Anda di halaman 1dari 22

REFERAT

EPISTAKSIS

Pembimbing :

dr. Rini Febrianti, Sp. THT-KL

Disusun Oleh :

Alda Yulianita - 2013730004

KEPANITERAAN KLINIK STASE TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BANJAR
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2018
KATA PENGANTAR

Assalammualaikum Wr. Wb.

Puji syukur kami panjatkan atas ke hadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua. Tak lupa salawat serta
salam kepada junjungan besar Rasulullah SAW beserta para sahabatnya sehingga
penulis dapat menyelesaikan Referat “Epistaksis” dalam rangka mengikuti
kepanitraan Klinik di bagian/SMF THT RSUD Kota Banjar

Pada kesempatan ini, penyusun ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-


besarnya kepada semua pihak yang telah banyak memberikan bimbingan kepada
penulis:

1. dr. Rini Febrianti, Sp. THT-KL selaku dokter pembimbing serta Dokter
Spesialis Ilmu Penyakit THT RSUD Kota Banjar
2. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah
memberikan bantuan kepada penyusun
Akhirnya penyusun menyadari bahwa dalam penulisan tugas ini masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu, semoga refreshing ini dapat memberikan manfaat
dan tambahan pengetahuan khususnya kepada penyusun dan kepada pembaca.
Terimakasih

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Banjar, Oktober 2018

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i


BAB I ...................................................................................................................... 2
PENDAHULUAN .................................................................................................. 2
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 2
BAB II ..................................................................................................................... 3
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 3
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 20

i
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hidung merupakan organ penting yang seharusnya mendapat perhatian lebih dari
biasanya; merupakan salah satu organ pelindung tubuh terpenting terhadap lingkungan
yang tidak menguntungkan. Rongga hidung kaya dengan pembuluh darah. Pada rongga
bagian depan, tepatnya pada sekat yang membagi rongga hidung kita menjadi dua,
terdapat anyaman pembuluh darah yang disebut pleksus Kiesselbach. Pada rongga bagian
belakang juga terdapat banyak cabang-cabang dari pembuluh darah yang cukup besar
antara lain dari arteri sphenopalatina.
Hidung berdarah dalam istilah Kedokteran: epistaksis atau epistaxis atau mimisan
adalah satu keadaan pendarahan dari hidung yang keluar melalui lubang hidung.
Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung; merupakan suatu tanda atau keluhan bukan
penyakit. Faktor etiologi harus dicari dan dikoreksi untuk mengobati epistaksis secara
efektif. Epistaksis berat, walaupun jarang dijumpai, dapat mengancam keselamatan jiwa
pasien, bahkan dapat berakibat fatal, bila tidak segera ditolong Perdarahan ini disebabkan
oleh kelainan lokal maupun sistemik dan sumber perdarahan yang paling sering adalah
dari pleksus Kiessel-bach’s.
Kelainan lokal misalnya trauma,kelainan anatomi,kelainan pembuluh darah,infeksi
lokal, benda asing,tumor,pengaruh udara lingkungan. Kelainan sistemik seperti 3 penyakit
kardiovaskuler,kelainan darah,infeksi sistemik, perubahan tekanan atmosfir, kelainan
hormonal dan kelainan kongenital. Pengobatan yang tepat pada kasus epistaksis adalah
dilakukan penekanan pada pembuluh darah yang berdarah. Hampir 90% kasus epistaksis
anterior dapat diatasi dengan tekanan yang kuat dan terus menerus pada kedua sisi hidung
tepat diatas kartilago ala nasi. Bila hal ini tidak berhasil maka diperlukan tindakan-
tindakan lain yang perlu dan dapat dilakukan. Sangat penting penetalaksanaan yang tepat
pada kasus epistaksis agar tidak terjadi komplikasi atau bahkan kematian. Karena itu akan
kita bahas mengenai epistaksis pada makalah ini.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

ANATOMI VASKULAR HIDUNG


Untuk penatalaksanaannya, penting dicari sumber perdarahan walaupun kadang-
kadang sulit. Mula-mula pemeriksa harus memperhatikan apakah sumber perdarahan berada
pada sisi kanan atau kiri, bagian depan atau belakang hidung, dan di atas atau di bawah
meatus media, yang secara kasar membagi suplai darah atas dua kontributor utama, arteri
karotis eksterna dan interna. 1

Sistem Arteri Karotis Interna


Arteri oftalmika yang berasal dari arteri karotis interna, mencabangkan arteri
etmoidalis anterior dan posterior. Keduanya menyuplai bagian superior rongga hidung. Suplai
vaskular hidung lainnya berasal dari arteri karotis eksterna dan cabang-cabang utamanya.
Arteri sfenopalatina menbawa darah untuk separuh bawah dinding hidung lateral dan
bagian posterior septum. Semua pembuluh darah hidung saling berhubungan rnelalui
beberapa anastomosis. Suatu pleksus vaskular di sepanjang bagian anterior septum
kartilaginosa menggabungkan sebagian anastomosis ini dan dikenal sebagai Little area atau
pleksus Kiesselbach. Karena ciri vaskularnya dan kenyataan bahwa daerah ini rnerupakan
subjek trauma fisik dan Iingkungan berulang, maka merupakan lokasi epistaksis tersering. 1

Sistem Arteri Karotis Eksterna


Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris inetrna,
diantaranya ialah ujung a. palatina mayor dan a. sfenopalatina yang keluar dari foramen
sfenopalatina bersama n. sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung
posterior konka media. 1
Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang – cabang a. fasialis. Pada
bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang – cabang sfenopalatina, a. etmoid
anterior, a. labialis superior dan a. palatina mayor, yang disebut fleksus kiesselbach (lillte’s
area). Fleksus kiesselbach letaknya superficial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga
sering menjadi sumber epistaksis (perdarahan hidung), terutama pada anak. 1

