Anda di halaman 1dari 89

SELESMA

K.H Yangtjik​,​ Fifi Sofiah, Azwar Aruf

Pengertian/Definisi
Rinitis atau dikenal juga sebagai ​Common cold​, ​Coryza, ​Cold atau selesma adalah
salah satu dari penyakit IRA-atas tersering pada anak. Anak-anak lebih sering mengalami
rinitis daripada dewasa.

Anamnesis
Perlu ditanyakan mengenai kharakteristik rinorea, unilateral atau bilateral, dan apakah
pasien memiliki riwayat alergi. Kebiasaan merokok pada orang tua juga penting ditanyakan,
karena asap rokok yang terhirup dapat memperberat gejala rinitis. Selain itu, perjalanan
penyakit juga perlu ditanyakan untuk melihat apakah telah terjadi komplikasi pada pasien.
Nyeri tenggorok kadang-kadang sulit dibedakan dengan gejala pada faringitis karena
Streptokokus. Akan tetapi, hidung buntu dan ​nasal discharge yang merupakan gejala utama
rinitis​ tidak dijumpai pada faringitis karena Streptokokus.

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisis tidak menunjukkan tanda yang khas, tetapi dapat dijumpai edema
dan eritema mukosa hidung serta limfadenopati servikalis anterior. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa efek ​rinitis tidak terbatas hanya di kavum nasalis, tetapi dapat juga
terjadi di sinus paranasalis. Pada pemeriksaan fisis, warna sekret hidung tidak dapat
membedakan penyebab dari penyakit, misalnya saja mukosa hidung pasien dengan rinitis
alergi biasanya edema, tetapi tidak selalu berwarna pucat. Beberapa gambaran klinis yang
perlu dicari adalah keterlibatan otitis media, nyeri pada wajah atau sinus, pembesaran
kelenjar servikal, tanda-tanda gangguan pernapasan (sesak, takipnea, ​wheezing​, ronki,
retraksi), juga tanda atopik. Pada setiap anak dengan batuk-pilek selalu harus ditentukan
apakah ada peningkatan laju pernapasan dan tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam.
Kedua tanda ini penting untuk deteksi dini pneumonia.

Diagnosis
Selesma (J30)

Diagnosis Banding
● Rinitis alergi
● Rinitis infeksi
● Rinitis vasomotor

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan ​CT-scan dan foto polos sinus yang dibuat pada awal perjalanan penyakit
pada orang dewasa dengan ​rinitis tanpa komplikasi, menunjukkan adanya kelainan
bermakna pada sinus yang sembuh spontan tanpa pemberian antibiotik. Hal ini

1
menunjukkan bahwa kelainan sinus selama ​rinitis tidak selalu terjadi akibat infeksi sekunder
oleh bakteri, tetapi dapat merupakan bagian dari perjalanan penyakit yang normal.
Ditemukannya virus penyebab ​rinitis merupakan baku emas penegakan diagnosis​,
tetapi hal ini tidak direkomendasikan pada tatalaksana pasien sehari-hari. Metode
identifikasi virus yang dapat dilakukan meliputi kultur virus, deteksi antigen, dan ​polymerase
chain reaction (PCR). Meskipun sensitivitas dan spesifisitas masih diragukan, saat ini telah
tersedia berbagai uji deteksi antigen untuk mendeteksi virus Influenza, virus Parainfluenza,
RSV, dan ​Adenovirus,​ tetapi tidak dapat digunakan untuk mendeteksi ​Rhinovirus karena
jumlah serotipenya yang sangat banyak.

Terapi
Nonmedikamentosa
Apabila gejala klinis pada anak tidak terlalu berat, dianjurkan untuk tidak
menggunakan medikamentosa/obat-obatan. Terdapat beberapa usaha untuk mengatasi
hidung tersumbat, misalnya pada anak yang lebih besar dianjurkan untuk melakukan elevasi
kepala saat tidur. Pada bayi dan anak direkomendasikan untuk memberikan terapi suportif
cairan yang adekuat, karena pemberian minum dapat mengurangi gejala nyeri atau gatal
pada tenggorokan.

Medikamentosa
Apabila gejala yang ditimbulkan terlalu mengganggu, maka dianjurkan untuk
memberikan obat untuk mengurangi gejala. Gejala yang membuat anak tidak nyaman
biasanya adalah demam, malaise, rinorea, hidung tersumbat, dan batuk persisten.
Obat-obat simtomatis merupakan obat yang paling sering diberikan, terutama ditujukan
untuk menghilangkan gejala yang paling mengganggu. Pada bayi dan anak, terapi
simtomatis yang direkomendasikan adalah asetaminofen (atau ibuprofen untuk anak berusia
lebih dari enam bulan) untuk menghilangkan demam yang mungkin terjadi pada hari-hari
pertama.
Pemberian tetes hidung salin yang diikuti dengan hisap lendir dapat mengurangi
sekret hidung pada bayi. Pada anak yang lebih besar dapat diberikan semprot hidung salin.
Dekongestan topikal tidak dianjurkan untuk diberikan pada anak yang lebih kecil, karena
penggunaan berlebihan dapat menyebabkan ​rebound phenomenon dan memperlama gejala
yang dirasakan. Penggunaan pada anak yang lebih besar dianjurkan satu kali sehari saat
malam sebelum tidur, maksimal selama tiga hari. Tetes hidung salin dapat digunakan; selain
dapat mengatasi sumbatan hidung, pada bayi dan anak dapat bermanfaat untuk
mengencerkan sekret di hidung dan menginduksi bersin.
Antihistamin, dekongestan, antitusif, dan ekspektoran, baik sebagai obat tunggal
maupun kombinasi, saat ini banyak dipasarkan untuk terapi simtomatis pada anak.
Meskipun demikian, beberapa uji klinis pada bayi dan anak menunjukkan bahwa obat-obat
tersebut tidak bermanfaat. Anak-anak dengan penyakit saluran respiratori reaktif atau asma
harus diberikan obat β-agonis untuk menghilangkan gejala yang berhubungan dengan
bronkospasme.
Hingga saat ini terdapat pemberian antibiotik pada anak dengan rinitis dengan
berbagai alasan, di antaranya adalah sekret hidung mukopurulen (kental dan tidak jernih
atau berwarna) dan lama sakit yang telah melebihi satu minggu. Kedua hal tersebut bukan
alasan yang tepat dalam pemberian antibiotik. Pengentalan sekret hidung terjadi secara

2
normal pada lebih kurang hari ke-3 setelah awitan akibat deskuamasi sel epitel, peningkatan
sel PMN, dan jumlah bakteri yang merupakan koloni normal.
Faktor yang dipertimbangkan untuk pemberian antibiotik pada rinitis adalah apabila
penyakit berlangsung selama lebih dari 10–14 hari tanpa ada perbaikan, karena pada
rinitis, gejala tertentu seperti sekret hidung masih dapat berlangsung hingga 14 hari.
Pemberian antibiotik tidak mempersingkat durasi sakit dan tidak mencegah timbulnya
komplikasi.
Antivirus dikatakan efektif untuk influenza, tetapi tidak efektif untuk mengatasi
IRA-atas lainnya seperti rinitis. Akan tetapi, sulit untuk membedakan antara rinitis dengan flu
akibat virus Influenza. Hingga saat ini, prediktor yang digunakan adalah adanya demam
tinggi dengan awitan mendadak, batuk, serta gejala-gejala rinitis lainnya.
Antivirus yang digunakan berupa amantadin, oseltamivir, dan zanamivir. Penggunaan
rimantadin dianjurkan untuk dihentikan karena risiko resistensi. Penggunaan antivirus di
Indonesia masih tidak umum, kemungkinan karena biayanya yang relatif tidak murah bila
dibandingkan dengan efek yang ditimbulkan, yaitu hanya mengurangi durasi penyakit
selama lebih kurang 24 jam. Selain itu, juga karena pertimbangan bahwa antivirus hanya
efektif bila digunakan selama 36 jam pertama flu.

Edukasi
Cara terbaik untuk mencegah terjadinya penularan adalah dengan mencuci tangan,
khususnya setelah kontak dengan sekret penderita baik secara langusng maupun tidak
langsung. Pemberian imunisasi Influenza setahun sekali dapat mencegah infeksi Influenza
dan komplikasinya.

Prognosis
● Ad vitam : dubia ad bonam
● Ad sanationam : dubia ad bonam
● Ad fungsionam : dubia ad bonam

Kepustakaan
1. Naning R, Triasih R, Setyati A. Rinitis. Dalam Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto
DB. Buku Ajar Respirologi Anak Edisi Pertama cetakan ke-empat. Badan Penerbit
IDAI. 2015;278-287.
2. Asher MI, Grant CC. Infections of the upper respiratory tract. Dalam; Taussig LM,
Landau LI. Souef PTNL, Morgan WJ, Martinez FD, Sly PD. Pediatric Respiratory
Medicine. Philadelphia; Elseviers: 2008. p.453-480
3. Herendeen EN, Szilagy GP. Infection of the upper respiratory tract. Dalam: Kliegman
MR, Behrman ER, Jenson HB, Stanton BF. Nelson Textbook of pediatrics. Edisi
ke-18. Philadelphia: WB elsevier; 2007. h. 1747-49.
4. Eccles R. Understanding the symptoms of the common cold and influenza. Lancet
Infect Dis. 2005;5:718-25.
5. Paul IM, Yoder KE, Crowell KR, Shaffer ML, McMillan HS, Carlson LC, dkk. Effect of
Dextromethorphan, Diphenhydramine, and placebo on nocturnal cough and sleep
quality for coughing children and their parents. Pediatrics. 2004;114:85-90.

3
6. Esper F, Boucher D, Weibel C, Martinello RA, Kahn JS. Human metapneumovirus
infection in the United States: clinical manifestions associated with a newly emerging
respiratory infection in children. Pediatrics. 2003;111:1407-10.
7. Heikkinen TAJ. The common cold. Lancet. 2003;361:51-9.
8. Papsin B, McTavish A. Saline nasal irrigation: its role as an adjuct treatment. Can Fam
Physician. 2003;49:168-73.
9. Boivin G, Abed Y, Pelletier G, Ruel L, Moisan D, Co’te S, dkk. Virological features and
clinical manifestations associated with human metapneumovirus: a new
paramyxovirus responsible for acute respiratory-tract infections in all age groups. J
Infect Dis. 2002;186:1330-4.
10. Winther B, Hayden FG, Arruda E, Dutkowski R, Ward P, Hendley JO. Viral respiratory
infection in school children: effects on middle ear pressure. Pediatrics.
2002;109:862-32.
11. Gonzales R, Malone DC, Maselli JH, Sande MA. Excessive antibiotic use for acute
Winther B, Arruda E, Witek TJ, Marlin SD, Tsianco MM, DJ I, dkk. Expression of
ICAM-1 in nasal epithelium and levels of soluble ICAM-1 in nasal lavage fluid during
human experimental rhinovirus infection. Arch Otolaryngol Head Neck Surg.
2002;128:131-6.
12. Respiratory infection in the United State. Clin Infect Dis. 2001;33:757-62.

4
Rinotonsilofaringitis
K.H Yangtjik, Fifi Sofiah, Azwar Aruf
Pengertian/Definisi
Istilah faringitis akut digunakan untuk menunjukkan semua infeksi akut pada faring,
termasuk tonsilitis (tonsilofaringitis) yang berlangsung hingga 14 hari. ​Faringitis
merupakan peradangan akut membran mukosa faring dan struktur lain di sekitarnya.
Karena letaknya yang sangat dekat dengan hidung dan tonsil, jarang terjadi hanya
infeksi lokal faring atau tonsil. Oleh karena itu, pengertian faringitis secara luas
mencakup tonsilitis, nasofaringitis, dan tonsilofaringitis.

Anamnesis
Gejala faringitis yang khas akibat bakteri Streptokokus berupa nyeri tenggorokan
dengan awitan mendadak, disfagia, dan demam. Urutan gejala yang biasanya
dikeluhkan oleh anak berusia di atas 2 tahun adalah nyeri kepala, nyeri perut, dan
muntah. Selain itu juga didapatkan demam yang dapat mencapai suhu 40°C, beberapa
jam kemudian terdapat nyeri tenggorok. Gejala seperti rinorea, suara serak, batuk,
konjungtivitis, dan diare biasanya disebabkan oleh virus. Kontak dengan penderita rinitis
juga dapat ditemukan pada anamnesis.

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisis, tidak semua pasien tonsilofaringitis akut Streptokokus
menunjukkan tanda infeksi Streptokokus, yaitu eritema pada tonsil dan faring yang
disertai dengan pembesaran tonsil.
Faringitis streptokokus sangat mungkin jika dijumpai gejala dan tanda berikut:
- awitan akut, disertai mual dan muntah
- faring hiperemis
- demam
- nyeri tenggorokan
- tonsil bengkak dengan eksudasi
- kelenjar getah bening leher anterior bengkak dan nyeri
- uvula bengkak dan merah
- ekskoriasi hidung disertai lesi impetigo sekunder
- ruam skarlatina

5
- petekie palatum mole.

kemungkinan besar bukan faringitis streptokokus:


- usia di bawah 3 tahun
- awitan bertahap
- kelainan melibatkan beberapa mukosa
- konjuntivitis, diare, batuk, pilek, suara serak
- mengi, ronki di paru
- eksantem ulseratif.
Tanda khas faringitis difteri adalah membran asimetris, mudah berdarah, dan
berwarna kelabu pada faring. Membran tersebut dapat meluas dari batas anterior tonsil
hingga ke palatum mole dan/atau ke uvula.
Pada faringitis akibat virus, dapat juga ditemukan ulkus di palatum mole dan dinding
faring serta eksudat di palatum dan tonsil, tetapi sulit dibedakan dengan eksudat pada
faringitis Streptokokus. Gejala yang timbul dapat menghilang dalam 24 jam, berlangsung
4-10 hari (​self limiting disease)​ , jarang menimbulkan komplikasi, dan memiliki prognosis
yang baik.

Diagnosis
Rhinotonsilofaringitis (J03.9)

Diagnosis Banding
Faringitis Streptokokus
Faringitis virus

Pemeriksaan Penunjang
Sulit untuk membedakan antara faringitis Streptokokus dan faringitis virus hanya
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis. Baku emas penegakan diagnosis
faringitis bakteri atau virus adalah melalui pemeriksaan kultur dari apusan tenggorok.
Apusan tenggorok yang adekuat pada area tonsil diperlukan untuk menegakkan adanya
S. pyogenes.​ Untuk memaksimalisasikan akurasi, maka diambil apusan dari dinding
faring posterior dan regio tonsil, lalu diinokulasikan pada media agar darah domba 5%
dan piringan basitrasin diaplikasikan, kemudian ditunggu selama 24 jam.
Pada saat ini terdapat metode yang cepat untuk mendeteksi antigen Streptokokus
grup A (​rapid antigen detection test)​ . Metode uji cepat ini mempunyai sensitivitas dan
spesifisitas yang cukup tinggi (sekitar 90% dan 95%) dan hasilnya dapat diketahui dalam
10 menit, sehingga metode ini setidaknya dapat digunakan sebagai pengganti
pemeriksaan kultur. Secara umum, bila uji tersebut negatif, maka apusan tenggorok
seharusnya dikultur pada dua cawan agar darah untuk mendapatkan hasil yang terbaik
untuk ​S. pyogenes. Pemeriksaan kultur dapat membantu mengurangi pemberian
antibiotik yang tidak perlu pada pasien faringitis.

Terapi
● Pemberian antibiotik tidak diperlukan pada faringitis virus, karena tidak akan
mempercepat waktu penyembuhan atau mengurangi derajat keparahan.

6
● Istirahat cukup dan pemberian cairan yang sesuai merupakan terapi suportif yang
dapat diberikan.
● pemberian ​gargles ​(obat kumur) dan lozenges (​ obat hisap), pada anak yang cukup
besar dapat meringankan keluhan nyeri tenggorok.
● Apabila terdapat nyeri yang berlebih atau demam, dapat diberikan parasetamol atau
ibuprofen. Pemberian aspirin tidak dianjurkan, terutama pada infeksi Influenza,
karena insidens sindrom Reye kerap terjadi.
● Pemberian antibiotik pada faringitis harus berdasarkan pada gejala klinis dan hasil
kultur positif pada pemeriksaan usapan tenggorok. Antibiotik pilihan pada terapi
faringitis akut Streptokokus grup A adalah Penisilin V oral 15-30 mg/kgBB/hari
dibagi 3 dosis selama 10 hari atau benzatin penisilin G IM dosis tunggal dengan
dosis 600.000 IU (BB<30 kg) dan 1.200.000 IU (BB>30 kg). Amoksisilin dapat
digunakan sebagai pengganti penisilin pada anak yang lebih kecil, karena selain
efeknya sama, amoksisilin juga memiliki rasa yang lebih enak. Amoksisilin dengan
dosis 50 mg/kgBB/hari dibagi 2 selama 6 hari, efektivitasnya sama dengan Penisilin
V oral selama 10 hari. Untuk anak yang alergi penisilin dapat diberikan eritromisin
etil suksinat 40 mg/kgBB/hari, eritromisin estolat 20-40 mg/kgBB/hari, dengan
pemberian 2, 3, atau 4 kali per hari selama 10 hari; atau dapat juga diberikan
makrolid baru misalnya azitromisin dengan dosis tunggal 10 mg/kgBB/hari, selama
3 hari berturut-turut. Antibiotik golongan sefalosporin generasi I dan II dapat juga
memberikan efek yang sama, tetapi pemakaiannya tidak dianjurkan, karena selain
mahal risiko resistensinya juga lebih besar.
● Pembedahan elektif adenoid dan tonsil telah digunakan secara luas untuk
mengurangi frekuensi tonsilitis rekuren. Keputusan untuk tonsilektomi harus
didasarkan pada gejala dan tanda yang terkait secara langsung terhadap hipertrofi,
obstruksi, dan infeksi kronis pada tonsil dan struktur terkait. Ukuran tonsil anak
relatif lebih besar daripada dewasa. Infeksi tidak selalu menyebabkan hipertrofi
tonsil, dan tonsil yang terinfeksi kronis mungkin ukurannya tidak membesar.
Tonsilektomi sedapat mungkin dihindari pada anak berusia di bawah 3 tahun. Bila
ada infeksi aktif, tonsilektomi harus ditunda hingga 2−3 minggu.
● Indikasi tonsiloadenoidektomi yang lain adalah bila terjadi ​obstructive sleep apnea
akibat pembesaran adenotonsil.

Tindak Lanjut
Kegagalan terapi adalah terdapatnya Streptokokus persisten setelah terapi selesai.
Hal ini terjadi pada 5−20% populasi, dan lebih banyak pada populasi dengan
pengobatan penisilin oral dibandingkan dengan suntik. Penyebabnya dapat karena
komplians yang kurang, infeksi ulang, atau adanya flora normal yang memproduksi
β-laktamase. Kultur ulang apusan tenggorok hanya dilakukan pada keadaan dengan
risiko tinggi, misalnya pada pasien dengan riwayat demam reumatik atau infeksi
Streptokokus yang berulang.
Apabila hasil kultur kembali positif, beberapa kepustakaan menyarankan terapi
kedua, dengan pilihan obat oral klindamisin 20–30 mg/kgBB/hari selama 10 hari;
amoksisilin-klavulanat 40 mg/kgBB/hari terbagi menjadi 3 dosis selama 10 hari; atau
injeksi Benzathine penicillin G intramuskular, dosis tunggal 600.000 IU (BB <30kg) atau

7
1.200.000 IU (BB >30 kg). Akan tetapi, bila setelah terapi kedua kultur tetap positif,
kemungkinan pasien merupakan pasien karier, yang memiliki risiko ringan terkena
demam reumatik. Golongan tersebut tidak memerlukan terapi tambahan.

Prognosis
● Ad vitam : dubia ad bonam
● Ad sanationam : dubia ad bonam
● Ad fungsionam : dubia ad bonam

Kepustakaan
1. Naning R, Triasih R, Setyati A. Rinitis, Faringitis, Tonsilitis, Tonsilofaringitis Akut.
Dalam Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB. Buku Ajar Respirologi Anak Edisi
Pertama cetakan ke-empat. Badan Penerbit IDAI. 2015;288-295.
2. Asher MI, Grant CC. Infections of the upper respiratory tract. Dalam; Taussig LM,
Landau LI. Souef PTNL, Morgan WJ, Martinez FD, Sly PD. Pediatric Respiratory
Medicine. Philadelphia; Elseviers: 2008. p.453-480
3. Vincent TM, Celestin N, Hussain NA. Pharyngitis. American Family Physician.
2004;69(6). Diakses pada 8 Juni 2006. Diunduh dari:
http://www.aafp.org/afp/20040315/1465.html​.
4. Rimoin WA, Hamza SH, Vince A, dkk. Evaluation of the WHO clinical decision rule for
streptococcal pharyngitis.​ ​Arch Dis Child. 2005;90:1066−70.
5. Morozumi M, Nakayama E, Iwata S. Acute pharyngitis. N Engl J Med.
2001;344:205−11.
6. Herendeen EN, Szilagy GP. Infection of the upper respiratory tract. Dalam: Behrman
ER, Kliegman MR, Jenson HB, penyunting. Edisi ke-16. Nelson textbook of
pediatrics. Philadelphia: WB Saunders; 2000. h. 1264−5.

8
Laringotrakeitis
K.H Yangtjik, Fifi Sofiah, Azwar Aruf

Pengertian/Definisi
Laringotrakeitis atau Sindrom ​croup,​ adalah sindrom klinis yang ditandai dengan
suara serak, batuk menggonggong, stridor inspirasi, dengan atau tanpa adanya stres
pernapasan. Penyakit ini sering terjadi pada anak.
Istilah lain untuk ​croup ini adalah laringitis akut yang menunjukkan lokasi inflamasi,
yang jika meluas sampai trakea disebut laringotrakeitis, dan jika sampai ke bronkus
digunakan istilah laringotrakeobronkitis.

9
Anamnesis
Manifestasi klinis biasanya didahului dengan demam yang tidak begitu tinggi
selama 12−72 jam, hidung berair, nyeri menelan, dan batuk ringan. Kondisi ini akan
berkembang menjadi batuk nyaring, suara menjadi parau dan kasar. Gejala sistemik
yang menyertai seperti demam, malaise. Bila keadaan berat dapat terjadi sesak
napas, stridor inspiratorik yang berat, retraksi, dan anak tampak gelisah, dan akan
bertambah berat pada malam hari. ​Gejala puncak terjadi pada 24 jam pertama hingga
48 jam. Biasanya perbaikan akan tampak dalam waktu satu minggu. Anak akan sering
menangis, rewel, dan akan merasa nyaman jika duduk di tempat tidur atau digendong.

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisis ditemukan suara serak, hidung berair, peradangan faring,
dan frekuensi napas yang sedikit meningkat. Kondisi pasien bervariasi sesuai dengan
derajat stres pernapasan yang diderita.
Pemeriksaan langsung area laring pada pasien ​croup t​ idak terlalu diperlukan.
Akan tetapi, bila diduga terdapat epiglotitis (serangan akut, gawat napas/​respiratory
distress,​ disfagia, ​drooling​), maka pemeriksaan tersebut sangat diperlukan.

Diagnosis
Laringotrakeitis (J04.2)

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium dan radiologis tidak
perlu dilakukan karena diagnosis biasanya dapat ditegakkan hanya dengan
anamnesis, gejala klinis, dan pemeriksaan fisis. Bila ditemukan peningkatan leukosit
>20.000/mm​3 yang didominasi oleh PMN, kemungkinan telah terjadi superinfeksi,
misalnya epiglotitis.

