Pembimbing:
dr. Qodri Santoso, Sp.A
Disusun Oleh :
Bayu Aji Pamungkas
G4A01
2018
LEMBAR PENGESAHAN
JOURNAL READING
”TERAPI KORTIKOSTEROID PADA SINDROM SYOK DENGUE”
Disusun Oleh :
Bayu Aji Pamungkas
G4A01
Journal reading ini telah dipresentasikan dan disahkan sebagai salah satu tugas di
bagian Ilmu Kesehatan Anak
Rumah Sakit Margono Soekarjo Purwokerto.
6. Penegakan Diagnosis
Definisi kasus untuk sindrom syok dengue harus memenuhi kriteria
demam berdarah dengue ditambah bukti gagal sirkulasi. Berikut
merupakan kriteria demam berdarah dengue.12,13
a. Gejala klinis : demam berlangsung 2-7 hari, kadang bifasik
b. Kecenderungan perdarahan, dibuktikan sedikitnya dengan satu hal
berikut.
1) Tes tornikuet positif
2) Ptekie, ekimosis atau purpura
3) Perdarahan dari mukosa, saluran gastrointestinal, tempat injeksi
atau lokasi lain
4) Hematemesis atau melena
5) Hepatomegali
6) Syok
c. Pemeriksaan Laboratorium
1) Trombositopenia (100.000 sel per mm3 atau kurang)
2) Hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit sama atau lebih
besar dari 20%)
3) Isolasi virus di serum dan deteksi imunoglobulin (IgM dan IgG)
dengan ELISA, antibodi moniklonal, atau tes hemaglutinasi
4) Kimia darah : ketidakseimbangan elektrolit, asidemia,
peningkatan basa urea nitrogen
5) Tes fungsi hati : transaminase yang meningkat
6) Tes Guaiac sebagai pemeriksaan darah samar pada tinja
d. Pemeriksaan Radiologi
1) Rontgen thorax : efusi pleura
2) USG abdomen : ascites
3) CT-Scan kepala : perdarahan intrakranial, edema serebri.
Bukti kegagalan sirkulasi dapat berupa tanda syok seperti penurunan
kesadaran, hipotensi sesuai usia, takikardi, takipneu, anoksia, distres
respirasi, turgor menurun, capilary refill time yang melambat, akral
dingin, dan menurunnya produksi urin sampai dengan anuria. 11,12
7. Tatalaksana
Berikut merupakan tatalaksana sindrom syok dengue menurut
World Health Organization.12,13,14
a. Resusitasi cairan
1) Penggantian volume plasma segera, cairan intravena ringer
laktat 10-20cc/kgbb bolus dalam waktu 30 menit. Apabila syok
belum teratasi tetap berikan ringer laktat 20cc/kgbb ditambah
koloid 20-30cc/kgbb/jam, maksimal 150cc/hari.
2) Pemberian cairan 10ml/kgbb/jam tetap diberikan 1-4 jam pasca
syok. Volume cairan diturunkan menjadi 7ml/kgbb/jam,
selanjutnya 5ml, dan 3ml apabila tanda vital dan diuresis baik.
3) Saat pemberian cairan, tanda vital dan perfusi perifer harus
dimonitor setiap 15-30 menit sampai pasien terlepas dari
keadaan syok, lalu monitor setiap 1-2 jam. Semakin tinggi
tingkat cairan infus, pasien lebih sering harus dipantau dan
ditinjau untuk menghindari overload cairan sementara
memastikan penggantian volume yang memadai.
4) Tranfusi darah apabila terdapat tanda sebagai berikut.
