Anda di halaman 1dari 135

BAB I

PENDAHULUAN

PEMAHAMAN TENTANG KORUPSI

a. Pengertian Korupsi dan Tindak Pidana Korupsi

Istilah korupsi berasal dari bahasa latin yaitu “ corruption

“dalam bahasa latin yang berarti kerusakan atau kebobrokan, dan

dapat pula dipakai untuk menunjukan suatu keadaan atau perbuatan

yang busuk1.

Korupsi di dalam Black’s Law Dictionary adalah suatu

perbuatan yang dilakukan dengan maksud, untuk memberikan suatu

keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan hak-hak

dari pihak lain, secara salah menggunakan jabatan atau karakternya

untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau untuk

1
H.Elwi Danil, Korupsi(Konsep, Tindak Pidana dan Pemberantasannya) RajaGranfindo,Jakarta.Hlm
3.Dalam perkembangan selanjutnya, istilah ini mewarnai perbendaharaan kata dalam bahasa berbagai
Negara, termasuk bahasa Indonesia. Istilah korupsi sering dikaitkan dengan ketidakjujuran atau kecurangan
seseorang dalam bidang keuangan. Dengan demikian melakukan korupsi berarti melakukan kecurangan
atau penyimpangan menyangkut uang.

1
orang lain, bersamaan dengan kewajiban dan hak-hak lain dari pihak

lain2.

Dalam pengertian lain, korupsi dapat pula dilihat sebagai

perilaku yang tidak memenuhi prinsip, artinya dalam pengambilan

keputusan di bidang ekonomi baik yang dilakukan oleh perorangan

disektor swasta maupun pejabat public, menyimpang dari aturan yang

berlaku3. Hakekat korupsi berdasarkan hasil penelitian Word Bank

adalah An Abuse of Publik Of Publik Power For Private Gains

”Penyalagunaan kewenangan/kekuasaan untuk kepentingan pribadi”.

Pengertian korupsi secara yuridis, baik arti maupun jenisnya

telah dirumuskan, di dalam Undang-undang Nomor 31Tahun 1999 jo

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi. Dalam pengertian yuridis tidak hanya terbatas

kepada perbuatan yang memenuhi rumusan delik dapat merugikan

keuangan negara atau perekonomian negara, tetapi meliputi juga

2
Ibid.hlm 3. Black,Henry Campbell,Black’s Law Dictionery WithPronounciantions,(St Paul,Minn:West
Publishing Co,1983),Hlm.182.Termasuk pula dalam pengertian “corruption” menurut Balck adalah
perbuatan seorang pejabat yang secara melawan hukum menggunakan jabatanya untuk mendapatkan
sesuatu keuntungan yang berlawanan dengan kewajiban.
3
Vito Tanzi,Corruption,Governmental Activities,and Markets,IMF Working Paper,Agustus 1994

2
perbuatan-perbuatan yang memenuhi rumusan delik, yang merugikan

masyarakat atau orang perseorangan.

Perumusan dalam Undang-undang No 31 Tahun 1999 jo

Undang-undang No 20 Tahun 2001 dapat dikelompokan sebagai

berikut:

a) Kelompok delik yang dapat merugikan Keuangan Negara atau

Perekonomian Negara (sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat

(1) dan Pasal 3 Undang-undang No 31 Tahun 1999 jo Undang-

undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi)

b) Kelompok Delik penyuapan, baik aktif (yang menyuap)

maupun pasif (yang disuap) serta gratifikasi. (sebagaimana

yang diatur dalam pasal 5 ayat (1), dan ayat (2), Pasal 6 ayat (1)

dan Ayat (2) Pasal 11, Pasal 12 huruf,a,b,c,dan d serta Pasal

12B ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 31 Tahun

1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi)

3
c) Kelompok delik penggelapan (sebagaimana diatur dalam Pasal

8, Pasal 10 huruf a Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).

d) Kelompok delik pemerasan dalam jabatan (Knevelarij,

Extortion) (sebagaimana yang diatur dalam Pasal 12 huruf e dan

huruf f Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-

undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi)

e) Kelompok delik pemalsuan (sebagaimana diatur dalam Pasal 9

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang

Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi)

f) Kelompok delik yang berkaitan dengan pemborongan,

leveransir dan rekanan (sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat

(1) dan ayat (2) Pasal 12 huruf g dan huruf I Undang-undang

Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun

2001 Tentang Penghapusan Tindak Pidana Korupsi.

4
Berdasarkan 6 (enam) kelompok delik di atas hanya satu

kelompok saja yang memuat unsur merugikan negara diatur dalam 2

Pasal yaitu Pasal 2 dan Pasal 3 sedangkan kelompok lainnya yang

terdiri dari 28 pasal terkait dengan perilaku menyimpang dari

penyelenggara negara atau pegawai negeri dan pihak swasta.

Dalam ensiklopedia Indonesia disebutkan bahwa korupsi (dari

latin corruption penyuapan dan corrumpore merusak) yaitu gejala

bahwa para pejabat, badan-badan negara menyalagunakan terjadinya

penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya4.

Pengertian secara harafiah dapat berupa :

a) Kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan,

dan tidak jujur

b) Perbuatan buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang

sogok, dan sebagainya.

c) Perbuatan yang kenyataannya menimbulkan keadaan yang bersifat

buruk, perilaku yang jahat dan tercela, atau kejahatan moral,

penyuapan dan bentuk-bentuk ketidakjujuran, sesuatu yang korup,

4
Ensiklopedia Indonesia 1983,Jilid 4 Iktiar Baru Van Houven& Elsevier Publishing Projeck,Jakarta,
hal.1876

5
seperti kata yang diganti/diubah secara tidak tepat dalam suatu

kalimat pengaruh-pengaruh yang korup.

Baharudin Lopa, mengutip pendapat David M.Chalmers,

menguraikan arti istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni

menyangkut penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi di

bidang ekonomi dan yang menyangkut bidang kepentingan umum5.

Kesimpulan yang diambil dari defenisi yang dikemukakan antara lain

berbunyi: financial manipulations and deliction injurious to the

economy are aften labeled corrupt (manipulasi dan keputusan

mengenai keuangan yang membahayakan perekonomian sering

dikategorikan perbuatan korupsi). Selanjutnya ia menjelaskan The

term is often applied also to misjudgements by official in the public

economies (istilah ini juga sering digunakan terhadap kesalahan

ketetapan oleh pejabat yang menyangkut bidang perekonomian

umum).

5
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi Edisi Kedua.Penerbit Sinar Grafika.Jakarta13220. Hlm.9. Dikatakan
pula, disguised payment in the form of gifts, legal fees, employment, favors to relatives,social influence, or
any relationship that sacrifices the public and wefare, with or whihout the implied payment of money, is
usually considered corrupt (pembayaran tersebung dalam bentuk pemberian hadiah, ongkos administrasi,
pelayanan,pemberian hadiah kepada sanak keluarga, pengaruh kedudukan soaial,atau hubungan apa saja
yang merugikan kepentingan dan kesejateraan umum dengan atau tanpa pembayaran uang, biasa dianggap
sebagai perbuatan korupsi).

6
Lebih lanjut Baharudin Lopa mengatakan bahwa pembayaran

terselubung dalam bentuk pemberian hadiah, ongkos administrasi,

pelayanan, pemberian hadiah kepada sanak keluarga, pengaruh

kedudukan sosial, atau hubungan apa saja yang merugikan

kepentingan dan kesejateraan umum, dengan atau tanpa pembayaran

uang, biasa dianggap sebagai perbuatan korupsi6.

7
Menurut Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang diganti

dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan

Atas Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi, maka yang dimaksud dengan tindak pidana

korupsi adalah suatu perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh

perorangan atau korporasi yang secara melawan hukum melakukan

perbuatan memperkaya diri sendiri dan atau orang lain atau suatu

6
Ibid Hlm 9. Ia menguraikan pula bentuk korupsi yang lain, yang diistilahkan political corruption (Korupsi
politik) adalah electoral corruption includes purchase of vote with money, promises of office or special
favors, coercion, intimidation, and interference with administrative of judicial decision, or governmental
oppointment (Korupsi pada penelitian umum,termasuk memperoleh suara dengan uang, janji, dengan
jabatan atau hadiah khusus, paksaan, intimidasi dan campur tangan terhadap kebebasan memilih.
7
Adami Chazawi,Hukum Pidana Korupsi di Indonesia ( edisi Revisi ) Penerbit PT RajaGrafindo Jkt-hlm 2

7
korporasi yang dapat merugiakn keuangan negara atau perekonomian

negara.8.

Dalam artian social, tampak masyarakat mengasosiasikan

korupsi sebagai penggelapan uang ( milik Negara atau kantor )dan

menerima suap dalam hubungannya dengan jabatan atau pekerjaan.

b. Sifat Korupsi

Baharudin Lopa dalam bukunya Kejahatan Korupsi dan

Penegakan hukum membagi korupsi menurut sifatnya dalam 2(dua)

bentuk yaitu:

a) Korupsi yang bermotif terselubung

Korupsi secara sepintas kelihatan bermotif politik, tetapi secara

tersembunyi sesunggunya bermotif mendapatkan uang semata.

Contoh seorang pejabat yang menerima uang suap dengan janji

akan menerima si pemberi suap menjadi pegawai negeri atau diangkat

dalam suatu jabatan, namun dalam kenyataan setelah menerima suap,

8
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 2 ayat (1).

8
pejabat itu tidak mempedulikan janji kepada orang yang memberi suap

tersebut yang pokoknya adalah mendapatkan uang tersebut.

b). Korupsi yang bermotif ganda

Seorang melakukan korupsi secara lahiriah kelihatan hanya

bermotif mendapatkan uang, tetapi sesunggunya bermotif lain yaitu

kepentingan politik

c. Jenis – jenis korupsi

Benvenestie memandang korupsi dari berbagai aspek, dan untuk itu

beliau perpendapat terhadap korupsi atas empat jenis yaitu:

a. Decritionery corruption yaitu korupsi yang dilakukan karena

adanya kebebsan dalam menentukan kebijasanaan, sekalipun

tampak bersifat sah, bukanlah praktek – praktek yang dapat

diterima oleh para anggota organisai.

Contoh:

Seorang pelayan perizinan akan member pelayanan yang lebih

cepat kepada “ CALO “ atau orang yang bersedia membayar

lebih ketimbang para pemohon yang biasa-biasa saja.

Alasanya karena calo adalah orang yang bisa memberi

9
pendapatan tambahan. Dalam kasus ini sulit dibuktikan

praktek korupsi walaupun ada peraturan yang dilanggar.

b. Illegal corruption ialah suatu jenis tindakan yang bermaksud

mengacaukan bahasa atau maksud maksud hukum, peraturan

dan regulasi tertentu.

Contoh

Dalam peraturan lelang dikatakan bahwa untuk pengadaan

barang jenis tertentu harus melalaui proses pelelangan dan

tender, akan tetapi waktunya mendesak ( karena turunan

anggaran terlambat) maka prose situ tidak dimungkinkan.

Untuk itulah maka pimpinan proyek mencari dasar hukum

mana yang bisa mendukung atau memperkuat dasar hukum

pelaksanaa pelelangan sehingga tidak disalahkan oleh

INSPEKTUR . Dicarilah pasal –pasal dalam peraturan yang

memungkinkan untuk bisa dipergunakan sebagai dasar hukum

guna memperkuat sahnya pelaksaaan tender. Dari sejumlah

pasal, ditemukan suatu pasal yang mengatur “ PERIHAL

KEADAAN DARURAT “ atau FORCE MAJEUR “. Dalam

pasal ini dikatakan , bahwa dalam keadaan darurat,prosedur

10
pelelangan atau tender dapat dikecualikan dengan syarat harus

memperoleh izin dari pejabat yang berkopeten.

Dari sisnilah Illegal corruption berawal, yaitu ketikan

pemimpin proyek mengartikulasikan tentang keadaan darurat.

c. Mencenery corruption yaitu:tindak pidana korupsi yang

dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan pribadi melalui

penyalagunaan wewenang dan kekuasaan.

Contoh

Peserta tender jika ingin menang maka dapat memberikan

sejumlah uang kepada panitia tender.

d. Ideological corruption merupakan gabungan dari

Descretionery corruption dan Illegal corruption yaitu

bertujuan untuk mengejar keuntungan kelompok.

d. Ciri-ciri Korupsi

Ciri korupsi dijelaskan dalam oleh Shed Husein Alatas dalam bukunya

berjudul sosiologi korupsi sebagai berikut9 :

a) Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang. Hal ini

tidak sama dengan kasus pencurian atau penipuan.

9
. Sheid Husein Alatas, 2006, Sosiologi Korupsi, hal. 21.

11
b) Korupsi pada umumnya dilakukan secara rahasia, kecuali

korupsi itu merajalela dan begitu dalam sehingga individu yang

berkuasa dan mereka yang berada didalam lingkungannya tidak

tergoda untuk menyembunyikan perbuatannya. Namun

demikian motif korupsi tetap dijaga kerahasiaannya.

c) Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal

balik.

d) Mereka yang mempraktekan cara-cara korupsi biasanya

berusaha untuk menyelubungi perbuatannya dengan

berlindung dibalik pembenaran hukum,

e) Mereka yang terlibat korupsi menginginkan keputusan yang

tegas dan mampu untuk mempengaruhi keputusan-keputusan

itu.

f) Setiap perbuatankorupsi mengandung penipuan, biasanya

dilakukan oleh badan publik atau umum (masyarakat).

g) Setiap bentuk korupsi adalah suatu penghianatan

kepercayaan.

e.Faktor penyebab terjadinya Korupsi.

12
a. Sifat tamak dan keserakahan

Apabila dilihat dari segi pelaku korupsi, sebab- sebab dia melakukan

korupsi dapat berupa dorong dari dalam dirinya, yang dapat pula

dikatakan sebagai “keinginan. Niat atau atau kesadaran untuk

melakukan. Kemungkinan orang melakukan korupsi adalah orang

yang penghasilannya sudah cukup tinggi, bahkan sudah berlebih jika

dibandikan dengan kebutuhan hidupnya, karena itu kecil

kemungkinan orang yang melakukan korupsi tersebut dibujuk oleh

orang lain

b. Gaya hidup komsumttif

Gaya hidup dikota- kota besar mendororng pegawai untuk memiliki

mobil mewah,rumah mewah, menyekolahkan anak di sekolah-

sekolah elit. Gaya hidup yang konsumtif tersebut akan menjadikan

penghasilan yang rendah semakin tidak mencukupi. Hal tersebut juga

mendorong seseorang untuk melakukan korupsi bila kesempatan

untuk melakukannya ada

c. Kurangmya keteladanan dalam kepemimpinan

13
Jika pemimpin organisasinya gaya hidupnya mewah maka jangan

heran jika bawahannya juga akan meniru gaya hidup pemimpinnya.

Apabila tidak mampu menopang biaya hidup yang berlebihan

tersebut,maka akan berusaha untuk melakukan berbagai hal termasuk

melakukan korupsi.

d. Moral yang lemah

Seorang yang moralnya tidak kuat cendrung lebih mudah untuk

terdorong berbuat korupsi karena adanya godaan. Godaan untuk

seorang pegawai untuk melakukan korupsi bisa saja datang dari,

atasannya,teman setingkat,bawahannya,atau dari luar pihak yang

dilayani.

e. Kebutuhan yang mendesak,

Kebuthan yang mendesak,misalnya membantu keluarga, membayar

hutang, ketuhan untuk membayar pengobatan yang mahal dll.

f. Malas atau tidak mau bekerja keras,

14
Kemungkinan lain orang melakukan korupsi adalah malas

bekerja,tetapi ingin mendapatkan sesuatu banyak dalam waktu yang

cukup singkat.

g. Lemahnya penegakan hukum

Lemahnya penegakan hukumm terhadap pelaku tindak pidana korupsi

mencakup beberapa hal:

a) Bisa ada tindakan hukum sama sekali terhadap pelaku korupsi

dikarenakan pelaku adalah atasan dari penegak hukum atau

bawahan dari penegak hukum yang menjadi penyokong utama

( main supplier ) yang membiayai operasi kegiatan si penegak

hukum, atau sipenegak hukum telah menerima bagian dari si

pelaku korupsi

b) Tindakan ada tetapi diulur- ulur dan sanksi di peringan, Baca

Pasal 2 dan Pasal 3 UU 31 Tahun 1999. biasanya pasal yang

dipakai adalah Pasal 3 UU No 31 tahun 1999.Tidak dapat

ditindak karena ada bekengan dari kelompok orang tertetu.

