Anda di halaman 1dari 23

PENDAHULUAN

Sistemic Lupus Eritromatosus (SLE) merupakan penyakit autoimun pada


jaringan ikat yang ditandai dengan pembentukan antibodi antinukleus (ANA),
terutama terhadap double-stranded DNA (anti dsDNA). SLE ditandai dengan
adanya proses inflamasi, vaskulitis, deposisi kompleks imun, serta vaskulopati
luas yang bersifat episodik dan multisistem.1
Etiologi dari SLE masih belum jelas, namun telah terbukti bahwa SLE
merupakan interaksi antara faktor genetik yaitu disregulasi imun dan hormon,
dengan faktor lingkungan. Beberapa faktor lingkungan yang menjadi pemicu
munculnya SLE diantaranya adalah sinar ultraviolet, obat-obatan dan virus, yaitu
Epstein Barr Virus (EBV). Faktor-faktor ini dapat menyebabkan kerusakan sel
dan menyebabkan DNA, histon dan protein lain terutama bagian-bagian yang ada
di dalam inti sel terekspos. Hal ini berakibat pada terbentuk limfosit T dan B
autoreaktif yang bersifat persisten.2
Diagnosis SLE pada anak ditegakkan dengan terpenuhinya paling sedikit 4
dari 11 kriteria klasifikasi yang dibuat oleh American College of Rheumatology
pada tahun 1982. Insidensi tahunan SLE di Amerika serikat sebesar 5,1 per
100.000 penduduk, sementara prevalensi SLE di Amerika dilaporkan 52 kasus per
100.000 penduduk.3 Insidensi SLE pada anak terjadi sekitar 10-20 kasus/100.000
anak. SLE sangat jarang terjadi sebelum usia 5 tahun, sedangkan pada perempuan
umumnya terjadi pada usia sesudah pubertas dan sebelum menopause.4
Perbandingan jumlah pasien yang menderita SLE antara jenis kelamin
perempuan dan laki-laki adalah sebesar 5-10:1. Hal ini berkaitan dengan hormon
estrogen yang berlebih dan aktivitas androgen yang inadekuat mengganggu
respons imun. SLE lebih sering terjadi pada keluarga dengan riwayat SLE atau
penyakit autoimun lainnya. Peran faktor genetik pada SLE terletak pada gen
dalam major histocompatibility complex, haplotipe yang rentan adalah DRB1*08
dan DRB1*03.5
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang
menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS. HIV

1
menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah putih yang bertugas menangkal
infeksi.14 AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome,
yang berarti kumpulan gejala atau sindroma akibat menurunnya kekebalan tubuh
yang disebabkan infeksi virus HIV. Tubuh manusia mempunyai kekebalan untuk
melindungi diri dari serangan luar seperti kuman, virus, dan penyakit. AIDS
melemahkan atau merusak sistem pertahanan tubuh ini, sehingga akhirnya
berdatanganlah berbagai jenis penyakit lain.15
Prevalensi SLE pada pasien yang menderita HIV cukup besar yaitu 7/%.
Hal ini berhubungan dengan adanya kaitan antara penyakit autoimun dengan
penyakit akibat infeksi retroviral.20 Selain itu, manifestasi SLE dan infeksi HIV
yang cukup mirip sehingga terdapat beberapa kasus misdiagnosis antara SLE dan
infeksi HIV yang menyebabkan peningkatan prevalensi SLE pada pasien yang
menderita infeksi HIV secara positif palsu.21 Tujuan dari sajian kasus ini adalah
untuk menampilkan dan mendiskusikan etiologi, gambaran klinis, diagnosis, dan
tatalaksana yang berkaitan dengan SLE dan HIV

2
LAPORAN KASUS

3
DISKUSI

SYSTEMIC LUPUS ERITEMATOSUS (SLE)


Definisi
Sistemic Lupus Eritromatosus (SLE) merupakan penyakit autoimun pada
jaringan ikat yang ditandai dengan pembentukan antibodi antinukleus (ANA),
terutama terhadap double-stranded DNA (anti dsDNA). SLE ditandai dengan
adanya proses inflamasi, vaskulitis, deposisi kompleks imun, serta vaskulopati
luas yang bersifat episodik dan multisistem.1

Etiologi
Etiologi dari SLE masih belum jelas, namun telah terbukti bahwa SLE
merupakan interaksi antara faktor genetik yaitu disregulasi imun dan hormon,
dengan faktor lingkungan. Beberapa faktor lingkungan yang menjadi pemicu
munculnya SLE diantaranya adalah sinar ultraviolet, obat-obatan dan virus, yaitu
Epstein Barr Virus (EBV). Faktor-faktor ini dapat menyebabkan kerusakan sel
dan menyebabkan DNA, histon dan protein lain terutama bagian-bagian yang ada
di dalam inti sel terekspos. Hal ini berakibat pada terbentuk limfosit T dan B
autoreaktif yang bersifat persisten.2

