Anda di halaman 1dari 135

1

BAB I

PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang

Lapangan Sukowati terletak di Kabupaten Tapanuli Selatan, Provinsi

Sumatera Utara yang merupakan salah satu lapangan yang menghasilkan minyak

bumi. Daerah ini termasuk ke dalam Cekungan Sumatra Tengah yang sudah

dikenal sebagai salah satu cekungan penghasil hidrokarbon terbesar di Indonesia.

Sukowati merupakan lapangan yang ditemukan pada tahun 1984 oleh P.T Caltex

Pasific Indonesia (CPI) dan merupakan lapangan yang belum dikembangkan.

Pada tahun 2002 lapangan ini termasuk daerah yang dikembalikan oleh P.T CPI

ke pemerintah dan sekarang dikelola oleh P.T Energi Mega Persada, Tbk. Sampai

saat ini telah dilakukan pengeboran sebanyak tiga belas sumur eksplorasi, dan

terdapat empat sumur yang telah produksi (PT. Energi Mega Persada, 2007).

Ilmu geokimia minyak dan gas bumi merupakan ilmu yang menerapkan

prinsip kimia untuk mempelajari asal mula, migrasi, akumulasi dan alterasi

minyak bumi (Hunt, 1996). Lapangan Sukowati merupakan sebuah lapangan lama

yang pernah ditinggalkan karena dianggap tidak ekonomis, sehingga perlu

dilakukan penelitian salah satunya tentang analisis geokimia untuk evaluasi ulang

potensi Lapangan Sukowati, berdasarkan data geokimia yang sudah tersedia

sebelumnya oleh Core Laboratorium International Ltd. (1985), PT. Caltex Pacific

Indonesia. Data geokimia tersebut digunakan untuk menentukan dan

mengevaluasi batuan induk yang terdapat di Lapangan Sukowati serta melakukan

korelasi batuan induk-minyak bumi yang sudah diproduksi. Analisis batuan induk
2

penting dilakukan untuk mengetahui sejauh mana kemampuan batuan induk

menghasilkan hidrokarbon, sedangkan korelasi batuan induk – minyak bumi

penting dilakukan untuk mengetahui kecocokan senyawa kimia pada batuan induk

dengan minyak bumi yang dihasilkan. Apabila terjadi ketidakcocokan, maka akan

menjadi tantangan bagi perusahaan untuk melakukan eksplorasi lebih lanjut untuk

mengetahui sumber minyak bumi yang dihasilkan.

I.2. Maksud dan Tujuan

Penelitian ini dimaksudkan untuk melakukan analisis geokimia guna

mengetahui hubungan karakteristik batuan induk dengan minyak bumi di daerah

penelitian. Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengevaluasi formasi batuan yang terekam pada sumur pemboran untuk

menentukan formasi yang menjadi batuan induk. Kegiatan pokok evaluasi

batuan induk ini meliputi kuantitas, kualitas, dan kematangan kerogen. Selain

itu juga dilakukan analisis data biomarker untuk mengetahui lingkungan

pengendapan dan jenis material organiknya.

2. Menentukan karakteristik minyak bumi berdasarkan komposisi whole oil dan

analisis biomarker untuk mengetahui sumber material organik, tipe

lingkungan batuan induk penghasil minyak bumi, dan tingkat kematangan.

3. Korelasi batuan induk – minyak bumi menggunakan data biomarker untuk

mengetahui kecocokan batuan induk dan minyak bumi secara kimiawi.

4. Korelasi geokimia dengan kondisi geologi menggunakan data stratigrafi,

proses tektonik dan lingkungan pengendapan yang di interpretasikan dengan

hasil penelitian. Selain itu juga menggunakan peta top basement dan posisi
3

sumur di daerah penelitian untuk mengetahui perkiraan pola penyebaran oil

window berdasarkan nilai reflektansi vitrinit dan arah migrasi.

I.3. Lokasi dan Waktu Penelitian

Objek penelitian merupakan Lapangan Sukowati, yang terletak disebelah

tepi barat laut Cekungan Sumatera Tengah. Lapangan tersebut merupakan daerah

operasi dari EMP-Tonga Ltd. Secara administratif Lapangan Sukowati terletak di

Padang Lawas, Kabupaten Tapanuli Selatan, Propinsi Sumatera Utara, sekitar 13

km sebelah utara Kota Binanga. Secara geografis pada longitude 990 26’ 00”–990

33’ 00”, latitude 10 23’ 00”–10 28’ 00” dalam sistem koordinat lintang-bujur atau

lat-long (latitude-longitude).

Gambar 1.1. Lokasi objek penelitian


4

Pelaksanaan penelitian di Lapangan Sukowati dilaksanakan mulai 6

Februari 2014 - 27 April 2014 atau kurang lebih tiga bulan dan bertempat di PT.

Energi Mega Persada, Tbk – Kuningan – Jakarta Selatan - Jakarta. Rancangan

pelaksanaan penelitian dapat dilihat pada Tabel 1.1.

Tabel 1.1. Waktu pelaksanaan penilitian

I.4. Batasan Masalah

1. Melakukan karakteristik hanya dilakukan pada Formasi Pematang, Sihapas

dan Telisa untuk menentukan formasi yang menjadi batuan induk di

Lapangan Sukowati berdasarkan data geokimia yang tersedia.

2. Karakterisasi minyak bumi dilakukan hanya pada sumur yang mempunyai

data sampel minyak bumi, yaitu pada sumur SS-1 dan SS-5.

3. Penentuan korelasi batuan induk – minyak bumi menggunakan data

biomarker.

4. Korelasi geokimia - kondisi geologi hanya berdasarkan data geologi regional

hasil peneliti terdahulu yang diinterpretasikan dengan hasil penelitian.


5

I.5. Manfaat Penelitian

Penelitian ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan eksplorasi lanjutan

bagi PT. Energi Mega Persada, Tbk yang dilakukan pada daerah penelitian yang

berguna untuk mengembangkan Lapangan Sukowati, khusunya dengan korelasi

batuan induk dengan minyak bumi. Dengan korelasi akan dapat diketahui asal

minyak bumi, memperkirakan pola persebaran oil window berdasarkan nilai

reflektansi vitrinit , dan mengetahui arah migrasi minyak bumi.

I.6. Peneliti Terdahulu

- Menurut William, et al (1985), terdapat dua fasies sumber organik utama pada

Formasi Pematang Cekungan Sumatera Tengah yaitu fasies algal- amorphous

dan fasies carbonaceous. Fasies algal-amorphous cenderung menghasilkan

minyak (oil prone) dan terdapat pada Formasi Brown Shale pada Cekungan

Balam, Aman, dan Rangau. Fasies carbonaceous menghasilkan gas dan

kondensat atau light oil prone dan terdapat pada Formasi Coal Zone di

Cekungan Kiri.

- Katz dan Mertani (1989) dalam penelitian menyebutkan bahwa minyak bumi

Cekungan Sumatera Tengah mempunyai komposisi dan karakteristik antara

lain: mempunyai nilai API gravity berkisar 16,50-47,00, kandungan

hidrokarbon jenuh pada minyak mentah berkisar 40%-80%, nilai CPI

umumnya > 1, rasio pristan/fitana umumnya lebih dari 2 bahkan hingga 6,9.

Mempunyai rasio sterana/hopana yang rendah (<0,1) dan indek gamaserana

yang rendah (<1,0).


6

- Mazied, et al (2008) dalam penelitiannya pada Blok Kampar Barat yang

terletak di sebelah tenggara daerah peneltian, membagi blok tersebut menjadi

dua yaitu bagian utara dan selatan. Hasil evaluasi minyak bumi Blok Kampar

Barat pada bagian utara mempunyai karakteristik nilai API gravity 36,2 –

42,70, dominansi sterana C29 atas sterana C27 dan C28, dan rasio pristan/fitana

tinggi (9.17-12.88) yang menunjukkan tingginya input material organik dari

daratan atau terendapkan pada lingkungan yang oksidatif. Pada bagian selatan

mempunyai nilai API gravity sedang (30-330), dominansi sterana C27 atas

sterana C28 dan C29, rasio tm/ts yang rendah (<0,6), rasio pristan/fitana sedang

(<2,7), dan mempunyai distribusi n-alkena bimodal dengan puncak C15 - C19

dan C22 - C27 yang menunjukkan adanya kontribusi alga non laut.

Evalusi Batuan Induk pada Formasi Brown Shale Blok Kampar Barat

bagian utara menunjukkan karakteristik serpih mempunyai TOC rerata 2,7%,

merupakan kerogen tipe II, potential yield rerata 6 mgHC/gr , HI rerata 188,

semua sampel belum matang dengan nilai Ro berkisar 0,47-0,49. Pada bagian

selatan berdasarkan analisis fasiesnya dibagi menjadi dua tipe genetik, yaitu

fasies rawa (swamp) dan fasies lacustrine.

a. Fasies rawa mempunyai karakteristik TOC berkisar 1,7-10,2% dengan

potential yield 51 mgHC/gr, merupakan kerogen tipe II, dan mempunyai

tingkat kematangan immature – early mature (Ro berkisar 0,46-0,62).

b. Fasies lacustrine mempunyai karakteristik TOC rerata 3,2%, merupakan

kerogen tipe II-III, dan mempunyai tingkat kematangan early mature-late

mature (Ro berkisar 0,53-1,23).


7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Geologi Regional

II.1.1. Konfigurasi dan Fisiografi Cekungan Sumatera Tengah

Pulau Sumatera memiliki tiga cekungan belakang busur yang besar, yaitu

Cekungan Sumatera Selatan, Cekungan Sumatera Tengah dan Cekungan

Sumatera Utara. Ketiganya merupakan cekungan tersier yang terbentuk akibat

produk dari proses subduksi lempeng Indo-Australia di bawah lempeng Eurasia

dan terletak di sebelah barat daya sundaland (Eubank dan Makki, 1981). Secara

fisiografis (Gambar 2.1), Cekungan Sumatera Tengah memiliki bentuk asimetri

dengan luas kurang lebih 100.000 km2 (Whibbley, 1992) dan dibatasi di bagian

utara oleh Tinggian Asahan, di bagian timur oleh Semenanjung Malaya dan

Sundaland, di bagian barat oleh Pegunungan Bukit Barisan, di bagian tenggara

oleh Tinggian Tiga puluh (Heidrick dan Aulia, 1993).

Gambar 2.1. Konfigurasi dan fisiografis Cekungan Sumatera Tengah (Heidrick dan Aulia, 1993)
8

Secara umum Cekungan Sumatera Tengah terdiri dari satu deposenter

utama, yaitu tempat deposisi sedimen Eosen hingga Resen dengan beberapa horst

dan graben yang terbentuk lokal. Cekungan Sumatra Tengah mulai mengalami

rifting sejak Paleogen dengan orientasi arah relatif utara-selatan. Proses rifting

tersebut terjadi akibat penipisan lapisan kerak yang memicu naiknya mantel dan

terjadi diapirisme magma. Hal tersebut menyebabkan Cekungan Sumatra Tengah

memiliki heat flow yang tinggi, yaitu dengan rata-rata sebesar 6,80C/100 m atau

3,3 HFU (heat flow units) (Gambar 2.2).

Subduksi lempeng Indo-Australia di bawah lempeng Eurasia yang bersifat

oblique (N6°E) pada Miosen menghasilkan gaya kompresional yang

menyebabkan cekungan mengalami inversi. Proses subduksi ini juga yang

menyebabkan terbentuknya busur kepulauan, prisma akresi, dan cekungan depan

busur Sumatera (fore-arc basin) serta Pegunungan Bukit Barisan yang berada di

sebelah barat Cekungan Sumatera Tengah (Whibley, 1992).

Gambar 2.2. Diapirisme magma yang menyebabkan tingginya heat flow (after Carvalho et al,
1980., Kay 1980 dan Ringwood, 1977 dalam Eubank dan Makki, 1981)
9

II.1.2. Tektonik Cekungan Sumatera Tengah

Dari data yang ada menunjukkan bahwa perkembangan struktural Lapangan

Sukowati secara garis besar sama dengan tektonik Cekungan Sumatera Tengah.

Berikut merupakan uraian tahapan evolusi struktural utama yang terjadi daerah

penelitian dan sekitarnya (PT. Energi Mega Persada, 2007) :

- Eosen Tengah – Akhir

Awal perkembangan graben berarah utara-selatan, merupakan respon

terhadap tegasan tensional di belakang busur. Pengendapan Formasi Pematang

diperkirakan terjadi disekitar 46 juta tahun yang lalu. Kecepatan penurunan

graben awal diperkirakan berjalan lambat. Sedimentasi rawa, sungai, dan danau

dangkal merupakan penciri pengendapan Formasi Pematang paling awal.

- Eosen Akhir – Oligosen Akhir

Peningkatan kecepatan penurunan graben yang melebihi kecepatan

sedimentasi kemungkinan menyebabkan terjadinya perubahan lingkungan danau

semakin dalam. Pada tahap ini beberapa sub cekungan di Sumatera tengah

berkembang fasies danau anoxic.

- Peristiwa Tektonik Oligosen Akhir

Peristiwa ini merupakan suatu periode pengangkatan, perlipatan, dan erosi

tinggi-tinggian yang lebih tua dan daerah-daerah dimana endapan klastik

Formasi Pematang tersingkap. Kejadian tektonik 29 juta tahun yang lalu,

bersamaan dengan penurunan muka air laut paling besar pada Masa Kenozoik

yang menyebabkan erosi besar pada tahap ini.


10

- Oligosen Akhir – Miosen Tengah

Suatu tahap tektonik yang secara umum tenang, yang meliputi suatu

siklus regresi atau transgresi dimulai dengan pengisian graben Formasi

Pematang bagian atas berlanjut hingga pengendapan Formasi Telisa pada

lingkungan laut yang lebih dalam. Ketidakselarasan lokal dalam Formasi

Pematang bagian atas merupakan bukti adanya kemenerusan pengaruh tektonik

hingga Miosen Awal. Kearah Pegunungan Proto Barisan ditemukan vulkanik

dalam Formasi Telisa.

- Miosen Tengah
Pengangkatan, perlipatan, pensesaran, dan aktivitas magmatis yang diikuti

oleh erosi terekam sebagai tektonik besar di Cekungan Sumatera Tengah.

Periode pembentukan struktur Miosen Tengah dianggap penting dari sudut

ekonomi sebagaimana diyakini bahwa tahap utama pembentukan perangkap dan

ekspulsi hidrokarbon terjadi pada fase ini.

- Miosen Tengah – Resen

Pengangkatan Bukit Barisan dimulai pada Kala Miosen Tengah sebagai

respon terhadap adanya peningkatan gaya geser menganan pada batas lempeng.

Peristiwa utama yang berhubungan dengan Sesar Sumatra kemungkinan terjadi

pada awal dan akhir Pliosen. Gaya geser menganan dan kompresi menghasilkan

model struktur tektonik sesar mendatar merencong yang terdiri dari sesar

bersudut besar, sesar sungkup, dan sumbu-sumbu lipatan orde pertama yang

menyudut terhadap jurus sesar mendatar merencong tersebut.


11

II.1.3. Stratigrafi Cekungan Sumatera Tengah

Penamaan satuan stratigrafi Cekungan Sumatra Tengah pada penelitian ini

menggunakan penamaan yang dipublikasikan oleh Mertosono dan Nayoan (1974).

Hal ini disesuaikan dengan terminologi yang digunakan oleh PT. Energi Mega

Persada, Tbk. Penamaan ini berbeda dengan penamaan yang digunakan oleh De

Coster (1974) yang digunakan pada Cekungan Sumatra Tengah bagian selatan

daerah penelitian. Lapangan Sukowati terletak pada graben mandian. Berikut ini

adalah satuan stratigrafi utama penyusun Cekungan Sumatra Tengah dari paling

tua hingga paling muda :

II.1.3.1. Batuan Dasar

Menurut Pulunggono dan Cameron dalam BP Migas (2008) menyebutkan

bahwa batuan-batuan dasar pra-tersier Cekungan Sumatra Tengah dapat

dikelompokkan kedalam tiga kelompok litologi, yaitu :

a. Lempeng Mikro Mergui yang berumur Permian – Karbon tersusun oleh batuan

terdiri dari greywacke, kuarsit dan argillit, serta intrusi granit.

b. Lempeng Mikro Malaka yang berumur Paleozoikum tersusun oleh kuarsit,

granit, dan batugamping.

c. Mutus Assemblage yang berumur Trias-Jura tersusun oleh argillit, serpih

merah, tufa dan basalt.

III.1.3.2. Kelompok Pematang

Kelompok Pematang diendapkan langsung diatas batuan dasar di Cekungan

Sumatera Tengah dan terdiri dari dominasi dua fasies kontinental, yaitu a)

batulempung berbintik beraneka warna dan batupasir berbutir halus dengan


12

sisipan serpih danau yang kaya material organik dan b) sekuen konglomerat

dengan fragmen batupasir berbutir kasar dan batulempung beraneka ragam

(Yarmanto, et al., 1995) dan berumur Eosen-Oligosen berkisar 50-24 jtl (William

et al., 1985). Warna batulempung yang beraneka ragam kemungkinan besar

merepresentasikan lingkungan pengendapan danau air tawar dengan pelamparan

sub-aerial yang luas. Serpih organik dianggap berasal dari kondisi lingkungan

yang tergenang air, seperti rawa-rawa yang merupakan lingkungan reduksi yang

khas (Mertosono dan Nayoan, 1974). Williams, et al (1985) dalam publikasinya

membagi Kelompok Pematang menjadi lima formasi, yaitu :

a. Formasi Lower Red Bed

Formasi Lower Red Bed terdiri dari batulumpur berbintik beraneka

warna, batulanau, batupasir, dan sedikit konglomerat. Warna yang sering

dijumpai antara lain abu-abu, hijau, ungu dan merah. Distribusi fasies pada

formasi ini kurang dapat dibedakan dengan baik akibat data sumur yang

terbatas, karena kontrol cekungan yang lebih dalam.

b. Formasi Brown Shale

Formasi Brown Shale menindih selaras diatas Formasi Lower Red Bed,

bahkan di beberapa area mempunyai fasies lateral yang sama. Litologi batuan

formasi ini adalah laminasi batuserpih dan batulanau yang mempunyai warna

coklat-hitam. Batuserpih dan batulanau pada formasi ini kaya akan kandungan

material organik dan menandakan batuan tersebut diendapkan pada kondisi air

yang cukup tenang. Berdasarkan hasil pemboran, ketebalan maksimum

formasi ini adalah 1900 kaki.


13

c. Formasi Coal Zone

Formasi Coal Zone adalah formasi yang sebagian secara lateral setara

dengan Formasi Brown Shale dan sebagian sedikit lebih muda, terjadi

terutama di Cekungan Kiri. Mempunyai litologi terdiri dari laminasi

batuserpih endapan danau dangkal dengan batubara dan sedikit batupasir.

Formasi ini mencapai ketebalan lebih dari 2.000 kaki, namun beberapa

penebalan terjadi akibat pengaruh tektonik.

d. Formasi Lake Fill

Formasi Lake Fill mempunyai litologi batupasir fluvial-delta,

konglomerat, dan batuserpih danau yang dangkal. Batuan terendapkan pada

sistem fluvio-lacustrine delta dengan input sedimen bervariasi secara

melintang, akibatnya hubungan fasies menjadi komplek dan sangat bervariasi.

Ketebalan formasi umumnya lebih dari 2000 kaki. Pada area cekungan yang

lebih dalam Formasi Lake Fill menindih selaras diatas Formasi Brown Shale

dan Coal Zone.

e. Formasi Fanglomerat

Formasi Fanglomerat mempunyai litologi batupasir, konglomerat dan

minor batulumpur merah-hijau. Terendapkan terutama disepanjang lembah

yang membatasi fault scarps dan berhubungan dengan kipas aluvial. Formasi

Fanglomerat mempunyai ketebalan lebih dari 6000 kaki.


14

II.1.3.3. Kelompok Sihapas

Menurut Yarmanto, et al (1995) berdasarkan dari umur tua ke muda,

Kelompok Sihapas terbagi menjadi Formasi Menggala, Bangko, Bekasap, Duri

dan Telisa

a. Formasi Menggala

Formasi Menggala diendapkan tidak selaras dengan Formasi Pematang.

Secara regional formasi ini tersusun oleh kombinasi dari fluvial non-marine,

klastika sungai teranyam, dan bergradasi menjadi lingkungan open marine

(Yarmanto, et al., 1995). Formasi Menggala tersusun atas perselingan

batupasir, batupasir konglomeratan dan konglomerat yang terendapkan pada

lingkungan sungai teranyam (PT. Energi Mega Persada, 2007).

b. Formasi Bangko

Formasi Bangko tersusun atas perselingan batupasir, batulanau, dan

batulempung dengan sedikit batupasir konglomeratan dan batubara.

Pengendapan Formasi Bangko diperkirakan pada lingkungan delta bagian

bawah hingga laut dangkal, dengan bukti ditemukannya bioturbasi dan fauna

laut dangkal ke arah bagian atas formasi (PT.Energi Mega Persada, 2007).

c. Formasi Bekasap

Formasi Bekasap diendapkan secara selaras diatas Formasi Bangko,

terdiri dari batupasir halus-kasar, bersifat masif, dan berseling dengan serpih

tipis. Dijumpai juga lapisan batubara dan batugamping tipis, dicirikan dengan

pola progradasi dan mengkasar ke atas pada batupasir yang merupakan hasil

dari proses deltaic didekatnya (Yarmanto, et al., 1995).


15

d. Formasi Duri

Formasi Duri diendapkan selaras diatas Formasi Bekasap, dimana pada

beberapa tempat mempunyai umur yang sama dengan Formasi Bekasap.

Terdiri atas suatu seri batupasir halus-sedang dan berselingan dengan serpih

dengan ketebalan mencapai lebih dari 300 kaki, terbentuk pada lingkungan

inner neritic deltaic di bagian utara dan tengah cekungan. Seri tersebut secara

lateral menjadi batupasir laut dalam dari Formasi Telisa.

e. Formasi Telisa

Formasi Telisa mempunyai hubungan menjemari dengan Kelompok

Sihapas bagian bawah dan dibeberapa tempat mempunyai hubungan sejajar.

Litologi Formasi Telisa tersusun atas serpih gampingan, batupasir

glaukonitan, perselingan batulempung lanauan dan batupasir gampingan

dengan sisipan batugamping serta serpih gampingan. Formasi ini banyak

mengandung fosil foraminifera yang menunjukkan bahwa formasi ini

diendapkan pada lingkungan sub-litoral luar hingga batial atas. Formasi ini

secara tidak selaras ditutupi oleh endapan vulkanik Kota Alam, Formasi

Petani dan Formasi Minas (PT. Energi Mega Persada, 2007).

II.1.3.4. Formasi Petani

Menurut Mertosono dan Nayoan (1974) Formasi Petani merupakan tahap

regresif dari siklus pengendapan tersier. Sedimen yang awalnya diendapkan di

laut, ke atas berubah lingkungan non-laut. Terdapat foram yang melimpah di

bagian bawah tetapi semakin berkurang ke atas. Formasi ini tersusun atas

batulempung gampingan abu-abu keputihan dan batulanau dengan sedikit


16

perselingan batubara dan tuf. Fosil foraminifera plangtonik dan bentonik

menunjukkan lingkungan pengendapan neritik dalam hingga neritik tengah.

II.1.3.5. Endapan Kuarter

Menurut Mertosono dan Nayoan (1974) Endapan Kuarter diwakili oleh

Formasi Minas / Aluvium. Formasi ini terdiri dari lapisan tipis gravel, pasir

kuarsa, lempung serta limonit yang berwarna kuning. Diendapkan secara tidak

selaras diatas Formasi Petani pada Pliosen-Pleistosen sekitar 2,8 jtl (Yarmanto, et

al., 1995). Selain itu pada Lapangan Sukowati terdapat batuan vulkanik dan

vulkanik-klastik penyusun seri Vulkanik Kota Alam yang tersingkap di seluruh

sub-cekungan Tibawan, Pendalian, dan Kota Mesjid. Seri vulkanik ini mempunyai

komposisi intermediet hingga basa dan diperkirakan seumur dengan Formasi

Minas (PT. Energi Mega Persada, 2007).

Gambar 2.3. Peta geologi daerah penelitian (Aspden,. et al, 1982)


17

Gambar 2.4. Kolom Stratigrafi Regional Cekungan Sumatera Tengah (PT. Energi Mega Persada,
2007 modified from Heidrick dan Aulia, 1993)

II.1.4. Struktur Geologi Cekungan Sumatera Tengah

Secara umum terdapat lima struktur utama di daerah penelitian dengan arah

trend barat laut-tenggara. Berikut ini merupakan elemen-elemen struktural utama

di Lapangan Sukowati dan sekitarnya (PT. Energi Mega Persada, 2007) :

- Tinggian Ujung Padang-Dalu Dalu

Tinggian Ujung Padang - Dalu Dalu merupakan tinggian struktur Formasi

Pre-Pematang, yang berarah timur laut tenggara, dimana sedimen-sediman

pematang tererosi sepanjang sumbunya.


