Anda di halaman 1dari 54

A.

JUDUL

Isolasi dan Karakterisasi Senyawa Flavonoid dari Ekstrak Aseton

pada Bagian Aerial Tumbuhan Paku Perak (Pityrogramma Calomelanos

(L) Link) dan Uji Aktivitas Pendahuluan sebagai Antioksidan

B. RUANG LINGKUP

Kimia Organik Bahan Alam

C. LATAR BELAKANG

Radikal bebas merupakan atom atau molekul yang mengandung

satu atau lebih electron-elektron yang tidak berpasangan pada orbital

terluarnya (Fessenden & Fessenden, 1986). Adanya elektron yang tidak

berpasangan menyebabkan senyawa tersebut sangat reaktif. Radikal bebas

dapat dihasilkan dari hasil metabolisme tubuh dan faktor eksternal seperti

asap rokok, hasil penyinaran ultraviolet, zat kimiawi dalam makanan, dan

polutan lain. Penyakit yang disebabkan oleh radikal bebas bersifat kronis,

yaitu dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk penyakit tersebut menjadi

nyata.

Radikal bebas yang mengambil elektron dari sel tubuh manusia

dapat menyebabkan perubahan struktur DNA (Deoxyribo Nucleic Acid)

sehingga timbulah sel-sel mutan. Bila perubahan DNA ini terjadi bertahun-

tahun, maka dapat menjadi penyakit kanker. Tubuh manusia,

sesungguhnya dapat menghasilkan antioksidan tetapi jumlahnya seringkali

1
tidak cukup untuk menetralkan radikal bebas yang masuk ke dalam tubuh

maka diperlukan makanan yang dapat menghasilkan antioksidan. Sebagai

contoh, tubuh manusia dapat menghasilkan glutation, tetapi tubuh

memerlukan asupan vitamin C sebesar 1.000 mg untuk memicu tubuh

menghasilkan glutation tersebut. Keseimbangan antara antioksidan dan

radikal bebas menjadi kunci utama pencegahan penyakit-penyakit kronis

yang dihasilkan akibat radikal bebas. Contoh radikal bebas yang banyak

terdapat dalam tubuh manusia adalah radikal hidroksil (.OH) yang mudah

bereaksi dengan komponen asam lemak tak jenuh seperti asam

arakhidonat, asam linoleat, dan asam linolenat. Senyawa ini pada lapisan

lemak dalam membran biologis membentuk lipid hidroperoksida (LOOH)

yang dapat menyebabkan fungsi membran terganggu. Zat yang dapat

menunda atau mencegah terjadinya reaksi oksidasi radikal bebas dalam

oksidasi lemak adalah antioksidan (Kochar & Rosell, 1990).

Antioksidan berdasarkan sumbernya dibagi menjadi dua kelompok,

yaitu antioksidan sintetik dan antioksidan alami. Menurut hasil penelitian

Poumorad (2006), antioksidan sintetik bukan merupakan antioksidan yang

baik, sebab pada pemaparan yang lama dapat menyebabkan efek negatif

pada kesehatan (kerusakan hati) dan meningkatkan terjadinya

karsinogenesis. Menurut Pratt & Hudson (1990), senyawa antioksidan

alami tumbuhan umumnya ditemukan sebagai senyawa fenolik atau

polifenolik yang dapat berupa golongan flavonoid, turunan asam sinamat,

kumarin, tokoferol, dan asam-asam organik polifungsional. Senyawa

2
fenolik tersebut bersifat sebagai penangkap radikal bebas dan peredam

terbentuknya singlet oksigen.

Flavonoid bersifat antioksidan dikarenakan flavonoid dapat

menghambat enzim-enzim oksidatif dan dapat menguatkan dinding-

dinding pembuluh darah. Selain itu flavonoid sebagai antioksidan dapat

menstabilkan radikal bebas dengan melengkapi kekurangan elektron yang

dimiliki radikal bebas dan menghambat terjadinya reaksi berantai dari

pembentukan radikal bebas. Flavonoid yang bersifat antioksidan banyak

terdapat dalam tumbuhan paku (khususnya paku perak). Seperti diketahui,

antioksidan berfungsi untuk menetralisasi kerusakan yang disebabkan

radikal bebas. Kerusakan radikal bebas ini bisa mengakibatkan berbagai

penyakit termasuk kanker.

Pemanfaatan antioksidan alami dalam bidang kesehatan dan

pengawetan bahan pangan relatif lebih aman dibandingkan antioksidan

sintetik yang ternyata banyak menimbulkan efek samping yang merugikan

bagi kesehatan manusia. Oleh karena itu, upaya penemuan bahan-bahan

antioksidan alami sangat penting dilakukan.

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kekayaan

alam hayati yang sangat beranekaragam (biodiversity). Salah satu spesies

tumbuhan paku yang banyak terdapat di Indonesia adalah tumbuhan paku

perak (Pityrogramma calomelanos). Secara ekologis, tumbuhan paku

perak sering ditemukan tumbuh di daerah-daerah terbuka, pada tempat

yang berbatu di lereng-lereng bukit, dan pada bekas-bekas tembok tua

3
serta sering ditemukan di tepi sungai yang terbuka maupun yang agak

terlindungi. Tumbuhan paku perak tumbuh subur baik di dataran rendah

maupun di dataran tinggi mencapai 1200 m dpl (Abdurahim, 2006).

Karena tumbuhan paku perak merupakan tumbuhan liar yang jumlahnya

sangat melimpah, mudah didapat, dan belum pernah diteliti kandungan

senyawa flavonoidnya dengan menggunakan pelarut aseton, maka perlu

dilakukan penelitian untuk meningkatkan nilai guna dari tumbuhan paku

tersebut.

Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya telah dapat diketahui

bahwa dari ekstrak etil asetat bagian aerial tumbuhan paku perak

(Pityrogramma calomelanos) telah ditemukan suatu senyawa flavonoid

jenis calkon, yaitu 2’,6’-dihidroksi-4’-metoksi-dihidrokalkon (Suyatno,

dkk., 2009) dan dari ekstrak metanol batang tumbuhan paku Chingia

sakayensis (Zeiller) Holtt ditemukan senyawa flavonoid jenis flavanon,

yaitu 4’hidroksi-3 metil-5’,7’ dimetoksi flavanon yang positif mempunyai

aktivitas antioksidan melalui uji DPPH (Saputri, 2005). Mengingat masih

sedikitnya informasi tentang kandungan senyawa flavonoid dalam

tumbuhan paku perak maka peneliti tertarik untuk melanjutkan penelitian

kandungan senyawa flavonoid dari tumbuhan paku perak tersebut

menggunakan ekstrak yang lebih polar yakni ekstrak aseton serta

melakukan uji aktivitas pendahuluannya sebagai antioksidan, uji

antioksidan pada senyawa flavonoid dikarenakan pada senyawa flavonoid

terdapat gugus OH fenolik yang dapat menangkap radikal bebas dan

4
sebagai donor proton kepada radikal, ketika OH fenolik pada flavonoid

mendonorkan protonya kepada radikal struktur ini akan tetap stabil karena

distabilkan oleh cincin benzena yang mempunyai ikatan rangkap konjugasi

(selang-seling). Sifat terstabilkan oleh cincin benzena inilah yang tidak

dimiliki oleh senyawa yang juga sama-sama mempunyai gugus OH seperti

pada gula, etanol, dan lain sebagainya. Pengujian aktivitas pendahuluan

antioksidan pada senyawa flavonoid dilakukan dengan menggunakan

DPPH dikarenakan hasil pengujian yang diperoleh bersifat nyata yang

dapat ditunjukkan dengan perubahan warna, yakni dari warna ungu

menjadi putih kekuningan berlatar ungu.

5
D. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas maka masalah yang akan dijawab

melalui penelitian ini adalah sebagai berikut :


1. Bagaimanakah struktur molekul senyawa flavonoid dari ekstrak aseton

bagian aerial tumbuhan paku perak (Pityrogramma calomelanos)?


2. Bagaimana aktivitas antioksidan isolat flavonoid dari ekstrak aseton

bagian aerial tumbuhan paku perak (Pityrogramma calomelanos?

E. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk:
1. Menentukan struktur molekul senyawa flavonoid dari ekstrak aseton

bagian aerial tumbuhan paku perak (Pityrogramma calomelanos).


2. Menentukan aktivitas antioksidan isolat flavonoid dari ekstrak aseton

bagian aerial tumbuhan paku perak (Pityrogramma calomelanos).

F. MANFAAT PENELITIAN
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk :
1. Menambah data baru tentang aktivitas antioksidan senyawa flavonoid dari

ekstrak aseton tumbuhan paku perak (Pityrogramma calomelanos) yang

berguna sebagai antioksidan alami.


2. Menambah khasanah ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang Kimia

Organik Bahan Alam.


3. Meningkatkan nilai guna tumbuhan paku perak (Pityrogramma

calomelanos) yang selama ini merupakan tanaman liar dan tanaman hias

untuk dapat digunakan sebagai bahan antioksidan alami.

G. DEFINISI OPERASIONAL, ASUMSI, dan BATASAN MASALAH


1. Definisi Operasional
Untuk menghindari terjadinya perbedaan persepsi, maka beberapa istilah

dalam penelitian ini didifinisikan sebagai berikut :

6
a. Bagian aerial tumbuhan paku adalah bagian dari tumbuhan paku yang

terdiri dari gabungan antara batang dan daun.


b. Ekstrak aseton adalah hasil ekstraksi bertahap dengan cara maserasi

dari sampel bagian aerial tumbuhan paku Pityrogramma calomelanos

menggunakan pelarut aseton.


c. Isolasi adalah proses pemisahan suatu zat dari bagian tertentu

organisme dengan cara tertentu. Dalam penelitian ini isolasi senyawa

flavonoid dari bagian aerial tumbuhan paku Pityrogramma

calomelanos dilakukan dengan metode ekstraksi dan kromatografi.

