Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PENDAHULUAN

ALO (ACUTE LUNG OEDEMA) + DIURETIK

A. DEFINISI
Acute Lung Odema (ALO) atau edema paru akut adalah terjadinya
penumpukan cairan secara massif di rongga alveoli yang menyebabkan pasien
berada dalam kedaruratan respirasi dan ancaman gagal nafas (Gumiwang, 2007).

Acute Lung Oedema (Alo) Adalah Akumulasi Cairan Di Paru Yang Terjadi
Secara Mendadak. (Aru W Sudoyo, Buku Ajar Ilmu Penyaki Dalam, 2006).

Acute Lung Oedema (Alo) Adalah Terkumpulnya Cairan Ekstravaskuler


Yang Patologis Di Dalam Paru. (Soeparman;767).

B. ETIOLOGI

Penyebab terjadinya ALO dibagi menjadi 2, yaitu:

1. Oedem Paru Kardiogenik


a. Penyakit pada arteri koronaria

Arteri yang menyuplai darah untuk jantung dapat menyempit


karena adanya deposit lemak (plaques). Serangan jantung terjadi jika
terbentuk gumpalan darah pada arteri dan menghambat aliran darah serta
merusak otot jantung yang disuplai oleh arteri tersebut. Akibatnya, otot
jantung yang mengalami gangguan tidak mampu memompa darah lagi
seperti biasa.

b. Kardiomiopati

Penyebab terjadinya kardiomiopati sendiri masih idiopatik.


Menurut beberapa ahli diyakini penyebab terbanyak terjadinya
kardiomiopati dapat disebabkan oleh infeksi pada miokard jantung
(miokarditis), penyalahgunaan alkohol dan efek racun dari obat-obatan
seperti kokain dan obat kemoterapi. Kardiomiopati menyebabkan
ventrikel kiri menjadi lemah sehingga tidak mampu mengkompensasi
suatu keadaan dimana kebutuhan jantung memompa darah lebih berat
pada keadaan infeksi. Apabila ventrikel kiri tidak mampu
mengkompensasi beban tersebut, maka darah akan kembali ke paru-
paru. Hal inilah yang akan mengakibatkan cairan menumpuk di paru-
paru (flooding).
c. Gangguan katup jantung

Pada kasus gangguan katup mitral atau aorta, katup yang


berfungsi untuk mengatur aliran darah tidak mampu membuka secara
adekuat (stenosis) atau tidak mampu menutup dengan sempurna
(insufisiensi). Hal ini menyebabkan darah mengalir kembali melalui
katub menuju paru-paru.

d. Hipertensi

Hipertensi tidak terkontrol dapat menyebabkan terjadinya


penebalan pada otot ventrikel kiri dan dapat disertai dengan penyakit
arteri koronaria.

2. Oedem Paru Non-Kardiogenik


Yaitu edema paru yang disebabkan karena kelainan pada jantung paru-paru itu
sendiri seperti :

a. Peningkatan tekanan kapiler paru.


Oleh karena peningkatan tekanan darah vena paru, misalnya pada stenosis
batub mitral, gagal jantung kiri, overload cairan infus.

b. Penurunan tekanan onkotis plasma oleh karena hipoalbuminemia.


c. Peningkatan “Negativitas tekanan interstisial”
d. Peningkatan “tekanan onkotis interstisial”

 Perubahan permeobilitas membran alveoli kapiler.


 Kegagalan sistem saluran limfatik
 Beberapa penyebab yang masih belum jelas mekanismenya
 Infeksi pada paru
 Lung injury, seperti emboli paru, smoke inhalation dan infark paru.
 Paparan toxic
 Reaksi alergi
 Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)
 Neurogenik
C. TANDA DAN GEJALA
Gambaran tanda gejala ALO dapat dibagi menurut stadiumnya (3
stadium), walaupun pada kenyataannya secara klinis sulit dideteksi secara dini.
Pembagian stadium tersebut adalah sebagai berikut:

1. Stadium 1
Adanya distensi pada pembuluh darah kecil paru yang prominen akan
mengganggu pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas difusi
CO. Keluhan pada stadium ini biasanya hanya berupa sesak napas saat
melakukan aktivitas.

2. Stadium 2
Pada stadium ini terjadi oedema paru interstisial. Batas pembuluh
darah paru menjadi kabur, demikian pula hilus serta septa interlobularis
menebal. Adanya penumpukan cairan di jaringan kendor interstisial akan
lebih mempersempit saluran napas kecil, terutama di daerah basal karena
pengaruh gravitasi. Mungkin pula terjadi reflek bronkokonstriksi yang dapat
menyebabkan sesak napas ataupun napas menjadi berat dan tersengal.

3. Stadium 3
Pada stadium ini terjadi oedema alveolar. Pertukaran gas mengalami
gangguan secara berarti, terjadi hipoksemia dan hipokapnia. Penderita tampak
mengalami sesak napas yang berat disertai batuk berbuih kemerahan (pink
froty). Kapasitas vital dan volume paru yang lain turun dengan nyata.

D. PATOFISIOLOGI
Edema, pada umumnya, berarti pembengkakan. Ini secara khas terjadi
ketikacairan dari bagian dalam pembuluh darah merembes kedalam jaringan
sekelilingnya,menyebabkan pembengkakan. Ini dapat terjadi karena terlalu
banyak tekanan dalampembuluh darah atau tidak ada cukup protein dalam
aliran darah untuk menahancairan dalam plasma (bagian dari darah yang tidak
mengandung sel-sel darah)

Edema paru adalah istilah yang digunakan ketika edema terjadi di paru.
Areayang ada diluar pembuluh darah kapiler paru ditempati oleh kantong-
kantong udarayang sangat kecil yang disebut alveoli. Ini adalah tempat
dimana oksigen dari udaradiambil oleh darah yang melaluinya, dan
karbondioksida dalam darah dikeluarkan

Kedalam alveoli untuk dihembuskan keluar. Alveoli normalnya


mempunyai dindingyang sangat tipis yang mengizinkan pertukaran udara ini,
dan cairan biasanyadijauhkan dari alveoli kecuali dinding-dinding ini
kehilangan integritasnya. Edemaparu terjadi ketika alveoli dipenuhi dengan
cairan yang merembes keluar daripembuluh darah dalam paru sebagai ganti
udara. Ini dapat menyebabkan persoalanpertukaran gas (oksigen dan
karbondioksida), berakibat pada kesulitan bernapas dan oksigenasi darah yang
buruk. Adakalanya, ini dapat dirujuk sebagai “air di dalam paru” ketika
menggambarkan kondisi ini pada pasien

