Anda di halaman 1dari 26

REFERAT

Advanced Cardiovascular Life Support

Disusun Oleh :
Bimasena Arya Yudha
1102013060

Pembimbing :
Dr. Uus Rustandi, Sp.An-KIC
Dr. Ruby Satria Nugraha, Sp.An. M.kes
Dr. Rizky, Sp.An

Kepaniteraan Klinik Anestesiologi


Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi
Rumah Sakit Umum Daerah Arjawinangun
Periode 8 April-11 Mei 2019
BAB I
PENDAHULUAN
Advanced Cardiovascular Life Support adalah serangkaian penanganan klinis un
tukperawatan darurat serangan jantung, stroke, dan keadaan darurat medis lainnya. Serta
pengetahuan dan keterampilan dalam melakukan penanganan.
Merupakan upaya tindak lanjut dalam resusitasi jantung paru (RJP) untuk
mencegah serangan jantung, mengobati serangan jantung, dan mencapai sirkulasi
spontan kembali (ROSC) setelah serangan jantung. Intervensi ACLS bertujuan untuk
mencegah serangan jantung meliputi manajemen jalan napas, dukungan ventilasi, dan
pengobatan bradiaritmia dan takiartmia.
Penyebab kematian mendadak terbanyak adalah disebabkan karena masalah
jantung, sehingga sering disebut Kematian Jantung Mendadak. Penyebab kematian
jantung mendadak yang paling utama di negara-negara industri adalah penyakit jantung
koroner. Sedangkan yang paling banyak berkaitan dengan irama jantung adalah fibrilasi
ventrikel (75-80% kasus). Bradiaritmia hanya terjadi sekitar 5-10% kasus. Insiden
kematian jantung mendadak dilaporkan 0.36 sampai 1.28 per 1000 penduduk di negara
barat per tahun
Berdasarkan American Heart Association (AHA) pada Advanced Cardio-
vascular Life Support (ACLS) 2015 tentang Adult Cardiac Arrest, dikemukakan bahwa
kunci bertahan hidup pada cardiac arrest adalah Basic Live Support (BLS) dan sistem
ACLS yang terintegrasi dengan baik. Dasar berhasilnya ACLS adalah Resusitasi
Jantung Paru (RJP) yang berkualitas, dan untuk VF/ pulseless VT diperlukan defibrilasi
yang cepat dan tepat.
BAB II
PEMBAHASAN

I. HENTI JANTUNG (CARDIAC ARREST)


Henti jantung didefinisikan sebagai penghentian aktivitas mekanis jantung,
sebagaimana dikonfirmasi oleh tidak adanya tanda-tanda sirkulasi. Henti jantung secara
tradisional dikategorikan sebagai jantung atau non-jantung. Penyebabnya diduga berasal
dari jantung - kecuali bila diketahui disebabkan oleh trauma, tamponade, overdosis obat,
asfiksia, kehilangan darah yang banyak, atau penyebab non-jantung lainnya, yang harus
ditentukan dengan cepat oleh penolong (Mozzafarian et al. 2015) .
Henti jantung primer (cardiac arrest) adalah ketidaksanggupan curah jantung
untuk memenuhi kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital lainnya secara mendadak
dan dapat balik normal jika dilakukan tindakan yang tepat atau akan menyebabkan
kematian dan kerusakan otak menetap jika tindakan tidak adekuat (Ganthikumar, 2016).
Henti jantung dapat disebabkan oleh 4 irama: ventricular fibrillation (VF), pulseless
ventricular tachycardia (VT), pulseless electric activity (PEA), and asystole (Patil et al,
2015). VF menggambarkan aktivitas listrik jantung yang tidak teratur, sedangkan VT
mewakili aktivitas listrik terorganisir miokardium ventrikel. Tak satu pun dari irama ini
yang menghasilkan aliran darah yang baik. PEA menggambarkan kelompok heterogen
irama listrik terorganisir yang terkait dengan adanya aktivitas ventrikel mekanis atau
tidak yang tidak cukup untuk menghasilkan pulsasi. Asistol merupakan tidak
terdeteksinya aktivitas listrik ventrikel dengan atau tanpa aktivitas listrik atrium (Patil et
al, 2015) .

Penyebab henti jantung adalah sebagai berikut :


1. Penyakit kardiovaskular, seperti penyakit jantung iskemik, infark miokardial
akut, embolus paru,
2. Kekurangan oksigen akut, seperti henti nafas, benda asing di jalan nafas,
sumbatan jalan nafas oleh sekresi
3. Kelebihan dosis obat, seperti digitalis, quinidin, antidepresan trisiklik,
propoksifen, adrenalin, isoprenalin.
4. Gangguan asam-basa/elektrolit, seperti kalium serum yang tinggi atau
rendah, magnesium serum rendah, kalsium serum tinggi, asidosis.
5. Kecelakaan, seperti syok listrik dan tenggelam.
6. Reflex vagal, seperti peregangan sfingter ani, penekanan/penarikan bola
mata.
7. Anesthesia dan pembedahan
8. Terapi dan tindakan diagnostic medis
9. Syok (hipovolemik, neurogenik, toksik, anafilaksis)

Bantuan Hidup Jantung Dasar sebenarnya sudah sering didengar oleh masyarakat a
wam di Indonesia dengan nama Resusitasi Jantung Paru (RJP). Umumnya tidak menggu
nakan obat-obatan dan dapat dilakukan dengan baik setelah melalui pelatihan singkat. P
edoman Bantuan Hidup Jantung Dasar yang sekarang dilaksanakan sekarang telah meng
alami perbaikan dibandingkan sebelumnya. Tahun 2015, American Heart Association (
AHA) mengeluarkan pedoman baru Bantuan Hidup Dasar Dewasa. Dalam Bantuan Hid
up Dasar ini, terdapat beberapa perubahan sangat mendasar dan berbeda dengan Bantua
n Hidup Dasar yang telah dikenal sebelumnya, seperti :

