Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Trauma akustik merupakan gangguan pendengaran yang bersifat

mendadak dan permanen, yang disebabkan oleh adanya paparan suara

dengan intensitas tinggi baik secara tunggal maupun berulang. Trauma

akustik ditandai dengan hilangnya pendengaran yang terjadi secara

mendadak disertai dengan adanya otalgia, tinitus, gangguan keseimbangan,

dan nyeri kepala (National Institute on Deafness and Other Communication

Disorders, 2016). Gangguan pendengaran yang disebabkan oleh trauma

akustik berupa tuli sensorineural dengan maupun tanpa disertai tuli

konduktif, yang sebagian besar terjadi secara bilateral dan simetris (Sareen et

al, 2014).

Intensitas paparan suara yang dapat menyebabkan terjadinya trauma

akustik adalah 130-140 desibel, seperti yang terjadi pada suara mesin pabrik,

ledakan bom, dan tembakan senjata api baik dengan kaliber kecil maupun

besar (Sareen et al, 2014). Oleh karena itu, populasi yang berisiko untuk

mengalami trauma akustik adalah prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI)

dan Polisi Republik Indonesia (POLRI), disamping pekerja pabrik yang

terpapar suara mesin dengan intensitas tinggi di dalam ruang tertutup dalam

jangka waktu yang lama (Timbuleng et al, 2016).

Menurut data World Health Organisation (WHO) pada tahun 2017, terdapat

360 juta jiwa atau sekitar 5,3% penduduk dunia mengalami gangguan

1
2

pendengaran. Angka tersebut terdiri dari 328 juta jiwa (91%) berusia dewasa dan

32 juta jiwa (9%) berusia anak-anak dimana 50% diantaranya terdapat di Asia

Tenggara termasuk Indonesia. Menurut survei yang dilakukan oleh Multi Center

Study di Asia Tenggara pada tahun 2014, Indonesia termasuk dalam 4 negara

dengan prevalensi ketulian tertinggi yaitu sebesar 4,6% dimana 30% diantaranya

disebabkan oleh trauma akustik.

Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Kementerian

Kesehatan Republik Indonesia (2013), prevalensi gangguan pendengaran pada usia

5-14 tahun dan 15-24 tahun masing-masing 0,8%. Prevalensi gangguan

pendengaran tertinggi terdapat di Propinsi Nusa Tenggara Timur yaitu sebesar

3,7%, sedangkan prevalensi gangguan pendengaran terendah terdapat di Propinsi

Banten (1,6%).

Prevalensi gangguan pendengaran pada prajurit TNI dan POLRI cukup tinggi.

Penelitian yang dilakukan di Taruna Akademi Kepolisian Semarang mendapatkan

hasil bahwa 12,4% dari total siswa kepolisian mengalami kejadian trauma akustik

(Budiyanto, 2003). Penelitian lain yang dilakukan oleh Mahardana et al (2015) pada

siswa Diktuba POLRI juga mendapatkan hasil bahwa 11% diantaranya mengalami

kejadian trauma akustik. Selain itu, penelitian yang dilakukan di Sekolah Polisi

Negara Karombasan Manado pada tahun 2016 mendapatkan hasil bahwa 17% dari

total siswa kepolisian mengalami gangguan pendengaran oleh karena trauma

akustik (Timbuleng et al, 2016).

Paparan suara dengan intensitas tinggi dapat menyebabkan gangguan

pendengaran yang bersifat sensorineural baik disertai maupun tanpa

gangguan pendengaran yang bersifat konduktif. Gangguan pendengaran yang

bersifat sensorineural terjadi akibat adanya kerusakan pada sel sensorik


3

pendengaran dan gangguan metabolik berupa reaksi stres oksidatif dalam

koklea. Sedangkan gangguan pendengaran yang bersifat konduktif terjadi

akibat adanya robekan pada membran timpani dan dislokasi maupun

kerusakan pada tulang pendengaran (Sareen et al, 2014).

Paparan suara dengan intensitas tinggi dapat menyebabkan getaran

yang berlebihan pada membran timpani sehingga berisiko untuk terjadi

robekan pada membran timpani. Getaran tersebut kemudian dilanjutkan ke

telinga tengah melalui tulang pendengaran sehingga berisiko terjadi dislokasi

maupun kerusakan pada tulang pendengaran. Getaran tersebut kemudian

dihantarkan ke perilimfe dan endolimfe untuk menggetarkan membran

basilaris. Hal ini akan menyebabkan rangsangan terhadap sel rambut pada

membran tektoria yang berlebihan sehingga terjadi kerusakan sel rambut

yang bersifat reversibel. Trauma akustik yang berulang dapat menyebabkan

sel rambut mengalami atrofi dan kerusakan bersifat permanen (Sareen et al,

2014).

