Anda di halaman 1dari 18

Lalu pelajarannya apa : ketika aku tdk hadir sepenuhnya di saat, tempat, komunitas atau kondisi apapun

sekarang. Maka aku akan kehilangan semuanya. Di sini lenyap, disana pun tak menentu.

Ketika pikiran tdk tenang, kaku (harus begini-harus begitu). Sedikit sj, ada suara dr luar ia
mengguncangkan. Tdk sedikit yg membawa kpd kehancuran. Keep it clear, keep it calm, keep it happy.

Api, hanya padam dg air…

Jgn dikurangi sedikit pun, bahkan ditambah………semakinnnnnnnn besar. Slalu ingat, tanpa syarat!!!

Segala sesuatu bukan kepunyaan kita..!!!

Mengalir, mengalir & mengalir sj…mengikuti kemana sj di bawanya. Entah kebahagiaan/kesedihan yg di


dpt, tiada mungkin diri ini bs menolaknya. Jalani dg tulus dan ikhlas, Semoga dimampukan serta
diberkati-Nya..

Tarian Belas Kasih

“Kenapa memaafkan serta menerima


kehidupan secara ikhlas dalam praktik sulit sekali?”, ini pertanyaan banyak sekali sahabat.
Sejujurnya, kesulitan memaafkan dan ikhlas dalam praktik keseharian tidak disebabkan oleh
besarnya kesalahan orang, melainkan lebih disebabkan oleh besarnya ego seseorang.

Begitu ego mengecil, apa lagi menghilang, memaafkan dan ikhlas secara alamiah jadi jauh lebih
mudah. Pertanyaannya kemudian, dari mana asal muasal ego? Meminjam dari The Book of
Mirdad: “tatkala Hawa digoda ular untuk memakan buah kesedihan dan kesenangan,
sesungguhnya ia sedang menyentuh akar terdalam dari dualitas”.

Dengan kata lain, bibitnya ego dan keakuan adalah dualitas. Banyak sekali manusia yang
mengira dirinya benar, kemudian bermusuhan berlebihan dengan pihak-pihak yang diyakini
salah. Berlimpah jumlah manusia yang merasa dirinya baik, kemudian menyerang mereka yang
diduga buruk.

Intinya sederhana, seseorang dipermainkan oleh dualitas. Dalam kehidupan pribadi, hampir
semua manusia mau kehidupan yang aman dan nyaman. Padahal, jangankan manusia biasa
bahkan nabi, avatara, bahkan Buddha pun tidak mengalami kehidupan yang sepenuhnya aman
dan nyaman.

Tercerahkan atau tidak, kehidupan senantiasa mengalir dari aman menuju tidak aman kemudian
aman lagi, dari nyaman menjadi tidak nyaman kemudian nyaman lagi. Itu sebabnya meditasi
bukan sebentuk ajaran yang bisa membuat manusia senantiasa aman dan nyaman. Melainkan
serangkaian ajaran yang membuat jiwa-jiwa memasuki gerbang ke-u-Tuhan.

Dalam bahasa psikologi, meditasi adalah serangkaian langkah untuk menjumpai diri yang lebih
dalam. Diri yang lebih dalam bukan badan, bukan pikiran, bukan perasaan, bukan kecerdasan.
Kata “bukan” sangat ditekankan di sini.

Sederhananya, apa pun pengalaman kekinian, dari kaki yang semutan sampai pikiran yang
damai, sambut mereka dengan kata “bukan”. Dengan cara ini, seseorang terus menerus menggali
diri yang semakin dalam dan semakin dalam lagi.

Guru zen Ezra Bayda punya tips yang layak dicoba. Setiap hari, di mana pun dan kapan pun,
terutama kalau Anda diganggu hal-hal ekstrim seperti terlalu sedih atau terlalu senang, belajar
melaksanakan latihan tiga nafas.

Misalnya Anda dimarahi oleh atasan, cepat terhubung dengan nafas selama tiga tarikan dan
hembusan nafas. Dalam waktu beberapa detik ini, belajar melihat kekinian tanpa penghakiman.
Ingat jiwa2 yang indah, dalam kemarahan atasan ada ketidaksempurnaan Anda.

Bila tekun dan tulus berpraktik sepert ini, seseorang sering berjumpa ke-u-Tuhan. Dan di rumah
ke-u-Tuhan, memaafkan dan ikhlas itu jadi jauh lebih mudah. Lebih dari sekadar mudah
memaafkan, di rumah ke-u-Tuhan kehidupan berubah wajah menjadi tarian belas kasih.
Kedamaian ada di sini untuk membimbing para mahluk berjumpa kedamaian yang sama.

Penulis: Gede Prama

Photo Courtesy: Twitter@Shedancestibet


—-
Pesan Gede Prama dalam bahasa Inggris bisa dibaca di bellofpeace.org, fb Home of Compassion
by Gede Prama, atau Twitter @gede_prama

Jadilah orang pertama yang menyukai tulisan ini


Apakah anda menyukai tulisan ini ?

Suka tulisan ini

Categories:

 spiritualitas
« Senyuman Paling Indah

Leave a response -
Name*

Email*

Website

Your response:

Privacy & Terms

Gentha Gede Prama: Shiva Di Dalam

Menurunnya pengaruh Amerika Serikat di berbagai


bidang dan krisis keuangan Eropa telah membawa dampak tidak kecil dalam hal bagaimana
Barat memandang pengetahuan hasil buatan mereka sendiri. Banyak murid bule asli Barat telah
menceritakannya secara mendalam di sesi meditasi. Salah satu peserta meditasi asli Denmark
(lulusan MBA dari Universitas Harvard dan pernah menjadi petinggi salah satu perusahaan
akuntansi teratas dunia) pernah bercerita di sesi meditasi di Bali Utara, ada yang hilang di tengah
mewahnya kehidupan materi di Barat. Lebih dari sekadar hilang, juga kering. Penulis buku The
Art of Starvation yakni Sheila MacLeod, bahkan terang-terangan menyebutkan, bila di Afrika
sana banyak manusia tidak bisa makan karena miskin, di Barat dalam jumlah yang terus menaik,
banyak manusia juga tidak bisa makan karena gangguan psikis seperti keterasingan, ketakutan
sampai kemarahan.

