Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PENDAHULUAN

ICTERUS NEONATORUM

I. DEFINISI

 Ikterus adalah salah satu keadaan yang menyerupai


penyakit hati, yang terdapat pada bayi baru lahir, yaitu terjadinya
hiperbirubinemia, yang merupakan salah satu kegawatan pada BBL
karena dapat menjadi penyebab gangguan tumbang bayi. (Perawatan
anak sakit, hal. 197)
 Ikterus adalah suatu gejala yang sering ditemukan pada
BBL yang menjadi ikterus fisologis dan ikterus patologis. (asuhan
kesehatan anak dalam kontek keluarga hal 83)

II. METABOLISME BILIRUBIN IKTERUS

Bilirubin merupakan produk yang bersifat toksik dan harus dikeluarkan oleh
tubuh. Sebagian besar bilirubin tersebut berasal dari degradasi hemoglobin darah dan
sebagian lagi dari heme bebas atau proses eritropoesis yang tidak efektif. Perbedaan
utama metabolisme pada neonatus adalah bahwa pada janin melalui plasenta dalam
bentuk bilirubin indirek. Metabolisme bilirubin mempunyai tingkatan sebagai
berikut:
1. Produksi
Sebagian besar bilirubin terbentuk sebagai hasil degradasi hemoglobin pada
sistem retikuloendotelial (RES). Tingkat penghancuran hemoglobin ini pada neonatus
lebih tinggi dari pada bayi yang lebih tua. 1 gram hemoglobin dapat menghasilkan 34
mg bilirubin indirek. Bilirubin indirek yaitu bilirubin yang bereaksi tidak langsung
dengan zat warna diazo (reaksi hymans van den bergh), yang bersifat tidak larut
dalam air tetapi larut dalam lemak.
2. Transportasi

1
Bilirubin indirek kemudian diikat oleh albumin sel parenkim hepar mempunyai
cara yang selektif dan efektif mengambil bilirubin dari plasma. Bilirubin ditransfer
melalui membran sel ke dalam hepatosit sedangkan albumin tidak. Didalam sel
bilirubin akan terikat terutama pada ligandin (protein g, glutation S-transferase B) dan
sebagian kecil pada glutation S-transferase lain dan protein Z. Proses ini merupakan
proses dua arah, tergantung dari konsentrasi dan afinitas albumin dalam plasma dan
ligandin dalam hepatosit. Sebagian besar bilirubin yang masuk hepatosit di konjugasi
dan di ekskresi ke dalam empedu. Dengan adanya sitosol hepar, ligadin mengikat
bilirubin sedangkan albumin tidak. Pemberian fenobarbital mempertinggi konsentrasi
ligadin dan memberi tempat pengikatan yang lebih banyak untuk bilirubin.
3. Konjugasi
Dalam sel hepar bilirubin kemudian dikonjugasi menjadi bilirubin diglukosonide.
Walaupun ada sebagian kecil dalam bentuk monoglukoronide. Glukoronil transferase
merubah bentuk monoglukoronide menjadi diglukoronide. Pertama-tama yaitu uridin
di fosfat glukoronide transferase (UDPG : T) yang mengkatalisasi pembentukan
bilirubin monoglukoronide. Sintesis dan ekskresi diglokoronode terjadi di membran
kanalikulus. Isomer bilirubin yang dapat membentuk ikatan hidrogen seperti bilirubin
natural IX dapat diekskresikan langsung kedalam empedu tanpa konjugasi. Misalnya
isomer yang terjadi sesudah terapi sinar (isomer foto).
4. Ekskresi
Sesudah konjugasi bilirubin ini menjadi bilirubin direk yang larut dalam air dan di
ekskresi dengan cepat ke sistem empedu kemudian ke usus. Dalam usus bilirubin
direk ini tidak diabsorpsi, sebagian kecil bilirubin direk dihidrolisis menjadi bilirubin
indirek dan direabsorpsi. Siklus ini disebut siklus enterohepatis. Pada neonatus karena
aktivitas enzim β glukoronidase yang meningkat, bilirubin direk banyak yang tidak
dirubah menjadi urobilin. Jumlah bilirubin yang terhidrolisa menjadi bilirubin indirek
meningkat dan tereabsorpsi sehingga siklus enterohepatis pun meningkat.

2
Gambar 1. Metabolisme bilirubin

3
Metabolisme bilirubin pada janin dan neonatus yaitu pada liquor amnion yang
normal dapat ditemukan bilirubin pada kehamilan 12 minggu, kemudian menghilang
pada kehamilan 36-37 minggu. Pada inkompatibilitas darah Rh, kadar bilirubin dalam
cairan amnion dapat dipakai untuk menduga beratnya hemolisis. Peningkatan
bilirubin amnion juga terdapat pada obstruksi usus fetus. Bagaimana bilirubin sampai
ke likuor amnion belum diketahui dengan jelas, tetapi kemungkinan besar melalui
mukosa saluran nafas dan saluran cerna. Produksi bilirubin pada fetus dan neonatus
diduga sama besarnya tetapi kesanggupan hepar mengambil bilirubin dari sirkulasi
sangat terbatas.
Demikian pula kesanggupannya untuk mengkonjugasi. Dengan demikian
hampir semua bilirubin pada janin dalam bentuk bilirubin indirek dan mudah melalui
plasenta ke sirkulasi ibu dan diekskresi oleh hepar ibunya. Dalam keadaan fisiologis
tanpa gejala pada hampir semua neonatus dapat terjadi akumulasi bilirubin indirek
sampai 2 mg%. Hal ini menunjukkan bahwa ketidakmampuan fetus mengolah
bilirubin berlanjut pada masa neonatus. Pada masa janin hal ini diselesaikan oleh
hepar ibunya, tetapi pada masa neonatus hal ini berakibat penumpukan bilirubin dan
disertai gejala ikterus.
Pada bayi baru lahir karena fungsi hepar belum matang atau bila terdapat
gangguan dalam fungsi hepar akibat hipoksia, asidosis atau bila terdapat kekurangan
enzim glukoronil transferase atau kekurangan glukosa, kadar bilirubin indirek dalam
darah dapat meninggi. Bilirubin indirek yang terikat pada albumin sangat tergantung
pada kadar albumin dalam serum.
Pada bayi kurang bulan biasanya kadar albuminnya rendah sehingga dapat
dimengerti bila kadar bilirubin indek yang bebas itu dapat meningkat dan sangat
berbahaya karena bilirubin indirek yang bebas inilah yang dapat melekat pada sel
otak. Inilah yang menjadi dasar pencegahan ‘kernicterus’ dengan pemberian albumin
atau plasma. Bila kadar bilirubin indirek mencapai 20 mg% pada umumnya kapasitas
maksimal pengikatan bilirubin oleh neonatus yang mempunyai kadar albumin normal
telah tercapai.

