Anda di halaman 1dari 41

Desain Tebal Perkerrasan Jalan Kaku

PERENCANAAN RIGID PAVEMENT


DENGAN METODE AASHTO 1993

A. Umum
Perencanaan mengacu pada AASHTO (American Association of State Highway and
Transportation Officials) guide for design of pavement structures 1993 (selanjutnya disebut
AASHTO 1993). Langkah-langkah / tahapan, prosedur dan parameter-parameter perencanaan
secara praktis diberikan sebagai berikut dibawah ini.
Parameter perencanaan terdiri :
 Analisis lalu-lintas : mencakup umur rencana, lalu-lintas harian rata-rata, pertumbuhan
lalu-lintas tahunan, vehicle damage factor, equivalent single axle load
 Terminal serviceability index
 Initial serviceability
 Serviceability loss
 Reliability
 Standar normal deviasi
 Standar deviasi
 CBR dan Modulus reaksi tanah dasar
 Modulus elastisitas beton, fungsi dari kuat tekan beton
 Flexural strength
 Drainage coefficient
 Load transfer coefficient
Bagan alir prosedur perencanaan diperlihatkan seperti pada Gambar 3.1.

B. Analisis Lalu – Lintas (Traffic Desain)


1. Umur rencana
Umur rencana rigid pavement umumnya diambil 20 tahun untuk konstruksi baru.
Lalu-lintas harian rata-rata (LHR) dan pertumbuhan lalu-lintas tahunan
Ciri pengenalan penggolongan kendaraan seperti dibawah ini, penggolongan lalu-lintas
terdapat paling tidak 3 versi yaitu berdasar Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997(Tabel
3.1.), berdasar Pedoman Teknis No. Pd.T-19-2004-B Survai pencacahan lalu lintas dengan
cara manual (Tabel 3.2.), dan berdasar PT. Jasa Marga (Persero) lihat Tabel 3.3.

Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1 1


Desain tebal perkerasan jalan kaku

BAGAN ALIR PROSEDUR PERENCANAAN TEBAL


PERKERASAN KAKU – CARA AASHTO 1993

Umur rencana
Faktor distribusi arah
Traffic Faktor distribusi lajur Desain ESAL
LHR pada tahun dibuka
Pertumbuhan lalu-lintas tahunan
Vehicle damage factor

Reliability Standard normal deviation


Standard deviation
Tidak

Serviceability Terminal serviceability Serviceability loss Coba Check Ya Tebal pelat


Initial serviceability Tebal pelat Equation rencana

CBR Modulus reaksi tanah dasar

Kuat tekan beton Modulus elastisitas beton

Flexural strength

Drainage coefficient

Load transfer coefficient

Gambar 3.1.

Pengenalan ciri kendaraan :


 Kecuali Combi, umumnya sebagai kendaraan penumpang umum maximal 12 tempat duduk
seperti mikrolet, angkot, minibus, pick-up yang diberi penaung kanvas / pelat dengan rute
dalam kota dan sekitarnya atau angkutan pedesaan.
 Umumnya sebagai kendaraan barang, maximal beban sumbu belakang 3,5 ton dengan
bagian belakang sumbu tunggal roda tunggal (STRT).
 Bus kecil adalah sebagai kendaraan penumpang umum dengan tempat duduk antara 16 s/d
26 kursi, seperti Kopaja, Metromini, Elf dengan bagian belakang sumbu tunggal roda ganda
(STRG) dan panjang kendaraan maximal 9 m dengan sebutan bus ¾. : Golongan 5a.
 Bus besar adalah sebagai kendaraan penumpang umum dengan tempat duduk antara 30
s/d 50 kursi, seperti bus malam, bus kota, bus antar kota yang berukuran  12 m dan STRG
: Golongan 5b.
Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1 2
Desain tebal perkerasan jalan kaku

 Truk 2 sumbu adalah sebagai kendaraan barang dengan beban sumbu belakang antara 5 -
10 ton (MST 5, 8, 10 dan STRG) : Golongan 6.
 Truk 3 sumbu adalah sebagai kendaraan barang dengan 3 sumbu yang letaknya STRT dan
SGRG (sumbu ganda roda ganda) : Golongan 7a.
 Truk gandengan adalah sebagai kendaraan no. 6 dan 7 yang diberi gandengan bak truk
dan dihubungkan dengan batang segitiga. Disebut juga Full Trailer Truck : Golongan 7b.
 Truk semi trailer atau truk tempelan adalah sebagai kendaraan yang terdiri dari kepala truk
dengan 2 - 3 sumbu yang dihubungkan secara sendi dengan pelat dan rangka bak yang
beroda belakang yang mempunyai 2 atau 3 sumbu pula : Golongan 7c.

Tabel 3.1. : Penggolongan kendaraan berdasar MKJI.

No. Type kendaraan Golongan


1. Sedan, jeep, st. wagon 2
2. Pick-up, combi 3
3. Truck 2 as (L), micro truck, mobil hantaran 4
4. Bus kecil 5a
5. Bus besar 5b
6. Truck 2 as (H) 6
7. Truck 3 as 7a
8. Trailer 4 as, truck gandengan 7b
9. Truck s. trailer 7c

Tabel 3.2. : Penggolongan kendaraan berdasar Pedoman Teknis No. Pd.T-19-2004-B.

No. Jenis kendaraan yang masuk kelompok ini adalah Golongan


1. Sedan, jeep, dan Station Wagon 2
2. Opelet, Pick-up opelet, Sub-urban, Combi, Minibus 3
3. Pick-up, Micro Truck dan Mobil hantaran atau Pick-up Box 4
4. Bus Kecil 5a
5. Bus Besar 5b
6. Truk ringan 2 sumbu 6a
7. Truk sedang 2 sumbu 6b
8. Truk 3 sumbu 7a
9. Truk Gandengan 7b
10. Truk Semi Trailer 7c

Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1 3


Desain tebal perkerasan jalan kaku

Tabel 3.3. : Penggolongan kendaraan berdasar PT. Jasa Marga (Persero).

No. Golongan kendaraan

1 Golongan 1
2 Golongan 1 au
3 Golongan 2 a
4 Golongan 2 a au
5 Golongan 2 b

Data yang dibutuhkan untuk perencanaan dari parameter lalu-lintas harian rata-rata dan
pertumbuhan lalu-lintas tahunan, untuk memudahkan dalam analisis, disajikan dalam suatu
tabel (lihat Tabel 3.4.), dalam tabel ini digabungkan sekalian data / parameter vehicle damage
factor (VDF).

Tabel 3.4. : Data / parameter Golongan kendaraan, LHR, Pertumbuhan lalu-lintas ( i ) & VDF.

No. Jenis kendaraan Gol. LHR i (%) VDF

1. Sedan, jeep, dan Station Wagon 2


2. Opelet, Pick-up opelet, Sub-urban, Combi, Minibus 3
3. Pick-up, Micro Truck dan Mobil hantaran atau Pick-up Box 4
4. Bus Kecil 5a
5. Bus Besar 5b
6. Truk ringan 2 sumbu 6a
7. Truk sedang 2 sumbu 6b
8. Truk 3 sumbu 7a
9. Truk Gandengan 7b
10. Truk Semi Trailer 7c

Keterangan :

Contoh diatas, penggolongan kendaraan mengacu pada Pedoman Teknis No. Pd.T-19-
2004-B.
LHR : Jumlah lalu-lintas harian rata-rata (kendaraan) pada tahun survai / pada tahun
terakhir.
i : Pertumbuhan lalu-lintas per tahun (%)
VDF : Nilai damage factor

Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1 4


Desain tebal perkerasan jalan kaku

2. Analisa lalu lintas (Traffic design)

Data dan parameter lalu-lintas yang digunakan untuk perencanaan tebal perkerasan
meliputi:
 Jenis kendaraan.
 Volume lalu-lintas harian rata-rata.
 Pertumbuhan lalu-lintas tahunan.
 Damage factor.
 Umur rencana.
 Faktor distribusi arah.
 Faktor distribusi lajur.
 Equivalent Single Axle Load, ESAL selama umur rencana (traffic design).
Faktor distribusi arah : DD = 0,3 – 0,7 dan umumnya diambil 0,5 (AASHTO 1993 hal. II-9).
Faktor distribusi lajur (DL), mengacu pada Tabel 6.14.(AASHTO 1993 halaman II-9).

Tabel 3.14. : Faktor distribusi lajur (DL).

Jumlah lajur setiap arah DL (%)


1 100
2 80 – 100
3 60 – 80
4

Rumus umum desain traffic (ESAL = Equivalent Single Axle Load) :


Nn
W18   LHR j  VDF j  DD  DL  365
N1

dimana :

W18 = Traffic design pada lajur lalu-lintas, Equivalent Single Axle Load.
LHRj = Jumlah lalu-lintas harian rata-rata 2 arah untuk jenis kendaraan j.
VDFj = Vehicle Damage Factor untuk jenis kendaraan j.
DD = Faktor distribusi arah.
DL = Faktor distribusi lajur.
N1 = Lalu-lintas pada tahun pertama jalan dibuka.
Nn = Lalu-lintas pada akhir umur rencana.

Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1 5


Desain tebal perkerasan jalan kaku

Lalu-lintas yang digunakan untuk perencanaan tebal perkerasan adalah lalu-lintas kumulatif
selama umur rencana. Besaran ini didapatkan dengan mengalikan beban gandar standar
kumulatif pada jalur rencana selama setahun dengan besaran kenaikan lalu-lintas (traffic
growth). Secara numerik rumusan lalu-lintas kumulatif ini sebagai berikut :

W t  W 18 
1  g n  1
g
dimana :
Wt = Jumlah beban gandar tunggal standar kumulatif
W18 = Beban gandar standar kumulatif selama 1 tahun.
n = Umur pelayanan, atau umur rencana UR (tahun).
g = perkembangan lalu-lintas (%)

3. California Bearing Ratio (CBR)


California Bearing Ratio (CBR), dalam perencanaan perkerasan kaku digunakan untuk
penentuan nilai parameter modulus reaksi tanah dasar (modulus of subgrade reaction : k).
CBR yang umum digunakan di Indonesia berdasar besaran 6 % untuk lapis tanah dasar,
mengacu pada spesifikasi (versi Kimpraswil / Departemen Pekerjaan Umum edisi 2004 dan
versi Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta edisi 2004). Akan tetapi tanah dasar dengan nilai
CBR 5 % dan atau 4 % pun dapat digunakan setelah melalui kajian geoteknik, dengan CBR
kurang dari 6 % ini jika digunakan sebagai dasar perencanaan tebal perkerasan, masalah
yang terpengaruh adalah fungsi tebal perkerasan yang akan bertambah, atau masalah
penanganan khusus lapis tanah dasar tersebut.

4. Material Konstruksi Perkerasan


Material perkerasan yang digunakan dengan parameter yang terkait dalam perencanaan
tebal perkerasan sebagai berikut :
1. Pelat beton
 Flexural strength (Sc’) = 45 kg/cm2
 Kuat tekan (benda uji silinder 15 x 30 cm) : fc’ =
350 kg/cm2 (disarankan)
2. Wet lean concrete Kuat tekan (benda uji silinder 15 x 30 cm) : fc’ =105 kg/cm2 Sc’
digunakan untuk

Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1 6


Desain tebal perkerasan jalan kaku

penentuan paramater flexural strength, dan fc’ digunakan untuk penentuan parameter
modulus elastisitas beton (Ec).

C. Parameter Perhitungan Tebal Pelat


1. Reliability
Reliability : Probabilitas bahwa perkerasan yang direncanakan akan tetap memuaskan
selama masa layannya. Penetapan angka Reliability dari 50 % sampai 99,99 % menurut
AASHTO merupakan tingkat kehandalan desain untuk mengatasi, mengakomodasi
kemungkinan melesetnya besaran-besaran desain yang dipakai. Semakin tinggi reliability
yang dipakai semakin tinggi tingkat mengatasi kemungkinan terjadinya selisih (deviasi)
desain. Besaran-besaran desain yang terkait dengan ini antara lain :

 Peramalan kinerja perkerasan.


 Peramalan lalu-lintas.
 Perkiraan tekanan gandar.
 Pelaksanaan konstruksi.
1. Kinerja perkerasan diramalkan pada angka desain Terminal Serviceability pt = 2,5
(untuk jalan raya utama), pt = 2,0 (untuk jalan lalu-lintas rendah), dan Initial
Serviceability po = 4,5 (angka ini bergerak dari 0 – 5).
2. Peramalan lalu-lintas dilakukan dengan studi tersendiri, bukan hanya didasarkan
rumus empirik. Tingkat kehandalan jauh lebih baik dibandingkan bila dilakukan
secara empiris, linear, atau data sekunder.
3. Perkiraan tekanan gandar yang diperoleh secara primer dari WIM survey, tingkat
kehandalannya jauh lebih baik dibanding menggunakan data sekunder.
4. Dalam pelaksanaan konstruksi, spesifikasi sudah membatasi tingkat / syarat agar
perkerasan sesuai (atau lebih) dari apa yang diminta desain. Bahkan desain
merupakan syarat minimum dalam spesifikasi.

Mengkaji keempat faktor diatas, penetapan besaran dalam desain sebetulnya sudah
menekan sekecil mungkin penyimpangan yang akan terjadi. Tetapi tidak ada satu
jaminan-pun berapa besar dari keempat faktor tersebut menyimpang.
Reliability (R) mengacu pada Tabel 3.15. (diambil dari AASHTO 1993 halaman II-9).
Standard normal deviate (ZR) mengacu pada Tabel 2.17. (diambil dari AASHTO 1993
halaman I-62).
Standard deviation untuk rigid pavement : S o = 0,30 – 0,40 (diambil dari AASHTO 1993
halaman I-62).

Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1 7


Desain tebal perkerasan jalan kaku

Penetapan konsep Reliability dan Standar Deviasi :


Parameter reliability dapat ditentukan sebagai berikut :
 Berdasar parameter klasifikasi fungsi jalan
 Berdasar status lokasi jalan urban / rural
 Penetapan tingkat Reliability (R)
 Penetapan standard normal deviation (ZR)
 Penetapan standar deviasi (So)
 Kehandalan data lalu-lintas dan beban kendaraan

Tabel3.15. : Reliability (R) disarankan.


Klasifikasi Reliability : R (%)
jalan Urban Rural
Jalan tol 85 – 99,9 80 – 99,9
Arteri 80 – 99 75 – 95
Kolektor 80 – 95 75 – 95
Lokal 50 – 80 50 – 80

Catatan : Untuk menggunakan besaran-besaran dalam standar AASHTO ini


sebenarnya dibutuhkan suatu rekaman data, evaluasi desain / kenyataan beserta
biaya konstruksi dan pemeliharaan dalam kurun waktu yang cukup. Dengan demikian
besaran parameter yang dipakai tidak selalu menggunakan “angka tengah” sebagai
kompromi besaran yang diterapkan.
Tabel 3.16. : Standard normal deviation (ZR).
R (%) ZR R (%) ZR
50 - 0,000 93 - 1,476
60 - 0,253 94 - 1,555
75 - 0,674 96 - 1,751
80 - 0,841 97 - 1,881
85 - 1,037 98 - 2,054
90 - 1,282 99 - 2,327
91 - 1,340 99,9 - 3,090
92 - 1,405 99,99 - 3,750

2. Serviceability
Terminal serviceability index (pt) mengacu pada Tabel 3.17. (diambil dari AASHTO 1993
hal II-10). Initial serviceability untuk rigid pavement : po = 4,5 (diambil dari AASHTO 1993
hal. II-10). Total loss of serviceability : PSI  p o  p t

Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1 8


Desain tebal perkerasan jalan kaku

Tabel3.17. : Terminal serviceability index (pt).


Percent of people
pt
stating unacceptable
12 3,0
55 2,5
85 2,0

Penetapan parameter serviceability :


 Initial serviceability : po = 4,5
 Terminal serviceability index Jalur utama (major highways) : pt = 2,5
 Terminal serviceability index Jalan lalu-lintas rendah : pt = 2,0
 Total loss of serviceability : PSI  p o  p t
3. Modulus Reaksi Tanah Dasar
Modulus of subgrade reaction (k) menggunakan gabungan formula dan grafik penentuan
modulus reaksi tanah dasar berdasar ketentuan CBR tanah dasar.

MR = 1.500 x CBR
MR
k
19,4
MR = Resilient modulus.
Koreksi Effective Modulus of Subgrade Reaction, menggunakan Grafik pada Gambar 3.4.
(diambil dari AASHTO 1993 halaman II-42).
Faktor Loss of Support (LS) mengacu pada Tabel 3.18. (AASHTO 1993 halaman II-27).

Effective Modulus of Subgrade Reaction, k (pci)

Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1 9


Desain tebal perkerasan jalan kaku

Tabel 3.18. : Loss of Support Factors (LS).

No. Tipe material LS


1. Cement Treated Granular Base ( E = 1.000.000 – 2.000.000 psi ) 0–1
2. Cement Aggregate Mixtures ( E = 500.000 – 1.000.000 psi ) 0–1
3. Asphalt Treated Base ( E = 350.000 – 1.000.000 psi ) 0–1
4. Bituminous Stabilized Mixtures ( E = 40.000 – 300.000 psi ) 0–1
5. Lime Stabilized ( E = 20.000 – 70.000 psi ) 1–3
6. Unbound Granular Materials ( E = 15.000 – 45.000 psi ) 1–3
7. Fine grained / Natural subgrade materials ( E = 3.000 – 40.000 psi ) 2–3

Pendekatan nilai modulus reaksi tanah dasar dari referensi / literatur :


Pendekatan nilai Modulus Reaksi Tanah Dasar (k) dapat menggunakan hubungan nilai CBR
dengan k seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.5. Diambil dari literatur Highway
Engineering (Teknik Jalan Raya), Clarkson H Oglesby, R Gary Hicks, Stanford University &
Oregon State University, 1996.

Modulusreaksi tanahdasar : k(psi/in)


100 150 200 250 300 400 500 600 700 800

CaliforniaBearingRatio(CBR)
2 3 4 5 6 10 15 20 25 30 40 50 60 70 80 100

Gambar 3.5. : Hubungan antara (k) dan (CBR).

