Anda di halaman 1dari 18

TEKNIK GAUZE DALAM PENANGANAN FUNGUS BALL

PADA SINUS MAKSILARIS


(Laporan Kasus)

Kamal Anshari
Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Bedah Kepala dan Leher
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga - RSUD Dr. Soetomo
Surabaya

ABSTRAK
Fungus ball pada sinus paranasal adalah infeksi non-invasif pada sinus
paranasal yang disebabkan oleh infeksi jamur Aspergillus sp dan Candida sp.
Insidensi fungus ball pada sinus paranasal meningkat beberapa tahun ini. Fungus
ball pada sinus paranasal sering terjadi pada usia dewasa, dan predominansi pada
jenis kelamin perempuan. Dilaporkan dua kasus fungus ball pada sinus maksilaris
pada perempuan usia dewasa lanjut. Pada kasus pertama, pasien didiagnosis
sebagai fungus ball pada sinus maksilaris dekstra dan direncanakan untuk
dilakukan eksisi massa fungus ball pada sinus maksilaris dekstra dengan teknik
gauze. Pada kasus kedua, pasien didiagnosis sebagai sinusitis maksilaris sinistra et
causa fungus ball dengan dacriolithiasis sinistra, dacriosistitis kronis sinistra, dan
otitis media kronik dekstra dan direncanakan untuk dilakukan Functional
Endoscopic Sinus Surgery (FESS) dekstra dan sinistra.

Kata Kunci : fungus ball, sinusitis maksilaris, teknik gauze

1
2

PENDAHULUAN

Fungus ball pada sinus paranasal adalah infeksi non-invasif pada sinus

paranasal yang disebabkan oleh infeksi jamur Aspergillus sp dan Candida sp.1,2

Fungus ball pada sinus paranasal ditandai dengan adanya keluhan nyeri kepala

terutama bagian puncak kepala dan bagian belakang kepala, nyeri pada wajah,

obstruksi nasal, post nasal drip, dan batuk yang bersifat rekuren dan tidak respon

dengan terapi antibiotik.1,3

Insidensi fungus ball pada sinus paranasal meningkat beberapa tahun ini. Hal

ini terjadi akibat seiring dengan meningkatnya penggunaan antibiotik,

kortikosteroid, imunosupresan, dan radioterapi. Infeksi tersebut terjadi terutama

pada pasien yang mengalami kondisi imunokompremise seperti pasien yang

menderita diabetes melitus, neutropenia, AIDS, malnutrisi, asma, granulomatosis


1,3
Wagener, dan penyakit limfoproliferatif. Fungus ball pada sinus paranasal

sering terjadi pada usia dewasa, dan predominansi pada jenis kelamin perempuan.4

Gambaran klinis infeksi fungus ball pada sinus maksilaris menyerupai

sinusitis kronik, yang ditandai dengan adanya keluhan nyeri kepala, nyeri pada

wajah, obstruksi nasal, post nasal drip, dan batuk.5,6 Pada pemeriksaan endoskopi

nasal biasanya didapatkan sekret yang bersifat purulen disertai dengan massa

fungus ball.5 Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien dengan

fungus ball pada sinus maksilaris adalah pemeriksaan laboratorium darah,

radiologik, dan histopatologi.5,6 Pada pemeriksaan CTscan, dapat terlihat adanya

massa jaringan lunak pada lumen sinus maksilaris dengan gambaran radioopak

yang disebut iron-like bodies.7,8


3

Fungus ball pada sinus maksilaris dapat menyebabkan komplikasi ke orbita,

sistem saraf pusat, paru, jantung, hepar dan lien. Komplikasi yang terjadi pada

orbita dapat ditandai dengan adanya proptosis, telekantus, pendataran malar, dan

posisi bola mata yang asimetris. Sedangkan komplikasi yang terjadi pada sistem

saraf pusat adalah meningitis dan ensefalitis. Selain itu, dapat terjadi

bronkopneumonia, perikarditis, endokarditis, dan hepatitis fungal.5,6

Pada makalah ini akan dilaporkan dua kasus fungus ball pada sinus maksilaris

yang telah dilakukan tindakan eksisi dengan menggunakan teknik gauze.

