A. Umum
Perencanaan mengacu pada AASHTO (American Association of State Highway and
Transportation Officials) guide for design of pavement structures 1993 (selanjutnya disebut
AASHTO 1993). Langkah-langkah / tahapan, prosedur dan parameter-parameter perencanaan
secara praktis diberikan sebagai berikut dibawah ini.
Parameter perencanaan terdiri :
Analisis lalu-lintas : mencakup umur rencana, lalu-lintas harian rata-rata, pertumbuhan
lalu-lintas tahunan, vehicle damage factor, equivalent single axle load
Terminal serviceability index
Initial serviceability
Serviceability loss
Reliability
Standar normal deviasi
Standar deviasi
CBR dan Modulus reaksi tanah dasar
Modulus elastisitas beton, fungsi dari kuat tekan beton
Flexural strength
Drainage coefficient
Load transfer coefficient
Bagan alir prosedur perencanaan diperlihatkan seperti pada Gambar 3.1.
Umur rencana
Faktor distribusi arah
Traffic Faktor distribusi lajur Desain ESAL
LHR pada tahun dibuka
Pertumbuhan lalu-lintas tahunan
Vehicle damage factor
Flexural strength
Drainage coefficient
Gambar 3.1.
Truk 2 sumbu adalah sebagai kendaraan barang dengan beban sumbu belakang antara 5 -
10 ton (MST 5, 8, 10 dan STRG) : Golongan 6.
Truk 3 sumbu adalah sebagai kendaraan barang dengan 3 sumbu yang letaknya STRT dan
SGRG (sumbu ganda roda ganda) : Golongan 7a.
Truk gandengan adalah sebagai kendaraan no. 6 dan 7 yang diberi gandengan bak truk
dan dihubungkan dengan batang segitiga. Disebut juga Full Trailer Truck : Golongan 7b.
Truk semi trailer atau truk tempelan adalah sebagai kendaraan yang terdiri dari kepala truk
dengan 2 - 3 sumbu yang dihubungkan secara sendi dengan pelat dan rangka bak yang
beroda belakang yang mempunyai 2 atau 3 sumbu pula : Golongan 7c.
1 Golongan 1
2 Golongan 1 au
3 Golongan 2 a
4 Golongan 2 a au
5 Golongan 2 b
Data yang dibutuhkan untuk perencanaan dari parameter lalu-lintas harian rata-rata dan
pertumbuhan lalu-lintas tahunan, untuk memudahkan dalam analisis, disajikan dalam suatu
tabel (lihat Tabel 3.4.), dalam tabel ini digabungkan sekalian data / parameter vehicle damage
factor (VDF).
Tabel 3.4. : Data / parameter Golongan kendaraan, LHR, Pertumbuhan lalu-lintas ( i ) & VDF.
Keterangan :
Contoh diatas, penggolongan kendaraan mengacu pada Pedoman Teknis No. Pd.T-19-
2004-B.
LHR : Jumlah lalu-lintas harian rata-rata (kendaraan) pada tahun survai / pada tahun
terakhir.
i : Pertumbuhan lalu-lintas per tahun (%)
VDF : Nilai damage factor
Data dan parameter lalu-lintas yang digunakan untuk perencanaan tebal perkerasan
meliputi:
Jenis kendaraan.
Volume lalu-lintas harian rata-rata.
Pertumbuhan lalu-lintas tahunan.
Damage factor.
Umur rencana.
Faktor distribusi arah.
Faktor distribusi lajur.
Equivalent Single Axle Load, ESAL selama umur rencana (traffic design).
Faktor distribusi arah : DD = 0,3 – 0,7 dan umumnya diambil 0,5 (AASHTO 1993 hal. II-9).
Faktor distribusi lajur (DL), mengacu pada Tabel 6.14.(AASHTO 1993 halaman II-9).
dimana :
W18 = Traffic design pada lajur lalu-lintas, Equivalent Single Axle Load.
LHRj = Jumlah lalu-lintas harian rata-rata 2 arah untuk jenis kendaraan j.