Peningkatan tekanan hidrostatik kapiler paru dapat terjadi pada


Peningkatantekanan vena paru tanpa adanya gangguan fungsi ventrikel kiri
(stenosis mitral)Peningkatan tekanan vena paru sekunder oleh karena
gangguan fungsi ventrikel kiri Peningkatan tekanan kapiler paru sekunder
oleh karena peningkatan tekanan arteri pulmonalis.Penurunan tekanan onkotik
plasma pada hipoalbuminemia sekunder olehkarena penyakit ginjal, hati, atau
penyakit nutrisi

Peningkatan tekanan negatif interstisial pada pengambilan terlalu


cepatpneumotorak atau efusi pleura (unilateral); Tekanan pleura yang sangat
negatif olehkarena obstruksi saluran napas akut bersamaan dengan
peningkatan volume akhirekspirasi (asma)

ALO kardiogenik dicetuskan oleh peningkatan tekanan atau volume


yang mendadak tinggi di atrium kiri, vena pulmonalis dan diteruskan
(peningkatan tekanannya) ke kapiler dengan tekanan melebihi 25 mmHg.
Mekanisme fisiologis tersebut gagal mempertahankan keseimbangan sehingga
cairan akan membanjiri alveoli dan terjadi oedema paru. Jumlah cairan yang
menumpuk di alveoli ini sebanding dengan beratnya oedema paru. Penyakit
jantung yang potensial mengalami ALO adalah semua keadaan yang
menyebabkan peningkatan tekanan atrium kiri >25 mmHg.

Sedangkan ALO non-kardiogenik timbul terutama disebabkan oleh


kerusakan dinding kapiler paru yang dapat mengganggu permeabilitas endotel
kapiler paru sehingga menyebabkan masuknya cairan dan protein ke alveoli.
Proses tersebut akan mengakibatkan terjadinya pengeluaran sekret encer
berbuih dan berwarna pink froty. Adanya sekret ini akan mengakibatkan
gangguan pada alveolus dalam menjalankan fungsinya.

Hadirnya cairan di alveoli juga akan mengganggu fungsi surfaktan


paru sehingga akan terjadi kolaps pada kantong – kantong udara ini. Dengan
masuknya cairan ke dalam rongga interstisial/ alveoli akan berakibat
timbulnya gangguan difusi dan ventilasi oleh karena terjadi perubahan sifat
membran alveoli kapiler paru menjadi kaku dan complience menurun.
E. KLASIFIKASI
Klasifikasi killip

Kelas Gambarn Klinis Mortilitas Di Rumah Sakit

Kelas I Tidak ada tanda disfungsi LV / gagal 0-6%


jantung, tidak ada tanda dekompensasi
cordis.

Kelas II Ada gagal jantung. Kriteria diagnosis 30%


termasuk ronki, S3 gallop, hipertensi vena
pulmonal. Kongesti paru dengan ronki
basah pada setengah lapangan paru bawah.

Kelas III Gagal jantung yang berat. Oedem paru 40 %


Frank dengan ronki yang menyebar di
seluruh lapangan paru.

Kelas IV Syok kardiogenik. Tanda meliputi . 80%


hipotensi (tekanan darah sistolik ≤ 90
mmgHg) dan ada vasokonstriksi perifer
seperti oliguria, sianosis dan diaphoresis.

F. KOMPLIKASI
Kebanyakan komplikasi –komlikasi dari pulmonary edema mungkin
timbul komplikasi-komplikasi yang berhubungan dengan penyebab yang
mendasarinya lebih spesifik pulmonary edema dapat menyebabkan
pengoksigenasian darah yang dikoromikan secara parah oleh paru-paru
pengoksigenasian yang buruk (hipoksia)dapat secara potensial menjurus pada
pengantaran oksigen yang berkurang ke organ-organ yang berbeda seperti
otak.

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan laboratorim rutin (DL, BGA, LFT, RFT) dan BNP.
2. Foto thorax
Jantung Nampak membesar atau kardiomegali disertai pembesaran
ventrikel kiri dan atrium kanan, paru-paru menunjukkan adanya
kongestif ringan sampai oedem paru yang ditandai dengan gambaran
butterfly apparence atau claudy lung.
3. Pemeriksaan EKG,
Dapat menerangkan secara akurat adanya takikardia supra ventrikular
atau arterial. Selain itu, EKG dapat memprediksi adanya iskemia, infark
miokard dan LVH yang berhubungan dengan ALO kardiogenik.

4. Pemeriksaan elektromagnetik (ECG)


Didapatkan deviasi sumbu jantung kiri, hipertensi ventrikel kiri,
pembesaran atrium kiri, didapatkan gelombang P pulmonal atau
gelombang P mitral