LAPORAN KASUS

Pada kasus pertama, seorang pasien berjenis kelamin perempuan berusia 46

tahun datang ke Unit Rawat Jalan (URJ) THT-KL RSUD Dr. Soetomo Surabaya

pada tanggal 10 Januari 2018 atas rujukan RSUD dr. Haryoto Kabupaten Lumajang

dengan diagnosis suspek kanker sinus maksilaris. Pasien mengeluhkan nyeri

kepala yang bersifat hilang timbul sejak 6 bulan yang lalu. Nyeri kepala dirasakan

pada dahi dan puncak kepala. Pasien juga mengeluhkan adanya lendir berwarna

kuning yang mengalir dari hidung ke tenggorokan dan batuk. Pasien menyangkal

adanya mimisan, nyeri di kedua pipi, pilek, hidung tersumbat, dan gangguan

penghidu.

Pasien menyangkal adanya riwayat penyakit asma, alergi, diabetes melitus,

hipertensi, stroke, penyakit jantung koroner, dan kelainan pembekuan darah

sebelumnya. Pasien mengaku tidak memiliki kebiasaan merokok. Analisis risiko

penyakit sinonasal dengan menggunakan sistem skoring SNOT-22 senilai 22.


4

Sedangkan analisis risiko refluk laringofaring akibat refluk gastroduodenal dengan

menggunakan sistem skoring Reflux Symptom Index senilai 11.

Pada pemeriksaan fisik, status generalis menunjukan keadaan umum baik,

kesadaran compos mentis, dan tanda vital stabil. Pada pemeriksan nares anterior

didapatkan hasil dalam batas normal tanpa deviasi nasal. Pada pemeriksaan

rinoskopi anterior didapatkan kondisi cavum nasi lapang tanpa disertai sekret

maupun massa. Pemeriksaan pada tenggorokan menunjukan tonsil berukuran T1-

T1 tanpa adanya hiperemis. Selain itu, pemeriksaan pada telinga dan leher

menunjukan hasil dalam batas normal.

Selanjutnya dilakukan endoskopi nasal yang menunjukan cavum nasi dan

meatus media lapang, disertai dengan adanya edema mukosa derajat ringan-sedang

dan sekret mukopurulen pada cavum nasi dekstra tanpa ditemukan adanya massa

polip. Hasil pemeriksaan CT-scan menunjukan perselubungan heterogen pada

antrum dekstra dengan gambaran kalsifikasi menyerupai massa fungal, penebalan

tulang, dan opasifikasi sinus maksilaris secara parsial. Skor Lund-Mackay terhadap

hasil CT-scan bernilai 2.


5

Gambar 1. Hasil CT-scan yang menunjukan massa fungal pada sinus maksilaris

Pasien didiagnosis sebagai fungus ball pada sinus maksilaris dekstra. Pasien

direncanakan untuk dilakukan eksisi massa fungus ball pada sinus maksilaris

dekstra dengan teknik gauze. Tindakan ini dilakukan secara endoskopik diawali

dengan melakukan uncinektomi dekstra, dilanjutkan dengan Large Middle Meatal

Antrostomy (MMA) dekstra. Selanjutnya dilakukan pengeluaran massa fungus ball

dengan teknik gauze dan kemudian dilakukan irigasi sinus. Apabila diperlukan

pasien akan dilakukan tindakan insisi recessus prelacrimalis dekstra. Prosedur ini

dilakukan selama 1 jam.

Pada kasus kedua, seorang pasien berjenis kelamin perempuan berusia 53

tahun datang ke Unit Rawat Jalan (URJ) THT-KL RSUD Dr. Soetomo Surabaya

pada tanggal 10 November 2017 konsulan dari URJ Mata dengan dacryolithiasis
6

dan dascryosistitis. Pasien mengeluhkan benjolan di sudut mata sebelah kiri sejak

2 bulan yang lalu. Benjolan dirasakan semakin membesar. Benjolan dirasakan

tanpa rasa nyeri. Pasien juga mengeluhkan mata sebelah kiri sering nerocos serta

keluar cairan dari telinga sebelah kanan dengan konsistensi kental yang berwarna

kuning dan tidak berbau. Keluhan ini terjadi secara hilang timbul sejak 10 tahun

yang lalu.