a) Setelah pemberian kristaloid dan koloid, namun syok
menetap dan hematokrit menurun maka diberikan whole
blood 10 ml/kgBB
b) Fresh frozen plasma dan trombosit diberikan untuk
mengkoreksi gangguan koagulasi pada syok berat yang
menyebabkan perdarahan masif
b. Oksigen 2-4 lpm
c. Koreksi asidosis metabolik dan gangguan elektrolit
d. Pemberian antipiretik, lebih dianjurkan menggunakan parasetamol
e. Diusahakan tidak memberikan obat-obat yang tidak diperlukan
untuk mengurangi beban detoksifikasi obat dalam hati
f. Kortikosteroid dan antibiotik diberikan jika terjadi ensefalopati,
kecuali terdapat perdarahan saluran cerna
Pada pasien dengan sindrom syok dengue diperlukan monitoring
yang ketat dalam ruangan ICU apabila terdapat kondisi sebagai
berikut.12,13,14
a. Syok berkepanjangan (syok tak teratasi lebih dari 60 menit)
b. Syok berulang (pada umumnya disebabkan oleh perdarahan internal)
c. Perdarahan saluran cerna hebat
d. Demam berdarah dengue ensefalopati
Pemantauan pada pasien sindrom syok dengue meliputi hal-hal
berikut.11,14
a. Nadi, tekanan darah, dan respirasi rate setiap 30 menit
b. Laboratorium berupa hematokrit dan hemoglobin setiap 2 jam
c. Balance cairan setiap 3 jam
8. Komplikasi
a. Ensefalopaty dengue
b. Asidosis metabolik
c. Koagulasi intravaskular diseminata (DIC)
d. Gagal ginjal 6
Abstrak
Infeksi dengue memiliki tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi pada
lebih dari 100 negara di dunia, dengan insidensi yang semakin meningkat. Proses
patofisiologi tentang infeksi dengue berat yang ditandai oleh adanya kebocoran
plasma dan sindrom syok masih belum sepenuhnya dipahami. Terapi nonspesifik
dan vaksin telah tersedia, namun tetap diperlukan monitoring dan terapi cairan
dalam penatalaksaan infeksi dengue. Terdapat sebuah dugaan bahwa adanya
disfungsi endotel vaskular yang dirangsang oleh mediator kimia dan sitokin
inflamasi merupakan mekanisme penting dalam kebocoran plasma. Kortikosteroid
merupakan modulator sistem imun yang kuat, namun mekanisme kerja dan dosis
yang digunakan pada infeksi dengue berat masih bersifat kontroversial. Beberapa
penelitian yang menilai tentang efektivitas pemberian kortikosteroid pada infeksi
dengue berat, pencegahan komplikasi lebih lanjut, dan bertambahnya jumlah
trombosit merupakan penelitian yang low-quality evidence. Maka dari itu,
diperlukan penelitian lebih lanjut dengan desain randomized controlled trial
dengan kualitas yang tinggi dan berdasarkan evidence based yang tinggi.
Pendahuluan
Infeksi dengue merupakan penyakit yang ditandai dengan demam, yang
disebabkan oleh flavivirus dengan empat macam serotipe yaitu DEN-1,2,3,4 dan
diperantarai oleh nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Infeksi virus
dengue akan menimbulkan respon imunitas yang bertahan sepanjang hidup,
namun hanya spesifik pada suatu serotipe virus. Infeksi sekunder yang disebabkan
oleh serotipe virus dengue yang lain dapat menimbulkan gejala yang lebih serius
yang disebut dengan secondary heterolog infection. Komplikasi infeksi dengue
yang dapat mengancam nyawa yaitu sindrom syok dengue, yang disebabkan oleh
adanya kebocoran plasma yang dapat terjadi 24-48 jam setelah onset penyakit.
Insidensi dari infeksi dengue semakin meningkat. Selama tahun 1955-1959,
jumlah rerata yang dilaporkan oleh WHO sebesar 908 kasus per tahun pada
kurang dari 10 negara, yang kemudian meningkat menjadi 925.896 kasus pada
lebih dari 60 negara selama tahun 2000-2007. Pada saat ini, tercatat 390 juta kasus
infeksi dengue per tahun pada 100 negara. Infeksi dengue merupakan kejadian
epidemik pada perubahan iklim dan cuaca, terutama musim hujan. Pada sebagian
besar pasien dengan infeksi dengue hanya merasakan adanya demam, namun
beberapa dari mereka jatuh pada kondisi syok dengue dengan case fatality rate
sebesar 1% terutama pada anak dan remaja.
Patogenesis dengue
Berdasarkan patogenesis sindrom syok dengue, replikasi virus dengue sangat
tergantung pada respon imunitas tubuh dalam memproduksi antibodi. Peningkatan
replikasi virus berkorelasi dengan derajat keparahan dari sindrom syok dengue
terkait dengan kerusakan sel yang disebabkan oleh virus dengue itu sendiri
maupun oleh reaksi inflamasi. Reaksi inflamasi akan menghasilkan sitokin dan
mediator kimiawi yang dapat menyebabkan disfungsi endotel pembuluh darah
sehingga timbul gejala perembesan plasma. Mediator inflamasi yang berperan
dalam proses ini adalah tumor necrosis factor (TNF) alfa, interleukin (IL)
terutama IL2, IL6, IL8, IL10, dan IL12, serta interferon gamma. Aktifasi
komplemen juga mengambil peran yang penting dalam derajat keparahan
penyakit sindrom syok dengue ini.
Kortikosteroid dosis tinggi merupakan modulator sistem imun yang potensial
dan diyakini bermanfaat pada kondisi yang berhubungan dengan proses imunitas.
Penggunaan kortikosteroid secara klinis pada syok sepsis masih bersifat
kontroversial. Selama 20 tahun terakhir, penelitian menyebutkan bahwa
penggunaan kortikosteroid secara klinis berperan pada syok sepsis yang
menyebabkan supresi aktivitas adrenal. Sedangkan pada pedoman
penatalaksanaan sepsis berat direkomendasikan untuk menggunakan
kortikosteroid dosis rendah yaitu hidrokortison dengan dosis 200 mg per hari
yang diberikan secara infus drip pada pasien dengan syok refrakter.
