Timothy Siahaan
99/126784/PA/07593
Timothy Siahaan
99/126784/PA/07593
Timothy Siahaan
99/126784/PA/07593
Tim Penguji
Penguji III
Skripsi ini kupersembahkan
iii
Janganlah kecut dan tawar hati, sebab Tuhan, Allahmu, menyertai engkau, ke
manapun engkau pergi
(Yosua 1:9)
(Mazmur 63:7,8)
Takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan, tetapi orang bodoh menghi-
na hikmat dan didikan
(Amsal 1:7)
iv
PRAKATA
Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala rahmat serta kasih se-
tiaNya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sesung-
guhnya Tuhanlah Pencipta alam semesta, dan segala usaha kita untuk mengungkap
rahasia ciptaanNya akan sia-sia tanpa campur tangan Sang Pencipta yang Agung.
Segala kata tidak akan dapat melukiskan puji syukur penulis kepadaNya atas semua
campur tangan pertolonganNya dalam proses penulisan skripsi ini.
Dalam penulisan skripsi ini penulis menyadari bahwa apa yang penulis da-
patkan di bangku perkuliahan belumlah apa-apa dibandingkan dengan ilmu fisika.
Penulis juga menjadi terbuka wawasannya dan menyadari bahwa ilmu fisika, khusus-
nya fisika teori, terus berkembang selama manusia masih dapat berpikir. Kesadaran
penulis akan hal itu menyebabkan penulis dipenuhi semangat untuk berkreasi mengem-
bangkan teori yang telah ada. Sekarang setelah penulis merampungkan skripsi ini,
penulis menyadari bahwa dibutuhkan dua hal agar manusia dapat melakukan sesuatu,
yakni izin Tuhan serta optimisme manusia tersebut bahwa dia mampu melakukannya.
Dalam penulisan skripsi dan masa perkuliahan banyak pihak yang telah ber-
jasa kepada penulis, kepada mereka penulis mengucapkan terima kasih. Adapun uca-
pan terima kasih penulis tujukan kepada:
1. Tuhan Yesus Kristus, yang begitu baik bagi penulis, membuka cakrawala dan
memberi gagasan-gagasan kreatif dalam pikiran penulis.
2. Papa dan Mama tercinta, yang tidak henti-hentinya memberi dukungan moral,
semangat, dan cinta kasih yang tak pernah menuntut balas.
v
vi
adalah teladan dan semangat untuk memberi kontribusi kepada ilmu penge-
tahuan. Penulis saat ini hanya dapat membalas semua yang bapak berikan den-
gan ucapan terima kasih, dan di kemudian hari sekiranya Tuhan mengizinkan,
penulis ingin membalas semua kebaikan yang telah bapak berikan kepada penulis
dan juga berkolaborasi dalam usaha memberi kontribusi bagi fisika.
4. Dr. Mirza Satriawan, yang telah banyak memberikan waktu dan tenaga untuk
membimbing penulis, berdiskusi, dan memberikan wawasan mengenai fisika.
Kalau Tuhan mengizinkan, penulis ingin sekali berkolaborasi dengan bapak
dalam berbagai riset yang menantang.
5. Prof.Dr. Muslim, yang banyak memberi teladan untuk tidak takut kepada keru-
mitan perhitungan. Walaupun penulis mendapat perkuliahan dari bapak hanya
pada tahun pertama, tetapi torehan selama tahun pertama itu membekas sampai
saat ini sehingga penulis memutuskan untuk terjun dalam fisika teori.
6. Staf pengajar program studi fisika yang telah membimbing selama masa perku-
liahan, yang telah mau diganggu oleh pertanyaan-pertanyaan penulis selama di
kelas.
7. Ria Endriana Utami, yang terus memberikan dukungan moril dan kasih sayang
yang tidak henti-hentinya kepada penulis. Terima kasih untuk semua yang ka-
mu berikan kepada penulis. Kejarlah terus cita-citamu dan sukses untuk kita
berdua.
9. Pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu demi satu, yang telah banyak
memberi bantuan, baik dalam penulisan skripsi ini maupun dalam perkuliahan.
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman Judul i
Halaman Pengesahan ii
Halaman Motto iv
PRAKATA v
INTISARI xii
I PENDAHULUAN 1
1. Latar Belakang Masalah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1
2. Perumusan Masalah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 3
3. Tujuan Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 4
4. Tinjauan Pustaka . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 5
5. Ruang Lingkup Kajian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 6
6. Sistematika Penulisan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 7
7. Metode Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 8
viii
ix
x
xi
Oleh :
Timothy Siahaan
99/126784/PA/07593
Telah dilakukan kajian mengenai medan Klein-Gordon dan medan Dirac pada
ruang Minkowski tak komutatif dengan menggunakan teori Lagrangan untuk medan
yang telah diperumum. Perumuman teori Lagrangan untuk medan menghasilkan
perumuman definisi Hamiltonan, momentum, dan momentum sudut suatu medan.
Definisi-definisi tersebut digunakan dalam kajian mengenai medan Klein-Gordon dan
medan Dirac pada ruang Minkowski tak komutatif.
xii
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
dengan θµν suatu tensor yang bernilai riil dan antismetris terhadap pertukaran indeks.
Kaitan komutasi (I.1) berimbas pada terbentuknya suatu aljabar fungsi-fungsi licin
(smooth functions) yang terdefinisikan pada ruang Minkowski (dapat dilihat misalnya
pada [Siahaan dkk , 2004]).
Berbagai kajian teoritis mengenai teori medan (kuantum) pada ruang-waktu
tak komutatif telah dilakukan dan artikel-artikel mengenai teori medan pada ruang-
waktu tak komutatif telah dipublikasikan, namun belum ada artikel yang secara khusus
membahas medan Klein-Gordon dan medan Dirac2 . Dalam berbagai artikel dise-
butkan bahwa pembahasan mengenai medan bebas tidak akan memberikan hal yang
baru (lihat misalnya [Girotti , 2003], [Sochichiu , 2002], [Szabo , 2003]) karena sifat
dari perkalian tak komutatif (disebut sebagai perkalian-bintang atau star-product (?)
– akan dibahas pada bab kedua dalam skripsi ini) antara dua fungsi licin yang ter-
integralkan secara kuadratis akan tereduksi menjadi perkalian biasa jika dilakukan
integrasi ke seluruh ruang-waktu
Z ∞ Z ∞
4
f ? gd x = f gd4 x. (I.2)
−∞ −∞
Sifat di atas berlaku jika terdapat fungsi licin f˜(k) (dan juga g̃(k)) pada ruang momentum-
4 sedemikian sehingga
Z ∞
µ
f (x) = f˜(k)eikµ x d4 x. (I.3)
−∞
Hal ini akan dibahas pada bab II. Dalam berbagai artikel tersebut dikemukakan bah-
2
Sebenarnya artikel yang membahas medan Klein-Gordon dan medan Dirac sudah ada, namun
yang artikel tersebut merupakan karya penulis dan merupakan bentuk ringkas dari skripsi ini [Siahaan
dkk , 2004].
3
wa sifat (II.1) menyebabkan aksi untuk suatu medan bebas pada ruang-waktu tak
komutatif tidak berbeda dengan aksi medan bebas pada ruang-waktu yang komu-
tatif. Namun demikian suatu aksi merupakan integral suatu rapat Lagrangan meliputi
sembarang daerah integrasi pada ruang-waktu berdimensi 4 (lihat misalnya [Ryder
, 1996]p.82-87, [Mandl dan Shaw , 1984]p.30). Selain itu, sifat (I.2) tidak berlaku
untuk medan Klein-Gordon dan medan Dirac, karena ekspansi Fourier medan-medan
tersebut di ruang momentum-4 dibatasi oleh persyaratan-persyaratan fisis, yakni keti-
daknegatifan energi dan kaitan energi-momentum Einstein, sehingga wakilannya di
ruang momentum-4 bukan fungsi licin yang berakibat medan-medan tersebut tidak
dapat diekspansikan seperti pada persamaan (I.3). Dengan demikian pernyataan bah-
wa pembahasan mengenai medan bebas tidak akan memberikan hal yang baru kare-
na berlakunya persamaan (I.2) tidak dapat diterima. Karena itu pembahasan medan
Klein-Gordon dan medan Dirac, yang merupakan medan-medan bebas, pada ruang-
waktu yang tidak komutatif (lebih tepat disebutkan sebagai ruang Minkowski yang
tidak komutatif) masih harus dilakukan.
2. Perumusan Masalah
Dari uraian di atas jelas bahwa kajian mengenai medan Klein-Gordon dan
medan Dirac pada ruang Minkowski tak komutatif masih harus dilakukan. Hal ini
dikarenakan belum terdapatnya teori yang menjelaskan medan-medan tersebut pada
ruang Minkowski tak komutatif. Selain itu medan Klein-Gordon dan medan Dirac
merupakan dua medan yang paling sederhana kajiannya namun berkaitan dengan
zarah-zarah elementer yang terdapat di alam.
Pembahasan mengenai suatu medan biasanya berangkat dari suatu rapat La-
grangan yang menggambarkan medan tersebut. Demikian pula dalam pembahasan
medan Klein-Gordon dan medan Dirac, kajian akan dilakukan dengan meninjau ra-
4
pat Lagrangan medan-medan tersebut. Namun dalam teori medan yang lazim dikaji
rapat Lagrangan hanya gayut pada suatu medan dan turunan pertamanya sedangkan
pada kajian kali ini rapat Lagrangan gayut bukan saja pada suatu medan dan turunan
pertamanya tetapi juga pada turunan-turunan parsial berderajat tinggi sebagai akibat
deformasi (penggantian) perkalian biasa (perkalian per titik atau pointwise multipli-
cation) antara medan-medan menjadi perkalian-bintang. Untuk itu perlu diadakan
perumuman teori Lagrangan untuk suatu medan (Lagrangian field theory) dengan
rapat Lagrangan yang gayut pada suatu medan dan turunan-turunan parsial hingga
sembarang orde. Perumuman tersebut menyebabkan perlunya pendefinisian ulang be-
berapa kuantitas yang berkaitan dengan suatu medan, yakni Hamiltonan, momentum,
serta momentum sudut, yang merupakan perumuman kuantitas-kuantitas tersebut pa-
da teori Lagrangan untuk suatu medan yang biasa. Selanjutnya teori Lagrangan untuk
suatu medan yang diperumum (Generalized Lagrangian field theory) tersebut digu-
nakan dalam menelaah medan Klein-Gordon dan medan Dirac pada ruang Minkowski
tak komutatif.
3. Tujuan Penelitian
Klein-Gordon dan medan Dirac pada ruang Minkowski tak komutatif dengan
menggunakan teori Lagrangan untuk suatu medan yang diperumum.
4. Tinjauan Pustaka
Kajian mengenai teori medan (kuantum) tak komutatif3 meliputi tiga aspek,
yakni ruang yang tidak komutatif, deformasi aljabar yang terdefinisikan pada ruang
tersebut, serta teori medan (kuantum) pada ruang yang tidak komutatif.
Connes (1994) mengemukakan gagasan mengenai geometri yang tidak ko-
mutatif (noncommutative geometry). Torrielli (2002) mengemukakan bahwa gagasan
ruang-waktu yang tidak komutatif cocok dengan dugaan bahwa struktur ruang-waktu
berubah pada skala penyatuan teori gravitasi dengan teori kuantum [Torrielli , 2002].
Sochichiu (2002) mengemukakan konsep ruang tak komutatif dan kaitannya den-
gan fisika disertai dengan beberapa model dan contoh ruang yang tidak komutatif
[Sochichiu , 2002]. Kajian Calmet (2004) mengenai ruang-waktu yang tidak ko-
mutatif memberikan hasil bahwa batas-batas ketidakkomutatifan ruang-waktu gayut
pada model yang ditinjau [Calmet , 2004].
Konsep ruang tak komutatif memiliki akar pada konsep penguantuman Mo-
yal [Moyal , 1949]. Dalam artikel tersebut Moyal memperkenalkan suatu prosedur
penguantuman melalui deformasi aljabar pada ruang fase klasik sebagai akibat keti-
dakkomutatifan ruang fase pada bahasan mekanika kuantum. Penguantuman terse-
but kemudian dikenal sebagai penguantuman Moyal. Bayen dkk (1978) memba-
has teori penguantuman deformasi [Bayen dkk , 1978] yang menjadi landasan bagi
penguantuman Moyal. Girotti (2003) menurunkan bentuk perkalian-bintang (star-
product) sebagai manifestasi asumsi bahwa ruang-waktu yang ditinjau tidak lagi ko-
mutatif. Penurunan bentuk perkalian-bintang tersebut analog dengan penguantuman
3
Pengertian istilah teori medan (kuantum) tak komutatif mengacu pada teori medan (kuantum) pada
ruang yang tidak komutatif [Barbon , 2001].
6
ki.
6. Sistematika Penulisan
Skripsi ini ditulis dalam enam bab, dengan penjelasan bab demi bab adalah
sebagai berikut:
• Bab II berisi penjelasan mengenai konsep ruang tak komutatif serta beberapa
contoh ruang yang tidak komutatif. Pada bab ini dilakukan penurunan bentuk
perkalian tak komutatif (perkalian-bintang) yang merupakan akibat dari keti-
dakkomutatifan suatu ruang yang ditinjau.
• Bab III membahas perumuman teori Lagrangan untuk suatu medan. Pada bab
ini dirumuskan persamaan Euler-Lagrange yang diperumum, serta kuantitas-
kuantitas yang berkaitan dengan suatu medan yakni Hamiltonan, momentum,
serta momentum sudut.
• Pada bab IV dibahas medan Klein-Gordon pada ruang Minkowsi tak komutatif.
Pembahasan tersebut dilakukan dengan menggunakan teori Lagrangan untuk
suatu medan yang telah diperumum pada bab III. Pada bab ini dirumuskan
rapat Lagrangan medan Klein-Gordon pada ruang Minkowski yang tidak ko-
mutatif baik yang bernilai riil maupun kompleks, serta dilakukan juga peru-
musan Hamiltonan, momentum, serta momentum sudut medan Klein-Gordon.
