Anda di halaman 1dari 5

Sementara Pandawa dan Dewi Kunti masih tinggal di Ekacakra dan masih menyamar sebagai brahmana,

mereka mendengar berita tentang sayembara memperebut- kan Draupadi, putri mahkota Kerajaan
Panchala.

Menurut tradisi agung pada jaman itu, seorang raja yang mempunyai putri yang sudah dewasa wajib
menye- lenggarakan sayembara untuk mencari calon mempelai yang pantas bagi putrinya. Demikianlah,
Raja Drupada dari Kerajaan Panchala yang makmur mengumumkan sayembara untuk memperebutkan
Draupadi, putrinya yang terkenal cantik, anggun, dan berbudi halus. Para putra mahkota dan pangeran
dari berbagai kerajaan diundang untuk mengikuti sayembara itu. Pemenangnya berhak menyunting Dewi
Draupadi sebagai istrinya

Sebagai ibu yang bijaksana, Dewi Kunti tahu bahwa anak-anaknya ingin pergi ke Panchala untuk
mengikuti sayembara itu. Agar putra-putranya tidak malu menguta- rakan isi hati, dengan halus ia
berkata kepada Dharma- putra, “Sudah lama kita tinggal di negeri ini. Sudah wak- tunya kita pergi dan
melihat-lihat negeri lain. Ibu sudah bosan melihat gunung, lembah, sungai dan alam sekitar sini. Sedekah
yang kita peroleh semakin lama semakin sedikit. Jadi, tak ada gunanya kita tinggal lebih lama di sini.
Marilah kita pergi ke Kerajaan Panchala yang subur dan makmur.”

Maka berangkatlah Pandawa bersama para brahmana lainnya, meninggalkan Ekacakra menuju Panchala.
Setelah menempuh perjalanan berhari-hari, akhirnya mereka tiba di ibukota Kerajaan Panchala yang
indah. Pandawa menumpang di rumah seorang tukang kendi dan tetap menyamar sebagai brahmana
agar tidak menarik perhatian.

Tibalah hari sayembara. Rakyat berduyun-duyun me- madati arena sayembara di Panchala untuk
menyaksikan para kesatria yang ingin menyunting Draupadi mengadu nasib dan mempertaruhkan nama
mereka. Di tengah arena, di atas panggung yang kokoh, diletakkan sebuah busur raksasa yang sangat
berat, lengkap dengan anak panahnya. Barangsiapa mampu mengangkat busur itu, merentangnya,
memasang anak panah, lalu mengenai sasaran yang telah ditentukan dengan anak panah itu, dialah yang
berhak menyunting Draupadi. Sasaran itu digantungkan di belakang roda cakra yang terus diputar tanpa
henti. Tepat di tengah cakra itu ada satu lubang sempit yang hanya cukup untuk satu anak panah. Hanya
kesatria yang mampu memusatkan pikiran dan memiliki kecakapan memanah melebihi kemampuan
manusia biasa yang bisa memenangkan sayembara itu.

Di sisi lain arena didirikan panggung yang lebih luas dan megah untuk upacara perkawinan agung.
Panggung itu dihias sangat indah, dikelilingi bangunan-bangunan peristirahatan untuk para tamu.
Berbagai hiburan dan pesta meriah sudah disiapkan untuk merayakan pernika- han Draupadi. Menurut
rencana, keramaian itu akan dilangsungkan selama empat belas hari.

Para pangeran yang tampan dan sakti berdatangan dari mana-mana. Anak-anak Dritarastra juga hadir,
begitu pula Krishna, Sisupala, Jarasandha, dan Salya. Semua berniat mengikuti sayembara itu. Gamelan
ditabuh bertalu-talu, rakyat berdiri berjejal-jejal sambil bersorak-sorai.

Tiba-tiba bunyi gamelan menjadi lirih, dari arah gerbang istana muncul arak-arakan megah. Paling depan
tampak Dristadyumna menunggang kuda gagah, disusul Draupadi yang duduk di singgasana di punggung
gajah yang tak kalah gagahnya. Gajah itu diberi pakaian dari sutera warna-warni bertatahkan emas dan
permata. Dengan wajah segar setelah dibasuh air kembang dan mengenakan pakaian putri mahkota dari
sutera berjulai-julai, Draupadi tersenyum tersipu-sipu memandang rakyat yang berjejal- jejal di
sepanjang jalan dari gerbang istana ke arena. Dengan sikap halus nan anggun, Draupadi turun dari
punggung gajah lalu naik ke panggung upacara. Dengan kalung bunga di tangan, sesaat sebelum duduk
di atas panggung, Draupadi sempat melempar pandang ke arah para pangeran peserta sayembara yang
membalasnya dengan pandang takjub terpesona.

Gong ditabuh keras menggelegar, tanda sayembara akan segera dimulai Para brahmana maju ke depan,
mengucapkan mantra-mantra upacara dan kidung-kidung suci. Suasana terasa damai. Gamelan ditabuh
lirih dan khusyuk.

