BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Sumatera Utara yang merupakan salah satu lapangan yang menghasilkan minyak
bumi. Daerah ini termasuk ke dalam Cekungan Sumatra Tengah yang sudah
Sukowati merupakan lapangan yang ditemukan pada tahun 1984 oleh P.T Caltex
Pada tahun 2002 lapangan ini termasuk daerah yang dikembalikan oleh P.T CPI
ke pemerintah dan sekarang dikelola oleh P.T Energi Mega Persada, Tbk. Sampai
saat ini telah dilakukan pengeboran sebanyak tiga belas sumur eksplorasi, dan
terdapat empat sumur yang telah produksi (PT. Energi Mega Persada, 2007).
Ilmu geokimia minyak dan gas bumi merupakan ilmu yang menerapkan
prinsip kimia untuk mempelajari asal mula, migrasi, akumulasi dan alterasi
minyak bumi (Hunt, 1996). Lapangan Sukowati merupakan sebuah lapangan lama
dilakukan penelitian salah satunya tentang analisis geokimia untuk evaluasi ulang
sebelumnya oleh Core Laboratorium International Ltd. (1985), PT. Caltex Pacific
korelasi batuan induk-minyak bumi yang sudah diproduksi. Analisis batuan induk
2
penting dilakukan untuk mengetahui kecocokan senyawa kimia pada batuan induk
dengan minyak bumi yang dihasilkan. Apabila terjadi ketidakcocokan, maka akan
menjadi tantangan bagi perusahaan untuk melakukan eksplorasi lebih lanjut untuk
batuan induk ini meliputi kuantitas, kualitas, dan kematangan kerogen. Selain
hasil penelitian. Selain itu juga menggunakan peta top basement dan posisi
3
tepi barat laut Cekungan Sumatera Tengah. Lapangan tersebut merupakan daerah
km sebelah utara Kota Binanga. Secara geografis pada longitude 990 26’ 00”–990
33’ 00”, latitude 10 23’ 00”–10 28’ 00” dalam sistem koordinat lintang-bujur atau
lat-long (latitude-longitude).
Februari 2014 - 27 April 2014 atau kurang lebih tiga bulan dan bertempat di PT.
data sampel minyak bumi, yaitu pada sumur SS-1 dan SS-5.
biomarker.
bagi PT. Energi Mega Persada, Tbk yang dilakukan pada daerah penelitian yang
batuan induk dengan minyak bumi. Dengan korelasi akan dapat diketahui asal
- Menurut William, et al (1985), terdapat dua fasies sumber organik utama pada
minyak (oil prone) dan terdapat pada Formasi Brown Shale pada Cekungan
kondensat atau light oil prone dan terdapat pada Formasi Coal Zone di
Cekungan Kiri.
- Katz dan Mertani (1989) dalam penelitian menyebutkan bahwa minyak bumi
umumnya > 1, rasio pristan/fitana umumnya lebih dari 2 bahkan hingga 6,9.
dua yaitu bagian utara dan selatan. Hasil evaluasi minyak bumi Blok Kampar
Barat pada bagian utara mempunyai karakteristik nilai API gravity 36,2 –
42,70, dominansi sterana C29 atas sterana C27 dan C28, dan rasio pristan/fitana
daratan atau terendapkan pada lingkungan yang oksidatif. Pada bagian selatan
mempunyai nilai API gravity sedang (30-330), dominansi sterana C27 atas
sterana C28 dan C29, rasio tm/ts yang rendah (<0,6), rasio pristan/fitana sedang
(<2,7), dan mempunyai distribusi n-alkena bimodal dengan puncak C15 - C19
dan C22 - C27 yang menunjukkan adanya kontribusi alga non laut.
Evalusi Batuan Induk pada Formasi Brown Shale Blok Kampar Barat
merupakan kerogen tipe II, potential yield rerata 6 mgHC/gr , HI rerata 188,
semua sampel belum matang dengan nilai Ro berkisar 0,47-0,49. Pada bagian
selatan berdasarkan analisis fasiesnya dibagi menjadi dua tipe genetik, yaitu
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pulau Sumatera memiliki tiga cekungan belakang busur yang besar, yaitu
dan terletak di sebelah barat daya sundaland (Eubank dan Makki, 1981). Secara
dengan luas kurang lebih 100.000 km2 (Whibbley, 1992) dan dibatasi di bagian
utara oleh Tinggian Asahan, di bagian timur oleh Semenanjung Malaya dan
Gambar 2.1. Konfigurasi dan fisiografis Cekungan Sumatera Tengah (Heidrick dan Aulia, 1993)
8
utama, yaitu tempat deposisi sedimen Eosen hingga Resen dengan beberapa horst
dan graben yang terbentuk lokal. Cekungan Sumatra Tengah mulai mengalami
rifting sejak Paleogen dengan orientasi arah relatif utara-selatan. Proses rifting
tersebut terjadi akibat penipisan lapisan kerak yang memicu naiknya mantel dan
memiliki heat flow yang tinggi, yaitu dengan rata-rata sebesar 6,80C/100 m atau
busur Sumatera (fore-arc basin) serta Pegunungan Bukit Barisan yang berada di
Gambar 2.2. Diapirisme magma yang menyebabkan tingginya heat flow (after Carvalho et al,
1980., Kay 1980 dan Ringwood, 1977 dalam Eubank dan Makki, 1981)
9
Sukowati secara garis besar sama dengan tektonik Cekungan Sumatera Tengah.
Berikut merupakan uraian tahapan evolusi struktural utama yang terjadi daerah
graben awal diperkirakan berjalan lambat. Sedimentasi rawa, sungai, dan danau
semakin dalam. Pada tahap ini beberapa sub cekungan di Sumatera tengah
bersamaan dengan penurunan muka air laut paling besar pada Masa Kenozoik
Suatu tahap tektonik yang secara umum tenang, yang meliputi suatu
- Miosen Tengah
Pengangkatan, perlipatan, pensesaran, dan aktivitas magmatis yang diikuti
respon terhadap adanya peningkatan gaya geser menganan pada batas lempeng.
pada awal dan akhir Pliosen. Gaya geser menganan dan kompresi menghasilkan
model struktur tektonik sesar mendatar merencong yang terdiri dari sesar
bersudut besar, sesar sungkup, dan sumbu-sumbu lipatan orde pertama yang
Hal ini disesuaikan dengan terminologi yang digunakan oleh PT. Energi Mega
Persada, Tbk. Penamaan ini berbeda dengan penamaan yang digunakan oleh De
Coster (1974) yang digunakan pada Cekungan Sumatra Tengah bagian selatan
daerah penelitian. Lapangan Sukowati terletak pada graben mandian. Berikut ini
adalah satuan stratigrafi utama penyusun Cekungan Sumatra Tengah dari paling
a. Lempeng Mikro Mergui yang berumur Permian – Karbon tersusun oleh batuan
Sumatera Tengah dan terdiri dari dominasi dua fasies kontinental, yaitu a)
sisipan serpih danau yang kaya material organik dan b) sekuen konglomerat
(Yarmanto, et al., 1995) dan berumur Eosen-Oligosen berkisar 50-24 jtl (William
sub-aerial yang luas. Serpih organik dianggap berasal dari kondisi lingkungan
yang tergenang air, seperti rawa-rawa yang merupakan lingkungan reduksi yang
dijumpai antara lain abu-abu, hijau, ungu dan merah. Distribusi fasies pada
formasi ini kurang dapat dibedakan dengan baik akibat data sumur yang
Formasi Brown Shale menindih selaras diatas Formasi Lower Red Bed,
bahkan di beberapa area mempunyai fasies lateral yang sama. Litologi batuan
formasi ini adalah laminasi batuserpih dan batulanau yang mempunyai warna
coklat-hitam. Batuserpih dan batulanau pada formasi ini kaya akan kandungan
material organik dan menandakan batuan tersebut diendapkan pada kondisi air
Formasi Coal Zone adalah formasi yang sebagian secara lateral setara
dengan Formasi Brown Shale dan sebagian sedikit lebih muda, terjadi
Formasi ini mencapai ketebalan lebih dari 2.000 kaki, namun beberapa
Ketebalan formasi umumnya lebih dari 2000 kaki. Pada area cekungan yang
lebih dalam Formasi Lake Fill menindih selaras diatas Formasi Brown Shale
e. Formasi Fanglomerat
yang membatasi fault scarps dan berhubungan dengan kipas aluvial. Formasi
dan Telisa
a. Formasi Menggala
Secara regional formasi ini tersusun oleh kombinasi dari fluvial non-marine,
b. Formasi Bangko
bawah hingga laut dangkal, dengan bukti ditemukannya bioturbasi dan fauna
laut dangkal ke arah bagian atas formasi (PT.Energi Mega Persada, 2007).
c. Formasi Bekasap
terdiri dari batupasir halus-kasar, bersifat masif, dan berseling dengan serpih
tipis. Dijumpai juga lapisan batubara dan batugamping tipis, dicirikan dengan
pola progradasi dan mengkasar ke atas pada batupasir yang merupakan hasil
d. Formasi Duri
Terdiri atas suatu seri batupasir halus-sedang dan berselingan dengan serpih
dengan ketebalan mencapai lebih dari 300 kaki, terbentuk pada lingkungan
inner neritic deltaic di bagian utara dan tengah cekungan. Seri tersebut secara
e. Formasi Telisa
diendapkan pada lingkungan sub-litoral luar hingga batial atas. Formasi ini
secara tidak selaras ditutupi oleh endapan vulkanik Kota Alam, Formasi
bagian bawah tetapi semakin berkurang ke atas. Formasi ini tersusun atas
Formasi Minas / Aluvium. Formasi ini terdiri dari lapisan tipis gravel, pasir
kuarsa, lempung serta limonit yang berwarna kuning. Diendapkan secara tidak
selaras diatas Formasi Petani pada Pliosen-Pleistosen sekitar 2,8 jtl (Yarmanto, et
al., 1995). Selain itu pada Lapangan Sukowati terdapat batuan vulkanik dan
sub-cekungan Tibawan, Pendalian, dan Kota Mesjid. Seri vulkanik ini mempunyai
Gambar 2.4. Kolom Stratigrafi Regional Cekungan Sumatera Tengah (PT. Energi Mega Persada,
2007 modified from Heidrick dan Aulia, 1993)
Secara umum terdapat lima struktur utama di daerah penelitian dengan arah
Tinggian Pulau Gadang adalah tinggian struktural yang dibatasi oleh sesar
- Antiform Basar
- Tinggian Pendalian
- Antiklin Rokan
Antiklin Rokan merupakan suatu antiklin yang dapat diketahui dari data
permukaan dan seismik, dibatasi oleh sesar naik dengan sudut besar. Antiklin ini
merupakan lanjutan dari antiklin Linggai kearah barat laut yang mempunyai
sumbu lipatan berbentuk “S” dan berubah menjadi simetri searah jurus.
19
Gambar 2.5. Peta kerangka struktural Cekungan Sumatera Tengah (Heidrick dan Aulia, 1993)
pada Lapangan Sukowati oleh PT. Energi Mega Persada (2007) adalah sebagai
berikut :
Batuan induk potensial lainnya pada area ini adalah Formasi Telisa yang
Gambar 2.6. Model burial history pada daerah penelitian berdasarkan data sumur SS-1
(PT. Energi Mega Persada, 2007)
II.1.5.2. Reservoar
Ketebalan lapisan batuan reservoar berkisar antara 2-42 kaki (Sumur SS-1) dan 2-
31 kaki (Sumur SS-2). Porositas batuan reservoar tersebut bervariasi dari 16-
terdiri dari batuan tudung regional yaitu Formasi Telisa dan batuan tudung
sebagai batuan tudung hidrokarbon efektif dan juga menjadi batuan pelindung
Sihapas juga dapat berperan sebagai batuan tudung saat menutupi batupasir.
21
Kelompok Sihapas yang tidak selaras di atas batuan dasar (Gambar 2.8B).
Gambar 2.7. Perangkap antiklin tersesarkan (A) dan ketidakselarasan (B) di Lapangan Sukowati
(PT. Energi Mega Persada, 2007)
22
dasarnya terjadi secara vertikal dan lateral. Migrasi vertikal menuju batuan
reservoar yang lebih dangkal terjadi melalui zona-zona kekar dan sesar secara
Gambar 2.8. Diagram skematis yang memperlihatkan migrasi vertikal (A) dan migrasi lateral (B)
di Lapangan Sukowati (PT. Energi Mega Persada, 2007
membentuk suatu akumulasi minyak dan gas bumi (Hunt, 1996). Batuan induk
a. Batuan induk potensial, yaitu batuan induk yang masih belum matang
alamiahnya, namun dapat menghasilkan minyak atau gas bumi dalam jumlah
b. Batuan induk efektif, yaitu batuan induk yang telah menghasilkan dan
mengeluarkan minyak atau gas bumi menuju reservoar, dapat bersifat aktif
pada batuan induk dapat diketahui dari hasil analisis Total Organic Carbon
(TOC) yang didapat dari analisa pemanasan conto batuan. Nilai TOC yang
kerogen, sehingga kita dapat mengetahui produk utama dari batuan induk
tersebut.
