Anda di halaman 1dari 10

BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Antibiotik


Antibiotika (L. anti = lawan, bios = hidup) adalah zat-zat kimia yang dihasilkan oleh
fungi dan bakteri, yang memiliki khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan kuman,
sedangkan toksisitasnya bagi manusia relatif kecil. Turunan zat-zat ini yang dibuat secara
semi-sintetis, juga termasuk kelompok ini, begitu pula semua senyawa sintetis dengan khasiat
antibakteri (Tan Hoan Tjay & Kirana Rahardja, 2007). Secara teknis, istilah "agen antibakteri"
mengacu pada kedua senyawa alami dan sintetis, akan tetapi banyak orang menggunakan kata
"antibiotika" untuk merujuk kepada keduanya. Meskipun antibiotika memiliki banyak
manfaat, tetapi penggunaannya telah berkontribusi tehadap terjadinya resistensi (Katzung,
2010).
Pemilih terapi antibiotika yang rasional harus mempertimbangkan berbagai faktor,
antara lain faktor pasien, bakteri dan antibiotika. Terapi empiris diarahkan pada bakteri yang
dikenal menyebabkan infeksi yang bersangkutan. (Dipiro et al., 2005).
Kegiatan antibiotis untuk pertama kalinya ditemukan secara kebetulan oleh dr.
Alexander Fleming (Inggris, 1928, penisilin). Tetapi penemuan ini baru dikembangkan dan
digunakan pada permulaan Perang Dunia II di tahun 1941, ketika obat-obat antibakteri sangat
diperlukan untuk menanggulangi infeksi dari luka-luka akibat pertempuran (Tan Hoan Tjay &
Kirana Rahardja, 2013).

2.2 Pembuatan Antibiotik


Pada umumnya antibiotika dibuat secara mikrobiologi, yaitu fungi dibiakkan dalam
tangki-tangki besar bersama zat-zat gizi khusus. Oksigen atau udara steril disalurkan ke dalam
cairan pembiakan guna mempercepat pertumbuhan fungi dan meningkatkan produksi
antibiotikumnya. Setelah diisolasi dari cairan kultur, antibiotikum dimurnikan dan
aktivitasnya ditentukan.
 Antibiotika semisintesis : Apabila pada persemaian dibubuhi zat-zat pelopor tertentu,
maka zat-zat ini diinkorporasi ke alam antibiotikum dasarnya. Hasilnya disebut
senyawa semi-sintesis, misalnya penisilin-V.
 Antibiotika sintetis : Tidak lagi dibuat secara biosintetis, melainkan seluruhnya
melalui sintesa kimiawi, misalnya kloramfenikol.
(Tan Hoan Tjay & Kirana Rahardja, 2013).
2.3 Mekanisme Kerja Antibiotik
Beberapa antibiotika bekerja terhadap dinding sel (penisilin dan sefalosforin) atau
membran sel (kelompok polimiksin, imidazol, an zat-zat polyen), tetapi mekanisma kerja
yang terpenting adalah perintangan selektif metabolisme protein bakteri sehingga sintesis
protein bakteri, sehingga sintesis protein dapat terhambat dan kuman musnah atau tidak
berkembang lagi misalnya kloramfenikol, makrolida dan tetrasiklin, dll (Tan Hoan Tjay &
Kirana Rahardja, 2013).
Diluar bidang terapi, antibiotik digunakan dibidang peternakan sebagai zat gizi
tambahan guna mempercepat pertumbuhan ternak, dan unggas yang diberi penisilin,
tetrasiklin, erithomisin atau basitrasin dalam jumlah kecil sekali dalam sehari harinya,
bertumbuh lebih besar dengan jumlah makanan lebih sedikit.

2.4 Penggolongan Antibiotik


Antibiotika dapat digolongkan berdasarkan aktivitas, cara kerja maupun struktur
kimianya. Berdasarkan aktivitasnya, antibiotika dibagi menjadi dua golongan besar,
yaitu (Ganiswara, 1995; Lüllmann, Mohr, Hein & Bieger, 2005) :
a. Antibiotika kerja luas (broad spectrum), yaitu agen yang dapat menghambat
pertumbuhan dan mematikan bakteri gram positif maupun bakteri gram negatif.
Golongan ini diharapkan dapat menghambat pertumbuhan dan mematikan sebagian
besar bakteri. Yang termasuk golongan ini adalah tetrasiklin dan derivatnya,
kloramfenikol, ampisilin, sefalosporin, carbapenem dan lain-lain.
b. Antibiotika kerja sempit (narrow spectrum) adalah golongan ini hanya aktif
terhadap beberapa bakteri saja. Yang termasuk golongan ini adalah penisilina,
streptomisin, neomisin, basitrasin.