Pengukuran gangguan pendengaran dilakukan dengan pemeriksaan

audiologi. Penelitian yang dilakukan pada taruna Akademi Kepolisian Semarang

dengan menggunakan audiometri menunjukan hasil bahwa rerata ambang dengar

pada frekuensi 5000 Hz, 1000 Hz, dan 2000 Hz adalah 10 desibel dan mengalami

penurunan rereta ambang dengar pada frekuensi 4000 Hz dan 8000 Hz (Budiyanto,

2003).

Penelitian lain yang dilakukan pada siswa Diktuba POLRI di Denpasar

dengan menggunakan audiometri menunjukan hasil bahwa didapatkan perubahan

ambang dengar dari 5-23 desibel menjadi 10-30 desibel setelah menjalani latihan
4

menembak sebanyak 60 tembakan dimana 13 % diantaranya mengalami gangguan

pendengaran (Mahardana et al, 2015).

Penelitian yang dilakukan pada tentara di Perancis dengan menggunakan

Distorsion Product Otoacoustic Emissions (DPOAEs) selama 15 hari menunjukkan

hasil bahwa terjadi gangguan fungsi pendengaran frekuensi tinggi yang terjadi 24

jam setelah terpajan ledakan senapan mesin otomatis. Penelitian lain yang

dilakukan di Brazil dengan menggunakan DPOAEs menunjukkan hasil bahwa terjadi

penurunan fungsi pendengaran secara signifikan pada frekuensi 3-6 KHz pada 24-

72 jam setelah trauma suara dengan intensitas tinggi (Campella, et al., 2014).

Gangguan pendengaran yang disebabkan oleh trauma akustik bersifat

simetris bilateral dan permanen sehingga sangat berpengaruh terhadap

kualitas hidup penderitanya (Antonio, 2014). National Council on the Aging

(2009) melaporkan bahwa penderita gangguan pendengaran berisiko tinggi

untuk mengalami gangguan kejiwaan dan penurunan aktivitas sosial.

National Institute of Aging (2011) melaporkan bahwa gangguan pendengaran

merupakan salah satu faktor risiko dari terjadinya demensia. Selain itu,

gangguan pendengaran juga dapat memicu timbulnya penurunan fungsi

kognitif (Lin et al, 2013).

Komplikasi gangguan pendengaran akibat trauma akustik berupa

gangguan kejiwaan, demensia, dan disfungsi kognitif merupakan masalah

yang serius sehingga dapat sangat berdampak pada kualitas hidup

penderitanya. Oleh karena itu, peneliti akan meneliti mengenai hubungan

antara trauma akustik dengan hasil pemeriksaan audiogram dan DPOAEs

pada penembak agar kejadian gangguan pendengaran akibat trauma akustik


5

dapat dicegah terutama pada populasi yang berisiko tinggi seperti prajurit

TNI dan POLRI.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka dirumuskan

masalah penelitian sebagai berikut : “Apakah terdapat hubungan antara

trauma akustik dengan hasil pemeriksaan audiogram dan DPOAEs pada

penembak?”

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui

hubungan antara trauma akustik dengan hasil pemeriksaan audiogram

dan DPOAEs pada penembak.

2. Tujuan khusus

Tujuan khusus penelitian ini adalah :

a. Mengetahui derajat penurunan pendengaran setelah paparan bising

berlebihan pada penembak dengan menggunakan audiogram

b. Mengetahui derajat penurunan pendengaran setelah paparan bising

berlebihan pada penembak dengan menggunakan DPOAEs

c. Menganalisis hubungan antara trauma akustik dengan hasil

pemeriksaan audiogram dan DPOAEs pada penembak

D. Manfaat Penelitian
6

1. Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah untuk untuk

mengembangkan ilmu pengetahuan mengenai dampak trauma akustik

dalam patogenesis gangguan pendengaran pada penembak.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi peneliti

Menambah ilmu pengetahuan mengenai gangguan

pendengaran yang disebabkan oleh trauma akustik setelah paparan

bising yang berlebihan pada penembak.

b. Bagi masyarakat

Memberikan gambaran mengenai dampak dari paparan

paparan bising yang berlebihan pada penembak sehingga

diharapkan timbul kesadaran untuk melakukan upaya preventif

berupa dislipin dalam menggunakan alat pelindung diri secara benar

serta melakukan skrining gangguan pendengaran secara dini dan

teratur.

c. Bagi instansi

Sebagai landasan bagi instansi kesehatan serta jajaran TNI-

POLRI untuk membuat kebijakan dalam pendidikan, latihan,

maupun operasional kegiatan menembak di TNI-POLRI serta

merealisasikan dan mengimplementasikan program konservasi

pendengaran khususnya di jajaran TNI-POLRI.


7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi


8

1. Anatomi Telinga

Telinga merupakan organ sensorik yang berfungsi dalam

mendeteksi suara. Selain itu, telinga juga berperan dalam keseimbangan

tubuh (Adams et al., 2012). Pusat sensorik suara berada di koklea,

kemudian diteruskan oleh nervus auditorius untuk dapat diintepretasikan

oleh otak (Moller, 2011).


Telinga dibagi menjadi 3 bagian, yaitu telinga luar, tengah, dan

dalam.