Terapi
● Tatalaksana utama bagi pasien ​croup ​adalah mengatasi obstruksi jalan napas.
● Nebulisasi epinefrin sebaiknya juga diberikan kepada anak dengan sindrom
croup s​ edang—berat yang disertai dengan stridor saat istirahat dan
membutuhkan intubasi, serta pada anak dengan retraksi dan stridor yang tidak
mengalami perbaikan setelah diberikan terapi uap dingin.
● Kortikosteroid mengurangi edema pada mukosa laring melalui mekanisme
antiradang. Uji klinik menunjukkan adanya perbaikan pada pasien laringotrakeitis
ringan–sedang yang diobati dengan steroid oral atau parenteral dibandingkan
dengan plasebo.
● Pemberian antibiotik tidak diperlukan pada pasien sindrom ​croup​, kecuali pasien
dengan laringotrakeobronkitis atau laringotrakeopneumonitis yang disertai infeksi
bakteri. Pasien diberikan terapi empiris sambil menunggu hasil kultur. Terapi awal
dapat menggunakan sefalosporin generasi ke-2 atau ke-3.
● Pemberian sedatif dan dekongestan oral tidak dianjurkan pada pasien sindrom
croup.​

10
Tindak Lanjut
Sebagian besar pasien ​croup ​tidak perlu dirawat di RS, melainkan cukup dirawat
di rumah. Pasien dirawat di RS bila dijumpai salah satu dari gejala-gejala berikut: anak
berusia di bawah 6 bulan, terdengar stridor progresif, stridor terdengar ketika sedang
beristirahat, terdapat gejala gawat napas, hipoksemia, gelisah, sianosis, gangguan
kesadaran, demam tinggi, anak tampak toksik, dan tidak ada respons terhadap terapi.
Komplikasi
Pada 15% kasus dilaporkan terjadi komplikasi, misalnya otitis media, dehidrasi,
dan pneumonia (jarang terjadi). ​Sebagian kecil pasien memerlukan tindakan intubasi.
Gagal jantung dan gagal napas dapat terjadi pada pasien yang perawatan dan
pengobatannya tidak adekuat.

Prognosis
Sifat penyakit ini adalah ​self-limited​, tetapi kadang-kadang cenderung menjadi
berat bahkan fatal.

Kepustakaan
1 Yangtjik K, Dadiyanto DW. Croup (Laringotrakeobronkitis Akut). Dalam Rahajoe NN,
Supriyatno B, Setyanto DB. Buku Ajar Respirologi Anak Edisi Pertama cetakan
ke-empat. Badan Penerbit IDAI. 2015;320-329.
2 Asher MI, Grant CC. Infections of the upper respiratory tract. Dalam; Taussig LM,
Landau LI. Souef PTNL, Morgan WJ, Martinez FD, Sly PD. Pediatric Respiratory
Medicine. Philadelphia; Elseviers: 2008. p.453-480
3 Cherry JD. Croup (laryngitis, laryngotracheitis, spasmodic croup,
laryngotracheobronchitis, bacterial tracheitis, and laryngotracheobronchopneumonitis).
Dalam: Feigin RD, penyunting. Textbook of pediatric infectious disease. Philadelphia:
WB Saunder; 2004. h. 252–65.
4 Roosevelt GE. Acute inflamatory upper airway obstruction. Dalam: Behrman RE,
Kliegman RM, Jenson HN, penyunting. Nelson textbook of pediatric. Edisi ke-17.
Philadelphia: WB Saunder; 2004. h. 1405–9.
5 Louis V, Allen AM. Oral dexamethasone for mild croup. N Engl J Med [serial online]
2004;35:26. [Diakses pada 23 Desember 2004]. Diunduh dari: www.nejm.org.
6 Knutson D, Aring A. Viral croup. American Family Physician. 2004;69(3). [Diakses
pada 19 Juni 2006]. Diunduh dari: ​http://www.aafp.org/afp/20040201/535.html​.
7 NSW Health Department. Acute management of infants and children with croup:
clinical practice guidelines. 2004 Dec 21. Diunduh dari: ​www.health.nsw.gov.au​.
8 Guideline for the diagnosis and management of croup. The Alberta Clinical Practice
Guideline Program. 2003 July; Diunduh dari:
www.urgenciaspediatriacruces.org/pdf/art/ Croup.pdf​.
9 Fitzgerald DA, Kilham HA. Croup: assessment and evidence-based management.
MJA. 2003;179:372–7.
10 Gina M, dkk. Clinical investigations: a randomized controlled trial of mist in the acute
treatment of moderate croup. Acad Emerg Med. 2002 Sep;9(9).
11 Rizwan S, Michael F. Role of glucocorticoids in treating croup. Canadian Family
Physician. 2001 Apr. [Diakses pada 23 Desember 2004]. Diunduh dari:

11
http://www.cfpc.ca
/cfp/_cgi/index_pdf.asp?pdfname=/cfp/2001/Apr/_pdf/vol47-apr-critical-1.pdf#​.
12 Malhotra A, Leonard RK. Viral croup. Pediatrics in Review. 2001 Januari, 22. [Diakses
pada 22 Januari 2002]. Diunduh dari:
http://pedsinreview.aappublications.org/cgi/content/full/ 22/1/5​.

LARINGOTRAKEOMALASIA
K.H Yangtjik, Fifi Sofiah, Azwar Aruf

Pengertian/Definisi
Laringotrakeomalasia merupakaan keadaan melemahnya struktur sipraglotis dan
dinding trakea sehingga mengakibatkan obstruksi dan kolapsnya saluran respiratori pada
saat inspirasi. Pada keadaan ini, struktur glotis dan subglotis umumnya normal.

Anamnesis
Manifestasi klinis dapat timbul pada saat lahir hingga beberapa minggu setelah
lahir. Stridor yang terdengan berjenis ​high-pitched d​ an bervibrasi pada saat inspirasi.
Stridor dapat bertambah berat pada usia sekitar 8-9 bulan, tetapi dapat juga hanya timbul
pada saat usaha napas meningkat seperti menangis. Selain stridor, gejala lain yang dapat
terlihat adalah pektus ekskavatus akibat usaha pernapasan yang berlebihan dan
berlangsung lama. Gejala lain yang sering dikeluhkan antara lain apnea pada saat tidur.

Pemeriksaan Fisik
Pada trakeomalasia, gejala dapat timbul apabila kolapsnya lumen trakea
anteroposterior sudah mencapai lebih dari 40%. Pada trakeomalasia, stridor yang terjadi

12
dapat berupa stridor inspirasi dan ekspirasi bergantung pada letak kelainannya. Apabila
kelainannya pada ekstratoraks, maka stridornya bersifat inspiratorik, sedangkan apabila
kelainannya intratoraks maka stridornya bersifat ekspiratorik. Pada keadaan kelainan intra
dan ekstratorakal, maka dapat dijumpai stridor inspiratorik dan ekspiratorik bersama-sama
atau dikenal sebagai stridor bifasik. Umumnya, stridor terdengar pada beberapa bulan
kehidupan atau saat bayi lebih aktif. Stridor dapat dicetuskan karena menangis, batuk, atau
terjadinya infeksi respiratorik. Gejala yang mungkin timbul adalag kesulitan saat makan
karena sulitnya koordinasi antara menelan dan bernapas, sehingga tidak jarang dijumpai
adanya aspirasi pneumonia kronis.

Diagnosis
Trakeomalasia ( Q31.5)

Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis laringomalasia dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan foto
leher dan laringoskopi fleksibel. Pada foto leher yang diambil saat inspirasi dan ekspirasi,
dapat terlihat gambaran perubahan letak aritenoid dan epiglotis ke arah medial dan inferior.
Sebagai diagnosis utama menggunakan laringoksopi fleksibel yaitu dengan melihat pasase
hidung, nasofaring, dan supraglotis. Umumnya pergerakan pita suara masih baik.
Alat diagnostik utama untuk trakeomalasia adalah dengan melakukan
trakeobronkoskopi, yaitu dengan melihat struktur trakea pada saat inspirasi dan ekspirasi.
Bila dicurigai adanya penekanan pada trakea, perlu dilakukan pemeriksaan penunjang lain
seperti foto dada, ​barium enema, ​dan lain-lain.

Terapi
● Tatalaksana pada laringomalasia umumnya tidak memerlukan intervensi bedah,
sekitar 90% akan mengalami perbaikan pada usia 2 tahun.
● Tindakan trakeostomi dapat dipertimbangkan pada keadaan darurat apabila
kelainan trakeomalasianya diperkirakan sampai batas tengah. Namun bila sudah
meluas sampai bagian bawah, tindakan trakeostomi kurang bermanfaat. Pada
keadaan ini, pemberian CPAP (​Continues Positive Airway Pressure​) dapat
membantu.
● Pada keadaan trakeomalasia berat yang tidak respons dengan tindakan di atas,
dapat dilakukan pemasangan ​stent e ​ ksternal atau internal. Pada keadaan
trakeomalasia sekunder akibat penekanan oleh arteri inominata perlu dilakukan
tindakan arteriopeksi, yaitu pengikatan dinding luar aorta ke sternum.

Edukasi
Penerangan kepada orang tua tentang keadaan laringomalasia dan
kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi, sehingga orangtua menjadi lebih
berhati-hati terutama dalam hal pemberian makan. Sekitar 10% laringomalasia
bermanifestasi sebagai sumbatan yang berat, sehingga memerlukan intervensi bedah
antara lain dengan caraa traakeostomi.
Pada trakeomalasia, sebagian besar dapat sembuh pada usia 2 tahun seperti halnya
laringomalasia tanpa tindakan bedah, Yang paling penting adalah penjelasan kepada orang

13
tua mengenai kesulitan-kesulitan yang timbul terutama dalam pemberian makan, sehingga
tidak terjadi komplikasi seperti aspirasi pneumonia bahkan gagal tumbuh.

Prognosis
Prognosis laringomalasia dan trakeomalasia umumnya baik, karena sekitar 90%
kasus akan mengalami perbaikan pada usia 2 tahun. Pada keadaan tertentu dapat
mengakibatkan komplikasi berupa aspirasi pneumonia kronis, sehingga terjadi infeksi
respiratorik berulang dan gagal tumbuh akibat permasalahan pemberian makan.

Kepustakaan
1. Abel RM, Bush A, Chhitty LS, Harcout J, Nicholson AG.Congenital lung Disease. Dalam:
Chernick V, Boat TF, Wilmout RW, Bush A, penyunting.Kendig’s disorders of the
repiratory tract in children. Edisi ke-7 . Philadelpia; WB Saunders; 2006.h 280-95.
2. Sherrington CA, Crameri JA, Coleman LT, Sawyer SM. Stridor in infant. Eur Repir J.
1999;14;717-9
3. John DS, Swiscbuk LE. Stridor and upper airway obstruction in infants and children.
Radiographics. 1992;12:625-43.
4. Brooks JW, Krummel TM. Tumors of the chest. Dalam: 2004. Chernick V, Boat TF,
Wilmout RW, Bush A, penyunting.Kendig’s disorders of the repiratory tract in children.
Edisi ke-7 . Philadelpia; WB Saunders; 2006.h. 712-21
5. Faroux B, Pigeot J, Polkey MI, Roger G, Boule M, Clement A, dkk.Chronic Stridor
Caused by laryngomalacia in children: work breathing and effects of noninvasive
ventilatory assistance. Am J Respir Crit Care Med.2001;164:1874-8.
6. Holinger LD. Congenital Anomalies of the Larynx, Trachea and Bronchi. Dalam:
Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, Stanton BF, penyunting.Nelson Tectbook of
Pediatric. Edisi ke-18.philadelphia: WB Saunders; 2007. H. 1767-72

BRONKITIS AKUT
K.H Yangtjik, Fifi Sofia, Azwar Aruf

Pengertian/Definisi
Bronkitis akut adalah proses inflamasi selintas yang mengenai trakea, bronkus utama
dan menengah yang bermanifestasi sebagai batuk, serta biasanya akan membaik tanpa
terapi dalam 2 minggu. Walaupun diagnosis bronkitis akut seringkali dibuat, pada anak
keadaan ini agaknya bukan merupakan suatu penyakit tersendiri, tapi berhubungan dengan
keadaan lain seperti asma dan fibrosis kistik.

Anamnesis
Bronkitis akut biasanya mengikuti gejala-gejala infeksi saluran respiratori seperti
rinitis dan faringitis. Batuk biasanya muncul 3–4 hari setelah rinitis. Batuk pada mulanya

14
keras dan kering, kemudian seringkali berkembang menjadi batuk lepas yang ringan dan
produktif. Karena anak-anak biasanya tidak membuang lendir tetapi menelannya, maka
dapat terjadi gejala muntah pada saat batuk keras dan memuncak. Pada anak yang lebih
tua, keluhan utama dapat berupa produksi sputum dengan batuk, serta nyeri dada pada
keadaan yang lebih berat.

Pemeriksaan Fisik
Dapat ditemukan ​wheezing​ atau ronkhi pada auskultasi

Diagnosis Kerja
Bronkhitis Akut (J20)

Diagnosis Banding
Asma Bronkhiale

Pemeriksaan Penunjang
Hasil pemeriksaan laboratorium patologi menunjukkan adanya infiltrasi mukosa oleh
limfosit dan leukosit PMN. Diagnosis dapat dipastikan dengan pemeriksaan kultur dari
sekresi mukus.

Terapi

● Sebagian besar terapi bronkitis akut viral bersifat suportif. Pada kenyataannya,
kebanyakan rinitis dapat sembuh tanpa pengobatan sama sekali. Istirahat yang cukup,
kelembaban udara yang cukup, masukan cairan yang adekuat, serta pemberian
asetaminofen pada keadaan demam bila perlu, sudah mencukupi untuk beberapa
kasus.
● Antibiotik sebaiknya hanya digunakan bila dicurigai adanya infeksi bakteri atau telah
dibuktikan dengan pemeriksaan penunjang lainnya. Pemberian antibiotik berdasarkan
terapi empiris biasanya disesuaikan dengan usia, jenis organisme yang biasa
menginfeksi, dan sensitivitas di komunitas tersebut. Antibiotik juga telah dibuktikan
tidak mencegah terjadinya infeksi bakteri sekunder, sehingga tidak ada tempatnya
diberikan pada bronkitis akut viral.
● Obat-obat penekan batuk sebaiknya tidak diberikan, karena batuk diperlukan untuk
mengeluarkan sputum.
● Fisioterapi dada tidak perlu dilakukan pada anak sehat yang sedang dalam fase
bronkitis akut. Bila ditemukan ​wheezing pada pemeriksaan fisis, dapat diberikan
bronkodilator β​2​-agonis, tetapi diperlukan evaluasi yang seksama terhadap respons
bronkus untuk mencegah pemberian bronkodilator yang berlebihan.
● Pada bronkitis akut bakteri terapi pilihan yang diberikan adalah eritromisin. Pada anak
berusia di atas 9 tahun dapat diberikan tetrasiklin. Untuk terapi efektif dapat diberikan
eritromisin atau tetrasiklin untuk anak-anak di atas usia 9 tahun. Pemberian eritromisin
dapat mengusir kuman pertusis dari nasofaring dalam waktu 3–4 hari, sehingga
mengurangi penyebaran penyakit. Pemberian selama 14 hari setelah awitan penyakit
selanjutnya dapat menghentikan penyakit.

15
Prognosis
Perjalanan dan prognosis penyakit ini bergantung pada tatalaksana yang tepat atau
mengatasi setiap penyakit yang mendasari. Komplikasi yang terjadi berasal dari penyakit
yang mendasarinya.

Kepustakaan
1. Naning R, Ismangoen H, Setyati A. Bronkitis Akut. Dalam Rahajoe NN, Supriyatno B,
Setyanto DB. Buku Ajar Respirologi Anak Edisi Pertama cetakan ke-empat. Badan
Penerbit IDAI. 2015;330-332.
2. Goodman DM. Bronchitis. Dalam: Kliegmen RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF.
Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Pennsylvania: Saunders Elsevier; 2007. h.
1777-8.
3. Loughlin GM. Bronchitis. Dalam: Chernick V, Boat TF, Wilmott RW, Bush A. Kendig’s
disorders of the respiratory tract in children. Edisi ke-7. Philadelphia:WB Saunders Co.;
2006. h. 416-22.

BRONKIOLITIS
K.H Yangtjik, Fifi Sofiah, Azwar Aruf

Definisi
Penyakit IRA-bawah yang ditandai dengan adanya inflamasi bronkioli pada bayi < 2
tahun

16
Anamnesis
● Umur kurang dari 2 tahun
● Demam atau riwayat demam, namun jarang terjadi demam tinggi
● Batuk kering disertai sesak napas, ​wheezing

Pemeriksaan Fisis
Demam sub febris, sesak napas dengan tanda-tanda obstruksi saluran napas, sesak
napas, ekspirasi memanjang dan mungkin terdengar ​wheezing ​ekspirasi, bentuk dada
​ ada seluruh lapangan paru (tapi tidak selalu).
tampak hiperinflasi. ​Fine inspiratory crackles p
Apneu dapat terjadi pada bronkiolitis, terutama pada bayi usia muda, prematur atau berat
badan lahir rendah.

Diagnosis
Bronkiolitis(J21.9)

Diagnosis Banding
● Bronkopneumonia
● Bronkhitis akut
● Asma Bronchiale

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah rutin, CRP, foto toraksAP/Lateral kanan, Analisa gas darah,
kultur virus, ELISA, PCR bila tersedia

Terapi
Antibiotika non alergik sebagai profilaksis
● Pada saat kondisi sesak dapat diberikan klorampenikol IV dan dilanjutkan dengan
pemberian peroral bila sesak berkurang.
● Bila dapat diberikan peroral langsung diberikan eritromisin 30-50 mg/kgbb /hari dalam
2-3 dosis
Suportif :
● Kortikosteroid diberikan untuk mengurangi edema saluran pernapasan : Kortikosteroid
15-20 mg/kgbb/hari atau deksametason 0,5 mg/kgbb/hari dibagi dalam 3 dosis selama
2-3 hari.
● Cairan dan elektrolit dengan ​dextrose 5% dan NaCI disesuaikan dengan kebutuhan
berdasarkan umur dan berat badan.
● Oksigen dengan kelembaban yang cukup.
● Fisioterapi dada dengan vibrasi dan perkusi untuk pengobatan penderita diruang
intensif.

Prognosis
● Ad vitam : dubia ad bonam
● Ad sanationam : dubia ad bonam

17
● Ad fungsionam : dubia ad bonam

Kepustakaan
1. Zain MG. Bronkiolitis. Dalam Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB. Buku Ajar
Respirologi Anak Edisi Pertama cetakan ke-empat. Badan Penerbit IDAI. 2015;333-349.
2. Elliot SP, Ray CG.Viral infections of the Lower Respiratory tract. Dalam; Taussig LM,
Landau LI. Souef PTNL, Morgan WJ, Martinez FD, Sly PD. Pediatric Respiratory
Medicine. Philadelphia; Elseviers: 2008. p.481-490
3. Clinical practice guideline.American academy of pediatrics 2006

BRONKHOPNEUMONIA
K.H Yangtjik, Fifi Sofiah, Azwar Aruf

18
Pengetian/Definisi
Peradangan/inflamasi yang mengenai parenkim paru yang disebabkan oleh berbagai
macam etiologi dimana kuman atau zat (agen) teraspirasi akan menimbulkan
ketidakseimbangan antara ventilasi dan perfusi (​ventilation perfusion mismatch​) di sistem
pernafasan, yang tercermin melalui gejala klinis, radiologis, maupun laboratoris.

Anamnesis
Demam, batuk, sesak napas, biru disekitar mulut, mengigil (pada anak), kejang (pada
bayi) dan nyeri dada
Pemeriksaan Fisis
- Demam
- Dispneu yang ditandai dengan pernapasan cepat (takipneu), pernapasan cuping
hidung, retraksi dan sianosis
- Suara napas vesikuler meningkat sampai bronchial
- Suara napas tambahan ronkhi basah halus nyaring.

Diagnosis
Bronkopneumonia (J18.0)

Diagnosis Banding
- Bronkhiolitis
- Bronkhitis akut
- Payah jantung
- Sepsis

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah perifer lengkap, dapat terjadi leukositosis dengan hitung jenis
bergeser ke kiri. LED meningkat pada infeksi bakterial namun banyak di pengaruhi oleh
faktor faktor lainnya. CRP meningkat pada infeksi bakterial, procalsitonin dianggap lebih baik
dari pada CRP. Analisa gas darah, menunjukkan keadaan hipoksemia, kadar PaCO2 dapat
rendah, normal atau meningkat tergantung kelainannya, dapat terjadi asidosis respiratorik
maupun metabolik dan gagal nafas. Foto toraks AP/ Lateral Kanan, dapat terlihat infiltrat
alveolar maupun interstitial yang dapat ditemukan pada seluruh lapangan paru. Gambaran
radiologis lain yang dapat di jumpai adalah konsolidasi pada satu lobus atau lebih pada
pneumonia lobaris, penebalan pleura pada pleuritis dan komplikasi pneumonia misalnya
atelektasis, efusi pleura, pneumomediastinum, pneumothoraks, abses, pneumatokel.
Mikrobiologi dari sputum dan swab nasopharyngeal, spesimen dari bronchoalveolar lavage,
aspirasi jaringan paru.

Terapi
- Pemberian oksigen, dimonitoring dengan ​pulse oxymetri​.
- Pemberian cairan dan kalori yang cukup, sesuai dengan berat badan, peningkatan suhu
dan status hidrasi.

19
- Bila sesak tidak terlalu hebat dapat dimulai diet enteral bertahap melalui selang
nasogastrik,orogastrik maupun per oral.
- Jika sekresi lendir berlebihan dapat diberikan inhalasi dengan salin normal
- Koreksi kelainan asam basa atau elektrolit yang terjadi
- Pemilihan antibiotik berdasarkan umur, keadaan umum penderita dan dugaan penyebab.
Evaluasi pengobatan setiap 48-72 jam,bila tidak ada perbaikan klinis dilakukan
penggantian antibiotik sampai anak dinyatakan sembuh.
- Lama pemberian antibiotik tergantung kemajuan klinis penderita, evaluasi pemeriksaan
penunjang (pemeriksaan darah, foto toraks) dan jenis kuman penyebab. Sebagian besar
membutuhkan waktu 10-14 hari, kecuali untuk kuman ​staphylococcus dapat diberikan 6
minggu.
- Keadaan imunokompromised (gizi buruk, keganasan, pengobatan steroid jangka
panjang, infeksi HIV), penyakit jantung bawaan, gangguan neuromuskular, dan fibrosis
kistik, antibiotik harus segera diberikan. Dapat dipertimbangkan pemberian: kotrimosazol
pada ​pneumocystic carinii,​ antiviral (acyclovir,gansiclovir) pada pneumonia karena CMV,
antijamur (amphoterisin B, ketokonazol, fluconazol) pada pneumonia karena jamur dan
imunoglobulin.
- Atasi penyakit penyerta lainnya.

