Anda di halaman 1dari 10

Radheyasuta

TERJEMAHAN NIRARTHA PRAKRETA

1. Santawya ngwang i jong bhatāra paramārthātyanta ring niskala, sang tan sah
sinamādhi munggwi těngahin hrěttika sunyālaya, sûryopāma sirān prakāsa měnuhi sarātma
diptojjwala, byaktāwās kahiděp swadipa suměnö lumreng manah niscala.

Mohon ampun hamba dibawah-Mu Bhatara Paramartha di alam niskala, yang senantiasa hamba
jadikan pusat semadi dan sthanakan di dalam hati, bagaikan Surya yang memenuhi segala
makhluk, tentu terpikirkan jelas cahayanya sendiri yang bersinar menyusup ke dalam pikiran yang
hening.

2. Ndah yan mangkana lot sayojya hana ring cittātisuddhottama, manggěh


sādhananingwan amrih atěkěn lambing guměgwang karas, nāhan donku n amuspa ring
pratidineng ratryāmalar sanmatan, pintěn kārananing wěnang rumacana ng sabdātěmah
bhāsita.

Dengan demikian tentulah Bhatara Paramartha senantiasa berada di dalam hati yang suci dan
utama, yang hamba jadikan sarana Sastra menyuratkannya ke dalam lontar, itulah tujuan hamba
menyembah siang dan malam memohon tuntunan, sehingga hamba dapat menyusun kata menjadi
karya sastra.

3. Ngwang pwātyanta wimohitāpan alěwěs tucchā kanisteng sarāt, ndan dûrān wruha
marna-marna śāstrārtha widyāgama, anghing duhkita kewalāmrati sumök lwir
andhakārāngasut, tan wruh panglawanganing larānupama hetungkwangikět lambanga.

Hamba adalah orang yang bodoh, nista dan dinistakan masyarakat, sangat jauh kemungkinan
hamba mendapatkan hakikat sastra maupun pengetahuan suci, namun hamba tidak dapat
menahan kesedihan yang bagaikan diselimuti gelap gulita, tidak tahu jalan meredakan derita itulah
sebabnya hamba mengikat karya sastra ini.

4. Dûrān manduka yān pamuktya wangining tuňjung prakirneng baňu, ekasthā


rahineng kulěm tathapi tan wruh punyaning pangkaja, bheda mwang gatining madhubrata
sakeng doh ndan wawang sparśaka, himpěr mangkana mûdhaningwang anukěr jöng sang
widagdheng naya.

Tentu mustahillah si katak dapat menikmati wangi bunga teratai yang tersebar di air, siang dan
malam berada di tempat yang sama tanpa mengetahui pemberian si bunga teratai, berbeda
dengan si lebah dari jauh ia bisa merasakannya, seperti itulah kebodohan hamba tentu akan
mengotori kaki beliau yang pandai bijaksana.

5. Ring prajngadhika mitraning suka lawan swargatidiwyenusir, yan ring durgati duhka
mitranilkihen sthirangiket tan kasha, yan ring budhi mahaprakopa taya len tang papa
mitrangiwo, ndah yeking tri pamitra sancaya gegon tekang sayogyalapen.

Orang yang pandai dan bijaksana menjadi sahabat kesukaan dan akan menemui sorga,
orang berhati jahat menjadi sahabat kedukaan yang sangat kuat mengikatnya sehingga tidak
dapat bergerak, orang yang serakah tiada lain menjadi sahabat kesengsaraan, itulah tiga sahabat
ketahuilah yang patut dipilih

6. Sangksepanya lana prihen pinaka mitra sadhu santakreti, lawan haywa minitra tang
kujana durtawas maweh wadhaka, ton tang hangsa mamitra wayasa sagotranyan
wisirnapejah, ndah mangka jana durwiweka tumemu ng wighna nda tanpopama
Kesimpulannya usahakanlah terus menerus berteman dengan orang yang bijaksana dan berbudi
pekerti mulia, dan janganlah berteman dengan orang yang jahat, loba dan serakah, karena akan
membawa bencana, lihatlah angsa yang berteman denga burung gagak, seluruh keluarganya
habis dibunuhnya, seperti itu orang yang kurang wiweka akan menemui bencana yang besar.

7. Anghing tan sipi mewehin wang tang prajnya wiwekanulus, prajnyanindita towi
meweh ika sang mahyun pamijeng hayu, yadyan pujita karma dira tang anemwa jnana
meweh temen, sang hyang sacra tuwin winodhana sawetnyatyantaning durlabha.

Namun tidak mudah mengetahui orang yang bijaksana, wiweka dan tulus hati, orang yang pandai
bijaksana juga sukar mendapatkan keselamatan, begitu juga orang yang berbuat mulia untuk
menemui kesempurnaan rohani, Sang Hyang Indra juga harus diberi petunjuk untuk mencapainya,
karena sangat sulit

8. Byaktekan kakaniscayan rusiting twas nghing sudhairya ng manah, kadyangganing


amet bhinukti mangarembha dhanya sangkeng lemah, lot mritya mateken parasraya mijil
wwahning tinandurnira, panggil rakwa samangkanekana ng asadhyahyun manemwang
phala.

