Anda di halaman 1dari 18

Abstrak

Lepra atau yang juga dikenal dengan sebutan Morbus Hansen merupakan penyakit yang
disebabkan oleh bakteri mycobacterium leprae. Lepra merupakan penyakit kronik dan menular
yang sering terjadi pada masyarakat yang kurang menjaga kebersihan dengan baik. Lepra
sering ditemukan pada daerah yang beriklim panas. Penyakit ini terutama menyerang saraf dan
kulit. Gejala pertama yang timbul adalah lesi berupa makula hipopigmentasi (bercak putih)
yang bersifat anastetik (baal / mati rasa). Kusta / lepra dibagi menjadi 2 tipe yaitu tipe
indeterminate dan tipe determinate. Terdapat berbagai macam pemeriksaan yang dapat
dilakukan untuk mendeteksi apakah seseorang terkena penyakit lepra atau tidak, yaitu melalui
pemerikasaan fisik dan pemeriksaan penunjang (pemeriksaan Ziehl-Neelsen, pemeriksaan
histopatologi serta pemeriksaan serologik). Pengobatan yang adekuat serta deteksi dini dapat
mencegah prognosis yang buruk yang timbul dari komplikasi penyakit kusta.

Kata kunci: Lepra, morbus hansen, mycobacterium leprae

Abstracts

Leprosy, also known as Morbus Hansen is a disease caused by the bacterium


Mycobacterium leprae. Leprosy is a chronic and infectious diseases that often occurs in people
who lack good hygiene. Leprosy is often found in hot climates. This disease mainly attacks the
nerves and skin. The first symptoms are lesions that arise in the form of macular
hypopigmentation (white spots) which is an anesthetic (numbness / numbness). Leprosy /
leprosy is divided into two types: type indeterminate and determinate type. There are a variety
of tests that can be performed to detect whether a person has leprosy or not, that is through
physical examination and investigations (Ziehl-Neelsen examination, histopathological
examination and serological). Adequate treatment and early detection can prevent poor
prognosis arising from complications of leprosy.

Keywords: leprosy, morbus hansen, mycobacterium leprae

Pendahuluan

Dari skenario,di dapat seorang laki-laki berusia 40 tahun datang ke poliklinik


dengan keluhan berupa bercak putih pada lengan kiri sejak 1 bulan. Tidak ada rasa gatal.

Penyakit lepra atau kusta merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh
bakteri Mycobacterium Leprae. Lepra juga dikenal dengan sebutan penyakit Morbus Hansen.
Lepra merupakan penyakit kronik dan menular yang sering terjadi pada masyarakat yang
kurang menjaga kebersihan dengan baik. Lepra sering ditemukan pada daerah yang beriklim
panas. Penyakit ini terutama menyerang saraf dan kulit.1

Anamnesis

Pada anamnesis yang perlu di tanyakan yaitu: identitas, keluhan utama, riwayat
penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat obstri dan ginekologi (khusus wanita).
Riwayat penyakit keluarga, anamnesis susunan sistem dan anamnesis pribadi (meliputi
keadaan sosial ekonomi, budaya, kebiasaan, obat-obatan, dan lingkugan).2,3
Identitas meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat, pendidikan, suku bangsa,
pekerjaan, dan agama. Identitas perlu di tanyakan untuk memastikan bahwa pasien yang
dimaksud dan sebagai dara penelitian.2,3
Keluhan utama adalah keluhan yang dirasakan pasien yang membawa pasien ke dokter
atau mencari pertolongan. Dari hasil anamnesa di dapatkan data bahwa pasien datang dengan
keluhan adanya bercak putih pada lengan kiri, sejak 1 bulan yang lalu dan tidak ada rasa gatal.2,3
Riwayat penyakit sekarang merupakna cerita yang kronologis, terperinci, dan jelas
mengenai keadaan kesehatan pasien sejak sebelum keluhan utama sampai pasien datang
berobat. Faktor resiko dan pencetus serangan, termasuk faktor yang memperberat atau
meringankan keluhan. Riwayat penyakit terdahulu untuk mengetahui kemungkinan-
kemungkinan adanya hubungan penyakit yang pernah ia derita dengan penyakitnya sekarang.
Riwayat obstetric harus ditanyakan pada setiap pasien wanita. Tanyakan mengenai
menstruasinya apakah sering terasa nyeri atau tidak, riwayat kehamilan, teratur atau tidak.2,3
Anamnesis susunan sistem bertujuan mengumpulkan data positif dan negative yang
berhubungan dengan penyakit yang diderita pasien berdasarkan alat tubuh yang sakit.2,3
Riwayat penyakit keluarga penting untuk mencari kemungkinan penyakit herediter,
familial atau penyakit infeksi.2,3
Riwayat pribadi meliputi data-data sosial, ekonomi, pendidikan, dan kebiasaan. Perlu
di tanyakan apakah pasien memiliki kebiasaan merokok, minum alcohol, dan obat-obatan
terlarang. Pasien yang sering melakukan perjalanan juga harus ditanyakan tujuan
perjalanannya untuk mencari kemungkinan tertular penyakit infeksi tertentu. Bila ada indikasi,
riwayat perkawinan atau kebiasaan seksual juga harus ditanyakan. Yang tidak kalah penting
adalah menanyakan tentang lingkungan tempat tinggal, termasuk keadaan rumah, sanitasi,
sumber air minum ventilasi, tempat pembuangan sampah dan sebagainya.2,3
Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik yang dilakukan adalah dengan memastikan status lokalisnya
dengan melakukan pemeriksaan pada seluruh tubuh. Selain itu kita juga dapat memeriksa
eflouresensi atau sifat dari luka tersebut. Pada penyakit lepra, eflouresensinya mempunyai sifat
yang berbeda-beda. Pada lepra tipe I, eflouresensi yang muncul berupa macula hipopigmentasi
berbatas tegas, anestesi, anhidrasi, pemeriksaan bekteriologi negative, dan tes lepromin positif.
Lepra tipe TT (tuberculosis), terdapat eflouresensi berupa macula eritematosa bulat atau
lonjong, permukaan kering, batas tegas, anestesi, bagian tengah sembuh, bakteriologi negative,
dan tes lepromin positif kuat. Tipe lepra BT (borderline tuberculoid), terdapat eflouresensi
macula eritematosa tak teratur, batas tak tefas, kering, mula-mula ada tanda kontraktur,
anestesi, pemeriksaan bakteriologi positif/negative, tes lepromin positif/negative. Lepra tipe
BB (mid-borderline), eflouresensi macula eritematosa, menonjol, bentuk tidak teratur, kasar,
ada lesi satelit, penebalan saraf, kontraktur, pemeriksaan bakteriologi positif, dan tes lepromin
negative. Lepra tipe BL (borderline lepramatosa), eflouresensi macula infiltrate merah
mengkilat, tak teratur, batas tidak tegas, pembengkakan saraf, pemeriksaan bakteriologi
ditemukan banyak hasil, dan tes lepromin negative. Lepra tipe LL (lepromatosa), eflouresensi
infiltrate difus berupa nodula simetri, permukaan mengkilat, saraf terasa sakit, anestesi,
pemeriksaan bakteriologi positif kuat, dan tes lepromin negative.4

