Anda di halaman 1dari 28

REFERAT

EDEMA PARU

Oleh

Andrian Reza Saputra, S.Ked


Ayu Indah Rachmawati, S.Ked
Sitti Hazrina, S.Ked

Preceptor
dr. Sri Indah Aruminingsih, Sp.Rad.

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN RADIOLOGI


RUMAH SAKIT UMUM ABDUL MOELOEK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena rahmat-Nya

penyusun diberikan kelancaran dalam menyelesaikan Referat ini. Ucapan terima

kasih penyusun ucapkan kepada dokter pembimbing yang telah memberikan

kesempatan dan petunjuk demi penyelesaian Referat ini.

Referat ini disusun dalam rangka memenuhi persyaratan kepaniteraan klinik Bagian

Radiologi di Rumah Sakit Umum Abdul Moeloek yang dijalani penyusun.

Penyusun berharap Referat ini dapat memberi masukan khususnya kepada

penyusun sendiri dan juga rekan-rekan sejawat lainnya.

Dalam penyusunan Referat ini tentu saja masih terdapat kelemahan dan

kekurangan, untuk itu penyusun berharap masukan dan kritik yang membangun

demi kesempurnaan Referat ini.

Bandar Lampung, Juni 2019

Penyusun

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Paru merupakan organ yang terletak pada rongga dada berbentuk kerucut atau

konus yang ujungnya berada diatas tulang iga pertama dan dasarnya berada

pada diafragma. Paru terdiri dari alveolus-alveolus yang merupakan tempat

terjadinya pertukaran udara dan ruang intersisial, apabila terjadi penimbunan

cairan serosa yang berlebih pada alveolus dan ruang intersisial maka akan

menyebabkan edema paru. (Derrickson dan Tortora, 2009)

Edema paru merupakan kondisi yang disebabkan oleh akumulasi cairan di paru-

paru (ruang interstitial dan alveolus). Cairan ini memenuhi alveolus di dalam

paru-paru yang menyebabkan seseorang sulit untuk bernafas. Penyebab

tersering edema paru disebabkan oleh permasalahan jantung. Namun,

akumulasi cairan di dalam paru dapat disebabkan oleh beberapa alasan

diantaranya adalah pneumonia, beberapa racun, maupun obat-obatan. Edema

paru yang terjadi secara akut merupakan kondisi kegawatan medis yang harus

segera ditangani. Walaupun edema paru kadang merupakan kondisi yang fatal,

namun penanganan yang tepat untuk edema paru dan kondisi yang

mendasarinya dapat memberikan tingkat perbaikan yang tinggi. Terapi untuk

edema paru sangat bervariasi, tergantung dari penyebab yang mendasarinya,

namun secara umum terapi ini termasuk suplementasi oksigen dan pengobatan

medikametosa. (Hall and Guyton, 2007)


Berdasarkan data statistik, penderita edema paru di seluruh dunia secara

keseluruhan berjumlah 74,4 juta. Di Inggris sekitar 2,1 juta penderita edema

paru perlu pengobatan dan pengawasan secara komprehensif, di AS 5,5 juta

penduduk menderita edema paru, dan di Jerman 6 juta penduduk menderita

edema paru. Edema paru pertama kali di Indonesia ditemukan pada tahun 1971.

Sejak itu menyebar ke berbagai daerah, sampai tahun 1980 seluruh propinsi di

Indonesia. Gambaran radiologi penyakit edema paru dapat membantu untuk

menegakkan diagnosis. Hal ini dapat mengoptimilisasi kemampuan dan

pelayanan dalam merawat pasien yang menderita penyakit edema paru.

