Anda di halaman 1dari 28

JOURNAL READING

TERAPI KORTIKOSTEROID PADA


SINDROM SYOK DENGUE

Pembimbing:
dr. Qodri Santoso, Sp.A

Disusun Oleh :
Bayu Aji Pamungkas
G4A01

SMF ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO
PURWOKERTO

2018
LEMBAR PENGESAHAN

JOURNAL READING
”TERAPI KORTIKOSTEROID PADA SINDROM SYOK DENGUE”

Disusun Oleh :
Bayu Aji Pamungkas
G4A01

Journal reading ini telah dipresentasikan dan disahkan sebagai salah satu tugas di
bagian Ilmu Kesehatan Anak
Rumah Sakit Margono Soekarjo Purwokerto.

Purwokerto, Januari 2018


Pembimbing:

dr. Qodri Santoso, Sp.A


DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................. i
DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... iii
I. PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
II. PEMBAHASAN ........................................................................................... 3
A. Sindrom Syok Dengue .......................................................................... 3
B. Terapi Kortikosteroid pada Sindrom Syok Dengue ............................. 11
III. KESIMPULAN ........................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 16
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1. Fase Demam Berdarah Dengue................................................. 8
I. PENDAHULUAN

Sindrom syok dengue merupakan derajat terberat dari demam berdarah


dengue yang terjadi karena adanya peningkatan permeabilitas kapiler sehingga
cairan berpindah dari intravaskuler ke ekstravaskuler. Perpindahan cairan ini
dapat menyebabkan terjadinya penurunan volume intravaskuler dan
hipoksemia.1
Risiko syok pada demam berdarah dengue terjadi pada saat atau segera
setelah suhu badan menurun, yaitu antara hari ke 3 sampai hari ke 7 dari onset
demam. Hal ini disebabkan oleh adanya peningkatan permeabilitas vaskular
sehingga terjadi kebocoran plasma, efusi cairan serosa ke rongga pleura dan
peritonium, hipoproteinemia, hemokonsentrasi dan hipovolemia yang
mengakibatkan berkurangnya aliran balik vena, preload miokard, volume
sekuncup dan curah jantung sehingga terjadi disfungsi sirkulasi dan penurunan
perfusi organ. 2
Demam berdarah dengue merupakan penyakit infeksius yang endemik
terutama di daerah tropis dan subtropis. Indonesia merupakan wilayah endemis
dengan persebaran yang cukup merata di semua daerah. Prevalensi demam
berdarah dengue di Indonesia adalah 6-15 per 100.000 penduduk pada tahun
2009-2015 dimana 70% diantaranya berusia anak-anak. Sedangkan pasien yang
mengalami sindrom syok dengue sekitar 5% dari jumlah total pasien demam
berdarah dengue dengan distribusi menurut usia paling tinggi pada usia 1-4 tahun.
Risiko sindrom syok dengue adalah anak-anak yang berusia dibawah 7 tahun,
penatalaksanaan pemberian cairan yang tidak adekuat, dan respon imunonitas
tubuh penderita.3,4
Sindrom syok dengue dapat menyebabkan kegagalan mekanisme
homeostasis. Efektivitas dan intregitas sistem kardiovaskular rusak, perfusi
miokard dan curah jantung menurun, sirkulasi makro dan mikro terganggu, dan
terjadi iskemia jaringan dan kerusakan fungsi sel secara progresif dan ireversibel,
terjadi kerusakan sel dan organ. Sindrom syok dengue dapat menyebabkan
ensefalopati dengue, koagulasi intravena diseminata, asidosis metabolik, dan
gagal ginjal. Penanganan yang tidak adekuat dan segera dapat menyebabkan
pasien dapat meninggal dalam 12-24 jam. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman
mengenai diagnosis dan penanganan yang tepat untuk dapat mengatasi sindrom
syok dengue baik di tingkat pelayanan primer dan lanjutan.2,5
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Sindrom Syok Dengue