Epidemiologi
Insidensi tahunan SLE di Amerika serikat sebesar 5,1 per 100.000
penduduk, sementara prevalensi SLE di Amerika dilaporkan 52 kasus per 100.000
penduduk.3 Insidensi SLE pada anak terjadi sekitar 10-20 kasus/100.000 anak.
SLE sangat jarang terjadi sebelum usia 5 tahun, sedangkan pada perempuan
umumnya terjadi pada usia sesudah pubertas dan sebelum menopause.4
Perbandingan jumlah pasien yang menderita SLE antara jenis kelamin perempuan
dan laki-laki adalah sebesar 5-10:1. Hal ini berkaitan dengan hormon estrogen
yang berlebih dan aktivitas androgen yang inadekuat mengganggu respons imun.
SLE lebih sering terjadi pada keluarga dengan riwayat SLE atau penyakit
autoimun lainnya. Peran faktor genetik pada SLE terletak pada gen dalam major

4
histocompatibility complex, haplotipe yang rentan adalah DRB1*08 dan
DRB1*03.5

Penegakan Diagnosis
Diagnosis SLE pada anak ditegakkan dengan terpenuhinya paling sedikit 4
dari 11 kriteria klasifikasi yang dibuat oleh American College of Rheumatology
pada tahun 1982, dengan sensitivitas 96% dan spesifisitas 100%. Demam yang
bersifat intermiten atau menetap, kelelahan, berat badan turun, dan anoreksia
merupakan gejala SLE yang aktif. Selain itu, kelainan dapat terjadi pada
mukokutan seperti ruam malar, lesi diskoid, aloplesia, ulserasi mukosa mulut, dan
ulserasi mukosa nasal; muskuloskeletal seperti artralgia dan artritis; ginjal seperti
hematuria, proteinuria, dan hipertensi; susunan saraf pusat seperti kejang,
psikosis, dan halusinasi; perikarditis; pleuritis; sindrom antifosfolipid yang
ditandai dengan tromboemboli dan vaskulitis.5,6
Gambaran laboratorium menunjukkan adanya anemia, limfopenia, dan
trombositopenia. Urinalisis menunjukkan adanya proteinuria, hematuria, dan
silinder sel darah merah. Indikator inflamasi akut akan meningkat sesuai aktivitas
penyakit sistemik. Terdapat pula antikoagulan lupus, antikardiolipin, dan antibodi
antifosfolipid yang menyebabkan tromboemboli.5
Pemeriksaan serologi pada SLE yang diperlukan untuk menegakkan
diagnosis SLE adalah tes ANA genetik (ANA IF dengan Hep 2 Cell). Tes ANA
diindikasikan untuk pasien yang mengalami tanda dan gejala mengarah pada SLE.
Pada penderita SLE ditemukan tes ANA yang positif sebesar 95-100%, akan
tetapi hasil tes ANA dapat positif pada beberapa penyakit lain yang mempunyai
gambaran klinis menyerupai SLE misalnya infeksi kronis seperti tuberkulosis,
penyakit autoimun seperti Mixed connective tissue disease (MCTD), artritis
rematoid, tiroiditis autoimun, keganasan. Namun jika hasil tes ANA negatif,
pengulangan segera tes ANA tidak diperlukan. Karena perjalanan penyakit
reumatik sistemik termasuk SLE seringkali dinamis dan berubah, mungkin
diperlukan pengulangan tes ANA pada waktu yang akan datang terutama jika
didapatkan gambaran klinis yang mencurigakan. Bila tes ANA dengan

5
menggunakan sel Hep-2 sebagai substrat; negatif, dengan gambaran klinis tidak
sesuai SLE umumnya diagnosis SLE dapat disingkirkan.6,7,8
Beberapa tes lain yang perlu dikerjakan setelah tes ANA positif adalah tes
antibodi terhadap antigen nuklear spesifik, termasuk anti-dsDNA, Sm, nRNP,
Ro(SSA), La (SSB), Scl-70 dan anti-Jo. Pemeriksaan ini dikenal sebagai profil
ANA/ENA. Antibodi antidsDNA merupakan tes spesifik untuk SLE, jarang
didapatkan pada penyakit lain dan spesifitasnya hampir 100%. Titer anti-dsDNA
yang tinggi hampir pasti menunjukkan diagnosis SLE dibandingkan dengan titer
yang rendah. Jika titernya sangat rendah mungkin dapat terjadi pada pasien yang
bukan SLE. Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa pada kondisi klinis berupa
adanya kadar anti-dsDNA yang positif dapat menunjang diagnosis SLE,
sedangkan apabila anti ds-DNA negatif maka hal ini tidak menyingkirkan adanya
SLE. Meskipun anti-Sm didapatkan pada 15% -30% pasien SLE, tes ini jarang
dijumpai pada penyakit lain atau orang normal. Tes anti-Sm relatif spesifik untuk
SLE, dan dapat digunakan untuk diagnosis SLE. Titer anti-Sm yang tinggi lebih
spesifik untuk SLE. Seperti anti-dsDNA, anti-Sm yang negatif tidak
menyingkirkan diagnosis SLE.6,7,8
SLE dapat dikategorikan berdasarkan derajat ringan-beratnya penyakit.
SLE dikatakan ringan apabila secara klinis tenang, tidak terdapat tanda atau gejala
yang mengancam nyawa, dan fungsi organ ginjal, paru, jantung, gastrointestinal,
susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit normal atau stabil. SLE dikatakan
sedang apabila terdapat nefritis ringan sampai sedang, trombositopenia, dan
serositis mayor. Sedangkan SLE dikatakan berat atau mengancam nyawa apabila
ditemukan endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis arteri koronaria, miokarditis,
tamponade jantung, hipertensi maligna, hipertensi pulmonal, perdarahan paru,
pneumonitis, emboli paru, infark paru, fibrosis interstisial, shrinking lung,
pankreatitis, vaskulitis mesenterika, nefritis proliferatif, vaskulitis berat, ruam
difus disertai ulkus, kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati
transversa, mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis, sindroma
demielinasi, anemia hemolitik, neutropenia, trombositopenia, purpura trombotik
trombositopenia, dan trombosis vena atau arteri.6,9