Penggolongan antibiotika berdasarkan cara kerjanya pada bakteri adalah sebagai


berikut (Ganiswara, 1995; Lüllmann, Mohr, Hein & Bieger, 2005) :
a. Antibiotika yang bekerja dengan menghambat sintesis dinding sel bakteri,
misalnya penisilin, sefalosporin, carbapenem, basitrasin, vankomisin, sikloserin.
b. Antibiotika yang mengganggu keutuhan membran sel mikroba, yang termasuk
kelompok ini adalah polimiksin, golongan polien serta berbagai antibakteri
kemoterapetik.
c. Antibiotika yang bekerja dengan menghambat sintesa protein, yang termasuk
golongan ini adalah kloramfenikol, eritromisin, linkomisin, tetrasiklin dan
antibiotika golongan aminoglikosida.
d. Antibiotika yang bekerja melalui penghambatan sintesis asam nukleat bakteri,
yang termasuk golongan ini adalah asam nalidiksat, rifampisin, sulfonamid,
trimetoprim.
e. Antibiotika yang menghambat metabolisme sel mikroba, yang termasuk dalam
kelompok ini adalah sulfonamid, trimetoprim, asam p-aminosalisilat (PAS) dan
sulfon.

Penggolongan antibiotika berdasarkan gugus kimianya sebagai berikut (Katzung,


2010) :
a.
b. Kloramfenikol, Tetrasiklin, Makrolida, Clindamisin dan Streptogramin
Golongan agen ini berperan dalam penghambatan sintesis protein bakteri dengan
cara mengikat dan mengganggu ribosom, antara lain:
1. Kloramfenikol
Mekanisme Kerja :
Mekanisme kerja kloramfenikol yaitu dengan daya kerja menghambat sintesis
protein, melekat pada subunit 50S dari ribosom. Obat ini menganggu
pengikatan asam amino baru pada rantai peptida yang sedang dibentuk,
sebagian besar karena kloramfenikol menghambat peptidil transferase.
Kloramfenikol terutama bersifat bakteriostatik, dan pertumbuhan
mikroorganisme segera berlangsung lagi, bila pemakaian obat dihentikan.
Mikroorganisme yang resisten terhadap kloramfenikol menghasilkan enzim
kloramfenikol asetiltransferase, yang menghancurkan aktivitas obat (Jawetz et
al., 1996).
Farmakokinetika :
Setelah pemberian oral, kloramfenikol diserap dengan cepat. Kadar puncak
dalam darah tercapai hingga 2 jam dalam darah. Untuk anak biasanya
diberikan dalam bentuk ester kloramfenikol palmitat atau stearat yang rasanya
tidak pahit. Bentuk ester ini akan mengalami hidrolisis dalam usus dan
membebaskan kloramfenikol.
Untuk pemberian secara parenteral diberikan kloramfenikol suksinat yang akan
dihidrolisis dalam jaringan dan membebaskan kloramfenikol. Masa paruh
eliminasinya pada orang dewasa kurang lebih 3 jam, pada bayi berumur kurang
dari 2 minggu sekitar 24 jam. Kira-kira 50% kloramfenikol dalam darah terikat
