Anda di halaman 1dari 22

TRANSPORTASI MEDIS PASIEN KRITIS

--Syaiful Fatah--

LATAR BELAKANG

Transportasi medik (medical transport) merupakan elemen penting yang


memiliki peran memindahkan pasien dari fasilitas rural ke sentral dengan
mempertahankan stabilitas hemodinamik khususnya pasien kritis selama transfer.
Transportasi medik terdiri dari transportasi darat, udara (inflight medical transport) dan
laut. Transportasi udara dan darat merupakan sistem transfer pasien yang paling utama
pada pelayanan jamaah haji. Petugas medis diharuskan mampu melakukan pengenalan
awal (early recignition) tanda-tanda penyakit berat dan resiko tinggi.
Dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut diperlukan pemahaman standard
sarana, obat-obatan, komunikasi, sistem dan tim medis khusus dalam transfer pasien.
Selain itu keterampilan individu, team work dan kelompok juga diperlukan untuk
mencapai tujuan transportasi medis tersebut.
Transport pasien dalam keadaan kritis mempunyai resiko pada pasien sehingga
merupakan tantangan yang sangat besar bagi para klinisi. Alasan untuk melakukan
transport pada pasien adalah untuk mendapatkan pelayanan kesehatan tambahan,
diagnostik atau terapiutik yang lebih canggih tidak tersedia.
Pasien dalam keadaan kritis memiliki sedikit atau tidak samasekali cadangan
fisiologis tubuhnya. Memindahkan pasien seperti tersebut menimbulkan suatu masalah
tersendiri dan dapat menimbulkan suatu perubahan fisiologis yang merugikan dan
dapat mengancam keselamatan pasien saat transportasi. Sehingga transport pasien
kritis harus dilakukan dengan persiapan yang matang dan perhatian yang seksama dan
detail pada hal-hal yang harus diperhatikan. Guideline atau pedoman sudah tersedia
dan prinsip-prinsip utama dalam melakukan transport pasien kritis meliputi 5P:
1. Planning (perencanaan)
2. Personnel (jumlah yang cukup disertai dengan kemampuan yang sudah
terstandarisir dalam evakuasi pasien kritis).
3. Properties (alat yang dipakai dalam transportasi)
4. Peosedur (alat yang dipakai mengukur kestabilan keadaan pasien
sebelum dan saat diberangkatkan)
5. Passage (pilihan rute dan tehnik transport)
TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM

Mahasiswa mampu memahami dan mengaplikasikan sistem transportasi medis


pasien kritis

TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS

1. Mahasiswa memahami tujuan transportasi medis


2. Mahasiswa memahami standard transportasi medis
3. Mahasiswa mampu mengaplikasikan transportasi medis pasien kritis

Alat-alat yang harus dipersiapkan


I. Alat bantu pernafasan
1. Intubasi
• Pipa endotrakeal dan konektornya - untuk dewasa dan anak-anak
• Introducer, bougie, forsep magill
• Laringoskop, bilah laringoskop, lampu laringoskop dan betere
• Alat tambahan: syringe untuk mengembangkan cuff, manometer, forsep
klip, pipa endotrakeal leher angsa, jelly untuk pelicin, plester, filter penyerap
cairan.
2. Alat bantu nafas lain
• Sederhana : nasofaring dan Guedel
• Supraglotik : laryngeal mask dan combitube
• Infraglotik : krikotirotomi set dan pipa krikotiroid
3. Masker oksigen: (termasuk masker oksigen untuk FiO2 bertekanan tinggi,
tubing dan nebulizer).
4. Alat suction
• Sistem utama: biasanya terpasang pada kendaraan transport
• Portable suction
5. Suction tubing, alat pemegang suction
6. Ventilator portable dengan alarm (alarm disconnect dan overpressure).
7. Sirkuit ventilator dan cadangannya.
8. Spirometer dan manometer cuff ( pengukur tekanan cuff pipa endotrakeal)
9. Capnograf (pengukur kadar karbondioksida)
10. Alat drainase pleura :
• Kateter interkosta dan kanula-nya.
• Set alat bedah beserta alat dan benang jarit.
• Heimlich type valve dan drainage bags
11. Sistem oksigen utama (biasanya sudah ada di kendaraan transport medis) yang
sudah cukup terisi oksigen dengan flowmeter dengan outlet dinding yang
standar.
12. Tabung oksigen cadangan dengan flowmeter dan outlet standar.