18

- Tinggian Pulau Gadang

Tinggian Pulau Gadang adalah tinggian struktural yang dibatasi oleh sesar

yang berarah barat laut-tenggara sepanjang batuan dasar yang tersingkap.

Tinggian Plio-Pleistosen inilah yang memisahkan Cekungan Kampar dengan

Cekungan Sumatera Tengah.

- Antiform Basar

Antiform Basar merupakan suatu tinggian Plio-Pleistosen yang dibatasi

oleh sesar berarah baratlaut-tenggara yang memisahkan Sub cekungan

Pendalian, Kota Mesjid dan Pendalian-Tibawan.

- Tinggian Pendalian

Tinggian pendalian merupakan tinggian batuan dasar yang berarah utara-

selatan yang memisahkan graben Linggai dan Sligi dimana sedimen-sedimen

Formasi Pematang tererosi.

- Antiklin Rokan

Antiklin Rokan merupakan suatu antiklin yang dapat diketahui dari data

permukaan dan seismik, dibatasi oleh sesar naik dengan sudut besar. Antiklin ini

merupakan lanjutan dari antiklin Linggai kearah barat laut yang mempunyai

sumbu lipatan berbentuk “S” dan berubah menjadi simetri searah jurus.
19

Gambar 2.5. Peta kerangka struktural Cekungan Sumatera Tengah (Heidrick dan Aulia, 1993)

II.1.5. Sistem Minyak dan Gas Bumi Daerah Penelitian

Berdasarkan penelitian terdahulu mengenai sistem minyak dan gas bumi

pada Lapangan Sukowati oleh PT. Energi Mega Persada (2007) adalah sebagai

berikut :

II.1.5.1. Batuan Induk

Batuan induk yang dapat menghasilkan dan mengeluarkan hidrokarbon di

Lapangan Sukowati adalah batuan induk regional, yaitu Formasi Pematang.

Batuan induk potensial lainnya pada area ini adalah Formasi Telisa yang

terendapkan selama Miosen Awal-Tengah. Berdasarkan model burial history

(Gambar 2.6), diperkirakan pembentukan minyak bumi di Formasi Telisa terjadi

pada Miosen Akhir yang berhubungan dengan pembentukan struktur utama.


20

Gambar 2.6. Model burial history pada daerah penelitian berdasarkan data sumur SS-1
(PT. Energi Mega Persada, 2007)

II.1.5.2. Reservoar

Terdapat satu satuan batuan yang dikenal sebagai penghasil hidrokarbon

utama di Lapangan Sukowati, yaitu unit reservoar pada Kelompok Sihapas.

Ketebalan lapisan batuan reservoar berkisar antara 2-42 kaki (Sumur SS-1) dan 2-

31 kaki (Sumur SS-2). Porositas batuan reservoar tersebut bervariasi dari 16-

32,5% dengan rata-rata 19,3% dan permeabilitas berkisar antara 0,7-3031 mD

dengan rata-rata 477,4 mD.

II.1.5.3. Batuan Tudung

Batuan tudung pada seluruh akumulasi hidrokarbon di Lapangan Sukowati,

terdiri dari batuan tudung regional yaitu Formasi Telisa dan batuan tudung

intraformational pada Kelompok Sihapas. Formasi Telisa dapat berperan baik

sebagai batuan tudung hidrokarbon efektif dan juga menjadi batuan pelindung

terhadap invasi air meteorik permukaan. Batulempung penyusun Kelompok

Sihapas juga dapat berperan sebagai batuan tudung saat menutupi batupasir.
21

II.1.5.4. Pemerangkapan, Ekspulsi, dan Migrasi

Pembentukan perangkap struktur di Lapangan Sukowati dikontrol oleh

peristiwa tektonik Plio-Pleistosen. Tahap tektonik ini menghasilkan ciri-ciri

struktur yang diketahui sebagai trend Sumatera berarah barat laut-tenggara.

Kondisi tektonik tersebut menghasilkan perangkap-perangkap di Lapangan

Sukowati, yaitu sebagai berikut :

1. Antiklin Tersesarkan, peragkap antiklin ini dapat dengan mudah dikenali di

permukaan yang dibentuk oleh deformasi tahap akhir (Gambar 2.8A).

2. Perangkap Ketidakselarasan, yang berkaitan dengan pengendapan batupasir

Kelompok Sihapas yang tidak selaras di atas batuan dasar (Gambar 2.8B).

3. Perangkap Stratigrafi, perangkap ini berkaitan dengan perubahan fasies lateral

antara batupasir fluvio-deltaik dan batulempung Kelompok Sihapas.

Gambar 2.7. Perangkap antiklin tersesarkan (A) dan ketidakselarasan (B) di Lapangan Sukowati
(PT. Energi Mega Persada, 2007)
22

Migrasi hidrokarbon dari batuan induk menuju batuan reservoar pada

dasarnya terjadi secara vertikal dan lateral. Migrasi vertikal menuju batuan

reservoar yang lebih dangkal terjadi melalui zona-zona kekar dan sesar secara

langsung dari batuan induk ke batuan reservoar (Gambar 2.8A), sedangkan

migrasi lateral terjadi melalui permeabilitas matrik (Gambar 2.8B).

Gambar 2.8. Diagram skematis yang memperlihatkan migrasi vertikal (A) dan migrasi lateral (B)
di Lapangan Sukowati (PT. Energi Mega Persada, 2007

II.2. Dasar Teori

II.2.1. Batuan Induk

Batuan induk adalah semua batuan yang memiliki kemampuan untuk

menghasilkan dan mengeluarkan hidrokarbon dalam jumlah yang cukup untuk

membentuk suatu akumulasi minyak dan gas bumi (Hunt, 1996). Batuan induk

dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu (Hunt, 1996):


23

a. Batuan induk potensial, yaitu batuan induk yang masih belum matang

(immature) untuk menghasilkan minyak dan gas bumi dalam kondisi

alamiahnya, namun dapat menghasilkan minyak atau gas bumi dalam jumlah

signifikan bila dipanaskan pada laboratorium atau secara proses alamiahnya.

b. Batuan induk efektif, yaitu batuan induk yang telah menghasilkan dan

mengeluarkan minyak atau gas bumi menuju reservoar, dapat bersifat aktif

(masih mengeluarkan) dan inaktif.

Kemampuan batuan induk untuk menghasilkan minyak dan gas bumi

tergantung beberapa faktor, yaitu :

1. Kuantitas Material Organik

Pada prinsipnya kuantitas (banyaknya) material organik yang terdapat

pada batuan induk dapat diketahui dari hasil analisis Total Organic Carbon

(TOC) yang didapat dari analisa pemanasan conto batuan. Nilai TOC yang

didapatkan kemudian di klasifikasikan berdasarkan klasifikasi (Tabel 2.1.).

Semakin tinggi kandungan TOC pada batuan menunjukkan semakin baik

kuantitasnya sebagai batuan induk.

Tabel 2.1. Klasifikasi kandungan TOC (Peters dan Cassa, 1994)

Potensial (Kuantitas) TOC ( wt.%)

Poor < 0,5


Fair 0,5 – 1
Good 1–2
Very Good 2–4
Excellent >4
24

2. Kualitas Material Organik

Kualitas material organik yang terdapat pada batuan induk dapat

diketahui dari kandungan hidrogen (H) pada sampel. Semakin tinggi

kandungan H, maka jumlah hidrokarbon yang terbentuk akan semakin banyak.

Jumlah kandungan hidrogen akan berpengaruh dalam menentukan tipe

kerogen, sehingga kita dapat mengetahui produk utama dari batuan induk

tersebut.

Tabel 2.2. Klasifikasi kandungan hidrogen beserta produk utamanya (Waples, 1985 dalam
Subroto, 1993)

Indek Hidrogen Produk Utama Kuantitas Relatif


<150 Gas Kecil
Kecil
150-300 Minyak dan Gas
Sedang
300-450 Minyak
Banyak
450-600 Minyak
> 600 Minyak Sangat Banyak

3. Kematangan Material Organik

Kematangan material organik perlu diketahui untuk mengetahui apakah

batuan induk telah menghasilkan hidrokarbon. Kematangan batuan induk

dapat diketahui dari dua parameter: pertama, analisis pemantulan vitrinit

(vitrinite reflectance) yang didapat dari pengamatan maseral vitrinit dalam

bentuk sayatan poles dibawah mikroskop; kedua, berdasarkan data Tmax hasil

analisis Rock Eval Pyrolisis (REP).


25

Tabel 2.3. Klasifikasi berbagai analisis kematangan kerogen (Peters & Cassa, 1994)

Parameter
Tingkat Kematangan
Ro (%) Tmax (°C) TAI
Belum Matang 0,2 – 0,6 < 435 1,5 – 2,6
Matang
Awal 0,6 – 0,65 435 - 445 2,6 – 2,7
Puncak 0,65 – 0,9 445 - 450 2,6 – 2,7
Akhir 0,9 – 1,35 450 - 470 2,9 – 3,3
Sangat Matang > 1,35 > 470 > 3,3

II.2.2. Material Organik

Material organik yang terendapkan pada sedimen terutama terdiri dari

biopolimer makhluk hidup, yaitu: karbohidrat, protein, lipid, lignin, dan

subkelompok seperti: kitin, lilin, resin, pigmen, glikosida, lemak, dan minyak

esensial. Phytoplankton (tumbuhan) dan zooplankton (hewan) merupakan contoh

organisme laut yang dapat membentuk material organic, sedangkan spora, polen,

organik debris, kayu, dan material organik daur ulang merupakan organisme darat

yang dapat membentuk material organik. Pada dasarnya tidak semua material

organik dapat menghasilkan hidrokarbon, karena material tersebut mungkin

sebagian akan dimakan organisme dan dapat juga bereaksi dengan zat mineral

(Hunt, 1996).

Terdapat beberapa kondisi untuk mendukung pembentukan sedimen yang

kaya akan material organik (Killops dan Killops, 2005). Pertama, diperlukan

suplai material organik dalam jumlah yang cukup banyak. Kedua, dibutuhkan

lingkungan pengendapan yang mempunyai energi rendah (kecepatan arus air

rendah dan pengaruh gelombang yang terbatas). Hal ini penting untuk

mengendapkan material organik yang sebagian besar mempunyai ukuran kecil


26

dan agar terhindar dari proses erosi. Ketiga, input material anorganik yang

terbatas, sehingga tidak menutupi material organik secara signifikan. Keempat,

kondisi dimana harus mendukung terjadinya preservasi material organik dalam

sedimen dari ancaman degradasi oleh detritivor dan dekomposer.

Gambar 2.9. Lingkungan pengendapan tempat terbentuknya deposit kaya material organik
(Brooks et al., 1987 dalam Killops dan Killops, 2005)

II.2.3. Kerogen

Kerogen awalnya didefinisikan sebagai material organik pada batuan yang

mampu menghasilkan minyak atau gas (oil shale) bila mengalami pemanasan.

Setelah itu, istilah kerogen didefinisikan sebagai semua material organik pada

batuan sedimen yang tidak terlarut oleh pelarut asam, basa, dan organik non

oksidan. Kerogen dalam batuan dapat berasal dari empat sumber utama, yaitu:

marine, lacustrine, terrestrial, dan recycled. Sebagian besar minyak bumi yang

terbentuk di dunia berasal dari kerogen marine dan lacustrine, sedangkan

sebagian besar batubara berasal dari tumbuhan darat dan kerogen daur ulang yang

umumnya sebagian besar inert.


27

Bitumen adalah zat alami berbentuk padat dan cair yang terbentuk dari

pematangan kerogen, mempunyai variasi warna, kekerasan, volatilitas, dan

terutama tersusun oleh unsur karbon dan hidrogen. Bitumen dapat berasosiasi

dengan mineral, sedangkan komponen penyusun nonmineral sebagian besar larut

pada karbon disulfida (Hunt, 1996).

II.2.3.1. Pembentukan Kerogen

Kerogen terbentuk dari biopolimer makhluk hidup (protein dan karbohidrat)

yang mengalami proses diagenesis seiring dengan meningkatnya deposisi dan

temperatur. Selama diagenesis awal pada lingkungan air, bahan organik dipecah

oleh mikroba ke dalam konstituen yang lebih kecil dan melalui reaksi kondensasi

meningkatkan kandungan zat humik. Pembentukan kerogen bersaing dengan

perusakan material organik akibat proses oksidasi oleh mikroba, sehingga terjadi

preservasi selektif dari biomakromolekuler yang resisten (dengan kemungkinan

alterasi mikroba kecil).

Potensi alur pembentukan kerogen dapat dilihat pada Gambar 2.10 dimana

terlihat bahwa kerogen tidak hanya terbentuk dari biomakromolekul yang resisten

tapi juga terbentuk dari geomakromolekul, makromolekul yang kaya sulfur,

gabungan biomolekul LMW dan preservasi unsur lipid. Geomakromolekul dapat

terbentuk langsung dari hasil alterasi pada biomakromolekul. Proses vulkanisasi

pada biomolekul LMW dapat membentuk makromolekul yang kaya sulfur pada

kerogen, sedangkan preservasi lipid pada kerogen terjadi pada akhir proses

diagenesis (Killops and Killops, 2005).


28

Gambar 2.10. Model pembentukan kerogen (Killops dan Killops, 2005)

II.2.3.2. Komposisi Kerogen

Kerogen tersebar pada batuan sedimen dalam bentuk yang sangat halus

sehingga untuk mengetahui komposisinya harus melalui pemeriksaan

mikroskopik, salah satunya menggunakan petrografi batubara. Karbon dan

hidrogen merupakan unsur utama pada kerogen, selain itu kandungan oksigen

juga penting pada struktur kerogen. Kandungan alifatik pada kerogen umumnya

lebih tinggi dibandingkan batubara. Kerogen juga mengandung cincin aromatik

yang dapat mengandung nitrogen, sulfur dan oksigen (Killops dan Killops, 2005)
29

Tabel 2.4. Perubahan komposisi pada tiga tipe kerogen utama akibat penambahan kematangan
(after Behar dan Vandenbroucke, 1987 dalam Killops dan Killops, 2005)

II.2.3.3. Klasifikasi Kerogen

Kerogen berdasarkan kandungan unsur Karbon (C), Hidrogen (H), dan

Oksigen (O) dapat diklasifikan menjadi empat, yaitu kerogen tipe I, II, III dan IV.

Berikut merupakan uraian dari keempat tipe tersebut (Killops dan Killops, 2005):

a. Kerogen Tipe I

Kerogen tipe I relatif jarang, dan awalnya memiliki rasio atom H/C

yang tinggi (>1,5) dan rasio atom O/C rendah (<0,1). Mengandung material

lipid yang signifikan, terutama alifatik rantai panjang. Lipid ini terutama

berasal dari material organik yang berasal dari laut, seperti phytoplankton

(alga, diatome) dan zooplankton, meskipun material bakteri amorf dapat

berkontribusi. Dibandingkan dengan jenis kerogen lain, tipe I mengandung

sedikit unsur aromatik dan heteroatom

b. Kerogen Tipe II

Kerogen tipe II lebih sering dijumpai dibanding tipe I, mempunyai rasio

atom H/C relatif tinggi (0,8-1,5) dan rasio O/C yang rendah (0,1 – 0,2).

Struktur alifatik yang penting dan terdiri dari rantai yang cukup panjang
30

(sampai C25) dan sistem cincin (naftena). Tipe kerogen ini berasal dari

material organik darat dan laut, seperti spora dan alga.

c. Kerogen Tipe III

Kerogen tipe III memiliki rasio atom H/C yang rendah (<1,0) dan O/C

yang tinggi (hingga 0,3) pada awalnya. Mempunyai kandungan yang tinggi

dari unsur oksigen dan kelompok alifatik hadir dalam jumlah kecil,

didominasi oleh metil dan rantai pendek lainnya, serta sering berikatan dengan

kelompok yang mengandung oksigen. Tipe Kerogen III terbentuk dari

tumbuhan vaskular dan mengandung sisa tanaman yang mengandung lignin

terutama senyawa aromatik, sehingga didominasi maseral vitrinit.

d. Kerogen Tipe IV

Kerogen tipe IV terdiri dari terutama opak debris, sebagian besar

inertinit dengan kandungan vitrinit yang minor. Tipe kerogen ini tidak

mempunyai potensi menghasilkan hidrokarbon. Terbentuk kemungkinan dari

material tumbuhan tingkat tinggi yang telah mengalami tingkat oksidasi yang

tinggi di daratan, kemudian tertransportasi dan terendapkan.

Tabel 2.5. Klasifikasi dan komposisi kerogen (Waples, 1985 dalam Subroto, 1993)

Maseral Tipe Kerogen Material Organik Asal

Alginit I Alga air tawar


Eksinit II Polen dan spora
Kutinit II Lapisan lilin tanaman
Resinit II Resin tanaman
Liptinit II Lemak tanaman, alga laut
Vitrinit III material tumbuhan tinggi (kayu, selulosa)
Inertinit IV Arang, material yang tersusun ulang yang teroksidasi
31

II.2.4. Asal dan Pematangan Minyak dan Gas Bumi

Asal usul minyak dan gas bumi mempunyai dua jalur utama (Gambar 2.11)

yaitu dimana sekitar 10-20% minyak dan gas bumi terbentuk langsung dari

sintesis hidrokarbon oleh organisme hidup yang dapat dengan mudah berubah

menjadi hidrokarbon (terletak di sebelah kiri Gambar 2.11). Jalur kedua

melibatkan konversi lipid, protein, dan hidrokarbon dari material organik pada

batuan sedimen. Dimana ketika kerogen terkubur dalam dengan temperatur tinggi

akan terjadi cracking untuk membentuk bitumen dan lebih lanjut menjadi minyak

dan gas bumi. Minyak dan gas bumi yang terkubur dengan temperatur tinggi

dapat berubah mengikuti dua jalur, yaitu didominasi oleh peningkatan molekul

hidrogen berukuran kecil dan didominasi oleh molekul hidrogen berukuran besar.

Hasil akhir produk dari keduanya adalah metana dan grafit (Hunt, 1996).

Gambar 2.11. Skema asal dan proses pembentukan minyak dan gas bumi (Hunt, 1996)
32

II.2.4.1. Diagenesis

Mempunyai interval kedalaman kurang dari 100 m dan temperatur sampai

500C. Dalam tahap diagenesis, suhu dan tekanan mempunyai peranan kecil dan

transformasi terjadi dalam kondisi sederhana. Selama awal diagenesis, agen utama

yang berperan sebagai pengurai adalah aktivitas mikroba. Pada diagenesis awal

biopolimer (protein, karbohidrat) dihancurkan oleh aktivitas mikroba, kemudian

terkondensasi membentuk struktur geopolimer baru. Hidrokarbon penting yang

terbentuk dalam proses diagenesis adalah metana, selain itu juga dihasilkan CO2,

H2O dan beberapa senyawa heteroatomik berat (Tissot dan Welte, 1984).

II.2.4.2. Katagenesis

Katagenesis merupakan proses dimana deposisi sedimen mengalami

pendalaman akibat subsidence cekungan maupun tektonik, hal tersebut

mengakibatkan peningkatan suhu dan tekanan. Suhu dapat berkisar dari sekitar

50-2000 C dan tekanan geostatik karena overburden dapat bervariasi 300-1000

atau 1.500 bar. Akibatnya material organik mengalami perubahan besar melalui

evolusi kerogen dan menghasilkan hidrokarbon (Tissot dan Welte, 1984).

Kerogen  bitumen  minyak + gas + residu

Pada tahap ini dikenal istilah oil window, yaitu interval kedalaman dimana

batuan induk menghasilkan dan mengeluarkan sebagian besar minyak (Hunt,

1996). Akhir katagenesis mencapai di kisaran mana hilangnya dari rantai karbon

alifatik dalam kerogen.


33

II.2.4.3. Metagenesis

Metagenesis adalah tahap akhir dari evolusi sedimen terjadi karena

penambahan temperatur dan kedalaman dimana interval kedalaman mencapai ±

10000 m. Semua fluida yang telah terbentuk berubah menjadi dry gas (over

mature) akibat semakin meningkatnya temperatur (200–2500C). Sejumlah kecil

gas metana masih terbentuk dan material organik yang tersisa berubah menjadi

residu grafitik. Akhir metagenesis merupakan awal terjadinya metamorfisme

(Tissot dan Welte, 1984).

II.2.5. Komposisi Kimia Minyak dan Gas Bumi

Minyak dan gas bumi atau petroleum merupakan salah satu bentuk bitumen

yang terutama terdiri dari hidrokarbon yang ada dalam bentuk cair atau gas dalam

reservoir alaminya. Kata petroleum berasal dari bahasa latin “petra” yang berarti

batuan dan “oleum” yang berarti minyak. Minyak dan Gas Bumi tersusun hampir

seluruhnya oleh unsur hidrogen dan karbon, yang dalam rasio sekitar 1,85 atom

hidrogen dibanding 1 atom karbon dalam minyak mentah (crude oil). Densitas

atau berat jenis minyak bumi berdasarkan klasifikasi API (Hunt, 1996) dapat

dilihat pada Tabel 2.6.

Tabel 2.6. Klasifikasi minyak bumi berdasarkan API/American Petroleum Institute (Hunt, 1996)

Densitas Minyak Bumi °API

Light Oil >31,1


Medium Oil 22,3 – 31,3
Heavy Oil 10 – 22,3
Extra Heavy Oil <10
34

Minyak dan gas bumi juga tersusun oleh unsur minor, diantaranya:

nitrogen, sulfur, dan oksigen (NSO) yaitu sekitar 3%, selain itu dapat dijumpai

kehadiran logam berat seperti vanadium dan nikel. Unsur karbon dan hidrogen

yang bergabung membentuk hidrokarbon mempunyai ukuran dan jenis molekul

yang bervariasi pada minyak mentah. Perbedaan sifat fisik dan kimia hidrokarbon

disebabkan karena perbedaan distribusi ukuran dan jenis dari hidrokarbon dan

kehadiran senyawa NSO yang bervariasi (Hunt, 1996).

II.2.5.1. Variasi Ukuran Molekul

Molekul paling kecil pada petroleum adalah metane, sedangkan molekul

paling besar adalah aspaltene. Akibat peningkatan ukuran molekul akan

mengubah bentuk gas menjadi cair hingga padat. Pada seri parafin nilai C1-C4

menunjukkan gas, C5-C16 untuk cairan, dan diatas C16 untuk padatan (Hunt,

1996).

II.2.5.2. Variasi Jenis Molekul

Molekul hidrokarbon mempunyai bentuk struktural yang berbeda dengan

nama-nama sebagai berikut: alkana adalah molekul rantai terbuka dengan ikatan

tunggal antara atom karbon; sikloalkana merupakan alkana yang berbentuk cincin;

alkena mengandung satu atau lebih ikatan rangkap antara atom karbon; dan arena

merupakan hidrokarbon dengan satu atau lebih cincin benzena. Namun sebagian

besar sering mendengar istilah parafin untuk alkana, naftena atau sikloparafin

untuk sikloalkana, olefin untuk alkena, dan aromatik untuk arena (Hunt, 1996) :
35

a. Parafin (CnH2n+2)

Tipe hidrokarbon parafin merupakan penyusun minyak mentah terbesar

kedua setelah naftena. Parafin didominasi oleh fraksi gasolin dan merupakan

hidrokarbon utama pada reservoar tua (yang telah terkubur dalam). Istilah lain

yang sering digunakan untuk menggantikan parafin adalah alifatik dan

hidrokarbon jenuh. Dapat membentuk struktur rantai normal (n-parafin) atau

bercabang.

b. Naftena atau Sikloparafin (CnH2n)

Naftena merupakan struktur molekul penyusun minyak mentah

terbanyak (rata-rata ± 50%), akan bertambah jumlahnya pada fraksi yang lebih

berat dan menurun pada fraksi ringan. Naftena yang sering muncul pada

minyak mentah adalah metal siklopentana dan metal sikloheksana, dimana

keduanya hadir 2% atau lebih dalam minyak mentah. Naftena dan parafin juga

disebut sebagai hidrokarbon jenuh karena semua ikatan karbon yang tersedia

terisi penuh oleh hidrogen.

c. Olefin (CnH2n-2)

Olefin merupakan struktur hidrokarbon dengan ikatan rangkap antara

dua atom karbon atau lebih, hal tersebut menyebabkan unsur ini menjadi

sangat reaktif dibanding jenis hidrokarbon lainnya. Sangat jarang ditemukan

dalam minyak mentah dan mudah tereduksi menjadi parafin atau thiol oleh

hidrogen sulfida pada sedimen. Contoh paling umum yang ditemukan adalah

isoprena yang merupakan struktur dasar yang penting di alam.


36

d. Aromatik (CnH2n-6)

Aromatik merupakan hidrokarbon tak jenuh dimana dapat

menambahkan hidrogen atau unsur lainnya pada struktur cincin. Semua

aromatik setidaknya mengandung satu cincin benzena. Terkonsentrasi dalam

bentuk fraksi berat seperti pelumas dan residu, dimana prosentasenya lebih

dari 50%. Keterdapatannya jarang mencapai lebih dari 15% dalam minyak

mentah keseluruhan. Toluena dan metasilena tipe hidrokarbon aromatik yang

paling sering ditemukan.

e. Senyawa Nitrogen, Sulfur, dan Oksigen (Aspaltik)

Nonhidrokarbon merupakan senyawa yang mengandung atom nitrogen,

sulfur, atau oksigen dalam molekul. Meskipun unsur ini hadir dalam jumlah

kecil, mereka dapat meningkatkan fraksi nonhidrokarbon dalam minyak

mentah dengan bergabung dalam molekul. Sebagian besar residu minyak

mentah mengandung senyawa nonhidrokarbon yang tinggi.