dengan albumin. Obat ini didistribusikan secara baik ke berbagai jaringan
tubuh, termasuk jaringan otak, cairan serebrospinal dan mata.
Di dalam hati kloramfenikol mengalami konjugasi, sehingga waktu paruh
memanjang pada pasien dengan gangguan faal hati. Sebagian di reduksi
menjadisenyawa arilamin yang tidak aktif lagi. Dalam waktu 24 jam, 80-90%
kloramfenikol yang diberikan oral diekskresikan melalui ginjal. Dari seluruh
kloramfenikol yang diekskresi hanya 5-10% yang berbentuk aktif. Sisanya
terdapat dalam bentuk glukoronat atau hidrolisat lain yang tidak aktif. Bentuk
aktif kloramfenikol diekskresi terutama melalui filtrat glomerulus sedangkan
metabolitnya dengan sekresi tubulus.
Pada gagal ginjal, masa paruh kloramfenikol bentuk aktif tidak banyak berubah
sehingga tidak perlu pengurangan dosis. Dosis perlu dikurangi bila terdapat
gangguan fungsi hepar. Interaksi dalam dosis terapi, kloramfenikol
menghambat botransformasi tolbutamid fenitoin, dikumarol dan obat lain yang
dimetabolisme oleh enzim mikrosom hepar. Dengan demikian toksisitas obat-
obat ini lebih tinggi bila diberikan berasama kloramfenikol. Interaksi obat
dengan fenobarbital dan rifampisin akan memperpendek waktu paruh
kloramfenikol sehingga kadar obat menjadi subterapeutik.
Farmakodinamika :
Kloramfenikol bekerja dengan menghambat sintesis protein kuman. Obat ini
terikat pada ribosom sub unit 50s dan menghambat enzim peptidil transferase
sehingga ikatan peptida tidak terbentuk pada proses sintesis protein kuman.
Kloramfenikol bersifat bakteriostatik. Pada konsentrasi tinggi kloramfenikol
kadang-kadang bersifat bakterisid terhadap kuman-kuman tertentu. Spektrum
anti bakteri meliputi D.pneumoniae, S. Pyogenes, S.viridans, Neisseria,
Haemophillus, Bacillus spp, Listeria, Bartonella, Brucella, P. Multocida,
C.diphteria, Chlamidya, Mycoplasma, Rickettsia, Treponema, dan kebanyakan
kuman anaerob.
Mekanisme resistensi terhadap kloramfenikol terjadi melalui inaktivasi obat
oleh asetil transferase yang diperantarai oleh faktor-R. Resistensi terhadap
P.aeruginosa. Proteus dan Klebsiella terjadi karena perubahan permeabilitas
membran yang mengurangi masuknya obat ke dalam sel bakteri. Beberapa
strain D. Pneumoniae, H. Influenzae, dan N. Meningitidis bersifat resisten; S.
Aureus umumnya sensitif, sedang enterobactericeae banyak yang telah
resisten. Obat ini juga efektif terhadap kebanyakan strain E.Coli, K.
Pneumoniae, dan P. Mirabilis, kebanyakan Serratia, Providencia dan Proteus
rettgerii resisten, juga kebanyakan strain P. Aeruginosa dan S. Typhi.