H. PENATALAKSANAAN MEDIS
Terdapat beberapa terapi yang digunakan untuk mengatasi ALO, yaitu:

1. Menurunkan preload dan mengeluarkan volume cairan intra paru.


Nitrogliserin (NTG) dan Furosemide merupakan obat pilihan utama.
NTG spray atau tablet dapat segera diberikan sambil menunggu
pemberian NTG intravena (drip). NTG intravena diberikan dengan
titrasi yang dimulai pada dosis 10-20 meq/menit. Furosemide diberikan
IV dengan dosis awal 20-40 mg (1 mg/kg BB).
2. Penggunaan vasodilator dapat segera menurunkan tekanan darah
sistemik dan pulmonalis serta mengatasi keluhan oedema paru. Salah
satu contoh vasoldilator yang dapat digunakan adalah Nitroprusid
dengan dosis awal 40-80 meq/menit, dinaikkan 5 meq/menit setiap 5
menit sampai oedema paru teratasi atau tekanan sistolik arteri turun
dibawah 100 mmHg.
3. Penggunaan Angiotensin Converting Enzime Inhibitor. Pemberian
kaptopril oral akan menimbulkan efek dalam 0,5 jam, maksimal setelah
1-1,5 jam dan menetap selama 6-8 jam.
4. Penggunaan Inotropik. Pada penderita yang belum pernah mendapatkan
pengobatan, dapat diberikan digitalis seperti Deslano-side (Cedilanide-
D). Obat lain yang dapat dipakai adalah golongan Simpatomi-metik
(Dopamine, Dobutamine) dan golongan inhibitor Phos-phodiesterase
(Amrinone, Milrinone, Enoxumone, Piroximone).
5. Penggunaan Aminophyline, berguna apabila oedema paru disertai
bronkokonstriksi atau pada penderita yang belum jelas oedema parunya
oleh karena faktor kardiogenik atau non-kardiogenik, karena selain
bersifat bronkodilator juga mempunyai efek inotropok positif,
venodilatasi ringan dan diuretik ringan.
I. PENATALAKSANAAN KEPERAWATAN
1. Posisi ½ duduk
2. Oksigen (40 – 50%) sampai 8 liter/menit bila perlu dengan masker. Jika
memburuk (pasien makin sesak, takipneu, ronchi bertambah, PaO2 tidak
bisa dipertahankan ≥ 60 mmHg dengan O2 konsentrasi dan aliran tinggi,
retensi CO2, hipoventilasi, atau tidak mampu mengurangi cairan edema
secaraadekuat), maka dilakukan intubasi endotrakeal, suction, dan
ventilator.3.
3. Infus emergensi. Monitor tekanan darah, monitor EKG, oksimetri bila ada
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
1. Identitas, umur, jenis kelamin
2. Riwayat masuk: Pasien biasanya dibawa ke RS setelah mengalami sesak
napas, sianosis atau batuk-batuk disertai kemungkinan adanya demam tinggi
ataupun tidak. Kesadaran kadang sudah menurun dan dapat terjadi dengan
tiba-tiba pada kasus trauma.
3. Riwayat penyakit sebelumnya: Predileksi penyakit sistemik atau berdampak
sistemik seperti sepsis, pancreatitis, penyakit paru, jantung serta kelainan
organ vital bawaan serta penyakit ginjal mungkin ditemui pada pasien.
4. Pemeriksaan Fisik
a. Sistem Integumen
Subyektif : -

Obyektif : kulit pucat, cyanosis, turgor menurun (akibat dehidrasi


sekunder), banyak keringat , suhu kulit meningkat, kemerahan

b. Sistem Pulmonal
Subyektif : sesak nafas, dada tertekan, cengeng.
Obyektif : Pernafasan cuping hidung, hiperventilasi, batuk
(produktif/nonproduktif), sputum banyak, penggunaan otot bantu
pernafasan, pernafasan diafragma dan perut meningkat, Laju
pernafasan meningkat, terdengar stridor, ronchii pada lapang paru.

c. Sistem Cardiovaskuler

Subyektif : sakit kepala

Obyektif : Denyut nadi meningkat, pembuluh darah vasokontriksi,


kualitas darah menurun, Denyut jantung tidak teratur, suara jantung
tambahan

d. Sistem Neurosensori

Subyektif : gelisah, penurunan kesadaran, kejang

Obyektif : GCS menurun, refleks menurun/normal, letargi

e. Sistem Musculoskeletal
Subyektif: lemah, cepat lelah

Obyektif : tonus otot menurun, nyeri otot/normal, retraksi paru dan


penggunaan otot aksesoris pernafasan
f. Sistem genitourinaria
Subyektif: -
Obyektif : produksi urine menurun/normal,

g. Sistem digestif
Subyektif : mual, kadang muntah

Obyektif : konsistensi feses normal/diare.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membaran


alveolar kapiler
2. Kelebihan volume cairan berhubungan peningkatan preload, penurunan
kontraktilitas, retensi cairan
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai
oksigen dengan kebutuhan
4. Resiko ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan mual muntah anoreksia
INTERVENSI KEPERAWATAN

Diagnosa
No Tujuan Rencana Keperawatan Rasionalisasi
Keperawatan

1 Gangguan pertukaran Setelah dilakukan tindakan 1. Auskultasi adanya suara napas 1. Waspadai krekels yang
gas berhubungan keperawatan selama 3x15 menit tambahan menandakan kongesti cairan
dengan perubahan diharapkan Pasien menunjukkan 2. Mengurangi kerja pernapasan
membran alveolar perbaikan ventilasi dan oksigenasi 2. Bantu pasien dalam posisi fowler dan meningkatkan pertukaran
kapiler tinggi gas
Dengan kriteria hasil : 3. Mewaspadai adanya
hipoksemia dan hiperkapnea
 Hasil laboratorium BGA
3. Monitoring dan lakukan 4. Menambah sediaan 02 yang
dalam rentang normal
pemeriksaan BGA secara adekuat ke jaringan dan
 Pasien mengatakan tidak
berkala mengurangi kerja pernapasan
sesak
4. Kolaborasi pemberian oksigen
 Suara napas vesikuler
sesuai indikasi
 Tidak terjadi dipsneu
 RR dalam rentang normal, 16
– 20 kali/menit
 Tidak terdapat retraksi otot
bantu napas tambahan
2. Kelebihan volume Setelah diberikan tindakan 1. Monitoring adanya oedema dan 1. Dasar pengkajian
cairan b.d peningkatan keperawatan 3x24 jam diharapkan ascites kardiovaskuler dan respon
preload, penurunan terjadi Keadekuatan balance cairan 2. Monitoring intake dan output terhadap panyakit
kontraktilitas, dalam tubuh dengan criteria hasil: cairan pasien 2. Menunjukkan status volume
penurunan cardiac sirkulasi terjadinya/perbaikan
 Oedema menunjukkan perpindahan cairan dan
output sekunder pengurangan secara progresif respon terhadap terapi
atau teratasi 3. Peningkatan tekanan darah
 Keseimbangan intake dan 3. Lakukan pemeriksaan tekanan biasanya berhubungan
output cairan darah dan CVP secara berkala dengan kelebihan volume
 CVP dalam batas normal cairan, distensi jugularis
eksterna sehubungan dengan
kongesti vaskuler
4. Kolaborasi pemberian diet 4. Meminimalkan retensi cairan
rendah natrium dalam area ekstravaskuler
5. Kolaborasi pembatasan intake 5. Digunakan dengan perhatian
cairan per oral max. 500 cc/24 mengontrol edema dan asites
jam, atau pemberian cairan
parenteral
6. Kolaborasi pemberian diuretic
sesuai indikasi (Lasix ,
Furosemid)
3. Intoleransi aktivitas Setelah diberikan tindakan 1. Evaluasi respon pasien saat 1. Mengetahui sejauh mana
berhubungan dengan keperawatan selama 3x24 jam klien beraktivitas, catat keluhan dan kemampuan pasien dalam
ketidakseimbangan menunjukkan toleransi dalam tingkat aktivitas serta adanya melakukan aktivitas.
suplai oksigen dengan peningkatan aktivitas dengan kriteria perubahan tanda-tanda vital 2. Memacu pasien untuk berlatih
kebutuhan hasil: 2. Bantu Px memenuhi secara aktif dan mandiri.
kebutuhannya 3. Memberi pendidikan pada Px
 Berpartisipasi dalam aktivitas 3. Awasi Px saat melakukan dan keluarga dalam perawatan
fisik tanpa disertai aktivitas selanjutnya.
peningkatan darah, nadi dan 4. Libatkan keluarga dalam 4. Kelemahan suatu tanda Px
RR perawatan pasien. belum mampu beraktivitas
 Mampu melakukan aktivitas 5. Jelaskan pada pasien tentang secara penuh.
sehari-hari secara mandiri perlunya keseimbangan antara 5. Istirahat perlu untuk
 Keseimbangan aktivitas dan aktivitas dan istirahat menurunkan kebutuhan
istirahat 6. Motivasi dan awasi pasien untuk metabolisme
melakukan aktivitas secara 6. Aktivitas yang teratur dan
bertahap bertahap akan membantu
mengembalikan pasien pada
kondisi normal.
LAPORAN PENDAHULUAN

