Anda di halaman 1dari 17

Reading Assigment ACC Supervisor

Divisi Metabolik Endokrin


dr. Ayuhati Siregar dr. Santi Syafril,Sp.PD-KEMD

TERAPI HORMONAL PADA PASIEN DENGAN DISFORIA GENDER

Ayuhati Siregar, Santi Syafril, Dharma Lindarto, Melati Nasution, M. Aron Pase

Divisi Metabolik Endokrin Departemen Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

PENDAHULUAN

Disforia gender merupakan istilah yang digunakan untuk menjelaskan individu yang

mengalami penolakan terhadap status seksual biologisnya dan berkeinginan untuk mengubahnya.1

Disforia gender terjadi dengan prevalensi sebesar 0,2-2:1.000. Disforia gender dapat terjadi pada

usai 15-64 tahun. Disforia gender lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan dengan

perbandingan 3:1 pada usia dewasa, 5:1 pada usia remaja.1,2 Disforia gender pada dewasa biasanya

disertai dengan adanya afek depresi, kecemasan, dan gangguan kebiasaan sehingga berpengaruh

terhadap kualitas hidup penderitanya.3 Terapi yang dapat dilakukan pada pasien dengan disforia

gender adalah konseling dan terapi psikologis, terapi hormonal, dan perubahan jenis kelamin

secara operatif. Terapi hormonal merupakan terapi yang dianggap aman dan efektif terhadap

pasien dewasa yang mengalami disforia gender.1 Oleh karena itu, tulisan ini akan membahas

mengenai terapi hormonal pada pasien yang mengalami disforia gender.


DEFINISI

Disforia gender merupakan istilah yang digunakan untuk menjelaskan individu yang

mengalami penolakan terhadap status seksual biologisnya dan berkeinginan untuk mengubahnya.

Berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) V, disforia gender

didefinisikan sebagai sebagai ketidakpuasan secara afektif dan kognitif mengenai jenis kelamin

saat lahir. Sedangkan dokter ahli kejiwaan menyebutkan bahwa disforia gender merupakan kondisi

dimana individu mengalami ketidakcocokan antara identitas gender dengan harapan sosialnya

maupun stereotipe yang berkaitan dengan pembagian jenis kelamin secara biner yaitu laki-laki dan

perempuan.1

Disforia gender disebut juga sebagai gender variant, gender nonconforming, gender queer,

genderfluid, bigender, genderneutral, agender, andnonbinary, trans-seksual, dan trans-gender.1

Trans-seksual identik dengan kondisi dimana individu baik laki-laki maupun perempuan yang

sepanjang hidupnya merasa bahwa dirinya terperangkap di tubuh yang salah dan berupaya untuk

mengubah jenis kelaminnya baik secara hormonal maupun operatif.2

EPIDEMIOLOGI

Disforia gender terjadi dengan prevalensi sebesar 0,2-2:1.000. Disforia gender dapat terjadi

pada usai 15-64 tahun. Disforia gender lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan

dengan perbandingan 3:1 pada usia dewasa, 5:1 pada usia remaja.1,2 Sebuah penelitian

menyebutkan bahwa terdapat 1:7.750 laki-laki dewasa dan 1:13.120 perempuan dewasa yang

mengubah nama secara legal serta 1:10.154 laki-laki dewasa dan 1:27.668 perempuan dewasa
yang menjalani terapi hormonal.1 Sedangkan penelitian lain menyebutkan bahwa terdapat 1:30.000

laki-laki dewasa dan 1:100.000 perempuan dewasa yang menjalani operasi perubahan jenis

kelamin.2

ETIOPATOGENESIS

Etiolopatogenesis dari disforia gender dibagi menjadi dua yaitu secara biologis dan

psikososial.