1.2 Tujuan

a. Mengetahui gambaran radiologi edema paru.

b. Mengetahui tatalaksana edema paru

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Paru

Paru adalah organ pada sistem pernapasan (respirasi) dan berhubungan dengan

sistem peredaran darah (sirkulasi). Paru terbagi menjadi dua yaitu, paru kanan

dan paru kiri. Paru-paru kanan mempunyai 3 lobus sedangkan paru-paru kiri 2

lobus. Lobus pada paru-paru kanan adalah lobus superior, lobus media, dan

lobus inferior. Lobus superior dan lobus media dibatasi fissura horizontalis;

lobus inferior dan media dipisahkan fissura oblique. Lobus pada paru-paru kiri

adalah lobus superior dan lobus inferior yg dipisahkan oleh fissura oblique.

Paru-paru kanan dan kiri dipisahkan oleh ruang yang disebut mediastinum.2

Paru-paru dibungkus oleh selaput tipis yaitu pleura. Pleura terbagi menjadi

pleura viseralis dan pleura pariental. Pleura viseralis yaitu selaput yang

langsung membungkus paru, sedangkan pleura parietal yaitu selaput yang

menempel pada rongga dada. Diantara kedua pleura terdapat rongga yang

disebut kavum pleura (Guyton, 2007).

Organ paru-paru memiliki tube bronkial atau bronchi, yang bercabang- cabang

dan ujungnya merupakan alveoli, yakni kantung-kantung kecil yang dikelilingi

kapiler yang berisi darah yang berfungsi untuk oksigen dari udara berdifusi ke

dalam darah, dan kemudian dibawa oleh hemoglobin. Darah terdeoksigenisasi

3
dari jantung mencapai paru-paru melalui arteri paru-paru dan, setelah

dioksigenisasi, beredar kembali melalui vena paru-paru.

Gambar 1. Anatomi Paru1

2.2 Definisi Edema Paru

Edema paru merupakan kondisi yang disebabkan oleh akumulasi cairan di paru

(ruang interstitial dan alveolus). Cairan ini memenuhi alveolus di dalam paru-

paru yang menyebabkan seseoran kesulitan untuk bernafas. Edema paru terjadi

oleh karena adanya aliran cairan dari darah ke ruang intersisial paru yang

selanjutnya ke alveoli paru, melebihi aliran cairan kembali ke darah atau

melalui saluran limfatik.

Edema paru dapat disebabkan oleh tekanan intrvaskular yang tinggi (edema

paru kardiak) atau karena peningkatan permeabilitas membran kapiler (edema

paru non kardiak) yang mengakibatkan terjadinya ekstravasasi cairan. Pada

sebagian besar edema paru secara klinis mempunyai kedua aspek tersebut di

atas, sebab sangat sulit terjadi gangguan permeabilitas kapiler tanpa adanya

gangguan tekanan pada mikrosirkulasi atau sebaliknya. (Harun dan Nasution,

2019)

4
2.3 Patogenesis Edema Paru

Protein yang rendah ke paru, akibat terjadinya peningkatan tekanan di atrium

kiri dan sebagian kapiler paru. Transudasi ini terjadi tanpa perubahan

pada permeabilitas atau integritas dari membran alveoli kapiler, dan hasil akhir

yang terdapat dua mekanisme terjadinya edema paru:

a. Membaran kapiler alveoli

Edema paru terjadi jika terdapat perpindahan cairan dari darah ke ruang

interstitial atau ke alveoli yang melebihi jumlah pengembalian cairan ke

dalam pembuluh darah dan aliran cairan ke sistem pembuluh limfe. Dalam

keadaan normal terjadi pertukaran cairan, koloid dan solute dari pembuluh

darah ke ruang interstitial. Peningkatan tekanan hidrostatik kapiler paru

dapat terjadi pada peningkatan tekanan vena paru tanpa adanya gangguan

fungsi ventrikel kiri (stenosis mitral); peningkatan tekanan vena paru

sekunder oleh karena gangguan fungsi ventrikel kiri.

b. Sistem limfatik

Sistem pembuluh ini dipersiapkan untuk menerima larutan, koloid dan

cairan balik dari pembuluh darah. Akibat tekanan yang lebih negative di

daerah interstitial peribronkial dan perivascular. Bila kapasitas dari saluran

limfe terlampaui dalam hal jumlah cairan maka akan terjadi edema.