Meskipun demikian, penggunaan kortikosteroid pada sepsis dapat
menyebabkan efek samping berupa hiperglikemia dan hipernatremia. Selain itu,
penggunaan kortikosteroid juga dapat menyebabkan superinfeksi dan perdarahan
saluran cerna. Penggunaan kortikosteroid dosis rendah pada syok sepsis dapat
berperan dalam memperbaiki reaksi vaskular terhadap agen vasopresor dan bukan
pada efek imunosupresif. Pada sindrom syok dengue, mekanisme reaksi vaskular
terhadap vasopresor bukan menjadi mekanisme yang penting sehingga
penggunaan kortikosteroid tidak bisa disamakan dengan syok sepsis.
Pada sindrom distres respirasi akut, diperlukan penggunaan kortikosteroid
dosis tinggi dalam mengurangi jumlah sitokin TNF alfa, IL-1, IL6, dan IL8. Pada
sindrom syok dengue, penggunaan deksametason tidak menimbulkan efek dalam
mengurangi tingkat IL8. Sedangkan pada penelitian yang lain menyebutkan
bahwa penggunaan kortikosteroid dosis tinggi pada fase awal penyakit sindrom
syok dengue berpengaruh terhadap konsentrasi sitokin inflamasi pada fase akut.
Manifestasi klinik
Perjalanan penyakit infeksi dengue sudah diketahui secara jelas. Pada masa
inkubasi, terjadi inokulasi virus selama 4-7 hari, kemudian diikuti dengan adanya
demam tinggi yang terjadi secara mendadak dan disertai dengan adanya nyeri
kepala, nyeri retroorbital, mialgia, nausea, dan vomitus. Pada keadaan berat,
terdapat kebocoran plasma yang terjadi pada hari ke 3-7 onset demam.
Fase simptomatik dari infeksi dengue dibagi menjadi 3 fase yaitu fase demam,
fase kritis, dan fase penyembuhan. Saat fase demam, pasien merasakan gejala
seperti diatas tanpa disertai dengan perubahan hemodinamik. Pada fase ini
biasanya didapatkan trombositopenia, leukopenia, dan kadang hemokonsentrasi
apabila terjadi dehidrasi akibat muntah profuse. Selanjutnya pada fase kritis, dapat
terjadi kebocoran plasma yang ditandai dengan adanya efusi pleura,
hemokonsentrasi, tanda syok, myokarditis, sindroma distres respirasi akut,
hepatitis, gagal ginjal akut, dan kegagalan multi organ. Tanda-tanda perdarahan
dapat terjadi apabila jumlah trombosit <5x109/L. Kegagalan multiorgan dapat
berupa gejala yang jarang terjadi seperti ensefalitis, serebelitis, sindrom uremia
hemolitik, rabdomiolisis, parotitis, pankreatitis akut, kolesistitis, dan apendisitis.
Diagnosis infeksi dengue dilakukan berdasarkan kriteria diagnosis standar.
Secara umum, infeksi dengue dikonfirmasi dengan mendeteksi imunoglobulin M
dengue. Pada 5 tahun terakhir, diagnosis infeksi dengue dilakukan berdasarkan
deteksi terhadap protein-1 nonstruktural yang disekresikan oleh sel yang terinfeksi
oleh virus. Oleh karena itu, pada saat ini dilakukan keduanya untuk menegakan
diagnosis dengue.
Managemen
Prinsip managemen infeksi dengue adalah monitoring kondisi dan balans
cairan. Kegagalan tersering pada managemen infeksi dengue terjadi pada
resusitasi cairan. Resusitasi cairan dapat dilakukan baik secara oral pada pasien
yang masih dapat minum dan secara intravena. Cairan intravena yang digunakan
adalah kristaloid dan koloid. Pemantauan dilakukan terhadap urine output dan
parameter hemodinamik. Tidak terdapat terapi spesifik seperti antiviral maupun
imunoglobulin. Penggunaan kortikosteroid dapat digunakan pada berbagai
stadium penyakit. Vaksin dengue belum dapat ditemukan, sehingga pencegahan
terhadap infeksi dengue dilakukan dengan mengupayakan kesehatan lingkungan
yaitu dengan mengeradikasi nyamuk.
Kesimpulan
Terdapat keraguan terhadap kualitas penelitian yang meneliti tentang
efektivitas pemberian terapi kortikosteroid pada pasien dengan sindroma syok
dengue. Namun untuk sementara didapatkan kesimpulan bahwa penggunaan
kortikosteroid pada infeksi dengue berperan dalam mencegah adanya komplikasi
dan menstabilkan kondisi syok pada sindrom syok dengue. Terapi kortikosteroid
juga tidak menimbulkan efek samping yang bermakna. Maka dari itu, diperlukan
penelitian lebih lanjut dengan desain randomized controlled trial dengan kualitas
yang tinggi dan berdasarkan evidence based yang tinggi