II.2.6. Analisis Batuan Induk

Analisis batuan induk digunakan untuk mengetahui potensi atau

kemampuan batuan induk menghasilkan hidrokarbon perlu dilakukan evaluasi

terhadap batuan induk meliputi kuantitas, kualitas dan kematangan termal material

organik. Metode-metode analisis untuk mengetahui ketiga parameter tersebut

antara lain adalah sebagai berikut:


37

II.2.6.1. Analisis Total Organic Carbon (TOC)

Analisis TOC biasanya dilakukan menggunakan alat penganalisis karbon

Leco. Teknik yang dilakukan cukup sederhana, yaitu dengan membakar sampel

berbentuk bubuk yang bebas mineral karbonat pada temperatur tinggi dengan

bantuan oksigen (Gambar 2.12). Semua karbon organik akan berubah menjadi

CO2, diperangkap dan kemudian dilepaskan ke detektor, jumlah CO2 yang

dilepaskan proporsional dengan jumlah karbon organik dalam sampel batuan.

Jumlah karbon dioksida yang di dapat proporsional dengan jumlah karbon organik

di dalam batuan (Subroto, 1993).

Gambar 2.12. Diagram skematik penganalisis karbon Leco (Subroto, 1993)

II.2.6.2. Rock Eval Pyrolysis (REP)

Pada tahun 1977, Espitalié, dkk menerbitkan paper pertama tentang

pengembangan dan penggunaan dari Rock-Eval pyrolyzer. Prinsipnya adalah

analisis komponen hidrokarbon dalam batuan yang dioksidasi dengan cara

melakukan pirolisis pada kondisi atmosfer inert (mis. dengan Helium) dengan

temperatur yang terprogram (Hunt, 1996).


38

Gambar 2.13. Diagram skematik Rock-Eval (Subroro, 1993)

Problem yang muncul pada Rock-Eval Pyrolysis adalah adanya matrik

mineral lempung seperti smektit dan illite yang menyebabkan pengurangan HI

dan penambahan OI. Untuk menghilangkan kandungan matrik mineral tersebut

digunakan larutan HCl dan HF. Dari analisa Rock-Eval Pyrolysis akan diperoleh

parameter-parameter sebagai berikut (Hunt, 1996):

a. S1 yaitu mengukur kandungan free hydrocarbon yang tervolatilisasi dari

batuan pada temperatur < 3000C, yang dihasilkan dari kerogen selama

proses pengendapan.

b. S2 yaitu menunjukkan jumlah hidrokarbon hasil proses cracking, yang terjadi

akibat kerogen pada batuan induk mengalami peningkatan temperatur 350-

5500C secara alamiah.

c. S3 yaitu menunjukkan jumlah kandungan CO2 yang terbentuk dari pirolisis

material organik, terbentuk pada temperatur 300 – 3900C.


39

d. Tmax yaitu menunjukkan temperatur pada saat pembentukan hidrokarbon

melalui cracking (S2) mencapai intensitas maksimal. Nilai Tmax yang

menunjukkan oil window berkisar antara 435-4700C.

e. Hydrogen Index (HI) atau (S2/TOC) x 100 dan Oxygen Index (OI) atau

(S3/TOC) x 100. Nilai HI yang semakin tinggi menunjukkan oil prone,

sedangkan nilai OI yang tinggi menunjukkan gas prone.

Nilai HI dan OI dapat digunakan untuk mengetahui kualitas (tipe)

kerogen yang dihasilkan, yaitu dengan menggunakan diagram Pseudo Van

Krevelen. Selain itu nilai HI vs Tmax juga dapat digunakan untuk

mengetahui kualitas kerogen.

Gambar 2.14. (A) Diagram Pseudo Van Krevelen (dari Espitalie et al., 1977 dalam Waples, 1981)
dan (B) Diagram HI vs Tmax (Hunt, 1996)

f. Production Index (PI) atau S1/(S1+S2), umumnya mempunyai nilai 0,1-0,4

dari awal sampai akhir saat oil window. Nilai PI yang tinggi menunjukkan

migrasi minyak, terutama jika nilai Tmax menurun dan TOC meningkat

pada saat yang sama.


40

II.2.6.3. Pemantulan Vitrinit (%Ro)

Pemantulan vitrinit merupakan merupakan teknik yang paling banyak

digunakan untuk indikator kematangan, karena memiliki range kematangan yang

lebih panjang dibandingkan teknik atau indikator lainnya. Maseral lain seperti

liptinite yang mengandung hidrogen tinggi mempunyai nilai pemantulan yang

rendah, sedangkan fusinit (inertinit) yang mengandung hidrogen rendah

mempunyai nilai pemantulan yang tinggi (Gambar 2.15.).

Gambar 2.15. Perubahan pemantulan pada minyak (Ro) untuk A. Inertinit; B. Vitrinit; dan
C. Liptinit (Murchison, 1969 dalam Hunt, 1996)

Pemantulan cahaya pada permukaan sayatan poles vitrinit akan meningkat

seiring tingkat kematangan yang tinggi, karena adanya perubahan struktur

molekul pada maseral. Vitrinit mengandung klaster cincin aromatik yang saling

berhubungan dengan penambahan kematangan, klaster tersebut bergabung

menjadi struktur cincin aromatik yang lebih besar dengan orientasi yang lebih

teratur sehingga menyebabkan pemantulan cahaya yang lebih besar.


41

Gambar 2.16. Perubahan struktur molekul kerogen tipe I; A) awal diagenesis dan B) akhir
katagenesis (Behar dan Vendenbroucke, 1987 dalam Hunt, 1996)

Menurut Dow dan O’Connor (1982) terdapat beberapa problem untuk

memperoleh nilai Ro yang sebenarnya, antara lain (Hunt, 1996):

- Vitrinit dapat terbentuk dari beberapa sumber, yaitu primer, daur ulang,

caving dan mud additives. Vitrinit primer yang dapat digunakan untuk

analisis kematangan.

- Terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi pengukuran Ro, antara lain

tekstur vitrinit yang kasar, oksidasi, dan inklusi oleh pirit ataupun bitumen.

- Material yang terlihat seperti vitrinit, seperti bitumen padat (beberapa tipe),

pseudovitrinit, dan semifusinit.

II.2.6.4. Kromatografi Gas

Kromatografi gas atau gas chromatography (GC) adalah oven yang berisi

sebuah kolom gelas atau logam panjang, kecil, dan melingkar (Gambar 2.17)

dimana salah satu ujung kolom dihubungkan dengan tempat sampel diinjeksikan

ke dalam kolom. Ujung yang lain dihubungkan dengan suatu detektor yang dapat

memantau lewatnya senyawa-senyawa yang keluar dari kolom setelah mereka

dipisahkan. Laju aliran suatu molekul tergantung dengan berat molekul dan
42

polaritasnya. Molekul yang berat bergerak lebih lambat daripada yang ringan dan

molekul polar bergerak lebih lambat daripada molekul non polar (Subroto, 1993).

Komponen yang keluar dari kolom dicatat proporsi konsentrasinya oleh

detektor. Grafik respon detektor (kelimpahan) vs waktu (kapan senyawa keluar

dari kolom) disebut kromatogram. Setiap puncak kromatogram menunjukkan

komponen tertentu. Pengenalan terhadap senyawa yang ditunjukkan oleh puncak

kromatogram dilakukan dengan membandingkan waktu retensinya dengan standar

yang autentik. Waktu retensi adalah waktu yang diperlukan suatu komponen

untuk melewati kolom komatografi. Kromatografi gas hidrokarbon jenuh pada

prinsipnya untuk melihat distribusi n-parafin dan isoprenoid (Subroto, 1993).

Gambar 2.17. Diagram skematik kromatografi gas (Subroto, 1993)

II.2.6.5. Kromatografi Gas – Spektometri Massa (GC-MS)

Kombinasi antara kromatografi gas dan spektometri massa memerlukan

suatu alat penghubung antarfase. Dalam sistem ini fungsi kromatografi gas

hanyalah untuk memisahkan komponen sebelum mereka memasuki spektometri

massa. Spektometri massa dirancang untuk mengamati karakter dan mengenali


43

senyawa kimia dengan cara memustuskan senyawa tersebut menjadi fragmen

(ion) bermuatan listrik. Fragmentasi molekul dimulai dengan menembak molekul

tersebut dengan energi yang besar, sehingga elektronnya keluar dari molekul dan

menghasilkan ion-ion molekular (Subroto, 1993).

Ion-ion molekular dan fragmen yang bermacam tersebut dipercepat lajunya

didalam suatu tempat oleh medan magnet di dalam spektometri massa. Radius

tempat tersebut tergantung pada dua hal, yaitu rasio massa/muatan (m/z atau m/e)

ion dan kekuatan medan magnet. Senyawa dengan struktur kimia sama memiliki

spektra massa sama, dimana sterana mempunyai puncak m/z 217, sedangkan

triterpana memiliki puncak m/z 191 yang tinggi. Grafik yang didapat dengan

memantau suatu m/z tertentu sepanjang analisis kromatografi gas disebut

fragmentogram massa (Subroto, 1993).

Gambar 2.18. Diagram skematik kombinasi kromatografi gas-spektrometri massa (Subroto, 1993)
44

II.2.7. Biomarker

Biomarker adalah senyawa organik tersusun atas struktur karbon atau

skeleton yang terbentuk dari organisme hidup dan cukup stabil untuk bertahan

pada minyak mentah atau material organik. Terdapat dua blok dasar pembentukan

biomarker, yaitu: pertama, 2-struktur karbon asam asetat yang bergabung untuk

membentuk rantai karbon panjang dan kedua, 5-struktur karbon isoprena yang

bergabung untuk membentuk seluruh isoprenoid dan terpenoid serta prekursor

untuk steroid. Biomarker mempunyai struktur komplek yang tahan terhadap

proses sekunder, seperti biodegradasi dan kematangan termal yang tinggi

sehingga dapat memberikan banyak informasi, antara lain : identifikasi material

sumber, lingkungan pengendapan, kematangan termal, korelasi minyak bumi

dengan batuan induk, dan tingkat biodegradasi (Hunt, 1996).

II.2.7.1. n- Parafin

Normal Parafin dibedakan menjadi dua, yaitu: pertama, n- parafin bernomor

ganjil terdiri dari C25-C37 di berbagai tumbuhan. C27, C29, dan C31 terbentuk dari

lilin tumbuhan darat, sedangkan hidrokarbon C15, C17, dan C19 terbentuk dari

plankton. Kedua, n-parafin bernomor genap yang terbentuk pada karbonat anoksik

atau sedimen evaporit, karena pada lingkungan yang sangat reduktif, oksigen pada

asam atau alkohol melepas H2O tanpa kehilangan atom karbon (Hunt, 1996). Data

n-parafin dapat digunakan untuk mengetahui nilai CPI (Carbon Preference

Index), salah satunya menggunakan rumus perhitungan Bray & Evans (1961):
45

Nilai CPI dapat digunakan sebagai indikator kematangan batuan induk.

Nilai CPI pada batuan induk yang belum matang umumnya >> 1,0, namun

nilainya mendekati 1.0 seiring peningkatan kematangan. Hal tersebut

diakibatkan pecahnya rantai alkil pada matrik kerogen menghasilkan n-parafin

dan hilangnya komponen OEP selama proses ekspulsi hidrokarbon (Killops dan

Killops, 2005). Selain itu, bentuk pola kromatogram dapat digunakan untuk

menentukan tipe batuan induk yang menghasilkan minyak bumi (Gambar 2.19.)

dengan cara membandingan pola kromatogram sampel minyak bumi dengan

pola kromatogram fraksi hidrokarbon jenuh C10+ (Robinson, 1987).

Gambar 2.19. Pola kromatogram fraksi hidrokarbon jenuh C10+ penciri tipe karakteristik crude oil
di Indonesia (Robinson, 1987)
46

II.2.7.2. Isoprenoid asiklik (C5 – C20)

Hidrokarbon isoprenoid asiklik yang banyak digunakan dalam studi korelasi

minyak mentah dan batuan induk adalah pristana (C19) dan fitana (C20).

Isoprenoid yang lebih kecil seperti norpristana (C18) dan farnesana (C15) hadir

dalam konsentrasi yang lebih rendah daripada pristana dan fitana, sehingga

keduanya jarang digunakan dalam korelasi.

a. Pristana dan Fitana ( C19 dan C20)

Rasio Pr / Ph cenderung tinggi (>1) dalam lingkungan oksidasi, seperti

rawa gambut karena transformasi fitol menjadi asam fitanoat dilanjutkan

dekarbonisasi menjadi pristana. Pada lingkungan reduksi memiliki rasio yang

rendah (<1), karena transformasi fitol menjadi dehidrofitol dan mengurangi

pristana. Minyak low wax yang berasal dari batuan induk marine memiliki rasio

Pr/Ph 1-3. Minyak high wax dan kondensat berasal dari batuan induk non

marine memiliki rasio Pr/Ph 5-11 menunjukkan material organik berasal dari

darat (Powell and McKirdy, 1973 dalam Peters, et al, 2005). Selain itu rasio

Pr/nC17 < 0.5 menunjukkan minyak berasal dari marine source rock, sedangkan

jika Pr/nC17 > 1 menunjukkan minyak berasal dari batuan induk terendapkan di

daerah nonmarine (Lijmbach, 1975 dalam Peters et al, 2005).

b. Isoprenoid asiklik lainnya dan Anteisoprenoid

Berbagai hidrokarbon isoprenoid asiklik telah diidentifikasi dalam

minyak bumi dengan nomor karbon dari C5-C40 (Albaiges, 1980 dalam Hunt,

1996). Empat jenis isoprenoid asiklik telah teridentifikasi, tergantung dari

bagaimana unit isoprena saling berhubungan bersama. Reguler anteisoprenoid


47

memiliki struktur yang sama dengan pristana dan fitana, tetapi gugus metil

berada pada posisi nomor karbon ganjil.

II.2.7.3. Triterpana atau Isoprenoid Siklik

Triterpana bersumber dari organisme bakteri (triterpenoid) yang

mengandung grup –OH dan ikatan ganda yang berasal dari membran bakteri

(Waples dan Machihara, 1991). Triterpana terbagi menjadi tiga famili berdasarkan

jumlah cincinnya, yaitu:

a. Trisiklik Triterpana (C19 – C45)

Trisiklik terpana dianggap sebagai produk diagenesis membran

prokariotik. Seri homolog dari trisiklik terpana berkisar dari C19-C30 (Aquineto

et al., 1983 dalam Hunt, 1996). Moldowan et al. (1983) mengidentifikasi

homolog trisiklik hingga C45 di beberapa minyak mentah dan batuan induk.

Konsentrasi trisiklik terpana dalam minyak mentah meningkat seiring dengan

meningkatnya kematangan, karena putusnya gugus trisiklik triterpana dalam

aspaltena dan kerogen (Hunt, 1996).

b. Tetrasiklik Triterpana (C24-C27)

Tetrasiklik triterpana masih sangat jarang dipelajari sehingga masih

sangat jarang digunakan. Umumnya mengandung tetrasiklik terpana pada

rentang C24-C27 dan terbentuk dari berbagai fraksi minyak mentah, seperti

aspaltena dan resin (Hunt, 1996).


48

c. Pentasiklik Triterpana

1. Hopanoid (C27-C40)

Hopanoid terdapat hopana 17α(H), 21β(H) disebut hopana dan hopana

17β(H), 21α(H) disebut moretana. Rasio moretana/hopana dapat digunakan

sebagai indikator kematangan dimana nilai rasio moretane/hopana yang

rendah menunjukkan minyak yang sudah matang, untuk minyak bumi dengan

sumber berumur tersier memiliki rasio 0,1-0,3 (Grantham, 1986 dalam

Waples dan Machihara, 1991). Hopana terbentuk oleh membran prokariotik

pada bakteri, cyanobacteri (alga biru-hijau), dan organisme primitif lainnya

dengan sel prokariotik, selain itu juga terdapat pada pakis, lumut dan

beberapa tumbuhan tingkat tinggi (Hunt, 1996).

Sepasang hopana C27 sering dijumpai adalah 17α(H)-22,29,30-

trisnorhopana atau Tm dan 18α(H)-22,28,30-trisnorneohopana atau Ts. Tm

diperkirakan berupa struktur hasil biologis, sedangkan Ts berasal dari

sedimen dan batuan hasil diagenesis atau proses termal. Rasio Tm/Ts dapat

digunakan untuk mengetahui sumber batuan induk maupun minyak bumi.

Rasio Tm/Ts yang tinggi menunjukkan sumbernya berasal dari darat,

sebaliknya jika rasio Tm/Ts rendah menunjukkan sumber dari laut (Waples

dan Machihara, 1991). Selain itu rasio Tm/Ts juga dapat digunakan sebagai

indikator kematangan dengan klasifikasi (Peters dan Moldowan, 1993)

sebagai berikut jika rasio Tm/Ts 2,0-20,0 (immature), 1,0-2,0 (early mature),

0,5-1,0 (peak mature) dan 0,1-0,5 (post mature).


49

2. Nonhopanoid

Nonhopana yang digunakan dalam geokimia antara lain adalah

gamaserana, oleanana, dan lupana (Hunt, 1996).

- Gamaserana sangat resisten terhadap biodegradasi, sehingga cenderung

bervariasi pada minyak dan batuan induk. Gamaserana digunakan

sebagai penciri lingkungan yang mempunyai salinitas tinggi.

- Oleanana dan lupana berasal dari angiosperma dan tumbuhan tingkat

tinggi, selain itu juga ditemukan di batubara (lignit). Kehadiran

keduanya mencirikan sumber berasal dari darat (terestrial).

II.2.7.4. Sterana (C19-C30)

Sterana terbentuk dari sterol yang berasal dari sebagian besar tumbuhan

tingkat tinggi dan juga algae, namun tidak dijumpai pada organisme prokariotik.

Sterol berubah menjadi menjadi stanol, sterena, dan akhirnya sterana melalui

aktivitas mikroba dan reaksi diagenesis temperatur rendah. Konsentrasi sterana

meningkat seiring kedalaman penimbunan sedimen. Sterana yang umum

digunakan dalam korelasi geokimia minyak dan gas bumi mengandung C27, C28,

dan C29. Sebagian besar tumbuhan tingkat tinggi mempunyai sterol C29 yang

dominan. Sebaliknya sterol C27 cenderung dominan pada plangton, umumnya

terkonsentrasi pada alga merah dan zooplankton (Hunt, 1996).

II.2.8. Korelasi Geokimia Batuan Induk dan Minyak Bumi

Korelasi dipisahkan menjadi dua, yaitu minyak mentah dengan minyak

lainya atau dengan ekstrak dari batuan induknya. Korelasi merupakan alat penting

untuk menjawab pertanyaan produksi dan eksplorasi, serta memperluas dan


50

memperjelas tren eksplorasi yang ada. Korelasi minyak bumi – bataun induk lebih

sulit dibanding dengan korelasi antara minyak bumi, karena banyak permasalahan

yang melibatkan kedua jenis sampel dan interpretasi data (Hunt, 1996).

Parameter bulk correlation tidak terlalu berguna dalam korelasi minyak-

batuan induk, karena beberapa alasan. Pertama, beberapa sampel batuan induk

tidak cukup mewakili minyak yang dihasilkan dari interval batuan sumber yang

tebal dengan komposisi yang bervariasi. Kedua, batuan induk tidak akan

menghasilkan minyak dengan komposisi yang sama sepanjang sejarah

generasinya. Ketiga, komposisi bitumen yang diekstrak dari batuan dengan

prosedur berbeda akan menghasilkan komposisi yang berbeda. Berdasarkan hal

tersebut maka, perbandingan biomarker adalah metode yang paling cocok untuk

korelasi minyak-batuan induk. (Price dan Clayton, 1992 dalam Hunt, 1996).

Beberapa rasio biomarker yang umum digunakan antara lain :

a. Indek Homohopana

Seri homohopana (C31-C35) merupakan hopana dengan tambahan

kelompok CH2 pada rantai samping yang dipercaya berasal dari hopanoid C35

pada mikroorganisme prokariotik. Indek homohopana adalah rasio C35/(C31-

C35), dengan konfigurasi 17α(H), 21β(H), 22S dan 22R. Rasio yang tinggi

menunjukkan kondisi reduksi yang kuat, seperti lingkungan karbonat dan

evaporit laut, karena dianggap lingkungan tersebut mempreservasi C35. Indek

rendah, dimana C31 dan C32 lebih dominan, menunjukkan lingkungan suboxic.

Indek homohopana menurun seiring peningkatan kematangan.


51

b. Indek Oleanana

Oleanana dapat berasal dari angiosperma dan tumbuhan tingkat tinggi.

Indek oleanana adalah rasio 18α(H)+18β(H)-oleanana/17α(H)-hopane.

Minyak dengan indek oleanana tinggi (>30%) mengindikasikan input berasal

dari tumbuhan tingkat tinggi, sedangkan jika nilai indek rendah (<10%)

mengindikasikan sumber dari laut dengan input terestrial yan terbatas. Rasio

oleanana umumnya meningkat seiring dengan peningkatan kematangan dan

mencapai maksimal pada oil-generation window, sehingga korelasi

membutuhkan sampel dengan kematangan yang sama.

c. Indek Gamaserana

Gamaserana berasosiasi dengan lingkungan yang mempunyai salinitas

tinggi, termasuk danau (lacustrine) dan laut (marine). Indek gamaserana

adalah rasio gamaserana/17α,21β(H)-hopane x 100. Indek gamaserana yang

tinggi mengindikasikan lingkungan dengan salinitas tinggi, sedangkan indek

gamaserana yang rendah menunjukkan kebalikannya.

d. Trisiklik Terpana

Dibandingkan sterana dan terpana, trisiklik terpana (C19-C29)

memberikan kelebihan untuk korelasi yang dipengaruhi kematangan dan

biodegradasi karena lebih resisten. Minyak dan batuan induk terbagi dalam

dua kelompok, yaitu dengan puncak maksimum trisiklik terpana C23 dan

puncak maksimum tetrasiklik terpana C24. Rasio trisiklik/17α(H)-hopana pada

dasarnya sebagai indikator perbandingan sumber dari lipid alga (trisiklik)

dengan hopana yang berasal dari prokariotik primitif.


52

e. Indek C30-Sterana (24-n-propilkolestana)

Moldowan et al (1985) dalam analisisnya menyebutkan bahwa 24-n-

propilkolestana hanya terdapat pada minyak yang berasal dari batuan induk

laut, sehingga tidak terdapat pada batuan induk non laut. Indek C30 sterana

adalah rasio C30/(C27-C30) sterana. Minyak bumi yang berasal dari batuan

induk laut berkisar antara 0-0,88, sedangkan minyak non laut tidak

mengandung C30 sterana.

f. Diasterana/Reguler Sterana

Rasio yang rendah ditambah keberadaan pregnana, squalana, C24

tetrasiklik terpana, dan aryl isoprenoid yang melimpah menunjukkan

lingkungan dengan salinitas tinggi. Rasio disterana/sterana yang tinggi

cenderung karena tingkat biodegradasi atau pematangan termal yang tinggi,

dibandingkan faktor batuan induknya. Dibawah biodegradasi yang berat,

sterana secara selektif hancur dibandingkan diasterana.

g. Sidik Jari Biomarker

Kromatografi massa telah banyak digunakan untuk korelasi minyak dan

batuan induk sejak 1977 oleh Seifert. Korelasi dilakukan dengan mencocokan

pola fragmentogram minyak bumi dengan batuan induk yang diperkirakan.

h. Diagram Segitiga Sterana

Distribusi homolog sterol C27, C28, dan C29 pada diagram segitiga

sebagai indikator sumber dikemukakan pertama kali oleh Huang dan

Meinshein (1979).
53

Gambar 2.20. Diagram segitiga regular sterana (Hunt, 1996)

i. Rasio Isoprenoid/n-parafin

Isoprenoid/n-parafin yang digunakan adalah Pr/nC17 vs Ph/nC18. Nilai

kedua rasio akan menurun seiring dengan meningkatnya kematangan termal,

karena peningkatan n-parafin. Namun, nilai kedua rasio akan meningkat

seiring dengan peningkatan biodegradasi karena bakteri cenderung menyerang

n-parafin (Peters et al, 2005). Selain itu juga dapat menggunakan rasio Pr/nC17

vs Pr/Ph (Hwang et al., 1998)

Gambar 2.21. A. Grafik Pr/nC17 vs Ph/nC18 (Peters et al, 2005) dan B. Grafik Pr/nC17 vs Pr/Ph
(Hwang et al., 1998)
54

II.9. Hipotesis Penelitian

a. Formasi batuan yang berperan sebagai batuan induk pada Lapangan Sukowati

adalah Formasi Pematang.

b. Minyak bumi yang dihasilkan pada Lapangan Sukowati berasal dari batuan

induk lingkungan transisi, tersusun atas material organik berasal dari darat

dan laut, serta belum mengalami proses biodegradasi.

c. Batuan induk pada Formasi Pematang berkorelasi dengan minyak bumi yang

dihasilkan pada sumur pemboran di Lapangan Sukowati.

d. Variasi data geokimia pada daerah penelitian dikontrol oleh kondisi geologi

regional.
55

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

III.1. Ketersediaan Data

Dalam penelitian ini data yang digunakan sebagai objek penelitian adalah

data geokimia yang dimiliki oleh PT. Energi Mega Persada Tbk. Data geokimia

yang tersedia merupakan data lama (tahun 1983-1985), yang terdapat pada enam

sumur, yaitu sumur SS-1, SS-2, SS-3, SS-4, SS-5, dan SS-6. Data geokimia yang

digunakan terdiri dari data geokimia sampel batuan induk dan minyak bumi.

