan Ilmu Pedang milik Pendekar
Pedang kelana. Langkah kakinya pun mengikuti jurus Melangkah Mendaki
Awan-nya Butongpay.

Betapa hebat hasilnya!

Suara mendengung dari tongkatnya, bersatu dengan sering mencicit


mendesing dari pedangnya. Orang-orang hanya mampu melihat kilatan
bayangan tubuhnya saja. Bahkan kilatan senjata di tangannya tak ada
seorang pun yang mampu melihat!

Tahu-tahu telah timbul luka di tubuh mereka!

Tahu-tahu mereka telah terhempas jauh ke belakang!

Tanpa pernah tahu apa yang melukai mereka atau yang menyambar mereka!

Para ciangbunjin yang berada di belakang menyaksikan pembantaian ini


sama sekali tidak menyangka bahwa Cio San sanggup melakukan ini.

Ilmu yang sama sekali tidak mereka bayangkan sebelumnya. Bagaimana


mungkin pemuda ingusan itu mampu menggabungkan ilmu-ilmu dahsyat yang
secara teori dan filsafat sangat berbeda?

Bagaimana mungkin hasil gabungan itu dapat menjadi sedemikan luwesnya


sehingga hampir-hampir mereka melihat bahwa Cio San sedang menciptakan
jurus yang sama sekali asing namun sekaligus juga akrab bagi mereka?

Awalnya mereka mengira Cio San akan mati dibantai ribuan orang muridmurid mereka. Tapi kini jelaslah di mata mereka Cio San lah yang
membantai murid-murid mereka. Sekali serang ia bisa mengalahkan,
melumpuhkan, atau bahkan membunuh 10 sampai 20 orang.

Tinggal menunggu waktu saja sampai ribuan orang ini berhasil ia lumpuhkan
semuanya!

Para ciangbunjin dan tetua perguran ini heran. Mengapa tenaga pemuda
ingusan ini seperti tidak ada habis-habisnya?

Pendekar manapun jika mengeluarkan tenaga sebesar itu, dalam puluhan


jurus saja akan kelelahan. Tapi Cio San tidak.

Tubuhnya bergerak cepat seperti kilat. Deru debu dan percikan darah
membuat malam berubah menjadi semakin kelam.

Teriakan orang yang terluka atau mati membuat jantung terasa dibetot
keluar.

Ratusan tubuh yang bergelimpangan membuat orang bisa memuntahkan habis


makanan yang ada di perutnya.

Bagaimana mungkin pemuda ingusan ini bisa melakukannya?

Seumur hidup baru pertama kali ini mereka menyaksikan hal seperti ini!

Bagaimana Cio San melakukan hal menakjubkan seperti itu?

Mengeluarkan tenaga sebesar itu tanpa kelelahan sama sekali?

Para Ciangbunjin dan tetua itu lupa atau mungkin tidak tahu, bahwa Cio
San menguasai ilmu Menghisap Matahari. Ilmu milik Ma-kauw itu membuatnya
mampu menghisap tenaga dalam orang lain.

Hebatnya Cio San adalah ia mampu menggabungkan ilmu itu dengan ilmu
lainnya. Sehingga sambil melancarkan 18 Tapak Naga yang membutuhkan

tenaga amat besar itu, ia sekaligus mampu juga melancarkan Ilmu Menghisap
Matahari. Sehingga orang yang diserangnya selain terhempas oleh tenaga
Cio San, tenaga d`lam mereka pun terhisap pula!

Itulah sebabnya kenapa mereka tidak bisa bangun lagi. Seluruh tenaga
dalam mereka terhisap hanya dalam satu serangan.

Dengan kemampuannya ini, Cio San tak akan pernah kehabisan tenaga, karena
setiap tenaga yang ia keluarkan, selalu berhasil mendapatkan gantinya.

Dengan ilmu Tongkat Pemukul Anjing atau jurus Pedang Pendekar Kelana pun,
ia berhasil melakukan hal yang sama. Menggabungkannya dengan Ilmu
Menghisap Matahari!

Dapat dibayangkan betapa dahsyat tenaga yang mampu ia serap. Jika ia


mengeluarkan 5 bagian tenaga, ia mendapat 10 bagian tenaga sebagai
gantinya. Sehingga semakin bertempur, tenaganya bukan semakin habis malah
semakin bertambah!

Puluhan pedang menyambar kepalanya, ia hindari hanya dengan sebuah


gerakan ringan. Lalu dengan cepat ia menggerakan pedangnya. Pedangnya ini
menempel dengan amat dahsyat sehingga para penyerangnya ini merasa
seakan-akan tangan mereka dilumuri oleh lem maha lengket!

Begitu mereka merasa tenaga dalam mereka terkuras habis, sudah tak ada
waktu lagi untuk berbuat apapun, kecuali menanti serangan Cio San dengan
pasrah.

Begitu serangan itu datang, mereka terlontar dengan amat jauh. Entah
pingsan. Entah mati.

Tongkat dan pedang Cio San selalu bertukar posisi. Kadang di kanan kadang
di kiri. Perubahan yang aneh ini semakin menambah daya serangnya. Kadang
ia malah melepas senjatanya itu di udara, melontarkan 18 Tapak naga atau
Thay Kek Kun, lalu kemudian kembali menangkap senjatanya itu.

Begitu mengagumkannya sampai-sampai para penonton yang tidak berani ikutikutan dalam urusan berdecak penuh kekaguman. Masing-masing dalam hati
mengakui, Cio San adalah petarung terhebat yang pernah ada dalam sejarah
umat manusia!

Kao Ceng Lun yang saat itu memgang janjinya untuk terus menjaga Beng
Liong hanya bisa melongo melihat betapa saktinya Cio San.

Beng Liong sendiri tak bergerak. Ia telah mematikan seluruh indranya dan
memusatkan pikiran untuk menyembuhkan luka-lukanya. Ia tidak berani
berhenti. Karena ia sebenarnya bisa membaca apa yang sedang terjadi.

Oleh karena itu ia berusaha keras untuk mematikan indranya. Jika tidak,
apabila pemusatan pikiran dan tenaganya buyar, ia akan mati sia-sia.

Jurus demi jurus telah berlalu. Korban berjatuhan.

Belasan, puluhan, ratusan orang telah Cio San lumpuhkan.

Tukang cerita yang paling hebat bohongnya pun tidak akan sanggup
membayangkan betapa dahsyatnya pertarungan ini.

Hampir dua jam pertempuran ini berlangsung, korban yang berjatuhan pun
sudah tak terhitung. Cio San sendiri pun tidak berhenti melawan. Ia telah
berkata bahwa saat ini ia tak akan memberi ampun kepada siapa pun. Siapa
yang menyerangnya akan dilawannya.

Pemandangan di Thay San begitu menyeramkan. Tubuh manusia bergelimpangan


dimana-mana. Entah mereka sudah mati atau masih hidup. Darah membanjir
membasahi sepatu.

Mereka yang masih bertahan adalah mereka yang memiliki ilmu tinggi. Atau
memang mereka yang belum berani bergerak menyerang Cio San.

Cio San diam berdiri.

Yang mengurungnya masih ada beberapa puluh orang.

5 Pedang Butongpay.

7 Pendekar Wanita Gobipay

11 Arahat Buddha Siau Lim pay.

Puluhan orang dari perguran lain yang Cio San tidak kenal.

Puluhan orang yang benci atau memiliki dendam terhadap si otak besar.

Semua mencurahkan kepandaian dan kemampuan terbaik untuk menempurnya.

Cio San kini sendirian. Sahabat-sahabat barunya kini sudah gugur semua.
Rasa kesetiakawanan mereka begitu mengagumkan sampai-sampai Cio San
meneteskan air mata.

Padahal kenal pun baru sebentar.

Tapi nyawa sudah dikorbankan.

Kadang-kadang ketinggian budi manusia begitu mengagumkan sampai-sampai


malaikat pun terkagum-kagum.

Tapi kadang kerendahan akhlak manusia begitu menjijikkan sampai iblis dan
setan pun bergidik ketakutan.

Keadaan di gunung Thay San ini menggambarkan kedua hal ini.

Cio San tak tahu lagi ia berada di pemahaman yang mana. Berada di jalur
yang mana. Batas antara pendekar, pengecut, pembunuh, dan korban sudah
menjadi sedemikian kabur baginya.

Sekarang semua sunyi.

Alangkah berbedanya keadaannya dengan beberapa saat yang lalu yang


bergema dan menggetarkan jiwa!

Tapi kesunyian seperti ini malah lebih menggetarkan jiwa lagi.

Hawa kematian jauh lebih menakutkan saat dihadapi sendirian. Itulah


kenapa mengapa manusia menjadi lebih berani saat jumlah mereka banyak.
Dan menjadi pengecut saat ia sendirian.

Cio San melangkah maju.

Langkahnya perlahan dan hati-hati.

Entah tubuh siapa yang ia injak. Entah mayat siapa yang ia langkahi.

Puluhan orang di hadapannya masih mengurungnya.

Dari ribuan menjadi puluhan.

Bisakah kau bayangkan pertempuran seperti apa yang baru saja terjadi?

Ribuan orang yang menonton di pinggiran sudah sejak tadi meyakinkan diri
mereka bahwa yang mereka lihat hanyalah khayalan belaka. Karena jika
tidak, selain terkencing-kencing ketakutan, tentu mereka pingsan karena
terlalu takut.

Mereka ini kebanyakan kaum Kang Ouw yang tidak telalu tinggi ilmunya
namun tertarik untuk melihat keramaian.

Ada juga dari mereka yang merupakan anggota Ma-kauw dan Kay-pang yang
sudah diwanti-wanti Cio San untuk tidak ikut campur. Seperti orang lain,
mereka hanya bisa melongo melihat kehebatan ketua mereka.

Orang-orang ini menjadi saksi betapa dahsyatnya pertarungan ini.


Pertarungan yang merubah sejarah hidup manusia-manusia Kang Ouw.

Pertarungan ini akan dikenang sepanjang sejarah, sebagai pertarungan yang


paling menakutkan, paling menyeramkan, namun juga paling mengagumkan dan
paling tak terlupakan.

Belum pernah ada pemuda sesakti ini dalam sejarah kang Ouw.

Dan pemuda itu kini berjalan dengan perlahan menghampiri musuh-musuhnya.


Tak ada seorang pun dari musuhnya yang berani menghadapinya. Kini mereka
semua pun mundur teratur.

Siapa yang tidak menyerangku, tak akan ku serang kata Cio San.

Ia kini berjalan semakin mendekat kepada para Ciangbunjin dan tetua-tetua


dunia persilatan.

Sudahkah kalian lihat hasil dari kekajaman kalian sendiri? tanyanya

Kau yang membunuh mereka, kenapa menyalahkan kami? sahut Hong-taysu,


tetua Siau Lim.

Tapi kalian kan yang memerintahkan mereka bertarung? Tanpa kalian


perintah, apa mereka mau saja mengantar nyawa? tanya Cio San lagi.

Memang, yang paling kejam dari sebuah perang bukanlah pertarungan,


kematian, dan kehancuran. Yang paling kejam dari perang adalah manusiamanusia yang membiarkan perang itu terjadi.

Tanpa kau membuat onar, masakah kami akan memerintahkan mereka untuk
menghancurkanmu? kali ini Lau-ciangbunjin yang bicara.

Mana bukti bahwa aku adalah pembuat onar?

Pertarungan ini buktinya. Di kolong langit ini, mana ada orang punya
ilmu sehebat engkau tanpa memiliki kitab sakti Tat-mo Cowsu? kata Bi
Goat-nikow

Memangnya hlmu silat itu hanya bisa dipelajari dari kitab sialan itu?
kata Cio San memaki. Sudahlah tidak perlu banyak omong. Kenapa bukan
kalian saja yang maju? Apa kalian takut?

Kata takut adalah kata yang sangat diharamkan di kalangan Bu Lim. Kau
boleh menyebut seseorang bodoh, tolol, dungu, buruk rupa, atau pikun.
Tapi kau tak boleh menyebutnya penakut.

Siapa yang takut?!! serentak para tetua itu bangkit dan menyerangnya.

Hong-taysu dari Siau Lim pay dengan Ilmu Cakar Macannya.

Lau-ciangbunjin dengan Thay Kek Kun tingkat tingginya.

Bi Goat nikow dengan Ilmu Naga Menantang Angkasa ciptaan leluhur Kwee
Siang, sang pendiri Gobi pay.

Ketua Sung Law, ciangbunjin terbaru dari Kun Lun Pay dengan pedangnya
yang menggetarkan sukma.

Ada beberapa orang lagi yang Cio San tidak kenal namanya, namun ilmunya
mengagumkan. Kini semua menyerangnya.

Cakar Hong Taysu langsung mengincar jantungnya, telapak Lau-ciangbunjin


mengincar perutnya, jari sakti Bi Goat nikow mengincar kedua matanya.
Pedang Sung Law mengincar lehernya. Telapak, tinju, dan tendangan sakti
mereka yang lain mengincar seluruh titik berbahaya di tubuhnya.

Cio San memutuskan untuk menyerang mereka yang tidak ternama lebih dulu.
Mereka ini ilmunya lebih rendah, serangannya lebih lambat, dan tenaganya
lebih kecil daripada para ciangbunjin dan tetua seperti Hong-taysu, Luaciangbunjin, atau Bi Got nikow.

Gerakan Cio San sungguh sukar diikuti dengan mata.

Dalam sekelebatan, 5 orang yang diincarnya telah berhasil ia lumpuhkan.


Ia menghisap tenaga mereka dengan ilmu Menghisap Matahari, lalu
mengendalikan tenaga-tenaga itu dengan Thay Kek Kun, kemudian
menyalurkannya melalui 18 Tapak Naga, bisa dibayangkan bagaimana
pertaempuran itu berlangsung.

Pertama, Cio San bergerak ke arah salah seorang penyerangnya. Dengan


menggunakan Thay kek Kun, serangan orang itu berhasil ia ubah arahnya. Si
penyerang itu sendiri kaget ketika serangannya kini berubah arah menuju
salah seorang kawannya.

Kawannya begitu melihat serangan ini datang langsung serta merta


menerimanya dengan tangkisan. Salahnya, ia tidak tahu bahwa ilmu
Menghisap matahari Cio San akan membuat tangannya lengket melekat dengan
kuat ke tangan kawannya yang tadi menyerangnya.

Begitu kedua orang ini lengket, dengan mudah Cio San mengendalikan mereka
dengan menggunakan Thay Kek Kun, sehingga kini kedua orang yang lengannya
lengket itu seperti berubah menjadi tongkat raksasa.

Dengan senjata itu Cio San denfan mudah melumpuhkan 3 orang lain yang
menyerangnya secara bersamaan. Ketiga orang itu malah ikut lengket juga.

Dalam satu gerakan sederhana, Cio San melumpuhkan 5 orang sekaligus.


Menghalau serangan mereka, menyerap tenaga mereka, dan menggunakan mereka
sebagai senjata.

Kejadian ini diutarakan begitu gampang, mudah, dan sederhana. Pada


kenyataannya melakukan hal demikin hampir mustahil karena ketepatan,
kecepatan berpikir dan kecepatan bergerak harus benar-benar berada pada
puncaknya.

Yang lebih menakjubkan lagi adalah kenyataan bahwa semua kejadian yang
tertulis ini terjadi hanya dalam sekedipan mata!

Lalu ketika kelima orang ini sudah lengket menjadi satu, kekuatan tenaga
dalam mereka tersedot dengan sedemikian cepat, kini nyawa mereka terancam
pula saat melontarkan mereka ke udara.

Tujuan Cio San adalah supaya tubuh mereka yang tak berdaya itu selamat
ditangkap oleh para tetua lain. Nyatanya, para tetua ini tidak
memperdulikan mereka dan malah meneruskan menyerang Cio San!

Betapa licik dan jahatnya orang terhormat itu sebenarnya!

Dengan marah, Cio San menggunakan tenaga yang tadi ia serap yang
menyalurkannya kepada kedua tangannya. 18 tapak naga jurus pertama

Naga Menggerung Menyesal! teriaknya

Cahaya putih yang keluar dari tangannya membentuk gelombak angin deras
yang bergerak bagai liukan naga menghujam menghantam ketiga orang tetua
perguruan utama itu.

Tapi mereka bukan pendekar-pendekar keroco yang tadi dihajar Cio San.
Mereka adalah ketua adalah perguruan silat paling utama di Tionggoan.
Bahkan mungkin paling utama di dunia!

Menerima serangan itu, mereka berkelit dengan mudah. Pengalaman,


pemahaman, dan pengetahuan mereka tentang pertarungan jauh lebih matang
daripada Cio San.

Sedahsyat apapun 18 Tapak Naga, jika mampu menghindarinya, tentu saja tak
akan melukai. Dan itulah rahasia dalam menghadapi 18 Tapak Naga.

Jangan dihadapi langsung dengan tenaga juga, tetapi harus dihindari lalu
cari celah kosong untuk menyerang!

Begitu 18 Tapak Naga dikeluarkan, ada celah sepersekian detik yang bisa
dimanfaatkan. Karena orang yang mengeluarkan ilmu itu memerlukan tenaga
dan kekuatan yang besar, sehingga untuk mengisi ulang tenaga itu
diperlukan waktu sepesekian detik.

Sepersekian detik adalah waktu yang sangat-sangat pendek. Namun bagi ahli
silat utama, waktu seperti ini sudah cukup.

Serangan mereka masuk dengan telak!

Tubuh Cio San terjengkang ke belakang!

Melihat serangan ini berhasil, dengan amat sangat cepat mereka sudah
melakukan serangan berikutnya bahkan sebelum tubuh Cio San menyentuh
tanah!

Serangan berikutnya berupa tendangan sakti yang amat sangat berbahaya.


Ketiga tendangan itu menghantam pinggang, perut dan dada Cio San!

Cio san saja yang sudah mampu bergerak secepat kilat, tidak mampu
menangkis serangan itu. Bisa dibayangkan betapa cepat dan dahsyatnya
serangan dari ketiga tetua ini.

Sebelum menyentuh tanah, tubuh Cio San sudah terhempas lagi oleh serangan
yang kedua ini. Ternyata ketiga tetua ini memang telah menciptakan jurus
gabungan maha sakti yang begitu dahsyat. Sekali lagi mereka bergerak!

Tubuh Cio San kini telah melayang ke arah jurang. Serangan yang kedua itu
saking mengerikannya sampai-sampai menghempaskan tubuhnya jauh ke arah
jurang.

Semua penonton yang menyaksikan peristiwa itu berteriak ngeri saat


melihat tubuh Cio San begitu dekat dengan jurang. Ia sudah tak berdaya
karena tak ada satu pun yang bisa dipijaknya untuk berpegangan.

Dan serangan yang ketiga tiba!

Dengan menggabungkan kekuatannya ketiga orang ini melancarkan jurus


telapak pamungkas yang sinarnya menyilaukan mata. Sinar ini jauh lebih
menyilaukan daripada sinar yang dihasilkan oleh 18 Tapak Naga jurus
pertama.

Itu berarti gabungan tenaga dalam ketiga orang ini jauh lebih kuat
daripada tenaga dalam Cio san. Kecepatan ketiga orang ini diatas Cio san,
dan pengalaman ketiga orang ini diatas Cio San.

Pendekar muda itu dengan pasrah menerima jurus gabungan ketiga orang ini!

Ia hanya bisa menerima serangan itu dengan dadanya, karena tangannya


masih kalah cepat dengan gabungan kecapatan ketiga tetua tadi.

Saat mereka bergerak sendiri-sendiri, kecepatan mereka memang kalah


dengan Cio San. Tapi saat mereka menggabungkan tenaga dan merapal jurus
gabungan, maka Cio San tak mampu berkutik.

Dadanya menerima hujaman ketiga telapak itu.

Kraaaaaaaaaaaaaakkkkkkkkkkk!

Terdengar bunyi tulang patah yang jauh lebih keras daripada suara pohon
besar yang tumbang.

Herannya, bukan Cio San saja yang terhempas ke jurang. Tapi ketiga
penyerangnya pun ikut terhempas ke jurang juga bersamanya!

Aaaaaaaaaaaaa ketiga tetua ini sendiri tak percaya mereka ikut


terhempas ke jurang!

Semua penonton segera berlari ke bibir jurang untuk melihat apa yang
terjadi.

Keempat orang itu menghilang ke dalam kegelapan jurang.

Jurang yang begitu dalam, gelap, dan seperti tak berujung.

Teriakan Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa itu semakin lama semakin


mengecil, lalu menghilang dan tak terdengar lagi.

Suma Sun hanya bisa menteskan airmata melihat pengorbanan sahabatnya itu.

Kao Ceng Lun diam membisu tak sanggup berkata apa-apa.

Para anggota Ma-kauw dan Kay Pang menangis sesenggukan.

Semua pendekar yang tersisa dari pertarungan dahsyat malam ini tak pernah
menyangka akhir dari kisah pertarungan ini.

Perang memang tak menghasilkan apa-apa selain air mata.

Bab 70 Pendekar Yang Sejati

Semua orang berdiri di ujung tebing jurang itu.

Tak ada seorang pun yang berani mengeluarkan kata-kata.

Pertarungan para naga yang berakhir tak terduga.

Perasaan campur aduk pasti akan muncul di hati manusia yang menyaksikan
kejadian di puncak Thay San ini. Kagum, takut, sedih, marah dan entah apa
lagi.

Peristiwa yang berlangsung sedemikian cepat namun terasa begitu lama.


Bagaikan bintang jatuh. Bercahaya menyilaukan, namun kemudian hilang tak
membekas.

Berapa ribu orang yang mati saat ini?

Berapa banyak tubuh terkapar tak bernyawa yang ada di tempat ini?

Berapa tinggi banjir darah yang menggenang membasahi alas kaki?

Berapa banyak nyawa terbuang?

Berapa banyak jiwa terhempas?

Berapa banyak air mata tertumpahkan?

Kadang-kadang manusia berperang untuk alasan yang tidak jelas sama


sekali. Kadang-kadang mereka bahkan saling membunuh tanpa membutuhkan
alasan.

Kebencian, seperti cinta, kadang memang tidak memerlukan alasan.

Demi cinta orang rela membunuh. Karena kebencian pula orang berani
membunuh. Lalu apa beda cinta dan kebencian?

Suma Sun hanya duduk bersila. Air matanya menetes tak terbendung.
Walaupun berat menerima kenyataan ini, ia telah rela. Dan ia telah
mengerti.

Sahabat terbaiknya itu memutuskan untuk mengorbankan dirinya, demi


mengakhiri semua ini. Mengakhiri semua kebencian ini. Mengakhiri semua
rasa haus dan lapar akan kekuasaan.

Cio San telah mengetahui siapa otak besar di balik semua kejadian ini.
Pastilah salah satu diantara ketiga orang yang terjatuh dengannya ke
dalam jurang. Atau bisa juga ketiga-tiganya adalah otak besar yang
sebenarnya.

Suma Sun pun paham bahwa Cio San tidak melihat pada jalan lain selain
mengorbankan dirinya. Toh jika ia menang dan berhasil membunuh si otak
besar, fitnah terhadap dirinya tak akan terhapuskan. Akan masih banyak
orang yang percaya bahwa Cio San adalah si otak besar. Oleh sebab itu
akan terjadi banyak juga pembalasan dendam. Akan ada banyak orang yang
mencari dirinya, yang dendam atas perbuatannya, dan yang ingin
membalaskan sakit hatinya. Cio San telah menjadi musuh semua orang.

Dikarenakan fitnah yang keji!

Dari segala sisi manapun, tak ada jalan keluar terbaik kecuali
mengorbankan dirinya. Walaupun ia memenangkan pertempuran secara jasad,
Cio San akan tetap kalah dalam bertempur secara akal.

Si otak besar telah mengalahkannya dalam hal ini.

Oleh sebab itu Cio San memilih untuk mati bersama-sama dengan musuhnya.
Tak ada lagi ada si otak besar. Dan tak akan ada lagi fitnah atas
namanya.

Semua berakhir saat itu, detik itu ketika mereka berempat jatuh ke jurang
itu.

Suma Sun yakin,


yang terjadi di
Hong-taysu dari
Nikow dari Gobi

kemungkinan besar otak dari segala otak kejadian keji


dunia Kang Ouw itu pastilah perbuatan ketiga orang itu:
Siau Lim Pay, Lau-caingbunjin dari Butongpay, dan Bi Goat
pay.

Dua kejadian berdarah dari masa lalu Cio San terjadi berhubungan dengan
Gobipay, dan Butongpay. Orang tua Cio San melarikan diri dari Gobipay
lalu meninggal di perjalanan. Mereka pasti menghindari sesuatu atau
seseorang di Gobi pay. Guru Cio San, Tan Hoat pun meninggal di puncak
gunung Butong san.

