1
KATA PENGANTAR
2
DAFTAR ISI
3
4.3. Hasil & Pembahasan .......................................................................................42
4.4. Kesimpulan ....................................................................................................47
4.5. Daftar Pustaka ................................................................................................47
5. Penelitian Jumlah GCP Optimal untuk Foto Udara Skala Besar ...................................49
5.1. Pendahuluan ..................................................................................................49
5.2. Metode Penelitian ...........................................................................................50
5.3. Hasil dan Pembahasan ....................................................................................53
5.4. Kesimpulan ....................................................................................................56
5.5. Daftar Pustaka ................................................................................................56
4
I. LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN
Sebagian besar kehidupan modern tidak bisa lepas dari informasi geospasial. Informasi
batas diperlukan untuk menjaga hak dan kewajiban di tingkat internasional (antar negara),
di tingkat nasional (antar pemerintah daerah) hingga tingkat lokal (antar desa). Informasi
geospasial mutlak diperlukan untuk perencanaan pembangunan (dasar penyusunan Rencana
Tata Ruang Wilayah hingga Rencana Detil Tata Ruang). Informasi geospasial juga
diperlukan untuk bernavigasi, penanggulangan bencana, pelayanan publik hingga optimasi
investasi.
Peta dasar rupabumi (RBI) adalah salah satu Informasi Geospasial Dasar (IGD) yang
penyelenggaraannya menjadi tugas utama Badan Informasi Geospasial. IGD terdiri dari
Jaring Kontrol Geodesi dan Peta Dasar. Dan Peta Dasar terdiri dari Peta Rupabumi
Indonesia (RBI), Peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI) dan Peta Lingkungan Laut Nasional
(LLN).
Saat ini, seiring dengan perencanaan dan pengendalian ruang yang semakin berkualitas,
juga pemerataan pembangunan sampai ke kawasan pinggiran yaitu desa-desa dengan
adanya “Dana Desa”, diperlukan peta-peta RBI skala besar. Peta RBI skala besar adalah
skala 1:5.000, 1:2.500 dan 1:1000. Peta RBI skala besar ini bisa dibuat dengan
menggunakan teknologi citra satelit resolusi sangat tinggi, foto-udara konvensional, pesawat
nir awak (Unmaned Aircraft System / UAS atau drone), Light Imaging Detecting and
Ranging (Lidar) dan survey terestris.
Dari beberapa jenis teknologi ini, Lidar termasuk teknologi yang masih menarik karena
pengalaman penggunaan teknolog Lidar di Indonesia masih relatif sedikit, sementara trend
kebutuhan ke depan semakin besar. Selain itu, pesatnya perkembangan teknologi dan
pertumbuhan ekonomi membuat teknologi Lidar semakin hari semakin terjangkau, karena
harga semakin turun dan kualitas semakin baik.
Pemanfaatan Lidar untuk Pemetaan Topografi Skala Besar adalah merupakan judul besar
dari kegiatan “Kelompok Penelitian Pemetaan Rupabumi dan Toponimi” untuk mendukung
program dan kegiatan Pusat Pemetaan Rupabumi dan Toponimi di Badan Informasi
Geospasial, sekaligus untuk memperkaya dunia sains geospasial (geodesi / geomatika) di
tanah air.
5
I.2. Tujuan
Penelitian bertujuan memberikan rekomendasi kepada Pusat Pemetaan Rupabumi dan Tata
Ruang dan seluruh rekanannya terkait hal-hal untuk peningkatan kinerja pemetaan
rupabumi skala besar, khususnya yang menggunakan teknologi Lidar dan Foto Udara
Pada tahun 2017 ini, penelitian ini terbagi dalam dua kelompok dan lima sub penelitian yang
saling terkait.
Kelompok pertama adalah penelitian pemetaan topografi skala besar. Di sini ada dua sub
penelitian, yaitu:
Klasifikasi / Kategorisasi Unsur untuk Peta RBI diperlukan untuk membatasi apa yang akan
dipetakan di peta RBI 1:5000, agar tidak terlalu sedikit dan juga tidak terlalu banyak. Pada
skala 1:5000, pada umumnya akan muncul atau dibutuhkan beberapa unsur yang di peta
skala yang lebih kecil belum muncul.
Namun demikian, unsur yang dimunculkanpun tidak boleh terlalu banyak, karena akan
membebani operator dalam mendigitasi (vektorisasi) data dan menaikkan biaya survei
kelengkapan lapangan. Oleh karena itu, kapasitas digitasi ini terkait erat dengan klasifikasi
unsur tersebut, sekalipun masih ada beberapa aspek lain yang berpengaruh.
Kelompok kedua adalah penelitian teknologinya, yang terdiri tiga sub penelitian, yaitu:
Saat ini survei pemotretan dengan Lidar selalu menyertakan kamera foto udara. Namun
demikian, hasil sementara pembentukan Model Elevasi Digital (DEM) antara yang diturunkan
dari data Lidar dengan yang diturunkan dari Foto Udara ternyata berbeda, dan ini
memerlukan pendalaman.
Kemudian untuk menjadikan peta RBI, data Lidar yang berupa point cloud ini masih perlu
difilter. Di tempat-tempat seperti semak belukar, akan ada beberapa titik dengan ketinggian
berbeda di satu lokasi. Pada peta RBI, yang diperlukan adalah DEM untuk permukaan tanah
asli atau Digital Terrain Model (DTM). Sedang untuk pembuatan Orthophoto justru DEM
untuk permukaan tertinggi yang ada atau Digital Surface Model (DSM). Di dunia sudah
banyak dikembangkan algoritma filtering data Lidar, namun umumnya dengan kondisi
vegetasi atau built-up-area di negara maju, yang umumnya relatif homogen dan teratur.
Filter ini juga untuk menyingkirkan objek yang diduga adalah bangunan, kabel listrik, tiang
listrik atau sosok yang bergerak yang bukan bagian dari rupa bumi.
Sedang penelitian yang terakhir muncul dari keinginan untuk menghemat biaya survei GCP
yang saat ini masih cukup tinggi, baik pada Citra Satelit Resolusi Sangat Tinggi (CSRST)
6
maupun pada foto udara. Keduanya dilengkapi dengan data Global Positioning System dan
Inertial Management Unit (IMU), yang bisa digunakan langsung untuk mendapatkan data
orientasi absolut (External Orientation, EO) dalam triangulasi udara (Aerial Triangulation,
AT). Metode ini dikenal dengan istilah Direct Georeferencing (DG). Pada penelitian ini akan
dicoba DG pada foto udara.
Yang pertama adalah inventarisasi masalah dan metode melalui serangkaian Focus Group
Discussion, baik yang di kalangan peneliti, di internal Badan Informasi Geospasial (Pusat
Pemetaan Rupabumi dan Toponimi, PPRT), maupun yang melibatkan pakar dan praktisi dari
luar. Pakar diundang dari perguruan-perguruan tinggi yang selama ini dikenal memiliki
pengalaman terkait topik itu, seperti UGM dan ITB. Sedang praktisi diambil dari perusahaan
survei pemetaan baik yang biasa menjadi rekanan BIG (diwakili oleh Asosiasi Perusahaan
Survei Pemetaan dan Informasi Geospasial, APSPIG) dan perusahaan survei pemetaan
Penanaman Modal Asing (PMA) yang biasa mendapatkan pekerjaan dari luar negeri, dan
nyaris tidak memiliki kepentingan dengan BIG, sehingga diharapkan menjadi pembanding
yang objektif. Dalam karya tulis ilmiah, hasil tahap pertama ini adalah Bab I (Pendahuluan,
Tinjauan Pustaka) dan sedikit gagasan untuk pengembangan Bab II (Metode Penelitian)
Yang kedua adalah pendalaman Metode Penelitian. Beberapa test awal untuk pematangan
metode penelitian dilakukan, misalnya try out kuesioner atau percobaan awal algoritma
dengan software yang didapatkan. Hasil tahap kedua ini adalah Bab II (Metode Penelitian).
Yang ketiga adalah pelaksanaan pengumpulan data melalui survei, eksperimen dan analisis.
Tahap ketiga ini kadang bersifat iteratif dengan tahap kedua. Hasil sementara survei atau
eksperimen yang belum memuaskan, akhirnya mendorong perbaikan metode dan survei
atau eksperimen ulang, hingga didapatkan data yang dianggap cukup untuk dianalisis.
Yang keempat adalah penarikan kesimpulan dan penulisan akhir. Pada tahap ini, penarikan
kesimpulan diperkaya lagi melalui komunikasi dengan pakar dan praktisi, baik melalui Focus
Group Discussion-II, ataupun dalam forum seminar-seminar ilmiah.
7
Salah satu kegiatan FGD Survei Validasi LIDAR di lapangan
8
I.5. Personil
Personil penelitian ini terdiri dari para peneliti utama, madya, muda dan pertama dari Pusat
Penelitian, Promosi dan Kerjasama (PPKS) Badan Informasi Geospasial. Hampir seluruhnya
memiliki latar belakang pendidikan Teknik Geodesi. Sebelum bergabung dengan Pusat
PPKS, sebagian besar juga pernah bergabung dalam pusat-pusat teknis, terutama Pusat
Pemetaan Rupabumi dan Topinimi (PPRT), Pusat Jaring Kontrol Geodesi dan Geodinamika
(PJKGG), Pusat Pemetaan Kelautan dan Lingkungan Pantai (PKLP) dan Pusat Pemetaan
Batas Wilayah.
Pertama adalah Karya Tulis Ilmiah (KTI) yang dipublikasikan melalui jurnal atau prosiding
konferensi. Bagi peneliti, KTI ini merupakan indikator kinerjanya yang akan dihitung dalam
SKP (Satuan Kinerja Perorangan) dan Angka Kredit untuk Jabatan Fungsional Peneliti.
Beberapa telah muncul adalah dalam ICOIRS Mapin di Semarang 29-30 Oktober 2017,
Forum Ilmiah Tahunan (FIT) ISI di Pekanbaru 1-2 November 2017, dan Semnas Geomatika
14 November 2017
Kedua adalah Executive Summary, yang biasanya disampaikan ke pejabat terkait. Dalam
hal ini, Executive Summary disampaikan kepada Kepala Pusat Pemetaan Dasar Rupabumi
dan Toponimi (PPRT) serta Deputi Informasi Geospasial Dasar, serta dipresentasikan dalam
suatu Rapat / FGD yang dihadiri mereka.
9
I.7. Dampak (Outcome)
Dampak yang diharapkan sebagai outcome dari kegiatan penelitian ini adalah meningkatnya
kualitas pemetaan rupabumi skala besar, khususnya yang menggunakan teknologi Lidar.
1. Makin lengkapnya peta RBI skala 1:5000 dengan didapatkannya katalog unsur yang
perlu dimasukkan dalam peta.
2. Makin akuratnya estimasi biaya dan waktu pengerjaan dengan didapatkannya data
kapasitas digitasi personil pemetaan yang akurat.
3. Makin bermutunya peta RBI 1:5000 yang dihasilkan dari Lidar dan Foto udara, setelah
kedua data itu dapat disinkronisasi dan diintegrasikan.
4. Makin akuratnya peta RBI 1:5000 dengan diperolehnya filter Lidar yang tepat untuk
kondisi Indonesia.
5. Makin cepat dan murahnya survei untuk GCP bila didapatkan hasil metode Direct
Georeferencing telah memenuhi syarat ketelitian peta yang diinginkan.