Gambar
2.1.
Anatomi
Telinga
(Netter,
2010)
1) Telin

ga

Luar
Telinga luar terdiri dari aurikula, kanalis auditivus, dan

membran timpani. Aurikula merupakan kartilago elastis yang

dilapisi oleh kulit, yang berfungsi untuk menangkap dan

mengumpulkan gelombang suara serta meneruskannya ke kanalis

auditivus (Moller, 2011 & Snell, 2010).


Kanalis auditivus terdiri dari kartilago di bagian 1/3 distal

dan tulang di bagian 1/3 proksimal, yang memiliki fungsi untuk

menyalurkan gelombang suara ke telinga tengah. Selain itu,

terdapat kelenjar seruminosa dan kelenjar sebacea yang akan

menghasilkan serumen, yang berfungsi untuk mencegah masuknya


9

benda asing dan memperlambat pertumbuhan bakteri (Moller, 2011

& Snell, 2010).


Di ujung proksimal kanalis auditivus terdapat membran

timpani, yang terdiri dari lapisan epidermis di bagian luar, lapisan

fibrosa di bagian tengah, dan lapisan mukosa di bagian dalam.

Membran timpani dibagi menjadi dua bagian, yaitu pars tensa di

bagian posterior proksimal dan pars flaksida di bagian superior

distal. Membran timpani berfungsi untuk mengubah gelombang

suara menjadi getaran yang akan dilanjutkan ke tulang pendengaran

di telinga tengah (Adams et al., 2012).


2) Telinga Tengah
Telinga tengah merupakan rongga yang berisi udara, yang

terdiri dari kavum timpani dan Tuba Eustakius. Kavum timpani

berisi tulang pendengaran dan otot. Tulang pendengaran terdiri dari

os maleus, os inkus, dan os stapes, yang berfungsi sebagai

penghantar getaran yang dihasilkan oleh membran timpani. Selain

itu, terdapat 2 tingkap yaitu tingkap vestibuli yang berhubungan

skala vestibuli dan tingkap rotundum yang berhubungan dengan

skala timpani. Otot terdiri dari muskulus tensor timpani yang

menghubungkan membran timpani dan os maleus serta muskulus

stapedius yang menghubungkan os stapes dan tingkap vestibuli

(Snell, 2010).
Kavum timpani berhubungan dengan nasofaring melalui

Tuba Eustakius, yang berfungsi dalam menyeimbangkan tekanan

udara di luar dan di dalam membran timpani (Adams et al., 2012).


3) Telinga Dalam
10

Gambar

2.2. Telinga

dalam

(Netter,

2010)

Telinga dalam terdiri dari labirin tulang dan labirin

membran. Labirin tulang berada di sekitar labirin membran, yang

terdiri dari kanalis semisirkularis, vestibulum, dan koklea. Koklea

adalah struktur yang melingkar (spiral) menyerupai rumah siput,

yang dibagi menjadi basis dan apeks. Aksis spiral disebut modiolus,

yang berisi saraf dan pembuluh darah. Lamina spiralis membagi

koklea menjadi skala timpani dan skala vestibuli. Keduanya saling

berhubungan pada helikotrema, yang merupakan bagian apeks

koklea. Vestibulum berhubungan dengan keseimbangan, sedangkan

koklea berhubungan dengan pendengaran. Antara labirin tulang dan

labirin membran terdapat rongga yang berisi cairan perilimfe yang

bersifat tinggi natrium dan rendah kalium (Moller, 2011).


Labirin membran terdiri dari vestibulum, duktus

semisirkularis, dan duktus koklearis. Vestibulum terbagi menjadi

sakulus dan utrikulus yang berfungsi untuk keseimbangan. Duktus

semisirkularis merupakan saluran yang terdapat di dalam kanalis

semisirkularis, yang juga berfungsi untuk keseimbangan sedangkan


11

duktus koklearis atau disebut skala media terletak di dalam koklea

(Moller, 2011 & Snell, 2010).


Skala media dan skala vestibuli dipisahkan oleh membran

vestibularis sedangkan skala media dan skala timpani dipisahkan

oleh membran basilaris. Di atas membran basilaris terdapat Organ

Corti, yang terdiri dari sel spiral, sel rambut dalam dan luar, sel

pilar dalam dan luar, sel falang dalam dan luar, serta sel hensen. Di

atas sel rambut dalam dan luar terdapat membran tektorial yang

relatif statis dan tidak dipengaruhi getaran cairan endolimfe maupun

perilimfe. Sel rambut memiliki stereosilia pada permukaan atasnya,

yang berfungsi sebagai kanal ion. Labirin membran berisi cairan

endolimfe yang bersifat tinggi kalium dan rendah natrium (Moller,

2011 & Snell, 2010).


Telinga dalam divaskularisasi oleh arteri auditorius interna,

yang merupakan cabang dari arteri sereberalis inferior anterior.

