Ayuhati Siregar, Santi Syafril, Dharma Lindarto, Melati Nasution, M. Aron Pase
PENDAHULUAN
Disforia gender merupakan istilah yang digunakan untuk menjelaskan individu yang
mengalami penolakan terhadap status seksual biologisnya dan berkeinginan untuk mengubahnya.1
Disforia gender terjadi dengan prevalensi sebesar 0,2-2:1.000. Disforia gender dapat terjadi pada
usai 15-64 tahun. Disforia gender lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan dengan
perbandingan 3:1 pada usia dewasa, 5:1 pada usia remaja.1,2 Disforia gender pada dewasa biasanya
disertai dengan adanya afek depresi, kecemasan, dan gangguan kebiasaan sehingga berpengaruh
terhadap kualitas hidup penderitanya.3 Terapi yang dapat dilakukan pada pasien dengan disforia
gender adalah konseling dan terapi psikologis, terapi hormonal, dan perubahan jenis kelamin
secara operatif. Terapi hormonal merupakan terapi yang dianggap aman dan efektif terhadap
pasien dewasa yang mengalami disforia gender.1 Oleh karena itu, tulisan ini akan membahas
Disforia gender merupakan istilah yang digunakan untuk menjelaskan individu yang
mengalami penolakan terhadap status seksual biologisnya dan berkeinginan untuk mengubahnya.
Berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) V, disforia gender
didefinisikan sebagai sebagai ketidakpuasan secara afektif dan kognitif mengenai jenis kelamin
saat lahir. Sedangkan dokter ahli kejiwaan menyebutkan bahwa disforia gender merupakan kondisi
dimana individu mengalami ketidakcocokan antara identitas gender dengan harapan sosialnya
maupun stereotipe yang berkaitan dengan pembagian jenis kelamin secara biner yaitu laki-laki dan
perempuan.1
Disforia gender disebut juga sebagai gender variant, gender nonconforming, gender queer,
Trans-seksual identik dengan kondisi dimana individu baik laki-laki maupun perempuan yang
sepanjang hidupnya merasa bahwa dirinya terperangkap di tubuh yang salah dan berupaya untuk
EPIDEMIOLOGI
Disforia gender terjadi dengan prevalensi sebesar 0,2-2:1.000. Disforia gender dapat terjadi
pada usai 15-64 tahun. Disforia gender lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan
dengan perbandingan 3:1 pada usia dewasa, 5:1 pada usia remaja.1,2 Sebuah penelitian
menyebutkan bahwa terdapat 1:7.750 laki-laki dewasa dan 1:13.120 perempuan dewasa yang
mengubah nama secara legal serta 1:10.154 laki-laki dewasa dan 1:27.668 perempuan dewasa
yang menjalani terapi hormonal.1 Sedangkan penelitian lain menyebutkan bahwa terdapat 1:30.000
laki-laki dewasa dan 1:100.000 perempuan dewasa yang menjalani operasi perubahan jenis
kelamin.2
ETIOPATOGENESIS
Etiolopatogenesis dari disforia gender dibagi menjadi dua yaitu secara biologis dan
psikososial.
1. Biologis
a. Genetik
Terjadinya disforia gender dihubungkan dengan gen CYP17 dan polimorfisme gen
ERβ. Pada laki-laki, dapat didapatkan kelainan kromosom yang terjadi pada kromosom
b. Kelainan anatomi
Adanya kelainan anatomi pada substansia grissea terkait dengan ketebalan korteks
pada regio orbito-frontal, insular, dan occipital media; putamen, serta mikrostruktur dari
dekstra serta lobus frontal dan temporal dekstra dianggap sebagai penyebab dari disforia
gender. Hal ini berkaitan dengan proses fisiologi neurologis dan endokrin.1
c. Hormonal
hormon androgen terhadap fetus saat proses kehamilan. Munculnya fenotip maskulin
disebabkan oleh karena adanya kadar hormon androgen yang cukup, sedangkan fenotip
feminin disebabkan oleh karena tidak adanya kadar hormon androgen. Hormon seksual
ini akan berefek pada otak yang selanjutnya akan mempengaruhi pembentukan alat
genitalia. Selain itu, berkurangnya aktivasi hormon GnRHa pada lobus temporalis
superior dekstra dan kadar hormon serotonin yang berbeda pada kedua hemisfer dapat
2. Psikososial
Pengaruh psikososial terhadap kejadian disforia terkait dengan pola asuh orangtua,
dominasi peran orangtua, dan pengaruh lingkungan sekitar. Pola asuh orangtua memegang
pengaruh yang penting dalam perkembangan psikologis anak yang terkait dengan gender.