Pasien menyangkal adanya pilek, hidung tersumbat, nyeri di kedua pipi, nyeri

di sudut mata, nyeri di dalam mata, nyeri di puncak kepala, nyeri di belakang

kepala, dan gangguan penciuman. Pasien menyangkal adanya riwayat penyakit

asma, alergi, diabetes melitus, hipertensi, stroke, penyakit jantung koroner,

kelainan pembekuan darah, dan sakit gigi di rahang atas sebelumnya. Pasien

mengaku tidak memiliki kebiasaan merokok dan riwayat sering terkena paparan

rokok.

Pada pemeriksaan fisik, status generalis menunjukan keadaan umum baik,

kesadaran compos mentis, dan tanda vital stabil. Pada pemeriksaan rinoskopi

anterior didapatkan kondisi cavum nasi lapang tanpa disertai sekret maupun massa.

Selanjutnya dilakukan endoskopi nasal yang menunjukan cavum nasi lapang,

disertai dengan adanya deviasi septum ke arah kanan sehingga meatus media

dekstra lebih sempit daripada meatus media sinistra dan sekret mukopurulen pada

cavum nasi dekstra et sinistra tanpa ditemukan adanya massa polip.

Pemeriksaan pada tenggorokan menunjukan tonsil berukuran T1-T1 tanpa

adanya hiperemis dan deviasi lidah. Selain itu, pemeriksaan pada telinga

didapatkan meatus akustikus eksterna lapang, membran timpani sinistra intak, dan

adanya perforasi subtotal tipe sentral pada membran timpani dekstra tanpa adanya
7

sekret. Pemeriksaan leher menunjukan hasil dalam batas normal tanpa pembesaran

kelenjar getah bening.

Hasil pemeriksaan CT-scan menunjukan adanya lesi solid berukuran 0,6x0,5

cm dengan batas tidak tegas dan tepi irreguler pada cantus medial orbita sinistra

dan mengisi sebagian ductus nasolakrimalis sinistra tanpa adanya destruksi tulang

di sekitarnya. Selain itu didapatkan gambaran hipertrofi concha nasalis inferior

dekstra dan sinistra, penebalan mukosa sinus maksilaris sinistra yang disertai

dengan kalsifikasi, serta penurunan air cell dan perselubungan di os mastoideus

dekstra. Hasil CT-scan disimpulkan dengan kesan massa jinak pada cantus medial

orbita kiri, sinusitis maksilaris dengan jaringan granulasi di dalamnya, mastoiditis

dekstra, dan hipertrofi concha nasalis inferior dekstra et sinistra.


8

Gambar 2. Hasil CT-scan yang menunjukan massa jinak pada cantus medial
orbita kiri, sinusitis maksilaris, mastoiditis dekstra, dan hipertrofi concha nasalis
inferior dekstra et sinistra

Pasien didiagnosis sebagai sinusitis maksilaris sinistra et causa fungus ball

dengan dacriolithiasis sinistra, dacriosistitis kronis sinistra, dan otitis media kronik

dekstra. Pasien direncanakan untuk dilakukan Functional Endoscopic Sinus

Surgery (FESS) dekstra dan sinistra. Tindakan FESS dilakukan secara endoskopik,

selanjutnya dilakukan uncinektomi dekstra et sinistra, dan Middle Meatal

Antrostomy (MMA) dekstra et sinistra. Kemudian dilakukan tindakan septoplasti.

