Anda di halaman 1dari 13

Abstrak

Thalasemia merupakan kelainan hemoglobin bersifat genetika, yang


mempengaruhi kualitas dan kuanitas hemoglobin, yang disebabkan faktor
genetika, terdapat dua protein dalam hemoglobin yang berpengaruh dalam
pembentukan yaitu protein α dan protein β. Dan kedua protein tersebut menjadi
jenis klasifiaksi thalasemia α dan thalasemia β. Pasangan dengan Thalasemia
minor sangatlah rentan membuat keturunanya menjadi Thalasemia mayor, yg
merupakan penyakit kronik dan saat ini belum dapat di sembuhkan. Perlu
konsultasi genetika untuk mencegah hal tersebut, dan edukasi dengan baik pasien
agar pemahaman pasien agar mengerti mengapa sangat rentan memiliki anak,
disaat pasien atau sebuah pasangan berniat memilki keturunan.
Kata kunci : Thalasemia alfa, thalasemia beta, dan kedokteran genetika
Abstract
Thalassemia is a genetic disorder of hemoglobin, which affects the quality and
quantity of hemoglobin, which is caused by genetic factors, there are two proteins
in hemoglobin that influence the formation of protein α and protein β. And both of
these proteins become a type of thalassemia α and thalassemia β classification.
Couples with Thalassemia minor are very susceptible to make their descendants
become Thalassemia major, which is a chronic disease and currently cannot be
cured. Genetic consultation is needed to prevent this, and to educate the patient
well so that the patient's understanding is to understand why it is very vulnerable
to have children, when the patient or a partner intends to have offspring.
Keywords: alpha thalassemia, beta thalassemia, genetic medicine, and hereditary
diseases
Pendahuluan
Thalasemia merupakan sindrom kelainan yang diwariskan (inherited) dan
masuk ke dalam kelompok hemoglobinopati, yakni kelainan yang disebabkan oleh
gangguan sintesis hemoglobin akibat mutasi di dalam atau dekat gen globin.
Mutasi gen globin ini dapat menimbulkan dua perubahan rantai globin uakni
perubahan struktur rangkaian asam amino (amino acid sequence) rantai globin

1
tertentu, disebut hemoglobinopati structural, aau perubahan kecepatan sintesis
(rate of synthesis) atau kemampuan produksi rantai globin tertentu, disebut
thalasemia. Hemoglobinopati yang ditemukan secara klinis, baik pada anak-anak
atau orang dewasa, disebabkan oleh mutasi gen globin α atau β.1

Anamnesis
Pada anamnesis, selain data-data pribadi seperti jenis kelamin, umur,
pekerjaan, dan keluhan utama, perlu ditanyakan riwayat penyakit dulu dan
sekarang. Riwayat penyakit dulu meliputi pertanyaan yang menanyakan apakah
pasien dulu pernah mengalami penyakit-penyakit tertentu yang memungkinkan
adanya hubungan dengan penyakit yang dialami sekarang. Sedangkan riwayat
penyakit sekarang biasanya merupakan cerita yang kronologis, terinci, dan jelas
mengenai keadaan kesehatan pasien sejak sebelum keluhan utama sampai pasien
datang berobat. Kemudian ditanyakan riwayat pengobatan, apakah sudah pernah
berobat atau atau apakah sedang menggunakan obat-obatan tertentu. 2

Riwayat penderita dan riwayat keluarga dalam tiga generasi sangat penting
dalam mendiagnosis thalasemia, karena pada populasi dengan ras dan etnik
tertentu terdapat frekuensi yang tinggi jenis gen abnormal thalasemia yang
spesifik. Perlu ditanyakan juga riwayat persalinan jika pasien sudah menikah.1

Perlu ditanyakan pula apakah ada keluhan anemia seperti pucat, nafsu
makan berkurang, lemah, lesu, pusing, berdebar-debar, apakah penderita mudah
mengalami infeksi atau infeksi berulang, apakah terjadi penurunan mendadak
kadar Hb, dan apakah ada perut yang membesar akibat hepatosplenomegali.

