Anda di halaman 1dari 26

Pendahuluan

Leukemia Granulositik Kronis (LGK) atau Leukemia Mielositik Kronis (LML) atau
Chronic Myelogenous Leukemia (CML) merupakan suatu Myeloproliferative Disorder (MPD)
yang ditandai oleh proliferasi dari seri granulosit tanpa gangguan diferensiasi, sehingga pada
apusan darah tepi dapat dengan mudah dilihat tingkatan diferensiasi seri granulosit, mulai dari
promielosit (bahkan mieloblas), meta mielosit, mielosit, sampai granulosit.1 LGK terutama
dijumpai pada orang dewasa berusia 25 sampai 60 tahun, dengan insiden puncak pada dekade
keempat dan kelima kehidupan.2,3 LGK merupakan 15% dari semua jenis leukemia.3

LGK merupakan kelainan klonal dari sel punca pluripoten. Diagnosis LGK dibantu
dengan adanya kromosom Philadelphia (Ph) yang khas. Kromosom ini merupakan translokasi
antara kromosom 9 dan 22 sebagai akibat bagian dari onkogen ABL1 berpindah ke gen BCR
pada kromosom 22 dan bagian kromosom 22 berpindah ke kromosom 9. Kromosom Ph
menghasilkan gen chimeric BCR-ABL1 yang mengkode suatu protein gabungan yang
memiliki aktivitas tirosin kinase berlebih.4 Pada sebagian besar pasien kromosom Ph terlihat
dengan pemeriksaan kariotip sel tumor, tetapi pada sebagian kecil kasus, abnormalitas Ph tidak
tampak dengan mikroskop, namun dengan pemeriksaan molecular kromosom ini dapat tampak
dengan teknik yang lebih sensitive yaitu fluorescent in situ hybridization (FISH) atau
polymerase chain reaction (PCR). LGK dengan Ph-negatif BCR-ABL1 memiliki klinis sama
seperti LGK Ph-positif. Oleh karena kromosom Ph merupakan kelainan yang didapat pada sel
punca hematopoietic, kelainan dapat terlihat pada kedua jalur baik myeloid (granulositik,
eritroid, dan megakariositik) dan limfoid (sel B dan T). Pada LGK, jumlah leukosit dapat
meningkat demikian rupa (biasanya berjumlah 50.000-250.000/mm3), sehingga darah tampak
berwarna keabu-abuan.

Anamnesis

Berikut hal-hal yang harus ditanyakan kepada pasien pada skenario ini :

1. Identitas pasien, Pria usia 60 tahun.


2. Keluhan utama: lemas sejak 2 bulan, sering demam, keringat malam.
3. Riwayat penyakit sekarang

Page | 1
 Sifat demam
 Batuk
 Hal yang memperberat gejala
 Penyakit yang sedang diderita saat ini
 Riwayat keluhan sama berulang
 Keluhan lain (anoreksia, penurunan BB, dll)
4. Riwayat penyakit dahulu
 Riwayat penyakit infeksi sebelum keluhan timbul
 Riwayat penyakit kronis
 Riwayat pengobatan
5. Riwayat keluarga dan sosial
 Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama
 Pekerjaan pasien
 Gaya hidup pasien (merokok, alcohol, pola makan, aktivitas)

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan yang dilakukan meliputi pemeriksaan keadaan umum dan tanda-tanda


vital yang meliputi tekanan darah, denyut nadi, laju pernapasan, dan suhu. Pada pemeriksaan
fisik secara umum, dapat dilihat keadaan pasien yang tampak lemah dan pucat, serta ditemukan
conjungtiva anemis yang menunjukkan adanya anemia.

Pemeriksaan fisik pada abdomen, khususnya pemeriksaan pembesaran hati dan


Schuffner untuk memeriksa adanya splenomegali, sangat penting dilakukan oleh karena biasa
ditemukan hepatosplenomegali pada LGK. Hepatosplenomegali disebabkan oleh adanya
hematopoiesis ekstramedular yang sering dipersulit oleh infark local, terutama pada limpa.2
Splenomegali ringan hingga berat paling sering ditemukan pada pemeriksaan fisik, sedangkan
hepatomegali hanya sesekali ditemui.5 Splenomegali yang menetap, meskipun telah diterapi,
merupakan suatu tanda akselerasi penyakit.5 Limfadenopati dan myeloid sarcoma tidak biasa
dijumpai, kecuali pada akhir perjalanan penyakit.5 Bila ditemui adanya limfadenopati dan
myeloid sarcoma, maka prognosisnya adalah dubia ad malam.

Pemeriksaan Penunjang

Page | 2
Hematologi rutin

Pada fase kronis, kadar Hb umumnya normal atau sedikit menurun.1 Jumlah leukosit
biasanya >50.000/mm3.3,4 Persentasi eosinofil atau basofil meningkat. Trombosit biasanya
meningkat antara 500.000-600.000/mm3, tetapi dapat juga normal atau trombositopeni. Nilai
hematokrit antara 25-35%.4

Apus darah tepi

Eritrosit sebagian besar normokrom normositer, sering ditemukan adanya polikromasi


eritroblas asidofil atau polikromatofil. Leukosit dalam jumlah besar tampak dalam berbagai
stadium pematangan, baik immature maupun mature, umumnya persentasi sel mielosit dan
metamielosit meningkat dengan jumlah mielosit lebih banyak daripada metamielosit.1,4,5
Eosinofil dan/atau basofil meningkat pada stadium lanjut, menyebabkan pruritus, diare, dan
flushing.1,5 Aktivitas leukocyte alkaline phosphatase (LAP) hampir selalu rendah bahkan
mungkin turun sampai 0.4,5

Pada fase akselerasi, terjadi peningkatan derajat anemia yang ditandai dengan
penurunan kadar Hb oleh karena adanya pendarahan atau efek terapi, sel blast dalam darah dan
sumsum tulang antara 10 dan 20%, basofil darah dan sumsum tulang ≥20%, atau trombosit
<100.000/mm3.5

Fase krisis blast ditentukan sebagai leukemia akut dengan kadar blast dalam darah atau
sumsum tulang ≥20% . Mungkin ditemukan neutrofil hiposegmented (Pelger-Huet anomaly).
Sel blast bisa diklasifikasikan sebagai myeloid, cytochemical, dan immunologic features.5

Tabel 1. Morfologi Sel pada Tiap Fase LGK dari Spesimen Darah Tepi

Fase LGK Morfologi Sel


Fase awal Leukosit <50.000/µL, terdapat bentuk yang belum matang tersendiri
Basofil mungkin +
Fase kronik Leukosit 50.000-500.000
Granulopoiesis +, blas - , bagiannya tergantung dari jumlah sel keseluruhan. Sebagian besar
<5%
Basofil +, bentuk kerdil
Trombosit sering >400.000

Page | 3
Fase akselerasi Leukosit hingga 250.000
Bentuk yang belum matang ++ (promielosit 20-30%), blas hingga 10%
Basofil ++
Trombosit normal
Fase akhir (krisis Sebagian besar >50%, prefinal hampir 100%
blas) Blas 25% TdT atau PAS positif
Merupakan elemen sisa dari fase kronik dengan atipik yang beranekaragam
Trombositopeni +