Bentuk – bentuk Tindak Pidana Korupsi

15
1. Tindak Pidana Korupsi Dengan Memperkaya Diri Sendiri ,

Orang Lain,atau Suatu Korporasi ( Pasal 2 ) terdiri dari :

a) Tindak Pidan Yang Pertama

Rumusan tindak pidana korupsi pada ayat (1) dirinci maka

terdiri atas:

 Perbuatan .

unsur perbuatan meliputi:

Perbuatan memperkaya diri

Dari segi bahasa, memperkaya dari suku kata “

kaya” kaya artinya mempunyai harta yang banyak

atau banyak harta. Oleh karena itu dari sudut

bahasa/ harafia memperkaya diri diberi arti yang

lebih jelas adalah perbuatan yang menjadikan

bertambahnya kekayaan. Menurut Adi Hamza

mengatakan perbuatan yang menjadikan orang

yang belum kaya jadi kaya atau orang yang sudah

kaya bertambah kaya.

16
Dalam pasal 1 ayat (1) sub adari UU no 3/1971

yang menyangkut tentang perbuatan

memperkaya diri sebagai berikut:

Perkara memperkaya diri atau orang lain atau


suaty badan ini dapat dihubungkan dengan Pasal
18 ayat (2 ) yang member kewajiban kepada
terdakwa untuk memberikan keterangan tentang
sumber kekayaan sedemikian rupa sehingga
kekayaan yang tidak seimbang dengan
penghasilannya atau penambahan kekayaan
tersebut dapat digunakan untuk memperkuat
keterangan saksi lain bahwa terdakwa telah
melakukan tindak pidana korupsi.
Berdasarkan uraian diatas maka dapat
disimpulkan unsur- unsur perbuatan
memperkaya harus terdapat.:
 Adanya perolehan kekayaan,
 Adanya perolehan kekayaan melampaui
dari perolehan sumber kekayaannya yang
sah,
 Adanya kekayaan yang sah yang bersumber
dari sumber kekayaan yang sah, dan ada
kekayaan selebihnya yang tidak sah yang
bersumber dari sumber yang tidak sah.
Kekayaan yang tidak sah inilah yang
diperoleh dari perbuatan memperkaya
secara melawan hokum,
Selain unsur – unsur perbuatan memperkaya

diri seperti yang disebutkan diatas ada 5

17
perbuatan yang dikategorikan sebagai

perbuatan memperkaya diri seperti :

 Pertama dari wujud perbuatan

memperkaya diri. Si pembuat atau

orang lain yang diperkaya

memperoleh sejumlah kekayaan.

Tidak harus berwujud nyata benda

uang akan tetapi dapat berwujud lain

yang dapat di nilai dengan uang.

 Kedua dihubungkan dengaan akibat

perbuatan maka dari pihak lain yakni

Negara mengalami kerugian berupa

kehilangan sejumlah kekayaan.

 Ketiga apabila dihubungkan dengan

wujud perbuatan memperkaya maka

dalam hal perbuatan tersebut

mengandung sifat melawan hokum,

baik sifat melawan hokum yang

18
didasarkan pada peraturan perundang

–undangan (forma ) atau menurut

nilai- nilai dan rasa keadilan yang

hidup didalam masyarakat (materil).

 Keempat apabila kekayaan si

pembuat atau orang lain yang

diperkaya dihubungkan dengan

sumber pendapatannya yang halal,

kekayaan yang bersangkutan atau

orang yang diperkaya tersebut tidak

seimbang/ lebih banyak dari

kekayaan yang diperoleh dari sumber

halal yang menghasilakan kekayaan

tersebut.

 Kelima ,apabila dihubungkan dengan

jabatat sipembuat, maka si pembuat

melakukan perbuatan memperkaya

19
diri dengan menyalagunakan

kewenangan jabatan yang dimiliki.

Berdasarkan penjelasan –penjelasan diatas untuk

selesai perbuatan memperkaya sebagai syarat

selesainya tindak pidana korupsi, menurut pasal ini

disyaratkan perolehan atau penambahan kekayaan

itu telah nyata.

Dalam hal mendatangkan kerugian Negara

cukuplah dibuktikan oleh jaksa penuntut umum

bahwa menurut pengalaman dan logika / akal

orang pada umumnya dari perbuatan memperkaya

yang diperbuat oleh si pelaku dapat mendatangkan

kerugian Negara. Perkataan “ dapat “ harus dapat

diartikan sebagai potensi”.

Memperkaya diri orang lain

20
Memperkaya diri suatu korporasi

 Melawan Hukum

Melawan hokum menggambarkan suatu pengertiian

tentang suatu sifat tercela atau sifat terlarangnya suatu

perbuatan.

Perbuatan tercela atau dicela menurut Pasal 2 ayat (1 )

adalah perbuatan memperkaya diri. Oleh karena

itu,antara melawan hokum dan memperkaya diri

merupakan suatu kesatuan dalam konteks rumusan tindak

pidana korupsi. ( Baca Pasal 2 ayat (1 ) ).

Jika dilihat dari sumbernya atau dari asal sifat

terlarangnya, maka melawan hokum dibedakan menjadi

dua, yakni :

 Jika yang melarang atau yang mencela adalah hokum

tertulis,maka sifat melawan hokum yang demikian

disebut melawan hokum formal karena bertumpu pada

aturan tertulis atau perundang- undangan,

21
 Apabila sifat terlarangnya berasal dari masyarakat berupa

keputusan masyarakat atau nilai- nilai keadilan yang

hidup yang dijunjung tinggi oleh masyarakat, maka sifat

tercela yang demikian disebut dengan melawan hokum

materil.

 Yang dapat merugikan keuangan Negara dan

perekonomian Negara.

Keuangan Negara adalah seluruh kekayaan Negara dalam

bentuk apapun yang dipisahkan atau tidak dipisahkan,

termasuk dalam segala bagian kekayaan Negara dan segala

hak dan kewajiban yang timbul karena :

 Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan

pertanggungjawaban pejabat Negara baik tingkat pusat

maupun daerah,

 Berada dalam penguasaan, pengurusan dan

pertanggungjawaban Badan usaha Milik Negara/ Badan

Usaha milik Daerah, yayasan, badan hokum dan

22
perusahaan yang menyertakan modalpihak ketiga

berdasarkan perjanjian dengan negara.

Apa yang dimaksud dengan merugikan keuangan Negara atau

perekonomian Negara, tidak dijelaskan dalam penjelasan umum maupun

penjelasan Pasal 2. Penjelasan mengenai kerugian keuangan Negara atau

perekonomian Negara tampak dalam 4 ( empat ) criteria yang digunakan

oleh BPK sebagai adanya kerugian negara yaitu

a) Berkurangnya kekayaan Negara dan atau bertambahnya kewajiban

Negara yang menyimpang dari ketentuan perundang-undangan yang

berlaku. Sedangkan kekayaan Negara merupakan konsekwensi dari

adanya penerimaan pendapatan yang menguntungkan dan

pengeluaran yang menjadi beban keuangan Negara ( pendapatan

dikurangi pengeluaran ).

b) Tidak diterimahnya sebagaian atau seluruh pendapatan yang

menguntungkan keuangan Negara yang menyimpang dari ketentuan

perundang- undangan,

c) Sebagaian atau seluruh pengeluaran yang menjadi beban keuangan

Negara lebih besar atau seharusnya tidak menjadi beban keuangan

23
negara, yang menyimpang dari ketentuan perundang –undangan yang

berlaku,

d) Setiap pertambahan kewajiban Negara yang diakibatkan oleh adanya

komitmen yang menyimpang dari ketentuan perundang – undangan

yang berlaku.

Kerugian keuangan Negara haruslah berupa kerugian yang diakibatkan

langsung oleh wujud perbuatan memperkaya diri yang mengandung sifat

melawan hokum ( atau perbuatan menyalagunakan kewenangan Vide pasal

3), yang criteria atau bentuknya bermacam- macam seperti :

a) Bertambahnya kewajiban Negara yang membebani keuangan Negara

akibat dari perbuatan menyimpang dari ketentuan perundang-

undangan dan perbuatan melawan hokum,

b) Tidak diterimahnya sebagai atau seluruh pendapatan Negara yang

semestinya diterimah oleh Negara,

c) Dikeluarkan atau dibayarkannya sejumlah uang Negara yang

mengakibatkan hilangnya/ lenyapnya uang Negara,

24
d) Dikeluarkannya atau digunakannya sejumlah uang Negara yang tidak

dapat dipertangggungjawabkan secara hokum,

e) Pengeluaran keuangan Negara lebih besar dari seharusnya

f) Pengeluaran uang negara yang seharusnya menjadi beban keuangan

Negara

g) Digunakannya uang Negara untuk – hal- hal/ atau tujuan yang tidak

peruntuhkan ( bersifat melawan hokum ) yang tidak mengandung

manfaat bagi instansi atau kepentingan umum.

Tindak Pidana korupsi yang merugikan keuangan Negara

diatur dalam Pasal 2 ayat ( 1 ) Undang – Undang No 31 Tahun

1999:

Setiap orang yang secara melawan hokum mealukan


perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugika keuangan negaraa atau
perekonomian Negara, dipidana dengsn pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 ( empat )
tahun dan paling lama 20 ( dua puluh ) tahun dan denda paling
sedikit Rp. 200.000.000.00 ( dua ratus juta rupiah ) dan yang
paling banyak Rp. 1000.000.000.00 ( satu miliar rupiah ),
Unsure – unsurenya:

 Pelaku

25
 Melawan hokum, pengertian secara melawan hokum

dan rumusan sebagai delik formil ( penjelasan pasal 2

(1 ) ) yang dimaksudsengan secara melawan hokum

menyangkut perbuatan melawan hokum dalam artian

formil maupun dalam artian materil yaitu: meskipun

perbuatan tersebut tidak diatur dalam undang- undang,

namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela

karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-

norma kehidupan social dalam masyarakat maka

perbuatan trsebut dapat di pidana,.

Melawan hokum formal Yaitu: merupakan unsure

dari pada hokum positif yang tertulis saja. Sehingga

ia baru merupakan unsure dari tindak pidana apabila

ia disebut dalam rumusan tindak pidana itu.

Sedangkan melawan hokum Materil adalah

merupakan melawan hokum yang luas, melawan

hokum itu sebagai unsure yang tidak hanya melawan

hokum yang tertulis, yaitu dasar- dasar hokum pada

26
umumnya. Hal ini sangat bertentangan dengan dengan

asas hokum pidana umum, yang ada dalam KUHP

khususnya Pasal 1 :tiada suatu perbuatan boleh di

hokum, melainkan atas kekuatan ketentuan – ketentuan

pidana dalam undang – undang yang ada terdahulu

daripada perbuatan itu.

 Memperkaya diri sendiri

Pasal 3 UU No 31 tahun 1999


Setiap orang yang secara melawan hokum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau suatu korporasi
yang dapat merugikan keuangan Negara atau
perekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara
seumur hidup ata pidana penjara paling singkat 4 (
empat ) tahun dan paling lama 20 ( dua puluh ) tahun
dan denda paling sedikit Rp.200.2000.000.00 ( dua
ratus juta rupiah ) dan paling banyak
Rp.1.000.000.000.00 ( 1 miliar rupiah ).
Unsure – unsure nya adalah :

 Pelaku ( manusia dan korporasi )

 Menguntungkn diri sendiri atau orang lain,

pelaku atau korporasi

27
 Menyalagunakan kewenangan, kesempatan,atau

sarana yang ada padanya karena jabatan atau

kedudukan

 Merugikan keuangan Negara atau perekonomian

Negara .

 Dapat merugikan Negara atau perekonomian negara

b) Tindak Pidana Yang Ke Dua

Tindak pidana korupsi memperkaya diriyang ke dua diatur

dalam Pasal 2 ayat (2 ) yakni, semua unsur yang ada dalam pasal

2 ayat (1 )di tambah unsur yang dilakukan dalam keadaan

tertentu. Keadaan tertentu menurut pasal 2 ayat ( 2 ) adalah ;

 Pada waktu Negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan


undang – undang yang berlaku,
 Pada waktu terjadi bencana alam nasional,
 Sebagai pengulangan tindak pidana korupsi,
 Pada waktu Negara dalam keadaan krisi ekonomi dan
moneter.
2. Tindak Pidana Korupsi Dengan Menyalagunakan Kewenangan,

Kesempatan, Sarana Jabatan, atau Kedudukan ( Pasal 3 )

28
1) Perbuatan menyalagunakan kewenangan karena jabatan

atau kedudukan.

Perbuatan menyalagunakan kewenangan terjadi apabila

seseorang yang memiliki kewenangan berdasarkan ketentuan

atau kebiasaan umum yang berlaku yang melekat pada suatu

kedudukan atau jabatan yang diapngkunya digunakan secara

salah atau menyimpang.. bertentangan dengan maksud dan

tujuan dari diberikannya kewenangan dari kedudukan dan

jabatan tersebut.

Singkatnya menyalagunakan Kewenangan adalah

menggunakan wewenang secara menyimpang untuk tujuan

lain dari maksuddiberikannya kewenanan tersebut ,

Perbuatan menyalagunakan kewenangan jabatan, dapat juga

ditinjau dua sisi secara bersamaan.

1) Pertama dari sisi wujud perbuatan yang menjadi kewenangan

dalam hal menjalankan tugas jabatan. Setiap jabatan baik politik

maupun privat mempunyai atau diberi kewenangan –

kewenangan tertentu untuk menjalankan tugas atau pekerjaan

29
jabatan tersebut, dalam menjalankan tugas jabatan dibebani

kewajiban – kewajiban hokum yang harus diikuti dan dipatuhi.

2) Ke dua dari sifat melawan hukumnya perbuatan,

Setiap perbuatan menyalagunakan kewenangan, dengan

sendirinya didalamnya telah terdapat sifat melawan hokum

3) Perbuatan menyalagunakan kesempatan karena jabatan

Sarana adalah segala sesuatu yang digunakan sebagai alat

dalam melakukan perbuatan untuk mencapai maksud atau

tujuan tertentu,

Perbuatan menyalagunakan sarana karena jabatan atau

kedudukan terjadi apabila seseorang menggunakan sarana yang

ada pada dirinya karena jabatan atau kedudukan untuk tujuan –

tujuan lain diluar tujuan yang tidak berhubungan tugas

pekerjaan yang menjadi kewajibannya,

30
Contoh : kepala dinas kebersihan Kota menggunakan truk

pengangkut sampah untuk kepentingan komersial,

4) atau kedudukan ( lanjut hal 70 )

5) Perbuatan menyalagunakan sarana karena jabatan atau

kedudukan

6) Yang ada padanya karenajabatan atau kedudukan

7) Dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian

Negara

8) Tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau

suatu korporasi

9)

3. Tindak Pidana Penyuapan dengan memberikan atau

Menjanjikan Sesuatu ( Pasal 5

Suap adalah Sesuatu yang diberi atau yang dijanjikan

meruapakan objek dari tindak pidana ini. Sesuatu itu tidak

harus berupa benda 9 (berwujud ) akan tetapi segala sesuatu

yang tidak berwujud. Misalnya ;pekerjaan , fasilitas, bahkan

31
jasa, yang terpenting sesuatu itu bernilai atau berharga

berguma, bermanfaat atau menyenangkan si penerima.

Logikanya dengan segala segala sesuatu yang bernilai dan

bermanfaat bagi si penerima itulah yang dapat memenuhi apa

yang dituju (dimaksud ) oleh si pemberi.

Perlu diperhatikan bahwa untuk menyelesaikan perbuatan

memberikan ( untuk sesuatu benda ) maka disyaratkan benda

itu telah dilepaskan kekuasaannya dari tangan si pemberi dan

berpindah kedalam tangan si penerima atau kekuasaan orang

lain. Singkatnya Pns tersebut telah menerima sesuatu tersebut

dalam kekuasannya.

Tindak pidana penyuapan diatur dalam pasal 5 ayat ( 1 ) huruf


a dan b UU No 20 Tahun 2001.
 Member atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai
negeri atau penyelenggara Negara dengan maksud
supaya pegawai negeri atau peyelenggara Negara
tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam
jabatannya,yang bertentangan dengan kewajibannya,
atau..
 Member sesuaut kepada pegawai negeri atau
penyelenggara Negara karena atau berhubungan dengan
sesuaut yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan
atau tidak dilakukan dalam jabatannya.