Berdasarkan hasil anamnesis, pada kasus ditemukan :

1. Pasien seorang wanita bersama suami merupakan penderita thalasemia alfa


minor.
2. Kehamilan pertama mengalami keguguran pada usia kehamilan 12 minggu

2
3. Kehamilan kedua melahirkan bayi dengan hydrops fetalis pada gestasi 27
minggu dan meninggal beberapa menit setelah dilahirkan

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan adalah keadaan umum dan tanda-tanda
vital seperti suhu, nadi, tekanan darah, dan frekuensi pernapasan. Selain itu
pemeriksaan fisik yang mengarahkan ke diagnosis thalasemia bila dijumpai gejala
dan tanda pucat yang menunjukkan anemia, ikterus yang menunjukkan hemolitik,
splenomegali yang menunjukkan adanya penumpukan (pooling) sel abnormal, dan
deformitas skeletal, terutama pada thalasemia beta.1,3

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan darah
lengkap, elektroforesis hemoglobin, tes rantai globin dan analisa DNA.
Berdasarkan hasil pemeriksaan darah lengkap, seorang penderita sindrom
thalasemia umumnya menunjukkan anemia mikrositik hipokrom. Kadar
hemoglobin dan hematokrit menurun, tetapi hitung jenis eritrosit biasanya secara
disproporsi relative tinggi terhadap derajat anemia, yang menyebabkan MCV
sangat rendah. MCHC biasanya sedikit menurun. Pada HbH disease, eritrosit
mikrositik dengan poikilositosis ringan sampai dengan menengah. Pada
thalasemia-α0 heterozigot terdapat mikrositik dan hipokrom ringan, tetapi kurang
poikilositosis. Untuk menunjukkan simpanan besi berkurang atau tidak, maka
dilakukan pemeriksaan feritin serum. Selain feritin serum, dilakukan pula
pemeriksaan serum iron, dan TIBC untuk mengetahui peningkatan kapasitas
mengikat-besi. Dilakukan pula pemeriksaan bilirubin total, bilirubin dirak dan
bilirubin indirek untuk membantu menegakkan diagnosa.1,4
Meskipun elektroforesis hb kurang sensitive untuk mendiagnosis
thalasemia alfa, namun elektroforesis hb dapat membantu menghitung jumlah dan
mengidentifikasi tipe hemoglobin yang tidak normal. Elektroforesis hemoglobin
pada selulosa asetat atau elektroforesis gel kanji pada pH basa merupakan uji
laboratorium paling mudah untuk membuktikan adanya hemoglobin abnormal.

3
Pada thalasemia alfa, penurunan sintesis rantai alfa menyebabkan rantai beta
menjadi berlebihan. Rantai-rantai beta ini dapat membentuk tetramer yang mudah
dibuktikan dengan pemeriksaan elektroforesis hemoglobin.4
Tes rantai globin dan analisis DNA dilakukan untuk mengidentifikasi
genotip spesifik. Uji ini dapat dilakukan untuk tujuan penelitian, untuk
membedakan thalasemia alfa carrier dari thalasemia lainnya, untuk
mengidentifikasi gen pembawa sifat tersembunyi, atau melihat pola pewarisan
keluarga dengan gen yang banyak. Harus ditentukan apakah keuntungan uji
lengkap ini melebihi biayanya.1

Diagnosis Kerja
Dari hasil anamsesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang serta
menyesuaikan dengan gejala-gejala yang ada, maka pasien diduga menderita
thalasemia alfa mayor.