Selain itu pemeriksaan kulit harus pula diperiksa/dipalpasi saraf tepi (n.ulnaris,
n.radialis, n.aurikularis magnus, dan n.poplitea), mata (lagoftalmus), tulang (kontraktur atau
absorbs), dan rambut (alis mata, kumis, dan pada lesi sendiri).4

Pemeriksaan Penunjang

- Tes Ziehl-Neelsen

Bahan untuk pemeriksaan diambil dari sekret hidung, cuping telinga atau tetetes
darah. Bagian tubuh yang pasti dikerok jaringan kulitnya adalah dibawah cuping
telinga, karena berdasarkan pengamatan tempat tersebut mengandung banyak kuman.
Cara pengambilannya dengan menggunakna scalpel steril, lalu didesinfeksi kemudian
dijepit antara ibu jari dan jari telunjuk afak menjadi iskemik, sehingga kerokan jaringan
mengandung sedikit darah yang akan mengganggu gambaran sediaan. Irisan tersebut
harus sampai di dermis, melampaui subepidermal clear zone agar mencapai jaringan
yang diharapkan banyak mengandung sel Virchow (sel lepra) yang didalamnya
mengandung basil M.leprae. Sediaan mukosa hidung diperoleh dengna cara nose blows,
terbaik dilakukan pagi hari yang ditampung pada sehelai plastik. Tapi sediaan ini jarang
dilakukan karena kemungkinan adanaya M.atipik, M.lepra tidak pernah positif kalau
pada kulit negative, bila diobati hasil pemeriksaan mukosa hidung negative lebih
dahulu dibandingkan kerokan jaringan kulit, dan rasa nyeri saat pemeriksaan. Lalu
bahan sediaan dioleskan pada gelas alas, difiksasi diatas api, lalu diwarnai dengan
pewarnaan Ziehl Neelsen. M.leprae tergolong BTA, akan tampak merah pada sediaan.
Dibedakan bentuk batang utuh (solid), batang terputus (fragmen), dan butiran
(granulasi). Bentuk solid adalah bentuk dari kuman yang hidup, sedangkan bentuk
fragmen dan granulasi adalah bentuk kuman yang mati. Kepadatan BTA tanpa
membedakan solid dan nosolid pada sebuah sediaan dinyatakan dengan Indeks Bakteri
(IB) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley.5,6

--
Pemeriksan Histopatologik:

Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dlaam darah ada yang
mempunyai nama khusus, antara lain sel Kupffer dari hari, sel alveolar dari paru, sel
glia dari otak, dan yang dari kulit disebut histiosit. Saat ada kuman M.lepra yang masuk,
akan bergantung pada sistem imunitas seluler orang tersebut. Jika sistem imunnya
bagus, maka akan banyak ditemukan sel daria Langhans tetapi sayangnya hika ada
massa epiteloid berlebihan dikelilingi dengan limfosit yang disebut tuberkel akan
menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Sebaliknya jika sistem imunitas
seluler orang tersebut rendah, maka M.lepra akan berkembang biak dalam sel tubuh
manusia lalu menjadi sel Virchow sebagai alat pengangkut penyebarluasan. Granuloma
adalah akumulasi makrofag dan atau derivate-derivatnya. Contohnya adadalah
gambaran histopatologik tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang
lebih nyata, tidak ada kuman, atau hanya sedikit dan non-solid.5