Metode ekstraksi yang digunakan adalah maserasi, yaitu merendam

sampel dalam wadah tertutup dengan menggunakan pelarut aseton

selama 424 jam. Sementara itu metode kromatografi yang dilakukan

pada penelitian ini adalah kromatografi lapis tipis, kromatografi cair

vakum, dan kromatografi kilat (flash chromatography).

d. Karakterisasi adalah proses untuk menentukan karakteristik suatu

senyawa. Dalam penelitian ini karakterisasi senyawa flavonoid

dilakukan dengan cara uji kualitatif dari sifat fisikanya, yaitu dengan

penentuan titik leleh dan uji kualitatif dari sifat kimianya, yaitu dengan

menggunakan larutan ferri klorida dan Shinoda test. Penentuan

struktur molekul senyawa flavonoid dilakukan dengan metode

spektroskopi (UV–Vis, IR, 1H–NMR, 13C–NMR, dan MS).

e. Senyawa flavonoid adalah golongan senyawa yang memiliki 15 atom

C yang terdiri dari kerangka 2 gugus C6 (cincin benzena yang

tersubtitusi) disambungkan oleh rantai alifatik 3 karbon, ditemukan di

7
alam berupa zat warna merah, ungu, biru dan sebagian zat warna

kuning.

f. Uji pendahuluan aktivitas antioksidan adalah suatu uji untuk

memperkirakan secara awal terhadap aktivitas antioksidan yang

dimiliki oleh suatu zat.

2. Asumsi

a. Sampel tumbuhan paku perak (Pityrogramma calomelanos) yang

digunakan dalam penelitian ini dianggap mempunyai umur dan kondisi

lingkungan hidup yang sama.

b. Selama proses isolasi hingga memperoleh senyawa murni dianggap

tidak terbentuk senyawa lain yang bukan dikandung oleh sampel,

sehingga senyawa murni yang diperoleh benar-benar berasal dari

sampel tumbuhan paku perak (Pityrogramma calomelanos).

3. Batasan Masalah
a. Sampel tumbuhan yang diteliti adalah bagian aerial dari tumbuhan

paku perak (Pityrogramma calomelanos).


b. Dalam penelitian ini uji aktivitas pendahuluan antioksidan ditentukan

menggunakan DPPH dengan metode KLT autografi

H. KAJIAN PUSTAKA
1. Kedudukan Tumbuhan Paku Perak (Pityrogramma calomelanos)

dalam Taksonomi Tumbuhan

Menurut A. G. Piggot (1988), kedudukan tumbuhan paku perak

(Pityrogramma calomelanos) dalam taksonomi tumbuhan dapat

dinyatakan sebagai berikut :

8
Divisi : Pteridophyta

Kelas : Pteridopsida

Ordo : Polypodiales

Familia : Polypodiaceae

Genus : Pityrogramma

Spesies : Pityrogramma calomelanos (L.) Link

Paku Perak (Pityrogramma calomelanos) merupakan salah satu

kerabat dari paku emas (Pityrogramma tartarea), disebut paku perak

karena memiliki spora berwarna putih perak. Tumbuhan paku ini tumbuh

subur baik di dataran rendah maupun di dataran tinggi. Beberapa contoh

yang terkumpul di herbarium antara lain berasal dari Gunung Arjuno,

Gunung Kelud, Gunung Papandayan, Gunung Gede, dan lain-lain.

Tempat-tempat terbuka dan kering sangat disenanginya. Bahkan, paku

perak dapat tumbuh pada batu-batuan disekitar kawah. Di Gunung Gede,

terutama diseluruh air terjun Cibereum dan sekitar Kebun Raya Cibodas,

paku perak banyak dijumpai tumbuh di tebing-tebing atau menempel pada

batang paku tihang, terutama yang sudah mati. Dapat tumbuh di tanah liat

atau tanah berbatu. Tanamannya jarang tumbuh berkelompok melainkan

lebih umum dijumpai tumbuh bersama rumput.

Jenis paku perak ini berbatang pendek, yang tumbuhnya tegak,

rimpangnya juga pendek sehingga entalnya membentuk rumpun kecil.

Tangkai entalnya lebih licin, berwarna ungu kehitaman, dan mengkilap.

Pada bagian pangkal tangkai entalnya tumbuh bulu-bulu. Entalnya

9
tersusun oleh anak daun yang menyirip ganda. Panjang entalnya mencapai

35 cm. Entalnya tersebut bertekstur kaku yang permukaan atasnya

berwarna hijau gelap dan mengkilap. Sporanya tersebar dipermukaan

bawah daunnya, sepanjang uratnya, dan membentuk barisan yang tidak

tertutup. Sporanya berwarna putih perak dan karena hampir seluruh

permukaan bawah tertutup oleh sporanya, maka warnanya menjadi putih

perak.

Dari segi keindahan, jenis ini berpotensi sebagai tanaman hias.

Sebenarnya Tumbuhan paku Pityrogramma calomelanos berasal dari

Amerika tropika, tetapi saat ini sudah tersebar luas di daerah Asia tropika.

Secara ekologis paku ini sering ditemukan tumbuh di daerah-daerah

terbuka, pada tempat yang berbatu di lereng-lereng bukit, dan pada bekas-

bekas tembok tua serta sering ditemukan di tepi sungai yang terbuka

maupun yang agak terlindungi. Jenis paku ini lebih banyak digunakan

sebagai tanaman ground cover apabila ditanam secara bergerombol karena

mempunyai perawakan yang kecil dan pendek. Profil tumbuhan paku

perak dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Profil tumbuhan paku perak (Pityrogramma calomelanos).

2. Tinjauan Umum tentang Senyawa Flavonoid

10
Salah satu golongan senyawa fenolik yang banyak ditemukan

(dominan) dalam tumbuhan paku adalah flavonoid, flavonoid merupakan

senyawa metabolit sekunder dengan kerangka dasar karbon yang terdiri

dari 15 atom karbon, di mana dua cincin benzena (C6) terikat pada suatu

rantai propan (C3) sehingga membentuk suatu susunan C6-C3-C6. Susunan

ini dapat menghasilkan tiga jenis struktur, yakni 1,3-diarilpropan atau

flavonoid, 1,2-diarilpropan atau isoflavonoid, dan 1,1-diarilpropan atau

neoflavonoid.

Gambar 2. Struktur dasar senyawa flavonoid

Menurut Pietta (1999), senyawa flavonoid umumnya terdapat

dalam tumbuhan sebagai turunan glikosida dan tersebar dalam daun,

bunga, dan buah. Senyawa ini merupakan zat warna merah, ungu, biru,

dan sebagian berwarna kuning yang ditemukan di dalam tumbuhan

(Achmad, 1986). Dalam tumbuhan, aglikon flavonoid (flavonoid tanpa

gula terikat) terdapat dalam berbagai bentuk struktur.

Pola biosintesis flavonoid pertama kali disarankan oleh Birch. Pada

tahap-tahap pertama dari biosintesa flavonoid suatu unit C6-C3

berkombinasi dengan tiga unit C2 menghasilkan unit C6-C3-(C2+C2+C2).

Kerangka C15 yang dihasilkan dari kombinasi ini telah mengandung gugus-

11
gugus fungsi oksigen pada posisi-posisi yang diperlukan. Cincin A dari

struktur flavonoid berasal dari jalur poliketida, yakni kondensasi dari tiga

unit asetat atau malonat, sedangkan cincin B dan tiga atom karbon dari

rantai propan berasal dari jalur fenilpropanoid (jalur shikimat). Dengan

demikian, kerangka dasar karbon dari flavonoid dihasilkan dari kombinasi

antara dua jalur biosintesis yang utama untuk cincin aromatik, yakni jalur

shikimat dan jalur asetat-malonat (Achmad, 1986).


3'
2' 4'

8 1 B
9 O 2
7 1' 5'
A C 6'

6 3
10
5 4

Gambar 3. Struktur flavonoid (Markham, 1988)

Jenis flavonoid yang utama adalah flavon, flavonol, dan

antosianidin. Jenis flavonoid yang ditemukan dalam jumlah terbatas yaitu

calkon, auron, katecin, flavanon, dan leukoantosianidin. Senyawa yang

termasuk isoflavonoid adalah isoflavon, rotenoid, pterokarpan, dan

kumesterol. Banyaknya jenis senyawa flavonoid tersebut bukan

disebabkan karena banyaknya variasi struktur, akan tetapi lebih

disebabkan oleh berbagai tingkat hidroksilasi, alkoksilasi, atau glikosilasi

dari struktur tersebut (Achmad, 1986).

3. Kandungan Senyawa Flavonoid pada Tumbuhan Paku

12
Berbagai jenis senyawa flavonoid baik dalam bentuk glikosida

maupun aglikon telah dapat ditemukan dalam tumbuhan paku. Pada

umumnya flavonoid yang ditemukan adalah flavon dan flavonol glikosida

baik berupa O-glikosida maupun C-glikosida. Flavonoid O-glikosida

merupakan senyawa yang umum diketemukan dalam tumbuhan paku,

misalnya glikosida kaemferol. Sementara itu, C-glikosida umumnya

ditemukan dalam bentuk C-glikosilflavon (Markham & Wallace, 1980).

Senyawa-senyawa tersebut terdistribusi biasanya pada tumbuhan paku

famili Marattiaceae, Marsileaceae, Hymenophyllaceae, Cyatheaceae,

Pteridaceae, dan Aspidiaceae yang berupa C-glikosida dari apigenin

(Markham & Wallace, 1980 dalam Burhan & Zetra, 1997). Mateucinol (1)

merupakan contoh senyawa flavonoid jenis flavanon yang pernah diisolasi

dari tumbuhan paku Chingia sakayensis (Sutoyo, et al., 2007), dan

desmetoksimatteucinol (2) telah berhasil diisolasi dari ekstrak

diklorometana daun tumbuhan paku Chingia sakayensis (Zeiller) Holtt

(Suyatno & Zaini, 2003). Sementara itu dari Cyrtomium falcatum telah

berhasil diisolasi flavanon cyrtopterinetin (3) dan cyrtominetin (Hegnauer,

1968).

Veit, et al., (1991) telah berhasil memisahkan flavonoid glikosida

yaitu luteolin-5-O-β-D-glukopiranosida (4), luteolin-5-O-(6”-O-malonil-β-

D-glukopiranosida) (5), gorypetin-7-O-glukosida (6), dan herbacetin-7-O-

glukosida (7). Di samping itu, Imperato (1996, 1997, dan 1998) telah

berhasil memisahkan senyawa flavonoid glikosida turunan kaemferol

13
yakni rhamnetin-3-O-laminaribiosida (8), kaemferol-3-O-(6”-feruloylglu-

kosida) (9), dan kaemferol-3-O-(6”-p-kumaroil glukosida) (10) serta flavo-

noid kaemferol dan apigenin (11). Senyawa flavonoid jenis calkon yakni

ceropten (12) telah dapat dipisahkan dari Pityrogramma triagularis

(Hegnauer, 1968). Selligulain (13) merupakan flavonoid proantosianidin

yang dapat dipisahkan dari ekstrak metanol yang dipartisi dengan ekstrak

etil asetat daun Polypodium decumunum dan Polypodium triseriale

(Vassange, et al., 1997). Senyawa leukoantosianidin (14) telah dapat

diisolasi dari tumbuhan paku Selaginella apus (Hegnauer, 1968).