10
I. LAPORAN HASIL PENELITIAN
Fahrul Hidayat, Tia Rizka N.R., Bambang Riadi, Nadya Oktaviani, Fahmi Amhar
1.1. Permasalahan
Peta dasar khususnya peta Rupabumi Indonesia (RBI) diselenggarakan pada skala tertentu
yaitu 1:1.000.000, 1:500.000, 1;250.000, 1:100.000, 1:50.000, 1:25.000, 1:10.000, 1:5.000,
1:2.500, dan 1:1.000. Skala tersebut dikelaskan menjadi 3 yaitu skala kecil, skala menengah
dan skala besar. Skala kecil dan menengah adalah skala yang lebih kecil dari 1:10.000.
Sedangkan skala besar adalah skala 1:10.000 dan lebih besar (Republik Indonesia, 2011).
Penyelenggaraan peta dasar pada setiap skala tersebut memerlukan suatu standar. Salah
satu tahap yang memerlukan suatu standar adalah tahap pengolahan khususnya terkait
proses pemetaan RBI. Dalam proses pemetaan RBI, map abstraction sesuai dengan kriteria
setiap skala menjadi penting karena pada tahap tersebut dilakukan pemilihan objek yang
akan dituangkan dalam peta. Dalam proses kartografi, Muehrcke dan Muehrcke (1992)
menyatakan bahwa map abstraction menjadi hal mendasar dalam merepresentasikan dunia
nyata yang mana memiliki 5 tahapan inti yaitu selection, classification, simplification,
exaggeration dan symbolization (Stevens, Smith, & Bianchetti, 2012).
Standar tentang pemetaan RBI skala besar saat ini belum tersedia dalam bentuk baku yang
berlaku nasional karena sedang dalam proses kajian oleh Badan Informasi Geospasial (BIG)
sebagai lembaga yang diberikan kewenangan menyelenggarakan Informasi Geospasial
melalui Undang-undang No. 4 tahun 2011 beserta peraturan turunannya. Meskipun
demikian, purwarupa peta RBI skala besar khususnya 1:5.000 sudah tersedia di beberapa
daerah seperti sebagian Kota Bandung, Kota Bogor, Kabupaten Tanggamus, Kabupaten
Karawang dan lainnya yang diselenggarakan pada tahun yang berbeda-beda. Acuan
pemetaan RBI skala besar yang tersedia masih berupa Kerangka Acuan Kerja (KAK) untuk
keperluan lelang beserta petunjuk pelaksanaan sebagai bagian dari KAK tersebut. Hanya
pemetaan RBI skala kecil dan menengah yang sudah memiliki standar yang berlaku secara
nasional berupa Standar Nasional Indonesia (SNI). Kondisi tersebut menjadi sebuah
permasalahan karena peta RBI skala besar dibutuhkan oleh pemerintah daerah misalnya
untuk menyusun Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) (Republik Indonesia, 2011). Pada
umumnya, daerah memerlukan peta RBI skala besar pada wilayah perkotaan yang menjadi
unit perencanaan. Indonesia memiliki 98 kota (termasuk kota administratif), 416 kabupaten
yang tersebar di 34 provinsi (Republik Indonesia, 2015). Setiap daerah kabupaten/kota
tersebut umumnya memiliki wilayah perkotaan misalnya kecamatan yang menjadi ibukota
kabupaten/kota yang menjadi pusat pertumbuhan. Dengan demikian, standar pemetaan RBI
skala besar sangat mendesak untuk segera disediakan.
Penelitian ini dilaksanakan untuk mendukung percepatan penyelesaian standar pemetaan
RBI skala besar khususnya pada tahap pengkategorian unsur RBI sebagai dasar map
11
abstraction. BIG saat ini memerlukan suatu tinjauan ilmiah tentang pengkategorian unsur
RBI sebagai dasar dalam menentukan obyek yang perlu/tidak perlu dipetakan.
Kategorisasi berhubungan dengan pembatasan unsur apa saja yang harus ditampilkan
dalam sebuah peta. Dalam pembuatan peta, terdapat beberapa kendala untuk
menterjemahkan dunia nyata menjadi peta diantaranya pengetahuan dan permintaan
pengguna (MacEachren, 1995). Pemilihan informasi apa saja yang harus ditampilkan dalam
peta sehingga sesuai tujuan yang diharapkan dari peta tersebut menjadi tantangan dalam
proses pembuatan peta seperti pada gambar 1 (Stevens, Smith, & Bianchetti, 2012).
Jika menginginkan menampilkan seluruh obyek di dunia nyata dalam sebuah peta,
konsekuensinya adalah peta tersebut susah dimengerti oleh pengguna. Begitu sebaliknya,
jika hanya menyajikan sedikit obyek di dunia nyata maka peta tersebut kurang representatif.
Hal itu menjadi penting yang harus dipertimbangkan dalam proses produksi peta. Seperti
yang dituliskan ( Harries, 1999) dalam sebuah buku Mapping Crime: Principle and Practice,
bahwa map abstraction menjadi suatu pilihan dengan mengorbankan hal yang lain.
12
Tidak mudah mengidentifikasi kebutuhan pengguna dari sebuah peta RBI yang bersifat
dasar dan multi-purpose atau multi-guna. Apakah jumlah dari pengguna potensial perlu
dijadikan bobot yang menentukan suatu unsur dimasukkan ke dalam peta atau tidak?
Keterkaitan unsur di dalam skala yang berbeda perlu diperhatikan, juga rasionalitasnya.
Ada unsur yang di skala kecil muncul, tetapi di skala besar justru tidak perlu muncul,
misalnya patok kilometer di jalan tol. Ada yang di skala besar hanya perlu dimunculkan
secara geometri, tetapi tidak perlu dibagi lagi klasifikasinya, semisal bentuk bangunan.
Namun ada juga yang memang perlu dibagi kelasnya, seperti jalan utama (arteri) ke jalan
kolektor dan jalan lokal.
Terkahir perkara visuabilitas. Pembagian yang terlalu detil belum tentu akan menambah
tingkat keterbacaan peta. Dalam era peta digital dan SIG, ada data yang perlu dikumpulkan
dalam bentuk attribut yang bisa dikeluarkan dalam simbolisasi yang berbeda, namun ada
juga yang tidak perlu dikeluarkan dalam peta cetak, cukup untuk menjawab pertanyaan
secara digital dalam database geospasial.
Yang pertama adalah pedoman klasifikasi yang tersedia (eksisting). Di sini ternyata ada
enam pedoman klasifikasi yang belum terharmonisasi, yaitu:
Sedang yang ketiga adalah menjajagi kebutuhan pengguna dengan teknik quesioner dan
wawancara. Sebagai sample adalah Bappeda, Kemen PU dan ….
Idealnya, dari material di atas dilakukan hal-hal sebagai berikut: Komparasi antar data (RBI
dengan RDTR, RBI dengan CSRT); Komparasi data dengan peraturan (RBI dengan
13
peraturan); Komparasi dengan kondisi real lapangan (sample landmark); dan Komparasi
dengan peta dasar negara lain.
Kategorisasi unsur RBI harus dilihat secara komprehensif dalam konteks Proses kartografi
khususnya data collection (pattern detection) dan map design (encoding) (Stevens, Smith, &
Bianchetti, 2012). Dalam penelitian ini, penulis menggunakan 3 (tiga) referensi utama untuk
membatasi analisis. Referensi pertama adalah generalization as a sequence of modelling
operations (Cecconi, 2003). Generalisasi dapat dipahami sebagai suatu proses representasi
dunia nyata melalui beberapa model yang berbeda. Generalisasi tahap pertama adalah
object generalization yaitu dari dunia nyata menjadi primary model (Digital Landscape Model
/ DLM). Selanjutnya model generalization (based on map purpose) dari primary model
(DLM) menjadi secondary models (DLM). Generalisasi terakhir adalah cartographic
generalization yang dapat dilakukan terhadap primary model atau secondary models (based
on scale dan map purpose) menghasilkan cartographic produc (Digital Cartographic Model /
DCM). Alur generalisasi tersebut dapat dilihat pada gambar 2.
Referensi kedua adalah category theory and the structure of features in geographic
information system (Usery, 1993). Usery menjelaskan bahwa unsur geografis (geographical
feature) merupakan konsep intelektual dari entitas dan objek representasi dunia nyata.
Selain itu, dalam paper Usery tersebut disampaikan bahwa pendefinisian unsur geografis
setidaknya harus spesifik yaitu setidaknya mencakup atribut dan hubungan baik untuk lokasi
dan klasifikasi seperti yang terlihat pada gambar 3. Hal penting yang lain adalah bahwa
abstraction dalam prinsip kartografi menyedikan dasar dalam teori kategori karena teori
kategori berhubungan langsung dengan basic level objek geografis. Lebih jauh lagi bahwa
dalam proses abstraction informasi geografis untuk keperluan produksi peta, kartografer
harus mengetahui tujuan dari suatu peta (application) dan skala penyajian peta (resolution).
Dalam paper tersebut, Usery banyak mengutip Rosch (1976 dan 1978) dalam
menganalogikan kategori pada basic level misalnya seperti terlihat pada tabel 1.
14
Gambar 3. Atribut dan keterkaitan baik lokasi maupun klasifikasi menjadi komponen dasar
untuk representasi fenomena geografis (Usery, 1993)
Referensi ketiga adalah parameters influencing map design (Hatzapoulos, 2008). Ada 4
(empat) parameter yang menurut Hatzapoulos mempengaruhi desain suatu peta. Berikut
adalah parameter tersebut: 1) tujuan peta; 2) skala peta; 3) pengguna peta; dan 4) metode
pembuatan peta. Selain itu, peta dibedakan menjadi 2 (dua) jenis yaitu general use maps
misalnya peta topografi dan tematic maps misalnya peta curah hujan. Kedua jenis peta
tersebut memiliki karakteristik yang berbeda jika dikaitkan dengan parameter desain suatu
peta.
15
Berdasarkan 3 (tiga) referensi utama tersebut, penulis mengambil garis besar batasan
penelitian yang kemudian menjadi acuan pengumpulan data dan analisis yaitu:
1) Pendefinisian tujuan peta RBI merujuk pada konsep peta topografi
2) Map abstraction menjadi bagian tak terpisahkan dari proses kategorisasi unsur RBI
3) Pengguna peta RBI sebagai bagian dari proses pemetaan RBI
Dalam penelitian tentang Kategorisasi Unsur RBI skala 1:5.000, diperlukan data dari
berbagai sumber. Daftar kebutuhan data dapat dilihat pada tabel 2.
16
Pengumpulan data dilakukan dengan beberapa metode yaitu: 1) Pengumpulan data
memanfaatkan teknologi internet misalnya melalui search engine; 2) wawancara untuk
mengumpulkan data kebutuhan pengguna peta RBI; 3) survei instansi dilakukan untuk
meminta dokumen pendukung terkait data kebutuhan pengguna peta RBI yang akan
digunakan sebagai penguat metode wawancara; 4) Focus Group Discussion (FGD) untuk
memperoleh pendapat pakar tentang kategorisasi unsur RBI.
Metode analisis dibagi menjadi 3 (tiga) bagian yaitu: 1) Analisis deskriptif tentang konsep
dasar peta topografi dan map abstraction terhadap kategorisasi unsur RBI, dan peta
topografi; 2) Analisis deskriptif terhadap hasil wawancara kebutuhan pengguna peta RBI; 3)
Analisis deskriptif terhadap pendapat pakar. Dari ketiga analisis tersebut selanjutnya akan
disajikan dalam suatu hasil yang harapannya dapat menjawab pertanyaan penelitian dan
tujuan penelitian dapat tercapai.