Tabel 2.2. Klasifikasi kandungan hidrogen beserta produk utamanya (Waples, 1985 dalam
Subroto, 1993)
bentuk sayatan poles dibawah mikroskop; kedua, berdasarkan data Tmax hasil
Tabel 2.3. Klasifikasi berbagai analisis kematangan kerogen (Peters & Cassa, 1994)
Parameter
Tingkat Kematangan
Ro (%) Tmax (°C) TAI
Belum Matang 0,2 – 0,6 < 435 1,5 – 2,6
Matang
Awal 0,6 – 0,65 435 - 445 2,6 – 2,7
Puncak 0,65 – 0,9 445 - 450 2,6 – 2,7
Akhir 0,9 – 1,35 450 - 470 2,9 – 3,3
Sangat Matang > 1,35 > 470 > 3,3
subkelompok seperti: kitin, lilin, resin, pigmen, glikosida, lemak, dan minyak
organisme laut yang dapat membentuk material organic, sedangkan spora, polen,
organik debris, kayu, dan material organik daur ulang merupakan organisme darat
yang dapat membentuk material organik. Pada dasarnya tidak semua material
sebagian akan dimakan organisme dan dapat juga bereaksi dengan zat mineral
(Hunt, 1996).
kaya akan material organik (Killops dan Killops, 2005). Pertama, diperlukan
suplai material organik dalam jumlah yang cukup banyak. Kedua, dibutuhkan
rendah dan pengaruh gelombang yang terbatas). Hal ini penting untuk
dan agar terhindar dari proses erosi. Ketiga, input material anorganik yang
Gambar 2.9. Lingkungan pengendapan tempat terbentuknya deposit kaya material organik
(Brooks et al., 1987 dalam Killops dan Killops, 2005)
II.2.3. Kerogen
mampu menghasilkan minyak atau gas (oil shale) bila mengalami pemanasan.
Setelah itu, istilah kerogen didefinisikan sebagai semua material organik pada
batuan sedimen yang tidak terlarut oleh pelarut asam, basa, dan organik non
oksidan. Kerogen dalam batuan dapat berasal dari empat sumber utama, yaitu:
marine, lacustrine, terrestrial, dan recycled. Sebagian besar minyak bumi yang
sebagian besar batubara berasal dari tumbuhan darat dan kerogen daur ulang yang
Bitumen adalah zat alami berbentuk padat dan cair yang terbentuk dari
terutama tersusun oleh unsur karbon dan hidrogen. Bitumen dapat berasosiasi
temperatur. Selama diagenesis awal pada lingkungan air, bahan organik dipecah
oleh mikroba ke dalam konstituen yang lebih kecil dan melalui reaksi kondensasi
perusakan material organik akibat proses oksidasi oleh mikroba, sehingga terjadi
Potensi alur pembentukan kerogen dapat dilihat pada Gambar 2.10 dimana
terlihat bahwa kerogen tidak hanya terbentuk dari biomakromolekul yang resisten
pada biomolekul LMW dapat membentuk makromolekul yang kaya sulfur pada
kerogen, sedangkan preservasi lipid pada kerogen terjadi pada akhir proses
Kerogen tersebar pada batuan sedimen dalam bentuk yang sangat halus
hidrogen merupakan unsur utama pada kerogen, selain itu kandungan oksigen
juga penting pada struktur kerogen. Kandungan alifatik pada kerogen umumnya
yang dapat mengandung nitrogen, sulfur dan oksigen (Killops dan Killops, 2005)
29
Tabel 2.4. Perubahan komposisi pada tiga tipe kerogen utama akibat penambahan kematangan
(after Behar dan Vandenbroucke, 1987 dalam Killops dan Killops, 2005)
Oksigen (O) dapat diklasifikan menjadi empat, yaitu kerogen tipe I, II, III dan IV.
Berikut merupakan uraian dari keempat tipe tersebut (Killops dan Killops, 2005):
a. Kerogen Tipe I
Kerogen tipe I relatif jarang, dan awalnya memiliki rasio atom H/C
yang tinggi (>1,5) dan rasio atom O/C rendah (<0,1). Mengandung material
lipid yang signifikan, terutama alifatik rantai panjang. Lipid ini terutama
berasal dari material organik yang berasal dari laut, seperti phytoplankton
b. Kerogen Tipe II
atom H/C relatif tinggi (0,8-1,5) dan rasio O/C yang rendah (0,1 – 0,2).
Struktur alifatik yang penting dan terdiri dari rantai yang cukup panjang
30
(sampai C25) dan sistem cincin (naftena). Tipe kerogen ini berasal dari
Kerogen tipe III memiliki rasio atom H/C yang rendah (<1,0) dan O/C
yang tinggi (hingga 0,3) pada awalnya. Mempunyai kandungan yang tinggi
dari unsur oksigen dan kelompok alifatik hadir dalam jumlah kecil,
didominasi oleh metil dan rantai pendek lainnya, serta sering berikatan dengan
d. Kerogen Tipe IV
inertinit dengan kandungan vitrinit yang minor. Tipe kerogen ini tidak
material tumbuhan tingkat tinggi yang telah mengalami tingkat oksidasi yang
Tabel 2.5. Klasifikasi dan komposisi kerogen (Waples, 1985 dalam Subroto, 1993)
Asal usul minyak dan gas bumi mempunyai dua jalur utama (Gambar 2.11)
yaitu dimana sekitar 10-20% minyak dan gas bumi terbentuk langsung dari
sintesis hidrokarbon oleh organisme hidup yang dapat dengan mudah berubah
melibatkan konversi lipid, protein, dan hidrokarbon dari material organik pada
batuan sedimen. Dimana ketika kerogen terkubur dalam dengan temperatur tinggi
akan terjadi cracking untuk membentuk bitumen dan lebih lanjut menjadi minyak
dan gas bumi. Minyak dan gas bumi yang terkubur dengan temperatur tinggi
dapat berubah mengikuti dua jalur, yaitu didominasi oleh peningkatan molekul
hidrogen berukuran kecil dan didominasi oleh molekul hidrogen berukuran besar.
Hasil akhir produk dari keduanya adalah metana dan grafit (Hunt, 1996).
Gambar 2.11. Skema asal dan proses pembentukan minyak dan gas bumi (Hunt, 1996)
32
II.2.4.1. Diagenesis
500C. Dalam tahap diagenesis, suhu dan tekanan mempunyai peranan kecil dan
transformasi terjadi dalam kondisi sederhana. Selama awal diagenesis, agen utama
yang berperan sebagai pengurai adalah aktivitas mikroba. Pada diagenesis awal
terbentuk dalam proses diagenesis adalah metana, selain itu juga dihasilkan CO2,
H2O dan beberapa senyawa heteroatomik berat (Tissot dan Welte, 1984).
II.2.4.2. Katagenesis
mengakibatkan peningkatan suhu dan tekanan. Suhu dapat berkisar dari sekitar
atau 1.500 bar. Akibatnya material organik mengalami perubahan besar melalui
Pada tahap ini dikenal istilah oil window, yaitu interval kedalaman dimana
1996). Akhir katagenesis mencapai di kisaran mana hilangnya dari rantai karbon
II.2.4.3. Metagenesis
10000 m. Semua fluida yang telah terbentuk berubah menjadi dry gas (over
gas metana masih terbentuk dan material organik yang tersisa berubah menjadi
Minyak dan gas bumi atau petroleum merupakan salah satu bentuk bitumen
yang terutama terdiri dari hidrokarbon yang ada dalam bentuk cair atau gas dalam
reservoir alaminya. Kata petroleum berasal dari bahasa latin “petra” yang berarti
batuan dan “oleum” yang berarti minyak. Minyak dan Gas Bumi tersusun hampir
seluruhnya oleh unsur hidrogen dan karbon, yang dalam rasio sekitar 1,85 atom
hidrogen dibanding 1 atom karbon dalam minyak mentah (crude oil). Densitas
atau berat jenis minyak bumi berdasarkan klasifikasi API (Hunt, 1996) dapat
Tabel 2.6. Klasifikasi minyak bumi berdasarkan API/American Petroleum Institute (Hunt, 1996)
Minyak dan gas bumi juga tersusun oleh unsur minor, diantaranya:
nitrogen, sulfur, dan oksigen (NSO) yaitu sekitar 3%, selain itu dapat dijumpai
kehadiran logam berat seperti vanadium dan nikel. Unsur karbon dan hidrogen
yang bervariasi pada minyak mentah. Perbedaan sifat fisik dan kimia hidrokarbon
disebabkan karena perbedaan distribusi ukuran dan jenis dari hidrokarbon dan
mengubah bentuk gas menjadi cair hingga padat. Pada seri parafin nilai C1-C4
menunjukkan gas, C5-C16 untuk cairan, dan diatas C16 untuk padatan (Hunt,
1996).
nama-nama sebagai berikut: alkana adalah molekul rantai terbuka dengan ikatan
tunggal antara atom karbon; sikloalkana merupakan alkana yang berbentuk cincin;
alkena mengandung satu atau lebih ikatan rangkap antara atom karbon; dan arena
merupakan hidrokarbon dengan satu atau lebih cincin benzena. Namun sebagian
besar sering mendengar istilah parafin untuk alkana, naftena atau sikloparafin
untuk sikloalkana, olefin untuk alkena, dan aromatik untuk arena (Hunt, 1996) :
35
a. Parafin (CnH2n+2)
kedua setelah naftena. Parafin didominasi oleh fraksi gasolin dan merupakan
hidrokarbon utama pada reservoar tua (yang telah terkubur dalam). Istilah lain
bercabang.
terbanyak (rata-rata ± 50%), akan bertambah jumlahnya pada fraksi yang lebih
berat dan menurun pada fraksi ringan. Naftena yang sering muncul pada
keduanya hadir 2% atau lebih dalam minyak mentah. Naftena dan parafin juga
disebut sebagai hidrokarbon jenuh karena semua ikatan karbon yang tersedia
c. Olefin (CnH2n-2)
dua atom karbon atau lebih, hal tersebut menyebabkan unsur ini menjadi
dalam minyak mentah dan mudah tereduksi menjadi parafin atau thiol oleh
hidrogen sulfida pada sedimen. Contoh paling umum yang ditemukan adalah
d. Aromatik (CnH2n-6)
bentuk fraksi berat seperti pelumas dan residu, dimana prosentasenya lebih
dari 50%. Keterdapatannya jarang mencapai lebih dari 15% dalam minyak
sulfur, atau oksigen dalam molekul. Meskipun unsur ini hadir dalam jumlah
terhadap batuan induk meliputi kuantitas, kualitas dan kematangan termal material
Leco. Teknik yang dilakukan cukup sederhana, yaitu dengan membakar sampel
berbentuk bubuk yang bebas mineral karbonat pada temperatur tinggi dengan
bantuan oksigen (Gambar 2.12). Semua karbon organik akan berubah menjadi
Jumlah karbon dioksida yang di dapat proporsional dengan jumlah karbon organik
melakukan pirolisis pada kondisi atmosfer inert (mis. dengan Helium) dengan
digunakan larutan HCl dan HF. Dari analisa Rock-Eval Pyrolysis akan diperoleh
batuan pada temperatur < 3000C, yang dihasilkan dari kerogen selama
proses pengendapan.
e. Hydrogen Index (HI) atau (S2/TOC) x 100 dan Oxygen Index (OI) atau
Gambar 2.14. (A) Diagram Pseudo Van Krevelen (dari Espitalie et al., 1977 dalam Waples, 1981)
dan (B) Diagram HI vs Tmax (Hunt, 1996)
dari awal sampai akhir saat oil window. Nilai PI yang tinggi menunjukkan
migrasi minyak, terutama jika nilai Tmax menurun dan TOC meningkat
lebih panjang dibandingkan teknik atau indikator lainnya. Maseral lain seperti
Gambar 2.15. Perubahan pemantulan pada minyak (Ro) untuk A. Inertinit; B. Vitrinit; dan
C. Liptinit (Murchison, 1969 dalam Hunt, 1996)
molekul pada maseral. Vitrinit mengandung klaster cincin aromatik yang saling
menjadi struktur cincin aromatik yang lebih besar dengan orientasi yang lebih
Gambar 2.16. Perubahan struktur molekul kerogen tipe I; A) awal diagenesis dan B) akhir
katagenesis (Behar dan Vendenbroucke, 1987 dalam Hunt, 1996)
- Vitrinit dapat terbentuk dari beberapa sumber, yaitu primer, daur ulang,
caving dan mud additives. Vitrinit primer yang dapat digunakan untuk
analisis kematangan.
tekstur vitrinit yang kasar, oksidasi, dan inklusi oleh pirit ataupun bitumen.
- Material yang terlihat seperti vitrinit, seperti bitumen padat (beberapa tipe),
Kromatografi gas atau gas chromatography (GC) adalah oven yang berisi
sebuah kolom gelas atau logam panjang, kecil, dan melingkar (Gambar 2.17)
dimana salah satu ujung kolom dihubungkan dengan tempat sampel diinjeksikan
ke dalam kolom. Ujung yang lain dihubungkan dengan suatu detektor yang dapat
dipisahkan. Laju aliran suatu molekul tergantung dengan berat molekul dan
42
polaritasnya. Molekul yang berat bergerak lebih lambat daripada yang ringan dan
molekul polar bergerak lebih lambat daripada molekul non polar (Subroto, 1993).
yang autentik. Waktu retensi adalah waktu yang diperlukan suatu komponen
suatu alat penghubung antarfase. Dalam sistem ini fungsi kromatografi gas
tersebut dengan energi yang besar, sehingga elektronnya keluar dari molekul dan
didalam suatu tempat oleh medan magnet di dalam spektometri massa. Radius
tempat tersebut tergantung pada dua hal, yaitu rasio massa/muatan (m/z atau m/e)
ion dan kekuatan medan magnet. Senyawa dengan struktur kimia sama memiliki
spektra massa sama, dimana sterana mempunyai puncak m/z 217, sedangkan
triterpana memiliki puncak m/z 191 yang tinggi. Grafik yang didapat dengan
Gambar 2.18. Diagram skematik kombinasi kromatografi gas-spektrometri massa (Subroto, 1993)
44
II.2.7. Biomarker
skeleton yang terbentuk dari organisme hidup dan cukup stabil untuk bertahan
pada minyak mentah atau material organik. Terdapat dua blok dasar pembentukan
biomarker, yaitu: pertama, 2-struktur karbon asam asetat yang bergabung untuk
membentuk rantai karbon panjang dan kedua, 5-struktur karbon isoprena yang
II.2.7.1. n- Parafin
ganjil terdiri dari C25-C37 di berbagai tumbuhan. C27, C29, dan C31 terbentuk dari
lilin tumbuhan darat, sedangkan hidrokarbon C15, C17, dan C19 terbentuk dari
plankton. Kedua, n-parafin bernomor genap yang terbentuk pada karbonat anoksik
atau sedimen evaporit, karena pada lingkungan yang sangat reduktif, oksigen pada
asam atau alkohol melepas H2O tanpa kehilangan atom karbon (Hunt, 1996). Data
Index), salah satunya menggunakan rumus perhitungan Bray & Evans (1961):
45
Nilai CPI pada batuan induk yang belum matang umumnya >> 1,0, namun
dan hilangnya komponen OEP selama proses ekspulsi hidrokarbon (Killops dan
Killops, 2005). Selain itu, bentuk pola kromatogram dapat digunakan untuk
menentukan tipe batuan induk yang menghasilkan minyak bumi (Gambar 2.19.)
