Anda di halaman 1dari 35

ANALISIS KONTRASTIF KLAUSA RELATIF BAHASA INDONESIA

DAN BAHASA JEPANG SERTA IMPLIKASINYA


BAGI PEMBELAJARAN BIPA ASAL JEPANG

PROPOSAL SKRIPSI

diajukan untuk mengikuti Sidang Proposal Skripsi

Disusun oleh:
Yulia Yulian
NIM 1504995

DEPARTEMEN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2019
2

2
3

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha


Penyayang, saya panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya karena
atas segala rahmat-Nya, proposal penelitian yang berjudul “Analisis Kontrastif
Klausa Relatif Bahasa Indonesia dan Bahasa Jepang serta Implikasinya bagi
Pembelajaran BIPA Asal Jepang” dapat diselesaikan.
Proposal penelitian ini disusun dengan maksud untuk mengikuti Sidang
Proposal Skripsi semester ganjil tahun akademik 2018/2019. Penyusun telah
berupaya seoptimal mungkin dalam penyusunan proposal ini agar sesuai
dengan harapan. Namun, tidak tertutup kemungkinan masih terdapat
kekurangan karena satu dan lain hal. Oleh sebab itu, penyusun mengharapkan
kritik dan saran dari rekan pembaca.
Demikian penyusunan proposal penelitian ini. Penyusun berharap
proposal ini dapat memberikan manfaat bagi bidang pendidikan dan
penerapan di lapangan serta bisa dikembangkan lagi lebih lanjut ke penelitian
skripsi.

Bandung, Januari 2019

Penyusun

3
4

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

A. JUDUL PENELITIAN 1

B. LATAR BELAKANG MASALAH PENELITIAN 1

C. TUJUAN PENELITIAN 5

D. RUMUSAN MASALAH PENELITIAN 5

E. KAJIAN TEORETIS 6

1. Analisis Kontrastif 6

2. Klausa Relatif Bahasa Indonesia 9

3. Klausa Relatif Bahasa Jepang 11

4. Pembelajaran BIPA 12

F. DEFINISI OPERASIONAL 14

G. ANGGAPAN DASAR 15

H. METODOLOGI PENELITIAN 16

I. DESAIN RANCANGAN PENELITIAN 17

J. SUMBER DATA PENELITIAN 19

K. INSTRUMEN PENELITIAN 20

DAFTAR PUSTAKA 24

4
5

5
6

A. JUDUL PENELITIAN
Analisis Kontrastif Klausa Relatif Bahasa Indonesia dan Bahasa Jepang
serta Implikasinya bagi Pembelajaran BIPA Asal Jepang

B. LATAR BELAKANG MASALAH PENELITIAN


Dari berbagai macam kesulitan yang ditemui dari pembelajaran Bahasa
Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA), salah satunya disebabkan oleh
perbedaan struktur bahasa yang dipelajari dan struktur bahasa asal
pemelajar. Dalam hal ini, Lado (1957, 1) menyatakan bahwa pemelajar
cenderung mentransfer bentuk, makna, serta distribusi bentuk dan makna
bahasa dan budaya asli mereka ke bahasa dan budaya asing yang
dipelajari, baik secara produktif maupun secara reseptif. Diperkirakan
bahwa semakin besar perbedaan antara struktur B1 dan B2, semakin besar
pula masalah dan kesulitan dalam pembelajaran BIPA. Ellis (1994, hlm.
307) membuatkannya dalam formula “​different = difficulty”​ (berbeda =
sulit). Lado (1957, 2) memperkirakan hal yang sama, yakni elemen-elemen
bahasa yang mirip dengan bahasa asal pemelajar akan menjadi sederhana
baginya, dan elemen-elemen bahasa yang berbeda akan menjadi sulit bagi
pemelajar.
Jepang merupakan salah satu negara yang warganya cukup banyak
mempelajari bahasa Indonesia. Data dari Kemendikbud (2018, hlm. 32)
menunjukkan bahwa Jepang adalah negara yang menyediakan
pembelajaran BIPA di beberapa universitas nasional. Sejumlah warga
Jepang juga mempelajari bahasa Indonesia langsung di lembaga dan
universitas di Indonesia. Warga negara Jepang mempelajari bahasa
Indonesia untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Akan tetapi, perbedaan
sistem bahasa sering kali menjadi kendala bagi penutur Jepang. Hal ini
karena menurut Iskandarwassid & Sunendar (2011, hlm. 273), salah satu
kesulitan bahasa Indonesia bagi penutur asing adalah pemelajar memiliki
latar belakang bahasa yang memiliki karakter huruf berbeda (​kanji,

6
7

hiragana, d​ an ​katakana)​ dengan bahasa Indonesia yang menggunakan


karakter huruf latin.
Bahasa Jepang adalah bahasa yang memiliki perbedaan dengan bahasa
Indonesia. Dari segi struktur kalimat, bahasa Indonesia memiliki struktur
SPO (Subjek-Predikat-Objek), sedangkan struktur dasar kalimat bahasa
Jepang adalah SOP (Subjek-Objek-Predikat). Begitu juga struktur frasa
bahasa Indonesia berpola D-M (Diterangkan-Menerangkan), sedangkan
bahasa Jepang berpola M-D (Menerangkan-Diterangkan). (Sutedi, 2011,
hlm. 229). Perbedaan struktur dasar seperti itu dapat berpengaruh pada
konstruksi-konstruksi dasar yang lain, baik frasa maupun klausa (Dewi,
2013, hlm. 3). Sementara itu, perbedaan lain yang menarik antara bahasa
Jepang dan Indoneia terletak pada konstruksi klausa relatif. Klausa relatif
bahasa Indonesia ditandai dengan penggunaan pronominal ​yang ​(Suratidjo,
1991, hlm. 201), sedangkan klausa relatif bahasa Jepang tidak ditandai
dengan penanda apapun. Klausa relatif dalam kedua bahasa ini sifatnya
produkif sekali, tetapi pemelajar BIPA kebanyakan sulit menguasai kaidah
klausa relatif. Beberapa pemelajar yang tidak berasal dari Jepang saja
mengakui sulit menguasai penggunaan pronominal ​yang, ​misalnya
pemelajar BIPA asal Perancis (Grange, 2018) dan Amerika (Suharsono,
2015).
Beranjak dari perbedaan-perbedaan dari kedua bahasa tersebut, perlu
diadakan penelitian ke arah suatu perbandingan (kontrastif) yang akan
menghasilkan sebuah daftar kontras linguistik di antara keduanya yang
pada gilirannya akan memungkinkan para linguis dan guru bahasa
memperkirakan kesulitan-kesulitan yang akan dihadapi seorang pemelajar
(Brown, 2008, hlm. 272). Kegiatan yang mencoba membandingkan
struktur B1 dan struktur B2 untuk mengidentifikasi perbedaan-perbedaan
kedua bahasa itu disebut dengan Analisis Kontrastif (Tarigan & Tarigan,
2011, hlm. 17). Jackson dalam Fisiak (1981, hlm. 195) menyebutkan
bahwa analisis kontrastif tidak terbatas pada pengidentifikasian