Pada akhirnya bentuk eksplisit Hamiltonan, momentum, serta momentum sudut
medan Klein-Gordon pada ruang Minkowski tak komutatif (baik medan yang
bernilai riil maupun yang bernilai kompleks) dinyatakan pada bab ini.
8
• Bab V membahas medan Dirac pada ruang Minkowski tak komutatif dengan
menggunakan teori Lagrangan untuk suatu medan yang telah diperumum. Seper-
ti halnya pada bab IV, pada bab ini juga dirumuskan rapat Lagrangan medan
Dirac pada ruang Minkowski yang tidak komutatif serta Hamiltonan, momen-
tum, dan momentum sudut medan Dirac. Hasil-hasil tersebut digunakan untuk
merumuskan bentuk eksplisit kuantitas-kuantitas tersebut.
• Bab VI berisi kesimpulan mengenai hasil penelitian yang telah dilakukan ser-
ta saran-saran untuk penelitian mendatang mengenai topik-topik yang telah
berkaitan dengan topik yang dikemukakan dalam skripsi ini.
7. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kajian teoritis terhadap
teori Lagrangan untuk suatu medan pada ruang Minkowski tak komutatif. Untuk
melakukan kajian mengenai medan Klein-Gordon dan medan Dirac pada ruang Min-
kowski tak komutatif, mula-mula diperkenalkan konsep ruang tak komutatif. Kon-
sep yang diperkenalkan bukanlah konsep yang mendetail secara matematis namun
merupakan konsep yang memberikan gambaran kasar mengenai ruang tak komutatif.
Dalam pembahasan mengenai konsep ruang tak komutatif juga dibahas perkalian
tak komutatif yang disebut sebagai perkalian-bintang (star-product) yang digunakan
dalam menelaah rapat Lagrangan medan Klein-Gordon dan medan Dirac pada ruang
Minkowski tak komutatif. Selanjutnya dilakukan perluasan teori Lagrangan untuk
suatu medan. Hal ini dilakukan karena teori Lagrangan yang lazim dibahas tidak
memadai dalam pembahasan yang akan dilakukan selanjutnya. Dalam perluasan
teori Lagrangan untuk suatu medan ini dilakukan pendefinisian ulang Hamiltonan,
momentum, serta momentum sudut suatu medan. Hasil-hasil yang diperoleh dari
perluasan teori Lagrangan untuk medan kemudian digunakan dalam kajian mengenai
9
medan Klein-Gordon dan medan Dirac, yakni untuk merumuskan rapat Lagrangan,
Hamiltonan, momentum, serta momentum sudut medan-medan tersebut.
BAB II
10
11
tan komutasi antara x̂µ , yang menentukan bentuk perkalian antara operator-operator
anggota himpunan On akan mempengaruhi bentuk perkalian antara fungsi-fungsi
anggota himpunan C ∞ (Rn , C). Jika x̂µ saling komut, yakni
maka
[xµ , xν ] = 0, (II.3)
dan bentuk perkalian baik pada On maupun pada C ∞ (Rn , C) bersifat komutatif.
Salah satu bentuk perkalian yang komutatif antara fungsi-fungsi f, g ∈ C ∞ (Rn , C)
adalah bentuk perkalian biasa antara fungsi-fungsi yang telah dikenal. Suatu ru-
ang Rn yang menjadi ruang basis (base space) bagi aljabar asosiatif dan komutatif
(C ∞ (Rn , C), +, ·) di atas lapangan kompleks disebut sebagai ruang Rn komutatif.
Jika kaitan komutasi pada persamaan (II.2) didideformasi sedemikian sehing-
ga
[x̂µ , x̂ν ] = iθµν (II.4)
Seperti yang telah disebutkan pada bab sebelumnya, pembahasan dalam skrip-
si ini dibatasi hanya pada model ruang tak komutatif yang ditentukan oleh parameter
θµν yang merupakan suatu konstanta bernilai riil, antisimetris terhadap pertukaran
indeks, sehingga membentuk suatu matriks konstan berorde n × n. Matriks θ yang
dibentuk oleh θµν haruslah merupakan matriks yang swanilainya tidak merosot, se-
hingga mensyaratkan dimensi n bernilai genap. Hal ini disebabkan karena trθ harus
bernilai nol, sedangkan trθ berkaitan dengan jumlah swanilai matriks θ. Untuk n
yang bernilai genap dan swanilainya merosot, selalu dapat dilakukan transformasi
koordinat sedemikian sehingga terdapat pasangan-pasangan koordinat yang saling
komut. Artinya ruang yang tidak komutatif adalah Rn−2m ⊂ Rn , 2m < n. Trans-
formasi yang demikian mengakibatkan θ0 = N θN −1 dapat tereduksi, yang berarti Rn
dapat terbagi mendaji R2m yang komutatif dan Rn−2m yang tidak komutatif. Jika n
bernilai ganjil, det θ = 0. Hal ini berarti dapat diadakan transformasi koordinat yang
menyebabkan transformasi θ → θ0 dengan θ0 diagonal. Karena determinan suatu ma-
triks tidak akan berubah karena transformasi pendiagonalan, maka det θ0 = 0, yang
berarti terdapat swanilai matriks θ yang lenyap. Dengan kata lain jika n bernilai gan-
jil, maka selalu dapat diadakan transformasi koordinat yang akan mengubah matriks
θ sedemikian sehingga ruang Rn tersebut atau subruang dari Rn komutatif.
a. Ruang fase klasik (p, x) dalam bahasan mekanika kuantum Ruang fase
(p, x) merupakan ruang R2 yang tidak komutatif. Melalui penguantuman kanonik
b. Elektron pada medan magnet yang sangat kuat Ditinjau elektron yang be-
rada pada suatu bidang (x1 , x2 ) dengan suatu vektor potensial Ai = − 21 Bij xj , i, j =
1, 2. Bentuk Lagrangan bagi sistem tersebut adalah
1 e
L = me ẋj ẋj − Bij xi ẋj , (II.8)
2 2
e
L ≈ − Bij xi ẋj . (II.9)
2
dL e
πj = j
= − Bij xi , (II.10)
dẋ 2
14
e
[π̂j , x̂l ] = −~δjl = − Bij [x̂i , x̂l ], (II.11)
2
atau
2~ il
[x̂i , x̂l ] = i . (II.12)
eB
2~ il
θil = , i, l = 1, 2. (II.13)
eB
Ditinjau kasus ruang tak-komutatif yang paling sederhana yakni bidang yang
tidak komutatif dan himpunan C ∞ (R2 , C). Selanjutnya hendak dibentuk aljabar tak
komutatif (C ∞ (R2 , C), +, ?2 ), yakni dengan membentuk perkalian tak komutatif an-
tara fungsi-fungsi anggota himpunan C ∞ (R2 , C) melalui pemetaan P2−1 : O2 →
C ∞ (R2 , C). Pada kasus bidang tak komutatif, koordinat-koordinat x1 , x2 merupakan
observabel, sehingga wakilan operator liniernya x̂1 , x̂2 bersifat Hermitan. Untuk
itu ditinjau himpunan SR2 ⊂ C ∞ (R2 , C) yang beranggotakan fungsi-fungsi licin
yang semua turunannya (orde berapapun) meluruh lebih cepat daripada 1/|~r|N , N =
1, 2, . . ., ketika |~r| → ∞. Setiap fungsi φ ∈ SR2 disebut sebagai fungsi yang meluruh
dengan cepat (rapidly decreasing function)[Dunford dan Schwartz , 1971]1 .
Untuk setiap φ = φ(~r) = φ(x1 , x2 ) ∈ SR2 , terdapat padanannya di ruang
1
SR2 disertai operasi penjumlahan membentuk suatu ruang vector yang dikenal sebagai ruang
fungsi Schwartz yang terdefinisikan pada R2 . Secara umum ruang fungsi Schwartz dapat didefinisikan
pada ruang RD , D = 1, 2, . . ., dan selanjutnya dilambangkan dengan SRD , D = 1, 2, . . . dengan D
adalah dimensi ruang yang menjadi domain dari tiap-tiap anggota SRD .
15
Z ∞
i
−1
1 2
φ̃(~p) = φ̃(p , p ) = h φ(~r)e− ~ p~·~r d2 x, (II.14)
−∞
Z ∞
i
−1
φ(~r) = h φ̃(~p)e ~ p~·~r d2 p. (II.15)
−∞
Z ∞
i j
−1
Ŵ [φ] = φ̂ = h φ̃(~p)e ~ pj x̂ d2 p. (II.17)
−∞
i j
T̂ (~p) := e ~ pj x̂ , (II.18)
Z ∞
−1
φ̂ = h φ̃(~p)T̂ (~p)d2 p. (II.19)
−∞
Z ∞
i 0 jk
tr[φ̂T̂ (p~0 )] = h
†
φ̃(~p)e 2~2 pj pk θ δ (2) (~p − p~0 )d2 p
−∞
= hφ̃(p~0 ), (II.23)
atau
φ̃(~p) = h−1 tr[φ̂T̂ † (~p)], (II.24)
Z ∞
i
−2
φ(~r) = h e ~ p~·~r tr[φ̂T̂ † (~p)]d2 p. (II.25)
−∞
Z ∞ Z ∞
−n
φ̂1 φ̂2 · · · φ̂n = h ··· φ̃1 (~p1 )φ̃2 (~p2 ) · · · φ̃n (~pn )
−∞ −∞
2
Asumsi ini benar jika (SR2 , +, ?2 ), dengan ?2 perkalian tak komutatif yang hendak diturunkan
bentuk eksplisitnya, merupakan suatu aljabar asosiatif tak komutatif di atas lapangan kompleks.
17
Pn n
i
plj pm
X
= e− 2~2 θlm j<k k T̂ ( p~j )d2 p1 · · · d2 p2 . (II.26)
j=1
Jika kedua ruas persamaan (II.26) dikalikan dari kanan dengan T̂ † (~p) dan diambil
nilai trace-nya, maka diperoleh
Z ∞ Z ∞
† 2−n
tr[φ̂1 φ̂2 · · · φ̂n T̂ (~p)] = h ··· φ̃1 (~p1 )φ̃2 (~p2 ) · · · φ̃n (~pn )
−∞ −∞
i Pn l m i Pn l m
×e− 2~2 θlm j<k pj pk e 2~2 θlm j=1 pj p
X n
×δ( p~j − p~)d2 p1 · · · d2 pn . (II.27)
j=1
i
Dengan mengalikan kedua ruas persamaan (II.27) dengan he ~ p~·~r dan dilanjutkan den-
gan pengintegralan ke seluruh nilai p1 , p2 , diperoleh
Z ∞
i
−1 −2
Ŵ [φ̂1 φ̂2 · · · φ̂n ] = h e ~ p~·~r tr[φ̂1 φ̂2 · · · φ̂n ]d2 p
Z−∞
∞ Z ∞
i
−n
= h ··· φ̃(~p1 )φ̃(~p2 ) · · · φ̃n (~pn )e ~ p~·~r
−∞ −∞
i Pn
− θ plj pm
×e 2~2 lm j<k k 2
d p1 · · · d2 pn
i Pn ∂ ∂
θ
2 lm j<k j ∂xk
= e ∂x m
φ1 (~r1 )φ2 (~r2 ) · · · φn (~rn )
l
~
r1 =···=~
rn =~
r
yang merupakan definisi perkalian tak komutatif antara anggota-anggota SR2 , untuk
n=2
i lm ∂ ∂
θ
2 ∂x1 ∂x2
(φ1 ? φ2 )(~r) = e φ1 (~r1 )φ2 (~r2 )
l m
~r1 =~
r2 =~
r
∞ n
X i 1 j1 k1
= (φ1 φ2 )(~r) + θ · · · θjn kn
n=1
2 n!
∂ n φ1 ∂ n φ2
× (~
r ) )(~r), (II.29)
∂xj1 · · · ∂xjn ∂xk1 · · · ∂xkn
18
yang merupakan anggota SR2 . Dengan demikian (?2 ) merupakan operasi biner pa-
da SR2 . Karena menurut persamaan (II.28) perkalian (?2 ) bersifat asosiatif, maka
(SR2 , +, ?2 ) merupakan aljabar asosiatif tak komutatif di atas lapangan kompleks.
Hal ini juga membuktikan kebenaran asumsi bahwa Ŵ [SR2 ] merupakan subaljabar
dari (O2 , +, ·). Karena Ŵ = P2 |SR2 dan P2 bersifat bijektif, maka perkalian (?2 )
merupakan perkalian tak komutatif pada C ∞ (R2 , C) sehingga terbentuklah aljabar
(C ∞ (R2 , C), +, ?2 ) yang asosiatif dan tidak komutatif di atas lapangan kompleks.
Perkalian (?2 ) disebut sebagai perkalian-bintang (star-product) yang terdefinisikan
pada bidang R2 tak komutatif.
dan ψ(x) dapat dinyatakan sebagai transformasi Fourier balik dari ψ̃(k)
Z ∞
−2 µ
ψ(x) = (2π) ψ̃(k)eikµ x d4 k. (II.32)
−∞
Dengan adanya pemetaan Ŵ4 := P4 |SR4 , maka bayangan ψ(x) di Ŵ4 [SR4 ] ⊂ O4
adalah
Z ∞
−2 µ
ψ̂ = Ŵ4 [ψ] = (2π) ψ̃(k)eikµ x d4 k, (II.33)
−∞
20
Z ∞
µ
Ŵ4−1 [ψ̂] = ψ(x) = (2π) −4
eikµ x tr[ψ̂ T̂ † (k)]d4 k, (II.34)
−∞
µ
T̂ (k) := eikµ x̂ (II.35)
yang memiliki sifat-sifat yang mirip dengan T̂ (~p) = T̂ (p1 , p2 ) pada persamaan (II.20),
(II.21), dan (II.22), yakni
Persamaan (II.38) merupakan analogi sifat pada persamaan (II.22) [Sochichiu , 2004].