DIURETIK

A. PENGERTIAN
Pengeluaran urin atau diuresis dapat diartikan sebagai penambahan
produksi volume urin yang dikeluarkan dan pengeluaran jumlah zat zat terlarut
dalam air.Obat-obatan yang menyebabkan suatu keadaan meningkatnya aliran
urine disebut Diuretik. Obat-obat ini merupakan penghambat transpor ion yang
menurunkan reabsorbsi Na+ dan ion lain seperti Cl+ memasuki urine dalam
jumlah lebih banyak dibandingkan dalam keadaan normal bersama-sama air, yang
mengangkut secara pasif untuk mempertahankan keseimbangan osmotic.
Perubahan Osmotik dimana dalam tubulus menjadi meningkat karena Natrium
lebih banyak dalam urine, dan mengikat air lebih banyak didalam tubulus
ginjal.Dan produksi urine menjadi lebih banyak.Dengan demikian diuretic
meningkatkan volume urine dan sering mengubah PH-nya serta komposisi ion
didalam urine dan darah.Diuretika adalah senyawa yang dapat menyebabkan
ekskresi urin yang lebih banyak.Jika pada peningkatan ekskresi garam-garam,
maka diuretika ini dinamakan saluretika atau natriuretika (diuretika dalam arti
sempit).( Mutschler, 2011)
Fungsi utama ginjal adalah memelihara kemurnian darah dengan jalan
mengeluarkan semua zat asing dan sisa pertukaran zat dari dalam darah dimana
semuanya melintasi saringan ginjal kecuali zat putih telur dan sel-sel darah.
Fungsi penting lainnya adalah meregulasi kadar garam dan cairan tubuh.
Ginjal merupakan organ terpenting pada pengaturan homeostasis, yakni
keseimbangan dinamis antara cairan intra dan ekstrasel, serta pemeliharaan
volume total dan susunan cairan ekstrasel. Hal ini terutama tergantung dari jumlah
ion Na+, yang untuk sebagian besar terdapat di luar sel, di cairan antarsel, dan di
plasma darah.
Proses pembentukan urine. Ginjal memproduksi urine yang mengandung
zat sisa metabolik dan mengatur komposisi cairan tubuh memelalui tiga proses
utama (Sloane, 2013):
1. Filtrasi
Filtrasi glemerular adalah perpindahan cairan dan zat terlarut dan kapiler
glomerular, dalam tekanan tertentu ke dalam kapsul bowman.

2. Reabsobsi
Reabsorpsi tubulus sebagian besar fiktrat (99%) secara selektif direabsorpsi aktif
terhadap dalam tubulus ginjal melalui difusis pasif gradien kimia atau listrik,
transpor aktif terhadap gradien tersebut.
3. Sekresi
Sekresi tubukar adalah proses aktif yang memindahakan zat keluar dari darah
dalam kapilar pertibular melewati sel-sel tubular menuju cairan tubukar untuk
dikeluarkan dalam urine.

Diuretika adalah zat-zat yang dapat memperbanyak kemih (diuresis)


melalui kerja langsung terhadap ginjal.Obat-obat lainnya yang menstimulasi
diuresis dengan mempengaruhi ginjal secara tak langsung tidak termasuk dalam
definisi ini, misalnya zat-zat yang memperkuat kontraksi jantung (digoksin,
teofilin), memperbesar volume darah (dekstran), atau merintangi sekresi hormon
antidiuretik ADH (air, alkohol).