Apus sumsum tulang

Selularitas sumsum tulang meningkat akibat proliferasi dari sel-sel leukemia, sehingga
rasio myeloid : eritrosit meningkat.1,5 Berbeda dengan sumsum tulang normal, yang biasanya
50% selular dan 50% lemak, sumsum tulang CML biasanya 100% selular dengan dominasi
precursor granulositik yang berada dalam proses maturasi. Meningkatnya jumlah megakariosit,
sering disertai oleh bentuk-bentuk displatik, juga sering dijumpai, sementara progenitor eritroid
biasanya berjumlah normal atau berkurang. Temuan khas adalah adanya histiosit dengan
sitoplasma keriput hijau-biru tersebar.2 Persentasi sel blast sumsum tulang umumnya normal
atau sedikit meningkat.5 Megakariosit juga tampak lebih banyak.1 Pada pewarnaan retikulin,
tampak bahwa stroma sumsum tulang mengalami fibrosis, meskipun hal ini jarang terlihat.

Tabel 2. Morfologi Sel pada Tiap Fase LGK dari Spesimen Sumsum Tulang

Fase LGK Morfologi Sel


Fase awal Sangat kaya sel
Granulopoesis bergeser ke kiri secukupnya
Indeks GE (perbandingan kuantitatif antara granulopoesis dan eritopoesis) 5-6
Basofil dan eosinofil meningkat
Megakariosit dan mikrokariosit +
Fase kronik Sangat kaya sel, tidak ada sel lemak
Granulopoesis jelas bergeser ke kiri
Indeks GE >10
Basofil dan eosinofil ++
Blas –
Mikrokariosit +
Fase akselerasi Seperti fase kronik, namun terdapat pergeseran ke kiri yang meningkat

Page | 4
Peningkatan promielosit berlebihan
Blas ± 10%
Fase akhir (krisis Blas sumsum sangat banyak, 25% dari fase akselerasi bereaksi positif dengan PAS
blas) Basofil muda +
Eritrosit –
Trombopoesis direduksi

Karyotipik

Dahulu dikerjakan dengan teknik pemitaan (G-banding technique), saat ini teknik ini
sudah mulai ditinggalkan dan peranannya digantikan oleh metoda FISH (Fluorescen In Situ
Hybridization) yang lebih akurat.1 Pada LGK, ditemukan kromosom Philadelphia yang
merupakan translokasi t(9; 22) (q34; q11). Semula, translokasi ini dikenal oleh keberadaan
pemendekan kromosom 22 (22q-), yaitu kromosom Ph yang muncul dari timbal balik t(9;
22).3,5 Beberapa pasien mungkin memiliki translokasi kompleks (dikenal sebagai variant
translocations) yang melibatkan tiga, empat, atau lima kromosom (biasanya meliputi
kromosom 9 dan 22). Semua pasien harus memiliki bukti translokasi molekuler atau oleh
sitogenetik atau FISH untuk menegakkan diagnosis LGK.5

Gambar 1. Deteksi Gen Fusi BCR-ABL dengan Teknik FISH.2

Gambar di atas menunjukkan kromosom 9 dan kromosom 22 pada orang normal (kiri)
dan penderita LGK (kanan). Warna hijau menunjukkan probe ABL, sedangkan warna merah
adalah probe BCR. Pada kromosom normal (kiri), probe ABL dan probe BCR telah
dihibridisasi ke kromosom metaphase dan nucleus interfase yang dipersiapkan dari sel darah

Page | 5
perifer orang normal. Oleh karena pembentukan pasangan sister chromatids selama mitosis,
sinyal-sinyal kromosom metaphase dapat terlihat sebagai titik tunggal atau sepasang titik yang
terlihat berdekatan. Dua pasang sinyal merah dan dua sinyal hijau terlihat di kromosom
metaphase, sementara dua sinyal merah dan dua sinyal hijau terdapat di nucleus interfase,
masing-masing menunjukkan salinan ABL dan BCR yang terpisah normal.2

Sebaliknya, pada kromosom yang mengalami translokasi (kanan), kromosom


metaphase dan nucleus interfase yang diperoleh dari sel sumsum tulang pasien LGK
memperlihatkan satu sinyal ABL normal, satu sinyal BCR normal, dan satu sinyal kuning
abnormal yang tercipta oleh tumpang-tindih sebuah sinyal BCR dan sebuah sinyal ABL.
Temuan ini menunjukkan adanya gen fusi BSCR-ABL.2

Laboratorium lain

Kadar asam urat dalam serum dan urin umumnya meningkat oleh karena pemecahan
purin berlebih. Selain itu, mungkin dijumpai batu urat di dalam ginjal atau gout. LDH (Laktat
Dehidrogenase) meningkat, menunjukkan adanya peningkatan kerusakan protein. Kadar
vitamin B12 dalam serum dan protein pengikat vitamin B12 biasanya meningkat. Granulositosis
berlebih menyebabkan peningkatan transkobalamin dalam darah, yaitu suatu protein pengikat
vitamin B12. Peningkatan transkobalamin ini bertujuan untuk dapat mengikat vitamin B12 lebih
banyak untuk meningkatkan eritropoesis. Namun, oleh karena granulopoesis lebih besar
daripada eritropoesis, maka eritropoesis terhambat, sehingga terjadi anemia.

Diagnosis Banding

Mielofibrosis dengan Metaplasia Mieloid (MMM)

MMM merupakan suatu kelainan yang dihubungkan dengan adanya timbunan


substansi kolagen berlebih dalam sumsum tulang. Kelainan merupakan kelainan stem sel
hematopoesis klonal, dihubungkan dengan chronic myeloproliferative disorders (CMPD), di
mana adanya hematopoesis ekstramedular merupakan gambaran yang mencolok. MMM

Page | 6
menyerang golongan umur menengah dan tua, rata-rata umur 60 tahun, pria dan wanita
memiliki kemungkinan yang sama.1

Pada 25% kasus MMM berpenampilan asimtomatis. Diagnosis ditegakkan dengan


adanya pemeriksaan darah yang abnormal atau secara insidentil terdapat splenomegali. Gejala
klinis pada umumnya adalah kelelahan otot dan penurunan berat badan (7-39%), sindrom
hipermetabolik (5-20% pasien), pendarahan dan memar, kadang terdapat massa dalam perut,
gout, dan kolik renal terdapat 4-6%, diare dengan sebab tidak jelas, dan nyeri substernal kadang
diketemukan.1

Tabel 3. Kelainan Klinis untuk Diagnosis Pasien dengan Mielofibrosis dengan Metaplasia Mieloid1

Sangat sering ditemukan (>50% kasus)


Splenomegali, hepatomegali, fatique, anemia, leukositosis, trombositosis
Sering ditemukan (10-50% kasus)
Asimtomatik, penurunan berat badan, keringat malam, perdarahan, nyeri splenik, leukositopenia, trombositopenia
Kurang sering ditemukan (<10% kasus)
Edema perifer, hipertensi portal, limfadenopati, ikterik, gout

