Anda di halaman 1dari 79

PENGARUH KELEKATAN SERTA KOMUNIKASI DENGAN

ORANGTUA DAN TEMAN SEBAYA TERHADAP


KARAKTER REMAJA PERDESAAN

ZERVINA RUBYN DEVI SITUMORANG

SEKOLAH PASCA SARJANA


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengaruh Kelekatan serta
Komunikasi dengan Orangtua dan Teman Sebaya terhadap Karakter Remaja
Perdesaan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor

Bogor, Mei 2016

Zervina Rubyn Devi Situmorang


NIM I251140136
RINGKASAN

ZERVINA RUBYN DEVI SITUMORANG. Pengaruh Kelekatan serta


Komunikasi dengan Orangtua dan Teman Sebaya terhadap Karakter Remaja
Perdesaan. Dibimbing oleh DWI HASTUTI dan TIN HERAWATI

Permasalahan kenakalan remaja di Indonesia telah sampai pada kondisi


yang memprihatinkan. Kondisi yang demikian membuat permasalahan karakter
bangsa ini perlu mendapatkan perhatian dari semua kalangan baik lingkungan
keluarga sampai dengan pemerintah Indonesia. Salah satu yang perlu mendapat
perhatian adalah karakter para remaja Indonesia. Karakter atau identitas moral
remaja dipengaruhi oleh berbagai faktor baik internal maupun eksternal.
Perkembangan karakter pada fase ini unik karena berkurangnya supervisi dari
orangtua dan meningkatnya intensitas interaksi dengan teman sebaya. Karakter
yang baik didapatkan dari hasil pengasuhan yang optimal. Contoh dari
pengasuhan yang baik adalah komunikasi efektif serta kelekatan yang aman. Akan
tetapi, karena pengaruh teman sebaya pada fase ini cukup kuat maka komunikasi
dan kelekatan dengan teman sebaya juga turut mempengaruhi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dari komunikasi dan
kelekatan remaja pada orangtua dan teman sebaya terhadap karakter remaja
perdesaan. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian Hibah Kompetensi
tahun 2015 dengan judul “Model Pendidikan Karakter Anak pada Keluarga
Perdesaan Berbasis Family and School Partnership” oleh tim penelitian yang
diketuai oleh Dr. Ir. Dwi Hastuti, M.Sc. Pemilihan lokasi dilakukan secara
purposive di Kabupaten Bogor. Penarikan contoh pada penelitian ini dilakukan
secara proportional random sampling yang melibatkan 109 responden.
Pengambilan data dilakukan melalui teknik self report dengan bantuan kuesioner.
Data dianalisis dengan analisis deskriptif, uji korelasi, dan uji regresi.
Rata-rata skor komunikasi remaja baik dengan orangtua maupun teman
sebayanya masih tergolong rendah. Hal yang serupa ditemukan pada skor
kelekatan remaja dengan orangtua dan teman sebaya yang masih tergolong
rendah. Skor karakter remaja perdesaan tertinggi didapatkan pada dimensi
pengetahuan moral (moral feeling). Selanjutnya, dimensi perasaan dan tindakan
moral masih dalam kategori rendah. Total karakter remaja perdesaan ditemukan
masih dalam kategori rendah. Kelekatan antara remaja dengan orangtua
berhubungan dengan pengetahuan moral. Komunikasi antara remaja dengan
orangtua berhubungan baik dengan perasaan, tindakan sampai karakter secara
keseluruhan. Berbeda dengan hal diatas, komunikasi dan kelekatan dengan teman
sebaya berhubungan dengan setiap dimensi Komunikasi remaja dengan orangtua
ditemukan memengaruhi karakter remaja. Selain komunikasi dengan orangtua,
karakter remaja ditemukan dipengaruhi oleh kelekatan dengan teman sebaya.

Kata kunci : Karakter, Kelekatan, Komunikasi, Remaja, Teman Sebaya


SUMMARY
ZERVINA RUBYN DEVI SITUMORANG. The Effect of Adolescent
Attachment and Communication to Parents and Peers on Adolescent Characters in
Rural Areas. Supervised by Dwi Hastuti and TIN HERAWATI.

Juvenile delinquency in Indonesia is a growing problem and clearly in an


appalling conditions. Such condition create degradation of our nation characters
and need to get the attention from family environment and Indonesian
government. One that needs attention is the character of the youth. Moral
character or identity of adolescents is influenced by various factors both internal
and external. Problems arising from this development phase are mainly due to
lack of parental supervision and the increasing of interaction intensity with peers.
Good character can often be obtained through optimal parenting. Examples of
good parenting are effective communication and secure attachment. However, due
to the strong influence of peers in this phase then the communication and
attachment with peers also affected.
The purposes of the present study were to analyzed the effect of adolescent
communication and attachment to parents and peers on adolescent character in
rural areas. The research was part of the Competency Grant Research in 2015
under the title of "Model of Children Education Character Based on Family and
School Partnership in Rural Areas" and conducted by the research team led by Dr.
Ir. Dual Hastuti, M.Sc. Reasearch location was selected purposively in Bogor.
Sampling was performed by proportional random which involved 109
respondents. Data were collected through self-report techniques with the help of a
questionnaire. Data were analyzed with descriptive analysis, correlation, and
regression.
The average score of adolescent communication with parents and peers
was low. A similar trend was found in a low score of adolescent attachment to
parents and peers. The highest score in characters of rural adolescent was found in
the dimension of moral knowledge (moral feeling). Furthermore, the dimensions
of feeling and moral action were still in the low category. The total character of
rural adolescents was found in low category. Correlation test results showed that
the attachment to a parent related to moral knowledge. Communication with
parents were associated with moral feelings, actions to the overall character. In
contrast to the above, communication and attachment with peers associated with
each dimension of the character. The result of regression analysis showed that
communication with parents affect all dimensions of adolescent characters.
Otherwise, adolescent characters was affected by adolescent attachment with
peers.

Keywords: Adolescent, Attachment, Character, Communication, Peer


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis


ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PENGARUH KELEKATAN SERTA KOMUNIKASI DENGAN
ORANGTUA DAN TEMAN SEBAYA TERHADAP
KARAKTER REMAJA PERDESAAN

ZERVINA RUBYN DEVI SITUMORANG

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak

SEKOLAH PASCA SARJANA


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. Ir. Euis Sunarti, MSi
Judul Penelitian : Pengaruh Kelekatan serta Komunikasi dengan
Orangtua dan Teman Sebaya terhadap Karakter Remaja
Perdesaan
Nama : Zervina Rubyn Devi Situmorang
NIM : I251140136

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Dwi Hastuti, M.Sc Dr. Tin Herawati, SP, M.Si
Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Ilmu Keluarga dan Perkembangan
Anak

Dr. Ir. Herien Puspitawati, M.Sc, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr

Tanggal Ujian : 15 Februari 2016 Tanggal Lulus:


PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-
Nya sehingga penulisan tesis yang berjudul Pengaruh Komunikasi serta Kelekatan
dengan Orangtua dan Teman Sebaya terhadap Karakter Remaja Perdesaan
berhasil diselesaikan dengan baik. Penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu penulis pada saat menyelesaikan studi
pascasarjana, yaitu kepada:
1. Dr. Ir. Dwi Hastuti, M.Sc selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Tin
Herawati, SP, M.Si selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah
memberikan bimbingan, pengarahan, dan pengetahuan yang sangat
bermanfaat bagi penyusunan tesis ini.
2. Tim Penelitian Hibah Kompetensi tahun 2015 dengan judul “Model
Pendidikan Karakter Anak pada Keluarga Perdesaan Berbasis Family and
School Partnership” yakni, kepada Dr. Ir. Dwi Hastuti, M.Sc., dan Alfiasari
SP,M.Si. yang telah mengikutsertakan penulis dalam penelitian tersebut,
sehingga mampu mengumpulkan data penelitian tesis.
3. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada kedua orang tua penulis,
Bapak Robert Situmorang dan Ibu Druvadhy A. D. Noor, atas dukungan
moril dan materil yang tidak terhingga. Penulis juga mengucapkan terima
kasih kepada adik penulis Kelvin Deviro dan seluruh keluarga atas segala doa
dan kasih sayangnya.
4. Kepada teman-teman satu bimbingan Leni Novita, S.Si dan Rety Puspitasari,
S.Pd atas segala dukungan dan semangat selama proses penulisan tesis ini
berlangsung. Serta kepada teman-teman Ilmu Keluarga dan Perkembangan
Anak 2013 terima kasih atas dukungan semangat selama masa perkuliahan.
5. Pemerintah Desa, Sekolah Menengah Kejuruan, serta masyarakat di Desa
Ciasihan dan Desa Ciasmara, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor.
6. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada M. Mardi Dewantara, Tri
Susandari, Hayuningtyas Triwahyuni, Anggie Pangestika, Yunita Tri Lestari,
dan Bella A. atas dukungan semangat selama penulis menjadi mahasiswa
pascasarjana hingga dapat menyelesaikan studi.
7. Kepada teman-teman enumerator penelitian Hibah Kompetensi 2015 atas
kerjasama dan dukungannya selama persiapan penelitian sampai dengan
pengambilan data.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Mei 2016

Zervina Rubyn Devi Situmorang


DAFTAR ISI

1. PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 3
Tujuan Penelitian 5
Manfaat Penelitian 5
2. TINJAUAN PUSTAKA 6
Teori Ekologi Bronfenbrenner 6
Kelekatan dengan Orangtua dan Teman Sebaya 7
Komunikasi dengan Orangtua dan Teman Sebaya 8
Faktor yang Mempengaruhi Karakter 10
3. KERANGKA PEMIKIRAN 11
4. METODE PENELITIAN 14
Desain, Lokasi, dan Waktu Penelitian 14
Teknik Penarikan Contoh 14
Jenis dan Cara Pengumpulan Data 15
Pengolahan dan Analisis Data 16
Definisi Operasional 18
5. Artikel 1 20
PENGARUH KELEKATAN DAN KOMUNIKASI DENGAN ORANGTUA
TERHADAP KARAKTER REMAJA PERDESAAN 20
Abstrak 20
Abstract 20
Pendahuluan 21
Metode Penelitian 22
Hasil 23
Karakteristik Remaja dan Keluarga 23
Kelekatan dengan Orangtua 23
Komunikasi dengan Orangtua 24
Karakter Remaja 25
Faktor yang berhubungan dengan Karakter Remaja 26
Faktor yang mempengaruhi Karakter Remaja 26
Pembahasan 27
Simpulan dan Saran 30
Daftar Pustaka 31
6. Artikel 2 32
PENGARUH KOMUNIKASI DAN KELEKATAN DENGAN TEMAN
SEBAYA TERHADAP KARAKTER REMAJA PERDESAAN 32
Abstrak 32
Abstract 33
Pendahuluan 33
Metode Penelitian 34
Hasil 35
Karakteristik Remaja dan Keluarga 35
Komunikasi dengan Teman Sebaya 36
Kelekatan dengan Teman Sebaya 37
Karakter Remaja 38
Faktor yang berhubungan dengan Karakter Remaja 38
Faktor yang mempengaruhi Karakter Remaja 39
Pembahasan 40
Simpulan dan Saran 41
Daftar Pustaka 42
Pembahasan Umum 44
Simpulan 47
Saran 47
7. DAFTAR PUSTAKA 48
8. LAMPIRAN 53
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Variabel penelitian, skala data dan instrumen 15
Tabel 2 Variabel dan pengkategorian data 17

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Kerangka pemikiran pengaruh komunikasi serta kelekatan


remaja dengan orangtua dan teman sebaya terhadap karakter remaja 13
Gambar 2 Teknik penarikan contoh 15
1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Remaja merupakan komponen bangsa yang diharapkan menjadi generasi


penerus bangsa Indonesia. Sebagai penerus bangsa, seorang remaja haruslah
memiliki kualitas diri yang prima agar dapat memberikan pengaruh yang baik
bagi bangsa Indonesia kelak. Menurut Profil Kriminalitas Remaja (BPS 2010),
tindakan kenakalan yang dilakukan remaja Indonesia berada pada kondisi yang
memprihatinkan. Sebanyak 60 persen remaja Indonesia diketahui pernah
melakukan tindak pencurian. Selain itu, Pusat Data dan Informasi Kementrian
Kesehatan RI (2014) menunjukkan bahwa dari tahun 2011 ke tahun 2012 jumlah
pengguna narkoba usia di bawah 19 tahun naik dari 1891 orang menjadi 2238
orang. Laporan pihak kepolisian memperlihatkan bahwa tren tindakan kriminal
yang dilakukan oleh remaja meningkat sebesar 4.3 persen setiap tahunnya.
Selain semakin meningkatnya laporan kenakalan yang dilakukan para
remaja, kualitas kenakalan remaja pun mulai meningkat kearah tindakan
kriminalitas. Pada awalnya kenakalan remaja hanyalah sebatas perkelahian di
sekolah, namun dewasa ini tindakan seperti pencurian, penyalahgunaan narkoba,
free sex, sampai dengan pembunuhan kerap kali dilakukan oleh para remaja di
Indonesia. Hal diatas menunjukkan bahwa telah terjadi degradasi moral di
Indonesia terlebih para remaja Indonesia (Puspitawati 2009). Degradasi moral
yang dialami remaja dipengaruhi oleh faktor yang kompleks baik dari lingkungan
internal dan eksternal remaja. Kondisi yang demikian membuat permasalahan
karakter bangsa ini perlu mendapatkan perhatian dari semua kalangan baik
lingkungan keluarga sampai dengan pemerintah Indonesia.
Karakter adalah hal yang universal dan dapat dijelaskan oleh berbagai
macam aspek yang ada dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk menilai karakter
seorang remaja diperlukan konsep yang dapat menjelaskan setiap aspek dalam diri
seseorang. Karakter dapat dikatakan baik apabila yang tergambar dari diri
seseorang adalah nilai-nilai atau sifat kebaikan. Kebaikan ini diterima oleh
masyarakat dan diterapkan pada setiap aspek kehidupan (Lickona 2004).
Seseorang mengembangkan karakter yang baik dengan cara mengetahui mana
yang baik dan tidak dalam berperilaku. Menurut Lickona (1994), seseorang yang
berkarakter adalah orang yang mengetahui kebaikan, mencintai kebaikan, serta
melakukan kebaikan. Karakter yang baik merupakan sesuatu yang bisa
dikembangkan dan pengembangan itu sangat mungkin dilakukan. Hal utama yang
perlu dipersiapkan dalam membangun karakter seseorang adalah lingkungan yang
penuh kasih sayang.
Menurut pendekatan teori ekologi Bronfenbrener, keluarga merupakan
tempat bagi seseorang untuk mendapatkan pengasuhan, kasih sayang, dan
kesempatan untuk mengembangkan diri. Keluarga merupakan agen sosialisasi
pertama dan terpenting dalam proses perkembangan manusia (Berns 2011).
Hubungan orangtua dan anak yang responsif, penuh cinta, serta kasih sayang
berhubungan dengan perkembangan moral seorang anak. Seseorang yang
memiliki perasaan aman dengan orangtuanya lebih matang perkembangan
moralnya dibandingkan anak yang tidak lekat dengan orangtuanya. Keluarga
2

dalam hal ini orangtua ditemukan memiliki peran dalam munculnya perilaku
bermasalah pada remaja. Dengan kata lain, orangtua memiliki faktor resiko dalam
pembentukan karakter anak. Pengasuhan yang efektif dan cinta yang diberikan
orangtua akan membantu pembentukan karakter seseorang pada setiap tahap
perkembangan individu (Lickona 1994).
Kelekatan menjadi hal dasar yang dimiliki anak sejak lahir dan menjadi
hal yang menjaga anak dari perilaku menyimpang dikemudian hari. Kelekatan
merupakan proses panjang yang terbentuk semenjak didalam kandungan.
Semakin baik kelekatan yang dibentuk semenjak anak lahir maka kelekatan
dimasa remaja juga akan baik. Kelekatan dengan orangtua juga memediatori
kelekatan remaja dengan teman bermainnya. Anak yang memiliki kelekatan
dengan orangtua dan teman lebih mudah untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungan yang lebih luas (Ma dan Huebner 2008). Kelekatan tersebut menjadi
dasar perkembangan karakter remaja. Hal tersebut dikarenakan seseorang yang
terikat secara emosi akan mudah mempengaruhi perkembangan seseorang. Selain
itu, cinta dan kelekatan yang terjalin antara orangtua dan anak akan menciptakan
kondisi yang stabil dalam mentransmisikan nilai-nilai kebaikan (Lickona 1998).
Selain kelekatan dengan orangtua, pengaruh kelekatan dengan teman
sebaya juga telah banyak diteliti. Kelekatan dengan teman sebaya ditemukan
berpengaruh terhadap kompetensi sosial dan kemampuan menyesuaikan diri pada
diri remaja (Fass dan Tubman 2002). Penelitian pada remaja memperlihatkan
bahwa kelekataan dengan teman sebaya sama pentingnya dengan kelekatan
dengan orangtua dalam hal pembentukan identitas diri yang baik (Selby 2000).
Pada fase remaja, ditemukan bahwa besarnya pengaruh kelekatan dengan teman
sebaya lebih besar dibandingkan kelekatan dengan orangtua (Schneider, Atkinson,
dan Tardif 2001). Akan tetapi, penelitian tentang pengaruh kelekatan dengan
sebaya hanya berfokus pada pembentukan identitasi diri. Maka dari itu, penelitian
tentang pengaruh kelekatan dengan teman sebaya terhadap karakter remaja perlu
dilakukan.
Selain kelekatan, komunikasi menjadi salah satu aspek penting dalam
hubungan antara orangtua dan anak untuk mencegah perilaku-perilaku
menyimpang (Blake et al. 2001). Penelitian tentang kasus bunuh diri remaja usia
11 sampai dengan 18 tahun di Hong Kong memperlihatkan bahwa komunikasi
yang buruk antara orangtua dan remaja dapat memicu rasa putus asa pada remaja
yang berujung tindakan bunuh diri (Lai Kwok dan Shek 2010). Hal diatas
memperlihatkan pentingnya komunikasi yang baik antara orangtua dan anak.
Komunikasi yang baik dan terbuka merupakan hasil dari proses panjang selama
masa perkembangan anak dari kecil sampai dewasa. Orangtua yang responsive
dan juga mendengarkan anak secara efektif akan membuat anak terbuka untuk
mengkomunikasikan segala macam hal dengan orangtuanya. Apabila komunikasi
yang berjalan baik dan memuaskan bagi anak maka anak akan merasa aman dan
nyaman dengan orangtua (Greenberg 2009). Selain itu, hasil penelitian tentang
kelekatan remaja dengan orangtua menunjukkan bahwa komunikasi sangat
berpengaruh terhadap kelekatan seorang anak dengan orangtuanya (Katorski
2003).
Pola komunikasi yang terjadi di dalam keluarga terbukti memiliki
pengaruh terhadap perkembangan moral reasoning seorang remaja. Keluarga
yang proses komunikasinya hangat, terbuka, dan responsif akan lebih mudah
3

untuk menanamkan nilai-nilai karakter pada diri seorang remaja. Selain itu,
komunikasi dengan orangtua juga dapat dijadikan pengalaman sosial yang dapat
digunakan anak untuk mengkonstruksi pengetahuan moral mereka (Oladipo 2009;
Speicher 1994; Berkowitz dan Grych 1998). Komunikasi yang terjalin baik antara
anak dengan orangtua maupun teman sebayanya terbukti mempengaruhi karakter
seseorang.
Hal diatas juga berlaku pada hubungan anak dengan teman sebaya. Remaja
merupakan fase yang penuh dengan tekanan dari lingkungan terutama teman
sebaya. Teman sebaya bisa memberikan dampak positif ataupun negatif bagi
seorang remaja. Tekanan teman sebaya dapat mempengaruhi remaja dalam hal
konsumsi alkohol, seks pranikah, sampai dengan sikap terhadap orangtuanya.
Komunikasi merupakan faktor yang menentukan keterikatan remaja dengan teman
sebayanya. Hasil penelitian menunjukkan remaja yang komunikasi dengan
orangtuanya tidak efektif lebih rentan terkena pengaruh teman sebaya
(Soetjiningsih 2007). Selanjutnya hasil penelitian Karina, Hastuti dan Alfiasari
(2013), menunjukkan bahwa pada saat remaja keterikatan dengan peer group
berkaitan dengan perilaku bullying. Pada tahap ini pengaruh keluarga yang positif
dapat menjadi faktor yang melindungi dampak negatif pengaruh teman sebaya.
Maka dari itu, komunikasi yang baik antara remaja dan orangtua menjadi penting
agar pengaruh negatif dari teman sebaya tidak memberikan dampak buruk bagi
remaja.
Penelitian tentang pengaruh kelekatan dan komunikasi dengan orangtua
terhadap perkembangan karakter pernah dilakukan pada berbagai fase
perkembangan (Dewanggi 2014). Akan tetapi, pada fase ini remaja tidak hanya
lekat pada orangtua tetapi juga pada teman sebaya. Pada saat ini belum ditemukan
penelitian yang menggabungkan komunikasi dan kelekatan anak dengan orangtua
serta teman sebaya terhadap perkembangan karakter remaja. Maka dari itu,
penelitian ini perlu dilakukan untuk mengetahui dominasi orangtua atau teman
sebaya terhadap perkembangan karakter remaja.