Entah takdir apa yang melekat pada diri sahabat baiknya itu. Entah
rahasia apa yang tersimpan di dalam hidupnya yang singkat namun
mengagumkan itu. Tak ada seorang pun yang tahu. Dalam hati, Suma Sun
bertekad untuk mengungkapkan semua rahasia dan teka-teki ini.

Ia berhutang nyawa pada sahabatnya itu.

Tanpa berhutang nyawa pun, ia akan melakukannya.

Karena Cio San adalah sahabatnya.

Kata sahabat saja sudah cukup bagi seseorang untuk mengorbankan jiwa
raganya.

Malam perlahan pergi.

Meninggalkan kegelapan dunia untuk sementara.

Matahari perlahan muncul untuk menyinari bumi.

Cahaya dan kegelapan datang silih berganti dalam kehidupan manusia.

Tak ada manusia yang bahagia sepenuhnya. Seperti juga tak ada manusia
yang bersedih sepenuhnya.

Tangis dan tawa datang silih berganti, bahkan disebabkan oleh alasan yang
sama.

Pagi menjelang.

Tubuh-tubuh yang bergelimpangan itu satu persatu bergerak.

Ternyata mereka tidak mati.

Cio San berbaik hati untuk tidak mengambil nyawa mereka seluruhnya. Siapa
yang menyerangnya dengan kejam akan mati mengenaskan. Siapa yang tidak
sepenuh hati menyerangnya akan terselamatkan.

Walaupun banyak yang cedera parah, banyak yang anggota tubuhnya terbabat
putus, banyak yang silatnya musnah, setidaknya Cio San masih punya hati.

Cio San memang manusia yang punya hati.

Sekeji atau sekejam apapun perbuatan orang kepadanya, ia tetap berpegang


pada perbuatan gagah.

Hari ini semua orang mengakuinya.

Dengan segala kemampuannya, Cio San dapat membunuh mereka semua.

Tapi itu tidak dilakukannya. Hanya orang yang benar-benar menyerangnya


secara membabi buta yang dibunuhnya. Itupun karena keadaan terpaksa.

Hari ini semua orang mengakuinya, bahwa ia pantas mendapat sebutan


Kuncu (Pendekar Sejati).

Entah tuduhan terhadap dirinya salah atau benar, Cio San telah
membuktikan bahwa ia memang adalah seorang Kuncu.

Beng Liong akhirnya bangkit.

Segala lukanya telah pulih. Kekuatannya telah kembali. Kao Ceng Lun telah
menceritakan segala hal yang terjadi kepadanya.

Air matanya pun menetesi pipinya.

Sebenarnya para petarung sejati itu teramat sering menangis. Karena


kekuatan tubuh mereka sebenarnya adalah untuk menutupi kelembutan hati
mereka.

Beng Liong berjalan ke tepi jurang.

Masih banyak orang yang duduk di sana. Walaupun sinar matahari telah
menerangi bumi, gelapnya jurang itu masih saja menakutkan.

Ia kehilangan banyak sekali dalam kejadian semalam.

Sahabatnya.

Gurunya.

Teman-teman seperguruan.

Kenalan.

Saudara.

Ia hanya bisa tertunduk lesu. Berdiri di pinggiran jurang sambil menatap


jauh ke dalam lubang bumi yang gelap itu.

Tiba-tiba terdengar seseorang berkata,

Menurut peraturan, apapun yang terjadi, perebutan Bu Lim Beng Cu harus


tetap dilaksanakan. Berapapun jumlah orang yang datang, kejadian apapun,
acara ini harus tetap berlangsung

Beng Liong serasa tercekat. Begitu penting kah urusan Bu Lim Beng Cu ini?

Padahal kejadian yang jauh lebih dahsyat baru saja terjadi, tapi orang
sudah segera lupa dan kembali ingin membuat pertarungan.

Apakah hidup manusia adalah pertarungan itu sendiri?

Setiap pemilihan, selalu ada sejenis panitia yang ditugaskan mengurus


keperluan acara ini. Mereka telah disumpah untuk berlaku adil, dan tidak
turut serta dalam pertarungan. Biasanya berisi tetua-tetua perguruan yang
sudah melakukan Upacara Cuci Tangan dari dunia persilatan.

Yang ingin ikut, silahkan mendaftar kata salah seorang tetua.

Ada beberapa orang yang maju.

Beng Liong kenal siapa mereka.

Ia melihat ada yg tulus.

Ia melihat ada juga yang mencoba menggunakan kesempatan baik ini untuk
menjadi Beng Cu.

Di saat hampir semua pendekar besar terluka atau mati dalam pertarungan
tadi, inilah kesempatan terbaik untuk merebut posisi Bu Lim Beng Cu.

Ketua dunia persilatan!

Siapa yang tidak tertarik kepada gelar itu?

Bahkan orang yang tidak bisa silat pun ingin mendapatkan gelar itu.

Gelar yang posisinya hampir sama dengan posisi kaisar sendiri.

Beng Liong maju.

Ia mendaftarkan dirinya. Ia tidak rela posisi yang begitu terhormat itu


jatuh ke tangan orang yang tidak pantas menerimanya.

Ada Suma Sun, tapi dewa pedang itu telah kehilangan seluruh kemampuannya.

Ada Kim-tayhiap, tapi dewa pedang itu sudah mengumumkan pengunduran


dirinya.

Ada beberapa pendekar besar yang ia kenal yang maju mendaftarkan diri
mereka pula. Tapi ketulusan dan keluhuran mereka masih disangsikan oleh
Beng Liong.

Akhirnya ia maju.

Jika Cio San masih ada, pasti sahabatnya itu akan memintanya untuk maju.

Yang tersisa sekarang adalah para pesilat-pesilat dunia hitam yang


memanfaatkan kesempatan baik ini untuk merebut posisi Beng Cu. Beng Liong
tidak bisa membiarkan hal itu terjadi.

Ia tak mampu membayangkan jika dunia persilatan kacau balau dipimpin oleh
mereka.

Segera para pendaftar mulai mendaftarkan diri.

Begitu pendaftaran ditutup tepat tengah hari, sudah ada 138 orang yang
mencalonkan dirinya.

Pertandingan akan di adakan tepat satu jam dari sekarang. Diadakan di


puncak tertinggi Thay San. Para hoohan (orang gagah) sekalian pasti tahu
tempatnya. Silahkan bergegas ke sana. Siapa yang terlambat, namanya akan
dicoret.

Begitu kata-kata diumumkan, semua orang lalu berkelebat ke tempat itu.


Dibutuhkan waktu beberapa lama untuk bisa sampai ke puncak Thay San. Oleh
sebab itu masing-masing peserta harus mengandalkan ginkangnya agar tidak
sampai terlambat sampai di sana.

Akhirlah sampai juga para peserta di puncak Thay san.

Pemandangan di sana sangat indah. Dunia terasa begitu kecil di lihat dari
puncak gunung. Mungkin itulah sebabnya banyak orang suka menyepi ke
pegunungan. Untuk sekedar melepaskan diri dari kungkungan dunia yang
membuat hidupnya serasa kerdil. Di puncak gunung, manusia akan lebih
merasakan kemanusiaannya.

Di sini pula, orang bisa merasakan hakikat kehidupan jika mau sedikit
merenung dan berpikir.

Pantas saja perebutan Bu Lim Beng Cu diadakan di sini.

Kini mereka semua berada di halaman sebuah Kuil yang sangat luas. Begitu
luasnya sampai-sampai pintu bangunan utama tidak dapat terlihat dari
pintu gerbang.

Para petarung telah tiba. Para penonton pun telah tiba.

Pertarungan akan diadakan berbarengan sekaligus. Silahkan 138 peserta


maju ke depan!

Mereka semua maju.

Peraturan pertempuran adalah seluruh peserta bertarung di satu tempat


secara bersamaan. Lalu salah satu tetua yang mengurus pertandingan
membacakan hasil undian.

Beng Liong mendapatkan lawan seorang dari kaum Liok Lim bernama Su Pang
To.

Dia ini adalah raja golok yang menguasai daerah Kanton.

Silahkan kata Beng Liong sambil menjura.

Tanpa basa basi lagi Su Pang To menggerakan goloknya.

Tidak percuma ia dijuluki Raja Golok Dari Selatan. Gerakannya penuh


tenaga, cepat, dan ganas.

Beng Liong menghadapinya dengan pedang.

Tangannya bergerak melepaskan pedang dari sarungnya. Ilmu Pedang Thay


Kek. Sebuah ilmu pedang sempurna yang dibawakan oleh pesilat dengan bakat
sempurna.

Kata orang tidak ada ilmu silat yang sempurna di dunia ini.

Orang itu pasti belum melihat Beng Liong.

Gerakannya terlihat lambat dan perlahan. Ketika golok Su Pang To datang,


semua orang menyangka golok itu akan membabat putus leher Beng Liong.
Tapi dengan sebuah gerakan sempurna, golok itu lewat begitu saja
dihadapannya, dan pedangnya sudah mengancung ke depan.

Tidak ada waktu bagi Su Pang To untuk menghentikan gerakannya. Karena


tidak mungkin baginya untuk berhenti secara tiba-tiba saat bergerak maju
secepat itu.

Tahu-tahu pedang Beng Liong telah mengarah ke dadanya.

Untunglah Beng Liong tidak pernah mau membunuh orang. Ia lalu menarik
pedangnya. Dalam sekejap mata, pedang itu telah kembali berada di
sarungnya, secepat ketika pedang itu pertama kali ia cabut.

Melihat Beng Liong telah memasukkan pedangnya ke sarung, bukannya


bersyukur bahwa Beng Liong telah mengasihaninya, Su Pang To malah melihat
ini sebagai kesempatan besar.

Sebuah sabetan ia lancarkan untuk membabat pinggang Beng Liong.

Melihat ini Beng Liong tidak kaget dan tidak pula heran. Ia telah sering
menghadapi orang-orang seperti ini. Malahan ia telah menduga Su Pang To
akan berlaku curang seperti ini.

Tebasan golok itu ditangkisnya tanpa mengeluarkan pedang dari sarungnya.


Lalu dengan sebuah gerakan lembut khas Thay Kek Kun, telapak tangan
kirinya telah memutar pergelangan tangan Su Pang To yang memegang golok.

Hasilnya adalah Su Pang To merasakan ada sebuah gelombang tenaga aneh


dalam dirinya sendiri yang membuat gerakan tubuhnya serasa dipelintir.
Tubuhnya berjumpalitan tak keruan seperti ada gelombang besar yang
menghempaskannya.

Inilah kehebatan Thay Kek Kun yang mampu menggunakan besarnya tenaga
lawan untuk menyerang sang lawan itu sendiri.

Begitu si Raja Golok Dari Selatan ini berputar tak karuan di udara, Beng
Liong melompat tinggi dan melakukan sebuah tendangan.

Gerakan ini juga terlihat sangat lambat dan tak bertenaga. Tapi akibatnya
adalah Su Pang To terlempar bertombak-tombak jauhnya dengan tulang patahpatah.

Pergelangan tangannya yang tadi diserang oleh Thay Kek Kun-nya Beng Liong
sejak saat ini sampai selamanya tak akan bisa ia gunakan lagi.

Ia hanya bisa merintih kesakitan.

Karena kasihan, Beng Liong menghampirinya,

Tuan, silahkan makan pil ini. Mudah-mudahan bisa mengurangi sakit dan
bisa segera menyembuhkan luka tuan

Pil Akar Bumi adalah salah satu obat mujarab ciptaan Thio Sam Hong yang
khasiatnya tidak diragukan lagi. Resep pembuatan pil ini adalah salah
satu dari berbagai macam rahasia Butong Pay yang dijaga ketat, dan tidak
pernah diajarkan kepada orang luar Butong Pay.

Dengan wajah cemberut sambil meringis menahan sakit, Su Pang To menerima


dan menelan obat itu.

Terima kasih telah mengalah kata Beng Liong sambil menjura. Lalu ia
melangkah pergi. Menghadapi manusia angkuh macam Su Pang To, Beng Liong
hanya tersenyum.

Mengakui kekalahan bukanlah hal yang mudah bagi orang-orang Kang Ouw.

Pemenang pertama adalah Butong Pay-enghiong Beng Liong. Teriak salah


seorang tetua memberi pengumuman.

Beng Liong duduk istirahat. Matanya memandang kepada pertandingan lain


yang tidak kalah dahsyat. Matanya tertumbuk kepada sosok Kao Ceng Lun.
Pemuda ini yang tadi diminta Cio San untuk menjaganya. Rupanya pemuda itu
ikut juga dalam pertarungan Bu Lim Beng Cu ini.

Keluarga Kao terkenal dengan ilmu tinju mereka yang dahsyat. Hui Liong
Ciang Hoat. Ilmu Pukulan Naga Terbang. Namanya yang sangar tentu saja
bukan nama kosong. Ilmu telah menggetarkan tionggoan sejak lebih dari
seratus tahun yang lalu. Kakek buyut dari Kao Ceng Lun adalah pendekar
besar yang sempat diangkat sebagai salah satu pelindung keluarga Kaisar.
Bisa dibayangkan betapa hebatnya ilmu keluarga Kao ini.

Dan Kao Ceng Lun sebagai salah satu pewarisnya, memang tidak
mengecewakan. Lawan Kao Ceng Lun adalah Gan siau-ya. Tuan Muda Gan. Nama
aslinya tidak ada orang yang tahu. Orang hanya tahu she (marga) nya saja.
Seluruh anggota keluarga Gan memang tidak ada memiliki nama!

Tuan besar Gan, nyonya Gan, nona Gan, tuan muda Gan.

Keluarga Gan ini adalah sebuah keluarga aneh yang hidupnya berpindahpindah. Mereka tidak memiliki tempat tinggal yang tetap. Herannya mereka
memiliki harta kekayaan yang sangat banyak sehingga setiap rumah atau
tempat tinggal yang mereka tempati, selalu adalah tempat tinggal mewah
dan mahal.

Hebatnya lagi, setiap mereka pindah, rumah yang lama mereka biarkan saja
terbengkalai. Padahal rumah itu mereka beli dengan harga mahal!

Keanehan keluarga ini masih ditambah lagi dengan tidak jelasnya asal-usul
mereka. Semua orang tahu keluarga Gan. Tapi tak ada yang tahu asal-usul
mereka, pekerjaan mereka, dan lain-lain.

Lebih-lebih tak ada yang tahu pula asal-usul ilmu silat mereka yang aneh.

Kini salah satu anggota keluarga itu sedang bertarung dengan Kao Ceng
Lun. Mereka hanya duduk saja di pinggiran sambil menyoraki memberi
semangat kepada Gan-siauya.

Ayo hajar dia, nak! kata tuan besar Gan

Ayo koko (kakak), semangat! kata Gan-siocia.

Tidak ada pula yang tahu nama-nama jurus keluarga Gan. Yang orang-orang
tahu jurus-jurus ini tidak kalah hebat dan tidak kalah tenar dengan ilmuilmu silat perguran besar.

Telapak tangan Gan-siauya berwana merah menyala.

Sama seperti bajunya. Keluarga Gan selalu memakai baju merah.

Telapak itu menyambar-nyambar mengeluarkan suara wuuuuut.wuuuuut.

Kao Ceng Lun menghindari serangan telapak itu dengan lincah.

Mereka sama-sama muda. Sama-sama dari keluarga terkenal. Sama-sama sakti


pula.

Pemuda Kao ini mengepalkan tinjunya. Suara yang keluar dari tinju yang ia
lancarkan juga terdengar menakutkan wuuuummmmm.wummmmm

Ia tidak berani menerima telapak Gan-siauya yang bercahaya merah itu


karena khawatir beracun. Ia hanya berusaha menghindarinya sambil mencoba
mengirimkan tinjunya yang terkenal itu.

Tinju itu bisa menghancurkan batu tanpa menyentuhnya.

Sayangnya batu bukan manusia yang memiliki tenaga dalam, kelincahan, dan
akal pikiran. Karena itu Kao Ceng Lun sampai saat ini belum mampu
menundukkan Gan-siauya. Malahan sekarang ia berada dalam posisi terdesak.

Gan-siauya ternyata memiliki pergerakan aneh yang keluar dari dasar-dasar


teori ilmu silat. Gerakan silatnya sseperti tanpa kuda-kuda dan hanya
melayang-layang saja. Padahal dari telapak tangannya mengeluarkan tenaga
yang sangat besar.

Hal ini tidak mungkin terjadi jika Gan-siauya tidak memiliki tenaga dalam
yang sangat besar.

Sudah puluhan jurus mereka lalui, kini mendekati jurus keseratus,


pergerakan Gan-siauya semakin lincah. Telapak tangannya yang berwarna
merah, semakin terlihat menyala bagaikan bara api yang mengincar segala
titik di tubuh Ko Ceng Lun.

Pemuda she (marga) Kao ini pun tidak kalah hebatnya bergerak. Satu
serangan telapak tangan Gan-siauya dihadapinya pula dengan tinju Naga
Terbang milik keluarganya.

Suara dentuman terdengar menggelegar saat pertemuan tenaga kedua orang


pemuda berbakat ini. Gan siauya terlempar 5 langkah sedangkan Kao Ceng
Lun terlempar 7 langkah.

Mereka berdua tidak terluka dalam. Malah sebaliknya semakin bersemangat.

Ayo nak, hantam lagi begitu Gan-ongya (tuan besar) memberi semangat
pada anaknya.

Si anak dengan serta merta langsung bergerak penuh semangat menyerang Kao
Ceng Lun. Kecepatan lesatannya ini boleh dibilang sudah hampir mendekati
kecepatan ginkang pendekar-pendekar terkemuka.

Kao Ceng Lun yang semakin terdesak, melihat datangnya sebuah serangan
dahsyat yang kini mengurung semua pergerakannya. Telapak Gan-siauya
seperti ada di mana-mana. Ke kiri, telapak itu menghujam. Ke kanan,
telapak itu menghantam. Mundur pun telapak itu masih mengincar.

Karena tak ada jalan lain, terpaksa Kao Ceng Lun sekali lagi harus
mengadu tenaga. Padahal tadi ia telah kehilangan banyak tenaga saat
beradu pukulan dengan Gan-siauya.

Blaaaaarrrrrrrrrrrrr!!

Kali ini Kao Ceng Lun terhempas sepuluh langkah. Gan-siauya pun terhempas
kira-kira 7 atau 8 langkah. Karena Gan-siauya terhempasnya lebih sedikit
dari Kao Ceng Lun, maka ia memanfaatkan hal ini dengan melesat cepat
memburu Kao Ceng Lun.

Kao Ceng Lun masih menyisakan 2 langkah terlempar ke belakang saat di


lihatnya Gan-siauya sudah melayang ke depan mengincar kakinya!

Ternyata sejak beradu tenaga sampai 2 kali tadi, Gan-siauya bisa


memecahkan rahasia kekuatan Kao Ceng Lun. Memang, inti tenaga dari Tinju
Naga Terbang sebenarnya pada kuatnya kuda-kuda. Oleh karena itu Gansiauya langsung menyerang kaki Kao Ceng Lun.

Gaya serangannya pun aneh. Seperti ular yang merayap di atas tanah,
tubuhnya terlihat melayang rendah hampir menyentuh tanah pula. Dengan
kecepatan yang teramat tinggi, ia menyusur tanah dan langsung mengincar
tempurung lutut Kao Ceng Lun.

Karena masih terlempar oleh dahsyatnya benturan tenaga tadi, tidak ada
jalan lain bagi Kao Ceng Lun selain mengerahkan seluruh tenaga dalamnya
ke tempurung lututnya itu.

Telapak tangan Gan-siauya hampir menghantam lutut Kao Ceng Lun, tapi
dalam sepersekian detik gerakannya berubah!

Tangannya menyentuh tanah, dan tubuhnya lalu melenting. Sekali salto,


kini serangannya berubah menjadi gerakan menendang!

Braaaak

Dada Kao Ceng Lun terhantam tendangan itu!

Darah segar muncrat dari mulutnya!

Ia terlempar ke belakang, dan terhempas ke tanah. Semua penonton melongo


menyaksikan hebatnya gerakan tipuan Gan-siauya itu. Begitu cepat, begitu
pintar, dan begitu bertenaga.

Dengan berat Kao Ceng Lun berdiri dan menjura. Ia mengaku kalah!

Gan-siauya pun tertawa dengan santainya.

Harap Kao-enghiong memaafkan jika cayhe keterlaluan katanya.

Justru cayhe mengucapkan terima kasih karena belas kasihan Gan-tayhiap


kata Kao Ceng Lun.

Ah tidak perlu sungkan. Haha. Sampai jumpa lagi kata Gan-siauya sambil
tersenyum dan menjura. Ia lalu menghampiri keluarganya yang menyambutnya
dengan gembira.

Berhasil!

Hore

Melihat keluarga seperti ini, tidak ada seorang pun di puncak Thay San
ini yang tidak iri. Begitu bahagia, begitu akrab, dan begitu hangat.

Beng Liong yang menyaksikan semua ini merasakan suatu perasaan yang aneh.
Ada sesuatu dari keluarga ini yang menggelitik rasa keingintahuannya. Di
balik senyum, tawa, dan kegembiraan keluarga aneh itu, pasti tersimpan
rahasia besar.

Pemuda Gan-siauya itu mungkin setahun-dua tahun lebih muda darinya. Tapi
ilmunya begitu tinggi. Gerakannya aneh dan tenaga dalamnya sungguh
dahsyat. Bagaimana pula dengan ayahnya?

Tak ada seorang pun di dunia ini yang tahu asal-usul mereka. Keluarga ini
seperti muncul begitu saja dari dasar bumi. Dalam 5 tahun ini, nama
mereka menjadi tenar. Aneh, unik, dan mengagumkan.

Walaupun keluarga ini tidak dimasukkan dalam golongan lurus dalam


kalangan Bu Lim, setidaknya mereka pun tidak termasuk dalam golongan
sesat.

Satu hal yang membuat Beng Ling kagum, adalah perbuatan Gan-siauya tadi.
Ia dapat saja menghancurkan lutut Kao Ceng Lun. Tenaga dalamnya mampu
membuat Kao Ceng Lun cacat seumur hidup. Tapi pada detik terakhir ia
merubah gerakannya menjadi sebuah tendangan ke dada.

Walaupun titik di dada lebih berbahaya daripada di lutut, serangan


tendangan itu tidak berbahaya, karena Gan-siauya telah terlanjur
mengumpulkan tenaga di telapak tangannya. Tendangan itu walaupun dahsyat
dan berbahaya, setidaknya tidak mengancam jiwa Kao Ceng Lun.

Salut!

Kao-enghiong tidak apa-apa? tanya Beng Liong ketika Kao Ceng Lun
menghampirinya dengan tertatih-tatih.

Cayhe baik-baik saja tayhiap

Minumlah pil ini kata Beng Ling sambil mengeluarkan pil sakti Butong
Pay.

Ah terima kasih, cayhe pun membawa sendiri pil buatan ayahanda jawab
Kao Ceng Lun sambil mengeluarkan bungkusan kecil dari kantongnya.

Aha, pil dewa bulan. Bagaimana mungkin sampai aku lupa dengan pil
terkenal ini? Keluarga Kao memang hebat puji Beng Liong.

Apanya yang hebat, buktinya cayhe kalah kata Kao Ceng Lun sambil
tersenyum masam.

Pertarungan silat itu selain ilmu, tenaga, dan pengalaman, juga adalah
nasib baik kata Beng Liong. Lanjutnya, Berlatihlah lebih keras, dengan
bakat Kao-enghiong, aku yakin dalam beberapa tahun saja, Kao-enghiong
akan menjadi salah satu pendekar terkemuka di dunia kang-ouw

Terima kasih wejangannya, Beng-tayhiap katanya menjura.

Panggil aku Liong-ko saja, enghiong

Ah, Beng-tayhiap masih memanggil cayhe enghiong, mana berani cayhe


memanggil koko

Haha. Baiklah Lun-siaute (adik Lun)

Sambil mengobrol, mereka menyaksikan pertandingan-pertandingan yang


terjadi. Beng Liong mempelajari siapa saja lawan yang akan dihadapinya.
Ada sekitar 10 lawan berat yang mungkin akan dihadapinya. Yang lain masih
dibawah tingkatannya. Walaupun begitu, ia tidak ingin ceroboh meremehkan
mereka.

Lawan kuat yang paling utama adalah Gan-siauya tadi. Ia yakin pemuda unik
ini memiliki banyak simpanan yang tidak ia pertunjukkan. Beng Liong
menduga, kemungkinan besar tingkatan ilmu Gan-siauya ini tidak dibawah
dirinya!

Tidak gampang mengalahkan lawan seperti Kao Ceng Lun. Walaupun


pertandingan tadi mereka lalui dalam sekitar 100 jurus, Beng Liong dapat
menduga bahwa Gan-siauya melakukannya dengan sengaja. Agar orang salah
menduga kemampuannya.