B. MEKANISME KERJA DIURETIKA


Kebanyakan diuretika bekerja dengan mengurangi reabsorpsi natrium,
sehingga pengeluarannya lewat kemih dan demikian juga dari air-diperbanyak.
Obat-obat ini bekerja khusus terhadap tubuli, tetapi juga ditempat lain, yakni:
1. Tubuli proksimal.
Ultrafiltrat mengandung sejumlah besar garam yang di sini direabsorpsi secera
aktif untuk 70%, antara lain ion Na+ dan air, begitu pula glukosa dan ureum.
Karena reabsopsi belangsung secara proporsional, maka susunan filtrat tidak
berubah dan tetap isotonis terhap plama.Diuretik osmosis bekerja di tubulus
proksimal dengan merintangi rabsorpsi air dan natrium.
2. Lengkungan Henle.
Di bagian menaiknya ca 25% dari semua ion Cl- yang telah difiltrasi direabsorpsi
secara aktif, disusul dengan raborpsi pasif dari Na+ dan K+, tetapi tanpa air,
hingga filtrat menjadi hipotonis. Diuretika lengkungan bekerja terutama di sini
dengan merintangi transpor Cl- begitupula reabsorpsi Na+, pengeluaran air dan
K+ diperbanyak .
3. Tubuli distal.
Dibagian pertmanya, Na+ dirabsorpsi secara aktif tanpa air hingga filtrat menjadi
lebi cair dan lebih hipotonis.Senyawa tiazida dan klortalidon bekerja di tempat ini
dengan memperbanyak eksresi Na+ dan Cl- sebesar 5-10%. Pada bagian
keduanya, ion Na+ ditukarkan dengan ion K+ atau NH4+ proses ini dikendalikan
oleh hormon anak ginjal aldosteron. Antagonis aldosteron dan zat-zat penghemat
kalium bekerja di sini dengan mengekskresi Na+ dan retensi K+ .
4. Saluran Pengumpul.
Hormon antidiuretik (ADH) dan hipofise bekerja di sini dengan mempengaruhi
permeabilitas bagi air dari sel-sel saluran ini.

C. PENGGOLONGAN DIURETIK
Diuretik dapat dibagi dalam beberapa kelompok, yakni :
a. Diuretik Kuat
Diuretik kuat ini bekerja pada Ansa Henle bagian asenden pada bagian
dengan epitel tebal dengan cara menghambat transport elektrolit natrium, kalium,
dan klorida.Obat-obat ini berkhasiat kuat dan pesat tetapi agak singkat (4-6).
Banyak digunakan dalam keadaan akut, misalnya pada udema otak dan paru-
paru.Memiliki kurva dosis-efek curam, yaitu bila dosis dinaikkan efeknya
senantiasa bertambah.Contoh obatnya adalah furosemida yang merupakan turunan
sulfonamid dan dapat digunakan untuk obat hipertensi. Mekanisme kerjanya
dengan menghambat reabsorpsi Na dan Cl di bagian ascending dari loop Henle
(lengkungan Henle) dan tubulus distal, mempengaruhi sistem kontrasport Cl-
binding, yang menyebabkan naiknya eksresi air, Na, Mg, dan Ca. Contoh obat
paten: frusemide, lasix, impugan. Yang termasuk diuretik kuat adalah ; asam
etakrinat, furosemid dan bumetamid.
Farmakokinetik Furosemid
 Onset diuresis : Oral antara 30-60 menit, im 30 menit, iv 5 menit.
 Efek puncak : Oral dicapai 1-2 jam setelah pemberian.
 Durasi : 6-8 jam, iv 2 jam.
 Absorpsi : Oral 60-67%
 Ikatan dengan protein : >98%
 T1/2 : Fungsi ginjal normal 0,5-1,1 jam, end-stage renal
disease 9 jam.
 Eliminasi : 50% dari pemberian oral atau 80% iv
diekskresikan melalui urin setelah 24 jam.(Anonim, 2006)

b. Diuretic hemat kalium


Diuretik hemat kalium ini bekerja pada hilir tubuli distal dan duktus
koligentes daerah korteks dengan cara menghambat reabsorpsi natrium dan
sekresi kalium dengan jalan antagonisme kompetitif (sipironolakton) atau secara
langsung (triamteren dan amilorida). Efek obat-obat ini lemah dan khusus
digunakan terkominasi dengan diuretika lainnya untuk menghemat
kalium.Aldosteron enstiulasi reabsorpsi Na dan ekskresi K, proses ini dihambat
secara kompetitif oleh antagonis alosteron.Contoh obatnya adalah spironolakton
yang merupakan pengambat aldosteron mempunyai struktur mirip dengan hormon
alamiah. Kerjanya mulai setelah 2-3 hari dan bertahan sampai beberap hari setelah
pengobatan dihentikan.Daya diuretisnya agal lemah sehingga dikombinasikan
dengan diuretika lainnya.Efek dari kombinasi ini adalah adisi.Pada gagal jantung
berat, spironolakton dapat mengurangi resiko kematian sampai 30%.Resorpsinya
di usus tidak lengkap dan diperbesar oleh makanan.
Yang termasuk diuretic hemat kalium, dintaranya :
1. Spironolakton
Spirinolakton merupakan antagonis aldosteron yang bersaing dengan
aldosteron untuk mencapai reseptor sitoplasma intraselullar.
Digunakan dalam terapi :
Diuretik : meskipun spirinolakton memiliki efektifitas yang rendah dalam
memobilisasi Na+ dari tubuh dibandingkan dengan obat-obat lain, namun
obat ini memiliki sifat yang berguna dalam menyebabkan retensi K+.
Hiperaldosteronisme sekunder : merupakan satu-satunya diuretic hemat
kalium yang digunakan tunggal secara rutin untuk menimbulkan efek
negative bersih keseimbangan garam. Obat ini terutama efektif dalam
keadaan klinik yang disertai hiperaldosteronisme sekunder.
a. Farmakokinetik
Spirnolakton diabsorpsi sempurna peroral dan terikat erat pada protein.
b. Efek Samping
Hiperkalemia, mual, alergi, dan kebingungan mental.

2. Triamteren dan amilorid


Merupakan penghambat saluran transport Na+ menyebabkan penurunan
pertukaran Na+ - K+, obat-obatan ini memiliki efek diuretic hemat kalium
sama dengan spironolakton. Namun, kemampuan obat ini untuk
menghambat tempat pertukaran K+ -Na+ di tubulus renalis rektus tidak
tergantung pada kehadiran aldosteron jadi obat ini memiliki aktifitas
diuretic walaupun pada individu pada penyakit adison.
a. Efek Samping
Kejang pada kaki dan kemungkinan meningkatkan nitrogen darah serta
asam urat dan retensi K+.