Perkalian tak komutatif (?) pada SR4 didefinisikan sebagai
(II.39)
i µν ∂
θ ∂xµ ∂y∂ν
(ψ1 ? ψ2 )(x) = e ψ1 (x)ψ2 (y)
2
x=y
21
∞ n
X i 1 µ1 ν 1 µ2 ν 2
= (ψ1 ψ2 )(x) + θ θ · · · θ µn ν n
n=1
2 n!
∂ n ψ1 ∂ n ψ2
× (x) (x). (II.40)
∂xµ1 · · · ∂xµn ∂xν1 · · · ∂xνn
Z ∞
ψ1 ? ψ2 ? · · · ? ψn d4 x = tr[ψ̂1 ψ̂2 · · · ψ̂n ]. (II.42)
−∞
Karena nilai trace dari perkalian operator-operator invarian terhadap permutasi siklis
maka
Z ∞ Z ∞
4
ψ1 ? ψ2 ? · · · ? ψn d x = ψπ(1) ? ψπ(2) ? · · · ? ψπ(n) d4 x, ∀π permutasi siklis,
−∞ −∞
(II.44)
dengan ψj ∈ SR4 , j = 1, 2, . . . , n. Khusus untuk n = 2 berlaku
∞ ∞ ∞ n
1 ∞ µ1 ν 1
Z Z Z
4
X i
4
ψ1 ? ψ2 d x = ψ1 ψ2 d x + θ · · · θ µn ν n
−∞ −∞ n=1
2 n! −∞
∂ n ψ1 ∂ n ψ2
× µ1 µn ∂xν1 · · · ∂xνn
d4 x
∂x
Z ∞ · · · ∂x
= ψ1 ψ2 d4 x, (II.45)
−∞
karena
∞
∂ n ψ1 ∂ n ψ2
Z
θ µ 1 ν 1 · · · θ µ n ν n µ1 =
−∞ ∂x · · · ∂xµn ∂xν1 · · · ∂xνn
Z ∞
∂ n−1 ψ1 ∂ n ψ2
µ1 ν1 µn ν n ∂
θ ···θ µ1 µ2 · · · ∂xµn ∂xν1 · · · ∂xνn
d4 x
−∞ ∂x ∂x
Z ∞
∂ n−1 ψ1 ∂ n+1 ψ2
− θ µ1 ν 1 · · · θ µn ν n µ 2 µ µ ν ν
d4 x
−∞ ∂x · · · ∂x ∂x ∂x · · · ∂x
n 1 1 n
=0 (II.46)
dengan menerapkan hukum Gauss pada ruang berdimensi 4 dan menggunakan sifat
θµν yang antisimetris terhadap pertukaran indeks.
Untuk fungsi-fungsi licin yang terdefinisikan pada ruang berdimensi 4 dan
terintegralkan secara mutlak, serta padanannya di ruang k yang berdimensi 4 juga
merupakan fungsi licin, maka
Z ∞ Z ∞ Z ∞
i µν Pn j k
4
f1 ? f2 ? · · · ? fn d x = ··· f˜1 (k1 )f˜2 (k2 ) · · · f˜n (kn )e− 2 θ j<k kµ kν
−∞ −∞ −∞
Xn
4 (4)
×(2π) δ ( k)d4 k1 · · · d4 kn ∈ C, (II.47)
j=1
23
i µν
Pn j k
karena faktor e− 2 θ j<k kµ kν
hanyalah suatu faktor fase belaka. Jika fˆj = P4 [fj ],
maka
Z ∞
tr[fˆ1 fˆ2 · · · fˆn ] = f1 ? f2 ? · · · ? fn d4 x (II.48)
−∞
ada, sehingga persamaan (II.44) juga berlaku untuk fungsi-fungsi licin anggota him-
punan (C ∞ (R4 , C) yang terintegralkan secara mutlak dan padanannya di ruang k
berdimensi 4 juga merupakan fungsi-fungsi licin. Selain itu, untuk n = 2
Z ∞ Z ∞ Z ∞
i µ ν
f1 ? f2 d x = 4
e− 2 θµν k1 k2 f˜1 (k1 )f˜2 (k2 )
−∞ −∞ −∞
×(2π) d k1 d4 k2 4 4
Z ∞
= f˜1 (k1 )f˜2 (−k1 )d4 k1
Z−∞
∞
= f1 f2 d4 x. (II.49)
−∞
1 µν ∂ ∂
[f, g]? (x) = 2i sin θ f (x)g(y) , (II.50)
2 ∂xµ ∂y ν x=y
dan
1 µν ∂ ∂
{f, g}? (x) = 2 cos θ f (x)g(y) . (II.51)
2 ∂xµ ∂y ν x=y
BAB III
KESETANGKUPAN
Pada bab sebelumnya telah diturunkan bentuk perkalian tak komutatif se-
bagai manifestasi dari asumsi bahwa ruang Minkowski yang terlibat tidak lagi ko-
mutatif. Perkalian yang tidak komutatif tersebut akan digunakan dalam telaah teori
medan yang akan dilakukan pada bab-bab selanjutnya, yakni dengan menggantikan
perkalian biasa pada rapat Lagrangan suatu medan tertentu dengan perkalian-bintang
(star-product) yang tidak komutatif. Pada persamaan (II.39) dan (II.40) tampak bah-
wa perkalian tak komutatif tersebut akan mengandung turunan suatu fungsi sampai
orde tak terhingga, sehingga rapat Lagrangan suatu medan tidak lagi hanya gayut pa-
da suatu medan dan turunan orde pertamanya. Untuk itu perlu dilakukan perluasan
terhadap teori Lagrangan suatu medan untuk dapat mewadahi pembahasan mengenai
teori medan pada ruang Minkowski yang tak komutatif. Hal ini pada akhirnya akan
membawa perubahan definisi beberapa kuantitas atau observabel yang dimiliki suatu
medan. Dalam bab ini akan dilakukan perumuman teori Lagrangan suatu medan ser-
ta perumuman definisi beberapa kuantitas atau observabel yang biasa dibahas dalam
teori Lagrangan medan yang biasa.
Z t2
I= Ldt, t2 > t1 , (III.1)
t1
24
25
dengan L = L(qi , q̇i , t) adalah Lagrangan yang mengambarkan suatu sistem fisis
tertentu. Dalam Lagrangan L tersebut, qi adalah koordinat umum dan t adalah waktu,
yang menjadi parameter Lagrangan tersebut. Dalam Mekanika Klasik suatu sistem
yang digambarkan oleh Lagrangan L berevolusi dari saat t1 sampai t2 sedemikian
sehingga I mencapai nilai ekstrim. Prinsip ini dikenal sebagai prinsip aksi terkecil
(the principle of least action). Penerapan prinsip ini menghasilkan persamaan Euler-
Lagrange
∂L d ∂L
− = 0. (III.2)
∂qi dt ∂ q̇i
Dalam teori medan, peranan koordinat umum qi dan turunan pertamanya ter-
∂ψ
hadap waktu, q̇i , digantikan oleh medan ψ dan ∂xµ
= ( 1c ∂ψ
∂t
, ∇ψ), di mana ψ gayut
pada x = (ct, ~r). Dengan demikian x dipandang sebagai parameter pada Lagrangan.
Penggantian peran ini dapat digambarkan sebagai berikut:
qi (t) → ψ(x);
∂ψ
q̇i (t) → ∂xµ
(x);
t → xµ .
Lagrangan suatu sistem merupakan suatu integral dari suatu rapat Lagrangan
L meliputi suatu daerah Ω pada ruang konfigurasi R3 [Goldstein , 1980]
Z
L= Ld3 x, (III.3)
Ω
∂ψ µ
dengan L = L(ψ, ∂xµ , x ). Substitusi persamaan (III.3) ke dalam persamaan (III.1)
menghasilkan
Z
I= Ld4 x, (III.4)
R
dengan R adalah suatu daerah integrasi pada ruang berdimensi empat yang dibatasi
26
oleh ∂R. Dengan menerapkan prinsip aksi terkecil, maka diperoleh persamaan
Euler-Lagrange untuk suatu medan ψ diberikan oleh
( )
∂L ∂ ∂L
− µ ∂ψ
= 0. (III.5)
∂ψ ∂x ∂( ∂xµ)
∂2ψ ∂ nψ
Z
∂ψ
I= L(ψ, , , . . . , , xν )d4 x. (III.6)
R ∂xµ1 ∂xµ1 ∂xµ2 ∂xµ1 ∂xµ2 · · · ∂xµn
Ketika aksi I mencapai ekstrim maka I tidak berubah jika diadakan variasi infinites-
imal
xµ → x0ν = xν + δxν
(III.7)
∂j ψ
(x) →
∂xµ1 ∂xµ2 · · · ∂xµj
27
∂ j ψ0 ∂j ψ ∂j ψ
(x) = (x) + δ ,
∂xµ1 ∂xµ2 · · · ∂xµj ∂xµ1 ∂xµ2 · · · ∂xµj ∂xµ1 ∂xµ2 · · · ∂xµj
(III.8)
j
dengan j = 1, 2, . . . , n, serta dengan menyertakan syarat δxν = δψ = δ ∂xµ1∂···∂x
ψ
µj =
∂ψ 0 ∂ nψ0
Z
δI = L(ψ 0 , µ1 , . . . , µ1 µ2 µn
, x0ν )d4 x0
R ∂x ∂x ∂x · · · ∂x
∂ nψ
Z
∂ψ
− L(ψ, µ1 , . . . , µ1 µ2 µn
, xν )d4 x. (III.9)
R ∂x ∂x ∂x · · · ∂x
Karena d4 x0 = J(x0 /x)d4 x, dengan J(x0 /x) adalah Jacobian untuk transformasi x →
x0 , dan
∂x0ν ν ∂δxν
= δλ + , (III.10)
∂xλ ∂xλ
0 0ν
x ∂x ∂δxν
J = det = 1 + . (III.11)
x ∂xλ ∂xν
∂δxν
Z
δI = δL + L ν d4 x
R ∂x
n
( )
Z j
∂L X ∂L ∂ ψ
= δψ + jψ δ µ 1 µ2
R ∂ψ j=1 ∂( ∂xµ1 ∂xµ2 ···∂xµj ) ∂x ∂x · · · ∂xµj
∂
∂δxν 4
∂L ν
+ ν δx + L ν d x. (III.12)
∂x ∂x
j ∂ j δψ
Karena δ ∂xµ1 ∂x∂µ2ψ···∂xµj = ∂xµ1 ∂xµ2 ···∂xµj
, maka
n
X ∂L ∂ j δψ
j µ1 ∂xµ2 · · · ∂xµj
=
j=1 ∂( ∂xµ1 ∂x∂µ2ψ···∂x
µj ) ∂x
28
j
n
( )
k−1
X X ∂ ∂ ∂L
(−1)k−1 µ
j=1
∂x k ∂xµ1 ∂xµ2 · · · ∂xµk−1 ∂( µ1 ∂µj 2ψ µj )
k=1 ∂x ∂x ···∂x
( ) !
∂ j−k δψ j
∂ ∂L
× + (−1)j µ1 µ2 δψ ,
∂xµk+1 · · · ∂xµj ∂x ∂x · · · ∂xµj ∂( µ1 ∂µj 2ψ µj )
∂x ∂x ···∂x
(III.13)
sehingga
Z " n j
#
∂L X ∂ ∂L
δI = + (−1)j µ1 µ2 µj ∂j ψ
δψd4 x
R ∂ψ ∂x ∂x · · · ∂x ∂( µ )
j=1 ∂xµ1 ∂xµ2 ···∂x j
j
n X
( )
Z X k−1
∂ ∂ ∂L
+ (−1)k−1 µ
R j=1 k=1
∂x k ∂xµ1 ∂xµ2 · · · ∂xµk−1 ∂( µ1 ∂µj 2ψ µj )
∂x ∂x ···∂x
j−k
∂ ψ ∂
×δ µ µ
+ (Lδxν ) d4 x. (III.14)
∂x k+1 · · · ∂x j ∂xν
Integral terakhir pada persamaan (III.14) lenyap dengan menggunakan teorema Gauss
pada ruang berdimensi empat, sehingga suku yang tersisa adalah
Z ( n
!)
∂L X ∂j ∂L
δI = + (−1)j µ1 µ2 j δψd4 x
R ∂ψ j=1 ∂x ∂x · · · ∂xµj ∂( ∂xµ1 ∂x∂µ2ψ···∂xµj )
(III.15)
yang harus lenyap untuk sembarang δψ dan R. Agar hal tersebut tercapai, maka in-
tegrand persamaan (III.15) harus bernilai nol, sehingga diperoleh persamaan Euler-
Lagrange yang diperumum yakni
n
( )
∂L X ∂j ∂L
+ (−1)j µ1 µ2 j = 0. (III.16)
∂ψ j=1 ∂x ∂x · · · ∂xµj ∂( ∂xµ1 ∂x∂µ2ψ···∂xµj )
∂ψ ν
Untuk n = 1, yang berarti L = L(ψ, ∂xν , x ), persamaan (III.16) akan kembali ke
Pada bagian sebelumnya telah dibahas prinsip aksi terkecil yang diterapkan
dalam penurunan persamaan Euler-Lagrange yang diperumum. Persamaan Euler-
Lagrange yang diperumum pada akhirnya akan menghasilkan persamaan-persamaan
medan yang menggambarkan dinamika suatu medan. Dengan demikian persamaan
Euler-Lagrange yang diperumum ekivalen dengan persamaan-persamaan medan terse-
but, dengan kata lain persamaan Euler-Lagrange yang diperumum menggambarkan
dinamika suatu medan. Prinsip aksi terkecil selain menghasilkan (III.16) juga dapat
memberikan gambaran yang jelas mengenai kesetangkupan dan teorema Noether.