Tumbuhan Phegopteris connectilis juga berhasil ditemukan senyawa

flavonoid kaemferol dan kaemferol 3-O-β-D-glukosida (15). Telah

ditemukan pula dari tumbuhan tersebut senyawa flavonoid yang

mengalami hidrogenasi pada cincin B yaitu 2-(trans-1,4-dihidroksi-2-

sikloheksenil)-5-hidroksi-7-metoksi kromon (16) (Adam, 1999).

Senyawa flavonoid lainnya yang ditemukan dari genus Pseudophe-

gopteris yaitu pada tumbuhan Pseudophegopteris hirtirachis Holtt

ditemukan senyawa flavonoid dengan modifikasi pada cincin B yaitu

protogenkwanon (17), tetrahidroprotogenkwanon (18), tetrahidroprotogen-

kwanin (19), dan protogenkwanin 4’-O-β-D-glukosida (20). Dari Pseudo-

phegopteris subaurita ditemukan dua protogenkwanin (21) yang gluko-

sidanya terasilasi yaitu protogenkwanin 4’-O-(2-O-asetil)-β-D-glukosida

(22) dan protogenkwanin 4’-O-(6-O-asetil)-β-D-glukosida (23). Sementara

14
pada Pseudophegopteris bukoensis Holtt telah diisolasi senyawa (20),

(22), (23), serta apigenin 7-O--L-ramnosida dan kaemferol (Wada, 1987).

H
OCH3
CH3
CH3
HO O
HO O

H3C
H3C

OH O OH O

1 2

OH OH
CH3

HO O HO O
OH

H3C

OH O OR O

3 4 (R = glukopiranosil)

5 (R = 6-O-malonil-D-glukopiranosil)

OH OH
OH OH

RO O RO O
OH

OH OH

OH O OH O

6 (R = glukosil) 7 ( R = glukosil)

OH OH

OH
HO O

H3CO O
15
OR
OR
OH O
OH O
9 (R = 6-feruloilglukosil)
8 (R = 3-beta-D-Glucosyl-D-glucose)
10 (R = 6-p-kumaroilglukosil)
)
15 (R = glukosil)
OH

MeO O
HO O

Me
Me
OH O O

11 12

OH

HO O
OH

O
OH

OH

O OH OH
O

OH
HO
HO OH
13

OH

O H3CO O

OH

OH
16

OH OH O
14 16

O O

H3CO O H3CO O

OH OH

OH O
OH O

17 18

OH

H3CO O

OH

OH O

19

O
H3CO O
20 (R1 = H; R2 = H)
OH
CH2OR2 22 (R1 = Ac; R2 = H)
O
OH O OH 23 (R1 = H; R2 = Ac)
OH
OR1

OH
H3CO O

OH
17

OH O
21

4. Tinjauan Umum tentang Radikal Bebas dan Antioksidan

Radikal bebas merupakan atom atau molekul yang mengandung satu

atau lebih electron-elektron yang tidak berpasangan pada orbital terluarnya

(Fessenden & Fessenden, 1986). Adanya elektron yang tidak berpasangan

menyebabkan senyawa tersebut sangat reaktif mencari pasangan, dengan cara

menyerang dan mengikat elektron molekul yang berada di sekitarnya. Jika

elektron yang terikat oleh senyawa radikal bebas tersebut bersifat ionik,

dampak yang timbul memang tidak begitu berbahaya, namun demikian

apabila elektron yang terikat radikal bebas berasal dari senyawa yang

berikatan kovalen, akan sangat berbahaya karena ikatan digunakan secara

bersama-sama pada orbital terluarnya.

Radikal bebas dalam tubuh bersifat sangat reaktif karena untuk

menjadi stabil, radikal memerlukan elektron yang berasal dari pasangan

elektron molekul disekitarnya, sehingga terjadi perpindahan elektron dari

molekul donor ke molekul radikal untuk menjadikan molekul tersebut stabil.

Akibat reaksi tersebut, molekul donor menjadi radikal baru yang tidak stabil

dan memerlukan elektron dari molekul di sekitarnya untuk menjadi stabil.

18
Demikian seterusnya terjadi reaksi berantai perpindahan elektron (Windono,

2000), jika dua radikal bebas bertemu, elektron-elektron yang tidak

berpasangan dari kedua senyawa tersebut akan bergabung dan membentuk

ikatan kovalen yang stabil. Sebaliknya, bila radikal bebas bertemu dengan zat

yang bukan radikal bebas, akan terjadi 3 kemungkinan: (a) radikal bebas akan

memberikan elektron yang tidak berpasangan (reduktor) kepada senyawa

bukan radikal bebas; (b) radikal bebas menerima elektron (oksidator) dari

senyawa bukan radikal bebas; (c) radikal bebas bergabung dengan senyawa

bukan radikal bebas (Halliwell, et al., 1992). Dalam tubuh, radikal bebas akan

berinteraksi dengan bagian tubuh maupun sel-sel tertentu yang tersusun atas

lemak, protein, karbohidrat, DNA, dan RNA (Reynertson, 2007).

Sumber radikal bebas dapat berasal dari dalam tubuh kita sendiri

(endogen), ataupun dari luar tubuh (eksogen). Radikal endogen timbul akibat

berbagai proses kimia kompleks dalam tubuh (Reynertson, 2007), berupa hasil

sampingan dari proses oksidasi atau pembakaran sel yang berlangsung pada

waktu bernapas, metabolisme sel, olahraga berlebihan, atau peradangan.

(Machlin, 1992). Sedangkan radikal bebas eksogen berasal dari polusi udara,

asap kendaraan bermotor, asap rokok, radiasi ultraviolet, makanan yang terlalu

hangus (carbonated), dan lain sebagainya (Langseth,1995). Sumber radikal

bebas, baik endogen maupun eksogen terjadi melalui sederetan mekanisme

reaksi. Mekanisme reaksi tersebut diawali dengan pembentukan awal radikal

bebas (inisiasi), lalu perambatan atau terbentuknya radikal baru (propagasi),

19
dan tahap terakhir (terminasi), yaitu pemusnahan atau pengubahan menjadi

radikal bebas stabil dan tidak reaktif.

Tahapan reaksi pembentukan radikal bebas adalah sebagai berikut :

a) Tahap inisiasi yaitu awal pembentukan radikal bebas. Misalnya:

Fe2+ + H2O2 → Fe3+ + OH- +  OH

R1-H + OH → R1 + H2O

b) Tahap propagasi yaitu pemanjangan rantai radikal

R2-H + R1 → R2 + R1-H

R3-H + R2 → R3 + R2-H

c) Tahap terminasi yaitu bereaksinya senyawa radikal dengan radikal lain

atau dengan penangkap radikal, sehingga potensi propagasinya rendah.

R1 + R1 → R1-R1

R2 + R1 → R2-R1

R2. + R2 → R2-R2 dst

Tidak selamanya spesi oksigen reaktif yang terdapat di dalam tubuh itu

merugikan sebab pada kondisi-kondisi tertentu keberadaannya sangat

dibutuhkan, misalnya untuk membunuh bakteri yang masuk ke dalam tubuh.

Oleh sebab itu keberadaannya harus dikendalikan oleh sistem antioksidan

dalam tubuh.

20
Antioksidan merupakan senyawa pemberi elektron (elektron donor)

atau reduktor. Menurut Vaya & Aviram (2001), senyawa ini dalam konsentrasi

rendah sudah dapat menghambat atau menangkal proses oksidasi. Antioksidan

menstabilkan radikal bebas dengan melengkapi kekurangan elektron yang

dimiliki radikal bebas dan menghambat terjadinya reaksi berantai dari

pembentukan radikal bebas. Antioksidan dapat digunakan sebagai peredam

radikal yang bermanfaat apabila setelah bereaksi dengan radikal bebas, akan

menghasilkan radikal baru yang stabil atau senyawa bukan radikal (Windono,

2000).

Tubuh manusia memiliki sistem antioksidan untuk menangkal

reaktivitas radikal bebas, yang secara kontinyu dibentuk sendiri oleh tubuh.

Apabila jumlah spesi oksigen reaktif ini melebihi jumlah antioksidan dalam

tubuh, kelebihannya akan menyerang komponen lipid, protein, maupun DNA

sehingga mengakibatkan kerusakan-kerusakan yang disebut stres oksidatif

(Winarsi, 2007).

Antioksidan berdasarkan sumbernya dibagi menjadi dua kelompok,

yaitu antioksidan sintetik (antioksidan yang disintesis dari reaksi kimia) dan

antioksidan alami (antioksidan yang diperoleh dari hasil ekstraksi bahan

alami). Antioksidan sintetik yang sering digunakan untuk makanan antara lain

butil hidroksi anisol (BHA), butil hidroksi toluen (BHT), propil galat, dan ter-

butil hidroksi quinon (TBHQ). Berdasarkan hasil penelitian Poumorad (2006),

antioksidan sintetik bukan merupakan antioksidan yang baik, sebab pada

pemaparan yang lama dapat menyebabkan efek negatif pada kesehatan

21
(kerusakan hati) dan meningkatkan terjadinya karsinogenesis. Sementara itu

yang merupakan contoh antioksidan alami adalah vitamin C (asam askorbat),

β-karoten, dan senyawa flavonoid (flavon, flavonol, katecin, dan epikatecin)

(Belitz & Grosch, 1987).

5. Aktivitas Antioksidan

Metode uji antioksidan dengan DPPH (1,1-difenil- 2-pikrilhidrazil)

dipilih karena metode ini adalah metode sederhana untuk evaluasi aktivitas

antioksidan dari senyawa bahan alam (Fagliano, 1999). Senyawa yang aktif

sebagai antioksidan mereduksi radikal bebas DPPH menjadi difenil

pikrilhidrazin (Conforti, 2002). Besarnya aktivitas penangkap radikal bebas

dinyatakan dengan EC50 yaitu besarnya konsentrasi larutan uji yang mampu

menurunkan 50% absorbansi DPPH dibandingkan dengan larutan blanko

(Minami, 1996). Uji Aktivitas Antioksidan dengan DPPH dilakukan setelah uji

pendahuluan di atas pelat KLT.