--
Pemeriksaan Serologik
Pemeriksaan ini didasarkan atas terbentuknya antibodi pada tubuh yang
terinfeksi M.lepra. Ternyata ada antibody spesifik kuman ini yaitu anti phenolic
glycolipid-1 (PGL-1) dan antibody antiprotein 16 kD serta 35 kD. Sedangkan antibody
non-spesifik antara lain antibody anti-lopoarabinomanan. Kegunaan pemeriksaan
serologik ini adalah untuk mendiagnosis penyakit kusta yang meragukan seperti kusta
yang subklinis (hampir tidak ada lesi kulit). Disamping itu dapat menentukan kusta
subklinis, karena tidak di dapatinya lesi kulit, misalnya narakontak serumah. Uji
serologic tersebut terdiri dari uji MLPA (Mycrobacterium Leprae Particle
Aglutination), ELISA (Enzime Linked Immunosorbent Assay), dan ML dipstick
(Mycrobacterium Leprae Dipstick).5

Working Diagnosis (WD)

Diagnosis kerja yang diambil adalah lepra atau morbus Hansen atau biasa
dikenal dengan kusta. Diagnosis ini dapat diambil atas dasar anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang serta adanya gejala klinis yang sesuai, yaitu: didapati lesi macula
hipopigmentasi yang tidak gatal.

Differential Diagnosis (DD)

- Pitiriasis Versicolor

Pitiriasis versikolor disebabkan oleh Malassezia furfur Robin. Penyakit jamur


superfisial yang kronik, biasanya tidak memberikan keluhan subjektif, berupa bercak skuama
halus yang berwarna putih sampai coklat hitam, terutama meliputi badan dan kadang-kadang
dapat menyerang ketiak, lipat paha, lengan, tungkai atas, leher, muka, dan kulit kepala yang
berambut. Bercak-bercak berwaena-warni bentuk tidak teratur sampai teratur, batas jelas
sampai difus. Bercak tersebut berfluoresensi bila dilihat dengan lampu Wood. Sering terlihat
juga bentuk papulo-vesikular walaupun jarang. Kelainan ini biasa asimtomatik sehingga ada
kalanya penderita tidak mengetahui bahwa ia berpenyakit tersebut. Kadang penderita
merasakan gatal ringan, yang merupakan alasan untuk berobat. Penyakit ini sering dilihat pada
remaja, walaupun anak-anak dan orang dewasa tua tidak luput dari infeksi. Menurut Burke
(1961) ada beberapa faktor yang memperngaruhi infeksi, yaitu faktor heriditer, penderita yang
skait kronik atau yang mendapat pengobatan steroid dan malnutrisi.5,7

- Pitiriasis Alba

Pitiriasis alba merupakan bentuk dermatitis yang tidak spesifik dan belum diketahi
penyebabnya. Ditandai dengan adanya bercak kemerahan dan skuama halus yang akan
menghilang serta meninggalkan area yang depigmentasi. Penyakit ini di duga karena adanya
infeksi dari Streptococcus, tetapi belum dapat dibuktikan. Pitiriasis alba sering dijumpai pada
anak berumur 3-16 tahun (30%-40%). Wanita dan pria sama banyak. Lesi berbentuk bulat,
oval, atau plakat yang tidak teratur. Warna merah muda atau sesuai warna kulit dengan skuama
yang halus. Setelah eritema menghilang, lesi yang dijumpai hanya depigmentasi dengan
skuama halus. Pada stadium ini penderita datang berobat terutama pada orang yang kulit
berwarna. Bercak biasanya multiple 4 sampai 20 dengan diameter antara 1/2 sampai 2cm. Pada
anak-anak lokasi kelainan pada muka (50%-60%), paling sering di sekitar mulut, dagu, pipi
serta dahi. Lesi dapat di jumpai pada ekstremitas dan badan. Dapat simetris pada bokong, paha
atas, punggung, dan ekstensor lengan, tanpa keluhan. Lesi pada umumnya menetap, terlihat
seperti leukoderma setelah skuama menghilang. Sering juga dijumpai adanya akantosis ringan,
spongiosis dengan hyperkeratosis sedang dan parakeratosis setempat. Tidak adanya pigmen
disebabkan karena efek penyaringan sinar oleh stratum korneum yang menebal atau oleh
kemampuan sel epidermal mengangkut granula pigmen melanin berkurang. Pemeriksaan
mikroskop elektron terlihat penurunan jumlah serta kurannya kuruan melanosom.5

- Vitiligo

Vitiligo adalah hipomelanosis idiopatik ditandai dengan adanya macula putih yang
dapat meluas. Dapat mengenai seluruh bagian tubuh yang mengandung sel melanosit misalnya
rambut dan mata. Insiden yang dilaporkan bervariasi antara 0,1%-8,8%. Dapat mengenai
semua ras dan kelamin. Awitan terbanyak sebelum umur 20 tahun. Ada pengaruh faktor
genetik. Pada penderita vitiligo, 5% akan mempunyai anak dengan vitiligo. Riwayat keluarga
vitiligo juga bervariasi antara 20%-40%. Penyebabnya belum diketahui, beberapa faktor
pencetus yang sering dilaporkan misalnya krisis emosi dan trauma fisis. Umumnya ada macula
berwarna putih dengan diameter beberapa millimeter sampai beberapa sentimeter, bula atau
lonjong dengan batas yang tegas, tanpa perubahan epidermidis yang lain. Kadang-kadang
terlihat macula hipomelanotik selain macula apigmentasi. Di dalam macula vitiligo dapat
ditemukan macula dengan pigmentasi normal atau hiperpigmentasi disebut repigmentasi
perifolikular. Kadang-kadang ditemukan lesi yang meninggu, eritema dan gatal disebut
inflamatoar. Daerah yang sering terkena adalah bagian ekstensor tulang terutama diatas jari,
periorifisial sekitar mata, mulut dan hidung, tibialis anterior dan pergelangan tangan bagian
fleksor. Lesi bilateral dapat simetris atau asimetris. Pada area yang terkena trauma dapat timbul
vitiligo. Mukosa jarang terkena, kadang-kadang mengenai genital eksterna, puting susu, bibir,
dan ginggiva.5,7