1. Biologis

a. Genetik

Terjadinya disforia gender dihubungkan dengan gen CYP17 dan polimorfisme gen

ERβ. Pada laki-laki, dapat didapatkan kelainan kromosom yang terjadi pada kromosom

XY seperti yang terjadi pada sindrom Klinefelter (47, XXY).1

b. Kelainan anatomi

Adanya kelainan anatomi pada substansia grissea terkait dengan ketebalan korteks

pada regio orbito-frontal, insular, dan occipital media; putamen, serta mikrostruktur dari

substansia alba yang terkait dengan koneksivitas intra-hemisfer antara subkortikal

dekstra serta lobus frontal dan temporal dekstra dianggap sebagai penyebab dari disforia

gender. Hal ini berkaitan dengan proses fisiologi neurologis dan endokrin.1

c. Hormonal

Adanya diferensiasi seksual jaringan somatis dapat disebabkan oleh paparan

hormon androgen terhadap fetus saat proses kehamilan. Munculnya fenotip maskulin

disebabkan oleh karena adanya kadar hormon androgen yang cukup, sedangkan fenotip
feminin disebabkan oleh karena tidak adanya kadar hormon androgen. Hormon seksual

ini akan berefek pada otak yang selanjutnya akan mempengaruhi pembentukan alat

genitalia. Selain itu, berkurangnya aktivasi hormon GnRHa pada lobus temporalis

superior dekstra dan kadar hormon serotonin yang berbeda pada kedua hemisfer dapat

dianggap berhubungan dengan seksual genetik, gender, dan disforia gender.1

2. Psikososial

Pengaruh psikososial terhadap kejadian disforia terkait dengan pola asuh orangtua,

dominasi peran orangtua, dan pengaruh lingkungan sekitar. Pola asuh orangtua memegang

pengaruh yang penting dalam perkembangan psikologis anak yang terkait dengan gender.

Selain itu, dominasi peran orangtua dalam mengasuh anak juga dapat berpengaruh terhadap

perkembangan psikologis anak. Dominasi peran ayah pada anak perempuan akan

menyebabkan proses replika sehingga timbul sifat maskulinisme, sedangkan dominasi peran

ibu pada anak laki-laki akan menimbulkan sifat feminisme.1

DIAGNOSIS

DSM-5 membedakan kriteria diagnosis disforia gender pada anak-anak dan dewasa. Pada

anak-anak, penolakan gender biologis ditandai dengan adanya perubahan cara bermain,

berpakaian, berhubungan sosial, dan kadang karakteristik seksual primer. Sedangkan pada dewasa,

penolakan gender biologis ditandai dengan adanya perubahan karakteristik seksual sekunder.

Disforia pada dewasa biasanya bersifat persisten, sedangkan pada anak-anak cenderung dapat

menghilang seiring dengan pertambahan kedewasaan.6


Berdasarkan DSM-5, diagnosis disforia gender pada anak-anak ditegakan apabila terdapat

minimal 6 dari 8 gejala yang terjadi menetap selama minimal 6 bulan yang disertai dengan adanya

distres maupun perubahan sosial, sekolah, dan lingkungan sekitar. Gejala-gejala tersebut dapat

diuraikan sebagai berikut.7, 8

1. Adanya keinginan yang kuat untuk memiliki gender yang berbeda dengan gender biologisnya

2. Adanya keputusan yang kuat untuk menggunakan jenis pakaian gender yang berbeda dengan

gender biologisnya

3. Adanya keputusan yang kuat untuk melakukan peran gender yang berbeda dengan gender

biologisnya

4. Adanya keputusan yang kuat untuk memilih jenis alat permainan dan permainan gender yang

berbeda dengan gender biologisnya

5. Adanya keputusan yang kuat untuk memilih teman bermain yang memiliki gender yang

berbeda dengan gender biologisnya

6. Adanya penolakan yang kuat terhadap jenis alat permainan dan permainan yang sesuai dengan

gender biologisnya

7. Adanya ketidaksukaan yang kuat terhadap sebuah anatomi seksual

8. Adanya keinginan yang kuat untuk memiliki karakteristik seksual baik primer maupun

sekunder yang dimiliki oleh gender yang berbeda dengan gender biologisnya 7, 8

Berdasarkan DSM-5, diagnosis disforia gender pada dewasa ditegakan apabila terdapat

minimal 2 dari 6 gejala yang terjadi menetap selama minimal 6 bulan yang disertai dengan adanya

distres maupun perubahan sosial, sekolah, dan lingkungan sekitar.7,8 Disforia gender pada dewasa

biasanya disertai dengan adanya afek depresi, kecemasan, dan gangguan kebiasaan. 3,9 Gejala-

gejala tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.


