Oleh:
Irma Nuraeni Hidayat
G4A016009
Pembimbing :
Dr. M. Mukhlis Rudi P, dr., M.Kes, M.Si.Med, Sp.An-KNA
2018
1
LEMBAR PENGESAHAN
Disusun oleh:
Irma Nuraeni Hidayat
G4A016009
Telah disetujui,
Pada tanggal: Februari 2018
Mengetahui,
Dokter Pembimbing
2
I. LAPORAN KASUS
A. Identitas
1. Nama : Tn. S
2. Umur : 59 tahun
3. Alamat : Jatimulyo RT 02 RW 06 Alian
4. DPJP Anestesi : dr. Iwan,Sp.An
5. Diagnosis : COS + SDH frontotemporoparietal dekstra
6. Tanggal Operasi : 09 februari 2018
3
c. Riwayat penyakit jantung disangkal
d. Riwayat hipertensi disangkal
e. Riwayat gangguan pembekuan darah disangkal
f. Riwayat penyakit hati disangkal
g. Riwayat penyakit ginjal disangkal
h. Riwayat kejang disangkal
i. Riwayat alergi makanan dan obat disangkal
j. Riwayat operasi disangkal
k. Riwayat mengorok disangkal
l. Riwayat merokok disangkal
m. Riwayat konsumsi alkohol disangkal
n. Riwayat konsumsi narkoba disangkal
3. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat asma disangkal
b. Riwayat diabetes melitus disangkal
c. Riwayat penyakit jantung disangkal
d. Riwayat hipertensi disangkal
e. Riwayat gangguan pembekuan darah disangkal
4. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien merupakan seorang petani. Pasien tinggal berama istri, dan
ke 2 anaknya.Pasien berpenghasilan Rp. 2.000. 000/bulan.
C. Pemeriksaan Fisik
1. Antropometri
BB : 80 kg
TB : 165 cm
IMT : 29,8 (overweight)
2. Tanda Vital (IGD)
TD : 130/80 mmHg
N : 86 kali / menit
RR : 22 kali / menit
S : 37,2OC
4
GCS : E2V2M5
Skala nyeri : sulit dinilai
3. Airway
Clear, gigi palsu (-), gigi tanggal (-), gigi goyang (-), buka mulut sulit
dinilai, Mallampati sulit dinilai, TMD 7 cm
4. Kepala dan leher
Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), massa di wajah (-), masa di
leher (-), luka bakar (-), deviasi trakea (-)
5. Thoraks
Paru : Perkusi pulmo sonor, SD vesikuler +/+, wheezing -/-, Ronkhi
basah kasar -/-, Ronkhi basah halus -/-
Jantung : S1>S2 reguler, gallop (-), murmur (-)
6. Abdomen
Cembung besar, bising usus (+), perkusi timpani, nyeri tekan (-)
7. Ekstremitas
Akral (hangat), edema superior (-/-) edema inferior (-/-), parese (-/-),
paralisis (-/-)
D. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium Darah
Pemeriksaan 09/02/18(02.20) 10/02/18 (06.00) 10/02/18(19.36)
Darah Lengkap
Hemoglobin 12.3 g/dL 7,4 g/dL (L) 10,0 g/dL (L)
Leukosit 22760 U/mm3 (H) 10150 U/mm3 14910 U/mm3 (H)
Hematokrit 36% (L) 21 % (L) 30 % (L)
Eritrosit 4 ^6/mm3 (L) 2,3 ^6/mm3 (L) 3,3 ^6/mm3 (L)
Trombosit 192.000/mm3 101.000/mm3 (L) 135.000/mm3 (L)
MCV 91,2 fL 91,7 fL 90 fL
MCH 31,4 pg/cell 32,2 pg/cell 29,9 pg/cell
MCHC 34 % 35,0 % 33,2 %
RDW 12.9 % 13.0 % 14,1% (H)
MPV 11,6 fL (L) 11,8 fL 11,7 fL (L)
5
Basofil 0% 0% 0,3 %
Eosinofil 0,6 % 0.1% (L) 0 % (L)
Batang 3,8 % 2,7 % (L) 1,9 % (L)
Segmen 83,9 % 83.5 % (H) 85,1% (H)
Limfosit 3,4 % 4,4 % 5,2 % (L)
Monosit 8,9 % 9,3% (L) 7,5%
PT 10,7 detik - -
APTT 31,8 detik - -
Kimia Klinik
SGOT 46 U/L (H) - -