Pertandingan putaran kedua!

Beng Liong mendapatkan lawan seorang kurus kerempeng dan sedikit pendek.
Namanya Ho Thay Hoa.

Penampilan dapat menipu.

Hal ini dipercaya betul oleh Beng Liong.

Wajah tirus yang memanjang, agak kurang serasi dengan tubuhnya yang
kecil. Senyumnya pun bagaikan ular berbisa. Kadang-kadang memang ada
orang yang memiliki senyum yang menawan, ada pula yang menakutkan. Tapi
Ho Thay Hoa tidak masuk ke dalam dua golongan ini. Senyumnya masuk ke
dalam golongan menjijikkan.

Senyum seperti ini walaupun tidak terlalu sering ditemui, tidak pula
terlalu sukar untuk dicari padanannya. Senyum menjijikkan seperti ini
akan mudah kau temukan pada wajah kekasih yang mengkhianatimu.

Beng Liong berusaha keras agar tidak memiliki perasaan apapun terhadap
orang yang dihadapinya ini. Ada sedikit perasaan mual yang ada di
perutnya. Tapi dengan sedikit menekan perasaannya, rasa mual itu hilang
perlahan.

Dalam sebuah pertarungan, jiwa dan tubuh mestilah bersih dari segala
macam gangguan. Mungkin itu pulalah mengapa Ho Thay Hoa memiliki senyum
menjijikkan. Agar mengacaukan pikiran musuh yang akan dilawannya.

Pertandingan tahap 2 dimulai!

Beng Liong memasang kuda-kudanya. Gerakan khas Thay Kek Kun. Satu tangan
membuka ke depan dada, tangan yang satunya mengambang ke belakang.

Ho Thay Hoa pun memasang kuda-kudanya.

Kuda-kuda umum. Tidak ada yang mengagumkan dalam kuda-kuda ini.

Tapi Beng Liong justru lebih waspada.

Kedua orang ini berdiri berhadapan tanpa melakukan apa-apa. Masing-masing


menunggu.

Padahal pertarungan para peserta yang lain telah dimulai dan terdengar
seru.

Mereka masih saling memandang.

Silahkan Beng-tayhiap kata Ho Thay Hoa sambil tersenyum ramah.

Jangan-jangan bila tergigit orang ini, manusia bisa mati keracunan?

Beng Liong tersenyum, lalu menjawab

Baiklah. Awas serangan

Pukulan Tapak Matahari Menyinari Bumi.

Tidak banyak murid Butong pay yang menguasai jurus ini. Walaupun bukan
merupakan bagian dari Thay Kek Kun, Tapak Matahari Menyinari Bumi
sebenarnya adalah salah satu jurus andalan Thio Sam Hong.

Dibutuhkan bakat yang sangat besar, tenaga yang sangat kuat, dan latihan
yang sangat berat agar bisa menguasai ilmu ini. Jika Thay Kek Kun
berlandaskan Yin yang lembut, Tapak ini justru berlandaskan Yang
bertenaga.

Itulah kenapa banyak murid Butongpay yang tidak mampu menguasainya karena
jika dilihat sekilas, Thay Kek Kun dan tapak ini seperti dua kutub yang
berbeda. Padahal justru masing-masing saling mengisi.

Beng Liong dengan bakatnya yang besar mampu menguasai jurus tapak ini.

Telapak tangannya memancarkan cahaya berwarna kuning keemasan. Siapapun


tahu, orang yang terkena sinar itu pasti tak akan punya harapan lagi
untuk hidup.

Begitu telapak tangan Beng Liong menyambar, Ho Thay Hoa hanya menanti.

Ia menanti dan menanti.

Bahkan saat telapak itu sudah sangat dekat pun, ia sama sekali tidak
melakukan apa-apa.

Blunnnnngggggggg

Telapak itu menghujam dada!

Tapi yang diserang tidak merasakan apa-apa.

Yang menyerang pun terhenyak kaget.

Tenaga sedahsyat itu mampu menghancurkan batu karang sebesar kerbau. Tapi
untuk menggesar manusia kecil dan kerempeng itu satu langkah saja tidak
mampu.

Beng Liong sendiri merasa tenaga yang tadi ia keluarkan seperti musnah
dan hilang entah kemana.

Ilmu Menghisap Matahari? tanyanya dalam hati.

Dengan menggunakan Thay Kek Kun ia segera menarik telapak tangannya.


Dengan ilmu ini, ia tidak perlu khawatir tangannya akan terus menempel di
dada musuhnya itu tanpa bisa ia tarik lagi.

Ah, anda dari Ma Kauw? tanya Beng Liong.

Aku tak punya hubungan dengan penyembah iblis jawab Ho Thay Hoa marah,
tapi mulutnya masih tersenyum.

Ah, maafkan bahkan di saat bertanding seperti ini pun Beng Liong masih
sangat sopan.

Ia tetap saja bingung dalam hatinya. Hanya orang Ma Kauw yang memiliki
ilmu Menghisap Matahari. Selain mereka, Beng Liong belum pernah mendengar
ada orang lain yang mampu melakukannya.

Silahkan serang lagi kata Ho Thay Hoa sambil tersenyum.

Pantas saja ia menyuruh orang lain untuk menyerangnya. Dengan berdiri


diam, ia menerima serangan lawan dan menerima sumbangan tenaga dari
lawannya itu.

Pertarungan seperti ini tentu saja sangat mengantungkannya. Ia tidak


perlu keluar tenaga sama sekali. Orang lain malah memberi tenaga
kepadanya.

Beng Liong bingung harus melakukan apa-apa. Orang ini tidak menyerang
tidak menghindar dan bahkan tidak membalas!

Jiwa ksatria dalam dirinya membuat ia begitu ragu untuk bergerak.

Tapi ia bergerak.

Karena jika Beng Liong ingin bergerak, tak ada satupun makhluk di muka
bumi yang mampu menghalaunya.

Serangannya malah lebih dahsyat lagi dari yang pertama.

Semua penonton menahan nafas menanti apa yang terjadi.

Gerakan ini bahkan lebih cepat dari kedipan mata manusia. Karena itu para
penonton tidak berkedip dari tadi. Sayangnya, tanpa berkedip sekalipun,
mereka tentu saja tak mampu melihat dahsyatnya serangan ini.

Beng Liong terlalu cepat.

Blaaaaaaaaaaaaaaannnnngggggggggggggg!

Betapa dahsyatnya serangan ini sampai bebatuan karang yang ada di


belakang Ho Thay Hoa ikut terlempar ke belakang bersama kerikil dan debu!

Ia tidak terluka.

Bahkan bergesar satu jengkal pun tidak.

Padahal dua telapak tangan Beng Liong sudah menghantam dadanya secara
bersamaan.

Ho Thay Hoa hanya tersenyum.

Hanya begitu saja Beng-tayhiap?

Senyumnya bagaikan ular yang telah menjerat mangsanya.

Dingin, licin, dan menjijikan.

Bagaimana kalau cayhe mencoba sekali lagi? tanya Beng Liong.

Silahkan. Sampai 100 kali pun aku bersedia, hahahahah jika tersenyum
saja sudah menjijikkan, bagaimana jika ia tertawa?

Kau akan merasa takut badan mu menjadi kotor karena mendengar suara
tawanya.

Awas serangan!

Kali ini Beng Liong bergerak jauh lebih cepat lagi!

Telapaknya yang berwana kuning keemasan menghujam dada Ho Thay Hoa sekali
lagi.

Tuk hanya suara kecil saja. Bagaikan sentuhan sahabat kepada sahabat.

Tapi suara kecil itu datang berbarengan dengan tamparan dan gamparan
tangan Beng Liong ke wajah Ho Thay Hoa.

Tamparan dan gamparan biasa!

Tanpa sinkang dan tenaga dalam.

Ho Thay Hoa tak mampu menyerap tenaga lawan. Karena lawan tidak
menggunakan tenaga dalam. Hanya tanparan dan gamparan biasa!

Kata tamparan dan gamparan biasa sepertinya terlalu merendahkan.

Karena Beng Liong melakukan tamparan dan gamparan itu dengan ginkangnya
yang luar biasa, sehingga kecepatannya tak mampu dihindari oleh Ho Thay
Hoa.

Menerima gamparan itu Ho Thay Hoa kewalahan. Bergerak secepat apapun ia


tak mampu menghindar atau menangkis serangan Beng Liong. Bahkan separuh
kecepatan Beng Liong saja tak mampu diimbanginya.

Pipinya bengkak. Hidungnya berdarah, bibirnya pecah.

Karena tidak tega, Beng Liong berhenti.

Orang ini ternyata hampir tidak punya tenaga dalam sekali.

Bagaimana mungkin ia bisa bertahan di dunia Kang Ouw? Dengan mengandalkan


ilmu menghisap matahari tiruan nya tentu saja.

Ia tidak menyerap tenaga orang. Ia hanya menyalurkannya saja entah ke


mana. Mungkin ke tanah. Mungkin juga ke udara. Ke mana saja.

Tapi Ho Thay Hoa tidak mampu menyalurkan dan menggunakan tenaga itu untuk
dipakai sebagai tenaganya sendiri.

Dalam serangan keduanya tadi, Beng Liong telah memahami hal ini. Ketika
ia melihat batu karang, kerikil, dan debu berterbangan di belakang Ho
Thay Hoa.

Akhirnya ia tahu cara mengalahkan orang ini.

Apakah tuan mau menyerah kalah pint Beng Liong sopan.

Kau lihat apakah aku sudah mati? Belum mati ya belum menyerah

Senyum Ho Thay Hoa sudah hilang dari wajahnya. Berganti garis-garis geram
yang menggambarkan benci dan duka yang berbaur menjadi satu.

Beng Liong tersenyum kecewa.

Tapi ada banyak orang di dunia ini memang harus dihajar dulu baru
mengerti.

Ia bergerak melesat dalam kecepatan yang sungguh mengagumkan. Dan tak


perlu menunggu terlalu lama untuk menyaksikan Ho Thay Hoa ditempeleng
sampai wajahnya biru membengkak.

Puluhan tamparan menerpa wajah Ho Thay Hoa tanpa ia bisa menghindar.


Bahkan untuk berkedip pun ia tidak sempat.

Hingga ia akhirnya kewalahan dan berkata,

Aku menyerah

Semua orang bernapas lega.

Beng Liong lebih lega lagi. Manusia seperti Ho Thay Hoa ini memang sering
kali merepotkan.

Beng Liong lolos! begitu teriak tetua pengurus pertandingan.

Pendekar muda harapan Butong pay ini lalu kembali ke tempat duduknya. Kao
Ceng Lun menyambutnya memberi selamat,

Selamat Liong-ko

Terima kasih Lun-te

Kembali Beng Liong menggunakan kesempatan waktu ini untuk memperhatikan


puluhan pertandingan yang sedang terjadi.

Debu berterbangan diiringi suara pertarungan yang menggema. Serasa semua


orang yang bertanding telah mengerahkan jiwa raganya untuk memenangkan
pertarungan ini.

Tinggal 3 pertandingan lagi Beng Liong akan smpai di pertarungan tahap


akhir.

Ia bersemedi mengumpulkan tenaga baru untuk menggantikan tenaga yang tadi


sempat hilang saat melawan Ho Thay Hoa.

Pada pertandingan ketiga ini, lawannya adalah seorang setengah baya


bernama Lam Han To. Beng Ling pernah mendengar tentang orang ini. Seorang
tokeh kosen (sakti) yang namanya cukup terkenal di kalangan Bu Lim. Ia
termasuk golongan lurus. Banyak perbuatan gagah yang pernah dilakukannya
sehingga ia cukup disegani juga.

Ia tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu pendek. Rambutnya lebat dan
memiliki beberapa lembaran putih yang membuatnya terlihat lebih gagah.
Kumis tebalnya membuat penampilannya terkesan garang.

Salam Beng Liong menjura memberi hormat.

Tidak perlu sungkan Lam Han To pun menjura.

Pertandingan dimulai!

Lam Han To bergerak duluan. Ilmu silatnya meniru gerakan monyet.

Ah, Ilmu Monyet Sakti Beng Liong bergumam kagum.

Ilmu Monyet Sakti ini membutuhkan kelincahan dan kecepatan. Cocok untuk
digunakan oleh orang yang bentuk tubuhnya seperti Lam Han To.

Pria separuh baya itu bergerak cepat. Serangan yang menyusur tanah. Ia
mengincar bagian kaki Beng Liong. Melihat ini Ben Liong mundur dengan
cepat pula. Tahu-tahu tangan Lam Han To telah membabat perut Beng Liong.

Dengan mengeluarkan suara seperti monyet tangannya menyambar!

Walaupun sempat kaget dengan cepatnya serangan itu, Beng Liong tidak
panik. Karena seberapa pun cepat manusia yang ada di muka bumi ini, tidak
mungkin akan lebih cepat dari Beng Liong.

Menerima serangan itu, Beng Liong menggunakan Thay Kek Kun untuk
membuyarkan gerak serangan itu. Tangannya menggenggam kedua tangan Lam
Han To, siap melemparkannya ke samping.

Tak dinyana telapak yang tergenggam itu memiliki kekuatan dahsyat dan
kini berubah menjadi cakar elang yang menggores tangan Beng Liong.

Lam Han To ternyata sengaja membuat dirinya terpegang agar dapat


melaksanakan serangan ini. Gerakan tipuannya sangat halus sehingga bahkan
Beng Liong sendiri tidak menyadarinya.

Cerdas!

Serta merta Beng Liong merasa tambah bersemangat. Ia menyukai tantangan


baru.

Awas serangan seru Beng Liong sambil bergerak menyerang. Serangannya


kali ini berupa gerak tipu Butongpay yang bernama Tangan Meminta Hati
Memberi. Gerakan ini berupa sebuah tinju yang menghujam ke arah dada.

Lam Han To menangkis tinju itu dengan menggunakan cakarnya yang mengincar
siku Beng Liong. Mau tidak mau Beng Liong harus menghentikan serangannya.
Tapi dengan cerdas Beng Liong hanya perlu melangkah sedikit kesamping.

Sikunya selamat dan kini tinjunya sudah merengsek masuk ke dada Lam Han
To.

Terpaksa Lam Han To mundur sedikit untuk menghindari tinju itu. Sebagai
ahli silat, ia hanya perlu mundur sedikit saja. Karena setiap gerakan
ahli silat pasti harus diperhitungkan matang dan tidak menyia-nyiakan
gerakan atau tenaga.

Ia selamat dari tinju itu. Tapi begitu tinju itu terhenti, Beng Liong
segera menjentikkan jarinya!

Kekuatan jentikan jari itu begitu kuatnya sampai-sampai saat menghantam


dada Lam Han To, lelaki itu kemudian terjengkang ke belakang.

Ia segera bangkit lalu menyerang ke depan. Kali ini dengan jurus


Belalang Cangcorang. Jurus ini mengandalkan kekuatan sapuan tangan.
Gerakannya lincah dan cepat. Menyambar kepala dan dada Beng Liong pada
saat yang bersamaan.

Serangan ini memang berbahaya karena menyerang daerah-daerah mematikan


lawan. Tapi serangan ini juga mempunyai kekurangan karena menyisakan
ruang kosong yang terbuka jika ternyata lawan lebih cepat.

Tentu saja Beng Liong lebih cepat. Melihat daerah terbuka itu, dengan
cepat kaki Beng Liong menendang. Tapi ia tertipu lagi!

Lam Han To memang sengaja membuat serangan seperti itu agar dapat
memancing Beng Liong menendang. Karena begitu Beng Liong menendang,
justru daerah bagian bawahnya sendiri terbuka.

Dengan cepat tubuh Lam Han To sudah condong ke belakang menghindari


tendangan Beng Liong, lalu kakinya sendiri sudah menyapu kaki Beng Liong
yang satunya.

Gerak tipu ini sebenarnya sederhana, namun Lam Han To melakukannya dengan
sangat-sangat alami sampai-sampai Beng Liong dan orang lain yang menonton
pertandingan ini tidak menyangka sama sekali.

Sapuan kaki Lam Han To ini sangat berbahaya, karena jika betis Beng Liong
terkena, maka dipastikan tulangnya akan hancur berantakan dan dia mungkin
akan cacat seumur hidup.

Untunglah Beng Liong adalah Beng Liong.

Sudah jelas ia lebih cepat daripada orang lain.

Dengan sekali hentak, ia telah melompat. Begitu di udara, kakinya yang


tadi menendang kini sudah melancarkan lagi tendangan maha cepat. Beng
Liong seperti melontarkan ratusan tendangan dengan satu kakinya dalam
waktu sekejap mata.

Lam Han To menangkis seluruh tendangan itu dengan kedua tangannya.


Walaupun begitu ia masih kalah cepat sehingga beberapa tendangan Beng
Liong ada yang masuk ke rusuk dan bahunya.

Ia terjengkang ke belakang karena tendangan itu, Beng Liong tak menyianyiakan kesempatan ini. Segera ia menghambur ke depan dan melepaskan
sebuah tendangan dahsyat yang menghujam keras ke ulu hati Lam Han To.

Lam Han To yang berada dalam posisi terjengkang itu seperti sudah tidak
memiliki cara lagi untuk menangkis tau menghindari tendangan itu.

Tapi ia adalah raja gerak tipu.

Kedua kakinya secara aneh sudah membelit kaki Beng Liong.

Jurus Ular!

Belitan ini begitu cepat, kuat, dan licin. Dengan segenap tenaganya ia
berusaha menghancurkan kaki Beng Liong dengan tenaga belitannya.

Beng Liong berusaha melawan tenaga belitan itu dengan Thay Kek Kun. Tapi
percuma. Tenaga belitan itu menggunakan sejenis tenaga dalam yang lemas,
sama seperti Thay Kek Kun. Karena itu, semakin Beng Liong menggunakan
tenaga Thay Kek Kun, semakin dirasa belitan dikakinya semakin
menyakitkan.

Sadar akan keadaan ini, Beng Liong menggunakan Tapak Matahai Menyinari
Bumi. Tapak tangannya berubah berwarna kuning keemasan, dan menghujam ke
perut Lam Han To. Tak disangka, serangan Beng Liong ini pun gagal, karena
tiba-tiba kedua tangannya pun sudah terbelit tangan Lam Han To yang
menggunakan jurus ular nya.

Serasa seluruh gereaknya sudah terbaca Lam Han To. Serasa seluruh ilmunya
sudah dimengerti Lam Han To.

Nampaknya sejak awal Lam Han To sudah memikirkan seluruh gerakan dan
serangannya. Semua sudah direncanakan dengan rapi dan matang. Gerakan
tipuannya sama sekali tidak terlihat sebagai gerakan tipuan!

Ia mungkin boleh kalah cepat, atau kalah kuat. Tapi ia sama sekali tidak
kalah pintar.

Ilmu silatnya sederhana, bahkan sangat pasaran. Tapi ia mampu


menggunakannya sebaik mungkin.

Belitannya telah membuat Beng Liong tak berkutik sama sekali. Tak berapa
lama lagi, pendekar kebanggaan Butongpay ini akan hancur lengan dan
kakinya!

Walaupun disergap seperti ini, wajah Beng Liong terlihat tetap tenang dan
anggun.

Memang ada sebagain orang yang jika bahaya datang mengancam dirinya,
mereka merasa semakin bahagia.

Beng Liong tak dapat bergerak. Belitan Lam Han To telah mengunci seluruh
pergerakannya. Ia mengerahkan segala akalnya untuk melepaskan diri.

Lalu terjadilah hal yang mengherankan itu.

Lam Han To melepaskan belitannya dan melompat ke belakang dengan wajah


ketakutan.

Kaukaubisa ilmu Menghisap Matahari?

Ilmu Menghisap Matahari memang adalah salah satu ilmu paling menakutkan
yang pernah ada dalam sejarah Kang Ouw.

Tentu saja tidak kata Beng Liong sambil tersenyum.

Lalu..lalu Lam Han To masih terbata-bata.

Kebetulan tadi cayhe bertarung dengan lawan yang bisa menyalurkan tenaga
orang lain ke tanah atau ke udara. Jadi cayhe pergunakan kesempatan itu
untuk mempelajarinya

Para penonton yang mendengarkan penuturan Beng Liong sontak terkagumkagum. Jika Beng Ling dapat mempelajari ilmu orang lain dalam sekali
lihat, bisa dibayangkan betapa hebatnya ilmu Beng Liong saat ini!

Kemampuan seperti ini hanya muncul 500 tahun sekali!

Sayangnya para penonton tidak tahu, bahwa ada orang lain yang mempunyai
kemampuan seperti ini. Sayangnya pula orang itu telah mengorbankan
dirinya ke dalam jurang.

Cayhe..cayhe menyerah kalah kata Lam Han To sambil menjura.

Ia bukan penakut. Ia adalah orang yang bisa melihat kenyataan.

Memangnya apa yang bisa kau lakukan saat menghadapi musuh yang bisa
menyerap tenaga dalammu?

Terima kasih enghiong sudah banyak mengalah kata Beng Liong menjura
sambil tersenyum ramah.

Biarpun Lam Han To menyerah dengan mudah, menghadapinya adalah sebuah


kesulitan besar. Lam Han To menguasai cara-cara menipu lawan.
Mempengaruhi lawan. Memperdaya dan mendikte lawan.

Ia menipu tetapi tidak curang.

Seluruh gerakannya memang sudah dipersiapkannya terlebih dahulu. Setiap


serangan, gerakan bertahan, dan lainnya, semua telah dirancang sedemikian
rupa agar dapat menjebak lawan!

Bahkan saat Lam Han To terkena pukulan pun, itu semua karena Lam Han To
telah merencanakan bahwa ia harus terpukul. Agar dapat memancing lawan
bergerak sesuai keinginan Lam Han To sendiri.

Sungguh cerdas!

Kekuatan dikalahkan oleh kecerdikan!

Bahkan Beng Liong hanya bisa selamat karena ilmu Menghisap matahari nya
tadi. Bukan Ilmu Menghisap Matahari yang sebenarnya. Tapi lumayan berguna
juga.

Mau tidak mau, Beng Liong harus mengakui Lam Han To memang adalah
petarung yang paling berat yang pernah dihadapinya sampai saat ini.

Ia pun banyak mengambil pelajaran dari pertarungan ini.

Ia kembali ke tempat duduknya. Beristirahat memulihkan tenaganya. Kurang


2 pertarungan lagi!

Cukup lama juga Beng Liong beristirahat sampai semua pertarungan selesai.

Hari sudah menjelang sore ketika pertarungan tahap keempat dilaksanakan.

Beng Liong melawan Sim Lo Mo

Mendengarkan namanya saja Beng Liong mengerutkan kening. Lo Mo berarti


iblis tua. Ia sudah mendengar tentang orang ini. Ia pun tidak kaget
ketika yang maju ke depan adalah seorang anak-anak!

Melihat gerak geriknya, Beng Liong sadar bahwa usia orang ini tentulah
sudah tua, hanya perawakannya saja yang tampak seperti anak-anak.

Walaupun seperti anak-anak, wajahnya bengis dan menggambarkan kekejaman.


Tidak salah namanya adalah Lo Mo.

Jadi ini pendekar Butongpay yang terkenal itu? ia bicara sambil


mulutnya mencibir.

Salam Beng Liong menjura.

Sim Lo Mo tidak balas menjura, malah langsung bergerak menyerang!

Pukulan jarak jauh yang bernama Swat Lo Ciang. Pukulan Salju Iblis.

Hawa dingin yang terpancar keluar dari pukulan itu sangat dahsyat. Beng
Liong tidak menangkisnya karena ia tahu tangannya bisa beku terkena hawa
pukulan itu.

Swat Lo Ciang ini kabarnya adalah ilmu baru yang diciptakan dari ilmu
kuno jaman dulu yang menggunakan hawa dingin sebagai kekuatannya. Ilmu
kuno itu dulu bahkan sempat melukai salah seorang murid Butongpay yang
paling terkenal.

Beng Liong lupa siapa namanya, tapi Beng Liong tidak lupa tentang betapa
dahsyatnya pukulan itu.

Oleh sebab itu ia berhati-hati dan tidak mau ceroboh.

Jaman dahulu, murid Butongpay yang terluka itu, kemudian berhasil


menguasai ilmu maha sakti yang mampu mengalahkan ilmu pukulan salju itu.
Sayangnya murid Butngpay itu tidak menurunkan ilmu maha sakti itu kepada
orang lain.

Ia menghilang begitu saja.

Jadi bagaimana Beng Liong menghadapi ilmu Pukulan Salju Iblis ini?

Ia hanya bisa menghindar!