1. Adanya ketidaksesuaian yang jelas antara gender yang diinginkan dengan karakteristik

seksual baik primer maupun sekunder

2. Adanya keinginan yang kuat untuk menghilangkan karakteristik seksual baik primer maupun

sekunder karena tidak sesuai dengan gender yang diinginkan

3. Adanya keinginan yang kuat untuk memiliki karakteristik seksual baik primer maupun

sekunder dari gender yang diinginka

4. Adanya keinginan yang kuat untuk menjadi gender yang diinginkan

5. Adanya usaha yang kuat untuk menjadi gender yang diinginkan

6. Adanya keyakinan yang kuat bahwa dirinya memiliki keterkaitan secara perasaan dan reaksi

terhadap gender yang diinginkan 7, 8

Pemeriksaan psikiatri dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa pilihan sistem

skoring antara lain Gender Identity/Gender Dysphoria Questionnaire for Adolescents and Adults

(GIDYQ-AA), Gender Identity Interview for Children (GIIC), Gender Identity Questionnaire for

Children (GIQC), serta penilaian mengenai tubuh dengan menggunakan sistem skoring Utrecht

Gender Dysphoria Scale, Body Image Scale, Body Uneasiness Test, dan Hamburg Body Drawing

Scale.10

Pemeriksaan klinis pada pasien yang mengalami disforia gender dilakukan dengan

pemeriksaan fisik generalis dan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium dilakukan

dengan pemeriksaan hormonal dan pemeriksaan genetik. Pemeriksaan hormonal yang dilakukan

adalah kadar estrogen, testosteron, LH, FSH, GnRH, dan prolaktin. Sebagian besar pasien yang

mengalami disforia gender memiliki kariotipe kromosom seks yang normal. Pada laki-laki, dapat

didapatkan kelainan kromosom yang terjadi pada sindrom Klinefelter (47, XXY).1
TATALAKSANA

Terapi yang dapat dilakukan pada pasien dengan disforia gender adalah konseling dan terapi

psikologis, terapi hormonal, dan perubahan kelamin secara operatif. Konseling dan terapi

psikologis bertujuan untuk meningkatkan kepuasan terhadap gender biologisnya dengan cara

memfasilitasi pengurangan gejala disforia gender. Selain itu, dapat dilakukan metode Real-Life

Experience (RLE) yang dilakukan selama 12 bulan dengan melakukan dua peran yaitu gender

biologis dan gender yang diinginkan secara bergantian.11

Terapi hormonal dianggap terapi yang paling efektif bagi pasien yang mengalami disforia

gender. Terapi hormonal yang biasa dilakukan adalah terapi hormonal cross-sex. Terapi hormonal

dilakukan dengan melakukan supresi kadar testosteron dengan menggunakan preparat

spironolakton, cyproterone acetate, dan agonis GnRH. Namun terapi hormonal ini dapat

menyebabkan beberapa komplikasi medis seperti tromboemboli, infark myokard, dan

osteoporosis.11,12

Sedangkan operasi perubahan kelamin dapat dilakukan pada pasien yang berusia diatas 18

tahun dan gagal respon dengan terapi psikologis, terapi RLE, terapi hormonal selama 12 bulan

terturut-turut, Prosedur operasi dilakukan dengan tindakan vaginoplasti, palloplasti, orchiektomi,