Menggali ke dalam

Semua ini memberi masukan, keyakinan diri berlebihan ala Descartes, cara berfikir mekanistik
ala Galileo, serta pendekatan rasionalistik ala Freud, tidak menerangi semua kegelapan.
Buktinya, buku-buku meditasi mendalam - sebagai bentuk penggalian ke dalam yang dulunya
disebut tahayul di Barat - tidak lahir di Timur tapi di Barat. Majalah yoga terbaik - salah satu arti
yoga adalah serangan sistimatik terhadap ego yang amat diagungkan di Barat - bernama Yoga
International juga terbit di Barat.

Ego sebagai penghalang pertumbuhan spiritual paling signifikan memiliki sejarah panjang di
Barat. Di awal abad ke 20 pernah terjadi, para fisikawan percaya tinggal tersisa sedikit lagi
bagian alam semesta yang belum bisa terjelaskan oleh sistim fisika Newton. Tapi keyakinan ini
tidak berumur lama, tatkala mekanika kuantum terlahir terbukti alam semesta berisi terlalu
banyak ketidakpastian. Fisikawan berpengaruh abad ini Albert Einstein pernah mengalami
ketakjuban mistik tatkala merenungkan alam semesta, kemudian sampai pada kesimpulan
menggetarkan: “Ternyata apa yang tidak bisa diketahui benar-benar ada. Ia muncul berbajukan
keindahan serta kebijaksanaan tertinggi. Inilah religiusitas sejati”.

Pelajaran yang bisa ditarik dari sini sederhana, betapa sedikitnya yang kita tahu tentang alam
semesta dan kehidupan. Kemudian menghadirkan bimbingan untuk secara rendah hati menggali
ke dalam. Semakin laparnya ilmuwan Barat yang mendalami kebijaksanaan Timur menunjukkan,
ada berlimpah sumber cahaya di dalam yang belum digali. Tiga puluh tahun lalu, mesin yang
digunakan untuk mengukur daya sembuh meditasi bernama EEG. Yang dituju adalah gelombang
alpha di otak. Dan ternyata benar, meditasi membantu manusia lebih sering istirahat di
gelombang alpha. Belakangan alat yang digunakan lebih canggih lagi yakni fMRI. Sejumlah
yogi Tibet dimasukkan ke mesin fMRI, dan ternyata meditasi cocok sekali dengan kesehatan
otak. Terutama karena meditasi selalu kembali ke tengah, sebuah keadaan yang cocok dengan
kesehatan otak (homestatis) yang juga menyukai titik tengah. Di suatu waktu, seorang yogi Tibet
diminta memeditasikan compassion (belas kasih), saat masih di dalam mesin fMRI dan ternyata
aktivitas neural di bagian otak tempat berfungsinya kedamaian meningkat hingga delapan ratus
persen.

Joseph Campbell dalam karyanya berjudul The Power of Myth pernah menulis: “There is a
center of quietness within which is to be held and known. If you lose that center, you are in
tension and begin to fall”. Ada pusat keheningan di dalam. Ia yang gagal menemukannya, akan
mengalami ketegangan dan kejatuhan. Salah satu penulis terjujur bernama Eric Weiner, setelah
berjalan mengelilingi dunia (ke India, Bhutan, Islandia, Swiss, Qatar, Thailand, dll) mencari
negara-negara yang dikira bahagia, kemudian menulis buku The Geography of Bliss. Dengan
nada menyesal ia menulis: “Buku-buku yang bertumpuk di perpustakaan itu telah lama menjadi
monumen kesedihan buat saya. Sedih karena setiap kali mengalami kemalangan, setiap kali itu
juga buku-buku itu memberitahu bahwa ketidakbahagiaan adalah tanda belum dalamnya
seseorang menggali ke dalam dirinya”.

Bunga Padma

Digabung menjadi satu, sejarah pengetahuan bergumam jelas sekali, lakukan penggalian ke
dalam, ke dalam dan ke dalam. Penekun meditasi menggali dengan meditasi, penekun yoga
menggali dengan yoga, demikian juga dengan yang lain. Bagi pemuja Shiva - karena semalam
umat Hindu merayakan maha Shivaratri - layak merenungkan penemuan fisikawan Fritjof Capra
dalam The Tao of Physics, yang menyebutkan: “semuanya adalah tarian Shiva”. Penderitaan
terjadi karena pikiran manusia kaku beku seperti es (baca: harus begini harus begitu), sementara
kehidupan senantiasa menari dan mengalir. Dengan menyadari bahwa semuanya tarian Shiva
yang sama, kemudian ada tawaran indah: mari menari (baca: mengalir).

Dengan seluruh bahan renungan ini, patut diungkapkan terimakasih mendalam ke salah satu
founding father kehidupan spiritual Bali di abad ke 11 (guru besar Mpu Kuturan), yang
meletakkan Shiva di pura Dalem. Sederhananya, Shiva tidak jauh-jauh. Bagi yang penggaliannya
ke dalam sudah mengagumkan melihat dengan mata sendiri: “Shiva ada di dalam”. Kesenangan-
kemalangan, kebahagiaan-kesedihan, bahkan kelahiran-kematian adalah hasil dari batin yang
meditasinya belum sempurna. Bagi yang sudah sempurna, bibirnya berhiaskan senyuman
permakluman, matanya memandang dengan pengertian, tangannya bergerak mewakili kasih
sayang. Terutama karena sudah melihat dan mengalami, ternyata semuanya adalah tarian
kesempurnaan yang sama. Brahmana berdoa, ksatria memimpin, wesya berdagang semuanya
adalah gerakan kesempurnaan yang sama.