1. Pengenalan kondisi henti jantung mendadak segera berdasarkan penilaian respon


penderita dan tidak adanya napas
2. Perintah Look, Feel and Listen dihilangkan dari algoritme Bantuan Hidup Dasar
3. Penekanan bantuan kompresi dada yang berkelanjutan dalam melakukan resusita
si jantung paru oleh penolong yang tidak terlatih
4. Perubahan urutan pertolongan Bantuan Hidup Dasar dengan mendahulukan kom
presi sebelum melakukan pertolongan bantuan napas (CAB dibandingkan denga
n ABC)
5. Resusitasi Jantung Paru (RJP) yang efektif dilakukan sampai didapatkan kembal
inya sirkulasi spontan atau penghentian upaya resusitasi
6. Peningkatan fokus metode untuk meningkatkan kualitas RJP yang lebih baik
7. Penyederhanaan Algoritme Bantuan Hidup Dasar.
Gambar 1. Prinsip Bantuan Hidup pada Henti Jantung di.
Sumber: AHA 2015.
Tindakan Bantuan Hidup Jantung Dasar bukan merupakan suatu satu jenis
keterampilan tindakan tunggal semata, melainkan suatu kesinambungan tidak terputus
antara pengamatan serta intervensi yang dilakukan dalam pertolongan. Keberhasilan
pertolongan yang dilakukan ditentukan oleh kecepatan dalam memberikan tindakan
awal Bantuan Hidup Jantung Dasar. Para ahli berpikir bagaimana cara untuk
melakukan suatu Tindakan Bantuan Hidup Jantung Dasar yang efektif serta melatih
sebanyak mungkin orang awam dan paramedis yang dapat melakukan tindakan
tersebut secara baik dan benar. Secara umum, pengamatan serta intervensi yang
dilakukan dalam Tindakan Bantuan Hidup Jantung Dasar merupakan suatu rantai tak
terputus, disebut sebagai rantai kelangsungan hidup (chain of survival) (:

1. Pengenalan kejadian henti jantung dan aktivasi sistem gawat darurat segera (Early Ac
cess)
a. Identifikasi kondisi penderita dan lakukan kontak ke sistem gawat darurat
b. Informasikan segera Kondisi penderita sebelum melakukan RJP pada orang dew
asa atau sekitar 1 menit setelah memberikan pertolongan RJP pada bayi dan ana
k
c. Penilaian cepat tanda-tanda potensial henti jantung
d. Identifikasi tanda henti jantung atau henti napas.
2. Resusitasi Jantung Segera (Early CPR)
3. Defibrilasi Segera (Early Defibrillation)
4. Perawatan Kardiovaskular Lanjutan yang Efektif (Effective ACLS)
5. Penanganan terintegrasi pascahenti jantung (Integrated Post Cardiac Arrest Care)

SURVEI PRIMER BANTUAN HIDUP LANJUT


Dalam melakukan pertolongan menggunakan pendekatan sistematis Bantuan Hi
dup Jantung Lanjut (ACLS), maka kita harus melakukan pengamatan dan pemeriksaan s
ecara sistematis pula. Pengamatan dan pemeriksaan tersebut dimulai dari survei primer
Bantuan Hidup Dasar dilanjutkan dengan survei Bantuan Hidup Jantung Lanjut.
Survei Bantuan Hidup Dasar Primer merupakan dasar tindakan penyelamatan ji
wa setelah terjadi keadaan henti jantung. Tindakan ini bisa dilakukan oleh seorang peno
long ataupun secara simultan. Tujuan awal pelaksanaan Survei Bantuan Hidup Dasar Pri
mer adalah memperbaiki sirkulasi sistemik yang hilang pada penderita henti jantung me
ndadak dengan melakukan kompresi dada secara efektif dan benar, diikuti dengan pemb
erian ventilasi yang efektif sampai didapatkan kembalinya sirkulasi sistemik secara spon
tan atau tindakan dihentikan karena tidak ada respon dari penderita setelah tindakan dila
kukan beberapa saat. Jikalau setelah dilakukan survei Bantuan Hidup Dasar Primer seca
ra efektif didapatkan kembalinya sirkulasi secara spontan, maka tindakan Survei Bantua
n Hidup Dasar Primer langsung dilanjutkan Survei Bantuan Hidup Jantung Lanjut (Klei
nman et al, 2015).
Tujuan survei Bantuan Hidup Dasar Primer adalah berusaha memberikan bantua
n sirkulasi sistemik, ventilasi, dan oksigenasi tubuh secara efektif dan optimal sampai di
dapatkan kembali sirkulasi sistemik spontan atau telah tiba peralatan yang lebih lengkap
untuk melaksanakan Bantuan Hidup Jantung Lanjut (Kleinman et al, 2015) .
Survei Bantuan Hidup Dasar Primer dilakukan baik untuk penderita yang
mengalami henti jantung mendadak atau tidak sadarkan diri yang kita saksikan atau
datang ke Rumah Sakit sudah tidak sadarkan diri. Kita memeriksa respon penderita
dengan memanggil dan menepuk-nepuk pundak atau menggoyangkan badan penderita
bertujuan untuk mengetahui respon kesadaran penderita (Check responsiveness). Setelah
yakin bahwa penderita dalam keadaan tidak sadar, maka kita meminta bantuan orang
lain menghubungi ambulans atau sistem gawat darurat Rumah Sakit terdekat dan
meminta bantuan datang dengan tambahan tenaga serta peralatan medis yang lengkap
(Call for Help). Jika saat melakukan pertolongan hanya seorang diri, setelah melakukan
pemeriksaan respon kesadaran, penolong segera menghubungi Rumah sakit terdekat
atau ambulans dan melakukan pertolongan awal kompresi dada dengan dengan cepat
dan kuat dengan frekuensi 30 kali diselingi pemberian bantuan napas 2 kali (1 detik
setiap napas bantuan) sampai bantuan datang (Kleinman et al, 2015).
Sebelum melakukan Survei Bantuan Hidup Dasar Primer , kita harus
memastikan bahwa lingkungan sekitar penderita aman untuk melakukan pertolongan,
dilanjutkan dengan memeriksa kemampuan respon penderita, sambil meminta
pertolongan untuk mengaktifkan sistem gawat darurat dan menyediakan AED
(Kleinman et al, 2015). Urutan sistematis yang digunakan saat ini adalah C - A – B.
Sebelum melakukan Bantuan Hidup Dasar harus diperhatikan langkah yang tepat
dengan melakukan pemeriksaan terlebih dahulu. Setelah dilakukan pemeriksaan
(kesadaran, sirkulasi, pernapasan, perlu tidaknya defibrilasi), harus dianalisis secara
cepat dan tepat tindakan yang perlu dilakukan (Monsieurs et al, 2015) .
Sebagai contoh :
 Periksa respon penderita untuk memastikan penderita dalam keadaan sadar atau
tidak sadar
 Periksa denyut nadi sebelum melakukan kompresi dada atau sebelum melakukan
penempelan sadapan AED.
 Pemeriksaan analisis irama jantung sebelum melakukan tindakan kejut lsitrik
pada jantung (defibrilasi).
Perhatikan : selalu melakukan pemeriksaan sebelum melakukan tindakan.