penektomi, clitoroplasti, labiaplasti, scrotoplasti, uretroplasti, implant testis, vulvoplasti,

coloproktostomi, dan uretromeatoplasti.11,12

TERAPI HORMONAL PADA PASIEN DENGAN DISFORIA GENDER


Terapi hormonal pada pasien yang mengalami disforia gender dilakukan pada pasien yang

berusia lebih dari 18 tahun serta gagal berespon dengan terapi psikoterapi dan RLE selama 3 bulan

berturut-turut. Terapi hormonal dibagi menjadi tiga stadium, yaitu preoperasi yang bertujuan untuk

menghambat timbulnya karakteristik seksual biologis, preoperasi yang bertujuan untuk

merangsang tumbuhnya karakteristik seksual yang diinginkan, dan paska operasi.11,12

Berikut merupakan kontraindikasi penggunaan terapi hormonal pada pasien dengan disforia

gender baik secara absolut maupun relatif.13

1. Hipertensi berat

2. Penyakit jantung iskemia

3. Trombofeblitis dan tromboemboli

4. Penyakit serebrovaskular

5. Disfungsi hepar

6. Kegagalan fungsi ginjal

7. Diabetes melitus

8. Hiperprolaktinemia

9. Riwayat penyakit keluarga berupa karsinoma mammae

10. Konsumsi rokok yang berlebihan

11. Obesitas sentral

12. Dislipidemia

Terapi hormonal pada pasien yang mengalami disforia gender dilakukan berdasarkan jenis

kelamin.

1. Trans-woman
a. Estrogen

Hormon yang berpengaruh terhadap feminisasi pada trans-woman adalah

estrogen. Selain berpengaruh terhadap proses feminisasi pada trans-woman, estrogen

juga berfungsi untuk menurunkan kadar kolesterol dalam plasma, mengatur deposisi

mineral dalam tulang, dan mengatur gairah seksual. Pada pasien trans-woman yang

menjalani terapi hormonal selama 3-36 bulan, estrogen berperan dalam melembutkan

kulit, menstimulasi perkembangan mammae, dan merangsang penimbunan lemak sesuai

dengan distribusi normal pada wanita.11

Pemberian terapi hormonal dengan menggunakan estrogen dilakukan dengan

dosis titrasi. Terapi estrogen diinisiasi dengan dosis rendah yang dinaikan secara bertahap

setiap 2-3 bulan. Pengukuran kadar hormon dalam darah perlu dilakukan setiap 3 bulan.

Pasien yang memiliki kadar testosteron yang tinggi secara persisten perlu diterapi

kombinasi dengan menggunakan spironolakton.11

Efek samping yang perlu diperhatikan setelah pemberian estrogen jangka panjang

adalah trombosis vena, mual, muntah, gangguan fungsi hati, kolelitiasis, depresi,

infertilitas, nyeri kepala, dan peningkatan intoleransi glukosa. Selain itu, dapat terjadi

peningkatan kadar prolaktin dan meningkatkan risiko terjadinya prolaktinoma tipe jinak.

Kejadian neoplasma pada mammae dan prostat pernah dilaporkan pada penggunaan

estrogen jangka panjang.11,12

Beberapa ahli menyebutkan penggunaan estrogen dengan dosis tinggi dapat

meningkatkan efektivitas terapi. Terapi tambahan yang dapat diberikan adalah

phytoestrogen. Efek samping phytoestrogen dan interaksi obat dengan estrogen belum
diketahui secara jelas, namun diduga dapat menyebabkan komplikasi seperti estrogen

yaitu berupa gangguan kardiovaskular.13

Setelah penggunaan terapi estrogen selama 2 tahun, perlu dilakukan pemeriksaan

yang terkait dengan komplikasi berupa kadar prostate spesific antigen (PSA), kadar

prolaktin, profil lipid, dan fungsi hepar. Pemeriksaan terhadap PSA dilakukan secara

rutin setiap 6-12 bulan pada pasien yang berusia lebih dari 50 tahun untuk skrining adanya

karsinoma prostat. Pemeriksaan terhadap profil lipid dan fungsi hepar dilakukan secara

rutin setiap 3-6 bulan. Sedangkan pemeriksaan kadar prolactin dan mammografi

dilakukan setiap 12 bulan untuk mengetahui adanya komplikasi berupa prolactinoma.13,14