c. Diuretik golongan tiazid


Diuretik golongan tiazid ini bekerja pada hulu tubuli distal dengan cara
menghambat reabsorpsi natrium klorida. Efeknya lebih lemah dan lambat, juga
lebih lama, terutama digunakan pada terapi pemeliharaan hipertensi dan
kelemahan jantung.Memiliki kurva dosis-efek datar yaitu jika dosis optimal
dinaikkan, efeknya (diuresis dan penurunan tekanan darah) tidak bertambah.
Obat-obat diuretik yang termsuk golongan ini adalah ; klorotiazid,
hidroklorotiazid, hidroflumetiazid, bendroflumetiazid, politiazid, benztiazid,
siklotiazid, metiklotiazid, klortalidon, kuinetazon, dan indapamid.
hidroklorthiazida adalah senyawa sulfamoyl dari turunan klorthiazida
yang dikembangkan dari sulfonamid. Bekerja pada tubulus distal, efek
diuretiknya lebih ringan daripada diuretika lengkungan tetapi lebih lama yaitu 6-
12 jam.Banyak digunakan sebagai pilihan pertama untuk hipertensi ringan sampai
sedang karenadaya hipitensifnya lebih kuat pada jangka panjang.Resorpsi di usus
sampai 80% dengan waktu paruh 6-15 jam dan diekskresi lewat urin secara
utuh.Contoh obat patennya adalah Lorinid, Moduretik, Dytenzide (Aidan, 2008).
Adapun yang termasuk kedalam golongan tiazid diantaranya :
1. Klorotiazid
Klorotiazid merupakan golongan tiazid modern pertama yang aktif peroral
dan mampu mempengaruhi edema berat yang disebabkan oleh sirosis hati dan
gagal jantung kongestif dengan efek samping yang minimum.Sifat-sifatnya
memiliki kelompok tiazid walaupun derifat yang lebih baru seperti hidroklotiazid
atau klortalidon yang sekarang lebih sering digunakan.
Penggunanan dalam terapi :
a. Hipertensi : Secara klinis, tiazid telah lama digunakan sebagai obat pertama
dalam pengobatan hipertensi karena tidak mahal, mudah diberikan, dan
ditoleransi dengan baik oleh tubuh. Obat-obat ini efektif menurunkan tekanan
darah sistolik dan diastolic untuk jangka waktu yang lama pada kebanyakan
pasien dengan hipertensi esensial ringan dan sedang.
b. Gagal Jantung Kongestif : tiazid dapat menjadi diuretic pilihan utama dalam
penurunan volume cairan ekstraselular pada gagal jantung ringan ampai
sedang.
c. Hiperklasiuria : Tiazid dapat berguna dalam mengobati hiperklasiuria
idiopatik karena penghambatan ekskresi Ca++ urine. Hal ini terutama berguna
untuk pasien dengan batu kalsium oksalat didalam salura kemih.
d. Diabetes Insipidus : Tiazid meiliki kemampuan yang unik untuk membentuk
urine yang hiperosmolar. Tiazid dapat menggantikan hormone antidiuretik
untuk mengobati diabetes insipidus nefrogenik. Volume urine pada pasien
seperti ini dapat turun dari 11 liter/hari menjadi sekiter 3liter/hari b ila diobati
dengan obat ini.
Farmakokinetik :
Obat-obatan ini efektif peroral. Kebanyakan tiazid, memerlukan waktu 1-3
minggu untuk mencapai penurunan tekanan darah yang stabil, dan obat ini
menunjukan waktu paruh biologis yang panjang (40 jam). Seua tiazid disekresi
oleh system sekresi asam organic gijal.
Efek Samping:
Kehilangan kalium, Hiperurisemia, Pengurangan volume, hiperkalsemia,
hiperglikemia, hipersensitifitas.

2. Hidroklorotiazid
Hidroklorotiazid adalah direvat tiazd yang telah terbukti lebih popular
dibandingkan obat induk.Hal ini karena kemampuannya untuk menghambat
karbonik anhidrase kurang dibandingkan klorotiazid.Obat ini juga lebih kuat,
sehinga dosis yang diperlukan kurang dibandingkan klorotiazid. Selain itu,
efektivitas sama dengan obat induknya.

3. Klortalidon
Klortalidon adalah merupakan suatu derivat tiazid yang bersifat seperti
hidroklorotiazid.Memiliki ,asa kerja yang panjang dank arena itu sering
digunakan untuk mengobati hipertensi. Diberikan sekali sehari untuk indikasi ini.

4. Analog Tiazid
1) Metolazon : lebih kuat dari tiazid dan tidak seperti tiazid, obat ini
menyebabkan Na+ pada gagal ginjal lanjut.
2) Indapamid : larut dalam lipid, merupakan diuretic bukan gologan tiazid yang
memiliki masa kerja panjang. Pada dosis rendah, obat ini memperlihatkan
efek anti hipertensi yang bermakna dengan efek diuretic yang minimal.
Indapamid sering digunakan pada gagal ginjal yang lanjut untuk merangsang
diuresis tambahan diatas duresis yang telah dicapai oleh diuretic kuat.
Indapamid di metabolism dan diekresi oleh saluran pencernaan dan ginjal,
oleh karena itu sedikit kemungkinan untuk terakumulasi dengan pasien
dengan gagal ginjal dan mungkin berguna untuk pengobatan.