Drainase vena

3
Secara umum, vena intranasal mempunyai nama yang sama dan berjalan
berdampingan dengan arterinya dalam mukosa hidung. Namun, disana terdapat cabang
pleksus pterygoid yang mengarah ke sinus kavernosa. Pada tahun 1949, Woodruff
menjelaskan pleksus vena terletak di bagian posterior rongga hidung yang berdekatan dengan
turbinate inferior. Daerah ini terdiri dari vena-vena berdinding besar dan tipis yang tertutup
oleh lapisan mukosa tipis, yang tidak memiliki struktur lain. Vena di vestibulum dan struktur
luar hidung bermuara ke v. oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena –
vena hidung tidak memiliki katup sehingga merupakan factor predisposisi untuk mudahnya
penyebaran infeksi sampai ke intracranial. 1

DEFINISI
Epistaksis adalah perdarahan akut dari rongga hidung, yang keluar melalui lubang
hidung ataupun ke belakang (nasopharing). Epistaksis merupakan suatu keluhan atau tanda,
bukan penyakit. Kebanyakan pasien memiliki episode penyembuhan sendiri yang tidak perlu
dilakukan perawatan medis. 1

EPIDEMIOLOGI
Terdapat perkiraan angka kejadian secara global yaitu sebesar 60%. Dari sudut
pandang otolaryngologic, epistaksis dapat mencapai angka hingga 33% dari total kasus
kegawatdaruratan dengan usia rata-rata 70 tahun. Pasien muda biasanya terjadi pendarahan
kecil yang berasal dari septum anterior, pasien yang lebih tua terjadi dengan perdarahan akut
yang berat. Epistaksis yang terjadi pada anak-anak di bawah 2 tahun sangat jarang ditemukan
dan harus curiga kearah penyakit apa yang mendasari atau adanya kekerasan pada anak. 1
Beberapa penelitian mengatakan, perbedaan musim dapat berpegaruh dalam kejadian
epistaksis, dimana episode yang lebih umum terjadi pada musim gugur dan musim
dingin. Mungkin hal ini dikarenakan adnaya penurunan kelembaban udara selama berbulan-
bulan, namun temuan ini belum dapat diterima secara universal 1

ETIOLOGI
Epistaksis diawali oleh pecahnya pembuluh darah di dalam selaput mukosa hidung.
Ketika mempertimbangkan manajemen dan prognosis pasien dengan epistaksis, penting
untuk mengklasifikasikan sumber perdarahan ke anterior atau posterior. Tidak ada perbedaan
yang tepat berdasarkan letak anatomi antara keduanya, namun perdarahan anterior umumnya

4
cenderung berasal dari septum sementara perdarahan posterior umumnya timbul di sisi lateral
cabang-cabang arteri sphenopalatina (SPA). 1
Melihat asal perdarahan epistaksis juga dibagi menjadi epistaksis anterior dan
epistaksis posterior. Delapan puluh persen perdarahan berasal dari pembuluh darah Pleksus
Kiesselbach (area Little). Pleksus Kiesselbach terletak di septum nasi bagian anterior, di
belakang persambungan mukokutaneus tempat pembuluh darah yang kaya anastomosis. 1

- Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach, merupakan sumber


perdarahan paling sering dijumpai anak-anak. Perdarahan dapat berhenti sendiri
(spontan) dan dapat dikendalikan dengan tindakan sederhana.
- Epistaksis posterior, Perdarahan posterior dapat berasal dari a. sfenopalatina dan a.
etmoid posterior. Bila perdarahan berasal dari pembuluh darah sfenopalatina di
posterior, maka elektrokauterisasi tidak mungkin dilakukan dan harus digunakan
tampon anterior or posterior untuk menekan pembuluh darah. Perdarahannya biasanya
hebat dan jarang berhenti dengan sendirinya, sehingga dapat menyebabkan anemia,
hipovolemi dan syok. Sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi,
arteriosklerosis atau pasien dengan penyakit kardiovaskuler. Perdarahan ini
disebabkan oleh pecahnya a. sfenopalatina

Epistaksis juga diklasifikasikan menjadi penyebab primer (atau idiopatik) dan


sekunder, yang diklasifikasikan kembali menjadi kelainan lokal atau sistemik. Epistaksis
sekunder mengacu pada perdarahan yang timbul dan diketahui penyebabnya . 1

1. Kelainan lokal 1

 Trauma
 Pembedahan (endoskopi dasar tengkorak dan sinus)
 Kelainan anatomi (septal deviation / spurs)
 Tumor sinonasal (benign, vascular, malignant)
 Penyakit granulomatosa / inflamasi
 Benda asing
 Pengobatan topikal

2. Kelainan sistemik 1
 Obat-obatan (Coumadin, NSAID, Aspirin)

5
 Bleeding diatheses
 Keganasan hematologi
 Hipertensi
 Penyakit hepatobilier dan Alkohol
 Penyakit jaringan / vaskular
 Malnutrisi

Perdarahan pasca operasi setelah operasi dasar tengkorak juga layak mendapat
pertimbangan khusus bukan hanya karena paparan yang berpotensi mengenai struktur
neurovaskular tetapi juga berpotensi menimbulkan catastrophe neurologic. Lesi terisolasi
vaskular seperti hemangioma, granuloma piogenik, dan telangiectasias adalah sumber lain
lokal epistaksis yang kadang-kadang sulit untuk di identifikasi tetapi dapat mengakibatkan
perdarahan berulang dengan jumlah yang banyak. 1
Pada pasien dengan epistaksis dan multiple cutaneous, bibir, mulut, dan telangiektasis
intranasal, diagnosis telangiektasia hemoragik herediter (HHT) harus dipertimbangkan,
karena pasien mungkin memiliki manifestasi intrakranial, gastrointestinal (GI), hati, dan
pulmonal, dan malformasi arteriovenosa, {AVMs) yang harus dievaluasi secara bersamaan.
Berdasarkan panduan internasional baru-baru ini juga merekomendasikan uji genetik dari
semua pasien untuk identifikasi keluarga yang belum memenuhi kriteria diagnostik HHT.
Untuk 0-1 kriteria tidak mungkin, 2 kriteria mungkin / suspek, 3 atau lebih dari tiga kriteria
pasti 1
Kriteria Diagnosis Klinis HHT
Kriteria Deskripsi
Epistaksis Rekuren
Telangiektasia Beberapa lokasi (bibir, cavitas oral, jari dan hidung)
Lesi visceral Telangiektasi GI, pulmo, cerebral, hepatic, spinal AVMs)
Riwayat keluarga Relasi satu tingkat dengan diagnosis HHT

