Disusun Oleh:
Poetra Surya Rahman
Dengan nama Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada
kami semua sehingga pembuatan serta penyusunan makalah tentang “Pendidikan Islam sebagai
wadah internalisasi nilai-nilai Keislaman (IMTAQ) di tengah perkembangan IPTEK” ini dapat
berjalan dengan baik dan lancar sehingga dapat selesai tepat waktu.
Di dalam makalah ini kami ingin menyampaikan bagaimana menanamkan nilai-nilai
Imtaq terhadap perkembangan Iptek. Sehingga hidup kita yang serba modern ini tidak
melampaui batas dalam Islam dalam penggunaannya.
Tak lupa kami mengucapkan terimakasih kepada Allah SWT yang telah meridhoi
pembuatan makalah ini, Para rekan yang selalu siap membantu, orang tua yang membantu kami
secara materiil maupun non materiil,semua pihak yang telah mambantu terselesaikannya
makalah ini.
Kami selaku penyusun menyadari masih banyak terdapat kekurangan dalam makalah
ini. Kritik dan saran kami terima dengan lapang dada guna meningkatkan mutu dan isi dari
makalah ini. Terima kasih.
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Jika hanya mempunyai iman dan takwa tetapi tertinggal dari Ilmu pengetahuan dan
teknologi maka umat islam akan tergantung kepada bangsa lain. Islam akan terpinggirkan dari
percaturan global.Sebaliknya bila hanya unggul secara Iptek tapi kering Iman dan takwa maka
umat Islam hanya akan menjadi bangsa yang arogan, suatu peradaban yang hanya mengejar
kesenangan dunia dan hidup secara hedonistik.
Selain karena adanya dikotomi antara apa yang dinamakan ilmu-ilmu umum (sains) dan
ilmu-ilmu agama (Islam), juga oleh adanya kenyataan bahwa pengembangan iptek dalam
sistem pendidikan kita tampaknya berjalan sendiri, tanpa dukungan asas iman dan taqwa yang
kuat. Sehingga dikhawatirkan pengembangan dan kemajuan iptek tidak memiliki nilai tambah
dan tidak memberikan manfaat yang cukup berarti bagi kemajuan dan kemaslahatan umat dan
bangsa.
Kekhwatiran ini, cukup beralasan, karena sejauh ini sistem pendidikan kita tidak cukup
mampu menghasilkan manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT
sebagaimana yang diharapkan. Berbagai masalah sosial dan tindak kejahatan sering terjadi dan
banyak dilakukan justru oleh orang-orang yang terpelajar, bahkan mumpuni. Merekalah yang
berpotensi untuk menimbulkan kerawanan sosial berupa degradasi moral dan hanyutnya etika-
etika ketimuran atau lebih khusus lagi merosotnya akhlakul karimah. Ini berarti, aspek
pendidikan turut menyumbang dan memberikan saham bagi kebangkrutan bangsa yang kita
rasakan sekarang.