Titipan pesan untuk sahabat yang meditasinya belum sempurna, hati-hati ada hukum sempurna
yang bekerja di alam. Bila menyentuh air basah, jika menyentuh api terbakar. Bila hidup lembut
mengalir seperti air, kesejukan sahabat kehidupan. Jika hidup panas penuh kemarahan seperti
api, maka kebakaran tamu kehidupan yang datang. Kapan saja seseorang bisa menyamai bunga
Padma, tidak tersentuh oleh air (baca: tidak sombong karena disebut lembut), tidak terkotori
lumpur (baca: tidak terlukai oleh api kemarahan orang lain), sekaligus memancarkan keindahan
kasih sayang, inilah yang disebut tulisan ini sebagai Shiva di Dalam. Ada banyak arti Shiva, di
jalan meditasi salah satu nama puncaknya bernama God Consciousness (kesadarah akan Tuhan).
Di tingkat kesadaran ini yang tersisa hanya cinta kasih, belas kasih, kebaikan yang alamiah.
Sealamiah daun yang berwarna hijau, senatural samudera yang berwarna biru.

Senyuman Paling Indah


“Bila tidak melaksanakan vegetarian, apakah
meditasinya akan terganggu?”, demikian seorang anak muda bertanya. Tidak makan daging tentu saja
baik. Terutama karena mengurangi rasa bersalah yang timbul di dalam hati. Tapi yang lebih baik lagi
adalah vegetarian di dalam pikiran (baca: pikiran yang tidak menghakimi).

Terlalu banyak sahabat yang mulutnya vegetarian, tapi pikirannya tidak vegetarian. Sebagai
akibatnya, perjalanan meditasinya penuh dengan halangan. Ini yang dialami oleh dua orang
murid zen yang meditasinya sulit bertumbuh.

Suatu hari dua murid ini melihat bendera sedang bergerak. Yang pertama menyebutkan kalau
yang bergerak adalah benderanya. Yang kedua menyimpulkan kalau yang bergerak adalah
anginnya. Maka ramelah perdebatan diantara mereka berdua. Bendera-angin, angin-bendera, dst.

Di tengah perdebatan yang memanas, tiba-tiba Guru mereka datang. Tatkala ditanya yang benar
yang mana, Gurunya kemudian menjawab: “yang bergerak adalah pikiran kalian”. Inilah ciri
pikiran yang tidak vegetarian, selalu bergerak lengkap dengan dialog dan perdebatan di dalam.
Ujungnya mudah ditebak, kedamaian menjauh.

Berbeda dengan perguruan tinggi di mana logika yang kuat diberi nilai tinggi, di jalan meditasi
logika yang terlalu kuat adalah serangkaian penghalang yang mengkhawatirkan. Dalam bahasa
yang indah: “logika adalah tongkat bagi jiwa-jiwa yang pincang, serta beban berat bagi jiwa-jiwa
yang sudah terbang”.

Itu sebabnya meditasi tekun sekali memberitahu untuk melewati logika, terutama dengan cara
menyaksikan. “Perhatikan pikiran sebagai pikiran, bukan sebagai kebenaran, begitulah cara
meditasi membebaskan banyak sekali jiwa”, demikian sering terdengar di sesi-sesi meditasi.

Tidak saja logika dilampaui, rasa juga dilampaui. Rasa sedih dilewati, rasa senang juga dilewati.
Sampai suatu hari mengalami, semuanya hanya gelombang-gelombang di permukaan. Dan
meditasi tidak menyarankan Anda menjadi gelombang, melainkan kembali ke rumah abadi
bernama samudra.

Di rumah abadi bernama samudra inilah kemudian seseorang bisa melihat secara jernih dan
bersih perjalanan dari tubuh personal ke tubuh interpersonal, kemudian istirahat indah di tubuh
kosmik. Di tubuh personal, seseorang mengira tubuh fisiklah diri mereka. Di tubuh interpersonal,
seseorang rindu pengakuan, kebersamaan.

Dan hanya di tubuh kosmik (baca: alam dan kehidupan) kemudian jiwa bisa melampaui logika
dan rasa. Kalau logika adalah tongkat bagi jiwa-jiwa yang pincang, rasa adalah perahu bagi jiwa-
jiwa yang belum pulang. Keduanya hanya kendaraan-kendaraan sementara.

Dan sesampai di rumah (home), kehidupan berubah wajah menjadi serangkaian senyuman. Masa
lalu membawa senyuman, masa depan menjanjikan senyuman, masa kini penuh senyuman.
Diantara semua senyuman, yang terindah adalah keheningan yang melahirkan cinta.

Burung Kedamaian

Seorang ibu yang suaminya baru wafat cerita di kelas


meditasi. Tiap kali ia masuk kamar di siang hari, selalu saja datang burung mengetuk jendela kamar.
Heran dengan kejadian yang berulang-ulang ini, ia kemudian bertanya: “apa pesan di balik ini?”. Dengan
tersenyum ada yang menjawab: “burung adalah malaikat sukacita yang ada di sini untuk mengingatkan
semua kalau kehidupan adalah nyanyian sukacita”

Diri yang beku

Sedihnya, teramat sedikit ada mahluk di alam ini yang mengerti kehidupan sebagai nyanyian
sukacita. Salah satu sebabnya, terlalu banyak manusia yang hidup dalam diri yang kaku dan
beku. Coba lihat ke dalam saat Anda mengalami penderitaan seperti ditinggal suami atau disakiti
musuh. Di dalam ada yang menolak dan melawan. Ia mirip dengan salju yang beku dan kaku.