Gambar 2.19. Pola kromatogram fraksi hidrokarbon jenuh C10+ penciri tipe karakteristik crude oil
di Indonesia (Robinson, 1987)
46
minyak mentah dan batuan induk adalah pristana (C19) dan fitana (C20).
Isoprenoid yang lebih kecil seperti norpristana (C18) dan farnesana (C15) hadir
dalam konsentrasi yang lebih rendah daripada pristana dan fitana, sehingga
pristana. Minyak low wax yang berasal dari batuan induk marine memiliki rasio
Pr/Ph 1-3. Minyak high wax dan kondensat berasal dari batuan induk non
marine memiliki rasio Pr/Ph 5-11 menunjukkan material organik berasal dari
darat (Powell and McKirdy, 1973 dalam Peters, et al, 2005). Selain itu rasio
Pr/nC17 < 0.5 menunjukkan minyak berasal dari marine source rock, sedangkan
jika Pr/nC17 > 1 menunjukkan minyak berasal dari batuan induk terendapkan di
minyak bumi dengan nomor karbon dari C5-C40 (Albaiges, 1980 dalam Hunt,
memiliki struktur yang sama dengan pristana dan fitana, tetapi gugus metil
mengandung grup –OH dan ikatan ganda yang berasal dari membran bakteri
(Waples dan Machihara, 1991). Triterpana terbagi menjadi tiga famili berdasarkan
prokariotik. Seri homolog dari trisiklik terpana berkisar dari C19-C30 (Aquineto
homolog trisiklik hingga C45 di beberapa minyak mentah dan batuan induk.
rentang C24-C27 dan terbentuk dari berbagai fraksi minyak mentah, seperti
c. Pentasiklik Triterpana
1. Hopanoid (C27-C40)
rendah menunjukkan minyak yang sudah matang, untuk minyak bumi dengan
dengan sel prokariotik, selain itu juga terdapat pada pakis, lumut dan
sedimen dan batuan hasil diagenesis atau proses termal. Rasio Tm/Ts dapat
sebaliknya jika rasio Tm/Ts rendah menunjukkan sumber dari laut (Waples
dan Machihara, 1991). Selain itu rasio Tm/Ts juga dapat digunakan sebagai
sebagai berikut jika rasio Tm/Ts 2,0-20,0 (immature), 1,0-2,0 (early mature),
2. Nonhopanoid
Sterana terbentuk dari sterol yang berasal dari sebagian besar tumbuhan
tingkat tinggi dan juga algae, namun tidak dijumpai pada organisme prokariotik.
Sterol berubah menjadi menjadi stanol, sterena, dan akhirnya sterana melalui
digunakan dalam korelasi geokimia minyak dan gas bumi mengandung C27, C28,
dan C29. Sebagian besar tumbuhan tingkat tinggi mempunyai sterol C29 yang
lainya atau dengan ekstrak dari batuan induknya. Korelasi merupakan alat penting
memperjelas tren eksplorasi yang ada. Korelasi minyak bumi – bataun induk lebih
sulit dibanding dengan korelasi antara minyak bumi, karena banyak permasalahan
yang melibatkan kedua jenis sampel dan interpretasi data (Hunt, 1996).
batuan induk, karena beberapa alasan. Pertama, beberapa sampel batuan induk
tidak cukup mewakili minyak yang dihasilkan dari interval batuan sumber yang
tebal dengan komposisi yang bervariasi. Kedua, batuan induk tidak akan
tersebut maka, perbandingan biomarker adalah metode yang paling cocok untuk
korelasi minyak-batuan induk. (Price dan Clayton, 1992 dalam Hunt, 1996).
a. Indek Homohopana
kelompok CH2 pada rantai samping yang dipercaya berasal dari hopanoid C35
C35), dengan konfigurasi 17α(H), 21β(H), 22S dan 22R. Rasio yang tinggi
rendah, dimana C31 dan C32 lebih dominan, menunjukkan lingkungan suboxic.
b. Indek Oleanana
dari tumbuhan tingkat tinggi, sedangkan jika nilai indek rendah (<10%)
mengindikasikan sumber dari laut dengan input terestrial yan terbatas. Rasio
c. Indek Gamaserana
d. Trisiklik Terpana
biodegradasi karena lebih resisten. Minyak dan batuan induk terbagi dalam
dua kelompok, yaitu dengan puncak maksimum trisiklik terpana C23 dan
propilkolestana hanya terdapat pada minyak yang berasal dari batuan induk
laut, sehingga tidak terdapat pada batuan induk non laut. Indek C30 sterana
adalah rasio C30/(C27-C30) sterana. Minyak bumi yang berasal dari batuan
induk laut berkisar antara 0-0,88, sedangkan minyak non laut tidak
f. Diasterana/Reguler Sterana
batuan induk sejak 1977 oleh Seifert. Korelasi dilakukan dengan mencocokan
Distribusi homolog sterol C27, C28, dan C29 pada diagram segitiga
Meinshein (1979).
53
i. Rasio Isoprenoid/n-parafin
n-parafin (Peters et al, 2005). Selain itu juga dapat menggunakan rasio Pr/nC17
Gambar 2.21. A. Grafik Pr/nC17 vs Ph/nC18 (Peters et al, 2005) dan B. Grafik Pr/nC17 vs Pr/Ph
(Hwang et al., 1998)
54
a. Formasi batuan yang berperan sebagai batuan induk pada Lapangan Sukowati
b. Minyak bumi yang dihasilkan pada Lapangan Sukowati berasal dari batuan
induk lingkungan transisi, tersusun atas material organik berasal dari darat
c. Batuan induk pada Formasi Pematang berkorelasi dengan minyak bumi yang
d. Variasi data geokimia pada daerah penelitian dikontrol oleh kondisi geologi
regional.
55
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Dalam penelitian ini data yang digunakan sebagai objek penelitian adalah
data geokimia yang dimiliki oleh PT. Energi Mega Persada Tbk. Data geokimia
yang tersedia merupakan data lama (tahun 1983-1985), yang terdapat pada enam
sumur, yaitu sumur SS-1, SS-2, SS-3, SS-4, SS-5, dan SS-6. Data geokimia yang
digunakan terdiri dari data geokimia sampel batuan induk dan minyak bumi.
Data ini berasal dari analisis laboratorium terhadap sampel batuan hasil
pengeboran yang berupa core (batu inti) dan side wall core. Data geokimia batuan
induk meliputi kandungan karbon (TOC), hasil pirolisis (S1, S2, S3, dan Tmax),
reflektansi vitrinit, dan data kromatografi yaitu Gas Chromatography (GC) dan
hasil pengeboran pada suatu formasi tertentu. Data geokimia minyak meliputi
sifat fisik (API, kandungan sulfur, wax, asphaltene), data biomarker dari Gas
Untuk sampel minyak bumi hanya tersedia pada sumur SS-1 dan SS-5.
56
kualitas, dan kematangan termal material organik. Analisis pada sampel minyak
bumi dilakukan karakteristik minyak bumi berdasarkan data gravitas API dan
komposisi molekul minyak mentah. Sampel batuan induk dan minyak bumi juga
evaluasi potensi batuan induk, yaitu meliputi analisis kuantitas, kualitas, dan
batuan, meliputi Formasi Pematang, Sihapas, dan Telisa. Hasil analisis tersebut
dapat ditentukan formasi mana yang berperan sebagai batuan induk. Selain itu
juga diperlukan analisis biomarker untuk mengetahui sumber material organik dan
diketahui berdasarkan tipe kerogen batuan induk tersebut. Untuk mengetahui tipe
kerogen dilakukan beberapa ploting pada suatu diagram sesuai dengan data yang
tersedia pada setiap sumur, dimana dari ketiga diagram atau grafik tersebut
mengandung satu parameter yang sama yaitu hidrogen. Ketiga grafik tersebut
reflektansi vitrinit (% Ro), production index (PI) dan Tmax. Ketiga parameter
material organik.
minyak bumi, salah satunya berupa nilai densitas atau berat jenis minyak bumi
aromatik, dan aspaltik yang berguna untuk mengetahui tingkat biodegradasi pada
sampel minyak bumi (Lampiran 2). Selain itu, kandungan sulfur dapat digunakan
untuk menentukan jenis batuan induk yang menghasilkan minyak bumi (BP, 1991
isoprenoid, serta pola kromatogram hasil GC. Analisis kromatografi gas pada
minyak bumi digunakan untuk mengetahui jenis batuan induk, sumber material
a. Rasio Pr/Ph (Powell and Mc Kirdy, 1973 dalam Peters et al., 2005) untuk
b. Rasio Pr/nC17 (Lijmbach, 1975 dalam Peters et al., 2005) untuk mengetahui
material organik.
yaitu terpana dan sterana. Analisis kromatografi gas - spektometri massa pada
minyak bumi. Parameter yang digunakan untuk analisis tersebut antara lain:
60
Peters dan Moldowan (1993) dan untuk mengetahui sumber dan lingkungan
c. Presentase C27, C28, dan C29 sterana (Hunt, 1996) untuk mengetahui asal
parameter geokimia yang disebut sebagai biomarker yang didapat dari normal
parafin dan isoprenoid (GC) atau sterana dan terpana (GC-MS) baik pada batuan
hubungan keadaan geologi dengan hasil analisis geokimia yang dihasilkan secara
data stratigrafi regional, tektonik dan lingkungan pengendapan yang di dapat dari
penelitian. Analisis secara lateral menggunakan peta top basement dan posisi
61
sebagai berikut :
sehingga dari hal tersebut dapat ditentukan tema dan judul penelitian serta maksud
dan tujuan penelitian. Setelah itu, melakukan studi literatur yang berhubungan
penelitian dari buku internal milik PT. Energi Mega Persada terkait lokasi
memilih dan menyalin data yang dibutuhkan untuk penelitian agar dapat
adalah :
62
Data geokimia batuan induk dan minyak bumi, dimana kedua jenis data
data dibuat dalam bentuk tabel terlebih dahulu menggunakan perangkat lunak
Microsoft Excel.
Peta dasar lapangan terdiri dari peta persebaran lokasi sumur pemboran
yang berguna untuk menunjukkan persebaran sumur secara spasial dan peta
Tahap pengolahan dan analisis data dilakukan analisis dan pengolahan data
di ruang kerja kantor PT Energi Mega Persada, Tbk. serta diskusi dengan
biomarker yang ada untuk analisis tingkat kematangan, jenis material asal,
dengan hasil penelitian. Selain itu menggunakan peta top basement yang di
Pada tahap ini dilakukan penulisan laporan sebagai bagian akhir dari alur
kegiatan penelitian. Pada laporan ini akan berisi mengenai sintesis dari semua
BAB IV
ANALISIS DATA
Data geokimia yang terdapat pada sumur SS-1 meliputi kandungan TOC,
pirolisis (Rock Eval Pyrolysis), rasio atom H/C dan O/C, serta reflektansi vitrinit
(%Ro) yang dilakukan pada interval kedalaman 3284 – 7076 kaki dan terbagi
atas Formasi Telisa (3284-5151 kaki) yang tersusun atas serpih, batulanau, serta
ekuivalen dengan Formasi Petani dan tidak masuk dalam pembahasan (Lampiran
1 A).
Hasil analisis TOC (Total Organic Carbon) yang dilakukan pada sumur SS-
1 (Lampiran 1 A) berkisar antara 0,23 – 1,56 wt-% dengan rerata 0,91 wt-% pada
Formasi Telisa dan 0,13 – 0,52 wt-% dengan rerata 0,25 wt-% pada Formasi
Pematang. Sampel yang mempunyai kandungan TOC < 0,5 wt-% tidak berpotensi
menghasilkan hidrokarbon, nilai TOC antara 0,5 – 1,0 wt-% berpotensi cukup
TOC antara 1,0 – 2,0 wt-% berpotensi baik menghasilkan hidrokarbon (Peters and
Cassa, 1994). Pada sumur SS-1 terdapat enam sampel yang tidak berpotensi
menghasilkan hidrokarbon, yaitu sampel pada kedalaman 4458, 4714, 5035, 6415,
6934, dan 7076 kaki. Terdapat empat sampel yang memiliki kandungan TOC
antara 0,5 – 1,0 wt-% yang berpotensi cukup baik menghasilkan hidrokarbon,
66
sedangkan pada Formasi Telisa terdapat lima sampel dengan kandungan TOC
berkisar antara 1,0 – 2,0 wt-% yang berpotensi baik menghasilkan hidrokarbon.