6
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan SLE dilakukan berdasarkan derajat ringan-beratnya
penyakit. Pengobatan pada SLE ringan dilakukan dengan menggunakan agen
terapi seperti penghilang nyeri bila diperlukan, obat anti inflamasi non steroidal
(OAINS), klorokuin basa 3,5-4,0 mg/kg BB/hari, hidroksiklorokuin dosis 5- 6,5
mg/kg BB/ hari, kortikosteroid dosis rendah seperti prednison < 10 mg / hari atau
yang setara, tabir surya topikal dengan sun protection factor minimal 15.10,11
Pengobatan pada SLE sedang dilakukan sama seperti pada SLE ringan
namun perlu beberapa penambahan regimen obat dan mengikuti protokol
pengobatan yang telah ada. Misal pada serosistis yang refrakter maka perlu
diberikan prednison dengan dosis 20 mg/hari. Sedangkan pengobatan SLE berat
atau mengancam nyawa dilakukan sama seperti pada SLE sedang namun perlu
beberapa penambahan regimen obat seperti glukokortikoid dosis tinggi pada
lupus nefritis, serebritis atau trombositopenia dengan dosis 40 – 60 mg / hari
selama 4-6 minggu yang kemudian diturunkan secara bertahap, dengan didahului
pemberian metilprednisolon intravena dengan dosis 500 mg sampai 1 g/hari
selama 3 hari bertutut-turut.11
Kortikosteroid merupakan terapi utama pada penanganan SLE. Pembagian
dosis kortikosteroid membantu kita dalam menatalaksana kasus rematik. Dosis
rendah sampai sedang digunakan pada SLE yang relatif tenang. Prednison oral
dosis rendah yaitu < 0,5 mg/kg/hari cukup untuk mengatasi demam, dermatitis,
dan artritis. Dosis sedang sampai tinggi berguna untuk SLE yang aktif. Prednison
oral dosis tinggi yaitu 1-2 mg/kg/hari untuk mengatasi anemia hemolitik,
gangguan SSP dan nefritis. Selain itu, metilprednisolon yang diberikan secara
intravena dengan dosis 30 mg/kg/hari selama 1-3 hari diberikan untuk mendapat
efek yang cepat. Dosis sangat tinggi dan terapi pulse diberikan untuk krisis akut
yang berat seperti pada vaskulitis luas, nephritis lupus, lupus cerebral. Pulse terapi
kortikosteroid digunakan untuk penyakit rematik yang mengancam nyawa,
induksi atau pada kekambuhan. Pulse terapi dilakukan dengan menggunakan

7
preparat metilprednisolon dengan dosis tinggi yaitu 0,5-1 gram yang diberikan
secara intravena selama 3 hari berturut-turut.12
Tapering harus dilakukan secara hati-hati untuk menghindari kembalinya
aktivitas penyakit, dan defisiensi kortisol yang muncul akibat penekanan aksis
hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA) kronis. Tapering secara bertahap
memberikan pemulihan terhadap fungsi adrenal. Tapering tergantung dari
penyakit dan aktivitas penyakit, dosis dan lama terapi, serta respon klinis. Sebagai
panduan, untuk tapering dosis prednison lebih dari 40 mg sehari maka dapat
dilakukan penurunan 5-10 mg setiap 1-2 minggu. Diikuti dengan penurunan 5 mg
setiap 1-2 minggu pada dosis antara 40-20 mg/hari. Selanjutnya diturunkan 1-2,5
mg/ hari setiap 2-3 minggu bila dosis prednison < 20 mg/hari. Selanjutnya
dipertahankan dalam dosis rendah untuk mengontrol aktivitas penyakit.12
Sparing agen kortikosteroid merupakan obat yang diberikan untuk
memudahkan menurunkan dosis kortikosteroid dan berfungsi untuk mengontrol
penyakit dasarnya. Obat yang sering digunakan sebagai sparing agent ini adalah
azatioprin, mikofenolat mofetil, siklofosfamid dan metotrexate. Pemberian terapi
kombinasi ini adalah untuk mengurangi efek samping kortikosteroid.12
Terapi lain dapat berupa tabir surya dengan kadar SPF>15 berguna untuk
mengurangi paparan sinar matahari pada kulit penderita SLE. Pemantauan jangka
panjang yang teratur terhadap aktivitas penyakit penting untuk mencegah
timbulnya penyulit. Lupus Activity Index, SLE Disease Activity Index, Systemic
Lupus Activity Measure, dan British Isles Lupus Assessment Group Activity Index
merupakan skor untuk menilai aktivitas SLE, sedangkan Systemic Lupus Intel-
national Collaborating Clinics Damage Index untuk mengukur akumulasi
kerusakan organ.12
Terdapat beberapa obat kelompok imunosupresan yang biasa digunakan
pada SLE, yaitu azatioprin, siklofosfamid, metotreksat, siklosporin, mikofenolat
mofetil yang digunakan untuk mengontrol SLE dan mencapai kualitas hidup yang
lebih baik.. Pada keadaan tertentu seperti lupus nefritis, lupus serebritis,
perdarahan paru atau sitopenia, seringkali diberikan gabungan antara