Aktivitas antioksidan ditunjukkan dengan bercak warna putih

kekuningan, dengan latar belakang ungu. Mekanisme penangkapan radikal

DPPH oleh antioksidan cukup sederhana, yaitu berupa donasi proton (Gambar

4) kepada radikal. Oleh karena itu, senyawa-senyawa yang memungkinkan

mendonasikan protonnya memiliki aktivitas penangkapan radikal cukup kuat.

Senyawa tersebut adalah golongan fenol, flavonoid, tanin, senyawa yang

memiliki banyak gugus sulfida, dan alkaloid. Donasi proton menyebabkan

radikal DPPH (berwarna ungu) menjadi senyawa non-radikal. Senyawa non-

radikal DPPH tersebut putih kekuningan. Dengan demikian aktivitas

NO2 NO2

H
O 2N N N F-OH O2N N N 22 F-O

NO2 NO2

ungu kuning muda


penangkapan radikal dapat dihitung dari peluruhan radikal DPPH. Kadar

radikal DPPH tersisa diukur secara spektrofotometri pada panjang gelombang

517 nm (Blois, 1958 ; Munim, 2003).

Gambar 4. Donasi proton dari antioksidan ke radikal DPPH


6. Teknik Isolasi, Pemisahan, dan Pemurnian Senyawa
a. Ekstraksi

Ekstraksi merupakan suatu proses pemisahan suatu zat dari

campurannya dengan menggunakan pelarut yang sesuai. Berbagai macam

ekstraksi yang tepat bergantung pada tekstur dan kandungan lain pada

tumbuhan yang diekstraksi dan juga pada jenis senyawa yang diisolasi.

Terdapat dua cara untuk mendapatkan ekstrak kasar yaitu ekstraksi

berkesinambungan dan bertahap, namun yang akan dipakai untuk

penelitian ini adalah ekstraksi bertahap yaitu proses ekstraksi dimana pada

setiap tahap selalu dipakai pelarut yang berbeda sampai proses selesai.

Salah satu caranya adalah maserasi.

Maserasi merupakan proses perendaman sampel dengan pelarut

organik yang digunakan pada temperatur ruangan. Proses ini sangat

menguntungkan dalam isolasi senyawa bahan alam karena dalam

perendaman sampel tumbuhan akan terjadi pemecahan dinding dan

membran sel akibat perbedaan tekanan antara didalam dan diluar sel

23
sehingga metabolit sekunder yang ada dalam sitoplasma akan terlarut

dalam pelarut organik dan ekstraksi senyawa akan sempurna karena dapat

diatur lama perendaman yang dilakukan. Pemilihan pelarut untuk proses

maserasi akan memberikan efektivitas yang tinggi dengan memperhatikan

kelarutan senyawa bahan alam pelarut tersebut. Secara umum pelarut

metanol paling banyak digunakan untuk proses isolasi senyawa organik

bahan alam, karena dapat melarutkan seluruh golongan metabolit

sekunder.

b. Pemisahan

Teknik pemisahan dan pemurnian yang sering digunakan adalah

teknik kromatografi. Kromatografi merupakan teknik pemisahan

fisikokimia yang menggunakan fase diam berupa serbuk halus yang

berfungsi sebagai penyerap atau berfungsi sebagai penyangga untuk

lapisan zat cair. Serbuk yang paling umum digunakan antara lain silika gel,

selulosa, dan alumina (Harborne, 1987). Fase gerak dapat berupa segala

macam pelarut atau campuran beberapa macam pelarut.

Prinsip kromatografi adalah pemisahan campuran zat-zat kimia

berdasarkan pada perbedaan migrasi dari masing-masing komponen

campuran yang terpisahkan pada fase diam di bawah pengaruh pergerakan

fase gerak. Pada dasarnya semua cara kromatografi menggunakan dua fase

yaitu fase diam dan fase gerak (Mulja, 1995).

Berikut ini penjelasan mengenai beberapa jenis-jenis kromatografi:

1) Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

24
Kromatografi lapis tipis adalah metode analisis kualitatif dan

kuantitatif yang melibatkan dua peubah yaitu sifat fase diam atau

penyerap dan sifat fase gerak atau campuran pelarut pengembang

(Harborne, 1987). Pemisahan dilakukan dengan cara melewatkan

campuran melalui sistem dua fasa, yaitu fase diam dan fase gerak. Fase

diam sebagai zat penyerap berupa serbuk halus yang dilapiskan secara

merata pada lempeng kromatografi yang berupa plat gelas, logam atau

lapisan yang cocok. Fase diam yang biasa digunakan adalah silika gel.

Umumnya silika gel ditambah dengan bahan pengikat untuk memberi

kekuatan. Bahan pengikat yang sering digunakan adalah gipsum, maka

dikenal dengan istilah silika gel G. Kadang-kadang untuk

memudahkan identifikasi ditambahkan zat yang berfluoresensi

sehingga disebut silika gel GF-254, selain itu juga bisa digunakan

aluminium oksida, kieselgur, selulosa, dan turunannya.

Fase gerak adalah medium angkut dan terdiri atas satu atau

beberapa pelarut yang bergerak di dalam fase diam karena adanya gaya

kapiler. Fase gerak yang biasa digunakan berupa pelarut bertingkat

mutu analitik dan apabila diperlukan, sistem pelarut multikomponen

ini harus berupa suatu campuran sesederhana mungkin terdiri atas

maksimal 3 komponen.

KLT melibatkan pemisahan diantara fasa diam yang berupa

penyerap padat yang diletakkan pada piat gelas atau plastik dan fasa

gerak berupa pelarut cair yang mengalir melalui penyerap padat.

25
Sebagai teknik pemisahan cair-padat, KLT merupakan bentuk

kromatografi serapan. Dimana aliran pelarut berfungsi sebagai

pengembang (eluen), dan senyawa yang dianalisa dibawa merambat

(dielusikan) melalui fasa padat. Komponen-komponen campuran yang

bergerak melalui pelat KLT mempunyai kecepatan yang berbeda

tergantung pada kelarutan komponen dalam pelarut dan kekuatan atau

derajat serapan fasa diam terhadap komponen. Pemisahan terjadi jika

salah satu komponen terserap lebih kuat oleh fasa padat dari pada

komponen yang lain. Sebenarnya pemisahan merupakan suatu

fenomena permukaan, dimana derajat pemisahan tergantung pada luas

permukaan penyerap yang tersedia. Makin luas permukaan penyerap,

makin baik pemisahan yang terjadi. Partikel penyerap yang butirannya

kasar tidak akan memberikan fasa pemisahan yang memuaskan dan

untuk menaikkan hasil pemisahan baiknya digunakan penyerap yang

butirannya halus. Perilaku senyawa di dalam sistem kromatografi

dinyatakan dengan harga Rf (Hostettmann, et al., 1995). Rf

didefinisikan sebagai rasio jarak noda terhadap titik awal dengan jarak

eluen terhadap titik awal (Anwar, dkk., 1994).

Pemilihan fase gerak sebaiknya menggunakan pelarut yang

mudah menguap, dan mempunyai polaritas serendah mungkin. Hal ini

untuk mengurangi serapan dari setiap komponen. Pada dasarnya

26
pengembangan pelarut merupakan faktor utama dalam menentukan

kecepatan komponen di dalam campuran. Jika pelarut lebih polar

daripada komponen campuran, pelarut akan menarik kembali

komponen pada padatan penyerap dan komponen hampir selalu tinggal

dalam fase gerak cair. Dalam hal ini harga Rf akan tinggi. Jika

kepolaran pelarut jauh lebih rendah dibanding komponen campuran,

komponen akan terikat pada padatan penyerap dan tidak terbawa

pelarut (Rf = 0) (Burhan & Zetra, 1997).

Umumnya kemampuan pelarut untuk membawa senyawa dari

padatan penyerap dihubungkan dengan kepolaran pelarut dan

mengikuti tingkatan seperti pada Tabel 1. Campuran dua pelarut atau

lebih sering digunakan sebagai pelarut pengembang untuk analisa

kromatografi lapis tipis. Polaritas pelarut campuran berada diantara

polaritas komponen-komponen pelarut murni.

Tabel 1. Sifat kepolaran pelarut


Tetapan
Titik didih
Nama pelarut dielektrik pada Sifat kepolaran
(0C)
suhu 20°C
Heksana 1,890 68
Heptana 1,942 98
Benzena 2,284 80
Makin polar

Kloroform 4,806 61
Dietil eter 4,840 35
Etil asetat 6,020 77
Aseton 20,70 56
Etanol 24,30 79
Metanol 33,62 65
Air 80,37 100
(Sastrohamidjojo, 1985)

2) Kromatografi Cair Vakum (KCV)

27
Kromatografi Cair Vakum merupakan salah satu macam dari

kromatografi yang mempunyai prinsip kerja mirip dengan kroma-

tografi kolom, hanya saja pada kromatografi ini digunakan alat vakum

untuk mempercepat laju penurunan masing-masing spot atau noda.

Pada sistem KCV, kolom kromatografi dikemas kering (biasanya

dengan penjerap mutu KLT 10-40m) dalam keadaan vakum agar

diperoleh kerapatan kemasan maksimum. Vakum dihentikan manakala

pelarut yang kepolarannya rendah dituangkan ke permukaan penjerap

dan divakum lagi. Kolom kemudian dihisap sampai kering dan siap

dipakai. Cuplikan dilarutkan dalam pelarut yang sesuai, dimasukkan

langsung pada bagian atas kolom atau pada lapisan pra-penjerap dan

dihisap perlahan-lahan dalam kemasan dengan jalan divakum. Kolom

dielusidasi dengan campuran pelarut yang sesuai, mulai dengan pelarut

yang kepolarannya rendah lalu kepolarannya ditingkatkan perlahan-

lahan. Kolom dihisap sampai kering pada pengumpulan fraksi. Oleh

karena itu, kromatografi cair vakum menggunakan tekanan rendah

untuk meningkatkan laju aliran fase gerak (Hostettmann, et al., 1995).