jika mempunyai nilai Tmax < 435 oC, matang jika mempunyai nilai Tmax 435-
470 oC, dan sangat matang jika mempunyai nilai Tmax > 470 oC (Peters and
didapatkan nilai Tmax memiliki kisaran antara 422 – 432 oC pada Formasi Telisa
yang menunjukkan sampel belum matang. Pada Formasi Pematang hanya terdapat
satu sampel, yaitu pada kedalaman 6548 kaki dengan nilai Tmax 440 0C yang
nilai PI 0,1-0,4 (Peters and Cassa, 1994). Nilai PI pada Formasi Telisa berkisar
Index) dan OI (Oxygen Index) digunakan untuk menentukan kualitas batuan induk
Telisa antara 52 - 357 mg HC/g TOC dengan rerata 176.2 mg HC/g TOC,
sementara pada Formasi Pematang hanya terdapat satu sampel dengan nilai HI 17
67
mg HC/g TOC (Gambar 4.1.). Nilai OI kedua formasi tidak dapat dihitung, karena
material organik di dalam batuan induk. Menurut Peters dan Cassa (1994), batuan
dianggap belum matang jika memiliki nilai Ro < 0,6%, dianggap matang jika
memiliki nilai Ro 0,6 – 1,35%, dan dianggap sangat matang jika memiliki nilai Ro
Pematang memiliki nilai Ro 0.42%. Berdasarkan hasil analisis pada sumur SS-1
sampel pada Formasi Telisa dan Pematang belum matang. Nilai Ro pada
memprediksi pada kedalaman berapa akan terjadi oil window dengan cara menarik
garis linier terhadap nilai data Ro (Gambar 4.1.). Pada sumur SS-1 diperkirakan
terjadi top oil window pada kedalaman 7550 kaki. Berdasarkan overlay peta top
basement dan posisi sumur SS-1 (Lampiran 5) dapat menunjukkan bahwa sumur
SS-1 memiliki kedalaman basement hingga 9000 kaki, sehingga top oil window
Gambar 4.1. Log geokimia Sumur SS-1 berdasarkan data geokimia batu inti PT. Energi Mega
Persada
Hasil analisis n-parafin dan isoprenoid batu inti sumur SS-1 hanya terdapat
pada Formasi Telisa yaitu pada kedalaman 630-720 dan 1263 kaki. Data n-parafin
terdiri dari nC15-nC34. Data n-parafin (Tabel 4.1.) dapat digunakan untuk
dari Bray & Evans (1961). Nilai CPI digunakan untuk mengetahui kematangan
batuan induk, batuan induk tergolong matang jika mempunyai nilai CPI
mendekati 1 (Killops dan Killops, 2005). Nilai CPI pada Formasi Telisa dari
sampel sumur SS-1 berkisar antara 1,21 – 1,39 yang menunjukkan belum matang.
Data isoprenoid (Tabel 4.2.) yang penting adalah pristana (Pr) dan fitana
material organik dan lingkungan pengendapan, antara lain rasio Pr/nC17 vs Pr/Ph
(Hwang et al., 1998) dan Pr/nC17 vs Ph/nC18 (Peters et al., 2005). Ploting rasio
sumur SS-1 berasal dari tumbuhan tinggi dan mixed. Lingkungan pengendapan
material organik berasal dari mixed tumbuhan tingkat tinggi dan alga.
Kedalaman (kaki)
n-Parafin
3678 3809 4009 4383 4458 4814 5046 5151
nC15 9 7 8.4 9.8 4.3 5.2 6.2 6.4
nC16 7.4 6.8 8 8.1 5.7 6.2 6.3 5.8
nC17 8.1 9.9 10.1 9.4 10.4 8.9 8.1 7.1
nC18 8.1 10.8 10.6 10.5 12.6 9 7.8 6.4
nC19 9.4 11.7 6.5 11.1 10.4 8.7 7 6.3
nC20 4.5 5.1 4.6 7.5 9.1 6.4 5.2 4.1
nC21 3.9 4.7 3.3 5.9 6.8 6 4.4 3.7
nC22 3.3 2.7 3.8 5 6.2 6.4 5.5 3.4
nC23 3.5 3 3.9 4.4 5.8 5.4 4.9 3.5
nC24 3.3 2.5 2.6 3.6 4.6 4.8 3.8 3.3
nC25 8.7 5.8 3.4 4.9 6.5 5.3 3.8 4.5
nC26 1.5 1.6 3.5 2.6 3.4 4.2 3.4 3.3
nC27 2.3 1.9 5.2 3.3 2.8 4.7 4.2 5
nC28 3.3 4.1 1.6 1.5 1.9 1.8 3.4 4.1
nC29 3.4 4.2 4.9 1.9 2.8 3.3 4.7 5.6
nC30 1.8 2.2 10.2 4.6 3.2 5 4 4.6
nC31 7.3 7.6 4.4 2.2 1.5 3 6.7 7.4
nC32 2.2 1.9 1.8 1.8 0.8 2.8 3.7 5.2
nC33 8.2 5.7 2.4 1.2 0.8 1.8 4.1 7.3
nC34 0.8 0.8 0.8 0.7 0.4 1.1 2.8 3
CPI 2.79 2.21 1.08 1.07 1.26 1.02 1.32 1.47
70
Kedalaman (kaki)
Isoprenoid
3678 3809 4009 4383 4458 4814 5046 5151
Ip13 1.4 0.2 1.3 2.5 0.9 0.4 1.1 2.2
Ip14 2.5 0.6 1.7 3.1 0.7 0.7 1.6 2.4
Ip15 4.6 3.1 5 6.4 2.3 3.4 4.8 5.5
Ip16 13.8 10.4 8.4 10.2 5.2 6 6.9 8.5
Ip18 10.6 8.5 10 10.1 13.6 13.6 12.5 12.6
Pristane 39.3 39.7 45.3 47.9 49.2 51.6 55.5 55.1
Phytane 27.8 37.5 28.3 19.8 28.1 24.3 17.6 13.7
Pris/Phy 1.41 1.06 1.6 2.43 1.75 2.13 3.15 4.03
Pris/nC17 4.58 4.01 4.48 5.09 4.7 5.8 6.85 7.76
Phy/nC18 3.43 3.47 2.67 1.89 2.23 2.7 2.3 2.14
Hasil analisis minyak bumi pada sumur SS-1 terdiri dari tiga sampel yang
terdapat pada Formasi Sihapas. Data hasil analisis (Tabel 4.3.) berupa API gravity
yang mempunyai nilai antara 42,20 – 42,70 yang menunjukkan termasuk light oil.
pada sampel minyak bumi. Hasil ploting kandungan fraksi hidrokarbon saturates,
batuan induk.
isoprenoid yang didapat dari analisis GC serta terpana dan sterana yang didapat
dari analisis GC-MS. Hasil analisis GC pada sumur SS-1 (Tabel 4.4.) terdiri dari
data n-parafin nC15-nC34 dan data isoprenoid, seperti pristana (Pr) dan fitana (Ph).
Jenis batuan induk yang menghasilkan minyak bumi dapat diketahui dari nilai
rasio Pr/Ph, dimana minyak yang berasal dari batuan induk non marine
mempunyai rasio Pr/Ph berkisar 5 – 11, sedangkan minyak yang berasal dari
batuan induk marine mempunyai rasio Pr/Ph berkisar 1-3 (Powell and Mc Kirdy,
1973 dalam Peters et al., 2005). Nilai rasio Pr/Ph berkisar antara 9,17 – 10,76
yang menunjukkan jenis batuan induk penghasil minyak bumi adalah batuan
Selain itu juga dapat diketahui dari rasio Pr/nC17, dimana minyak yang
berasal dari batuan induk non marine mempunyai nilai rasio Pr/nC17 > 1,0,
sedangkan minyak yang berasal dari batuan induk yang terendapkan di laut
memiliki nilai rasio Pr/nC17 < 0,5 (Lijmbach, 1975 dalam Peters et al., 2005).
Nilai rasio Pr/nC17 berkisar antara 5,82 – 7,24 yang berarti bahwa berasal dari
Tabel 4.4. Data hasil analisis GC minyak bumi pada sumur SS-1
Analisis GC-MS berdasarkan data terpana (Tabel 4.5.) rasio Tm/Ts berkisar
0,1-0,3 (Grantham, 1986 dalam Waples dan Machihara, 1991). Rasio C30
mempunyai salinitas tinggi (Hunt, 1996). Indek gamaserana berkisar antara 2,56 –
Sumber material organik dapat diketahui dari data sterana, dimana sebagian
besar tumbuhan tingkat tinggi mempunyai sterana C29 yang dominan, sebaliknya
sterana C27 cenderung dominan pada alga (Hunt, 1996). Berdasarkan data sterana
(Tabel 4.6.) nilai sterana C29 lebih tinggi dibandingkan C27 dan C28, membuktikan
adanya input material tumbuhan tingkat tinggi yang dominan. Waples dan
20S dan mengurangi proporsi 20R. Berdasarkan data rasio 20S/20R 5α C29
* ster = sterana
74
Data geokimia yang terdapat pada sumur SS-2 hanya pada Formasi Telisa,
yaitu meliputi kandungan TOC, pirolisis (Rock Eval Pyrolysis), dan reflektansi
vitrinit (% Ro) yang diterdapat pada interval kedalaman 2260 – 3769 kaki.
Formasi Telisa tersusun atas batulanau, batulempung, dan napal (Lampiran 1 B).
sampel yang mempunyai kandungan TOC < 0,5 wt-% tidak berpotensi
hidrokarbon (Peters and Cassa, 1994). Terdapat enam sampel Formasi Telisa pada
1,21 wt-% dengan rerata 0,93 wt-%, dimana empat sampel yang memiliki
kandungan TOC antara 0,5 – 1,0 wt-% yang berpotensi cukup baik menghasilkan
hidrokarbon, sedangkan dua sampel yang memiliki kandungan TOC antara 1,0 –
nilai Tmax pada Formasi Telisa memiliki kisaran antara 427 – 433 oC yang
mempunyai nilai Tmax < 435 oC (Peters and Cassa, 1994). Nilai PI juga
matang jika mempunyai nilai PI 0,1-0,4 (Peters and Cassa, 1994). Nilai PI
belum terekspulsi dari batuan, karena nilai PI < 0,1 (Gambar 4.2.).
antara 0,58 - 4,07 mg HC/g TOC. Nilai HI dan OI digunakan untuk menentukan
kualitas batuan induk (tipe kerogen). Berdasarkan hasil analisis didapatkan nilai
HI antara 45 - 268 mg HC/g TOC dengan rerata 156,8 mg HC/g TOC, sedangkan
nilai OI tidak dapat dihitung karena tidak terdapat nilai parameter S3.
Telisa didapatkan nilai Ro antara 0,38-0,4% dan dianggap belum matang. Sampel
yang memiliki nilai Ro < 0,6% dianggap belum matang (Peter dan Cassa, 1994).
sehingga kita dapat memprediksi pada kedalaman berapa akan terjadi oil window
(Gambar 4.2.). Pada sumur SS-2 diperkirakan terjadi top oil window pada
kedalaman 7200 kaki. Berdasarkan overlay peta top basement dan posisi sumur
basement antara 5000-7000 kaki, sehingga top oil window tersebut dapat
Gambar 4.2. Log geokimia sumur SS-2 berdasarkan data geokimia batu inti PT. Energi Mega
Persada
Data n-parafin terdiri dari nC15-nC34 dan berguna untuk menghitung nilai
CPI yang berfungsi mengetahui kematangan batuan induk, batuan induk tergolong
matang jika mempunyai nilai CPI mendekati 1 (Killops dan Killops, 2005). Nilai
CPI pada sampel 1,08 yang menunjukkan sampel matang. Data isoprenoid yang
penting adalah pristana (Pr) dan fitana (Ph). Rasio isoprenoid/n-alkana dapat
yaitu rasio Pr/nC17 vs Pr/Ph (Hwang et al., 1998) dan Pr/nC17 vs Ph/nC18 (Peters et
al., 2005). Hasil ploting rasio Pr/nC17 vs Pr/Ph (Lampiran 3.B) menunjukkan
material organik Formasi Telisa sumur SS-2 dari tumbuhan tinggi, sedangkan
material organik berasal dari mixed tumbuhan tingkat tinggi dan alga.
77
Tabel 4.7. Data hasil analisis GC batu inti pada sumur SS-2
Kedalaman (kaki) Kedalaman (kaki)
n-Parafin Isoprenoid
3708-3768 3708-3768
nC15 3.8 Ip 13 0.2
nC16 5.2 Ip 14 0.2
nC17 6.2 Ip 15 2.1
nC18 6.5 Ip 16 5.4
nC19 6.4 Ip 18 17.1
nC20 5.5 Pristane 49.3
nC21 4.4 Phytane 25.7
nC22 4.5 Pris/Phy 1.92
nC23 4.6 Pris/nC17 7.95
nC24 3.9 Phy/nC18 3.95
nC25 4.3
nC26 3.7
nC27 5.8
nC28 5.1
nC29 6.6
nC30 7
nC31 5.7
nC32 4.4
nC33 3.3
nC34 3.1
CPI 1,08
Data geokimia yang terdapat pada sumur SS-3 meliputi kandungan TOC,
pirolisis (Rock Eval Pyrolysis), dan reflektansi vitrinit (%Ro) yang dilakukan pada
interval kedalaman 190 – 7173 kaki dan terbagi atas tiga formasi batuan, yaitu
Formasi Telisa (190-730 kaki) yang tersusun atas serpih dan batulanau. Formasi
Hasil analisis TOC yang dilakukan pada sumur SS-3 (Lampiran 1 C),
berkisar antara 0,31 – 1,08 dengan rerata 0,67 wt-% pada Formasi Telisa, antara
0,06 – 0,96 dengan rerata 0,22 wt-% pada Formasi Sihapas, dan antara 0,09 – 2,59
dengan rerata 0,62 wt-% pada Formasi Pematang. Sampel yang mempunyai
kandungan TOC < 0,5 wt-% tidak berpotensi menghasilkan hidrokarbon, 0,5 – 1,0
wt-% berpotensi cukup baik menghasilkan hidrokarbon, sedangkan 1,0 – 2,0 wt-
pada Formasi Sihapas dominan mempunyai kandungan TOC < 0,5 wt-% yang
dominan memiliki kandungan TOC antara 0,5 – 1,0 wt-% yang berpotensi cukup
menghasilkan hidrokarbon.