Diagnosis Banding
Diagnosis banding untuk kasus thalasemia alfa mayor adalah
inkompatibilitas rhesus, defisiensi G6PD, dan sickle cell anemia.
Inkompatibilitas Rh adalah suatu kondisi yang terjadi ketika seorang
wanita hamil memiliki darah Rh-negatif dan bayi dalam rahimnya memiliki darah
Rh-positif. Selama kehamilan, sel darah merah dari bayi yang belum lahir dapat
menyeberang ke aliran darah ibu melalui plasenta. Jika ibu memiliki Rh-negatif,
sistem kekebalan tubuhnya memperlakukan sel-sel Rh-positif janin seolah-olah
mereka adalah substansi asing dan membuat antibodi terhadap sel-sel darah janin.
Antibodi anti-Rh ini dapat menyeberang kembali melalui plasenta ke bayi yang
sedang berkembang dan menghancurkan sel-sel darah merah bayi. Sel-sel darah
merah yang dipecah menghasilkan bilirubin. Hal ini menyebabkan bayi menjadi
kuning (ikterus). Selain itu bayi bisa juga mengalami anemia dan hipotonia.
Tingkat bilirubin dalam aliran darah bayi bisa berkisar dari ringan sampai sangat
tinggi. Karena butuh waktu bagi ibu untuk mengembangkan antibodi, maka bayi
pertama jarang mengalami kondisi ini, kecuali ibu mengalami keguguran di masa

4
lalu atau aborsi yang membuat peka sistem kekebalan tubuhnya. Namun, semua
anak-anaknya telah setelah itu yang memiliki Rh-positif dapat terpengaruh.5,6
Defisiensi G6PD merupakan penyakit dengan gangguan herediter pada
aktivitas eritrosit (sel darah merah), di mana terdapat kekurangan enzim glukosa-
6-fosfat-dehidrogenase (G6PD). Enzim G6PD ini berperan pada perlindungan
eritrosit dari reaksi oksidatif. Karena kurangnya enzim ini, eritrosit jadi lebih
mudah mengalami penghancuran (hemolisis). Terjadinya hemolisis ditandai
dengan demam yang disertai jaundice (kuning) dan pucat di seluruh tubuh dan
mukosa. Urin juga berubah warna menjadi jingga-kecoklatan; ditemukan tanda
syok (nadi cepat dan lemah, frekuensi pernapasan meningkat), dan tanda
kelelahan umum.7
Penyakit sel sabit (sickle cell disease) adalah suatu penyakit keturunan
yang ditandai dengan adanya sel darah merah yang berbentuk sabit. Sel sabit ini
rapuh dan akan pecah pada saat melewati pembuluh darah, sehingga bisa
menyebabkan terjadinya anemia berat, sumbatan aliran darah, kerusakan organ,
dan mungkin kematian. Pada penyakit sel sabit, sel darah merah memiliki
hemoglobin (protein pengangkut oksigen) yang abnormal (hemoglobin S),
sehingga mengurangi jumlah oksigen di dalam sel dan menyebabkan bentuk sel
menjadi seperti sabit. Kondisi ini disebabkan oleh adanya mutasi pada gen yang
berperan dalam pembentukan hemoglobin. Gen yang abnormal ini bersifat
diturunkan dalam keluarga. Tanda dan gejala anemia sel sabit biasanya muncul
setelah seseorang berusia 4 bulan, antara lain berupa anemia, episode nyeri
berulang, pembengkakan pada tangan dan kaki, sering mengalami infeksi,
terhambatnya pertumbuhan pada bayi dan anak, gangguan penglihatan.7,8

Etiologi
Penurunan kecepatan sintesis atau kemampuan produksi satu atau lebih
rantai globin α atau β, ataupun rantai globin lainnya, dapat menimbulkan
defisiensi produksi sebagian (parsial) atau menyeluruh (komplit) rantai globin
tersebut. Akibatnya, terjadi thalasemia yang jenisnya sesuai dengan rantai globin

5
yang terganggu produksinya. Thalasemia alfa terjadi akibat berkurangnya
(defisiensi parsial seperti thalasemia-α+) atau tidak diproduksi sama sekali
(defisiensi total seperti thalasemia-α0) produksi rantai globin-α.1

