Anda di halaman 1dari 12

HIDDEN CURRICULUM PEMBELAJARAN

DI SMA EHIPASSIKO BSD CITY TANGERANG SELATAN

Oleh
Suntoro
suntoro87@gmail.com

Abstract
Hidden curriculum is an integral part of the implementation of the education system.
The existence of a hidden curriculum is absolutely necessary as a means of
transfering positive character values to students. This study aims to determine the
shape and implementation of hidden curriculum at Ehipassiko High School as one of
the schools characterized by Buddhism. The research method used is descriptive
qualitative. The data collection technique of this study uses observation, interviews,
and documentation. The result of the study show that the hidden curriculum that
appears in actual curriculum practice is reflected in learning activities such as: (a)
the initial, core, and final activities of learning, (b) attached to all subjects; (c) student
attitudes and comliance, and (d) exemplary teacher. Hidden curriculum in the
learning process has a function as a tool and methid to increase the repertoire of
students knowledge as well as a melting atmosphere of learning, resenting a respected
and interesting teahing educator mode, so as to arouse students interest in learning.
This research is expected to be an input for Ehipassiko Hidh School n particular and
Buddhist schools in general to improve the quality of good Buddhist education.

Keywords: curriculum, hidden curriculum, character education

PENDAHULUAN

Maraknya kasus negatif yang dilakukan oleh generasi muda membuat


pemerintah merasa perlu menggagas kembali pentingnya pendidikan
karakter. Orientasi tujuan pendidikan yang selama ini menekankan ranah
pengetahuan dan keterampilan, kini harus diimbangi dengan sikap yang
baik. Kesenjangan pengembangan tiga domain kecerdasan (kognitif, afektif,
dan psikomotorik) bisa menjadi bom waktu yang sewaktu-waktu dapat
meledak jika tidak diantisipasi dari sekarang.
Selama ini proses pembelajaran di sekolah cenderung mementingkan
pengembangan domain kognitif dan psikomotorik sementara domain afektif
seolah dianaktirikan. Pengembangan rasio berpikir dan kecakapan hidup
menjadi menu sehari-hari yang harus dilahap siswa di sekolah. Hal ini
kurang sesuai dengan tuntutan tujuan pendidikan nasional yang bertujuan
mencerdaskan dan membentuk jiwa bangsa Indonesia yang beriman dan
berakhlak mulia.
Banyak kasus yang menimpa pelajar di Indonesia seharusnya menjadi
pelajaran yang berharga bagi dunia pendidikan di negeri ini. Badan Pusat
Statistik Indonesia (2010) mencatat dari tahun 2007 tercatat sekitar 3100
orang remaja terlibat dalam kasus kriminalitas, tahun 2008 dan 2009 yang
meningkat menjadi 3.300 dan sekitar 4.200 remaja. Tidak hanya dari segi
kuantitas, laporan badan pusat statistik juga menjelaskan bahwa tindak
kriminalitas yang dilakukan oleh remaja juga meningkat dari segi kualitas.
Kenakalan remaja yang pada awalnya hanya berupa perilaku tawuran atau
perkelahian antarpelajar, sekarang berkembang sebagai tindak kriminalitas
seperti pencurian, pemerkosaan, penggunaan narkoba hingga pembunuhan.
Kasus terbaru di Indonesia adalah maraknya prostitusi online yang
melibatkan pelajar di dalamnya. United Nation Childrens fund (Unicef)
mencatat sepanjang tahun 2010 jumlah pelajar yang terlibat dalam prostitusi
online 70.000 dan diperkirakan akan bertambah menjadi 100.000 di tahun
berikutnya. Data tersebut diperkuat oleh penelitian Wilis dan Levi (2002)
yang mengatakan Indonesia menempati urutan ke-8 untuk kasus eksploitasi
seksual anak-anak. Beberapa Lembaga Sosial Masyarakat (LSM)
Perlindungan Anak mencatat bahwa ratusan ribu anak Indonesia setiap
tahunnya dijebak masuk dalam bisnis seksual.
Perilaku seks pranikah yang dilakukan remaja usia sekolah juga perlu
mendapatkan perhatian serius. Berdasarkan penelitian Komisi Nasional
Perlindungan Anak (Komnas HAM), Perkumpulan Keluarga Berencana
Indonesia (PKBI), dan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana
Nasional (BKKBN) tentang perilaku seks pranikah remaja di perkotaan
didapatkan hasil sebagai berikut: 62,7% siswi SMP pernah melakukan seks
pranikah, 21,2% remaja pernah melakukan aborsi, 93,7% remaja SMA pernah
melakukan ciuman dan oral seks, 97% remaja SMP dan SMA pernah
menonton film porno. Tentu ini adalah fakta yang memprihatinkan
mengingat akar budaya ketimuran yang masih melekat kuat dalam diri
bangsa Indonesia.
Kenakalan remaja memang dapat terjadi di mana saja termasuk juga
dalam lingkungan pendidikan bercirikan keagamaan. Sebagai lembaga
pendidikan yang memegang ajaran agama sebagai fondasi dasar dalam
setiap langkah yang dilakukan idealnya sulit menemukan potensi atau bibit-
bibit kenakalan remaja. Namun, kenakalan remaja selalu muncul dalam