Proses terjadinya edema paru melalui 3 tahap, yaitu: (Harun dan Nasution

2009)

1. Stadium 1

5
Pada keadaan ini terjadi peningkatan jumlah cairan dan koloid di ruang

interstitial yang berasal dari kapiler paru. Celah pada endotel kapiler paru

mulai melebar akibat peningkatan tekanan hidrostatik atau efek zat-zat

toksik. Meskipun filtrasi sudah meningkat, namun belum tampak

peningkatan cairan di ruang interstitial. Pada fase ini penderita sesak dan

tachipneu, belum tampak kelainau radiologi.

2. Stadium 2

Kapasitas limfatik untuk mengalirkan kelebihan cairan sudah melampaui

batas sehingga cairan mulai terkumpul di ruang interstisial dan

mengelilingi bronkioli dan vaskuler paru. Bila cairan terus bertambah

akan menyebabkan membran alveoli menyempit.

3. Stadium 3a

Pada stadium ini peningkatan filtrasi cairan dan tekanan di ruang

interstitial dan peribronchovaskular sheat semakin tinggi, sehingga terjadi

pelebaran tigh junction, cairan tertimbun pada sudut membrana alveolo

kapiler.

4. Stadium 3b

Cairan datar koloid mengisi alveoli sehingga komponen membran alvolar

kapiler rusak akibat alveolar flooding.

2.4 Klasifikasi Edema Paru

Edema paru menurut penyebab dan perkembangannya diklasifikasikan menjadi

edema paru kardiogenik dan edema paru non-kardiogenik. Edema paru

kardiogenik biasanya disebabkan karena gagal jantung kiri kongestif yang

6
akhirnya menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik di kapiler paru.

Sedangkan edema paru non-kardiogenik dikatagorikan berdasarkan kondisi

yang mendasarinya. Edema paru non-kardiogenik diklasifikasikan menjadi

tekanan rendah alveolus, peningkatan permeabilitas alveolus, atau edema

neurogenik. Sebagai contoh, penyebab penurunan tekanan alveolus adalah

karena obstruksi saluran nafas atas seperti paralisis laring, penyebab

peningkatan permeabilitas adalah leptospirosis dan ARDS, sedangkan edema

neurogenik disebabkan oleh epilepsy, trauma otak, maupun elektrolusi.

(Glueker dkk, 1997; Fishman,2008)

Valvular

Kardiogenik

Non-valvular

Edema Paru
Tekanan Rendah
Alveolus

Peningkatan
Non-kardiogenik Permeabilitas
Alveolus

Neurogenik

Gambar 2. Klasifikasi Edema Paru

7
Tabel 1. Perbedaan Edema Paru Kardiogenik (EPK) dan Edema Paru Non-
Kardiogenik (EPNK). (Ingram dan Braunwald, 20030
EPK EPNK
Anamnesis Tanda penyakit dasar
Acute cardiac event (+) Jarang

Penemuan Klinis
Perifer Dingin (low flow state) Hangat (high flow
meter)
S3 gallop/kardiomegali (+) (-)
JVP Meningkat Tak meningkat
Ronki Basah Kering

Laboratorium
EKG Iskemia/infark Biasanya normal
Foto toraks DIstribusi perihiler Distribusi perifer
ENzim kardiak Bisa meningkat Biasanya normal
PCWP > 18 mmHg < 18 mmHg
Shunt intra pulmoner Sedikit Hebat
Protein cairan edema < 0.5 > 0.7
JVP: jugular venous pressure
PCWP: Pulmonary Capilory wedge pressure

2.5 Manifestasi Klinis

a. Sesak napas yang bertambah hebat dalam waktu singkat (jam atau hari);

b. Sering berkeringat dingin;

c. Batuk dengan sputum berwarna kemerahan (pink frothy sputum);

d. Pada pasien dengan edema paru kardiak, dapat ditemukan adanya riwayat

penyakit atau keluhan jantung sebelumnya (infark jantung, aritmia, kelainan

katup). (Hall dan Guyton, 2007)

