EPISTAKSIS
Pembimbing :
Disusun Oleh :
Puji syukur kami panjatkan atas ke hadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua. Tak lupa salawat serta
salam kepada junjungan besar Rasulullah SAW beserta para sahabatnya sehingga
penulis dapat menyelesaikan Referat “Epistaksis” dalam rangka mengikuti
kepanitraan Klinik di bagian/SMF THT RSUD Kota Banjar
1. dr. Rini Febrianti, Sp. THT-KL selaku dokter pembimbing serta Dokter
Spesialis Ilmu Penyakit THT RSUD Kota Banjar
2. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah
memberikan bantuan kepada penyusun
Akhirnya penyusun menyadari bahwa dalam penulisan tugas ini masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu, semoga refreshing ini dapat memberikan manfaat
dan tambahan pengetahuan khususnya kepada penyusun dan kepada pembaca.
Terimakasih
Penulis
DAFTAR ISI
i
BAB I
PENDAHULUAN
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Drainase vena
3
Secara umum, vena intranasal mempunyai nama yang sama dan berjalan
berdampingan dengan arterinya dalam mukosa hidung. Namun, disana terdapat cabang
pleksus pterygoid yang mengarah ke sinus kavernosa. Pada tahun 1949, Woodruff
menjelaskan pleksus vena terletak di bagian posterior rongga hidung yang berdekatan dengan
turbinate inferior. Daerah ini terdiri dari vena-vena berdinding besar dan tipis yang tertutup
oleh lapisan mukosa tipis, yang tidak memiliki struktur lain. Vena di vestibulum dan struktur
luar hidung bermuara ke v. oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena –
vena hidung tidak memiliki katup sehingga merupakan factor predisposisi untuk mudahnya
penyebaran infeksi sampai ke intracranial. 1
DEFINISI
Epistaksis adalah perdarahan akut dari rongga hidung, yang keluar melalui lubang
hidung ataupun ke belakang (nasopharing). Epistaksis merupakan suatu keluhan atau tanda,
bukan penyakit. Kebanyakan pasien memiliki episode penyembuhan sendiri yang tidak perlu
dilakukan perawatan medis. 1
EPIDEMIOLOGI
Terdapat perkiraan angka kejadian secara global yaitu sebesar 60%. Dari sudut
pandang otolaryngologic, epistaksis dapat mencapai angka hingga 33% dari total kasus
kegawatdaruratan dengan usia rata-rata 70 tahun. Pasien muda biasanya terjadi pendarahan
kecil yang berasal dari septum anterior, pasien yang lebih tua terjadi dengan perdarahan akut
yang berat. Epistaksis yang terjadi pada anak-anak di bawah 2 tahun sangat jarang ditemukan
dan harus curiga kearah penyakit apa yang mendasari atau adanya kekerasan pada anak. 1
Beberapa penelitian mengatakan, perbedaan musim dapat berpegaruh dalam kejadian
epistaksis, dimana episode yang lebih umum terjadi pada musim gugur dan musim
dingin. Mungkin hal ini dikarenakan adnaya penurunan kelembaban udara selama berbulan-
bulan, namun temuan ini belum dapat diterima secara universal 1
ETIOLOGI
Epistaksis diawali oleh pecahnya pembuluh darah di dalam selaput mukosa hidung.