Penyebab epistaksis sistemik biasanya berhubungan dengan pengobatan tidak teratur


yang mengakibatkan gangguan fungsi pembekuan atau platelet termasuk gagal ginjal,
NSAID, dan penggunaan salisilat. Misalnya, aspirin dosis rendah telah terbukti meningkatkan
risiko epistaksis bila dibandingkan dengan plasebo (masing - masing 19,1% vs. 16,7%).
Penggunaan warfarin juga dapat menjadi predisposisi epistaksis, terutama ketika INR tidak
dikontrol secara ketat. Pasien epistaksis juga harus ditanyai tentang penggunaan suplemen

6
termasuk bawang putih, ginkgo, atau ginseng, yang dapat menyebabkan koagulopati sistemik
ringan . 1
Inherited bleeding diatheses, yang paling umum adalah hemofilia A diikuti penyakit
von Willebrand dan keganasan hematologi yang merupakan penyebab epistaksis kurang
umum, namun tetap harus dipertimbangkan dalam diagnosis banding yang luas. Penyakit
hepatobilier juga dapat menyebabkan koagulopati terkait dengan epistaksis sekunder akibat
penurunan produksi faktor-faktor yang tergantung dengan vitamin K (prothrombin, faktor
VII, IX. Dan X. Protein C dan S. 1

DIAGNOSIS
Anamnesis
Penanganan epistaksis yang tepat akan bergantung pada suatu anamnesis yang cermat. Hal-
hal penting adalah sebagai berikut:
1. Riwayat perdarahan sebelumnya
2. Lokasi perdarahan
3. Apakah darah terutama mengalir ke dalam tenggorokan (ke posterior) ataukah keluar
dari hidung depan (anterior) bila pasien duduk tegak
4. Lama perdarahan dan frekuensinya
5. Kecenderungan perdarahan
6. Riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga
7. Hipertensi
8. Diabetes melitus
9. Penyakit hati
10. Penggunaan antikoagulan
11. Trauma hidung yang belum lama
12. Obat-obatan, misal : aspirin, fenilbutazon (Butazolidin) 2
Pemeriksaan Fisik
Alat-alat yang diperlukan untuk pemeriksaan adalah lampu kepala, speculum hidung
dan alat penghisap(bila ada) dan pinset bayonet, kapas, kain kassa. Untuk pemeriksaan yang
adekuat pasien harus ditempatkan dalam posisi dan ketinggian yang memudahkan pemeriksa
bekerja. Harus cukup sesuai untuk mengobservasi atau mengeksplorasi sisi dalam hidung. 2

Dengan spekulum hidung dibuka dan dengan alat pengisap dibersihkan semua
kotoran dalam hidung baik cairan, sekret maupun darah yang sudah membeku; sesudah

7
dibersihkan semua lapangan dalam hidung diobservasi untuk mencari tempat dan faktor-
faktor penyebab perdarahan. Setelah hidung dibersihkan, dimasukkan kapas yang dibasahi
dengan larutan anestesi lokal yaitu larutan pantokain 2% atau larutan lidokain 2% yang
ditetesi larutan adrenalin 1/1000 ke dalam hidung untuk menghilangkan rasa sakit dan
membuat vasokontriksi pembuluh darah sehingga perdarahan dapat berhenti untuk sementara.
Sesudah 10 sampai 15 menit kapas dalam hidung dikeluarkan dan dilakukan evaluasi. 2

Pasien yang mengalami perdarahan berulang atau sekret berdarah dari hidung yang
bersifat kronik memerlukan fokus diagnostik yang berbeda dengan pasien dengan perdarahan
hidung aktif yang prioritas utamanya adalah menghentikan perdarahan. Pemeriksaan yang
diperlukan berupa:

a) Rinoskopi anterior
Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke posterior.
Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan konkha
inferior harus diperiksa dengan cermat.

b) Rinoskopi posterior
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien dengan
epistaksis berulang dan sekret hidung kronik untuk menyingkirkan neoplasma 2

PENATALAKSANAAN
Manajemen Awal Epistaksis Akut
Sebagian besar perdarahan hidung sebatas kehilangan darah yang minimal. Namun,
dalam situasi tertentu perdarahan bisa terjadi menjadi signifikan dan berakibat fatal, dengan
demikian setiap pasien harus dievaluasi secara tepat. Panduan American Heart Association
Basic Life Support menerapkan pada epistaksis, pertimbangan pertama adalah perlindungan
dan manajemen jalan napas. Setelah ini dianggap aman, perhatian kemudian diarahkan untuk
mengkontrol perdarahan sementara secara bersamaan dengan penyediaan akses vaskular
untuk penggantian volume dan support hemodinamik. 1
Pasien harus duduk dengan tubuh miring ke depan dan mulut terbuka. Dengan asumsi
posisi telentang harus dihindari untuk mengurangi tekanan vena dan mencegah aspirasi.
Pasien harus disarankan untuk menekan kartilago lateral atas selama 10 sampai 15 menit
tanpa melepaskannya dalam upaya untuk tamponade vaskularisasi septum anterior. Jika
tersedia, dekongestan topikal seperti oxymetazoline HCl juga dapat diberikan. 1

8
Untuk epistaksis yang persisten dan tidak dapat dikontrol dengan teknik ini. Penilaian
dan perawatan harus dilakukan di ruangan dengan pemantauan, pengisapan, pencahayaan
yang memadai, dan peralatan endoskopi yang lebih baik. Kewaspadaan harus dipatuhi secara
ketat karena risiko paparan terkena darah sangat tinggi. Titik darah harus dievakuasi diikuti
dengan penggunaan vasokonstriktor dan agen anestesi. Hidung diperiksa dengan spekulum
hidung dan headlamp. Dalam kasus perdarahan anterior, dapat diidentifikasi menggunakan
metode ini, namun praktisi tidak perlu ragu untuk melanjutkan ke endoskopi untuk mencari
sumber yang terletak di posterior. 1