bentuk yang berbeda-beda dan pada level yang berbeda pula. Hal inilah
yang terjadi di Ehipassiko School yang berlokasi di BSD City Tangerang.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Eko Budi Pranyoto, S.Pd., Wakil
Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan di SMA Ehipassiko tanggal 9 Februari
2016 ditemukan fakta bahwa meskipun pendidikan moral sangat ditekankan,
perilaku nakal siswa masih saja muncul. Meskipun kenakalan siswa masih
dalam batas yang wajar namun cukup mengganggu aktivitas pembelajaran
di kelas. Pada umumnya, perilaku nakal siswa lebih banyak terjadi di dalam
kelas pada saat aktivitas belajar mengajar berlangsung daripada di luar kelas.
Bentuk kenakalan siswa di dalam kelas saat kegiatan belajar mengajar
berlangsung seperti tidur, bercanda dengan teman, tak acuh pada guru-guru
tertentu (biasanya pada guru bidang studi nonpeminatan), terlambat masuk,
makan di kantin, menawar tugas yang diberikan guru, serta tidak mencatat.
Sementara itu bentuk kenakalan siswa di luar kelas misalnya tidak menyapa
guru ketika bertemu, tidak mengucapkan salam ketika masuk kantor, saling
mengejek antarsiswa, dan membuat jarak dengan adik kelas atau sebaliknya.
Meskipun kenakalan yang dilakukan oleh siswa SMA Ehipassiko menurut
Eko Budi Pranyoto, S.Pd. masih dalam kategori wajar, namun jika dibiarkan
bukan tidak mungkin akan menimbulkan masalah baru yang lebih besar.
Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
sebenarnya telah merancang model pendidikan karakter berwawasan
kebangsaan sejak tahun 2011. Kebijakan tersebut telah mengubah arah tujuan
pendidikan dan muatan utama kurikulum sehingga dalam aplikasinya harus
disesuaikan lagi. Setiap mata pelajaran di sekolah harus memuat unsur
karakter dan harus terinternalisasi dalam pembelajaran di kelas. Setiap
langkah pembelajaran baik di dalam maupun di luar kelas harus bermakna
bagi pengembangan kepribadian siswa dalam rangka menumbuhkan
karakter yang tangguh.
Pemerintah juga telah mencanangkan dilaksanakannya program “broad-
based education” atau pendidikan berbasis luas. Sekolah dirancang bukan
hanya sebagai tempat mencari ijazah semata melainkan dalam fungsi yang
lebih kompleks antara lain pengembangan karakter siswa. Siswa belajar
mengenal potensi dirinya, memahami nilai baik dan buruk sehingga
diharapkan mampu menjadi manusia seutuhnya yang berjiwa nasionalis,
memiliki semangat, ulet, tekun, bijaksana, beretos kerja, dan mandiri.
Pendidikan karakter memang bukan semata-mata tugas sekolah melainkan
tugas bersama mencakup keluarga, sekolah, dan masyarakat. Namun,
sebagai pendidikan formal sekolah menjadi ujung tombak dalam tugas
merevolusi mental generasi muda bangsa yang memiliki karakter yang
tangguh.
Pendidikan karakter di sekolah tidak hadir dalam struktur mata
pelajaran dan tertulis dalam kurikulum formal tetapi tersirat dalam setiap
pembelajaran yang dilakukan di sekolah. Salah satu bentuk pengintegrasian
pendidikan karakter di sekolah adalah melalui hidden curriculum. Hidden
curriculum sering pula disebut other curriculum yang merupakan kegiatan
atau pengalaman yang terjadi karena adanya proses interaksi siswa dengan
lingkungan selama proses pembelajaran. Jadi, hidden curriculum dapat
muncul sebagai akibat dari hubungan antara murid dengan murid, murid
dengan guru, murid dengan karyawan, murid dengan lingkungan, dan
murid dengan aturan yang berlaku di sekolah. Hidden curriculum merupakan
hasil sampingan yang muncul akibat pelaksanaan kurikulum di sekolah.
Hidden curriculum lebih mengutamakan pada pengembangan sikap,
karakter, kecakapan, dan keterampilan yang berguna bagi siswa dan dapat
melengkapi pendidikan yang kurang dalam kurikulum formal. Hidden
curriculum merupakan penyeimbang dalam atmosfer pembelajaran di kelas
yang didominasi untuk pengembangan ranah kognitif dan psikomotorik.
Lulusan yang dihasilkan dari sebuah produk pendidikan yang menerapkan
hidden curriculum selain cerdas intelektual juga matang secara emosional.
Kaitannya dengan hidden curriculum dan pendidikan karakter, SMA
Ehipassiko sebenarnya telah menginternalisasi nilai-nilai Buddhis dalam
setiap aktivitas di sekolah, khususnya dalam kegiatan pembelajaran. Namun,
internalisasi kurikulum tersembunyi dalam pelaksanaan kurikulum aktual
belum sepenuhnya disadari bahkan dimengerti oleh warga sekolah. Padahal,
keberadaan hidden curriculum merupakan bagian penting dalam upaya
mendekatkan kesenjangan pencapaian ranah afektif degan kognitif dan
psikomotorik dalam pembelajaran. Berdasarkan realita tersebut, sangat
menarik untuk melihat bentuk dan aplikasi hidden curriculum yang di SMA
Ehipassiko kaitannya, khususnya dalam pelaksanaan kurikulum aktual atau
kegiatan pembelajaran di kelas.

