Anda di halaman 1dari 21

Clinical Science Session

TUBO OVARIUM ABSES

Oleh:

Prima Dewi Yuliani 1210312120

Bunga Julia Fentika Rahmi 1710312259

Preseptor :

dr. Suhadi, Sp.OG

BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

RSUD KOTA PADANG PANJANG

2018

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan kepada Allah SWT, yang telah
melimpahkan rahmat dan karuniaNya, sehingga CSS yang berjudul “Tubo
Ovarium Abses” ini dapat dilesaikan.

CSS ini ditulis untuk menambah pengetahuan dan wawasan mengenai


tubo ovarium absessebagai salah satu syarat dalam mengikuti kepaniteraan klinik
senior di bagian Ilmu penyakit Obstetri dan Ginekologi Kedokteran Universitas
Andalas.

Terima kasih penulis ucapkan kepadadr. Suhadi, Sp.OG sebagai preseptor,


dan residen pembimbing yang telah membimbing dan membantu penulis dalam
pembuatan CSS ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa CSS ini masih jauh dari


kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan segala kritik dan
saran membangun demi perbaikan di masa yang akan datang.

Akhir kata penulis berharap semoga CSS ini dapat memberi manfaat bagi
kita semua di masa mendatang.

Payakumbuh, 22 Februari 2018

Penulis

2
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit radang panggul merupakan salah satu komplikasi serius dari

penyakit menular seksual. Hal ini bersumber dari traktus genitalia atas yang dapat

berkembang menjadi berbagai macam penyakit diantaranya endometritis,

salfingitis, salfingoooforitis,peritonitis pelvis, dan tubo ovarian abses.1

Tubo Ovarium Abses(TOA)adabab paling umum dari PID (Pelvic

inflammatory disease). Abses ini pada umumnya terjadi pada wanita usia

produktif dan kelanjutan dari infeksi saluran genital bagian bawah yang dapat

menimbulkan sekuele yang serius pada PID (Pelvic inflammatory disease). Tubo

Ovarium Abses sering terjadi pada wanita yakni antara usia 20-40 tahun.2,3Lebih

tua daripada puncak prevalensi PID. Walaupun dipercayai sebelumnya, riwayat

PID tampak tidak lebih sering pada pasien dengan Tubo Ovarium Abses.Paritas

pada pasien dengan Tubo Ovarium Abses sangat berbeda, namun studi

epidemiologi menunjukkan 25-50% terjadi pada nullipara.Tubo Ovarium Abses

berhubungan erat dengan PID (Pelvic inflammatory disease).PID disebabkan oleh

mikroorganisme yang menghuni endoserviks kemudian naik ke endometrium dan

tuba fallopi.Tubo Ovarium Abses merupakan end-stage process dari PID

3
akut2.Tubo Ovarium Abses terjadi sekitar 18-34% pada pasien dengan PID dan

22% dengan salpingitis di Nairobi, Kenya1,3.

Mekanisme terbentuknya Tubo Ovarium Abses terkadang sulit ditegakkan

dikarenakan oleh presentasi klinik yang berbeda dan derajat kerusakan tuba saat

infeksi ditemukan.Tubo Ovarium Abses umumnya disebabkan oleh

mikroorganisme umum yang menjadi penyebab STD (sexually transmitted

diseases), berhubungan seks dengan partner yang memiliki agen infeksius ini

merupakan faktor risiko yang sangat penting dalam terjadinya Tubo Ovarium

Abses.Selain itu, operasi ginekologi, kanker organ genital (genital malignancy),

IVF treatment, dan apendisitis yang mengalami perforasi juga diketahui menjadi

penyebab Tubo Ovarium Abses4.