Inilah diri kaku yang menghalangi banyak jiwa untuk melihat Tuhan sebagai cinta kasih. Ini juga
akar dari banyak sekali penderitaan. Dan praktik meditasi hadir seperti sinar matahari yang
menyinari salju yang kaku beku. Sederhananya, kapan saja penderitaan dan kesedihan
berkunjung, belajar hadir di tengah penderitaan, dekap kesedihan seperti mendekap bayi
menangis.

Pengertian hadir adalah hadir secara penuh dan utuh. Penderitaan tidak ditendang, rasa sedih
juga tidak dibuang. Hanya hadir di sana apa adanya. Rasa sedih, luka jiwa hanya didekap tanpa
penghakiman sama sekali. Dalam bahasa meditasi, semuanya dipeluk apa adanya.

Diri yang mengalir

Ezra Bayda memperkenalkan pendekatan tiga nafas. Kapan saja kesedihan dan penderitaan
berkunjung, belajar untuk hadir secara utuh dan penuh di tengah ruang kesedihan di dalam,
sekurang-kurangnya sejumlah tiga tarikan dan hembusan nafas. Tarik nafas, rasakan kesedihan
tanpa penghakiman. Hembuskan nafas, rasakan kesedihan tanpa penghakiman.

Orang biasa cenderung lari dari kesedihan. Sebagian orang bahkan dibawa lari oleh penderitaan
sehingga melakukan hal berbahaya seperti bunuh diri. Meditasi lain lagi, kesedihan didatangi,
penderitaan didekap. Ia mirip dengan seorang ibu yang mendekap putra tunggalnya yang sedang
menangis.

Dengan cara ini, diri yang kaku beku disinari cahaya matahari kesadaran. Sebagai hasilnya, lahir
diri yang baru yakni diri yang mengalir. Inilah diri yang menanam bibit-bibit kesembuhan dan
kedamaian di dalam. Ini juga diri yang membimbing pulang ke rumah jiwa yang indah.

Diri sejati bernama kesadaran

Penjelasan transformasi dari diri yang kaku menuju diri yang mengalir kelihatannya mudah. Tapi
pelaksanaannya jauh dari mudah. Bahkan latihan selama dua puluh tahun pun belum tentu bisa
melakukannya. Cuman, tidak ada pilihan lain terkecuali melanjutkan pertumbuhan spiritual.

Kelompok spiritual di bawah garis Guru Thich Nhat Hanh adalah kumpulan manusia yang tekun
dan tulus sekali melatih diri. Kapan saja berbicara dengan kelompok ini, tiba-tiba akan ada bunyi
bel yang meminta kita untuk jeda dan hening sebentar. Kemudian hadir secara penuh dan utuh di
saat ini tanpa penghakiman.

Ketekunan untuk berlatih meditasi seperti ini selama bertahun-tahun, bisa membuat seseorang
melahirkan diri yang baru, yakni diri yang bernama kesadaran. Kesedihan datang sadari.
Kesenangan datang sadari. Di tingkat diri seperti ini, berlaku pendapat sederhana tapi mendalam:
“pada akhirnya, tidak ada beda antara suara tetangga yang mencaci dengan burung yang
bernyanyi”. Keduanya adalah nyanyian burung kedamaian yang sama.

Sepasang Bunga Jiwa


Seorang sahabat ateis di Barat bergabung di sebuah kelas meditasi
hanya karena dipaksa oleh pacarnya agar ikut meditasi. Anehnya, ia bertumbuh dalam meditasi jauh
lebih cepat melampaui semua temannya yg melaksanakan perintah agama. Ini bisa terjadi karena ia
memasuki gerbang meditasi tanpa kerangka dan tanpa harapan apa-apa.

Cerita ini bukan sebuah anjuran menjadi ateis. Sekali lagi bukan. Melainkan sebuah anjuran
untuk memasuki gerbang meditasi tanpa kerangka salah-benar, buruk-baik dan sejenis, serta
bertumbuh di taman meditasi tanpa harapan apa-apa. Untuk kemudian, menyatu dengan saat ini
apa adanya.

Itu sebabnya, sahabat-sahabat yang ikut perjalanan meditasi yang cukup panjang, semua dianjurkan
untuk melepaskan semua tabungan masa lalu. Tidak saja rasa bersalah dan memori buruk dari masa lalu
yang dilepaskan, bahkan pengalaman-pengalaman spiritual yang paling indah yang pernah terjadi di
masa lalu pun dilepaskan.

Ia mirip dengan pepohonan yang bercengkrama indah dengan matahari pagi. Kesegaran
kedamaian hanya terjadi kalau pepohonan melupakan pengalaman buruk dan pengalaman indah
yang pernah terjadi di masa lalu. Untuk kemudian, menyatu dengan matahari pagi saat ini.

Bila masa lalu membawa banyak rasa bersalah, masa depan menghadirkan banyak ketakutan.
Dan yang paling menakutkan adalah ketakutan akan kematian. Lagi-lagi ini pun dilepaskan.
Bedanya dengan ajaran spiritual lain yang menggenggam yang baik menendang yang buruk,
meditasi belajar lepas sepenuhnya dari genggaman yang positif, bebas sepenuhnya dari usaha
untuk menendang yang negatif.

Hanya tatkala beban masa lalu dilepaskan, ketakutan akan masa depan dilepaskan, kemudian
bathin bisa istirahat di saat ini apa adanya. Ini yang membawa kemungkinan perjumpaan dengan
sepasang bunga jiwa.

Bunga jiwa yang pertama bernama kesadaran (awareness). Apa pun berkah di saat ini hanya
disadari. Kaki semutan sadari. Pikiran damai sadari. Makian tetangga sadari. Pujian atasan
sadari. Selalu simpan di dalam hati, semuanya hanya numpang lewat, datang kemudian pergi.