7
8

perbedaan-perbedaannya saja, tetapi juga mengkaji persamaan ciri-ciri


struktur dua bahasa tersebut. Dalam analisis kontrastif, terbuka luas
kemungkinan memperbandingkan beragam tipe konstruksi bahasa. Dalam
penelitian ini, konstruksi bahasa yang diperbandingkan adalah konstruksi
subsistem bahasa berupa klausa relatif dari bahasa Indonesia dan bahasa
Jepang.
James dan Mair dalam Khalifa (2018, hlm. 13) menyatakan bahwa
analisis kontrastif dapat mengembangkan suatu ​kesadaran bahasa, yakni
kesadaran bahwa kesalahan yang ditimbulkan oleh pemelajar diakibatkan
oleh adanya gangguan dari bahasa ibu pemelajar. Menurut Teori Transfer
yang diformulasikan dalam teori psikologi Stimulus-Respons kaum
behaviorisme (James, 1986, hlm. 20), kesalahan berbahasa itu dapat
dihilangkan dengan cara menanamkan kebiasaan berbahasa kedua mealui
latihan, pengulangan, dan penguatan. Hal ini memberikan gagasan bahwa
kesalahan mengindikasikan adanya kesulitan pemelajar yang dapat
ditelusuri kembali melalui transfer kebiasaan bahasa ibu (B1) ke bahasa
target (B2).
Sebagai sebuah teori dalam pengajaran bahasa kedua, analisis
kontrastif dapat digunakan sebagai upaya untuk menjelaskan bagaimana
sebenaranya pembelajaran bahasa kedua itu harus dilakukan dan teori ini
mampu memberikan sumbangan yang berarti bagi pengajaran B2
(Freeman & Long, 1991, hlm. 42). Tarigan & Tarigan (2011, hlm. 56) juga
menyimpulkan bahwa analisis kontrastif memiliki implikasi dalam kelas
pengajaran bahasa. Hal ini dapat terlihat dari segi penyusunan materi
pengajaran yang didasarkan pada hasil perbandingan B1 dan B2,
penyusunan tata bahasa pedagogis sebagai penerapan teori linguistik yang
dianut, penataan kelas secara terpadu atau terkait, dan penyajian materi
pengajaran secara langsung.
Penelitian terhadap analisis kontrastif klausa relatif bahasa Indonesia
dan bahasa Jepang untuk kepentingan pengajaran BIPA sebenarnya belum

8
9

pernah dilakukan. Walaupun begitu, Nusantari (2007) pernah melakukan


penelitian sejenis tentang klausa relatif bahasa Jepang dan bahasa
Indonesia. Penelitian ini menekankan pada konstruksi klausa relatif yang
dibuat oleh orang Indonesia yang sedang belajar bahasa Jepang dan
sebaliknya. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa antara klausa
relatif bahasa Jepang dan bahasa Indonesa, terdapat dua wilayah yang jauh
berbeda yang menunjukkan perbedaan antara keduanya dari segi jenis,
pronomina perangkai, dan letak frasa pewatas. Sayangnya, penelitian ini
terbatas untuk dibaca sehingga penjelasan lainnya tidak bisa dijelaskan.
Penelitian ini juga tidak memberikan implikasi pada pengajaran bahasa
Jepang maupun pengajaran bahasa Indonesia untuk penutur Jepang.
Penelitian yang berhubungan dengan pengajaran BIPA materi klausa
relatif adalah ​penelitian Suharsono (2015) dengan judul “Pemerolehan
Klausa Relatif pada Pemelajar Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing
(BIPA): Kajian Antarbahasa”. Penelitian ini tidak mengontraskan klausa
relatif dengan bahasa Inggris yang menjadi subjek penelitiannya, tetapi
berfokus pada kajian bahasa-antara (​interlanguage)​ . ​Kajian ini
mendapatkan fakta bahwa ​penggunaan pronomina relatif ​yang ​merupakan
butir yang tingkat pemerolehannya ​paling rendah, artinya, materi
pronominal relatif ​yang sulit dikuasai oleh pemelajar Amerika. Sementara
itu, penggunaan strategi belajar bahasa berkorelasi positif terhadap
pemerolehan klausa relatif. Penelitian ini memperoleh simpulan bahwa: (1)
urutan ​pemerolehan klausa relatif menggambarkan sekaligus urutan
penguasaan dan tingkat ​kesulitan setiap tipe, dan (2) penggunaan strategi
belajar bahasa yang dilakukan secara ​sadar memungkinkan pencapaian
pemerolehan klausa relatif lebih cepat.
Dalilan & Mulyono (2004) melakukan penelitian dengan judul “Klausa
Relatif Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia: Analisis Kontrastif Strategi
Perelatifan, Fungsi, dan Karakteristik Alat Perelatif”. Penelitian ini
melakukan perbandingan terhadap pemakaian prorel (pronominal relatif)

9
10

Bahasa Inggris dan pemakaian ​yang d​ alam bahasa Indonesia. Kesimpulan


dari penelitian ini adalah prorel bahasa Inggris sepenuhnya berstatus
argumen, sementara dalam bahasa Indonesia, alat perelatif ​yang juga sama
berfungsi sebagai pengikat jalinan sintakis klausa relatif, tetapi tidak dapat
berstatus argumen. Selain itu, bahasa Inggris dapat merelatifkan secara
langsung unsur FN/N yang menduduki posisi S, O, OTL, dan posesif,
sedangkan BI hanya bisa S. Strategi yang digunakan oleh BING untuk
merelatifkan FN/N adalah dengan menggunakan strategi konstruksi aktif,
sedangkan BI strategi penanda bentuk pasif.
Penelitian lain tentang kontrastif bahasa Jepang dan bahasa Indonesia
adalah yang dilakukan oleh Nuswantara & Aghnadiin (2016). Judulnya
adalah “Analisis Kontrastif pada Fungsi Bahasa Jepang dan Bahasa
Indonesia”. Penelitian ini mengontrastifkan ungkapan bahasa Jepang dan
bahasa Indonesia. Hasil dari penelitian ini adalah ditemukannya sejumlah
97 ungkapan yang mirip, 21 ungkapan yang berbeda, dan 2 ungkapan yang
tidak memiliki padanannya dalam bahasa Indonesia, seperti “itadakimasu”
dan “gochisousama” sebagai ungkapan sebelum dan sesudah menikmati
hidangan.
Dalam ruang lingkup BIPA, Fadilah, L. dkk. (2017) juga melakukan
perbandingan bahasa Korea dan Indonesia dengan judul “Analisis
Kontrastif Pronomina Demonstratif Bahasa Korea dan Bahasa Indonesia
serta Implikasinya terhadap Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur
Asing (BIPA)”. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa persamaan
dari pronominal demonstratif bahasa Korea dan Indonesia terletak pada
kepemilikan pronominal demonstratif ​ini, itu, di sini,​ dan ​di situ.​
Sementara itu, perbedaannya terletak pada bentuk pronomina
demonstratifnya, yakni bahasa Korea berupa bentuk dasar, gabungan, dan
pemendekan. Sedangkan, bentuk pronomina demonstratif bahasa Indonesia
terdiri atas bentuk dasar, bentuk gabungan, dan bentuk turunan.

10
11

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, penelitian ini pada


intinya akan melakukan analisis kontrastif klausa relatif dari dua bahasa,
yakni bahasa Indonesia dan bahasa Jepang. Hasil pengontrasan tersebut
akan memberikan kebermanfaatan pagi pengajaran BIPA, khususnya bagi
penutur Jepang agar kesulitan dalam menguasai kaidah klausa relatif dapat
dikurangi dan diatasi.

C. TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, penelitian ini
bertujuan untuk:
1) mendeskripsikan perbedaan klausa relatif bahasa Indonesia dan
bahasa Jepang;
2) mendeskripsikan persamaan klausa relatif bahasa Indonesia dan
bahasa Jepang;
3) merumuskan implikasi hasil pengontrasan klausa relatif bahasa
Indonesia dan bahasa Jepang bagi pembelajaran BIPA.

D. RUMUSAN MASALAH PENELITIAN


Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka pertanyaan penelitian yang
dirumuskan adalah sebagai berikut.
1) Bagaimana perbedaan klausa relatif bahasa Indonesia dan bahasa
Jepang?
2) Bagaimana persamaan klausa relatif bahasa Indonesia dan bahasa
Jepang?
3) Bagaimana implikasi hasil pengontrasan klausa relatif bahasa
Indonesia dan bahasa Jepang bagi pembelajaran BIPA?

E. KAJIAN TEORETIS
1. Analisis Kontrastif
Studi komparatif dalam bahasa memiliki sejarah yang cukup
panjang. Dua bahasa (atau lebih) dapat dibandingkan untuk ditemukan

11
12

perbedaan dan persamaan di antara keduanya. Kegiatan tersebut


disebut dengan ​Contrastive Analysis atau ​Contrastive Study.​ Fisiak
(1981, hlm. 1) menyebutnya sebagai ​Contrastive Linguistics,​ yakni
subdisiplin linguistik yang memerhatikan perbandingan dua atau lebih
bahasa atau subsistem bahasa untuk menemukan perbedaan dan
persamaan keduanya. Perbedaan-perbedaan antara dua bahasa yang
diperoleh dan dihasilkan melalui Analisis Kontrastif dapat digunakan
sebagai landasan dalam meramalkan atau memprediksi
kesulitan-kesulitan belajar berbahasa yang akan dihadapai para siswa
di sekolah, terlebih dalam belajar B2 (Tarigan & Tarigan, 2011, hlm.
21).
Analisis kontrastif merupakan bagian dari linguistik terapan yang
menggunakan kerangka perbandingan bahasa dengan tujuan tertentu,
misalnya untuk pengajaran bahasa, analisis kedwibahasaan, keperluan
terjemahan, dan lain sebagainya (Fisiak, 1981, hlm. 2). Lebih jauh,
Fisiak mengemukakan bahwa analisis kontrastif terapan tidak hanya
mengkaji perbedaan-perbedaan antara dua bahasa, melainkan juga
mengkaji persamaan-persamaannya. Analisis kontrastif dianggap
sebagai bagian yang penting dalam metodologi pengajaran bahasa
asing. Fries (1945, hlm. 9) berasumsi bahwa bahan-bahan untuk
pengajaran bahasa asing yang paling efektif adalah yang didasarkan
pada deskripsi ilmiah dari bahasa yang akan dipelajari, yang
dibandingkan secara hati-hati dengan bahasa asli pemelajar.
Kebanyakan studi kontrastif yang dilakukan oleh pakar-pakar
terdahulu memiliki tujuan yang berorientasi pedagogis. Tujuan mereka
rata-rata adalah untuk menemukan dan meramalkan kesulitan-kesulitan
yang dialami pemelajar. Asumsi yang mendasari analisis kontrastif
adalah yang sesuai Lado (1957, hlm. 2) sampaikan, yakni bahwa
pemelajar yang mulai mempelajari bahasa asing akan menemukan
elemen-elemen bahasa yang mudah dipelajari dan elemen-elemen

12
13

bahasa yang sangat sulit dipelajari. Elemen-elemen bahasa yang mirip


dengan bahasa asal pemelajar akan menjadi sederhana baginya, dan
elemen-elemen bahasa yang berbeda akan menjadi sulit bagi
pemelajar. Masih menurut Lado, pengajar yang melakukan analisis
kontrastif terhadap bahasa asli dan bahasa sasaran akan lebih
memahami masalah-masalah pembelajaran sesungguhnya, serta dapat
memberikan pengajaran yang lebih baik untuk
pemelajar-pemelajarnya.
Dalam mengontraskan dua bahasa, Whitman (1970, hlm. 191)
menyatakan bahwa pada dasarnya, analisis kontrastif mengambil dua
bahasa dan memprosesnya dalam cara tertentu untuk memprediksi
kesulitan-kesulitan pemelajar. Dengan demikian, proses tersebut dapat
dijelaskan dalam 4 langkah prosedur analisis kontrastif yang
digambarkan sebagai berikut. (Whitman, 1970, hlm. 191-197).
Gambar 1. Empat Prosedur Analisis Kontrastif

Seperti yang tertera dalam gambar, analisis kontrastif terdiri dari 4


langkah, yakni sebagai berikut.
a) Deskripsi (​description​)
Dalam tahap ini, dilakukan pengambilan dua bahasa (B1
dan B2), lalu penulisan deskripsi formal dari masing-masing
bahasa. Penulisan sistem deskripsi formal untuk kedua bahasa

13
14

harus ekuivalen, karena penulisan yang berbeda akan


menyulitkan penganalisisan. Kesamaan sistem deskripsinya
terletak pada identitas prosedural, misalnya penulisan simbol F
untuk frasa dalam bahasa Indonesia digunakan juga pada saat
menuliskan deskripsi bahasa Jepangnya.
b) Seleksi (​selection)​
Tahap ini adalah tahap pemilihan bentuk atau kaidah
bahasa untuk dibandingkan antara dua bahasa. Menurut
Whitman (1970, hlm. 193) menyatakan bahwa tahap ini dapat
dikatakan sebagai tahap terpenting dalam analisis kontrastif.
Pemilihan dan penentuan bentuk bahasa yang akan
diperbandingkan dapat didasarkan pada kesamaan bentuk,
makna, atau distribusinya. Kesamaan ini ditentukan
berdasarkan hasil observasi, insting, atau intuisi peneliti.
Pemilihan juga dapat bergantung pada kemampuan
penerjemahan atau pertimbangan dari para informan yang
berkompeten dalam kedua bahasa yang diperbandingkan.
c) Kontras (​contrast)​
Dalam tahap ini, Whitman (1970, hlm. 195) menyebutkan
adanya pemetaan atau “​mapping”​ suatu sistem bahasa ke
sistem bahasa lainnya. Hal ini bisa dilakukan dengan
mengurutkan persamaan dan perbedaan dari hal yang umum ke
khusus. Perbandingan dua bahasa dapat dipertimbangkan dari
aspek properti fisik (bentuk), makna, atau distribusi.
d) Prediksi (​prediction)​
Tahap terakhir adalah memprediksi kesulitan-kesulitan
berdasarkan hasil perbandingan. Tahap ini dapat dilakukan
dengan dua cara, yakni (1) hierarki kesulitan (hasil
dirangkingkan) dan (2) pengaplikasian langsung (dilakukan

14
15

dengan menginterpretasi kesulitan-kesulitan dengan spesifik


dan konsisten).
Semua prosedur tersebut pada akhirnya dilakukan untuk
peningkatan kualitas pengajaran bahasa kedua, yakni usaha untuk
mengatasi kesulitan-kesulitan pemelajar yang memang menjadi
tuntutan pedagogis dari analisis kontrastif. Marton (1985, hlm. 168)
berhipotesis bahwa analisis kontrastif mempunyai nilai pedagogis yang
tinggi bagi pengajaran bahasa di kelas, sebagai teknik penyajian materi
bahasa dan sebagai ciri utama pengajaran bahasa. Tarigan & Tarigan
(2011, hlm. 48) kemudian menyimpulkan bahwa implikasi analisis
kontrastif dalam kelas pengajaran B2 terlihat pada segi-segi berikut ini.
a) Penyusunan materi pengajaran yang didasarkan pada hasil
perbandingan B1 dan B2.
b) Penyusunan tata bahasa pedagogis sebagai penerapan teori
linguistik yang dianut.
c) Penataan kelas secara terpadu atau terkait.
d) Penyajian materi pengajaran secara langsung.
1) Menunjukkan persamaan dan perbedaan B1 dan B2.
2) Menunjukkan hal-hal B1 yang mungkin mendatangkan
kesalahan dalam B2.
3) Menganjurkan cara-cara mengatasi interferensi.
4) Memberikann latihan intensif pada hal-hal yang berbeda.