32
Unsure – unsurnya Pasal 5 ayat ( 1 ) huruf a
 Setiap, orang ,
 Member atau menjanjikan sesuatu,
 Pegawai negeri atau penyelenggara Negara,
 Dengan maksud suapaya pegawai negeri atau
penyelenggara Negara tersebut berbuata atau
tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang
bertentangan dengan kewajibannya.
Sedangkan unsure- unsure dari pasal 5 ayat ( 1
)huruf b :
 Setiap orang
 Member sesuatu
 Pegawai negeri atau penyelenggara Negara,
 Karena atau berhubungan dengan sesuatu
yang bertentangan dengan kewajiban,
dilakukan atau tidak dilakukan dalam
jabatannya.
Pasal 5 ayat ( 2 ) UU No tahun 2001
Bagi pegawai negeri atau penyelenggara
Negara yang menerima pemberian atau janji
sebagaimana yang dimaksud dalam ayat ( 1 )
huruf a atau b, dipidana dengan pidana yang
sama sebagaimana yang dimaksud dalam ayat
(1 ).
Unsure – unsure nya adalah
Pegawai negeri atau penyelenggara
Negara
Menerima pemberian atau janji

33
Berbuat atau tidak berbua sesuatu
dalam jabatannya yang bertentangan
dengan kewajiban, dilakukan atau tidak
dilakukan dalam jabatannya.
Pasal 6 ayat (1 ) huruf a dan huruf b UU No
20 Tahun 2001
Member atau menjanjikan sesuatu
kepada hakim dengan maksud untuk
mempengaruhi putusan perkara yang
diserahkan kepadanya untuk diadili
atau,
Member atau menjanjikan sesuatu
kepada seseorang yang menurut
peraturan perundang- undangan
ditentukan untuk menjadi advokad
untuk menghadiri siding pengadilan
dengan maksud untuk mempengaruhi
nasehata atau pendapat yang akan
diberikan berhubung dengan dengan
perkara yang diserahkan kepada
pengadilan untuk diadili,
Unsure- unsure Pasal 6 ayat ( 1 ) huruf
a:
 Setiap orang
 Member atau menjanjikan
sesuatu
 Hakim
 Dengan maksud untuk
mempengaruhi putusan perkara
yang diserahkan kepadanya
untuk diadili.

34
Unsure – unsure Pasal 6 ayat ( 1 )
huruf b :
 Setiap orang
 Member atau menjanjikan
sesuatu
 Seseorang yang menurut
peraturan perundangan –
undangan ditentukan menjadi
advokad untuk menghadiri
siding pengadilan
 Dengan maksud untuk
mempengaruhi nasehat atau
pendapat yang akan diberikan
berhubung dengan perkara yang
diserahkan kepadanya.
4. Tindak Pidana Korupsi Penyuapan pada Hakim dan Advokad (

Pasal 6 )

5. Korupsi Dalam Hal Membuat Bangunan dan Menjual Bahan

Bangunan dan Kurupsi dalam hal Menyerahkan Alat

Pelaku Tindak Pidana

Pelaku dalam tindak pidana korupsi adalah setiap orang, bisa

perseorangan dan bisa korporasi terdiri atas :

 Mereka yang melakukan,

35
 Yang menyuruh melakukan,

 Dan yang turut serta melakukan,

 Serta penganjur,

 Mereka yang memberi bantuan pada saat kejahatan dilakukan,

 Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau

keterangan untuk melakukan kejahatan.

Berdasarkan Pasal 55 KUHP pelaku korupsi yang dihukum sebagai

orang yang melakukan peristiwa pidana adalah :

1. Orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau


turut melakukan perbuatan itu;
2. Orang yang dengan pemberian, perjanjian, salah memakai
kekuasaan atau pengaruh, kekerasan,ancaman atau tipu
daya, atau dengan member kesempatan, daya upaya atau
keterangan, sengaja membujuk untuk melakukan suatu
perbuatan.
Tentang orang –orang dalam sub 2) itu yang boleh

dipertanggungjawabkan kepadanya hanyalah perbuatan dengan

sengaja dibujuk oleh mereka itu, serta dengan akibatnya.

Yang dihukum sebagai orang dapat dibagi atas 4 ( empat )

macam, yaitu sebagai berikut :

36
a) Orang yang melakukan ( pleger ) adalah seorang yang

dengan sendiri melakukan suatu perbuatan pidana

b) Orang yang menyuruh melakukan ( doen pleger ) disini

sedikitnya ada dua orang yang menyuruh dan yang

disuruh ( doen pleger) dan yang disuruh ( pleger ). Jadi

bukan orang itu yang sendiri melakukan peristiwa

pidana, tetapi ia menyuruh orang lain, meskipun

demikian ia dipandang dan dihukum sebagai orang yang

melakukan sendiri atau melakukan peristiwa pidana.

Disuruh ( pleger )itu hanaya merupakan suatu alat (

instrument ) saja, maksudnya ia tidak dapat dihukum

karena tidak dipertanggujawabkan atas perbuatannya,

misalnya :

 tidak dapat dipertanggungjawabkan menurut Pasal

44 KUHP umpanya, A berniat akan membunuh B,

tetapi karena tidak berani untuk melakukan

sendiri, menyuruh C ( seorang gila ) melempar

granat tangan kepada B, bila C betul- betul telah

37
melmparkan granat itu, sehingga B mati, maka C

tidak dapat dihukum karena tidak dapat

dipertanggungjawabkan, sedangkan yang

dihukum sebagai pembunuh adalah A.

 telah melakukan perbuatan itu karena terpaksa

dalam kekuasaan yang tidak dapat dihindarkan (

overmacht ). Menurut Pasal 48 KUHP, misalnya A

berniat membakar rumah B, dan dengan

menodongkan memakai pistol menyuruh C untuk

membakar rumah itu. Jika C membakar rumah itu,

ia tidak dapat dihukum karena dipaksa, sedangkan

A meskipun tidak membakar sendiri dihukum

sebagai pembakar.

 Telah melakukan perbuatan itu atas perintah

jabatan yang tidak sah menurut Pasal 51 KUHP.

Misalnya, seorang inspektur polisi mau membalas

dendam pada seorang musuhya, dengan

memasukan orang tersebut kedalam tahanan, ia

38
menyuruh seorang agen polisi dibawah

perintahnya, supaya menangkap dan memasukan

dalam tahanan orang tersebut, polisi dibawahnya

itu tidak dapat dihukum karena merampas

kemerdekaan orang lain karena ia menyangka

bahwa perintah itu sah. Sedangkan yang dihukum

sebagai perampas kemerdekaan adalah inspektur

polisi.

 Telah melakukan perbuatan itu,dengan tidak ada

kesalahan sama sekali. A berniat akan mencuri

sepeda yang ditaruh dimuka kantor pos, ia tidak

berani menjalankan sendiri,tetapi ia dengan

menunggu ditempat agak jauh menta tolong

kepada B untuk mengambil sepeda itu dengaan

dikatakan bahwa itu miliknya. Jika B memenuhi

permintaan itu, ia tidak dapat dipersalahkan karena

mencuri, karena dengan elemen unsure sengaja

tidak ada, yang dihukum sebagai pencuri adalah A.

39
c) Orang turut melakukan ( medepleger ) “turut

melakukan”dalam arti kata “ bersama –sama

melakukan”. Sedikit –dikitnya harus ada dua orang.ialah

orang yang melakukan Pleger dan orang turut melakukan

( medepleger ) peristiwa pidana.

Contoh : A berniat mencuri dirumah B dan mengajak C

untuk bersama-sama melakukan. Keduanya masuk

rumah dan mengambil barang, atau C menggali lubang

untuk masuk kedalam rumah,sedangkan A yang masuk

untuk mengambil barang B. Di sini C dihukum sebagai

mendepleger karena melakukan perbuatan pelaksanaan

pencurian itu. Andaikata C hanya berdiri diluar untuk

menjaga dan member syarat kalau ada orang datang,

maka C dihukum sebagai medeplichtige. Pasal 56

KUHP sebab perbuatanya hanya bersifat menolong saja.

d) Orang yang dengan pemberian, salah memakai

kekuasaan, dan sebagainya. Dengan sengaja membujuk

orang lain untuk melakukan perbuatan itu. ( uitlokker ).

40
Pertanggungjawaban si pembujuk hanya terletak pada

apa yang dibujuk untuk dilakukan itu.

Contoh :

 A membujuk B dengan memberikan sejumlah

uang untuk menganiaya C. Andaikata B tidak saja

menganiaya C tetapi membunuhnya, maka A

hanya dapat bertnggungjawab atas membujuk

menganiaya saja bukan membujuk membunuh

sedangkan B dipersalahkan karena membunuh C.

 Lain halnya jika B meganiaya, tetapi penganiayaan

itu berlebihan, sehingga berakibat yang dianiaya

itu meninggal ( yang sebenarnya tidak dinginkan

oleh A dan juga oleh B ) maka A tidak hanya

dipersalahkan atas penganiayaan saja, tetapi atas

penganiayaan yang mengakibatkan matinya orang.

H .Dampak yang diakibatkan oleh tindak Pidana Korupsi

 Berkurangnya Kepercayaan Terhadap Pemerintah.

41
Akibat banyaknya pejabat yang melakukan korupsi

mengakibatkan kurangnya kepercayaan terhadap pemerintah,

selain itu berdampak pada Negara lain / dunia internasional .

Negara luar lebih mempercayai Negara yang pejabatnya bersih

dari korupsi.

 Berkurangnya Kewibawaan Pemerintah Dalam masyarakat,

Apabila ada banyak pejabat pemerintah yang melakukan

penyelewengan keuangan Negara, masyarakat akan bersikap

apatis terhadap segala anjuran dan tindakan pemerintah. Sifat

apatis masyarakat tersebut mengakibatkan ketahanan nasional

akan rapuh dan mengganggu stabilitas keamanan Negara.

Contoh tahun 1998 dimana masyarakat tidak lagi mempercayai

pemerintah dan meminta presiden Soeharto mundur dari

jabatannya karena dinilai tidak lagi mengemban amanat rakyat

dan melakukan berbagai tindakan yang melawan hukum

menurut kacamata masyarakat.

 Menyusutnya Pendapatan Negara,

42
Penerimaan pendapatan Negara untuk pembangunan

didapatkan dari dua sector, yaitu dari pengutan bead an

penerimaan pajak. Pendapatan Negara dapat berkurang apabila

tidak diselamatkan dari penyelundupan dan penyelewengan

oleh oknum pejabat pemerintah pada sector penerimaan Negara

tersebut.

 Rapuhnya Keamanan dan Ketahanan Negara,

Keamanan dan ketahanan Negara akan mudah rapuh apabila

para pejabat pemerintah mudah atau rentan disuap karena

kekuatan asing yang hendak memaksakan idiologi atau

pengaruhnya terhadap bangsa Indonesia akan menggunakan

penyuapan sebagai sarana untuk mewujudkan cita- citanya.

Pengaruh korupsi juga mengakibatkan berkurangnya loyalitas

masyarakat terhadap Negara .

 Perusakan Mental Pribadi

Seseorang yang sering melakukan penyelewenang dan

penyalagunaan wewenang, mentalnya akan menjadi rusak. Hal

ini mengakibatkan segala sesuatu dihitung dengan materi dan

43
akan melupakan segala sesuatu yang menjadi tugasnya serta

hanya melakukan tindakan ataupun perbuatan yang bertujuan

menguntungkan dirinya sendiri atau orang lain yang dekat

dengan dirinya . yang lebih berbahaya lagi, jika perbuatan

korupsi ditiru oleh generasi muda, jika hal ini terjadi maka cita-

cita untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur semakin

sulit untuk dicapai.

 Hukum tidak lagi dihormati,

Negara kita adalah Negara hukum yang artinya bahwa segala

sesuatu harus didasarkan pada hukum. Tanggungjawab dalam

hal ini bukan hanya terletak pada penegak hukum saja akan

tetapi merupakan tanggungjawab semua lapisan masyarakat.

Cita – cita untuk menggapi tertip hukum tidak akan terwujud

apabila para penegak hukum melakukan transaksi hukum dan

tindakan korupsi sehingga hukum tidak dapat ditegakan, ditaati,

serta tidak dindahkan oleh masyarakat.

 Menurunya Kwalitas Pelayanan Public,

44
Penyimpangan anggaran seperti korupsi dan penyalagunaan

peruntukan mempunyai pengaruh yang cukup signifikan

terhadap kwalita pelayan public. Pemberian suap biasanya

diambil dari bagian dana proyek, sehingga anggaran rill yang

digunakan untuk proyek menjadi berada dibawah angka yang

semestinya. Hal ini tentu akan berpengaruh terhadap kwalitas

hasil dari pelaksanaan proyek.

 Terganggunya Hak- hak Dasar Warga Negara.

Hak untuk hidup layak, hak untuk mengakses sumber daya,dan

hak- hak lainnya, tidak dapat dipenuhi oleh Negara.

Penyebabnya antara lain karena banyaknya uang Negara yang

seharusnya bisa digunakan untuk memberikan pelayana kepada

masyarakat justru lari ke kantong pribadi.

 Rusaknya Sendi- sendi Prisip dari Sistim Pengelolaan

Keuangan Negara

Dalam pelaksanaan kegiatan undang – undang hendaklah

dijadikan sebagai dasar. Termasuk dalam pengelolaan

keuangan Negara. Justru diabaikan prinsip- prinsip pengeloaan

45
anggaran yang baik seperti partisipasi dan transparansi,

akuntabilitas,disiplin, efektif dan efisiensi, serta memenuhi asas

kepatuhan yang semuanya itu merupakan sendi prinsip

pengelolaan keuangan Negara dilanggar tanpa tendeng aling –

aling.

 Meningkatnya Kesenjangan Sosial

Kesenjangan sosial yang telah ada akan menjadi lebih kuat,

bahkan semakin parah karena kelompok miskin dan marginal

tidak pernah mendapatkan akses terhadap anggaran secara

layak, termasuk mengontrol proses karena ketiadaan ruang bagi

trasparansi dan partisipasi.

 Hilangnya kepercayaan investor.

Banyak korupsi dan tidak adanya kepastian hukum, telah

menyebabkan banyak investor merasa enggan menanamkan

modalnya di Indonesia. Bahkan investor yang sudah ada pun

hengkang. Akibatnya, disamping iklim pertumbuhan ekonomi

menjadi kurang kondusif, juga meningkatnya angka

pengangguran.

46
 Terjadinya Pemerintahan Boneka

Pemerintah tidak lagi memiliki kemerdekaan untuk

menyuarakan hati nurani rakyat. Kondisi tersebut terjadi

sebagai sebagai konsekwensi dari uang suap yang diterima.

Akibatnya mereka harus mengambil keputusan sesuai dengan

pesanan para pelaku penyuap.

 Terjadinya Degradasi Moral dan Etos Kerja.

Memperoleh uang tanpa kerja keras telah mengakibatkan si

pelaku korupsi terbuai dan tidak berpacu untuk bekerja keras.

Bahkan dalam beberapa kasus uang hasil kejahatan dihabiskan

pula dengan mudah, dimeja judi, narkoba dan prostitusi,

I. Cara atau upaya Memberantas Tindak Pidana Korupsi.

a. Penegakan Hukum Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

Penegakan hukum memberantas tindak pidana korupsi yang

dilakukan secara konvensional melalui auditor, kepolisian dan

kejaksan selama ini terbukti mengalami berbagai mambatan

(internal ) karena terbukti para penegak hukum tersebut juga

47
turut terlibat dalam korupsi. Berdasarkan fenomena-

fenomena tersebut maka terbentuklah KPK yang diberi

wewenang yang luas oleh undang – undang. Terbentuknya

KPK dilatari oleh beberapa kebijakan yang tertuang dalam

beberapa peraturan peundang – undangan seperti :

(1) TAP MPR Nomor XI/ 1998 Tentang Penyelenggaraan

Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan

nepotisme,

(2) UU no 28/ 1999 tentang penyelenggaraan Negara yang

bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, dan

(3) UU No 31 Tahun 1999 Temtang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya diubah dengan

UU No 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas undang

– undang No 31 tahun 1999.

Berdasarkan ketentuan Pasal 43 UU N0 31 Tahun 1999

sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun

2001 tersirat bahwa dalam rangka pemberantasan tindak

pidana korupsi diperlukan suatu badan khusus untuk

48
menanganinya. Badan khusus dimaksud dalam pasal 43

UU 31 tahun 1999 sebagaiman telah di ubah dengan UU

no 20 tahun 2001 adalah KPK.

Mengenai susunan dan tata kerja KPK dan lain

sebagainya diatur dalam Undang – Undang No 30

Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

b. Tindakan Keras Dan Tanpa Diskriminasi

Tidak takutnya para penyelenggara Negara dan birokrat serta

masyarakat tertentu untuk melakukan korupsi dikarenakan

adanya beberapa faktor antara lain :

1) Tidak adanya tindakan keras dari pemimpin institusi

sesuai dengan peraturan perundang – undang yang

berlaku. Apabila korupsi dilakukan secara kelompok

biasanya pemimpin institusi terkesan selalu menutup-

nutupi serta mengulur – ulur waktu.