1. Definisi
Demam berdarah dengue merupakan penyakit infeksius yang
disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis berupa demam,
nyeri otot, dan nyeri sendi yang disertai dengan leukopenia, ptekie,
limfadenopaty, dan trombositopenia. Demam berdarah dengeu yang
disertai dengan tanda syok disebut sebagai sindrom syok dengue.1
Sindrom syok dengue merupakan derajat terberat dari demam
berdarah dengue yang terjadi karena adanya peningkatan permeabilitas
kapiler sehingga cairan berpindah dari intravaskuler ke ekstravaskuler.
Perpindahan cairan ini dapat menyebabkan terjadinya penurunan
volume intravaskuler dan hipoksemia.2
2. Epidemiologi
Demam berdarah dengue merupakan penyakit infeksius yang
endemik terutama di daerah tropis dan subtropis. Indonesia merupakan
wilayah endemis dengan persebaran yang cukup merata di semua daerah.
Prevalensi demam berdarah dengue di Indonesia adalah 6-15 per 100.000
penduduk pada tahun 2009-2015 dimana 70% diantaranya berusia anak-
anak. Sedangkan pasien yang mengalami sindrom syok dengue sekitar 5%
dari jumlah total pasien demam berdarah dengue dengan distribusi
menurut usia paling tinggi pada usia 1-4 tahun. Risiko sindrom syok
dengue adalah anak-anak yang berusia dibawah 7 tahun, penatalaksanaan
pemberian cairan yang tidak adekuat, dan respon imunonitas tubuh
penderita.3,4,5
3. Etiologi
Infeksi dengue disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk
dalam Arthropod Virus (Arbovirus) yang sekarang dikenal dengan genus
Flavivirus, famili Flaviviridae. Virus dengue merupakan virus jenis small
single stranded RNA yang mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu Den-1,
Den-2, Den-3, dan Den-4. Infeksi salah satu serotipe akan menimbulkan
antibodi terhadap serotipe yang bersangkutan, sehingga tidak
memberikan perlindungan memadai terhadap serotipe lain. Seseorang
yang tinggal di daerah endemis dengue dapat terinfeksi 3-4 serotipe
selama hidupnya. Keempat serotipe virus dengue ditemukan di berbagai
daerah di Indonesia. Serotipe Den-3 merupakan serotipe yang dominan
dan diasumsikan banyak menimbulkan manifestasi klinis yang berat,
diikuti serotipe Den-2.2
Virus dengue ini disebarkan melalui perantara nyamuk Aedes
aegypti atau Aedes albopictus. Aedes aegypti merupakan vektor utama
dalam penyebaran penyakit demam berdarah. Nyamuk ini merupakan
nyamuk yang berada di daerah tropis dan subtropis. Nyamuk dewasa
biasanya berada di ruangan tertutup dan menggigit pada siang hari.
Mereka beradaptasi dan berkembang biak di sekitar tempat tinggal
manusia, dalam kemasan air, vas bunga, kaleng, dan ban bekas.6
Virus berkembang di nyamuk selama 8-10 hari (extrinsic
incubation period) sebelum menularkan kembali ke manusia. Di tubuh
manusia, virus memerlukan waktu masa tunas 4-7 hari (intrinsic
incibation period) sebelum menimbulkan penyakit. Penularan dari
manusia ke nyamuk hanya terjadi bila nyamuk menggigit manusia yang
sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum panas sampai 5 hari
setelah timbul demam.2,7
4. Patogenesis
Patogenesis demam berdarah dengue belum dapat dimengerti
secara sempurna. Penelitian epidemiologi memberi kesan bahwa
biasanya disertai dengan infeksi dengue tipe 2,3, dan 4 sekunder. Virus
dengue masuk ke dalam tubuh manusia melalui gigitan nyamuk dan
infeksi pertama kali mungkin memberi gejala sebagai demam dengue.
Reaksi tubuh memberikan reaksi yang berbeda ketika seseorang
mendapat infeksi yang berulang. Hal ini merupakan dasar teori the
secondary heterologous infection atau the sequential infection hypothesis.
Infeksi virus yang berulang ini akan menyebabkan suatu reaksi
anamnestik antibodi, sehingga menimbulkan kompleks antigen-antibodi
dengan konsentrasi tinggi.2,8
Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai
virus lain yang akan menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks
antigen antibodi yang kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari
membran sel leukosit terutama makrofag. Oleh karena antibodi heterolog
maka virus tidak dinetralisasi oleh tubuh sehingga akan bebas melakukan
replikasi dalam sel makrofag. Dihipotesiskan juga mengenai antibodi
dependent enchancement (ADE), suatu proses yang akan meningkatkan
infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear. Sebagai
tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif
yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh
darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemik dan syok.2,8,9
Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang
berlainan pada tiap pasien, respon antibodi anamnestik yang akan terjadi
dalam waktu beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi
limfosit dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue.
Replikasi virus dengue terjadi juga dalam limfosit yang bertransformasi
dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini
mengakibatkan terbentuknya kompleks antigen antibodi yang akan
mengaktifkan sistem komplemen. Pelepasan komplemen C3a dan C5a
akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas
dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang
intravaskular ke ruang ekstravaskuler. Hal ini akan menyebabkan pasien
dalam keadaan syok. 2,8
Selain mengaktifkan sistem komplemen, reaksi ini pun
menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivisasi sistem koagulasi
melalui kerusakan endotel pembuluh darah. Kedua faktor tersebut
menyebabkan perdarahan pada demam berdarah dengue. Agregasi
trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-
antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP,
sehingga trombosit melekat satu sama lain. Hal ini membuat trombosit
dihancurkan oleh RES sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi
trombosit ini menyebabkan pengeluaran platelet faktor III sehingga
terjadi koagulopati konsumtif (KID), ditandai dengan peningkatan FDP
(fibrinogen degredation product) sehingga ada penurunan faktor
pembekuan.2,8,9
Agregasi trombosit mengakibatkan gangguan fungsi trombosit,
sehingga walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak
berfungsi baik. Di sisi lain, aktivasi koagulasi akan menyebabkan
aktivasi faktor Hageman sehinga terjadi aktivasi sistem kinin sehingga
memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat
terjadinya syok. Jadi perdarahan pada demam berdarah dengue akibat
trombositopenia, penurunan faktor pembekuan akibat KID, kelainan
fungsi trombosit, kerusakan dinding endotel kapiler.9
Pada fase awal sindrom syok dengue, fungsi organ vital
dipertahankan oleh sistem homeostasis dalam bentuk takikardi,
vasokonstriksi, penguatan kontraktilitas miokard, takipnea, dan
hiperventilasi. Vasokonstriksi perifer bertujuan untuk mengurangi
perfusi non esensial di kulit sehingga dapat terjadi sianosis, penurunan
suhu permukaan tubuh dan pemanjangan waktu pengisian kapiler
(>2detik). Pada tahap sindrom syok dengue kompensasi, curah jantung
dan tekanan darah normal kembali.9
Penurunan tekanan darah merupakan manifestasi lambat sindrom
syok dengue, berarti sistem homeostasis sudah terganggu dan kelainan
hemodinamik berat, sudah terjadi dekompensasi. Pasien awalnya terlihat
letargi atau gelisah kemudian jatuh ke dalam syok yang ditandai dengan
kulit dingin lembab, sianosis sekitar mulut, nadi cepat lemah, tekanan
nadi ≤ 20 mmhg dan hipotensi. Kebanyakan pasien masih dalam keadaan
sadar sekalipun sudah mendekati stadium akhir.8,9
Sindrom syok dengue berlanjut dengan kegagalan mekanisme
homeostasis. Efektivitas dan intregitas sistem kardiovaskular rusak,
perfusi miokard dan curah jantung menurun, sirkulasi makrovaskular dan
mikrovaskular terganggu, dan terjadi iskemia jaringan dan kerusakan
fungsi sel secara progresif dan ireversibel, terjadi kerusakan sel dan
organ dan pasien dapat meninggal dalam 12-24jam.8,9
Pada pasien yang mengalami syok berat, volume plasma dapat
berkurang sampai lebih dari 30% dan berlangsung selama 24-48 jam.
Perembesan plasma ini terbukti dengan adanya peningkatan hematokrit,
penurunan kadar natrium, dan terdapatnya cairan pada rongga serosa
seperti efusi pleura dan ascites. Syok yang tidak ditangani secara adekuat
akan menyebabkan asidosis dan anoksia.2,9
5. Manifestasi Klinis
Berikut merupakan manifestasi klinis dari demam berdarah
dengue yang dapat menyebabkan sindrom syok dengue.
a. Fase demam
Pada fase demam, pasien mengalami demam tinggi
mendadak, terus menerus, berlangsung 2-7 hari. Suhu tubuh bisa
mencapai 40oC dan dapat terjadi kejang demam. Kadang terdapat
muka yang merah, eritema, myalgia, artralgia, dan sakit kepala.
Pada beberapa pasien pun bisa ada gejala nyeri tenggorok, infeksi
pada konjungtiva. Anoreksia, mual, dan muntah sering juga
dikeluhkan. 10,11
b. Fase kritis
Akhir fase demam merupakan fase kritis, anak terlihat seakan
sehat. Namun fase ini pelru diwaspadai karena fase ini dapat sebagai
awal kejadian syok. Hari ke 3-7 adalah fase kritis, dimana
kebocoran plasma bisa terjadi kurang dari 24-48 jam. Progresif
leukopenia diikuti penurunan jumlah trombosit mendahului
terjadinya kebocoran plasma. Pada fase ini, pasien yang tidak
mengalami kebocoran plasma akan membaik keadaannya,
sedangkan yang mengalami kebocoran plasma sebaliknya karena
kehilangan volume plasma. Ascites dan efusi pleura bisa terdeteksi
tergantung dari keparahan kebocoran plasma dan volume terapi
cairan. 10,11
c. Fase resolusi
Fase resolusi terjadi apabila dalam waktu 24-48 jam pasien
berhasil melewati fase kritis, keadaan umum dan nafsu makan
membaik, status hemodinamik stabil, dan semua nilai laboratorium
kembali normal secara perlahan. 10,11