Ketika akan melakukan pertolongan, penolong harus mengetahui dan memahami


hak penderita serta beberapa keadaan yang mengakibatkan RJP tidak perlu dilaksanakan
seperti (Kleinman,2015) :
 Henti jantung terjadi pada penyakit dengan stadium akhir yang telah mendapat
pengobatan secara optimal
 Ada permintaan dari penderita atau keluarga inti yang berhak secara sah dan
ditandatangani oleh penderita atau keluarga penderita
 Pada neonatus atau bayi dengan kelainan yang memiliki angka mortalitas tinggi,
misalnya bayi sangat prematur, anensefali atau kelainan kromosom seperti
trisomi 13
 Henti jantung terjadi di luar sarana atau fasilitas kesehatan
 Tanda-tanda klinis kematian yang irreversibel, seperti kaku mayat, lebam mayat,
dekapitasi, atau pembusukan.
 Upaya RJP dengan resiko membahayakan penolong
 Penderita dengan trauma yang tidak bisa diselamatkan seperti hangus terbakar,
dekapitasi atau hemikorporektomi.

Kapan Menghentikan RJP


Ada beberapa alasan bagi penolong untuk menghentikan RJP, antara lain (Monsieurs et
al, 2015) :
 Penolong sudah melakukan Bantuan Hidup Dasar dan Lanjut secara optimal,
antara lain: RJP, defibrilasi pada penderita VF/VT tanpa nadi, pemberian
vassopressin atau epinefrin intravena, membuka jalan napas, ventilasi dan
oksigenasi menggunakan bantuan napas tingkat lanjut serta sudah melakukan
semua pengobatan irama sesuai dengan pedoman yang ada.
 Penolong sudah mempertimbangkan apakah penderita terpapar bahan beracun
atau mengalami overdosis obat yang akan menghambat susunan sistem saraf
pusat
 Kejadian henti jantung tidak disaksikan oleh penolong.
 Penolong sudah merekam melalui monitor adanya asistol yang menetap selama
10 menit atau lebih
Implementasi penghentian usaha resusitasi ;
 Asistol yang menetap atau tidak terdapat denyut nadi pada neonatus lebih dari
10 menit
 Penderita yang tidak respon setelah dilakukan Bantuan Hidup Jantung Lanjut
minimal 20 menit.
Secara etik penolong RJP selalu menerima keputusan klinik yang layak untuk
memperpanjang usaha pertolongan (misalnya oleh karena konsekuensi psikologis dan
emosional). Juga menerima alasan klinis untuk mengakhiri resusitasi dengan segera
(karena kemungkinan hidup yang kecil).
Menurunnya kemungkinan keberhasilan resusitasi sebanding dengan makin lamanya
waktu melaksakanan bantuan hidup. Perkiraan kemungkinan keberhasilan resusitasi dan
pulang ke rumah, mulai dari 60-90% dan menurun secara jelas 3-10 % permenit.
Tindakan RJP pada Asistol bisa lebih lama dilakukan pada penderita dengan kondisi
sebagai berikut (Monsieurs et al,2015) :
 Usia Muda
 Asistol menetap karena toksin atau gangguan elektrolit
 Hipotermia
 Overdosis Obat
 Usaha bunuh diri
 Permintaan Keluarga
 Korban tenggelam di air dingin
Teknik Pelaksanaan Survey Primer Bantuan Hidup Dasar (C-A-B -D) :
1. Kita harus memastikan bahwa lingkungan sekitar penderita aman untuk
melakukan pertolongan. Penderita dibaringkan di tempat datar dan keras posisi
telentang.
2. Dilanjutkan dengan memeriksa kemampuan respon penderita, sambil meminta
pertolongan untuk mengaktifkan sistem gawat darurat dan menyediakan AED.
Setelah yakin bahwa penderita dalam keadaan tidak sadar, maka kita meminta
bantuan orang lain menghubungi ambulans atau sistem gawat darurat Rumah
Sakit terdekat dan meminta bantuan datang dengan tambahan tenaga serta
peralatan medis yang lengkap Memeriksa respon : dengan memanggil dan
menepuk-nepuk pundak atau menggoyangkan badan penderita (Check
responsiveness); “ Pak....Pak.... (sambil menepuk pundak)......pak....anda baik-
baik saja ?”
(Call for Help) : menunjuk orang disekitar ; “ Tolong Telpon 118/ambulan, beritahukan
ada pasien cardiac arrest, mohon bantuan tenaga medis dan AED”
Cek respon

3. Penilaian denyut nadi


Caranya jika penolong di sebelah kanan penderita, dengan meletakkan jari
telunjuk dan jari tengah pada garis median leher (trachea), kemudian geser ke lateral (ke
arah penolong)/tidak boleh menyeberangi garis tengah, lalu raba pulsasi arteri
carotisnya. Periksa teraba nadi atau tidak. Langkah ini tidak boleh lebih dari 10 detik
Untuk berlatih mahasiswa dapat meraba pulsasi arteri carotisnya sendiri terlebih
dahulu, kemudian meraba pulsasi arteri carotis mahasiswa lain secara berpasangan.
Penelitian yang telah dilakukan mengenai resusitasi menunjukkan baik penolong awam
maupun tenaga kesehatan mengalami kesulitan dalam melakukan pemeriksaan pulsasi
arteri carotis. Sehingga untuk hal tertentu pengecekan pulsasi tidak diperlukan, seperti :
o Penolong tidak perlu memeriksa nadi dan langsung mengasumsikan
penderita menderita henti jantung jika penderita mengalami pingsan
mendadak, atau tidak berespons tidak bernapas, atau bernapas tidak
normal.
o Penilaian pulsasi sebaiknya dilakukan kurang dari 10 detik. Jika dalam
10 detik penolong belum bisa meraba pulsasi arteri, maka segera lakukan
kompresi dada.
 Catatan : Jika teraba nadi berikan 1 kali napas tiap 5-6 detik. Cek nadi tiap 2
menit
Jika tidak teraba nadi lanjutkan dengan kompresi (Ganthikumar,2016).