II. Alat bantu sirkulasi


1. Defibrilator/monitor/AED beserta dengan leads, elektroda dan pads.
2. Peralatan pemberian cairan intravena:
• Berbagai cairan infus : kristaloid isotonik, dekstrose, koloid.
• Infus set dan blood set.
• Kanula intravena berbagai ukuran: perifer dan sentral
• Ekstensi intravena set (three way dan needle free injection system)
• Syringe, jarum
• Alcohol swipes (untuk desinfeksi kulit), plester dan peralatan dressing
intravena.

• Pressure infusion bag


3. Peralatan monitoring tekanan darah
• Kanula arteri beserta arteri tubing dan transdusernya.
• Monitor tekanan darah invasif dan non invasif.
• Sphygmomanometer aneroid (non merkuri) dan cuff berbagai macam
ukuran yang kompatibel dengan monitor elektronik atau manual.

• Oksimeter nadi dengan probe jari dengan berbagai macam jenis serta
ukurannya.
4. Syringe / infusion pump (minimal 2 buah) dan tubing yang sesuai.

III Peralatan Lainnya.


1. Kateter urine dan drainase/ bag penampung urine.
2. Gastric tube beserta bag penampungnya.
3. Peralatan bedah minor:
• Kateter interkostal , kateter vena sentral, krikotirotomi.
• Instrumen steril: skalpel, gunting, forsep, tempat jarum.
• Peralatan menjarit dan jarum jarit.
• Antiseptik, peralatan desinfeksi kulit dan perawatan pascatindakan.
• Sarung tangan steril (berbagai macam ukuran), gaun steril dan drapes.
4. Cervical collar, peralatan immobilisasi tulang belakang, splints.
5. Baju pneumatik antisyok (military antishock trousers/MAST).
6. Termometer (non merkuri) dan atau probe temperatur/ monitor.
7. Selimut reflektif dan kain penutup yangberfungsi sebagai penahan panas
(thermal insulation drapes).
8. Perban, plester, gunting heavyduty.
9. Sarung tangan dan kacamata proteksi.
10.Wadah penampungan benda tajam dan terkontaminasi.
11.Pulpen dan map tempat tulis-menulis.
12.Lampu senter.
13.Label untuk memberi tanda pada obat dan pulpen marker.
14.Dekongestan nasal (utnuk pencegahan barotitis).

Agen Farmakologi
1. Obat-obatan susunan saraf pusat:
• Golongan narkotika dan non-narkotika analgetika.
• Ansiolitik / sedatif
• Trankuiliser mayor
• Antikonvulsan.
• Hipnotika intravena/ obat anestetik
• Antiemetik
• Anestetik lokal.
2. Obat-obatan jantung:
• Antiaritmia.
• Antikolinergik.
• Inotropik/ vasokonstriktor.
• Nitrat.
• Alfa dan Beta-bloker dan obat hipotensif.
3. Elektrolit dan obat-obatan Renal:
• Sodium bikarbonat.
• Kalsium klorida
• Magnesium
• Antibiotika
• Oksitosin
• Potasium
• Loop diuretika
• Osmotik diuretika
4. Obat-obatan metabolik dan endokrin:
• Glukose (konsentrat) dan glukagon
• Insulin
• Steroid
5. Obat-obatan lain:
• Blok neuromuskular : depolarisasi dan non depolarisasi.
• Antikolinesterase ( untuk reverse obat blok neuromuskular).
• Antagonis narkotik dan benzodiazepine.
• Bronkodilator.
• Antihistamin.
• Penghambat reseptor H2 dan penghambat pompa proton.
• Antikoagulan atau trombolitik.
• Vitamin K.
• Tokolitik.
6. Cairan: saline dan air steril.

Peralatan Tambahan
1. Pacu jantung dan transvenous temporary pacing kit.
2. Darah (biasanya golongan darah O rhesus negatif dan atau produk darah lain.
3. Infusion pump cadangan dan peralatan pemasangan kanulasi vena cadangan.
4. Peralatan untuk melahirkan.
5. Peralatan khusus pediatrik tambahan.
6. Anti bisa atau anti racun binatang/serangga.
7. Obat-obatan spesifik lain dan antagonisnya.