LANDASAN TEORI
Hidden Curriculum
Kurikulum tidak terbatas hanya pada sejumlah mata pelajaran saja,
tetapi mencakup semua pengalaman belajar yang dialami siswa dan
mempengaruhi perkembangan pribadinya. Arifin (2011: 7) secara umum
kurikulum terbagi menjadi tiga yaitu kurikulum ideal (ideal curriculum),
kurikulum nyata (real curriculum), dan kurikulum tersembunyi (hidden
curriculum). Kurikulum ideal adalah sesuatu yang berisi hal yang baik, yang
diharapkan atau dicita-citakan, seperti yang termuat dalam buku kurikulum.
Kurikulum nyata adalah kegiatan-kegiatan nyata yang dilakukan dalam
proses pembelajaran atau yang menjadi kenyataan dari kurikulum yang
direncanakan. Sementara itu kurikulum tersembunyi adalah hasil yang
dipelajari tetapi tidak secara tersurat dicantumkan sebagai tujuan.
Konsep hidden curriculum mencakup pengembangan nilai-nilai di
sekolah, perhatian, dan penekanan yang diberikan berbeda-beda pula pada
bidang atau subjek yang sama, tingkat semangat guru-guru, kondisi fisik
serta iklim sekolah (Kumalasari, 2015: 6). Hidden curriculum juga didefiniskan
sebagai nilai-nilai siswa yang sering diabaikan saat kurikulum formal
direncanakan. Keberadaan hidden curriculum jelas berbeda dengan kegiatan
intrakurikuler, ekstrakurikuler, dan kokurikuler. Lebih lanjut Kumalasari
(2015: 7) mengemukakan ada 3R yang harus dikembangkan dalam hidden
curriculum yaitu rules (aturan), regulations (peraturan), dan routines
(keberlanjutan).
Subandijah (1996: 26-27) mendefiniskan hidden curriculum dalam
pengertian yang sempit maupun luas. Hidden curriculum dalam pengertian
sempit meliputi pengelompokan siswa berdasarkan kemampuan, hubungan
guru dengan siswa, aturan atau prosedur di kelas, isi buku teks secara
implisit, dan perbedaan peranan siswa di kelas. Hidden curriculum dalam
pengertian luas berkaitan dengan hasil pendidikan meliputi sosialisasi
politik, kepercayaan, kepatuhan, pelajaran tentang nilai adat dan budaya,
pengembangan sikap terhadap kekuasaan dan pengaturan perbedaan kelas.
Dalam pengertian lain, hidden curriculum dalam arti luas dapat diartikan apa
saja yang ada hubungannya dan mempengaruhi pelaksanaan kurikulum dan
pendidikan.
Ada dua aspek dalam hidden curriculum yaitu aspek yang relatif tetap
dan aspek yang dapat berubah (Subandijah, 1996: 27). Aspek yang relatif
tetap antara lain ideologi, keyakinan, nilai budaya masyarakat yang
memberikan pengaruh terhadap sekolah dalam pengertian nilai budaya
seperti apa yang boleh dan tidak boleh diwariskan kepada generasi penerus.
Sementara itu, aspek yang dapat berubah meliputi variabel organisasi, sistem
sosial, dan kebudayaan. Kedua aspek tersebut akan mempengaruhi
implementasi hidden curriculum di tiap sekolah.
Dari beberapa teori di atas dapat dikatakan bahwa keberadaan hidden
curriculum lebih mengutamakan pada pengembangan sikap, karakter,
kecakapan, dan keterampilan yang kuat agar nantinya dapat digunakan
dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial. Bisa
juga hidden curriculum dijadikan sebagai pelengkap kekurangan yang belum
ada pada kurikulum formal sehingga peserta didik berkembang sesuai
kebutuhan masyarakat.

1. Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter merupakan upaya yang dirancang dan
dilaksanakan secara sistematis untuk membantu peserta didik memahami
nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha
Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang
terwujud dalam pikiran, perasaan, sikap, perkataan, dan perbuatan
berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat
istiadat yang melibatkan aspek pengetahuan, perasaan, dan tindakan
(Hidayat, 2010:1). Pendidikan karakter dimulai dari pemberian pandangan
terhadap nilai-nilai atau karakter yang baik, diaplikasikan dalam setiap
perbuatan, dan menjadi kebiasaan baik yang melekat pada diri peserta didik.
Penanaman pendidikan karakter sangat dipengaruhi oleh lingkungan
sekitarnya seperti faktor bawaan dan pendidikan (Tridhonanto, 2012: 9).
Faktor bawaan bergantung pada bagaimana individu menyikapinya dan
akan berhasil jika peserta didik telah memiliki kesadaran yang baik dan
tinggi. Sementara itu, faktor pendidikan harus menjadi fokus perhatian
karena merupakan jalan utama yang dapat diandalkan untuk
mengembangkan pikiran menjadi lebih baik sehingga menyatu dalam sikap
dan menjadi kesadaran. Jalur pendidikan yang dapat ditempuh dalam
rangka menumbuhkan karakter anak antara lain pendidikan formal dan
nonformal.
Menurut Aunillah (2011: 47-93) ada beberapa sikap yang dibentuk dari
proses pendidikan karakter antara lain jujur, disiplin, percaya diri, peduli,
mandiri, gigih, tegas, bertanggung jawab, kreatif, dan bersikap kritis. Dalam
kaitannya dengan pembelajaran di sekolah, sikap-sikap itu akan terbentuk
melalui pola dan interaksi yang positif antara guru dan siswa baik di dalam
maupun di luar kelas. Lebih lanjut Aunillah (2012: 107-111) menjelaskan
komponen pendukung pendidikan karakter di sekolah antara lain kebijakan
pendidikan, kurikulum terpadu, pengalaman pembelajaran, pengembangan
staf pendidikan, dan evaluasi. Jadi, dapat dikatakan proses pembentukan
karakter di sekolah dilakukan secara sistematis dan terintegrasi dalam
kegiatan pembelajaran yang bermakna bagi siswa.