Suatu sistem fisis digambarkan oleh rapat Lagrangan L dan aksi I yang saling
terkait oleh persamaan (III.6). Suatu sistem fisis dikatakan setangkup terhadap su-
atu transformasi jika transformasi tersebut tidak menyebabkan perubahan pada per-
samaan yang menggambarkan dinamika medan. Hal ini dapat terpenuhi jika aksi I
invarian terhadap transformasi yang berkaitan. Teorema Noether mengatakan bahwa
kesetangkupan suatu sistem fisis terhadap suatu transformasi berkaitan dengan
keberadaan suatu kuantitas yang lestari. Dalam telaah berikut akan ditunjukkan
bahwa teorema Noether merupakan konsekuensi dari prinsip aksi terkecil.
Ditinjau persamaan (III.6) dengan R sembarang daerah integrasi pada ruang
j
berdimensi empat. Selain itu persyaratan δxν = δψ = δ ∂xµ1 ∂x∂µ2ψ···∂xµj = 0 di ∂R
tidak lagi diberlakukan. Dengan demikian persamaan (III.14) menjadi
Z " n
( )#
∂L X ∂j ∂L
δI = + (−1)j µ1 µ2 j δψd4 x
R ∂ψ j=1 ∂x ∂x · · · ∂xµj ∂( ∂xµ1 ∂x∂µ2ψ···∂xµj )
j
n X
( )
∂ k−1
Z
X
k−1 ∂L
+ (−1) j
j=1 k=1 ∂R ∂xµ1 ∂xµ2 · · · ∂xµk−1 ∂( ∂xµ1 ∂x∂µ2ψ···∂xµj )
30
∂ j−k δψ
Z
× µ dσµk + Lδxν dσν .
∂x k+1 · · · ∂xµj ∂R
Karena untuk setiap nilai k integrasi kedua meliputi daerah ∂R yang sama dan juga
karena µk merupakan indeks boneka (dummy indices), maka dapat di-set dσµ1 =
dσµ2 = · · · = dσµk = dσα dengan mengadakan pertukaran indeks µk dengan α,
sehingga persamaan di atas menjadi
Z " n
( )#
∂L X ∂j ∂L
δI = + (−1)j µ1 µ2 j δψd4 x
R ∂ψ j=1 ∂x ∂x · · · ∂xµj ∂( ∂xµ1 ∂x∂µ2ψ···∂xµj )
j
n X
( )
∂ k−1
Z X ∂L
+ (−1)k−1 µ1 µ2 j
∂R j=1 k=1 ∂x ∂x · · · ∂xµk−1 ∂ ψ
∂( ∂xµ1 ···∂xµk−1 )
∂xα ···∂xµj
∂ j−k δψ
Z
× µ dσα + Lδxν dσν . (III.17)
∂x k+1 · · · ∂xµj ∂R
Jika suatu sistem fisis setangkup terhadap transformasi (III.7) dan (III.8), maka per-
samaan (III.16) tetap berlaku sehingga
Z " n
( )#
∂L X ∂j ∂L
+ (−1)j µ1 µ2 j δψd4 x = 0.
R ∂ψ j=1 ∂x ∂x · · · ∂xµj ∂( ∂xµ1 ∂x∂µ2ψ···∂xµj )
(III.18)
∂j ψ
Medan ψ dan turunan-turunannya ∂xµ1 ∂xµ2 ···∂xµj
selain mengalami transformasi
ψ → ψ + δψ
∂j ψ ∂j ψ j
∂ψ ν
∆ψ = ψ 0 (x0 ) − ψ(x) = δψ + δx
∂xν
31
∂j ψ ∂ j ψ0 0 ∂j ψ
∆ = (x ) − (x)
∂xµ1 ∂xµ2 · · · ∂xµj ∂xµ1 ∂xµ2 · · · ∂xµj ∂xµ1 ∂xµ2 · · · ∂xµj
∂j ψ ∂j ψ
∂
= δ µ1 µ 2 + ν δxν .
∂x ∂x · · · ∂xµj ∂x ∂xµ1 ∂xµ2 · · · ∂xµj
(III.19)
j
n X
( )
k−1
Z X
∂ ∂L
δI = (−1)k−1 µ1 µ2
∂R j=1 k=1
∂x ∂x · · · ∂xµk−1 ∂( µ1 ∂ j ψα µj )
∂x ···∂x ···∂x
n j
∂ j−k ψ
XX
×∆ µ − (−1)k−1
∂x k+1 · · · ∂xµj j=1 k=1
( )
∂ k−1 ∂ j−k ψ
∂L ∂
× µ 1 µ2
∂x ∂x · · · ∂xµk−1 ∂( µ1 ∂ j ψα µj ) ∂xν ∂xµk+1 · · · ∂xµj
∂x ···∂x ···∂x
−Lδ αν δxν dσα . (III.20)
Dengan mendefinisikan
j
n X
( )
k−1
X ∂ ∂L
T να = (−1)k−1 j
j=1 k=1
∂xµ1 ∂xµ2 · · · ∂xµk−1 ∂ ψ
∂( ∂xµ1 ···∂xα ···∂xµj )
∂ j−k ψ
∂
× ν − Lδ αν (III.21)
∂x ∂xµk+1 · · · ∂xµj
j
n X
( )
∂ k−1
Z X
∂L
δI = (−1)k−1 µ1 µ2 j
∂R j=1 k=1
∂x ∂x · · · ∂xµk−1 ∂( ∂xµ1 ∂x∂µ2ψ···∂xµj )
∂ j−k ψ
µk ν
×∆ µ − T ν δx dσµk . (III.22)
∂x k+1 · · · ∂xµj
32
Dengan menggunakan teorema Gauss serta persamaan (III.23) dan (III.22) diperoleh
Z n j k−1
( )
∂ XX ∂ ∂L
(−1)k−1 µ1 µ2
R ∂x α
j=1 k=1
∂x ∂x · · · ∂xµk−1 ∂( µ1 ∂ j ψα µj )
∂x ···∂x ···∂x
j−k
∂ ψ
×∆ µ − T να δxν d4 x = 0. (III.24)
∂x k+1 · · · ∂xµj
n j k−1
( )
∂ XX ∂ ∂L
(−1)k−1 µ1 µ2
∂xα j=1 k=1 ∂x ∂x · · · ∂xµk−1 ∂( µ1 ∂ j ψα µj )
∂x ···∂x ···∂x
j−k
∂ ψ
×∆ µ − T να δxν = 0. (III.25)
∂x k+1 · · · ∂xµj
Pengintegralan terhadap kedua ruas pada persamaan (III.25) meliputi seluruh ruang
konfigurasi menghasilkan
Z n j
∞ k−1
( )
∂ XX ∂ ∂L
0 = (−1)k−1 µ1 µ2
−∞ ∂x α
j=1 k=1
∂x ∂x · · · ∂xµk−1 ∂( µ1 ∂ j ψα µj )
∂x ···∂x ···∂x
∞ n j
∂ j−k ψ
Z
α ν 3 d XX
×∆ µ µ
− T ν δx d x = 0 (−1)k−1
∂x k+1 · · · ∂x j dx −∞ j=1 k=1
( )
∂ k−1 ∂L
× µ 1 µ2 ∂j ψ
∂x ∂x · · · ∂xµk−1 ∂( 0 µ1 µk−1 )
∂x ∂x ···∂x ∂xµk+1 ···∂xµj
j−k
∂ ψ
×∆ µ − T ν0 δxν d3 x. (III.26)
∂x k+1 · · · ∂xµj
33
Pada langkah terakhir suku berikutnya lenyap dengan menggunakan teorema Gauss
pada ruang berdimensi tiga dan diasumsikan integrand suku tersebut lenyap di |~r| →
∞. Karena x0 = ct, akhirnya diperoleh
j
n X
( )
∞
∂ k−1
Z X
d k−1 ∂L
(−1) j
dt−∞ ∂xµ1 ∂xµ2 · · · ∂xµk−1 ∂ ψ
∂( ∂t∂xµ1 ···∂xµk−1 )
j=1 k=1 ∂xµk+1 ···∂xµj
∂ j−k ψ
1 0 ν 3
×∆ µ − T ν δx d x = 0. (III.27)
∂x k+1 · · · ∂xµj c
Persamaan (III.27) menunjukkan terdapatnya suatu besaran yang lestari akibat ke-
setangkupan terhadap transformasi yang digambarkan oleh persamaan (III.7) dan
(III.8). Dengan demikian tampak bahwa teorema Noether merupakan konsekuensi
dari prinsip aksi terkecil.
3. Homogenitas Ruang-Waktu
x ν → x ν + aν ;
δxν = aν , (III.28)
ψ → ψ0
dengan
∂ψ
ψ 0 (x) = ψ(x) − aν ,
∂xν
yang berarti
∂ψ
δψ = −aν . (III.29)
∂xν
34
∂j ψ ∂j ψ ν ∂ ∂j ψ
→ − a ,
∂xµ1 ∂xµ2 · · · ∂xµj ∂xµ1 ∂xµ2 · · · ∂xµj ∂xν ∂xµ1 ∂xµ2 · · · ∂xµj
yang berarti
∂j ψ ν ∂ ∂j ψ
δ = −a . (III.30)
∂xµ1 ∂xµ2 · · · ∂xµj ∂xν ∂xµ1 ∂xµ2 · · · ∂xµj
Z ∞
1
Pν = T ν0 d3 x. (III.33)
c −∞
j
n X
( )
∞
∂ k−1
Z X
1 ∂L
P0 = ∂j ψ
c −∞ ∂xµ1 ∂xµ2 · · · ∂xµk−1 ∂( )
j=1 k=1 ∂t∂xµ1 ···∂xµk−1 ∂xµk+1 ···∂xµj
∂ j−k ψ
∂
×(−1)k−1 − L d3 x
∂t ∂xµk+1 · · · ∂xµj
1
= H, (III.34)
c
Z ∞
H= T 00 d3 x. (III.35)
−∞
j
n X
( )
∞
∂ k−1
Z X ∂L
Pi = (−1)k−1 µ1 µ2 j
−∞ j=1 k=1 ∂x ∂x · · · ∂xµk−1 ∂ ψ
∂( ∂t∂xµ1 ···∂xµk−1 )
∂xµk+1 ···∂xµj
∂ j−k ψ
∂
× i µ µ
d3 x, (III.36)
∂x ∂x k+1 · · · ∂x j
4. Isotropi Ruang
Ditinjau suatu sistem yang mengalami rotasi sehingga suatu titik A dengan
vektor posisi ~r berubah posisinya menjadi r~0 . Jika rotasi tersebut infinitesimal dan
dilakukan mengitari suatu sumbu yang sejajar dengan vektor satuan ~n dengan sudut
rotasi sebesar δφ, maka rotasi infinitesimal tersebut dapat dituliskan sebagai
yang berarti
δ~r = δφ~n × ~r. (III.38)
Karena rotasi merupakan subgrup dari grup Lorentz, persamaan (III.39) dapat dit-
uliskan secara umum sebagai
Koefisien Rαβ ditentukan oleh sifat medan ψ terhadap transformasi Lorentz serta
bersifat antisimetris terhadap pertukaran indeks. Perubahan yang dialami oleh medan
37
ψ adalah
∂ψ 1
δψ = −δφναβ nα xβ + δφναβ nα Rνβ ψ
∂xν 2
∂ψ 1
= −ναβ nα gβλ xλ ν + δφναβ nα Rνβ ψ, (III.41)
∂x 2
∂j ψ ∂ j δψ
δ =
∂xµ1 ∂xµ2 · · · ∂xµj ∂xµ1 ∂xµ2 · · · ∂xµj
j
ναβ
X ∂j ψ
= − nα ( gβµk
k=1
∂xν ∂xµ1 · · · ∂xµk−1 ∂xµk+1 · · · ∂xµj
∂ j+1 ψ 1 ∂ j Rνβ ψ
+xβ − ).