d. Diuretik golongan penghambat enzim karbonik anhidrase


Diuretik ini bekerja pada tubuli Proksimal dengan cara menghambat
reabsorpsi bikarbonat. Zat ini merintangi enzim karbonanhidrase di tubuli
proksimal, sehingga disamping karbonat, juga Na dan K diekskresikan lebih
banyak, bersamaan dengan air.Khasiat diuretiknya lemah, setelah beberapa hari
terjadi tachyfylaxie maka perlu digunakan secara berselang-
seling.Asetozolamidditurunkan r sulfanilamid. Efek diuresisnya berdasarkan
penghalangan enzim karboanhidrase yang mengkatalis reaksi berikut:
CO2 + H2O H2CO3 H+ + HCO3+
Akibat pengambatan itu di tubuli proksimal, maka tidak ada cukup ion H+
lagi untuk ditukarkan dengan Na sehingga terjadi peningkatan ekskresi Na, K,
bikarbonat, dan air. Obat ini dapat digunakan sebagai obat
antiepilepsi.Resorpsinya baik dan mulai bekerja dl 1-3 jam dan bertahan selama
10 jam.Waktu paruhnya dalam plasma adalah 3-6 jam dan diekskresikan lewat
urin secara utuh.Obat patennya adalah Miamox.Yang termasuk golongan diuretik
ini adalah asetazolamid, diklorofenamid dan meatzolamid.
Mekanisme Kerja :
Asetazolamid menghambat karbonik anhidrase yang terletak didalam sel dan
membrane tubulus proksimal.Karbonik anhidrase mengkatalisis reaksi CO2 dan H2O
menjadi H+ dan HCO3 (bikarbonat).Penurunan kemampuan untuk menukar
NA+ untuk H+ dengan adanya asetazolamid menyebabkan diuresis ringan.Selain itu,
HCO3 dipertahankan dalam lumen yang ditandai dengan penigkatan PH
urine.Hilangnya HCO3 menyebabkan asidosis metabolism hiperkloremik dan
penurunan kemampuan diuresis setelah beberapa hari pengobatan.
Penggunaan dalam Terapi
a. Pengobatan Glaukoma: penggunaan klinik asetazolamid yang paling umum adalah
untuk menurukan kenaikan tekanan dalam bola mata glukoma sudut terbuka.
Aetazolamid menurunkan produksi aqueous humor, ungkin dengan menghambat
karbonik anhidrase pada corvus siliaris mata. Obat ini berguna untuk pengobatan
kronis glaucoma tetapi tidak digunakan untuk serangan akut.
b. Epilepsi : asetazolamid kadang-kadang digunakan pada pengobatan epilepsy baik
yang grand mal maupun petit mal. Obat ini mengurangi berat dan tingkat serangan
kejang. Asetazolamid sering digunakan secara kronis bersam-sama dengan obat-
obat antiepilepsi untuk meningkatkan kerja obat-obat.
c. Mountain Sickness : sedikit asetazolamid dapata digunakan untuk pencegahan
mountain sickness akut.
Farmakokinetik
Asetazolamid diberikan peroral setiap hari.
Efek Samping
Asedosis metabolic ( ringan), penurunan kalium, pembentukan batu ginjal,
mengantuk, dan parestasia mungkin akan terjadi.

e. Diuretik osmotik
Istilah diuretic Osmotik biasanya dipakai untuk zat bukan elektrolit yang mudah
dan cepat diskskresi oleh ginjal. Suatu zat dapat bertindak sebagai diuretic
osmotic apabila memenuhi 4 syarat:
1. difiltrasi secara bebas oleh glomerulus.
2. tidak atau hanya sedikit direbasorbsi sel tubulus ginjal.
3. secara farmakologis merupakan zat yang inert, dan
4. umumnya resisten terhadap perubahan-perubahan metabolic.
Dengan sifat-sifat ini, maka diueretik osmotic dapat diberikan dalam jumlah
cukup besar sehingga turut menentukan derajat osmolalitas plasma, filtrate
glomerulus dan cairan tubuli
Diuretik osmotik mempunyai tempat kerja :
o Tubuli proksimal
 Diuretik osmotik ini bekerja pada tubuli proksimal dengan cara
menghambat reabsorpsi natrium dan air melalui daya osmotiknya.
o Ansa henle
 Diuretik osmotik ini bekerja pada ansa henle dengan cara
menghambat reabsorpsi natrium dan air oleh karena hipertonisitas
daerah medula menurun.
o Duktus Koligentes
 Diuretik osmotik ini bekerja pada Duktus Koligentes dengan cara
menghambat reabsorpsi natrium dan air akibat adanya papillary
wash out, kecepatan aliran filtrat yang tinggi, atau adanya faktor
lain.
 Obat-obat ini direabsorpsi sedikit oleh tubuli sehingga reabsorpsi
air juga terbatas. Efeknya al diuresis osmotik dengan ekskresi air
tinggi dan eksresi Na sedikit. Istilah diuretik osmotik biasanya
dipakaiuntuk zat bukan elektrolit yang mudah dan cepat diekskresi
oeh ginjal. Contoh dari diuretik osmotik adalah ; manitol, urea,
gliserin dan isisorbid.
Yang termasuk golongan ini adalah :
1. Manitol
a. Manitol merupakan obat yang sering digunakan diantara obat lain, karena
manitol tidak mengalami metabolisme dalam badan dan hanay sedikit sekali
di reabsorpsi. Manitol digunakan misalnya untuk mencegah gagal ginjal akut
atau untuk mengatasi oliguria, dosis manitol total yang diberikan untuk
dewasa 50-100gr, untuk menurunkan tekanan intracranial yang meninggi,
menurunkan tekanan intraokuler pada serangan akut glaucoma kongestiv atau
sebelum operasi mata, digunakan manitol 1,5 – 2 g/kg BB sebagai larutan 15-
20%, yang diberikan melalui infuse selama 30-60 menit. Manitol
dikontrainsikasikan pada penyakit ginjal dengan anuria, kongesti atau udem
paru yang berat, dehidrasi hebat dan pendarahan intracranial kecuali bila akan
dilaukan kraniotonomi. Infuse monitol harus segera dihentikan bila terdapat
tanda-tanda gangguan fungsi ginjal yang progresif, payah jantung atau
kongesti paru.
2. Urea
a. Merupakan suatu Kristal putih dengan rasa agak pahit dan mudah larut
dalam air. Sediaan intravena mengandug urea sampai 30% dalam dekstrose
5% (iso-osmotik) sebab urea murni dapat menimbulkan hemolisis. Pada
tindakan bedah syaraf, urea diberikan intravena dengan dosis 1-1,5g/KgBB.
Sebagai diuretic, urea potensinya lebih lemah dibandingkan dengan monitol,
karena 50% senyawa urea ini akan direabsorpsi oleh tubuli ginjal
3. Gliserin
a. Diberikan peroral sebelum suatu tindakan optalmologi dengan tujuan
menurunkan tekanan intraokuler. Efek maksimal terlihat satu jam sesudah
pemberian obat dan menghilang sesudah 5 jam. Dosis untuk orang dewasa
yaitu 1-1,5g/KgBB dalam larutan 50 atau 75%. Gliserin ini cepat
dimetabolisme, sehingga efek diuresisnya relative kecil.
4. Isosorbid
a. Diberikan secara oral untuk indikasi yang sama dengan gliserin. Efeknya
juga sama, hanaya isosorbid menimbulkan diuresis yang lebih besar daripada
fliserin, tanpa menimbulkan hiperglikemia. Dosis berkisar antara 1-3g/KgBB,
dan dapat diberikan 2-4 kali sehari