Gambar 2.1. Fase Demam Berdarah Dengue11

6. Penegakan Diagnosis
Definisi kasus untuk sindrom syok dengue harus memenuhi kriteria
demam berdarah dengue ditambah bukti gagal sirkulasi. Berikut
merupakan kriteria demam berdarah dengue.12,13
a. Gejala klinis : demam berlangsung 2-7 hari, kadang bifasik
b. Kecenderungan perdarahan, dibuktikan sedikitnya dengan satu hal
berikut.
1) Tes tornikuet positif
2) Ptekie, ekimosis atau purpura
3) Perdarahan dari mukosa, saluran gastrointestinal, tempat injeksi
atau lokasi lain
4) Hematemesis atau melena
5) Hepatomegali
6) Syok
c. Pemeriksaan Laboratorium
1) Trombositopenia (100.000 sel per mm3 atau kurang)
2) Hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit sama atau lebih
besar dari 20%)
3) Isolasi virus di serum dan deteksi imunoglobulin (IgM dan IgG)
dengan ELISA, antibodi moniklonal, atau tes hemaglutinasi
4) Kimia darah : ketidakseimbangan elektrolit, asidemia,
peningkatan basa urea nitrogen
5) Tes fungsi hati : transaminase yang meningkat
6) Tes Guaiac sebagai pemeriksaan darah samar pada tinja
d. Pemeriksaan Radiologi
1) Rontgen thorax : efusi pleura
2) USG abdomen : ascites
3) CT-Scan kepala : perdarahan intrakranial, edema serebri.
Bukti kegagalan sirkulasi dapat berupa tanda syok seperti penurunan
kesadaran, hipotensi sesuai usia, takikardi, takipneu, anoksia, distres
respirasi, turgor menurun, capilary refill time yang melambat, akral
dingin, dan menurunnya produksi urin sampai dengan anuria. 11,12
7. Tatalaksana
Berikut merupakan tatalaksana sindrom syok dengue menurut
World Health Organization.12,13,14
a. Resusitasi cairan
1) Penggantian volume plasma segera, cairan intravena ringer
laktat 10-20cc/kgbb bolus dalam waktu 30 menit. Apabila syok
belum teratasi tetap berikan ringer laktat 20cc/kgbb ditambah
koloid 20-30cc/kgbb/jam, maksimal 150cc/hari.
2) Pemberian cairan 10ml/kgbb/jam tetap diberikan 1-4 jam pasca
syok. Volume cairan diturunkan menjadi 7ml/kgbb/jam,
selanjutnya 5ml, dan 3ml apabila tanda vital dan diuresis baik.
3) Saat pemberian cairan, tanda vital dan perfusi perifer harus
dimonitor setiap 15-30 menit sampai pasien terlepas dari
keadaan syok, lalu monitor setiap 1-2 jam. Semakin tinggi
tingkat cairan infus, pasien lebih sering harus dipantau dan
ditinjau untuk menghindari overload cairan sementara
memastikan penggantian volume yang memadai.
4) Tranfusi darah apabila terdapat tanda sebagai berikut.
a) Setelah pemberian kristaloid dan koloid, namun syok
menetap dan hematokrit menurun maka diberikan whole
blood 10 ml/kgBB
b) Fresh frozen plasma dan trombosit diberikan untuk
mengkoreksi gangguan koagulasi pada syok berat yang
menyebabkan perdarahan masif
b. Oksigen 2-4 lpm
c. Koreksi asidosis metabolik dan gangguan elektrolit
d. Pemberian antipiretik, lebih dianjurkan menggunakan parasetamol
e. Diusahakan tidak memberikan obat-obat yang tidak diperlukan
untuk mengurangi beban detoksifikasi obat dalam hati
f. Kortikosteroid dan antibiotik diberikan jika terjadi ensefalopati,
kecuali terdapat perdarahan saluran cerna
Pada pasien dengan sindrom syok dengue diperlukan monitoring
yang ketat dalam ruangan ICU apabila terdapat kondisi sebagai
berikut.12,13,14
a. Syok berkepanjangan (syok tak teratasi lebih dari 60 menit)
b. Syok berulang (pada umumnya disebabkan oleh perdarahan internal)
c. Perdarahan saluran cerna hebat
d. Demam berdarah dengue ensefalopati
Pemantauan pada pasien sindrom syok dengue meliputi hal-hal
berikut.11,14
a. Nadi, tekanan darah, dan respirasi rate setiap 30 menit
b. Laboratorium berupa hematokrit dan hemoglobin setiap 2 jam
c. Balance cairan setiap 3 jam
8. Komplikasi
a. Ensefalopaty dengue
b. Asidosis metabolik
c. Koagulasi intravaskular diseminata (DIC)
d. Gagal ginjal 6