Splenomegali yang cukup besar merupakan penemuan fisik yang utama. Hepatomegali
ditemukan pada separuh pasien, 2-6% terdapat hipertensi portal, mungkin diikuti komplikasi:
asites, varises esophagus, perdarahan gastrointestinal, dan ensefalopatia hepatik. Juga
ditemukan ptekie, ekimosis, dan limpadenopatia. Beberapa pasien memperlihatkan adanya
dermatosis neutrofilik serupa pada sweet-syndrome dan mengalami hematopoesis
ekstramedulare dermal, osteosklerosis yang sebagian diikuti periostetis dengan nyeri tulang
dan ketulian. Bila permukaan serosa terlibat dalam hematopoesis mungkin akan terdapat efusi
pleura dan perikard atau asites. Kadang diikuti komplikasi neuroplogis berupa tekanan
intracranial meningkat, delirium, koma, perdarahan subdural, kerusakan motorik, sensorik, dan
paralisis.1

Pada pemeriksaan darah tepi, didapatkan sel eritrosit berbentuk tear drop yang
dihubungkan dengan adanya eritrosit berinti dalam sirkulasi, leukosit neutrofil imatur dan
platelet besar abnormal. Retikulosit meningkat: eritrosit polikromasi, fragmentasi dan sel target
juga sering ditemukan.nabnormalitas morfologi ini diakibatkan adanya perubahan
hematopoesis, bebasnya sel lebih awal dari sumsum tulang dan hematopoesis ekstramedular.1

Page | 7
Anemia dengan Hb <10 gr/dl, ditemukan 60% kasus yang dapat terjadi akibat
hemodilusi akibat volume plasma yang meningkat, gangguan produksi sumsum tulang, dan
hemolisis. Hapusan darah tepi didapat aniso-poikilositosis, oval dari eritrosit, reaksi leukomoid
(samping granulosit terdapat 1 metamielosit, 1 promielosit, dan 1 normoblas). Morfologi
anemia tidak khas pada umumnya normositik normokromik, makrositik bila defisiensi asam
folat dan mikrositik hipokromik bila defisiensi Fe atau perdarahan gastrointestinal. Jumlah
leukosit meningkat pada 50% kasus, diikuti eosinofilia dan basofilia, sedangkan jumlah
limfosit normal. Beberapa mieloblas ditemukan pada darah tepi, konsentrasi mieloblas >1%
memberikan prognosis buruk. Ditemukan juga neutrofil hipersegmen, kenaikan enzim
neutrofil, trombosit meningkat pada fase awal, pada progresifitas penyakit dapat terjadi
trombositopenia. Platelet baiasanya berukuran besar dan dalam sirkulasi ditemukan
megakariosit utuh atau terfragmentasi. Perubahan pada faktor pembekuan terlarut dapat terjadi
karena abnormalitas platelet. Kadar asam urat dan LDH hampir selalu meningkat,
menggambarkan ada massa berlebih dari sel hematopoetik atau ada hematopoesis inefektif atau
keduanya. Enzim alkali fosfatase serum meningkat yang menunjukkan keterlibatan tulang.
Kadar albumin, kolesterol, dan lipoprotein menurun. Dapat terjadi kenaikan kadar vitamin B12
pada pasien dengan leukositosis yang merupakan refleksi dengan peningkatan massa neutrofil.1

Biopsi sumsum tulang diperlukan untuk menegakkan MMM. Kriteria yang harus ada
untuk membuat diagnosis MMM, antara lain fibrosis sumsum tulang, kelainan morfologi
hyperplasia sumsum tulang, dan hematopoesis ekstramedular. Pada pemeriksaan patologi, ada
osteosklerosis akibat fibrosis sumsum tulang, terutama pada kerangka aksial dan proksimal
tulang panjang. Korteks tulang mengalami penebalan dan pola normal trabekula menghilang.
Hematopoesis terutama terjadi di lien dengan adanya splenomegali. Hepar juga dapat terlibat
dengan adanya hepatomegali. Proporsi eritroid lebih tinggi pada sisi ekstramedular daripada
dalam sumsum tulang. Hematopoesis ekstramedular ada tendensi indeks mitosis rendah, sel
imatur, dan megaloblastik yang tinggi daripada hematopoesis medulare.1

Reaksi Leukemoid

Reaksi leukemoid merupakan leukositosis reaktif yang berlebih dengan sel darah putih
matur dan imatur membanjiri sirkulasi. Karena gambaran darah mirip dengan leukemia kronis,
proses ini disebut reaksi leukemoid. Penyakit ini bukan penyakit primer sumsum tulang dan
biasanya sekunder terhadap penyakit lain. Granulosit paling sering terlibat, tetapi monositosis

Page | 8
yang mencolok dapat terjadi pada tuberkulosis, sedangkan limfositosis leukemoid pernah
dilaporkan pada tuberculosis, batuk rejan, dan mononucleosis infeksiosa.6

Granulositosis dengan proporsi leukemoid dapat menyertai tumor-tumor ganas dengan


atau tanpa metastasis ke tulang, infeksi tuberculosis atau piogenik yang parah, keracunan
logam berat, krisis sel sabit, gangguan metabolik berat yang mengenai ginjal atau hati, dan
ketoasidosis diabetes. Pasien yang baru pulih dari agranulositosis atau dari kemoterapi
mungkin memperlihatkan produksi berlebih sel darah putih menyerupai proliferasi pada
leukemia, tetapi leukopoesis dengan kecepatan seperti ini jarang menetapkan lebih dari
seminggu.6

Apabila reaksi leukemoid terjadi karena penyakit mendasar yang sudah jelas,
pembedaan dengan leukemia tidak sulit. Namun, perlu diingat bahwa leukemia dapat timbul
bersama dengan penyakit lain. Leukemia dan tuberculosis, misalnya, dapat timbul bersama-
sama, dan masing-masing memperparah yang lain. Apabila penyakit yang primer tidak jelas,
gambarannya mengisyaratkan leukemia. Gambaran yang membedakan reaksi leukemoid
dengan LGK diperlihatkan pada table 4 di bawah ini.6

Tabel 4. Perbedaan Antara Reaksi Leukemoid dan Leukemia Granulositik Kronik6,7

Reaksi Leukemoid Leukemia Granulositik Kronik


Leukosit biasanya <50.000/µL Leukosit biasanya >50.000/µL
Granulasi toksik dan badan Dohle ++ Granulasi toksik ± / = 0
Basofilia dan eosinofilia tidak ada Terdapat basofilia dan eosinofilia, bisa juga tidak ada
Sel batang menonjol Semua stadium ada, terutama mielosit
Tidak ada trombositopenia Terdapat trombositopenia
Anemia ringan atau tidak ada sama sekali Ada anemia, biasanya berat
Ada hiperseluler sumsum tulang Ada hiperseluler sumsum tulang (lebih berat)
Eritopoesis dan trombopoesis normal Eritropoesis dan trombopoesis terhambat oleh leukopoesis
Leukocyte Alkali Phosphatase (LAP) meningkat (>100) LAP bisa meningkat atau tidak meningkat
Limpa biasanya tidak teraba Limpa biasanya membesar
Tidak terdapat kromosom Philadelphia Kromosom Philadelphia terdapat pada 90% kasus