Hasil analisis REP pada sumur SS-3 (Lampiran 1 C) didapatkan nilai Tmax
memiliki kisaran antara 411 – 423 oC pada Formasi Telisa dan Formasi Sihapas
memiliki nilai Tmax berkisar antara 414 – 4200C yang menunjukkan sampel
belum matang, sedangkan Formasi Pematang memiliki nilai Tmax berkisar antara
433 – 4450C yang menunjukkan sampel telah mature. Menurut Peters and Cassa
(1994) sampel dikatakan belum matang jika mempunyai nilai Tmax < 435 oC,
o
matang jika mempunyai nilai Tmax 435-470 C, dan sangat matang jika
Sampel dikategorikan matang jika mempunyai nilai PI 0,1-0,4 (Peters and Cassa,
4.3.). Nilai PY Formasi Sihapas hanya terdapat pada empat sampel, yaitu berkisar
antara 0,25 – 1,73 mg HC/g TOC, sedangkan nilai PY Formasi Pematang berkisar
antara 0,44 – 5,17 mg HC/g TOC. Berdasarkan hasil analisis, Formasi Telisa
memiliki nilai HI antara 207 - 415 dengan rerata 279,3 mg HC/g TOC dan OI
antara 52,8 – 211,9 dengan rerata 100,3 mg CO2/g TOC. Formasi Sihapas
memiliki nilai HI antara 16 - 254 dengan rerata 239,5 mg HC/g TOC dan OI
antara 34,4 – 131,8 dengan rerata 57 mg CO2/g TOC. Formasi Pematang memiliki
nilai HI antara 54 – 186 dengan rerata 145.7 mg HC/g TOC dan OI antara 31,1 –
128,8 dengan rerata 59,7 mg CO2/g TOC. Nilai HI dan OI digunakan untuk
terdapat satu sampel dengan nilai Ro 0,35 % dan Formasi Sihapas juga hanya
terdapat satu sampel dengan nilai Ro 0,36 %, keduanya dianggap belum matang.
menunjukkan sudah matang (mature). Menurut Peter dan Cassa (1994), batuan
dikategorikan belum matang jika memiliki nilai Ro < 0,6%, dikategorikan matang
jika memiliki nilai Ro 0,6 – 1,35%, dan dikategorikan sangat matang jika
80
memiliki nilai Ro > 1,35%. Nilai Ro pada umumnya akan meningkat seiring
berapa akan terjadi oil window (Gambar 4.3.). Pada sumur SS-3 kedalaman terjadi
top oil window pada kedalaman 5000 kaki yaitu pada Formasi Pematang, sehingga
Gambar 4.3. Log geokimia sumur SS-3 berdasarkan data geokimia batu inti PT. Energi Mega
Persada
dan isoprenoid yang terdapat pada tiga formasi, yaitu Formasi Telisa, Sihapas, dan
Pematang. Data n-parafin (Tabel 4.8.) terdiri dari nC15-nC34 berguna untuk
menentukan nilai CPI. Batuan induk tergolong matang jika mempunyai nilai CPI
mendekati 1 (Killops dan Killops, 2005). Nilai CPI pada sampel semakin kecil
81
seiring bertambahnya kedalaman yaitu dari 1,59 – 1,05 yang menunjukkan sampel
semakin matang. Data isoprenoid (Tabel 4.9.) terdiri dari pristana (Pr) dan fitana
organik dan lingkungan pengendapan, yaitu rasio Pr/nC17 vs Pr/Ph (Hwang et al.,
1998) dan Pr/nC17 vs Ph/nC18 (Peters et al., 2005). Hasil ploting rasio Pr/nC17 vs
Sihapas, dan Pematang sumur SS-3 berasal dari tumbuhan tinggi. Lingkungan
dari Formasi Telisa dan Sihapas mixed tumbuhan tingkat tinggi dan alga,
Kedalaman (kaki)
nParafin Telisa Sihapas Pematang
640 2060 2600 3836 4470 5030 5480 5660 5930 6206
nC15 6 8.5 5.1 3.3 3.5 4.8 8 2.4
nC16 5.2 9.1 4.9 3.3 3.6 4.8 8.8 2.9
nC17 5.7 9.5 5 3.5 3.8 4.7 8.8 4.3
nC18 5.3 7.9 5.7 0.7 1.6 3.5 3.8 4.6 7.8 7
nC19 4.7 7.5 6 1 3 4.4 4.4 4.9 5.8 6.5
nC20 3 5.9 4.4 1.4 3.6 3.8 4.2 4.4 5.3 6
nC21 2.6 5.2 3.9 1.8 4.4 4 4.4 4.4 4.8 5.6
nC22 2.3 4.6 3.5 2.1 4.9 4.4 4.7 4.5 4.4 5.1
nC23 2.2 4.1 3.2 2.6 5.4 4.7 5.1 4.6 4.1 5
nC24 2 3.3 2.2 3.6 6.7 4.9 5.4 4.6 3.7 5.4
nC25 1.9 2.8 2 4.9 7.6 5.5 5.7 4.9 3.6 5.4
nC26 1.3 2.2 1.9 6.2 8.2 5.2 5.8 5 3.7 5.2
nC27 1.7 1.9 2.2 8.6 9.2 6 6 5.1 3.6 4.8
82
Data geokimia yang terdapat pada sumur SS-4 meliputi kandungan TOC,
pirolisis (Rock Eval Pyrolysis), dan reflektansi vitrinit (%Ro) yang dilakukan pada
interval kedalaman 180 – 7000 kaki dan terbagi atas tiga formasi batuan, yaitu
Formasi Telisa (180-4140 kaki) yang tersusun atas batulanau dan serpih. Formasi
Sihapas (4140-6120 kaki) tersusun atas batupasir dan serpih. Formasi Pematang
83
(6120-7000 kaki) yang tersusun atas serpih, batupasir, dan batubara (Lampiran 1
D).
sampel yang mempunyai kandungan TOC < 0,5 wt-% tidak berpotensi
(Peters and Cassa, 1994). Nilai TOC pada sumur SS-4 (Lampiran 1 D), berkisar
antara 0,42 – 1,40 dengan rerata 0,93 wt-% pada Formasi Telisa, antara 0,14 –
1,21 dengan rerata 0,42 wt-% pada Formasi Sihapas, dan antara 0,49 –8,58
dengan rerata 0,62 wt-% pada Formasi Pematang. Sampel pada Formasi Sihapas
dominan mempunyai kandungan TOC dominan < 0,5 wt-% yang berarti tidak
hidrokarbon. Terdapat tiga sampel yang memiliki kandungan TOC sangat tinggi,
yaitu pada kedalaman 5966, 6679, dan 6780 kaki yang menunjukkan sampel
dimana sampel dikategorikan belum matang jika mempunyai nilai Tmax < 435 oC,
o
matang jika mempunyai nilai Tmax 435-470 C, dan sangat matang jika
mempunyai nilai Tmax > 470 oC (Peters and Cassa, 1994). Hasil analisis pada
sumur SS-4 (Lampiran 1 D) didapatkan nilai Tmax berkisar antara 415 – 433 oC
pada Formasi Telisa dan Formasi Sihapas memiliki nilai Tmax berkisar antara
memiliki nilai Tmax berkisar antara 432 – 4420C yang menunjukkan sampel
mature.
mempunyai nilai PI 0,1-0,4. Nilai PI Formasi Telisa berkisar antara 0,002 – 0,068
Nilai PY pada Formasi Telisa berkisar antara 1,14 – 5,12 mg HC/g TOC,
sedangkan nilai PY pada Formasi Pematang berkisar antara 0,55 – 5,21 mg HC/g
TOC. Berdasarkan hasil analisis, pada Formasi Telisa memiliki nilai HI antara
52,5 – 495 dengan rerata 377,2 mg HC/g TOC dan OI antara 22,5 – 148,2 dengan
rerata 47.3 mg CO2/g TOC. Pada Formasi Sihapas memiliki nilai HI antara 220 -
252 dengan rerata 227 mg HC/g TOC dan OI antara 1,2 – 65,3 dengan rerata 57
rerata 201 mg HC/g TOC dan OI antara 9.8 – 56.5 dengan rerata 26.7 mg CO2/g
TOC.
berkisar antara 0,27 – 0,34 %, Formasi Sihapas hanya terdapat satu sampel
Menurut Peters dan Cassa (1994), batuan dianggap belum matang jika memiliki
nilai Ro < 0,6%, matang jika memiliki nilai Ro 0,6 – 1,35%, dan sangat matang
jika memiliki nilai Ro > 1,35%. Nilai Ro pada umumnya akan meningkat seiring
berapa akan terjadi oil window (Gambar 4.4.). Pada sumur SS-4 diperkirakan
terjadi top oil window pada kedalaman 7200 kaki. Berdasarkan overlay peta top
basement dan posisi sumur SS-4 (Lampiran 5) menunjukkan bahwa sumur SS-4
memiliki lokasi diluar peta persebaran top basement, sehingga tidak dapat
diperkirakan top oil window tersebut terjadi pada basement atau Formasi
Pematang.
86
Gambar 4.4. Log geokimia sumur SS-4 berdasarkan data geokimia batu inti PT. Energi Mega
Persada
dan isoprenoid yang terdapat pada tiga formasi, yaitu Formasi Telisa, Sihapas, dan
Pematang. Data n-parafin (Tabel 4.10.) terdiri dari nC15-nC34 berguna untuk
induk, batuan induk tergolong matang jika mempunyai nilai CPI mendekati 1
(Killops dan Killops, 2005). Nilai CPI pada ketiga formasi berkisar antara 1,31 –
2,29 yang menunjukkan sampel belum matang. Data isoprenoid terdiri dari
pristana (Pr) dan fitana (Ph). Rasio isoprenoid/n-alkana (Tabel 4.11.) dapat
pengendapan, antara lain rasio Pr/nC17 vs Pr/Ph (Hwang et al., 1998) dan Pr/nC17
87
vs Ph/nC18 (Peters et al., 2005). Hasil ploting rasio Pr/nC17 vs Pr/Ph (Lampiran
3.D) menunjukkan bahwa material organik Formasi Telisa sumur SS-4 berasal
anoxic. Hasil ploting Pr/nC17 vs Ph/nC18 pada Formasi Telisa (Lampiran 4.D)
menunjukkan material organik berasal dari mixed tumbuhan tingkat tinggi dan
alga.