III.1.1. Data Geokimia Batuan Induk

Data ini berasal dari analisis laboratorium terhadap sampel batuan hasil

pengeboran yang berupa core (batu inti) dan side wall core. Data geokimia batuan

induk meliputi kandungan karbon (TOC), hasil pirolisis (S1, S2, S3, dan Tmax),

reflektansi vitrinit, dan data kromatografi yaitu Gas Chromatography (GC) dan

Gas Chromatography-Mass Spectometry (GC-MS). Tidak semua data tersebut

terdapat lengkap di keenam sumur, artinya setiap sumur memiliki kelengkapan

data geokimia yang berbeda-beda.

III.1.2. Data Geokimia Minyak Bumi

Data diperoleh dari analisis laboratorium terhadap sampel minyak bumi

hasil pengeboran pada suatu formasi tertentu. Data geokimia minyak meliputi

sifat fisik (API, kandungan sulfur, wax, asphaltene), data biomarker dari Gas

Chromatography (GC) dan Gas Chromatography-Mass Spectrometry (GC-MS).

Untuk sampel minyak bumi hanya tersedia pada sumur SS-1 dan SS-5.
56

Gambar 3.1. Peta persebaran lokasi sumur

III.2. Metode Penelitian

Penelitian dilakukan terhadap kedua sampel, yaitu : batuan induk dan

minyak bumi. Sampel batuan induk dilakukan evaluasi meliputi kuantitas,

kualitas, dan kematangan termal material organik. Analisis pada sampel minyak

bumi dilakukan karakteristik minyak bumi berdasarkan data gravitas API dan

komposisi molekul minyak mentah. Sampel batuan induk dan minyak bumi juga

dilakukan analisis biomarker yang akhirnya dijadikan parameter korelasi antara

batuan induk dan minyak bumi.


57

III.2.1. Karakteristik Sampel Batuan Induk

Kemampuan batuan induk menghasilkan minyak bumi dapat diketahui dari

evaluasi potensi batuan induk, yaitu meliputi analisis kuantitas, kualitas, dan

kematangan termal material organik. Evaluasi dilakukan pada semua formasi

batuan, meliputi Formasi Pematang, Sihapas, dan Telisa. Hasil analisis tersebut

dapat ditentukan formasi mana yang berperan sebagai batuan induk. Selain itu

juga diperlukan analisis biomarker untuk mengetahui sumber material organik dan

lingkungan pengendapan material organik.

III.2.1.1. Kuantitas Material Organik

Kuantitas material organik ditentukan menggunakan klasifikasi kandungan

TOC merujuk pada klasifikasi dari Peters dan Cassa (1994).

III.2.1.2. Kualitas Material Organik

Kualitas Material Organik atau banyaknya hidrokarbon yang terbentuk dapat

diketahui berdasarkan tipe kerogen batuan induk tersebut. Untuk mengetahui tipe

kerogen dilakukan beberapa ploting pada suatu diagram sesuai dengan data yang

tersedia pada setiap sumur, dimana dari ketiga diagram atau grafik tersebut

mengandung satu parameter yang sama yaitu hidrogen. Ketiga grafik tersebut

antara lain yaitu:

a. Diagram Pseudo Van Krevelen, menggunakan ploting data Hydrogen Index

dan Oxygen Index (Espitalie et al., 1977 dalam Waples, 1981).

b. Ploting menggunakan data Tmax dan Hydrogen Index (Hunt, 1996).

c. Menggunakan klasifikasi kandungan HI (McCarthy, et al., 2011)


58

III.2.1.3. Kematangan Material Organik

Tingkat kematangan material organik dapat diketahui menggunakan

beberapa parameter untuk membandingkan hasilnya, karena setiap parameter

mempunyai kekurangan masing-masing. Parameter yang digunakan yaitu

reflektansi vitrinit (% Ro), production index (PI) dan Tmax. Ketiga parameter

tersebut kemudian di tentukan tingkat kematangannya berdasarkan klasifikasi

Peters & Cassa (1994).

III.2.1.4. Sumber Material Organik dan Lingkungan Pengendapan

Analisis biomarker dapat digunakan untuk menentukan sumber atau jenis

material organik dan lingkungan pengendapan. Analisis tersebut adalah :

a. Ploting Pr/nC17 vs Ph/Ph (Hwang et al., 1998) untuk mengetahui sumber

material organik dan lingkungan pengendapan.

b. Ploting Pr/nC17 vs Ph/nC18 (Peters et al., 2005) untuk mengetahui sumber

material organik.

III.2.2. Karakterisasi Sampel Minyak Bumi

III.2.2.1. Analisis Komposisi Whole Oil

Analisis komposisi whole oil dilakukan untuk mengetahui kualitas dari

minyak bumi, salah satunya berupa nilai densitas atau berat jenis minyak bumi

berdasarkan klasifikasi API (Hunt, 1996). Kandungan fraksi jenuh (saturates),

aromatik, dan aspaltik yang berguna untuk mengetahui tingkat biodegradasi pada

sampel minyak bumi (Lampiran 2). Selain itu, kandungan sulfur dapat digunakan

untuk menentukan jenis batuan induk yang menghasilkan minyak bumi (BP, 1991

dalam Satyana dan Purwaningsih, 2003).


59

III.2.2.2. Analisis Kromatografi Gas

Analisis kromatografi gas menggunakan data, yaitu normal parafin dan

isoprenoid, serta pola kromatogram hasil GC. Analisis kromatografi gas pada

minyak bumi digunakan untuk mengetahui jenis batuan induk, sumber material

organik penghasil minyak bumi dan lingkungan terbentuknya minyak bumi.

Parameter yang digunakan untuk analisis tersebut antara lain:

a. Rasio Pr/Ph (Powell and Mc Kirdy, 1973 dalam Peters et al., 2005) untuk

mengetahui jenis batuan induk penghasil minyak bumi.

b. Rasio Pr/nC17 (Lijmbach, 1975 dalam Peters et al., 2005) untuk mengetahui

jenis batuan induk penghasil minyak bumi.

c. Ploting Pr/nC17 vs Ph/Ph (Hwang et al., 1998) untuk mengetahui sumber

material organik dan lingkungan pengendapan.

d. Ploting Pr/nC17 vs Ph/nC18 (Peters et al., 2005) untuk mengetahui sumber

material organik.

e. Menggunakan perbandingan pola kromatogram sampel minyak bumi dengan

pola kromatogram fraksi hidrokarbon jenuh C10+ (Robinson, 1987) untuk

menentukan tipe batuan induk yang menghasilkan minyak bumi.

III.2.2.3. Analisis Kromatografi Gas – Spektometri Massa

Analisis kromatografi gas spektrometri massa menggunakan dua data utama,

yaitu terpana dan sterana. Analisis kromatografi gas - spektometri massa pada

minyak bumi digunakan untuk mengetahui kematangan minyak bumi, sumber

material organik penghasil minyak bumi dan kondisi lingkungan terbentuknya

minyak bumi. Parameter yang digunakan untuk analisis tersebut antara lain:
60

a. Rasio Tm/Ts untuk mengetahui kematangan minyak bumi, dimana menurut

Peters dan Moldowan (1993) dan untuk mengetahui sumber dan lingkungan

pengendapannya (Waples dan Machihara, 1991).

b. Rasio moretana/hopana oleh Grantham (1986) dalam Waples dan Machihara

(1991) yang digunakan sebagai indikator kematangan.

c. Presentase C27, C28, dan C29 sterana (Hunt, 1996) untuk mengetahui asal

sumber material organik.

III.2.3. Korelasi Batuan Induk – Minyak Bumi

Korelasi geokimia antara batuan induk dengan minyak didasarkan atas

kesamaan komposisinya, yaitu dengan perbandingan ataupun ploting suatu

parameter geokimia yang disebut sebagai biomarker yang didapat dari normal

parafin dan isoprenoid (GC) atau sterana dan terpana (GC-MS) baik pada batuan

induk dan minyak bumi. Parameter yang digunakan antara lain:

a. Ploting Pr/nC17 vs Ph/Ph (Hwang et al., 1998).

b. Ploting Pr/nC17 vs Ph/nC18 (Peters et al., 2005).

III.2.4. Korelasi Geokimia dan Kondisi Geologi

Korelasi geokimia dan kondisi geologi dimaksudkan untuk mencari

hubungan keadaan geologi dengan hasil analisis geokimia yang dihasilkan secara

vertikal maupun lateral. Analisis secara vertikal dilakukan dengan menggunakan

data stratigrafi regional, tektonik dan lingkungan pengendapan yang di dapat dari

studi peneliti terdahulu, kemudian dilakukan interpretasi terkait dengan hasil

penelitian. Analisis secara lateral menggunakan peta top basement dan posisi
61

sumur di daerah penelitian untuk mengetahui perkiraan pola penyebaran oil

window berdasarkan nilai reflektansi vitrinit dan arah migrasi.

III.3. Tahapan Penelitian

Untuk mencapai tujuan dari penelitian, diperlukan beberapa tahapan-tahapan

sebagai berikut :

III.3.1. Tahap Pendahuluan

Tahap pendahuluan dilakukan diawali dengan latar belakang permasalahan,

sehingga dari hal tersebut dapat ditentukan tema dan judul penelitian serta maksud

dan tujuan penelitian. Setelah itu, melakukan studi literatur yang berhubungan

dengan penelitian, yaitu: Pertama, mengenai kondisi geologi regional daerah

penelitian, baik kondisi struktur geologi, tektonik, dan stratigrafinya. Kedua,

melakukan studi mengenai penelitian terdahulu yang telah dilakukan di daerah

penelitian dari buku internal milik PT. Energi Mega Persada terkait lokasi

penelitian, sejarah lapangan, petroleum system, serta membaca studi pustaka

mengenai teori-teori dasar yang berkaitan dengan topik penelitian melalui

textbook yang berguna untuk memperluas pengetahuan dasar.

III.3.2. Tahap Pengumpulan Data

Tahap pengumpulan data adalah mempelajari data-data yang ada, kemudian

memilih dan menyalin data yang dibutuhkan untuk penelitian agar dapat

dilakukan analisis untuk mencapai tujuan penelitian. Data yang dikumpulkan

adalah :
62

a. Data geokimia batuan induk dan data geokimia minyak bumi

Data geokimia batuan induk dan minyak bumi, dimana kedua jenis data

tersebut tersedia dalam bentuk data digital (pdf), kemudian untuk

memperjelas dan membantu pelaksanaan penelitian dan pembuatan laporan,

data dibuat dalam bentuk tabel terlebih dahulu menggunakan perangkat lunak

Microsoft Excel.

b. Peta dasar lapangan

Peta dasar lapangan terdiri dari peta persebaran lokasi sumur pemboran

yang berguna untuk menunjukkan persebaran sumur secara spasial dan peta

top basement daerah penelitian.

III.3.3. Tahap Pengolahan dan Analisis Data

Tahap pengolahan dan analisis data dilakukan analisis dan pengolahan data

di ruang kerja kantor PT Energi Mega Persada, Tbk. serta diskusi dengan

pembimbing baik mentor yang disediakan perusahaan atau dosen pembimbing.

a. Pengolahan dan Analisis Data Geokimia Batuan Induk

Pengolahan data geokimia batuan induk menjadi langkah awal, yaitu

dengan menggunakan Microsoft Excel untuk membuat grafik-grafik, seperti:

kedalaman vs TOC, kedalaman vs Ro, kedalaman vs Tmax, kedalaman vs HI,

dan kedalaman vs OI pada masing-masing sumur. Kemudian, grafik-grafik

yang dihasilkan tersebut disatukan untuk membuat log geokimia yang

digunakan untuk analisis dan interpretasi meliputi nilai TOC, kematangan,

produk hidrokarbon utama dan perkiraan kedalaman oil window.


63

b. Pengolahan dan Analisis Data Geokimia Minyak Bumi

Pengolahan data geokimia minyak bumi antara lain : pertama,

memasukkan (ploting) data pada grafik biodegradasi untuk analisis tingkat

biodegradasi; kedua, menggunakan nilai ataupun perbandingan data

biomarker yang ada untuk analisis tingkat kematangan, jenis material asal,

dan karakteristik tipe lingkungan pengendapan.

c. Korelasi Batuan Induk – Minyak Bumi

Analisis untuk melakukan korelasi batuan induk – minyak bumi adalah

melakukan ploting ataupun membandingkan data biomarker tertentu yang

sama-sama terdapat pada sampel batuan induk dan minyak bumi.

d. Korelasi Geokimia – Kondisi Geologi

Analisis untuk korelasi geokimia dan kondisi geologi dilakukan dengan

menggunakan data stratigrafi regional, proses tektonik dan lingkungan

pengendapan yang di dapat dari studi peneliti terdahulu yang dibandingkan

dengan hasil penelitian. Selain itu menggunakan peta top basement yang di

overlay dengan posisi sumur di daerah penelitian untuk mengetahui distribusi

letak daerah dalaman, perkiraan pola penyebaran oil window berdasarkan

nilai reflektansi vitrinit, dan arah migrasi.

III.3.4. Tahap Penyusunan Laporan

Pada tahap ini dilakukan penulisan laporan sebagai bagian akhir dari alur

kegiatan penelitian. Pada laporan ini akan berisi mengenai sintesis dari semua

analisis dan interpretasi data yang telah dilakukan.


64

Gambar 3.2. Bagan alir penelitian


65

BAB IV

ANALISIS DATA

IV.1. Sumur SS-1

Data geokimia yang terdapat pada sumur SS-1 meliputi kandungan TOC,

pirolisis (Rock Eval Pyrolysis), rasio atom H/C dan O/C, serta reflektansi vitrinit

(%Ro) yang dilakukan pada interval kedalaman 3284 – 7076 kaki dan terbagi

atas Formasi Telisa (3284-5151 kaki) yang tersusun atas serpih, batulanau, serta

batugamping lanauan dan Formasi Pematang (6415-7076 kaki) tersusun atas

serpih dan batulempung. Interval kedalaman 2974-3284 kaki diperkirakan

ekuivalen dengan Formasi Petani dan tidak masuk dalam pembahasan (Lampiran

1 A).

IV.1.1. Hasil Analisis Nilai TOC

Hasil analisis TOC (Total Organic Carbon) yang dilakukan pada sumur SS-

1 (Lampiran 1 A) berkisar antara 0,23 – 1,56 wt-% dengan rerata 0,91 wt-% pada

Formasi Telisa dan 0,13 – 0,52 wt-% dengan rerata 0,25 wt-% pada Formasi

Pematang. Sampel yang mempunyai kandungan TOC < 0,5 wt-% tidak berpotensi

menghasilkan hidrokarbon, nilai TOC antara 0,5 – 1,0 wt-% berpotensi cukup

baik menghasilkan hidrokarbon, sedangkan sampel yang memiliki kandungan

TOC antara 1,0 – 2,0 wt-% berpotensi baik menghasilkan hidrokarbon (Peters and

Cassa, 1994). Pada sumur SS-1 terdapat enam sampel yang tidak berpotensi

menghasilkan hidrokarbon, yaitu sampel pada kedalaman 4458, 4714, 5035, 6415,

6934, dan 7076 kaki. Terdapat empat sampel yang memiliki kandungan TOC

antara 0,5 – 1,0 wt-% yang berpotensi cukup baik menghasilkan hidrokarbon,
66

sedangkan pada Formasi Telisa terdapat lima sampel dengan kandungan TOC

berkisar antara 1,0 – 2,0 wt-% yang berpotensi baik menghasilkan hidrokarbon.

IV.1.2. Hasil Analisis REP (Rock Eval Pyrolysis)

Analisis REP digunakan untuk mengetahui kualitas dan tingkat kematangan

material organik menggunakan parameter Tmax. Sampel dikatakan belum matang

jika mempunyai nilai Tmax < 435 oC, matang jika mempunyai nilai Tmax 435-

470 oC, dan sangat matang jika mempunyai nilai Tmax > 470 oC (Peters and

Cassa, 1994). Berdasarkan hasil analisis pada sumur SS-1 (Lampiran 1 A)

didapatkan nilai Tmax memiliki kisaran antara 422 – 432 oC pada Formasi Telisa

yang menunjukkan sampel belum matang. Pada Formasi Pematang hanya terdapat

satu sampel, yaitu pada kedalaman 6548 kaki dengan nilai Tmax 440 0C yang

menunjukkan sampel mature. Nilai PI (Production Index) juga digunakan untuk

menentukan kematangan batuan induk. Sampel dikatakan matang jika mempunyai

nilai PI 0,1-0,4 (Peters and Cassa, 1994). Nilai PI pada Formasi Telisa berkisar

antara 0,005 – 0,038 yang menunjukkan hidrokarbon belum terekspulsi, karena

nilai PI < 0.1 (Gambar 4.1.).

Nilai PY (Potential Yield) pada Formasi Telisa dari hasil analisis

menunjukkan kisaran antara 0,58 - 4,07 mg HC/g TOC. Nilai HI (Hydrogen

Index) dan OI (Oxygen Index) digunakan untuk menentukan kualitas batuan induk

(tipe kerogen). Berdasarkan hasil analisis, didapatkan nilai HI pada Formasi

Telisa antara 52 - 357 mg HC/g TOC dengan rerata 176.2 mg HC/g TOC,

sementara pada Formasi Pematang hanya terdapat satu sampel dengan nilai HI 17
67

mg HC/g TOC (Gambar 4.1.). Nilai OI kedua formasi tidak dapat dihitung, karena

tidak mempunyai nilai parameter S3.

IV.1.3. Hasil Analisis Nilai Reflektansi Vitrinit (%Ro)

Nilai reflektansi vitrinit dapat digunakan untuk evaluasi tingkat kematangan

material organik di dalam batuan induk. Menurut Peters dan Cassa (1994), batuan

dianggap belum matang jika memiliki nilai Ro < 0,6%, dianggap matang jika

memiliki nilai Ro 0,6 – 1,35%, dan dianggap sangat matang jika memiliki nilai Ro

> 1,35%. Berdasarkan pengukuran reflektansi vitrinit (Lampiran 1 A) pada

Formasi Telisa didapatkan nilai Ro antara 0,27-0,37%, sedangkan pada Formasi

Pematang memiliki nilai Ro 0.42%. Berdasarkan hasil analisis pada sumur SS-1

sampel pada Formasi Telisa dan Pematang belum matang. Nilai Ro pada

umumnya akan meningkat seiring bertambahnya kedalaman, sehingga kita dapat

memprediksi pada kedalaman berapa akan terjadi oil window dengan cara menarik

garis linier terhadap nilai data Ro (Gambar 4.1.). Pada sumur SS-1 diperkirakan

terjadi top oil window pada kedalaman 7550 kaki. Berdasarkan overlay peta top

basement dan posisi sumur SS-1 (Lampiran 5) dapat menunjukkan bahwa sumur

SS-1 memiliki kedalaman basement hingga 9000 kaki, sehingga top oil window

tersebut dapat diperkirakan masih terjadi pada Formasi Pematang.


68

Gambar 4.1. Log geokimia Sumur SS-1 berdasarkan data geokimia batu inti PT. Energi Mega
Persada

IV.1.4. Hasil Analisis n-Parafin dan Isoprenoid Batu Inti

Hasil analisis n-parafin dan isoprenoid batu inti sumur SS-1 hanya terdapat

pada Formasi Telisa yaitu pada kedalaman 630-720 dan 1263 kaki. Data n-parafin

terdiri dari nC15-nC34. Data n-parafin (Tabel 4.1.) dapat digunakan untuk

menentukan nilai CPI (Carbon Preference Index) dengan menggunakan rumus

dari Bray & Evans (1961). Nilai CPI digunakan untuk mengetahui kematangan

batuan induk, batuan induk tergolong matang jika mempunyai nilai CPI

mendekati 1 (Killops dan Killops, 2005). Nilai CPI pada Formasi Telisa dari

sampel sumur SS-1 berkisar antara 1,21 – 1,39 yang menunjukkan belum matang.

Data isoprenoid (Tabel 4.2.) yang penting adalah pristana (Pr) dan fitana

(Ph). Rasio isoprenoid/n-alkana dapat digunakan untuk mengetahui sumber


69

material organik dan lingkungan pengendapan, antara lain rasio Pr/nC17 vs Pr/Ph

(Hwang et al., 1998) dan Pr/nC17 vs Ph/nC18 (Peters et al., 2005). Ploting rasio

Pr/nC17 vs Pr/Ph (Lampiran 3.A) menunjukkan material organik Formasi Telisa

sumur SS-1 berasal dari tumbuhan tinggi dan mixed. Lingkungan pengendapan

Formasi Telisa sumur SS-1 highly anoxic – anoxic to suboxic lacustrine or

marine. Berdasarkan ploting Pr/nC17 vs Ph/nC18 (Lampiran 4.A) menunjukkan

material organik berasal dari mixed tumbuhan tingkat tinggi dan alga.

Tabel 4.1. Data n-parafin batu inti pada sumur SS-1

Kedalaman (kaki)
n-Parafin
3678 3809 4009 4383 4458 4814 5046 5151
nC15 9 7 8.4 9.8 4.3 5.2 6.2 6.4
nC16 7.4 6.8 8 8.1 5.7 6.2 6.3 5.8
nC17 8.1 9.9 10.1 9.4 10.4 8.9 8.1 7.1
nC18 8.1 10.8 10.6 10.5 12.6 9 7.8 6.4
nC19 9.4 11.7 6.5 11.1 10.4 8.7 7 6.3
nC20 4.5 5.1 4.6 7.5 9.1 6.4 5.2 4.1
nC21 3.9 4.7 3.3 5.9 6.8 6 4.4 3.7
nC22 3.3 2.7 3.8 5 6.2 6.4 5.5 3.4
nC23 3.5 3 3.9 4.4 5.8 5.4 4.9 3.5
nC24 3.3 2.5 2.6 3.6 4.6 4.8 3.8 3.3
nC25 8.7 5.8 3.4 4.9 6.5 5.3 3.8 4.5
nC26 1.5 1.6 3.5 2.6 3.4 4.2 3.4 3.3
nC27 2.3 1.9 5.2 3.3 2.8 4.7 4.2 5
nC28 3.3 4.1 1.6 1.5 1.9 1.8 3.4 4.1
nC29 3.4 4.2 4.9 1.9 2.8 3.3 4.7 5.6
nC30 1.8 2.2 10.2 4.6 3.2 5 4 4.6
nC31 7.3 7.6 4.4 2.2 1.5 3 6.7 7.4
nC32 2.2 1.9 1.8 1.8 0.8 2.8 3.7 5.2
nC33 8.2 5.7 2.4 1.2 0.8 1.8 4.1 7.3
nC34 0.8 0.8 0.8 0.7 0.4 1.1 2.8 3
CPI 2.79 2.21 1.08 1.07 1.26 1.02 1.32 1.47
70

Tabel 4.2. Data isoprenoid batu inti pada sumur SS-1

Kedalaman (kaki)
Isoprenoid
3678 3809 4009 4383 4458 4814 5046 5151
Ip13 1.4 0.2 1.3 2.5 0.9 0.4 1.1 2.2
Ip14 2.5 0.6 1.7 3.1 0.7 0.7 1.6 2.4
Ip15 4.6 3.1 5 6.4 2.3 3.4 4.8 5.5
Ip16 13.8 10.4 8.4 10.2 5.2 6 6.9 8.5
Ip18 10.6 8.5 10 10.1 13.6 13.6 12.5 12.6
Pristane 39.3 39.7 45.3 47.9 49.2 51.6 55.5 55.1
Phytane 27.8 37.5 28.3 19.8 28.1 24.3 17.6 13.7
Pris/Phy 1.41 1.06 1.6 2.43 1.75 2.13 3.15 4.03
Pris/nC17 4.58 4.01 4.48 5.09 4.7 5.8 6.85 7.76
Phy/nC18 3.43 3.47 2.67 1.89 2.23 2.7 2.3 2.14

IV. 1.5. Hasil Analisis Minyak Bumi

Hasil analisis minyak bumi pada sumur SS-1 terdiri dari tiga sampel yang

terdapat pada Formasi Sihapas. Data hasil analisis (Tabel 4.3.) berupa API gravity

yang mempunyai nilai antara 42,20 – 42,70 yang menunjukkan termasuk light oil.