Perumusan Masalah

Remaja dikenal sebagai masa yang dipenuhi oleh proses perubahan serta
penyesuaian. Beberapa aspek dalam diri remaja perlu dikembangkan sebagai
bekal untuk menghadapi masa dewasa. Seringkali remaja dianggap sebagai
miniatur orang dewasa. Akan tetapi, remaja merupakan sebuah fase yang memiliki
banyak keunikkan sehingga studi tentang perkembangan remaja semakin meluas.
Salah satu area perkembangan yang dianggap memiliki dampak positif dan perlu
untuk dikembangkan pada diri remaja adalah karakter (Peterson dan Seligman
2004). Semakin meningkatnya laporan perilaku bermasalah yang dialami remaja,
memperlihatkan bahwa meningkatkan kekuatan karakter menjadi hal yang perlu
dilakukan bangsa Indonesia pada saat ini (Kemenpora 2009).
Paradigma pendidikan karakter yang baru menemukan bahwa intervensi
kekuatan karakter yang dilakukan di sekolah telah berhasil memunculkan emosi
positif, keterlibatan, dan pencapaian yang baik pada siswanya (Linkins, Niemiec,
Gillham, dan Mayerson 2014). Akan tetapi, Park (2009) menduga bahwa bukan
hanya sekolah yang dapat mengembangkan kekuatan karakter melainkan banyak
faktor yang memengaruhi perkembangan kekuatan karakter baik genetis, keluarga,
4

maupun lingkungan pertemanan. Penguatan dari lingkungan di luar sekolah


misalnya kelekatan dengan orangtua serta teman terbukti menurunkan perilaku
bermasalah (Bhatt et al. 2012; Kocayoruk 2010).
Orangtua dan teman sebaya memiliki peran penting dalam perkembangan
karakter remaja. Kelekatan dengan orangtua ditemukan mempengaruhi
perkembangan karakter anak pada usia dini di pedesaan (Dewanggi 2014), akan
tetapi penelitian tetang pengaruh kelekatan terhadap perkembangan karakter
remaja masih jarang dilakukan. Selain itu, tidak bisa dipungkiri pada penelitian
kelekatan di usia remaja seseorang memiliki kecenderungan untuk lebih dekat
dengan teman dibandingkan dengan keluarganya (Kolucki dan Lemish 2011).
Masa remaja ditandai dengan semakin meningkatnya kemandirian serta
munculnya permasalahan dengan lingkungan sekitar salah satunya orangtua. Fase
remaja merupakan fase di saat pengawasan dari orangtua menurun dan interaksi
dengan teman sebaya semakin meningkat. Remaja menginginkan kebebasan serta
penerimaan dari teman sebayanya. Hal tersebut dibarengi dengan kesulitan
orangtua untuk melakukan kontrol pada remaja (Meichenbaum, Fabiano, dan
Fincham 2004). Fakta diatas menimbulkan pertanyaan manakah yang lebih
dominan antara pengaruh kelekatan dengan orangtua ataupun teman sebaya
terhadap perkembangan karakter remaja. Maka dari itu sangat menarik untuk
melihat pengaruh kelekatan dengan orangtua dan teman sebaya pada penelitian
tentang karakter remaja.
Orangtua dalam hal ini ibu memiliki peran penting dalam proses
komunikasi selama masa perkembangan anak. Data BPS (2014) menunjukkan
bahwa pada tahun 2013 terjadi peningkatan jumlah perempuan bekerja dari tahun-
tahun sebelumnya. Kondisi perempuan atau ibu yang bekerja membuat proses
komunikasi yang terjalin dengan anak menjadi cenderung bermasalah. Apabila
komunikasi antara orangtua dan anak tidak berjalan lancar maka akan muncul
permasalahan-permasalahan lainnya. Terbukti dari permasalahan agresivitas
remaja yang ternyata dipengaruhi oleh komunikasi yang buruk antara orangtua
dan uremaja (Diana dan Retnowati 2009). Remaja yang tidak bisa berkomunikasi
secara terbuka dengan orangtua akan lebih rentan mengalami permasalahan
perilaku karena pada saat ini tekanan dari teman sebaya lebih kuat sehingga
mudah memberikan pengaruh negatif pada remaja.
Selain berdampak pada agresivitas remaja, tingkat tanggung jawab remaja
juga sangat erat kaitannya dengan komunikasi yang dilakukan orangtua dan anak
(Mahmud et al. 2011). Permasalahan seperti pencurian sampai dengan narkoba
yang dilakukan oleh remaja memperlihatkan bahwa masih ada remaja di Indonesia
yang belum bisa bertanggungjawab atas dirinya sendiri. Akan tetapi, ada hal yang
tidak bisa dilupakan bahwa pembentukan karakter remaja merupakan hasil
interaksi yang mendorong munculnya kelekatan. Salah satu proses interaksi yang
menjadi dasar kelekatan adalah proses komunikasi. Kelekatan yang baik akan
membuat proses komunikasi yang baik pula antara orangtua dan anak (Ontai dan
Thompson 2008). Pada fase remaja, kemampuan berpikir dan kemandirian yang
semakin meningkat membuat kelekatan tidak cukup untuk menghindarkan anak
dari dampak buruk lingkungan disekitarnya. Proses mentransmisikan nilai-nilai
kebaikan ataupun aturan-aturan biasa dilakukan dengan proses komunikasi. Maka
dari itu untuk melihat faktor yang mempengaruhi karakter remaja, kelekatan dan
komunikasi merupakan dua hal yang saling mempengaruhi.
5

Berdasarkan pemaparan diatas maka penelitian ini diharapkan dapat


menjawab pertanyaan, yaitu:
1) Apakah terdapat hubungan antara kelekatan remaja dengan orangtua dan
komunikasi remaja dengan orangtua terhadap karakter remaja?
2) Apakah terdapat hubungan antara komunikasi remaja dengan teman sebaya
dan kelekatan remaja dengan teman sebaya terhadap karakter remaja?
3) Adakah pengaruh kelekatan remaja dengan orangtua dan komunikasi remaja
dengan orangtua terhadap karakter remaja?
4) Adakah pengaruh komunikasi remaja dengan orangtua dan kelekatan remaja
dengan orangtua terhadap karakter remaja?

Tujuan Penelitian

Tujuan umum:
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui pengaruh komunikasi
serta kelekatan dengan orangtua dan teman sebaya terhadap karakter remaja.

Tujuan khusus:
Adapun yang menjadi tujuan khusus dari penilitian ini adalah:
1. Mengidentifikasi karakteristik remaja, karakteristik keluarga, kelekatan remaja
dan orangtua, komunikasi dengan orangtua, komunikasi remaja dan teman
sebaya, kelekatan dengan teman sebaya, dan karakter remaja.
2. Menganalisis pengaruh komunikasi dan kelekatan dengan orangtua terhadap
karakter remaja
3. Menganalisis pengaruh komunikasi dan kelekatan dengan teman sebaya
terhadap karakter remaja

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk memberikan informasi


tentang pengaruh komunikasi serta kelekatan remaja dengan orangtua serta teman
terhadap karakter remaja. Dengan demikian penelitian ini dapat dijadikan bahan
pertimbangan bagi orangtua dalam melakukan praktek pengasuhan dan
pengarahan dalam hal kekuatan karakter. Bagi pemerintah hasil penelitian ini
diharapkan dapat dijadikan bahan untuk pembuatan modul dan penyuluhan bidang
pengasuhan. Bagi penelitian selanjutnya diharapkan penelitian ini berguna untuk
pengembangan ilmu di bidang ilmu perkembangan remaja dan keluarga.
6

TINJAUAN PUSTAKA

Teori Ekologi Bronfenbrenner

Perkembangan manusia dipengaruhi oleh berbagai hal yang ada di


sekelilingnya. Menurut pendekatan Teori Ekologi Bronfenbrenner, untuk
memahami perkembangan seorang individu maka perlu untuk mengetahui kondisi
lingkungan disekitar individu itu berkembang (Bronfenbrenner 1994).
Bronfenbrenner menyatakan bahwa lingkungan atau sistem disekeliling manusia
merupakan aspek penting dalam mendorong dan menuntun proses perkembangan
manusia. Perkembangan teori ini diawali oleh hasil-hasil penelitian tentang
interaksi proksimal antara orangtua-anak ataupun anak-anak. Adanya hasil
penelitian yang memperlihatkan tentang pengaruh interaksi ibu dan anak terhadap
perkembangan berat badan anak di usia empat tahun menunjukkan bahwa
interaksi dengan lingkungan baik langsung maupun tidak langsung akan
mempengaruhi perkembangan manusia (Bronfenbrenner 1994). Penilaian tentang
kualitas interaksi dan kelekatan antara orangtua dan anak terhadap perkembangan
anak membuat proses proksimal tersebut menjadi suatu konsep yang dapat diukur.
Pada akhirnya. teori dan hasil penelitian tentang kelekatan anak dengan orangtua
memberikan implikasi penting pada perkembangan teori ekologi Bronfenbrenner
(Bronfenbrenner dan Morris 2006)
Sejalan dengan perkembangan teori ini, Bronfenbrenner menjabarkan empat
sistem yang dianggap berpengaruh pada proses perkembangan manusia. Sistem
tersebut terdiri dari:
1. Sistem Mikro atay Microsystem
Sistem mikro adalah lingkungan yang berhubungan langsung dengan pola
aktivitas, interaksi, dan peran sosial yang dialami seorang individu. Pada sistem
ini disebutkan adanya sebuah proses proksimal yang menghasilkan pola
perkembangan dan perilaku yang cenderung tetap dan berkelanjutan. Adanya
interaksi langsung dengan sistem ini dikatakan akan membuahkan sebuah pola
perkembangan yang khas pada diri individu. Contoh dari sistem mikro ini adalah
lingkungan keluarga, sekolah, dan teman sebaya. Lingkungan ini ditandai dengan
interaksi yang terjadi secara langsung dengan individu berkembang. Menurut
Bronfenbrenner dan Morris (2006) terdapat dua hal penting yang perlu
diperhatikan pada sistem ini dalam proses pembentukan kepribadian individu.
Pertama adalah kondisi fisik dari lingkungan tempat individu berkembang dan
yang kedua adalah proses proksimal yang terjadi didalamnya.
2. Sistem Meso atau Mesosystem
Selain sistem mikro yang berinteraksi langsung dengan individu, terdapat
pengembangan lingkungan pada teori sistem ekologi manusia. Selain interaksi
yang dilakukan individu dengan sistem mikronya, interaksi antara lebih dari satu
sistem mikro dipandang dapat memberikan pengaruh terhadap perkembangan
individu. Interaksi antara lebih dari satu sistem mikro itu disebut dengan sistem
meso atau mesosystem. Salah satu bukti bahwa interaksi antara dua sistem mikro
akan mempengaruhi perkembangan individu yaitu, temuan hasil peneltian
menunjukkan bahwa proses pengasuhan yang dilakukan oleh orangtua akan
7

mempengaruhi seseorang dalam memilih lingkungan teman sebayanya. Hal


tersebut secara tidak langsung akan mempengaruhi kepribadian seseorang.
3. Sistem Ekso atau Exosystem
Sistem ekso adalah hubungan dan proses suatu kondisi atau situasi yang
tidak melibatkan individu berkembang akan tetapi secara tidak langsung hal
kondisi tersebut dapat mempengaruhi lingkungan tempat berkembangnya
seseorang. Salah satu contohnya adalah situasi di lingkungan tempat tinggal dapat
mempengaruhi cara orangtua berinteraksi dengan anaknya. Lingkungan tempat
tinggal yang baik ataupun lingkungan pekerjaan yang baik akan mendorong
orangtua untuk berinteraksi secara positif dengan anaknya.
4. Sistem Makro atau Macrosystem
Sistem ini adalah tempat dimana sistem mikro, meso, dan ekso saling
berinteraksi. Sistem Makro diisi dengan sistem kebudayaan yang mempengaruhi
nilai serta kepercayaan orang-orang didalamnya. Secara spesifik sistem makro
memberikan dampak pada gaya hidup, sistem kepercayaan, dan cara hidup
masyarakat.

Kelekatan dengan Orangtua dan Teman Sebaya

Kelekatan merupakan hal yang tidak mudah untuk didefinisikan, namun


sering dikaitkan dengan aspek emosi. Kelekatan adalah proses kompleks yang
mengkombinasikan emosi dan pikiran tentang suatu hubungan emosional.
Kelekatan dapat berpengaruh kuat terhadap perasaan dan perilaku seseorang.
Perilaku dan perasaan tentang kelekatan akan berbeda-beda apabila seseorang
semakin bertambah dewasa. Pada masa awal setelah kelahiran, seorang anak akan
beradaptasi dengan lingkungan sosial dengan pengasuh utama. Fase tersebut
merupakan pengalaman kelekatan anak yang pertama dan berpengaruh sangat
kuat terhadap perkembangan kepribadian pada fase selanjutnya. Teori kelekatan
berfokus pada hubungan antara orangtua dan anak serta didasari oleh respon
terhadap kebutuhan dasar remaja (Mercer 2006).
Teori kelekatan menggunakan pendekatan banyak teori salah satunya yaitu
teori psikoanalisis. Menurut teori psikoanalisis, kelekatan antara ibu dan anak
dapat dijelaskan oleh drive theory dan object-relations theory. Menurut drive
theory, seperti halnya Freud menyatakan bahwa kelekatan antara ibu dan anak
didorong oleh energy fisik atau libido anak. Pada fase awal kelahiran, libido anak
berpusat pada oral sehingga kebutuhan untuk menyusui menjadi dasar munculnya
perasaan cinta anak kepada ibunya. Selanjutnya, menurut object-relations theory
kehadiran ibu sangat penting karena seorang anak terikat secara psikologis
semenjak dari awal kelahiran. Ketidakhadiran ibu menjadi hal yang berbahaya
bagi proses kelekatan seorang anak dengan ibunya.
Menurut teori kelekatan Bowlby, kelekatan merupakan pelindung dari
lingkungan yang mungkin memberikan dampak buruk bagi remaja. Kelekatan
sangat terkait dengan pengasuhan yang dilakukan oleh ibu. Pengalaman anak
dengan pengasuh utamanya akan menjadi dasar perkembangan anak sampai fase
dewasanya. Menurut Bowlby juga, perkembangan kelekatan tidak selalu linear
dengan perkembangan psikologis remaja. Hal terpenting yang mempengaruhi
kelekatan adalah interaksi antara remaja dengan lingkungannya. Kehangatan, rasa
aman, dan juga kenyamanan sangat bergantung kepada kedekatan seseorang
8

dengan seseorang yang dia cintai. Dengan kata lain, pada saat seseorang merasa
lekat maka kedekatan dengan orang lain akan membuat dirinya merasa aman dan
nyaman (Holmes 1993). Pengukuran kelekatan pada remaja diarahkan pada
persepsi remaja terhadap dimensi kognitif dan afektif kelekatan mereka dengan
orangtua. Pengukuran kelekatan menggunakan pendekatan teori attachment yang
diukur ke dalam tiga dimensi yaitu tingkat kepercayaan antara orangtua dan
remaja, kualitas komunikasi, serta pengungkapan kemarahan (Greenberg 2009).
Selain itu, kelekatan remaja dengan orangtuanya dapat diukur dari kehadiran dan
responsivitas pengasuh yang dirasakan oleh seorang remaja (McConnel 2008)
Kelekatan dengan teman sebaya merupakan persepsi, perasaan dan pikiran
seseorang tentang hubungan remaja dengan teman sebayanya. Masa remaja
dikenal sebagai masa pencarian identitas sehingga mereka secara aktif
bereksplorasi dan membina hubungan dengan teman sebayanya. Kelekatan
merupakan modal bagi remaja untuk dapat mencari identitas diri tanpa
terpengaruh oleh tekanan buruk dari teman sebaya. Kelekatan biasa dikaitkan
dengan hubungan remaja-orangtua serta remaja-teman sebaya. Pada penelitian
tentang kelekatan dengan teman sebaya, ditemukan hubungan yang unik antara
kelekatan serta identitas relasional remaja. Tidak hanya itu, kelekatan dengan
teman ditemukan berhubungan positif signifikan dengan self-esteem, optimis,
kemampuan intelektual, serta berhubungan negatif dengan stress akademik. Selain
itu, ditemukan bahwa perempuan memiliki kelekatan dengan teman sebaya
dengan kualitas yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Kelekatan merupakan
komponen penting dalam hal pola peyesuaian. Pada saat remaja, rasa aman yang
dimiliki seseorang terhadap lingkungan teman sebaya dapat melindungi dari
perilaku-perilaku menyimpang (Fass dan Tubman 2002)

Komunikasi dengan Orangtua dan Teman Sebaya

Keberlangsungan sebuah keluarga tidak terlepas dari apa yang terjadi dalam
keluarga itu sendiri. Komunikasi merupakan salah satu aspek yang dianggap
penting untuk menjaga keberlangsungan sebuah keluarga. Komunikasi adalah
sebuah proses untuk saling berbagi pikiran, pendapat, dan perasaan yang sangat
penting untuk dilakukan di dalam keluarga. Dengan adanya komunikasi yang baik
di dalam keluarga maka akan memunculkan rasa diperhatikan dan juga
didengarkan. Komunikasi dalam keluarga merupakan hal yang penting sehingga
antar anggota keluarga saling menghargai pikiran dan keinginan masing-masing.
Selain itu komunikasi merupakan sebuah proses yang terus berjalan dan
memerlukan kerjasama untuk membuat keterbukaan antar generasi dalam sebuah
keluarga. Komunikasi menjadi kunci hubungan yang harmonis antara orangtua
dan remaja.
Komunikasi merupakan satu dari tiga dimensi utama dalam Circumplex
Model of Marital and Family System. Menurut Barnes dan Olson (1985),
kepuasan hubungan keluarga bergantung pada tingkat kohesi dan kemampuan
adaptasi sebuah keluarga. Kohesi merupakan tingkat kedekatan emosi antara
anggota keluarga. Adaptasi dijelaskan sebagai kemampuan anggota keluarga
untuk merespon situasi yang penuh tekanan baik stres situasional maupun stress
karena perubahan tahapan keluarga. Komunikasi dikatakan sebagai sebuah
9

mekanisme di dalam sebuah keluarga untuk saling berbagi perasaan, kebutuhan,


dan perubahan. Maka dari itu dalam model circumplex, komunikasi dikatakan
sebagai fasilitator bagi keluarga untuk menghadapi perubahan-perubahan.
Komunikasi yang positif dan efektif akan memudahkan keluarga untuk
beradaptasi dan menjaga kelekatan antar anggota keluarga. Keluarga yang tingkat
adaptasi dan kohesivitasnya seimbang dikatakan memiliki komunikasi yang baik
antara orangtua dengan anaknya.
Perkembangan seorang remaja tidak lepas dari proses interaksi yang terjadi
antara dirinya dan lingkungan disekelilingnya. Menurut Davidson dan Cardemil
(2009), hubungan antara remaja dan orangtua dibangun berdasarkan dua aspek
penting yaitu komunikasi antara remaja dan orangtua serta keterlibatan orangtua.
Komunikasi yang baik juga terbukti berhubungan dengan kesejahteraan serta
perkembangan diri remaja. Pada remaja, proses komunikasi di dalam keluarga
merupakan hal yang penting untuk dilakukan. Perubahan yang terjadi pada diri
seorang remaja membuat fase ini menjadi fase yang sulit. Proses komunikasi
yang hangat dan penuh cinta sangat diperlukan untuk mengawal perkembangan
seorang remaja. Selain itu, perkembangan moral reasoning seorang remaja sangat
terkait dengan diskusi yang dilakukan orangtua dan remaja. Tidak hanya
komunikasi dengan orangtua, perkembangan moral seorang remaja juga dikaitkan
dengan interaksinya dengan teman sebaya (Louis dan Emerson 2011; Barnes dan
Olson 1985).
Keluarga yang memfasilitasi remaja untuk mengembangkan kemampuan
berkomunikasi yang baik terbukti berhubungan positif dengan perkembangan
moralnya. Selain itu, komunikasi juga dijadikan dasar terbentuknya kelekatan
antara remaja dengan orangtua maupun dengan teman sebaya. Interaksi yang
konsisten antara orangtua dan remaja terbukti membantu untuk membangun
kelekatan dengan remaja (Bowlby 2008). Begitu pula dengan proses komunikasi
remaja dengan teman sebayanya. Proses komunikasi yang terjadi pada masa
remaja sangat penting untuk membangun kelekatan yang baik sehingga
perkembangan individu pada fase ini juga baik. Teori kelekatan juga menjelaskan
bahwa dasar utama terbentuknya kelekatan adalah komunikasi yang dilakukan
antara orangtua dan remaja. Orangtua yang responsive dan dapat memenuhi
kebutuhan remaja sejak kecil akan menghasilkan kelekatan yang baik serta rasa
aman. Rasa aman untuk dapat berkomunikasi dengan baik akan berdampak pada
interaksinya dengan lingkungan di luar keluarganya (Bowlby 1988).
Remaja yang tidak dapat berkomunikasi secara baik dengan keluarganya
ditemukan memiliki kesulitan selama masa perkembangannya. Selain itu, proses
komunikasi sangat penting untuk mengembangkan pola berpikir, pengetahuan
serta perilaku mereka terhadap lingkungan di sekelilingnya (Moitra dan
Mukherjee 2009). Pola komunikasi antara orangtua dan remaja menjadi model
pembelajaran bagi seorang remaja untuk berkomunikasi dengan orang lain. Selain
itu, konsep diri seorang remaja terbentuk karena pola komunikasi yang baik antara
orangtua dan remaja (Yahaya 2000). Komunikasi dua arah yang terjadi antara
remaja dan orangtua juga terbukti membantu perkembangan mental remaja yang
sehat (Bowlby 1988).
10

Faktor yang Mempengaruhi Karakter

Karakter merupakan konsep multidimensional yang berkaitan dengan


berbagai ciri psikologis seorang individu. Menurut teori pembelajaran sosial,
karakter merupakan hasil dari kostruksi sosial. Akan tetapi, menurut pandangan
psikologi kepribadian setiap individu memiliki perbedaan yang relatif stabil dan
juga umum. Karakter juga terbentuk dari kemampuan seseorang untuk berubah
dan beradaptasi. Maka dari itu, karakter dikatakan sebagai sesuatu yang plural
sehingga seringkali dijelaskan oleh dua aspek yaitu kekuatan dan virtues. Apabila
seseorang dihadapkan pada situasi tertentu maka akan mendorong mereka untuk
mengembangkan atau menunjukkan kekuatan yang ia miliki (Peterson dan
Seligman 2004). Karakter sendiri merupakan fokus utama dalam proses
perkembangan positif remaja karena dianggap memberikan dampak positif dalam
setiap aspek kehidupan (Park 2009).
Menurut pendekatan teori karakter, setiap tahapan perkembangan
seseorang maka moral dan karakternya pun juga ikut berkembang. Menurut
Santrock (2008), perkembangan moral seseorang berfokus kepada aturan dan cara
seseorang berinteraksi yang dapat dilihat dari tiga domain yatu kognitif, perilaku,
dan emosi. Perkembangan moral seseorang sangat bergantung kepada kemampuan
berpikirnya. Maka dari itu, setiap fase perkembangan individu berbeda pula
perkembangan karakternya. Pada saat remaja, menurut teori Piaget seorang remaja
sudah berada pada tahap autonomous morality. Pada fase ini seorang remaja sudah
dapat memahami bahwa aturan dibuat oleh seseorang untuk menilai perilaku
orang lain. Seseorang yang berada pada fase ini mengetahui bahwa setiap tindakan
yang ia lakukan pasti ada konsekuensinya dan semua tindakan dilakukan atas
dasar kesadaran akan konsekuensi tersebut.
Berbeda lagi dengan tahapan perkembangan moral Kohlberg yang
mengelompokan perkembangan karakter berdasarkan jawaban seseorang
mengenai dilemma moral yang diberikan. Seorang remaja seharusnya sudah
sampai kepada tahap conventional ethics. Pada tahapan ini seseorang melakukan
keputusan moral berdasarkan aturan yang berlaku dengan tujuan agar dapat
menjaga dan diterima oleh lingkungan sosialnya. Tahapan ini tercapai karena
seorang remaja sudah tidak lagi egosentris dan mulai memandang isu moral dari
perspektif orang lain. Untuk mencapai tahapan ini perlu kesadaran yang tinggi
akan nilai moral. Kesadaran yang tinggi tersebut perlu dikembangkan oleh
lingkungan dalam hal ini keluarga.
Masa remaja adalah masa yang penuh dengan perubahan hampir pada
setiap aspek perkembangan dalam diri seseorang. Masa ini ditandai dengan
peningkatan kemandiran seseorang menjadi individu yang lebih autonomy
(Keijsers et al. 2010). Pada masa ini remaja melalui tahapan perkembangan
kepribadian dan karakter. Kemampuan berpikir remaja sudah sampai pada tahapan
formal operational sehingga level moral seseorang diharapkan semakin
meningkat. Kematangan moral sangat berkaitan dengan kekuatan karakter yang
dimiliki oleh remaja. Remaja sangat perlu memiliki karakter yang baik. Hal ini
dikarenakan menurut Heraclitus, seorang filsuf Yunani karakter adalah takdir.
Karakter yang baik akan membentuk takdir yang baik dalam lembaga
kemasyarakatan (Lickona 2004). Seorang remaja dengan karakter yang baik
tentunya akan membawa pengaruh baik pada lingkungannya. Hal tersebut dapat
11

dijelaskan dengan hasil penelitian yang menemukan bahwa remaja yang memiliki
kekuatan karakter yang baik berhubungan dengan tingginya kepuasan hidup
remaja serta rendahnya permasalahan perilaku yang dialami remaja (Shoshani dan
Slone 2012).
Kekuatan Karakter didefinisikan sebagai ciri positif seseorang yang
dapat diukur dan terlihat dari pengetahuan, perasaan, dan perilakunya (Park,
Peterson, dan Seligman 2004). Kekuatan karakter diklasifikasikan kedalam
beberapa dimensi spesifik tentang proses psikologis yang mengandung nilai moral
yang baik (Soshani dan Slone 2012). Kekuatan karakter tercermin dari
kepribadian serta perilaku yang terlihat pada kegiatan sehari-hari. Kekuatan
karakter terdiri dari enam klasifikasi yaitu wisdom and knowledge, courage,
humanity, justice, temperance, dan transcendence. Setiap klasifikasi dalam
kekuatan karakter memiliki indikator berupa dimensi perilaku-perilaku yang
seharusnya dimiliki oleh setiap individu. Jumlah dimensi yang ada pada kekuatan
karakter sebanyak 24 yang terbagi kedalam enam klasifikasi di atas (Peterson dan
Seligman 2004).
Menurut Lickona, untuk membangun karakter yang baik pada remaja
diperlukan tiga hal yaitu mengetahui yang benar, memperhatikan mana yang
benar, kemudian melakukan yang benar. Seperti yang diketahui tiga hal tersebut
menjadi dasar pendidikan karakter yaitu knowing the good, feeling the good, dan
acting the good. Ketiga hal itu menjadi dasar perkembangan karakter yang baik
bagi seorang individu. Lickona (1998) menyatakan ada syarat yang harus dipenuhi
orangtua dalam mengembangkan karakter seorang remaja. Pengasuhan yang
efektif adalah kata kuncinya. Pengasuhan yang efektif dapat terjadi apabila
orangtua menyiapkan lingkungan yang penuh cinta dan rasa aman. Pengasuhan
yang penuh kehangatan, rasa aman, serta reponsif terbukti berhubungan positif
dengan perkembangan moral seseorang. Modal rasa aman dan lingkungan yang
penuh cinta tersebutlah yang dapat membentuk karakter remaja menjadi baik,
namun tidak bisa dipungkiri bahwa ada pengaruh dari lingkungan luar terhadap
perkembangan karakter seorang remaja. Hasil penelitian Dewanggi (2014),
menemukan bahwa kelekatan ibu dan kualitas pengasuhan memiliki pengaruh
positif terhadap karakter anak usia dini baik di desa maupun di kota. Selain itu,
penelitian Hastuti (2009) menemukan bahwa pada anak usia pra sekolah,
pengasuhan dan proses pembelajaran di sekolah mempengaruhi perkembangan
moral dan karakter anak.