Kedalaman (kaki)
n-
Telisa Sihapas Pematang
parafin
450 900 1260 1620 2070 2250 2970 3510 3670 5400 6210 6300
nC15 1.3 1.5 1.7 1.3 1.8 2.3 3.3 3 4.1 2.2 1.4 1.9
nC16 1.7 2 2 1.6 1.6 2.2 2.8 3 3.9 1.9 1.3 1.4
nC17 1.9 1.9 1.4 1.3 1.6
Prystane 11 12.3 23.1 17.3 24.4 26.6 28.1 27.9 28.1 33.7 31.3 41.2
nC18 2.1 2.7 2.2 2 2.3 3 3.3 3.6 3.6 2.6 1.6 1.6
Phytane 8 9.9 21.7 15.4 20.3 20.8 18.2 14.1 10.5 14 3.8 4.1
nC19 1.5 1.4 1.3 1.1 1 1.8 2.2 3.2 3.6 1.7 1.8 1.7
nC20 1.6 1.7 1.4 1.2 1.2 1.9 2.2 3.2 3.4 2.2 2.1 2.1
nC21 2.3 3.6 4.3 3.9 5.1 4.4 2.4 3.7 4.3 3.8 2.4 2.2
nC22 1.6 0.7 1.7 1.3 1.8 2.2 2.6 3.4 3 2.1 2.5 2.3
nC23 2.2 2.1 1.1 1.8 1.3 1.6 1.7 2.1 2.6 1.8 2.7 2.4
nC24 1.6 1.6 1 2.2 1.8 2 2.4 2.8 3.9 2.7 3.5 3.2
nC25 2.3 2.2 1.2 1.2 1.3 1.3 1.6 2.5 2.8 1.8 3.7 3.2
nC26 1.2 2.4 1.4 1.3 1.5 1.4 1.6 2.7 2.3 2.1 4 3.3
nC27 2.1 1.9 1.5 3.3 6.8 5.1 3.7 3.8 3 1.4 4.8 3.9
nC28 7.6 5.4 4.5 4.5 4.4 4.7 3.9 4.6 3.7 4.7 5 4
nC29 8.3 8 4 4.3 3.4 3.2 3.6 3.8 4.3 5 7.6 6.3
nC30 7 7 3.9 5.9 3.6 3 3.2 3.5 2.8 3.6 5.1 3.9
nC31 13.6 17.5 11.8 16.7 9.7 8.2 8.3 5.3 4.4 7 6.4 4.8
nC32 3.6 2.8 1.8 2.2 0.8 0.7 0.8 1 1.7 1.3 3.3 2.4
nC33 16.6 10.7 6.4 9.5 3.8 3.1 3.6 2.2 3 3.9 4.3 3.2
nC34 0.9 0.7 0.6 0.7 0.5 0.5 0.5 0.6 1 0.5 1.4 0.9
CPI 2.08 2.15 2.01 2.29 2.19 1.9 1.91 1.31 1.37 1.45 1.35 1.37
88
Kedalaman (kaki)
Iso-
Telisa Sihapas Pematang
prenoid
450 900 1260 1620 2070 2250 2970 3510 3670 5400 6210 6300
Ip13 0.2 0.6 0.1 1.5 1.2 2.2 1.8
Ip14 1 0.8 0.9 1.6 0.8 2 1.7 1.1 1 4.7 3.9
Ip15 2.4 1.3 2.5 2.2 3.3 2.6 4.4 3.9 4.2 2.7 4.8 4.5
Ip16 10.2 9.6 6 7.7 7.1 6.5 7.8 7.8 8.2 7.1 10.6 9.9
Ip18 8.2 7.7 4.6 5.6 4.4 4.8 5.8 8.1 10.8 6.2 10.5 9.4
Pristane 46.1 44.6 44.2 44.3 45.2 47.8 47.7 51.3 55.1 58.5 60 64.1
Phytane 33.1 35.8 41.7 39.3 37.8 37.4 30.8 26 20.6 24.5 7.2 6.4
Pris/Phy 1.39 1.24 1.06 1.12 1.2 1.28 1.55 1.98 2.68 2.39 8.37 10.02
Pris/nC17 5.78 6.47 16.5 13.3 15.2
Phy/nC18 3.8 3.66 9.8 7.7 8.82 6.93 5.51 3.91 2.91 5.38 2.37 2.56
Data geokimia yang terdapat pada sumur SS-5 meliputi kandungan TOC,
pirolisis (Rock Eval Pyrolysis), dan reflektansi vitrinit (%Ro) yang dilakukan pada
interval kedalaman 940 – 6920 kaki dan terbagi atas Formasi Telisa (3010-5225
Hasil analisis TOC yang dilakukan pada sumur SS-5 (Lampiran 1 E), pada
Formasi Telisa berkisar antara 0,05 – 1,53 dengan rerata 0,87 wt-%, pada Formasi
Sihapas antara 0,02 – 1,09 dengan rerata 0,21 wt-%, dan pada Formasi Pematang
antara 0,01 – 1,57 dengan rerata 0,52 wt-%. Menurut Peters and Cassa (1994)
sampel yang mempunyai kandungan TOC < 0,5 wt-% tidak berpotensi
menghasilkan hidrokarbon, nilai TOC antara 0,5 – 1,0 wt-% berpotensi cukup
89
TOC antara 1,0 – 2,0 wt-% berpotensi baik menghasilkan hidrokarbon. Seluruh
sedangkan nilai TOC sampel Formasi Pematang hanya ada satu sampel yang
hidrokarbon. Terdapat satu sampel yang memiliki kandungan TOC sangat tinggi,
jika mempunyai nilai Tmax < 435 oC, matang jika mempunyai nilai Tmax 435-
470 oC, dan sangat matang jika mempunyai nilai Tmax > 470 oC (Peters and
Cassa, 1994). Hasil analisis ada sumur SS-5 (Lampiran 1 E) didapatkan nilai
Tmax berkisar antara 424 – 437 oC pada Formasi Telisa, berkisar antara 428 –
5450C pada Formasi Sihapas, sedangkan Formasi Pematang memiliki nilai Tmax
berkisar antara 402 – 4820C. Data Tmax pada sumur SS-5 ini kemungkinan tidak
akurat dan dapat diabaikan, karena hasil analisis REP lainnya, seperti S1 dan S3
tidak tercatat. Akibat tidak lengkapnya data S1 dan S3, parameter lain seperti PY,
PI, dan OI tidak bisa ditentukan. Berdasarkan hasil analisis pada Formasi Telisa
memiliki nilai HI antara 52 – 377 dengan rerata 250 mg HC/g TOC, Formasi
Sihapas memiliki nilai HI antara 76 - 400 dengan rerata 151,9 mg HC/g TOC,
90
parameter yang kosong. Termasuk juga dengan data vitrinit reflektansi (%Ro) dan
data biomarker, sehingga analisis terhadap nilai Ro dan biomarker pada sumur
Gambar 4.5. Log geokimia sumur SS-5 berdasarkan data geokimia batu inti PT. Energi Mega
Persada
Hasil analisis minyak bumi pada sumur SS-5 terdiri dari satu sampel yang
terdapat pada Formasi Sihapas. Data hasil analisis (Tabel 4.12.) berupa API
gravity yang mempunyai nilai 36,20 yang menunjukkan termasuk light oil,
91
yang rendah, yaitu 0,28 wt-% menunjukkan minyak bumi berasal dari terrestrial
sourced.
GC yang hanya terdiri dari satu sampel, sedangkan data hasil analisis GC-MS
tidak dijumpai. Hasil analisis GC pada sumur SS-5 (Tabel 4.13.) terdiri dari data
n-parafin nC15-nC34 dan data isoprenoid, seperti pristana (Pr) dan fitana (Ph).
Jenis batuan induk yang menghasilkan minyak bumi dapat diketahui dari nilai
rasio Pr/Ph, dimana minyak yang berasal dari batuan induk non marine
mempunyai rasio Pr/Ph berkisar 5 – 11, sedangkan minyak yang berasal dari
batuan induk marine mempunyai rasio Pr/Ph berkisar 1-3 (Powell and Mc Kirdy,
1973 dalam Peters et al., 2005). Nilai rasio Pr/Ph adalah 12,6 yang berarti bahwa
jenis batuan induk penghasil minyak bumi adalah batuan induk non marine.
Selain itu juga dapat diketahui dari rasio Pr/nC17, dimana minyak yang
berasal dari batuan induk non marine mempunyai nilai rasio Pr/nC17 > 1,0,
92
sedangkan minyak yang berasal dari batuan induk yang terendapkan di laut
memiliki nilai rasio Pr/nC17 < 0,5 (Lijmbach, 1975 dalam Peters et al., 2005).
Mempunyai nilai rasio Pr/nC17 adalah 11,81 yang berarti bahwa minyak bumi
Tabel 4.13. Data hasil analisis GC minyak bumi pada sumur SS-5
n-alkana DST – 1B Isoprenoid DST - 1B
nC15 1.9 Ip13 3.8
nC16 1.8 Ip14 7.1
nC17 1.6 Ip15 5.2
Prystane 18.9 Ip16 10.5
nC18 1.9 Ip18 8.2
Phytane 1.5 Pristane 60.5
nC19 2.2 Phytane 4.7
nC20 2.4 Pris/Phy 12.6
nC21 2.7 Pris/nC17 11.81
nC22 3.2 Phy/nC18 0.78
nC23 3.8
nC24 4.6
nC25 5.5
nC26 6
nC27 7.5
nC28 6.6
nC29 8.2
nC30 5.2
nC31 6
nC32 3.3
nC33 4
nC34 1.2
CPI 1.3
93
Data geokimia yang terdapat pada sumur SS-6 meliputi kandungan TOC,
pirolisis (Rock Eval Pyrolysis), dan reflektansi vitrinit (%Ro) yang dilakukan pada
103 – 4527 kaki, yaitu meliputi Formasi Telisa (103-1350 kaki) yang tersusun
atas batulempung dan serpih, Formasi Sihapas (1350-3510 kaki) yang tersusun
sampel yang mempunyai kandungan TOC < 0.5 wt-% tidak berpotensi
hidrokarbon (Peters and Cassa, 1994). Nilai TOC pada sumur SS-6 (Lampiran 1
F), berkisar antara 0,67 – 1,3 dengan rerata 0,94 wt-% pada Formasi Telisa, antara
0,13 – 0,45 dengan rerata 0,23 wt-% pada Formasi Sihapas, dan antara 0,06 – 0,58
dengan rerata 0,16 wt-% pada Formasi Pematang. Semua sampel pada Formasi
menghasilkan hidrokarbon.
94
nilai Tmax dominan memiliki kisaran antara 417 – 425 oC pada Formasi Telisa
yang menunjukkan sampel belum matang, sedangkan pada Formasi Sihapas dan
Pematang tidak terdapat data nilai Tmax. Sampel dikategorikan belum matang
jika mempunyai nilai Tmax < 435 oC (Peters and Cassa, 1994). Menurut Peters
dan Cassa (1994) sampel dikategorikan matang jika mempunyai nilai PI 0,1-0,4.
antara 1,28 – 4,73 mg HC/g TOC. Berdasarkan hasil analisis, Formasi Telisa
memiliki nilai HI antara 131,1 – 361,5 dengan rerata 260,8 mg HC/g TOC dan OI
antara 25,4 – 103,8 dengan rerata 41,3 mg CO2/g TOC, sedangkan pada Formasi
Sihapas dan Pematang tidak memiliki nilai PI, PY, maupun HI dan OI. Hal
tersebut karena sampel pada Formasi Sihapas dan Pematang seluruhnya memiliki
nilai TOC < 0,5 wt-% dan dianggap tidak berpotensi sebagai batuan induk,
sehingga analisis pirolisis tidak dilakukan pada Formasi Sihapas dan Pematang.
material organik di dalam batuan induk. Menurut Peters dan Cassa (1994), batuan
dianggap belum matang jika memiliki nilai Ro < 0,6%, matang jika memiliki nilai
Ro 0,6 – 1,35%, dan sangat matang jika memiliki nilai Ro > 1,35%. Hasil analisis
antara 0,28 – 0,3 % dan Formasi Sihapas hanya terdapat satu sampel dengan nilai
95
memiliki data nilai Ro. Nilai Ro pada umumnya akan meningkat seiring
akan terjadi oil window. Pada sumur SS-6 diperkirakan terjadi top oil window
pada kedalaman 4600 kaki yaitu ada basement (Gambar 4.6.). Hal tersebut
menunjukkan bahwa Formasi Pematang pada sumur SS-6 masih belum matang.
Gambar 4.6. Log geokimia sumur SS-6 berdasarkan data geokimia batu inti PT. Energi Mega
Persada
dan isoprenoid (Tabel 4.14.) yang terdapat pada Formasi Telisa. Data n-alkana
mempunyai nilai CPI mendekati 1 (Killops dan Killops, 2005). Nilai CPI pada
ketiga formasi berkisar antara 1,21 – 1,39 menunjukkan sampel belum matang.
96
Data isoprenoid terdiri dari pristana (Pr) dan fitana (Ph). Rasio isoprenoid/n-
pengendapan, yaitu rasio Pr/nC17 vs Pr/Ph (Hwang et al., 1998) dan Pr/nC17 vs
Ph/nC18 (Peters et al., 2005). Ploting rasio Pr/nC17 vs Pr/Ph (Lampiran 3.E)
menunjukkan material organik Formasi Telisa sumur SS-6 berasal dari tumbuhan
dari mixed.
Tabel 4.14. Data hasil analisis GC batu inti pada sumur SS-6
Kedalaman (kaki) Kedalaman (kaki)
n-Parafin Isoprenoid
630-720 1263 630-720 1263
nC15 4.4 4.4 Ip13 1.3 1.3
nC16 3.7 4.1 Ip14 1.9 2.6
nC17 4.7 5.3 Ip15 4.1 4.5
nC18 5.8 7.3 Ip16 7.7 7.2
nC19 4 4.8 Ip18 6.8 8.9
nC20 3.3 2.9 Pristane 42.4 48.9
nC21 2.6 2.8 Phytane 35.8 26.6
nC22 2.6 2.3 Pris/Phy 1.18 1.83
nC23 1.9 1.8 Pris/nC17 9.02 9.22
nC24 2 2.1 Phy/nC18 6.17 3.64
nC25 2.2 2.8
nC26 1.4 1.6
nC27 1.5 1.8
nC28 1.8 1.2
nC29 2 2.1
nC30 2.3 2
nC31 2.1 2
nC32 0.9 0.9
nC33 1.3 0.8
nC34 0.4 0.4
CPI 1.21 1.39
97
97
BAB V
PEMBAHASAN
Analisis batuan induk pada Formasi Telisa meliputi kumpulan data analisis
reflektansi vitrinit (% Ro) yang terdapat pada enam sumur. Data biomarker berupa
n-alkana dan isoprenoid terdapat di lima sumur, yaitu sumur SS-1, SS-2, SS-3,
organik dapat diketahui melalui analisis kandungan TOC (Total Organic Carbon).
Kandungan TOC pada Formasi Telisa antara 0,52-1,56 wt-% dengan rerata 0,87
wt-% dan menurut klasifikasi Peters dan Cassa (1994) menunjukkan bahwa
sampel yang menunjukkan nilai TOC <0,5 wt-%. Formasi Telisa tersusun atas
litologi yang bervariasi, antara lain: serpih, batulanau, napal, dan batulempung,
kuantitas material organik dalam bentuk grafik, kita dapat melakukan ploting PY
vs TOC. Nilai PY (S1 + S2) menunjukkan jumlah total hidrokarbon yang mungkin
dihasilkan pada batuan induk jika telah matang (McCarthy, et al., 2011). Nilai PY
Formasi Telisa berkisar antara 0,59 – 5,12 mg HC/g Rock dengan rerata 2,40 mg
98
pada diagram Pseudo Van Kravelen (Espitalie et al., 1977 dalam Waples, 1981)
pada sumur SS-3, SS-4, dan SS-6 menunjukkan bahwa Formasi Telisa merupakan
menghasilkan gas (gas prone). Sumber material yang mampu menghasilkan tipe
II biasanya berupa campuran alga dan material humik. Sementara material yang
menyusun kerogen tipe III merupakan material berasal dari tumbuhan vaskular
99
dan mengandung sisa tanaman yang mengandung lignin (Killops and Killops,
2005).
Gambar 5.2. Ploting HI vs OI pada diagram Pseudo Van Krevelen menunjukkan Formasi Telisa
mempunyai tipe kerogen II dan III
berdasarkan nilai HI. Semakin banyak kandungan hidrogen, akan terbentuk tipe
pendek atau gas. Nilai HI <150 mg HC/g TOC akan menghasilkan gas, sementara
antara 150 - 300 mg HC/g TOC menghasilkan minyak dan gas, dan HI > 300 mg
Formasi Telisa didapatkan nilai HI berkisar antara 16 - 495 mg HC/g TOC dengan
rerata 250,1 mg HC/g TOC, sehingga Formasi Telisa dapat menghasilkan minyak
dan gas.