Oksigenasi dan hipoksia


Pasien kritis yang sudah tergantung dengan FiO2 yang tinggi akan terancam
keselamatannya dengan penurunan tekanan atmosfer. Suplementasi oksigen sangat
diperlukan tetap menjaga agar PaO2 arteri tetap stabil. Hanya pada keadaan tertentu
misalnya penerbangan dekompresi tiba-tiba dikabin pesawat, akan mengakibatkan
timbulnya hipoksia pada anggota team, oleh karena itu semua anggota team harus waspada
akan gejala dan resiko yang akan terjadi.

MONITORING HEMODINAMIK
1. Pulse oximetry
A. Pengertian
Pulse oximeter merupakan alat yang secara tidak langsung memonitor saturasi oksigen
dalam darah pasien. Perubahan volum darah di kulit menghasilkan
photoplethysmograph (SpO2). Pulse oximetry merupakan komponen penting dalam
memonitor respiratori.

B. Cara Kerja
Pulse oximetry menggunakan dua panjang gelombang cahaya yang berbeda pada
spektrum merah dan inframerah, yang diserap secara berbeda oleh oksihemoglobin dan
deoksihemoglobin. Pulse oximeter memisahkan komponen pulsatil dari absorpsi sinyal
dengan komponen nonpulsatil, yang diasumsikan bahwa komponen pulsatil
merepresentasikan darah arteri.
Pulse oximeter mengestimasi saturasi SaO2 dengan mengukur perubahan absorpsi
cahaya jaringan pada dua panjang gelombang yang spesifik, yaitu 660 nm (merah) dan
940 nm (inframerah)

Koefisien absorpsi untuk fully saturated hemoglobin (OxyHb), desaturated hemoglobin


(DeOxyHb), carboxyhemoglobin (COHb), dan methemoglobin (MetHb). Perhatikan
bahwa pada panjang gelombang 660 dan 940 nm, absorpsi OxyHb dan DeoxyHb terbalik.

C. Interpretasi
- Nilai normal SaO2: 95-100%.
- Apabila pasien mengalami hipotensi atau vasokonstriksi berat, maka pulse oximeter
mungkin tidak dapat mendeteksi sinyal dengan akurat.
- Pulse oximeter memancarkan cahaya melewati jaringan (biasanya jari, namun daun
telinga, hidung dan lainnya juga dapat digunakan) lalu menentukan seberapa besar
tiap panjang gelombang yang diserap, serta menghitung saturasi oksigen.
- Karena penyerapan spektrum karboksihemoglobin (COHb) dan oksihemoglobin
dengan panjang gelombang cahaya yang digunakan pada pulse oximetry ini sama,
maka oximeter akan memberikan hasil saturasi oksigen yang keliru dan terlalu tinggi
pada kondisi keracunan karbon monoksida. Methemoglobinemia juga akan
mengganggu keakuratan pulse oximetry.

2. Noninvasive blood pressure (NIBP) monitoring


A. Pengertian
Noninvasive blood pressure (NIBP) menggunakan cuff tekanan darah, dengan mesin yang
secara otomatis memompa dan mengempiskan cuff.
B. Cara Kerja
Alat NIBP memberikan hasil tekanan darah sistolik, diastolik, dan mean arterial pressure
(MAP), beserta sebuah sistem alarm yang dapat didengar dan diprogramkan untuk
mengukur tekanan darah sesering mungkin sesuai keperluan (bisa setiap menit pada
pasien yang tidak stabil).
Pengukurannya di sini berdasarkan oscillometry, yaitu variasi tekanan pada cuff karena
pulsasi arteri dideteksi oleh monitor (apabila tekanan darah diukur secara manual, maka
oscilasi ini akan dilihat sebagai defleksi pada sphygmomanometer ketika cuff
dikempiskan).
Tekanan pada oscilasi yang maksimal berhubungan dengan MAP. Tekanan sistol dan
diastol dihitung dengan menggunakan rumus berdasarkan puncak oscilasi.

C. Interpretasi
- Pengukuran NIBP ototmatis dan pengukuran tekanan darah secara manual
berhubungan erat (standar mengharuskan eror kurang dari 5±8 mmHg sehubungan
dengan standar referensi).
- Pada pasien yang hipotensi berat tidak mungkin dapat dilakukan pengukuran tekanan
darah dengan NIBP.
- Pengukuran NIBP akan kurang akurat apabila ukuran cuff tidak sesuasi (sama halnya
dengan pengukuran tekanan darah manual.