2) Kalaupun diproses instansi selalu memberikan sanksi

yang ringan,

49
3) Setelah dilaporkan ke penegak hukum dan dilakukan

proses peradilan jaksa cenderung melakukan penuntutas

minimal dan juga hakim berbuat yang sama.

4) Dengan hasil perbuatan korupsi proses penghukuman

bisa dilangkan atau dieliminir

5) Walaupun telah divonis dan mempunyai kekuatan

hukum tetap namun antara sanksi dan kerugian Negara

tidak seimbang .

c. Penerapan asas Praduga Tak Bersalah dan Pembuktian

Terbalik.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penerapan asas

praduga tak bersalah dan pembuktian terbalik seperti :

1) Sistim pembuktian terbalik berimbang (Pasal 37 dan

Pasal 37A UU No 31 Tahun 1999 ) artinya bahwa

walaupun terdakwa tidak mampu membuktikan asal

usul kekayaan namun jaksa penuntut umum

berkewajiban untuk membuktikannya. Pasal 37

menjelaskan bahwa pembuktian oleh terdakwa bukan

50
kewajiban tetapi sebagai hak ( relative ) karena itu wajib

bagi jaksa untuk membuktikan,

Pasal 37A sekalipun terdakwa tidak mampu

mempetanggungjawabkan asal usul kekayaan istri,

suami, anak- anak, korporasi yang diduga berkaitan

dengan perkara yang didakwakan, JPU berkewajiban

membuktikan membuktikan dakwaanya, karena

pembuktian terbalik yang dianut adalah pembuktian

terbalik seimbang, sekiranya terdakwa tidak mampu

membuktikan tidak serta merta terdakwa dianggap

terbukti melakukan tindak pidana korupsi karena

pembuktian masuh harus didukung oleh alat bukti lain.

2) Sistim pembuktian terbalik

d. Komitmen Pimpinan Penyelenggaraan Negara

Para pemimpin dianggap punya kemampuan untuk mencegah

korupsi secara dini, hal ini dimulai pada saat perencanaa

penetapan anggaran bahkan pada saat pelaksaan kegiatan

51
dengan pengawasan yang ketat sesuai dengan prisip undang –

undang.

e. Peningkatan Peran Serta masyarakat

Dalam undang – undang 31 tahun 1999 masayarakat diberi

ruang untuk terlibat dalam pemberantasan tindak pidana

korupsi. Hal ini terlihat dalam Pasal 45 aya (5 ) mengatakan

bahwa masyarakat dapat berperan serta membantu upaya

pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Peran

masyarakat sebagaimana dimaksud dala peraturan tersebut

dalam bentuk :

1) Hak mencari, memperoleh,dan memberikan informasi

adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi,

2) Hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari,

memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan

telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak

hukum yang menangani kasus tindak pidana korupsi,

3) Hak dan menyampaikan saran dan pendapat

52
4) Hak untuk mendapat jawaban atas laporan yang telah

diberikan (paling lama 30 hari setelah laporan di terima

5) Hak untuk mendapat perlindungan hukum

f. Penerapan Hukum Mati

Khusus dalam hukuman mati terdapat dalam pasal 2 UU No

31/ 1999 dan UU No 20 / 2001 tentang perubahan undang –

undang tindak pidana. Adapun sanksi pidana pada pasal 2

adalah sebagai berikut :

1) Pidana penjara

- Maksimum pidana penjara seumur hidup atau paling

lama 20 tahun,

- Minimum pidana penjara paling singkat 4 tahun

2) Denda,

- Maksimum Rp. 1.000.000.000.00 ( satu milyar ),

- Minimum Rp. 200.000.000.00 ( dua ratus juta )

53
3) Pemberatan

-pemberatan Pasal 2 ayat ( 2 ).tindak pidana korupsi

dilakukan dalam keadaan tertentu, keadaaan tertentu

yang dimaksud adalah bahwa tindak pidana itu

dilakukan dalam keadaan : - Negara dalam keadaan

bahaya,- terjadi bencana nasional, atau pada saat Negara

dalam keadaan krisis ekonomi,

Sementara Pasal 2 ayat ( 1 ) mengatakan bahwa keadan

tertentu dilakukan terhadap danan yang diperuntukan

bagi:

 Penanggulangan keadaan bahaya,

 Penanggulangan bencana alam nasional,

 Penanggulangan akibat kerusuhan nasional,

 Penanggulangan krisi ekonomi dan moneter

 Penanggulangan tindak pidan korupsi.

g. Itikad Pimpinan

54
BAB II

PEMAHAMAN TENTANG MONEY LAUNDERING

A. Pengertian Money Laundering

Istilah pencucian uang berasal dari bahasa Inggris yakni Money

Laundering, ”pengertian Money Laundering”memang tidak ada

defenisi yang universal karena baik negara-negara maju maupun

negara negara dari dunia ketiga masing-masing mempunyai defenisi

sendiri berdasarkan proritas dan perspektif yang berbeda. Namun, para

ahli hukum Indonesia telah sepakat mengartikan Money Laundering

dengan pencucian uang.

Money laundering Secara harafiah juga di istilahkan

dengan Pemutihan Uang, pendulangan uang atau disebut pula

dengan pembersihan uang dari transaksi gelap ( legitimazing

illegitimate income ). Kata money dalam istilah money

laundering berkonotasi beragam,ada yang menyebutnya dirty

money, illegal money,atau illicit money. Dalam istilah

Indonesia disebut secara beragam, berupa uang kotor,uang

haram, uang panas,atau uang gelap.

55
Pencucian uang menurut Yunus Husein telah dikenal sejak

tahun 1930 di Amerika Serikat, saat itu tepatnya tahun 1929,Amerika

Serikat saat itu sedang menghadapi krisis ekonomi yang sangat

berat,atuhnya saham-saham di Wall Street sehingga menyeret

Amerika Serikat ke dalam dipresi yang sangat berat,semakin

maraknya organisasi kejahatan mafia, kegiatan bisnis illegal

(minuman keras, perjudian, pelacuran) membersihkan uang bisnis

illegal dengan jalan pencucian uang (laundry/laondromat10). Istilah ini

kemudian berkembang dan bahkan menjadi konsep dalam dunia

perbankan dan lembaga keuangan.

Amerika Serikat telah mendefenisikan tindak pidana pencucian

uang dalam arti yang luas Money Laundering Control Act

(MLCA)tahun 1986 yaitu:a person is guilty of money launderingif

that person knowingly conducts any financial transactioan involving

the proceeds of specified unlawful activities so as to further those

unlawful activities or to disguise the ownership of those proceeds”.

Dengan defenisi tersebut memperluas ketentuan pengaturan

10
Yunus Husein,Bunga Rampai Pencucian Uang.Bandung,Books Terrance &Library 2007,Hlm 4

56
pencucian uang dan mekanisme penegakan hukum melampaui batas

negara dan mengatakan bahwa pencucain uang sebagai kejahatan yang

terjadi secara nasional maupun internasional.

Dalam Blak’s Law Dictionary disebutkan defenisi Money

Laundering sebagai berikut: Term used to describe investement or

other transfer of money flowing from racketeering, drug,

transactions, and other illegal saurces in to legitimate channels so

that its original source cannot be traced”.11

Kemudian Philips Darwin menyebutkan bahwa pencucian atau

Money Laundering suatu proses yang dilakukan untuk mengubah

uang hasil korupsi, kejahatan narkotikan, perjudian, penyelundupan,

dan kejahatan lainnya sehingga tampak seperti hasil dari kegiatan

yang sah.12

11
Gerrner,Bryan.A.Blak’s Law Dictionery . Massachusets:Thomson West.2004
12
Philips Darwin.Money Laundering, Cara memahami dengan tepat dan benar soal pencucian uang.hlm
10. Penerbit Sinar Ilmu.

57
Selain itu, dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 8

Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana

Pencucian Uang menyebutkan bahwa13:

a. Transaksi keuangan yang menyimpang dari profil atau


kebiasaan pola transaksi dari pengguna jasa yang bersangkutan.
b. Transaksi keuangan oleh pengguna jasa yang patut diduga
dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan
transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh pihak
pelapor sesuai dengan ketentuan undang-undang ini.
c. Transaksi keuangan yang dilakuan atau batal dilakukan dengan
menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari tindak
pidana.
d. Transaksi keuangan yang diminta oleh PPATK (Pusat
Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan) untuk dilaporkan oleh
pihak pelapor karena melibatkan harta kekayaan yang diduga
bersala dari hasil tindak pidana.

Pencucian uang adalah suatu proses atau perbuatan yang

bertujuan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul atau

harta kekayaan yang diperoleh dari hasil tindak pidana yang kemudian

yang diubah menjadi harta kekayaan yang seolah-olah berasal dari

kegiatan yang sah.

Secara umum pencucian uang merupakan metode untuk

menyembunyikan, dan menggunakan hasil dari suatu tindak pidana,

13
Undang-undang No 8 Tahun 2010 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang

58
Kegiatan organisasi, kejahatn ekonomi, kejahatan korporasi,

perdagangan, narkotika, dan kegiatan-kegiatan lain yang merupakan

aktivitas kejahatan.

Uang hasil dari sebuah tindak pidana untuk mengelabui bahwa

uang tersebut adalah uang sah maka terlebih dahulu di konfersi

kedalam jumlah yang lebih kecil sehingga uang tersebut dapat diserap

dalam peredaran secara tidak kentara. Uang hasil korupsi itu harus

dibelanjakan yaitu dengan cara pencucian uang.

Usaha yang harus ditempuh oleh suatu negara untuk dapat

mencegah dari praktek pencucian uang adalah dengan membentuk

Undang-undang yang melarang perbuatan pencucian uang dan

menghukum dengan berat pelaku kejahatan tersebut.

Kepedulian Indonesia terhadap kejahatan pencucian uang

adalah dengan disahkannya Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002

Tentang Pencucian Uang, Namun masih mengandung beberapa

kelemahan yang cukup mendasar antara lain:

a) Pertama, kriminalisasi perbuatan pencucian uang yang multi


inperatafif, adanya duplikasi penyebutan Unsur-unsur dan

59
banyaknya Unsur yang harus dipenuhi atau dibuktikan sehingga
menyulitkan dalam pemeriksaan.
b) Kedua, kurang sistematis dan tidak jelasnya klasifikasi
perbuatan yang dapat dijatuhi sanksi berikut bentuk-bentuk
sanksinya.
c) Ketiga, masih terbatasnya pihak pelapor yang harus
menyampaikan laporan kepada PPATK termasuk jenis
pelaporannya
d) Keempat, perlu pengukuhan penerapan prinsip mengenali
pengguna jasa oleh seluruh pihak pelapor.
e) Kelima, terbatasnya instrument formal untuk melakukan
deteksi dan penafsiran serta penyitaan asset hasil kejahatan.
f) Keenam, terbatasnya pihak yang berwenang melakukan
penyidikan tindak pidana pencucian uang.
g) Ketujuh, keterbatasan wewenang dari PPATK14.
Hal ini tentu akan memberikan kemudahan bagi pelaku

kejahatan, khususnya pelaku yang melibatkan harta kekayaan dalam

jumlah yang signifikan untuk mengurangi, bahkan memperluas

kejahatannya.

Sehubungan dengan hal tersebut diatas dan mengingat

pentingnya undang-undang tindak pidana pencucian uang sebagai

landasan hukum dalam rangka pencegahan dan memberantas tindak

pidana pencucian uang, maka direvisilah undang-undang Nomor 25

Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dengan undang-

14
Undang –Undang Nomor 15 Tahun 2002, Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang –undang
Nomor 25 Tahun Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun2002 Tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang.

60
undang Nomor 8 tahun 2010 Tentang Perubahan atas Undang-undang

Nomor 25 Tahun 2003.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 dibentuklah

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)

sebagaimana yang ditentukan dalam dalam Pasal 39 dan Pasal 40.

Pasal 39 ditentukan bahwa PPATK mempunyai tugas mencegah dan

memberantas tindak pidana pencucian uang yang tugas pokonya

adalah sebagai berikut15:

a) Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian

uang,

b) Pengelolaan data dan informasi yang diperoleh PPATK.

c) Pengawasan terhadap pihak pelapor,dan

d) Analisi dan atau pemeriksaan laporan dan informasi

transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana

pencucian uang dan/atau tindak pidana lain.

Sementara itu dalam rangka melaksanakan fungsi

pengawasan terhadap kepatuhan pelapor sebagaimana

15
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 .Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang.

61
dimaksud dalam Pasal 40 hruf c.PPATK mempunyai

wewenang sebagai berikut:

a) Menetapkan ketentuan dan pedoman tatacara pelaporan

bagi pihak pelapor,

b) Menetapkan kategori pengguna jasa yang berpotensi

melakukan tindak pidana pencucian uang

c) Melakukan audit kepatuhan atau audit khusus

d) Menyampaikan Informasi dari hasil audit kepada lembaga

yang berwenang melakuan pengawasan terhadap pihak

pelapor

e) Memberikan peringatan terhadap pihak pelapor yang

melanggar janji

f) Merekomendasikan kepada pihak yang berwenang untuk

mencabut izin usaha pelapor

g) Menetapkan ketentuan pelaksana prinsip mengenai

pengguna jasa bagi pihak pelapor yang tidak memiliki

lembaga pengawas dan pengatur.

B. PENYEBAB DAN DAMPAK PENCUCIAN UANG

62
a) Faktor penyebab

Kejahatan pencucian uang terjadi karena factor –faktor

dibawah ini;

 Factor globalisasi sistim keuangan

Pada tahun 2000,Executive Director Un Offices

for Drug Control and Crime Prevention Pino

Arlacchi menyatakan bahwa globalisasi

mengubah sistim keuangan internaisional menjadi

impian seseorang pencuci uang dan proses

kriminalisasi ini mencuri milliaran dolar pertahun

dari pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian

kesehatan financial disetiap negara berdampak

pada stabilitas pasar global.

 Factor kemajuan teknologi

Maraknya pencucian uang sangat dipengaruhi oleh

perkembangan teknologi informasi, terutama

kemunculan internet yang menghilangkan batas-

63
batas negara. Dengan internet dunia menjadi satu

kesatuan tanpa batas. Akibatnya kejahatan –

kejahatan terorganisir(organized crime ) oleh

organisasi- organisasi kejahatan ( criminal

organization ) menjadi mudah dilakukan dan

bersifat transnasional.

 Peraturan kerahasiaan bank

Berkaitan dengan reformasi di bidang perpajakan

(tax reforms), Uni Eropa menghimbau negara-

negara anggotanya untuk meniadakan ketentuan –

ketentuan yang menyangkut kerahasiaan bank.

Padahal ,menurut pemeritah Inggris, Uni Eropa

hanya dapat secara serius memerangi kejahatan

asal pencucian uang (tax evasion) apabila Uni

Eropa mempertimbangkan penghapusan aturan

kehahasiaan bank.

 Atauran mengenai nama samara atau anonim.

64
Ketentuan perbankan di satu negara yang

memperbolehkan penggunaan nama samaran atau

anonym bagi nasabah ( individu dan korporasi )

yang menyimpan dana di suatu bank adalah satu

penyebab terjadinya kejahatan pencucian uang.

 E –ekonomi

Jenis uang baru yang di sebut,Electronic money (

e- money) tidak terlepas dari maraknya electronic

commerce (e- commerce )melalui internet.

Praktek pencucian uang yang dilakukan dengan

menggunakan jaringan internet disebut cyber

laundering.II produk- produk e- money telah

dikembangkan, terutama melalui jaringan

computer terbuka (open computer networks) tanpa

melakukan pembelian secara langsung dengan

hadirnya penjuan dan pembeli di tempat kegiatan

jual- beli.

 Layering

65
Dengan teknik Layering, nasabah atau deposan

bank bukanlah pemilik yang sesungguhnya dari

dana tersebut. Ia bertindak hanya sebagai kuasa

atau pelaksana amanat bagi pihak lain yang

menugasinya untuk mendepositokan uang

disebuah bank. Masalahnya adalah pihak lain

yang juga bukan pemilik dana yang sesungguhnya,

tetapi menerima amanat atau kuasa dari seseorang

atau pihak lain berikutnya yang menerima kuasa

dari pihak yang sesungguhnya.