Diagnosis Kerja

Page | 9
Diagnosis kerja kasus tersebut adalah leukemia granulosit kronis (LGK) tahap akhir
fase kronis; berdasarkan pemeriksaan fisik ditemukan adanya conjungtiva anemis, sclera non
ikterik, dan splenomegali (Schuffner 3). Pada pemeriksaan laboratorium didapat data Hb: 9,
Ht: 35%, Leukosit: 100.000/mL, trombosit: 25.000/mL. Pada apus darah didapat retikulosit
4%, eritrosit mikrositik hipokrom, sel blast 10%, hitung jenis 1 / 1 / 0 / 73 / 22 / 1 / 2,
metamielosit 10.

Diagnosis LGK ditegakkan oleh adanya anemia, splenomegali (biasanya massif),


leukositosis berat (terutama mielosit, metamielosit, dan neutrofil), dan yang terpenting adalah
identifikasi ekspansi klonal stem cell hematopoietik yang memproses translokasi resiprokal
antara kromosom 9 dan 22.

Etiologi

Tidak ada korelasi yang jelas antara pajanan obat sitotoksik dengan LGK dan tidak
ditemukan bukti yang cukup kuat yang menjelaskan infeksi virus sebagai etiologi LGK. Pada
era pra-imatinib, rokok mempercepat progresi krisis blas. Korban bom atom Hiroshima dan
Nagasaki yang selamat mengalami peningkatan insiden LGK dengan massa sel LGK
10.000/µL dalam 6,3 tahun. Diperkirakan hanya radiasi dosis besar yang bisa menginduksi
LGK.5

Patofisiologi

Gen BCR-ABL pada kromosom Ph menyebabkan proliferasi yang berlebihan sel induk
pluripoten pada sistem hematopoiesis. Klon-klon ini selain proliferasinya berlebih juga dapat
bertahan hidup lebih lama dibanding sel normal karena gen BCR-ABL juga anti-apoptosis.
Dampak kedua mekanisme ini adalah terbentuknya klon-klon abnormal yang akhirnya
mendesak sistem hematopoiesis lainnya.1

Mekanisme terbentuknya kromosom Ph dan waktu yang dibutuhkan sejak terbentuknya


Ph sampai menjadi LGK dengan gejala klinis yang jelas, hingga kini masih belum diketahui
secara pasti. Diduga Ph terjadi akibat pengaruh radiasi, sebagian ahli berpendapat akibat mutasi

Page | 10
spontan. Diketahui bahwa translokasi ini menyebabkan pembentukan gen hibrid BCR-ABL
BCR-ABL pada kromosom 22 dan gen resiprokal ABL-BCR pada kromosom 9.1

Gambar 2. Translokasi Kromosom 9 Gen ABL dengan Kromosom 22 Gen BCR1

Gen hibrid BCR-ABL yang berada dalam kromosom Ph ini selanjutnya mensintesis
suatu protein yang berperan dalam lekemogenesis, sedangkan peranan gen resiprokal ABL-
BCR tidak diketahui.1

Saat ini diketahui terdapat beberapa varian dari kromosom Ph. Varian-varian ini dapat
terbentuk karena translokasi kromosom 22 atau kromosom 9 dengan kromosom lainnya.
Varian lain juga dapat terbentuk karena patahan pada gen BCR tidak selalu di daerah q11, akan
tetapi dapat juga di daerah q12 atau q13, sehingga protein yang dihasilkan juga berbeda berat
molekulnya.1

Tabel 5. Variasi Kelainan Sitogenetik pada LGK1

Karyotipik Gen-Gen yang Terlibat Istilah Klinik


t(9; 22)(q34; q12) BCR-JAK LGK atipik
t(9; 22)(q34; q13) BCR-PDGFRB LGK atipik
t(9; 22)(q34; q11) BCR-FGFR1 LGK BCR-ABL negatif
t(8; 22)(p11; q11) BCR-FGFR1 LGK BCR-ABL negatif
t(4; 22)(q12; q11) BCR-PDGFRA LGK atipik
t(9; 12)(q34; p13) ABL-TEL LGK atipik
Del(4)(q12) FIP1L1-PDGFRA LGK hipereosinofilia

Page | 11
Jadi sebenarnya, gen BCR-ABL pada kromosom Ph (22q-) selalu terdapat pada semua
pasien LGK, tetapi gen BCR-ABL pada 9q+ hanya terdapat pada 70% pasien LGK. Dalam
perjalanan penyakitnya, pasien dengan Ph+ lebih rawan terhadap adanya kelainan kromosom
tambahan. Hal ini terbukti pada 60-80% pasien Ph+ yang mengalami fase krisis blas ditemukan
adanya trisomi 8, trisomi 19, dan isokromosom lengan panjang kromosom 17 i(17)q. Dengan
kata lain, selain gen BCR-ABL, ada beberapa gen lain yang berperan dalam patofisiologi LGK
atau terjadi abnormalitas dari gen supresor tumor, seperti gen p53, p16, dan gen Rb.1

Pada kebanyakan pasien LGK, patahan pada gen BCR ditemukan di daerah 5,8-kb atau
di daerah e13-e14 pada ekson 2 yang dikenal sebagai major break cluster region (M-bcr),
kemudian gen BCR-ABL akan mensintesa protein dengan berat molekul 210 kD, selanjutnya
ditulis p210BCR-ABL. Patahan lainnya ditemukan di daerah 54,4-kb atau e1 yang dikenal sebagai
minor bcr (m-bcr) yang gen BCR-ABL nya akan mensintesa p190. Ditemukan juga variasi
patahan ini pada 3’ gen BCR antara e19-e20 yang selanjutnya akan terbentuk p230. Daerah
patahan ini kemudian dikenal sebagai micro-bcr (µ-bcr). Tiga variasi letak patahan pada gen
BCR ini yaitu mayor, minor, dan mikro ternyata berhubungan dengan gambaran klinik
penyakitnya. Pasien LGK yang patahan pada gen BCRnya di M-bcr berhubungan dengan
trombositopenia, patahan di m-bcr berhubungan dengan monositosis yang prominen,
sedangkan patahan di µ-bcr berhubungan dengan neutrofilia dan/atau trombositosis.1

Pada gambar 3, tampak bahwa p210BCR-ABL mempunyai potensi leukemogenesis


dengan cara sebagai berikut: gen BCR berfungsi sebagai heterodimer dari gen ABL yang
mempunyai aktivitas tirosin kinase, sehingga fusi kedua gen ini memiliki kemampuan untuk
oto-fosforilasi yang akan mengaktivasi beberapa protein di dalam sitoplasma sel melalui
domain SRC-homologi 1 (SH1), sehingga terjadi deregulasi dari proliferasi sel-sel,
berkurangnya sifat aderen sel-sel terhadap stroma sumsum tulang, dan berkurangnya respon
apoptosis.1