KERANGKA PEMIKIRAN

Remaja merupakan bagian dari sistem yang lebih besar dan dipengaruhi
oleh sistem tersebut. Berdasarkan perspektif ekologi, keluarga sebagai sistem
yang berinteraksi secara langsung dengan remaja memiliki pengaruhnya terhadap
pembentukan karakter remaja. Akan tetapi interaksi antara remaja dan keluarga
akan dipengaruhi oleh karakteristik remaja itu sendiri. Komunikasi yang
dilakukan oleh orangtua dengan remaja akan dipengaruhi oleh usia dan jenis
kelamin anak. Selain itu kelekatan orangtua-remaja akan memiliki efek yang
berbeda apabila terdapat perbedaan karakteristik internal remaja (jenis kelamin
dan usia) serta konteks keluarga misalnya kondisi sosioekonomi serta struktur
12

keluarga. Jenis kelamin remaja juga akan menentukan bagaimana proses


komunikasi dan kelekatan mereka dengan teman sebayanya. Remaja perempuan
memiliki kelekatan yang lebih dalam dengan teman sebaya dibandingan remaja
laki-laki.
Komunikasi remaja dengan orangtua tidak terlepas dengan bagaimana
kelekatan yang dimiliki keduanya. Komunikasi yang baik akan terjadi bila antara
remaja dan orangtua memiliki hubungan yang aman dan lekat. Pada kelekatan
yang baik antara orangtua dan remaja pastinya ada proses komunikasi yang
berjalan baik. Hubungan antara orangtua dan remaja dalam hal ini komunikasi
akan memfasilitasi hubungan yang sehat didalam keluarga dan perkembangan
individu remaja yang sehat. Akan tetapi, apabila komunikasi antara remaja dan
orangtua bermasalah maka komunikasi remaja akan lebih banyak dilakukan
dengan teman sebaya. Komunikasi yang berjalan baik antara remaja dengan teman
sebayanya akan mempengaruhi kelekatan serta perilaku dan karakter seorang
anak.
Karakter seorang remaja sangat bergantung oleh karakteristik remaja serta
lingkungan di sekitarnya. Jenis kelamin remaja diketahui memiliki hubungan
dengan kualitas karakternya. Selain itu, kondisi sosial ekonomi keluarga juga akan
mempengaruhi karakter seseorang. Kualitas dari kelekatan yang dimiliki seorang
remaja baik dengan teman sebaya dan orangtua menjadi faktor yang menjaga
remaja dari permasalahan selama masa transisi. Kelekatan remaja dengan
orangtua sendiri pada masa ini terbukti berdampak pada moral dan karakter
remaja. Kelekatan remaja dengan teman sebaya berdampak pada perilaku remaja.
Pengaruh orangtua dalam menciptakan pengasuhan yang aman akan berdampak
pada perkembangan individu yang stabil. Selain itu, kelekatan dengan orangtua
dan teman sebaya juga merupakan faktor yang saling terkait untuk penyesuaian
dan perkembangan karakter remaja.
13

Kelekatan dengan
Orangtua
Karakteristik
Keluarga:
 Usia orangtua Komunikasi dengan
 Pendidikan Orangtua:
orangtua  Kebebasan Komunikasi Karakter
 Pendapatan  Permasalahan Remaja:
per Komunikasi  Moral
Kapita/bulan knowing
 Moral
feeling
Karakteristik  Moral
Komunikasi dengan
Remaja: Teman Sebaya:
action
 Usia  Kebebasan Komunikasi
 Jenis  Permasalahan
Kelamin Komunikasi

Kelekatan dengan
Teman Sebaya

Lingkungan
Sekolah

= Variabel yang diteliti

= Variabel yang tidak diteliti

Gambar 1 Kerangka pemikiran pengaruh komunikasi serta kelekatan remaja


dengan orangtua dan teman sebaya terhadap karakter remaja
14

METODE PENELITIAN

Desain, Lokasi, dan Waktu Penelitian

Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian hibah kompetensi yang


berjudul “Model Pendidikan Karakter Anak pada Keluarga Perdesaan Berbasis
Family and School Partnership”, yang diketuai oleh Dr. Ir. Dwi Hastuti M.Sc dan
anggotanya yaitu Alfiasari SP, M.Si. Penelitian ini menggunakan desain penelitian
cross sectional study. Penelitian dilaksanakan di Desa Ciasihan dan Desa
Ciasmara, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor yang dipilih secara purposive
sebagai salah satu dari lima terbesar daerah yang merepresentasikan usaha
pertanian terbesar di Kabupaten Bogor. Pengambilan data dilaksanakan pada
bulan April 2015-Mei 2015

Teknik Penarikan Contoh

Populasi penelitian ini adalah siswa yang memiliki orangtua lengkap dari
sekolah yang terpilih di Desa Ciasihan dan Desa Ciasmara, Kecamatan Pamijahan,
Kabupaten Bogor. Jumlah SMK yang ada di lokasi penelitian masing-masing
sebanyak satu sekolah. Jumlah populasi dari penelitian ini sebanyak 287 siswa.
Contoh dari penelitian ini adalah siswa kelas X dan XI SMK dari sekolah yang
terpilih sebagai lokasi penelitian. Penarikan contoh dilakukan dengan cara
proportional random sampling. Jumlah responden yang diambil dalam penelitian
ini berjumlah 135 siswa untuk memperkecil terjadinya kesalahan saat penarikan
responden. Jumlah responden yang diambil dalam penelitian ini sudah memenuhi
persyaratan jumlah minimal responden berdasarkan rumus Slovin, yaitu:

𝑁 287
𝑛= = = 101
1 + 𝑁𝑒 2 1 + 287(0.08)2

Keterangan:
n = jumlah siswa yang diambil
N = jumlah populasi siswa SMK Desa Ciasihan dan Desa Ciasmara
e = batas kesalahan pengambilan responden

Selanjutnya, jumlah sampel yang diambil dari masing-masing desa


ditentukan dengan cara proporsional.

𝑁𝑖
𝑛𝑖 = ×𝑛
𝑁

Keterangan:
ni = jumlah responden tiap sub populasi
Ni = total sub populasi
N = total populasi
n = jumlah responden yang diambil
15

Penentuan proporsi responden dari setiap desa didasarkan dari jumlah siswa
dari sekolah terpilih. Sebaran pengambilan sampel pada tiap sekolah dapat dilihat
pada Gambar 2.

n
Desa Ciasihan L = 17 L=8
Siswa kelas X dan (27 Siswa) P = 10 P=5
XI SMK Desa
Ciasihan dan
Desa Ciasmara
(287 siswa) n
Desa Ciasmara L =165 L = 77
(260 Siswa) P = 95 P = 45

Gambar 2 Teknik penarikan contoh


Pada akhirnya, responden yang digunakan datanya untuk penelitian ini
sebanyak 109 responden. Setelah dilakukan pengambilan data terdapat 26
responden yang dikeluarkan dari daftar responden. Hal ini dikarenakan 10
responden tidak hadir pada saat pengambilan data, 9 responden orangtuanya tidak
lengkap, serta sisanya telah keluar dari sekolah.

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer. Data primer


dikumpulkan dengan alat bantu kuesioner yang diisi oleh remaja setelah mendapat
penjelasan dan panduan dari peneliti. Data primer meliputi karakteristik remaja
(jenis kelamin dan usia), karakteristik keluarga (usia orangtua, lama pendidikan
orangtua, pendapatan orangtua), komunikasi dengan orangtua, komunikasi dengan
teman sebaya, kelekatan dengan orangtua, kelekatan dengan teman sebaya, dan
karakter remaja. Secara rinci, jenis dan cara pengumpulan data dapat dilihat pada
Tabel 1.

Tabel 1 Variabel penelitian, skala data dan instrumen


Variabel Skala Data
Karakteristik contoh
 Usia Rasio
 Jenis Kelamin Nominal
Karakteristik keluarga
 Lama Pendidikan orangtua Rasio
 Pendapatan orangtua Rasio
16

 Usia orang
Lanjutan Tabeltua
1 Rasio
 Jumlah anggota keluarga Rasio
Komunikasi Orangtua-Remaja Ordinal:
 Kebebasan berkomunikasi 1= Sangat Tidak Sesuai
 Permasalahan dalam komunikasi 2=Tidak Sesuai
Komunikasi Remaja-Teman Sebaya 3=Sesuai
 Kebebasan berkomunikasi 4=Sangat Sesuai
 Permasalahan dalam komunikasi
Kelekatan dengan Orangtua Ordinal:
1= Sangat Tidak Sesuai
2=Tidak Sesuai
Kelekatan dengan Teman Sebaya
3=Sesuai
4=Sangat Sesuai
Karkter: Ordinal
 Moral Knowing 1=Sangat Tidak Sesuai
 Moral Feeling
2=Tidak Sesuai
 Moral Action
3=Sesuai
4=Sangat Sesuai

Pengolahan dan Analisis Data

Data yang diperoleh diolah dan dianalisis secara deskriptif dan inferensia.
Proses pengolahan data meliputi editing, coding, entry, scoring, dan cleaning data.
Pengolahan dan analisis data dilakukan dengan menggunakan program Microsoft
Excel dan SPSS for Windows. Pengontrolan kualitas data dilakukan melalui uji
reliabilitas instrumen komunikasi serta kelekatan dengan orangtua dan teman
sebaya dan karakter remaja dengan metode Cronbach’s Alpha.
Data karakteristik remaja yang dikumpulkan terdiri atas usia dan jenis
kelamin. Data karakteristik keluarga terdiri atas usia orangtua, lama pendidikan
orangtua, dan pendapatan orangtua. Pendapatan orangtua akan dikonversikan
menjadi pendapatan per kapita yang kemudian akan dikategorikan menggunakan
indikator garis kemiskinan BPS Kabupaten Bogor (BPS 2013). Sistem skoring
yang akan dilakukan untuk komunikasi dengan orangtua, komunikasi dengan
teman sebaya, kelekatan dengan orangtua, kelekatan dengan teman sebaya, dan
karakter menggunakan rumus:
𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑎𝑘𝑡𝑢𝑎𝑙 − 𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑚𝑖𝑛𝑖𝑚𝑎𝑙
𝐼𝑛𝑑𝑒𝑘𝑠 (%) = 𝑥 100
𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑚𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑎𝑙 − 𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑚𝑖𝑛𝑖𝑚𝑎𝑙
Keterangan:
Indeks = skor remaja yang sudah di indeks
Skor aktual = skor yang diperoleh remaja berdasarkan pengukuran
Skor minimal = skor minimal pada kuesioner
Skor maksimal = skor maksimal pada kuesioner
17

Pengategorian variabel kelekatan dengan orangtua, komunikasi dengan


orangtua, komunikasi dengan teman sebaya, kelekatan dengan teman sebaya, dan
karakter remaja dibagi menjadi tinggi dan rendah. Pengategorian menggunakan
indeks masing-masing variabel dengan menggunakan cut off point baik/tinggi
(≥80%) dan kurang/rendah (<80%). Penetapan standar menggunakan ukuran
normatif pada variabel kelekatan, komunikasi, serta karakter remaja diharapkan
dapat menggambarkan kualitas variabel dengan lebih baik. Berikut disajikan tabel
pengategorian data pada Tabel 2.

Tabel 2 Variabel dan pengkategorian data


Jenis Data Kategori Pengukuran
Karakteristik contoh
Jenis kelamin Perempuan
Laki-laki
Karakteristik orangtua
Pendapatan per kapita Miskin (di bawah Rp 235 682)
Tidak miskin (di atas
Rp 235 682)
Kelekatan dengan orangtua Kurang (<80%)
Baik (≥80%)
Komunikasi Orangtua-Remaja Kurang (<80%)
Baik (≥80%)
Komunikasi Remaja-Teman Sebaya Kurang (<80%)
Baik (≥80%)
Kelekatan dengan teman sebaya Kurang (<80%)
Baik (≥80%)
Karakter Remaja Kurang (<80%)
 Moral Knowing Baik (≥80%)
 Moral Feeling
 Moral Action

Sebelum dilakukan analisis deskriptif dan inferensia, dilakukan pengujian


validitas dan reliabilitas instrumen terlebih dahulu. Pengukuran komunikasi
dengan orangtua dan teman sebaya menggunakan pengembangan dari kuesioner
Parent-Adolescent Communication Scale (Barnes dan Olson 1982). Untuk
kuesioner komunikasi dengan orangtua terdiri dari 19 butir pertanyaan dengan
reliabilitas 0.803. Selanjutnya kuesioner komunikasi dengan teman sebaya terdiri
dari 18 butir pertanyaan dengan reliabilitas 0.714. Pengukuran kelekatan dengan
orangtua dan teman sebaya dikembangkan dari kuesioner Adolescent Attachment
Questionnaire (West, Rose, Spreng, Sheldon-Keller & Adam 1998). Total butir
pertanyaan untuk variabel kelekatan dengan orangtua adalah 17 butir dengan
reliabilitas 0.692, sedangkan untuk kelekatan dengan teman sebaya terdiri atas 15
butir pertanyaan dengan reliabilitas 0.637.
Pengukuran variabel karakter remaja menggunakan pengembangan
kuesioner VIA-Youth dari Peterson dan Seligman (2004) yang dikembangkan
menggunakan tiga dimensi dari Lickona (1994) yaitu moral knowing, feeling dan
action. Total butir pertanyaan untuk dimensi pengetahuan (knowing) berjumlah 21
dengan reliabilitas sebesar 0.848. Selanjutnya, dimensi perasaan (feeling)
18

berjumlah 22 butir pertanyaan dengan reliabilitas 0.775. Terakhir adalah dimensi


tindakan (action) yang jumlah pertanyaannya sebanyak 21 butir dengan
reliabilitas 0.705.
Analisis deskriptif yang dilakukan adalah nilai minimal, nilai maksimal,
rata-rata, standar deviasi, serta frekuensi. Analisis inferensia yang digunakan
untuk menjawab tujuan penelitian adalah:
1) Uji korelasi digunakan untuk mengetahui hubungan karakteristik remaja dan
keluarga terhadap kelekatan serta komunikasi dengan orangtua dan teman sebaya,
hubungan kelekatan dengan orangtua dan teman sebaya pada komunikasi remaja
dengan orangtua dan teman sebaya, hubungan kelekatan dengan orangtua dan
teman sebaya pada karakter remaja, serta hubungan komunikasi orangtua dan
teman sebaya dengan karakter remaja.
2) Uji regresi digunakan untuk mengetahui pengaruh karakteristik remaja dan
keluarga terhadap kelekatan serta komunikasi dengan orangtua dan teman sebaya,
kelekatan dengan orangtua dan teman sebaya terhadap komunikasi dengan
orangtua dan teman sebaya, pengaruh kelekatan dengan orangtua dan teman
sebaya terhadap karakter remaja, serta pengaruh komunikasi dengan orangtua dan
teman sebaya terhadap karakter remaja. Persamaan regresi linear berganda pada
penelitian ini dirumuskan sebagai berikut.

Y= a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + ………………….+ b10X10


Keterangan:
Y = Karakter remaja
a = konstanta
X1 = jenis kelamin remaja (0=perempuan, 1= laki-laki)
X2 = usia remaja (tahun)
X3 = usia ibu (tahun)
X4 = lama pendidikan ayah (tahun)
X5 = lama pendidikan ibu (tahun)
X6 = pendapatan per kapita per bulan (rupiah)
X7 = kelekatan dengan orangtua (skor)
X8 = komunikasi dengan orangtua (skor)
X9= komunikasi dengan teman sebaya (skor)
X10= kelekatan dengan teman sebaya (skor)

Definisi Operasional
Karakteristik Remaja adalah ciri khas remaja yang terdiri dari jenis kelamin
dan usia.
Karakteristik Keluarga adalah ciri khas keluarga yang terdiri atas usia
orangtua, pendidikan orangtua, pendapatan per kapita, serta jumlah anggota
keluarga.
Teman Sebaya adalah teman yang dianggap sebagai sahabat atau teman terdekat
Kelekatan dengan Orangtua adalah kualitas hubungan antara remaja dan
orangtua yang digambarkan dengan derajat kepercayaan remaja terhadap orangtua
serta rasa aman yang dirasakan remaja terhadap orangtua.
19

Komunikasi Orangtua-Remaja adalah komunikasi verbal antara orangtua dan


remaja yang didalamnya berisi kebebasan remaja dan masalah yang dihadapi
dalam proses pengiriman informasi dari remaja kepada orangtua maupun
sebaliknya.
Komunikasi Teman Sebaya-Remaja adalah komunikasi verbal antara remaja
dan teman sebaya yang didalamnya berisi kebebasan remaja dan masalah yang
dihadapi dalam proses pengiriman informasi dari remaja kepada teman sebaya
maupun sebaliknya.
Kelekatan dengan Teman Sebaya adalah kualitas hubungan antara remaja dan
teman sebayanya yang digambarkan dengan derajat kepercayaan remaja terhadap
teman serta rasa aman yang dirasakan remaja terhadap teman sebayanya.
Karakter adalah ciri positif yang dimiliki remaja yang digambarkan oleh tiga
komponen yaitu mengetahui kebaikan (knowing the good), merasakan kebaikan
(feeling the good), melakukan kebaikan (acting the good).
Knowing The Good adalah pengetahuan serta kesadaran remaja akan dimensi
moral dalam kehidupan.
Feeling The Good adalah perasaan remaja akan dimensi moral dalam kehidupan.
Acting The Good adalah perilaku remaja terkait dengan atribut moral dalam
kehidupan.
20

5. Artikel 1

PENGARUH KELEKATAN DAN KOMUNIKASI DENGAN ORANGTUA


TERHADAP KARAKTER REMAJA PERDESAAN1

The influence of attachment and communication with parents on adolescence


character in rural area
Zervina Rubyn Devi Situmorang2, Dwi Hastuti3, Tin Herawati4

Abstrak

Peran orangtua dalam membentuk lingkungan pengasuhan yang positif akan


berdampak pada perkembangan karakter remaja. Kelekatan dan komunikasi yang
baik antara remaja dan orangtua dapat menghindari remaja dari tindakan asosial
seperti kenakalan remaja. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh
komunikasi serta kelekatan remaja dengan orangtua terhadap karakter remaja di
perdesaan. Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive di Kabupaten Bogor.
Sebanyak 109 remaja yang terdiri dari 43 remaja perempuan dan 66 remaja laki-
laki terpilih menjadi responden menggunakan teknik proportional random
sampling. Responden dalam penelitian diminta untuk mengisi kuesioner
pengembangan dari Parent-Adolescent Communication Scale, Adolescent
Attachment Questionnaire, serta VIA-Youth. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
skor kelekatan, komunikasi, serta karakter remaja perdesaan masih rendah.
Keterbukaan remaja dengan orangtua ditemukan masih rendah serta tingginya
permasalahan dalam berkomunikasi antara remaja dan orangtua. Hasil analisis
regresi menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan antara kelekatan
remaja dengan orangtua terhadap seluruh dimensi karakter remaja. Sebaliknya,
ditemukan pengaruh komunikasi antara orangtua dengan remaja yang positif pada
dimensi perasaan moral, tindakan moral, dan karakter secara keseluruhan.

Kata kunci : Karakter, Kelekatan, Komunikasi, Moral, Remaja

Abstract

Parent role in parenting will affect adolescent’s character development.


Positive attachment and communication between parent and adolescent can avoid
adolescent from negative behavior such as teenage delinquency. This study aimed
to analyze the effect of attachment and communication with parents towards
adolescent character in rural area. A total of 109 adolescent respondents consists
of 43 girls and 66 boys were selected using proportional random sampling
technique. Respondents were asked to fill out developed questionnaires of the
Parent-Adolescent Communication Scale, Adolescent Attachment Questionnaire
and VIA-Youth. to measure adolescent character, attachment and communication
with parents. The results showed that the scores of the attachment, communication
and adolescent characters in rural areas were significantly low. Disclosure
1
Makalah merupakan bagian dari tesis
2
Mahasiswa Program Studi Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor
3
Ketua Komisi Pembimbing, Staf Pengajar Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
4
Anggota Komisi Pembimbing, Staf Pengajar Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
21

between adolescents and parents was found low and problems in communication
between adolescent and parent were high. Regression analysis showed that there
was no significant relationship between adolescent attachment to parents of all
dimensions of adolescent characters. Instead, it was discovered that
communication between parent and teenager are positively affected on the
dimensions of moral feeling, moral action, and overall characters.

