Disusun Oleh :
Bimasena Arya Yudha
1102013060
Pembimbing :
Dr. Uus Rustandi, Sp.An-KIC
Dr. Ruby Satria Nugraha, Sp.An. M.kes
Dr. Rizky, Sp.An
Bantuan Hidup Jantung Dasar sebenarnya sudah sering didengar oleh masyarakat a
wam di Indonesia dengan nama Resusitasi Jantung Paru (RJP). Umumnya tidak menggu
nakan obat-obatan dan dapat dilakukan dengan baik setelah melalui pelatihan singkat. P
edoman Bantuan Hidup Jantung Dasar yang sekarang dilaksanakan sekarang telah meng
alami perbaikan dibandingkan sebelumnya. Tahun 2015, American Heart Association (
AHA) mengeluarkan pedoman baru Bantuan Hidup Dasar Dewasa. Dalam Bantuan Hid
up Dasar ini, terdapat beberapa perubahan sangat mendasar dan berbeda dengan Bantua
n Hidup Dasar yang telah dikenal sebelumnya, seperti :
1. Pengenalan kejadian henti jantung dan aktivasi sistem gawat darurat segera (Early Ac
cess)
a. Identifikasi kondisi penderita dan lakukan kontak ke sistem gawat darurat
b. Informasikan segera Kondisi penderita sebelum melakukan RJP pada orang dew
asa atau sekitar 1 menit setelah memberikan pertolongan RJP pada bayi dan ana
k
c. Penilaian cepat tanda-tanda potensial henti jantung
d. Identifikasi tanda henti jantung atau henti napas.
2. Resusitasi Jantung Segera (Early CPR)
3. Defibrilasi Segera (Early Defibrillation)
4. Perawatan Kardiovaskular Lanjutan yang Efektif (Effective ACLS)
5. Penanganan terintegrasi pascahenti jantung (Integrated Post Cardiac Arrest Care)
4. Kompresi Dada
Dilakukan dengan pemberian tekanan secara kuat dan berirama pada setengah bawah
sternum/ Membuat garis bayangan antara kedua papila mammae memotong mid line
pada sternum kemudian meletakkan tangan kiri diatas tangan kanan/ sebaliknya. Yang
dipakai adalah tumit tangan, bukan telapak tangan. Hal ini menciptakan aliran darah
melalui peningkatan tekanan intratorakal dan penekanan langsung pada dinding jantung.
Komponen yang perlu diperhatikan saat melakukan kompresi dada :
Frekuensi minimal 100 kali permenit
Untuk dewasa, kedalaman minimal 5 cm (2 inch)
Pada bayi dan anak, kedalaman minimal sepertiga diameter diding anterposterior
dada, atau 4 cm (1,5 inch) pada bayi dan sekitar 5 cm (2 inch) pada anak.
Berikan kesempatan untuk dada mengembang kembali sevara sempurna setelah
setiap kompresi.
Seminimal mungkin melakukan interupsi
Hindari pemberian napas bantuan yang berlebihan.
Melakukan kompresi dada: tekan dengan cepat dan keras, interupsi minimal, dan
biarkan dada recoil. Siku lengan harus lurus dengan sumbu gerakan menekan
adalah pinggul bukan bahu. Tekan dada dengan kedalaman minimal 5 cm.
Beri kesempatan dada recoil sebelum menekan kembali untuk memberi
kesempatan venous return mengisi jantung (Kleinman et al,2015).