Epidemiologi
Menurut Riskesdas 2007, 8 provinsi dengan prevalensi lebih tinggi dari
prevalensi nasional, antara lain Provinsi Aceh (13,4), DKI Jakarta (12,3),
Sumatera Selatan (5,4), Gorontalo (3,1), Kepulauan Riau (3,0), Nusa Tenggara
Barat (2,6), Maluku (1,9), dan Papua Barat (2,2). Berdasarkan data YTI dan
POPTI tahun 2014, dari hasil skrining pada masyarakat umum dari tahun 2008
2017, didapatkan pembawa sifat sebanyak 699 orang (5,8%) dari 12.038 orang
yang diperiksa; sedangkan hasil skrining pada keluarga Thalassemia (ring 1)
tahun 2009-2017 didapatkan sebanyak 1.184 orang (28,61%) dari 4.137 orang.
Sedangkan berdasarkan data RSCM, sampai dengan bulan Oktober 2016 terdapat
9.131 pasien thalassemia yang terdaftar di seluruh Indonesia.1,9

Genotip dan Fenotip Sindrom Thalasemia Alfa


Thalasemia alfa dikelompokkan ke dalam empat bentuk genotip klasik
dengan fenotip yang berbeda, seperti berikut1 :
1. Thalasemia-2-α trait (-α / αα)
Pada penderita hanya dijumpai delesi satu rantai α (-α), yang diwarisi dari
salah satu orang tuanya. Sedangkan rantai-α lainnya yang lengkap (αα),
diwarisi dari pasangan orang tuanya dengan rantai-α normal. Penderita
kelainan ini merupakan pembawa sifat yang fenotipnya tidak memberikan
gejala dan tanda (an asymptomatic, silent carrier state). Kelainan ini
ditemukan pada 15-20% populasi keturunan Afrika.
2. Thalasemia-1-α trait (-α / -α atau αα / - -)
Pada penderita ditemukan delesi dua loki. Delesi ini dapat berbentuk
thalasemia-2a-α homozigot (-α / -α) dan thalasemia-1 a-α heterozigot (αα / -
-). Fenotip thalasemia-1-α trait menyerupai fenotip thalasemia alfa minor.
3. Hemoglobin H disease (- - / -α)

6
Pada penderita ditemukan delesi tiga loki, berbentuk heterozigot ganda
untuk thalasemia-2-α dan thalasemia-1-α (- -/-α). Pada fetus terjadi
akumulasi beberapa rantai –β yang tidak ada pasangannya (unpaired β-
chains). Sedangkan pda orang dewasa akumulasi unpaired-β chains yang
mudah larut ini membentuk tetramer β4, yang disebut HbH. HbH
membentuk sejumlah kecil inklusi di dalam eritroblast, tetapi tidak
berpresipitasi dalam eritrosit yang beredar. Delesi tiga loki ini memberikan
fenotip yang lebih berat. Bentuk kelainan ini disebut HbH disease. Fenotip
HbH disease berupa thalasemia intermedia, ditandai dengan anemia
hemolitik sedang-berat, namun dengan inefektivitas eritropoiesis yang
lebih ringan.
4. Hydrops fetalis dengan Hb bart’s (- - / - -)
Pada fetus ditemukan delesi 4 loki. Pada keadaan embrional ini sama
sekali tidak diproduksi rantai globin α. Akibatnya, produksi rantai gamma
globulin berlebihan dan membentuk gamma 4-tetramer, yang disebut Hb
Barts. Hb barts ini memiliki afinitas oksigen yang mencapai jaringan fetus,

Patogenesis Thalasemia
Thalasemia merupakan sindrom kelainan yang disebabkan oleh gangguan
sintesis hemoglobin akibat mutasi di dalam atau dekat gen globin. Pada
thalasemia mutasi gen globin ini dapat menimbulkan perubahan rantai globin α
atau β, berupa perubahan kecepatan sintesis (rate of synthesis) atau kemampuan
produksi rantai globin tertentu, dengan akibat menurunnya atau tidak
diproduksinya rantai globin tersebut. Perubahan ini diakibatkan oleh adanya
mutasi gen globin pada clusters gen α atau β berupa bentuk delesi atau non
delesi.1

Patofisiologi Thalasemia Alfa


Patofisiologi thalasemia-α umumnya sama dengan yang dijumpai pada
thalasemia-β kecuali beberapa perbedaan utama akibat delesi (-) atau mutasi (T)
rantai globin-α. Hilangnya gen globin-α tunggal (-α / αα atau αTα / αα) tidak