Selain itu, dominasi peran orangtua dalam mengasuh anak juga dapat berpengaruh terhadap
perkembangan psikologis anak. Dominasi peran ayah pada anak perempuan akan
menyebabkan proses replika sehingga timbul sifat maskulinisme, sedangkan dominasi peran
DIAGNOSIS
DSM-5 membedakan kriteria diagnosis disforia gender pada anak-anak dan dewasa. Pada
anak-anak, penolakan gender biologis ditandai dengan adanya perubahan cara bermain,
berpakaian, berhubungan sosial, dan kadang karakteristik seksual primer. Sedangkan pada dewasa,
penolakan gender biologis ditandai dengan adanya perubahan karakteristik seksual sekunder.
Disforia pada dewasa biasanya bersifat persisten, sedangkan pada anak-anak cenderung dapat
minimal 6 dari 8 gejala yang terjadi menetap selama minimal 6 bulan yang disertai dengan adanya
distres maupun perubahan sosial, sekolah, dan lingkungan sekitar. Gejala-gejala tersebut dapat
1. Adanya keinginan yang kuat untuk memiliki gender yang berbeda dengan gender biologisnya
2. Adanya keputusan yang kuat untuk menggunakan jenis pakaian gender yang berbeda dengan
gender biologisnya
3. Adanya keputusan yang kuat untuk melakukan peran gender yang berbeda dengan gender
biologisnya
4. Adanya keputusan yang kuat untuk memilih jenis alat permainan dan permainan gender yang
5. Adanya keputusan yang kuat untuk memilih teman bermain yang memiliki gender yang
6. Adanya penolakan yang kuat terhadap jenis alat permainan dan permainan yang sesuai dengan
gender biologisnya
8. Adanya keinginan yang kuat untuk memiliki karakteristik seksual baik primer maupun
sekunder yang dimiliki oleh gender yang berbeda dengan gender biologisnya 7, 8
Berdasarkan DSM-5, diagnosis disforia gender pada dewasa ditegakan apabila terdapat
minimal 2 dari 6 gejala yang terjadi menetap selama minimal 6 bulan yang disertai dengan adanya
distres maupun perubahan sosial, sekolah, dan lingkungan sekitar.7,8 Disforia gender pada dewasa
biasanya disertai dengan adanya afek depresi, kecemasan, dan gangguan kebiasaan. 3,9 Gejala-
2. Adanya keinginan yang kuat untuk menghilangkan karakteristik seksual baik primer maupun
3. Adanya keinginan yang kuat untuk memiliki karakteristik seksual baik primer maupun
6. Adanya keyakinan yang kuat bahwa dirinya memiliki keterkaitan secara perasaan dan reaksi
skoring antara lain Gender Identity/Gender Dysphoria Questionnaire for Adolescents and Adults
(GIDYQ-AA), Gender Identity Interview for Children (GIIC), Gender Identity Questionnaire for
Children (GIQC), serta penilaian mengenai tubuh dengan menggunakan sistem skoring Utrecht
Gender Dysphoria Scale, Body Image Scale, Body Uneasiness Test, dan Hamburg Body Drawing
Scale.10
Pemeriksaan klinis pada pasien yang mengalami disforia gender dilakukan dengan
dengan pemeriksaan hormonal dan pemeriksaan genetik. Pemeriksaan hormonal yang dilakukan
adalah kadar estrogen, testosteron, LH, FSH, GnRH, dan prolaktin. Sebagian besar pasien yang
mengalami disforia gender memiliki kariotipe kromosom seks yang normal. Pada laki-laki, dapat
didapatkan kelainan kromosom yang terjadi pada sindrom Klinefelter (47, XXY).1
TATALAKSANA
Terapi yang dapat dilakukan pada pasien dengan disforia gender adalah konseling dan terapi
psikologis, terapi hormonal, dan perubahan kelamin secara operatif. Konseling dan terapi
psikologis bertujuan untuk meningkatkan kepuasan terhadap gender biologisnya dengan cara
memfasilitasi pengurangan gejala disforia gender. Selain itu, dapat dilakukan metode Real-Life
Experience (RLE) yang dilakukan selama 12 bulan dengan melakukan dua peran yaitu gender
Terapi hormonal dianggap terapi yang paling efektif bagi pasien yang mengalami disforia
gender. Terapi hormonal yang biasa dilakukan adalah terapi hormonal cross-sex. Terapi hormonal
spironolakton, cyproterone acetate, dan agonis GnRH. Namun terapi hormonal ini dapat
osteoporosis.11,12
Sedangkan operasi perubahan kelamin dapat dilakukan pada pasien yang berusia diatas 18
tahun dan gagal respon dengan terapi psikologis, terapi RLE, terapi hormonal selama 12 bulan
berusia lebih dari 18 tahun serta gagal berespon dengan terapi psikoterapi dan RLE selama 3 bulan
berturut-turut. Terapi hormonal dibagi menjadi tiga stadium, yaitu preoperasi yang bertujuan untuk
Berikut merupakan kontraindikasi penggunaan terapi hormonal pada pasien dengan disforia
1. Hipertensi berat
4. Penyakit serebrovaskular
5. Disfungsi hepar
7. Diabetes melitus
8. Hiperprolaktinemia
12. Dislipidemia
Terapi hormonal pada pasien yang mengalami disforia gender dilakukan berdasarkan jenis
kelamin.