Catatan : untuk membantu penghitungan kompresi :
“ satu, dua................sepuluh”.... satu, dua, ...... duapuluh, ....satu...dua.... tigapuluh”
Dalam teknik ini diajarkan bagaimana cara membuka dan mempertahankan jalan
napas untuk membantu ventilasi dan memperbaiki oksigenasi tubuh. Menurut AHA Gu
ideline 2010 merekomendasikan untuk gunakan head tilt-chin lift untuk membuka jalan
napas pada pasien tanpa ada trauma kepala dan leher. Sekitar 0,12-3,7% mengalami ced
era spinal dan risiko cedera spinal meningkat jika pasien mengalami cedera kraniofasial
dan/atau GCS <8. Manakala, gunakan jaw thrust jika suspek cedera servikal. Pada pasie
n suspek cedera spinal lebih diutamakan dilakukan restriksi manual (menempatkan 1 tan
gan di ditiap sisi kepala pasien) daripada menggunakan spinal immobilization devices k
arena dapat mengganggu jalan napas tapi alat ini bermanfaat mempertahankan kesejajar
an spinal selama transportasi (Ganthikumar, 2016).
Pemberian napas bantuan dilakukan setelah jalan napas terlihat aman. Tujuan Primer
pemberian napas bantuan adalah untuk mempertahankan oksigenasi yang adekuat
dengan tujuan sekunder untuk membuang CO2. Sesuai dengan revisi panduan yang
dikeluarkan American Hearth Association mengenai Bantuan Hidup Jantung Dasar,
penolong tidak perlu melakukan observasi napas spontan dengan Look, Listen, Feel,
karena langkah pelaksanaan tidak konsisten dan menghabiskan banyak waktu. Hal yang
perlu diperhatikan dalam melakukan bantuan napas antara lain (Kleinman et al,2015) :
Memasang mouth barrier untuk proteksi diri
Berikan napas bantuan dalam waktu 1 detik.
Sesuai volume tidal yang cukup untuk mengangkat dinding dada
Diberikan 2 kali napas bantuan setelah 30 kompresi
Pada kondisi terdapat dua orang penolong atau lebih, dan telah berhasil
memasukkan alat untuk mempertahankan jalan napas (seperti pipa endotrakheal,
combitube, atau sungkup laring), maka napas bantuan diberikan setiap 6-8 detik,
sehingga menghasilkan pernapasan dengan frekuensi 8-6 kali permenit. Tidak
sinkron dengan kompresi : memberikan bantuan napas tiap 6-8 detik selama
kompresi berlangsung, Ingat Interupsi minimal saat kompresi
Penderita dengan hambatan jalan napas atau komplians paru yang buruk memerl
ukan bantuan napas dengan tekanan lebih tinggi sampai memperlihatkan dinding
dada terangkat.
Pemberian bantuan napas yang berlebihan tidak diperlukan dan dapat menimbul
kan distensi lambung serta komplikasinya, seperti regurgitasi dan aspirasi.
Cara pemberian napas bantuan :
a. Mulut ke mulut
b. Mulut ke hidung
c. Mulut ke sungkup
d. Dengan Kantung Pernafasan
Setelah 5 siklus/ 2 menit, periksa pulsasi arteri carotis, jika pulsasi tidak ada dan
bantuan belum tiba teruskan RJP. Jika bantuan datang dan membawa peralatan
(AED/Defibrilator) segera pasang alat cek irama jantung dengan menggunakan AED
atau monitor defibrilator. Apabila irama jantung shockable lakukan defibrilasi, apabila
not shockable teruskan RJP. Ikuti algoritme.
Gambar 4. Algoritme BHD.
Sumber: AHA 2015.
Defibrilasi
Tindakan defibrilasi sesegera mungkin memegang peranan penting untuk keberhasil
an pertolongan penderita henti jantung mendadak berdasarkan alasan berikut :
Irama jantung yang paling sering didapat pada kasus henti jantung mendadak ya
ng disaksikan di luar rumah sakit adalah Fibrilasi ventrikel
Terapi untuk fibrilasi ventrikel adalah defibrilasi
Kemungkinan keberhasilan tindakan defibrilasi berkurang seiring dengan bertam
bahnya waktu
Perubahan irama dari fibrilasi ventrikel menjadi asistol seiring dengan berjalann
ya waktu.