Setelah upacara persembahyangan untuk kemakmuran, ketenteraman dan kedamaian selesai,


Dristadyumna me- nuntun Draupadi ke tengah arena, ke dekat tempat busur raksasa diletakkan.
Kemudian, dengan suara lantang dan jernih Dristadyumna mengumumkan, “Para putra mahkota yang
kami muliakan, yang hadir di sini dengan segala kebesaran, kami ucapkan selamat datang dan selamat
mengikuti sayembara ini.

“Kami mohon perhatian Yang Mulia semua. Di sini terletak busur, di sana anak-anak panah, dan di
seberang sana, di ketinggian itu terpasang sasaran yang harus Tuan-Tuan kenai dengan anak panah.
Barangsiapa mam- pu mengenai sasaran itu, melewati lubang di pusat cakra itu sebanyak lima kali
berturut-turut, dan berasal dari kelahiran serta keluarga baik-baik, dialah yang meme- nangkan
sayembara ini. Dia berhak menyunting adikku, Draupadi.” Kemudian Dristadyumna menoleh kepada
adiknya lalu menyampaikan nama dan riwayat masing- masing putra mahkota yang mengikuti sayembara
itu.

Setelah Dristadyumna selesai menyampaikan peraturan sayembara, satu per satu para putra mahkota
maju ke depan. Mereka bergantian mencoba mengangkat busur itu dan memasang sebatang anak
panah. Tetapi busur itu terlalu berat, begitu pula anak panahnya. Dengan pera- saan malu dan menyesal
mereka kembali ke tempat duduk masing-masing. Di antara yang tidak berhasil adalah Sisupala,
Jarasandha, Salya, dan Duryodhana.

Ketika Karna tampil ke depan, para penonton bersorak- sorai. Karna sangat terkenal akan kepandaiannya
mema- nah. Mereka berharap, kali ini ada yang berhasil meme- nangkan sayembara. Sayang, Karna
gagal. Anak panahnya meleset seujung rambut. Kecuali itu, busur mendesing terpelanting begitu anak
panah dilepaskan. Hadirin ber- teriak-teriak riuh. Ada yang berseru bahwa sayembara itu terlalu berat
dan tak mungkin ada yang bisa memenang- kannya. Yang lain menuduh, sayembara itu sengaja diada-
kan untuk menjatuhkan nama para putra mahkota yang mengikutinya.
Demikianlah, keributan itu berlangsung beberapa lama. Tiba-tiba orang-orang dikagetkan oleh seorang
brahmana muda yang bangkit berdiri, menguak kerumunan penon- ton, lalu maju ke tengah arena.
Ketika ia menghampiri busur itu, sorak-sorai penonton menggemuruh seakan hendak merobohkan
langit. Para brahmana saling berpan- dangan. Siapakah brahmana muda yang berani tampil itu? Mereka
berdebat. Ada yang berpendapat bahwa sungguh baik jika golongan mereka ada yang mewakili. Yang lain
berpendapat, seorang brahmana tidak pantas mengikuti sayembara seperti itu dan bersaing dengan para
pangeran. Kesatria sakti seperti Karna dan Salya saja gagal, apalagi seorang brahmana yang tak
menguasai ilmu olah senjata.

Di antara hiruk-pikuk suara-suara orang berbantah, ada yang berkata lantang setelah melihat sikap,
bentuk badan dan raut wajah brahmana muda itu, “Tunggu dan perhatikan dia. Melihat sikapnya yang
mantap dan keberaniannya maju ke arena, aku yakin dia tahu benar apa yang dilakukannya. Siapa tahu,
di dalam tubuhnya tersimpan segunung tenaga. Apalagi, sebagai brahmana dia pasti sangat terlatih
dalam samadi dan memusatkan pikiran. Beri dia kesempatan!” Orang itu lalu berteriak lantang,
menyuruh penonton diam.

Dari tempat busur itu, brahmana itu mendekati Dristadyumna lalu bertanya, “Bolehkah seorang
brahmana mengangkat panah itu?”

Dristadyumna menjawab, “Wahai brahmana muda, adikku bersedia dipersunting oleh pemenang
sayembara ini. Siapa pun dia, asalkan berasal dari kelahiran dan keluarga baik-baik. Apa yang sudah
terucap tak boleh ditarik lagi. Silakan mencoba, jika kau mau.”

Brahmana muda yang sebenarnya adalah Arjuna itu diam sejenak, mengheningkan cipta, memusatkan
perha- tian dan memohon restu para dewata, terutama restu Narayana, Hyang Widhi. Kemudian dia
mengangkat busur itu dan menyiapkan lima anak panah pada talinya. Semua itu dilakukannya dengan
gerakan yang ringan, anggun dan tangkas. Orang-orang terpesona. Mereka diam, menahan napas.
Suasana hening.

Sebelum membidik, brahmana muda itu memandang sekeliling sambil tersenyum. Kemudian ia kembali
memu- satkan perhatian, mengarahkan busur ke sasaran. Lalu ... secepat kilat dan nyaris tak tertangkap
mata, lima anak panah melesat lepas berurutan, menembus lubang cakra yang terus berputar. Anak
panah pertama tepat mengenai sasaran. Anak panah kedua menembus anak panah per- tama, yang
ketiga menembus yang kedua, dan seterusnya sampai lima anak panah. Cakra itu belah, jatuh ke tanah.