Arteri auditorius interna memperdarahi sel ganglion, saraf,

duramater, dan lapisan arakhnoid kemudian bercabang menjadi

arteri koklearis komunis dan arteri vestibularis anterior. Arteri

koklearis komunis memperdarahi ¾ bagian koklea sedangkan ¼


bagian lainnya diperdarahi oleh ramus koklearis yang merupakan

cabang dari arteri koklearis komunis. Arteri vestibularis arterior

memperdarahi vestibulum (Kim; Lee, 2009).

Nervus vestibulokoklearis merupakan saraf primer yang

terdapat di telinga dalam. Saraf ini berasal dari antara pons dan

medulla oblongata, kemudian keluar dari os temporal melalui


12

meatus akustikus interna dan bercabang menjadi tiga yaitu nervus

koklearis serta nervus vestibularis superior dan inferior. Nervus

koklearis berfungsi untuk pendengaran sedangkan nervus

vestibularis berfungsi dalam keseimbangan tubuh (Bhatt, 2013).

2. Fisiologi Pendengaran

Pendengaran merupakan sebuah proses persepsi yang dilakukan

oleh saraf terhadap gelombang suara yang ada di sekitar organ sensorik

pendengaran. Proses pendengaran dimulai dengan adanya gelombang

suara, yaitu gerakan molekul udara yang berasal dari sumber suara, yang

merambat dari tekanan yang tinggi ke yang lebih rendah. Gelombang

suara kemudian ditangkap oleh aurikula dan diteruskan oleh kanalis

auditiva sehingga dapat menggetarkan membran timpani (Sherwood,

2012).
Membran timpani bergetar sesuai dengan kekuatan gelombang

udara atau dapat disebut kekerasan suara. Getaran membran timpani

diteruskan ke tulang pendengaran yaitu os maleus, os inkus, dan os

stapes secara berturut-turut. Muskulus tensor timpani dan muskulus

stapedius berfungsi untuk meredam getaran dari membran timpani

maupun os stapes apabila getaran udaranya berlebihan (Martini; Nath,

2009).

Getaran dari tulang pendengaran diteruskan ke tingkap vestibuli

sehingga perilimfe di skala vestibuli bergetar. Getaran perilimfe ini

diteruskan ke helikotrema sehingga timbul getaran di skala timpani yang

akan diteruskan ke tingkap rotundum sebagai mekanisme pembuyaran

energi sehingga getaran dapat direduksi. Selain itu, getaran perilimfe


13

akan menggerakan membran basilaris secara naik-turun sedangkan

membran tektorial dalam keadaan statis sehingga menimbulkan

pergerakan stereosilia sel rambut. Saat membran basilaris naik, kanal ion

terbuka sehingga terjadi depolarisasi. Saat membran basilaris turun,

kanal ion tertutup sehingga terjadi hiperpolarisasi. Dengan proses ini,

maka terjadi perubahan frekuensi potensial aksi yang akan diteruskan

oleh nervus vestibulokoklearis ke korteks pendengaran yaitu area 39-40

dan dipersepsikan di lobus temporal sebagai sensasi suara (Sherwood,

2012).

B. Trauma Akustik

1. Definisi

Trauma akustik merupakan gangguan pendengaran yang bersifat

mendadak dan permanen, yang disebabkan oleh adanya paparan suara

dengan intensitas tinggi baik secara tunggal maupun berulang. Trauma

akustik ditandai dengan hilangnya pendengaran yang terjadi secara

mendadak disertai dengan adanya otalgia, tinitus, gangguan

keseimbangan, dan nyeri kepala (National Institute on Deafness and

Other Communication Disorders, 2016).

2. Etiologi

Trauma akustik disebabkan oleh adanya suara dengan intensitas

tinggi baik secara tunggal maupun berulang. Intensitas paparan suara

yang dapat menyebabkan terjadinya trauma akustik adalah 130-140

desibel, seperti yang terjadi pada suara mesin pabrik, ledakan bom, dan
14

tembakan senjata api baik dengan kaliber kecil maupun besar (Sareen et

al, 2014). Sedangkan frekuensi paparan suara yang dapat menyebabkan

terjadinya trauma akustik adalah 2000-3000 Hz (Mathur et al, 2013).

3. Penegakan diagnosis

Gejala yang sering dikeluhkan oleh penderita gangguan

pendengaran akibat trauma akustik adalah pendengaran yang kurang

jelas dengan suara terdengar lebih lirih. Kesulitan mendengar ini lebih

mencolok pada suara dengan nada tinggi. Selain itu, kosakata dengan

huruf ‘f’, ‘s’, ‘th’, dan ‘z’ tidak terdengar dengan baik. Kesulitan

mendengar ini bertambah jika ada suara lain maupun saat berada di

tempat yang ramai. Penderita juga mengeluhkan kesulitan untuk

berkomunikasi dengan lebih dari satu orang. Keluhan seperti tinitus

dan gangguan keseimbangan dapat terjadi. Selain itu, didapatkan

riwayat terpapar suara yang sangat keras seperti ledakan bom,

tembakan senjata api, suara mesin, dan sambaran petir (Flint et al.,

2010).
Tanda yang dapat ditemukan pada penderita gangguan

pendengaran akibat trauma akustik adalah perhatian visual yang

mengarah pada gerakan bibir lawan komunikasinya. Penderita juga

sering meminta untuk mengulang pembicaraan dengan suara yang

lebih keras serta memberikan respon yang tidak sesuai dengan topik

pembicaraan. Pada pemeriksaan otoskopi, dapat ditemukan membran

timpani tampak normal ataupun terdapat perforasi membran timpani

(Flint et al., 2010).

