Kedokteran Keluarga
Kelompok A1
1|Page
Pendahuluan
Di negara berkembang yang memiliki kepadatan penduduk yang cukup tinggi seperti
Indonesia, penularan penyakit yang berhubungan dengan saluran pernafasan semakin mudah.
Salah satu penyakit tersebut adalah Tuberculosis Paru (TBC). TBC merupakan penyakit
saluran pernafasan bagian bawah. Penyakit ini disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosa.
Penularan bakteri TBC ini dapat terjadi melalui udara ketika seorang penderita TBC batuk
atau bersin yang kemudian menyebarkan droplet dan kemudian droplet tersebut dapat
menginfeksi orang lainnya. Oleh karena itu, TBC sangat erat kaitannya dengan adanya
kontak langsung dengan penderita TBC. Penyakit TBC dapat dikenali dengan adanya batuk
pada malam hari yang biasanya disertai sputum berwarna kekuningan atau kehijauan disertai
darah, suara nafas yang berbunyi, mengeluarkan banyak keringat pada malam hari, kelelahan,
hingga penurunan berat badan.
Skenario Masalah
Seorang bapak berumur 45 tahun, memiliki seorang istri (43 tahun) dan 5 orang anak.
Istrinya tersebut sedang mendapatkan pengobatan TBC paru dan sudah berjalan selama 3
bulan. Anak perempuannya yang berumur 9 tahun saat ini juga sedang batuk-batuk sejak 3
minggu yang lalu dan tidak kunjung reda walaupun sudah berobat ke Puskesmas. Keluarga
ini tinggal di sebuah rumah semi permanen 4x11 meter di permukiman yang padat penduduk.
Penghasilan keluarga ini sebesar Rp 2,5 juta per bulan sebagai buruh harian.
Konsep Kejadian Sakit
Pengertian penyakit
Menurut Gold Medical Dictionary, penyakit adalah kegagalan dari mekanisme
adaptasi suatu organisme untuk bereaksi secara tepat terhadap rangsangan atau tekanan
sehingga timbul gangguan pada fungsi struktur, bagian, organ, atau sistem dari
tubuh.Sedangkan menurut Arrest Hofte Amsterdam, penyakit bukan hanya berupa kelainan
yang terlihat dari luar saja, tetapi juga suatu keadaan terganggu dari keteraturan fungsi dari
tubuh.1
2|Page
Definisi Sakit menurut WHO adalah suatu kondisi cacat atau kelainan yang disebabkan oleh
gangguan penyakit, emosional, intelektual, dan social.
Definisi Sehat Menurut WHO merupakan suatu keadaan kondisi fisik, mental, dan
kesejahteraan social yang merupakan satu kesatuan dan bukan hanya bebas dari penyakit atau
kecacatan.
3. The Wheel
Model roda memerlukan identifikasi dari berbagai faktor (lingkungan) yang berperan dalam
timbulnya penyakit dengan tidak begitu memperhatikan agent. Disini dipentingkan hubungan
antara manusia dan lingkungan hidupnya.
4. Teori Contagion
Teori ini adalah teori yang paling sederhana, bahwa panyakit berasal dari kontak langsung
antar penyakit seperti penyakit cacar dan herpes. Kontak langsung ini dapat berupa lewat
media kulit (panu), melalui jarak jauh (udara/bersin), bersinggunangan dengan penyakitnya
dan zat penular lainnya (kontangion). Konsep teori contangion dicetuskan oleh Girolamo
3|Page
Fracastoro (1483-1553) yang mengatakan bahwa penyakit ditularkan dari satu orang ke orang
lainnya melalui zat penular (transference) yang disebut kontangion.
5. Teori Hipocrates
Teori Hipocrates menyatakan bahwa sebuah penyakit terjadi karena faktor lingkungan seperti
udara, tanah, cuaca dan air. Bapak kedokteran dunia, Hipocrates (460-377 SM), berhasil
membebaskan hambatan filosofis yang bersifat spekulatif superstitif (tahayul) dalam
mengartikan terjadinya penyakit pada zamannya. Hipocrates menyebutkan 2 teori asal
terjadinya penyakit yaitu, pertama, penyakit terjadi karena adanya kontak dengan jasad hidup,
dan kedua, penyakit berkaitan dengan lingkungan eksternal maupun internal seseorang. Ia
juga mengatakan bahwa masalah lingkungan dan perilaku penduduk dapat mempengaruhi
tersebarnya penyakit pada masyarakat.
6. Teori Miasma
Timbulnya penyakit adalah berasal dari uap sisa hasil pembusukan makhluk hidup, barang
yang membusuk atau dari buangan limbah yang tergenang, sehingga mengotori udara dan
dipercaya sebagai mengambil bagian dalam proses penyebaran penyakit. Konsep ini muncul
pada sekitar abad 18-19.Waktu itu, ada kepercayaan bahwa bila seseorang menghirup
miasma, maka ia akan terkena penyakit. Pencegahannya dapat dilakukan dengan menutup
rumah rapat-rapat terutama di malam hari, karena orang percaya udara malam cenderung
mengandung miasma. Kemudian, kebersihan juga dianggap hal penting untuk dapat
mencegah/menghindari miasma tersebut. Saat ini cara sanitasi yang dilakukan sangat efektif
mengurangi tingkat kematian.
7. Teori Kuman (Germ Theory)
Teori ini menyatakan bahwa penyebab penyakit adalah berasal dari kuman. Para ilmuan saat
itu diantaranya Louis Pasteur (1822-1895), Robert Koch (1843-1910) dan Ilya Mechnikov
(1845-1016) mengatakan bahwa mikroba merupakan etiologi penyakit. Pengamatan Louis
Pasteur pada fermentasi anggur adalah salah satu bukti konsep teori kuman. Ia menemukan
proses pasteurisasi dalam melakukan fermentasi tersebut, yaitu dengan cara memanasi cairan
anggur hingga temperatur tertentu sampai kuman yang tak diinginkan menyebabkan
kegagalan fermentasi mati tapi cairan anggur tidak rusak. Untuk itulah Louis Pasteur dijuluki
Bapak Teori Kuman. Tokoh lainnya adalah Robert Koch. Temuannya dikenal dengan
“Postulat Koch” yang terdiri dari, pertama, kuman harus dapat ditemukan pada semua hewan
yang sakit, tidak pada yang sehat, kedua, kuman dapat diisolasi dan dibuat biakannya, ketiga,
kuman yang dibiakkan dapat ditularkan secara sengaja pada hewan yang sehat dan
4|Page
menimbulkan penyakit yang sama, dan keempat, kuman tersebut harus bisa diisolasi ulang
dari hewan yang diinfeksi.
Kuman penyebab tuberkulosis ini berbentuk batang ramping atau sedikit bengkok
dengan kedua ujungnya membulat.
Koloninya yang kering dengan permukaan berbentuk bunga kol dan berwarna kuning
tumbuh secara lambat walaupun dalam kondisi optimal. Diketahui bahwa pH optimal
pertumbuhannya adalah antara 6,8-8,0. Untuk memelihara virulensinya harus dipertahankan
kondisi pertumbuhannya pada pH 6,8. Sedangkan untuk merangsang pertumbuhannya
dibutuhkan karbondioksida dengan kadar 5-10%. Umumnya koloni baru nampak setelah
kultur berumur 8 minggu.
M.tuberculosis memproduksi katalase, tetapi ia akan berhenti memproduksi bila
dipanaskan pada suhu 65°C selama 20 menit dalam dapar fosfat. Mycobacterium tuberculosis
yang resisten terhadap obat anti tuberkulosis INH, tidak memproduksi katalase.
Uji biokimia yang sering digunakan untuk membedakan M.tuberculosis dengan
spesies lain adalah uji niasin dan nitrat. Mycobacterium tuberculosis memberikan hasil uji
niasin positif serta ia juga mereduksi nitrat. Marmot merupakan hewan yang peka terhadap
5|Page
M.tuberculosis, maka dari itu ia sering digunakan sebagai hewan percobaan. Bila marmot
disuntik dengan kuman M.tuberculosis, maka 10 hari kemudian akan nampak pembengkakan
ditempat suntikan diikuti pembengkakan kelenjar limfe serta penyebaran kuman ke seluruh
tubuh.
2. Mycobacterium bovis4
Kuman ini sulit dibedakan dari M.tuberculosis, bahkan untuk pertama kalinya Robert
Koch mengira kedua kuman ini adalah sama. Baru pada tahun 1900 Theobald Smith berhasil
membedakan kedua kuman ini dengan uji biokimia.4
Mycobacterium bovis adalah penyebab Tuberkulosis pada ternak sapi. Kuman ini
sangat virulen bagi manusia dan mamalia lain. Air susu dan produk lain dari sapi yang
berpenyakit Tuberkulosis merupakan bahan yang dapat menularkan penyakit.
Penularan paling utama pada sapi melalui udara atau aerosol yakni udara yang telah
tercemar bakteri saat sapi batuk. Bakteri mampu bertahan selama beberapa jam dalam sputum
atau dahak yang dikeluarkan saat batuk. Penularan lainnya melalui makanan dan minuman
yang telah tercemar. Konsumsi air susu sapi dalam keadaan mentah yang sudah terinfeksi
tuberculosis merupakan cara penularan yang paling ideal. Bacilli penyebab tuberculosis yang
merupakan organisme yang teremulsikan ke lemak dan emigrasi ke jaringan mukosa dan
lymphoid dipermudah karena pada saat yang sama pangan sedang dicerna oleh tubuh
penderita.4,5
Semua bangsa sapi sangat rentan terhadap infeksi M.tuberculosis, terutama pada anak
sapi. Kaitannya dengan manusia, penyakit tuberkulosis merupakan penyakit zoonosis yang
banyak diderita oleh manusi.
Penularan tuberkulosis dari hewan ke manusia berasal dari produk asal ternak
terutama susu. Selain itu para peternak sapi yang setiap harinya kontak langsung dengan sapi.
Mycobacterium bovis berbentuk lebih pendek dan lebih gemuk dibandingkan
M.tuberculosis. Kuman ini tumbuh lebih lambat daripada M.tuberculosis. Suhu optimal
pertumbuhannya adalah 35°C. Koloninya mempunyai permukaan datar berwarna putih agak
basah dan mudah pecah bila disentuh. Seperti halnya M.tuberculosis, kuman ini
membutuhkan karbondioksida 5-10% untuk merangsang pertumbuhannya. Derajat keasaman
optimal untuk pertumbuhan adalah 6,5-6,8.
Pada uji biokimia ternyata M.bovis tidak mereduksi nitrat, uji niasinnya negatif dan
resisten terhadap pirazinamid. M.bovis bagi kelinci sangatlah patogen, sedangkan
6|Page
M.tuberculosis tidaklah demikian, maka dari itu pada percobaan hewan, kelinci digunakan
untuk membedakan kedua jenis kuman ini.4
Tanda atau gejala umum sapi terkena tuberculosis, pada awal-awal infeksi gejala
klinis tidak tampak, jika sudah berlanjut gejalanya baru akan terlihat seperti :
Jika terdapat gejala seperti di atas pada ternak sapi segera dilakukan tindakan dengan
melakukan karantina sapi yang sakit dan segera menghubungi dinas kesehatan untuk
dilakukan uji tuberkulin untuk memastikan apakah benar terkena tuberkulosis. Dimana
hasilnya akan diketahui setelah 2-3 hari setelah dilakukan penyuntikan. Jika positif
tuberculosi dapat diberikan obat antibiotik yang fungsinya menghentikan siklus hidup bakteri
Namun demikian alangkah baiknya segera dimusnahkan dengan cara dipotong dan
dibakar. Namun problem dimasyarakat adalah tidak mau merugi sehingga sapi yang sakit
dipotong dan dikonsumsi sehingga sangat berpotensi menular ke manusia.4
Selain itu untuk mencegah terjadinya penularan tuberculosis sebaikanya masyarakat
meminum susu setelah proses pemanasan atau meminum sus yang sudah di asamkan (yoghurt,
keffir) karena akan berakibat negatif terhadap hidupnya bacilli tuberculosis.5
3. Mycobacterium avium4
Mycobacterium avium adalah penyebab tuberkulosis pada unggas dan kadang-kadang
babi, tetapi tidak patogen bagi marmot. Kuman ini dapat pula menyerang manusia dan
menimbulkan penyakit yang sulit diobati, karena kuman ini dapat dikatakan resisten terhadap
hampir semua jenis obat anti tuberkulosis kecuali rifampisin. Pada anak-anak kuman ini
menimbulkan limfadenitis servikalis.4
Bentuk kuman ini agak lebih kecil dari M.tuberkulosis. koloninya halus berwarna
putih dan tumbuh optimal pada suhu 41°C dimana spesies lain tidak dapat tumbuh.
7|Page
Mycobacterium avium hanya memproduksi sedikit katalase. Uji niasin dan nitrat
memberikan hasil negatif. Untuk membedakannya dengan spesies lain dilakukan uji telurit
dimana M.avium mereduksi telurit dalam waktu 3 hari.
Gejala klinis pada infeksi alam tidak terlihat nyata, biasanya unggas terlihat kurus,
lemah, lesu serta produksi telur turun. Sedangkan pada infeksi buatan, gejala klinis yang
ditimbulkan berupa aktivitas menurun, bulu berdiri, dan kematian yang tiba-tiba. Sebanyak
50% mengalami kematian dalam 63 hari semenjak diinfeksi. Selain itu juga menyebabkan
penurunan rata-rata bobot ayam yang diinfeksi sebesar 19%.6
Penularan pada unggas kasus Avian Tuberculosis umumnya ditemukan pada unggas
yang berumur tua. Hal ini bukan dikarenakan kuman hanya menginfeksi unggas yang tua
tetapi karena penyakit berjalan kronis sehingga gejala terlihat setelah unggas berumur tua.
Unggas dapat tertular karena kontak dengan unggas penderita lainnya, peralatan kandang
yang tercemar, maupun dari petugas kandang yang mengidap penyakit Avian Tuberculosis,
meskipun hingga kini belum ditemukan adanya laporan penularan dari manusia ke unggas.
Unggas penderita Avian Tuberculosis akan mencemari lingkungan melalui droplets yang
dikeluarkan pada saat bersin atau batuk, dan juga melalui feses. Droplets yang mengandung
kuman akan terhisap melalui saluran pernafasan oleh unggas yang sehat atau tertelan melalui
saluran pencernaan. Di dalam paruparu M. avium akan ditangkap oleh makrofag. M. avium
umumnya tahan terhadap proses fagositosis, sehingga dapat bertahan hidup dalam makrofag.
Selanjutnya kuman akan disebarkan melalui peredaran darah ke organ lainnya di dalam tubuh,
umumnya pada organ hati, limpa serta saluran pencernaan.6
4. Mycobacterium leprae4
Kuman kusta ditemukan pertama kali oleh A.Hansen pada tahun 1868 (14 tahun
sebelum kuman tuberculosis ditemukan) dari seorang penderita kusta.Kuman ini dikenal
sebagai parasit yang obligat intraseluler dan manusia adalah satu-satunya hospes yang
dikenal sampai saat ini. Kuman ini dapat ditemukan banyak sekali di dalam sel makrofag
(disebut sel lepra) yang mempunyai sitoplasma berbuih. Pada seorang penderita kusta, kuman
ini dapat diisolasi dari kerokan kulit, selaput lendir (terutama hidung) dan endotel pembuluh
darah.
Dikenal beberapa macam tipe penyakit kusta misalnya tipe lepromatous,tipe
tuberkuloid, tipe borderline dan tipe indeterminate. Salah satu cara untuk menentukan tipe
penyakit ini adalah dengan uji lepromin.
8|Page
Sebagai kuman yang obligat intraseluler, maka M.leprae tidak dapat dikultur pada
media buatan seperti halnya Mycobacterium lain. Kuman ini juga tidak dapat dikultur pada
sel manusia, tetapi dapat tumbuh dan berkembang bila diinokulasi pada telapak kaki tikus
atau kulit trenggiling (armadillo). Dengan menggunakan hewan tersebut diatas sebagai hewan
percobaan, maka telah berhasil dilakukan uji resistensi kuman terhadap obat anti kusta dan
berbagai penelitian lain.
1. Agent7,8
TB disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis, bakteri gram positif, berbentuk
batang halus, mempunyai sifat tahan asam dan aerobic. Karakteristik alami dari agen TBC
hampir bersifat resisten terhadap desinfektan kimia atau antibiotika dan mampu bertahan
hidup pada dahak yang kering untuk jangka waktu yang lama.
Mycobacterium tuberculosis adalah suatu anggota dari famili Mycobacteriaceae dan
termasuk dalam ordo Actinomycetalis. Mycobacterium tuberculosis menyebabkan sejumlah
penyakit berat pada manusia dan penyebab terjadinya infeksi tersering.
9|Page
pada suhu 31-37 C. Pengetahuan mengenai sifat-sifat agent sangat penting untuk pencegahan
dan penanggulangan penyakit, sifat-sifat tersebut termasuk ukuran, kemampuan berkembang
biak, kematian agent atau daya tahan terhadap pemanasan atau pendinginan.
Agent adalah penyebab yang essensial yang harus ada, apabila penyakit timbul atau
manifest, tetapi agent sendiri tidak sufficient/memenuhi syarat untuk menimbulkan penyakit.
Agent memerlukan dukungan faktor penentu agar penyakit dapat manifest. Agent yang
mempengaruhi penularan penyakit tuberkulosis paru adalah kuman Mycobacterium
tuberculosis. Agent ini dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya pathogenitas,
infektifitas dan virulensi.
Pathogenitas adalah daya suatu mikroorganisme untuk menimbulkan penyakit pada host.
Pathogenitas agent dapat berubah dan tidak sama derajatnya bagi berbagai host. Berdasarkan
sumber yang sama pathogenitas kuman tuberkulosis paru termasuk pada tingkat rendah.
Infektifitas adalah kemampuan suatu mikroba untuk masuk ke dalam tubuh host dan
berkembang biak didalamnya. Berdasarkan sumber yang sama infektifitas kuman
tuberkulosis paru termasuk pada tingkat menengah. Virulensi adalah keganasan suatu
mikroba bagi host. Berdasarkan sumber yang sama virulensi kuman tuberkulosis paru
termasuk tingkat tinggi, jadi kuman ini tidak dapat dianggap remeh begitu saja.
Pada Host, daya infeksi dan kemampuan tinggal sementara Mycobacterium Tuberculosis
sangat tinggi. Pathogenesis hamper rendah dan daya virulensinya tergantung dosis infeksi dan
kondisi Host. Sifat resistensinya merupakan problem serius yang sering muncul setelah
penggunaan kemoterapi modern, sehingga menyebabkan keharusan mengembangkan obat
baru.
Umumnya sumber infeksinya berasal dari manusia dan ternak (susu) yang terinfeksi.
Untuk transmisinya bisa melalui kontak langsung dan tidak langsung, serta transmisi
congenital yang jarang terjadi.
2. Host7,8
Manusia merupakan reservoar untuk penularan kuman Mycobacterium tuberculosis, kuman
tuberkulosis menular melalui droplet nuclei. Seorang penderita tuberkulosis dapat
menularkan pada 10-15 orang (Depkes RI, 2002). Menurut penelitian pusat ekologi kesehatan
, menunjukkan tingkat penularan tuberkulosis di lingkungan keluarga penderita cukup tinggi,
dimana seorang penderita rata-rata dapat menularkan kepada 2-3 orang di dalam rumahnya.