2. Klausa Relatif Bahasa Indonesia


Klausa relatif merupakan klausa terikat atau klausa subordinatif
yang diawali oleh pronominal relatif dan berfungsi mewatasi atau
menjelaskan salah satu nomina/frasa nomina yang mendahuluinya
(Agustina, 2005, hlm. 1). Klausa subordinatif bisa disebut klausa
sematan (​embedded clause)​ karena klausa tersebut disematkan atau
digayutkan pada salah satu unsur atau konstituen yang lebih tinggi.
Alwi dkk. (2010, hlm. 402) menerangkan bahwa klausa relatif adalah

15
16

klausa perluasan dengan ​yang yang disematkan dalam klausa utama


dan berfungsi sebagai keterangan bagi fungsi sintaksis tertentu.
Sementara itu, klausa relatif didefinisikan oleh Samsuri (1985, hlm.
302) sebagai kalimat dasar yang menjadi kalimat pemadu dalam
kalimat rumit yang subjeknya berubah menjadi partikel ​yang k​ arena
identik dengan sebuah frasa nominal. Klausa relatif sering juga disebut
sebagai klausa parantetis (Givon, 2001, hlm. 680), atau klausa
pewatasan (Lapoliwa, 1990,hlm 47; Sudarsa, 1993, hlm. 6).
Dengan demikian, pronominal relatif yang dimaksud oleh
Agustina (2005) sebelumnya adalah kata ​yang.​ Dalam bahasa
Indonesia, ada yang menyebut kata ini sebagai kata ganti penghubung,
kata perangkai, atau kata ganti relatif (Mees, 1954, hlm. 98). Pendapat
lain menyatakan bahwa kata ​yang merupakan sebuah ligatur, yakni
kata yang berfungsi merangkaikan N (nomina) dengan atribut atau
keterangannya. (Verhaar, 1999, hlm. 317-318). Namun, Samsuri (1985,
hlm. 303) berpendapat bahwa dalam bahasa Indonesia, kata
penghubung yang digunakan sebagai penanda keterikatan klausa dalam
klausa relatif adalah ​yang dan ​bahwa​. Jadi, tidak hanya berupa kata
yang.​
Kata nomina apapun dapat memiliki pernyataan yang dibuat dalam
bentuk klausa relatif. Ciri sintaktik dari klausa relatif yakni berupa
konstruksi atributif yang berfungsi sebagai atribut dalam frasa nominal.
Seperti yang dikatakan oleh Verhaar (1999) bahwa klausa relatif, kata
utamanya dianggap sebagai induk sedangkan klausa relatif sebagai
atributnya. Contoh:
(1) Rumah ​yang dibelinya​ dijual lagi.
Klausa ​yang dibelinya merupakan atribut frasa nominal ​rumah
yang dibelinya dengan ​rumah sebagai unsur pusat atau “​head”​ . Klausa
relatif sebenarnya terdapat pada bahasa-bahasa Indo-German yang
memungkinkan kata ganti relatif berfungsi sebagai subjek, objek, dan

16
17

ditandai oleh kasus yang tampak pada bentuk kata ganti relatif
(Suratidjo, 1991, hlm. 201). Kata ​yang pada klausa relatif sebagai
pengganti subjek karena identik dengan frasa nominal. Contoh:
(2) ​Yang berdiri di depan pintu​ adalah adiknya.
Kata ​berdiri adalah verba, tetapi ​yang bediri dalam kaliamt (2)
adalah nomina sebagai hasil dari penominalan. Klausa relatif ​yang
berdiri di depan pintu dalam kalimat (2) menggantikan subjek karena
berupa frasa nominal. Verhaar (1981, hlm. 40) menjelaskan ciri yang
melibatkan subjek klausa relatif harus secara tetap. Ligatur ​yang tidak
mempunyai kebebasan sebagai konstituen melainkan mempunyai
tempat tetap dan merupakan bentuk terikat secara sintaktik.
Berdasarkan unsur yang direlatifkan, menurut Suharsono (2015,
hlm. 62) terdapat lima tipe klausa relatif, yaitu: (1) klausa relatif yang
merelatifkan subjek, (2) klausa relatif yang merelatifkan objek, (3)
klausa relatif yang merelatifkan unsur termilik, (4) klausa relatif yang
menghilangkan unsur nomina; dan (5) klausa relatif yang merelatifkan
predikat.

3. Klausa Relatif Bahasa Jepang


Dalam bahasa Jepang, klausa relatif adalah anak kalimat yang
menerangkan kata benda. Klausa relatif ini digunakan saat kata benda
diterangkan oleh anak kalimat. Dalam bahasa Jepang, kata benda yang
diterangkan oleh anak kalimat ditunjukkan dengan perubahan bentuk
dan susunan kalimat. Anak kalimat yang menerangkan kata benda
tersebutlah yang disebut klausa relatif.
Dalam klausa relatif, predikat (dapat berupa kata kerja, kata sifat,
atau kata benda) berupa bentuk biasa dan partikel ​wa yang merupakan
pemarkah subjek diubah menjadi partikel ​ga atau ​no​. Klausa realtif
selalu terletak di depan kata benda yang diterangkan klausa relatif
tersebut. Menurut Comrie (1981, hlm. 137), bentuk klausa realtif
seperti ini disebut dengan klausa relatif tipe prenominal (klausa relatif

17
18

mendahului inti). Ichikawa (2005, hlm. 341) memberikan gambaran


mengenai klausa relatif bahasa Jepang sebagai berikut.