SGPT 32 u/L - -
Ureum 32,5 mg/dl 34,5 mg/dl -
Kreatinin 1,24 mg/dl 0. 88 mg.dl -
GDS 261 mg/dL (H) 210 mg/dL (H) 140 mg/dL
Kalium 4,5 mmol/L 4,6 mmol/L (H) -
Natrium 143 mmol/L 139 mmol/L -
Kalsium - 6,7 mg/dl (L) -
Klorida 103 mmol/L 116 mm0l/L (H) -
Sero Imunologi
HBsAg Non Reaktif - -
2. Rontgen thorax
6
3. Rontgen servikal
4. CT scan
7
E. Diagnosis
Assesment klinis : COS + SDH at regio frontotemporoparietal dekstra
Assesment anestesi : ASA III E
Rencana operasi : Craniotomi dekompresi dan evakuasi
Rencana anestesi : General Anesthesia / ETT
F. Tatalaksana Awal
1. Head up 30 derajat
2. Oksigen 8 lpm NRM
3. IVFD NaCl 0,9% 100 cc/24 jam
4. Inj ceftriaxon 2x1 gram
5. Inj ranitidin 2x50 mg
6. Inj ketorolak 2x30 mg
7. Inj antrain extra
8. Inj asam tranexamat 3x500 mg
9. Manitol 4x125 ml
8
3. Jam selesai anestesi : 20.18 WIB
4. Kondisi praanestesi
Kesadaran : Gelisah
GCS : E2V2M5
Tekanan darah : 140/90 mmHg
Nadi : 82x/menit
Laju pernafasan : 22 x/menit
Suhu : 37,20C
H. Teknik anestesia
Anestesi : General Anestesi (ETT)
Premedikasi : Ondansentron
Preemptive analgesia : Fentanyl 100 µg
Preemptive sedatif : Propofol 100 mg
9
19.15 130/70 100 % 90
10
h. Inj fenitoin 3x100 mg
11
J. MONITORING PASKA OPERASI
10 Feb 2018 - KU : lemah COS+SDH IVFD RL 500 cc + NS 500 cc/24 jam +943 ml
ICU GCS E1VxM5 frontotemporoparietal Inj ceftriaxon 2x1 gram
TD : 133/81 mmHg dekstra post craniotomi Inj ranitidin 2x50 mg
HR : 100 x/m dekompresi H+1 Inj asam traneksamat 3x500 mg
RR : 16 x/m Inj citicolin 2x1
S : 36,6 Inj fenitoin 3x100 mg
Mata : RC +/+ PBI Inf paracetamol 3x1 gram
3mm/3mm Transfusi PRC 2 kolf
Ekstubasi
11 Feb 2018 - KU : lemah COS+SDH IVFD RL 500 cc + NS 500 cc/24 jam + 187 ml
ICU GCS E3V4M6 frontotemporoparietal Inj ceftazidime 2x1 gram
TD : 140/70 mmHg dekstra post craniotomi Inj ranitidin 2x50 mg
HR : 96 x/m dekompresi H+2 Inj calsium glukonas 2x1
RR : 16 x/m Inj citicolin 2x1
S : 36,6 Inj fenitoin 3x100 mg
Mata : RC +/+ Inf paracetamol 3x1 gram
1
PBI 3mm/3mm Pindah bangsal
12 Feb 2018 Nyeri kepala KU : lemah COS+SDH IVFD NaCl 0,9% 20 tpm -
Cempaka GCS E3V2M6 frontotemporoparietal Inj ceftazidime 2x1 gram
TD : 133/81 mmHg dekstra post craniotomi Inj ranitidin 2x50 mg
HR : 100 x/m dekompresi H+3 Inj citicolin 2x1
RR : 16 x/m Inj fenitoin 3x100 mg
S : 36,6 Inf paracetamol 3x1 gram
Mata : RC +/+
PBI 3mm/3mm
KM : 5/5/5/5
2
II. ANALISIS KASUS
A. Cedera Kepala
1. Definisi
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik
secara langsung atau tidak langsung yang berakibat pada gangguan fungsi
neurologis, fisik, kognitif, psikososial baik bersifat temporer atau
permanen (Advanced Trauma Life Support, 2008). Menurut Soetidewi
(2012), cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai kulit kepala,
tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat kerusakan baik secara
langsung maupun tidak langsung, dengan disertai atau tanpa disertai
perdarahan yang mengakibatkan gangguan fungsi otak.