VDFj = Vehicle Damage Factor untuk jenis kendaraan j.
DD = Faktor distribusi arah.
DL = Faktor distribusi lajur.
N1 = Lalu-lintas pada tahun pertama jalan dibuka.
Nn = Lalu-lintas pada akhir umur rencana.
Lalu-lintas yang digunakan untuk perencanaan tebal perkerasan adalah lalu-lintas kumulatif
selama umur rencana. Besaran ini didapatkan dengan mengalikan beban gandar standar
kumulatif pada jalur rencana selama setahun dengan besaran kenaikan lalu-lintas (traffic
growth). Secara numerik rumusan lalu-lintas kumulatif ini sebagai berikut :
W t W 18
1 g n 1
g
dimana :
Wt = Jumlah beban gandar tunggal standar kumulatif
W18 = Beban gandar standar kumulatif selama 1 tahun.
n = Umur pelayanan, atau umur rencana UR (tahun).
g = perkembangan lalu-lintas (%)
penentuan paramater flexural strength, dan fc’ digunakan untuk penentuan parameter
modulus elastisitas beton (Ec).
Mengkaji keempat faktor diatas, penetapan besaran dalam desain sebetulnya sudah
menekan sekecil mungkin penyimpangan yang akan terjadi. Tetapi tidak ada satu
jaminan-pun berapa besar dari keempat faktor tersebut menyimpang.
Reliability (R) mengacu pada Tabel 3.15. (diambil dari AASHTO 1993 halaman II-9).
Standard normal deviate (ZR) mengacu pada Tabel 2.17. (diambil dari AASHTO 1993
halaman I-62).
Standard deviation untuk rigid pavement : S o = 0,30 – 0,40 (diambil dari AASHTO 1993
halaman I-62).
2. Serviceability
Terminal serviceability index (pt) mengacu pada Tabel 3.17. (diambil dari AASHTO 1993
hal II-10). Initial serviceability untuk rigid pavement : po = 4,5 (diambil dari AASHTO 1993
hal. II-10). Total loss of serviceability : PSI p o p t
MR = 1.500 x CBR
MR
k
19,4
MR = Resilient modulus.
Koreksi Effective Modulus of Subgrade Reaction, menggunakan Grafik pada Gambar 3.4.
(diambil dari AASHTO 1993 halaman II-42).
Faktor Loss of Support (LS) mengacu pada Tabel 3.18. (AASHTO 1993 halaman II-27).
CaliforniaBearingRatio(CBR)
2 3 4 5 6 10 15 20 25 30 40 50 60 70 80 100
E c 57 .000 f c'
dimana :
Ec = Modulus elastisitas beton (psi).
fc’ = Kuat tekan beton, silinder (psi).
Kuat tekan beton fc’ ditetapkan sesuai pada Spesifikasi pekerjaan (jika ada dalam
spesifikasi).
Di Indonesia saat ini umumnya digunakan : fc’ = 350 kg/cm2
5. Flexural Strength
Flexural strength (modulus of rupture) ditetapkan sesuai pada Spesifikasi pekerjaan.
Flexural strength saat ini umumnya digunakan : Sc’ = 45 kg/cm2 = 640 psi.
6. Drainage Coefficient
Variabel faktor drainase
AASHTO memberikan 2 variabel untuk menentukan nilai koefisien drainase.
Variabel pertama : mutu drainase, dengan variasi excellent, good, fair, poor, very poor.
Mutu ini ditentukan oleh berapa lama air dapat dibebaskan dari pondasi perkerasan.