Page | 12
Gambar 3. Fusi Gen BCR-ABL1

Selanjutnya, fusi gen BCR-ABL akan berinteraksi dengan berbagai protein di dalam
sitoplasma, sehingga terjadilah transduksi sinyal yang yang bersifat onkogenik, seperti tampak
pada gambar 4 di bawah ini. Sinyal ini akan menyebabkan aktivasi dan juga represi dari proses
transkripsi pada RNA, sehingga terjadi kekacauan pada proses proliferasi sel dan juga proses
apoptosis.1

Gambar 4. Proses Aktivasi Sinyal Transduksi oleh Fusi Gen BCR-ABL1

Pada LGK, berbagai turunan myeloid, sel limfoid B dan mungkin sel limfoid T
mengekspresikan protein fusi BCR-ABL yang menunjukkan bahwa sasaran transformasi
adalah sel tunas pluripoten. Oleh sebab yang belum diketahui, efek BCR-ABL kinase yang
terus menerus aktif pada awal LGK, terutama tampak pada progenitor granulositik dan dengan
derajat yang lebih ringan, pada progenitor megakariositik.2

Page | 13
LGK secara alami berkembang lambat, bahkan tanpa pengobatan sekalipun, pasien
dapat diharapkan bertahan hidup 3 tahun. Setelah suatu periode yang bervariasi (sekitar 3
tahun), sekitar 50% pasien masuk ke fase akselerasi. Pada fase ini, terjadi peningkatan anemia
dan trombositopeni, serta kadang-kadang eosinofilia darah tepi yang mencolok. Kelainan
sitogenik klonal lain, misalnya trisomi 8, isokromosom 17q, atau duplikasi Ph juga dapat
ditemukan. Dalam 6-12 bulan, fase percepatan berakhir dengan gambaran mirip dengan
leukemia akut (krisis blas). Di lain pihak, pada 50% sisanya krisis blas timbul secara mendadak
tanpa diselingi oleh fase percepatan. Pada 70% krisis blas, blas memperlihatkan gambaran
morfologi dan sitokimia mieloblas, sementara pada kebanyakan dari sisanya, blas mengandung
enzim TdT dan mengekspresikan penanda-penanda turunan B dini seperti CD 10 dan CD19.
Meskipun jarang, blas dapat mirip dengan sel T prekursor.

Epidemiologi

Kejadian LGK mencapai 20% dari semua leukemia pada dewasa, kedua terbanyak
setelah leukemia limfositik kronik (LLK). Pada umumnya menyerang usia 40-50 tahun,
walaupun dapat ditemukan pada usia muda dan biasanya lebih progresif. Di Jepang,
kejadiannya meningkat setelah peristiwa bom atom di Nagasaki dan Hiroshima, demikian juga
di Rusia setelah reactor Chernobil meledak.1

Insiden LGK adalah 1,5 per 100.000 orang per tahun dan insiden pada pria lebih tinggi
daripada wanita. Insiden LGK meningkat lambat sesuai pertambahan usia sampai pertengahan
usia 40 tahun akan meningkat cepat. Insiden LGK pada wanita agak menurun (1,8%) antara
tahun 1994 dan 2006 dibandingkan tahun 1975-1994.5

Manifestasi Klinis

Dalam perjalanan penyakitnya, LGK dibagi menjadi 3 fase, yakni: fase kronik, fase
akselerasi, dan fase krisis blas. Umumnya, saat diagnosis pertama kali ditegakkan, pasien
masih dalam fase kronis, bahkan seringkali diagnose LGK ditemukan secara kebetulan,
misalnya saat persiapan pra-operasi ditemukan leukositosis hebat tanpa gejala infeksi.

Page | 14
Pada fase kronis, pasien sering mengeluh perut terasa penuh atau cepat kenyang oleh
karena adanya splenomegali yang mendesak gaster. Kadang timbul nyeri mendadak seperti
diremas di perut kanan atas bila telah terjadi infark limpa. Keluhan lain sering tidak spesifik,
seperti cepat lelah, lemah, demam yang tidak terlalu tinggi, dan keringat malam. Penurunan
berat badan terjadi setelah penyakit berlangsung lama. Semua keluhan tersebut merupakan
gambaran hipermetabolisme akibat proliferasi sel-sel leukemia. Hiperurikemia yang hebat
dapat mencetuskan nyeri yang hebat. Memar, epistaksis, dan pendarahan dari berbagai tempat
bisa terjadi oleh karena fungsi trombosit yang abnormal.

Tabel 6. Urutan Keluhan Pasien Berdasarkan Frekuensi1

Keluhan Frekuensi (%)


Splenomegali 95
Lemah 80
Penurunan BB 60
Hepatomegali 50
Keringat malam 45
Cepat kenyang 40
Perdarahan/purpura 35
Nyeri perut (infark limpa) 30
Demam 10

Setelah 2-3 tahun, beberapa pasien penyakitnya menjadi progresif atau mengalami
akselerasi. Bila saat diagnosa ditegakkan pasien berada pada fase kronis, maka kelangsungan
hidup berkisar antara 1 sampai 1,5 tahun. Ciri khas fase akselerasi antara lain: leukositosis yang
sulit dikontrol dengan obat-obat mielosupresif, mieloblas di perifer mencapai 15-30%,
promielosit >30%, dan trombosit <100.000. Secara klinis, fase ini dapat diduga bila limpa yang
tadinya sudah mengecil dengan terapi kembali membesar, keluhan anemia bertambah berat,
timbul ptekie atau ekimosis bila disertai demam, biasanya ada infeksi. Diagnosis LGK pada
fase akselerasi menurut WHO, antara lain:

 Blas 10-19% dari WBC pada darah tepi dan/atau dari sumsum tulang berinti

 Basofil darah tepi atau sumsum tulang >20%

Page | 15
 Trombositopenia persisten (<100.000) yang tidak dihubungkan dengan terapi,
atau trombositosis (>100.000) yang tidak responsif terhadap terapi

 Peningkatan splenomegali atau jumlah leukosit, tidak merespon pada terapi

 Perubahan sitogenik dengan abnormalitas baru selain kromosom Philadelphia

Fase krisis blas merupakan suatu perburukan dari tahap akselerasi mieloproliferatif.
Terjadi pada 80% pasien LGK. Fase ini ditandai dengan jumlah sel blas yang semakin
meningkat, adanya perdarahan, sepsis, dan pembesaran kelenjar getah bening. Gejala klinik
pada fase ini sama dengan leukemia akut dan jika sel blas mencapai lebih dari 100 000 per
mm3 maka penderita memiliki resiko terjadinya sindroma hiperleukositosis. Fase ini
dibedakan dengan leukemia akut di mana splenomegali tidak menonjol, basofilia dan adanya
Ph’-2 kromosom.