Pemetaan topografi didefinisikan sebagai seni, sains dan teknologi dalam menempatkan
suatu titik pada permukaan bumi. Titik merupakan elemen dasar dari struktur geometri yang
rumit seperti garis, polygon, luasan, persil dan lainnya. Peta topografi menyajikan informasi
umum terkait karakteristik alami dan buatan dari dunia nyata. Informasi khusus yang
disajikan pada peta topografi adalah relief (Hatzapoulos, 2008). Hatzapoulus juga
menyatakan bahwa pemetaan topografi sudah ada sejak Babylonia kuno yang menyajikan
informasi “bundaries” dan memperkuat bahwa “point”sebagai dasar entitas geometri.
Informasi pembeda antara peta topografi dengan yang lain adalah penggambaran elevasi
atau relief menggunakan garis kontur. Meskipun demikian, peta topografi bukan hanya
representasi bumi yang sekedar menampilkan garis kontur. Baik unsur alami maupun buatan
digambarkan dalam peta topografi seperti gunung, lembah, danau, sungai, vegetasi, jalan,
batas, bangunan utama, dan lainnya (USGS, n.d.). Canada melalui lembaga Natural
Resource Canada mendefinisikan peta topografi sebgai ilustrasi detail dan akurat dari unsur
alami dan buatan seperti jalan, jalur kereta api, jaringan energi, kontur, elevasi, sungai,
danau, dan nama geografis. Sejumlah unsur yang terletak pada tanah tersebut dapat
dikategorikan menjadi relief, hidrografi, vegetasi, transpoprtasi, budaya, batas, dan toponimi
(Natural Resources Canada).
Peta topografi yang dihasilkan oleh USGS dirancang untuk berbagai macam tujuan
diantaranya untuk penelitian, engineering, militer, administratif, dan lainnya sehingga
disebut sebagai peta general-purpose (Rowland, 1955). Peta topografi di Indonesia pada
awalnya digunakan hanya untuk keperluan militer. Namun saat ini istilah peta topografi
sudah digantikan dengan Peta Rupabumi Indonesia (RBI) seiring dengan pemanfaatannya
sebagai peta dasar yang berlaku nasional. Peta RBI adalah peta dasar yang memberikan
informasi secara khusus untuk wilayah darat. Peta dasar tersebut terdiri atas garis pantai,
hipsografi, perairan, nama rupabumi, batas wilayah, transportasi dan utilitas, bangunan dan
fasilitas umum serta penutup lahan (Republik Indonesia, 2011). Undang-undang No. 4 tahun
17
2011 tentang Informasi Geospasial memperkuat posisi peta dasar yang dapat digunakan
untuk berbagai keperluan sehingga masih relevan jika peta RBI dibandingkan dengan istilah
umum yaitu peta topografi. Kata kunci bahwa peta topografi masih relevan dengan peta RBI
adalah: karakteristik alami dan buatan (natural & artificial), unsur yang terletak pada tanah
(ground feature), permukaan bumi, dan tujuan umum (Natural Resources Canada)
(Hatzapoulos, 2008) (USGS, n.d.).
Peta topografi yang akurat dibuat melalui beberapa tahap panjang dan rumit. USGS
memerlukan waktu 5 (lima) tahun untuk memproduksi peta topografi skala besar 7.5-minute
dengan skala 1:24.000 dari mulai tahapan kebutuhan pemetaan hingga pencetakan.
Tahapan tersebut diantaranya: 1) pemotretan udara; 2) survei lapangan untuk pengukuran
titik kontrol; 3) penamaan unsur; 4) verifikasi unsur peta (untuk memastikan hasil
interpretasi sudah sesuai/belum, verifikasi nama geografis dan batas wilayah); 5) kompilasi
peta berdasarkan hasil verifikasi; 6) pencetakan (USGS, n.d.).
Perkembangan teknologi saat ini memungkinkan proses akuisisi foto udara dilakukan
bersamaan dengan pengukuran titik kontrol tanah. Selain foto udara, banyak sumber data
lain yang dapat digunakan untuk pembuatan peta topografi misalnya LiDAR, radar, dan
lainnya yang berkaitan dengan penginderaan jauh. Pemilihan teknologi tersebut dipengaruhi
oleh skala peta yang akan dibuat (Usery, 1993). Mengacu pada hal tersebut, pemetaan RBI
skala 1:5.000 saat ini masih menggunakan pemotretan udara yang dikombinasikan dengan
berbagai jenis model elevasi. Foto udara masih direkomendasikan sebagai sumber utama
pemetaan RBI karena memiliki kualitas geometri lebih baik jika dibandingkan dengan Citra
Satelit Resolusi Sangat Tinggi (CTSRT) meskipun CTRST juga dapat menjadi alternatif
dengan merujuk pada standar yang dikeluarkan American Society for Photogrammetry and
Remote Sensing (ASPRS) (Susetyo, Syetiawan, & Octariady, 2017). Berdasarkan uraian di
atas, penulis merangkum garis besar penyusunan peta RBI menjadi 6 (enam) tahap utama
yaitu: 1) akuisisi data dasar; 2) pra-pemrosesan data dasar; 3) interpretasi, vektorisasi dan
pengisian atribut; 4) validasi lapangan; 5) perbaikan menggunakan hasil validasi lapangan;
6) penyajian (digial dan cetak).
Akusisi data dasar berkaitan dengan data apa yang akan digunakan untuk penyusunan
peta RBI mengacu pada parameter skala. Kemudian pra-pemrosesan berkaitan dengan
kualitas hasil akuisisi data dasar terhadap titik kontrol tanah. Seperti apa idealnya suatu data
dasar dikoreksi (ground ortho atau true ortho?). Hal itu harus mengacu pada referensi skala.
Selanjutnya tahap interpretasi, vektorisasi dan pengisian atribut baik dengan cara
plotting/registrasi/digitasi untuk menggambarkan unsur RBI. Pada tahap ini proses map
abstraction / object generalization dilakukan sehingga batasan-batasan diperlukan pada
tahapan ini. Parameter terukur yang mempengaruhi map abstraction adalah geometri yang
berhubungan langsung dengan skala peta. Selain itu, konsep pemetaan juga menjadi faktor
apakah menggunakan konsep bottom-up atau top-down. Bottom-up jika pemetaan
dilakukan untuk menghasilkan peta dengan tingkat kedetailan paling tinggi kemudian
digeneralisasi untuk menghasikan peta dengan tingkat kedetailan yang lebih rendah (misal
skala 1:1.000 skala 1:2.500 skala 1:5.000 skala 1:10.000 dst). Begitu sebaliknya,
top-down jika pemetaan dilakukan secara parsial dari skala kecil, selanjutnya skala
menengah dan kemudian skala besar.
Jika menggunakan konsep bottom-up, maka konsep generalisasi dapat dijadikan sebagai
parameter terukur dan saat ini sudah ada alat bantu yang memudahkan proses generalisasi
18
tersebut. Hal itu yang diterapkan dalam Multi-Scale Databases (Cecconi, 2003). Salah satu
parameter terukur dalam generalisasi adalah the principle of selection dengan
mempertimbangan jumlah objek yang dapat digambarkan. Dari prinsip tersebut, jumlah
objek pada skala kecil dapat dihitung dengan rumus menggunakan sumber jumlah objek
pada skala yang lebih besar (Töpfer & Pillewitzer, 1964). Pengisian atribut juga mengacu
pada batasan kategorisasi obyek. Atribut dan keterkaitan antar obyek menjadi suatu hal
yang penting (Usery, 1993). Selain itu, perkembangan pendekatan semantic dan ontology
dalam bidang geospasial saat ini sangat pesat. USGS menjadi salah satu yang intensif dalam
pengembangan tersebut untuk diterapkan pada U.S. National Topographic Map (Bulen,
Carter, & Varanka, 2010) (Varanka, 2009). Semantic ontologies diharapkan menjadi proses
efektif untuk memperoleh model data sebagai representasi dari unsur topografi yang rumit
(Varanka & Jerris, 2010). Selanjutnya tahap validasi dilakukan untuk memastikan bahwa
hasil interpretasi, vektorisasi dan pengisian atribut sudah sesuai dengan kondisi di lapangan.
Validasi juga dijadikan sebagai kontrol kualitas. Perbaikan hasil interpretasi, vektorisasi dan
pengisian atribut dilakukan jika terdapat kesalahan mengacu hasil validasi melalui survei
lapangan. Perbaikan jika kesalahan yang terjadi melebihi ambang batas toleransi. Tahap
terakhir adalah penyajian baik dalam bentuk digital maupun cetak. Dalam tahap penyajian
ini memungkinkan adanya generalisasi karena karakteristik penyajian dalam bentuk cetak
berbeda dengan digital (GIS ready dan quicklook). Generalisasi dalam hal ini adalah proses
cartographic generalization. Penyajian digial saat ini sudah dapat membantu indera
penglihatan dalam melihat lebih jelas suatu objek dengan adanya teknologi perbesaran.
USGS saat ini menyajikan peta topografi dalam format digital yang user-friendly dengan
format *.pdf sesuai yang tertuang dalam US Topo Product Standard (Cooley, Davis,
Fishburn, Lestinsky, & Moore, 2011).
Dalam merancang detail peta topografi, USGS mendefinisikan spesifiakasi mulai dari
skala, interval kontur, akurasi, dan unsur apa saja yang perlu ditampilkan pada peta melalui
pengembangan yang panjang guna memenuhi kebutuhan pemerintahan, industri dan
pengguna umum (Rowland, 1955). Hal itu menunjukkan bahwa kebutuhan pengguna
menjadi salah satu parameter penting dalam perancangan peta topografi. Oleh karena itu,
dalam penelitian ini dilakukan survei wawancara kepada beberapa pengguna peta RBI untuk
memperoleh informasi dari sudut pandang pengguna peta. Berdasarkan informasi yang ada
di Badan Informasi Geospasial (BIG) terkait permintaan data, terdapat 41% permintaan peta
RBI yang terdiri dari pemerintah daerah, akademisi, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan
Kementerian/Lembaga (lihat gambar 4). Jumlah permintaan terbanyak adalah dari
Pemerintah Daerah. Penggunaannya pun beragam misalnya untuk keperluan perencanaan
tata ruang, perencanaan kegiatan, dan lainnya.
19
Gambar 4. Jumlah permintaan data di BIG per 9 Juni 2017 (BIG, 2017)
Responden Keterangan
Dari total 12 responden tersebut kemudian diambil beberapa informasi dari beberapa
reponden yang memenuhi kriteria pernah menyelenggarakan dan membutuhkan peta skala
1:5.000. Responden tersebut adalah Bappeda Kota Bogor, Dinas Pekerjaan Umum &
Penataan Ruang Kabupaten Bogor, dan Dissurpotrud-AU. Sebagian rangkuman hasil
wawancara ketiga responden tersebut diatas disajikan pada tabel 4.