Di dalam rumah dengan ventilasi baik, kuman ini dapat hilang terbawa angin dan akan lebih
baik lagi jika ventilasi ruangannya menggunakan pembersih udara yang bisa menangkap
10 | P a g e
kumanTB.
Menurut penelitian Atmosukarto dari Litbang Kesehatan (2000), didapatkan data
bahwa Tingkat penularan tuberkulosis di lingkungan keluarga penderita cukup tinggi, dimana
seorang penderita rata-rata dapat menularkan kepada 2-3 orang di dalam rumahnya.
Besar resiko terjadinya penularan untuk rumah tangga dengan penderita lebih dari 1 orang
adalah 4 kali dibanding rumah tangga dengan hanya 1 orang penderita tuberkulosis.
Hal yang perlu diketahui tentang host atau penjamu meliputi karakteristik; gizi atau daya
tahan tubuh, pertahanan tubuh, higiene pribadi, gejala dan tanda penyakit dan pengobatan.
Karakteristik host dapat dibedakan antara lain; Umur, jenis kelamin, pekerjaan, keturunan,
pekerjaan, keturunan, ras dan gaya hidup.
Host atau penjamu; manusia atau hewan hidup, termasuk burung dan anthropoda yang
dapat memberikan tempat tinggal atau kehidupan untuk agent menular dalam kondisi alam
(lawan dari percobaan). Host untuk kuman tuberkulosis paru adalah manusia dan hewan,
tetapi host yang dimaksud dalam penelitian ini adalah manusia. Beberapa faktor host yang
mempengaruhi penularan penyakit tuberkulosis paru adalah; kekebalan tubuh (alami dan
buatan), status gizi, pengaruh infeksi HIV/AIDS.
3. Environment7,8
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di luar diri host baik benda mati, benda
hidup, nyata atau abstrak, seperti suasana yang terbentuk akibat interaksi semua elemen-
elemen termasuk host yang lain. Distribusi geografis TBC mencakup seluruh dunia dengan
variasi kejadian yang besar dan prevalensi menurut tingkat perkembangannya. Penularannya
pun berpola sekuler tanpa dipengaruhi musim dan letak geografis.
Keadaan sosial-ekonomi merupakan hal penting pada kasus TBC. Pembelajaran sosiobiologis
menyebutkan adanya korelasi positif antara TBC dengan kelas sosial yang mencakup
pendapatan, perumahan, pelayanan kesehatan, lapangan pekerjaan dan tekanan ekonomi.
Terdapat pula aspek dinamis berupa kemajuan industrialisasi dan urbanisasi komunitas
perdesaan. Selain itu, gaji rendah, eksploitasi tenaga fisik, pengangguran dan tidak adanya
pengalaman sebelumnya tentang TBC dapat juga menjadi pertimbangan pencetus
peningkatan epidemi penyakit ini. Pada lingkungan biologis dapat berwujud kontak langsung
dan berulang-ulang dengan hewan ternak yang terinfeksi adalah berbahaya.
11 | P a g e
Pengaruh Faktor Lingkungan terhadap Tb Paru9,10
Faktor lingkungan perumahan memegang peranan penting dalam menentukan
terjadinya proses interaksi antara penjamu dengan unsur penyebab dalam proses terjadinya
penyakit. Lingkungan fisik meliputi kepadatan hunian (rasio jumlah kamar tidur dan orang),
ventilasi, dan suhu ruangan.
a. Kepadatan Hunian.
Kepadatan penghuni merupakan suatu proses penularan penyakit. Semakin padat
maka perpindahan penyakit, khususnya penyakit menular melalui udara akan semakin mudah
dan cepat, apalagi terdapat anggota keluarga yang menderita Tb paru dengan BTA (+).
Kuman Tb paru cukup resisten terhadap antiseptik tetapi dengan cepat akan menjadi inaktif
oleh cahaya matahari, sinar ultraviolet yang dapat merusak atau melemahkan fungsi vital
organisme dan kemudian mematikan. Kepadatan hunian ditempat tinggal penderita Tb paru
anak paling banyak ialah tingkat kepadatan rendah. Suhu di dalam ruangan erat kaitannya
dengan kepadatan hunian dan ventilasi rumah.
Kepadatan penghuni yang ditetapkan oleh Departemen Kesehatan RI, yaitu rasio luas
lantai seluruh ruangan dibagi jumlah penghuni minimal 10 m2/orang. Luas kamar tidur
minimal 8 m2 dan tidak dianjurkan digunakan lebih 2 orang tidur dalam satu ruang tidur,
kecuali anak dibawah umur 5 tahun. Kepadatan hunian dapat juga ditentukan dengan jumlah
kamar tidur dibagi dengan jumlah penghuni (sleeping density), dinyatakan dengan nilai: baik,
bila kepadatan lebih atau sama dengan 0,7 cukup, bila kepadatan antara 0,5 - 0,7 dan kurang
bila kepadatan kurang dari 0,5.
Beberapa penelitian telah dilakukan yang menegaskan bahwa kepadatan hunian bisa
menjadi salah satu faktor penyebab (faktor risiko) Tb paru seperti penelitian yang dilakukan
oleh Daryatno (2000) di Semarang yang menyatakan bahwa kepadatan hunian memiliki
hubungan dengan kejadian Tb paru. Selanjutnya, Sugiharto (2004) melakukan penelitian
tentang hubungan kepadata hunian dengan kejadian Tb paru dan diperoleh hasil adanya
hubungan dengan nilai OR = 3,161 dengan nilai p = 0,001. Selanjutnya, Tobing (2009)
melaksanakan penelitian dengan salah satu variabel yaitu kepadatan hunian yang memperoleh
nilai p sebesar 0,004 yang berarti adanya hubungan yang signifikan antara kepadatan hunian
dengan penyakit Tb paru dimana nilai OR sebesar 3,3 (95% CI : 1,45-7,9). Hal ini berarti,
potensi kejadian penyakit Tb paru sebesar 3,3 kali di bangunan atau rumah yang kepadatan
huniannya < 0,5.
Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Adnani dan Mahastuti (2007) tentang kondisi
rumah dan penyakit Tb paru menunjukkan bahwa kepadatan hubian berhubungan dengan
12 | P a g e
kejadian Tb paru dengan nilai OR sebesar 1,55 dengan 95% CI : 0,61-16,50. Selanjutnya
Ratnasari (2005) yang melaksanakan penelitian di Kota Semarang menemukan bahwa
kepadatan hunian berhubungan dengan kejadian Tb paru dengan nilai OR = 2,4 dimana 95%
CI: 1,09-5,47. Penelitian tentang hal yang sama juga dilakukan oleh Yusri (2005) yang
memperoleh hasil yaitu kepadatan hunian berhubungan dengan kejadian Tb paru dengan OR
sebesar 4,0 dimana 95% CI : 1,7-9,6. Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Rusnoto
dkk (2004) tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian Tb paru di Balai
Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Paru ditemukan kepadatan hunian berhubungan dengan
kejadian Tb paru dimana nilai OR sebesar 9,29 dengan 95% CI: 2,28-37,83.
Kepadatan penghuni merupakan suatu proses penularan penyakit. Semakin padat
maka perpindahan penyakit, khususnya penyakit menular melalui udara akan semakin mudah
dan cepat, apalagi terdapat anggota keluarga yang menderita Tb paru dengan BTA (+).
Kuman Tb paru cukup resisten terhadap antiseptik tetapi dengan cepat akan menjadi inaktif
oleh cahaya matahari, sinar ultraviolet yang dapat merusak atau melemahkan fungsi vital
organisme dan kemudian mematikan. Kepadatan hunian ditempat tinggal penderita Tb paru
anak paling banyak adalah tingkat kepadatan rendah. Suhu didalam ruangan erat kaitannya
dengan kepadatan hunian dan ventilasi rumah.
Daerah perkotaan (urban) yang lebih padat penduduknya dibandingkan di pedesaan
(rural), peluang terjadinya kontak dengan penderita Tb paru lebih besar. Sebaliknya di daerah
rural akan lebih kecil kemungkinannya. Dapat disimpulkan bahwa orang yang rentan
(susceptible) akan terpapar dengan penderita Tb paru menular lebih tinggi pada wilayah yang
pada penduduknya walaupun insiden sama antara yang penduduk padat dan penduduk tidak
padat.
Kepadatan hunian akan memudahkan terjadinya penularan penyakit Tb paru di dalam
rumah tangga. Bila dalam satu rumah tangga terdapat satu orang penderita Tb paru aktif dan
tidak diobati secara benar maka akan menginfeksi anggota keluarga terutama kelompok yang
rentan seperti bayi dan balita, semakin padat hunian suatu rumah tangga maka semakin besar
risiko penularan.
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No.829/MenKes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan, tempat tinggal
merupakan kebutuhan pokok bagi setiap masyarakat, sama pentingnya, meskipun berbeda
fungsinya, dengan dua unsur kebutuhan dasar lainnya, yaitu pakaian (sandang) dan makanan
(pangan). Dari kondisi lingkungan tempat tinggal dapat terlihat tingkat kesejahteraan sosial
ekonomi masyarakat dan kondisi lingkungan yang sehat. Rumah adalah bangunan yang
13 | P a g e
berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga; sedangkan
perumahan ialah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau
lingkungan hunian dilengkapi dengan sarana prasarana lingkungan.
Rumah dikatakan baik dan aman, jika kualitas bangunan dan lingkungan dibuat
dengan serasi. Rumah yang sehat yaitu jika bahan bangunannya memenuhi syarat :
1) Lantai tidak berdebu pada musim kemarau dan tidak basah pada musim hujan. Lantai yang
basah dan berdebu merupakan sarang penyakit,
2) Dinding tembok adalah baik, namun bila di daerah tropis dan ventilasi kurang akan lebih
baik dari papan,
3) Atap genting cocok untuk daerah tropis, sedang atap seng atau asbes tidak cocok untuk ruma
pedesaan karena disamping mahal juga menimbulkan suhu panas di dalam rumah.
b. Ventilasi.9,10
Hal ini berhubungan dengan minimal luas jendela/ ventilasi adalah 15% dari luas
lantai, karena ventilasi mempunyai fungsi:
1) Menjaga agar aliran udara di dalam rumah tetap segar, sehingga keseimbangan O2 yang
diperlukan oleh penghuni rumah tetap terjaga. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan
kurangnya 02 di dalam rumah yang berarti kadar CO2 yang bersifat racun bagi penghuninya
menjadi meningkat,
2) Menjaga agar udara di ruangan rumah selalu tetap dalam kelembaban (humidity) yang
optimum. Kelembaban yang optimal (sehat) yaitu sekitar 40 – 70% kelembaban yang lebih
dari 70% akan berpengaruh terhadap kesehatan penghuni rumah. Kelembaban udara di dalam
ruangan naik karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan.
Kelembaban ini akan merupakan media yang baik untuk bakteri - bakteri patogen (penyebab
penyakit),
3) Membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen, karena disitu
selalu terjadi aliran udara yang terus menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu
mengalir.
4) Lingkungan perokok dapat menyebabkan udara mengandung nitrogen oksida sehingga
menurunkan kekebalan pada tubuh terutama pada saluran napas karena berkembang menjadi
makrofag yang dapat menyebab infeksi.
Azwar (1999) mengemukakan bahwa ventilasi mempunyai fungsi yaitu : 1) menjaga
agar aliran udara di dalam rumah tetap segar, sehingga keseimbangan O2 yang diperlukan
oleh penghuni rumah tetap terjaga. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya O2 di
14 | P a g e
dalam rumah yang berarti kadar CO2 yang bersifat racun bagi penghuninya menjadi
meningkat; 2) menjaga agar udara di ruangan rumah selalu tetap dalam kelembaban (humidity)
yang optimum. Kelembaban yang optimal (sehat) yaitu sekitar 40 – 70% kelembaban yang
lebih dari 70% akan berpengaruh terhadap kesehatan penghuni rumah. Kelembaban udara di
dalam ruangan naik karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan.
Kelembaban ini akan merupakan media yang baik untuk bakteri-bakteri patogen (penyebab
penyakit); 3) membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen,
karena disitu selalu terjadi aliran udara yang terus menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara
akan selalu mengalir; 4) lingkungan perokok akan menyebabkan udara mengandung nitrogen
oksida sehingga menurunkan kekebalan pada tubuh terutama pada saluran napas karena
berkembang menjadi makrofag yang dapat menyebab infeksi.
Beberapa penelitian telah dilakukan yang menegaskan bahwa ventilasi bisa menjadi
salah satu faktor penyebab (faktor risiko) Tb paru seperti yang dilakukan oleh Ratnawati
(2001) hasil penelitiannya menunjukkan tidak ada hubungan antara ventilasi rumah dengan
kejadian Tb paru di Kabupaten Jepara (p> 0,05). Selanjutnya penelitian yang dilakukan
Sumarjo (2004) di Kabupaten Banjarnegara memperoleh hasil yaitu adanya hubungan antara
ventilasi rumah dengan kejadian Tb paru dengan nilai p sebesar 0,003 dan OR = 6,176. Hal
ini berarti individu yang tinggal di rumah dengan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat
memiliki risiko terkena Tb paru sebesar 6,2 kali dibandingkan mereka yang memiliki luas
ventilasi yang memenuhi syarat. Selanjutnya, Tobing (2009) menyatakan bahwa dalam
penelitian yang dilakukannya diperoleh hasil yatu nilai p sebesar 0,037 dan nilai OR sebesar
2,4 (9% CI-1,04-5.8). Selanjutnya, Darsoni (2005) yang melaksanaan penelitian di Desa
Padang memperoleh hasil yaitu bahwa adanya hubungan antara luas ventilasi rumah dengan
kejadian Tb paru dimana nilai p = 0,001 dan OR sebesar 10,8.
Adnani dan Mahastuti (2007) yang meneliti tentang Tb paru di Kecamatan Paseh
menunjukkan bahwa individu yang memiliki ventilasi yang tidak baik memilihi risiko terkena
Tb paru sebesar 3,69 dari pada mereka yang memiliki ventilasi yang memenuhi syarat.
Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Rusnoto dkk (2004) tentang faktor-faktor yang
berhubungan dengan kejadian Tb paru di Balai Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Paru
ditemukan luas ventilasi berhubungan dengan kejadian Tb paru dimana nilai OR sebesar
29,99 dengan 95% CI: 3,39-265,50.
Penelitian yang dilakukan oleh Sugiyarti (2003) tentang hubungan karakteristik
kondisi rumah dan praktik kesehatan dengan kejadian Tb paru di wilayah kerja Puskesmas
Gemuh I Kecamatan Gemuh Kabupaten Kendal menemukan bahwa luas ventilasi
15 | P a g e
berhubungan dengan kejadian Tb paru dengan OR sebesar 3,125. Selanjutnya, Sugiarto (2003)
menyatakan bahwa luas ventilasi berhubungan dengan kejadian Tb paru (p value = 0,004 dan
OR = 2,5) dan Sumini (2005) yang menyatakan bahwa luas ventilasi berhubungan dengan
kejadian Tb paru (p value = 0,046 dan OR = 2,1).
Hal ini dapat dipahami karena ventilasi memiliki berbagai fungsi seperti
membebaskan ruangan rumah dari bakteri pathogen terutama kuman tuberculosis. Kuman Tb
yang ditularkan melalui droplet nuclei dapat melayang di udara karena memiliki ukuran yang
sangat kecil (50 mikron). Ventilasi yang tidak baik karena dapat menghalangi sinar matahari
masuk ke dalam ruangan, padahal
kuman Tb hanya dapat dibunuh dengan sinar matahari secara langsung.
c. Suhu Udara.9,10
Suhu udara yang ideal dalam rumah antara 18 - 30°C. Suhu optimal pertumbuhan
bakteri sangat bervariasi. Mycobacterium tuberculosis tumbuh optimal pada suhu 37°C.
Paparan sinar matahari selama 5 menit dapat membunuh M. tuberculosis dan tahan hidup
pada tempat gelap, sehingga perkembangbiakan bakteri lebih banyak di rumah yang gelap.
Beberapa penelitian telah dilakukan yang menegaskan bahwa suhu udara bisa menjadi
salah satu faktor penyebab (faktor risiko) Tb paru seperti penelitian yang dilakukan oleh
Fatimah (2008) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara kejadian Tb paru dengan suhu
(OR 2,674). Selanjutnya, Atmosukarto dan Soewasti (2000) yang melakukan penelitian
tentang pengaruh lingkungan permukiman dengan kejadian Tb paru menemukan bahwa suhu
ruangan memberikan pengaruh terhadap kejadiaan Tb paru dengan OR sebesar 5,126. Hal ini
menunjukkan bahwa individu yang memiliki rumah dengan suhu <18 / > 30oC memiliki
risiko terkena Tb paru sebesar 2,7 an 5,1 kali dibandingkan dengan suhu ruangan 18-30oC.
Suhu udara yang ideal dalam rumah antara 18 - 30°C. Gould dan Brooker (2003) menyatakan
bahwa bakteri M. tuberculosis merupakan bakteri mesofilik yang bisa hidup pada suhu udara
10-40oC. Suhu optimal pertumbuhan bakteri sangat bervariasi, M. tuberculosis tumbuh
optimal pada suhu 37°C. Paparan sinar matahari selama 5 menit dapat membunuh M.
tuberculosis. Bakteri tahan hidup pada tempat gelap, sehingga perkembangbiakan bakteri
lebih banyak di rumah yang gelap.
16 | P a g e
Macam –Macam Tuberkulosis
Klasifikasi Tuberkulosis11-13
Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberculosis memerlukan
suatu “definisi kasus” yang meliputi empat hal , yaitu:
1. Lokasi atau organ tubuh yang sakit: paru atau ekstra paru;
2. Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis): BTA positif atau
BTA negatif;
3. Tingkat keparahan penyakit: ringan atau berat.
4. Riwayat pengobatan TB sebelumnya: baru atau sudah pernah diobati
Manfaat dan tujuan menentukan klasifikasi dan tipe adalah:
1. Menentukan paduan pengobatan yang sesuai.
2. Registrasi kasus secara benar.
3. Menentukan prioritas pengobatan TB BTA positif.
4. Analisis kohort hasil pengobatan.
Beberapa istilah dalam definisi kasus:
1. Kasus TB : Pasien TB yang telah dibuktikan secara mikroskopis atau
didiagnosis oleh dokter.
2. Kasus TB pasti (definitif) : pasien dengan biakan positif untuk
Mycobacterium tuberculosis atau tidak ada fasilitas biakan, sekurang-kurangnya 2
dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
3. Kesesuaian paduan dan dosis pengobatan dengan kategori diagnostik
sangat diperlukan untuk:
4. Menghindari terapi yang tidak adekuat (undertreatment) sehingga
mencegah timbulnya resistensi
5. Menghindari pengobatan yang tidak perlu (overtreatment) sehingga
meningkatkan pemakaian sumber-daya lebih biaya efektif (cost-effective).
6. Mengurangi efek samping.
A. Klasifikasi berdasarkan ORGAN tubuh yang terkena:
Tuberkulosis paru, Adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru.
tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
17 | P a g e
Tuberkulosis ekstra paru, Adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain
selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe,
tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.
B. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan DAHAK mikroskopis, yaitu pada TB
Paru:
Tuberkulosis paru BTA positif.
1. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
2. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks
dada menunjukkan gambaran tuberkulosis.
3. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.
4. 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak
SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan
setelah pemberian antibiotika non OAT.
Tuberkulosis paru BTA negatif
1. Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif.
Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:
Minimal 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif.
Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis.
Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.
18 | P a g e
Catatan:
Bila seorang pasien TB ekstra paru juga mempunyai TB paru, maka
untuk kepentingan pencatatan, pasien tersebut harus dicatat sebagai pasien TB paru.
Bila seorang pasien dengan TB ekstra paru pada beberapa organ, maka dicatat sebagai
TB ekstra paru pada organ yang penyakitnya paling berat.
D. Klasifikasi berdasarkan RIWAYAT pengobatan sebelumnya
Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe pasien,
yaitu:
1. Kasus Baru Adalah pasien yang BELUM PERNAH diobati dengan OAT atau
sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
2. Kasus Kambuh (Relaps), Adalah pasien TB yang sebelumnya pernah
mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).
3. Kasus Putus Berobat (Default/Drop Out/DO) Adalah pasien TB yang telah
berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.
4. Kasus Gagal (Failure) Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap
positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
5. Kasus Pindahan (Transfer In), Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK
yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya.
6. Kasus lain, Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas.
Dalam kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan
masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.
Catatan:
TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru, dapat juga mengalami kambuh, gagal, default
maupun menjadi kasus kronik. Meskipun sangat jarang, harus dibuktikan secara patologik,
bakteriologik (biakan), radiologik, dan pertimbangan medis spesialistik.
Diagnosa pasien TB
Apabila dicurigai seseorang tertular penyakit TBC, maka beberapa hal yang perlu dilakukan
untuk menegakkan diagnosis adalah:11-13
1. Anamnesa baik terhadap pasien maupun keluarganya.
2. Pemeriksaan fisik.
19 | P a g e
3. Pemeriksaan laboratorium (darah, dahak, cairan otak).
4. Pemeriksaan patologi anatomi (PA).
5. Rontgen dada (thorax photo).
6. Uji tuberkulin.
Anamnesis14
Anamnesis yaitu suatu proses wawancara dua arah antara dokter dengan pasiennya
untuk menadapatkan informasi yang berguna untuk menegakkan diagnosis. Proses anamnesis
dapat dilakukan langsung dengan pasiennya langsung (autoanamnesis) ataupun kepada
orangtua atau orang terdekat yang mengerti mengenai keadaan pasien (alloanamnesis) bila
keadaan autoanamnesis tidak menungkinkan. Contohnya, pada anak anak yang belum dapat
diajak berkomunikasi secara verbal dengan baik, anamnesis dapat kita lakukan secara
alloanamnesis.14
20 | P a g e
penyakit keturunan seperti asma, perlu untuk ditanyakan atopi / alergi dalam
keluarga.
Pada umumnya, hal hal berikut perlu diketahui mengenai keluhan atau gejala:
Lama berlangsungnya gejala.
Bagaimana sifat gejala : mendadak, perlahan lahan, terus menerus, hilang
timbul, apakah berhubungan dengan waktu (pagi, siang, sore).
Untuk keluhan lokal harus dirinci lokalisasi dan sifatnya: menetap, menjalar,
menyebar, dan sifatnya, berpindah pindah.
Berat ringannya keluhan dan perkembangannya : apakah menetap, cenderung
bertambah berat atau berkurang.
Terdapatnya hal yang mendahului keluhan.
Apakah keluhan tersebut kali pertama dirasakan atau sudah pernah sebelumnya,
bila sudah pernah, dirinci apakan intensitas dan karakteristiknya sama atau
berbeda dan interval keluhan kelihan tersebut.
Apakah terdapat saudara sedarah, orang serumah atau sekeliling pasien yang
memiliki kelihan serupa.
Upaya yang telah dilakukan dan bagaimana hasilnya.
Demam : karakteristik demam yang perlu di tanyakan :
Lamanya demam berlangsung.
Apakah awitannya mendadak atau tidak.
Bagaimana pola demam : remiten, intermiten, atau continue.
Apakah disertai mengigil, kejang, kesadaran menurun, meracau,
mengigau.
Batuk : anamnesis batuk sebaiknya meliputi :
Berapa lama batuk berlangsung.
Apakah batuk sering kambuh atau berulang, dan waktu yang lebih
menonjol.
Sifat batuk : spasmodic, kering atau produktif (banyak dahak).
Perincian sifat dahak : kekentalan, warna, bau, serta adanya darah
pada dahak.
Keluhan lain yang menyertai : sesak napas, mengi, sianosis, muntah.
Anamnesis keluhan batuk sangat khas untuk diagnosis penyakit
tertentu, misalnya batuk pada pertusis yang bersifat spasmodic, non
21 | P a g e
produktif, panjang, diselingi whoop pada saat inspirasi dan sering diakhiri
dengan muntah.
Sianosis : sianosis dapat dijumpai pada penyakit respiratori yang berat atau
kronik
Apakah timbul warna biru pada bibir dan ujung-ujung jari.
Sejak kapan terlihatnya keadaan tersebut.
c. Riwayat penyakit yang pernah diderita : penyakit yang pernah diderita anak
sebelumnya sebaiknya diketahui, karena kemungkinan berhubungan dengan
penyakit sekarang, dan setidaknya memberikan informasi untuk membantu
pendekatan diagnosis dan tata laksana penyakit sekarang.
d. Riwayat kehamilan ibu : keadaan kesehatan ibu selama hamil perlu di tanyakan.
e. Riwayat kelahiran : riwayat kelahiran pasien harus ditanyakan dengan teliti,
termasuk tanggal, tempat kelahiran, siapa yang menolong, cara kelahiran
(spontan,ekstraksi cunam, ekstraksi vakum, bedah sesar ) dan keadaan segera
setelah lahir. Masa kehamilan orang tua pasien perlu di tanyakan, apakah cukup
bulan, kurang bulan, ataukah lewat bulan. Nilai Apgar apabila mungkin juga
sebaiknya ditanyakan. apakah setelah lahir memerlukan perawatan yang lebih
lama dari bayi pad umumnya.
f. Riwayat makanan : dinilai apakah kualitas dan kuantitasnya adekuat, yaitu
memenuhi amgka kecukupoan gizi ( AKG ) yang dianjurkan.
g. Riwata imunisasi : status imunisasi ( umur saat diberikan, imunisasi dasar dan
ulangan ) harus ditanyakan secara rutin, khususnya BCG, DPT, Polio, Campak,
dan Hepatitis B.
h. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan : status pertumbuhan anak diketahui
dengan menyakan apakah anak tampak kurus, berat badan tidak naik bahkan turun
atau anak tampak semakin kurus. Sedangkan untuk status perkembangan anak di
gali dengan teliti patokan-patokan perkembangan di bidang motor halus, motor
kasar, social-personal dan bahasa adaptif, untuk mengetahui apakah terdapat
penyimpangan dari semua tahapan perkembangan.
i. Riwayat keluarga dan lingkungan : data keluarga di tanyakan untuk mendapatkan
gambaran keadaan pendidikan, social-ekonomi-budaya dan kesehatan keluarga
pasien.14
22 | P a g e
Pemeriksaan Fisik
Dalam pemeriksaan fisik yang pertama harus dilihat adalah bagaimana keadaan
umum pasien saat datang ke tempat periksa, apakah masih terlihat sehat, sakit ringan, atau
sakit berat, lalu lihat juga tingkat kesadarannya . Pada pemeriksaan fisik paru yang perlu
dilakukan adalah:15
1. Inspeksi
Penilaian pernapasan meliputi:
1. Frekuensi napas
Frekuensi napas bayi dan anak dibedakan berdasarkan usia. Frekuensi napas berkisar
30-60 kali permenit pada periode neonatal dan bertambah lambat sesuai dengan
pertambahan usia. Pada usia 6 tahun, frekuensi napas menjadi 20-25 kali permenit.
2. Irama dan keteraturan
Pada irama pernapasan dapat dinilai apakah pernapasan pasien teratur (regular) atau
tidak teratur (irregular).
3. Kedalaman
Kedalaman pernapasan adalah penilaian apakah pasien bernapas secara normal,
dangkal, atau dalam.
4. Tipe dan pola pernapasan.
a. Takipnu : pernapasan yang cepat dan dangkal. Keadaan ini seringkali terlihat pada
pelbagai penyakit paru restriktif. Pada bayi dan anak kecil, hal ini merupakan tanda
dini gagal jantung.
b. Bradipnu : pernapasan lambat. Keadaan ini terdapat pada gangguan pusat pernapasan,
tekanan intracranial tinggi pengaruh obat sedatif, alkalosis atau keracunan.
c. Hiperpnu : pernapasan dalam. Terdapat pada keadaan asidosis, anoksia serta kelainan
susunan saraf pusat. Pernapasan Kussmaul adalah tipe pernapasan hiperpnu yang
selain pernapasan dalam juga cepat, ditemukan pada keadaan asidosis metabolik
seperti dehidrasi, hipoksia, dan keracunan salisilat.
d. Pernapasan Cheyne-stokes
Pada bayi baru lahir, terutama bayi premature, kadang-kadang terdapat pernapasan
tipe Cheyne-stokes yang ditandai oleh pernapasan cepat dan dalam, diikuti oleh
beberapa periode pernapasan yang lambat dan dangkal, serta periode apnu beberapa
23 | P a g e
saat. Pada pola ini dapat hilang setelah bayi berusia beberapa minggu. Keadaan
kerusakan otak (kedua sisi hemifer otak besar atau diensefalon), obat-obatan penekan
sistem pernapasan, gagal jantung dan uremia dapat juga menyebabkan timbulnya pola
pernapsan Cheyne-stokes.
e. Pernapasan Ataksik (Pernapasan Biot)
Tipe pernapasan Biot ditandai dengan irama yang sama sekali tidak teratur, dan
biasanya merupakan tanda terdapatnya penyakit susunan saraf pusat seperti ensefalitis
atau poliomyelitis bulbalis.
2. Palpasi
Fremitus vocal merupakan salah satu pemeriksaan palpasi dengan merasakan sensasi
getaran pada seluruh dinding dada. Normalnya akan teraba getaran yang sama pada
kedua telapak tangan yang diletakkan pada kedua sisi dada dan punggung. Penurunan
fremitus vocal dapat menandakan adanya obstruksi saluran napas, hidrotoraks, efusi
pleura, atelektasis dan tumor. Fremitus vocal dapat dengan mudah diperiksa pada anak
yang sedang menangis atau anak yang sudah dapat berbicara.14,15
3. Perkusi
Perkusi pada anak tidak boleh dilakukan terlalu keras karena anak-anak memiliki
dinding dada yang lebih tipis serta otot-otot yang masih kecil dibandingkan orang
dewasa sehingga menghasilkan suara perkusi yang lebih resonan.
Suara perkusi paru normal adalah sonor. Suara perkusi abnormal dapat berupa: redup
atau pekak dan hipersonor atau timpani. Suara perkusi redup atau pekak dapat dijumpai
24 | P a g e
pada keadaan normal (daerah scapula, diafragma, hati dan jantung) dan abnormal
(konsolidasi jaringan paru pada pneumonia lobaris, atelektasis, tumor dan cairan dalam
rongga pleura).14,15
4. Auskultasi
Auskultasi paru dilakukan untuk mendeteksi suara napas dasar dan suara napas
tambahan. Auskultasi dilakukan di seluruh dada dan punggung, dimulai dari atas ke
bawah dan dibandingkan sisi kanan dan kiri. Suara napas pada anak terkesan lebih keras
dibandingkan pada orang dewasa mengingat tipisnya dinding dada pada anak. Penurunan
suara napas anak mengindikasikan adanya penurunan aktifitas pernapasan yang dapat
terjadi pada keadaan pneumonia, atelektasis, efusi pleura dan pneumotoraks. Peningkatan
suara napas dapat dijumpai pada pneumonia lobaris, asma dan emfisema.14-16
a. Suara napas dasar adalah suara yang ditimbulkan akibat aliran udara yang melalui
saluran respiratori yang normal.
Suara napas vesikuler
Suara napas normal yang terjadi karena masuk dan keluarnya udara melalui jalan
napas. Normal, suara inspirasi akan terdengar lebih keras dan panjang
dibandingkan suara ekspirasi. Suara napas ini terdengar hampir di seluruh paru.
Suara napas bronkial
Karakteristik suara napas bronkial adalah terdengar inspirasi keras yang disusul
oleh ekspirasi yang lebih keras. Suara napas ini dapat terdengar normal pada
daerah bronkus besar kanan dan kiri, parasternal atas dan interskapular. Bila
pemeriksa mendapatkan suara napas bronkial pada tempat lain, berarti terdapat
konsolidasi yang luas seperti pada pneumonis lobaris.
Suara napas bronkovesikular
Merupakan kombinasi antara suara napas bronkial dan vesicular. Suara napas ini
sering terdengar saat auskultasi pada sela iga 1 dan 2.
Suara napas amforik
Suara napas ini menyerupai bunyi tiupan di atas mulut botol kosong dan dapat
terdengar pada kavitas. Suara napas amforik jarang dan sulit dijumpai pada anak
kecil.
b. Suara napas tambahan adalah suara yang ditimbulkan akibat aliran udara yang melalui
saluran napas respiratori yang abnormal, sehingga terjadi turbulensi.
Ronki basah (rales, crackles)
25 | P a g e
Suara napas tambahan berupa vibrasi terputus-putus (tidak kontinu) akibat getaran
yang disebabkan oleh adanya cairan dalam jalan napas dilalui udara. Ronki basah
dibedakan berdasarkan lokasi suara. Ronki basah halus berasal dari duktus
alveolus, bronkiolus dan bronkus kecil, sedangkan ronki basah kasar berasal dari
bronkus di luar jaringan paru.
Ronki kering (rhonchi)
Merupakan suara napas tambahan yang terjadi akibat udara melewati daerah yang
sempit baik akibat ekstraluminer seperti desakan tumor, maupun factor
intraluminer seperti spasme bronkus, edema, lender yang kental dan benda asing.
Suara napas ini lebih jelas terdengar pada fase ekpirasi. Wheezing atau mengi
adalah jenis ronki kering yang terdengar lebih nyaring/musical dibandingkan
dengan ronki kering lainnya.
Krepitasi
Merupakan suara membukanya alveoli. Penggunaan istilah krepitasi sudah jarang
dipakai.
Pleural friction rub
Suara yang terjadi karena gesekan antara pleura visceral dan parietal dengan fibrin
ditengahnya. Dapat terdengar pada fase ekpirasi dan inspirasi serta pada basal
posterior paru. Pleural friction rub didengar pada pasca efusi pleura.14-16
Pemeriksaan Penunjang
Mengingat prevalensi TB paru di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap
orang yang datang ke UPK dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang tersangka
(suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung
pada pasien remaja dan dewasa, serta skoring pada pasien anak. Pemeriksaan dahak berfungsi
untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi
penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis pada semua suspek TB dilakukan
dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang
berurutan berupa dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS):
S(sewaktu) : Dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung
pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan
dahak pagi pada hari kedua.
26 | P a g e
P(Pagi) : Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun
tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK.
S(sewaktu) : Dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan
dahak pagi.
Diagnosis TB Paru pada orang remaja dan dewasa ditegakkan dengan ditemukannya
kuman TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak
mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji
kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya.
Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto
toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering
terjadi overdiagnosis. Gambaran kelainan radiologik Paru tidak selalu menunjukkan aktifitas
penyakit.
27 | P a g e
Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan sedangkan diagnosis kerja dapat
ditegakkan berdasarkan gejala klinis TB yang kuat (presumtif) dengan
menyingkirkan kemungkinan penyakit lain. Ketepatan diagnosis bergantung pada
metode pengambilan bahan pemeriksaan dan ketersediaan alat-alat diagnostik, misalnya uji
mikrobiologi, patologi anatomi, serologi, foto toraks, dan lain-lain.
SKORING TB17
Untuk hindari over diagnosis / under diagnosis pada tuberkulosis pada anak, Ada 8 point
yang dinilai. Jika skor > 6 sangat mungkin TB paru yang akan diobati selama 6 bulan
1. Kontak TB
Ingat: TB anak primer tak menular! TB anak bukan dianggap sebagai kontak
28 | P a g e
Catatan: pada TB dewasa ada 4 katagori
Kat I : TB baru dengan sputum BTA positif atau BTA negatif dengan Rontgen paru rusak
parah atau Tb ekstraparu. Terapi dengan 2RHZE/4RH
Kat II : TB kumat, terapi 2RHZES/RHZE/5RHE
Kat III : TB dengan sputum BTA (-), Ro positif (paru tak rusak parah). Terapi 2RHZ/4RH
Kat IV : TB resisten obat, perlu obat lapis kedua
Cara anamnesis: telusuri kontak serumah/terdekat, singkirkan batuk karena bronkitis (sering
pada perokok atau penderita PPOK). Pada dewasa yang kena TB dianjurkan Puskesmas
untuk minum obat paket dalam blister plastik sampai 6 bulan. Obat Rifampisin membuat
kencing berwarna merah. Langkah jika kontak ada tapi belum diobati: menganjurkan
keluarga membawa berobat ke Puskesmas; jika ybs menolak, hubungi petugas Tb Puskesmas
agar kunjungan rumah untuk pelacakan (ada dana untuk pelacakan)
Skor 2 : laporan keluarga, BTA tak tahu: Mungkin bukan tb atau Tb Kategori III
Skor 3 : BTA + Mungkin TB kategori I, II, IV
2.Tuberkulin tes pakai PPD RT 23 2TU dosis 0,1 cc intrakutan voler lengan bawah (boleh
kanan/kiri), baca indurasi (bukan eritema) dalam waktu 48-72 jam sesudah penyuntikan.
Jangan samakan tes tuberkulin dengan tes BCG (istilah salah, karena BCG bukan alat
diagnostik, tapi vaksin untuk preventifà dilakukan di deltoid lengan kiri pada anak yang
dicurigai tb tapi anergi (masih kontoversi, misal pada gizi buruk jika tes BCG dilakukan
maka menambah kuman/anak semakin sakit; di sisi lain punya manfaat juga untuk imunisasi
jika belum pernah diberikan BCG). Pembacaan tes tuberkulin ditulis dalam angka ….mm.
Tes tuberkulin hanya menunjukkan infeksi tb
3. Status Gizi: . Lihat juga pola pertumbuhan (indikasi biasanya jika T1 = tumbuh tidak
memadai, T2= tumbuh mendatar/flat of growth, atau T3=tumbuh negatif/loss of growth)
selama beberapa bulan sebelumnya. Jika gizi buruk dengan tapi sedang tumbuh kejar (N2)
karena sedang terapi gizi buruk hati-hati membuat skor ini. Jika ragu-ragu, tunda skoring tb -
-> ulang 1 bulan ke depan (tangani gizi buruknya sampai baik)
4. Demam > 2 minggu à terus-menerus, tanpa sebab lain(bukan terkait IRA atas atau
observasi febris lain [ISK, tifoid, leptospirosis, malaria, keganasan, penyakit kolagen,
endokarditis bakteri] dengan pengobatan standar puskesmas (Parasetamol, mungkin
29 | P a g e
antibiotik spektrum luas misal amoksisilin, kotrimoksasol) tak ada perubahan. Bukan karena
demam yang hilang timbul karena anak gampang tertular common cold.
Skor 1 jika +
5.Batuk > 3 minggu, tak sembuh dengan pengobatan standar puskesmas tak ada perubahan
(Standar puskesmas: OBH, OBP, GG, ambroksol + antibiotika spektrum luas). Ingat kembali
definisi batuk kronik berulang, dimana terbanyak adalah asma.