4. Kompresi Dada
Dilakukan dengan pemberian tekanan secara kuat dan berirama pada setengah bawah
sternum/ Membuat garis bayangan antara kedua papila mammae memotong mid line
pada sternum kemudian meletakkan tangan kiri diatas tangan kanan/ sebaliknya. Yang
dipakai adalah tumit tangan, bukan telapak tangan. Hal ini menciptakan aliran darah
melalui peningkatan tekanan intratorakal dan penekanan langsung pada dinding jantung.
Komponen yang perlu diperhatikan saat melakukan kompresi dada :
 Frekuensi minimal 100 kali permenit
 Untuk dewasa, kedalaman minimal 5 cm (2 inch)
 Pada bayi dan anak, kedalaman minimal sepertiga diameter diding anterposterior
dada, atau 4 cm (1,5 inch) pada bayi dan sekitar 5 cm (2 inch) pada anak.
 Berikan kesempatan untuk dada mengembang kembali sevara sempurna setelah
setiap kompresi.
 Seminimal mungkin melakukan interupsi
 Hindari pemberian napas bantuan yang berlebihan.
 Melakukan kompresi dada: tekan dengan cepat dan keras, interupsi minimal, dan
biarkan dada recoil. Siku lengan harus lurus dengan sumbu gerakan menekan
adalah pinggul bukan bahu. Tekan dada dengan kedalaman minimal 5 cm.
 Beri kesempatan dada recoil sebelum menekan kembali untuk memberi
kesempatan venous return mengisi jantung (Kleinman et al,2015).
Catatan : untuk membantu penghitungan kompresi :
“ satu, dua................sepuluh”.... satu, dua, ...... duapuluh, ....satu...dua.... tigapuluh”

Gambar 1 dan 2. Teknik kompresi dada. Sumber: Ganthikumar,2016

5. Airway (pembukaaan jalan napas)

Dalam teknik ini diajarkan bagaimana cara membuka dan mempertahankan jalan
napas untuk membantu ventilasi dan memperbaiki oksigenasi tubuh. Menurut AHA Gu
ideline 2010 merekomendasikan untuk gunakan head tilt-chin lift untuk membuka jalan
napas pada pasien tanpa ada trauma kepala dan leher. Sekitar 0,12-3,7% mengalami ced
era spinal dan risiko cedera spinal meningkat jika pasien mengalami cedera kraniofasial
dan/atau GCS <8. Manakala, gunakan jaw thrust jika suspek cedera servikal. Pada pasie
n suspek cedera spinal lebih diutamakan dilakukan restriksi manual (menempatkan 1 tan
gan di ditiap sisi kepala pasien) daripada menggunakan spinal immobilization devices k
arena dapat mengganggu jalan napas tapi alat ini bermanfaat mempertahankan kesejajar
an spinal selama transportasi (Ganthikumar, 2016).

LANGKAH-LANGKAH MENILAI JALAN NAPAS :


1. LOOK:
 Kesadaran; “the talking patient” : pasien yang bisa bicara berarti airway bebas,
namun tetap perlu evaluasi berkala.
 Agitasi
 Nafas cuping hidung
 Sianosis
 Retraksi
 Accessory respiratory muscle
2. LISTEN:
 Snoring, akibat sumbatan sebagian jalan napas setinggi faring
 Gurgling, (suara berkumur) menunjukkan adanya cairan/ benda asing
 Stridor, dapat terjadi akibat sumbatan sebagian jalan napas jalan napas setinggi
larings (Stridor inspirasi) atau stinggin trakea (stridor ekspirasi)
 Hoarnes, akibat sumbatan sebagian jalan napas setinggi faring
 Afoni, pada pasien sadar merupakan petanda buruk, pasien yang membutuhkan
napas pendek untuk bicara menandakan telah terjadi gagal napas
3. FEEL:
 Aliran udara dari mulut/ hidung
 Posisi trakea terutama pada pasien trauma, Krepitasi

PEMBUKAAN DAN PEMELIHARAAN JALAN NAPAS ATAS


Pada pasien yang tidak sadar, penyebab tersering sumbatan jalan napas yang
terjadi adalah akibat hilangnya tonus otot-otot tenggorokan. Dalam kasus ini lidah jatuh
ke belakang dan menyumbat jalan napas ada bagian faring
1. Pembukaan Jalan nafas secara manual
Teknik dasar pembukaan jalan napas atas adalah dengan megangkat kepala-
angkat dagu (Head Tilt-Chin Lift). Teknik dasar ini akan efektif bila obstruksi napas
disebabkan lidah atau relaksasi otot pada jalan napas atas.
Bila pasien yang menderita trauma diduga mengalami cedera leher, lakukan
penarikan rahang tanpa mendorong kepala. Karena mengelola jalan napas yang terbuka
dan memberikan ventilasi merupakan prioritas, maka gunakan dorong kepala tarik dagu
bila penarikan rahang saja tidak membuka jalan napas (Ganthikumar, 2016).

2. Pemeliharaan jalan napas atas


Bila anda menemukan seorang pasien tersedak yang tidak sadar dan henti napas,
bukalah mulutnya lebar-lebar dan carilah benda asing di dalamnya. Bila anda
menemukannya, keluarkan dengan menggunakan jari anda. Bila anda tidak melihat
adanya benda asing, mulai lakukan RJP. Tiap kali anda membuka jalan napas untuk
memberikan napas, bukalah mulutnya lebar-lebar dan carilah benda asing di dalamnya.
Bila ada keluarkan dengan menggunakan jari anda. Bila tidak ada benda asing,
lanjutkan RJP (Ganthikumar, 2016).
Dalam melakukan teknik membebaskan jalan nafas agar selalu diingat untuk
melakukan proteksi Cervical-spine terutama pada pasien trauma/multipel trauma. jalan
napas pasien tidak sadar sering tersumbat oleh lidah, epiglotis, dan juga cairan, agar
jalan napas tetap terbuka perlu dilakukan manuver head tilt,chin lift dan juga jaw thrust.
Bisa sebagian atau kombinasi ketiganya (tripple airway manouver). Head tilt dan chin
lift adalah teknik yang sederhana dan efektif untuk membuka jalan napas tetapi harus
dihindari pada kasus cedera tulang leher/servikal (Ganthikumar, 2016).

Gambar 3. Pembebasan Jalan Nafas. Sumber: Ganthikumar, 2016.