Petunjuk pemberian antibiotika empiris


Pilihan antibiotika untuk penderita pneumonia baru yang datang ke IRD atau rawat jalan
yang belum pernah mendapatkan perawatan di RS lainnya:

a. Pneumonia ringan yang bisa rawat jalan:


- Amoksisilin 50-80 mg/kg/hari per oral dibagi dalam 3 dosis, atau
- Amoksisilin+asam klavulanat 50 mg/kgbb peroral dibagi dalam 3 dosis
b. Pneumonia yang memerlukan rawat inap:
- Ampicilin sulbactam 200 mg/kgbb/hari intravena dibagi dalam 4 dosis atau
- Ampicilin sulbactam 100 mg/kgbb/hari intravena dibagi dalam 4 dosis

Pneumonia yang memerlukan rawat inap yang disertai penyakit penyerta yang menular
tanpa disertai sepsis (ISK, gastroenteritis, morbili)
Ampicilin sulbactam 100 mg/kgbb/hari intravena dibagi dalam 4 dosis

Pneumonia yang memerlukan rawat inap yang disertai sepsis


Ampicilin sulbactam 200 mg/kgbb/hari intravena dibagi dalam 4 dosis

Pilihan antibiotika untuk penderita pneumonia yang dirujuk dari RS lain adalah:
a. Pernah mendapatkan perawatan di RS lain kurang dari 72 jam
Ampicilin sulbactam 100 mg/kgbb/hari intravena dibagi dalam 4 dosis
b. Pernah mendapatkan perawatan RS lain lebih dari 72 jam
- Cefotaxim 200 mg/kgbb/hari intravena dibagi dalam 3 dosis, atau
- Ceftriaxon100 mg/kgbb/hari intravena dibagi dalam 2 dosis, atau sesuai dengan
kultur dahak/darah yang ada, atau pertimbangan lain

20
Pilihan antibiotika untuk penderita penumonia dengan penyakit penyerta yang tidak menular
(non-infectious) seperti kelainan jantung bawaan sianotik atau non sianotik, kelainan
hematologi, kelainan kongenital, dan sebagainya sesuai dengan poin1.
Pilihan antibiotika untuk penderita pneumonia yang diduga disebabkan oleh infeksi kuman
atipik (pneumonia atipik) dapat diberikan salah satu antibiotik di bawah ini:
- Spiramisin 50 mg/kgbb/hari dibagi 3 dosis (10-14 hari)
- Eritromisin 30-50 mg/kgbb/hari dibagi 3-4 dosis (10-14 hari)
- Azitromisin 10mg/kgbbsekali sehari (5 hari)
- Klaritromisin 15-30 mg/kgbb/hari dibagi 2 dosis (7-10 hari)
Rekomendasi UKK Respirologi
Antibiotik untuk ​community acquiredpneumonia:​
● Neonatus - 2 bulan: Ampisilin + gentamisin
● > 2 bulan :
Lini pertama Ampisilin bila dalam 3 hari tidak ada perbaikan dapat ditambahkan
kloramfenikol
Lini kedua Seftriakson
Bila klinis membaik, antibiotik intravena dapat diganti preparat oral dengan antibiotik
golongan yang sama dengan antibiotik intravena sebelumnya.

Jenis obat dan dosis yang dapat digunakan untuk terapi pneumonia

Obat Dosis/kgBB/hari Cara Pemberian

Ampisilin 200 mg IM/IV, dibagi 4 kali pemberian


Amoksisilin 50-80 mg PO/IM/IV, dibagi 3-4 kali pemberian
Amoksisilin+Asam 30-75 mg PO, dibagi 3-4 kali pemberian
Klavulanat IV, dibagi 4 kali pemberian
Ampisilin Sulbactam 100 mg IM/IV, 1kali sehari
Amikasin 15 mg PO/IV, 1 kali sehari
Azitromisin 7,5-15 mg IV, dibagi 3-4 kali pemberian
Cefotaksim 50-100 mg IV, dibagi 1-2 kali pemberian
Ceftriaxon 50-100 mg IV, dibagi 2-3 kali pemberian
Ceftazidim 50-100 mg IV, dibagi 3-4 kali pemberian
Cefuroxim 25-50 mg PO, dibagi 2 kali pemberian
Cefixim 5 mg PO, dibagi 3-4 kali pemberian
Eritromisin 30-50 mg IM/IV, dibagi 1-2 kali pemberian
Gentamisin 5-7 mg PO, dibagi 2 kali pemberian
Klaritromisin 15-30 mg IV/PO, dibagi 3-4 kali pemberian
Kloramphenikol 50-100 mg IM/IV, dibagi 4 kali pemberian
Kloksasilin 50 mg PO, dibagi 2 kali pemberian
Kotrimoksazol 6 mg (TMP) IV, dibagi 3 kali pemberian
Meropenem 30-50mg PO, dibagi 3 kali pemberian
Spiramisin 50mg

21
Prognosis
● Ad vitam : dubia ad bonam
● Ad sanationam : dubia ad bonam
● Ad fungsionam : dubia ad bonam

Kepustakaan
1. Mulholland Kim, Weber MW. Pneumonia in children. Pinter&Martin. 2016; p. 1-323
2. Sais M. Pneumonia. Dalam Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB. Buku Ajar
Respirologi Anak Edisi Pertama cetakan ke-empat. Badan Penerbit IDAI. 2015;350-365.
3. Soemyarso NA. Dkk. Modul Pembelajaran Ilmu Kesehatan Anak. Surabaya. 2014. Hal.
287-293
4. WHO. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit​. ​Jakarta. 2009. Hal 86-93.
5. Crawford SE, Daum RS. Bacterial Pneumonia, Lung Abscess and Empiema. Dalam;
Taussig LM, Landau LI. Souef PTNL, Morgan WJ, Martinez FD, Sly PD. Pediatric
Respiratory Medicine. Philadelphia; Elseviers: 2008. p.501-554
6. Alberta Medical Association. Guideline for the diagnosis and management of community
acquired pneumonia. Pediatric. 2001

22
Influenza Pada Anak
K.H Yangtjik, Fifi Sofiah, Azwar Aruf

Pengertian/Definisi
Infeksi saluran napas yang disebabkan virus

Anamnesis
Demam
Malaise
Coryza

Pemeriksaan Fisik
Sekret pada hidung dengan konkha hiperemis

Diagnosis
Influenza (J10.0)

Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis pasti influenza bergantung kepada isolasi virus dari sekresi saluran nafas
atau adanya kenaikan yang bermakna titer antibodi serum pada masa konvalesens.
Berbeda dengan adenovirus atau herpes simpleks dari saluran nafas, maka tidak ada
pengidap virus influenza, sehingga adanya virus dari isolasi sudah menunjukkan tanda
pasti adanya infeksi virus influenza. Antigen influenza dapat pula dideteksi secara cepat
dari sel epitel nasofaring dengan antibodi fluoresens yang spesifik.
Diagnostik serologik dapat pula dilakukan dengan teknik ​complement-fixation a ​ tau
hemagglutination-inhibition. Reagen uji komplemen fiksasi tersedia secara komersial, dan
banyak digunakan di laboratorium. Kekurangan dari uji dengan antibodi komplemen
fiksasi ialah karena waktu pemeriksaan yang lama, sampai 6 bulan. Pendekatan yang
tampaknya akan menunjukkan hasil yang baik adalah pengukuran antibodi terhadap
hemaglutinin influenza dengan menggunakan metode ELISA. Uji ini sederhana dan
mempunyai kelebihan dapat mengidentifikasi secara spesifik antibodi IgA, IgM dan IgG.

Diagnosis kerja
Influenza (J10.0)

Terapi
● Pengobatan simtomatik merupakan pengobatan utama dalam tatalaksana. Pasien
perlu pula istirahat, hidrasi yang cukup, pengendalian demam dan nyeri otot dengan

23
pemberian asetaminofen serta mempertahankan kenyamanan bernafas dengan
pemberian dekongestan nasal.
● Perlu diperhatikan bahwa pemberian antibiotik sebagai tindakan pencegahan tidak
dianjurkan. Batuk kering yang menetap pada fase penyembuhan dapat dikurangi
dengan pemberian kodein atau dekstrometrofan.
● Vaksin influenza yang tersedia dalam bentuk ​in-activated (​formalin-treated​). Vaksin ini
diketemukan pertama kali pada tahun 1930, dan akhir-akhir ini mulai dikembangkan
produksi vaksin rekombinan, dengan tujuan mengurangi efek toksik vaksin. Efek
samping vaksin ​in-activated diantaranya demam, ​flulike symptoms dan rasa sakit
pada daerah suntikan. Sindrom Guillain-Barre dapat muncul pada setiap 1 dari
100.000 kasus vaksinasi. Di antara vaksin influenza yang sedang diteliti, terdapat
cold-adapted ​reassortant ​influenza virus ​vaccines​. Vaksin ini telah dibuktikan
memperlihatkan hasil yang baik untuk anak dan dewasa. Terlihatnya adanya
peningkatan respons antibodi baik humoral maupun selular, juga tidak tampak efek
samping yang berarti.

Tindak Lanjut
Penyulit diobati sesuai dengan penemuan klinis. Adanya infeksi bakteri ditandai
dengan adanya peningkatan suhu ​recudescence atau berulangnya demam pada waktu
pasien memasuki masa awal penyembuhan dini. Sebaiknya segera diambil biakan darah
dan pengobatan antibiotik disesuaikan dengan hasil pewarnaan Gram. Penyebab infeksi
terbanyak biasanya ​Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae dan
Streptococcus pyogenes,​ maka ampisilin atau amoksisilin biasanya dapat mengatasi
masalah ini. Penyebab lain yang dapat menyebabkan gambaran klinis berat seperti
pneumonia, seringkali disebabkan oleh ​Staphylococcus aureus atau bakteri patogen
Gram-negatif.

Prognosis
Pada kasus influenza tanpa penyulit, maka prognosisnya sangat baik. Prognosis
menjadi kurang baik apabila terjadi penyulit yang menyerang saluran pernafasan.

Kepustakaan
1. Glezen WP. Infuenza viruses. Dalam: Feigin RD, Cherry JD, Demmler GJ, Kaplan SL,
penyunting. Textbook of pediatric infectious diseases. Edisi ke-15. Philadelphia: WB
Saunders; 2004. h. 2252-69.
2. Infuenza. Red book 2006: report of the commitee on infectious diseases. Elk Grove
Village: American Academy of Pediatrics; 2006. h. 401-11.
3. Burroughs M, Horga MA, Murrell MT, Moscona A. Infuenza and influenza syndromes.
Respiratory infections. Dalam: Gershon AA, Hotez PJ, Katz SL, penyunting.
Krugman’s Infectious Diseases of Children. Edisi ke-11. Philadelphia: Mosby; 2004. h.
504-10.
4. Satari HI. Influenza. Dalam: Soedarmo SP, Garna H, Hadinegoro SR. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Anak. Edisi I. Jakarta: Balai penerbit FKUI; 2002. h. 270-280.
5. Wright P. Influenza Viral Infection. Dalam: Behrman RE, Vaughan III VC, Nelson WE,
penyunting. Textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: WB Saunders; 2006. h.
901-3.

24
AVIAN INFLUENZA PADA ANAK
K.H Yangtjik, Fifi Sofia, Azwar Aruf

Definisi
Avian influenza merupakan penyakit infeksi akibat virus influenza tipe A yang biasa
mengenai unggas, terdiri dari 3 tipe yaitu A, B, dan C.

Anamnesis
Masa inkubasi avian influenza sangat pendek yaitu 3 hari, dengan rentang 2-4 hari.
Manifestasi klinis avian influenza pada manusia terutama terjadi di sistem respiratori mulai
dari yang ringan sampai berat. Manifestasi klinis avian influenza secara umum sama
dengan gejala ​Influenza Like Illness yaitu batuk, pilek, dan demam, sehingga sulit
membedakan dengan selesma non avian influenza. Demam biasanya cukup tinggi yaitu
>38​o​C. Gejala lain berupa sefalgia, nyeri tenggorokan, mialgia dan malaise.
Adapula keluhan gastro-intestinal berupa diare dan keluhan lain berupa
konjungtivitis. Spektrum klinis bisa sangat bervariasi, mulai dari asimtomatik, selesma
ringan hingga berat, pneumonia dan banyak yang berakhir dengan ARDS (​acute respiratory
distress syndrome)​ .

Diagnosis
Avian Influenza (J11.0)

Pemeriksaan Penunjang
Untuk memastikan diagnosis avian influenza dapat dilakukan dengan biakan virus
avian influenza. Pemeriksaan lain yang definitif adalah pemeriksaan ​polymerase chain
reaction (PCR). Pemeriksaan lain berupa imunofluoresen menggunakan H5N1 antibodi
monoklonal, serta uji serologi menggunakan cara ELISA dan IFAT untuk mendeteksi
antibodi spesifik.

Terapi

25
Beberapa obat antiviral dilaporkan efektif untuk virus avian influenza ini seperti
ribavirin, amantadine, rimantadine, zanamivir, dan oseltamivir. Namun resistensi juga
dilaporkan cepat terjadi terhadap berbagai obat antiviral tersebut kecuali terhadap obat
penghambat neuraminidase yaitu oseltamivir dan zanamivir. Zanamivir diberikan secara
inhalasi, sedangkan oseltamivir diberikan secara oral. Saat ini antiviral yang
direkomendasikan penggunaannya untuk avian influenza adalah oseltamivir. Menurut
American Academy of Pediatrics,​ oseltamivir sebagai terapi dapat diberikan kepada anak
umur 1 tahun ke atas. Dosis untuk terapi adalah 2mg/kgBB/kali, diberikan dua kali sehari
selama 5 hari. Sedangkan untuk profilaksis diberikan pada anak 12 tahun ke atas, diberikan
sekali sehari selama 7 hari.

Tindak Lanjut
Untuk kasus yang berat berupa pneumonia pasien perlu perawatan di rumah sakit
dan tatalaksana pneumonia pada umumnya. Jika perjalanan penyakit terus progresif pasien
memerlukan perawatan ICU, walaupun tidak menjamin kesembuhannya. Yang perlu
menjadi perhatian adalah bila suatu kasus dicurigai sebagai avian influenza maka sejak
awal tindakan pencegahan penyebaran infeksi harus dilakukan sesuai ​universal
precautions standard.​ Hal ini berlanjut selama perawatan, saat pemulangan pasien yang
selamat, ataupun penanganan jenazah pasien yang meninggal karena avian influenza.
Alur deteksi pasien avian influenza

26
Catatan :
1. Jika menggunakan kriteria WHO, maka pasien dalam kontak awal (Gejala PSI+)
merupakan Kasus investigasi. Pada pasien dengan Gejala PSI (+) disertai dengan Risti
(+) trmasuk suspek. Untuk pasien dengan riwayat kontak tidak jelas dan tanpa sesak
tetap dimasukkan dalam alur. Status kasus probabel atau konfirmasi hanya bisa
diketahui setelah ada hasil laboratorium spesifik flu burung.
2. Kelainan radiologis toraks pada flu burung sangat nyata, tapi tidak spesifik (bisa sangat
bervariasi).
3. Dalam skrining awal, cukup dilakukan pemeriksaan darah tepi rutin. Hasil laboratorium
mengarah kepada avian influenza bila ditemukan lekopeni, dengan atau tanpa limfopeni
dan trombopeni. Batas lekopeni <3000 didasarkan pada laporan 10 kasus di Vietnam, 8
di antaranya anak. Nilai lekosit tertinggi 3200/uL, lainnya di bawah 3000/uL, dengan
nilai terendah 1200/uL. Bila ada data yang lebih valid nilai batasini dapat disesuaikan.
Batas limfopeni dan trombopeni disesuaikan dengan nilai masing-masing laboratorium.
4. Jika data darah tepi mengarah ke avian influenza, ambil spesimen untuk flu burung
dikirim ke laboratorium Badan Litbag Kesehatan. (Lihat lampiran 2). Pemeriksaan awal
dilakukan dan diulang setiap hari selama 3 hari berturut untuk PCR dan setelah 7 hari
untuk EIA.
5. KIE untuk pasien saat pulang, diajarkan etika batuk dan pesan agar segera ke RS bila
timbul sesak.

Kepustakaan
1. Wright P. Influenza Viruses. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. Nelson
textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: Saunders 2007. h. 1384-87.

27
ASMA BRONKIAL PADA ANAK
K.H Yangtjik, Fifi Sofiah, Azwar Aruf

Pengertian/Definisi
Asma adalah penyakit saluran respiratori kronis dengan dasar inflamasi kronis yang
mengakibatkan obstruksi dan hiperreaktivitas saluran respiratori dengan derajat bervariasi.

Anamnesis
1. Keluhan wheezing dan atau batuk berulang
2. Sesak napas
3. Rasa dada tertekan
4. Produksi sputum
5. Chronic recurrent cough ​(batuk kronik berulang, BKB)
Karakteristik yang mengarah ke asma adalah:
● Gejala timbul secara episodik atau berulang
● Timbul bila ada ​faktor pencetus

28
o Iritan: asap rokok, asap bakaran sampah, asap obat nyamuk, suhu dingin, udara
kering, makanan minuman dingin, penyedap rasa, pengawet makanan, pewarna
makanan.
o Alergen: debu, tungau debu rumah, rontokan hewan, serbuk sari.
o Infeksi respiratori akut karena virus, selesma, ​common cold, r​ inofaringitis
o Aktifitas fisis: berlarian, berteriak, menangis, atau tertawa berlebihan.
● Adanya ​riwayat alergi​ pada pasien atau keluarganya
● Variabilitas​, yaitu intensitas gejala bervariasi dari waktu ke waktu, bahkan dalam 24
jam. Biasanya gejala lebih berat pada malam hari (nokturnal).
● Reversibilitas​, yaitu gejala dapat membaik secara spontan atau dengan pemberian
obat pereda asma.
Tabel 1. Kriteria Diagnosis Asma:

Gejala Karakteristik
W ​ atuk,
​ heezing, b ● Biasanya lebih dari 1 gejala respiratori
sesak napas, dada ● Gejala berfluktuasi intensitasnya seiring waktu
tertekan, produksi ● Gejala memberat pada malam atau dini hari
sputum ● Gejala timbul bila ada pencetus

Pemeriksaan Fisis
1. Dalam keadaan stabil tanpa gejala, tidak ditemukan kelainan.
2. Dalam keadaan sedang bergejala batuk atau sesak, dapat terdengar ​wheezing​, baik
yang langsung (​audible wheeze​) atau yang terdengar dengan stetoskop.
Selain itu, perlu dicari gejala alergi lain pada pasien seperti dermatitis atopi atau rinitis alergi,
dan dapat pula dijumpai tanda alergi seperti ​allergic shiners​ atau ​geographic tongue.​

Diagnosis
Asma bronkhial ( J45.9)

Diagnosis Banding

Inflamasi: infeksi, alergi

● Rinitis, rinosinusitis
● Chronic upper airway cough syndrome
● Infeksi respiratori berulang
● Bronkiolitis
● Aspirasi berulang
● Defisiensi imun

29
● Tuberkulosis

Obstruksi Mekanis

● Laringomalasia, trakeomalasia
● Hipertrofi timus
● Pembesaran kelenjar getah bening
● Aspirasi benda asing
● Vascular ring, laryngeal web
● Disfungsi pita suara
● Malformasi congenital saluran respiratori

Patologi bronkus

● Displasia bronkopulmonal
● Bronkiektasis
● Diskinesia silia primer
● Fibrosis kistik

Kelainan sistim organ lain


● Penyakit refluks gastro-esofagus (GERD)
● Penyakit jantung bawaan
● Gangguan neuromuscular
● Batuk psikogen

Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan fungsi paru (​spirometri atau peak flow meter​) sekaligus uji reversibilitas
dan untuk menilai variabilitas.
2. Pemeriksaan IgE dan eosinofil total
3. Ro Toraks
4. Ro Sinus paranasal (pada anak >5tahun dengan asma persisten atau sulit diatasi)
5. Uji tuberculin

Konfirmasi adanya limitasi aliran udara ekspirasi


Gambaran obstruksi FEV1 rendah (<80% nilai prediksi)
saluran respiratori
FEV1/ FVC ≤ 90%
Uji reversibilitas Peningkatan FEV1 > 12%
(pasca bronkodilator)
Variabilitas Perbedaan PEFR harian > 13%
Uji provokasi Penurunan FEV1 > 20%, atau PEFR > 15%
Terapi

Tatalaksana jangka panjang

30
1. Mencari dan menghindari faktor pencetus, untuk itu diperlukan kerjasama dengan orang
tua penderita.
2. Mencegah serangan asma dengan pemberian obat untuk mempertahankan sel-sel
mediator tidak pecah.
3. Medikamentosa
a. Reliver ​(pereda) β2 agonis ​short acting,​ antikolinergik, teofilin ​short acting,​
aminofilin dan adrenalin
b. Controller ​( pengendali) β2 agonis ​long acting​, steroid inhalasi/oral. Antileukotrien,
teofilin ​sustained release,​ dan sodium kromoglikat.

Obat pengendali asma

1. Steroid inhalasi
Dosis berbagai preparat steroid inhalasi

31
2. Agonis beta 2 kerja panjang (LABA : long acting β2 agonist) : formoterol
3. Antileukotrin : montelukast, pranlukast, zafirlukast
4. Teofilin lepas lambat
5. Anti IgE : Omalizumab

Penentuan derajat kendali

32
A. Penilaian Klinis (Dalam 6-8 minggu)

Terkendali dengan/tanpa
Terkendali
obat pengendali sebagian Tidak
Manifestasi Klinis
terkendali
(Bila semua kriteria (Min. satu)
terpenuhi)

Gejala Siang Hari Tidak pernah (​<​ 2 kali/minggu) > 2 kali/minggu

Aktivitas Tidak ada Ada


Terbatas Tiga atau
lebih kriteria
Gejala Malam terkendali
Tidak ada Ada sebagian*†
Hari

Pemakaian Tidak ada (​<​ 2 kali/minggu)


> 2 kali/minggu
Pereda

B. Penilaian risiko perjalanan asma (risiko eksaserbasi, ketidakstabilan​,


penurunan fungsi paru, efek samping)

Asma yang tidak terkendali, sering eksaserbasi , pernah masuk ICU karena asma, FEV​1
yang rendah, paparan terhadap asap rokok, mendapat pengobatan dosis tinggi

Jenjang Kendali Asma

33
• Keterangan gambar: ICS (​inhaled corticosteroids, s​ teroid inhalasi); LTRA
(​Leukotriene Receptor Antagonist​); SABA (​short acting beta agonist, ​β2-agonis
kerja pendek); LABA (​long acting beta agonist, ​β2-agonis kerja panjang)

Asma serangan
Serangan asma dengan
Asma serangan berat
ancaman henti napas
ringan-sedang

Bicara dalam kalimat Bicara dalam kata Mengantuk


Lebih senang duduk Duduk bertopang lengan Letargi
daripada berbaring Gelisah Suara napas tak terdengar
Tidak gelisah Frekuensi napas
Frekuensi napas meningkat
meningkat Frekuensi nadi meningkat
Frekuensi nadi Retraksi jelas
meningkat SpO​2​ (udara kamar) < 90%
Retraksi minimal PEF < 50% prediksi atau
SpO​2​ (udara kamar): terbaik
90 – 95%
PEF > 50% prediksi
atau terbaik

Tatalaksana serangan asma di Rumah Sakit / IGD

Serangan Asma Ringan Sedang


Tindakan awal diberi pasien diberikan agonis B2 kerja pendek lewat nebulisasi atau
MDI dengan spacer, yang dapat diulang hingga 2 kali dalam 1 jam, dengan pertimbangan
untuk menambahkan ipatoprium bromida pada nebulisasi ketiga. Pasien diobservasi, jika
baik dapat dipulangkan.
Pasien dibekali dengan obat agonis B2 (hirupan atau oral) yang diberikan 4-6 jam.
Inhalasi bronkodilator diberikan dalam bentuk MDI dengan spacer atau nebulisasi yang
sama keefektifannya. Penambahan ipatoprium bromida selain agonis B2 dapat diberikan
apabila pasien dapat diedukasi untuk menggunakan kombinasi tersebut pada serangan
yang lebih berat. Pada serangan asma tingan sedang diberikan steroid sistemik (oral)
berupa prednison atau prednisolon dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari selama 3-5 hari, tanpa
tappering off, maksimal pemberian 1 kali dalam 1 bulan. Pemberian steroid ini harus
dilakukan dengan cermat untuk mencegah pengulangan lebih dari 1 kali per bulan pada saat
penulisan resep tambahkan keterangan “do not iter”. Pasien kemudian dianjurkan untuk
kontrol ke klinik rawat jalan dalam waktu 3-5 hari direevaluasi tata laksananya. Selain itu jika
sebelum serangan pasien sudah mendapat obat pengendali, obat pengendali dilanjutkan.