Parameter Rentang normal


Tekanan darah arteri
Sistolik (SBP) 90-140 mmHg
Diastolik (DBP) 60-90 mmHg
Mean arterial pressure (MAP) 70-105 mmHg
[SBP + (2xDBP)]/3

D. Komplikasi
- Nyeri
- Muncul peteki dan ekimosis
- Memar
- Edem ekstremitas
- Neuropati perifer (apabila cuff menekan saraf)
- Stasis vena dan tromboflebitis
- Sindrom kompartemen.

3. Elektrokardiogram
A. Pengertian
Ketika otot jantung mengalami depolarisasi, arus listrik ekstraseluler antara sel yang
terdepolarisasi dan sel yang istirahat menyebabkan suatu potensial yang dapat diukur
pada permukaan tubuh sebagai elektrokardiogram (EKG).

B. Cara Kerja
EKG menggunakan konsep Einthoven’s equilateral triangle dengan jantung sebagai
sumber arus listrik pada tengahnya. Sudut segitiga mendekati lead ekstremitas yang
terhubung dengan lengan kanan, lengan kiri, dan kaki kiri. Perbedaan potensial antara
kedua lead tergantung pada amplitudo (massa otot) dan arah arus listrik, yang
menentukan vektor. Dengan ketentuan bahwa voltase positif direkam sebagai defleksi
ke atas.

Lead ekstremitas dan vektor.


• Lead bipolar merekam perbedaan potensial yang melewati sepanjang sisi segitiga
Einthoven (yaitu lead I, lengan kanan dan kiri; lead II, lengan kanan dan kaki kiri; lead
III, kaki kiri dan lengan kiri). Lead II normalnya memiliki defleksi yang paling besar
(voltase) karena merupakan yang paling sesuai dengan arah depolarisasi ventrikel.
• Lead unipolar menggunakan single sensing electrode dan mengukur perbedaan
potensial antara elektroda dan suatu perkiraan potensial nol, yang didapatkan dengan
menghubungkan lead ekstremitas melalui sebuah resistor. Lead prekordial (dada)
menggunakan lead yang dipasang pada 6 titik di dinding dada anterior.
Lead prekordial (dada).

Lead ekstremitas menggunakan single limb lead sebagai suatu sensing elektrode
(lengan kanan aVR; lengan kiri aVL; kaki kiri aVF) dengan dua lead ekstremitas lainnya
dihubungkan untuk mengestimasi potensial nol. Keenam lead ekstremitas
memperlihatkan aktivitas listrik tiap 30o.
Menilai mean frontal QRS axis.
Gunakan lead I, II, dan III (triaxial reference system). Tentukan
mana yang memiliki defleksi paling besar (positif atau negatif).
Aksis QRS merupakan yang paling dekat dengan lead tersebut.
Apabila defleksi pada 2 lead sama besarnya, maka aksis QRS
berada di pertengahan antara kedua lead tersebut.
Contoh:
EKG memiliki 3 komponen utama yang berhubungan dengan amplitudo dan arah (vektor)
gelombang depolarisasi. Segmen PR dan ST yang normal adalah isoelektrik dimana tidak
terdapat arus listrik yang mengalir (perbedaan potensial nol) karena semua jaringan
istirahat atau semuanya terdepolarisasi.

Hubungan antara depoalrisasi dan kompleks EKG.