 Aturan tentang kerahasiaan hubungan

 Pemerintah yang tidak serius

 tidak ada tindakan

66
C. Pencucian Uang Menurut UU TPPU Nomor 8 Tahun 2010

Melalui undang-undang Nomor 15 tahun 2002 Tentang Tindak

Pidana Pencucian Uang yang disahkan pada tanggal 25 maret Tahun

2002, yang kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 8 tahun

2010 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang inilah ditetapkan

legalitas pencucian uang sebagai tindak pidana (perbuatan criminal).

Kriminalisasi pencucian uang ini dipercepat oleh desakan IMF

(international monetary fund) dan FATF (the financial action task

force on money laundering) dimana letter of intent antara IMF dan

Indonesia mensyaratkan adanya undang-undang pencucian uang

sebagai persyaratan pencairan dana pinjaman, serta desakan FATF

dengan menempatkan Indonesia dalam daftar hitam sebagai Non

Cooperatives Countries and Territories (NCCT) pada bulan Juni

tahun 2001 bersama sejumlah Negara. Artinya memenuhi syarat

kriminalisasi pada umumnya yaitu (a) adanya korban (b) kriminalisasi

semata-mata bukan ditujukan untuk pembalasan, (c) harus

67
berdasarkan asas ratio pricipple (d) adanya kesepakatan sosial.Terkait

adanya korban berarti pencucian uang harus menimbulkan sesuatu

yang buruk atau menimbulkan kerugian, karena itu tindak pidana

pencucian uang dipastikan merugikan individu dan masyarakat yang

berdampak pada kerugian keuangan negara bahkan membahayakan

keuangan global.

Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 Pasal 3 memenuhi

standar pada umumnya dipakai dalam kriminalisasi pencucian uang

yaitu meliputi; (a), Financial Transaction (transaksi keuangan) (b)

Proceed (hasil-hasil kejahatan) (c), Unlawful activity (tindakan

kejahatan) (d) Knowledge (mengetahui atau patut mengetahui) (e),

Intent (maksud). Sebagai catatan berkenaan dengan definisi tindak

pidana umumnya, maka masalah defenisi tindak pidana pencucian

uang menjadi sesuatu yang sangat penting. Pentingnya menentukan

defenisi dalam tindak pidana antara lain berkaitan dengan asas; Lex

certa yaitu Nullum crimen sine lege stricta atau tiada suatu kejahatan

tanpa peraturan yang jelas dan terbatas. Hal ini menunjukan bahwa

ketentuan tindak pidana harus dirumuskan secara jelas dan limitatif

atau terbatas, tidak bersifat karet, untuk menjaga kepastian hukum.

68
Implikasinya akan menunjukan merumuskan delik, siapa yang

dimaksud dengan pelaku, lalu apa yang dimaksud dengan Unsur

objektif dan subjektif .

Tindak pidana atau delik secara singkat berarti: suatu kelakuan

manusia yang oleh peraturan perundang-undangan diberikan sanksi

pidana, atau merupakan perilaku manusia yang pada umumnya

dilarang dan diancam pidana.

Kebijakan pidana atau criminal adalah upaya rasional dari

suatu negara untuk menanggulangi kejahatan. Kebijakan ini

merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat

(sosial defence planning atau protection of society) yang tujuannya

untuk mencapai kesejateraan.

Selain itu dalam ketentuan Pasal 54 RKHUP (Rancangan

Kitap Undang-undang Hukum Pidana) disebutkan dalam Pasal 54 ayat

(1) Pemidanaan bertujuan untuk:

a. Mencegah dilakukanya tindak pidana dengan menegakan

norma hukum demi pengeyoman masyarakat

69
b. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan

pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan

berguna

c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak

pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan

rasa damai dalam masyarakat

d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana

e. Memaafkan Terpidana

Selain itu dalam Pasal 54 ayat (2) RKUHP disebutkan

“Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan

merendahkan martabat manusia16. Jelas sekali bahwa ketidak

cermatan atau ketidaktepatan dalam melakukan kriminalisasi akan

menimbulkan permasahan baik over criminalization maupun

sebaliknya. Kalau dua hal ini terjadi maka akan timbul keragu-raguan

bagi penegak hukum pidana untuk melakukan fullenforcement dan

diskresi justru akan banyak digunakan.

16 Zulva,Eva Achjani,Pergeseran Paradigma Pemidanaan,Bandung :Lubuk Agung 2012,hlm, 178

70
Pasal 1 ayat (1) undang-undang Nomor 8 Tahun 2010

menyebutkan pencucian uang adalah segala perbuatan yang

memenuhi Unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam

Undang-undang ini, Lalu ayat (3) mengatakan bahwa: Transaksi

adalah seluruh kegiatan yang menimbulkan hak dan/atau kewajiban

atau menyebabkan timbulnya hubungan hukum antara dua pihak atau

lebih, ayat (4) menegaskan ”Transaksi keuangan adalah transaksi

untuk melakukan atau menerima, penempatan, penyetoran,

penarikan, pemindahbukuan, pentransferan, pembayaran, hibah,

sumbangan, penitipan, dan /atau penukaran atas jasa sejumlah uang

atau tindakan dan/atau kegiatan lain yang berhubungan dengan uang”.

Lebih lanjut,dalam Pasal 1 ayat(5) Undang-undang Nomor 8

Tahun 2010 menyebutkan bahwa transaksi keuangan yang

mencurigakan adalah:

a. Transaksi yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau

kebiasaan pola transaksi dari pengguna jasa yang bersangkutan;

71
b. Transaksi keuangan oleh pengguna jasa yang patut diduga

dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan

transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh pihak

pelapor sesuai dengan ketentuan undang-undang ini;

c. Transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakakan

dengan menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari

hasil tindak pidana; atau

d. Transaksi keuangan yang diminta oleh PPATK untuk

dilaporkan oleh pihak pelapor karena melibatkan harta

kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.

Di samping itu,dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang

Nomor 8 Tahun 2010 secara tegas ditentukan bahwa hasil tindak

pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana:

a. Korupsi,

b. Penyuapan

c. Narkotika

d. Psikotropika

e. Penyulundupan tenaga kerja

72
f. Penyulundupan migrant

g. Di bidang perbankan

h. Di bidang pasar modal

i. Di bidang perasuransian

j. Di bidang kepaeanan

k. Cukai

l. Perdagangan orang

m. Perdagangan senjata gelap

n. Terorisme

o. Penculikan

p. Pencurian

q. Penggelapan

r. Penipuan

s. Pemalsuan uang

t. Perjudian

u. Prostitusi

v. Perpajakan

w. Kehutanan

x. Lingkungan hidup

73
y. Bidang kelautan

z. Atau tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4

tahun(empat) atau lebih, yang dilakukan di Wilayah Republik

Indonesia atau di luar Wilayah Kesatauan Republik Indonesia

dan tindak pidana tersebut merupakan tindak pidana menurut

hukum Indonesia.

Selanjutnya dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) dikatakan


bahwa terhadap orang yang membantu pencucian uang diancam
dengan pidana penjara 5 (lima) tahun dan denda sebanyak Rp
1.000.000.000 (satu milyar) pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Undang-
undang Nomor 8 tahun 20

74
s

BAB III

HUBUNGAN KORUPSI DAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN

UANG

A. Penerapan Asas dan Kaidah Undang-Undang Tindak Pidana

Pencucian Uang Dalam Kasus Tindak Pidana Korupsi di Indonesia.

Sebelum membahas dan mengemukakan hasil penelitian mengenai

penerapan asas dan kaidah Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian

Uang dalam kasus tindak pidana korupsi di Indonesia, maka terlebih

dahulu saya akan menguraikan potret korupsi di Indonesia.

1) Potret Korupsi di Indonesia

Mengawali pembahasan dalam hasil penelitian ini, penulis

membentangkan sejumlah kasus korupsi di Indonesia, khususnya

kasus-kasus besar yang secara material sangat besar dan karena itu

sangat mengganggu masyarakat dan bangsa Indonesia terlebih

75
dalam hal kondisi perekonomian bangsa Indonesia yang lagi

kurang stabil saat ini..

Perilaku korupsi, yang dalam bahasa hukum disebut tindak

pidana korupsi adalah musuh rakyat Indonesia. Ia (perilaku

korupsi) disebut sebagai musuh rakyat Indonesia, karena sebagian

uang yang diambil secara melawan hak oleh segelintir orang

(pelaku perilaku menyimpang/korupsi) tersebut adalah uang rakyat

yang dikumpulkan dalam bentuk pajak yang hendak dipakai untuk

belanja pemerintah dan biaya rutin lainnya dan lebihnya untuk

biaya pembangunan sarana kepentingan umum. Sebagiannya lagi

adalah hasil pengelolaan sumber daya alam.

Gencarnya gerakan anti (melawan) korupsi telah membuka

cakrawala kita untuk melihat bahwa sesungguhnya korupsi adalah

musuh umat manusia, dan karena itu harus diperangi. Korupsi telah

menghambat perjalanan suatu bangsa menuju bangsa yang adil,

demokratis dan sejahtera.

Kasus-kasus yang dibentangkan oleh penulis berikut ini

(bukan untuk dianalisis) hendak menunjukkan ‘potret’ korupsi di

Indonesia, antara lain :

76
1. Kasus kurupsi Hambalang yang melibatkan Menpora Dr .Andi

Malarangen

2. Korupsi Hambalang yang melibatkan Nazarudi.

3. Korupsi di lembaga keuangan Bapindo : yakni pembobolan

Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) oleh Eddy Tansil.

4. Kasus Korupsi Simolator Sim

5. Kasus Korupsi pada Dirjen Pajak yang melibatkan Gayus

Tambunan

6. Kasus Korupsi Impor Daging sapi yang melibatkan Lufthi

Hasan isak

7. Kasus Korupsi yang dilakukan oleh Sudjiono Timan, dalam

kapasitasnya sebagai Direktur Utama (Dirut) PT Bahana

Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI).(LANJUT EDIT)

8. Kasus Korupsi yang dilakukan oleh Eko Edi Putranto, selaku

direksi Bank Harapan Sentosa (BHS).

9. Kasus Korupsi yang dilakukan oleh Sumadikun Hartono, dalam

kapasitas sebagai Presiden Direktur Bank Modern.

77
10.Kasus Korupsi yang dilakukan oleh Bambang Sutrisno dan

Adrian Kiki Ariawan, selaku Wakil Direktur Utama dan Direksi

Bank Surya.

11.Kasus Korupsi yang dilakukan oleh Hader Taher, selaku

Direktur Utama (Durut) PT Siak Zamrut Pusako.

12.Kasus Dugaan Suap Deputi Bank Indonesia, dimana majelis

hakim Tipikor Jakarta menjatuhkan fonis penjara kepada Panda

Nababan, atas “suap cek” saat pemilihan Deputi Gubernur

Sentral (BI), juga melibatkan tiga politisi PDIP, yakni :

Enggelina Pattiasina, M. Iqbal dan Budiningsih.

13. Kasus dugaan suap Bank Indonesia, dengan terdakwa politisi

Partai Golkar Paska Suzetta yang menjadi terdakwa, dimana ia

menerima imbalan terkait pemilihan Deputi Gubernur Bank

Indonesia. Selain Paska, empat anggota DPR RI Periode 2004-

2009, yakni : Ahmad Hafiz Zawawi, Martin Bria Seran, Bobby

Suhardiman, dan Anthony Zeidra Abidin.

Kasus-kasus yang dibentangkan di atas hanyalah sebagian

kecil potret korupsi yang terjadi di Indonesia sejak Orde Baru.

Seperti dikatakan di atas bahwa analisis ini tidak menganalisis

78
kasus-kasus korupsi tersebut. Di sini hanya akan diuraikan secara

garis besar proses penegakan hukum dalam menyelamatkan uang

Negara, atas kasus korupsi yang terjadi di tahun 2004 – 2011

berdasarkan laporan polisi, penuntutan di tingkat kejaksaan,

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hingga putusan oleh

pengadilan Tipikor.

Berdasarkan data kepolisian tercatat bahwa sejak tahun 2005

-2011 pihak kepolisian menangani 1.961 perkara. Pada tingkat

penyidikan di kepolisian ini saja keuangan Negara yang

diselamatkan sebesar Rp. 679 miliar rupiah. Pada periode 2004-

2011), pihak kejaksaan menangani 8.394 perkara. Dari jumlah

tersebut, 6.831 perkara diantaranya dilanjutkan ke penuntutan. Di

periode ini penyidik kejaksaan menyelamatkan keuangan negara

lebih dari Rp. 13 triliun rupiah. Komisi Pemberantasan Korupsi

(KPK) pada periode 2004-2011 menyelidiki 417 perkara, dan

kemudian menyidik 229 kasus, melakukan penuntutan 196

perkara, dimana dari jumlah itu (yang dituntut) semuanya sudah

diputus dan Inkracht 169. Yang sudah dieksekusi sebanyak 171

perkara. Pengembalian uang Negara dari perkara yang ditangani

79
KPK mencapai 800 miliar. Disamping itu KPK juga menerima

laporan gratifikasi sebanyak 1.301 laporan. KPK juga

menyelamatkan keuangan negara lebih dari Rp. 151 triliun rupiah

dan 321 juta dolar AS.

Permohonan perlindungan kasus korupsi yang diajukan

kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), di sana

tercatat bahwa LPSK menangani 103 kasus permohonan

perlindungan pada periode 2008-2011. Pusat pelaporan dan

Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) juga berperan dalam

pemberantasan korupsi. Tercatat sepanjang 2004-2011, PPATK

menyampaikan 794 laporan hasil analisis.

Di sisi lain, tingkat kepatuhan pelaporan Laporan Harta

Kekayaan Penyelengara Negara (LHKPN) tahun 201 menjadi

81,65%. Angka ini meningkat dibandingkan dengan tahun 2004

yang hanya 49,16%.

Berkaitan dengan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia

yang dirilis Transparancy International tahun 2011 masih diangka

3,0. Adapun Indeks Integritas Nasional yang dirilis KPK tahun

2011 masih 6,31. Ini adalah ukuran untuk sektor pelayanan publik.

80
Dicermati bahwa upaya pemberantasan korupsi masih

mengalami hambatan koordinasi intra dan antar lembaga

pemerintah yang masih lemah. Peraturan perundang-undangannya

pun masih perlu direvisi. Fenomena ini membawa signal tentang

lemahnya kualitas dan kuantits penegakan hokum terhadap tindak

pidana korupsi.

2) Modus Operandi Terjadinya Korupsi.

Cara-cara yang lasimnya digunakan untuk melakukan korupsi

atau lebih tepatnya modus operandi terjadinya korupsi yang

dideskripsikan dalam pembahasan hasil penelitian ini melingkupi;

kesempatan atau peluang yang memungkinkan seseorang yang

mememiliki kewenangan untuk mengelola keuangan,namun

menggunakan uang secara melawan hak. Juga termasuk cara-cara

lainnya yang menjadi alasan kuat bagi seseorang untuk menggunakan

kewenangan secara melawan hak sehingga keuangan Negara

dirugikan atau penyalahgunaan kewenangan/kekuasaan untuk

kepentingan pribadi.

3) Korupsi dan Money Laundring.

81
Baik korupsi maupun money laundering, sama-sama berobjek

‘uang’. Karena itu perilaku korupsi yang menghasilkan uang, maka

yang dihasilkannya adalah uang rusak atau uang bobrok yakni uang

hasil perbuatan yang busuk. Demikian halnya uang hasil pencucian

uang atau uang sebagai objek dari pencucian uang adalah ‘uang kotor’

atau ‘uang haram’. Yustiavandana17 bahwa dalam istilah Indonesia

Money Laundering juga disebut secara beragam seperti; uang kotor,

uang haram, uang panas, uang gelap.

a. Cara mendapatkan.

a.1.Money Loundring

Cara uang menjadi (disebut sebagai) “money laundering”.

Objek utama pencucian uang adalah ‘uang kotor’ atau ’uang

haram’. Uang dapat menjadi kotor dengan dua cara, yaitu18 :

1) Melalui pengelakkan pajak (tax evasion), yaitu memperoleh

uang secara legal, tetapi jumlah uang yang dilaporkan kepada

pemerintah untuk keperluan perhitungan pajak lebih sedikit dari

17
. Ivan Yustiavandana, 20010, dalam bukunya Tindak Pidana Pencucian Uang di Pasar Modal, hal. 11
18
. Adrian Sutei, 2008, mengutip pendapat Sarah N. Welling, menyebutkan imoney laundering sebagai
uang haram atau uang kotor, serta member alas an penyebab uang dapat menjadi kotor karena dua alas an,
hlm. 16.