Betapapun sulitnya meningkatkan kerohanian tersebut teguhkanlah hati, seperti mendapatkan


makanan dengan menanam padi di tanah harus dengan penuh kesabaran, dengan pertolongan
orang lain akhirnya keluarlah hasil yang ditanamnya, seperti itu jugalah orang yang ingin berhasil.

9. Tan lyan ring mangusir gunadhika sanaih-sanaih kramanika, lawan tingkahi sang
widagdha mangamer suratna wanita, mwang buddhinta masewaken nrepati len mareng
siragiri, ndah yekan pwa catur prakaranika tan dadi n gelis-gelis.

Tiada lain bertindak sabar untuk mendapatkan hal itu, demikian juga dengan orang yang pandai
memikat gadis cantik, demikian juga bila ingin mengabdi kepada raja atau hendak mendaki puncak
gunung, itulah empat hal yang tidak dapat dicapai dengan tergesa-gesa.

10. Ring suklendu samatra tambayanikaweweh kedik-kedik, ring plaksalpika suksma


wijanika ghora ta pwa tumuluy, mangka ng satpada panghisepnya madhu nitya mogha
mapupul, tadwat mangkana ring lanotsaha temahnya purna wekasan.

Pada waktu pruh bulan membesar perlahan, juga seperti pohon beringin berasal dari biji yang kecil
lalu menjadi besar, demikian juga lebah dalam menghisap madu sehingga banyak terkumpul,
seperti itulah tak henti-hentinya berbuat hingga akhirnya menjadi sempurna.

11. Lawan salwiraning gunadyapi tan arghya yogya ya gegon, drestan tang kriya
banyageka wiwidha n swabanda tinenget, donyapet karanya mentasa ri sarwa bhumi ng
usiren, donyasing pinalakwa tumbasenikang wwang haywa katunan.

Juga segala kepandaian walaupun terasa tak berguna patut juga diperhatikan, lihatlah pedagang
yang mengembara menyimpan berbagai benda dengan baik, untuk mendapatkan benda itu ia
pergi ke berbagai daerah dan negeri, tujuannya bila ada yang membeli tidak kekurangan.

12. Sampunyan pada wreddhi ng artha salekasnikaphala tuwin, nda tan warsih amet
muwah sahananing minulya ring aji, mamrih kwehani gatyaning gaway anindya lana
temunen, rapwan pangguhaken wisesa mani jiwa tulya lingika.

Setelah arthanya banyak ia dapat melaksanakan kehendaknya, namun tidak berhenti mencari
benda-benda yang bernilai tinggi, senantiasa ingin mendapatkan yang lebih banyak dan lebih
berhasil dalam pekerjaan, supaya dapat menemukan permata kehidupan katanya.

13. Sangsiptan taya len sudharma wekasing hinuttama dhana, kwehning hema suratna
bhusana winasa jati rasika, stri len putra sawandhu Santana nahan ya mogha mapasah,
mukya ng jiwita towi meweh ika ring ksana karma hilang.
Singkatnya tidak ada kekayaan yang melebihi kebajikan, begitu banyak emas permata dan
perhiasan semuanya akan binasa, istri putra-putri dan sanak keluarga akhirnya akan berpisah,
bahkan yang utama yaitu jiwa akhirnya begitu cepat akan hilang.

14. Ring laksmi makahingan ing greha taman winawa ri sedenging paratrika, ngkaneng
smasana hinganing swakula wandhawa weka-weka bharya tan waneh, nghing tang karmika
purwa yan sukreta duskreta manuduhaken tekeng paran, dharmadharma tinutnya salakwa
dadi milu manuntun ing henu.

Kekayaan batasnya hanya di rumah tidak akan dibawa sewaktu meninggal, sampai di kuburan
batasnya sanak saudara, anak dan istri, tiada lain, namun perbuatan yang dilakukan pada saat
hidup baik maupun buruk akan menjadi penunjuk jalan kemana akan pergi, benar atau salah akan
diikuti akan menjadi penunjuk jalan.

15. Apang tan hana len nimittaning amangguh ala sinaputing putek hati, sangkeng
karmika wreddhi kopa dadi lobha temahanika moha tan surud, sangkeng moha si mada,
mada dadi matsara kujana katungka garwita, ndah yan mangkana tan wurung tumemu
pataka saka ri wimudhaning hidep.