- Gelombang P: gelombang paling awal, berupa defleksi positif kecil karena depolarisasi
atrium.
- Kompleks QRS: menggambarkan depolarisasi ventrikel.
Memiliki amplitudo terbesar karena massa ventrikel yang besar dengan
durasi ̴0,08 detik.
Pada lead II, gelombang Q defleksi negatif dan kecil karena depolarisasi
dari kiri ke kanan pada septum interventrikuler.
Gelombang R tampak sebagai defleksi positif yang kuat karena
depolarisasi massa utama ventrikel.
Gelombang S tampak sebagai defleksi negatif dan kecil karena
depolarisasi pada basis ventrikel.
Komponen Q, R, dan S bervariasi pada setiap lead tergantung dari
orientasi jantung.
- Gelombang T: menggambarkan repolarisasi ventrikel.
Defleksi negatif (yaitu repolarisasi kompleks QRS positif) mungkin
diharapkan akan muncul pada lead II, namun bentuk gelombangnya di
sana yang muncul adalah gelombang positif karena potensial aksi
jantung lebih singkat pada basis jantung dan epikardium sehingga area
tersebut akan terlebih dahulu mengalami repolarisasi. Oleh karenanya,
gelombang repolarisasi normalnya bergerak menuju apeks jantung dan
menimbulkan defleksi positif.
Selama kondisi iskemia atau adanya penyakit jantung yang
memperpanjang potensial aksi jantung atau melambatkan konduksi,
repolarisasi pada basis dapat terlambat hingga seetelah apeks dan
dalam keadaan ini gelomban T mmengalami inversi.
- Interval PR: menggambarkan penundaan antara depolarisasi atrium dan
ventrikel karena konduksi yang lambat melewati nodus atrioventrikuler.
Durasinya antara 0,12-0,2 detik dan akan memendek seiring dengan
meningkatnya denyut jantung.
Normalnya, nodus atrioventrikuler merupakan satu-satunya penghubung
aliran listrik antara atrium dan ventrikel, karena anulus fibrosus
diantaranya tidak mengkonduksikan listrik dan mencegah aliran listrik pada
tempat lain.
- Segmen ST: menggambarkan potensial aksi ventrikel yang plateau dan berlangsung
selama 0,25 detik.
Selama iskemia atau cardiac injury, depolarisasi parsial baseline dari
beberapa sel menciptakan arus listrik yang mencederai dengan jaringan
yang tidak rusak menyebabkan elevasi atau depresi baseline EKG.
Namun, selama segmen ST, seluruh sel terdepolarisasi komplit dimana
akan menimbulkan elevasi/depresi nyata pada segmen ST, walaupun
sebenarnya baseline-nya lah yang berubah.

C. Interpretasi
EKG direkam pada kertas standar dan defleksi 10 mm mewakili 1 mV. Kecepatan
perekamannya adalah 25 mm/detik (kotak 1 mm = 0,04 detik, kotak 5 mm = 0,2 detik).
Berikut pendekatan sistematik dalam menginterpretasikan EKG:
• Rate: denyut jantung normal saat istirahat adalah 60-100/menit.
• Ritme: menentukan regularitas dan denyut tambahan.
• Aksis elektrik: sudut vektor EKG pada amplitudo maksimum (yaitu arus listrik).
Frontal plane axis dapat dihitung dari ketiga lead bipolar dan normalnya berada dekat
dengan lead II (antara -30o dan +90o). Kompleks QRS harus besar dan positif pada lead
I dan II.
- Deviasi aksis ke kiri (left axis deviation/LAD) terjadi ketika aksis lebih negatif dari -
30o (contohnya pada infark miokard inferior, left anterior hemiblock, hipertrofi
ventrikel kiri (LVH)).
- Deviasi aksis ke kanan (right axis deviation) terjadi ketika aksis lebih positif dari +90o
(contohnya pada hipertrofi ventrikel kanan, emboli pulmo, cor pulmonale, left
posterior hemiblock, infark miokard lateral).
• Gelombang P normalnya ke arah atas pada lead II dan V4-6 dan dapat bifasik pada V1.
Gelombang P tinggi menggambarkan hipertrofi atrium kanan.
Gelombang P yang lebar dan bifid menggambarkan hipertrofi atrium kiri.
Gelombang P akan menghilang pada kondisi fibrilasi atrium.
• Interval PR: merupakan interval pendek yang menggambarkan konduksi yang cepat
antara atrium dan ventrikel serta menunjukkan adanya jalur tambahan (misalnya
pada Wolff-Parkinson-White [WPW] syndrome).
- Pemanjangan interval PR terjadi pada AV blok derajat I.
- Pada AV blok derajat II hanya beberapa gelombang P yang diikuti oleh kompleks
QRS.
- Pada AV blok total tidak ada hubungan antara gelombang P dan kompleks QRS.
• Gelombang Q dapat normal pada lead III, aVR dan V1.
Gelombang Q pada lead I, II, aVF, dan aVL abnormal apabila tingginya >50% dari tinggi
gelombang R yang mengikutinya (memberi kesan adanya iskemia).
• Lebar dan amplitudo kompleks QRS: apabila lebar maka menandakan adanya
konduksi intraventrikuler yang terlambat dan dapat dikarenakan oleh adanya RBBB
(RsR’ pada V1), LBBB (QS pada V1, RsR’ pada V6), overdosis tricyclic antidepresant, atau
takiaritmia ventrikel.
Voltase QRS total dapat menunjukkan LVH (contohnya S pada V2 + R pada V5 = >35
mm).
• Segmen ST
- Elevasi segmen ST terjadi pada infakr miokard akut (bentuk cekung ke bawah),
perikarditis (bentuk cekung ke atas), aneurisma ventrikel, LVH, dan hypertrophic
cardiomyopathy.
- Depresi segmen ST terjadi pada myocardial ischaemia, digoksin dan LVH strain.
• Interval QT: harus dikoreksi untuk denyut jantung (QTc = QT/√R-R = ̴0,39 detik). Pada
denyut jantung 60-100/menit, QT harus <50% dari interval R-R.
- Interval QT yang memanjang merupakan predisposisi ‘torsades de pointes’ dan
terjadi selama hipotermi, hipokalemi, infark miokard akut, tidur, dan karena obat
(seperti quinidine, tricyclic antidepressant).
- Interval QT yang pendek dapat disebabkan oleh kondisi hiperkalsemia atau digoksin.
• Gelombang T: abnormal apabila mengalami inversi pada V4-6.
- Gelombang T yang tinggi memuncak, terjadi pada infark miokard akut dan
hiperkalemi.
- Gelombang T yang datar (terkadang dengan gelombang U yang prominen) terjadi
pada hipokalemia.