3) Kromatografi Kolom Gravitasi (KKG)

Pada kromatografi ini campuran dipisahkan dengan menggu-

nakan silika gel. Pengemasan kolom harus dilakukan dengan hati-hati

agar dihasilkan kolom kemas yang serba sama. Jika kolom tidak

mempunyai penyaring kaca yang sudah terpasang, maka kita harus

menyumbat leher kolom dengan glass wol atau kapas. Selanjutnya

28
kemasan kolom dibuat didahului dengan membuat bubur absorben

dalam gelas piala dengan memakai pelarut yang sama, lalu dituangkan

dengan hati-hati ke dalam kolom. Penuangan dilakukan dengan hati-

hati agar tidak terjadi gelembung udara. Setelah itu kemasan dibiarkan

turun dan pelarut keluar dengan laju aliran kurang lebih 50 ml/menit.

Oleh karena laju aliran terlalu tinggi dan waktu pemisahan pendek,

pengumpulan fraksi dilakukan di dalam botol berbagai ukuran

tergantung pada jumlah sampel yang dipisahkan, kemudian analisis

fraksi dilakukan dengan menggunakan KLT (Hostettmann, et al.,

1995).

4) Kromatografi Kilat

Pada kromatografi kilat (flash chromatography) atau kroma-

tografi kolom tekan campuran dipisahkan memakai silika gel dengan

menggunakan tekanan nitrogen dari tangki silinder. Ukuran kolom

untuk jenis kromatografi ini bergaris tengah 3-10 cm dan panjangnya

7-15 cm. Alat yang digunakan berupa sebuah kolom gelas dengan

ukuran panjang tertentu yang bagian atasnya dilengkapi dengan

saluran untuk memasukkan gas nitrogen sebagai sumber tekanan. Fase

diam dimasukkan baik dalam bentuk slurry maupun kering. Harus

tersedia ruang di atas sampel yang cukup untuk menampung pelarut.

Tekanan yang diperlukan untuk mengalirkan pelarut sekitar 2 bar

(30 psi). Cuplikan setelah dilarutkan dalam pelarut yang cocok,

dimasukkan langsung pada bagian atas kolom atau pada lapisan pra-

29
penjerap. Kolom dielusi dengan campuran pelarut yang cocok secara

isokratik dengan bantuan tekanan gas. Bergantung pada ukuran

kolom, cuplikan sebanyak 0,01-10,0 gram dapat dipisahkan hanya

dalam waktu 15 menit (Hostettmann, et al., 1995).

Penyerap yang banyak digunakan berupa silika gel 60

40-43 m Merck atau 63-200 m Merck dengan kecepatan aliran

50 ml/menit. Oleh karena laju aliran sangat tinggi dan waktu

pemisahan pendek, pengumpulan fraksi dilakukan dalam botol

berbagai ukuran tergantung pada jumlah sampel yang dipisahkan,

kemudian analisis fraksi dilakukan dengan memakai KLT

(Hostettmann, et al., 1995).

c. Pemurnian

Senyawa organik padat yang diisolasi dari reaksi organik jarang

sekali berbentuk murni. Biasanya senyawa tersebut terkontaminasi dengan

sedikit senyawa lain. Pemurnian senyawa biasanya dilakukan dengan

metode rekristalisasi. Rekristalisasi merupakan salah satu pemurnian zat

padat dari campurannnya dengan cara mangkristalkan kembali zat tersebut

setelah dilarutkan dalam pelarut yang cocok. Prinsip rekristalisasi adalah

perbedaan kelarutan antara zat yang akan dimurnikan dengan kelarutan zat

pengotornya.

Proses rekristalisasi meliputi, melarutkan zat tak murni dalam

pelarut tertentu pada atau dekat titik leleh, menyaring larutan panas dari

30
partikel bahan tak terlarut, dan mendinginkan larutan sehingga zat terlarut

menjadi kristal serta memisahkan kristal dari larutan.

Karakteristik pelarut yang digunakan untuk rekristalisasi harus

mampu menghasilkan kristal yang baik dan mampu memisahkan dengan

mudah kristal senyawa yang dimurnikan dan harus mempunyai daya larut

yang tinggi untuk zat yang dimurnikan pada suhu yang dinaikkan dan daya

larut yang rendah pada suhu laboratorium atau lebih rendah dari suhu

laboratorium.

Untuk menguji tingkat kemurnian senyawa hasil isolasi dilakukan

dengan penentuan titik leleh, dan kromatografi lapis tipis (KLT)

menggunakan sedikitnya tiga sistem eluen. Suatu zat dikatakan murni

apabila memiliki interval titik leleh tidak melebihi 2o C dan menunjukkan

satu noda pada kromatografi lapis tipis.

d. Identifikasi
1) Uji Kualitatif
a) Pengukuran Titik Leleh Senyawa

Titik leleh suatu zat menyatakan suhu pada saat terjadi

keseimbangan antara fase padat dan fase cair dari zat tersebut. Titik

leleh suatu zat dipengaruhi oleh ukuran kristal, kecepatan

pemanasan, dan adanya pengotor. Pengotor menyebabkan titik

leleh suatu zat menjadi lebih rendah dan rentang titik lelehnya

lebih besar. Prinsip pengaruh pengotor terhadap titik leleh dapat

digunakan untuk mengidentifikasi tingkat kemurnian suatu zat

(Sing, 1980).

31
Untuk menguji tingkat kemurnian senyawa dilakukan

pengukuran titik leleh menggunakan alat Fisher John melting

point. Suatu senyawa dapat dikatakan murni jika hasil pengukuran

titik leleh pada awal dan akhir menunjukkan perbedaan yang tajam

yakni tidak melebihi 2oC (Anwar, dkk., 1994).

b) Uji Sifat Kimia

Uji sifat kimia dilakukan untuk mengetahui isolat termasuk

dalam senyawa fenolik. Uji terhadap senyawa fenolik ini dilakukan

dengan metode shinoda test dan pereaksi FeCl3. Larutan Shinoda

test terbuat dari HCl pekat ditambah beberapa potong pita Mg. Jika

senyawa yang diuji dengan Shinoda test menunjukkan warna

oranye, merah, atau biru maka zat tersebut termasuk golongan

flavonoid. Uji senyawa fenolik juga dapat dilakukan dengan

larutan FeCl3, dimana senyawa fenolik akan menunjukkan warna

ungu.

2) Metode Spektoskopi
a) Spektroskopi Serapan Ultraviolet-Tampak (UV-Vis)

Spektrofotometer ultraviolet merupakan teknik analisis

spektroskopi yang terjadi karena eksitasi molekul dari tingkat

energi dasar ke tingkat energi yang lebih tinggi setelah

mengabsorbsi sinar tampak (Hendayana, dkk., 1994).

Penyerapan sinar uv-vis dibatasi pada sejumlah gugus

fungsional/gugus kromofor (gugus dengan ikatan tidak jenuh) yang

mengandung elektron valensi dengan tingkat eksitasi yang rendah.

32
Dengan melibatkan 3 jenis elektron yaitu : sigma, phi, dan non

bonding elektron. Kromofor-kromofor organik seperti karbonil,

alken, azo, nitrat, dan karboksil mampu menyerap sinar ultraviolet

dan sinar tampak. Panjang gelombang maksimal dapat berubah

sesuai dengan pelarut yang digunakan. Auksokrom adalah gugus

fungsional yang mempunyai elekron bebas, seperti hidroksil,

metoksi, dan amina. Terikatnya gugus auksokrom pada gugus

kromofor akan mengakibatkan pergeseran pita absorpsi menuju ke

panjang gelombang yang lebih besar (batokromik) yang disertai

dengan peningkatan intensitas (hiperkromik).

Gambar 5. Skema spektrofotometer

Macam-Macam Pergeseran pada Spektrum UV-VIS, terdiri

dari :

(1). Batokromik, yaitu pergeseran menuju  yang lebih tinggi.

(2). Hipsokromik, yaitu pergeseran menuju  yang lebih pendek.

(3). Hiperkromik, yaitu pergeseran yang mengalami peningkatan

absortivitas molar.

(4). Hipokromik, yaitu pergeseran yang mengalami penurunan

absortivitas molar.

33
Pengukuran Spektrofotometer ultraviolet ditunjukkan untuk

mengetahui gugus kromofor yang terdapat dalam senyawa hasil

isolasi yang hasil data spektranya digunakan dalam karakterisasi

senyawa (Suwarso, 2004). Serapan ultraviolet mempunyai

keuntungan yang selektif yaitu gugus-gugus karakteristik dapat

dikenal dalam molekul-molekul yang sangat kompleks.

Ada tiga macam distribusi elektron di dalam suatu molekul

organik secara umum, yang selanjutnya dikenal sebagai orbital

elektron pi (), sigma (), dan elektron tidak berpasangan (n).

Eksitasi yang terjadi antara eksitasi elektron (*) diberikan

oleh ikatan tunggal seperti alkana, sedangkan eksitasi elektron

(*) diberikan oleh ikatan rangkap dua atau tiga seperti alkena

dan alkuna. Untuk eksitasi elektron (n* dan n  *) biasanya

terjadi pada gugus karbonil dalam rentang panjang gelombang

antara 280-290 nm (Mulja, 1995).


* (Antibonding)

* (Antibonding)

E n (non bonding)
N
E  (bonding)

R  (bonding)
G
I Gambar 6. Eksitasi elekton dalam spektroskopi UV-VIS

34
Spektroskopi UV–Vis merupakan metode yang berguna

untuk mengidentifikasi jenis flavonoid. Senyawa flavonoid

mempunyai spektrum yang khas, yaitu terdiri atas dua rentangan

spektrum pita I dan pita II. Pita I yaitu panjang gelombang

maksimum pada daerah antara 300-550 nm, sedangkan pita II yaitu

panjang gelombang maksimum pada daerah antara 240-285 nm.

Beberapa rentangan serapan spektrum UV–Vis senyawa flavonoid

dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Rentangan serapan spektrum UV-Vis senyawa flavonoid

No. Pita II (nm) Pita I (nm) Jenis Flavonoid


1. 250–280 310–350 Flavon
2. 250–280 330–360 Flavonol (3–OH
tersubstitusi)
3. 250–280 350–385 Flavonol (3–OH bebas)
4. 245–275 310–330 bahu Isoflavon
+320 puncak Isoflavon (5–deoksi–
6,7–dioksigenasi)
5. 275–295 300–330 bahu Flavanon dan
dihidroflavonol
6. 230–270 340–390 Khalkon
(kekuatan
rendah)
7. 230–270 380–430 Auron
(kekuatan
rendah)
8. 270–280 465–560 Antosianidin dan
antosianin
(Sumber: Markham, 1988)

b) Spektroskopi Infra Merah (IR)

Spektroskopi Inframerah (IR) adalah instrumen yang

digunakan untuk mengukur serapan radiasi inframerah pada

berbagai panjang gelombang. Fungsi utama dari spektroskopi

35
inframerah adalah untuk mengetahui gugus fungsional seperti

C=O, C=C, –OH, dan lain-lain dalam suatu senyawa organik

(Anwar, dkk., 1994).