Key word : Adolescent, Attachment, Character, Communication, Moral

Pendahuluan

Karakter merupakan salah satu aspek perkembangan yang banyak


mendapat perhatian peneliti belakangan ini. Hasil penelitian memperlihatkan
bahwa karakter yang baik memberikan dampak yang baik pula bagi
perkembangan serta perilaku seseorang. Seseorang yang memiliki kekuatan
karakter secara empiris terbukti memiliki kepuasan hidup yang tinggi dan juga
kebahagiaan dalam hidup (Shoshani dan Slone 2012; Toner et al. 2012). Secara
teoritis dapat dikatakan karakter yang baik akan menghindarkan seseorang dari
perilaku yang tidak baik. Akan tetapi, untuk membentuk karakter yang baik
banyak hal yang perlu dilakukan oleh orangtua. Orangtua memiliki tanggung
jawab besar untuk menciptakan lingkungan pengasuhan yang kondusif (Berns
2011). Menurut Lickona (1994), apabila orangtua dapat menciptakan lingkungan
pengasuhan yang penuh cinta dan rasa aman maka dapat membantu
perkembangan karakter anak secara maksimal.
Diperlukan lingkungan perkembangan yang kondusif, bagi individu untuk
dapat membentuk karakter yang baik. Hasil penelitian terdahulu memperlihatkan
bahwa kelekatan merupakan salah satu aspek yang ditemukan mempengaruhi
karakter seseorang individu. Penelitian mengenai pengaruh kelekatan terhadap
karakter sudah pernah dilakukan mulai dari anak usia dini sampai dengan remaja.
Hasil menunjukkan bahwa pengalaman tentang kelekatan yang dimiliki seseorang
pada setiap fase kehidupannya akan mempengaruhi identitas moral seseorang
(Dewanggi 2014; Van Ijzendoorn dan Zwart-Woudstra 1995). Tidak bisa
dipungkiri bahwa dalam penelitian kelekatan, komunikasi menjadi salah satu
aspek yang juga memiliki pengaruh besar (Meeus, Oosterwegel, dan Vollebergh
2002). Komunikasi yang efektif ditemukan memiliki pengaruh positif terhadap
kelekatan, selain itu komunikasi yang baik dapat membantu seorang remaja
mengkontruksi pengetahuan moral mereka (Oladipo 2009).
Penelitian Dewanggi (2014), menemukan bahwa kualitas karakter anak di
perdesaan lebih rendah dibandingkan karakter anak di perkotaan. Akan tetapi,
penelitian tersebut dilakukan pada anak usia dini. Permasalahannya hasil
penelitian Hastuti, Agung, dan Alfiasari (2013) memperlihatkan bahwa remaja
Indonesia khususnya di Kota dan Kabupaten Bogor masih rentan terkena masalah
yang berkaitan dengan karakter. Permasalahan seperti pornografi, bullying,
tawuran, dan banyak lagi masih sering ditemukan pada remaja di daerah perkotaan
maupun perdesaan. Adanya permasalahan seperti diatas menimbulkan pertanyaan
mengenai peran orangtua dalam membentuk lingkungan pengasuhan yang kodusif
bagi perkembangan karakter remaja. Oleh karena itu penting untuk meneliti
tentang pengaruh kelekatan dan komunikasi remaja dengan orangtua terhadap
22

karakter remaja di perdesaan. Tujuan dari penelitian ini adalah: (1)


mengidentifikasi karakteristik remaja dan keluarga, kelekatan dengan orangtua,
komunikasi dengan orangtua, dan kekuatan karakter; (2) mengidentifikasi
hubungan kelekatan dan komunikasi remaja dengan orangtua dengan kekuatan
karakter; dan (3) menganalisis pengaruh karakteristik anak dan keluarga,
kelekatan dan komunikasi remaja dengan orangtua terhadap kekuatan karakter.

Metode Penelitian

Penelitian ini melibatkan 109 responden yang berasal dari SMK terpilih di
Desa Ciasihan dan Desa Ciasmara, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor.
Penarikan contoh dilakukan dengan cara proportional random sampling
berdasarkan lokasi dan jenis kelamin. Data diperoleh dari 44 remaja perempuan
dan 65 remaja laki-laki dengan rata-rata usia 16 tahun. Pengumpulan data
menggunakan teknik self-report dengan bantuan kuesioner. Data yang
dikumpulkan meliputi karakteristik remaja, karakteristik keluarga, komunikasi
dengan orangtua, kelekatan dengan orangtua, serta karakter remaja.
Pengukuran komunikasi dengan orangtua menggunakan instrumen yang
dikembangkan dari Parent-Adolescent Communication Scale (Barnes dan Olson
1982). Untuk kuesioner komunikasi dengan orangtua terdiri dari 19 butir
pertanyaan dengan reliabilitas 0.803. Selanjutnya, pengukuran kelekatan dengan
orangtua menggunakan pengembangan kuesioner Adolescent Attachment
Questionnaire (West, Rose, Spreng, Sheldon-Keller & Adam 1998). Total butir
pertanyaan untuk variabel kelekatan dengan orangtua adalah 17 butir dengan
reliabilitas 0.692.
Pengukuran variabel karakter remaja menggunakan pengembangan
kuesioner VIA-Youth dari Peterson dan Seligman (2004) yang dikembangkan
menggunakan tiga dimensi dari Lickona (1994) yaitu moral knowing, feeling dan
action. Total butir pertanyaan untuk dimensi pengetahuan (knowing) berjumlah 21
dengan reliabilitas sebesar 0.848. Selanjutnya, dimensi perasaan (feeling)
berjumlah 22 butir pertanyaan dengan reliabilitas 0.775. Terakhir adalah dimensi
tindakan (action) yang jumlah pertanyaannya sebanyak 21 butir dengan
reliabilitas 0.705.
Setelah data terkumpul, data pendapatan orangtua dikonversikan menjadi
pendapatan per kapita yang kemudi andikategorikan menggunakan indikator garis
kemiskinan BPS Kabupaten Bogor (BPS 2013). Sistem skoring yang dilakukan
untuk komunikasi dengan orangtua, kelekatan dengan orangtua, dan karakter
menggunakan rumus indeks. Pengategorian variabel komunikasi dengan orangtua,
kelekatan dengan orangtua, dan karakter remaja dibagi menjadi tinggi dan rendah.
Pengategorian menggunakan indeks masing-masing variabel dengan
menggunakan cut off point baik/tinggi (≥80%) dan kurang/rendah (<80%).
Analisis dalam penelitian dengan analisis deskriptif dan inferensia yang
terdir atas uji korelasi pearson dan uji regresi linear berganda yang diformulasikan
sebagai berikut : Y= a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + ………………….+ b8X8
Keterangan:
Y = Karakter remaja
a = konstanta
X1 = jenis kelamin remaja (0=perempuan, 1= laki-laki)
23

X2 = usia remaja (tahun)


X3 = usia ibu (tahun)
X4 = lama pendidikan ayah (tahun)
X5 = lama pendidikan ibu (tahun)
X6 = pendapatan per kapita per bulan (rupiah)
X7 = kelekatan dengan orangtua (skor)
X8 = komunikasi dengan orangtua (skor)

Hasil

Karakteristik Remaja dan Keluarga

Usia remaja yang menjadi responden dalam penelitian ini berkisar antara
15 sampai dengan 19 tahun. Menurut Santrock (2007), usia tersebut berada pada
tahapan remaja akhir. Rata-rata usia ayah dan usia ibu berada pada kategori
dewasa madya yaitu 47 tahun, dengan rentang usia mulai dari 30 sampai dengan
75 tahun. Selanjutnya, lama pendidikan ayah dan pendidikan ibu tergolong rendah
dengan rata-rata keduanya selama lima tahun. Hal tersebut menunjukkan bahwa
rata-rata orangtua tidak lulus Sekolah Dasar (SD).
Tahun 2013 standar garis kemiskinan Kabupaten Bogor sebesar Rp 271
970. Meskipun tingkat pendidikan orangtua tergolong rendah, rata-rata
pendapatan per kapita per bulan keluarga responden masih diatas garis kemiskinan
Kabupaten Bogor tahun 2013 yaitu sebesar Rp 420 718 (BPS 2013). Akan tetapi,
setengah dari total keseluruhan responden (52.3%) masih tergolong keluarga
miskin (Tabel 1).

Tabel 1 Kategori kemiskinan keluarga responden


Kategori kemiskinan n %
Miskin (< Rp 271 970) 57 52.3
Tidak Miskin (≥ Rp 271 970) 52 47.7
Min – Maks 27 778 – 2 000 000
Rata-rata ± SD 420 718 ± 413 191

Kelekatan dengan Orangtua

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hampir seluruh remaja yang


menjadi responden dalam penelitian ini masih memiliki skor kelekatan dengan
orangtua yang rendah. Skor kelekatan remaja dengan orangtua pada penelitian ini
berkisar antara 29.41 sampai dengan 86.27. Rata-rata skor kelekatan remaja
dengan orangtua didapatkan sebesar 63.75. Hanya 6.4 persen dari total
keseluruhan responden yang memiliki kelekatan baik dengan orangtua. Kelekatan
yang rendah antara remaja dan orangtua tergambar dari hasil analisis butir
pertanyaan. Hasil menunjukkan bahwa lebih dari setengah responden (76.2%)
merasa bahwa orangtuanya hanya memberikan perhatian saat mereka sedang
marah saja. Selain itu, remaja juga merasa orangtuanya tidak ada pada saat mereka
tertimpa masalah. Kurangnya waktu bersama antara remaja dan orangtua
24

membuat remaja merasa kecewa. Masih ada remaja yang merasa takut akan
kehilangan cinta dari orangtuanya. Selain itu, sebanyak 80 persen dari total
responden sering merasa marah kepada orangtua mereka tanpa sebab. Hal-hal
seperti diatas membuat remaja tidak memiliki kepercayaan dan rasa aman akan
hubungan mereka dengan orangtuanya (Lampiran 1).

Tabel 2 Sebaran remaja berdasarkan kategori kelekatan dengan orangtua


Kelekatan dengan Orangtua n %
Rendah (<80%) 102 93.6
Tinggi (≥80%) 7 6.4
Min – maks 29.41 – 86.27
Rata-rata ± sd 63.75 ± 10.30

Komunikasi dengan Orangtua

Komunikasi remaja dan orangtua dalam penelitian ini diukur berdasarkan


dua dimensi yaitu keterbukaan serta permasalahan komunikasi. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa hampir seluruh responden (95.4%) masih berada pada
kategori rendah untuk variabel komunikasi dengan orangtua. Rata-rata skor
komunikasi remaja dan orangtua didapatkan sebesar 62.02 persen dengan rentang
skor 15.79 sampai dengan 89.47. Tabel dibawah menunjukkan bahwa skor
komunikasi yang rendah antara remaja dan orangtua dikarenakan hanya sedikit
remaja yang terbuka saat berkomunikasi dengan orangtua. Sebanyak 86.2 persen
responden masih memiliki kategori keterbukaan dalam berkomunikasi yang
rendah. Keterbukaan yang rendah tergambar dari rasa takut untuk mengungkapkan
perasaan yang sebenarnya pada orangtua. Remaja sering merasa malu untuk
membicarakan permasalahan yang sedang mereka alami. Keterbukaan yang
rendah juga membuat remaja takut mengatakan hal yang mereka inginkan kepada
orangtua mereka. Selain keterbukaan dalam berkomunikasi yang rendah, hampir
seluruh responden (94.5 %) memiliki tingkat permasalahan dalam berkomunikasi
yang tinggi dengan orangtua. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada penelitian ini
masih sering terjadi permasalahan antara remaja dengan orangtua dalam
berkomunikasi. Terbukti sebanyak 85.3 persen remaja yang menjadi responden
dalam penelitian ini menyatakan bahwa mereka pernah dihina oleh orangtua
apabila orangtuanya sedang marah. Orangtua juga masih sering mengatakan hal-
hal yang sebaiknya dikatakan pada anak mereka. Saat remaja memiliki masalah
dengan orangtuanya, mereka memilih untuk mendiamkan daripada
menyelesaikannya. Selain itu, para remaja juga merasa terganggu oleh
orangtuanya (Lampiran 2).

Tabel 3 Sebaran remaja berdasarkan kategori komunikasi dengan orangtua


Keterbukaan Komunikasi n %
Rendah 94 86.2
Tinggi 15 13.8
Permasalahan Komunikasi
Rendah 6 5.5
25

Tinggi 103 94.5


Lanjutan Tabel 3
Total Komunikasi
Rendah 104 95.4
Tinggi 5 4.6
Min – maks 15.79 – 89.47
Rata-rata ± sd 62.02 ± 11.43

Karakter Remaja

Penelitian ini melihat empat dimensi karakter remaja yang terdiri atas
pengetahuan moral (moral knowing), perasaan moral (moral feeling), tindakan
moral (moral action), serta karakter secara keseluruhan. Berdasarkan tabel
dibawah terlihat bahwa diantara ketiga dimensi moral rata-rata responden berada
pada kategori tinggi dalam dimensi pengetahuan dengan rata-rata skor sebesar
84.48. Sebaliknya, skor rata-rata pada dimensi tindakan moral yang dilakukan
remaja hanya sebesar 64.74 atau hampir seluruh responden berada pada kategori
rendah. Hal tersebut memperlihatkan bahwa remaja mengetahui mana tindakan
yang baik atau buruk, namun belum tentu mereka tidak melakukan tindakan yang
buruk. Pada hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa hampir seluruh remaja
(91.7%) menyatakan bahwa kebersihan sekolah merupakan tanggung jawab
seluruh warga sekolah (Lampiran 5). Pada kenyataannya 61.5 persen dari total
responden menyatakan tidak mengikuti apabila diadakan kerja bakti di sekolah
(Lampiran 7). Rata-rata skor karakter secara keseluruhan hanya 73.93 atau belum
dapat dikatakan baik karena hanya 16.5 persen dari total keseluruhan responden
yang berada pada kategori karakter baik.

Tabel 4 Sebaran remaja berdasarkan kategori karakter


Pengetahuan Moral n % Rata-rata ± sd
Rendah 36 33.0
84.48 ± 8.43
Tinggi 73 67.0
Perasaan Moral
Rendah 84 77.1
Tinggi 25 22.9 72.57 ± 8.94

Tindakan Moral
Rendah 104 95.4
Tinggi 5 4.6 64.74 ± 9.62

Total Karakter
Rendah 91 83.5
Tinggi 18 16.5 73.93 ± 7.64
26

Faktor yang Berhubungan dengan Karakter Remaja

Usia remaja berhubungan negatif dengan pengetahuan moral seseorang.


Remaja yang berusia lebih muda pada penelitian ini memiliki skor pengetahuan
moral yang lebih tinggi dibandingkan remaja yang lebih tua. Selain karaktersitik
remaja, usia ibu juga ditemukan berhubungan positif dengan perasaan moral
remaja. Remaja yang memiliki ibu dengan usia yang lebih tua memiliki skor
perasaan moral yang lebih baik dibandingkan remaja dengan ibu yang lebih muda.
Selain dari karakteristik remaja dan keluarga, kelekatan remaja dengan
orangtua juga ditemukaan berhubungan positif dengan pengetahuan moral remaja.
Berbeda dengan kelekatan yang hanya berhubungan dengan pengetahuan moral,
komunikasi remaja dengan orangtua ditemukan berhubungan dengan perasaan
moral, tindakan moral, serta total karakter remaja secara keseluruhan. Artinya,
apabila komunikasi yang terjalin antara remaja dan orangtua saling terbuka serta
terhindar dari masalah maka skor perasaan dan tindakan moral remaja semakin
baik.

Tabel 5 Koefisien korelasi antara karakteristik remaja, keluarga, kelekatan serta


komunikasi remaja dan orangtua dengan karakter remaja

Koefisien korelasi
Variabel Pengetahuan Perasaan Tindakan Total
moral moral moral karakter
Usia anak (tahun) -.193* -.087 -.124 -.157
Usia ibu (tahun) .062 .192* -.066 .070
Lama pendidikan ayah .067 -.014 .076 .051
(tahun)
Lama pendidikan ibu .109 .042 .131 .111
(tahun)
Pendapatan per kapita -.088 -.117 .058 -.053.
(rupiah)
Kelekatan orangtua .204* .138 .138 .187
(skor)
Komunikasi orangtua .185 .232* .249** .263**
(skor)
Ket: *Signifikan pada p<0.05; **Signifikan pada p<0.01

Faktor yang Mempengaruhi Karakter Remaja

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis kelamin remaja berpengaruh


terhadap seluruh dimensi karakternya. Remaja perempuan ditemukan memiliki
skor karakter yang lebih baik dibandingkan remaja laki-laki. Usia ibu juga
ditemukan mempengaruhi perasaan moral remaja secara positif. Sebaliknya,
karakteristik remaja dan orangtua yang lainnya seperti usia anak serta pendapatan
per kapita tidak ditemukan mempengaruhi karakter secara signifikan.
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana peran
komunikasi dan kelekatan dengan orangtua dalam mempengaruhi kekuatan
karakter remaja. Terlihat dari tabel dibawah bahwa kelekatan remaja dan orangtua
27

tidak berpengaruh secara signifikan terhadap karakter remaja. Sebaliknya,


komunikasi remaja dengan orangtua ditemukan berpengaruh positif terhadap
perasaan moral, tindakan moral, serta karakter remaja secara keseluruhan. Model
yang dibangun dalam penelitian ini dapat menjelaskan pengaruhnya terhadap
karakter remaja sebesar 13.4 persen. Sisanya dapat dijelaskan oleh variabel-
variabel lain misalnya hubungan remaja dengan teman sebayanya.
Tabel 6 Hasil analisis regresi linier berganda variabel-variabel yang
mempengaruhi karakter remaja
Pengetahuan Perasaan Moral Tindakan Moral Total Karakter
Variabel Moral
β Sig. β Sig. β Sig. β Sig.
Konstanta 96.032 .000 67.515 .000 63.299 .002 75.615 .000
Jenis kelamin -4.471 .009** -4.631 .010** -5.028 .011* -4.710 .002**
(0=perempuan,
1=laki-laki)
Usia anak -1.317 .181 -.583 .572 -.170 .882 -.690 .431
(tahun)
Usia ibu (tahun) .111 .295 .244 .030* -.074 .549 .094 .321
Lama pendidikan .079 .853 -.208 .642 -.221 .654 -.117 .758
ayah (tahun)
Lama pendidikan .215 .643 .267 .585 .442 .413 .308 .458
ibu (tahun)
Pendapatan per - .079 - .065 2.623E .907 - .182
kapita (rupiah) 3.419E 3.733E -7 2.310E-
-6 -6 6
Kelekatan .112 .197 .026 .755 .007 .943 .049 .531
orangtua (skor)
Komunikasi .094 .227 .188 .022* .221 .015* .168 .016*
orangtua (skor)
Adjusted R .108 .121 .076 .134
Square
Ket: *Signifikan pada p<0.05; **Signifikan pada p<0.01

Pembahasan

Tujuan pertama dari penelitian ini adalah mengidentifikasi komunikasi dan


kelekatan remaja dengan orangtua. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kelekatan yang dimiliki orangtua dan remaja di perdesaan masih berada pada
kategori rendah. Kebanyakan remaja merasa dikecewakan dan kurang
diperhatikan oleh orangtua mereka. Perasaan kecewa dan rasa kurang diperhatikan
oleh orangtua dapat berdampak pada komunikasi yang terjalin antara remaja
dengan orangtuanya. Hal tersebut tergambar dari tingginya skor permasalahan
komunikasi remaja dengan orangtuanya. Tidak sedikit responden yang pernah
dihina oleh orangtuanya ketika orangtua mereka sedang marah. Selain itu,
keterbukaan dalam berkomunikasi antara orangtua dan remaja juga masih rendah.
Remaja cenderung berhati-hati dalam menyampaikan sesuatu kepada orangtuanya.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Meeus, Oosterwegel dan Vollebergh
(2002) yang menemukan adanya hubungan antara kelekatan orangtua dan remaja
dengan cara mereka berkomunikasi.
28

Kelekatan dan komunikasi yang tidak berjalan baik antara remaja dan orang
tua bisa dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi keluarga. Rendahnya tingkat
pendidikan orang tua serta banyaknya responden yang berasal dari keluarga
miskin menjadi faktor yang membuat kelekatan dan komunikasi tidak berjalan
dengan baik. Banyak hal yang dapat mempengaruhi kemampuan berkomunikasi
antara orangtua dan remaja. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
komunikasi dalam keluarga adalah kondisi ekonomi keluarga. Responden pada
penelitian ini lebih dari setengahnya berasal dari keluarga miskin. Malin et al.
(2013) menemukan bahwa tingkat sosial ekonomi keluarga yang rendah akan
memengaruhi kemampuan berkomunikasi anak dan orang tua. Selain itu,
pendidikan orang tua baik ayah maupun ibu juga dapat memengaruhi kelekatan
yang terjadi antara orang tua dan anak. Hasil penelitian sebelumnya dari Davis-
Kean (2005) dan Al-Matalka (2014) menyatakan bahwa orang tua yang memiliki
pendidikan tinggi memiliki keterlibatan yang tinggi dan menyediakan lingkungan
yang nyaman serta hangat bagi proses pengasuhan anak. Diduga pada penelitian
ini rendahnya pendidikan orang tua membuat proses pengasuhan tidak berjalan
dengan baik. Selain itu, rendahnya keterlibatan orang tua membuat remaja
memiliki kelekatan yang tidak baik dengan orang tuanya.
Tujuan lain dari penelitian ini adalah mengidentifikasi karakter remaja di
perdesaan. Pengetahuan moral remaja memiliki rata-rata skor yang lebih tinggi
dibandingkan dua dimensi lainnya maupun skor karakter secara keseluruhan. Hal
tersebut memperlihatkan bahwa pengetahuan yang baik belum tentu mendorong
seorang untuk melakukan hal yang baik pula. Hasil analisis butir pertanyaan
memperlihatkan bahwa hampir seluruh responden mengetahui bahwa kebersihan
sekolah merupakan tanggung jawab seluruh warga sekolah, akan tetapi pada
kenyataannya hampir seluruh responden juga mengatakan bahwa mereka tidak
pernah membersihkan sekolah. Pengetahuan yang dimiliki remaja tentang sesuatu
yang baik dan benar tidak menjamin ia melakukan hal tersebut. Selain itu, banyak
hal yang dapat mempengaruhi tindakan seorang remaja misalnya pengaruh
lingkungan sekitar. Remaja memiliki kecenderungan untuk melakukan hal yang
tidak baik apabila lingkungan disekitarnya terbiasa melakukan hal yang tidak baik
juga (Hair, Jager, & Garrett 2002). Secara keseluruhan skor karakter remaja
perdesaan masih berada pada kategori kurang.
Hasil uji korelasi dan regresi memperlihatkan bahwa skor setiap dimensi
moral serta karakter secara keseluruhan dipengaruhi oleh jenis kelamin remaja.
Penelitian ini menunjukkan bahwa skor seluruh dimensi karakter remaja
perempuan lebih baik dibandingkan skor remaja laki-laki. Temuan ini sejalan
dengan hasil penelitian Karina, Hastuti, dan Alfiasari (2013) yang menemukan
bahwa remaja perempuan memiliki skor karakter yang lebih baik dibandingkan
dengan remaja laki-laki. Akan tetapi, perkembangan karakter seseorang tidak
mutlak ditentukan oleh jenis kelaminnya karena setiap orang akan melewati
tahapan perkembangan moral yang sama. Usia remaja memiliki hubungan negatif
dengan pengetahuan moralnya. Pada penelitian ini, remaja yang berusia lebih
muda memiliki skor pengetahuan moral lebih baik. Temuan ini bertentangan
dengan hasil penelitian Dewanggi (2014) yang menemukan bahwa semakin tinggi
usia maka seharusnya semakin baik pula karakter yang dimilikinya. Selain itu,
usia ibu juga ditemukan memiliki hubungan dan pengaruh positif terhadap
perasaan moral remaja. Usia ibu yang semakin matang membuat pengasuhan yang
29