1
2
B. Rumusan Masalah
1. Perbedaan definisi pendidikan dan Pendidikan Islam
2. Pengertian Imtaq dan Iptek
3. Relevansi pendidikan Islam terhadap kemajuan Iptek
4. Internalisasi nilai keislaman di tengah kemajuan Iptek melalui pendidikan Islam dan
realisasinya
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui perbedaan pendidikan dan pendidikan Islam
2. Memahami definisi Imtaq dan Iptek
3. Menelaah bagaimana relevansi pendidikan islam di tengah kemajuan Iptek
4. Mengetahui upaya realisasi penanaman nilai keislaman terhadap Iptek melalui pendidikan
islam.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Bekenaan dengan perkataan Prof. Haidar Daulay, dalam bukunya “Pendidikan Islam
dalam prespektif filsafat”, beliau menjelaskan bahwa, “awal mula persentuhan ummat islam
dengan ilmu pengetahuan diawali dengan penaklukan daerah bagian utara yang menjadi
pusat ilmu pengetahuan. Jauh sebelum itu sumber pengetahuan yang dimiliki oleh ummat
Islam hanyalah Alquran dan Sunnah, semenjak penaklukan tersebut perkembangan ilmu
pengetahuan di dunia islam mengalami kemajuan hingga mencapai puncaknya pada abad ke-
9 sampai 12 M. kemudian mulai meredup ketika memasuki abad ke-13”.1
Dari uraian di atas, dapat kita kritisi bahwasannya, alasan kemajuan ilmu pengetahuan
di dunia islam yang pernah tercatat dalam sejarah mencakup dua aspek penting di dalamnya
yaitu keyakinan yang kuat terhadap Quran dan Sunnah dan rasa ingin tahu yang tinggi terhadap
ilmu pengetahuan. Bagaimana tidak, sebelum menaklukan wilayah kekuasaan Alexander
Agung (356-323 SM) ummat islam hanya memiliki Quran dan sunnah namun itu tidak
membuat islam lantas menjadi seluarbiasa itu, justru islam terkenal dengan kemjuan
pengetahuanya ketika mulai bersentuhan dengan ilmu pengetahuan. Bahkan daerah yang di
taklukan dibagian utara seperti persia, syiria, irak, iran tidak semaju ummat islam saat itu,
padahal dari merekalah ilmu-ilmu tersebut di dapat. satu hal yang membedakan mereka saat
itu adalah islam memiliki keyakinan tentang dasar kebenaran (Quran) sedangkan bangsa persi,
syiriah dll hanya memeiliki keyakinan tentang kebenaran yang ada. Sehingga ketika islam
masuk dan mempelajari ilmu-ilmu tersebut islam jauh lebih maju dari mereka.
Lalu problem yang muncul saat ini adalah Negara-negara yang berpenduduk mayoritas
Muslim, saat ini pada umumnya adalah negara-negara berkembang atau negara terkebelakang,
yang lemah secara ekonomi dan tidak menguasai perkembangan ilmu pengetahuan sains dan
teknologi. Karena nyatanya, saudara-saudara Muslim kita banyak yang masih bodoh dan
lemah, sehingga mereka kehilangan harga diri dan kepercayaan dirinya. Beberapa di antara
mereka kemudian menjadi hamba budaya dan pengikut buta kepentingan negara-negara Barat.
Mereka menyerap begitu saja nilai-nilai, ideologi dan budaya materialis (’matre’) dan sekular
(anti Tuhan) yang dicekokkan melalui kemajuan teknologi informasi dan media komunikasi
1
Dr.Haidar Putra Daulay Pendidikan Islam: Dalam Prespektif Filsafat, (Jakarta:Kencana Prenadamedia
Group,2014),hlm 59.
3
4
Barat. Akibatnya krisis-krisis sosial-moral dan kejiwaan pun menular kepada sebagian
besar bangsa-bangsa Muslim.
Kenyataan ini sangat ironis. Umat Islam yang mewarisi ajaran suci Ilahiah dan
peradaban dan Iptek Islam yang jaya di masa lalu, justru kini terpuruk di negerinya sendiri,
yang sebenarnya kaya sumber daya alamnya, namun miskin kualitas sumber daya manusianya
(pendidikan dan Ipteknya). Ketidakadilan global ini terlihat dari fakta bahwa 80% kekayaan
dunia hanya dikuasai oleh 20 % penduduk kaya di negara-negara maju. Sementara 80%
penduduk dunia di negara-negara miskin hanya memperebutkan sisa makanan pesta pora
bangsa-bangsa negara maju.
BAB III
PEMBAHASAN
Walaupun kata “pendidikan” sudah sangat akrab dalam kehidupan sehari-hari, namun
hakikat dan maknanya masih menimbulkan perdebatan. Keragaman pemaknaan pendidikan
secara umum tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat umum, tetapi juga terjadi di kalangan
para ahli pendidikan tentunya masing-masing ahli memiliki definisinya sendiri-sendiri. Hal ini
merupakn sesuatu yang wajar karena perbedaan individu dan banyaknya perbedan lain seperti
latar belakang sosial, Agama, budaya, dan pendidikan namun dari banyaknya pengertian
tentang arti kata pendidikan.
