Anda di halaman 1dari 10

TEXTBOOK READING

“SUDDEN OBSTETRIC COLLAPSE”

Pembimbing :
dr. Tendi Novara, M.Si., M.Ed., Sp.An-KAO

Disusun Oleh:
Irma Nuraeni H G4A016009

KEMENTERIAN RISET DAN PENDIDIKAN TINGGI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO

2018
HALAMAN PENGESAHAN

Telah dipresentasikan dan disetujui textbook reading dengan judul :


“SUDDEN OBSTETRIC COLLAPSE”

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti ujian


di Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Program Profesi Dokter
di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Disusun Oleh :
Irma Nuraeni H G4A016009

Purwokerto, Februari 2018

Mengetahui,
Pembimbing,

dr. Tendi Novara, M.Si., M.Ed., Sp.An-KAO


NIP 19791110 201212 1 004
KEMATIAN OBSTETRIK MENDADAK
Lisa M. Nathan dan Asha Rijhsinghani

Pendahuluan
Pada tahun 1990, terdapat 532.000 kasus kematian ibu hamil di dunia.
Angka ini mengalami penurunan menjadi 289.000 kasus pada tahun 2013 dengan
58% diantaranya terjadi 10 negara yaitu India, Nigeria, Pakistan, Afghanistan,
Ethiopia, Republik Kongo, Tanzania, Kenya, China, dan Uganda. Dari 10 negara
tersebut, India dan Nigeria merupakan penyumbang angka kematian ibu terbesar.
Kematian ibu hamil di India mencapai 50.000 kasus per tahun atau 137 kasus per
hari. Angka kesakitan ibu dapat menyebabkan peningkatan kelahiran prematur
dan kematian perinatal sebesar 25%.
Pada tahun 2000, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyelenggarakan
pertemuan milenium dan menetapkan 8 target menuju perubahan perkembangan
utama dunia termasuk Millenium Development Goals (MDGs) 5 yang bertujuan
untuk menurunkan angka kematian ibu menjadi 75% pada tahun 2015. Dengan
melakukan usaha untuk mencapai MDGs 5, India dapat menurunkan angka
kematian ibu sebesar 4% setiap tahunnya. Hal ini dapat terwujud oleh karena
adanya peningkatan kualitas tenaga kesehatan dalam menolong persalinan dan
kesadaran masyarakat untuk melakukan persalinan di fasilitas kesehatan. Seiring
dengan menurunnya angka kematian ibu, terjadi peningkatan kunjungan di
fasilitas kesehatan sehingga berisiko untuk terjadi kasus nearmiss maternal.
Pada tahun 2007, sebuah penelitian yang mencakup bidang anestesi,
kebidanan, dan kegawatdaruratan medis menunjukan hasil bahwa dokter
memiliki keterbatasan pengetahun mengenai resusitasi pada ibu hamil. Oleh
karena itu, dokter diharapkan dapat menguasai tentang status maternal dan
advanced cardiac life support (ACLS) sehingga diharapkan dapat mencegah
kejadian kematian ibu yang akan menurunkan tingkat kematian ibu secara umum.