4. Modulus Elastisitas Beton

E c  57 .000 f c'
dimana :
Ec = Modulus elastisitas beton (psi).
fc’ = Kuat tekan beton, silinder (psi).
Kuat tekan beton fc’ ditetapkan sesuai pada Spesifikasi pekerjaan (jika ada dalam
spesifikasi).
Di Indonesia saat ini umumnya digunakan : fc’ = 350 kg/cm2

Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1 10


Desain tebal perkerasan jalan kaku

5. Flexural Strength
Flexural strength (modulus of rupture) ditetapkan sesuai pada Spesifikasi pekerjaan.
Flexural strength saat ini umumnya digunakan : Sc’ = 45 kg/cm2 = 640 psi.

6. Drainage Coefficient
Variabel faktor drainase
AASHTO memberikan 2 variabel untuk menentukan nilai koefisien drainase.
 Variabel pertama : mutu drainase, dengan variasi excellent, good, fair, poor, very poor.
Mutu ini ditentukan oleh berapa lama air dapat dibebaskan dari pondasi perkerasan.
 Variabel kedua : persentasi struktur perkerasan dalam satu tahun terkena air sampai
tingkat mendekati jenuh air (saturated), dengan variasi < 1 %, 1 – 5 %, 5 – 25 %, > 25 %

Penetapan variable mutu drainase


Penetapan variable pertama mengacu pada Tabel 3.19. (diambil dari AASHTO 1993
halaman II-22), dan dengan pendekatan sebagai berikut :

a. Air hujan atau air dari atas permukaan jalan yang akan masuk kedalam pondasi jalan,
relatif kecil berdasar hidrologi yaitu berkisar 70 – 95 % air yang jatuh di atas jalan aspal /
beton akan masuk ke sistem drainase (sumber : BINKOT Bina Marga & Hidrologi Imam
Subarkah). Kondisi ini dapat dilihat acuan koefisien pengaliran pada Tabel 3.20. & 3.21.

b. Air dari samping jalan yang kemungkinan akan masuk ke pondasi jalan, inipun relatif
kecil terjadi, karena adanya road side ditch, cross drain, juga muka air tertinggi di-desain
terletak di bawah subgrade.

c. Pendekatan dengan lama dan frekuensi hujan, yang rata-rata terjadi hujan selama 3 jam
per hari dan jarang sekali terjadi hujan terus menerus selama 1 minggu.
Maka waktu pematusan 3 jam (bahkan kurang bila memperhatikan butir b.) dapat diambil
sebagai pendekatan dalam penentuan kualitas drainase, sehingga pemilihan mutu
drainase adalah berkisar Good, dengan pertimbangan air yang mungkin masih akan
masuk, quality of drainage diambil kategori Fair.
Untuk kondisi khusus, misalnya sistem drainase sangat buruk, muka air tanah terletak
cukup tinggi mencapai lapisan tanah dasar, dan sebagainya, dapat dilakukan kajian
tersendiri.

Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1 11


Desain tebal perkerasan jalan kaku

Tabel 3.19. : Quality of drainage.

Quality of drainage Water removed within


Excellent 2 jam
Good 1 hari
Fair 1 minggu
Poor 1 bulan
Very poor Air tidak terbebaskan

Tabel 3.20. : Koefisien pengaliran C (Binkot)

No. Kondisi permukaan tanah Koefisien pengaliran (C)

1. Jalan beton dan jalan aspal 0,70 – 0,95

2. Bahu jalan :
- Tanah berbutir halus 0,40 – 0,65
- Tanah berbutir kasar 0,10 – 0,20
- Batuan masif keras 0,70 – 0,85
- Batuan masif lunak 0,60 – 0,75

Sumber : Petunjuk desain drainase permukaan jalan No. 008/T/BNKT/1990,


Binkot, Bina Marga, Dep. PU, 1990.
Tabel 3.21. : Koefisien pengaliran C (Hidrologi, Imam Subarkah)

Type daerah aliran C

Jalan Beraspal 0,70 - 0,95


Beton 0,80 - 0,95
Batu 0,70 - 0,85

Sumber : Hidrologi, Imam Subarkah.

Penetapan variable prosen perkerasan terkena air


Penetapan variable kedua yaitu persentasi struktur perkerasan dalam 1 tahun terkena air
sampai tingkat saturated, relatif sulit, belum ada data rekaman pembanding dari jalan lain,
namun dengan pendekatan-pendekatan, pengamatan dan perkiraan berikut ini, nilai dari faktor
variabel kedua tersebut dapat didekati.

Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1 12


Desain tebal perkerasan jalan kaku

Prosen struktur perkerasan dalam 1 tahun terkena air dapat dilakukan pendekatan dengan
asumsi sebagai berikut :
Tjam T
Pheff   hari  WL  100
24 365
dimana :
Pheff = Prosen hari effective hujan dalam setahun yang akan berpengaruh terkenanya
perkerasan (dalam %).
Tjam = Rata-rata hujan per hari (jam).
Thari = Rata-rata jumlah hari hujan per tahun (hari)
WL = Faktor air hujan yang akan masuk ke pondasi jalan (%)
Selanjutnya drainage coefficient (Cd) mengacu pada Tabel 6.22.(AASHTO 1993 halaman II–
26).
Tabel 3.22. : Drainage coefficient (Cd).

Percent of time pavement structure is exposed

to moisture levels approaching saturation

Quality of drainage <1% 1–5% 5 – 25 % > 25 %

Excellent 1.25 – 1.20 1.20 – 1.15 1.15 – 1.10 1.10

Good 1.20 – 1.15 1.15 – 1.10 1.10 – 1.00 1.00

Fair 1.15 – 1.10 1.10 – 1.00 1.00 – 0.90 0.90

Poor 1.10 – 1.00 1.00 – 0.90 0.90 – 0.80 0.80

Very poor 1.00 – 0.90 0.90 – 0.80 0.80 – 0.70 0.70

Penetapan parameter drainage coefficient :


 Berdasar kualitas drainase
 Kondisi Time pavement structure is exposed to moisture levels approaching
saturation dalam setahun

Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1 13


Desain tebal perkerasan jalan kaku

7. Load Transfer
Load transfer coefficient (J) mengacu pada Tabel 3.23. (diambil dari AASHTO 1993
halaman II-26), dan AASHTO halaman III-132.
Tabel 3.23. : Load transfer coefficient.

Shoulder Asphalt Tied PCC


Load transfer devices Yes No Yes No
Pavement type
1. Plain jointed & jointed
3.2 3.8 – 4.4 2.5 – 3.1 3.6 – 4.2
reinforced
2. CRCP 2.9 – 3.2 N/A 2.3 – 2.9 N/A

Pendekatan penetapan parameter load transfer :


 Joint dengan dowel : J = 2,5 – 3,1 (diambil dari AASHTO 1993 halaman II-26).
 Untuk overlay design : J = 2,2 – 2,6 (diambil dari AASHTO 1993 halaman III-132).

D. Perhitungan Tebal Pelat


1. Persamaan Penentuan Tebal Pelat (D)
 PSI 
log10 W18  ZR So  7,35log10(D 1)  0,06
log10  
 4,5 1,5  4,22 0,32 p  log 
Sc' Cd  D0,75 1,132 
1,624107  18,42 
t 10
1 215,63 J  D0,75 
(D 1) Ec : k 0,25 
8,46

dimana :
W18 = Traffic design, Equivalent Single Axle Load (ESAL).
ZR = Standar normal deviasi.
So = Standar deviasi.
D = Tebal pelat beton (inches).
PSI = Serviceability loss = po – pt
po = Initial serviceability.
pt = Terminal serviceability index.
Sc’ = Modulus of rupture sesuai spesifikasi pekerjaan (psi).
Cd = Drainage coefficient.
J = Load transfer coefficient.
Ec = Modulus elastisitas (psi).
k = Modulus reaksi tanah dasar (pci).

Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1 14


Desain tebal perkerasan jalan kaku

2. Parameter Desain Dan Data Perencanaan Rigid Pavement


Parameter desain dan data perencanaan untuk kemudahan bagi perencana dalam
menentukan tebal pelat beton rigid pavement, disajikan seperti pada Tabel 3.24.
Tabel 3.24. : Parameter dan data yang digunakan dalam perencanaan.

No. Parameter AASHTO Desain


1. Umur Rencana -
2. Lalu-lintas, ESA -
3. Terminal serviceability (pt) 2,0 – 3,0
4. Initial serviceability (po) 4,5
5. Serviceability loss (PSI) po – pt
6. Reliability (R) 75 – 99,9
7. Standard normal deviation (ZR) - 0,674 s/d - 1,645
8. Standard deviation (So) 0,30 – 0,40
9. Modulus reaksi tanah dasar (k) Berdasar CBR = 6 *)
10. Modulus elastisitas beton (Ec) Berdasar : f’c = 350 kg/cm2
11. Flexural strength (S’c) Berdasar : S’c = 45 kg/cm2
12. Drainage coefficient (Cd) 1,10 – 1,20
13. Load transfer coefficient (J) 2,50 – 2,60

Keterangan : Parameter dan data diatas, sebagai contoh.