Adapun kriteria tahap blas, antara lain:

 Demam 5 hari tanpa adanya penyebab yang jelas

 Darah tepi: mieloblas dan promielosit >30%

 Hb <10,5 gr%, leukosit >30.000/mm3, trombosit <100.000/mm3

 Sumsum tulang: mieloblas dan promielosit 30. Pada 20% kasus, sel blas adalah
limfoblas

Diagnosis klinis LGK fase krisis blas menurut WHO, antara lain:

 Blas >20% dari darah putih pada darah perifer atau sel sumsum tulang berinti

 Proliferasi blas ekstramedular

 Focus besar atau cluster sel blas dalam biopsy sumsum tulang

Penatalaksanaan

Page | 16
Secara umum tujuan terapi penderita LGK pada fase kronik adalah menghilangkan
gejala klinik dengan cara menurunkan leukositosis dan organomegali. Remisi komplit yaitu
hilangnya Ph’+ klon dan pergantian sel oleh sel normal jarang terjadi dengan pengobatan
konvensional. Walaupun demikian, dengan teknik transplantasi sumsum tulang, kesembuhan
tersebut memungkinkan, tujuan terapi LGK pada fase akselerasi dan blas adalah
mengembalikan ke fase kronik.

Pengobatan standar LMK fase kronik adalah dengan obat tunggal, walaupun
kebanyakan kasus jarang terjadi kesembuhan secara sempurna. Dengan pemberian obat
tunggal tersebut akan terjadi pengurangan organomegali dan leukosit dalam darah tepi menjadi
normal tetapi hiperplasia granulosit dan metaplasia Ph’+ di sumsum tulang tetap terjadi. Untuk
menurunkan kadar asam urat serum, allopurinol dapat diberikan. Transfusi trombosit dan
eritrosit perlu dilakukan bila terdapat anemia dan trombositopenia yang berat.

Hydroxyurea

Merupakan terapi terpilih untuk induksi remisi hematologi pada LGK. Hidroksiurea
lebih efektif dibandingkan busulfan, melfalan, dan klorambusil. Efek mielosupresif masih
berlangsung beberapa hari sampai 1 minggu setelah pengobatan dihentikan. Tidak seperti
busulfan yang dapat menyebabkan anemia aplastik dan fibrosis paru.

Dosis 30mg/kgBB/hari diberikan sebagai dosis tunggal maupun dibagi 2-3 dosis. Bila
leukosit >300.000, dosis boleh ditingkatkan sampai maksimal 2,5g/hari. Penggunaan
dihentikan sementara bila leukosit <8.000 atau trombosit <100.000. Interaksi obat dapat terjadi
bila digunakan bersamaan dengan 5-Fluorourasil (5-FU), menyebabkan neurotoksisitas.

Selama menggunakan obat ini, harus dilakukan pemantauan terhadap Hb, leukosit,
trombosit, fungsi ginjal, dan fungsi hepar.

Busulfan

Termasuk golongan alkil yang sangat kuat. Dosis 4-8mg/hari peroral, dapat
ditingkatkan hingga 12mg/hari. Pemakaian dihentikan bila leukosit antara 10.000 – 20.000,

Page | 17
dan dimulai kembali setelah leukosit >50.000. bila leukosit sangat tinggi, sebaiknya pemberian
busulfan disertai dengan alopurinol dan hidrasi yang baik.

Obat ini tidak dapat diberikan pada wanita hamil. Interaksi obat dengan asetaminofen,
siklofosfamid, dan itrakonazol akan meningkatkan efek busulfan, sedangkan fenitoin akan
menurunkan efeknya. Efek samping busulfan adalah fibrosis paru dan supresi sumsum tulang
yang berkepanjangan.

Imatinib mesylate

Merupakan antibody monoclonal yang dibuat sebagai inhibitor spesifik dari protein
gabungan BCR-ABL1 untuk menghambat aktivitas tirosin kinase dengan cara bersaing pada
ikatan ATP. Imatinib merupakan obat lini pertama dalam penatalaksanaan LGK fase kronis.
Dosis 400mg/hari diberikan setelah makan. Dosis dapat ditingkatkan sampai 600mg/hari bila
tidak mencapai respon hematologic setelah 3 bulan pemberian, atau pernah mencapai respon
yang baik tetapi terjadi perburukan secara hematologik, yaitu Hb menjadi rendah dan/atau
leukosit meningkat dengan/tanpa perubahan jumlah trombosit. Dosis harus diturunkan apabila
terjadi neutropeni berat (<500/mm3) atau trombositopeni berat (<50.000/mm3) atau
peningkatan sGOT/sGPT dan bilirubin. Untuk fase akselerasi atau fase krisis blas, dapat
diberikan langsung 800mg/hari (400mg b.i.d).

Imatinib tidak dapat diberikan pada wanita hamil. Efek samping berupa reaksi
hipersensitivitas dapat timbul, walaupun sangat jarang. Interaksi obat dengan ketokonazol,
simvastatin, dan fenitoin akan meningkatkan efek imatinib mesilat.

Imatinib sangat efektif dalam menurunkan jumlah sel tumor di sumsum tulang dan
harus dipantau dengan pemeriksaan kariotip sumsum tulang bersama dengan pemeriksaan PCR
terhadap adanya transkripsi BCR-ABL di sumsum tulang atau darah tepi. Penilaian terhadap
respon diawali dengan penilaian sumsum tulang secara teratur 3 – 6 bulan untuk menilai
sitogenik metaphase. Respon sitogenik sempurna atau CCyR (complete cytogenetic response)
ditentukan berdasarkan tidak terdapatnya metaphase Ph-positif di sumsum tulang, dan apabila
CCyR tercapai, maka pemantauan dilanjutkan dengan perhitungan BCR-ABL dalam darah
pada rentang waktu tertentu. Respons optimal LGK terhadap imatinib adalah sebagai berikut:3

Page | 18
 Respon hematologi komplit (hitung darah tepi normal) dan setidaknya terdapat respon
sitogenetik minimal (cytogenetic response/CyR) (Ph+ <95%) dalam 3 bulan

 Setidaknya terdapat parsial CyR (Ph+ <35%) dalam 6 bulan

 Komplit CyR dalam 12 bulan

 Respons molecular mayor dengan setidaknya penurunan 3log pada transkripsi BCR-
ABL dalam 18 bulan (misalnya mencapai 0,1% atau lebih sedikit dari kadar sebelum
pengobatan)

Definisi gagal respons, antara lain:

 Respon hematologi tidak komplit dalam 3 bulan

 Tidak terdapat CyR (Ph+ >95%) dalam 6 bulan

 Kurang dari parsial CyR (Ph+ >35%) dalam 12 bulan

 Kurang dari CyR lengkap dalam 18 bulan

 Kehilangan respon komplit yang sebelumnya pernah dicapai baik hematologi atau
sitogenetik.

Kondisi selain kondisi tersebut, didefinisikan sebagai respon suboptimal.