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, para ahli memiliki perbedaan pendapat
dalam mendefinisikan makna pendidikan. Darmaningtyas mendefinisikan pendidikan sebagai,
“usaha sadar dan sistematis untuk mencapai taraf hidup atau kemajuan yang lebih baik”.
Sementara bapak pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara merumuskan hakikat pendidikan
sebagai, “usaha orangtua bagi anak-anaknya dengan maksud untuk menyokong kemajuan
hidupnya, dalam arti memperbaiki tumbuhnya kekuatan ruhani dan jasmani yang ada pada
anak-anak”. Koentjaningrat, ahli antropologi Indonesia, mendefinisikan pendidikan sebagai,
“usaha untuk mengalihkan adat istiadat dan seluruh kebudayaan dari generasi lama ke
generasi baru”, definisi yang dibuat oleh Koentjaningrat ini sarat dengan nuansa budaya,
karena beliau adalah ahli antropologi.
Dari definisi-definisi pendidikan diatas, dapat kita ketahui adanya perbedaan dimensi
antar definisi tersebut. Namun demikian, dari keragaman perbedaan tersebut, ada titik
kesamaan yang dapat "dianggap" sebagai titik temu. Setidaknya titik temu tersebut diwakili
oleh aspek proses menuju kedewasaan dan memanusiakan manusia2
Keragaman definisi juga terjadi pada pendidikan Islam. Berbeda dengan definisi
pendidikan secara umum, dalam pendidikan islam terdapat sebuah karakteristik yang khusus.
Tetapi, justru disinilah akar bagi munculnya keragaman definisi pendidikan Islam.
Rekomendasi konferensi internasional pendidikan Islam di Universitas King Abdul Aziz
Jeddah tahun 1977, mendefinisikan pendidikan Islam sebagai keseluruhan pengertian yang
2
Ngainun Naim dan Achmad Sauqi, Pendidikan Mutikultural Konsep dan Aplikasi, (Yogyakarta: Ar-Ruz Media
Grup, 2010), hlm 31
5
6
terkandung dalam istilah ta'lim, tarbiyah, dan ta'dib. Berdasarkan pemaknaan ini,
Abdurrahman Al-Nahlawy menyimpulkan bahwa pendidikan Islam terdiri dari empat unsur,
yaitu:
Ahmad Tafsir, guru besar Pendidikan Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung,
menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan Islam adalah bimbingan terhadap
seseorang agar berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam. Bimbingan ini berarti
mengarahkan segenap potensi yang dimiliki oleh anak didik dalam kerangka menuju ke arah
kesempurnaan, baik dalam segi jasmani maupun ruhaninya menuju manusia yang beriman,
berilmu, terampil dan bermoral. Dengan posisi ideal semacam ini, manusia akan mampu
menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah.
Menurut Zarkowi Soejoeti, ada beberapa pengertian pendidikan Islam. Pertama, jenis
pendidikan yang pendirian dan penyelenggaraannya didorong oleh hasrat dan semangat cita-
cita untuk menjelaskan nilai-nilai Islam, baik yang tercermin dalam nama lembaganya maupun
dalam kegiatan-kegiatan yang diselenggarakannya. Kedua, jenis pendidikan yang memberikan
perhatian dan sekaligus menjadikan ajaran Islam sebagai pengetahuan untuk program studi
yang diselenggarakannya. Disini, kata Islam ditempatkan sebagai bidang studi, sebagai ilmu
dan diperlakukan seperti ilmu yang lain. Ketiga, jenis pendidikan yang mencakup kedua
pengertian diatas. Dalam hal ini, Islam ditempatkan sebagai sumber nilai dan sebagai bidang
studi yang ditawarkan melalui program studi yang diselenggarakan.
Dari ketiga pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa keberadaan pendidikan Islam
tidak sekedar menyangkut persoalan cirri khas, melainkan lebih mendasar lagi, yaitu tujuan
yang diidamkan dan diyakini sebagai yang paling ideal, atau dalam pembahasan filsafatnya,
diistilahkan sebagai "insan kamil" atau "muslim paripurna". Tujuan ini sekaligus mempertegas
bahwa misi dan tanggung jawab yang diemban pendidikan Islam lebih berat lagi.