8
2.6 Gambaran Radiologis

Terdapat gambaran radiologis yang penting dalam edema paru. Gambaran

tersebut adalah penebalan septa interlobar yang biasa disebut septal lines atau

kerley lines, peribronchial cuffing, cairan di fisura, dan efusi pleura. Septa

interlobar biasanya tidak terlihat pada rontgen dada. Septa ini akan terlihat jika

terdapat akumulasi cairan di daerah tersebut. (Cinteza dkk, 2007; Glaus dkk,

2010)

Gambar 3. Anatomi Interstitium Paru

Terdapat beberapa Kerley lines, kerley lines A, garis ini akan muncul ketika

jaringan ikat di sekitar bronchoarterial sheath di paru berisi cairan. Panjannya

sekitar 6 cm dari hilus dan tidak sampai ke perifer paru. Kerley lines B, garis

ini biasanya disebut sebagai septal lines, garis ini akan muncul biasanya di basis

paru atau di sekitar sudut costofrenikus. Panjang garis horizontal ini 1-2 cm

9
dengan tebal hanya 1 mm. Kerley lines C merupakan Kerley lines B en face,

merupakan opasitas reticular pada basis paru. Kerley lines D, merupakan garis

yang sama dengan Kerley lines B, dan akan terlihat hanya pada lateral chest

radiograph. Peribronchial cuffing adalah penebalan dinding bronkus dan terlihat

seperti ringlike density. Peribronchial cuffing terjadi ketika terdapatnnya

akumulasi cairan di jaringan ikat sekitar dinding bronkus. Peribronchial cuffing

bentuknya ringerlike, kecil, multiple, seperti donat.

Gambar 4. [Gambar Kiri] Kerley lines A (panah putih), Kerley lines B (kepala
panah putih), Kerley lines C (kepala panah hitam), [Gambar Kanan]
Peribronchial cuffing, pleural effusion.

10
Tabel 2. Perbedaan gambaran radiologis CPE dan non CPE

a. Peri-bronchial cuffing dan kabut perihilar

Peribronkial cuffing mengacu pada istilah radiografi yang digunakan untuk

menggambarkan kekaburan atau peningkatan kepadatan di sekitar dinding

bronkus atau bronkiolus besar baik pada foto polos dan CT, terjadi karena

adanya akumulasi cairan intersisial di sekitar bronkus. Kadang-kadang

digambarkan sebagai "dougnat sign". Jika dilihat secara tangensial, ini dapat

memberikan tampilan tram-track sign (penebalan dinding pada

bronkiektasis). Adanya peribronchial cuffing merupakan penebalan dinding

bronkus atau cairan di sekitar bronkus karena kongesti limfatik. (Kirchner,

2011)

11
Gambar 5. Peribronchial cuffing (panah merah).

b. Garis septum / garis Kerley

Garis septum, juga dikenal sebagai garis Kerley, terlihat ketika septa

interlobular di interstitium paru menjadi menonjol. Hal ini dikarenakan

pembengkakan limfatik atau edema dari jaringan ikat septa interlobular.

Garis kerley terjadi ketika tekanan kapiler paru mencapai 20-25 mmHg.

Klasifikasi garis kerley sebagai berikut: (Sekar dkk, 2011)

1. Garis kerley A

Merupakan garis oblique sepanjang 2-6 cm yang tebalnya <1 mm dan

mengarah ke hillus. Garis kerley A dikarenakan adanya penebalan septa

interlobular yang mengandung koneksi limfatik antara limfatik

perivenous dan bronchoarterial jauh di dalam parenkim paru-paru. Pada

foto thoraks terlihat garis kerley A melewati tanda vaskular normal dan

memanjang secara radial dari hilus ke lobus atas. (Sekar dkk, 2011)

12
Gambar 6. Kerley A (panah merah).

2. Garis kerley B

Merupakan garis horizontal tipis sepanjang 1-2 cm di pinggiran paru-

paru dan tegak lurus terhadap permukaan pleura dan meluas ke sana.

