PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
konduktif, yang sebagian besar terjadi secara bilateral dan simetris (Sareen et
al, 2014).
akustik adalah 130-140 desibel, seperti yang terjadi pada suara mesin pabrik,
ledakan bom, dan tembakan senjata api baik dengan kaliber kecil maupun
besar (Sareen et al, 2014). Oleh karena itu, populasi yang berisiko untuk
terpapar suara mesin dengan intensitas tinggi di dalam ruang tertutup dalam
Menurut data World Health Organisation (WHO) pada tahun 2017, terdapat
360 juta jiwa atau sekitar 5,3% penduduk dunia mengalami gangguan
1
2
pendengaran. Angka tersebut terdiri dari 328 juta jiwa (91%) berusia dewasa dan
32 juta jiwa (9%) berusia anak-anak dimana 50% diantaranya terdapat di Asia
Tenggara termasuk Indonesia. Menurut survei yang dilakukan oleh Multi Center
Study di Asia Tenggara pada tahun 2014, Indonesia termasuk dalam 4 negara
dengan prevalensi ketulian tertinggi yaitu sebesar 4,6% dimana 30% diantaranya
Banten (1,6%).
Prevalensi gangguan pendengaran pada prajurit TNI dan POLRI cukup tinggi.
hasil bahwa 12,4% dari total siswa kepolisian mengalami kejadian trauma akustik
(Budiyanto, 2003). Penelitian lain yang dilakukan oleh Mahardana et al (2015) pada
siswa Diktuba POLRI juga mendapatkan hasil bahwa 11% diantaranya mengalami
kejadian trauma akustik. Selain itu, penelitian yang dilakukan di Sekolah Polisi
Negara Karombasan Manado pada tahun 2016 mendapatkan hasil bahwa 17% dari
basilaris. Hal ini akan menyebabkan rangsangan terhadap sel rambut pada
sel rambut mengalami atrofi dan kerusakan bersifat permanen (Sareen et al,
2014).
pada frekuensi 5000 Hz, 1000 Hz, dan 2000 Hz adalah 10 desibel dan mengalami
penurunan rereta ambang dengar pada frekuensi 4000 Hz dan 8000 Hz (Budiyanto,
2003).
ambang dengar dari 5-23 desibel menjadi 10-30 desibel setelah menjalani latihan
4
hasil bahwa terjadi gangguan fungsi pendengaran frekuensi tinggi yang terjadi 24
jam setelah terpajan ledakan senapan mesin otomatis. Penelitian lain yang
penurunan fungsi pendengaran secara signifikan pada frekuensi 3-6 KHz pada 24-
72 jam setelah trauma suara dengan intensitas tinggi (Campella, et al., 2014).
merupakan salah satu faktor risiko dari terjadinya demensia. Selain itu,
dapat dicegah terutama pada populasi yang berisiko tinggi seperti prajurit
B. Rumusan Masalah
penembak?”
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
2. Tujuan khusus
D. Manfaat Penelitian
6
1. Manfaat Teoritis
2. Manfaat Praktis
a. Bagi peneliti
b. Bagi masyarakat
teratur.
c. Bagi instansi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Anatomi Telinga
dalam.
Gambar
2.1.
Anatomi
Telinga
(Netter,
2010)
1) Telin
ga
Luar
Telinga luar terdiri dari aurikula, kanalis auditivus, dan
(Snell, 2010).
Kavum timpani berhubungan dengan nasofaring melalui
Gambar
2.2. Telinga
dalam
(Netter,
2010)
yang dibagi menjadi basis dan apeks. Aksis spiral disebut modiolus,
Corti, yang terdiri dari sel spiral, sel rambut dalam dan luar, sel
pilar dalam dan luar, sel falang dalam dan luar, serta sel hensen. Di
atas sel rambut dalam dan luar terdapat membran tektorial yang
terdapat di telinga dalam. Saraf ini berasal dari antara pons dan
2. Fisiologi Pendengaran
oleh saraf terhadap gelombang suara yang ada di sekitar organ sensorik
suara, yaitu gerakan molekul udara yang berasal dari sumber suara, yang
2012).
Membran timpani bergetar sesuai dengan kekuatan gelombang
2009).
pergerakan stereosilia sel rambut. Saat membran basilaris naik, kanal ion
2012).
B. Trauma Akustik
1. Definisi
2. Etiologi
desibel, seperti yang terjadi pada suara mesin pabrik, ledakan bom, dan
14
tembakan senjata api baik dengan kaliber kecil maupun besar (Sareen et
3. Penegakan diagnosis
jelas dengan suara terdengar lebih lirih. Kesulitan mendengar ini lebih
mencolok pada suara dengan nada tinggi. Selain itu, kosakata dengan
huruf ‘f’, ‘s’, ‘th’, dan ‘z’ tidak terdengar dengan baik. Kesulitan
mendengar ini bertambah jika ada suara lain maupun saat berada di
tembakan senjata api, suara mesin, dan sambaran petir (Flint et al.,
2010).