3
Ngainun Naim dan Achmad Sauqi, Pendidikan Mutikultural Konsep dan Aplikasi, (Yogyakarta: Ar-Ruz Media
Grup, 2010), hlm 32
7
1. Penguasaan ilmu pengetahuan. Hal ini selaras dengan ajaran dasar Islam yang
mewajibkan umatnya untuk mencari dan menguasai ilmu pengetahuan.
2. Pengembangan ilmu pengetahuan. Ilmu yang telah dikuasai harus diberikan dan
dikembangkan kepada orang lain
3. Penekanan pada nilai-nilai akhlak dalam penguasaan dan pengembangan ilmu
pengetahuan
4. Penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan tersebut hanyalah untuk
pengabdian kepada Allah dan kemaslahatan umum
5. Penyesuaian pada perkembangan anak. Pendidikan diberikan sesuai dengan umur,
kemampuan, perkembangan jiwa dan bakat anak
6. Pengembangan kepribadian. Pengembangan ini berkaitan dengan seluruh nilai dan
sistem Islam, sehingga setiap anak didik diarahkan untuk mencapai tujuan Islam
7. Penekanan pada amal saleh dan tanggung jawab. Setiap anak didik diberikan
semangat dan dorongan untuk mengamalkan ilmunya sehingga benar-benar
bermanfaat bagi diri, keluarga, dan masyarakat secara keseluruhan4
Iman dari bahasa Arab yang artinya percaya. Sedangkan menurut istilah, pengertian
iman adalah membenarkan dengan hati, diucapkan dengan lisan, dan diamalkan dengan
tindakan (perbuatan). Jadi, seseorang dapat dikatakan sebagai mukmin (orang yang beriman)
sempurna apabila memenuhi ketiga unsur keimanan di atas. Apabila seseorang mengakui
dalam hatinya tentang keberadaan Allah, tetapi tidak diikrarkan dengan lisan dan dibuktikan
dengan amal perbuatan, maka orang tersebut tidak dapat dikatakan sebagai mukmin yang
sempurna. Sebab, ketiga unsur keimanan tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak
dapat dipisahkan.5
4
Ngainun Naim dan Achmad Sauqi, Pendidikan Mutikultural Konsep dan Aplikasi, (Yogyakarta: Ar-Ruz Media
Grup, 2010), hlm 34
5
Imam Nawawi dan Hasan Al-Banna,Al-Ma’tsurat dan Hadits Arba’in, (Jakarta:Gema Insani 2012),hlm 44.
8
Dalam NDP bab IV tentang ketuhanan yang maha esa dan peri kemanusiaan yang di
catut dari buku basic training, “Iman” berarti percaya. Dalam hal ini percaya kepada Tuhan
sebagai tujuan hidup yang mutlak dan tempat mengabdikan diri kepadanya. Sikap
menyerahkan diri dan mengabdi kepada tuhan itu disebut islam nama bagi segenap ajaran
pengabdian kepada Tuhan yang maha esa (3:19) pelakunbya di sebut muslim. Orang-orang ini
lah yang telah bebas dari perbudakan oleh sesama manusia dan menjadi manusia merdeka yang
menghambakan dirinya hanya kepada tuhan yang esa.6
Taqwa adalah nilai atau akumulasi dari nilai-nilai islam. Pakar Tafsir Abu Hayyan al-
Andalusi, menyebutkan takwa sebagai kumpulan ketaatan (majami’ al- tha’la) yang
membentuk kualitas pribadi orang yang beriman dan melindunginya dari siksa dan bencana.
Sedangkan jika dilihat dari segi bahasa, perkataan takwa menurut pakar tafsiran al-isfahani,
berakar kata waqa, yaqi, al-wiqayah, yang secara harfiah bermakna memelihara sesuatu dari
apa yang membahayakan, dari sini takwa kemudian diberi arti sikap hati-hati dari berbagai
kemunginan buruk 7
6
HMI Cabang Ciputat , Modul Basic Training,(Ciputat:2015), hlm, 228
7
Dr.A ilyas Ismail,Pilar-Pilar Takwa,(Jakarta:Rajawali Pers 2009), hlm iii.