Menggunakan ginkangnya
kemari. Pukulan Sim Lo
dari tangannya. Dengan
itu seperti anak kecil

yang tiada bandingannya itu menghindar kesana


Mo datang bertubi-tubi. Hawa dingin bertebaran
santainya ia memukul dan melontarkan hawa dingin
yang bermain lempar batu.

Beng Liong berusaha keras untuk menghindar. Tidak ada satu celah
sedikitpun baginya untuk maju mendekat. Tidak ada kesempatan sedikitpun
baginya untuk melepaskan serangan.

Ia hanya bisa menggunakan kelincahan tubuhnya untuk menghindar.

Entah berapa ratus pukulan yang dihindarinya. Entah berapa ratus salto
dan gerakan indah yang dilakukannya untuk menghindari pukulan ganas ini.

Sim Lo Mo hanya tersenyum sambil melontarkan pukulan jarak jauhnya itu.


Baginya ini seperti permainan anak-anak.

Teruslah menghindar. Saat tenagamu melemah, saat itu pukulanku membuatmu


jadi patung es

Beng Liong tahu, tak akan ada kesempatan padanya jika ia tidak mengambil
resiko. Maka sambil melompat memutar di udara, ia bergerak maju.

Swingggggggg!

Hampir saja kepalanya terkena sambaran hawa dingin itu. Bahkan sebagian
rambutnya ada yang membeku!

Ia mengambil resiko lagi!

Kali ini kembali hampir saja dadanya beku! Walaupun selamat, jantungnya
terasa dingin sekali, seolah-olah jantung itu berhenti secara tiba-tiba.

Tinggal selangkah lagi Beng Ling akan dapat menjangkau Sim Lo Mo. Iblis
tua itu pun tidak mundur sedikit pun.

Ia sangat yakin kepada pukulannya.

Di dunia ini memang tidak ada seorang pun yang pernah selamat dari
pukulannya. Justru semakin dekat jarak orang itu dengan dirinya, semakin
besar kemungkinan pukulannya menemui sasaran.

Sinar putih dingin membeku itu semakin berbahaya menyerang Beng Liong.
Seluruh penonton menahan nafas melihat perjuangan pemuda itu menghindar
dari pukulan-pukulan Sim Lo Mo yang ganas.

Hingga saat itu kemudian tiba!

Tapak Sim Lo Mo beradu dengan tapak Beng Liong.

Apakah ini akhir dari kisah pendekar Butongpay yang gagah itu?

Semua orang seperti menangisinya.

Wajahnya pucat memutih seperti es. Tubuhnya bahkan terlihat seperti


membeku.

Untuk beberapa lama telapak kedua orang itu beradu. Menempel lekat
seperti tak ada satupun di dunia ini yang mampu memisahkan kedua tapak
itu.

Lalu terjadilah hal yang paling aneh.

Bukan tubuh Beng Ling yang membeku. Tetapi tubuh Sim Lo Mo lah yang
perlahan-lahan membeku.

Di mulai dari telapak tangannya, lalu menjalar ke lengannya, lalu ke


sikunya. Sim Lo Mo hanya mampu membelalakkan matanya dan mengeluarkan
suara yang menyedihkan!

Aaaaaaaaaaaaaaaaaaa

Praaaaangggggggg!

Suara remuknya kedua telapak tangan Sim Lo Mo terdengar seperti suara


gelas yang pecah dibanting.

Aaaaaaaaaaaaaaaa

Ia hanya bisa menangis kesakitan. Dengan cepat Beng Liong menotok jalan
darahnya agar ia pingsan dan tidak kehabisan darah.

Bagaiamana Beng Liong dapat melakukannya? Apakah dia menguasai juga ilmu
Swat Lo Ciang?

Tentu tidak.

Ia hanya menggabungkan ilmu Menyalurkan Tenaga yang tadi sempat


dipelajarinya dari lawannya dengan Thay Kek Kun!

Dengan ilmu Menyalurkan Tenaga ia mampu menyerang hawa dingin itu. Dengan
Thay Kek Kun, ia mampu mengendalikan aliran hawa dingin itu agar tidak
melukai tubuhnya. Bahkan malah membalikkan tenaga hawa dingin itu kembali
kepada lawannya.

Sederhana!

Dibutuhkan keberanian, ketelitian, bakat, dan kecerdasan yang sangat


tinggi untuk melakukan hal sederhana ini.

Dan di kolong langit ini, mungkin hanya Beng Liong yang memilikinya.

Beng Liong enghiong dari Butongpay lolos ke pertandingan akhir!!

Para pengurus pertandingan telah mengurus Sim Lo Mo. Tokoh sakti ini
telah dibuat pingsan oleh Beng Liong. Beberapa orang yang bertugas di
bagian pengobatan kemudian berusaha mengobati lukanya.

Beng Liong pun beristirahat.

Pertandingan ini mengurus tenaganya. Setiap pertandingan tingkat


kesulitannya semakin bertambah. Hal ini malah membuatnya bersemangat.

Itulah sebab mengapa orang-orang Kang Ouw ini lebih suka mencari lawan
ketimbang mencari kawan.

Beng Liong bersemedhi. Ia mengosongkan segala pikirannya dan mengumpulkan


kekuatannya.

Ia tak perduli siapa lawannya di pertarungan akhir nanti. Ia tak mau


pikirannya terbebani oleh kehebatan lawan.

Siapapun akan dihadapinya.

Hari telah gelap. Obor sudah dinyalakan.

Pertarungan terakhir! Beng Liong dari Butongpay melawan Gan siauya!


teriak pengurus pertandingan.

Cukat Tong baru saja tiba.

Daerah itu sungguh ramai oleh manusia. Dengan segenap kemampuannya ia


mencari Cio San. Tetap saja tidak bertemu. Mencari Ang Lin Hua dan Luk
Ping Hoo pun tidak berhasil. Mencari Suma Sun pun tak ada.

Ia tak ingin ceroboh dengan bertanya kesana kemari. Ia yakin ada sesuatu
dibalik hilangnya seluruh sahabat-sahabatnya ini. Akhirnya ia
memutuskan untuk menikmati saja dulu pertandingan Beng Liong melawan Gansiauya ini.

Ia yakin terhadap sahabat-sahabatnya.

Apapun yang terjadi, ia tetap yakin kepada sahabat-sahabatnya.

Kepercayaan seorang laki-laki kepada sahabatnya hanya akan muncul jika


sahabatnya itu juga memberikan kepercayaan kepadanya.

Oleh karena itu seseorang tidak boleh berharap akan menemukan sahabat
sejati, sebelum dirinya sendiri pantas untuk disebut sahabat sejati.

Ia tidak mungkin mencari sahabat yang dapat dipercaya, sebelum dirinya


sendiri pantas dipercaya.

Ia tidak pantas meminta sahabatnya berkorban untuknya, sebelum dirinya


sendiri berkorban untuk sahabatnya.

Dan Cukat Tong yakin seyakin-yakinnya terhadap dirinya sendiri. Ia adalah


orang yang dapat dipercaya, dan ia telah mengorbankan dirinya demi
sahabat-sahabatnya. Oleh karena itu pantas pulalah baginya untuk tetap
tenang, karena ia yakin sahabat-sahabatnya ini tentu tak akan membuatnya
kecewa.

Karena sahabat sejati adalah jodoh.

Jika kau tak menemukan mereka. Merekalah yang akan menemukanmu.

Cukat Tong duduk diatas sebuah pohon. Bukan keanehan karena banyak pula
penonton yang menyaksikan pertandingan dari atas pohon.

Pertandingan terakhir ini, seperti kebiasaan, dilakukan diatas sebuah


panggung khusus.

Panggung berbentuk bundar yang kokoh. Ukurannya cukup lebar. Menurut


peraturan, siapa yang terlempar keluar dari panggung itu berarti dianggap
kalah.

Pertandingan menjadi lebih sulit dan seru karena ruang gerak dibatasi.

Silahkan maju ke atas panggung bagi kedua peserta

Beng Liong dan Gan Siauya maju ke depan. Tapi Cukat Tong sudah tidak
perduli. Telinganya yang tajam telah mendengar percakapan orang-orang di
sekitarnya. Ia akhirnya tahu apa yang telah terjadi sebelum ia tiba.
Dengan wajah merah padam ia segera menuju jurang tempat Cio San terjatuh.

Suara lengkingan keluar dari mulutnya. Tak lama kemudian ia melompat ke


jurang!

Tak ada seorang pun yang tahu jika ada seorang manusia melompat ke dalam
jurang. Semua mata, semua perhatian manusia yang ada di puncak gunung itu
tertuju kepada Beng Liong dan Gan-siauya.

Hari telah menjelang gelap. Obor-obor pun telah dinyalakan. Malam telah
menjadi sangat senyap walaupun ada ribuan orang yang berada di sana.

Jika kau menyaksikan apa yang telah terjadi beberapa waktu yang lalu, kau
tentu tak akan berani buka suara. Siapapun tak akan berani lagi
menyombongkan dirinya. Pertempuran dahsyat dan ilmu yang diperlihatkan
Cio San tadi telah membuka mata semua orang.

Sehebat apapun kau, suka atau tidak suka, kau harus menundukkan kepala
dan merendahkan dirimu jika kau mendengar nama Cio San disebut.

Dua orang petarung terakhir telah berdiri di panggung.

Begitu gagahnya!

Kedua orang ini sama-sama tampan.

Sama-sama hebat.

Sama-sama mengagumkan.

Yang satu datang dari perguruan silat utama Bu Lim, yang satu unik dan
penuh rahasia.

Mereka saling menjura.


Beng Liong. Bu Tong Pay kata pemuda gagah ini menjura sambil sedikit
tersenyum.

Cayhe she-Gan kata si pemuda unik berbaju merah.

Mulai! teriak tetua pertandingan.

Kedua orang itu tidak bergerak.

Semua orang yang menonton menahan nafas.

Seolah-olah bumi berhenti berputar dan waktu berhenti berjalan.

Begitu lama.

Herannya tak ada seorang pun yang berani buka.

Lalu gerakan itu pun tiba.

Gerakan pertama.

Gerakan pembuka dalam gebrakan silat antara pendekar utama adalah gerakan
yang paling berbahaya. Karena mereka tahu, kekeliruan yang secuil saja
akan membawa maut.

Tidak dibutuhkan penjajagan atau coba-coba atau ukur kemampuan.

Perbedaan seujung kuku akan mengundang kematian.

Telapak Gan-siauya yang berwarna merah seperti darah telah meliputi


sekujur tubuh Beng Liong.

Seolah-olah Beng Liong telah dikeroyok oleh puluhan orang. Siapa pun yang
menonton pun tahu, gerakan Gan-siauya tidak kalah cepat dari gerakan Cio
San!

Begitu banyak orang yang mengagumkan di dunia ini!

Mereka pun masih muda usia pula!

Beng Liong menghadapi serangan itu dengan tenang dan berani. Setiap tapak
itu diterimanya dengan tapak pula. Gerakannya lembut dan menghanyutkan.
Thay Kek Kun memang selalu membawa kejutan.

Dan kejutan yang terbesar adalah Beng Liong pun tidak kalah cepat dari
Gan Siauya.

Memang kalau mau jujur, Beng Liong tidak kalah cepat dari siapapun di
muka bumi ini.

Karena Beng Liong adalah Beng Liong!

Tapak berwarna merah darah itu terpunahkan seluruhnya, Beng Liong pun
melakukan serangan balasan. Sebuah gerakan sederhana.

Kakinya entah datang dari mana seolah menyusup ke dalam kurungan telapak
Gan siauya. Bukan ilmu sakti maha dahsyat yang ia pertunjukkan. Hanya
sebuah gerakan menendang sederhana yang ringan. Tapi ketepatan dan
kecepatannya mengalahkan apapun yang paling cepat dan paling tepat di
kolong langit ini.

Gan Siauya tidak panik menerima serangan itu. Ia berkelit dengan cepat.
Bahkan gerakan berkelitnya itupun sudah melahirkan tendangan yang sama
persis kecepatan dan ketepatannya dengan tendangan Beng Liong tadi.

Sejenak Beng Liong terperangah. Gan Siauya mempunyai kemampuan untuk


meniru jurus orang lain dalam sekali lihat!

Ini memang bukan hal yang sangat mengagumkan, karena banyak orang yang
juga memiliki kemampuan seperti ini. Tapi jika bisa melakukannya
sesempurna dan sedahsyat aslinya, maka tidak sembarang orang yang mampu.

Tendangan ini mengarah ke dagu Beng Liong. Dengan tangannya ia menutup


gerakan kakinya itu dengan sebuah gerakan memutar. Tubuh Gan-siauya pun
oleng dan ia kehilangan keseimbangan. Melihat lubang kosong itu Beng
Liong tidak terburu-buru menyerang.

Dan ia benar. Lubang kosong itu hanya pancingan agar ia menggunakan


kakinya untuk menyepak. Jika ia melakukannya kakinya pasti akan
tertangkap.

Gan siauya berjumpalitan di udara sambil kedua tangannya mengeluarkan


lagi serangan telapak yang lebih dahsyat. Suara menggelegar bagai raungan
naga keluar dari telapak tangannya. Beriringan dengan kilatan cahaya
merah yang seolah-olah menghujam tubuh Beng Liong.

Pemuda Butong pay itu segera mencelat ke belakang menghindari hujaman


sinar dahsyat itu. Sinar itu menghancurkan lantai panggung yang terbuat
dari bebatuan karang!

Jurus apa itu?!

Telapak tangan Gan Siauya bersinar merah menyala. Ia berdiri dengan


sebuah kuda-kuda yang sudah tidak asing lagi.

Kuda-kuda ini adalah milik sebuah jurus yang sangat ternama dan melegenda
dalam dunia persilatan.

18 Tapak Naga!

Semua orang yang menonton tahu kuda-kuda ini. Mereka sudah melihat Cio
San menggunakannya dengan sempurna beberapa waktu yang lalu.

Pemuda itu mampu menirunya!!!!!

Siauya bisa meniru 18 Tapak Naga? Hebat! pujian tulus keluar dari mulut
Beng Liong.

Si pemuda baju merah hanya tertawa. Keluarganya yang sejak tadi


menyemangatinya kini semakin bersemangat mendukungnya.

Hayo. Hajar dia! Hajar dia!


Beng Liong berdiri dengan tenang.

Gan Siauya pun tenang-tenang saja. Malahan bibirnya tak berhenti


tersenyum.

Kita coba lagi, Beng-enghiong? tanyanya.

Boleh

Tubuh Gan-siauya lalu melayang tinggi di angkasa. Dari telapak tangannya


yang semerah darah itu keluar cahaya merah menyilaukan yang meliuk-luik
bagaikan naga mengamuk. Suaranya benar-benar bagaikan teriakan naga yang
mengamuk. Tenaga dalam ini bergerak dalam bentuk liukan yang
membingungkan lalu menghujam ke arah Beng Liong.

Beng Liong tidak melompat. Ia memperkuat kuda-kudanya dengan melangkah


lembut. Langkah yang amat terkenal. Dengan kedua tangannya ia menerima
kilauan cahaya merah itu. Ia bergerak seperti orang menerima. Cahaya
merah itu seperti berputar-putar di lengannya yang bergerak anggun.

Lalu ia memutar tubuhnya dan menghentakan kakinya.

Cahaya merah itu lalu bergerak dengan amat dahsyat menyerang pemiliknya
sendiri!

Gan siauya yang masih berada di udara tidak panik.

Sekali lagi ia menghujamkan tangannya.

Cahaya merah yang meliuk-liuk itu buyar seluruhnya. Menimbulkan suara


gelegar yang menggetarkan jantung!

Thay Kek Kun memang hebat! pujinya

Tapak Naga milik siauya pun hebat. Apa nama jurus ini?

Mereka masih bisa bertanya jawab seperti dua sahabat yang lama tak
berjumpa.

Gan siauya tersenyum, Ah, enghiong sudah menebak kalau cayhe bukan
sekedar meniru orang saja ya?

Beng Liong mengangguk.

Dahulu ratusan tahun yang lalu, nama jurus ini adalah 28 Tapak Naga.
Leluhur Siau Hong (Xiao Feng-dalam cerita Demi Gods and Semi Devils karya
Jin Yong/Chin Yung) meringkasnya menjadi 18. Yang sisa terbuang 10 inilah
yang ku warisi sekarang

Hebat.

Tak ada seorang pun di sana yang menyangka kalau hal demkian pernah ada.

Sejarah jurus ini begitu melegenda, namun tak seorang pun yang mengira
bahwa sepuluh jurus yang terbuang itu masih terpelihara sampai
sekarang.

Tentu pertanyaan yang timbul di benak orang-orang Kang Ouw adalah di mana
ia mempelajarinya? Siapa yang mengajarkannya?

Tentu pula rahasia itu tak akan terjawab. Karena satu-satunya yang tahu
rahasianya cuma keluarga ini. Dan ditilik dari sifat mereka yang aneh,
sampai dunia kiamat pun mereka pasti tak akan buka mulut.

Dalam hati Beng Liong semakin tertarik mengetahui rahasia keluarga aneh
ini. Ada begitu banyak pertanyaan dan keanehan.

Siapa mereka? Mengapa mereka baru muncul sekarang? Apa tujuan mereka
mengikuti perebutan Bu Lim Beng Cu ini?

Mari enghiong, kita coba lagi. Lihat ilmu mana yang paling dahsyat

Silahkan siauya

Gan siauya lalu mengembangkan tangannya ke samping. Cahaya merah keluar


dari ujung telapaknya lalu berputar-putar seperti naga yang menggelayut
kepada lengannya.

Sepanjang hidupnya, baru kali ini Beng Liong menyaksikan orang yang
benar-benar menguasai tenaganya sendiri dan mengubah tenaga itu menjadi
cahaya. Dapat dibayangkan bagaimana besarnya tenaga itu!

Dan bagaimana hebatnya pula kemampuan orang yang melakukannya!

Jurus ketiga dari 10 Tapak Naga.

Naga Meliuk Dan Menembus Langit

Lalu ia menghujamkan telapaknya kedepan. Sinar itu pun berkelebat amat


cepat. Sesuai dengan nama jurus itu sendiri.

Sekali lagi Beng Liong menggunakan Thay Kek Kun untuk menghadapinya.
Entah ini Thay Kek Kun tingkat ke berapa. Murid-murid Butongpay yang
masih tersisa di gunung itu pun tak pernah melihat Thay Ken Kun seperti
ini.

Beng Liong menerima cahaya naga itu. Masih dengan cara yang sama saat itu
menghadapi jurus kedua tadi. Begitu tangannya menerima cahaya itu, ia
terperangah kaget ketika Gan Siauya melesat lebih cepat dari cahaya itu
dan malah telah muncul pula di hadapannya. Pemuda berbaju merah itu lalu
menghujamkan puluhan telapak secara beruntun!

Beng Liong terperangah. Pemuda itu bergerak amat cepat dan mematikan.
Tangan Beng Liong sedang sibuk mengurusi cahaya naga. Sedangkan puluhan
telapak Gan Siauya telah mengincar seluruh titik di tubuhnya.

Ia hanya punya kaki yang diandalkannya untuk mundur ke belakang. Dengan


cepat pun ia telah mundur. Tetapi Gan siauya tidak memberikan ampun dan
terus mencecarnya dengan telapaknya yang mematikan.

Sedikit lagi Beng Liong akan keluar dari panggung!

Gan siauya meneruskan serangannya. Mereka berdua telah berada di ujung


panggung batu itu. Puluhan telapak itu berhasil dihindari Beng Liong
dengan cara mundur.

Mundur berarti jatuh!

Dan Beng Liong pun jatuh keluar dari bibir panggung.

Orang berteriak terhenyak, ada pula yang menahan nafas.

Gan siauya tersenyum.

Tapi senyumnya berubah ketika tahu-tahu tanpa diduga-duga Beng Liong


sudah ada di hadapannya. Dengan bahunya Beng Liong menghempaskan Gan
siauya sampai terjengkang ke belakang. Tak cukup sampai di situ Beng
Liong pun ikut terbang melayang mengikuti arah terjengkangnya Gan siauya.

Begitu Gan siauya terpelanting, telapak tangan Beng Liong berhenti tepat
di ujung hidung pemuda baju merah itu.

Beng Liong menang!!! teriak tetua pertandingan.

Semua orang bersorak!

Tentu yang tidak ikut bersorak adalah keluarga Gan. Tapi mereka tetap
tersenyum-seyum saja.

Pertandingan bagus! Silat hebat! Selamat untuk Bu Lim Beng Cu yang


baru! kata Gan ongya, kepala keluarga Gan.

Secara jujur ia kagum dengan bagaimana Beng Liong membalikkan situasi


terdesak menjadi menguntungkan. Ketika Beng Liong terlempar dari panggung
tadi, kedua tangannya masih mengendalikan tenaga serangan Gan Siauya
tadi. Dengan menghentakannya ke tanah, tenaga itu menghasilkan daya
lenting yang sangat kuat bagi Beng Liong sehingga ia dapat kembali lagi
ke panggung dan menyerang Gan siauya!

Selamat kepada Bu Lim Beng Cu yang baru!!!!!!

Semua orang bersorak!

_________________________________________________________________

Segala kemegahan dan keramaian itu pun berangsur angsur memudar. Bu Lim
Beng Cu telah terpilih, banyak orang menunjukkan wajah puas. Sebagian
lagi masih belum bisa melupakan kejadian dahsyat saat Cio San menghadapi
ribuan orang di atas gunung itu.

Masing-masing kemudian kembali pulang. Ada yang bersedih karena


kehilangan saudara dan teman di gunung ini. Ada yang bahagia karena
hasilnya yang memuaskan. Ada pula yang semakin bersemangat untuk
memperdalam ilmu silatnya. Satu hal yang pasti, tidak ada satu pun yang
bisa melupakan kejadian dahsyat di atas gunung itu.

Beng Liong tentu saja tidak lupa. Walaupun hatinya gembira telah
menyelesaikan semua tugas ini, tentu saja ia juga bersedih atas segala
kejadian ini. Segera setelah pertandingan selesai, dan ia memulihkan
tenaganya, ia bersama rombongan Butongpay segera mencari jalan agar
sampai ke dasar jurang. Di tengah jalan mereka pun bertemu dengan
rombongan Siau Lim Pay dan Gobi Pay yang rupanya mempunyai maksud dan
tujuan yang sama, mengetahui nasib pemimpin mereka.

Perjalanan ini memakan waktu beberapa hari, karena jurang itu sangat
sukar untuk dilalui. Mereka harus mencari jalan yang memutar dan juga
harus mengerahkan ginkang agar bisa melalui jalan yang sangat susah
seperti itu.

Dasar jurang itu ternyata berupa sungai yang lumayan dalam. Rombongan
murid ketiga perguruan terbesar itu harus menggunakan obor karena dasar
jurang itu lumayan gelap disebabkan sinar matahari tidak dapat menerobos
ke dalam jurang itu secara sempurna.

Begitu sampai di sana, segera mereka bergerak mencari. Kadang pula


meneriakkan nama-nama orang yang dicarinya. Setelah beberapa jam dasar
jurang itu disusuri, mereka akhirnya menyerah. Tidak mungkin ada yang
selamat. Apalagi mereka menemukan beberapa potongan tubuh manusia yang
tercerai berai. Juga beberapa sobekan baju.

Begitulah.

Mereka pulang dengan tangan hampa. Mencoba mengikhlaskan apa yang telah
terjadi.

Rombongan dari Butongpay memilih untuk tidak kembali ke perguruan. Karena


jaraknya lumayan jauh, sehingga waktunya tidak keburu jika mereka harus
pergi ke kotaraja untuk pelantikan oleh kaisar. Apalagi jarak ke kotaraja
memang lebih dekat dari gunung Thay San, dibandingkan ke Butong san.

Mereka berangkat!

Ke kotaraja.

Bab 71 Naga dan Burung Hong

Apa yang terjadi di puncak Thay San telah tersiar ke seluruh dunia. Beng
Liong, pemuda belia dari Butong Pay keluar sebagai pemenangnya. Semua
orang mengakui, walaupun masih sangat muda, ia sangat pantas memikul
tanggung jawab sebagai ketua dunia persilatan.

Selama ini Bu Lim Beng Cu selalu dijabat oleh kalangan sepuh. Baru 2 kali
jabatan ini dipegang oleh anak muda. Pertama kali sekitar 50an tahun yang
lalu. Hebatnya lagi, kedua-duanya adalah pemuda Butong Pay.

Harapan besar kini berada di pundak Beng Liong. Ia diharapkan mampu


menuntaskan tugas-tugas berat yang cukup rumit. Salah satunya adalah
tugas melawan gangguan dan serangan tentara Mongol di ujung perbatasan.
Belum lagi urusan pembunuhan-pembunuhan yang harus ia selesaikan
setuntas-tuntasnya. Orang orang butuh kejelasan apakah memang Cio San
berada di balik semua ini.