100
Tmax vs HI (Hunt, 1996). Hasil pengeplotan nilai Tmax vs HI pada sumur SS-1
hingga SS-6 (Gambar 5.3.) menunjukkan bahwa Formasi Telisa mempunyai tipe
kerogen II dan III. Kerogen tipe II dapat menghasilkan minyak dan gas,
Gambar 5.3. Ploting HI vs Tmax menunjukkan Formasi Telisa mempunyai tipe kerogen II dan III
menunjukkan bahwa Formasi Telisa masih belum matang dengan nilai PI antara
0,005 – 0,085, dimana menurut Peters dan Cassa (1994) batuan dikatakan telah
101
Gambar 5.4. Ploting Tmax vs PI Formasi Telisa menunjukkan pada zona immature
yang didapatkan dari analisis petrografi. Nilai reflektansi vitrinit pada Formasi
Telisa berkisar antara 0,27 – 0,40% yang menunjukkan bahwa belum matang
(immature), dimana menurut Peters dan Cassa (1994) batuan yang mempunyai Ro
Tmax yang diperoleh dari analisis REP. Hasil analisis menunjukkan Formasi
Telisa belum matang (immature), dengan nilai dominan berkisar antara 411 -
433oC. Menurut Peters dan Cassa (1994) sampel yang memiliki nilai Tmax <
102
435oC dikatakan belum matang, sedangkan oil window terjadi pada Tmax 435-
470 oC. Terdapat beberapa sampel yang mempunyai anomali nilai Tmax yang
mencapai 435oC pada sumur SS-4 dan SS-5 yang menunjukkan tingkat
ini kemungkinan dipengaruhi oleh tipe material organik yang sudah mengalami
rombakan, dimana akan menghasilkan nilai Tmax yang lebih tinggi mencapai
analisis REP memang memiliki kekurangan karena analisisnya yang cepat dan
hanya menggunakan sampel yang kecil (100 mg) untuk mewakili sampel batu inti
parameter reflektansi vitrinit mempunyai hasil lebih akurat dan dapat dipercaya
karena mempunyai range yang lebar (Hunt, 1996). Secara umum dapat dikatakan
diketahui dari ploting Pr/Ph vs Pr/nC17 (Hwang et al., 1998). Hasil ploting
(Gambar 5.5.) menunjukkan bahwa sumber material organik dari Formasi Telisa
Pr/nC17 vs Ph/nC18 (Peters et al., 2005). Hasil ploting pada data semua sumur,
kecuali sumur SS-5 (Gambar 5.6.) menunjukkan bahwa sumber material organik
dari Formasi Telisa berasal dari campuran (mixed) darat-laut. Sumber material
organik darat seperti tumbuhan tingkat tinggi, spora, dan polen. Sumber material
TOC, REP (Rock Eval Pyrolysis), dan reflektansi vitrinit (% Ro) yang terdapat
dari empat sumur, yaitu SS-3, SS-4, SS-5 dan SS-6. Data biomarker berupa n-
alkana dan isoprenoid pada Formasi Sihapas hanya terdapat pada sumur SS-3 dan
SS-4.
kandungan TOC pada sampel batuan. Nilai TOC pada Formasi Sihapas berkisar
antara 0,02-1,21 wt-% dengan rerata 0,27 wt-% dan menurut klasifikasi oleh
Peters dan Cassa (1994) secara keseluruhan menunjukkan bahwa sampel tidak
berpotensi sebagai batuan induk. Beberapa sampel yang memiliki nilai TOC > 0,5
wt-%, karena Formasi Sihapas tersusun atas lapisan batupasir dan serpih, dimana
sampel yang mempunyai nilai TOC > 0,5 wt-% terdapat pada litologi serpih. Pada
sumur SS-4 dan SS-5 terdapat sampel yang memiliki TOC 32,96 dan 48,27 wt-%
hidrokarbon yang mungkin dihasilkan pada batuan induk jika telah matang
(McCarthy, et al., 2011). Nilai PY Formasi Sihapas berkisar antara 1.51 – 1.73
mg HC/g Rock dengan rerata 1.61 mg HC/g Rock. Nilai PY vs TOC dapat diplot
pada sebuah grafik. Hasil ploting (Gambar 5.7.) menunjukkan jumlah hidrokarbon
Kualitas atau tipe material organik dapat diketahui dari beberapa cara, yaitu:
hidrokarbon rantai pendek atau gas. Nilai HI < 150 mg HC/g TOC akan
minyak dan gas, dan HI > 300 mg HC/g TOC menghasilkan minyak (Waples,
1985 dalam Subroto, 1993). Berdasarkan analisis geokimia pada Formasi Sihapas
didapatkan nilai HI sebagian besar antara 76 - 254 mg HC/g TOC dengan rerata
206 mg HC/g TOC, namun nilai HI Formasi Sihapas ini didapat pada litologi
serpih sehingga hasilnya tidak akurat, karena Formasi Sihapas dominan tersusun
atas batupasir.
106
Index) yang diplot dari data pada sumur SS-3 dan SS-4 pada diagram Pseudo Van
Formasi Sihapas mempunyai tipe kerogen II (Gambar 5.8.), namun nilai HI dan
OI Formasi Sihapas ini didapat pada litologi batulanau dan serpih sehingga
hasilnya tidak akurat, karena Formasi Sihapas dominan tersusun atas batupasir.
Gambar 5.8. Ploting HI vs OI pada diagram Pseudo Van Krevelen menunjukkan Formasi Sihapas
mempunyai tipe kerogen II
menggunakan ploting data geokimia Tmax vs HI (Hunt, 1996). Hasil ploting pada
sumur SS-3 dan SS-4 (Gambar 5.9.) menunjukkan bahwa Formasi Sihapas
dominan mempunyai tipe kerogen II dan sedikit tipe III. Nilai HI dan Tmax
Formasi Sihapas ini juga didapat pada litologi batulanau dan serpih sehingga
hasilnya tidak akurat, karena Formasi Sihapas dominan tersusun atas batupasir.
107
Gambar 5.9. Ploting HI vs Tmax menunjukkan Formasi Sihapas mempunyai tipe kerogen II
dan III
dikatakan matang jika mempunyai PI antara 0,1 – 0,4 (Peters dan Cassa, 1994).
(Gambar 5.10.) dari data pada sumur SS-3 juga menunjukkan bahwa Formasi
immature.
108
Gambar 5.10. Ploting Tmax vs PI Formasi Sihapas menunjukkan pada zona immature
berupa reflektansi vitrinit. Menurut Peters dan Cassa (1994) batuan yang
mempunyai Ro < 0,6 % dikategorikan belum matang. Hasil analisis data di sumur
SS-3, SS-4, dan SS-6 pada Formasi Sihapas mempunyai nilai antara 0,34% –
Tingkat kematangan termal berdasarkan nilai data Tmax pada sumur SS- 3
belum matang jika memiliki Tmax < 435oC, sedangkan oil window terjadi pada
Tmax 435-470 oC (Peters & Cassa, 1994). Nilai Tmax pada Formasi Sihapas
dominan berkisar antara 414 – 432 oC yang termasuk dalam kategori belum
matang. Terdapat anomali nilai Tmax pada sumur SS-5 sebagian besar > 435oC
dan bahkan mencapai 497oC (post mature), sementara berdasarkan nilai PI dan
109
Peningkatan nilai Tmax pada sampel ini kemungkinan dipengaruhi oleh tipe
material organik yang sudah mengalami rombakan akan menghasilkan nilai Tmax
material organik dengan parameter reflektansi vitrinit mempunyai hasil yang lebih
akurat dan dapat dipercaya karena mempunyai range yang lebar (Hunt, 1996).
kematangan immature.
diketahui dari ploting Pr/Ph vs Pr/nC17 (Hwang et al., 1998). Hasil ploting
(Gambar 5.11.) pada sumur SS-3 menunjukkan bahwa sumber material organik
Pr/nC17 vs Ph/nC18 (Peters et al., 2005). Hasil ploting pada data pada sumur SS-3
seperti tumbuhan tingkat tinggi, spora, dan polen. Sumber material organik laut
Analisis batuan induk pada Formasi Pematang terdiri dari data kandungan
TOC, REP (Rock Eval Pyrolysis), dan reflektansi vitrinit (% Ro) yang terdapat
dari ima sumur, yaitu sumur SS-1, SS-3, SS-4, SS-5, dan SS-6. Data biomarker
berupa n-alkana dan isoprenoid sangat terbatas dan hanya terdapat pada sumur
(Total Organic Carbon). Kandungan TOC pada Formasi Pematang berkisar antara
0,05-2,8 wt-% dengan rerata 0,61 wt-% dan menurut klasifikasi Peters dan Cassa
batuan induk. Meskipun banyak terdapat sampel yang menunjukkan nilai TOC
<0,5 wt-%. Formasi Pematang tersusun atas litologi yang bervariasi, antara lain:
serpih, batulempung, batulumpur, batupasir, dan batubara, dimana nilai TOC <0,5
wt-% terdapat pada litologi batupasir. Nilai PY (S1 + S2) menunjukkan jumlah
total hidrokarbon yang mungkin dihasilkan pada batuan induk jika telah matang
(Mc Carthy, et al., 2011). Nilai PY Formasi Pematang berkisar antara 0,44 – 7,4
mg HC/g Rock dengan rerata 2,89 mg HC/g Rock. Hasil ploting (Gambar 5.13.)
ploting nilai HIvs OI yang diplot pada diagram Pseudo Van Kravelen (Espitalie et
al., 1977 dalam Waples, 1981) sehingga diketahui tipe kerogennya. Hasil ploting
HI vs OI dari data pada sumur SS-3 dan SS-4 menunjukkan bahwa Formasi
tipe III mampu menghasilkan gas (gas prone). Sumber material yang mampu
sementara material yang menyusun kerogen tipe III merupakan material berasal
dari tumbuhan vaskular dan mengandung sisa tanaman yang mengandung lignin
Gambar 5.14. Ploting HI vs OI pada diagram Pseudo Van Krevelen menunjukkan Formasi
Pematang mempunyai tipe kerogen II dan III
113
geokimia Tmax vs HI (Hunt, 1996). Hasil ploting data pada sumur SS-1, SS-3,
mempunyai tipe kerogen II dan III. Kerogen tipe II dapat menghasilkan minyak
dan gas, sedangkan kerogen tipe III cenderung menghasilkan gas (gas prone).
Gambar 5.15. Ploting HI vs Tmax menunjukkan Formasi Pematang mempunyai tipe kerogen
II dan III
kandungan hidrogen akan terbentuk tipe hidrokarbon dengan rantai panjang yang
membentuk hidrokarbon rantai pendek atau gas. Nilai HI < 150 mg HC/g TOC
minyak dan gas, dan HI > 300 mg HC/g TOC menghasilkan minyak (Waples,
114
didapatkan nilai HI yang bervariasi antara 17 - 527 mg HC/g TOC dengan rerata
167 mg HC/g TOC, sehingga Formasi Pematang dapat menghasilkan minyak dan
gas.
dihasilkan dari analisis petrografi organik. Hasil reflektansi vitrinit pada sumur
SS-1, SS-3, dan SS-4 pada Formasi Pematang memiliki nilai berkisar antara 0,42
– 0,79%. menunjukkan ada yang telah mature (Ro > 0,6%), dimana menurut
Peters dan Cassa (1994) batuan yang mempunyai Ro < 0,6 % dikategorikan belum
mempunyai PI antara 0,1 – 0,4 (Peters dan Cassa, 1994 dalam Peters,. et al.,
(Gambar 5.16.) dari data pada sumur SS-3 dan SS-4 juga menunjukkan bahwa
Gambar 5.16. Ploting Tmax vs PI Formasi Pematang menunjukkan pada zona mature
Peters dan Cassa (1994) sampel yang memiliki nilai Tmax < 435oC dikatakan
belum matang, sedangkan oil window terjadi pada Tmax 435-470 oC. Data Tmax
sumur SS-1, SS-3, SS-4 dan SS-5 pada Formasi Pematang menunjukkan nilai
berkisar antara 428 – 445 oC yang berarti ada yang telah matang (mature). Pada
sumur SS-5, nilai Tmax dapat mencapai 480oC (post mature), anomali nilai Tmax
pada sampel ini kemungkinan dipengaruhi oleh tipe material organik yang sudah
material organik dengan parameter reflektansi vitrinit mempunyai hasil yang lebih
dapat dipercaya karena mempunyai range yang lebar (Hunt, 1996). Secara umum
116
diketahui dari ploting Pr/Ph vs Pr/nC17 (Hwang et al., 1998). Hasil ploting data
pada sumur SS-3 (Gambar 5.17.) menunjukkan bahwa sumber material organik
Pr/nC17 vs Ph/nC18 (Peters et al., 2005). Hasil ploting pada data sumur SS-3
Pematang berasal dari darat, seperti tumbuhan tingkat tinggi, spora, dan polen.
117
batuan, yaitu Formasi Telisa, Sihapas, dan Pematang dapat ditentukan bahwa
very good yang berarti cukup berpotensi – berpotensi baik sebagai batuan induk,
mempunyai tipe kerogen II dan III, dan telah memiliki kematangan termal mature.
yang berarti cukup berpotensi – berpotensi sebagai batuan induk, mempunyai tipe
kerogen II dan III, namun tingkat kematangan termal masih immature (belum
matang) sehingga belum dapat menjadi batuan induk. Formasi Telisa dapat
menjadi batuan induk jika telah mengalami proses pematangan termal atau disebut
sebagai batuan induk potensial (potential source rock) dan dalam sistem minyak
118
dan gas bumi (petroleum system) Formasi Telisa dapat berperan sebagai batuan
tudung (seal).
kematangan termal yang masih belum matang, maka Formasi Sihapas tidak dapat
menjadi batuan induk dan berperan sebagai reservoar pada Lapangan Sukowati.