∂xν ∂xµ1 ∂xµ2 · · · ∂xµj 2 ∂xµ1 ∂xµ2 · · · ∂xµj
(III.42)
1
∆ψ = δφναβ nα Rνβ ψ (III.43)
2
dan
j
∂j ψ X ∂j ψ
∆ µ1 µ 2 = −( gβµk
∂x ∂x · · · ∂xµj k=1
∂xν ∂xµ1 · · · ∂xµl−1 ∂xµl+1 · · · ∂xµj
1 ∂ j Rνβ ψ
− )δφναβ nα . (III.44)
2 ∂xµ1 ∂xµ2 · · · ∂xµj
Ruang yang isotrop menyebabkan I tidak berubah terhadap transformasi (III.40), se-
hingga menghasilkan kuantitas yang lestari, yakni
j
n X
( )
∞
∂ k−1
Z X
∂L
δφ (−1)k−1 µ1 µ2 j
−∞ ∂x ∂x · · · ∂xµk−1 ∂ ψ
∂( ∂t∂xµ1 ···∂xµl−1 )
j=1 k=1 ∂xµl+1 ···∂xµj
38
j
ναβ
X ∂ j−k ψ
× nα (− gβµl
l=k+1
∂xν ∂xµk+1 · · · ∂xµl−1 ∂xµl+1 · · · ∂xµj
∂ j−k Rνβ ψ
1 1 0 ναβ
+ ) − Tν nα xβ d3 x. (III.45)
2 ∂xmuk+1 · · · ∂xµj c
Karena
1
ναβ nα xβ = ραβ nα (δ νρ xβ − δ νβ xρ ) (III.46)
2
dan
1
ναβ nα gβµl = ραβ nα (δ νρ gβµl − δ νβ gρµl ) (III.47)
2
j
n X
( )
∞
∂ k−1
Z X
∂L
(−1)k−1 µ1 µ2 j
−∞ ∂x ∂x · · · ∂xµk−1 ∂ ψ
∂( ∂t∂xµ1 ···∂xµk−1 )
j=1 k=1 ∂xµk+1 ···∂xµj
j
X ∂ j−k ψ
× (δ νβ gρµl − δ νρ gβµl )
l=k+1
∂xν ∂xµk+1 · · · ∂xµl−1 ∂xµl+1 · · · ∂xµj
1 0 0
+ (xρ T β − xβ T ρ )
c
j
n X
( )
k−1
X ∂ ∂L
+ (−1)k−1 µ1 µ2 ∂j ψ
∂x ∂x · · · ∂xµk−1 ∂( )
j=1 k=1 ∂t∂xµ1 ···∂xµk−1 ∂xµk+1 ···∂xµj
∂ j−k Rρβ ψ
1
× µ µ
δφραβ nα d3 x. (III.48)
∂x k+1 · · · ∂x j 2
d
ραβ nα Jρβ = 0 (III.49)
dt
dengan
j
n X
( )
∞
∂ k−1
Z X
∂L
Jρβ = j
−∞ ∂xµ1 ∂xµ2 · · · ∂xµk−1 ∂ ψ
∂( ∂t∂xµ1 ···∂xµk−1 )
j=1 k=1 ∂xµk+1 ···∂xµj
39
j
k−1
X ∂ j−k ψ
×(−1) (δ νβ gρµl − δ νρ gβµl )
l=k+1
∂xν ∂xµk+1 · · · ∂xµl−1 ∂xµl+1 · · · ∂xµj
1 0 0
+ (xρ T β − xβ T ρ )
c
j
n X
( )
k−1
X ∂ ∂L
+ (−1)k−1 µ1 µ2 µ ∂j ψ
∂x ∂x · · · ∂x k−1
∂( ∂t∂xµ1 ···∂xµk−1 )
j=1 k=1 ∂xµk+1 ···∂xµj
∂ j−k Rρβ ψ
× µ d3 x. (III.50)
∂x k+1 · · · ∂xµj
d
Jρβ = 0. (III.51)
dt
dengan
j
n X
( )
∞
∂ k−1
Z X
∂L
Mρβ = j
−∞ ∂xµ1 ∂xµ2 · · · ∂xµk−1 ∂ ψ
∂( ∂t∂xµ1 ···∂xµk−1 )
j=1 k=1 ∂xµk+1 ···∂xµj
j
k−1
X ∂ j−k ψ
×(−1) (δ νβ gρµl − δ νρ gβµl )
l=k+1
∂xν ∂xµk+1 · · · ∂xµl−1 ∂xµl+1 · · · ∂xµj
1
+ (xρ T β − xβ T ρ ) d3 x
0 0
(III.53)
c
dan
j
n X
( )
∞
∂ k−1
Z X ∂L
Sρβ = (−1)k−1 µ1 µ2 j
−∞ j=1 ∂x ∂x · · · ∂xµk−1 ∂ ψ
∂( ∂t∂xµ1 ···∂xµk−1 )
k=1 ∂xµk+1 ···∂xµj
∂ j−k Rρβ ψ
× µ µ
d3 x (III.54)
∂x k+1 · · · ∂x j
40
serta komponen yang tidak gayut pada koordinat ruang dan waktu
j
n X
( )
∞
∂ k−1
Z X ∂L
Kρβ = (−1)k−1 µ1 µ2 j
−∞ j=1 ∂x ∂x · · · ∂xµk−1 ∂ ψ
∂( ∂t∂xµ1 ···∂xµk−1 )
k=1 ∂xµk+1 ···∂xµj
j
X ∂ j−k ψ
× (gρµl δ νβ − gβµl δ νρ ) d3 x. (III.56)
l=k+1
∂xν ∂xµk+1 · · · ∂xµl−1 ∂xµl+1 · · · ∂xµn
dinat ruang merupakan akibat perumuman rapat Lagrangan L yang dituliskan pada
persamaan (III.6) dan akan lenyap bila rapat Lagrangan hanya gayut pada ψ dan tu-
runan orde pertamanya. Dengan demikian Jjk yang merupakan kuantitas yang lestari
jika terdapat kesetangkupan terhadap suatu rotasi didefinisikan sebagai momentum
sudut total medan, atau dapat dikatakan bahwa kuantitas lestari yang menyertai
kesetangkupan terhadap suatu rotasi adalah momentum sudut total.
Kajian mengenai kesetangkupan terhadap suatu transformasi ruang dan waktu
cukup dengan hanya membahas mengenai transformasi yang berupa translasi ruang-
waktu maupun rotasi (atau secara umum transformasi Lorentz), karena berbagai trans-
formasi dapat diuraikan sebagai kombinasi dari kedua jenis transformasi ini.
BAB IV
KOMUTATIF
Suatu zarah yang bermassa m1 , tenaga dan momentum yang dimiliki zarah
tersebut terkait menurut kaitan tenaga-momentum relativistik2
E 2 = p~2 + m2 . (IV.1)
Persamaan (IV.1) merupakan titik tolak bagi Oskar Klein, Walter Gordon, serta Paul
Adrien Maurice Dirac dalam perumusan persamaan-persamaan mekanika kuantum
relativistik. Jika diadakan penguantuman terhadap persamaan (IV.1) dengan penguan-
tuman yang biasa dilakukan dalam pembahasan mekanika kuantum tak relativistik
∂
E → i ∂t ;
p~ → −i∇,
diperoleh
∂2
( 2
− ∇2 + m2 )φ(x) = 0. (IV.2)
∂t
42
43
zarah bebas dengan swanilai tenaga yang bernilai negatif. Dengan demikian interpre-
tasi φ(x) sebagai fungsi gelombang bagi zarah tunggal tidak dapat lagi dipertahankan.
Namun demikian permasalahan-permasalahan tersebut dapat diatasi dengan meman-
dang φ(x) bukan lagi sebagai fungsi gelombang bagi suatu zarah tunggal, melainkan
sebagai suatu medan, dalam hal ini sebagai suatu medan skalar. Dalam pemba-
hasan bab ini dan bab berikutnya diasumsikan medan-medan yang terlibat merupakan
fungsi licin pada ruang Minkowski.
Jika dibentuk suatu rapat Lagrangan L untuk suatu medan φ(x) yang bernilai
riil sebagai berikut
1 ∂φ ∂φ 2
L = ? −m φ?φ
2 ∂xβ ∂xβ
∞ n
1 ∂φ ∂φ 2 2
X i 1 µ 1 ν 1 µ2 ν 2
= β
−m φ + θ θ · · · θ µ n νn
2 ∂x ∂xβ n=1
2 n!
∂ nφ ∂ nφ
∂ ∂
×
∂xβ ∂xµ1 · · · ∂xµn ∂xβ ∂xν1 · · · ∂xνn
∂ nφ ∂ nφ
2
−m (IV.3)
∂xµ1 · · · ∂xµn ∂xν1 · · · ∂xνn
∂2φ
+ m2 φ
∂xβ ∂xβ
∞ n
∂ n+1 ∂ n+1 φ
X i 1 µ1 ν 1 µ n νn
+ θ ···θ
n=1
2 n! ∂xβ ∂xµ1 · · · ∂xµn ∂xβ ∂xν1 · · · ∂xνn
∂n ∂ nφ
2
+m = 0. (IV.4)
∂xµ1 · · · ∂xµn ∂xν1 · · · ∂xνn
44
∂2 ∂2 ∂2
θµν = θ νµ
= −θ µν
= 0, (IV.5)
∂xµ ∂xν ∂xν ∂xµ ∂xµ ∂xν
∂2
( − ∇2 + m2 )φ(x) = 0
∂t2
yang tidak lain adalah persamaan Klein-Gordon, dengan demikian rapat Lagrangan
(IV.3) merupakan rapat Lagrangan bagi medan Klein-Gordon riil pada ruang Minkows-
ki tak komutatif. Setelah memperoleh rapat Lagrangan untuk medan Klein-Gordon
yang bernilai riil, maka dapat diperoleh tenaga total, momentum, serta momentum
sudut yang dimiliki oleh medan φ(x).
Tensor energi-momentum medan φ(x) dapat diperoleh dengan mensubstitusi
rapat Lagrangan L pada persamaan (IV.3) ke dalam persamaan (III.21). Substitusi ini
menghasilkan
∞ n n−1
∂ k−1
α 1 XX k−1 i 1
T = (−1) (θµ2 ν1 · · · θµn νn−1
ν
2 n=1 k=1 ∂xµ1 · · · ∂xµ-˛1 2 (n − 1)!
n
∂ n−1 φ
ν 1 µ2 νn−1 µn ∂ 2 i 1
+θ ···θ ) ν ν
− m
∂xα ∂x 1 · · · ∂x n−1 2 n!
n
∂ φ
× (θαν1 · · · θµn νn + θν1 α · · · θνn µn ) ν1 − δ αν L
∂x · · · ∂xνn
∞ n−1
∂ n−1 φ ∂ n−1 φ
1 X i 1 ∂ ∂
=
2 n=1 2 (n − 1)! ∂xα ∂xν1 · · · ∂xνn−1 ∂xν ∂xµ2 · · · ∂xµn
∞ n
µ2 ν 1 µn νn−1 ν1 µ 2 νn−1 µn 2
X i 1
×(θ ···θ +θ ···θ )−m
n=1
2 n!
∂ nφ ∂ n−1 φ
∂
× ν1 (θαν1 · · · θµn νn + θν1 α · · · θνn µn )
∂x · · · ∂xνn ∂xν ∂xµ2 · · · ∂xµn
∞ n−1
∂2 ∂ n−1 φ ∂ n−2 φ
X i 1 ∂
−
n=2
2 (n − 1)! ∂xµ1 ∂xµ1 ∂xν1 · · · ∂xνn−1 ∂xν ∂xµ3 · · · ∂xµn
45
αν1 µn νn−1 ν1 α νn−1 µn
×(θ ···θ +θ ···θ ) − δ αν L. (IV.6)
∞
∂2 ∂ n−1 φ
αν1 µn νn−1 ν1 α νn−1 µn 1 X
(θ · · · θ + θ ···θ )
n=2
(n − 1)! ∂xµ1 · · · ∂xµ1 ∂xν1 · · · ∂xνn−1
∞ n−1
∂ n−2 φ
∂ 2
X i 1
× ν µ µ
= −m (θαν1 · · · θµn νn−1
∂x ∂x 3 · · · ∂x n n=2
2 (n − 1)!
n−1 ∞ n
∂ n−2 φ
ν1 α νn−1 µn ∂ φ ∂ 2
X i 1
+θ · · · θ ) ν1 ν ν µ µ
= −m
∂x · · · ∂x n−1 ∂x ∂x · · · ∂x
3 n
n=1
2 n!
∂ nφ ∂ n−1 φ
∂
× ν1 (θαν1 · · · θµn νn−1 + θν1 α · · · θνn−1 µn ),
∂x · · · ∂xνn ∂xν ∂xµ2 · · · ∂xµn
(IV.7)
∞ n−1
∂ n−1 φ ∂ n−1 φ
α 1X i 1 ∂ ∂
T ν =
2 n=1 2 (n − 1)! ∂xα ∂xν1 · · · ∂xνn−1 ∂xν ∂xµ2 · · · ∂xµn
(θµ2 ν1 · · · θµn νn−1 + θν1 µ2 · · · θνn−1 µn ) − δ αν L
1 ∂φ ∂φ ∂φ ∂φ
= ? + ? − δ αν L
2 ∂xα ∂xν ∂xν ∂xα
1 ∂φ ∂φ
= , − δ αν L. (IV.8)
2 ∂xα ∂xν ?
Bentuk kontravarian dari tensor energi momentum pada persamaan di atas adalah
αν 1 ∂φ ∂φ
T = , − g αν L (IV.9)
2 ∂xα ∂xν ?
yang bersifat simetris terhadap pertukaran indeks. Rapat Hamiltonan serta rapat mo-
mentum medan φ(x) diperoleh dari persamaan (IV.9)
∂φ ∂φ
T 00 = ? −L
∂t ∂t
46
1 ∂φ ∂φ 2
= ? + ∇φ ·? ∇φ + m φ ? φ ; (IV.10)
2 ∂t ∂t
1 ∂φ ∂φ
T 0j = , . (IV.11)
2 ∂t ∂xj ?
3
X
~
A(x) ~
·? B(x) := Aj (x) ? Bj (x). (IV.12)
j=1
Setelah memperoleh bentuk rapat Hamiltonan dan rapat momentum medan φ(x), da-
pat diperoleh Hamiltonan dan momentum medan dengan menggunakan persamaan
(III.35) dan (III.36).
Selanjutnya hendak diturunkan bentuk momentum sudut medan Klein-Gordon
riil. Untuk suatu medan skalar, koefisien Rνβ pada persamaan (III.41) bernilai nol, se-
hingga medan Klein-Gordon yang merupakan medan skalar tidak memiliki momen-
tum sudut intrinsik (Sjk = 0). Dengan demikian momentum sudut total Jjk hanya
terdiri dari momentum sudut orbital Mjk . Menurut persamaan (III.53), (III.55), dan
(III.56) Mρβ dapat diuraikan menjadi Kρβ dan Mρβ , sehingga Mρβ = Kρβ + Mρβ .
Karena tensor energi-momentum medan φ(x) telah diperoleh, maka untuk mencari
bentuk Mρβ hanya perlu mencari bentuk Kρβ .