Hari ini, tepat 30 hari sejak pertandingan di puncak Thay San, kotaraja
ramai dan penuh sesak manusia. Hari ini adalah pelantikan Bu Lim Beng Cu.
Hampir seluruh orang-orang Kang Ouw hadir untuk menyaksikan pelantikan
ketua mereka yang baru. Ini bukan pelantikan biasa, karena kaisar sendiri
yang melantiknya!

Suasana ibukota menjadi sangat ramai. Di mana-mana tentara disiagakan


untuk melakukan pengamanan. Walaupun pelantikan berlangsung di dalam
istana, keramaian justru terjadi di luar istana. Ini wajar, karena hanya
undangan tertentu yang boleh hadir mengikuti upacara itu di dalam istana.

Hadirin yang diundang pun tidak lebih dari 100 orang. Mereka adalah
perwakilan dari perguruan besar seperti Siau Lim Pay, Butong Pay, Gobi
pay, Kun Lun pay, dan lain-lain. Tentu saja kerabat Beng Liong juga turut
diundang. Ternyata ia datang bersama kekasih dan calon mertuanya.

Kekasih Beng Liong ini cantik sekali. Para hadirin, dan orang-orang
istana yang ada di dalam balairung pentahbisan itu semuanya terkagumkagum dengan kecantikannya. Dengan gaun berwana merah muda, gadis itu
terlihat bagaikan bunga mawar yang mekar di pagi hari. Tak ada orang yang
tahu namanya. Tak ada pula yang tahu asal-usulnya. Selama ini Beng Liong
memang juga tidak pernah menceritakan apa-apa tentang kehidupan
pribadinya.

Di sebelah gadis itu, duduk seorang wanita setengah baya yang tak kalah
cantik pula. Di usianya yang seperti itu, kecantikannya tidak pudar,
malahan terlihat tidak kalah cantik. Semua orang tentu paham bahwa wanita
setengah baya ini adalah ibu dari gadis cantik itu. Gayanya sangat
anggun. Bahkan anggunnya boleh dibilang tidak kalah dari wanita manapun
juga.

Semua hadirin yang berada di balairung pentahbisan itu kira-kira 200


orang. Itu belum lagi ditambah dengan sejumlah prajurit yang mengawal

acara itu. Total mungkin ada sekitar 300 orang. Para undangan duduk di
lantai. Di sebelah mereka terdapat meja-meja kecil tempat arak dan
minuman diletakkan.

Kaisar datang!!!!!

Terdengar teriakan pengawal yang menggema.

Semua orang bersujud.

Panjang umur kaisar. Panjang umur putra langit!

Ia lalu masuk ke dalam balairung.

Kegagahannya, wibawanya, ketegasannya, semua terpancar dengan


mengagumkan. Jika orang ini tidak menjadi kaisar, maka di dunia ini
memang tak ada yang pantas menjadi kaisar!

Inilah kaisar Yong Lu. Usianya sudah lebih dari 40 tahun. Usia seperti
ini adalah usia matang-matangnya seorang laki-laki. Di usia ini laki-laki
gagah akan terlihat jauh lebih gagah. Di usia ini seorang laki-laki
berada di puncak kelaki-lakiannya!

Sorot matanya yang mencorong, bagaikan sorot mata naga. Sinarnya seperti
mengandung pedang yang menusuk jiwa semua orang. Jika kau dipandang oleh
sinar mata seperti ini, suka atau tidak suka, rela atau tidak rela, kau
harus bersujud dan bersoja.

Ia duduk di atas singgasananya, lalu berkata,

Silahkan berdiri

Semua orang berdiri.

Ucapan itu hanya terdiri dari dua kata. Tapi jikalau punggungmu
diletakkan sebuah gunung pun, kau tetap akan berdiri jika mendengar
suaranya.

Seorang pejabat istana maju ke depan.

Ia berjalan dengan lututnya.

Di hadapan kaisar memang kau harus berjalan dengan lututmu. Bahkan jika
kau tidak punya lutut pun kau harus berjalan dengan lutut.

Hormat kepada kaisar kata si pejabat.

Si kaisar hanya berdehem sedikit.

Hari ini adalah hari pentahbisan ketua dunia persilatan. Ia yang


terpilih bernama Beng Liong. Pemuda berusia 22 tahun dari perguruan
Butong pay jelas si pejabat.

Kaisar Yong Lu mengangguk-anggukan kepala.

Bu Lim Beng Cu harap maju ke depan menerima pentahbisan kata si


pejabat.

Beng Liong pun maju, tentu saja ia berjalan dengan lututnya.

Ia berada dekat sekali dengan kaisar. Mungkin hanya 5 langkah.

Dengan khidmat Beng Liong bersoja memberi hormat.

Panjang umur kaisar! Panjang umur putra langit kata Beng Liong.

Kaisar tersenyum. Nampaknya ia suka sekali dengan kegagahan Beng Liong.


Pemuda-pemuda seperti inilah yang kelak akan membuat kekaisaran bertambah
besar.

Kaisar lalu berdiri.

Hari ini aku menyerahkan lencana naga emas kekaisaran Beng kepadamu.
Sebagai tanda bahwa engkau mewakili aku untuk menyelesaikan segala urusan
dunia Kang Ouw. Karena dunia Kang Ouw merupakan bagian rakyat yang
berpengaruh pada kekaisaran ini.

Dulu mendiang ayahku, berhasil mengusir penjajah Goan (mongol) dengan


bantuan para enghiong dunia Kang Ouw. Oleh karena itu kami sebagai
penerusnya, akan terus melanjutkan kebijaksanaan beliau dengan cara turut
mengikuti perkembangan yang terjadi di dunia Kang Ouw. Permasalahan
apapun yang terjadi di dunia Kang Ouw menjadi permasalahan kami. Bantuan
apapun kiranya yang bisa kami berikan, akan kami berikan

Kata sang kaisar. Lanjutnya,

Para pendekar Kang Ouw adalah bagian dari perjalanan panjang sejarah
Tionggoan. Mereka adalah pahlawan bangsa yang sejak jaman dahulu kala
mengorbankan jiwa dan raga demi bangsa. Pendekar-pendekar besar seperti
Kwee Ceng-tayhiap, Oey Yong-liehiap, Yo Ko-tayhiap, dan Thio Bu Kietayhiap adalah contoh terbaik dari kependekaran kaum Kang Ouw

Thio Bu Kie.

Beng Liong ingat nama itu. Itu adalah nama yang sudah hampir terlupakan
oleh perguruannya sendiri. Padahal nama itu adalah nama besar yang

mengharumkan nama Butongpay ke seluruh dunia. Bahkan nama ini pula lah
yang sebenarnya mengusir penjajah Goan.

Kaisar melanjutkan,

Akhir-akhir ini penjajah Goan mulai berani mengacau di perbatasan.


Rakyat kita yang tinggal di daerah sana banyak yang terbunuh. Kami telah
mengirimkan pasukan terbaik ke sana. Tetapi tentara Mongol lumayan kuat,
dan sampai sekarang peperangan di sana masih belum selesai. Kami berharap
para pendekar dapat membantu rakyat mengusir pengacau-pengacau Goan

Ia diam sejenak.

Lalu berjalan ke depan ke arah Beng Liong, lalu berhenti tepat di depan
pendekar muda itu. Siapapun jika berhadapan dengan seorang kaisar sedekat
ini, pasti akan merasakan yang dirasakan Beng Liong saat ini. Takjub dan
tunduk setunduk-tunduknya.

Angkat kepalamu, pendekar gagah. Terimalah lencana kebesaran kekaisaran


Beng

Kaisar Yng Lu menjulurkan tangannya menyerahkan lencana naga emas kepada


Beng Liong.

Beng Liong mengangkat kepalanya.

Ia pun menjulurkan tangannya.

Tapi bukan untuk menerima lencana naga emas.

Melainkan mengincar leher kaisar Yong Lu.

Serang!!!!

Teriakan itu keluar dari mulut Beng Liong.

Lalu keadaan dalam balairung pentahbisan itu serta merta menjadi kacau
balau. Para hadirin yang ada di sana bergerak menyerang semua pengawal.
Yang tidak tahu apa-apa diam mematung tidak percaya!

Gadis cantik yang mengaku sebagai kekasih Beng Liong tentu saja ikut
menggempur.

Wanita setengah baya yang mengaku sebagai ibu gadis itu tentu saja ikut
menggempur pula.

Dalam sekejap mata banjir darah pun di mulai.

Tangan Beng Liong pun telah hampir sampai ke leher kaisar Yong Lu. Tapi
ia sendiri heran mengapa belum sampai juga. Gerakannya sekejap mata,
secepat kilat. Di dunia ini tak ada seorang pun yang bisa menghindar dari
sergapannya.

Tapi kaisar Yong Lu bisa.

Kaisar itu mundur dengan anggunnya.

Lama tak jumpa, Liong-ko

Tentu saja Beng Liong kenal suara siapa ini. Tapi pemilik suara ini
seharusnya sudah mati 30 hari yang lalu. Mampus karena terjun bebas ke
dalam jurang.

Tubuh Beng Liong bergetar. Marah, bercampur kaget, bercampur kecewa,


bercampur dendam dan kebencian.

Ia terdiam begitu lama. Sepertinya ada berjuta-juta kalimat yang ingin ia


ucapkan, namun dibatalkannya.

Keadaan di dalam balairung sangat kacau balau. Berbanding terbalik dengan


keadaan mereka berdua yang hanya bisa saling berdiri berhadap-hadapan.

Suara di luar balairung pun terdengar ramai dan kacau.

Pemberontakan!

Pemberontakan!

Tanpa menengok pun orang sudah paham. Di kotaraja sedang terjadi perang
besar. Perang yang direncanakan dengan sangat cerdas. Sangat hati-hati.
Sangat licik.

Kaisar Yong Lu menyentuh wajahnya. Dalam satu tarikan, hilanglah topeng


tipis yang menutupi wajahnya. Yang terlihat adalah wajah tampan seorang
anak muda.

Jadi kau belum mati? tanya Beng Liong.

Orang yang ditanya hanya tersenyum. Tentunya pertanyaan seperti itu tidak
perlu dijawab. Ia malah balik bertanya,

Mengapa?

Peertanyaan ini hanya satu kata. Tapi telah mewakili jutaan pertanyaan
yang perlu ditanyakan.

Yang ditanya pun tidak perlu menjawab.

Ia hanya diam memandang sekeliling. Kekacauan ini bahkan lebih kacau


daripada yang terjadi di puncak Thay San.

Di ruangan ini, orang-orang yang dulu berada di puncak Thay San pun kini
berada di sana. Suma Sun, Cukat Tong, dan Kao Ceng Lun. Tentu saja Beng
Liong tadi tidak mengenal mereka karena mereka menyamar menjadi prajurit
pengawal.

Ia terdiam lama.

Apa yang sudah terjadi, sudah terjadi. Mengapa tidak kita lanjutkan?
tanya Beng Liong.

Apa Liong-ko tidak ingin menunggu dulu sampai seluruh kekacauan ini reda
dulu? tanya orang yang ditanya.

Setelah berpikir sejenak, Beng Liong menjawab, Baiklah

Ia berdiri dengan gagahnya.

Udara di penuhi darah.

Bahkan darah-darah ini pun menciprati baju dan wajahnya.

Tetapi ia tetap berdiri dengan gagah. Seolah-olah apa yang terjadi di


hadapannya seperti tidak pernah terjadi.

Pendangannya tertumbuk kepada gadis cantik.

Gadis cantik ini kekasihnya.

Jika topengnya telah terbuka, manusia di muka bumi mengenal gadis ini
dengan nama Bwee Hua. Sayangnya manusia di muka bumi ini salah semua.
Perempuan yang bernama Bwee Hua adalah wanita tua yang mengaku sebagai
ibu gadis ini.

Entah siapa nama gadis ini. Mari kita menyebutnya dengan nama Siau Bwee
Hua (Bwee Hua kecil). Gadis ini sedang berhadapan dengan seorang lakilaki.

Laki-laki ini bernama Cukat Tong.

Sebaiknya kau menyerah Hua-moy (adik Hua). Gerakan kalian sudah


ketahuan kata Cukat Tong.

Pedang masih di tangan Bwee Hua. Padahal saat mereka masuk tadi tak
seorang pun yang diperbolehkan membawa senjata.

Pedang itu terhunus ke depan.

Tapi gadis itu tidak bergerak.

Begitu pula ibunya yang berdiri membelakanginya. Di hadapan sang ibu,


berdiri seorang laki-laki gagah dengan rambut riap-riap. Tangan laki-laki
itu buntung sebelah.

Kau akan melawanku dengan keadaan seperti itu? tanya perempuan tua itu.

Aku telah menanti sejak puluhan tahun yang lalu jawab laki-laki itu.

Bagus. Keturunan Suma memang tidak memalukan

Lalu perempuan tua itu bergerak.

Kecepatan yang tak mungkin diikuti dengan mata manusia biasa.

Tapi pemuda bermarga Suma itu bukan manusia biasa. Orang mengenalnya
sebagai Dewa pedang berambut merah Ang Hoat Kiam Sian.

Dan dewa adalah dewa.

Ia hanya membutuhkan satu gerakan.

Satu gerakan sudah cukup.

Jika kau adalah dewa pedang maka kau hanya membutuhkan satu gerakan.

Satu gerakan yang tidak mungkin seorang pun mau percaya jika diceritakan.

Tidak ada suara. Tidak ada darah.

Yang ada hanya kematian.

Bwee Hua muda melihat kematian ibunya dengan rasa tidak percaya. Tidak
mungkin seorang yang ilmunya setinggi itu mati hanya dengan satu gerakan.

Pedang yang tadi sudah ia hunus, kini jatuh bergelontangan di lantai. Ia


tahu, tak ada kesempatan dan tak ada jalan lagi.

Ia pun jatuh duduk bersimpuh. Ia menangis

Entah sedih. Entah marah. Entah menyesal.

Penyesalan memang selalu ditakdirkan untuk datang terlambat.

Wajah Suma Sun tenang. Ia telah kembali menjadi Suma Sun yang dulu. Ia
telah kembali menjadi dewa pedang.

Jika kau ingin mengalahkan perempuan paling cantik di dunia, jalan satusatunya adalah dengan menjadi dewa.

Dendam belasan tahun telah terbalas di balairung istana Kaisar.

Bapak ibunya memang dulu terbunuh oleh Bwee Hua tua. Kini segala yang
menjadi beban hidupnya terangkat sudah.

Tapi bagaimana mungkin ia melatih tangan kirinya menjadi jauh lebih hebat
ketimbang tangan kanannya?

Jawaban yang sederhana. Karena Suma Sun kidal.

Bapak ibunya pun kidal.

Ilmu pedang keluarganya pun sebenarnya kidal.

Tapi ia tidak pernah menggunakan tangan kirinya untuk bertarung.

Karena ia memang sengaja menyimpan tangan kirinya itu untuk Bwee Hua tua
itu.

Bwee Hua tua dulu pernah mengalahkan ilmu pedang keluarga Suma. Oleh
karena itu jika ingin mengalahkan Bwee Hua juga harus tetap menggunakan
ilmu pedang keluarga Suma. Agar kekalahan itu terbayar lunas. Dan dendam
terbalaskan.

Beng Liong pun hanya memandang kematian perempuan tua itu dengan wajah
sedih. Ia tahu ia tak dapat berbuat apa-apa. Jika ia bergerak, maka orang
yang ada di depannya pun akan ikut bergerak. Ia hanya bisa menangis. Air
matanya menetes deras.

Liong-ko, Bwee Hua apakah...nenekmu? tanya lelaki di depannya itu.

Beng Liong mengangguk perlahan.

Lelaki di depannya pun ikut meneteskan air mata.

Kenapa kau ikut menangis, Cio San?

Kematian memang selalu mengharukan.

Kematian siapa saja.

Ruang balairung perlahan sepi.

Yang tersisa memang cuma kematian. Hanya beberapa orang yang masih hidup.
Ada pula beberapa yang sudah menyerah.

Suara pertempuran di luar istana masih terdengar ramai dan mendebarkan.

Tapi anehnya suasana di balairung itu sunyi sekali.

Kita mulai? tanya Beng Liong.

Sudahkah kau berpikir kembali, Liong-ko?

Beng Liong hanya tersenyum.

Ia selalu suka dengan Cio San.

Tapi ia berkata,

Jika di dunia ini ada aku, mengapa pula harus ada kau?

Pertanyaan yang tak seorang pun bisa menjawabnya.

Beng Liong mengembangkan langkahnya. Gerakannya halus dan tenang. Dari


tubuhnya tercium aroma wangi yang halus. Bahkan saat tubuhnya bernoda
darah sekalipun, pemuda tampan ini masih menyebarkan aroma wangi.

Lalu ia menyerang.

Sebuah serangan yang sungguh amat menakutkan. Seolah-olah seluruh ilmu


paling sakti di seluruh dunia digambungkan menjadi satu di gerakan itu.
Thay Kek Kun, 18 Tapak Naga, Ilmu Menghisap Matahari, dan lain-lain.
Melebur menjadi satu.

Satu pukulan. Satu gerakan. Tapi seolah-seolah seluruh ilmu silat yang
ada di muka bumi berada di satu gerakan ini.

Cio San pun bergerak dengan tenang.

Kecepatannya pun tak kalah mengagumkan.

Dalam satu gebrakan kedua orang ini telah sama mengelurkan 100 pukulan,
50 tendangan, dan 150 tangkisan. Membayangkan pun tak ada yang sanggup.
Apalagi untuk percaya.

Tapi pergerakan kedua orang ini memang sudah tidak masuk akal lagi.

Beng Liong memukul.

Terdengar suara bagaikan geraman naga keluar dari telapak tangannya.


Tembok balairung pun pecah berantakan. Mayat-mayat dilantai pun
berhamburan bagai kapas ditiup angin taufan.

Cio San menghadapi pukulan ini dengan gerakan santai. Langkahnya tegap
dan gemulai. Seperti orang menari. Namun kakinya itu bagai menancap di
bumi.

Angin pukulannya saja bisa menghancurkan tembok, apalagi pukulannya.

Tapi Cio San menghadapi telapak itu dengan tenang. Tangan kanannya
bergetar menciptakan suara derik yang menyakitkan telinga. Dengan tangan
itu ia menyambut telapak Beng Liong.

Suara menggelegar terdengar membuat jantung manusia seperti hampir


meledak.

Gemuruhnya jauh lebih menakutkan daripada suara guntur yang paling


menakutkan sekalipun.

Cahaya berkilatan memenuhi ruangan balairung yang sudah sangat berantakan


itu.

Pertarungan kedua orang ini sudah seperti pertarungan naga dan burung
hong (phoenix).

Beng Liong adalah naga. Kegagahannya, kecerdasannya, ketampananannya,


kesohorannya, memang menyamai seekor naga. Bahkan namanya sendiri berarti
Naga Bercahaya. Ia memang mempunyai seluruh persyaratan untuk menjadi
kaisar.

Ia sendiri pun sebenarnya adalah keturunan kasiar Goan.

Beng Liong benar-benar adalah naga.

Di pihak lain, Cio San memang cocok pula dipadankan dengan burung Hong.
Burung ini walau tidak terlihat segarang naga, namun anggun dan penuh
wibawa pula. Burung ini jika mati menjadi debu. Dari debu inilah ia
bangkit kembali. Oleh karena itu burung Hong dikenal sebagai makhluk
abadi yang selalu datang dan bangkit dari kematian.

Bukankah Cio San seperti burung Hong?

Berulang kali ia datang dari kematian.

Lahir pun ia hampir mati. Ketika kecil pun hampir mati dibunuh orang.
Ketika remaja ia jatuh ke dalam jurang. Saat dewasa pun ia jatuh ke dalam
jurang.

Tapi ia selalu muncul kembali.

Kalau tidak dijuluki burung Hong, maka tak ada lagi julukan dan sebutan
yang pantas untuknya.

Kini burung Hong dan naga sedang bertarung dalam pertarungan hidup dan
mati. Pertarungan keduanya ini bagaikan pertarungan yang berlangsung di
langit yang mengakibatkan suara guntur dan cahaya petir seperti menghiasi
balairung istana itu.

Entah sudah jurus keberapa.

Beberapa pasang mata yang kebetulan ditakdirkan untuk menyaksikan


pertempuran ini hanya bisa melongo dengan rasa heran dan kagum yang
mencapai puncaknya.

Telapak tangan Beng Liong menyambar-nyambar. Setiap apapun yang terkena


angin pukulannya menjadi hancur berkeping-keping.

Cio San pun mengelak dengan lincah sambil sekali-sekali membalas pula
dengan serangan yang tak kalah dahsyat.

Jika diperhatikan, ilmu dan jurus kedua orang ini sama persis. Yang
membedakannya hanyalah cara memainkannya.

Beng Liong mantap dan pasti. Kuat dan bertenaga.

Cio San lincah dan cepat. Ringan dan leluasa.

Semua hadirin di sana sudah pasti mengerti ilmu silat. Mereka hanya bisa
menghindar dari imbas dan ampas pertarungan dahsyat ini.

Mereka sungguh tidak mengerti, ilmu kedua orang ini sama persis!

Mengapa bisa begitu?

Tentu saja hanya kedua orang itu yang bisa menjawabnya.

Cukat Tong pun hanya bisa menebak saja.

Jika Beng Liong adalah si otak besar, maka sudah pasti kitab sakti inti
ilmu silat tulisan Tat Mo berada di tangannya. Tentu saja seluruh ilmu
silat yang dikenal umat manusia, bersumber dari kitab ini.

Ilmu 18 Tapak Naga, Thay Kek Kun, Cakar Macan, Ilmu Menghisap Matahari,
dan ilmu-ilmu lainnya semuanya bersumber dari kitab ini. Jika menguasai
kitab ini, tentu saja dengan sendirinya menguasai ilmu-ilmu dahsyat itu.

Di pihak lain, bagaimana Cio San bisa pula menguasai ilmu-ilmu itu?

Menurut tebakan Cukat Tong, hal ini karena Cio San telah memahami inti
pemahaman ilmu silat. Dengan pemahaman ini, jurus tak lagi dibutuhkan.
Tubuh akan bergerak sesuai irama pertempuran. Di saat memukul akan
memukul, di saat menangkis akan menangkis, di saat menghindar pun harus
menghindar. Semua akan mengalir dengan murni dan apa adanya. Tak lagi
mengenal aturan dan tak lagi mengenal batasan-batasan.

Justru dengan pemahaman inilah maka bhiksu Tat Mo dulu berhasil


menciptakannya dalam sebuah buku.

Cio San memiliki pemahamannya. Beng Liong memiliki buku hasil


pemahamannya.

Apa yang dituliskan di buku menjadi lebih efektif, karena semua yang
tidak diperlukan tidak perlu dituliskan. Karena itu serangan-serangan
Beng Liong terlihat lebih dahsyat dan mengagumkan.

Sebaliknya di dalam pemahaman yang dimiliki Cio San, segala hal menjadi
bisa, dan segala menjadi tidak bisa. Ada proses memilih bisa atau tidak
bisa yang membuat gerakannya menjadi sedikit berkurang kedahsyatannya
jika dibanding dengan gerakan Beng Liong.

Dari tangan kanan Beng Liong ia mengeluarkan jurus-jurus terakhir dari 18


Tapak Naga. Dari tangan kirinya ia mengeluarkan ilmu Inti Es yang membuat
siapapun yang terkena pukulan itu menjadi es batu.

Langkah kakinya lincah seperti langkah-langkah perawan Gobipay yang


gemulai namun tak tertangkap mata.

Seolah-olah segala ilmu di dunia ini telah dipelajarinya dengan sangat


baik.

Seolah-olah sejak lahir ia memang telah memahami seluruh ilmu itu satu
persatu.

Ia menggunakannya dengan luwes dan tanpa kecanggungan.

Cio san pun menandingi pula dengan ilmu yang terlihat begitu mirip dan
begitu sama.

Tapi siapapun yang ada di sana bisa melihat, ilmu Beng Liong berada
setingkat di atas Cio San.

Hal ini membuktikan bahwa jika seseorang belajar dengan menggunakan


penuntun, seperti guru atau kitab sakti, maka pelajaran yang dapatkan
menjadi sangat efektif. Karena dalam pengalaman guru, segala sesuatu yang
tidak perlu telah terhapuskan. Begitu juga dalam kitab sakti, segala
sesuatu yang tidak perlu memang tidak perlu dituliskan.

Orang yang belajar dari pemahamannya sendiri, membutuhkan waktu yang


lebih lama untuk bisa benar-benar menguasainya. Karena ada proses
pembelajaran, proses menghapus yang tidak perlu, proses menambah
pengalaman.

Oleh karena itu Beng Liong lebih unggul daripada Cio San.

Pukulannya pun masuk telak ke dada Cio San.