f. Xantin
Xantin mempunyai efek diuresis.Efek stimulasinya pada jantung,
menimbulkan dugaan bahwa diuresis sebagian disebabkan oleh
peningkatannya aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus.Namun,
semua derivate xantin ini berefek langsung pada tubuli ginjal yaitu
menyebabkan peningkatan ekskresi Na+ dan Cl- tanpa disertai perubahan
yang nyata pada pengasaman urine.Efek diuresis ini hanya edikit
dipengaruhi oleh keseimbangan asam basa, tetapi mengalami potensiasi
bila diberikan bersama penghambat karbonik anhidrase.
Diantara kelompok xantin, teofilin memperlihatkan efek diuresis
yang paling kuat. Xatin sangat jarang digunakan sebagai diuretic utama,
namun bila digunakan untuk tujuan lain terutama sebagai bronkodilator
adanya efek diuresis harus tetap diingat.
D. Pemilihan Diuretik
Diuretik thiazide tepat untuk digunakan pada sebagian besar pasien
dengan hipertensi ringan atau sedang serta dengan fungsi jantung dan ginjal
normal. Diuretik yang lebih kuat (misalnya, diuretik yang bekerja pada loop of
henle) diperlukan untuk hipertensi parah, apabila digunakan pada kombinasi obat
yang menyebabkan retensi natrium. Pada insufisiensi ginjal, bila tingkat filtrasi
glumeruler kurang dari 30 atau 40 mL/menit. Pada gagal jantung atau sirosis,
ketika terdapat retensi natrium.
Diuretik hemat-kalium (potassium-sparing) berguna untuk menghindari
terjadinya deplesi kalium yang berlebihan, khususnya pada pasien yang
menggunakan digitalis dan untuk memperkuat efek natriuretik diuretik
lainnya.(Katzung, 2006).

E. Penentuan Dosis
Walaupun farmakokinetik dan farmakodinamik berbagai diuretik berbeda,
tetapi titik akhir efek terapeutik dalam pengobatan hipertensi umumnya adalah
pada efek natriuresisnya. Walaupun demikian, harus diketahui bahwa dalam
keadaan tunak (steady-state; seperti pada penanganan jangka panjang hipertensi),
ekskresi natrium harian sama sama dengan pemasukan natrium dari makanan.
Diuretik diperlukan untuk melawan kecendrungan terjadinya retensi natrium pada
pasien dengan deplesi natrium yang relatif.Walaupun diuretik thiazide lebih
bersifat natriuretik pada dosis tinggi (100-200 mg hydrochlorothiazide), bila
digunakan sebagai obat tunggal, dosis rendah (25-50 mg) memberikan efek
antidiuretik seperti halnya pada dosis tinggi.(Katzung, 2006).

F. Toksisitas Diuretik
Pada pengobatan hipertensi, sebagian besar efek samping yang lazim
terjadi adalah deplesi kalium. Walaupun hipokalemia ringan dapat ditoleransi oleh
banyak pasien , hipokalemia dapat berbahaya pada pasien yang menggunakan
digitalis, pasien dengan aritmia kronis, pada infarktus miokardium akut atau
disfungsi ventrikel kiri. Kehilangan kalium diimbangi dengan reabsorpsi natrium.
Oleh karenanya ,pembatasan asupan natrium dapat meminimalkan kehilangan
kalium. Diuretik glukosa, dan peningkatan konsentrasi lemak serum. Diuretik
dapat meningkatkan konsentrasi uric acid dan menyebabkan terjadinya gout
(pirai). Penggunaan dosis rendah dapat meminimalkan efek metabolik yang tidak
diinginkan tanpa mengganggu efek antihipertensinya.(Katzung, 2006).
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, 2007. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta: EGC

Colquhaun, M. C, 2004. ABC of Resusitation 5th Edition. London: BMJ Publishing

Doengoes, 2000. Rencana Asuhan Keperawatan, edisi 3. Penerbit buku kedokteran EGC,
Jakarta.

Frizzell, et all, 2001. Handbook of Pathophysiology. New York: Springhouse corp

Griffiths, M. J. D, 2004. Respiratory Management in Critical Care. London: BMJ


Publishing

Harijono Achmad, Dr. DSPD, 1994. Penyakit Dalam Praktis Malang. Penerbit lab / IMF
Ilmu Penyakit dalam, FK Unibraw.

Hudak&Gallo, 2005. Keperawatan Kritis. Jakarta: EGC

Linda Juall Carpenito, 2000. Diagnosa Keperawatan Aplikasi Pada Praktek Klinis. Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.

Price, Wilson, 2006. Patolofisologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC

Smeltzer, BG., 2000. Brunner’s and Suddarth’s Textbook of Medical Surgical Nursing 3
ed. Philadelpia: LWW Publisher.

Anonym.2015. Farmakope Indonesia edisi IV. Depkes RI : Jakarta

Katzung, B.G, 2008. Farmakologi Dasar dan Klinik Jakarta ; Penerbit Buku Kedokteran

EGC

Priyanto, 2008, Farmakologi Dasar Edisi II, Depok : Leskonfi

Tim Penyusun, 2007, Farmakologi dan Terapi Edisi V, Jakarta : Departemen

Farmakologi FKUI
PATHWAY ACUTE LUNG OEDEM (ALO)

Terjadi peningkatan jumlah cairan dan koloid di


ruang interstisial yang berasal dari kapiler paru.
Celah endotel paru mulai melebar akibat
peningkatan tekanan hidrostatis atau efek toksik

Kapasitas limfatik untuk mengeluarkan cairan sudah


melampaui batas sehingga cairan mulai terkumpul di
interstisial

Acute Lung Oedema

Cairan interstisial melebihi Terjadi peningkatan


Kelebihan
kapasitas sistem limfatik aliran limfatik
volume
cairan
Edema dinding alveolar
Perubahan hubungan
tekanan
Gangguan
Komplians paru menurun pertukaran
Obstruksi pada saluran
gas
pernapsan kecil

takipnea Ketidakseimbangan
antara ventilasi dan hipoksemia
aliran darah
Ketidakefektifan
pola napas
Hipoksemia
memburuk

Hiperventilasi
dengan alkalosis
respiratorik

Anda mungkin juga menyukai