Oleh karena adanya komplikasi yang cukup serius ini, maka dikembangkan

penggunaan terapi hormon estrogen secara transdermal dalam bentuk pacth. Estrogen

patch ini berfungsi dalam menghambat metabolisme pertama dalam hati sehingga tidak

berefek pada enzim hati. Estrogen dalam bentuk ini diyakini aman digunakan pada trans-

woman yang berusia lebih dari 40 tahun dengan dosis 100 mcg per hari. Efek samping

dari penggunaan terapi estrogen bentuk patch ini adalah iritasi kulit akibat perlengketan

patch. Alternatif terapi yang lain adalah dengan menggunakan Ethynil Estradiol (EE)

dengan dosis 50 mcg setiap 8 jam secara oral atau hormon estrogen terkonjugasi seperti

estradiol valerate 2 mg per hari.13,14

b. Gonadotrophin Releasing Hormone Agonist (GnRHa)

GnRHa merupakan analog dari Gonadotrophin Releasing Hormone (GnRH) yang

dapat menimbulkan efek sebagai gonadektomi kimiawi. Hormon ini diproduksi oleh

hipofisis. Stimulasi terhadap hipofisis yang berlebihan dapat menyebabkan kondisi


dekompensasi hipofisis, sehingga produksi gonadotropin mengalami penurunan.

Selanjutnya kadar Luteinizing Hormone (LH) dan Follicle-Stimulating Hormone (FSH)

juga akan mengalami penurunan, yang akan menghambat produksi hormon androgen dan

estrogen pada perempuan. Agen GnRHa yang sering digunakan adalah goserelin dan

leuprorelin.11,12,14

c. Antiandrogen

Antiandrogen merupakan terapi hormonal yang cukup penting diberikan pada

trans-woman. Antiandrogen berperan dalam mensupresi kadar androgen dengan cara

melakukan blokade terhadap reseptor androgen. Bersamaan dengan estrogen,

antiandrogen juga diperlukan untuk mensupresi hormon testosteron, yang akan

menimbulkan reduksi terhadap proses ereksi. Setelah penggunaan kedua terapi hormonal

ini selama 6-36 bulan, akan terjadi efek berupa berkurangnya pertumbuhan rambut di

tubuh. Sebagian besar sisi maskulinisme dapat ditekan kecuali suara dan prominensia

laringeal atau sering disebut sebagai Adam’s apple sehingga perlu dilakukan tindakan

operasi untuk menghilangkannya.11,12

Agen androgen yang sering digunakan adalah cyproterone acetat dan

spironolactone. Efek samping yang sering timbul akibat penggunaan cyproterone acetat

adalah malaise, depresi, dan kegagalan fungsi hepar. Sedangkan efek samping yang dapat

ditimbulkan akibat penggunaan spironolactone adalah gangguan gastrointestinal,

hiperkalemia, dan hipotensi. Finasteride dan dutasteride berperan dalam menghambat

konversi testosteron menjadi dihidrotestosterone yang dapat menyebabkan berkurangnya

pertumbuhan rambut tubuh.13


Berikut merupakan rekomendasi terapi hormonal yang dapat dilakukan pada pasien disforia

gender dengan trans woman.14

1. Penghambat sekresi androgen

a. Goreselin, dengan dosis 3,6 mg secara subcutan sebanyak 4 kali per minggu

b. Alternatif :