7
berdampak pada fenotip. Sedangkan thalasemia-2a-α homozigot (-α/-α) atau
thalasemia-1a-α heterozigot (αα/- -) memberi fenotip seperti thalasemia-β carrier.
Kehilangan 3 dari 4 gen globin-α memberikan fenotip tingkat penyakit berat
menengah (moderat), yang dikatakan sebagai HbH disease. Sedangkan
thalasemia-α0 homozigot (- - / - -) tidak dapat bertahan hidup, disebut sebagai Hb-
Bart’s hydrops syndrome.1,8

Kelainan dasar thalasemia alfa sama dengan thalasemia beta, yakni


ketidakseimbangan sintesis rantai globin. Namun ada perbedaan besar dalam hal
patofisiologi kedua jenis thalasemia ini, yaitu karena rantai-α dimiliki bersama
oleh hemoglobin fetus ataupun dewasa (tidak seperti thalasemia beta), maka
thalasemia alfa bermanifestasi pada masa fetus.1

Manifestasi Klinis Thalasemia Alfa


Empat sindrom klinik yang terjadi pada thalasemia alfa bergantung pada
nomor gen dan pasangan cis atau trans dan jumlah rantai-α yang diproduksi.
Keempat sindrom tersebut adalah pembawa sifat tersembunyi thalasemia-α (silent
carrier), thalasemia-α trait (thalasemia-α minor), HbH disease, dan thalasemia-α
homozigot (hydrops fetalis).1

Pembawa sifat tersembunyi thalasemia-α. Delesi satu gen globin-α


menyisakan tiga gen globin-α fungsional (-α / αα), menyebabkan sindrom silent
carrier. Rasio rantai globin-α-β hampir normal. Gambaran klinis normal. Tidak
ditemukan kelainan hematologis. Saat melahirkan, Hb Bart’s dalam rentangan 1-
2%. Tidak ada cara yang pasti untuk mendiagnosis silent carrier dengan kriteria
hematologis. Bila diperlukan, dapat dilakukan studi gen.1

Thalasemia-α trait (minor). Thalasemia-α trait dapat berupa bentuk


homozigot-α+ (-α/-α) atau heterozigot-α0 (- -/αα). Sindrom ini menunjukkan

8
tampilan klinis normal, anemia ringan dengan peningkatan eritrosit yang
mikrositik hipokrom. Pada saat melahirkan, Hb Bart’s dalam rentangan 2-10%.
Biasanya pada penderita dewasa tidak ditemukan HbH.1

HbH disease. HbH disease biasanya disebabkan oleh hanya adanya satu
gen yang memproduksi rantai globin-α (- -/- α) . penderita mengalami anemia
hemolitik ringan sampai dengan sedang, dengan kadar Hb terentang antara 7-10 g
% dan retikulosit antara 5-10%. Limpa biasanya membesar. Sumsum tulang
menunjukkan hyperplasia eritroid. Retardasi mental yang terkait dengan
thalasemia-α dapat terjadi terjadi bila lokus atau loki dekat cluster gen-α pada
kromosom 16, bermutasi atau ko-delesi dengan cluster gen-α. Krisis hemolitik
dapat terjadi bila penderita mengalami infeksi, hamil, atau terpapar dengan obat-
obatan oksidatif. Krisis hemolitik dapat menjadi penyebab terdeteksinya kelainan
ini, karena penderita HbH disease ini biasanya menunjukkan gambaran klinik
normal. Eritrosit menunjukkan mikrositik hipokrom dengan poikilositosis yang
nyata, termasuk sel target dan gambaran beraneka-ragam. HbH mudah teroksidasi
dan in vivo secara perlahan berubah ke bentuk Heinz-like bodies dari hemoglobin
yang terdenaturasi. Inclusion bodies mengubah bentuk dan sifat viskoelastik
eritrosit, menyebabkan umur eritrosit menurun. Splenektomi sering memberikan
perbaikan.1