Serangan Asma Berat

34
Pasien dengan gejala dan tanda klinis yang memenuhi kriteria serangan asma berat
harus dirawat diruang rawat inap. Nebulisasi yang diberikan pertama kali adalah agonis B2
dengan penambahan ipatoprium bromida. Oksigen 2-4 liter per menit diberikan sejak awal
termasuk pada saat nebulisasi. Pasang jalur parenteral pada pasien dan lakukan
pemeriksaan rongent toraks. Steroid sebaiknya diberikan secara parenteral.
Apabila pasien menunjukkan gejala dan tanda ancaman henti napas, pasien harus
langsung dirawat diruang intensif. Pemeriksaan rontgen toraks dilakukan untuk mendeteksi
adanya komplikasi pneumotoraks dan/ atau pneumomediastinum.

Takaran Obat, Cairan, dan Waktu untuk Nebulisasi

Cairan, obat, waktu ​Nebulisasi jet ​ ebulisasi


N
ultrasonik
Garam faali (NaCl 0,9%) 5 ml 10 ml
Β Agonis/antikolinergik/steroid Lihat tabel 2
Waktu 10-15 menit 3-5 menit
Obat untuk nebulisasi, jenis dan dosis

Nama generik ​Sediaan ​Dosis Nebulisasi


​Golongan β-agonis
Fenoterol Solution 0,1% 5-10 tetes
Salbutamol Nebule 2,5 mg 1 nebule (0,1-0,15
mg/kg)
Terbutalin Respule 2,5 mg 1 respule
​Golongan antikolinergik
Ipratropium bromide Solution 0,025% > 6 tahun : 8-20
tetes
≤ 6 tahun: 4-10 tetes
​Golongan steroid
Budesonide Respule
Fluticasone Nebule
Sediaan steroid yang dapat digunakan untuk serangan asma:

Steroid oral:

Nama generik Sediaan Dosis


Metil Prednisolon Tablet 4 mg, 8 mg 1-2 mg/kgbb/hari –tiap 6 jam
Prednison Tablet 5 mg 1-2 mg/kgbb/hari –tiap 6 jam
Triamnisolon 4 mg 1-2 mg/kgbb/hari –tiap 6 jam

35
Steroid injeksi:

Nama generik Sediaan Jalur Dosis


Methylprednisol Vial 125 mg Iv/im 1-2 mg/kgbb/hari –tiap 6 jam
on suksinat
Vial 500 mg
Hidrokortison Vial 100 mg Iv/im 4 mg/kgbb/6 jam
suksinat
Deksametason Ampul 5 mg Iv/im 0,5-1 mg/kgbb-bolus, dilanjutkan1
mg/kgbb/hari diberikan tiap 6-8 jam
Betametason Ampul 4 mg Iv/im 0,05-0,1 mg/kgBB tiap 6 jam

Edukasi
Menghindari pencetus

Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam

Kepustakaan

1. Yuhei H, Kohno Y, Ebisawa M, Kondo N, Nishima S, Nishimuta T, dkk. Japanese


guideline for childhood asthma. Allergol Int. 2014; 63: 335-56
2. UKK Respirologi IDAI. Pedoman Nasional Asma Anak. Edisi ke-2. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI; 2015.
3. Kartasasmita CB dkk. Asma Bronkial. Dalam: Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi ke-1.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2008; h.71-161.
4. Kolegium Ilmu Kesehatan Anak Indonesia/IDAI. Modul Program Pendidikan Dokter
Spesialis Ilmu Kesehatan Anak. 2008.
5. Supriyatno B, dkk. Asma Bronkial. Dalam: Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak.
Edisi ke-1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI;

36
TUBERKULOSIS
K.H Yangtjik, Fifi Sofiah, Azwar Aruf

Definisi
Tuberkulosis ialah penyakit menular langsung disebabkan oleh kuman TB
(​Mycobacterium tuberculosis)​ . Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat
juga mengenai organ tubuh lainnya.
Masa inkubasi adalah waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga
terbentuknya kompleks primer, bervariasi selama 2-12 minggu, biasanya berlangsung 4-8
minggu. Selama masa inkubasi tersebut, kuman berkembang biak hingga mencapai jumlah
10​3​-10​4​, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respon imunitas selular.

Anamnesis
Gejala klinis TB anak dapat berupa gejala sistemik/umum atau sesuai organ terkait.
Gejala umum TB pada anak yang sering dijumpai adalah batuk persisten, berat badan turun
atau gagal tumbuh, demam lama serta lesu dan tidak aktif. Gejala-gejala tersebut sering
dianggap tidak khas karena dijumpai pada penyakit lain. Namun demikian, sebenarnya
gejala TB bersifat khas, yaitu ​menetap (lebih dari 2 minggu) walaupun sudah diberikan
terapi yang adekuat.

Gejala sistemik/umum

a. Berat badan turun atau tidak naik dalam 2 bulan sebelumnya atau terjadi gagal
tumbuh (failure to thrive) meskipun telah diberikan upaya perbaikan gizi yang baik
dalam waktu 1-2 bulan.
b. Demam lama (≥ 2minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas ( bukan
demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain), Demam umumnya tidak
tinggi. Keringat malam saja bukan merupakan gejala spesifik TB pada anak apabila
tidak disertai dengan gejala-gejala sistemik/umum lain.
c. Batuk lama (≥ 2minggu), batuk bersifat ​non-remitting ​(tidak pernah reda atau
intensitas semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah dapat
disingkirkan. Batuk tidak membaik dengan pemberian antibiotika atau obat asma
(sesuai indikasi).
d. Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.

37
Gejala-gejala tersebut menetap walau sudah diberikan terapi yang adekuat.

Pemeriksaan Fisis

Gejala spesifik terkait organ

a. Tuberkulosis kelenjar
1) Biasanya didaerah leher (regio colli)
2) Pembesaran kelenjar getah bening (KGB) tidaknyeri, konsistensi kenyal,
multipledan kadang saling melekat (konfluens)
3) Ukuran besar (lebih dari 2x2 cm), biasanya pembesaraan KGB terlihat jelas
bukan hanya teraba
4) Tidak berespon terhadap pemberian antibiotika
5) Bisa berbentuk rongga dan discharge
b. Tuberkulosis sistem saraf pusat
1) Meningitis TB : gejala-gejala meningitis dengan seringkali disertai gejala akibat
keterlibatan saraf-saraf otak yang terkena.
2) Tuberkuloma otak : gejala-gejala adanya lesi desak ruang
c. Tuberkulosis sistem skeletal
1) Tulang belakang (spondilitis) : penonjolan tulang belakang (gibbus).
2) Tulang panggul (koksitis) : Pincang, gangguan berjalan, atau tanda
peradangan didaerah panggul.
3) Tulang lutut (gonitis) : Pincang dan/atau bengkak pada lutut tanpa sebab yang
jelas
4) Tulang kaki dan tangan (spina ventosa/daktilitis)
d. Tuberkulosis mata
1) Konjungtivitis fliktenularis (conjunctivitis phlyctenularis)
2) Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi)
e. Tuberkulosis kulit (skrufuloderma)
Ditandai adanya ulkus disertai dengan jembatan kulit antar tepi ulkus (​skin brigde)​
f. Tuberkulosis organ organ lainnya, misalnya peritonitis TB, TB ginjal, dicurigai bila
ditemukan gejala gangguan pada organ organ tersebut tanpa sebab yang jelas dan
disertai kecurigaan adanya infeksi TB.

Diagnosis
Tuberkulosis paru (A15.0)

Diagnosis Banding
Pneumonia

Secara umum penegakan diagnosis TB anak didasarkan pada 4 hal:

1. Konfirmasi bakteriologis TB
2. Gejala klinis yang khas TB

38
3. Adanya bukti infeksi TB (hasil uji tuberkulin positif atau kontak erat dengan pasien
TB)
4. Gambaran foto toraks sugestif TB

Gambar 1. Alur Diagnosis Tb Paru Anak

39
Pemeriksaan untuk diagnosis TB anak meliputi :

Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan bakteriologis
Pemeriksaan bakteriologis dengan pemeriksaan sputum pada anak, cara mendapatkan sputum
pada anak:
a. Berdahak
Pada anak lebih dari 5 tahun biasanya sudah dapat mengeluarkan sputum/dahak secara
langsung dengan berdahak.
b. Bilas lambung
Bilas lambung dengan NGT (​nasogastric tube​) dapat dilakukan pada anak yang tidak dapat
mengeluarkan dahak. Dianjurkan spesimen dikumpulkan minimal 2 hari berturut
turut pada pagi hari.
c. Induksi sputum
d. Induksi sputum relatif aman dan efektif untuk dikerjakan pada anak semua umur,
dengan hasil yang lebih baikdari aspirasi lambung , terutama apabila menggunakan
lebih dari 1 sampel. Metode ini bisa dikerjakan secara rawat jalan, tetapi diperlukan
pelatihan dan peralatan yang memadai untuk melakukan metode ini.

Pemeriksaan bakteriologis yang dilakukan meliputi:

a. Pemeriksaan mikroskopis BTA sputum atau spesimen lain (cairan tubuh atau
jaringan biopsi)
Pemeriksaan BTA sputum sebaiknya dilakukan minimal 2 kali yaitu sewaktu dan pagi hari
b. Tes cepat molekuler (TCM) TB

40
1) Pemeriksaan dengan mengidentifikasi kuman ​Mycobacterium tuberculosis
dalam waktu cepat (kurang lebih 2 jam), antara lain pemeriksaan Line Probe
Assay (misalnya ​Hain Genotype​) dan NAAT = ​Nucleic Acid Amplification Test​)
misalnya Xpert MTB/RIF).
2) Pemeriksaan TCM dapat digunakan untuk mendeteksi kuman ​Mycobacterium
tuberculosis secara molekular sekaligus menentukan ada tidaknya rersistensi
terhadap Rifampicin. Pemeriksaan TCM mempunyai nilai diagnostik yang lebih
baik dari pada pemeriksaan mikroskopis sputum, tetapi masih dibawah uji
biakan. Hasil negative TCM tidak menyingkirkan diagnosis TB.

c. Pemeriksaan biakan
Baku emas adalah menemukan kuman penyebab TB yaitu kuman ​Mycobacterium
tuberculosis p​ ada pemeriksaan biakan (dari sputum, bilas lambung, cairan
serebrospinal, cairan pleura ataupun biopsi jaringan). Pemeriksaan biakan sputum
dan uji kepekaan obat dilakukan jika fasilitas tersedia. Jenis media untuk
pemeriksaan biakan yaitu :
1) Media padat : hasil biakan dapat diketahui 4-8 minggu
2) Media cair : hasil biakan bisa diketahui lebih cepat (1-2 minggu), tetapi lebih
mahal
2. Pemeriksaan penunjang lainnya
a. Uji tuberkulin (​Mantoux​)
b. Foto toraks
Tidak khas kecuali TB milier. Secara umum, gambaran TB milier adalah sebagai berikut :
1. Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/ tanpa infiltrat
2. Konsolidasi segmental/lobar
3. Efusi pleura
4. Milier
5. Atelektasis
6. Kavitas
7. Kalsifikasi dengan infiltrate
8. Tubekuloma
c. Pemeriksaan histopatologi (PA/Patologi Anatomi)
Pemeriksaan PA akan menunjukkan gambaran granuloma dengan nekrosis perkijuan di
tengahnya dan dapat pula ditemukan gambaran sel datia Langhans dan atau
kuman TB.

Diagnosis paling tepat dengan ditemukan basil TB dari bahan yang diambil dari penderita
misalnya sputum, bilasan lambung, biopsi dan lain-lain.
Diperlukan kombinasi antara gambaran klinis dan pemeriksaan yang relevan untuk
menegakkan tuberkulosis.

41
Diagnosis TB anak berdasarkan sistem skoring:
Digunakan untuk menegakkan diagnosis TB pada sarana kesehatan yang terbatas.
Penilaian dan pembobotan didasarkan pada ketentuan sebagai berikut :

Parameter 0 1 2 3 Skor

Tidak jelas - Laporan keluarga, BTA (+)


Kontak TB BTA (-) / BTA tidak
jelas/ tidak tahu

Negatif - - Positif (≥10 mm


Uji tuberkulin
atau ≥5 mm pada
(Mantoux)
imunokompromais)

- BB/TB<90% Klinis gizi buruk -


Berat Badan/
atau atau BB/TB<70%
Keadaan Gizi
BB/U<80% atau BB/U<60%

Demam yang - ≥2 minggu - -


tidak diketahui
penyebabnya

Batuk kronik - ≥2 minggu - -

Pembesaran - ≥1 cm, lebih - -


kelenjar limfe dari 1
kolli, aksila, KGB, tidak
inguinal nyeri

- Ada - -
Pembengkaka pembengkaka
n tulang/sendi n

42
panggul, lutut,
falang

Normal/ Gambaran - -
kelainan tidak sugestif
Foto toraks
jelas (mendukung)
TB

Skor Total

Parameter sistem skoring :

1. Kontak dengan pasien TB BTA positif diberi skor 3 bila ada bukti tertulis hasil
laboratorium BTA dari sumber penularan yang bisa diperoleh dari TB 01 atau dari hasil
laboratorium
2. Penentuan status gizi :
a. Berat badan dan panjang/tinggi badan dinilai saat pasien datang (​moment
opname​)
b. Dilakukan dengan parameter BB/TB atau BB/U. Penentuan status gizi untuk anak
usia ≤ 6 tahun merujuk pada buku KIA Kemenkes 2016, sedangkan untuk anak
usia > 6 tahun merujuk pada Standar WHO 2005 yaitu grafik IMT/U
c. Bila BB kurang, diberikan upaya perbaikan gizi dan dievaluasi selama 1-2 bulan

Terapi

A. Obat yang digunakan pada TB anak


Anak umumnya memiliki jumlah kuman yang lebih sedikit (pausibasiler) sehingga rekomendasi
pemberian 4 macam OAT pada fase intensif hanya diberikan kepada anak dengan BTA
positif, TB berat dan TB dewasa. Terapi TB pada anak dengan BTA negative
menggunakan panduan INH, Rifampisin, dan Pirazinamid pada fase inisial (2 bulan
pertama) diikuti Rifampisin dan INH pada 4 bulan fase lanjutan.

Obat antituberkulosis

Nama Obat Dosis harian Dosis maksimal Efek samping


(mg/kgBB/ hari) (mg/hari) /hari)

Isoniazid (H) 10 (7-15) 300 Hepatitis, neuritis perifer,


hipersensitivitis

Rifampisin (R) 15 (10-20) 600 Gangguan gastrointestinal,


reaksi kulit, hepatitis,
trombositopenia,

43
peningkatan enzim hati,
cairan tubuh berwarna
oranye kemerahan

Pirazinamid (Z) 35 (30-40) 2000 Toksisitas hepar, artralgia,


gangguan gastrointestinal

Etambutol (E) 20 (15–25) 1250 Neuritis optik, ketajaman


mata berkurang, buta warna
merah hijau,
hipersensitivitas,
gastrointestinal

Streptomisin (S) 15 – 40 1000 Ototoksik, nefrotoksik

Panduan OAT dan lama pengobatan TB pada anak

Kategori Diagnotik Fase Intensif Fase Lanjutan


TB Klinis 2HRZ 4HR
TB Kelenjar
Efusi pleura TB
TB terkonfirmasi Bakteriologis 2HRZE 4HR
TB paru dengan kerusakan luas
TB ekstraparu (selain TB meningitis
dan TB tulang/sendi)
TB tulang /sendi 2HRZE 10HR
TB milier
TB meningitis

B. Kombinasi dosis tetap (KDT) dan Fixed Dose Combination (FDC)


Untuk mempermudah pemberian OAT dan meningkatkan keteraturan minum obat, panduan
OAT disediakan dalam bentuk paket KDT/FDC. Satu paket dibuat untuk satu pasien
untuk satu masa pengobatan, Paket KDT untuk anak berisi obat fas e intensif, yaitu
Rifampisisn (R) 75 mg, INH (H) 50 mg, Pirazinamid (Z) 150 mg, serta obat fase lanjutan,
yaitu R 75 dan H 50 mg dalam satu paket.Dosis yang dianjurka dapat dilihat pada tabel
berikut.

Cara Pemberian:

Berat Badan (kg) Fase Intensif RHZ Fase Lanjutan RH

44
Dosis sekali minum/hari Dosis sekali minum/hari
selama 2 bulan selama 4 bulan

5–7 1 tablet 1 tablet

8 – 11 2 tablet 2 tablet

12 – 16 3 tablet 3 tablet

17 – 22 4 tablet 4 tablet

23 – 30 5 tablet 5 tablet

> 30 OAT dewasa

Keterangan :
R : Rifampisin, H: Isoniazid, Z : Porazinamid

1) Bayi dibawah 5 kg pemberian OAT secara terpisah, tidak dalam bentuk KDT dan
sebaiknya dirujuk ke RS
2) Apila ada kenaikan BB maka dosis atau numlah tablet yang diberikan disesuaikan
dengan berat badan saat itu
3) Untuk anak dengan obesitas, dosis KDT berdasarkan Berat Badan Ideal (sesuai
umur).
4) OAT KDT harus diberikan secara utuh (tidak boleh dibelah dan digerus)
5) Obat dapat diberikan dengan cara ditelan utuh, dikunyah/dikulum (​chewable​), atau
dimasukkan air dalam sendik (​dipersible​)
6) Obat diberikan pada saar perut kosong, atau paling cepat 1 jam setelah makan
7) Bila INH dikombinasi dengan Rifampisin, dosis INH tidak boleh melebihi 10
mg/KgBB/hari
8) Apabila OAT lepas diberikan dalam bentuk puyer, maka semua obat tidak boleh
digerus bersama dan dicampur dalam satu puyer.

1. Kortikosteroid diberikan pada kondisi :


a. TB meningitis
b. Sumbatan jalan napas akibat TB kelenjar (endobronkhial TB)
c. Perikarditis TB
d. TB milier dengan gangguan napas yang berat
e. Efusi pleura TB
f. TB abdomen dengan asites.

Obat yang sering digunakan adalah prednison dengan dosis 2 mg/kgBB/hari, sampai 4
mg/kgBB/hari pada kasus sakit berat, dengan dosis maksimal 60 mg/hari selama

45
4 minggu. ​Tappering-off dilakukan secara bertahap setelah 2 minggu pemberian
kecuali pada TB meningitis pemberian selama 4 minggu sebelum ​tappering-off.

2. Piridoksin
Isoniazid dapat menyebabkan defisiensi piridoksin simptomatik, terutama pada anak dengan
malnutrisi berat dan anak dengan HIV yang mendapatkan ​anti retroviral therapy
(ART). Suplementasi piridoksin (5-10 mg/hari) direkomendasikan pada HIV positif
dan malnutrisi berat.

C. Nutrisi
Status gizi pada anak dengan TB akan mempengaruhi keberhasilan pengobatan TB> Malnutrisi
berat meningkatkan resiko kematian pada anak dengan TB. Penilaian status gizi harus
dilakukan secara rutin selama anak dalam pengobatan.

D. Pemantauan dan hasil evaluasi TB anak


1. Pemantauan pengobatan pasien TB anak
Pasien TB anak harus dipastikan minum ibat setiap hari secara teratur oleh Pengawas
Menelan Obat (PMO). Orang tua merupakan PMO terbaik untuk anak. Dipantau
setiap 2 minggu selama fase intensif san sekali sebulan pada fase lanjutan.
Pada pasien TB anak dengan hasil BTA positif pada awal pengobatan, pemantaan
pengobatan dilakukan dengan melakukan pemeriksaan dahak ulang pada akhir
bulan ke-2, ke-5 dan ke-6.
Perbaikan radiologis akan terlihat dalam jangka waktu yang lama sehingga tiidak perlu
dilakukan foto toraks untuk pemantauan pengobatan kecuali pada TB milier setelah
1 bulan pengobatan dan efusi pleura setelah pengobatan 2-4minggu.
2. Hasil Akhir pengobatan pasien TB Anak

Hasil pengobatan TB anak:

Hasil pengobatan Definisi

46
Sembuh Pasien TB anak yang hasil pemeriksaan
bakteriologisnya positif pada awal pengobatan
dan telah menyelesaikan pengobatannya
secara lengkap dan pemeriksaan bakteriologis
hasilnya negatif pada AP dan pada satu
pemeriksaan sebelumnya

Pengobatan Lengkap Pasien TB anak yang telah menyelesaikan


pengobatannya secara lengkap tetapi tidak ada
hasil pemeriksaan bakteriologis ulang pada AP
dan pada satu pemeriksaan sebelumnya.

Gagal Pasien TB anak yang hasil pemeriksaan


bakteriologis positif pada bulan kelima atau
lebih selama pengobatan. Selain itu juga pasien
yang diketahui menjadi pasien TB MDR selama
pengobatan, baik dengan hasil BTA positif atau
negatif.

Meninggal Pasien TB anak yang meninggal dalam masa


pengobatan karena sebab apapun.

Putus berobat (​loss to follow up)​ Adalah pasien yang tidak berobat 2 bulan
berturut- turut atau lebih sebelum masa
pengobatannya selesai.

Tidak ada hasil evaluasi Pasien TB yang hasil akhir pengobatan tidak
diketahui. Termasuk dalam kriteria ini adalah
”pasien pindah (transfer out)” ke fasyankes lain

Tindak Lanjut
Profilaksis terutama balita:
1. Kontak (+) dengan penderita TBC terbuka, lain-lain (-) Isoniazid 5-10 mg/kgbb,
evaluasi selama 6 bulan
2. Mantoux (+), kontak (-), lain-lain (-) isoniazid 5-10 mg/kgbb selama 6 bulan
3. Pernah menderita TBC aktif sembuh
a. Menderita infeksi berat (morbili, pertusis) isoniazid 5-10 mg/kgbb selama 4
bulan
b. Mendapat imunosupresif > 7 hari isoniazid 5-10 mg/kgbb sampai
pengobatan selesai
c. Imunisasi penyakit asal virus: isoniazid 5-10 mg/kgbb selama 1 bulan
Pasien dengan keluhan neuritis perifer (misalnya: kesemutan) dan asupan piridoksin
(vitamin B6) dari bahan makanan tidak tercukupi, dapat diberikan vitamin B6 10 mg tiap 100
mg INH.