Sedangkan menurut Brain Injury Association of America, cedera
kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital
ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik
dari luar yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran serta dapat
merusak kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Brain Injury Association
of America, 2015).
2. Epidemiologi
Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya
diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10%
meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Yang sampai di rumah sakit, 80%
dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan (CKR), 10% termasuk
cedera kepala sedang (CKS), dan 10% sisanya adalah cedera kepala berat
(CKB). Insiden cedera kepala terutama terjadi pada kelompok usia
produktif antara 15-44 tahun. Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab
48%-53% dari insiden cedera kepala, 20%-28% lainnya karena jatuh dan
3%-9% lainnya disebabkan tindak kekerasan, kegiatan olahraga dan
rekreasi (Satyanegara, 2014).
1
10% dengan CKB. Angka kematian tertinggi sekitar 35%-50% akibat
CKB, 5%-10% CKS, sedangkan untuk CKR tidak ada yang meninggal.
Selain itu, angka kejadian cedera kepala di RS Hasan Sadikin Bandung
pada tahun 2011 yaitu 2.509 kasus yang terdiri atas 1.856 (74%) CKR,
438 (17%) CKS, dan 215 (9%) CKB (Satyanegara, 2014).
3. Fisiologi tekanan intrakranial
Rongga kepala merupakan struktur yang rigid berisi tiga komponen
utama yaitu otak, cairan serebrospinal (CSS) dan darah. Ketiga komponen
tersebut akan menghasilkan suatu tekanan relatif di dalam rongga yang
biasa disebut tekanan intrakranial (TIK). TIK merupakan keadaan
dinamis yang berfluktuasi secara terus menerus yang dapat berubah
sebagai respon terhadap berbagai aktivitas dan proses fisiologis tertentu.
Pada keadaan fisiologis normal volume intrakranial yang selalu
dipertahankan konstan dengan TIK berkisar 10-15 mmHg, keadaan ini
dikenal sebagai doktrin Monro-Kellie Burrows (ATLS, 2012;
Satyanegara, 2014).
Darah 50 ml 10%
2
4. Klasifikasi
1. Minimal
2. Ringan
3. Sedang
4. Berat
1. Fraktur tengkorak:
a Kalvaria
2. Lesi Intrakranial:
3
a Fokal
1) Epidural
2) Subdural
3) Intraserebral
b Difus
1) Konkusi ringan
2) Kontusio serebral
5. Penegakan diagnosis
a. Anamnesis
1) Sifat kecelakaan
4
Apabila pasien dalam keadaan compos mentis, dapat
ditanyakan mengenai kronologi kejadian selama sebelum
terjadinya kecelakaan sampai saat tiba di rumah sakit untuk
mengetahui kemungkinan adanya amnesia retrograd. Selain itu,
perlu ditanyakan mengenai adanya muntah, nyeri kepala,
pingsan, pandangan kabur, telinga berdenging, serta perdarahan
yang keluar dari hidung dan telinga.
b. Pemeriksaan Klinis
1) Tingkat kesadaran
4) Pola pernapasan
6
pada tingkat yang berbeda dapat menghasilkan pola pernapasan
yang berbeda pula.