82
yang sebenarnya diperoleh. Jadi selisih uang yang tidak dilapor

adalah uang illegal.

2) Memperoleh uang melalui cara-cara melanggar hukum,

misalnya hasil penjualan obat terlarang (drug sales), perjudian

gelap (illegal gambling), penyuapan (bribery), terorisme

(terorism), pelacuran (prostitution), perdagangan senjata (arms

trafficking), penyelundupan (smuggling), dan kejahatan kerah

putih (white collar crime).

Mengenai cara mendapatkan, antara uang hasil korupsi

dan money loundring memiliki objek yang sama yakni uang.

Maka menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 tahun

2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana

Pencucian Uang, disebutkan bahwa objek tindak pidana

pencucian uang adalah :

1. Harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana berupa :

korupsi; penyelundupan; narkotika; psikotropika;

penyeleundupan tenaga kerja; penyelundupan migran;

dibidang perbankan; dibidang pasar modal; dibidang

perasuransian; kepabeanan; cukai; perdagangan orang;

83
perdagangan senjata gelap; terorisme; penculikan;

pencurian; penggelapan; penipuan; pemalsuan uang;

perjudian; prostitusi; di bidang perpajakan; di bidang

kehutanan; dibidang lingkungan hidup; dibidang kelautan

dan perikanan, atau tindak pidana lain yang diancam dengan

pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di

wilayah NKRI atau di luar wilayah NKRI dan tindak pidana

tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum

Indonesia.

Harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga akan

digunakan dan/atau digunakan secara langsung atau tidak

langsung untuk kegiatan terorisme, organisasi teroris, atau

teroris perorangan disamakan sebagai hasil tindak pidana

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n

a.2. Uang Hasi Korupsi.

Uang menjadi (disebut sebagai) uang hasil korupsi,

didapat dengan dengan perbuatan korupsi. Hasil

inventarisasi perbuatan korupsi berdasarkan studi

84
kepustakaan, memperlihatkan bahwa perbuatan yang

disebut sebagai perbuatan korupsi, antara lain :

(1) perbuatan seseorang yang dengan atau karena

melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran

memperkaya diri sendiri atau orang lain atau sesuatu

badan yang secara langsung atau tidak langsung

merugikan keuangan atau merugikan suatu badan

keuangan Negara atau daerah dan badan hukum lain

yang menggunakan modal atau kelonggaran-

kelonggaran dari masyarakat.

(2) Perbuatan yang dengan atau karena melakukan suatu

kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri

atau orang lain atau suatu badan, serta yang dilakukan

dengan menyalahgunakan jabatan atan atau kedudukan.

(3) Kejahatan kejahatan yang tercantum dalam Pasal 209,

210, 418, 419, dan 420 Kitab Undang Undang Hukum

Pidana.

(4) Perbuatan seseorang yang dengan atau karena

melakukan perbuatan melawan hokum memperkaya diri

85
sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara

langsung atau tidak langsung merugikan keuangan suatu

badan yang menerima bantuan dari keuangan Negara

atau daerah, atau badan lain yang memperoleh modal

dan kelonggaran-kelonggaran dari masyarakat.

(5) Perbuatan seseorang yang dengan atau karena

perbuatan melawan hokum memperkaya diri sendiri

atau orang lain atau suatu badan yang dilakukan dengan

menyalahggunakan jabatan atau kedudukan.

Sedangkan wujud atau cara memperkaya dirinya

adalah dengan memiliki harta benda yang dapat berupa :

1) harta benda seseorang atau suatu badan yang dengan

sengaja tidak diterangkan olehnya atau oleh

pengurusnya;

2) harta benda yang tidak terang siapa pemiliknya.

3) Harta benda seseorang yang kekayaannya setelah

diselidiki dianggap tidak seimbang dengan penghasilan

atau mata pencahariannya.

4) Harta benda yang asal-usulnya melawan hokum

86
5) Harta benda seseorang atau suatu badan yang

keterangannya ternyata tidak benar.

6) Harta benda yang pindah atas nama orang lain, dan

ternyata pemindahan nama pemindahan nama dilakukan

dilakukan untuk menghindari beban, berhubung dengan

ketentuan suatu aturan dan orang lain itu tidak dapat

membuktikan bahwa ia memperoleh barang itu dengan

iktikat tidak baik.

b. Faktor Pendorong.

b.1 Maraknya money loundring.

Bahwa praktek money loundering tidak mudah

diberanas, karena ada beberapa factor yang menjadi

pendorong maraknya kegiatan pencucian uang di setiap

negara, yakni :

1. Faktor globalisasi.

Dimana globalisasi pada perputaran system keuangan

internasional merupakan impian para pelaku money

loundring dan dari kegiatan criminal ini arus uang yang

berjalan jutaan dolar per tahun berasal dari pertumbuhan

87
ekonomi, dimana uang yang sehat pada setiap Negara

sebagai dasar pada daerah pasar global.

2. Faktor cepatnya kemajuan teknologi

Kemajuan teknologi yang paling mendorong maraknya

pencucian uang adalah teknologi dibidang informasi,

yaitu dengan minculnya internet yang memperlihatkan

kemajuan yang luar biasa.

3. Factor rahasia bank yang begitu ketat

Ketatnya suatu peraturan bank dalam hal kerahasiaan

atas nasabah dan data-data rekeningnya menyebabkan

para pemilik dana gelap sulit dilacak dan disentuh.

4. Factor belum diterapkannya azas “Know Your

Costumers”

Perbankan dan penyedia jasa keuangan lainnya belum

secara sungguh-sungguh menerapkan system know your

costumers ini, sehingga seseorang dapat menyimpan

dana dari sesuatu bank dengan menggunakan nama

samara (anonim).

5. Factor Electronic banking

88
Dengan diperkenalkannya system ini dalam perbankan,

maka diperkenankannya ATM (Automated Teller

Machine) dan wire transfer. Electronic memberikan

peluang bagi pencucian uang model baru dengan

menggunakan jaringan internet yang disebut cyber

laundering.

6. Faktor Electronic Money atau E-Money

Dengan munculnya jenis uang baru yang disebut e-

money yang merupakan suatu system yang secara digital

ditandatangani suatu lembaga penerbit melalui kunci

enskripsi pribadi dan melalui enskripsi ini dapat

ditransmisikan kepada pihak lain maka memudahkan

pelaku electronic commerce melalui jaringan internet,

pelaku tersebut juga sebagai cyberpace atau cyber

laundering.

7. Faktor Layering

Adanya factor penggunaan secara berlapis pihak

pemberi jasa hokum (lawyer), dimana sumber pertama

sebagai pemilik sesungguhnya atau siapa sebagai

89
penyimpan pertama tidak diketahui secara jelas, karena

deposan yang terakhir hanyalah sekedar ditugasi untuk

mendepositkan di suatu bank. Pemindahan yang

demikian dilakukan beberapa kali sehingga sulit dilacak

petugas.

8. Faktor Pemberi Jasa Hukum (lawyer)

Adanya factor ketentuan hokum bahwa hubungan

lawyer dengan klien adalah hubungan kerahasiaan yang

tidak boleh diungkapkan. Akibatnya seorang

lawyertidak bisa diminta keterangan mengenai

hubungan dengan kliennya.

9. Faktor Ketidaksungguhan Pemerintah

Adanya ketidaksungguhan dari Negara-negara untuk

melakukan pemberantasan praktik pencucian uang

dengan system perbankan. Ketidakseriusan demikian

adalah karena suatu Negara memadangan bahwa

penempatan dana-dana di suatu bank sangat diperlukan

untuk membiayai pembangunan.

10.Faktor Peraturan Setiap Negara

90
Belum adanya peraturan-peraturan money londring di

dalam suatu Negara tertentu, sehingga menjadikan

prsktik money loundring menjadi subur.

Berdasarkan kesepuluh penyebab timbulnya money

loundring yang disebutkan di atas, maka penulis dapat

membagi atas 5 (lima) factor utama pendukung money

loundring, yaitu sebagai berikut :

 Globalisasi system perputaran secara internasional

 Kemajuan teknologi dibidang perbankan yang

menciptakan electronic banking Idan e-money sehingga

pelayanan bank dapat dilakukan dengan intenet.

 Kerahasiaan bank untuk setiap rekening para

nasabahnya sehingga memungkinkan para nasabahnya

menggunakan nama samara (anonim) dalam proses

penyimpanan dananya, serta dimungkinkan terjadinya

layering (pelapisan), dimana sumber pertama sebagai

pemilik sesungguhnya tidak diketahui jelas, karena

deposan yang terakhir hanyalah sekedar ditugasi untuk

mendepositkan di suatu bank.

91
 Ketentuan hokum dimana hubungan lawyer dengan

klien adalah hubungan kerahasiaan yang tidak boleh

diungkapkan.

 Belum adanya peraturan money laundering di dalam

suatu Negara tertentu.

b.2 Maraknya tindak pidana korupsi.

Adapun faktor pendorong maraknya tindak pidana

korupsi menurut Hartarti19 dilatari oleh :

1) Rendahnya mental dan budi pekerti dalam diri dan jiwa

warga masyarakat, terutama pimpinan-pimpinan dari

tingkat desa/kelurahan sampai ke tingkat pusat, juga

Pimpinan-Pimpinan Departemen, termasuk

Pimpinan/Wakil Rakyat.

2) System yang tidak/kurang memadai. Dimana jika kita

mengamati secara saksama, maka akan kita dapati

bahwa system Pengawasan yang dijalankan selama ini,

baik pengawasan fungsional, pengawasan melekat,

19
. Hamid Basyaib, 2002, menutip pendapat Hartarti dalam bkunya Korupsi : Mencuri Uang Rakyat, hlm.
11.

92
maupun pengawasan masyarakat, seolalah-olah tidak

memadai. Beberapa hal mencolok dapat penulis

kedepankan dalam analisis ini adalah :

Pertama, Pengadaan Inventaris :

Dalam hal pengadaan inventaris ini, terdapat 2 (dua)

kemungkinan, yakni mark up atau fiktif. Artinya hanya

faktur atau kuitansi yang ada sedangkan barangnya tidak

ada.

Kedua, Perjalanan Dinas :

Dalam lah perjalanan dinas ini biasanya dilakukan

cheking 2 atau 3 orang, lalu ditanya di mana menginap,

dapat menentukan kebenaran perjalanan dinas tersebut.

Dari kedua contoh ini, mengharuskan system

pengawasan perlu ditata lagi agar berhasil dalam

mencegah atau setidaknya mengeliminir adanya korupsi.

3) Perilaku Masyarakat.

Masyarakat umumnya cenderung bersikap diam

terhadap perbuatan korupsi. Bagi mereka, selain akan

93
merepotkannya, juga dengan perimbangan laporan

tersebut sudas tidak akan ditanggapi dengan jujur.

Bagi masyarakat yang termasuk golongan bisnis yang

selalu berprinsip “time is money” dengan perhitungan

dan kalkulasi yang cermat, mereka dalam mengurus

urusan/masalah selalu mempertimbangkan laba rugi.

Bagi golongan bisnis ini, perlu ditumbuhkan kesadaran

bahwa perbuatan untuk melakukan pembayaran diluar

ketentuan, merupakan perbuatan tercela, merusak

jalannya pemerintahan.

Selain daripada itu, dipandang perlu untuk ditumbuhkan

kesadaran bagi setiap warga Negara bahwa melaporkan

sesuatu korupsi, merupakan perbuatan berpahala karena

dapat membantu memberantas korupsi.

4) Manajemen

Kenyataan manajemen yang cenderung sektoral, dan

tidak bertitik tolak pada pelayanan masyarakat.

Kurangnya evaluasi terhadap organisasi dan tata kerja

setiap satuan kerja baik di pusat maupun di daerah

94
dengan mengamati secara cermat hal-hal yang rawan

korupsi, menyebabkan kesulitan untuk meniadakan atau

mengurangi korupsi tersebut.

Terkait dengan manajemen ini, maka dapat dikatakan

“telah menjadi rahasia umum” hal-hal yang hingga

beberapa dekade ini masih rawan korupsi dan sulit

menumbuhkan kepercayaan masyarakat adalah :

b. Tentang rekrut pegawai negeri

c. Kenaikan pangkat

d. Jabatan atau mutasi

5) Kesejahteraan

Bahwa hasil penelitian kepustakaan juga

memperlihatkan bahwa, terjadinya korupsi di kalangan

pegawai negeri. Dimana pegawai negeri tidak

menjalankan tugas secara professional. Dimana tidak

melihat pekerjaannya sebagai pelayan, akan tetapi

berorientasi kepada profit atau keuntungan. Hal ini

terjadi karena kurang sejahteranya pegawai berkaitan

dengan upah yang diperoleh atas prestasi atau

95
pelayanannya. Kondisi-kondisi inilah yang dapat

memicu terjadinya korupsi.

c. Tahapan Proses

c.1 Money loundring

Mengenai tahap-tahap pencucian uang, maka proses

money loundring digolongkan ke dalam 3 (tiga) tahapan,

yakni :

1) Tahapan placement

Tahap ini merupakan tahap pertama, dimana

pemilik uang tersebut mendepositokan uang haram

tersebut ke dalam system keuangan (financial yistem).

Karena uang itu sudah masuk kedalam system keuangan

perbankan, berarti uang itu juga telah masuk ke dalam

system keuangan Negara yang bersangkutan. Oleh

karena uang yang yang telah ditempatkan di suatu bank

itu selanjutnya dapat lagi dipindahkan ke bank lain, baik

di Negara tersebut maupun di Negara lain, uang tersebut

bukan saja telah masuk ke dalam system keuangan

96
Negara yang bersangkutan, melainkan juga telah masuk

ke dalam system keuangan global atau internasional.

Dengan demikian, placement adalah upaya

menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu kegiatan

tindak pidana kedalam system system keuangan. Bentuk

kegiatan ini, antara lain :

 Menempatkan dana pada bank. Yang sering diikuti

dengan pengajuan kredit/pembiayaan.

 Menyetor uang pada bank atau perusahaan jasa

keuangan lain sebagai pembayaran kredit untuk

mengaburkan audit trail.

 Menyelundupkan uang tunai dari suatu Negara ke

Negara lain.

 Membiayai suatu usaha yang seolah-olah sah atau

terkait dengan usaha yang sah berupa

kredit/pembiayaan sehingga mengubah kas menjadi

kredit/pembiayaan.

 Membeli barang-barang berharga yang bernilai

tinggi untuk keperluan pribadi atau membelikan

97
hadiah yang nilainya mahal sebagai

penghargaan/hadiah kepada pihak lain yang

pembayarannya dilakukan melalui bank atau

perusahaan jasa keuangan lain.

2) Tahap layering

Dilihat sebagai langkah memisahkan hasil tindak

pidana dari sumbernya, yaitu tindak pidanya melalui

beberapa tahap transaksi keuangan untuk

menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul dana.

Dalam kegiatan ini terdapat proses pemindahan dana

dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil

placement ke tempat lain melalui serangkaian transaksi

yang kompleks dan didesain untuk menyamarkan dan

menghilangkan jejak sumber dana tersebut. Bentuk

kegiatan layering ini, antara lain :

 Transfer dana dari satu bank ke bank lain atau antar

wilayah/Negara.

 Penggunaan simpanan tunai sebagai agunan untuk

mendukung transaksi yang sah.

98
 Memindahkan uang tunai lintas batas Negara, baik

melalui jaringan kegiatan usaha yang sah maupun

shell company.

Dalam layering ini, pekerjaan dari pihak

launderer (pencuci uang) belum berakhir dengan

ditempatkannya uang tersebut ke dalam system

keuangan dengan melakukan placement. Untuk

menghindari perhatian dari otoritas moneter Negara dan

para penegak hukum, mengingat jumlah unag haram

yang sangat besar jumlahnya tersebut pada suatu bank

tanpa penjelasan asal-usulnya, maka setelah dilskuksn

placement, maka uang tersebut dipindahkan lagi ke bank

yang lain, dan dari satu Negara ke Negara yang lain

sampai beberapa kali.

Langkah layering dimaksudkan “separating illicit

proceeds from their source by creating complex layrs of

financial transactions designes to disguise ethe audit

trail and provide anonymity”. Dari sini Nampak

hubungan antara placement dan layering adalah jelas.

99
Dimana setiap prosedur placement yang berarti

mengubah lokasi fisik atau sifat haram dari uang itu

adalah juga salah satu bentuk ‘layering’. Strategi

layering adalah dengan mengubah uang tunai menjadi

asset fisik, seperti kendaraan bermotor, barang-barang

perhiasan dari emas atau batu permata atau ‘real estate’.