Diagnosis Tubo Ovarium Abses sering sulit ditegakkan dan sulit

dibedakan dengan peradangan pelvis oleh sebab-sebab yang lain, sehingga

dibutuhkan anamnesa, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang yang tepat

untuk dapat menegakkan diagnosis pasti dan memberikan terapi yang

tepat.komplikasi yang dapat timul apabila tidak ditangani segera yaitu dapat

menyebabkan kematian, kemandulan dan kehamilan ektopik yang merupakan

masalah medik, sosial syok sepsis sehingga membutuhkan penanganan yang

cepat. Terapi yang dapat diberikan untuk pasien dengan abses tuboovarium adalah

antibiotik spektrum luas, drainage, ataupun tindakan bedah.Tubo Ovarium Abses

bisa ditangani dengan baik jika ditatalaksana dengan adekuat.3,4

1.2 Batasan Masalah

4
Batasan penulisan ini membahas mengenai definisi, klasifikasi,

epidemiologi, manifestasi klinis, diagnosis, diagnosis banding, terapi, dan

prognosis Tubo Ovarium Abses

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan ini adalah untuk menambah pengetahuan pembaca dan

penulis mengenai Tubo Ovarium Abses.

1.4 Metode Penulisan

Penulisan Clinical Science SessionTubo Ovarium Abses ini menggunakan

metode tinjauan kepustakaan yang merujuk pada berbagai literatur.

5
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Tubo Ovarium Abses adalah radang disertai dengan akumulasi pus yang

terjadi pada ovarium dan atau tuba fallopi pada satu sisi atau kedua sisi adneksa

yang merupakan komplikasi yang terjadi akibat infeksi pada traktus genetilaia

wanita biasanya terjadi beramaan dengan Penyakit Transmisi Seksual / Sexually

Transmitted Diseases (STDSs).5

2.2. Epidemiologi

Tubo Ovarium Abses dilaporkan sebagai komplikasi Pelvis Inflammatory

Disease (PID) pada lebih dari sepertiga kasus.Perkiraan insiden tahunan abses

pelvis oleh karena berbagai penyebab di Amerika Serikat adalah 100.000

kasus.Kejadian Tubo Ovarium Abses dengan PID berkisar 17-20%.Tubo Ovarium

Abses sering terjadi pada wanita yakni antara usia 20-40 tahun3,4. Lebih tua

daripada puncak prevalensi PID.Walaupun dipercayai sebelumnya, riwayat PID

tampak tidak lebih sering pada pasien dengan Tubo Ovarium Abses.Paritas pada

6
pasien dengan Tubo Ovarium Abses sangat berbeda, namun studi epidemiologi

menunjukkan 25-50% terjadi pada nullipara.1

2.3. Etiologi dan Faktor Resiko

Tubo Ovarium Abses disebabkan oleh infeksi berbagai bakteri seperti

spesies Streptococcus, E.coli, spesies Bacteroides, spesies Prevotella, spesies

Peptostreptococcuss6.

Beberapa faktor resiko yang terkait adalah:

1. Pasangan seksual multipel

2. Riwayat penyakit peradangan panggul

3. Penggunaan alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) yang lama biasanya

berhubungan dengan Actinomyces israelii

4. Riwayat penyakit menular seksual seperti gonorhea dan chlamidia.

Pada penelitian terdahulu disebutkan bahwa abses tuboovarial umumnya

disebabkan oleh Neisseria gonorrhoe yang menjadi penyebab PID, pada

penelitian ini didapatkan 16 dari 53 pasien dengan Tubo Ovarium Abses (31 %)

memiliki gonokokus yang didapat dari endoservik tetapi hanya dua ( 4 %)