b. Pemeriksaan Penunjang
7
a) Bentuk fraktur (linear atau depresi)
c) Benda asing
2) CT Scan
8
d) Adanya defisit neurologis fokal seperti kejang dan penurunan
kesadaran
6. Penatalaksanaan
No Terapi Medikamentosa
9
neurologis yang akut, seperti terjadinya
dilatasi pupil, hemiparesis atau kehilangan
kesadaran saat pasien dalam observasi
a. Terapi non-operatif
1) Mengontrol fisiologi dan substrat sel otak serta mencegah
kemungkinan terjadinya tekanan tinggi intracranial
2) Mencegah dan mengobati edema otak (cara hiperosmolar, diuretik)
3) Minimalisasi kerusakan sekunder
4) Mengobati simptom akibat trauma otak
5) Mencegah dan mengobati komplikasi trauma otak, misal kejang,
infeksi (antikonvulsan dan antibiotik)
b. Terapi operatif
1) Cedera kranioserebral tertutup
2) Fraktur impresi (depressed fracture)
3) Perdarahan epidural (hematoma epidural) dengan volume perdarahan
lebih dari 30mL/44mL dan/atau pergeseran garis tengah lebih dari 3
mm serta ada perburukan kondisi pasien
10
4) Perdarahan subdural (hematoma subdural/SDH) dengan pendorongan
garis tengah lebih dari 3 mm atau kompresi/ obliterasi sisterna basalis
Cedera kepala
Primary survey
Airway Resusitasi
Cegah hipoksia
Breathing
Cegah hipotensi
Circulation
Neurogical disability
Secondary survey
Penyebab trauma
GCS
Refleks pupil
Gerak bola mata
Kelemahan ekstremitas
Tanda fraktur
CT Scan
Terapi definitif
11
Craniotomi Perawatan neurointensif
Semua pasien dewasa dengan cedera kepala minimal, ringan, sedang (GCS 9-15) yang kurang dari 24 jam pasca trauma
13
kemungkinan lapisan meningeal yang terkontimasi mikroorganisme patogen
dari seluran pernafasan atas. Tindakan operatif pada pasien yang mengalami
fraktur basis cranium sangat jarang dilakukan. Tindakan operatif hanya
dilakukan pada adanya tanda kebocoran LCS yang persisten karena dapat
berisiko menimbulkan infeksi pada lapisan meningens maupun otak dengan
cara craniektomi dekompresi, cranioplasti, dan ossiculopati (Uden, 2014).
C. Hematoma Subdural
Hematoma subdural merupakan perdarahan intrakranial dengan
jendalan darah yang terakumulasidi ruang subdural. Hematoma subdural
disebabkan oleh trauma jaringan otak yang mengakibatkan vena di ruang
subarakhnoid mengalami kerobekan. Hematoma subdural dapat terjadi secara
akut, subakut, maupun kronis. Hematoma subdural dikatakan akut apabila
gejala timbul pada hari pertama sampai ketiga. Hematoma subdural dikatakan
subakut apabila timbul gejala antara hari ketiga hingga minggu ketiga.
Sedangkan hematoma subdural dikatakan kronis apabila timbul gejala setelah
minggu ketiga (Hickey, 2013).
Berikut merupakan tanda dan gejala yang timbul akibat adanya
hematoma subdural (Hickey, 2013).
1. Nyeri kepala yang menetap
2. Muntah proyektil
3. Gangguan penglihatan karena edema dari papil N II.
4. Penurunan kesadaran
5. Gangguan memori
6. Gangguan motorik ringan pada sisi tubuh yang berlawanan
Secara klinis, hematoma subdural akut sulit dibedakan dengan
hematoma epidural. Sedangkan hematoma subdural baik subakut maupun
kronik akan memberikan gambaran klinis sebagai suatu proses desak ruang
yang progresif sehingga sulit dibedakan dengan neoplasma. Satu-satunya cara
untuk membedakannya adalah dengan menggunakan pencitraan CTscan untuk
mengetahui lokasi dan jenis massa. Pada CTscan akan terlihat gambaran
hiperdens yang berbentuk bulan sabit. Jika disertai kontusio serebri akan
14
tampak pula bercak-bercak hiperdens di parenkim otak (gambaran salt and
pepper). Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan yaitu dengan rontgen
tengkorak dengan proyeksi AP-Lateral (Hickey, 2013).
Penatalaksaan yang dilakukan pada hematoma subdural adalah evakuasi
hematoma. Prognosis pada hematoma subdural lebih baik daripada hematoma
epidural. Hal ini disebabkan karena pada hematoma subdural darah akan
menyebar ke ruang subdural sehingga pada volume yang sama, lesi desak
ruang yang terjadi pada hematoma subdural lebih ringan daripada epidural
(Hickey, 2013).