Karena tiada lain yang menjadi penyebab orang mendapatkan kecelakaan diselimuti oleh
kegelapan pikiran, dari perbuatan yang ditumbuhi oleh pikiran keakuan menimbulkan keserakahan
dilanjutkan oleh kebingungan yang tiada henti, kebingungan menimbulkan kemabukan,
kemabukan menimbulkan perasaan iri, kejahatan pikiran, kebebalan dan kecerobohan, kalau
demikian halnya tak dapat dihindari akan menemukan bencana karena kebodohannya sendiri.
16. Atyanteng atighoraning tasik awas kalanguyan i gatinya mangkana, lawan
koddhretaning manik ri tutuking kupita-makara yeka tar mangel, krura ng taksaka dadya
puspa sama ring hulu kasuhuna wastu panggihen, tan mangka ng sata-buddhi ya
pratiniwista kadawutanikardha bhisana.

Sungguh kedahsyatan samudra akan dapat terseberangi, demikian pula permata yang berada di
mulut ikan ‘makara’ yang ganas dapat diambil dengan mudah, sementara itu ular-ular yang marah
akan menjadi karangan bunga yang menghiasi kepala, tidak demikian halnya orang yang berhati
jahat, ia durhaka, dan sangat sukar melepaskan sifat jahatnya itu.

17. Chatra stambha ya tejaning rawi mawas katahenani panasniradbhuta, byakta ng we


wenanganya yan mamejaheng apuy atisaya diptakojjwala, matta ng naga tan
angkusamatehaken, lara sabhaya si tamba panghreta, ndan ring murka jugeki tan hana
pakosadha ng amateha dadya mardawa.

Paying dapat menahan sinar matahari, betapapun juga terik cahayanya, tentu air dapat
memadamkan api, betapapun juga berkobarnya, gajah yang ganas dapat dirubuhkan dengan
senjata pengikat, penyakit yang berbahaya dapat disembuhkan dengan obat, namun seorang
pemarah tidak ada obatnya yang dapat menyembuhkannya supaya menjadi tenang.

18. Tiksna ng pawaka mogha tang salabha mungsira ri ya sahajan paweh suka,
munggwing panjara towi tang papikat asrang inusinikang arja paksika, wetning hyunya
manangsaye hayuni sabdanika lalita komalanulus, keket ring wekasan tekapning
atiharsanika karananin kaduhkitan.

Cahaya api dicari oleh anai-anai karena ia mengira akan mendapatkan kesukaan, burung pemikat
dalam pasanga dengan penuh semangat dikunjungi oleh burung-burung itu, karena dikira
membahagiakan, karena keinginan yang kuat pada suara yang halus, hilanglah kecurigaannya,
akhirnya ia terjerat karena keinginannya yang begitu keras menyebabkan kedukaan.

19. Tadwat mangkana tang samasta-jana tan dadi wenanga dhumarana ng manah,
dening raga lanangiket lewu subaddha ri hatinikanang sarat kabeh, hetunyan mapageh keta
ng mada wimoha manah atisumok nirantara, byaktangde wiparita tan wurung anutaken iki
ri sasestining hidep
Seperti itulah orang pada umumnya apabila tidak dapat mengendalikan pikiran, karena nafsu
begitu kuat mengikat hati orang-orang pada umumnya, menyebabkan munculnya kemabukan dan
kebingungan begitu kuat berstanakan dalam hati dan memenuhinya tidak hentinya, itulah
sebabnya orang menjadi bingung tidak urung senantiasa mengikuti kehendak hatinya.

20. Hingayan lalu saktining hyun iki yan linagan, ing apa denya kongkaba, yapwan pinrih
ilangnya manghilangaken tutur amuhara soka mohita, yan sinyuh magawe prapanca
niyatangdani turida manguncanging lutut, yan winwang iniwo makin pinaka wisti pinaka
hawaning kapataka.

kekuatan pikiran itu tidak ada batasnya, bagaimana dapat diperangi, lalu bagaimana dapat
dikalahkan, kalau ingin menghilangkannya artinya juga menghilangkan kesadaran akhirnya
menyebabkan kesedihan dan kelesuan hati, kalau dihancurkan menyebabkan pikiran bingung
selanjutnya menggoncang kegairahan hati, kalau didpelihara semakin menyebabkan derita
senagai jalan menemui neraka.

21. Karmendriyeka maka manggalaning swacitta, karmendriyan pinaka marga


mamisreng suksma, ndan sang huwus wruh i panuksmanikan ya mangka, yeka matangnya
ginga prihaken cinitta.

Karmendriya sebagai manggala pikiran sendiri karmendriya pula sebagai jalan menemui hyang
suksma, maka orang yang telah mengetahui hakikatnya seperti itu, itu sebabnya senantiasa
diyakini dan terus dipikirkan

22. Wwanten wretatwa wekasang paramatiguhya, byaping pradhana pada litnika tanpa
hingan, tan dwa wibhajya bahubheda mawreddhi-wreddhi, nyang pancawingsa saha
catwariwingsa tattwa.

Ada ajaran tatwa yang menjadi hakikak penegetahuan utama pradana yang sangat halus sangat
kecil tanpa ukuran, selanjutnya pecah menjadi berbeda-beda dan berlipat ganda, menjadi dua
puluh lima tatwa dan dua puluh empat tatwa.