B. Terapi Kortikosteroid pada Sindrom Syok Dengue


Berdasarkan patogenesis sindrom syok dengue, replikasi virus dengue
sangat tergantung pada respon imunitas tubuh dalam memproduksi antibodi.
Peningkatan replikasi virus berkorelasi dengan derajat keparahan dari
sindrom syok dengue terkait dengan kerusakan sel yang disebabkan oleh
virus dengue itu sendiri maupun oleh reaksi inflamasi. Reaksi inflamasi akan
menghasilkan sitokin dan mediator kimiawi yang dapat menyebabkan
disfungsi endotel pembuluh darah sehingga timbul gejala perembesan plasma.
Mediator inflamasi yang berperan dalam proses ini adalah tumor necrosis
factor (TNF) alfa, interleukin (IL) terutama IL2, IL6, IL8, IL10, dan IL12,
serta interferon gamma. Aktifasi komplemen juga mengambil peran yang
penting dalam derajat keparahan penyakit sindrom syok dengue ini.2
Kortikosteroid dosis tinggi merupakan modulator sistem imun yang
potensial dan diyakini bermanfaat pada kondisi yang berhubungan dengan
proses imunitas. Penggunaan kortikosteroid secara klinis pada syok sepsis
masih bersifat kontroversial. Selama 20 tahun terakhir, penelitian
menyebutkan bahwa penggunaan kortikosteroid secara klinis berperan pada
syok sepsis yang menyebabkan supresi aktivitas adrenal. Sedangkan pada
pedoman penatalaksanaan sepsis berat direkomendasikan untuk
menggunakan kortikosteroid dosis rendah yaitu hidrokortison dengan dosis
200 mg per hari yang diberikan secara infus drip pada pasien dengan syok
refrakter. 2
Meskipun demikian, penggunaan kortikosteroid pada sepsis dapat
menyebabkan efek samping berupa hiperglikemia dan hipernatremia. Selain
itu, penggunaan kortikosteroid juga dapat menyebabkan superinfeksi dan
perdarahan saluran cerna. Penggunaan kortikosteroid dosis rendah pada syok
sepsis dapat berperan dalam memperbaiki reaksi vaskular terhadap agen
vasopresor dan bukan pada efek imunosupresif. Pada sindrom syok dengue,
mekanisme reaksi vaskular terhadap vasopresor bukan menjadi mekanisme
yang penting sehingga penggunaan kortikosteroid tidak bisa disamakan
dengan syok sepsis.2
Pada sindrom distres respirasi akut, diperlukan penggunaan
kortikosteroid dosis tinggi dalam mengurangi jumlah sitokin TNF alfa, IL-1,
IL6, dan IL8. Pada sindrom syok dengue, penggunaan deksametason tidak
menimbulkan efek dalam mengurangi tingkat IL8. Sedangkan pada penelitian
yang lain menyebutkan bahwa penggunaan kortikosteroid dosis tinggi pada
fase awal penyakit sindrom syok dengue berpengaruh terhadap konsentrasi
sitokin inflamasi pada fase akut.2
Penelitian mengenai efikasi dan keamanan dalam penggunaan
kortikosteroid pada penyakit sindrom syok dengue berawal dari sebuah
penelitian randomized controlled trial pada anak-anak yang mengalami
sindrom syok dengue yang diberikan kortikosteroid jenis hidrokortison
dengan dosis bertahap sselama 3 hari yang mendapatkan hasil bahwa
kortikosteroid berperan terhadap anak yang berusia 8 tahun atau lebih.
Kemudian penelitian lain dilakukan pada tahun 1973-1988 dengan hasil yang
bervariasi.2
Penelitian yang dilakukan oleh Min et al (1975) yang memberikan
injeksi hidrokortison 25mg/kgBB di hari pertama dan 15 mg/kgBB di hari
kedua mendapatkan hasil bahwa kortikosteroid berperan dalam mengurangi
durasi syok pada infeksi dengue. Futrakul et al (1987) yang memberikan
injeksi hidrokortison 30 mg setiap 4 jam mendapatkan hasil bahwa
kortikosteroid berperan dalam perbaikan hemodinamik dan mengurangi
derajat keparahan dari efusi pleura. Sedangkan Villar et al (2009) yang
menggunakan metilprednisolon 1,5mg/kgBB dosis tunggal mendapatkan
hasil bahwa kortikosteroid dapat mencegah terjadinya perdarahan spontan
dan ascites.2
Pada penelitian yang bersifat nonrandomized terhadap 22 anak yang
mengalami sindrom syok dengue dengan desain kasus-kontrol dimana 11
anak diberikan kortikosteroid berupa metiprednisolon dan 11 anak lainnya
sebagai kontrol. 9 dari 11 anak dari kelompok kasus yang diberikan terapi
metilprednisolon dapat melewati masa kritis dan sisanya meninggal. Namun
pada penelitian ini masih didapatkan banyak bias dan power yang tidak
adekuat dengan subjek penelitian yang seluruhnya anak-anak dengan latar
belakang yang berbeda-beda.2
Kortikosteroid merupakan terapi yang tidak direkomendasikan oleh
WHO dalam pedoman penanganan infeksi virus dengue. Hal ini disebabkan
oleh penelitian yang berkaitan dengan penggunaan kortikosteroid pada
infeksi dengue bersifat poor quality evidence. Sebuah penelitian retrospektif
dengan menggunakan metilprednisolon dosis tunggal pada pasien anak
dengan sindrom syok dengue yang dibandingkan dengan pasien yang
mendapatkan terapi sesuai protokol WHO, menyebutkan hasil bahwa adanya
penurunan tingkat mortalitas pada kelompok yang mendapatkan terapi
kortikosteroid. Selain itu, periode pemulihan demam, perbaikan nilai
laboratorium, dan lama perawatan di rumah sakit relatif lebih singkat pada
pasien yang mendapatkan terapi kortikosteroid.2
Dua buah penelitian dilakukan dengan tujuan untuk membandingkan
efek penggunaan kortikosteroid pada fase awal dan fase kritis dari infeksi
virus dengue. Pada penelitian di vietnam yang membandingkan penggunaan
kortikosteroid dosis rendah (0,5mg/kgBB) dan dosis tinggi (2mg/kgBB) pada
3 hari onset infeksi dengue menyebutkan hasil bahwa adanya penurunan
insidensi syok dengue dan tidak ditemukan adanya komplikasi dari
penggunaan kortikosteroid. Sedangkan penelitian menyebutkan bahwa
penggunaan kortikosteroid dosis tinggi pada onset awal infeksi dengue yaitu
120 jam pertama dari onset demam dapat mengurangi risiko kejadian
perdarahan spontan dan asites.2
Terapi dengan menggunakan kortikosteroid berhubungan dengan
risiko terjadinya hiperglikemia, namun tidak ditemukan efek samping berupa
viremia yang berkepanjangan. Terapi kortikosteroid juga tidak menimbulkan
efek terhadap peningkatan jumlah trombosit. Oleh karena itu, dapat
disimpulkan bahwa penggunaan kortikosteroid pada infeksi dengue berperan
dalam mencegah adanya komplikasi dan menstabilkan kondisi syok pada
sindrom syok dengue.2
III. KESIMPULAN

1. Penggunaan kortikosteroid pada infeksi dengue berperan dalam mencegah


adanya komplikasi dan menstabilkan kondisi syok pada sindrom syok dengue
2. Penggunaan kortikosteroid yang berpengaruh adalah dosis tinggi
3. Pemberian kortikosteroid pada onset awal infeksi dengue yaitu 120 jam
pertama dari onset demam
DAFTAR PUSTAKA

1. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS. Infeksi Virus Dengue. Dalam :


Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Edisi Kedua. Jakarta : Badan
Penerbit IDAI. 2015. Hal.155-181
2. Pudjiadi A, et al. Infeksi Virus Dengue. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan
Dokter Anak Indonesia. 2010. Hal 141-149
3. Senaka Rajapakse, Chaturaka Rodrigo, Sachith Maduranga.
Corticosteroids in the Treatment of Dengue Shock Syndrome. Infection
and Drug Resistance. 2014. Hal 137-143.
4. Hadinegoro SR, Soegijanto S, Wuryadi S, Suroso T. Tatalaksana Demam
Berdarah Dengue di Indonesia. Jakarta: Depkes RI Dirjen Pemberantasan
Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan. 2012. Hal. 1-43
5. WHO, Depkes RI. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Pedoman
Bagi Rumah Sakit Rujukan tingkat Pertama di Kabupaten/Kota. 2014. Hal
162-166
6. Green S, Vaughn DW, Kalayanarooj S, et al. Early immune activation in
acute dengue illness is related to development of plasma leakage and
disease severity. J Infect Dis. 2014;179(4):755–762
7. Dejnirattisai W, Jumnainsong A, Onsirisakul N, et al. Cross-reacting
antibodies enhance dengue virus infection in humans. Science.
2015;328(5979):745–748
8. McBride WJ, Bielefeldt-Ohmann H. Dengue viral infections;
pathogenesis and epidemiology. Microbes Infect. 2015;2(9):1041–1050.
9. Behrman Richard E., Kliegman Robert, Arvin Ann M., et al. Demam
Berdarah Dengue dan Sindrom Syok Dengue. Ilmu Kesehatan Anak
Nelson. Vol. II. E/15. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2016. Hal
1134-1135
10. WHO. Dengue Guidelines For Diagnosis, Treatment, Prevention, and
Control. 2014. Hal 3-147
11. Fitri Sari A. Gejala Awal Klinis dan Laboratorium Sebagai Faktor
Prediktor Syok Pada Demam Berdarah Dengue di Instalasi Kesehatan
Anak RS Dr. Sardjito. 2014. Hal 10-11
12. Dengue: Guidelines for Diagnosis, Treatment, Prevention and Control.
Geneva: World Health Organization; 2009. Available at http://
whqlibdoc.who.int/publications/2009/9789241547871_eng.pdf.
13. Tim Ilmu Kesehatan Anak RSCM. Draft Panduan Pelayanan Medis
Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM. Jakarta: Balai Penerbit RSCM.
2012
14. Sri Rezeki, Hindra Irawan. Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI. 2015.
KORTIKOSTEROID DALAM TERAPI SINDROM SYOK DENGUE

Abstrak
Infeksi dengue memiliki tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi pada
lebih dari 100 negara di dunia, dengan insidensi yang semakin meningkat. Proses
patofisiologi tentang infeksi dengue berat yang ditandai oleh adanya kebocoran
plasma dan sindrom syok masih belum sepenuhnya dipahami. Terapi nonspesifik
dan vaksin telah tersedia, namun tetap diperlukan monitoring dan terapi cairan
dalam penatalaksaan infeksi dengue. Terdapat sebuah dugaan bahwa adanya
disfungsi endotel vaskular yang dirangsang oleh mediator kimia dan sitokin
inflamasi merupakan mekanisme penting dalam kebocoran plasma. Kortikosteroid
merupakan modulator sistem imun yang kuat, namun mekanisme kerja dan dosis
yang digunakan pada infeksi dengue berat masih bersifat kontroversial. Beberapa
penelitian yang menilai tentang efektivitas pemberian kortikosteroid pada infeksi
dengue berat, pencegahan komplikasi lebih lanjut, dan bertambahnya jumlah
trombosit merupakan penelitian yang low-quality evidence. Maka dari itu,
diperlukan penelitian lebih lanjut dengan desain randomized controlled trial
dengan kualitas yang tinggi dan berdasarkan evidence based yang tinggi.

Pendahuluan
Infeksi dengue merupakan penyakit yang ditandai dengan demam, yang
disebabkan oleh flavivirus dengan empat macam serotipe yaitu DEN-1,2,3,4 dan
diperantarai oleh nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Infeksi virus
dengue akan menimbulkan respon imunitas yang bertahan sepanjang hidup,
namun hanya spesifik pada suatu serotipe virus. Infeksi sekunder yang disebabkan
oleh serotipe virus dengue yang lain dapat menimbulkan gejala yang lebih serius
yang disebut dengan secondary heterolog infection. Komplikasi infeksi dengue
yang dapat mengancam nyawa yaitu sindrom syok dengue, yang disebabkan oleh
adanya kebocoran plasma yang dapat terjadi 24-48 jam setelah onset penyakit.
Insidensi dari infeksi dengue semakin meningkat. Selama tahun 1955-1959,
jumlah rerata yang dilaporkan oleh WHO sebesar 908 kasus per tahun pada
kurang dari 10 negara, yang kemudian meningkat menjadi 925.896 kasus pada
lebih dari 60 negara selama tahun 2000-2007. Pada saat ini, tercatat 390 juta kasus
infeksi dengue per tahun pada 100 negara. Infeksi dengue merupakan kejadian
epidemik pada perubahan iklim dan cuaca, terutama musim hujan. Pada sebagian
besar pasien dengan infeksi dengue hanya merasakan adanya demam, namun
beberapa dari mereka jatuh pada kondisi syok dengue dengan case fatality rate
sebesar 1% terutama pada anak dan remaja.