Meishi Shuusshoku Setsu​ (klausa relatif) Shuusoku meishi​ (nomina inti)


Klausa relatif dalam bahasa Jepang terdiri dari dua jenis, yakni
klausa relatif restriktif dan klausa relatif nonrestriktif. Klausa restriktif
bersifat membatasi referen yang dicau atau digunakan ketika nomina
inti tidak memberikan informasi yang cukup kepada pendengar.
Sementara itu, klausa relatif nonrestriktif tidak bersifat membatasi
karena hanya memberikan informasi tambahan terhadap referen atau
nomina yang sebenarnya sudah dapat diidentifikasi oleh pendengar.

a. Klausa Relatif Restriktif Bahasa Jepang


Dalam bahasa Jepang, nomina yang dimodifikasi oleh klausa
relatif restriktif dalam bahasa Jepang menempati posisi subjek,
objek, posesor, maupun oblik dalam kalimat (Dewi, 2013, hlm. 67).
Contoh:
(3)​ Kore wa ken-san ga katta baiku desu.
(3) Ini sepeda motor yang dibeli Ken.
Contoh (3) termasuk klausa relatif restriktif dan nomina inti
yang dimodifikasi adalah ​baiku (sepeda motor). Jika baiku tidak
dimodifikasi, maka referen baikut kurang dapat dipahami karena
terlalu umum. Oleh karena itu, klausa relatif ​Ken-san ga katta
(yang dibeli Ken-san) berfungsi menambahkan informasi untuk
baiku agar referen yang dimaksud lebih jelas dan mudah dipahami.
Ini sama saja dengan menjawab pertanyaan “sepeda motor yang
mana?”. Jawabannya adalah “​Ken-san ga katta baiku (Sepeda
motor yang dibeli Ken-san).”
b. Klausa Relatif Nonrestriktif Bahasa Jepang

18
19

Dalam bahasa Jepang, klausa relatif jenis ini menduduki fungsi


subjek, objek, dan oblik dalam kalimat (Dewi, 2013, hlm. 68).
Contoh:
(4)​ Kanojo wa Nihongo o benkyou suru Dewi-san.
(4) Wanita itu adalah Dewi yang belajar bahasa Jepang.
Dalam contoh (4), nomina yang dimodifikasi oleh klausa relatif
adalah Dewi (nama orang). Nomina Dewi sudah memberikan
informasi yang sangat jelas dan pembicara menganggap bahwa
pendengar sudah mengetahui referen nama yang dimaksud. Oleh
karena itu, klausa relatif pada contoh (4) adalah ​nihongo o benkyou
suru (yang belajar bahasa Jepang) hanya memberikan informasi
tambahan mengenai Dewi.

4. Pembelajaran BIPA
Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA) merupakan
kumpulan aktivitas yang di dalamnya mencakup perencanaan,
pengelolaan, pengajaran, penerapan standar pendidikan secara umum
yang dilakukan secara profesional. Sasaran dari program BIPA adalah
masyarakat dunia yang menuntut standar yang tinggi (Setiawan, 2018,
presentasi PPSDK). Fadilah dkk. (2017, hlm. 5) menyimpulkan
beberapa hal tentang BIPA, yakni: (1) program pembelajaran bahasa
Indonesia, (2) pelajarnya merupakan orang asing yang memiliki tujuan
tertentu dalam mempelajari bahasa Indonesia, (3) mempelajari bahasa
serta budaya Indonesia.
Karena sasaran dari program BIPA adalah masyarakat dunia yang
menuntut standar tinggi, maka diperlukan suatu tatanan yang baik
dalam sistem atau strategi pengajarannya sehingga lebih efektif,
menarik, dan praktis (Agustina, 2013, hlm. 141). Setiap pemelajar
memiliki tujuan yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhannya. Oleh
karena itu, perlu diadakan suatu analisis kebutuhan untuk

19
20

menyesuaikan seluruh komponen pembelajaran yang tepat agar


pemelajar asing tersebut dapat menguasai bahasa Indonesia.
Keberhasilan pengajaran BIPA bergantung pada berbagai unsur
pembelajaran, diantaranya unsur perencanaan pembelajaran, unsusr
pelaksanaan pembelajaran, dan unsur kompetensi pengajar. Majid
(2011, hlm. 17) mengungkapkan bahwa perencanaan pembelajaran
adalah proses penyusunan materi pembelajaran, penggunaan media
pembelajaran, penggunaan metode dan pendekatan pembelajaran, dan
penilaian dalam suatu alokasi waktu yang akan dilaksanakan pada
waktu tertentu untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.
Unsur pelaksanaan pembelajaran bahasa Indoneia bagi penutur
asing pada dasarnya sama saja dengan unsur pembelajaran reguler
lainnya yang mencakup:
a. Strategi pembelajaran BIPA
Sanjaya (2011, hlm. 294) mengungkapkan bahwa strategi
pembelajaran dapat diartikan sebagai suatu perencanaan yang
berisi tentang rangkaian kegiatan yang didesain untuk mencapai
tujuan pendidikan tertentu.

b. Metode pembelajaran BIPA


Menurut Sanjaya (2011, hlm. 147), metode adalah cara
yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang
sudah disusun dalam kegiatan nyata agar tujuan yang telah
disusun tercapai secara optimal.
c. Materi pembelajaran BIPA
Materi pembelajaran adalah komponen penting dari semua
proses pembelajaran BIPA, kaerna merupakan inti dalam proses
pembelajaran (Sanjaya, 2011, hlm. 60). Materi adalah
gabungan antara pengetahuan (fakta dan informasi yang

20
21

terperinci), keterampilan (langkah-langkah, prosedur, keadaan,


dan syarat-syarat), dan faktor sikap (Kemp, 1977, hlm. 44).
d. Media pembelajaran BIPA
Anitah (2008, hlm. 2) mendefinisikan media pembelajaran
sebagai setiap orang, bahan, alat, atau peristiwa yang dapat
menciptakan kondisi yang memungkinkan pembalajar
menerima pengetahuan, keterampilan, dan sikap.
e. Penilaian pembelajaran BIPA
Penilaian merupakan komponen pembelajaran yang
biasanya dilaksanakan setelah semua komponen pembelajaran
lainnya dilaksanakan. Suwandi (2011, hlm. 12) mengartikan
penilaian atau evaluasi sebagai suatu kegiatan untuk
mengetahui perkembangan, kemajuan, dan atau hasil belajar
siswa selama program pendidikan itu dilaksanakan.

F. DEFINISI OPERASIONAL
Definisi operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Analisis Kontrastif
Analisis kontrastif adalah pendekatan linguistik terapan yang
digunakan untuk membandingkan dua bahasa sehingga perbedaan dan
persamaan dari keduanya dapat ditemukan. Dalam penelitian ini, unit
bahasa yang dibandingkan adalah klausa relatif bahasa Indonesia dan
bahasa Jepang. Dalam mengontraskan dua bahasa tersebut, dilakukan 4
prosedur analisis kontrastif yang terdiri dari deskripsi, seleksi, kontras,
dan prediksi.
2. Klausa Relatif Bahasa Indonesia
Klausa relatif bahasa Indonesia adalah klausa terikat yang ditandai
dengan penggunaan pronominal ​yang dan berfungsi sebagai atribut
nomina atau frasa nomina yang menduduki salah satu fungsi kalimat.
3. Klausa Relatif Bahasa Jepang

21
22

Klausa relatif bahasa Jepang adalah anak kalimat yang berfungsi


menerangkan kata benda dan ditandai dengan perubahan bentuk dan
susunan kalimat.
4. Pembelajaran BIPA
Pembelajaran BIPA adalah keseluruhan program pembelajaran
yang mencakup teknik, isi, metode, dan evaluasi yang dilaksanakan
secara profesional kepada pemelajar asing yang ingin belajar bahasa
Indonesia. Dalam penelitian ini, pembelajaran BIPA disusun
berdasarkan analisis kontrastif yang menjadi kebutuhan pemelajar
BIPA asal Jepang.