Data fraksi hidrokarbon dapat berguna untuk mengetahui tingkat biodegradasi

pada sampel minyak bumi. Hasil ploting kandungan fraksi hidrokarbon saturates,

aromatics, dan asphaltics (Lampiran 2) menunjukkan sampel minyak bumi belum

mengalami proses biodegradasi, sehingga dapat digunakan untuk korelasi dengan

batuan induk.

Tabel 4.3. Sifat fisik minyak bumi pada sumur SS-1


71

IV.1.5.1. Hasil Analisis Biomarker Minyak Bumi

Analisis biomarker menggunakan dua parameter data, yaitu n parafin dan

isoprenoid yang didapat dari analisis GC serta terpana dan sterana yang didapat

dari analisis GC-MS. Hasil analisis GC pada sumur SS-1 (Tabel 4.4.) terdiri dari

data n-parafin nC15-nC34 dan data isoprenoid, seperti pristana (Pr) dan fitana (Ph).

Jenis batuan induk yang menghasilkan minyak bumi dapat diketahui dari nilai

rasio Pr/Ph, dimana minyak yang berasal dari batuan induk non marine

mempunyai rasio Pr/Ph berkisar 5 – 11, sedangkan minyak yang berasal dari

batuan induk marine mempunyai rasio Pr/Ph berkisar 1-3 (Powell and Mc Kirdy,

1973 dalam Peters et al., 2005). Nilai rasio Pr/Ph berkisar antara 9,17 – 10,76

yang menunjukkan jenis batuan induk penghasil minyak bumi adalah batuan

induk non marine.

Selain itu juga dapat diketahui dari rasio Pr/nC17, dimana minyak yang

berasal dari batuan induk non marine mempunyai nilai rasio Pr/nC17 > 1,0,

sedangkan minyak yang berasal dari batuan induk yang terendapkan di laut

memiliki nilai rasio Pr/nC17 < 0,5 (Lijmbach, 1975 dalam Peters et al., 2005).

Nilai rasio Pr/nC17 berkisar antara 5,82 – 7,24 yang berarti bahwa berasal dari

batuan induk non marine.


72

Tabel 4.4. Data hasil analisis GC minyak bumi pada sumur SS-1

n- Kedalaman (kaki) Kedalaman (kaki)


Isoprenoid
parafin 5238-77 5246-48 5266-81 5238-77 5246-48 5266-81
nC15 8.3 7.1 8.2 Ip13 7.5 6.8 8
nC16 7.6 6.7 7.6 Ip14 12 12.2 13
nC17 6.9 6.2 7.3 Ip15 7.8 7.8 7.7
nC18 7.3 6.3 6.9 Ip16 13.7 14.4 14.8
nC19 7.7 6.8 7.7 Ip18 8.4 9.2 9.4
nC20 6.8 6 6.8 Pristane 46.3 44.9 42.5
nC21 6.7 6.1 6.9 Phytane 4.3 4.7 4.6
nC22 6.5 6 6.6 Pris/Phy 10.76 9.6 9.24
nC23 6.3 5.8 6.4 Pris/nC17 6.71 7.24 5.82
nC24 6.2 5.8 6.4 Phy/nC18 0.58 0.74 0.67
nC25 5.8 5.9 6
nC26 5.1 5.4 5.2
nC27 4.8 5.6 4.8
nC28 3.7 4.8 3.6
nC29 3.5 4.9 3.2
nC30 2.3 3.5 2.1
nC31 2.1 3.3 2
nC32 1.1 1.7 1
nC33 0.9 1.5 0.8
nC34 0.4 0.6 0.5
CPI 1.14 1.16 1.16

Analisis GC-MS berdasarkan data terpana (Tabel 4.5.) rasio Tm/Ts berkisar

antara 1,84 – 2,13 menunjukkan tingkat kematangan early mature, karena

menurut Peters dan Moldowan (1993) rasio 1,0-2,0 mempunyai tingkat

kematangan early mature. Rasio moretana/hopana juga dapat digunakan untuk

mengetahui tingkat kematangan, dimana dikatakan matang jika memiliki rasio

0,1-0,3 (Grantham, 1986 dalam Waples dan Machihara, 1991). Rasio C30

moretana/C30 hopana bernilai 0,11 menunjukkan tingkat kematangan awal (early


73

mature). Indek gamaserana yang tinggi menunjukkan kondisi lingkungan yang

mempunyai salinitas tinggi (Hunt, 1996). Indek gamaserana berkisar antara 2,56 –

3,33 menunjukkan kondisi lingkungan pengendapan yang relatif tidak saline.

Sumber material organik dapat diketahui dari data sterana, dimana sebagian

besar tumbuhan tingkat tinggi mempunyai sterana C29 yang dominan, sebaliknya

sterana C27 cenderung dominan pada alga (Hunt, 1996). Berdasarkan data sterana

(Tabel 4.6.) nilai sterana C29 lebih tinggi dibandingkan C27 dan C28, membuktikan

adanya input material tumbuhan tingkat tinggi yang dominan. Waples dan

Machihara (1991) menggunakan rasio epimer 20S/20R untuk mengetahui tingkat

kematangan, dimana minyak bumi semakin matang akan meningkatkan proporsi

20S dan mengurangi proporsi 20R. Berdasarkan data rasio 20S/20R 5α C29

berkisar antara 0,64 – 0,74, menunjukkan sampel matang awal.

Tabel 4.5. Data terpana minyak bumi pada sumur SS-1

* hop = hopana; mor = moretana; OL= oleanana; GM= gamaserana

Tabel 4.6. Data sterana minyak bumi pada sumur SS-1

* ster = sterana
74

IV.2. Sumur SS-2

Data geokimia yang terdapat pada sumur SS-2 hanya pada Formasi Telisa,

yaitu meliputi kandungan TOC, pirolisis (Rock Eval Pyrolysis), dan reflektansi

vitrinit (% Ro) yang diterdapat pada interval kedalaman 2260 – 3769 kaki.

Formasi Telisa tersusun atas batulanau, batulempung, dan napal (Lampiran 1 B).

IV.2.1. Analisis Nilai TOC

Analisis TOC digunakan untuk mengetahui kuantitas batuan induk, dimana

sampel yang mempunyai kandungan TOC < 0,5 wt-% tidak berpotensi

menghasilkan hidrokarbon, 0,5 – 1,0 wt-% berpotensi cukup baik menghasilkan

hidrokarbon, sedangkan 1,0 – 2,0 wt-% berpotensi baik menghasilkan

hidrokarbon (Peters and Cassa, 1994). Terdapat enam sampel Formasi Telisa pada

sumur SS-2 (Lampiran 1 B) mempunyai kandungan TOC berkisar antara 0,66 –

1,21 wt-% dengan rerata 0,93 wt-%, dimana empat sampel yang memiliki

kandungan TOC antara 0,5 – 1,0 wt-% yang berpotensi cukup baik menghasilkan

hidrokarbon, sedangkan dua sampel yang memiliki kandungan TOC antara 1,0 –

2,0 wt-% yang terdapat pada berpotensi baik menghasilkan hidrokarbon.

IV.2.2. Hasil Analisis REP (Rock Eval Pyrolysis)

Berdasarkan hasil analisis pada sumur SS-2 (Lampiran 1 B) didapatkan

nilai Tmax pada Formasi Telisa memiliki kisaran antara 427 – 433 oC yang

menunjukkan sampel belum matang. Sampel dikategorikan belum matang jika

mempunyai nilai Tmax < 435 oC (Peters and Cassa, 1994). Nilai PI juga

digunakan untuk menentukan kematangan batuan induk, dimana sampel dikatakan


75

matang jika mempunyai nilai PI 0,1-0,4 (Peters and Cassa, 1994). Nilai PI

Formasi Telisa berkisar antara 0,057 – 0,085 yang menunjukkan hidrokarbon

belum terekspulsi dari batuan, karena nilai PI < 0,1 (Gambar 4.2.).

Nilai PY pada Formasi Telisa dari hasil analisis menunjukkan kisaran

antara 0,58 - 4,07 mg HC/g TOC. Nilai HI dan OI digunakan untuk menentukan

kualitas batuan induk (tipe kerogen). Berdasarkan hasil analisis didapatkan nilai

HI antara 45 - 268 mg HC/g TOC dengan rerata 156,8 mg HC/g TOC, sedangkan

nilai OI tidak dapat dihitung karena tidak terdapat nilai parameter S3.

IV.2.3. Hasil Analisis Nilai Reflektansi Vitrinit (%Ro)

Berdasarkan pengukuran reflektansi vitrinit (Lampiran 1 B) pada Formasi

Telisa didapatkan nilai Ro antara 0,38-0,4% dan dianggap belum matang. Sampel

yang memiliki nilai Ro < 0,6% dianggap belum matang (Peter dan Cassa, 1994).

Nilai Ro pada umumnya akan meningkat seiring bertambahnya kedalaman,

sehingga kita dapat memprediksi pada kedalaman berapa akan terjadi oil window

(Gambar 4.2.). Pada sumur SS-2 diperkirakan terjadi top oil window pada

kedalaman 7200 kaki. Berdasarkan overlay peta top basement dan posisi sumur

SS-2 (Lampiran 5) dapat menunjukkan bahwa sumur SS-2 memiliki kedalaman

basement antara 5000-7000 kaki, sehingga top oil window tersebut dapat

diperkirakan terjadi pada basement dan itu menunjukkan bahwa Formasi

Pematang pada sumur SS-2 belum matang.


76

Gambar 4.2. Log geokimia sumur SS-2 berdasarkan data geokimia batu inti PT. Energi Mega
Persada

IV.2.4. Hasil Analisis n-Parafin dan Isoprenoid Batu Inti

Data n-parafin terdiri dari nC15-nC34 dan berguna untuk menghitung nilai

CPI yang berfungsi mengetahui kematangan batuan induk, batuan induk tergolong

matang jika mempunyai nilai CPI mendekati 1 (Killops dan Killops, 2005). Nilai

CPI pada sampel 1,08 yang menunjukkan sampel matang. Data isoprenoid yang

penting adalah pristana (Pr) dan fitana (Ph). Rasio isoprenoid/n-alkana dapat

digunakan untuk mengetahui asal material organik dan lingkungan pengendapan,

yaitu rasio Pr/nC17 vs Pr/Ph (Hwang et al., 1998) dan Pr/nC17 vs Ph/nC18 (Peters et

al., 2005). Hasil ploting rasio Pr/nC17 vs Pr/Ph (Lampiran 3.B) menunjukkan

material organik Formasi Telisa sumur SS-2 dari tumbuhan tinggi, sedangkan

lingkungan pengendapan Formasi Telisa sumur SS-2 anoxic to suboxic lacustrine

or marine. Berdasarkan ploting Pr/nC17 vs Ph/nC18 (Lampiran 4.B) menunjukkan

material organik berasal dari mixed tumbuhan tingkat tinggi dan alga.
77

Tabel 4.7. Data hasil analisis GC batu inti pada sumur SS-2
Kedalaman (kaki) Kedalaman (kaki)
n-Parafin Isoprenoid
3708-3768 3708-3768
nC15 3.8 Ip 13 0.2
nC16 5.2 Ip 14 0.2
nC17 6.2 Ip 15 2.1
nC18 6.5 Ip 16 5.4
nC19 6.4 Ip 18 17.1
nC20 5.5 Pristane 49.3
nC21 4.4 Phytane 25.7
nC22 4.5 Pris/Phy 1.92
nC23 4.6 Pris/nC17 7.95
nC24 3.9 Phy/nC18 3.95
nC25 4.3
nC26 3.7
nC27 5.8
nC28 5.1
nC29 6.6
nC30 7
nC31 5.7
nC32 4.4
nC33 3.3
nC34 3.1
CPI 1,08

IV.3. Sumur SS-3

Data geokimia yang terdapat pada sumur SS-3 meliputi kandungan TOC,

pirolisis (Rock Eval Pyrolysis), dan reflektansi vitrinit (%Ro) yang dilakukan pada

interval kedalaman 190 – 7173 kaki dan terbagi atas tiga formasi batuan, yaitu

Formasi Telisa (190-730 kaki) yang tersusun atas serpih dan batulanau. Formasi

Sihapas (820-4580 kaki) tersusun atas batupasir, serpih, batulanau, dan

batulumpur. Formasi Pematang (4670-7173 kaki) yang tersusun atas serpih,

batupasir, dan batulumpur (Lampiran 1 C).


78

IV.3.1. Hasil Analisis Nilai TOC

Hasil analisis TOC yang dilakukan pada sumur SS-3 (Lampiran 1 C),

berkisar antara 0,31 – 1,08 dengan rerata 0,67 wt-% pada Formasi Telisa, antara

0,06 – 0,96 dengan rerata 0,22 wt-% pada Formasi Sihapas, dan antara 0,09 – 2,59

dengan rerata 0,62 wt-% pada Formasi Pematang. Sampel yang mempunyai

kandungan TOC < 0,5 wt-% tidak berpotensi menghasilkan hidrokarbon, 0,5 – 1,0

wt-% berpotensi cukup baik menghasilkan hidrokarbon, sedangkan 1,0 – 2,0 wt-

% berpotensi baik menghasilkan hidrokarbon (Peters and Cassa, 1994). Sampel

pada Formasi Sihapas dominan mempunyai kandungan TOC < 0,5 wt-% yang

berarti tidak berpotensi menghasilkan hidrokarbon. Sampel Formasi Telisa

dominan memiliki kandungan TOC antara 0,5 – 1,0 wt-% yang berpotensi cukup

baik menghasilkan hidrokarbon. Nilai TOC sampel Formasi Pematang sangat

bervariasi dari berpotensi tidak menghasilkan hidrokarbon hingga sangat baik

menghasilkan hidrokarbon.

IV.3.2. Hasil Analisis REP (Rock Eval Pyrolysis)

Hasil analisis REP pada sumur SS-3 (Lampiran 1 C) didapatkan nilai Tmax

memiliki kisaran antara 411 – 423 oC pada Formasi Telisa dan Formasi Sihapas

memiliki nilai Tmax berkisar antara 414 – 4200C yang menunjukkan sampel

belum matang, sedangkan Formasi Pematang memiliki nilai Tmax berkisar antara

433 – 4450C yang menunjukkan sampel telah mature. Menurut Peters and Cassa

(1994) sampel dikatakan belum matang jika mempunyai nilai Tmax < 435 oC,
o
matang jika mempunyai nilai Tmax 435-470 C, dan sangat matang jika

mempunyai nilai Tmax > 470 oC.


79

Nilai PI dapat digunakan untuk menentukan kematangan batuan induk.

Sampel dikategorikan matang jika mempunyai nilai PI 0,1-0,4 (Peters and Cassa,

1994). Nilai PI Formasi Sihapas berkisar antara 0,02 – 0,05 menunjukkan

hidrokarbon belum terekspulsi, sedangan Formasi Pematang memiliki nilai PI

berkisar antara 0,06 – 0,36 menunjukkan hidrokarbon sudah terekspulsi (Gambar

4.3.). Nilai PY Formasi Sihapas hanya terdapat pada empat sampel, yaitu berkisar

antara 0,25 – 1,73 mg HC/g TOC, sedangkan nilai PY Formasi Pematang berkisar

antara 0,44 – 5,17 mg HC/g TOC. Berdasarkan hasil analisis, Formasi Telisa

memiliki nilai HI antara 207 - 415 dengan rerata 279,3 mg HC/g TOC dan OI

antara 52,8 – 211,9 dengan rerata 100,3 mg CO2/g TOC. Formasi Sihapas

memiliki nilai HI antara 16 - 254 dengan rerata 239,5 mg HC/g TOC dan OI

antara 34,4 – 131,8 dengan rerata 57 mg CO2/g TOC. Formasi Pematang memiliki

nilai HI antara 54 – 186 dengan rerata 145.7 mg HC/g TOC dan OI antara 31,1 –

128,8 dengan rerata 59,7 mg CO2/g TOC. Nilai HI dan OI digunakan untuk

menentukan tipe kerogen batuan induk.

IV.3.3. Hasil Analisis Nilai Reflektansi Vitrinit (%Ro)

Hasil analisis reflektansi vitrinit (Lampiran 1 C) pada Formasi Telisa hanya

terdapat satu sampel dengan nilai Ro 0,35 % dan Formasi Sihapas juga hanya

terdapat satu sampel dengan nilai Ro 0,36 %, keduanya dianggap belum matang.

Formasi Pematang memiliki nilai Ro berkisar antara 0,57 – 0,79 yang

menunjukkan sudah matang (mature). Menurut Peter dan Cassa (1994), batuan

dikategorikan belum matang jika memiliki nilai Ro < 0,6%, dikategorikan matang

jika memiliki nilai Ro 0,6 – 1,35%, dan dikategorikan sangat matang jika
80

memiliki nilai Ro > 1,35%. Nilai Ro pada umumnya akan meningkat seiring

bertambahnya kedalaman, sehingga kita dapat memprediksi pada kedalaman

berapa akan terjadi oil window (Gambar 4.3.). Pada sumur SS-3 kedalaman terjadi

top oil window pada kedalaman 5000 kaki yaitu pada Formasi Pematang, sehingga

menunjukkan bahwa Formasi Pematang telah matang.

Gambar 4.3. Log geokimia sumur SS-3 berdasarkan data geokimia batu inti PT. Energi Mega
Persada

IV.3.4. Hasil Analisis n-Parafin dan Isoprenoid Batu Inti

Analisis biomarker pada sumur SS-3 hanya menggunakan data n-parafin

dan isoprenoid yang terdapat pada tiga formasi, yaitu Formasi Telisa, Sihapas, dan

Pematang. Data n-parafin (Tabel 4.8.) terdiri dari nC15-nC34 berguna untuk

menentukan nilai CPI. Batuan induk tergolong matang jika mempunyai nilai CPI

mendekati 1 (Killops dan Killops, 2005). Nilai CPI pada sampel semakin kecil
81

seiring bertambahnya kedalaman yaitu dari 1,59 – 1,05 yang menunjukkan sampel

semakin matang. Data isoprenoid (Tabel 4.9.) terdiri dari pristana (Pr) dan fitana

(Ph). Rasio isoprenoid/n-alkana digunakan untuk mengetahui asal material

organik dan lingkungan pengendapan, yaitu rasio Pr/nC17 vs Pr/Ph (Hwang et al.,

1998) dan Pr/nC17 vs Ph/nC18 (Peters et al., 2005). Hasil ploting rasio Pr/nC17 vs

Pr/Ph (Lampiran 3.C) menunjukkan bahwa material organik Formasi Telisa,

Sihapas, dan Pematang sumur SS-3 berasal dari tumbuhan tinggi. Lingkungan

pengendapan Formasi Telisa dan Sihapas anoxic to suboxic lacustrine or marine,

sedangkan Formasi Pematang pada sumur SS-3 oxic terrestrial. Berdasarkan

ploting Pr/nC17 vs Ph/nC18 (Lampiran 4.C) menunjukkan material organik berasal

dari Formasi Telisa dan Sihapas mixed tumbuhan tingkat tinggi dan alga,

sedangkan Formasi Pematang dari tumbuhan tingkat tinggi.

Tabel 4.8. Data n-parafin batu inti pada sumur SS-3

Kedalaman (kaki)
nParafin Telisa Sihapas Pematang
640 2060 2600 3836 4470 5030 5480 5660 5930 6206
nC15 6 8.5 5.1 3.3 3.5 4.8 8 2.4
nC16 5.2 9.1 4.9 3.3 3.6 4.8 8.8 2.9
nC17 5.7 9.5 5 3.5 3.8 4.7 8.8 4.3
nC18 5.3 7.9 5.7 0.7 1.6 3.5 3.8 4.6 7.8 7
nC19 4.7 7.5 6 1 3 4.4 4.4 4.9 5.8 6.5
nC20 3 5.9 4.4 1.4 3.6 3.8 4.2 4.4 5.3 6
nC21 2.6 5.2 3.9 1.8 4.4 4 4.4 4.4 4.8 5.6
nC22 2.3 4.6 3.5 2.1 4.9 4.4 4.7 4.5 4.4 5.1
nC23 2.2 4.1 3.2 2.6 5.4 4.7 5.1 4.6 4.1 5
nC24 2 3.3 2.2 3.6 6.7 4.9 5.4 4.6 3.7 5.4
nC25 1.9 2.8 2 4.9 7.6 5.5 5.7 4.9 3.6 5.4
nC26 1.3 2.2 1.9 6.2 8.2 5.2 5.8 5 3.7 5.2
nC27 1.7 1.9 2.2 8.6 9.2 6 6 5.1 3.6 4.8
82

Tabel 4.8 (Lanjutan)


640 2060 2600 3836 4470 5030 5480 5660 5930 6206
nC28 1.7 1.5 2 9.6 8.9 6 5.7 4.9 3.2 4.6
nC29 2.3 1.4 2.5 12.3 9.6 6.1 5.9 5.1 3.1 4.5
nC30 1.8 1 1.9 10.9 7 4.4 4.2 3.6 2.3 3.5
nC31 2.9 1.2 2.8 12.4 6.7 4.4 4.1 3.6 2.2 2.8
nC32 1.2 8.1 3.1 2.5 2.3 2 1.2 1.9
nC33 2.1 7.6 2.3 2.6 2.3 1.9 1.1 1.4
nC34 3.9 0.6 0.9 0.7 0.7 0.3 0.7
CPI 1.59 1.23 1.41 1.19 1.16 1.18 1.15 1.15 1.12 1.05

Tabel 4.9. Data isoprenoid batu inti pada sumur SS-3


Kedalaman (kaki)
Isoprenoid Telisa Sihapas Pematang
640 2060 2600 3836 4470 5030 5480 5660 5930 6206
Ip 13 1.5 1.2 3.5 5 7.1 6.1
Ip 14 2.5 1.5 2.4 4.6 7.9 11.6 12.9 12.7 1.6
Ip 15 4.5 3.4 4.6 2.3 5.9 6.2 6.8 5.2 2.9
Ip 16 10.2 12.4 10 6.6 13.9 14.7 14.7 14.3 7.8
Ip 18 8.1 12.8 8.7 7.6 4.3 11.9 10.4 8.9 12.2 13.7
Pristane 49.9 51.6 50.6 59.6 75.2 50.5 47 44.7 42.9 64.5
Phytane 23.3 18.3 22.5 19.3 20.5 6.4 5.1 4.9 6.6 9.5
Pris/Phy 2.14 2.81 2.25 3.09 3.67 7.94 9.21 9.03 6.57 6.89
Pris/nC17 8.7 5.4 10.2 14.4 12.4 9.5 4.8 15
Phy/nC18 4.4 2.3 3.95 27.6 12.8 1.8 3.6 1.06 0.8 1.4

IV.4. Sumur SS-4

Data geokimia yang terdapat pada sumur SS-4 meliputi kandungan TOC,

pirolisis (Rock Eval Pyrolysis), dan reflektansi vitrinit (%Ro) yang dilakukan pada

interval kedalaman 180 – 7000 kaki dan terbagi atas tiga formasi batuan, yaitu

Formasi Telisa (180-4140 kaki) yang tersusun atas batulanau dan serpih. Formasi

Sihapas (4140-6120 kaki) tersusun atas batupasir dan serpih. Formasi Pematang
83

(6120-7000 kaki) yang tersusun atas serpih, batupasir, dan batubara (Lampiran 1

D).

IV.4.1. Hasil Analisis Nilai TOC

Analisis TOC digunakan untuk mengetahui kuantitas batuan induk, dimana

sampel yang mempunyai kandungan TOC < 0,5 wt-% tidak berpotensi

menghasilkan hidrokarbon, 0,5 – 1,0 wt-% berpotensi cukup baik menghasilkan

hidrokarbon, 1,0 – 2,0 wt-% berpotensi baik menghasilkan hidrokarbon,

sedangkan 2,0 – 4,0 wt-% berpotensi sangat baik menghasilkan hidrokarbon

(Peters and Cassa, 1994). Nilai TOC pada sumur SS-4 (Lampiran 1 D), berkisar

antara 0,42 – 1,40 dengan rerata 0,93 wt-% pada Formasi Telisa, antara 0,14 –

1,21 dengan rerata 0,42 wt-% pada Formasi Sihapas, dan antara 0,49 –8,58

dengan rerata 0,62 wt-% pada Formasi Pematang. Sampel pada Formasi Sihapas

dominan mempunyai kandungan TOC dominan < 0,5 wt-% yang berarti tidak

berpotensi menghasilkan hidrokarbon. Sampel Formasi Telisa secara umum

berpotensi cukup baik - baik menghasilkan hidrokarbon. Sampel Formasi

Pematang memiliki nilai TOC bervariasi yang menunjukkan berpotensi cukup

baik – sangat baik menghasilkan hidrokarbon hingga sangat baik menghasilkan

hidrokarbon. Terdapat tiga sampel yang memiliki kandungan TOC sangat tinggi,

yaitu pada kedalaman 5966, 6679, dan 6780 kaki yang menunjukkan sampel

memiliki litologi batubara.