2. Tetrasiklin
Mekanisme Kerja :
Tetrasiklin adalah salah satu antibiotik yang dapat menghambat sintesis protein
pada perkembangan organisme. Antibiotik ini diketahui dapat menghambat
kalsifikasi dalam pembentukan tulang. Tetrasiklin diketahui dapat menghambat
sintesis protein pada sel prokariot maupun sel eukariot. Mekanisme kerja
penghambatannya, yaitu tetrasiklin menghambat masuknya aminoasil-tRNA ke
tempat aseptor A pada kompleks mRNA-ribosom, sehingga menghalangi
penggabungan asam amino ke rantai peptide (Istriyati, 2006).
Farmakokinetika :
 Absorbsi
Kira-kira 30-80% tetrasiklin diserap lewat saluran cerna. Doksisiklin dan
minosiklin diserap lebih dari 90%. Absorpsi ini sebagian besar
berlangsung di lambung dan usus halus bagian atas. Berbagai faktor dapat
menghambat penyerapan tetrasiklin seperti adanya makanan dalam
lambung (kecuali doksisiklin dan monosiklin), pH tinggi, pembentukan
kelat (kompleks tetrasiklin dengan zat lain yang sukar diserap seperti
kation Ca2+, Mg2+, Fe2+, Al3+, yang terdapat dalam susu dan antasid). Oleh
sebab itu sebaiknya tetrasiklin diberikan sebelum atau 2 jam setelah
makan. Tetrasiklin fosfat kompleks tidak terbukti lebih baik absorbsinya
dari sediaan tetrasiklin biasa (Farmakologi dan Terapi, 2007).
 Distribusi
Dalam plasma serum jenis tetrasiklin terikat oleh protein plasma dalam
jumlah yang bervariasi. Pemberian oral 250 mg tetrasiklin, klortetrasiklin
dan oksitetrasiklin tiap 6 jam menghasilkan kadar sekitar 2,0-2,5 μg/ml.
Masa paruh doksisiklin tidak berubah pada insufisiensi ginjal sehingga
obat ini boleh diberikan pada gagal ginjal. Dalam cairan serebrospinal
(CSS) kadar golongan tetrasiklin hanya 10-20% kadar dalam serum.
Penetrasi ke CSS ini tidak tergantung dari adanya meningitis. Penetrasi ke
cairan tubuh lain dalam jaringan tubuh cukup baik. Obat golongan ini
ditimbun dalam sistem retikuloendotelial di hati, limpa dan sumsum
tulang, serta di dentin dan email gigi yang belum bererupsi. Golongan
tetrasiklin menembus sawar uri, dan terdapat dalam air susu ibu dalam
kadar yang relatif tinggi. Dibandingkan dengan tetrasiklin lainnya, daya
penetrasi doksisiklin dan minosiklin ke jaringan lebih baik (Farmakologi
dan Terapi, 2007).
 Metabolisme
Obat golongan ini tidak dimetabolisme secara berarti di hati. Doksisiklin
dan minosiklin mengalami metabolisme di hati yang cukup berarti
sehingga aman diberikan pada pasien gagal ginjal (Farmakologi dan
Terapi, 2007).
 Ekskresi
Golongan tetrasiklin diekskresi melalui urin berdasarkan filtrasi
glomerulus. Pada pemberian per oral kira-kira 20-55% golongan tetrasiklin
diekskresi melalui urin. Golongan tetrasiklin yang diekskresi oleh hati ke
dalam empedu mencapai kadar 10 kali kadar serum. Sebagian besar obat
yang diekskresi ke dalam lumen usus ini mengalami sirkulasi
enterohepatik; maka obat ini masih terdapat dalam darah untuk waktu lama
setelah terapi dihentikan. Bila terjadi obstruksi pada saluran empedu atau
gangguan faal hati obat ini akan mengalami kumulasi dalam darah. Obat
yang tidak diserap diekskresi melalui tinja (Farmakologi dan Terapi,
2007).
Antibiotik golongan tetrasiklin yang diberi per oral dibagi menjadi 3
golongan berdasarkan sifat farmakokinetiknya, yaitu :
a. Tetrasiklin, klortetrasiklin dan oksitetrasiklin. Absorpsi kelompok
tetrasiklin ini tidak lengkap dengan masa paruh 6-12 jam.
b. Demetilklortetrasiklin. Absorpsinya lebih baik dari masa paruhnya kira-
kira 16 jam sehingga cukup diberikan 150mg per oral tiap 6 jam.
c. Doksisiklin dan minosiklin. Absorpsinya baik sekali dan masa paruhnya
17-20 jam. Tetrasiklin golongan ini cukup diberikan 1 atau 2 kali 100
mg sehari (Farmakologi dan Terapi, 2007).
Farmakodinamika :
Golongan tetrasiklin menghambat sintesis protein bakteri pada ribosomnya.
Paling sedikit terjadi dua proses dalam masuknya antibiotik ke dalam ribosom
bakteri gram negative, pertama secara difusi pasif melalui kanal hidrofilik,
kedua melalui sistem transport aktif. Setelah masuk anti biotik berikatan secara
revarsible dengan ribosom 30S dan mencegah ikatan tRNA–amino asil pada
kompleks mRNA–ribosom. Hal tersebut mencegah perpanjangan rantai peptida
yang sedang tumbuh dan berakibat terhentinya sintesis protein (Farmakologi
dan Terapi, 2007).