PEMBAHASAN

Fungus ball pada sinus paranasal, atau sering disebut sebagai sinusitis

mycetoma maupun aspergilloma, adalah infeksi non-invasif pada sinus paranasal

yang disebabkan oleh infeksi jamur Aspergillus sp dan Candida sp.1,2 Aspergillus

sp. merupakan jamur yang tergolong dalam genus Ascomycetes. Spesies dari

Aspergillus sp yang dapat menyebabkan sinusitis mycetoma adalah Aspergillus

fumigatus, Aspergillus niger, dan Aspergillus flavus.1

Insidensi fungus ball pada sinus paranasal meningkat beberapa tahun ini. Hal

ini terjadi akibat seiring dengan meningkatnya penggunaan antibiotik,

kortikosteroid, imunosupresan, dan radioterapi. Infeksi tersebut terjadi terutama

pada pasien yang mengalami kondisi imunokompremise seperti pasien yang

menderita diabetes melitus, neutropenia, AIDS, malnutrisi, asma bronkhial,

granulomatosis Wagener, dan penyakit limfoproliferatif. Namun demikian, fungus

ball pada sinus paranasal dapat juga terjadi pada individu yang sehat walaupun
9

prevalensinya sangat kecil.1,3 Fungus ball pada sinus paranasal sering terjadi pada

usia dewasa lanjut dengan rerata usia 55 tahun, dan predominansi pada jenis

kelamin perempuan.4

Pada kasus pertama, pasien berusia 46 tahun dan berjenis kelamin perempuan.

Pasien menyangkal adanya riwayat penyakit asma bronkhial, alergi, dan diabetes

melitus. Pada pemeriksaan fisik, status antropometri dalam batas normal. Pada

pasien ini tidak ditemukan tanda keadaan imunokompremise. Pada kasus kedua,

pasien berusia 53 tahun dan berjenis kelamin perempuan. Pasien menyangkal

adanya riwayat penyakit asma bronkial, alergi, dan diabetes melitus. Pada

pemeriksaan fisik, status antropometri dalam batas normal. Pada pasien ini tidak

ditemukan tanda keadaan imunokompremise.

Proses transmisi fungus ball pada sinus paranasal terjadi secara primer melalui

inhalasi. Selain itu, penularan juga dapat terjadi secara iatrogenik melalui

komunikasi sekunder oro-sinus yang terjadi akibat tindakan dental. Kondisi sinus

paranasal yang bersifat hipoksik dan memiliki pH rendah akan merangsang

patogenitas jamur. Pertumbuhan jamur intrasinus dapat menyebabkan perubahan

struktur mukosiliar dan mengganggu ventilasi sinus sehingga terjadi penutupan

ostium sinus paranasal.3,4 Sinusitis mycetoma biasanya terjadi secara unilateral dan

sebagian besar melibatkan sinus maksilaris.3

Sinus maksilaris merupakan sinus paranasal yang terbesar dan berbentuk

segitiga. Dinding anterior sinus merupakan permukaan fasial os maksila yang

disebut fosa kanina, dinding posterior sinus maksilaris merupakan permukaan

infra-temporal maksila, dan dinding medial sinus merupakan dinding lateral

rongga hidung. Selain itu, dinding superior sinus merupakan dasar orbita sehingga
10

kelainan pada sinus maksilaris dapat menyebabkan komplikasi orbita. Sedangkan

dinding inferior sinus merupakan prosesus alveolaris dan palatum, sehingga infeksi

pada mulut dan gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis.5

Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus

maksilaris dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infindibulum etmoid.

Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga proses

drainase menjadi kurang baik. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid

anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat

menghalangi drainase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis.5

Pada kasus pertama maupun kedua, pasien menyangkal adanya sakit gigi di

rahang atas sebelumnya sehingga penyebab sinusitis karena transmisi secara

iatrogenik melalui komunikasi sekunder oro-sinus yang terjadi akibat tindakan

dental dapat disingkirkan. Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa penyebab

sinusitis baik pasien pada kasus pertama maupun kedua terjadi secara primer

melalui inhalasi.

Pada kasus pertama, pasien mengalami sinusitis fungal secara unilateral yaitu

pada sinus maksilaris dekstra. Hal ini terjadi sama halnya pada kasus kedua, pasien

mengalami sinusitis fungal secara unilateral yaitu pada sinus maksilaris sinistra.