Ketika mempertimbangkan manajemen dan prognosis pasien dengan epistaksis, penting
untuk mengklasifikasikan sumber perdarahan ke anterior atau posterior. Tidak ada perbedaan
yang tepat berdasarkan letak anatomi antara keduanya, namun perdarahan anterior umumnya
4
cenderung berasal dari septum sementara perdarahan posterior umumnya timbul di sisi lateral
cabang-cabang arteri sphenopalatina (SPA). 1
Melihat asal perdarahan epistaksis juga dibagi menjadi epistaksis anterior dan
epistaksis posterior. Delapan puluh persen perdarahan berasal dari pembuluh darah Pleksus
Kiesselbach (area Little). Pleksus Kiesselbach terletak di septum nasi bagian anterior, di
belakang persambungan mukokutaneus tempat pembuluh darah yang kaya anastomosis. 1
1. Kelainan lokal 1
Trauma
Pembedahan (endoskopi dasar tengkorak dan sinus)
Kelainan anatomi (septal deviation / spurs)
Tumor sinonasal (benign, vascular, malignant)
Penyakit granulomatosa / inflamasi
Benda asing
Pengobatan topikal
2. Kelainan sistemik 1
Obat-obatan (Coumadin, NSAID, Aspirin)
5
Bleeding diatheses
Keganasan hematologi
Hipertensi
Penyakit hepatobilier dan Alkohol
Penyakit jaringan / vaskular
Malnutrisi
Perdarahan pasca operasi setelah operasi dasar tengkorak juga layak mendapat
pertimbangan khusus bukan hanya karena paparan yang berpotensi mengenai struktur
neurovaskular tetapi juga berpotensi menimbulkan catastrophe neurologic. Lesi terisolasi
vaskular seperti hemangioma, granuloma piogenik, dan telangiectasias adalah sumber lain
lokal epistaksis yang kadang-kadang sulit untuk di identifikasi tetapi dapat mengakibatkan
perdarahan berulang dengan jumlah yang banyak. 1
Pada pasien dengan epistaksis dan multiple cutaneous, bibir, mulut, dan telangiektasis
intranasal, diagnosis telangiektasia hemoragik herediter (HHT) harus dipertimbangkan,
karena pasien mungkin memiliki manifestasi intrakranial, gastrointestinal (GI), hati, dan
pulmonal, dan malformasi arteriovenosa, {AVMs) yang harus dievaluasi secara bersamaan.
Berdasarkan panduan internasional baru-baru ini juga merekomendasikan uji genetik dari
semua pasien untuk identifikasi keluarga yang belum memenuhi kriteria diagnostik HHT.
Untuk 0-1 kriteria tidak mungkin, 2 kriteria mungkin / suspek, 3 atau lebih dari tiga kriteria
pasti 1
Kriteria Diagnosis Klinis HHT
Kriteria Deskripsi
Epistaksis Rekuren
Telangiektasia Beberapa lokasi (bibir, cavitas oral, jari dan hidung)
Lesi visceral Telangiektasi GI, pulmo, cerebral, hepatic, spinal AVMs)
Riwayat keluarga Relasi satu tingkat dengan diagnosis HHT
6
termasuk bawang putih, ginkgo, atau ginseng, yang dapat menyebabkan koagulopati sistemik
ringan . 1
Inherited bleeding diatheses, yang paling umum adalah hemofilia A diikuti penyakit
von Willebrand dan keganasan hematologi yang merupakan penyebab epistaksis kurang
umum, namun tetap harus dipertimbangkan dalam diagnosis banding yang luas. Penyakit
hepatobilier juga dapat menyebabkan koagulopati terkait dengan epistaksis sekunder akibat
penurunan produksi faktor-faktor yang tergantung dengan vitamin K (prothrombin, faktor
VII, IX. Dan X. Protein C dan S. 1
DIAGNOSIS
Anamnesis
Penanganan epistaksis yang tepat akan bergantung pada suatu anamnesis yang cermat. Hal-
hal penting adalah sebagai berikut:
1. Riwayat perdarahan sebelumnya
2. Lokasi perdarahan
3. Apakah darah terutama mengalir ke dalam tenggorokan (ke posterior) ataukah keluar
dari hidung depan (anterior) bila pasien duduk tegak
4. Lama perdarahan dan frekuensinya
5. Kecenderungan perdarahan
6. Riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga
7. Hipertensi
8. Diabetes melitus
9. Penyakit hati
10. Penggunaan antikoagulan
11. Trauma hidung yang belum lama
12. Obat-obatan, misal : aspirin, fenilbutazon (Butazolidin) 2
Pemeriksaan Fisik
Alat-alat yang diperlukan untuk pemeriksaan adalah lampu kepala, speculum hidung
dan alat penghisap(bila ada) dan pinset bayonet, kapas, kain kassa. Untuk pemeriksaan yang
adekuat pasien harus ditempatkan dalam posisi dan ketinggian yang memudahkan pemeriksa
bekerja. Harus cukup sesuai untuk mengobservasi atau mengeksplorasi sisi dalam hidung. 2
Dengan spekulum hidung dibuka dan dengan alat pengisap dibersihkan semua
kotoran dalam hidung baik cairan, sekret maupun darah yang sudah membeku; sesudah
7
dibersihkan semua lapangan dalam hidung diobservasi untuk mencari tempat dan faktor-
faktor penyebab perdarahan. Setelah hidung dibersihkan, dimasukkan kapas yang dibasahi
dengan larutan anestesi lokal yaitu larutan pantokain 2% atau larutan lidokain 2% yang
ditetesi larutan adrenalin 1/1000 ke dalam hidung untuk menghilangkan rasa sakit dan
membuat vasokontriksi pembuluh darah sehingga perdarahan dapat berhenti untuk sementara.
