Anda di halaman 1dari 6

RESENSI BUKU

“SAMBERNYAWA”

Disusun Oleh :
- Hezkia Putra Rendy. S

SMAN 1 KLAPANUNGGAL

XI MIPA 4

BOGOR
RESENSI NOVEL “SAMBERNYAWA”

1. IDENTITAS BUKU
Judul Buku : Sambernyawa

Pengarang : Sri Hadijodjo

Penerbit : PT.Kaurama Buana Antara

Tahun Terbit : 1960

Tebal Halaman : 364


2. SINOPSIS
Novel “sambernyawa” ini bergenre action, menceritakan tentang pembalasan dendam
seorang anak kepada “negara” karena telah dihianati dan tidak mendapat jabatan yang
semestinya.

Berawalan dengan buruk, Raden Mas Said adalah putra pasangan Pangeran Arya
Mangkunegara Kartasura dan putri Kablitaran. Saat Almarhum Sunan Prabu Amangkurat
Jawa masih bertakhta, Pangeran Arya Mangkunegara Kartasura sebagai putranya yang tertua
sudah menduduki jabatan Senapati Agung Mataram, dan selayaknya menjadi raja setelah
ayahandanya wafat kemudian.

Tetapi, dunia manakah yang lurus, beres, dan bersih tidak bercacat? Tidak terkecuali
dengan keadaan di dalam Keraton Kartasura yang juga penuh dengan fitnah, secara halus atau
kasar, dalam menyingkirkan orang-orang yang dipandang sebagai saingan yang berbahaya.

Sunan Prabu Amangkurat Jawa wafat pada tahun 1726. Putra yang menggantikannya
sebagai raja adalah putra dari permaisuri, yang kemudian bergelar Pakubuwana II. Walaupun
tidak terpilih menjadi raja, Pangeran Arya Mangkunegara Kartasura tetap mempunyai
pengaruh yang besar baik di lingkungan keraton maupun di kehidupan rakyat Mataram. Ia
pernah melawan Kompeni Belanda bersama Pangeran Purbaya, pamannya.

Suatu hari Pangeran Arya Mangkunegara Kartasura menyaksikan pertunjukan tari Bedaya
di istana. Matanya tertambat pada seorang penari jelita berdarah Tionghoa bernama
Wirasmara. Ia pun menjadi gandrung kepadanya. Beberapa waktu kemudian, ia bertutur
kepada Patih Cakrajaya alias Patih Danureja tentang perasaannya. Ia ingin mempersunting
Wirasmara menjadi istrinya. Wirasmara sebetulnya selir Pakubuwana II, tetapi Pangeran Arya
Mangkunegara saat itu belum mengetahuinya. Setelah mendengar pernyataan ayahanda
Raden Mas Said tersebut, Patih Cakrajaya lalu melapor kepada Ratu Amangkurat, ibu
kandung Pakubuwana II. Dalam pembicaraan rahasia, keduanya sama-sama ingin
menyingkirkan Pangeran Arya Mangkunegara. Mereka beranggapan, putra tertua Almarhum
Raja tersebut mempunyai potensi besar untuk merebut takhta karena pengaruhnya yang sangat
luas.

Segera saja Patih Cakrajaya menyebarkan fitnah bahwa Pangeran Arya Mangkunegara
Kartasura telah berselingkuh dengan Wirasmara. Ia pun melaporkan Pangeran Arya
Mangkunegara kepada Kompeni Belanda dengan tuduhan hendak menghimpun kekuatan
melawan mereka. Lalu ia menyeret Wirasmara ke rumahnya dan membunuh penari cantik itu.
Setelah itu ia menangkap Pangeran Arya Mangkunegara Kartasura dan menyerahkannya
kepada Kompeni Belanda. Pangeran Arya Mangkunegara Kartasura dinyatakan bersalah dan
akhirnya harus menerima nasib dibuang ke Sailan.
Pada waktu itu Raden Mas Said masih kanak-kanak yang tidak tahu apa-apa. Ia pun tidak
tahu apa “dosa” ayahandanya. Anak kecil itu diasuh neneknya, Raden Ayu Sumanarsa, di
dalam benteng Keraton Kartasura.

Sejak kecil Raden Mas Said tidak mendapat perlakuan layak sebagaimana putra-putra
pangeran lain, saudara sepupu dan kemenakan lain, yang masih diasuh oleh ayah-ibu mereka.
Hanya dalam menuntut ilmu menulis, membaca, dan berhitung di sekolah kesatrian Said
duduk sejajar dengan saudara-saudaranya. Juga saat belajar mengaji Al-Quran di masjid
besar. Tetapi dalam belajar menari, silat, dan ilmu bertempur atau berperang, ia tak dapat ikut
serta karena kekurangan biaya. Para putra pangeran dan bangsawan tinggi kebanyakan
mempunyai guru pribadi dalam belajar silat tangan kosong atau bersenjata panah, tombak,
pedang, dan alat-alat perang lain. Kesaktian, kedigdayaan, ilmu berperang dan bertempur taraf
tinggi adalah syarat mutlak yang harus dikuasai oleh para bangsawan dan para kesatria.