23. Yeka nimittanikanang sahaneng triloka, sthuladi tattwa katekeng dwidasangga


tattwa, mwang bhuta panca kalawan lima matra tattwa, anghing rwa hetunika yan paripurna
nitya.

Itulah yang menjadi sebab segala yang ada di tiga alam ini, benda-benda kasar sampai pada dua
belas tatwa yang lain, lima unsur dasar (panca maha bhuta) dan lima unsur yang halus (panca tan
matra), namun dua yang menjadi sumbernya yang senantiasa sempurna.

24. Ring pancabhuta guna len lima matra siddhi, mangde wikalpa hana ring hati lot
humandel, lilamangun turida raga lulutnikang twas, harseng katon sakarengo kaharas
tekapnya.

Di dalam panca bhuta terdapat guna dan lima matra (panca tan matra) yang utama, membuat hati
bungung dan sangat sukar dihilangkan, dengan senang membangun rasa asmara yang
membelenggu perasaan, terbelenggu oleh objek penglihatan, pendengaran dan penciuman.

25. Ngka yan pamreddhi wekasan tikang indriyartha, karmendriyadinikahen wisayanya


purna, sarwesta sarwa wastu katenin hati mogha tresna.

Pada saat itu akhirnya berkembanglah indriya itu, karmendriya utamanya sempurna oblek
indriyanya, keinginan terhadap rasa, bau yang wangi dan wujud yang indah, dan segala benda
menjadi melekat di hati dengan kuatnya.

26. Hinganya nirmala lawan malinatwa kirna, munggwing swabhawanikanang dadi


sarwajanma, lumreng jagat mamenuhi lwaning andabhumi, apan sira prabhu wibhuh
nirakara ring rat.
Batasnya kesucian dan ketidaksucian menjadi kabur, bertempat di dalam tingkah laku manusia
dan semua makhluk, memnyebar di dunia memenuhi segala tempat di bumi ini karena itulah raja
yang sangat menguasai tiada bandingannya di dunia ini.

27. Mangka swajatinika kalih anopalabdhi, kapwatisuksma sumilib ri manah tan imba,
durgrahya grehyaka wiceda mahaprameya, ekaswabhawa sira karwa wibhinnapaksa.

Demikianlah sesungguhnya keduanya tidak dapat dilihat, keduanya halus menyusup di dalam hati
tiada bandingannya, tidak dapat diraba dan sangat gaib, tidak dapat diketahui betapa ukurannya,
keduanya sebenarnya satu, tidak dapat dipisah-pisahkan.

28. Himper wulan lawan ikang sasacihna drestannya, tekihen wenanga len kahananya
munggu, yawat lanangemuki satmaka wighna saksat, tawat tumut sumuluh ing sakalanda
lumrah.

Bagaikan bulan dengan gambar kelinci tamoaknya, dapat keduanya berada di tempat yang
berbeda, kalau bulan terlindungu, seperti itu juga gambar kelinci, kalau bulan menerangi alam
semesta, demikian pula gambar kelinci ikut bercahaya.

29. Ndah mangkana ng hala hajeng gumelar haneng rat, duran wiyoga saka ring
patemunya karwa, munggwing trikaya kawangun tekaping swacitta, solah sasabda
samanah maka sadhananya.

Demikianlah kejahatan dan kebaikan tergelar di dunia, keduanya sungguh sangat sukar dipisahkan
karena ia menyatu, ia dibangun oleh tri-kaya (kaya, wak, manah: perbuatan, perkataan dan pikiran)
yang berasal dari dalam diri manuasia sendiri: perbuatan, perkataan dan pikiran sebagai jalannya.

30. Yeki ing tri hetukanikang umusir yamanda, yapwan sininghitakening hala
karmikangde, yeking tri hetuning amangguhaken triwarga, yan singhiting hayu ng ulah
ginawe pwa nitya.

Inilah tiga hal yang menyebabkan orang terjembaab ke neraka, yaitu bila cenderung berbuat
kejahatan, akibat dari hukum karma, namun tiga pula sebab orang menen\mui tri-warga (dharna,
artha, kama: kebajikan, kekayaan dan kecintaan), yaitu kalau senantiasa berbuat kebaikan.

31. Anghing trikaya paramartha wisuddha marga, ambalnikang pada wimoksa niratma
misra, nahan matangnya dina ratri ya tolaheka, rapwan tumemwaken awakning
acintyatattwa.

Namun tri-kaya pula yang menjadi jalan utama dan suci, yang menyebabkan orang mencapai
moksa (kebahagian tertinggi) dalam persatuan dengan Sang Pencipta. Itulah sebabnya
usahakanlah siang malam, agar dapat bertemu dengan Ia yang berbadankan Acintya.

32. Nghing durlabha dahaten ikang trikaya pagehanya wimala satata, sangkeng hala ta
rusitikan pinet sthiti haneriya mangulahaken, pohning paramarasa rahasya nugraha
lanamenuhi maniluman, tan matra kawenang yadin prihen lewu wilaksana siran inusir.