Epistaksis Minor Berulang


Saat pertama kali datang, pasien mungkin tidak dalam keadaan perdarahan aktif,
namun mempunyai riwayat epistaksis berulang dalam beberapa minggu terakhir. Biasanya
berupa serangan epistaksis ringan yang berulang beberapa kali, namun serangan terakhir
mungkin menyebabkan pasien menjadi takut, sehingga ia mencari pertolongan.
Pemeriksaan hidung pada keadaan ini dapat mengungkap adanya pembuluh-
pembuluh yang menonjol melewati septum anterior, dengan sedikit bekuan darah. Pembuluh
tersebut dapat dikauterisasi secara kimia atau listrik. Penggunaan anestetik topikal dan agen
vasokonstriktor, misalnya larutan kokain 4% atau Xilokain dengan epinefrin, selanjutnya
lakukan kauterisasi, misalnya dengan larutan asam trikloroasetat 50% pada pembuluh
tersebut. 2
Jika pembuluh menonjol pada kedua sisi septum, diusahakan agar tidak mengkauter
daerah yang sama pada kedua sisi. Sekalipun menggunakan zat kauterisasi dengan penetrasi
rendah, namun daerah permukaan yang dicakup kauterisasi harus dibatasi. Sebaliknya, maka
dengan rusaknya silia dan pembentukan epitel gepeng di atas jaringan parut sebagai
pengganti mukosa saluran napas normal, akan terbentuk titik-titik akumulasi dalam aliran
lapisan mukus. Dengan melambatnya atau terhentinya aliran mukus pada daerah-daerah yang
sebelumnya mengalami kauterisasi, akan terbentuk krusta pada septum. Pasien kemudian
akan mengorek hidungnya untuk melupaskan krusta, mencederai lapisan permukaan dan
menyebabkan perdarahan baru, dan menyempurnakan lingkaran setan dengan kembali ke
dokter untuk tindakan kauterisasi selanjutnya. 2
Penetrasi yang dangkal juga diberikan oleh perak nitrat, yang cukup berguna untuk
anak-anak. Penetrasi yang lebih dalam didapat dengan manik-manik asam kromat dan bahkan
elektrokauter. Pada perdarahan yang sangat aktif, tidak ada cara kauterisasi hidung yang
efektif ataupun aman. Perdarahan berulang dari suatu pembuluh septum dapat diatasi dengan

9
meninggikan mukosa setempat dan kemudian membiarkan jaringan menata dirinya sendiri,
atau dengan merekonstruksi deformitas septum dasar, untuk menghilangkan daerah-daerah
atrofi setempat dan lokasi tegangan mukosa. Pada perdarahan hidung ringan yang berulang
dengan asal yang tak diketahui, dokter harus menyingkirkan tumor nasofaring atau sinus
paranasalis yang mengikis pembuluh darah. Sinusitis kronik merupakan penyebab lain yang
mungkin. Akhirnya, pemeriksa harus mencari gangguan patologik yang terletak jauh seperti
penyakit ginjal dan uremia, atau penyakit sistemik seperti gangguan koagulasi. 2

Endoscopic-Assisted Nasal Cautery


Setelah mendapatkan terapi topikal yang adekuat, rongga hidung dapat diperiksa
secara hati-hati dengan bantuan endoskopi dan suction. Bila memungkinkan, keseluruhan
rongga hidung termasuk meatus inferior dan medial, reses sphenoethmoidal, dan nasopharynx
harus di observasi juga untuk menyingkirkan kemungkinan perdarahan multipel atau adanya
massa atau lesi. Teknik spesifik hemostatik yang digunakan tergantung pada ketersediaan
peralatan dan pengalaman praktisi. Termasuk diantaranya kauter kimia, mono atau bipolar
diathermy, atau aplikasi lokal dari matriks hemostatik yang dapat diserap. Kauter monopolar
dekat puncak orbital, fossa pterygopalatine, atau dalam sphenoid yang tepat harus dilakukan
hati-hati karena neuropraxia dapat terjadi karena adanya propagasi arus melalui struktur
neurovaskular yang berdekatan. Pada HHT, kauterisasi dibantu laser sangat berguna. Argon
atau kalium titaniil fosfat (KIP) diberikan terlebih dahulu sebelum memberikan energi laser
ke pinggiran lesi sebelum fokus pada lesi itu sendiri. 1
Aplikasi silver nitrat adalah metode kauter kimia yang umum, terutama untuk
perdarahan anterior. Stick harus diterapkan tepat ke titik perdarahan dan dipegang dalam
beberapa detik. Coagulum putih yang terbentuk karena denaturasi protein. Secara umum
diberitahukan bahwa kauter tidak boleh diterapkan secara bilateral ke septum hidung anterior
secara bersamaan untuk menghindari risiko perforasi septum. Meskipun hal ini sebagian
besar bersifat anekdotal dan tidak mungkin, perforasi yang ditimbulkan sangat sulit untuk
ditangani maka dari itu kauterisasi bilateral tidak dianjurkan. 1

Perdarahan Anterior Aktif


Pasien dengan perdarahan aktif lewat bagian depan hidung harus duduk tegak,
menggunakan apron plastik serta memegang suatu wadah berbentuk ginjal untuk melindungi
pakaiannya. Gulungan kapas yang telah dibasahi dengan larutan kokain 4% dimasukkan
dengan hati-hati ke dalam hidung. Dengan kaca kepala terpasang, dokter memegang