15
mencapai 70 mmHg. Selain itu, terdapat konsep Birmingham yang
menyatakan bahwa perlu untuk membuat kondisi hipertensi secara
farmakologi. Hal ini disebabkan oleh adanya proses autoregulasi dan
hipertensi akan menyebabkan vasokonstriksi serebral sehingga
menurunkan CBV dan TIK. Sedangkan konsep Lund menekankan
peranan hiperemia dalam kejadian peningkatan TIK. Pendekatan tersebut
menggunakan anti-hipertensi untuk menurunkan tekanan darah sambil
memelihara CPP sebesar 60–70 mmHg. Panduan dari Management of
Severe Traumatic Brain Injury menganjurkan CPP antara 50–70 mmHg
(Rahardjo, 2016).
Target osmolaritas pada resusitasi cairan adalah sebesar 280 and
295 mOsm/L. Beberapa literatur merekomendasikan resusitasi cairan
intravena untuk memelihara euvolemia dengan panduan kateter invasif
seperti CVP dan PCWP maupun metode non-invasif seperti
echocardiogram dan pemantauan curah jantung non-invasif untuk menilai
status volume dan hemodinamik (Rahardjo, 2016).
Secara umum, strategi pergantian cairan untuk trauma kepala
adalah mengendalikan TIK. Balans cairan negatif berhubungan dengan
hasil yang buruk terhadap TIK, MAP, dan CPP. Protokol terapi
ditekankan pada pemeliharaan normovolemia dan tekanan osmotik koloid
sambil menjaga keseimbangan cairan tetap netral untuk mencegah edema
interstisial (Rahardjo, 2016).
Saat ini, terdapat dua teori yang menjelaskan konsep terapi pada
cedera kepala, yaitu intracranial pressure (ICP) directed therapy yaitu
terapi dengan target TIK dan cerebral perfusion pressure (CPP) directed
therapy yaitu terapi dengan target tekanan perfusi serebral. Target terapi
ini adalah untuk memelihara penumbra iskemik dan mencegah
eksaserbasi cedera sekunder. Iskemia otak dilaporkan saat CPP di bawah
50mmHg dan peningkatan CPP di atas 60 mmHg akan mencegah
desaturase oksigen serebral.Terapi Lund merupakan pendekatan
terapeutik yang berfokus pada penurunan TIK dengan menurunkan
volume intrakranial. Teori ini menunjukkan bahwa dengan menurunkan
16
CPP, akan diperoleh penurunan risiko edema vasogenik dan dengan
demikian menurunkan risiko peningkatan TIK. Konsep Lund
menggunakan CPP hingga 50 mmHg demi mencapai penurunan tekanan
hidrostatik kapiler dan CBV sambil memelihara tekanan osmotik
(Rahardjo, 2016).
2. Jenis cairan
a. Kristaloid
Panduan ATLS saat ini menganjurkan resusitasi cairan yang
agresif yang dimulai dengan bolus 2 liter kristaloid pada orang
dewasa, dan sebaiknya dengan larutan Ringer Laktat (RL). Kristaloid
terutama mengisi cairan interstisial yang berakibat pada edema yang
merupakan dampak yang sudah terduga setelah resusitasi. Untuk
memperbaiki volume plasma, diperlukan rasio 3:1 volume kritasloid
dari volume darah yang hilang. Beberapa literatur yang menyebutkan
bahwa ratio 5:1 volume kritasloid dari volume darah yang hilang
lebih baik. Hal ini terjadi karena penurunan tekanan osmotik koloid
akibat penurunan konsentrasi protein serum karena perdarahan,
kebocoran kapiler, dan pergantian dengan kristaloid (Rahardjo,
2016).
b. Koloid
Berdasarkan temuan yang menunjukkan bahwa koloid dapat
menyebabkan edema otak dan paru-paru yang signifikan, penggunaan
koloid dengan volume yang lebih sedikit dapat menurunkan edema
dibanding kristaloid. Strategi cairan berdasarkan-kristaloid lebih
dipilih pada protokol resusitasi-trauma, meskipun temuan yang
menunjang hal ini dalam kasus cedera otak masih terbatas.