Namun sangat sukarlah untuk menjaga tetap sucinya tri-kaya tersebut, karena kejahatan sukar
dipisahkan, ia berada di dalamnya dan menggerakkanya, sari rasa yang sangat rahasya dan
sangat utama hadir bagaikan anugerah yang memenuhi perasaan, tidak sedikitpun didapat
sekalipun sangat diusahakan, karena tidak dapat dijangkau.

33. Pujarcana sahana widhikriyasrayakenanta pinaka sarana, mwang dhyana saha japa
samadhi yoga pangupaya sakala regepen, tan byakta tika karananing tumemwa wekasing
parama kasugatin, yan tan wruh i patitisi sandhining samaya nisphala sahanika.

Puja, upakara upacara dan segala persembahan dilakukan ebagai sarana pemusatan pikiran, dikir,
samadhi, menghubungkan diri terus menerus dihusakan pelaksaaannya, namun semua itu belum
menjadi jaminan ditemuinya hakikat kesempurnaan yang utama, kalau tidak mengetahui hakikat
“pusat pertemuan”, maka semuanya akan tidak berguna.

34. Apan sahana hanikang prayoga pinakesti sira juga tedun, ndah mogha mawaka
rikang anggego smreti tekasunga wara kahidep, tan wruh yadi sira hana ring swabhawa
tineleng milu manelengaken, nir sadhana sira maka sadhaneng hayu sadanilib ing angen-
angen.

Karena semua bentuk yoga bertujuan untuk memuja dan menurunkan Beliau, Beliau manunggal
dengan ia yang melakukan pemanunggalan ngatan, Beliau juga memberikan anugrah, namun
Beliau tidak dapat dengan mudah diketahui, karena Beliau berada pada semua yang ada, Beliau
dilihat sekaligus melihat, Beliau tidak memerlukan sarana, namun menjadi sadhana menuju
kebahagian, Beliau senantiasa tersembunyi di dalam pikiran.

35. Lwir bahni wekasing atisuksma tan sipi haneng kayu-kayu sahana, ndah yan
tutuhana wadungen pajun kapana yann umijila ng anala, nghing yan wruhanikanang
anguswaken lalu sawega lekasanikahen, byaktotpadanikang apuy dumagdhakena wreksa
pinenuhan ika.

Bagaikan api yang sangat tersembunyi dala semua kayu yang ada, sekalipun dibelah dengan
kapak, mustahillah api itu akan keluar, namun kalau orang bisa menggosok dua potongt kayu
dengan cepatdan tetap, tentu api itu keluar, lalu membakar kayu itu samapai habis.

36. Iwa mangkaneki gati sang hyang umibeki samuhaning dadi, ya mawak pawak ya
ginawe gumaway ikang acintya niskala, sasinadhyaning tapa masadhya ring angulahaken
siwarcana, hana tan tumut tuwi tumut ta ya raket i sapolahing sarat.

Demikianlah keadaan Beliaiu yang memenuhi dam ada di dalam semua makhluk, Beliau meliputi
dan diliputi, beliau yang dibuat namun membuat, yang Acintya dan Niskala (tidak dapat dicapai
oleh pikiran dan indra), Beliau menjadi tujuan para pertapa yang menyembah Hyang Siwa, Beliau
ada, turut namun tidak turut, dan menyatu dalam semua perbuatan seantero jagat.

37. Ring apan kawastwan i siran grahana tuhu widehalaksana, ya matangnya durgama
kapanggihanika tekaping mamet hayu, numeneng nda tan wenang atarka ri karegepaning
samangkana, katunan tutur hidepikan lebar abalika wreddhyaning lupa.

Kapan Beliau dapat dibayangkan atau diraba, karena Beliau sungguh tak berwujud, itulah
sebabnya sangat sukar Beliau ditemui oleh orang yang berbuat baik sekalipun, diam tidak dapat
dirasakan pertemuan itu, hilangnya kesadaran, bebas dari ingatan, namun memekarnya ketidak
ingatan (pada objek indria), ketika itu Beliau ditemui.

38. Asing ulahanikang wwang tan byaktanya kinatayan, padanira hana ri ngka lwir maya
taya tinuduh, ya karananira sang wruh nir tang sadhya telengana, smretinira juga langgeng
nimnajnana suci sada.

Apa saja yang dilakukan orang tidak akan terwujud tanpa Bek\liau, kehadiran Beliau di situ,
bagaikan bayangan yang tidak diketahui datangnya, itulah sebabnya orang yang telah mengetahui
apa yang menjadi pemusatan pikiran, teguh ingatannya kepada Beliau dalam keadaan pikiran
yang senantiasa suci.

39. Ri henengikanang ambek tibralit mahening aho, lengit atisaya sunya jnananasraya
wekasan, swayeng umibeki tan ring rat mwang deha tuduhana, ri pangawakira sang hyang
tatwadhyatmika katemu.