4. Patogenesis
15

Paparan suara dengan intensitas tinggi dapat menyebabkan

gangguan pendengaran yang bersifat sensorineural baik disertai maupun

tanpa gangguan pendengaran yang bersifat konduktif. Gangguan

pendengaran yang bersifat sensorineural terjadi akibat adanya kerusakan

pada sel sensorik pendengaran dan gangguan metabolik berupa reaksi

stres oksidatif dalam koklea. Sedangkan gangguan pendengaran yang

bersifat konduktif terjadi akibat adanya robekan pada membran timpani

dan dislokasi maupun kerusakan pada tulang pendengaran (Sareen et

al, 2014).

Paparan suara dengan intensitas tinggi dapat menyebabkan

getaran yang berlebihan pada membran timpani sehingga berisiko untuk

terjadi robekan pada membran timpani. Getaran tersebut kemudian

dilanjutkan ke telinga tengah melalui tulang pendengaran sehingga

berisiko terjadi dislokasi maupun kerusakan pada tulang pendengaran.

Getaran tersebut kemudian dihantarkan ke perilimfe dan endolimfe

untuk menggetarkan membran basilaris. Hal ini akan menyebabkan

rangsangan terhadap sel rambut pada membran tektoria yang berlebihan

sehingga terjadi kerusakan sel rambut yang bersifat reversibel. Trauma

akustik yang berulang dapat menyebabkan sel rambut mengalami atrofi

yang sangat berperan dalam proses pendengaran di telinga dalam dan

menimbulkan kerusakan yang bersifat permanen (Sareen et al, 2014).

Reaksi stres oksidatif dalam koklea terjadi akibat paparan bising

yang berpengaruh pada fibroblas koklea sehingga terjadi influks ion

kalsium dan memicu timbulnya sitokin inflamasi seperti TNF α, IL-6,


16

dan MMP 9. Proses ini akan berdampak terhadap struktur telinga dalam

yang ditandai dengan penebalan membran basilaris, atrofi

striavaskularis, dan hilangnya sel rambut luar yang sangat berperan

dalam proses pendengaran di telinga dalam (Fukushima et al, 2014).

5. Dampak negatif

Tingkat morbiditas penderita gangguan pendengaran bervariasi

tergantung dengan derajat keparahannya. Biasanya penderita

mengeluhkan ketidaknyamanan jika sudah mencapai derajat sedang.

Pasien dengan ketulian unilateral mengalami kesulitan mendengar saat

berada di tempat yang ramai dan kesulitan untuk melokalisasi sumber

suara, sedangkan pasien dengan ketulian bilateral mengalami tingkat

morbiditas yang lebih berat. Penyakit ini sangat berpengaruh pada

kualitas hidupnya yang berkaitan dengan interaksi sosial, pekerjaan,

sekolah, dan komunikasi (Antonio, 2014).

National Council on the Aging (1999) melakukan sebuah

penelitian pada penderita gangguan pendengaran dan menemukan

beberapa dampak negatif yaitu kesedihan dan depresi, kecemasan,

sindrom paranoid, berkurangnya aktivitas sosial, dan ketidakstabilan

emosional. Selain itu National Institute of Aging (2011) juga

menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan secara statistik antara

gangguan pendengaran dengan insidensi demensia.

Lin et al. (2013) melakukan penelitian selama 5 tahun terhadap

penderita gangguan pendengaran usia dewasa dan mendapatkan

hubungan yang signifikan secara statistik antara gangguan pendengaran


17

dengan penurunan fungsi kognitif. Hal ini diperkuat oleh penelitian

Uhlmann (1989) yang menyatakan terdapat hubungan yang signifikan

secara statistik antara gangguan pendengaran dengan derajat disfungsi

kognitif pada penghuni panti jompo.

C. Pemeriksaan Audiologi

Pemeriksaan audiologi dilakukan untuk mendiagnosis lokasi dan jenis

penyakit serta untuk menilai dampak gangguan pendengaran pada kegiatan

sehari-hari. Pemeriksaan audiologi yang sering dilakukan secara klinis

adalah uji penala, audiometri nada murni, dan emisi otoakustik (Adams et

al., 2012).
1. Uji Penala
Uji penala dilakukan untuk mengetahui estimasi kepekaan

pendengaran relatif. Frekuensi yang biasa digunakan adalah 256, 512,

1024, dan 2048 Hz karena merupakan frekuensi bicara dalam kegiatan

sehari-hari. Uji penala yang dilakukan pada beberapa frekuensi dapat

mengetahui tingkat intensitas minimum yang masih dapat didengar oleh

pasien (Adams et al., 2012).