Dengan demikian, pasien pada kedua kasus mengalami sinusitis fungal secara

unilateral pada sinus maksilaris dimana sinus maksilaris merupakan predikleksi

yang sering terjadinya sinusitis fungal.

Pada kasus kedua, pasien didiagnosis sebagai sinusitis maksilaris sinistra et

causa fungus ball dengan dacriolithiasis sinistra dan dacriosistitis kronis sinistra.

Dacriolithiasis dan dacriosistitis dapat terjadi akibat komplikasi dari sinusitis


11

fungal pada sinus maksilaris. Hal ini dapat terjadi akibat dinding superior dari sinus

maksilaris merupakan dasar orbita sehingga kelainan pada sinus maksilaris dapat

berkomplikasi ke orbita. Salah satu contohnya adalah dacriolitiasis dan

dacriosistitis. Massa fungus ball pada sinus maksilaris dapat menghambat aliran

drainase air mata melalui ductus nasolacrimalis sehingga terbentuk dacriolitiasis.

Sumbatan akibat dacriolitiasis akan merangsang infeksi sehingga timbul

dacriosistitis.

Gambaran klinis infeksi fungus ball pada sinus maksilaris menyerupai

sinusitis kronik, yang ditandai dengan adanya keluhan nyeri kepala, nyeri pada

wajah, obstruksi nasal, post nasal drip, dan batuk.5,6 Selain itu, perlu ditanyakan

mengenai riwayat penyakit yang pernah diderita sebelumnya dan pengobatan yang

telah dilakukan. Pasien yang mengalami infeksi fungal pada sinus maksilaris

biasanya memiliki riwayat infeksi sinus yang bersifat rekuren dan tidak respon

dengan terapi antibiotik.7

Pada kasus pertama, pasien mengeluhkan nyeri kepala pada dahi dan puncak

kepala yang bersifat hilang timbul sejak 6 bulan yang lalu, post nasal drip dengan

lendir kekuningan, dan batuk. Pada pasien ini dilakukan analisis risiko penyakit

sinonasal dengan menggunakan sistem skoring SNOT-22 senilai 22. Sedangkan

analisis risiko refluk laringofaring akibat refluk gastroduodenal dengan

menggunakan sistem skoring Reflux Symptom Index senilai 11.

Sistem skoring SNOT-22 digunakan untuk menganalisis tingkat keparahan

gejala dan penyakit yang berhubungan dengan kondisi sinonasal terhadap status

kesehatan, kualitas hidup, dan mengukur respon terapi yang diberikan.8 Sistem
12

skoring Reflux Symptom Index digunakan untuk menganalisis risiko refluk

laringofaring akibat refluk gastroduodenal.9

Pada sistem skoring ini dapat diinterpretasikan hasil bahwa skor yang kurang

dari 5 menunjukan tidak adanya masalah akibat refluk laringofaring. Sedangkan

apabila skor lebih dari 5 menunjukan adanya masalah yang berat akibat refluk

laringofaring. Pada pasien yang mendapatkan skor yang kurang dari 9, maka terapi

yang diberikan adalah modifikasi gaya hidup.9 Sedangkan pada pasien yang

mendapatkan skor yang lebih dari 9, maka diperlukan terapi Proton Pump Inhibitor

(PPI). Pada pasien ini didapatkan skor sebesar 11 sehingga terdapat masalah berat

akibat refluk laringofaring dan memerlukan terapi PPI.

Pada pemeriksaan rinoskopi anterior didapatkan sekret purulen pada meatus

media. Pada pemeriksaan endoskopi nasal biasanya didapatkan sekret yang bersifat

purulen disertai dengan massa gumpalan-gumpalan spora di dalam kavitas sinus

yang disebut sebagai fungus ball. Infeksi fungus ball termasuk dalam tipe sinusitis

non-invasif sehingga tidak didapatkan kerusakan mukosa sinus dan tulang.10

Pada kasus pertama, pemeriksaan endoskopi nasal menunjukan cavum nasi

dan meatus media lapang, disertai dengan adanya edema mukosa derajat ringan-

sedang dan sekret mukopurulen pada cavum nasi dekstra. Sedangkan pada kasus

kedua, pemeriksaan endoskopi nasal menunjukan cavum nasi lapang, disertai

dengan adanya deviasi septum ke arah kanan sehingga meatus media dekstra lebih

sempit daripada meatus media sinistra dan sekret mukopurulen pada cavum nasi

dekstra et sinistra. Pada kedua kasus ini tidak tampak adanya massa fungus ball

pada pemeriksaan endoskopi nasal.