Sesudah 10 sampai 15 menit kapas dalam hidung dikeluarkan dan dilakukan evaluasi. 2
Pasien yang mengalami perdarahan berulang atau sekret berdarah dari hidung yang
bersifat kronik memerlukan fokus diagnostik yang berbeda dengan pasien dengan perdarahan
hidung aktif yang prioritas utamanya adalah menghentikan perdarahan. Pemeriksaan yang
diperlukan berupa:
a) Rinoskopi anterior
Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke posterior.
Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan konkha
inferior harus diperiksa dengan cermat.
b) Rinoskopi posterior
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien dengan
epistaksis berulang dan sekret hidung kronik untuk menyingkirkan neoplasma 2
PENATALAKSANAAN
Manajemen Awal Epistaksis Akut
Sebagian besar perdarahan hidung sebatas kehilangan darah yang minimal. Namun,
dalam situasi tertentu perdarahan bisa terjadi menjadi signifikan dan berakibat fatal, dengan
demikian setiap pasien harus dievaluasi secara tepat. Panduan American Heart Association
Basic Life Support menerapkan pada epistaksis, pertimbangan pertama adalah perlindungan
dan manajemen jalan napas. Setelah ini dianggap aman, perhatian kemudian diarahkan untuk
mengkontrol perdarahan sementara secara bersamaan dengan penyediaan akses vaskular
untuk penggantian volume dan support hemodinamik. 1
Pasien harus duduk dengan tubuh miring ke depan dan mulut terbuka. Dengan asumsi
posisi telentang harus dihindari untuk mengurangi tekanan vena dan mencegah aspirasi.
Pasien harus disarankan untuk menekan kartilago lateral atas selama 10 sampai 15 menit
tanpa melepaskannya dalam upaya untuk tamponade vaskularisasi septum anterior. Jika
tersedia, dekongestan topikal seperti oxymetazoline HCl juga dapat diberikan. 1
8
Untuk epistaksis yang persisten dan tidak dapat dikontrol dengan teknik ini. Penilaian
dan perawatan harus dilakukan di ruangan dengan pemantauan, pengisapan, pencahayaan
yang memadai, dan peralatan endoskopi yang lebih baik. Kewaspadaan harus dipatuhi secara
ketat karena risiko paparan terkena darah sangat tinggi. Titik darah harus dievakuasi diikuti
dengan penggunaan vasokonstriktor dan agen anestesi. Hidung diperiksa dengan spekulum
hidung dan headlamp. Dalam kasus perdarahan anterior, dapat diidentifikasi menggunakan
metode ini, namun praktisi tidak perlu ragu untuk melanjutkan ke endoskopi untuk mencari
sumber yang terletak di posterior. 1
9
meninggikan mukosa setempat dan kemudian membiarkan jaringan menata dirinya sendiri,
atau dengan merekonstruksi deformitas septum dasar, untuk menghilangkan daerah-daerah
atrofi setempat dan lokasi tegangan mukosa. Pada perdarahan hidung ringan yang berulang
dengan asal yang tak diketahui, dokter harus menyingkirkan tumor nasofaring atau sinus
paranasalis yang mengikis pembuluh darah. Sinusitis kronik merupakan penyebab lain yang
mungkin. Akhirnya, pemeriksa harus mencari gangguan patologik yang terletak jauh seperti
penyakit ginjal dan uremia, atau penyakit sistemik seperti gangguan koagulasi. 2
10
spekulum hidung pada satu tangan, sedang tangan yang lain memegang pengisap untuk
mengaspirasi darah yang berlebihan. Setelah sumber perdarahan diketahui, kauterisasi dapat
dicoba bilamana pembuluh tersebut kecil; sebaliknya jika besar, pasang tampon hidung
anterior-unilateral, atau bilateral pada wajah bilamana mungkin pada kasus perdarahan bebat
atau sumber perdarahan yang sulit dikenali. Menentukan lokasi perdarahan rnungkin semakin
sulit pada pasien dengan deviasi septum yang nyata atau perforasi septum. Tampon mudah
dibuat dari lembaran kasa steril bervaselin, berukuran 72 x 1/2 inci, disusun dari dasar hingga
atap hidung dan meluas hingga ke seluruh panjang rongga hidung. 2
Antibiotik profilaktik dianjurkan oleh beberapa dokter karena ostia sinus menjadi
tersumbat oleh tampon, dan adanya benda asing (tampon) serta bekuan darah, yang
menyediakan suatu lingkungan untuk pertumbuhan bakteri. Selain itu, sebagian dokter juga
melapisi tampon dengan krim atau salep antibiotik untuk mengurangi pertumbuhan bakteri
dan pembentukan bau. Balon hidung dengan beberapa desain yang berbeda kini tersedia dan
dapat mengganti tampon hidung. Demikian juga, tampon hidung yang dapat mengembang
bila ditempatkan dalam hidung, dapat menjadi pengganti tampon hidung tradisional. Baik
balon maupun tampon hidung lebih mudah ditempatkan dalam hidung dibandingkan bahan
tampon tradisional, serta lebih mudah diterima pasiery namun, agaknya tidak demikian
efektif dalam mengontrol perdarahan dan mungkin perlu diganti dengan tampon tradisional.