Osmolaritas lebih berperan dibanding tekanan onkotik plasma dalam
menentukan perpindahan cairan antara kompartemen vaskuler dan
ekstravaskuler bila sawar darah otak intak (Rahardjo, 2016).
c. Hiperosmolar
Terapi hiperosmolar berfungsi untuk menurunkan TIK dan
memperbaiki CPP. Mannitol telah menjadi agen hiperosmolar yang
17
paling dominan dan paling populer selama beberapa dekade terakhir.
Mannitol dianggap menurunkan volume otak dengan cara
menurunkan semua kandungan air, menurunkan volume darah
dengan vasokonstriksi, dan menurunkan volume CSF. Mannitol
memiliki efek ekspansi plasma yang cepat dan dapat memperbaiki
perfusi serebral karena menurunkan viskositas atau mempengaruhi
rheologi darah karena efeknya dalam menurunkan hematokrit serta
memiliki efek osmotik dengan cara menarik cairan menyebrangi BBB
yang intak (Rahardjo, 2016).
Mannitol menciptakan gradien osmotik singkat dan
meningkatkan osmolaritas serum hingga 310 sampai 320 mOsm/kg
H2O. Selain itu, mannitol dianggap memiliki efek protektif terhadap
cedera bikokimia. Mannitol 20%-25% efektif untuk kontrol TIK pada
dosis 0,25 g/kgBB hingga 1 g/kgBB dengan interval 2, 4, 6 jam atau
lebih telah digunakan untuk keperluan terapi jangka pendek dan
jangka panjang dalam manajemen TIK (Rahardjo, 2016).
Tidak ada temuan yang menganjurkan pemberian berulang dan
reguler mannitol untuk digunakan selama beberapa hari. Penggunaan
mannitol dalam jangka waktu lama bisa berakibat dehidrasi
intravaskuler, hipotensi, dan azotemia prerenal Pedoman terbaru
membatasi penggunaan mannitol sebelum pemantauan TIK pada
pasien dengan tanda-tanda herniasi transtentorial atau gangguan
neurologis progresif yang terjadi bukan karena penyebab
ekstrakranial. Karena itu osmolaritas plasma harus dipantau selama
terapi dengan agen hiperosmotik (Rahardjo, 2016).
d. Saline hipertonik
Osmolalitas plasma sebaiknya terjaga dalam kisaran 300–310
mOsm/L sambil memelihara volume plasma tetap adekuat. Sebagai
alternatif terapi, larutan salin hipertonik mulai banyak digunakan, dan
paling sering pada pasien saraf atau bedah saraf yang sakit kritis
dengan cara larutan 3% dibolus sekitar 150 ml, larutan 7,5% dibolus
18
75 ml, atau larutan 23,4% dibolus 30 ml tiap 2,4,6 jam atau lebih
(Rahardjo, 2016).
Salin hipertonik tidak boleh diberikan bila kadar natrium serum
lebih dari 160 mmol/liter. Pada pasien cedera kepala temuan terbaru
masih belum cukup kuat dalam merekomendasikan penggunaan,
panduan konsentrasi, serta metode pemberian salin hipertonik untuk
terapi hipertensi intrakranial. Namun, salah satu meta-analisis terbaru
menunjukkan bahwa salin hipertonik lebih efektif dan mungkin lebih
superior dibanding standar (mannitol) untuk terapi peningkatan TIK
(Rahardjo, 2016).
3. Koreksi elektrolit
Ketidakseimbangan elektrolit yang sering terjadi pada pasien
dengan cedera kepala adalah hiponatremia dan hipokalemia.
Hiponatremia adalah kondisi dimana konsentrasi ion natrium dibawah
136 mEq/L. Hiponatremia harus dikoreksi secara perlahan selama terapi,
dengan kecepatan sekitar 8-12 mEq/L dalam 24 jam atau 0,5 mEq/L per
jam. Koreksi hiponatremia yang tidak tepat dapat menyebabkan
kerusakan otak yang permanen (Rahardjo, 2016).
Koreksi natrium pada hiponatremia yang cepat dikaitkan dengan
myelinolis pontin sentral yang merupakan gangguan permanen yang
terjadi di substansia alba pontin otak. Pasien dengan hiponatremia akut
tampaknya dapat menoleransi koreksi natrium yang cepat dibandingkan
pada hiponatremia kronik. Kadar natrium serum harus dipantau ketat
setiap 6–12 jam selama koreksi. Target natrium selama terapi
hiponatremia adalah 130–135 mEq/L, meskipun kadar 135 mEq/L
merupakan batas bawah normal. Strategi target ini biasanya dapat
meredakan gejala dan menghindari koreksi yang berlebihan (Rahardjo,
2016).