III. KLASIFIKASI

4
Ikterus ada 2 macam:
1. IKTERUS FISIOLOGIS
Yaitu kterus yang timbul pada hari kedua dan ketiga serta tidak mempunyai
potensi untuk menjadi kern ikterus. Kern ikterus yaitu kerusakan otak karena
pelengketan bilirubin indirek pada otak yang ditandai dengan mata berputar,
letargi, tak mau mengisap, tonus otot meningkat, leher kaku, opstotomus.
Tanda - tanda ikterus fisologi:
a. Warna kuning timbul pada hari kedua dan ketiga, mengilang pada 10
hari pertama.
b. Kadar bilirubin indirec tidak melebihi 10 mg % pada neonatus cukup
bulan dan 12,5 mg% pada prematur.
c. Kadar bilirubindirec tidak melebihi 1 mg %
d. Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg % perhari
e. Bayi tampak sehat dan minum baik

2. IKTERUS PATOLOGIS
Yaitu ikterus yang mempunyai dasar patologi atau kadar bilirubin mencapai
lebih dari normal (hiperbilirubinemia)
Tanda-tanda:
a. Ikterus timbul dalam 24 jam pertama kehidupan.
b. Peningkatan konsentrasi bilirubin 5 mg % atau lebih setiap 24 jam
c. Konsentrasi bilirubin serum melebihi 10 mg % pada bayi kurang bulan dan
12,5 mg % pada bayi cukup bulan
d. Disertai hemolisis
e. Bilirubin direc > 1mg / dl
f. Ikterus menetap sesudah bayi berumur 10 hari pada bayi cukup bulan dan 14
hari pada prematur.
 Menilai Kira-Kira Kadar Bilirubin
Pengamatan ikterus kadang-kadang agak sulit apalagi dalam cahaya buatan.
Paling baik pengamatan dilakukan dalam cahaya matahari dan dengan menekan

5
sedikit kulit yang akan diamati untuk menghilangkan warna karena pengaruh
sirkulasi darah.
Ada beberapa cara ntuk menentukan derajat ikterus yang merupakan resiko
terjadinya kern-ikterus, misalnya kadar bilirubin bebas; kadar bilirubin 1 dan 2
dilakukan dibawah sinar biasa ( day light)
Sebaiknya penilaian ikterus dilakukan secara laboratoris, apalagi fasilitas tidak
memungkinkan dapat dilakukan secara klinis.
 Derajat Icterus Menurut Rumus Kramer

4 4
2

 Gambar 2. Derajat ikterus neonatal menurut Kramer

Penilaian klinis derajat ikterus neonatal menurut Kramer, yaitu:


1. Kramer I pada Daerah kepala (Bilirubin total ± 5 – 7 mg)
2. Kramer II pada Daerah dada – pusat (Bilirubin total ± 7 – 10 mg%)
3. Kramer III pada Perut dibawah pusat - lutut (Bilirubin total ± 10 – 13 mg)
4. Kramer IV pada Lengan sampai pergelangan tangan, tungkai bawah sampai
pergelangan kaki (Bilirubin total ± 13 – 17 mg%)
5. Kramer V pada hingga telapak tangan dan telapak kaki (Bilirubin total >17 mg%)

6
Pemeriksaan serum bilirubin (bilirubin total dan direk) harus dilakukan pada
neonatus yang mengalami ikterus. Terutama pada bayi yang tampak sakit atau bayi-
bayi yang tergolong risiko tinggi terserang hiperbilirubinemia berat. Namun pada
bayi yang mengalami ikterus berat, dilakukan terapi sinar sesegera mungkin tanpa
menunggu hasil pemeriksaan kadar serum bilirubin.4,8,11
Transcutaneous bilirubinometer (TcB) digunakan untuk menentukan kadar
serum bilirubin total dengan cara yang non-invasif tanpa harus mengambil sampel
darah. Namun alat ini hanya valid untuk kadar bilirubin total < 15 mg/dL (<257
μmol/L), dan tidak ‘reliable’ pada kasus ikterus yang sedang mendapat terapi sinar.
Alat ini digunakan untuk menyaring bayi yang berisiko. Pemeriksaan tambahan yang
sering dilakukan untuk evaluasi menentukan penyebab ikterus antara lain :
1. Golongan darah dan Coombs test
2. Darah lengkap dan hapusan darah tepi
3. Hitung retikulosit, skrining G6PD
4. Bilirubin total, direk, dan indirek. Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang
setiap 4-24 jam tergantung usia bayi dan tingginya kadar bilirubin. Kadar albumin
serum juga perlu diukur.