dilakukannya semakin baik. Lingkungan pengasuhan yang baik akan memberi


dampak pada perkembangan karakter seseorang (Dewanggi 2014).
Penelitian ini menemukan remaja yang memiliki kelekatan positif dengan
orangtua akan memiliki pengetahuan moral yang baik. Hal tersebut terlihat dari
hasil uji hubungan yang menunjukkan adanya hubungan positif antara kelekatan
remaja dan orangtua dengan pengetahuan moral remaja. Temuan ini sejalan
dengan hasil penelitian dari Thomas (2011) yang menemukan bahwa kelekatan
yang positif antara remaja dan orangtua akan memengaruhi nilai moral remaja.
Hasil lainnya menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara komunikasi remaja
dan orangtua dengan karakter secara keseluruhan kecuali dimensi pengetahuan.
Temuan tersebut dikuatkan oleh hasil penelitian De Guzman dan Carlo (2004)
yang menyatakan bahwa komunikasi yang berjalan baik antara orangtua dan
remaja akan memberikan dampak terhadap perkembangan remaja salah satunya
identitas moral atau karakter. Lingkungan pengasuhan yang penuh cinta dapat
menjadi dasar terjalinnya kelekatan dan komunikasi positif antara orangtua
dengan remaja. Dengan demikian identitas moral dan karakter remaja dapat
terbentuk dengan baik (Lickona 1994; Brooks 2001). Akan tetapi, pada penelitian
ini adanya rasa tidak saling percaya serta komunikasi yang buruk antara orangtua
dan remaja membuat identitas moral dan karakter remaja tidak terbentuk dengan
baik.
Kelekatan merupakan proses panjang semenjak anak masih berada di dalam
kandungan sampai dengan dewasa. Kelekatan yang terbentuk pada saat awal
kehidupan akan cenderung tetap sampai seseorang beranjak dewasa. Kelekatan
antara remaja dan orangtua ditemukan tidak berpengaruh terhadap karakter
remaja. Secara teoritis serta berdasarkan hasil penelitian dari Van Ijzendoorn &
Zwart-Woudstra (1995) kelekatan yang aman dengan orangtua seharusnya
mempengaruhi kemampuan moral reasoning seseorang. Berbeda dari penelitian-
penelitian sebelumnya, kelekatan dengan orangtua ditemukan tidak
mempengaruhi karakter remaja dalam penelitian ini. Hal tersebut dapat
disebabkan oleh berbagai macam hal. Fase remaja sendiri ditandai dengan
kemandirian dan kemampuan berpikir yang semakin meningkat. Kemandirian
yang semakin meningkat membuat kelekatan dengan orangtua saja tidak cukup
kuat dalam mempengaruhi karakter remaja. Pada remaja, proses komunikasi di
dalam keluarga merupakan hal yang penting untuk dilakukan. Kemampuan
berpikir yang semakin meningkat membuat nilai-nilai karakter lebih mudah
ditransmisikan melalui proses diskusi (Louis dan Emerson 2011). Proses
komunikasi yang hangat dan penuh cinta sangat diperlukan untuk mengawal
perkembangan seorang remaja. Komunikasi yang terhindar dari masalah serta
terbuka antara remaja dan orang tua dapat meningkatkan perasaan moral, tindakan
moral, serta karakter remaja menjadi lebih baik.
Hal tersebut terlihat dengan adanya pengaruh antara komunikasi remaja
dengan orang tua terhadap karakter remaja. Perkembangan seorang remaja tidak
lepas dari proses interaksi yang terjadi antara dirinya dan lingkungan
disekelilingnya. Menurut Davidson dan Cardemil (2009), hubungan antara remaja
dan orang tua dibangun berdasarkan dua aspek penting yaitu komunikasi antara
remaja dan orang tua serta keterlibatan orang tua. Komunikasi yang baik juga
terbukti berhubungan dengan kesejahteraan serta perkembangan diri remaja.
Menurut Moitra dan Mukherjee (2009) kepuasan dalam berkomunikasi antara
30

orang tua dan remaja merupakan faktor penting dalam menghindari perilaku
bermasalah pada remaja. Selain itu, proses komunikasi ataupun diskusi yang
dilakukan orang tua dengan remaja dapat membantu mengembangkan
kemampuan moral reasoning remaja tersebut (Stanley, 1978). Pada penelitian ini,
tingginya permasalahan komunikasi antara orang tua dan remaja berdampak pada
kemampuan moral reasoning serta karakter remaja. Selain hal-hal diatas,
pembentukan karakter juga merupakan hasil dari proses pembiasaan dan
keteladanan yang diberikan oleh orangtua. Karakter masih bisa dibentuk melalui
proses pelatihan dan pendampingan dari para orangtua. Keterbatasan dari
penelitian ini adalah komunikasi dan kelekatan dengan orang tua diukur
berdasarkan kepada persepsi anak terhadap hubungannya dengan orang tua. Selain
itu, pengukuran kelekatan orang tua dengan remaja tidak dipisahkan antara
kelekatan dengan ibu ataupun ayah.

Simpulan dan Saran

Kelekatan antara remaja dan orangtua tergolong rendah. Selain itu,


komunikasi antara orangtua juga masih tergolong rendah. Remaja memiliki
permasalahan komunikasi yang tinggi dengan orang tua, selain itu keterbukaan
dalam berkomunikasi masih rendah. Pengetahuan moral remaja ditemukan sudah
cukup baik. Hal yang berbeda terlihat pada skor perasaan moral, tindakan moral,
maupun karakter remaja yang ditemukan masih terkategori rendah. Usia anak
berhubungan negatif dengan pengetahuan moralnya. Sebaliknya, usia ibu
ditemukan berhubungan positif dengan perasaan moral remaja. Jenis kelamin
remaja ditemukan berpengaruh terhadap seluruh dimensi karakternya. Remaja
perempuan memiliki skor karakter yang lebih baik dibandingkan remaja laki-laki.
Kelekatan antara remaja dan orangtua berhubungan negatif dengan pengetahuan
moral. Perasaan moral, tindakan moral, serta karakter remaja dipengaruhi oleh
komunikasi antara remaja dan orang tua. Permasalahan yang tinggi dalam
berkomunikasi dan kurangnya keterbukaan dalam berkomunikasi membuat
kekuatan karakter remaja menjadi rendah.
Hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan bagi lembaga yang
berkepentingan untuk membuat rencana strategis yang berkaitan dengan
peningkatan kesejahteraan keluarga Indonesia. Diharapkan para lembaga terkait
bisa memberikan pendampingan dan penyuluhan bagi keluarga di Perdesaan
mengenai lingkungan keluarga yang positif. Penyuluhan dapat dilakukan untuk
memberikan informasi kepada orang tua tentang pentingnya kelekatan dan
komunikasi efektif dalam mengasuh remaja. Pendampingan bertujuan agar orang
tua dapat meningkatkan kualitas hubungan dengan anak serta mengurangi
permasalahan antara orang tua dan remaja di perdesaan. Orang tua dapat
meningkatkan kualitas kelekatan dengan cara memberikan waktu dan perhatian
yang lebih terhadap para remaja. Orang tua diharapkan dapat mendorong anak
untuk lebih terbuka dalam menyampaikan perasaannya. Selain itu, orang tua juga
disarankan untuk menjadi pendengar yang baik bagi remaja dan membuat remaja
nyaman dalam berkomunikasi. Terbentuknya kelekatan dan komunikasi yang
efektif antara orang tua dan remaja diharapkan dapat membantu remaja di
perdesaan agar memiliki karakter yang baik.
31

Daftar Pustaka

Al-Matalka FIM. 2014. The influence of parental socioeconomic status on their


involvement at home. International Journal of Humanities and Social
Science 4(5)
Barnes HL, Olson DH. 1982. Parent-adolescent communication scale. St. Paul:
Family Social Science, University of Minnesota
Berns RM. 2011. Child, Family, School, Community: Socialization and Support.
USA: Cengange Learning
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Data dan informasi kemiskinan
Kabupaten/Kota tahun 2013 [internet]. [diunduh 2015 Sept 01]. Tersedia
pada: www.bps.go.id.
Brooks JB. 2001. Parenting, Third Edition. United States. Mayfield Publishing
Company
Davidson TM, Cardemil EV. 2009. Parent-child communication and parental
involvement in latino adolescents. Journal of Early Adolescence, 29(1)
Davis-Kean PE. 2005. The influence of parent education and family income on
child achievement: The indirect role of parental expectations and the home
environment. Journal of Family Psychology 19(2)
De Guzman MRT, Carlo G. 2004. Family, peer, and acculturtive correlates of
prosocial development among latinos. Great Plains Research 14
Dewanggi M. 2014. Pengaruh kelekatan, gaya pengasuhan, dan kualitas
lingkungan pengasuhan terhadap karakter anak pedesaan dan perkotaan
[Tesis]. Bogor: Program Studi Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak,
Institut Pertanian Bogor
Hair EC, Jager J, Garrett SB. 2002. Helping teens develop healthy social skills
and relationships: What the research shows about navigating adolescence.
Child Trends Research Brief
Hastuti D, Agung SS, Alfiasari. 2013. Kajian karakteristik remaja desa-kota,
sekolah serta keluarga untuk mengatasi perilaku anti-sosial remaja SMK di
Kota dan Kabupaten Bogor. Prosiding Seminar Hasil-Hasil PPM IPB II. hlm
653-667.
Karina, Hastuti D, Alfiasari. 2013. Perilaku bullying dan karakter remaja serta
kaitannya dengan karakteristik keluarga dan peer group. Jurnal Ilmu
Keluarga dan Konsumen 6(1).
Lickona T. 1994. Raising Good Children. Amerika (US) : Bantam Books.
Louis PT, Emerson IA. 2011. A qualitative analysis on the moral judgement of
high school students. Education Science and Psychology 2(19). ISSN 1512-
1801
Malin JL, Karberg E, Cabrera NJ, Rowe M, Cristaforo T, Tamis-LeMonda CS.
2013. Father-toddler communication in low-income families: The role of
paternal education and depressive symptoms. Family Science
Meeus W, Oosterwegel A, Vollebergh W. 2002. Parental and peer attachment and
identity development in adolescence. Journal of Adolescence 25
Moitra T, Mukherjee I. 2009. Parent–adolescent communication and delinquency:
A comparative study in Kolkata, India. Europe’s Journal of Psychology 8(1)
32

Oladipo SE. 2009. Moral education of the child: Whose responsibility?. Journal
Social Science 20(2)
Peterson C, Seligman MEP. 2004. Character Strengths and Virtues: A Handbook
and Classification. New York: Oxford Univrsity Press
Santrock JW. 2007. Life-span Development. New York: McGraw-Hill
Shoshani A, Slone M. 2012. Middle school transition from the strengths
perspective: Young adolescents’ character strengths, subjective well-being,
and school adjustment. J Happiness Stud. Doi: 10.1007/s10902-012-9374-y
Stanley SF. 1978. Family education to enhance the moral atmosphere of the
family and the moral development of adolescents. Journal of Counseling
Psychology 25 (2)
Thomas AM. 2011. Parent and peer influences their role in predicting adolescent
moral values and delinquent behavior [Tesis]. Colorado: Human
Development and Family Studies, Colorado State University
Toner E, Haslam N, Robinson J, Williams P. 2012. Character strengths and
wellbeing in adolescence: Structure and correlates of the values in action
inventory of strengths for children. Personality and Individual Differences
Van Ijzendoorn MH, Zwart-Woudstra HA. 1995. Adolescents’ attachment
representations and moral reasoning. The Journal of Genetic Psychology
156(3)
West M, Rose SM, Spreng S, Sheldon-Keller A, Adam K. 1998. Adolescent
attachment questionnaire: A brief assessment of attachment in adolescence.
Journal of Youth and Adolescence 27(5)

6. Artikel 2

PENGARUH KOMUNIKASI DAN KELEKATAN DENGAN TEMAN


SEBAYA TERHADAP KARAKTER REMAJA PERDESAAN

The influence of communication and attachment with peers on adolescence


character in rural area
Zervina Rubyn Devi Situmorang, Dwi Hastuti, Tin Herawati

Abstrak

Remaja merupakan fase yang unik karena pada tahap ini seseorang menjadi
lebih mandiri dan intensitas bersama teman sebaya meningkat. Akan tetapi,
hubungan remaja dengan teman sebaya dapat berdampak positif ataupun negatif
terhadap karakter remaja. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh
komunikasi dan kelekatan remaja dengan teman sebaya terhadap perkembangan
karakternya. Penelitian dilakukan di Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor
dengan melibatkan 109 siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Data
diperoleh menggunakan instrumen yang dimodifikasi dari kuesioner Parent-
Adolescent Communication Scale, Adolescent Attachment Questionnaire, serta
VIA-Youtg. Data yang diperoleh diolah menggunakan analisis deskriptif dan
analisis regresi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas komunikasi antara
remaja dengan teman sebayanya tergolong rendah. Hal tersebut dikarenakan
masih tingginya permasalahan komunikasi serta rendahnya keterbukaan antar
33

remaja dengan teman sebayanya. Selain itu, kelekatan antara remaja dan teman
sebayanya juga ditemukan masih rendah. Skor karakter remaja di perdesaan pada
penelitian ini tergolong rendah. Hal tersebut berhubungan dengan skor
komunikasi dan kelekatan dengan teman sebaya yang rendah. Hasil uji regresi
memperlihatkan bahwa hanya kelekatan dengan teman sebaya yang memiliki
pengaruh signifikan terhadap skor karakter remaja di perdesaan.

Kata kunci : Karakter, Kelekatan, Komunikasi, Remaja, Teman Sebaya

Abstract

Adolescence is a unique phase because at this stage the person becomes


more independent and increases in togetherness intensity with peers. However,
adolescent relationships with peers can impact positively or negatively on
adolescent characters. This study aimed to determine the effect of adolescent-
peers communication and attachment on adolescent characters. The study was
conducted in Pamijahan, Bogor Regency, involving 109 students of Vocational
High School (SMK). Data were collected by using a modified instrument of the
Parent-Adolescent Communication Scale, Adolescent Attachment Questionnaire
and VIA-Youth. Data were processed by using descriptive analysis and regression
analysis. The results indicated low quality of communication between adolescents
and their peers. That was due to high communication problems and low openness
among adolescents and their peers. In addition, the attachment between
adolescents and their peers were also found low. The scores of rural adolescents
character in this study was relatively low. Allegedly it was associated with a low
score of communication and attachment with peers. Results of regression analysis
showed that only the attachment with peers that have a significant effect on the
scores of adolescent characters in rural.

Keyword : Adolescent, Attachment, Character, Communication, Peer Group

Pendahuluan

Remaja merupakan salah satu fase perkembangan yang unik sehingga


mendorong banyak peneliti untuk meneliti tentang aspek perkembangan pada
remaja. Ada hal-hal yang menjadi ciri khas fase ini yaitu menurunnya supervisi
dari orangtua karena kemandirian yang meningkat serta munculnya peran teman
sebaya dalam mempengaruhi perkembangan individu (Freeman dan Brown 2001;
Harris 1995; Berndt 1982). Penelitian yang dilakukan oleh Selby (2000) juga
memperlihatkan bahwa kelekatan remaja dengan teman sebaya mempunyai peran
penting dalam membentuk identitas diri remaja tersebut. Oleh karena itu teman
sebaya diduga memberikan pengaruh dalam berbagai bentuk baik dukungan sosial
ataupun tekanan teman sebaya terhadap perkembangan remaja.
Munculnya permasalahan kenakalan remaja di Indonesia menunjukkan telah
terjadi degradasi moral pada kalangan remaja. Laporan dari Pusat Data dan
Informasi Kementrian Kesehatan RI (2014) memperlihatkan adanya tren
peningkatan jumlah tidakan kriminal yang dilakukan oleh remaja Indonesia
sebesar 4.3 persen setiap tahun. Selain itu, jumlah pengguna narkoba pada usia di
34

bawah 19 tahun juga meningkat dari 1891 orang menjadi 2238 orang pada tahun
2012. Permasalahan diatas memperlihatkan bahwa karakter bangsa Indonesia
yang tercermin dari tindakan para remaja perlu perhatian khusus.
Permasalahan kenakalan remaja seperti diatas banyak ditemukan berkaitan
dengan hubungan remaja dan teman sebayanya. Hal tersebut dikarenakan
hubungan remaja dengan teman sebaya dapat memberikan dampak positif maupun
negatif. Apabila pertemanan yang terjalin antara remaja dan teman sebayanya
bersifat positif maka akan mempengaruhi kompetensi sosial dan kemampuan
menyesuaikan diri pada remaja (Fass dan Tubman 2002). Akan tetapi, tekanan
teman sebaya juga dapat mempengaruhi perilaku amoral remaja seperti konsumsi
alkohol, seks pranikah, sampai kepada tindakan bullying (Karina, Hastuti, dan
Alfiasari 2013). Pada tahap ini, hubungan remaja dan teman sebaya menjadi
sesuatu hal yang penting dalam setiap aspek perkembangan individu remaja itu
sendiri.
Salah satu penelitian yang menangkap kekhasan fase remaja ini adalah
penelitian Meeus, Oosterwegel, dan Vollebergh (2002) yang meneliti tentang
pengaruh komunikasi dan kelekatan remaja dengan teman sebaya terhadap
perkembangan identitas diri seseorang. Akan tetapi, belum ada penelitian yang
meneliti tentang pengaruh komunikasi dan kelekatan dengan teman sebaya
terhadap karakter remaja.
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh
komunikasi serta kelekatan remaja dengan teman sebaya terhadap karakter remaja.
Selanjutnya, tujuan khusus dari penelitian ini terdiri atas: 1) Mengidentifikasi
karakteristik remaja, komunikasi remaja dan teman sebaya, kelekatan dengan
teman sebaya, dan karakter remaja; 2) Menganalisis hubungan karakteristik
remaja, komunikasi serta kelekatan dengan teman sebaya, dan karakter remaja; 3)
Menganalisis pengaruh karakteristik remaja, komunikasi dan kelekatan dengan
teman sebaya terhadap karakter remaja.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study yang dilakukan di


dua SMK berbeda di Kecamatan Pamijahan selama dua bulan. Pemilihan lokasi
dalam penelitian ini dilakukan secara purposive berdasarkan data salah satu dari
lima terbesar daerah yang merepresentasikan usaha pertanian terbesar di
Kabupaten Bogor. Reponden dalam penelitian ini merupakan siswa SMK terpilih
di Desa Ciasihan dan Desa Ciasmara, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor.
Total responden berjumlah 109 siswa yang terdiri dari 44 siswa perempuan dan 65
siswa laki-laki dengan rata-rata usia 16 tahun. Responden dipilih menggunakan
teknik proportional random sampling berdasarkan lokasi desa dan jenis kelamin.
Siswa yang dijadikan responden diminta untuk mengisi kuesioner mengenai
karakteristik remaja, karakteristik keluarga, komunikasi dengan teman sebaya,
kelekatan dengan teman sebaya, dan karakter.
Komunikasi remaja dengan teman sebaya diukur menggunakan instrumen
yang dikembangkan dari Parent-Adolescent Communication Scale (Barnes dan
Olson 1982). Total pertanyaan untuk variabel komunikasi dengan teman sebaya
diukur dengan 18 butir pertanyaan dengan reliabilitas 0.714. Komunikasi dengan
teman sebaya terdiri dari dua dimensi yaitu keterbukaan dan permasalahan dalam
35

berkomunikasi. Contoh pernyataan dari dimensi keterbukaan adalah “Saya merasa


mudah untuk membicarakan permasalahan saya dengan teman”. Contoh pernyataan
dari dimensi permasalahan adalah “Terkadang saya sulit mempercayai apa yang
teman saya katakan saya”. Variabel kelekatan dengan teman sebaya diukur
menggunakan pengembangan kuesioner Adolescent Attachment Questionnaire
(West, Rose, Spreng, Sheldon-Keller & Adam 1998). Jumlah pernyataan untuk
variabel kelekatan dengan teman sebaya terdiri atas 15 butir pertanyaan dengan
reliabilitas 0.637. Keseluruhan kuesioner menggunakan skala Likert 1-4 meliputi
SS=Sangat Sesuai; S=Sesuai; TS=Tidak Sesuai; dan STS=Sangat Tidak Sesuai.
Pengukuran variabel karakter remaja menggunakan pengembangan
kuesioner VIA-Youth dari Peterson dan Seligman (2004) yang dikembangkan
menggunakan tiga dimensi dari Lickona (1994) yaitu moral knowing, feeling dan
action. Total butir pertanyaan untuk dimensi pengetahuan (knowing) berjumlah 21
dengan reliabilitas sebesar 0.848. Selanjutnya, dimensi perasaan (feeling)
berjumlah 22 butir pertanyaan dengan reliabilitas 0.775. Terakhir adalah dimensi
tindakan (action) yang jumlah pertanyaannya sebanyak 21 butir dengan
reliabilitas 0.705.
Sistem skoring yang dilakukan untuk komunikasi dengan teman sebaya,
kelekatan dengan teman sebaya, dan karakter menggunakan rumus indeks.
Pengategorian variabel komunikasi dengan teman sebaya, kelekatan dengan teman
sebaya, dan karakter dibagi menjadi tinggi dan rendah. Pengategorian
menggunakan indeks masing-masing variabel dengan menggunakan cut off point
baik/tinggi (≥80%) dan kurang/rendah (<80%).
Analisis dalam penelitian dengan analisis deskriptif dan inferensia yang
terdir atas uji korelasi pearson dan uji regresi linear berganda yang diformulasikan
sebagai berikut : Y= a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + ………………….+ b8X8
Keterangan:
Y = Karakter remaja
a = konstanta
X1 = jenis kelamin remaja (0=perempuan, 1= laki-laki)
X2 = usia remaja (tahun)
X3 = usia ibu (tahun)
X4 = lama pendidikan ayah (tahun)
X5 = lama pendidikan ibu (tahun)
X6 = pendapatan per kapita per bulan (rupiah)
X7 = komunikasi dengan teman sebaya (skor)
X8 = kelekatan dengan teman sebaya (skor)

Hasil

Karakteristik Remaja dan Keluarga


Remaja yang menjadi responden dalam penelitian ini terdiri dari 43 remaja
perempuan dan 66 remaja laki-laki dengan usia berkisar antara 15 sampai dengan
19 tahun. Menurut Santrock (2007), usia tersebut berada pada tahapan remaja
akhir. Rata-rata usia ayah dan usia ibu berada pada kategori dewasa madya yaitu
47 tahun, dengan rentang usia mulai dari 30 sampai dengan 75 tahun. Selanjutnya,
lama pendidikan ayah dan pendidikan ibu tergolong rendah dengan rata-rata
36

keduanya selama lima tahun. Hal tersebut menunjukkan bahwa rata-rata orangtua
tidak lulus Sekolah Dasar (SD).