*) Dapat dikaji secara khusus terhadap nilai CBR rencana.

3. Desain Gabungan Rigid & Flexible Pavement (Composite Pavement)


Perencanaan gabungan rigid & flexible pavement (composite) yang digunakan adalah
pendekatan desain overlay hotmix diatas rigid pavement yang mengacu pada AASHTO
guide for design of pavement structures 1993.
Prosedur, parameter-parameter perencanaan mengikuti metode perencanaan Rigid
Pavement diatas dengan gabungan formula overlay diatas rigid pavement tersebut, sebagai
berikut ini.
Dol = A ( Df – Deff )
A = 2,2233 + 0,0099 ( Df – Deff )2 – 0,1534 ( Df – Deff )
dimana :
Dol = Tebal flexible pavement (inches).
Df = Tebal total perkerasan rencana (inches).
Deff = Tebal lapis pelat beton effective (inches).
A = Faktor konversi lapis perkerasan beton ke hotmix.

Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1 15


Desain tebal perkerasan jalan kaku

4. Additional Overlay
Jika gabungan rigid & flexible pavement tersebut di-desain dengan konstruksi awal pelat
beton dan kemudian di-overlay, maka perencanaan menjadi sebagai berikut :
Konstruksi awal
Konstruksi awal digunakan rigid pavement tebal D cm, di-analisis equivalent standard axle
load dan nilai umur rencana terhadap struktur perkerasan kaku setebal D cm tersebut.

Remaining life (RL) dan pavement condition factor (CF)

 N p 
R L  100  1  
 N 1,5 

dimana :
RL = Remaining life (%)
Np = Total traffic saat overlay, ESAL
N1,5 = Total traffic pada kondisi perkerasan berakhir (failure), ESAL
Condition factor (CF), menggunakan Gambar 3.6. (diambil dari Figure 3.2. AASHTO 1993

halaman III-90). Atau formula : CF  R L 0,165

Gambar 3.6. : Hubungan Condition Factor dan Remaining life.

Desain additional overlay


Lihat sub-bab 3.14. diatas.

Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1 16


Desain tebal perkerasan jalan kaku

Tinjauan kemampu-layanan
a. Kondisi pada akhir tahun ke Np
Pada akhir tahun ke-Np diperkirakan kondisi kemampu-layanan perkerasan
sebagai berikut :
 Tebal pelat rencana
 Tebal pelat effective
 Umur rencana
 ESAL design
 Terminal serviceability index = 2,5

b. Kondisi pada akhir tahun ke N1,5


Pada akhir tahun ke-N1,5 diperkirakan kondisi kemampu-layanan perkerasan
sebagai berikut :
 Tebal pelat rencana
 Umur rencana
 ESAL design
 Serviceability index (failure) = 1,5

c. Kondisi pada akhir tahun umur rencana


Pada akhir tahun umur rencana diperkirakan kondisi kemampu-layanan
perkerasan sebagai berikut :
 Tebal overlay
 Tebal pelat
 Umur rencana = 20 tahun
 ESAL design
 Terminal serviceability index = 2,5

d. Overlay
Diperkirakan diperlukan overlay agar kondisi perkerasan tetap diatas nilai batas
terminal serviceability index 2,5 sebelum menurun kemampu-layanannya
menjadi 1,5 dan selanjutnya dapat mencapai umur rencana 20 tahun.
Kondisi kemampu-layanan perkerasan sebelum dan sesudah di-overlay
digambarkan seperti pada Gambar 3.7.
Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1 17
Desain tebal perkerasan jalan kaku

S e rv ic e a b ility R ig id p a v e m e n t O v e rla y
( In itia l c o n s tru c tio n )
P o = 4 ,5

4 .0

3 .5

3 .0

P t = 2 ,5

2 .0

1 .5

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Tahun

T e b a l p e la t
U m ur R encana F a ilu re
E S A L d e s ig n
Pt 2 ,5

T e b a l p e la t
U m ur R encana
E S A L d e s ig n
Pt 1 ,5

Tebal AC
T e b a l p e la t
U m ur R encana 2 0 ta h u n
E S A L d e s ig n
Pt 2 ,5

Gambar 3.7.
Kemampu-layanan rigid pavement dan additional overlay

5. Reinforcement Design
a. Steel working stress
Allowable working stress fs untuk grade 40 = 30.000 psi.
b. Friction factor
Tabel 3.25. : Recommended friction factor.

Type material dibawah slab Friction factor (F)

Surface treatment 2,2


Lime stabilization 1,8
Cement stabilization 1,8
River gravel 1,5
Crushed stone 1,5
Sandstone 1,2
Natural subgrade 0,9

Sumber : AASHTO 1993 halaman II-28.

Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1 18


Desain tebal perkerasan jalan kaku

c. Longitudinal & transverse steel reinforcing


Prosen longitudinal & transverse steel diperlukan :

LF
Ps  100
2 fs
dimana :
Ps = Longitudinal & transverse steel diperlukan (%).
L = Panjang slab (feet).
fs = Steel working stress (psi).
F = Friction factor.

d. Tie bar
Tie Bar dirancang untuk memegang plat sehingga teguh, dan dirancang untuk menahan
gaya-gaya tarik maksimum. Tie bar tidak dirancang untuk memindah beban.

Jarak tie bar dapat mengacu pada Tabel 3.26.


Tabel 3.26. : Tie bar.

Diameter batang ½ in Diameter batang 5/8 in


Jenis dan Tegangan Tebal Jarak maximum (in) Jarak maximum (in)

mutu baja kerja perkerasan Panjang Lebar Lebar Lebar Panjang Lebar Lebar Lebar

(psi) (in) (in) lajur lajur lajur (in) lajur lajur lajur
10 ft 11 ft 12 ft 10 ft 11 ft 12 ft
Grade 40 30.000 6 25 48 48 48 30 48 48 48
7 25 48 48 48 30 48 48 48
8 25 48 44 40 30 48 48 48
9 25 48 40 38 30 48 48 48
10 25 48 38 32 30 48 48 48
11 25 35 32 29 30 48 48 48
12 25 32 29 26 30 48 48 48
Sumber : Literartur / Makalah UI.
e. Dowel
Alat pemindah beban yang biasa dipakai adalah dowel baja bulat polos. Syarat
perancangan minimum dapat mengacu pada Tabel 3.27, atau penentuan diameter dowel
dapat menggunakan pendekatan formula :

D
d
8

Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1 19


Desain tebal perkerasan jalan kaku

dimana :
d = Diamater dowel (inches).
D = Tebal pelat beton (inches)

Tabel 3.27. : Rekomendasi dowel.

Tebal perkerasan (in) Dowel diameter (in) Panjang dowel (in) Jarak dowel (in)

6 3/4 18 12
7 1 18 12
8 1 18 12
9 1 1/4 18 12
10 1 1/4 18 12
11 1 1/4 18 12
12 1 1/4 18 12

Sumber : Literartur / Makalah UI.

f. Parameter desain dan data reinforcement design


Parameter desain dan data untuk reinforcement design disajikan seperti pada Tabel 3.28.
Tabel 3.28. : Parameter dan data yang digunakan dalam perencanaan.

No. Parameter AASHTO Desain


1. Steel working stress ( fs ) : grade 40 Grade 40 30.000 psi
2. Friction factor ( F ) 1,8 1,8
3. Tebal pelat Lihat desain tebal pelat
4. Panjang pelat arah longitudinal 15,00 feet
5. Traffic lane & shoulder wide 24,00 feet
6. Jarak dari tepi bebas 11,00 feet
7. Lebar lajur 11,00 feet

Keterangan : Parameter dan data diatas, sebagai contoh.

g. Tinjauan Khusus Perencanaan Penulangan dan Sambungan


Untuk perencanaan penulangan dan sambungan pada perkerasan jalan kaku, berikut ini
diambilkan referensi dari beberapa standard dan literatur, yaitu dari sumber :
 Principles of pavement design by Yoder & Witczak 1975
 SNI 1991.
 SKBI 2.3.28.1988.
Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1 20
Desain tebal perkerasan jalan kaku

1. Tata cara perencanaan penulangan


Tujuan dasar distribusi penulangan baja adalah bukan untuk mencegah terjadinya retak
pada pelat beton tetapi untuk membatasi lebar retakan yang timbul pada daerah dimana
beban terkonsentrasi agar tidak terjadi pembelahan pelat beton pada daerah retak
tersebut, sehingga kekuatan pelat tetap dapat dipertahankan.
Banyaknya tulangan baja yang didistribusikan sesuai dengan kebutuhan untuk keperluan
ini yang ditentukan oleh jarak sambungan susut, dalam hal ini dimungkinkan
penggunaan pelat yang lebih panjang agar dapat mengurangi jumlah sambungan
melintang sehingga dapat meningkatkan kenyamanan.

a. Kebutuhan penulangan pada perkerasan bersambung tanpa tulangan


Pada perkerasan bersambung tanpa tulangan, penulangan tetap dibutuhkan untuk
mengantisipasi atau meminimalkan retak pada tempat-tempat dimana
dimungkinkan terjadi konsentrasi tegangan yang tidak dapat dihindari.
Tipikal penggunaan penulangan khusus ini antara lain :
 Tambahan pelat tipis.
 Sambungan yang tidak tepat.

b. Penulangan pada perkerasan bersambung dengan tulangan


Luas tulangan pada perkerasan ini dihitung dari persamaan sebagai berikut :
11,76 F L h
As 
fs
dimana :
As = luas tulangan yang diperlukan (mm2/m lebar)
F = koefisien gesekan antara pelat beton dengan lapisan di bawahnya (Tabel
6.29.)
L = jarak antara sambungan (m)
h = tebal pelat (mm)
fs = tegangan tarik baja ijin (MPa)
As min. menurut SNI 1991 untuk segala keadaan = 0,14 % dari luas penampang
beton.

Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1 21


Desain tebal perkerasan jalan kaku

Tabel 3.29. : Koefisien gesekan antara pelat dengan lapisan pondasi dibawahnya.

Type material dibawah slab Friction factor (F)

Burtu, Lapen dan konstruksi sejenis 2,2


Aspal beton, Lataston 1,8
Stabilisasi kapur 1,8
Stabilisasi aspal 1,8
Stabilisasi semen 1,8
Koral sungai 1,5
Batu pecah 1,5
Sirtu 1,2
Tanah 0,9
Sumber : SKBI 2.3.28.1988

c. Penulangan pada perkerasan menerus dengan tulangan


1. Penulangan memanjang

100 f t ( 1,3  0, 2 F )
Ps 
f y  n ft
dimana :
Ps = persentase tulangan memanjang yang dibutuhkan terhadap penampang
beton (%).
ft = kuat tarik lentur beton yang digunakan = 0,4 – 0,5 fr
fy = tegangan leleh rencana baja (SNI 1991. fy < 400 MPa – BJTD40)
Es
n = angka ekivalen antara baja dan beton = (Tabel 6.30.)
Ec
F = koefisien gesekan antara pelat beton dengan lapisan di bawahnya (Tabel
6.29.)
Es = modulus elastisitas baja (berdasarkan SNI 1991 digunakan 200.000 MPa)

Ec = modulus elastisitas beton (SNI 1991 digunakan 4700 fc' MPa)

Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1 22


Desain tebal perkerasan jalan kaku

Tabel 3.30. : Hubungan antara kuat tekan beton dan angka ekivalen baja & beton (n) serta f r.

fc’ fc’ fr
n
(kg/cm2) (MPa) (MPa)
115 11,3 13 2,1
120 – 135 11,8 – 13,2 12 2,2
140 – 165 13,7 – 16,2 11 2,4
170 – 200 16,7 – 19,6 10 2,6
205 – 250 20,1 – 24,5 9 2,9
260 – 320 25,5 – 31,4 8 3,3
330 – 425 32,4 – 41,7 7 3,7
450 44,1 6 4,1
Sumber : SNI 1991

Persentase minimum tulangan memanjang pada perkerasan beton menerus adalah 0,6 %
dari luas penampang beton.
Jarak antara retakan pada perkerasan beton menerus dengan tulangan dapat dihitung
dengan persamaan :

ft 2
L cr 
n p 2 u fb  S Ec  ft 

dimana :

Lcr = jarak teoritis antara retakan (m), jarak optimum antara 1 – 2 m.


p = luas tulangan memanjang per satuan luas.
fb = tegangan lekat antara tulangan dengan beton yang dikenal sebagai lekat lentur
(MPa). Besaran lekat lentur yang dipakai dalam praktek menurut ACI 1963 untuk
tulangan dengan diameter  35,7 mm (# 11) : tegangan lekat dasar = 9 , 5 f '
c
d
 800 psi atau dalam SI unit : tegangan lekat dasar = 0 , 79
f c'  5,5 MPa
d

d = diameter tulangan (cm).


S = koefisien susut beton, umumnya dipakai antara 0,0005 – 0,0006 untuk pelat
perkerasan jalan.
ft = kuat tarik lentur beton yang digunakan = 0,4 – 0,5 fr (MPa).
n = angka ekivalen antara baja dan beton = Es (Tabel 6.30.)
Ec

Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1 23


Desain tebal perkerasan jalan kaku

u = keliling penampang tulangan per satuan luas tulangan = 4/d (dalam m -1)

Ec = modulus elastisitas beton = 4700 fc' (MPa)


2. Penulangan melintang
Luas tulangan melintang yang diperlukan pada perkerasan beton menerus,
dihitung dengan persamaan yang sama seperti pada perhitungan penulangan
perkerasan beton bersambung dengan tulangan.

a. Sambungan
Perencanaan sambungan pada perkerasan kaku, merupakan bagian yang harus
dilakukan, baik jenis perkerasan beton bersambung tanpa atau dengan tulangan,
maupun pada jenis perkerasan beton menerus dengan tulangan.

1. Jenis sambungan
Sambungan dibuat atau ditempatkan pada perkerasan beton dimaksudkan untuk
menyiapkan tempat muai dan susut beton akibat terjadinya tegangan yang
disebabkan : perubahan lingkungan (suhu dan kelembaban), gesekan dan
keperluan konstruksi (pelaksanaan).
Sambungan pada perkerasan beton umumnya terdiri dari 3 jenis, yang fungsinya
sebagai berikut :
a. Sambungan susut
Atau sambungan pada bidang yang diperlemah (dummy) dibuat untuk
mengalihkan tegangan tarik akibat : suhu, kelembaban, gesekan sehingga akan
mencegah retak. Jika sambungan susut tidak dipasang, maka akan terjadi retak
acak pada permukaan beton.
b. Sambungan muai
Fungsi utamanya untuk menyiapkan ruang muai pada perkerasan, sehingga
mencegah terjadinya tegangan tekan yang akan menyebabkan perkerasan
tertekuk.
c. Sambungan konstruksi (pelaksanaan)
Diperlukan untuk kebutuhan konstruksi (berhenti dan mulai pengecoran). Jarak
antara sambungan memanjang disesuaikan dengan lebar alat atau mesin
penghampar (paving machine) dan oleh tebal perkerasan.

Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1 24


Desain tebal perkerasan jalan kaku

Selain 3 jenis sambungan tersebut, jika pelat perkerasan cukup lebar (> 7 m)
maka diperlukan sambungan ke arah memanjang yang berfungsi sebagai
penahan gaya lenting (warping) yang berupa sambungan engsel, dengan
diperkuat batang pengikat (tie bar).

2. Geometrik sambungan
Geometrik sambungan adalah tata letak secara umum dan jarak antara
sambungan.
1 - 1,5 m
Tepi luar

B ahu S am bungan m elintang serong

D ow el S am bungan m em anjang
Lajur 1

Lajur 2 Tie bar


Tie bar

D ow el S am bungan m em anjang
Lajur 3 Tie bar

Jarak sam bungan m elintang Tepi dalam

D ow el Tiebar

Gambar 3.8. : Tata letak sambungan pada perkerasan kaku.

a. Jarak sambungan
Pada umumnya jarak sambungan konstruksi memanjang dan melintang
tergantung keadaan bahan dan lingkungan setempat, dimana sambungan
muai dan susut sangat tergantung pada kemampuan konstruksi dan tata
letaknya.
Untuk sambungan muai, jarak untuk mencegah retak sedang akan mengecil
jika koefisien panas, perubahan suhu atau gaya gesek tanah dasar bertambah
bila tegangan tarik beton bertambah. Jarak berhubungan dengan tebal pelat
dan kemampuan daya ikat sambungan.
Untuk menentukan jarak sambungan yang akan mencegah retak, yang terbaik
dilakukan dengan mengacu petunjuk dari catatan kemampuan pelayanan
setempat. Pengalaman setempat penting diketahui karena perubahan jenis

Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1 25


Desain tebal perkerasan jalan kaku

agregat kasar akan memberi dampak yang nyata pada koefisien panas beton
dengan konsekuensi jarak sambungan yang dapat diterima.
Sebagai petunjuk awal, jarak sambungan untuk beton biasa  2 h (dua kali
tebal pelat beton dalam satuan berbeda, misalkan tebal pelat h = 8 inci, maka
jarak sambungan = 16 feet, jadi kalau dengan SI unit jarak sambungan = 24 –
25 kali tebal pelat, misalkan tebal pelat 200 mm, maka jarak sambungan =
4.800 mm) dan secara umum perbandingan antara lebar pelat dibagi panjang
pelat  1,25.
Penggunaan sambungan muai biasanya diminimalkan pada proyek dengan
pertimbangan masalah biaya, kompleksitas dan penampilannya. Sambungan
digunakan pada struktur dimana jenis perkerasan berubah (misalnya : dari
jenis menerus ke jenis bersambung) pada persimpangan.
Jarak antara sambungan konstruksi, biasanya diatur pada penempatan di
lapangan dan kemampuan peralatan. Sambungan konstruksi memanjang
harus ditempatkan pada tepi lajur untuk memaksimalkan kerataan perkerasan
dan meminimalkan persoalan pengalihan beban. Sambungan konstruksi
melintang terjadi pada akhir pekerjaan atau pada saat penghentian
pengecoran.