Nearmiss / SAMM
Nearmiss didefinisikan sebagai keadaan pasien dengan disfungsi organ
secara akut, dimana apabila tidak dilakukan tatalaksana secara tepat dan tepat
dapat mengakibatkan kematian ibu. Nearmiss sering juga disebut sebagai Severe
Acute Maternal Morbidity (SAMM), yang didefinisikan sebagai kondisi wanita
hamil maupun wanita yang telah melahirkan yang mengalami penyakit yang berat
tanpa penanganan yang optimal. Pada tahun 2009, WHO mendefinisikan SAMM
sebagai wanita yang mengalami komplikasi dalam kehamilan, persalinan,
maupun masa nifas dalam kondisi hampir meninggal. Tujuan dari pemberian
istilah khusus ini agar dapat tercipta pelayanan maternal yang berkualitas dan
terstandarisasi.
Tingkat kejadian nearmiss sebesar lima kali lipat dari tingkat kematian
ibu. Angka kematian ibu di India yang tinggi disebabkan oleh kesalahan
penanganan kegawatdaruratan maternal dalam mekanisme merujuk antar
pelayanan kesehatan. Selama tahun 2000-2002, 46% dari angka kematian ibu
disebabkan oleh adanya pelayanan maternal yang tidak terstandarisasi dalam
menangani preeklamsia dan eklamsia. Peningkatan angka kematian ibu karena
preeklamsia berat disebabkan oleh karena keterlambatan dalam menegakan
diagnosis serta menangani hipertensi berat dan edema pulmo. Selain itu, adanya
hipertensi pulmonal postpartum, tromboemboli vena, dan emboli pulmonalis
yang terlambat mendapatkan antikoagulan merupakan penyebab kematian
ibuyang tidak bisa diremehkan.
Sebuah penelitian retrospektif pada wanita peripartum yang dirawat di
ruangan Intensive Care Unit (ICU) di Mumbai melaporkan angka kematian ibu
yang cukup tinggi yaitu sebesar 21,6%. Hal ini disebabkan oleh keterlambatan
rujukan pasien ke ruangan ICU. Penelitian ini juga menyebutkan bahwa durasi
keterlambatan selama 24 jam dari onset penyakit untuk merujuk ke ruangan ICU
berhubungan dengan angka kematian ibu.
Wanita hamil yang dalam keadaan sehat dapat mengaami kondisi serupa.
Hal ini disebabkan oleh adanya Systemic Inflammatory Response Syndrome
(SIRS) yang diikuti dengan keterlibatan multiorgan, kegagalan fungsi organ, dan
kematian. Pasien yang mengalami kondisi yang mengancam jiwa dan tidak
mendapatkan penanganan yang tepat dan cepat sehingga jatuh ke dalam
prognosis yang buruk dapat disebut sebagai nearmiss. Penegakan diagnosis
secara dini mengenai kondisi maternal dan penanganan berupa rujukan antar
fasilitas kesehatan dapat menurunkan tingkat kematian ibu.

Keterlibatan Organ pada Komplikasi Maternal


Keterlibatan organ pada sistem respirasi, kardiovaskular, dan saraf
merupakan kondisi yang berisiko tinggi terhadap kejadian kematian ibu dan bayi.
Semakin banyak keterlibatan organ yang terjadi pada komplikasi maternal, maka
semakin besar risiko untuk terjadinya kematian ibu. Pasien yang mengalami
kegagalan fungsi organ sebanyak 3 organ memiliki risiko kematian sebesar 70%,
sedangkan pasien yang mengalami kegagalan fungsi organ sebanyak 4 organ
risikonya dapat meningkat menjadi 80%. Hepatitis viral dan Disseminated
Intravascular Coagulation (DIC) merupakan penyebab kematian ibu yang tidak
berkaitan dengan kegagalan fungsi organ.

Kondisi yang Berhubungan dengan Nearmiss


Pada wanita hamil, takipneu dan takikardi merupakan tanda awal
terjadinya impending collapse. Perdarahan merupakan penyebab terbanyak dari
kejadian nearmiss. Pada negara berkembang, kondisi yang dapat menyebabkan
nearmiss antara lain perdarahan, anemia, sepsis, persalinan macet, hipertensi,
abortus, emboli, kehamilan ektopik, emboli cairan amnion, penyakit jantung, dan
penyebab lain baik langsung maupun tidak langsung.
Kondisi khusus yang berhubungan dengan perdarahan antara lain atonia
uteri, perdarahan postpartum, dan retensio plasenta. Sebagian besar kasus
kematian akibat perdarahan pada wanita hamil disebabkan oleh kesalahan dalam
mendiagnosis kondisi syok, kesalahan dalam menerapkan protokol terapi syok
hemoragik, dan keterlambatan dalam melakukan penanganan secara aktif.
Penanganan terhadap perdarahan postpartum masif yang terlambat dan tidak
adekuat dapat menyebabkan kerusakan myokardium sampai dengan pada 50%
pasien.
Fisiologi dan Penyebab Kematian Ibu
Fisiologi
Pemahaman mengenai perubahan fisiologi dalam kehamilan sangat
penting dalam melakukan evaluasi kondisi kritis pasien. Pada awal kehamilan,
terjadi peningkatan volume darah maternal, cardiac output, laju pernafasan, dan
konsumsi oksigen. Perubahan ini sangat penting dalam pengaturan perfusi dan
fungsional dari organ maternal dan fetal. Selain itu, terjadi penurunan kapasitas
residual paru, aliran balik vena, dan ruang laring. Perubahan ini bertujuan untuk
mengurangi risiko dekompensasi akut dan mendadak terhadap perubahan
sistemik. Perubahan yang paling besar terutama terjadi pada sistem saraf pusat,
sistem kardiovaskular, dan sistem respirasi.
Faktor Fisiologi Perubahan
Volume darah Meningkat
Cardiac output Meningkat
Laju respirasi Meningkat
Konsumsi oksigen Meningkat
Tekanan darah Menurun
Kapasitas residual paru Menurun
Ruang Laring Menurun
Aliran balik vena Menurun