Mekanisme uji penala berdasarkan hantaran udara dan hantaran

tulang. Hantaran udara menilai proses masuknya gelombang suara dari

telinga luar ke telinga tengah kemudian berlanjut ke telinga dalam

sampai diinterpretasi oleh otak. Hantaran tulang menilai getaran dari

tulang kranial ke cairan koklea sampai dengan diintepretasikan ke otak,

tanpa melalui telinga luar dan tengah. Untuk Sensorineural Hearing

Loss (SNHL) didapatkan hantaran tulang yang tidak lebih peka dari

hantaran udara sehingga dapat dibedakan dengan Conductive Hearing


18

Loss (CHL) dimana hantaran tulang lebih peka dari hantaran udara

(Adams et al., 2012).


Uji penala yang dilakukan adalah uji Schwabach, Rinne, dan

Weber. Uji Schwabach membandingkan antara hantaran tulang pasien

dengan pemeriksa. Uji Rinne membandingkan hantaran tulang dengan

hantaran udara pasien. Uji Weber membandingkan hantaran tulang

telinga kanan dan kiri sehingga dapat mengetahui bagian telinga yang

tidak normal apabila bersifat unilateral. Hasil uji tidak dapat

diintepretasikan secara mandiri, melainkan saling mempengaruhi satu

sama lain (Adams et al., 2012).


Pemeriksaan dengan prinsip hantaran tulang memiliki

kekurangan yang dapat mengurangi validitas pemeriksaan. Getaran dari

penala yang ditempelkan pada tulang mastoid satu sisi tidak hanya

menggetarkan tulang temporal sisi tersebut, namun juga seluruh kepala

sehingga sisi kontralateralnya terangsang pada saat yang sama (Adams

et al., 2012).
2. Audiometri nada murni
Audiometri digunakan untuk mengukur tingkat intensitas

minimum pada frekuensi yang masih dapat didengar oleh penderita yang

diukur dalam satuan desibel (dB). Audiometri nada murni menggunakan

bunyi yang bebas bising (Adams et al., 2012). Audiometri menilai

telinga luar, telinga tengah, koklea, nervus cranialis VII, dan sistem

auditorius sentral (Campbell, 2016).


Pemeriksaan audiometri terdiri dari pemeriksaan air conduction

(AC) dan bone conduction (BC). Pemeriksaan AC dilakukan dengan

menghantarkan suara melalui udara yang kemudian akan dihantarkan ke

seluruh bagian telinga termasuk telinga luar, tengah, dan dalam.


19

Sedangkan pemeriksaan BC dilakukan dengan menghantarkan suara

melalui tulang tengkorak sehingga akan dihantarkan ke telinga dalam

secara langsung (Campbell, 2016).


Berikut merupakan interpretasi dari hasil pemeriksaan audiometri

(Campbell, 2016).
a. Apabila AC mengalami peningkatan sedangkan BC dalam batas

normal menunjukan bahwa terdapat gangguan pada telinga luar dan

tengah, sedangkan telinga dalam dalam batas normal sehingga

dapat disimpulkan pasien mengalami gangguan pendengaran tipe

konduksi
b. Apabila AC dan BC mengalami peningkatan dalam rentang nilai

yang sempit menunjukan bahwa terdapat gangguan pada telinga

dalam, sedangkan telinga luar dan tengah dalam batas normal

sehingga dapat disimpulkan pasien mengalami gangguan

pendengaran tipe sensorineural


c. Apabila AC dan BC mengalami peningkatan dalam rentang nilai

yang lebar menunjukan bahwa terdapat gangguan pada telinga luar,

tengah, dan dalam sehingga dapat disimpulkan pasien mengalami

gangguan pendengaran tipe campuran


Pada tahap awal SNHL ditemukan penurunan ambang

pendengaran murni di atas frekuensi 1000 Hz, sedangkan pada tahap

lanjut ditemukan penurunan ambang pendengaran murni di bawah

frekuensi 1000 Hz. Selain itu didapatkan ambang pendengaran rata-rata

lebih dari 25 dB pada frekuensi 500, 1000, 2000, dan 4000 Hz dengan

garis hantaran udara dan tulang berhimpit (Bashiruddin et al., 2012).

3. Emisi otoakustik
20

Emisi otoakustik merupakan prosedur yang digunakan untuk

mengidentifikasi adanya gangguan pendengaran yang disebabkan oleh

kelainan struktur maupun fungsional dari telinga tengah dan telinga

dalam terutama pada bagian koklea dan sel rambut baik luar maupun

dalam. Pemeriksaan ini bersifat mudah, cepat, objektif, dan tidak invasif

dengan tingkat sensitivitas sebesar 100%. Berbeda dengan audiometri,

emisi otoakustik hanya dapat menilai sistem auditorius perifer meliputi

telinga telinga luar, telinga tengah, dan koklea (Campbell, 2016).