1) Cyprosteron dengan dosis 50-100 mg per hari

2) Spironolacton dengan dosis 100-400 mg per hari

3) Finasteride dengan dosis 5 mg, diberikan terutama pada laki-laki yang mengalami

korontokan rambut

c. Progesteron tidak diindikasikan, dengan alasan tidak adanya reseptor signifikan secara

biologis pada laki-laki

2. Feminisasi

a. Estradiol dengan dosis 1-6 mg per hari secara oral, atau estrogen 50-150 mcg sebanyak

2-3 kali per minggu secara transdermal terutama diberikan pada individu yang berusia di

atas 40 dan berisiko tinggi mengalami trombosis

Berikut merupakan rekomendasi evaluasi yang dapat dilakukan pada pasien disforia

gender dengan trans woman.14

a. Pemeriksaan dasar, meliputi tekanan darah, darah lengkap, ureum, elektrolit, tes fungsi

hepar, profil glukosa, profil lipid, kadar hormon tiroid, testosteron, dan estradiol
b. Evaluasi pengobatan, meliputi tekanan darah, darah lengkap, ureum, elektrolit, tes fungsi

hepar, profil glukosa, profil lipid, kadar hormon tiroid, testosteron, estradiol, dan

prolactin selama 24 jam setelah pemberian terapi hormonal

c. Pra dan paska operatif, meliputi pemeriksaan terhadap risiko osteoporosis, kanker

mammae, dan kanker prostat

2. Trans-men

Pada laki-laki biologis, androgen berperan dalam perkembangan genitalia baik internal

maupun eksternal selama perkembangan fetus dan menentukan karakteristik seksual

sekunder. Selain itu, androgen juga berperan dalam menstimulasi eritropoesis dan perubahan

kebiasaan sosial pada laki-laki dewasa. Pada trans-men dilakukan terapi hormonal berupa

induksi testosteron dengan dosis 250-400 mg secara injeksi intramuskular setiap 2-3 minggu

dan agen GnRHa seperti leuprorelin acetate.12,15

Hasil yang diharapkan dari terapi hormonal pada trans-men adalah supresi siklus

menstruasi, penurunan distribusi lemak tubuh, pembesaran klitoris, suara yang membesar, dan

peningkatan volume rambut tubuh secara ireversibel serta peningkatan berat badan,

peningkatan hasrat seksual dan sosial, dan penurunan lemak pinggul secara reversibel. Efek

samping yang dapat timbul akibat penggunaan terapi hormonal ini adalah polisitemia,

kegagalan fungsi hepar, hiperplasia endometrium, jerawat, infertilitas, diabetes melitus, dan

penyakit jantung.12

Terapi hormonal yang direkomendasikan adalah analog GnRH seperti goserelin dan

leuprorelin, testosteron enanthate dengan dosis 250-500 mg secara injeksi intamuskular setiap

2-6 minggu, atau testosteron gel dengan dosis 50 mg/5 gram gel per hari, atau testosteron

undecanoate dengan dosis 120-160 mg per hari secara oral. Sebelum dilakukan terapi
hormonal perlu dilakukan pemeriksaan kadar dihidrotestosteron (DHT) dalam darah. Selain

itu, dilakukan edukasi untuk berhenti merokok, olahraga teratur, dan menghindari konsumsi

alkohol yang berlebihan. Berikut merupakan rekomendasi evaluasi yang dilakukan pada

trans-men.12,13

Berikut merupakan rekomendasi evaluasi yang dapat dilakukan pada pasien disforia

gender dengan trans-men.14

a. Pemeriksaan dasar, meliputi tekanan darah, darah lengkap, ureum, elektrolit, tes fungsi

hepar, profil glukosa, profil lipid, kadar hormon tiroid, prolaktin, testosteron, dan

estradiol

b. Evaluasi pengobatan, meliputi tekanan darah, darah lengkap, ureum, elektrolit, tes fungsi

hepar, profil glukosa, profil lipid, kadar hormon tiroid, testosteron, estradiol, prolactin,

dan DHT selama 2-4 jam setelah pemberian terapi hormonal

c. Pra dan paska operatif, meliputi pemeriksaan terhadap risiko osteoporosis dan kanker