G. ANGGAPAN DASAR
Anggapan dasar dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Perbedaan konstruksi klausa relatif bahasa Jepang akan menyulitkan
pemelajar BIPA asal Jepang dalam menguasai klausa relatif bahasa
Indonesia. Sebaliknya, persamaan konstruksi klausa relatif bahasa
Jepang akan memudahkan pemelajar BIPA asal Jepang dalam
menguasai klausa relatif bahasa Indonesia.
2. Perbedaan dan persamaan antara klausa relatif bahasa Indonesia yang
diperoleh melalui analisis kontrastif dapat digunakan untuk
meramalkan kesulitan-kesultan belajar yang dihadapi pemelajar.
3. Bahan-bahan untuk pengajaran BIPA tentang materi klausa relatif yang
paling efektif adalah yang didasarkan pada deskripsi ilmiah dari
perbandingan klausa relatif bahasa Indonesia dan bahasa Jepang.

H. METODOLOGI PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif
deskriptif. Metode ini dipilih karena data yang dianalisis berupa kata-kata
atau kalimat. Moleong (2006, hlm. 1) menyatakan bahwa pendekatan
kualitatif adalah prosedur penelitian yang datanya bukan berupa
angka-angka, melainkan kata-kata lisan atau tertulis. Berdasarkan pendapat

22
23

tersebut, metode penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif


karena hasil penelitian berupa data tertulis mengenai hasil pengontrasan
klausa relatif bahasa Indonesia dan bahasa Jepang.
Selain itu, penelitian ini juga menggunakan metode analisis kontrastif
sebagai pendekatan teoretis penelitian bahasa kedua. Menurut Tarigan &
Tarigan (2011, hlm. 17), analisis kontrastif adalah kegiatan yang mencoba
membadningkan struktur B1 dan struktur B2 untuk mengidentifikasi
perbedaan-perbedaan kedua bahasa itu. Lebih jauh, Fisiak (1981, hlm. 2)
mengemukakan bahwa analisis kontrastif terapan tidak hanya mengkaji
perbedaan-perbedaan antara dua bahasa, melainkan juga mengkaji
persamaan-persamaannya. Analisis kontrastif dianggap sebagai bagian
yang penting dalam metodologi pengajaran bahasa asing.
Penelitian kualitatif, tujuannya adalah untuk memahami suatu
fenomena dalam konteks khusus dan bersifat natural. Metode deskriptif
kualitatif tidak melakukan pengujian teori, melainkan pencarian teori.
Penelitian ini pun tidak menguji teori apapun, melainkan ingin mencari
perbedaan dan persamaan klausa realatif bahasa Indonesia dan bahasa
Jepang sebagai suatu fenomena natural.
Data atau informasi yang diperoleh dalam penelitian deskriptif
kualitatif dianalisis dan nantinya akan diperoleh suatu pemecahan masalah.
Menurut Kridalaksana (2008, hlm. 145), hasil dari analisis kontrastif
kemudian dicari prinsip-prinsipnya untuk diterapkan dalam pembelajaran
bahasa atau penerjemahan sebagai suatu pemecahan masalah. Dalam hal
ini, hasil analisis dimanfaatkan untuk dijadikan dasar perumusan implikasi
bagi pembelajaran BIPA asal Jepang.

I. DESAIN RANCANGAN PENELITIAN


Rancangan atau desain penelitian yang digunakan adalah rancangan
dari penelitian kualitatif. Rancangan ini menggambarkan langkah-langkah
untuk melasanakan penelitian kualitatif. Desain penelitian ini sifatnya
tidak tetap karena bisa berubah sejalan dengan pelaksanaan penelitian.

23
24

Rancangan berikut disusun berdasarkan unsur-unsur dalam desain


penelitian kualiltatif menurut Sudjana dalam Gunawan (2013, hlm. 108)
yang dipadukan dan disesuaikan dengan metode penelitian bahasa Mahsun
(2013, hlm. 92-123) sebagai berikut.
Bagan 1. Desain Penelitian Kualitatif

24
25

Tahap identifikasi masalah dalam penelitian ini dimulai dari


adanya pengetahuan umum tentang perbedaan struktur bahasa yang
akan menyebabkan kesulitan bagi pemelajar BIPA. Dalam tahap ini
juga dilakukan pengidentifikasian bahasa mana yang memiliki
perbedaan stuktur dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa target dari
pemelajar BIPA. Dari pengidentifikasian tersebut diperoleh
kesimpulan bahwa bahasa Jepang merupakan salah satu bahasa yang
memiliki pola struktur dasar yang berbeda dengan bahasa Indonesia.
Tahap selanjutnya adalah menetapkan fokus penelitian. Dalam
tahap ini,dilakukan penentuan unit bahasa mana yang akan
dibandingkan antara dua bahasa tersebut. Berdasarkan hasil kajian
pustaka, diperoleh hasil bahwa klausa relatif adalah unit bahasa yang
produktif dalam bahasa Indonesia dan Jepang, tetapi kaidah ini
merupakan kaidah yang sulit dipelajari oleh pemelajar BIPA asal
Jepang.
Setelah menetapkan fokus penelitian, tahap selanjutnya yang
dilakukan adalah melakukan pengumpulan data di lapangan. Dalam
tahapan ini banyak kegiatan lain yang akan dilakukan, yakni
menyusun rancangan metode penelitian, menetapkan teknik
pengumpulan data, membuat instrumen, memilih dan menetapkan
sumber penelitian (tempat dan subjek), mengurus perizinan, serta

25
26

menyiapkan sarana dan prasarana penelitian atau logistik jika


diperlukan.
Selain itu, pengumpulan data dilakukan dengan metode simak
(teknik dasar sadap), teknik lanjutan simak bebas libat cakap catat.
Metode simak digunakan untuk memperoleh data tertulis dengan
menyimak penggunaan bahasa penutur asli kedua bahasa, yakni bahasa
Jepang dan bahasa Indonesia. Penyimakan pada hakikatnya
diwujudkan dalam bentuk penyadapan. Dalam arti, peneliti menyadap
penggunaan bahasa tertulis pemelajar. Dalam praktiknya, teknik sadap
ini diikuti dengan teknik lanjutan simak bebas libat cakap yang
maksudnya peneliti hanya berperan sebagai pengamat penggunaan
bahasa tulis oleh para informan. Sebagai teknik lanjutannya, peneliti
menggunakan teknik catat dalam penyadapannya, yaitu dengan
mencatat beberapa bentuk yang relevan bagi penelitian dari
penggunaan bahasa tertulis tersebut. Penggunaan teknik catat ini
sekaligus menjadi alat pengecekan kembali kebenaran data yang
dikumpulkan tersebut.
Setelah data terkumpul, dilakukanlah penganalisisan dan penyajian
data. Analisis data akan digunakan metode padan intralingual dengan
teknik hubung banding membedakan (HBB) dan teknik hubung
banding menyamakan (HBS). Metode padan intralingual digunakan
dalam upaya menghubung-bandingkan klausa relatif bahasa Indonesia
dan bahasa Jepang yang diproduksi penututr asli keduanya. Metode ini
cocok diterapkan karena dapat digunakan untuk menganalisis unsur
lingual yang terdapat dalam bahasa yang berbeda (dalam hal ini bahasa
Jepang).  
Langkah selanjutnya adalah penarikan kesimpulan dan
implikasinya. Dalam penelitian ini, kesimpulan dijadikan sebagai alat
yang artinya bahwa kesimpulan yang digunakan dapat melengkapi dan
menyediakan keterangan terhadap fenomena yang ditemui. Namun,

26
27

tidak tertutup kemungkinan bahwa hasil penelitian akan menghasilkan


suatu teori baru dalam pemerolehan bahasa kedua. Rumusan simpulan,
teori, atau hipotesis ini kemudian dijadikan dasar perumusan implikasi
bagi pembelajaran BIPA. Hasil analisis, kesimpulan, dan implikasinya
kemudian diverifikasi oleh pakar kedua bahasa terse but sebelum
dilakukan pelaporan tetap. Pelaporan hasil penelitian ini dilakukan
sebagai tahap terakhir dari rangkaian penelitian.