Pemberian napas bantuan dilakukan setelah jalan napas terlihat aman. Tujuan Primer
pemberian napas bantuan adalah untuk mempertahankan oksigenasi yang adekuat
dengan tujuan sekunder untuk membuang CO2. Sesuai dengan revisi panduan yang
dikeluarkan American Hearth Association mengenai Bantuan Hidup Jantung Dasar,
penolong tidak perlu melakukan observasi napas spontan dengan Look, Listen, Feel,
karena langkah pelaksanaan tidak konsisten dan menghabiskan banyak waktu. Hal yang
perlu diperhatikan dalam melakukan bantuan napas antara lain (Kleinman et al,2015) :
 Memasang mouth barrier untuk proteksi diri
 Berikan napas bantuan dalam waktu 1 detik.
 Sesuai volume tidal yang cukup untuk mengangkat dinding dada
 Diberikan 2 kali napas bantuan setelah 30 kompresi
 Pada kondisi terdapat dua orang penolong atau lebih, dan telah berhasil
memasukkan alat untuk mempertahankan jalan napas (seperti pipa endotrakheal,
combitube, atau sungkup laring), maka napas bantuan diberikan setiap 6-8 detik,
sehingga menghasilkan pernapasan dengan frekuensi 8-6 kali permenit. Tidak
sinkron dengan kompresi : memberikan bantuan napas tiap 6-8 detik selama
kompresi berlangsung, Ingat Interupsi minimal saat kompresi
 Penderita dengan hambatan jalan napas atau komplians paru yang buruk memerl
ukan bantuan napas dengan tekanan lebih tinggi sampai memperlihatkan dinding
dada terangkat.
 Pemberian bantuan napas yang berlebihan tidak diperlukan dan dapat menimbul
kan distensi lambung serta komplikasinya, seperti regurgitasi dan aspirasi.
Cara pemberian napas bantuan :
a. Mulut ke mulut
b. Mulut ke hidung
c. Mulut ke sungkup
d. Dengan Kantung Pernafasan
Setelah 5 siklus/ 2 menit, periksa pulsasi arteri carotis, jika pulsasi tidak ada dan
bantuan belum tiba teruskan RJP. Jika bantuan datang dan membawa peralatan
(AED/Defibrilator) segera pasang alat cek irama jantung dengan menggunakan AED
atau monitor defibrilator. Apabila irama jantung shockable lakukan defibrilasi, apabila
not shockable teruskan RJP. Ikuti algoritme.
Gambar 4. Algoritme BHD.
Sumber: AHA 2015.
Defibrilasi
Tindakan defibrilasi sesegera mungkin memegang peranan penting untuk keberhasil
an pertolongan penderita henti jantung mendadak berdasarkan alasan berikut :
 Irama jantung yang paling sering didapat pada kasus henti jantung mendadak ya
ng disaksikan di luar rumah sakit adalah Fibrilasi ventrikel
 Terapi untuk fibrilasi ventrikel adalah defibrilasi
 Kemungkinan keberhasilan tindakan defibrilasi berkurang seiring dengan bertam
bahnya waktu
 Perubahan irama dari fibrilasi ventrikel menjadi asistol seiring dengan berjalann
ya waktu.
 Pelaksanaan defibrilasi bisa dilakukan dengan menggunakan defibrilator manual
atau menggunakan Automated External Defibrilator (AED). Penderita dewasa y
ang mengalami fibrilasi ventrikel atau ventrikel takikardi tanpa nadi diberikan en
ergi kejutan 360 J pada defibrilator monofasik atau 200 J pada bifasik. Pada ana
k, walaupun kejadian henti jantung mendadak sangat jarang, energi kejutan listri
k diberikan dengan dosis 2-4 J/Kg, dapat diulang dengan dosis 4-10 J/Kg dan tid
ak melebihi energi yang diberikan kepada penderita dewasa. Pada neonatus, pen
ggunaan defibrilator manual lebih dianjurkan. Penggunaan defibrilator untuk tin
dakan kejut listrik tidak diindikasikan pada penderita dengan asistol atau pulsele
ss electrical activity (PEA) (Link et al,2015).
PROTOKOL PENGGUNAAN AED

 Hidupkan AED dengan menekan sakelar ON atau beberapa alat dengan


membuka tutup AED
 Pasang bantalan elektroda pada dada penderita
 Jangan melakukan kontak langsung dengan penderita saat sedang dilakukan
analisis irama penderita oleh alat AED
 Tekan tombol SHOCK jika alat AED memerintahkan tindakan kejut listrik, atau
langsung lakukan RJP 5 siklus petugas kesehatan terlatih tanpa mencek nadi
terlebih dahulu jika alat tidak memerintahkan tundakan kejut listrik
 Tindakan tersebut terus diulang sampai tindakan RJP boleh dihentikan sesuai
indikasi (Monsieur et al,2015).

PROTOKOL PENGGUNAAN ALAT KEJUT LISTRIK KONVENSIONAL (MANUA


L DEFIBRILATOR)

Pada kasus henti jantung, RJP adalah tindakan yang mutlak dilakukan dan interupsi terh
adap kompresi harus minimal. Prinsip ini tetap berlaku pada penggunaan defibrilator. Se
lama persiapan alat dan pengisian tenaga, korban tetap dilakukan kompresi dada.

 Tekan tombol ON atau putar saklar ke arah gambaran EKG untuk menghidupkan
monitor
 Tempelkan elektroda atau gunakan pedal defibrilator untuk melakukan analisis
secara cepat (quick look analysis)
 Lihat irama di monitor. Bila akan melakukan tindakan kejut listrik, berikan gel
di pedal defibrilator atau dada penderita untuk mencegah luka bakar yang berat
serta memperbaiki hantaran listrik dari pedal ke tubuh penderita
 Bila irama yang terlihat pada monitor adalah fibrilasi ventrikel dan ventrikel
takikardi tanpa nadi, maka lakukan pemberian kejut lsitrik dengan energi 360 J
pada alat defibrilator monofasik atau 200 J pada alat bifasik. Lakukan pengisian
(charge) sampai ke energi yang diinginkan (biasanya ditandai dengan bunyi
alarm. satu pedal diletakkan di apeks jantung dan yang lain diletakkan di
sternum dengan disertai pemberian tekanan sebesar 12,5 kg saat ditempelkan ke
dinding dada. Listrik dialirkan dengan menekan tombol discharge(bergambar
listrik) yang berada di kedua gagang .
Sebelum melakukan shock berikan aba-aba pada seluruh anggota tim untuk tidak
dengan pasien maupun tempat tidurnya sambil memastikan diri sendiri juga tidak
bersentuhan. Untuk terakhir kali lihat secara visual apakah semua sudah tidak
bersentuhan dengan pasien, lihat ke monitor untuk pastikan irama belum berubah.
Segera lakukan RJP selama 2 menit atau 5 siklus. Setelah 2 menit lakukan evaluasi. Bila
irama yang terlihat dimonitor adalah irama yang harus diberikan kejut listrik (Shockable
rhytm) yaitu VT tanpa nadi atau VF, maka lakukan pemberian kejut listrik kembali. Bila
irama yang terlihat adalah PEA atau Asistol, maka lakukan pemberian RJP selama 2
menit atau 5 siklus dan penatalaksanaan sesuai algoritma PEA/Asystole (Link et al,
2015).