Variabel kedua : persentasi struktur perkerasan dalam satu tahun terkena air sampai
tingkat mendekati jenuh air (saturated), dengan variasi < 1 %, 1 – 5 %, 5 – 25 %, > 25 %
a. Air hujan atau air dari atas permukaan jalan yang akan masuk kedalam pondasi jalan,
relatif kecil berdasar hidrologi yaitu berkisar 70 – 95 % air yang jatuh di atas jalan aspal /
beton akan masuk ke sistem drainase (sumber : BINKOT Bina Marga & Hidrologi Imam
Subarkah). Kondisi ini dapat dilihat acuan koefisien pengaliran pada Tabel 3.20. & 3.21.
b. Air dari samping jalan yang kemungkinan akan masuk ke pondasi jalan, inipun relatif
kecil terjadi, karena adanya road side ditch, cross drain, juga muka air tertinggi di-desain
terletak di bawah subgrade.
c. Pendekatan dengan lama dan frekuensi hujan, yang rata-rata terjadi hujan selama 3 jam
per hari dan jarang sekali terjadi hujan terus menerus selama 1 minggu.
Maka waktu pematusan 3 jam (bahkan kurang bila memperhatikan butir b.) dapat diambil
sebagai pendekatan dalam penentuan kualitas drainase, sehingga pemilihan mutu
drainase adalah berkisar Good, dengan pertimbangan air yang mungkin masih akan
masuk, quality of drainage diambil kategori Fair.
Untuk kondisi khusus, misalnya sistem drainase sangat buruk, muka air tanah terletak
cukup tinggi mencapai lapisan tanah dasar, dan sebagainya, dapat dilakukan kajian
tersendiri.
2. Bahu jalan :
- Tanah berbutir halus 0,40 – 0,65
- Tanah berbutir kasar 0,10 – 0,20
- Batuan masif keras 0,70 – 0,85
- Batuan masif lunak 0,60 – 0,75
Prosen struktur perkerasan dalam 1 tahun terkena air dapat dilakukan pendekatan dengan
asumsi sebagai berikut :
Tjam T
Pheff hari WL 100
24 365
dimana :
Pheff = Prosen hari effective hujan dalam setahun yang akan berpengaruh terkenanya
perkerasan (dalam %).
Tjam = Rata-rata hujan per hari (jam).
Thari = Rata-rata jumlah hari hujan per tahun (hari)
WL = Faktor air hujan yang akan masuk ke pondasi jalan (%)
Selanjutnya drainage coefficient (Cd) mengacu pada Tabel 6.22.(AASHTO 1993 halaman II–
26).
Tabel 3.22. : Drainage coefficient (Cd).
7. Load Transfer
Load transfer coefficient (J) mengacu pada Tabel 3.23. (diambil dari AASHTO 1993
halaman II-26), dan AASHTO halaman III-132.
Tabel 3.23. : Load transfer coefficient.
4. Additional Overlay
Jika gabungan rigid & flexible pavement tersebut di-desain dengan konstruksi awal pelat
beton dan kemudian di-overlay, maka perencanaan menjadi sebagai berikut :
Konstruksi awal
Konstruksi awal digunakan rigid pavement tebal D cm, di-analisis equivalent standard axle
load dan nilai umur rencana terhadap struktur perkerasan kaku setebal D cm tersebut.
N p
R L 100 1
N 1,5
dimana :
RL = Remaining life (%)
Np = Total traffic saat overlay, ESAL
N1,5 = Total traffic pada kondisi perkerasan berakhir (failure), ESAL
Condition factor (CF), menggunakan Gambar 3.6. (diambil dari Figure 3.2. AASHTO 1993
Tinjauan kemampu-layanan
a. Kondisi pada akhir tahun ke Np
Pada akhir tahun ke-Np diperkirakan kondisi kemampu-layanan perkerasan
sebagai berikut :
Tebal pelat rencana
Tebal pelat effective
Umur rencana
ESAL design
Terminal serviceability index = 2,5
d. Overlay
Diperkirakan diperlukan overlay agar kondisi perkerasan tetap diatas nilai batas
terminal serviceability index 2,5 sebelum menurun kemampu-layanannya
menjadi 1,5 dan selanjutnya dapat mencapai umur rencana 20 tahun.
Kondisi kemampu-layanan perkerasan sebelum dan sesudah di-overlay
digambarkan seperti pada Gambar 3.7.
Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1 17
Desain tebal perkerasan jalan kaku
S e rv ic e a b ility R ig id p a v e m e n t O v e rla y
( In itia l c o n s tru c tio n )
P o = 4 ,5
4 .0
3 .5
3 .0
P t = 2 ,5
2 .0
1 .5
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Tahun
T e b a l p e la t
U m ur R encana F a ilu re
E S A L d e s ig n
Pt 2 ,5
T e b a l p e la t
U m ur R encana
E S A L d e s ig n
Pt 1 ,5
Tebal AC
T e b a l p e la t
U m ur R encana 2 0 ta h u n
E S A L d e s ig n
Pt 2 ,5
Gambar 3.7.
Kemampu-layanan rigid pavement dan additional overlay
5. Reinforcement Design
a. Steel working stress
Allowable working stress fs untuk grade 40 = 30.000 psi.
b. Friction factor
Tabel 3.25. : Recommended friction factor.
LF
Ps 100
2 fs
dimana :
Ps = Longitudinal & transverse steel diperlukan (%).
L = Panjang slab (feet).
fs = Steel working stress (psi).
F = Friction factor.
d. Tie bar
Tie Bar dirancang untuk memegang plat sehingga teguh, dan dirancang untuk menahan
gaya-gaya tarik maksimum. Tie bar tidak dirancang untuk memindah beban.
mutu baja kerja perkerasan Panjang Lebar Lebar Lebar Panjang Lebar Lebar Lebar
(psi) (in) (in) lajur lajur lajur (in) lajur lajur lajur
10 ft 11 ft 12 ft 10 ft 11 ft 12 ft
Grade 40 30.000 6 25 48 48 48 30 48 48 48
7 25 48 48 48 30 48 48 48
8 25 48 44 40 30 48 48 48
9 25 48 40 38 30 48 48 48
10 25 48 38 32 30 48 48 48
11 25 35 32 29 30 48 48 48
12 25 32 29 26 30 48 48 48
Sumber : Literartur / Makalah UI.
e. Dowel
Alat pemindah beban yang biasa dipakai adalah dowel baja bulat polos. Syarat
perancangan minimum dapat mengacu pada Tabel 3.27, atau penentuan diameter dowel
dapat menggunakan pendekatan formula :
D
d
8
dimana :
d = Diamater dowel (inches).
D = Tebal pelat beton (inches)
Tebal perkerasan (in) Dowel diameter (in) Panjang dowel (in) Jarak dowel (in)
6 3/4 18 12
7 1 18 12
8 1 18 12
9 1 1/4 18 12
10 1 1/4 18 12
11 1 1/4 18 12
12 1 1/4 18 12
Tabel 3.29. : Koefisien gesekan antara pelat dengan lapisan pondasi dibawahnya.
100 f t ( 1,3 0, 2 F )
Ps
f y n ft
dimana :
Ps = persentase tulangan memanjang yang dibutuhkan terhadap penampang
beton (%).
ft = kuat tarik lentur beton yang digunakan = 0,4 – 0,5 fr
fy = tegangan leleh rencana baja (SNI 1991. fy < 400 MPa – BJTD40)
Es
n = angka ekivalen antara baja dan beton = (Tabel 6.30.)
Ec
F = koefisien gesekan antara pelat beton dengan lapisan di bawahnya (Tabel
6.29.)
Es = modulus elastisitas baja (berdasarkan SNI 1991 digunakan 200.000 MPa)
Tabel 3.30. : Hubungan antara kuat tekan beton dan angka ekivalen baja & beton (n) serta f r.
fc’ fc’ fr
n
(kg/cm2) (MPa) (MPa)
115 11,3 13 2,1
120 – 135 11,8 – 13,2 12 2,2
140 – 165 13,7 – 16,2 11 2,4
170 – 200 16,7 – 19,6 10 2,6
205 – 250 20,1 – 24,5 9 2,9
260 – 320 25,5 – 31,4 8 3,3
330 – 425 32,4 – 41,7 7 3,7
450 44,1 6 4,1
Sumber : SNI 1991
Persentase minimum tulangan memanjang pada perkerasan beton menerus adalah 0,6 %
dari luas penampang beton.