Pelaksanaan defibrilasi bisa dilakukan dengan menggunakan defibrilator manual
atau menggunakan Automated External Defibrilator (AED). Penderita dewasa y
ang mengalami fibrilasi ventrikel atau ventrikel takikardi tanpa nadi diberikan en
ergi kejutan 360 J pada defibrilator monofasik atau 200 J pada bifasik. Pada ana
k, walaupun kejadian henti jantung mendadak sangat jarang, energi kejutan listri
k diberikan dengan dosis 2-4 J/Kg, dapat diulang dengan dosis 4-10 J/Kg dan tid
ak melebihi energi yang diberikan kepada penderita dewasa. Pada neonatus, pen
ggunaan defibrilator manual lebih dianjurkan. Penggunaan defibrilator untuk tin
dakan kejut listrik tidak diindikasikan pada penderita dengan asistol atau pulsele
ss electrical activity (PEA) (Link et al,2015).
PROTOKOL PENGGUNAAN AED
Pada kasus henti jantung, RJP adalah tindakan yang mutlak dilakukan dan interupsi terh
adap kompresi harus minimal. Prinsip ini tetap berlaku pada penggunaan defibrilator. Se
lama persiapan alat dan pengisian tenaga, korban tetap dilakukan kompresi dada.
Tekan tombol ON atau putar saklar ke arah gambaran EKG untuk menghidupkan
monitor
Tempelkan elektroda atau gunakan pedal defibrilator untuk melakukan analisis
secara cepat (quick look analysis)
Lihat irama di monitor. Bila akan melakukan tindakan kejut listrik, berikan gel
di pedal defibrilator atau dada penderita untuk mencegah luka bakar yang berat
serta memperbaiki hantaran listrik dari pedal ke tubuh penderita
Bila irama yang terlihat pada monitor adalah fibrilasi ventrikel dan ventrikel
takikardi tanpa nadi, maka lakukan pemberian kejut lsitrik dengan energi 360 J
pada alat defibrilator monofasik atau 200 J pada alat bifasik. Lakukan pengisian
(charge) sampai ke energi yang diinginkan (biasanya ditandai dengan bunyi
alarm. satu pedal diletakkan di apeks jantung dan yang lain diletakkan di
sternum dengan disertai pemberian tekanan sebesar 12,5 kg saat ditempelkan ke
dinding dada. Listrik dialirkan dengan menekan tombol discharge(bergambar
listrik) yang berada di kedua gagang .
Sebelum melakukan shock berikan aba-aba pada seluruh anggota tim untuk tidak
dengan pasien maupun tempat tidurnya sambil memastikan diri sendiri juga tidak
bersentuhan. Untuk terakhir kali lihat secara visual apakah semua sudah tidak
bersentuhan dengan pasien, lihat ke monitor untuk pastikan irama belum berubah.
Segera lakukan RJP selama 2 menit atau 5 siklus. Setelah 2 menit lakukan evaluasi. Bila
irama yang terlihat dimonitor adalah irama yang harus diberikan kejut listrik (Shockable
rhytm) yaitu VT tanpa nadi atau VF, maka lakukan pemberian kejut listrik kembali. Bila
irama yang terlihat adalah PEA atau Asistol, maka lakukan pemberian RJP selama 2
menit atau 5 siklus dan penatalaksanaan sesuai algoritma PEA/Asystole (Link et al,
2015).
Rekomendasi
Komponen Dewasa Anak Bayi
Pengenalan awal Tidak sadarkan diri
Tidak ada napas Tidak bernapas atau gasping.
atau bernapas tidak
normal (misalnya
gasping)
Tidak teraba nadi dalam 10 detik (hanya dilakukan oleh tenaga
kesehatan)
Urutan BHD CAB CAB CAB
Frekuensi Minimal 100 kali per menit
Kompresi
Kedalaman Minimal 5 cm (2 Minimal 1/3 Minimal 1/3
kompresi inch) diameter diameter
anteroposterior anteroposterior
dinding dada dinding dada
(sekitar 5 cm/2 inch) (sekitar 4 cm/ 1.5
inch)
Recoil dinding dada Recoil sempurna dinding dada setelah setiap kompresi. Untuk
penolong terlatih, pergantian posisi kompresor setiap 2 menit.