Jika persamaan (IV.3) disubstitusikan ke dalam persamaan (III.56) dan dengan
47
∞ ∞ n−1
∂ n−1 φ
Z
1 X i 1 µ1 ν1 µn−1 νn−1 ∂
Kρβ = (θ ···θ )
2 −∞ n=1 2 (n − 1)! ∂t ∂xν1 · · · ∂xνn−1
n−1
X ∂ n−1 φ
× (gρµl δ νβ − gβµl δ νρ )
l=1
∂xν ∂xµ1 · · · ∂xµl−1 ∂xµl+1 · · · ∂xµn−1
n−1
∂ n−1 φ
X
∂
+ µ µ
(gρνl δ νβ − gβνl δ νρ )
∂t ∂x · · · ∂x
1 n−1
l=1
n−1
∂ φ
× ν ν1 d3 x. (IV.13)
∂x ∂x · · · ∂xνl−1 ∂xνl+1 · · · ∂xνn−1
Karena
n−1
∂ n−1 φ
X
µ1 ν 1 µn−1 νn−1 ∂
θ ···θ (gρµl δ νβ − gβµl δ νρ )
∂t ∂xν1 · · · ∂xνn−1 l=1
n−2
∂ φ ∂
× ν = (n − 1)θµ1 ν1 · · · θµn−1 νn−1
∂x ∂xµ1 · · · ∂xµl−1 ∂xµl+1 · · · ∂xµn−1
∂ n−2 φ ∂ n−1 φ
ν ν ∂ ∂
×(gρµ1 δ β − gβµ1 δ ρ ) ν ,(IV.14)
∂x ∂xµ2 · · · ∂xµn−1 ∂t ∂xν1 · · · ∂xνn−1
berarti integrand persamaan (IV.13) tidak lenyap hanya untuk n > 1. Jika persamaan
(IV.14) disubstitusikan ke dalam persamaan (IV.13), diperoleh
∞ n
Z ∞
i X i 1 µ1 ν 1 µn νn κλ
Kρβ = θ ···θ θ (gρκ δ νβ − gβκ δ νρ )
4 −∞ n=0 2 n!
∂ nφ ∂2 ∂ nφ
∂
× ν
∂x ∂xµ1 · · · ∂xµn ∂t∂xλ ∂xν1 · · · ∂xνn
∂2 ∂ nφ ∂ nφ
ν ν ∂
+ (gρλ δ β − gβλ δ ρ ) ν d3 x
∂t∂xκ ∂xµ1 · · · ∂xµn ∂x ∂xν1 · · · ∂xνn
i ∞ κλ ∂φ ∂ 2 φ
Z
ν ν
= θ (gρκ δ β − gβκ δ ρ ) , d3 x (IV.15)
4 −∞ ∂xν ∂t∂xλ ?
48
J ρβ = M ρβ = K ρβ + Mρβ
Z ∞
∂φ ∂ 2 φ
i κλ νρ β νβ ρ
= θ (g δ κ − g δ κ ) ,
−∞ 4 ∂xν ∂t∂xλ ?
+(x T − x T ) d3 x.
ρ 0β β 0ρ
J jk = M jk = K jk + Mjk
Z ∞
∂φ ∂ 2 φ
i κλ νj k νk j
= θ (g δ κ − g δ κ ) ,
−∞ 4 ∂xν ∂t∂xλ ?
+(x T − x T ) d3 x.
j 0k k 0j
(IV.16)
q
ω~k = k0 = ~k 2 + m2 . (IV.19)
Jika φ(x) pada persamaan (IV.17) disubstitusikan ke dalam persamaan (IV.10), (IV.11),
serta dengan menggunakan persamaan (III.34) dan (III.35), diperoleh
Z ∞
∂φ ∂φ
1
H = ? + ∇φ ·? ∇φ + m φ ? φ d3 x
2
−∞ 2∂t ∂t
Z ∞
1 d3 k
= a∗ (~k)a(~k) ; (IV.20)
2 −∞ (2π)3
Z ∞
1 ∂φ
P~ = − , ∇φ d3 x
−∞ 2 ∂t ?
Z ∞ ~
k d3 k
= a∗ (~k)a(~k) . (IV.21)
−∞ (2ω~k ) (2π)3
dan ( !)
∞
∂a(~k) ∂a(~k) d3 k
Z
1
J jk = = a∗ (~k) k j − kk
2 −∞ ∂kk ∂kj (2π)3 ω~k
∞
d3 k
Z
1 n
∗ ~
~ ~
o
J~ = = a (k) ∇~k a(k) × k , (IV.22)
2 −∞ (2π)3 ω~k
dengan =(z) menyatakan bagian imajiner dari bilangan kompleks z. Kuantitas pada
persamaan (IV.20), (IV.21), dan (IV.22) merupakan bentuk eksplisit Hamiltonan, mo-
mentum, serta momentum sudut medan Klein-Gordon riil pada ruang Minkowski tak
komutatif. Persamaan (IV.20), (IV.21) dan (IV.22) menunjukkan bahwa Hamiltonan,
momentum, serta momentum sudut medan Klein-Gordon riil pada ruang Minkowski
yang tidak komutatif tidak berbeda dengan Hamiltonan, momentum, serta momen-
3
Dalam pembahasan selanjutnya untuk medan Klein-Gordon kompleks dan medan Dirac kaitan
(IV.18) dan (IV.19) selalu digunakan dalam pernyataan medan-medan yang bersangkutan sebagai suatu
ekspansi Fourier.
50
tum medan Klein-Gordon riil pada ruang Minkowski yang komutatif ([Ryder , 1996]
p.126-135).
∂φ∗ ∂φ
L = ? − m2 φ∗ ? φ
∂xβ ∂xβ
∞ n
∂φ∗ ∂φ 2 ∗
X i 1 µ 1 ν1
= β
−m φ φ+ θ · · · θ µn ν n
∂x ∂xβ n=1
2 n!
n ∗
∂ nφ
∂ ∂ φ ∂
×
∂xβ ∂xµ1 · · · ∂xµn ∂xβ ∂xν1 · · · ∂xνn
∂ n φ∗ ∂ nφ
2
−m . (IV.23)
∂xµ1 · · · ∂xµn ∂xν1 · · · ∂xνn
Jika rapat Lagrangan di atas disubstitusikan ke dalam persamaan (III.16), maka dida-
pat persamaan Klein-Gordon
∂2
( − ∇2 + m2 )φ(x) = 0 (IV.24)
∂t2
∂2
( − ∇2 + m2 )φ∗ (x) = 0. (IV.25)
∂t2
∂φ ∂φ∗
L = β
? − m2 φ∗ ? φ; (IV.26)
∂x ∂xβ
51
∂φ∗ ∂φ
1 2 ∗
L = , − m {φ , φ}? . (IV.27)
2 ∂xβ ∂xβ ?
Namun demikian bentuk yang akan dibahas adalah bentuk rapat Lagrangan pada per-
samaan (IV.23), karena bentuk rapat Lagrangan lain yang menghasilkan persamaan
(IV.24) dan (IV.25) akan menghasilkan hasil akhir yang sama.
Jika rapat Lagrangan pada persamaan (IV.23) disubstitusikan ke dalam per-
samaan (III.21) serta dengan menggunakan persamaan (IV.24) dan (IV.25) diperoleh
tensor energi-momentum medan Klein-Gordon kompleks
∞ n−1
∂ n−1 φ∗
α
X i 1 µ2 ν 1 µn νn−1 ∂
T ν = θ ···θ
n=1
2 (n − 1)! ∂xν ∂xµ2 · · · ∂xµn
∂ n−1 φ ∂ n−1 φ∗
∂ ∂
× +
∂xα ∂xν1 · · · ∂xνn−1 ∂xα ∂xµ1 · · · ∂xµn−1
∂ n−1 φ
∂
× ν − δ αν L
∂x ∂xν2 · · · ∂xνn
∂φ∗ ∂φ ∂φ∗ ∂φ
= ? + ? − δ αν L
∂xν ∂xα ∂xα ∂xν
∗
∂φ ∂φ
= 2< ν
? − δ αν L. (IV.28)
∂x ∂xα
∂φ∗ ∂φ ∂φ∗ ∂φ
T αν = ? + ? − g αν L
∂xα ∂xν ∂xν ∂xα
∗
∂φ ∂φ
= 2< ? − g αν L, (IV.29)
∂xα ∂xν
dengan <(z) menyatakan bagian riil dari bilangan kompleks z. Tensor energi momen-
tum T αν di atas bersifat simetris terhadap pertukaran indeks α dan ν. Rapat Hamil-
tonan dan rapat momentum medan Klein-Gordon kompleks masing-masing adalah
∂φ∗ ∂φ
T 00 = ? + ∇φ∗ ·? ∇φ + m2 φ∗ ? φ; (IV.30)
∂t ∂t
52
∂φ∗ ∂φ
0j
T = 2< ? . (IV.31)
∂t ∂xj
∞ ∞ n−1
∂ n−1 φ
Z
X i 1 µ 1 ν1 µn−1 νn−1 ∂
Kρβ = θ ···θ
−∞ n=1 2 (n − 1)! ∂t ∂xν1 · · · ∂xνn−1
n−1
∂ n−1 φ∗
X
ν ν ∂
× (gρµl δ β − gβµl δ ρ ) ν
l=1
∂x ∂xµ1 · · · ∂xµl−1 ∂xµl+1 · · · ∂xµn−1
n−1
∂ n−1 φ∗
X
∂
+ (gρνl δ νβ − gβνl δ νρ )
∂t ∂xµ1 · · · ∂xµn−1 l=1
∂ n−2 φ
∂
× ν d3 x
∂x ∂xν1 · · · ∂xνl−1 ∂xνl+1 · · · ∂xνn−1
Z ∞ ∗
∂2φ
κλ ν ν ∂φ
= θ (δ ρ gβλ − δ β gρλ )= ν
? λ
d3 x,
−∞ ∂x ∂t∂x
sehingga diperoleh
∞ ∗
∂2φ
Z
ρβ κλ νρ β νβ ρ ∂φ
J = θ (g δ κ − g δ κ )= ν
? λ
+ (x T − x T ) d3 x.
ρ 0β β 0ρ
−∞ ∂x ∂t∂x
∞ ∗
∂2φ
Z
jk κλ νj k νk j ∂φ
J = θ (g δ κ − g δ κ )= ν
? λ
+ (x T − x T ) d3 x.
j 0k k 0j
−∞ ∂x ∂t∂x
(IV.32)
Medan Klein-Gordon φ(x) dan kompleks konjugatnya φ∗ (x) dapat dituliskan
sebagai suatu ekspansi Fourier
∞
d3 k
Z n o
φ(x) = ~
a(k)e−ik·x ∗ ~ ik·x
+ b (k)e ; (IV.33)
−∞ (2π)3 2ω~k
Z ∞n o d3 k
∗
φ (x) = b(~k)e−ik·x + a∗ (~k)eik·x . (IV.34)
−∞ (2π)3 2ω~k
53
∞
∂φ∗ ∂φ
Z
∗ 2 ∗
H = ? + ∇φ ·? ∇φ + m φ ? φ d3 x
−∞ ∂t ∂t
1 ∞n ∗~ ~ o d3 k
Z
= ~ ∗ ~
a (k)a(k) + b(k)b (k) ; (IV.35)
2 −∞ (2π)3
Z ∞ ∗
∂φ
P~ = − 2< ? ∇φ d3 x
−∞ ∂t
1 ∞~n ∗ ~ ~ o d3 k
Z
= k a (k)a(k) + b(~k)b∗ (~k) , (IV.36)
2 −∞ (2π)3 ω~k
dan
1 ∞ ∂a(~k) k ∂a(~k) j ∗ ~
Z
jk
J = − = k − k a (k)
2 −∞ ∂kj ∂kk
∗~
∂b (k) k ∂b∗ (~k) j d3 k
+ k − ~
k b(k) ,
∂kj ∂kk (2π)3 2ω~k
∞
d3 k
Z
1 hn
~ ~
o
∗ ~
n
∗ ~ ~
o
~
i
J~ = = ∇~k a(k) × k a (k) + ∇~k b (k) × k b(k) . (IV.37)
2 −∞ (2π)3 2ω~k
KOMUTATIF
∂ψ(x)
iγ µ − mψ(x) = 0, (V.1)
∂xµ
{γ µ , γ ν } = 2g µν 14×4 ; γ µ† = γ 0 γ µ γ 0 (V.2)
54
55
dan ψ(x) adalah suatu spinor-4. Salah satu bentuk matriks-matriks γ µ yang memenuhi
persamaan (V.2) dan yang lazim digunakan dalam pembahasan mengenai persamaan
Dirac misalnya
j
0 1 j 0 σ
γ0 = ;γ =
1 0 −σ j 0
∂ ψ̄(x) µ
i γ + mψ̄(x) = 0, (V.3)
∂xµ
dengan ψ̄(x) = ψ † (x)γ 0 , dan ψ † (x) adalah pendamping Hermit fungsi gelombang
ψ(x).
Walaupun permasalahan mengenai kemunculan rapat kebolehjadian yang da-
pat bernilai negatif teratasi oleh persamaan Dirac, namun penyelesaian persamaan
Dirac dengan swanilai tenaga yang bernilai negatif tetap ada. Untuk mengatasi hal
ini, Dirac menginterpretasikan penyelesaian persamaan (V.1) dengan swanilai tenaga
yang bernilai negatif sebagai fungsi gelombang yang menggambarkan keadaan suatu
anti zarah yang memiliki tenaga positif, dan keadaan hampa diinterpretasikan seba-
gai "lautan" yang dipenuhi oleh zarah (dan anti zarah) dengan tenaga negatif. Karena
penyelesaian persamaan Dirac ψ(x) (dan ψ̄(x)) merupakan spinor-4 yang menggam-
barkan keadaan zarah dan anti zarah yang memiliki spin 12 , zarah dan anti zarah terse-
but taat statistik Fermi-Dirac, sehingga tidak mungkin bagi suatu zarah dan anti zarah
meluruh dan menempati suatu keadaan dengan tenaga negatif tersebut. Interpretasi
56
∂ψ β
L = ψ̄ ? iγ − mψ
∂xβ
∞ n
∂ψ
β
X i 1 µ 1 ν1
= ψ̄iγ β
− mψ̄ψ + θ · · · θ µ n νn
∂x n=1
2 n!
∂ n ψ̄ ∂ nψ ∂ n ψ̄
β ∂
× iγ − m
∂xµ1 · · · ∂xµn ∂xβ ∂xν1 · · · ∂xνn ∂xµ1 · · · ∂xµn
∂ nψ
× ν1 , (V.4)
∂x · · · ∂xνn
∞ n−1
α
X i 1 ∂ n−1 ψ̄
T ν = θµ1 ν2 · · · θµn−1 νn µ1 µn−1
iγ α
n=1
2 (n − 1)! ∂x · · · ∂x
∞ n
∂ n−1 ψ
∂ X i 1 µ1 α
× ν ν ν
− m θ · · · θ µ n νn
∂x ∂x 2 · · · ∂x n n=1
2 n!