13

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien dengan fungus ball

pada sinus maksilaris adalah pemeriksaan laboratorium darah, radiologik, dan

histopatologi. Pada pemeriksaan laboratorium darah, terdapat peningkatan

konsentrasi IgE yang lebih dari 1000 U/ml. Pemeriksaan histopatologi dilakukan

dengan menggunakan larutan KOH dan pewarnaan hematoksilin eosin. Pada

infeksi fungus ball pada sinus maksilaris, didapatkan gambaran kumpulan hifa

jamur dengan reaksi jaringan yang minimal.6,7

Pemeriksaan radiologik dilakukan dengan cara orthopanoramic radiography

(OPT), CTscan, dan MRI. Pemeriksaan OPT dilakukan untuk mengetahui adanya

opasifikasi pada sinus maksilaris secara unilateral. Pada pemeriksaan ini

didapatkan adanya gambaran radioopak baik tunggal maupun multipel.10

Sedangkan pada pemeriksaan CTscan, dapat terlihat adanya massa jaringan lunak

pada lumen sinus maksilaris dengan gambaran radioopak yang disebut iron-like

bodies, disertai dengan gambaran busa sabun tanpa adanya erosi mukosa,

opasifikasi, destruksi tulang, dan perluasan ke struktur sekitarnya. Gambaran

radioopak disebabkan oleh adanya penumpukan kalsium fosfat pada permukaan

fungus ball. MRI dapat menunjukan adanya kalsifikasi dan metal

paramagnetik.10,11

Pada kasus pertama, hasil pemeriksaan CT-scan menunjukan perselubungan

heterogen pada antrum dekstra dengan gambaran kalsifikasi menyerupai massa

fungal, penebalan tulang, dan opasifikasi sinus maksilaris secara parsial. Skor

Lund-Mackay terhadap hasil CT-scan bernilai 2. Pada kasus kedua, hasil

pemeriksaan CT-scan menunjukan adanya lesi solid berukuran 0,6x0,5 cm dengan

batas tidak tegas dan tepi irreguler pada cantus medial orbita sinistra dan mengisi
14

sebagian ductus nasolakrimalis sinistra tanpa adanya destruksi tulang di sekitarnya.

Selain itu didapatkan gambaran hipertrofi concha nasalis inferior dekstra dan

sinistra, penebalan mukosa sinus maksilaris sinistra yang disertai dengan

kalsifikasi, serta penurunan air cell dan perselubungan di os mastoideus dekstra.

Pada kedua kasus tersebut ditemukan adanya gambaran kalsifikasi pada sinus

maksilaris tanpa adanya erosi mukosa, opasifikasi, destruksi tulang, dan perluasan

ke struktur sekitarnya menunjukan bahwa adanya massa pada sinus maksilaris

yang bersifat non-invasif. Hal ini mengarahkan bahwa massa tersebut terjadi akibat

infeksi fungal pada sinus maksilaris yang menyebabkan sinusitis mycetoma

dengan massa fungus ball intra-sinus. Sistem skoring Lund-Mackay merupakan

skor radiologi yang digunakan untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi derajat

keparahan dari rhinosinusitis. 12

Fungus ball pada sinus maksilaris dapat menyebabkan komplikasi ke orbita,

sistem saraf pusat, paru, jantung, hepar dan lien. Komplikasi yang terjadi pada

orbita dapat ditandai dengan adanya proptosis, telekantus, pendataran malar, dan

posisi bola mata yang asimetris. Sedangkan komplikasi yang terjadi pada sistem

saraf pusat adalah meningitis dan ensefalitis. Selain itu, dapat terjadi

bronkopneumonia, perikarditis, endokarditis, dan hepatitis fungal.6,7 Pada kasus

kedua, pasien mengalami komplikasi orbita berupa dacriolitiasis dan dacriosistitis

sinistra.