Ringkasan Umum Bantuan Hidup Dasar

Rekomendasi
Komponen Dewasa Anak Bayi
Pengenalan awal Tidak sadarkan diri
Tidak ada napas Tidak bernapas atau gasping.
atau bernapas tidak
normal (misalnya
gasping)
Tidak teraba nadi dalam 10 detik (hanya dilakukan oleh tenaga
kesehatan)
Urutan BHD CAB CAB CAB
Frekuensi Minimal 100 kali per menit
Kompresi
Kedalaman Minimal 5 cm (2 Minimal 1/3 Minimal 1/3
kompresi inch) diameter diameter
anteroposterior anteroposterior
dinding dada dinding dada
(sekitar 5 cm/2 inch) (sekitar 4 cm/ 1.5
inch)
Recoil dinding dada Recoil sempurna dinding dada setelah setiap kompresi. Untuk
penolong terlatih, pergantian posisi kompresor setiap 2 menit.
Interupsi kompresi Interupsi kompresi seminimal mungkin.
Interupsi terhadap kompresi tidak lebih 10 detik.
Jalan napas Head tilt chin lift.
(jaw thrust pada kecurigaan trauma leher – hanya oleh tenaga
kesehatan).
Kompresi 30 : 2 30 : 2 (1 penolong) 30 : 2 (1 penolong)
(1 atau 2 penolong) 15 : 2 (2 penolong) 15 : 2 (2 penolong)
Ventilasi Jika penolong tidak terlatih, kompresi saja.
Pada penolong terlatih tanpa alat bantu jalan napas lanjutan
berikan 2 kali napas buatan setelah 30 kompresi. Bila terpasang
alat bantu jalan napas lanjutan berikan napas setiap 6-8 detik (8-
10 kali per menit).
Penderita ROSC, napas diberikan setiap 5-6 detik (10-12 kali per
menit)
Defibrilasi Pasang dan tempelkan AED sesegera mungkin.
Interupsi kompresi minimal, baik sebelum atau sesudah kejut
listrik.
Lanjutkan RJP, diawali dengan kompresi segera setelah kejut
listrik.

Pada keadaan tidak ada advanced airway, suatu kompresi-ventilasi yang sinkron
dapat dilakukan dengan rasio 30:2, dengan kompresi jantung luar paling sedikit 100 kali
permenit. Setelah memasang supraglottic airway atau endotrakea tube, dapat dilakukan
kompresi jantung luar sedikitnta 100 kali permenit, dengan terus melakukan ventilasi
tanpa berhenti. Ventilasi diberikan sebanyak 1 kali setiap 6 sampai 8 detik (8 sampai 10
kali permenit) dan dilakukan secara hati-hati untuk menghindari berlebihnya jumlah
ventilasi yang diberikan (Kleinman et al, 2015).
Selain kualitas tinggi CPR, satu-satunya terapi-irama yang terbukti
meningkatkan kelangsungan hidup adalah defibrilasi dari VF/VT tanpa denyut. Oleh
karena itu, intervensi ini dimasukkan sebagai bagian integral dari siklus CPR. Intervensi
ACLS lain selama serangan jantung mungkin terkait dengan tingkat peningkatan ROSC
tetapi belum terbukti meningkatkan kelangsungan hidup untuk diluar rumah sakit . Oleh
karena itu, mereka dianjurkan sebagai pertimbangan dan harus dilakukan tanpa
mengorbankan kualitas CPR atau defibrilasi tepat waktu. Dengan kata lain, akses
vaskular, pemberian obat, dan tata laksana jalan napas tidak harus menyebabkan
gangguan signifikan dalam kompresi dada atau keterlambatan defibrilasi (Link et al,
2015).

Ventricular Fibrillation/Pulseless Ventricular Tachycardia


Ketika monitor menampilkan irama VF/Pulseless VT maka sebaiknya langsung
charge defibrillator, kemudian amankan sekitar supaya tidak terkena shock dengan
mengucapkan “clear”, segera berikan sebuah shock, semua ini dilakukan secepat
mungkin. RJP kemudian kembali dilanjutkan selama 2 menit setelah dilakukan shock,
sebelum memeriksaan irama jantung dan nadi berikutnya.
Ketika irama jantung masih VF/VT, maka penolong pertama tetap melakukan
CPR ketika yang lain menyiapkan charge defibrillator. Jika sudah siap, CPR dihentikan
dan shock kembali dilakukan. Setelah itu CPR langsung dilanjutkan kembali selama 2
menit, dan nilai irama dan nadi kembali. Penolong yang memberikan kompresi jantung
luar sebaiknya digantikan setiap 2 menit untuk mengurangi kelelahan. Kualitas CPR
sebaiknya dimonitor berdasarkan parameter mekanis dan fisiologi.
Medikamentosa pada VF/VT mengunakan amiodarone. Amiodarone merupakan
agen antiaritmia lapis pertama (first-line antiarrhythmic) pada cardiac arrest, karena
secara kinis telah terbukti meningkatkan tercapainya Return of Spontaneous Circulation
(ROSC) pasien VF dan Pulseless VT. Amiodarone harus dipertimbangkan ketika
VF/VT yang tidak memberikan respon pada CPR, defibrillasi, dan terapi vasopressor.
Jika tidak terdapat amiodarone, lidocaine dapat dipertimbangkan sebagai pengganti,
tetapi dari beberapa study klinis, efek lidocaine tidak sebaik amiodarone dalam
meningkatkan ROSC. Magnesium sulfat hanya dapat diberikan pada Torsades de
pointes dengan interval QT yang memanjang (Monsieur et al,2015 dan Hazinski et
al,2015).
Diagnosis dan terapi pada penyakit dasar dari VF/VT adalah fundamental pada
algoritma ini. Sering disebut 5H dan 5T yang sebenarnya merupakan penyebab
reversibel dan dapat dikoreksi segera untuk mengembalikan irama jantung pada irama
sinus (Monsieur et al,2015). Pada VF/VT refrakter, ACS atau infark miokardium harus
dipertimbangkan sebagai penyebab, reperfusi seperti coronary angiography dan PCI
selama RJP, atau emergency cardiopulmonary bypass dapat dilakukan pada kasus ini.
Jika pasien telah menunjukkan ROSC, perawatan post-cardiac arrest dapat segera
dimulai (Callaway et al,2015).