Pemeriksaan emisi otoakustik terdiri dari 4 jenis, yaitu sebagai

berikut
a. Spontaneous otoacoustic emissions (SOAEs)
SOAEs merupakan emisi suara tanpa adanya rangsangan

bunyi, dengan kata lain terjadi secara spontan, yang diukur dalam

rentang frekuensi yang kecil yaitu 30 Hz. SOAEs biasanya terjadi

pada frekuensi sebesar 1000-2000 Hz dengan amplitudo antara -5-

15 db. SOAEs biasanya terjadi pada 40-50% individu dengan

pendengaran normal secara bilateral. SOAEs tidak termasuk dalam

pemeriksaan audiologi rutin yang dilakukan secara klinis

(Campbell, 2016).
b. Transient otoacoustic emission (TOAEs) atau Transient evoked

otoaucoustic emissions (TEOARs)


TOAEs atau TEOARs merupakan emisi suara yang

dihasilkan oleh rangsangan bunyi menggunakan durasi yang

sangat pendek yaitu kurang dari 1 detik dengan intensitas 60-80

desibel serta spektrum frekuensi 500-4500 Hz pada dewasa dan

5000-6000 Hz pada anak-anak dan bayi. TOAEs atau TEOARs

menilai kondisi koklea baik struktural maupun fungsional pada


21

tingkatan yang mendekati ambang stimulus (Campbell, 2016).

TOAEs atau TEOARs memiliki keterbatasan dalam mendeteksi

adanya ketulian yang lebih dari 40 desibel sehingga TOAEs atau

TEOARs tidak termasuk dalam pemeriksaan audiologi rutin yang

dilakukan secara klinis (Abdala, 2011).


c. Distortion product otoacoustic emission (DPOAEs)
DPOAEs merupakan emisi suara sebagai respon dari dua

rangsang yang berbeda frekuensi dan intensitas. DPOAEs sangat

efektif digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan koklea baik

secara struktural maupun fungsional yang disebabkan oleh zat

ototoksik dan trauma akustik (Campbell, 2016). Selain itu,

DPOAEs dapat digunakan secara efektif untuk mendeteksi

gangguan pendengaran pada bayi dan anak-anak (Abdala, 2011).


Hasil DPOAEs yang abnormal dapat mengindikasikan

adanya kerusakan koklea baik secara struktural maupun fungsional.

Dibandingkan dengan TOAEs atau TEOARs, DPOAEs memiliki

rentang spektrum frekuensi yang lebih luas yaitu mencapai

10.000 Hz. Penggunaan DPOAEs yang dikombinasi dengan

BERA dapat digunakan untuk mengidentifikasi gangguan

pendengaran yang disebabkan oleh neuropati (Abdala, 2011).


d. Sustained-frekuensi otoacoustic emission (SFOAs)

SFOAs merupakan emisi suara sebagai respon dari nada

yang terus-menerus. SFOAs tidak termasuk dalam pemeriksaan

audiologi rutin yang dilakukan secara klinis. Hal ini disebabkan

oleh adanya turbulensi antara rangsang bunyi dan emisi otoakustik

di meatus akustikus eksterna (Campbell, 2016).


22

D. Hubungan Antara Trauma Akustik dan Hasil Pemeriksaan Audiogram

dan DPOAEs

Pengukuran gangguan pendengaran dilakukan dengan pemeriksaan

audiologi. Penelitian yang dilakukan pada taruna Akademi Kepolisian Semarang

dengan menggunakan audiometri menunjukan hasil bahwa rerata ambang dengar

pada frekuensi 5000 Hz, 1000 Hz, dan 2000 Hz adalah 10 desibel dan mengalami

penurunan rereta ambang dengar pada frekuensi 4000 Hz dan 8000 Hz (Budiyanto,

2003).

Penelitian lain yang dilakukan pada siswa Diktuba POLRI di Denpasar

dengan menggunakan audiometri menunjukan hasil bahwa didapatkan perubahan

ambang dengar dari 5-23 desibel menjadi 10-30 desibel setelah menjalani latihan

menembak sebanyak 60 tembakan dimana 13 % diantaranya mengalami gangguan

pendengaran (Mahardana et al, 2015).

Penelitian yang dilakukan pada tentara di Perancis dengan menggunakan

Distorsion Product Otoacoustic Emissions (DPOAEs) selama 15 hari menunjukkan

hasil bahwa terjadi gangguan fungsi pendengaran frekuensi tinggi yang terjadi 24

jam setelah terpajan ledakan senapan mesin otomatis. Penelitian lain yang

dilakukan di Brazil dengan menggunakan DPOAEs menunjukkan hasil bahwa terjadi

penurunan fungsi pendengaran secara signifikan pada frekuensi 3-6 KHz pada 24-

72 jam setelah trauma suara dengan intensitas tinggi (Campella, et al., 2014).
23

DAFTAR PUSTAKA

Abdala. 2011. Distortion product otoacoustic emission : a tool for hearing


assesment and scientific study. Available at
http://ncbi.nlm.gov/pmca/article/PMC3614374/ diunduh pada 1 Mei 2011.