J. SUMBER DATA PENELITIAN


Data dalam penelitian ini berupa klausa atau kalimat relatif yang
terdapat dalam bentuk tertulis. Sumber data menurut Arikunto (2010, hlm.
129) adalah subjek dari mana data itu diperoleh. Data klausa relatif bahasa
Indonesia diperoleh dari:
1) penutur asli bahasa Indonesia yang berkompeten sejumlah 3 orang;
2) buku tata bahasa baku Indonesia; dan
3) berita bahasa Indonesia di media ​tempo.co​ sejumlah 10 buah.
Sementara itu, data klausa relatif bahasa Jepang diperoleh dari:
1) penutur asli bahasa Jepang atau dosen bahasa Jepang sejumlah 3
orang;
2) buku tata bahasa Jepang; dan
3) berita bahasa Jepang dari media ​Nippon Hoso Kyoka​i (​nhk.or.jp)
sejumlah 10 buah.
Pertimbangan dari subjek ini adalah karena bahasa yang diproduksi
disinyalir merupakan bahasa baku yang akan menunjukkan konstruksi
klausa relatif kedua bahasa yang sesungguhnya. Selain itu, data dari media
massa diperoleh dari berbagai ruang, yakni portal umum, teknologi,
nasional, kesehatan, politik, ekonomi, pendidikan, suara pembaca, hiburan
dan olahraga, sehingga datanya bervariatif dan representatif.

27
28

K. INSTRUMEN PENELITIAN
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini bersifat nontes.
Instrumen utama (​key instrument)​ dalam penelitian ini adalah peneliti
sendiri yang bertindak sebagai instrumen sekaligus pengumpul data,
perencana, pelaksana, penganalisis, dan pelapor hasil penelitian (Satori &
Komariah, 2013, hlm. 67). Instrumen selain manusia juga digunakan
dalam penelitian ini, tetapi fungsinya terbatas sebagai pendukung tugas
peneliti sebagai instrumen. Instrumen selain manusia dalam penelitian ini
berupa instrumen dokumentasi dan kisi-kisi sebagai pedoman analisis data.
Berikut ini adalah instrumen yang dimaksud.
1. Pedoman Analisis
Instrumen ini ​digunakan sebagai pedoman dalam menganalisis
klausa relatif bahasa Indonesia dan bahasa Jepang. Instrumen ini terdiri
dari kisi-kisi tentang ciri-ciri masing klausa relatif untuk
mempermudah peneliti menemukan bentuk yang relevan dari sumber
data yang diperoleh.
Tabel 1. Kisi-kisi Ciri Dasar Klausa Relatif Kedua Bahasa
lausa Relatif Bahasa Indonesia Klausa Relatif Bahasa Jepang

1) Klausa relatif ditandai 1) Klausa relatif ditandai


pronominal ​yang.​ perubahan bentuk dan susunan
kalimat.

2) Dalam beberapa kasus, ada 2) Predikat dalam klausa relatif


pelesapan nomina inti. berupa bentuk biasa.

3) Bentuk posnominal. 3) Bentuk prenominal.

4) Dapat menempati posisi subjek, 4) Partikel ​wa yang merupakan


objek, predikat, dan unsur pemarkah subjek diubah
termilik. menjadi partikel ​ga​ atau ​no.​

28
29

2. Dokumentasi
Instrumen dokumentasi adalah instrumen yang digunakan untuk
mengumpulkan data dari sumber nonmanusia. Sumber ini mengacu
pada setiap tulisan yang tidak dipersiapkan khusus untuk tujuan
tertentu, yaitu seperti surat-surat, buku harian, naskah, editorial surat
kabar, catatan kasus, skrip televisi, atau foto-foto (Syamsuddin &
Damaianti, 2015, hlm. 108). Dalam penelitian ini, data yang
dikumpulkan adalah bentuk klausa relatif yang diperoleh dari sumber
penutur asli, media massa, dan buku tata bahasa. Instrumen ini berguna
untuk mendokumentasikan bentuk-bentuk klausa relatif yang ada
sehingga dapat mempermudah proses analisis data.
Tabel 2. Dokumentasi Klausa Relatif Bahasa Indonesia
o. Klausa Relatif Bahasa Indonesia ode umber Data

Tabel 3. Dokumentasi Klausa Relatif Bahasa Jepang

o. Klausa Relatif Bahasa ode umber Data

29
30

Sementara itu, untuk mendokumentasikan hasil pengontrasan


klausa relatif dari kedua bahasa, berikut ini adalah instrumen
dokumentasi yang digunakan untuk mempermudah proses
pendeskripsian.
Tabel 4. Persamaan Klausa Relatif Bahasa Indonesia dan
Jepang
o. Aspek Persamaan

Tabel 5. Perbedaan Klausa Relatif Bahasa Indonesia dan Jepang


Perbedaan
No. Aspek
Bahasa Indonesia Bahasa Jepang
1.
2.
3.
4.

30
31

5.
dst.

3. Pedoman Penyusunan Naskah Pembelajaran Berdasarkan


Rasionalisasi Temuan
Instrumen ini berguna sebagai pegangan dasar bagi peneliti dalam
merumuskan gambaran pembelajaran yang efektif bagi pengajaran
klausa relatif bahasa Indonesia terhadap pemelajar asal Jepang.
Instrumen ini disusun berdasarkan implikasi pedagogis dari analisis
kontrastif yang dikombinasikan dengan komponen pembelajaran
BIPA. Perlu diketahui bahwa instrumen ini sifatnya tidak tetap karena
dapat berubah seiring dengan berjalannya penelitian. Hasil penelitian
dari pengontrasan bahasa Indonesia dan bahasa Jepang akan
menunjukkan bentuk instrumen yang sesungguhnya.
Tabel 6. Gambaran Naskah Pembelajaran Berdasarkan
Rasionalisasi Temuan

No. Aspek
A. Filosofi Dasar
………………………………………………………………………
………………………………………………………………………
………………………………………………………………………
B. Prinsip-prinsip Pengajaran
………………………………………………………………………
………………………………………………………………………
………………………………………………………………………
C. Rasionalisasi Temuan
………………………………………………………………………
………………………………………………………………………
………………………………………………………………………
D. Gambaran Pembelajaran

31
32

1. Perencanaan Strategi Pengajaran


………………………………………………………………
………………………………………………………………
2. Perencanaan Media Pengajaran
………………………………………………………………
………………………………………………………………
3. Penyusunan Materi Klausa Relatif
………………………………………………………………
………………………………………………………………
4. Penyusunan Tata Bahasa Pedagogis
………………………………………………………………
………………………………………………………………
5. Perencanaan Metode/Prosedur Pengajaran
a. Penunjukkan persamaan dan perbedaan B1 & B2
………………………………………………………………
………………………………………………………………
b. Penunjukkan butir-butir B1 yang berpeluang
mengakibatkan kesulitan
………………………………………………………………
………………………………………………………………
c. Pengajuan solusi mengatasi interferensi B1
………………………………………………………………
………………………………………………………………
d. Penyajan sejumlah latihan pada butir-butir yang
berbeda (evaluasi)
………………………………………………………………
………………………………………………………………