2. Peran Hidden curriculum dalam Pembentukan Karakter


Desain pembelajaran karakter semestinya tidak muncul dalam suatu
mata pelajaran atau tidak diatasnamakan pelajaran budi pekerti. Aplikasi
pendidikan karakter harusnya tercermin dalam setiap aktivitas pembelajaran
(Sutiyono, 2013: 315). Setiap langkah dalam pembelajaran pasti memuat
karakter-karakter positif sehingga guru dan siswa harus memaknai setiap
aktivitas pembelajaran tersebut sebagai bagian dari pembelajaran karakter
tertentu. Misalnya, kegiatan berdoa esensi yang bisa dibentuk adalah
karakter syukur.
Hidden curriculum ditempatkan sebagai faktor paling manjur dalam
pembentukan nilai-nilai siswa. Itulah sebabnya Vallance dalam Nurhalim
(2014: 120) menyatakan ada 4 fungsi utama hidden curriculum antara lain:
penanaman nilai-nilai siswa, sosialisasi politik siswa, melatih ketaatan dan
kepatuhan, serta pelanggengan struktur kelas tradisional. Pendidik harus
kreatif dan menciptakan suasana demokratis dalam pembelajaran tanpa
mengurangi porsi materi yang harus dikuasai siswa.
Oleh karena itu, antara writen curriculum dan hidden curriculum sudah
selayaknya dilaksanakan dengan beriringan. Keberadaan hidden curriculum
dapat menjadi faktor penentu keberhasilan pelaksanaan writen curriculum
Jika siswa memiliki karakter yang baik tentu akan memudahkan proses
belajar mengajar di kelas, sehingga tujuan pembelajaran yang ditetapkan
dapat tercapai. Jadi, dapat dikatakan peran hidden curriculum dalam
kaitannya pembentukan karakter positif bagi siswa sangat vital dalam
penyelenggaraan pendidikan.

METODOLOGI PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan adalah kualitatif deskriptif. Penelitian
dekskriptif bertujuan melukiskan atau menggambarkan secara sistematis,
faktual, dan akurat mengenai fenomena atau hubungan antarfenomena yang
diselidiki (Suprayogo dan Tabroni, 2003: 136-137). Penelitian ini berusaha
menjelaskan secara rinci mengenai bentuk dan implementasi hidden
curriculum serta peranannya dalam pembentukan karakter siswa di SMA
Ehipassiko. Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan dari tanggal 15
Maret sampai 30 Mei 2016 bertempat di SMA Ehipassiko yang beralamat di
Jalan Letjen Sutopo Kavling B 1-2 Sektor XIV.4 BSD City Kota Tangerang
Selatan. Dalam penelitian ini instrumen penelitian yang utama adalah
peneliti sendiri. Setelah fokus penelitian jelas peneliti menyusun pedoman
wawancara, pedoman dokumentasi, dan pedoman observasi.
Untuk mendapatkan data tentang bentuk implementasi hidden
curriculum dan peranannya dalam pembentukan karakter siswa SMA
Ehipassiko sumber datanya meliputi siswa, guru, kepala sekolah, aktivitas
pembelajaran di dalam dan di luar sekolah, serta dokumentasi yang terkait.
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan model Milles dan
Hubberman dilakukan dalam empat tahap yaitu pengumpulan data, reduksi
data, penyajian data, dan penarikan simpulan (Sugiyono, 2009: 91-92). Uji
keabsahan data penelitian kualitatif menurut Sugiyono (2009: 131) meliputi
uji kredibilitas (validitas internal), tranferabilitas (validitas eksternal),
dependabilitas (reliabilitas), dan konfirmabilitas (objektivitas).