Hydrops fetalis. Thalasemia-α homozigot (- -/- -) tidak dapat bertahan


hidup karena sintesis rantai globin-α tidak terjadi. Bayi lahir dengan hydrops
fetalis, yakni edema disebabkan penumpukan caisan serosa dalam jaringan fetus
akibat anemia berat. Hemoglobin didominasi oleh Hb Bart’s. bersama dengan Hb
Portland 5-20% dan sedikit HbH. Hb bart’s mempunyai afinitas oksigen yang
tinggi, sehingga tidak dapat membawa oksigen ke jaringan. Fetus dapat bertahan
hidup karena adanya Hb Portland, tetapi Hb jenis ini tidak dapat mendukung
tahap berikutnya pertumbuhan fetus, dan akhirnya fetus meninggal karena anoksia
(gangguan fungsi plasenta). Kehamilan dengan hydrops fetalis berbahaya bagi
sang ibu, karena dapat menyebabkan toksemia dan perdarahan berat pasca partus.
Adanya hydrops fetalis ini dapat diketahui pada pertengahan umur kehamilan

9
dengan ultrasonografi. Terminasi awal dapat menghindarkan kejadian berbahaya
ini pada sang ibu.1

Penatalaksanaan
Penderita thalasemia alfa minor tanpa atau dengan gejala ringan tidak
memerlukan pengobatan spesifik kecuali jika kadar hemoglobin rendah. Pada
beberapa penderita, suplementasi zat besi atau asam folat dapat bermanfaat bagi
penderita. Namun pada pasien dengan anemia berat kemungkinan membutuhkan
terapi transfusi seumur hidup.
Pemberian iron chelating agent (desferoxamine) diberikan jika kadar
feritin serum sudah mencapai lebih dari 1000 mg/l atau saturasi transferin lebih
50%, atau sekitar 10-20 kali transfusi darah. Desferoxamine, dosis 25-50 mg/kg
berat badan/hari subkutan melalui pompa infus dalam waktu 8-12 jam dengan
minimal selama 5 hari berturut setiap selesai transfusi darah. Vitamin C 100-250
mg/hari selama pemberian khelasi besi, untuk meningkatkan efek khelasi besi.10
Transfusi darah yang berulang-ulang dari proses hemolisis menyebabkan
kadar besi dalam darah tinggi, sehingga tertimbun dalam berbagai jaringan tubuh
seperti hepar, limpa, kulit, jantung, dan lain-lain. Hal ini dapat mengakibatkan
gangguan fungsi alat tersebut (hemokromotosis).

Pencegahan
Program pencegahan berdasarkan penapisan pembawa sifat thalasemia dan
diagnosis prenatal telah dapat menurunkan secara bermakna kejadian thalasemia
mayor pada anak-anak. Diagnosis prenatal pada kedua pasangan orang tua yang
membawa sifat gen thalasemia minor, diagnosis prenatal thalasemia alfa
homozigot pada bayi yang dikandung dapat dibuat dengan analisis endonuklease
restriksi DNA, yang diperoleh dari villus korionik atau cairan amniosentesis.
Tidak adanya gen-α memastikan diagnosis. Terminasi awal akan dapat mencegah
akibat berbahaya bagi sang ibu, yakni toksemia dan perdarahan hebat pasca
partus.1