Skor 1 jika +
6.Pembesaran kelenjar limfe (leher, ketiak, pangkal paha); harus diameter minimal 1 cm,
cari bukan hanya di leher!!
Skor 1 jika +
7. Pembesaran sendi, lihat GIBUS di tulang belakang (hati-hati pada skoliosis yang bukan
gibus)
Skor 1 jika +
30 | P a g e
- Pemeriksaan LED, hitung limfosit, serologi, PCR
- Mengulang uji tuberkulin (akan tetap positif walaupun sudah sembuh)
- Ulang Ro thoraks hanya pada TB milier dan pleuritis TB dengan efusi pleura
Evaluasi pengobatan anak: adalah KLINIS (nafsu makan meningkat, bb naik bermakna,
jarang sakit, hilangnya keluhan demam, batuk, dll), biasanya perubahan ini mencolok pada 2
bulan pertama sakit.17
Tuberkulosis pada penderita HIV18
Gejala TB pada populasi HIV umumnya non spesifik. Penderita – penderita yang
mempunyai riwayat batuk lebih dari 3 minggu, sputum produktif dan berat badan turun harus
dicurigai TB. Namun gejala – gejala tersebut ( demam, keringat malam, berat badan turun,
kelelahan) dapat juga disebabkan oleh AIDS (AIDS Waisting Syndrome ), infeksi –
Mycoyacterium Avium Complex (MAC), infeksi Citomegalovirus (CMV), keganasan atau
infeksi oportunistik lainnya.
Ketika cell-mediated imunity sebagian terganggu, tuberkulosis paru muncul dalam
bentuk khusus, dengan infiltrat pada lobus atas dan kavitas dan tanpa limfadenopati yang
signifikan atau efusi pleura. Pada stadium akhir infeksi HIV, pola seperti tuberkulosis primer,
dengan infiltrat milier atau difus interstitial, sedikit atau tidak berkavitas dan limfadenopati
intratoraks yang lebih sering.
Tabel 2. Gambaran klinis pada kecurigaan koinfeksi HIV – TB 4
Riwayat Penyakit Dahulu IMS
Herpes Zoster ( shingles)
Pnemonia berulang
Bakteriemia ( terutama salmonella typhimurium)
31 | P a g e
Gejala Berat badan turun (>10kg atau >20% dari berat semula)
Diarhe (>1bulan)
Nyeri waktu menelan ( gejala kandidiasis esophagus)
Rasa terbakar di kaki ( neropati perifer)
Tanda – tanda Jaringan parut Herpes Zoster
Ruam popular yang gatal
Sarkoma Kaposi
Lifomo generalisata persisten ( PGL)
Kandidiasis Oral Hairy Leukoplakia oral
Ulkus genital yang persisten dan nyeri
Catatan : diagnosis pasti tergantung pada hasil tes HIV positif
Pendekatan diagnostik
Pendekatan diagnostik TB pada ODHA tidak berbada dengan non ODHA. Penderita
yang diduga TB paru atas dasar keluhan dan pemeriksaan fisik harus diperiksa sediaan
hapusan sputum 3 kali di bawah mikroskop. Kemungkinan untuk menemukan BTA lebih
besar bila diperiksa 3 kali dibandingkan dengan pemeriksaan BTA 2 atau 1 kali. Hasilnya
lebih baik apabila sputum diambil pagi dini hari. Jika mungkin penderita harus
mengumpulkan sputum sekurang – kurangnya semalam untuk dianalisis dan pemeriksaan
sputum harus dilakukan kurang dari 4 jam setelah sputum diserahkan. Ada 2 pemeriksaan
pokok untuk menentukan TB:
1. BTA
2. Kultur Sputum
Diagnosa Tb pada penderita HIV tidak sama dengan gejala umum TB, yaitu:
1. Demam dan penurunan berat badan merupakan gejala yang penting
2. Batuk bukan gejala yang umum
3. Banyak variasi pada agambaran foto toraks
4. Lebih banyak TB ekstra paru dan TB disseminata
5. Diagnosis diferensial lebih luas
32 | P a g e
Terapi ODHA dengan koinfeksi TB
Tabel 4. Panduan lini pertama yang direkomendasikan pada orang dewasa yang belum pernah
mendapat terapi ARV.
Populasi target Pilihan yang direkomendasikan Catatan
Dewasa dan anak AZT atau TDV + 3TC (atau FTC) + Merupakan pilihan panduan yang sesuai
EFV atau NVP untuk sebagian besar pasien.
Gunakan FDC jika tersedia
Perempuan hamil AZT + 3TC + EFV atau NVP Tidak boleh menggunakan EFV pada
trimester pertama
TDF bias merupakan pilihan
Ko-infeksi HIV/TB AZT atau TDF + 3TC (FTC) + EFV Mulai terapi ARV segera setelah terapi
TB dapat ditoleransi (antara 2 minggu
hingga 8 minggu)
Gunakan NVP atau triple NRTI bila EFV
tidak dapat digunakan.
Ko infeksi TDF + 3TC (FTC) + EFV atau NVP Pertimbangkan pemeriksaan HBsAg
HIV/Hepatitis B kronik terutama bila TDF merupakan panduan
aktif lini pertama. diperlukan
33 | P a g e
Pada penderita yang sudah menerima ARV bila kemudian terjangkit TB, maka
regumen harus disesuaikan agar cocok dengan OAT yang dipilih itu. Setelah terapi TB
lengkap, maka ARV dapat diteruskan atau diganti tergantung keadaan klinis dan imunologis
penderita. Waktu yang optimal untuk memulai ART dalam kaitannya dengan awal terapi TB
belum jelas.
Prioritas utama pada pasien dengan ko-infeksi TB-HIV adalah memulai terapi TB,
diikuti dengan kotrimoksasol dan ARV.
a. Pengobatan TB pada ODHA yang belum dalam pengobatan ARV
Bila belum dalam pengobatan ARV, pengobatan TB dapa segera dimulai. Jika
pasien dalam pengobatan TB maka teruskan pengobatan Tbnya sampai dapat ditoleransi
dan setelah itu diberi pengobatan ARV. Keputusan untuk pengobatan ARV pada pasien
dengan pengobatan TB sebaiknya dilakukan oleh dokter yang telah mendapat pelatihan
tatalaksana pasien TB-HIV.
b. Pengobatan pada ODHA sedang dalam pengobatan ARV
Bila pasien sedang dalam pengobatan ARV, sebaiknya pengobatan TB dimulai
minimal di RS yang petugasnya telah dilatih TB-HIV, untuk diatur rencana pengobatan
TB bersama dengan pengobatan ARV. Hal ini penting karena ada kemungkinan masalah
yang harus dipertimbangkan, antara lain interaksi obat (rifampisin dengan beberapa jenis
obat ARV), gagal pengobatan ARV, IRIS atau perlu subtitusi obat ARV.
Tabel 5. Terapi ARV untuk pasien koinfeksi TB-HIV.
CD4 Panduan yang diajurkan Keterangan
Berapapun Mulai terapi TB Mulai terapi ARV segera
jumlah CD4 Gunakan panduan yang mengandung (AZT setelah terapi TB dapat
atau TDV)+ 3TC + EFV (600 mg/hari). ditoleransi (antara 2 minggu
Setelah OAT selesai maka bila perlu EFV hingga 8 minggu)
dapat di ganti dengan NVP.
Pada keadaan dimana panduan berbasis
NVP terpaksa digunakan bersamaan dengan
pengobatan TB maka NVP diberikan
tanpa lead-in dose(NVP diberikan tiap 12
jam sejak awal terapi)
CD4 tidak Mulai terapi TB Mulai terapi ARV segera
mungkin setelah terapi TB dapat
diperiksa ditoleransi (antara 2 minggu
hingga 8 minggu)
34 | P a g e
Lini pertama 2 NRTI + EFV Teruskan dengan 2 NRTI + EFV
2 NRTI + NVP Ganti dengan EFV atau Teruskan dengan
2 NRTI + NVP. Triple NRTI dapat
dipertimbangkan digunakan selama 3
bulan jika NVP dan EFV tidak dapat
digunakan
Lini kedua 2 NRTI + Pls Mengingan rifampisin tidak dapat
digunakan bersamaan dengan LPV/r,
dianjurkan menggunakan panduan OAT
tanpa rifampisin. Jika rifampisin perlu
diberikan maka pilihan lain adalah
menggunakan LPV/r dengan dosis 100
mg/200 mg dua kali sehari. Perlu
memantau fungsi hati ketat jika
menggunakan rifampisin dan dosis ganda
LPV/r
Terapi pencegahan dengan kotrimoksasol
Semua pasien TB dengan HIV positif, terapi pencegahan kotrimoksasol sebaiknya
dimulai sesegera mungkin. Terapi pencegahan kotrimoksazol secara substansial mengurangi
kematian pada pasien TB HIV-positif. Kotrimoksazol dikenal untuk mencegah Pneumocystis
jirovecii dan malaria dan kemungkinan akan berdampak pada berbagai infeksi bakteri pada
pasien TB-HIV-positif.
Pemantauan Pasien selama terapi
Efek samping obat yang sering terjadi pada pasien TB HIV-positif, dan beberapa
toksisitas yang biasanya untuk ART dan obat TB. Tumpang tindih antara toksisitas ART,
terapi TB dan kotrimoksazol termasuk ruam, dan disfungsi hati, dan pemantauan efek
samping lainnya.
Manifestasi Klinik11-13
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau
lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah,
sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat
malam hari tanpa kegiatan fisik,demam meriang lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut
diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis
kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain.
Tanda- tanda TB anak atau tersangka TB pada anak adalah :19
1. Adanya kontak erat dengan pasien TB dewasa
2. Batuk lama selama 3 minggu atau lebih
35 | P a g e
3. Berat badan anak tidak naik atau malah turun walaupun gizi sudah diperbaiki
4. Terdapat oembesaran kelenjar getah bening di leher,ketiak, pangkal paha.
5. Emam lama berulang tanpa sebab yang jelas selama 2 minggu atau lebih
6. Tidak nafsu makan.
Patogenesis 20
Patogenesis dari infeksi M. tuberculosis dibagi menjadi 2 bagian besar yakni infeksi
primer (primary infection) dan infeksi post primer (post primary infection).
1. Infeksi primer (primary infection)
Infeksi pertama dari M. tuberculosis dikenal dengan infeksi primer. Dalam satu jam dapat
mencapai paru-paru, basil dapat melewati limfonodus pada hilum paru-paru dan beberapa
masuk ke dalam aliran darah. (1)
Reaksi awal meliputi respons eksudatif dan infiltrasi granulosit-granulosit neutrofil. Ini
dengan cepat digantikan oleh makrofag-makrofag yang akan mencerna kuman tersebut dan
mengangkutnya ke dalam kelenjar limfe regional. Secara umum, ada 4 kemungkinan besar
terhadap nasib M. tuberculosistersebut yakni, (1) dibunuh oleh sistem imun, (2) dapat
bermultifikasi dan menyebabkan TB primer, (3) dapat menjadi dormat dan asimptomatik, (4)
dapat berproliferasi sesudah periode laten (reaktivasi penyakit). Selain itu, terdapat 4 hal yang
dapat terjadi khususnya pada infeksi primer (gambar 1) yakni,
a. Menyebar dari focus primer ke hilus dan kelenjar limfe mediastinum membentuk kompleks
primer (primary complex), pada banyak kasus sembuh secara spontan.
b. Langsung meluas dari focus primer menjadi tuberculosis primer yang progresif.
c. Menyebar ke pleura menjadi tuberkulosis pleura dan efusi pleura.
d. Menyebar dalam aliran darah: sedikit basil pada paru, tulang, renal, infeksi urogenital sering
berbulan-bulan atau beberapa tahun belakangan, menyebar secara besar-besaran menjadi TB
milier dan meningitis.
Interaksi dengan limfosit T, dengan perkembangan imunitas selular dapat ditunjukan 3-8
minggu setelah infeksi awal oleh reaksi positif pada kulit pada injeksi intradermal protein
dari basil (PPD). Reaksi hipersensitivitas tipe lambat yang terjadi, menghasilkan nekrosis
jaringan dan pada tingkat ini patologi klasik dari tuberkulosis dapat dilihat. Lesi
granulomatosa yang terdiri dari massa putih seperti keju di bagian sentral area nekrosis
disebut nekrosis kaseosa, dikelilingi oleh sel epiteloid dan giant sel langhans, kedua sel
berasal dari makrofag. Limfosit hadir dan di situ terjadi bermacam-macam derajat fibrosis.
Sesudah itu, area nekrosis kaseosa disembuhkan sama sekali dan mengeras.
Penatatalaksanan
37 | P a g e
38 | P a g e
Pengobatan TB anak19
Alur tatalaksana pasien TB pada unit kesehatan dasar
39 | P a g e
Apabila pada skoring didapatkan hasil ≥6 maka anak di beri OAT selama 2 bulan dan
dievaluasi, jika respon (+) terapi TB diteruskan tapi jika respon (-) maka teruskan terapi TB
sambil mencari penyebabnya.
Pada sebagian besar kasus TB anak pengobatan selama 6 bulan cukup adekuat.
Setelah pemberian obat 6 bulan, lakukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan
penunjang. Evaluasi klinis pada TB anak merupakan parameter terbaik untuk menilai
keberhasilan pengobatan. Bila dijumpai perbaikan klinis yang nyata walaupun gambaran
radiologik tidak menunjukkan perubahan yang berarti, OAT tetap dihentikan.
Kategori Anak (2RHZ/ 4RH)
Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal 3 macam obat dan diberikan dalam
waktu 6 bulan. OAT pada anak diberikan setiap hari, baik pada tahap intensif maupun tahap
lanjutan dosis obat harus disesuaikan dengan berat badan anak.
Berat Badan
Jenis Obat
< 10 Kg 10 – 19 Kg 20 – 32 Kg
10 – 19 2 tablet 2 tablet
20 – 32 4 tablet 4 tablet
Keterangan:
Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg dirujuk ke rumah sakit
40 | P a g e
Anak dengan BB 15-19 kg dapat diberikan 3 tablet.
Anak dengan BB ≥33 kg , dirujuk ke rumah sakit.
Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah
OAT KDT dapat diberikan dengan cara : ditelan secara utuh atau digerus sesaat sebelum
diminum.
Pengobatan Pencegahan (Profilaksis) untuk Anak
Pada semua anak, terutama balita yang tinggal serumah atau kontak erat dengan
penderita TB dengan BTA positif, perlu dilakukan pemeriksaan menggunakan sistem skoring.
Bila hasil evaluasi dengan skoring sistem didapat skor < 5, kepada anak tersebut diberikan
Isoniazid (INH) dengan dosis 5-10 mg/kg BB/hari selama 6 bulan. Bila anak tersebut belum
pernah mendapat imunisasi BCG, imunisasi BCG dilakukan setelah pengobatan pencegahan
selesai.
Efek samping OAT
41 | P a g e
Pada orang dewasa dilakuakan melalui 3 kali pemeriksaan ulang dahak dengan
mikroskop yaitu pada bulan ke-2, ke-5, dan ke- 6 bulan pengobatan. Dahak diambil
sebanyak 2 kali setiap pemeriksaaan.
Pada anak dilakukan dengan mengamati perubahan kondisi anak, berat badan
bertambah, anak riang, tidak sakit lagi, dan nafsu makan bertambahan.
Pencegahan Tuberkulosis19
Ada 5 tahap pencegahan penyakit atau yang lebih dikenal dengan five level
prevention yaitu :
1. Health Promotion ( Peningkatan kesehatan )
yaitu upaya - upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kesehatan.
Upaya ini dilakukan pada saat tubuh masih dalam keadan sehat.
Upaya ini termasuk dalam pencegahan yang bersifat umum untuk semua jenis
penyakit.
Contoh kegiatan yang termasuk dalam pencegahan tahap pertama ini antara lain :
1. mandi memakai sabun-iskat gigi sebelum tidur
2. tidak merokok
3. buang sampah pada tempatnya
4. memakai helm dan masker saat berkendara
5. olahraga secara rutin
6. makan makanan bergizi
7. menjaga kebersihan rumah dan lingkungan
42 | P a g e
3. Early diagnosis and prompt treatment ( pengobatan cepat dan tepat )
Yaitu upaya yang dilakukan pada saat tubuh sudah mulai merasakan tidak sehat
( sudah ada suatu penyakit ) dan ditujukan untuk mencegah penyakit berkembang lebih serius
/ lebih parah.
Yang termasuk dalam kategori pencegahan tahap tiga ini antara lain :
- screening ( general check up ) untuk menemukan suatu penyakit
- setelah penyakit ditemukan, dilakukan pengobatan yang cepat dan tepat supaya penyakit
dapat disembuhkan, tidak menyebabkan kematian atau menyebabkan kecacatan.
Contoh :
- Pergi ke RS / puskesmas / BKPM
4. Disabiliti limitation ( Pembatasan kecacatan )
yaitu upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya kecacatan setelah seseorang
terjangkit suatu penyakit.
5. Rehabilitasi
Yaitu upaya yang dilakukan untuk memulihkan kondisi tubuh setelah terjadinya suatu
penyakit dan mencegah terjadinya kecacatan. Tujuannya adalah supaya pasien dapat bekerja
lagi secara produktif.
43 | P a g e
Berolahraga tidak harus berlari atau berenang dll. Laukan kegiatan apapun
yang penting tubuh dapat berkeringat. Olahraga secara dapat membuat tubuh
menjadai sehat dan bugar.
3. Tidak merokok
Penting diketahui bahwa satu batang rokok mengandung lebih dari 4000 zat
kimia yang berbahaya terutama bagi paru- paru. Jika setiap hari ribuan zat kimia yang
bernbahay terutama bagi paru-paru. Jika setiap hari ribuan zat kimia masuk paru-paru
melalui rokok, tentunya lama kelamanaan paru-paru akan mengalami kerusakan.
Rokok juga menyebabkan kerusakan pada sistem pertahanan tubuh yang ada di
salurang pernapasan. Zat kimia rokok menyebabkan bulu-bulu halus disaluran napas
rusak, padahal bulu/rambut halus mempunyai fungsi penting sebagai penyaring untuk
mencegah kotoran/debu halus masuk ke paru-paru.
4. Mencuci tangan dengan sabun
Cuci tangan pakai sabun terbukti mampu mencegah berbagai macam penyakit.
Sering-seringlah mencuci tangan dengan sabun terutama sebelum dan sesudah makan,
sesudah buang air besar/kecil, dan setiap kali merasa tangan kotor. Kuman TBC dapat
menempel dimanapun. Oleh karena itu untuk mencegah penyakit TBC, sering-
seringlah cuci tangan pakai sabun.
5. Menjaga kebersihan rumah dan lingkungan sekitar rumah dan lingkungan yang sehat
dapat menegah penularan penyakit TBC. Syarat rumah sehat :
a. Bersih dari kotoran
b. Lantai tidak dari tanah
Lantai dari tanah akan meningkatakan kelembaban dalam rumah. Kuman TBC
dapat bertahan hidup di ruangan yang gelap dan lembab.
c. Tidak dapat huni.
Satu kamar tidak lebih darti 3 orang
d. Ada jamban sehat (jamban yang dilengkapi septitank)
e. Ada salurang pembuangan air limbah.
f. Ada jendela (ventilasi udara dan ventilasi cahaya).