Patogenesis dengue
Berdasarkan patogenesis sindrom syok dengue, replikasi virus dengue sangat
tergantung pada respon imunitas tubuh dalam memproduksi antibodi. Peningkatan
replikasi virus berkorelasi dengan derajat keparahan dari sindrom syok dengue
terkait dengan kerusakan sel yang disebabkan oleh virus dengue itu sendiri
maupun oleh reaksi inflamasi. Reaksi inflamasi akan menghasilkan sitokin dan
mediator kimiawi yang dapat menyebabkan disfungsi endotel pembuluh darah
sehingga timbul gejala perembesan plasma. Mediator inflamasi yang berperan
dalam proses ini adalah tumor necrosis factor (TNF) alfa, interleukin (IL)
terutama IL2, IL6, IL8, IL10, dan IL12, serta interferon gamma. Aktifasi
komplemen juga mengambil peran yang penting dalam derajat keparahan
penyakit sindrom syok dengue ini.
Kortikosteroid dosis tinggi merupakan modulator sistem imun yang potensial
dan diyakini bermanfaat pada kondisi yang berhubungan dengan proses imunitas.
Penggunaan kortikosteroid secara klinis pada syok sepsis masih bersifat
kontroversial. Selama 20 tahun terakhir, penelitian menyebutkan bahwa
penggunaan kortikosteroid secara klinis berperan pada syok sepsis yang
menyebabkan supresi aktivitas adrenal. Sedangkan pada pedoman
penatalaksanaan sepsis berat direkomendasikan untuk menggunakan
kortikosteroid dosis rendah yaitu hidrokortison dengan dosis 200 mg per hari
yang diberikan secara infus drip pada pasien dengan syok refrakter.
Meskipun demikian, penggunaan kortikosteroid pada sepsis dapat
menyebabkan efek samping berupa hiperglikemia dan hipernatremia. Selain itu,
penggunaan kortikosteroid juga dapat menyebabkan superinfeksi dan perdarahan
saluran cerna. Penggunaan kortikosteroid dosis rendah pada syok sepsis dapat
berperan dalam memperbaiki reaksi vaskular terhadap agen vasopresor dan bukan
pada efek imunosupresif. Pada sindrom syok dengue, mekanisme reaksi vaskular
terhadap vasopresor bukan menjadi mekanisme yang penting sehingga
penggunaan kortikosteroid tidak bisa disamakan dengan syok sepsis.
Pada sindrom distres respirasi akut, diperlukan penggunaan kortikosteroid
dosis tinggi dalam mengurangi jumlah sitokin TNF alfa, IL-1, IL6, dan IL8. Pada
sindrom syok dengue, penggunaan deksametason tidak menimbulkan efek dalam
mengurangi tingkat IL8. Sedangkan pada penelitian yang lain menyebutkan
bahwa penggunaan kortikosteroid dosis tinggi pada fase awal penyakit sindrom
syok dengue berpengaruh terhadap konsentrasi sitokin inflamasi pada fase akut.

Manifestasi klinik
Perjalanan penyakit infeksi dengue sudah diketahui secara jelas. Pada masa
inkubasi, terjadi inokulasi virus selama 4-7 hari, kemudian diikuti dengan adanya
demam tinggi yang terjadi secara mendadak dan disertai dengan adanya nyeri
kepala, nyeri retroorbital, mialgia, nausea, dan vomitus. Pada keadaan berat,
terdapat kebocoran plasma yang terjadi pada hari ke 3-7 onset demam.
Fase simptomatik dari infeksi dengue dibagi menjadi 3 fase yaitu fase demam,
fase kritis, dan fase penyembuhan. Saat fase demam, pasien merasakan gejala
seperti diatas tanpa disertai dengan perubahan hemodinamik. Pada fase ini
biasanya didapatkan trombositopenia, leukopenia, dan kadang hemokonsentrasi
apabila terjadi dehidrasi akibat muntah profuse. Selanjutnya pada fase kritis, dapat
terjadi kebocoran plasma yang ditandai dengan adanya efusi pleura,
hemokonsentrasi, tanda syok, myokarditis, sindroma distres respirasi akut,
hepatitis, gagal ginjal akut, dan kegagalan multi organ. Tanda-tanda perdarahan
dapat terjadi apabila jumlah trombosit <5x109/L. Kegagalan multiorgan dapat
berupa gejala yang jarang terjadi seperti ensefalitis, serebelitis, sindrom uremia
hemolitik, rabdomiolisis, parotitis, pankreatitis akut, kolesistitis, dan apendisitis.
Diagnosis infeksi dengue dilakukan berdasarkan kriteria diagnosis standar.
Secara umum, infeksi dengue dikonfirmasi dengan mendeteksi imunoglobulin M
dengue. Pada 5 tahun terakhir, diagnosis infeksi dengue dilakukan berdasarkan
deteksi terhadap protein-1 nonstruktural yang disekresikan oleh sel yang terinfeksi
oleh virus. Oleh karena itu, pada saat ini dilakukan keduanya untuk menegakan
diagnosis dengue.

Managemen
Prinsip managemen infeksi dengue adalah monitoring kondisi dan balans
cairan. Kegagalan tersering pada managemen infeksi dengue terjadi pada
resusitasi cairan. Resusitasi cairan dapat dilakukan baik secara oral pada pasien
yang masih dapat minum dan secara intravena. Cairan intravena yang digunakan
adalah kristaloid dan koloid. Pemantauan dilakukan terhadap urine output dan
parameter hemodinamik. Tidak terdapat terapi spesifik seperti antiviral maupun
imunoglobulin. Penggunaan kortikosteroid dapat digunakan pada berbagai
stadium penyakit. Vaksin dengue belum dapat ditemukan, sehingga pencegahan
terhadap infeksi dengue dilakukan dengan mengupayakan kesehatan lingkungan
yaitu dengan mengeradikasi nyamuk.