Entah ini pukulan jurus apa. Tak ada seorang pun yang tahu dan ambil
perduli. Mereka hanya tahu, satu pukulan dan satu gerakan saja akan
berakibat fatal dalam pertarungan ini.

Cio San pun menerima pukulan itu dengan mengerahkan segala tenaganya.

Ia terlempar dan terjengkang bertombak-tombak.

Darah segar keluar dari mulutnya.

Lantai pualam itu hancur berkeping-keping kejatuhan tubuh Cio San. Beng
Liong tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Segera ia memburu ke depan dan
melontarkan pukulan-pukulan dahsyatnya.

Tak ada kesempatan bagi Cio San untuk menangkis atau berkelit.

Gerakan Beng Liong amat sangat cepat.

Serangan tadi yang menjatuhkannya kini telah membuat ia kehilangan banyak


tenaga. Kecepatannya berkurang. Dan pandangannya pun mulai mengabur.

Jurus ke 18 dari ilmu 18 Tapak naga dikeluarkan Beng Liong. Jurus ini
menghantam rusuk Cio San tanpa ampun!

Bisa dibayangkan bagaimana mengerikannya pukulan ini. Hawanya saja bisa


menghancurkan bebatuan, apalagi jika inti pukulannya terkena tubuh
manusia. Bisa dipastikan saat itu juga langsung menghadap dewa kematian.

Tapi Cio San menerimanya dengan gagah.

Pukulan mengerikan itu membuat tulang rusuknya patah. Jika bukan Cio San
tentu tulang-tulangnya akan menjadi debu. Tapi Cio San adalah Cio San.

Gemblengan, latihan, dan perlindungan tenaga dari jamur sakti membuat


tubuhnya memiliki kemampuan jauh diatas pendekar-pendekar hebat lainnya.

Beng Liong sendiri hampir tidak percaya melihat kemampuan Cio San menahan
serangan itu.

Begitu tubuh Cio San terlempar, segera Beng Liong menyusulkan sebuah
tendangan dahsyat ke arah pahanya. Tendangan ini sekilas mirip dengan
tendangan khas dari daerah utara. Tendangan Naga Mengibaskan Ekor.

Tendangan ini bagai pusaran badai yang menghujam paha Cio San.

Kraaaakkkkk.

Suara ini begitu keras terdengar. Bagaikan suara pohon yang tumbang.

Dan Cio San pun tumbang menghantam salah satu pilar penyangga balairung.

Pilar itu pun roboh bersama Cio San. Bersama sebagian atap balairung
pula.

Pertaruangan kedua orang ini begitu dahsyat sampai-sampai ruang balairung


istana ini mereka rubah menjadi lapangan!

Tembok-tembok hancur berantakan.

Atap ambruk.

Di luar terlihat peperangan yang amat dahsyat.

Entah siapa melawan siapa.

Mayat bergelimpangan.

Bukankah inti perang hanya ini?

Mayat yang bergelimpangan.

Seolah-olah nyawa manusia tiada artinya.

Dengan sisa pandangannya yang sudah mengabur, Cio San dapat melihat apa
yang terjadi di luar sana. Tapi tubuhnya telah susah bergerak. Kedua
kakinya telah patah di hajar tendangan Beng Liong. Rusuknya pun patah
sehingga pergerakan badannya pun menjadi kaku.

Ia tak dapat berdiri lagi. Walaupun ia dapat menggunakan kedua tangannya,


tetap saja percuma. Ia sudah tak mampu mengumpulkan tenaga untuk
membentuk kuda-kuda. Padahal kuda-kuda adalah yang terpenting dari ilmu
silat.

Ia hanya bisa pasrah.

Menutup mata sambil menanti kematian.

Serangan Beng Liong datang bagai air bah yang menghujam dirinya.

Dalam kegelapan matanya, Cio San bisa mendengar gerakan Beng Liong. Entah
kenapa ia merasa gerakan itu lambat sekali. Apakah orang yang mendekati
kematian akan merasakan seperti itu? Segala sesuatu berjalan dengan
sangat lambat.

Gerakan ini bagaikan gerakan air bah.

Ingatan Cio San kembali melayang ke saat dia terjebak ke dalam goa dulu.
Keadaannya persis seperti ini. Di dalam kegelapan. Tak berdaya. Dan
bahkan tak bertenaga.

Kenangan di dalam goa itu membawa sebuah perasaan di hatinya.

Perasaan semangat yang membara.

Bukankah ia sudah berkali-kali hampir mati?

Tapi berkali-kali pula ia lolos dari kematian.

Saat ini pun juga begitu.

Jika belum mati, tentu masih ada kemungkinan lolos dari kematian.

Apa yang kumiliki sekarang?

Kaki sudah tidak bisa digunakan.

Mata telah gelap.

Badan pun sudah tidak lencah.

Aku masih ada dua buah tangan.

Walaupun tenaga sudah tidak ada.

Walaupun kecapatan sudah menghilang.

Bukankah aku masih punya kehidupan?

Selama seseorang masih bisa hidup, mengapa harus takut pada kematian?

Selama seseorang belum mati, bukankah dia masih bisa hidup?

Oleh karena itu, entah bagaimana tubuh Cio san yang tergeletak tak
berdaya di lantai itu tahu-tahu bisa melayang bangkit menyongsong pukulan
Beng Liong.

Seperti dulu.

Menyambut air bah di gua gelap gulita.

Mengandalkan apa yang tersisa dari semangat hidup.

Manusia boleh kehilangan apapun, namun selama ia belum kehilangan nyawa,


maka ia masih bisa mendapatkan apa yang dulu pernah hilang.

Cio San mendapatkan kembali semangatnya.

Sisa tenaganya yang tersisa dipakai untuk menggenjot tubuhnya melayang.


Genjotan itu berasal dari punggungnya. Dengan sekali genjot ia telah
berada di depan Beng Liong yang kaget setangah mati, bagaimana mungkin
musuhnya itu bisa bergerak sedemikian rupa.

Itulah perbedaan peniru dan pencipta.

Peniru hanya meniru apa yang ia pelajari dari guru atau buku.

Pencipta menciptakan sesuatu dari yang tidak ada.

Penentuannya adalah di situasi seperti ini.

Jika dulu kau diajari orang, atau belajar dari kitab sakti, kau mungkin
sangat hebat. Tapi bagaimana jika yang kau pelajari itu tidak bisa
diterapkan dalam situasi yang tengah kau hadapi?

Jaman berkembang. Manusia berubah. Segala sesuatu tidak lagi seperti


sedia kala.

Ilmu silat berkembang demikian luas.

Keadaan pun berbeda dari satu pertarungan ke pertarungan lain. Tidak ada
orang yang bisa meramalkan masa depan. Begitu pula tidak ada seorang ahli
silatpun yang bisa meramalkan hasil pertarungan maupun jalannya
pertarungan.

Selalu ada hal yang berbeda. Segala hal bisa berubah. Mereka yang siap
dengan perubahan, yang berani melakukan perubahan, merekalah yang sanggup
bertahan.

Jika cara menghadapi situasi yang kau alami tidak terdapat dalam
pelajaran yang kau dapatkan dari guru atau kitab sakti, maka apa yang kau
lakukan?

Tidak ada.

Itulah beda peniru dengan pencipta.

Penciptakan menciptakan sesuatu dari ketiadaan.

Karena itulah dalam keadaan apapun ia akan sanggup bertahan.

Beng Liong tak pernah menduga orang yang keadaannya separah Cio San bisa
tiba-tiba memiliki kekuatan untuk melenting dan menghadang pukulannya.

Kekagetannya ini walau sepersekian detik saja, telah menghantarkannya


kepada kekalahan.

Entah bagaimana kedua tangan Cio San telah berhasil melilit tangan Beng
Liong. Lilitan itu bahkan menggiring telapak tangan Beng Liong ke arah
dadanya sendiri!

Duarrrrrrrrrrrrrr!!!!!

Serangan itu menyerang tuannya sendiri.

Beng Liong terlempar terjengkang ke belakang.

Memuntahkan darah segar.

Ia telah mencurahkan segala tenaganya untuk menghancurkan Cio San. Segala


tenaganya itu tadi yang telah menghantam dirinya sendiri.

Ia terjengkang ke belakang tepat di depan singgasana kaisar.

Dengan segala daya upaya ia bangkit. Mencoba menggapai singgasana itu.

Ia mencoba dan mencoba lagi.

Singgasana itu begitu dekat, tapi mengapa terasa begitu jauh untuk
digapainya?

Bukankah semua di dalam hidup seperti itu. Terasa begitu dekat, namun
amat jauh untuk digapai.

Bukankah cinta pun seperti itu?

Seberapa banyak dari kita yang mengalami hal seperti Beng Liong?

Mungkin tak terhitung.

Beng Liong bangkit.

Dengan sisa-sisa tenaganya ia berdiri. Ia maju menggapai singgasana itu.


Tetapi ia terjatuh lagi.

Beberapa pengawal yang masih hidup mencoba mencegahnya. Tapi langkah


mereka terhenti oleh Suma Sun dan Cukat Tong.

Siapa yang menghalangi dia, akan merasakan dinginnya kematian kata Suma
Sun.

Jika Suma Sun berbicara kepadamu, pilihanmu cuma dua. Patuh, atau mati.

Tentu saja pengawal-pengawal itu memilih patuh.

Biar bagaimanapun Beng Liong pernah menjadi sahabat Cio San, Suma Sun,
dan Cukat Tong. Pernah menjadi orang yang dekat dengan hati mereka.

Kata orang, sekali sahabat tetap akan menjadi sahabat selamanya.

Oleh karena itu jika walaupun kini mereka bersebrangan, jika kini mereka
berada di pihak yang saling berlawanan, mereka tetap menghargai
persahabatan.

Beng Liong hanya ingin menyentuh singgasana itu. Hanya ingin merasakan
sedikit kegagahan dan wibawanya.

Sebagai sahabat yang baik, kau tentu tak sampai hati melihatnya.

Walaupun Beng Liong telah memperlihatkan wajah aslinya. Telah membuka


rahasia kebusukannya. Telah menunjukkan rahasia perbuatannya, ia pernah
menjadi sahabat mereka.

Bagi mereka kata sahabat ini lebih berat daripada gunung, lebih dalam
daripada lautan.

Jika sahabatmu berbuat salah kepadamu, apakah kau akan membencinya atau
memaafkannya?

Ketiga orang ini memilih memaafkan. Karena bukankah itulah arti


persahabatan sesungguhnya? Menerima segala kekurangan orang lain. Karena
jika yang kau cari kebaikan orang saja, tentulah tak ada seorang pun yang
akan kau anggap sahabat.

Memaafkan.

Itulah inti dari semua hubungan yang ada di dunia ini.

Persahabatan, percintaan, kekeluargaan.

Semua permasalahan dapat diselesaikan dengan kata maaf.

Yah, mungkin masalah itu tidak selesai. Tapi setidaknya dengan maaf yang
tulus, membuka jalan untuk menyelesaikan masalah.

Siapapun di dunia ini pantas dimaafkan.


Siapapun di dunia ini tidak ada yang terlalu tinggi untuk tidak memberi
maaf.

Dengan tertatih-tatih, Beng Liong merangkak menuju singgasana yang hanya


satu atau dua langkah di hadapannya. Tapi rasanya langkah itu bagai
ribuan langkah yang sangat jauh. Seolah-olah singgasana itu berada di
seberang lautan.

Ketika Cukat Tong hendak membantunya, Suma Sun melarangnya,

Biarkan ia menyelesaikan impiannya sendiri

Beng Liong pun terharu mendengar ucapan itu.

Cio San pun sudah berdiri dipapah oleh Cukat Tong.

Teruskan langkahmu, Liong-ko. Tak ada seorang pun yang akan menghalaumu
kali ini kata Cio San sambil meneteskan air mata.

Beng Liong bergerak. Dengan segala tenaganya yang tersisa, akhirnya


tangannya berhasil menggapai singgasana itu. Dengan merangkak perlahan,
ia akhirnya bisa duduk di atas singgasana itu.

Seketika ada cahaya terang yang menghiasi wajah pemuda tampan itu.
Wajahnya yang tadi sepucat kematian kini sekilas menampilkan cahaya
kehidupan.

Ia nampak tenang sekali.

Senyumnya mengembang. Inilah senyum Beng Liong yang terkenal itu. Yang
meluluhkan hati siapa saja. Dilihat dari sudut manapun, ia memang pantas
menjadi kaisar.

Terima kasih

Itulah kata-kata terakhirnya.

Ia pergi dengan mata terpejam dan senyum yang mengembang. Siapapun yang
meninggal dalam keadaan seperti ini, tentulah meninggal dalam
kebahagiaan.

Orang yang meninggal dalam kebahagiaan, bukankah adalah orang yang


bahagia?

Cio San, Cukat Tong, dan Suma Sun meneteskan air mata.

Tak ada yang tahu apakah ini air mata bahagia atau air mata kesedihan.

Tapi, apapun juga itu, air mata adalah air mata.

Ia lahir dari hati.

Di luar perang masih berlangsung.

Tapi sedahsyat apapun perang, masakah bisa lebih dahsyat dengan gemuruh
perang di hati manusia?

BAB 72: SEBUAH PERMINTAAN

Cio San dan kawan-kawan bergerak keluar tembok istana. Peperangan dahsyat
sedang berlangsung. Walaupun berjalan dengan payah, Cio San masih memaksa
untuk ikut bertarung. Melihat ia akan bergerak, Cukat Tong segera
menahannya,

Kau duduk saja di sini kata Cukat Tong.

Benar. Dengan keadaanmu yang sekarang, kau tak akan mampu berbuat apaapa? tukas Suma Sun membenarkan.

Berpikir sejenak, Cio San lalu berkata, Baiklah. Tolong bawa aku ke
puncak tembok benteng

Sekali bergerak mereka bertiga sudah tiba di atas puncaknya yang tinggi
itu.

Di atas tembok besar yang mengelilingi istana kaisar itu terdapat pasukan
pemanah yang sibuk menghalau serangan.

Ah selamat datang para tayhiap kata seseorang. Cio San tidak mengenal
siapa dia, tapi Cukat Tong segera menjawab, Terima kasih Goanswe
(jenderal). Hamba ingin menitipkan Cio-tayhiap di sini. Apa boleh?

Tentu saja, tayhiap dengan sigap ia mengeluarkan perintah. Dua orang


bawahannya sudah datang memapah Cio San, dan seorang lagi merawat lukalukanya.

Kau duduk tenang saja di situ, aku dan Suma-tayhiap akan segera kembali
kata Cukat Tong sambil tersenyum.

Cio San pun tersenyum. Segera bayangan kedua orang sahabatnya itu
menghilang.

Sang Jendral hanya bisa berkata, Jika aku memiliki pasukan berisi orang
seperti anda dan teman-teman anda sebanyak 100 orang, aku tentu dapat
menaklukkan dunia

Cio San tersenyum saja.

Mengapa begitu banyak orang ingin menaklukkan dunia? Menaklukkan diri


sendiri saja masih belum banyak orang yang mampu.

Goanswe (jenderal) apakah putra kebanggaan Khu-hujin? tanya Cio San


sopan.

Benar. Luas juga pandangan anda jawabnya sambil menjura.

Cio San pun balas menjura.

Silahkan beristirahat, cayhe harus memimpin pasukan kata Khu-goanswe

Terima kasih Goanswe. Selamat berjuang Cio San

Sang jenderal mengangguk dengan segera kembali ke posisinya. Dari


mulutnya keluar perintah-perintah menggelegar.

Perwira Sing! Tutup daerah kanan! Jangan biarkan musuh merayap naik!

Perwira To, perhatikan persediaan panah anak buahmu

Pihak kiri lawan terbuka! Segera maju!

Cio San memperhatikannya dengan kagum. Tidak mudah menjadi jendral.

Sekian lama memperhatikan Cio San mulai paham situasinya. Saat ini
pasukan kekaisaran sudah berada di ambang kemenangan. Mungkin dalam satu
atau dua jam, pemberontakan ini bisa dipatahkan seluruhnya.

Dari atas tembok itu, ia melihat betapa dahsyatnya Cukat Tong dan Suma
Sun bertarung. Ia juga melihat Ang Lin Hua dan Luk-totiang masing-masing
memimpin anak buah mereka. Ang Lin Hua memimpin Mo Kauw, dan Luk-totiang
memimpin Kay pang.

Memang Cio San sendiri yang memerintahkan mereka. Di tengah malam di


puncak gunung Thay san, dengan diam-diam ia harus menculik mereka.
Memasukkan mereka ke kereta dalam kondisi tertotok dan wajah tertutup

serta mengirim mereka ke bawah gunung. Ini semua harus dilakukannya agar
menghindari kecurigaan pihak lawan.

Ini pun terpaksa dilakukannya juga agar menyelamatkan jiwa mereka. Jika
Ang Lin Hua dan Luk Ping Hoo terus mengikutinya sampai pada puncak
pertarungannya itu, maka mereka berdua pun mungkin akan turut musnah di
atas sana.

Cio San memang telah memikirkan segalanya. Ia telah mengirimkan Cukat


Tong kembali ke kota, serta mengirimkan kedua orang anak buahnya itu
kembali pula ke kota, adalah untuk dua tujuan. Menyelamatkan mereka, dan
untuk menjalankan rencananya sendiri untuk menjebak Beng Liong dan
gerombolannya.

Cio San sendiri memang terpaksa harus melakukan penculikan itu terhadap
kedua orang anak buahnya sendiri. Mengirimkan mereka secara diam-diam
kembali ke kota. Dengan memilih orang yang paling bisa dia percaya dari
ribuan anggota Mo Kauw yang hadir di gunung itu sebagai kusirnya.

Ia lalu menulis surat perintah yang ditulisnya dalam sandi khusus yang
hanya bisa dimengerti oleh beberapa orang dalam Mo Kauw. Surat itu berisi
perintah kepada Ang Lin Hua dan Luk-totiang untuk memimpin anak buah
mereka secara diam-diam, dan bergerak ke kota raja.

Tunggu perintahku selanjutnya Begitulah kata-kata penutup surat


perintah itu.

Ang Lin Hua yang mampu membaca tulisan rahasia itu tentu saja terheranheran, mengapa ketuanya harus menempuh cara aneh seperti ini. Bukankah ia
bisa saja menurunkan perintah dengan gamblang, tanpa harus sandiwara
penculikan seperti itu?

Mungkin begitulah cara Cio-pangcu bekerja kata Luk Ping Hoo.

Begitulah.

Kedua orang ini lalu masing-masing memilih anak buahnya yang paling
terpercaya untuk bergerak ke kota raja. Di sana mereka menghimpun lagi
anak buah dari cabang di kota raja. Total terkumpul sekitar 1000 orang
terbaik dari Mo-Kauw dan Kay Pang yang siap bergerak kapan saja.

Anda bisa memanah? gelegar suara Khu-goanswe membuyarkan lamunan Cio


San.

Tidak bisa jawabnya sambil tertawa. Segera ia bertanya pula, Ada apa,
goanswe?

Musuh memiliki pemanah hebat di menara atas sana katanya sambil


menunjuk sebuah menara yang letaknya lumayan jauh. Pemanah itu telah
menawaskan banyak prajurit dan perwira-perwira penting

Cio San lalu memejamkan mata. Ia bersemedi memulihkan luka-lukanya.


Dengan perawatan para serdadu tadi, luka-lukanya sudah menutup dengan
baik. Tinggal memulihkan luka dalam karena terpukul tenaga dalam Beng
Liong yang dahsyat.

Untunglah orang-organ dalamnya terlindungi oleh Thay Kek Kun dan khasiat
jamur sakti. Dalam beberapa menit bersemedi, tenaganya sudah kembali 4
dari 10 bagian.

Wajahnya terang. Matanya mencorong.

Dengan khi-kangnya ia mengirimkan suara kepada Cukat Tong,

Burung-burung peliharaanmu apa siap beraksi?

Terdengar suitan panjang dari dalm arena pertempuran. Tak berapa lama
bayangan hitam muncul dari langit. Cukat Tong dalam beberapa kali
melenting telah berada di hadapan Cio San.

Kemana? tanyanya.

Menara itu tunjuk Cio San

Segera mereka berdua terbang ke sana.

Kau kembalilah ke arena. Kirim pulang kembali burungmu kata Cio San
sambil meloncat dan mendarat dengan ringan di atap menara.

Begitu kakinya baru sampai segera sebuah panah dengan kekuatan yang
sangat mengagumkan telah hampir menembus dadanya.

Tapi benda apa atau makhluk apa di muka bumi ini yang mampu lebih cepat
daripada Cio San?

Malahan panah itu ditepis balik dan meluncur dua kali lebih cepat
daripada datangnya.

Ia menancap tepat di kerongkongan si pemanah.

Cio San menunduk menyesal. Sudah terlalu banyak yang mati hari ini. Sudah
banyak nyawa yang diambil tangannya. Tapi gerakannya tadi terjadi secara
naluriah. Tahunya malah membunuh orang.

Begitu masuk ke dalam menara itu, disadarinya bahwa tempat ini adalah
tempat yang sangat sempurna untuk menyerang.

Ia memutuskan untuk berjaga di sana, jangan sampai menara itu diambil


alih lagi oleh musuh.

Sampai agak sorean, pertarungan akhirnya berakhir.

Pemandangan kotaraja jauh lebih menakutkan daripada rumah jagal manapun.


Karena jumlah yang dijagal ribuan kali lebih banyak daripada rumah jagal
manapun. Yang dijagal pun bukan hewan, melainkan manusia.

Manusia.

Satu-satunya makhluk yang mampu melahirkan keindahan sempurna, dan


kengerian sempurna.

Di atas menara ia termenung dan terpana.

Angin sore menghempas tubuhnya.

Walaupun tubuhnya berdiri gagah dan tak goyah.

Siapa yang mampu membaca hatinya?

Hati yang lemah dari seorang anak manusia biasa.

Yang dalam ketidaktahuannya terseret ke dalam pusaran takdir.

Sekuat apapun manusia, sehebat apapun dia

Bukankah tetap tunduk kepada takdir?

Di atas menara itu, Cio San menangis sejadi-jadinya. Segala perasaannya


tercurahkan ke dalam setiap tetesan bening air matanya. Kesedihan,
kehilangan, kemuakan serta kelemahannya. Ia lega semua ini telah lewat.

Namun di masa mendatang?

Bukankah hidup hanyalah berupa titik-titik berisi kedamaian ditengah


pusaran warna kehidupan?

Selama manusia masih memiliki keinginan, bukankah selama itu juga segala
kesedihan dan kisah-kisah paling tragis akan terus terjadi di muka bumi
ini?

Bukankah segala permasalahan dan kekelaman sejarah manusia terjadi hanya


disebabkan sebuah kata sederhana bernama Keinginan?

Kau mungkin akan bilang selama masih ada cinta, maka dunia masih
memiliki harapan.

Tapi bukankah cerita kepahitan hidup manusia terjadi disebabkan oleh kata
bernama Cinta itu?

Berapa ribu atau juta manusia yang mati atau menderita karena cinta?

Selama ribuan tahun yang lalu, bukankah telah terjadi?

Sampai saat ini, bukankah masih terus terjadi?

Sampai ribuan tahun ke depan pun, akan terus terjadi.

Lalu jika kehidupan sekelam ini, apakah umat manusia sudah tidak memiliki
harapan lagi?

Masih ada!

Harapan itu ada pada dirimu sendiri.

Jika engkau mampu mengendalikan diri, pikiran, dan perasaanmu, maka umat
manusia masih memiliki harapan bagi kehidupan yang lebih baik.

Jika engkau mau sedikit mengalah, mengerti perasaan orang, dan rela
mengorbankan dirimu sendiri, maka di situlah harapan kan kembali
bersinar.

Sejarah dunia ini bukan ditulis oleh orang-orang hebat dan gagah. Sejarah
dunia ini ditulis oleh orang-orang biasa yang namanya tak dikenal orang.
Ditulis oleh perbuatan-perbuatan sederhana yang berlandaskan keinginan
untuk berkorban.

Memiliki impian besar dan agung? Boleh saja.

Tapi melakukan perbuatan baik yang sederhana itu wajib!

Ia terus berdiri. Sampai gelap datang menyapa terang. Sampai bintangbintang mulai menghiasi langit. Cukat Tong pun tidak berani menganggunya.
Ia mengerti apa yang dirasakan sahabatnya itu. Ia dan Suma Sun akhirnya
berjaga-jaga saja di bawah. Kadang membantu para tentara membersihkan
mayat.

Sampai hari sudah benar-benar gelap baru Cio San melayang turun.

Kau baik-baik saja? Tanya Cukat Tong.

Kalian berdua yang harus kutanya. Haha. Apakah kalian baik-baik saja?
Tanyanya sambil tersenyum.