mammae

KESIMPULAN

Disforia gender merupakan istilah yang digunakan untuk menjelaskan individu yang

mengalami penolakan terhadap status seksual biologisnya dan berkeinginan untuk mengubahnya.
Terapi yang dapat dilakukan pada pasien dengan disforia gender adalah konseling dan terapi

psikologis, terapi hormonal, dan perubahan jenis kelamin secara operatif. Terapi hormonal

merupakan terapi yang dianggap aman dan efektif terhadap pasien dewasa yang mengalami

disforia gender. Pada transwoman, terapi yang dilakukan adalah estrogen, GnRHa, dan

antiandrogen. Sedangkan pada transmen, terapi yang dilakukan adalah testosteron dan GnRHa.

DAFTAR PUSTAKA

1. Zucker, Kenneth., Anne Lawrence., Baudewijntje Kreukels. Gender dyphoria in adults.


Annual Review of Clinical Psychology 2016 (12): 217-247.
2. Stewart, George. Understading gender dysphoria. National Association for Mental Health;
2015. Available at : http://www.namh.org/
3. Bouman, Walter., Annelou de Vries., Guy Sjoen. Gender dysphoria and gender incongruence
: an evolving interdisciplinary field. International Review of Psychiatry; 2016 (28): 1-4.
4. Lawrence AA. Factors associated with satisfaction or regret following male-to-female sex
reassignment surgery. Arch Sexual Behaviour 2013;32:299–315.
5. American Psychiatric Association. Diagnostic and statistical manual of mental disorders 5th
edn (DSM-5). Arlington, VA: American Psychiatric Association, 2013.
6. Walter, Bocting., Stewart Adelson. Fundamentals of gender dysphoria in children and
adolescent. National LGBT Health Education Center 2014.
7. Beek, Titia., Peter Cohen-Kettenis., Walter Bouman., Annelou de Vries. Thomas Steensma.
Gender incongruence of adolescence and adulthood : acceptability and clinical utility of the
World Health Organization’s proposed ICD-11 criteria. Journal Pone 2016 (10): 1-20.
8. American Psychiatric Association. Gender dysphoria. American Psychiatric Association;
2013. Available at : http://www.appi.org./GD.
9. Canadian Psychological Association. Psychology works fact sheet : Gender dysphoria in
adolescents and adults; 2014. Available at : http://www.cpa.org/.
10. Glidden, Derek., Pierre Bouman., Bethany Jones. Gender dysphoria and autism spectrum
disorder : a systematic review of the literature. Sexual medicine reviews; 2016 (4):3-14.
11. Cohen-Kettenis, Peter., Delemarre-van de Waal., L. J. Gooren. The treatment of adolescent
transsexuals: Changing insights. Journal of Sexual Medicine; 2013(5): 1892-1897.
12. Wylie, Kevan Richard., Robert Fung., Claudia Boshier., Margaret Rotchell. Recomendations
of endocrine treatment for patient with gender dysphoria. Sexual and relationship therapy
2016; 24(2): 175-187.
13. Hembree, Wylie., Peggy Cohen-Kettenis., Louis Gooren., Sabine Hannema. Endocrine
treatment of gender dysphoric/gender incongruent persons : an endocrine society. Journal of
Clinical Endocrinology Metabolisme, 2017; 102 (11): 3869-3903.
14. Attorney-General’s Department. Australian Government Guidelines for the use of
masculinising hormone therapy in gender dysphoria. Canberra: Attorney-General’s
Department, 2013. Available at www.ag.gov.au/publications/documents/
AustralianGovernmentGuidelinesinGenderDysphoria/AustralianGovernmentGuidelinesinGe
nderDysphoria.
15. Coleman E, Bockting W, Botzer M, et al. Standards of care for the health of transsexual,
transgender, and gender-nonconforming people, version 7. International Journal of
Transgenderism 2014;13:165–232.

Anda mungkin juga menyukai