Analisis senyawa dengan menggunakan spektrofotometri

inframerah didasarkan pada vibrasi dari gugus fungsional dari

suatu senyawa. Radiasi IR yang digunakan untuk analisis

instrumental adalah radiasi IR yang rentang bilangan

gelombangnya antara 4000-670 cm-1. Radiasi pada rentang 4000

hingga 1600 cm-1 disebut daerah gugus fungsi, sedangkan radiasi

pada rentang antara 1600-670 cm-1 disebut daerah sidik jari.

Radiasi yang diserap oleh molekul seperti –OH dan –NH

terdapat pada daerah 3000-3700 cm-1, C–C aromatik terdapat pada

daerah 1450-1600 cm-1, C=C pada daerah 1705-1750 cm -1, C–H

aromatik menghasilkan puncak pada gelombang 3000-3100 cm-1

disertai dengan keluarnya overtone pada panjang gelombang

2000-1650 cm-1 (Fessenden & Fessenden, 1986). Beberapa pita

absorpsi senyawa flavonoid spektroskopi IR menurut Said, dkk.,

(1985) dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Pita absorpsi infra merah senyawa flavonoid

No. Gugus Fungsional Posisi Absorpsi (cm–1) Intensitas


1. C–H aromatik 3030 sedang
2. C=C aromatik 1600, 1580, 1500, 1450 sedang
3. C=O
(aldehid aromatis) 1715 – 1695 kuat
(keton aromatis) 1700 – 1680 kuat
4. –OH 3400 – 3200 lebar, kuat
(Sumber: Said, dkk., 1985)

36
c) Kromatografi Gas dan Spektroskopi Massa

(1) Kromatografi Gas

(a) Pengertian Kromatografi Gas

Kromatografi adalah suatu metoda pemisahan

campuran yang terdiri dari dua macam komponen atau

lebih berdasarkan distribusi diferensial diantara dua fasa

yaitu fasa diam (stationary phase) dan fasa gerak (mobile

phase). Disebut kromatografi gas bila fasa diam berupa

padatan atau cairan sedangkan fasa gerak berupa gas.

Berdasarkan kombinasi antara fasa diam dan fasa

gerak maka kromatografi gas (KG) dapat dibedakan

menjadi dua macam. Pertama adalah kromatografi gas

padatan (gas solid chromatography) yang disusun dari

suatu fasa diam berupa padatan dan fase gerak berupa gas.

Pemisahan suatu campuran dengan sistem kromatografi gas

padatan didasarkan pada perbedaan absorpsi suatu

komponen. Jenis yang kedua dikenal dengan nama

37
kromatografi gas-cairan (KCG) atau Gas Liquid

Chromatography. Dalam hal ini fasa diam berupa cairan

dan fasa gerak adalah gas. Pemisahan campuran dengan

sistem KCG didasarkan pada perbedaan partisi komponen

didalam fasa diam.

Pada dasarnya komponen penting yang harus ada

dalam setiap alat KG adalah (1) tangki gas pembawa yang

dilengkapi dengan pengatur tekanan. Fungsi gas pembawa

adalah mengangkut cuplikan dalam kolom detector. Gas

yang dipakai dalam KG harus bersifat inert (tidak bereaksi

dengan cuplikan dan fasa diam) dan sangat murni.

Kemurnian gas pembawa yang layak untuk KG adalah

99,9999%. Beberapa gas pembawa yang sering digunakan

untuk KG adalah nitrogen, hidrogen, helium, dan argon. (2)

tempat memasukkan cuplikan. (3) kolom (4) detector.

Untuk lazimnya 2, 3, dan 4 berada dalam suatu tempat yang

suhunya dapat diatur menggunakan thermostat. (5)

pemerkuat arus (amplifier), dan (6) recorder atau integrator.

Beberapa alat dilengkapi juga dengan pemrosesan data

yang menggunakan komputer pribadi (personal computer).

(b) Waktu retensi

Waktu yang diperlukan suatu senyawa mulai dari

saat disuntikkan sampai tereluasi disebut sebagai waktu

38
retensi. Pada kondisi tertentu (jenis dan laju alir gas

pembawa, suhu, panjang dan jenis kolom, dan suhu

injector) yang konstan, waktu retensi dari setiap senyawa

memiliki nilai yang konstan pula.

(c) Analisis kualitatif

Salah satu kelemahan dari kromatografi gas adalah

tidak dapat memberikan informasi mengenai identitas

senyawa yang telah dipisahkan. Satu-satunya informasi

adalah waktu retensinya. Analit yang diduga mengandung

senyawa X dibandingkan waktu retensinya dengan senyawa

X murni. Cara lain adalah menggunakan standar adisi, yaitu

menambahkan senyawa standar satu persatu dan

mengidentifikasikannya dengan alat lain, misalnya IR,

NMR, atau GC-MS. Analisis dengan cara terakhir hanya

dapat dilakukan jika detector yang digunakan adalah TCD

bukan FID.

(d) Analisis Kuantitatif

Luas area pada puncak kromatogram berbanding

langsung dengan jumlah senyawa yang tereluasi (keluar

dari kolom). Dengan demikian persen komposisi masing-

masing senyawa yang ada dalam analit dapat dilakukan

dengan membandingkan luas areanya. Metode yang paling

39
sederhana adalah dengan cara mengalikan tinggi puncak (h)

kromatogram mulai dari garis dasar dengan lebar puncak

pada setengah tinggi puncak (w1/2). Cara ini hanya dapat

digunakan apabila puncaknya simetris. Jika puncaknya

asimetris maka cara terbaik adalah menggunting puncak

tersebut dan menimbangnya dengan timbangan analitik,

karena berat per area kertas tersebut adalah konstan.

Perdandingan area yang dihasilkan adalah sama dengan

perbandingan beratnya. Untuk memperoleh persen

komposisi setiap senyawa, mula-mula dijumlahkan semua

berat puncak yang ditimbang, selanjutnya masing-masing

puncak dibagi dengan berat keseluruhan dan dikalikan

100%. Jika puncaknya overlap maka kondisi dari

kromatografi gas harus disesuaikan dahulu untuk

memperoleh resolusi yang baik. Rumus untuk menghitung

resolusi adalah :

(tr2  tr1 )
R2
( w1  w2 )

(2) Spektroskopi Massa

Spektroskopi massa adalah suatu teknik analisis

instrumental yang dipakai untuk identifikasi dan penentuan

struktur dengan cara menunjukkan massa relatif dari molekul

dan fragmentasinya. Spektrum massa diperoleh dengan

mengubah senyawa suatu sampel menjadi ion-ion yang

40
bergerak cepat yang dipisahkan berdasarkan perbandingan

massa terhadap muatan (m/e). Proses ionisasi menggunakan

berkas elektron yang ditembakkan pada sampel sehingga

menghasilkan partikel-partikel bermuatan positif, dimana

massa yang terdistribusi adalah spesifik terhadap senyawa

induk (Khopkar, 2002).

Ion molekul (M+) biasanya tampak berupa puncak

utama pada spektroskopi massa aglikon, dan pengukurannya

secara tepat memungkinkan perhitungan susunan unsur

aglikon. Pengenalan M+ dibantu oleh kenyataan bahwa M+ ini

harus berupa bilangan massa genap. Selanjutnya M+ harus

menunjukkan bobot molekul inti flavonoid dasar (Markham,

1988). Beberapa bobot molekul inti flavonoid dasar dapat

dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Bobot molekul inti flavonoid dasar

No. Inti Flavonoid Dasar Bobot Molekul


1. Flavon 222
2. Isoflavon 222
3. Auron 222
4. Khalkon 224
5. Flavonol 238
6. Dihidroflavonol 240
(Sumber: Markham, 1988)

d) Spektroskopi NMR

Spektroskopi NMR didasarkan pada penyerapan

gelombang radio oleh inti-inti tertentu dalam molekul organik,

41
apabila molekul ini berada dalam medan magnet yang kuat.

Senyawa yang dipilih untuk titik rujukan adalah tetrametilsilana

(TMS), (CH3)4Si yang proton-protonnya menyerap pada ujung

kanan dalam spektrum NMR. Absorpsi kebanyakan proton lain

dijumpai di bawah medan absorpsi TMS.

Dalam praktek, TMS ditambahkan langsung pada contoh

dan peak TMS bersama dengan peak-peak absorpsi dari senyawa

contoh diperoleh dalam spektrum. Selisih antara posisi absorpsi

TMS dan posisi absorbsi suatu proton tertentu disebut geseran

kimia (chemical shift).

Berdasarkan prinsip penggunaannya terdapat dua macam

NMR yaitu NMR proton atau 1H-NMR dan NMR karbon atau 13C-

NMR. Spektroskopi proton memberikan informasi struktural

mengenai atom-atom hidogen dalam sebuah molekul organik.

Spektroskopi 13C–NMR menghasilkan informasi mengenai karbon-

karbon dalam sebuah molekul organik. Pergeseran-pergeseran

kimia dalam 13C–NMR jauh lebih besar daripada pergeseran yang

dijumpai dalam 1H–NMR (Fessenden & Fessenden, 1986).

Pada spektroskopi NMR proton, suatu proton dengan

lingkungan tertentu memiliki pergeseran kimia yang tertentu pula.

Harga pergeseran kimia proton-proton senyawa organik terjadi

pada daerah 0-10 ppm. Beberapa daerah pergeseran kimia dalam

spektrum 1H–NMR dapat dilihat pada Tabel 5.