Etiologi

Kuman penyebab penyakit kusta adalah M. leprae yang ditemukan oleh GH


Armauer Hansen, seorang sarjana dari Norwegia pada tahun 1873. Kuman ini bersifat batang
tahan asam dan dan alcohol positif-gram yang termasuk familia Mycobacteriaceae atas dasar
morfologik, biokimiawi, antigenic dan kemiripan genetic dengan mycrobacterium lainnya.
Ukuran 1-8 mikron dan lebar 0,2 - 0,5 mikron, biasanya berkelompok dan ada yang tersebar
satu-satu, hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat dikultur
dalam media buatan. Kuman ini juga dapat menyebabkan infeksi sistemik pada binatang
armadilo. Basil ini berkembang biak sangat lambat, dengan perkiraan waktu pengadaan waktu
optimal 11-13 hari.5,8

Epidemiologi
Sampai saat ini epidemiologi penyakit kusta belum sepenuhnya diketahui
secara pasti. Penyakit kusta tersebar di seluruh dunia terutama di daerah tropis dan subtropis.
Dapat menyerang semua umur, frekwensi tertinggi pada kelompok umur antara 30-50 tahun
dan lebih sering mengenai laki-laki daripada wanita.8

Menurut WHO (2002), diantara 122 negara yang endemik pada tahun 1985 dijumpai 107
negara telah mencapai target eliminasi kusta dibawah 1 per 10.000 penduduk pada tahun 2000.
Pada tahun 2006 WHO mencatat masih ada 15 negara yang melaporkan 1000 atau lebih
penderita baru selama tahun 2006. Pada tahun 2009 ada 213.036 penderita berasal dari 121
negara, sedangkan jumlah kasus baru tahun 2008 tercatat 249.007.5,8

Indonesia menempati urutan prevalensi ketiga setelah India, dan Brazil. Di Indonesia penderita
kusta terdapat hampir pada seluruh propinsi dengan pola penyebaran yang tidak merata.
Meskipun pada pertengahan tahun 2000 Indonesia secara nasional sudah mencapai eliminasi
kusta namun pada tahun tahun 2002 sampai dengan tahun 2006 terjadi peningkatan penderita
kusta baru. Pada tahun 2006 jumlah penderita kusta baru di Indonesia sebanyak 17.921 orang.
Propinsi terbanyak melaporkan penderita kusta baru adalah Maluku, Papua, Sulawesi Utara
dan Sulawesi Selatan dengan prevalensi lebih besar dari 20 per 100.000 penduduk. Pada tahun
2010, tercatat 17.012 kasus baru kusta di Indonesia dengan angka prevalensi 7,22 per 100.000
penduduk sedangkan pada tahun 2011, tercatat 19.371 kasus baru kusta di Indonesia dengan
angka prevalensi 8,03 per 100.000 penduduk.5,8

Gejala Klinis

Respons imun yang beragam terhadap infeksi M. leprae menyebabkan spektrum


manisfestasi klinis dan histologik yang luas. Terdapat penyesuaian yang kuat antara temuan
klinis dan histologik kulit, dan hal ini akan dibahas bersama-sama.5

Tanda lepra yang pertama biasanya dikulit. Lesi lepra yang tidak dapat ditentukan
sangat halus dan paing sering didiagnosis pada pemeriksaan kontak pasien yang diketahui
menderita lepra. Dapat terlihat satu atau lebih makula hiperpigmentasi atau hipopigmentasi.
Seringkali bercak yang bersifat anastetik atau parestetik merupakan gejala pertama yang
dinyatakan pasien, tapi pada pemeriksaan yang teliti, bisa ditemukan keterlibatan kulit. Pada
lesi dini ini seringkali masih dapat merasa, terutama di wajah. Lesi dapat menjadi bersih secara
spontan dalam setahun atau dua tahun, tetapi dianjurkan untuk memberikan pengobatan
spesifik.5,9

Lepra tuberkuloid
Lesi awal lepra tuberkuloid, yang merupakan satu dari “kutub-kutub” spektrum
imunologik dan klinis, sering berupa makula hipopigmentasi yang berbatas tegas dan
hipestetik. Kemudian lesi meluas dengan penyebaran tepi dan tepinya jadi meninggi serta
menyerupai cincin atau berputar. Daerah ditengahnya kemudian menjadi atrofi dan tertekan.
Lesi yang telah berkembang sempurna sangat anestetik dan kehilangan organ kulit yang normal
(kelenjar keringat dan folikel rambut). Jumlah lesi tunggal atau sedikit. Keterlibatan saraf
timbul dini, dan saraf superficial yang berasal dari lesi munkin menebal. Saraf perifer besar
(terutama saraf ulnaris, peronealis, dan aurikularis magna) bisa teraba dan terlihat menebal,
terutama yang paling dekat dengan lesi kulit. Mungkin terdapat nyeri neuritis berat.
Keterlibatan saraf menyebabkan atrofi otot, terutama otot kecil di tangan. Sering terjadi
kontraktur tangan kaki. Teruma, terutama akibat luka bakar dan patah serta akibat tertekan
yang berlebihan, menyebabkan infeksi sekunder pada tangan dan menyebabkan tukak pada
telapak tangan. Kemudian, responsi dan hilangnya falang bisa terjadi. Bia saraf fasialis terkena,
mungkin terdapat lagoftalmos, keratitis akibat pajanan, dan tukak kornea yang menyebabkan
kebutaan.9
Gambaran histologik terdiri dari granuloma nonkaseosa yang terdiri dari limfosit, sel
epiteloid, dan mungkin sel raksasa; basilus sering tidak ada atau sulit terlihat. 9