Ketika hati tangah “heneng” (tenang), sangat halus, hening (bening) dan cemerlang, teramat halus
dan sunya, akhirnya pikiran menjadi sempurna tanpa ikatan, pikiran bagaikan meliputi seluruh
jagat, tiada diketahui lagi asalnya, pada saat seperti itu Sang Hyang Tattwadhyatamika ditemui.
40. Ndan i huwusira mangka sang sampun kretasamaya, tri mala malilaing ing cittangde
suddha tanu sada, lara pati puteking twas ndin sandehan ika kabeh, gesengi manahirapan
rudratma sakala wibhuh.

Setelah hal itu tercapai, setelah hakikat tujuan ditemui, trimala (tiga kotoran) yang menyelimuti
pikitan menjadi suci nirmala demikian juga badannya selalu suci, sakit, kematian, duka cita,
bagaimana ia takut kepada itu semua, semuanya telah dibakar dalam pikiran, karena ia telah
menjadi Rudra yang nyata di dunia.

41. Mangkana rakwa sang telas anemwaken pada wisesa guhyasamaya, tan
mangawastha tang hidep amisra suksma ri bhatara satmika lana, lingga manahniran sthiti
mangekadesa madeg ing Siwalaya sada, saktinirapremaya hibeking jagat juga maweh
sukapratihata.

Seperti itulah orang yang telah menemui persatuan gaib yang utama, pikirannya teguh dan tenang
dalam persatuan dengan Hayang Siwa, persatuan yang lama, hatinya teguh bagaikan lingga,
senantiasa tegak menyatukan negeri di bawah kekuasaan Hyang Siwa, kesaktiannya tidak ada
bandingannya, meliputi seluruh jagat, dan memberikan kebahagian yang abadi.

42. Na lwiri sang tepet manemu yoga sandhining acintya sasmreti sada, tan swasarira
kewala wisuddha nirmala tekaparatmaka kabeh, swartha parartha sadhyanira tan wurung
mudani harsanging parahita, yeka panihnaning sakalamurti sang hyang apagoh umandel i
sira.

Seperti itulah orang yang telah dengan tepat menemui jalan persatuan dengan Hyang Acintya,
dengan ingatan yang tetap dan teratur, tidak hanya dirinya sendiri yang suci nirmala, namun
seluruh masyarakat luas, kepentingan orang lain adalah juga kepentingan dirinya sendiri, tak
hentinya ia memberikan kebahagiaan kepada masyarakat luas, itulah tandanya secara nyata
Hyang Siwa berwujud, dan teguh bestana dalam dirinya.

43. Len hana nista madhya lawan uttama pada kininkining hayunika, mwang karananya
mentasa sakeng aweci musira ng sukadhikapada, yan mulating paranemu suduhkitalara
dahat hidepnira tumon, ri wruhi tanpa bedhanira mulaning bhuwana jati tunggal ikahen.

Apayang disebut nista (bawah) madhya (tengah) utama (atas) sama di dalam pikirannya, demikian
juga jalan melepaskan orang dari neraka menuju kebahagiaan diperhatikannya, ia sangat menaruh
perasaan kepada orang yang ditimpa penderitaan, karena Beliau mengetahui hakikat yang ada
adalah satu tidak ada bedanya.

44. Tan mangka janaloka buddhi winangunya tang amuhara treptining hidep, ndan bwat
dwesa gatinya ring paraguna, swagunga juga lewih wuwusnika, gongning dosa hinotakenya
ri sarira kinekesika tan kaniscayan, anghing yan hana dosa matranikanang parajana winulik
winarnana.

Tidak demikan halnya kebanyakan orang yang hanya ingin menyenangkan dirinya sendiri, ia
sangat tidak senang terhadap kemampuan orang lain, kemampuan dirinya sendiri sajalah yang
dipujinya, dosanya yang besar disembunyikan dalam dirinya sehingga tidak diketahui orang lain,
namun kalau ada kesalahan orang lain yang hanya sedikit, itu dicarinya dan dibesar-besarkannya.

45. Lyan tekang hati tustacitta ri sedengnika n umulati duhkaning waneh, irsyeng wang
tumemu ng sukanalah ulah karananira manemwa duhkita, nindyeng sadhu mahardhika
manah anindya winaling agawe kaduskretan, gongning krodha madeg yadin calana, henti
sumukitanikan hinastawa.

Lain lagi hatinya sangat senang apabila orang lain dalam keadaan ditimpa kesusahan, mia iri
kepada orang yang menemui kebahagiaan, malah berusaha untuk menjerumuskannya ke jurang
kedukaan, ia senantiasa mencela orang-orang suci dan orang-orang berbudi mulia, ia ingin agar
mereka tidak menemui kebahagiaan, namun ia sangat marah kalau dicela, sangat merasa bahagia
kalau disanjung.
46. Tang tunggal mara sampaying nara wumurka tumaya taya ring huwus mahan,
nirsandeha cumodya solahira sang jenek angulahaken kasatwikan, yeku bhranta wimudha
janma tang amet hyang aputeran aneka laksana, lesyanyan turunging wruh ing gati nahan
pangucapira mangalpanika lwero.