47
Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam

Kepustakaan
1. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia.Petunjuk Teknis Manajemen TB anak. 2016.
2. Kartasasmita CB, Basir D. Tuberkulosis. Dalam Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto
DB. Buku Ajar Respirologi Anak Edisi Pertama cetakan ke-empat. Badan Penerbit IDAI.
2015; 162-267.
3. Rapid Advice: Treatment of Tuberculosis in Children. WHO; 2010.
4. UKK Respirologi IDAI. Pedoman Nasional Tata Laksana Tuberkulosis Anak. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI; 2008.
5. Kartasasmita CB, dkk. Tuberkulosis. Dalam: Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi ke-1.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2008; h.162-267.
6. Kolegium Ilmu Kesehatan Anak Indonesia/IDAI. Modul Program Pendidikan Dokter
Spesialis Ilmu Kesehatan Anak. 2008.
7. Shingadia D, Burgner D. Mycobacterial Infections. Dalam: Pediatric Respiratory
Medicine. 2nd Edition. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2008; h.597-614.
8. Mandalakas AM, Starke JR. Tuberculosis and nontuberculous mycobacterial disease.
Dalam: Kendig’s Disorders of the Respiratory Tract in Children. 7th Edition.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2006; h.507-529.
9. Supriyatno B, dkk. Tuberkulosis. Dalam: Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak.
Edisi ke-1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2004; h.359-366.
10. Committee On Infectious Disease. Screening for Tuberkulosis in Infant and Children.
Pediatrics; 1999; 93:131-4.

BENCANA ASAP
K.H Yangtjik, Fifi Sofiah, Azwar Aruf

48
Definisi
Bencana asap merupakan suatu kondisi darurat yang memiliki dampak besar baik
skala nasional maupun internasional.

Etiologi
Bencana asap dalam skala besar dapat disebabkan oleh kabakaran hutan. Namun
jangan lupa masih terdapat ancaman dari asap lain yang lebh sering ditemui sehari-hari
yaotu asap rokok, asap kendaraan bermotor, dan asap biomassa.
Hampir semua negara pernah mengalami kejadian kebakaran hutan termasuk di
Indonesia. Kebakaran hutan hampir terjadi setiap tahun di Indonesia, terutama pada musim
kemarau.

Dampak polusi udara akibat asap kebakaran hutan dan abu vulkanik pada anak
Udara yang terpolusi dengan asap kebakaran hutan dan abu vulkanik lebih rentan
menimbulkan dampak kesehatan pada anak dibandingkan dewasa karena faktor fisiologis,
kebiasaan dan tingkah laku, serta lingkungan. Dibandingkan dewasa, anak lebih banyak
menghabiskan waktu diluar ruangan untuk bermain sehingga lebih bnyak menghirup udara
yang terpolusi asap. Selain itu, tinggi anak lebih pendek di bandingkan dewasa sehingga
anak menghirup lebih banyak polutan udara yang akhirnya jatuh di tanah.
Lebih tingginya frekuensi napas anak di bandingkan dengan dewasa dan semakin
meningkat sebnyak 20% ketika anak beraktivitas, lebih tingginya ​minute ventilation rate
terhadap ukuran tubuh, serta belum sempurnanya fungsi saring partikel di hidung
menyebabkan lebih bnyaknya partikel yang melewati saluran respiratori atas dan melewati
paru. Dengan demikian kadar partikel polutan dari asap yang memasuki tubuh anak lebih
besar dibanding pada dewasa. Akibatnya masalah kesehatan akibat pajanan asap lebih
besar ditemui pada anak dibandingkan dewasa.

Kandungan Asap Kebakaran Hutan


Asap yang berasal dari kebakaran hutan merupakan kompleks campuran yang
mengandung gas, partikel, uap air dan bahan organik serta mineral akibat pembakaran
yang tidak sempurna. Komposisi asap tergantung pada berbagai faktor seperti jenis bahan
( kayu dan tumbuhan) yang terbakar dan kandungan bahan tersebut, suhu api kebakaran,
kondisi angin dan cuaca serta faktor-faktor lainnya.
Komposisi asap kebakaran hutan umumnya terdiri dari:
a. Gas seperti karbon monoksida (CO) karbon dioksida (CO​2​), nitrogen oksida (NO​x​),
ozon (O​3​), sulfur dioksida (SO​2​) dan lainnya.
b. Partikel yang timbul akibat kebakaran hutan biasa disebut sebagai ​particulate ​matter
(PM). Ukuran lebih dari 10 µm (mikrometer atau mikron) biasanya tidak masuk
paru, dapat mengiritasi mata, hidung dan tenggorokan. Partikel kurang dari 10 µm
dapat terinhalasi sampai ke paru. ​Paticulate metter t​ erbagi atas:
● Partikel kasar ( ​coarse particles/​ PM​10​) apabila berukuran 2,5 – 10 µm
● Partikel halus (​fine particles/​ PM​2,5​) apabila berukuran 0,1 – 2,5 µm
● Ultrafine particles​ dengan ukuran < 0,1 µm

49
c. Bahan lainnya dalam jumlah lebih sedikit seperti aldehid ( akrolein, formaldehid),
polisiklik aromatik hidrokarbon (PAH, contoh benzo-α-pyrene), ​benzene​, toluen,
Styrenne,​ metal dan dioksin.

1. Indikator Pencemaran Udara Berdasarkan AQI


ori Rentang Nilai PM​10​ 1-3 jam (µg/m​3

ng 0
sehat untik kelompok 50 8
if
sehat 00 51
at tidak sehat 00 26
haya

Dampak Asap Kebakaran Hutan Terhadap Kesehatan


A. Efek Akut (Jangka Pendek)
p menyebabkan ​injury melalui berbagai mekanisme yang berbeda yaitu iritasi langsung,
karena kekurangan oksigen yang menimbulkan sesak napas serta absopsi toksin. Asap
kebakaran hutan,dalam jangka pendek (akut) akan menyebabkan iritasi selaput lendir
mata, hidung, tenggorokan sehingga menimbulkan gejala berupa mata perih dan berair,
hidung berair dan rasa tidak nyaman di tenggorokan, mual, sakit kepala dan memudahkan
terjadinya infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Hal lain adalah pajanan gas karbon
monoksida (CO) yang terinhalasi berpotensi meningkatkan COHb dalam darah dan ini
dapat menimbulkan keluhan seperti sakit kepala , sesak napas, mual, dan lainnya.

B. Efek Jangka Panjang


jangka panjang akibat pajanan asap kebakaran hutan dapat terjadi penurunan fungsi paru
dan peningkatan hipereaktivitas saluran napas. Terdapat bahan karsinogen pada asap
kebakaran hutan (contoh polisiklik hidrokarbon aromatik/PAH), meskipun begitu belum ada
bukti dan laporan terjadinya kanker akibat pajanan asap kebakaran hutan.
nan karbon monoksida (CO) konsentrasi rendah juga dilaporkan menimbulkan efek jangka
panjang berupa gejala yang menetap sakit kepala, mual, depresi, gangguan neurologis dan
perburukan gejala orang dengan penyakit jantung koroner.

p Pencegahan dan Penanganan Dampak Kesehatan Akibat Asap Kebakaran Hutan


ara prinsip upaya pencegahan dan penanganan dikelompokkan dalam 3 kategori yaitu
primer, sekunder dan tersier.

A. Upaya Primer
Upaya primer bertujuan untuk mencegah orang-orang tersensitasi menjadi sakit
sebagai akibat pajanan asap kebakaran hutan.

50
1. Menghilangkan sumber masalah kesehatan yaitu asap kebakaran dengan
pemadam kebakaran.

2. Meminimalkan pajanan asap kebakaran


● Mengurangi aktivitas di luar ruangan (disarankan untuk berada di dalam
rumah). Perhatikan khusus pada anak-anak untuk tidak bermain di luar
rumah karena anak-anak termasuk yang sangat rentan/berisiko.
● Hindari menambah polusi di dalam rumah misalnya merokok di dalam
rumah, menyalakan lilin, perapian ataupun sumber api lainnya dalam rumah.
● Tutup jendela dan pintu rumah rapat-rapat untuk menguragi masukknya
partikel ke dalam rumah. Tindakan ini mengurangi jumlah artikel yang dapat
masuk kedalam rumah/ruangan. Umumnya partikel yang halus masih dapat
masuk dalam kerumah/ruangan.
● Bila tersedia, gunakan ​air ​conditioner (​ AC) didalam rumah dengan syarat
ubah ke mode ​recirculate. Penggunaan ​air ​purifier / air ​cleaner ​bermanfaat
menurunkan kadar partikel dalam rumah.
● Penyediaan shelter atau rumah singgah yang mempunyai kualitas udara
baik dengan penggunaan AC mode ​recirculate dan ​air purifier / ​air cleaner
yang dapat digunakan oleh masyarakat terutama kelompok sensitif.
● Apabila berada di luar ruangan, hindari aktivitas fisik berat termasuk olah
raga.
● Apabila berkendaraan mobil, tutup semua jendela mobil dan nyalakan AC
dengan mode​ recirculate
● Gunakan masker atau respirator untuk mengurangi masuknya partikel ke
dalam saluran napas dan paru (terutama bila beraktivitas di luar ruangan).
Perhatikan cara penggunaan masker atau respirator yang benar dan tepat.
Penggunaan masker atau respirator yang tidak benar mengurangi evektivitas
proteksi memfiltrasi/menyaring partikel.
● Apabila berpergian, hindari kawasan atau area dengan kualitas udara yang
tidak sehat dan berbahaya.
3. Memantau kualitas udara untuk bisa mengambil keputusan beraktivitas di luar
rumah. Pemantauan dapat di lakukan dengan melihat laporan-laporan kualitas
udara dari media (indeks standard pencemaran udara / ISPU). Nilai ISPU
200-300 kategori tidak sehat dan ISPU > 300 berbahaya. Apabila tidak dapat
akses informasi kualitas udara, dapat melakukan penilaian kualitas udara
berdasarkan jarak pandang yang disebut ​visibility reducing particle​ (Tabel 3).
2. Level Partikel Berdasarkan Jarak Pandang
ori Pandang (km) Partikel (rata-rata 1 jam,
µg/m​3​)

m
ng km
sehat untuk orang yangm 8
sensitif
Sehat km 50

51
at tidak sehat 2,4 km 526
haya km
>526

4. Lakukan pola hidup bersih dan sehat (PHBS) seperti makan bergizi , istirahat
cukup, cuci tangan dan lainnya. Sering mencuci tangan terutama setelah
menggunakan fasilitas umum (mencuci tangan dapat menggunakan air atau
handsrub​ berbasis alkohol).

B. Upaya Sekunder
Upaya sekunder bertujuan untuk deteksi dini dan pengobatan dini masa lah kesehatan
yang muncul sebagai dampak asap kebakaran hutan.
1. Mengenali gejala-gejala atau keluhan yang timbul sebagai dampak kesehatan
akibat asap kebakaran hutan.
Pada orang dengan penyakit sebelumnya ( penyakit jantung, asma, PPOK dan
penyakit paru lainnya), mengenali tanda-tanda terjadinya perburukan atau
serangan. Hal ini sebagai upaya deteksi dini sehingga pengobatan awal dapat
segera dilakukan.
2. Mempersiapkan obat-obatan untuk pertolongan awal. Diutamakan bagi yang
mempunyai penyakit sebelumnya agar memastikan bahwa obat-obatan yang
dikonsumsi rutin cukup banyak tersedia di dalam rumah.
3. Segera ke dokter/pelayanan kesehatan terdekat apabila terjadi masalah
kesehatan yang mengganggu atau terjadi perburukan / serangan pada orang
yang mempunyai penyakit jantung atau paru sebelumnya.
4. Evaluasi dampak kesehatan asap kebakaran bagi masyarakat dapat dilakukan
oleh pemerintah setempat berupa skrining berkala (kuesioner,pemeriksaan fisik,
pemeriksaan fungsi paru dan pemeriksaan foto toraks bila memungkinkan).
C. Upaya Tersier
Upaya tersier bertujuan untuk mencegah komplikasi dan kematian pada populasi
yang sudah menderita penyakit sebagai dampak asap kebakaran hutan.
1. Apabila sudah terkena penyakit sebagai dampak kebakaran hutan,
stop/menghentikan kebiasaan yang memperburuk penyakit seperti berhenti
merokok.
2. Melakukan pengobatan maksimal dan teratur dengan berobat ke dokter atau
fasilitas pelayanan kesehatan mengkonsumsi obat yang di berikan secara teratur.
3. Jika diperlukan perwatan atau rawat inap.tata laksana pasien harus di lakukan
secara maksimal oleh fasilitas pelayanan kesehatan. Rujukan ketingkat pelayanan
lebih tinggi perlu dilakukan apabila sarana dan prasarana pelayanan kesehatan
yang tersedia belum mencukupi.

52
Tabel 5. Rekomendasi umum IDAI saat terjadi bencana kabut asap
1. Mengurangi pajanan asap
a. Tetap berada di dalam ruangan dengan jendela dan pintu tertutup.
b. Tutup tiap ada akses ke luar ruangan.
c. Air corditioner dalam mode​ recirculate,​ ganti filter secara teratur.
d. Bila ada periode berkurangnya asap, bukan ventilasi-ventilasi rumah, kemuduan bersihkan partikel
debu yang sudah sempat menumpuk dalam rumah.
e. Hindari aktivitas dalam rumah yang dapat menambah kontaminasi seperti memasak dengan
gas/kompor propane, merokok, membakar kayu.
f. Pelembab udara (​humidifier)​ atau bernapas lewat kain basah untuk menjaga kelembaban membran
mukosa
g. Kurangi aktivitas untuk mengurangi hirupan kontaminan udara.
h. Jika mungkin, populasi berisiko tinggi ( antara lain: Anak) harus segera mencari tempat dengan udara
bersih, bisa dirumah, rumah kerabat, atau tempat lain.
i. Penutupan sekolah dan aktivitas perlu dipertimbangkan jika kualitas udara sangat buruk. Namun pada
kondisi tertentu, sekolah dapat menjadi tempat dalam ruangan yang aman untuk anak, serta tempat
pemantauan aktivitas anak.
j. Abu yang terkumpul di daerah dekat dengan pembakaran dapat menyebbkan iritasi saluran respiratori
dan napas, sehingga dapat dilakukan hal-hal berikut:
● Anak jangan bermain di asap
● Gunakan sarung tangan, baju lengan panjang, celana panjang
● Jangan membuang abu di saluran air karena akansebabkan sumbatan
● Abu dapat di buang di tempat sampah.

2. Masker
a. Masker yang menyaring hingga 95% partikel berukuran ≥0,3 µm adalah masker N-95 dan hanya
efektif apabila dipakai dengan tepat di wajah. Ada pula masker N-99 atau masker N-100 dalam
bentuk ​full face​ atau ​half face​ dengan filter HEPA, namun tidak nyaman saat dipakai.
b. Masker berukuran lebih kecil dari standar bisa tampak sesuai bila dipakai oleh anak, namun produsen
masker tidak menyarankan penggunaan masker tersebut untuk anak.
c. Ganti masker bila sudah kotor, ditandai dengan perubahan warna masker atau bernapas melalui
masker bertambah sulit.

3. Penyediaan obat-obat esensial


a. Obat-obat esensial yang dapat diberikan meliputi pemberian bronkodilator, juga antiinflamasi.
Pemberian obat-obat tersebut harus sesuai indikasi medis dari dokter dan tidak digunakan untuk
jangka panjang.

4. Terapi oksigen
a. Pemberian terapi oksigen ( dengan kanula nasal, masker, oksigen, dalam kemasan) baik di dalam
maupun diluar lingkungan rumah sakit harus sesuai indikasi medis oleh dokter, misalnya pada
pneumonia atau serangan asma berat.
b. Pemberian terapi oksigen secara temporer tidak memberikan manfaat optimal selama kualitas udara
lingkungan buruk.

5. Evakuasi dan Tranportasi


Pertimbangan evakuasi harus mempertimbangkan kadar pajanan asap dilakukan evakuasi dibandingkan dengan
saat berdiam dalam ruangan. Jika dilakukan evakuasi dan meningkatnya pajanan asap. Saat dilakukan
tindakan evakuasi, siapkan obat-obatan yang biasa di gunakan oleh pasien dan keluarga untuk 5 hari.
a. Evakuasi ke penampunagn berudara bersih (​cleaner air shelter​)

53
Mempersiapkan tempat-tempat umum seperti sekolah, aula, gedung olahraga, hotel, musholla, atau masjid,
kantor, gedung serbaguna atau tempat umum lainuntuk dijadikan penampungan udara bersih.
Penampungan berudara bersih tersebut dilengkapi dengan sanitasi yang baik, penyediaan air bersih, sarana
pembuangan dan pengelolaan sampah.
Teknologi pembuatan penampungan berudara bersih adalah berdasarkan kemmpuan lokal dengan menutup
setiap ventilasi dengan plastik dan melengkapi ruangan dengan sistem penyarinagan udara.
b. Evakuasi ke lokasi aman atas indikasi medis.
Untuk anak dengan kebutuhan medis khusus, misalnya terapi oksigen, ventilator, dan lainnya, evakuasi harus di
lakukan ke lokasi aman yang memiliki kualitas udara baik.
Untuk anak yang dievakuasi ke penampungan berudara bersih namun tidak menunjukkan perbaikan gejala
bahkan memburuk dalam 5 hari harus dievakuasi ke lokasi aman dengan kualitas udara baik.

Tabel 5. Rekomendasi Khusus IDAI mengenai kesehatan anak akibat bencana kabut
asap

Kepustakaan

1. Yulianto F, Sofan P, Khomarudin MR, haidar M. Extracting the damaging effects of the
2010 eruption of Merapi volcado in Central Java, Indonsia. Nat Hazards.
2013;66:229-47.
2. International Volcanic Health Hazard Network. The Health hazards of Volcanik Ash: A
guide for the public. J Public Health. 2010;15.
3. Kementerian kesehatan Republik Indonesia. Masalah kesehatan akibat kabut asap
kebakaran hutan dan lahan tahun 2015. Jakarta: Kementrian Kesehatan republik
Indonesia; 2015.
4. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Rekomendasi kesehatan anak terhadap bencana kasus
asap. 2015.
5. Subcommittee T. Wildland fire Personnel Smoke Exposure Guidebook. 2014;

54
6. Goldizen F, Sly P, Knibbs L. Respiratory effects of air pollution on children. Pediatr
Pulmonol. 2016; 51:94-108

EFUSI PLEURA
K.H Yangtjik, Fifi Sofiah, Azwar Aruf

Definisi
Peningkatan cairan dalam rongga pleura (efusi) diakibatkan oleh: (1) meningkatnya
filtrasi dengan absorbsi yang normal atau berkurang, (2) filtrasi normal dengan absorsi yang
tidak adekuat, atau (3) tambahan cairan dari luar (rongga peritonium atau ekstravasasi
cairan intravena.

Anamnesis
Pleura efusi merupakan keadaan yang mendasari suatu gangguan. Penyakit dasar
menentukan gejala sistemik yang muncul. Pleura efusi bisa bersifat asimtomatis sampai
akumulasi cairan dalam rongga pleura tersebut menyebabkan gangguan kardiorespirasi
(dispnea, ortopnea) gejala langsung yang melibatkan pleura seperti nyeri dada, rasa
tertekan, dan dispnea. Anak yang lebih besar akan mengeluhkan nyeri yang tajam pada
saat inspirasi atau batuk yang diakibatkan karena peregangan pada pleura parieta. Nyeri
yang hebat menghambat pergerakan nafas dan menyebabkan dipsnea.

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik penting terutama pada cairan pleura yang sedikit. Pleura rub yang
diakibatkan oleh kekasaran permukaan pleura merupakan gejala awal yang dapat
ditemukan pada saat inspirasi dan ekspirasi. Jika cairan pleura bertambah, pleura rub akan
hilang. Pelebaran rongga interkostal, perkusi pekak, fremitus menurun dan suara nafas
yang berkurang. Tanda lainnya dari pleura efusi adalah pendorongan trakea dan apek
jantung kesisi kontralateral.

Diagnosis Kerja
Efusi Pleura (J49.9)

Pemeriksaan penunjang

55
Secara radiologi efusi pleura dapat dideteksi dengan foto dada posteroanterior.
Cairan minimal yang dapat dideteksi rata-rata sekitar 400 ml. Jika efusi bertambah
gambaran radiologi menunjukkan identitas air yang menyeluruh dan pelebaran rongga
pada sisi yang terkena dengan penggeseran ke sisi hemithorak kontralateral. Posisi lateral
dekubitus dapat memberikan informasi kualitas dan kuantitas dari efusi.
Ultrasonografi (USG) dapat membedakan ketebalan pleura dari efusi dan membantu
mengidentifikasi lokasi terbaik untuk torakosintesis atau saat memasukkan selang
torakostomi. Lebih lanjut USG dapat mendeteksi lokasi dan mengidentifikasi kualitas efusi.
Cairan pleura yang anekhoik mungkin transudat atau eksudat. Fokus multipel ekogenik
menunjukkan eksudat atau empiema.
Komputer tomografi (CT) scan sangat membantu dalam mengevaluasi pleura dan
parenkim pada efusi yang luas. Ketebalan pleura atau adanya massa akan terlihat lebih
jelas. Pleura parietal akan terlihat lebih jelas pada empiema. Efusi parapneumonia yang
terlokalisasi dibedakan dari akses paru oleh adanya sudut yang terbentuk antara cairan
yang mengisi ruangan dan dinding dada. ​Magnetic resonance imaging tidak menunjukkan
keuntungan yang lebih dibanding CT scan dalam mengevaluasi gangguan pada pleura.
Pemeriksaan cairan pleura dengan torakosintesis menegaskan diagnosis klinis dan
radiologis dari efusi. Lokasi torakosintesis dapat ditentukan secara klinis atau dengan USG.
Lokasi 1-2 cm di bawah bagian yang pekak pada perkusi di lineamidaksilaris atau posterior.
Tabel 1. ​Perbedaan kimia transudat dan eksudat

Konsentrasi Cairan Pleura Ratio Konsentrasi Pleural/ Serum

Jenis Efusi Protein LDH Protein LDH

Transudat <3 g/dl < 2/3* <0,5 <0,6

Eksudat >​3 g/dl > 2/3 >​0,5 >​0,6

Biopsi pleura parietal diindikasikan pada pasien dengan pleura efusi yang tidak dapat
diterangkan. Prosedur ini dapat dilakukan perkutan dengan jarum yang khusus pada saat
torakoskopi atau dengan torakotomi dengan anestesi umum.

Terapi
Pengobatan efusi pleura transudat, hemoragik dan chylus secara langsung ditujukan
sebagai terapi suportif terhadap gangguan fungsi yang timbul dan pengobatan spesifik
terhadap penyakit dasar. Evakuasi transudat hanya dilakukan untuk mengatasi dipsnea dan
gangguan kardiorespirasi lain yang disebabkan oleh pendorongan mediastinum. Pemberian
diuretik pada beberapa pasien dapat memperlambat reakumulasi transudat dan dapat
menurunkan frekuensi dilakukannya torakosisntesis.
Pada eksudat dan empiema, bakteri dapat mencapai rongga pleura melalui
fistulabronkopleura, trauma tembus pada dinding dada atau dapat melalui sirkulasi.
Pneumonia bakterial nontuberkulosis merupakan penyebab terbanyak pleura efusi karena
inflamasi atau efusi para pneumonia. Stafilokokus aureus merupakan kuman patogen

56
terbanyak penyebab empiema pada anak kecil dari 2 tahun, Steptokokus grup A
merupakan penyebab terbanyak empiema pada anak yang lebih besar dan remaja. Pleura
efusi karena infeksi memerlukan pengobatan antibiotika dan pertimbangan tindakan bedah.
Keluaran dari gangguan infalamasi pada pleura tergantung kepada masalah klinis
yang mendasari, luasnya pleura yang terlibat, usia pasien, waktu mulainya terapi awal dan
komplikasi yang timbul. Komplikasi, seperti fistula bronkopleura dan tension pneumatocele
dan fibrotorak jarang terjadi, tetapi dapat memperlambat penyembuhan.