10
spekulum hidung pada satu tangan, sedang tangan yang lain memegang pengisap untuk
mengaspirasi darah yang berlebihan. Setelah sumber perdarahan diketahui, kauterisasi dapat
dicoba bilamana pembuluh tersebut kecil; sebaliknya jika besar, pasang tampon hidung
anterior-unilateral, atau bilateral pada wajah bilamana mungkin pada kasus perdarahan bebat
atau sumber perdarahan yang sulit dikenali. Menentukan lokasi perdarahan rnungkin semakin
sulit pada pasien dengan deviasi septum yang nyata atau perforasi septum. Tampon mudah
dibuat dari lembaran kasa steril bervaselin, berukuran 72 x 1/2 inci, disusun dari dasar hingga
atap hidung dan meluas hingga ke seluruh panjang rongga hidung. 2
Antibiotik profilaktik dianjurkan oleh beberapa dokter karena ostia sinus menjadi
tersumbat oleh tampon, dan adanya benda asing (tampon) serta bekuan darah, yang
menyediakan suatu lingkungan untuk pertumbuhan bakteri. Selain itu, sebagian dokter juga
melapisi tampon dengan krim atau salep antibiotik untuk mengurangi pertumbuhan bakteri
dan pembentukan bau. Balon hidung dengan beberapa desain yang berbeda kini tersedia dan
dapat mengganti tampon hidung. Demikian juga, tampon hidung yang dapat mengembang
bila ditempatkan dalam hidung, dapat menjadi pengganti tampon hidung tradisional. Baik
balon maupun tampon hidung lebih mudah ditempatkan dalam hidung dibandingkan bahan
tampon tradisional, serta lebih mudah diterima pasiery namun, agaknya tidak demikian
efektif dalam mengontrol perdarahan dan mungkin perlu diganti dengan tampon tradisional.
Bila hanya memerlukan tampon hidung anterior dan tanpa adanya gangguan medis primer,
pasien dapat diperlakukan sebagai pasien rawat jalan dan diberitahu untuk duduk tegak
dengan tenang sepanjang hari, serta kepala sedikit ditinggikan pada malam hari. Tampon
dapat diangkat dalam dua atau tiga hari. Pasien tua atau dengan kemunduran fisik harus
dirawat di rumah sakit. 2

Perdarahan Posterior Aktif


Epistaksis posterior dicurigai bila (1) sebagian besar perdarahan terjadi ke dalam
faring, (2) suatu tampon anterior gagal mengontrol perdarahan, atau (3) nyata dari
pemeriksaan hidung bahwa perdarahan terletak posterior dan superior. Situasi ini sering
terjadi pada orang tua yang mungkin telah mengalami arteriosklerosis, namun dapat terjadi
pada setiap individu setelah trauma hidung yang berat. 2
- Blok Ganglion Sfenopalatinum.
Pada kasus epistaksis posterior, beberapa ahli menganjurkan blok sfenopalatinum
yang dapat bersifat diagnostik dan terapeutik. Injeksi 0,5 ml Xilokain 1% dengan epinefrin
1:100.000 secara berhati-hali ke dalam kanalis palatina mayor akan menyebabkan

11
vasokonstriksi arteri sfenopalatina. Di samping vasokonstriksi, injeksi ini juga menimbulkan
anestesia untuk prosedur pemasangan tampon hidung posterior.
Bila perdarahan berasal dari cabang arteri sfenopalatina, maka epistaksis akan segera
berkurang dalam beberapa menit. Berkurangnya perdarahan ini hanya berlangsung singkat
hingga Xilokain diabsorpsi. Gliserin (USP 2 penen) dan Xilokai (2 penen) dapat digunakan
untuk efek yang lebih lama. Jika injeksi tidak memberi efek, maka perdarahan mungkin
berasal dari arteri etmoidalis anterior dan posterior. Karena kemungkinan komplikasi okular,
metode ini lebih baik dilakukan oleh spesialis. 2
- Tampon Hidung Posterior.
Suatu tampon posterior yang dimasukkan melalui mulut. dapat ditarik memakai
kateter melalui hidung ke dalam koana posterior. Suatu spons berukuran 4 x 4 inci yang
digulung erat dan diikat dengan benang sutera No. 1 merupakan tampon yang baik. Dapat
diolesi dengan salep antibiotik topikal untuk mengurangi insidens infeksi. Tamponade
dengan berbagai balon hidung komersial yang dimasukkan lewat depan dan kemudian ditiup,
dapat pula dilakukan. Beberapa pabrik membuat balon dengan dua ruang terpisah; yang satu
berfungsi sebagai tampon anterior, yang satunya sebagai tamponposterior. Jika suatu balon
ditempatkan baik di anterior ataupun di posterior, maka balon harus diisi dengan larutan
salin, dan bukan udara, karcna udara dapat bocor dan tamponade menjadi gagal. Suatu kateter
Foley No. 14 biasa dengan suatu kantung 15 cc juga dapat dimasukkan tmnsnasal,
dikembangkan dan ditarik rapat pada koana posterior. Posisi kateter dapat dipertahankan
dengan suatu klem umbilikus. Yang paling sering dilakukan adalah memasukkan suatu
kateter melalui hidung, ditangkap pada faring dan kemudian dikeluarkan lewat mulut. Dua
benang yang melekat pada tampon diikatkan pada kateter yang menjulur dari mulut. Tali
ketiga yang melekat pada tampon dibiarkan menggantung dalam faring sebagai tali penarik.
Kateter kemudian ditarik keluar melalui hidung depan untuk menempatkan tampon pada
koana. Jika perlu, tampon dapat dibantu penempatannya dengan jari doliler hingga berada di
atas palatum mole. Posisi tampon harus cukup kuat dan tidak boleh menekan palatum mole.
Sementara tegangan dipertahankan melalui kedua tali yang keluar dari hidung depan, dokter
harus menempatkan tampon anterior di antara kedua tali dan kedua tali diikatkan simpul pada
gulungan kasa kecil. Kedua tali harus dikeluarkan lewat lubang hidung yang sama dan tidak
diikatkan pada kolumela-hal ini dapat menimbulkan nekrosis jaringan lunak, suatu deformitas
yang tidak sedap dipandang dan sulit diperbaiki. 2