32
33

DAFTAR PUSTAKA

Agustina, R. dkk. (2013). Implementasi Pembelajaran Bahasa Indonesia bagi


Penutur Asing di UPT P2B Universitas Sebelas Maret Surakarta. Jurnal
Pendidikan Bahasa dan Sastra, 1(2), hlm. 140-154.
Agustina. (2005). Klausa Relatif Sentensial dalam Bahasa Indonesia: Sebuah
Kajian Awal. Dalam Sukamto (Koordinator), ​Konferensi Linguistik
Tahunan Atma Jaya​, hlm. 1-5. Jakarta: Unika Atma Jaya.
Anitah, S. (2008). ​Media Pembelajaran​. Surakarta: UNS Press.
Arikunto, S. (2010). ​Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik.​
Yogyakarta: PT Rineka Cipta.
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. (2018). ​Pengembangan
Program BIPA dalam Kerangka Peningkatan Fungsi Bahasa Indonesia
Menjadi Bahasa Internasional.​ Jakarta: Kemendikbud.
Brown, H. Douglas. (2008). ​Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa
Edisi Kelima.​ Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta: Pearson
Education, Inc.
Comrie, B. (1981). ​Language Universals and Linguistic Typology: Syntax and
Morphplogy.​ England: Basil Blackwell Publisher Limited.
Dalilan & Mulyono. (2004). Klausa Relatif Bahasa Inggris dan Bahasa
Indonesia: Analisis Kontrastif Strategi Perelatifan, Fungsi, dan
Karakteristik Alat Perelatif. ​HUMANIKA, 17(3), hlm. 419-435.
Dewi, N. G. T. (2013). ​Klausa Relatif Bahasa Jepang​. (Tesis). Program
Pascasarjana, Universitas Udayana, Denpasar.
Ellis, R. (1994). ​The Study of Second Language Acquisition.​ Oxford: Oxford
University Press.
Fadilah, L. dkk. (2017). Analisis Kontrastif Pronomina Demonstratif Bahasa
Korea dan Bahasa Indonesia serta Implikasinya terhadap Pengajaran
Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA). Jurnal Membaca Bahasa
dan Sastra, 2 (1), hlm. 37-48.
Fisiak, J. (Penyunting). (1981). ​Papers and Studies in Contrastive Linguistics,​
Vol I-XIII, Poznan.
Fries, C. C. (1945). ​Teaching and Learning English as a Foreign Language.
Ann Arbor: University of Michigan Press.
Givon, T. (2001). ​Syntax: An Introduction.​ Amsterdam: John Benjamins Pub.
Gunawan, I. (2013). ​Metode Penelitian Kualitatif: Teori dan Praktik.​ Jakarta:
Bumi Aksara.
Ichikawa, Y. (2005). ​Saishou Nihongo Bunpou To Oshiekata No Pointo​.
Japan: 3A Corporation.

33
34

Iskadarwassid & Sunendar, D. (2011). ​Strategi Pembelajaran Bahasa.​


Bandung: Remaja Rosdakarya.
James, C. (1986). ​Contrastive Analysis​. London: Longman.
Kemp, J. dkk. (1977). ​Instructional Design: A Plan for Unit and Course
Development.​ California: Fearon Pub.
Khalifa, M. F. (2018). Contrastive Analysis, Error Analysis, Markedness
Theory, Universal Grammar, and Monitor Theory and Their
Conctributions to Second Language Learning. ​International Journal of
Linguistics, 10 (1)​, hlm. 12-45.
Kridalaksana, H. (2008). ​Kamus Linguistik​. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Lado, R. (1957). ​Linguistics Across Cultures.​ Ann Arbor: University of
Michigan Press.
Lapoliwa, H. (1990). ​Klausa Pemerlengkapan dalam Bahasa Indonesia.​
Jakarta: Kanisius.
Larsen-Freeman, D., & Long, M. H. (1991). ​An Introduction to Second
Language Acquisition Research.​ London: Longman.
Mahsun, M. S. (2013). ​Metode Penelitian Bahasa​. Jakarta: RajaGrafindo.
Majid, A. (2011). Perencanaan Pembelajaran: Mengembangkan Standar
Kompetensi Guru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Marton, W. (1985). “​Some remarks on the pedagogical use of contrastive
studies​”. Dalam Jacek Fisiak (ed), ​Contrastive Linguistics and The
Language Teacher,​ hlm. 171-184.
Mees, C. A. (1957). ​Tata Bahasa Indonesia​ . Jakarta: J. B. Wolters Gronigen.
Moleong, J. L. (2006). ​Metodologi Penelitian Kualitatif.​ Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Nuswantara, K. & Aghnadiin, S. P. (2016). Analisis Kontrastif pada Fungsi
Bahasa Jepang dan Bahasa Indonesia. ​Jurnal Sosial Humaniora, 9 (1),
hlm. 24.
Samsuri. (1985). ​Tata Kalimat Bahasa Indonesia.​ Jakarta: Sastra Hudaya.
Sanjaya, W. (2011). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses
Pendidikan. Jakarta: Kencana.
Satori, D. & Komariah, A. (2013). ​Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:
Alfabeta.
Setiawan, D. (2018). ​Standardisasi BIPA dan Kebijakan PPSDK. Materi
presentasi kunjungan ke PPSDK.​ Bogor: PPSDK.
Sudarsa, C. dkk. (1993). Keterangan Pewatas: Klausa Pewatas dalam Bahasa
Indonesia.​ Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

34
35

Suharsono. (2015. Pemerolehan Klausa Relatif pada Pemelajar Bahasa


Indonesia bagi Pentutur Asing (BIPA): Kajian Antarbahasa. ​LITERA,​ 4
(1), hlm. 57-74.
Suratidjo, S. (1991). ​Klausa Terikat dan Klausa Relatif.​ ​Jurnal Humaniora, 3
(3), h​ lm. 192-205.
Sutedi, D. (2011). ​Dasar-dasar Linguistik Bahasa Jepang.​ Bandung: Penerbit
Humaniora.
Suwandi, S. (2011). ​Model-model Asesmen dalam Pembelajaran.​ Surakarta:
Yuma Pustaka.
Syamsuddin, A.R. & Damaianti, V. S. (2015). ​Metode Penelitian Pendidikan
Bahasa​. Bandung: Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan
Indonesia dan PT Remaja Rosdakarya.
Tarigan, H. G. & Djago, T. (2011). ​Pengajaran Analisis Kesalahan
Berbahasa​. Bandung: Angkasa.
Verhaar, J. W. M. (1981). ​On The Syntax of Yang in Indonesian​. Denpasar:
Konferensi Internasional Linguistik III.
Verhaar, J. W. M. (1999). ​Asas-asas Linguistik Umum.​ Yogyakarta: Gadjah
mada University Press.
Whitman, R. L. (1970). Contrastive Analysis: Problems and Procedures.
Language Learning, 20 (2), ​hlm. 191-197.

35

Anda mungkin juga menyukai