IV. ETIOLOGI

Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan dapat disebabkan oleh faktor/


keadaan, antara lain:
1. Hemolisis akibat inkompatibilitas ABO atau isoimunisasi
Rhesus(Rh), defisiensi Glukosa 6 phosphate dehidrogenase (G6PD), sferositosis
herediter dan pengaruh obat.
2. Infeksi, septikemia, sepsis, meningitis, infeksi saluran kemih,
infeksi intra uterin.
3. Polisitemia.
4. Ekstravasasi sel darah merah, sefalhematom, kontusio, trauma
lahir.
5. Ibu diabetes.
6. Asidosis.

7
7. Hipoksia/asfiksia.
8. Penurunan ekskresi bilirubin terkonjugasi dalam empedu akibat
faktor intrahepatik dan ekstra hepatik yang bersifat fungsional atau disebabkan
oleh obstruksi mekanik.
9. Sumbatan traktus digestif yang mengakibatkan peningkatan
sirkulasi enterohepatik.

V. MANIFESTASI KLINIS

Tanda gejala pada awalnya tidak jelas tetapi kemudian tampak.


- Mata berputar-putar
- Letargi atau lemas
- Kejang
- Tak mau menghisap
- Malas minum
- Tonus otot meningi, leher kaku dan akirnya opistotonus
- Bila bayi hidup pada umur lebih lanjut dapat terjadi spasme otot,
opistotonus, kejang, atetosis yang disertai ketegangan otot, tuli, gangguan
bicara dan retardasi mental.

VI. PATOFISIOLOGI

Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan. Kejadian
yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban bilirubin pada sel
hepar yang terlalu berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan
penghancuran eritrosit, polisitemia, memendeknya umur eritrosit janin/bayi,
meningkatnya bilirubin dari sumber lain, atau terdapatnya peningkatan sirkulasi
enterohepatik.
Gangguan ambilan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar
bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y berkurang atau pada
keadaan proten Y dan protein Z terikat oleh anion lain, misalnya pada bayi dengan
asidosis atau dengan anoksia/hipoksia. Keadaan lain yang memperlihatkan

8
peningkatan kadar bilirubin adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi hepar
(defisiensi enzim glukoranil transferase) atau bayi yang menderita gangguan ekskresi,
misalnya penderita hepatitis neonatal atau sumbatan saluran empedu intra/ekstra
hepatik.
Pada derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan
tubuh. Toksisitas ini terutama ditemukan pada bilirubin indirek yang bersifat sukar
larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. Sifat ini memungkinkan terjadinya efek
patologik pada sel otak apabila bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak.
Kelainan yang terjadi pada otak ini disebut kernikterus atau ensefalopati biliaris.
Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada susunan saraf pusat tersebut mungkin
akan timbul apabila kadar bilirubin indirek lebih dari 20 mg/dl. Mudah tidaknya
bilirubin melalui sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung dari tingginya
kadar bilirubin tetapi tergantung pula pada keadaan neonatus sendiri. Bilirubin
indirek akan mudah melalui sawar daerah otak apabila pada bayi terdapat keadaan
imaturitas, berat lahir rendah, hipoksia, hiperkarbia, hipoglikemia, dan kelainan
susunan saraf pusat yang terjadi karena trauma atau infeksi.

PATHWAY TERLAMPIR

VII. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan pada bayi ikterus:


1. Fisiologis
Perawatan bayi sehari- hari (memandikan , perawatan tali pusat, pemberian
ASI yang adekuat, jemur dengan sinar matahari kurang lebih 1/2 jam
2. Patologis

9
Tujuan utama dalam penatalaksanaan ikterus neonatorum adalah untuk
mengendalikan agar kadar bilirubin serum tidak mencapai nilai yang dapat
menimbulkan kern ikterus atau ensefalopati bilirubin, serta mengobati
penyebab langsung ikterus. Pemberian fototerapi, dan jika tidak berhasil
dilanjut dengan transfuse tukar dapat dilakukan untuk mempertahankan kadar
maksimum bilirubin total dibawah kadar maksimum pada bayi preterm dan
bayi cukup bulan yang sehat. Pemberian substrat yang dapat menghambat
metabolisme bilirubin (plasma atau albumin), mengurangi sirkulasi
enterohepatik (pemberian kolesteramin), terapi sinar atau transfusi tukar,
merupakan tindakan yang juga dapat mengendalikan kenaikan kadar bilirubin.

Tabel 2.Tatalaksana kadar bilirubin indirek pada bayi cukup bulan yang sehat.

Umur (jam) Fototerapi Fototerapi & persiapan Transfusi tukar jika


transfusi tukar fototerapi gagal
< 24 - - -
24-48 15-18 25 20
49-72 18-20 30 25
> 72 20 30 25
> 2 Minggu Transfusi tukar Transfusi tukar Transfusi tukar

1) Fototerapi
Pengaruh sinar terhadap ikterus telah diperkenalkan oleh Cremer sejak 1958.
Banyak teori yang dikemukakan mengenai pengaruh sinar tersebut. Teori
terbaru mengemukakan bahwa terapi sinar menyebabkan terjadinya
isomerisasi bilirubin. Energi sinar mengubah senyawa yang berbentuk 4Z,
15Z-bilirubin menjadi senyawa berbentuk 4Z, 15E-bilirubin yang merupakan
bentuk isomernya. Bentuk isomer ini mudah larut dalam plasma dan lebih
mudah diekskresi oleh hepar ke dalam saluran empedu. Peningkatan bilirubin

10
isomer dalam empedu menyebabkan bertambahnya pengeluaran cairan
empedu ke dalam usus, sehingga peristaltik usus meningkat dan bilirubin akan
lebih cepat meninggalkan usus halus.

Gambar 4.Prinsip Fototerapi.

Fototerapi tetap menjadi standar terapi hiperbilirubinemia pada bayi.