Terapi yang dilakukan pada fungus ball pada sinus paranasal adalah tindakan

operatif dan pemberian antifungal secara sistemik. Tindakan operatif dilakukan

dengan eksisi massa fungus ball yang bertujuan untuk memperbaiki ventilasi dan

drainase dari sinus paranasal serta meminimalisasi kerusakan mukosa. Prosedur


15

Caldwell-Luc yang dilakukan melalui fossa caninus merupakan terapi dengan

efikasi yang sangat rendah.13,14

Eksisi endonasal yang dilakukan dengan menggunakan endoskopi merupakan

terapi utama dan memberikan hasil yang baik. Namun pada kasus dimana massa

fungus ball mencapai resessus anterior maupun inferior dari sinus maksilaris,

penggunaan endoskopi menjadi lebih sulit untuk mencapai fokus lokasi.13,14

Beberapa ahli mengkombinasikan penggunaan endoskopi dengan prosedur

Caldwell-Luc yaitu menggunakan trokar melalui fossa caninus yang disebut

sebagai prosedur double-approach. Namun prosedur kombinasi ini memerlukan

waktu yang lama dengan tindakan yang lebih sulit dan risiko komplikasi yang lebih

tinggi.13

Oleh karena itu, diperlukan teknik endoskopik klasik dengan menggunakan

kain kassa untuk mengeluarkan fungus ball dari sinus maksilaris tanpa tindakan

destruktif yang bersifat destruktif. Prosedur ini dianggap sebagai prosedur yang

aman dengan tingkat risiko komplikasi yang lebih rendah apabila dibandingkan

dengan prosedur yang hanya menggunakan teknik endoskopik tradisional saja.13

Pada kasus pertama, pasien direncanakan untuk dilakukan eksisi massa fungus

ball pada sinus maksilaris dekstra dengan teknik gauze. Tindakan ini dilakukan

secara endoskopik diawali dengan melakukan uncinektomi dekstra, dilanjutkan

dengan Large Middle Meatal Antrostomy (MMA) dekstra. Selanjutnya dilakukan

pengeluaran massa fungus ball dengan teknik gauze dan kemudian dilakukan

irigasi sinus.Sedangkan pada kasus kedua, pasien direncanakan untuk dilakukan

Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS) dekstra dan sinistra. Tindakan FESS

dilakukan secara endoskopik, selanjutnya dilakukan uncinektomi dekstra et


16

sinistra, dan Middle Meatal Antrostomy (MMA) dekstra et sinistra kemudian

dilakukan tindakan septoplasti.

Prosedur ini diawali dengan membuat antrostomi lebar dengan menggunakan

teknik endoskopi klasik. Setelah itu dilakukan luksasi medial pada konkha medial

sehingga dapat teridentifikasi bula ethmoidalis. Kemudian dengan menggunakan

aspirator lengkung, melakukan palpasi di bagian inferior bula ethmoidalis yang

disebut dengan area fontanela yaitu bagian tipis dari kompleks osteomeatal.

Tindakan ini dilakukan untuk mengidentifikasi adanya sinus. Selanjutnya

dilakukan pelebaran antrostomi dengan menggunakan pinset retrograd dengan arah

anterior dan posterior. Dengan demikian, massa fungus ball akan terlihat jelas

untuk selanjutnya dilakukan eksisi dengan menggunakan pinser endoskopi dan

suction.13

Gambar 3a. Antrostomi lebar; 3b. Teknik gauze; 3c. Evakuasi fungus ball 13

Pada teknik dengan penggunaan kain kassa, diperlukan kain kassa berukuran

5x5 cm yang dipisahkan menjadi 2 bagian dengan salah satu bagian dibasahi
17

dengan cairan saline standar. Selanjutnya kain kasa dimasukan ke dalam sinus

maksilaris melalui antrostomi untuk mengeluarkan elemen jamur dibantu dengan

suction dan pinser lengkung yang kemudian disebut sebagai tindakan J-curette

pada sinus maksilaris. Dengan demikian, residu dari fungus ball akan dengan

mudah dikeluarkan melalui meatus medial. Teknik ini dapat diulang beberapa

kali.13

Langkah selanjutnya dilakukan penggunaan kain kassa braided-mesh untuk

melakukan debridemen terhadap material patologis. Pada akhir prosedur, sinus

maksilaris dilakukan irigasi dengan menggunakan cairan antifungal yang telah

diencerkan diikuti dengan cairan saline dan diakhiri dengan cairan peroksida.