4. Capnography
A. Pengertian
Capnography merupakan tampilan grafik konsentrasi CO2 sesaat versus waktu (time
capnogram) atau volum ekspirasi (volume capnogram) selama siklus respirasi.
Capnography dapat digunakan untuk memeriksa posisi ET, ventilasi, dan status perfusi
paru-paru.

B. Cara Kerja
- Prinsip capnography yaitu intensitas radiasi inframerah yang dipancarkan melalui
campuran gas yang mengandung Co2 akan berkurang dengan absorpsi. Lalu udara
ekspirasi dapat dianalisis sebagai inline device (mainstream) atau sampled outside
(sidestream).
- Udara yang dihirup sebenarnya tidak mengandung CO2. Pada akhir ekspirasi,
konsentrasi end-tidal CO2 mencerminkan PaCO2 arteri dan merefleksikan ventilasi
alveolar apabila distribusi ventilasi seragam/uniform.
- Pada inspirasi komplit, tidak akan terdapat CO2 pada jalan napas besar ketika akhir
inspirasi. Ketika pasien mulai ekspirasi, awalnya sensor CO2 tidak akan mendeteksi
CO2 sama sekali karena ekshalasi berasal dari dead space.
- Ketika ekshalasi berlanjut, CO2 akan meningkat dan mencapai puncaknya sehingga
dapat dideteksi oleh sensor. Setelah ekshalasi, saat pasien mulai inspirasi, CO2 akan
turun kembali ke baseline 0 karena udara yang dihirup bebas dari CO2. Hal ini akan
menimbulkan gelombang khas yang disebut dengan capnogram.
Capnogram normal.

Fase I : Pada saat mulai ekshalasi, udara dead space anatois dan fisiologis
diekspirasi, sehingga tidak terdapat CO2.
Fase II : Ekshalasi berlanjut, sehingga CO2 akan meningkat.
Fase III : CO2 plateau.
Fase IV : Inspirasi.

C. Interpretasi
- Fase ekspirasi yang miring dan memanjang menunjukkan adanya obstruksi
pada jalur respirasi, baik obstruksi pada ET atau penyakit paru obstruktif.

Capnogram menunjukkan adanya obstruksi jalan napas.

- Elevasi bseline menunjukkan adanya rebreathing, aliran gas yang insufisien.


- Kontaminasi sampel ekspirasi oleh aliran fresh gas atau titik sampling yang
terlalu dekat dengan fresh gas.

- EtCO2 yang rendah mengindikasikan hiperventilasi.

- EtCO2 yang tinggi mengindikasikan hipoventilasi.


- Penurunan mendadak EtCO2 dapat dikarenakan oleh asistol, hipotensi, atau
emboli pulmo massif.