12
Pasien yang memerlukan pemasangan tampon posterior harus dirawat di rumah sakit,
sedangkan pasien tua atau dengan suatu penyakit primer ditempatkan pada bagian perawatan
intensif. Hal-hal berikut perlu dipertimbangkan saat pasien masuk ke rumah sakit:
1. Pemantauan tanda-tanda vital yang sering, termasuk tekanan darah, nadi dan
pernapasan.
2. Elektrokardiogram (pada pasien dengan penyakit yang jelas lakukan pemantauan
kontinu dengan monitor jantung).
3. Penggunaan oksigen bilamana perlu (hati-hati pada penyakit paru obstruktif
menahun) karena adanya kemungkinan komplikasi sekunder akibat sedasi, kehilangan
darah akut, dan penurunan PO2 arteri sehubungan dengan pemasangan tampon.
4. Pemantauan analisa gas darah arteri.
5. Hemoglobin dan hematokrit sedikitnya tiap 12 jam.
6. Pemeriksaan kelainan perdarahan (PT, PT'T, hitung trombosit).
7. Semua tes yang diperlukan untuk melakukan evaluasi medis yang memadai dari tiap
kemungkinan penyebab primer epistaksis, misalnya FBS, BUN atau kreatinin.
8. Pemberian cairan intravena, karena masukan oral yang buruk pada pasien-pasien ini.
9. Obat-obat nyeri biasanya meperidin hidroklorida (Demerol) atau kodein. (Sedasi dan
analgesia perlu dilakukan tanpa menyebabkan depresi pernapasan.) '10. Diet cairan
jernih.
10. Pemeriksaan faring untuk mencari perdarahan aktif.
11. Kepala ditinggikan 45 derajat.
12. Antibiotik spektrum luas profilaltik karena terputusnya pola drainase hidung dan
sinus.
13. Penentuan jenis dan kecocokan--silang darah bila kehilangan darah cukup bermakna. 2

Tampon posterior biasanya dipertahankan tiga hingga lima hari. Selama itu pasien
akan terganggu kenyamanannya dan perlu diberi sedatif dan analgetik. Penelitian
menunjukkan bahwa sumbatan jalan napas lengkap pada individu tertentu mengarah pada
peningkatan PCO2 dan penurunan pO2. Kombinasi keduanya pada pasien dengan riwayat
penyakit paru atau jantung dapat menimbulkan komplikasi bermakna, cont., infark
miokardium atau gangguan pembuluh darah otak (CUA). Sering dianjurkan; bahwa tampon
tradisional perlu dilonggarkan atau balon perlu dikempiskan sebelum diangkat. Jika
perdarahan kembali terjadi maka tampon dapat dipasang kembali dengan tidak banyak
mengganggu pasien dibandingkan dengan pangganti tampon. 2

13
MANAJEMEN PEMBEDAHAN

Manajemen pembedahan pada epistaksis biasanya dilakukan untuk pasien yang


perdarahannya refrakter terhadap terapi konservatif, memiliki episode kronis atau berulang,
atau memiliki perdarahan yang mengancam jiwa. Pilihan prosedur tergantung pada berbagai
faktor pra operasi termasuk, lokasi pendarahan. Tujuan dari prosedur ini adalah mengisolasi
dan mengikat arteri yang menyinggung dan mencegah gangguan struktur yang berdekatan
dan melestarikan fungsi sinonasal. 1

Ligasi Pembuluh Spesifik


Bila tampon posterior dan anterior gagal mengendalikan epistaksis, maka perlu
dilakukan ligasi arteri spesifik. Arteri tersebut antara lain arteri karotis eksterna, arteri
maksilalis interna dengan cabang terminusnya, arteri sfenopalatina dan arteri etmoidalis
posterior dan anterior. 2
- Ligasi Arteri Karotis Eksterna.
Karena banyaknya anastomosis, ligasi arteri karotis eksterna tidak selalu dapat
menghentikan epistaksis. Namun, bilamana perlu metode ini dapat dilakukan pada semua
pasien oleh dokter yang tampil dalam pembedahan leher dan kepala. Insisi dilakukan
melintang atau memanjang sepanjang batas anterior otot sternokleidomastoideus setinggi
tulang hyoid. Setelah otot platisma diangkat, dapat dikenali batas anterior otot
sternokleidomastoideus. Dengan diseksi yang hati-hati dapal dikenali selubung karotis, vena
jugularis dan saraf vagus. Diseksi lebih lanjut memungkinkan visualisasi bulbus karotis.
Arteri karotis interna dan eksterna harus dikenali secara khusus. Meskipun dinamakan arteri
karotis eksterna, namun pada leher sebenarnya arteri ini terletak di medial arteri karotis
interna. Ligasi dilakukan dengan suatu ikatan memakai benang sutera di atas percabangan
arteri lingualis. Hilangnya denyut temporalis harus diperiksa dua kali sebelum ligasi
dieratkan. Luka dapat ditutup dalam beberapa lapis, dan drain dipasang selama 24 jam. 2

- Ligasi Arteri Maksilaris Interna.


Ligasi arteri maksilaris interna umumnya dilakukan oleh mereka yang ahli dalam
teknik bedah dan anatomis sehingga dapat mencapai fosa pterigomaksilaris. Prosedur ini
dapat dilakukan dengan anestesia lokal atau umum. Sebelum prosedur dilakukan perlu dibuat
radiogram sinus paranasalis. Pada mukosa gusi pipi bagian atas dibuat insisi Caldwell mulai
dari garis tengah hingga daerah gigi molar atas kedua. Mukoperiosteum diangkat dari dinding
anterior sinus maksilaris, sinus maksilaris dimasuki dan sisa dinding anterior diangkat sambil

14
menjaga saraf infraorbitalis. Dinding sinus posterior yang bertulang kemudian diangkat
dengan berhati-hati dan lubang ke dalam fosa pterigomaksilaris diperbesar. Bila lubang sudah
cukup besar, gunakan mikroskop operasi untuk diseksi lebih lanjut. Pembuluh darah
diidentifikasi dan klip logam dipasang pada arteri maksilaris interna, sfenopalatina dan
palatina desendens (Gbr. 12-20). Luka ditutup dan tampon hidung posterior diangkat. Suatu
tampon hidung anterior yang lebih kecil mungkin masih diperlukan. Jika terdapat bukti-bulci
infeksi atau bila ditakuti terjadi infeksi, dapat dibuat suatu fenestra antrum hidung saat
melakukan prosedur. Kateterisasi selektif dengan embolisasi cabang-cabang arteri karotis
eksterna merupakan cara pendekatan lain yang juga mencapai tujuan sama seperti ligasi. 2

- Ligasi Arteri Etmoidalis Anterior.