20
Tabel 4. Rangkuman wawancara
21
Dari hasil wawancara tersebut diatas, dihasilkan beberapa hal yang menjadi catatan dalam
proses kategorisasi unsur RBI skala 1:5.000 yaitu:
1) Akurasi menjadi kebutuhan dasar dalam pemetaan RBI;
2) Metode penyajian harus dipisahkan menjadi 2 (dua) yaitu cetak dan digital (GIS ready
dan quicklook)
Pengumpulan informasi yang bersumber dari pakar dilaksanakan melalui Focus Group
Discussion (FGD). Berikut adalah adalah beberapa penjelasan pakar yang berhubungan
dengan konsep kategorisasi:
1) Peta RBI bukan merupakan peta all-purpose melainkan peta multi-purpose sehingga
kedetailan informasinya tidak harus mengakomodir semua pengguna. Manfaat peta
antara lain untuk tata ruang, participatory planing, fast response government, dll
2) Semakin besar skala peta maka unsur yang digambarkan semakin banyak. Banyaknya
unsur tersebut tidak harus menjadi unsur baru. Mungkin ada unsur yang cukup
menjadi atribut.
3) Kedetailan objek mempengaruhi kapasitas produksi dan kedetailan objek dipengaruhi
oleh interpretasi data dasar (misal foto udara)
4) Indonesia memerlukan suatu sistem klasifikasi yang komprehensif. Contoh sistem
klasifikasi yang baik adalah yang disusun oleh Anderson (USGS) pada 1976 spesifik
tentang A Land Use and Land Cover Classification System for use with Remote Sensor
Data. Dalam penelitiannya, Anderson membandingkan klasifikasi objek yang
bersumber dari citra satelit dan foto udara. Metode akusisi data dasar (terestris,
fotogrametri, kombinasi terestris dan fotogrametri) mempengaruhi sistem klasifikasi.
5) Perlu diperjelas mengenai spesifikasi peta RBI skala 1:5.000, apakah peta RBI skala
1:5.000 yang bersumber dari metode tertentu misal fotogrametri atau yang
bersumber dari berbagai metode? Metode sangat berpengaruh terhadap tahapan
yang harus dilakukan dan ketelitian hasilnya.
6) Kode unsur yang merupakan wujud kategorisasi harus ada di awal dan menjadi
batasan yang kuat. Jika ada obyek yang tidak termasuk dalam kode unsur tertentu
maka tidak perlu digambarkan.
7) Parameter permanen/tidak permanen tidak cukup untuk menjadi satu-satunya
batasan suatu objek perlu/tidak perlu digambarkan.
Parameter yang dapat dijadikan sebeagai pertimbangan dalam kategorisasi unsur RBI skala
1:5.000 adalah: 1) tujuan peta RBI; 2) sistem klasifikasi (multi skala); 3) akurasi peta RBI;
4) sumber data dasar; 5) metode pemetaan (termasuk map abstraction); 6) kebutuhan
pengguna peta RBI; dan 7) metode penyajian. Seluruh parameter tersebut diperoleh
berdasarkan inti dari bahasan peta topografi & map abstraction, kebutuhan pengguna dan
konsep kategorisasi menurut pendapat pakar. Ketiga bahasan tersebut didasari pada
batasan penelitian yaitu pendefinisian tujuan peta RBI sesuai konsep peta topografi, map
abstraction sebagai bagian dari proses kategorisasi unsur RBI dan pengguna peta RBI
sebagai bagian dalam proses pemetaan RBI.
22
Keterkaitan klasifikasi dengan beberapa dokumen.
KURI masih belum harmonis dengan KUGI, karena KUGI masih dirasa kurang aplikatif.
Selain masih ada kebingungan apa yang harus dimuat dalam peta RBI skala besar, kode
unsur yang dimiliki dalam KURI muncul dengan latar belakang produksi. Bagaimanapun
kode unsur perlu disederhanakan. Kode unsur itu diharapkan untuk dibuat hierarkinya.
Perlu dilakukan penyederhanaan. Jika ada yang belum dimuat dalam kode unsur tidak perlu
ditambahkan supaya konsisten terus. RBI yang lebih rumit pada skala 5k menyebabkan
salah satu faktor keterlambatan hal ini disebabkan karena data dasar yang lebih detil dari
yang seharusnya digunakan untuk digitasi; kemudian faktor lainnya adalah penyesuaian
terhadap KUGI. Rekomendasi yang ada adalah menstrukturisasi data, memperbaiki juknis
yang diberikan ke pelaksana beserta contoh-contoh di dalamnya, penyamaan persepsi KUGI
dan KURI.
1.4. Kesimpulan
Penyelenggaraan Peta RBI tidak dapat dilepaskan dari perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Hal yang paling utama dalam pemetaan dalam hal ini untuk pembuatan peta
topografi adalah obyektivitas. Kenampakan permukaan bumi sangat kompleks dan
diperlukan cara yang lebih komprehensif dalam proses abstraksi informasi sehingga hasilnya
mendekati kondisi nyata (real world) karena suatu “model” tidak pernah menyamai wujud
aslinya. Peta topografi masih relevan dengan peta RBI adalah: karakteristik alami dan
buatan (natural & artificial), unsur yang terletak pada tanah (ground feature), permukaan
bumi, dan tujuan umum (general-purpose).
Parameter terukur yang mempengaruhi map abstraction adalah geometri yang berhubungan
langsung dengan skala peta. Parameter yang dapat dijadikan sebeagai pertimbangan dalam
kategorisasi unsur RBI skala 1:5.000 adalah: 1) tujuan peta RBI; 2) sistem klasifikasi (multi
skala); 3) akurasi peta RBI; 4) sumber data dasar; 5) metode pemetaan (termasuk map
abstraction); 6) kebutuhan pengguna peta RBI; dan 7) metode penyajian.
Cooley, M. J., Davis, L. R., Fishburn, K. A., Lestinsky, H., & Moore, L. R. (2011). US Topo
Product Standard. Techniques and Method 11-B2. Restonm Virginia: U.S. Geological
Survey.
23
Hatzapoulos, J. N. (2008). Topographic Mapping: Covering the Wider Field of Geospatial
Informasi Science & Technology (GIS&T). Boca Raton, Florida, USA: Universal
Publishers.
MacEachren, A. M. (1995). How Maps Work: Representation, Visualization, and Design. New
York: Guilford Publications.
Republik Indonesia. (2011). Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 20 Tahun 2011 tentang
Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi
Kabupaten/Kota. Jakarta, Indonesia.
Republik Indonesia. (2015). Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 56 Tahun 2015 tentang
Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan. Jakarta, Indonesia.
Stevens, J., Smith, J. M., & Bianchetti, R. A. (2012). Geography 160: Mapping Out Changing
World. (A. M. MacEachren, D. J. Peuquet, Editors, & Department of Geography, The
Pennsylvania State University) Retrieved July 05, 2017, from The John A. Dutton e-
Education Institute: http://www.e-education.psu.edu/geog160/node/1882
Susetyo, D. B., Syetiawan, A., & Octariady, J. (2017). Perbandingan Ketelitian Geomterik
Citra Satelit Resolusi Tinggi dan Foto Udara untuk Keperluan Pemetaan Rupabumi
Indonesia.
Töpfer, F., & Pillewitzer, W. (1964). The Principles of Selection. In D. Maling (Ed.), The XX
International Geographical Congress, section IX, Cartography, (pp. 117-121).
London.
24
2. Penelitian Kapasitas Digitasi untuk Pemetaan 1:5000
Tia Rizka N.R., Bambang Riadi, Ayu Nur Safi’I, Agung Syetiawan, Nadya Oktaviani,
Fahmi Amhar
2.1. Pendahuluan
Produksi peta dasar Indonesia berpusat di Badan Informasi Geospasial. Saat ini pemetaan
skala besar sedang menjadi kegiatan prioritas Nasional. Salah satunya pemetaan skala
1:5000 menggunakan basemap foto udara/citra satelit. Selama ini pemetaan di Badan
Informasi Geospasial dilaksanakan secara kontrak ke pihak ketiga. Namun, hingga saat ini
sebenarnya kapasasitas SDM untuk melaksanakan pemetaan RBI khususnya skala besar
belum banyak diteliti. Akibatnya para pelaksana pekerjaan masih menggunakan Kerangka
Acuan Kerja (KAK) lama.
Observasi dilakukan pada pertengahan hari kerja dan menjelang hari libur untuk mencari
kemungkinan keterkaitan produktifitas dengan hari libur.
Observasi langsung dilakukan seiring mengikuti proses supervisi yang dilakukan PPRT di
Pelaksana Pekerjaan. Kenyataannya, observasi ini memiliki keterbatasan, karena umumnya
operator digitasi cenderung menunjukkan sikap yang berbeda ketika tahu diamati.
25
Penggunaan kamera/CCTV juga ternyata tidak mudah dilakukan karena memerlukan
instalasi khusus.
Observasi dengan software Camtasia ternyata hanya bertahan beberapa hari, dan kemudian
terpaksa dibatalkan, karena menyebabkan komputer yang dipakai operator menjadi lambat.
Software ini merekam layar berikut kursor dari operator dan bisa diatur berapa gambar per
detik yang disimpan. Namun secara umum tetap menyebabkan kinerja operator turun, dan
ini tidak diharapkan. Kinerja operator mungkin tidak terpengaruh bila menggunakan
komputer dengan spesifikasi yang lebih tinggi.
Observasi dengan logbook belum sempat dilakukan dengan disiplin dan sempurna. Untuk
itu, bila penelitian ini dilanjutkan tahun depan, akan dibuat sebuah model logbook yang
praktis, seragam dan bisa diakses di web.
Pada akhirnya, metode yang benar-benar digunakan adalah wawancara dengan operator
dan dengan supervisornya.
Adapun sampel yang diamati ada 2 kelompok, yaitu di tim yang melaksanakan pekerjaan
PNBP dari Kabupaten Kediri di PPKS-BIG (18 orang), dan tim di perusahaan swasta yang
melaksanakan pekerjaan dari BIG (31 orang)..
26
Dalam pelaksanaan observasi perlu diperhatikan bahwa:
1. Digitasi yang dimaksud adalah proses digitasi dan pengisian atribut (hingga data
pada NLP tersebut siap ditopologi).
2. Tidak samanya definisi kerapatan Jarang, Sedang, Padat masing-masing operator
3. NLP yang tidak digit 100%, data tidak digunakan (tutupan awan/batas administrasi)
4. Satu hari dianggap 5 jam kerja.
5. Total waktu = jumlah (rata-rata) masing-masing kelas Contoh : 1-2 jam = 1,5 jam
6. NLP dikelaskan (jarang-sedang-padat) secara langsung, bukan hitungan luas;
sedangkan PPRT menggunakan rumus : (luas bangunan + luas sawah)/luas NLP
(Perka BIG No 12 Tahun 2016)
Mulai
Kuisioner
Pelaporan
Selesai
Berdasarkan diagram alir pada Gambar 2 tahapan penelitian terdiri dari persiapan,
pengumpulan data dan pengolahan data. Tahapan persiapan meliputi kegiatan untuk
menentukan metode yang digunakan serta pengumpulan literatur yang terkait dengan
penelitian. Pengumpulan literatur dimaksudkan untuk menentukan hipotesis awal yang
menjadi tolak ukur dibuatnya kuisioner.
27
Jenis Kelamin
Usia
Latar Kapasitas
Belakang Digitasi
Pendidikan Hari per NLP
Pengalaman
Hipotesis awal dalam penelitian ini adalah adanya hubungan yang mempengaruhi
kemampuan operator dalam melakukan digitasi foto udara/citra satelit yaitu usia,
pendidikan, dan pengalaman kerja. Sehingga, isian kuisioner terdiri dari latar belakang
pendidikan, usia, pengalaman kerja serupa yang dijalani serta lama waktu yang dibutuhkan
operator untuk melakukan digitasi.
