Bagi banyak para pembaca WNI keturunan maupun non pribumi, judul tsb. diatas
merupakan satu penghinaan, tetapi tidak bagi mang Ucup, walaupun saya sendiri “dasar”
nya memang udah dari sononya keturunan Cina. Kita bisa menerima perkataan China,
kenapa tidak bisa menerima perkataan Cina?
Bedanya hanya yg satu ada huruf “h” nya sedang yg lain tidak, tetapi kalau di ucapkan
kedengarannya sami mawon alias sama azah “ C I N A”! Jadi satu hal yg bodor apabila ada
yg menyatakan bahwa ucapan China itu jauh lebih sopan dari Cina!
Apalagi ketika istilah Cina ini dipakai untuk memaki dan dièmbel‐èmbeli dgn kata2 lainnya
seperti “Cina Loleng”, “Cina Mindring” dan sebutan2 degeneratif lainnya, oleh sebab itulah
kata Tionghoa lebih disukai ketimbang Cina. Dan anehnya ada sebutan “Cina Medan”,
tetapi tidak pernah ada sebutan “Arab Medan”. Dan yg lebih lucunya lagi; rupanya secara
tidak langsung banyak sekali orang merasa jengah untuk menggunakan perkataan Cina
secara resmi terhadap etnis Tiong Hoa di Indonesia. Cobalah perhatikan dgn seksama yg
dimaksud dgn “Warga Keturunan” itu selalu orang Tiong Hoa, walaupun demikian tidak
pernah ditulis entah di media cetak maupun media elektronik “Warga Keturunan Cina”,
begitu juga yg dimaksud dgn perkataan “non pribumi” selalu mengacu kepada orang Tiong
Hoa, tidak pernah mengacu kepada keturuan dari etnis lainnya.
Begitu juga satu hal yg mustahil, apabila segelintir orang2 Tionghoa dimana pun juga
mereka berada ingin merubah perkataan China jadi Tiongkok, renungkanlah apakah
mungkin kita bisa memaksakan seluruh bangsa di dunia ini; mulai besok nama RRC diganti
jadi Republik Rakyat Tiongkok. Mungkin hanya segelintir orang Jepang saja yg membenci
China akan senang dgn perkataan Tiongkok, sebab konon kata ini pertama kali digunakan
oleh bangsa Jepang, terutama oleh kaum militerismenya yg berambisi ingin mencaplok
Tiongkok; sebab lafal ini sama dgn lafal kata Jepang yang berkonotasi
ʺmodyar” sehingga lafal “Tiongkok” sebenarnya merupakan suatu hinaan yg berarti
“Mampuslah Lho!ʺ untuk mengumpat dan menghina rakyat Tiongkok.
Istilah kata Cina sebagai hinaan ditekankan ketika Seminar Angkatan Darat di Bandung
pada 1968 memutuskan dan menganjurkan kepada pemerintah aga kata Cina dipakai
sebagai istilah baku untuk mengacu kepada negeri Cina dan orang Tionghoa. Alasannya,
menurut usul yg ditelurkan oleh seminar tersebut, adalah untuk menjamin bahwa pribumi
tidak merasa rendah diri. Memang ada kesan bahwa penggunaan istlilah Cina seperti yg
diusulkan oleh seminar tersebut dan kemudian dianut oleh pemerintah Orde Baru
dimaksudkan sebagai alat untuk menghukum golongan etnis Tionghoa. Keputusan ini
merupakan kelanjutan dari larangan terhadap orang2 Tionghoa untuk mempertunjukkan
perayaan agama dan tradisinya di depan umum (Inpres No. 14 tahun 1967). Tetapi ketika
reformasi bergulir, sejak th 2000 larangan ini
dicabut oleh Gus Dur.
Pada saat tsb perkataan Tiong Hoa itu benar2 haram, sehingga antara lain harian Indonesia
Raya maupun harian Merdeka dibredel, karena berani menggunakan istilah Tionghoa,
bukannya Cina seperti yg telah dibakukan di Bdg. Rupanya mereka lupa bahwa karangan
lagu ʺIndonesia Rayaʺ dari WR Supratman pertama kali di publikasikan di Harian Sin Po
dan rekamannya dilakukan di toko musik Tio Pe Kong di Pasar Baru, Jakarta.