Tanda yang dapat ditemukan pada penderita gangguan
lebih keras serta memberikan respon yang tidak sesuai dengan topik
4. Patogenesis
15
al, 2014).
dan MMP 9. Proses ini akan berdampak terhadap struktur telinga dalam
5. Dampak negatif
C. Pemeriksaan Audiologi
adalah uji penala, audiometri nada murni, dan emisi otoakustik (Adams et
al., 2012).
1. Uji Penala
Uji penala dilakukan untuk mengetahui estimasi kepekaan
Loss (SNHL) didapatkan hantaran tulang yang tidak lebih peka dari
Loss (CHL) dimana hantaran tulang lebih peka dari hantaran udara
telinga kanan dan kiri sehingga dapat mengetahui bagian telinga yang
penala yang ditempelkan pada tulang mastoid satu sisi tidak hanya
et al., 2012).
2. Audiometri nada murni
Audiometri digunakan untuk mengukur tingkat intensitas
minimum pada frekuensi yang masih dapat didengar oleh penderita yang
telinga luar, telinga tengah, koklea, nervus cranialis VII, dan sistem
(Campbell, 2016).
a. Apabila AC mengalami peningkatan sedangkan BC dalam batas
konduksi
b. Apabila AC dan BC mengalami peningkatan dalam rentang nilai
lebih dari 25 dB pada frekuensi 500, 1000, 2000, dan 4000 Hz dengan
3. Emisi otoakustik
20
dalam terutama pada bagian koklea dan sel rambut baik luar maupun
dalam. Pemeriksaan ini bersifat mudah, cepat, objektif, dan tidak invasif
berikut
a. Spontaneous otoacoustic emissions (SOAEs)
SOAEs merupakan emisi suara tanpa adanya rangsangan
bunyi, dengan kata lain terjadi secara spontan, yang diukur dalam
(Campbell, 2016).
b. Transient otoacoustic emission (TOAEs) atau Transient evoked
dan DPOAEs
pada frekuensi 5000 Hz, 1000 Hz, dan 2000 Hz adalah 10 desibel dan mengalami
penurunan rereta ambang dengar pada frekuensi 4000 Hz dan 8000 Hz (Budiyanto,
2003).
ambang dengar dari 5-23 desibel menjadi 10-30 desibel setelah menjalani latihan
hasil bahwa terjadi gangguan fungsi pendengaran frekuensi tinggi yang terjadi 24
jam setelah terpajan ledakan senapan mesin otomatis. Penelitian lain yang
penurunan fungsi pendengaran secara signifikan pada frekuensi 3-6 KHz pada 24-
72 jam setelah trauma suara dengan intensitas tinggi (Campella, et al., 2014).
23
DAFTAR PUSTAKA
Adams, George., Lawrence Boeis., Peter Higler. 2012. Boies Buku Ajar Penyakit
THT Edisi 6. Jakarta : EGC.
Budiyanto. 2003. Trauma akustik akibat latihan menembak pada taruna Akademi
Kepolisian Semarang. Tesis untuk memperoleh pengakuan sebagai ahli THT-KL FK
Undip Semarang; 2003.
Kim, Jisoo., Hyung Lee. 2009. Inner Ear Dysfunction Due to Vertebrobasilar
Ischemic Stroke. Semin Neurology 2009;29(5):534-540.
Lin, Frank., Jeffrey Matter., Richard Brien. 2013. Hearing loss and cognitive dysfunction
in adults. Journal of the American Medical Association Volume 261 : 1868-1871.
Mahardana, Komang., Suardana, Wayan., Sudana, Wayan. 2015. Efek letusan senjata api
ringan terhadap fungsi pendengaran pada siswa Diktuba POLRI. Tesis untuk
memperoleh pengakuan ahli THT-KL FK Udayana Bali; 2015.
National Institute of Aging (NIA). 2011. Hearing Loss and Dementia. Available
at http://www.cdc.gov diunduh pada 14 Juli 2014.
Netter, Frank. 2010. Atlas of Human Anatomy 5th edition. United State :
Saunders.
Timbuleng, Tamira., Palandeng Ora., Pelealu Olivia. 2016. Kesehatan telinga mahasiswa
sekolah polisi negara Karombasan Manado. Jurnal e-Clinic Volume 4 Nomer 2
Juli-Desember 2016.
World Health Organization. 2017. Hearing loss due to recreational exposure to loud
sounds : a review. Geneva : World Health Organization.