Selanjutnya pasien mendapatkan terapi antibiotik oral dengan menggunakan

preparat amoksisilin-asam klavulanat selama 5 hari, terapi analgesik oral dengan

menggunakan preparat parasetamol selama 10 hari, dan irigasi nasal dengan cairan

saline selama 1 bulan.13

DAFTAR PUSTAKA
1. Grosjean P, Weber R. Fungus balls of the paranasal sinuses: a review. Europe
Arch Otorhinolaryngology. 2017; 264(5): 461–470.
2. Ramadan H. Non-invasife fungal mycetoma sinusitis. Available at:
http//www.emedicine.com/sinusitis,fungal.html.[cited 7 Maret 2018].
3. Carothers D. Fungal sinusitis. Available at : http//www.american-
rhinologic.org/fungalsinusitis.html. [cited 7 Maret 2018].
4. Ferguson B. Fungus balls of the paranasal sinuses. Otolaryngology Clinical
North. 2015; 33: 389–398.
5. Bailey J. Head and Neck Surgery : Otolaryngology Review Edisi 5. Lippincott
Wiliams & Wilkins. Philadelphia. 2014.
18

6. Barry B, Topeza M, Géhanno P. Aspergillosis of the paranasal sinus and


environmental factors. Annual Otolaryngology Cervicofac. 2012; 119(3): 170-
173.
7. Stammberger H, Jakse R, Beaufort F. Aspergillosis of the paranasal sinuses.
X-ray diagnosis, histopathology, and clinical aspects. Annual
Otorhinolaryngology. 2014; 93:251–256.
8. Lange, B., Thilsing, T., Abir, J. The Sino-Nasal Outcome Test 22 validated for
danish patient. Danish Medical Bulletin. 2016; 58(2): 2-8.
9. Pokharel, M., Shrestha, I., Dhakal, A. Reflux Symptom Index and reflux
finding score in diagnosis of laryngopharyngeal reflux. Journal of Kathmandu
University. 2016: 332-337.
10. Dahniya M, Makkar R, Grexa E, Cherian J, Al-Marzouk N, Mattar N.
Appearances of paranasal fungal sinusitis on computed tomography. The
British Journal of Radiology 2015; 71(1): 340-344.
11. Dhong H, Jung J, Park J. Diagnostic accuracy in sinus fungus balls: CT scan
and operative findings. American Journal of Rhinology. 2010; 14: 227–231.
12. Chen, J., Chen, D., Chen, C. The Lund-Mackay Score for adult head and neck
computed tomography. The Journal of Radiology Science. 2011; 36: 203-208.
13. Garofalo P., Griffa A., Dumas G., Perottino F. “Gauze Technique” in the
treatment of the fungus ball of the maxillary sinus: A technique as simple as it
is effective. International Journal of Otolaryngology 2016; 124-136.
14. F. Costa, F. Polini, N. Zerman, M. Robiony, C. Toro, and M. Politi, “Surgical
treatment of Aspergillus mycetomas of the maxillary sinus: review of the
literature,” Oral Surgery, Oral Medicine, Oral Pathology, Oral Radiology and
Endodontology. 2012; 103(6): 23–29.
15. M. Sawatsubashi, D. Murakami, T. Umezaki, and S. Komune, “Endonasal
endoscopic surgery with combined middle and inferior meatal antrostomies
for fungal maxillary sinusitis,” The Journal of Laryngology & Otology. 2015;
129: 52–55.

Anda mungkin juga menyukai