Bila hanya memerlukan tampon hidung anterior dan tanpa adanya gangguan medis primer,
pasien dapat diperlakukan sebagai pasien rawat jalan dan diberitahu untuk duduk tegak
dengan tenang sepanjang hari, serta kepala sedikit ditinggikan pada malam hari. Tampon
dapat diangkat dalam dua atau tiga hari. Pasien tua atau dengan kemunduran fisik harus
dirawat di rumah sakit. 2
11
vasokonstriksi arteri sfenopalatina. Di samping vasokonstriksi, injeksi ini juga menimbulkan
anestesia untuk prosedur pemasangan tampon hidung posterior.
Bila perdarahan berasal dari cabang arteri sfenopalatina, maka epistaksis akan segera
berkurang dalam beberapa menit. Berkurangnya perdarahan ini hanya berlangsung singkat
hingga Xilokain diabsorpsi. Gliserin (USP 2 penen) dan Xilokai (2 penen) dapat digunakan
untuk efek yang lebih lama. Jika injeksi tidak memberi efek, maka perdarahan mungkin
berasal dari arteri etmoidalis anterior dan posterior. Karena kemungkinan komplikasi okular,
metode ini lebih baik dilakukan oleh spesialis. 2
- Tampon Hidung Posterior.
Suatu tampon posterior yang dimasukkan melalui mulut. dapat ditarik memakai
kateter melalui hidung ke dalam koana posterior. Suatu spons berukuran 4 x 4 inci yang
digulung erat dan diikat dengan benang sutera No. 1 merupakan tampon yang baik. Dapat
diolesi dengan salep antibiotik topikal untuk mengurangi insidens infeksi. Tamponade
dengan berbagai balon hidung komersial yang dimasukkan lewat depan dan kemudian ditiup,
dapat pula dilakukan. Beberapa pabrik membuat balon dengan dua ruang terpisah; yang satu
berfungsi sebagai tampon anterior, yang satunya sebagai tamponposterior. Jika suatu balon
ditempatkan baik di anterior ataupun di posterior, maka balon harus diisi dengan larutan
salin, dan bukan udara, karcna udara dapat bocor dan tamponade menjadi gagal. Suatu kateter
Foley No. 14 biasa dengan suatu kantung 15 cc juga dapat dimasukkan tmnsnasal,
dikembangkan dan ditarik rapat pada koana posterior. Posisi kateter dapat dipertahankan
dengan suatu klem umbilikus. Yang paling sering dilakukan adalah memasukkan suatu
kateter melalui hidung, ditangkap pada faring dan kemudian dikeluarkan lewat mulut. Dua
benang yang melekat pada tampon diikatkan pada kateter yang menjulur dari mulut. Tali
ketiga yang melekat pada tampon dibiarkan menggantung dalam faring sebagai tali penarik.
Kateter kemudian ditarik keluar melalui hidung depan untuk menempatkan tampon pada
koana. Jika perlu, tampon dapat dibantu penempatannya dengan jari doliler hingga berada di
atas palatum mole. Posisi tampon harus cukup kuat dan tidak boleh menekan palatum mole.