Jarak antara retakan pada perkerasan beton menerus dengan tulangan dapat dihitung
dengan persamaan :
ft 2
L cr
n p 2 u fb S Ec ft
dimana :
u = keliling penampang tulangan per satuan luas tulangan = 4/d (dalam m -1)
a. Sambungan
Perencanaan sambungan pada perkerasan kaku, merupakan bagian yang harus
dilakukan, baik jenis perkerasan beton bersambung tanpa atau dengan tulangan,
maupun pada jenis perkerasan beton menerus dengan tulangan.
1. Jenis sambungan
Sambungan dibuat atau ditempatkan pada perkerasan beton dimaksudkan untuk
menyiapkan tempat muai dan susut beton akibat terjadinya tegangan yang
disebabkan : perubahan lingkungan (suhu dan kelembaban), gesekan dan
keperluan konstruksi (pelaksanaan).
Sambungan pada perkerasan beton umumnya terdiri dari 3 jenis, yang fungsinya
sebagai berikut :
a. Sambungan susut
Atau sambungan pada bidang yang diperlemah (dummy) dibuat untuk
mengalihkan tegangan tarik akibat : suhu, kelembaban, gesekan sehingga akan
mencegah retak. Jika sambungan susut tidak dipasang, maka akan terjadi retak
acak pada permukaan beton.
b. Sambungan muai
Fungsi utamanya untuk menyiapkan ruang muai pada perkerasan, sehingga
mencegah terjadinya tegangan tekan yang akan menyebabkan perkerasan
tertekuk.
c. Sambungan konstruksi (pelaksanaan)
Diperlukan untuk kebutuhan konstruksi (berhenti dan mulai pengecoran). Jarak
antara sambungan memanjang disesuaikan dengan lebar alat atau mesin
penghampar (paving machine) dan oleh tebal perkerasan.
Selain 3 jenis sambungan tersebut, jika pelat perkerasan cukup lebar (> 7 m)
maka diperlukan sambungan ke arah memanjang yang berfungsi sebagai
penahan gaya lenting (warping) yang berupa sambungan engsel, dengan
diperkuat batang pengikat (tie bar).
2. Geometrik sambungan
Geometrik sambungan adalah tata letak secara umum dan jarak antara
sambungan.
1 - 1,5 m
Tepi luar
D ow el S am bungan m em anjang
Lajur 1
D ow el S am bungan m em anjang
Lajur 3 Tie bar
D ow el Tiebar
a. Jarak sambungan
Pada umumnya jarak sambungan konstruksi memanjang dan melintang
tergantung keadaan bahan dan lingkungan setempat, dimana sambungan
muai dan susut sangat tergantung pada kemampuan konstruksi dan tata
letaknya.
Untuk sambungan muai, jarak untuk mencegah retak sedang akan mengecil
jika koefisien panas, perubahan suhu atau gaya gesek tanah dasar bertambah
bila tegangan tarik beton bertambah. Jarak berhubungan dengan tebal pelat
dan kemampuan daya ikat sambungan.
Untuk menentukan jarak sambungan yang akan mencegah retak, yang terbaik
dilakukan dengan mengacu petunjuk dari catatan kemampuan pelayanan
setempat. Pengalaman setempat penting diketahui karena perubahan jenis
agregat kasar akan memberi dampak yang nyata pada koefisien panas beton
dengan konsekuensi jarak sambungan yang dapat diterima.
Sebagai petunjuk awal, jarak sambungan untuk beton biasa 2 h (dua kali
tebal pelat beton dalam satuan berbeda, misalkan tebal pelat h = 8 inci, maka
jarak sambungan = 16 feet, jadi kalau dengan SI unit jarak sambungan = 24 –
25 kali tebal pelat, misalkan tebal pelat 200 mm, maka jarak sambungan =
4.800 mm) dan secara umum perbandingan antara lebar pelat dibagi panjang
pelat 1,25.