Garis kerley B terbentuk akibat septa interlobular subpleural menebal

dan biasanya terlihat di dasar paru atau di sekitar sudut costofrenicus.

(Sekar dkk, 2011)

Gambar 7. Kerley B (panah merah).

13
3. Garis kerley C

Garis pendek yang tidak mencapai pleura (bukan garis B atau D) dan

tidak secara radial menjauh dari hillus (bukan garis A). Biasanya garis

terletak di bagian tengah paru. (Sekar dkk, 2011)

4. Garis kerley D

Merupakan garis yang sama seperti garis kerley B tetapi garis tersebut

hanya terlihat pada foto thoraks lateral. (Sekar dkk, 2011)

Gambar 8. Kerley Lines

c. Penebalan Celah Interlobar

Cairan terkumpul di subpleural space, diantara pleura visceral dan parenkim

paru. Cairan dapat terkumpul di fisura manapun (fissura mayor, minor,

accessory fissures, azygous fissure). (Lorraine, 2005)

14
Gambar 9. Penebalan Fisura Interlobaris (panah merah).

Edema karena Peningkatan Tekanan Hidrostatik

Terdapat dua stadium patofisiologi dan radiologi pada perkembangan tekanan

edema, yaitu stadium edema interstiial dan edema alveolar. Kedua stadium ini

identik pada gagal jantung kiri dan kelebihan cairan intravaskuler. Keduanya

sering dijumpai pada pasien dengan edema tekanan di ICU maupun IGD.

Intensitas dan durasi dari kedua stadium ini tergantung dari peningkatan

tekanan yang terjadi, yaitu tergantung dari rasio tekanan hidrostatik dan

onkotik.

15
Gambar 10. Gambaran foto thorax pada pasien laki-laki, 33 tahun dengan edema
peningkatan tekanan hidrostatik karena akut mikolitik leukemia yang
datang dengan kelebihan cairan karena gagal ginjal dan gagal jantung.
Panah hitam pada gambar b menunjukkan adanya pelebaran progresif
pembuluh darah lobus (peribronchial cuffing), panah putih gambar c
menunjukkan adanya bilateral kerley lines, dan juga terdapat area
noduler dengan peningkatan opasitas. Kelebihan cairan dapat
dikonfirmasi dari pertambahan ukuran dari vena zygos.

Gambar 11. Gambaran CT-scan pada pasien laki-laki 53 tahun, dengan edema
peningkatan tekanan hidrostatik. Didapatkan adanya peribronchial
cuffing (panah hitam) pada bagian anterior paru kiri. Kedua paru terlihat
adanya ground-glass area.

16
Bat Wing Edema

Bat wing edema mengarah pada distribusi edema alveolar di bagian sentral dan

dengan distribusi non-gravitasional. Gambaran radiologis ini biasanya terdapat

pada 10% kasus edema paru, dan secara keseluruhan terjadi pada kasus

perkembangan cepat gagal jantung berat seperti pada insufisiensi katub mitral

akut (yang berhubungan dengan rupturnya otot papilar, infark miokard masif,

dan destruksi katub seperti pada endokarditis septik) atau pada kasus gagal

ginjal. Pada kasus bat wing edema, korteks paru bersih dari cairan alveolar

ataupun interstitial. Kondisi patologis ini berkembang secara cepat yang

ditandai secara radiologis dengan infiltrat alveolus, dan gambaran tipikal edem

pulmo jarang ditemukan.

Gambar 12. Bat wing edema pada pasien wanita, 77 tahun dengan kelebihan cairan
dan gagal jantung. Pada gambaran foto thorax dada (3.a) dan gambaran
CT-scan (3.b) menunjukkan adanya wing alveolar edema yang
distribusinya sentral dan sparing dari konteks paru. Infiltrat pada pasien
ini berkurang setelah 32 jam menjalani pengobatan.