9
Adapun seni termasuk bagian dari budaya, berbagai hasil ungkapan akal budi manusia
dengan segala prosesnya. Seni merupakan hasil ekspresi jiwa yang berkembang menjadi bagian
dari budaya manusia.8
Teknologi dapat membawa dampak positif berupa kemajuan dan kesejahteraan bagi
manusia juga sebaliknya dapat membawa dampak negatif berupa ketimpangan-ketimpangan
dalam kehidupan manusia dan lingkungannya yang berakibat kehancuran alam semesta.
Netralitas teknologi dapat digunakan untuk kemanfaatan sebesar-besarnya bagi kehidupan
manusia dan atau digunakan untuk kehancuran manusia itu sendiri.
C. Relevansi Pendidikan Islam Terhadap Kemajuan Iptek.
8
J. Surya Sumantri, Ilmu Dalam Prespektif ,(Jakarta:Buku Obor 2015), hlm 7
10
pun, dan setelah sebagian mereka mulai belajar meneguknya, mereka beralih kepada
pandangan serba takhayul (superstitious) mengenai minuman dari Arab itu. Sebuah contoh
yang tidak kurang bizarre-nya dibanding dengan sikap ‘ulamā’ Arabia terhadap radio itu ialah
kepercayaan Raja Gustav III dari Swedia pada paruh kedua abad ke-18 bahwa kopi adalah
racun yang mematikan, yang dapat digunakan untuk melaksanakan hukuman mati atas seorang
pembunuh. Sebuah kutipan tentang hal itu terbaca demikian:
Gustav III of Sweden believed that coffee was poison. To prove his theory, he sentenced
a murderer to drink coffee every day until he died. To provide comparison, another murderer
was pardoned on condition that he drink tea every day. Two doctors were appointed to
supervise the experiment and see who died first. The doctors were the first to die. Then the
King was murdered in 1792. Finally, after many years, one of the criminals died at the age
of 83. He was the tea drinker.(Raja Gustav III dari Swedia berkeyakinan kopi adalah racun.
Untuk membuktikan teorinya, ia menghukum seorang pembunuh agar minum kopi setiap hari
sampai mati. Untuk membuat perbandingan, seorang pembunuh lain diampuni dengan syarat
ia minum teh setiap hari. Dua orang dokter ditunjuk untuk mengawasi eksperimen itu dan
melihat siapa yang mati terlebih dahulu. Ternyata dokter-dokter itulah yang lebih dahulu mati.
Kemudian Raja sendiri terbunuh pada tahun 1792. Akhirnya, selang bertahun-tahun, salah
seorang penjahat tersebut pun mati pada umur 83. Dia adalah yang minum teh [bukan yang
minum kopi]). Kopi memang bukan barang teknologi seperti radio. Namun kedua-duanya
memiliki segi persamaan, yaitu merupakan barang baru bagi masyarakat-masyarakat terkait.
Dan cerita di atas memang sangat anekdotal. Tapi cerita itu juga merupakan karikatur yang
baik tentang suatu kenyataan umum sekali pada umat manusia. Yaitu, disebabkan adanya
semacam daya “inertia” pada psikologi manusia, maka masyarakat manusia cenderung
menolak apa saja yang baru, yang belum dikenal. Barangkali merupakan bagian dari insting
untuk bertahan hidup (survival), sikap manusia menolak sesuatu hal atau benda yang belum
dikenal itu berakar dalam kekhawatiran kalaukalau hal atau benda itu dapat menjadi sumber
ancaman baginya, atau dikhawatirkan ia tidak bisa menguasainya. Dalam suatu perenungan
kembali, tidak mustahil reaksi kita sekarang ini terhadap teknologi dan masalah-masalahnya
mempunyai hakikat yang sama dengan reaksi ‘ulamā’ Arab Saudi terhadap radio dan Raja
Gustav III terhadap kopi. Dikatakan dalam pepatah Arab, “al-nās-u a‘dā’u mā jahilū” (Manusia
adalah musuh apa saja yang tidak dipahaminya).