Tabel 1 Nilai minimum, maksimum, rata-rata, dan standar deviasi karakteristik


remaja dan keluarga
Variabel karakteristik Nilai Nilai Rata-rata ± SD
Remaja dan Keluarga Minimum Maksimum
Usia remaja (tahun) 15 19 16.89 ± 0.85
Lanjutan
Usia Tabel 1
ayah (tahun) 31 75 47.38 ± 8.32
Usia ibu (tahun) 30 73 42.06 ± 7.64
Lama pendidikan ayah 0 12 5.77 ± 2.12
(tahun)
Lama pendidikan ibu 1 12 5.60 ± 1.95
(tahun)
Pendapatan per kapita 27 778 2 000 000 420 718 ± 413
per bulan (rupiah) 191

Tahun 2013 standar garis kemiskinan Kabupaten Bogor adalah Rp 271 970.
Meskipun tingkat pendidikan orangtua tergolong rendah, rata-rata pendapatan per
kapita per bulan keluarga responden masih diatas garis kemiskinan Kabupaten
Bogor tahun 2013 yaitu sebesar Rp 420 718. Akan tetapi, setengah dari total
keseluruhan responden (52.3%) masih tergolong keluarga miskin
Komunikasi dengan Teman Sebaya

Komunikasi remaja dan teman sebaya diukur berdasarkan dua dimensi yaitu
keterbukaan serta permasalahan komunikasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
hampir seluruh responden (97.2%) masih berada pada kategori rendah untuk
variabel komunikasi dengan teman sebaya. Rata-rata skor komunikasi remaja dan
orangtua didapatkan sebesar 57.17 dengan rentang skor 37.04 sampai dengan
88.89. Tabel dibawah memperlihatkan bahwa komunikasi yang terjalin antara
remaja dengan teman sebayanya tidak berjalan terlalu baik. Permasalahan
komunikasi yang dialami remaja dengan teman sebayanya masih terbilang tinggi.
Hampir seluruh responden dalam penelitian ini (98.2%) memiliki permasalahan
dalam berkomunikasi dengan teman sebayanya. Masih ada yang menyatakan
bahwa teman mereka pernah mengtakan hal tidak seharusnya dibicarakan kepada
mereka.
Remaja sulit untuk mempercayai apa yang teman mereka katakan. Masih
ada juga teman yang menghina atau mengucapkan kata yang tidak pantas pada
saat mereka marah. Tidak hanya itu, permasalah komunikasi juga terlihat dari
tingkat keterbukaan remaja dalam berkomunikasi dengan teman sebayanya yang
rendah. Remaja masih kesulitan mengatakan apa yang mereka inginkan kepada
temannya. Masih ada hal-hal yang malu untuk mereka bicarakan pada teman
sebayanya. Bukan hanya itu, remaja juga menyatakan bahwa mereka tidak pernah
mendapatkan jawaban yang jujur apabila bertanya kepada teman sebayanya
(Lampiran 3).
37

Komunikasi dengan Teman sebaya


98.2 97.2
89.9
100

80

60

40
10.1
20 1.8 2.8

0
Permasalahan Keterbukaan Total Komunikasi
Komunikasi Komunikasi

Tinggi (%) Rendah (%)

Gambar 1 Sebaran remaja berdasarkan kategori komunikasi dengan teman sebaya

Kelekatan dengan Teman Sebaya

Tabel 2 menunjukkan bahwa rata-rata skor kelekatan remaja dengan teman


sebaya sebesar 62.43. Sebanyak 92.7 persen dari total keseluruhan responden
memiliki kelekatan yang rendah dengan teman sebayanya. Skor kelekatan remaja
dengan teman sebaya pada penelitian ini berkisar antara 35.56 sampai dengan
88.89. Hasil analisis butir pertanyaan memperlihatkan bahwa lebih dari setengah
dari jumlah total responden atau sebanyak 86.3 persen remaja sering merasa
marah pada temannya meskipun tanpa sebab yang jelas. Sebaliknya hanya sedikit
dari responden (22%) yang mengatakan tidak pernah dikecewakan oleh temannya.
Rasa kecewa dan marah memperlihatkan bahwa kelekatan yang terjalin tidak
terlalu baik. Beberapa responden juga menyatakan bahwa mereka tidak yakin
bahwa teman mereka akan selalu ada dan mendengarkan permasalahan mereka.
Hal tersebut dikarenakan pada saat remaja terkena masalah mereka tidak bisa
mengandalkan teman mereka (Lampiran 4).

Tabel 2 Sebaran remaja berdasarkan kategori kelekatan dengan teman sebaya


Kelekatan dengan Teman n %
Sebaya
Rendah (<80%) 101 92.7
Tinggi (≥80%) 8 7.3
Min – maks 35.56 – 88.89
Rata-rata ± sd 62.43 ± 9.34
38

Karakter Remaja

Berdasarkan tabel dibawah terlihat bahwa diantara ketiga dimensi moral


rata-rata skor tertinggi berada pada dimensi pengetahuan (84.48). Sebaliknya, skor
rata-rata pada dimensi tindakan moral yang dilakukan remaja hanya sebesar 64.74
atau dapat dikatakan rendah. Pada hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa
hampir seluruh remaja (91.7%) menyatakan bahwa kebersihan sekolah merupakan
tanggung jawab seluruh warga sekolah. Pada kenyataannya 61.5 persen dari total
responden menyatakan tidak mengikuti apabila diadakan kerja bakti di sekolah.
Hal tersebut memperlihatkan bahwa remaja mengetahui mana tindakan yang baik
atau buruk, namun belum tentu mereka tidak melakukan tindakan yang buruk.
Sedangkan skor karakter secara keseluruhan hanya 73.93 atau belum dapat
dikatakan baik (Tabel 3).

Tabel 3 Nilai minimum, maksimum, rata-rata, dan standar deviasi karakter


Karakter Nilai Minimum Nilai Maksimum Rata-rata ± SD
Pengetahuan 52.38 100.00 84.48 ± 8.43
(knowing)
Perasaan (feeling) 50.00 92.42 72.57 ± 8.94
Tindakan (action) 39.68 85.71 64.74 ± 9.62
Total karakter 48.94 91.68 73.93 ± 7.64

Faktor yang Berhubungan dengan Karakter Remaja

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis kelamin berhubungan


signifikan dengan seluruh dimensi karakter remaja. Tabel 5 memperlihatkan
bahwa remaja perempuan memiliki skor yang lebih baik pada setiap dimensi
karakter. Usia remaja berhubungan negatif dengan pengetahuan moral seseorang.
Remaja yang berusia lebih muda pada penelitian ini memiliki skor pengetahuan
moral yang lebih tinggi dibandingkan remaja yang lebih tua.
Selain dari karakteristik remaja, komunikasi dan kelekatan remaja dengan
teman sebaya juga ditemukaan berhubungan positif dengan seluruh dimensi
karakter remaja. Artinya, apabila komunikasi yang terjalin antara remaja dan
teman sebaya saling terbuka serta terhindar dari masalah maka skor karakter
remaja semakin baik. Selain itu, remaja yang memiliki kelekatan yang baik
dengan teman sebayanya memiliki skor karakter yang lebih baik. Hasil analisis
deskriptif pada penelitian ini memperlihatkan bahwa skor komunikasi dan
kelekatan remaja dengan teman sebayanya yang rendah menyebabkan skor
karakter remaja secara keseluruhan juga rendah.
39

Tabel 4 Koefisien korelasi antara karakteristik remaja, keluarga, kelekatan serta


komunikasi remaja dan teman sebaya dengan karakter remaja
Koefisien korelasi
Variabel Pengetahua Perasaan Tindakan Total
n moral moral moral karakter
Jenis kelamin -.265** -.228* -.246** -.289**
(0=perempuan, 1=laki-
laki)
Usia anak (tahun) -.193* -.087 -.124 -.157
Komunikasi teman .363** .494** .336** .467**
sebaya (skor)
Kelekatan teman sebaya .481** .546** .438** .574**
(skor)
Ket: *Signifikan pada p<0.05; **Signifikan pada p<0.01

Faktor yang Mempengaruhi Karakter Remaja

Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik remaja yang terdiri dari


jenis kelamin dan usia tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap karakter
remaja baik perdimensi maupun secara keseluruhan. Hasil analisis regresi yang
tersaji pada Tabel 5 memperlihatkan bahwa hanya kelekatan remaja dengan teman
sebayanya yang mempengaruhi setiap dimensi moral serta karakter keseluruhan
secara positif. Hal tersebut dapat terjadi karena pada saat remaja, teman sebaya
memiliki pengaruh besar dalam membentuk karakter dan kepribadian remaja
tersebut (Berndt 1982). Kemampuan untuk membangun kelekatan yang positif
dengan teman sebaya akan mendorong remaja untuk mengembangkan hal-hal
yang positif pada dirinya. Model yang dibangun dalam penelitian ini dapat
menjelaskan pengaruhnya terhadap karakter remaja sebesar 32.7 persen. Sisanya
dapat dijelaskan oleh variabel-variabel lain misalnya hubungan remaja dengan
orangtua.

Tabel 5 Hasil analisis regresi linier berganda variabel-variabel yang


mempengaruhi karakter remaja
Variabel Pengetahuan Perasaan Moral Tindakan Moral Total Karakter
Moral
β Sig. β Sig. β Sig. β Sig.
Konstanta 73.08 .000 32.92 .048 41.853 .031 49.286 .001
5 0
Jenis kelamin - .174 - .400 -2.705 .154 -2.089 .126
(0=perempuan, 2.196 1.366
1=laki-laki)
Usia anak -.570 .526 .498 .583 .075 .943 .001 .999
(tahun)
Komunikasi .010 .918 .166 .106 .013 .912 .063 .461
teman sebaya
(skor)
Kelekatan teman .384 .001** .383 .001** .404 .003** .390 .000**
sebaya (skor)
Adjusted R .226 .300 .179 .327
Square
40

Ket: *Signifikan pada p<0.05; **Signifikan pada p<0.01

Pembahasan

Hubungan remaja dengan teman sebaya merupakan hubungan yang sering


dijadikan sorotan pada masa remaja. Menurunnya supervisi dari orangtua dan
meningkatnya kedekatan dengan teman sebaya merupakan ciri dari fase remaja.
Hubungan remaja dengan teman sebaya seringkali dikaitkan ke hal-hal negatif.
Akan tetapi, hubungan pertemanan yang positif antara remaja dengan teman
sebayanya dapat memberikan dampak positif seperti menekan tingkat kenakalan
remaja dan tingkat stress remaja (Hair, Jager, dan Garrett 2002). Penelitian ini
menemukan bahwa pada remaja di perdesaan komunikasi yang terjalin dengan
teman sebaya masih tergolong rendah. Remaja di perdesaan masih memiliki
permasalahan berkomunikasi yang tinggi dengan teman sebayanya. Rendahnya
kualitas komunikasi antara remaja dan teman sebaya dapat disebabkan oleh
berbagai faktor. Faktor pengasuhan yang tidak berjalan baik dapat menyebabkan
remaja kesulitan membangun kedekatan dan berujung pada sulitnya berinteraksi
dengan lingkungan sosial salah satunya teman sebaya (Dodge dan Gonzales
2009).
Sejalan dengan skor komunikasi yang rendah, kelekatan antara remaja
dengan teman sebaya juga ditemukan masih rendah. Kurang terbukanya remaja
dalam berkomunikasi serta masih adanya permasalahan komunikasi seperti saling
mencaci dengan teman menyebabkan remaja kurang lekat dengan teman
sebayanya. Selain karena komunikasi yang tidak berjalan dengan baik, kelekatan
yang rendah dapat disebabkan oleh pengalaman kelekatan dengan orangtua yang
buruk. Kelekatan yang baik dengan orangtua akan mempengaruhi kemampuan
remaja dalam membangun kelekatan dengan orang lain misalnya teman sebaya.
Maka dari itu, temuan hasil penelitian ini dapat dijelaskan oleh penelitian dari
Waters, Hamilton, dan Weinfield (2000) yang menyatakan bahwa kelekatan yang
terbentuk dengan orangtua sejak usia dini akan stabil hingga masa remaja bahkan
dewasa. Oleh karena itu, diduga bahwa remaja yang menjadi responden penelitian
ini memiliki pengalaman kelekatan yang buruk dengan orangtuanya sehingga
berdampak hingga mereka remaja.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis kelamin dan usia remaja
berhubungan dengan dimensi moral. Ditemukan bahwa karakter remaja
perempuan lebih baik dibandingkan dengan remaja laki-laki. Hal tersebut sejalan
dengan temuan Karina et al. (2013) dan Dewanggi et al. (2014). Akan tetapi,
perbedaan karakter antara remaja perempuan dan remaja laki-laki biasanya
dikarenakan remaja perempuan lebih sensitif mengenai hal-hal yang berkaitan
dengan perasaan dibandingkan remaja laki-laki (Lerner dan Steinberg 2004). Usia
remaja juga berhubungan negatif dengan pengetahuan moral. Ditemukan bahwa
remaja dengan usia lebih muda memiliki pengetahuan moral yang lebih baik
dibandingkan remaja yang berusia lebih tua.
Berndt (1982) menyatakan bahwa pada fase remaja, pertemanan menjadi
faktor yang menentukan hampir setiap aspek kehidupan remaja baik sosial
maupun kepribadian. Komunikasi yang baik dan tanpa konflik dengan teman
sebaya ditemukan mempengaruhi perasaan moral seorang remaja. Penelitian ini
memperkuat hasil temuan Berndt (2002) yang menyatakan bahwa pertemanan
yang berkualitas akan meningkatkan kelekatan, perilaku prososial, serta berbagai
41

hal positif lainnya contohnya perasaan moral remaja. Akan tetapi, pada fase ini
remaja juga rentan terkena pengaruh tekanan teman sebaya. Terlebih apabila
tekanan teman sebaya menjurus kepada tekanan atas hal-hal negatif. Apabila
remaja terlalu lekat pada teman sebayanya maka ia memiliki kecenderungan untuk
mengikuti apapun yang teman sebayanya lakukan. Hal tersebut dilakukan agar ia
dapat diterima oleh teman tersebut karena sangat penting bagi remaja untuk dapat
merasa diterima oleh lingkungan pertemanannya. Akan tetapi, apabila remaja
salah memilih lingkungan pertemanan maka ia pun akan mengikuti hal-hal buruk
yang dilakukan oleh teman-temannya. Hal tersebut dikarenakan apabila remaja
menghabiskan banyak waktu dengan teman sebaya secara tidak sadar ia akan
melakukan apa yang temannya lakukan (Santrock 1996).
Selain penelitian-penelitian diatas, banyak penelitian yang menyoroti
pengaruh kelekatan teman sebaya pada perkembangan remaja (Zimmermann
2004; Freeman dan Brown 2001; Fuligni dan Eccles 1993). Penelitian ini sendiri
menemukan bahwa kelekatan dengan teman sebaya mempengaruhi setiap aspek
perkembangan karakternya secara positif. Secara umum penelitian Chassin et al.
(1986) dan Rosenthal & Kobak (2010) menemukan bahwa kelekatan dengan
teman sebaya dapat memprediksi perilaku bermasalah yang dimiliki remaja. Akan
tetapi, dalam hal ini kelekatan yang positif dengan teman sebaya dapat
meningkatkan baik pengetahuan, perasaan, maupun tindakan positif yang
dilakukan seorang remaja. Hal diatas dapat dijelaskan oleh penelitian dari Thomas
(2011) yang menemukan bahwa perilaku negatif dari lingkungan pertemanan
tidak akan mempengaruhi perilaku remaja apabila mereka memiliki kelekatan
positif dengan teman sebaya. Secara umum dapat dikatakan bahwa dalam
penelitian ini komunikasi serta kelekatan yang buruk dengan teman sebaya
membuat skor karakter remaja secara keseluruhan masih rendah. Model yang
dibangun pada penelitian ini hanya dapat menjelaskan pengaruhnya terhadap
perkembangan karakter remaja sebesar 32.7 persen. Hal tersebut menunjukkan
adanya kontribusi faktor-faktor lain dalam perkembangan karakter remaja. Contoh
pengaruh dari teman sebaya yang tidak diteliti dalam penelitian ini adalah tekanan
dari teman sebaya. Tekanan teman sebaya ditemukan mempengaruhi perilaku dan
karakter remaja (Soetjiningsih 2007). Menurut pendekatan teori sistem
Bronfenbrenner, perkembangan seseorang tidak hanya dipengaruhi oleh satu
sistem tetapi bisa juga dipengaruhi oleh sistem lainnya. Dalam hal ini,
perkembangan karakter seseorang bisa dipengaruhi oleh orangtua, lingkungan
sekolah, teman sebaya, ataupun saudara (Bronfenbrenner dan Morris 2006)

Simpulan dan Saran

Komunikasi dan kelekatan dengan teman sebaya tergolong rendah pada


remaja perdesaan. Pengetahuan moral yang rendah ditemukan pada remaja yang
berusia lebih tua dan kualitas komunikasi dengan teman sebayanya rendah.
Karakter remaja perempuan baik pengetahuan moral, perasaan moral, maupun
tindakan moral ditemukan lebih baik dibandingkan remaja laki-laki. Komunikasi
tidak efektif serta kelekatan yang rendah dengan teman sebaya juga membuat
karakter remaja disetiap dimensinya rendah. Karakter remaja sangat dipengaruhi
oleh kelekatan dengan teman sebayanya. Apabila kelekatan yang terjalin dengan
teman sebaya positif maka karakter yang terbentuk juga positif.
42

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan bagi lembaga-lembaga


terkait untuk mendampingi dan memberikan informasi kepada para remaja dan
orangtua di perdesaan. Pemerintahan Kabupaten Bogor diharapkan dapat
menjalankan kerjasama dengan KPAI maupun BKKBN untuk memberikan
penyuluhan kepada para remaja agar dapat terhindar dari pengaruh buruk teman
sebaya. Selain itu, para remaja harus diberikan pembekalan mengenai cara
menghadapi masalah pada fase remaja. Hal tersebut dapat dilakukan untuk
membantu remaja yang kurang mendapatkan informasi maupun pendampingan
dari para orangtua di perdesaan. Pemerintah juga diharapkan dapat mendampingi
orangtua untuk mengawasi dan mengawal para remaja dalam berinteraksi dengan
teman sebayanya.

Daftar Pustaka
Barnes HL, Olson DH. 1982. Parent-adolescent communication scale. St. Paul:
Family Social Science, University of Minnesota
Berndt TJ. 1982. The features and effect of friendship in early adolescence. Child
Development 53
Berndt TJ. 2002. Friendship quality and social development. Current Directions
in Psychological Science 11(1)
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Data dan informasi kemiskinan
Kabupaten/Kota tahun 2013 [internet]. [diunduh 2015 Sept 01]. Tersedia
pada: www.bps.go.id.
Bronfenbrenner U, Morris PA. 2006. The Bioecological Model of Human
Development. US: John Wiley & Sons Inc.
Chassin L, Presson CC, Sherman SJ, Montello D, McGrew J. 1986. Changes in
peer and parents influence during adolescence: Longitudinal versus cross-
sectional perspectives on smoking initiation. Developmental Psychology
22(3)
Dewanggi M. 2014. Pengaruh kelekatan, gaya pengasuhan, dan kualitas
lingkungan pengasuhan terhadap karakter anak pedesaan dan perkotaan
[Tesis]. Bogor: Program Studi Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak,
Institut Pertanian Bogor
Dodge K, Gonzales N. 2009. Family and peer influences on adolescent behavior
and risk-taking. Paper presented at IOM Committee on the Science of
Adolescence Workshop, Washington, DC.
Fass ME, Tubman JG. 2002. The influence of parental and peer attachment on
college students’ academic achievement. Psychology in the Schools 39(5).
Doi: 10.1002/pits.10050
Freeman H, Brown BB. 2001. Primary attachment to parents and peers during
adolescence: Differences by attachment style. Journal of Youth and
Adolecence 30(6)
Fuligni AJ, Eccles JS. 1993. Perceived parent-child relationship and early
adolescents’ orientation toward peers. Developmental Psychology 29(4)
Hair EC, Jager J, Garrett SB. 2002. Helping teens develop healthy social skills
and relationships: What the research shows about navigating adolescence.
Child Trends Research Brief
43

Karina, Hastuti D, Alfiasari. 2013. Perilaku bullying dan karakter remaja serta
kaitannya dengan karakteristik keluarga dan peer group. Jurnal Ilmu
Keluarga dan Konsumen 6(1).
Lerner RM, Steinberg L. 2004. Handbook of Adolescent Psychology. New Jersey:
John Wiley & Sons, Inc.
Lickona T. 1994. Raising Good Children. Amerika (US) : Bantam Books.
Meeus W, Oosterwegel A, Vollebergh W. 2002. Parental and peer attachment and
identity development in adolescence. Journal of Adolescence 25
Peterson C, Seligman MEP. 2004. Character Strengths and Virtues: A Handbook
and Classification. New York: Oxford Univrsity Press
Pusat data dan informasi Kementrian Kesehatan RI. 2014. Say no to drugs: Say
yes to life [internet]. [diunduh pada 2015 Mar 25]. Tersedia pada:
http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/infodatin-
anti-narkoba.pdf.
Rosenthal NL, Kobak R. 2010. Assesing adolescents’ attachment hierarchies:
Differences across developmental periods and associations with individual
adaptation. Journal of Research on Adolescence
Santrock JW.1996. Adolescence. New York: McGraw-Hill
Santrock JW. 2007. Life-span Development. New York: McGraw-Hill
Selby JC. 2000. The relationship of parental attachment, peer attachment, and
self-concept to the adjustment of first-year college students [Disertasi].
Texas: University of North Texas
Soetjiningsih CH. 2007. Hubungan orangtua-remaja dan self esteem sebagai
prediktor tekanan teman sebaya pada remaja [skripsi]. Universitas Kristen
Satya Wacana. Yogyakarta
Waters E, Hamilton CE, Weinfield NS. 2000. The stability of attachment security
from infancy to adolescence and early adulthood: General introduction.
Child Development 71(3)
West M, Rose SM, Spreng S, Sheldon-Keller A, Adam K. 1998. Adolescent
attachment questionnaire: A brief assessment of attachment in adolescence.
Journal of Youth and Adolescence 27(5)
Zimmermann P. 2004. Attachment representations and characteristics of
friendship relations during adolescence. Journal Experimental Child
Psychology 88
44