Adams, George., Lawrence Boeis., Peter Higler. 2012. Boies Buku Ajar Penyakit
THT Edisi 6. Jakarta : EGC.

Antonio, Stephanie. 2014. Syndromic sensorineural hearing loss. Available at


http://emedicine.medscape.com/article/856116-overview diunduh pada 30
Juni 2014.

Bashiruddin, Jenny., Widayat Alviandi., Brastho Bramantyo. 2008. Gambaran


Audiometri Nada Murni pada Penderita Gangguan Pendengaran
Sensorineural. Jurnal Kedokteran Indonesia Volume 58 Hal 284-290.
24

Berghaus, Alexander. 2010. Effects of TNF-alpha inhibition on inner ear microcirculation


and hearing function after acute loud noise in vivo. Disertasi untuk memperoleh
pengakuan sebagai doktor Universitas Munchen Thailand.

Bhatt, Reena. 2013. Ear Anatomy. Available at


http://emedicine.medscape.com/article/1948907overview#aw2aab6b3/diunduh
ᄃ pada 12 September 2013.

Budiyanto. 2003. Trauma akustik akibat latihan menembak pada taruna Akademi
Kepolisian Semarang. Tesis untuk memperoleh pengakuan sebagai ahli THT-KL FK
Undip Semarang; 2003.

Campbell, Kathleen. 2016. Otoacoustic emissions.


Available at
http://emedicine.medscape.com/article/835943-overview diunduh pada 15
Maret 2016.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Riset Kesehatan Dasar 2007 :


Laporan nasional. Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Flint, Paul., Bruce Haughey., Valerie Lund. 2010. Cummings Otolaryngology


Head & Neck Surgery 5th edition. Philadelphia : Mosby Elsevier.

Fukushima, Joshep., Stephen Cureolglu., Paul Schachern. 2014. Effects of Type 2


Diabetes on Cochlear Structure in Humans. Arch Otolaryngology, Head,
and Neck Surgery Volume 132:934-938.

Kim, Jisoo., Hyung Lee. 2009. Inner Ear Dysfunction Due to Vertebrobasilar
Ischemic Stroke. Semin Neurology 2009;29(5):534-540.

Lin, Frank., Jeffrey Matter., Richard Brien. 2013. Hearing loss and cognitive dysfunction
in adults. Journal of the American Medical Association Volume 261 : 1868-1871.

Mahardana, Komang., Suardana, Wayan., Sudana, Wayan. 2015. Efek letusan senjata api
ringan terhadap fungsi pendengaran pada siswa Diktuba POLRI. Tesis untuk
memperoleh pengakuan ahli THT-KL FK Udayana Bali; 2015.

Martini, Frederic., Judi Nath. 2009. Fundamentals of Anatomy and Physiology


8th edition. San Fransisco : Pearson Education Inc.

Moller, Aage. 2011. Hearing : Anatomy, Physiology, and Disorders of the


Auditory System Second Edition. Burlington : Academic Press.

National Council on the Aging (NCA). 1999. The Consequences of Untreated


Hearing Loss in Older Persons. Available at http://www.agingsociety.org/
diunduh pada 19 Juli 2014.
25

National Health Interview Survey (NHIS). 2008. Health Disparities Among


Adults with Hearing Loss in United States. Available at
http://www.cdc.gov/ diunduh pada 17 Juli 2014.

National Institute of Aging (NIA). 2011. Hearing Loss and Dementia. Available
at http://www.cdc.gov diunduh pada 14 Juli 2014.

National Institute on Deafness and Other Communication Disorders. 2016.


Noise-induced hearing loss. National Institute of Health Publication No
99-4233 Juli 2016.

Netter, Frank. 2010. Atlas of Human Anatomy 5th edition. United State :
Saunders.

Sareen, Akhil., Singh Vishwambhar., Ranchi Rajendra. 2014. Noise-induced hearing


loss : a review. Otolaryngology journal Volume 4 Issue 2.

Sherwood, Lauralee. 2012. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem Edisi ke 6.


Jakarta : EGC.

Snell, Richard. 2011. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Jakarta :


EGC.

Timbuleng, Tamira., Palandeng Ora., Pelealu Olivia. 2016. Kesehatan telinga mahasiswa
sekolah polisi negara Karombasan Manado. Jurnal e-Clinic Volume 4 Nomer 2
Juli-Desember 2016.

World Health Organization. 2017. Nations within a nation : variations in epidemiological


transition across the states, 1990-2016 in the global burden of disease study.
Available at : http://dx.doi.org/10.1016/ diunduh pada tanggal 14 November
2017.

World Health Organization. 2017. Hearing loss due to recreational exposure to loud
sounds : a review. Geneva : World Health Organization.

Anda mungkin juga menyukai