Data yang diperoleh dari kuesioner dianalisis menggunakan Analisis Regresi Linear. Analisis
Regresi Linear dapat dijelaskan dalam bentuk persamaan berikut:
Dimana
28
Tabel-1. Hasil isian kuesioner tim pekerjaan Kediri
Berdasarkan hasil isian kuisioner terlihat bahwa operator yang melaksanakan pekerjaan
Kediri memiliki latar belakang pendidikan yang homogen yakni s1/setara dengan latar
belakang disiplin ilmu kebumian (Tabel-1). Usia operator rata-rata termasuk golongan usia
remaja yang masih produktif. Operator umumnya masih fresh graduates yang memiliki
pengalaman maksimal 2 tahun. Rata-rata operator mampu menyelesaikan pekerjaan dengan
kerapatan jarang selama 1 hari kerja/5jam efektif. Klasifikasi kerapatan sedang mereka
mampu menyelesaikan pekerjaan rata-rata 2 hari kerja/ 9 jam efektif. Sedangkan untuk
kerapatan padat mereka mampu menyelesaikan dalam 4 hari/ 19 jam efektif.
Sedangkan operator pada perusahaan swasta memiliki latar belakang pendidikan dari
lulusan SMA/setara sebanyak 19 orang, dan S1/setara sebanyak 12 orang (Tabel-2). Sampel
yang diambil berasaal dari 4 perusahaan yang berbeda. Rata-rata operator mampu
menyelesaikan pekerjaan dengan kerapatan jarang selama 3 hari kerja/18jam efektif.
Klasifikasi kerapatan sedang mereka mampu menyelesaikan pekerjaan rata-rata 5 hari kerja/
24 jam efektif. Sedangkan untuk kerapatan padat mereka mampu menyelesaikan dalam 6
hari/ 32 jam efektif.
Terlihat bahwa operator yang melaksanakan pekerjaan swasta cendrung memiliki rentang
usia besar dan bervariasi serta pengalaman yang sangat bervariasi. Hasil wawancara
terhadap operator berpengalaman, mengatakan bahwa perbedaan pekerjaan yang dilakukan
beberapa tahun belakangan sangat berbeda dengan pekerjaan mereka pertama kali. Saat ini
teknologi cukup membantu mereka namun butuh penyesuaian yang lebih terhadap software
yang digunakan. Kebiasaan menggunakan komputer juga dilansir menjadi faktor yang
mempengaruhi kecepatan operator dalam bekerja.
29
Tabel-2. Hasil isian kuesioner perusahaan swasta
Jika dilihat dengan mengguakan analisis linier terhadap faktor yang memepengaruhi
kecepatan operator, tidak tampak ada hubungan yang signifikan antara usia, pengalaman
kerja dengan latar belakang pendidikan operator digitasi peta. Nilai negative
menggambarkan bahwa tidak ada hubungan dari hasil kecepatan seorang operator terhadap
parameter tersebut. Sedangkan nilai positif menggambarkan adanya hubungan positif
terhadap parameter yang mempengaruhi kapasitas digitasi. Faktor negative/positif terlihat
tidak memiliki dampak yang besar terhadap kecepatan seorang operator.
Beberapa catatan yang disimpulkan dari seluruh operator bahwa kendala yang sering
dihadapi operator dalam melaksanakan pekerjaan, diantaranya:
1. Masih banyaknya perbedaan GDB yang dijadikan acuan dan perbedaan cara digitasi oleh
massing-massing supervisor
2. Citra yang digunakan sebagai basemap terkadang memiliki kurang jelas, dan interpretasi
operator juga berbeda.
3. Operator yang lelah, bosan dan mengantuk saat melaksanakan pekerjaan.
4. Spesifikasi PC dan peralatan pendukung yang kurang memadai.
30
Tabel-3. Hubungan faktor yang mempengaruhi digitasi
Kerapatan Jarang
Kerapatan Sedang
2.4 Kesimpulan
Penelitian ini masih belum bisa dijadikan acuan untuk menentukan standar untuk analisis
biaya beban kerja operator digitasi peta. Dikarenakan masih luasnya parameter yang
dijadikan penghitungan kapasitas operator yang dimaksud. Definisi klasifikasi kerapatan
objek masing-masing operator juga berbeda. Selain itu, perbedaan definisi kerapatan
jarang, sedang dan rapat yang digunakan peneliti dengan yang selama ini digunakan oleh
PPRT. Kedepannya diharapkan ada penelitian lanjutan yang dapat dijadikan acuan untuk
analisis biaya yang dibutuhkan dalam menyelesaikan pekerjaan.
31
Idrus, A., Muqeem, S., Zakaria, S.B., & Nawi, M.N.M. (2011). Development of Production
Rates Database for Substructure Activities by Work Sampling. Modern Applied Science
Journal. Vol 5 (4) Agustus 2011. doi:10.5539/mas.v5n4p123. ISSN 1913-1844, E-ISSN 1913-
1852.
Martono, N, (2010), Statistik Sosial Teori dan Aplikasi Program SPSS, Yogyakarta: Gava
Media.
Prasetyowati, D. A., (2016). Analisis Statistik (Teori dan Aplikasi Menggunakan SPSS),
Palembang
Rachman, T. (2013). Penggunaan Metode Work Sampling Untuk Menghitung Waktu Baku
Dan Kapasitas Produksi Karungan Soap Chip Di PT. SA. Jurnal Inovisi Vol. 9 (1) April 2013
Hal 48-60.
Sirait, M.S. (2001). Hubungan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kapasitas Kerja Terhadap
Kelelahan Tenaga Kerja Di Bagian Palet Pt Agung Saputra-Tex Yogyakarta. Skripsi
Safwan, Nadirsyah, & Abdullah, S., (2014). Pengaruh Kompetensi dan Motivasi Terhadap
Kinerja Pengelolaan Keuangan Daerah Pada Pemerintah Daerah Kabupaten Pidie Jaya.
Jurnal Akuntansi Pascasarjana Universitas Syiah Kuala. Vol. 3(1) 133-139 . Februari 2014.
ISSN 2302-0164..
Subekti, P., (2015). Perbandingan Perhitungan Matematis dan SPSS Analisis Regresi Linear
Studi Kasus Pengaruh IQ Mahasiswa Terhadap IPK. Prosiding Seminar Nasional Teknologi
Informasi, Komunikasi, dan Aplikasinya 2015. Malang. ISSN 2089-1083.
Suwati, Y., (2013). Pengaruh Kompensasi dan Motivasi Kerja Terhadap Kinerja Karyawan
pada PT Tunas Hijau Samarinda. Ejournal Ilmu Administrasi Bisnis. 1 (1) : 41-55
Republik Indonesia, 2011. Undang-Undang No. 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial.
Lembaran Negara RI Tahun 2011, No. 49. Jakarta: Menteri Hukum dan HAM Republik
Indonesia.
Y., S., (2016). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja dan Kinerja Karyawan
Bank Muamalat Cabang Samarinda. Jurnal Ekonomi dan Manajemen. Vol. 13 (1). Hal 59-72.
ISSN: 1907-3011, ISSN online: 2528-1127.
32
3. Penelitian Sinkronisasi Hasil LIDAR dengan Foto Udara
3.1. Pendahuluan
Penelitian ini bertujuan mengungkap fenomena desinkronisasi antara foto udara dan sensor
LIDAR yang diambil simultan dalam satu wahana baik secara teoritis dan fakta lapangan
beserta upaya mengatasinya (singkronisasi).
Pertanyaan ilmiah yang muncul adalah (1) Apakah ada fenomena desinkronisasi, apa saja
bentuk & besarannya dan (2) Bagaimana sebaran desinkronisasi ini.
Terdapat perbedaan batas air antara data las, intensity dan hasil stereoplotting sungai.
Penarikan garis sungai akan digunakan dalam pembentukan DTM. Hal ini mempengaruhi
bentuk DTM sungai yang terbentuk.
Gambar 1. DEM dari Lidar tidak sama dengan Foto pada area sungai.
33
Umumnya hasil plotting (stereoploting) unsur perairan pada daerah tertutup vegetasi akan
menggantung (melayang) terhadap surface DTM dari data LAS. Akibatnya pada saat
tahapan pembentukan DTM, memerlukan editing kembali terhadap unsur perairan hasil
plotting tersebut.
Pertanyaannya: “Geometri (x,y,z) mana yang digunakan (dianggap benar). Geometri dari
hasil plotting (stereoploting) atau geometri dari DTM LAS?”
Gambar 2. DEM dari Lidar tidak sama dengan Foto pada area perairan.
Masspoint dari data LAS sangatlah besar. Mencapai 500 ribu-2 juta titik per Nomor
Lembar Peta. Hal ini menimbulkan kendala yaitu lamanya proses pada tahapan edditing
dan pembentukan DTM (TIN). Hasil DTM Lidar memiliki kerapatan masspoint dan tingkat
kehalusan yang berbeda jauh dengan hasil DTM Foto Udara
Pertanyaannya: “Apakah data LAS perlu diresampling agar memiliki tingkat kerapatan dan
kehalusan yang sama seperti DTM hasil Foto Udara?”
Gambar 3. DEM dari Lidar tidak sama dengan Foto akibat perbedaan kerapatan mass point
34
Tingkat kerapatan masspoit pada data Lidar yang sangat rapat membuat DTM yang
dihasilkan dapat mewakili kondisi sebenarnya dilapangan. Sehingga ketika ditambahkan data
breakline, DTM yang dihasilkan justru menjadi tidak logis.
Pertanyaannya: “Apakah pada tahap pemetaan RBI dan Pembentukan DTM masih
diperlukan breakline (punggung bukit, lembah, patahan dll)?”
Gambar 4. DEM dari Lidar tidak sama dengan Foto meski ada breakline/strukturline
Masspoint daerah perairan tidak merepresentasikan permukaan dengan tepat, misal: dtm
diantara tambak.
Gambar 5. DEM Lidar tidak sama dengan foto dalam efek hydroenforced
35
Sejauh mana dalam melakukan editing kontur? Terutama untuk kontur yang kecil-kecil?
Apakah perlu dilakukan smoothing kontur? Hasil smoothing kontur yang dihasilkan
menyebabkan semakin banyaknya vertex sehingga membuat data menjadi lebih besar dan
kontur banyak yang menempel ke perairan.
Gambar 6. DEM Lidar tidak sama dengan foto dalam efek smoothing
Dalam FGD didapatkan dua faktor yang terindikasi merupakan penyebab fenomena
desinkronisasi. Pertama adalah dalam akuisisi, dan kedua dalam prosesing DEM
hydroenforced.
Perbedaan data foto udara dan Lidar kemungkinan besar disebabkan oleh tiga hal, yaitu:
Adanya syarat-syarat fotogrametri yang tidak terpenuhi seperti tilt tidak bisa dijaga tetap
dibawah 3 derajat; Ketidaksinkronan waktu antara sensor lidar dan kamera udara; dan
Perbedaan ketelitan data foto udara hasil AT dengan data Lidar
Dengan ketidak konsistensian data lidar dan data foto bisa jadi disebabkan karena nilai EO
hasil adjustement AT data foto lebih teliti karena melibatkan banyak GCP. Sedangkan proses
lidar langsung menggunakan trajectory yang hanya dikoreksi dari 1 atau 2 control point
(base station). Jadi terdapat level ketelitian EO/trajectory yang berbeda
36
Harus dilakukan kalibrasi IMU on the fly. Karena terdapat kesalahan sistematis yang
merupakan fungsi waktu. Jenis Base Station pada saat akuisisi ada 3 : a. PPP (kurang
akurat), b. Single base (lebih akurat), c. Multibase (paling akurat)
Perlu premark khusus dalam akuisisi FU-Lidar untuk mengecek ketelitian planimetrisnya.