57
∂ n ψ̄ ∂ n−1 ψ
∂
× µ1
∂x · · · ∂xµn ∂xν ∂xν2 · · · ∂xνn
∞ n−1
∂ n−1 ψ̄
X i 1 µ1 α µn−1 νn ∂
− θ ···θ
n=2
2 (n − 1)! ∂xν1 ∂xν1 · · · ∂xn−1
∂ n−2 ψ
ν1 ∂
×iγ − δ αν L. (V.5)
∂xν ∂xν3 · · · ∂xνn
∞ n−1
∂ n−1 ψ̄
X i 1 µ1 α µn−1 νn ∂
θ ···θ ν mu µ
iγ ν1
n=2
2 (n − 1)! ∂x 1 ∂x 1 · · · ∂x n−1
∞
X i n−1
∂ n−2 ψ
∂ 1
× ν ν ν
= −m θµ1 α · · · θµn−1 νn
∂x ∂x 3 · · · ∂x n n=2
2 (n − 1)!
n−1
n−2
∞ n
∂ ψ̄ ∂ ∂ ψ X i 1 µ1 α
× µ1 µ ν ν ν
= −m θ · · · θ µn ν n
∂x · · · ∂x n−1 ∂x ∂x · · · ∂x
3 n
n=1
2 n!
n n−1
∂ ψ̄ ∂ ∂ ψ
× µ1 µ ν
, (V.6)
∂x · · · ∂x n ∂x ∂x 2 · · · ∂xνn
ν
sehingga
∞ n−1
α
X i 1 ∂ n−1 ψ̄
T ν = θµ1 ν2 · · · θµn−1 νn µ1 µn−1
iγ α
n=1
2 (n − 1)! ∂x · · · ∂x
∂ n−1 ψ
∂
× ν − δ αν L
∂x ∂xν2 · · · ∂xνn
∞ n
∂ n ψ̄ ∂ nψ
X i 1 µ1 ν 1 µ n νn α ∂
= θ ···θ iγ
n=0
2 n! ∂xµ1 · · · ∂xµn ∂xν ∂xν1 · · · ∂xνn
−δ αν L
∞ n
∂ψ
α
X i 1 µ 1 ν1 µ n νn ∂ n ψ̄
= ψ̄iγ + θ · · · θ iγ α
∂xν n=1 2 n! ∂xµ1 · · · ∂xµn
∂ nψ
∂
× ν − δ αν L
∂x ∂xν1 · · · ∂xνn
∂ψ
= iψ̄ ? γ α ν − δ αν L, (V.7)
∂x
58
∂ψ
T αν = iψ̄ ? γ α − g αν L. (V.8)
∂xν
∂ψ
T 00 = iψ † ? , (V.9)
∂t
∂ψ
T 0j = iψ † ? . (V.10)
∂xj
∞ ∞ n−1
∂ n−1 ψ̄
Z X
i 1
Kρβ = θµ1 ν2 · · · θµn−1 νn µ1 µn−1
iγ 0
−∞ n=1
2 (n − 1)! ∂x · · · ∂x
n
∂ n−1 ψ
X
ν ν
× (gρνl δ β − gβνl δ ρ ) ν ν2
l=2
∂x ∂x · · · ∂xνl−1 ∂xνl+1 · · · ∂xνn
n n
i 1 µ1 α µn ν n ∂ n ψ̄ X
−m θ ···θ (gρνl δ νβ − gβνl δ νρ )
2 n! ∂xµ1 · · · ∂xµn l=2
∞ n−1
∂ n−1 ψ
X
i 1
× ν ν2 ν ν ν
−
∂x ∂x · · · ∂x ∂x l−1 l+1 · · · ∂x n
n=2
2 (n − 1)!
n
∂ n−1 ψ̄
∂ X
×θµ1 0 · · · θµn−1 νn ν1 µ µ
iγ ν1
(gρνl δ νβ − gβνl δ νρ )
∂x ∂x · · · ∂x
1 n−1
l=3
n−2
∂ ψ
× ν ν3 ν ν ν
d3 x
∂x ∂x · · · ∂x ∂x l−1 l+1 · · · ∂x n
59
∞ ∞ n−1
∂ n−1 ψ̄
Z X i 1
= θµ1 ν1 · · · θµn−1 νn−1 µ1 iγ 0
−∞ n=1 2 (n − 1)! ∂x · · · ∂xµn−1
n−1
X ∂ n−1 ψ
× (gρνl δ νβ − gβνl δ νρ ) d3 x.
l=1
∂xν ∂xν1 · · · ∂xνl−1 ∂xνl+1 · · · ∂xnun−1
(V.11)
∞ n−1
∂ n−1 ψ̄
X i 1 ∂
θµ1 0 · · · θµn−1 νn ν1 γ ν1
n=2
2 (n − 1)! ∂x ∂xµ1 · · · ∂xµn−1
n
X ∂ n−2 ψ
× (gρνl δ νβ − gβνl δ νρ )
l=3
∂xν ∂xν3 · · · ∂xνl−1 ∂xνl+1 · · · ∂xνn
∞ n n−1
X i 1 µ1 0 µn ν n ∂ n ψ̄ X
= −m θ ···θ µ µ
(gρνl δ νβ − gβνl δ νρ )
n=1
2 n! ∂x · · · ∂x l=2
1 n
∂ n−1 ψ
× .
∂xν ∂xν2 · · · ∂xνl−1 ∂xνl+1 · · · ∂xνn
Karena
∞ n−1
X i 1 ∂ n−1 ψ †
θµ1 ν1 · · · θµn−1 νn−1 i µ1
n=1
2 (n − 1)! ∂x · · · ∂xµn−1
n−1
X ∂ n−1 ψ
× (gρνl δ νβ − gβνl δ νρ )
l=1
∂xν ∂xν1 · · · ∂xνl−1 ∂xνl+1 · · · ∂xνn−1
∞ n−1
∂ n−2 ψ †
X i n − 1 µ1 ν 1 µ2 ν 2 µn−1 νn−1 ∂
=i θ θ ···θ
n=1
2 (n − 1)! ∂xµ1 ∂xµ2 · · · ∂xµn−1
∞ n
∂ nψ†
1X i 1 κλ µ1 ν1 µn νn ∂
=− θ θ ···θ
2 n=0 2 n! ∂xκ ∂xµ1 · · · ∂xµn
∂ nψ
∂
× ν (gρλ δ νβ − gβλ δ νρ )
∂x ∂xν1 · · · ∂xνn
†
1 λκ ν ν ∂ψ ∂ψ
= θ (gρλ δ β − gβλ δ ρ ) κ ? ν , (V.12)
2 ∂x ∂x
60
maka bentuk pada persamaan (V.11) dapat dibuat menjadi lebih sederhana
∞
∂ψ † ∂ψ
Z
1 λκ
Kρβ = θ (gρλ δ νβ − gβλ δ νρ ) κ ? ν d3 x, (V.13)
−∞ 2 ∂x ∂x
sehingga diperoleh
∞
∂ψ † ∂ψ
Z
1 λκ
Kjk = θ (gjλ δ νk − gkλ δ νj ) κ ? ν d3 x. (V.14)
−∞ 2 ∂x ∂x
∞
∂ψ † ∂ψ
Z n1 o
Mjk = θλκ (gjλ δ νk − gkλ δ νj ) ? + (x T
j k
0
− x T
k j
0
) d3 x. (V.15)
−∞ 2 ∂xκ ∂xν
Koefisien Rνβ pada persamaan (III.41) untuk medan Dirac yang merupakan
medan spinor adalah σνβ = 4i [γν , γβ ] dengan γ ν dan γ β adalah matriks-matriks Dirac
yang memenuhi persamaan (V.2). Dengan menggunakan persamaan (III.54) dan (V.4)
akan diperoleh
∞ ∞ X
n n−1
∂ k−1
Z X i 1
Sρβ = ν ν
θµ1 ν2 · · · θµn−1 νn
−∞ n=1 k=1 ∂x 1 · · · ∂x k−1 2 (n − 1)!
n
∂ n−1 ψ̄ 0 i 1 µ1 0
× µ1 µ
iγ − m θ · · · θ µn ν n
∂x · · · ∂x n−1 2 n!
∂ n ψ̄ ∂ n−k
i
× µ1 µ ν ν
− σρβ ψ d3 x
∂x · · · ∂x n ∂x · · · ∂x
2 n 2
Z ∞X ∞ n−1
i 1 ∂ n−1 ψ †
= θµ1 ν1 · · · θµn−1 νn−1 µ1 i
−∞ n=1 2 (n − 1)! ∂x · · · ∂xµn−1
∂ n−1
i
× ν1 − σρβ ψ d3 x
∂x · · · ∂xνn−1 2
Z ∞
1 †
= ψ ? σρβ ψd3 x, (V.16)
−∞ 2
61
Z ∞
jk 1 †
S = ψ ? σ jk ψd3 x, (V.17)
−∞ 2
∞
∂ψ † ∂ψ
Z
jk 1 λκ j νk
J = θ (δ λ g − δ kλ g νj ) κ ? ν + (xj T 0k − xk T 0j )
−∞ 2 ∂x ∂x
1
+ ψ † ? σ jk ψ d3 x. (V.18)
2
Medan Dirac ψ(x) dan pendampingnya ψ̄(x) dapat dinyatakan sebagai ekspan-
si Fourier
Z ∞ o d3 k
m X n ~ (r) ~ −ik·x
ψ(x) = br (k)u (k)e + d∗r (~k)v (r) (~k)eik·x ; (V.19)
−∞ k0 r (2π)3
Z ∞ o d3 k
m X n ∗ ~ (r) ~ ik·x
ψ̄(x) = br (k)ū (k)e + dr (~k)v̄ (r) (~k)e−ik·x , (V.20)
−∞ k0 r (2π)3
dengan u(r) (~k) dan v (r) (~k) adalah spinor-4 Dirac yang masing-masing berkaitan den-
gan penyelesaian persamaan (V.1) dengan tenaga yang bernilai positif dan negatif,
sedangkan ū(r) (~k) = u†(r) (~k)γ 0 dan v̄ (r) (~k) = v †(r) (~k)γ 0 masing-masing berkaitan
dengan penyelesaian persamaan (V.3) dengan tenaga yang bernilai negatif dan positif.
Masing-masing spinor-4 tersebut memenuhi kaitan
ω~k rs
u†(r) (~k)us (~k) = v †(r) (~k)v (s) (~k) = δ
m
u†(r) (~k)v (s) (−~k) = 0
dan (V.20) ke dalam persamaan (V.8) dan (V.18) serta menggunakan persamaan (III.35)
dan (III.36). Substitusi tersebut menghasilkan Hamiltonan medan Dirac
Z ∞
∂ψ 3
H = iψ † ?
dx
−∞ ∂t
Z ∞ Xn o d3 k
∗ ~ ~ ~ ∗ ~
= m br (k)br (k) − dr (k)dr (k) , (V.21)
−∞ r
(2π)3
Z ∞
P~ = − iψ † ? ∇ψd3 x
−∞
Z ∞ ~
mk X n ∗ ~ o d3 k
= br (k)br (~k) − dr (~k)d∗r (~k) . (V.22)
−∞ k0 r (2π)3
Pada persamaan (V.21) dan (V.22) tampak bahwa Hamiltonan dan momentum medan
Dirac pada ruang Minkowski yang tidak komutatif sama dengan Hamiltonan dan mo-
mentum medan tersebut pada ruang Minkowski yang komutatif.
Sekarang hendak ditinjau momentum sudut medan Dirac. Momentum sudut
orbital medan Dirac adalah
∗ ~
md3 k
∂dr (k) j ~
− k dr (k) , (V.23)
∂kk (2π)3 k0
mentum sudut medan Dirac digunakan sifat spinor-4 Dirac dan sifat matriks-matriks
Dirac. Telah dikemukakan bahwa matriks-matriks Dirac γ µ yang mengalami transfor-
masi uniter γ µ → γ 0µ = U γ µ U † dengan U sembarang matriks uniter, maka γ 0µ juga
memenuhi kaitan (V.2). Andaikan ξ(~k) spinor-4 Dirac yang terkait dengan matriks
γ µ , maka ξ(~k) merupakan spinor-4 Dirac yang terkait dengan matriks γ 0µ . Mengingat
spinor-4 Dirac tertransformasi secara uniter jika diadakan transformasi Lorentz yang
berupa suatu rotasi murni maka selalu dapat diadakan rotasi sehingga spinor-4 terse-
but merupakan swa-spinor dari σ jk = 4i [γ j , γ k ]. Jika dibentuk suatu vektor ~σ yang
dapat dinyatakan sebagai suatu matriks baris
~σ := (σ 23 σ 31 σ 12 ) (V.25)
~σ = σ~k~s, (V.26)
dengan spinor-4 u(s) (~k) dan v (s) (~k) merupakan swa-spinor σ~k dengan swanilai masing-
masing c1 dan c2 , serta ~s adalah suatu vektor satuan yang memberikan orientasi mo-
~ maka diperoleh
mentum sudut intrinsik S,
Z ∞ o ~smd3 k
~=1
Xn
S c1 b∗r (~k)br (~k) + c2 dr (~k)d∗r (~k) , (V.27)
2 −∞ r (2π)3 k0
yang merupakan bentuk eksplisit momentum sudut intrinsik medan Dirac. Momen-
tum sudut total medan Dirac J~ merupakan jumlah dari M
~ dan S,
~ yakni
J~ = M~ +S
~
Z ∞ X hn o n o i
= = ∇~k br (~k) × ~k b∗r (~k) + ∇~k d∗r (~k) × ~k dr (~k)
−∞ r
64
1 Xn ∗ ~ o md3 k
+ ~s ~ ~ ∗ ~
c1 br (k)br (k) + c2 dr (k)dr (k) . (V.28)
2 r (2π)3 k0
Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini menurut tujuan penelitian yang
telah dikemukakan pada bab pertama secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga
bagian, yakni kesimpulan yang diperoleh dari perluasan teori Lagrangan untuk
suatu medan, kesimpulan yang diperoleh dari kajian mengenai medan Klein-
Gordon pada ruang Minkowski tak komutatif, serta kesimpulan yang diperoleh
dari kajian mengenai medan Dirac pada ruang Minkowski tak komutatif.