b. Tata letak sambungan


Sambungan menyerong atau acak (random), akan meminimalkan dampak
kekasaran sambungan, sehingga dapat memperbaiki mutu pengendalian.
Sambungan melintang serong akan meningkatkan penampilan dan
menambah usia perkerasan kaku, yaitu biasa atau bertulang, dengan atau
tanpa ruji. Sambungan harus serong sedemikian agar beban roda dari
masing-masing sumbu dapat melalui sambungan pada saat yang tidak
bersamaan.
Sudut tumpul pada sisi luar perkerasan harus dibagian depan sambungan
pada arah lalu-lintas, karena sudut akan menerima dampak beban roda
terbesar secara tiba-tiba.
Keuntungan dari sambungan serong sebagai berikut :
 Mengurangi lendutan dan tegangan pada sambungan, sehingga
menambah daya dukung beban pelat dan memperpanjang usia pelat.
Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1 26
Desain tebal perkerasan jalan kaku

 Mengurangi dampak reaksi kendaraan pada saat melintasi sambungan


dan memberikan kenyamanan yang lebih.
Untuk lebih meningkatkan penampilan perkerasan biasa adalah dengan
menggunakan sambungan serong pada jarak acak atau tidak teratur. Pola
jarak acak mencegah irama atau resonansi pada kendaraan yang bergerak
dalam kecepatan normal. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa pada pola
jarak pelat 2,50 m harus dihindarkan

c. Dimensi sambungan
Lebar sambungan, ditentukan oleh alur yang akan diuraikan pada bagian
bawah. Kedalaman takikan sambungan susut harus cukup memadai untuk
memastikan akan terjadi retak pada tempat yang dikehendaki dan tidak pada
sembarang tempat. Biasanya kedalaman takikan sambungan susut melintang
¼ tebal pelat dan sambungan memanjang 1/3 ketebalan.
Sambungan tersebut dibuat dengan pemotongan, penyelipan atau
pembentukan. Waktu pemotongan sangat kritis untuk mencegah retak acak
sehingga sambungan harus dipotong dengan hati-hati untuk memastikan
semuanya bekerja bersamaan. Jarak waktu untuk pengecoran dengan
pemotongan akan berubah dengan perubahan suhu pelat, keadaan
pengeringan dan proporsi campuran.

3. Dimensi bahan penutup sambungan


a. Sambungan susut
Pergerakan sambungan dan kemampuan bahan penutup alur harus
dioptimalkan. Pada umumnya mutu bahan penutup sambungan harus
ditingkatkan jika pergerakan sambungan diperkirakan akan bertambah.
Bertambahnya pergerakan sambungan dapat diakibatkan oleh perpanjangan
pelat, perubahan suhu yang besar dan atau koefisien panas beton yang tinggi.
Pergerakan sambungan pada perkerasan dipengaruhi faktor-faktor seperti
perubahan sifat volume panjang beton dan gesekan antara pelat dan pondasi
bawah (tanah dasar).
Dalam hal untuk menjaga bentuk penutup-lapangan yang efektif, lubang alur
(takikan) yang akan diisi bahan penutup harus mempunyai faktor bentuk (lebar

Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1 27


Desain tebal perkerasan jalan kaku

dan dalam) yang benar. Dalam batasan praktis, kedalaman sambungan


minimum lubang harus mendekati segiempat dan berada dibawah permukaan
minimum 3 mm (1/8 inci). Dengan demikian berarti takikan biasanya dibentuk
dengan menambah lebar dan mengurangi kedalaman bagian atas sambungan
untuk mengikat bahan penutup. Untuk sambungan yang sempit dengan jarak
sambungan yang dekat, lubang dapat dibentuk dengan menyisipkan tali atau
bahan lain sampai kedalaman yang telah ditentukan. Metoda ini mengurangi
kebutuhan bahan penutup. Pada umumnya dalam berbanding lebar berkisar 1
– 1,5 dengan kedalaman minimum 9,5 mm (3/8 inci) untuk sambungan
memanjang dan 12,5 mm (1/2 inci) untuk sambungan melintang.
Lebar sambungan didefinisikan sebagai nilai maximum yang terjadi pada suhu
minimum. Jadi nilai maximum meliputi pergerakan horisontal yang diantisipasi
ditambah dengan lebar sisa disebabkan sifat bahan penutup. Pergerakan
horisontal dapat dihitung dengan memperkirakan bukaan sambungan yang
disebabkan siklus temperatur ditambah dengan penyusutan beton. Besarnya
bukaan dan sebaliknya tergantung pada :
 perubahan temperatur dan kelembaban
 jarak antara sambungan kerja (pelaksanaan) atau retak
 gesekan antara lapis pondasi dan pelat
 kondisi dari rencana pemberian beban sambungan, dan sebagainya.
Untuk keperluan perencanaan bukaan sambungan melintang rata-rata pada
selang waktu dapat dihitung dengan pendekatan. Lebar sambungan harus
memperhitungkan pergerakan ditambah dengan tegangan sisa yang diijinkan
pada penutup sambungan.
 Menurut AASHTO : disyaratkan lebar bukaan  0,04 inci untuk
sambungan tanpa ruji (dowel).
 Menurut Yoder & Witczak : lebar bukaan  0,04 inci untuk sambungan
tanpa dowel, lebar bukaan  0,25 inci untuk sambungan dengan dowel.
 Menurut SKBI 1988 : lebar bukaan retakan minimum (mm) = 0,45 x
Panjang Pelat (m), umumnya lebar retakan yang diijinkan berkisar antara
1 – 3 mm, tetapi untuk kemudahan pengisian bahan penutup, lebar
bukaan pada bagian atas diperlebar maximum 6 – 10 mm dengan

Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1 28


Desain tebal perkerasan jalan kaku

 kedalaman tidak lebih dari 20 mm dan semua sambungan susut melintang


harus dipasang ruji.

b. Sambungan muai
Pergerakan pada sambungan muai didasarkan pada pengalaman agen
pembuat. Dimensi alur takikan akan optimal didasarkan pada pergerakan dan
kemampuan bahan pengisi. Pada umumnya, dimensi akan lebih besar dari
pada untuk sambungan susut.

c. Sambungan pelaksanaan
Menurut AASHTO, tipikal sambungan susut melintang juga dapat digunakan
untuk sambungan pelaksanaan dan sambungan memanjang lainnya.

4. Dowel (ruji)
Dowel berupa batang baja tulangan polos (maupun profil), yang digunakan
sebagai sarana penyambung / pengikat pada beberapa jenis sambungan pelat
beton perkerasan jalan.
Dowel berfungsi sebagai penyalur beban pada sambungan, yang dipasang
dengan separuh panjang terikat dan separuh panjang dilumasi atau dicat untuk
memberikan kebebasan bergeser.

Tabel 3.31. : Ukuran dan jarak batang dowel (ruji) yang disarankan.
Tebal pelat Diameter Panjang Jarak
inci mm inci mm inci mm inci mm
6 150 ¾ 19 18 450 12 300
7 175 1 25 18 450 12 300
8 200 1 25 18 450 12 300
9 225 1¼ 32 18 450 12 300
10 250 1¼ 32 18 450 12 300
11 275 1¼ 32 18 450 12 300
12 300 1½ 38 18 450 12 300
13 325 1½ 38 18 450 12 300
14 350 1½ 38 18 450 12 300

Sumber : Principles of pavement design by Yoder & Witczak, 1975

Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1 29


Desain tebal perkerasan jalan kaku

Bahan penutup
6 - 10 mm Batang polos
max. 20 mm
diminyaki / dicat

0,25 D
d = diameter ba
0,5 D
Ld = panjang bat
D d
D = tebal pelat b
0,5 D
0,5 Ld 0,5 Ld

Gambar 3.9. : Sambungan susut melintang dengan dowel.

d = diameter batang dowel


Ld = panjang batang dowel
D = tebal pelat beton perkerasan

Bahan penutup
19 mm
Terikat / fixed Batang polos diminyaki / dicat

0,25 D
0,5 D

D d

0,5 D
Bahan pengisi / filler 50 mm 25 mm

0,5 Ld 0,5 Ld

Gambar 3.10. : Sambungan muai dengan dowel.

d = diameter batang dowel


Ld = panjang batang dowel
D = tebal pelat beton perkerasan

5. Batang pengikat (Tie bar)


Tie bar adalah potongan baja yang diprofilkan yang dipasang pada sambungan
lidah-alur dengan maksud untuk mengikat pelat agar tidak bergerak horisontal.
Batang pengikat dipasang pada sambungan memanjang, lihat Gambar 3.11.

Cara menentukan dimensi batang pengikat :


Jarak sambungan dari tepi terdekat, lihat sketsa Gambar 3.11.

Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1 30


Desain tebal perkerasan jalan kaku

Tabel perhitungan :

Nomor Jarak (X) Jarak maximum Tie bar (cm)


Sambungan meter  12 mm  16 mm
2 3,50 Tergantung tebal Tergantung tebal
pelat pelat

X3
X1

X2

1 2
1, 2, 3, = Sambungan pelaksanaan memanjang
Bah Lajur Lajur
u 1 2
0,5 m 3,5 m 3,5 m

Gambar 3.11. : Jarak sambungan dari tepi terdekat

Sketsa sambungan pelaksanaan memanjang seperti pada Gambar 3.12.