Guru-guru sakti banyak didatangkan dari luar kota untuk tinggal sementara waktu di
rumah bangsawan yang mendatangkannya. Mereka dibayar untuk mengajarkan segala ilmu
kepada putra-putra bangsawan. Tentu saja kemewahan semacam itu banyak biayanya dan tak
dapat dilakukan oleh bangsawan melarat. Karena itu, terpaksa Raden Mas Said harus
menerima pelajaran bela diri dari Ki Karyamenggala dan Ki Karyasentana. Dua orang tua
setia itu adalah bekas pengawal pribadi Pangeran Arya Mangkunegara Kartasura di masa
bahagianya.

Setelah ditinggalkan tuannya, Ki Karyamenggala dan Ki Karyasentana mengabdi kepada


Raden Ayu Sumanarsa sebagai pengasuh cucunya. Ilmu silatnya sangat sederhana, tetapi
karena diajarkan dengan ketekunan dan kesungguhan luar biasa, ilmu pokok ini berubah
menjadi ilmu yang berarti juga. Cukup membuat Said perkasa dalam membela diri. Badan
Said yang tegap serasi, ditambah tulang-tulangnya yang kuat, membuatnya dapat bergerak
tangkas dan gesit. Selain itu, kecerdasan dan ketajaman matanya membuat setiap lawan tidak
bisa menganggapnya enteng.

Hal ini terbukti dalam setiap latihannya. Saat malam sepi, ia selalu dikeroyok oleh guru-
gurunya, Ki Karyamenggala dan Ki Karyasentana. Mereka tidak sanggup lagi bertanding satu
lawan satu dengan murid yang benar-benar ulung ini. Apabila dua orang tua ini bersama-sama
maju, barulah latihan mereka berimbang. Semakin bertambah usianya, semakin mengertilah
Said akan nasib ayahandanya yang malang. Timbullah semacam sakit hati terhadap para
pemfitnah ayahnya.

Sayang, pemuda tanggung lagi melarat ini harus menghadapi pemegang utama kekuasaan
negara, yang menguasai empat penjuru mata angin. Sadarlah Said akan keadaannya sendiri,
yang tak berdaya dan tak berteman. Juga sadar akan umurnya yang masih sangat muda, baru
dua belas tahun. Tetapi sejak itulah ia punya tekad membaja: merebut kembali kedudukan
ayahnya dan membersihkan “noda busuk” yang menjerumuskan ayahnya ke pembuangan.

Tekadnya itu menjadi dorongan yang luar biasa besar bagi Said. Berlatihlah ia siang dan
malam, tanpa sepengetahuan orang lain, untuk menambah kekuatan dan ketangkasannya.
Karena tanpa petunjuk guru, ia hanya dapat meningkatkan ilmunya setapak demi setapak.
Tetapi ia terus berlatih dan berlatih. Biarpun mengucurkan keringat, air mata, dan darah
sekalipun, ia terus berlatih dan terus menatap ke depan.

Barangsiapa benar-benar menghendaki sesuatu disertai usaha yang tak kunjung surut, ia
pasti akan mendapat sesuatu yang diinginkannya. Inilah keadilan jagat yang tak berpilih kasih

Paparan Argumen

a) Analisis

Tema

Novel SAMBERNYAWA bertema kan sejarah/action Memang bertema kan sejarah tapi
dengan alur yang cukup menyedihkan.

Kepengarangan

Dalam novel ini diceritakan melalui pandangan orang ke 3,dimana bisa lebih membuat
pembaca menjadi lebih terbawa suasana,penulis pun pintar menyelipkan cerita yang berujung
tragis yang membuat sedih pembaca

Alur

Alur yang digunakan dalam novel SAMBERNYAWA adalah alur campuran


Amanat

Rebutlah hak mu, dan juga kebenaran akan selalu menang melawan kejahatan

Sudut Pandang

Di novel ini bercerita melalui sudut pandang orang ketiga

b) Evaluasi

Kelebihan dan Kekurangan Novel SAMBERNYAWA

Kelebihan : Dalam novel menggunakan sudut pandang orang ketiga yang membuat cerita ini
unik karena sudut pandang orang ketiga yang membuat kita lebih tau isi cerita tersebut dibanding
melalui sudut pandang orang pertama, Konflik yang membuat pembaca penasaran akan isi cerita,
dan di novel ini mengajarkan kita untuk merebut kembali hak kita, kesetiakawanan, dan juga
kesabaran dan penguasaan diri.

Kekurangan : Akhir cerita pada novel ini gantung

3. Rekomendasi Penulis
Menurut saya cerita ini sangat bagus, di cerita ini di akhiri dengan happy ending, dan juga
perbaikan beberapa kata dalam cerita yang sedikit kurang dimengerti pembaca.

Anda mungkin juga menyukai