Tentu saja mereka hanya saling tersenyum. Sedikit senyum mungkin bisa
membuat kita lupa akan penderitaan dan kelamnya hidup.

Mungkin.

Aku mau melihat keadaan saudara-saudaraku dulu kata Cio San.

Perlu ku temani? Tanya si Raja Maling.

Tak usahlah

Segera ia bergerak ke sebuah bangunan besar tempat para korban terluka


dikumpulkan. Di sana ia membantu sebisa mungkin, dengan ilmu
pengobatannya, banyak sekali orang yang bisa ia tolong.

Lalu ia bertemu Ang Lin Hua.

Perempuan cantik itu tidak kurang suatu apa. Walaupun terluka. Lukanya
hanya luka luar biasa.

Maaf aku tidak segera menemuimu, aku harus membantu saudara-saudara yang
terluka dulu

Tak apa-apa Kaucu. Apakah kaucu baik-baik saja? Hamba dengar dari Cukattayhiap, Kaucu sempat terluka kata Ang Lin Hua.

Kau lihat sendiri kan? ia tersenyum.

Ang Lin Hua pun balas tersenyum.

Senyum ini.

Cio san baru sadar betapa indahnya wajah Ang Lin Hua saat ia tersenyum.

Ia juga baru sadar, ternyata ia merindukan senyuman ini.

Nona, beristirahatlah

Baik, Kaucu. Kaucu sendiri mohon segera beristirahat

Segera jawab Cio San. Ia lalu kembali mengobati para korban.

Tak terasa, matahari telah kembali menyapa dunia dengan cahayanya yang
perlahan tapi pasti.

Cio San akhirnya lega. Semua orang telah ditangani dengan baik. Tabibtabib istana, dan tabib-tabib yang ada di kotaraja semua bekerja keras
mengobati para pemberani-pemberani ini.
Sekali lagi orang Han mampu mempertahankan tanah airnya dari penjajah
Goan. Kegembiraan ini syahdu, karena diliputi oleh semangat kebangsaan
yang tinggi, kebanggaan, dan juga kesedihan atas gugurnya para pahlawan.
Semua perasaan ini melebur menjadi satu.

Cio San keluar ruangan itu.

Walaupun di luar udara masih berbau tak sedap karena bercampur bau amis
mayat, dan bau bakaran, tetap saja terasa segar dibandingkan dengan
suasana di dalam tadi.

Dilihatnya dikejauhan Suma Sun dan Cukat Tong sedang berbincang-bincang


dengan seorang perwira. Ternyata perwira itu Kao Ceng Lun.

Ah kau! kata Cio San.

Salam tayhiap kata Kao Ceng Lun sambil menjura.

Haish!. Buat apa tayhiap-tayhiap segala. Haha. Kau baik-baik saja kah?
Tanya Cio San.

Baik tayhiap

Haha, panggil aku koko saja kata Cio San sambil menepuk punggung Kao
Ceng Lun.

Boanpwee mana berani? katanya ragu.

Eh ingat umurku dan umurmu kan tak beda jauh. Kali ini aku memaksa
tukas Cio San.

Ah baiklah kalau begitu, San-ko (kakak San) ujar Kao Ceng Lun masih
canggung.

Ternyata kau memang orang kerajaan ya? Selama ini aku sudah curiga. Tapi
tidak berani bicara jelas Cio San.

San-ko udah curiga? Wah, bagian mana yang bikin San-ko curiga? Tanya
Ceng Lun.

Perawakanmu yang gagah sepertinya bukan ditempa oleh latihan silat.


Karena ilmu keluargamu lebih mengandalkan pukulan tenaga dalam ketimbang
tenaga luar. Jadi aku curiga perawakanmu itu ditempa oleh latihan
ketentaraan

Hah? Dari hal sederhana itu saja San-ko bisa mengambil kesimpulan
demikian?

Kadang-kadang permasalahan ruwet dan besar jawabannya malah sungguh


sangat sederhana

Benar sekali

Tiba-tiba muncul seseorang yang datang dengan baju perang lengkap,


ternyata ia adalah Khu-Goanswe. Semua hadirin bangkit dan menjura, Khugoanswe hanya tersenyum dan balas menjura,

Cio-tayhiap, cayhe punya berita penting untuk anda. Mohon ikut


sebentar. Katanya sopan tapi penuh wibawa.

Cio San berdiri. Sisakan araknya untuk ku katanya sambil tertawa ewa.

Jangan harap Suma Sun yang sejak tadi bersikap dingin malah yang angkat
bicara duluan.

Hahaha mereka semua tertawa.

Ada kabar apa sampai-sampai harus Goanswe sendiri yang harus


menyampaikannya? Tanya Cio san begitu mereka masuk ke sebuah ruangan.

Agar sampai rahasia tidak bocor. Aku tak ingin ada kejadian heboh
percobaan pembunuhan kaisar lagi katanya sungguh sungguh.

Ada apa, goanswe?

Kaisar ingin menemuimu

Cio San mengangkat alis, Kapan?

Saat ini juga

Memangnya Yang Mulia sudah bangun saat subuh-subuh begini?

Di saat perang seperti ini, mana ada kaisar yang bisa tidur enak?

Memang betul. Di saat damai saja, seorang kaisar bisa saja tidurnya tidak
nikmat. Bingung karena banyak pekerjaan, banyak urusan, banyak intrik,
dan banyak bahaya. Apalagi di saat perang.

Sekarang juga hamba pergi ke istana kata Cio San.

Tidak perlu tukas Khu-Goanswe.

Tadinya Cio San akan bertanya Kenapa tidak perlu? tapi segera ia sadar,
kaisar pasti sudah berada di sana.

Pintu di belakangnya terbuka. Cio San merasa ada api membakar


punggungnya. Segera ia berbalik dan ingin bersujud mengucap salam Semoga
kaisar panjang umur, tapi sang kaisar sendiri sudah keburu melarang,

Tidak usah. Aku sedang menyamar

Akhirnya Cio San diam saja.

Aku, atas nama kekaisaran ini, berhutang besar kepadamu. Karena jasajasamu, pemberontakan gila ini bisa diatasi.

Kaisar diam. Cio San pun diam saja mendengarkan.

Lalu kaisar menyambung, Pertanyaanku hanya satu, apa yang kau inginkan
dari semua jasa-jasa ini?

Cio San kaget juga. Kaisar ternyata bukan orang yang suka berbasi-basi
dengan bahasa memutar. Ucapannya selalu menuju sasaran.

Cio San pun paham, terhadap orang seperti ini, ia pun tidak perlu berbasa
basi,

Hamba hanya meminta satu permintaan. Mohon kaisar membebaskan Bwee Hua
muda.

Dia siapamu? Tanya sang Kaisar.

Dia orang yang paling dicintai sahabat hamba, Cukat Tong

Mengapa kau ingin dia bebas? Tanya Kaisar.

Karena hamba sudah berjanji kepada seorang sahabat

Sahabat.

Kau tahu betapa dalam artinya?

Betapa berat pertanggungjawabannya?

Jika kau tahu, kau tidak akan dengan sombong merasa dirimu adalah
sahabat orang lain.

Hanya orang yang benar-benar bisa memberikan persahabatan yang tulus,


barulah ia pantas mendapatkan persahabatan yang tulus pula. Orang-orang
semacam ini adalah orang-orang yang paling beruntung di dunia.

Sayangnya, jumlah mereka sungguh amatlah sedikit.

Itu saja permintaanmu?

Itu saja jawab Cio San sambil menundukkan kepala dengan khidmat.

Lama sekali kaisar menatapnya.

Seperti tak percaya atas apa yang didengarkannya.

Lalu sang Kaisar tertawa.

Baik

Kaisar lalu berbalik pergi. Cio San dan Khu-goanswe hanya bisa menunduk
memberi hormat.

Lama juga Cio san terdiam.

Lalu didengarnya suara Khu-goanswe, Aku tak tahu, tayhiap ini orang yang
sungguh bodoh atau orang yang sungguh pintar

Cio San hanya memandangnya dengan pandangan bertanya.

Tayhiap tidak meminta harta, jabatan, atau apa-apa di hadapan kaisar.


Jika bukan orang yang dungu, tak mungkin berlaku demikian lalu ia
melanjutkan, Tapi justru perbuatan itu cerdik sekali

Cerdik bagaimana?

Kaisar adalah orang yang pandai menilai orang lain, dan dia menilaimu
sangat tinggi

Cayhe paham kata Cio San sambil tersenyum ringan.

Kau paham? sekarang giliran Khu-goanswe yang bertanya.

Jika Yang Mulia sampai merendahkan diri sendiri hanya untuk datang
bertemu cayhe. Tentunya bukan sekedar bertanya kabar

Lanjutkan pinta Khu Goanswe.

Beliau ingin melihat sendiri orang seperti apa cayhe

Bagus. Pemikiran yang bagus. Dan kurasa permintaan tayhiap sungguh


tepat. Oleh karena itu kubilang jawaban tayhiap sungguh cerdik

Cerdik?

Apa tayhiap tidak tahu, walaupun tayhiap hanya meminta pembebasan


seorang pemberontak, tindakan itu sudah dianggap melanggar hukum?
lanjutnya Berdasarkan hukum Negara, hukumannya sama dengan dianggap
bagian dari pemberontakan

Lalu di mana cerdiknya? Tanya Cio San.

Karena permintaan tayhiap itu, semakin mengangkat nilai tayhiap di mata


Yang Mulia. Aku yakin Yang Mulia menganggap tayhiap sebagai orang yang
setia kawan, serta dapat diandalkan

Sejak awal, memang hanya satu itulah permintaan cayhe. Entah Yang Mulia
akan mengabulkan atau tidak. Kata Cio San.

Jika tidak? Tanya Khu-goanswe

Cio San tahu jawabannya.

Khu-goanswe pun tahu jawabannya.

Perlahan Khu-goanswe menyadari, betapa menakutkannya orang yang berada di


hadapannya itu.

BAB 73: BAHAGIA

Entah sudah berapa lama kejadian itu lewat.

Kejadian penuh darah di kota raja.

Tapi juga merupakan kejadian dimana keberanian, kesetiakawanan, dan


kekuatan ditunjukkan.

Mereka kini sedang duduk dengan tenang di atas menara. Menara tempat di
mana Cio San berdiri sepanjang hari menatap pertempuran dahsyat itu. Saat
itu, di puncak menara, ia telah mengambil keputusan. Tak ada lagi darah
yang tertumpahkan oleh tangannya.

Saat semua ini berakhir, ia ingin menghilang sejenak. Entah kemana. Entah
berbuat apa. Sejenak menikmati kedamaian dunia.

Di menara ini, adalah perjamuan sebelum perpisahan itu.

Arak sudah mengalir, berbagai makanan pun sudah terhidang. Ada pula
tulusnya persahabatan. Jika kau kebetulan mengalami keadaan seperti ini,
kau harus terus bersyukur sepanjang masa.

Cio San, Cukat Tong, Suma Sun, Luk Ping Hoo, dan Kao Ceng Lun.

Kudengar, kaisar memberimu gelar sebutan 'Hongswe' (Jenderal Phoenix). "


kata Cukat Tong, "Bahkan beliau juga memerintahkan kerajaan agar
mengeluarkan pengumuman ke seluruh penjuru Tionggoan yang membersihkan
namamu dari segala fitnah."

"Aku juga mendengarnya. Kaisar memang bijaksana. Tapi sebutan Hongswe itu
rasanya terlalu berlebihan." tukas Cio San sambil tersenyum.

"Terus terang, aku sendiri bingung dengan semua kejadian belakangan ini.
Sebaiknya kau harus menceritakan semua ini dari awal kata Cukat Tong.

Cio San menatap langit.

Awalnya sendiri aku tidak tahu. Cuma mungkin bisa kuceritakan bahwa aku
sebenarnya sudah curiga atas keterlibatan Beng Liong sejak awal sekali.
Hanya saja aku tidak berani bicara karena tidak punya bukti.

Sejak kapan? Tanya Cukat Tong.

Sejak kejadian pembakaran kapal Ma Kauw. Itu saat pertama kali kita
bertemu bukan?

Cukat tong mengangguk.

Saat itu Beng Liong difitnah sebagai pelakunya bukan?

Iya

Saat itu aku dan Beng Liong sudah dikepung banyak orang. Mereka
menganggap kami benar-benar pelakunya

Lanjut Cio San,

Tapi saat itu kebetulan Hong Sam-hwesio datang melerai dan menjelaskan
duduk perkaranya

Apa kata Hong Sam-hwesio pada saat itu? tanya Ang Lin Hua.

Katanya saat kebakaran terjadi Beng Liong juga sedang bersama-sama


dirinya jelas Cio San.

Dan orang-orang yang mengeroyok kalian berdua percaya? kali ini Kao
Ceng Lun yang bertanya.

Tentu saja. Semua orang Bu Lim tahu, kata-kata bhiksu Siau Lim pay
adalah emas. Apalagi kata-kata yang keluar dari mulut Hong-Sam hwesio

Lanjut Cio San,

Setelah itu aku bertemu dengan Cukat Tong. Katanya ia mengenal 3 orang
dari pelaku pembakaran kapal Mo-Kauw. Herannya pelaku pembakaran itu,
adalah termasuk orang yang mengepung dan menuduh kami sebagai pelakunya.
Salah satunya bernama Sih Hek Tiauw, yang mempunyai julukan Si Rajawali
Hitam

Maling teriak maling tukas Luk Ping Hoo.

Benar sekali. Tukas Cio San. Lanjutnya, Begitu mengetahui itu, aku
langsung melapor kepada Hong Sam-hwesio.

Apa tindakan beliau? Cukat Tong bertanya.

Ya katanya kita harus segera ke rumah Sih Hek Tiauw itu. Kebetulan
beliau kenal. Yang terjadi kemudian malah yang menjadi kunci pembuka
seluruh rahasia ini

Apa? hampir serempak semua bertanya.

Beliau berkata hendak mengambil tongkat dulu di dalam kamar. Begitu


masuk ternyata beliau diserang seseorang yang bersembunyi dalam lemari
beliau

Lalu?

Lalu aku melesat secepatnya ke dalam begitu mendengar suara gaduh.


Setiba di dalam kamar, penyerangnya sudah menghilang. Kata Hong Sam
Hwesio, dia kabur lewat jendela. Begitu ku tengok sudah tidak keliahatan
siapa-siapa

Lalu yang mengherankan di bagian mana? Tanya Cukat Tong.

Yang mengherankan adalah penyerang itu bisa bergerak sangat cepat.


Halaman kuil itu sangat luas, dan kuilnya sendiri sangat kecil. Aku saja
butuh waktu beberapa detik hingga bisa keluar dari halamannya yang luas
itu

Cio San meragukan banyak hal. Satu-satunya hal yang ia yakin benar adalah
ginkangnya sendiri. Di dunia ini, hanya satu hal itulah yang paling
diyakini dan dipercayainya.

Maksud pangcu, ada orang yang ginkangnya lebih tinggi dari pangcu?
Tanya Luk Ping Hoo.

Tentu saja tidak Tukas Suma Sun. Maksud Cio San adalah penyerang ini
sebenarnya tidak ada

Memangnya ada orang yang bisa menghilang di hadapan Cio San? Jika orang
seperti itu tidak ada, tentu saja penyerang itu tidak ada.

Jika penyerang itu tidak ada, berarti bukankah Hong Sam hwesio hanya
mengarang cerita belaka?

Perlahan semua yang hadir di sana paham.

Saat itu dalam pikiranku adalah: hanya orang yang bisa terbang yang bisa
lolos saat itu

Lanjut Cio San,

Dan benar, saat itu sebenarnya ada sesuatu yang bisa terbang

Burung? Tanya Ang Lin Hua.

Benar. Hong Sam Hwesio memelihara burung. Saat ia terpukul, ia begitu


marah karena keributan itu menyebabkan burungnya lepas dari sangkar. Saat
itu aku belum berpikiran apa-apa. Lama kemudian aku baru sadar, setelah
sampai di tempat Sih Hek Tiauw si Rajawali Hitam. Ia ternyata sudah mati.
Seseorang mendahului kami, dan sudah membunuhnya

Lanjutnya,

Berarti ada orang yang mengetahui bahwa kami hendak pergi menemui Sih
Hek Tiauw. Saat itu satu-satunya orang yang tahu selain kami, adalah
Cukat Tong sendiri. Sehingga aku mencatat namanya dalam pikiranku sebagai
salah satu tersangka

Jelas Cio San lagi,

Tapi kemudian aku sadar bahwa burung yang ada di kamar Hong Sam Hwesio,
memiliki peran yang amat sangat penting. Burung itu bertindak sebagai
pengirim surat! Hong Sam Hwesio mengirim kabar ke seseorang
memberitahukan bahwa kedok Sih Hek Tiauw telah ketahuan

Tanya Cukat Tong,Kau mengambil kesimpulan seperti itu karena yakin bahwa
Hong Sam Hwesio hanya mengarang cerita penyerangannya?

Benar. Selama ini aku tidak pernah melihat ada orang yang bisa bergerak
secepat itu. Sehingga aku mengambil kesimpulan, orang seperti itu tak
pernah ada! Penyerangan itu tak pernah ada! Hong Sam Hwesio hanya
mengarang cerita dengan dua tujuan. Pertama, untuk menjebakku berpikir
bahwa ia adalah korban. Dan kedua, untuk memperlambat kami sampai di
rumah Sih Hek Tiauw. Dalam perjalanan ia berjalan dengan lemah dan sangat
lambat. Sehingga memberi waktu bagi seseorang untuk membunuh Sih Hek
Tiauw.

Jika tidak ada orang yang menyerang Hong Sam Hwesio, apakah luka-lukanya
palsu? Tanya Kao Ceng Lun.

Luka-lukanya asli. Ia melukai dirinya sendiri. Begitu juga saat Beng


Liong terluka di puncak Thay san. Cara-cara yang sama

Semua orang diam sejenak dan berpikir.

Lalu apa hubungannya ini dengan keterlibatan Beng Liong? Tanya Ang Lin
Hua.

Sederhana. Jika Hong Sam Hwesio terlibat semua ini, untuk apa ia membela
Beng Liong dan aku saat dikeroyok dan dikepung?

Semua orang mengangguk.

Mereka menghabisi seluruh penghuni kapal, dan membakar kapal itu dengan
dua tujuan. Yang satu adalah memusnahkan ketua Mo Kauw dan anak buahnya.
Dan kedua adalah untuk menghapus nama Beng Liong dari kecurigaan

Wah, menghapus kecurigaan? Bukankah pembunuh itu menulis nama Beng Liong
di tembok kapal sebagai pelakunya? Itu kan malah membuat ia sebagai
tertuduh tanya Ang Lin Hua.

Justru di situ pintarnya. Mereka yakin pasti ada orang yang akan menjadi
saksi mata. Dalam hal ini, entah bagaimana mereka tahu bahwa ada Cukat
Tong di sana yang akan menjadi saksi mata. Jika mereka menulis nama Beng
Liong di sana, lalu Cukat Tong sebagai saksi mata mengatakan bahwa
pelakunya bukan Beng Liong, tentu saja nama Beng Liong akan bersih karena
hanya dianggap sebagai korban fitnah! Apalagi ada pula Hong Sam Hwesio
yang kata-katanya adalah emas bagi kalangan Bu Lim. Semua orang akan
percaya bahwa bukan Beng Liong pelakunya.

Tak terasa mereka bergidik membayangkan betapa rapinya rencana itu.

Dengan adanya pembunuhan-pembunuhan beberapa tokoh terkemuka kalangan


Kang Ouw, itu pun menambah pembersihan nama Beng Liong dari daftar
pelaku. Jelas Cio San.

Bagaimana bisa? tanya Ang Lin Hua.

Mereka meracuni banyak tokoh-tokoh terkemuka, lalu setelah tokoh-tokoh


itu mati, pelakunya menusuk dahi mereka seolah-olah kematian itu
disebabkan oleh jurus pedang Suma Sun. Tujuannya berlapis-lapis. Pertama,
untuk menyingkirkan orang-orang yang merintangi jalan mereka. Kedua,
untuk memfitnah Suma Sun. Ketiga, jika fitnah terhadap Suma Sun berhasil
dipatahkan, berarti fitnah atas Beng Liong yang membakar kapal Mo Kauw
juga harus dipatahkan. Karena semua orang akan yakin bahwa perbuatan itu
hanya fitnah jelas Cio San.

Hamba bingung, sebenarnya yang mana dulu kejadiannya? Pembunuhan tokohtokoh Bu Lim dulu? Atau pembakaran kapal Mo Kauw dulu? tanya Ang Lin
Hua.

Mereka telah merencanakan dengan sangat matang. Sebenarnya semua di


mulai dengan peracunan di markas Mo Kauw! jelas Cio San.

Saat itu ada pengkhianat yang menyusup ke markas utama, lalu meracuni
semua orang dengan racun ajaib yang tak berbau dan berasa itu. Kebetulan
aku berada di sana dan untuk sementara mampu menolong saudara-saudara.
Melihat rencana itu gagal, sang otak besar sudah mempunya rencana
cadangan. Ia merencanakan penyerangan di dermaga-dermaga yang kira-kira
akan disanggahi kapal Mo Kauw

Lanjut Cio San,

Selain membunuh ketua Mo Kauw dan orang-orang terdekatnya, si otak besar


juga membunuh tokoh-tokoh terkemuka Kang Ouw. Mayatnya lalu mereka lukai
dahinya, agar terlihat seperti korban dari Suma Sun. Setelah itu mayatmayat itu mereka buang ke sungai. Agar orang-orang menemukannya.
Kebetulan kapal Mo Kauw yang menemukan mayat-mayat itu.

Di atas kapal aku mempelajari keadaan mayat-mayat itu lalu mengambil


kesimpulan. Kesimpulanku adalah ini semua adalah fitnah kepada Suma Sun
jelas Cio San.

Wah, karena si otak besar mengerti bahwa kau telah membongkar rahasia
fitnah itu, maka ia mempersiapkan trik baru lagi, yaitu memfitnah Beng
Liong. Jika fitnah itu berhasil dipatahkan, maka nama Beng Liong akan
terhapus dari kecurigaan? tanya Cukat Tong.

Cio San mengangguk membenarkan.

Gila

Mengapa Beng Liong ingin menghapus dirinya dari kecurigaan? Bukankah


tanpa melakukan itu pun, tak ada orang yang akan curiga kepadanya? tanya
Ang Lin Hua.

Ia orang yang terlalu berhati-hati. Ia ingin semua sesempurna mungkin.


Selain itu juga kan dia memang ingin menghancurkan musuh-musuhnya. Jelas
Cio San.

Karena ingin sempurna, malah terbongkar seluruhnya tukas Kao Ceng Lun.

Lanjutkan, Cio San

Nah, setelah aku bisa menemukan kunci rahasia itu, awalnya aku mengira
Beng Liong hanyalah anak buah biasa. Mungkin ia terlibat mungkin karena
terpaksa. Aku berpikir keras apa latar belakang semua ini? Pergerakan
mereka terlalu rapi, sangat terencana, dan sukar ditebak. Jika hanya
sekedar memperebutkan kitab sakti, aku merasa hal ini terlalu berlebihan.
Lalu aku mengambil kesimpulan, mungkin semua ini berhubungan dengan
perebutan Bu Lim Beng Cu di puncak Thay San

Ia melanjutkan,

Tapi kemudian aku ragu. Jika hanya memperebutkan Bu Lim Beng Cu, mengapa
orang-orang yang tidak berminat dengan posisi Beng Cu itu terbunuh juga?
Contohnya mendiang Mo Kauw-kaucu yang lama. Bukankah beliau memang tidak
tertarik dengan posisi itu? Lalu kenapa beliau dibunuh juga?

Cio San diam sejenak, ia tahu saat itu tubuh Ang Lin Hua bergetar menahan
marah dan kesedihan. Ia menyentuh ujung tangan gadis itu dan menatapnya
lembut.

Tak ada kata yang perlu diucapkan. Karena memang tak ada kata-kata yang
bisa diucapkan di saat saat seperti itu.

Saat kau menyentuh ujung tangan seorang perempuan.

Setelah Ang Lin Hua tenang, barulah Cio San melanjutkan,

Berarti ada sebuah rencana jahat yang lebih jahat daripada hanya
perebutan Bu Lim Beng Cu. Aku baru sadar ketika ternyata pemenang
pertarungan itu boleh bertemu dengan kaisar.

Ya. Kau bertanya tentang itu ketika kita sedang dalam perjalanan ke Thay
San tukas Cukat tong membenarkan.