memiliki organisme yang didapat dari abses.Sekarang didapatkan bahwa

Mikrobiologi dari Abses Tubo Ovarium umumnya adalah polimikroba campuran

yakni flora anaerob dan aerob.Organisme anaerob biasanya terdapat pada abses

daerah pelvis dan adneksa pada 63-100% kasus. Dalam penelitian terbaru landers

dan Sweet melaporkan bahwa flora terbanyak pada aspirasi abses tuboovarial

adalah Escherisia coli (37%), B. Fragilis (22%), Bacteroides (26%), peptococus

(11%), dan peptostreptococcus (18%).1

7
Organisme yang ditemukan pada Tubo Ovarium Abses juga ditemukan

pada PID. Spesies streptokokus, escherecia coli dan organisme enterik gram

negatif lain juga sering ditemukan. Kuman anaerob yang sering dijumpai adalah

bakterioides dan prevotela, porphyromonas serta peptostreptokokus. Gonokokus

jarang ditemukan pada Tubo Ovarium Abses walaupun sering dijumpai pada

PID.1

Faktor yang menyebabkan virulensi bakteri misalnya Bacteroides adalah

kapsul polisakaridanya dan enzim yang dihasilkan oleh bakteri. Diantara enzim

yang dihasilkan antara lain Kollagenase dan hialuronidase, dan heparinase yang

menyebabkan pembekuan pada pembuluh darah kecil dan menyebabkan

berkurangnya aliran darah pada jaringan yang terinfeksi. Superoksida dismutase

juga dapat menyebabkan kuman patogen dapat bertahan pada kondisi aerob.1

2.4. Patofisiologi

Abses adalah akumulasi cairan yang berisi bakteri aerob dan anaerob, sel-

sel inflamasi, serta debris-debris yang nekrosis sebagai usaha tubuh untuk

mengisolasi proses peradangan yang terjadi. Abses intraabdomen yang paling

sering terjadi pada wanita selama masa reproduksi adalah abses pada pelvis5.

Adanya penyebaran bakteri dari vagina ke uterus lalu ke tuba dan atau

parametrium, terjadilah salpingitis dengan atau tanpa ooforitis.Keadaan ini bisa

terjadi pada pasca abortus, pasca persalinan atau setelah tindakan genekologi

sebelumnya6.Mekanisme pembentukan Tubo Ovarium Abses secara pasti masih

sulit ditentukan, tergantung sampai dimana keterlibatan tuba infeksinya sendiri.

Pada permulaan proses penyakit, lumen tuba masih terbuka mengeluarkan eksudat

8
yang purulent dari febriae dan menyebabkan peritonitis, ovarium sebagaimana

struktur lain dalam pelvis mengalami inflamasi, tempat ovulasi dapat sebagai

tempat masuk infeksi. Abses masih bisa terbatas mengenai tempat masuk infeksi.

Abses masih bisa terbatas mengenai tuba dan ovarium saja, dapat pula melibatkan

struktur pelvis yang lain seperti usus besar,buli-buli atau adneksa yang lain.

Proses peradangan dapat mereda spontan atau sebagai respon pengobatan,

keadaan ini biasanya memberi perubahan anatomi disertai perlekatan fibrin

terhadap organ terdekatnya. Apabila prosesnya cepat dan hebat makaabses akan

pecah. 5

Mekanisme terbentuknya Tubo Ovarium Abses terkadang sulit ditegakkan

dikarenakan oleh presentasi klinik yang berbeda dan derajat kerusakan tuba saat

infeksi ditemukan.Penelitian yang pernah dilakukan pada bakteri gonococus pada

saat kuman tersebut mencapai tuba falopii, menyerang mukosa tuba, menembus

sel epitel melalui mekanisme fagositosis, dan menyebabkan kerusakan dari sel

epitel.Kerusakan dari endosalfing menyebabkan diproduksinya eksudat yang

9
purulen. Gonococus dapat menembus lapisan subepitel mukosa tuba dan sampai

pada lapisan muskularis dan serosa tuba pada proses peradangan. Bakteri B.