Bila ada luka jiwa di dalam, jumpai bunga jiwa yang ke dua yakni perawatan (carefulness).
Berbeda dengan pendekatan penyembuhan lain yang membuang banyak sekali hal, meditasi
menyembuhkan Anda dengan mendekap diri Anda apa adanya. Dalam logika biasa, ini
kelihatannya tidak mungkin.

Tapi banyak sahabat yang sembuh oleh meditasi bercerita, obat penyembuh yang terdalam
datang dari diri sendiri. Dan dari semua energi di dalam, yang paling menyembuhkan adalah
ketekunan untuk mendekap lembut rasa sakit apa adanya.

Tiap sahabat yang sudah berjumpa sepasang bunga jiwa mengerti, hanya ia yang di dalamnya
bunga yang bisa memberikan bunga ke orang lain. Maknanya, hanya ia yang di dalamnya
sembuh dan utuh kemudian bisa ikut menyembuhkan dunia.

Lentera Belas Kasih

“Apa lentera penerang dalam perjalanan


spiritual yang panjang?”, ini pertanyaan banyak orang. Mirip dengan pergi ke puncak gunung
yang jauh, di setiap tahap pertumbuhan seseorang memerlukan kendaraan yang berbeda. Saat
menyeberangi jalan tol, orang memerlukan mobil. Begitu memasuki jalan setapak, seseorang
memerlukan kuda. Tatkala mendaki tebing, seorang pencari memerlukan tali.

Perjalanan spiritual yang panjang juga serupa. Nyaris semua orang di zaman ini memulai
perjalanan dengan intelek. Membaca buku, berdialog, menghadiri kelas meditasi adalah sebagian
dari dahaga intelek. Bahkan para sahabat yang menghabiskan banyak waktu dalam keheningan
pun, masih bercakap-cakap dengan dirinya. Sekali lagi, ini lentera bernama intelek (bahasa
kepala).

Ada saatnya dalam perjalanan spiritual di mana intelek seperti kehabisan tenaga untuk
mendukung pertumbuhan spiritual. Di titik inilah orang menoleh kepada insting (pesan-pesan yg
disembunyikan dalam tubuh kita). Bulu kuduk yang merinding, perasaan aneh memasuki sebuah
tempat, merasa cepat akrab dan hormat pada seorang Guru, bahkan ada yang menangis
menggigil saat berjumpa seorang Guru, adalah sebagian cara insting untuk memberi tahu.
Intelek dan insting juga bukan seluruh cerita. Tatkala keduanya sudah menunjukkan batas-batas
daya bantunya, di sana seorang pencari menggali intuisi (bahasa hati). Mulai bisa melihat kalau
semua mahluk adalah jiwa-jiwa menderita yang memanggil untuk ditolong, mereka ada di sini
untuk membuat hati jadi indah, kadang terjadi hanya melihat kucing yang kurus saja sudah
membuat mata meneteskan air mata. Inilah tanda-tanda bahasa hati.

Di tingkatan hati seperti ini, seseorang menemukan kebahagiaan dan kedamaian dengan cara
banyak menolong dan melayani. Menolong seperti nutrisi jiwa. Melayani mirip dengan rumah
jiwa. Ada perasaan aman dan nyaman di sana. Ini yang menjelaskan kenapa bunda Teresa
menemukan kedamaian mendalam di tengah kekacauan kota kumuh Kalkuta.

Ini juga yang menjelaskan kenapa Mahatma Gandhi meninggalkan semua kemewahannya
sebagai pengacara di Afrika Selatan, kemudian pulang ke India mengenakan baju kesederhanaan,
berumah di rumah pelayanan. Dalam bahasa sederhana sekaligus mendalam YM Dalai Lama:
“agama saya adalah kebajikan”.

Lagi-lagi harus dikemukakan, hati juga bukan lentera di sepanjang perjalanan. Ada masanya
tatkala seorang pencari sudah tumbuh jauh di dunia hati, kemudian ia belajar menjadi saksi.
Tangan masih melayani. Hati masih mencintai. Tapi seorang pencari mulai duduk sebagai
seorang saksi. Pelayanan tidak lagi menimbulkan keakuan. Cinta tidak lagi membuat seseorang
menderita. Terutama karena seorang sudah menjadi saksi.

Siapa saja yang sudah lama menghabiskan waktu menjadi saksi mengerti, ketekunan untuk terus
menjadi saksi mirip dengan rahim yang akan melahirkan bayi cantik bernama belas kasih. Inilah
lentera orang-orang di puncak gunung yakni lentera belas kasih.

Bukan sembarang belas kasih, melainkan belas kasih sebagai sifat alami bathin itu sendiri. Ia
mirip dengan bunga indah dan pohon rindang. Sifat alami bunga indah mengundang datangnya
kupu-kupu, sifat alami pohon rindang mengundang datangnya burung-burung bernyanyi. Sifat
alami seorang saksi sejati, ia ada di bumi untuk melaksanakan dan memancarkan belas kasih.

Di tingkatan ini, jangankan saat meditasi, atau saat melayani, bahkan saat tidur pun seorang
masih memancarkan belas kasih. Selamat datang di rumah sejati jiwa-jiwa yang indah.

Jiwa Yang Mekar


Salah satu ajaran tingkat tinggi yang pernah lahir di alam ini
bernama Tantra. Sebagian ajaran Tantra memang bersifat rahasia. Tapi bila semuanya dirahasiakan,
suatu hari ajaran ini akan punah. Untuk itulah, sejumlah Guru seperti Osho berani membuka rahasia-
rahasia Tantra.

Jika Buddha Tantra lebih dekat dengan jalan jhnana (pengetahuan) serta puncaknya bernama
keheningan, Shiva Tantra lebih dekat dengan jalan bakti (devotion) serta puncaknya bernama
kebersatuan. Dua-duanya bersifat saling melengkapi.