84

IV.4.2. Hasil Analisis REP (Rock Eval Pyrolysis)

Analisis REP dapat digunakan untuk mengetahui tingkat kematangan,

dimana sampel dikategorikan belum matang jika mempunyai nilai Tmax < 435 oC,
o
matang jika mempunyai nilai Tmax 435-470 C, dan sangat matang jika

mempunyai nilai Tmax > 470 oC (Peters and Cassa, 1994). Hasil analisis pada

sumur SS-4 (Lampiran 1 D) didapatkan nilai Tmax berkisar antara 415 – 433 oC

pada Formasi Telisa dan Formasi Sihapas memiliki nilai Tmax berkisar antara

430 – 4320C yang menunjukkan sampel belum matang. Formasi Pematang

memiliki nilai Tmax berkisar antara 432 – 4420C yang menunjukkan sampel

mature.

Menurut Peters dan Cassa (1994) sampel dikategorikan matang jika

mempunyai nilai PI 0,1-0,4. Nilai PI Formasi Telisa berkisar antara 0,002 – 0,068

dan Formasi Sihapas mempunyai nilai PI 0,073 yang menunjukkan hidrokarbon

belum terekspulsi. Formasi Pematang memiliki nilai PI berkisar antara 0,046 –

0,309 menunjukkan terdapat hidrokarbon yang sudah terekspulsi (Gambar 4.4.).

Nilai PY pada Formasi Telisa berkisar antara 1,14 – 5,12 mg HC/g TOC,

sedangkan nilai PY pada Formasi Pematang berkisar antara 0,55 – 5,21 mg HC/g

TOC. Berdasarkan hasil analisis, pada Formasi Telisa memiliki nilai HI antara

52,5 – 495 dengan rerata 377,2 mg HC/g TOC dan OI antara 22,5 – 148,2 dengan

rerata 47.3 mg CO2/g TOC. Pada Formasi Sihapas memiliki nilai HI antara 220 -

252 dengan rerata 227 mg HC/g TOC dan OI antara 1,2 – 65,3 dengan rerata 57

mg CO2/g TOC. Formasi Pematang memiliki nilai HI antara 66 - 255 dengan


85

rerata 201 mg HC/g TOC dan OI antara 9.8 – 56.5 dengan rerata 26.7 mg CO2/g

TOC.

IV.4.3. Hasil Analisis Nilai Reflektansi Vitrinit (%Ro)

Nilai reflektansi vitrinit (Lampiran 1 D) pada Formasi Telisa nilai Ro

berkisar antara 0,27 – 0,34 %, Formasi Sihapas hanya terdapat satu sampel

dengan nilai Ro 0,34 %, sedangkan Formasi Pematang memiliki nilai Ro berkisar

antara 0,47 – 0,49 %. Ketiga formasi dianggap belum matang (immature).

Menurut Peters dan Cassa (1994), batuan dianggap belum matang jika memiliki

nilai Ro < 0,6%, matang jika memiliki nilai Ro 0,6 – 1,35%, dan sangat matang

jika memiliki nilai Ro > 1,35%. Nilai Ro pada umumnya akan meningkat seiring

bertambahnya kedalaman, sehingga kita dapat memprediksi pada kedalaman

berapa akan terjadi oil window (Gambar 4.4.). Pada sumur SS-4 diperkirakan

terjadi top oil window pada kedalaman 7200 kaki. Berdasarkan overlay peta top

basement dan posisi sumur SS-4 (Lampiran 5) menunjukkan bahwa sumur SS-4

memiliki lokasi diluar peta persebaran top basement, sehingga tidak dapat

diperkirakan top oil window tersebut terjadi pada basement atau Formasi

Pematang.
86

Gambar 4.4. Log geokimia sumur SS-4 berdasarkan data geokimia batu inti PT. Energi Mega
Persada

IV.4.4. Hasil Analisis n-Parafin dan Isoprenoid Batu Inti

Analisis biomarker pada sumur SS-4 hanya menggunakan data n-parafin

dan isoprenoid yang terdapat pada tiga formasi, yaitu Formasi Telisa, Sihapas, dan

Pematang. Data n-parafin (Tabel 4.10.) terdiri dari nC15-nC34 berguna untuk

menentukan CPI. Nilai CPI digunakan untuk mengetahui kematangan batuan

induk, batuan induk tergolong matang jika mempunyai nilai CPI mendekati 1

(Killops dan Killops, 2005). Nilai CPI pada ketiga formasi berkisar antara 1,31 –

2,29 yang menunjukkan sampel belum matang. Data isoprenoid terdiri dari

pristana (Pr) dan fitana (Ph). Rasio isoprenoid/n-alkana (Tabel 4.11.) dapat

digunakan untuk mengetahui sumber material organik dan lingkungan

pengendapan, antara lain rasio Pr/nC17 vs Pr/Ph (Hwang et al., 1998) dan Pr/nC17
87

vs Ph/nC18 (Peters et al., 2005). Hasil ploting rasio Pr/nC17 vs Pr/Ph (Lampiran

3.D) menunjukkan bahwa material organik Formasi Telisa sumur SS-4 berasal

dari tumbuhan tinggi dan mixed, sedangkan lingkungan pengendapannya highly

anoxic. Hasil ploting Pr/nC17 vs Ph/nC18 pada Formasi Telisa (Lampiran 4.D)

menunjukkan material organik berasal dari mixed tumbuhan tingkat tinggi dan

alga.

Tabel 4.10. Data n-parafin batu inti pada sumur SS-4

Kedalaman (kaki)
n-
Telisa Sihapas Pematang
parafin
450 900 1260 1620 2070 2250 2970 3510 3670 5400 6210 6300
nC15 1.3 1.5 1.7 1.3 1.8 2.3 3.3 3 4.1 2.2 1.4 1.9
nC16 1.7 2 2 1.6 1.6 2.2 2.8 3 3.9 1.9 1.3 1.4
nC17 1.9 1.9 1.4 1.3 1.6
Prystane 11 12.3 23.1 17.3 24.4 26.6 28.1 27.9 28.1 33.7 31.3 41.2
nC18 2.1 2.7 2.2 2 2.3 3 3.3 3.6 3.6 2.6 1.6 1.6
Phytane 8 9.9 21.7 15.4 20.3 20.8 18.2 14.1 10.5 14 3.8 4.1
nC19 1.5 1.4 1.3 1.1 1 1.8 2.2 3.2 3.6 1.7 1.8 1.7
nC20 1.6 1.7 1.4 1.2 1.2 1.9 2.2 3.2 3.4 2.2 2.1 2.1
nC21 2.3 3.6 4.3 3.9 5.1 4.4 2.4 3.7 4.3 3.8 2.4 2.2
nC22 1.6 0.7 1.7 1.3 1.8 2.2 2.6 3.4 3 2.1 2.5 2.3
nC23 2.2 2.1 1.1 1.8 1.3 1.6 1.7 2.1 2.6 1.8 2.7 2.4
nC24 1.6 1.6 1 2.2 1.8 2 2.4 2.8 3.9 2.7 3.5 3.2
nC25 2.3 2.2 1.2 1.2 1.3 1.3 1.6 2.5 2.8 1.8 3.7 3.2
nC26 1.2 2.4 1.4 1.3 1.5 1.4 1.6 2.7 2.3 2.1 4 3.3
nC27 2.1 1.9 1.5 3.3 6.8 5.1 3.7 3.8 3 1.4 4.8 3.9
nC28 7.6 5.4 4.5 4.5 4.4 4.7 3.9 4.6 3.7 4.7 5 4
nC29 8.3 8 4 4.3 3.4 3.2 3.6 3.8 4.3 5 7.6 6.3
nC30 7 7 3.9 5.9 3.6 3 3.2 3.5 2.8 3.6 5.1 3.9
nC31 13.6 17.5 11.8 16.7 9.7 8.2 8.3 5.3 4.4 7 6.4 4.8
nC32 3.6 2.8 1.8 2.2 0.8 0.7 0.8 1 1.7 1.3 3.3 2.4
nC33 16.6 10.7 6.4 9.5 3.8 3.1 3.6 2.2 3 3.9 4.3 3.2
nC34 0.9 0.7 0.6 0.7 0.5 0.5 0.5 0.6 1 0.5 1.4 0.9
CPI 2.08 2.15 2.01 2.29 2.19 1.9 1.91 1.31 1.37 1.45 1.35 1.37
88

Tabel 4.11. Data isoprenoid batu inti pada sumur SS-4

Kedalaman (kaki)
Iso-
Telisa Sihapas Pematang
prenoid
450 900 1260 1620 2070 2250 2970 3510 3670 5400 6210 6300
Ip13 0.2 0.6 0.1 1.5 1.2 2.2 1.8
Ip14 1 0.8 0.9 1.6 0.8 2 1.7 1.1 1 4.7 3.9
Ip15 2.4 1.3 2.5 2.2 3.3 2.6 4.4 3.9 4.2 2.7 4.8 4.5
Ip16 10.2 9.6 6 7.7 7.1 6.5 7.8 7.8 8.2 7.1 10.6 9.9
Ip18 8.2 7.7 4.6 5.6 4.4 4.8 5.8 8.1 10.8 6.2 10.5 9.4
Pristane 46.1 44.6 44.2 44.3 45.2 47.8 47.7 51.3 55.1 58.5 60 64.1
Phytane 33.1 35.8 41.7 39.3 37.8 37.4 30.8 26 20.6 24.5 7.2 6.4
Pris/Phy 1.39 1.24 1.06 1.12 1.2 1.28 1.55 1.98 2.68 2.39 8.37 10.02
Pris/nC17 5.78 6.47 16.5 13.3 15.2
Phy/nC18 3.8 3.66 9.8 7.7 8.82 6.93 5.51 3.91 2.91 5.38 2.37 2.56

IV.5. Sumur SS-5

Data geokimia yang terdapat pada sumur SS-5 meliputi kandungan TOC,

pirolisis (Rock Eval Pyrolysis), dan reflektansi vitrinit (%Ro) yang dilakukan pada

interval kedalaman 940 – 6920 kaki dan terbagi atas Formasi Telisa (3010-5225

kaki), Formasi Sihapas (5280-6750 kaki) dan Formasi Pematang (6768-6920

kaki). Interval kedalaman 940-3010 kaki diperkirakan ekuivalen dengan Formasi

Petani dan tidak masuk dalam pembahasan (Lampiran 1 E).

IV.5.1. Hasil Analisis Nilai TOC

Hasil analisis TOC yang dilakukan pada sumur SS-5 (Lampiran 1 E), pada

Formasi Telisa berkisar antara 0,05 – 1,53 dengan rerata 0,87 wt-%, pada Formasi

Sihapas antara 0,02 – 1,09 dengan rerata 0,21 wt-%, dan pada Formasi Pematang

antara 0,01 – 1,57 dengan rerata 0,52 wt-%. Menurut Peters and Cassa (1994)

sampel yang mempunyai kandungan TOC < 0,5 wt-% tidak berpotensi

menghasilkan hidrokarbon, nilai TOC antara 0,5 – 1,0 wt-% berpotensi cukup
89

baik menghasilkan hidrokarbon, sedangkan sampel yang memiliki kandungan

TOC antara 1,0 – 2,0 wt-% berpotensi baik menghasilkan hidrokarbon. Seluruh

sampel pada Formasi Sihapas tidak berpotensi menghasilkan hidrokarbon. Sampel

pada Formasi Telisa dominan berpotensi baik menghasilkan hidrokarbon,

sedangkan nilai TOC sampel Formasi Pematang hanya ada satu sampel yang

berpotensi baik menghasilkan hidrokarbon, tidak berpotensi menghasilkan

hidrokarbon. Terdapat satu sampel yang memiliki kandungan TOC sangat tinggi,

yaitu pada kedalaman 6728 kaki karena memiliki litologi batubara.

IV.5.2. Hasil Analisis REP (Rock Eval Pyrolysis)

Analisis REP digunakan untuk mengetahui kualitas dan tingkat kematangan

material organik menggunakan parameter Tmax. Sampel dikatakan belum matang

jika mempunyai nilai Tmax < 435 oC, matang jika mempunyai nilai Tmax 435-

470 oC, dan sangat matang jika mempunyai nilai Tmax > 470 oC (Peters and

Cassa, 1994). Hasil analisis ada sumur SS-5 (Lampiran 1 E) didapatkan nilai

Tmax berkisar antara 424 – 437 oC pada Formasi Telisa, berkisar antara 428 –

5450C pada Formasi Sihapas, sedangkan Formasi Pematang memiliki nilai Tmax

berkisar antara 402 – 4820C. Data Tmax pada sumur SS-5 ini kemungkinan tidak

akurat dan dapat diabaikan, karena hasil analisis REP lainnya, seperti S1 dan S3

tidak tercatat. Akibat tidak lengkapnya data S1 dan S3, parameter lain seperti PY,

PI, dan OI tidak bisa ditentukan. Berdasarkan hasil analisis pada Formasi Telisa

memiliki nilai HI antara 52 – 377 dengan rerata 250 mg HC/g TOC, Formasi

Sihapas memiliki nilai HI antara 76 - 400 dengan rerata 151,9 mg HC/g TOC,
90

sedangkan Formasi Pematang memiliki nilai HI antara 19 - 527 dengan rerata

156,6 mg HC/g TOC.

Pada sumur SS-5 keterdapatan data sangat terbatas sehingga banyak

parameter yang kosong. Termasuk juga dengan data vitrinit reflektansi (%Ro) dan

data biomarker, sehingga analisis terhadap nilai Ro dan biomarker pada sumur

SS-5 tidak dapat dilakukan.

Gambar 4.5. Log geokimia sumur SS-5 berdasarkan data geokimia batu inti PT. Energi Mega
Persada

IV.5.3. Hasil Analisis Minyak Bumi

Hasil analisis minyak bumi pada sumur SS-5 terdiri dari satu sampel yang

terdapat pada Formasi Sihapas. Data hasil analisis (Tabel 4.12.) berupa API

gravity yang mempunyai nilai 36,20 yang menunjukkan termasuk light oil,
91

sedangkan data fraksi hidrokarbon dapat berguna untuk mengetahui tingkat

biodegradasi pada sampel minyak bumi. Hasil ploting kandungan fraksi

hidrokarbon saturates, aromatics, dan asphaltics (Lampiran 2) menunjukkan

sampel minyak bumi belum mengalami proses biodegradasi. Kandungan sulfur

yang rendah, yaitu 0,28 wt-% menunjukkan minyak bumi berasal dari terrestrial

sourced.

Tabel 4.12. Sifat fisik minyak bumi pada sumur SS-5

IV.5.4. Hasil Analisis Biomarker Minyak Bumi

Analisis biomarker minyak bumi hanya menggunakan data hasil analisis

GC yang hanya terdiri dari satu sampel, sedangkan data hasil analisis GC-MS

tidak dijumpai. Hasil analisis GC pada sumur SS-5 (Tabel 4.13.) terdiri dari data

n-parafin nC15-nC34 dan data isoprenoid, seperti pristana (Pr) dan fitana (Ph).

Jenis batuan induk yang menghasilkan minyak bumi dapat diketahui dari nilai

rasio Pr/Ph, dimana minyak yang berasal dari batuan induk non marine

mempunyai rasio Pr/Ph berkisar 5 – 11, sedangkan minyak yang berasal dari

batuan induk marine mempunyai rasio Pr/Ph berkisar 1-3 (Powell and Mc Kirdy,

1973 dalam Peters et al., 2005). Nilai rasio Pr/Ph adalah 12,6 yang berarti bahwa

jenis batuan induk penghasil minyak bumi adalah batuan induk non marine.

Selain itu juga dapat diketahui dari rasio Pr/nC17, dimana minyak yang

berasal dari batuan induk non marine mempunyai nilai rasio Pr/nC17 > 1,0,
92

sedangkan minyak yang berasal dari batuan induk yang terendapkan di laut

memiliki nilai rasio Pr/nC17 < 0,5 (Lijmbach, 1975 dalam Peters et al., 2005).

Mempunyai nilai rasio Pr/nC17 adalah 11,81 yang berarti bahwa minyak bumi

berasal dari batuan induk non marine.

Tabel 4.13. Data hasil analisis GC minyak bumi pada sumur SS-5
n-alkana DST – 1B Isoprenoid DST - 1B
nC15 1.9 Ip13 3.8
nC16 1.8 Ip14 7.1
nC17 1.6 Ip15 5.2
Prystane 18.9 Ip16 10.5
nC18 1.9 Ip18 8.2
Phytane 1.5 Pristane 60.5
nC19 2.2 Phytane 4.7
nC20 2.4 Pris/Phy 12.6
nC21 2.7 Pris/nC17 11.81
nC22 3.2 Phy/nC18 0.78
nC23 3.8
nC24 4.6
nC25 5.5
nC26 6
nC27 7.5
nC28 6.6
nC29 8.2
nC30 5.2
nC31 6
nC32 3.3
nC33 4
nC34 1.2
CPI 1.3
93

IV.6. Sumur SS-6

Data geokimia yang terdapat pada sumur SS-6 meliputi kandungan TOC,

pirolisis (Rock Eval Pyrolysis), dan reflektansi vitrinit (%Ro) yang dilakukan pada

103 – 4527 kaki, yaitu meliputi Formasi Telisa (103-1350 kaki) yang tersusun

atas batulempung dan serpih, Formasi Sihapas (1350-3510 kaki) yang tersusun

atas batupasir dan batulempung, Formasi Pematang (3510-4410 kaki) yang

tersusun atas serpih, batupasir, dan batulempung (Lampiran 1 F).

IV.6.1. Hasil Analisis Nilai TOC

Analisis TOC digunakan untuk mengetahui kuantitas batuan induk, dimana

sampel yang mempunyai kandungan TOC < 0.5 wt-% tidak berpotensi

menghasilkan hidrokarbon, 0,5 – 1,0 wt-% berpotensi cukup baik menghasilkan

hidrokarbon, sedangkan 1,0 – 2,0 wt-% berpotensi baik menghasilkan

hidrokarbon (Peters and Cassa, 1994). Nilai TOC pada sumur SS-6 (Lampiran 1

F), berkisar antara 0,67 – 1,3 dengan rerata 0,94 wt-% pada Formasi Telisa, antara

0,13 – 0,45 dengan rerata 0,23 wt-% pada Formasi Sihapas, dan antara 0,06 – 0,58

dengan rerata 0,16 wt-% pada Formasi Pematang. Semua sampel pada Formasi

Sihapas tidak berpotensi menghasilkan hidrokarbon. Pada sampel Formasi Telisa

berpotensi cukup baik - baik untuk menghasilkan hidrokarbon. Pada Formasi

Pematang memiliki empat sampel yang menunjukkan berpotensi baik

menghasilkan hidrokarbon.
94

IV.6.2. Hasil Analisis REP (Rock Eval Pyrolysis)

Berdasarkan hasil analisis ini pada sumur SS-6 (Lampiran 1 F) didapatkan

nilai Tmax dominan memiliki kisaran antara 417 – 425 oC pada Formasi Telisa

yang menunjukkan sampel belum matang, sedangkan pada Formasi Sihapas dan

Pematang tidak terdapat data nilai Tmax. Sampel dikategorikan belum matang

jika mempunyai nilai Tmax < 435 oC (Peters and Cassa, 1994). Menurut Peters

dan Cassa (1994) sampel dikategorikan matang jika mempunyai nilai PI 0,1-0,4.

Nilai PI Formasi Telisa berkisar antara 0,005 – 0,016 yang menunjukkan

hidrokarbon belum terekspulsi (Gambar 4.6.). Nilai PY Formasi Telisa berkisar

antara 1,28 – 4,73 mg HC/g TOC. Berdasarkan hasil analisis, Formasi Telisa

memiliki nilai HI antara 131,1 – 361,5 dengan rerata 260,8 mg HC/g TOC dan OI

antara 25,4 – 103,8 dengan rerata 41,3 mg CO2/g TOC, sedangkan pada Formasi

Sihapas dan Pematang tidak memiliki nilai PI, PY, maupun HI dan OI. Hal

tersebut karena sampel pada Formasi Sihapas dan Pematang seluruhnya memiliki

nilai TOC < 0,5 wt-% dan dianggap tidak berpotensi sebagai batuan induk,

sehingga analisis pirolisis tidak dilakukan pada Formasi Sihapas dan Pematang.

IV.6.3. Hasil Analisis Nilai Reflektansi Vitrinit (%Ro)

Nilai reflektansi vitrinit dapat digunakan untuk evaluasi tingkat kematangan

material organik di dalam batuan induk. Menurut Peters dan Cassa (1994), batuan

dianggap belum matang jika memiliki nilai Ro < 0,6%, matang jika memiliki nilai

Ro 0,6 – 1,35%, dan sangat matang jika memiliki nilai Ro > 1,35%. Hasil analisis

Ro pada sumur SS-6 (Lampiran 1 F) Formasi Telisa memiliki nilai Ro berkisar

antara 0,28 – 0,3 % dan Formasi Sihapas hanya terdapat satu sampel dengan nilai
95

Ro 0,48 %. Kedua formasi dikategorikan belum matang. Formasi Pematang tidak

memiliki data nilai Ro. Nilai Ro pada umumnya akan meningkat seiring

bertambahnya kedalaman, sehingga dapat memprediksi pada kedalaman berapa

akan terjadi oil window. Pada sumur SS-6 diperkirakan terjadi top oil window

pada kedalaman 4600 kaki yaitu ada basement (Gambar 4.6.). Hal tersebut

menunjukkan bahwa Formasi Pematang pada sumur SS-6 masih belum matang.

Gambar 4.6. Log geokimia sumur SS-6 berdasarkan data geokimia batu inti PT. Energi Mega
Persada

IV.6.4. Hasil Analisis n-Parafin dan Isoprenoid Batu Inti

Analisis biomarker pada sumur SS-6 hanya menggunakan data n-parafin

dan isoprenoid (Tabel 4.14.) yang terdapat pada Formasi Telisa. Data n-alkana

digunakan untuk menentukan CPI yang berfungsi untuk mengetahui tingkat

kematangan batuan induk, dimana batuan induk tergolong matang jika

mempunyai nilai CPI mendekati 1 (Killops dan Killops, 2005). Nilai CPI pada

ketiga formasi berkisar antara 1,21 – 1,39 menunjukkan sampel belum matang.
96

Data isoprenoid terdiri dari pristana (Pr) dan fitana (Ph). Rasio isoprenoid/n-

alkana digunakan untuk mengetahui sumber material organik dan lingkungan

pengendapan, yaitu rasio Pr/nC17 vs Pr/Ph (Hwang et al., 1998) dan Pr/nC17 vs

Ph/nC18 (Peters et al., 2005). Ploting rasio Pr/nC17 vs Pr/Ph (Lampiran 3.E)

menunjukkan material organik Formasi Telisa sumur SS-6 berasal dari tumbuhan

tinggi dan mixed, sedangkan lingkungan pengendapannya highly anoxic.

Berdasarkan ploting Pr/nC17 vs Ph/nC18 (Lampiran 4.E) material organik berasal

dari mixed.

Tabel 4.14. Data hasil analisis GC batu inti pada sumur SS-6
Kedalaman (kaki) Kedalaman (kaki)
n-Parafin Isoprenoid
630-720 1263 630-720 1263
nC15 4.4 4.4 Ip13 1.3 1.3
nC16 3.7 4.1 Ip14 1.9 2.6
nC17 4.7 5.3 Ip15 4.1 4.5
nC18 5.8 7.3 Ip16 7.7 7.2
nC19 4 4.8 Ip18 6.8 8.9
nC20 3.3 2.9 Pristane 42.4 48.9
nC21 2.6 2.8 Phytane 35.8 26.6
nC22 2.6 2.3 Pris/Phy 1.18 1.83
nC23 1.9 1.8 Pris/nC17 9.02 9.22
nC24 2 2.1 Phy/nC18 6.17 3.64
nC25 2.2 2.8
nC26 1.4 1.6
nC27 1.5 1.8
nC28 1.8 1.2
nC29 2 2.1
nC30 2.3 2
nC31 2.1 2
nC32 0.9 0.9
nC33 1.3 0.8
nC34 0.4 0.4
CPI 1.21 1.39
97
97

BAB V

PEMBAHASAN

V.1. Karakteristik Batuan Induk

V.1.1. Formasi Telisa

Analisis batuan induk pada Formasi Telisa meliputi kumpulan data analisis

geokimia, seperti: kandungan TOC, pirolisis (Rock Eval Pyrolysis), dan

reflektansi vitrinit (% Ro) yang terdapat pada enam sumur. Data biomarker berupa

n-alkana dan isoprenoid terdapat di lima sumur, yaitu sumur SS-1, SS-2, SS-3,

SS-4 dan SS-6.

V.1.1.1. Kuantitas Material Organik

Kuntitas atau jumlah kandungan material organik diperlukan untuk

mengetahui potensi batuan untuk menjadi batuan induk. Kuantitas material

organik dapat diketahui melalui analisis kandungan TOC (Total Organic Carbon).