Lepra lepramatosa
Lepra lepramatosa merupakan bentuk poler lainya. Keterlibatan kulit luas dan kurang
lebih simetris bilateral melintasi garis tengah pejamu. Lesi kulit tersendiri sangat variabel dan
dapat meliputi makula, nodul, plak, atau papu. Tepi lesi tidak tegas, dan bagian tengah lesi
yang menimbul berindurasi dan cembung (bukanya konkaf, seperti pada penyakit tuberkuloid).
Terdapat infiltrasi dermais yang difus antara lesi-lesi yang diskret, dan tampaknya kulit normal
biasanya akan mengandung basilus yang tampak dengan pewarnaan. Tempat predileksinya
adalah wajah (pip, hidung, alis), telinga, pergelangan tangan, siku, bokong, dan lutut. Saat ini
keterlibatan dengan infiltrasi dan nodulasi yang sedikit atau tidak ada sama sekali dapat
berkembang dengan begitu halusnya sampai-sampai perjalanan penyakit tidak menjadi
perhatian. Hilangnya bagian lateral alis mata sering terjadi. Lebih lanjut, kulit wajah dan dahi
menebal dan bergelombang (fasies leonina), dan cuping telinga menggantung.9
‘Kekakuan’ hidung, epistaksis, dan obstruksi jalan nafas merupakan gejala awal yang
sering didapati. Obstruksi hidung total, laringitis, dan suara parau juga sering didapati.
Perforasi septum dan kolaps nasal menyebabkan hidung pelana. Invasi bagian anterior dapat
menyebabkan keratitis dan iridosiklitis. Terjadi limfadenopati aksila dan inguinal yang tidak
nyeri. Pada laki-aki dewasa, infiltrasi dan pembentukan jaringan parut pada testis menyebabkan
kemandulan. Sering terjadi ginekomastia.9
Keterlibatan serat saraf mayor kurang nyata pada bentuk lepra matosa, tetapi sering terjadi
hipestesia difus yang mengenai bagian perifer ekstremitas pada penyakit yang sudah lanjut.
Secara patologis, saraf perifer terinfeksi lebih berat tetapi sering di pertahankan degan lebih
baik daripada bentuk tuberkuloid.9
Secara histologis, terdapat reaksi granulomastos dengan makrofagsel busa (Virchow atau
lepra) yang besar dan banyak basilus intraseluler, sering dalam massa yang bulat (bundar).
Tidak ditemukan sel raksasa dan sel epiteloid.9

Lepra perbatasan (borderline)


Bagian spektrum perbatasan terletak antara kutub lepramatosa dan tuberkuloid dan
biasanya dibagi lagi menjadi golongan tuberkuloid perbatasan, perbatasa (atau dimorfi), dan
lepramatosa perbatasan. Penggolongan dalam daeran spektrum pertengahan kuran tepat bila
dibandingkan dengan golongan kutub. Lesi cenderung meningkat jumlah dan
heterogenisitasnya tetapi tercapai penurunan ukuran masing-masing lesi seperti kutub lepra
matosa. Lesi kulit pada lepra tuberkuloid perbatasan umumnya meyerupai lesi pada penyakit
tuberkuloid tetapi lebih besar jumlahnya dan memiliki batas yang kurang tegas. Keterlibatan
saraf perifer multiper lebih sering dibandingkan pada penyakit tuberkuloid poler.9
Peningkatan keragaman penampakan lesi kulit karakteristik untuk lepra perbatasan.
Papula dan bercak dapat timbul bersama dengan lesi makula. Anestesia kurang menonjol
dibandingkan pada penyakit tuberkuloid. Cuping telinga mungkin sedikit menebal, tetapi alis
dan daerah hidung tidak terkena. Lesi kulit bahkan menjadi lebih banyaj pada penyakit
lepramatosa perbatasan, tetapi penyebarannya tidak memiliki kekhasan yang biateral simetris
seperti pada penyakit lepra matosa poler. Histopatoogi granuloma pada lepra perbatasan
berubah dari sel epiteloid yang dominan pada tuberkuloid perbatasan menjadi makrofag yang
dominan bila menjadi kutub lepramatosa. Keberasaan dan jumlah lifosit beragam dan tidak
berkaitan dengan golongan penyakit. Basii terdapat dalam jumlah beasr di granuloma kulit
pasien lepramatosa perbatasan. Karena itulah golongan-golongan ini, bersama dengan lepra
lepramatosa poler, disebut lepra multibasiler. Golongan tuberkuloid perbatasan, tuberkuloid
poler, dan kelas yang tidak dapat ditentukan dikelompokan bersama sebagai lepra pausibasiler.9
Penyakit perbatasan keadaanya tidak stabil dan dapat bergeser menuju bentuk
lepramatosa pada pasien yang tidak diobati atau menuju kutub tuberkuloid selama pengobatan.
Perubahan kedua jenis poler menjadi bentuk yang lainya sangan jarang terjadi.9
Pada semua bentuk lepra, gambaran yang selalu ada adalah keterlibatan saraf tepi. Pada
tiap potongan histologik, keterlibatan saraf akan menjadi lebih barat daripada keterlibatan
jaringan lainnya. tampaknya banyak desktruksi neutral yang disebabkan oleh reaksi
granulomatosa pada pejamu dan bukannya akibat sifat neurotoksik bawaan pada basil.
Walaupun jarang, keterlibatan saraf dapat terjadi tanpa adanya lesi kulit (lepra saraf sejati).9
Adapun klasifikasi yang banyak dipakai pada bidang penelitian adalah klasifikasi
menurut Ridley dan Jopling yang mengelompokkan penyakit kusta menjadi 5 tipe yaitu Tipe
tuberculoid- tuberculoid (TT), Tipe borderline tuberculoid (BT), Tipe borderline- borderline
(BB), Tipe borderline lepromatous (BL) dan Tipe lepromatous- lepromatou(LL) berdasarkan
gambaran klinis, bakteriologis,histopatologis, dan imunologis. Sekarang klasifikasi ini juga
secara luas dipakai di klinik dan untuk pemberantasan. Untuk program pengobatan, WHO
membaginya atas kelompok Pausibasiler (PB) dan kelompok multibasiler (MB). Saat
mengkelompokkan lepra, sangat penting untuk menjamin bahwa pasien dengan multibasiler
tidak diobati menggunakan sediaan yang diperuntukkan bagi bentukan pausibasiler. Yang
termasuk dalam multibasilar adalah tipe LL, BL dan BB pada klasifikasi Ridley-Jopling dengan
indeks bakteri (IB) lebih dari 2+ sedangkan pausibasilar adalah tipe I, TT dan BT dengan IB
kurang dari 2+.5