- Jenis capnogram berikut dapat diamati pada saat pelepasan CO2 yang
mendadak setelah melepas klem pembuluh darah besar atau saat melepas
tourniquet.

- Penurunan dan peningkatan mendadak EtCO2 disebabkan oleh adanya emboli


udara.
- Cardiac oscilation disebabkan oleh kontraksi dan relaksasi jantung.

- Gambar berikut menunjukkan kondisi pasien yang tersedasi dan inadequately


paralyzed serta memiliki usaha napas spontan.

- Gambar berikut menunjukkan hilangnya usaha napas setelah pemberian


muscle relaxant, yang disebut sebagai curare effect.

Capnogram memperlihatkan curare effect setelah blok neuromuscular.

- Dapat digunakan pada weaning untuk melihat kembalinya respirasi spontan


pasien.
Capnogram menunjukkan kembalinya respirasi spontan.
REFERENSI
Champion, L 2015, ‘Oxygen delivery, cardiac function and monitoring’, in J Fuller, J Granton
& I McConachie (eds), Handbook of ICU therapy, 3 edn, Cambridge University Press,
United Kingdom, pp. 1-11.
Geisen, M, Cecconi, M & Rhodes, A 2014, ‘Assesment of cardiac filling and blood flow’, in JE
Parillo & RP Dellinger, Critical care medicine: principles of diagnosis and management
in the adult, 4 edn, Elsevier Saunders, Philadelphia, pp. 31-45.
Govil, D & Gupta, S 2012, ‘Pulse oximetry and capnography’, in R Chawla & S Todi (eds), ICU
protocols a stepwise approach, Springer, India, 2012. pp. 113-121.
Hickson, L & Hore, C 2015, ‘Haemodynamic monitoring’, in P Cameron, G Jelinek, A Kelly, A
Brown, M Little (eds), Textbook of adult emergency medicine, 4 edn, Elsevier Ltd, China,
pp. 161-181.
Kumar, A & Yeung, J 2010, ‘Haemodynamics monitoring’, in FG Smith & J Yeung, Core topics in
critical care medicine, Cambridge University Press, New York, pp. 312-318.
Leach, R 2014, ‘Monitoring in critical care medicine’, in R Leach (ed), Critical care medicine at
a glance, 3 edn, John Wiley & Sons, Ltd., UK, pp. 6-7.
Leach, R 2014, ‘The electrocardiogram’, in R Leach (ed), Critical care medicine at a glance, 3
edn, John Wiley & Sons, Ltd., UK, pp. 8-9.
Mathews, R & Brown, DL 2010, ‘Invasive hemodynamic monitoring in the cardiac intensive
care unit’, in A Jeremias & DL Brown, Cardiac intensive care, 2 edn, Saunders,
Philadelphia, pp. 558-568.
Myatra, SN, Divatia, JV & Venkatraman, R 2012, ‘Hemodynamic monitoring’, in R Chawla & S
Todi (eds), ICU protocols a stepwise approach, Springer, India, pp. 125-135.
Nguyen, HB, Huang, DT & Pinsky, MR 2016, ‘Hemodynamic monitoring’, in JE Tintinalli, JS
Stapczynski, OJ Ma, DM Yealy, GD Meckler & DM Cline (eds), Tintinalli’s emergency
medicine a comprehensive study guide, 8 edn, McGraw-Hill Education, United States,
pp. 209-216.
Pascual, JL, Horak, J, Gracias, VH & Neligan, PJ 2013, ‘Volume status and cardiac function’, in
PD Roux, JM Levine & WA Kofke, Monitoring in neurocritical care, Elsevier Saunders,
Philadelphia, pp. 176-188.
Pinsky, MR 2015, ‘Assesing the circulation: oximetry, indicator dilution, and pulse contour
analysis’, in JB Hall, GA Schmidt &JP Kress (eds), Principles of critical care, 4 edn,
McGraw-Hill Education, New York , pp. 242-248.
Rhodes, A, Grounds, RM & Bennett, ED 2011, ‘Hemodynamic monitoring’, in JL Vincent, E
Abraham, FA Moore, PM Kochanek & MP Fink, Textbook of Critical Care, 6 edn, Elsevier
Saunders, Philadelphia, pp. 533-537.

Anda mungkin juga menyukai