17
Distribusi Asimetris dari Edema Peningkatan Tekanan

Penyebab tersering terjadinya distribusi asimetris dari edema tekanan adalah

perubahan morfologi dari parenkim paru pada kasus penyakit paru obstruksi

kronis. Selain itu, pada kasus gagal jantung, emfisema pada apices atau

gambaran destruksi dan fibrosis pada bagian paru bagian atas dan tengah (sering

ditemukan pada kasus end-stage tuberculosis, sarcoidosis, atau asbestosis) akan

terlihat pada kasus edema paru yang predominan pada bagian yang kurang

berpengaruh pada proses penyakit ini.

Gambar 13. Edema paru asimetris pada pasien laki-laki 70 tahun, dengan end-
stage fibrosis dan emfisema bulosa dikarenakan asbestosis dengan
gagal jantung. Pada gambaran radiografi didapatkan infiltrat
edema paru predominan pada basis paru karena aliran darah paru
mengalir ke bagian ini dari bula lobus bagian atas.

18
Gambar 14. Edema paru asimetris pada pasien pria dengan chronic obstructive
pulmonary disease. Pada gambar 5.a yang merupakan parenkim paru
dan gambar 5.b yang merupakan gambaran mediastinum menunjukkan
edema dengan gambaran diffuse ground-glass attentuation dengan
gradien anteroposterior. Cairan yang memenuhi bula subpleura paling
jelas terlihat pada gambar 5.b di bagian kiri bawah.

Edema Paru Neurogenik

Edema paru neurogenik terjadi pada lebih dari 50% pasien dengan gangguan

otak berat seperti pada trauma, perdarahan subaraknoid, stroke, maupun status

epileptikus. Diagnosis dari edema paru neurogenik dibuat menggunakan

metode eksklusi. Penyebabnya masih kontroversional, beberapa

mengemukakan kombinasi antara faktor yang mempengaruhi edema hidrostatik

dan faktor yang mempengaruhi edema permeabilitas tanpa DAD. Gejala dari

edema paru neurogenik ini diantaranya adalah dispneu, takipneu, dan sianosis

yang terjadi setelah adanya gangguan pada otak. Gejala dan tanda ini akan

berkurang secara cepat pada kebanyakan kasus. Gambaran radiografi pada

kasus ini adalah adanya bilateral, homogen konsolidasi, dengan predominasi

apices pada 50% kasus. Gambaran radiologi ini biasanya menghilang setelah 1-

2 hari.

19
Gambar 15. Edema paru neurogenik pada pasien wantia berumur 54 tahun dengan
perdarahan intrakranial karena hipertensi arteri. Gambar a. menunjukkan
foto rontgen thorax dengan gambaran konsolidasi yang predominan pada
daerah apices. Tanpa disertai efusi pleura, Kerley lines, maupun ukuran
jantung yang abnormal. Gambar b. menunjukkan CT scan dengan
gambaran konsolidasi alveolar pada sentral paru, dan penebalan septum
interlobus (tanda panah hitam).

2.7 Gambaran CT – Scan Edema Paru

Gambaran HRCT pada edema paru kardiak adalah penebalan septal bilateral,
ground glass opacity pada lokasi yang dipengaruhi gravitasi, kardiomegali,
cairan pleura. High Resolution Computed Tomography (HRCT) pasien dengan
edema paru tidak digunakan untuk menegakkan diagnosis, penegakkan
diagnosis dilakukan dengan menggabungkan gejala klinis dan temuan
radiografi. (Cardinale, 2012)

20
Gambar 16. Gambaran HRCT edema paru kardiak. Penebalan septal halus dan ground
glass opacity pada lokasi yang dipengaruhi gravitasi, terdapat kardiomegali,
efusi pleura

2.8 Tatalaksana Edema Paru

Penatalaksanaan pada pasien dengan edema paru terlebih dahulu kita cari
penyakit yang mendasari terjadinya edema. Karena merupakan faktor yang
sangat penting dalam pengobatan, sehingga perlu diketahui dengan segera
penyebabnya.