10
Selain itu konseling genetik dapat dilakukan untuk mencegah thalasemia/
konseling genetika adalah suatu prosedur dimana pasien atau keluarga pasien
yang beresiko tinggi suatu kelainan genetik yang mungkin diturunkan diberikan
saran dan nasehat tentang konsekuensi-konsekuensi kelainan tertentu, probabilitas
perkembangan dan bagaimana penyakit tersebut diteruskan ke anggota keluarga
yang lain serta bagaimana upaya pencegahan dan penanganannya. Fasilitas
konseling genetik terdiri dari beberapa bentuk yaitu konseling genetik pra-nikah,
konseling genetik pra-konsepsi, konseling genetik untuk cacat bawaan.
Sesuai dengan kasus, karena pasangan sudah menikah, maka konseling
genetik pra-konsepsi dapat menjadi pemecahan masalah keguguran dua kali yang
dialami sang ibu. Konseling genetik pra-konsepsi diperuntukkan bagi pasangan-
pasangan yang beresiko kelainan genetik atau penyakit keturunan tertentu namun
sudah "terlanjur" menikah, tetapi belum dikaruniai anak. Konseling genetik ini
akan menolong para pasangan untuk lebih siap dan berwawasan lebih terhadap
resiko-resiko yang mungkin terjadi. Namun demikian, kegiatan konseling genetik
ini juga diperuntukkan bagi mereka yang :
1. Berusia 34 tahun atau lebih(wanita) dan pria berusia 55 tahun lebih.
2. Mempunyai riwayat keguguran berulang (2 kali berturut-turut).
3. Pernah melahirkan janin mati (stillbirth)
4. Mengalami infertilitas/kemandulan.
5. Pernah melahirkan anak yang cacat fisik ataupun mental.

Prognosis
Prognosis bergantung kepada tipe dan tingkat keparahan dari thalassemia.
Kondisi klinis penderita sangat bervariasi dari ringan bahkan asimptomatik hingga
berat dan mengancam jiwa. Bayi dengan thalassemia α mayor kebanyakan lahir
mati atau lahir hidup dan meninggal dalam beberapa jam. Anak dengan
thalassemia dengan transfusi darah biasanya hanya bertahan sampai usia 20 tahun,
biasanya meninggal karena penimbunan besi.11

11
Penutup
Thalasemia adalah penyakit genetik yang diturunkan secara autosomal
resesif menurut hukum Mendel dari orang tua kepada anak-anaknya. Penyakit
thalasemia meliputi suatu keadaan penyakit dari gelaja klinis yang paling ringan
yang disebut thalasemia minor atau halasemia trait hingga yang paling berat yang
disebut thalasemia mayor.

Thalasemia alfa sendiri dibagi menjadi empat jenis dengan manifestasi


klinis berbeda di tiap jenisnya. Keempat jenis thalasemia alfa tersebut adalah
thalasemia-2-α trait (-α / αα), thalasemia-1-α trait (-α / -α atau αα / - -),
hemoglobin H disease (- -/-α), dan hydrops fetalis dengan Hb bart’s (- -/- -).
Dalam kasus ini bimbingan konseling genetik dan bantuan silsilah riwayat
keluarga dalam tiga generasi membantu menegakkan diagnosis serta diharapkan
dapat menyelasikan masalah thalasemia alfa.

Daftar Pustaka
1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku
ajar ilmu penyakit dalam. Edisi 5. Jakarta: InternaPublishing;
2009.h.1379-93.
2. Gleadle J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Edisi 1. Surabaya:
Erlangga; 2007.h.7-23.
3. Bickley LS. Buku ajar pemeriksaan fisik & riwayat kesehatan bates. Edisi
8. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2009.h.453-69.
4. Sacher RA, McPherson RA. Tinjauan klinis hasil pemeriksaan
laboratorium. Edisi 11. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;
2004.h.98-9.
5. Corwin EJ. Buku saku patofisiologi. Edisi 3. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2007.h.421-3.

12
6. Hull D, Johnston DI. Dasar dasar pediatri. Edisi 3. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2008.h.62-3.
7. Mitchell RN, et al. Buku saku dasar patologis penyakit. Edisi 7. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2006.h.364-6.
8. Brashers VL. Aplikasi klinis patofisiologi pemeriksaan dan manajemen.
Edisi 1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2008.h.173-5.
9. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Buku ajar hematologi-onkologi anak. Edisi 4. Jakarta: Badan Penerbit
Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2012.h.64-84.
10. Hay WW, Levin MJ, Sondheimer JM, Deterding RR Current Diagnosis &
Treatment in Pediatrics. 18 edition. United States: Mc Graw Hill;
2007h.842-9.
11. Meredante KJ, Kliegman RM, Jenson HB, Behrman RE. Nelson Ilmu
Kesehatan Anak Esensial. Edisi 6. Singapore: Saunders Elsevier;
2011.h.601-24.

13

Anda mungkin juga menyukai