8
kortikosteroid dan imunosupresan karena memberikan hasil pengobatan yang
lebih baik.12,13

INFEKSI HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS


Definisi
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang
menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS. HIV
menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah putih yang bertugas menangkal
infeksi.14 AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome,
yang berarti kumpulan gejala atau sindroma akibat menurunnya kekebalan tubuh
yang disebabkan infeksi virus HIV. Tubuh manusia mempunyai kekebalan untuk
melindungi diri dari serangan luar seperti kuman, virus, dan penyakit. AIDS
melemahkan atau merusak sistem pertahanan tubuh ini, sehingga akhirnya
berdatanganlah berbagai jenis penyakit lain.15

Etiologi
AIDS disebabkan oleh infeksi HIV. HIV adalah suatu virus RNA
berbentuk sferis yang termasuk retrovirus dari famili Lentivirus. Strukturnya
tersusun atas beberapa lapisan dimana lapisan terluar (envelop) berupa
glikoprotein gp120 yang melekat pada glikoprotein gp41. Selubung glikoprotein
ini berafinitas tinggi terhadap molekul CD4 pada permukaan T-helper lymphosit
dan monosit atau makrofag. Lapisan kedua di bagian dalam terdiri dari protein
p17. Inti HIV dibentuk oleh protein p24. Di dalam inti ini terdapat dua rantai
RNA dan enzim transkriptase reverse (reverse transcriptase enzyme).14

Penegakan Diagnosis
Manifestasi klinik utama dari penderita AIDS pada umumnya ada 2 hal
antara lain tumor dan infeksi oportunistik :
a. Manifestasi tumor
1) Sarkoma kaposi ; kanker pada semua bagian kulit dan organ tubuh.
Frekuensi kejadiannya 36-50% biasanya terjadi pada kelompok

9
homoseksual, dan jarang terjadi pada heteroseksual serta jarang menjadi
sebab kematian primer.
2) Limfoma ganas ; terjadi setelah sarkoma kaposi dan menyerang syaraf,
dan bertahan kurang lebih 1 tahun.
b. Manifestasi oportunistik
1) Manifestasi pada Paru-paru
a) Pneumonia Pneumocystis (PCP)
Pada umumnya 85% infeksi oportunistik pada AIDS
merupakan infeksi paru-paru PCP dengan gejala sesak nafas, batuk
kering, sakit bernafas dalam dan demam.
b) Cytomegalo Virus (CMV)
Pada manusia virus ini 50% hidup sebagai komensial pada
paru-paru tetapi dapat menyebabkan pneumocystis. CMV
merupakan penyebab kematian pada 30% penderita AIDS.
c) Mycobacterium Avilum
Menimbulkan pneumoni difus, timbul pada stadium akhir dan
sulit disembuhkan.
d) Mycobacterium Tuberculosis
Biasanya timbul lebih dini, penyakit cepat menjadi miliar dan
cepat menyebar ke organ lain diluar paru.
2) Manifestasi pada Gastrointestinal, seperti berkurangnya nafsu makan,
diare kronis, penurunan berat badan lebih 10% per bulan.14
Berikut merupakan pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk
menegakan diagnosis infeksi HIV.
1. Pemeriksaan Laboratorium
a) Skrining HIV
Terdapat banyak pendapat mengenai populasi yang sebaiknya
mendapatkan skrining HIV. The U.S. Preventive Services Task Force
(USPSTF) merekomendasikan skrining HIV bagi semua remaja dan
orang dewasa dengan faktor risiko HIV, dan wanita hamil. The
Centers for Disease Control and Prevention (CDC)

10
merekomendasikan skrining pada pasien-pasien di instansi kesehatan,
kecuali pasien tersebut menolak. Serta bagi semua orang dengan
faktor risiko tinggi HIV, harus diskrining minimal setahun sekali (US,
preventive).16
Modalitas skrining yang banyak digunakan yaitu ELISA
(enzyme-linked immunoabsorbent assay) dengan sensitivitas tinggi.
Kebanyakan ELISA dapat digunakan untuk mendeteksi HIV-1 tipe M,
N, O, serta HIV-2. Hasil ELISA yang positif sebaiknya dilanjutkan
dengan pemeriksaan konfirmasi yaitu Western Blot. Kriteria
diagnostik spesifik yang dihasilkan dari pemeriksaan tersebut
termasuk positif, negatif, maupun indeterminate. Pemeriksaan
terhadap HIV-2 juga sebaiknya dilakukan pada semua pasien di
daerah endemik HIV-2, atau memiliki hasil indeterminate dari HIV-
1.16
1) Hitung Sel T CD4+
Pemeriksaan ini adalah indikator yang cukup dapat
diandalkan untuk mengetahui risiko terkena infeksi oportunistik.
Jumlah normal CD4 berkisar antara 500-2000 sel/μL. Setelah
serokonversi, CD4 biasanya berada dalam jumlah rendah (rata-
rata 700 sel/μL). Di Amerika, definisi AIDS adalah CD4 <200
sel/μL, karena tingginya risiko infeksi oportunistik pada level ini.
Pada anak usia di bawah 5 tahun, persentase CD4 lebih bermakna
daripada hitung absolutnya. Persentase <25% adalah indikasi
memulai terapi.17
2) Viral Load (VL)
VL pada darah perifer biasanya dipakai sebagai penanda
alternatif untuk mengetahui laju replikasi virus. Disebut alternatif,
karena kebanyakan replikasi viral terjadi pada nodus limfatik,
daripada darah perifer. Tes ini dapat menyajikan data berupa
amplifikasi RNA viral menggunakan nucleic acid sequence-based
amplification (NASBA), atau reverse-transcription polymerase