Kepustakaan
1. Tauber D, Schidlow DV. Abnormalities of the pleural space. Dalam: Taussig LM,
Landau LI. Souef PTNL, Morgan WJ, Martinez FD, Sly PD. Pediatric Respiratory
Medicine. Philadelphia; Elseviers: 2008. p.989-997.
2. Miller FJW. FRCP. Tuberculosis in children. Evaluation, epidemiology, treatment,
prevention. London; 1982.
3. Tuberculosis of the pleura. Dalam: Edith L, Edward S, penyunting. Tuberculosis in
children. New York; 1963. h. 151-60.

EMPIEMA TORASIS
K.H Yangtjik, Fifi Sofiah, Azwar Aruf

Pengertian/Definisi
Sekresi cairan yang mengalir sampai ke ruang pleura yang terjadi secara normal
dalam keseimbangan dengan drainase oleh kelenjar getah bening subpleural. Sistem getah
bening pleural dapat mengalirkan hampir 500 mL/detik. Efusi mulai terbentuk saat volume
cairan pleural melebihi kemampuan getah bening untuk drainase.

Anamnesis
Sebanyak 70% dari empiema merupakan komplikasi pneumonia. Pasien dapat
mengeluhkan gejala demam tinggi, berkeringat, selera makan turun, malaise, dan batuk.
Radang pleura dan dyspnea dapat juga merupakan gejala pada beberapa pasien. Radang
pleura dan dyspnea tidak tergantung pada ukuran efusi.

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan perkusi tumpul dan bunyi nafas tidak ada.

Diagnosis
Empiema Torasis

Pemeriksaan Penunjang

57
Foto rontgen toraks 2 posisi dapat digunakan untuk mengevaluasi adanya efusi atau
empiema. Jika dicurigai adanya efusi, diperlukan foto lateral dekubitus.
Ultrasonografi (USG) selain dapat menunjukkan adanya cairan pleural dalam volume
kecil, juga dapat menyediakan informasi mengenai kekentalanya. Ultrasonografi dapat juga
mempertunjukkan adanya pengumpulan cairan pleural dalam septa dengan cepat.
CT scan toraks menyediakan lebih banyak informasi. CT scan dapat menggambarkan
cairan, loculasi dan perlengketan lapisan pleural. CT scan dan ultrasonografi juga
digunakan sebagai pemandu dalam penempatan kateter untuk drainase.
Dua gambar hasil rontgen toraks dan lateral dekubitus, tidak selalu dapat dilakukan di
unit gawat darurat (UGD). Gambar hasil sinar rontgen sering hanya terbatas pada sisi
tempat tidur pasien yang sakit berat. Adanya pengumpulan cairan di ruang kecil
subpulmonik tidak mungkin terdeteksi dengan sinar x. Ultrasonografi dapat
mempertunjukkan cairan pleural di dalam septa, tetapi kurang baik dalam menunjukkan
adanya ketebalan pleura.

Torakosintesis
USG ataupun CT scan yang digunakan sebagai panduan dalam melakukan
torakosintesis, dapat menentukan kesuksesan dari tindakan tersebut. Torakosintesis
tunggal dan penggunaan antibiotik dapat efektif di fase awal empiema, namun jika efusi
terjadi berulang kali maka penempatan suatu selang atau kateter toraks untuk drainase
adalah fase berikutnya.

Terapi
Pengobatan bersifat individual pada tiap pasien, bergantung pada jenis atau fase
efusi parapneumonik.
Pengobatan awal pasien dengan pneumonia dan efusi pleural melibatkan dua
keputusan besar. Pertama, memilih suatu antibiotik yang sesuai. Kedua, memutuskan
waktu yang tepat untuk pemasangan kateter drainase. Pemilihan antibiotik awal pada
umumnya dibuat berdasarkan apakah pneumonia yang diderita oleh pasien merupakan
pneumonia yang diperoleh-rumah sakit atau pneumonia diperoleh-masyarakat serta
keparahan penyakit pasien. Pada pasien dengan pneumonia yang diperoleh-masyarakat,
antibiotik yang direkomendasikan adalah generasi kedua atau generasi ketiga sefalosporin
dan makrolide sebagai tambahan. Pada pasien yang dirawat dengan peumonia
diperoleh-masyarakat yang berat, sebagai terapi awal adalah makrolid dan sefalosporin
generasi ketiga dengan aktivitas antipseudomonas. Bakteri gram negatif sering menjadi
penyebab pada pneumonia yang diperoleh dari RS sehingga perlu ditambahkan
antipseudomonas pada therapinya.
Keputusan dasar untuk memasang kateter adalah untuk kepentingan pemeriksaan
cairan pleura. Pasien dengan efusi pleural yang mempunyai ketebalan cairan pleural >10
mm berdasarkan foto rontgen RLD harus thoracentesis. Ketebalan efusi pleural <10 mm
pada foto rontgen RLD dada hampir selalu sembuh dengan antibiotik yang sesuai.
Jika thoracentesis diagnostik menghasilkan nanah yang kental, maka keadaan
tersebut disebut empiema.

Efusi parapneumonik tanpa komplikasi

58
● Jika pH cairan pleural adalah >7.20, glukosa cairan pleural > 40 mg/dL, dan LDH
cairan pleural <1000 IU/L, efusi parapneumonik adalah fase eksudatif, dan tidak
ada intervensi ataupun pengobatan lebih lanjut yang diperlukan. Jika terdapat
peningkatan ukuran efusi pleural atau demam terus berlanjut, torakosintesis dapat
diulang.
● Pasien efusi tanpa komplikasi dapat dimonitor dengan pemeriksaan fisik yang
sangat teliti dan foto toraks serial.
Efusi parapneumonik dengan komplikasi
● Jika awal torakosintesis ditemukan cairan pleural dengan pH < 7.20 atau glukosa
> 40 mg/dL, sebaiknya segera dilakukan torakostomi. Jika hasil kultur gram
cairan pleura adalah positif, torakostomi diteruskan.
● Efusi dengan komplikasi memerlukan antibiotik yang sesuai.

Prognosis
Prognosis baik pada empiema torasis tanpa komplikasi.

Kepustakaan

1. Naning R, Setyati A. Empiema. Dalam Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB. Buku
Ajar Respirologi Anak Edisi Pertama cetakan ke-empat. Badan Penerbit IDAI.
2015;550-557.
2. Crawford SE, Daum RS. Bacterial Pneumonia, Lung Abscess and Empiema. Dalam;
Taussig LM, Landau LI. Souef PTNL, Morgan WJ, Martinez FD, Sly PD. Pediatric
Respiratory Medicine. Philadelphia; Elseviers: 2008. p.501-554
3. Strahilevitz1 J, Lev1 A, Levi1 I, Fridman E, Rubinstein E. Experimental pneumococcal
pleural empyema model: the effect of moxifloxacin. Israel. J Antimicr Chem.
2003;51:665–9.
4. Alfageme, F Munoz, N Pena and S Umbria. Empyema of the thorax in adults. Etiology,
microbiologic findings, and management. ​Chest. 1 ​ 993;103;839-43.
5. MB Orringer. Thoracic empyema--back to basics.Diunduh dari: ​http://chestjournal.org​.
6. Gregory P. LeMense, Charlie Strange and Steven A. Sahn. Empyema Thoracis:
Therapeutic Management and Outcome. Diunduh dari:
http://chestjournal.org/cgi/content/abstract/107/6/ 1532​.
7. Jacinto Hernández Borge, Inmaculada Alfageme Michavila, Jesús Muñoz Méndez,
Francisco Campos Rodríguez, Nicolás Peña Griñán and Rafael Villagómez Cerrato.
Thoracic Empyema in HIV-Infected Patients: Microbiology, Management, and Outcome.
Diunduh dari: ​http://chestjournal.org/cgi/content/abstract/113/3/732​.

59
8. Ko SC, Chen KY, Hsueh PR, Luh KT and Yang PC. Fungal Empyema Thoracis: An
Emerging Clinical Entity. Diunduh dari: ​http://chestjournal.org/cgi/content/abstract/117/6/
1672​.

ABSES PARU
K.H Yangtjik, Fifi Sofiah, Azwar Aruf

Definisi
Abses paru adalah lesi pada paru yang bersifat supuratif disertai nekrotisasi jaringan di
dalamnya

Anamnesis
Pada kasus yang tipikal adalah gejala timbul 1 sampai 3 hari setelah aspirasi bahan infeksius
dengan malaise, demam, menggigil diikuti dengan batuk dan sering dengan sakit dada. Bila
tidak dlobati keadaan tambah buruk dengan nyeri pleural, sesak napas dan sianosis. Pada hari
ke 10 biasanya timbul batuk dengan nanah yang banyak berbau busuk dan campur darah. Pada
kasus yang tidak khas gejala seperti pneumonia dengan batuk sputum purulen dan batuk darah
berulang kali. Abses yang pecah ke dalam kavum pleura menimbulkan nyeri pleural hebat,
sesak napas dengan tanda - tanda empiema atau piopneumotoraks.

Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik ditemukan penderita yanq sakit berat, anemis, toksik, demam, sputum,
purulent den busuk berwarna kecoklatan. Bila sputum diendapkan tampak 3 lapis. busa, cairan

60
dan begian padat paling bawah. Pemeriksaan jasmani paling sering dijumpai redup dangan
suara napas bronkial, krepitasi dan “pleural friction" di daerah abses.

Diagnostik Kerja
Abses Paru (A06.5)

Diagnosa Banding
Pada awal penyakit, gejala klinis dan radiologis sukar dibedakan dengan pnemonia. Abses paru
yang pecah ke kavum pleura sukar dibedakan dengan empiema, kavitas dengan ​air fluid level
perlu dibedakan dengan:
● Kavitas pada karsinoma bronkus - kavitas pada tuberkulosa paru dengan sekunder
infeksi jamur.
● Bulla atau kista dengan ​air fluid level​.
● Hematoma paru, biasanya post traumatik

Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Lekositosis dapat mencapai 20.000 – 30.000/µm. Anemia ditemukan pada 80% kasus.
Pemeriksaan mikrobiologik sering ditemukan campuran infeksi. Pada abses paru dengan bau
busuk ditemukan spirochaeta, fusiform basil dan kuman anaerob serta aerob. Pada yang tidak
berbau biasanya karena kuman stafilokok, streptokok dan Friedlander's bacilli. Bakteri gram
negatif yang sering ditemukan adalah Escherichia coli dan Pseudomonas aeruginosa.

Gambaran radiologis
Pada stadium permulaan hanya terlihat konsolidasi seperti pnemonia. Kemudian berkembang
dengan reaksi pnemonitis sekitarnya. Bila telah terbentuk bronkopleural fistel akan tampak air
fluid level dalam parenkim paru. Tetapi bila memecah ke kavum pleura air fluid tampak dalam
rongga pleura.
Terapi
Terapi antimikroba
Pada saat kita mencurigai adanya keterlibatan Stafilococcus aureus maka antibiotik pilihan
utamanya adalah sefalosporin generasi pertama atau kedua ataupun klindamisin. Jika adanya
ditemukan bakteri gram negative maka aminoglikosida ataupun sefalosporin menjadi pilihan.
Antibiotik pada abses paru dapat diberikan selama 2-4 minggu.

Tindakan bedah
Tindakan bedah jarang sekali digunakan, namun tindakan ini dapat menjadi tindakan
penyelamat pada kondisi khusus. Drainase transtorakal dengan menggunakan tuba
perkutaneus dapat menghindari dilakukannya torakostomi. Beberapa komplikasi seperti
timbulnya empiema dan fistula bronkopleura dapat terjadi pada drainase transtorakal.
Torakostomi sebaiknya dilakukan pada anak yang tidak resonsif dengan pengobatan antibiotik,
juga dianjurkan pada abses yang telah berlangsung lebih dari 3 bulan, anak dengan hemoptisis
yang mengancam jiwa serta nekrosis paru masif.

61
Kepustakaan

1. Crawford SE, Daum RS. Bacterial Pneumonia, Lung Abscess and Empiema. Dalam;
Taussig LM, Landau LI. Souef PTNL, Morgan WJ, Martinez FD, Sly PD. Pediatric
Respiratory Medicine. Philadelphia; Elseviers: 2008. p.501-554
2. Brook I. Lung Abscess and Pulmonary Infections due to anaerobic bacteria. Dalam :
Chernick V, Boat TF, Wilmott RW, Bush A. Kendig’s disorders of the Respiratory tract
in Children. Philadelphia:Elsevier; 2006. h. 478-484.
3. Campbell PW. Lung abscess. Dalam: Hilman BC, penyunting. Pediatric respiratory
disease diagnosis and treatment. Philadelphia: WB Saunders; 1999. h. 257-262
4. Stauffer, John L. Lung Abscess. Dalam: McPhee S, penyunting. Current medical
diagnosis and treatment. Edisi ke-37. Stamford: Appleton & amp;1997.

PNEUMOTORAKS
K.H Yangtjik, Fifi Sofiah, Azwar Aruf

62
Definisi
Pneumotoraks adalah akumulasi udara ekstrapulmoner dalam rongga dada. Biasanya
pneumotoraks merupakan hasil dari kebocoran udara dari dalam paru-paru. Penyebab
pneumotoraks pada anak dapat dikategorikan sebagai berikut

Anamnesis
Awitan biasanya tiba-tiba dan berat ringannya gejala bergantung pada luasnya jaringan
paru yang mengalami kolaps serta penyakit dasar yang telah ada sebelumnya. Pneumotoraks
dapat menyebabkan gejala nyeri, sesak napas dan sianosis. Pada bayi, gejala dan tanda klinis
mungkin sulit dikenali. Pneumotoraks yang cukup luas mungkin dapat menyebabkan sedikit
pendorongan organ intratorakal atau mungkin tidak bergejala sama sekali. Derajat rasa nyeri
tidak berhubungan dengan luasnya pneumotoraks.

Pemeriksaan Fisik
Biasanya didapatkan distres pernapasan, retraksi dan menurunnya suara napas. Laring,
trakea dan jantung mungkin bergeser ke arah berlawanan.

Diagnosis Kerja
Pneumotoraks (J93.9)

Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis biasanya ditegakkan dengan pemeriksaan radiologis. Jumlah udara di luar
paru dapat berubah dari waktu ke waktu. USG juga dapat digunakan untuk menegakkan
diagnosis. Diagnosis tension pneumotoraks kadang-kadang dibuat hanya berdasarkan
gangguan sirkulasi atau terdengarnya bunyi “hiss” akibat udara yang keluar secara cepat saat
insersi torakotomi.

Tatalaksana
Terapi pneumotoraks bervariasi bergantung pada luasnya serta etiologi atau penyakit
paru yang mendasarinya. Tension pneumotoraks memerlukan tindakan darurat dengan
torakosintesis. Pneumotoraks yang kecil sampai sedang pada anak yang tampak normal akan
beresolusi secara spontan dalam waktu kurang lebih 1 minggu.

Kepustakaan
1. Said M, Kaswandani N, Wulandari D. Pneumotoraks. Dalam Rahajoe NN, Supriyatno B,
Setyanto DB. Buku Ajar Respirologi Anak Edisi Pertama cetakan ke-empat. Badan
Penerbit IDAI. 2015;578-582.
2. Winnie GB. Pneumothorax. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF.
Nelson textbook of pediatric. Edisi ke-18. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007. h. 1835-

63
EDEMA PARU
K.H Yangtjik, Fifi Sofiah, Azwar Aruf

Pengertian/Definisi
Edema paru dapat didefinisikan secara luas sebagai akumulasi cairan yang berlebihan
di dalam sel, ruang antar sel, dan rongga alveoli pada paru. Penyebabnya beragam, tetapi
memiliki hasil akhir yang sama, yaitu jumlah air yang berlebihan di dalam paru.

Anamnesis
Gejala klinis yang terjadi bergantung pada mekanisme timbulnya edema paru. Secara
umum, edema interstisial dan alveoli menghambat pengembangan alveoli, serta
menyebabkan atelektasis dan penurunan produksi surfaktan. Akibatnya, komplians paru dan
volume tidal berkurang. Sebagai usaha agar ventilasi semenit tetap adekuat, pasien harus
meningkatkan usaha pernapasan untuk mencukupkan volume tidal dan/atau meningkatkan
frekuensi pernapasan.

Pemeriksaan Fisik
Secara klinis dapat timbul gejala sesak napas, retraksi interkostal pada saat inspirasi,
dan perubahan berat badan. Suara merintih dapat dijumpai, yang terjadi akibat usaha untuk
mencegah kolaps paru.

Diagnosis
Edema Paru

Pemeriksaan Penunjang
Gambaran radiografi pada edema paru tidak spesifik. Bentuk-bentuk edema paru yang
lebih berat seringkali menghasilkan kesuraman perihiler, kemungkinan karena terdapat
kumpulan cairan yang banyak di perivaskular dan peribronkial di daerah ini. Penebalan
septum (edema septum-septum interlobular) terlihat sebagai garis tipis, lurus, sepanjang 2−6
cm. Pada daerah perihiler disebut sebagai garis Kerley “A”. Garis-garis yang mirip, tidak
lebih dari 2 cm, ditemukan pada lapangan paru perifer tegak lurus terhadap garis pleura,
disebut sebagai garis Kerley “B”. Garis-garis Kerley “C” lebih pendek dan membentuk pola
retikuler di bagian basiler sentral paru dan biasanya paling baik terlihat pada foto lateral.
Gambaran lain yang bisa terlihat adalah penebalan perivaskular dan peribronkial,
gambaran pembuluh darah yang lebih menonjol, serta gambaran diafragma yang terlihat
rendah.

Terapi
Terapi awal yang paling penting adalah pemberian oksigen, jika perlu dengan ventilasi
mekanik. Pemberian ventilasi mekanik bertujuan tidak hanya untuk mengurangi kerja
pernapasan saja, tetapi juga meningkatkan oksigenasi dengan mencegah kolaps alveoli
memakai ​positive end-expiratory pressure (PEEP). Peningkatan oksigenasi menyebabkan
cairan keluar ke intersitisial sehingga tidak mengganggu pertukaran gas.

64
Jika edema paru disebabkan oleh gagal jantung dengan peningkatan tekanan
mikrovaskular pulmonal, maka dapat dilakukan terapi untuk perbaikan fungsi jantung.
Perbaikan fungsi jantung dapat dicapai dengan berbagai cara, oksigen dan digitalis diberikan
untuk meningkatkan volume semenit, pemberian morfin dapat membantu mengurangi
preload d​ an ​afterload k​ arena mengurangi ansietas. Penurunan ​afterload ventrikel kiri akan
memungkinkan peningkatan fraksi ejeksi tanpa meningkatkan kerja miokardial. Aminofilin
dapat diberikan, karena selain mengurangi ​afterload​, efek lainnya dapat memperbaiki
kontraktilitas dan menyebabkan bronkodilatasi. Perbaikan kontraktilitas miokardium dapat
melalui stimulasi  adrenergik dengan obat-obat inotropik seperti dopamin, dobutamin, atau
isoproterenol dengan meningkatkan curah jantung dan menurunkan tekanan pengisian
ventrikel. Preload juga dapat dikurangi dengan posisi duduk, juga dengan pemberian
ventilasi tekanan positif. Sebagai tambahan, perlu juga diberikan terapi suportif, seperti
merencanakan pemberian cairan dengan cermat, dengan memberikan sejumlah cairan
pengganti dehidrasi, sambil melakukan koreksi asam basa, dan kemudian memberikan
cairan pemeliharaan.
Diuretik diberikan dengan tujuan mengurangi volume plasma dan pengisian atrium kiri,
juga untuk meningkatkan tekanan koloid osmotik. Mekanisme kerja diuretik dalam mengatasi
edema paru adalah dengan meningkatkan kapasitas vena, dan meningkatkan eksresi garam
dan air sehingga mengurangi pengeluaran cairan dari mikrovaskular paru.
Pada edema berat, furosemid dapat diberikan secara intravena dengan dosis 1−2
mg/kgBB. Dosis ini biasanya menghasilkan diuresis nyata yang menurunkan tekanan
mikrovaskular paru dan meningkatkan konsentrasi protein di dalam plasma. Dua perubahan
ini menghambat filtrasi cairan ke dalam paru dan mempercepat masuknya air ke dalam
mikrosirkulasi paru dari interstisial. Terapi berkelanjutan dengan furosemid, kadangkala
disertai dengan penggunaan diuretik lain seperti spironolakton dan tiazid, digunakan untuk
membantu mengendalikan edema paru. Pada terapi jangka panjang dengan diuretik sering
terjadi kehilangan sejumlah besar kalium klorida. Deplesi elektrolit ini biasanya dapat
dicegah dengan menggunakan suplementasi kalium klorida, 3−5 mEq/kgBB setiap hari.
Jika terdapat hipotensi, zat inotropik seperti dopamin dan dobutamin juga mempunyai
efek terhadap pembuluh darah paru. Jika terdapat resistensi vaskular yang tinggi, maka
dobutamin lebih efektif karena dapat meningkatkan volume jantung semenit tanpa
meningkatkan resistensi vaskular sistemik, bahkan menyebabkan vasodilatasi sistemik.
Pemberian albumin intravena bermanfaat jika edema paru disebabkan oleh penurunan
tekanan koloid osmotik. Untuk mencegah efek penumpukan cairan sementara akibat
albumin, maka pemberiannya harus lambat dan disertai diuretik. Pada bayi, serta anak-anak
dengan edema paru berat, infus albumin atau plasma biasanya tidak memberikan
keuntungan. Pemberian tersebut cenderung meningkatkan tekanan mikrovaskular paru,
sebagai usaha mengimbangi efek peningkatan tekanan osmotik protein intravaskular.
Selanjutnya, protein yang diberikan dapat bocor ke interstisial paru, sehingga menambah
beratnya edema.
Pada edema paru yang disebabkan oleh perubahan permeabilitas kapiler, seperti
ARDS, maka dapat ditambahkan steroid dan ​nonsteroid antiinflammation drug​s (NSAID)
dosis tinggi. Jika disebabkan sepsis dan ​disseminate intravascular coagulation (DIC), maka
dapat diberikan heparin dan dekstran. Pemberian antioksidan dapat dipertimbangkan pada
beberapa kasus ARDS atau NRDS.

65
Jika anemia dan edema paru berat terjadi bersama-sama, transfusi pengganti dengan
packed red cells​ (PRC) akan lebih aman dan memberikan keuntungan yang lebih besar.
Kondisi-kondisi yang merusak kerja miokardium (hipoglikemia, hipokalsemia, infeksi)
membutuhkan terapi spesifik, sementara faktor-faktor/keadaan yang meningkatkan aliran
darah paru (hipoksia, nyeri, dan demam) seharusnya dihindari atau diterapi secepatnya.
Jika tindakan-tindakan ini tidak berhasil mengurangi edema, perlu diberikan dukungan
ventilator dengan PEEP. ​Positive end-expiratory pressure tidak mengurangi kandungan air
paru, tetapi mendistribusi ulang cairan dalam rongga-rongga udara, dan memperbaiki
pertukaran gas respiras
Beberapa penelitian menemukan bahwa pemberian ventilasi mekanik dengan PEEP
dan ​continuous positive airway pressure (CPAP) cukup efektif. ​Positive end-expiratory
pressure dapat mengurangi penumpukan cairan di paru, sedangkan CPAP dapat mencegah
terjadinya kolaps unit alveoli dan membuka kembali unit alveoli yang sudah kolaps. Keadaan
ini akan meningkatkan kapasitas residu fungsional (​functional residual capacity,​ FRC).
Peningkatan FRC akan memperbaiki komplians paru, meningkatkan produksi surfaktan, dan
menurunkan resistensi vaskular. Hasil akhirnya adalah penurunan kerja pernapasan,
peningkatan oksigenasi, dan penurunan ​afterload​ jantung.