1. Trans-woman
a. Estrogen
juga berfungsi untuk menurunkan kadar kolesterol dalam plasma, mengatur deposisi
mineral dalam tulang, dan mengatur gairah seksual. Pada pasien trans-woman yang
menjalani terapi hormonal selama 3-36 bulan, estrogen berperan dalam melembutkan
dosis titrasi. Terapi estrogen diinisiasi dengan dosis rendah yang dinaikan secara bertahap
setiap 2-3 bulan. Pengukuran kadar hormon dalam darah perlu dilakukan setiap 3 bulan.
Pasien yang memiliki kadar testosteron yang tinggi secara persisten perlu diterapi
Efek samping yang perlu diperhatikan setelah pemberian estrogen jangka panjang
adalah trombosis vena, mual, muntah, gangguan fungsi hati, kolelitiasis, depresi,
infertilitas, nyeri kepala, dan peningkatan intoleransi glukosa. Selain itu, dapat terjadi
peningkatan kadar prolaktin dan meningkatkan risiko terjadinya prolaktinoma tipe jinak.
Kejadian neoplasma pada mammae dan prostat pernah dilaporkan pada penggunaan
phytoestrogen. Efek samping phytoestrogen dan interaksi obat dengan estrogen belum
diketahui secara jelas, namun diduga dapat menyebabkan komplikasi seperti estrogen
yang terkait dengan komplikasi berupa kadar prostate spesific antigen (PSA), kadar
prolaktin, profil lipid, dan fungsi hepar. Pemeriksaan terhadap PSA dilakukan secara
rutin setiap 6-12 bulan pada pasien yang berusia lebih dari 50 tahun untuk skrining adanya
karsinoma prostat. Pemeriksaan terhadap profil lipid dan fungsi hepar dilakukan secara
rutin setiap 3-6 bulan. Sedangkan pemeriksaan kadar prolactin dan mammografi
Oleh karena adanya komplikasi yang cukup serius ini, maka dikembangkan
penggunaan terapi hormon estrogen secara transdermal dalam bentuk pacth. Estrogen
patch ini berfungsi dalam menghambat metabolisme pertama dalam hati sehingga tidak
berefek pada enzim hati. Estrogen dalam bentuk ini diyakini aman digunakan pada trans-
woman yang berusia lebih dari 40 tahun dengan dosis 100 mcg per hari. Efek samping
dari penggunaan terapi estrogen bentuk patch ini adalah iritasi kulit akibat perlengketan
patch. Alternatif terapi yang lain adalah dengan menggunakan Ethynil Estradiol (EE)
dengan dosis 50 mcg setiap 8 jam secara oral atau hormon estrogen terkonjugasi seperti
dapat menimbulkan efek sebagai gonadektomi kimiawi. Hormon ini diproduksi oleh
juga akan mengalami penurunan, yang akan menghambat produksi hormon androgen dan
estrogen pada perempuan. Agen GnRHa yang sering digunakan adalah goserelin dan
leuprorelin.11,12,14
c. Antiandrogen
menimbulkan reduksi terhadap proses ereksi. Setelah penggunaan kedua terapi hormonal
ini selama 6-36 bulan, akan terjadi efek berupa berkurangnya pertumbuhan rambut di
tubuh. Sebagian besar sisi maskulinisme dapat ditekan kecuali suara dan prominensia
laringeal atau sering disebut sebagai Adam’s apple sehingga perlu dilakukan tindakan
spironolactone. Efek samping yang sering timbul akibat penggunaan cyproterone acetat
adalah malaise, depresi, dan kegagalan fungsi hepar. Sedangkan efek samping yang dapat
a. Goreselin, dengan dosis 3,6 mg secara subcutan sebanyak 4 kali per minggu
b. Alternatif :
3) Finasteride dengan dosis 5 mg, diberikan terutama pada laki-laki yang mengalami
korontokan rambut
c. Progesteron tidak diindikasikan, dengan alasan tidak adanya reseptor signifikan secara
2. Feminisasi
a. Estradiol dengan dosis 1-6 mg per hari secara oral, atau estrogen 50-150 mcg sebanyak