Penyebab Kematian Ibu


Beberapa kondisi yang berisiko tinggi dalam menyebabkan kematian ibu
antara lain perdarahan masif akut yang tidak segera ditangani, sepsis berat, dan
hipertensi dalam kehamilan. Komplikasi ini dapat timbul baik selama antepartum
maupun postpartum. Sedangkan penyebab lain yang berisiko rendah dalam
menyebabkan kematian ibu antara lain emboli paru, serangan jantung, perdarahan
intrakranial, emboli cairan amnion, keracunan magnesium, trauma, dan
komplikasi dari tindakan anestesi.
1. Perdarahan
Perdarahan antepartum dapat disebabkan oleh kondisi plasenta previa,
retensi plasenta, dan ruptura uteri. Selain itu, abortus baik inkomplit maupun
spontan pada trimester kedua dengan adanya retensio plasenta juga dapat
menyebabkan perdarahan yang masif. Selama periode postpartum, penyebab
perdarahan yang paling sering adalah atonia uteri. Keadaan ini ditandai
dengan keadaan pasien yang mengalami anemia akut dan hipotensi yang
memerlukan tindakan transfusi darah, bahkan pada beberapa kasus
memerlukan tindakan histerektomi segera.
Berikut merupakan tanda dan gejala dari perdarahan baik antepartum
maupun postpartum.
a. Denyut nadi yang cepat dan lemah
b. Tekanan darah yang rendah
c. Pucat
d. Akral teraba dingin dan berkeringat
e. Produksi urine yang menurun
f. Pernafasan yang cepat dan dangkal
g. Penurunan kesadaran
2. Sepsis
Sepsis dapat terjadi baik selama antepartum maupun postpartum. Pasien
yang mengalami sepsis berat selama antepartum berisiko untuk mengalami
syok dan DIC. Mikroorganisme penyebab sepsis dalam kehamilan meliputi
Streptocccus A, B, D.; Pneumococci sp., dan Eschericia coli. Berikut
merupakan tanda dan gejala dari sepsis baik antepartum maupun postpartum.
a. Demam
b. Hipotensi
c. Takikardi
d. Takipneu
e. Perubahan status mental
f. Oliguria
g. Jumlah leukosit rendah
Berikut merupakan penanganan syok sepsis pada kehamilan baik
antepartum maupun postpartum.
a. Melakukan pemeriksaan kultur darah
b. Memasang infus 2 jalur dengan ukuran besar pada tangan kanan dan kiri
c. Memberikan antibiotik spektrum luas seperti gentamisin, clindamisin,
ampicilin, dan penisilin
d. Memberikan suplementasi oksigen
e. Melakukan pemeriksaan analisa gas darah
f. Melakukan pemeriksaan elektrolit terutama laktat
g. Melakukan pemeriksaan hemoglobin dan melakukan transfusi apabila
hasilnya kurang dari 7 gr/dL
h. Melakukan monitoring produksi urin
i. Melakukan resusitasi cairan dengan menggunakan cairan kristaloid
j. Memberikan vasopresor apabila tekanan darah sistoli kurang dari 65
mmHg
k. Melalukan identifikasi penyebab infeksi dan menanganinya apabila
mungkin
3. Hipertensi dalam kehamilan
Hipertensi dalam kehamilan merupakan komplikasi dalam kehamilan
yang paling sering terjadi. Preeklamsia, eklamsia, dan sindrom HELLP
merupakan sindrom dalam kehamilan yang dapat mengakibatkan kematian.
Pada kasus hipertensi berat dalam kehamilan, dapat terjadi perdarahan
intrakranial dan ruptur hepar yang dapat menyebabkan kematian maternal
yang berhubungan dengan kerusakan otak serta kehilangan darah yang masif
dan akut. Edema pulmonalis merupakan penyebab kematian maternal yang
disebabkan oleh kegagalan fungsi kapiler maternal. Penanganan awal berupa
suplementasi oksigen dan pemberian furosemid secara intravena dapat
menolong jiwa pasien.
4. Komplikasi tindakan anestesi
Agen anestesi lokal dapat menyebabkan toksisitas sistemik yang disebut
sebagai LAST. Meskipun jarang, namun injeksi agen anestesi lokal dapat
menyebabkan kerusakan sistem saraf pusat dan sistem kardiologi.
5. Stroke
Kondisi lain yang dapat menyebabkan kematian ibu adalah stroke. Hal
ini terjadi akibat adanya trombosis vena serebral, yang disebabkan oleh
kondisi dehidrasi, sepsis, trauma, penyakit sel sabit, trombofilia, dan
koriokarsinoma metastatik.
6. Penyebab diluar obstetrik
a. Efek samping dari medikasi MgSO4
b. Hipoglikemia
c. Refleks vasovagal berupa nadi lemah, tekanan darah rendah
d. Obat-obatan dan toksin
7. Kondisi lain
a. Sindrom marfan, yang dapat menyebabkan ruptur aneurisma aorta
b. Hemoperitoneum, yang dapat menyebabkan ruptur lien, ruptur hepar