11
chain reaction (RT-PCR). Akan tetapi, pemeriksaan VL
kuantitatif tidak bisa digunakan sebagai alat diagnosis, karena
kemungkinan adanya positif palsu. Biasanya, VL berkaitan
dengan laju progresi menjadi AIDS, walaupun kemampuan
prediktabilitasnya masih lebih inferior dari CD4. Dari literature,
diketahui bahwa pasien dengan VL >30.000/μL memiliki
kemungkinan meninggal karena AIDS lebih tinggi daripada
pasien terinfeksi HIV dengan VL tidak terdeteksi.
Dengan terapi ART (anti-retroviral) yang adekuat, VL
dapat ditekan hingga mencapai tingkat tidak terdeteksi (<20-75
kopi/ μL). Pada tingkatan ini, biasanya jumlah CD4 meningkat,
dan risiko infeksi oportunistik berkurang. Virologic Failure (VF)
didefinisikan sebagai jumlah VL yang secara persisten mencapai
angka >200 kopi/ μL, walaupun sudah mendapatkan regimen
terapi yang adekuat.16
3) Pemeriksaan HIV Sekunder
Kultur virus dapat digunakan pada pemeriksaan resistensi
obat secara fenotipik, walaupun sensitivitasnya berkurang seiring
dengan menurunnya VL. Selain itu, pemeriksaan ini sangat
mahal. PCR untuk deteksi DNA proviral juga dapat dilakukan;
namun hanya terbatas pada bayi baru lahir, karena populasi ini
tidak bisa dites dengan pemeriksaan serologis (oleh karena
adanya antibodi maternal yang persisten hingga 9 bulan atau
lebih). Sementara pemeriksaan genotipe DNA/RNA virus
digunakan untuk mengetahui mutasi dan membantu memilih
terapi.
4) Temuan Histologis
Pemeriksaan PA dapat memberikan gambaran infeksi HIV
atau AIDS, misalnya penampakan nodus limfa yang mengalami
kerusakan, hiperplasia, sel T multinuklear raksasa (khas pada HIV
ensefalopati), mikrogliosis, serta hilangnya gambaran folikuler

12
dendritik yang normal. Mikroskop elektron dapat menunjukkan
keberadaan virion di dalam fagosom makrofaga.
5) Pemeriksaan Infeksi Oportunistik
Pemeriksaan ko-infeksi oportunistik di bawah ini
sebaiknya dilakukan dengan segera pada pasien yang baru
terdiagnosis infeksi HIV (Hoffmann dan Brown, 2007).
a. PPD (purified protein derivative) pada skin test untuk
TB/tuberkulosis, dilanjutkan dengan foto toraks.
b. Cytomegalovirus (CMV) dengan tes serologi. Keberadaan IgG
anti-CMV mengindikasikan pasien yang pernah terpajan
CMV. Lanjutkan dengan pemeriksaan oftalmologi untuk
mengevaluasi retinitis CMV pada hasil tes CD4 yang rendah.
c. Sifilis dengan RPR (rapid plasma reagent). Hasil positif
sebaiknya dilanjutkan dengan pungsi lumbal, terutama jika
terdapat gejala neurologis.
d. Tes amplifikasi cepat untuk infeksi gonokokus dan klamidia.
Pemeriksaan panggul dilakukan pada wanita, untuk
menyingkrkan kemungkinan trikomoniasis.
e. Serologi hepatitis A, B, dan C dilakukan pada pasien untuk
menentukan kebutuhan akan vaksinasi dan mengevaluasi
infeksi kronik. Pemeriksaan krusial lainnya adalah tes fungsi
liver.
f. Antibodi anti-toksoplasma diukur untuk mengetahui kejadian
toksoplasmosis, karena pada imunosupresi, reinfeksi dapat
terjadi sewaktu-waktu. Pasien dengan infeksi toksoplasma
sebelumnya memerlukan profilaksis apabila CD4 berada dalam
jumlah <100/ µL.
g. Pemeriksaan fisik dan penunjang lainnya untuk mengetahui
adanya diare, angiomatosis basiler, kandidiasis orofaring,
kandidiasis vulvovaginal, pelvic inflammatory disease (PID)
termasuk klamidia, GO, atau gardnerella, neoplasma servikal,

13
leukoplakia oral (EBV), purpura trombositopenik, neuropati
perifer, dan herpes zoster.16