Sementara tegangan dipertahankan melalui kedua tali yang keluar dari hidung depan, dokter
harus menempatkan tampon anterior di antara kedua tali dan kedua tali diikatkan simpul pada
gulungan kasa kecil. Kedua tali harus dikeluarkan lewat lubang hidung yang sama dan tidak
diikatkan pada kolumela-hal ini dapat menimbulkan nekrosis jaringan lunak, suatu deformitas
yang tidak sedap dipandang dan sulit diperbaiki. 2
12
Pasien yang memerlukan pemasangan tampon posterior harus dirawat di rumah sakit,
sedangkan pasien tua atau dengan suatu penyakit primer ditempatkan pada bagian perawatan
intensif. Hal-hal berikut perlu dipertimbangkan saat pasien masuk ke rumah sakit:
1. Pemantauan tanda-tanda vital yang sering, termasuk tekanan darah, nadi dan
pernapasan.
2. Elektrokardiogram (pada pasien dengan penyakit yang jelas lakukan pemantauan
kontinu dengan monitor jantung).
3. Penggunaan oksigen bilamana perlu (hati-hati pada penyakit paru obstruktif
menahun) karena adanya kemungkinan komplikasi sekunder akibat sedasi, kehilangan
darah akut, dan penurunan PO2 arteri sehubungan dengan pemasangan tampon.
4. Pemantauan analisa gas darah arteri.
5. Hemoglobin dan hematokrit sedikitnya tiap 12 jam.
6. Pemeriksaan kelainan perdarahan (PT, PT'T, hitung trombosit).
7. Semua tes yang diperlukan untuk melakukan evaluasi medis yang memadai dari tiap
kemungkinan penyebab primer epistaksis, misalnya FBS, BUN atau kreatinin.
8. Pemberian cairan intravena, karena masukan oral yang buruk pada pasien-pasien ini.
9. Obat-obat nyeri biasanya meperidin hidroklorida (Demerol) atau kodein. (Sedasi dan
analgesia perlu dilakukan tanpa menyebabkan depresi pernapasan.) '10. Diet cairan
jernih.
10. Pemeriksaan faring untuk mencari perdarahan aktif.
11. Kepala ditinggikan 45 derajat.
12. Antibiotik spektrum luas profilaltik karena terputusnya pola drainase hidung dan
sinus.
13. Penentuan jenis dan kecocokan--silang darah bila kehilangan darah cukup bermakna. 2
Tampon posterior biasanya dipertahankan tiga hingga lima hari. Selama itu pasien
akan terganggu kenyamanannya dan perlu diberi sedatif dan analgetik. Penelitian
menunjukkan bahwa sumbatan jalan napas lengkap pada individu tertentu mengarah pada
peningkatan PCO2 dan penurunan pO2. Kombinasi keduanya pada pasien dengan riwayat
penyakit paru atau jantung dapat menimbulkan komplikasi bermakna, cont., infark
miokardium atau gangguan pembuluh darah otak (CUA). Sering dianjurkan; bahwa tampon
tradisional perlu dilonggarkan atau balon perlu dikempiskan sebelum diangkat. Jika
perdarahan kembali terjadi maka tampon dapat dipasang kembali dengan tidak banyak
mengganggu pasien dibandingkan dengan pangganti tampon. 2
13
MANAJEMEN PEMBEDAHAN
14
menjaga saraf infraorbitalis. Dinding sinus posterior yang bertulang kemudian diangkat
dengan berhati-hati dan lubang ke dalam fosa pterigomaksilaris diperbesar. Bila lubang sudah
cukup besar, gunakan mikroskop operasi untuk diseksi lebih lanjut. Pembuluh darah
diidentifikasi dan klip logam dipasang pada arteri maksilaris interna, sfenopalatina dan
palatina desendens (Gbr. 12-20). Luka ditutup dan tampon hidung posterior diangkat. Suatu
tampon hidung anterior yang lebih kecil mungkin masih diperlukan. Jika terdapat bukti-bulci
infeksi atau bila ditakuti terjadi infeksi, dapat dibuat suatu fenestra antrum hidung saat
melakukan prosedur. Kateterisasi selektif dengan embolisasi cabang-cabang arteri karotis
eksterna merupakan cara pendekatan lain yang juga mencapai tujuan sama seperti ligasi. 2
Septodermoplasty
15
Dalam prosedur ini, mukosa hidung dipotong dalam bidang supramucoperichondrial
dan digantikan oleh cangkok kulit allograft atau split thickness yang diambil dari lokasi lain
seperti paha. Graft kemudian dijahit atau diperbaiki dengan jahitan mattres. Operasi dapat
dilakukan secara bilateral dan bertahap. 1
ENDOVASCULAR EMBOLISASI
16
Epistaksis Berkaitan dengan Kelainan Perdarahan Spesifik
Epistaksis sering kali terjadi pada penderita teleangiektasi hemoragik herediter, suatu
sindrom dominan yang dicirikan oleh pembentukan lesi vaskular di sekitar bibir, rongga
mulut, dan hidung. Salah satu manifestasi klinis yang tenering adalah epislaksis berulang
hingga memerlukan transfusi berulang. Dermoplasti septum merupakan suatu cara yang
dirancang untuk mengendalikan epistaksis berulang. Prosedur operasi ini meliputi
pengangkatan mukosa septum nasi anterior, dasar hidung, dan bagian anterior konka inferior
dengan hati-hati, dan penggantian mukosa dengan cangkok kulit ketebalan paruh. Prosedur
ini biasanya hanya dilakukan pada satu sisi namun kemudian dapat diulangi pada sisi satunya.