Bahan penutup
6 - 10 m m
Batang pengikat baja profil

0,25 D
12 m m

D d D/3

12 m m

50 m m

0,5 Lt 0,5 Lt

Lt = panjang batang pengikat (tie bar) dari baja tulangan yang diprofilkan, dapat dibengkokkan dan diluruskan kem bali tanpa rusak
d = diam eter tie bar
D = tebal pelat perkerasan

Gambar 3.12. : Sambungan pelaksanaan memanjang dengan lidah alur dan Tie bar.

h. Tinjauan Khusus Kapasitas Jalan Untuk Parameter Distribusi Lajur


Dalam perencanaan tebal pelat suatu rigid pavement, diperlukan penentuan faktor
distribusi lajur (DL), lihat Sub-bab 3.2.4. Traffic design dan Tabel 3.14, dalam tabel
tersebut terlihat bahwa makin banyak jumlah lajur setiap arah nilai faktor distribusi lajur

Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1 31


Desain tebal perkerasan jalan kaku

makin kecil, yaitu dari 100  50 %, dan jika diperhitungkan dengan distribusi arah nilai
tersebut menjadi 0,50  0,25
Penentuan jumlah lajur dapat di-analisis dengan kapasitas jalan. Dalam buku ini akan
menggunakan rujukan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) 1997.
Ruas jalan (non tol) merupakan bagian segmen jalan dalam suatu jaringan jalan.
Segmen jalan, rural dan khususnya urban memiliki perkembangan secara permanen dan
menerus sepanjang seluruh / hampir seluruh jalan, minimum pada satu sisi jalan, berupa
perkembangan lahan atau bukan. Biasanya terdapat pada daerah dengan penduduk
lebih dari 100.000 jiwa. Segmen jalan ini merupakan panjang jalan di antara dan tidak
dipengaruhi oleh simpang bersinyal atau simpang tak bersinyal utama dan memiliki
karakteristik yang hampir sama di sepanjang jalan.
Tipe jalan (perkotaan) yang terdapat dalam MKJI 1997 adalah :
 Jalan dua-lajur dua-arah (2/2 UD)
 Jalan empat-lajur dua-arah
 Tak terbagi (tanpa median) (4/2 UD)
Terbagi (dengan median) (4/2 D)
 Jalan enam-lajur dua-arah terbagi (6/2 D)
 Jalan satu-arah (1-3/1)

1. Kapasitas ruas jalan


Kapasitas ruas jalan adalah arus lalu-lintas maksimum yang melintasi suatu
penampang ruas jalan yang dapat dipertahankan per satuan waktu (jam) dalam
kondisi tertentu (geometri, komposisi dan distribusi arus lalulintas, serta faktor
lingkungan). Kapasitas dinyatakan dalam satuan mobil penumpang (smp). Untuk
jalan 2 lajur 2 arah, kapasitas ditentukan untuk arus 2 arah (kombinasi 2 arah),
akan tetapi untuk jalan dengan banyak lajur, arus dipisahkan per arah dan
kapasitas ditentukan per lajur.
Jenis kapasitas jalan dibedakan menurut keperluan penggunaannya sebagai
berikut :
 Kapasitas dasar adalah jumlah kendaraan maksimum yang dapat melintasi
suatu penampang ruas jalan selama 1 (satu) jam dalam keadaan jalan dan
lalu-lintas mendekati ideal yang dapat dicapai.

Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1 32


Desain tebal perkerasan jalan kaku

 Kapasitas praktis adalah jumlah maksimum kendaraan yang dapat melintasi


suatu penampang jalan selama 1 (satu) jam dalam keadaan jalan dan lalu-
lintas yang berlaku sedemikian rupa sehingga kepadatan lalu-lintas yang
bersangkutan mengakibatkan kelambatan, bahaya dan gangguan-gangguan
kelancaran lalu-lintas yang masih dalam batas yang ditetapkan.

 Kapasitas yang mungkin adalah jumlah maksimum kendaraan yang


melintasi suatu penampang jalan selama 1 (satu) jam, dalam keadaan jalan
dan lalu-lintas yang sedang berlaku pada jalan tersebut.
Untuk menentukan kapasitas jalan (perkotaan) dipergunakan perhitungan :
C = Co x FCw x FCsp x FCsf x FCcs
dengan :
C = kapasitas sesungguhnya (smp/jam)
Co = kapasitas dasar untuk kondisi tertentu/ideal (smp/jam)
FCw = faktor penyesuaian lebar jalan
FCsp = faktor penyesuaian pemisah arah (hanya untuk jalan tak terbagi)
FCsf = faktor penyesuaian hambatan samping dan bahu jalan/kerb
FCcs = faktor penyesuaian ukuran kota, ukuran jumlah penduduk kota
tersebut
Tabel-tabel berikut ini diambil dari sumber / referensi : Manual Kapasitas Jalan
Indonesia tahun 1997, Departemen Pekerjaan Umum.

Tabel 3.32. : Kapasitas Dasar (Co) untuk Jalan Perkotaan

Tipe jalan Kapasitas dasar (smp/jam) Keterangan


4 lajur terbagi/jalan 1 arah 1.650 Per lajur

4 lajur tak terbagi 1.500 Per lajur

2 lajur tak terbagi 2.900 Total 2 arah

Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1 33


Desain tebal perkerasan jalan kaku

Tabel 3.33. : Faktor penyesuaian untuk pemisahan arah (FCsp) untuk jalan tak terbagi

Pemisahan arah % - % 50 - 50 60 - 40 70 - 30 80 - 20 90 - 10 100 - 0

Dua lajur 2/2 1.00 0.94 0.88 0.82 0.76 0.70

Empat lajur 4/2 1.00 0.97 0.94 0.91 0.88 0.85

Jalan terbagi dan jalan satu arah 1.00

Tabel 3.34. : Faktor Penyesuaian Lebar Jalan (FCw)

Tipe jalan Lebar jalur lalu-lintas efektif / Wc (m) FCw

Per lajur
0.92
3.00
0.96
4 lajur terbagi / 3.25
1.00
jalan 1 arah 3.50
1.04
3.75
1.08
4.00
Per lajur
0.91
3.00
0.95
3.25
4 lajur tak terbagi 1.00
3.50
1.05
3.75
1.09
4.00
Per lajur
0.56
5.00
0.87
6.00
1.00
7.00
2 lajur tak terbagi 1.14
8.00
1.25
9.00
1.29
10.00
1.24
11.00

Faktor penyesuaian kapasitas untuk hambatan samping dibagi dua, yaitu :


 Berdasarkan lebar bahu efektif untuk jalan yang mempunyai bahu jalan
 Berdasarkan jarak antara kerb dan penghalang pada trotoar untuk jalan yang
memiliki trotoar.

Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1 34


Desain tebal perkerasan jalan kaku

Tabel 3.35. : Faktor penyesuaian pengaruh hambatan samping dan lebar bahu (FCsf)
FCsf
Tip Kelas hambatan Lebar bahu Ws (meter)
e jalan samping
 0.5 1.0 1.5  2.0
sangat rendah (VL) 0.96 0.98 1.01 1.03
4/2 D rendah (L) 0.94 0.97 1.00 1.02
sedang (M) 0.92 0.95 0.98 1.00
tinggi (H) 0.88 0.92 0.95 0.98
sangat tinggi (VH) 0.84 0.88 0.92 0.96
sangat rendah (VL) 0.96 0.99 1.01 1.03
4/2 UD rendah (L) 0.94 0.97 1.00 1.02
sedang (M) 0.92 0.95 0.98 1.00
tinggi (H) 0.87 0.91 0.94 0.98
sangat tinggi (VH) 0.80 0.86 0.90 0.95
sangat rendah (VL) 0.94 0.96 0.99 1.01
2/2 atau rendah (L) 0.92 0.94 0.97 1.00
jalan 1 arah sedang (M) 0.89 0.92 0.95 0.98
tinggi (H) 0.82 0.86 0.90 0.95
sangat tinggi (VH) 0.73 0.79 0.85 0.91

Tabel 3.36. : Faktor penyesuaian untuk pengaruh hambatan samping dan jarak kerb-
penghalang (FCsf)
FCsf
Tipe jalan Kelas hambatan Jarak kerb penghalang Wk (meter)
samping  0.5 1.0 1.5  2.0
sangat rendah (VL)
0.95 0.97 0.99 1.01
rendah (L)
0.94 0.96 0.98 1.00
sedang (M)
0.91 0.93 0.95 0.98
4/2 D tinggi (H)
0.86 0.89 0.92 0.95
sangat tinggi (VH)
0.81 0.85 0.88 0.92
sangat rendah (VL)
0.95 0.97 0.99 1.01
rendah (L)
0.93 0.95 0.97 1.00
sedang (M)
0.90 0.92 0.95 0.97
4/2 UD tinggi (H)
0.84 0.87 0.90 0.93
sangat tinggi (VH)
0.77 0.81 0.85 0.90
sangat rendah (VL)
0.93 0.95 0.97 0.99
rendah (L)
0.90 0.92 0.95 0.97
sedang (M)
2/2 atau 0.86 0.88 0.91 0.94
tinggi (H)
jalan 1 arah 0.78 0.81 0.84 0.88
sangat tinggi (VH)
0.68 0.72 0.77 0.82

Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1 35


Desain tebal perkerasan jalan kaku

Tabel 3.37. : Faktor penyesuaian untuk pengaruh ukuran kota (FCcs)

Ukuran kota (juta jiwa) FCcs

< 0.1 0.86


– 0.5 0.90
0.5 – 1.0 0.94
1.0 – 3.0 1.00
> 3.0 1.04

2. Kinerja ruas jalan


Guna mengetahui kinerja ruas jalan, perlu diketahui besarannya arus lalu-lintas
di ruas serta pengukuran geometri ruas.