1
Mungkin perkataan Tiong Hoa dan Cina ini mirip seperti perkataan “serdadu & tentara”.
Serdadu mengacu kepada tentara penindas dari kaum kolonialis sedangkan Tentara adalah
pembela kemerdekaan rakyat Oleh sebab itulah tidaklah pantes apabila pada suatu saat TNI
diganti jadi SNI alias Serdadu Negara Indonesia.
Oleh sebab itulah karena unsur politik inilah WN Keturunan Tiong Hoa tidak mungkin bisa
jadi Menteri, terkecuali ia mengingkari nya seperti halnya dgn Bob Hasan atau Aburizal
Bakrie yg pada saat masih jadi Ketua Kadin saja sudah mau menginkari dari mana asalnya
dia, sehingga dengan gagah menganjurkan kepada pemerintah agar menggeser semua
konglomerat Cina, seharusnya ia memulai dgn dirinya sendiri.
Kata Cina berasal dari nama Ahala Qin (baca Chʹin), dinasti pertama yg mempersatukan
seluruh daratan Tiongkok, di bawah pemerintahan kaisarnya Qin Shihuang ( 225 s.M sampai
210 s.M), disamping itu kaiser Qin tsb yg memerintahkan penyeragaman Huruf Kanji
sehingga komunikasi tertulis dapat berjalan lancar. Tetapi dilain pihak ia adalah seorang
Kaiser yg kejam dan biadab yg telah memerintahkan pembakaran atas buku2 ajaran Kong
Hu Cu dan memerintahkan hukuman dikubur hidup2 terhadap 500 sarjana Konfusianis.
Akibat dari tindakan brutal Kaisar Qin itu, sebagian dari karya2 Kong Hu Cu yg disakralkan
sebagai kitab suci untuk aliran itu, sampai sekarang belum diketemukan lagi.
Oleh sebab itulah banyak orang Tiong Hoa lebih senang menyebut diri mereka dengan kata
“Tangren”, yg kurang lebih berarti keturunan Ahala Tang (618 – 907), salah satu dinasti yg
meninggalkan zaman keemasan, terutama dalam kesenian dan kesusastraan, dalam sejarah
Cina. Di kalangan etnis Cina di Indonesia, terutama yg berasal dari Propinsi Fujian
(Hokkian), sebutan itu menjadi “Tenglang”.
Lafal ʺTiongkokʺ dan ʺTionghoaʺ ini berasal dari dialek Hokkian yg berasal dari kata
Zhonghua yg digunakan sebagai sinonim dari Zhongguo (Tiongkok atau Kerajaan Tengah)
dan Presiden pertama Cina, Dr. Sun Yat‐sen kemudian menggunakan itu untuk nama
negara baru di Tiongkok ; Zhonghua Minguo (Republik Cina). Mao Zedong meneruskan
penggunaannya ketika membentuk Republik Rakyat Cina (RRC) : Zhonghua Renmin
Gongheguo.
Bahkan kini orang Cina di Asia Tenggara lebih menyukai istilah Huaren untuk etnis Cina
dan Huayu untuk Bahasa Cina, daripada istilah standar dalam bahasa Mandarin:
Zhongguoren untuk orang Cina, dan Zhongwen untuk Bahasa Cina. Huayu atau Hanyu
merupakan bahasa utama di Tiongkok, menurut harfiahnya ialah bahasa yg dipergunakan
secara luas oleh suku bangsa Han yang mencapai 94% lebih dari jumlah penduduk
Tiongkok.
Dan yg paling bodor dari segalanya adalah untuk bahasa baku nasional Tiongkok ini,
bukannya disebut Huayu atau Hanyu melainkan bahasa Mandarin! Perkataan Mandarin
sendiri berasal dari bhs Sansekerta yg kemudian dipopulerkan oleh bangsa Barat yg
sebenarnya berarti: ʺpejabat tinggi dalam pemerintahan Manzu di bawah kekuasaan dinasti
Qingʺ (1644 ‐ 1911). Sehingga dgn mana sebenarnya tidak pernah ada di dunia ini bangsa
Mandarin ataupun negara Mandarin, jadi satu hal yg bodor apabila ada bahasa Mandarin
yang ada dan yg benar adalah „Bahasa Tionhoa“, „Hanyu“ atau „Huayu“.