42
Tabel 5. Absorpsi spektrum 1H–NMR untuk atom hidrogen

No. Jenis Struktur H (ppm)


1. CH3–C– (jenuh) 0,95 – 0,85
2. –CH2– 1,35 – 1,20
3. –C–H (jenuh) 1,65 – 1,40
4. CH3–C=C– 1,90 – 1,60
5. CH3–C=O 2,60 – 2,10
6. R–OH 9,90 – 9,10
7. CH2=C (tak terkonjugasi) 5,00 – 5,60
8. CH2=C (terkonjugasi) 5,70 – 5,30
9. HC=C– (siklik, tak terkonjugasi) 5,70 – 5,20
10. HC=C– (asiklik, tak terkonjugasi) 5,70 – 5,20
11. COOH 8,20 – 8,00
(Sumber: Sudjadi, 1985)

Spektroskopi NMR karbon juga memberikan spektrum

posisi absorbsi karbon berdasarkan jenis ikatan yang menyusun

senyawa tersebut, sehingga setiap atom karbon berlainan yang


13
akan memberikan sinyal. Resonansi untuk C–NMR berada di

daerah 0-200 ppm. Beberapa daerah pergeseran kimia dalam


13
spektrum C-NMR dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Absorpsi spektrum 13C–NMR untuk atom karbon

No. Jenis Struktur C (ppm)


1. C–alkil 0 – 50
2. C–alkena 100 – 150
3. C–ester 150 – 175
4. C–aldehid dan keton 175 – 200
(Sumber: Sudjadi, 1985)

43
I. KERANGKA KONSEPTUAL PENELITIAN

Fakta: Harapan:
- Senyawa antioksidan alami tumbuhan umumnya Pada tumbuhan paku perak dapat
ditemukan sebagai senyawa fenolik atau polifenolik diperoleh senyawa flavonoid yang
yang dapat berupa golongan flavonoid, turunan asam
digunakan sebagai antioksidan alami
sinamat, kumarin, tokoferol, dan asam-asam organik
polifungsional.
- Senyawa fenolik tersebut bersifat sebagai penangkap
radikal bebas
- Pityrogramma calomelanos (L.) Link merupakan
tumbuhan liar yang melimpah di Indonesia
- Belum ada penelitian tentang kandungan senyawa
flavonoid tumbuhan paku perak dari ekstrak aseton yang
digunakan sebagai antioksidan alami

1. Bagaimanakah struktur molekul senyawa flavonoid dari ekstrak aseton pada


bagian aerial tumbuhan paku perak (Pityrogramma calomelanos (L) Link)?
2. Bagaimana aktivitas antioksidan yang terdapat dalam ekstrak aseton pada bagian
aerial tumbuhan paku perak (Pityrogramma calomelanos (L) Link)?

Teori: Penelitian terdahulu:


- Isolasi adalah proses pemisahan suatu - Senyawa flavonoid jenis calkon yakni
zat dari bagian tertentu suatu sampel 2’,6’-dihidroksi-4’-metoksi-dihidrokalkon
dengan cara-cara tertentu. telah dapat dipisahkan dari Pityrogramma
- Berdasarkan hasil penelusuran literatur calomelanos (Suyatno, dkk, 2009).
diketahui bahwa dalam tumbuhan paku - Senyawa flavonoid jenis flavanon
terdapat senyawa flavonoid jenis (4’hidroksi-3 metil-5’,7’ dimetoksi
flavanon, flavonol, calkon, antosiani- Flavanon) telah ditemukan positif
din, leukoantosianidin, serta flavonoid mempunyai aktivitas antioksidan melalui
glikosida. uji DPPH dari ekstrak metanol batang
tumbuhan paku Chingia sakayensis
(Zeiller) Holtt (Saputri, 2005).

Isolasi dan Karakterisasi Senyawa Flavonoid dari Ekstrak Aseton pada Bagian aerial
Tumbuhan Paku Perak (Pityrogramma calomelanos (L) Link) Dan Uji Aktivitas
Pendahuluannya Sebagai Antioksidan

Gambar 7. Kerangka konseptual penelitian

44
J. METODOLOGI PENELITIAN

1. Sasaran Penelitian

Sasaran penelitian ini adalah senyawa flavonoid dari bagian aerial

tumbuhan paku perak (Pityrogramma calomelanos) yang diuji aktivitas

antioksidannya melalui uji pendahuluan dengan menggunakan DPPH.

2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Dalam

penelitian ini akan dideskripsikan tentang cara mengisolasi, penentuan

struktur molekul senyawa flavonoid hasil isolasi dari ekstrak aseton bagian

aerial tumbuhan paku perak (Pityrogramma calomelanos) dan menguji

aktivitas antioksidan hasil isolat dengan menggunakan DPPH sebagai uji

pendahuluan.

3. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Penelitian Kimia FMIPA

Universitas Negeri Surabaya pada bulan Februari-Juli 2009.

4. Instrumen Penelitian

a. Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini digolongkan

menjadi dua bagian, yaitu :

1) Bagian peralatan yang digunakan untuk isolasi senyawa meliputi

alat ekstraksi maserasi, rotary vacum evaporator, seperangkat alat

45
KLT, seperangkat alat kromatografi cair vakum, dan seperangkat

alat kromatografi kilat.

2) Bagian peralatan yang digunakan untuk mengidentifikasi isolat

meliputi Fisher John Melting Point dan spektroskopi UV-Vis, IR,


1
H-NMR, 13C-NMR, dan MS.

b. Bahan

Bahan-bahan kimia yang dipakai adalah aseton teknis, aseton p.a,

metanol p.a, kloroform p.a, kieselgel 60 GF-254, silika gel G 60

63-200 m, pelat KLT kieselgel 60 GF-254, pita logam Mg, HCl

pekat, dan larutan FeCl3 5% dalam etanol, DPPH.

5. Prosedur Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan tahap sebagai berikut:

a. Tahap Pengumpulan dan Persiapan Sampel Tumbuhan Paku

Perak

Sampel bagian aerial tumbuhan paku perak (Pityrogramma

calomelanos (L) Link) yang diambil dari desa Sawahan, kecamatan

Sawahan, kabupaten Nganjuk, Jawa Timur,  3 kg bagian aerial

tumbuhan paku perak (Pityrogramma calomelanos) segar dikeringkan

dengan cara diangin-anginkan dan kemudian digiling hingga berbentuk

serbuk. Serbuk kering yang dihasilkan dari bagian aerial tumbuhan

paku perak ini sebanyak 640 gram.

b. Tahap Isolasi Senyawa dari Ekstrak Aseton

46
Sebanyak 640 g serbuk kering bagian aerial tumbuhan paku

perak (Pityrogramma calomelanos) dimaserasi 3 x 24 jam berturut-

turut menggunakan pelarut n-heksana, etil asetat, dan aseton. Ekstrak

aseton diuapkan dengan rotary vacum evaporator untuk memperoleh

ekstrak aseton pekat dan hasilnya ditimbang untuk mengetahui berat

ekstrak. Memisahkan senyawa yang ada dalam ekstrak aseton melalui

kromatografi cair vakum (eluen yang digunakan adalah kloroform p.a,

dan kombinasi kloroform p.a-metanol p.a) kromatografi kilat (eluen

yang digunakan adalah dan kombinasi kloroform p.a-aseton p.a). Hasil

kromatografi dimonitoring dengan KLT. Senyawa hasil isolasi yang

diperoleh dikristalkan dengan menggunakan pelarut yang sesuai. Isolat

yang dihasilkan diuji kemurniannya dengan KLT menggunakan eluen

(kloroform p.a : metanol p.a = 9 : 1) dan dengan penentuan titik leleh.

Isolat yang sudah murni diuji kualitatif dengan pereaksi FeCl3 dan

Shinoda test.

c. Tahap Karakterisasi Senyawa Hasil Isolasi

Penentuan struktur molekul diperoleh melalui beberapa tahap

pengukuran spektroskopi untuk mendapatkan data spektrum, yaitu:

1) Dianalisis dengan spektroskopi UV-Vis untuk menentukan gugus

kromofornya.

2) Dianalisis dengan spektroskopi IR untuk menentukan gugus

fungsinya.

47
1
3) Dianalisis dengan spektroskopi H–NMR untuk memberikan

gambaran mengenai atom-atom hidrogen dalam sebuah molekul.


13
4) Dianalisis dengan spektroskopi C–NMR untuk mengetahui

jumlah atom karbon dalam molekul.

5) Dianalisis dengan spektroskopi massa untuk menentukan massa

relatif dari molekul dan fragmentasinya.

d. Tahap Uji Pendahuluan Aktivitas Antioksidan Senyawa Hasil

Isolasi

Proses pengujian aktivitas pendahuluan antioksidan dilakukan

dengan DPPH menggunakan metode KLT autografi. Sebanyak 1 mg

isolat flavonoid dilarutkan dalam 1 ml metanol. Selanjutnya campuran

ditotolkan pada pelat kromatografi lapis tipis dan di elusi dengan eluen

yang sesuai. Kromatogram disemprot dengan larutan DPPH 0,004%

dalam metanol. Uji ini positif terhadap aktivitas antioksidan jika

diperoleh bercak kuning berlatar ungu pada kromatogram.

48
6. Kerangka Operasional Penelitian

640 gram sampel serbuk kering bagian


aerial tumbuhan paku perak
- Dimaserasi dengan pelarut n – heksana selama
3 x 24 jam
- Disaring secara vakum

Residu Ekstrak n - heksana

- Dimaserasi dengan pelarut etil asetat selama 3 x 24 jam


- Disaring secara vakum

Ekstrak etil asetat Residu

- Dimaserasi dengan pelarut aseton selama 4 x 24


jam
- Disaring secara vakum

Ekstrak aseton Residu

- Diuapkan dengan rotary vacum evaporator


Ekstrak aseton pekat

- Dipisahkan dengan cara kromatografi (KCV, KKG, atau KK)


- Hasil kromatografi dimonitoring dengan KLT
- Dimurnikan dengan cara rekristalisasi
Isolat murni

- Diuji kemurnian dengan KLT menggunakan eluen


(kloroform p.a : metanol p.a = 9 : 1) dan dengan penentuan titik leleh
- Diuji kualitatif dengan pereaksi FeCl3 dan Shinoda test
flavonoid Uji DPPH
Positif atau negatif terhadap antioksidan
- Dianalisis dengan spektroskopi (UV–Vis, IR, 1H–NMR, 13C–NMR
dan MS)

Struktur senyawa hasil isolasi

Gambar 8. Kerangka operasional penelitian

49
7. Teknik Analisis Data

Data-data yang diperoleh dari penentuan titik leleh, KLT, uji

kualitatif FeCl3, Shinoda test, spektrum UV-Vis, IR, 1H–NMR, 13C–NMR,

dan GC-MS, digunakan untuk menganalisis struktur molekul senyawa

hasil isolasi, selanjutnya isolat diuji dengan menggunakan DPPH untuk

mengetahui aktifitas antioksidan yang dimiliki isolat.