3) Tahap integration

Tahapan integration dalam pencucian uang

adalah terkait dengan upaya menggunakan harta

kekayaan yang telah tampak sah, baik untuk dinamika

langsung, diinfestasikan ke dalam berbagai bentuk

kekayaan materiil atau keuangan, dipergunakan untuk

membiayai kegiatan bisnis yang sah, maupun untuk

membiayai kembali kegiatan tindak pidana.

Dalam melakukan pencucian uang, pelaku tidak

selalu mempertimbangkan hasil yang akan diperoleh dan

besarnya biaya yang harus dikeluarkan, karena tujuan

utamanya adalah “untuk menyamarkan atau

100
menghilangkan asal-usul uang sehingga hasil akhirnya

dapat dinikmati atau digunakan secara aman”.

c.2 Uang hasil korupsi

Bahwa uang kasil korupsi umumnya tidak memiliki

tahapan (dalam memperoleh) seperti tiga tahap yang ada

pada money lonundring.

d. Modusnya

d.1 Money loundring

Modus operandi pencucian uang dari waktu ke waktu

semakin kompleks dengan menggunakan teknologi dan

rekayasa keuangan yang cukup rumit. Hal itu terjadi pada

tahap placement, layering, maupun integration. Adapun

modus operandi pencucian uang pada umumnya dilakukan

dengan cara-cara sebagai beriukut :

 Melalui kerja sama modal

Dimana uang hasil kejahatan secara tunai dibawa

ke luar negeri. Uang tersebut masuk kembali melalui

kerja sama modal (joint ventura project). Keuntungan

investasi tersebut diinvestasikan lagi dalam berbagai

101
usaha lain. Keuntungan usaha lain ini dinikmati sebagai

uang yang sudah bersih karena tampaknya diolah secara

legal bahkan sudah dikenakan pajak.

 Melalui agunan kredit

Dimana uang tunai diselundupkan ke luar negeri.

Lalu disimpan di bank Negara tertentu yang prosedur

perbankannya termasuk lunak. Dari bank tersebut di

transfer ke bank Swiss dalam bentuk deposito.

Kemudian dilakukan peminjaman ke suatu bank di

Eropa dengan jaminan deposito tersebut. Uang hasil

kredit ditanamkan kembali ke Negara asal uang haram

tersebut.

 Melalui perjalanan luar negeri

Uang tunai ditransfer ke luar negeri melalui bank asing

yang ada di negaranya. Kemudian, uang tersebut

dicairkan kembali dan dibawa kembali ke Negara

asalnya oleh orang tertentu. Seolah-olah uang tersebut

berasal dari luar negeri.

 Melalui penyamaran usaha dalam negeri

102
dengan uang haram tersebut didirikan perusahaan

samaran, tidak dipermasalahkan apakah uang tersebut

bersih atau tidak, tetapi kesannya uang tersebut telah

menghasilkan uang ‘bersih’.

 Melalui penyamaran perjudian

Dengan uang tersebut didiriksn usaha perjudian.

Tidak menjadi masalah apakah menang atau kalah. Akan

tetapi, akan dibuat kesan seolah-olah menang sehingga

ada alasan asal-usul uang tersebut. Kepada pemilik uang

haram dapat ditawarkan nomor menang dengan harga

yang lebih mahal, dengan demikian terkesan uang

tersebut sebagai hasil kemenangan.

 Melalui penyamaran dokumen

Dimana uang tersebut secara fisik tidak ke mana-

mana, tetapi keberadaannya didukang oleh berbagai

dokumen palsu atau dokumen yang diadakan, seperti

membuat double invoice dalam jual beli dan ekspor

impor. Agar ada kesan uang itu sebagai hasil kegiatan

luar negeri.

103
 Melaui pinjaman luar negeri

Dimana uang tunai dibawa ke luar negeri dengan

berbagai cara, lalu uang tersebut dimasukkan kembali

sebagai pinjaman luar negeri. Hal ini akan member

kesan bahwa pelaku memperoleh bantuan kredit dari

luar negeri.

 Melalui rekayasa pinjaman luar negeri

Dimana uang haram tersebut secara fisik tidak ke mana-

mana, tetapi kemudian dibuat suatu dokumen seakan-

akan ada bantuan atau pinjaman luar negeri. Jadi pada

kasus ini sama sekali tidak ada pihak pemberi pinjaman.

Yang ada hanyalah dokumen pinjaman, yang

kemungkinan besar adalah dokumen palsu.

d.2 Uang hasil korupsi

Yang dimaksud dengan modus operandi tindak

pidana korupsi adalah cara-cara melakukan tindak pidana

korupsi. Cara-cara tersebut tidak selalu dimulai pada tahap

pelsksanaan, tetapi adakalanya telah dimulai pada tahap

perencanaan.

104
Sebagai contoh, “sebuah instansi atau departemen

akan melakukan pengadaan suku cadang mesin kantor dan

barang-barang lainnya”, maka modus operandinya :

a) Tahap Perencanan

- Dimana pihak rekanan melakukan penjajakan dan

mengetahui rencana pembelian serta dana yang

disediakan dalam pengadaan tersebut.

- Perencanaan barang secara berlebihan sehingga

ada mesin yang ternyata penggunaannya tidak

diperlukan.

b) Tahap pengadaan barang

- Rekanan ditunjuk langsung tanpa tender dengan

alasan bahwa rekanan adalah agen tunggal,

keagenan tersebut diragukan karena tidak terdaftar

di Departemen/Kanwil Perdagangan.

- Adanya kemahalan harga atas nilai kontrak

pengadaan mesin-mesin beserta suku cadangnya.

c) Tahap penerimaan barang dan pembayaran

105
- Adanya berita acara penerimaan dan pemeriksaan

barang yang tidak sesuai, yakni uraian barang yang

diterima tidak sesuai dengan barang yang diterima.

- Adanya barang palsu.

d) Tahap pendistribusian barang dan pemakaian

- Ada barang yang diterima, yang tidak dapat

digunakan.

- Dari 4 (empat) buah mesin kantor satu buah tidak

dapat ditemukan.

e) Kerugian keuangan Negara Rp 2 miliar.

Contoh lainya adalah “kasus manipulasi

pembelian/penjualan barang pada PT X (BUMN) di kota

Y”. dimana prosedur pelaksanaan yang harus

dilaksanakan adalah :

- Meminta jaminan kepada penyalur apabila membuat

kontrak jual beli secara kredit.

- DO diterima PT X (BUMN) tersebut.

Dimana modus operandi dalam kasus ini adalah :

- Penjualan secara kredit tanpa jaminan.

106
- DO diterbitkan oleh penyslur, bukan oleh PT X.

- Tidak menghentikan penyaluran barang kepada

Penyalur, walaupun pembayaran harga semen

telah melampaui batas waktu yang tercantum

dalam kontrak

- Mengadakan jual beli di atas kertas tidak pernah

melihat keadaan barang

Kerugian keuangan Negara sebesar Rp 1 miliar.

B. Penerapan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundring)

Sebelum Diterapkannyn UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Bahwa kejahatan korupsi dapat terjadi dalam berbagai

bentuk. Di Indonesia kejahatan korupsi yang dalam bahasa undng-

undang disebut dengan tindak pidana korupsi ini secara eksplisit

diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 junto

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.

Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999,

di sana disebutkan bahwa :

Pasal 2 :

107
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan

memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu koorporasi

yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian

Negara dipidana penjara seumur hidup atau pidana pnjara

paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)

tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00. (dua ratus

juta) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar

rupiah).

(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1) dilakukan dalam keadaan terentu, pidana mati dapat

dijatuhkan.

Pasal 3 :

Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau

orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan,

kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau

keudukan yang dapay merugikan keuangan Negara atau

perekonomian Negara, dipidana dengan penjara seumur hidup atau

pidana pnjara paling sedikit 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua

puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00. (lima

108
puluh juta) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar

rupiah).

Inti dari kedua pasal yang menjelaskan tentang pengerian

korupsi ini, tidak menyebutkan secara khusus jenis-jenis perbuatan

yang mana saja, akan tetapi penekanannya pada perbuatan-

perbuatan mana yang memperkaya diri sendiri, orang lain atau

suatu korporasi, di nmana dengan adanya atau dilakukannya

perbuatan tersebut nyata-nyata telah merugikan keuangan Negara

atau perekonomian Negara. Peluang dilakukannya perbuatan yang

merugikan tersebut dapat karena penyelahgunaan kewenangan,

adanya kesempatan atau sarana yang didapat karena suatu jabatan

atau kedudukan yang dimiliki, sebagaimana penegasan pasal 3

tersebut di atas.

Kejahatan pencucian uang money laundering dapat

disepadankan dengan pemutihan uang atau pendulangan uang atau

disebut pula dengan pembersihan uang dari hasil transaksi gelap.

Yang oleh Welling20 menyebutnya sebagai suatu proses

20
. Ivan yustianadana, 2010, mengutp pendapat Welling mengenai money laundering dalam bukunya
berjudul : Pencucian Uang di Pasar Modal, hlm. 10.

109
pengaburan, menyembunyikan, uang-uang illegal melalui sistem

keuangan sehingga ia akan muncul kembali sebagai uang yang sah.

Terkait dengan cakupan kejahatan money laundering, maka Pasal

2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, dengan tegas

menyebutkan bahwa hasil tindak pidana adalah harta kekayaan

yang diperoleh dari tindak pidana : Korupsi, Penyuapan,

Narkotika, Psikotropika, Penyulundupan tenaga kerja,

Penyulundupan migrant, Di bidang perbankan, Di bidang pasar

modal, Di bidang perasuransian, Di bidang kepaeanan, Cukai,

Perdagangan orang, Perdagangan senjata gelap, Terorisme,

Penculikan, Pencurian, Penggelapan, Penipuan, Pemalsuan uang,

Perjudian,, Prostitusi, Perpajakan, Kehutanan, Lingkungan hidup,

Bidang kelautan, Atau tindak pidana lain yang diancam dengan

pidana penjara 4 tahun(empat) atau lebih, yang dilakukan di

Wilayah Republik Indonesia atau di luar Wilayah Kesatauan

Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut merupakan tindak

pidana menurut hukum Indonesia.

110
Selain Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang di atas, dalam Pasal

5 ayat (1) juga menyebutkan bahwa :

“Setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan,

pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan,

penukaran, atau menggunakan harta kekayaan yang diketahuinya

atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara

paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.

1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.

Di samping kedua pasal dari Undang-Undang Pencengahan

dan pemberantasan Tindak Pidana Pencucian (UU No. 8 Tahun

2010) yang disebutkan di atas, terdapat juga pasal yang secara

formal memberi kekuatan hukum atau melegitimasi dapat

diprosesnya tindak pidana korupsi lebih dahulu dengan

menggunakan UU No. 8 tahun 2010 sebelum menerapkan Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001 junto Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yakni Pasal 69

(UU No. 8 Tahun 2010) yang menyebutkan bahwa :

111
“Untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan

di sidang pengadilan terhadap tindak pidana Pencucian Uang tidak

wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya”.

Harta kekayaan yang menjadi objek penerapan undang-

undang pencucian uang, menurut Pasal 2 (1) Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 2010, yang pertama-tama disebutkan adalah harta

kekayaan hasil korupsi. Ini berarti bahwa kekayaan yang didapat

dari atau upaya memperkaya diri karena menyalahgunakan

kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena

seusatu jabatan atau kedudukan yang pada gilirannya merugikan

keuangan Negara atau perekonomian Negara adalah juga menjadi

sasaran penerpan Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan

Tindak Pidana Pencucian uang.

Jika dilihat dari tahun diundangkan atau tahun berlakunya

maka ditemui bahwa undang-undang Pemberantasan tindak pidana

korupsi yang lebih dahulu ada dibandingkan dengan Undang-

Undang Pencegahan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian

Uang. Di mana Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi dikeluarkan pada tahun 1999 dan kemudian dirubah pada

112
tahun 2001. Sedangkan Undang-Undang Pemberantasan Tindak

Pidana Pencucian Uang dikeluarkan pada tahun 2002 dan

kemudian dirubah pada tahun 2003, yang kemudian dirubah lagi

dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010.

Asumsi dasar penulis adalah jika Undang-Undang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak sempat dikekeluarkan

sekalipun, dan muncul atau dikeluarkannya Undang-Undang

Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang,

maka secara materiil perilaku memperkaya diri (korupsi) dengan

melawan hak yang tercermin dalam batasan pengertian tentang

korupsi tetaplah dijerat dengan Undang-Undang Pemberantasan

Tindak Pidana Pencucian Uang.

Dengan demikian jika ditanyakan kemungkinan dapat atau

tidaknya Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang

diterapkan dalam tindak pidana korupsi sebelum diterapkan

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 junto Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi, penulis dengan tegas menyatakan di sini melalui hasil

penelitian ini bahwa “dapat diterapkan”.

113
Penulis dengan tegas menyatakan dapat diterapkannya

Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana

Pencucian Uang (UUTPPU) dalam kasus tindak pidana korupsi

karena Pasal 69 UUTPPU, yang intinya menyebutkan tidak perlu

terlebih dahulu menunggu pembuktian tindak pidana asal dalam

proses hukum atas tindak pidana pencucian uang. Jadi seseorang

yang diduga atau disangkakan sebagai pelaku tindak pidana

korupsi dapat dijerat dan diproses dalam kasus Tindak Pidana

Pencucian Uang, tanpa perlu harus menunggu hasil (pembuktian)

bahwa yang bersangkutan adalah benar sebagai pelaku tindak

pidana korupsi.

Alasan dapat diterapkannya Undang-Undang

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dalam kasus

tindak pidana korupsi sebelum berlakunya Undang-Undang

Nomor 20 tahun 2001 junto Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengingat

bunyi Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2010, yang

menempatkan korupsi sebagai salah satu tindak pidana yang mana

uang hasil korupsi dipandang sebagai kejahatan money laundering.

114
Dan jika sebelum diberlakukannya Undang-Undang

Pemberantasan Tindak Pidana korupsi telah ada Undang-Undang

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, maka kasus tindak

pidana korupsi (atau nama lainnya karena belum ada undang-

undang pemberantasan tindak pidana korupsi) akan tetap dijerat

dengan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian

Uang, karena uang hasil korupsi adalah juga uang ‘kotor’ atau uang

‘haram’ sebagaimana sebutan Welling, untuk money laundering di

atas.

C. Alasan Penerapan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (Money

Laundring) Pada Kasus Tindak Pidana Korupsi.

Alasan penerapan undang-undang money laundering atau

undang-undang pencucian uang, menjadi substansin analisis di

sini, karena berkaitan dengan pertanyaan Apakah undang-undang

money laundering dapat diterapkan dalam kasus tindak pidana

korupsi, maka hasil penelusuran pustaka maupun penelusuran

norma (hukum positif) yang dilakukan penulis memperlihatkan

bahwa “undang undang money laundering dapat diterapkan pada

tindak pidana korupsi”.

115
Jastifikasi atau pembenaran secara teoritis maupun secara

normatifnya adalah sebagai berikut :

 Alford, memberikan devinisi mengenai pencucian uang, dalam

bukunya money laundering, yang dikutip Pathorang Halim,

mengatakan bahwa : Pencucian uang (money laundering)

adalah proses yang dilakukan untuk mengubah hasil kejahatan

dari korupsi, kejahatan narkotika, perjudian, penyelundupan,

dan lain-lain dengan menggunakan sarana lembaga keuangan

sehingga uang hasil dari kegiatan yang sah karena asal-usulnya

sudah disamarkan atau disembunyikan.

 Pasal 2 ayat (1) Undang Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian

Uang, di sana disebutkan bahwa objek tindak pidana pencucian

uang adalah salah satunya berupa harta kekayaan yang

diperoleh dari tindak pidana berupa; a) korupsi, b) penyuapan,

c) narkotika, d) dan lain-lain.

Diterapkannya Undang Undang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (money

laundering) dalam kasus tindak pidana korupsi, dengan bersandar

116
pada kedua alasan pembenar di atas, juga hasil analisis

memperlihatkan bahwa Penerapan Undang Undang Pencegahan

dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (money

laundering) pada Tipikor, karena beberepa pertimbangan berikut

ini.

4) Keduanya (Seharusnya) Memiliki Hakekat Yang Sama.

Baik Undang-Undang Tipikor maupun Undang-

Undang Pencucian uang sama-sama ingin menghukum

pelaku pelaku atau membuat jera pelaku. Dan lebih spesifik

dari itu, yakni keduanya ingin menarik kembali uang Negara

yang ada ditangan koruptor.