Sebagaimana reaksi instingtif untuk menolak di zaman modern sekarang tidak hanya
terbatas kepada radio atau sesuatu tertentu lainnya, di zaman Pertengahan dahulu itu pun reaksi
11
menolak terhadap segi-segi peradaban yang lebih maju (Islam) tidak hanya terbatas kepada
kopi, tapi juga kepada banyak sesuatu yang lain seperti gula, mesiu, kertas, angka Arab (yaitu
angka umum yang kini paling banyak digunakan seluruh dunia), sampai handuk dan kebiasaan
mandi, dan seterusnya. Penuturan anekdot-anekdot di atas itu bukanlah dimaksudkan untuk
meremehkan problem pilihan bagi kita sekarang ini. Telah diisyaratkan bahwa hal-hal di atas
itu, sebagai bahan perbandingan, menunjukkan adanya kemungkinan bahwa yang sedang kita
alami sekarang ini adalah tidak unik, dan bisa merupakan ulangan hal yang sama di tempat lain
atau di zaman lain. Sementara itu, jelas terkandung beberapa kesejatian dalam peringatan
banyak ahli bahwa teknologi modern dan pilihan-pilihannya mengandung masalah yang tidak
boleh dipandang enteng.9
9
Nurcholis Madjid,Islam Doktrin dan Peradaban,(Jakarta:Nurcholis Majid Society,2019),hlm 1070.
10
Dr.Haidar Putra Daulay Pendidikan Islam: Dalam Prespektif Filsafat, (Jakarta:Kencana Prenadamedia
Group,2014),hlm 72.
12
agama dan ilmu umum pun di ajarkan kepada mereka, hal ini yang mendasari berdirinya
pondok pesantren moder seperti Gontor dan pondok pesantren modern lainnya yang saat ini
tumbuh berkembang di setiap daerah di tanah air.
Kemudian pada tahun 1970-an muncullah pemikiran islamisasi ilmu oleh Ismail al-
Faruqi hal ini berkenaan dengan konsep bagaimana mengislamkan sains. Sejak saat itu tumbuh
dengan pestnya semangat mengislamkan sains dikalangan uat islam. Dilanjutkan pula
semangat itu dengan menggelar konferensi pendidikan islma internasional yang inti
pembahasannya ialah pengintegrasian ilmu perennial knowledge dengan acquired knowledge.
Tindak lanjut dari konferensi nasional. Salah satunya terletak di Gombak Kuala Lumpur,
Malaysia, International Islamic University (IIU). Semangan pengitegrasian dua ilmu ini pun
muncul di Indonesia menyebabkan lahirnya Universitas Islam Negeri (UIN).11
Catatan pentingnya adalah semenjak bergulirnya pandangan Al-Faruqi ini banyak
menarik perhatian para pemikir muslim dan menjadi perbincangan agar hal ini terus dapat di
kembangngkan. Sampai disini dapat kita yakini bahwa pendidikan islam yang berorientasi pada
keakhiratan dan berlandasakan Al-quran dan Sunnah selain memegang erat nilai keimanan dan
ketakwaan segala sesuatunya bersifat tetap, konsisten dan tidak berubah tapi system pendidikan
islam terus mengalami perkembangan terhadap ilmu agama tersebut sebagai bentuk
internalisasi nilai nilai keagamaan ditengah perkembangan ilmu pengetahuan dan sebagai bukti
nyata relevansinya di tengah kemajuan zaman.
11
Dr.Haidar Putra Daulay Pendidikan Islam: Dalam Prespektif Filsafat, (Jakarta:Kencana Prenadamedia
Group,2014),hlm 73.