Benar. Saat itu aku mulai membaca sepenuhnya cerita menyeramkan ini.
Pemberontakan, perebutan kekaisaran dan penyerangan Goan (mongol).
Kemungkinan penyerangan Goan ini sudah kucurigai saat ku dengar kabar
bahwa Kay Pang menerima anggota sebesar-besarnya dari mana saja. Ternyata
tentara Goan sudah menyusup menjadi anggota Kay Pang dan mulai memenuhi
Kotaraja. Setelah memahami semua itu, aku lalu menulis surat kepada Khuhujin dan meminta Cukat Tong mengirimkannya kepada beliau

Apa sebenarnya isi surat itu? Aku sendiri tidak membacanya. Tanya Cukat
Tong.

Aku menjelaskan semua keadaan yang terjadi. Dan memintanya mempersiapkan


segala hal dalam menghadapinya jawab Cio San.

Kenapa kepada Khu-hujin? tanya Ang Lin Hua.

Karena beliau sebenarnya orang kerajaan juga. Anaknya adalah jenderal


utama. Sejak awal beliau sudah tertarik dan mengikuti segala kejadiankejadian ini. Apalagi beliau sebenarnya orang terkuat dan paling
berpengaruh dalam kalangan Bu Lim

Aku dulu malah curiga kepada beliau. Tukas Ang Lin Hua.

Orang yang paling mencurigakan malah biasanya bukan pelakunya. Orang


yang paling tidak mungkin sebagai pelaku, biasanya malah dia yang
melakukannya

Luk Ping Hoo lalu bertanya, Sebenarnya, apa posisi Pangcu lama Kay Pang,
Ji Hau Leng, dalam semua rencana busuk ini?

Kesalahannya, hanya karena ia jatuh cinta jawab Cio San. Tapi cepat ia
menambahkan, Sesungguhnya ia tidak salah karena jatuh cinta, ia hanya
jatuh cinta kepada orang yang salah

Bwee Hua Sian?

Yang mana? Yang tua atau yang muda? tanya Kao Ceng Lun

Cio San seperti tercekat. Ia tahu Cukat Tong pun sama tercekatnya pula.
Tapi Cukat Tong malah berkata, Teruskan ceritamu

Bwee Hua Sian yang muda. Ia memikat Ji Hau Leng, dan memanfaatkan posisi
orang gagah itu sebagai ketua Kay Pang. Sejak saat itu, Kay pang membuka
diri bagi siapa saja, puluhan ribu anggota bertambah dalam setahun.
Terang, mereka itu adalah tentara-tentara Goan (Mongol) yang disusupkan
untuk menyerang Kotaraja

Sambung Cio San,

Di akhir hidupnya, Ji Hau Leng mengerti bahwa Bwee Hua Sian tidak benarbenar mencintainya. Untuk membunuh wanita itu ia tidak tega. Sedangkan ia
sudah terlanjur berbuat hal-hal memalukan harga dirinya di dalam dunia
Kang Ouw. Akhirnya ia memilih bunuh diri

Menyedihkan sekali kata Ang Lin Hua

Cukat Tong menatap jauh ke depan. Entah apa yang ada dalam pikiran lelaki
ini. Mungkinkah ia berpikir jika nasibnya akan sama dengan Ji Hau Leng?

Lalu siapa Bwee Hua Sian itu sebenarnya? Ada yang muda ada yang tua? Aku
tak mengerti. Tanya Kao Ceng Lun.

Cio San menoleh kepada Sum Sun. Dewa pedang itu lalu berkata,

Bwee Hwa Sian yang asli adalah yang tua itu. Umurnya memang sudah hampir
80 tahun. Ia adalah musuh keluargaku. Ia membunuh kedua orang tuaku.
Selama ini tujuanku memang hanya mencarinya

Cukat Tong lalu menambahkan,

Yang muda adalah anak buahnya. Yang muda ini memang namanya sengaja
disamakan menjadi Bwee Hua Sian pula. Tujuannya agar tetap mempertahankan
legenda bahwa Bwee Hua Sian adalah perempuan tercantik di dunia yang
kecantikannya abadi

Semua orang mengangguk paham.

Siapa sebenarnya Bwee Hua Sian yang tua itu? Bagaimana asal-usulnya?
pertanyaan ini dilontarkan Ang Lin Hua kepada Suma Sun.

Tak ada yang tahu. Tahu-tahu 40 sampai 50 tahun yang lalu ia muncul
begitu saja merajai daerah utara. Sampai kemudian sampai ke pusat
Tionggoan jawab Suma Sun.

Dan Beng Liong adalah cucunya? tanya Ang Lin Hua lagi.

Benar tukas Cio San.

Mereka semua duduk termenung. Memikirkan segala kerumitan benang merah


itu. Tapi satu persatu dapat terurai. Walaupun ada beberapa rahasia yang
belum terjelaskan, setidaknya segala keruwetan sudah terjawabkan.

Ada lagi yang masih kuherankan, mengapa Kaucu menculik kami lalu
mengirim kami turun gunung Thay San. Bukankah Kaucu bisa saja
memerintahkan kami? tanya Ang Lin Hua.

Haha, Untuk itu aku harus minta maaf karena melakukan ini kepada
berdua. Saat itu aku hanya berjaga-jaga. Aku saat itu belum yakin
siapa itu Kao Ceng Lun. Musuh ataukah teman. Dengan cara menculik
setidaknya akan membingungkan pergerakan musuh. Dengan begitu aku
bergerak lebih leluasa.

kalian
benar
kalian,
bisa

Ah ternyata, karena San-ko curiga kepadaku? Maafkan. Karena tugas


Negara, cayhe tidak bisa berterus terang kata Kao Ceng Lun sambil
menjura. Saat itu cayhe diperintahkan oleh Khu-goanswe untuk menyelidiki
keadaan di Thay San. Selama ini pihak kerajaan pun sudah mulai curiga
dengan kejadian-kejadian aneh di dunia Kang Ouw

Sambungnya, Eh San-ko, bagaimana cara San-ko bisa selamat saat jatuh di


jurang?

Sejak sebelum bertarung, aku sudah berencana untuk pura-pura mati.


Suratku kepada Khu Hujin juga menjelaskan semua rencanaku. Bahwa
pergerakan Beng Liong ini hanya bisa dihentikan saat tertangkap basah.
Oleh karena itu aku meminta Khu Hujin menyiapkan segalanya. Termasuk
melaporkan semua hal ini kepada Kaisar langsung. Kaisar pun menurut saja,
karena beliau sendiri tertarik untuk menyaksikan bagaimana semua ini
berjalan

Sambungnya,

Nah, setelah Cukat Tong berangkat mengirim surat, aku memikirkan cara
pura-pura mati yang paling baik. Yaitu jatuh ke jurang. Sebelumnya aku
sudah memeriksa daerah jurang itu. Bagian mana yang lembut, bagian mana
yang penuh karang dan lain-lain. Aku pun sudah berniat mengajak lompat
ketiga ketua perguruan besar itu.

Karena apa?

Karena aku sudah meyakini keterlibatan mereka dalam semua ini. Dengan
lompat bersama mereka ke jurang, aku menggunakan Ilmu Menghisap Bintang
untuk menyerap seluruh tenaga mereka. Tenaga serapan itu aku gunakan
untuk melayang dan melenting agar jatuhku tidak berbahaya

Mendengar ini, semua orang menggeleng-geleng heran.

bagaiamana jika rencanamu berantakan? tanya Cukat Tong.

Aku pasti mati jawab Cio San sambil tertawa.

Kau tak tahu betapa kalutnya hatiku mendengar kabar kau terjun ke
jurang. Saat aku sampai ke dasarnya, ku lihat kau malah duduk santai
menungguku. Hahaha

Saat itu aku yakin kau pasti akan mencariku. Begitu kau datang, kita
langsung berangkat ke Kotaraja menjalankan rencana

Orang lain punya rencana, diri sendiri pun punya rencana. Bukankah kita
adalah apa yang kita rencanakan?

Malam menjelang. Bintang bersinar cerah. Bulan temaram dalam cahayanya


yang penuh kelembutan.

Ada saat pertemuan, ada saat perpisahan.

Manusia bijak memahami ini dalam kebijaksanaannya yang paling dalam.

Pertemuan bukan hal yang sepele. Begitu pula perpisahan.

Saat perpisahan, tak bisa ditolak. Seperti juga saat pertemuan.

Semua terjadi dalam uraian benang takdir. Terpintal menjadi lembaranlembaran kenangan dan sejarah umat manusia.

Jadi kau harus pergi? tanya Cukat Tong.

Aku pasti akan kembali. Kau bukannya harus pergi pula? kata Cio San

Benar tegas Cukat Tong.

Bagaimana dengan Suma-tayhiap? tanya Cio San.

Urusanku sudah selesai. Aku mungkin akan mencari arak dan meminumnya
sampai mampus jawabannya dingin tapi semua orang tertawa.

Walaupun mereka tertawa, tapi air mata mereka mengalir deras.

Perpisahan.

Apakah di dunia ini yang lebih menyakitkan daripada perpisahan?

Tapi di dalam perpisahan, terdapat secercah harapan.

Bukankah jika berpisah, mungkin masih bisa bertemu kembali?

Mungkin.

Mungkin bukanlah sebuah kata yang sia-sia.

Mungkin adalah sebuah kata yang penuh pengharapan.

Jika tidak di sini. Jika tidak di dunia ini.

Mungkin kita akan bertemu di sana. Di alam sana.

Selama apapun perjalanan. Sejauh apapun jaraknya. Selama apapun menanti.


Sejauh apapun perbedaannya.

Masih ada kata Mungkin.

Selama masih ada kata itu di dunia ini, selama itu pula manusia masih
memiliki pengharapan yang agung dan indah.

Mungkin.

SELESAI

(Malang, 7 Maret 2013 jam 1:59 Siang. Kamar Kost Al-Mahmudi)

EPILOG

Cio San telah selesai menjura 3 kali di hadapan makam kedua orang tuanya.
Ia lalu membersihkan makam itu. Sekuat mungkin ia menahan air matanya.
Tak terasa segala kejadian yang berlalu di dalam hidupnya ini terkenang
kembali. Segala penderitaan, ketakutan, kesepian, dan kepedihan hatinya
seakan tertumpahkan di hadapan makam kedua orang tuanya ini. Sejak sekian
lama, baru kali ini ia berkunjung kesini.

Sore telah datang. Warna lembayung langit mulai menghiasi angkasa.

Ketika ia selesai membersihkan makam, dan membalikkan tubuhnya, betapa


kagetnya ia ketika di hadapannya sudah bediri seorang kakek dan seorang
nenek. Sang kakek walaupun sudah tua sekali, namun ketampanannya masih
terlihat sangat jelas. Tubuhnya pun masih tegap. Begitu pula dengan sang
nenek, terlihat masih sangat cantik.

Cio San tidak mengenal mereka. Tapi ia tahu mereka berdua tentu suami
istri. Dan ia paham pula, di dunia ini orang yang bisa menyelinap sedekat
ini tanpa suara di belakangnya kemungkinan belum pernah dilahirkan.

Ternyata ia salah.

Salam tayhiap dan liehiap kata Cio San menjura.

Kau yang bernama Cio San? tanya sang kakek.

Benar adanya tayhiap sebenarnya Cio San ingin bertanya siapa mereka,
tapi ia juga paham. Di hadapan orang seperti ini, kau sebaiknya diam dan
membiarkan mereka yang bertanya.

Serang aku! perintah si kakek.

Perintah yang aneh.

Eh tapi

Ia tidak melanjutkan kata-katanya. Sorot mata sang kakek mencorong


menusuk jiwanya. Mau tak mau ia menyerang. Sebuah gerakan Thay Kek Kun
yang lamban dan sederhana.

Tidak perlu bermurah hati.


itu lagi. Sekali lagi sorot
tubuhnya tidak lagi menjadi
dahsyat. Angin menderu-deru

Serang dengan sungguh-sungguh perintah kakek


mata itu menghujam jiwa Cio San. Seakan-akan
milik pikirannya. Gerakannya berubah menjadi
keluar dari telapak tangannya.

Gerakannya cepat. Sangat cepat.

Sang kakek tidak bergerak. Ia menerima ujung telapak Cio San dengan
telapak pula. Suara gemuruh menderu-deru terdengar bagai angin putting
beliung yang menghempaskan gunung. Tetapi sekitika itu juga suara itu
hilang lenyap tak berbekas!

Seperti tak terjadi apa-apa!

Kemana hilangnya tenaga dahsyat tadi?

Tak ada seorang pun yang tahu.

Bahkan Cio San pun tidak tahu.

Sore menjelang makin gelap. Ia berdiri terpaku mencoba memahami apa yang
baru saja terjadi.

Bagus. Cio San adalah Cio San. Mari kita cari tempat istirahat dan
dengarkan aku bercerita kata si kakek.

Mereka lalu beranjak menuju sebuah pavilliun kecil yang berada di dekat
sana. Duduk di dalamnya saat sore membawa sebuah kedamaian tersendiri.

Kau tidak perlu tahu siapa namaku. Tetapi aku dahulu adalah sahabat dari
kakekmu, Cio Hong Lim kata sang kakek memulai cerita.

Aku tinggal di sebuah pulau terpencil di pantai timur Tionggoan. Tak ada
seorang pun yang tahu di mana pulau itu berada. Beberapa bulan yang lalu,
aku menemukan seseorang terdampar di pulau kami. Orang itu sudah lumayan
tua juga. Tetapi semangat dan rasa tanggung jawab yang diembannya membuat
ia mampu bertahan hingga sampai di pulau kami.

Aku merawatnya sampai beberapa lama, hingga kemudian aku sadar bahwa aku
pernah mengenal orang ini. Namanya Tin Seng. Ia adalah orang kepercayaan
kakekmu.

Cio San sedikit terhenyak.

Ternyata Tin Seng telah diperintahkan oleh ayahmu sejak belasan tahun
yang lalu untuk mencariku. Karena menurut kakekmu, hanya akulah yang
dapat menyelesaikan semua permasalahan ini. Kau tahu permasalahan apa
itu? tanya si Kakek.

Sedikit banyak, boanpwe sudah bisa membacanya, tayhiap

Bagus. Jelaskan!

Permasalahan ada hubungannya dengan rencana penyerangan orang-orang Goan


ke Kotaraja sebulan yang lalu. Jawab Cio San.

Benar sekali. Ternyata perencanaan itu dilakukan secara matang dan


sungguh rapi sekali. Otak perencanaan itu adalah seorang selir Kaisar
Goan (Mongol) yang selamat saat pengusiran dulu. Setelah lari, ia
membangun kekuatannya. Ternyata bahkan sebelum mereka berhasil diusir,
orang-orang Goan telah memasukkan beberapa orang kepercayaan mereka untuk
menjadi mata-mata di perguruan-perguruan besar, seperti Bu Tong pay, Siau
Lim pay, dan Go Bi pay. Karena ketiga perguruan besar ini sangat
merepotkan bagi mereka.

Ketika orang-orang Goan berhasil terusir, para mata-mata ini tetap


menetap di perguruan-perguruan besar tadi. Bahkan kemudian menduduki
posisi penting di sana. Selir Goan yang selamat itu kemudian menghubungi
mereka dan mempersiapkan rencana jahat mereka itu. Jelas sang kakek,
lalu ia bertanya, Kau tentu tahu siapa saja mereka?

Hong Sam Hwesio di Siau Lim Pay, Lau-ciangbun di Bu Tong pay, dan Bu
Goat-nikoh di Go Bi pay jawab Cio san.

Benar. Mendiang ibumu yang merupakan pendekar terkemuka Go Bi pay


kemudian secara tidak sengaja mengetahui rencana jahat itu. Ia lalu
mengirimkan surat kepada kakekmu. Lalu kemudian bergegas melarikan diri
ke desa ini bersama kau dan ayahmu

Sampai di sini Cio San sudah paham seluruhnya. Ketika menerima surat dari
ibu Cio San, kakek Cio San langsung memerintahkan orang kepercayaannya
untuk mencari sang kakek di hadapannya ini. Untunglah utusan itu berhasil
pergi sebelum keluarga Cio San dibantai.

Kau sudah paham seluruhnya, bukan? tanya sang kakek.

Sudah, tayhiap

Nah, begitulah. Selama belasan tahun Tin Seng mencari keberadaan kami
berdua. Segala pelosok Tionggoan pernah disusurinya. Tak kenal lelah ia
mencari kami. Suatu hari ia bertemu dengan Tan Hoat. Pendekar Bu Tong
pay. Kudengar kau sudah mengangkat ayah sekaligus guru terhadap Tan Hoat
ini?

Cio San mengangguk.

Tin Seng percaya penuh kepada Tan Hoat. Ia lalu menceritakan semuanya.
Tan Hoat memutuskan untuk pulang ke Bu Tong pay untuk menyelamatkanmu,
dan membunuh Lau-ciangbun secara diam-diam. Sayang, yang kudengar
kemudian, Tan Hoat meninggal secara menggenaskan.

Betul, tayhiap Cio San ingat sekali peristiwa ini.

Selama belasan tahun ini Tin Seng terus mencari kami, karena itu adalah
satu-satunya tanggung jawab yang diembannya selama ini

Di mana beliau sekarang, tayhiap? tanya Cio San.

Sudah meninggal karena penderitaannya. Kami menguburkannya di pulau


kami

Aih tak terasa Cio San menangis pula. Betapa besar jasa Tin-Seng ini.

Begitu kami tahu cerita ini, segera kami bergegas berangkat ke


Tionggoan. Rupanya kami terlambat, dan kau sudah menyelesaikan semua
urusan.

Lama kakek ini terdiam.

Untuk itu kami mengucapkan terima kasih ia lalu bersujud. Betapa


kagetnya Cio San ia mencoba menghalau,

Aih tidak beranitidak berani. Siansing terlambat. Kedua suami istri


sudah bersujud di hadapannya.

Mau tidak mau, Cio San pun balas bersujud.

Terima kasih telah membersihkan Bu Tong pay. Terima kasih telah menjaga
Kerajaan Beng terlihat air mata menggenang di pelupuk mata sang kakek
ini.

Aih, tidak berani..siansing..tidak berani. Semua itu bukan jasa-jasa


boanpwe semata. Jasa begitu banyak orang. Sungguh boanpwe tidak berani
menerima kehormatan ini kata Cio San sungguh sungguh.

Si kakek tersenyum, lalu berkata Saat ini juga kami harus pulang ke
pulau kami. Jika ada jodoh hendaknya kau mampir ke sana. Aku belum
mencobai seluruh kepandaianmu Lalu ia menoleh ke istrinya, Ayo kita
pulang, sayang

Si nenek tersenyum dan berkata Sayang, masa kita pulang tanpa memberikan
hadiah apa-apa kepada pendekar muda ini?

Ah, betul juga. Cio San, kau lihatlah ini

Si kakek bergerak. Amat indah. Amat lambat dan amat pasti.

Seperti matahari, seperti bulan, seperti alam semesta. Bergerak sesuai


waktunya, sesuai kadarnya, sesuai porsinya.

Seumur hidupnya Cio San belum pernah melihat keindahan seperti ini.
Seolah-olah keindahan alam semesta terpancar dari gerakan-gerakannya yang
sederhana.

Lalu selesai.

Selesai seperti tak ada mula dan tak ada akhir. Begitu saja.

Kau bisa menangkap maknanya? tanya si kakek.

Tidak, siansing jawab Cio San jujur.

Bagus! kata si kakek sambil menepuk pundaknya. Dalam beberapa tahun ke


depan, kau akan mengalami banyak hal. Jika tidak segera menyingkir dari
keramaian, kau akan mengalami berbagai macam urusan. Siapkan dirimu. Kami
mohon diri. Jika jodoh akan berjumpa kembali. Salam Cio-Hongswe (jenderal
Phoenix)

Kedua orang itu kemudian pergi. Sambil bergantengan tangan dan menikmati
keindahan dunia. Bercanda tawa seperti sepasang kekasih bau kencur. Cio
San menjura sedalam-dalamnya.

Usia boleh tua, tetapi jiwa pecinta akan selalu muda.

Jiwa pecinta yang sejati akan seperti ini. Berbagi mesra, berbagi kasih,
berbagi susah, dan berbagi derita. Cio San tahu, kakek dan nenek itu tak
akan mencapai cinta semurni itu jika sebelumnya mereka tidak mengalami
ujian, dan cobaan yang dahsyat.

Itulah cinta.

Ia seketika sadar bahwa ia belum bertanya siapa nama mereka. Tapi ia


tahu. Jauh di dalam lubuk hatinya ia tahu siapa mereka.

Lalu ia tersenyum.

Teringat kalimat terakhir yang diucapkan kakek itu,

Jika jodoh akan berjumpa kembali


TAMAT
Nantikan petualangan Cio San dan kawan-kawan dalam episode: Rahasia Jubah
Merah
SALAM PENUTUP
Sekian cerita dari petualangan Cio San bersama sahabat-sahabatnya. Sekian
juga proses penulisan yang panjang yang hampir mencapai tahun. Selama
proses penulisan ini, saya berhutang banyak kepada teman saya Ibenk, yang
meminjamkan laptop dan koneksi internetnya. Juga kepada Ihsan Mebruri
yang telah menantang saya untuk menuliskan cerita silat ala Gu Long.
Kepada teman saya Faris 'Simple Prod', orang pertama yang menyemangati
saya untuk terus menulis bab demi bab. Kepada teman-teman di Facebook
yang terus mengikuti cerita ini. Juga teman-teman Indozone yang terus
bersabar sampai semua ini selesai.
Saya mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada suhu saya, bapak
Tjan ID yang begitu menginspirasi dan memberi banyak pelajaran. Juga buat
teman-teman penghuni group Tirai Kasih, dan Kedai Arak. Semua dukungan
mereka sangat berharga.
Akhir kata, terima kasih atas semua apresiasi yang teman-teman berikan.
Walaupun akhirnya saya tidak jadi menerbitkan buku ini karena sudah pasti
tidak ada yang mau beli (hahaha), saya tetap berharap semoga ada satu dua
orang yang tertarik untuk memiliki versi cetak/buku dari kisah ini
sebagai sekedar kenang-kenangan. Untuk hal itu, boleh menghubungi saya
melalui Facebook.
Terima Kasih.
Menjuraaaaaaaaaaaa
Malang, Selasa 8 Juni 2013 jam 00:47
Sedikit Latar Belakang
Ide untuk membuat cerita ini datang ketika kakak sulung saya mengirimkan
SMS dan meminta saya untuk mencari pembeli 'Mustika Ikan'. Namanya saja
menarik. Konon mustika ini berada di perut ikan. Gunanya banyak sekali,
untuk menawarkan racun, untuk pesugihan, dan untuk 'jimat' saat berjudi.
katanya siapa yg memiliki mustika ini tak akan pernah kalah berjudi.

Mendengar cerita ini, imajinasi saya langsung 'kemana mana'. Akhirnya


jalinan cerita episode ke 2 ini menjadi lengkap dan sempurna. Setelah
semua alur terjalin di otak saya, kemudian saya baru mulai menuliskannya
perlahan-lahan. Untuk teman-teman yang tertarik untuk mngetahui tentang
'Mustika Ikan' ini, ada beberapa situs di internet yang membahasnya, ini
salah satunya; Mustika Ikan
Sekarang kita membahas pedang. Ide tentang pedang ini juga saya dapatkan
setelah membaca-baca tentang 'Pedang Damaskus'. Konon pedang ini adalah
pedang tertajam di dunia, yang telah ada ratusan tahun yang lalu.
Teknologi pembuatannya pun sangat canggih karena menggunakan 'nano
technology'. Pada abad 18 ilmu tentang pembuatan pedang ini menghilang.
Sampai sekarang, teknologi modern pun belum mampu menciptakan pedang
damaskus ini. Ini linknya: Pedang Damaskus
Ketika membaca bahwa pedang ini sangat lemas dan juga sangat kuat, saya
mulai menghubungkannya dengan tokoh legendaris karangan Ching Yun yang
bernama To Ko Kiu Pai, atau dalam dialek mandarin di sebut Du Gu Qiu Bai.
Ini adalah tokoh fenomenal karena sangat berpengaruh di dalam 3 novel
karya Chin Yung tetapi orangnya sendiri tidak pernah diceritakan. Temanteman bisa membaca sejarahnya disini:
Du Gu Qiu Bai
Okay selamat menikmati yaaaaa!
Tentang Empress Gi
Bwee Hua tua memiliki latar belakang yang saya cocokkan dengan sejarah,
padahal dia tokoh fiktif. Hehe. Di KPPL, latar belakang aslinya adalah
Empress Gi, atau Permaisuri Ki yang merupakan tokoh yang beneran ada.
Para pembaca bisa membaca kisah hidupnya di sini:
Sebuah serial TV korea juga sudah mengangkat kisah hidupnya ke layar
kaca. Sayang ceritanya sangat menyimpang dan tokoh ini dibuat sangat
simpatik, sehingga menyebabkan banyak perdebatan di korea sendiri. Bisa
liat clipnya disini:

Anda mungkin juga menyukai