3. Makrolida (Erythromycin,Clarythromycin,Azithromycin,Telithromycin)
Mekanisme Kerja :
Mekanisme kerja golongan makrolida adalah menghambat sintesis protein
bakteri pada ribosomnya dengan jalan berikatan secara reversibel dengan
ribosom subunit 50S. Sintesis protein terhambat karena reaksi-reaksi
translokasi amino asil dan hambatan pembentuk awal sehingga pemanjangan
rantai peptida tidak berjalan. Makrolida bisa bersifat sebagai bakteriostatik
atau bekterisida, tergantung antara lain pada kadar obat serta jenis bakteri yang
dicurigai. Efek bakterisida terjadi pada kadar antibiotika yang lebih tinggi,
kepadatan bakteri yang relatif rendah dan pertumbuhan bakteri yang cepat.
Aktivitas antibakterinya tergantung pada ph, meningkat pada keadaan netral
atau sedikit alkali (Rahardja Kirana dan Hoan Tjay Tan, 2013).
Farmakokinetika :
Erythromycin menekan sintesis protein bakteri. Mulai terjadi preparat oral
adalah 1 jam. Waktu utuk mencapai puncak adalah 4 jam dan lama kerjanya
adalah 6 jam.
 Pemberian: basa erytromycin dihancurkan oleh asam lambung, sehingga
harus diberikan dalam bentuk tablet berselaput enterik atau berbentuk
antibiotik yang diesterifikasi. Semua diabsorpsi secara adekuat pada
pemberian oral. Clarithromycin, azithromycin dan telithromycin bersifat
stabil terhadap asam lambung dan mudah diabsorpsi.
 Distribusi: erythromycin didistribusikan secara baik hingga ke seluruh
cairan tubuh, kecuali CSF. Obat ini merupakan antibiotik yang berdifusi ke
dalam cairan prostatik dan memiliki karakteristik akumulasi yang unik
dalam makrofag. Keempat obat ini terkonsentrasi dalam hati. Inflamasi
membuat penetrasi dalam jaringan lebih besar. Secara serupa,
clarythromycin, azithromycin, dan telithromycin di distribusikan secara
luas dalam jaringan. Kadar azitromycin dalam serum adalah rendah. Obat
terkonsentrasi dalam neutrofil, makrofag, dan fibroblas. Azithromycin
mempunyai waktu paruh yang paling lama dan volume distribusi yang
paling besar diantara keempat obat.
 Metabolisme: erithromycin dan telithromycin dimetabolisme secara
ekstensif dan diketahui menghambat oksidasi sejumlah obat melalui
interaksinya sengan sistem sitokrom P450. Gangguan terhadap
metabolisme obat, seperti theophyllin dan carbamazepine, pernah
digunakan dalam penggunaan clarithromyccin. Clarythromycin dioksidasi
menjadi derivat 14-hidroksi yang mempertahankan aktivitas antibiotika.
 Ekskresi: erithromycin dan azithromycin terutama terkonsentrasi dan
diekskresi dalam bentuk aktif dalam empedu. Reabsorpsi parsial terjadi
melalui sirkulasi enterohepatik. Metabolit inaktif diekskresikan dalam
urine. Sebaliknya, clarithromycin dan metabolitnya dieliminasi oleh ginjal
dan juga hati, dan dianjurkan agar dosis obat ini disesuaikan pada pasien
dengan fungsi ginjal yang menurun.
(Rahardja Kirana dan Hoan Tjay Tan, 2013)
Farmakodinamika :
Antibiotik makrolida mengikat secara ireversibel pada tempat subunit 50S
ribosom bakteri, sehingga menghambat langkah translokasi sintesis protein.
Obat ini secara umum bersifat bakteriostatik dan dapat bersifat bakterisidal
pada dosis tinggi. Antibiotik makrolida terikat di lokasi P-dari sub unit 50S
ribosom. Hal ini menyebabkan selama proses transkripsi, lokasi P ditempati
oleh makrolida. Ketika t-RNA terpasang dengan rantai peptida dan mencoba
untuk pindah ke lokasi P, t-RNA tersebut tidak dapat menuju ke lokasi P karena
adanya makrolida, sehingga akhirnya dibuang dan tidak dipakai. Hal ini dapat
mencegah transfer peptidil tRNA dari situs A ke situs-P dan memblok sintesis
protein dengan menghambat translokasi dari rantai peptida yang baru
terbentuk. Makrolida juga menyebabkan pemisahan sebelum waktunya dari
tRNA peptidal di situs A. Makrolida selain terikat di lokasi P dari RNA ribosom
50S, juga memblokir aksi dari enzim peptidil transferase. Enzim ini
bertanggung jawab untuk pembentukan ikatan peptida antara asam amino yang
terletak di lokasi Adan P dalam ribosom dengan cara menambahkan peptidil
melekat pada tRNA ke asam amino berikutnya. Dengan memblokir enzim ini,
makrolida mampu menghambat biosintesis protein dan dengan demikian
membunuh bakteri (Rahardja Kirana dan Hoan Tjay Tan, 2013).
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2007. Farmakologi dan Terapi, Edisi 5. Jakarta : Bagian Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia

Dipiro, J.T., et al. 2005. Pharmacotherapy Handbook. Sixth edition. USA : The Mc. Graw Hill
Company

Ganiswara SG, Setiabudy, Suyatna FD dkk. 1995. Farmakologi dan Terapi edisi 4. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Istriyati , Bejo Basuki. 2006. Pengaruh Pemberian Tetrasiklin Pada Induk Mencit (Mus
musculus L.) Terhadap Struktur Skeleton Fetus. Berkala Ilmiah Biologi.

Jawetz,E.,J.L. Melnick, and E.A. Adelberg. 1996. Mikrobiologi Kedokteran, Edisi 20. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC

Katzung G, Bertram. 2010. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta : Penerbit buku
kedokteran.

Lüllmann, H., H. Mohr, L. Hein and D. Bieger. 2005. Color Atlas of Pharmacology

Rahardja Kirana dan Hoan Tjay Tan. 2013. Obat-obat penting. Jakarta : PT Gramedia

Anda mungkin juga menyukai