12
Ali Syari’ati, idiologi kaum intelektual :suatu wawasan,(Jakarta:Mizan 2007),hlm 172
13
Secara tidak langsung dapat diasumsikan bahwa beliau mengajak bahkan menarik kita
untuk kembali kepada fitrah manusia yang menurutnya memiliki tiga aspek tersebut. Dalam
bukunya—dengan judul yang sama, terdapat suatu deskripsi singkat tentang kaum intelektual
dalam arti yang sebenarnya, bukan hanya sarjana, bukan hanya ilmuwan melainkan orang yang
terlibat secra kritis dengan nilai, tujuan, cita-cita yang mengatasi kebutuhan-kebutuhan praktis
dan mecoba membentuk lingkungannya dengan gagasan analitis dan normative dan menguasi
ajaran Islam. Hal itu disebut dengan Rausyanfikr.
Kembali pada rujukan awal penulisan makalah ini sebagai mana di sampaikan oleh Prof
Haidar Daulay bahwa dasar dan tujuan pendidikan islam ialah membentuk pribadi muslim
seutuhnya. Mengembangkan seluruh potensi manusia baik jasmaniyah dan rohaniyah,
menumbuhkan hubungan yang harmonis setiap pribadi manusia dengan Allah, manusia dan
alam semesta.
batin. Potensi lahir diwakilkan oleh fisik dan jasmani sedangkan potensi ruhani di wakilkan
oleh unsur spiritual manusia untuk menuju kearah kesempurnaan.13
Hal yang membuat pendidikan islam berbeda dan lebih baik dari pendidikan pada
umumnya ialah konsep pendidikannya, sebagaimana tujuannya yakni mengembangkan pribadi
manusia dengan seluruh potensi yang dimilikinya baik jasmani maupun rohani serta
menanamkan rasa cinta pada Tuhan, Manusia dan Alam Semesta. Maka konsep pendidikannya
pun di buat agar mendukung tercapinya tujun tersebut. Untuk merealisasikan konsep
pendidikan islam di perlukan perencanaan pendidikan yang meliputi kelembagaan, kurikulum,
menejemen, pendidik, peserta didik dan alat pendidikan. 14
Peserta didik adalah seseorang akan diajar, dibimbing, dilatih, kearah tujuan yang ingin
diraih. Sementara alat pendidikan ada dua yaitu alat yang bersifat fisik, yaitu saran dan fasilitas
yang digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan. Selanjutnya alat yang bersifat non fisik
13
Dr.Haidar Putra Daulay Pendidikan Islam: Dalam Prespektif Filsafat, (Jakarta:Kencana Prenadamedia
Group,2014),hlm 16.
14
Dr.Haidar Putra Daulay Pendidikan Islam: Dalam Prespektif Filsafat, (Jakarta:Kencana Prenadamedia
Group,2014),hlm 21.
15
yaitu segala upaya yang bersifat edukatif guna mencapai tujuan pendidikan, seperti hukuman,
dan penghargaan (Punishment, Reward), suruhan, larangan, dan dorongan atau motivasi.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ilmu tanpa agama adalah buta dan agama tanpa ilmu adalah lumpuh (Albert Einstein)
hal terpenting ialah bagaimana mengintegrasikan ilmu keislaman dan ilmu pengetahuan agar
sampai makna yang sesungguhnya pada generasi penerus. Dan pendidikan islam adalah salah
satu jalur penginternalisasi nilai nilai tersebut agar dapat di terima dengan sebaik mungkin.
Disamping penanaman nilai agar di terima hal selanjutnya adalah bagaimana agar hal-
hal tersebut dapat di realisasikan dalam bentuk yang lebih nyata dengan pengamalan karena
ketika Iman menjadi landasan dan Ilmu menjadi pegangan maka setiap Amal tidak akan
berakhir dengan kesia-siaan.
16
DAFTAR PUSTAKA
17
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini menyatakan bahwa judul makalah “PENDIDIKAN ISLAM SEBAGAI WADAH
INTERNALISASI NILAI-NILAI KEISLAMAN (IMTAQ) DI TENGAH
PERKEMBANGAN IPTEK” yang dibuat untuk memenuhi syarat mengikuti Latihan Kader II
Cabang JAKPUSTARA adalah benar bebas dari plagiat, dan apabila pernyataan ini terbukti
tidak benar maka saya bersedia menerima sanksi sesuai ketentuan yang berlaku.
Demikian surat pernyataan ini saya buat untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.
18