Fragilis memunyai virulensi yang lebih tinggi dimana kuman ini dapat merusak

epitel tuba pada stadium awal penyakit dan menyebabkan lumen tuba terbuka

sehingga pus dapat keluar dari fimbriae dan dapat berlanjut menjadi peritonitis. 1

Infeksi permukaan, aglutinasi dan abses terbentuk saat bakteri, leukosit

dan cairan terakumulasi pada suatu ruangan tertutup. Perfusi abses ke dinding

dalam sangat berbahaya, menimbulkan lingkungan anaerobik sehingga kuman

anaerobik asli ataupun fakultatif dapat berkembang biak.1

Ovarium dapat melekat dengan fimbria dari tuba yang terinfeksi

(pyosalphing) dan menjadi dinding abses, atau infeksi ovarium primer, yang dapat

berlanjut menjadi abses.Usus, peritoneum parietale, uterus dan omentum biasanya

menjadi melekat. Abses dapat membesar dan mengisi kavum douglas, atau bocor

dan menimbulkan abses metastasis.1

Jika pertahanan tubuh mampu mengatasi, maka infeksi kemudian menjadi

steril. Proses ini mencakup drainase spontan ke dalam celah viskus. Akan tetapi,

jka terjadi ruptur intraperitoneal, infeksi dapat menyebar cepat dan timbul

bakteremia.Pembentukan abses merupakan keadaan terakhir pertahanan tubuh dan

infeksi yang mencapai keadaan ini sangat berat dan berbahaya.Tubo Ovarium

Abses merupakan bentuk paling berbahaya dari PID.1

2.5 Diagnosis

A. Anamnesis

Nyeri perut atau nyeri pelvis merupakan gejala klinis tersering pada pasien

dengan TOA.Ini merupakan gejala klinis tersering dan terjadi pada hampir 90%

10
pasien. Landers dan Sweet melaporkan dari 232 pasien dengan TOA, 50%

diantaranya mempunyai gejala demam, keputihan pada 28% kasus, mual 25%

kasus, dan perdarahan pervaginam pada 21% kasus. Beberapa penelitian lain

menyebutkan terdapat demam disertai leukositois, pada 66-68% kasus.

B. Pemeriksaan fisik

a) Abdomen

Palpasi abdomen dapat ditemukan adanya nyeri tekan dan nyeri lepas, dan

juga kadang dapat teraba massa. pada auskultasi ditemukan adanya

penurunan suara bising usus dan tanda ileus lainnya.

b) Pada pemeriksaan dalam

Dapat ditemukan massa pada adneksa, dan juga pada saat menggerakkan

serviks terasa lunak. Akan tetapi, karena lunaknya adneksa dan serviks

tersebut, terkadang susah menentukan diagnosis dengan pemeriksaan

dalam tersebut. Terkadang juga dapat ditemukan vaginal discharge yang

purulent pada saat pemeriksaan.8

Kriteria Disease Control and Prevention (CDC) dalam mendiagnosa

adanya penyakit radang panggul yaitu apabila ditemukan saat pemeriksaan

panggul adalah sebagai berikut:

1. Kriteria minimal (1 atau lebih):

- Nyeri gerak servik

- Nyeri tekan uterus

- Adnexa kenyal

11
2. Kriteria tambahan: pasien penderita radang panggul yang dicurigai TOA

harus memiliki 1 atau lebih kriteria berikut:

- Demam > 38,4 C

- leukorrhea

- Leukositosis Peningkatan LED > 64 mm/jam

- Peningkatan c-protein > 20 mg/L

- Pemeriksaan laboratorium terbukti adanya infeksi pada serviks misalnya

oleh Chlamidia trachomatis dan Neisseria gonorrhoe 6

C.
Pemeriksaan penunjang

a) USG

Dapat membantu untuk mendeteksi perubahan seperti terjadinya

progressi.regresi, ruptur atau pembentukan pus. Ultrasound adalah

modalitas pencitraan pilihan pertama untuk diagnosis dan evaluasi TOA.

Pada USG didapatkan adanya kista multilokular yang komplekas dengan

penebalan dinding yang ireguler, partisi dan internal echo.5

b) CT (computed tomography)

Tampilan paling sering dari Tubo-ovarium abcess adalah unilateral

location (73%), multilokular (89%) dan dinding yang tebal dan seragam.