Efikasi dan keamanan obat


Penelitian mengenai efikasi dan keamanan dalam penggunaan kortikosteroid
pada penyakit sindrom syok dengue berawal dari sebuah penelitian randomized
controlled trial pada anak-anak yang mengalami sindrom syok dengue yang
diberikan kortikosteroid jenis hidrokortison dengan dosis bertahap sselama 3 hari
yang mendapatkan hasil bahwa kortikosteroid berperan terhadap anak yang
berusia 8 tahun atau lebih. Kemudian penelitian lain dilakukan pada tahun 1973-
1988 dengan hasil yang bervariasi.
Penelitian yang dilakukan oleh Min et al (1975) yang memberikan injeksi
hidrokortison 25mg/kgBB di hari pertama dan 15 mg/kgBB di hari kedua
mendapatkan hasil bahwa kortikosteroid berperan dalam mengurangi durasi syok
pada infeksi dengue. Futrakul et al (1987) yang memberikan injeksi hidrokortison
30 mg setiap 4 jam mendapatkan hasil bahwa kortikosteroid berperan dalam
perbaikan hemodinamik dan mengurangi derajat keparahan dari efusi pleura.
Sedangkan Villar et al (2009) yang menggunakan metilprednisolon 1,5mg/kgBB
dosis tunggal mendapatkan hasil bahwa kortikosteroid dapat mencegah terjadinya
perdarahan spontan dan ascites.
Sedangkan penelitian yang lain menyebutkan hasil yang berbeda. Penelitian
yang dilakukan oleh Pongpanich et al (1973) menyebutkan bahwa pemberian
hidrokortison secara intravena dengan dosis 25mg/kg/hari tidak berhubungan
dengan durasi syok. Selain itu, penelitian Tassniyom (1993) memberikan hasil
bahwa pemberian metilprednisolon secara intravena dengan dosis 30 mg/kg dosis
tunggal tidak berhubungan dengan tingkat kebutuhan transfusi, timbulnya
komplikasi, dan durasi rawat inap. Penelitian yang dilakukan oleh Shashidhara
(2013) mendapatkan hasil bahwa pemberian deksametason secara intravena
dengan dosis awal 8 mg/kg dan dilanjutkan 4 mg/kg/8 jam selama 4 hari tidak
berhubungan pada peningkatan jumlah trombosit.
Pada penelitian yang bersifat nonrandomized terhadap 22 anak yang
mengalami sindrom syok dengue dengan desain kasus-kontrol dimana 11 anak
diberikan kortikosteroid berupa metiprednisolon dan 11 anak lainnya sebagai
kontrol. 9 dari 11 anak dari kelompok kasus yang diberikan terapi
metilprednisolon dapat melewati masa kritis dan sisanya meninggal. Namun pada
penelitian ini masih didapatkan banyak bias dan power yang tidak adekuat
dengan subjek penelitian yang seluruhnya anak-anak dengan latar belakang yang
berbeda-beda.
Kortikosteroid merupakan terapi yang tidak direkomendasikan oleh WHO
dalam pedoman penanganan infeksi virus dengue. Hal ini disebabkan oleh
penelitian yang berkaitan dengan penggunaan kortikosteroid pada infeksi dengue
bersifat poor quality evidence. Sebuah penelitian retrospektif dengan
menggunakan metilprednisolon dosis tunggal pada pasien anak dengan sindrom
syok dengue yang dibandingkan dengan pasien yang mendapatkan terapi sesuai
protokol WHO, menyebutkan hasil bahwa adanya penurunan tingkat mortalitas
pada kelompok yang mendapatkan terapi kortikosteroid. Selain itu, periode
pemulihan demam, perbaikan nilai laboratorium, dan lama perawatan di rumah
sakit relatif lebih singkat pada pasien yang mendapatkan terapi kortikosteroid.
Dua buah penelitian dilakukan dengan tujuan untuk membandingkan efek
penggunaan kortikosteroid pada fase awal dan fase kritis dari infeksi virus dengue.
Pada penelitian di Vietnam yang membandingkan penggunaan kortikosteroid
dosis rendah (0,5mg/kgBB) dan dosis tinggi (2mg/kgBB) pada 3 hari onset
infeksi dengue menyebutkan hasil bahwa adanya penurunan insidensi syok
dengue dan tidak ditemukan adanya komplikasi dari penggunaan kortikosteroid.
Sedangkan penelitian menyebutkan bahwa penggunaan kortikosteroid dosis tinggi
pada onset awal infeksi dengue yaitu 120 jam pertama dari onset demam dapat
mengurangi risiko kejadian perdarahan spontan dan asites.
Terapi dengan menggunakan kortikosteroid berhubungan dengan risiko
terjadinya hiperglikemia, namun tidak ditemukan efek samping berupa viremia
yang berkepanjangan. Terapi kortikosteroid juga tidak menimbulkan efek
terhadap peningkatan jumlah trombosit. Oleh karena itu, dapat disimpulkan
bahwa penggunaan kortikosteroid pada infeksi dengue berperan dalam mencegah
adanya komplikasi dan menstabilkan kondisi syok pada sindrom syok dengue.

Kesimpulan
Terdapat keraguan terhadap kualitas penelitian yang meneliti tentang
efektivitas pemberian terapi kortikosteroid pada pasien dengan sindroma syok
dengue. Namun untuk sementara didapatkan kesimpulan bahwa penggunaan
kortikosteroid pada infeksi dengue berperan dalam mencegah adanya komplikasi
dan menstabilkan kondisi syok pada sindrom syok dengue. Terapi kortikosteroid
juga tidak menimbulkan efek samping yang bermakna. Maka dari itu, diperlukan
penelitian lebih lanjut dengan desain randomized controlled trial dengan kualitas
yang tinggi dan berdasarkan evidence based yang tinggi

Anda mungkin juga menyukai