Fototerapi yang efisien dapat menurunkan konsentrasi bilirubin serum secara cepat.
Pembentukan lumirubin yang merupakan isomer bilirubin, komponen yang larut air
merupakan prinsip eliminasi bilirubin dengan fototerapi. Faktor yang menentukan
pembentukan lumirubin antara lain: spektrum dan jumlah dosis cahaya yang
diberikan.
Fototerapi yang intensif dapat membatasi kebutuhan akan transfusi tukar.
Fototerapi (penyinaran 11-14 μW/cm2/nm) dan pemberian asupan sesuai kebutuhan
(feeding on demand) dengan formula atau ASI dapat menurunkan konsentrasi
bilirubin serum > 10 mg/dl dalam 2-5 jam. Saat ini, banyak bayi mendapatkan
fototerapi dalam dosis di bawah rentang terapeutik yang optimal. Tetapi terapi ini

11
cukup aman, dan efeknya dapat dimaksimalkan dengan meningkatkan area
permukaan tubuh yang terpapar dan intensitas dari sinar.
Bayi yang diterapi dengan fototerapi ditempatkan di bawah sinar (delapan
bohlam lampu fluoresense) dan lebih baik dalam keadaan telanjang dengan mata
tertutup. Temperatur dan status hidrasi harus terus dipantau. Fototerapi dapat
sementara dihentikan selama 1 – 2 jam untuk mempersilahkan keluarga berkunjung
atau memberikan ASI atau susu formula. Waktu yang tepat untuk memulai fototerapi
bervariasi tergantung dari usia gestasi bayi, penyebab ikterus, berat badan lahir, dan
status kesehatan saat itu. Fototerapi dapat dihentikan ketika konsentrasi bilirubin
serum berkurang hingga sekitar 4-5 mg/dl.

Gambar 5.Normogram ikterus neonatorum untuk neonatus usia gestasi ≥ 35 minggu

2) Terapi sinar konvensional dan intensif


Secara umum terapi sinar dibagi menjadi terapi sinar konvensional dan
intensif. Terapi sinar konvensional menggunakan panjang gelombang 425-475
nm. Intensitas cahaya yang biasa digunakan adalah 6-12 mwatt/cm 2 per nm.
Cahaya diberikan pada jarak 35-50 cm di atas bayi. Sedangkan fototerapi

12
intensif menggunakan intensitas penyinaran >12 μW/cm2/nm dengan area
paparan maksimal.
Jumlah bola lampu yang digunakan berkisar antara 6-8 buah, terdiri
dari biru (F20T12), cahaya biru khusus (F20T12/BB) atau daylight
fluorescent tubes. Cahaya biru khusus memiliki kerugian karena dapat
membuat bayi terlihat biru, walaupun pada bayi yang sehat, hal ini secara
umum tidak mengkhawatirkan. Untuk mengurangi efek ini, digunakan 4
tabung cahaya biru khusus pada bagian tengah unit terapi sinar standar dan
dua tabung daylight fluorescent pada setiap bagian samping unit.
Tabel 3. Komplikasi terapi sinar.

Kelainan Mekanisme yang mungkin terjadi


Bronze baby syndrome Berkurangnya ekskresi hepatik hasil
penyinaran bilirubin
Diare Bilirubin indirek menghambat lactase
Hemolisis Fotosensitivitas mengganggu sirkulasi
eritrosit
Dehidrasi Bertambahnya Insensible Water Loss (30-
100%) karena menyerap energi foton
Ruam kulit Gangguan fotosensitasi terhadap sel mast
kulit dengan pelepasan histamine

3) Transfusi tukar
Transfusi tukar adalah suatu tindakan pengambilan sejumlah kecil
darah yang dilanjutkan dengan pemasukan darah dari donor dalam jumlah
yang sama. Teknik ini secara cepat mengeliminasi bilirubin dari sirkulasi.
Antibodi yang bersirkulasi yang menjadi target eritrosit juga disingkirkan.
Transfusi tukar sangat menguntungkan pada bayi yang mengalami hemolisis
oleh sebab apapun. Satu atau dua kateter sentral ditempatkan, dan sejumlah
kecil darah pasien dikeluarkan, kemudian ditempatkan sel darah merah dari

13
donor yang telah dicampurkan dengan plasma. Prosedur tersebut diulang
hingga dua kali lipat volume darah telah digantikan. Selama prosedur,
elektrolit dan bilirubin serum harus diukur secara periodik. Jumlah bilirubin
yang dibuang dari sirkulasi bervariasi tergantung jumlah bilirubin di jaringan
yang kembali masuk ke dalam sirkulasi dan rata-rata kecepatan hemolisis.
Pada beberapa kasus, prosedur ini perlu diulang untuk menurunkan
konsentrasi bilirubin serum dalam jumlah cukup. Infus albumin dengan dosis
1 gr/kgBB 1 – 4 jam sebelum transfusi tukar dapat meningkatkan jumlah total
bilirubin yang dibuang dari 8,7 – 12,3 mg/kgBB, menunjukkan kepentingan
albumin dalam mengikat bilirubin.
Sejumlah komplikasi transfusi tukar telah dilaporkan, antara lain
trombositopenia, trombosis vena porta, enterokolitis nekrotikan, gangguan
keseimbangan elektrolit, graft-versus-host disease, dan infeksi. Oleh sebab itu
transfusi tukar hanya didindikasikan pada bayi dengan kriteria sebagai
berikut:
a. Titer anti Rh lebih dari 1 : 16 pada ibu
b. Penyakit hemolisis berat pada bayi baru lahir
c. Gagal fototerapi intensif
d. Kadar bilirubin direk >3,5 mg/dl di minggu pertama
e. Serum bilirubin indirek > 25 mg/dl pada 48 jam pertama
f. Hemoglobin < 12 gr/dl
g. Bayi pada resiko terjadi ensefalopati bilirubin
h. Munculnya tanda-tanda klinis yang memberikan kesan kern ikterus pada
kadar bilirubin berapapun.

Penggunaan transfusi tukar menurun secara drastis setelah pengenalan


prosedur fototerapi, dan optimalisasi fototerapi lebih lanjut dapat membatasi
penggunaannya.