PEMBAHASAN
Hidden Curriculum Pembelajaran SMA Ehipassiko
Hidden curriculum atau ‘kurikulum tersembunyi’ atau juga dapat disebut
‘kurikulum terselubung’, secara umum dapat dideskripsikan sebagai “hasil
(sampingan) dari pendidikan dalam latar sekolah atau luar sekolah,
khususnya hasil yang dipelajari tetapi tidak secara tersurat dicantumkan
sebagai tujuan”. Dalam kaitannya dengan implementasi hidden curriculum
pada praktik pembelajaran dapat dikatakan bahwa hidden curriculum
merupakan sebuah penyampaian ilmu pengetahuan dengan menggunakan
cara berpikir ‘metafor’, analogis di luar ‘pagar-pagar’ kompetensi dasar,
kepada anak didik secara tersembunyi, yang disampaikan di sela-sela
penyampaian materi, atau disampaikan sebelum melangkah ke materi
pokok. Hidden curriculum akan selalu melekat pada tugas-tugas profesional
seorang pendidik termasuk di dalamnya erkait dengan norma, nilai, dan
kepercayaan yang disampaikan dalam isi pendidikan.
Hidden curriculum dalam proses pembelajaran di SMA Ehipassiko
tercermin dalam kegiatan pendahuluan, inti, dan penutup pembelajaran.
Hidden curriculum pada awal pembelajaran terlihat dari kegiatan doa, salam
dengan ber-anjali presensi siswa, pengondisian kelas, apersepsi, dan
motivasi. Doa dilakukan oleh peserta didik sebagai bentuk syukur dan bakti
karena berisi harapan kepada para guru agar senantiasa mendidik dengan
baik, sehingga ilmu yang didapat bermanfaat dalam kehidupan. Di awal
pembelajaran guru juga melakukan pengecekan kehadiran siswa. Hal itu
mengandung nilai kepedulian dan kepekaan dalam pembelajaraan. Selain
itu, guru juga memastikan kesiapan peserta didik menerima materi dengan
melakukan pengondisian kelas untuk kemudian melakukan apersepsi dan
motivasi.
Salam dengan sikap tangan beranjali merupakan budaya SMA
Ehipassiko yang terus dilestarikan. Salam yang diucapkan adalah “Sotthi
hontu” bukan “Namo Buddhaya”. Salam “Sotthi Hontu” dianggap lebih bersifat
universal karena memiliki makna “semoga Anda berbahagia”. Meskipun
demikian pihak sekolah juga perlu menjelaskan makna dan filosofi salam
tersebut kepada siswa yang bukan beragama Buddha. Peserta didik pun
menyadari dan tidak pernah mempersoalkan salam tersebut karena memuat
nilai kebaikan.
Hidden curriculum juga disisipkan pada kegiatan inti pembelajaran
dalam bentuk kegiatan diskusi, pemberian pertanyaan, pujian, interaksi
hangat guru dan murid sebagai hasil sampingan dari materi yang dipelajari.
Kegiatan diskusi jelas memberi hasil sampingan yang sangat banyak seperti
nilai kerja sama, menghargai pendapat, belajar menjadi pendengar,
keberanian, dan berani mengambil keputusan. Pemberian pertanyaan dalam
pembelajaran mengandung nilai perhatian dan kepercayaan, sedangkan
pemberian pujian untuk peserta didik mengandung nilai menghargai
terhadap karya orang lain.
Hidden curriculum dalam pembelajaran di SMA Ehipassiko juga
ditempatkan di akhir kegiatan dalam bentuk kegiatan refleksi. Selain
menyimpulkan materi pembelajaran, guru juga melakukan diskusi mengenai
materi yang dipelajari sebagai bentuk kepedulian kepada siswa. Melalui
kegiatan refleksi guru dapat memahami kemampuan siswa dalam menyerap
materi yang diajarkan. Di akhir pembelajaran guru juga memberikan
motivasi kepada siswa.
Hidden curriculum juga tercermin dalam setiap sikap atau keteladanan
guru saat mengajar di kelas. Misalnya cara guru mengajar, cara berpakaian,
cara berkomunikasi, dan cara guru membawa diri di dalam kelas. Setiap
guru di SMA Ehipassiko dituntut agar dapat menjadi inspirasi dan teladan
bagi siswa. Setiap guru memiliki gaya dan model yang berbeda dalam
memberikan teladan bagi siswanya. Nilai keteladanan yang secara tidak
langsung disampaikan pun berbeda-beda, mulai dari nilai kedisiplinan,
toleransi, tanggung jawab, kepemimpinan, dan saling memiliki. Model guru
seperti itulah yang secara tidak langsung akan diteladani dan dipraktikkan
siswa dalam kehidupan mereka.
Secara umum, hidden curriculum juga melekat pada semua mata
pelajaran. Mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dan Agama
Buddha sangat jelas misi hidden curriculum yang terkandung di dalamnya
seperti saddha, jiwa sosial, toleransi, kesantunan, kejujuran, moralitas,
tanggung jawab, keteladanan, kesehatan jasmani/rohani, kecakapan,
kreativitas, kemandirian, dan religiusitas/humanism. Pada mata pelajaran
IPA (Fisika, Kimia, Biologi) secara tidak langsung memiliki nilai tanggung
jawab keilmuan dan moralitas, ketelitian, dan kemandirian. Mata pelajaran
IPS (Sosiologi, Sejarah, Sosiologi, Ekonomi) mengandung nilai sosial-
ekonomi. Olahraga mengandung nilai kedisiplinan dan karakter.
Pembelajaran Olahraga di SMA Ehipassiko bahkan menjadi alat cerminan
atas kedisiplinan perilaku peserta didik. Matematika mengandung nilai
proses berpikir deduktif, mata pelajaran bahasa mengandung nilai proses
berpikir, apresiasi, ekspresi, estetika. Terlebih lagi pada mata pelajaran
muatan lokal, yang memiliki misi-misi yang aktual bagi pengembangan
kepribadian peserta didik.
Contoh konkret hidden curriculum dalam materi pembelajaran misalnya
pada materi menulis surat pembaca tentang lingkungan sekolah. Hidden
curriculum yang dapat disisipkan pada materi tersebut adalah melatih
kepekaan peserta didik terhadap kondisi sekolah dalam bentuk usul/saran,
kritik, permohonan, dukungan, dan bentuk-bentuk pengungkapan lainnya.
Dalam hal ini, seorang pendidik dapat memperoleh hasil ganda, yakni
keterampilan menulis dan kepedulian/kepekaan peserta didik atas kondisi
di sekitarnya. Kelak dalam kehidupan nyata di masyarakat
kepedulian/kepekaan tersebut akan sangat berarti bagi kesiapan dan
kematangan jiwa peserta didik.
Hidden curriculum dalam pelaksanaan kurikulum aktual juga tercermin
pada sikap dan kepatuhan siswa dalam menaati peratuturan, baik itu aturan
kedisiplinan, pakaian dan kerapian, penampilan, dan sikap siswa selama
pembelajaran. Aturan kedisiplinan siswa misalnya siswa yang datang
terlambat harus mendapat izin dari guru piket untuk dapat masuk kelas
mengikuti pelajaran. Aturan pakaian dan kerapian mencakup bagaimana
siswa mengenakan seragam sesuai jadwal dan aturan yang sudah ditetapkan.
Penampilan siswa selama di sekolah juga diatur misalnya siswa putra harus
berambut pendek dan siswa putri tidak memakai aksesoris atau make-up. Di
samping itu, dalam kaitannya dengan interaksi pembelajaran di kelas, siswa
juga wajib menaati aturan misalnya bersikap sopan terhadap guru.
Tata tertib yang diterapkan oleh pihak sekolah secara tidak langsung
mengikat dan mempunyai dampak yang positif yang juga kadang tidak
disadari. Misalnya, hasil ulangan yang telah dikoreksi oleh guru wajib
dikembalikan kepada siswa untuk kemudian ditandatangani orang tua. Ada
banyak contoh hidden curriculum dalam tata tertib tersebut, tidak hanya bagi
siswa, guru, tetapi juga bagi orang tua. Bagi guru, jelas itu merupakan bentuk
komitmen, tanggung jawab, dan profesionalisme dalam menjalankan tugas
pendidikan. Bagi siswa, dapat mengajarkan rasa kepercayaan, keterbukaan,
konsekuensi, dan kejujuran karena harus melaporkan setiap hasil belajar
kepada orang tua. Bagi orang tua, tentu sistem seperti ini akan memberikan
rasa nyaman dan menghindarkan anak mereka dari system pendidikan yang
kanibal.
Itulah bentuk-bentuk hidden curriculum dalam proses pembelajaran di
SMA Ehipassiko sebagai hasil sampingan dari pelaksanaan kurikulum
aktual. Akhirnya dapat penulis simpulkan bahwa keberadaan hidden
curriculum dalam proses pembelajaran memiliki 2 fungsi yaitu: (1) hidden
curriculum sebagai alat dan metode untuk menambah khasanah pengetahuan
peserta didik dan (2) berfungsi sebagai pencair suasana pembelajaran,
mempresentasikan model mengajar pendidik yang disegani dan menarik,
sehingga dapat membangkitkan minat belajar peserta didik.