Karena terapi spesifik tidak selalu dapat diberikan sampai penyebab diketahui,
maka pemberian terapi suportif sangatlah penting. Tujuan umum adalah
mempertahankan fungsi fisiologik dan seluler dasar. Yaitu dengan cara
memperbaiki jalan napas, ventilasi yang adekuat, dan oksigenasi. Pemeriksaan

21
tekanan darah dan semua sistem sirkulasi perlu ditinjau, infus juga perlu
dipasang.
1. Posisi ½ duduk.
2. Oksigen (40 – 50%) sampai 8 liter/menit bila perlu dengan masker. Jika
memburuk (pasien makin sesak, takipneu, ronchi bertambah, PaO2 tidak
bisa dipertahankan ≥ 60 mmHg dengan O2 konsentrasi dan aliran tinggi,
retensi CO2, hipoventilasi, atau tidak mampu mengurangi cairan edema
secara adekuat), maka dilakukan intubasi endotrakeal, suction, dan
ventilator.
3. Infus emergensi. Monitor tekanan darah, monitor EKG, oksimetri bila ada.
4. Diuretik Furosemid 40 – 80 mg IV bolus dapat diulangi atau dosis
ditingkatkan tiap 4 jam atau dilanjutkan drip continue sampai dicapai
produksi urine 1 ml/kgBB/jam.
5. Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin peroral 0,4 – 0,6 mg
tiap 5 – 10 menit. Jika tekanan darah sistolik > 95 mmHg bisa diberikan
Nitrogliserin intravena mulai dosis 3 – 5 ug/kgBB. Jika tidak memberi hasil
memuaskan maka dapat diberikan Nitroprusid IV dimulai dosis 0,1
ug/kgBB/menit bila tidak memberi respon dengan nitrat, dosis dinaikkan
sampai didapatkan perbaikan klinis atau sampai tekanan darah sistolik 85 –
90 mmHg pada pasien yang tadinya mempunyai tekanan darah normal atau
selama dapat dipertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital (10).
6. Morfin sulfat 3 – 5 mg iv, dapat diulang tiap 25 menit, total dosis 15 mg
(sebaiknya dihindari).
7. Bila perlu (tekanan darah turun / tanda hipoperfusi) : Dopamin 2 – 5
ug/kgBB/menit atau Dobutamin 2 – 10 ug/kgBB/menit untuk menstabilkan
hemodinamik. Dosis dapat ditingkatkan sesuai respon klinis atau keduanya.
8. Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard.
9. Intubasi dan ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis/tidak
berhasil dengan oksigen.

22
BAB III
KESIMPULAN

Edema paru merupakan kondisi adanya akumulasi cairan di paru (ruang interstitial

dan alveolus) yang disebabkan kardiogenik dan non kardiogenik. Gambaran

radiologi edema paru pada foto polos thorak berupa stag’s antler sign, Kerley lines,

peribronchial cuffing, butterfly appearance,air bronchogram, efusi pleura,

konsolidasi, dan penebalan fissura interlobaris. Pada edema kardiogenik didapatkan

ukuran jantung membesar, pedikel vaskuler melebar, distribusi edema sentral dan

terdapat efusi paru. Sedangkan, pada edema non kardiogenik ukuran jantung

normal, distribusi edema perifer, dan tidak terdapat efusi pleura.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Cardinale, L., Volpicelli, D., Lamorte, A., Martino, D., Veltri, A., 2012,

Revisiting signs, strengths and weaknesses of Standard Chest Radiography in

patients of Acute Dyspnea in the Emergency Department, Journal of Thoracic

Disease, Vol. IV, No. IV.dalam Wijayanti, dkk. 2015. Radiograph Based

Discussion Edema Pulmo. FK UNISSULA.

2. Cinteza, M., Margulescu, A.D., Darabont, Roxana O., 2007. Acute Cardiogenic

Pulmonary Edema – an Important Clinical Entitiy with Mechanisms on Debate.