Itu sebabnya Shiva Tantra turun dari Shivaji kepada permaisurinya. Implisit dalam kisah ini
berarti, ajaran ini hanya boleh diturunkan kepada murid-murid dengan bakti yang sangat dalam.
Hanya dengan bakti yang mendalam maka kebersatuan bisa dicapai.

Perintah komplit Shiva Tantra berjumlah 112 bisa selengkapnya dibaca dalam maha karya Osho
yang berjudul The Book of Secret. Dan tidak semua penafsiran Osho layak ditelan mentah-
mentah. Terutama karena Osho mengajar dalam konteks ruang dan waktu yang berbeda dengan
kita.

Dalam tulisan ringkas ini akan dicoba menafsirkan tiga perintah Shiva Tantra yang cocok dengan
konteks ruang dan waktu kita. Perintah pertama: “sentuh mata secara lembut, selembut bulu
ayam”. Penafsirannya, hati-hati dengan cara memandang. Duka-suka, salah-benar, neraka-surga
semua berawal dari cara memandang.

Yang disarankan, belajar memandang kehidupan dengan mata kelembutan. Ia yang memandang
kehidupan dengan mata kelembutan sedang berjalan di jalan kedamaian. Perintah kedua: “lihat
langit melampaui awan-awan”. Kesedihan-kesenangan, cacian-pujian, gagal-sukses semuanya
awan-awan yang tidak kekal. Dan Anda bukan awan-awan tersebut.

Diri sejati mirip dengan langit biru. Apa pun wajah awannya, semuanya disaksikan dengan
senyuman yang sama. Itu sebabnya, meditasi mendalam selalu menyarankan untuk menjadi saksi
terhadap semua pengalaman kekinian.

Perintah ketiga: “akar selalu bertumbuh di tempat gelap”. Penafsirannya, siapa saja yang mau
mengerti akarnya jiwa disarankan memahami kegelapan. Simpan di dalam hati, kegelapan bukan
musuhnya cahaya. Kegelapan adalah kekuatan yang membuat cahaya memancar lebih terang.
Lebih dari itu, kalau semua orang menjauh dari kegelapan, lantas siapa yang membimbing
mereka berevolusi menjadi cahaya?

Digabung menjadi satu, tiga perintah Shiva Tantra ini bisa menjadi bekal mendalam di jalan
pencerahan. Pandang kehidupan secara lembut, lampaui awan-awan pikiran dan perasan,
kemudian ingat selalu bahwa semuanya adalah cahaya. Bahkan kegelapan pun sedang berevolusi
menjadi cahaya.

Ia yang membadankan tiga perintah ini dalam-dalam, jiwanya sedang berevolusi menjadi bunga
indah. Jika bunga biasa cepat layu, bunga jiwa yang tercerahkan akan tetap mekar di sini untuk
berbagi aroma cinta.

Cinta Membawa Kedamaian

Suatu hari ada orang kaya dengan empat istri yang siap-siap
meninggal karena umur tua. Tentu saja yang pertama kali dipanggil adalah istri ke empat. Belum sempat
mengungkapkan keinginan agar istrinya mau menemani di jalan kematian, istri ke empat sudah pergi
sambil membanting pintu.

Dengan sedih orang kaya ini memanggil istri ketiga. Begitu selesai bertanya apakah istrinya mau
ikut mati, wanita ini langsung berucap: “maaf, saya hanya bisa menemani kanda sampai di sini
saja”. Kendati hatinya tambah pedih, orang kaya ini memanggil istri kedua. Istri ini jawabannya
lebih sopan: “saya bisa menemani, cuman hanya sampai di kuburan”.

Sehingga tidak ada pilihan lain terkecuali memanggil istri pertama yang tua, renta, berambut
putih, serta tidak pernah mendapat perhatian. Anehnya, saat ditanya kesediaannya menemani ke
alam kematian, wanita keriput ini berbisik lembut di telinga suaminya: “saya akan menemani
kanda ke mana pun dan sampai kapan pun”.

Cerita ilustratif ini adalah cerita banyak manusia di depan kematian. Istri ke empat yang paling
menarik dan atraktif bagi orang kebanyakan adalah harta dan tahta. Jangankan setelah tua dan
sakit, bahkan tubuh masih segar bugar pun, tahta dan harta digoyang banyak orang.
Istri kedua yang hanya bisa mengantar sampai waktu kematian adalah tubuh fisik. Begitu
seseorang mati, tubuh fisik langsung mengucapkan selamat tinggal. Istri ketiga yang menghantar
hanya sampai di kuburan adalah keluarga dan kerabat dekat.

Tentu timbul pertanyaan, siapa istri pertama yang demikian setia menemani setelah waktu
kematian, kendati ia telah lama tidak diperhatikan. Dia tidak lain adalah praktik spiritual
mendalam. Itulah satu-satunya yang dibawa jiwa setelah kematian. Sedihnya, terlalu banyak
manusia di zaman ini meninggal tanpa bekal praktik spiritual mendalam. Sebagai hasilnya,
perjalanan jiwa menjadi sangat menyedihkan.

Di dunia spiritual mendalam dikenal luas pendapat, kualitas spiritual seseorang terlihat terang
saat kematian. Dalam pengalaman sejumlah Guru tingkat tinggi, alam bahkan melakukan
penghormatan. Langit menghormat dengan pelangi, bumi menghormat dengan gempa kecil.

Ramakrisna adalah seorang Guru yang meninggalnya indah. Saat beliau meninggal di umur
muda, istrinya Sharadadevi tidak menangis, bahkan tidak ikut pergi ke tempat kremasi. Tatkala
ditanya kenapa, wanita lembut ini menjawab: “tubuh fisik Ramakrisna memang wafat, tapi cinta
Ramakrisna akan tetap hidup di hati saya”.