Penentuan tipe kusta perlu dilakukan agar dapat menetapkan terapi yang sesuai. Bila
kuman Mycobacterium leprae masuk ke dalam tubuh maka dapat timbul gejala klinis sesuai
dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis bergantung pada sistem imunitas seluler
(SIS) penderita. Bila SIS baik akan tampak gambaran klinis kearah tuberkoloid, dan sebaliknya
bila SIS rendah maka gambarannya adalah lepromatosa. Kusta dibagi menjadi dua tipe yaitu
tipe indeterminatee dan tipe determinate. Yang termaksud dalam tipe determinate yaitu :5

 TT : Tuberkuloid polar (bentuk yang stabil)


 Ti : Tuberkuloid indefinite (bentuk yang labil)
 BT : Borderline tuberculoid (bentuk yang labil)
 BB : Mid borderline (bentuk yang labil)
 BL : Borderline lepromatous (bentuk yang labil)
 Li : Lepramatosa indefinite (bentuk yang labil)
 LL : lepromatosa polar (bentuk yang stabil)

Bentuk yang stabil artinya berarti bentuk yang 100% tidak dapat berubah, sedangkan
tipe Ti dan Li disebut tipe borderline atau campuran antara tuberkuloid dan lepromatosa. BB
adalah campuran 50% tuberkuloid dan 50% lepromatosa. BT dan Ti lebih banyak
tuberkuloidnya sedangkan tipe BL dan Li lebih banyak lepromaosanya. Tipe labil berarti tipe
ini bebes beralih tipe baik ke arah TT atau LL. Tipe LL, BL dan BB merupaka tipe multibasilar
yaitu mengandung banyak kuman sedangkan tipe TT, BT, dan I merupakan tipe pausibasilar
yaitu tipe yang mengandung sedikit kuman.5
Perjalan umum penyakit lepra sangat lambat tetapi dapat diselingi oleh dua jenis reaksi.
Kedua bentuk reaksi dapat terjadi pada pasien yang tidak diobati tetapi lebih sering timbul
penyulit pemberian kemoterapi.5,9

Eritema nodusum leprosum


Eritema nodosum leprosum (ENL), atau reaksi tipe 1, terjadi pada pasien lepra
perbatasan (borderline) dan lepramatosa, paling sering pada paruh terakhir tahun awal
pengobatan. Timbul nodul subkutan yang nueri tekan dan meradang, biasanya dalam
kumpulan. Setiap nodul bertahan selama satu atau dua minggu, tetapi bisa timbul kumpulan
nodul baru. Eritema nodosum leprosum bisa berlangsung hanya satu atau dua minggu, atau
bertahan untuk waktu yang lama. Demam, limfadenopati, dan artralgia dapat menyertai eritema
nodosum leprosum yang berat. Secara histologis, eritema nodosum leprosum ditandai infiltrasi
sel polimorfonuklear serta timbunan IgG dan komplemen, yang menyerupai reaksi Arthus.9