Pulseless Electrical Activity (PEA)/Asistole


Ketika monitor menunjukkan nonshockable rhythm, RJP harus segera dilakukan,
dimulai dengan kompresi jantung, dilakukan selama 2 menit sebelum kembali menilai
irama jantung. Jika setelah penilaian irama jantung didapatkan an organized rhythm,
penilaian nadi harus dilakukan. Jika nadi teraba, perawatan post-cardiac arrest harus
segera dilakukan. Jika irama tetap asistole atau nadi tidak teraba (PEA), RJP harus
kembali dilajutkan, kompresi jantung selama 2 menit, dan setelah itu nilai kembali
irama jantung (Link et al,2015).
Vasopressor dapat diberikan secepat mungkin dengan maksud untuk
meningkatkan aliran darah miokardium dan cerebral (myocardial and cerebral blood
flow) selama RJP dan pencapaian ROSC. Berdasarkan evidence yang ada, atropine
selama PEA atau asistole, tidak memberikan efek terapeutik untuk ROSC. Karena
alasan inilah, atropine tidak dipakai lagi pada algoritma cardiac arrest (Hazinski et
al,2015)..
PEA sering disebabkan oleh kondisi reversibel yang dapat di koreksi jika dapat
teridentifikasi penyebanya. Oleh karena itu, setiap 2 menit periode dari RJP sebaiknya
penolong melakukan penilain terhadap 5H dan 5T untuk menyelidiki kemungkinan
penyebabnya. PEA dengan hipoksia, dapat dipasang segera advanced airway untuk
mencapai oksigensi atau ventilasi yang adekuat. PEA yang disebabkan oleh severe
volume loss atau sepsis dapat dikoreksi dengan kristaloid IV. PEA oleh kehilangan
banyak darah, dapat dilakukan transfusi darah. Jika emboli paru dicurigai sebagai
penyebab cardiac arrest, terapi fibrinolitik emperis dapat dilakukan. PEA oleh tension
pneumothorax, needle decompression dapat dilakukan untuk terapi awal (Monsieur et
al,2015)..
Jika mungkin dapat dilakukan echocardiografi untuk mengetahui intravascular
volume status,cardiac temponade, mass lesion (tumor, klot darah), kontraktilitas
ventrikel kiri, dan pergerakan regional wall. Asistole biasanya merupakan end-stage
rhythm yang terjadi setelah VF atau PEA, dengan prognosis yang buruk. Pada pasien
yang telah menunjukkan ROSC, perawatan post-cardiac arrest dapat segera dimulai
(Callaway et al,2015).

Gambar 7. Algoritme Perawatan Post Cardiac Arrest. Sumber: AHA 2015


II. BRADIKARDI DAN TAKIKARDI
Bradikardi
Bradikardia adalah keadaan denyut jantung kurang dari 60 denyut per menit.
Namun, ketika bradikardia adalah penyebab dari suatu gejala, denyut jantung dapat
kurang dari 50 denyut per menit. Denyut jantung yang lambat mungkin fisiologis atau
normal untuk beberapa pasien, sedangkan denyut jantung < 50 denyut per menit
mungkin tidak memadai untuk sebagian orang lain (Mozzafarian et al, 2015).
Algoritma Bradikardia berfokus pada manajemen bradikardia yang bermakna
secara klinis (yaitu, bradikardi yang pantas untuk kondisi klinis). Karena hipoksemia
merupakan penyebab umum dari bradikardia, evaluasi awal dari setiap pasien dengan
bradikardia harus fokus pada tanda-tanda peningkatan kerja pernapasan (takipnea,
retraksi interkostal, suprasternal retraksi, paradoks pernapasan perut) dan saturasi
oksihemoglobin (Monsieur et al,2015).

Gambar 8. Algoritma Penanganan Bradikardi.


Sumber: ERC 2015.

Takikardi
Takikardia didefinisikan sebagai aritmia dengan denyut lebih dari 100 denyut
per menit, meskipun, seperti dengan mendefinisikan bradikardia, tingkat takikardia
lebih mungkin disebabkan aritmia dengan denyut lebih dari 150 denyut per menit.
Denyut jantung yang cepat merupakan respons terhadap stres fisiologis (misalnya,
demam, dehidrasi) atau kondisi lain yang mendasarinya (Mozzafarian et al,2015).
Takikardia dapat diklasifikasikan dalam beberapa cara, berdasarkan kompleks
QRS, denyut jantung, dan keteraturan. Profesional ACLS harus mampu mengenali dan
membedakan antara sinus takikardia, narrow-complex supraventricular tachycardia
(SVT), dan wide-complex tachycardia (Mozzafarian et al,2015).
Narrow–QRS-complex (SVT) tachycardias (QRS <0.12 second)
● Sinus tachycardi
● Atrial fibrillation
● Atrial flutter
● AV nodal reentry
● Accessory pathway–mediated tachycardia
● Atrial tachycardia (including automatic and reentry forms)
● Multifocal atrial tachycardia (MAT)
● Junctional tachycardia (rare in adults)
Wide–QRS-complex tachycardias (QRS >0.12 second)
● Ventricular tachycardia (VT) and ventricular fibrillation (VF)
● SVT with aberrancy
● Pre-excited tachycardias (Wolff-Parkinson-White [WPW] syndrome)
● Ventricular paced rhythms

Evaluasi dan pengelolaan takiaritmia digambarkan dalam algoritma di bawah ini:


Gambar 9. Algoritma Penanganan Takikardi.
Sumber: ERC 2015.

Acute Coronary Syndrome


Acute Coronary Syndrome (ACS) atau yang lebih dikenal dengan sindrom
koroner akut (SKA) merupakan sindroma klinik yang disebabkan oleh oklusi arteri
koroner (PERKI, 2016). Mekanisme yang mendasari penyakit ini adalah rupturnya plak
atau erosi karena serangkaian pembentukan trombus sehingga menyebabkan
penyumbatan parsial ataupun total pada pembuluh darah. Berdasarkan pemeriksaan
elektrokardiografi (EKG) dan marker biokimia jantung, maka Acute Coronary
Syndrome (ACS) dibedakan menjadi ST-segment elevation myocardial infarction
(STEMI), Non ST-segment elevation myocardial infarction (NSTEMI), serta unstable
angina pectoris (PERKI, 2016).
Akuisisi dan Interpretasi ECG Pra Rumah Sakit
ECG 12 sadapan pra rumah sakit harus diakuisisi di awal untuk pasien
dengan kemungkinan ACS. Tenaga medis selain dokter yang terlatih dapat
melakukan interpretasi ECG untuk menentukan apakah pelacakan menunjukkan
bukti STEMI. Interpretasi ECG terbantu komputer dapat digunakan sehubungan
dengan interpretasi yang dilakukan oleh dokter atau penyedia layanan medis terlatih
untuk mengidentifikasi STEMI. Pemberitahuan pra rumah sakit tentang pengaktifan
laboratorium kateterisasi rumah sakit dan / atau pra rumah sakit penerima harus
diberikan kepada semua pasien dengan STEMI yang diidentifikasi pada ECG pra
rumah sakit (O’Connor et al, 2015).