Kandungan TOC pada Formasi Telisa antara 0,52-1,56 wt-% dengan rerata 0,87

wt-% dan menurut klasifikasi Peters dan Cassa (1994) menunjukkan bahwa

sampel cukup berpotensi-berpotensi baik sebagai batuan induk. Terdapat beberapa

sampel yang menunjukkan nilai TOC <0,5 wt-%. Formasi Telisa tersusun atas

litologi yang bervariasi, antara lain: serpih, batulanau, napal, dan batulempung,

sehingga menyebabkan perbedaan kandungan TOC. Untuk memvisualisasikan

kuantitas material organik dalam bentuk grafik, kita dapat melakukan ploting PY

vs TOC. Nilai PY (S1 + S2) menunjukkan jumlah total hidrokarbon yang mungkin

dihasilkan pada batuan induk jika telah matang (McCarthy, et al., 2011). Nilai PY

Formasi Telisa berkisar antara 0,59 – 5,12 mg HC/g Rock dengan rerata 2,40 mg
98

HC/g Rock. Jumlah hidrokarbon yang mungkin dihasilkan Formasi Telisa

(Gambar 5.1) sebagian besar cukup (fair).

Gambar 5.1. Ploting PY vs TOC pada Formasi Telisa

V.1.1.2. Kualitas Material Organik

Kualitas material organik dapat diketahui dari beberapa parameter yaitu:

pertama, ploting nilai HI (Hydrogen Index) vs OI (Oxygen Index) yang diplot

pada diagram Pseudo Van Kravelen (Espitalie et al., 1977 dalam Waples, 1981)

sehingga diketahui tipe kerogennya. Hasil pengeplotan nilai HI vs OI dari data

pada sumur SS-3, SS-4, dan SS-6 menunjukkan bahwa Formasi Telisa merupakan

tipe kerogen II-III (Gambar 5.2.). Kerogen tipe II memiliki kecenderungan

mampu menghasilkan minyak+gas, sementara kerogen tipe III mampu

menghasilkan gas (gas prone). Sumber material yang mampu menghasilkan tipe

II biasanya berupa campuran alga dan material humik. Sementara material yang

menyusun kerogen tipe III merupakan material berasal dari tumbuhan vaskular
99

dan mengandung sisa tanaman yang mengandung lignin (Killops and Killops,

2005).

Gambar 5.2. Ploting HI vs OI pada diagram Pseudo Van Krevelen menunjukkan Formasi Telisa
mempunyai tipe kerogen II dan III

Kedua, menurut Waples (1985) dalam Subroto (1993) juga

mengklasifikasikan tipe produk hidrokarbon yang dihasilkan dari kerogen

berdasarkan nilai HI. Semakin banyak kandungan hidrogen, akan terbentuk tipe

hidrokarbon dengan rantai panjang yang membentuk minyak, sebaliknya jika

kandungan hidrogen sedikit akan cenderung membentuk hidrokarbon rantai

pendek atau gas. Nilai HI <150 mg HC/g TOC akan menghasilkan gas, sementara

antara 150 - 300 mg HC/g TOC menghasilkan minyak dan gas, dan HI > 300 mg

HC/g TOC menghasilkan minyak. Berdasarkan hasil analisis geokimia pada

Formasi Telisa didapatkan nilai HI berkisar antara 16 - 495 mg HC/g TOC dengan

rerata 250,1 mg HC/g TOC, sehingga Formasi Telisa dapat menghasilkan minyak

dan gas.
100

Ketiga, penentuan jenis hidrokarbon menggunakan ploting data geokimia

Tmax vs HI (Hunt, 1996). Hasil pengeplotan nilai Tmax vs HI pada sumur SS-1

hingga SS-6 (Gambar 5.3.) menunjukkan bahwa Formasi Telisa mempunyai tipe

kerogen II dan III. Kerogen tipe II dapat menghasilkan minyak dan gas,

sedangkan kerogen tipe III cenderung menghasilkan gas (gas prone).

Gambar 5.3. Ploting HI vs Tmax menunjukkan Formasi Telisa mempunyai tipe kerogen II dan III

V.1.1.3. Kematangan Material Organik

Penentuan tingkat kematangan termal material organik dapat diketahui

dengan menggunakan data geokimia PI (S1/(S1+S2)) yang dihasilkan dari analisis

REP. Interpretasi kematangan termal menggunakan parameter geokimia PI

menunjukkan bahwa Formasi Telisa masih belum matang dengan nilai PI antara

0,005 – 0,085, dimana menurut Peters dan Cassa (1994) batuan dikatakan telah
101

mengasilkan hidrokarbon jika mempunyai PI antara 0,1 – 0,4. Pengeplotan nilai

Tmax vs PI (Gambar 5.4.) menunjukkan bahwa Formasi Telisa belum dapat

menghasilkan hidrokarbon, dimana pada grafik menunjukkan zona immature.

Gambar 5.4. Ploting Tmax vs PI Formasi Telisa menunjukkan pada zona immature

Tingkat kematangan termal berdasarkan nilai reflektansi vitrinit (%Ro)

yang didapatkan dari analisis petrografi. Nilai reflektansi vitrinit pada Formasi

Telisa berkisar antara 0,27 – 0,40% yang menunjukkan bahwa belum matang

(immature), dimana menurut Peters dan Cassa (1994) batuan yang mempunyai Ro

< 0.6 % dikategorikan belum matang.

Tingkat kematangan termal dapat diketahui juga berdasarkan nilai data

Tmax yang diperoleh dari analisis REP. Hasil analisis menunjukkan Formasi

Telisa belum matang (immature), dengan nilai dominan berkisar antara 411 -

433oC. Menurut Peters dan Cassa (1994) sampel yang memiliki nilai Tmax <
102

435oC dikatakan belum matang, sedangkan oil window terjadi pada Tmax 435-

470 oC. Terdapat beberapa sampel yang mempunyai anomali nilai Tmax yang

mencapai 435oC pada sumur SS-4 dan SS-5 yang menunjukkan tingkat

kematangan early mature, sedangkan berdasarkan nilai PI dan reflektansi vitrinit

menunjukkan tingkat kematangan immature. Peningkatan nilai Tmax pada sampel

ini kemungkinan dipengaruhi oleh tipe material organik yang sudah mengalami

rombakan, dimana akan menghasilkan nilai Tmax yang lebih tinggi mencapai

100C (Peters, 1986).

Penentuan tingkat kematangan termal material organik menggunakan hasil

analisis REP memang memiliki kekurangan karena analisisnya yang cepat dan

hanya menggunakan sampel yang kecil (100 mg) untuk mewakili sampel batu inti

(Peters, 1986). Penentuan tingkat kematangan termal material organik dengan

parameter reflektansi vitrinit mempunyai hasil lebih akurat dan dapat dipercaya

karena mempunyai range yang lebar (Hunt, 1996). Secara umum dapat dikatakan

bahwa Formasi Telisa memiliki tingkat kematangan immature.

V.1.1.4. Sumber Material Organik dan Lingkungan Pengendapan

Penentuan sumber material organik dan lingkugan pengendapan dapat

diketahui dari ploting Pr/Ph vs Pr/nC17 (Hwang et al., 1998). Hasil ploting

(Gambar 5.5.) menunjukkan bahwa sumber material organik dari Formasi Telisa

berasal dari tumbuhan tingkat tinggi dan mixed. Lingkungan pengendapan

Formasi Telisa bersifat highly anoxic – anoxic to suboxic lacustrine or marine .


103

Gambar 5.5. Ploting Pr/nC17 vs Pr/Ph pada Formasi Telisa

Penentuan sumber material organik dapat juga diketahui dari ploting

Pr/nC17 vs Ph/nC18 (Peters et al., 2005). Hasil ploting pada data semua sumur,

kecuali sumur SS-5 (Gambar 5.6.) menunjukkan bahwa sumber material organik

dari Formasi Telisa berasal dari campuran (mixed) darat-laut. Sumber material

organik darat seperti tumbuhan tingkat tinggi, spora, dan polen. Sumber material

organik laut dapat berupa alga dan plangton.

Gambar 5.6. Ploting Pr/nC17 vs Ph/nC18 pada Formasi Telisa


104

V.1.2. Formasi Sihapas

Analisis batuan induk pada Formasi Sihapas menggunakan data kandungan

TOC, REP (Rock Eval Pyrolysis), dan reflektansi vitrinit (% Ro) yang terdapat

dari empat sumur, yaitu SS-3, SS-4, SS-5 dan SS-6. Data biomarker berupa n-

alkana dan isoprenoid pada Formasi Sihapas hanya terdapat pada sumur SS-3 dan

SS-4.

V.1.2.1. Kuantitas Material Organik

Kuntitas material organik dapat diketahui melalui analisis berdasarkan

kandungan TOC pada sampel batuan. Nilai TOC pada Formasi Sihapas berkisar

antara 0,02-1,21 wt-% dengan rerata 0,27 wt-% dan menurut klasifikasi oleh

Peters dan Cassa (1994) secara keseluruhan menunjukkan bahwa sampel tidak

berpotensi sebagai batuan induk. Beberapa sampel yang memiliki nilai TOC > 0,5

wt-%, karena Formasi Sihapas tersusun atas lapisan batupasir dan serpih, dimana

sampel yang mempunyai nilai TOC > 0,5 wt-% terdapat pada litologi serpih. Pada

sumur SS-4 dan SS-5 terdapat sampel yang memiliki TOC 32,96 dan 48,27 wt-%

karena berlitologi batubara. Nilai PY (S1 + S2) menunjukkan jumlah total

hidrokarbon yang mungkin dihasilkan pada batuan induk jika telah matang

(McCarthy, et al., 2011). Nilai PY Formasi Sihapas berkisar antara 1.51 – 1.73

mg HC/g Rock dengan rerata 1.61 mg HC/g Rock. Nilai PY vs TOC dapat diplot

pada sebuah grafik. Hasil ploting (Gambar 5.7.) menunjukkan jumlah hidrokarbon

yang mungkin dihasilkan rendah (poor).


105

Gambar 5.7. Ploting PY vs TOC pada Formasi Sihapas

V.1.2.2. Kualitas Material Organik

Kualitas atau tipe material organik dapat diketahui dari beberapa cara, yaitu:

pertama, berdasarkan nilai HI. Semakin banyak kandungan hidrogen, akan

terbentuk tipe hidrokarbon dengan rantai panjang yang membentuk minyak,

sebaliknya jika kandungan hidrogen sedikit akan cenderung membentuk

hidrokarbon rantai pendek atau gas. Nilai HI < 150 mg HC/g TOC akan

menghasilkan gas, sementara antara 150 - 300 mg HC/g TOC menghasilkan

minyak dan gas, dan HI > 300 mg HC/g TOC menghasilkan minyak (Waples,

1985 dalam Subroto, 1993). Berdasarkan analisis geokimia pada Formasi Sihapas

didapatkan nilai HI sebagian besar antara 76 - 254 mg HC/g TOC dengan rerata

206 mg HC/g TOC, namun nilai HI Formasi Sihapas ini didapat pada litologi

serpih sehingga hasilnya tidak akurat, karena Formasi Sihapas dominan tersusun

atas batupasir.
106

Kedua, menggunakan ploting nilai HI (Hydrogen Index) vs OI (Oxygen

Index) yang diplot dari data pada sumur SS-3 dan SS-4 pada diagram Pseudo Van

Kravelen (Espitalie et al., 1977 dalam Waples, 1981) menunjukkan bahwa

Formasi Sihapas mempunyai tipe kerogen II (Gambar 5.8.), namun nilai HI dan

OI Formasi Sihapas ini didapat pada litologi batulanau dan serpih sehingga

hasilnya tidak akurat, karena Formasi Sihapas dominan tersusun atas batupasir.

Gambar 5.8. Ploting HI vs OI pada diagram Pseudo Van Krevelen menunjukkan Formasi Sihapas
mempunyai tipe kerogen II

Ketiga, penentuan jenis hidrokarbon juga dapat dilakukan dengan

menggunakan ploting data geokimia Tmax vs HI (Hunt, 1996). Hasil ploting pada

sumur SS-3 dan SS-4 (Gambar 5.9.) menunjukkan bahwa Formasi Sihapas

dominan mempunyai tipe kerogen II dan sedikit tipe III. Nilai HI dan Tmax

Formasi Sihapas ini juga didapat pada litologi batulanau dan serpih sehingga

hasilnya tidak akurat, karena Formasi Sihapas dominan tersusun atas batupasir.
107

Gambar 5.9. Ploting HI vs Tmax menunjukkan Formasi Sihapas mempunyai tipe kerogen II
dan III

V.1.2.3. Kematangan Material Organik

Penentuan tingkat kematangan termal material organik dapat diketahui

dengan menggunakan parameter hasil analisis REP, yaitu PI (S1/(S1+S2)). Batuan

dikatakan matang jika mempunyai PI antara 0,1 – 0,4 (Peters dan Cassa, 1994).

Hasil analisis kematangan termal menggunakan nilai PI menunjukkan bahwa

Formasi Sihapas masih belum matang (belum dapat menghasilkan hidrokarbon),

dimana nilai PI berkisar antara 0,0073 – 0,05. Pengeplotan nilai Tmax vs PI

(Gambar 5.10.) dari data pada sumur SS-3 juga menunjukkan bahwa Formasi

Sihapas belum dapat menghasilkan hidrokarbon, karena terletak ada zona

immature.
108

Gambar 5.10. Ploting Tmax vs PI Formasi Sihapas menunjukkan pada zona immature

Tingkat kematangan termal dapat diketahui berdasarkan analisis petrografi

berupa reflektansi vitrinit. Menurut Peters dan Cassa (1994) batuan yang

mempunyai Ro < 0,6 % dikategorikan belum matang. Hasil analisis data di sumur

SS-3, SS-4, dan SS-6 pada Formasi Sihapas mempunyai nilai antara 0,34% –

0,48% yang berarti immature.

Tingkat kematangan termal berdasarkan nilai data Tmax pada sumur SS- 3

dan SS-4 menunjukkan Formasi Sihapas masih immature. Sampel dikatakan

belum matang jika memiliki Tmax < 435oC, sedangkan oil window terjadi pada

Tmax 435-470 oC (Peters & Cassa, 1994). Nilai Tmax pada Formasi Sihapas

dominan berkisar antara 414 – 432 oC yang termasuk dalam kategori belum

matang. Terdapat anomali nilai Tmax pada sumur SS-5 sebagian besar > 435oC

dan bahkan mencapai 497oC (post mature), sementara berdasarkan nilai PI dan
109

reflektansi vitrinit pada sumur lain menunjukkan tingkat kematangan immature.

Peningkatan nilai Tmax pada sampel ini kemungkinan dipengaruhi oleh tipe

material organik yang sudah mengalami rombakan akan menghasilkan nilai Tmax

yang tinggi mencapai 10 0C (Peters, 1986). Penentuan tingkat kematangan termal

material organik dengan parameter reflektansi vitrinit mempunyai hasil yang lebih

akurat dan dapat dipercaya karena mempunyai range yang lebar (Hunt, 1996).

Secara umum dapat disimpulkan bahwa Formasi Sihapas memiliki tingkat

kematangan immature.

V.1.2.4. Sumber Material Organik dan Lingkungan Pengendapan

Penentuan sumber material organik dan lingkungan pengendapan dapat

diketahui dari ploting Pr/Ph vs Pr/nC17 (Hwang et al., 1998). Hasil ploting

(Gambar 5.11.) pada sumur SS-3 menunjukkan bahwa sumber material organik

dari Formasi Sihapas berasal dari tumbuhan tingkat tinggi. Lingkungan

pengendapan Formasi Telisa bersifat anoxic to suboxic lacustrine or marine .

Gambar 5.11. Ploting Pr/nC17 vs Pr/Ph pada Formasi Sihapas


110

Penentuan sumber material organik dapat juga diketahui dari ploting

Pr/nC17 vs Ph/nC18 (Peters et al., 2005). Hasil ploting pada data pada sumur SS-3

(Gambar 5.12.) menunjukkan bahwa sumber material organik dari Formasi

Sihapas berasal campuran (mixed) darat-laut. Sumber material organik darat

seperti tumbuhan tingkat tinggi, spora, dan polen. Sumber material organik laut

dapat berupa alga dan plangton.

Gambar 5.12. Ploting Pr/nC17 vs Ph/nC18 pada Formasi Sihapas

V.1.3. Formasi Pematang

Analisis batuan induk pada Formasi Pematang terdiri dari data kandungan

TOC, REP (Rock Eval Pyrolysis), dan reflektansi vitrinit (% Ro) yang terdapat

dari ima sumur, yaitu sumur SS-1, SS-3, SS-4, SS-5, dan SS-6. Data biomarker

berupa n-alkana dan isoprenoid sangat terbatas dan hanya terdapat pada sumur

SS-3 dan SS-4.


111

V.1.3.1. Kuantitas Material Organik

Kuantitas material organik dapat diketahui melalui analisis kandungan TOC

(Total Organic Carbon). Kandungan TOC pada Formasi Pematang berkisar antara

0,05-2,8 wt-% dengan rerata 0,61 wt-% dan menurut klasifikasi Peters dan Cassa

(1994) secara keseluruhan menunjukkan bahwa sampel cukup berpotensi sebagai

batuan induk. Meskipun banyak terdapat sampel yang menunjukkan nilai TOC

<0,5 wt-%. Formasi Pematang tersusun atas litologi yang bervariasi, antara lain:

serpih, batulempung, batulumpur, batupasir, dan batubara, dimana nilai TOC <0,5

wt-% terdapat pada litologi batupasir. Nilai PY (S1 + S2) menunjukkan jumlah

total hidrokarbon yang mungkin dihasilkan pada batuan induk jika telah matang

(Mc Carthy, et al., 2011). Nilai PY Formasi Pematang berkisar antara 0,44 – 7,4

mg HC/g Rock dengan rerata 2,89 mg HC/g Rock. Hasil ploting (Gambar 5.13.)

menunjukkan jumlah hidrokarbon yang mungkin dihasilkan Formasi Pematang

sebagian besar cukup (fair).

Gambar 5.13. Ploting PY vs TOC pada Formasi Pematang


112

V.1.3.2. Kualitas Material Organik

Kualitas material organik menunjukkan banyaknya hidrokarbon yang

dihasikan, nilainya dapat diketahui dari beberapa parameter yaitu: pertama,

ploting nilai HIvs OI yang diplot pada diagram Pseudo Van Kravelen (Espitalie et

al., 1977 dalam Waples, 1981) sehingga diketahui tipe kerogennya. Hasil ploting

HI vs OI dari data pada sumur SS-3 dan SS-4 menunjukkan bahwa Formasi

Pematang merupakan tipe kerogen II-III, (Gambar 5.14.). Kerogen tipe II

memiliki kecenderungan mampu menghasilkan minyak+gas, sementara kerogen

tipe III mampu menghasilkan gas (gas prone). Sumber material yang mampu

menghasilkan tipe II biasanya berupa campuran alga dan material humik,

sementara material yang menyusun kerogen tipe III merupakan material berasal

dari tumbuhan vaskular dan mengandung sisa tanaman yang mengandung lignin

(Killops and Killops, 2005).

Gambar 5.14. Ploting HI vs OI pada diagram Pseudo Van Krevelen menunjukkan Formasi
Pematang mempunyai tipe kerogen II dan III
113

Kedua, penentuan tipe produk hidrokarbon menggunakan ploting data

geokimia Tmax vs HI (Hunt, 1996). Hasil ploting data pada sumur SS-1, SS-3,

SS-4, dan SS-5 (Gambar 5.3.) menunjukkan bahwa Formasi Pematang

mempunyai tipe kerogen II dan III. Kerogen tipe II dapat menghasilkan minyak

dan gas, sedangkan kerogen tipe III cenderung menghasilkan gas (gas prone).

Gambar 5.15. Ploting HI vs Tmax menunjukkan Formasi Pematang mempunyai tipe kerogen
II dan III

Ketiga, tipe produk hidrokarbon berdasarkan nilai HI, semakin banyak

kandungan hidrogen akan terbentuk tipe hidrokarbon dengan rantai panjang yang

membentuk minyak, sebaliknya jika kandungan hidrogen sedikit akan cenderung

membentuk hidrokarbon rantai pendek atau gas. Nilai HI < 150 mg HC/g TOC

menghasilkan gas, sementara antara 150 - 300 mg HC/g TOC menghasilkan

minyak dan gas, dan HI > 300 mg HC/g TOC menghasilkan minyak (Waples,
114

1985 dalam Subroto, 1993). Berdasarkan hasil analisis Formasi Pematang

didapatkan nilai HI yang bervariasi antara 17 - 527 mg HC/g TOC dengan rerata

167 mg HC/g TOC, sehingga Formasi Pematang dapat menghasilkan minyak dan

gas.

V.1.3.3. Kematangan Material Organik

Tingkat kematangan termal berdasarkan nilai data reflektansi vitrinit yang

dihasilkan dari analisis petrografi organik. Hasil reflektansi vitrinit pada sumur

SS-1, SS-3, dan SS-4 pada Formasi Pematang memiliki nilai berkisar antara 0,42

– 0,79%. menunjukkan ada yang telah mature (Ro > 0,6%), dimana menurut

Peters dan Cassa (1994) batuan yang mempunyai Ro < 0,6 % dikategorikan belum

matang, sedangkan Ro antara 0,6 – 1,35 % dikategorikan matang.

Penentuan tingkat kematangan termal material organik dapat diketahui

dengan menggunakan nilai PI (S1/(S1+S2)). Sampel batuan dikatakan matang jika

mempunyai PI antara 0,1 – 0,4 (Peters dan Cassa, 1994 dalam Peters,. et al.,

2005). Hasil kematangan termal menggunakan parameter geokimia PI

menunjukkan bahwa Formasi Pematang sudah ada yang telah menghasilkan

hidrokarbon, dimana nilai PI antara 0,076 – 0,3. Pengeplotan nilai Tmax vs PI

(Gambar 5.16.) dari data pada sumur SS-3 dan SS-4 juga menunjukkan bahwa

Formasi Pematang telah ada yang menghasilkan hidrokarbon (mature) dimana

telah memasuki zona oil generative window.


115

Gambar 5.16. Ploting Tmax vs PI Formasi Pematang menunjukkan pada zona mature

Tingkat kematangan termal berdasarkan nilai data Tmax, dimana menurut

Peters dan Cassa (1994) sampel yang memiliki nilai Tmax < 435oC dikatakan

belum matang, sedangkan oil window terjadi pada Tmax 435-470 oC. Data Tmax

sumur SS-1, SS-3, SS-4 dan SS-5 pada Formasi Pematang menunjukkan nilai

berkisar antara 428 – 445 oC yang berarti ada yang telah matang (mature). Pada

sumur SS-5, nilai Tmax dapat mencapai 480oC (post mature), anomali nilai Tmax

pada sampel ini kemungkinan dipengaruhi oleh tipe material organik yang sudah

mengalami rombakan (Peters, 1986). Penentuan tingkat kematangan termal

material organik dengan parameter reflektansi vitrinit mempunyai hasil yang lebih

dapat dipercaya karena mempunyai range yang lebar (Hunt, 1996). Secara umum
116

dapat dikatakan bahwa Formasi Pematang memiliki tingkat kematangan yang

telah memasuki mature.

V.1.3.4. Sumber Material Organik dan Lingkungan Pengendapan

Penentuan sumber material organik dan lingkungan pengendapan dapat

diketahui dari ploting Pr/Ph vs Pr/nC17 (Hwang et al., 1998). Hasil ploting data

pada sumur SS-3 (Gambar 5.17.) menunjukkan bahwa sumber material organik

dari Formasi Pematang berasal dari tumbuhan tingkat tinggi. Sedangkan

lingkungan pengendapan Formasi Pematang bersifat oxic terrestrial.

Gambar 5.17. Ploting Pr/nC17 vs Pr/Ph pada Formasi Pematang

Penentuan sumber material organik dapat juga diketahui dari ploting

Pr/nC17 vs Ph/nC18 (Peters et al., 2005). Hasil ploting pada data sumur SS-3

(Gambar 5.18.) menunjukkan bahwa sumber material organik dari Formasi

Pematang berasal dari darat, seperti tumbuhan tingkat tinggi, spora, dan polen.
117

Gambar 5.18. Ploting Pr/nC17 vs Ph/nC18 pada Formasi Pematang

V.1.4. Penentuan Batuan Induk di Lapangan Sukowati

Berdasarkan hasil analisis karakteristik batuan induk pada ketiga formasi

batuan, yaitu Formasi Telisa, Sihapas, dan Pematang dapat ditentukan bahwa

Formasi yang berperan sebagai batuan induk di Lapangan Sukowati adalah

Formasi Pematang. Formasi Pematang memiliki kandungan TOC berkisar fair-

very good yang berarti cukup berpotensi – berpotensi baik sebagai batuan induk,

mempunyai tipe kerogen II dan III, dan telah memiliki kematangan termal mature.

Formasi Telisa yang mempunyai kandungan TOC berkisar fair – good,

yang berarti cukup berpotensi – berpotensi sebagai batuan induk, mempunyai tipe

kerogen II dan III, namun tingkat kematangan termal masih immature (belum

matang) sehingga belum dapat menjadi batuan induk. Formasi Telisa dapat

menjadi batuan induk jika telah mengalami proses pematangan termal atau disebut

sebagai batuan induk potensial (potential source rock) dan dalam sistem minyak
118

dan gas bumi (petroleum system) Formasi Telisa dapat berperan sebagai batuan

tudung (seal).

Formasi Sihapas yang dominan mempunyai kandungan TOC poor yang

berarti tidak berpotensi menjadi batuan induk didukung dengan tingkat

kematangan termal yang masih belum matang, maka Formasi Sihapas tidak dapat

menjadi batuan induk dan berperan sebagai reservoar pada Lapangan Sukowati.