Pasien dengan respon optimal tetap melanjutkan imatinib, sedangkan pasien yang gagal
akan diobati dengan generasi kedua penghambat tirosin kinase atau transplantasi sumsum
tulang. Pasien dengan respon suboptimal dapat diobati dengan meningkatkan dosis imatinib
mencapai 600 atau 800mg/hari, perubahan dalam terapi penghambat tirosin kinase, atau
transplantasi sel punca alogenik lebih awal.

Mekanisme resistensi penyakit terhadap pengobatan imatinib adalah terjadi mutasi


dalam protein gabungan BCR-ABL. Mutasi ini dapat dideteksi dengan mengurutkan gen BCR-
ABL dan pemeriksaan ini dilakukan pada banyak rumah sakit terhadap pasien yang gagal
berespon baik terhadap imatinib. Pola mutasi dapat digunakan untuk menentukan arah
pengobatan untuk memilih terapi lini kedua.

Jika transkripsi BCR-ABL pasien menjadi negatif, maka imatinib tidak dilanjutkan,
beberapa pasien tetap menjadi negatif. Untuk pasien yang menjadi positif kembali, lanjutan

Page | 19
imatinib biasanya akan menjadikan remisi negatif lebih lanjut. Imatinib dan beberapa obat
sejenis dalam perkembangannya sangat mungkin untuk dapat menyembuhkan beberapa pasien
LGK, tetapi dalam hal ini akan memerlukan pemantauan klinis lebih lama dari pada waktu
seharusnya.

Dasatinib dan Nilotinib

Dasatinib merupakan penghambat multikinase luas yang efektif pada kasus yang BCR-
ABL telah mengalami mutasi yang menyebabkan resisten terhadap imatinib. Obat ini secara
luas digunakan pada kasus tersebut meskipun retensi cairan dapat menjadi efek samping yang
bermasalah.

Nilotinib memiliki mekanisme kerja mirip dengan imatinib, namun memiliki afinitas
tinggi terhadap BCR-ABL kinase dan dapat efektif untuk kasus dengan mutasi resisten
imatinib. Baik nilotinib maupun dasatinib sekarang telah diuji banding dengan imatinib sebagai
lini pertama pengobatan LGK dan hasilnya, ternyata obat ini lebih unggul.

Interferon α-2a atau Interferon α

Berbeda dengan imatinib, interferon tidak dapat menghasilkan remisi biologis


walaupun dapat mencapai remisi sitogenetik. Dosis 5 juta IU/m2/hari subkutan sampai tercapai
remisi sitogenetik, biasanya setelah 12 bulan terapi. berdasarkan data penelitian di Indonesia,
dosis yang dapat ditoleransi adalah 3 juta IU/m2/hari. Saat ini sudah tersedia sediaan pegilasi
interferon, sehingga penyuntikan cukup sekali seminggu, tidak perlu tiap hari.

Diperlukan premedikasi dengan analgetik dan antipiretik sebelum pemberian interferon


untuk mencegah/mengurangi efek samping interferon berupa flue-like syndrome. Komplikasi
lebih serius adalah anoreksia, depresi, dan sitopenia. Sebagian kecil pasien dapat mencapai
remisi jangka panjang dengan tidak adanya kromosom Ph pada pemeriksaan sitogenetik
meskipun gabungan BCR-ABL masih dapat terdeteksi dengan PCR. Interferon menyebabkan
perpanjangan fase kronik dengan peningkatan angka harapan hidup.

Page | 20
Interaksi obat dengan teofilin, simetidin, vinblastin, dan zidovudin dapat meningkatkan
efek toksik interferon. Hati-hati apabila diberikan pada usia lanjut, gangguan faal hepar dan
renal yang berat, serta pada pasien epilepsi.

Cangkok sumsum tulang

Merupakan terapi definitif untuk LGK. Data menunjukkan bahwa transplantasi


sumsum tulang dapat memperpanjang masa remisi sampai >9 tahun, terutama pada cangkok
sumsum tulang alogenik. Indikasi cangkok tulang, antara lain:1

1. Usia tidak lebih dari 60 tahun

2. Ada donor yang cocok, yaitu donor dengan HLA yang cocok dan tidak berelasi dengan
penerima

3. Termasuk golongan risiko rendah menurut perhitungan Sokal

Cangkok sumsum tulang tidak dilakukan pada LGK dengan kromosom Ph negatif atau BCR-
ABL negatif. Kekambuhan LGK setelah transplantasi merupakan masalah serius, namun infus
leukosit memiliki efektivitas tinggi pada LGK, khususnya bila kekambuhan didiagnosis dini
dengan pemeriksaan transkripsi BCR-ABL.3

Komplikasi

Transformasi akut (20% atau lebih blas di sumsum tulang) dapat terjadi cepat dalam
beberapa hari atau minggu. Pada umumnya, pasien mempunyai fase akselerasi bersama dengan
anemia, trombositopenia, dan peningkatan basofil, eosinofil, atau sel blas di darah tepi dan
sumsum tulang. Limpa dapat membesar meskipun hitung darah tepi terkontrol dan sumsum
tulang dapat menjadi fibrosis. Pasien dapat berada dalam fase ini selama beberapa bulan, fase
penyakit yang lebih mudah dikontrol daripada saat fase kronik. Pada kedua fase, akselerasi
maupun akut, abnormalitas kromosom baru sering muncul. Pada sekitar seperlima kasus,
transformasi akut menjadi limfoblastik. Pada sebagian besar kasus, transformasi yang terjadi
adalah menjadi leukemia myeloid akut (LMA) atau tipe campuran. Tipe tersebut lebih sulit
untuk diobati dan ketahanan hidup jarang melebihi beberapa bulan. Imatinib sangat berguna

Page | 21
dalam transformasi blastik, tetapi resistensi terhadap pengobatan biasa terjadi dalam beberapa
minggu.

Masalah metabolik dapat terjadi akibat cepatnya sitolisis yang akan mengakibatkan
terjadinya hiperurikemia, hiperkalemia, dan hiperfosfatemia. Hal ini dapat menyebabkan
gangguan keseimbangan asam-basa dan bisa berakhir pada renal failure.

Peningkatan ekstrim dari leukosit dapat menyebabkan komplikasi leukostatik pada


beberapa organ, khususnya otak, paru, retina, dan penis. Perbandingan leukosit dan eritrosit
yang tidak seimbang menyebabkan peningkatan viskositas darah akibat peningkatan fraksi
leukosit tersebut. Myeloblas merupakan sel yang lebih kaku dibandingkan dengan leukosit lain.

Penurunan jumlah trombosit dalam darah (trombositopenia) pada LGK dapat


mengganggu proses hemostasis. Keadaan ini dapat menyebabkan pasien mengalami epistaksis,
pendarahan dari gusi, dan ptechiae. Trombositopenia yang ekstrim dapat menyebabkan
pendarahan masif yang bisa berakhir pada kematian.