8. Jadwal Penelitian

Bulan ke –
No. Jenis Kegiatan
1 2 3 4 5 6
1. Pembuatan proposal 

2. Penyiapan alat dan bahan 

3. Ekstraksi 

4. Kromatografi dan pemurnian  

5. Karakterisasi senyawa isolat 

6. Penyusunan laporan 

DAFTAR PUSTAKA

50
Abdurahim, D. 2006. Paku-pakuan_Tugas Tanaman dan Sistem Ruang Terbuka
Hijau. http://www.freewebs.com/arl_ipb_2006. Diakses tanggal 3 Maret
2009.

Achmad, S. A. 1986. Kimia Organik Bahan Alam. Jakarta: Universitas Terbuka.

Adam, K. P. 1999. Phenolic Constituents of the Fern Phegopteris connectilis.


Phytochemistry. 52 (3) 929–934.

Anwar, C., Purwono, B., Pranowo, H. T., & Wahyuningsih, T. D. 1994. Pengantar
Praktikum Kimia Organik. Yogyakarta: FMIPA UGM.

Belitz, H.D. & Grosch, W. 1987. Food Chemistry. New York: Marcel Dekker. Inc.

Blois, M.S. 1958. Antioxidant Determinations by the Use of a Stable Free


Radical. Nature. 181. 1199-1200

Burhan, R. Y. P., & Zetra, Y. 1997. Pencarian Bahan-bahan Kimia Berguna dari
Tumbuhan Paku-pakuan Sebagai Sumber Prekursor Senyawa Penanda
Biologik. Laporan Penelitian. Surabaya: Lembaga Penelitian ITS Surabaya.

Conforti, F. 2002. Antioxidant Activity of Methanolic Extract of Hypericum


triquetrifolium Turra Aerial Part, Fitoterapia. 73. 479-483.

Fessenden, R. J., & Fessenden, J. S. 1986. Kimia Organik. Jilid 1. Edisi Ketiga.
Penerjemah: Aloysius Hadyana Pudjaatmaka. Jakarta: Erlangga.

Fagliano, V. 1999. Method for Measuring Antioxidant Activity and Its Application
to Monitoring the Antioxidant Capacity of Wine. J. Agric. Food. Chem. 4.
1035-1040.

Halliwell, B., Gutteridge, J.M.C., & Cros, C.E. 1992. Free Radicals, Antioxidant
and Human Disease. Journal of Laboratory Clinical Medicine. 119 (6) 598-
620.

Harborne, J. B. 1996. Metode Fitokimia, Penuntun Cara Modern Menganalisis


Tumbuhan. Penerjemah: Kosasih Padmawinata dan Iwang Sudiro. Bandung:
ITB.

Hegnauer, R. 1968. Pterydophyta, Chemotaxonomic der Pflazen. Band I. Basel


Stuttgart: Birkhauser Verlag.

Hendayana, S., Asep K., A. A. Sumarna, & Asep, S. 1994. Kimia Analitik
Instrumen. Edisi I. Semarang: IKIP Semarang Press.

51
Hostettmann, K., Hostettmann, M., & Marston, A. 1995. Cara Kromatografi
Preparatif. Penggunaan Pada Isolasi Senyawa Alam. Penerjemah: Kosasih
Padmawinata. Bandung: Penerbit ITB.

Imperato, F. 1996. Kaempferol 3-O-(5”-feruloylapioside) from Pteridium


aquilinum. Phytochemistry. 43 (6). 1421–1423.

Imperato, F. 1997. Rhamnetin 3-O-Laminaribioside from Pteridium aquilinum.


Phytochemistry. 45 (8). 1729–1730.

Imperato, F. 1998. Kaempferol 7-O-Rhamnoside-4’-O-Glucoside from Pteridium


aquilinum. Phytochemistry. 47 (5). 911–913.

Khopkar, S. M. 1990. Konsep Dasar Kimia Analitik Cetakan I. Penterjemah : A.


Saptorahardjo. Jakarta: UI-Press.

Kochar, S.P., & Rosell, B. 1990. Detection Estimetionand Evaluation of


Antioxidant in Food System. In Food Antoxidant. Hudson, B.J.F. (Ed).
London : Elvisier Applied Science.

Langseth, L. 1995. Oxidant, Antioxidant, and Disease Prevention. International


Life Science Institute Press. Belgium.

Machlin, L.J. 1992. Implication for the Biomedical Field. Antioxidant: Chemical,
Physiological, Nutritional, and Toxicological Aspect, Pricenton, NJ: Priceton
Scientific Publishing. 1992: 383-387 In: Langseth, L. 1995. Oxidant,
Antioxidant, and Disease Prevention. International Life Science Institute
press. Belgium.

Markham, K.R. & Wallce, J.W. 1980. C-Glycosylxanthone and Flavonoid


Variation within Filmy-Ferns Hymenophyllaceae. Phytochemistry. 19.415.

Markham, K. R. 1988. Cara Mengidentifikasi Flavonoid. Penerjemah: Kosasih


Padmawinata. Bandung: ITB.

Minami, H. 1996. Novel Prenylated Xanthones with Antioxidant Property from


the Wood of Garcinia Subelliptica. Chem. Pharm. Bull. 53. 111-114.

Mulja, M., & Suharman. 1995. Analisis Instrumental. Surabaya: Airlangga


University Press.

Munim, A., Azizahwati, Trastiana. 2003. Antioxidative Compound From


Crotalaria sessiliflora. Biosci, Biotech, Biochem. 67. 410-414
Pietta, P. 1999. Flavoniods as Antioxidants. Journal of Natural Product. 63. 1035-
1042.

52
Piggot, A.G. 1988. Fern of Malaysia. Kuala Lumpur. Malaysia.

Poumorad, F., Hosseinimehr, S.J., & Shahabimajd, N. 2006. Antioxidant Activity,


Phenol and Flavonoid Contents of Some Selected Iranian Medicinal Plants.
African Journal Of Biotechnology. 11. 1142-1145.

Pratt, D.E. & Hudson, B.J.F. 1990. Natural Antioxidants not Exploited
Comercially. In Food Antioxidants. Hudson B. J. F. (Ed). London: Elsevier
Applied Science.

Reynertson, K.A.. 2007. Phytochemical Analysis of Bioactive Constituens from


Edible Myrtaceae Fruit. Dissertation. New York : The City University of
New York.

Said, M., Sastrawijaya, A. T., Habiburrahman, Hanida, S., Arbi, M., Astutik, S. P.,
Suharman, Surodjo, S., Sudhinna, K., Sugiarto, B., Syarief, S. H., Zaen, W.,
Yamamoto, M., & Yamada, K. 1985. Penentuan Struktur Molekul. Surabaya:
Jurusan Kimia IKIP Surabaya.

Saputri, H. 2006. Penentuan Struktur Molekul Senyawa Flavonoid yang Dominan


Hasil Isolasi dari Batang Tumbuhan Paku Chingia Sakayensis (Zeiller)
Holtt dan Uji Pendahuluannya Sebagai Antioksidan. Skripsi. Surabaya :
Universitas Negeri Surabaya.

Sastroamidjojo, H. 1991. Spektroskopi. Yogyakarta : Liberty.

Sing, P. R. 1980. Experimental Organic Chemistry. New York: Mc Graw Hill


Publishing Company Ltd.

Sudjadi. 1985. Penentuan Struktur Senyawa Organik. Bandung: Ghalia Indonesia.

Suyatno, Hidajati, N., & Effin, A.Y. 2009. Senyawa Dihidrocalkon dari Tumbuhan
Paku Perak (Pityrogramma calomelanos). Prosiding Seminar Nasional
Kimia. Jurusan Kimia FMIPA Institut Teknologi Sepuluh Nopember.

Suyatno., & Zaini, N. C. 2003. Isolasi, Karakterisasi dan Uji Bioaktivitas


Senyawa Flavonoid dari Daun Tumbuhan Paku Chingia sakayensis (Zeiller)
Holtt. Prosiding Seminar Nasional Himpunan Kimia Indonesia. Jurusan
Kimia FMIPA Universitas Negeri Malang.

Suyatno, Rukmaningsih, Zaini, N. C., & Tori M. 2003. A Flavonol Compound


from Chingia sakayensis (Zeiller) Holtt and Its Activity as DPPH Free
Radical Scavenger. Indonesian Journal of Chemistry. 3 (3) 145–148.

53
Sutoyo, S., Indrayanto, G., &n Zaini, NC. 2007. Chemical Constituents of
Chingia sakayensis (Zeiller) Holtt. Natural Product Communications. 2 (5)
579-580.

Suwarso, W.P. 2004. Lichen, Tanaman Suku Rendah yang Berpotensi sebagai
Sumber Senyawa Nimia Bahan Alam Baru yang Berkhasiat sebagai Obat.
Depok : Universitas Indonesia.

Vassange, M., Liu, B., Welchi, C. J., Kolfsen, W., & Bohlin, L. 1997. the
Flavonoid Constituents of Two Polypodium sp. (Calaguala) and their Effect
on the Elastase Release in Human Neutrophils. Planta Medica. 63. 511-517.

Vaya, J., & Aviram, M. 2001. Nutritional Antioxidant : Mechanism of Action,


Analyses of Activities and Medical Applications. Curr. Med. Chem-Imm,
Endoc, dan Metab, Agents. 1. 99-117.

Veit, M., Abou–Mandour, A. A., & Czygan, F.C. 1991. Phenolics from
Gametophytes of Equisetum arvense. Planta Medica. 57. A 36.

Wada, H., Fujita H., Murakami, T., Saiki, Y., & Chen Chiu–Ming. 1987. Chemical
and Chemotaxonomical Studies of Ferns. New Flavonoids with Modified B–
Ring from the Genus Pseudopteris (Thelypteridaceae). Chem. Pharm. Bull.
35 (12) 4757–4762.

Winarsi, H. 2007. Antioksidan Alami & Radikal Bebas (Potensi dan Aplikasinya
dalam Kesehatan). Yogyakarta: Kanisius.

Windono, T. 2000. Studi Hubungan Struktur Aktivitas Kapasitas Peredaman


Radikal Bebas Senyawa Favonoid terhadap DPPH. Artocarpus . 4 (2) 47-52

54

Anda mungkin juga menyukai