Beberapa hal yang jarang ditemukan adalah bowel thickening (59%),

penebalan ligament uteralscaral (64%) dan pylosalpinx (50%).5

c) Pemeriksaan laboratorium

Hasil pemeriksaan yang didapatkan dari laboratorium kurang

bermakna.Hitung jenis sel darah putih bervariasi dari leukopeni sampai

12
leukositosis.Hasil urinalisis memperlihatkan adanya pyuria tanpa

bakteriuria. Nilai laju endap darah minimal 64 mm/h serta nilai akut C-

reaktif protein minimal 20 mg/L dapat difikirkan ke arah diagnosa TOA.5

2.6 Diagnosa Banding

a. TOA utuh dan belum memberikan keluhan

- Kistoma ovari, tumor ovari

- KET

- Abses peri, apendikuler

- Mioma uteri

- Hidrosalping

b. TOA utuh dengan keluhan

- Perforasi apendik

- Perforasi divertikel/abses divertikel

- Perforasi ulkus peptikum

- Kelainan sistematis yang memberi distres akut abdominal

- Kista ovari terinfeksi atau terpuntir.9

2.7 Tatalaksana

Penanganan tuboovarial abses pada saat sekarang sedikit berbeda bila

dibandingkan dengan penanganan alternatif sebelumnya dimana terdahulu

disebutkan bahwa eradikasi abses tidak dapat dilakukan dengan terapi antibiotik

saja melainkan harus dengan penatalaksanaan secara surgikal.Ketersediaan

antibiotik yang sesuai dan pertimbangan fertilitas mendorong pencapaian

keberhasilan penatalaksanaan konservatif pada TOA yang tidak ruptur.1

1. Penanganan pada TOA yang mengalami ruptur

13
TOA ruptur merupakan keadaan akut yang membutuhkan intervensi medis

segera.Stabilisasi hemodinamik dan pemberian antibiotik dan intervensi

pembedahan segera mutlak diperlukan dalam penanganan.Keterlambatan dalam

diagnosa dan intervensi pembedahan dapat meningkatkan mortalitas.

Histerektomi total dan salfingoofarektomi bilateral biasanya dilakukan

pada abses yang ruptur, pus yang terdapat pada rongga abdomen diambil untuk

kultur, dilakukan irigasi untuk meminimalisir penyebaran infeksi. 1

2. Penanganan abses tuboovarium asimptomatik tanpa ruptur

Pengobatan sama dengan pada salfingitis kronik , yaitu terapi antibakteri

jangka panjang. Jika selama 15-21 hari pemberian terapi dengan antibiotik tidak

terdapat perubahan ukuran massa, maka drainase dapat dilakukan. Pada eksplorasi

bisa dilakukan histerektomi total atau adnektomi bilateral, namun pada kasus-

kasus tertentu bisa saja dilakukan salfingoofarektomi unilateral atau salfingostomi

linear

3. Penanganan TOA simpomatik tanpa ruptur

Penatalaksanaan yakni dengan rawat inap di rumah sakit, bedrest dalam posisi

semi-Fowler, pengawasan tanda vital, pemberian cairan intravena pemeriksaan

dan urin output, dan pemberian medikamentosa. Laparotomi dianjurkan pada

setiap kasus yang telah terjadi ruptur atau kasus yang tidak merespon

penatalaksanaan medis dan drainase perkutaneus yang tidak memungkinkan. 7

Pengobatan pada Tubo Ovarium Abses yait dengan medikamentosa dan

drainase.

14
1. Medikamentosa

Untuk pemberian obat-obatan, terdapat dua regimen yang dianjurkan;

a. cefoxitin 2 g IV setiap 6 jam (atau cefocetan 2 g IV setiap 12 jam),

b. klindamisin 900 mg IV dan gentamisin 1,5 mg / kg PO setiap 8 jam

(setelah bolus 2 mg / kg gentamisin) ditambah dengan obat pulang bisa

doksisiklin oral (100 mg per hari) atau klindamisin (450 mg lima kali

sehari) selama dua minggu.8

Jika terapi inisial tersebut memperlihatkan perbaikan, lanjutkan dengan

pemberian antibiotik oral (tetrasiklin, doksisiklin) selama 10-14 hari. Jika terjadi