Interupsi kompresi Interupsi kompresi seminimal mungkin.
Interupsi terhadap kompresi tidak lebih 10 detik.
Jalan napas Head tilt chin lift.
(jaw thrust pada kecurigaan trauma leher – hanya oleh tenaga
kesehatan).
Kompresi 30 : 2 30 : 2 (1 penolong) 30 : 2 (1 penolong)
(1 atau 2 penolong) 15 : 2 (2 penolong) 15 : 2 (2 penolong)
Ventilasi Jika penolong tidak terlatih, kompresi saja.
Pada penolong terlatih tanpa alat bantu jalan napas lanjutan
berikan 2 kali napas buatan setelah 30 kompresi. Bila terpasang
alat bantu jalan napas lanjutan berikan napas setiap 6-8 detik (8-
10 kali per menit).
Penderita ROSC, napas diberikan setiap 5-6 detik (10-12 kali per
menit)
Defibrilasi Pasang dan tempelkan AED sesegera mungkin.
Interupsi kompresi minimal, baik sebelum atau sesudah kejut
listrik.
Lanjutkan RJP, diawali dengan kompresi segera setelah kejut
listrik.
Pada keadaan tidak ada advanced airway, suatu kompresi-ventilasi yang sinkron
dapat dilakukan dengan rasio 30:2, dengan kompresi jantung luar paling sedikit 100 kali
permenit. Setelah memasang supraglottic airway atau endotrakea tube, dapat dilakukan
kompresi jantung luar sedikitnta 100 kali permenit, dengan terus melakukan ventilasi
tanpa berhenti. Ventilasi diberikan sebanyak 1 kali setiap 6 sampai 8 detik (8 sampai 10
kali permenit) dan dilakukan secara hati-hati untuk menghindari berlebihnya jumlah
ventilasi yang diberikan (Kleinman et al, 2015).
Selain kualitas tinggi CPR, satu-satunya terapi-irama yang terbukti
meningkatkan kelangsungan hidup adalah defibrilasi dari VF/VT tanpa denyut. Oleh
karena itu, intervensi ini dimasukkan sebagai bagian integral dari siklus CPR. Intervensi
ACLS lain selama serangan jantung mungkin terkait dengan tingkat peningkatan ROSC
tetapi belum terbukti meningkatkan kelangsungan hidup untuk diluar rumah sakit . Oleh
karena itu, mereka dianjurkan sebagai pertimbangan dan harus dilakukan tanpa
mengorbankan kualitas CPR atau defibrilasi tepat waktu. Dengan kata lain, akses
vaskular, pemberian obat, dan tata laksana jalan napas tidak harus menyebabkan
gangguan signifikan dalam kompresi dada atau keterlambatan defibrilasi (Link et al,
2015).
Takikardi
Takikardia didefinisikan sebagai aritmia dengan denyut lebih dari 100 denyut
per menit, meskipun, seperti dengan mendefinisikan bradikardia, tingkat takikardia
lebih mungkin disebabkan aritmia dengan denyut lebih dari 150 denyut per menit.
Denyut jantung yang cepat merupakan respons terhadap stres fisiologis (misalnya,
demam, dehidrasi) atau kondisi lain yang mendasarinya (Mozzafarian et al,2015).
Takikardia dapat diklasifikasikan dalam beberapa cara, berdasarkan kompleks
QRS, denyut jantung, dan keteraturan. Profesional ACLS harus mampu mengenali dan
membedakan antara sinus takikardia, narrow-complex supraventricular tachycardia
(SVT), dan wide-complex tachycardia (Mozzafarian et al,2015).