Sejak saat itu Sharadadevi tidak pernah berhenti menyiapkan sarapan, makan siang, handuk serta
persiapan sehari-hari pada suaminya yang sudah dikremasi. Bahkan tempat tidur suaminya yang
sudah kosong pun, tetap ditutup kain kelambu agar tidak dimasuki nyamuk.

Anehnya, tatkala Sharadadevi mau meninggal karena usia tua , ia malah menangis: “nanti siapa
yang menyiapkan makanannya Ramakrisna?”. Inilah praktik spiritual mendalam. Di depan
kematian seseorang hanya melihat cahaya cinta yang menawan. Sebagai akibatnya, perjalanan
jiwa kemudian akan penuh dengan kedamaian.

Nyanyian Duka Cita

“Apakah meditasi mendalam membebaskan jiwa dari segala


macam duka cita?”, demikian banyak orang bertanya di sesi meditasi. Tiap sahabat yang meditasinya
mendalam tahu, meditasi tidak menghentikan karma. Meditasi hanya memperbesar kemampuan
seseorang untuk mengalir sempurna dengan tiap putaran karma yang datang.
Sebelum bathin disentuh meditasi, ia mirip dengan cangkir kecil dan sempit. Sedikit saja ada
gerakan kehidupan, maka bathin akan ribut dan riuh bersama segala protesnya. Dan meditasi
melalui kegiatan menyaksikan, pelan perlahan tapi pasti membuat ruang-ruang bathin semakin
lebar dari hari ke hari. Itu sebabnya, ada yang menulis kalau puncak meditasi adalah boundless
capacity to suffer (kemampuan untuk menderita secara tidak terbatas).

Di zaman ini manusia mengagumi tokoh-tokoh sepert Nelson Mandela, Bunda Teresa, YM Dalai
Lama hingga Mahatma Gandhi. Mereka semua bertumbuh di tempat dan tradisi yang berbeda,
tapi semuanya dibikin bercahaya jiwanya melalui serangkaian dukacita yang mendalam.

Nelson Mandela dipenjara selama 27 tahun, Bunda Teresa tumbuh di tengah penderitaan Kalkuta
yang sangat menyedihkan, YM Dalai Lama kehilangan negerinya di umur belasan tahun,
Mahatma Gandhi wafat ditembak. Pesan simboliknya sederhana, ada rahasia-rahasia cahaya di
balik dukacita.

Siapa saja yang lari menjauh dari dukacita, tidak saja kehilangan kesempatan untuk menjadi
dewasa, juga kehilangan kesempatan untuk disinari oleh cahaya indah yang dibawa oleh duka
cita. Sejujurnya, duka cita membawa sejumlah pesan spiritual yang layak diendapkan.

Pertama, dukacita adalah undangan untuk membuat jiwa menjadi semakin dewasa. Sebagaimana
telah dialami banyak jiwa yang dewasa, tanpa dukacita maka kedewasaan tidak pernah lahir.
Pesan kedua yang dibawa dukacita, ia adalah kesempatan untuk membayar hutang-hutang
karma. Dukacita mirip membayar cicilan mobil sedikit demi sedikit.

Pesan ketiga dukacita, ia adalah putaran waktu dalam kehidupan untuk bersih-bersih.
Kesuksesan, kekayaan, keterkenalan mirip dengan pesta. Semua pesta ada akhirnya. Dan setelah
pesta berakhir, semua kekotoran mesti dibersihkan. Dan dukacita adalah sapu, lap pel, air yang
bisa membuat rumah jiwa bersih kembali.

Dan meditasi sangat membantu dalam hal membersihkan rumah jiwa. Bathin yang tidak disentuh
meditasi menolak dukacita. Sebagian bahkan menyebut dukacita sebagai kemarahan Tuhan.
Bathin yang disentuh meditasi lain lagi, ia akan mendekap setiap duka cita yang datang.

Terutama karena tahu, hanya dengan melewati duka cita mendalam kemudian jiwa jadi dewasa,
hutang-hutang karma terlunasi, serta rumah jiwa jadi bersih jernih. Mungkin ini sebabnya kenapa
sejumlah nabi juga mengalami dukacita mendalam.

Dengan cara pandang seperti ini, duka cita tidak lagi menjadi serangkaian tangisan. Sebaliknya,
dukacita menjadi serangkaian nyanyian. Bukan sembarang nyanyian, melainkan nyanyian jiwa.

Bunga Padma Belas Kasih


“Kenapa semakin dalam perjalanan spiritual, kehidupan
terasa semakin sulit dan rumit?, ini pertanyaan banyak orang yang perjalanan spiritualnya mulai
dalam. Bisa dimaklumi, terutama karena jiwa mulai memasuki wilayah-wilayah baru yang terasa
asing.

Belajar dari banyak kisah para suci, ada banyak sekali jiwa yang pernah memasuki lorong ini.
Namun sedikit yang bisa lulus dari ujian. Berbagai macam jenis guncangan di lorong ini. Dari
perasaan tidak cocok dengan pasangan, anak-anak yang sangat nakal, kehilangan pekerjaan,
sampai ditinggal wafat oleh orang-orang yang dicintai.

Sebagai akibatnya, sebagian orang berbelok dari spiritualitas, mengira spiritualitas bertentangan
dengan kehendak Tuhan. Hanya orang yang tekun dan tulus yang melanjutkan perjalanan
spiritual. Terutama karena tahu kalau kesedihan bukan hukuman, kesedihan adalah bab penting
dalam buku kedamaian yang gagal dibaca oleh kebanyakan orang.

Dalam bahasa sederhana, kehidupan serupa musik yang indah. Kesenangan membuat manusia
menikmati sang musik, tapi hanya kesedihan yang membuat jiwa bisa membaca sang lirik (baca:
makna kehidupan). Tanpa melewati kesedihan mendalam, jiwa mana pun tidak akan pernah bisa
dalam.