V.2. Karakterisasi Minyak Bumi

Analisis karakteristik minyak bumi dilakukan hanya pada dua sumur, yaitu

sumur SS-1 dan SS-5. Analisis yang dilakukan diantaranya mengenai sifat fisik,

kromatografi gas, dan kromatografi gas – spektometri massa. Data analisis

minyak bumi yang digunakan antara lain: data densitas minyak bumi, fraksi

hidrokarbon, data n-alkana dan isoprenoid, serta data terpana dan sterana.

V.2.1. Komposisi Whole Oil

Sumur SS-1 terdapat tiga sampel dan sumur SS-5 satu sampel minyak bumi

yang berada pada Formasi Sihapas (Tabel 5.1.). Sampel mempunyai nilai API

gravity berkisar antara 36,2 – 42,70 yang termasuk pada jenis light oil.

Berdasarkan kandungan fraksi saturates, aromatics, dan asphaltics menunjukkan

minyak bumi pada Lapangan Sukowati yang belum mendapatkan proses

biodegradasi (Lampiran 2). Kandungan sulfur yang rendah, yaitu 0,28 wt-%

menunjukkan minyak bumi berasal dari terrestrial sourced (Lampiran 6). Nilai

perbandingan saturates/aromatics adalah sebesar 2,46 – 8,25.


119

Tabel 5.1. Sifat fisik minyak bumi pada Lapangan Sukowati

V.2.2. Kromatografi Gas (GC)

Dari analisis kromatogram gas, dapat diketahui jenis batuan induk, sumber

material organik penghasil minyak bumi dan lingkungan terbentuknya minyak

bumi. Jenis batuan induk yang menghasilkan minyak bumi dapat diketahui dari

nilai rasio Pr/Ph, dimana minyak yang berasal dari batuan induk non marine

mempunyai rasio Pr/Ph berkisar 5 – 11, sedangkan minyak yang berasal dari

batuan induk marine mempunyai rasio Pr/Ph berkisar 1-3 (Powell and Mc Kirdy,

1973 dalam Peters et al., 2005). Nilai rasio Pr/Ph pada keempat sampel berkisar

antara 9,24 – 12,6 yang berarti jenis batuan induk penghasil minyak bumi adalah

batuan induk non marine. Selain itu juga dapat diketahui dari rasio Pr/nC17,

dimana minyak yang berasal dari batuan induk non marine mempunyai nilai rasio

Pr/nC17 > 1,0, sedangkan minyak yang berasal dari batuan induk yang

terendapkan di laut memiliki nilai rasio Pr/nC17 < 0,5 (Lijmbach, 1975 dalam

Peters et al., 2005). Nilai rasio Pr/nC17 pada keempat sampel minyak berkisar

antara 5,82 – 11,81 yang berarti berasal dari batuan induk non marine.

Tabel 5.2. Data hasil analisis GC minyak bumi


Sumur Kedalaman (kaki) CPI Pr/Ph Pr/nC17 Ph/nC18
5238-5277 1.14 10.76 6.71 0.58
SS-1 5246-5248 1.16 9.6 7.24 0.74
5266-5268 1.16 9.24 5.82 0.67
SS-5 DST-1B 1.3 12.6 11.81 0.78
120

Analisis sumber material penghasil minyak bumi dapat dilihat dari

konfigurasi kromatogram fraksi hidrokarbon jenuh C10+ pada sumur SS-1.

Menurut Hunt (1996) atom karbon ganjil C27, C29, dan C31 terbentuk dari lilin

tumbuhan darat, sedangkan hidrokarbon C15, C17, dan C19 terbentuk dari plankton.

Pada kromatogram (Gambar 5.19.) terlihat adanya predominasi atom karbon

bernomor ganjil terhadap karbon bernomor genap terutama dari nC25-nC37 yang

berarti menunjukkan adanya input dari tumbuhan darat yang signifikan. Selain itu,

kromatogram whole oil C10+ dari minyak bumi Lapangan Sukowati menunjukkan

pola yang sama dengan tipe kromatogram fluvio-deltaik dari Robinson (1987),

dimana mempunyai nilai Pr/Ph > 6,51 dan Pr/nC17 > 1,79, sehingga dapat

disimpulkan minyak bumi Lapangan Sukowati menunjukkan berasal dari batuan

induk karakteristik fluvio-deltaik (Lampiran 7).

Gambar 5.19. Kromatogram gas fraksi hidrokarbon jenuh C10+ pada kedalaman 5238-5277 kaki
pada sumur SS-1
121

Jenis material organik batuan induk yang menghasilkan minyak bumi dan

lingkungan terbentuknya minyak bumi dapat di ketahui juga dari ploting data

Pr/nC17 vs Pr/Ph (Hwang et al., 1998). Hasil ploting data minyak bumi di

Lapangan Sukowati (Gambar 5.20.) menunjukkan bahwa sumber material organik

dari batuan induk penghasil minyak bumi berasal dari tumbuhan tingkat tinggi,

sedangkan kondisi lingkungan pengendapan batuan induk penghasil minyak bumi

bersifat oxic terrestrial.

Gambar 5.20. Ploting Pr/nC17 vs Pr/Ph dari sampel minyak bumi

Selain itu jenis material organik batuan induk yang menghasilkan minyak

bumi dapat diketahui dari ploting rasio Pr/nC17 vs Ph/nC18 (Peters et al., 2005).

Hasil ploting pada minyak bumi pada Lapangan Sukowati (Gambar 5.21.)

menunjukkan bahwa jenis material organik penghasil dari batuan induk penghasil

minyak bumi berasal dari darat.


122

Gambar 5.21. Ploting Pr/nC17 vs Ph/nC18 dari sampel minyak bumi

V.2.3. Kromatografi Gas – Spektometri Massa (GC-MS)

Analisis data GC-MS hanya terdapat pada sumur SS-1. Dari analisis GC-

MS dapat diketahui tingkat kematangan minyak bumi, asal material organik

penghasil minyak bumi dan kondisi lingkungan pengendapan terbentuknya

minyak bumi. Berdasarkan data terpana menunjukkan rasio Tm/Ts berkisar antara

1,84 – 2,13. Menurut Peters dan Moldowan (1993) rasio 1,0-2,0 mempunyai

tingkat kematangan early mature. Selain itu dapat digunakan rasio

moretana/hopana, dimana untuk minyak bumi dengan sumber berumur tersier

memiliki rasio 0,1-0,3 (Grantham, 1986 dalam Waples dan Machihara, 1991).

Rasio C30 moretana/C30 hopana (Gambar 5.22.) adalah 0,11 menunjukkan tingkat

kematangan awal (early mature). Waples dan Machihara (1991) menggunakan

rasio epimer 20S/20R untuk mengetahui tingkat kematangan. 20R dianggap

sebagai sterana hasil proses biologis, sedangkan 20S hasil proses geologis.

Minyak bumi semakin matang akan meningkatkan proporsi 20S dan mengurangi
123

proporsi 20R. Berdasarkan data rasio 20S/20R 5α C29 berkisar antara 0,64 – 0,74,

menunjukkan tingkat kematangan awal-puncak (early – peak mature).

Sumber material organik dapat diketahui dari perbandingan data sterana

antara C27, C28, dan C29. Sebagian besar tumbuhan tingkat tinggi mempunyai

sterana C29 yang dominan, sebaliknya sterana C27 cenderung dominan pada alga

(Hunt, 1996). Predominasi sterana C29 lebih tinggi dibandingkan C27 dan C28

(Tabel 5.3.), membuktikan adanya input material tumbuhan tingkat tinggi yang

dominan. Oleanana berasal dari angiosperma dan tumbuhan tingkat tinggi,

kehadirannya mencirikan sumber berasal dari darat (Hunt, 1996). Kehadiran

oleanana (OL) yang menunjukkan adanya input material organik yang berasal dari

tumbuhan tingkat tinggi (Gambar 5.22.).

Kondisi lingkungan pengendapan dapat dilihat dari data terpana, yaitu indek

gamaserana. Nilai indek gamaserana yang semakin tinggi menunjukkan kondisi

lingkungan yang mempunyai salinitas tinggi (Hunt, 1996). Indek gamaserana

pada sampel minyak bumi Lapangan Sukowati berkisar antara 2,56 – 3,33

(Gambar 5.22.) menunjukkan kondisi lingkungan pengendapan yang relatif tidak

saline.

Tabel 5.3. Rangkuman data biomarker minyak bumi sumur SS-1


124

Gambar 5.22. Fragmetogram Terpana pada kedalaman 5238-5277 kaki sumur SS-1

Gambar 5.23. Fragmetogram sterana pada kedalaman 5238-5277 kaki sumur SS-1
125

V.3. Korelasi Batuan Induk – Minyak Bumi

Pada tahap sebelumya telah dilakukan analisis mengenai karakteristik

batuan induk dan minyak bumi, khususnya berdasarkan data biomarker, yaitu

menggunakan parameter n-alkana dan isoprenoid. Parameter n-alkana dan

isoprenoid dapat digunakan karena berdasarkan analisis yang dilakukan

sebelumnya sampel minyak bumi menunjukkan belum mengalami proses

biodegradasi. Proses biodegradasi dapat mengakibatkan peningkatan rasio

isoprenoid vs n-alkana, karena bakteri aerobik umumnya akan menyerang n-

alkana terlebih dahulu sebelum menyerang isoprenoid (Peters, 2005).

Korelasi menggunakan rasio Pr/nC17 vs Pr/Ph (Hwang et al., 1998). Hasil

ploting (Gambar. 5.24) menunjukkan bahwa batuan induk Formasi Pematang

terbentuk dari material organik yang berasal dari tumbuhan tingkat tinggi dan

terbentuk pada lingkungan dengan kondisi oxic terrestrial. Berdasarkan data

tersebut dapat disimpulkan bahwa minyak bumi pada Lapangan Sukowati

berkorelasi dengan batuan induk Formasi Pematang.

Gambar 5.24. Korelasi batuan induk - minyak bumi menggunakan Pr/nC17 vs Ph/nC18
126

Selain itu korelasi batuan induk dan minyak bumi juga dapat menggunakan

ploting rasio Pr/nC17 vs Ph/nC18 (Peters et al., 2005). Hasil ploting (Gambar. 5.25)

menunjukkan sampel batuan induk Formasi Pematang terbentuk dari material

organik berasal dari darat atau tumbuhan tingkat tinggi dan pada sampel minyak

bumi juga menunjukkan terbentuk dari batuan induk yang tersusun atas material

organik berasal dari darat. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa

minyak bumi pada Lapangan Sukowati berkorelasi dengan batuan induk Formasi

Pematang.

Gambar 5.25. Korelasi batuan induk - minyak bumi menggunakan parameter Pr/nC17 vs Ph/nC18

V.4. Korelasi Geokimia dan Kondisi Geologi

Lokasi penelitian termasuk ke dalam graben Mandian pada Cekungan

Sumatera Tengah, berdasarkan studi didapatkan bahwa Formasi Pematang

terbentuk selama Eosen Akhir - Oligosen merupakan batuan induk utama pada

area ini (PT. Energi Mega Persada, 2007). Berdasarkan hasil penelitian yang telah

dilakukan mengenai kuantitas, kualitas, dan kematangan juga menunjukkan


127

bahwa Formasi Pematang yang berperan sebagai batuan induk dan telah

menghasilkan hidrokarbon, sedangkan Formasi Telisa masih belum matang

sehingga dikategorikan sebagai batuan induk potensial.

Berdasarkan studi regional, awal perkembangan graben berarah utara-

selatan, merupakan respon terhadap tegasan tensional di belakang busur.

Pengendapan Formasi Pematang diperkirakan terjadi disekitar 46 juta tahun yang

lalu. Pada Eosen Tengah – Akhir kecepatan penurunan graben awal diperkirakan

berjalan lambat. Sedimentasi sungai dan danau dangkal merupakan penciri

lingkungan pengendapan Formasi Pematang awal, dengan litologi batulempung

abu-abu pucat kehijauan dan batupasir (PT. Energi Mega Persada, 2007).

Berdasarkan hasil penelitian, Lingkungan pengendapan Formasi Pematang

berdasar data geokimia bersifat oxic terrestrial. Lingkungan oksik mempunyai

kandungan oksigen dalam air antara 8,0-2,0 mL O2 / L H2O yang menunjukkan

kedalaman yang dangkal (Tyson dan Pearson, 1991 dalam Peters dan Cassa,

1994). Selain itu, berdasarkan data geokimia minyak bumi yang telah terbukti

berkorelasi dengan Formasi Pematang menunjukkan bahwa lingkungan

pengendapan batuan induk berasal dari rawa (non marine). Lingkungan oksidasi

mengakibatkan rasio Pr/Ph Formasi Pematang tinggi (6,57-9,21), karena terjadi

transformasi fitol menjadi asam fitanoat dilanjutkan dekarbonisasi menjadi

pristana. Di sisi lain tingkat oksidasi yang relatif tinggi dapat merusak material

organik, namun diperkirakan terjadi proses sedimentasi yang cepat pada Formasi

Pematang sehingga material organik cepat terkubur dan tidak mengalami proses

oksidasi. Sumber material organik yang dominan pada lingkungan oksik atau
128

rawa ini berdasarkan data geokimia berasal dari tumbuhan tingkat tinggi, sehingga

membentuk tipe kerogen II (berasal dari lapisan lilin tumbuhan, spora dan polen)

dan III (berasal dari selulosa dan kayu).

Berdasarkan hasil analisis reflektansi vitrinit, Formasi Pematang memiliki

nilai Ro berkisar antara 0,42 – 0,79% yang menunjukkan ada yang telah mature

(Ro > 0,6%). Selain itu, Formasi Pematang mempunyai nilai PI antara 0,076 – 0,3

yang menunjukkan telah menghasilkan hidrokarbon. Secara regional Formasi

Pematang telah terbentuk sejak Eosen, hal tersebut yang mengakibatkan

mempunyai kematangan termal yang cukup untuk menghasilkan minyak bumi,

karena telah terkubur dalam. Selain itu, Cekungan Sumatera Tengah juga

memiliki heat flow yang tinggi, yaitu dengan rata-rata sebesar 6,80C/100 m atau

3,3 HFU (Whibley, 1992), sehingga gradien geotermal yang terbentuk tinggi.

Pada Eosen Akhir – Miosen Tengah terjadi peningkatan kecepatan

penurunan graben yang melebihi kecepatan sedimentasi dan menyebabkan

terjadinya perubahan lingkungan semakin dalam. Pada tahap ini beberapa sub

cekungan di Sumatera tengah berkembang fasies danau anoxic. Formasi Telisa

terbentuk pada Miosen Awal – Miosen Tengah, tersusun atas serpih gampingan,

batupasir glaukonitan, perselingan batulempung lanauan dan batupasir gampingan

dengan sisipan batugamping serta serpih gampingan. Berdasarkan fosil

foraminifera yang menunjukkan bahwa formasi ini diendapkan pada lingkungan

sub-litoral luar hingga batial atas (PT. Energi Mega Persada, 2007). Berdasarkan

hasil penelitian menunjukkan bahwa lingkungan pengendapan Formasi Telisa

berdasarkan data geokimia bersifat highly anoxic – anoxic to suboxic lacustrine or


129

marine. Lingkungan anoksik tidak mempunyai kandungan oksigen, sedangkan

suboksik mempunyai kandungan oksigen antara 0,2-0,0 mL O2 / L H2O (Tyson

dan Pearson, 1991 dalam Peters dan Cassa, 1994). Hal tersebut berbeda dengan

Formasi Pematang, karena mempunyai lingkungan pengendapan yang lebih dalam

yang mengakibatkan kandungan oksigen pada Formasi Telisa berkurang. Sumber

material organik campuran dari alga yang berasal dari laut dan tumbuhan tingkat

tinggi yang berasal dari darat, sehingga membentuk dominan tipe kerogen II dan

dalam jumlah yang lebih kecil kerogen tipe III.

Berdasarkan hasil analisis reflektansi vitrinit, Formasi Telisa memiliki nilai

Ro berkisar antara 0,27 – 0,40 % yang menunjukkan immature (Ro < 0,6%).

Selain itu, Formasi Telisa mempunyai nilai PI antara 0,005 – 0,085 yang

menunjukkan belum menghasilkan hidrokarbon. Secara regional Formasi Telisa

yang baru terbentuk pada Miosen Awal – Miosen Tengah mengakibatkan

mempunyai kematangan termal yang belum cukup untuk menghasilkan minyak

bumi, karena diperkirakan belum terkubur cukup dalam. Selain itu, Pada Miosen

Tengah terjadi pengangkatan, perlipatan, pensesaran, dan aktivitas magmatis yang

diikuti oleh erosi. Periode pembentukan struktur Miosen Tengah dianggap penting

dari sudut ekonomi dan diyakini bahwa tahap utama pembentukan perangkap (PT.

Energi Mega Persada, 2007).

Formasi Sihapas terbentuk pada Miosen Awal, tersusun atas batupasir

kongomeratan, batupasir, perselingan batupasir dan serpih, sisipan batugamping

tipis (PT. Energi Mega Persada, 2007). Berdasarkan pengamatan data batuinti,

Formasi Sihapas terbentuk pada lingkungan tide dominated estuary pada bagian
130

tidal sand bar, tidal sand flat, tidal mud flat dan tidal channel (Gambar 5.26)

dengan ciri secara umum berlitologi batupasir berbutir kasar hingga halus dan

struktur sedimen laminasi silang siur, burrowing dan flaser (Napitupulu, 2014).

Lingkungan pengendapan ini tidak mendukung preservasi material organik,

karena salah satu syarat terjadinya preservasi adalah lingkungan pengendapan

dengan energi rendah (kecepatan arus air rendah dan pengaruh gelombang yang

terbatas). Berdasarkan hasil penelitian, Formasi Sihapas memiliki kandungan

TOC dominan < 0,5 wt-%, sehingga Formasi Sihapas tidak berpotensi

menghasilkan hidrokarbon atau tidak dapat berperan sebagai batuan induk.

Formasi Sihapas tersusun atas batupasir yang secara regional berperan sebagai

reservoar, dimana sampel minyak bumi pada daerah penelitian diambil pada

Formasi Sihapas.

Gambar 5.26. Lingkungan estuary terbentuknya Formasi Sihapas (Napitupulu, 2014)


131

Berdasarkan peta top basement (Gambar 5.27) yang di buat berdasarkan

Lampiran 5, menunjukkan adanya perbedaan tingkat kedalaman yang bervariasi

pada sumur pemboran di Lapangan Sukowati. Kedalaman merupakan salah satu

faktor yang mempengaruhi gradien geotermal, dimana kedalaman merupakan

faktor yang menunjukkan pembebanan dari batuan yang berada di atasnya,

sehingga semakin dalam batuan akan mempunyai temperatur dan tekanan yang

semakin tinggi. Hal tersebut dalam studi batuan induk akan memengaruhi tingkat

kematangan batuan induk.

Formasi Pematang secara stratigrafi berada menumpang diatas basement

secara tidak selaras. Akibat keterbatasan data, maka persebaran lateral dari

Formasi Pematang dapat diperkirakan mengikuti pola kedalaman dari peta top

basement, yang dimana mempunyai distribusi kedalaman yang bervariasi. Daerah

dalaman terletak pada bagian selatan lokasi penelitian yaitu pada sumur SS-1 dan

SS-5, semakin ke utara timur, dan barat lokasi penelitian semakin berkurang

kedalamannya. Berdasarkan peta basement vs posisi sumur, dimana sebelumnya

telah diperkirakan kedalaman terjadinya top oil window (Ro=0,6%) pada masing

masing sumur. Berdasarkan data perkiraan top oil window pada basement dengan

menggunakan nilai reflektansi vitrinit = 0,6% tersebut, maka dapat diperkirakan

pola persebaran batas top oil window pada daerah penelitian (Gambar 5.27).

Batas perkiraan pola top oil window yang memotong garis kontur pada

beberapa bagian (Gambar 5.27), yaitu di sebelah barat dan utara pada Lapangan

Sukowati, dimana seharusnya pola batas perkiraan top oil window tersebut

mengikuti garis kontur peta basement. Hal tersebut dapat terjadi akibat proses
132

tektonik yang mengontrol daerah penelitian. Berdasarkan nilai perubahan

reflektansi vitrinit pada masing-masing sumur terhadap tingkat kedalaman

menunjukkan pola yang teratur (linier) dan dapat dikatakan daerah penelitian

tidak terpengaruh oleh aktivitas tektonik yang signifikan selama proses

pembentukan Formasi Pematang hingga Telisa, yaitu pada fase tektonik synrift

hingga sagging (Eosen – Miosen Tengah).

Berdasarkan fakta diatas, dapat disimpulkan aktivitas tektonik setelah

pembentukan Formasi Telisa merupakan fase tektonik yang mengontrol Lapangan

Sukowati, fase tektonik tersebut adalah fase kompresi yang terjadi akibat proses

subduksi lempeng Indo-Australia terhadap lempeng Eurasia dan membentuk

Pegunungan Bukit Barisan di sebelah Barat Cekungan Sumatera Tengah pada

Miosen Tengah (Whibley, 1992), termasuk daerah penelitian. Gaya kompresi

tersebut mengangkat seluruh formasi batuan yang telah terbentuk sebelumnya,

yaitu Formasi Pematang, Sihapas, dan Telisa. Pengangkatan tersebut

mengakibatkan perkiraan kedalaman top oil window pada sumur SS-3, SS-4, dan

SS-6 menjadi lebih dangkal dari seharusnya. Sebaliknya pada sumur SS-1 dan SS-

5 akibat hukum isostasi mengalami proses pendalaman, akibatnya perkiraan

kedalaman top oil window menjadi lebih dalam. Faktor tersebut yang

menyebabkan batas perkiraan pola top oil window memotong garis kontur.

Formasi Sihapas secara regional berperan sebagai reservoar, dimana secara

stratigrafi terletak diatas Formasi Pematang yang berperan sebagai batuan induk.

Berdasarkan perkirakan pola persebaran batas top oil window dapat diperkirakan

arah migrasi minyak bumi yang dihasilkan dari batuan induk yang telah matang
133

tersebut, dimana migrasi terjadi dari daerah dalaman ke daerah yang lebih dangkal

yaitu ke Formasi Sihapas yang dibuktikan dengan adanya data sampel minyak

bumi pada sumur SS-1 dan SS-5. Pada sumur yang lain, yaitu sumur SS-2, SS-3,

SS-4, dan SS-6 hanya menunjukkan oil show. Hal tersebut membuktikan bahwa

adanya migrasi ke arah sumur tersebut, namun belum signifikan untuk

membentuk akumulasi minyak bumi atau tidak adanya jebakan (trap) yang

mengakibatkan minyak bumi terus bermigrasi dan tidak terakumulasi.

Formasi Telisa secara lateral mempunyai kedalaman yang bervariasi, daerah

paling dalam terletak pada sumur SS-1 dan SS-5 yang mencapai kedalaman 5225

kaki. Berdasarkan data geokimia seperti reflektansi vitrinit, Tmax, dan PI Formasi

Telisa dikategorikan belum matang, namun berdasarkan analisis burial history

pada sumur SS-1 yang dilakukan oleh PT. Energi Mega Persada menunjukkan

bahwa Formasi Telisa telah matang. Perbedaan hasil analisis tersebut menjadi

sebuah pertanyaan, namun berdasarkan hasil korelasi minyak bumi dan batuan

induk membuktikan bahwa sampel minyak bumi yang terdapat pada Lapangan

Sukowati berasal dari Formasi Pematang, bukan dari Formasi Telisa. Hal tersebut

menunjukkan bahwa Formasi Telisa belum cukup matang menghasilkan minyak

bumi atau jika sudah matang sesuai dengan hasil burial history maka

kemungkinan minyak bumi yang dihasilkan belum cukup signifikan untuk

mengisi reservoar dibandingkan minyak bumi yang dihasilkan oleh Formasi

Pematang.

Berdasarkan analisis dan interpretasi dengan kondisi geologi yang telah

dilakukan pada penelitian ini, dapat digunakan sebagai acuan dalam


134

pengembangan selanjutnya dari Lapangan Sukowati. Hasil analisis menunjukkan

bahwa sumur pemboran yang terletak jauh dari daerah cekungan belum cukup

untuk membentuk akumulasi minyak bumi, sehingga jika akan dilakukan

pemboran untuk mendapatkan minyak bumi sebaiknya dilakukan di daerah

cekungan, yaitu di sekitar sumur SS-1 dan SS-5 (oil well) yang dimana telah

terbukti menghasilkan minyak bumi. Hal tersebut karena pada daerah cekungan

merupakan area kitchen yang diperkirakan menghasikan minyak bumi lebih

banyak dibandingkan area kitchen pada daerah yang lebih dangkal, sehingga jarak

migrasi minyak bumi yang dihasilkan menuju reservoar tidak terlampau jauh.

Gambar 5.27. Peta basement (PT. Energi Mega Persada, 2007) vs persebaran sumur dan perkiraan
pola penyebaran nilai Ro = 0,6% yang menunjukkan batas top oil window pada
Lapangan Sukowati

Anda mungkin juga menyukai