19
E. Teknik Anestesi pada Cedera Kepala
1. Pengelolaan anestesi
Berikut merupakan prinsip dasar dalam pengelolaan anestesi pada
cedera kepala akut (Yohan, 2016).
a. Optimalisasi perfusi otak
b. Mencegah iskemik otak dengan menjaga stabilisasi hemodinamik yang
optimal
c. Menghindari teknik dan obat-obat yang bisa menaikkan ICP seperti batuk,
mengejan, mengerang, kanulasi vena jugularis, dan posisi kepala
hiperfleksi, hiperekstensi, serta rotasi
2. Premedikasi
Tahap premedikasi pada pasien yang mengalami cidera kepala
dilakukan dengan memberikan anti kolinergik untuk mencegah sekresi yang
berlebihan seperti preparat glicopirolate. Dalam keadaan ini, tidak perlu
memberikan sedasi yang dapat menyebabkan depresi respirasi yang akan
meningkatkan PaCO2 seperti obat-obat narkotik (Yohan, 2016).
3. Induksi
Induksi yang ideal adalah menghindari kenaikan tekanan darah maupun
kenaikan ICP. Oleh karena itu, perlu menghindari hal-hal yang menimbulkan
rasa nyeri seperti pemasangan infus, pengisapan lendir, dan manipulasi daerah
trauma. Pasien sebaiknya diposisikan telentang dengan kepala head up
setinggi 20-30% untuk mencegah obstruksi vena besar di leher. Setelah itu,
perlu dilakukan preoksigenasi sebesar 100% untuk mencapai SaO2 sebesar
100% (Yohan, 2016).
Preparat yang direkomendasikan dalam melakukan induksi anestesi
pada pasien cidera kepala adalah fentanil dengan dosis 1-4 ug/kg BB dan
lidocain dengan 1,5 mg/kg BB 1-3 menit sebelum intubasi karena dapat
mencegah kenaikan tekanan darah dan ICP. Selain itu, etomidate dan propofol
merupakan alternatif yang baik (Yohan, 2016).
Vecuronium dan recuronium merupakan relaksan yang
direkomendasikan karena tidak berefek pada kestabilan kardiovaskular.
Pancuronium tidak dianjurkan karena efek hipertensinya dapat menaikkan
20
CBF dan ICP dimana penderita cedera kepala akut ada gangguan auto
regulasi. Selain itu, itracurium bila mungkin dihindari karena melepaskan
histamin dan metabolit laudanosin yang dimilikinya dapat menimbulkan
kejang-kejang pada binatang percobaan (Yohan, 2016).
4. Pemeliharaan anestesi
Penggunaan anestesi inhalasi seperti isoflurane and sevoflurane sangat
direkomendasikan pada pasien yang mengalami cidera kepala. Sevoflurane
memiliki efek neuro hemodinamiknya seimbang dengan isoflurane hanya
induksi dengan pemulihannya lebih cepat (Yohan, 2016).
Halothan merupakan anestesi inhalasi yang dikontraindikasikan secara
absolut pada pasien cidera kepala. Hal ini terjadi karena halothan dapat
mensensititasi myokard sehingga merangsang terjadinya aritmia pada pasien
cidera yang mengalami peningkatan katekolamin. Disamping itu, kenaikan
ICP oleh karena halothan tidak bisa diperbaiki dengan terapi hiperventilasi
(Yohan, 2016).
Selain itu, enflurane juga tidak dianjurkan dalam bedah syaraf karena
dapat menimbulkan kejang. Sedangkan penggunaan N2O dapat meningkatkan
CBF sekitar 100% dan meningkatkan resiko emboli udara terutama bila
disertai kerusakan sinus nervosa atau bila sinus tulang kontak dengan udara
(Yohan, 2016).
5. Paska operasi
Apabila pasien dalam keadaan sadar dan bernapas spontan secara
adekuat, maka dapat dilakukan ektubasi segera setelah tindakan operasi.