Analisis karakteristik minyak bumi dilakukan hanya pada dua sumur, yaitu
sumur SS-1 dan SS-5. Analisis yang dilakukan diantaranya mengenai sifat fisik,
minyak bumi yang digunakan antara lain: data densitas minyak bumi, fraksi
hidrokarbon, data n-alkana dan isoprenoid, serta data terpana dan sterana.
Sumur SS-1 terdapat tiga sampel dan sumur SS-5 satu sampel minyak bumi
yang berada pada Formasi Sihapas (Tabel 5.1.). Sampel mempunyai nilai API
gravity berkisar antara 36,2 – 42,70 yang termasuk pada jenis light oil.
biodegradasi (Lampiran 2). Kandungan sulfur yang rendah, yaitu 0,28 wt-%
menunjukkan minyak bumi berasal dari terrestrial sourced (Lampiran 6). Nilai
Dari analisis kromatogram gas, dapat diketahui jenis batuan induk, sumber
bumi. Jenis batuan induk yang menghasilkan minyak bumi dapat diketahui dari
nilai rasio Pr/Ph, dimana minyak yang berasal dari batuan induk non marine
mempunyai rasio Pr/Ph berkisar 5 – 11, sedangkan minyak yang berasal dari
batuan induk marine mempunyai rasio Pr/Ph berkisar 1-3 (Powell and Mc Kirdy,
1973 dalam Peters et al., 2005). Nilai rasio Pr/Ph pada keempat sampel berkisar
antara 9,24 – 12,6 yang berarti jenis batuan induk penghasil minyak bumi adalah
batuan induk non marine. Selain itu juga dapat diketahui dari rasio Pr/nC17,
dimana minyak yang berasal dari batuan induk non marine mempunyai nilai rasio
Pr/nC17 > 1,0, sedangkan minyak yang berasal dari batuan induk yang
terendapkan di laut memiliki nilai rasio Pr/nC17 < 0,5 (Lijmbach, 1975 dalam
Peters et al., 2005). Nilai rasio Pr/nC17 pada keempat sampel minyak berkisar
antara 5,82 – 11,81 yang berarti berasal dari batuan induk non marine.
Menurut Hunt (1996) atom karbon ganjil C27, C29, dan C31 terbentuk dari lilin
tumbuhan darat, sedangkan hidrokarbon C15, C17, dan C19 terbentuk dari plankton.
bernomor ganjil terhadap karbon bernomor genap terutama dari nC25-nC37 yang
berarti menunjukkan adanya input dari tumbuhan darat yang signifikan. Selain itu,
kromatogram whole oil C10+ dari minyak bumi Lapangan Sukowati menunjukkan
pola yang sama dengan tipe kromatogram fluvio-deltaik dari Robinson (1987),
dimana mempunyai nilai Pr/Ph > 6,51 dan Pr/nC17 > 1,79, sehingga dapat
Gambar 5.19. Kromatogram gas fraksi hidrokarbon jenuh C10+ pada kedalaman 5238-5277 kaki
pada sumur SS-1
121
Jenis material organik batuan induk yang menghasilkan minyak bumi dan
lingkungan terbentuknya minyak bumi dapat di ketahui juga dari ploting data
Pr/nC17 vs Pr/Ph (Hwang et al., 1998). Hasil ploting data minyak bumi di
dari batuan induk penghasil minyak bumi berasal dari tumbuhan tingkat tinggi,
Selain itu jenis material organik batuan induk yang menghasilkan minyak
bumi dapat diketahui dari ploting rasio Pr/nC17 vs Ph/nC18 (Peters et al., 2005).
Hasil ploting pada minyak bumi pada Lapangan Sukowati (Gambar 5.21.)
menunjukkan bahwa jenis material organik penghasil dari batuan induk penghasil
Analisis data GC-MS hanya terdapat pada sumur SS-1. Dari analisis GC-
minyak bumi. Berdasarkan data terpana menunjukkan rasio Tm/Ts berkisar antara
1,84 – 2,13. Menurut Peters dan Moldowan (1993) rasio 1,0-2,0 mempunyai
memiliki rasio 0,1-0,3 (Grantham, 1986 dalam Waples dan Machihara, 1991).
Rasio C30 moretana/C30 hopana (Gambar 5.22.) adalah 0,11 menunjukkan tingkat
sebagai sterana hasil proses biologis, sedangkan 20S hasil proses geologis.
Minyak bumi semakin matang akan meningkatkan proporsi 20S dan mengurangi
123
proporsi 20R. Berdasarkan data rasio 20S/20R 5α C29 berkisar antara 0,64 – 0,74,
antara C27, C28, dan C29. Sebagian besar tumbuhan tingkat tinggi mempunyai
sterana C29 yang dominan, sebaliknya sterana C27 cenderung dominan pada alga
(Hunt, 1996). Predominasi sterana C29 lebih tinggi dibandingkan C27 dan C28
(Tabel 5.3.), membuktikan adanya input material tumbuhan tingkat tinggi yang
oleanana (OL) yang menunjukkan adanya input material organik yang berasal dari
Kondisi lingkungan pengendapan dapat dilihat dari data terpana, yaitu indek
pada sampel minyak bumi Lapangan Sukowati berkisar antara 2,56 – 3,33
saline.
Gambar 5.22. Fragmetogram Terpana pada kedalaman 5238-5277 kaki sumur SS-1
Gambar 5.23. Fragmetogram sterana pada kedalaman 5238-5277 kaki sumur SS-1
125
batuan induk dan minyak bumi, khususnya berdasarkan data biomarker, yaitu
terbentuk dari material organik yang berasal dari tumbuhan tingkat tinggi dan
Gambar 5.24. Korelasi batuan induk - minyak bumi menggunakan Pr/nC17 vs Ph/nC18
126
Selain itu korelasi batuan induk dan minyak bumi juga dapat menggunakan
ploting rasio Pr/nC17 vs Ph/nC18 (Peters et al., 2005). Hasil ploting (Gambar. 5.25)
organik berasal dari darat atau tumbuhan tingkat tinggi dan pada sampel minyak
bumi juga menunjukkan terbentuk dari batuan induk yang tersusun atas material
organik berasal dari darat. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa
minyak bumi pada Lapangan Sukowati berkorelasi dengan batuan induk Formasi
Pematang.
Gambar 5.25. Korelasi batuan induk - minyak bumi menggunakan parameter Pr/nC17 vs Ph/nC18
terbentuk selama Eosen Akhir - Oligosen merupakan batuan induk utama pada
area ini (PT. Energi Mega Persada, 2007). Berdasarkan hasil penelitian yang telah
bahwa Formasi Pematang yang berperan sebagai batuan induk dan telah
lalu. Pada Eosen Tengah – Akhir kecepatan penurunan graben awal diperkirakan
abu-abu pucat kehijauan dan batupasir (PT. Energi Mega Persada, 2007).
kedalaman yang dangkal (Tyson dan Pearson, 1991 dalam Peters dan Cassa,
1994). Selain itu, berdasarkan data geokimia minyak bumi yang telah terbukti
pengendapan batuan induk berasal dari rawa (non marine). Lingkungan oksidasi
pristana. Di sisi lain tingkat oksidasi yang relatif tinggi dapat merusak material
organik, namun diperkirakan terjadi proses sedimentasi yang cepat pada Formasi
Pematang sehingga material organik cepat terkubur dan tidak mengalami proses
oksidasi. Sumber material organik yang dominan pada lingkungan oksik atau
128
rawa ini berdasarkan data geokimia berasal dari tumbuhan tingkat tinggi, sehingga
membentuk tipe kerogen II (berasal dari lapisan lilin tumbuhan, spora dan polen)
nilai Ro berkisar antara 0,42 – 0,79% yang menunjukkan ada yang telah mature
(Ro > 0,6%). Selain itu, Formasi Pematang mempunyai nilai PI antara 0,076 – 0,3
karena telah terkubur dalam. Selain itu, Cekungan Sumatera Tengah juga
memiliki heat flow yang tinggi, yaitu dengan rata-rata sebesar 6,80C/100 m atau
3,3 HFU (Whibley, 1992), sehingga gradien geotermal yang terbentuk tinggi.
terjadinya perubahan lingkungan semakin dalam. Pada tahap ini beberapa sub
terbentuk pada Miosen Awal – Miosen Tengah, tersusun atas serpih gampingan,
sub-litoral luar hingga batial atas (PT. Energi Mega Persada, 2007). Berdasarkan
dan Pearson, 1991 dalam Peters dan Cassa, 1994). Hal tersebut berbeda dengan
material organik campuran dari alga yang berasal dari laut dan tumbuhan tingkat
tinggi yang berasal dari darat, sehingga membentuk dominan tipe kerogen II dan
Ro berkisar antara 0,27 – 0,40 % yang menunjukkan immature (Ro < 0,6%).
Selain itu, Formasi Telisa mempunyai nilai PI antara 0,005 – 0,085 yang
bumi, karena diperkirakan belum terkubur cukup dalam. Selain itu, Pada Miosen
diikuti oleh erosi. Periode pembentukan struktur Miosen Tengah dianggap penting
dari sudut ekonomi dan diyakini bahwa tahap utama pembentukan perangkap (PT.
tipis (PT. Energi Mega Persada, 2007). Berdasarkan pengamatan data batuinti,
Formasi Sihapas terbentuk pada lingkungan tide dominated estuary pada bagian
130
tidal sand bar, tidal sand flat, tidal mud flat dan tidal channel (Gambar 5.26)
dengan ciri secara umum berlitologi batupasir berbutir kasar hingga halus dan
struktur sedimen laminasi silang siur, burrowing dan flaser (Napitupulu, 2014).
dengan energi rendah (kecepatan arus air rendah dan pengaruh gelombang yang
TOC dominan < 0,5 wt-%, sehingga Formasi Sihapas tidak berpotensi
Formasi Sihapas tersusun atas batupasir yang secara regional berperan sebagai
reservoar, dimana sampel minyak bumi pada daerah penelitian diambil pada
Formasi Sihapas.
sehingga semakin dalam batuan akan mempunyai temperatur dan tekanan yang
semakin tinggi. Hal tersebut dalam studi batuan induk akan memengaruhi tingkat
secara tidak selaras. Akibat keterbatasan data, maka persebaran lateral dari
Formasi Pematang dapat diperkirakan mengikuti pola kedalaman dari peta top
dalaman terletak pada bagian selatan lokasi penelitian yaitu pada sumur SS-1 dan
SS-5, semakin ke utara timur, dan barat lokasi penelitian semakin berkurang
telah diperkirakan kedalaman terjadinya top oil window (Ro=0,6%) pada masing
masing sumur. Berdasarkan data perkiraan top oil window pada basement dengan
pola persebaran batas top oil window pada daerah penelitian (Gambar 5.27).
Batas perkiraan pola top oil window yang memotong garis kontur pada
beberapa bagian (Gambar 5.27), yaitu di sebelah barat dan utara pada Lapangan
Sukowati, dimana seharusnya pola batas perkiraan top oil window tersebut
mengikuti garis kontur peta basement. Hal tersebut dapat terjadi akibat proses
132
menunjukkan pola yang teratur (linier) dan dapat dikatakan daerah penelitian
pembentukan Formasi Pematang hingga Telisa, yaitu pada fase tektonik synrift
Sukowati, fase tektonik tersebut adalah fase kompresi yang terjadi akibat proses
mengakibatkan perkiraan kedalaman top oil window pada sumur SS-3, SS-4, dan
SS-6 menjadi lebih dangkal dari seharusnya. Sebaliknya pada sumur SS-1 dan SS-
kedalaman top oil window menjadi lebih dalam. Faktor tersebut yang
menyebabkan batas perkiraan pola top oil window memotong garis kontur.
stratigrafi terletak diatas Formasi Pematang yang berperan sebagai batuan induk.
Berdasarkan perkirakan pola persebaran batas top oil window dapat diperkirakan
arah migrasi minyak bumi yang dihasilkan dari batuan induk yang telah matang
133
tersebut, dimana migrasi terjadi dari daerah dalaman ke daerah yang lebih dangkal
yaitu ke Formasi Sihapas yang dibuktikan dengan adanya data sampel minyak
bumi pada sumur SS-1 dan SS-5. Pada sumur yang lain, yaitu sumur SS-2, SS-3,
SS-4, dan SS-6 hanya menunjukkan oil show. Hal tersebut membuktikan bahwa
membentuk akumulasi minyak bumi atau tidak adanya jebakan (trap) yang
paling dalam terletak pada sumur SS-1 dan SS-5 yang mencapai kedalaman 5225
kaki. Berdasarkan data geokimia seperti reflektansi vitrinit, Tmax, dan PI Formasi
pada sumur SS-1 yang dilakukan oleh PT. Energi Mega Persada menunjukkan
bahwa Formasi Telisa telah matang. Perbedaan hasil analisis tersebut menjadi
sebuah pertanyaan, namun berdasarkan hasil korelasi minyak bumi dan batuan
induk membuktikan bahwa sampel minyak bumi yang terdapat pada Lapangan
Sukowati berasal dari Formasi Pematang, bukan dari Formasi Telisa. Hal tersebut
bumi atau jika sudah matang sesuai dengan hasil burial history maka
Pematang.
bahwa sumur pemboran yang terletak jauh dari daerah cekungan belum cukup
cekungan, yaitu di sekitar sumur SS-1 dan SS-5 (oil well) yang dimana telah
terbukti menghasilkan minyak bumi. Hal tersebut karena pada daerah cekungan
banyak dibandingkan area kitchen pada daerah yang lebih dangkal, sehingga jarak
migrasi minyak bumi yang dihasilkan menuju reservoar tidak terlampau jauh.
Gambar 5.27. Peta basement (PT. Energi Mega Persada, 2007) vs persebaran sumur dan perkiraan
pola penyebaran nilai Ro = 0,6% yang menunjukkan batas top oil window pada
Lapangan Sukowati