Reaksi yang merugikan


Reaksi yang merugikan, atau reaksi tipe1, dapat menjadi penyulit ketiga goongan
perbatasan (borderline). Lesi kulit yang ada menjadi eritema dan bengkak, serta bisa timbul
lesi baru. Masuknya limfosit yang dini ke lesi yang ada diikuti oleh endema dan bergeser
menjadi histologi tuberkuloid. Imunitas seluler meningkat. Reaksi yang merugikan dapat
dibedakan dari pemburukan penyakit atau relaps dengan cara inokulasi pada mencit untuk
menguji viabilitas basil dan dengan uji histologik. Reaksi yang menurun, yang secara klinis
menyerupai reaksi merugikan, paling sering terjadi pada pasien tidak diobati dan pada
perempuan selama kehamilan trimester ketiga. Biopsi kulit mengungkapkan adanya pergeseran
menjadi histologi lepramatosa dan mencerminkan penurunan kekebalan seluler.5,9
Kusta terkenal sebagai penyakit yang paling ditakuti karena deformitas atau cacat
tubuh. Untuk saraf perifer yang perlu diperhatikan adalah pembesaran, konsistensi,
ada/tidaknya nyeri spontan, dan ada/tidanya nyeri tekan. Hanya beberapa saraf superfisial yang
dapat dan perlu diperiksa, yaitu N. fasialis, N. aurikularis magnus, N. radialis, N. ulnaris, N.
medianus, N. poplitea lateralis, dan N. tibialis posterior. Bagi tipe yang kearah lepromatousa,
kelainan saraf biasanya bilateral dan menyeluruh, sedang untuk tipe tuberkuloid, kelainan saraf
lebih terlokalisasi mengikuti tempat lesinya. Deformitas atau cacat kusta sesuai dengan
patofisiologinya, dapat dibagi dalam deformitas sekunder dan primer. Cacat primer adalah
akibat langsung oleh granuloma yang terbentuk sebagai reaksi terhadap M. leprae, yang
mendesak dan merusak jaringan disekitarnya, yaitu kulot, mukosa, traktus respiratorius atas,
tulang-tulang jari, dan wajah. Cacat sekunder terajdi sebagai akibat adanya deformitas primer,
terutama kerusakan saraf, antara lain kontraktur sendi, mutilasi tangan, dan kaki.5

Gejala-gejala kerusakan saraf adalah sebagai berikut:4

o N. ulnaris : anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis, clawling
kelingking, dan jari manis, atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot
lumbrikalis medial.

o N. medianus : anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan
jari tengah, tidak mampu aduksi ibu jari, clawing ibu jari, telunjuk, dan jari
tengah, ibu jari kontraktur, atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral.

o N. radialis : anestesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk, tangan
gantung (wrist drop), tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan.

o N. poplitea lateralis : anestesia tungkai bawah, bagian lateral, dan dorsum pedis,
kaki gantung (foot drop), kelemahan otot peroneus.

o N. tibialias posterior : anestesia telapak kaki, claw toes, paralisis otot intirinstik
kaki dan kolaps arkus pedis.

o N. fasialis : cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus, cabang


bukal, mandibular, servikal menyebabkan kehilangan ekspresi wajah dan
kegagalan mengatupkan bibir.
o N. trigeminus : anestesia kulit wajah, kornea, dan konjungtiva mata, atrofi otot
tenar dan kedua otot lumbrikalis lateralis.

Kerusakan mata pada kusta juga dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan
alopesia pada alis mata dan bulu mata. Sekunder karena rusaknya N. fasialis yang dapat
membuat paralisis N. orbikularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan
lagoftalmus yang selanjutnya, menyebabkan kerusakan bagian mata lainnya. Secara sendiri
atau bersama dapat sebabkan kebutaan.5

Patofisiologi

Sebenarnya M.lepra mempunyai pathogenesis dan daya invasi yang rendah, sebab
penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih
berat bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbagnan antara derajat infeksi dengan derajat
penyakit tidak lain disebabkan oleh respon imun yang berbeda, yang menggugah timbulnya
reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh
karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik. Gejala klinisnya lebih
sebanding dengan tingkat reaksi selularnya daripada intensitasnya infeksinya.5

Komplikasi

Lepra mungkin merupakan penyebab tersering kerusakan tangan. Trauma dan infeksi
kronik sekunder dapat menyebabkan kehilangan jari-jari atua ekstremitas bagian distal, juga
sering mengalami kebutaan.10

Fenomena Lucis, yang ditandai oleh atritis terbatas pada pasien penyakit lepramatosa
difus, infiltrative, dan non-noduler. Kasus klinis yang berat menyerupai bentuk lain vasculitis
nekrotikans dan menyebabkan tingginya angka morbilitas.10

Amiloidosis sekunder merupakan penyakit lepramatosa berat, terutama pada eritema


nodosum leprosum kronik.10

Lepra dan infeksi vitus imunodefisiensi manusia (Human Immunodeficiency Virus)


dengan adanya pengalaman dengan penyakit mikrobakterium lain dan respon imun yang rumit
terhadap M.lepra, infeksi HIV yang menyertai tampaknya hanya memiliki sedikit pengaruh
pada manifestasi klinis atau perjalanan alamiah penyakit lepra. Angka kekambuhan setelah
selesai terapi yang terinfeksi HIV, pasien positif HIV dengan lepra dini atau subklinis bisa
kemungkinan lebih besar untuk mengalami penyakit yang nyata. Bila terjadi bersamaan, lepra
juga bisa mempercepat perjalanan penyakit HIV.5,10

Penatalaksanaan

Medika mentosa

Kusta dapat diobati dengan obat kombinasi yang disebut multi


drug therapy yaitu pengobatan dengan lebih dari satu macam obat yang sudah
direkomendasikan. Kombinasi obat dalam blister MDT diberikan sesuai dengan jenis
penyakit kusta. Untuk kusta kering, MDT terdiri dari Rifampisin dan Dapson atau
Diamino Diphenyl Sulfone (DDS) tersedia dalam bentuk blister untuk dewasa dan
anak. Obat harus diminum sebanyak 6 blister dengan waktu pengobatan selama 6 bulan.
Sementara itu untuk kusta basah, MDT terdiri dari Rifampisin, Dapson / DDS, dan
Lamprene; juga tersedia dadalam bentuk blister untuk anak dan dewasa, yang harus
diminum sebanyak 12 blister dalam kurun waktu pengobatan selama 12 bulan.11