Perdarahan dari cabang-cabang terminus arteri oftalmika terkadang memerlukan ligasi
arteri etmoidalis anterior. Pembuluh ini dicapai melalui suatu insisi melengkung memanjang
pada hidung di antara dorsum dan daerah kanfus media. Insisi langsung diteruskan ke tulang,
di mana periosteum diangkat dengan hati-hati dan ligamentum kantus media dikenali. Arteri
etmoidalis anterior selalu terletak pada sutura pemisah tulang frontal dengan tulang
etmoidalis. Pembuluh ini dijepit dengan suatu klip hemostatik atau suatu ligasi tunggal.
Karena terletak dekat dengan saraf optikus, maka pembuluh etmoidalis harus dicapai dengan
retraksi bola mata yang sangat hati-hati. 2

- Ligasi Arteri Sphenopalatina

SPA dapat diekspos melalui endoskopi dengan mengangkat flap mukosa


posterolateral melalui proses tulang orbital palatine. Saat flap diangkat, crista ethmoidalis
dan bundel neurovaskular posterolateral tambahan akan ditemukan. SPA kemudian dapat
diidentifikasi dan dibedah menggunakan ball tipped probe. Dilanjutkan diseksi ke arah
posterior ke arah lengkungan choana untuk menyingkirkan kemungkinan adanya cabang
nasal posterior tambahan yang dapat masuk ke hidung melalui foramen terpisah di posterior
SPA. Alternatifnya, arteri dapat dilacak ke dalam fossa pterygopalatina untuk mengikatnya.
Flap mukosa kemudian dapat diganti yang mempercepat remukosalisasi dan dapat
menghindari kebutuhan untuk nasal packing. 1

Septodermoplasty

15
Dalam prosedur ini, mukosa hidung dipotong dalam bidang supramucoperichondrial
dan digantikan oleh cangkok kulit allograft atau split thickness yang diambil dari lokasi lain
seperti paha. Graft kemudian dijahit atau diperbaiki dengan jahitan mattres. Operasi dapat
dilakukan secara bilateral dan bertahap. 1

ENDOVASCULAR EMBOLISASI

Embolisasi endovaskular selektif dengan arborisasi maksila interna dapat dicoba


melalui kateterisasi arteri femoralis. Embolisasi dengan menggunakan microcoils, partikel
polivinil alkohol, microsphere dextran, spons gelatin absorbable, atau balon yang dapat
dilepas mengalami tingkat keberhasilan 60% hingga 90%. Namun, lokasi proksimal oklusi
arteri relatif terhadap tindakan pembedahan memungkinkan untuk pembentukan input arteri
kolateral, yang dapat menyebabkan epistaksis berulang. Komplikasi yang dilaporkan
diantaranya nyeri wajah, trismus, amaurosis, dan oftalmoplegia. 1

Pengelolaan Faktor Komorbid Sistemik

Setelah perdarahan dikendalikan, efek sistemik dari kehilangan darah harus


dipertimbangkan. Jika pasien mengalami hipovolemik, dapat diberikan cairan dan ekspander
plasma. Transfusi darah harus dipertimbangkan setelah kehilangan volume darah yang
signifikan dengan gangguan hemodinamik terkait. Pada pasien yang sehat, risiko yang terkait
dengan transfusi harus dipertimbangkan terhadap status hemodinamik pasien secara
keseluruhan dan dapat dilakukan metode alternatif resusitasi cairan. Penatalaksanaan
hipertensi, trombositopenia, dan koagulopati juga akan membantu dalam manajemen
epistaksis dan pencegahan rekuren. 1

Epistaksis Berkaitan dengan Trauma Hidung


Epistaksis yang rutin terjadi setelah fraktur hidung dan atau septum nasi biasanya
berlangsung singkat, dan berhenti spontan. Adakalanya epistaksis dapat berulang kembali
beberapa jam kemudian. Malahan pada kenyataannya, dapat berulang setelah beberapa hari
pada fraktur yang tidak direduksi saat pembengkakan mulai berkurang. Terapi terbaik pada
keadaan demikian adalah reduksi segera fraktur hidung. Kegagalan mengatasi perdarahan
setelah reduksi fraktur mungkin memerlukan salah satu prosedur ligasi pembuluh yang
dijelaskan sebelumnya. Jika septum mengalami frakrur, maka dokter perlu memeriksa daerah
tersebut untuk menyingkirkan kemungkinan hematoma septun. 2

16
Epistaksis Berkaitan dengan Kelainan Perdarahan Spesifik
Epistaksis sering kali terjadi pada penderita teleangiektasi hemoragik herediter, suatu
sindrom dominan yang dicirikan oleh pembentukan lesi vaskular di sekitar bibir, rongga
mulut, dan hidung. Salah satu manifestasi klinis yang tenering adalah epislaksis berulang
hingga memerlukan transfusi berulang. Dermoplasti septum merupakan suatu cara yang
dirancang untuk mengendalikan epistaksis berulang. Prosedur operasi ini meliputi
pengangkatan mukosa septum nasi anterior, dasar hidung, dan bagian anterior konka inferior
dengan hati-hati, dan penggantian mukosa dengan cangkok kulit ketebalan paruh. Prosedur
ini biasanya hanya dilakukan pada satu sisi namun kemudian dapat diulangi pada sisi satunya.
Meskipun tindakan ini menyebabkan pembentukan krusta dalam hidung, namun agaknya
perlu dilakukan pada pasien-pasien yang telah mendapat transfusi berulang.
Bila epistaksis terjadi pada pasien hemofilia, penyakit von Willebrand, atau
koagulopati lainnya, maka cara terbaik untuk mengatasinya adalah sekonservatif mungkin.
Bila perlu dengan pemasangan suatu tampon hidung anterior dan transfusi plasma
kriopresipitat, Faktor VIII atau faktor pembekuan lain. 2