Atas kesamaan hakekat tersebut, dengan undang-

undang pencucian uang, akan dijerat dan dipandang sebagai

yang turut bersalah bukan saja pada pelaku atau pejabat yang

menyalahgunakan kewenangannya memperkaya diri sendiri

atau orang lain atau korporasi, tetapi sampai pada kemana

aliran dana tersebut mengalir. Dengan demikian bagi penulis

adalah tepat untuk menerapkan undang-undang pencucian

uang untuk tindak pidana korupsi.

117
(upaya menarik kembali uang negara yang ada ditangan

koruptor)

5) Perbedaan Titik Tolak Dalam Menyikapi Pelaku.

Menginagat undang-undang Tipikor, dalam

menyikapi pelaku yang diduga telah melakukan tindak

pidana korupsi tersebut, tidak secara serius “mengejar aliran

dana yang diselewengkan tersebut”. Kondisi ini

menempatkan pelaku “ada pilihan” menjalankan hukuman

badan atau mengganti kerugian Negara beserta dendanya.

Dalam posisi yang demikian, maka secara rasional pelaku

“yang nilai uang yang diselewengkan besar” akan memilih

hukuman badan. Jika ini menjadi pilihan maka hasrat

Undang-undang Tipikor umtuk mengembalikan uang

Negara tidak akan berhasil maksimal.

Sedangkan pada Undang-Undang Pencucian Uang

intinya adalah mengejar sampai kemana aliran dana itu

bergerak (mengalir). Dan karena kekayaan yang diperoleh

dari tindak pidana Korupsi objek dari tindak pidana

pencucuan uang yang diatur dalam undang undang

118
pencucian uang maka, dapat penulis tegaskan dalam analisis

ini bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 dapat

diterapkan pada Tindak Pidana korupsi.

6) Perbedaan Sifat Pembuktian.

Hasil penelitian kepustakaan juga memperlihatkan

bahwa, antara Undang Undang Pemberantasan Tipikor

dengan Undang Undang Pencegahan dan Pemberantasan

Tindak Pidana Pencucian Uang (money laundering) terdapat

perbedaan dalam sifat pembuktiannya. Dimana dalam

banyak kasus pidana, pembuktian tindak pidana yang paling

rumit adalah pembuktian tindak pidana korupsi. Sebab

disamping pelaku tindak pidana adalah orang yang memiliki

tingkat intelektual yang cukup tinggi, juga dengan

menggunakan modus yang sudah direncanakannya secara

matang agar perbuatan tersebut tidak mudah dilacak dan

atau diungkap.

Masalah korupsi merupakan masalah yang penting

bagi pemerintah. Adanya kenyataan bahwa banyak

pengusaha yang justru menjadi pelaku tindak pidana

119
korupsi, dan karena itu pembuktian tindak pidana korupsi di

menemui hambatan. Baik hambatan structural, dimana :

birokrasi dilibatkan menjadi bagian dari penciptaan system

korupsi, maupun hambatan cultural, dimana : budaya

masyarakat yang hedonis dan kapitalis. Kesulitan

pembuktian tindak pidana korupsi tersebut tidak saja karena

pelakunya adalah para birokrat yang seharusnya menjadi

pengawal dan panglima terhadap pencegahan dan

pemberantasan tindak pidana korupsi, tetapi memang aturan

perundangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi,

dirasa sangat kurang memadai. Pasal-pasal yang ada sangat

interpretable dan bermakna all embracing act di mata

penguasa yang korup tersebut.

System pembuktian tindak pidana korupsi menurut

UU Nomor 20 Tahun 2001 junto UU Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah

sistem pembuktian yang yang terbalik berimbang, bersifat

terbatas dan menggunakan system pembuktian negative

menurut undang-undang. Dalam penjelasan atas Undang-

120
undang Nomor 31 Tahun 1999, dikatakan bahwa

pembuktian terbalik yang bersifat terbatas dan berimbang

adalah terdakwa mampunyai hak untuk membuktikan bahwa

ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib

memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan

harta benda istrinya, atau suami, anak, dan harta benda setiap

orang atau koorporasi yang diduga mempunyai hubungan

dengan perkara yang bersangkutan dan Penuntut Umum

masih tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.

Makna kata terbatas dalam memori Pasal 37

dikatakan bahwa, apabila terdakwa dapat membuktikan

dalilnya bahwa terdakwa tidak melakukan tindak pidana

korupsi, hal ini tidak berarti terdakwa tidak terbukti

melakukan tindak pidana korupsi, sebab Penuntut Umum

masih tetap ber kewajiban untuk membuktikan dakwaannya.

Sedangkan makna kata berimbang, diartikan sebagai

berupa penghasilan terdakwa ataupun sumber penambahan

harta benda terdakwa (in put), sebagai income terdakwa dan

perolehan harta benda sebagai out put. Antara income

121
sebagai input yang tidak berimbang dengan out put, atau

dengan kata lain in put lebih kecil dari out put. Dengan

demikian diasumsikan bahwa perolehan barang-barang

sebagai out put tersebut adalah hasil perolehan tindak

pidana korupsi yang didakwakan. Sehingga dapat

dikemukakan bahwa teori pembuktian yang dianut dalam

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 adalah teori bebas

yang dianut oleh terdakwa dan teori negative menurut

undang-undang yang daunt oleh Penuntut Umum.

Penjelasan yang dikemukakan di atas, dapat dilihat

dalam ketentuan pasal 37 Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999, yang menyatakan :

ii. Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia

tidak melakukan tindak pidana korupsi.

iii. Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak

melakukan tindak pidana korupsi. Apabila melakukan

melakukan tindak pidana korupsi maka keterangan

tersebut dipergunakan sebagai hal yang menguntumgkan

baginya.

122
iv. Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh

harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak,

dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga

mempunyai hubungan dengan perkara yang

bersangkutan.

v. Dalam hal terdakwa dapat membuktikan tentang

kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya

atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan

tersebut dapat digunakan untuk memperkuat alat bukti

yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak

pidana korupsi.

vi. Dalam keadaansebagaimana dimaksud dalam ayat (1),

ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), penuntut umum tetap

berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.

Ketentuan pasal ini merupakan pembuktian terbalik

yang terbatas, karena jaksa masih tetap wajib membuktikan

dakwaannya. Ketentuan ini juga sebebarnya merupakan

suatu penyimpangan dari ketentuan KUHAP yang

123
menentukan bahwa jaksa yang wajib membuktikan

dilakukannya tindak pidana, bukan terdakwa.

Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999, pembuktiannya menganut system

pembuktian semi terbalik dan berimbang sebagaimana

ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.

Hal ini dapat dilihat pada ketentuan Pasal 37 (revisi) yang

berbunyi :

(1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia

tidak melakukan tindak pidana korupsi.

(2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak

melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian

tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar

untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti.

Pasal 37 A :

(1) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh

harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak,

124
dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga

mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan.

(2) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang

kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya

atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk

memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa

telah melakukan tindak pidana korupsi.

(3) Ketentuan sebagaimna dimaksud dalam ayat (1) dan ayat

(2) merupakan tindak pidana atau perkara pokok

sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, pasal 3, pasal 4,

pasal 13, pasal 14, pasal 15, pasal 16 Undang Undang

Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasanTindak

Pidana Korupsi dan pasal 5 sampai dengan pasal 12

Undang Undang ini, sehingga penuntut umum tetap

berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.

Demikianlah system pembuktian yang dipergunakan

dalam tindak pidana korupsi dalam peraturan perundang-

125
undangan tentang korupsi, yakni Undnag-Undang Nomor 31

Tahun 1999 dan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001.

Sedangakan tentang system yang dianut dalam

Undang-Undang pencucian uang agak berbeda. Lahirnya

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002, selanjutnya

dirubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003,

serta perubahan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 8

Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan

Tindak Pidana Pencucian Uang, merupakan kebutuhan

masyarakat. Yakni kebutuhan yang diakibatkan oleh adanya

pergaulan secara internasional yang berdampak kepada

system nilai yang berubh secara cepat. Yang menjadi

masalah adalah pada tataran penegakan hokum yang

dikaitkan dengan tindak pidana korupsi, sehingga KPK

dapat menggunakan

perundang-undangan tentang tindak pidana pencucian

uang, dalam menjalankan peran dan tugas utamanya

dibidang penindakan tindak pidana korupsi.

126
Selama ini secara empiris, hampir pasti belum pernah

KPK menggunakan tindak pidana pencucian uang sebagai

pintu masuk untuk menelusuri kemungkinan atau dugaan

yang kuat adanya tindak pidana korupsi, melalui Pusat

Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk

dimanfaatkan oleh KPK, dengan berbagai cara

pembuktiannya, terutama berkenaan dengan jenis-jenis

kejahatan pencucian uang yang berdimensi kejahatan

lanjutannya.

Perilaku kejahatan dengan motif-motif ekonomi,

selalu melibatkan kecanggihan transaksi keuangan, dengan

menggunakan system perbankan yang canggih, dijamin

dengan kerahasiaan bank, untuk melakukan penempatan,

pengiriman uang yang berasal dari hasil kejahatan, yang

dilakukan secara terorganisasi. Kejahatan dapat

mempengaruhi perkembangan ekonomi, Negara-negara

yang sedang berkembang, terutama terhadap program-

program pembangunan nasional yang dirintangi oleh

semakin meningkatnya kejahatan ekonomi (economic

127
crime) seperti penggelapan, penipuan, penyelundupan,

penghindaran pajak, penyalahgunaan bantuan (milik umum

dan negara), korupsi yang merajalela, penyuapan dan

penyalahgunaan kekuatan ekonomi oleh korporat nasional

dan transnasional.

Money laundering, merupakan salah satu kejahatan

terorganisasi yang pada dasarnya, termasuk kejahatan

terhadap pembangunan dan kesejahteraan sosial, yang

menjadi pusat perhatian dan keprihatinan internal nasional

dan eksternal internasional. Hal ini sangat beralasan,

mengingat ruang lingkup dan dimensinya yang sangat luas

terhadap kejahatan pencucian uang. Maka didirikanlah

financial action task force on money laundering (FATC),

sebagai suatu badan yang didirikan oleh Negara-negara yang

tergabung dalam kelompok G-7 di Paris tahun 1989, untuk

membangun kerjasama internasional dalam menghadapi

jenis kejahatan ini.

Pada waktu itu pencucian uang dirumuskan sebagai

proses menyembunyikan atau menyamarkan asal ususl hasil

128
kejahatan. Proses tersebut untuk kepentingan penghilangan

jejak, sehingga memungkinkan pelakunya menikmati

keuntungan-keuntungan itu, dengan tanpa mengungkap

sumber perolehannya. Sehingga penting penaggulangan

pencucian uang segera dilakukan. Salah satunya dengan

cara, melakukan kriminalisasi terhadap kegiatan pencucian

uang ini.

7) Pilihan Dalam Menjalani Hukuman; Dampak Hukum.

Berhubungan dengan pilihan yang harus diambil bagi

seseorang yang terbukti melakukan tindak pidana Korupsi,

maka ada hubungan antara besaran nilai korupsi dan

kecenderungan memilih. Dimana jika nilai korupsinya besar

maka koruptor akan cenderung memilih menggunakan

Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dalam proses

hokum atas kejahatannya tersebut. Karena disamping ada

pilihan untuk menjalani hukuman badan, dalam undang-

undang Tindak Pidana Korupsi juga memberikan

kesempatan kepada pelaku kejahatan atau koruptor tersebut

untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak

129
pidana korupsi, walaupun nantinya jaksa pun akan

membuktikan dakwaannya terhadap koruptor tersebut.

Sehingga jika jaksa tidak dapat membuktikan dakwaannyan

maka koruptor (yang diduga melakukan tindak pidana

korupsi tersebut) dapat lepas dari jerat hukum.

Seseorang yang terbukti melakukan tindak pidana

Korupsi, sangat tidak ingin mengunakan Undang Undang

Pencucian Uang (Money Loundring) sebagai aturan hukum

dalam memeriksa dan memutuskan perkara tersebut. Karena

cakupan jerat hokum yang dipakai untuk menjerat pelaku

akan sangat luas, mengingat luasnya objek tindak pidana

pencucian uang sebagaimana yang tersebut di dalam Pasal 2

ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian

Uang. Dan lagi karena sifat dari undang undang ini mancari

atau menelusuri sampai dimana uang tersebut mengalir,

maka pelaku yang sudah terjerat hukuman badan tidak akan

mempunyai kesempatan untuk memperkaya diri, karena

uang yang diselewengkan tersebut akan dicari sampai

130
dijumpai. Karena melaui Pusat Pelaporan dan Analisis

Trensaksi Keuangan (PPATK), sebagai suatu badan yang

independen dan bebas dari campur tangan dan pengaruh

kekuasaan manapun akan bebas dalam menjalankan tugas

mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang,

termasuk tindak pidana korupsi, walaupun dengan modus

operandi yang canggih yang sulit dijangkau dengan

mengandalkan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.

131
Daftar Pustaka

Buku-Buku :

Achjanu Eva, Zulva, 2008, Pergeseran Paradigma Pemidanaan,

Penerbit, Lubuk Agung, Semarang.

Basyaib Hamid dkk, 2002, Mencuri Uang Rakyat 116 Kajian Korupsi

Di Indonesia, Penerbit Yayasan Aksara, Jakarta.

Daniel Elwi H, 1999, Korupsi, Konsep Tindak Pidana Dan

Pemberantasan, Penerbit, Raja Grafindo Persada.

Djaja Ermansyah, 2010, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Penerbit

Sinar Grafika. Jakarta.

Hamzah A, 1985, Hukum Pidana Ekonomi, Edisi Refisi selaras dengan

Inpres Nomor 4

Hartanti Evi, Tipikor Edisi Ke-II, Penerbit, Sinar Grafika, Jakarta, Mei

2008

132
Hartono C.F.G. Sunaryati, 1999, Penelitian Hukum Di Indonesia Abad 20

Penerbit Alumni, Bandung.

Husein Yunus, 2010, Bunga Rampai Pencucian Uang, Penerbit, Books

Terrance & Library, Jakarta.

Husein Alatas Syeh, Korupsi,Sebab Sifat Dan Fungsi, Penerbit LP3S,

Jakarta.

__________ Tipikor, Masalah Dan Pemecahannya, Edisi

Pertama_Penerbit, Sinar Grafika, Jakarta.

Klitgaard Robert, 2001 Membasmi Korupsi, Penerbit, Yayasan Obor

Indonesia”. Jakarta.

M Lubis & J.C. Scott, 2000, Korupsi Politik, Penerbit, Yayasan Obor

Indonesia, Jakara.

M.Prodjo Hamidjojo, 2008, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik

Korupsi, Cetakan Pertama Sinar Ilmu, Bandung.

Marpaung Leden, 2008, Tindak Pidana Korupsi Pemberantasan Dan

Pencegahan, Penerbit PT. Djambalan, Jakarta.

Muladi, 2002, Pembaharuan Hukum Pidana Yang Berkualitas Di Indonesia,

Makalah Dalam Rangka HUT FH. Undip

133
Mulyadi Lili, 2010 Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Normatif, Teoritis,

Praktik, Dan Masalahnya, Penerbit.PT.Alumni, Bandung

Nyrdjana IGM Sistem Hukum Pidana Dan Bahaya Laten Korups, Penerbit

Pustaka Pelajar Bandung

Prodjodikoro Wirdjono, 2001, Tindak Pidana Tertentu, Penerbit, Refika

Pertama, Bandung

Radjen.A.Mukti & Masduki Teten, 1996, Menyikap Korupsi Di Daerah,

Penerbit Intras Q Telkom Net, Jakarta

Rengka Frans, 2008, Hukum HAM Dan Korupsi, Penerbit, Genta Press,

Semarang.

Saleh K Wantjik, 2000, Tipikor Dan Suap, Balai Aksara-Yudistira dan

Pustaka Sadigah

SC,Walters Ian MC, 2006, Memerangi Korupsi_ Penerbit, JP.Books.

Surabaya 2006

Syarifudin dkk, 2006, Benang Kusut Peradilan Korupsi Perbankan_

Penerbit, Konsorsium Reformasi Hukum Nasional

Vito Tanzi, 1994, Corruption GovernmentalActivities and Markets, IMF

Working Paper.

134
Waluyo Bambang, “ Penelitian Hukum Dan Praktek”_Penerbit, Sinar

Grafika

Peraturan Perundangan :

Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi

Undang – Undang Nomor 19 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi

Undang – Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Kamus/Ensiklopedia :

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Tahun 2002

Handry Campbell 1983, Black’s DictioneryWith Pronounciations.

135

Anda mungkin juga menyukai