rupture atau adanya kebocoran pada abses tersebut atau jika pasien tidak respon

terhadap terapi yang diberikan, lakukan laparotomy eksplorasi. Sekitar 50%

pasien dengan abses tuboovarian simtomatik yang belu rupture akan

membutuhkan tindakan pembedahan.2

Tanda-tanda pengobatan berespon dapat dilihat dengan berkurangnya nyeri,

demam, dan dilihat dari nilai leukosit yang diperoleh setelah 72 jam. Penilaian

menggunakan USG juka dilakukan untuk peningkatan ataupun pengurangan dari

ukuran abses tersebut. Abses dapat menjadi hilang atau membentuk kapsul dalam

penyembuhannya tanpa drainase.11

1. Drainase dan pembedahan dapat dilakukan dengan cara:

a. Drinase transvaginal

Drainase TOA menggunakan arahan USGPendekatan transvaginal

memberikan jalur langsung dari vagina ke dalam kavum douglas atau

regio adneksa dimana abses biasanya terlokalisasi.1

15
b. Drainase Transgluteal

Drainase perkutaneus yang dipandu dengan menggunakan USG atau

dengan CT scan biasanya digunakan untuk abses pelvik unilokuler dan

keberhasilan dengan teknik ini dilaporkan mencapai 75-89%.

Keuntungan yang dapat diperoleh dari teknik drainase ini antara lain

menurunkan morbiditas dan lama perawatan dan pembiayaan di rumah

sakit. Kesulitan dari teknik ini yakni akses pencapaian lokasi abses yang

terdapat pada daerah rektouterina dan diantara pembuluh darah dan

kandung kencing. Dalam hal ini pencapaian ke daerah abses dapat

dilakukan melalui pendekatan secara transgluteal1

c. Drainase Laparoskopik

Teknik laparoskopi dalam penatalaksanaan abses mempunyai kelebihan

yakni memberikan visualisasi langsung pada daerah drainase abses, dan

hal ini tentu saja sekaligus sebagai alat bantu dalam konfirmasi diagnosa.

Penatalaksanaan pasien dengan laparoskopi menurunkan morbiditas, dan

pembiayaan bila dibandingkan dengan ekstirpasi dan drainase abses per

laparotomi.1

d. Drainase pembedahan

Drainase kavum douglas dengan insisi kolpotomi telah digunakan

selama beberapa tahun sebelumnya. Akan tetapi, prosedur ini harus tidak

dikerjakan kecuali abses teraba pada linea mediana, melekat pada

dinding vagina, dan mengisi sepertiga atas septum rektovaginal.Pasien

dengan TOA jarang memiliki kriteria tersebut. Kolpotomi kurang disukai

16
karena beberapa laporan berhubungan dengan tingginya komplikasi

kematian, dan angka reoperasi untuk infeksi lanjutan 1

2.8 Komplikasi

a. TOA yang utuh: pecah sampai sepsis reinfeksi di kemudian hari,

infertilitas

b. TOA yang pecah: syok sepsis, abses intraabdominal. 11

2.9 Prognosis

Pasien dengan abses tanpa ruptur memiliki prognosis yang sangat

baik.Penatalaksanaan dapat dilakukan dengan drainasi perkutaneus atau

drainase transvaginal.Terapi medis dengan diikuti oleh pembedahan yang

tepat, dapat menjadikan hasil pengobatan yang bagus. Banyak abses

tuboovarial tanpa ruptur yang telah didiagnosis secara klinis hanya

memunculkan salfingitis akut dengan adhesi pada omental dan intestinal,

yang dengan cepat akan memberikan respon terhadap antibiotik yang

adekuat. Rangkaian USG dapat mengidentifikasi abses tuboovarial tanpa

ruptur dan progresifitas dari penyakitnya.Resiko infertility terjadi pada 5-

10% kasus, dan terjadi peningkatan resiko kehamilan ektopik.Resiko

terjadi reinfeksi pada kasus TOA harus dipertimbangkan jika belum

dilakukan terapi bedah definitif, namun hanya pada kurang dari 10%

kasus.7

17
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Tubo Ovarium Abses adalah radang disertai dengan akumulasi pus yang