PENUTUP
Hidden curriculum dalam pembelajaran di SMA Ehipassiko tercermin
dalam aktivitas pembelajaran. Pada pelaksanaan pembelajaran, hidden
curriculum tercermin dalam kegiatan awal, inti, dan akhir pembelajaran
dalam salam, doa, presensi kehadiran, apersepsi, keteladanan, dan refleksi
yang mengandung nilai-nilai moral. Hidden curriculum juga melekat pada
semua mata pelajaran dengan ciri khas masing-masing dan membawa pesan
tersembunyi yang berbeda. Hidden curriculum juga muncul melalui sikap dan
kepatuhan siswa terhadap segala aturan dan juga keteladanan guru baik di
dalam maupun di luar pembelajaran.
Keberadaan hidden curriculum sebagai pendidikan karakter yang “tak
terbicarakan“ di SMA Ehipassiko telah melekat sebagai bagian tak terpisahkan
dari pelaksanaan kurikulum aktual. Oleh karena itu, penting bagi guru untuk
“bangga” dan “peka” dalam melaksanakan tugas-tugas profesional sebagai
seorang pendidik. Sementara bagi siswa hidden curriculum ibarat angin dalam
kehidupan yang tak bisa dilihat tapi manfaatnya dapat dirasakan dalam
kehidupan sehari-hari dan menjadi sarana untuk mentransfer nilai-nilai yang
positif pada diri peserta didik.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Zaenal. 2011. Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT
Remaja Rosyda Karya.