Resusitasi dasar kardiopulmoner


Pada tahun 2010, American Heart Association mempublikasikan pedoman
mengenai Return of Spontaneous Circulation (ROSC) dan ACLS. Pedoman
tersebut meliputi instruksi resusitasi khusus untuk wanita hamil. Managemen
dilakukan dengan prinsip CBA (Circulation-Breathing-Airways) yaitu melakukan
pemeriksaan sirkulasi, kemudian pernafasan, dan selanjutnya jalan nafas. Berikut
merupakan pedoman resusitasi khusus untuk wanita hamil.
1. Meminta bantuan, terutama pada kasus henti jantung
2. Memposisikan
Pada kondisi antepartum, perlu memposisikan uterus pada bagian
lateral secara manual dengan menggunakan teknik dua tangan ataupun
memposisikan pasien pada posisi left lateral tilt dengan sudut 30O dan
meletakan alas yang elastik untuk menopang area pelvis dan thoraks
3. CPR
CPR dilakukan dengan kompresi dada dan ventilasi. Pada pasien
antepartum, kompresi dada dilakukan lebih atas daripada posisi standar.
Kompresi dada dan ventilasi dilakukan dengan ration 30:2, dengan kecepatan
kompresi dada sebesar 100 kali/menit. Kompresi dada dilakukan dengan
kedalaman sebesar 2 inchi, yang diikuti dengan chest recoil secara lengkap.
Apabila dilakukan pemasangan pipa endotrakeal, maka pengaturan volume
tidal sebesar 600 ml. Pada kasus dengan aritmia jantung seperti ventrikel
fibrilasi dan ventrikel takikardi, perlu dilakukan defibrilasi dan apabila
belum ada hasil maka perlu dilakukan pemberian epinefrin dengan ataupun
tanpa kombinasi dengan amiodaron. Pada kehamilan trimester ketiga, terjadi
kompresi aotocaval oleh uterus sehingga CPR cenderung sulit untuk
dilakukan.
4. Apabila didapatkan pulsasi arteri karotid namun tidak adanya laju
pernafasan, maka dilakukan suplementasi oksigen dengan menggunakan
masker atau dilakukan intubasi endotrakeal
5. Apabila tidak didapatkan pulsasi arteri karotid, maka dilakukan kompresi
dada, ventilasi dengan oksigen, pemeriksaan analisa gas darah, dan
pemeriksaan EKG untuk mengetahui adanya aritmia kordis atau asistol

Kesimpulan
Diperlukan pengetahuan mengenai kondisi yang berhubungan dengan
kegawatdarutan maternal untuk dapat menurunkan angka kematian dan kesakitan
wanita hamil dengan melakukan beberapa hal berikut.
1. Pengorganisasian tim yang meliputi dokter, konsultan obstetrik-ginekologi,
konsultan anestesi, konsultan pediatrik, perawat ICU, bank darah, perawat
umum, radiologis, dan farmasi.
2. Wanita hamil diharapkan melakukan konsultasi dengan bagian anestesi
dalam antenatal care, terutama wanita hamil dengan risiko tinggi
3. Penerapan protokol
4. Penerapan komunikasi efeksi
5. Identifikasi faktor risiko
6. Identifikasi awal terhadap kondisi kritis
7. Stabilisasi
8. Proses rujukan setelah stabil
9. Rujukan ICU, kurang dari 24 jam

Anda mungkin juga menyukai