Penggunaan sambungan muai biasanya diminimalkan pada proyek dengan
pertimbangan masalah biaya, kompleksitas dan penampilannya. Sambungan
digunakan pada struktur dimana jenis perkerasan berubah (misalnya : dari
jenis menerus ke jenis bersambung) pada persimpangan.
Jarak antara sambungan konstruksi, biasanya diatur pada penempatan di
lapangan dan kemampuan peralatan. Sambungan konstruksi memanjang
harus ditempatkan pada tepi lajur untuk memaksimalkan kerataan perkerasan
dan meminimalkan persoalan pengalihan beban. Sambungan konstruksi
melintang terjadi pada akhir pekerjaan atau pada saat penghentian
pengecoran.
c. Dimensi sambungan
Lebar sambungan, ditentukan oleh alur yang akan diuraikan pada bagian
bawah. Kedalaman takikan sambungan susut harus cukup memadai untuk
memastikan akan terjadi retak pada tempat yang dikehendaki dan tidak pada
sembarang tempat. Biasanya kedalaman takikan sambungan susut melintang
¼ tebal pelat dan sambungan memanjang 1/3 ketebalan.
Sambungan tersebut dibuat dengan pemotongan, penyelipan atau
pembentukan. Waktu pemotongan sangat kritis untuk mencegah retak acak
sehingga sambungan harus dipotong dengan hati-hati untuk memastikan
semuanya bekerja bersamaan. Jarak waktu untuk pengecoran dengan
pemotongan akan berubah dengan perubahan suhu pelat, keadaan
pengeringan dan proporsi campuran.
b. Sambungan muai
Pergerakan pada sambungan muai didasarkan pada pengalaman agen
pembuat. Dimensi alur takikan akan optimal didasarkan pada pergerakan dan
kemampuan bahan pengisi. Pada umumnya, dimensi akan lebih besar dari
pada untuk sambungan susut.
c. Sambungan pelaksanaan
Menurut AASHTO, tipikal sambungan susut melintang juga dapat digunakan
untuk sambungan pelaksanaan dan sambungan memanjang lainnya.
4. Dowel (ruji)
Dowel berupa batang baja tulangan polos (maupun profil), yang digunakan
sebagai sarana penyambung / pengikat pada beberapa jenis sambungan pelat
beton perkerasan jalan.
Dowel berfungsi sebagai penyalur beban pada sambungan, yang dipasang
dengan separuh panjang terikat dan separuh panjang dilumasi atau dicat untuk
memberikan kebebasan bergeser.
Tabel 3.31. : Ukuran dan jarak batang dowel (ruji) yang disarankan.
Tebal pelat Diameter Panjang Jarak
inci mm inci mm inci mm inci mm
6 150 ¾ 19 18 450 12 300
7 175 1 25 18 450 12 300
8 200 1 25 18 450 12 300
9 225 1¼ 32 18 450 12 300
10 250 1¼ 32 18 450 12 300
11 275 1¼ 32 18 450 12 300
12 300 1½ 38 18 450 12 300
13 325 1½ 38 18 450 12 300
14 350 1½ 38 18 450 12 300
Bahan penutup
6 - 10 mm Batang polos
max. 20 mm
diminyaki / dicat
0,25 D
d = diameter ba
0,5 D
Ld = panjang bat
D d
D = tebal pelat b
0,5 D
0,5 Ld 0,5 Ld
Bahan penutup
19 mm
Terikat / fixed Batang polos diminyaki / dicat
0,25 D
0,5 D
D d
0,5 D
Bahan pengisi / filler 50 mm 25 mm
0,5 Ld 0,5 Ld
Tabel perhitungan :
X3
X1
X2
1 2
1, 2, 3, = Sambungan pelaksanaan memanjang
Bah Lajur Lajur
u 1 2
0,5 m 3,5 m 3,5 m
0,25 D
12 m m
D d D/3
12 m m
50 m m
0,5 Lt 0,5 Lt
Lt = panjang batang pengikat (tie bar) dari baja tulangan yang diprofilkan, dapat dibengkokkan dan diluruskan kem bali tanpa rusak
d = diam eter tie bar
D = tebal pelat perkerasan
Gambar 3.12. : Sambungan pelaksanaan memanjang dengan lidah alur dan Tie bar.
makin kecil, yaitu dari 100 50 %, dan jika diperhitungkan dengan distribusi arah nilai
tersebut menjadi 0,50 0,25
Penentuan jumlah lajur dapat di-analisis dengan kapasitas jalan. Dalam buku ini akan
menggunakan rujukan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) 1997.