3. Penilaian kualitas ruas jalan


Kualitas suatu ruas jalan dapat dinilai dari :
a. Perbandingan antara volume lalu-lintas yang lewat pada ruas jalan tersebut
dibandingkan dengan kapasitasnya (V/C ratio),
b. Kecepatan perjalanan pada ruas jalan tersebut (travel speed).
Semakin tinggi perbandingan V/C, semakin rendah kualitas jalan tersebut.
Sebaliknya semakin tinggi kecepatan perjalanannya, semakin tinggi kualitas
ruas jalan tersebut.
Jika akan diadakan penilaian suatu jaringan jalan, sebaiknya dinilai dulu
perbandingan V/C ruas-ruas jalan utama, dan penilaiannya dimasukkan
dalam suatu gambar atau tabel.

4. V/C ratio
V/C ratio dapat dihitung dengan menghitung dulu komponen-komponennya,
yaitu :
a. Volume lalu-lintas ruas jalan tersebut,
b. Kapasitas jalan tersebut.
Hitungan volume lalu-lintas dilakukan dengan melakukan pencacahan arus
lalu-lintas (traffic counting) pada ruas-ruas jalan tertentu. Caranya yaitu :
a. Melakukan pencacahan arus lalu-lintas, pada setiap interval 10 menit
pada jam sibuk pagi, siang, dan sore masing-masing selama 2 jam.

Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1 36


Desain tebal perkerasan jalan kaku

b. Dari hasil tersebut, dicari 1 jam tersibuk untuk dipergunakan dalam


analisis kapasitas.
Arus lalu-lintas dibagi atas 4 jenis, yaitu :
a. Mobil penumpang (LV)
b. Kendaraan berat (HV)
c. Sepeda bermotor (MC)
d. Kendaraan lambat (UM)
Hasil hitungan dikonversikan ke satuan mobil penumpang (smp), dengan
konversi sesuai dengan Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997 untuk ruas
jalan, yaitu :
a. Mobil penumpang = 1,00
b. Kendaraan berat = 1,20
c. Sepeda motor= 0,25
d. Kendaraan lambat = 0,80
Sedangkan kapasitas jalan dihitung sesuai dengan prosedur perhitungan
menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997. Cara hitungan adalah
sebagai berikut :
a. Dihitung kapasitas dasar yang tergantung pada jumlah lajur dan apakah
jalan tersebut jalan satu arah atau jalan dua arah. 2/2 artinya 2 lajur - 2
arah, 4/2 artinya 4 lajur - 2 arah sedangkan 3/1 artinya 3 lajur - 1 arah.
b. Kapasitas dasar tersebut dikoreksi dengan koreksi-koreksi Fw (lebar
jalan), Fks (lebar kerb), Fsp (perbandingan jumlah arus masing-masing
arah), Fsf (faktor gesekan) dan Fcs (besar kota).
Menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997, ada suatu hubungan antara
perbandingan V/C dengan kecepatan perjalanan. Hubungan tersebut dapat
dilihat pada Tabel 3.38. di bawah ini.
Tabel 3.38. : Hubungan V/C dengan kecepatan perjalanan

V/C ratio Kecepatan perjalanan (km/jam)


0.24 39
0,54 35
0,76 31
0,91 27
1.00 21
Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997
Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1 37
Desain tebal perkerasan jalan kaku

Kriteria Highway Capacity Manual Amerika 1994 juga digunakan sebagai


referensi. Menurut kriteria kecepatan, kinerja ruas dapat dibagi atas 6 kategori
seperti di bawah ini :

Tabel 3.39. : Tingkat pelayanan pada jalan arteri perkotaan dengan kecepatan
perjalanan antara 40 – 54 km/jam

Tingkat pelayanan Kecepatan (km/jam)


A 40
B 31
C 21
D 14
E 11
F <11

Sumber: HCM Amerika 1994

Dari tabel di atas, kriteria kinerja ruas didefinisikan sebagai berikut :


Table 3.40. : Kriteria ruas

Kriteria Perbandingan V/C


Sangat baik < 0.70
Baik 0.70 – 0.80
Dapat diterima 0.80 – 1.00
Buruk > 1.0

Perbandingan volume / kapasitas dihitung dengan program KAJI dari hasil


survai lalu-lintas dan geometri, dengan memperhitungkan faktor-faktor yang
mempengaruhi seperti hambatan samping dan klasifikasi jalan. Klasifikasi arus
lalu-lintas dan perbandingan V/C kemudian disusun, V/C maksimum yang dapat
diterima adalah 0,8 karena angka ini diharapkan tidak akan melampaui 1,0
dalam jangka waktu 5 tahun jika pertumbuhan arus lalu-lintas tidak lebih dari 5
%. Periode jam puncak pagi umumnya merupakan arus lalu-lintas tertinggi di
kota, kecuali di daerah pertokoan. Untuk evaluasi maka dilakukan tes untuk
evaluasi perbaikan jaringan jalan. Intisari hasil tes model transportasi tersebut
merekomendasikan alternatif terbaik perbaikan jaringan jalan.

5. Model pendekatan berdasar geometrik jalan


Model pendekatan dalam mengkaji jaringan jalan didasarkan pada geometrik

Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1 38


Desain tebal perkerasan jalan kaku

jalan yang menyangkut jumlah dan lebar lajur jalan yang diperlukan akibat V/C
ratio yang terjadi, dapat disajikan seperti pada Gambar 3.13.

Jaringan Jalan

Kondisi Penampang Melintang Klasifikasi Fungsi Pola Tata Guna


Jalan Jalan Lahan

Model Analisa Kapasitas Jalan (Ruas +


Transportasi Simpang)

Volume Lalulintas

V/C ratio 
0,8

Penanganan

Manajemen Lalu-lintas Pelebaran Jalan Pembuatan Jalan Baru

Tidak

Jumlah lajur
Ya
Gambar 3.13. : Diagram alir pengelolaan dan penentuan jumlah lajur jalan.

E. Rangkuman.
parameter lalu-lintas yang digunakan untuk perencanaan tebal perkerasan meliputi:

 Jenis kendaraan.
 Volume lalu-lintas harian rata-rata.
 Pertumbuhan lalu-lintas tahunan.

 Damage factor.
 Umur rencana.
 Faktor distribusi arah.
 Faktor distribusi lajur.

Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1 39


Desain tebal perkerasan jalan kaku

 Equivalent Single Axle Load, ESAL selama umur rencana (traffic design).

3. Umur rencana rigid pavement umumnya diambil 20 tahun untuk konstruksi jalan baru.
lalu-lintas harian rata-rata (LHR) dan pertumbuhan lalu-lintas tahunan

F. Latihan .
1. Jelaskan mengenai pengertian analisa lalu lintas (traffic design)
2. Jelaskan apa yang dimaksud dengan lalu lintas harian rata-rata (LHR)
3. Jelaskan mengenai California Bearing Ratio (CBR)
4. Jelaskan Parameter Perhitungan Tebal Pelat
5. Uraikan mengenai tahapan Perhitungan Tebal Pelat

Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1 40


Desain tebal perkerasan jalan kaku

DAFTAR PUSTAKA
1) Peraturan Pemerintah RI Nomor : 34 Tahun 2006 tentang Jalan
2) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.19/PRT/M/2011 tentang Persyaratan Teknis
Jalan dan Kriteria Perencanaan Teknis Jalan.
3) RSNI No. T-14-2004, Geometri jalan perkotaan
4) Standar No. 031/T/BM/1999/SK.No.76/KPTS/Db/1999, Tata-cara perencanaan
geometri jalan perkotaan
5) Pd.T-01-2002-B, Pedoman perencanaan tebal perkerasan lentur
6) Pd.T-14-2003, Perencanaan perkerasan jalan beton semen
7) Pd.T-16-2004-B, Survai inventarisasi geometri jalan perkotaan
8) Pd.T-19-2004-B, Survai pencacahan lalu lintas dengan cara manual
9) Pd.T-21-2004-B, Survai kondisi rinci jalan beraspal di perkotaan
10) American Association of State Highway and Transportation Officials (AASHTO),
1993, Guide for Design of Pavement Structures
11) AASHTO 2001, A Policy on geometric design of highways and streets
12) Federal Highway Authority (FHWA) No. RD-00-067, Roundabout : an Informational
Guide

Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1 41

Anda mungkin juga menyukai