Epistaksis pada Penderita Leukemia


Pasien leukemia kronik atau akut atau multiple mieloma, terutama pada stadium lanjut
mengalami serangan epistaksis berulang baik sebagai akibat proses penyakit dasar ataupun
akibat pengobatan. Karena infeksi berat lebih mudah terjadi pada pasien-pasien ini, maka
pemakaian lama tampon hidung anterior dan posterior harus dihindari. Meskipun kurang
dapat diandalkan, mula-mula dapat dicoba preparat trombin atau hemostatik topikal seperti
kapas Oxycel atau Gelfoam. Antibiotik sistemik perlu diberikan bahkan pada pemasangan
tampon anterior dari kasa sekalipun. Koreksi cacat pembekuan dasar seperti pemberian
trombosit perlu dilakukan secanr bersamaan.2

KOMPLIKASI
Epistaksis merupakan suatu kondisi yang dapat mengancam jiwa. Semua pasien dengan
perdarahan aktif memerlukan pemeriksaan penuh dan resusitasi jika perlu. Status klinis pada
pasien yang lebih tua dapat cepat menurun hingga resusitasi yang agresif merupakan hal yang
penting. Alat pelindung sebaiknya digunakan sebelum melakukan tindakan termasuk masker
dan pelindung mata. Tanda vital sebaiknya dimonitor secara teratur. Pemeriksaan darah

17
sebaiknya dilakukan. Komplikasi epistaksis dapat terjadi oleh karena epistaksis itu sendiri
maupun dari tindakan seperti pemasangan tampon hidung.

1. Syok Hipovolemi
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa pemeriksaan faktor pembekuan
sebaiknya dilakukan jika dicurigai adanya gangguan perdarahan. Terapi cairan
sebaiknya diberikan jika dicurigai terjadi syok hipovolemi. Gejala klinis pada suatu
perdarahan bisa belum terlihat jika kekurangan darah kurang dari 10% dari total
volume darah. Bila perdarahan terus berlangsung maka tubuh tidak mampu lagi
mengkompensasinya dan menimbulkan gejalagejala klinis. Secara umum, syok
hipovolemik menimbulkan gejala peningkatan frekuensi jantung dan nadi (takikardi),
pengisian nadi yang lemah, kulit dingin dengan turgor yang jelek, ujung-ujung
ekstremitas dingin, dan pengisian kapiler lambat. Pasien hamil bisa saja menunjukkan
tanda dan gejala syok hipovolemik yang atipikal hingga kehilangan 1500 ml darah
tanpa terjadi perubahan tekanan darah. Keparahan dari syok hipovolemik tidak hanya
tergantung pada jumlah kehilangan volume dan kecepatan kehilangan volume, tetapi
juga usia dan status kesehatan individu sebelumnya. 3

2. Komplikasi Akibat Penggunaan Tampon Hidung


Dalam praktek THT akhir-akhir ini, penggunaan tampon hidung dalam
penanganan epistaksis telah digantikan oleh penatalaksanaan secara endoskopi. Akan
tetapi oleh karena kurangnya sumber daya, hingga penggunaan tampon hidung tetap
digunakan secara luas dan lebih ekonomis. Durasi penggunaan tampon hidung tidak
disebutkan dengan jelas dalam literature. Sementara itu, penggunaannya juga
memiliki banyak implikasi terhadap pasien, antara lain :
o Menyebabkan rasa tidak nyaman. Keberadaan tampon di dalam hidung
menyebabkan pasien merasa tidak nyaman sehingga terpaksa bernafas
melalui mulut dan akibatnya menyebabkan rasa kering di tenggorokan.
o Gangguan transport mukosiliar dan stimulasi konstan kelenjar mukosa
yang mengacu kepada statis sekret, inflamasi mukosa dan sakit kepala.
o Lakrimasi (epifora) akibat sumbatan pada duktus nasolakrimalis. Disampin
itu, keberadaan tampon hidung juga menyebabkan stimulasi konstan
apparatus lakrimalis yang menyebabkan lakrimasi yang berlebihan.

18
o Nasovagal reflex, dimana reflex ini terjadi selama pemasangan tampon
pada cavum nasi, yang kemudian menstimulasi vagal, dengan konsekuensi
hipotensi dan bradikardi.
o Sleep apnea, disebabkan oleh penurunan aliran udara pada hidung yang
menyebabkan terjadinya hipoksia selama tidur.
o Berpindahnya tampon ke orofaring dengan resiko terjadinya obstruksi akut
pada jalan nafas. - Pengeluaran tampon hidung dapat memicu terjadinya
perdarahan ulang. 3

3. Toxic Shock Syndrome


Toxic shock syndrome (TSS) merupakan salah satu komplikasi dari
pemakaian tampon hidung. TSS dapat terjadi pada berbagai kondisi klinis dan
menyerupai kondisi febril pada umumnya. TSS bersifat akut, tidak menular, ditandai
oleh adanya demam tinggi, hipotensi, rash pada kulit, disfungsi multi organ dan
deskuamasi kutaneus selama periode konvalesen. Sebagian disebabkan oleh
eksotoksin yang berhubungan dengan Staphylococcus. Eksotoksin S.aureus
merupakan senyawa protein yang disekresikan pada periode waktu tertentu selama
pertumbuhan bakteri. Toksin TSS yang paling sering yaitu toxic shock syndrome
toxin-1 (TSST-1, ditemukan pada 75% kasus) dan staphylococcal enterotoxin-B
(SEB, ditemukan sekitar 20-25% kasus) 3

19
TINJAUAN PUSTAKA
1. Jonas T. Johnson, Clark A. Rosen.2014.Bailey's head & neck surgery
OTOLARYNGOLOGY 5th edition. philadelphia : wolters kluwer
bussiness.Vol.2:2399-2407.
2. Sumber : Adam, Boies Higler. Boies Buku Ajar Penyakit THT edisi 6, EGC, Jakarta.
3. Punagi, Abdul Qadar. EPISTAKSIS DIAGNOSIS & PENATALAKSANAAN
TERKINI. Digi Pustaka Cetakan 01. 2017

20

Anda mungkin juga menyukai