Premark dapat dibuat dalam bentuk drum/ember atau trampoline. Perlu mencoba EO Hasil
AT untuk digunakan untuk mengkoreksi data Lidar. Perlu dilakukan uji geometri
independent dengan objek-objek dilapangan diluar ICP premarking. Sidelap dan overlap
yang berlebihan tidak meningkatkan akurasi justru bisa menimbulkan masalah baru
Karena pada data Lidar, Ifsar, dan Image Correlation/Matching adalah “unselective point”,
maka perlu kajian atau penelitian untuk proses klasifikasi/filtering. Karena belum ada nilai
baku untuk parameter pembentukan klasifikasi ground. Beda karakteristik wilayah akan
mengakibatkan penggunaan nilai parameter yang berbeda. Perlu dilakukan pengecekan
stereo model dan dibandingkan dengan hasil intensity lidar, untuk mengecek obyek
planimetris. Perlu mencoba untuk menerapkan algoritma untuk mencari breaklines dari data
Lidar. Bahwa untuk pengecekan (x,y) planimetris dapat menggunakan data intensity
dengan resolusi yang memadai. Perlu uji coba dari intensity yang dibentuk dari data lidar
serapat 4 ppm untuk membentuk mosaic intensity dengan resolusi 15 cm.
Pengolahan AT perlu dicoba per jalur dan ditambahkan jalur setelahnya. Jika semua jalur
telah sesuai maka gabungkan menjadi satu blok agar dapat mendeteksi kesalahan lebih dini.
Paralaks-y tidak bisa hilang pada obyek yang bergerak.
Apabila Akuisisi Lidar dan Foto Udara dilakukan secara terpisah akan memperkecil
kemungkinan terjadinya perbedaan data.
Masing-masing model yang dibentuk kembali itu perlu dicek lagi hasil statistik AT dan
visualnya. Perbedaan antara data foto udara dan Lidar diperbolehkan selama memenuhi
batas toleransi ketelitian. Data intensity Lidar dapat dimanfaatkan untuk menambah titik
control.
Dalam pembuatan peta, maka prinsip dasarnya harus sederhana dan mudah dimengerti,
jangan dibuat rumit dan kompleks. Model yang dihasilkan pada tahap akuisisi foto udara
dan lidar harus sama dengan yang digunakan pada pekerjaan pembuatan unsur rupabumi
dan toponim. Jika pada suatu objek ditemukan perbedaan yang signifikan antara model
foto udara dan data lidar maka perlu dilakukan AT ulang pada area yang bermasalah
tersebut. Ketelitian horizontal mengacu kepada data Foto Udara sedangkan ketelitian
vertikal mengacu pada data Lidar.
Data masspoint (LAS) perlu untuk dilakukan resampling menjadi MKP (Model Key Point)
dengan parameter yang sesuai dengan produk skala peta yang diinginkan. Selain MKP,
penyederhanaan titik yang digunakan untuk skala 1:5.000 dibulatkan sampai satuan meter.
37
Breakline tetap diperlukan dengan memperhatikan objek-objek rupabumi. Contoh :
Punggung bukit tidak perlu sebagai breakline, sedangkan tepi jalan atau irigasi yang
memiliki kenampakan tegas, perlu ditambahkan breakline, begitu pula jika terdapat
perubahan topografis yang ekstrim. Tingkat kehalusan editing pembentukan DTM hanya
sebatas menghilangkan spike dan anomali saja. Kebutuhan perairan hasil stereokompilasi
digunakan untuk mengkoreksi logika terrain, bukan ke nilai dari ketinggian itu sendiri.
Resolusi raster (.bil) untuk DTM 1:5.000 adalah 0.5m. Catatan: lakukan ujicoba terlebih
dahulu dalam 0,5m dan 1m. Kontur dibentuk dari raster (.bil). Kontur tetap dilakukan
smoothing pada garis konturnya bukan pada datanya.
3.4. Kesimpulan
Hal mengenai penyebab perbedaan data foto udara dan Lidar masih memerlukan kajian
lebih lanjut.
Secara umum perlu dilakukan kajian lebih lanjut terkait pemetaan menggunakan data lidar
dan workshop staf PPRT dengan para akademisi terkait akuisisi dan pemetaan lidar.
38
4. Penelitian Filtering Data LIDAR untuk Peta RBI 1:5000
Prayudha Hartanto, Ayu Nur Safi’I, Dadan Ramdani, Danang Budi Susetyo, Yustisi
Ardhitasari, Wildan Firdaus, Fahmi Amhar, Ibnu Sofian
4.1. Pendahuluan
Semua alat pengumpulan data secara unselective seperti fotogrammetry dengan teknik
image-matching, interferometri-SAR dan Lidar memiliki kelebihan kecepatan operasional
yang tinggi (sehingga relatif murah), namun juga kelemahan bahwa titik-titik yang
dikumpulkan tidak bisa langsung dipakai. Titik-titik tinggi (point cloud) yang ada tidak
selalu menggambarkan permukaan tanah (DTM). Titik-titik ini sering berada di pepohonan
dan atap rumah.
Airbone Laser Scanning atau LIDAR adalah teknologi pemetaan terbaru yang memanfaatkan
sinar laser yang dipasang pada wahana pesawat kecil atau helipkoter. Teknologi ini
merupakan system penginderaan jauh system aktif yang mana sumber energi berasal dari
sensor yang terpasang pada platform. Dari data LIDAR, didapatkan pula data Digital Surface
Model (DSM) yang nantinya akan dapat diturunkan menjadi data DTM (Digital Terrain
Model). DSM adalah model permukaan digital dan juga merupakan model elevasi yang
menampilkan ketinggian permukaan. Jika DTM hanya menampilkan ground, maka DSM
menampilkan bentuk permukaan apapun yang ada seperti ketinggian pohon, bangunan,
sungai, dan objek apapun yang ada di atas tanah. Data hasil DSM mencakup vegetasi, jalan,
bangunan dan fitur-fitur terrain alami, sehinga dapat dibuat model tiga dimensi dari
berbagai sudut pandang dengan menambahkan land covernya (Sari, 2016).
DTM adalah bentuk digital dari terrain/ permukaan tanah tidak termasuk objek di atasnya.
Menurut (Kobler et al., 2007) DTM sangat penting untuk simulasi banjir, monitoring longsor,
perancangan jalan, klasifikasi tutupan lahan dan pengelolaan hutan.
Selama ini, pengklasifikasian data LIDAR masih terbatas pada kategori ground dan non-
ground, padahal untuk kategori non-ground sendiri terdapat beberapa objek dengan fitur
yang berbeda-beda (seperti vegetasi dan bangunan). Untuk menghilangkan vegetasi dan
bangunan (non-ground) yang ada di atas tanah tentu dibutuhkan cara/metode sehingga
didapatkan DTM dari DSM. Metode yang sering digunakan seperti Elevation With Expanding
Windows (ETEW) Filter, Maximum Local Slope (MLS) Filter dan Progressive Morphological
Filter.
39
Menurut (Pingel, Clarke, & Mcbride, 2013) teknik filtering yang terbaik dan sederhana yang
dapat digunakan untuk menghasilkan DTM adalah Teknik SMRF (Simple Morphological
Filter). Teknik ini dipakai dengan memasukkan nilai dari parameter-parameter yang tersedia,
seperti cell size, slope, windows, elevation threshold dan scalling factor. Jika dimasukkan
nilai yang berbeda pada parameter-parameter tersebut, maka akan terdapat perbedaan
visual yang ditimbulkan. Efek perbedaan visual ini merupakan bentuk DTM hasil pengolahan
dengan proses SMRF. Hasil parameter yang dimasukkan akan dianalisis secara visual dan
dilakukan validasi untuk melihat parameter manakah yang menghasilkan DTM terbaik.
Cellain itu, penelitian ini ingin mengetahui apakah teknik SMRF telah cukup akurat untuk
digunakan di daerah urban dan forest, atau harus diterapkan teknik filtering yang berbeda
bergantung pada tutupan lahan di suatu daerah tersebut.
Filter SMRF
Filtering SMRF dikembangkan oleh (Pingel et al., 2013). Metode filtering ini menggunakan
window yang berubah ukuran secara linear dan penerapan ambang slope sederhana disertai
aplikasi teknik inpainting (teknik image processing). Secara sederhana, tahapan filtering
SMRF adalah sebagai berikut:
Interpolasi grid dilakukan untuk mengubah data hasil filtering yang masih berupa point
cloud (vector) menjadi data raster (grid) dengan ukuran cell 1 x 1 meter. Interpolasi grid
dilakukan menggunakan perangkat lunak Generic Mapping Tools (GMT) dengan perintah
xyz2grd.
Dalam pelaksanaan interpolasi grid, terkadang data null values tidak terinterpolasi, sehingga
meninggalkan cell kosong tanpa nilai elevasi. Untuk mengatasi hal tersebut, dilakukan
smoothing menggunakan software GMT. Smoothing dilakukan dengan perintah grdfilter,
dengan jenis filter yang dipilih adalah median, Gaussian dan maximum likelihood.
40
Validasi (Ground Truth)
Setelah diperoleh DTM hasil filtering, selanjutnya dilakukan proses validasi, untuk
menentukan model DTM dengan ketelitian terbaik. Sebanyak 15 titik sampel diukur dengan
pengamatan GPS dengan metode statik maupun RTK. Hasil pengukuran GPS diolah
menggunakan software Waypoint Gravnet. Hasil elevasi yang diperoleh merupakan tinggi
ellipsoid, dan kemudian dikoreksi menggunakan geoid SRGI 2013 untuk memperoleh tinggi
orthometrik.
Mulai
Studi Literatur
Filter SMRF
Yes
Selesai
41
4.3. Hasil & Pembahasan
Pemrosesan data yang sudah dilakukan menggunakan software MATLAB. Software Matlab
memiliki keterbatasan pada kapasitas data yang digunakan sehingga pada penelitian ini
dilakukan pemotongan data menjadi 10 sampel dengan ukuran sekitar 800x600 m2. Selain
aspek tersebut, nilai parameter yang dimasukkan tidak bisa maksimal digunakan, karena
mempengaruhi hasil visual dari DSM maupun DTM yang terbentuk. Hasilnya untuk fitur-fitur
yang seharusnya dipertahankan atau dihilangkan tidak sesuai dengan semestinya. Hasilnya
dapat dilihat pada Tabel 1.