Pengisapan lendir dan ektubasi dilakukan secara hati-hati karena dapat
menyebabkan pasien batuk, mengejan, dan merejan yang berpotensi dalam
menaikkan ICP dan memperburuk edema serebri yang ada. Hal ini dapat
disiasati dengan dilakuakn pemberian likodain dengan dosis 1-1.5 mg/kg BB
secara intravena dalam waktu tiga menit sebelum ektubasi (Yohan, 2016).
Apabila CGS kurang 8 atau adanya trauma leher dan dada mungkin intubasi
tetap dipertahankan untuk diventilasi di ICU untuk menjaga & proteksi jalan
napas. Pasien perlu diposisikan head up 20-30% agar drainase vena serebral
lancar terutama penderita dengan ventilasi tekanan positif atau PEEP atau
21
pasien dengan CVP yang tinggi. Perlu dihindari posisi Tredelenburg, kepala
hiperfleksi, hiperektensi atau rotasi akan membendung vena besar leher dapat
menaikkan ICP (Yohan, 2016).
Hipertensi paska operasi dapat menimbulkan perdarahan kembali akibat
bekuan darah belum kuat. Bila tekanan darah melampaui batas autoregulasi
(MAP di atas 150mmHg) akan menyebabkan rusaknya BBB, edema
interstitiel dan meningkatnya ICP. Tetapi harus dilakukan terapi bila MAP di
atas 130-140 mmHg dan semua penyebabnya seperti hipopksia, hiperkarbi,
hiportermi dan ovelood cairan, serta nyeri dikoreksi baru diberikan anti
hipertensi. Naiknya tekanan darah karena PaCo2 meningkat, diperlukan untuk
mempertahankan CPP bila diberi anti hipertensi akan memperburuk perfusi
otak (Yohan, 2016).
Prinsip pemberian cairan paska operasi cidera kepala adalah restriksi.
Hal ini dilakukan untuk mencegah eksaserbasi edema serebri. Oleh karena itu,
perlu mencegah terjadi overhidrasi. Retriksi cairan, diuretik kuat, dan diuretik
osmotik dapat digunakan untuk melakukan pengaturan cairan (Yohan, 2016).
Untuk pengendalian kejang dapat digunakan preparat phenitoin,
benzodiazepin, barbiturat, maupun lidokain. Kejang harus segera diatasi
karena kejang dapat menaikkan ICP, hipertensi sampai perdarahan otak,
hipoksia dan rusaknya sel otak. Dosis permulaan phenitoin 5-20 mg/kg
intravena, dengan kecepatan maksimal pemberian 50 mg/menit, untuk
mencegah efek samping kardiovaskular seperti hipotensi,aritmia sampai henti
jantung. Diazepam diberikan dengan dosis 5- 10 mg intravena(0,3 mg/kg)
sementara thiopental dengan dosis (1-4)mg/kg intravena (Budiono, 2013).
Komplikasi yang mungkin terjadi dari intubasi diantaranya adalah
terjadinya aspirasi, trauma gigi geligi, laserasi bibir, gusi, laring, hipertensi,
takikardi spasme bronchus, spasme laring, gangguan fonasi edema glotis, dan
infeksi larinng, faring, trakhea (Budiono, 2013).
22
DAFTAR PUSTAKA
Advance Trauma Life Support (ATLS) Student Course Manual 9th Edition. 2012.
Cedera Kepala. Jakarta.
Budiono, Uripno. 2013. Anestesi Umum. Dalam: Soenardjo dan Heru Dwi
Jatmiko (Eds). Anestesiologi. Semarang: Perdatin Jawa Tengah.
Hutchinson, P J., Kirkpatrick PJ. 2012. Acute Head Injury for The Neurologist.
Academic Departement of Neurosurgery, University of Cambridge.
Rahadjo, Sri. 2016. Manajemen Cairan dan Elektrolit pada Pasien Cedera Kepala.
Jurnal Neuroanestesi Indonesia. Departemen Anestesiologi &Terapi
Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada-RSUP dr. Sardjito
Yogyakarta
23
Yohan, Istiawan. 2016. Teknik Anestesi pada Pasien Cedera Kepala. Jurnal
Neuroanestesi Indonesia. Departemen Anestesiologi &Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada-RSUP dr. Sardjito
Yogyakarta
24