Tidak satu caranya untuk menjerumuskan orang, menghina orang, ia meniadakan dan menholok-
olok orang-orang bijaksan, tiada malu ia mencela perbuatan orang yang dengan tetap pendirian
menegakkan kebenaran, “orang-orang seoerti itu adala orang-orang bingung, orang-orang bodoh
yang mencari Sang Pencipta dengan berbagai cara dan bersusah payah, apalaagi alasannya
karena belum mengetahui hakikat tujuan yang sejati “, demikian katanya menghina dan dengan
bangga kepada dirinya.

47. Ndah mangkambekikang satagelem apet ring analahi ng ulahnya nityasa, lobhe dhih
umaku wisesa tinemunya ri turunging acihna ring praja, ndan sabdanya jugalepas lwiraniki
ng kalilingan atikadbhutapatuk, anghing tan kawenang miber sthiti haneng kuwungika ri
wipaksaning tanu.

Demikian pikiran orang yang senatiasa mencari kesalahan orang lain, dengan liba ia mengakui
dirinya yang paling hebat, padahal belum ada buktinya dalam masyarakat, kata-katanya memang
terdengar hebat, bagaikan suara burung kalilingan yang patuknya sangat besar, namun ia sendiri
tidak bisa terbang, ia diam saja di sarangnya, karena tidak mampu terbang.

48. Nistanyan pwa ya mangkana ng gati taman surud anekani sestining hati, tan sengeh
yadin asyana ng para tekapnikan awedi kasoran ing naya, wetning hyunya pujin stutin ya
lingika ng bhuwana lepasa dengku tan wurung, simbantenn iki yan makarya ya jugan
winawanika ri tambragomuka.

Singkatnya seperti itulah jadi nya orang yang tidak hentinya menuruti keinginan, ia tidak
memperdulikan tudingan orang lain, karena ia takut dikatakan kalah pintar, karena ia ingin dipuji
dan dihormati, maka ia berkata, “Dunia ini akan saya selamatkan, sudah tentu”, jangankan ia
mampu (menyelamatkan dunia), malah dia sendiri akan terjerumus ke dalam jurang neraka.

49. Tang mangkambek munindratisaya nipuna ring sarwa tatwopadesa, tan sangkeng
lobha yar sorakeni sahananing loka kapwapranamya, sangka ry asihnira ng hetunika pada
musap jong lananghyang masewa, warsajnanopasantanirami manahanikang rat dumeh
harsacitta.

Tidak demikian pikiran seorang maha pandita yang telah matang dalam segala ajaran tattwa,
bukan karena loba hatinya kalau beliau ditempatkan lebih tinggi dan dihormati oleh masyarakat,
namun karena penuh kasihlah beliau kepada masyarakat menyebabkan beliau dihormati dan
senantiasa dihormati, dijadikan guru, bagaikan hujan yang menyirami hati masyarakat luas dengan
jnana, kesabaran hati memberikan kebahagiaan.

50. tekwan tan sangka ring pintanika ri datenging sarwa ratnopakara, wetnyatyanteng
mahasiddhinira kumawaseng rat taya ng langghaniya.

Adapun bukan karena permintaannya apabila berbagai permata dan yang lain datang kepadanya,
karena sangat tinggi dan sempurna pengetahuan beliau, sehingga beliau dapat menguasai jagat
dan tidak ada yang mengalahkannya.

51. Apan prajna suluh sang yatiwara masawang bahni candrarka dipta, ring
wahyadhyatmika ng angga rinadinanira ng satru yangken peteng sok, dhyasteka nang
tamahninh hati sahannikang papa len klesa sirna, lila-lilan pangicchen bhuwana tekapikang
jnana saktyaniwarya.

Karena pengetahuan suci merupakan suluh bagi sang pandita, bagaikan cahaya api, juga cahaya
matahari dan bulan, di dalam dirinya yang tampak maupun yang tidak tampak dikalahkannya
segala musuhnya yang bagaikan gelap gulita hilanglah kegelapan pikitrannya (tamah), segala
kenestapaan (papa) dan kekotoran (klesa) menjadi musnah, dengan penuh kebahagiaan beliau
membuat bahagianya dunia dengan kekuatan jnana yang besar.

52. Samangka tingkahnira sang huwus mahan, mahojjwaleng jnana lumon prabhaswara,
prabhaswareng rat supenuh nda tan katon, katon tikang wastu susuksma denira.

Demikianlah perbuatan orang yang telah mencapai kesempurnaan jiwa, jnana bagaikan api yang
berkobar-kobar, becahaya cemerlang, cahayanya memenuhi jagat, namun tidak terlihat, hanya
terlihat wujud yang sangat halus nan indah.