Narrow–QRS-complex (SVT) tachycardias (QRS <0.12 second)
● Sinus tachycardi
● Atrial fibrillation
● Atrial flutter
● AV nodal reentry
● Accessory pathway–mediated tachycardia
● Atrial tachycardia (including automatic and reentry forms)
● Multifocal atrial tachycardia (MAT)
● Junctional tachycardia (rare in adults)
Wide–QRS-complex tachycardias (QRS >0.12 second)
● Ventricular tachycardia (VT) and ventricular fibrillation (VF)
● SVT with aberrancy
● Pre-excited tachycardias (Wolff-Parkinson-White [WPW] syndrome)
● Ventricular paced rhythms
Reperfusi
Jika fibrinolisis pra rumah sakit tersedia sebagai bagian dari sistem
perawatan STEMI dan pemindahan langsung ke pusat PCI pun tersedia, maka triase
pra rumah sakit dan pemindahan langsung ke pusat PCI mungkin dipilih karena
akan mengakibatkan penurunan insiden pendarahan intrakranium yang relatif kecil.
Namun, tidak terdapat bukti manfaat terkait kematian dari satu terapi terhadap terapi
lainnya. Pada pasien dewasa yang menjalani STEMI di unit gawat darurat di rumah
sakit yang tidak mendukung PCI, direkomendasikan agar pasien tersebut segera
dipindahkan tanpa fibrinolisis dari fasilitas awal ke pusat PCI, bukan diberikan
fibrinolisis langsung di rumah sakit awal dengan pemindahan hanya untuk PCI yang
disebabkan oleh iskemia (O’Connor et al, 2015).
Bila pasien STEMI tidak dapat dipindahkan ke rumah sakit yang
mendukung PCI tepat pada waktunya, maka terapi fibrinolitik dengan pemindahan
rutin untuk angiografi dapat menjadi alternatif yang dapat diterima untuk
melakukan pemindahan langsung ke primary PCI. Bila terapi fibrinolitik diberikan
kepada pasien STEMI di rumah sakit yang tidak mendukung PCI, memindahkan
semua pasien pascafibrinolisis mungkin dapat dilakukan untuk angiografi rutindini
dalam 3 hingga 6 jam pertama dan maksimum 24 jam, bukan memindahkan pasien
pascafibrinolisis hanya bila mereka memerlukan angiografi yang didorong oleh
iskemia (O’Connor et al, 2015).
Troponin untuk Mengidentifikasi Pasien yang dapat Dipindahkan dengan
Aman dari Unit Gawat Darurat
Troponin sensitivitas tinggi T dan hanya troponin I yang diukur pada 0 dan 2
jam (tanpa menjalankan stratifikasi berisiko klinis) tidak boleh digunakan untuk
mengecualikan diagnosis ACS, namun pengukuran troponin sensitivitas tinggi I
kurang dari 99 persentil, yang diukur pada 0 dan 2 jam, dapat digunakan bersama
stratifikasi berisiko rendah (skor Trombolisis dalam Infarksi Miokardium (TIMI/)
sebesar 0 atau 1, atau berisiko rendah berdasarkan aturan Vancouver) untuk
memperkirakan peluang dibawah 1% dari kejadian kardiovaskular utama yang
merugikan (MACE / Major Adverse Cardiac Event) selama 30 hari. Selain itu,
pengukuran troponin negatif I atau troponin T pada 0 dan antara 3 hingga 6 jam
dapat digunakan bersama stratifikasi berisiko sangat rendah (skor TIMI sebesar 0,
skor berisiko rendah berdasarkan aturan Vancouver, skor Nyeri Dada di Amerika
Utara sebesar 0 dan usia kurang dari 50 tahun, atau skor Jantung berisiko rendah)
untuk memperkirakan peluang dibawah 1% dari MACE selama 30 hari.
(O’Connor et al, 2015).