n
( )
∂L X ∂j ∂L
+ (−1)j µ1 µ2 j = 0. (VI.1)
∂ψ j=1 ∂x ∂x · · · ∂xµj ∂( ∂xµ1 ∂x∂µ2ψ···∂xµj )
j
n X
( )
∞
∂ k−1
Z X
∂L
H = ∂j ψ
−∞ ∂xµ1 ∂xµ2 · · · ∂xµk−1 ∂( )
j=1 k=1 ∂t∂xµ1 ···∂xµk−1 ∂xµk+1 ···∂xµj
∂ j−k ψ
∂
×(−1)k−1 µ µ
− L d3 x. (VI.2)
∂t ∂x k+1 · · · ∂x j
65
66
j
n X
( )
∞
∂ k−1
Z X ∂L
Pi = µ1 µ2 µk−1 ∂j ψ
−∞ j=1 k=1 ∂x ∂x · · · ∂x ∂( ∂t∂xµ1 ···∂xµk−1 ∂xµk+1 ···∂xµj
)
∂ j−k ψ
∂
×(−1)k−1 i d3 x. (VI.3)
∂x ∂xµk+1 · · · ∂xµj
j
n X
( )
∞
∂ k−1
Z X
∂L
Jjk = j
−∞ ∂xµ1 ∂xµ2 · · · ∂xµk−1 ∂ ψ
∂( ∂t∂xµ1 ···∂xµk−1 )
j=1 k=1 ∂xµk+1 ···∂xµj
j
k−1
X ∂ j−k ψ
×(−1) (δ νk gjµl − δ νj gkµl )
l=k+1
∂xν ∂xµk+1 · · · ∂xµl−1 ∂xµl+1 · · · ∂xµj
1 0 0
+ (xj T k − xk T j )
c
j
n X
( )
X ∂ k−1 ∂L
+ ∂j ψ
∂xµ1 ∂xµ2 · · · ∂xµk−1 ∂( )
j=1 k=1 ∂t∂xµ1 ···∂xµk−1 ∂xµk+1 ···∂xµj
∂ j−k Rjk ψ
×(−1)k−1 µ d3 x. (VI.4)
∂x k+1 · · · ∂xµj
Dari kajian mengenai medan Klein-Gordon pada ruang Minkowski tak komu-
tatif diperoleh hasil-hasil sebagai berikut:
• Rapat Lagrangan untuk medan Klein-Gordon yang bernilai riil pada ruang Minkows-
ki tak komutatif:
1 ∂φ ∂φ 2
L = ? −m φ?φ
2 ∂xβ ∂xβ
∞ n
1 ∂φ ∂φ 2 2
X i 1 µ 1 ν 1 µ2 ν 2
= − m φ + θ θ · · · θ µ n νn
2 ∂xβ ∂xβ n=1
2 n!
67
∂ nφ ∂ nφ
∂ ∂
×
∂xβ ∂xµ1 · · · ∂xµn ∂xβ ∂xν1 · · · ∂xνn
∂ nφ ∂ nφ
2
−m (VI.5)
∂xµ1 · · · ∂xµn ∂xν1 · · · ∂xνn
• Rapat Lagrangan untuk medan Klein-Gordon yang bernilai kompleks pada ru-
ang Minkowski tak komutatif:
∂φ∗ ∂φ
L = ? − m2 φ∗ ? φ
∂xβ ∂xβ
∞ n
∂φ∗ ∂φ 2 ∗
X i 1 µ1 ν1
= β
−m φ φ+ θ · · · θ µn ν n
∂x ∂xβ n=1
2 n!
∂ n φ∗ ∂ nφ
∂ ∂
×
∂xβ ∂xµ1 · · · ∂xµn ∂xβ ∂xν1 · · · ∂xνn
∂ n φ∗ ∂ nφ
2
−m . (VI.6)
∂xµ1 · · · ∂xµn ∂xν1 · · · ∂xνn
Z ∞
∂φ ∂φ 1
H = ? + ∇φ ·? ∇φ + m φ ? φ d3 x
2
−∞ ∂t 2
∂t
1 ∞ ∗ ~ ~ d3 k
Z
= a (k)a(k) . (VI.7)
2 −∞ (2π)3
Z ∞
1 ∂φ
P~ = − , ∇φ d3 x
−∞ 2 ∂t ?
Z ∞ ~
k d3 k
= a∗ (~k)a(~k) . (VI.8)
−∞ (2ω~k ) (2π)3
• Momentum sudut medan Klein-Gordon riil pada ruang Minkowski tak komu-
tatif:
∞
d3 k
Z
1 n o
J~ = = a∗ (~k) ∇~k a(~k) × ~k . (VI.9)
2 −∞ (2π)3 ω~k
68
∞
∂φ∗ ∂φ
Z
∗ 2 ∗
H = ? + ∇φ ·? ∇φ + m φ ? φ d3 x
−∞ ∂t ∂t
1 ∞n ∗~ ~ o d3 k
Z
= ~ ∗ ~
a (k)a(k) + b(k)b (k) . (VI.10)
2 −∞ (2π)3
∞
∂φ∗
Z
P~ = − 2< ? ∇φ d3 x
−∞ ∂t
Z ∞
1 n
~k a∗ (~k)a(~k) + b(~k)b∗ (~k)
o d3 k
= , (VI.11)
2 −∞ (2π)3 ω~k
∞
d3 k
Z
1 hn o n o i
J~ = = ∇~k a(~k) × ~k a∗ (~k) + ∇~k b∗ (~k) × ~k b(~k) .
2 −∞ (2π)3 2ω~k
(VI.12)
Dari hasil-hasil tersebut di atas tampak bahwa pada ruang Minkowski yang tidak ko-
mutatif Hamiltonan, momentum, serta momentum sudut medan Klein-Gordon mem-
punyai bentuk yang sama dengan Hamiltonan, momentum, serta momentum sudut
medan tersebut pada ruang Minkowski yang komutatif. Hal ini berarti ketidakkomu-
tatifan ruang Minkowski tidak memberikan efek apa-apa terhadap kuantitas-kuantitas
tersebut.
69
Kajian mengenai medan Dirac pada ruang Minkowski yang tak komutatif
memberikan hasil-hasil sebagai berikut
• Rapat Lagrangan untuk medan Dirac pada ruang Minkowski tak komutatif:
∂ψ β
L = ψ̄ ? iγ − mψ
∂xβ
∞ n
∂ψ
β
X i 1 µ 1 ν1
= ψ̄iγ β
− mψ̄ψ + θ · · · θ µ n νn
∂x n=1
2 n!
∂ n ψ̄ ∂ nψ ∂ n ψ̄
β ∂
× iγ − m
∂xµ1 · · · ∂xµn ∂xβ ∂xν1 · · · ∂xνn ∂xµ1 · · · ∂xµn
∂ nψ
× ν1 . (VI.13)
∂x · · · ∂xνn
Z ∞
∂ψ 3
H = iψ † ?
dx
−∞ ∂t
Z ∞ Xn o d3 k
= m b∗r (~k)br (~k) − dr (~k)d∗r (~k) 3
. (VI.14)
−∞ r
(2π)
Z ∞
P~ = − iψ † ? ∇ψd3 x
−∞
Z ∞ ~
mk X n ∗ ~ o d3 k
= br (k)br (~k) − dr (~k)d∗r (~k) . (VI.15)
−∞ k0 r (2π)3
J~ = M~ +S
~
Z ∞ X hn o n o i
= ~ ~ ∗ ~ ∗ ~ ~ ~
= ∇~k br (k) × k br (k) + ∇~k dr (k) × k dr (k)
−∞ r
1 Xn ∗ ~ o md3 k
+ ~s c1 br (k)br (~k) + c2 dr (~k)dr (~k)
∗
. (VI.18)
2 r (2π)3 k0
Tampak dari hasil-hasil yang diperoleh bahwa Hamiltonan, momentum, serta mo-
mentum sudut medan Dirac pada ruang Minkowski tak komutatif sama dengan Hamil-
tonan, momentum, serta momentum sudut medan tersebut pada ruang Minkowski
yang komutatif. Dengan demikian ketidakkomutatifan ruang Minkowski tidak mem-
berikan efek terhadap kuantitas-kuantitas tersebut.
4. Saran
Kajian mengenai medan Klein-Gordon dan medan Dirac pada ruang Minkows-
ki tak komutatif yang telah dipaparkan dalam skripsi ini masih dibatasi pada medan
yang bebas serta belum dikuantumkan. Dengan demikian masih terdapat hal-hal
yang dapat menjadi bahan kajian. Maka disarankan untuk melakukan penelitian lebih
lanjut mengenai penguantuman medan-medan tersebut pada ruang Minkowski yang
tidak komutatif serta kajian mengenai medan-medan tersebut jika berinteraksi dengan
medan lain.
Dalam melakukan penguantuman medan Klein-Gordon dan medan Dirac pa-
71
da ruang Minkowski tak komutatif dengan menggunakan teori Lagrangan yang telah
diperumum tidak lagi terdapat konsep momentum konjugat. Namun demikian pen-
guantuman dapat dilakukan dengan mempostulatkan kaitan komutasi antara koefisien-
koefisien Fourier medan-medan yang bersangkutan. Dari kajian ini akan diperoleh
propagator Klein-Gordon dan propagator Dirac pada ruang Minkowski yang tidak
komutatif.
Kajian lain yang dapat dilakukan yakni dengan melakukan telaah mengenai
medan-medan yang berinteraksi. Kajian ini dapat dilakukan dari interaksi yang seder-
hana, hingga teori gangguan pada ruang Minkowski yang tidak komutatif.
DAFTAR PUSTAKA
Bayen, F., Flato, M., Fronsdal, C., Lichnerowicz A., Sternheimer D., 1978, Defor-
mation Theory and Quantization I: Deformations of Symplectic Structures, Ann.
Phys., 111,61
Boas, M.L., 1996, Mathematical Methods in the Physical Sciences, edisi kedua, John
Wiley & Sons, Inc., New York
Dunford, N., Schwartz, J.T., 1971, Linear Operators Part II:Spectral Theory, Self
Adjoint Operators in Hilbert Space, John Wiley & Sons, Inc., New York
Dunford, N., Schwartz, J.T., 1971, Linear Operators Part III:Spectral Operators,
John Wiley & Sons, Inc., New York
Dwandaru, W.S.B., Palupi, D.S., Rosyid, M.F., 2004, Recent Development In Time
Operator In Non-Relativistic Quantum Mechanics: Positive Operator Measure Ap-
proach, Phys.J.IPS.,C8,0525
Girotti, H.O., 2003, Noncommutative Quantum Field Theory, kuliah yang disam-
paikan pada The XII Jorge Andre Swieca Summar School, Section Particles and
Fields, Campos de Jordao
Goswami, A., 1997, Quantum Mechanics, edisi kedua, Wm. C. Brown Publishers,
Dubuque, IA
Mandl, F., Shaw, G., 1984, Quantum Field Theory, John Wiley & Sons, Inc., Cich-
ester
Meyer, F., 2003, Models Of Gauge Fields On Noncommutative Spaces, Master Thesis,
Universitat München
72
73
Muslim, 1997, Seri Fisika Dasar Bagian I:Mekanika, Modul I dan II Kinematika Dan
Dinamika Zarah, Jurusan Fisika FMIPA Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Rosyid, M.F., 2002, Diktat Mata Kuliah Matematika Untuk Fisika Teori I, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Jurusan Fisika Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta
Ryder, L.H., 1996, Quantum Field Theory, edisi kedua, Cambridge University Press,
Cambridge
Siahaan, T., Rosyid, M.F., Satriawan, M., 2004, Klein-Gordon and Dirac Fields On
Noncommutative Spacetime, Phys.J.IPS.,C8,0522
Weinberg, S., 1995, The Quantum Theory of Fields, Vol I:Foundations, Cambridge
University Press, Cambridge
LAMPIRAN A
dengan θjk bersifat antisimetris terhadap pertukaran indeks dan merupakan suat bi-
langan riil biasa. Diasumsikan tiap operator x̂j memiliki swanilai malar. Jika |xj i
adalah swa-ket bagi operator x̂j dengan swanilai xj , maka hasil kali skalar
berkaitan dengan kebolehjadian untuk mendapatkan hasil ukur koordinat xi jika telah
diketahui secara pasti nilai xj . Karena x̂i dan x̂j tidak komut maka jika telah diketahui
secara pasti nilai xj maka kebolehjadian mendapatkan hasil ukur xi harus bernilai
sama untuk tiap nilai xi . Dengan demikian haruslah berlaku
i 1 x̂ 2
T̂ (~p) = e ~ (p 1 +p x̂2
, (A.4)
maka
i 12 p p i 1 i 2
tr[T̂ (~p)] = e 2~2 θ 1 2
tr[e ~ p1 x̂ e ~ p2 x̂ ]
74
75
Z ∞
i
θ12 p1 p2 i 1 i 2
= e 2~2 hx1 |e ~ p1 x̂ e ~ p2 x̂ |x1 idx1
Z−∞
∞
i
θ12 p1 p2 i 1 i 2
= e 2~2 hx2 |e ~ p1 x̂ |x1 ihx1 |e ~ p2 x̂ |x2 idx1 dx2
−∞
i
2 θ12 p1 p2
= he 2~2 δ (2) (~p)
dengan p~ = ~~k.
Perumuman persamaan (A.7) dapat dilakukan untuk n bilangan genap [Sochichiu
, 2004] sehingga