Penatalaksanaan
a. Agen Antiretroviral (ARV)
Terapi Antiretroviral/ARV merupakan bagian dari Integrated
Management of Adolescence and Adult Illness (IMAI). Selain sebagai
tatalaksana, saat ini terapi ARV juga dianggap sebagai suatu bentuk
pencegahan. Terapi ARV yang baik pada ODHA akan menurunkan
penyebaran HIV hingga 92%.18
b. Pemilihan Terapi Antiretroviral
Terapi antiretroviral, sebaiknya, diberikan dalam bentuk kombinasi
dan dipantau secara ketat untuk mengevaluasi kemajuan terapi, munculnya
efek samping, dan kemungkinan timbulnya resistensi. Untuk memulai terapi
ARV, perhatikan apakah pasien telah memenuhi syarat berikut ini:
1) Jika tidak tersedia tes CD4, maka penentuan mulai terapi didasari oleh
pemantauan klinis. Stadium klinis tatalaksana HIV/AIDS dirangkum
dalam tabel berikut.
a. Tidak ada gejala
Stadium 1
b. Limfadenopati generalisata persisten
a. Penurunan berat badan <10% yang tidak diketahui
penyebabnya
b. ISPA berulang
c. Herpes zoster
d. Keilitis angularis
Stadium 2
e. Ulkus mulut berulang
f. Ruam papul yang gatal di kulit (PPE/Papular Pruritic
Eruption)
g. Dermatitis seboroik
h. Infeksi jamur pada kuku
a. Penurunan BB >10% yang tidak diketahui penyebabnya
b. Diare kronis >1 bulan
c. Demam menetap idiopatik
Stadium 3 d. Kandidiasis mulut menetap
e. Oral Hairy Leukoplakia
f. TB paru
g.Infeksi bakteri berat (pneumonia, empiema, meningitis, infeksi

14
tulang/sendi, bakteremia, dll)
h. Stomatitis nekrotikans ulseratif akut, gingitivis atau
periodontitis
i. Anemia idiopatik (<8 g/dL), neutropenia (<0,5x109/L)
j. Trombositopenia kronik (<50x109/L)
a. Sindrom wasting
b. Pneumonia berulang
c. Infeksi HSV
d. Kandidiasis esofageal
e. TB ekstra-paru
f. Kaposi-Sarkoma
g. Infeksi CMV
h. Toksoplasmosis CNS
i. Ensefalopati HIV
j. Infeksi kriptokokus ekstrapulmoner
Stadium 4
k. Infeksi mycobacteria non-tuberkulosis
l. Leukoensefalopati multipel yang progresif
m. Kriptosporidiosis kronis
n. Isosporiasis kronis
o. Mikosis diseminata
p. Septikemia yang berulang
q. Limfoma
r. Kankr serviks invasif
s. Leishmaniasis diseminata
t. Nefropati atau kardiomiopati terkait HIV yang simtomatik

2) Jika tersedia pemeriksaan CD4, lakukan


a) Mulai terapi ARV pada semua pasien HIV dengan jumlah CD4
<350 sel/mm3 tanpa memandang stadium klinis.
b) Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien HIV dengan TB aktif,
ibu hamil, dan koinfeksi Hepatitis B tanpa memandang jumlah
CD4
c. Obat Antiretroviral17,18
Obat antiretrovirus dapat dibagi menjadi lima golongan:

15
Enfuvirtide amantadine

Penetration Uncoating

adsorption Early protein synthesis


purine or pyrimidine
Nucleic acid synthesis
analogs
Late protein synthesis and processing

Packaging and assembly protease


inhibitors
Viral release
Neuraminidase
inhibitors

Gambar 2.2 Terapi retriviral

1) NRTI (Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor)


Reverse transcriptase (RT) merupakan pengubah RNA virus
menadi DNA proviral sebelum bergabung dengan kromosom hospes.
NRTI merupakan suatu penghambat RT. Oleh karena RT bekerja pada
awal infeksi, NRTI juga bekerja pada tahap awal replikasi virus HIV
sehingga obat ini akan menghambat infeksi akut pada sel yang rentan,
tetapi hanya sedikit berefek pada sel yang telah terinfeksi HIV.19
Obat NRTI akan jauh lebih efektif jika sehingga lebih efektif
jika diberikan dalam kombinasi dengan 3 atau 4 obat lainnya.
Komplikasi utama golongan obat ini adalah asidosis laktat dan
hepatomegali berat dengan steanosis. Contoh obat golongan ini yaitu
zidovudin, didanosin, zalsitabin, stavudin, lamivudin, emtrisitabin,
abakavir.19
Zidovudin menghambat enzim RT HIV, setelah gugus
azitomidin (AZT) pada zidovudin mengalami fosforilasi untuk
berikatan ke ujung rantai 3’ virus dan menghambat rekasi transkripsi
terbalik. Monoterapi dengan zidovudin direkomendasikan sebagai
profilaksis transmisi HIV dari ibu ke anak. Semua obat lainnya di
golongan ini bekerja pada HIV RT dengan cara menghentikan
pembentukan rantai DNA virus.19
2) NtRTI (Nucleotide reverse Transcriptase Inhibitor)