Non medika mentosa

Untuk non-medikamentosa dapat dilakukan rehabilitasi meliputi medis, okupasi,


kejiwaan, dan sosial dengan:

1Operasi dan fisioterapi, untuk penderita lepra yang cacat tubuh. Meskipun hasilnya
tidak sempurna kembali ke asal, fungsinya dapat diperbaiki. Lapangan pekerjaan dapat
diusahakan untuk pasien kusta yang sesuai dengan cacat tubuh.12

2Terapi kejiwaan, berupa bimbingan mental diupayakan sedini mungkin pada setiap
pasien, keluarga, dan masyarakat sekitarnya untuk memberikan dorongan dan semangat
agar dapat menerima kenyataan dan menjalani pengobatan dengan teratur dan benar
sampai dinyatakan sembuh secara medis.12
3Rehabilitasi sosial bertujuan memulihkan fungsi sosial ekonomi pasien sehingga
menunjang kemandiriannya dengan memberikan bimbingan sosial dan peralatan kerja,
serta membantu pemasaran hasil usaha pasien.12

Prognosis

Dengan adanya obat-obatan kombinasi, pengobatan menjadi lebih sederhana


dan lebih singkat, serta prognosis menjadi lebih baik. Jika sudah ada kontraktur dan ulkus
kronik, prognosisnya menjadi kurang baik.4

Pencegahan

Bentuk penemuan kasus dan kemoterapi merupakan dasar pengendalian yang ada
sekarang. Derajat infeksi dapat dengan cepat ditekan dengan kemoterapi, yang membuat
deteksi dini pada kasus merupakan hal yang penting. Di daerah endemic, hal ini berarti
membentuk klinik setempat. Keluarga atau individu yang berhubungan erat perlu diperiksa
secara teratur terhadap lepra. Keuntungan pengobatan multi obat jangka pendek (6 hingga 24
bulan) adalah pasien dapat dinyatakan bebas penyakit lebih awal daripada dengan monoterapi
dapson. Hal ini memungkinkan pekerja kasus lepra mencurahkan lebih banyak usaha secara
sebanding antara skrining kontak dan detaksi kasus. Kemoprofiksasi dengan dapson dosis
rendah bisa efektif, tetapi skrining kontak dengan pemeriksaan fisik setiap tahun merupakan
tindakan terpilih untuk terapi empiris pada sebagian besar keadaan. Uji Vaksin dengan basil
Calmette-Guerin pada daerah endemic memberikan hasil yang bertentangan, dan terutama,
efisiensi sedang. Sedikitnya empat vaksin percobaan baru belakangan ini sedang dalam
lapangan uji di India dan Amerika Selatan.5,9

Kesimpulan

Morbus Hansen atau biasa dikenal dengan penyakit Lepra/kusta adalah penyakit yang
disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Leprae, yang menyebabkan munculnya eflouresensi
pada kulit disertai dengan gangguan saraf tepi. Pengobatan yang adekuat serta deteksi dini
dapat mencegah prognosis yang buruk yang timbul dari komplikasi penyakit kusta.

Daftar Pustaka

1.Wijayakusuma HMH. Ramuan lengkap herbal taklukan penyakit. Jakarta: Pustaka Bunda;
2008.h.142.

2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, editors. Buku ajar ilmu penuakit dalam. Edisi
V.Jakarta: Interna Publishing; 2009. H.25-76, 2871-80.

3. Houghton RA, Gray D. Chamberlain’s gejala dan tanda dalam kedokteran klinis. Ed ke-13.
Jakarta: PT Indeks; 2010. h.3-45, 362-86.

4. Siregar RS. Atlas berwarna saripati penyakit kulit. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC; 2015. h.154-9.

5. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-6. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2011. h.73-88, 100-1, 333-4, 296-8.

6. Adam S. Dasar-dasar mikrobiologi dan parasitologi untuk perawat. Jakarta: EGC;


1992.h.53-4.

7. Murtiastutik D, Ervianti E, Agusni I, dkk. Penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-2.Surabaya:
Fakultas Kedokteran UNAIR; 2013. h.80, 194.

8. Lubis SR. 2013. Diundu


http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/37321/4/Chapter%20II.pdf, 21 April 2015.

9. Ahmad H, Asdie. Harrison prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Ed ke-13. Jakarta: EC;
2002.h.133.799-808, 963-74,1060-3.

10. Ahmad H, Asdie. Harrison prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Ed ke-13. Jakarta: EGC;
2002.h.133.799-808, 963-74,1060-3.
11. Pusat Komunikasi Publik Sekretariat Jendral Kementrian Kesehatan RI. Bercak putih di
kulit, mungkin bukan panu tapi gejala awal kusta. Dipublikasikan pada Jumat, 16 Januari
2015. Diunduh dari http://www.depkes.go.id/article/view/15012000001/bercak-putih-di-
kulit-mungkinbukan-panu-tapi-gejala-awal-kusta.html, 21 April 2015.

12. M ansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Kapita Selekta Kedokteran.Ed


ke-3, Jilid 2. Jakarta: Media Aeskulapius; 2009. h. 65-75, 103-4.

Anda mungkin juga menyukai