Usahakan udara dari luar dapat masuk ke dalam rumah, supaya selalu ada
pergantian udara di dalam ruangan. Usahakan juga cahaya matahari bisa
masuk ke semua runagan, karena cahaya matahari langsung mampu
membunuh kuman TBC. Ingat, kuman TBC dapat berkembang dengan cepat
di ruangan yang kotor, gelap dan lembab.
44 | P a g e
g. Ada tempat sampah
2. Imunisasi BCG untuk bayi baru lahir
3. Hindari hal - hal yang dapat menurunkan daya tahan tubuh
Hindari : Bergadang ( tidur sampai larut malam ). Bergadang dapat menyebabkan
turunnya daya tahan tubuh, sehingga orang yang sering bergadang lebih mudah terserang
penyakit.
4. Sembuhkan semua penderita TBC.
Kita semua dapat berperan untuk membantu mencegah TBC. Anjurkan setiap orang
dengan batuk berdahak yang tidak sembuh - sembuh untuk segera memeriksakan diri ke
Puskesmas / BKPM. Waspadai batuk berdahak yang tidak sembuh- sembuh, karena bisa jadi
itu TBC.
Kita juga bisa membantu penyembuhan penderita TBC, caranya dengan menjadi
PMO ( Pendamping Minum Obat ). Dampingi penderita sampai dinyatakan sembuh oleh
dokter.
Dengan menyembuhkan penderita TBC, berarti kita sudah ikut mencegah penyakit
TBC. Karena satu satunya sumber penularan penyakit TBC adalah penderita TBC yang
belum mendapat pengobatan.
Bagaimana jika sudah terlanjur terkena TBC? Upaya pencegahan apa yang harus dilakukan ?
Jika sudah terlanjur terkena TBC, maka upaya pencegahan yang dilakukan ditujukan untuk :
1. Mencegah supaya penyakitnya tidak menular ke orang lain
2. Mencegah penyakitnya berkembang lebih parah
3. Mencegah kematian
45 | P a g e
Tidak dianjurkan menutup mulut langsung dengan tangan, karena ribuan kuman TBC
dapat menempel di tangan dan akan menjadi sumber penularan buat orang lain.
4. Tidak membuang riak / dahak di sembarang tempat
Di dalam riak / dahak penderita TBC mengandung ribuan kuman TBC. Buanglah
dahak / riak ke tempat khusus ( ember / pot ) yang sudah diberi air sabun / minyak tanah /
lisol.
5. Makan makanan bergizi untuk mempercepat penyembuhan.
6. Cukup istirahat
7. Pada awal pengobatan ( 2 minggu pertama ) sebaiknya penderita tinggal di rumah, karena
pada masa tersebut risiko penularan masih sangat tinggi.
8. Penderita sebaiknya tidur sendirian
9. Penderita sebaiknya tinggal di rumah yang mempunyai cukup ventilasi, supaya udara
dalam kamar dapat berganti dengan udara yang bersih.
10. Menjemur selimut, bantal dan guling yang dipakai penderita dibawah sinar matahari.
Sinar matahari langsung dapat membunuh kuman TBC.
1. Menelan OAT secara lengkap dan teratur sampai sembuh. Pasien \TB harus menutup
mulutnya dengan sapu tangan atau tisu atau tangan pada waktu bersin dan batuk, dan
mencuci tangan.
2. Tidak membuang dahak di sembarang tempat, tetapi dibuang pada tempat khusus dan
tertutup. Misalnya: dengan menggunakan wadah/kaleng bertutup yang sudah diberi
air sabun. Buanglah dahak ke lubang WC atau timbun ke dalam tanah di tempat yang
jauh dari keramaian
1. Anjurkan orang yang mempunyai gejala TB untuk segera memeriksakan diri ke sarana
pelayann kesehatan DOTS
2. Awasi pengobatnnya sampai sembuh/selesai
3. Ajarkan dan anjurkan pareilaku hidup bersih dan sehat tanpa TB
46 | P a g e
4. Imunisasi BCG bagi balita untuk mencegah TB berat (misalnya:Tb selaput otak dan TB
paru berat).
Tujuan Khusus
1. Mencegah terjadinya penularan dan penyakit
2. Mencegah terjadinya kecelakaan
3. Aman dan nyaman bagi penghuninya
4. Penurunan ketegangan jiwa dan sosial
48 | P a g e
Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah untuk
menjaga agar aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti
keseimbangan O2 yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap terjaga.
Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya O2 di dalam rumah yang berarti
kadar CO2 yang bersifat racun bagi penghuninya menjadi meningkat. Di samping itu
tidak cukupnya ventilasi akan menyebabkan kelembaban udara di dalam ruangan naik
karena terjadi proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban akan
merupakan media yang baik untuk bakteri-bakteri patogen (bakteri-bakteri penyebab
penyakit). Fungsi kedua daripada ventilasi adalah membebaskan udara ruangan dari
bakteri-bakteri terutama bakteri patogen karena disitu selalu terjadi aliran udara yang
terus-menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir. Fungsi lainnya
adalah untuk menjaga agar ruangan rumah selalu tetap di dalam kelembaban (humidity)
yang optimum.
Ada 2 macam ventilasi, yakni :
1. Ventilasi alamiah, di mana aliran udara di dalam ruangan tersebut terjadi secara
alamiah melalui jendela, pintu, lubang angin, lubang-lubang pada dinding dan
sebagainya. Di pihak lain ventilasi alamiah ini tidak menguntungkan karena juga
merupakan jalan masuknya nyamuk dan serangga lainnya ke dalam rumah. Untuk
itu harus ada usaha-usaha lain untuk melindungi kita dari gigitan-gigitan nyamuk
tersebut.
2. Ventilasi buatan, yaitu dengan mempergunakan alat-alat khusus untuk mengalirkan
udara terebut, misalnya kipas angin dan mesin pengisap udara. Tetapi jelas alat ini
tidak cocok dengan kondisi rumah di pedesaan. Perlu diperhatikan disini bahwa
sistem pembuatan ventilasi harus dijaga agar udara tidak mandeg atau membalik
lagi, harus mengalir. Artinya di dalam ruangan rumah harus ada jalan masuk dan
keluarnya udar
4. Cahaya
Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak kurang dan tidak
terlalu banyak. Kurangnya cahaya yang masuk ke dalam ruangan rumah, terutama
cahaya matahari disamping kurang nyaman, juga merupakan media atau tempat yang
baik untuk hidup dan berkembangnya bibit-bibit penyakit. Sebaliknya terlalu banyak
cahaya di dalam rumah akan menyebabkan silau dan akhirnya dapat merusakkan mata.
Cahaya dapat dibedakan menjadi 2, yakni:
49 | P a g e
1) Cahaya alamiah, yakni matahari. Cahaya ini sangat penting karena dapat
membunuh bakteri-bakteri patogen didalam rumah, misalnya baksil TBC. Oleh karena
itu, rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup. Seyogyanya
jalan masuk cahaya (jendela) luasnya sekurang-kurangnya 15-20 % dari luas lantai
yang terdapat dalam ruangan rumah. Perlu diperhatikan di dalam membuat jendela
diusahakan agar sinar matahari dapat langsung masuk ke dalam ruangan, tidak
terhalang oleh bangunan lain. Fungsi jendela di sini disamping sebagai ventilasi juga
sebagai jalan masuk cahaya. Lokasi penempatan jendela pun harus diperhatikan dan
diusahakan agar sinar matahari lama menyinari lantai (bukan menyinari dinding). Jalan
masuknya cahaya alamiah juga diusahakan dengan genteng kaca.
2) Cahaya buatan yaitu menggunakan sumber cahaya yang bukan alamiah, seperti
lampu minyak tanah, listrik, api dan sebagainya
5. Luas Bangunan Rumah
Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di dalamnya,
artinya luas lantai bangunan tersebut harus disesuaikan dengan jumlah penghuninya.
Luas bangunan yang tidak sebanding dengan jumlah penghuninya akan menyebabkan
perjubelan (overcrowded). Hal ini berdampak kurang baik terhadap kesehaan
penghuninya, sebab disamping menyebabkan kurangnya konsumsi O2 juga bila salah
satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi, akan mudah menular kepada anggota
keluarga yang lain.
6. Fasilitas-fasilitas di dalam Rumah Sehat
Rumah yang sehat harus mempunyai fasilitas-fasilitas sebagai berikut:
1. Penyediaan air bersih yang cukup,
2. Pembuangan tinja,
3. Pembuangan air limbah (air bekas),
4. Pembuangan sampah,
5. Fasilitas dapur,
6. Ruang berkumpul keluarga,
7. Untuk rumah di pedesaan lebih cocok adanya serambi (serambi muka atau
belakang).
Di samping fasilitas-fasilitas tersebut, ada fasilitas lain yang perlu diadakan
tersendiri untuk rumah pedesaan adalah kandang ternak. Oleh karena ternak
adalah merupakan bagian hidup para petani, maka kadang-kadang ternak tersebut
ditaruh di dalam rumah. Hal ini tidak sehat karena ternak kadang-kadang
50 | P a g e
merupakan sumber penyakit pula. Maka sebaiknya, demi kesehatan, ternak harus
terpisah dari rumah tinggal atau dibuatkan kandang tersendiri.
4.Sasaran
A. Terlaksananya program kesehatan dan sektor terkait yang sinkron dengan
kebutuhan masyarakat, melalui perberdayaan forum yang disepakati masyarakat.
B. Terbentuknya forum masyarakat yang mampu menjalin kerjasama antar
masyarakat, pemerintah kabupaten dan pihak swasta, serta dapat menampung
aspirasi masyarakat dan kebijakan pemerintah secara seimbang dan berkelanjutan
dalam mewujutkan sinergi pembangunan yang baik.
C. Terselenggaranya upaya peningkatan lingkungan fisik, sosial dan budaya serta
perilaku dan pelayanan kesehatan yang dilaksanakan secara adil, merata dan
terjangkau dengan memaksimalkan seluruh potensi sumber daya di kabupaten
tersebut secara mandiri.
D. Terwujutnya kondisi yang kondusif bagi masyarakat untuk menigkatkan
produktifitas dan ekonomi wilayah dan masyarakatnya sehingga mampu
meningkatkan kehidupan dan penghidupan masyarakat menjadi lebih baik.
E. Kebijakan dan Strategi
5. Kebijakan
Strategi
1. Peningkatan kegiatan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) penyehatan rumah
lingkungan.
2. Peningkatan kesling dengan menekankan pada akses terhadap air minum dan sanitasi
dasar,perubahan perilaku hygiene, dan sanitasi melalui Sanitasi Total Berbasis
Masyarakat (STBM),dan pendekatan kabupaten/kota/kawasan dan rumah sehat
3. Peningkatan kemampuan pencegahan dan penanggulangan faktor risiko(air,udara,
limbah, pangan)
4. Memperkuat survailan faktor resiko penularan
5. Peningkatan pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan penyehatan rumah dan
lingkungan
Penyelenggaraan
Setiap rumah sehat dapat ikut serta dalam penyelenggaraan kegiatan rumah sehat atas
dasardari kesepakatan dari masyarakat ( tokoh masyarakat dan LSM setempat) bersama
pemerintah daerah.
Aspek Teknis Rumah Sehat menurut Dep Kes
51 | P a g e
1.Pemilihan Lokasi: tanah stabil, tidak lembab, sinar matahari, ada saluran
2.Luas rumah: 14 m2 aorang pertama 9m2setiap penghuni berikutnya
3.Struktur rumah: bentuk, ukuran, rangkaian dan bahan yang efisien
4.Tersedia ruangan yg sesuai fungsinya: tidur, makan, duduk, dapur,KM/WC, tempat
cuci, gudang, dll
5.Lantai rumah: kedap air dan mudah untuk dibersihkan
6.Dinding rumah: tidak tembus pandang, menahan angin/panas/dingan/air
7.Langit-langit minimal 2,4 meter
8.Ventilasi: luas bukaan 1 m2atau minimal 1/9 luas lantai
9.Pencahayaan: Cukup terang (150 LUX= 10 watt TL=40 watt pijar)
10. Penyediaan air bersih: lokasi dan konstruksi yang saniter
11. Pembuangan air limbah: sarana individual atau kolektif yang saniter
12. Jamban (kakus): memiliki sendiri dengan konstruksi yang saniter
13. Pembuangan air hujan: ada di masing2 rumah dialurkan ke parit umum
14. Pembuangan sampah: ada bak sampah tiap rumah dan setiap kelompokrumah ada
penampungan sampah
15. Indikator digunakan untuk penilaian, pembinaan ke arah peningkatan kualitas kondisi
rumah.
Butir Butir Indikator
Luas jendela minimal 10% luas lantai
Luas lobang hawa minimal 0.35% luas lantai
Luas lantai hunian/orang 6m2(lebar 2 m x panjang 3 m x tinggi 2,4 m)
Kecepatan aliran udara 5-20 cm/detik atau pertukaran 30 m3 per menit
Kelembaban udara 40 –50%6.Temperatur 20 –25 derajat Celsius
Percahayaan yang sesuai
Pembagian ruangan minimal 3 (tidur, duduk, dapur-makan)
Ada pagar dan pintu pagar
Ada pekarangan dan tumbuh2an yang bersih, teratur, terawatt
Cara penyediaan air bersih memenuhi syarat kuantitas and kualitas
Cara pembuangan air kotor tidak menimbulkan pencemaran
Cara pembuangan sampah ada penanganan khusus local
Konstruksi bangunan permanen, memenuhi syarat teknik
Kebersihan rumah harus bersih dan teratur
52 | P a g e
6. Program untuk mencapai rumah sehat
PHBS , kata yang sangat sederhana tapi ternyata masih banyak tenaga kesehatan yang
belum tau apa arti PHBS. Kalaupun kita tau apa arti PHBS tapi masih segelintir orang yang
mampu melaksanakan PHBS dalam kehidupan sehari – hari
ARTI PHBS
PHBS, Perilaku Hidup Bersih dan Sehat, adalah sekumpulan perilaku yang di
aplikasikan atas dasar kesadaran sebagai hasil pembelajaran yang menjadikan seseorang atau
keluarga mampu menolong dirinya sendiri di bidang kesehatan dan berperan aktif dalam
mewujudkan dalam mewujudkan kesehatan masyarakatnya. Jadi PHBS merupakan wujud
keberdayaan masyarakat yang sadar, mau dan mampu mempraktikkan PHBS.
PELAKSANAAN PHBS
Berdasarkan tatanan (setting) atau tempat pelaksanaan nya PHBS di kelompokkan
menjadi lima tatanan yaitu :
1. PHBS di Rumah Tangga
PHBS di Rumah Tangga adalah upaya untuk memberdayakan anggota rumah tangga
agar tahu, mau dan mampu mempraktikkan perilaku hidup bersih dan sehat serta berperan
aktif dalam gerakan kesehatan di masyarakat.
PHBS di Rumah Tangga dilakukan untuk mencapai Rumah Tangga ber PHBS yang
melakukan 10 PHBS yaitu :
1. Persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan
2. Memberi ASI ekslusif
3. Menimbang balita setiap bulan
4. Menggunakan air bersih
5. Mencuci tangan dengan air bersih dan sabun
6. Menggunakan jamban sehat
7. Memberantas jentik dd rumah sekali seminggu
8. Makan buah dan sayur setiap hari
9. Melakukan aktivitas fisik setiap hari
A. Tidak merokok di dalam rumah
2. PHBS di Sekolah
PHBS di Sekolah adalah sekumpulan perilaku yang dipraktikkan oleh peserta didik,
guru dan masyarakat lingkungan sekolah atas dasar kesadaran sebagai hasil pembelajaran,
53 | P a g e
sehingga secara mandiri mampu mencegah penyakit, meningkatkan kesehatannya, serta
berperan aktif dalam mewujudkan lingkungan sehat.
Ada beberapa indikator yang dipakai sebagai ukuran untuk menilai PHBS di sekolah yaitu :
1. Mencuci tangan dengan air yang mengalir dan menggunakan sabun
2. Mengkonsumsi jajanan sehat di kantin sekolah
3. Menggunakan jamban yang bersih dan sehat
4. Olahraga yang teratur dan terukur
5. Memberantas jentik nyamuk
6. Tidak merokok di sekolah
7. Menimbang berat badan dan mengukur tinggi badan setiap 6 bulan
8. Membuang sampah pada tempatnya
54 | P a g e
A. Mencuci tangan dengan air bersih dan sabun sebelum makan dan
sesudah buang air besar dan buang air kecil
B. Memberantas jentik nyamuk di tempat kerja
C. Menggunakan air bersih
D. Menggunakan jamban saat buang air kecil dan besar
E. Membuang sampah pada tempatnya
F. Mempergunakan Alat Pelindung Diri (APD) sesuai jenis pekerjaan
55 | P a g e
rehabilitasi, pencegahan penyakit dan bahaya yang lebih besar, ditujukan kepada individu,
keluarga, dan masyarakat akan terpengaruh secara keseluruhan.
56 | P a g e
e. Peran perawat komunitas
1) Pemberi pelayanan: memberikan yankep langsung dan tidak langsung kepada klien
dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan terhadap individu, keluarga, kelompok,
dan masyarakat.
2) Pendidik: memberikan pendidikan kesehatan kepada klien dengan risiko tinggi atau kader
kesehatan
3) Pengelola: merencanakan, mengorganisasi, mengerakkan dan mengevaluasi yankep baik
langsung maupun tidak langsung dan menggunakan peran serta aktif masyarakat dalam
kegiatan keprawatan komunitas.
4) Konselor: memberikan konseling atau bimbingan kepada kader, keluarga dan masyarakat
tentang masalah kesehatan komunitas
5) Pembela klien (advokator): melindungi dan memfasilitasi dan masyarakat dalam
pelayanan keperawatan komunitas
6) Peneliti: melakukan penelitian untuk mengembangkan keperawatan komunitas.20
Pengendalian TB Nasional 21
Fase ini dimulai sejak awal abad ke 20 dan ditandai dengan berdirinya fasilitas
diagnostik dan sanatorium di kota-kota besar. Dengan dukungan dari pemerintah Belanda,
diagnosis TB dilakukan dengan pemeriksaan Rontgen, diikuti dengan penanganan TB
melalui hospitalisasi. Studi prevalensi TB pertama kali dilakukan pada tahun 1964 di
karesidenan Malang dan kota Yogyakarta. lima tahun kemudian (1969), program
pengendalian TB nasional dengan pedoman penatalaksanaan TB secara baku dimulai di
Indonesia. Pada periode 1972-1995 penanganan TB tidak lagi berbasis hospitalisasi, akan
tetapi melalui diagnosis dan pelayanan TB di fasilitas kesehatan primer, yaitu di Puskesmas.
Pengobatan TB menggunakan dua rejimen pengobatan menggantikan pengobatan
konvensional (2HSZ/10H2S2) dan strategi penemuan kasus secara aktif secara bertahap.
Pada tahun 1993, the Royal Netherlands TB Association (KNCV) melakukan ujicoba strategi
57 | P a g e
DOTS di empat kabupaten di Sulawesi Tahun 1994, NTP bekerja sama dengan WHO dan
KNCV melakukan uji coba implementasi DOTS di provinsi Jambi dan Jawa Timur.
Setelah keberhasilan uji coba di dua provinsi ini, akhirnya Kementerian Kesehatan
mengadopsi strategi DOTS untuk diterapkan secara nasional pada tahun 1995. Pada fase
1995-2000, pedoman nasional disusun dan strategi DOTS mulai diterapkan di Puskesmas.