Aunillah, Nurla Isna. 2012. Panduan Menerapkan Pendidikan Karakter di Sekolah.


Yogyakarta: Laksana.
Hidayat, Samsul. 2010. “Pentingnya Pendidikan Karakter di Era Modern”.
Makalah. Disampaikan pada Diklat Provinsi NTB.

Kumalasari, Nyana. 2010. Hidden Curriculum dalam Pembelajaran Sejarah dan


Penanaman Nasionalisme. Jurnal Istoria, Volume 11 Nomor 2.
Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.
Nurhalim, Muhammad. 2014. Optimalisasi Kurikulum Aktual dan
Kurikulum Tersembunyi dalam Kurikulum 2013. Jurnal Insania, Volume
19 Nomor 1 Januari-Juni 2014. Purwokerto: STAIN Purwokerto.
Subandijah. 1996. Pengembangan dan Inovasi Kurikulum. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persasa.
Sugiyono. 2009. Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta.
Suprayogo, Imam dan Tobroni.2003. Metodologi Penelitian Sosial-Agama.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Sutiyono. 2013. Penerapan Pendidikan Budi Pekerti sebagai Pembentukan
Karakter Siswa di Sekolah: Sebuah Fenomena dan Realitas. Jurnal
Pendidikan Karakter, Tahun 3 Nomor 3, Oktober 2013. Yogyakarta: UNY.
Tridhonanto, Al. 2012. Membangun Karakter Sejak Dini. Jakarta: PT Elex Media
Komputindo.

Anda mungkin juga menyukai