 Transfusi pengganti digunakan untuk:


1. Mengatasi anemia akibat proses isoimunisasi.

14
2. Menghilangkan sel darah merah yang tersensitisasi
3. Menghilangkan serum bilirubin
4. Meningkatkan albumin bebas sehingga meningkatkan jumlah bilirubin yang terikat
albumin.
b. Darah Donor Untuk Tranfusi Tukar

1. Darah yang digunakan harus golongan O.

2. Gunakan darah baru (usia < 7 hari), whole blood. Kerjasama dengan dokter

kandungan dan Bank Darah adalah penting untuk persiapan kelahiran bayi yang

membutuhkan tranfusi tukar.

3. Pada penyakit hemolitik rhesus, jika darah disiapkan sebelum persalinan, harus

golongan O dengan rhesus (-), crossmatched terhadap ibu. Bila darah disiapkan

setelah kelahiran, dilakukan juga crossmatched terhadap bayi.

4. Pada inkompatibilitas ABO, darah donor harus golongan O, rhesus (-) atau rhesus

yang sama dengan ibu dan bayinya. Crossmatched terhadap ibu dan bayi yang

mempunyai titer rendah antibodi anti A dan anti B. Biasanya menggunakan

eritrosit golongan O dengan plasma AB, untuk memastikan bahwa tidak ada

antibodi anti A dan anti B yang muncul.

5. Pada penyakit hemolitik isoimun yang lain, darah donor tidak boleh berisi antigen

tersensitisasi dan harus di crossmatched terhadap ibu.

6. Pada hiperbilirubinemia yang nonimun, darah donor ditiping dan crossmatched

terhadap plasma dan eritrosit bayi.

7. Tranfusi tukar biasanya memakai 2 kali volume darah (2 volume exchange) yaitu

sekitar 160 ml/kgBB (dengan asumsi volume darah bayi baru lahir adalah 80

ml/kgBB, sehingga diperoleh darah baru sekitar 87%.

15
8. Simple Double Volume. Push-Pull Tehcnique.

Jarum infus dipasang melalui kateter vena umbilikalis atau vena saphena magna.
Darah dikeluarkan dan dimasukkan bergantian.
9. Isovolumetric. Darah secara bersamaan dan simultan dikeluarkan melalui arteri
umbilikalis dan dimasukkan melalui vena umbilikalis dalam jumlah yang sama.
10. Partial Exchange Tranfusion. Tranfusi tukar sebagian, dilakukan biasanya pada
bayi dengan polisitemia.
11. Di Indonesia, untuk kasus kedaruratan, transfusi tukar pertama menggunakan
golongan darah O rhesus positif.
12. Setiap 4-8 jam kadar bilirubin harus di cek. Hemoglobin harus diperiksa setiap
hari sampai stabil.

 Transfusi tukar harus dihentikan apabila terjadi:

- Emboli, thrombosis

- Hiperkalemia, hipernatremia, hipokalsemia, asidosis, hipoglikemia

- Gangguan pembekuan karena pemakaian heparin

- Perforasi pembuluh darah

 Komplikasi tranfusi tukar

- Vaskular: emboli udara atau trombus, thrombosis

- Kelainan jantung: aritmia, overload, henti jantung

- Gangguan elektrolit: hipo atau hiperkalsemia, hipernatremia, asidosis

- Koagulasi: trombositopenia, heparinisasi berlebih

- Infeksi: bakteremia, hepatitis virus, sitomegalik, enterokolitis nekrotikan

- Lain-lain: hipotermia, hipoglikemia.

16
4) Terapi farmakologis

Fenobarbital telah digunakan sejak pertengahan tahun 1960 untuk

meningkatkan konjugasi dan ekskresi bilirubin dengan mengaktivasi enzim

glukoronil-transferase, tetapi penggunaanya kurang efektif. Percobaan yang

dilakukan pada mencit menunjukkan fenobarbital mengurangi metabolisme

oksidatif bilirubin dalam jaringan saraf sehingga meningkatkan resiko efek

neurotoksik. Pemberian fenobarbital akan membatasi perkembangan ikterus

fisiologis pada bayi baru lahir bila diberikan pada ibu dengan dosis 90 mg/24 jam

sebelum persalinan atau pada saat bayi baru lahir dengan dosis 10 mg/kg/24 jam.

Meskipun demikian fenobarbital tidak secara rutin dianjurkan untuk mengobati

ikterus pada neonatus karena:

a. Pengaruhnya pada metabolisme bilirubin baru terlihat setelah beberapa hari


pemberian.
b. Efektivitas obat ini lebih kecil daripada fototerapi dalam menurunkan kadar
bilirubin.
c. Mempunyai pengaruh sedatif yang tidak menguntungkan.
d. Tidak menambah respon terhadap fototerapi.

Beberapa penelitian juga menguji efektivitas dari enzim bilirubin oksidase


yang diperoleh dari fungi. Bilirubin tidak terkonjugasi dimetabolisme oleh enzim
bilirubin oksidase. Ketika darah melalui filter yang mengandung bilirubin oksidase
tersebut maka > 90% bilirubin didegradasi dalam sekali langkah. Prosedur tersebut
terbukti bermanfaat dalam terapi hiperbilirubinemia neonatorum, tetapi belum
diujikan secara klinis. Lebih lanjut, kemungkinan dapat terjadi reaksi alergi pada
penggunaan prosedur tersebut karena enzim diperoleh dari fungus.
Indikasi untuk merujuk ke RS

17
 Ikterus timbul dalam 24 jam kehidupan
 Ikterus hingga di bawah umbilikus
 Ikterus yang meluas hingga ke telapak kaki harus dirujuk segera karena
kemungkinan membutuhkan transfusi tukar.
 Riwayat keluarga dengan penyakit hemolitik yang signifikan atau kernikterus
 Neonatus dengan keadaan umum yang kurang baik
 Ikterus memanjang > 14 hari.