16
Tenofovir disoproksil fumarat merupakan NtRTI pertama untuk
terapi infeksi HIV-1. Bekerja pada HIV RT dan HBV RT dengan cara
menghentikan pembentukan rantai DNA virus. Obat ini digunakan
dalam kombinasi dengan obat antiretrovirus lainnya. Tidak seperti
NRTI yang harus melalui 3 tahap fosforilasi intraselular untuk menjadi
bentuk aktif, NtRTI hanya membutuhkan 2 tahap fosforilasi saja.
Dengan ini, reaksi obat menjadi lebih cepat dan konversinya menjadi
bentuk aktif lebih sempurna. Contoh obat golongan ini adalah
Tenofovir disoproksil. Kebanyakan digunakan untuk infeksi HIV
dalam kombinasi dengan efavirenz, tidak boleh dalam kombinasi
dengan lamivudin dan abakavir.19
3) NNRTI (Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor)
Merupakan penghambat enzim RT dengan cara berikatan di
tempat yang dekat dengan tempat aktif enzim dan menginduksi
perubahan konformasi situs aktif enzim. NNRTI tidak mengalami
fosforilasi untuk menjadi bentuk aktif, seperti NRTI dan NtRTI.
Golongan obat ini hanya efektif terhadap HIV-1,. Seluruh senyawa
NNRTI dimetabolisme oleh P450 sehingga memiliki kecenderungan
untuk berinteraksi dengan obat lain. Contoh obat golongan ini adalah
nevirapin, delavirdin, efavirenz. Cara kerjanya adalah pada situs
alosterik tempat ikatan non-substrat HIV-1 RT. Obat ini sering dipakai
dengan kombinasi dengan anti-HIV lainnya, terutama NRTI dan
NtRTI.19
4) PI (Protease Inhibitor)
Golongan PI bekerja dengan berikatan dengan situs aktif HIV-
protease secara reversibel. HIV-protease sangat penting untuk
infektivitas virus dan pelepasan poliprotein virus. Hal ini
menyebabkan terhambatnya pelepasan polipeptida prekursor virus
oleh enzim protease, sehingga menghambat maturasi virus. Oleh
karena itu, sel akan menghasilkan partikel virus yang imatur dan tidak
virulen. Resistensi terhadap PI, pada umumnya, terjadi akibat

17
akumulasi mutasi gen protease. Pada mulanya, terjadi resistensi
tingkat rendah, namun berujung pada resistensi berat yang
menyebabkan resistensi silang dengan PI lainnya.19
Semua golongan PI dapat mengakibatkan efek samping
gastrointestinal, seperti mual, muntah, diare, dan paraestesia; serta
intoleransi glukosa, diabetes, hiperkolestrolemia, dan
hipertrigliseridemia. Karena semua HIV-PI merupakan substrat dan
inhibitor sitokrom P450 yang banyak dipakai obat lain, interaksi
sangat umum terjadi. Contoh obat golongan ini ialah sakuinavir,
ritonavir, indinavir, nelfinavir, amprenavir, lopinavir, atazanavir.
Sakuinavir bekerja pada tahap transisi, merupakan HIV protease.
Sedangkan semua obat lainnya selain Sakuinavir merupakan HIV
protease peptidomimetic inhibitor. Penggunaan obat ini adalah
dikombinasikan dengan sesame PI atau bersama NRTI.19
5) Viral Entry Inhibitor
Obat seperti Enfuvitid bekerja dengan cara menghambat fusi
virus ke sel. Selain enfuvirtid, bisiklam sedang dalam studi klinis saat
ini. Golongan obat ini berkerja dengan cara menghambat masuknya
HIV ke sel melalui reseptor CXCR4. Enfuvirtid berikatan dengan
bagian HR1 (first heptad-repeat) pada subunit gp41 envelope
glikoprotein virus serta menghambat terjadinya perubahan konformasi
yang dibutuhkan fusi virus ke membran sel. Efek sampingnya adalah
Pada umumnya, reaksi lokal seperti nyeri, eritema, pruritus, iritasi, dan
nodul/kista. Pernah dilaporkan adanya eosinofilia dan pneumonia
bakterial. Isolat kliniss yang resisten terhadap NRTI, NNRTI, atau PI
tetap peka terhadap enfuvirtid.19

SLE DAN HIV


Prevalensi SLE pada pasien yang menderita HIV cukup besar yaitu 12%.
Hal ini berhubungan dengan adanya kaitan antara penyakit autoimun dengan
penyakit akibat infeksi retroviral.20 Terdapat beberapa penelitian yang

18
menjelaskan mengenai hubungan antara SLE yang merupakan penyakit autoimun
dan HIV yang merupakan penyakit akibat infeksi retroviral. Hal ini disebabkan
oleh manifestasi klinik pada infeksi HIV yang dapat menyerupai fenomena
autoimun seperti demam, ruam kulit, limfadenopati, disfungsi renal, gangguan
neurologis seperi defisit neurologis fokal, psikosis, dan neuropati periferal;
gangguan hematologi seperti limfopenia, anemia hemolitik, dan trombositopenia;
sindrom sicca, dan poliartritis. Selain itu, fotosensitif juga dapat terjadi pada
infeksi HIV tahap akhir. Infeksi oportunis seperti candidiasis juga dapat terjadi
pada penderita SLE. Infeksi retroviral diduga merupakan faktor etiologikal pada
penyakit autoimun seperti SLE dan sindrom Sjogren. Hal ini dapat terjadi karena
ditemukannya antibodi protein retroviral pada penderita SLE.21
Produksi ANA dan dsDNA yang berlebihan merupakan penanda pada SLE.
ANA merupakan indikator diagnosis, patologis, dan prognosis yang bernilai
signifikan selama perjalanan penyakit SLE. Namun beberapa penelitian
mendapatkan hasil bahwa poliraktivitas ataupun autoreaktivitas terhadap ANA
merupakan salah satu tanda dari adanya antibodi anti-HIV, terutama antibodi
dengan kemampuan netralisasi yang poten dan luas. Meskipun hasil pemeriksaan
kadar ANA dalam tingkat rendah, namun ANA dapat berperan dalam gangguan
imunologis pada penyakit autoimun. Selain itu, pasien yang menderita SLE dapat
memproduksi antibodi yang bereaksi silang dengan antigen HIV, sehingga hasil
pemeriksaan laboratorium akan menunjukan hasil positif palsu terhadap infeksi
HIV.21