Reperfusi
Jika fibrinolisis pra rumah sakit tersedia sebagai bagian dari sistem
perawatan STEMI dan pemindahan langsung ke pusat PCI pun tersedia, maka triase
pra rumah sakit dan pemindahan langsung ke pusat PCI mungkin dipilih karena
akan mengakibatkan penurunan insiden pendarahan intrakranium yang relatif kecil.
Namun, tidak terdapat bukti manfaat terkait kematian dari satu terapi terhadap terapi
lainnya. Pada pasien dewasa yang menjalani STEMI di unit gawat darurat di rumah
sakit yang tidak mendukung PCI, direkomendasikan agar pasien tersebut segera
dipindahkan tanpa fibrinolisis dari fasilitas awal ke pusat PCI, bukan diberikan
fibrinolisis langsung di rumah sakit awal dengan pemindahan hanya untuk PCI yang
disebabkan oleh iskemia (O’Connor et al, 2015).
Bila pasien STEMI tidak dapat dipindahkan ke rumah sakit yang
mendukung PCI tepat pada waktunya, maka terapi fibrinolitik dengan pemindahan
rutin untuk angiografi dapat menjadi alternatif yang dapat diterima untuk
melakukan pemindahan langsung ke primary PCI. Bila terapi fibrinolitik diberikan
kepada pasien STEMI di rumah sakit yang tidak mendukung PCI, memindahkan
semua pasien pascafibrinolisis mungkin dapat dilakukan untuk angiografi rutindini
dalam 3 hingga 6 jam pertama dan maksimum 24 jam, bukan memindahkan pasien
pascafibrinolisis hanya bila mereka memerlukan angiografi yang didorong oleh
iskemia (O’Connor et al, 2015).
Troponin untuk Mengidentifikasi Pasien yang dapat Dipindahkan dengan
Aman dari Unit Gawat Darurat
Troponin sensitivitas tinggi T dan hanya troponin I yang diukur pada 0 dan 2
jam (tanpa menjalankan stratifikasi berisiko klinis) tidak boleh digunakan untuk
mengecualikan diagnosis ACS, namun pengukuran troponin sensitivitas tinggi I
kurang dari 99 persentil, yang diukur pada 0 dan 2 jam, dapat digunakan bersama
stratifikasi berisiko rendah (skor Trombolisis dalam Infarksi Miokardium (TIMI/)
sebesar 0 atau 1, atau berisiko rendah berdasarkan aturan Vancouver) untuk
memperkirakan peluang dibawah 1% dari kejadian kardiovaskular utama yang
merugikan (MACE / Major Adverse Cardiac Event) selama 30 hari. Selain itu,
pengukuran troponin negatif I atau troponin T pada 0 dan antara 3 hingga 6 jam
dapat digunakan bersama stratifikasi berisiko sangat rendah (skor TIMI sebesar 0,
skor berisiko rendah berdasarkan aturan Vancouver, skor Nyeri Dada di Amerika
Utara sebesar 0 dan usia kurang dari 50 tahun, atau skor Jantung berisiko rendah)
untuk memperkirakan peluang dibawah 1% dari MACE selama 30 hari.
(O’Connor et al, 2015).
BAB III
KESIMPULAN
Langkah-langkah kritis yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan Bantuan Hidup
Jantung Dasar adalah pengenalan keadaan serta aktivasi sistem gawat darurat segera, RJP
segera serta defibrilasi segera.
Kualitas tinggi tindakan CPR merupakan dasar keberhasilan intervensi ACLS
berikutnya saat terjadi serangan jantung. Selama penyedia layanan kesehatan melakukan laju
resusitasi kompresi dada dan kedalaman yang memadai, memungkinkan dada berdetak
setelah setiap kompresi, meminimalkan gangguan dalam kompresi dada, dan menghindari
ventilasi berlebihan, terutama dengan bantuan jalan napas. Kualitas CPR harus terus
dipantau. Pemantauan fisiologis mungkin berguna untuk mengoptimalkan upaya resusitasi.
Untuk pasien VF / VT tanpa denyut, getaran harus disampaikan segera dengan gangguan
minimal dalam kompresi dada. Peningkatan kualitas CPR, kemajuan dalam perawatan pasca
serangan jantung, dan meningkatkan penerapan secara keseluruhan melalui sistem perawatan
yang komprehensif dapat membantu mengoptimalkan hasil dari pengobatan pasien serangan
jantung yang diobati dengan intervensi ACLS.

25
DAFTAR PUSTAKA

Callaway, C.W., Marion, Leary dan Michael W. Chair. 2015. 2015 American Heart
Association Guidelines Update for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency
Cardiovascular care. Part 8: Post Cardiac Arrest Care. Diunduh dari:
http://circ.ahajournals.org pada tanggal 23 April 2019.

Hazinski, MF., Michael, Shuster, dan Michael, W. Donnino. 2015. Highlights of the 2015
American Hearts Assosciation Guideline Updates for CPR and ECC. American Hearts
Assosciation. Dallas,Texas: USA.

Kaliammah Ganthikumar. 2016. Indikasi dan Keterampilan Resusitasi Jantung Paru (RJP). Intisari
Sains Medis 6 (1), 58-64.

Kleinman, ME., Robert A.Swor, Zachary D.Goldberger. 2015. 2015 American Heart
Association Guidelines Update for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency
Cardiovascular care. Part 5, Adult Basic Life Support and Cardiopulmonary
Resuscitation Quality. Diunduh dari: http://circ.ahajournals.org pada tanggal 23 April
2019.

Link, MS,. Robert W. Neumar, dan Roger D. White. 2015. 2015 American Heart Association
Guidelines Update for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular
care. Part 7: Adult Advanced Cardiovascular Life Support. Diunduh dari:
http://circ.ahajournals.org pada tanggal 23 April 2019.

Monsieurs K.G., Nikolaos I.Nikolau., Robert Greif. 2015. European Resuscitation Council
Guidelines for Resuscitation 2015. Section 1. Executive summary. Diunduh dari:
https://cprguidelines.eu/ pada tanggal 24 April 2019.

Mozzafarian, Darius., Emilia J. Benjamin., Michael J. Blaha. 2015. Heart Disease and Stroke
Statistics-2015 Update. Circulation 131 (4) 234.
O’Connor, Robert., Venu, Menon., dan William J. Brady. 2015. 2015 American Heart
Association Guidelines Update for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency
Cardiovascular care. Part 9: Acute Coronary Syndrome. Diunduh dari:
http://circ.ahajournals.org pada tanggal 23 April 2019.

Patil, KD et al. 2015. Cardiac Arrest Resuscitation and Reperfusion. Dalam: Sudden Cardiac
Death Compendium. Diunduh dari: http://circres.ahajournals.org pada tanggal 24
April 2019.

PERKI. 2016. Panduan Praktik Klinis (PPK) dan Clinical Pathway (CP) Penyakit Jantung
dan Pembuluh Darah. Jakarta : PP PERKI.

26

Anda mungkin juga menyukai