VIII. KOMPLIKASI

Perhatian utama pada hiperbilirubinemia adalah potensinya dalam menimbulkan


kerusakan sel-sel saraf, meskipun kerusakan sel-sel tubuh lainnya juga dapat terjadi.
Bilirubin dapat menghambat enzim-enzim mitokondria serta mengganggu sintesis
DNA. Bilirubin juga dapat menghambat sinyal neuroeksitatori dan konduksi saraf
(terutama pada nervus auditorius) sehingga menimbulkan gejala sisa berupa tuli
saraf.
Kerusakan jaringan otak yang terjadi seringkali tidak sebanding dengan
konsentrasi bilirubin serum. Hal ini disebabkan kerusakan jaringan otak yang terjadi
ditentukan oleh konsentrasi dan lama paparan bilirubin terhadap jaringan.
Komplikasi ikterus neonatorum adalah Ensefalopati bilirubin atau kernikterus,
yaitu ikterus neonatorum yang berat dan tidak ditatalaksana dengan benar dan dapat
menimbulkan komplikasi ensefalopati bilirubin. Hal ini terjadi akibat terikatnya asam
bilirubin bebas dengan lipid dinding sel neuron di ganglia basal, batang otak dan
serebellum yang menyebabkan kematian sel. Pada bayi dengan sepsis, hipoksia dan
asfiksia bisa menyebabkan kerusakan pada sawar darah otak. Dengan adanya ikterus,
bilirubin yang terikat ke albumin plasma bisa masuk ke dalam cairan ekstraselular.
Sejauh ini hubungan antara peningkatan kadar bilirubin serum dengan ensefalopati
bilirubin telah diketahui. Tetapi belum ada studi yang mendapatkan nilai spesifik
bilirubin total serum pada bayi cukup bulan dengan hiperbilirubinemia non hemolitik
yang dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pada kecerdasan atau kerusakan
neurologik yang disebabkannya.

18
Faktor yang mempengaruhi toksisitas bilirubin pada sel otak bayi baru lahir
sangat kompleks dan belum sepenuhnya dimengerti. Faktor tersebut antara lain:
konsentrasi albumin serum, ikatan albumin dengan bilirubin, penetrasi albumin ke
dalam otak, dan kerawanan sel otak menghadapi efek toksik bilirubin. Bagaimanapun
juga, keadaan ini adalah peristiwa yang tidak biasa ditemukan sekalipun pada bayi
prematur dan kadar albumin serum yang sebelumnya diperkirakan dapat
menempatkan bayi prematur berisiko untuk terkena ensefalopati bilirubin. Bayi yang
selamat setelah mengalami ensefalopati bilirubin akan mengalami kerusakan otak
permanen dengan manifestasi berupa cerebral palsy, epilepsi dan keterbelakangan
mental atau hanya cacat minor seperti gangguan belajar dan perceptual motor
disorder.

ASUHAN KEPERAWATAN PADA BAYI DENGAN IKTERUS


NENATORUM

I. PENGKAJIAN
a. Identitas
Banyak terjadi pada bayi praterm, bayi kecil untuk usia gestasi (SGA), bayi
dengan retardasi pertumbuhan intra ikterus (IUGR), bayi besar usia gestasi
jenis kelamin: lebih sering terjadi pada bayi pria daripada wanita
b. Keluhan Utama
Letargi (lemas) dan malas untuk minum
c. Riwayat penyakit sekarang

19
Bayi kejang, tonus otot meninggi, leher kaku, tidak mau menghisap.
d. Riwayat penyakit keluarga
Keturunan etnik, riwayat hiperbilirubinea pada sibling, penyakit hepar.
e. Pola aktivitas sehari-hari
 pola nutrisi
Reflek moro lemah (menangs lirih) , BB sulit naik.
 Neurosensori : fontanel menonjol, kejang.
 Eliminasi: bising usus hipoaktif, urin gelap, feses lunak berwarna coklat
 Sirkulasi: mungkin pucat atau anemia
 Pernafasan: adanya asfiksia
 Aktivitas bayi tampak lemah
f. Riwayat psikologis dan tingkat pengetahuan
Mengkaji tentang pemahaman keliarga terhadap kondisi bayi, prognosis
dan cara perawatan atau prosedur tindakan pada bayi
g. Pemeriksaan Fisik
 KU : lemah
 TTV: Suhu meningkat
 Kepala dan wajah: kekuningan
 Mata: mata berputar, sklera ikterus
 Mulut: reflek menghisap jelek
 Leher: terjadi kekakuan
 Abdomen: kadang terdapat pembesaran hepar
 Extremitas mengalami kekuningan (jika kadar bilirubin 16 mg%)
h. Pemeriksaan Penunjang
 Tes coomb pada tali pusat bayi baru lahir
 Golongan darah bayi dan ibu: mengidentifikasi incompabilitas ABO
 Bilirubin total
 Protein serum total
 Hitung darah lengkap : HB < 14 gr/dl karena hemolisis
 Ht> 65 % pada polisitemia