terjadi pada ovarium dan atau tuba fallopi pada satu sisi atau kedua sisi

adneksa

2. Tubo Ovarium Abses sering terjadi pada wanita yakni antara usia 20-40

tahun dan paling banyak terjadipada nulipara

3. Tubo Ovarium Abses disebabkan oleh infeksi berbagai bakteri seperti

spesies Streptococcus, E.coli, spesies Bacteroides, spesies Prevotella,

spesies Peptostreptococcuss.

4. Faktor resiko terjadinya Tubo Ovarium Abses yaitu pasangan seksual

multipel, Riwayat penyakit peradangan panggul, Penggunaan alat

kontrasepsi dalam rahim (AKDR), Riwayat penyakit menular seksual.

5. Diagnosis Tubo Ovarium Abses dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis

yaitu nyeri perut atau nyeri pelvis yang meupkan gejala klinis tersering.

Pada pemeriksaan fisik pada pemeriksaan abdomen ditemukan nyeri tekan

dan nyeri lepas, penurunan suara bising usus, pada pemeriksaan dalam

dapat ditemukan massa pada adneksa, terasa lunak saat menggerakan

18
servik. Pada pemeriksaan penunjang dapat dilakukan pemeriksaan USG,

CT –scan dan pemeriksaan labratorium.

6. Tatalaksana dapat berupa medikamentosa ataupun drainase dan

pembedahan.

7. Komplikasi bisa rupture abses, syok septik, infertilitas, kehamilan ektopik,

abses intaabdominal.

8. Prognosis pada abses tanpa rupturmemiliki prognosis yang baik.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Sweet RL, Gibs RS. Sexually transmitted Disease. Ed Infectious diesease of the

female genital tract. Philadelpia: 2002.

2. Pernoll, M.L. Benson & Pernoll’s handbook of Obstetrics and Gynecology. MC

Graw Hill. Kansas. 2001.

3. Lareau SM, Beigi RH. Pelvic Inflammatory Disease and Tubo-ovarian Abcess.

Infect Dis Clin N Am 2008; 22: 693–708.

4. Rosen M, Breitkopf D, Waud K. Tubo-ovarian abscess management options for

women who desire fertility. Obstet Gynecol Surv 2009; 64(10):681-9

5. Osborne NG. Tubo-Ovarian Abcess: Pathogenesis and Management. Journal of

The National Medical Association 1986; 78 (10).

6. Landers, D.V dan Sweet, R.L. Tubo Ovarian Abscess: Contemporary Approach

to Management. Rev Infect Dis 1983; 5:876.

7. DeCherney. Operative delivery. In :Current Diagnosis and Treatment

Obstetrics & Gynecologist. 10Thedition. New York : McGraw Hill Companies.

2007.

8. Paulman, P.M, Harrison, J, Paulman A, Nasir, L.S, Collier, D.S, Bryan, S.

Signs and Symptoms in Family Medicine. Mosby Inc, Philadelphia. 2012

20
9. Benson R.C dan Pernoll M.L. Buku Saku Obstetri dan Ginekologi. EGC.

Jakarta; 2009.

10. Cherry, J.D, Harrison, G.J, Kaplan, S.L, Steinbach W.J, Hotez, P.J. Feigin

and Cherry’s Textbook of Pediatric Infectious Disease 7th Ed. Elsevier

Saunders. Philadelphia. 2014

11. Dewwit J, Reining A, Allsworth JE, Peipert JF. Tuboovarian abscesses: is size

associated with duration of hospitalization & complications Obstet Gynecol Int

2010; 2010:847041.

21

Anda mungkin juga menyukai