Prognosis
Goldberrefluks gastroesofagus dkk., setelah memantau 94 pasien dengan edema paru
hidrostatik, melaporkan mortalitas di RS sebesar 17%, dan data selama satu tahun adalah
51,2%. Feddulo dkk. secara retrospektif mengevaluasi hasil akhir dari pasien-pasien dengan
edema paru kardiogenik yang membutuhkan ventilator mekanik. Mereka melaporkan angka
mortalitas sebesar 56% dan menemukan bahwa derajat penurunan fungsi ventrikel kiri
berhubungan dengan mortalitas

Kepustakaan
1. Basier D, Anwar MS, Yani FF. Edema Paru. Dalam Rahajoe NN, Supriyatno B,
Setyanto DB. Buku Ajar Respirologi Anak Edisi Pertama cetakan ke-empat. Badan
Penerbit IDAI. 2015;499-510.
2. O’Brodovich H. Pulmonary Edema. Dalam : Chernick V, Boat TF, Wilmott RW, Bush
A. Kendig’s disorders of the Respiratory tract in Children. Philadelphia:Elsevier; 2006.
h. 622-638.
3. Wake LB, Matthay AM. Acute pulmonary edema. N Engl J Med. 2006;353:2788–92.
4. Mazor R, Green PT. Pulmonary edema. Dalam: Behrman ER, Kliegman MR, Jenson
BH, penyunting. Nelson’s textbook of pediatric. Edisi ke-17. Philadelphia: WB
Saunders; 2004. h. 1426–7.
5. Larsen LG, Accursa JF, Halbower CA, dkk. Pulmonary edema. Dalam: Hay WW,
Hayward RA, Levin JM, penyunting. Current pediatric diagnosis and treatment. Edisi
ke-16. Boston: Mc Graw Hill; 2003. h. 533.
6. Uejima T. Pediatric Emergencies: acute pulmonary edema. Anesthesiology Clinics of
North America; 2001.

66
TUBERKULOMA
K.H Yangtjik, Fifi Sofiah, Azwar Aruf

Definisi
Tuberkuloma adalah proses inflamasi lambat berupa massa yang sering disertai
edema perifokal. Sebagian besar lesi terletak intraparenkim dengan lokasi bisa di mana
saja di otak, tetapi lebih sering di hemisfer serebri. Tuberkuloma juga dapat ditemukan di
medula spinalis.

Anamnesis
Tuberkuloma terjadi ketika tuberkel di daerah intrakranial membesar tanpa disertai
pecahnya tuberkel ke ruang subaraknoid. Tuberkuloma dapat ditemukan tanpa disertai
meningitis tuberkulosa atau dapat terjadi bersamaan. Dari studi otopsi dengan sampel yang
cukup besar pada awal abad 20, kejadian tuberkuloma ditemukan seperempat kasus
meningitis tuberkulosa.
Gejala klinis merupakan gejala klinis lesi desak ruang dan juga tergantung dari letak
lesi. Gejala dapat berupa kejang, sedangkan demam, klinis toksik sangat jarang ditemukan.

Diagnosis
Tuberkuloma (A17.1)

Pemeriksaan Penunjang
Protein pada cairan serebrospinal (CSS) mungkin meningkat, tetapi abnormalitas
CSS lain tidak ditemukan.Kecurigaan ke arah tuberkuloma diperoleh dari pemeriksaan
radiologi, akan tetapi diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan patologi anatomi.
Pada pemeriksaan PA akan ditemukan granuloma kaseosa. Pemeriksaan BTA hanya 60%
positif pada demikian juga dengan hasil kultur.

Tatalaksana
Tata laksana dengan medikamentosa, jika terjadi hidrosefalus karena sumbatan
sistem ventrikel, maka diperlukan tindakan shunting.

Kepustakaan

67
1. Kartasasmita CB, Basir. Tuberkulosis. Dalam Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB.
Buku Ajar Respirologi Anak Edisi Pertama cetakan ke-empat. Badan Penerbit IDAI.
2015;162-267.
2. Swaiman KF, Ashwal S. Pediatric Neurology Principles & Practice. Edisi ke-4. St. Louis
: Mosby;2006.
3. Menkes JH, Sarnat HB, Maria BL. Textbook of Child Neurology. Edisi ke-7. Philadelphia
: Lippincott Williams & Wilkins; 2006.
4. Rom WN, Garay SM.Tuberculosis. Edisi ke-2. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins; 2004.
5. Madkour MM. Tuberculosis. Berlin : Springer; 2004.

Obstructive Sleep Apnea Syndrome​ (OSAS) pada Anak


G47.8

Pengertian/Definisi
OSAS adalah suatu sindrom obstruksi komplit atau parsial jalan nafas yang
menyebabkan gangguan fisiologis yang bermakna dengan dampak klinis yang bervariasi.
Istilah ​primary snoring (mendengkur primer) digunakan untuk menggambarkan anak
dengan kebiasaan mendengkur yang tidak berkaitan dengan obstruktif apnu, hipoksia atau
hipoventilasi.

Anamnesis
Manifestasi klinis yang terbanyak adalah kesulitan bernafas pada saat tidur yang
biasanya berlangsung perlahan-lahan. Sebelum gejala kesulitan bernafas terjadi,
mendengkur merupakan gejala yang timbul. Dengkuran pada anak dapat terjadi secara
terus menerus (setiap tidur) ataupun hanya pada posisi tertentu saja. Umumnya pada
OSAS anak mendengkur setiap tidur dengan dengkuran yang keras terdengar dari luar
kamar dan terlihat episode apnu yang mungkin diakhiri dengan gerakan badan atau
terbangun Sebagian kecil anak tidak memperlihatkan dengkur yang klasik, tetapi berupa
dengusan atau hembusan nafas, ​noisy breathing​ (keributan pernafasan).

Pemeriksaan Fisik
Usaha bernafas dapat terlihat dengan adanya retraksi. Posisi pada saat tidur
biasanya tengkurap, setengah duduk, atau hiperekstensi leher untuk mempertahankan
patensi jalan nafas.

Diagnosis
Sleep Apnea ( G47.3)

68
Pemeriksaan Penunjang
Cara definitif untuk menegakkan diagnosis OSAS adalah dengan pemeriksaan
polisomnografi (PSG) pada saat tidur. Pemeriksaan ini memberikan pengukuran yang
objektif mengenai beratnya penyakit dan dapat digunakan sebagai data dasar untuk
mengevaluasi keadaannya setelah operasi. Dengan menggunakan polisomnografi dapat
ditentukan derajat OSAS.
OSAS ringan apabila AHI (Apnea-hipopnea-Indeks) >5-15;
OSAS sedang nilai AHI 15-25;
OSAS berat apabila nilai AHI ​>​25.
Cara lain yang sering digunakan untuk diagnosis OSAS adalah uji tapis
menggunakan quesioner yang diperkenalkan oleh Broullette dkk dengan menggunakan
rumus sebagai berikut:

Skor OSAS = 1,42D + 1,41A + 0,71S – 3,83

D: kesulitan bernafas (0: tidak pernah, 1: sekali-sekali, 2: sering, 3: selalu)


A: apnu (0: tidak ada, 1: ada)
S: snoring (mendengkur) ((0: tidak pernah, 1: sekali-sekali, 2: sering, 3: selalu)

Dengan rumus di atas, ditentukan kemungkinan OSAS berdasarkan nilai yaitu


bukan OSAS apabila mendapatkan nilai <-1; Skor -1 sampai 3,5 berarti mungkin OSAS
mungkin bukan OSAS; dan Skor > 3,5 sangat mungkin OSAS
Dengan menggunakan skor di atas, dapat diprediksi kemungkinan OSAS meskipun
tetap memerlukan pemeriksaan polisomnografi.
Selain cara di atas digunakan pula observasi selama tidur baik menggunakan
video-tape,​ ​maupun pemantauan dengan pulse oksimetri.
Pemeriksaan laboratorium yang pernah dilaporkan adalah pertanda hipoksia kronis
seperti polisitemia atau peningkatan ekskresi metabolit ATP, kadang-kadang digunakan
sebagai indikator non spesifik OSAS. Pasien dengan hiperkapnia kronis selama tidur
dapat mengalami peningkatan bikarbonat serum yang persisten akibat kompensasi
alkalosis metabolik.

Terapi
Tatalaksana OSAS pada anak dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu tindakan
bedah dan medis (non bedah). Tindakan bedah yang dilakukan adalah tonsilektomi
dan/atau adenoidektomi dan koreksi terhadap disproporsi kraniofasial, sedangkan terapi
medis dapat berupa diet pada anak dengan obesitas dan CPAP (​Continuous Positif
Airway Pressure​ ).
Pasca tonsilektomi dan/atau adenoidektomi diperlukan pemantauan dengan
polisomnografi sebagai tindak lanjut. Kadang-kadang gejala masih ada dalam beberapa
minggu kemudian menghilang. Tatalaksana non medis lainnya seperti penanganan
obesitasnya tetap dilakukan meskipun telah dilakukan tonsilektomi dan/atau
adenoidektomi.

69
Nasal CPAP telah digunakan dengan hasil yang baik pada anak. Indikasi pemberian
CPAP adalah apabila setelah dilakukan tonsilektomi dan/atau adenoidektomi pasien
masih mempunyai gejala OSAS, atau sambil menunggu tindakan tonsilektomi dan/atau
adenoidektomi. Kunci keberhasilan terapi CPAP adalah kepatuhan berobat dan hal
tersebut memerlukan persiapan pasien yang baik, edukasi, dan pemantauan​ ​yang intensif.
Penurunan berat badan merupakan kunci keberhasilan terapi OSAS pada anak
dengan predisposisi obesitas. Selain menangani diet pada obesitas, hal yang perlu
diperhatkan adalah penyakit lain yang mungkin menyertainya seperti diabetes melitus atau
hipertensi. Oleh karena itu sambil menunggu berat badan turun diperlukan pemasangan
CPAP. Nasal CPAP harus digunakan sampai mencapai penurunan berat badan yang
cukup.
Obstruksi hidung merupakan faktor yang umumnya dapat mempermudah terjadinya
OSAS pada anak, dan dapat diobati dengan dekongestan hidung atau steroid inhaler.
Trakeostomi merupakan tindakan sementara pada anak dengan OSAS yang berat yang
mengancam hidup dan untuk anak yang tinggal di daerah dengan peralatan operasi tidak
tersedia.

Prognosis
Hipoksia nokturnal berulang, hiperkapnia dan asidosis respiratorik dapat
mengakibatkan terjadinya hipertensi pulmonal yang merupakan penyebab kematian
pasien OSAS. Keadaan di atas dapat berkembang menjadi korpulmonal.

Kepustakaan
1. Supriyatno B. Obstructive Sleep Apnea syndrome (OSAS) pada anak. Dalam Rahajoe
NN, Supriyatno B, Setyanto DB. Buku Ajar Respirologi Anak Edisi Pertama cetakan
ke-empat. Badan Penerbit IDAI. 2015; 402-411.
2. Waters KA. Sleep-disorders Breathing. Dalam; Taussig LM, Landau LI. Souef PTNL,
Morgan WJ, Martinez FD, Sly PD. Pediatric Respiratory Medicine. Philadelphia;
Elseviers: 2008. p.942-954.
3. Schechter MS. Technical report: diagnosis and management of childhood obstructive
sleep apnea syndrome. Pediatrics. 2002;109:1−20.
4. Marcus CL, Carroll JL. Obstructive sleep apnea syndrome. Dalam: Loughlin GM, Eiger
H, penyunting. Respiratory disease in children: diagnosis and management. Baltimore:
William & Wilkins; 1994. h. 475−91.
5. Carroll JL, Loughlei GM. Diagnostic criteria for obstructive sleep apnea syndrome in
children. Pediatr Pulmonol. 1992;14:71−4.

70
BRONKIEKTASIS
K.H Yangtjik, Fifi Sofiah, Azwar Aruf

Pengertian/Definisi
Bronkiektasis adalah penyakit kronis progesif yang ditandai dengan dilatasi bronkus dan
bronkiolus yang bersifat menetap serta penebalan dinding bronkus.

Anamnesis
Bronkiektasis pada anak kebanyakan ditemukan pada usia prasekolah dan usia awal
sekolah. Dari anamnesis diketahui adanya batuk yang produktif serta pengeluaran banyak
sputum yang biasanya berubah dari jernih menjadi kekuningan bahkan kuning kehijauan yang
berlangsung lebih dari 6 minggu. Sputum yang dihasilkan dapat bersifat mukoid, mukopurulen,
kental, atau ​blood-streak sputum.​ Batuk produktif merupakan tanda khas dari bronkiektasis.
Batuk biasanya terjadi pada pagi hari dan semakin memberat pada siang hari. Pada anak,
adanya peningkatan produksi sputum sulit dinilai karena kebanyakan anak terutama balita
belum mampu mengeluarkan sputum dan biasanya menelan sputum tersebut.
Demam merupakan keluhan yang tidak selalu ditemukan. Keluhan lain yaitu sesak
napas dan mengi. Pada beberapa pasien sering disebut sebagai batuk varian asma (​cough
variant asthma)​ yang tidak respon terhadap obat anti-asma. ​Anoreksia dan kenaikan berat
badan yang tidak adekuat terjadi seiring perjalanan proses penyakit.

71
Pemeriksaan Fisik
​ tau
Pada pemeriksaan fisis didapatkan adanya batuk produktif, disertai dengan ​crackles a
ronki kasar terutama di daerah lobus-bawah kiri dan lobus-tengah kanan; kadang-kadang juga
dapat terdengar mengi. Perkusi pekak merupakan pemeriksaan fisis toraks yang juga dapat
ditemukan.
Jari tabuh (​clubbing of the fingers)​ dilaporkan terdapat pada 37−51% pasien dan
menghilang setelah dilakukan reseksi daerah paru yang terkena. Adanya jari tabuh pada pasien
tanpa penyakit jantung kongenital biasanya menandakan bronkiektasis yang ireversibel.
Berdasarkan hal-hal yang dikemukakan di atas, maka yang penting adalah dapat
mengidentifikasi atau menduga adanya bronkiektasis, yaitu misalnya pada anak yang
mengalami pneumonia rekuren, atau dengan infiltrat atau atelektasis yang menetap selama 12
minggu.

Diagnosis
Bronkhiektasis (Q33.4)

Diagnosis banding
Diagnosis banding bronkiektasis meliputi hemosiderosis, hipersensitivitas pneumonitis,
obstructive sleep apnea syndrome (​ OSAS), ​right middle-lobe syndrome,​ sarkoidosis,
trakeomalasia.

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium harus dapat menyingkirkan etiologi yang mungkin dapat
menyebabkan bronkiektasis, yaitu:
● Sweat chloride​, yang merupakan pemeriksaan untuk fibrosis kistik.
● IgE, hitung eosinofil, dan presipitan serum untuk Aspergilus, kultur sputum untuk jamur, dan
uji kulit terhadap Aspergilus. Pemeriksaan ini berguna untuk menyingkirkan adanya ABPA.
● Pemeriksaan darah rutin lengkap.
● IgG, IgM, dan IgA serum.
● IgG subklas.
● Uji HIV.
● Kultur sputum atau apus orofaring dalam, dilakukan pada anak yang masih kecil.
● Antinuclear antibody​ dan ​rheumatoid factor.​

Pemeriksaan bronkografi
Secara tradisional, pemeriksaan ini digunakan untuk menegakkan diagnosis, karena
pemeriksaan radiologis yaitu foto rontgen toraks relatif tidak sensitif.

Pemeriksaan radiologis
Foto rontgen toraks postero-anterior (PA) dan lateral tetap menjadi pemeriksaan tahap awal
yang penting, meskipun gambaran radiologis yang normal tidak dapat menyingkirkan adanya
kemungkinan bronkiektasis.

High resolution CT

72
Saat ini diagnosis bronkiektasis ditegakkan dengan menggunakan HRCT (​level of evidence ​1b).
Pemeriksaan ini dapat mengklarifikasi foto rontgen toraks dan memetakan kelainan saluran
respiratorik yang tidak bias yang terlihat dengan foto rontgen toraks. Gambaran HRCT yang
dihasilkan dapat berupa:
● silindrikal (​tramlines)​ , ​signet ring appearance
● varikosa (​varicose)​
● kistik
● bentuk campuran.

Terapi

● Mengatasi obstruksi saluran respiratorik.


Chest ​physiotherapy :​Peranan chest ​physiotherapy dalam pengelolaan bronkiektasis anak
masih belum jelas. Meskipun teknik fisioterapi telah terbukti bermanfaat dalam produksi
sputum pada penderita dewasa, tetapi hal ini tidak dapat diekstrapolasikan pada anak.
Postural drainage

● Mengatasi infeksi.
Antibiotik diperlukan selama terjadi eksaserbasi akut. Jenis antibiotik bergantung pada
identifikasi dan sensitivitas organisme yang ditemukan pada pemeriksaan sputum atau
bronchoalveolar lavage​. Lama pemberian antibiotik parenteral adalah berkisar antara
2−6 minggu.


Pemberian antiinflamasi

Bronkodilator
● Operasi : Reseksi segmental atau reseksi lobus paru dapat bermanfaat pada keadaan
bronkiektasis berat dan yang terlokalisir, atau yang tidak teratasi dengan pemberian
antibiotik. ​Hasil penelitian menunjukkan bahwa antibiotik spektrum luas dapat
memberikan perbaikan yang cukup bermakna, sehingga tindakan bedah dapat ditunda.

Prognosis
Meskipun penyebab bronkiektasis tidak dapat ditentukan pada lebih kurang 50% kasus,
tetapi bila identifikasi defisiensi imun humoral, infeksi mikobakteri atau Pseudomonas, serta
fibrosis kistik atau ABPA dapat ditentukan, maka hal ini dapat meramalkan prognosis dan
penatalaksanaannya.
Bila penyebab kerusakan diketahui dini dan diberikan tindakan secara dini pula, maka
prognosis bronkiektasis pada anak cukup baik. Pertumbuhan jaringan paru baru pada anak
terjadi secara cepat saat anak berusia di bawah 6 tahun dan mulai menurun sejak setelah masa
anak. Jejas yang terjadi pada usia muda mudah dikompensasi dengan pertumbuhan paru
normal yang sehat bila penyebab bronkiektasis tidak berkelanjutan. Bila anak memiliki masalah
yang menjadi predisposisi terjadinya bronkiektasis, tindakan yang dilakukan adalah
memperlambat progresivitas penyakit.

73
Kepustakaan

1. Nataprawira HMD. Bronkiektasis . Dalam Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB.


Buku Ajar Respirologi Anak Edisi Pertama cetakan ke-empat. Badan Penerbit IDAI.
2015;540-549.
2. Chang AB, Redding GJ. Bronchiectasis. Dalam : Chernick V, Boat TF, Wilmott RW,
Bush A.
3. Kendig’s disorders of the Respiratory tract in Children. Philadelphia:Elsevier; 2006.
h. 463-477.
4. Li AM, Sonnappa S, Lex C, Wong E, Zacharasiewicz A, Bush A, dkk. Non-CF
bronchiectasis: does knowing the etiology lead to changes in management?. Eur
Respir J. 2005; 26:8–14.
5. Spencer DA. From hemp seed and porcupine quill to HRCT: advances in the
diagnosis and epidemiology of bronchiectasis. Arch Dis Child. 2005; 90:712–4.
6. Twiss J, Metcalfe R, Byrness CA. New Zealand national incidence of bronchiectasis
“too high” for a developed country. Arch Dis Child. 2005; 90:736–40.
7. Lakser O. Bronchiectasis. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB,
penyunting. Textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: Saunders; 2004. h.
1436.
8. Jan IA, Anwar M, Sallem N, Ali M, Hafiz M, Anjum. Bronchiectasis sicca: a case
report. Pak J Med Sci. 2003; 19(2):128–31.
9. Chang AB, Grimwood K, Mulholland EK, Torzillo PJ. Bronchiectasis in indigenous
children in remote Australian communities. MJA. 2002; 177:200–4.
10. Barker AF. Bronchiectasis. N Engl J Med. 2002; 346(18):1383–93.
11. Angrill J, de Celis R, Rano A, Gonzales J, Sole T, Xaubet A, dkk. Bacterial
colonization in patients with bronchiectasis: microbiological pattern and risk factors.
Thorax. 2002; 57:15–9.
12. Singleton R, Morris A, Redding G. Bronchiectasis in Alaska native children: causes
and clinical courses. Pediatr Pulmonol. 2000; 29:182–7.
13. Brown MA, Leman RJ. Bronchiectasis. Dalam: Chernick V, Boat T, penyunting.
Kendig’s disorders of the respiratory tract in children. Edisi ke-6. Philadelphia: WB
Saunders; 1998. h. 538–60.

74
HIPERPLASIA TIMUS
K.H Yangtjik, Fifi Sofiah, Azwar Aruf

Pengertian/Definisi
Kelenjar timus berwarna merah muda pada usia muda karena kaya akan pembuluh
darah dan berubah merah muda kekuningan dengan bertambahnya umur berkaitan dengan
timbunan lemak.

Anamnesis
Manifestasi klinis hiperplasia timus tergantung pada ukuran dan letak timus,
bervariasi dari asimptomatis sampai gejala akibat penekanan struktur di sekitarnya.

Pemeriksaan Fisik
Apabila ukuran timus besar dan terletak pada daerah superior thoracic inlet,​ dapat
menekan trakea sehingga menyebabkan stridor. Umumnya dengan perubahan posisi yaitu
posisi ​prone​, suara stridor dapat berkurang dan bahkan dapat menghilang.

Diagnosis
Hiperplasia Thymus

Terapi
Tatalaksana hiperplasia timus tergantung pada besarnya timus. Apabila
pembesaran kelenjar timus tidak menyebabkan gangguan obstruksi maka diobservasi saja
karena akan berkurang sesuai perkembangan umur. Namun bila menimbulkan gejala
seperti stridor maka dapat diberikan kortikosteroid selama 5-7 hari. Dengan pemberian
kortikosteroid, kelenjar timus akan mengecil. Namun setelah kortikosteroid dihentikan,
kelenjar timus dapat membesar kembali tetapi ukurannya lebih kecil. Tindakan eksisi timus
dapat dilakukan bila sumbatan jalan napas cukup mengganggu dan gagal dengan
pemberian kortikosteroid.

Prognosis
Prognosis hiperplasia timus umumnya baik. Apabila tidak memberikan respons
terhadap pemberian kortikosteroid perlu dipikirkan kemungkinan neoplasma timus.
Neoplasma kelenjar timus yang paling sering dijumpai adalah timoma. Timoma adalah
tumor berkapsul yang berbeda dengan hiperplasia yang menyebabkan perubahan bentuk
dari timus.