20
 Ht< 45 % pada hemolisis dan anemia
 Glukosa
 Bilirubin total

II. DIAGNOSA KEPERAWATAN


1. DX: Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh sehubungan dengan intake oral yang tidak
adekuat
Kriteria hasil:
 Reflek menghisap kuat
 Bayi tidak lemah dan segar
 Bayi suka minum
 BB tetap atau meningkat
NO INTERVENSI RASIONAL
1 Kaji tingkat reflek menghisap Untuk menentukan metode yang tepat
bayi dalam pemberian ASI dan bayi siap
untuk minum
2 Auskultasi terhadap adanya Pemberian makan pertama pada bayi
bising usus stabil yang memiliki peristaltik dapat
dimulai 6-12 jam pertama kehidupan.
3. Mulai pemberian makan Pemberian makan pertama perselang
sementara atau denan mungkin perlu untuk memberikan
mengunakan selang sesuai nutrisi yang adekuat pada bayi yang
indikasi telah memiliki refle hisap yang buruk
4. Masukkan ASI / Formula dengan Pemasukan makanan kedalam lambung
perlahan selama 20 mnt pada yang terlalu cepat menyebabkan respon
kecepatan 1ml/mnt balik cepat dengan regurgitasi
5. Kaji tingkat energi dan Penggunaan energi berlebihan akan
penggunaannya dan derajat menurunkan ketersediaan energi
kelelahan
6. Perhatikan adanya diare, Menandakan kerusakan fungsi
muntah, regurgitasi lambung

21
7. Pertahankan suhu lingkungan Suhu dingin dapat meningkatkan laju
dan oksigenasi jaringan yang metabolisme dan kebutuhan kalori bayi
tepat
8. Catat BB setiap hari Pengukuran BB adalah kriteria untuk
kebutuhan kalori

2. DX: Resiko tinggi b.d efek tindakan fototerapi


Kriteria Hasil:
 Mempertahankan suhu tubuh dan keseimbangan cauiran dalam batas
normal
 Menunjukkan kadar bilirubin turun

INTERVENSI
Mandiri:
1. Perhatikan adanya perkembangan bilier atau obstruksi usus.
R: Fototerapi dikontraindikasikan pada kondisi ini karena fotoisomer bilirubin
yang diproduksi dalam kulit dan jaringan subkutan dg pemajangan pd terapi
sinar dapat diexresikan
2. Dokumentasikan tipe lampu fluoresen, jumlah jam total sejak bola lampu
R: ditempatkan dan pengukuran jarak antara permukaan lampu dan bayi.
Emisi sinar dapat berkurang dengan berjalannya lamp. Bayi harus ditempatkan
kira2 18-20 inci dari sumber lampu untuk hasil maximum.
3. Berikan tameng untuk menutup mata, inspeksi mata setiap 2 jam bila tameng
dilepaskan untuk pemberian makan. Sering pantau posisi tameng.
R: Mencegah kemungkinan kerusakan retina dan konjungtiva dari sinar.
Pemasangan yang tidak tepat dapat menyebabkan iritasi, abrasi kornea dan
konjungtivitis.
4. Tutup testis dan penis bayi pria.
R: Mencegah kemungkinan kerusakan testis dari panas.
5. pasang lapisan plexigas diantara bayi dan sinar.

22
R: Menyaring radiasi sinar ultraviolet dan melindungi bayi bila bola lampu pecah.

Kolaborasi
1. Pantau pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi:
- kadar bilirubin setiap 12 jam
R: Penurunan pada kadar bilirubin menandakan keefektifan fototerapi.
Peningkatan kadar bilirubin menandakan hemolisis yang kontinyu dan
menandakan kebutuhan terhadap transfusi tukar.
- Kadar HB
R: Hemolisis lanjut dimanifestasikan oleh penurunan kontinu pada kadar HB
- Trombosit dan sel darah putih
R: Trombositopenia selama fototerapi telah dilaporkan pada beberapa bayi .
Penurunan SDP menunjukkan kemungkinan efek pada limfosit perifer.
2. Berikan cairan parental sesuai indikasi
R: Mungkin perlu untuk memperbaiki atau mencegah dehidrasi berat.

3. DX: Resti thp cedera (komplikasi dari transfusi tukar) b.d prosedur invasif.
KRITERIA HASIL:
 Menyelesaikan transfusi tukar tanpa komplikasi
 Menunjukkan penurunan kadar bilirubin serum

INTERVENSI:
Mandiri
1. Perhatikan Auskultasi terhadap adanya bising usus hatikan kondisi tali pusat
bayi sebelum transfusi bila vena umbilikal digunakan. Bila tali pusat kering,
berikan pencucian saline selama 30-60 menit sebelum prosedur.
R: Pencucian mungkin perlu untuk melunakkan tali pusat dan vena umbilikus
sebelu transfusi untuk akses IV dan memudahkan pasase kateter umbilikal.
2. Pertahankan puasa selama 4 jam sebelum prosedur atau spirat isi lambung.

23
R: Menurunkan resiko kemungkinan regurgitasi dan aspirasi selama prosedur.
3. Jaminan ketersediaan alat resusitatif.
R: Untuk memberikan dukungan segera bila perlu.
4. Pertahankan suhu tubuh sebelum, selama, dan setelah prosedur. Tempatkan
bayi dibawah tempat hangat. Hangatkan darah sebelum penginfusan dengan
menempatkan didalam inkubator, hangatkan baskom berisi air.
R: Membantu mencegah hipotermi dan vasospasme, menurunkan resiko
fibrilasi ventrikel dan menurunkan vikositas darah.
5. Pastikan golongan darah serta faktor RH bayi dan ibu dengan darah yang akan
ditukar (darah tukar akan sama golongannya dengan darah bayi, tetapi darah
Rh negatif / golongan O negatif yang telah dicocokkan silang dengan darah
ibu sebelumnya).
R: Dengan menggunakan darah Rh O positif akan hanya meningkatkan
hemolisis dan kadar bilirubin, karena antibodi pada sirkulasi bayi akan
merusak SDM yang baru.
6. Jamin kesegaran darah ( tidak lebih dari 2 hari usianya)> Darah yang diberi
heparin lebih disukai.
R: Darah yang lama, lebih mungkin mengalami hemolisis, karenanya
meningkatkan kadar bilirubin. Darah yang diberi heparin selalu baru, tetapi
harus dibuang bila tidak digunakan dalam 24 jam.
7. Kaji terhadap perdarahan berlebihan dari lokasi IV setelah transfusi.
R: Penginfusan darah yang diberi heparin mengubah koagulasi selama 4-6
jam setelah transfusi tukar dan dapat mengakibatkan perdarahan.