Seperti halnya dalam implementasi sebuah strategi baru, terdapat berbagai tantangan di
lapangan dalam melaksanakan kelima strategi DOTS. Untuk mendorong peningkatan
cakupan strategi DOTS dan pencapaian targetnya, dalam fase ini dilakukan dua Joint
External Monitoring Mission oleh tim pakar internasional.
Rencana strategi nasional Pengendalian TB disusun pertama kali pada periode ini
sebagai pedoman bagi provinsi dan kabupaten/kota untuk merencanakan dan melaksanakan
program pengendalian TB. Pencapaian utama selama periode ini adalah: (1) Pengembangan
rencana strategis 2002-2006; (2) Penguatan kapasitas manajerial dengan penambahan staf di
tingkat pusat dan provinsi; (3) Pelatihan berjenjang dan berkelanjutan sebagai bagian dari
pengembangan sumberdaya manusia; (4) Kerja sama internasional dalam memberikan
dukungan teknis dan pendanaan (pemerintah Belanda, WHO, TBCTA-CIDA, USAID, GDF,
GFATM, KNCV, 17 Stop TB Terobosan Menuju Akses Universal Strategi Nasional UAB,
IUATLD, dll); (5) Pelatihan perencanaan dan anggaran di tingkat daerah; (6) Perbaikan
supervisi dan monitoring dari tingkat pusat dan provinsi; dan (7) Keterlibatan BP4 dan rumah
sakit pemerintah dan swasta dalam melaksanakan strategi DOTS melalui ujicoba HDL di
Jogjakarta.
Fase ini ditandai dengan keberhasilan dalam mencapai target global tingkat deteksi
dini dan kesembuhan pada tahun 2006. Selain itu, berbagai tantangan baru dalam
implementasi strategi DOTS muncul pada fase ini. Tantangan tersebut antara lain penyebaran
ko-infeksi TB-HIV, peningkatan resistensi obat TB, jenis penyedia pelayanan TB yang
sangat beragam, kurangnya pengendalian infeksi TB di fasilitas kesehatan, serta
penatalaksanaan TB yang bervariasi. Mitra baru yang aktif berperan dalam pengendalian TB
pada fase ini antara lain Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan di Kementerian
58 | P a g e
Kesehatan, Ikatan Dokter Indonesia, dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Meskipun Indonesia mengalami pemberhentian sementara dana GFATM Round 1 dan round
5, akan tetapi kegiatan pelayanan TB (terutama di dalam gedung) tetap terlaksana karena
kesiapan tenaga pelayanan dengan menggunakan dana dari pemerintah pusat dan pemerintah
daerah serta sumber pendanaan dari berbagai lembaga donor internasional lain seperti
USAID, WHO, tetap dapat dipertahankan.
(1) Keterlibatan pihak pemangku kepentingan utama, seperti halnya Organisasi berbasis
Masyarakat yang besar seperti Muhamadiyah, NU, Direktorat Jenderal Bina Upaya
Kesehatan di Kementerian Kesehatan, organisasi-organisasi profesi di bawah Ikatan Dokter
Indonesia, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dll;
(2) Peningkatan jumlah rumah sakit yang melaksanakan strategi DOTS secara signifikan dan
peningkatan notifikasi kasus dari rumah sakit;
(3) Pengembangan lima laboratorium yang telah terjamin mutunya untuk melaksanakan
kultur dan DST melalui sertifikasi oleh laboratorium internasional; 18 Terobosan Menuju
Akses Universal Stop TB Strategi Nasional
(4) Pelaksanaan survei resistensi obat dan survei Tuberkulin di 3 wilayah Indonesia;
(5) Ujicoba tes diagnosis cepat untuk DST (dengan tes Hain);
(6) Pengembangan kebijakan dan pedoman TB-HIV serta implementasi kolaborasi TB-HIV;
(8) Keberlangsungan sumber daya yang memadai untuk mengatasi kesenjangan dalam
pembiayaan pengendalian TB melalui dukungan lembaga donor dan pemerintah setempat;
dan
59 | P a g e
Pada saat ini, pelaksanaan upaya pengendalian TB di Indonesia secara administratif
berada di bawah dua Direktorat Jenderal Kementerian Kesehatan, yaitu Bina Upaya
Kesehatan, dan P2PL (Subdit Tuberkulosis yang bernaung di bawah Ditjen P2PL).
Pembinaan Puskesmas berada di bawah Ditjen Bina Upaya Kesehatan dan merupakan tulang
punggung layanan TB dengan arahan dari subdit Tuberkulosis, sedangkan pembinaan rumah
sakit berada di bawah Ditjen Bina Upaya Kesehatan.
60 | P a g e
implementasi dan akselerasi pelibatan FPK selain Puskesmas sebagai bagian dari inisiatif
Public-Private Mix telah dimulai pada tahun 1999-2000. Pada tahun 2007, seluruh BP4 dan
sekitar 30% rumah sakit telah menerapkan strategi DOTS. Untuk praktik swasta, strategi
DOTS belum diimplementasi secara sistematik, meskipun telah dilakukan ujicoba model
pelibatan praktisi swasta di Palembang pada tahun 2002 serta di provinsi Yogyakarta dan
Bali pada tahun 2004-2005.
Untuk akselerasi DOTS di rumah sakit, sekitar 750 dari 1645 RS telah dilatih dengan
pendanaan dari GFATM TB Round 1, Round 5 dan USAID. Selain itu, dengan pendanaan
dari TBCAP-USAID melalui KNCV, ditempatkan Technical Officer untuk inisiasi DOTS di
rumah sakit di beberapa provinsi besar. Koordinasi di tingkat pusat dengan Direktorat
Jenderal Bina Upaya Kesehatan semakin intensif. Dua pedoman telah disusun, yaitu pedoman
manajerial pelayanan TB dengan strategi DOTS di rumah sakit dan pedoman diagnosis dan
terapi TB di rumah sakit. Selain itu Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan juga
melakukan penilaian ke beberapa rumah sakit yang telah menerapkan DOTS. Penguatan
aspek regulasi dalam implementasi strategi DOTS di rumah sakit akan diintegrasikan dengan
kegiatan akreditasi rumah sakit.
3. Kemitraan
Mitra TB adalah setiap orang atau kelompok yang memiliki kepedulian, kemauan,
kemampuan dan komitmen yang tinggi untuk memberikan dukungan serta kontribusi pada
pengendalian TB dengan berperan sesuai potensinya. Potensi tersebut dimanfaatkan secara
optimal untuk keberhasilan pengendalian TB. Setiap mitra harus memiliki pemahaman yang
sama akan tujuan kemitraan TB, yakni terlaksananya upaya percepatan pengendalian TB
secara efektif, efisien dan berkesinambungan.
61 | P a g e
sumber daya; dan (3) penyediaan pelayanan. Berikut adalah mitra potensial TB secara
nasional yang mungkin dapat dijadikan acuan dalam identifikasi mitra potensial disesuaikan
dengan situasi dan kondisi.
Meskipun terdapat dana dari pemerintah pusat dan daerah serta dana internasional
yang cukup besar, pada tahun 2010 masih terdapat kekurangan dana sebesar 31% dari total
kebutuhan program. Proporsi kekurangan dana ini telah menurun dari tahun 2009 (39%).
Strategi pembiayaan yang harus dilakukan untuk menutup kesenjangan tersebut adalah
meningkatkan sumber pembiayaan kesehatan nasional dan daerah untuk program TB. Sampai
dengan saat ini, komitmen daerah (provinsi dan kabupaten/ kota) untuk membiayai program
TB masih relatif rendah, yaitu sekitar 45%-49% dari anggaran pemerintah pusat. Kapasitas
62 | P a g e
fiskal (fiscal space) untuk peningkatan anggaran kesehatan program TB di daerah masih
terbuka lebar. Peningkatan komitmen daerah harus terus diupayakan dalam kerangka
desentralisasi kesehatan.
Selain itu, kebijakan alokasi anggaran (resource allocation policy) menjadi hal yang
penting dalam mendorong keberlangsungan pembiayaan kesehatan bagi program
pengendalian TB nasional. Dengan alokasi anggaran yang tepat dan asumsi pertumbuhan
ekonomi daerah yang mencapai angka 6-7% (Badan Pusat Statistik), diharapkan dalam waktu
lima tahun ke depan (2010-2014) kesenjangan anggaran kesehatan program TB dapat
berkurang dari 31% di tahun 2010 menjadi 13-15% pada tahun 2014. Penurunan kesenjangan
ini dapat dicapai dengan mengutamakan peningkatan kemampuan daerah dan penguatan
komitmen daerah untuk mencapai target indikator pembangunan milenium 2015.
63 | P a g e
Implementasi UU dan peraturan lainnya berjalan lambat dan pemantauan SPM belum
dilakukan di tingkat daerah ataupun fasilitasi pelayanan rumah sakit.
Tantangan baru yang harus dihadapi oleh program TB meningkatkan kebutuhan akan
pelatihan strategi DOTS maupun kebutuhan akan pelatihan dengan topik baru seperti halnya
tata laksana MDR-TB, PAL, PPI TB, dan lainnya. Pelatihan strategi DOTS tetap dibutuhkan
mengingat ekspansi strategi DOTS dengan perluasan jenis dan jumlah fasilitas pelayanan
kesehatan serta berbagai inovasi untuk memperkuat penerapan strategi DOTS (misalnya alat
diagnostik yang baru, TB elektronik, ACSM, manajemen logistik). Selain itu, faktor
keterbatasan jumlah staf, rotasi staf di fasilitas pelayanan kesehatan dan dinas kesehatan serta
kesinambungan antar pelatihan juga menjadi tantangan dalam pengembangan sumber daya
manusia di era desentralisasi. Konsekuensi dari kebutuhan pelatihan yang tinggi adalah
kebutuhan ketersediaan fasilitator tambahan dengan jumlah, keterampilan dan keahlian
spesifik yang memadai.
Selain melalui pelatihan, pengembangan sumber daya manusia juga dapat dilakukan
melalui on the job training dan supervisi. Meskipun supervisi merupakan bagian integral
dalam setiap program, akan tetapi paradigma yang digunakan dalam supervisi program
pengendalian TB masih menitikberatkan pada pengumpulan data. Supervisi sebagai salah
satu metode untuk peningkatan kinerja sumber daya manusia belum dioptimalkan. Dengan
lemahnya sistem informasi sumber daya manusia dalam program pengendalian TB serta
praktik supervisi pada saat ini, maka ketergantungan program pada pelatihan tetap tinggi.
Konsekuensi yang ditimbulkan adalah penilaian kebutuhan pelatihan, pengembangan metode
pelatihan yang tepat, serta evaluasi efektivitas dan efektivitas biaya pelatihan merupakan
prioritas untuk riset operasional.
64 | P a g e
Monitoring dan evaluasi seharusnya dilakukan melalui kegiatan supervisi (on the job
training) dan pertemuan triwulanan di berbagai tingkat. Akibat kekurangan sumber daya
(SDM, dana dan logistik) supervisi di provinsi dan kabupaten/kota tidak dilaksanakan secara
rutin, sementara tantangan dalam program TB semakin kompleks. Pengembangan sistem
informasi elektronik dan sistem informasi geografis direncanakan untuk meningkatkan
kualitas perencanaan dan penanganan penderita yang lebih baik. Selain itu, pertemuan
monitoring dan evaluasi triwulanan juga dilaksanakan di tingkat Puskesmas, sebagai upaya
untuk meningkatkan mutu laboratorium, memvalidasi data dan mengoptimalkan jejaring TB.
65 | P a g e
kabupaten/kota memberikan kontribusi terhadap perbaikan manajemen data dan monitoring
kinerja program.
6. Riset Operasional TB
Salah satu pencapaian pada kurun waktu 2006-2010 adalah kegiatan operational
research dan kelompok kerja riset operasional TB, sosialisasi riset operasional TB ke
berbagai pihak pemangku kepentingan, pelatihan dan lokakarya riset operasional TB secara
intensif, baik untuk pengembangan proposal maupun penulisan laporan penelitian, serta
kajian dan telaah berbagai proposal riset operasional TB. Pada saat ini sejumlah riset
operasional telah dilaksanakan Diseminasi hasil riset operasional dilakukan melalui berbagai
forum dan bentuk, misalnya melalui pertemuan nasional sosialisasi berbentuk parade
penelitian TB yang dihadiri oleh berbagai pihak pemangku kepentingan terutama staf
program TB serta publikasi di jurnal internasional. Tantangan utama dalam riset operasional
TB adalah menyusun agenda prioritas riset operasional TB serta mendorong pemanfaatan
informasi yang dihasilkan secara strategis dalam proses penyusunan kebijakan dan
pengambilan keputusan dalam program pengendalian TB nasional.
ISU-ISU STRATEGIS
1. Jejaring Laboratorium
Selama dekade terakhir telah terjadi peningkatan dalam kapasitas diagnosis program
pengendalian TB nasional. Meskipun demikian mutu pelayanan diagnosis masih menjadi
tantangan. Sistem jaminan mutu eksternal masih terbatas oleh karena masih banyak
laboratorium yang belum mengikuti cross-check secara rutin akibat keterbatasan kapasitas
BLK dalam melakukan supervisi,umpan balik yang tidak tepat waktu dan belum tersedianya
laboratorium rujukan di tujuh provinsi baru. Rencana penguatan laboratorium telah disusun
sebagai arahan bagi subdit TB dan BPPM. Laboratorium rujukan nasional dan provinsi harus
segera ditetapkan secara formal dengan garis wewenang yang jelas. Pengurangan
kesenjangan (kuantitas dan kualitas) dalam SDM laboratorium perlu diupayakan secara terus
menerus.
2. Logistik Obat Secara keseluruhan, sistem logistik obat belum berjalan dengan optimal
dalam menjamin ketersediaan obat TB secara berkesinambungan di FPK. Data nasional
66 | P a g e
stock-out obat kategori 1 menunjukkan tingkat ketersediaan obat yang tidak stabil pada
bulan-bulan tertentu. Demikian pula halnya dengan buffer stock yang tidak memadai
berdasarkan situasi ketersediaan obat pada awal tahun 2010. Sementara ketersediaan obat lini
kedua/pengobatan untuk kasus MDR sedang diupayakan untuk mendapat persetujuan dari
GLC (Green Light Committee). Dengan demikian, FPK untuk pengobatan kasus MDR harus
dipersiapkan sedini mungkin. Perbaikan dalam manajemen obat TB di tingkat provinsi dan
kabupaten/kota harus dilakukan secara kontinyu untuk mencegah stock-out.
1. TB-HIV Koordinasi TB-HIV secara umum masih perlu diperkuat. Cakupan layanan
TBHIV terpadu di fasiltas pelayanan TB maupun HIV/AIDS masih rendah. Sebagian besar
Rumah Sakit ART belum terlibat dalam program pengendalian TB nasional. Skrining TB
pada ODHA juga belum berjalan secara rutin, demikian pula surveilans TB-HIV. Selain itu,
Isoniazid preventive therapy belum menjadi bagian dari kebijakan kolaborasi TB-HIV
nasional. Cakupan program TB-HIV di rutan/lapas juga masih terbatas. Pemahaman
masyarakat dan akses terhadap materi KIE TB-HIV masih rendah dan LSM masih kurang
diberdayakan.
3. TB Anak
67 | P a g e
TB pada anak mencerminkan transmisi TB yang terus berlangsung di populasi.
Masalah ini masih memerlukan perhatian yang lebih baik dalam program pengendalian TB.
Secara umum, tantangan utama dalam program pengendalian TB anak adalah kecenderungan
diagnosis yang berlebihan (overdiagnosis), disamping juga masih adanya underdiagnosis,
penatalaksanaan kasus yang kurang tepat, pelacakan kasus yang belum secara rutin
dilaksanakan serta kurangnya pelaporan pasien TB anak. Tantangan tersebut juga dihadapi
oleh rumah sakit atau FPK yang telah menerapkan strategi DOTS.
68 | P a g e
Tingginya angka kasus mangkir menunjukkan hasil pengobatan yang belum optimal
di rumah sakit dan praktik swasta. Hasil studi penilaian rumah sakit dalam melaksanakan
strategi DOTS yang dilaksanakan oleh UGM, Direktorat Bina Upaya Kesehatan Kementerian
Kesehatan, dan JEMM menunjukkan berbagai kendala dalam ekspansi HDL. Kendala utama
adalah pelaksanaan HDL yang sangat bervariasi antar rumah sakit yang terlibat serta
pelaksanaan jejaring internal dan eksternal yang belum optimal (termasuk pencatatan
pelaporan serta monitoring dan supervisi dari Dinas Kesehatan setempat). Selain itu,
penatalaksanaan pasien TB belum sesuai dengan ISTC serta kebijakan pemerintah daerah
belum mendukung pendanaan bagi pasien TB yang berobat di rumah sakit.
Ekspansi kegiatan PPM pada saat ini membutuhkan pembentukan kelompok kerja
PPM atau tim DOTS yang komprehensif di tingkat kabupaten/kota (termasuk klaster
kabupaten/kota) dan provinsi (misalnya dengan melibatkan organisasi profesi, Direktorat
BUK Rujukan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia). Perlu diseminasi dan supervisi
yang efektif dalam melaksanakan ISTC secara nasional. ISTC harus diintegrasikan dalam
kurikulum pendidikan bagi dokter, perawat, bidan dan dalam akreditasi/sertifikasi fasilitasi
pelayanan kesehatan. Dokter dan spesialis yang tersertifikasi akan diberikan tanda dengan
pemasangan logo/brand DOTS/ISTC sebagai penghargaan dan sekaligus informasi bagi
pasien dalam mengambil keputusan untuk mencari FPK yang tepat. Wasor TB khusus yang
bertugas memfasilitasi praktisi swasta dan rumah sakit perlu dipertimbangkan. Implementasi
PPM akan diperkuat dalam upaya peningkatan jejaring pelayanan dengan praktisi swasta,
Puskesmas dan rumah sakit, dilengkapi dengan supervisi yang efektif. Peningkatan sistem
rujukan antara rumah sakit dan FPK serta keterlibatan laboratorium swasta dalam sistem
jaminan mutu eksternal sangat penting dalam keberhasilan implementasi PPM.
Berbagai bentuk kemitraan dengan LSM telah ada sejak lama, meskipun baru pada
tahun 2002 terbentuk kemitraan format antara pemerintah pusat dan LSM melalui Gerdunas
dan CCM (Country Coordinating Mechanism) GF ATM pada tahun 2003. Meskipun
demikian, koordinasi dan kerjasama antara pemerintah dan LSM di daerah masih terbatas.
Pada umumnya pengetahuan dan pengertian masyarakat tentang penyakit TB dan
pengobatannya masih rendah. Masyarakat dan pasien TB perlu diberdayakan melalui
pemberian informasi yang memadai tentang TB, pentingnya upaya pencegahan dan
pengendalian TB, serta hak dan kewajiban pasien TB sebagaimana tercantum dalam TB
69 | P a g e
patient charter. Pendampingan dan pemberdayaan sosial ekonomi pasien merupakan bagian
dari upaya pemenuhan kebutuhan tersebut. Upaya KIE dapat pula menunjang kebutuhan
tersebut sekaligus memberdayakan masyarakat secara umum. Pemberdayaan masyarakat
lebih lanjut dapat difasilitasi melalui penguatan desa siaga untuk pengendalian TB.
Seluruh upaya tersebut memerlukan monitoring dan evaluasi serta payung hukum
untuk menjaga kesinambungannya. Berkembangnya wacana revitalisasi Gerdunas ataupun
pembentukan komisi nasional pengendalian TB akhir-akhir ini menggarisbawahi perlunya
penguatan payung kemitraan dalam pengendalian TB.