Di jalan pencerahan ada pengandaian lain. Kehidupan duniawi memang sangat kotor. Ia mirip
dengan lumpur. Salah-salah manusia bisa tenggelam. Tapi lumpur juga membawa berkah. Asal
seseorang menanam bunga Padma di sana, ia juga bisa menemukan keindahan.

Kembali ke soal kesedihan mendalam, kesedihan mendalam ibarat lumpur kotor. Cuman, asal
menanam bibit-bibit bunga Padma di sana, kehidupan juga bisa berevolusi menuju bunga
pencerahan.
Dan meditasi adalah salah satu kendaraan yang bisa mentransformasikan lumpur menjadi bunga
Padma. Persisnya, meditasi selalu menyarankan untuk menjadi saksi bagi setiap pengalaman
kehidupan. Kesenangan mirip awan putih, kesedihan mirip awan hitam. Dan sang saksi serupa
langit biru.

Ia yang tekun berlatih seperti ini akan mendapatkan dua hasil sekaligus. Hasil pertama bernama
kebijaksanaan, atau kadang disebut keheningan. Hasil kedua bernama belas kasih (compassion).

Keduanya seperti sepasang sayap jiwa. Asal keduanya kuat dan seimbang, keduanya bisa
membuat jiwa mana pun bisa terbang indah dan bebas. Kesedihan dan kesialan boleh datang, tapi
keduanya hanya dilihat sebagai awan-awan yang datang dan pergi.

Ini yang disebut dengan transformasi melalui meditasi. Lumpur-lumpur kesedihan dan kesialan
ditanami bibit bunga Padma. Perjumpaan keduanya kemudian membuat kehidupan mekar
menjadi bunga Padma. Bukan sembarang bunga Padma, tapi bunga Padma belas kasih. Ia
lambang sederhana, makhluk tercerahkan ada di sini untuk berbagi belas kasih.

Batin Yang Perawan

Seorang warga binaan di sebuah lembaga pemasyarakatan


bertanya secara menyentuh hati: “di hidup ini saya dihukum puluhan tahun karena membunuh, akankah
saya dihukum lagi setelah kematian?”. Sebuah pertanyaan yang membuat hati trenyuh.

Perjalanan setelah kematian sangat ditentukan oleh kualitas batin seseorang tatkala mengalami
kematian. Sedihnya, kebanyakan orang mengalami guncangan hebat tatkala kematian. Yang
meninggal guncang, yang ditinggalkan juga guncang. Kombinasi antara dua guncangan ini
membuat perjalanan jiwa kemudian sangat menyedihkan.

Ini kerap terjadi karena kebanyakan manusia mati tanpa bekal spiritualitas sama sekali. Mirip
dengan perjalanan jauh, tanpa bekal apa-apa perjalanan akan sangat menyengsarakan. Dan di
jalan meditasi, bekal paling meyakinkan yang bisa dibawa dalam perjalanan setelah kematian
bernama kualitas batin.

Di China ada cerita menarik tentang seorang pemuda. Suatu hari pemuda ini pergi ke hutan
menunggangi kuda. Besok harinya ia kembali tanpa kuda karena kudanya hilang. Tetangga
kemudian bergumam: “kasihan”. Di hari berikutnya, kuda yang hilang tadi kembali sambil
membawa banyak kuda liar. Kali ini tetangga berucap: “betapa untungnya anak ini”.

Karena sangat gembira punya banyak kuda liar, pemuda ini menunggangi kuda-kuda liar hingga
jatuh dan patah kaki. Dan tetangga berkomentar lagi: “kasihan”. Beberapa hari berikutnya tentara
China datang ke desa mengangkut semua pemuda agar berperang membela negara. Pemuda tadi
karena kakinya patah, maka ia bebas dari kewajiban berperang. Lagi-lagi tetangga berbisik:
“betapa untungnya anak ini”.

Berdoa atau tidak, melaksanakan meditasi atau tidak, kehidupan senantiasa mengalir seperti ini.
Dan meditasi mengajarkan untuk selalu menjadi saksi. Kesialan adalah gelombang rendah,
keberuntungan adalah gelombang tinggi, keduanya merunduk rendah hati di pantai yang sama.

Apa yang disebut sebagai batin meditatif sederhana, gelombang-gelombang kehidupan tidak
berusaha untuk dihentikan, melainkan hanya disaksikan. Awalnya, batin diseret oleh gelombang-
gelombang ini. Sedih berlebihan tatkala sial, senang berlebihan saat untung, itulah ciri batin yang
diseret gelombang.

Kedalaman meditasi membuat batin bertransformasi. Di awal meditasi, terasa sekali beda antara
sedih dan senang. Ia mirip malam dan siang. Begitu seseorang lama menjadi saksi, beda antara
sedih dan senang menjadi semakin halus dan semakin halus. Puncaknya tercapai tatkala
seseorang mengalami shunyata (keheningan). Di Timur ia disebut tabula rasa.

Dalam bahasa seorang Guru: “dalam shunyata semuanya satu rasa”. Bila orang biasa mengalami
kehidupan dengan dua rasa seperti rugi-untung, sedih-senang, di puncak meditasi seseorang
menjalani kehidupan dengan satu rasa, yakni rasa cinta.

Keheningan mirip dengan rahim. Cinta adalah bayi yang lahir dari sana. Bukan sembarang cinta,
tapi cinta yang lahir hanya untuk mencintai. Inilah yang disebut sebagai batin yang perawan.
Dengan bekal batin yang perawan, maka perjalanan setelah kematian bebas dari hukuman
sekaligus godaan. Ingat, semuanya hanya gelombang-gelombang yang datang dan pergi.

Anda mungkin juga menyukai