53. Nirantarathatwa mapinda tan luput, luput ring angga mwang ing anda yan pinet, pinet
maner ing hati muksa tan hilang, hilangnikamisra mawor nda tan pawor.

Sesuatu yang abadi terus berkumpul di dalam dirinya tidak salah lagi, namun bila ingin
mendapatnya di dalam diri dan di tempat lain di dunia, tidak akan di dapat, namun dia harus dicari
di dalam hati, walaupun bagaikan tidak ada, sesungguhnya tidak hilang, hilangnya karena bersatu,
namun tidak bercampurbaur.

54. Pawornikeng atma makeka ring tutur, tutur sadakala sunispreheng sarat, sarat hilang
mwang ri hidep maluy malit, malit sangkeng litning acintyaniskala.

Persatuan dengan atma adalah dalam kesadaran (tutur), kesadaran yang terus menerus
menyebabkan dapat melupakan jagat, hilangnya jagat menyebabkan batin menjadi kecil dan
halus, yang kecil dan halus dari Acintya yang tak terpikirkan.

55. Kalah tikang sadripu sirna denira, niragraha citta wisuddha nirmala, malanaput tanpa
napel kawes humur, humur dumohi wisayanya nityasa.

Keenam musuh dalam dirinya kalah dan musnah pikirannya tetap suci nirmala, kekotoran yang
menyelimuti telah habis tidak berbekas, obyek indria senantiasa juga makin menjauh.

56. Makantya tekana ginuhya ring hati, atita ring kirya kabeh ya nisphala, phalanya tan
matra kasinghiteng manah, manah sumimpen ri huwusnya nirnaya.

Segala yang mulia terus disimpan dalam hati, semua perbuatan yang lalu kini tidak berpahala lagi,
pahalanya yang sedikit tersimpan di dalam hati, pikiran pun tersimpan setelah tiadanya keinginan.

57. Ya samangkana rakwa lekasira sang uttama diwyayati, ginelarnira sang guru
panganumateng kami mudha dahat, wiphalan kadi dipa sumeleh atidipta tibeng jaladhi,
temahanya padem kakelem i petenging hati lot wipatha.

Seperti itulah keadaan orang yang utama dan mulia, diuraikan oleh guru hamba, kepada hamba
yang sangat bodoh, tentu tidak berguna, bagaikan lampu yang bercahaya jatuh ke dalam samudra,
akhirnya tentu padam bagaikan tenggelam di dalam gelapnya pikiran yang berada di simpantg
jalan.

58. Lwirning wadhaka saktining wisaya satru jaladhi sama kirna tar surud,
rwabnyandurbalani swacitta mawetu ng karaketan i temahnya ring sarat, na hetungkwa n
umura karwa lepihan teher akemula kresna jirnaka, wetnung tan sipi duhka
mangdasaguneng bapa ri pangataging pura-kreti.

Bagaikan rintangan kekuatan obyek indria, bagaikan musuh berwujud samudra dalam keadaan
pasang, air pasang itu menyeret pikiranku ke dalam kesulitan, karena menyebabkan pikiranku
terbekenggu oleh jagat, itulah senabnya hamba pergi membawa kitab ini yang berselubung kain
hitam yangs sudah robek, karena sungguh sangat sedih hati hamba karena tidak memiliki
keberanian dan keiklasan hati untuk melaksanakan perintah bapa (guru) yang tengah berada di
istana.
59. Nahan hinganikan palambang atidurlikita wigati tar wenang lingen, ndan sing sabda
riniptaken teka ng ujar sarinapini winorku ring rasa, bhrangtajnananiking pitanuluyi putra
sawuwusika tulya bhasmaran, tustengwang yadin asyana ng para sadenya cumacada
linampuning hulun.

Demikianlah karya tulis ini sangat buruknya sehingga tidak dapat dibicarakan, semabrang kata
yang hamba tulis, sampai dengan kata-kata yang penting telah hamkba campur dengan rasa,
pikiran hamba binggung, sehingga bapa memberikan penerangan kepada putranya dengan kata-
kata yang penuh makna, hamba menjadi senang, sekalipun hamba ditertawai lalu dicela hamba
menerimanya dengan tulus hati.

60. Tekwan tan wihikan gatingku ri rusit-rusitin akawi punya kirtiman, nghing
sinwinutusing yayah medarena katiwasanira nitya kasmala, hetungkwanis anuksma mogha
maparab wedi katengera cihnaning hulun, erang ngwang sthitihen pradesa juga tan maluya
wekasing nirarthaka.

Lagi pula hamba memang tidak mengetahui seluk beluk membuat karya sastra persembahan,
namun hamba diperintah oleh bapa hamba untuk menguraikan kesengsaraan orang yang
berpikiran kotor, itulah sebabnya hamba pergi ke tempat yang sepi, memakai nama samaran, takut
diketahui diri hamba yang sesungguhnya, hamba merasa malu, maka hamba tetap tingga di
tempat itu, dan tidak akan kembali sampai akhir hidupku.

Anda mungkin juga menyukai