Penguatan FPK secara umum dengan dukungan sumber daya manusia yang memadai
merupakan salah satu kunci keberhasilan pengendalian TB. Pelatihan telah banyak dilakukan
namun ketersediaan staf yang berkompeten masih mengalami kendala dari tingginya rotasi
staf (10-20%). Kebijakan nasional untuk SDM secara umum masih membatasi upaya
rekrutmen staf dan pengembangan posisi-posisi dalam struktur. Gaji secara umum masih
rendah sedangkan beban kerja meningkat seiring dengan tantangan baru dalam program TB.
Komitmen pemerintah semakin penting ditingkatkan sebagai prasyarat untuk meningkatkan
sumber pendanaan eksternal dan bantuan teknis.
(1) keterbatasan kapasitas manajemen keuangan untuk menjamin pelaporan yang efektf dan
tepat waktu dikarenakan besarnya wilayah yang harus dicakup (yaitu 33 provinsi, 462
kabupaten/kota);
(2) keterbatasan kapasitas untuk pengadaan dan manajemen logistik serta monitoring evaluasi;
dan
(3) keterbatasan kapasitas pemerintah untuk menjalankan fungsi regulasi terkait pelaporan
wajib, ketersediaan obat, dan SPM.
70 | P a g e
pengendalian TB secara umum rendah dikarenakan tingginya pendanaan dari donor
internasional dan banyaknya masalah kesehatan masyarakat lainnya yang juga perlu didanai.
Pembiayaan program TB saat ini masih mengandalkan pendanaan dari donor internasional
dan alokasi pendanaan pemerintah pusat untuk pengadaan obat. Alokasi anggaran pengadaan
obat ini menurun dalam beberapa tahun terakhir sehingga menimbulkan stock-out.
Rendahnya komitmen politis untuk pengendalian TB merupakan ancaman bagi
kesinambungan program pengendalian TB. Program pengendalian TB nasional semakin perlu
penguatan kapasitas untuk melakukan advokasi dalam meningkatkan pembiayaan dari pusat
maupun daerah.
Pelaporan data untuk surveilans dan monitoring evaluasi dari tingkat daerah ke pusat
secara umum sudah menunjukkan perbaikan. Namun masih dijumpai tantangan dalam hal
kualitas, ketepatan waktu dan integrasi dari berbagai jenis fasilitas pelayanan kesehatan.
Integrasi surveilans TB dengan sistim informasi kesehatan nasional perlu diupayakan.
B. Misi
71 | P a g e
*Visi dan misi strategi nasional pengendalian TB 2011-2014 dirumuskan sejalan dengan visi
dan misi renstra kementerian kesehatan 2010-2014.
C. Tujuan
D. Sasaran
Guna mencapai sasaran-sasaran di atas maka strategi-strategi yang akan dilaksanakan adalah
sebagai berikut:
2. Menangani TB/HIV, MDR-TB, TB anak dan masyarakat miskin serta rentan lainnya
72 | P a g e
5. Memperkuat sistem kesehatan, termasuk pengembangan SDM dan manajemen program
pengendalian TB
Perumusan Strategi
73 | P a g e
mempertajam respons terhadap tantangan pada saat ini. Strategi nasional program
pengendalian TB nasional sebagai berikut:
Strategi 1 sampai dengan strategi 4 merupakan strategi umum, dimana strategi ini harus
didukung oleh strategi fungsional yang terdapat pada strategi 5 sampai dengan strategi 7
untuk memperkuat fungsi-fungsi manajerial dalam program pengendalian TB.
74 | P a g e
Program Program yang akan dikembangkan memperkuat penerapan lima
komponen dalam strategi DOTS, dengan fokus prioritas pada proses deteksi dini dan diagnosis
yang bermutu, sistem logistik yang efektif untuk menjamin ketersediaan obat dan alat
kesehatan, serta pengobatan yang terstandar disertai dengan dukungan yang memadai kepada
pasien.
1. Menjamin Deteksi Dini dan Diagnosis Melalui Pemeriksaan Bakteriologis yang Terjamin
Mutunya Meskipun ilmu pengetahuan dan teknologi pemeriksaan laboratorium untuk TB
berkembang dengan pesat, deteksi dini dan diagnosis melalui pemeriksaan sputum
mikroskopis tetap merupakan kunci utama dalam penemuan kasus TB. Tujuan program ini
adalah untuk meningkatkan mutu dan kinerja laboratorium TB mikroskopik, kultur, DST
dan pemeriksaan lain untuk menunjang keberhasilan program pengendalian TB nasional.
Selain pembentukan dan penguatan jejaring laboratorium mikroskopis TB, kultur dan uji
kepekaan Mycobacterium Tuberculosis, aspek mutu dalam pelayanan laboratorium ini
dikembangkan melalui pelaksanaan pemeriksaan laboratorium TB yang aman bagi
petugas, pasien dan lingkungan, mutu fasilitas laboratorium dan tenaga yang terlatih
khususnya di daerah yang melayani masyarakat miskin, rentan (termasuk anak) dan belum
terjangkau serta penjaminan mutu melalui quality assurance internal dan eksternal seluruh
fasilitas laboratorium dan upaya peningkatan mutu berkelanjutan yang
tersertifikasi/akreditasi. Validasi berbagai metode diagnosis baru juga akan dilaksanakan
seiring dengan perkembangan pengetahuan dan teknologi laboratorium untuk TB serta
perluasan kegiatan DST di tingkat provinsi.
Selain strategi untuk meningkatkan ketersediaan, akses dan akurasi dalam
pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis TB secara tepat, diperlukan pula
strategi untuk mengurangi keterlambatan diagnosis, baik yang disebabkan oleh faktor
pelayanan kesehatan maupun faktor pasien. Intervensi yang dilakukan mencakup:
• Meningkatkan intensitas penemuan aktif dengan cara skrining pada kelompok rentan
tertentu (a.l. HIV, anak kurang gizi, rutan/lapas, daerah kumuh, diabetes dan perokok)
• Memprioritaskan pemeriksaan kontak
• Meningkatkan kepekaan dan kewaspadaan penyedia pelayanan terhadap simtom TB dan
pelaksanaan ISTC
• Meningkatkan kepatuhan terhadap alur standar diagnosis
• Melaksanakan upaya meningkatkan kesehatan paru secara komprehensif
75 | P a g e
2. Penyediaan Farmasi dan Alat Kesehatan: Sistem Logistik yang Efektif dalam Menjamin
Suplai Obat yang Kontinyu Pencapaian angka keberhasilan pengobatan
sangat bergantung pada efektivitas sistem logistik dalam menjamin ketersediaan obat
(untuk obat lini pertama dan kedua) dan logistik non-obat secara kontinyu. Berbagai
intervensi yang dikembangkan untuk meningkatkan efektivitas sistem logistik dalam
program pengendalian TB mencakup:
• Memfasilitasi perusahaan obat lokal dalam proses pra-kualifikasi (white listing)
• Memastikan ketersediaan obat dan logistik non-OAT (Reagen, peralatan dan suplai
laboratorium) yang kontinyu, tepat waktu dan bermutu di seluruh fasilitas pelayanan
kesehatan yang memberikan pelayanan DOTS, termasuk di fasilitas yang melayani
masyarakat miskin dan rentan
• Menjamin sistem penyimpanan dan distribusi obat TB yang efektif dan efisien, termasuk
kemungkinan untuk bermitra dengan pihak lain
• Menjamin distribusi obat yang efisien dan efektif secara berjenjang sesuai kebutuhan
• Menjamin terlaksananya sistem informasi manajemen untuk obat TB (termasuk sistem
alert elektronik dan laporan pemakaian dan stok OAT),
3. Memberikan Pengobatan Sesuai Standar dengan Pengawasan dan Dukungan yang
Memadai terhadap Pasien Agar mencapai tingkat kesembuhan yang tinggi,
pengobatan pasien TB membutuhkan penggunaan obat TB secara rasional oleh tenaga
kesehatan dan dukungan yang memadai dari berbagai pihak terhadap pasien TB dan
pengawas minum obat (PMO). Setiap fasilitas pelayanan harus melaksanakan pendekatan
pelayanan yang berfokus pada pasien (patient-centered approach) sebagai berikut:
Memberikan informasi mengenai pilihan fasilitas pelayanan kesehatan yang menyediakan
pengobatan TB dan implikasinya bagi pasien dengan tujuan meminimalkan opportunity
costs dan memperhatikan hak-hak pasien
• Menjamin setiap pasien TB memiliki PMO
• Mengoptimalkan pelaksanaan edukasi bagi pasien dan PMO
• Mempermudah akses pasien terhadap fasilitas pelayanan kesehatan yang telah tersedia
(seperti Puskesmas, Balai Kesehatan Paru Masyarakat, rumah sakit dan fasilitas pelayanan
kesehatan lainnya)
• Mengembangkan pendekatan pelayanan DOTS berbasis komunitas
76 | P a g e
Epidemi HIV merupakan ancaman serius bagi pengendalian TB di
Indonesia. Pada saat ini, kolaborasi program TB dan HIV masih terbatas. Tantangan
utama adalah mempercepat perluasan dan memperkuat pelaksanaan kolaborasi di
semua wilayah dengan prevalensi HIV yang tinggi (generalized dan concentrated)
termasuk mengembangkan kolaborasi TB dan HIV dalam berbagai aspek kegiatan
programnya agar mampu menyediakan pelayanan yang terintegrasi dan komprehensif
bagi pasien TB/HIV, baik di tingkat pelayanan primer ataupun pelayanan rujukan
rumah sakit yang didukung implementasi kegiatan surveilans TB-HIV.
Tantangan MDR-TB semakin nyata dalam periode lima tahun ke depan dan
beban kasus MDR-TB semakin meningkat oleh karena meningkatnya insidensi MDR-
TB, meningkatnya penularan MDR-TB, serta penanganan kasus MDR-TB yang tidak
optimal. Masalah ini serta implikasi biaya yang mungkin ditimbulkannya telah
disadari penuh dengan melakukan upaya untuk meningkatkan penemuan dan
penanganan kasus MDR-TB secara bertahap di fasilitas pelayanan kesehatan yang
ditunjuk, pengembangan fasilitas laboratorium dan jejaringnya serta penguatan
kapasitas untuk melakukan DRS. Tantangan utama adalah rendahnya akses terhadap
diagnosis dan pengobatan (PMDT) dikarenakan lambatnya peluasan upaya-upaya di
atas.
TB pada anak mencerminkan transmisi TB yang terus berlangsung di
populasi. Kecenderungan yang berlebihan (overdiagnosis) dalam mendiagnosis TB
anak, penatalaksanaan kasus yang tidak tepat, pelacakan kasus yang lemah serta
kurangnyapelaporan pasien TB anak (underreporting) merupakan permasalahan yang
dijumpai pada TB anak. Untuk itu program pengendalian TB pada anak perlu
ditingkatkan implementasinya. Untuk mengoptimalkan akses masyarakat miskin dan
kelompok rentan (termasuk narapidana) pada pelayanan TB, sangat dibutuhkan
pendekatan yang sistematik untuk menerapkan strategi DOTS. Daerah terpencil,
perbatasan dan pulau-pulau kecil memberikan tantangan operasional kegiatan dalam
program pengendalian TB yang memerlukan perhatian khusus.
Tujuan
Terdapat beberapa tujuan yang akan dicapai untuk menghadapi berbagai tantangan di
atas:
• Peningkatan penemuan kasus dan penanganan pasien ko-infeksi TB/HIV
77 | P a g e
• Menurunkan insidensi dan transmisi MDR-TB serta menangani kasus MDR-TB
melalui PMDT (programmatic management of drug resistant TB)
• Peningkatan kemampuan diagnostik dan penatalaksanaan kasus TB anak
• Uji coba dan implementasi model penanganan khusus untuk narapidana, kelompok
rentan dan daerah terpencil, perbatasan dan pulau-pulau kecil
78 | P a g e
dicapai. Dalam mengukur keberhasilan tersebut diperlukan indikator. Hasil evaluasi sangat
berguna untuk kepentingan perencanaan program. Masing-masing tingkat pelaksana program
(UPK, Kabupaten/Kota, Propinsi, dan Pusat) bertanggung jawab melaksanakan pemantauan
kegiatan pada wilayahnya masing-masing. Seluruh kegiatan harus dimonitor baik dari aspek
masukan (input), proses, maupun keluaran (output). Cara pemantauan dilakukan dengan
menelaah laporan, pengamatan langsung dan wawancara dengan petugas pelaksana maupun
dengan masyarakat sasaran. Dalam pelaksanaan monitoring dan evaluasi, diperlukan suatu
sistem pencatatan dan pelaporan baku yang dilaksanakan dengan baik dan benar. Evaluasi
hasil kegiatan penanggulangan TB didasarkan pada indikator–indikator program
penanggulangan TB yang dilakukan pada tahap akhir program dilakukan. Indikator
merupakan alat yang paling efektif untuk melakukan evaluasi dan merupakan variabel yang
menunjukkan keadaan dan dapat digunakan untuk mengukur terjadinya perubahan. Indikator
yang baik harus memenuhi syarat – syarat tertentu antara lain : valid, sensitive dan specific,
dapat dimengerti, dapat diukur dan dapat dicapai. Indikator program Penanggulangan TB
Paru dapat dianalisa dengan cara (1) Membandingkan data antara satu dengan yang lain
untuk melihat besarnya perbedaan, dan (2) Menganalisis kecenderungan (trend) dari waktu ke
waktu. Untuk mempermudah analisis data diperlukan indikator sebagai alat ukur kemajuan’
(marker of progress). Indikator yang baik harus memenuhi syarat-syarat tertentu seperti:
Sahih (valid), Sensitif dan Spesifik (sensitive and specific), Dapat dipercaya (realiable),
Dapat diukur (measureable), Dapat dicapai (achievable).
79 | P a g e
Lanjutan indikator
80 | P a g e
Adalah jumlah suspek yang diperiksa dahaknya diantara 100.000 penduduk pada
suatu wilayah tertentu dalam 1 tahun. Angka ini digunakan untuk mengetahui akses
pelayanan dan upaya penemuan pasien dalam suatu wilayah tertentu, dengan memperhatikan
kecenderungannya dari waktu ke waktu (triwulan/tahunan).
Jumlah suspek yang diperiksa bisa didapatkan dari buku daftar suspek UPK yang
tidak mempunyai wilayah cakupan penduduk, misalnya rumah sakit, BP4 atau dokter praktek
swasta, indikator ini tidak dapat dihitung
Proporsi Pasien BTA (+) adalah persentase pasien BTA positif yang ditemukan
diantara seluruh suspek yang diperiksa dahaknya. Angka ini menggambarkan mutu dari
proses penemuan sampai diagnosis pasien, serta kepekaan menetapkan kriteria suspek.
3) Proporsi Pasien TB Paru BTA Positif Diantara Semua Pasien TB Paru Tercatat.
Adalah persentase pasien Tuberkulosis paru BTA positif diantara semua pasien
Tuberkulosis paru tercatat. Indikator ini menggambarkan prioritas penemuan pasien
Tuberkulosis yang menular diantara seluruh pasien Tuberkulosis paru yang diobati.
81 | P a g e
Angka ini sebaiknya jangan kurang dari 65%. Bila angka ini jauh lebih rendah, itu
berarti mutu diagnosis rendah dan kurang memberikan prioritas untuk menemukan pasien
yang menular (pasien BTA Positif).
Adalah persentase pasien TB anak (< 15 tahun) diantara seluruh pasien TB tercatat
dengan rumus:
Angka ini sebagai salah satu indikator untuk menggambarkan ketepatan dalam
mendiagnosis TB pada anak. Angka ini berkisar 15%. Bila angka ini terlalu besar dari 15%,
kemungkinan terjadi overdiagnosis.
Angka konversi adalah persentase pasien TB paru BTA positif yang mengalami
konversi menjadi BTA negatif setelah menjalani masa pengobatan intensif. Angka konversi
dihitung tersendiri untuk tiap klasifikasi dan tipe pasien, BTA postif baru dengan pengobatan
kategori-1, atau BTA positif pengobatan ulang dengan kategori-2. Indikator ini berguna
untuk mengetahui secara cepat kecenderungan keberhasilan pengobatan dan untuk
mengetahui apakah pengawasan langsung menelan obat dilakukan dengan benar.
Angka minimal yang harus dicapai adalah 80 %. Angka konversi yang tinggi akan
diikuti dengan angka kesembuhan yang tinggi pula. Selain dihitung angka konversi pasien
baru TB paru BTA positif, perlu dihitung juga angka konversi untuk pasien TB paru BTA
positif yang mendapat pengobatan dengan kategori dua.
82 | P a g e
Angka kesembuhan adalah angka yang menunjukkan persentase pasien TB BTA
positif yang sembuh setelah selesai masa pengobatan, diantara pasien TB BTA positif yang
tercatat. Angka kesembuhan dihitung tersendiri untuk pasien baru BTA positif yang
mendapat pengobatan kategori 1/pasien BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2.
Angka ini dihitung untuk mengetahui keberhasilan program dan masalah potensial, dengan
rumus:
Angka minimal yang harus dicapai adalah 88%. Angka kesembuhan digunakan untuk
mengetahui keberhasilan pengobatan. Bila angka kesembuhan lebih rendah dari 88%, maka
harus ada informasi dari hasil pengobatan lainnya, yaitu berapa pasien yang digolongkan
sebagai pengobatan lengkap, default (drop-out atau lalai), gagal, meninggal, dan pindah
keluar. Angka default tidak boleh lebih dari 10%, sedangkan angka gagal untuk pasien baru
BTA positif tidak boleh lebih dari 4% untuk daerah yang belum ada masalah resistensi obat,
dan tidak boleh lebih besar dari 10% untuk daerah yang sudah ada masalah resistensi obat.
Selain dihitung angka kesembuhan pasien baru TB paru BTA positif, perlu dihitung juga
angka kesembuhan pasien TB paru BTA positif yang mendapat pengobatan ulang dengan
kategori dua.
7) Kesalahan Laboratorium
83 | P a g e
Keterangan :
KG adalah perbedaan baca pada sediaan positf yaitu minimal 2 gradasi. Kesalahan
yang tidak dapat diterima ádalah sebagai berikut:
84 | P a g e
Adalah angka yang menunjukkan jumlah pasien baru yang ditemukan dan tercatat
diantara 100.000 penduduk di suatu wilayah tertentu. Angka ini apabila dikumpulkan serial,
akan menggambarkan kecenderungan penemuan kasus dari tahun ke tahun di wilayah
tersebut, dengan rumus:
Angka ini berguna untuk menunjukkan "trend" atau kecenderungan meningkat atau
menurunnya penemuan pasien pada wilayah tersebut.
Adalah persentase jumlah pasien baru BTA positif yang ditemukan dibanding jumlah
pasien baru BTA positif yang diperkirakan ada dalam wilayah tersebut. Case Detection Rate
menggambarkan cakupan penemuan pasien baru BTA positif pada wilayah tersebut,dengan
rumus:
Target Case Detection Rate Program Penanggulangan Tuberkulosis Nasional minimal 90%.
85 | P a g e
menimbulkan kegiatan. Kinerja adalah hasil yang dicapai atau prestasi yang dicapai
karyawan dalam melaksanakan suatu pekerjaan dalam suatu organisasi. Kinerja organisasi
adalah efektifitas organisasi secara menyeluruh untuk memenuhi kebutuhan yang ditetapkan
dari setiap kelompok yang berkenaan melalui usaha-usaha yang sistematik dan meningkatkan
kemampuan organisasi secara terus menerus untuk mencapai kebutuhannya secara efektif.