Ruas jalan (non tol) merupakan bagian segmen jalan dalam suatu jaringan jalan.
Segmen jalan, rural dan khususnya urban memiliki perkembangan secara permanen dan
menerus sepanjang seluruh / hampir seluruh jalan, minimum pada satu sisi jalan, berupa
perkembangan lahan atau bukan. Biasanya terdapat pada daerah dengan penduduk
lebih dari 100.000 jiwa. Segmen jalan ini merupakan panjang jalan di antara dan tidak
dipengaruhi oleh simpang bersinyal atau simpang tak bersinyal utama dan memiliki
karakteristik yang hampir sama di sepanjang jalan.
Tipe jalan (perkotaan) yang terdapat dalam MKJI 1997 adalah :
Jalan dua-lajur dua-arah (2/2 UD)
Jalan empat-lajur dua-arah
Tak terbagi (tanpa median) (4/2 UD)
Terbagi (dengan median) (4/2 D)
Jalan enam-lajur dua-arah terbagi (6/2 D)
Jalan satu-arah (1-3/1)
Tabel 3.33. : Faktor penyesuaian untuk pemisahan arah (FCsp) untuk jalan tak terbagi
Per lajur
0.92
3.00
0.96
4 lajur terbagi / 3.25
1.00
jalan 1 arah 3.50
1.04
3.75
1.08
4.00
Per lajur
0.91
3.00
0.95
3.25
4 lajur tak terbagi 1.00
3.50
1.05
3.75
1.09
4.00
Per lajur
0.56
5.00
0.87
6.00
1.00
7.00
2 lajur tak terbagi 1.14
8.00
1.25
9.00
1.29
10.00
1.24
11.00
Tabel 3.35. : Faktor penyesuaian pengaruh hambatan samping dan lebar bahu (FCsf)
FCsf
Tip Kelas hambatan Lebar bahu Ws (meter)
e jalan samping
0.5 1.0 1.5 2.0
sangat rendah (VL) 0.96 0.98 1.01 1.03
4/2 D rendah (L) 0.94 0.97 1.00 1.02
sedang (M) 0.92 0.95 0.98 1.00
tinggi (H) 0.88 0.92 0.95 0.98
sangat tinggi (VH) 0.84 0.88 0.92 0.96
sangat rendah (VL) 0.96 0.99 1.01 1.03
4/2 UD rendah (L) 0.94 0.97 1.00 1.02
sedang (M) 0.92 0.95 0.98 1.00
tinggi (H) 0.87 0.91 0.94 0.98
sangat tinggi (VH) 0.80 0.86 0.90 0.95
sangat rendah (VL) 0.94 0.96 0.99 1.01
2/2 atau rendah (L) 0.92 0.94 0.97 1.00
jalan 1 arah sedang (M) 0.89 0.92 0.95 0.98
tinggi (H) 0.82 0.86 0.90 0.95
sangat tinggi (VH) 0.73 0.79 0.85 0.91
Tabel 3.36. : Faktor penyesuaian untuk pengaruh hambatan samping dan jarak kerb-
penghalang (FCsf)
FCsf
Tipe jalan Kelas hambatan Jarak kerb penghalang Wk (meter)
samping 0.5 1.0 1.5 2.0
sangat rendah (VL)
0.95 0.97 0.99 1.01
rendah (L)
0.94 0.96 0.98 1.00
sedang (M)
0.91 0.93 0.95 0.98
4/2 D tinggi (H)
0.86 0.89 0.92 0.95
sangat tinggi (VH)
0.81 0.85 0.88 0.92
sangat rendah (VL)
0.95 0.97 0.99 1.01
rendah (L)
0.93 0.95 0.97 1.00
sedang (M)
0.90 0.92 0.95 0.97
4/2 UD tinggi (H)
0.84 0.87 0.90 0.93
sangat tinggi (VH)
0.77 0.81 0.85 0.90
sangat rendah (VL)
0.93 0.95 0.97 0.99
rendah (L)
0.90 0.92 0.95 0.97
sedang (M)
2/2 atau 0.86 0.88 0.91 0.94
tinggi (H)
jalan 1 arah 0.78 0.81 0.84 0.88
sangat tinggi (VH)
0.68 0.72 0.77 0.82
4. V/C ratio
V/C ratio dapat dihitung dengan menghitung dulu komponen-komponennya,
yaitu :
a. Volume lalu-lintas ruas jalan tersebut,
b. Kapasitas jalan tersebut.