Part C S W ET ES T1 T2 Te Ka Ka (% ) Keterangan
1 1 0.010 4 0.200 0.000 0.308 0.020 0.047 0.624 62.38% Forest
2 1 0.025 4 0.100 0.100 0.321 0.024 0.048 0.567 56.67% Forest
3 1 0.005 4 0.010 0.400 0.283 0.029 0.072 0.645 64.45% Forest
4 1 0.005 4 0.650 0.300 0.320 0.025 0.047 0.548 54.84% Forest
5 1 0.075 8 0.070 0.000 0.402 0.020 0.037 0.565 56.52% Mixed
6 1 0.080 8 0.070 0.000 0.273 0.026 0.037 0.611 61.10% Mixed
7 1 0.010 4 0.010 0.400 0.349 0.024 0.054 0.590 58.97% Mixed
8 1 0.100 4 0.060 0.200 0.349 0.024 0.054 0.590 58.97% Forest
9 1 0.090 5 0.080 0.000 0.418 0.033 0.055 0.524 52.43% Mixed
10 1 0.080 4 0.065 0.000 0.419 0.025 0.042 0.521 52.12% Mixed
Penentuan parameter yang terbaik adalah dengan cara melihat nilai Total Error (Te) dan
Kappa (Ka) yang menurut (Pingel et al., 2013) menjadi indikator keberhasilan untuk DTM
yang diturunkan dari DSM. Rumusnya :
𝒏.Ĝ
𝑻𝟏 = 𝒏.ĝ
𝑛.Ō
𝑇2 = 𝑛.ŏ
𝑛.Ĝ+𝑛.Ō
𝑇𝑒 = 𝑛
Keterangan :
42
untuk rumus Kappa menurut (Gwet, 2002)
𝑎+𝑑
𝑃𝑜 = 𝑎+𝑏+𝑐+𝑑
𝑎+𝑏 𝑎+𝑐
𝑃1 = 𝑎+𝑏+𝑐+𝑑 𝑥 𝑎+𝑏+𝑐+𝑑
𝑐+𝑑 𝑏+𝑑
𝑃2 = 𝑎+𝑏+𝑐+𝑑 𝑥 𝑎+𝑏+𝑐+𝑑
𝑃𝑒 = 𝑃1 + 𝑃2
𝑃𝑜−𝑃𝑒
𝐾𝑎 = 1−𝑃𝑒
Keterangan :
43
Null Value
ull value
Dari hasil gambar di atas, didapatkan ada beberapa garis-garis hitam yang menandakkan
daerah null values akibat pemotongan data .las LIDAR menjadi 10 part yang tidak saling
bertampalan. Sehingga harus dilakukan proses smoothing agar tidak terjadi kekosongan
data. Software GMT menyediakan tools untuk proses smoothing data raster LIDAR sehingga
null values dapat dihilangkan. smoothing dilakukan dengan menginterpolasi median,
Gaussian dan maximum likelihood pada data DTM yang sudah terbentuk. Berikut Gambar 4
hasil dari proses smoothing menggunakan software GMT.
44
Kegiatan validasi data DTM dilakukan dengan melakukan survey lapangan menggunakan
GPS Geodetik Leica GR1200 dan GS14. Pengukuran GPS menggunakan metode static dan
metode RTK. Lokasi pengambilan sampel dapat dilihat pada Gambar 5, sedangkan hasil olah
data dari filter SMRF yang sudah dilakukan dapat dilihat pada Tabel 3 di bawah ini.
45
Menurut (Susetyo & Perdana, 2015) uji akurasi terhadap data DTM yang dihasilkan oleh
data LIDAR dengan menentukan nilai Root Mean Square Error (RMSE).
𝑅𝑀𝑆𝐸 = √Σ(Δℎ)2 /𝑛
Dimana :
Setelah mendapatkan nilai RMSE, ditentukan pula nilai LE90 yang menandakan ukuran
ketelitian geometrik vertikal yaitu nilai jarak yang menunjukkan bahwa 90% kesalahan atau
perbedaan nilai ketinggian objek di peta dengan nilai ketinggian sebenarnya tidak lebih
daripada nilai jarak tersebut. Nilai LE90 dijadikan sebagai acuan penentuan skala yang
dapat dipenuhi untuk penggunaan penentu ketelitian vertikal dalam perka BIG No.15 Tahun
2014 yang terbagi menjadi tiga kelas, yaitu :
Sesuai Perka BIG No.15 Tahun 2014, nilai LE90 dapat ditampilkan pada Tabel 4 seperti di
bawah ini.
Dengan mendapatkan nilai LE90, maka data LIDAR hasil filtering menggunakan metode
SMRF sudah memenuhi ketelitian kelas 2, untuk peta skala 1:5.000, yaitu 1.025331,Selain
itu setelah dilakukan proses smoothing, ternyata nilai RMSE dan LE90 tidak mengalami
perbedaan yang signifikan yang dapat dilihat pada Tabel 4. Sehingga metode SMRF dapat
direkomendasikan untuk filtering data LIDAR untuk mendapatkan data DTM dari data DSM.
46
Tabel 5. Hasil Validasi DTM Setelah Dilakukan Proses Smoothing
4.4. Kesimpulan
Metode SMRF dapat digunakan untuk filtering data LIDAR untuk mendapatkan data DTM
dari data LIDAR. Statistik membuktikan, dengan metode SMRF nilai RMSE sebesar 0.621 dan
nilai LE90 menunjukkan bahwa DTM yang dihasilkan memenuhi ketelitian vertical peta skala
1: 5.000 dan masuk dalam kelas 2.
47
Kobler, A., Pfeifer, N., Ogrinc, P., Todorovski, L., Oštir, K., & Džeroski, S. (2007). Repetitive
interpolation: A robust algorithm for DTM generation from Aerial Laser Scanner Data in
forested terrain. Remote Sens. Environ, 108, 9–23.
Pingel, T. J., Clarke, K., & Mcbride, W. A. (2013). An Improved Simple Morphological Filter
for the Terrain Classification of Airborne LIDAR Data. ISPRS Journal of Photogrammetry and
Remote Sensing, 77(April 2017), 21–30. https://doi.org/10.1016/j.isprsjprs.2012.12.002
Sari, D. R. (2016). Analisa Geometrik True Orthophoto Data LIDAR. Institut Teknologi
Sepuluh Nopember.
Susetyo, D. B., & Perdana, P. (2015). Uji Ketelitian Digital Surface Model ( DSM ) sebagai
Data Dasar dalam Pembentukan Kontur Peta Rupabumi Indonesia ( RBI ), 1.
Vosselman, G. (2000). Slope based filtering of laser altimetry data. Int. Arch. Photogramm.
Remote Sens, 33, 935–942.
48
5. Penelitian Jumlah GCP Optimal untuk Foto Udara Skala Besar
5.1. Pendahuluan
Saat ini, penggunaan Ground Control Point (GCP) sebagai titik acuan dalam pemrosesan
data dasar untuk pemetaan skala besar (baik foto udara maupun citra satelit resolusi tinggi)
merupakan sebuah keharusan. Ketelitian geometrik foto udara hasil triangulasi udara
maupun orthorektifikasi citra satelit resolusi tinggi bergantung pada jumlah, ketelitian, dan
distribusi GCP yang diukur. Oleh karena itu, survei GCP merupakan tahap yang harus
dilaksanakan dengan baik dalam akuisisi foto udara maupun orthorektifikasi citra satelit
resolusi tinggi.
Meski memiliki peran yang sangat penting, ada beberapa tantangan yang harus dihadapi
ketika melaksanakan survei GCP, khususnya di Indonesia. Pertama, medan yang berat.
Tidak jarang titik yang harus diukur terletak di lokasi yang memiliki akses yang sangat sulit,
dan tidak bisa direposisi karena merupakan daerah pertampalan (overlap) antar image.
Kedua, personil yang diperlukan menjadi lebih banyak, dan sangat memerlukan surveyor
yang memahami konsep survei GCP sekaligus dapat mengoperasikan alat GNSS dengan
baik. Kedua tantangan tersebut berdampak pada tantangan yang ketiga, yaitu biaya yang
mahal. Survei yang dilakukan berhari-hari di luar kota/pulau dengan jumlah personil yang
banyak tentu memerlukan anggaran yang tidak sedikit. Tantangan berikutnya adalah tidak
semua wilayah di Indonesia terjangkau stasiun CORS (Continuously Operating Reference
Stations), yang menyebabkan diperlukannya titik referensi lokal dan pada akhirnya
diperlukan penambahan waktu dan sumber daya selama pengukuran.
Upaya meminimalisir jumlah titik kontrol terus dilakukan untuk menekan biaya survei. Salah
satu opsi yang dapat dilakukan adalah melakukan proses triangulasi udara (aerial
triangulation/ AT) dengan hanya menggunakan GPS/IMU di pesawat tanpa menggunakan
GCP, yang dalam istilah fotogrametri disebut direct georeferencing.
Direct georeferencing adalah teknik untuk menentukan parameter exterior orientation (EO)
di kamera secara real-time menggunakan integrasi sensor GPS/IMU (Tanathong & Lee,
2014). Berkembangnya aplikasi dan teknologi AT dari analitik di tahun 1970-an hingga
berkembang menjadi AT digital di akhir 1990-an (Schenk, 1997) turut berpengaruh dalam
membuat proses AT menjadi semakin lebih mudah dan akurat, termasuk metode direct
georeferencing.
Akurasi dari direct georeferencing dipengaruhi oleh beberapa faktor. Direct georeferencing
berdasarkan space intersection dipengaruhi oleh skala foto dan akurasi EO, sedangkan
akurasi direct georeferencing berdasarkan persamaan kesegarisan (collinearity equations)
hanya dipengaruhi oleh skala proyeksi, dan keduanya sama-sama tidak dipengaruhi oleh
terrain (Yuan & Zhang, 2008). Penelitian yang dibuat oleh Cramer, Stallmann, & Haala
(2001) menyimpulkan direct georeferencing dapat menghasilkan akurasi yang tinggi dan
konsisten meskipun diperlukan kalibrasi yang baik antara GPS/IMU dan kamera.
49
Di Indonesia, penggunaan metode direct georeferencing masih relatif belum populer karena
masih memerlukan pengujian lebih lanjut. Meski demikian, penelitian mengenai direct
georeferencing untuk pemotretan udara terkait pemetaan Rupabumi Indonesia (RBI) skala
besar pernah dilakukan oleh Rizaldy & Firdaus (2012), dimana pada penelitian tersebut
dihasilkan akurasi horizontal = 0,356 m dan akurasi vertikal = 0,483 m dan dapat digunakan
untuk pemetaan skala 1:2.500. Hal ini tentunya menjadi sinyal positif untuk menggunakan
metode direct georeferencing di masa depan, terutama karena teknologi kameran dan GNSS
semakin berkembang, sehingga dapat semakin meminimalisir biaya untuk keperluan survei
lapangan.
Penelitian ini merupakan salah satu tambahan dalam memperkaya referensi mengenai direct
georeferencing untuk pemetaan RBI skala besar di Indonesia, sehingga dapat menjadi salah
satu sumber acuan ketika nantinya metode ini akan resmi digunakan. Data yang digunakan
adalah foto udara wilayah Palu yang diakuisisi pada tahun 2013, yang difokuskan pada
wilayah perkotaan. Foto udara tersebut kemudian dilakukan AT tanpa menggunakan GCP
sampai statistik perataan masuk dalam toleransi yang ditetapkan. Setelah itu, dilakukan uji
akurasi menggunakan 8 ICP (Independent Check Point), dan jika terdapat ICP yang
tercakup dalam dua model stereo yang berbeda, maka dilakukan pengukuran nilai X, Y, Z di
kedua model tersebut. Selain itu, dilakukan pula pengukuran nilai X, Y, Z pada beberapa
lokasi lain yang tercakup dalam dua model, dimana objek-objek yang dipilih adalah objek-
objek yang tegas dan mudah diinterpretasi di foto seperti siku lapangan, marka jalan, atau
bangunan. Titik sampel yang diukur sejumlah 15 titik, dan digunakan untuk menguji
konsistensi hasil pemrosesan AT menggunakan metode direct georeferencing.