Menurut Nawawi (1997) kinerja adalah hasil pelaksanaan suatu pekerjaan baik
bersifat fisik (material) maupun non fisik (non material) dalam suatu tenggang waktu tertentu.
Berdasarkan pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa kinerja adalah prestasi kerja karena
diartikan sebagai hasil pelaksanaan pekerjaan dalam periode tertentu merupakan prestasi
yang dicapai oleh karyawan terhadap target atau sasaran yang telah ditentukan dengan
berbagai persyaratannya, yang dibebankan kepada karyawan tersebut, dan untuk mengetahui
prestasi atau hasil yang telah dicapai oleh karyawan tersebut, tentunya harus dilaksanakan
penilaian kinerja, yaitu dengan membandingkan kinerja aktual dengan standar-standar yang
telah ditetapkan.
Dari beberapa pengertian diatas, disimpulkan bahwa kinerja adalah proses yang
dilakukan dan hasil yang dicapai oleh seseorang dalam melaksanakan suatu fungsi pekerjaan
dalam suatu periode waktu tertentu. Dengan demikian indikator pengukuran kinerja dapat
dikembangkan dari hasil yang dicapai (kinerja hasil) dan proses dalam mencapai hasil
(kinerja proses).
Menurut Ilyas (2001) yang mengutip pendapat Gibson (1987) ada tiga faktor yang
memengaruhi kinerja seseorang, yaitu faktor individu, faktor psikologis dan organisasi.
1. Faktor individu terdiri dari kemampuan dan ketrampilan, latar belakang dan demografis.
Variabel kemampuan dan ketrampilan merupakan faktor utama yang mempengaruhi perilaku
dan kinerja individu, variabel demografis mempunyai efek tidak langsung pada perilaku dan
kinerja individu.
2. Faktor Psikologis terdiri dari persepsi, sikap, kepribadian dan motivasi. Variabel ini
banyak dipengaruhi oleh keluarga, tingkat sosial, pengalaman kerja sebelumnya dan variabel
demografis. Variabel seperti persepsi, sikap, kepribadian dan belajar merupakan hal yang
kompleks yang sulit untuk diukur.
3. Faktor organisasi berefek tidak langsung terhadap perilaku dan kinerja individu terdiri dari
sumber daya, kepemimpinan, imbalan, struktur dan desain pekerjaan.
86 | P a g e
Menurut Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia (2003) indikator kinerja
adalah ukuran kuantitatif dan kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu
kegiatan yang telah ditetapkan dengan dikategorikan dalam beberapa kelompok antara lain :
a. Masukan (input) adalah sesuatu yang dibutuhkan agar pelaksanaan kegiatan dan program
dapat berjalan atau dalam rangka menghasilkan output, misalnya sumber daya manusia, dana,
material, waktu, dan lain sebagainya.
b. Keluaran (output) adalah sesuatu berupa produk /jasa (fisik dan atau non fisik) sebagai
hasil langsung dari pelaksanaan suatu kegiatan dari program berdasarkan masukan yang
digunakan.
c. Hasil (outcome) adalah segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya keluaran kegiatan
pada jangka menengah. Outcomes merupakan ukuran seberapa jauh setiap oleh masyarakat
produk / jasa dapat memenuhi kebutuhan dan harapan masyarakat.
d. manfaat (benefits) adalah kegunaan suatu keluaran (outputs) yang dirasakan langsung oleh
masyarakat,dapat berupa tersedianya fasilitas yang dapat diakses oleh publik.
e. Dampak (impacts) adalah ukuran tingkat pengaruh sosial ekonomi, lingkungan atau
kepentingan umum lainnya yang dimulai oleh capaian kinerja setiap indikator dalam suatu
kegiatan.
Manajemen P2 TB Paru
87 | P a g e
menerus terhadap masukan, waktu pelaksanaan kegiatan P2 TB dan masalah – masalah yang
timbul serta upaya mengatasinya. Pengendalian merupakan kegiatan untuk mengikuti
kemajuan pelaksanaan kegiatan P2TB agar sesuai dengan rencana yang telah dibuat
sebelumnya. Hal ini dilakukan oleh petugas TB dengan cara melakukan supervisi ke unit
pelayanan kesehatan. Evaluasi atau penilaian merupakan suatu cara yang sistematis untuk
memperbaiki kegiatan – kegiatan yang sedang berjalan serta untuk meningkatkan
perencanaan yang lebih baik dengan menyeleksi alternatif – alternatif tindakan yang akan
datang.
Evaluasi program dapat dilakukan pada setiap tahap pelaksanaan program. Evaluasi
secara umum dibedakan atas tiga jenis yaitu:
Evaluasi ini dilakukan pada saat merencanakan program. Evaluasi ini bertujuan untuk
meyakinkan bahwa rencana yang disusun benar – benar sesuai dengan masalah yang
ditemukan.
Evaluasi ini dilakukan pada saat program dilaksanakan dan mempunyai tujuan utama
yaitu mengukur apakah program yang sedang dilakukan tersebut telah sesuai dengan rencana
atau tidak, apakah terjadi penyimpangan– penyimpangan.
Evaluasi ini dilakukan pada saat program telah selesai dilaksanakan. Tujuan utama
adalah mengukur keluaran (output). Tujuan evaluasi pada tahap akhir program yaitu:
memperbaiki manajemen program, mempertimbangkan penyediaan dana, memperluas
cakupan program, mengetahui hasil program, sebagai alat untuk memperbaiki kebijaksanaan
pelaksanaan program dan perencanaan program yang akan datang. Hasil evaluasi akan
memberikan pengalaman mengenai hambatan atau pelaksanaan program yang lalu, dan
selanjutnya dipergunakan untuk memperbaiki kebijaksanaan dan pelaksanaan program yang
akan datang.
88 | P a g e
Koordinasi
Salah satu unsur penting dalam manajemen pelaksanaan program kesehatan seperti
program penanggulangan TB paru adalah koordinasi. Menurut Robbin (2006) koordinasi
adalah pengetahuan sekelompok orang secara teratur untuk menciptakan kesatuan tindakan
dalam mengusahakan tercapainya suatu tujuan bersama, sedangkan menurut Sondang (2006)
lebih lanjut menekankan bahwa koordinasi dalam suatu organisasi akan tercapai melalui (1)
Konfirmasi lengkap, (2) Pertemuan berkala, (3) Pembentukan panitia gabungan, (4)
Wawancara dengan bawahan/pihak terlibat, dan (5) Memorandum berantai.
Menurut G.R Terry dalam Hasibuan (2006) berpendapat bahwa koordinasi adalah
suatu usaha yang sinkron dan teratur untuk menyediakan jumlah dan waktu yang tepat, dan
mengarahkan pelaksanaan untuk menghasilkan suatu tindakan yang seragam dan harmonis
pada sasaran yang telah ditentukan.
89 | P a g e
organisasi dilakukan koordinasi secara efektif maka ada beberapa manfaat yang didapatkan.
Handoko (2003) berpendapat bahwa Adapun manfaat koordinasi antara lain:
a. Dengan koordinasi dapat dihindarkan perasaan terlepas satu sama lain, antara satuan-
satuan organisasi atau antara pejabat yang ada dalam organisasi.
b. Menghindari suatu pendapat atau perasaan bahwa satuan organisasi atau pejabat
merupakan yang paling penting.
Hasibuan (2006) berpendapat bahwa koordinasi penting dalam suatu organisasi, yakni:
b. Agar orang-orang dan pekerjaannya diselaraskan serta diarahkan untuk pencapaian tujuan
perusahaan.
d. Supaya semua unsur manajemen dan pekerjaan masing-masing individu pegawai harus
membantu tercapainya tujuan organisasi.
e. Supaya semua tugas, kegiatan, dan pekerjaan terintegrasi kepada sasaran yang diinginkan.
90 | P a g e
Menurut Boyatzis (Thoha, 2008), kompetensi didefenisikan sebagai “kapasitas yang
ada pada seseorang yang bisa membuat orang tersebut mampu memenuhi apa yang
diisyaratkan oleh pekerja dalam suatu organisasi sehingga orang tersebut mampu mencapai
hasil yang diharapkan Kompetensi adalah kemampuan dan karakter yang harus dimiliki oleh
seorang pegawai negeri sipil berupa pengetahuan, keterampilan dan sikap perilaku yang
diperlukan dalam pelaksanaan tugasnya secara profesional, efektif dan efisien (Depkes, 2008).
1) Motive, adalah konsistensi berfikir mengenai sesuatu yang diinginkan dan dikehendaki
oleh seseorang, sehingga menyebabkan suatu kejadian. Motif tingkah laku seperti
mengendalikan, mengarahkan, membimbing dan memilih untuk menghadapi kejadian atau
tujuan tertentu.
2) Traits, adalah naluri yang secara konsisten dapat memberikan respon yang cepat dan tepat
terhadap keadaan atau informasi yang diterima, atau karakteristik fisik dan tanggapan yang
konsisten terhadap informasi atau situasi tertentu.
3) Self concept, adalah sikap perilaku, sistem nilai atau persepi diri atau imajinasi seseorang
yang dianut dan dipercayai dapat menguatkan dan meyakinkan sesuai dengan harapannya,
serta dapat menuntun menjadi individu yang efektif diberbagai lingkungan kerja, jika
keyakinan tersebut didukung rasa percaya diri yang besar.
4) Knowledge, yaitu sekumpulan informasi dan pengetahuan yang dimiliki seseorang dalam
bidang tertentu.
5) Skill, adalah kemampuan untuk mengerjakan atau menyelesaikan tugas – tugasfisik atau
mental tertentu secara nyata dilakukan.
Menurut Thoha (2008), kompetensi ada 3 (tiga) jenis yaitu : (1) kompetensi teknis
yang lebih menekankan kepada pencapaian efektifitas kerja, (2) kompetensi perilaku (konsep
diri, ciri diri dan motif individu), yang lebih menekankan kepada perilaku produktif yang
harus dimiliki dan diperagakan oleh petugas agar dapat berprestasi, dan (3) kompetensi
pengetahuan dan keterampilan individu yang lebih ditujukan kepada pelatihan dan
pendidikan. Pendidikan dan Pelatihan berdasarkan kompetensi merupakan spesifikasi dari
pengetahuan dan keterampilan serta penerapan dari pengetahuan dan keterampilan tersebut
91 | P a g e
dalam suatu pekerjaan atau perusahaan atau lintas industri, sesuai dengan standar kinerja
yang disyaratkan.
Pengetahuan (Knowledge)
92 | P a g e
dan sikapnya terhadap stimulus. Pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif
mempunyai 6 tingkatan yaitu :
1) Tahu (know), dapat diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall)
tehadap sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah
diterima. Tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk
mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain : menyebutkan,
menguraikan, mendefinisikan, menyatakan, dan sebagainya.
3) Aplikasi (application), kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada
situasi atau kondisi riil (sebenarnya). Aplikasi di sini dapat diartikan sebagai penggunaan
hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.
Misalnya dapat menggunakan prinsip-prinsip siklus pemecahan masalah (problem solving
cycle) didalam pemecahan masalah kesehatan dari kasus yang diberikan.
4) Analisis (analysis), suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke
dalam komponen-komponen, tetapi masih didalam satu struktur organisasi dan masih ada
kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja;
dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokan dan
sebagainya.
93 | P a g e
Sikap (Attitude)
Sikap merupakan reaksi atau respons seseorang yang sifatnya masih tertutup terhadap
suatu stimulus atau objek. Sikap secara nyata menunjukan konotasi adanya kesesuaian reaksi
terhadap stimulus tertentu, dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat
emosional terhadap stimulus sosial. Menurut Notoatmodjo (2008) bahwa sikap itu merupakan
kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu.
Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi baru merupakan “pre-
disposisi” tindakan atau perilaku. Sikap itu masih merupakan reaksi yang sifatnya masih
tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka dan tingkah laku yang terbuka. Menurut Allport
(1954) dalam Notoatmodjo (2008) menjelaskan bahwa sikap mempunyai 3 komponen pokok,
yakni : (1) Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek. (2) Kehidupan
emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu objek. (3) Kecenderungan untuk bertindak
(trend to behave). Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh
(total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan berfikir, keyakinan dan
emosional memegang peranan yang sangat penting. Sikap terdiri dari beberapa tingkatan,
yaitu :
1) Menerima (Receiving), diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus
yang diberikan (objek).
Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (over behaviour). Untuk
terwujudnya sikap menjadi suatu perbedaan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu
kondisi yang memungkinkan, antara lain fasilitas. Disamping faktor fasilitas juga diperlukan
94 | P a g e
faktor dukungan (support) dari pihak lain. Ada empat tingkatan dalam praktik atau tindakan,
yakni :
1) Persepsi (Perception), mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan
yang akan diambil merupakan praktik tingkat pertama.
2) Respon terpimpin (Guided Respons), dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang
benar sesuai dengan contoh adalah indikator praktik tingkat dua.
3) Mekanisme (Mechanism), apabila seseorang telah melakukan sesuatu dengan benar secara
otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan maka ia sudah mencapai praktik
tingkat tiga.
4) Adaptasi (adaptation), adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan
baik, artinya tindakan itu sudah dimodifikasi sendiri tanpa mengurangi kebenaran tindakan
tersebut.
Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung, yakni dengan wawancara
terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari, atau bulan yang lalu
(recal). Pengukuran juga dapat dilakukan secara langsung yakni dengan mengobservasi
tindakan atau kegiatan responden. Keterampilan adalah kemampuan dan penguasaan teknis
operasional mengenai bidang tertentu yang bersifat kekaryaan, berkaitan dengan kemampuan
seseorang untuk melakukan atau menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang bersifat teknis
yang diperoleh melalui proses belajar dan berlatih. Dengan keterampilan yang dimiliki
seorang pegawai diharapkan mampu menyelesaikan pekerjaan secara produktif. (Sulistiyani
dan Rosidah, 2003).
Pengukuran sikap dapat dilakukan dengan cara langsung dan tidak langsung. Secara
langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau pernyataan responden terhadap suatu
objek.
95 | P a g e
program TB di Puskesmas. Adapun Tugas Pokok dan Fungsi Petugas Program TB paru di
Puskesmas yaitu : (Depkes RI, 2009)
a. Menemukan Penderita
Adapun tugas pokok petugas pengelola program penanggulangan TB paru, antara lain
10. Memantau jumlah suspek yang diperiksa dan jumlah penderita TBC yang ditemukan.
b. Memberikan Pengobatan
8. Mengenal efek samping obat dan komplikasi lainnya serta cara penanganannya
96 | P a g e
9. Menentukan hasil pengobatan dan mencatatnya di kartu penderita
c. Penanganan Logistik
Adapun Tugas dan tanggung jawab tenaga pelaksana teknis laboratorium puskesmas,
antara lain:
1. Melaksanakan pelayanan laboratorium sesuai dengan pola kerja dan prosedur kerja yang
ditetapkan.
2. Menjaga kebersihan dan kerapihan ruang tunggu loket penerimaan spesimen, ruang kerja
sepanjang hari.
5. Mengatur penyediaan peralatan untuk pemeriksaan, seperti pipet, reagen, lampu spirtus
dan formulir-formulir hasil.
9. Melakukan pemeriksaan dengan baik dan benar sesuai dengan prosedur kerja serta
menjaga mutu hasil pemeriksaannya.
97 | P a g e
10. Mencatat hasil pemeriksaan, dan mengontrol dan mencek hasil pemeriksaan.
13. Menangani, mengemas dan mengirimkan spesimen rujukan lengkap dengan serut
pengantar/berita acara.
14. Mengambil dan mencatat hasil pemeriksaan spesimen rujukan dan menyampaikannya
kepada yang berwenang atau berkepentingan.
18. Merawat dan memelihara peralatan laboratorium sesuai dengan petunjuk yang digariskan.
19. Melaporkan hal-hal yang menyangkut pemeriksaan laboratorium yang perlu segera
dilaporkan kepada penanggung jawab laboratorium.
20. Menyusun usulan kebutuhan laboratorium untuk diajukan kepada penanggung jawab
laboratorium.
Sedangkan kegiatan-kegiatan yang dilakukan didalam gedung antara lain: (a) terhadap
spesimen yang dapat diperiksa sendiri, meliputi kegiatan, (b) Penerimaan pasien, (c)
Pengambilan/pengumpulan spesimen, (c) penanganan spesimen, (d) Pencatatan hasil
pemeriksaan, (e) Pengecekan/pengontrolan hasil pemeriksaan, (f) Penyampaian hasil
pemeriksaan terhadap spesimen yang harus dirujuk, meliputi :(1) Pengambilan/pengumpulan
spesimen, (2) Penanganan spesimen, (3) Pengemasan spesimen, (4) Pengiriman spesimen, (5)
Pengambilan hasil pemeriksaan, (6) Pencatatan hasil pemeriksaan, (7) Penyampaian hasil
pemeriksaan. Sedangkan kegiatan di luar gedung puskesmas, meliputi (1) kegiatan di pos-pos
pelayanan lain dalam wilayah puskesmas yang bersangkutan (puskesmas pembatu posyandu).
Dapat dilakukan bersama perawat/bidan, meliputi : (a) Melakukan tes screening HB, (b)
98 | P a g e
Melakukan pengambilan spesimen yang kemudian dikirim ke laboratorium puskesmas, (2)
Memberikan penyuluhan sehubungan dengan laboratorium dan (3) kegiatan dilapangan
dalam rangka program kesehatan lain, dapat dilakukan oleh tenaga laboratorium bersama
petugas lain dalam kegiatan bersangkutan.
99 | P a g e
pelatihan untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan program yang lebih tinggi
(Depkes RI, 2009).
Penelitian Samsuarsyah (2006) tentang Komitmen dan kinerja petugas Pengelola TB-
paru pada puskesmas Di Kabupaten Solok dan Kabupaten Solok Selatan, menjelaskan bahwa
komitmen petugas pengelola TB paru sangat berpengaruh terhadap hasil kerja
penanggulangan TB Paru.
Daftar Pustaka
1. Azrul, Anwar. Pengantar Epidemiologi, Edisi Pertama. Jakarta: Bina Putra Aksara,
1998.
2. Noor, Nur Nasry. Epidemiologi. Jakarta: Rineka Cipta, 2008.
3. Subari, Heru, dkk. Manajemen Epidemiologi. Yogyakarta: Media Pressindo, 2004.
4. USAID. Introduction of Tuberculosis, History, and Transmission:
Department of Health Republic of South Africa.
5. Dharmojono. Limabelas penyakit menular dari binatang ke manusia. Jakarta:Milenia
populer;2001
6. ANONIM. Manual of Standards for Diagnostik Test and Vaccines. List A and B
diseases of mammals, birds and bees. Office International des Epizootiz. World
Organisation for Animal Diseases. 2000;Pp.718- 725.
7. Kartasasmita, Cissy. 2009. Epidemiologi Tuberkulosis. Jurnal Sari Pediatri. Vol. 11:
2.
8. Mandal, Bibhat, dkk. 2006. Penyakit Infeksi. Jakarta : Erlangga
100 | P a g e
9. Notoatmojo, Soekidjo. 2011. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta: Rineka
Cipta.
10. Shulman, Stanford, dkk. 1994. Dasar Biologis dan Klinis Penyakit Infeksi.
Yogyakarta: UGM Press.
101 | P a g e