Keheningan pecah. Sorak-sorai membahana. Gamelan ditabuh bertalu-talu. Sasaran telah jatuh.
Sayembara dinyatakan selesai. Seorang brahmana muda keluar sebagai pemenangnya.

Para brahmana yang duduk di sekeliling arena berso- rak-sorak gembira sambil melambai-lambaikan
selendang mereka yang terbuat dari kulit menjangan. Mereka merasa, kemenangan brahmana muda itu
juga merupakan kemenangan golongan mereka.

Sorak-sorai semakin meriah ketika Draupadi, yang mengenakan pakaian sutera kemilau bertatahkan
emas permata, bangkit dari tempat duduknya. Wajahnya bersi- nar-sinar bahagia. Dengan lembut ia
memandang Arjuna, melangkah anggun mendekatinya, lalu mengalungkan karangan bunga di lehernya.
Yudhistira, Nakula dan Saha- dewa meloncat kegirangan lalu lari menemui ibu mereka. Hanya Bhima
yang tinggal, menunggu Arjuna kalau-kalau terjadi apa-apa. Siapa tahu para pangeran menjadi marah
karena merasa terhina.

Benarlah. Seperti dikhawatirkan Bhima, para putra raja menjadi marah. Mereka berteriak, “Sayembara
apa ini? Kemungkinan terpilih sebagai pengantin laki-laki tidak berlaku bagi kaum brahmana. Jika tidak
mau disunting seorang putra raja, Draupadi harus tetap perawan sampai ia melakukan satya, terjun ke
dalam api pembakaran jenazah. Tak pantas brahmana menyunting putri raja. Kami menentang
perkawinan itu. Kami minta sayembara dibatalkan demi mempertahankan aturan yang benar. Siapa tahu
brahmana itu sesungguhnya berniat jahat!”

Rupa-rupanya keributan tidak bisa dihindarkan. Dengan tangkas Bhima mencabut sebatang pohon untuk
senjata. Lalu ia berdiri di samping Arjuna dengan sikap siap sedia. Draupadi ketakutan. Ia tak kuasa
berkata-kata, hanya berdiri di samping Arjuna sambil memegangi jubahnya yang terbuat dari kulit
menjangan.

Krishna dan Balarama mencoba menyabarkan para putra raja yang marah dan membuat keributan.
Sementara itu, diam-diam Arjuna mengundurkan diri keluar arena, diiringkan Draupadi dan dikawal oleh
Bhima. Mereka pulang ke penginapan Pandawa di rumah tukang kendi.

Tanpa mereka ketahui, Dristadyumna membuntuti mereka. Ia melihat segala sesuatu yang terjadi di
rumah tukang kendi itu. Setelah mengetahui siapa sebenarnya para brahmana itu, ia merasa sangat lega
dan gembira.

Diam-diam ia kembali ke istana untuk melapor kepada Raja Drupada. Katanya, “Ayahanda, aku yakin,
brahmana yang memenangkan sayembara itu sebenarnya adalah Arjuna dan brahmana pengawalnya
yang perkasa itu adalah Bhima. Aku melihat sendiri, Draupadi sama sekali tidak merasa canggung berada
bersama mereka. Aku juga melihat seorang wanita yang berwibawa agung. Wanita itu pasti Dewi Kunti.
Ya, Ayahanda, para brahmana itu sebenarnya adalah Pandawa.”

Mendengar laporan putranya, Raja Drupada segera mengutus Dristadyumna dan beberapa punggawa
untuk menjemput dan membawa Pandawa ke istana Panchala.

Atas undangan Raja Drupada, Dewi Kunti dan kelima putranya datang ke istana. Di hadapan raja itu,
Dharma- putra mengaku bahwa mereka adalah Pandawa. Ia juga menyampaikan keputusan Pandawa
bahwa mereka berlima akan menikah dengan Draupadi. Ketika tahu bahwa mereka Pandawa, Raja
Drupada sangat senang. Tetapi, ketika mendengar bahwa mereka berlima akan menikahi Draupadi, ia
sangat kaget dan kecewa.

Raja Drupada menentang perkawinan itu. Katanya, “Sungguh perbuatan yang tidak patut? Sungguh tidak
ber- moral dan bertentangan dengan tradisi serta kesusilaan? Bagaimana mungkin pikiran seperti itu bisa
merasuki kalian?”
Yudhistira menjawab, “Daulat, Paduka Raja, maafkan- lah kami. Ketika hidup sengsara dan terlunta-lunta,
kami bersumpah bahwa kami akan membagi segala sesuatu yang kami miliki. Kami tidak bisa melanggar
sumpah itu. Ibu kami sudah memberikan restunya.”

Mendengar penjelasan itu, Raja Drupada akhirnya mengerti dan perkawinan agung pun dilangsungkan

Anda mungkin juga menyukai