BAB III
KESIMPULAN
Langkah-langkah kritis yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan Bantuan Hidup
Jantung Dasar adalah pengenalan keadaan serta aktivasi sistem gawat darurat segera, RJP
segera serta defibrilasi segera.
Kualitas tinggi tindakan CPR merupakan dasar keberhasilan intervensi ACLS
berikutnya saat terjadi serangan jantung. Selama penyedia layanan kesehatan melakukan laju
resusitasi kompresi dada dan kedalaman yang memadai, memungkinkan dada berdetak
setelah setiap kompresi, meminimalkan gangguan dalam kompresi dada, dan menghindari
ventilasi berlebihan, terutama dengan bantuan jalan napas. Kualitas CPR harus terus
dipantau. Pemantauan fisiologis mungkin berguna untuk mengoptimalkan upaya resusitasi.
Untuk pasien VF / VT tanpa denyut, getaran harus disampaikan segera dengan gangguan
minimal dalam kompresi dada. Peningkatan kualitas CPR, kemajuan dalam perawatan pasca
serangan jantung, dan meningkatkan penerapan secara keseluruhan melalui sistem perawatan
yang komprehensif dapat membantu mengoptimalkan hasil dari pengobatan pasien serangan
jantung yang diobati dengan intervensi ACLS.
25
DAFTAR PUSTAKA
Callaway, C.W., Marion, Leary dan Michael W. Chair. 2015. 2015 American Heart
Association Guidelines Update for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency
Cardiovascular care. Part 8: Post Cardiac Arrest Care. Diunduh dari:
http://circ.ahajournals.org pada tanggal 23 April 2019.
Hazinski, MF., Michael, Shuster, dan Michael, W. Donnino. 2015. Highlights of the 2015
American Hearts Assosciation Guideline Updates for CPR and ECC. American Hearts
Assosciation. Dallas,Texas: USA.
Kaliammah Ganthikumar. 2016. Indikasi dan Keterampilan Resusitasi Jantung Paru (RJP). Intisari
Sains Medis 6 (1), 58-64.
Kleinman, ME., Robert A.Swor, Zachary D.Goldberger. 2015. 2015 American Heart
Association Guidelines Update for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency
Cardiovascular care. Part 5, Adult Basic Life Support and Cardiopulmonary
Resuscitation Quality. Diunduh dari: http://circ.ahajournals.org pada tanggal 23 April
2019.
Link, MS,. Robert W. Neumar, dan Roger D. White. 2015. 2015 American Heart Association
Guidelines Update for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular
care. Part 7: Adult Advanced Cardiovascular Life Support. Diunduh dari:
http://circ.ahajournals.org pada tanggal 23 April 2019.
Monsieurs K.G., Nikolaos I.Nikolau., Robert Greif. 2015. European Resuscitation Council
Guidelines for Resuscitation 2015. Section 1. Executive summary. Diunduh dari:
https://cprguidelines.eu/ pada tanggal 24 April 2019.
Mozzafarian, Darius., Emilia J. Benjamin., Michael J. Blaha. 2015. Heart Disease and Stroke
Statistics-2015 Update. Circulation 131 (4) 234.
O’Connor, Robert., Venu, Menon., dan William J. Brady. 2015. 2015 American Heart
Association Guidelines Update for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency
Cardiovascular care. Part 9: Acute Coronary Syndrome. Diunduh dari:
http://circ.ahajournals.org pada tanggal 23 April 2019.
Patil, KD et al. 2015. Cardiac Arrest Resuscitation and Reperfusion. Dalam: Sudden Cardiac
Death Compendium. Diunduh dari: http://circres.ahajournals.org pada tanggal 24
April 2019.
PERKI. 2016. Panduan Praktik Klinis (PPK) dan Clinical Pathway (CP) Penyakit Jantung
dan Pembuluh Darah. Jakarta : PP PERKI.
26