Pembahasan Umum

Identitas moral atau karakter seseorang merupakan hasil dari sebuah proses
yang terjadi sepanjang masa perkembangan individu. Menurut Lickona (1998),
agar karakter seseorang dapat berkembang dengan optimal diperlukan pengasuhan
efektif yang dilakukan oleh orangtua. Penelitian ini mengangkat kelekatan dan
komunikasi sebagai pengasuhan yang diduga mempengaruhi karakter remaja.
Tujuan pertama dari penelitian ini adalah mengidentifikasi komunikasi dan
kelekatan remaja dengan orangtua. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada
remaja di perdesaan kualitas komunikasi dan kelekatan yang terjadi dengan
orangtua masih berada pada kategori rendah. Hal tersebut memperkuat temuan
Malin et al. (2013) yang menunjukkan bahwa tingkat sosial ekonomi keluarga
yang rendah akan mempengaruhi kemampuan berkomunikasi anak dan orangtua.
Pada penelitian ini tingkat pendidikan orangtua masih tergolong rendah yaitu
setara Sekolah Dasar (SD) dan setengah dari total responden berasal dari keluarga
miskin. Sejalan dengan hal diatas, kelekatan antara orangtua dan remaja
diperdesaan juga masih tergolong rendah. Kelekatan antara orangtua dan remaja
terdiri dari rasa percaya dan komunikasi yang baik. Kelekatan yang rendah
membuat keterbukaan remaja dalam berkomunikasi juga rendah. Hasil penelitian
ini sejalan dengan penelitian Meeus, Oosterwegel dan Vollebergh (2002) yang
menemukan adanya hubungan antara kelekatan orangtua dan remaja dengan cara
mereka berkomunikasi.
Tidak jauh berbeda dengan temuan diatas, komunikasi dan kelekatan
remaja dengan teman sebaya juga tergolong rendah. Masih dari penelitian Meeus,
Oosterwegel dan Vollebergh (2002) yang menemukan bahwa orangtua yang
berkomunikasi dengan baik akan mendorong para remaja untuk berkomunikasi
secara positif dengan teman sebayanya. Rendahnya skor komunikasi remaja
dengan teman sebayanya adalah akibat dari rendahnya skor komunikasi remaja
dengan orangtua. Jenis kelamin remaja juga ditemukan berhubungan dan
berpengaruh terhadap hubungan dengan teman sebayanya (Lampiran 8). Remaja
perempuan ditemukan memiliki komunikasi yang baik dengan teman sebayanya
dibandingkan remaja laki-laki. Sejalan dengan penelitian ini, penelitian terdahulu
menemukan bahwa remaja perempuan dilaporkan memiliki komunikasi dan
ketergantungan yang lebih baik dengan teman sebayanya dibandingkan remaja
laki-laki (Kiuru 2008; Taylor 1998).
Selanjutnya, kelekatan merupakan hal yang terbentuk sejak masa pertama
kehidupan individu yang akan mempengaruhi kelekatan pada masa selanjutnya.
Penelitian ini menemukan bahwa hampir seluruh responden yang memiliki
kelekatan rendah dengan orangtua mereka, memiliki kelekatan yang rendah
dengan teman sebayanya. Maka dari itu, temuan hasil penelitian ini dapat
dijelaskan oleh penelitian dari Waters, Hamilton, dan Weinfield (2000) yang
menyatakan bahwa kelekatan yang terbentuk dengan orangtua sejak usia dini akan
stabil hingga masa remaja bahkan dewasa. Oleh karena itu, diduga bahwa remaja
yang menjadi responden penelitian ini memiliki pengalaman kelekatan yang
kurang baik dengan orangtuanya sehingga berdampak hingga mereka remaja.
Kelekatan remaja dengan teman sebaya yang rendah juga sangat dipengaruhi oleh
jenis kelamin dan usia seseorang. Semakin bertambahnya usia seorang remaja
45

maka kelekatan dengan teman sebaya juga semakin berkurang (Lampiran 9). Hal
tersebut menjelaskan bahwa setelah mendekati fase akhir remaja, seseorang
memiliki kelekatan teman sebaya dan skor pengetahuan moral yang lebih rendah
dibandingkan fase awal. Hasil penelitian ini menguatkan temuan dari Ma dan
Huebner (2008) yang hasilnya menunjukkan bahwa semakin dewasa seseorang
maka semakin berkurang kedekatan dengan teman sebayanya.
Tujuan lain dari penelitian ini adalah mengidentifikasi karakter remaja di
perdesaan. Karakter menurut Lickona terdiri dari tiga komponen yaitu
pengetahuan moral, perasaan moral, dan tindakan moral. Ketiga komponen diatas
yang akan membentuk identitas moral atau karakter seseorang. Hasil penelitian
pada remaja perdesaan memperlihatkan bahwa dari ketiga komponen diatas
terdapat perbedaan skor pada setiap dimensinya. Pengetahuan moral remaja
memiliki skor tertinggi dibandingkan dimensi perasaan dan tindakan moral
remaja. Hasil analisis butir pertanyaan memperlihatkan bahwa hampir seluruh
responden mengetahui bahwa kebersihan sekolah merupakan tanggung jawab
seluruh warga sekolah, akan tetapi pada kenyataannya hampir seluruh responden
juga mengatakan bahwa mereka tidak pernah membersihkan sekolah.
Pengetahuan yang dimiliki remaja tentang sesuatu yang baik dan benar tidak
menjamin ia melakukan hal tersebut. Selain itu, banyak hal yang dapat
mempengaruhi tindakan seorang remaja misalnya tekanan dari teman sebayanya.
Remaja memiliki kecenderungan untuk melakukan hal yang tidak baik apabila dia
berada pada lingkungan pertemanan buruk (Hair, Jager, dan Garrett 2002). Secara
keseluruhan skor karakter remaja perdesaan masih berada pada kategori kurang.
Selanjutnya penelitian ini menguji hubungan dan pengaruh dari karakteristik
remaja serta keluarga terhadap seluruh variabel utama penelitian. Karakteristik
remaja yang dilihat dari jenis kelamin dan usia diuji hubungan serta pengaruhnya
terhadap variabel utama penelitian. Hasil menunjukkan bahwa usia remaja
memiliki hubungan negatif dengan pengetahuan moral. Hasil penelitian yang
menunjukkan adanya hubungan negatif antara usia dan pengetahuan moral,
bertentangan dengan temuan Dewanggi (2014) yang menemukan bahwa semakin
tinggi usia maka seharusnya semakin baik pula karakter yang dimilikinya. Jenis
kelamin juga ditemukan memiliki hubungan dengan karakter remaja. Pada remaja
perempuan, ditemukan skor yang lebih baik dibandingkan dengan remaja laki-laki
di seluruh dimensi karakter. Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Karina,
Hastuti, dan Alfiasari (2013) yang menemukan bahwa remaja perempuan
memiliki skor karakter yang lebih baik dibandingkan dengan remaja laki-laki.
Kelekatan dan komunikasi dengan orangtua yang rendah dapat dipengaruhi
oleh berbagai faktor. Pendidikan orangtua di perdesaan yang rendah dapat
mempengaruhi kelekatan yang terjadi antara orangtua dan remaja. Orangtua yang
memiliki pendidikan tinggi memiliki keterlibatan yang tinggi dan menyediakan
lingkungan yang nyaman serta hangat bagi proses pengasuhan anak. Pada
penelitian ini rendahnya pendidikan orangtua membuat proses pengasuhan tidak
berjalan dengan baik. Selain itu, rendahnya keterlibatan orangtua membuat remaja
memiliki kelekatan yang tidak baik dengan orangtuanya (Davis-Kean 2005; Al-
Matalka 2014). Rendahnya skor komunikasi antara orangtua dan remaja juga
disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan orangtua dalam hal ini tingkat
pendidikan ayah. Hal tersebut sudah pernah diteliti oleh Malin et al. (2013) yang
menemukan bahwa orangtua dengan pendidikan rendah membuat kemampuan
46

berkomunikasi dengan anak tidak optimal. Perlu diketahui bahwa, apabila


orangtua dengan pendidikan rendah tetap memberikan lingkungan pengasuhan
yang positif maka kelekatan serta komunikasi yang terbentuk juga dapat menjadi
positif (Lampiran 10).
Uji korelasi dan regresi memperlihatkan adanya pengaruh antara
komunikasi remaja dengan orangtua dan karakter remaja secara keseluruhan
kecuali dimensi pengetahuan. Hasil diatas sejalan dengan hasil penelitian De
Guzman dan Carlo (2004), orangtua yang menjaga komunikasi dengan remaja
memiliki pengaruh yang signifikan pada kehidupan remaja salah satunya identitas
moral atau karakter. Hal tersebut disebabkan diskusi atau komunikasi yang terjalin
antara remaja dan orangtua akan memfasilitasi perkembangan kemampuan moral
reasoning seseorang. Pengetahuan moral sendiri ditemukan berhubungan dengan
kelekatan remaja dengan orangtua. Thomas (2011) melakukan penelitian yang
menemukan bahwa kelekatan dengan orangtua akan mempengaruhi nilai moral
remaja. Hal tersebut dapat menjelaskan adanya hubungan positif antara kelekatan
dengan orangtua dan pengetahuan moral remaja pada penelitian ini.
Tujuan akhir dari penelitian ini adalah mengetahui pengaruh dari orangtua
dan teman sebaya terhadap karakter remaja. Hasil penelitian secara umum
memperlihatkan bahwa pengaruh teman sebaya terhadap karakter remaja lebih
kuat dibandingkan pengaruh orangtua (Lampiran 11). Penelitian ini menemukan
bahwa usia remaja tidak mempengaruhi perkembangan karakternya. Hal tersebut
bertentangan dengan hasil penelitian Hastuti dan Alfiasari (2008) yang
menemukan bahwa semakin dewasa seseorang maka perkembangan karakternya
semakin baik. Dari faktor-faktor yang berasal dari orangtua, diketahui usia ibu
mempengaruhi perasaan moral remaja. Hasil penelitian ini sejalan dengan temuan
Dewanggi (2014) yang menemukan korelasi positif antara usia ibu dan karakter
remaja. Usia ibu yang semakin matang membuat pengasuhan yang dilakukannya
semakin baik. Lingkungan pengasuhan yang baik akan memberi dampak pada
perkembangan karakter seseorang. Secara tidak langsung pengasuhan yang
dilakukan oleh orangtua semakin baik yang kemudian menghasilkan kelekatan
yang baik antara orangtua dan anak. Berbeda dari penelitian-penelitian
sebelumnya, kelekatan dengan orangtua ditemukan tidak mempengaruhi karakter
remaja dalam penelitian ini. Secara teoritis serta berdasarkan hasil penelitian dari
Van Ijzendoorn & Zwart-Woudstra (1995) kelekatan yang aman dengan orangtua
seharusnya mempengaruhi kemampuan moral reasoning seseorang.
Pada penelitian ini, tidak adanya pengaruh orangtua terhadap karakter
remaja dikarenakan besarnya pengaruh teman sebaya terhadap karakter remaja
secara keseluruhan. Berndt (1982) menyatakan bahwa pada fase remaja,
pertemanan menjadi faktor yang menentukan hampir setiap aspek kehidupan
remaja baik sosial maupun kepribadian. Komunikasi yang baik dan tanpa konflik
dengan teman sebaya ditemukan mempengaruhi perasaan moral seorang remaja.
Penelitian ini memperkuat hasil temuan Berndt (2002) yang menyatakan bahwa
pertemanan yang berkualitas akan meningkatkan kelekatan, perilaku prososial,
serta berbagai hal positif lainnya contohnya perasaan moral remaja. Selain
penelitian-penelitian diatas, banyak penelitian yang menyoroti pengaruh kelekatan
teman sebaya pada perkembangan remaja (Zimmermann 2004; Freeman dan
Brown 2001; Fuligni dan Eccles 1993). Penelitian ini sendiri menemukan bahwa
kelekatan dengan teman sebaya mempengaruhi setiap aspek perkembangan
47

karakternya secara positif. Secara umum penelitian Chassin et al. (1986) dan
Rosenthal & Kobak (2010) menemukan bahwa kelekatan dengan teman sebaya
dapat memprediksi perilaku bermasalah yang dimiliki remaja. Akan tetapi, dalam
hal ini kelekatan yang positif dengan teman sebaya dapat meningkatkan baik
pengetahuan, perasaan, maupun tindakan positif yang dilakukan seorang remaja.
Hal diatas dapat dijelaskan oleh penelitian dari Thomas (2011) yang menemukan
bahwa perilaku negatif dari lingkungan pertemanan tidak akan mempengaruhi
perilaku remaja apabila mereka memiliki kelekatan positif dengan teman sebaya.
Secara umum dapat dikatakan bahwa dalam penelitian ini komunikasi serta
kelekatan yang buruk dengan teman sebaya membuat skor karakter remaja secara
keseluruhan masih rendah.

Simpulan

Penelitian ini melibatkan remaja berusia antara 15 sampai dengan 19 tahun


yang berasal dari keluarga miskin. Rata-rata tingkat pendidikan orangtua hanya
sampai Sekolah Dasar (SD). Kualitas kelekatan remaja dan orangtua masih berada
pada kategori rendah. Begitu pula dengan komunikasi yang terjadi antara remaja
dan orangtua. Permasalahan komunikasi antara remaja dan orangtua masih tinggi
serta memiliki keterbukaan dalam berkomunikasi yang rendah. Permasalahan
komunikasi yang tinggi juga dialami oleh remaja dengan teman sebayanya. Selain
itu, keterbukaan remaja dalam berkomunikasi dengan teman sebaya masih rendah.
Rata-rata skor karakter remaja di perdesaan masih rendah. Skor tertinggi
didapatkan pada dimensi pengetahuan moral, dilanjutkan dengan perasaan moral
kemudian tindakan moral. Hasil uji regresi memperlihatkan bahwa jenis kelamin
remaja mempengaruhi karakter pada setiap dimensi. Remaja perempuan memiliki
skor karakter yang lebih tinggi dibandingkan dengan remaja laki-laki. Usia ibu
yang semakin dewasa juga mempengaruhi perasaan moral remaja. Kelekatan
remaja dengan orangtua tidak ditemukan berpengaruh pada karakter remaja.
Sebaliknya, komunikasi dengan orangtua mempengaruhi perasaan moral, tindakan
moral, dan karakter remaja secara keseluruhan. Selanjutnya, pengaruh teman
sebaya yang ditemukan berpengaruh signifikan hanyalah kelekatan remaja dengan
teman sebaya.

Saran

Berdasarkan hasil penelitian mengingat rendahnya kualitas kelekatan dan


komunikasi remaja dengan orangtua, penting untuk meningkatkan kesadaran
orangtua di perdesaan akan pentingnya kelekatan dan komunikasi positif dalam
keluarga. Oleh karena itu perlu dilakukan kerjasama antara Pemerintah Kabupaten
Bogor dan BKKBN untuk melakukan penyuluhan dan pendampingan dalam
rangka mengembalikan fungsi keluarga guna membentuk individu yang
berkarakter. Penyuluhan yang dapat dilakukan oleh BKKBN diharapkan dapat
memberikan informasi mengenai pentingnya kelekatan dan komunikasi yang baik
dalam keluarga serta cara untuk membangun kelekatan dan komunikasi yang baik
dengan remaja. Tujuannya adalah agar orangtua dapat menjadi pendidik moral
bagi anak-anaknya khususnya orangtua di wilayah perdesaan. Selain itu, perlu
48

dilakukan pembekalan untuk remaja perdesaan mengenai cara menghadapi


masalah pada fase remaja. Penyuluhan mengenai cara mengatasi masalah
komunikasi dengan orangtua dan teman sebaya perlu dilakukan.
Bagi bidang keilmuan khususnya Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak,
hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan kajian khususnya untuk
kajian pekembangan karakter. Bagi penelitian selanjutnya diharapkan dapat
mengembangkan instrumen yang digunakan khususnya pada instrumen kelekatan.
Keterbatasan dari penelitian ini adalah pengukuran kelekatan yang hanya bersifat
kualitatif. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat menambah jenis pertanyaan
kuantitatif. Selain itu, penelitian pada remaja diharapkan dapat menggunakan
metode wawancara sehingga jawaban yang didapatkan lebih bisa dipercaya
dibandingkan metode self report.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Matalka FIM. 2014. The influence of parental socioeconomic status on their


involvement at home. International Journal of Humanities and Social
Science 4(5)
Barnes HL, Olson DH. 1982. Parent-adolescent communication scale. St. Paul:
Family Social Science, University of Minnesota
Barnes HL, Olson DH. 1985. Parent-adolescent communication and the
circumplex model. Child Development 56
Berkowitz MW, Grych JH. 1998. Fostering goodness: Teaching parents to
facilitate children’s moral development. USA: Marquette University
Berndt TJ. 1982. The features and effect of friendship in early adolescence. Child
Development 53
Berndt TJ. 2002. Friendship quality and social development. Current Directions
in Psychological Science 11(1)
Berns RM. 2011. Child, Family, School, Community: Socialization and Support.
USA: Cengange Learning
Bhatt G, Tweed R, Dooley S, Viljoen J, Douglas K, Gagnon N, Besla K. 2012.
Gender differences in chacacter strengths, social connections, and beliefs
about crime among adolescents. International Journal of Social Sciences
and Humanity Studies 4(1). ISSN:1309-8063
Blake SM, Simkin L, Ledsky R, Perkins C, Calabrese JM. 2001. Effect of a
parent-child communications intervention on young adolescents’ risk for
early onset of sexual intercourse. Family Planning Perspectives 33(2)
Bowlby J. 1988. A Secure Base: Parent-Child Attachment and Healthy Human
Development. United State of America: Perseus Books Group
Bowlby R. 2008. Attachment, what it is, why it is important and what we can do
about it to help young children acquire a secure attachment. Attachment
Theory: How to Help Young Children Acquire a Secure Attachment
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Profil kriminalitas remaja. Jakarta: Badan
Pusat Statistik
BPS] Badan Pusat Statist. 2013. Data dan informasi kemiskinan Kabupaten/Kota
tahun 2013 [internet]. [diunduh 2015 Sept 01]. Tersedia pada:
www.bps.go.id.
49

[BPS] Badan Pusat Statist. 2014. Perkembangan beberapa indikator utama sosial-
ekonomi Indonesia. Jakarta: Badan Pusat Statistik
Brdar I, Kashdan TB. 2010. Character strengths and well-being in Croatia: An
empirical investigation of structure and correlates. Journal of Research in
Personality 44
Bronfenbrenner U. 1994. Ecological models of human developmet. International
Encyclopedia of Education 3
Bronfenbrenner U, Morris PA. 2006. The Bioecological Model of Human
Development. US: John Wiley & Sons Inc.
Brooks JB. 2001. Parenting, Third Edition. United States. Mayfield Publishing
Company
Chassin L, Presson CC, Sherman SJ, Montello D, McGrew J. 1986. Changes in
peer and parents influence during adolescence: Longitudinal versus cross-
sectional perspectives on smoking initiation. Developmental Psychology
22(3)
Davidson TM, Cardemil EV. 2009. Parent-child communication and parental
involvement in latino adolescents. Journal of Early Adolescence 29(1)
Davis-Kean PE. 2005. The influence of parent education and family income on
child achievement: The indirect role of parental expectations and the home
environment. Journal of Family Psychology 19(2)
De Guzman MRT, Carlo G. 2004. Family, peer, and acculturtive correlates of
prosocial development among latinos. Great Plains Research 14
Dewanggi M. 2014. Pengaruh kelekatan, gaya pengasuhan, dan kualitas
lingkungan pengasuhan terhadap karakter anak pedesaan dan perkotaan
[Tesis]. Bogor: Program Studi Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak,
Institut Pertanian Bogor
Diana RR, Retnowati S. 2009. Komunikasi remaja-orangtua dan agresivitas
pelajar. Jurnal Psikologi 2(2)
Dodge K, Gonzales N. 2009. Family and peer influences on adolescent behavior
and risk-taking. Paper presented at IOM Committee on the Science of
Adolescence Workshop, Washington, DC.
Fass ME, Tubman JG. 2002. The influence of parental and peer attachment on
college students’ academic achievement. Psychology in the Schools 39(5).
Doi: 10.1002/pits.10050
Freeman H, Brown BB. 2001. Primary attachment to parents and peers during
adolescence: Differences by attachment style. Journal of Youth and
Adolecence 30(6)
Fuligni AJ, Eccles JS. 1993. Perceived parent-child relationship and early
adolescents’ orientation toward peers. Developmental Psychology 29(4)
Greenberg MT. 2009. Inventory of parent and peer attachment. College of Health
and Human Development
Hair EC, Jager J, Garrett SB. 2002. Helping teens develop healthy social skills
and relationships: What the research shows about navigating adolescence.
Child Trends Research Brief
Hastuti D, Alfiasari. 2008. Stimulasi psikososial dan pengaruhnya pada karakter
anak yang bersekolah dan tidak bersekolah di Taman Bermain Anak Semai
Benih Bangsa, Kabupaten Aceh Utara, Provinsi NAD. Jurnal Ilmu Keluarga
dan Konsumen 1(2)
50

Hastuti D. 2009. Stimulasi psikososial pada anak kelompok bermain dan


pengaruhnya pada perkembangan motorik, kognitif, sosial emosi, dan
moral/karakter anak. Jurnal Ilmu Keluarga & Konsumen 2(1)
Hastuti D, Agung SS, Alfiasari. 2013. Kajian karakteristik remaja desa-kota,
sekolah serta keluarga untuk mengatasi perilaku anti-sosial remaja SMK di
Kota dan Kabupaten Bogor. Prosiding Seminar Hasil-Hasil PPM IPB II. hlm
653-667.
Holmes J. 1993. John Bowlby & Attachment Theory. London: Routledge
Karina, Hastuti D, Alfiasari. 2013. Perilaku bullying dan karakter remaja serta
kaitannya dengan karakteristik keluarga dan peer group. Jurnal Ilmu
Keluarga dan Konsumen 6(1).
Katorski J. 2003. Father/daughter relationship: Effects of communicative
adaptability and satisfaction on daughter’s romantic relationship. Journal of
Undergraduate Research
Keijsers L, Branje SJT, VanderValk IE, Meeus W. 2010. Reciprocal effects
between parental solicitation, parental control, adolescent disclosure, and
adolescent delinquency. Journal of Research on Adolescence 20(1):88-113.
Doi: 10.1111/j.1532-7795.2009.00631.x
[Kemenpora] Kementrian Pemuda dan Olahraga. 2009. Penyajian data informasi
Kementrian Pemuda dan Olahraga tahun 2009. Jakarta: Biro Perencana
Sekertariat Kementrian Pemuda dan Olahraga
Kiuru N. 2008. The role of adolescents’ peer groups in the school context.
Psychology and Social Research
Kocayoruk E. 2010. Pathways to emotional well-being and adjustment in
adolescence: The role of parent attachment and competence. International
Online Journal of Educational Sciences 2(3)
Kolucki B, Lemish D. 2011. Communicating with Children: Principles and
Practices to Nurture, Inspire, Excite, Educate, and Heal. New York:
UNICEF
Lai Kwok SYE, Shek DTL. 2010. Hopelessness, parent-adolescent
communication, and suicidal ideation among Chinese adolescents in Hong
Kong. Suicide and Life-Threatening Behavior 40(3)
Leontopoulou S, Triliva S. 2012. Explorations of subjective wellbeing and
character strengths among a Greek University student sample. International
Journal of Wellbeing 2(3). Doi:10.5502/ijw.v2.13.6
Lickona T. 1994. Raising Good Children. Amerika (US) : Bantam Books.
Lickona T. 1998. Do parents make a difference in children’s character
development?. Annual Fall Character Education Seminar
Lickona T. 2004. Why Character Matters. New York: Tounchstone
Linkins M, Niemiec RM, Gillham J, Mayerson D. 2014. Through the lens of
strength: A framework for educating the heart. The Journal of Positive
Psychology. Doi:10.1080/17439760.2014.888581
Louis PT, Emerson IA. 2011. A qualitative analysis on the moral judgement of
high school students. Education Science and Psychology 2(19). ISSN 1512-
1801
Lounsbury JW, Fisher LA, Levy JJ, Welsh DP. 2009. An investigation of
character strengths in relation to the academic success of college students.
Indiviual Differences Research 7(1). ISSN: 1541-745X
51

Ma CQ, Huebner ES. 2008. Attachment relationships and adolescents’ life


satisfaction: Some relationships matter more to girls than boys. Psychology
in the Schools 45(2). Doi: 10.1002/pits.20288
Mahmud Z, Ibrahim H, Amat S, Salleh A. 2011. Family communication, sibling
position, and adolescents’ sense of responsibility. World Applied Sciences
Journal 14. ISSN 1818-4952
Malin JL, Karberg E, Cabrera NJ, Rowe M, Cristaforo T, Tamis-LeMonda CS.
2013. Father-toddler communication in low-income families: The role of
paternal education and depressive symptoms. Family Science
McConnel M. 2008. Attachment, depression, and perception of parenting among
adolescent mothers [Tesis]. USA: San Jose State University
Megawangi R. 2014. Kelekatan Ibu-Anak: Kunci Membangun Bangsa. Jakarta
(ID): Indonesia Heritage Foundation
Meichenbaum D, Fabiano G, Fincham F. 2004. Communication in relationship
with adolescents: Implications for assessment and treatment. Didalam:
Patterson T. Comprehensive Handbook for Psychotherapy 2. New York:
John Wiley
Mercer J. 2006. Understanding Attachment: Parenting, Child Care, and
Emotional Development. USA: Greenwood Publishing Group
Meeus W, Oosterwegel A, Vollebergh W. 2002. Parental and peer attachment and
identity development in adolescence. Journal of Adolescence 25
Moitra T, Mukherjee I. 2009. Parent–adolescent communication and delinquency:
A comparative study in Kolkata, India. Europe’s Journal of Psychology 8(1)
Oladipo SE. 2009. Moral education of the child: Whose responsibility?. Journal
Social Science 20(2)
Ontai LL, Thompson RA. 2008. Attachment, parent-child discourse and theory-
of-mind development. Social Development 17(1)
Park N. 2009. Building strengths of character: Keys to positive youth
development. Reclaiming Children and Youth
Park N, Peterson C. 2009. Character strengths: Research and practice. Journal of
College & Character 10(4)
Park N, Peterson C, Seligman MEP. 2004. Strangths of character and well-being.
Journal of Social and Clinical Psychology 23(5)
Peterson C, Seligman MEP. 2004. Character Strengths and Virtues: A Handbook
and Classification. New York: Oxford Univrsity Press
Pusat data dan informasi Kementrian Kesehatan RI. 2014. Say no to drugs: Say
yes to life [internet]. [diunduh pada 2015 Mar 25]. Tersedia pada:
http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/infodatin-
anti-narkoba.pdf.
Puspitawati H. 2009. Kenakalan Pelajar Dipengaruhi Oleh Sistem Sekolah dan
Keluarga. Bogor (ID): IPB Pres.
Rosenthal NL, Kobak R. 2010. Assesing adolescents’ attachment hierarchies:
Differences across developmental periods and associations with individual
adaptation. Journal of Research on Adolescence
Santrock JW. 2007. Life-span Development. New York: McGraw-Hill
Santrock JW. 2008. Educational Psychology. Boston: McGraw-Hill
52