Kepustakaan
1. Setiawati L. Pembesaran kelenjar Timus. Dalam Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto
DB. Buku Ajar Respirologi Anak Edisi Pertama cetakan ke-empat. Badan Penerbit
IDAI. 2015;459
2. Polgreen L, Stemer M, Dietz CA, Manivel JC, Petryk A. Thymic hyperplasia in a child
treated with growth hormone. Growth Hormone & IGF Research. 2007;17:41-6.

75
3. Anastasiadis K, Ratnatunga C. Anatomy. Dalam: Anastasiadis K, Ratnatunga C,
penyunting. The Thymus Gland. Diagnosis and Surgical Management. Berlin: Springer;
2007. h. 5-8.
4. Anastasiadis K, Ratnatunga C. Thymic diseases. Dalam: Anastasiadis K, Ratnatunga
C, penyunting. The Thymus Gland. Diagnosis and Surgical Management. Berlin:
Springer; 2007. h. 17-24.
5. Gleeson F, Anderson K. Radiology. Dalam: Anastasiadis K, Ratnatunga C, penyunting.
The Thymus Gland. Diagnosis and Surgical Management. Berlin: Springer; 2007. h.
51-62.
6. Brooks JW, krummel TM. Tumors of the Chest. Dalam: Chernick V, Boat TF, Wilmott
RW, Bush A, penyunting. Kendig’s Disorders of the Respiratory Tract in Children. Edisi
ke-7. Philadelphia: WB Saunders; 2006. h. 705-32.

76
KISTA PARU
K.H Yangtjik, Fifi Sofiah, Azwar Aruf

Pengertian/Definisi
Cooke dan Blade (1952) membagi penyakit kista paru kongenital menjadi tipe
bronkogenik, alveolar, dan kombinasi kedua tipe ini. Kista paru kongenital lebih sering
ditemukan daripada kista paru didapat, biasanya berjumlah satu atau lebih, namun terbatas
pada satu lobus.

Anamnesis
Gejala klinis bervariasi, bergantung pada besar, derajat ekspansi, dan lokasi kista.
Dapat timbul pergeseran mediastinum, kompresi paru serta diafragma, dan atelektasis
kontralateral.

​Pemeriksaan Fisik
Hal ini sering terjadi pada periode neonatus dengan gejala klinis berupa takipnea,
dispnea, takikardia, stridor, sianosis, tidak adanya suara respiratorik, serta pendorongan
trakea dan jantung, tanpa adanya riwayat atau gejala infeksi.
Gejala klinis dapat pula berupa penekanan kista pada organ di sekitarnya. Gejala
klinis yang timbul dapat beragam dan lebih ditentukan oleh lokasi kista. Deformitas bentuk
dada dapat berupa ​pigeon atau ​funnel chest.​ Penekanan pada esofagus dapat
menimbulkan disfagia. Penekanan pada trakea atau bronkus proksimal dapat menimbulkan
sesak, batuk berulang, stridor hingga sindrom vena cava. Kista yang berlokasi dekat karina
dapat menimbulkan kompresi saluran respiratorik dan hiperinflasi paru sehingga timbul
gejala gawat napas yang fatal pada neonatus.

Diagnosis
Kista Paru

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan radiologis adalah pemeriksaan penunjang yang penting dalam
menegakkan diagnosis, diagnosis banding serta evaluasi. Pada kista paru alveolar
kongenital tampak bayangan radiolusen berbatas tegas yang memenuhi satu sisi rongga
toraks, berupa rongga penuh udara yang berbentuk sirkular atau bulat telur, berdinding
tipis, dan mengandung sedikit gambaran paru. Paru normal yang berisi udara ataupun
atelektasis tampak pada daerah atas atau dasar rongga paru, tetapi tidak pada daerah
hilus, sedangkan cairan dalam kista biasanya tidak ditemukan. Pendorongan mediastinum,
jantung dan diafragma juga dapat terlihat, kadang-kadang terdapat herniasi paru
menyeberangi garis tengah.
Pemeriksaan radiologis dengan kontras barium berguna pada kasus-kasus dengan
gambaran radiologis kista paru multipel yang menyerupai hernia diafragmatika, yaitu

77
gambaran lesi multikistik yang dapat menyerupai gas dan cairan usus yang berada di
dalam rongga toraks.
CT-scan memberikan gambaran morfologi, lokasi, dan isi kista yang lebih baik,
berupa gambaran massa berdensitas cairan atau jaringan lunak dengan dinding tipis yang
licin (menunjukkan kista yang unilokus/unilobular) atau berbenjol-benjol (menunjukkan kista
yang multilokus/multilobular). ​Magnetic Resonance Imaging (MRI) memberikan resolusi dan
gambar potongan sagital yang lebih baik, namun tidak selalu harus dilakukan. Pemberian
kontras pada MRI dapat memperjelas gambaran dinding kista, namun tetap tidak dapat
memberi keterangan tambahan tentang cairan di dalam kista. Diagnosis pasti didapatkan
dari gambaran patologi anatomi (PA). Pada pemeriksaan mikroskopis, akan sulit dibedakan
antara kista bronkogenik dan kista alveolar. Gambaran histologis kista sama dengan
gambaran semua sel dan jaringan yang dapat ditemukan pada trakea dan bronkus berupa
kista berdinding tipis, terdiri atas otot polos, tulang rawan, dan jaringan fibrosa. Dinding
kista dibatasi oleh sel epitel mukus bersilia yang bentuknya beragam, mulai dari epitel
silindris ​pseudostratified (menyerupai epitel trakea) hingga epitel kubus (menyerupai epitel
bronkiolus respiratorik).

Tatalaksana
Kista paru kongenital jarang mengalami regresi spontan dan dapat menimbulkan
komplikasi berbahaya seperti ruptur pleura, pneumotoraks, infeksi dengan abses,
bronkopneumonia, fistula bronkopleura, perdarahan, dan sebagainya. Oleh karena itu,
tindakan bedah merupakan pilihan terapi terbaik.

Prognosis
Tanpa pembedahan, angka kematian kista kongenital paru simtomatis pada neonatus
mencapai 100%, tetapi dengan tindakan pembedahan angka kematian dapat ditekan
menjadi 0−14%.
Prognosis pascareseksi paru pada kebanyakan anak biasanya menunjukkan
keadaan baik, dengan angka kematian dalam 30 hari pascaoperasi sebesar 0,3%.
Pengamatan jangka panjang terhadap pasien yang menjalani reseksi paru memperlihatkan
tidak adanya gangguan tumbuh kembang, dengan uji fungsi paru yang normal.

Kepustakaan
1. Setiawati L, Nurjannah, Panggabean G. Kista dan Bleb Paru. Dalam Rahajoe NN,
Supriyatno B, Setyanto DB. Buku Ajar Respirologi Anak Edisi Pertama cetakan
ke-empat. Badan Penerbit IDAI. 2015; 465-468.
2. Bhandari A. Congenital malformations of the lung and the airway. Dalam: Bell LM,
penyunting. Pediatric pulmonology. Philadelphia: Mosby; 2005. h. 46–8.
3. Green TP, Finder JD. Congenital disorders of the lungs. Dalam: Behrman RE, Kliegman
RM, Jenson HB, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia:
Saunders; 2004. h. 1425.

78
4. McAdams HP, Kirejezk, Rosado-de-Christenson ML, Matsumoto S. Bronchogenic cyst:
imaging features with clinical and histopatologic correlation. Radiology. 2000;
217:441–6.
5. Kravitz RM. Congenital malformation of the lung. Ped Clin North Am. 1994; 41:453–72.

Lobar Emfisema Kongenital


J43.8
K.H Yangtjik, Fifi Sofiah, Azwar Aruf

Definisi
Lobar emfisema kongenital adalah suatu keadaan dimana terjadi inflasi yang
berlebihan pada satu atau lebih lobus paru. Kondisi ini ditemukan 25% dari seluruh
kelahiran dan 50% di antaranya bermanifestasi saat usia 1 bulan dan menjadi jarang
memberikan gejala pada usia di atas 6 bulan.

Anamnesis
Gejala dan tanda yang timbul adalah sesak napas, adanya tanda-tanda pendorongan
berupa dada yang asimetris dengan hiperinflasi dan penurunan jumlah udara yang masuk
ke paru yang terkena, terjadinya perpindahan mediastinal ke sisi kontralateral.

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat terlihat adanya tanda-tanda pendorongan akibat
emfisemanya, yaitu iktus kordis terlihat bergeser ke sisi yang sehat, trakea terdorong, sela
iga melebar pada sisi yang sakit, dan pada auskultasi terdengar suara napas melemah
pada sisi yang sakit dan wheezing.

Diagnosis Kerja
Lobar Emphysema (J43.8)

Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan radiologis terlihat gambaran hiperaerasi pada satu sisi dan
adanya tanda pendorongan.

Tatalaksana

79
Tatalaksana dapat berupa tindakan bedah apabila dijumpai sesak dan sianosis. Pada
keadaan yang tidak gawat darurat, pasien dapat diobservasi saja dengan memberikan high
frequency ventilator sementara menyiapkan tindakan bedah.

Kepustakaan
1. Boas S. Winniae GB. Emphysema and overinflation. Dalam: Behrman RE, Kliegman
RM, Jenson HB, Stanton BF, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18.
Philadelphia: Saunders; 2007. h. 1779-80
2. Abel RM, Bush A, Chitty LS, Harcourt J, Nicholson AG. Congenital lung diseases.
Dalam: Chernick V, Boat TF, Wilmott RW, Bush A. Kendig’s disorders of the respiratory
tract in children. Edisi ke-7. Philadelphia: Elsevier Inc; 2006. h. 280-316
3. Bhandari A. Congenital malformation of the lung and the airway. Dalam: Panitch HB.
Pediatric pulmonology: the requisites in pediatrics. Philadelphia: Elsevier Mosby; 2005.
h. 45-6
4. Clements BS. Congenital malformation of the lungs and airway. Dalam: Taussig LM,
Landau LI, penyunting. Pediatric respiratory medicine. St. Louis: Mosby; h. 1123
BRONKOPULMONARI DISPLASIA
K.H Yangtjik​, Fifi Sofiah, Azwar Aruf

Pengertian/Definisi
Diagnosis klinis yang ditentukan berdasarkan ketergantungan oksigen dalam periode
waktu tertentu setelah lahir, dan disertai gambaran radiologis tertentu yang sesuai dengan
kelainan anatomi. Biasanya didapatkan pada bayi baru lahir yang mengalami
ketergantungan terhadap oksigen selama 28 hari atau lebih setelah lahir.

Anamnesis
1. Sesak napas, biru
2. Riwayat penggunaan ventilasi mekanik,oksigen dalam jangka waktu lama

Pemeriksaan Fisik
1. Takipneu,retraksi, biru
2. Mengi dan ronkhi,​wheezing s​ erta ekspirasi yang memanjang

Diagnosis
Bronkopulmonari dysplasia (P27.1)

Pemeriksaan Penunjang
1. Darah perifer lengkap
2. CRP
3. Foto toraksAP/LateralKanan
4. Analisa gas darah

Terapi
1. Respiratory support​:

80
a. Supplemen oksigen:
Me​maintance p ​ emberian oksigen yang adekuat sangatlah penting pada penderita
BPD,dengan tujuan untuk mencegah terjadinya hipoksia yang dapat memicu
terjadinya ​pulmonary hypertension,​ spasme bronkus, dan gagal tumbuh.
b. Positive pressure ventilation​.
Strategi ventilator dengan menggunakan strategi dengan memberikan waktu inspirasi dan
ekspirasi yang lambat pada pasien dengan RDS.
2. Memperbaiki fungsi paru
a. Pembatasan cairan
b. Anti diuretic terapi
c. Bronkodilator
3. Kortikosteroid
Deksamethason diberikan dengan dosis awal0,2-0,5 mg/kg BB po/iv dan dilanjutkan
dengan dosis rumatan 0,1 mg/kg BBpo/iv selama 6-8 jam.
4. Nutrisi yang optimal

Edukasi
1. Menjelaskan mengenai gejala dan penyebab penyakit
2. Menjelaskan mengenai pemberian antibiotik, dosis dan efek samping
3. Menjelaskan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi prognosis
4. Menjelaskan prognosis dan komplikasi penyakit
5. Menjelaskan perlunya pemberian imunisasi, ASI yang adekuat serta asupan gizi yang
cukup

Prognosis
Ad vitam :dubia ad malam
Ad sanationam :dubia ad malam
Ad fungsionam :dubia ad malam

Kepustakaan
1. Said M.Pneumonia. Dalam: Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi ke-1. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI; 2008; h.350-365.
2. Kolegium Ilmu Kesehatan Anak Indonesia/IDAI. Modul Program Pendidikan Dokter
Spesialis Ilmu Kesehatan Anak. 2008.
3. Alberta Medical Association. Guideline for the Diagnosis and Management of
Community Acquired Pneumonia. Pediatrics; 2001.
4. Supriyatno B, dkk. Pneumonia. Dalam : Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak.
Edisi ke-1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2004; h.351-354.
5. Crowe JE. Viral pneumonia. Dalam : Kendig’s Disorders Of The Respiratory TractIn

Children. 7​th​ Edition. Philadelphia : Saunders Elsevier ;2006; h. 433-440.
6. SteinRT, Marostica PJC. Community-acquired-bacterial Pneumonia. Dalam : Kendig’s

Disorders Of The Respiratory Tract In Children. 7​th Edition. Philadelphia : Saunders
Elsevier; 2006; h.441-452.

81
7. Crawford SE, Daum RS. Bacterial Pneumonia, Lung Abscess, and Empyema. Dalam :

Pediatric Respiratory Medicine. 2​nd Edition. Philadelphia : Mosby Elsevier; 2008;
h.501-553
8. Carter Edward R, Marshall G Susan. Sistem Respiratori dalam Nelson Ilmu Kesehatan
Anak edisike-6. Singapore : Saunders Elsevier ;2011;h.527-34
9. Iskandar D,dkk. Pneumonia. Dalam Modul pembelajaran Ilmu Kesehatan Anak. Edisi
ke-1.Surabaya : Airlangga University Press; 2014; h.287-93

KERACUNAN MINYAK TANAH


K.H Yangtjik​, Fifi Sofiah, Azwar Aruf

Definisi
Keracunan akibat terminum minyak tanah sebanyak 10 cc atau lebih

Anamnesis
Terminumnya minyak tanah, mual dan muntah, batuk-batuk, sesak nafas, sianosis, batuk
darah dan pusing

Pemeriksaan Fisik
Mudah diketahui dengan terciumnya bau minyak tanah, hipertermia, penurunan
kesadaran sampai koma, ​anogsia​, kardiomiopati, renal toksisitas,hepatotoksisitas

Diagnosis
Keracunan minyak tanah (A37.9)

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah lengkap

Terapi
1. Tidak boleh merangsang muntah dan melakukan bilasan lambung
2. Antidotum tidak ada

82
3. Bila terdapat tanda-tanda anoksia oleh karena methemoglobin,dilakukan transfusi
darah.
4. Perhatikan keseimbangan cairan, elektrolit dan asam basa serta keadaan umum
penderita.

Edukasi
1. Awasi anak dengan tepat
2. Jauhkan bahan-bahan berbahaya dari jangkauan anak

Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumsionam : dubia ad bonam/malam

Kepustakaan
1. Standar Penatalaksanaan Boks Paru Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUnsri /
RSMH Palembang
2. Roni N, Amalia S. Dalam : Nastiti NR,dkk. Buku Ajar Respirologi Anak. Ikatan Dokter
Anak Indonesia.Jakarta.2008.hal 550-5

HAMPIR TENGGELAM
K.H Yangtjik, Fifi Sofiah, Azwar Aruf

Definisi
Penderita masih hidup dalam waktu 24 jam pertama setelah kejadian

Anamnesis
Tenggelam, sesak napas

Pemeriksaan Fisis
Sesak nafas progresif, sianosis dan edema kegagalan pernafasan, renjatan (syok), gangguan
keseimbangan elektrolit dan asam basa, gangguan traktus urinarius: albuminuria sampai
ginjal akut, gangguan SSP: kejang-kejang, penurunan kesadaran sampai koma

Diagnosis Kerja
Hampir Tenggelam (T75.1)

Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium (darah tepi,analisa gas darah)
2. Pemeriksaan radiologis

83
Terapi
A. Di tempat kejadian
Segara bersihkan jalan pernafasan , reoksigensi secepatnya dengan memberikan pernafasan
buatan “mouthtomouth” . Bila ada gangguan sirkulasi henti jantung, dilakukan kompresi
jantung luar. Bila pernafasan spontan dan tidak adagangguan sirkulasi,
dilakukanpengosongan lambung.
B. Di perjalanan
Penderita diselimuti dengan selimut/kain tebal untuk mencegah hipotermia tindakan resusitasi
dilanjutkan,sesuai dengan keadaan korban dan sarana/fasilitas yang ada.
C. Di rumah sakit
a. Pengobatan emergensi/darurat
Pengobatan pertama dilakukan terhadap oksigenasi darah dan perbaikan sirkulasi.
Bersihkan orofaring secara manual. Lakukan pernafasan buatan dari mulut ke
mulut“bag to mask”,berikan oksigen 100%. Bila pulse tidak ada, lakukan kompresi
jantung luar. Lakukan intubasi endotrakeal untuk mencegah intermitten clearing
airway dan mencegah muntah.
b. Pengobatan selanjutnya
Bersama dengan tindakan/pengobatan ini, dilakukan pemeriksaan penunjang
laboratorium (darah tepi,analisa gas darah) dan radiologis.

Tindakan pengobatan selanjutnya adalah :


a. Bila penderita bernafas spontan, lakukan penghisapan air/lendir
b. Memakai intubas iendotrakeal dan diberikan oksigen 100% dengan sungkup muka
dengan IPPV/PEEP/ventilator.
c. Bila terdapat henti jantung/ tidak ada sirkulasi, dilakukan kompresi jantung luar
d. Berikan infus dextrose 5% pada penderita tenggelam air laut dan NaCI fisiologis untuk
penderita tenggelam air tawar, bila perlu pemberian darah segar/plasma
e. Pada penderita tenggelam air laut, bila kadar natrium sangat tinggi dilakukan transfuse
tukar.
f. Bila penderita tetap koma, 10-20menit setelah tindakan resusitasi, dilakukan resusitasi
otak, misalnya dengan pemberian barbiturate IV.
g. Pemberian kortikosteroid setiap 6 jam, tetapi masih kontroversial.
h. Koreksi“base-deficit” bila terdapat tanda-tanda gangguan keseimbangan asam basa
dengan bikarbonas natrikus 1-2 m Eq/L/KgBB
i. Berikan obat antibiotika parenteral, misalnya amplisillin setiap 6-8 jam Berikan
furosemide parental, sesuai indikasi dan monitor jumlah urin per 24 jam. Fisioterapi
dilakukan setelah penderita kooperatif untuk membantu pengeluaran cairan aspirasi dan
sekret.
j. Bila sarana dan fasilitas yang diperlukan kurang memadai, penderita dikirim ke ICU

Edukasi
Pengawasan ketat terhadap anak yang tidak bisa berenang

Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam/malam

84
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumsionam : dubia ad bonam/malam

Kepustakaan
1. Iskandar Zulkarnaen. Hampir tenggelam. Dalam : Nastiti NR,dkk. Buku Ajar
Respirologi Anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta. 2008. Hal 427-33
2. Kallas HJ. Drowning and near drowning. Dalam : Nelson WB, Behrman RE,
Kliegman RM, editors. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-15. Philadelphia :
Saunders; 1996. h. 264-7

SCHWARTE
Q78.8
K.H Yangtjik, Fifi Sofiah, Azwar Aruf
Definisi
Schwarte adalah suatu keadaan penebalan lapisan pleura, yang diakibatkan efusi
pleura yang sudah mengalami resorbsi

Anamnesis
Sesak nafas

Pemeriksaan Fisis
Thoraks asimetris,​stem fremitus​,suara nafas melemah,​Fleura friction rub​(+)

Diagnosis Kerja
Schwarte (Q78.8)

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan radiologis dan CT Scan

85
Terapi
Operasi thoraks :
1. Non reseksi
a. Pulmonary detachment
b. Dekortikasi
c. Torakoplasti
d. Plombage
e. Kovernoplasti
2. Reseksi
a. Segmentektomi
b. Pleuro-lobektomi
c. Pleuro- pneumektomi

Toleransi operasi :
Tergantung faal paru :
1. Absolut aman : VC >70%FEVI >70%
2. Relatif aman : VC > 40%FEVI >50%
3. Tidak aman : VC > 40%FEVI >50%
4. Indeksi respirasi : VC xFEVI=2.000

Timing operasi
a. Paru yang dioperasi tenang
b. Bronkus tidak ada peradangan
c. Obat-obat anti TBC ada yang sensitive

Edukasi
-

Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumsionam : dubia ad bonam/malam

Kepustakaan
1. Standar Penatalaksanaan Boks Paru Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUnsri/RSMH
Palembang

86
LIMFADENOPATI
K.H Yangtjik, Fifi Sofiah, Azwar Aruf

Defenisi
Pembesaran kelenjar getah bening, garis tengah terpanjangnya lebih besar daripada
10mm. Ada dua pengecualian yaitu kelenjar epitrokleas>15mm dianggap abnormal, untuk
kelenjar selangkangan >15 mm baru dianggap normal. Sedangkan limfadenopati
supraklavikula, iliaka dan poplitea, harus dianggap abnormal.

Anamnesis
Demam,pembesaran kelenjar,gejala penyakit yang mendasari

Pemeriksaan Fisik

87
Kelenjar getah bening; ukuran, nyeri tekan, konsistensi, ​mobile/immobile.

Diagnosis
Limfadenopati

Diagnosis Banding
1. Gondongan,
2. kistaduktus tiroglossus,
3. kista dermoid,
4. hemangioma

Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan darah perifer lengkap,
2. Pemeriksaan penunjang untuk penyakit yang mendasari

Terapi
Tatalaksana pembesaran kelenjar getah bening didasarkan pada penyebabnya.
Banyak kasus dari pembesaran kelenjar getah bening sembuh dengan sendirinya dan tidak
membutuhkan pengobatan apapun selain observasi

Prognosis
Ad vitam : dubia adbonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumsionam : dubia adbonam/malam

Referensi
1. Standar Penatalaksanaan Boks Paru Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK
Unsri/RSMH Palembang

EMFISEMA SUBCUTIS
K.H Yangtjik, Fifi Sofiah, Azwar Aruf

Pengertian/Definisi
Suatu keadaan dimana udara bebas dapat masuk kejaringan subkutis. Biasanya merupakan
komplikasi darisuatu keadaan, seperti fraktur orbita, trauma pada leher dan toraks, atau
dapat juga terjadi secara spontan.

Pemeriksaan Fisis
Pada perabaan didapati krepitasi bawah kulit, teraba adanya nodul fluktuasi kecil
yang bergerak bebas bila jaringan ditekan

88
Diagnosis Kerja
Emfisema Subcutis (J44.8)

Pemeriksaan penunjang
Rontgen thorak

Terapi
1. Dilakukan insisi multipel
2. Istirahat total
3. Menghilangkanfaktorpenyebab.

Prognosis
Ad vitam : dubia adbonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumsionam : dubia adbonam/malam

Kepustakaan
1. StandarPenatalaksanaanBoksParuDepartemenIlmuKesehatanAnakFKUnsri/RSM
HPalembang
2. Mardjanis S.,dkk. Dalam: Nastiti NR,dkk. Buku ajarRespirologianak.Ikatan Dokter
AnakIndonesia.Jakarta. 2008.

89

Anda mungkin juga menyukai