Meskipun tindakan ini menyebabkan pembentukan krusta dalam hidung, namun agaknya
perlu dilakukan pada pasien-pasien yang telah mendapat transfusi berulang.
Bila epistaksis terjadi pada pasien hemofilia, penyakit von Willebrand, atau
koagulopati lainnya, maka cara terbaik untuk mengatasinya adalah sekonservatif mungkin.
Bila perlu dengan pemasangan suatu tampon hidung anterior dan transfusi plasma
kriopresipitat, Faktor VIII atau faktor pembekuan lain. 2
KOMPLIKASI
Epistaksis merupakan suatu kondisi yang dapat mengancam jiwa. Semua pasien dengan
perdarahan aktif memerlukan pemeriksaan penuh dan resusitasi jika perlu. Status klinis pada
pasien yang lebih tua dapat cepat menurun hingga resusitasi yang agresif merupakan hal yang
penting. Alat pelindung sebaiknya digunakan sebelum melakukan tindakan termasuk masker
dan pelindung mata. Tanda vital sebaiknya dimonitor secara teratur. Pemeriksaan darah
17
sebaiknya dilakukan. Komplikasi epistaksis dapat terjadi oleh karena epistaksis itu sendiri
maupun dari tindakan seperti pemasangan tampon hidung.
1. Syok Hipovolemi
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa pemeriksaan faktor pembekuan
sebaiknya dilakukan jika dicurigai adanya gangguan perdarahan. Terapi cairan
sebaiknya diberikan jika dicurigai terjadi syok hipovolemi. Gejala klinis pada suatu
perdarahan bisa belum terlihat jika kekurangan darah kurang dari 10% dari total
volume darah. Bila perdarahan terus berlangsung maka tubuh tidak mampu lagi
mengkompensasinya dan menimbulkan gejalagejala klinis. Secara umum, syok
hipovolemik menimbulkan gejala peningkatan frekuensi jantung dan nadi (takikardi),
pengisian nadi yang lemah, kulit dingin dengan turgor yang jelek, ujung-ujung
ekstremitas dingin, dan pengisian kapiler lambat. Pasien hamil bisa saja menunjukkan
tanda dan gejala syok hipovolemik yang atipikal hingga kehilangan 1500 ml darah
tanpa terjadi perubahan tekanan darah. Keparahan dari syok hipovolemik tidak hanya
tergantung pada jumlah kehilangan volume dan kecepatan kehilangan volume, tetapi
juga usia dan status kesehatan individu sebelumnya. 3
18
o Nasovagal reflex, dimana reflex ini terjadi selama pemasangan tampon
pada cavum nasi, yang kemudian menstimulasi vagal, dengan konsekuensi
hipotensi dan bradikardi.
o Sleep apnea, disebabkan oleh penurunan aliran udara pada hidung yang
menyebabkan terjadinya hipoksia selama tidur.
o Berpindahnya tampon ke orofaring dengan resiko terjadinya obstruksi akut
pada jalan nafas. - Pengeluaran tampon hidung dapat memicu terjadinya
perdarahan ulang. 3
19
TINJAUAN PUSTAKA
1. Jonas T. Johnson, Clark A. Rosen.2014.Bailey's head & neck surgery
OTOLARYNGOLOGY 5th edition. philadelphia : wolters kluwer
bussiness.Vol.2:2399-2407.
2. Sumber : Adam, Boies Higler. Boies Buku Ajar Penyakit THT edisi 6, EGC, Jakarta.
3. Punagi, Abdul Qadar. EPISTAKSIS DIAGNOSIS & PENATALAKSANAAN
TERKINI. Digi Pustaka Cetakan 01. 2017
20