Hitungan volume lalu-lintas dilakukan dengan melakukan pencacahan arus
lalu-lintas (traffic counting) pada ruas-ruas jalan tertentu. Caranya yaitu :
a. Melakukan pencacahan arus lalu-lintas, pada setiap interval 10 menit
pada jam sibuk pagi, siang, dan sore masing-masing selama 2 jam.
Tabel 3.39. : Tingkat pelayanan pada jalan arteri perkotaan dengan kecepatan
perjalanan antara 40 – 54 km/jam
jalan yang menyangkut jumlah dan lebar lajur jalan yang diperlukan akibat V/C
ratio yang terjadi, dapat disajikan seperti pada Gambar 3.13.
Jaringan Jalan
Volume Lalulintas
V/C ratio
0,8
Penanganan
Tidak
Jumlah lajur
Ya
Gambar 3.13. : Diagram alir pengelolaan dan penentuan jumlah lajur jalan.
E. Rangkuman.
parameter lalu-lintas yang digunakan untuk perencanaan tebal perkerasan meliputi:
Jenis kendaraan.
Volume lalu-lintas harian rata-rata.
Pertumbuhan lalu-lintas tahunan.
Damage factor.
Umur rencana.
Faktor distribusi arah.
Faktor distribusi lajur.
Equivalent Single Axle Load, ESAL selama umur rencana (traffic design).
3. Umur rencana rigid pavement umumnya diambil 20 tahun untuk konstruksi jalan baru.
lalu-lintas harian rata-rata (LHR) dan pertumbuhan lalu-lintas tahunan
F. Latihan .
1. Jelaskan mengenai pengertian analisa lalu lintas (traffic design)
2. Jelaskan apa yang dimaksud dengan lalu lintas harian rata-rata (LHR)
3. Jelaskan mengenai California Bearing Ratio (CBR)
4. Jelaskan Parameter Perhitungan Tebal Pelat
5. Uraikan mengenai tahapan Perhitungan Tebal Pelat
DAFTAR PUSTAKA
1) Peraturan Pemerintah RI Nomor : 34 Tahun 2006 tentang Jalan
2) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.19/PRT/M/2011 tentang Persyaratan Teknis
Jalan dan Kriteria Perencanaan Teknis Jalan.
3) RSNI No. T-14-2004, Geometri jalan perkotaan
4) Standar No. 031/T/BM/1999/SK.No.76/KPTS/Db/1999, Tata-cara perencanaan
geometri jalan perkotaan
5) Pd.T-01-2002-B, Pedoman perencanaan tebal perkerasan lentur
6) Pd.T-14-2003, Perencanaan perkerasan jalan beton semen
7) Pd.T-16-2004-B, Survai inventarisasi geometri jalan perkotaan
8) Pd.T-19-2004-B, Survai pencacahan lalu lintas dengan cara manual
9) Pd.T-21-2004-B, Survai kondisi rinci jalan beraspal di perkotaan
10) American Association of State Highway and Transportation Officials (AASHTO),
1993, Guide for Design of Pavement Structures
11) AASHTO 2001, A Policy on geometric design of highways and streets
12) Federal Highway Authority (FHWA) No. RD-00-067, Roundabout : an Informational
Guide