A Journal of Clinical Medicine. 2;1, 56-64Clein, Lawrence J., 2008. Walsh:

Palliative Medicine. Saunders An Imprint of Elsevier: United States of America

3. Collins J, Stern EJ. 2010. Chest radiology, the essentials. Lippincott Williams

& Wilkins.

4. Derrickson, B., Tortora, Gerrard J. 2009. Principles of Anatomy and

Physiology. United States of America.

5. Dietrich CF, Dietrich MG, Dietrich BM. 2016. Lung B-lines artefacts and their

use. Journal of Thoracic Disease 8 (6).

6. Fishman : Pulmonary disease and disorders, fourth edition, volume one, United

States, 593-617, 2008

7. Glaus, T., Schellenberg, S., Lang, J., 2010. Cardiogenic and Non Cardiogenic

Pulmonary Edema: Pathomechanisms and Causes. Schweiz Arch Tierheilkd,

152:7, 311-317.

24
8. Gluecker, T., Capasso, P., Schnyder, P., Guidinchet, F., Schaller, M.D.,

Revelly, Jean P., Chiolero, R., Vock, P., Wicky, S.. Clinical and Radiologic

Features of Pulmonary Edema. Scientific Exhibit. 19, 1507-1531.

9. Hall, Guyton &. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta:

Penerbit Buku Kedokteran EGC.

10. Harun, S., Nasution, S.A., 2009, Edema Paru Akut dalam Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam, Jilid II, Edisi V, Interna Publishing, Jakarta

11. Hurst JW. 2015. The Heart, arteries, and veins. McGraw-Hill.

12. Ingram RH Jr., Braunwald E. Pulmonary edema : cardiogenic and non-

cardiogenic. In: Han Disease. Textbook of Cardiovascular Medicine.Braunwald

E. (Ed). 3rd ed. Philadelphia : WB Saunders Co. 544-60

13. Khan AN, Al-Jahdali H, Al-Ghanem S. 2009. Reading chest radiographs in

critically III (Part II). Radiography of lung pathologies common in the ICU

patient. Ann Thorac Med. USA.

14. Kirchner J. 2011. Chest radiology. A resident’s manual. TIS.

15. Lorraine, B.W., Michaell, A.M., 2005, Acute Pulmonary Edema. New England

Journal Medicine, 353:2788-96. dalam Wijayanti, dkk. 2015. Radiograph

Based Discussion Edema Pulmo. FK UNISSULA.

16. Nadel M, Boushey M, Textbook of respiratory medicine. 3rd edition, vol. 2,

Philadelphia, Pennsylvania. 54:1575-1614

17. Purwohudoyo, S.S., 2009, Sistem Kardiovaskuler dalam Radiologi Diagnostik,

Edisi II, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.

18. Rampengan, Starry H. Edema paru kardiogenik akut. Jurnal Biomedik (JBM).

2014;6(3):149-156.

25
19. Sekar T, Swan KG, Vietrogoski RA. 2011. A beeline through Sir Peter James

Kerley’s life. Medical Science Building. USA

20. Khan AN, Al-Jahdali H, Al-Ghanem S. 2009. Reading chest radiographs in

critically III (Part II). Radiography of lung pathologies common in the ICU

patient. Ann Thorac Med. USA.

21. Dietrich CF, Dietrich MG, Dietrich BM. 2016. Lung B-lines artefacts and their

use. Journal of Thoracic Disease 8 (6).

22. Cardinale, L., Volpicelli, D., Lamorte, A., Martino, D., Veltri, A., 2012,

Revisiting signs, strengths and weaknesses of Standard Chest Radiography in

patients of Acute Dyspnea in the Emergency Department, Journal of Thoracic

Disease, Vol. IV, No. IV.dalam Wijayanti, dkk. 2015. Radiograph Based

Discussion Edema Pulmo. FK UNISSULA.

26

Anda mungkin juga menyukai