Pada suatu fase LGK di mana terjadi trombositosis, risiko terjadinya clotting yang
berlebihan (excess clotting) menjadi meningkat. Trombositopoesis yang tidak terkendali akan
menghasilkan trombosit dalam jumlah besar yang berpotensi membentuk bekuan dalam jumlah
besar pula. Bekuan yang terbentuk dapat menjadi thrombus yang menyumbat pembuluh darah,
terutama kapiler, sehingga besar kemungkinan untuk terjadi infark jaringan.

Aktivitas hematopoesis extramedular yang berlebihan menyebabkan akumulasi produk


sel darah dalam jumlah yang sangat besar pada limpa dan hati, sehingga timbul
splenohepatomegali. Jika limpa dan hati sudah tidak lagi memiliki kapasitas untuk menampung
produk hematopoesis, dapat terjadi ruptur hepar atau ruptur limpa.

Pasien LGK rentan terkena berbagai macam infeksi karena leukosit yang diproduksi
adalah sel abnormal, tidak menjalankan fungsi imun yang seharusnya. Selain itu, pengobatan
LGK juga dapat menurunkan kadar leukosit hingga terlalu rendah, sehingga sistem imun tidak
efektif.

Leukemia meningeal pada LGK fase kronis sering tidak diketahui dan jarang dijumpai
pada stadium blas. Kejadian komplikasi ini akan meningkat bila penderita bertahan hidup lama
pada fase blas. Gejala yang dijumpai berupa paralisis saraf pusat dan oedem papil. Diagnosis
dibantu dengan ditemukanna sel blas pada cairan serebrospinal.

Page | 22
Gagal sumsum tulang atau bone marrow failure dapat terjadi khususnya oleh karena
penurunan produksi sel darah merah dan trombosit, yaitu berupa:

 Lemah, sesak nafas, takikardi karena hipoksia yang disebabkan oleh anemia
berat. Anemia berat dapat berakhir pada heart failure oleh karena takikardi yang
persisten.

 Perdarahan, karena jumlah trombosit yang terlalu sedikit.

LMK sering terjadi bersama-sama dengan myelofibrosis dan akan meningkatkan


produksi kolagen pada sumsum tulang atau terjadi penurunan degradasi kolagen.

Prognosis

Dahulu median kelangsungan hidup pasien berkisar antara 3-5 tahun setelah diagnosis
ditegakkan. Saat ini, dengan ditemukannya beberapa obat baru, maka median kelangsungan
hidup pasien dapat diperpanjang secara signifikan. Sebagai contoh, pada beberapa uji klinis
kombinasi hidrourea dan interferon, median kelangsungan hidup mencapai 6-9 tahun. Imatinib
mesilat memberi hasil yang lebih menjanjikan, tetapi median kelangsungan hidup belum dapat
ditentukan karena masih menunggu beberapa hasil uji klinik yang saat ini masih berlangsung.1

Faktor – faktor di bawah ini memperburuk prognosis pasien LGK, antara lain:1

 Pasien: lanjut usia, keadaan umum buruk, disertai gejala sistemik seperti
penurunan BB, demam, dan keringat malam.

 Laboratorium: anemia berat, trombositopenia, trombositosis, basofilia,


eosinofilia, kromosom Ph negatif, BCR-ABL negatif.

 Terapi: memerlukan waktu lama (>3 bulan) untuk mencapai remisi,


memerlukan terapi dengan dosis tinggi, waktu remisi yang singkat.

Page | 23
Hasil klinis pasien LGK bervariasi. Pada era pra-imatinib, kematian diperkirakan pada
10% pasien dalam 2 tahun dan sekitar 20% dalam lebih dari 2 tahun, serta median kelangsungan
hidup 4 tahun. Oleh karena itu, dikembangkan beberapa model prognostik. yang
mengidentifikasi kelompok risiko yang berbeda pada LGK. Prognostik yang paling banyak
digunakan adalah sistem staging yang berasal dari analisa multivariasi faktor prognostik.5

Indeks Sokal mengidentifikasi persentasi sirkulasi sel blas, ukuran limpa, jumlah
trombosit, usia, dan evolusi klonal sitogenik sebagai indikator prognostik terpenting. Sistem
ini dikembangkan berdasarkan pengobatan kemoterapi.5

Sistem Hasford dikembangkan berdasarkan pengobatan interferon α (IFN-α), yang


mengidentifikasi persentasi sirkulasi sel blas, ukuran limpa, jumlah platelet, usia, dan
persentase eosinofil dan basofil sebagai indikator prognostik terpenting. Sistem ini dibedakan
dari sistem sokal oleh pengabaian evolusi klonal dan penggabungan persentase eosinofil dan
basofil. Ketika diaplikasikan pada suatu data yang melibatkan 272 pasien yang telah diterapi
dengan IFN-α, sistem Hasford lebih baik daripada skor Sokal dalam memprediksi survival
time. Sistem Hasford mengidentifikasi lebih banyak pasien berisiko rendah, tetapi hanya tersisa
sejumlah kecil kasus pada kelompok berisiko tinggi. Hasil awal menunjukkan bahwa kedua
sistem tersebut berlaku untuk pasien yang telah diterapi oleh imatinib.

Pencegahan

Tidak ada pencegahan spesifik pada LGK mengingat leukemia merupakan salah satu
penyakit yang disebabkan oleh mutasi genetik atau suatu proses degenerasi. Upaya yang dapat
dilakukan adalah mencegah terjadinya mutasi genetik lebih dini. Menerapkan gaya hidup sehat
dan proteksi diri terhadap bahan-bahan karsinogenik merupakan cara terbaik.

Kesimpulan

Leukemia granulositik kronik adalah suatu penyakit mieloproliferatif yang bersifat


kronik dengan peningkatan sebagian besar myeloid sel di sumsum tulang oleh karena
terjadinya resiprokal translokasi pada kromosom 22 dan kromosom 9 dengan cirri khas adanya

Page | 24
kromosom Philadelphia. Perjalanan penyakit LGK dibagi dalam 3 fase yang digunakan dalam
penentuan terapi, yaitu fase kronik, fase akselerasi, dan fase krisis blas. Diagnosis pasti
ditegakkan dengan ditemukannya kromosom Ph pada pemeriksaan kromosom. Pada fase
akselerasi, bisa ditemukan adanya abnormalitas kromosom lain selain Ph.

Daftar Pustaka

1. Sudoyo AW. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II. ed 4. Jakarta: FKUI; 2006.

2. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku ajar patologi robbins. ed 7. Jakarta: EGC;
2007.

3. Hoffbrand AV, Moss PAH. Kapita selekta hematologi. ed 6. Jakarta: EGC; 2013.

4. Kiswari R. Hematologi & Transfusi. Jakarta: Erlangga; 2014.

5. Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrison’s
principles of internal medicine volume 1. 18th ed. USA: McGraw-Hill; 2012.

6. Sacher RA, McPherson RA. Tinjauan klinis hasil pemeriksaan laboratorium. ed 11.
Jakarta: EGC; 2004.

7. Sudiono H, Iskandar I, Edward H, Halim SL, Santoso R. Penuntun patologi klinik


hematologi. Jakarta: FK Ukrida; 2009.

Page | 25
Page | 26

Anda mungkin juga menyukai