Schneider BH, Atkinson L, Tardif C. 2001. Child-parent attachment and


children’s peer relations: A quantitative review. Developmental Psychology
37(1)
Selby JC. 2000. The relationship of parental attachment, peer attachment, and
self-concept to the adjustment of first-year college students [Disertasi].
Texas: University of North Texas
Shoshani A, Slone M. 2012. Middle school transition from the strengths
perspective: Young adolescents’ character strengths, subjective well-being,
and school adjustment. J Happiness Stud. Doi: 10.1007/s10902-012-9374-y
Speicher B. 1994. Family patterns of moral judgement during adolescence and
early adulthood. Developmental Psychology 30 (5)
Soetjiningsih CH. 2007. Hubungan orangtua-remaja dan self esteem sebagai
prediktor tekanan teman sebaya pada remaja [skripsi]. Universitas Kristen
Satya Wacana. Yogyakarta
Thomas AM. 2011. Parent and peer influences their role in predicting adolescent
moral values and delinquent behavior [Tesis]. Colorado: Human
Development and Family Studies, Colorado State University
Toner E, Haslam N, Robinson J, Williams P. 2012. Character strengths and
wellbeing in adolescence: Structure and correlates of the values in action
inventory of strengths for children. Personality and Individual Differences
Van Ijzendoorn MH, Zwart-Woudstra HA. 1995. Adolescents’ attachment
representations and moral reasoning. The Journal of Genetic Psychology
156(3)
Waters E, Hamilton CE, Weinfield NS. 2000. The stability of attachment security
from infancy to adolescence and early adulthood: General introduction.
Child Development 71(3)
West M, Rose SM, Spreng S, Sheldon-Keller A, Adam K. 1998. Adolescent
attachment questionnaire: A brief assessment of attachment in adolescence.
Journal of Youth and Adolescence 27(5)
Yahaya AH. 2000. Parent-child communication and its perceived effects on the
young child’s developing self-concept. Malysia: University Technology
Malaysia
Zimmermann P. 2004. Attachment representations and characteristics of
friendship relations during adolescence. Journal Experimental Child
Psychology 88
53

LAMPIRAN

Lampiran 1 Analisis item pertyanyaan kelekatan dengan orangtua


No Pertanyaan STS TS S SS
(%) (%) (%) (%)
1. Saya yakin bahwa orangtua saya akan 0 4.6 60.5 34.9
mendengarkan saya
3. Saya merasa tidak adil apabila saya harus 11.0 47.7 32.1 9.2
menangani masalah saya sendirian
4. Orangtua saya tampaknya hanya 5.5 18.3 56.0 20.2
memperhatikan saya apabila saya sedang
marah
5. Saya takut akan kehilangan cinta dari 32.1 26.6 24.8 16.5
orangtua saya
6. Saya senang membantu orangtua saya 0 4.6 44.0 51.4
kapanpun saya bisa
7. Saya dapat mengandalkan orangtua saya 1.8 13.8 55.0 29.4
kapanpun saya membutuhkan mereka
9. Saya membicarakan banyak hal dengan 3.7 17.4 63.3 15.6
orangtua saya
10. Saya merasa marah karena saya tidak 3.7 31.2 47.7 17.4
pernah mendapat bantuan dari orangtua
saya
11. Saya sering merasa marah kepada 4.6 15.6 45.9 33.9
orangtua saya tanpa sebab
12. Saya memiliki ketakutan yang teramat 40.4 33.9 14.7 11.0
sangat apabila hubungan saya dan
orangtua akan berkahir
13. Orangtua saya selalu mengecewakan saya 0.9 12.8 50.5 35.8
14. Saya merasa sangat marah kepada 8.3 52.3 34.9 4.5
orangtua karena saya berpikir mereka
seharusnya dapat memberikan waktu
untuk saya lebih banyak lagi
15. Saya yakin bahwa orangtua saya akan 2.8 1.8 27.5 67.9
selalu mencintai saya
16. Saya tidak pernah berharap orangtua saya 10.1 27.5 53.2 9.2
akan menanggapi kekhawatiran/ketakutan
saya secara serius
17. Saat saya marah, saya yakin orangtua 6.4 29.4 50.4 13.8
saya selalu ada untuk mendengarkan saya
18. Saya yakin orangtua saya akan mencoba 1.8 6.4 66.1 25.7
memahami perasaan saya
19. Saya selalu merasa baik apabila dapat 0 1.8 31.2 67.0
melakukan sesuatu hal untuk orangtua
saya

Lampiran 2 Analisis item pertanyaan komunikasi dengan orangtua


54

STS TS S SS
No Pernyataan
(%) (%) (%) (%)
1 Saya dapat membicarakan tentang apa yang 2.8 19.3 55.0 22.9
saya percayai dengan orangtua saya tanpa
merasa malu dan tertahan
2 Terkadang saya sulit mempercayai apa yang 7.3 16.5 46.8 29.4
orangtua saya katakan saya
3 Orangtua saya selalu menjadi pendengar yang 2.8 10.1 63.2 23.9
baik
4 Terkadang saya merasa takut untuk meminta 11.9 53.2 30.3 4.6
hal yang saya inginkan kepada orangtua saya
5 Orangtua saya cenderung mengatakan hal-hal 4.6 22.9 52.3 20.2
yang sebaiknya tidak dikatakan kepada saya
6 Orangtua saya dapat mengetahui perasaan saya 3.7 30.3 52.2 13.8
tanpa perlu bertanya
7 Saya sangat puas dengan cara saya dan 1.8 5.5 65.2 27.5
orangtua saya berkomunikasi
8 Apabila saya sedang berada dalam masalah, 3.7 28.4 46.8 21.1
saya dapat bercerita kepada orangtua saya
9 Saya dapat menyampaikan secara terbuka 0 25.7 56.0 18.3
perasaan sayang saya terhadap orangtua
10 Apabila sedang bermasalah dengan orangtua 8.3 39.4 37.6 14.7
maka saya akan mendiamkan orangtua saya
11 Saya sangat berhati-hati terhadap apa yang saya 2.8 4.6 59.6 33.0
katakan kepada orangtua saya
13 Pada saat saya bertanya kepada orangtua, saya 4.6 26.6 55.0 13.8
mendapatkan jawaban yang jujur dari mereka
14 Orangtua saya mencoba memahami cara 1.8 20.2 66.1 11.9
berpikir saya
15 Ada topik pembicaraan yang saya hindari untuk 13.8 60.5 23.9 1.8
dibicarakan dengan orangtua saya
16 Saya merasa mudah untuk membicarakan 4.6 27.5 48.6 19.3
permasalahan saya dengan orangtua
17 Sangat mudah bagi saya mengekspresikan 6.4 24.8 51.4 17.4
perasaan saya yang sesungguhnya kepada
orangtua saya
18 Orangtua saya mengganggu saya 0 3.7 46.8 49.5
19 Orangtua saya menghina saya ketika mereka 2.8 11.9 40.3 45.0
marah kepada saya
20 Saya tidak dapat mengatakan kepada orangtua 8.3 46.7 36.7 8.3
apa yang sebenarnya saya rasakan

Lampiran 3 Analisis item pertanyaan komunikasi dengan teman sebaya


55

STS TS S SS
No Pernyataan
(%) (%) (%) (%)
1 Saya dapat membicarakan tentang apa yang 7.3 32.1 50.5 10.
saya percayai dengan teman saya tanpa merasa 1
malu dan tertahan
2 Terkadang saya sulit mempercayai apa yang 5.5 44.0 40.4 10.
teman saya katakan saya 1
3 Teman saya selalu menjadi pendengar yang 3.7 21.0 50.5 24.
baik 8
4 Terkadang saya merasa takut untuk 12.8 48.6 31.3 7.3
mengatakan hal yang saya inginkan kepada
teman saya
5 Teman saya cenderung mengatakan hal-hal 5.5 34.9 48.6 11.
yang sebaiknya tidak dikatakan kepada saya 0
6 Teman saya dapat mengetahui perasaan saya 5.5 28.4 50.5 15.
tanpa perlu bertanya 6
7 Saya sangat puas dengan cara saya dan teman 0.9 4.6 62.4 32.
saya berkomunikasi 1
8 Apabila saya sedang berada dalam masalah, 0.9 5.5 57.8 35.
saya dapat bercerita kepada teman saya 8
9 Saya dapat menyampaikan secara terbuka 0.9 27.5 51.4 20.
perasaan sayang saya terhadap teman 2
10 Apabila sedang bermasalah dengan teman 7.3 42.2 40.4 10.
maka saya akan mendiamkan teman saya 1
13 Pada saat bertanya kepada teman saya, saya 18.3 52.3 25.7 3.7
mendapatkan jawaban yang jujur dari mereka
14 Teman saya mencoba memahami cara berpikir 5.5 22.9 60.6 11.
saya 0
15 Ada topik pembicaraan yang saya hindari 11.9 68.8 16.5 2.8
untuk dibicarakan dengan teman saya
16 Saya merasa mudah untuk membicarakan 0 18.3 61.5 20.
permasalahan saya dengan teman 2
17 Sangat mudah bagi saya mengekspresikan 1.8 13.8 62.4 22.
perasaan saya yang sesungguhnya kepada 0
teman saya
18 Teman saya mengganggu saya 6.4 32.2 39.4 22.
0
19 Teman saya menghina saya ketika mereka 11.0 20.2 47.7 21.
marah kepada saya 1
20 Saya tidak dapat mengatakan kepada teman 16.5 40.4 33.9 9.2
apa yang sebenarnya saya rasakan

Lampiran 4 Analisis item pertanyaan kelekatan dengan teman sebaya


56

No. Pertanyaan ST TS S SS
S (%) (%) (%)
(%)
1. Saya yakin bahwa teman saya akan 2.8 14. 70. 11.
mendengarkan saya 7 6 9
2. Saya dapat merasakan ketika teman saya 0.9 9.2 62. 27.
sedang marah 4 5
3. Saya merasa tidak adil apabila saya harus 18. 45. 32. 4.6
menangani masalah saya sendirian tanpa 3 0 1
bantuan dari teman saya
4. Teman saya tampaknya hanya memperhatikan 3.7 31. 50. 14.
saya apabila saya sedang marah 2 4 7
6. Saya senang membantu teman saya kapanpun 0 4.6 45. 49.
saya bisa 9 5
7. Saya dapat mengandalkan teman saya 4.6 33. 51. 11.
kapanpun saya membutuhkan mereka 0 4 0
9. Saya membicarakan banyak hal dengan teman 0.9 14. 64. 20.
saya 7 2 2
10. Saya merasa marah karena saya tidak pernah 9.2 35. 41. 13.
mendapat bantuan dari teman saya 8 2 8
11. Saya sering merasa marah kepada teman saya 1.8 11. 50. 35.
tanpa sebab 9 5 8
12. Saya memiliki ketakutan yang teramat sangat 30. 43. 21. 5.5
apabila hubungan saya dan teman akan berkahir 3 1 1
13. Teman saya selalu mengecewakan saya 0.9 22. 61. 15.
0 5 6
15. Saya yakin bahwa teman saya akan selalu 0 17. 67. 15.
menyayangi saya 4 0 6
17. Saat saya marah, saya yakin teman saya selalu 1.8 27. 58. 11.
ada untuk mendengarkan saya 5 8 9
18. Saya yakin teman saya akan mencoba 3.7 14. 61. 20.
memahami perasaan saya 7 5 2
19. Saya selalu merasa baik apabila dapat 0 4.6 56. 38.
melakukan sesuatu hal untuk teman saya 9 5

Lampiran 5 Analisis item pertanyaan moral knowing

STS TS S SS
No Pernyataan
(%) (%) (%) (%)
1 Setiap orang boleh menciptakan dan 0 0 35.8 64.2
menyampaikan ide baru
2 Menurut saya kita boleh bertanya jika ada hal 0.9 0.9 36.7 61.5
yang tidak dimengerti
3 Setiap orang harus menghormati pendapat 0 0 42.2 57.8
orang lain
4 Menurut saya untuk bisa berprestasi kita harus 0 1.8 22.0 76.2
Lanjutan Lampiran 5 57

rajin belajar
5 Setiap masalah harus diselesaikan dengan 0 1.0 55.0 44.0
solusi yang benar
7 Saya harus menyelesaikan tugas yang 1.0 1.8 63.3 33.9
diberikan kepada saya
8 Setiap orang harus menepati janji 0 0.9 36.7 62.4
9 Kita harus membuat orang lain bahagia 0 1.0 70.6 28.4
10 Setiap orang harus saling tolong menolong 0 0.9 23.9 75.2
11 Kita tidak boleh menyakiti perasaan orang lain 0 1.8 49.5 48.7
12 Kebersihan sekolah merupakan tanggung 0 8.3 42.2 49.5
jawab seluruh warga sekolah
13 Kita harus berbuat adil kepada siapapun 1.0 1.8 53.2 44.0
14 Seorang pemimpin harus bertanggung jawab 0.9 0 27.5 71.6
15 Kita harus memaafkan teman yang sudah 1.8 0 59.7 38.5
mengakui kesalahannya
16 Kita harus menghormati hak orang lain 0 0.9 64.2 34.9
17 Setiap orang harus selalu berhati-hati agar 0 1.8 61.5 36.7
tidak terlibat dalam masalah
18 Ketika membuat jadwal belajar, kita harus 0 2.8 74.3 22.9
melaksanakannya
19 Setiap orang harus bersyukur tehadap apa 0.9 0 26.6 72.5
yang mereka miliki
20 Saya tahu bahwa kita tidak boleh berputus asa 0 1.8 34.9 63.3
21 Beribadah sesuai dengan keyakinan adalah hal 0 0 13.8 86.2
yang penting
22 Manusia yang baik adalah manusia yang 0 0 10.1 89.9
selalu bersyukur kepada Tuhannya

Lampiran 6 Analisis item pertanyaan moral feeling

STS TS S SS
No Pernyataan
(%) (%) (%) (%)
1 Saya merasa senang ketika saya dapat 0 2.8 39.4 57.8
melakukan sesuatu dengan cara saya sendiri
2 Saya senang bertanya di kelas 0 26.6 63.3 10.1
3 Saya merasa senang ketika orang lain 0 8.3 59.6 32.1
memberikan saran kepada saya
4 Saya selalu senang untuk belajar meskipun 0.9 24.8 59.6 14.7
tidak disuruh oleh orangtua, guru atau
siapapun
5 Saya merasa senang ketika saya dapat 0 8.3 57.8 33.9
menyelesaikan masalah dan semua orang
senang dengan solusi yang saya berikan
6 Saya merasa senang bila dapat 0.9 12.8 65.2 21.1
mempertahankan pendapat saya
7 Saya merasa ingin menyerah ketika saya gagal 2.8 27.5 48.6 21.1
dalam melakukan sesuatu*
58
Lanjutan Lampiran 6

8 Saya merasa bersalah ketika saya harus 3.7 11.9 50.5 33.9
berbohong
9 Saya merasa senang dapat membahagiakan 0 2.8 46.7 50.5
orang lain
10 Saya selalu ingin membuat orang lain 0 4.6 55.0 40.4
disekitar saya merasa senang
11 Saya selalu ingin membuat seseorang merasa 0.9 1.8 59.6 37.7
nyaman berbicara dengan saya
12 Saya merasa bertanggung jawab untuk 1.8 28.4 57.0 12.8
menjaga kebersihan sekolah
13 Saya senang apabila saya dapat berbuat adil 1.0 5.5 59.6 33.9
pada orang lain
14 Saya senang apabila saya diminta menjadi 5.5 30.3 50.5 13.7
pemimpin
15 Saya merasa senang apabila saya bisa 1.8 5.5 57.8 34.9
memaafkan teman saya
16 Saya senang bila menjadi tempat curhat bagi 0.9 5.5 57.8 35.8
teman saya
17 Saya menyesal bila lupa mengerjakan tugas 2.8 23.9 54.1 19.3
sekolah
18 Saya senang ketika saya dapat menyisihkan 0.9 12.8 51.4 34.9
sebagian uang jajan saya untuk ditabung
19 Saya merasa iri pada teman yang lebih 3.7 20.2 47.7 28.4
pintar/kaya/cantik dari saya*
20 Saya tidak pernah merasa putus asa dalam hal 2.8 16.5 58.7 22.0
apapun
21 Saya merasa tenang setelah saya berdoa 0 0.9 35.8 63.3
22 Saya merasa senang apabila dapat mematuhi 0 1.0 18.3 80.7
ajaran agama

Lampiran 7 Analisis item pertanyaan moral action

TP JR SR SL
No Pernyataan
(%) (%) (%) (%)
1 Saya melakukan sesuatu dengan cara yang 2.8 53.2 36.7 7.3
berbeda dari orang lain
2 Jika ada hal-hal baru yang menarik bagi saya, 1.0 22.0 49.5 27.5
saya akan mencari tahu lebih banyak tentang
hal tersebut
3 Saya mudah menerima pendapat dan saran 1.8 34.9 47.7 15.6
orang lain
4 Jika saya tertarik pada sesuatu, saya akan 2.8 24.8 40.4 32.0
mempelajarinya dengan sungguh-sungguh
Lanjutan
5 Saya Lampiran 7
memberikan solusi apabila ada masalah 1.0 36.7 44.0 18.3
6 Saya mempertahankan pendapat saya ketika 1.8 14.7 42.2 41.3
saya yakin bahwa itu adalah benar
7 Saya mengerjakan tugas sampai selesai 2.8 24.8 45.9 26.5
59

8 Saya menepati janji 0.9 32.1 47.7 19.3


9 Saya memiliki sahabat 2.8 1.8 15.6 79.8
10 Saya akan membantu orang lain meskipun 0 40.4 44.0 15.6
tidak diminta
12 Saya ikut kerja bakti untuk membersihkan 8.3 53.2 29.3 9.2
sekolah
13 Saya memberikan kesempatan yang sama bagi 0.9 23.9 61.4 13.8
teman saya saat sedang mengerjakan tugas
kelompok
14 Saya pernah menjadi seorang pemimpin 11.9 54.1 22.0 12.0
dalam suatu kelompok
15 Saya memaafkan kesalahan teman saya 3.7 8.3 38.5 49.5
16 Saya adalah pendengar yang baik bagi semua 3.7 33.0 56.0 7.3
orang
17 Saya tidak mencontek saat ujian 6.4 44.0 31.3 18.3
18 Saya memiliki jadwal belajar 3.7 22.0 25.7 48.6
19 Saya mengeluh karena saya tidak memiliki 2.8 14.6 51.4 31.2
apa yang teman saya miliki*
20 Saya pantang menyerah ketika sesuatu 3.7 25.7 46.8 23.8
berjalan tidak sesuai dengan rencana
21 Saya menyempatkan diri untuk beribadah 0 14.7 33.0 52.3
22 Saya memulai kegiatan dengan berdoa 0 18.3 30.3 51.4

Lampiran 8 Hasil analisis regresi linier berganda karakteristik remaja terhadap


komunikasi dan kelekatan dengan teman sebaya

Variabel Komunikasi dengan teman Kelekatan dengan teman


sebaya sebaya
β Sig. β Sig.
Konstanta 72.273 .000 96.760 .000
Jenis kelamin -6.425 .002** -4.232 .024*
(1=perempuan,
2=laki-laki)
Usia remaja -.283 .809 -1.631 .129
(tahun)
Adjusted R 0.083 0.076
Square
Ket: *Signifikan pada p<0.05; **Signifikan pada p<0.01

Lampiran 9 Hasil uji korelasi karakteristik remaja dan keluarga terhadap


komunikasi dan kelekatan dengan orangtua serta teman sebaya
60

Variabel Komunikasi Kelekatan Komunikasi Kelekatan


dengan teman dengan teman dengan dengan
sebaya sebaya orangtua orangtua
Jenis kelamin -.315* -.270** .072 .018
(1=perempuan,
2=laki-laki)
Usia remaja -.120 -.219* -.028 -.024
(tahun)
Usia ayah - - -.099 .051
(tahun)
Usia ibu (tahun) - - -.011 .025
Lama - - .248** .191*
pendidikan ayah
(tahun)
Lama - - .145 .294**
pendidikan ibu
(tahun)
Pendapatan per - - -.003 .057
kapita (rupiah)
Ket: *Signifikan pada p<0.05; **Signifikan pada p<0.01

Lampiran 10 Hasil analisis regresi linier berganda karakteristik remaja dan


keluarga terhadap komunikasi dan kelekatan dengan orangtua

Variabel Komunikasi dengan orangtua Kelekatan dengan orangtua


β Sig β Sig
Konstanta 58.525 .012 50.923 .014
Jenis kelamin 2.044 .392 .875 .680
(1=perempuan,
2=laki-laki)
Usia anak -.675 .628 -.226 .855
(tahun)
Usia ibu .075 .617 .117 .379
(tahun)
Lama 1.300 .029* .372 .479
pendidikan
Lanjutan Lampiran 10
ayah (tahun)
Lama .254 .690 1.428 .013*
pendidikan ibu
(tahun)
Pendapatan per -1.104E- .687 4.208E-7 .863
kapita (rupiah) 6
Adjusted R 0.019 0.045
Square
Ket: *Signifikan pada p<0.05; **Signifikan pada p<0.01
61

Lampiran 11 Hasil analisis regresi linier berganda variabel yang berpengaruh


terhadap karakter remaja
Variabel moral knowing moral feeling moral acting Karakter remaja
remaja remaja remaja
β Sig. β Sig. β Sig. β Sig.
Konstanta 70.853 .000 33.580 .043 36.94 .065 47.125 .001
1
Jenis kelamin -2.811 .091 -1.900 .241 -3.375 .086 -2.695 .055
(1=perempuan,
2=laki-laki)
Usia anak -.791 .396 -.054 .953 .411 .708 -.145 .854
(tahun)
Usia ibu (tahun) .075 .448 .204 .038* -.112 .339 .056 .507
Lama .009 .982 -.274 .480 -.299 .524 -.188 .574
pendidikan
ayah (tahun)
Lama .067 .878 -.032 .941 .304 .888 .113 .760
pendidikan ibu
(tahun)
Pendapatan per - .063 - .041* 2.982 .888 - .143
kapita (rupiah) 3.372 3.634 E-7 2.236E
E-6 E-6 -6
Komunikasi .033 .650 .104 .150 .159 .069 .099 .113
orangtua (skor)
Kelekatan .079 .341 -.002 .983 -.031 .748 .015 .827
orangtua (skor)
Komunikasi .022 . 650 .181 .078 -003 .978 .066 .449
teman sebaya
(skor)
Kelekatan .336 .005** .337 .004** .372 .008** .349 .001**
teman sebaya
(skor)
Adjusted R 0.225 0.342 0.170 0.330
Square

Anda mungkin juga menyukai