19
KESIMPULAN

20
DAFTAR PUSTAKA

1. CRicard Cervera. Systemic Lupus Erythematosus. Eular On-line Course on


Rheumatic Diseases – module n°17.
2. Evi Roviati. Systemic Lupus Erithematosus : Kelainan Autoimun Bawaan
Langka dan Mekanisme Biokimiawinya. Jurnal Scientiae Educatia 2012;1(2):
7-18.
3. Shanying Chen. Systemic Lupus Erythematosus: A Retrospective Study. Int.
J. Environ. Res. Public Health 2015, 12, 9876-9888.
4. Beth S. Gottlieb. Systemic Lupus Erythematosus in Children and
Adolescents. Pediatrics in Review 2016; 27(9): 232-241.
5. George Bertsias, Ricard Cervera, Dimitrios T Boumpas. Systemic Lupus
Erythematosus: Pathogenesis and Clinical Features. Ann Rheum Dis
2010a;69:1603–11.
6. Steffan W. Schulz and Chris T. Derk. The Gastrointestinal Manifestations of
Systemic Lupus Erythematosus: A Survey of the Literature. The Open
Autoimmunity Journal, 2009, 1, 10-26.
7. Ilias MI, Ali JM, Ismail NZ, Rostenberghe HV, Rahman AA (2017) Pediatric
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) Manifestations and Outcomes in a
Tertiary Hospital. Lupus Open Access 2: 123.
8. Halima Mohamed Ben Amer. Clinical Presentation of Pediatric SLE at
Outpatient Clinic. MOJ Orthop Rheumatol 2015, 2(1): 32-41.
9. Ben Salem T, Belfeki N, Lamloum M, et al. Peripheral Neuropathies in
Patients with Systemic Lupus Erythematosus. J Neurol Neurosci. 2016, 7: S3.
10. Spittal. A clinical update on paediatric lupus. S Afr Med J
2015;105(12):1075.
11. Zehra Serap Arıcı. Reviewing the Recommendations for Lupus in Children.
Curr Rheumatol Rep (2015) 17:17.

21
12. Yoga I Kasjmir. Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia untuk
Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik. Perhimpunan
Reumatologi Indonesia; 2011.
13. Lakshmi Nandini Moorthy. Improving quality of life assessment in children
with systemic lupus erythematosus. Int. J. Clin. Rheumatol. (2012) 7(2), 229–
235.
14. Penazzato M, Revill P, Prendergast AJ, Collins IJ, Walker S, Elyanu PJ et al.
Early infant diagnosis of HIV infection in low-income and middle-income
countries: does one size fit all? Lancet Infect Dis. 2014; 14(7): 650–5.
15. Ciaranello AL, Park JE, Ramirez-Avila L, Freedberg KA, Walensky RP,
Leroy V. Early infant HIV-1 diagnosis programs in resource-limited settings:
opportunities for improved outcomes and more cost-effective interventions.
BMC Med. 2011;9:59. doi: 10.1186/1741-7015-9-59.
16. Consolidated guidelines on HIV testing services. Geneva: World Health
Organization; 2015 (http://www. who.int/hiv/pub/guidelines/hiv-testing-
services/en/, accessed 10 November 2018).
17. Delivering HIV test results and messages for re-testing and counselling in
adults. Geneva: World Health Organization; 2010
(http://www.who.int/hiv/pub/vct/hiv_re_testing/en/index.htm, accessed 10
November 2018).
18. Consolidated guidelines on the use of antiretroviral drugs for treating and
preventing HIV infection: recommendations for a public health approach.
Geneva: World Health Organization; 2013 (http://www.
who.int/hiv/pub/guidelines/arv2013/download/en/, accessed 23 September
2015).
19. March 2014 Supplement to the 2013 Consolidated guidelines on the use of
antiretroviral drugs for treating and prevention HIV infection. Geneva; World
Health Organization; 2014 (http://www.who.int/hiv/
pub/guidelines/arv2013/arvs2013upplement_march2014/en/, accessed 10
November 2018).

22
20. Foreze Kaliyadan. HIV and Lupus Erythematosus: A Diagnostic Dilemma.
Indian Journal of Dermatology. 2008;53(2):80-82.
21. Liao HY. Concomitant systemic lupus erythematosus and HIV infection.
Medicine (2017) 96:51
22. Systemic lupus erythematosus and HIV infection: a whimsical relationship.

23

Anda mungkin juga menyukai