50
Gambar 1. Lokasi penelitian (GCP 2013) Gambar 6. Data foto udara Palu
3. Koordinat ICP
Data GPS yang digunakan dalam penelitian ini hanya digunakan sebagai ICP, dan tidak
digunakan sama sekali sebagai GCP. Secara spesifikasi pengukuran, GCP dan ICP tidak
memiliki perbedaan. Akurasi horizontal yang disyaratkan adalah ≤ 20 cm, sedangkan
akurasi vertikal adalah ≤ 15 cm. Jumlah ICP yang digunakan sebanyak 8 titik. Titik ICP
dapat berupa premark (Gambar 3) maupun TTG (Titik Tinggi Geodesi) (Gambar 4).
51
Tabel 6. Objek pengukuran di model stereo
DESKRIPSI TITIK MODEL
Pojok lapangan tenis, sisi luar garis 190032_190033 190033_190034
Siku marka jalan, sisi dalam 200029_200030 200030_200031
Pojok objek, sisi dalam (tinggi objek + 2 m) 200038_200039 200039_200040
Pojok atap (tinggi bangunan + 2 m) 180054_180055 180055_180056
Pojok pagar, sisi luar 190039_190040 190040_190041
Pojok pagar, sisi dalam 200026_200027 200027_200028
Siku atap tertinggi masjid (tinggi + 8 m) 200026_200027 200027_200028
Pojok bangunan, sisi dalam (tinggi 1-2 m) 200032_200033 200033_200034
Pojok atap (tinggi bangunan + 5 m) 200039_200040 200040_200041
Siku lapangan basket (dibatasi garis sisi dalam) 200032_200033 200033_200034
Pojok Kerangka Bangunan, sisi luar (di ground) 200039_200040 200040_200041
Pojok Kerangka Bangunan, sisi luar atas (+ 4 m) 200039_200040 200040_200041
Siku pagar, sisi luar 200028_200029 200029_200030
Pojok bangunan (tinggi bangunan + 8 m) 200028_200029 200029_200030
Siku ujung selokan 200029_200030 200030_200031
a b
c d
Gambar 7. Contoh objek pengukuran di model stereo: (a) pojok lapangan tenis, (b) siku
marka jalan, (c) pojok pagar, (d) siku ujung selokan
52
Tabel 7. Spesifikasi kamera Leica RCD30 (Lumbantobing, Wikantika, & Harto, 2017)
Sensor Tipe Panjang Band Ukuran Ukuran Sudut Sudut GSD
Sensor Fokus CCD Piksel Across Long
8956
Kamera Exposure 53 mm RGB, 6 μm 56 44 16 cm
x
RCD30 Frame NIR
6708
piksel
Tabel 8. Parameter kontrol kualitas statistik hasil AT (Badan Informasi Geospasial, 2013)
Sigma naught < ukuran piksel (mikron)
RMSE titik minor < 0,5 x ukuran piksel (mikron)
Nilai residual maksimal titik minor < 1,5 x ukuran piksel (mikron)
RMSE titik kontrol < 0,5 meter
Nilai residual maksimal titik kontrol < 1 meter
Hasil statistik perataan AT lainnya disajikan pada Tabel 4. Residu titik kontrol maksimal
nilainya adalah 0,000 m karena tidak digunakan titik kontrol (GCP). RMSE titik minor untuk x
dan y masing-masing adalah 1,634 mikron dan 1,642 mikron, yang berarti berada di bawah
0,5 x ukuran piksel (3 mikron). Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan direct
georeferencing dapat memenuhi spesifikasi terkait orientasi relatifnya.
53
Tabel 9. Hasil statistik perataan AT
x y z
rms image points 1.634 [micron] 1.642 [micron]
rms control in image 2.944 [micron] 2.677 [micron]
max res. control 0.000 [m] 0.000 [m] 0.000 [m]
rms check points 1.032 [m] 0.724 [m] 2.868 [m]
max res. check -1.455 [m] -1.067 [m] -3.851 [m]
Aspek berikutnya yang perlu dianalisis adalah orientasi absolutnya. Orientasi absolut
didapatkan dengan membandingkan nilai koordinat ICP hasil pengukuran GPS Geodetik dan
pengamatan di model stereo. Hasil uji akurasi tersebut adalah 1,9 m untuk ketelitian
horizontal (CE90) dan 3,6 m untuk ketelitian vertikal (LE90), dimana ICP yang tercakup
dalam dua model stereo dilakukan pengamatan pada kedua model stereo tersebut.
Berdasarkan SNI Ketelitian Peta Dasar, maka ketelitian horizontal tersebut masuk pada skala
1:5.000 kelas 3 atau skala 1:10.000 kelas 1, dan ketelitian vertikal masuk pada skala
1:10.000 kelas 3 atau skala 1:25.000 kelas 1. Hasil uji akurasi secara detail disajikan pada
Tabel 5.
Hasil ini berbeda dengan Rizaldy & Firdaus (2012), dimana direct georeferencing yang
dilakukan menghasilkan akurasi horizontal = 0,356 m dan akurasi vertikal = 0,483 m dan
dapat digunakan untuk pemetaan skala 1:2.500. Kamera yang digunakan dalam penelitian
54
itu adalah kamera digital format besar Ultracam X dari Vexcel. Oleh karena itu, masih ada
kemungkinan metode direct georeferencing menghasilkan ketelitian yang lebih baik.
Terakhir, aspek yang dianalisis dalam penelitian ini adalah konsistensi antar model stereo.
Analisis ini bertujuan untuk mengetahui apakah direct georeferencing mempengaruhi nilai
koordinat X, Y, Z di setiap model stereo yang saling bertampalan. Untuk itu, dipilih 15 objek
yang tercakup dalam dua model stereo, seperti disajikan pada Tabel 2. Titik-titik tersebut
kemudian diukur pada setiap model stereo untuk kemudian dibandingkan selisihnya. Hasil
pengukuran pada setiap model disajikan pada Tabel 6.
Tabel 11. Hasil perbandingan antar model stereo di seluruh titik uji
KOORDINAT
DESKRIPSI TITIK MODEL
X Y Z ∆X ∆Y ∆Z
190032_190033 811635.282 9912575.339 18.899
Pojok lapangan tenis, sisi luar garis 0.385 -0.195 -0.693
190033_190034 811634.897 9912575.534 19.592
Pojok objek, sisi dalam (tinggi objek + 2 200038_200039 813676.72 9906694.109 4.307
0.14 -0.102 -0.265
m) 200039_200040 813676.58 9906694.211 4.572
Pojok bangunan, sisi dalam (tinggi 1-2 200032_200033 812808.645 9909368.007 15.235
-0.092 -0.067 -0.077
m) 200033_200034 812808.737 9909368.074 15.312
55
Tabel 6 menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan di setiap model stereo, dan hampir
semuanya berada di bawah 1 m. Bahkan secara rata-rata, perbedaan koordinat dan elevasi
pada setiap model stereo berada di bawah 0,5 m, dimana rata-rata ΔX = 0,1173 m, ΔY =
0,2167 m, dan ΔZ = 0,2793 m. Artinya, meski penggunan metode direct georeferencing
dapat mengurangi akurasi absolut, namun hal tersebut tidak berpengaruh terhadap
konsistensi antar model stereonya.
5.4. Kesimpulan
Penelitian ini merupakan salah satu tambahan dalam memperkaya referensi mengenai direct
georeferencing untuk pemetaan RBI skala besar di Indonesia, sehingga dapat menjadi salah
satu sumber acuan ketika nantinya metode ini akan resmi digunakan. Data yang digunakan
adalah foto udara wilayah Palu yang diakuisisi pada tahun 2013, yang difokuskan pada
wilayah perkotaan.
Hasil yang dianalisis dalam penelitian ini terdiri dari dua aspek: orientasi relatif dan orientasi
absolut. Orientasi relatif didapatkan dari hasil statistik perataan AT berupa sigma naught
dan residu antar tie point, sedangkan orientasi absolut didapatkan dengan dengan
membandingkan nilai Independent Check Point (ICP) yang diukur menggunakan GPS
Geodetik dengan nilai titik yang sama pada model stereo di foto yang sudah dilakukan AT.
Hasil statistik perataan AT menunjukkan nilai sigma naught = 2,7 mikron. Artinya, direct
georeferencing masih memungkinkan untuk mendapatkan hasil statistik perataan yang
bagus.
Hasil uji akurasi tersebut adalah 1,9 m untuk ketelitian horizontal (CE90) dan 3,6 m untuk
ketelitian vertikal (LE90), dimana ICP yang tercakup dalam dua model stereo dilakukan
pengamatan pada kedua model stereo tersebut. Berdasarkan SNI Ketelitian Peta Dasar,
maka ketelitian horizontal tersebut masuk pada skala 1:5.000 kelas 3 atau skala 1:10.000
kelas 1, dan ketelitian vertikal masuk di skala 1:10.000 kelas 3 atau skala 1:25.000 kelas 1.
Terakhir, tidak ada perbedaan signifikan di setiap model stereo, dan hampir semuanya
berada di bawah 1 m. Bahkan secara rata-rata, perbedaan koordinat dan elevasi pada setiap
model stereo berada di bawah 0,5 m, dimana rata-rata ΔX = 0,1173 m, ΔY = 0,2167 m, dan
ΔZ = 0,2793 m. Artinya, meski penggunan metode direct georeferencing dapat mengurangi
akurasi absolut, namun hal tersebut tidak berpengaruh terhadap konsistensi antar model
stereonya.
56
6. Lumbantobing, M., Wikantika, K., & Harto, A. B. (2017). Peningkatan Akurasi
Interpretasi Foto Udara Menggunakan Metode Pembobotan Berbasis Objek untuk
Pembuatan Peta Skala 1 : 5000. Reka Geomatika, 2017(1), 1–11.
7. Rizaldy, A., & Firdaus, W. (2012). Direct georeferencing: a New Standard in
Photogrammetry for High Accuracy Mapping. ISPRS - International Archives of the
Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, 39(September), 5–
9. https://doi.org/10.5194/isprsarchives-XXXIX-B1-5-2012
8. Schenk, T. (1997). Towards Automatic Aerial Triangulation. ISPRS Journal of
Photogrammetry and Remote Sensing, 52(3), 110–121. https://doi.org/10.1016/S0924-
2716(97)00007-5
9. Susetyo, D. B., & Gularso, H. (2017). Perbandingan Nilai Koordinat dan Elevasi Antar
Model Stereo pada Foto Udara Hasil Triangulasi Udara. In Seminar Nasional Geomatika
(pp. 1–10). Cibinong.
10. Tanathong, S., & Lee, I. (2014). Using GPS/INS Data to Enhance Image Matching for
Real-time Aerial Triangulation. Computers and Geosciences, 72, 244–254.
https://doi.org/10.1016/j.cageo.2014.08.003
11. Wagner, R. (2011). The Leica RCD30 Medium Format Camera: Imaging Revolution.
Photogrammetric Week 2011, 89–95. Retrieved from http://www.ifp.uni-
stuttgart.de/publications/phowo11/095Wagner.pdf
12. Yuan, X., & Zhang, X. (2008). Theoretical accuracy of direct georeferencing with position
and orientation system in aerial photogrammetry. The International Archives of the
Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, 37, 617–622.
57