Kolaborasi
8. Pantau pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi:
- Kadar Hb/Ht sebelum dan setelah transfusi.
R: Bila Ht < 40 % sebelum transfusi. Pertukaran sebagian dengan SDM
kemasan dapat mendahului pertukaran penuh.
- Kadar bilirubin segera setelah prosedur kemudian setiap 4-8 jam.

24
R: Kadar bilirubin dapat menurun sampai setengah segera setelah prosedur,
tetapi dapat meningkat dg cepat setelahnya, memerlukan pengulangan
tansfusi.
- Protein serum total.
R: Mengalikan kadar engan 3,7 menentukan derajat peningkatan bilirubin
yang memerlukan transfusi tukar.
9. Berikan obat-obatan sesuai indikasi :
- Protamin sulfat
R: Mengimbangi efek2 antikoagulan dari darah yang diberi heparin.

4. DX: Kurang pengetahuan mengenai kondisi,prognosis dan kebutuhan


tindakan b.d kurang terpaparnya informasi.
Kriteria hasil:
 Keluarga mampu mengungkapkan pemahaman tentang penyebab,
tindakan dan kemungkinan hasil.
 Mendemonstrasikan perawatan bayi yang tepat.

INTERENSI:
Mandiri:
1. Berikan informasi tentang tipe ikterik dan faktor2 patofisiologi dan anjurkan
mengajukan pertanyaan dan penjelas informasi sesuai kebuituhan.
R: Memperbaiki kesalahan konsep meningkatkan pemahaman dan
menurunkan rasa takut dan perasaan bersalah. Ikterus neonatus mungkin
fisiologis akibat ASI atau patologis tergantung penyebabnya.
2. Tinjau ulang maksud dari mengkaji bayi terhadap peningkatan kadar bilirubin
dan pentingnya melaporkan peningkatan ikterik.
R: Memungkinkan orangtua menganai tanda2 peningkatan kadar bilirubin dan
mencari evaluasi medis tepat waktu.
3. Diskusikan penatalaksanaan dirumah dan ikterik ringan atau

25
sedang.termasuk peningkatan pemberian maka, pemajanan langsung pada
sinar matahai dan progaram tindak lanjut tes serum.
R: Pemahaman orangtua membantu mengembangkan kerjasama mereka bila
bayi dipulangkan. Informasi membantu orangtua melaksanakan
penatalaksanaan dengan aman dan tepat.
4. Berikan informasi tentang pentingnya mempertahankan suplai ASI melalui
pompa payusara dan tentang kembali menyusui ASI bila ikterik memerlukan
pemutusan menyusui.
R: Membantu ibu untuk mempertahankan pemahaman pentingnya terapi. Dan
meningkatkan keputusa berdasarkan informasi.
5. Kaji situasi keluarga dan sistem pendukung. Berikan orang tua penjelasan
tertulis yang tepat tentang fototerapi dirumah.
R: Fototerapi dirumah dianjurkan hanya untuk bayi cukup bulan, dimana
kadar bilirubin seru antara 14 dan 18 mg/dl tanpa peningkatan konsentrasi
bilirubin reaksi langsung.
6. Berikan rujukan yang tepat untuk program fototerapi dirumah, bila perlu.
R: Kurang ketersediaan sistem pendukung dan pendidikan memerlukan
pengguanaan perawat berkunjung memantau program fototerapi dirumah.
7. Diskusikan kemungkinan efek2 jangan panjang dari hiperbilirubinemia dan
kebutuhan terhaap intervensi diri.
R: Kerusakan neurologis dihubungkan dengan kernikterus meliputi retardasi
mental, perlambatan bicara, kesulitan pembelajaran, warna gigi hijau
kekuningan, kematian.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Ritarwan, Kiking. Ikterus. Bagian Perinatologi Fakultas Kedokteran USU/RSU H.


Adam Malik. 2011. Sumatra Utara. USU digital library.
2. David C. Dugdale. Medline plus. Oct 2013; [diakses Agustus 2015] Available

fromhttp://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/003479.htm
3. Sukadi A. Hiperbilirubinemia. Dalam: Kosim MS, Yunanto A, Dewi R,Sarosa GI,
Usman A, penyunting. Buku ajar neonatologi. Edisi 1. Jakarta: IDAI. 2008.h.147-
69.
4. Kliegman, Robert M.Neonatal Jaundice And Hyperbilirubinemia
Dalam :Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HBEditors. Nelson Textbook Of
Pediatrics. 17ThEdition. Philadelphia: Saunders;2004. p. 592-8

27
5. Hansen, Thor W.R. Core Concepts: Bilirubin Metabolism. Neoreviews.2010. vol.
11. p.316-22.
6. Gartner, Lawrence M. Neonatal Jaundice. Pediatrics Review;1994.Vol. 15. p. 422-
32
7. Depkes RI. Dalam : Buku Bagan MTBM (Manajemen Terpadu Bayi Muda Sakit).
Metode Tepat Guna untuk Paramedis, Bidan dan Dokter. Depkes RI; 2001.
8. American Academy of Pediatrics, Subcommittee on Hyperbilirubinemia. In :
Management Of Hyperbilirubinemia The Newborn Infant 35 Or More Weeks Of
Gestation. Pediatrics; 2004. p.114, 297-316.
9. Maisels M. J& Mcdonagh, Antony F.Phototherapy For Neonatal Jaundice. New
England Journal of Medicine;2008p.358:920-8.
10. Hassan R.Ikterus Neonatorum dalam :Hassan R, Alatas H, editors Ilmu kesehatan
Anak Fakultas Kedokteran UI. Jilid ke-2. Jakarta. 2007. h.519-22,1101-23.

28

Anda mungkin juga menyukai