2-3 kali per minggu secara transdermal terutama diberikan pada individu yang berusia di
Berikut merupakan rekomendasi evaluasi yang dapat dilakukan pada pasien disforia
a. Pemeriksaan dasar, meliputi tekanan darah, darah lengkap, ureum, elektrolit, tes fungsi
hepar, profil glukosa, profil lipid, kadar hormon tiroid, testosteron, dan estradiol
b. Evaluasi pengobatan, meliputi tekanan darah, darah lengkap, ureum, elektrolit, tes fungsi
hepar, profil glukosa, profil lipid, kadar hormon tiroid, testosteron, estradiol, dan
c. Pra dan paska operatif, meliputi pemeriksaan terhadap risiko osteoporosis, kanker
2. Trans-men
Pada laki-laki biologis, androgen berperan dalam perkembangan genitalia baik internal
sekunder. Selain itu, androgen juga berperan dalam menstimulasi eritropoesis dan perubahan
kebiasaan sosial pada laki-laki dewasa. Pada trans-men dilakukan terapi hormonal berupa
induksi testosteron dengan dosis 250-400 mg secara injeksi intramuskular setiap 2-3 minggu
Hasil yang diharapkan dari terapi hormonal pada trans-men adalah supresi siklus
menstruasi, penurunan distribusi lemak tubuh, pembesaran klitoris, suara yang membesar, dan
peningkatan volume rambut tubuh secara ireversibel serta peningkatan berat badan,
peningkatan hasrat seksual dan sosial, dan penurunan lemak pinggul secara reversibel. Efek
samping yang dapat timbul akibat penggunaan terapi hormonal ini adalah polisitemia,
kegagalan fungsi hepar, hiperplasia endometrium, jerawat, infertilitas, diabetes melitus, dan
penyakit jantung.12
Terapi hormonal yang direkomendasikan adalah analog GnRH seperti goserelin dan
leuprorelin, testosteron enanthate dengan dosis 250-500 mg secara injeksi intamuskular setiap
2-6 minggu, atau testosteron gel dengan dosis 50 mg/5 gram gel per hari, atau testosteron
undecanoate dengan dosis 120-160 mg per hari secara oral. Sebelum dilakukan terapi
hormonal perlu dilakukan pemeriksaan kadar dihidrotestosteron (DHT) dalam darah. Selain
itu, dilakukan edukasi untuk berhenti merokok, olahraga teratur, dan menghindari konsumsi
alkohol yang berlebihan. Berikut merupakan rekomendasi evaluasi yang dilakukan pada
trans-men.12,13
Berikut merupakan rekomendasi evaluasi yang dapat dilakukan pada pasien disforia
a. Pemeriksaan dasar, meliputi tekanan darah, darah lengkap, ureum, elektrolit, tes fungsi
hepar, profil glukosa, profil lipid, kadar hormon tiroid, prolaktin, testosteron, dan
estradiol
b. Evaluasi pengobatan, meliputi tekanan darah, darah lengkap, ureum, elektrolit, tes fungsi
hepar, profil glukosa, profil lipid, kadar hormon tiroid, testosteron, estradiol, prolactin,
c. Pra dan paska operatif, meliputi pemeriksaan terhadap risiko osteoporosis dan kanker
mammae
KESIMPULAN
Disforia gender merupakan istilah yang digunakan untuk menjelaskan individu yang
mengalami penolakan terhadap status seksual biologisnya dan berkeinginan untuk mengubahnya.
Terapi yang dapat dilakukan pada pasien dengan disforia gender adalah konseling dan terapi
psikologis, terapi hormonal, dan perubahan jenis kelamin secara operatif. Terapi hormonal
merupakan terapi yang dianggap aman dan efektif terhadap pasien dewasa yang mengalami
disforia gender. Pada transwoman, terapi yang dilakukan adalah estrogen, GnRHa, dan
antiandrogen. Sedangkan pada transmen, terapi yang dilakukan adalah testosteron dan GnRHa.
DAFTAR PUSTAKA